Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

10

Transcript of Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

Page 1: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015
Page 2: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

2 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 3Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Revisi UU Perkebunan Demi Keberlanjutan Lingkungan

Koalisi masyarakat sipil meng-kritisi UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan karena

dinilai tak mencerminkan aspek keadilan yang hanya menguntungkan investor besar dan mengancam ling-kungan. Petani kecil dan masyarakat adat bakal makin terpinggirkan.

Seharusnya UU ini juga menga-tur persoalan sosial dan lingkungan dalam aktivitas perkebunan besar. Ada solusi alternatif terkait konflik agraria baik dengan masyarakat adat, buruh perkebunan dan lingkungan. Tetapi UU ini tidak memberikan solusi. Justru akan timbulkan masalah baru ke depan.

Organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada isu perkebunan mende-sak pemerintah agar merevisi kembali UU Perkebunan ini, dan tentunya

memasukan ketentuan tata kelola perkebunan berkelanjutan, berkeadi-lan, berkedaulatan dan berkeraky-atan baik aspek lingkungan serta hak asasi manusia.

Skema perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur. Kemitraan, masih belum mampu memposisikan petani sejajar den-gan perusahaan dalam pengelolaan usaha. Padahal, kemitraan selama ini sangat tidak adil hingga menimbulkan konflik.

Dan yang menggelikan, UU Perke-bunan ini memasukan kembali pasal-pasal kriminalisasi yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil UU Perkebunan yang sebel-umnya. Kini, luas perkebunan sawit di Indonesia, mencapai 13.297.759 hektar. Produktivitas minyak sawit

(crude palm oil/CPO) mencapai lebih 21 juta ton. Sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor sawit terbesar dunia.

Permasalahan lain adalah tentang masyarakat adat yang harus ditetap-kan berdasarkan UU. Sementara di Indonesia, baru sedikit saja komu-nitas yang mendapatkan pengakuan secara hukum oleh pemerintah. UU Perkebunan ini makin menegaskan watak tidak mengakui masyarakat adat. Ini terlihat dalam kalimat, masyarakat adat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Kon-teks konstitusi sudah jelas perbedaan antara pengakuan dan penetapan. Pengakuan berarti masyarakat ada dan pemerintah mengakui. Kalau ditetapkan berarti masyarakat adat daftar dulu baru ditetapkan.

Selain itu, ada tiga pasal meny-inggung keberlanjutan lingkungan. Dalam Pasal 2 dan 3, memperhatikan keberlanjutan dan fungsi lingkungam hidup. Lalu, Pasal 32, ada kewajiban mengikuti peraturan mendukung ke-berlanjutan dan kelestarian lingkun-gan hidup. Ayat dua mensyaratkan, pelaku perkebunan mendapatkan cara mencegah kerusakan dan pence-maran lingkungan. Namun, UU Perke-bunan ini akan menjadi ancaman besar bagi kawasan hutan bernilai konservasi dan berstok karbon tinggi.

Dalam Pasal 16-17, ada ke-wajiban perusahaan mengusahakan lahan perkebunan tiga tahun per-tama paling sedikit 30%. Apabila tidak akan kena sanksi administratif berupa denda, penghentian semen-tara hingga pencabutan izin.

Ini dilema bagi perusahaan yang berkomitmen menjaga hutan. Karena tidak didukung regulasi. Jika tidak di-usahakan, dicabut izin. Ini ketakutan luar biasa dari perusahaan. Untuk itu, peraturan lahan tidur harus direvisi atau paling tidak ada aturan yang melegalkan. Hingga tidak membuat ketakutan pelaku industri untuk proteksi lahan bernilai konservasi dan berkarbon tinggi.***

UU Perkebunan akan mengancam masa depan hutan dan lahan

Tandan Sawit Edisi No. 2

Penanggung JawabJefri Gideon Saragih

Pemimpin RedaksiJopi Peranginangin

Dewan RedaksiBondan Andriyanu, Jefri

Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan,

Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi,

Maryo Saputra

Tata LetakJopi Peranginangin

Alamat RedaksiPerkumpulan Sawit Watch

Bogor Baru TamanJalan Cisangkui Blok B 6/1

Kel. Tegal Lega, Bogor Tengah, Jawa Barat - 16127Telp: 02518352171 Fax: 02518352047

Web: www.sawitwatch.or.idTwitter: @SawitWatch

Editorial

Indonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan

daratan di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet, semua ada.

Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis.

Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang be-gitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar: proses periz-inan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai ujung tombak, menghor-mati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh dengan baik.

Anehnya, sebetulnya tidak aneh karena inilah konsekuensi logis dari pengelolaan yang kurang visioner, sawit yang berpotensi dahsyat itu menyisakan timbunan persoa-lan. Konflik kepemilikan lahan, terpinggirkannya masyarakat adat, biodiversitas hutan tergerus, kriminalisasi petani, adalah ekses ekstra serius yang timbul meletup di sana-si-ni. Ekses-ekses yang mutlak harus dibenahi dan diurai satu demi satu, dengan jernih dan obyektif, jika tak ingin sawit terus membawa disharmoni sosial dalam berbagai level.

Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepa-hitan yang ditanggung petani dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berkepentingan terhadap sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang amat strategis dan dibutuh-kan dunia ini.

Salam Redaksi

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.

Daftar Isi � Revisi UU Perkebunan Demi Keberlanjutan Lingkungan .... Halaman 03

� UU Perkebunan Baru Yang Disahkan Secara Terburu-Buru ..... Halaman 04

� Menyikapi UU Perkebunan Baru ..... Halaman 06

� UU Perkebunan Dan Masa Depan Petani Sawit .... Halaman 10

� Reportase Workshop Perkebunan Sawit Berkelanjutan..... Halaman 12

� Tibawan, Negeri Subur Yang Terancam Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar ..... Halaman 15

� Bupati Mimika Resmi Cabut Izin Perkebunan Sawit PT PAL ..... Halaman 18

LaporanUtama

Page 3: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

4 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 5Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

LaporanUtama LaporanUtama

Sawit Watch menilai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU

Perkebunan) masih jauh dari hara-pan. Direktur Sawit Watch, Jefrie Gideon Saragih mengatakan, beleid yang disahkan secara terburu-buru menjelang akhir masa bakti anggota DPR 2009-2014 itu, belum dapat memperbaiki sistem perkebunan terkait perlindungan petani kecil, mengatasi konflik agraraia dan tidak mampu menjawab tantangan keru-sakan lingkungan.

Jefrie menilai, sejumlah pasal di undang-undang masih bermasalah. Diantaranya terkait Pasal 12 dan 13. Pasal ini dinilai berpotensi melanggar hak masyarakat adat karena mewa-jibkan musyawarah dengan masyara-kat adat pemegang hak ulayat yang tanahnya akan dipergunakan untuk usaha perkebunan harus sesuai den-gan peraturan perundangan.

Dalam pasal tersebut juga disebutkan, apa yang disebut den-gan masyarakat adat juga harus melalui penetapan lewat peraturan

perundangan. “Pengakuan terhadap masyarakat adat seharusnya berupa penghormatan terhadap hukum adat yang telah mengatur bagaimana musyawarah harus dilakukan,” kata Jefrie.

Menurutnya, ada perbedaan konsep antara penetapan dan pen-gakuan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pengakuan dalam bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat. UUD 1945 memandatkan, pengaturan masyarakat adat lewat undang-undang, sementara undang-undang masyarakat adat masih berupa ran-cangan undang-undang (RUU).

“Ironisnya RUU kini tidak masuk prioritas prolegnas 2015,” tegasnya.

Kemudian Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 30 UU Perkebunan juga berpo-tensi melanggar hak petani pemulia benih karena mewajibkan izin dalam pencarian sumberdaya genetik dan pengembangan benih. Padahal putu-san Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman telah me-

nyatakan pengaturan seperti tersebut tidak boleh diperlakukan untuk perta-nian keluarga skala kecil.

Selanjutnya Pasal 55 UU Perkebu-nan berpotensi menimbulkan keti-dakpastian hukum karena tidak jelas siapa yang tidak sah mengerjakan la-han perkebunan. Jefrie berpendapat, siapa tidak sah harus dilihat konteks sejarahnya.

Di dalam UU Perkebunan sanksi diberikan kepada perusahaan yang tidak punya izin, tapi tidak bagi yang tidak punya Hak Guna Usaha (HGU). “Padahal izin bukanlah hak atas ta-nah,” ujarnya.

Selanjutnya, UU Perkebunan mengatur masa penyesuaian 1 tahun untuk perusahaan penanaman dalam negeri dan hingga HGU berakhir un-tuk penanaman modal asing. “Pertan-yaannya jika terjadi sengketa tanah siapa yang tidak sah,” tuturnya.

Selain Sawit Watch, lembaga swadaya masyarakat lainnya yang ter-gabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Mencari Keadilan Dari UU Perkebunan juga mengkritisi beleid tersebut dari

berbagai sisi. Dalam konteks perlind-ungan petani/masyarakat disekitar perkebunan dan pengrusakan lingkun-gan, UU Perkebunan dinilai memi-liki beberapa kelemahan dan harus dicermati karena akan memberikan dampak terhadap pengaturan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Koalisi Masyarakat Sipil melalui serangkaian diskusi pun telah meng-hasilkan suatu Kertas Posisi terhadap UU perkebunan. “UU Perkebunan ini masih kurang mengakomodir ke-pentingan pekebun mandiri karena tidak mengatur tentang tata kelola perkebun alternatif yang mengangkat peran koperasi rakyat. UU ini hanya mengatur yang dianggap tidak pent-ing oleh petani seperti skema kemi-traan,” kata Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit.

Darto menilai, skema kemitraan perkebunan yang diterapkan selama ini sangat tidak adil sehingga men-imbulkan konflik. “Dan ini terulang kembali melalui UU ini khususnya pasal 57 dan 58,” ujarnya.

Skema kemitraan dalam UU Perkebunan ini pun masih belum mampu untuk memposisikan ma-syarakat/petani sejajar dengan perusahaan dalam pengelolaan usaha

perkebunan. Disamping itu, kata Darto, perkebunan sawit berkelanju-tan tidak tegas diatur.

Sementara itu, aspek lingkungan dalam UU juga ini masih samar-samar dan terkadang tidak tegas dalam perlindungan lingkungan hidup. Tidak adanya dukungan terhadap upaya perlindungan khususnya pada wilayah yang bernilai karbon tinggi (HCS) dan bernilai konservasi tinggi (HCV) serta lahan gambut di dalam wilayah konsesi perkebunan.

Peran pemerintah sangat diper-lukan dalam upaya mengembangkan dan mempromosikan produk kelapa sawit bebas deforestasi di Indonesia ke pasar global dengan kebijakan dan regulasi yang mendukung. UU Perkebunan ini tidak menjelaskan tentang bagaimana penegakan hukum dan penindakan terhadap persoalan perusakan lingkungan, termasuk deforestasi dan perusakan lahan gambut.

UU Perkebunan juga tidak menga-tur tentang kejelasan penerapan Free Prior Inform Concern (FPIC) dalam usaha pembangunan industri perke-bunan kelapa sawit. UU ini tidak menjelaskan dengan tegas soal peran serta masyarakat yang memiliki sifat

UU Perkebunan Baru Disahkan Secara Terburu-Buru

berkeadilan.Terkait pengesahan UU ini send-

iri, dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR, Wakil Ketua Komisi IV DPR periode 2009-2014, Herman Khaeron mengatakan, disetujuinya RUU Perkebunan menjadi undang-undang diharapkan mampu menjawab berbagai problematika perkembangan dan tantangan di sektor perkebunan. Menurutnya, UU Perkebunan meru-pakan aturan di bidang perkebunan yang komprehensif secara berimbang dan proporsional kepada berbagai pihak terkait di sektor perkebunan, yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan pekebun.

“Sektor perkebunan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional,” papar Her-man seperti dikutip dpr.go.id, Selasa (17/2).

UU yang terdiri dari 19 Bab dan 118 Pasal, mengamanatkan kewajiban bagi pelaku usaha perkebunan yang memerlukan tanah berupa tanah hak ulayat untuk melakukan musy-awarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.***

Page 4: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

6 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 7Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

LaporanUtama LaporanUtama

UU Perkebunan berpotensi untuk memiskinkan petani sawit

Pada 2014, Sidang Paripurna DPR RI telah mengesahkan UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebu-

nan. UU Ini merupakan revisi atas UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebu-nan. DPR RI menyatakan revisi UU Perkebunan ini ditujukan untuk mem-batasi ekspansi perkebunan besar atas lahan pertanian pangan, juga un-tuk menghindari potensi konflik lahan antara petani pangan dengan pen-gusaha perkebunan. UU Perkebunan baru ini diarahkan pada penanaman modal dalam negeri. Sementara asing akan dibatasi penyertaan modalnya di bisnis perkebunan. Kenyataan-nya sebagian besar lahan pertanian pangan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, dan seba-gian besar perusahaan perkebunan terlanjur dikuasai asing.

DPR RI menyatakan Revisi UU Perkebunan ini untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani pangan dengan pengusaha perke-bunan. Tetapi, secara substansial apa yang dinyatakan DPR tersebut berbeda dengan fakta yang muncul di lapangan.

Orientasi kebijakan perkebu-nan yang cenderung memfasilitasi

dan memberikan kemudahan pada perkebunan-perkebunan skala besar telah mengakibatkan konflik perkebu-nan yang muncul di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini diikuti dengan adanya kewenangan yang besar yang dimiliki Kepala Daerah untuk menga-tur wilayahnya. Kewenangan terse-but seringkali disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada pemilik perusahaan perkebunan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan.

Konflik perkebunan ini disebab-kan, salah satunya, karena pemberian izin lokasi perkebunan yang diberi-kan oleh Bupati dan atau Guber-nur seringkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementa-ra, setelah mendapatkan izin peru-sahaan perkebunan sering memaksa masyarakat untuk menyerahkan lahan dengan ganti kerugian tidak wajar. Inilah yang menjadi penyebab per-tama terjadinya konflik perkebunan.

Selain berpotensi menyebabkan konflik perkebunan, UU Perkebunan yang baru juga memberikan peluang terjadinya kolusi dan korupsi antara perusahaan perkebunan dengan pe-jabat yang berwenang dalam men-

geluarkan izin-izin yang diperlukan perusahaan perkebunan. Hal mana tercermin dari adanya pengecual-ian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang oleh UU Perkebunan ini, seperti larangan menerbitkan hak atas tanah di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat. Larangan ini boleh dilanggar apabila sudah terjadi kesepakatan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat adat. Padahal, belum tentu kesepakatan tersebut dilakukan melalui proses musyawarah yang setara dan tanpa pemaksaan serta pengelabuan oleh perusahaan perkebunan.

Pandangan Sawit Watch terhadap UU Perkebunan Baru

Sejak awal, Sawit Watch sudah mengkritisi UU Perkebunan ini sebe-lum disahkan. Karena Sawit Watch menilai revisi UU Perkebunan harus memuat materi-materi yang berpi-hak pada rakyat. Terkait dengan UU Perkebunan tersebut, Sawit Watch sebelumnya mengusulkan bahwa UU Perkebunan yang baru harus memuat beberapa ketentuan yang seharusnya diatur dalam materi UU Perkebunan, yaitu:

Pembebasan Lahan Yang AdilSebagian besar pelanggaran hak

asasi manusia yang terjadi di perke-bunan terjadi dalam operasi pembu-kaan lahan perkebunan. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan pertanian dan tempat tinggal mereka yang disertai dengan kekerasan merupakan trend terbesar dalam situasi ini. Den-gan mengerahkan satuan keamanan perusahaan, orang-orang bayaran dan back-up penuh dari pihak militer dan kepolisian, perusahaan mengusir paksa penduduk dari tempat tinggal dan atau lahan-lahan pertaniannya dengan alasan penduduk mendiami lahan-lahan yang masuk dalam HGU mereka secara ilegal. Dalam setiap kejadian pengusiran paksa ini, tidak sedikit penduduk menjadi korban tin-dak kekerasan dari satuan pengaman perusahaan, orang-orang bayaran dan satuan-satuan pengendali massa kepolisian lokal yang dilibatkan pe-rusahaan untuk mengamankan proses pengusiran. Dalam banyak kasus, hampir sebagian besar penduduk yang menolak pergi dari lahan-lahan per-tanian mereka, ditangkap oleh aparat militer/kepolisian dengan tuduhan sebagai anggota PKI ataupun ditang-kap dan diadili dengan alasan meng-ganggu jalannya usaha perkebunan.

Oleh karenanya, harus dipastikan di dalam Revisi UU Bun ini bahwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pembebasan lahan untuk perkebu-nan, Revisi UU Bun harus memuat ketentuan-ketentuan untuk menja-min pembebasan lahan yang adil yang menghormati hak-hak asasi manusia, menghormati hak-hak masyarakat adat dan memenuhi prinsip-prinsip keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Selain itu, harus ada aturan yang melarang penggunaan aparat keamanan (TNI dan Polisi) dalam proses pembukaan lahan-lahan perkebunanan dan pem-bangunan perkebunan.

Jaminan Perlindungan Bagi Hak-hak Masyarakat Adat Masyarakat adat merupakan kelom-pok paling menderita dalam proses pembangunan perkebunan. Hal ini disebabkan sistem hukum yang diterapkan sering kali menegasikan

atau membatasi hak-hak masyarakat adat atas lahan. Kebijakan negara juga umumnya mendiskriminasikan masyarakat adat. Meskipun hak-hak adat mendapatkan perlindungan dari UUD RI, hak-hak tersebut sangat dibatasi dalam berbagai produk kebijakan yang ada. Untuk itu, Revisi UU Bun harus mengakomodasi dan mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat adat, dengan memuat pengakuan bahwa:1. Masyarakat adat memiliki hak un-

tuk memiliki tanah dan wilayah yang sudah secara turun temurun mereka miliki, huni atau man-faatkan;

2. Masyarakat adat berhak mewakili dan atau diwakili melalui institusi mereka sendiri;

3. Penerapan aturan-aturan adat mereka dan;

4. Sejalan dengan hak mereka untuk memutuskan sendiri, menerima atau menolak memberikan kepu-tusan bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap rencana operasi perkebunan di tanah mereka.

Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (Free Prior Inform Concent/FPIC)

Dalam sidang majelis umum PBB tanggal 13 September 2007, telah di-kukuhkan sebuah deklarasi PBB untuk masyarakat adat (UNDRIP), dimana didalamnya telah ada pengakuan terhadap FPIC.

Di Indonesia, tidak ada me-kanisme untuk mengefektifkan hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak hanya pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, namun institusi-institusi masyarakat adat juga tidak diakui secara memadai. Untuk itu, Revisi UU Bun harus secara jelas dan tegas mengatur mengenai penghormatan terhadap hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak ada skema pelaksanaan Revisi UU Bun yang boleh dilaksanakan tanpa ad-anya persetujuan dari pemegang hak tanah dan persetujuan tanpa paksaan pemilik adat.

Pelarangan (pembatasan) Sejumlah Mata Pencaharian Tertentu

Pelanggaran dominan yang sering-

kali dilakukan perusahaan perkebu-nan adalah praktik-praktik pelar-angan aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di wilayah atau sekitar perkebunan. Pelanggaran ini terjadi setelah perusahaan perkebunan men-gambilalih semua lahan-lahan yang dahulunya dikelola oleh penduduk, kemudian perusahaan memberlaku-kan larangan (pembatasan) sejumlah aktivitas-aktivitas ekonomi penting penduduk. Penduduk yang tetap menjalankan aktivitas tersebut akan ditangkap dan diserahkan ke polisi dengan tuduhan mencuri, merusak aset perusahaan atau mengganggu jalannya usaha perkebunan. Padahal Hak atas pekerjaan adalah suatu hak fundamental, yang diakui di dalam UUD 1945 dan beberapa instrumen hukum internasional.

Oleh karenanya, di dalam Revisi UU Bun ini harus ada jaminan dan pedoman-pedoman bagi perusahaan perkebunan agar dalam setiap proses pembangunan perkebunan tidak mengakibatkan pembatasan hak-hak masyarakat sekitar untuk melakukan sejumlah aktivitas yang berkaitan mata pencahariannya, terutama yang terkait sebelum adanya pembangunan perkebunan.

Transparansi dan AkuntabilitasHambatan terbesar dalam

melakukan proses pengelolaan perkebunan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah transparansi serta akuntabilitas. Belum adanya mekanisme yang mampu digunakan untuk melakukan pendataan terhadap seluruh rantai produksi perusahaan, mulai dari Group Perusahaan sampai dengan anak perusahaan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya fungsi kontrol yang mampu dijalankan baik oleh masyarakat maupun para pemangku kepentingan lainnya se-bagai bentuk dari partisipasi publik terhadap operasionalisasi perusahaan yang melebihi batas usaha maksimum yang diperbolehkan.

Dalam tahap dan proses awal pembangunan kebun, perusahaan tidak pernah memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat terkait dengan rencana tersebut yang meliputi luasan, sistem dan skema pengelolaan, serta status atas tanah

Menyikapi UU Perkebunan Baru

Page 5: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

8 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 9Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

LaporanUtama LaporanUtama

saat dialihkan dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pemberian Masukan Oleh Masyarakat Dalam Proses Penerbitan Izin

Sebagaimana tercantum dalam poin-poin masukkan UKP4 atas revisi Revisi UU Bun. Kami menyatakan bahwa pemberitahuan kepada ma-syarakat dan pemangku kepentingan lainnya pada proses pengurusan dan penerbitan izin, mulai dari tahap awal sangat mustahil jika dibatasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari, mengingat proses ini sangat penting dalam rangka memberikan jaminan partisipasi publik untuk turut serta memberikan masukan dan proses monitoring perizinan yang sedang dilakukan.

Setidaknya, proses ini mem-berikan waktu yang cukup kepada masyarakat dan pemangku kepent-ingan lainnya untuk bersama-sama memastikan proses ini terjadi, dan berlangsung secara adil dan terbuka. Selain batas waktu, perlu diatur pula

wilayahnya.Pengaturan pembatasan kepemi-

likan lahan oleh perusahaan dan/grup perusahaan harus memberikan pen-egasan terkait siapa yang akan men-jadi subjek yang diatur dalam aturan ini, dia harus berlaku untuk semua subjek hukum yang akan melakukan pembangunan perkebunan di Indone-sia, terlepas perusahaan asing atau perusahaan lokal/nasional.

Poin pada peraturan ini ha-rus dapat memastikan bahwa tidak terjadi proses pengelabuan, dimana subjek pemohon tidak memberikan keterangan sebenarnya. Pengisian dokumen sebagai self-declaration tidaklah menjaminan bahwa subjek pemohon tidak memiliki luasan diluar batas yang diperbolehkan. Pemer-intah sebagai subjek dan entitas yang berwenang memberikan izin, harus mempunyai data base tentang identitas perusahaan bersama dengan seluruh rantai usahanya (subsidiar-ies). Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelacakan (tracking & treacibility).

Perlu Penerapan Standar HAM Dalam Operasi Perusahaan

Pada banyak operasi pembukaan lahan perkebunan, pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyara-

kat lokal kerap terjadi. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan tempat tinggal dan usaha mereka, bah-kan disertai kekerasan merupakan tindakan buruk nan lumrah terjadi se-lama ini demi “membersihkan” HGU perusahaan.

Demi menghindari masalah-ma-salah ini, revisi UU Perkebunan harus memberikan jaminan implementasi prinsip-prinsip panduan tentang bisnis dan HAM: Perlindungan, Penghor-matan dan Pemulihan standar HAM dalam operasi perusahaan. Ini adalah panduan bagi korporasi yang disahkan Dewan HAM PBB pada 16 Juni 2011. Selain itu, revisi Revisi UU Bun harus mensyaratkan seluruh perusahaan untuk menyelesaikan konflik-konflik besar yang ada bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Prinsip-prinsip panduan ini terdiri dari tiga pilar: 1) Kewajiban negara melindungi hak asasi manusia, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk bisnis; 2) Tanggung jawab perusa-haan sebagai aktor non-negara untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak

negatif dari operasional korporasi; dan 3) Memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efek-tif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

Berdasarkan ketiga pilar terse-but, maka korporasi harus menginte-grasikan Prinsip-Prinsip Panduan ini ke dalam operasi bisnisnya. Karena Prinsip-prinsip panduan ini telah memberikan standar global bagi korporasi tentang bagaimana mereka harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang berlaku di suatu negara dimana korporasi itu beroperasi. Prinsip-Prinsip Panduan ini juga menyatakan korporasi harus menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional, bahkan apabila hak asasi manusia ini tidak diakui di dalam sistem hukum nasi-onal.

Korporasi sebetulnya merupakan aktor non-negara yang memiliki potensi dari segi perekonomian dalam upaya pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga yang tinggal di sekitar perusahaan bekerja, se-hingga dengan mengintegrasikan prin-sip panduan “Ruggie Framework” ke dalam aturan internalnya, diharapkan peran positif pembangunan korporasi bagi masyarakat sekitar lebih mudah diukur penerapannya.***

media yang dapat dengan mudah diakses dan dimengerti tiap pihak yang berkepentingan. Mengingat pada pertemuan dengan pihak Dirjen-bun (19/4/2013), dijelaskan bahwa pengumuman ini melalui website. Padahal hampir semua perkebunan dibangun di kawasan atau wilayah yang cukup jauh dari pusat kera-maian atau perkotaan, sehingga tentu pengumuman atau masukkan yang dijaring selama proses pener-bitan izin perkebunan jangan hanya sebatas melalui website, tetapi juga penting dipikirkan bagaimana media yang dapat menjangkau masyarakat pedalaman.

Perlindungan Lahan Konservasi dan Lahan Pertanian Berkelanjutan

Merujuk pada mandat UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanju-tan, maka revisi dalam Revisi UU Bun ini diharapkan mampu memberikan jaminan kepada upaya besar pemer-intah dalam rangka mewujudkan

kedaulatan pangan negara dengan tidak memberikan izin bagi konversi lahan pertanian menjadi perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit dalam skala luas.

Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tak Membangun Kebun Plasma

Revisi UU Bun harus mengadopsi pendekatan yang jelas yang berpi-hak pada petani kecil dan bukannya perusahaan besar dan pendekatan yang dapat menjamin pilihan tana-man; kontrol petani atas tanah dan modal; ketentuan dukungan yang tidak menyimpang; dukungan pasar yang memadai; fasilitas kredit dan penetapan harga yang transparan dan adil; dan kebebasan untuk berorgan-isasi. Pembangunan kebun plasma merupakan salah satu bentuk yang dapat dilakukan untuk memperkuat posisi petani kecil. Pembangunan kebun plasma yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan merupakan kewajiban bagi perusahaan yang memiliki IUP atau IUP-B seluas sedikitnya 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan.

Permasalahannya, selama ini banyak perusahaan yang tidak mau membangun kebun plasma untuk masyarakat dan mengakibatkan tim-bulnya kecemburuan dari masyarakat terhadap pertumbuhan kebun sawit tersebut. Selain itu banyak pemban-gunan kebun plasma yang ternyata dimiliki bukan warga sekitar perkebu-nan. Selama ini tidak ada sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak membangun kebun plasma bersamaan dengan perkebunan inti. Untuk itu, perlu disiapkan sanksi yang tegas bagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan skema plas-ma yang baik yang menguntungkan dan memberdayakan petani kecil.

Pembatasan Kepemilikan Lahan Oleh Perusahaan atau Grup Perusahaan

Perusahaan-perusahaan milik asing atau sahamnya dimiliki asing, Multi National Corporations (MNC), sebagai perusahaan perkebunan, khususnya kelapa sawit (growers), bersama-sama dengan perusahaan lokal/nasional di Indonesia, saat ini sedang giat-giatnya meluaskan

UU Perkebunan berpotensi untuk menciptakan konflik agraria yang makin massif

Page 6: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

10 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 11Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Pada skala global, posisi sawit kian hari kian penting. Saat ini Indonesia memasok 43 persen

dari kebutuhan sawit dunia. Tak dira-gukan lagi, di masa mendatang harga minyak ajaib ini akan terus meroket seiring dengan variasi penggunaan minyak sawit yang kian beragam, mulai dari minyak goreng, biofuel (campuran bahan bakar pesawat atau avtur, bensin, atau solar untuk aneka jenis kendaraan), pelumas mesin, margarin, sabun, sampai campuran bahan kosmetik.

Tandan sawit, mulai dari tem-purung, daging buah, sampai inti buahnya (disebut kernel) semuanya memiliki nilai ekonomi. Minyak sawit memang ajaib dan serba guna. Ham-pir semua raksasa global produsen bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, seperti Procter & Gambler, Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson membutuhkan pasokan minyak sawit, termasuk dari Indonesia.

Barang kebutuhan sehari-hari, untuk keperluan membikin kinclong rambut sampai ujung kaki, sampo,

lipstik, sampau kuteks kuku, semua membutuhkan minyak sawit. Walha-sil, pengusaha berbondong-bondong melirik si Elaeis sp. Buku teknik bertanam sawit, skala kecil maupun masif, menjadi salah satu buku laris di toko-toko buku. Para pengusaha (individu atau korporasi, lokal mau-pun multinasional) berlomba meluas-kan areal kebun hingga makin luas, luas, dan luas. Sejauh mata meman-dang, deretan pokok-pokok sawitlah yang memadati lahan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan belakan-gan juga merambah daratan Papua.

Gurihnya kue ekonomi yang diba-wa sawit, harapannya, menetes deras kepada para petani di lapangan. Apalagi, klaim yang selalu digembar-gemborkan pemerintah adalah bahwa 42 persen lahan kebun sawit dimiliki petani skala kecil (dengan lahan 2 hektare). Mereka berafiliasi sebagai petani plasma yang terhubung dengan perusahaan perkebunan besar, milik negara atau swasta, yang berperan sebagai perkebunan inti.

Anehnya, sebagian petani kecil

yang memiliki 42 persen lahan sawit, ternyata tidak menikmati gurihnya sawit secara luar biasa. Pendapatan petani, bervariasi dari Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan, tergantung fluk-tuasi panen dan harga sawit di pasa-ran. Bukan jumlah yang besar untuk komoditas sedahsyat sawit. Rantai yang panjang, mulai dari penyetoran tandan ke pabrik, sortasi tandan, sampai sistem penentuan harga tandan mentah sawit (CPO - crude palm oil), sering kali tidak memihak petani. Lagipula, praktik di lapangan membuktikan, dua hektare lahan belum cukup efisien untuk membuat kebun memberi hasil optimal.

Gurihnya kue sawit terdistribusi dalam format piramida yang runc-ing dan menguntungkan perusahaan, investor besar, pemilik pabrik CPO, dan uragan besar perkebunan. Ada dua faktor utama yang membuat petani kecil susah menangguk untung besar. Faktor pertama, investasi ke-bun sawit lumayan besar (mulai dari pupuk, pemeliharan, tenaga kerja, sampai perlunya pabrik pengolah tan-

dan yang harus ada di dekat kebun) dan panen sawit baru bisa dinikmati pada tahun kelima. Faktor kedua, karakter sawit yang harus diolah secara cepat, 48 jam setelah panen, agar kadar minyak tidak merosot Ti-dak seperti karet atau kopi yang bisa disimpan dalam waktu lama, dibawa ke kota ketika harga pas, sawit mesti diproses segera.

Sifat inilah yang membuat petani kerap tidak berdaya menghadapi fluk-tuasi harga pasar. Nasib petani kecil, yang tak lain adalah 42 persen pemi-lik lahan sawit, adalah kisah dengan beragam wajah. Tidak seluruhnya sekinclong seperti yang digambarkan tayangan iklan CSR (corporate social responsibility) perkebunan sawit.

Banyak hal yang tidak beres dalam rantai perkebunan sawit di Indonesia. Pemerintah tidak memihak pada petani kecil. Ambil contoh soal pupuk. Perkebunan besar mendapat begitu banyak insentif modal, subsidi pupuk, bahkan termasuk pengerahan aparat untuk pembebasan tanah. Na-mun, petani kecil harus mengerahkan daya upaya sendiri demi pupuk yang cukup.

Itu pun pasokan di pasar kerap terganggu sehingga petani jadi kelim-pungan. Anehnya, perkebunan skala besar, BUMN atau swasta, tak pernah mengalami kesulitan pasokan pupuk. Itu saja sudah menjelaskan bahwa pemerintah lebih suka memfasilitasi pemodal besar. Petani kecil, silakan berjuang sendiri.

Sesungguhnya, para petani skala kecil itulah ujung tombak sektor sawit. Para petani inilah yang menye-tor tandan sawit segar hasil panen ke pabrik milik perkebunan besar, swas-ta atau BUMN. Tanpa setoran tandan sawit dari petani, produktivitas sawit secara keseluruhan bakal anjlok. Para petani kecil ini harus bekerja ekstra keras, mulai dari babat alas pember-sihan lahan, lalu menanam dengan benih yang bagus, dan harus “ber-puasa” menunggu 4 sampai 5 tahun sebelum sawit bertandan.

Beberapa petani, di berbagai

wilayah di Kalimantan dan Suma-tera, menyatakan untung panen yang mereka nikmati berkisar di Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan untuk satu kapling lahan (dua hektare). Itu pun kalau musim sedang bagus.

Jika musim tidak sedang bersaha-bat, ada hama kumbang atau hujan badai yang merontokkan brondol tan-dan, maka panen juga suram. Belum lagi jika ternyata benih sawit yang mereka tanam ternyata jelek, maka tandan sawit yang ditunggu bertahun-tahun tak bakal muncul.

Benar, ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas panen ke-bun sawit. Kepemilikan lahan yang terbatas sehingga pengolahan tidak optimum, kualitas benih, intensitas pemupukan, proses pengolahan pascapanen, akses menuju pabrik pembelian CPO, tanaman yang sudah uzur dan harus diremajakan lagi dengan ongkos ekstra mahal, dan lain sebagainya.

Praktis, untuk bisa untung besar, luasan kebun juga harus berskala masif. Itulah sebabnya, pemerintah merilis program “Manajemen Perke-bunan Satu Atap” yang menyatukan pengolahan lahan-lahan sawit dalam satu manajemen perusahaan. Sayang-nya, laporan di lapangan menyebut-kan, sistem manajemen satu atap ini justru tidak efisien dan memberatkan petani.

“Masak, kami harus ikut mem-bayar seluruh biaya kantor perkebu-nan, termasuk ikut menanggung gaji satpam dan sekretaris yang begitu banyak? Pantas saja kalau sistem manajemen satu atap membikin kami cuma punya penghasilan paling banyak Rp 400 ribu sebulan,” kata seorang petani di Kabupaten Passer, Kalimantan Timur.

Nasib Petani Sawit Dalam UU Perke-bunan Baru

Kini Indonesia sudah punnya UU Perkebunan baru. UU No 39/2014 ini disahkan untuk menggantikan UU Perkebunan yang lama, yakni UU No 18/2004. Namun UU Perkebunan baru

UU Perkebunan Dan Masa Depan Petani Sawit

Petani Sawit di kecamatan Rio Pakava, Donggala Sulawesi Tengah

ini tidak berbeda dengan UU Perkebu-nan yang lama. Nyaris tidak ada pasal yang mengatur tentang tata kelola perkebunan alternatif yang mengang-kat peran koperasi rakyat.

Skema kemitraan dalam UU Perkebunan ini belum menyejajar-kan posisi petani dengan perusahaan dalam pengelolan usaha perkebunan. Kenapa pemerintah membatasi pen-danaan untuk petani kecil?

Selama ini, pemerintah dinilai tidak memihak pada petani kecil. Koperasi dibiarkan berdiri dan diatur oleh negara, namun mengunci penda-naan untuk para petani. SPKS me-minta pemerintah untuk membenahi fungsi koperasi. Juga membuka jalan dan memaksimalkan peran koperasi bagi petani kecil. Dengan begitu, para petani sawit diharapkan bisa berkembang dan mandiri.

Selama 10 tahun ini memang ada skema pendanaan untuk petani dari subsidi bunga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, subsidi tersebut tidak langsung di-berikan kepada kelompok tani.

Skema kemitraan yang ditawar-kan oleh pemerintah melalui UU No 39/2014 dianggap tidak adil. Kebi-jakan Kementerian Pertanian (Ke-mentan) terkait perusahaan (inti) dan masyarakat (plasma) selalu menjadi persoalan. Para petani kurang menyu-kai skema kemitraan. Mereka lebih memilih pembiayaan melalui kopera-si. Hanya sebagian kecil petani yang ingin skema kemitraan ini karena dianggap tidak menguntungkan.

Begitulah, wajah kinclong ke-lapa sawit memiliki beragam sisi. Tak hanya manis sebagai sumber pendapatan petani dan negara, sawit juga memiliki sisi yang getir. Karena itu, pemerintah diminta untuk mere-visi UU Perkebunan baru ini. Bukan hanya soal pembiayaan, namun masih banyak permasalahan lain yang meng-ganjal. Dengan revisi ini diharapkan akan tercipta tata kelola ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkelanjutan.***

LaporanUtama LaporanUtama

Page 7: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

12 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 13Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Dari hasil pendokumentasian Sawit Watch pada 2014, luas perkebunan kelapa sawit di In-

donesia saat ini telah mencapai luas 13.297.759 Ha dengan produktifitas CPO pada tahun 2014 mencapai 25,5 juta ton, dan dengan jumlah ekspor CPO mencapai lebih dari 21 juta ton, telah menempatkan Indonesia seb-agai negara produsen dan pengekspor terbesar kelapa sawit dunia. Sampai dengan tahun 2012, pemerintah telah mengeluarkan izin ekspansi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 28.994.400 Ha yang ditujukan untuk mencapai target produksi CPO pada tahun 2020 sebesar 40 juta ton.

Pada tahun 2009, produksi min-yak sawit Indonesia mencapai 20,6 juta ton, diikuti oleh Malaysia pada urutan kedua dengan produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit

hingga tahun 2008 mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33%, Cina sebesar 13%, dan Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia.

Sejarah, potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit mengin-dikasikan bahwa kelapa sawit ma-sih mempunyai prospek positif ke depan, khususnya terkait dengan nilai tambah dan daya saing, dalam rangka pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan. Na-mun, kelapa sawit juga menghadapi berbagai masalah/kendala terkait dengan teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Masalah-masalah tersebut perlu di atasi supaya tidak mendistorsi daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penting kiranya menyusun sebuah naskah kebijakan atau nas-kah akademik dengan tujuan untuk

mengatasi permasalahan kelapa sawit terkait dengan nilai tambah dan daya saing melalui perumusan usulan kebijakan dan strategi dalam pem-bangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan.

Saat ini, Kalimantan Tengah menjadi salah satu Provinsi yang telah mengeluarkan kebijakan daerah terkait dengan Perkebunan sawit berkelanjutan melalui Peraturan Daerah, yakni Perda nomor 05/2011 Tentang Pengelolaan usaha Perke-bunan Provinsi Kalimantan Tengah. Inisiatif kebijakan ini mungkin bisa segera diterapak di Provinsi Sulawesi Tengah. Terkait dengan hal tersebut, Sawit Watch mencoba melaksanakan seminar publik terkait dengan kebi-jakan perkebunan sawit dan pemban-gunan sawit berkelanjutan.

Peran pemerintah dengan demiki-an sangat sentral dalam memberikan arahan dalam pengembangan pem-bangunan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah, untuk mengarahkan para pengelola perkebunan kelapa

sawit dengan prinsip-prinsip pemban-gunan yang berkelanjutan.

Kegiatan ini diharapkan merupak-an awal yang baik guna melakukan kerjasama dalam manajemen pen-anggulangan masalah yang ditimbul-kan antara Pemerintah, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat/petani/pekebun. Melalui perencanaan yang terarah dengan melibatkan pelaku-pelaku pembangunan perkebunan secara berjenjang (pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta dengan melibatkan masyarakat, diharapkan masalah usaha perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah diharap-kan terjadi penyempurnaan dalam perencanaan dengan memahami perkembangan yang ada untuk kemu-dian menjadikan sebagai dasar acuan langkah ke depan.

Terkait hal tersebut di atas, Pada 12 Februari 2015, Sawit Watch menyelenggarakan workshop dan pendalaman diskusi secara terfokus atas berbagai problem-problem yang mengiringi pembangunan perkebu-nan sawit. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan rumusan kebijakan di Sulawesi tengah yang diperlukan dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan. Rumusan kebijakan tersebut dianggap dapat menjawab persoalan sebagai berikut, yaitu (i) promosi, advokasi dan kampanye publik tentang industri kelapa sawit; (ii) pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk kelapa sawit; (iii) penguatan dan penegakan hukum pembangunan kelapa sawit berkelan-jutan dan tata kelola perizinan, (iv) transparansi v informasi pem-bangunan kebun kelapa sawit; (v) pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya; (vi) pengen-dalian konversi hutan alam dan lahan gambut; (vii) penerapan prinsip dan kriteria Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO); dan (viii) pengembangan mekanisme resolusi konflik.

Pada workshop kali ini, Sawit Watch mengundang 3 orang anggota DPRD Provinsi Sulteng dan perwakilan dari dinas perkebunan Provinsi Kali-mantan Tengah yang tampil sebagai narasumber utama.

Sebagai pengantar, Bondan Andriyanu (Sawit Watch) menyampai-kan bahwa saat ini pemerintah telah merilis izin perkebunan sawit seluas 14,3 juta hektar. Dan 70 persen dari luasan tersebut dikuasi oleh peru-sahaan besar. Selanjutnya, Lugini, kabid Sarana dan Prasarana Disbun Provinsi Kalteng menjelaskan tentang Kebijakan Pembangunan Perkebu-nan Kelapa Sawit di Kalteng Pasca Pengesahan Perda Provinsi No.5/2011 tentang pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan.

Secara umum, kondisi di Kalteng terkait penggunaan lahan yakni kawasan hutan (68,81%), perkebunan (6,75%), sawah dan ladang (7%) dan sisanya adalah kawasan pemukiman, bangunan dan sebagainya. Sektor pertambangan dan perkebunan masih menjadi primadona. Untuk perkebu-nan sawit skala besar telah berop-erasi sekitar 125 unit (clean and clear = sudah mendapatkan ijin pelepasan kawasan hutan atau HGU). Dari 125 unit ini, 120 unit adalah kelapa sawit dan karet 5 unit. 125 unit perkebu-nan besar dengan plotting area seluas 1.248.915,767 Ha terdiri dari IPKH 29 Unit dan HGU 77 unit. Realisasi pembangunan kebun mencakup lahan seluas 943.556 Ha dengan rincian plasma 98.269 Ha dan inti 855.467 Ha. Saat ini, ada 2 kabupaten dan 1 kota yang belum melakukan pem-bukaan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit yakni Barito Selatan, Murung Raya dan Palangkaraya.

Melihat perkembangan perluasan perkebunan sawit tersebut, Lugini mengatakan bahwa yang harus dipacu saat ini adalah industri hilirnya, kemudian industri pengolahannya. Untuk Kalteng, dasar pengelolaan usaha perkebunan adalah Perdaprov No.5/2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanju-tan dan Permentan RI No.98/Permentan/0T.140/9/2013 ttg Pedo-man Perizinan Usaha Perkebunan.

Untuk Perda Kalteng No.5/2011 ini, Lugini menggambarkan secara singkat prosesnya:1. Waktu penyelesaian yang cukup

panjang, dimulai pada 2007 dan

selesai pada 13 Desember 2011.2. Terdiri dari 14 bab dan 74 pasal.3. Mencakup aspek ekonomi, ekolo-

gi, sosbud dan keamanan/keutu-han perbatasan antar wilayah

4. Penyusunan melibatkan berbagai pihak terkait seperti LSM, lem-baga pendidikan setempat dan unsur pemda, BLH, BPN,

5. Mengakomodir berbagai ketentu-an kebijakan terkait perkebunan sawit.

6. Melalui berbagai tahapan, draft-ing, input masukan dari berbagai pihak, finalisasi, sosialisasi, dan pengajuan ke DPRD.Upaya Pemprov Kalteng untuk

meningkatkan ketaatan pemenuhan kewajiban perkebunan besar dengan beberapa hal sebagai berikut:1. Membuat roadmap pembangunan

perkebunan berkelanjutan;2. Pemberian rekomendasi permo-

honan perubahan status kawasan dan rekomendasi untuk pener-bitan IUP kepada perkebunan besar;

3. Melaksanakan pembinaan usaha terhadap perkebunan besar di Kalteng yang mencakup beber-apa aspek yakni melaksanakan penilaian terhadap perusahaan, evaluasi kinerja perusahaan perkebunan, membantu mem-percepat sertifikasi ISPO, dan melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan pelaporan oleh Perkebunan BesarNamun hingga kini, Pemprov

Kalteng melum melakukan tindakan penuruan kelas bagi perusahaan yang belum memenuhi sertifikasi ISPO. Penyebabnya adalah belum jelasnya petunjuk teknis dari pemerintah pusat.

Dalam konteks pembinaan perke-bunan sawit skala besar, upaya yang tengah dilakukan Pemprov adalah sebagai berikut:1. Percepatan pembangunan infra-

struktur daerah, seperti jalan, bandara, pelabuhan dan seb-againya;

2. Mendorong percepatan penyele-saian RTRW Kalteng

3. Mendorong permbangunan kebun

InfoKegiatan InfoKegiatan

Para peserta workshop sedang menyimak presentasi narasumber dari Kalimantan Tengah

Reportase

Workshop Perkebunan Sawit Berkelanjutan

Page 8: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

14 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 15Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Tata kelola perkebunan sawit yang karut marut harus segera diperbaiki melalui perkebunan sawit berkelanjutan

InfoKegiatan KabarKomunitas

berkelanjutan dengan memper-hatikan aspek ekonomi, ekologi, sosbud dan keamanan;

4. Pengawasan dan pembinaan perkebunan sawit skala besar (CSR, Pembangunan kebun untuk plasma, penilaian usaha perkebu-nan, evaluasi kinerja perusahaan dll);

5. Mengubah pola pikir masyarakat dari “peladang” menjadi perke-bunan yang intensif;

6. Pengembangan kapasitas kelem-bagaan termasuk penyusunan peraturan perUUan.

Narasumber kedua adalah Nurhanuddin Ahmad (Deputi Direk-tur Sawit Watch) yang akrab disapa Rambo. Pada kesempatan ini, Rambi menjelaskan luas kebun kelapa sawit di Indonesia saat ini, dan fenomena meningkatnya permintaan minyak sawit seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk.

Rambo menjelaskan beberapa persoalan pokok dari sektor perke-bunan sawit, yaitu: Ketimpangan penguasaan lahan, tumpang tindih perizinan dan pengunaan lahan serta transparansi, perampasan tanah-tanah ulayat, adanya dualisme rezim tanah antara pemerintah pusat dan pemprov yang tidak sejalan, dan

ketiadaan mekanisme penyelesa-ian konflik yg memadai. Rambo juga mencontohkan kasus di Riau, dimana terjadi ketimpangan penguasaan lahan yang begitu besar antara kebun rakyat dengan kebun perusahaan.

Menurut Rambo, agenda penting dan mendesak untuk segera dilakukan saat ini adalah melakukan legal audit dan legal comply terhadap semua perizinan perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik terhadap ijin lokasi, HGU, ijin usaha perkebunan dan sebagainya. Selanjutnya mem-bangun road map (peta jalan) petani mandiri yang mencakup produktivitas hingga penguasaan rakyat atas tanah miliknya. Dan yang ketiga adalah mendorong pembentukan lembaga independen untuk menyelesaikan berbagai konflik-konflik agraria.

Narasumber ketiga adalah Andi Kiki dari Kemitraan. Kiki menjelaskan proses inisiatif mendorong lahirnya perda perkebunan berkelanjutan di Kalteng. Prosesnya sangat panjang. Inisiatif ini dimulai pada 2005 sebagai hasil rekomendasi semiloka perkebu-nan berkelanjutan, dimana salah satu rekomendasinya adalah pembentukan tim sawit multipihak, terdiri dari ber-bagai unsur pemerintah, akademisi, LSM dll.

Dalam perjalanannya, tim Sawit

ini melakukan berbagai kegiatan seperti audiensi dengan gubernur serta menjalin komunikasi aktif dgn para pihak. Pada 2007, tim sawit ini melakukan kerja jaringan secara nasional dan kemudian mengubah namanya menjadi Pokja Sawit Multi-pihak, dan memulai persiapan konsep Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (PPKSB-Kalteng) berbasis indikator lokal. Pelibatan masyarakat adat dan lokal diperluas. Lika liku perjalanan Pokja Sawit Multipihak ini mencapai target ketika DPRD mengesahkan Perda No.5/2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebu-nan Berkelanjutan di Kalteng.

Menurut Kiki, salah satu pembe-lajaran yang dapat ditarik dari proses mendorong lahirnya perda No 5/2011 tersebut adalah bagaimana memban-gun soliditas Pokja Sawit itu sendiri. Dalam perjalanannya, soliditas Pokja Sawit terbangun karena berbasis pada rasa saling percaya setara dan menciptakan rasa kebersamaan. Kemudian Pokja SM akan mengakomo-dir kepentingan semua pihak, dimana tujuan yang berbeda dalam PPKSB dapat didiskusikan dalam sebuah fo-rum dialog yang difasilitasi oleh Pokja PPKSB. Dan kemudian membuka ruang inisiatif bagi semua pihak.***

Tibawan adalah sebuah kampung yang termasuk paling hulu dialiri sungai Rokan Kiri dalam

wilayah provinsi Riau. Karena kam-pung-kampung berikutnya di sepan-jang sungai ini arah ke hulunya sudah masuk wilayah Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Masyarakat kampung Tibawan menyebut sungai Rokan Kiri ini dengan nama Batang Sumpu, sama dengan sebutan oleh masyarakat di sekitar sungai ini yang berada di Ka-bupaten Pasaman. Sebutan sumpu be-rasal dari kata sumpur, karena warna sungai ini agak keruh seperti kena lumpur. Kampung Tibawan diperki-rakan berdiri sewaktu Kerajaan Rokan dipimpin oleh Yang Dipertuan Sakti bernama Lahit yang menjadi Raja Luhak Rokan IV Koto pada perten-gahan abad 17 sampai dengan awal abad 18. Kampung ini pernah dilewati oleh pasukan Tuanku Tambusai dalam perjalanan mereka mundur dari per-tempuran di Rao menuju Dalu-dalu. Kampung ini juga pernah dilewati oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mr. Asaat dan Syafruddin Perwiranegara pada masa pemberontakan PRRI tahun 1960-an. Desa Tibawan terletak di bagian paling Barat dari propinsi Riau dengan topografi berbukit dan dataran alluvial. Berada 26 km dari ibukota kecamatan dan 88 km dari ibukota Kabupaten Rokan Hulu yang sejatinya dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam dari ibukota kabu-paten. Hanya saja kondisi jalan yang

buruk dan rusak kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga memperpanjang perjalan hingga 3 jam.

Negeri Tibawan dianugerahi tanah subur yang menghidupi seribu lebih jiwa bagi masyarakat desa Tibawan. Penghasilan utama masyarakat adalah karet dengan luasan mencapai 710 ha berdasarkan data monografi desa tahun 2012 yang dimiliki oleh 250 kepala keluarga dari 270 kepala ke-luarga. Jika di bagi menjadi rata rata kepemilikan kebun karet masyarakat Tibawan seluas 3,12 ha perkepala ke-luarga. Jika perhektar menghasilkan rata rata 2000 kg perhektar pertahun dengan harga saat ini yang tergolong murah yaitu 6000 rupiah perkilogram, artinya ada 9,36 milliar pertahun hasil kebun rakyat di desa Tibawan dan jika dibagi perkepala keluarga, maka akan setiap kepala keluarga mendapatkan hasil jika dirupiahkan sebanyak 37.440.000. Selain mata pencaharian utama juga terdapat tanaman pangan seperti padi organik, palawija untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, dan musiman juga meng-hasilkan dengan tanaman tua seperti

durian, rambutan, manggis, langsat, jengkol dan lainnya.

Setahun sekali ada musim tana-man tua tersebut dimana sangat membantu masyarakat. Musim tahun ini saja (2014) durian didesa Tibawan menghasilkan sekitar 5000 butir setiap hari. Dengan harga jual kepada pengumpul rata rata Rp. 5000, maka setiap hari selama musim durian ter-dapat Rp. 25 juta perhari uang yang beredar di desa Tibawan. Pada inti-nya dengan kondisi tanah yang subur dan ditumbuhi oleh sumber sumber kehidupan masyarakat Tibawan su-dah hidup berkecukupan. Masyarakat Tibawan juga sangat ramah terhadap orang orang yang datang, bertegur sapa dan sangat damai setiap hari hari yang mereka lalui.

Desa Tibawan merupakan desa pemekaran dari desa Cipang Kanan pada tahun 2007 dengan Perda Rohul No. 14 ahun 2007 Tentang Pem-bentukan desa-desa baru setelah pemekaran dari Kabupaten Kampar. Desa ini termasuk kedalam wilayah kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau berbatasan dengan desa sekitar yaitu: sebelah

Tibawan, Negeri Subur Yang Terancam Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar

Irsyadul Halim

Durian merupakan salah satu tanaman yang dihasilkan Desa Tibawan (Halim)

Page 9: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

16 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 17Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Utara dengan desa Rokan Koto Ruang, sebelah Selatan dengan desa Lubuak Gadang (Sumbar), sebelah Timur dengan desa Cipang Kiri Hilir dan sebelah Barat dengan desa Cipang Kanan. Terletak pada koordinat N 00* 34’27.9” dan E 100* 16’ 16.5”. Topo-grafi desa Tibawan sebahagian besar berbukit dengan ketinggian rata-rata 250 Mdpl dan vegetasi relative berhu-tan. Penduduk desa ini berjumlah 270 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 981 jiwa. Luas desa Tibawan ber-dasarkan data monografi desa sekitar 7429 hektar. Hitungan ini berdasarkan hitungan kasar oleh pemerintah desa, sementara luas sebenarnya belum ada datanya karena belum adanya peta wilayah desa Tibawan. Mata pencaharian utama masyarakat desa Tibawan adalah perkebunan karet dengan luasan sekitar 1686 hektar. Untuk pangan sebahagian penduduk berladang padi dengan jenis padi lokal dan berumur 5-6 bulan sekali panen.

Perkebunan Kelapa Sawit Skala Be-sar Mengusik Kedamaian Dan Men-gancam Sumber Sumber Kehidupan

Meskipun jauh dari ibu kota kabu-paten dan akses transportasi sulit ma-syarakat Tibawan cukup tentram dan damai dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Tetapi kedamaian ini mulai terusik dengan rencana pembangu-

dengan jumlah bibit 6000 bibit dan berlokasi di desa Cipang Kiri Hulu. Kemudian PT. Sawit Rokan Semesta mendapat rekomendasi pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dari Gubernur Riau ke Menteri Kehutanan No.522.1/ADM-EK/16.20 tanggal 6 Agustus 2009, dan S.825/MENHUT-II/2009 07 Oktober 2009. Lalu pada tanggal 7 Juni 2012 izin lokasi tersebut telah mendapat-kan pelepasan kawasan hutan oleh menteri kehutanan dengan nomor SK 268/menhut II/ 2012 dengan luasan 10.128 hektar.

Pada tahun 2009 PT. Sawit Rokan

Semesta melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan cara mengundang para tokoh masyarakat dan ninik mamak untuk pertemuan di Pekan-baru. Dalam pertemuan perusahaan menjelaskan tentang rencana mereka akan beroperasi di sekitar wilayah desa Tibawan dan desa-desa seki-tarnya. Perusahaan menjelaskan dampak positif dengan kehadiran mereka dan meminta rekomen-dasi untuk pelepasan kawasan hutan dilokasi perizinan prinsip mereka kepada masyarakat agar perusahaan dapat beroperasi. Tetapi masyara-kat menolak dengan alasan bahwa wilayah yang dimohonkan adalah wilayah kelola masyarakat. Penolakan lalu disampaikan kepada pemerintah melalui susrat yang ditandatangai se-luruh masyarakat desa Tibawan pada tahun 2009. Tidak mendapat respon terhadap surat yang di kirimkan ma-syarakat kepada Bupati Rokan Hulu, akhirnya masyarakat mengirimkan kembali surat penolakan pelepasan kawasan hutan kepada Bupati Rokan Hulu pada tanggal 15 maret 2010 dengan melampirkan tanda tangan penolakan dari warga desa Tibawan. Surat ini pun tidak mendapat balasan dari Bupati yang kemudian dilanjut-kan oleh masyarakat mengirim surat

kepada Menteri Kehutanan berisikan penolakan terhadap keberadaan pe-rusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Tibawan. Surat tersebut dikir-imkan pada tanggal 14 Oktober 2010 dan dengan melampirkan tandatan-gan penolakan dari warga desa.

Rencana beroperasinya PT. Sawit Rokan Semesta di desa Tibawan dan sekitarnya mengancam ruang ru-ang yang selama ini di kelola oleh masyarakat. Kebun-kebun karet masyarakat terancam hilang karena sebahagian besar wilayah kebun ma-syarakat termasuk kedalam konsesi PT. Sawit Rokan Semesta. Selain itu areal pertanian tanaman pangan yang direncanakan oleh masyarakat akan hilang. Untuk luas konsesi PT. Sawit Rokan Semesta 10.175 hektar, akan dibagi menjadi 70% untuk kebun inti dan 30% untuk pola KKPA dengan masyarakat. Dengan masuknya pe-rusahaan tersebut maka perkebunan karet warga akan berganti menjadi tanaman kelapa sawit. Selain an-caman hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat Tibawan dan sekitarnya, ancaman lainnya adalah konflik sosial, kerusakan lingkungan dan hilangnya kearifan lokal masyara-kat desa Tibawan. Negeri Tibawan yang subur dan merupakan anugerah

nan perkebunan kelapa sawit skala besar kewilayah desa Tibawan dan beberapa desa disekitarnya. PT. Sawit Rokan Semesta (SRS) mendapatkan izin lokasi dari Bupati Rokan Hulu pada tahun 2005 No Nomor:559/DP-PGT/XII/2005 tentang Pemberian Izin Lokasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT SRS ditandatangani Bupati Rohul saat itu H Ramlan Zas dengan luasan 10.175 ha. Lokasi izin tersebut meliputi beberapa desa antara lain desa Tibawan, Desa Cipang Kiri Hulu, Desa Cipang Kiri Hilir dan Desa Ci-pang Kanan. Tahun 2006 perusahaan tersebut telah melakukan pembibitan

Tuhan yang maha kuasa akan hilang ketika di gantikan oleh perkebunan kelapa sawit skala besar ulah tangan manusia serakah.

Pemetaan Partisipatif Memproteksi Wilayah

Untuk mengantisipasi anca-man yang akan dihadapi, masyara-kat Tibawan melakukan pemetaan partisipatif dengan dasar klim adat sebagai penguat kepemilikan wilayah. Masyarakat meminta pendampingan oleh Perkumpulan Sawit Watch dalam melakukan pemetaan partisipatif. Ke-giatan ini sudah dimulai sejak bulan Februari tahun 2014 dengan proses yang cukup panjang. Hingga kini pros-es yang dilakukan telah menghasilkan sketsa wilayah adat yang kemudian akan dilakukan pengecekan bersama dengan wilayah adat tetangga se-hingga ditemukan kesepakatan batas. Dengan memetakan wilayah adat, masyarakat percaya dapat melindungi wilayah mereka dan mengetahui jika ada pihak ketiga seperti perusahaan sawit menggarap diwilayah masyara-kat serta melakukan pengamanan agar lahan tersebut tidak digarap oleh pihak ke tiga seperti ancaman yang mereka hadapi saat ini.***

*Penulis adalah Anggota Sawit Watch

KabarKomunitas KabarKomunitas

Peta konsesi PT. Sawit Rokan Semesta

Sketsa peta wilayah adat Datuk Bendahara Kampung Tibawan

Proses pengambilan data lapangan pemetaan partisipatif wilayah adat Tibawan

Page 10: Tandan Sawit Edisi No 2 Februari 2015

18 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 19Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 |

Darurat Darurat

ingan masyarakat Mimika, terutama Suku Kamoro yang hidup di wilayah pesisir. Kalau hutan rusak, bagaimana nasib anak cucu mereka ke depan. Kami tidak melihat ada keuntungan dari usaha perkebunan kelapa sawit untuk masyarakat lokal,” kata Bupati Omaleng.

Pada Selasa (16/12), Bupati Omaleng bersama Wakil Bupati Yohanis Bassang, Kapolres Mimika AKBP Jermias Rontini dan Komandan Kodim 1710 Mimika Letkol Inf Rafles Manurung mendatangi lokasi PT PAL di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.

Setiba di lokasi PT PAL, Kabag Hukum Pemkab Mimika Sihol Parnin-gotan membacakan surat keputusan bupati Mimika soal penghentian op-erasional dan pencabutan izin perusa-haan perkebunan kelapa sawit itu.

Surat pencabutan izin operasional

PT PAL kemudian diserahkan kepada salah satu pejabat perusahaan itu.

Saat rombongan Bupati Omaleng hendak meninggalkan lokasi PT PAL, terjadilah aksi perlawanan oleh pemi-lik hak ulayat dan buruh perusahaan itu karena menilai keputusan Pemkab Mimika bersifat sepihak dan tidak memikirkan nasib mereka yang meng-gantungkan hidup di PT PAL.

Mobil-mobil rombongan pejabat Pemkab Mimika menjadi sasaran amukan warga. Bahkan mobil pribadi Bupati Omaleng hendak dilempar dengan batu oleh salah seorang warga. Namun aksinya tersebut di-hentikan oleh aparat.

Siap DigugatBupati Omaleng mengaku siap

melayani gugatan manajemen PT PAL maupun warga pemilik hak ulayat atas perusahaan itu.

“Silahkan, kami siap menghadapi itu. Kalau PT PT PAL dan pemilik ulayat mau menggugat, pemerintah daerah Mimika siap menghadapi itu,” tegas Bupati Omaleng.

Bupati Omaleng meminta du-kungan aparat keamanan dari Polres Mimika dan Kodim 1710 Mimika untuk mengawasi aktivitas di PT PAL pascapencabutan izin operasi perusa-haan itu.

“Nanti akan dicek terus. Ka-lau orang-orang itu masih ada dan melakukan aktivitas, tangkap dan proses mereka,” ujarnya.

Sejak dilantik menjadi Bupati Mimika pada 6 September 2014, Bu-pati Omaleng mengaku telah me-nerima banyak masukan baik dari kalangan gereja, lembaga adat suku Kamoro (LEMASKO) dan berbagai pi-hak lainnya yang tidak menghendaki adanya investasi perkebunan kelapa sawit di Mimika.

Berbagai lembaga itu menduga investasi perkebunan kelapa sawit hanyalah modus untuk melakukan perambahan hutan dengan tujuan utama mengambil hasil kayu untuk dikirim ke luar Papua.

Investasi perkebunan kelapa sawit juga dinilai mengancam kelang-sungan hidup Suku Kamoro di wilayah pesisir, mematikan sumber air sungai dan ekosistem lingkungan lainnya mengingat warga Suku Kamoro meng-gantungkan hidup dari usaha mencari dan mengumpulkan hasil kekayaan yang disediakan oleh alam (hidup sebagai peramu).

Warga Suku Kamoro selama ini hidup dengan mengandalkan sungai, sampan dan sagu.

Pemkab Mimika akan membuat program padat karya penanaman singkong dan tanaman umur pendek lainnya di bekas lokasi PT PAL den-gan memberdayakan ratusan buruh perusahaan itu maupun masyarakat pemilik hak ulayat.

“Mulai tahun depan kita akan turunkan anggaran untuk program padat karya. Karyawan PT PAL mau-pun masyarakat yang ada di sekitar itu akan dilibatkan secara langsung dalam kegiatan penanaman singkong

dan tanaman pendek lainnya. Hasil-nya nanti mereka sendiri yang akan nikmati,” jelas Wabup Mimika Yohanis Bassang.

Sesuai rencana Bupati Omaleng, katanya, ke depan kawasan bekas PT PAL itu akan dikembangkan menjadi Bandar Udara Internasional di Timika.

Perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO), Marianus Maknaipeku mengapresiasi keputusan Bupati Omaleng yang telah menutup aktivitas PT PAL demi men-jamin kelangsungan masa depan gen-erasi muda Suku Kamoro di Mimika.

PT PAL mendapatkan HGU Perke-bunan dari Pemerintah Pusat sejak

2010 untuk mengembangkan perke-bunan kelapa sawit pada lahan seluas 39 ribu hektare. Sebelum terbitnya HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat, perusahaan itu telah men-gantongi izin atau rekomendasi dari Bupati Mimika sejak 2007.

Lokasi perkebunan PT PAL terse-bar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat Jalan Trans Timika-Paniai.

Hingga 2014, perusahaan itu me-rencanakan membuka kawasan hutan seluas 4.000 hektare untuk ditanami kelapa sawit.***

Perkebunan sawit di Papua

KabarWilayah KabarWilayah

Bupati Mimika, Papua, Eltinus Omaleng secara resmi telah menerbitkan surat keputusan

penghentian total aktivitas PT Pusaka Agro Lestari (PAL), perusahaan perke-bunan kelapa sawit di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.

Bupati Omalen kepada wartawan di Timika, Rabu mengatakan pi-haknya juga telah mencabut izin PT PAL meskipun perusahaan itu telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010.

Alasan utama mencabut izin operasi PT PAL karena perusahaan itu dinilai telah merusak kawasan hutan Mimika sebagai penyanggah utama sumber air dan ekosistem lingkungan masyarakat di kampung-kampung wilayah pesisir selatan Mimika.

“Keputusan ini kami ambil sema-ta-mata karena memikirkan kepent-

Bupati Mimika Resmi Cabut Izin Perkebunan Sawit PT PAL

Bupati Kabupaten Mimika, Eltinus Omaleng