Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan...

22

Transcript of Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan...

Page 1: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.
Page 2: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

2

Vol. 1 Tahun 7, 2007

Dewan Redaksi

Penanggung Jawab : Rudy LumuruPemimpin Redaksi : A. SuramboRedaktur Pelaksana : Jefry G. SaragihAnggota Redaksi : Abet Nego, Cepot, Norman, Gun, Chica, Entien, VinnaTata Letak : OeyanzDistribusi : Sukardi, Supapan

Redaksi menerima artikel, essai, dan berita. Kami dapat mengedit tulisan tanpa maksud dan intinya. Tulisan dapat dikirimmelalui Pos, Fax dan E-mail.Forum Diskusi Elektronik mengenail perkebunan besar kelapa sawit bisa anda ikuti di http://groups.yahoo.com/infosawit

Perkumpulan Sawit Watch adalah kumpulan aktivis Organisasi Non-Pemerintah dan individu yangprihatin dengan semakin meluasnya dampak negatif pembangunan perkebunan kelapa sawit skalabesar di Indonesia. Perkumpulan ini dideklarasikan pada tanggal 25 Juli 1998. Kegiatan utamaPerkumpulan Sawit Watch adalah melakukan Monitoring, dan Investigasi Kasus, Riset, MemantauKebijakan, Program dan Lembaga Keuangan Nasional maupun internasional pada sektor perkebunankelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.Alamat Redaksi : Jl Sempur Kaler No. 28 Bogor, 16129 IndonesiaTelp. + 62-251-352171, Fax +62-251-352047E-mail : [email protected], [email protected] , website : www.sawitwatch.or.id

Daftar Isi Tak terasa sudah tujuh tahun Tandan Sawit menemani kita semuasebagai media ajang sharing informasi dan data berkenaandengan keprihatinan kita tentang dampak-dampak pembangunanperkebunan besar kelapa sawit. Pelbagai rasa dan respon‘terburai’ berkenaan Tandan Sawit ini. Kami merasa gembiradan tertantang agar tampil lebih baik dari sebelumnya melihatpelbagai respon tersebut.

Ada yang membilang bahwa Tandan Sawit terlalu tinggi bahasayang digunakan alias kurang populer. Ada yang membilang bahwaTandan Sawit tidak teratur terbitnya, bahkan pernah sekali terbitlangsung beberapa edisi. Ada yang membilang begini, ada yangmembilang begitu. Kami mengapresiasi semua respon tersebutdengan kegembiraan karena semua berangkat dari rasa sayangterhadap Tandan Sawit. Tahun ke tujuh ini, Kami pengin beberapaharapan dalam respon tersebut Kami penuhi.

Di edisi kali ini, Kami mencoba mengangkat berbagai tulisantentang masyarakat adat dan persoalannya serta berbagai kerjakongkret di lapang dalam pencarian solusi. Soal adat secaralangsung terdapat beberapa tulisan yakni tentang makna adatsendiri di bagian editorial, soal kepemimpinan di masyarakatadat sebagai laporan utama, soal kerja-kerja kongkret untukmemperkuat masyarakat adat terdapat dalam tulisan yangmenceritakan tentang penanaman nilam yang mencobamemperkuat posisi masyarakat adat, dan soal kasus diperkebunan kelapa sawit yang menimpa masyarakat adat diberbagai wilayah serta surat pernyataan penolakanpembangunan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat adatDesa Tajuk Kayong. Selain itu terdapat tulisan berkenaan denganlingkungan dan hutan. Terakhir, terdapat tulisan berkenaandengan model pembangunan kelapa sawit. Akhirnya, kamiberharap moga bermanfaat, serta Selamat berkongres bagimasyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat AdatNusantara (Aman).

Salam dari Kami

Editorial; Adat & Maknanya 3

Masyarakat Adat DanKepemimpinan Serta Keragamannya 4

Hutan Borneo Untuk Sawit ?Deforestasi Hutan Kalbar 73,42 Persen 9

Tinjauan RingkasMasalahPerkebunan Model – Pir 10

Memperbaiki LingkunganAgar Bumi Lebih Layak Untuk Dihuni 13

Kriminalisasi Massal DibalikJanji Manis Ekspansi Perkebunan Sawit 15

Pernyataan Sikap Masyarakat AdatDesa Tajuk Kayong 18

Masyarakat Adat Danau Sembuluh:Perjuangan Eksistensi DiriDitengah Ekspansi Perkebunan Sawit 19

Page 3: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

3

editorialAdat & Maknanya

Apa jadinya bila anak anda dinyatakan tidak beradat atauanda sendiri lah dinyatakan tidak tahu adat dalam hal ini.Anda pasti malu, tidak senang, bahkan kalau bisa, anda akanbagaimana secepatnya untuk merespon lalu membela diri laluanda menyataka bahwa yang terjadi sebenarnya begini-beginisehingga tuduhan bahwa anak anda atau pun anda tidak tahuadat adalah tuduhan yang tidak pas dan tidak berdasar.

Apakah makna yang dibanyangkan banyak orang dari kata‘adat’? Apakah prologi tadi mewakili hampir semua bayanganorang berkenaaan makna adat. Bagaimana kalau adat dilekatidengan kata ‘kaum’ yakni kaum adat. Pastinya, bayangankita akan mengarah ke belakang, yakni tentang Perang Padri,perang yang terjadi Sumatra Barat dimana lewat intrikKolonial Belanda terdapat dua kubu yang saling berhadap-hadapan antara Kaum Padri dimana Imam Bonjol adalah salahsatu pemimpinnya dengan Kaum Adat. Kolonial Belandasewaktu itu segaris dengan Kaum Adat. Bahkan karena perangini berbarengan dengan Perang Jawa yakni PangeranDiponegoro sebagai salah satu pihak yang menantang Belanda,dihentikan dahulu. Pendek cerita, akhirnya kaum adat ‘sadardiri’ siapa sebenarnya yang patut dimusuhi maka kaum adatberbalik arah melawan Kolonial Belanda. Waktu itu, KolonialBelanda bernama VOC, suatu perusahaan trans-nasional yangdiberi tugas oleh pemerintah belanda dalam berdagang diAsia Tenggara.

Di jaman Pergerakan Nasional, walau tidak secara clear,terkesan tertangkap makna bahwa adat bukanlah termasukbarisan-barisan yang revolusioner, bahkan adat adalah obyekdari revolusioner tersebut. Beberapa suara kaum adat waktuitu lebih banyak berada di pihak-pihak yang menyuarakanperlunya negara federasi yang mewujud dalam RepublikIndonesia Serikat (RIS). Bagi beberapa pihak, beberapa kaumadat dinilai pernah ‘selingkuh’ dengan pihak Kolonial Belandadalam rangka menggolkan proyek negara federasi. Bagi kaum‘pengagum’ Negara Kesatuan Republik Indonesia, adat adalahpihak yang perlu diwaspadai. Jadi, adat dinilai mempunyaibeban karena ‘perselingkuhan’ itu. Velde (1987) dalam bukuSurat-surat dari Sumatra banyak bercerita tentang posisiPemerintah Belanda dimana terkait banyak hal cerita tentangkaum adat.

Saat ini, adat banyak dikaitkan ataupun dilekati dengan katamasyarakat yakni masyarakat adat. Apa itu masyarakat adat?Banyak versi yang mendefinisikan hal itu. Definisi tersebut antaralain versi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) yaknikelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secaraturun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memilikisistem nilai ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial, dan wilayahsendiri (Kongres Aman, 1999).

Selain versi Aman, terdapat pula versi-versi lain seperti versiILO. Artinya dalam masyarakat adat versi aman terdapat ciri-ciri yang sekurang-kurangnya adalah masyarakat adat tersebutmempunyai suatu wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat,pastinya masyarakat adat tersebut mempunyai anggota yangmendiami wilayah tersebut, masyarakat adat tersebutmempunyai aturan-aturan yang khas yang bisa dibedakan denganwilayah lain dimana biasanya aturan-aturan tersebut dinamaisebagai hukum adat, dan biasanya masyarakat adat tersebutmempunyai institusi kelembagaan yang mengatur menggunakanhukum adat tersebut. Aman adalah suatu aliansi yang merupakanpersekutuan dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat senusantara dimana dideklarasikan tahun 1999.

Jadi, adat bukanlah tunggal maknanya, beragam makna yangdibayangkan berkenaan dengan kata adat. Beragam disini,tercakup berbagai aspek, misalnya tujuan, bentuk organisasi,ruang lingkup, bahkan sampai beban sejarah diatas. Murray Li(2002) menyatakan bahwa adat adalah suatu kata yangmempunyai sejarah legal dan politik yang panjang dan rumit.Adat biasanya meliputi segala sesuatu yang berupa acara-acararitual tertentu dan ciri berbagai interaksi sehari-hari hinggadenda mendenda yang dikembangkan raja-raja pra-kolonialuntuk menghindari terjadinya konflik dan meningkatkankekuasaan mereka sendiri. Artinya adat memiliki arti sangatbervariasi menyangkut peristiwa sehari-hari, tetapi tidak seorangpun yang sama sekali berada diluar ataupun tanpa adat.

Akhirnya, adalah sangat wajar sekali apabila anda membela diriketika anda dinyatakan tidak tahu adat. Karena bila andadinyatakan tidak beradat maka dapat dinyatakan bahwaeksistensi anda sudah tiada karena tak seorang pun yang samasekali berada di luar ataupun tanpa adat.

Page 4: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

4

Vol. 1 Tahun 7, 2007

Pendahuluan

Salah satu dampak negatif pembangunan perkebunan besarkelapa sawit adalah munculnya konflik lahan. Biasanya konflikini terjadi antara perusahaan perkebunan besar kelapa sawitdengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal biasanyamenampakkan ‘baju’ adat dalam melakukan perlawanannyaterhadap perusahaan. Konflik ini terjadi diakibatkan olehberadunya dua klaim hak atas tanah terhadap obyek tanahyang sama.

Perusahaan berdasarkan ijin dari pemerintah dikarenakan tanahtersebut adalah tanah negara sehingga dengan bekal berupaHak Guna Usaha, perusahaan perkebunan besar kelapa sawitmerasa berhak untuk mengelola dan mengusahakan tanahtersebut. Masyarakat lokal datang dengan klaim hak atas tanahberdasarkan hak adat ataupun hak ulayat. Konflik ini juga dipicuoleh belum jelasnya dan clearnya, relasi antara masyarakatadat dengan negara.

Masyarakat adat di Indonesia bukanlah bentuk tunggal tetapiberagam. Beragam disini dapat dilihat sebagai dalam berbagaiaspek, misalkan tujuan, bentuk organisasi, bahkan sampairuang lingkupnya. Dalam tulisan ini, saya mencoba untukmembatasi diri kepada masyarakat adat yang berjuang untukmendapatkan teritori, sumberdaya dan respek terhadap budayamereka. Bagaimanakah mereka muncul? Proses inilah yang akandidalami. Terdapat dua hal yang sempat teridentifikasi soalmasyarakat adat ini. Model masyarakat adat yang tergabungsebelum atau di jaman kolonial, dimana saat ini mulaitergabung dengan tata kelola pemerintahan dan masyarakatadat yang tidak tergabung dengan keadaan di depan.

Selain itu, beberapa hal yang pengin disorot dalam tulisan iniadalah soal kepemimpinan dalam beberapa masyarakat adattersebut. Masuknya agroindustri bernama perkebunan kelapasawit apakah memicu perubahan model kepemimpinan dalammasyarakat adat tersebut? atau bagaimana? Pastinya sedikitbanyak ada kontribusi agroindustri tersebut dalam dinamikaperubahan kepemimpinan dalam masyarakat adat.

Masyarakat Adat dan kebijakannya

Adat adalah suatu kata yang mempunyai sejarah legal danpolitik yang panjang dan rumit. Kata ini adalah serapan daribahasa arab yang biasanya diartikan sebagai kebiasaan ataupraktek setempat. Adat ini biasanya meliputi segala sesuatuyang berupa acara-acara ritual tertentu dan ciri berbagaiinteraksi sehari-hari, hingga denda mendenda yangdikembangkan raja-raja pra-kolonial untuk menghindariterjadinya konflik dan meningkatkan kekuasaan mereka sendiri.

Artinya adat memiliki arti sangat bervariasi menyangkurperistiwa sehari-hari, tetapi tidak ada seorang pun yang samasekali berada dilua atau tanpa adat (Murray Li, 2002)

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebelum amandemen mengakuikeberadaan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa diIndonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunanasli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga,desa, dusun dan negeri sedangkan UUD 1945 hasil amandemenpasal 18B ayat 2 menyatakan Negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sertahak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal inimenunjukkan bahwa negara mengakui tetapi juga mencurigaiterhadap masyarakat adat, dimana negara mengakui bahwamasyarakat adat mempunyai hak-hak tradisional tetapi akandiakui oleh ‘negara’ bila sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia.

Gaya pengakuan bersyarat yang berlapis inilah yang terjadidalam konstitusi indonesia, dimana dibuat beberapa syaratyang ‘susah’ sekali untuk di tingkatan operasional. Bila dicekterdapat beberapa catatan terhadap beberapa syarat tersebutadalah pertama, sepanjang masih hidup, yang menjadipertanyaan siapa yang menyatakan masih hidup? Bila dicekturunan dari konstitusi kita maka yang menyatakan hidup dantidaknya masyarakat adat adalah pemerintah bukanmasyarakat adatnya sendiri. Kedua, sesuai denganperkembangan jaman, ada asumsi terhadap masyarakat adatyang diskriminatif disini, yakni, akan tidak diakui sebagaimasyarakat adat bila tidak sesuai jaman, dianggap beberapamasyarakat adat kurang beradab sehingga perlu diberadabkan,ini menyalahi hak dasar asasi manusia. Ketiga, prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,trauma terhadap masa lalu dimana sewaktu perjuanganmelepaskan diri dari penjajahan terdapat beberapa kalanganadat yang memihak ke penjajah. Negara masih mencurigaiterhadap masyarakat adat sehingga terjadi proses generalisirterhadap seluruh ‘wajah’ masyarakat adat sehinggadipasanglah syarat ini.

Yang terjadi, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adatbukan lahir karena memang pengakuan diri (self identification)sebagai masyarakat adat tetapi pengakuan oleh pemerintahbahkan bila dikerucutkan menjadi pengakuan oleh dinas-dinasdi kabupaten dalam hal ini berupa perda-perda tentangmasyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat ditafsirkanmenjadi monolitik ‘wajahnya’ dan seragam versi pemerintah,inilah awal konflik yang tak berkesudahan tersebut.

Masyarakat Adat dan Kepemimpinanserta Keragamannya

A. Surambo

Page 5: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

5

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memilikiasal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografistertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,budaya, sosial dan wilayah sendiri1. Sedang Konvensi ILO 169tahun 1989 tentang Convention concerning Indigenous andTribal Peoples in Independent Countries mendefinisikanmasyarakat adat sebagai “tribal peoples in independentcountries whose social, cultural and economic conditionsdistinguish them from other sections of the nationalcommunity, and whose status is regulated wholly or partiallyby their own customs or traditions or by special laws orregulations”2. Banyak istilah lain yang digunakan untukmenyebut kelompok masyarakat ini, misalnya first peoples dikalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat danKanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsaasal dan orang asli di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB telahdisepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimanatertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah saturancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration onthe Rights of the Indigenous Peoples3.

AMAN mendefinisikan masya-rakat adat adalah kelompokmasyarakat yang memiliki asalusul leluhur (secara turuntemurun) di wilayah geografistertentu, serta memiliki sistemnilai idieologi, ekonomi, politik,budaya, sosial, dan wilayahsendiri (Kongres AMAN 1999).Biasanya, masyarakat adattersebut mempunyai klaimwilayah, struktur adat, hukumadat, dan masyarakat adatnyasendiri. Menjadi pertanyaanapakah semua masyarakat adatdi Indonesia seperti ini?Kebanyakan Orang Indonesiamengklaim suatu warisan budayatertentu yang berakar dalam suatu wilayah tertentu, meski-pun mereka tidak lagi tinggal dikawasan tersebut.bagaimanakah dengan hal ini, apakah mereka adalahmasyarakat adat?

Teori Drama Sosial; Ritus Liminalitas

Teori ini dikenalkan oleh Victor Witter Turner, dimana Turnermenyatakan bahwa munculnya kelompok oposan, juga bersifatperlawanan atau perjuangan, merupakan hal yang umumterjadi, bahkan dapat dikatakan sehat bagi masyarakatkeseluruhan. Adanya gerakan atau kelompok semacam itu, biladisikapi dengan tepat dan keduanya berinteraksi secaraterbuka, membuat masyarakat dapat kembali makna sari patidan tujuan dibentuknya masyarakat, karena gerakan dankelompok itu sering mengungkapkan apa yang sudah terlupakandan tidak diperhatikan oleh masyarakat kelompok besar(Rusmadji, 2004).

Tiga tahap terjadi dalam drama sosial dimana secara strukturalbertindihan tepat dengan tahap-tahap yang terdapat dalambanyak ritus masyarakat pra-industri. Tahap pertama adalahpemisahan. Pemisahan menggambarkan lepasnya satu orang

atau satu kelompok entah dari salah satu posisi yang duluditempati dalam struktur sosial atau pranata keadaan sosialdalam suatu kebudayaan (Rusmadji, 2004). Beberapamasyarakat yang tinggal didalam atau pun di sekitar hutan,biasanya berbagaim macam posisi ditempati, katakanlahsebagai pemburu atau peramu, ataupun sebagai peladang gilirbalik dengan segala nilai-nilainya. Pastinya, mereka mempunyairasa dipisahkan atau terjadi proses pemisahan ketika hutanmereka digunduli untuk pembangunan perkebunan kelapa sawittanpa konsultasi dengan mereka ataupun proses pembangunanperkebunan kelapa sawit memaksa mereka untuk kalah atauterpisah.

Tahap kedua adalah peminggiran. Pada tahap ini para subyekmelintas ‘kawasan’ yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifatbiasa dalam keadaan lampau, pun pula keadaan yangmendatang. Turner menempa kata bagus untuk tahap ini ialahsudah bukan lagi….., namun belum juga (Rusmadji, 2004).Setelah hutan digunduli dan dijadikan lahan-lahan tanamtumbuh sawit, beberapa masyarakat yang ditinggal di dalam

atau pun di sekitar hutan,dahulu adalah pemburu danperamu ataupun peladang gilirbalik dengan segala nilai-nilainya, sekarang sudah bukanlagi, namun mereka juga belummenjadi yang lain. Terasabahwa mereka dipinggirkankarena berada dalam transisiyang belum jelas antara sudahbukan lagi dan belum menjadi.Ditahap inilah yang ditinggal didalam atau pun di sekitar hutanmulai berpikir untuk menjadisesuatu ataukah malah mem-buat suatu identitas yang jelas.

Tahap ketiga adalah pemersatu-an atau perpecahan. Pada tahap

ini si subyek ritus mencapai keadaan baru yang stabil denganhak dan kewajiban yang jelas, yang terbatas seusai dengantipe struktural. Artinya subyek telah menjadi sesuatu, entahitu proses bersatu atau pun berpisah. Beberapa yang ditinggaldi dalam atau pun di sekitar hutan mencoba mem-buat‘perpecahan’ dengan kelompok besar yang dominan denganmengusung identitas berupa masyarakat adat, walaupun secarainformal sebenarnya masyarakat adat sudah tumbuh kembangdengan sendirinya, tetapi lewat proses pemisahan inilahmasyarakat adat mencoba melangkah agak lebih jauhmemformalkan identitasnya dalam bentuk kelembagaanorganisasi yang sudah ada ataupun membuat baru.

Yang Tergabung dan yang tidak Tergabung

Seperti dinyatakan didepan bahwa identifikasi awalmenunjukkan terdapat dua model masyarakat adat yangtergabung sebelum atau di jaman kolonial dan masyarakatadat yang tidak tergabung dengan proses di jaman belanda.

Didaerah-daerah tertentu di Indonesia posisi adat menjadi kuatpada masa penjajahan ketika para sarjana hukum dari Belandamengidentifikasi 19 wilayah adat yang khas dan membuat

“Masyarakat adat adalahkelompok masyarakat yangmemiliki asal usul leluhur(secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu,serta memiliki sistem nilai,ideologi, ekonomi, politik,budaya, sosial dan wilayah

sendiri”

Page 6: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

6

Vol. 1 Tahun 7, 2007

klasifikasi berbagai praktek adat guna menyiapkan suatu dasarbagi sebuah legal yang asli. De daerah-daerah ini adatdilembagakan sebagai suatu kerangka untuk mengatur berbagaiperistiwa lokal dan hubungannya dengan orang luar. Belandamendukung perkembangan lembaga-lembaga ini dan menunjukkepala-kepala adat dan dewan adat, akhirnya adat menjadialat memperkuat posisi para elit setempat (Murray Li, 2002).

Masyarakat yang hidup dalam sebuah kawasan hukum adatdiwajibkan untuk menyelesaikan konflik melalui sistem adatyang relevan, tetapi batas-batas sosial dan kawasan tidakpernah ditetapkan berupa peta atau kartu identitas. Banyakkawasan yang masih sama sekali berada di luar prosesformalisasi adat, dan tetap tanpa pemimpin yang mau ataumampu menjabarkan adat sebagai suatu sistem. Mereka jugatidak memiliki aturan-aturan atau lembaga formal sepertidiharapkan oleh mereka yang sudah terbiasa dengan buku-buku Belanda tentang hukum adat (Murray Li, 2002). Bila diceklebih mendalam ternyata mereka di organisasinya adalahorganisasi tradisi, tetapi banyak dalam mengoperasionalkanorganisasi, menggunakan organisasi muthakhir.

Contoh-contoh masyarakat adat jenis ini adalah MasyarakatMinang dengan konsep nagarinya, masyarakat adat aceh dengankonsep gampongnya, masyarakat dayak dengan konsepketemenggungannya. Di era otonomi ini, beberapa konsep-konsep mengenai masyarakat adat jenis ini diadopsi sertadigabung dengan tata pemerintahan sekarang. Model tatapemerintahan yang dibuat pun dengan cara mensubordinasikanbentuk-bentuk kelembagaan adat tersebut didalam tatapemerintahan sekarang. Misalkan gampong di aceh merupakanpadanan desa dalam tata pemerintahan sekarang, sedangkanmukim yang merupakan gabungan beberapa gampong yangpengorganisasiannya berdasarkan keberadaan masjid‘diumpamakan’ seperti layaknya kecamatan. Begitu juga yangterjadi dengan Nagari. Beberapa wilayah Nagari‘diumpamakan’ seperti layaknya kecamatan. Artinya dalammodel tata pemerintahan saat ini mencoba mengadopsi tatapemerintahan yang berdasarkan otonomi dengan menonjolkan‘keadatan’ tetapi yang terjadi adalah beberapa tatapemerintahan adat tersebut menyesuaikan dengan kondisipemerintahan yang ada saat ini. Relasi sosial politik antarapemerintah dan masyarakat adat menentukan seberapa banyakkonsep-konsep adat diadopsi dalam tata kepemerintahansehingga beberapa wilayah lebih banyak diadopsi sedangkanbeberapa wilayah lain lebih sedikit diadopsi. Mungkin inilahyang dimaksud masyarakat adat dalam konstitusi kita.

Jadi, masyarakat adat yang tergabung sebelum atau di jamankolonial belanda di masa lalu, saat ini, banyak yang diadopsikonsepsi-konsepsi untuk masuk ke pemerintahan saat ini,bahkan beberapa wilayah menggunakan sebagai wadah tetapioperasionalnya merupakan organisasi yang mutakhir. Walaupunbegitu, antara kecamatan dan bentuk-bentuk keadatan lainyang ‘dianggap’ setara tetaplah mempunyai suatu perbedaanyang khas dilihat dari segi kewenangan dan lain-lainnya tetapiapabila hanya dilihat sebagai model pengorganisasian setelahwilayah terkecil maka tidak ada beda yang signifikan antarakecamatan dengan bentuk-bentuk pengorganisasian tersebut.

Sedangkan masyarakat adat yang tidak tergabung dalamkonstruksi Belanda mempunyai karakter yang berbeda denganmasyarakat didepan. Kebanyakan mereka sangat sedikit sekaliturut campur dengan soal-soal kepemerintahan walaupunbanyak masyarakat adat jenis ini ikut berpengaruh dalam suatupertarungan politik. Selain itu, kebanyakan merekamenggunakan organisasi mutakhir untuk memperoleh kembalilahan-lahan mereka. Pertarungan tentang konflik lahan antaraperusahaan perkebunan besar kelapa sawit dengan masyarakatadat jenis ini, hampir merata di semua daerah di kalimantandimana kebun kelapa sawit hadir. Bayangkan saja, hampirsemua kebun sawit yang ada di Indonesia saat ini adalahkonversi hutan menjadi kebun sawit. Kondisi hutan di Indonesiatahun 2005, hanya 33 juta ha dari 120 juta ha wilayah hutanyang tata batasnya clear, artinya sangat wajar bila hampirsemua konversi hutan menjadi kebun selalu saja terjadimasalah khususnya soal konflik lahan.

Umumnya masyarakat adat yang tidak tergabung dalamkonstruksi Belanda ‘memanifeskan’ dirinya ketika wilayah-wilayah yang diklaim mereka sebagai wilayah kelolanya diambilsecara paksa oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit skalabesar. Sudah dahulu kala mereka ini ada dan beranak pinakdengan model pengelolaan sumberdaya alam yang merekasendiri, katakanlah perladangan gilir balik. Ketika wilayah-wilayah yang menjadi lintas edar perladangan gilir balik inilahyang menjadi klaim wilayah kelola masyarakat adat jenis keduaini. Mereka mempunyai kampung inti sebagai asal merekatetapi mereka berpindah-pindah tempat tinggalnyamenyesuaikan dengan ladang yang mereka buat, dimanasetelah menanami dengan padi ladang katakanlah sudah tigakali musim tanam, kesuburan tanah kawasan itu menurundrastis mengakibatkan mereka mau tidak mau harus berpindah.Wilayah yang mereka tinggalkan biasanya mereka tanamidengan tanaman keras katakanlah karet, durian, dan lain-lain.Beberapa tahun kemudian mereka akan menemui wilayah yangsama dengan wilayah yang mereka tinggalin, biasanya merekamenemui kembali wilayah yang mereka tinggalkan diatas 15-an tahunan. Adanya pembangunan perkebunan kelapa sawitmemutus siklus mereka ini sehingga lahan-lahan yang merekatinggalkan tidak cukup untuk melakukuan recovery sehinggabanyak yang ditemuai bentuknya masih semak belukar yangtidak subur.

Kepemimpinan dalam Masyarakat Adat

Seperti yang dijelaskan didepan, identifikasi awal menunjukkanbahwa ditengah keberagaman masyarakat adat, terdapat salahsatu pengkategorian yang dapat membantu yakni masyarakatadat yang tergabung sebelum atau di jaman kolonial, dimanasaat ini mulai tergabung dengan tata kelola pemerintahan danmasyarakat adat yang tidak tergabung dengan keadaan didepan. Dalam tulisan ini, soal kepemimpinan lebih konsensmembahasa persoalan kepemimpinan di masyarakat adat yangtidak tergabung dalam kategori pertama yakni masyarakat adatyang ‘memanifeskan’ dirinya ketika ketika wilayah-wilayahyang diklaim mereka sebagai wilayah kelolanya diambil secarapaksa oleh perusahaan perkebunan skala besar.

Page 7: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

7

Kartodirdjo (1984) mengungkapkanterdapat dua teori yang menerangkantentang faktor-faktor yang menentukanpersoalan kepemimpinan. Teori pertamamerujuk bahwa “teori orang besar,dimana didalam sejarah tokoh-tokohbesar dengan kepribadian luar biasa,menentukan perang dan damai, nasibrakyat, pendeknya jalan sejarah. Teoriyang berlawanan dengan itu adalahteori lingkungan, yaitu teori yangmenyatakan bahwa munculnyapemimpin disebabkan oleh waktu,tempat, dan keadaan. Kesatu-pihakankedua teori diatas dapat diatasi denganmenyatukan kedua tori tersebutsehingga menjadi teori kepribadiansituasi, artinya akibat interaksi antaraorang dengan kepribadian yang kuatdengan faktor situasional akanmenghasilkan pemimpin.” Gabungandua teori tersebut yakni teorikepribadian situasi yang tepatmenunjukkan keadaan masyarakat adatkategori ke dua.

Lebih lanjut Kartodirdjo (1984) mengungkapkan “bahwakepemimpinan adalah pertemuan antara pelbagai faktor:situasi atau kejadian; sifat golongannya; dan kepribadian.Ketiga faktor itu menunjukkan sifat multidimensional gejalakepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologi, sosiologis-antropologis, dan sosial histori.” Jelas, faktor situasi ataukejadian sudah clear dalam masyarakat adat kategori ke dua,bahwa situasinya adalah suatu konflik lahan yang diakibatkanoleh dirampasnya tanah masyarakat atau wilayah kelolamasyarakat oleh perkebunan besar skala besar salah satunyaperkebunan kelapa sawit skala besar. Yang terjadi adalahkonflik lahan yang mengakibatkan masyarakat adat berhadap-hadapan dengan perusahaan kelapa sawit, dan pemerintah.Bahkan, bila konflik meluas akan melibatkan beberapa buruhtani di perkebunan besar kelapasawit serta beberapa aparattentara. Situasi yang genting sepertidemikian membutuhkan sosokpemimpin yang berkepribadiankuat.

Pemimpin yang berkepribadian kuattersebut adalah pemimpin yangmonomorfik bukan polimorfik.Hadirnya perkebunan kelapa sawitskala besar berkontribusi besardalam transisi menuju bentukspesialisasi dan differensiasi.Artinya dalam beberapa kasusmasyarakat adat kategori keduaberhadap-hadapan perusahaanperkebunan kelapa sawit, akanmuncul pemimpin monomorfikdimana menjadi pimpinan ketikaberurusan dalam berhadap-hadapandengan perusahaan perkebunan

besar kelapa sawit bukan berurusan selain itu. Tetapi beberapawilayah yang lain menunjukkan kebalikannya, dimanakepribadian yang kuat tersebut ditafsirkan oleh masyarakatadat dapat menjadi pemimpin untuk pelbagai urusan, inilahmasyarakat adat kategori pertama. Artinya jikalau memangterdapat pemimpin adat berdasarkan hubungan darah,hanyalah sebutan saja bilamana tidak mempunyai kepribadianyang kuat, sehingga terdapat pemimpin masyarakat adatsesungguhnya. Pemimpin ini bisa masyarakat adat itu sendiri,tetapi kebanyakan pemimpin tersebut adalah orang-orangorganisasi non-pemerintah. Akibatnya, beberapa orang dariluar masyarakat adat jenis ini melihat nyinyir sepertinyamasyarakat adat dilihat sebagai kendaraan. Begitu juga dalamsebutan untuk pemimpin, ternyata, banyak masyarakat adat

kategori ke dua ini bukanmenggunakan sebutan yanglangsung menunjukkan tentangkeadatannya. Lebih banyak merekamenggunakan kata ketua ataukoordinator. Misalkan beberapaunderbow Aman di tingkatanpropinsi lebih menyukaimenggunakan sekjen, ketua,dewan adat dan lain-lain.

Dalam memobilisasi pemimpinmasyarakat adat kategori ke duaini menggunakan ideologi ataukepercayaan tradisional, dan nilai-nilai tradisional tetapimengoperasionalkannya denganwadah mutakhir. Hal ini berbedadengan Kartodirdjo (1984) yangmenyatakan “mobilisasi rakyatoleh pemimpin hanya mungkin bilakomunikasi antara kedua pihak

“Bahwa kepemimpinan adalahpertemuan antara pelbagai

faktor: situasi atau kejadian; sifatgolongannya; dan kepribadian.Ketiga faktor itu menunjukkansifat multidimensional gejalakepemimpinan, yaitu aspeksosial-psikologi, sosiologis-

antropologis, dan sosial histori”Kartodirdjo (1984)

Page 8: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

8

Vol. 1 Tahun 7, 2007

dilakukan dalam kerangka tradisional dengan menggunakanideologi atau kepercayaan tradisional, lagi pula memasukkantujuan-tujuan politik modern dalam wadah lama”. Yang terjadiadalah wadah lama tersebut belum ada dengan maksud untukberhadap-hadapan dengan perkebunan besar kelapa sawit.Salah satu contoh adalah KPDS (kelompok pemuda DayakSembuluh) dan Kompak Sembuluh di Seruyan, KalimantanTengah. Dua organisasi diatas mempunyai karakter yang samayakni sama-sama organisasi yang bertipekan mutakhir. Klaim-klaim Masyarakat Sembuluh adalah klaim-klaim yang basisnyaadat tetapi ketika mengoperasionalkannya malah menggunakantipe organisasi mutakhir. Mobilisasi yang digunakan di kedualembaga organisasi rakyat tersebut adalah nilai-nilaitradisional, implementasinya dengan organisasi mutakhir. Halini tercermin dari adanya anggaran dasar dan anggaran rumahtangga ke dua organisasi rakyat tersebut.

Faktor berikutnya yang berhubungan soal-soal kepemimpinandalam masyarakat adat adalah sifat golongan. Bottomore dalamKartodirdjo (1984) menyatakan terdapat dua konsepsi yaknikonsepsi antara elite dan bukan elite, dan konsepsi demokrasi.Konsep elite ini memperlihatkan adanya kelompok yangmemimpin dan adanya massa yang dipimpin. Konsepsi inilahyang dirasakan lebih pas dibandingkan dengan konsepsi lainnya.Elite adalah kelompok-kelompok fungsional dan pemangkujabatan yang memiliki status tinggi (karena alasan apapun)dalam suatu masyarakat (Bottomore dalam Kartodirdjo, 1984).

Faktor terakhir yang berhubungan soal-soal kepemimpinanadalah soal kepribadian. Faktor ini merupakan faktor yangkrusial terhadap pemunculan pemimpin baru di dalammasyarakat adat. Kepribadian yang kuat lah yang dapatmenjadi pemimpin dalam masyarakat adat tipe ke dua.Pemimpin masyarakat adat ini berpengaruh dan mempunyaikekuasaan karena kepribadiannya atau ketokohannya.Beberapa kepribadian tersebut sebenarnya juga kepribadiankeumuman dari beberapa pemimpin. Beberapa kepribadianyang dapat menunjukkan kepemimpinan dalam masyarakatadat kategori ke dua adalah mereka adalah orang terdepandalam segala hal berkenaan persoalan konflik lahan denganperusahaan perkebunan besar kelapa sawit, misalkan palingkritis dalam urusan berhadapan perusahaan perkebunan kelapasawit, sangat rela berkorban untuk kepentingan bersama dalammerebut kembali lahan tersebut, dan lain-lain. Banyakpemimpin masyarakat adat kategori ke dua ini muncul darisifat kepribadian ini. Hal yang terpenting muncul darikepribadian ini adalah mereka mampu memberikan teladanatau contoh dahulu dalam menghadapi soal-soal bagaimanamerebut lahan kembali. Kedua, pemimpin tersebut terdapatnuansa menjadi agitator dan solidator sehingga bilamanapemimpin ini memberikan sesuatu pengarahan maka menjadisolid massa tersebut dan bergerak. Artinya, selainmenginspirasi banyak orang tentang bagaimana soal-soal inidiarahkan, pemimpin tersebut mampu menggerakkan massaberkenaan rencana-rencana yang ada. Ketiga, pemimpinmasyarakat adat kategori ke dua ini mempunyai kepribadianselalu saja mencari-cari peluang dalam menyelesaikanpersoalan konflik lahan tersebut, tak kenal putus asa, merekatak takut untuk bereksperimen dan mengambil resiko.

Bila kita cek lebih mendalam, beberapa sifat kepemimpinanyang muncul dari pemimpin masyarakat adat tersebut tidakberbeda jauh bahkan sama dengan beberapa sifatkepemimpinan yang muncul dalam organisasi mutakhir.Memang dunia berubah, sifat kepemimpinan pun akan berubah.Ada dugaan, bahwa masyarakat adat kategori ke dua dengantetap menggunakan baju dan nilai-nilai ketradisionalanmereka, tetapi beberapa ‘muka’ dari masyarakat adat tersebutsudah mencerminkan pengorganisasian mutakhir, maka apakahmereka sudah masuk ke posisi ‘post tradisional’? inilah yangperlu kita dalami lagi.

Sumber-sumber Pustaka

Kartodirdjo, S. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial.LP3S. Jakarta

Komnas Ham. 2006. Masyarakat Hukum Adat. Jakarta

Kouzes, J. M. & Posner, B. Z. 2006. 5 Teladan Kepemimpinan.PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.

Li, T. M. 2002. Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan. JurnalWacana Ed 11 Th III 2002. Insist Press. Yogyakarta. Hal 173– 207

Noveria M, Gayatri I N, & Mashudi. 2004. Berbagi Ruang denganMasyarakat; Upaya Resolusi Konflik Sumberdaya Hutan diKalimantan Tengah. LIPI. Jakarta

Ritzer, G. & Goodman, D. J. 2004. Teori Sosiologi Modern(terjemahan). Ed 6. Prenada Media. Jakarta

Syarif, S. M. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh; MenujuRekontruksi Pasca Tsunami. Pustaka Latin. Bogor

Undang-Undang Dasar 1945. Hasil Amandemen ke-IV.

(andnotes)1 Keputusan Kongres AMAN No. 01/KMAN/19992 Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Convention concerning

Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries3 Draft Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat: Sebuah

Instrumen Baru, Sekretariat Nasional AMAN, Mei 2004

Page 9: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

9

Mega proyek pembukaan lahan sawit di sepanjang perbatasanakan menyebabkan makin memburuknya kondisi lingkungan diKalbar. Pada tahun 2006 kemarin, deforestasi hutan tropis diKalbar telah mencapai 73, 42 % dari luasan yang ada. DataKehutanan Kalbar luas wilayah kawasan hutan Kalimantan Baratsampai tahun 2005 sekitar 14,868,700 Ha. “Saat ini luaspemanfaatan kawasan tersebut tahun 2006, berupa kawasanlindung sekitar 3,952,625 Ha, Hutan Produksi Terbatas 2,445,985Ha, Hutan Produksi Tetap 2,265,800 Ha, Hutan Produksi Konversi514,350 Ha, Areal Penggunaan Lain 5,689,940 Ha,”.

Luas perkebunan sawit di Kalimanatan Barat adalah 2.352.034Ha (Data Dinas Perkebunan Kalbar, 2004). Hingga tahun 2006jumlah lahan untuk perkebunan sawit di Kalbar terusbertambah, yang kesemuanya itu mengkonversi hutan eks HPHdan hutan masyarakat adat. Selain itu juga hutan Kalbar habisoleh kegiatan HPH. Dengan demikian, kondisi deforestasi hutantropis di Kalimantan Barat mencapai 73,42% sampai tahun 2006,dan dengan hanya luas dan penyeimbang sekitar 26,58% dariluasan kawasan hutan di Kalimantan Barat. Kondisi ini semakinmemperburuk keadaan lingkungan di Kalbar, dimana tiap tahunterjadi bencana pada 2 musim yang berbeda seperti banjir dankebakaran hutan/lahan yang menimbulkan kabut asap.

Pengembangan sawit wilayah perbatasan 1,8 juta ha diKalimantan, sekitar 1 juta Ha di Kalimantan Barat dan 800.000Ha di Kalimantan Timur sangat marak dan menjadi wacana bagiinvestor mengembangan sayapnya ke wilayah perbatasan.Hingga sekarang Pemerintah Daerah tetap berusaha untukmenggoalkan Peraturan Pemerintah tentang perbatasan yangakan memuluskan Pemerintah Daerah untuk membangunperkebunan sawit di hutan perbatasan (Jantung Borneo). Alasanpengembangan wilayah perbatasan dengan sawit ini dikarenakanuntuk membuka keterisoliran kemiskinan masyarakat dan

menjadikan Indonesia, khususnya Kalimantan Barat sebagaipenyuplai sawit terbesar di Indonesia. Sebuah programkesejahteraan atau penghancuran jantung Borneo secara masif?

Pengaruh dari pengembangan sawit ini sangatlah berdampakpada aktivitas sosial budaya masyarakat. Secara umum, kawasanperbatasan di Kalimantan Barat wilayah yang berbatasan denganMalaysia Timur terdapat 119 desa, 15 Kecamatan, 5 Kabupaten,179.017 jiwa, dengan luasan mencapai 2.030.516 Ha. Hal inidimaksud untuk memepersiapkan lahan kritis yang berada disekitar kawasan perbatasan, kalau menurut zonasi (4 zonasi 25– 100 Km) Departemen Kehutanan luas batas wilayah perbatasanhingga 100 Km. Data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, luasanlahan kritis di Kalimantan Barat sendiri sekitar hingga tahun2004 seluas 5,043,037 Ha yang terdapat di wilayah administrasi(Pontianak 187,175 Ha; Sanggau 1,107,036 Ha; Sintang 924,195Ha; Kapuas Hulu 633,940 Ha; Sambas 136,580 Ha; Ketapang1,384,267 Ha; Bengkayang 261,920 ha; Landak 407,924 ha ).Lahan tersebut dapat digunakan sebagai aktivitas rehabilitasiatau reboisasi lahan dengan tanaman komoditi yang bersifatmelindungi kawasan “Agroforestry” dengan melibatkan investasidari luar pemerintahan.

Salah satu permasalahan di sektor kehutanan adalah semakinbertambahnya konversi hutan menjadi areal perkebunan sawit.Perkebunan sawit berkontribusi besar pada tingginya lajukerusakan hutan yang menurut data dari Departemen Kehutanantahun 2002 bahwa setiap hari hutan alam Kalimantan mengalamideforestasi dengan laju kerusakan pertahun mencapai 2,1 jutaHa dan diperkirakan hutan tropis Kalimantan habis pada tahun2010.

Tingginya laju kerusakan hutan alam untuk perkebunan sawittidak terlepas dari perspektif pemerintah Indonesia yang telahmeletakkan pondasi ekonomi pada sektor ini. Tanpa peduli telahmenimbulkan kerusakan hutan, punahnya keanekaragamanhayati, munculnya konflik sosial. Anggapan investasi sawitsangat menguntungkan daerah dan masyarakat, tentu tidaksalah apabila nilai hutan dan keberagaman nilai ekonomipotensial masyarakat yang hilang tidak diperhitungkan. Akantetapi jika hal ini dihitung dan dijadikan bagian biaya dariinvestasi maka analisis yang sangat menguntungkan tersebuttidak terlihat.

Kebijakan pemerintah untuk eksploitasi sumber daya hutanuntuk kepentingan investasi tanpa ada batasan yang jelas tentumenimbulkan social cost dan environmental cost yang akanditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Kerugianpemerintah jelas dalam bentuk alokasi anggaran pembangunan/peningkatan anggaran rehabilitasi sumber daya alam.

Hendi Candra(Walhi Kalbar)

Hutan Borneo Untuk Sawit ?Deforestasi Hutan Kalbar 73,42 Persen

Page 10: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

10

Vol. 1 Tahun 7, 2007

Pengantar

1. Sebenarnya, permasalahan sistem ekonomi perkebunan besarserta berbagai seluk beluknya (ciri-cirinya, sejarahnya,perkembangannya, serta dampaknya dan kaitannya denganaspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik) sudah banyak ditulisorang, terutamaoleh pakar-pakar dunia. (lihat, antara lain,Boeke, 1942; Jacoby, 1961; Geertz, 1963; Backford, 1979;Elson, 1984; Pelzer, 1991; Breman, 1997; dll). Karena itu,saya menganggap bahwa para pemerhati perkebunan (parapejabat, para pengusaha, akademisi, aktivis LSM, dan parapekebun (rakyat) pada umumnya), tentulah sudah jauh lebihmemahami berbagai masalahnya, daripada saya sendiri. Atasdasar itu, maka tulisan ini hanya sekedar tinjauan ringkas,khususnya mengenai pola PIR, dilihat dalam konteks situasidan kondisi perpolitikan dunia kontemporer.

2. Dewasa ini, berbagai negara bangsa (“nation states”),terutama negara-negara yang sedang berkembang mengalamitekanan dari tiga arah sekaligus (“tripple squeeze”), yaitudari “atas”, dari “samping”, dan dari “bawah” (lihat Fox,2001, seperti dikutip oleh Borras Jr., 2004). Dari atas berupatkanan arus globalisasi ekonomi yang menyebabkankekuasaan pemerintah nasional seolah-olah “menyerah”kepada kekuatan mengatur dari lembaga-lembagainternasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Dari bawahberupa tuntutan desentralisasi pemerintahan, dan darisamping berupa gerakan dan dorongan privatisasi. Sekalipuntekanan itu menjepit dari tiga arah, namun sebenarnyasumbernya sama, yaitu kekuatan modal internasional, yangmenghendaki “pasar bebas”

3. Dengan runtuhnya negara-negara sosialis di Eropa Timur,maka keseimbangan politik berubah. Para pemodal bisnisraksasa bekerjasama dengan bank-bank dan pemerintahadidaya, berusaha melakukan ekspansi modal ke berbagainegara di dunia. Kerjasama mereka ini oleh Perkins disebutsebagai “Corporatocrazy” (John Perkins, 2005). Inilah“penguasa” dunia. Karena itu, “globalisasi ekonomi”,menurutnya, adalah imperialis baru. Ekspansi tersebutmerambah ke berbagai bidang, termasuk bidang perkebunan

I. LANDASAN TELAAH TENTANG PIR

Didalam pembangunan pertanian di beberapa negaraberkembang sesudah Perang Dunia Kedua, khususnya selamatiga dekade terakhir ini, terdapat kecendrungan berkembangnyabentuk-bentuk khas organisasi produksi yang mengaitkan secaravertikal satuan-satuan usaha (kecil) rakyat dengan perusahaanbesar agroindustri (sebagai “inti”) yang bermodal raksasa. Padaumumnya, bentuk demikian itu memperoleh dukungan resmidari pemerintah. Di Indonesia, bentuk ini dikenal sebagai sistem

Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan dalam kepustakaanpembangunan disebut dengan beragam istilah sebagai “inti-satelit”, “usahatani-kontrak” (contract farming) atau outgrowersystem.

Gejala yang demikian itu, yaitu semakin berkembangnya,semakin populernya, atau semakin banyaknya yang mengadopsimodel itu, dalam kepustakaan sering disebut sebagai phenom-enon of agribusiness (“gejala agribisnis”). Istilah ini ini “padaumunya mengacu kepada kegiatan Trans-national corporation(TNC) di bidang pertanian sebagai produsen pengolah, ataupedagang komoditas pertanian dan sebagai penjual berbagaisarana produksi dan mesin-mesin” (Glover, 1984), karena padaumumnya komoditas yang diusahakan melalui model tersebutmemang komoditas-komoditas yang dapat dilempar di pasaraninternasional. Menurut Susan George, gerakan agribisnis lahirkarena para pemilik modal raksasa (TNC) tidak lagi dapatmenanam modalnya di masing-masing negara maju (sebab sudahjenuh) dan memalingkan perhatiannya kepada negaraberkembang. Namun karena bidang pertanian memerlukantanah, sedangkan negara-negara berkembang sesudah perangdunia kedua telah menjadi negara nasional yang merdeka, makamasalah jangkauan terhadap tanah ini dirasakan sebagaihambatan. Akibatnya, meraka terpaksa “nebeng” pemerintahnegara maju melalui program bantuan. Negara maju sebagaidonor dapat membujuk negara berkembang agar, dalam rangkaprogram bantuan di bidang pertanian, pemerintah setempatmenyediakan kemudahan dalam hal jangkauan terhadappenguasaan tanah. Akan tetapi mengingat faktor di dalam negeripemerintah nasional negara berkembang tidak dapat begitusaja menyediakan tanah bagi modal asing, seperti jamankolonial (Susan George, 1977). Bentuk “inti-satelit” tampaknyamerupakan jalan keluar.

Jika uraian Susan George itu benar, maka itu berarti bahwamasalah sistem “usahatani-kontrak” itu juga mencakup aspekkebijakan, atau lebih jelasnya aspek politik dan bukan hanyamasalah ekonomi. Oleh karena itu, seperti dinyatakan olehGlover;

“Suatu kajian terhadap sistem usahatani-kontrak yangberusaha meniali potensinya sebagai alat didalam strategipembangunan pertanian, haruslah mencakup dua unsur:suatu analisis mengenai logika ekonomi dari usahatani-kontak, dan suatu penilaian mengenai aspek-aspekpolitinya” (Glover, 1984. Op Cit).

Demikian pula, aspek-aspek sosiologis seperti: hubungan antarapetani-peserta dengan “inti”, antara berbagai pelaku baikpelaku individu maupun kelompok, kemungkinan timbulnyapengelompokkan baru atau peranan baru sebagai akibatditerapkannya usahatani-kontrak, diferensiasi antara pesertadalam hal siapa yang kebagian kesempatan kerja/berusaha dansiapa yang memperoleh bagian nilai tambah, dan lainsebagainya, perlu tercaku dalam kajian. Walaupun berbagaiaspek sosiologi tersebut seringkali juga dimunculkan tetapidalam berbagai kajian sifat telaahnya sering bersifat“pinggiran”, karena pada umumnya titik berat perhatianyadiletakkan pada logika ekonomi saja.

Kepustakaan yang ada mengenai usahatani-kontrakmencerminkan adanya keragaman aliran pmikiran yang secarakasar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu yang pro, yang

TINJAUAN RINGKASMASALAH PERKEBUNAN

MODEL – PIR

Gunawan Wiradi

Page 11: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

11

kontra, dan yang berada diantara kedua ekstrim itu. Glover,misalnya, dalam tinjauannya terhadap kepustakaan mengenaicontract-farming, melihat adanya dua pendekatan yangberlawan, yaitu pertama pendekatan HBS (Harvard BusinessSchool) yang pro terhadap contract-farming dan pendekatanFF (Food First) yang amat sangat kritikal terhadap sistemtersebut.

Pendekatan HBS didasarkan atas keyakinan bahwa jikalauindustri makmur, maka rakyat juga makmur, dan bahwaperusahaan agroindustri sebagai “inti” dianggap mempunyaikemampuan istimewa dalam mengalihakan teknologi secaracepat kepada rakyat, serta menyebabkan partisipasi rakyatsecara meluas. Model itu dianggap berhasil memisahkaninvestasi dalam pengelolaan dan pemasaran, dari hambatanmasalah penguasaan tanah yang peka itu (lihat, Williams andKarem (1985) seperti dikutip B White(1989)).

Pendekatan FF sebaliknya, melihat model “inti-satelit” itusebagai menurunkan derajat usaha tani rakyat ke bawah“modal”, dalam sub-ordinasi yang memungkinkan surpluskeuntungan hasil modernisasi pertanian itu ditangkap olehprodusen langsung (yaitu usaha tani rakyat) tetapi ditangkap“inti”.

Diantara kedua ekstrim tersebut, terdapat beberapa pakar yangmelihat model tersebut secara inherent mengandung bukan sajafaktor-faktor yang secara potensial dapat menguntungkan tetapijuga faktor-faktor yang secara potensial merugikan bagiusahatani kecil.

II. MODEL “INTI SATELIT”/“USAHATANI-KONTRAK/PIR”

Yang dimaksud dengan model “inti-satelit” atau “usahatani-kontak” (contract farming) adalah sebagaimana dirumuskanoleh Colin Kirk:

Contract Farming adalah suatu cara mengorganisasi produksipertanian, yang dengan cara itu petani-petani kecil atauoutgrowers dikontrak oleh suatu badan pusat untuk men-supply hasil pertanian sesuai dengan yang ditentukan dalamsebuah kontrak atau perjanjian. Badan yang membeli hasilpertanian itu dapat men-supply bimbingan teknis, kredit,dan masukan-masukan lainnya, dan menjamin pengolahandan pemasaran. Sistem ini dinamakan juga model “inti-satelit” dimana badan pusat sebagai “inti” membeli hasilpertanian dari petani “satelit” yang dikontrak itu. Dalamvarian khusus yang dipromosikan oleh The CommonvealthDevelopment Corporation (CDC), “inti” itu umumnyamerupakan sebuah nucleus estate, yaitu suatu wilayah kecilbeserta unit pengolaha, dan kepadanyalah sejumlah petanikecil dikontrak untuk men-supply hasil pertanian (kir, 1987:45 – 51).

Walaupun diantara berbagai pakar di Indonesia masih terdapatperbedaan pandangan, namun jika dilihat dari cirinya yangmendasar, pada hakekatnya contract-farming dalam pengertianseperti tersebut diatas mencakup berbagai ragam bentuk “PIR”yang terdapat di jawa Barat baik yang ditunjang pemerintahmaupun bentuk-bentuk perjanjian yang lai, antara produsenkecil dengan pengerahaan besar swasta (sebagai pembeli/pengolah hasil) yang bukan proyek pemerintah.

Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa model tersebutsemakin disenangi oleh pemilik modal raksasa, Kirk selanjutnyamenguraikan bahwa “usahatani-kontak itu dalam beberapa halmengurangi biaya dan resiko investasi”, yang dengan demikianmerupakan kemungkinan sebagai suatu alternatif terhadapbentuk organisasi produksi gaya perkebunan besar (klasik).Beberapa hal tersebut (Kirk, 1987, Ibid):

Pertama, mengatasi masalah tanah. Walaupun pengontrak (inti)tidak secara nyata menguasai tanah, namun memperolehcukup penguasaan atas hasil produksi pertanian secara tidaklangsung. Model untuk tanah menjadi sangat berkurang danresiko kemungkinan tanah disita menjadi hilang.

Kedua, mengatasi masalah tenaga kerja. Perkebunan besaradalah padat karya, tapi tergantung pada tnaga murah yangsemakin sukar diperoleh. Sebaliknya, dalam usahatani-kontrak, petani dipekerjakan secara tidak langsung. Petani“dikontrak untuk menjual tanamannya, bukan tenaganya”.

Ketiga, melalui pengendalian atas penyediaan kredit, pupukdan sarana produksi lainnya, serta dengan tetap dikuasainyasecara kuat kegiatan pengolahan dan pemasaran, pihak initidapat mengendalikan kegiatan petani.

Keempat, melalui usahatani-kontrak pihak inti dapatmemperoleh citra positif, menghapus citra buruk yangbiasanya melekat pada sistem perkebunan besar. Denganlagak membantu petani kecil, pihak inti dapat menampilkandiri sebagai penyelaras aspirasi dan kepentingan nasional.

Kelima, melalui sistem usahatani-kontrak, TNC seringkali dapatberbagi biaya dan resiko dengan lembaga-lembagapembangunan dan keuangan seperti World Bank dan CDC.

Demikianlah, dilihat dari kepentingan pihak “inti” dan daropihak modal besar, model usahatani-kontrak dianggapmenguntungkan dan positif. Akan tetapi bagaimana jika dilihatdari pihak petani dan tenaga kerja? Terutama dalam butir keduadan ketiga tersebut di atas, tersimpan faktor-faktir yang secarapotensial merugikan.

Oleh karena petani diikat (dikontrak) untuk “menjualtanamannya dan bukan tenaganya”, maka ini berarti bhawapihak “inti” mengalihkan semua masalah mengenai pengerahan,pengelolaan dan pengendalian tenaga kerja kepada petanisatelit, dan dengan demikian mengurangi banyak biaya danresiko yang biasanya dihadapainya jika menggunakan tenagaupahan dalam pola perkebunan besar.

Namun salah satu implikasi, melalui model contact farmingpihak inti sebenarnya (setidaknya secara teoritik) memperolehjangkauan tidak langsung terhadap “tenaga kerja dalamkeluarga” yang tidak dibayar (termasuk perempuan dan anak-anak), yang berarti melestarikan proses self-exploitation oflabour power, suatu ciri ekonomi masyarakat tani alaChayanovian. Artinya, rumah tangga petani (kecil)menggunakan dan “membayar” para anggota keluarganyadengan upah per tenaga kerja yang rendah dibanding tingkatupah yang berlaku di pasaran.

Implikasi lainnya adalah jika dilihat dari segi hubungan antara

Page 12: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

12

Vol. 1 Tahun 7, 2007

pihak inti dan dan para petani, serta posisinya masing-masingkhususnya dalam hal kekuatan posisi-tawarnya, maka jelaspetani dipihak yang lemah. Walaupun biasanya dola mutu danharga telah ditentukan dalam perjanjian, tetapi pengambilankeputusan mengenai mutu (yang menentukan apakah bahanbaku milik petani itu diterima atau tidak) adalah pihak inti.

Melalui sistem “inti-satelit”, petani dipisahkan dari pasar bebaskarena kegiatan pengolahan dan pemasaran berada di tanganinti. Seperti dirumuskan Wilson, “ the contract in contract-farming is an agreement between the farmer and inputs sup-plier or a processor which takes the place of exchange on themarket” (Wilson, 1986). Oleh karena itu sistem usahatani-kontrak mungkin memang tidak mencerminkan suatu bentukpertanian kapitalistik. Namun karena penguasaan / pemilikanatas “inti” berada di tangan pemilik modal besar, dan pemodalbesar (TNC) cenderung bergairah untuk menanam modalnyamelalui bentuk contract farmin, maka model ini dapatdipandang sebagai satu bentuk khas “penetrasi kapitalis kedalam pertanian” (Wilson, Ibid), yang sama sekali tidakmenjamin apakah kepentingan “modal” dapat bertemu dengankepentingan petani kecil sebagai produsen langsung.

Di depan disebutkan bahwa “usahatani-kontrak” mencakupberagam bentuk dan tidak mudah untuk membuatpengelompokannya. Dilihat dari segi sejauh mana pihak “inti”mempunyai keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalamtahap-tahap produksi bahan baku oleh petani “satelit” makabentuk-bentuk out dapat dibedakan menjadi tiga macam (Wil-son, Ibid):

a. Kontrak Pemasaran. Perjanjian ini “menentukan macam danjumlah hasil pertanian yang harus diserahkan, tetapi jarangyang merinci cara kerjanya atau metodanya yang harusdigunakan dalam produksi, dan juga tidak menuntut pihakpengolah untuk menyediakan sarana produksi seperti bibit,pupuk, atau peralatan. Perjanjian ini hanya semacam ikatanfuture purchasement.

b. Kontrak Produksi. Ini mengacu pada “peraturan antara petanidan perusahaan non-usahatani yang memerinci macam danjumlah hasil-hasil usahatani yang harus diproduksi dan jugavarietas atau jenis, menentukan cara kerja yang harusdilaksanakan selama proses produksi, dan sarana produksiserta bimbingan teknis yang harus disediakan oleh pihakpengontrak.”

c. Intergrasi Vertikal. Dalam tipe ini “semua tahap-tahapproduksi diwadahi dalam satu perusahaan, dan pasar samasekali tak berperan dalam koordinasi tahap-tahap produksiyang berbeda-beda. Dalam hal ini, perusahaan non-usahatanimemiliki bahan baku, sarana produksi, dan produksi. Parapetani menjadi setara dengan “manager” atau pengawasanyang diupah, atau sekadar sebagai pekerja borongan (piece-rate worker)”.

III. PERLUNYA PEMAHAMAN MENYELURUH

1. Sedah bukan rahasia lagi bahwa dalam tiga dasawarsaterakhir ini di Indonesia terjadi bermacam konflik social yangmerebak di mana-mana, dan meliputi hamper semuasektor,termasuk sektor perkebunan. Semua konflikitu,sekaligus “bungkus” nya macam-macam,pada hakekatnyasumbernya sama,yaitu masalah “agrarian” (dalam arti

luas).Jika ditarik lebih dalam,konflik agrarian itu padahakekatnya adalah bagian dari pertarungan kepentingan darikekuatan-kekuatan modal internasional dalammemperebutkan sumberdaya alam.

2. Juga bukan rahasia lagi bahwa lingkungan alam kita sekarangini sudah rusak,sumberdaya alam kita sudah dikeruk olehberbagai kekuatan modal atas nama “pembangunan”,yangdampak buruknya ternyata jauh lebih besar dari pada dampakpositifnya.

3. Uraian ringkasan tersebut didepan itu sekedar memperluaswawasan,untuk menegaskan bahwa masalah-masalahdisekitar soal PIR itu idaklah berdiri sendiri, melainkanmerupakan melainkan merupakan bagian dari prosesperpoliikan dunia.Karena itu,kuncinya terletak pada sikapdan kemauan politik bangsa kita.Tanpa kesadaran ini,kitaakan selalu tenggelam dalam persoalan teknis,kepentingansesaat,dan berbagai masalah mikro ,yang melahirkanbenturan-benturan yang akan terus terjadi.

4. Para pelaku,para pejabat,para pengamat dan pemerhatimasalah perkebunan,termasuk para aktivis LSM.perlumempunyai pemahaman yang menyeluruh, yang cukup;

a) Dinamika informasi Masyarakat, b) Kebijakan pemerintahc) Aspek sejarah, d) Intervensi asing

Demikian secara ringkas sumbangan pemikiran saya dalamdiskusi sekarang ini .Terimakasih.

Daftar Pustaka;

1. BECKFORD.G.L.(1979:Persistent poverty. Underdevelopment inplantation Economies of the Third World.New York.OxfordUniversity Press.

2. BOEKER,J.H.(1942):The Structure of the Netherlands IndianEconomy.Institute Of Pacific Relations.New York

3. BORRAS,Jr.,S.M.(2004):La Via Campesina,An EvolvingTransnational Social Movement.Amsterdam.TransnationalInstitut.

4. BREMAN.Jan,:Control of land and Labour in Colanial Java,ForisPublication,Holland,1983.

5. BREMAN,Jan.C.(1997):Menjinakan sang Kuli.PolitikKolanoal padaAwal Abat ke 20 Jakarta P.T. Pustaka Utama Grafiti.

6. ELSON,R,E,(1984):Javanese Peasants and the Colanoal SugarIndustry. Singapure.Oxpord University Press.

7. GEERTZ,C (1963):Agricultural Invaolution.Th Process ofEcological Change in Indonesia.Barkeley.University of CaliforniaPress

8. GLOVER,R,J,:”Contract Farming and Smallholder OutgrowerSchemes in Lees Developed Countries”,World Depelopment, 12-2-1982.

9. JACOBY,Eric H.(1961):Agrarian Unrest in Southeast Asia.NewYork 2nd edition.

10. KIRK,C: “Contracting Out:Platations,Smallholders,andTransnational Enterprise”,IDS Bulletin 18 No.1,1987, Halaman45-51

11. MABDLE,R.J.,:Sharecropping and The Platations Economy,dalamT.J.Byres (ed.) Sharecropping and Sharecroppers.Library ofpeasant Studies,No.6Frank Cass &Co.Ltd.London,1983

12. PELZER,Karl J. (1991) Sengketa-sengketa Agraria pengusahaperkebunan melawan petani Jakarta Pustaka Sinar Harapan

13. PERKINS,John (2004):Confessions of an Economic Hit Man.SanFranscisco.Berret-Koehler Publisher,inc.

14. SUSAN GEORGE:How The Other Half Dies HarmondsworthPenguin Books 1977 Ch.VII

15. White ,B,”Agroindustry and Contract Farmers in West Java,Indonesia:Notes on Research in Progress” Draft makalah untukseminar di ISS 1989.

16. WILSON,J.:”The Politic Economy Of Contrast Farming .” dalamReview of Radical Political Economy,18.No.1987,Hal.47-70

Page 13: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

13

Selama ini, hanya ada cara pandang tunggal dan dianggapmutlak oleh manusia terhadap lingkungan. Cara pandang itudisebut antroposentrisme yaitu teori etika lingkungan yangmemandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta,atau nilai tertinggi dalam menentukan setiap kebijakanlingkungan adalah manusia dan kepentingannya. Untukmelegalkan pandangan tunggal dan abosulut tadi, manusiaberagama, terutamanya umat Kristiani mengutip Kejadian 1:26-28 yang ditafsirkan bahwa Allah memberi kewenangan penuhkepada manusia (yang “segambar” dengan-Nya) untukmengeksploitasi alam demi kepentingannya. (Etika Lingkungan,A.Sonny Keraf, Kompas,2002).

Cara pandang antroposentrisme tadi menyebabkan setiapinteraksi manusia dengan alam selalu bersifat eksploitatif,karena alam dianggap tak lebih dari sebuah obyek yang takakan beraksi apabila digali, ditebang, dicemari atau diracun.aktifitas pertambangan, industri manufaktur, perambahanhutan dan perkebunan skala besar merupakan aktifitas sehar-hari yang terkesan “memanfaatkan keberadaan dan isi bumidemi kebutuhan dan kesejahteraan manusia”.

Namun apa yang terjadi kemudian? Alam ternyata punya logikadan tindakannya sendiri, yang luput dari perhitungan logikamanusia yang terbatas. Kesejahteraan manusia yang tadi diidam-idamkan dari eksploitasi bumi, ternyata menimbulkanketimpangan peradaban antar manusia di belahan bumi utaradan selatan. Lewat keunggulan teknologi dan penyertaan modal,negara-negara utara mendirikan Trans-National Coorporations(TNCs) yang menghisap kekayaan alam di seluruh muka bumi.Pada akhirnya, eksploitasi alam tadi ditujukan demi kepentingansegelintir manusia, sedangkan sebagian besar lainnya hanya akanmenjadi korban dari perbuatan sekelompok orang tersebut.

Sebagai bukti, mari kita lihat contoh-contoh sebagai berikut:

1. Rendahnya Kualitas Air Bersih.

Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yangtinggal di kota-kota dan sekurangnya 850 juta orang yangtinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki aksesguna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan cuci.Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagaipenyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimiaberacun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkandengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standar).Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang tercemar tersebut

telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satumilyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992).

2. Tingkat Pencemaran Udara.

Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkatpencemaran udara di 20 kota besar di seluruh dunia, OrganisasiKesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekurangnyasatu jenis polusi udara di kota-kota besar tersebut telahmelebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP danWHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih600 juta orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfurdioksidanya melebihi ambang batas pencemaran udara WHO,dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal di kota-kota yang tingkatpencemaran debunya sudah sangat tinggi.

Lebih jauh lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggidiperkirakan telah menyebabkan gangguan kesehatan padamasyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk sekitarsembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematiandini, 39 juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasusserangan asma, 12 ribu kasus bronhitis kronis, dan 125 ribukasus sakit tenggorokan pada anak-anak di tahun 1990disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kotatersebut (Ostro, 1994).

3. Penurunan Tingkat Kesuburan Tanah.

Program Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP)memperkirakan sekitar 11 percen dari tanah subur di duniatelah tererosi, berubah secara kimiawi, atau secara phisikmemadat yang mengakibatkan menurunnya kemampuan tanahtersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang bergunabagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwakurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusakhingga tidak lagi dapat menjalankan fungsi abiotiknya samasekali (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992).Tentunya tingkat kesuburan tanah yang menurun menyebabkanmenurunnya tingkat produktivitas pertanian

4. Penurunan Tingkat Keragaman Biota akibat PengrusakanHutan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI) pada tahun 2005/2006 kerusakan hutan tropisyang telah mencapai 59,3 juta hektar dari 127 juta hektartotal luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30%spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian tadi masihdilanjutkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Banga dimanapara peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapanpersen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punahdalam 25 tahun mendatang (Reid, 1992).

MEMPERBAIKI LINGKUNGANAGAR BUMI LEBIH LAYAK UNTUK DIHUNI

Abed Nego Tarigan(Deputy Director Sawit Watch)

“Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang (semua orangdi muka bumi), tapi tak bisa mencukupi orang-orang

(sebagian orang) yang rakus.” Mahatma Ghandi

Page 14: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

14

Vol. 1 Tahun 7, 2007

Semakin menurunnya tingkat keragaman biota tentunyamerupakan ancaman serius bagi keseimbangan dan kelestarianalam (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992).Bertahun-tahun yang lalu, ketika kerusakan lingkungan hiduprelatif masih kecil, ada kecenderungan untuk mengabaikanperanan dari kualitas lingkungan hidup terhadap produktivitasekonomi. Tidak demikian halnya saat ini. Argumentasi bahwapenurunan kualitas lingkungan hidup akan menurunkankeuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas ekonomi telahditerima secara luas (Lutz, 1993).

5. Pemanasan Global

kenaikan suhu bumi sebasar 2 derajat celsius pertahundisebabkan oleh beberapa hal, dan dua diantaranya yang palingmenyumbang pemanasan global adalah:

Pembangunan Pabrik dan Rumah KacaMaraknya pendirian pabrik manufaktur dan gedung pencakarlangit telah menyebabkan meningkatnya gas asam arang yangpada gilirannya akan merusak lapisan ozon bumi.

Pembakaran Lahan dan Bencana AsapDari perhitungan dan penelitian antara lain oleh laboratoriumair Delft Hydraulics, ternyata 2.000 juta ton gas asam arangkeluar per tahun akibat kebakaran tanah gambut di Kalimatandan Sumatra. Pancaran gas asam arang di dunia saat inimencapai 26.000 juta ton. Jika pancaran tanah gambut ikutdihitung, maka Indonesia menduduki peringkat ketiga setelahAmerika Serikat dan Cina sebagai negara terbesar pembuangzat asam arang.

Sebuah Solusi Alternatif untuk Memperbaiki KerusakanLingkungan.Hal mendasar yang mesti diubah adalah cara pandang manusiaterhadap keberadaan alam/lingkungan. Apabilaantroposentrisme hanya demi kepentingan manusia dan melihatalam sebagai sebuah obyek, maka cara pandang tadi sudahsaatnya diubah menjadi ekosentrisme yaitu cara pandang yangmemusatkan etika pada seluruh komunitas yang hidup maupunyang mati. Secara ekologis, mahluk hidup maupun benda-bendaabiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Oleh karenaitu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya sebataspada mahluk hidup semata juga pada benda mati.

Salah satu pendekatan yang terkenal dalam ekosentrismeadalah DEEP ECOLOGY (DE) yang pertama kali diperkenalkanoleh Arne Naess (filsuf Norwegia) pada tahun 1973. DeepEcology berarti suatu etika baru yang tidak berpusat pada

manusia tetapi kepada mahluk hidup seluruhnya dalamkaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Dari pendekatan yang ekosentrisme tadi, yang tertuang dalampandangan DEEP ECLOGY, diharapkan setiap pihak bisamengambil peran yang lebih proporsional agar keberlanjutanlingkungan hidup (dimana manusia hanyalah sebuah sub-nyasaja) bisa terjamin di masa yang akan datang. Adapun beberapapihak yang diharapkan berperan besar adalah:

Pemerintah dengan jalan:

a. Selain menetapkan rencana dasar kebijakan lingkunganhidup, menetapkan tujuan pemeliharaan lingkunganberdasarkan masalah yang muncul. Dengan berpijak padahukum, menetapkan rencana dasar dan pembagianperanan/tugas dari seluruh unsur yang terkait.

b. Pembentukan pola dasar kegiatan seluruh unsur yang terkaitberdasarkan penilaian masalah lingkungan, perubahanaturan, perkembangan ekonomi, sosial, serta ilmupengetahuan dan teknologi.

c. Untuk mendorong partisipasi aktif dari pengusaha danmasyarakat, diadakan pendidikan dan latihan pemeliharaanlingkungan, membantu kegiatan pengusaha, membuka jalurinformasi dan lain lain.

d. Membantu kegiatan organisasi-organisasi masyarakat dalampemeliharaan lingkungan dengan bantuan dana danteknologi.

e. Berperan aktif dalam kegiatan pemeliharaan lingkunganhidup international.

Peran Masyarakat;

a. Anjuran untuk lebih memahami hubungan manusia danlingkungan hidup, dengan berperan aktif dalam mengenalalam sekitar.

b. Anjuran untuk memilih barang kebutuhan yang dapat direcycle dan sedikit. bebannya terhadap lingkungan hidup.Menggunakan energy secara efektif. Mengurangi jumlahsampah dan lain-lain.

c. Berperan aktif dalam kegiatan recycle, penghijauan, dankegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasimasyrakat.

d. Berkerjasama dengan pemerintah dan organisasi-organisasimasyarakat lainnya untuk melakukan proses penyadarandan aktifitas penyelamatan lingkungan.

Pada akhirnya, masa depan lingkungan dan bumi ada pada kitasemua. Apakah kerusakan lingkungan yang saat ini sudah sangatparah kita biarkan begitu saja, atau kita masih bisa menunda”kiamat” itu dengan berubah cara pandang dan sikap? Pilihanitu ada pada kita.

____________________________________Tulisan ini merupakan makalah yang dibawakan pada seminar“Kepedulian Gereja Untuk Memperbaiki Lingkungan” yangdiadakan Gereja Kristen Indonesia Taman Aries, Jakarta Barat,bersama Karlina Leksono Supelli (Sosiolog STF Driyarkara)

“Jika Pohon Terakhir Telah Ditebang,Jika Sungai Terakhir Telah Tercemar,Jika Ikan Terakhir Telah Ditangkap,Baru Manusia Akan Sadar Bahwa

Mereka Tidak Akan Bisa Makan Uang.”Green Peace

Page 15: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

15

Dibalik pembuatan mentega berasa gurih, kemilau sabun mandi,aroma parfum yang semerbak sampai biofuell pengganti bahanbakar minyak, ternyata proses awal pembuatan produk-produkyang berbahan dasar kelapa sawit tersebut, menyimpangumpalan persoalan yang tak kunjung terselesaikan.

Ibarat gunung es, gumpalan persoalan yang muncul di sektorperkebunan sawit merupakan dampak dari sistem pembangunanatau perluasan kebun sawit yang lebih mengutamakan ekspansilahan guna merangsang masuknya investor ke Indonesia danmeningkatkan produksi tandan buah segar (tbs) kelapa sawit.Persoalan biasanya muncul antara investor dan masyarakat lokalsaat pembukaan pembukaan kebun sawit terkait keberadaanlahan. Sengketa lahan ini akan menempatkan masyarakat lokaldi satu sisi berhadapan dengan investor yang bersekutu denganaparat pemerintah (baca: penguasa) di sisi lain. Konflik tersebutakan merembet ke birokrasi perijinan, mentalitas aparat dansistem hukum di Indonesia.

Ada dua modus operandi perusahaan sawit yang bekerja samadengan penguasa dalam mendapatkan lahan masyarakat.

Pertama, mengimingi masyarakat (pemilik lahan secara de factoberdasarkan sejarah/tradisi) dengan janji manis sepertimenjadikan penduduk lokal sebagai petani plasma,mempekerja-kan mereka diperkebu-nan sawit, membanguninfrastruktur dan fasi-litas sosial.

Kedua, perusahaan sawit langsung melakukan pembersihanlahan (land clearing) tanpa merasa perlu melakukan sosialisasidengan penduduk lokal.

Pada modus pertama, jamak terjadi janji manisperusahaan tak terealisasikan. Ketika penduduk lokalmenuntut janji-janji tersebut, yang didapatkan biasanyabujukan untuk bersabar atau ancaman agar masyarakatlokal melupakan janji-janji manis itu dari centengperusahaan, pejabat pemerintah atau aparat keamanannegara. Karena takut, sebagian masyarakat lokal memilihbersikap bisu namun sebagian lain akan melakukanperlawanan berupa penahanan/ penyanderaan alat-alatkerja, pendudukan lahan sampai pembakaran basecampmilik perusahaan. Tindakan itu terpaksa dilakukan setelahbatas kesabaran masyarakat sampai pada titik puncak.Pada fase ini penduduk lokal akan dikriminalisasikandengan dalih perbuatannya melanggar hukum.

Pada modus kedua, masyarakat lokal menahan alat-alatberat perusahaan seperti cobelco, escavator danchainsaw dan operatornya karena membersihkan hutanadat, ladang atau kebun warga tanpa ijin. Biasanyamasyarakat lokal akan menuntut perusahaan untuk

merehabilitasi lahan yang telah dirusak dan mengenakan dendaadat karena perusahaan telah mencuri harta masyarakat.Menanggapi tuntutan warga, pihak perusahaan berjanji akanmenggenapi semua tuntutan warga tadi. Alat-alat berat besertaoperatornya akan dikembalikan warga ke pihak perusahaan.Namun janji perusahaan hanyalah di bibir belaka.Memanfaatkan lemahnya daya ingat dan pendokumentasianmasyarakat, selang beberapa bulan kemudian perusahaan sawitkembali membersihan hutan dan lahan warga. Mengetahui halitu, warga yang merasa tertipu melampiaskan amarahnyadengan merusak alat-lat berat tersebut. Merasa dirugikan, pihakperusahaan melaporkan perbuatan masyarakat ke aparatkepolisian dengan tuduhan melakukan pengrusakan terhadapaset perusahaan. Kembali masyarakat akan dikriminalisasikandengan dalih yang sama dengan modus operandi pertama,perbuatannya melawan hukum.

Petaka dengan menggunakan modus operandi pertama,menimpa 11 warga desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah,Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Mereka harusduduk di kursi terdakwa Peng-adilan Negeri Tebing Tinggi Delidengan dakwaan telah me-masuki, menduduki dan melakukanpengrusakan tanah dan tanaman tanaman milik PT LONSUMTbk. Pada 14 Juni 2007, proses peradilan pun digelar untukmemeriksa perbuatan ke-11 warga tersebut di Pengadilan NegeriTebing Tinggi Deli. Dalam proses persidangan yang berlangsungselama 6 bulan, salah seorang terdakwa bernama Tumiran (68tahun) meninggal dunia karena tak tahan menghadapi tekananpersidangan. Pada 13 Desember 2006, para hakim menjatuhkanvonis 1(satu) tahun hukuman untuk 4 orang terdakwa utamadan 6 (enam) bulan hukuman percobaan untuk 6 orang terdakwapembantu. Di akhir persidangan, masyarakat menyatakan band-

KRIMINALISASI MASSALDIBALIK JANJI MANIS

EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT

Jefri Gideon S

Land Clearing tanpa persetujuan masyarakat setempat menjadimodus operandi perusahaan perkebunan kelapa sawit untukmendapatkan lahan.

Page 16: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

16

Vol. 1 Tahun 7, 2007

ing karena tidak terima dinyatakan bersalahdalam kasus tersebut.

Hal yang hampir sama juga terjadi di SumateraSelatan. Pada Juni 2006, ratusan warga dari 4desa (Jermun, Riding, Rambai dan Perigi TalangNangko) melakukan pengrusakan danpembakaran basecamp milik PT Persada SawitMas (PT PSM) setelah upaya warga dari prosesdialog sampai demontrasi berulang kali takmendapat tanggapan dari pemerintah danlegislatif propinsi dan kabupaten, apalagi daripihak PT PSM. Polisipun bergerak cepatmelakukan penyidikan atas kasus pemkabarantersebut. Dalam waktu singkat polisimenetapkan 16 orang menjadi tersangka danmenetapkan 5 orang penduduk dalam daftarpencarian orang (DPO) karena melarikan dirisetelah ikut dalam pembakaran basecamptersebut.

Pada minggu pertama juni 2006, PengadilanNegeri Kayu Agung menggelar sidang perdana dalam kasuspembakaran basecamp PT PSM itu. Dari 16 orang yang dijadikanterkdakwa, Diman bin Bursa tidak dapat melanjutkan persidangankarena meninggal di tahanan. Dalam keterangan resminya, kepalaLP Tanjung Raja Kayu Agung mengatakan bahwa Diman meninggalakibat diare yang dideritanya. Kepala LP tersebut jugamemberikan beberapa berkas kepada keluarga terdakwa untukmenguatkan pernyataannya. Akhirnya pada akhir tahun 2006,pengadilan negeri Kayu Agung menjatuhkan vonis bersalah kepada15 terdakwa dengan hukuman penjara yang variatif antara 6 bulansampai 1,5 tahun penjara. Para terpidana tadi menyatakan band-ing.

Persoalan yang dihadapi masyarakat desa Semunying Jaya,kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, KalimantanBarat, terkait dengan modus operandi kedua perusahaan sawit.Maret 2005, PT Ledo Lestari (PT LL) merusak 9.000 ha hutanalam yang diklaim masyarakat sebagai hutan adat Dayak Iban.Merasa haknya dirampas, warga lokal menahan alat-alat beratPT LL. Merasa dirugikan dan terancam keberlanjutan operasionaldi wilayah tersebut, PT LL melapor-kan perbuatan warga kepolres Bengkayang.

Akibat laporan tadi, kepala desa dan ketua Badan Permusya-waratan Desa Semunying Jaya, Momunus dan Jamaludin, sempatdijadikan tersangka dan menginap beberapa hari di sel tahananpolisi resort (polres) Bengkayang. Meski kemudian dilepaskan,kasus pengrusakan hutan alam tadi tidak pernah diselidiki olehpihak kepolisian. Bahkan di awal tahun 2007, PT Ledo Lestarikembali melakukan pembersihan lahan secara massive diwilayah desa Semunying Jaya. Kali ini tak ada warga yang beranimenahan alat-alat berat perusahaan karena takut akan diperiksadan ditahan aparat kepolisian.

Modus yang sama digunakan PT Wilmar Grup di 6 kecamatan dikabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Disinyalir pembukaankebun sawit di kabupaten ini merupakan bagian dari rencanapemerintah untuk membuka kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia sepanjang 850 km dengan luas kebun sawit seluas 1,8juta ha.

Tanpa melakukan pembicaraan dengan masyarakat lokal, alat-alat berat PT Wilmar Grup merusak 350 ha hutan adatmasyarakat desa Senujuh, kecamatan Sejangkung. Tak cukupdi situ saja, perusahaan ini juga menghancurkan hutan adatmasyarakat desa Galing, Tempapan Hulu, Tempapan Kuala danTrigading di Kecamatan Galing. Ekspansi masih dilanjutkandengan cara yang sama ke desa Kuala Pangkalan Keramat dandesa Mustika di kecamatan Teluk Keramat. Juga di desaMentibar, kecamatan Paloh.

Patut dicatat bahwa beberapa desa yang hutan adatnya dirusakoleh PT WILMAR GRUP (PT WG) merupakan desa-desa yang tidaktercantum dalam ijin lokasi perusahaan yang dikeluarkan olehbupati Sambas pada bulan Maret-April 2006. Anehnya meskiijin lokasi baru dikeluarkan pihak pemerintah kabupaten padaawal tahun 2006, ternyata aktifitas land clearing telah dilakukanoleh perusahaan sejak pertengah-an tahun 2005.

Sawit Watch yang melakukan investigasi ke daerah ini padaawal Agustus 2006 dan Februari 2007, sedikitnya mendapati5.000 ha hutan adat dibersihkan oleh PT Wilmar dengan caramembakar lahan. Bahkan PT WILMAR juga melakukanpembakaran lahan gambut yang kedalamannya mencapai 2-3meter demi membangun kebun. Melalui 3 anak perusahaannyayaitu PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP), PT Buluh CawangPlantation (PT BCP) dan PT Agronusa Investama (PT ANI).

Salah satu titik api yang ditemukan saat bencana asap menimpaIndonesia terdapat di di desa Sentimok, kecamatan Subah. Ditempat ini PT Agronusa Investama telah mendirikan pabrik CPOdi atas lahan masih terlihat sisa-sisa arang bekas pembakaran.Juga secara kasat mata mudah ditemukan pipa-pipa besarsaluran pembuangan limbah dari pabrik langsung mengarah kesungai Subah.

Meski mendapat perlawanan dari masyarakat dan kerapdiberitakan dalam koran lokal, awalnya pemerintah kabupatenSambas tampaknya memilih bungkam terkait dengan persoalanyang ditimbulkan PT WILMAR. Akan tetapi akibat maraknyapenolakan dari warga lokal, pada 13 Februari 2007, diadakan

Kriminalisasi, Masyarakat Desa Pergulaan Sumatera Utaradikriminalisasikan oleh PT. Lonsum Tbk.

Page 17: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

17

pertemuan antara warga yang lahan atau hutannya, PT WILMAR,DPRD SAMBAS, ORMAS dan tokoh masyarakat yang difasilitasioleh pemerintah kabupaten Sambas. Namun masyarakat merasatak puas dengan pertemuan itu karena tidak menghasilkan satukeputusan pun. Hal dikarenakan pihak pemkab cenderungberposisi sebagai pembela dan juru bicara PT WILMAR. Sungguhmenggelikan ketika pertemuan berlangsung, tiba-tiba seorangpetinggi di polres Sambas dengan tegas mengatakan bahwapihak polres siap membela dan mendukung semua aktifitas PTWG.

Di kabupaten Sambas PT WILMAR boleh merasa di atas angin,namun untuk tingkat provinsi saat ini salah satu anakperusahaannya yaitu PT WSP sedang menghadapi gugatan darinegara karena melakukan pembakaran lahan pada periodeagustus-november 2006 di pengadilan negeri Singkawang.

Dalam investigasi yang dilakukan oleh TIM YUSTISI PENANGANANKASUS LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALBAR yang terdiri dari

unsur PPNS-LH BAPEDALDA, Dinas Perkebunan, DinaKehutanan dan unsur dari POLDA Kalbar denganmengikutsertakan saksi ahli BR.IR. BAMBANG HEROSAHARJO, M.AGR dari laboratorium kebakaran hutandan lahan IPB, menyimpulkan, “setelah melakukanground-checking dan sekaligus juga legal-samplingdi lapangan disimpulkan bahwa PT WSP dan 10perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat secarasadar dan sengaja telah melakukan pembukaan lahanuntuk pembangunan kebun sawit dengan caramembakar.”

Bahkan BAPEDALDA KALBAR dengan tegasmengatakan, perijinan PT WSP bermasalah karenatidak memiliki AMDAL. Seruan pihak BAPEDALDA,masyarakat Sambas beserta LSM sosial danLingkungan di KALBAR hampir senada yakni PT WSPmenghentikan operasinya di Sambas sampai persoalanperijinan terutama AMDAL, ganti rugi tanah denganwarga, dan pembakaran lahan serta persoalan limbahyang ditimbulkannya diselesaikan.

Menanggapi tuntutan tersebut, salah seorang field managerPT WSP bernama Agus mengatakan, “ Kami sudah mengikutisemua prosedur perijinan. Bila ada beberapa desa di luar ijinlokasi yang kami peroleh terkena proses land clearing, hal itudiakibatkan oleh tidak adanya peta tentang batas-batas desaatau kecamatan yang jelas di Kabupaten Sambas ini.” Agusmelanjutkan,”Pada tanggal 28 September 2006, pihak PTWILMAR melalui PT ANI telah mengirim surat resmi kepadaBupati Sambas agar membantu penyelesaian sengketa lahanantara PT WILMAR GRUP dan masyarakat lokal yang munculakibat batas-batas desa yang tak jelas. Bahkan kami memintapemkab Sambas untuk melakukan pemetaan agar batas admin-istratif satu desa atau kecamatan dengan desa atau kecamatanlainnya bisa jelas. Namun sampai saat ini surat itu tak berbalas.”

Terhadap penolakan warga atas kehadiran PT WILMAR di wilayahdesanya, dengan enteng Agus menjawab, “Kami tidak akanmemaksakan jika warga tidak mau.” Namun dia juga

mengingatkan agar keputusan tersebut tidakdisesali dikemudian hari. “ Jika nanti adawarga lain yang bersedia menjadi petaniplasma kami dan berhasil dalam beberapatahun ke depan, janganlah menyalahkan PTWILMAR. Jadi harap dikaji dulu plus-minusnya,” ujar Agus. (Pontianak Post, Rabu14 Februari 2007). Pertanyaan yang munculdari pernyataan Agus tadi adalah apakah PTWILMAR GRUP ada mengalokasikan kebunsawitnya untuk petani plasma?

Catatan:1 Dari 11 nama-nama perusahaan

perkebunan sawit yang dinyatakanmelakukan pembersihan untukmembangun kebun sawit di KalimantanBarat, 3 perusahaan merupakan anakperusahaan PT WILMAR TBK.

2 PT WILMAR menguasai hampir 20% daritotal luas lahan yang terdapat dikabupaten Sambas.

Perusahaan perkebunankelapa sawit dengan sengajamelakukan pembakaran lahan

Page 18: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

18

Vol. 1 Tahun 7, 2007

MENIMBANG:

1. Bahwa bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong Ke.Nanga Tayap,Kab.Ketapang keberadaan tanah jelas tidak hanyaberfungsi ekonomis,tetapi juga memiliki fungsi sosial,budaya,dan bahkan memiliki kepercayaan /natural.

2. Bahwa bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong,Ke.Nanga Tayap Kab. Ketapang,Tanah bukan hanyamerupakan tempatuntuk mempertahankan hidup semata,tetapi kepada tanah itulah masyarakat adat juga terikat.Tanah merupakanacuan dasar bagi masyarakat. Adat untuk berurat berakar dalam menemukan makna dan tujuan hidup.

3. Bahwa tanah bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong Kec.Nanga Tayap. Kab.Ketapang,penting karena faktanyayaitu suatu kenyataan merupakan tempat tinggal persekutuan memberikan penghidupan,merupakan tempat paraleluhur persekutuan.

BERPENDAPAT:

1. Berhubungan apa yang menjadipertimbangan-pertimbangan tersebut diatas perlu adanya pengakuan danpenghormatan identitas budaya dan hak ulayat (UUD !($% Pasal.18 ayat 2,Pasal 28 ayat I ayat 3,UU No.39 Tahun1999 pasal 6,UU No.18 Tahun 2004 Pasal 9 ayat 2)

2. Bahwa Perlu adanya pengakuan,penghormatan,perlindungan secara kongkrit terhadap hak-hak Masyarakat adaptatas sumber daya Agraria/sumber daya alam (Tap MPR No.IX/2001 Pasal 4 Hurup I).

3. Bahwa perlu adanya pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan Masyarakat adapt berserta hakTradisionalnya(UU.No.32 Tahun 2004 Pasal 2 ayat 9)

MEMPERHATIKAN:

1. Hasil rapat Desa Tajuk Kayong pada tanggal 10 Januari 20072. Hasil diskusi Kelompok pada tanggal 12 Januari 2007.

MEMUTUSKAN:

“MENOLAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN POLA APAPUN DI WILAYAH DESA KAYONG KARENA SECARA EKONOMI,SOSIALDAN EKOLOGIS SANGAT MERUGIKAN MASYARAKAT ADAT.”

Demikian pernyataan Sikap ini kami buat dengan sebenar-benarnya.

Tajuk Kayong,13 Januari 2007

Ketua Sekretaris Bendahara

(Sumarlin) (Asdian Pasti) (Jalianto)

Tembusan:1. Kepala Desa Tajuk Kayong2. Camat Nanga Tayap3. Bappeda Kabupaten Ketapang4. AMA Kal-Bar5. Walhi Kal-Bar6. Sawit Watch

PERNYATAAN SIKAPMASYARAKAT ADAT DESA TAJUK KAYONG

Page 19: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

19

Danau sembuluh yang terdapat di kabupaten Seruyan, diKalimantan Tengah, merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar dan kecil seperti Kupang, Rungau, dan Ramania.Di tepian danah yang luasnya mencapai 2.424 km2 tersebut,terdapat beberapa desa, yaitu Sembuluh I, Sembuluh II,Bangkal dan Terawan.

Kawasan danau Sembuluh dan desa-desa yang mengelilingnya,termasuk salah satu daerah terpencil dan tertinggal di provinsiKalimantan Tengah. Perjalanan dari kota Palangkaraya, ibukotaKalimantan Tengah, ke danau Sembuluh bisa ditempuh denganjalan darat sejauh 240 km menuju kota Sampi. Kemudiandilanjutkan ke Desa Bangkal sejauh 80 km lagi. Dari DesaBangkal, Danau Sembuluh bisa dicapai dengan kapal motorsekitar 20 menit.

Tipekal masyarakat Sembuluh adalah masyrakat tradisionilyang masih kuat memegang hukum adat. Keadaan itumembuat tokoh masyarakat seperti; panglima, ulama atautetuha kampung masih sangat dominan untuk menyelesaikanpersoalan masyarakat.

Secara ekonomi, warga Sembuluh banyak bergantung darisumber daya alam yang ada di sekitarnya. Sejak jama dulu,penduduk sekitar danau Sembuluh terkenal sebagai pembuatkapal-kapal kayu yang pemesannya banyak datang dariberbagai tempat salah satunya dari Jawa. Kapalyang sudah dibuat dikirim lewat Sungai Seruyanmenuju muara Kuala Pembuang, di pantai selatanKalimantan. Namun, saat ini kayu-kayu besi bahanbaku pembuatan kapal semakin langka akibatpenggundulan hutan, terutama kayu ulin, keahlianmembuat kapan ini sudah mulai langka. Selainmenjadi pembuat kapal, sebagian warga lainmenjadi nelayan pencari ikan dan peladang.

Saat ini mata pencaharian utama masyarakat adalahbertani. Dalam mengelola lahan, masyarakatSeruyan selalu mengikuti tradisi lokal yang saratdengan nilai-nilai kearifan–kearifan lokal yang sudahditerapkan secara turun temurun. Saat berladangatau berhuma digunakan pola berladang gilir balikdimana satu daerah yang telah diladangi masyarakatakan ditinggal beberapa waktu tertentu, kemudianmeninggalkannya untuk membuka lahan baru.Setelah ladang yang pertama dibuka tadi telah suburkembali, maka si petani akan pulang ke lahan itu untukmenerukan pertaniannya. Demikilanlah lahan-lahan itudipakai secara bergiliran. Dalam setiap kegiatan berladang,masyarakat melakukan upacara atau ritual adat untukmemohon Penguasa Jagad memberikan kesuburan tanah danmenjauhkan masyarakat dari bencana alam. Ini

menunjukkan bahwa masyarakat seruan sangat dekat padaalam dan mempunyai semangat pelestarian alam.

Di samping bertani dan berladang, masyarakat Sembuluhjuga secara turun-temurun mencari ikan di Danau Sembuluh,yang merupakan danau terbesar di Kalimantan Tengah.Mereka pun menggunakan alat-alat tangkap tradisional yangramah lingkungan: rengge, tamba, tampirai, bubu (lukah),takalak, lunta, kalang, pancing, dan rempa.

Namun semua kegiatan produksi masyarakat tradisonal tadimengamali perubahan besar bersamaan dengan masuknyainvestasi perkebunan besar kelapa sawit pada 1994. Wilayahtempat masyarakat berladang dan berburu serta tanah-tanahadat milik masyarakat di Sembuluh mulai terdesak. Ladang-ladang milik masyarakat digusur tanpa ganti rugi denganintimidasi oleh pihak aparat. Hutan masyarakat adat yangdikeramatkan dan tempat pengambilan kayu-kayu besi bagikeperluan rumapembangunan rumah juga pembuatan kapaldikonvesri menjadi kebun sawit.

Hingga kini ada lima perkebunan besar yang mengelilingi danmengepung kawasan itu yaitu Agro Indomas (12.104 ha),Salonok Ladang Mas (12.750 ha), Kerry Sawit Indonesia (19.202ha) Sawit Mas Nugraha Perdana (12.750 ha), dan Rungau AlamSubur (6.725 ha).

MASYARAKAT ADAT DANAU SEMBULUH:PERJUANGAN EKSISTENSI DIRI

DITENGAH EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT(RIO ROMPAS, relawan Sawit Watch)

Hadirnya perkebunan kelapa sawit juga telah menyebabkanmunculnya hama belalang yang menyerang tanamanpenduduk. Hal ini membuat penduduk tidak suka lagiberladang, dan menyebabkan mereka sulit untuk mengklaimwilayah kelola mereka yang sudah turun-temurun merekamanfaatkan.

Page 20: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

20

Vol. 1 Tahun 7, 2007

Yang paling menyedihkan, masuknya perkebunansawit ke wilayah Danau Sembuluh memunculkansengketa kepemilihan lahan di kalanganmasyarakat. Masyarakat Sembuluh sejak dahulutidak mengenal adanya surat kepemilikan lahanatau pengakuan dari negara. Di dalam masyarakat,suatu kepemilikan lahan hanya ditandai denganadanya kebun buah-buahan yang dahulunyamerupakan bekas berladang. Lokasi bekas ladangyang produktif dan dijadikan kebun dipeliharadengan baik. Sedangkan apabila bekas ladangtersebut tidak dikelola atau dijadikan kebun ataudibiarkan menjadi hutan, maka semua orang bolehmemanfaatkan lokasi tersebut secara bersama.

Saat ini pola-pola kepemilikan tradisional itu sudahhampir hilang seiring dengan adanya perkebunankelapa sawit. Masyarakat juga saling mengklaimtentang siapa yang pertama kali membuka untukberladang atau berkebun, agar lahannya bisa dijualke perkebunan. Perpecahan mereka jugamengarah kepada mendukung atau menolak kehadiranperkebunan. Perpecahan ini mudah dimaanfaatkan olehperkebunan, yang berkahir dengan kerugian masyarakatsendiri.

Lahan kelola masyarakat juga kian terdesak oleh adanyapropaganda pemerintah yang menyudutkan masyarakat.Pemerintah mengatakan lahan-lahan kritis yang ada disekitar danau tidak dimanfaatkan sehingga sebaiknyadiberikan ijin dan HGU untuk perkebunan sawit. Padahalsesunguhnya kawasan tersebut bukan tidak dimanfaatkanoleh masyarakat, tetapi kawasan tersebut merupakan bekasladang berpindah masyarakat yang akan dimanfaatkankemudian hari hal tersebut di tandai dengan tumbuhan danbekas rumah yang ditinggalkan.

Menanggapi propaganda pemerintah masyarakat dituntutuntuk membuktikan diri bahwa lahan-lahan kritis tadimampu dimanfaatkan dengan menanam tumbuhan-tumbuhan produktif dan bermanfaat secara ekonomis.Berangkat dari propaganda tadi, masyarakat mulaimengorganisir diri untuk mengelola wilayahnya terutamahutan-hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Dalam menuntut haknya yang dirampas perkebunan kelapasawit, masayarakat dibantu Yayasan Tahanjung Tarung danWalhi Kalimantan Tengah. dari proses pendampingan dengankedua LSM di atas, masyarakat membentuk Organisasi RakyatKomunitas Pengelola Kawasan (KOMPAK) Sembuluh.

Pada 2002, Walhi Kalteng mulai menyadarkan masyarakatakan ancaman yang mereka hadapi dan membantu merekamerumuskan langkah untuk menghadapinya. Walhi jugamembantu masyarakat membentuk kelompok pengelolakawasan bernama Kompak Sembuluh.

Pada 2005, bersama Sawit Watch, Walhi membuat programReforestasi dan pemanfaatan Lahan Kritis untukmempertegas kawasan kelola rakyat di Sembuluh. Programini bertujuan memberikan ruang dan kesempatan bagi

masyarakat untuk menguasai lahan serta untuk mencegahekspansi perkebunan sawit. Salah satu cara untuk menguasailahan adalah dengan menanam tanaman budidaya yangmemiliki nilai ekonomi memadai.

Para petani Kompak Sembuluh memilih tanaman nilam, karetserta buah-buahan untuk bisa ditanam di wilayah kelolamereka. Nilam lebih dipilih ketimbang karet karena umurnyajauh lebih pendek, bisa dipanen setelah enam bulanditanam.

Minyak nilam (patchouly oil) merupakan salah satu minyakatsiri yang banyak diperlukan untuk bahan industri parfumdan kosmetik melalui proses penyulingan daun tanamannilam (pogestemon patchouly). Bahkan minyak nilam dapatpula dibuat menjadi minyak rambut dan saus tembakau.Menurut Soeprapto M. Sadjito, Wakil Direktur InternationalFlavors & Fragrances – Far East, sebuah perusahaan importirminyak asiri, dunia membutuhkan minyak nilam sebanyak200-250 ton per tahun dengan peningkatan sekitar 5% pertahun. Ini merupakan peluang besar, namun sayang belumbanyak dibudidayakan.

Minyak atsiri nilam di pasaran internasional cukupmenjanjikan. Saat ini Indonesia rata-rata memasok ke pasarinternasional sekitar 1.000 ton per tahun, sekitar 70%-nyaberasal dari Sumatera dan sisanya dipasok dari Jawa danKalimantan.

Menurut Direktur PT. Indaro Utama, perusahaannya setiaptahunnya mengekspor 20-30 ton minyak nilam, kebutuhanakan minyak nilam dunia itu hampir tanpa batas. Namun,mutu minyak nilam dari Indonesia umumnya masih rendah.Kualitas minyak nilam lokal masih rendah sehingga industriIndonesia sendiri bahkan harus mendatangkannya dari luar.

Minyak atsiri Indonesia dieskpor terutama ke AmerikaSerikat, Jerman Barat, Belanda, Prancis, Inggris, Swiss, Indiadan Pakistan. Minyak nilam Indonesia ini bersaing minyaknilam RRC.

Page 21: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.

Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch

21

Meski pasarnya baik, harga minyak nilam bmerosot dalambeberapat tahun terakhir. Kini hanya sekitar Rp 135.000 perkg, setelah sebelumnya sempat mencapai Rp 750.000 per kg.

Secara umum tanaman nilam dapat dibudidayakan dari dataranrendah hingga tinggi sampai ketinggian 2.200 m di ataspermukaan laut. Namun, agar menghasilkan rendemen minyaktinggi sebaiknya nilam ditanam pada ketinggian 10-500 m daripermukaan laut.

Pengolahan lahan nilam dapatdimulai satu-dua bulan sebelumditanam dengan pencangkulan tanahsedalam 30 cm. Pencangkulanbertujuan mendapatkan kondisitanah yang gembur dan rendah, sertamembersihkan tumbuhan peng-ganggu (gulma). Setelah tanahdicangkul, bedengan-bedengandibuat untuk ditanami nilam. Ukuranbedengan tinggi 20-30 cm, lebar 1-1,5 meter dan panjang disesuaikandengan kondisi lapangan. Jarak antarbedengan berkisar antara 40-50 cmuntuk memudahkan perawatan.Tanah bedengan dibiarkan seminggudan kemudian dicangkul untukmeremahkan tanah yang sekaligusdapat dilakukan pemberian pupukorganik (pupuk kandang) yang sudahdimatangkan.

Di samping umurnya pendek, nilammudah ditanam, sehingga petani bisamandiri melakukannya, dan tidakmembutuhkan lahan yang luassehingga tidak memakan ruang danmerusak hutan.

Kini program tersebut telah berumursatu tahun setengah. Ada beberapamanfaat yang diterima masyarakat.Program ini telah mendorongperubahan kebijakan pemerintah atas model pengelolaan lahanmasyarakat yang selama ini diklaim sebagai lahan tidur.Penghutanan kembali melalui penanaman tanaman produktifjuga menghasilkan alternatif pendapatan baru yang dapatmembantu ekonomi masyarakat. Secara ekologis dan upayapenyelamatan lingkungan, progam ini mengurangi beban danaudan hutan dari ancaman kerusakan.

Program ini dilakukan secara partisipatif. Anggota masyarakatsendirilah yang langsung memilih calon penerima program.Penerima program ini sekitar 80 orang, tetapi yang mengikutiprogram khusus nilam hanya 43 orang. Masing-masing petaninilam menyumbangkan lahannya seluas hektar. Artinya ada 21,5 ha lahan masyarakat yang dijadikan kebun nilam.

Selama proses berjalan juga ada beberapa capaian. Capainterpenting, masyarakat kini bisa mengklaim wilayah kelolaseluas total 120 hektar, meliputi kebun nilam, buah-buahandan lahan reforestrasi.

Proses partisipatif juga mendorong kebersamaan masyarakat dansemangat gotong royong. Keterlibatan masyarakat juga tidaksebatas pada orang penerima program saja, tapi semua keluargadilibatkan dalam proses ini, termasuk perempuan dan anak-anak.

Selain bertanam nilam, masyarakat yang mengikuti programreforestasi yang berjumlah 80 orang dengan menyediakan lahanseluas 2 ha untuk masing-masing kepala keluarga atau secaratotal mencapai 160 ha.

Khusus untuk reforestasi adakesepakan bahwa pihak Walhimenyumbangkan bibit unggul (karetdan durian) sedangkan masyarakatharus menyediakan bibit lokal secaraswadaya. Hal ini menunjukkanbahwa masyarakat dengan sukarelamendukung program dengankesadaran dan kerelaan dan antusiasyang tinggi.

Sementara di tingkat penentukebijakan, Pemerintah DaerahKabupaten Seruyan ternyata mulaimendukung program ini denganmenyediakan satu mesin sulingnilam.

Dari segi ekonomi, masyarakatSembuluh memperoleh tambahanpendapatan dan mampumengembangkan usaha ekonomilokal. Hasil reforestasi dengantanaman produktif akan dinikmatidalam jangka panjang sedangkanperkebunan nilam sudah akan dapatdipetik hasilnya dalam jangkapendek.

Sementara dari segi lingkungan,reforestasi memberikan kawasan-kawasan penyangga di sekitar DanauSembuluh, untuk mencegah

kerusakan danau, yang juga merupakan sumber ikan bagimasyarakat.

Namun di balik cerita-cerita sukses diatas banyak kendala-kandala yang dihadapi oleh masyarakat yaitu terutama dalammelakukan budidaya nilam. Masyarakat sendiri belum tahubagaimana menanam nilam yang baik, bagaimana mengahadapihama dan penyakit. Selain itu ada sebagaian masyarakat yangmasih berpikiran praktis dan ingin cepat menghasilkan tanpamelaui proses, sehingga ada beberapa kebun yang ditinggalkanbegitu saja tanpa dirawat dan banyak yang mati dan terkenavirus.

Bagaimanapun, program ini telah membuka pandanganmasyarakat, bahwa apa yang dilakukan saat ini di daerah sekitardanau Sembuluh adalah kegiatan yang menunjukkan eksistensimasyarakat atas hak pengelolaan tanah adatnya. Sebuahperjuangan panjang demi pengakuan dan penghargaan ataskekayaan alam dan budaya Danau Sentarum.

Page 22: Daftar Isi - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan Sawit/TS012007.pdf · kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi.