Sari Pustaka TB MDR

44
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya kejadian tuberculosis (TB) kebal obat merupakan suatu peringatan terhadap penanganan dan pengendalian TB secara global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 480.000 kasus Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) terjadi pada tahun 2013. Sedangkan di Indonesia dilaporkan terdapat 260 kasus MDR-TB yang terjadi pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 diperkirakan akan terdeteksi 1800 kasus (WHO 2014). Penatalaksanaan klinis MDR-TB lebih rumit dibandingkan dengan TB yang sensitif, karena mempergunakan OAT lini I dan lini II. Pada tatalaksana TB yang sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama 18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat (Holtz et.al, 2010). Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi, mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4 (lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5 untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat sehingga menyebabkan

description

TB MDR

Transcript of Sari Pustaka TB MDR

Page 1: Sari Pustaka TB MDR

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Munculnya kejadian tuberculosis (TB) kebal obat merupakan suatu peringatan

terhadap penanganan dan pengendalian TB secara global. World Health Organization

(WHO) memperkirakan sekitar 480.000 kasus Multidrug-resistant tuberculosis

(MDR-TB) terjadi pada tahun 2013. Sedangkan di Indonesia dilaporkan terdapat 260

kasus MDR-TB yang terjadi pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 diperkirakan akan

terdeteksi 1800 kasus (WHO 2014).

Penatalaksanaan klinis MDR-TB lebih rumit dibandingkan dengan TB yang

sensitif, karena mempergunakan OAT lini I dan lini II. Pada tatalaksana TB yang

sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan

pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama

18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan dengan

kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat (Holtz et.al, 2010).

Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan

obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai

yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR

TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi,

mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4

(lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5

untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif

dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat

sehingga menyebabkan beberapa permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-

obatan tersebut. Respons masing-masing individu tidak dapat diprediksi, tetapi

pengobatan tidak boleh dihentikan hanya karena ketakutan terhadap reaksi yang

timbul (Lia, 2011).

Hanya sebagian dari pasien MDR-TB yang memulai pengobatan secara global

yang berhasil sembuh, hal ini dikarenakan kegagalan dalam follow-up (28%), hal ini

dikaitkan dengan efek samping obat, dan tingginya angka kematian (15%). Sebagai

tambahan, diperkirakan sekitar sepertiga kasus MDR-TB mungkin mempunyai koloni

yang resisten terhadap fluoroquinolones ataupun obat injeksi lini kedua

(aminoglycosides atau capreomycin), menyebabkan pengobatan menjadi semakin

sulit, dimana jalan lain yang dipilih yaitu hanya dengan menggunakan obat yang lebih

toksik (WHO 2014).

Pengobatan MDR-TB sering dikaitkan dengan kejadian efek samping, dengan

tingkatan yang beragam mulai dari efek samping yang ringan sampai yang dapat

mengancam jiwa, dimana hal ini dapat menyebabkan pengobatan harus dihentikan

Page 2: Sari Pustaka TB MDR

2

sementara ataupun secara permanen. Penghentian pengobatan tersebut justru akan

menyebabkan kegagalan dalam pengobatan dan mungkin akan menyebabkan

peningkatan angka kegagalan pengobatan dan kematian pada pasien MDR-TB (Holtz

et.al, 2010).

Berdasarkan penelitian Bloss (2010), dikatakan bahwa kejadian efek samping

pada pengobatan MDR-TB merupakan hal yang umum dialami, dimana ditemukan

bahwa dari 79% kasus mengalami minimal satu dari efek samping yang berhubungan

dengan pengobatan. Efek samping yang umumnya dialami antara lain, mual (58%),

muntah (39%), nyeri abdomen (24%), gangguan psikologi (13%), hepatitis (9%), dan

gagal ginjal (4%) (Holtz et.al, 2010).

Berdasarkan penelitian pada pengobatan MDR-TB yang dilakukan di India dan

Amerika Serikat, didapatkan bahwa efek samping lebih cenderung terjadi pada

periode awal, umunya pada 6 bulan awal pengobatan. Hal ini dikarenakan

penggunaan obat injeksi sering dikaitkan dengan kejadian efek samping, dimana obat

injeksi biasanya diberikan pada 6-9 bulan pengobatan, sehingga hal ini diperkirakan

sebagai penyebab tingginya angka kejadian efek samping pada periode tersebut. Oleh

karena itu, selama periode awal pengobatan harus dilakukan pemantauan dan

intervensi segera jika terjadi efek samping, ini merupakan hal mendasar yang harus

diperhatikan dalam pengelolaan MDR-TB (Holtz et.al, 2010).

Page 3: Sari Pustaka TB MDR

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

MDR-TB adalah kasus TB yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis

resisten, minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan dengan atau

tanpa obat anti TB (OAT) lini I yang lain (Holtz et.al, 2010).

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi MDR TB

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mycobacterium tuberculosis

resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB

resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer

yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT

sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan

positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi

pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003).

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat

mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi

menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT

tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh

konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi

tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi).

Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang

yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya

infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol

infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000).

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al.

2006):

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau

di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,

misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi

terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu

lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat

kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

Page 4: Sari Pustaka TB MDR

4

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan

pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah

resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat

hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik

sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai

berbulan-bulan.

2.3. Mekanisme resistensi OAT

Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada

resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa

resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara

genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa

mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat

(Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB

menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat

tabel 1).

Tabel 1. Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium

tuberculosis

A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air

sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).

Page 5: Sari Pustaka TB MDR

5

Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi

secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi

isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase

peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.

Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase

dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei,

yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al.

2006. Wallace, et al. 2004). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat

atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,

mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada

semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau

adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat

RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis

RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan

rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu.

Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan

frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan

akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk

beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat

ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).

C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting

sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja

efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada

keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et

al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat

organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.

Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam

pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

Page 6: Sari Pustaka TB MDR

6

pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi

pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif

hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis

standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang

memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam

dinding sel.

Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan

mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.

Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti

asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).

E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari

Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan

menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten

terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari

dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein

ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin

ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah

diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi

pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya

mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme.

Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi

silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al. 2004).

2.4. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,

pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan

penunjang lainnya

Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik (PDPI, 2011).

1. Gejala respiratorik

• batuk ≥ 3 minggu

Page 7: Sari Pustaka TB MDR

7

• batuk darah

• sesak napas

• nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada

saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka

penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri

dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &

kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik

• Demam

gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ

yang terlibat.Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau

sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah

lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus

inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &

mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi

suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di

daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah

ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

C. Pemeriksaan Bakteriologik

Page 8: Sari Pustaka TB MDR

8

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai

arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan

bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),

urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (PDPI, 2011).

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut- turut atau dengan cara:

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

Dahak Pagi ( keesokan harinya )

Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung

dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,

tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat

dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek

atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5

ml sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke

dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah

tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan

laboratorium.

D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada

pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam

bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah

• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular

• Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:

- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Page 9: Sari Pustaka TB MDR

9

- Kalsifikasi atau fibrotic

- Kompleks ranke

- Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :

• Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan

paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik

luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk

menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik

tersebut.Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses

penyakit.Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :

• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas

tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga

kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti

• Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,

termasuk DNA M.tuberculosis.Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk

menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang

benar dan sesuai standar.Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain

tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat

dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB (PDPI, 2011).

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon

humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik

ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini

menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat

yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum

Page 10: Sari Pustaka TB MDR

10

penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM

dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul

perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP).

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang

terjadi.

d. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji

serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT

tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang

berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa.

Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran

immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping

garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan

warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum

mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan

dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila

setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen

pada membran.

Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para

klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi

yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan

untuk diagnosis(PDPI, 2011).

3. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian

menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini

dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu

menegakkan diagnosis.

4. Pemeriksaan Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan

pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil

analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan

cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan

glukosa rendah.

Page 11: Sari Pustaka TB MDR

11

5. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans

bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,

biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat

pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).

Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada

tuberkulosis ekstra paru.

Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada

jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan

perkejuan.

6. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik

untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat

dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai

keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon

terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat

penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/

daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering

meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak

menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

7. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah

dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis

yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti,

apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi

dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang

didapat besar sekali atau bula.

Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada

malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika

diulang 1 bulan kemudian.

Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan

gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang

berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu

yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan

(M.tuberculosis).

Page 12: Sari Pustaka TB MDR

12

8. Pemeriksaan Xpert MTB / RIF Assay

Pemeriksaan Xpert MTB/RIF Assay merupakan suatu Nucleic Acid

Ampilfication (NAA) test dengan menggunakan instrumen GeneXpert. Sampel

sputum diambil dari pasien dengan suspek TB. Sputum dicampur dengan reagen dan

catridge yang berisi campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin GeneXpert

(CDC, 2013).

Keuntungan Xpert MTB/RIF Assay:

Hasil pemeriksaan yang cepat.

Kemampuan mendeteksi MDR TB.

Hasil pemeriksaan ini harus diinterpretasikan bersamaan dengan gejala klinis, hasil

pemeriksaan radiologi dan laboratorium lainnya. Hasil pemeriksaan pemeriksaan

resistensi terhadap Rifampicin ini ada 3, yaitu:

a. Terdeteksi.

b. Tidak terdeteksi.

c. Indeterminate.

Resistensi Isoniazid biasa terjadi pada keadaan resistensi Rifampicin,

sehingga hasil pemeriksaan resistensi Rifampicin dengan menggunakan Xpert

MTB/RIF assay ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis MDR TB.

2.5. Terapi

Pengobatan TB MDR

a. OAT untuk pengobatan TB MDR. Pengobatan pasien TB MDR menggunakan

paduan OAT yang terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5

kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu :

Pengelompokan OAT

Golongan Jenis ObatGolongan-1 Obat Lini Pertama Isoniazid (H)

Rifampisin (R) Etambutol (E) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S)

Golongan-2 Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km) Amikasin (Am) Kapreomisin(Cm)

Golongan-3 Golongan Florokuinolon Levofloksasin(Lfx) Moksifloksasin(Mfx) Ofloksasin (Ofx)

Golongan-4 Obat bakteriostatik lini kedua Etionamid (Eto)

Page 13: Sari Pustaka TB MDR

13

Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs) Terizidon (Trd) Para amino salisilat (PAS)

Golongan-5 Obat yang belum terbukti efikasi-nyadan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan rutin TB MDR

Clofazimin (Cfz) Linezolid (Lzd) Klaritromisin (Clr) Imipenem (Ipm). Amoksilin/ Asam

Klavulanat (Amx/Clv)

b. Paduan obat TB MDR di Indonesia

Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan standar, yang pada permulaan

pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized

treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :

1) Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara

laboratoris.

2) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6

bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan

bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan

adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.

3) Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan atau riwayat penggunaan

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistansi terhadap

etambutol

4) Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:

Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah ada

konfirmasi hasil uji resistansi M. tuberculosis dengan cara konvensional,

paduan OAT akan disesuaikan.

Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya

sehingga dicurigai telah ada resistansi, misalnya : pasien sudah pernah

mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya maka diberikan

levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resistan terhadap

levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloksasin

diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan

dan persetujuan dari tim ahli klinis atau timad hoc.

Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat

diidentifikasi sebagai penyebabnya.

Page 14: Sari Pustaka TB MDR

14

Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan.

Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak,

demam, penurunan berat badan.

5) Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh TAK

6) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan

sebagai berikut:

Cm–Lfx–Eto–Cs–Z–(E) / Lfx–Eto–Cs–Z–(E)

7) Jika terbukti resistan terhadap kuinolon maka paduan standar disesuaikan sebagai

berikut:

Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)

Jika moksifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis

tinggi. Pada penggunaan levofloksasin dosis tinggi harus dilakukan pemantauan ketat

terhadap kondisi jantung pasien dan kemungkinanterjaditendinitis/ruptur tendon.

8) Jika pada pengobatan TB MDR tidak dapat menggunakan sikloserin maka

penggunaan sikloserin dapat diganti dengan PAS.

9) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR) atau pasien TB

MDR/HIV maka akan memerlukan penatalaksanaan khusus. Pasien yang berdasarkan

uji kepekaan ulangan menunjukkan resistansi tambahan terhadap kanamisin dan

kuinolon maka pengobatan standar MDR dianggap gagal dan pasien akan memulai

pengobatan untuk TB XDR yaitu:

Cm–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)

c. Pemberian obat

1) Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu), Suntikan

diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – ju’mat)

2) Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu

(hari minggu pasien tidak minum obat)

3) Obat suntikan harusdiberikanolehpetugas kesehatan.

4) Pada pengobatan TB MDR dimungkinkan terjadinya pemberian obat dengan dosis

naik bertahap (ramping dose/incremental dose) yang bertujuan untuk meminimalisasi

kejadian efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan adalah hari pertama pasien

bisa mendapatkan obat dengan dosis penuh.

Page 15: Sari Pustaka TB MDR

15

5) Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan

menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment dengan PMO diutamakan

adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatanterlatih.

6) Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserindengan

dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.

7) Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan fluoroquinolon

diberikan sebagai dosis tunggal. Sedangkanetionamid, sikloserin dan PAS dapat

diberikan sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping jika terjadi efek

samping yang berat atau pada kasus TB MDR/HIV. Catatan : Untuk mengurangi

kejadian efek samping obat maka pada awal pemberian OAT bisa

dilakukanramping/incremental doseselama maksimal 1 minggu.

1) Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan

pasien.

2) Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas

farmasi RS Rujukan TB MDR untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir

pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh TAK. Jika pasien diobati

diRSRujukan TB MDRmaka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan

tersebut akan di simpan di Unit TB MDR RS RujukanTB MDR.

3) Jika pasien meneruskan pengobatan di RS Sub Rujukan/ fasyankes satelitTB

MDRmaka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi RS

SubRujukan/fasyankessatelitTB MDRdari unit farmasiRSRujukan TB MDR

setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk

menyimpan obat.

4) Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Page 16: Sari Pustaka TB MDR

16

d. Pengobatan adjuvan pada TB MDR

- Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu: 1) Nutrisi tambahan: Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll). Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing– masing obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.

Kortikosteroid.

- Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

Penanganan Efek Samping OAT MDR

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB

MDR karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek

samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama.

Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai

kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat.

Page 17: Sari Pustaka TB MDR

17

Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan

pengobatan TB MDR. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

Efek samping ringan dan sedang yang sering muncul

NO Efek samping Kemungkinan OAT penyebab

Tindakan

1 Reaksi kulit alergi ringan

Z, E,Eto, PAS, Km, Cm - Lanjutkan pengobatan OAT. - Berikan Antihistamin p.o atau hidrokortison krim - Minta pasien untuk kembali bila gejala tidak hilang atau menjadi bertambah berat

Reaksi kulit alergi sedang dengan/ tanpa demam

Z,E,Eto, PAS, Km, Cm - Hentikan semua OAT dan segera rujuk keRS Rujukan. - Jika pasien dengan demam berikan parasetamol (0.5–1 g, tiap 4-6 jam). - Berikan kortikosteroid suntikan yang tersedia misalnyahidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, dandilanjutkan dengan preparat oral prednison atau deksametason sesuai indikasi.

2 Neuropati perifer Cs, Km, Eto, Lfx - Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan. - Tingkatkan dosis piridoksin sampai dengan 200 mg perhari. - Rujuklah ke ahli neurologi bila terjadi gejala neuropati berat (nyeri, sulit berjalan), hentikan semua pengobatan selama 1-2 minggu. - Dapat diobati dulu dengan amitriptilin dosis rendah pada malam hari dan OAINS. Bila gejala neuropati mereda atau hilang OAT dapat dimulai kembali dengan dosis uji. - Bila gejalanya berat dan tidak membaik bisa dipertimbangkan penghentian sikloserin dan mengganti dengan PAS. - Hindari pemakaian alkohol dan rokok karena akan memperberat gejala neuropati.

3 Mual muntah ringan

Eto, PAS, Z, E, Lfx -Pengobatan tetap dilanjutkan.

Page 18: Sari Pustaka TB MDR

18

- Pantau pasien untuk mengetahui berat ringannyanya keluhan. - Singkirkan sebab lain seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakaian alkohol atau merokok atau obatobatan lainnya. - Berikan domperidon 10 mg 30 menit sebelumminum OAT. - Untuk rehidrasi, berikan infus cairan IV jika perlu. - JIka berat, rujuk kePusat RujukanTB MDR

Mual muntah berat Eto, PAS, Z, E, Lfx. - Rawat inap untuk penilaian lanjutan jika gejala berat - Jika mual dan muntah tidak dapat diatasi hentikan etionamid sampai gejala berkurang atau menghilang kemudian dapat ditelan kembali. - Jika gejala timbul kembali setelah etionamid kembali ditelan, hentikan semuapengobatan selama 1 minggu dan mulai kembali pengobatan seperti dijadualkan untuk memulai OAT TB MDR dengan dosis uji yaitu dosis terbagi Jika muntah terus menerus beberapa hari, lakukan pemeriksaan fungsi hati, kadar kalium dan kadar kreatinin. - Berikan suplemen kalium jika kadar kalium rendah atau muntah berlanjut beberapa hari. Bila muntah terjadi bukan diawal terapi, muntah dapat merupakan tanda kekurangan kalium pada pasien yang mendapat suntikan kanamisin.

4 Anoreksia Z, Eto, Lfx - Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi tambahan -Konsultasi kejiwaan untuk menghi-langkan dampak psikis dan depresi - KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas fisisdan istirahat cukup.

5 Diare PAS - Rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi intravena bila muncul tanda dehidrasi

Page 19: Sari Pustaka TB MDR

19

berat. - Penggantian elektrolit bila perlu - Pemberianloperamid,norit - Pengaturan diet, menghindari makanan yang bisa memicu diare. - Pengurangan dosis PAS selama masih memenuhi dosis terapi

6 Nyeri kepala Eto, Cs - Pemberian analgesik bila perlu (aspirin, parasetamol, ibuprofen). - Hindari OAINS pada pasien dengan gastritis berat dan hemoptisis. - Tingkatkan pemberian piridoksin men-jadi 300 mg bila pasien mendapat Cs. - Bila tidak berkurang maka pertimbang-kan konsultasi ke ahli jiwa untuk mengurangi faktor emosi yang mungkin berpengaruh. - Pemberian paduanparasetamol dengankodein atauamitriptilin bila nyeri kepala menetap.

7 Vertigo Km, Cm, Eto - Pemberian antihistamin-anti vertigo :betahistin metsilat - Konsultasi dengan ahli neurologi bila keluhan semakin berat - Pemberian OAT suntik 1 jam setelah OAT oral dan memberikan etionamid dalam dosis terbagibila memungkinkan.

8 Artralgia Z, Lfx - Pengobatan TB MDR dapat dilanjut-kan. - Pengobatan dengan OAINS akan membantu demikian juga latihan/ fisioterapi dan pemijatan. - Lakukan pemeriksaan asam urat, bila kadar asam urat tinggi berikanalopurinol. - Gejala dapat berkurang dengan perjalanan waktu meskipun tanpa penanganan khusus. - Bila gejala tidak hilang dan menggang-gu maka pasien dirujuk kePusat Rujukan TB MDR untuk

Page 20: Sari Pustaka TB MDR

20

mendapatkan rekomendasi penanganan oleh TAK bersama ahli rematologi atau ahli penyakit dalam. Salah satu kemungkinan adalah pirazinamid perlu diganti.

9 Gangguan Tidur Lfx, Moxi - Berikan OAT golongan kuinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien - Lakukan konseling mengenai pola tidur yang baik - Pemberian diazepam

10 Gangguan elektrolit ringan : Hipokalemi

Km, Cm - Gejala hipokalemi dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kejang, baal/numbness, kelemahan tungkai bawah, perubahan perilaku atau bingung - Hipokalemia (kadar < 3,5 meq/L) dapat disebabkan oleh:

Efek langsung aminoglikosida pada tubulus ginjal.

Muntah dan diare. - Obati bila ada muntah dan diare. - Berikan tambahankalium peroral sesuai keterangan tabel. - Jika kadar kalium kurang dari 2,3 meq/l pasien mungkin memerlukan infus IV penggantian dan harus di rujuk untuk dirawat inapdiPusat Rujukan TB MDR. - Hentikan pemberiankanamisin selama beberapa hari jika kadarkalium kurang dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad hoc. - Berikan infus cairan KCl: paling banyak 10 mmol/jam Hati-hati pemberian bersamaan dengan levofloksasin karena dapat saling mempengaruhi.

11 Depresi Cs, Lfx, Eto - Lakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat merupakan fakor risiko depresi. - Rujuk ke Pusat Rujukan TB MDR jika gejala

Page 21: Sari Pustaka TB MDR

21

menjadi berat dan tidak dapat diatasi di fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR. - TAK bersama dokter ahli jiwa akan menganalisa lebih lanjut dan bila diperlukan akan mulai pengobatan anti depresi. - Pilihan anti depresan yang dianjurkan adalah amitriptilin atau golongan SSRI (Sentraline/Fluoxetine) - Selain penanganan depresi, TAK akan merevisi susunan paduan OAT yang digunakan atau menyesuaikan dosis paduan OAT. - Gejala depresi dapat berfluktuasi selama pengobatan dan dapat membaik dengan berhasilnya pengobatan. - Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan kontra indikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama pengobatan.

12 Perubahan perilaku Cs - Sama dengan penanganan depresi. - Pilihan obat adalahhaloperidol - Pemberian 50mg B6 setiap 250mg Cs

13 Gastritis PAS, Eto - PemberianPPI (Omeprazol) - Antasida golongan Mg(OH)2 - H2 antagonis (Ranitidin)

14 Nyeri di tempat suntikan

Km, Cm - Suntikan diberikan di tempat yang bergantian - Pengenceran obat dan cara penyuntikan yang benar - Berikan kompres dingin pada tempat suntikan

15 Metalic taste Eto Pemberian KIE bahwa efek samping tidak berbahaya

Efek Samping Berat

No Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab

Tindakan

1 Kelainan fungsi hati

Z,Eto,PAS,E,Lfx - Hentikan semua OAT, rujuk segera pasien ke Pusat

Page 22: Sari Pustaka TB MDR

22

Rujukan PMDT - Pasien dirawat inapkan untuk penilaian lanjutan jika gejala menjadi lebih berat. - Periksa serum darah untuk kadar enzim hati. - Singkirkan kemungkinan penyebab lain, selain hepatitis. Lakukan anamnesis ulang tentang riwayat hepatitis sebelumnya. - TAK akanmempertimbangkan untuk - menghentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab. Mulai kembali dengan obat lainnya, apabila dimulai dengan OAT yang bersifat hepatotoksik, pantau fungsi hati.

2 Kelainan fungsi ginjal

Km, Cm - Pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes melitus atau riwayat gangguan ginjal harus dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal : edema, penurunan produksi urin, malaise, sesak nafas dan renjatan. - Rujuk ke Pusat Rujukan PMDT bila ditemukan gejala yang mengarah ke gangguan ginjal. - TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan penatalaksanaannya. Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5-2.2 mg/dl), hentikan kanamisin sampai kadar kreatinin menurun. TAK dengan rekomendasi ahli nefrologi akan menetapkan kapan suntikan akan kembali diberikan. - Untuk kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), hentikan semua obat dan lakukan perhitungan GFR. - Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai tabel penyesuaian dosis. - Bila setelah penyesuaian

Page 23: Sari Pustaka TB MDR

23

dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu.

3 Perdarahan lambung

PAS, Eto, Z - Hentikan perdarahan lambung. - Hentikan pemberian OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali. - Dapat dipertimbangkan untuk mengganti OAT penyebab dengan OAT lain selama standar pengobatan TB MDR dapat terpenuhi.

4 Gangguan Elektrolit berat (Bartter like syndrome)

Cm, Km - Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai dengan hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia dan alkalosis hipoklorik metabolik secara bersamaan dan mendadak. - Disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT suntikan. - Lakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman. - Berikan amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit.

5 Gangguan pendengaran

Km, Cm - Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai pemburukan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. - Rujuk pasien segera ke RS rujukan untuk diperiksa penyebabnya dan di konsulkan kepada TAK. - Apabila penanganannya terlambat maka gangguan pendengaran sampai dengan tuli dapat menetap. - Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll. - Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengaran semakin buruk selama beberapa minggu berikutnya hentikan kanamisin.

6 Gangguan penglihatan

E - Gangguan penglihatan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau.

Page 24: Sari Pustaka TB MDR

24

Meskipun gejala ringan etambutol harus dihentikan segera. Obat lain diteruskan sambil dirujuk keRS Rujukan. - TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi meskipun etambutol sudah dihentikan. - Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan melihat.

7 Gangguan psikotik (Suicidal tendency)

Cs Fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR: - Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke RS Rujukan harus didampingi. - Hentikan sementara OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik, sebelum pasien dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Berikan haloperidol 5 mg p.oRS Pusat RujukanTB MDR: - Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau membunuh, hentikan sikloserin selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat anti-psikotik.- Berikan pengobatan antipsikotik dan konseling. - Bila gejala psikotik telah mereda, mulai kembali sikloserin dalam dosis uji. - Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari. - Bila kondisi teratasi lanjutkan pengobatan TB MDR bersamaan dengan obat antipsikotik.

8 Kejang Cs, Lfx - Hentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang. - Berikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan diazepam iv10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6 s/d 200 mg/ hari. Setelah stabil segera rujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR

Page 25: Sari Pustaka TB MDR

25

- Penanganan pasien dengan kejang harus dibawah pengamatan dan penilaian TAK di RSRujukanTB MDR. - Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat, alkohol atau trauma kepala). - Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB MDR tanpa pemberian sikloserin selama 12 minggu. Setelah itu sikloserin dapat dberikan kembali dengan dosis uji.- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari. - Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi hati,hentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal. - Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR selesai atau lengkap.

9 Tendinitis Lfx dosis tinggi - Singkirkan penyebab lain seperti gout, arthritis rematoid, skleroderma sistemik dan trauma. - Untuk meringankan gejala maka istirahatkan daerah yang terkena, berikan termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin,ibuprofen). - Suntikan kortikosteroid pada daerah yang meradang akan membantu. - Bila sampai terjadi ruptur tendon maka dilakukan tindakan pembedahan.

10 Syok Anafilaktik Km, Cm - Segera rujuk pasien ke RS Pusat Rujukan TB MDR. - Berikan pengobatan segera seperti tersebut di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR: 1. Adrenalin 0,2 – 0,5 ml, 1:1000 SC, ulangi jika perlu. 2. Pasang infus cairan IV untuk jika perlu.

Page 26: Sari Pustaka TB MDR

26

3. Beri kortikosteroid yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, ulangi jika perlu.

11 Reaksi alergi toksik menyeluruh dan SJS

Semua OAT yang digunakan

- Berikan segera pengobatan seperti di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera: 1. Berikan CTM untuk gatalgatal 2. Berikan parasetamol bila demam. 3. Berikan prednisolon 60 mg per hari atau suntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari jika tidak ada prednisolon 4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300 mg pada malam hari

- Di RS Pusat RujukanTB MDR: 1. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi kulit. 2. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai ada perbaikan, tappering off kortikosteroid jika digunakan sampai 2 minggu. 3. Pengobatan jangan terlalu cepat dimulai kembali. Tunggu sampai perbaikan klinis. TAK merancang paduan pengobatan selanjutnya tanpa mengikutsertakan OAT yang diduga sebagai penyebab.

- Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dosis terbagi terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis total perhari tidak boleh dikurangi (harus sesuai berat badan) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji yang diberikan selama 15 hari.

12 Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin. - Penatalaksanaan dilakukan di RS Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli

Page 27: Sari Pustaka TB MDR

27

endokrinologi atau ahli penyakit dalam. - Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l). - Ahli endokrin memberikan rekomen-dasi pengobatan dengan levotiroksin/ natiroksin serta evaluasinya.

2.6. DOTS dan DOTS PLUS

2.6.1. DOTS

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan

program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Short Course). Oleh karena itu, pemahaman tentang DOTS

merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu:

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal

dengan istilah Directly Observed Therapy (DOT)

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencacatan dan pelaporan yang baku/standar

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi

oleh WHO, yaitu:

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan

kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruih

pasien terutama pasien tudak mampu.

2. Memberikan perhatian khusus pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan

aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain

yang relevan.

3. Kontribusi pada sitem kesehatan dengan kolaborasi bersama program

kesehatan yang lain.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta, dan non

pemerintah, dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM)

untuk mematuhi International Standards of TBCare.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk

berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.

Page 28: Sari Pustaka TB MDR

28

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat

baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk

meningkatkan keberhasilan program.

Tujuan penerapan strategi DOTS adalah:

1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

2. Mencegah putus berobat

3. Mengatasi efek samping obat jika timbul

4. Mencegah resistensi (PDPI, 2011)

2.6.2. DOTS-PLUS

Menurut WHO (2003), dalam penanganan kasus Multidrug Resistant TB (MDR

TB), dibutuhkan strategi baru untuk melengkapi program DOTS. Oleh karena itu,

WHO membuat strategi manajemen yang baru yaitu, DOTS-PLUS yang tetap

berprinsip dari DOTS sebelumnya. DOTS-PLUS merupakan pyoyek dan penelitian di

bawah anggota The International Stop-TB Working Group (WG) on DOTS-PLUS for

MDR TB.

Program DOTS-PLUS terdiri atas lima, yaitu:

1. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam menangani MDR-

TB

2. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam mendiagnosis

MDR-TB

3. Mengidentifikasi persyaratan yang minimal optimal dalam membangun dan

menerapkan DOTS-PLUS

4. Mengidentifikasi indikator pencapaian dalam penerapan DOTS-PLUS

5. Permasalahan operasional yang lain (The International Journal of

Tuberculosis and Lung Disease, 2003).

2.7. Prognosis

Prognosis kasus MDR-TB tergantung dari pengobatan dan faktor risiko.

Kesembuhan yang total dengan sedikit komplikasi diharapakan pada pasien yang

mendapatkan pengobatan yang lengkap. Berdasarkan penelitian, dengan pengobatan

OAT yang lengkap, angka kekambuhan mencapai 0-14%. Pada negara dengan

kejadian TB yang rendah, kekambuhan biasanya mencul dalam 12 bulan penyelesaian

pengobatan dan karena relaps. Sedangkan pada negara dengan kejadian TB yang

tinggi, kebanyakan kekambuhan setelah pengobatan yang sesuai.

Marker prognostik yang buruk meliputi keterlibatan ekstrapulmoner,

immunocompromised, usia tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Penelitian

prospektif di Malawi menunjukkan, dari 199 pasien, 12 orang (6%), di antaranya

meninggal dunia (Thomas, 2014).