Tandan Sawit Volume 4/2009

24

description

Sawit Watch Bulletin, Volume 4 year 2009.

Transcript of Tandan Sawit Volume 4/2009

Page 1: Tandan Sawit Volume 4/2009
Page 2: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 2

RedaksiPenanggung JawabAbetnego Tarigan

Dewan RedaksiAbetnego Tarigan, Edi Sutrisno, NA Surambo, Norman Jiwan, Jefri G Saragih

Pemimpin RedaksiJefri G Saragih

Redaktur PelaksanaY. Hadiyana

RedaksiY. Hadiyana, Eep Saepul-lah, Elsa Susanti, Fatilda H, Inda F,atinaware Tina S, Wiwin, Carlo Naing-golan

Sekretariat RedaksiVinna S Mulyanti

Distribusi dan Pelayanan KomplainEep Saipullah

KeuanganTina Sumartina, Supapan, Sukardi

PenerbitPerkumpulan Sawit Watch

Alamat RedaksiJl. Sempur Kaler No. 28, Bogor - 16129Telp.: 0251-8352-171Fax. : 0251-8352-047

[email protected]

Sumber foto : sawit watch & anggota

Sebuah Perbandingan

3

DARI PEMBACA

4Isak Pilu ParaBuruh...

11PenataanRuang...

15Kisruh Jalan Sawit di Batui

21PerampasanLahan...

shinta -

mau bertanya... boleh ?.... 1. terkait dengan program kemitraan, bagaimana pengfungsian Koperasi se-bagaipenghubung antara petani dan perusahaan ?2. standar hidup bagaimana yangingin dicapai oleh petani dan harapannya dengan adanya program kemitraan ?3.bagaimana peran tengku-lak pada kesejahteraan masyarakat petani ?

Terimakasih untuk tanggapan-nya...

Hermansyah

Kami tidak tahu harus Mengadu kemana ?....

Saya berada di Kalimanatan Tengah, tepatnya di Kabu-paten Lamandau berbatasan dengan Kalimantan Barat. Di daerah kami sekarang masuk sebuah Perusahaan Perke-bunan yang sangat Meresah-kan. Petama Perusahaan ini masuk Tidak pernah Sosial-isasi secara terbuka dengan Masyarakat. Ke-2. Ijin Prinsip dan HGU yang mereka dapat terkesan di Urus diatas meja saja. ke-3. Ijin Penebangan Tegakan Kayu belum Pernah di Urus. Ke-4. Alih Fungsi Hutan Belum Ada. Ke-5. Amdal su-dah ada terkesan jadi di atas Meja Pejabat. Lalu sekarang

Timbul persoalan. PEMDA nya seperti Cuex bebek gitu..., Aspirasi Masyarakatnya tidak pernah di dengar.

Nah sekarang di Desa terjadi Konflik..., antara Masyarakat sendiri..., Pro-Untuk yang ada ruang gerak ke Perusa-haan. Kontra- Yang merasa bahwa Perusahaan tidak Transparan dan Cooperatif dalam menjalankan Opera-sionalnya. Sekarang apa lang-kah yang harus kami Lakukan. SOS pokoknya mau mengadu ke Pihak mana Kami?

Page 3: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW3

Bercerita soal dunia persawitan terdapat berbagai hal yang akan temui. Kita akan menemui dian-taranya luas perkebunan sawit

yang terbagi luas kebun negara, luas ke-bun swasta, dan kebun rakyat; produk-tivitas kebun sawit tersebut; dan berb-agai hasil-hasil olahan dari sawit. Selain itu, kita juga akan menemukan berba-gai cerita tentang pembangunan perke-bunan kelapa sawit di wilayah ini dan di wilayah itu, pembangunan pabrik, dan beragam penelitian serta seminar ten-tang sawit. Apa yang terjadi? Beragam data berkenaan dengan ekonomi sawit khususnya berbagai keuntungan dan dampak-dampak perkebunan sawit den-gan mudah kita akan temui.

Tapi, bila anda telisik lebih jauh, se-muanya data-data tentang perkebu-nan kelapa sawit akan berporos kepada ekonomi perusahaan sawit dan sedikit yang mengupas berkenaan kondisi-kon-disi petani, masyarakat adat, dan bu-ruh. Laju ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan mudah kita akan menda-patkan sekitar 600.000 Ha per tahun. Data-data dan informasi berkenaan dengan lahan-lahan yang akan diban-gun untuk perkebunan kelapa sawit dengan mudah kita dapatkan di media cetak ataupun elektronik. Tapi coba anda cari bagaimana posisi buruh ke-bun sawit? Bagaimana laju kesejahter-aan buruh, anda akan kesulitan untuk mendapatkannya. Untuk buruh, data yang anda peroleh hanya jumlah buruh, itupun dengan kira-kira ataupun asumsi dimana 0,2 Ha sepadan untuk seorang buruh. Data-data yang ada tidak bisa menunjukkan berapa sebenarnya jum-lah buruh di kebun sawit. Buruh yang mendominasi di kebun sawit adalah buruh harian lepas, buruh tanpa kon-trak, buruh yang digaji bukan dalam bentuk bulanan, dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan data kualitas hidup buruh? Saya bisa pastikan anda hanya sedikit memperoleh informasi ini.

Ada apa dengan hal ini? Kenapa hal ini terjadi? Saya melihat model system pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan bukanlah menganut model pembangunan kerakyatan. Pem-bangunan kerakyatan adalah pendeka-tan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan mate-rial dan sprititual mereka sebagai tu-juan yang ingin dicapai dalam proses pembangunan (Korter & Carner, 1988). Lebih jauh, Guy Gran (1988) mengung-kapkan bahwa paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagi obyek, melainkan sebagai subyek (ak-tor) yang menetapkan tujuan, mengen-dalikan sumber daya, dan megarahkan proses yang mempengaruhi kehidupan-nya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertim-bangkan prakarsa dan perbedaan lokal. Karena itu, ia mendukung sistem-sistem swaorganisasi yang dikembangkan di sekitar satuan-satuan organisasi ber-skala-manusia dan komunitas-komuni-tas swadaya.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit bukanlah pembangunan kerakyatan ter-lihat jelas dimana fenomena pemban-gunan lebih mengedepankan

kepada industri dan bukan perta-• nian, padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencarian mereka dari pertanian; daerah perkotaan dan bukan daerah • pedesaan, padahal mayoritas pen-duduk tinggal di daerah pedesaan; pemilikan aset produktif yang ter-• pusat dan bukan aset produktif yang

luas, dengan akibat investasi-in-vestasi pembangunan lebih mengun-tungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak; penggunaan modal yang optimal dan • bukan penggunaan sumber daya ma-nusia yang optimal, dengan akibat sumber daya modal dimanfaatkan sedangkan sumber daya manusisa tidak dimanfaatkan secara optimal; pemanfaatan sumber daya alam dan • lingkungan untuk mencapai pening-katan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumber daya ini , dengan menimbulkan ke-hancuran lingkungan dan pengurasan basis dumber daya alami secara ce-pat; efisiensi satuan-satuan produksi ska-• la besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keun-tungan internasional, dengan men-inggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna menca-pai swadaya lokal, sehingga meng-hasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusa-kan atau manipulasi politik dalam suatu bagian sistem itu.

Secara kelakar fenomena-fenomena tentang persawitan dapat diungkap-kan judulnya saja sudah pembangu-nan perkebunan kelapa sawit bukan pembangunan buruh, petani, dan masyarakat adat/lokal di perkebunan kelapa sawit. Jadi wajar lebih urus ke-pada kebun kelapa sawitnya diband-ingkan manusianya, buruh dibuat kalah demi usaha sawit. (NA Surambo)

Ekspansi Sawit & Kondisi Buruh:

Sebuah Perbandingan

EDITORIAL

Page 4: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 4

Sampai saat ini kasus eksploitasi buruh perkebunan belum banyak terekspose ke permukaan, meskipun realitasnya mereka rentan akan perlakuan buruk para pemilik modal (kapital) dan apparatus organiknya. Eksploitasi Buruh bukanlah kasus baru. Hal itu telah menyejarah, bahkan boleh dikatakan telah menjadi langgam hidup keseharian mereka. Setelah lepas dari buaian politik etik kolonial-isme, kini terperangkap dalam cengkraman kapitalis dalam perspektif budaya melegalkan perbudakan dibalik retorika perlindungan hukum dan hak asasi manusia.

L and reform diperjuangkan ke-satria pendiri Bangsa kita, tenggelam karena pertimban-gan-pertimbangan politik praktis

terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sehingga UUPA 1960 dibekukan(1) .

Penguasa Orde Baru selama 3 dasawar-sa telah memeluk depelopmentalisme sebagai blue print pembangunan me-letakkan jargon pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan teknologisasi ber-cirikan depelopmentalistik-kapitalistik meskipun waktu itu telah banyak kritik bahkan gugatan karena ketidaksterilan dari bias ideologi didalamnya(2) .

Pilihan tersebut tidak menguntung-kan bagi Buruh karena kebijakan ini berkaitan dengan mobilisasi eksploitasi produksi, distribusi ekonomi didasarkan pada mekanisme pasar dan hubungan-hubungan kekuasaan dimana Negara

sebagai aktor utama didalamnya (sentralisme). Di tingkat strategi kebi-jakan-kebijakan bertumpu pada prinsip “trilogi pembangunan” yakni : stabili-tas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Pada ting-kat praktis, stabilitas nasional diterje-mahkan pada pembentukan iklim poli-tik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi melalui otoritas pengontrolan masyarakat oleh Negara (depolitisasi), penyederhanaan partai politik dan penerapan kebijakan politik massa mengambang (floating mass). Implikasinya kebijakan ini lebih dipri-oritaskan melindungi investasi padat modal demi terjaminya pertumbuhan ekonomi. Sementara peran serta masyarakat terutama petani dan buruh tani/perkebunan yang paling berke-pentingan dalam hal ketersediaan dan penggarapan tanah tidak dapat ditu-mbuhkan, karena tidak memadainya kebijakan dan perhatian pemerintah menyangkut; status hukum pemilikan tanah, pencatatan, perubahan pemi-likan tanah, konflik-konflik horizontal menyangkut tanah, dan perlindungan hukum bagi buruh yang rentan ter-hadap eksploitasi oleh pemilik modal serta penyaluran aspirasi dan keinginan petani dan buruh tani/perkebunan ter-sumbat, tidak dapat menemukan jalan-nya keperwakilan rakyat atau pemer-intah. Di sisi lain masih bercokolnya tradisi kepemimpinan feodalistik warisan kolo-nialisme. Sejak penerapan cultuurstel-sel sangat merangsang tumbuhnya pa-mong desa. Pamong desa di Indonesia sebagai organisasi pra-birokrasi telah dikondisikan oleh pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan-ya. Sejak itu kepemimpinan desa yang tradisional dan demokratis mulai luntur. Orientasi kepala desa kepada atasannya

menjadi lebih kuat dalam pengerahan tenaga kerja, pemungutan pajak hasil bumi dan mengawasi tanam paksa dari pada mengayomi kepentingan rakyat. Sementara dalam benak pemerintah masih membayangkan desa-desa masih masyarakat-masyarakat demokratis. Kekeliruan persepsi demikian memper-parah kondisi petani dan buruh tani di dalam memperjuangkan aspirasi dan keinginan ditengah penindasan dan ek-ploitasi oleh pihak perkebunan . Kehidupan, sejarah kehidupan kelom-pok Buruh perkebunan hampir tidak tersentuh oleh siapapun juga, meskip-un mereka tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Negara dan kelompok-kelompok dominan yang menaunginya. Kelompok-kelompok ini adalah kelom-pok-kelompok yang kalah, terpinggir-kan dari arena kekuasaan. Mereka ada-lah kelompok inferior, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi subyek hege-moni kelas-kelas elite yang berkuasa.

ISAK PILU PARA BURUH DI BALIK RINDANG DAUN SAWIT

LAPORAN UTAMA

Page 5: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW5

Sejarah kehidupan kelompok ini teng-gelam oleh sejarah kelas dominan yang diakui sebagai sejarah resmi. Kelompok ini tak punya akses kepada sejarah, ke-pada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kul-tural . Kelompok-kelompok buruh dalam perkembanganya mengalami transfor-masi dalam wilayah produksi ekonomi, difusi kuantitatif dan asal-usul mer-eka dari kelompok sosial pra-ada, jelas

mempunyai perbedaan cara hidup, ke-biasaan, mentalitas, ideologi dan tu-juan yang mereka kekalkan untuk suatu waktu, dengan kelompok-kelompok lainya dalam suatu negara.

Kelompok buruh perkebunan di Indone-sia umumnya adalah mereka yang tidak mempunyai tanah ditempat kelahiranya dan banyak didatangkan dari Jawa. Di Sumatra Utara dikenal istilah “Jakon” (Jawa Kontrak) dengan sistem kontrak. Awalnya dikontrak untuk 3-5 tahun ker-ja. Namun telah banyak buruh memilih tinggal di tempat perkebunan, karena tidak mempunyai apa-apa lagi di Jawa dan tidak punya modal usaha bila kem-bali ke kampung halamanya.

Dapat dibayangkan tantangan mereka pada awalnya adalah bagaimana men-gatasi keterasingan ekologis, sedikit banyak berpengaruh pada keterpecah-an identitas dan solidaritas genealogis-nya. Pola hidup, kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma genealogis telah te-reduksi bahkan terdistorsi menyesuai-kan diri dengan ekologis baru. Mereka harus menyesuaikan diri dengan “sang-kar besi” standar rutinitas pola kerja, mekanisme kerja yang telah ditetap-kan dan diawasi secara sepihak oleh

perusahaan perkebunan. Kebiasaan-kebiasaan mengikutsertakan istri dan anak dibawah umur bekerja membantu suami demi mengejar target kerja dan bonus terpaksa mereka lakukan karena upah yang diterima tidak sebanding dengan kebutuhan hidup normal sehari-hari. Pola makanan “seadanya’’ tidak sebanding dengan energi yang dikeluar-kan pada saat bekerja, telah melahir-kan profil buruh perkebunan yang kerdil memprihatinkan.

Kebiasaan-kebiasaan hidup buruh terse-but terwariskan dari generasi-kegen-erasi berikutnya sehingga membentuk budaya buruh perkebunan yaitu sekel-ompok masyarakat yang sangat tertu-tup, penuh curiga, penakut, nrimo/pasrah sangat mapan dengan kemiski-nannya.

Salah satu fenomena yang menonjol di perkebunan ini adalah eksploitasi bu-ruh telah mengakar berlangsung secara sistematik. Eksploitasi dilakukan mulai dari proses rekruitmen, prosedur dan mekanisme kerja, pengendalian dan pengawasan kerja.

Dalam proses rekruitmen pekerja, pihak perkebunan tidak mengalami kendala karena kelimpahan tenaga kerja terampil dan murah6 . Sebagai- mana strategi perusahaan, kelicinan-nya menyesuaikan diri dengan budaya setempat seperti merekrut Mandor atau Asisten kebun dari orang yang “berpen-garuh” di lingkungan sekitar sekaligus merekrut pekerja yang dekat dengan-nya atau lewat kesukuan sehingga san-gat efektif sebagai alat kontrol7 .

Ketentuan tentang pembagian kerja, peraturan kerja sangat tergantung Ke-pada Asisten kerja dan Mandor, tidak ada sistem kenaikan golongan, kenai-kan gaji berkala dan spesialisasi peker-jaan8. Buruh dibedakan lagi menurut statusnya. Ada yang dinamakan buruh tetap dikenal dengan buruh Sistem Ker-ja Upah (SKU),dan buruh Harian Lepas biasa disebut Annemer9.

Di Perkebunan ini menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja/hari dan pencapaian target tertentu secara ber-samaan, ditentukan sepihak oleh perke-bunan. Bila seorang Buruh telah beker-ja 7 jam/hari tetapi belum mencapai target kerja borongan yang telah diten-tukan, maka Buruh kebun tidak diper-kenankan pulang sebelum target kerja tercapai. Sebaliknya bila target telah tercapai namun belum mencapai 7 jam

kerja, Buruh kebun belum dibenarkan pulang, dan dipaksa sampai 7 jam kerja terpenuhi. Kelebihan target kerja yang dicapai oleh Buruh akan dihitung seba-gai Over Basis dengan dasar perhitun-gan premi. Harga premi dari Over Basis ditentukan sepihak oleh perkebunan.

Dampak sistem kerja demikian men-gakibatkan Buruh kebun sangat sulit memenuhi atau mencapai target kerja karena tidak mengenal situasi10. Jika target kerja tidak terpenuhi Buruh mendapatkan sanksi atau hukuman berpengaruh pada upah yang mereka terima11. Pilihan melibatkan anggota keluarga suami,istri atau anak terpaksa mereka lakukan untuk mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebu-nan. Hampir keseluruhan pekerjaan buruh rentan terhadap kesehatan dan kesela-matan kerja. Anehnya Buruh bekerja tanpa dilengkapi perlengkapan kes-ehatan dan keselamatan kerja secara memadai. Pekerjaan memanen rentan resiko-resiko yang mungkin timbul ada-lah seperti tertimpa buah, mata terke-na kotoran berondolan atau tertimpa pelepah. Seperti halnya pemupukan dan penyemprotan, setiap hari Buruh berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun12. Sistem pengawasan di perkebunan ini tidak hanya pengawasan internal, tetapi dilengkapi dengan pengawasan ekternal secara berlapis. Pengawasan internal kental sekali arogansi perke-bunan tampak dalam wujud tekanan-tekanan Asisten Perkebunan maupun Mandor. Kebijakan akan target-target kerja, sanksi-sanksi kerja sama sekali tidak pernah disosialisasikan ataupun didialogkan13. Pengawasan eksternal melibatkan penggunaan perangkat-perangkat keamanan sebagai bagian sistem pengawasan, diantaranya Sat-pam, Hansip, Centeng, mata-mata (spi-onase) sampai pada “oknum” anggota POLRI dari Polsek setempat.

Penataan pemukiman dan pemban-gunan pemukiman Buruh merupakan bagian sistem pengawasan. Pola pemu-kiman Buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Pemukiman Para Tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Kemudian pada bagian de-pan kompleks pemukiman Buruh dike-nal dengan Emplasmen/Pondok ditem-patkan dan disediakan rumah bagi para

“Kebiasaan hidup buruh terwariskan dari generasi sebelumnya

kegenerasi berikutnya sehingga membentuk budaya buruh perkebunan yaitu sekelompok masyarakat yang sangat tertutup,

penuh curiga, penakut, nrimo/pasrah sangat

mapan dengan kemiskinannya.”

Page 6: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 6

Mandor kebun berbaur dengan Buruh. Fasilitas perumahan disediakan bagi Bu-ruh yang berstatus Buruh SKU walaupun fasilitas lainya seperti air dan listrik sangat buruk dan terbatas14. Namun tidak semua Buruh SKU tertampung kar-ena keterbatasan jumlah perumahan yang disediakan. Ada beberapa Buruh yang tinggal di luar perkebunan dan pihak perkebunan memberikan peng-ganti sewa rumah sebesar Rp.25.000,- per bulan. Penerangan di rumah-rumah Buruh diperoleh dari listrik yang disalurkan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Pem-bayaran tegangan listrik setiap bulan di tanggungkan perusahaan kepada Buruh dengan memotong langsung gaji setiap bulan sebesar jumlah yang tertera da-lam rekening listrik ditambah Rp. 500. Fasilitas pendidikan untuk anak Buruh di perkebunan ini sangat minim dimana hanya terdapat dua unit Sekolah Dasar (SD). Satu unit terletak di afdeling II dan satu unit lagi terdapat di desa dekat dengan emplasmen. Jika ada anak Bu-ruh yang berkeinginan melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi mis-alnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah menengah Umum (SMU) terpaksa buruh harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Sementara itu Buruh tidak mendapat tunjangan untuk anak sekolah dari perkebunan, baik bia-ya sekolah maupun transport15. Untuk pelayanan kesehatan, pihak perkebunan mendirikan satu buah Poliklinik melayani lebih kurang 600 orang buruh. Tidak mudah bagi buruh untuk mendapatkan pelayanan keseha-tan yang layak karena harus berurusan dengan birokrasi perkebunan, dan “ke-baikan hati” Mantri, Perawat maupun Kerani kebun16. Di kalangan Buruh ada istilah yang menggambarkan buruknya pelayanan kesehatan di Poliklinik tersebut yaitu “Ruang Tunggu” atau “Ruang Tunggu Mati”. Artinya setiap buruh kebun yang berobat ke poliklinik itu tinggal hanya menghitung hari atau menunggu mati saja17. Bentuk dan Pola Exploitasi Buruh Umumnya bentuk dan pola ekploitasi Buruh diproduksi oleh pola relasi kekua-saan yang timpang antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai ta-nah, dan asset atau modal-modal lain yang kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai kuasa

apapun sehingga sangat tergantung.

Dasar kekuasan biasanya suatu kom-binasi faktor-faktor politik, ekonomi, hukum dan sosial, dimana faktor-faktor itu sukar dipisahkan secara sempurna. Keterjalinan faktor-faktor tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus diungkapkan secara berani dan obyek-tif, tanpa menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti ini akan mengadu domba atau memecah belah lapisan masyarakat. Pola relasi kekuasan yang timpang cend-erung memproduksi berbagai bentuk eksploitasi melalui apa yang dinama-kan dominasi hegemonik dan dominasi represif. dominasi hegemonik ditandai oleh bekerjanya operasi kekuasaan yang timpang melestarikan diri da-lam bentuk operasi struktur “pengeta-huan”, ditransmisikan melalui wacana tanda atau simbol dan praktek sosial menempatkan posisi yang didominasi pada posisi yang subordinat menyerap begitu saja tanpa hambatan kesadaran kritis. Dominasi repressif ditandai oleh bekerjanya operasi struktur kekuasaan yang timpang menciptakan pola keter-gantungan yang tidak terelakkan. Suatu saling relasi, membentuk hubungan yang tidak mungkin terlepaskan. Kondisi tersebut menjadi lahan subur bagi kel-ompok yang mendominasi memproduksi dan membiakkan berbagai bentuk kek-erasan untuk menata, mengontrol dan mengendalikan kelompok yang didomi-nasi, melalui mekanisme sistem hubun-gan kerja, prosedur kerja dan pengen-daian/pengawasan.

Akumulasi pola dominasi hegemonik dan dominasi represif memproduksi profil buruh yang kerdil tapi penurut ibarat sebuah “bonsai”. Sebentuk “bonsai” adalah tumbuhan yang dijauhkan dari ruang habitusnya, diisolasi dalam ruang terbatas diberi makan-minum secukup-nya sesuai selera dan keinginan si pem-bonsai, dinikmati sebagai “mainan” yang menyenangkan bagi pemiliknya. Dominasi Hegemonis Buruh perkebunan sangat hormat kepa-da Mandor, Asisten Kebun dan ADM baik dalam lingkungan pekerjaan, mau-pun keseharaian diberbagai dihajatan (pesta) Buruh diluar perkebunan. Rasa hormat Buruh terhadap atasanya ter-cermin dalam ungkapan sapaan “Ndor” (singkatan Mandor). Sapaan tersebut bukan hanya sapaan yang mereflek-sikan tingkat kesopanan (politeness)

antara Buruh dengan Mandor, tetapi disana tersimpan dan terlembagakan suatu pola relasi yang tidak simetris. Secara historis sapaan itu memiliki fitur makna feodal, kolonial. Pemerin-tah Kolonial melembagakan pengaruh-nya lewat Mandor (biasanya direkrut dari kasta/golongan aristokrat) yang memberikan wewenang penuh di da-lam mengontrol dan mengawasi Buruh secara mutlak. Sang Mandor memiliki “kuasa penuh” atas Buruh, dan dengan pemilik perkebunan Mandor menerap-kan pola bertindak “asal tuan senang” sehingga oleh Mandor, Buruh “dipaksa ” mengabdikan diri pada pemilik perke-bunan. Penggunaan simbol-simbol, pakaian kerja ; celana pendek, kemeja, sepatu oleh raga dengan kaus kaki panjang hingga lutut selalu digunakan lengkap dengan “Mobil Kuning” mirip seperti zaman penjajahan ketika Tuan Kebun berkeliling mengontrol Buruh bekerja18. Dalam benak Sang anak “mobil kuning” identik dengan Sang kuasa atas Bapak dan keluarganya. “Tragedi psikologik” ini rupanya terwariskan dari generasi ke generasi. Pengalaman-pengalaman Bu-ruh ketika berhadapan dengan petinggi-petinggi perkebunan tersosialisasikan dan terinternalisasi dalam kepribadian sang anak. Hal ini dapat dimaklumi ke-tika sistem rekruitmen buruh perkebu-nan sebagian besar rekruitmen warisan, sehingga buruh tersebut sulit untuk melakukan kritik atau perlawanan bila diperlakukan secara tidak adil. Dalam alam ketaksadaran mereka, tunduk ke-pada petinggi-petingi perkebunan ada-lah “takdir”. Namun demikian bukan berarti tiadan-ya resistensi Buruh terhadap petinggi-petinggi perkebunan. Sikap sebahagian kalangan Buruh sedapat mungkin berusaha menghindari “mobil kuning” karena perjumpaan dengannya dira-sakan merupakan “sumber masalah” bagi ketentraman hidup mereka19. Pola reproduksi dan distribusi pelembagaan “kekuasaan” secara menonjol dalam wacana praktek kerja Buruh. Akibat dominasi struktural, pihak perkebunan kepada Buruh memungkinkan penera-pan sangsi-sangsi dilakukan semata-mata hanya didasarkan lewat peneta-pan Mandor ataupun Asisten Kebun di lapangan seperti hukuman kepada salah seorang buruh panen yang “terlanjur” memotong buah sawit mentah, untuk mengejar target kerja ditetapkan sepi-hak oleh perkebunan. Si Buruh me-

Page 7: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW7

nanggung “malu” karena harus men-gelilingi perumahan perkebunan sambil mengalungkan karton yang bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” te-lah diberlakukan ibarat seorang penja-hat atau tindakan kriminal20. “Tukang Potong” bermakna suatu pekerjaan memotong dilakukan secara berulang-ulang atau phrase itu menunjuk pada suatu kebiasaan kerja yang merupakan suatu “profesi”. Hukuman “berkeliling perumahan buruh” menggambarkan “kesalahan” adalah “kejahatan” suatu tindakan kriminal. Pada hal menurut Atan buah yang dipotongnya bukan lagi buah mentah, Atan memotong buah berondol 2 untuk memenuhi basis bo-rong yang ditentukan perusahaan kar-ena buah berondol 5 sulit ditemui se-hubungan pada saat itu sedang musim trek buah (jumlah buah sedikit). Kekerasan simbolik tersebut kemudian didistribusikan. “Atan Tukang Potong Buah Mentah” adalah sebuah proses pengkodean menuju suatu konvensi alamiah bahwa siapa saja yang me-motong buah mentah mereka dihu-kum seperti Alan, menghasilkan makna pelembagaan dan pewarisan kekuasaan melalui wacana simbol. Pelembagaan kekuasaan juga bisa da-lam bentuk “pengaturan ruang”. Sebisa mungkin buruh dijauhkan dari ruang sosial yang memungkinkan mereka membagun identitas kelompok tertidas, mengartikulasikan simbol-simbol buda-ya sebagai akumulasi konsep yang ber-

sifat ideologis melindungi kepentingan mereka. Penataan pemukiman diban-gun sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta be-rada dalam pengawasan dan kekuasaan Mandor, menyebabkan buruh terisolir dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya. Itulah sebabnya di kalangan Buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis rasa “tertekan” dan “pend-eritaan” yang mereka alami salah satu faktor penyebab terjadinya penguatan identitas21. Identitas-identitas para Buruh dalam perkembanganya sangat terfragmentasi dalam struktur yang bersifat subyektif sehingga menyulitkan bagi mereka untuk mengubah menjadi struktur obyektif menyatukan kepent-ingan mereka. Situasi yang demikian terjadi akibat realitas sosial Buruh dipengaruhi oleh pengalaman-pengal-aman situasional mereka, seperti ter-batasnya “ruang sosial” mewacanakan tatanan-tatanan sosial mereka, keter-batasan “modal sosial” seperti ; ket-erbatasan pendidikan, ekonomi serta faktor ekternal seperti hukum kurang melindungi kepentingan mereka22. Dominasi Repressif Pada masyarakat agraris, akses pen-guasaan, pemilikan tanah merupa-kan salah satu sumber kekuasaan bagi petani dan buruh tani. Lapisan-lapisan

masyarakat maupun status sosial diten-tukan oleh pemilikan dan penguasaan tanah. Semakin luas akses kepemilikan dan penguasaan tanah maka semakin tinggi status sosialnya dan semakin besar kepemilikan “kekuasaanya”. Umumnya struktur Buruh perkebunan di Sumatera Utara adalah buruh yang tidak mempunyai akses pemilikan dan penguasaan tanah. Perkembangan perkebunan besar dahulu menarik ban-yak tenaga dari Jawa. Sementara Buruh makin bertambah ban-yak, mereka juga membutuhkan tanah untuk pertanian pangan. Walaupun ada usaha mereka membuka lahan baru agar mempunyai tanah untuk ditanami padi dan sayur-sayuran menambah peng-hasilan sebagai buruh, dengan berbagai cara para pemilik perkebunan beru-saha merampasnya. Cara-cara seperti membujuk dengan janji akan dinaikkan statusnya menjadi Mandor, pemberian ganti rugi yang tidak sepadan ataupun dengan cara memaksa, mengamcam akan di PHK bila tak mau memerima ganti rugi, atau dengan tuduhan terli-bat G.30S. Anehnya perampasan tanah selalu menggunakan/melibatkan elite lokal, melakukan penangkapan dan pe-nahanan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan tanahnya23. Pola penguasaan tanah dan pemilikan tanah oleh sekelompok elite yang san-gat kuat dan akibatnya adalah memeras tenaga buruh yang tidak mandiri, bah-kan tergantung pada penguasa tanah sehingga nasibnya merana. Berbagai macam pola dan cara terus diproduksi dan dibiakkan oleh pihak perkebunan memeras buruh baik berupa kekerasan fisik, kekerasan struktural lewat meka-nisme sistem hubungan kerja, sistem kerja, pengupahan dan pengawasan. Kekerasan fisik dapat berupa “benta-kan”, “siksaan” bila mana pekerjaan Buruh tidak sesuai dengan standart kerja, jam kerja serta target kerja yang ditentukan sepihak oleh Perkebunan. Berbagai macam cara “dihalalkan” sep-erti misalnya hukuman yang diberikan “mengelilingi perumahan sambil me-mikul jenjang sawit” yang sebetul-nya tidak ada dalam peraturan kerja. Pendekatan kekerasan oleh perkebunan terhadap buruh sangat akrab dalam langgam hidup keseharian mereka. Bentuk kekerasan struktural yang menonjol adalah akibat pola hubungan kerja yang sangat tergantung kepada Asisten kebun dan Mandor. Penentuan

buruh kebun sedang istirahat makan siang (dok. SW 2009)

Page 8: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 8

hukuman ditentukan sepihak oleh Man-dor atau Asisten kebun, bahkan tidak jarang Administrateur (ADM) turut melakukan pengawasan langsung dila-pangan dan memberlakukan hukuman secara semena-mena. Besarnya we-wenang dan kekuasaan Asisten kebun dan Mandor membuka peluang bagi “ke-sewenan-wenangan” perlakukan terh-adap Buruh dalam bentuk “ancaman” pemindahan buruh permanent menjadi buruh harian, memelihara ketidakjela-san status Buruh karena tidak ada surat (bukti) pengangkatan Buruh. Keluguan dan kepolosan Buruh dipelihara dan di-manfaatkan sedemikian rupa untuk ke-pentingan perkebunan. Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara “pembiaran” Buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kisah Bu-ruh pemupukan dan penyemprotan Sawit misalnya adalah kasus represen-tasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi24. Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan Buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidi-kan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melaku-kan pemerikasaan kesehatan Buruh ke-pada dokter ahli, dan merotasi Buruh yang bekerja di bagian yang berhubun-gan dengan bahan kimia yang berbaha-ya25. Sementara itu dari sisi ekonomi, Buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak men-cukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari26. Dengan melihat perbandingan antara pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari ditambah dengan berbagai potongan lainya dengan besar upah yang diberikan managemen pe-rusahaan sangatlah tidak mencukupi. Oleh karena itu, Buruh kebun akan bek-erja sebanyak mungkin dengan melibat-kan seluruh anggota keluarga hanya un-tuk dapat memenuhi kebutuhan makan dengan kualitas yang memprihatinkan, sementara beban kerja memerlukan energi yang tinggi tidak sebanding den-gan kualitas makanan yang dikonsumsi setiap hari. Lemahnya posisi Buruh justru diman-faatkan oleh perkebunan untuk “me-meras” seperti terdapat beberapa item potongan upah. Iuran SPSI, po-tongan IMPS, potongan denda (sangsi/hukuman), potongan PPH psl 21, sama

sekali Buruh tidak mengerti mengapa dan untuk apa potongan itu. PPH psl 21 Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada hal Menurut Peraturan Pemerin-tah (PP) No.27 Tahun 2001, dinyatakan bahwa pajak untuk Buruh hingga sebe-sar UMP yang berlaku ditanggung oleh Negara. Upah Buruh perkebunan sebe-sar Rp 546.500,- sama dengan UMP Su-matera Utara tahun 2004, namun de-mikian managemen perkebunan tetap saja melakukan pemotongan upah PPH psl 21.

Jejaring Kekuasaan Penindas Secara sederhana dari sudut pandang sosiologis, perkebunan dapat didefe-nisikan sebagai keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan institusional yang timbul akibat proses produksi dan distribusi hasil tanaman kebun. Ada pal-ing tidak 3 pilar utama kelompok yang berkepentingan disana. Pilar pertama adalah para pemilik modal (pengusaha) berkepentingan bagaimana memaksi-malkan keuntungan (kapital) yang di-investasikan. Dalam realitasnya para pemilik modal “lebih suka” menanam-kan modalnya bila ada jaminan iklim kondusif menjalankan usahanya berupa “proteksi” ataupun kemudahan-kemu-dahan tertentu seperti konsesi-konsesi pemilikan- penguasaan tanah, jaminan tersedianya “tenaga kerja murah” serta jaminan politik dari rongrongan kekua-tan-kekuatan kepentingan (interest group). Dalam menjamin ketersediaan fasilitas itu, maka pengusaha (pemilik modal) akan selalu berusaha menggan-deng kekuasaan Negara (pemerintah) sebagai mitra strategisnya. Pilar kedua, adalah pemerintah sebagai pemegang otoritas politik atas regulasi mengatur, mengontrol dan mengevaluasi para pihak pelibat. Tentu saja pemerintah punya kepentingan tersendiri seperti pajak perusahaan, pajak penghasilan dan penyerapan tenaga-kerja menga-tasi pengangguran dalam Negara. Se-cara normatif posisi pemerintah strat-egis samping sebagai regulator, dapat memainkan peranan sebagai “wasit” menyelesaikan persoalan yang timbul antara pengusaha dengan masyarakat. Tapi dalam realitas pemerintah sering memerankan peran ganda baik sebagai “pemain” sekaligus “wasit” sehingga sering muncul “konflik kepentingan” ketika berhadapan dengan pemilik mod-al. Pilar ketiga, adalah masyarakat sip-il (Civil Society) yang berkepentingan bahwa dengan aktivitas perkebunan berdampak pada meningkatnya penda-patan dan kesejahteraan mereka.

Pola interaksi dan interrelasi ketiga pi-lar tersebut tidak selalu berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka berjalan secara dinamik, dimana merupakan arena per-tarungan kekuasaan sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi keti-ga pilar tersebut terjadi antara kekua-tan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi dan resistensi sep-erti ini berlangsung terus menerus da-lam konteks sejarah, sosial dan politik yang berubah-ubah. Namun pertarun-gan tersebut tidak selalu nampak kasat mata, tetapi senantiasa relasi kekua-saan itu terbungkus secara apik dalam struktur wacana dan kebudayaan. Ke-nyataanya sehari-hari kita bisa melihat bagaimana kelompok tertentu menjadi-kan “kebudayaan” sebagai alat untuk menumpuk kekuasaan atau sebaliknya menggunakan “kekuasaan” untuk men-gontrol kebudayaan27. Buruh perkebunan adalah salah satu bagian organik dari kelompok masyarakat sipil (Civil Society). Meskip-un secara struktural mereka adalah bagian tak terpisahkan dari perusa-haan, tetapi kesatuan fundamental his-toris, secara kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karenanya mereka adalah sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subor-dinat atau golongan subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kel-ompok-kelompok dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah masyarakat post-kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Secara ideologis, menurut Said (1978) proyek kolonisasi adalah sebuah proyek kekuasaan tentang bagaiman kontruk-si “Barat” terhadap “Timur”. Proyek kolonisasi inilah yang membentuk dan meninggalkan jejak-jejak warisan ko-lonial di negeri terjajah. Karena itulah Negara-negara bekas kolonisasi meny-impan struktur dan hirarkhi kekuasaan yang merupakan warisan dari regim ko-lonial, hingga kini masih dipraktekkan oleh masyarakat pasca-kolonial. Namun demikian Perhatian kita pada penindasan selama ini hanya berpusat pada “aktor-aktor luar”, kini meski dita-mbah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Dalam perspektif Guha (1982) struktur dikotomi masyarakat post kolonial adalah “‘elite dan sub-altern”. Yang dimaksud elite adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing bisa pemilik industri, pemilik perkebunan Yang pribumi dibagi menjadi dua yang

Page 9: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW9

beroperasi di tingkat nasional (pe-gawai pribumi dibirokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi perkebunan). Meminjam ter-minologi Gramsci, kelompok ini adalah kelompok intelektual organik ideologi kapitalis. Cara bekerjanya sangat muja-rab mengiring individu menjadi subyek yang dengan penuh kerelaan dan atas kehendaknya menjadi mahkluk-mahk-luk bentukan melanggengkan proses re-produksi produksi kapitalis. Sedang kel-ompok subaltern adalah mereka yang bukan elite adalah kelompok-kelompok pekerja, lapisan menegah kota dan desa, yaitu rakyat di daerah setempat. Kelompok-kelompok menengah perko-taan dan pedesaan yang terdidik dan berlatar belakang aristokrat, kelompok kepentingan (interest group) adalah mereka memainkan peranan sebagai apparatus organik bekerja di lapan-gan demi kepentingan pemilik modal. Mereka yang menamakan dirinya anti-kolonial bisa jadi lebih bersifat kolonial dari pada yang menyatakan dirinya ko-lonial28. Pola kekuasaan tersebut bukan lagi terpusat (centralize) dikotomi pen-guasa-yang dikuasai, tetapi menyebar saling ketergantungan membentuk je-jaring kekuasaan melalui mekanisme pembagian wewenang.regulasi-regulasi mengatur, mengendalikan kelompok Buruh dan masyarakat biasa yang di-dominasi. Pola relasi kekuasaan yang paling har-monis membentuk “relasi simbiolisme mutualisme” bentuk relasi antara penguasa-pengusaha. Penguasa mem-berikan jaminan “kenyamanan berusa-ha” termasuk jaminan keamana sosial dari berbagai bentuk kekuatan lokal, sementara pengusaha memberika “up-eti”, bahkan tidak jarang menjadi su-player dana-daya bagi kepentingan politik praktis penguasa dan kelom-pok-kelompok kepentingan (interest group) baik elite sipil maupun militer. Bukan rahasia lagi bilamana perusa-haan perkebunan selalu memberikan “upeti” kepada Preman, Organisasi Kepemudaan (OKP) kepada pemerintah termasuk Polisi dan Pemerintah Daerah setempat dimana Perusahaan Perkebu-nan itu berada. Sisi lain bentuk jejaring kekuasaan ada-lah penggunaan pengawasan ekternal berlapis untuk mengontrol Buruh yang sebetulnya sudah dalam posisi yang lemah karena pengawasan internal

telah membatasi ruang gerak mereka melakukan penyelewengan. Namun de-mikian penggunaan pengawasan ek-ternal sebagai bagian strategi perkebu-nan mendominasi kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok inter-est (interest group) sebagai apparatus organik perkebunan. Rekruitmen Man-dor dari Serikat Pekerja seluruh Indo-nesia (SPSI), rekruitmen apparatus seperti Centeng, Papam dan Mata-mata (spionase) yang direkrut secara rahasia dari unsur-unsur kekuatan sosial ke-masyarakatan daerah setempat ada-lah suatu gambaran yang paling kom-prehensif bagaimana operasi jejaring kekuasaan itu bekerja menindas Buruh.

Implikasi Bagi Buruh Pola jejaring kekuasaan yang demikian menyebabkan posisi Buruh perkebu-nan semakin terpinggirkan dari arena kekuasaan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bungkam, tidak ber-suara tenggelam hampir 4 generasi dan masih membekas hingga kini. Cerita-cerita mereka, keluh kesah, penderi-taan mereka tenggelam dan terbungkus rapi oleh cerita keberhasilan perkebu-nan, perluasan areal perkebunan serta kualitas rendeman prima sawit yang diproduksi. Namun bukanya tidak menyisakan ke-pedihan. Keberhasilan perkebunan juga menghadirkan narasi-narasi buruh perkebunan yang tersisih terhempas kar-ena alasan “produktivitas kerja”, disip-lin kerja, target kerja. Tidak ada Buruh Perkebunan yang berani menolaknya. Berbagai aturan-aturan kerja, hukuman dan sangsi-sangsi kerja diproduksi dan dibiakkan. Kalau ada Buruh yang meng-kritik dan melawan ia akan menerima hukuman dipertujuh , pencabutan hak sebagai Buruh tetap (SKU), potongan upah dan tunjangan, dimusuhi, dikucil-kan dari lingkungan pergaulan warga. Persoalan akan lebih kompleks, ketika pemaknaan aturan-aturan kerja dan sangsi-sangsi kerja terdapat interpre-tasi yang beragam, prural, fleksibel, dan sekaligus ambiguitas. Betapa tidak, interpretasi aturan kerja sangat diten-tukan oleh selera dan kemauan ADM, Asisten kebon maupun Mandor. Masing-masing “oknum” itu tidak ada yang se-ragam penafsiran dan penerapan aturan kerja bagi Buruh. Berbagai fenomena “kekerasan fisik, aturan kerja yang tak pernah jelas” terjadi sepanjang waktu diperkebu-

nan. Sistem kerja, mekanisme kerja menjadi semacam pendisplinan “regim ketertiban dan keteraturan” bagi pen-guasa kebun. Ketika regim ini berusaha untuk digugat, dilanggar oleh pengikut-nya akan terdapat hukuman kepadanya. Namun tidak pernah sekalipun dibuat aturan atau hukuman untuk sang kuasa; Mandor yang sewenang-wenang, Asisten Kebun dan ADM yang ceroboh membiar-kan Buruh bekerja tanpa peralatan kes-ehatan dan keselamatan kerja, Mantri perkebunan yang lalai menolong pasien kecelakaan kerja ataupun yang sakit hingga menemui ajalnya. Masih kuatnya persepsi atas wacana bahwa perusahaan perkebunan ada-lah “dewa penjelamat” bagi Buruh, pemerintah setempat dan masyarakat umumnya. Cerita-cerita “kebaikan perkebunan” menyerap tenaga kerja, memberikan fasilitas perumahan, pen-didikan dan kesehatan, membentuk agency-agency manusia yang rela mengabdi menjaga dan melestarikan kekuasaan perkebunan. Subyek-subyek manusia elite sipil maupun militer ter-bukti beroperasi sangat produktif un-tuk menebarkan perspektif kekuasaan perkebunan.

OlehDrs. Manginar Torang S, Msi.

Biodata Penulis.Drs. Manginar Torang Situmorang M.Si adalah Peneliti di Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) Medan, Salah satu NGO yang bergerak di penguatan Buruh melalui pendidikan Alternatif. Setelah menyelesaikan Studi (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (STISIPOL) “Kartika Bangsa” Yo-gyakarta (1994) bergelut di dunia “Pekerja Sosial”. Tahun 2004 melanjutkan studi Program Magister Kajian Budaya (Cul-tural Studies) Fakultas Sastra Universitas Udayana tamat Tahun 2006. Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 1984 Essay on Ideol-• ogy, London : VersoArif, Saiful. 2000 Menolak Pembangu-• nanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Baker, Cris. 2004 Cultural Studies : • Teori dan Praktik (terjemahan), Yogya-karta Kreasi Wacana.Gandhi Leela. 2001 Teori Poskolonial, • Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat Yogyakarta: Qalam.Fakih, Mansour. 1996 Masyarakat Sipil • Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia, Yogya-karta: Pustaka PelajarHettne, Bjorn. 2001 Teori Pembangunan • dan Tiga Dunia, Jakarta : GramediaKleden, Ignas 2002 “Konflik Etnis atau • konflik politik?”, Tempo, 6 Januari (Edisi Khusus).Ratna, Nyoman Kutha. 2005 Sastra • dan Cultural Studies, Yogyakarta :

Page 10: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 10

Pustaka PelajarSaid, Edward. 1996 Orientalisme • (Terjemahan Asep Hikmat) Bandung : Pustaka Salma.Santosa, Thomas (ed). 2002 Teori-Teori • Kekerasan, Jakarta : Ghalia IndonesiaStorey, John. 1993 An Introduction • Guide to Cultural Theory and Popular Culture London : Harvester Wheatshesf. Tjondronegoro, Sediono M.P. 999 Sosi-• ologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung, Penerbit Akatiga

_________________________________ Uraian lebih lanjut Analisis Landreform, lihat 1. Sediono Tjondronegoro, “Sosiologi Agraria” ( Bandung : Akatiga Tahun 1999) . Saiful, Arif, “Menolak Pembangunanisme” (Yo-2. gyakarta, Pustaka Pelajar, 2000). Para ilmuwan Sosial maupun kalangan aktivis di Negara-negara Afrika, Amerika Latin Jepang dan cina berikhtiar keras menemukan konsep alternatif. Untuk memperjelas lihat uraian lebih lanjut dalam, Bjorn Hettne, “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia”, Jakarta, Gramedi 2001.Sediono, Tjondronegoro, op.cit hal 60 3. Dikutip dari I Ngurah Suryawan, “Membicarakan 4. Can the Subaltern Speak?” Gayatri Chakravorti Spivak dan Praksis Kajian Budaya, Dalam Jurnal Kajian Budaya No 6 Volume 3 Denpasar Juli 2006 hal 103 ibid, hal 102 5. Proses rekruitmen dilakukan secara tertutup, 6. hanya menerima pekerja-pekerja dari lingkungan perkebunan dan pekerja dari lingkungan sekitar. Biasanya dikondisikan melalui rekruitman warisan dimana karena terbatasnya upah yang diterima buruh, sementara beban kerja harus tercapai sesuai target kerja ditentukan sepihak oleh perkebuan, maka cara yang ditempuh Buruh adalah mengikutsertakan istri/suami dan anak-anak bekerja “magang” digaji oleh Bapaknya dan setelah mencapai umur kerja akan menggantikan bapaknya. Seperti terjadi di perkebunan Sumatera Utara 7. buruh suku Batak Mandailing (salah satu sub Suku Batak). Mandor Afdeling I suku Batak Mandail-ing. Suatu saat ada buruh yang ikut “aksi buruh” kontan saja Sang Mandor mendatangi buruh yang direkrutnya, dengan menyatakan tidak sopan, karena tidakan ikut aksi sama saja dengan mempermalukannya sebagai Tulang, Bapauda atau sebagai Hula-hula kemudian menasehatinya menggunakan nilai-nilai adat.Buruh telah lama bekerja menerima upah yang 8. sama dengan buruh yang baru masuk atau baru diterima bekerja. Penetapan spesialisasi pekerjaan terutama buruh Annemer ditentu-kan sepihak sesuai dengan selera Mandor atau asisten kebun.Kebijakan Buruh Murah dari masa orde Baru 9. berlanjut hingga masa Reformasi. Sisahkanya Undang-undang No.13 Tahun 2003 yang meng-Amin-kan sistem outsorsing. Diperkebunan ini bentuk sederhana sistem outsoursing sudah lama berlangsung misalnya dengan adanya Buruh Harian Lepas. Sepertinya pemerintah melegalkan pemberlakuan Buruh Harian lepas atau sejenis-nya di Perkebunan.Misalnya sewaktu hujan atau banjir. Buruh tidak 10. diperbolehkan pulang sebelum target kerja terpenuhi, atau boleh pulang tetapi harus meng-ganti dengan hari lain biasanya hari libur dan hari Minggu.Jika buruh kebun telah bekerja lebih dari 7 11. jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sangsi di kenal dengan istilah “dipertujuh”. Artinya buruh dianggap tidak bekerja penuh atau gagal mencapai satu hari kerja. Contoh : Target kerja panen 50 jenjang Sawit, ternyata buruh sanggup 40 jenjang Sawit. Maka buruh hanya dihitung 5 jam kerja saja. Konsekwensinya upah dan tunjangan 2 jam kerja dipotong. Pestisida ; Roundup yang berbahan aktif isopro-12. pilamina gliposat 480g/liter setara dengan 3569/liter. Ally mengandung metsulfuron metal 20%. Gromoxone berbahan aktif parakuat diklorida 276/liter setara dengan ion prakuat 200/liter. Rhodiamine berbahan aktif 2,4-D dimetil amina :886 g/liter setara dengan asam 2,4 D : 720 g/liter. Pupuk yang sering digunakan jenis Urea dan TSP mengandung P2 05 46%,NPK mengandung Natrium, Pospat, Kalsium dan Borate (Sodium Tetraborate Pentahydrate) dengan kompo-sisi Na2 B4 O7 SH2O dan kurater mengandung Karbofarun Sangsi-sangsi kerja bukan hanya “dipertujuh” 13. , hukuman kesalahan kerja berupa hukuman

denda mengharuskan buruh membayar kesalahan dengan uang. Umumnya hukuman denda lebih besar dari upah buruh per hari langsung dipo-tong dari upah buruh.Perusahaan mengambil langsung air di perke-14. bunan, air warna kuning, keruh. Lalu di proses di tempat Pabrik Kelapa Sawit, disalurkan ke perumahan buruh. Air itu tampaknya tidak layak dikonsumsi kaarena keruh, endapan lumpur tebal dan ber-rasa. Menurut buruh lebih memilih menampung air hujan untuk dikonsumsi dari pada air dari perkebunan. Buruh harus menanggung semua biaya sekolah 15. mulai dari SD sampai SMU. Karena besarnya biaya sekolah yang harus ditanggung Buruh, sementara upah buruh hanya cukup untuk makan keluarga, banyak anak Buruh yang bersekolah hanya setingkat Sekolah Dasar. “Asal tau baca tulis saja” demikian kata salah seorang Buruh. Rata-rata anak Buruh perkebunan ini hanya tamat SMP ada juga yang telah masuk SMP tetapi sebelum tamat sudah tidak sekolah lagi karena orang tuanya tidak sanggup lagi menang-gung biaya sekolah sampai tamat SMP. Setelah tamat SMP anak Buruh yang laki-laki biasanya disuruh membantu orangtuanya bekerja di perkebunan dan setelah cukup umur nantinya akan bekerja di perkebunan. perempuan kerja di rumah atau pergi merantau ke daerah lain.Dilayani oleh 1 orang Mantri dan 3 orang bidan. 16. Fasilitas sederhana 1 tempat tidur tanpa tilam, ruang periksa, ruang tunggu dan satu lemari obat (tidak ada obat). Medis dan Paramedis 7 jam kerja setiap hari , dan tidak melayani pengobatan bila lewat jam kerja. Tidak melayani pengobatan bila tidak ada surat izin dari Kepala Kerani kebun, sementara untuk mengurus surat izin tersebut buruh harus menempuh waktu per-jalanan jauh karena jarak dari kebun ke kantor Kerani cukup jauh. Jika sakit tapi tidak ada surat dari Poliklinik dikenai sangsi dikenal dengan istilah “ngablon” alias mangkir kerja. Istilah ini berawal dari suatu kisah. Parjo, salah 17. seorang pensiunan buruh bekerja diperkebunan sejak Tahun 1975. Parjo mengisahkan kasus kematian rekan kerjanya Rimun tahun 1976. Pagi hari Rimun minta mangkir (minta izin tidak bekerja karena sakit) mencret-mencret (diare). Surat dari Asisten dan Kerani sudah keluar, hanya saja setelah diperiksa dan diberi obat oleh Mantri, langsung disuruhnya bekerja. Sekitar jam 11 Siang, Rimun diketemukan sudah meninggal dalam posisi buang air besar diperkebunan. Kisah yang menggambarkan situasi mereka 18. menghadapi petinggi-petinggi perkebunan seperti dalam cerita berikut ini : Seorang anak buruh berusia 5 tahun berlari kedalam rumah ketika melihat mobil warna kuning (Mobil dinas ADM berwarna kuning) melintas di jalan di depan perumahan, spontan sambil berlari berteriak “ketakutan”, Pak, pak motor kuning, motor kuning teriak anak kepada Bapaknya. Kemudian Buruh menanyakan ada apa kepada anaknya dan dijawab oleh Sang anak, “Kan Bapak tidak bekerja”. Rupanya Sang anak takut ADM akan memarahi Bapaknya. (kebetulan hari itu hari libur) Suatu ketika Pratomo (nama Buruh) dan kawan-19. kawan satu mandoran pulang setelah basis borongan mereka terpenuhi. Di tengah jalan, mereka melihat mobil kuning dari kejauhan. Serta merta para Buruh kucar-kacir. Buruh beru-saha menghindar dan bersembunyi agar tidak berpapasan dengan mobil kuning Tahun 2003 Tahun 2003 lalu, Atan (Buruh) 20. dihukum oleh ADM karena memotong “buah mentah”. Hukumannya adalah berjalan kaki keliling perumahan buruh mulai dari afdeling I sampai afdeling II (kira-kira 4 kam), sambil me-mikul 1 jajang sawit dan menggalungkan karton bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” dileher. Setelah berkeliling perumahan Atan kembali ke PKS dan harus menjalankan hukuman hingga semua buah yang diyakan ADM mentah dibawah keliling satu persatu. Dalam perspektif teori konflik, ada 3 kondisi 21. internal menyebabkan terjadinya penguatan identitas, tingkat penderitaan, perbedaan kultural dan intensitas konflik. Dalam kadar tertentu ketiga hal itu terjadi dalam praktek kerja dan kehidupan Buruh. Thomas, Santoso (ed) “Teori-Teori Kekerasan” Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002. Pieere Bourdieu, “Outline of a Theory of 22. Practice” Cambridge, England : Cambridge University Press, 1977. hal 83. Akumulasi kekurang-perhatian pemerin-23. tah menyangkut masalah pertanahan adalah merebaknya sejumlah konflik-konflik sosial di sejumlah perkebunan terutama di pulau Suma-tra yang pada dasarnya adalah persoalan tanah tidak terpantau dengan baik. Di Sumatra Barat

daerah Setandus Silungkang, di Sumatera Utara, meletusnya peristiwa Tanjung morawa (1964) dan di Banda Aceh, tepatnya Kuala Banda Acah Barat antara penduduk setempat dengan Salah satu Perkebunan Sawit BUMN patungan beberapa Negara sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik. Uraian selanjutnya lihat Sediono Tjondronegoro, Op.Cit hal 50 Propil buruh penyemprotan rata-rata ber-24. badan kurus, pucat, menderita sesak nafas, keluhan kepala pening, muntah-muntah, batuk darah bahkan ada yang meninggal. kasus kematian Watini (buruh penyemprotan) tahun 2002 bekerja menyemprot hama setiap hari. Kasus tersebut tidak pernah terangkat dan diusut dianggap sebagai kasus kematian biasa. Tahun 2004 lalu, sepulang kerja seluruh tu-25. buhnya gatal-gatal. “awalnya gatal-gatal hanya dibagian tangan. Lama-kelamaan menjalar ke seluruh tubuh. Rasa gatal, sakit, panas-adem, badanku bendol-bendol seperti seperti “biduaran” demikian Parsi menggambar-kan keadaan awal sakitnya. Atas saran tetangga dan keluarga Parsia berobat ke dukun Kampung. Keadaan Parsia tidak membaik sehingga ia bero-bat ke Bidan yang ada dikampungnya namun tidak mengalami perubahan. Besoknya berobat ke poliklinik perkebunan dan rawat inap selama beberapa hari. Menurut Nadapdap mantri yang bekerja di poliklinik Parsia dinyatakan Alergi Racun. Sukardi (Salah seorang Buruh Perkebunan) 26. mempunyai tanggungan 3 Anak dan Istrinya ikut bekerja membantu suaminya. Berdasarkan observasi penulis dilapangan selama 1 bulan penuh, diperoleh cacatan belanja buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti pakaian dan peralatan rumah tangga dan bahwa menu makanan buruh paling sering adalah telor dan Indomie (mie instant) total pengelu-aran sebesar 1.296.700,- (Satu juta dua ratus sembila puluh enam ribu tujuh ratus rupiah) perbulan. Telah banyak tulisan yang menguraikan pola 27. relasi kekuasaan dalam wacana kebudayaan. Edward Said, Orientalisme (1978) mengurai secara mengesankan bagaimana sejarah orang tertindas dalam Negara-negara post-kolonial. Said, mengetegahkan kritik-kritik tajam terhadap liberalisme dan sistem kapitalisme dengan menunjukkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan menyatu tanpa bisa dielakkan; Michael Foucault (1980) melalui strategi geneal-oginya menyikapkan relasi yang melekat antara praktek sosial, pengetahuan yang melandasinya (knowledge) dan relasi kekuasaan (power rela-tion) yang beroperasi didalamnya membentuk berbagai wacana atau discource, Lihat Piliang (2006) Op.Cit 33. Guha (1982) menyatakan bahwa pada 28. masyarakat pasca-kolonial realitas struktur dan hirarkhi kekuasaan bukan lagi seperti dikotomi-dikotomi penindasan konvensional seperti “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dan sebagainya, tetapi menjadi kelompok atau golongan “elite-subalterm” dalam bingkai suatu Negara.

Page 11: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW11

A. Perencanaan Penataan Ruang yang Berkuasa

Dalam menunjang pembangu-nan dan pengembangan lahan yang ditentukan oleh pemer-intah Pusat, Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Ting-kat II dengan berdasarkan Tata Ruang Lahan pada ting-kat/jenis kegiatan budidaya. Ini berarti Rencana Tata Ru-ang Nasional (RTRN) maupun RTRWP harus sesuai dengan kondisi lingkungan hidup yang berupa sumber daya alam, karena potensi SDA itu dapat dilihat dari kondisi lingkungan hidup sekelompok makhluk yang hidup di ling-kungan tersebut.

Untuk menunjang pengemban-gan dan pembangunan inilah pemerintah menyamakan ling-kungan hidup itu sama dengan

potensi sumber daya alam yang perlu di eksploitasi, dimana lingkungan hidup yang terpencil masih banyak hutannya secara otomatis banyak potensi yang perlu di eksploitasi. Namun dengan de-mikian pemerintah seperti kehilangan maupun kecurian start dari pada pe-main individu yang telah menemukan terlebih dahulu kawasan lingkungan hidup yang dapat menopang kehidupan orang banyak berpotensi sangat tinggi.

Langkah yang dilakukan oleh pemer-intah dalam mengembalikan ataupun kecolongan strart ini, mengeluarkan suatu kebijakan berupa RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), yang mana inti-nya mengeksploitasi lahan/ruang yang kosong ataupun telah terisi sesuai den-gan master plan (rencana induk) pem-

bangunan dan pengembangan kantong jas pemerintah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam RTRW itu seperti mem-berikan peluang dengan system budi-daya pada kegiatan pariwisata secara beriringan dengan kegiatan pertamban-gan di ruang lahan masyarakat adat, hutan lindung dapat dieksploitasi sesuai dengan keinginan dari pemerintah den-gan mengacu pada perundang-undan-gan yang mengijinkannya, pengemban-gan kawasan perkebunan monokultur di kawasan pemukiman pedesaa/terpencil yang masih banyak hutan lindung adat, kegiatan kehutanan yang sesuai dengan bentuk jenis kegiatan eksploitasi yang ditentukan, dan masih banyak lagi.

Pengembangan dan pemabangunan yang bercirikan lingkungan hidup hanya dapat dirasakan dari tingkat kekritisan masyarakat dalam menjaga dan meles-tarikan wilayah adatnya. Hal ini, dikar-enkan dalam melakukan rutinitasnya masih menggunakan kearifan local MA, yang penggunaan lahannya disesuaikan dan ditentukan tingakt potensi SDA nya yang ramah dengan lingkungan. Namun untuk kawasan yang memang sebagai prioritas dari pengembangan dan pem-bangunan pemerintah cenderung rakus akan eksploitasi potensi SDA dan ling-kungan, sehingga lingkungan hidup dan potensi SDA akan hilang dan mengaki-batkan suatu bencana yang dibuat oleh manusia (pemerintah). Potensi bencana tersebut dapat dirasakan di Kalbar da-lam setiap tahunnya sesuai dengan pen-garuh musim (hujan dan kemarau), dan menjadikan suatu dilema tersediri bagi pemerintah dalam upaya pembangu-nan dengan mengoptimiskan program pendapatan di sector yang diinginkan sebagiai bagian dari pristise dalam pe-merintahan. Dengan bergulirnya era otonomi daerah di berikan suatu kuasa penuh kepada

pemerintah daerah untuk mengekspoli-tasi potensi SDA dan lingkungan hidup-nya, sehingga arti dari otonomi daerah yang bercirikan ramah lingkungan hil-ang. Ini di dukung dengan adanya suatu perencanaan pembangunan yang pada zaman Orba dengan system PELITA dan REPELITA yang hanya mengandalkan optimitas dari pemerintah sebagai pen-guasa saja. Di Kalbar sendiri untuk per-encanaan pembangunan dan pengem-bangan ruang/lahan masyarakat telah direncanakan pada RTRWP Kalbar tahun 2008, yang berdasarkan PERDA dan ran-cangan tahun 1995. Perumusan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) berdasarkan pada kebijaksanaan RTRWN dan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang mana setiap ganti pemerintahan ganti pula GBHN dan RTRWP. Ruang ling-kup pada pelaksanaan RTRWP ini sendiri terdiri dari pengelolaan kawasan ber-fungsi lindung, arahan pengembangan kawasan budidaya, penetapan pola pengembangan pusat-pusat pemukiman, penetapan pola pengembangan pra sa-rana wilayah, arahan pengemabangan kawasan yang diprioritaskan, peneta-pan kebijaksanaan penunjang penataan ruang. Namun dalam pengembangan dan pembangunan RTRWP itu hanyalah dirasakan pada sekitar kawasan ibukota Propinsi dan Kabupaten saja, sedangkan untuk lingkungan yang berada jauh dari ibukota dipergunakan sebagai lahan/ru-ang eksploitasi sebagai mengumpulkan mata uang tanpa memikirkan dampak lingkungan yang akan timbul.

RTWP yang disusun dan dilakasana-kan oleh pemerintah hanyalah bersifat prestise pengembangan dan keberhasi-lan sektoral instansi pemerintah belaka. Sehingga kepentingan sektoral tersebut menjadi suatu perebutan ruang/lahan yang memang milik masyarakat oleh para penguasa, perebutan itu dapat di-lakukan berupa suatu penawaran tender

Penataan Ruang Dalam Menekan Laju Ekspansi

KEBIJAKAN

Page 12: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 12

dan program kerja yang dapat melibat-kan investasi banyak yang mampu men-gangkat gengsi proyek tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek pemban-guan yang direncanakan dalam RTRWP Kalbar itu pada tiangkat eksploitasi SDA yang tinggi dengan memerlukan ruang/lahan milik masyarakat adat. Penyusu-nan kegiatan RTRWP Kalbar terikat sekali dengan perjanjian Malindo, yang mana dalam pengembangan dan pembangan wilayah itu haruslah melihat dari segi keuntungan regional. Dengan demikian yang menjadi korban dari pengemban-gan tersebut ialah masyarakat adat yang berada di kawasan perbatasan dengan Malaysia (Serawak). Kenapa masyarakat adat yang menjadi korban ? karena dalam pelaksanaan dan peru-musan RTRWP itu tidak didasari pada kondisi actual dilapangan (masyarakat) yang pada umumnya dan dasarnya su-dah mempunyai suatu ketentuan adat tersendiri sepanjang jaman, seperti kearifan local, kawasan lindung adat, lahan untuk leluhur, lahan untuk tem-pat religi, kawasan untuk perkemban-gan dan kemajuan social-budaya dan ekonomi masyarakat adat, kawasan keramat pendam (kuburan). Namun yang terjadi dalam perumusan RTRWP itu hanya suatu analisa dan konsep-konsep kosong belaka yang tidak me-mentingkan keberadaan kearifan local masyarakat adat. Hal ini dapat terjadi pada pengembangan dan pembangu-nan perkebunan sawit dan pertamban-gan skala besar, dalam melaksanakan proyek tersebut haruslah memgguna-kan suatu lahan/ruang yang luas dimi-liki oleh masyarakat yang masih berupa kayu-kayu besar dan kelas utama. Na-mun setelah lahan masyarakat adat habis pembangunan tidak terlaksana dan ataupun masyarakat sekitar tidak merasakan apa-apa, yang hanya dira-sakan mata yang melompong jauh ke awang-awang.

B.Keadaan Lahan dalam Menga-rahkan Perencanaan Ruang

Dalam merencanakan suatu pengarahan lahan yang memang banyak diperguna-kan sebagai pengarahan jenis investasi yang akan di berikan kepada pemilik modal, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit. Karakteristik suatu lahan di suatu wilayah menjadikan suatu hal yang san-gat penting dalam melakukan investasi di perkebunan kelapa sawit, baik itu dari jenis tanah yang terkandungnya maupun bentangan alam yang berada di sekitar kawasan tersebut. Semua hal ini diarahkan langsung melalui suatu pena-taan ruang kawasan mulai dari Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) maupun turunnya kebawahnya RTRW Pulau / Regional, RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten, Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kecamatan.

Dalam arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sering menjadi momok menakutkan dalam per-encanaan pembangunan suatu wilayah, yang terdiri dari dua kondisi penting:a. Keadaan Lahanb. Penyebaran dan arahan ka-wasan di suatu wilayah (Pulau/Region-al, Propinsi, Kabupaten).

Pertama Keadaan Lahan, yang terdiri dari suatu wilayah region berupa dat-aran, Sungai, perbukitan, pegunungan, pulau dan kepulauan, pesisir. Yang kes-emuaan itu mencakup suatu luasan, ciri kawasan, wilayah bentangan dari suatu kawasan, ketinggian rerata yang berada di suatu kawasan, kemiringan dari suatu kawasan, curah hujan yang dimiliki oleh suatu kawasan, suhu mak-simum dan minimum yang terdapat di suatu kawasan dalam kurun waktu satu tahun, bulan basah yang terhadi di suatu kawasan dalam kurun waktu satu tahun, pengendapan (sedimentasi, rawa gambut, pembentukan zaman, dll) yang menyebabkan suatu asal-mula ter-jadinya suatu kawasan tersebut, serta Jenis tanah (alluvial, latosol, podsolik, dll) yang terkandung di suatu kawasan.

Kedua penyebaran dan arahan ka-wasan, lebih kepada penyebaran dan arahan kawasan di suatu wilayah, di-antaranya : penyebaran hutan lindung yang meliputi suatu wilayah lokasi ad-ministrasi, luasan yang membentangi kawasan tersebut, bentang liputan geografis yang terdapat di kawasan tersebut. Arahan kawasan, yang men-gaitkan suatu kawasan yang terdapat di suatu wilayah dengan jenis komoditi yang akan dikembangkan serta wilayah yang menjadi point target pengemban-gan komoditi tersebut, seperti resapan air, gambut, pertambangan, pariwisata, pertanian tanaman pangan, perikanan budidaya, peternakan, perkebunan, hu-tan produksi, industri, dan pemukiman. Kawasan-kawasan konsrvasi maupun lindung selalu diarahkan dalam penel-patan lokasi kawasan dengan luasan wilayah dari kawasan tersebut yang se-suai dengan penepatan kebijakan serta luasan yang diterapakan dan dimasukan ke dalam RTRW dengan menyebutkan suatu kekhasan dari jenis flora dan fau-nanya.

C. Partisipasi Masyarakat Dalam menekan Laju ekspansi perkebu-nan Kelapa Sawit dan Memper-juangkan keadilan

Penataan ruang kelola sangatlah berarti di dalam merencanakan suatu pem-banguan dan pengembangan wilayah tertentu. Di dalam masyarakat Ruang Kelola dapat diartikan sebagai penem-patan lokasi maupun wadah yang akan di tata melalui pengelolaan yang dapat dimanfaatkan secara merata dan dapat secara berkelanjutan dalam penataan-nya kembali. Melalui hal ini, masyarakat di suatu wilayah / kawasan mulai dari tingkat yang terkecil sampai ke keat-sanya dapat membuat suatu dokumen tertulis dalam penataan kawasan untuk kepentingan keberlanjutan di wilayah-nya. Keterlibatan aktif ataupun parti-sipatif masyarakat didasari oleh suatu peraturan Penataan Ruang yang diatur oleh UU No.26 Tahun 2007, memang seharusnya Penataan Ruang di suatu wilayah itu yang ideal harus melalui per-an aktif melalui partisipasi masyarakat langsung. Adapun yang mesti dilihat da-lam suatu proses pembuatan dokumen penataan kawasan secara sinkron ber-dasarkan :

Kebijaksanaan pembangunan Daer-a. ah, dimana untuk melihat awal suatu terbentuknya kawasan / wilayah se-cara administrasi maupun adat ber-dasarkan suatu aturan ataupun ke-bijakan pemerintah (Pusat, Propinsi, Kabupaten). Hal ini dapat melihat suatu rencana strategis wilayah / ka-wasan dalam pelengkapan kebijakan pembangunan daerah yang berdasar-kan produk hukum di suatu wilayah / kawasan.Karakteristik ekonomi wilayah, di-b. mana untuk melihta laju pertumbu-han ekonomi yang menjadi sumber penghidupan masyarakat di suatu kawasan / wilayah, sehingga laju pertumbuhna penduduk dapat di-imbangi dengan komoditi unggulan masyarakat yang sesuai dengan kara-kteristik sosial – budaya masyarakat terhadap sumberdaya alamnya dan ketahanan sistem lingkungan yang berkelanjutan.Kependudukan, dimana untuk meli-c. hat penyebaran penduduk di suatu wilayah / kawasan, sehingga dalam membuat suatu strategi perenca-naan dapat disesuaikan dengan ak-tivitas masyarakat dis uatu wilayah / kawasan.Sumber Daya Buatan, dimana terkait d. dalam aksebilitas masyarakat di suatu kawasan / wilayah menuju

Page 13: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW13

pusat kawasan sehingga dapat meli-hat tingkat kemampuan dalam mem-peroleh pendidikan serta pemenu-han sarana – sarana pendukung sosial lainnya.Sumberdaya alam, dimana peren-e. canaan pembangunan ekonomi dan lingkungan lintas wilayah harus menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan pengelolaan sum-berdaya alam, sehingga penurunan fungsi hutan oleh eksplotasi besar besarn dalam hal ini ekspansi perke-bunan skala besar perkebunan kela-pa sawit dapat di hentikan ataupun di eliminir.

Jikalau hal tersebut tidak lah diper-hatikan dalam hanya sebatas untuk pertumbuhan industri hilir terutama dalam pengembangan dan pembangu-nan industri dan perkebunan kelapa sawit. Bukan tidak mungkin lahan hutan dan lahan budidaya masyarakat den-gan suatu sistem ekomoni rakyat akan dikorbankan dan menjadi korban kem-bali oleh pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Dalam menyikapi perihal penataan ru-ang yang terjadi di berbagai wilayah, yang menyangkut dengan pengemban-gan dan pembangunan di wilayah ter-gantung dengan RTRW. Karena dalam pemanfaatn ruang yang digunakan oleh pemrintah dalam membangun dan me-manfaatkan ruang/lahan masyarakat menggunakan beberapa dasar kebi-jakan, seperti UU No. 24/1992 tentang Tata Ruang; UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahah Daerah; UU No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah, serta dengan melakukan pengkoordinasian pemanfaatan ruang melalaui Keppres No. 32/2001 tentang Koordinasi Pemanfaatan ruang. Untuk itu ada beberapa tahapan untuk men-coba menyikapi dengan membuat suatu analisa tata ruang, tahapan analisis tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) kom-ponen, yaitu :

Pengumpulan data pemanfaatan ru-• ang;Pengumpulan kebijaksanaan ekster-• nal dan internal;Melakukan kajian terhadap keabsa-• haan data RTRW.

Ad. 1. Dalam pola pengumpulan peman-faatan ruang ini menggambarkan letak dan ukuran dari kawasan budidaya dan batas-batasnya. Struktur pemanfaatn ruang itu sendiri berisikan pemukiman, pemanfaatn lahan, sarana dan prasa-rana. Dalam pemanfaatna kawasan ada

3 (tiga) kalsifikasi kawasan berdasarkan PP No. 47/1997, diantaranya yaitu:

Fungsi kawasan berupa kawasan • lindung dan budidaya;Fungsi Administratif, berupa struktur • ruang wilayah nasional, propinsi dan kabupaten;Fungsi kawasan dan aspek kegiatan, • yang meliputi pedesaan, perkotaan, dam kawasan tertentu/prioritas.

Ad. A. Kawasan Lindung meliputi Memberikan perlindungan terhadap • kawasan bawahannya;

Hutan Lindung, Hutan Lindung • Gambut.

Perlindungan setempat;• Sempadan Pantai dan sungai, • waduk/danau, mata air.

Suaka Alam dan Cagar Budaya;• TN, TWA, CA, Suaka Alam Laut, • Kawasan cagar alam dan budaya ilmu pengetahuan, kawasan pan-tai berhutan gambut.

Rawan bencana alam.• Banjir, tanah longsor, abrasi pan-• tai.

Ad. B. Fungsi Administrasi, meli-puti:

Mengacu pada perkembangan ka-• wasan MetropolisKawasan indistri sebagai PKN • (Pengembangan Kawasan Nasional)Memacu kota-kota perbatasan seba-• gai PKN;Perkembangan PKL (pengembangan • Kawasan Lokal)Yang menacu pada fungsi kegiatan • ekonomi, transportasi dan pelayan-an sosial.

Ad. C. Fungsi Kawsaan dan aspek kegiatan

Perkotaan, kawasan perkotaan da-• lam rencana Kawasan MetropolitanPedesaaan, Kawasan pedesaan se-• bagai PKL(Pengembangan Kawasan Lokal)Kawasan pedesaan yang ja-raknya lebih 40 Km dari pusat PKN, 30 Km dari PKW dan 20 Km dari PKL, serta 10 Km dari ibukota Kecamatan non-PKL.Tertentu/Prioritas, kawasan terten-• tu dengan pengembangan kawasan tertinggal di kawasan lindung yang memiliki potensi SDA melalui pengi-sian penduduk & menjamin kualitas ekspor potensi SDA.

Kawasan Budidaya, meliputi ;Pengembangan budidaya secara ter-• padu.Restrukturisasi, relokasi, reduksi & • revisi arahan lahan.

Pengembangan pariwisata• Pengembangan pertambangan• Pembangunan kehutanan• Pengembangan HTI & kawsan hutan • produksipengembangan perkebunan & agro-• bisnisRehabilitasi kawasan pertambakan• Optimalisasi dalam pemanfaatan & • pengelolaan lahan pertanian lahan basah(karet, kopi, cengkeh)Mempertahankan lahan sawah iri-• gasi.Pengembangan kawasan industri.• Pengembangan kawasan pemuki-• man.Pusat-pusat pemukiman•

Ad. 2. Mengumpulkan data kebijaksan-aan , meliputi

Eksternal :Adanya perubahan/penyempurnaan • peraturan/rujukan system penataan ruang;Perubahan kebijaksanaan ruan, sek-• toral kepada skala besar;Adanya ratifikasi kebijaksanaan • global;Adanya perkembangan Iptek dalam • pemanfaatan SDA;Adanya bencana alam yang cukup be-• sar sehingga mengubah struktur dan pola pemanfaatn ruang yang ada.

Internal :Rendahnya kualitas RTRWP/K yang • dipengaruhi untuk izin, sehingga kurang dapat mengoptimalisasikan perkembangan dan pertumbuhan aktifitas sosek, yang dipengaruhi oleh :

Tidak diikuti teknis (proses) tata • cara baku perencanaan ruang yang ada;Tidak diikutinya prosedur kelem-• bagaan perencanaan tata ruang;Tidak lengkapnya komponen-• komponen rencana.

Masih terbatasnya pengertian dan • komitmen aparat mengenai fungsi dan kegunaan RTRW;Adanya perubahan nilai yang berlaku • di masyarakat;Adanya kekurangtegasan aparat da-• lam pengendalian pemanfaatan ru-ang.

Oleh : Nurhidayat Moenir (Ari Munir)

Page 14: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 14

10 Agustus 2009

INFORMASI PRESS UNTUK DISIARKAN SEGERA

Bank Dunia Melanggar Standarnya Sendiri ketikaMendanai Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

di Indonesia

Cabang sektor swasta Bank Dunia – International Finance Corporation (IFC) – telah membiarkan kepentingan komersial menggan-tikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.

Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.

Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading group, melanggar standar-stan-darnya sendiri, menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusahaan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.

Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.

Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:

Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputu-san bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.

Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:

Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang murah da-lam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.

Marcus Colchester, Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:

Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan ber-beda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

1. Marcus Colchester, Forest Peoples Programme: + 44 1608 6528932. Norman Jiwan, Sawit Watch: + 62 251 3521713. Lely Khainur, Gemawan: + 62 8134 522 5232

Berita lebih lanjut dapat diakses melalui:Laporan asli dan koresponden tindak-lanjut dengan IFC dan CAO lihat:http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf http://www.forestpeoples.org/documents/prv_sector/bases/oil_palm.shtml Laporan audit CAO lihat:http://www.cao-ombudsman.org/uploads/case_documents/Combined%20Document%201_2_3_4_5_6_7.pdf

Page 15: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW15

POTENSI Sumber Daya Alam yang dimiliki Kecamatan Batui, nampaknya terus dilirik sejumlah investor. Mulai dari Migas hingga Perkebunan. Bila PT. DS. LNG yang bergerak disektor Migas masih menyisahkan problem pembebasan lahan sebesar 3 % dari total areal yang dibebaskan, justeru PT. Saw-indo Kencana (SK) yang mem-buru luas kawasan APL dan Hutan Produksi yang dapat di Koversi (HPK) di Batui untuk kepentingan perke-bunan sawit justeru dalam memulai aktivitasnya sudah berhadapan dengan persoalan pembebasan lahan rakyat. Buktinya, pembukaan jalan sepanjang 20 Km untuk ke-pentingan jalan Perusahaan mulai mendapat perlawanan rakyat.

Dari hasil investigasi PANTAU dilokasi jalan kelurahan Sisipan Kecamatan Batui , terlihat peru-sahaan telah memulai aktivitas-

nya dengan membuka jalan dari sekitar lapangan Bola Kaki Kelurahan Sisipan. Dua unit alat berat Buldozer meraung-raung menyisir koridor jalan guna pem-bentukan badan jalan dengan lebar 7 meter. Sesuai rencana perusahaan, pan-jang pembentukan badan jalan tersebut 20 Km hingga ke lokasi pembibitan di SPC Sukamaju . Namun baru sekitar 4 Km yang dibuka perusahaan, sejumlah pemilik lahan mulai memasang palang ditengah jalan, problemanya? Tidak lain adalah tuntutan ganti rugi lahan dan tanaman keras masyarakat yang telah tergusur oleh perusahaan.

Fakta Ganti-Rugi Yang Ber-beda

Dari hasil penelusuran PANTAU, baik Lurah Sisipan Abdullah Gani, Manager lapangan PT. Sawindo Kencana, Darwis, hingga ket-ingkat masyarakat yang tanah-nya telah tergusur menyatakan kalau pembuatan jalan yang melewati lahan masyarakat itu tidak disediakan alokasi dana untuk ganti rugi. Penjelasan ini merupakan hasil sosialisasi yang pernah disampaikan Sekcam Ba-tui kehadapan masyarakat Batui dalam sebuah pertemuan yang pernah digelar di BPU Kecamatan Batui. Pada-hal sebelumnya PANTAU berhasil men-gungkap lewat pernyataan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Banggai Ir. Ansar Maeta, bahwa, Ganti rugi terhadap ta-nah rakyat yang terkena gusuran untuk kepentingan perusahaan ada Ganti rugi, yang diukur dari Nilai Jual Objek Pajak. Demikian halnya terhadap Tanaman keras masyarakat yang ikut tergusur mesti diperhitungkan dan diberi ganti rugi. ”Bagi masyarakat yang mengelola tanah Negara akan diberi kompensasi lahan sawit 2 Ha, dan bagi masyarakat yang memiliki tanah dengan status hak privat termasuk tanaman keras, akan diberi ganti rugi oleh perusahaan, kar-ena itu telah menjadi kesepakatan antara Perusahaan dan Pemda Bang-gai”, beber Ansar.

Lalu, adakah konspirasi busuk dibalik rencana Pembangunan Industerialisasi Sawit Di wilayah Hukum Kecamatan Ba-tui, sehingga terjadi persepsi yang kon-troversial antara Sekcam Batui, Kadis Perkebunan dan Pihak General Manager PT. Sawindo Kencana terkait penyedi-aan dana ganti rugi, yang justeru telah berujung terhadap kerugian Rakyat?

Lembaga Adat Ada Di Dalam

Ternyata, dari hasil penelusuran PANTAU dibalik jejak Rencana industerialisasi Sawit PT. Sawindo Kencana ini, banyak hal yang memang menjadi ironi dalam konteks sebuah investasi. Pasalnya, eti-ka bisnis yang mesti menjadi perhatian investor dan Masyarakat terputus oleh sejumlah kepentingan individual atau kelembagaan. Seperti yang dinyatakan Lurah Sisipan Abdullah Gani (26/7) di kantornya, bahwa awal rencana untuk pembuatan jalan untuk kepentingan perusahaan pada awal bulan Juli 2009, justeru di lakoni oleh sejumlah oknum yang mengatasnamakan lembaga adat Batui. ”Saya justeru mengetahui kalau alat berat itu sudah melakukan peng-gusuran diatas tanah-tanah rakyat atas laporan warga saya, dan yang lakukan itu oknum yang mengatasnamakan lem-baga adat Batui”, kuak Lurah Sisipan.

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap in-vestor yang masuk di batui, harus mela-lui upacara ritual adat Batui. Untuk ren-cana sawit ini kata Lurah, sebelumnya telah dilakukan acara ritual oleh lem-baga adat batui terkait dengan rencana dimulainya pembukaan jalan. Saat itu, Konteksnya, seekor kambing disembeli sebagai bentuk selamatan (cera-red),

Kisruh Dibalik Jalan Sawit BatuiLahan Diserobot, Biaya Ganti Rugi ”Teramputasi”

KEBIJAKAN

Page 16: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 16

lalu dua alat berat yang dipersiapkan digerakkan, tanda dimulainya peker-jaan. Harusnya tegas Lurah, setelah ritual adat itu digelar, Lembaga Adat mestinya menyerahkan rencana peker-jaan pembukaan jalan itu kepada pe-merintah setempat, karena pemerintah akan melakukan inventarisasi terhadap lahan-lahan masyarakat yang akan dila-lui dan digusur perusahaan. Ironisnya, Lurah sementara melakukan inventari-sasi lahan rakyat, namun kedua alat be-rat milik perusahaan itu sudah bergerak menelusuri koridor pembukaan jalan dengan lebar 7 meter. ”Saya juga su-dah secara persuasif menanyakan soal ada, tidaknya biaya ganti rugi terhadap tanah-tanah dan tanaman produktif mi-lik rakyat yang terkena gusuran, namun kata Lurah ia mendapatkan jawaban dari pelaksana jalan dilapangan sau-dara Rukly N, bahwa sama sekali tidak ada biaya ganti rugi lahan.

Senada dengan Lurah Sisipan, Sejumlah pemilik tanah juga menyatakan, sesuai dengan penyampaian Sekcam Batui Drs. Abdul Latif, bahwa tanah-tanah rakyat yang terkena gusuran jalan tidak dise-diakan biaya ganti rugi, dengan alasan bahwa, jalan yang dibangun perusa-haan adalah kompensasi dan bantuan perusahaan terhadap pemerinah keca-matan, karena ruas jalan tersebut su-dah beberapa kali diusulkan untuk jalan kantong produksi, namun tidak pernah terakomodir oleh Pemerintah Daerah. Bahkan dialas pula dengan, tujuan pembangunan jalan itu untuk membuka akses ekonomi rakyat di sekitar lokasi jalan.

Ternyata alasan-alasan itu berbeda dengan apa yang disampaikan dengan Kepala Dinas Perkebunan Banggai Ir. Ansar Maeta. Kepada Harian ini Ansar menyatakan biaya ganti rugi lahan dan tanaman yang tergusur telah dipersiap-kan perusahaan dan itu menjadi kewa-jiban perusahaan.

Pengakuan Kontroversial

Memperkuat pernyataan kadis Perke-bunan tersebut, pihak perusahaan PT. Sawindo Kencana melalui Manager Lapangannya, Darwis, ketika ditemui harian ini (26/7) dikantornya yang ber-jarak 100 meter dari kantor Polsek Ba-tui mengungkap, terkait dengan adanya protes dan pemalangan tanah-tanah rakyat yang meminta ganti rugi, pe-rusahaan tidak terlibat langsung, dan kondisi itu menjadi tanggungjawab pe-merintah kecamatan.”Untuk pekerjaan

jalan itu kami mensub kontrakkan ke-pada saudara Rukly sepanjang 20 Km, dengan biaya per meter Rp. 17.000”, bebernya. Dengan demikian kami tidak terlibat lagi dengan urusan rakyat, kami tinggal menunggu dan menerima hasil pekerjaan jalan yang sudah di kontrak-kan itu, tegasnya kembali.

Darwis juga menjelaskan, sesuai plan jalan oleh perusahaan, sebenarnya tidak akan dibangun pada ruas jalan yang ada saat ini dari Sisipan menuju lokasi pembibitan sepanjang 20 Km, awalnya direncanakan dari SPC ke Bulung yang jaraknya hanya 2,5 Km, hanya karena permintaan dari pemerintah kecamatan dan tokoh adat dan tokoh masyarakat, maka jalan tersebut kami pindahkan dari sisipan ke lokasi pembibitan yang jaraknya mencapai 20 Km. ”Ini bantuan awal yang kami berikan untuk pemerin-tah kecamatan”, kilahnya kembali.

Dikuaknya juga, sesuai kontrak antara PT. Sawindo Kencana dengan Rukly un-tuk pekerjaan jalan tersebut, pihak perusahaan membayar kepada saudara Rukly sebesar Rp. 14.000/meter, den-gan ketentuan lebar badan jalan 7 me-ter dan panjang 20 Km.

Walau begitu, Darwis mengakui pula, bahwa pemberian kompensasi yang akan dibijaksanai perusahaan kedepan terhadap masyarakat pemilik lahan yang terkena gusuran pada pembuatan jalan tersebut, adalah dalam bentuk kompen-sasi prioritas diberikan lahan pengganti 2 Ha sebagai lahan sawit peserta plas-ma, termasuk prioritas menjadi tenaga kerja di perusahaan Inti. Karena konsep kemitaraan Inti-Plasma ini katanya, Petani plasma hanya mendapat porsi 20 % dan Inti 80 %, dari luasan areal yang rencana akan dibuka di wilayah Keca-matan Batui seluas 20 ribu Ha, dengan target tanaman lahan 12. 000 Ha. Total luas lahan sawit tersebut adalah mer-upakan lahan Areal Penggunaan Lain (APL) 60 % dan sisanya adalah Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK). Pola kerja itu akan dilakukan dengan managemen satu atap.

Polsek Akan Sidik Pihak Perusa-haan

Diketahui sebelumnya, konsesi yang di-kantongi PT. Sawindo Kencana adalah sebuah rekomendasi izin yang dikelu-arkan oleh Bupati Banggai Drs. Ma’mun amir dengan luas areal hanya sekitar 8 ribu Hektar lebih berlokasi di Sukama-ju-Sinorang, Ironisnya pihak perusahaan

mengklaim lahan yang akan digarap adalah seluas 12.000 Ha.

Terkait dengan rencana pemberian 2 Ha/KK kepada masyarakat yang ikut Plasma lahan sawit yang dijanjikan pe-merintah dan perusahaan kepada pemi-lik lahan yang tanahnya telah tergusur untuk kepentingan jalan perusahaan, Lurah Sisipan justeru tidak mengetahui pasti dimana lokasi lahan dimaksud. ”Entalah, saya tidak tahu dimana ren-cana lokasi lahan yang akan dibagikan kepada masyarakat sebagai peserta plasma”, kata Lurah.

PihakKepolisian Sektor Batui melalui Bripka Syafei Badi ketika ditemui harian ini juga mengakui, hasil penyelidikan sementara penyidik di lokasi jalan, ke-benaran atas dugaan pengrusakan dan penggusuran tanah masyarakat yang di-laporkan masing-masing pemilik tanah sudah terjadi. ”kami sudah menerima laporan masyarakat yang menjadi kor-ban kebijakan pembangunan jalan itu, dan dalam waktu dekat kami akan me-manggil pihak perusahaan dan pihak terkait lainnya”, tegasnya.

Bupati Tegaskan Ada Ganti Rugi

Sementara itu Bupati Banggai Drs. Ma’mun Amir ketika dikonfirmasi (27/7) menegaskan lahan rakyat dan tanaman produktif yang sudah tergusur akan mendapat ganti rugi dari perusahaan. ”Semua tanaman dan lahan rakyat yang sudah tergusur akan diberi ganti rugi, tinggal menunggu saja Kadis perkebu-nan sedang di Jakarta”, tegas Bupati Ma’mun.*

Laporan : M. Nurwahid, SEPemimpin Umum Harian PANTAU,Luwuk, Sulawesi Tengah

Page 17: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW17

Saat ini perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan adalah salah satu primadona daerah dalam meningkatkan PAD -katanya-, walaupun sampai sejauh ini belum terlihat apakah PAD yang ada itu meningkat atau kah itu hanya sebuah ken-iscayaan. Investasi dalam perkebunan sawit pun, belum tentu dapat meningkatkan APBD.

Maraknya pembukaan areal perkebunan sawit baru di Kalimantan Selatan semakin tahun semakin ekspansif dan

meluas. Di saat lahan dataran rendah sudah semakin menyempit, banyak perusahaan sawit yang mulai melirik lahan rawa yang selama ini tidak diper-gunakan, padahal kita tahu bahwa la-han rawa mengandung berbagai macam kandungan karbon yang bila dilepaskan akan banyak menghasilkan karbond-ioksida yang sangat banyak ke udara dan tentunya hanya akan menambah dampak pemanasan global yang terjadi. Belum lagi permasalahan akan rusaknya ekosistem rawa yang selama ini men-jadi tumpuan masyarakat.

Di Kalimantan Selatan sendiri akan dibuka sekitar 1,1 Juta hektar perke-bunan sawit dan saat ini baru tereal-isasi sekitar 400 ribu hektar, dengan luasan tersebut sangat mungkin terjadi tumpang tindih lahan antara perkebu-nan sawit dan lahan-lahan produktif masyarakat karena. Perluasan perke-bunan kelapa sawit di Kalimantan Sela-tan saat ini lebih di arahkan ke daerah rawa. Hampir semua wilayah kabupaten yang memiliki wilayah rawa tidak ter-lepas dari ekpansi perkebunan sawit,

mulai kabupaten Bari-to Kuala, kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Ka-bupaten Hulu Sungai Utara, dan kabupaten Tabalong.

Pada umumnya da-lam setiap kegiatan investasi tanah atau lahan merupakan aset yang terpenting, ini karena tanah atau lah-an tersebut merupak-an alat produksi paling vital. Sehingga dapat dipastikan bahwa da-lam setiap kegiatan investasi dalam berba-gai sektor, konflik lahan menduduki per-ingkat paling atas, demikian pula hal-nya dengan perkebunan kelapa sawit. Konflik lahan antar masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga konflik antar sektor perkebunan berhadapan dengan sektor pertamban-gan. Dengan kata lain bahwa “semakin tinggi perluasan perkebunan sawit maka akan semakin tinggi pula perso-alan konflik lahan yang terjadi”. Dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebu-nan sawit posisi posisi masyarakat se-lalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memi-liki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat di akui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan.

Menurut catatan Sawit Watch konflik so-sial yang terjadi terkait dengan perke-bunan sawit diseluruh Indonesia pada tahun 2008 saja mencapai 513 kasus. Hal ini disebabkan salah satunya adalah,

MENAKAR DAMPAK SOSIAL PERKEBUNAN SAWIT

untuk membangun sebuah perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik CPO dibutuhkan minimal 6.000 hektare lahan. Kondisi ini menyebab-kan lahan hutan dan juga lahan-lahan produktif yang diambil secara paksa oleh perusahaan walau dengan ber-bagai macam motif dan perilaku yang menjadi awal mula terjadinya konflik.

Ada beberapa hal yang bisa ditarik da-lam kerangka analisa konflik perkebu-nan sawit di Indonesia pada umumnya, yaitu adanya beberapa “modus” konflik yang terjadi, salah satunya adalah pen-galihan isu yang sering terjadi dalam konflik perkebunan sawit, Ada upaya sistematis yang di lakukan baik itu pen-gusaha ataupu penguasa untuk mengali-hkan isu dari persoalan sengketa tanah menjadi masalah kriminal. Artinya per-soalan tanah antara masyarakat pemilik tanah dengan perusahaan sawit berubah jadi masalah kriminal dengan menggu-nakan tenaga keamanan swasta (baca : preman) dan aparat penegak hukum sebagai alat untuk mengintimidasi dan membungkam perjuangan masyarakat

OPINI

Page 18: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 18

untuk meraih lahannya kembali yang diambil ataupun digarap secara sepi-hak oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sampai sekarang metode ini yang paling sering digunakan oleh banyak perkebunan kelapa sawit di se-luruh indonesia, termasuk di Kaliman-tan Selatan. Dengan cara kriminalisasi terhadap masyarakat, adalah alat yang digunakan pengusaha dalam meredam perlawanan-perlawanan yang dilakukan masyarakat terkait dengan penolakan terhadap perkebunan sawit yang di-lakukan masyarakat.

Mitos mensejahterakan?

Seperti halnya pertambangan yang sampai saat ini kita masih patut mem-pertanyakan apakah dengan masuknya tambang dan perkebunan akan menam-bah kesejahteraan masyarakat sekitar atau masih menjadi “mitos” dan seke-dar angan-angan belaka, seharusnya dengan adanya perluasan kelapa sawit berbanding lurus dengan adanya pen-ingkatan kesejahteraan masyarakat disekitar areal perkebunan sawit.

Perkebunan sawit jelas akan menambah angka PDRB, setidaknya dari jumlah produksinya. Perkebunan sawit memang akan menyerap banyak tenaga kerja, tapi boleh jadi tenaga kerja berasal

dari Jawa (bukan tenaga kerja setem-pat), belum lagi system plasma seperti apa yang digunakan perusahaan. Hasil penjualan sawit masuk ke perusahaan dan uangnya tercatat secara virtual di bank Jakarta. Sementara pajak-pajak dari perkebunan sawit itu tidak banyak menambah APBD. Dan perkebunan sawit rakus air, menghilangkan habitat hutan, dan tidak menyerap karbon yang ban-yak, malah berpotensi mengeluarkan karbon jika perkebunan itu dilakukan di rawa gambut. Dari semua itu, berapa % yang tercecer di daerah?.

Memang dengan adanya investasi maka akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan benar PDRB itu akan berpengaruh terhadap APBD namun itu tidak serta merta menam-bah APBD karena PDRB akan berdampak secara jangka panjang, jadi bisa dika-takan salah kaprah kalau mengatakan dengan masuknya investasi perkebunan akan serta merta meningkatkan APBD, kalau meningkatkan kondisi perekono-mian suatu daerah saya kira akan lebih tepat tapi bukan APBD.

Belum lagi dampak dari krisis ekonomi global yang membuat banyak petani ke-lapa sawit yang menjerit akibatnya an-jloknya harga tandan buah sawit segar (TBS). Saat ini ada jutaan petani sawit

yang tidak lagi memanen tandan buah segar (TBS) karena ongkos produksi dan biaya panen jauh lebih mahal dari har-ga jual TBS. Petani sawit mandiri yang biasanya menjual TBS seharga Rp 1.600 per kg, kini hanya bisa meratap ketika harga jual TBS hanya mencapai Rp 250 – Rp 500 per kg. Nasib yang sama juga dialami petani plasma. Harga jual TBS sebelum bulan Agustus 2008 bisa men-capai Rp 1.800/ kg namun, sekarang hanya dihargai Rp 600 – Rp 800/ kg. Itu-pun masih dipotong cicilan utang modal kepada perusahaan inti.

Hal-hal seperti ini yang harus men-jadi banyak pertimbangan berbagai pihak dalam kebijakan untuk berin-vestasi terutama dalam melihat kondisi masyarakat dimana akan dibukanya in-vestasi perkebunan sawit. Mengadopsi kearifan lokal yang ada dengan membi-arkan masyarakat mengelola lahannya sesuai dengan cara mereka selama ini dan memberikan akses yang sebesar-besarnya terhadap sumber-sumber produksi rakyat seperti, air, tanah, la-han pertanian, modal, teknologi, jalur distribusi dan infrastruktur pendukung lainnya merupakan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang memaksakan suatu kebijakan yang justru akan me-nambah panjang daftar konflik yang ada antara masyarakat, penguasa dan pen-gusaha.

Yang salah bukan lah sawitnya tapi sistem yang ada di dalam perkebunan sawit lah yang harus menjadi pertim-bangan bagi para penguasa dalam men-erapakan investasi perkebunan sawit di kalimantan selatan.

Dwitho [email protected]

Page 19: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW19

Bisa Anda jelaskan latar bela-kang terbentuknya organisasi masyarakat yang bernama SPKS ini?

Seperti kita ketahui salah satu sumber utama dari devisa neg-ara adalah perkebunan kelapa sawit melalui produk olahannya

berupa CPO (Crude Palm Oil) dan Kar-nel yang laku keras di pasaran interna-sional. Pengelola industri ini di bagian hulu tentu saja petani. Prestasi lain, sejak tahun 2007 Indonesia menduduki peringkat No. 1 sebagai produsen min-yak sawit mentah di dunia, menggusur dominasi Malaysia. Sedikitnya di tahun lalu ada 9 milyar US dollar yang disum-bang oleh perkebunan sawit masuk ke kas negara.

Namun arus besar uang yang masuk tadi tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan hidup petani. Kelompok ini tidak pernah ditempatkan sebagai ak-tor utamanya, melainkan hanya sebagai penopang atau pelengkap dalam sistem Perkebunan Skala Besar. Persoalan yang dihadapi petani kelapa sawit, terutama petani dalam pola kelola plasma, masih seputar pembangunan dan perawatan r Kebun Sawit yang menjadi tanggung jawab perusahaan, masih dilakukan ala kadarnya. Bahkan tak jarang kebun plasma yang diserahterimakan kepada petani kwalitasnya sangat buruk.

Selain itu perusahaan atau pengelola kebun inti melakukan atas hasil produksi TBS (Tandan Buah Segar), benih, obat-obat, pupuk dan teknologi perkebunan. Akibatnya petani plasma terjerat hu-tang kepada perusahaan dan sumber dayanya tidak berkembang. Inilah yang menjadi persoalan umum yang dihapai petani plasma.

Untuk melepaskan diri dari jerat hutang dan ketidakberdayan tadi, para petani yang menjadikan kelapa sawit sebagai sumber kehidupan sosial ekonominya berinisiatif mebangun sebuah organ-isasi yang diberi nama SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit). Tujuan didirikan-nya SPKS ini adalah agar petani kelapa sawit Indonesia mandiri, berdaulat dan sejahtera.

Dimana saja SPKS ini berdiri?

Hingga saat ini, SPKS berdiri di 4 provinsi yakni di kabupaten Paser, Ka-limantan Timur. Dalam 3 tahun terakhr, SPKS kaltim lebih focus pada advokasi persoalan petani yang bermitra dengan PTPN 13. Ada juga SPKS di kabupaten Rokan Hulu, Riau yang focus pada ke-mandirian petani. Ketiga adalah SPKS Tanjung Jabung Barat di provinsi Jam-bi. Keempat adalah SPKS Sanggau dan SPKS sekadau di Kalimantan Barat. Ke depannya, SPKS akan terus diperluas ke provinsi Sumatra selatang, Sulawesi barat dan Provinsi banten yang saat ini sedang di Inisiasi.

Apakah di beberapa daerah tempatnya terbentuknya SPKS ini, persoalan yang dihadapi petani sawit sama?

Persoalan yang dihadapi oleh petani sawit rata-rata sama. Perbedaannya hanya di skala prioritas kepentingan mana yang lebih dahulu di selesaikan. Adapun persoalan-persoalan petani sawit di beberapa provinsi tadi adalah harga Tadan buah segar sawit. Kebijakan pemerintah tentang Indeks K betul-betul menghisap petani. Jika mengacu pada pengalaman, adanya indek K ini justru membuat harga setiap kilogram TBS milik petani berkurang sekitar Rp. 300-400.

Masalah lainnya adalah masalah sortasi buah yang menyangkut pada soal trans-paransi dan akuntabilitas pabrik pengo-lahan dalam mengolah TBS petani. Ada soal tentang kelangkaan pupuk yang menyebabkan harga pupuk semakin mahal dan tidak terjangkau petani. Kelangkaan pupuk juga mengakibatkan rendahnya produksi petani sawit. Menu-rut saya kelangkaan ini terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah ter-hadap distribusi pupuk.

Kendala lain adalah replanting yang membebani petani sawit. Seperti mis-alnya pola manajemen satu atap dan akad kredit yang sulit di jangkau petani sawit. Masalah konversi kebun yang di-lakukan oleh perusahaan inti kepada petani plasma dimana kondisi kebun tidak sesuai dengan standard / layak dan slalu saja terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dalam ketentuan pe-merintah, konversi dilakukan pada ta-hun ke 4 namun realitasasinya ada yang hingga delapan hingga belasan tahun baru dilakukan konversi.

Wawancara Tandan Sawit dengan Darto Sekjen SPKS NasionalTidak Ada Good Will Pemerintah dan DPR untuk

Memperkuat Posisi Tawar Petani dalam Supply Chain Bisnis Sawit

Mansuetus Alsyhanu (darto) - Sekjen SPKS Nasional

WAWANCARA

Page 20: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 20

Terbetik kabar, di be-berapa tempat telah ter-jadi musyawarah besar SPKS dalam merumuskan kembali cita-cita perjuangannya dan terjadi pergantian kepengu-rusan. Bisa anda cerita den-gan singkat apa yang terjadi dalam mubes tersebut?

Musyawarah besar merupakan suatu proses politik dalam organisasi SPKS yang tertuang dalam anggaran dasar untuk perbaikan anggaran dasar, strate-

gi perjuangan/program perjuangan. Di beberapa tempat, musyawarah besar dilakukan karena sudah saatnya waktu untuk proses transisi (berakhir masa ja-batan pengurus sesuai anggaran dasar). Namun di tempat lain, ada juga mubes dilakukan karena stagnasi kepemimpi-nan yang mengakibatkan perjuangan petani tersendat. Mubes ini diharap-kan bisa melahirkan suatu perubahan yang menempatkan petani kelapa sawit menjadi aktor penting dalam mata ran-tai binis kelapa sawit.

Dalam musyawarah besar (MUBES) ter-dapat dua isu yang di bahas. 1). Pem-bahasan anggaran dasar organisasi yang dirumuskan oleh seluruh sekjen dalam forum nasional. 2). Program kerja dan perjuangan SPKS.Bagaimana cita-cita Ke-mandrian, Kedaulatan dan Berkesejahteraan petani sawit ini bisa dicapai?

Sebenarnya persoalan yang dihadapi oleh anggota SPKS saat ini adalah ke-tiadaan good will pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan ketidakpedu-lian lembaga legislative dalam melihat kehidupan nyata petani. Akibatnya pen-ingkatan produktifitas dan perbaikan system kemitraan demi kemandirian petani, selalu saja macet.Sampai saat ini, apa saja yang telah dilakukan oleh

SPKS untuk anggotanya?

Kami selalu melakukan penguatan po-sisi kelembagaan SPKS dengan pendidi-kan keorganisasian, dan kepemimpi-nan. Untuk kesejahteraan dan orientasi kemandirian, SPKS membuat pelatihan manajemen kebun sawit, pembibitan dan penilaian tanaman kelapa sawit. Ada juga kegiatan pendampingan, sep-erti di kabupaten Paser, memediasi konflik lahan dimana kebun sawit ber-sertifikat milik petani dirampas oleh pengusaha tambang batubara. Untuk persoalan peremajaan kebun, SPKS sedang menyusun konsep yang ideal dan berpihak pada petani diband-ingkan dengan konsep revitalisasi ke-bun versi pemerintah. Harapannya pemerintah mau mengadopsi konsep petani tadi. Masih banyak lagi yang se-dang kami lakukan demi pemberdayaan petani sawit di Negara kita.

Sebenarnya per-soalan yang dihadapi oleh anggota SPKS saat ini adalah ketiadaan good will pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan ketidakpedulian lem-baga legislative dalam melihat ke-hidupan nyata petani. Akibatnya peningkatan produktifitas dan per-baikan system kemitraan demi kemandirian petani, selalu saja macet.

Selain mengkritik, sebenarnya apa harapan SPKS terhadap peran para pihak lain, sep-erti pemerintah, perusahaan sawit, LSM dan DPR untuk memperbaiki nasib petani tadi?

Harapan besar SPKS kepada pemerintah dan DPR menyangkut persoalan-per-soalan real yang dihadapi oleh petani sawit saat ini. Yakni persoalan pola kemitraan yang tidak adil dan tidak se-jajar, masalah kelangkaan pupuk, sikap tegas pemerintah terkait masalah harga TBS, dan masalah kredit. Pemerintah di tuntut untuk memperbaiki persoalan real seperti ini Dan harapan ke de-pannya, ada perubahan struktur dalam perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit juga diminta bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas produksi mi-tranya dan tidak melepas tangan pada soal pembinaan dan pembangunan so-sial ekonomi petani. Di samping itu, bertindak adil dan transparan baik di pabrik maupun dalam penentuan harga TBS. Sementara bagi LSM, untuk terus menjadi sekutu yang sejajar untuk per-juangan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan kaum tani.

Apa target Forum Nasional SPKS ke depan?

Secara keorganisasian, kami ingin mem-bangun SPKS ini dari bawah. Tidak sep-erti organisasi lainnya yang terbentuk begitu saja. Paling tidak memenuhi standar, yakni terbentuk 15 SPKS yang tersebar di 5 provinsi. Ini merupakan standard minimal. Secara kualitas, memiliki kerja-kerja badan pengurus yang handal dan mampu mengkonsoli-dasi petani sawit dalam organisasi ini. Target yang kami ingin capain, pada ta-hun 2011, kami memiliki 20.000 petani sawit yang tergabung dalam SPKS. Da-lam soal jaringan, kami sedang mem-bangun hubungan dengan para pihak dari tingkat daerah hingga internasion-al dan mampu memberikan kontribusi bagi kedaulautan, kemandirian dan kes-ejahteraan bagi seluruh petani kelapa sawit di Indonesia.

Page 21: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW21

PT Hindoli (Hindoli), anak perusahaan CTP Holding Pte Ltd, telah mengajukan per-mohonan kepada BSi Manage-ment Systems Singapore Pte Ltd untuk mendapatkan serti-fikat RSPO atas produksi min-yak sawitnya. Hindoli memi-liki dan mengoperasikan dua (2) pabrik minyak sawit untuk memproses TBS dari empat kebun yang berlokasi di Su-matera Selatan, serta TBS yang dipasok petani plasma. CTP Holding Pte Ltd adalah anak perusahan Cargill, pe-rusahaan makanan global. Cargill adalah anggota RSPO dan sudah terlibat di dalam Roundtable sejak awal.

CTP Holdings Pte Ltd memiliki dam mengoperasikan perkebu-nan di dua lokasi di Indonesia (Hindoli dan Harapan Sawit Les-

tari) dan tiga di Papua Nugini (Higaturu Oil Palm, Milne Bay Estate dan Poliam-ba). CTP Holdings Pte Ltd memprogram-kan untuk mendapatkan Minyak Sawit Berkelanjutan bersertifikat RSPO untuk seluruh produksinya pertengahan tahun 2009. Bsi sudah melaksanakan preases-men RSPO pada masing-masing lokasi operasi CTP Holdings Pte Ltd. CTP Hold-ings Pte Ltd berkomitmen penuh untuk menyelesaikan isu yang ditemukan Bsi pada proses pre-asesmen.

BSi telah melakukan aksesmen sertifika-si yang dimulai pada minggu pertama September 2008 pada lokasi Hindoli Su-matera Selatan yang terdiri dari Pabrik Minyak Sawit Sungai Lilin dan Tanjung Dalam serta kebun-kebun terkait. Pros-es asesmen dilakukan melalui audit ter-hadap dua Pabrik dan sampel dari empat

kebun berikut: Srigunung; Sungai Tung-kal; Tanjung Dalam dan Sungai Pelepah oleh tim Auditor lingkungan dan sosial BSi. BSi juga telah mengakses kemajuan pelaksanaan Preaktek Berkelanjutan RSPO pada kebun plasma yang memasok TBS ke pabrik Minyak Sawit Hindoli.

Atas diperolehnya sertifikasi RSPO oleh PT Hindoli pada bulan yang lalu, WALHI Sumatera Selatan sebagai refresentasi organisasi yang konsen dalam penye-lamatan lingkungan tidak diikutserta-kan dalam menilai proses Asesmen PT Hindoli yang ada di Sumatera Selatan. Berdasarkan hasil investigasi yang di-lakukan oleh WALHI Sumsel pada tang-gal 3-6 Juni 2009 di empat wilayah yang dijadikan sampel oleh PT. Hindoli masih menyisakan persoalan buram terhadap masyarakat sekitar.

Oleh karena itu kami menilai bahwa proses pemberian sertifikasi RSPO ke-pada PT Hindoli harus digugurkan sebe-lum kasus sengketa dengan masyarakat terselesaikan. Mengingat perusahaan ini masih memiliki persoalan sengketa tanah terhadap masyarakat yang belum juga terselesaikan sampai sekarang. Berikut ini hasil temuan lapangan dan wawancara dengan masyarakat korban sengketa tanah dengan PT Hindoli.

I. WILAYAH SEBARAN SENGKETA dan KRONOLOGIS

A. Kasus Kolektif 4 Desa ( Desa Sri Gunung, Desa Bentayan, Desa Suka Damai dan Desa Dawas)Pada tahun 1991 PT Hindoli melaku-kan pembuatan kebun kelapa sawit di wilayah Desa Sri Gunung dan sekitarnya. Berikut hasil wawancara dengan beber-apa masyarakat korban sengketa tanah. Perwakilan masyarakat desa Sri Gunung Pak Nasyir (Mantan anggota BPD), Desa Bentayan Pak Mirza Wawi (Kepala Desa),

Suka Damai (C4) Pak Romli, pak Parmin dan pak Tambah sebagai berikut;

Pada tahun 1991, PT Hindoli masuk • dan membuka perkebunan kelapa sawit di 4 wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, yaitu Sri Gunung, Sungai Pelepah, Sungai Tungkal dan Tanjung Dalam.Pada tahun 2003, PT Hindoli melaku-• kan perluasan areal perkebunannya di wilayah desa Sri Gunung dengan alasan telah mendapatkan izin prin-sip dari Bupati Muba seluas 10.000 ha.Kemudian pada tahun 2003 ini, kami • menanyakan dan meminta izin prin-sip perluasan kebun PT Hindoli ke-pada pihak perusahaan, tetapi kami tidak mendapatkannya. Dengan alasan izin prinsip adalah dokumen penting perusahaan yang tidak boleh sembarangan di akses oleh orang luar perusahaan.Sementara PT Hindoli telah melaku-• kan penggarapan lahan di wilayah

Ketika Masyarakat Lokal Menjadi Korban Perampasan Lahan Perusahaan Sawit Bersertifikat RSPO

Yulisman - Walhi Sumatera Selatan

MASYARAKAT ADAT

Page 22: Tandan Sawit Volume 4/2009

TandanSawit 22

desa Sri Gunung. Dari penggarapan lahan inilah ternyata lahan desa kami ikut digarap oleh PT Hindoli. Pada-hal lahan desa kami ini sudah kami beri tanda patok supaya perusahaan tidak menggarapnya. Karena lahan ini adalah sebagai lahan cadangan masyarakat desa untuk lahan usaha.Luas lahan desa yang kami peruntu-• kan sebagai lahan usaha masyarakat 4 desa yang terkena penggusuran masing-masing dengan rincian seba-gai berikut;

Desa Sri Gunung seluas 120 Ha • Desa Bentayan ( Sungai Pelepah) • seluas 480 HaDesa Suka Damai (Sungai Tungkal) • seluas 850 HaDesa Dawas (Tanjung Dalam) • 120 Ha

Namun perusahaan tetap saja • melakukan penggarapan lahan yang kami beri tanda patok tersebut.Melihat gelagat PT Hindoli sep-• erti ini, pemerintah desa dan masyarakat menuntut kepada pihak perusahaan untuk tidak meneruskan dan menyetop aktivitas penggarapan dilapan-gan. Namun hal ini tidak digu-bris oleh pihak perusahaan. Pada tahun 2005, pemerin-• tah desa dan masyarakat di empat wilayah (Sri Gunung, Sungai Pelepah, Sungai Tung-kal dan Tanjung Dalam) yang terkena gusur oleh PT Hindoli bersama-sama melakukan un-juk rasa ke Kantor Bupati Muba menuntut pengembalian lahan masyarakat. Pemerintah Kabu-paten Muba merekomendasikan kepada Perusahaan untuk melakukan pengukuran ulang dilapangan. Pada tahun 2005 juga kami pemerin-• tah desa dan masyarakat 4 wilayah yang terkena sengketa melakukan pematokan ulang lahan. Setelah di tunggu berbulan-bulan • belum juga ada kejelasan penye-lesaian oleh perusahaan, akhirnya pemerintah desa dan masyarakat 4 desa melakukan konsolidasi untuk memperjuangkan lahan sengketa ini secara bersama dan menjadikan perjuangan ini menjadi perjuangan kolektif. Karena posisi kasus dan la-wan sengketa lahan kami berbaren-gan dan sama yaitu terhadap PT Hin-doli. Pada tahun 2005, kami pemerintah • desa dan masyarakat 4 desa melaku-kan unjuk rasa kejakarta yaitu ke kantor DPR-RI. Tuntutan aksi unjuk rasa kami kali ini, meminta kepada

DPR-RI untuk menyelesaikan perso-alan sengketa lahan kami. Respon dari DPR-RI, bahwa DPR-RI akan ber-janji membantu penyelesaian kami dan akan mengirimkan surat kepada perusahaan dan pemerintah kabu-paten untuk menyelesaikan perso-alan sengketa kami. Pada tahun 2007, DPRD Muba (Komisi • A) turun kelapangan mengecek lahan sengketa di empat wilayah. Tapi la-gi-lagi DPRD Muba juga tidak mampu menyelesaikan persoalan kami ini. Perlu di ketahui bahwa ternyata izin • prinsip perluasan tahun 2003 yang dijadikan alasan oleh perusahaan untuk penggarapan sampai sekarang tidak ada atau izin prinsip fiktif. Alasan perusahaan tidak mau • mengembalikan lahan kami yang diserobotnya adalah perusahaan mengklaim bahwa keseluruhan ta-nah kami telah diganti rugi. Padahal sampai hari ini kami pemerintah desa

dan masyarakat 4 desa tidak pernah menggantikan rugikan maupun men-erima ganti rugi dengan pihak PT Hindoli. Kondisi lahan kami yang diserobot se-• muanya telah ditanami kelapa sawit oleh PT Hindoli dan telah menghasil-kan buah (produksi). Sampai saat ini tanah masyarakat 4 • desa yang bersengketa dengan PT Hindoli belum juga terselesaikan.

B. Kasus Individu Masyarakat Desa Bumi Kencana (C4) yang memiliki lahan di Desa Suka DamaiSelain konflik lahan masyarakat se-cara kolektif (Lahan desa) ada juga konflik lahan yang diperjuangkan oleh masyarakat secara individu terhadap PT Hindoli. Luas lahan yang disengke-takan secara individu oleh masyarakat Desa Bumi Kecana (C4) yang memiliki lahan di desa Suka Damai seluas 222 ha

atau 111 kapling berdsarkan PPAT SPH-SKT. Berikut kronologis sengketa ber-dasarkan keterangan masyarakat kor-ban yang memiliki lahan. Nama-nama masyarakat yang diberi mandat oleh masyarakat korban untuk mengurus dan mewakili sekaligus sebagai penuntut hak yang disengketakan;

1. Parmin2. Tambah3. Sabar4. Warsono5. Rohmin6. Nur Kholiq7. Wardoyo

Pada tahun 1991, PT Hindoli mem-• buka perkebunan Kelapa Sawit di 4 wilayah desa sebagaimana yang dis-ebutkan diatas, kehadiran PT hindoli ini banyak sekali menimbulkan seng-keta lahan dengan masyarakat seki-tarnya. salah satunya di Desa Suka Damai.

Pada akhir tahun 1995 • kami terdiri 111 ( Seratus Sebelas ) orang telah membeli lahan ren-cana untuk berkebun seluas 222 Ha, lahan tersebut berlokasi di Rimba Blandar sungai Lubuk Batu dan sungai Bremi wilayah Desa Suka Damai Kecamatan bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyua-sin.

Tanah tersebut mem-• beli langsung dengan masyarakat Desa Suka Damai dan masyarakat Sri Gunung.

Adapun tanah yang di-• beli masyarakat Betung seluas 222 Ha batas – batas sebagai berikut :

Batas sebelah Utara kebun Pak • Har ada rumpun bambu Batas sebelah Timur pagar Pak • Zaini lurus ada Sungai membujur ke Utara dekat lahan Pak Basi-man Batas sebelah Barat dari kebun • Pak Musa lurus s/d kebun rakyat s/d ke jalan padat karya Batas sebelah Selatan patok tugu • HPK s/d kebun Pak Gito lurus pa-tok tugu HPK ladang Gunadi.

Di sungai Bremi kurang lebih 25 Ha • lahan tersebut semua dari keluarga Pak Amirhasyim Perincian pembelian lahan : •

Dari Pak Amir Hasyim = 108 Ha• Dari Pak Sukadi = 78 Ha • Dari Pak Sueb Rizal = 12 Ha• Dari Teguh Umar Kadus SKD • = 24 HaJumlah = 222 Ha•

Setelah pembayaran lunas SKT di •

Page 23: Tandan Sawit Volume 4/2009

Edisi IV/September‘09-SW23

terbitkan dan disyahkan oleh Kepala Desa Suka Damai dan disyahkan oleh Kantor kecamatan Bayung Lencir dari Maret s/d Juni 1996 semua SKT di terima oleh Petani – petani yang membeli lahan tersebut Tahun 1997 memeriksa lahan kar-• ena akan mulai penggarapan areal ternyata lahan tersebut sudah di-gusur dan diserobot oleh PT. Hindoli tanpa presedural, petani melalui utusannya menghubungi PT. Hindoli dan menghubungi PT. Hindoli dan melapor ke Kantor Kepala Desa Suka Damai semua kurang direspon. Tahun 1998 di bulan April petani • dan perangkat Desa Suka Damai memasang patok pembatas, tapi di-cabuti oleh petugas dari PT. Hindoli. Kita selaku petani yang dirugikan • oleh PT. Hindoli mendesak Pak Kades supaya yang intinya, mengapa PT. Hindoli berani gusur lahan milik petani tanpa prosedur. Tanggal 18 – 08 -1998 Bapak Zensakuro • manejer PT. Hindoli mengirim surat No. Ref / SZ / 9808 / 18 – 01. yang isinya petani yang lahannya terkena gusur mengenai ganti rugi agar di selesaikan lewat Kantor kepala Desa Suka Damai, setelah di konfirmasi-kan hasilnya nol, tidak adil titik kes-epakatan. Selama satu tahun 1999 sangat sulit • dihubungi baik manejer maupun staf – staf PT. Hindoli. Tanggal 04 – 07 – 2000 s/d 04 Oktober • 2000 petani memberikan kuasa den-gan Bapak Anwar Jenun selaku Hu-mas PT. Hindoli untuk menjembatani permasalahan tersebut, hasilnya tidak ada titik temu. Tanggal 20 – 08 – 2000 petani me-• masang patok pembatas dari kayu ulin, pemasangan patok di pimpin langsung ke areal oleh Bapak Kades dan perangkat Desa Suka Damai. Tanggal 06 – 12 – 2000 petani men-• girim surat ke PT. Hindoli dengan No. Tebe / J / 298 / 2000. isinya tindak lanjut penyelesaian tanah petani. Tanggal 22 – 12 – 2000 PT. Hindoli • dan Kades Suka Damai di undang Ba-pak Camat Bayung Lencir mau dia-jak berembuk, ternyata semua tidak datang, hanya dari petani yang da-tang. Tanggal 30 – 04 – 2001 petani men-• girim surat ke PT. Hindoli ke Camat Sungai Lilin, Kades Suka Damai, Ca-mat Bayung Lencir, dan Kapolsek Bayung Lencir, yang isinya petani akan menduduki lahan supaya cepat ada tanggapan dari PT. Hindoli. 24.Tanggal 04 – 05 – 2001 dilaksan-•

akan pengukuran areal, juru ukur saudara Prasetyo dari PT. Hindoli dengan alat ukur GPS dibantu sau-dara Mustamin mabes Devisi 23 dan saudara Frengky. Pengukuran belum selesai dengan alas an besok hari libur, ternyata tanggal 06 – 05 - 2001 diajak ngukur lagi alas an nanti tang-gal 12 – 05 saja. Hasil ukur sementara lebih kurang • 96,02 Ha Lokasi yang sudah di ukur : Penunju-• kan Amirhasim dan Teguh Umar Gu-nadi di Rimba Blandar. Lokasi Sueb dan Sukadi dan lokasi di • Sungai Bremi belum di ukur.Tanggal 12 – 05 – 2001 di Kantor Devi-• si Sri Gunung diadakan rapat rencana Camat hadir ternyata, ditunggu s/d pukul 14.00 Camat tidak hadir, yang hadir hanya masyarakat dan pihak PT Hindoli saja.

Catatan Penting: Awalnya pada tahun 2001, pihak PT • Hindoli menjanjikan akan mengganti rugi lahan masyarakat yang masuk dalam areal perkebunannya. Namun selama 1 tahun masyarakat menung-gu dan menuntut, ternyata PT Hin-doli mengingkari janjinya dan tidak menyelesaikan kasus sengketa kami. Pada tahun 2001, masyarakat men-• datangi manajer PT Hindoli Mutamar dan mengajaknya ke desa kami untuk membicarakan penyelesaian kasus kami. Setelah sampai di desa, kami berembuk dengan Mutamar, tapi be-lum menghasilkan kesepakatan. Pak Mutamarpun kembali ke Cam PT Hin-doli. Setelah dari hasil pertemuan kami dengan Pak Mutamar, kami masyarakat dituduh menyandera Pak Mutamar. Sehingga terjadilah pen-angkapan terhadap Pak Parmin. Tahun 2001, pak Parmin di sidang • di pengadilan negeri Sekayu dengan putusan dikenakan hukuman 9 bulan tahanan luar. Serta pengadilan neg-eri sekayu memutuskan bahwa tanah seluas 2 kapling disita pengadilan. Pada tahun 2002, masyarakat yang • memiliki lahan di desa Suka Damai meminta kepada perusahaan untuk tidak melakukan penggarapan lahan kami. Alhasil lahan kami sempat dis-tatus quo kan selama 1 tahun. Pada tahun 2003, puncak terjadinya • sengketa lahan yang kami perjuang-kan kembali digusur oleh PT Hindoli. Padahal lahan yang telah kami patok telah disepakati tidak akan digarap oleh perusahaan sebelum ada penye-lesaian. Lahan yang kami sengketakan ber-•

jumlah 222 ha dengan alas hak kepemilikan surat PPAT SPH-SKT ta-hun 1996. Tahun 2005, masyarakat yang ber-• sengketa kembali menduduki la-han mereka dengan membuat tenda dilokasi sengketa supaya tanahnya dikembalikan oleh PT Hindoli. Na-mun usaha masyarakat ini sia-sia, karena dibubarkan Polres Sekayu yang dipimpin oleh AKP Bustomi den-gan dua kompi pasukannya. Sehingga aksi kekerasan yang dilakukan oleh polisipun terjadi, banyak masyarakat yang dipukuli, diantaranya; Pak Tam-bah, Pak Parmin, Rohmin, Sugiman, Saini, Nur Kholiq, dan Sabar. Sampai sekarang kasus yang diseng-• ketan masyarakat dengan PT Hindoli seluas 222 ha tak kunjung dikemba-likan oleh PT Hindoli. Kondisi lahan masyarakat tersebut sudah rata di-tanami kelapa sawit oleh PT Hindoli dan kebunnya telah menghasilkan buah. Masyarakat hanya mendapat-kan buah hasil siksaan dan kerugian yang sangat besar akibat penyero-botan yang dilakukan oleh PT Hin-doli.

II. REKOMENDASIMelihat persoalan kasus yang dialami oleh masyarakat 4 desa dan kasus yang dialami oleh masyarakat Suka Damai secara individu sudah cukup lama, maka penting untuk segera mengam-bil langkah-langkah dan upaya sebagai berikut;

Mendesak kepada pihak PT Hindoli 1. untuk segera menyelesaikan per-soalan sengketa masyarakat yang ada dengan menginventarisir selu-ruh lahan-lahan yang disengketakan masyarakat untuk di bebaskan. Meminta kepada pihak pemerintah 2. daerah untuk segera memfasilitasi penyelesaian kasus tanah masyarakat dengan PT Hindoli. Meminta Kepada Pihak pemberi ser-3. tifikasi RSPO dalam hal ini Presiden Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk membatalkan dan mensomasi PT Hindoli, karena PT Hindoli bukanlah perusahaan yang bersih dan peduli terhadap kehidu-pan masyarakat sekitar kebun. Meminta kepada seluruh lembaga 4. yang peduli terhadap nasib rakyat kecil di pedesaan untuk membantu menyuarakan dan memperjuangkan penderitaan yang dialami masyarakat akibat dampak investasi perkebunan kelapa sawit.

Oleh Yuliusman(Walhi Sumsel)

Page 24: Tandan Sawit Volume 4/2009