Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...
description
Transcript of Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...
PENINGKATAN DIGESTIBILITAS DAN PERUBAHAN
STRUKTUR TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT OLEH
PRETREATMENT
Pleurotus floridanus DAN ASAM FOSFAT
Ringkasan Disertasi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat S-3
Program Studi Bioteknologi
Diajukan oleh
Isroi
08/275457/SMU/00535
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
PENINGKATAN DIGESTIBILITAS DAN PERUBAHAN
STRUKTUR TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT OLEH
Pleurotus floridanus DAN ASAM FOSFAT
Intisari
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) tersedia melimpah dan belum optimal
dimanfaatkan sebagai bahan baku produk berbasis lignoselulosa. TKKS memiliki
digestibilitas rendah dan sulit diolah menjadi produk turunannya. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan digestibilitas TKKS melalui pretreatment biologi
dengan jamur pelapuk putih (JPP). Tahapan penelitian ini adalah (1) pemilihan JPP
yang selektif mendegradasi lignin, (2) peningkatan digestibilitas TKKS dengan
penambahan Mn2+
dan Cu2+
, (3) peningkatan digestibilitas TKKS dengan
pretreatment kombinasi biologi dengan asam fosfat. Penelitian dilakukan dalam skala
laboratorium. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan berat kering, lignin,
selulosa, hemiselulosa, struktur fisik dengan analisa SEM, gugus fungsional dengan
analisa FTIR, dan kristalinitas selulosa. Seleksi dilakukan terhadap Polyota sp,
Pleurotus sp,dan Agraily sp. Pleurotus sp dipilih untuk percobaan selanjutnya dan
diidentifikasi sebagai P. floridnaus LIPIMC966, karena dapat menurunkan
kandungan lignin dari 19.63% menjadi 15.22%, hemiselulosa dari 14.77% menjadi
12.63%, dan meningkatkan selulosa dari 39.92% menjadi 56.04%. Penambahan Mn2+
dan Cu2+
pada pretreatment biologi menggunakan P. floridanus mengurangi bobot
kering dari 27,43% menjadi 32,88%; kandungan lignin hingga 43,17% (Mn2+
) dan
34,08% (Cu2+
), hemiselulosa hingga 32,82%, sedangkan kadar selulosa relatif
konstan. Kombinasi pretreatment biologi menggunakan P. floridanus dan asam fosfat
dievaluasi berdasarkan perubahan komponen lignoselulosa, struktural dan morfologi.
Degradasi karbohidrat setelah pretreatment biologi, asam fosfat, dan kombinasi
biologi dan asam fosfat masing-masing adalah 7,88%, 35,65%, dan 33,77%.
Pretreatment mengubah ikatan hidrogen dari selulosa dan ikatan antara lignin dan
karbohidrat, yang berhubungan dengan kristalinitas selulosa. Kristalinitas selulosa
yang ditunjukkan dengan lateral order index setelah pretreatment secara berturut-
turut adalah adalah 2,77 (tanpa pretreatment), 1,42 (biologi), 0,67 (asam fosfat), dan
0,60 (kombinasi biologi dan asam fosfat). Pretreatment asam fosfat merusak struktur
dan morfologi serat TKKS yang ditunjukkan dari hasil analisis SEM. Pretreatments
telah meningkatkan digestibilitas TKKS masing-masing 4 (biologi), 6,3 (asam fosfat),
dan 7,4 (biologi dan asam fosfat) kali lipat dibandingkan tanpa pretreatment.
Kata kunci: Tandan Kosong Kelapa Sawit, Pleurotus floridanus, Cu, Mn,
pretreatment biologi, digestibilitas
1
1. PENDAHULUAN
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) tersedia melimpah dan belum
dimanfaatkan. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia yang
memproduksi TKKS sebesar 20,7 juta metrik ton (FAOSTAT 2012). TKKS tersusun
dari selulosa 39,13%, hemiselulosa 23,40%, dan 34,37% lignin (Isroi et al. 2013
). Kandungan karbohidrat TKKS yang tinggi menjadikan TKKS berpotensi sebagai
bahan baku produk turunan lignoselulosa. TKKS memiliki digestibiliti yang rendah
dan sulit untuk diolah menjadi produk turunannya. Rendahnya digestibilitas
lignoselulosa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kandungan & komposisi
lignin, kristalinitas selulosa, derajat polimerisasi, volume pori, kelompok asetil terikat
ke hemiselulosa, luas permukaan & ukuran partikel biomassa (Alvira et al. 2010,
Anderson and Akin 2008, Rivers and Emert 1988). TKKS memerlukan proses
pretreatment untuk merubah struktur dan memecah lignin, sehingga selulosa lebih
mudah diakses oleh enzim hidrolitik. Penelitian untuk mendapatkan metode
pretreatment TKKS yang tepat perlu dilakukan agar potensi besar TKKS bisa
diwujudkan menjadi produk-produk turunannya.
Pretreatment lignoselulosa dapat dilakukan secara fisik, kimia, biologi, atau
kombinasi dari metode-metode itu (Alvira et al. 2010, Taherzadeh and Karimi
2008). Pretreatment biologi memanfaatkan kemampuan jamur pelapuk putih (JPP)
atau enzim yang dihasilkannya untuk memecah lignin dan merubah struktur
lignoselulosa (Hatakka A.I. 1983, Taniguchi et al. 2005). Aplikasi pretreatment
biologi memiliki beberapa keunggulan seperti: a) energi yang dibutuhkan relatif
rendah, b) tidak atau sedikit membutuhkan tambahan bahan kimia, c) dilakukan pada
kondisi lingkungan yang rendah (mild cindition), d) sepesifik terhadap substrat (Kirk
& Chang, 1981; Sun & Cheng, 2002). JPP dikelompokkan menjadi selektif dan non-
selektif. JPP selektif adalah JPP yang relatif lebih banyak mendegradasi lignin
daripada selulosa dan hemiselulosa, sedangkan JPP non selektif adalah JPP yang
mendegradasi semua komponen lignoselulosa. Pretreatment biologi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah penambahan kation (Mn2+
dan Cu2+
) (Camarero
et al. 1996, Palmieri et al. 2000). Penambahan kation dapat meningkatkan produksi
enzyme ligninolitik, meningkatkan degradasi lignin, dan meningkatkan digestibilitas
lignoselulosa. Beberapa isolat JPP berhasil diisolasi oleh Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan memiliki kemampuan
mendegradasi lignin, antara lain Polyota sp, Agraily sp, dan Pleurotus sp. Selektifitas
isolate JPP koleksi BPBPI tersebut belum diketahui. Pemilihan isolat JPP selektif
yang sesuai untuk TKKS diperlukan untuk mengembangkan metode pretreatment
biologi dengan penambahan kation (Mn2+
dan Cu2+
).
Pretreatment biologi memiliki beberapa kekurangkan dibandingkan dengan
metode pretreatment fisika/kimiawi, antara lain: hasil gula yang diperoleh relatif
lebih rendah (Taherzadeh & Karimi, 2008). Digestibilitas lignoselulosa dapat lebih
ditingkatkan melalui kombinasi pretreatment biologi dengan pretreatment kimia (Itoh
2
et al. 2003, Ma et al. 2010, Taniguchi et al. 2010, Yu et al. 2010). Salah satu bahan
kimia yang bisa dimanfaatkan untuk pretreatment adalah asam fosfat. Pretreatment
asam fosfat dilaporkan efisien dalam mengurangi kristalinitas selulosa dan
meningkatkan produksi biogas dari TKKS (Nieves et al. 2011). Pretreatment asam
fosfat untuk bahan lignoselulosa juga dilaporkan dapat meningkatkan fraksinasi dan
digestibilitas lignoselulosa (Zhang YH et al. 2007b). Kombinasi pretreatment biologi
dengan pretreatment asam fosfat perlu diujicoba dalam rangka meningkatkan
digestibilitas TKKS. Kombinasi pretreatment biologi dengan pretreatment asam
fosfat ini belum dilaporkan di dalam literatur.
Biomassa lignoselulosa mengalami perubahan fisik maupun kimia setelah
dilakukan pretreatment. Perubahan tersebut antara lain adalah perubahan kandungan
lignin, selulosa, hemiselulosa, penurunan kristalinitas selulosa, peningkatan luas pori-
pori, kerusakan pada area permukaan, dan juga perubahan pada gugus fungsional.
Analisis terhadap perubahan struktur fisik maupun kimiawi, dan komposisi TKKS
setelah pretreatment diperlukan untuk memahami mekanisme peningkatan
digestibilitas TKKS dan perancangan pretreatment yang sesuai untuk menghasilkan
proses pretreatment secara optimal.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk peningkatan digestibilitas TKKS
dengan kombinasi pretreatment biologi oleh JPP dan asam fosfat. JPP dipilih satu dari
tiga koleksi isolate JPP. Kation (Mn2+
dan Cu2+
) ditambahkan pada pretreatment
biologi untuk meningkatkan delignifikasi. Perubahan kandungan lignin, selulosa,
hemiselulosa, derajat kristalinitas, perubahan struktur fisik, dan gugus fungsional
dianalisis untuk mengetahui karakteristik yang berperan dalam peningkatan
digestibilitas TKKS
2. METODE PENELITIAN
2.1. Mikroorganisme dan Bahan
2.1.1. Mikroorganisme
Pleurotus sp, Polyota sp, dan Agraily sp diperoleh dari Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI). Semua JPP ditumbuhkan dan dipelihara
dengan menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA, Badco ) dan diinkubasi
selama kurang lebih satu minggu sebelum digunakan sebagai inokulum untuk
pretreatment biologi. Pleurotus sp diidentifikasi oleh LIPIMC (LIPI Microbial
Collection) dan teridentifkasi sebagai Pleurotus floridanus LIPIMC996.
Yeast Saccharomyces cerevisiae CBS 8066 diperoleh dari Centraalbureau
voor Schimelcultures (Delft, the Netherlands). Kultur yeast dipelihara pada media
agar YPD yang mengandung 20 g/L agar (Scharlau), 10 g/L yeast extract (Scharlau),
20 g/L peptone (Fluka), dan 20 g/L D-glucose (Scharlau) sebagai sumber karbon dan
disimpan pada suhu 4°C.
3
2.1.2. Media
Media untuk pertumbuhan dan pemeliharaan JPP adalah media potato
dextrose agar (PDA, DIFCO Laboratories, Detroit, MI). Komposisi media cair untuk
pretreatment biologi adalah: (a) media 1: 7 g/L KH2PO4, 1,5 g/L MgSO4.7H2O, 1,0
g/L CaCl2.H2O; (b) media 2: 7 g/L KH2PO4, 1,5 g/L MgSO4.7H2O, 1,0 g/L
CaCl2.H2O, 0,015 g/L CuSO4.5H2O; (c) media 3: 7 g/L KH2PO4, 1,5 g/L
MgSO4.7H2O, 1,0 g/L CaCl2.H2O, 0,015 g/L MnSO4.H2O; (d) media 4: 7 g/L
KH2PO4, 1,5 g/L MgSO4.7H2O, 1,0 g/L CaCl2.H2O, 0,015 g/L CuSO4.5H2O, 0,015
g/L MnSO4.H2O. Pretreatment TKKS pada perlakuan kontrol tanpa inokulasi
mikroba ditambahkan media 1. Media 1, 2, dan 3 dipergunakan pada penelitian Tahap
1 dan 2. Media 4 dipergunakan pada penelitian Tahap 3.
2.1.3. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
TKKS diperoleh dari pabrik kelapa sawit Kebun Doloksinumbah, PTPN IV,
Sumatera Utara. TKKS dicacah dengan pajang kurang lebih 5 cm dan dikeringkan
(kadar air <5%). Penelitian ini menggunakan dua sampel TKKS yang diambil dalam
waktu yang berbeda dan di analisis dengan metode yang berbeda. Karakteristik
TKKS yang dipergunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang dipergunakan
dalam penelitian
Sampel 1*) Sampel 2
**)
Lignin (%) 23,89 34,37
Selulosa (%) 40,37 39,13
Hemiselulosa (%) 20,06 23,04
Hot water soluble (%) 14,47
Abu (%) 1,219
Kadar air (%) 51.045 *) Dianalisis dengan metode Chesson-Datta, digunakan pada penelitian Tahap 1 dan 2
**)Dianalisis dengan metode NREL, digunakan pada penelitian tahap 3
Sampel TKKS 1 dan Sampel TKKS 2 diambil dalam waktu yang berbeda.
2.2. Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Tahap 1 adalah seleksi JPP untuk pretreatment biologi TKKS yang memiliki
selektifitas tinggi terhadap degradasi lignin. Tahap 2 adalah pengaruh penambahan
kation (Mn2+
dan Cu2+
) terhadap pretreatment biologi. JPP yang digunakan dalam
penelitian tahap ini adalah JPP hasil seleksi pada penelitian tahap 1. Tahap 3.
Kombinasi pretreatment biologi dengan asam fosfat.
4
Gambar 1. Alur dan tahapan penelitian
2.3.Metode Pretreatment Biologi
Pretreatment biologi dilakukan untuk penelitian Tahap 1 dan 2dengan
fermentasi kultur padat (FKP) tanpa aerasi dan tanpa pengadukan. Lima puluh gram
TKKS ditimbang ditambahkan media cair ke TKKS sesuai perlakuan untuk
mendapatkan kadar air hingga 60%. TKKS selanjutnya disterilkan menggunakan
autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit. Empat potongan kultur JPP ( 5mm)
diinokulasi secara aseptik. Kultur diinkubasi pada suhu kamar selama 6 minggu.
TKKS dicuci, dikeringkan, dan digiling pada akhir inkubasi untuk dianalisisa
penurunan berat kering dan komponen lignoselulosa lainnya.
Pretreatment biologi untuk penelitian Tahap 3 dilakukan dengan fermentasi
kultur padat (FKP) tanpa aerasi dan tanpa pengadukan. Pretreatment biologi TKKS
menggunakan isolat JPP terpilih hasil dari tahap 1. Sebanyak 200 gr TKKS
ditambahkan 120 mL media 4 kemudian disterilkan. Kandungan air pada media
TKKS tersebut kurang lebih 60%. Kultur P. floridanus LIPIMC996 diinokulasikan
secara aseptis. Kultur diinkubasi pada 31°C selama 28 hari di dalam inkubator. TKKS
dipanen pada akhir inkubasi dan dibekukan pada suhu < 0oC untuk menghentikan
pertumbuhan jamur. Sampel TKKS dikeringkan dengan vacuum dryer (Freezone
7.670.530, Labconco, Kansas City, MO, USA) pada suhu -52°C selama 6 jam dan
kemudian dihaluskan dengan ball milling (Retsch ® MM400, Retsch GmbH, Haan,
Jerman) pada frekuensi 29,6 s-1
selama 4 menit. Penurunan berat kering TKKS
ditentukan berdasarkan selisih dari berat kering (oven dry weight, ODW) dari TKKS
awal sebelum pretreatment dan ODW akhir setaelah pretreatment. Semua eksperimen
5
dilakukan duplo.
2.4. Metode Pretreatment Asam Fosfat
Pretreatment asam fosfat diakukan dengan metode yang dijelaskan dalam
referensi (Nieves et al. 2011, Zhang Yi-Heng Percival et al. 2007a). Sampel disimpan
pada suhu < 0oC sebelum digunakan untuk hidrolisis atau analisa selanjutnya.
2.5. Metode Hidrolisis Enzymatik
Hidrolisis Enzymatik untuk Sampel TKKS Hasil Penelitian Tahap 2.
Hidrolisis enzimatik sampel TKKS dilakukan berdasarkan metode dari NREL
(National Renewable Energy Laboratory, USA) dengan sedikit modifikasi (Selig et
al. 2008). Hidrolisis sampel TKKS menggunakan enzim komersial (Cellulast, 64
FPU/ml dan -glucosidase 58pNPGU/ml, Novozyme Co) dengan dosis enzim 60
FPU/g selulase dan 64 pNPGU/g -Glucosidase. Semua sampel dikocok dengan
water bath shaker pada 50oC selama 72 jam dan kemudian disaring. Cairan yang
diperoleh kemudian digunakan untuk analisis glukosa. Digestibilitas (%) dihitung
berdasarkan persamaan sebagai berikut:
(1)
dengan glukosa (g) adalah massa glukosa dalam cairan setelah hidrolisis dan
selulosa (g) adalah massa selulosa di dalam substrat.
Hidrolisis enzymatik sampel TKKS pada penelitian Tahap 3 menggunakan
metode yang sama seperti di atas dengan beberapa modifikasi. Enzym hidrolitik yang
dipergunakan adalah enzyme komersial Cellic ® CTec2 (148 FPU/mL, Novozymes
Co, Bagsvaerd, Denmark) dengan dosis enzim 30, 60, dan 90 FPU/g selulosa.
Digestibilitas (%) dari selulosa awal dihitung dengan membagi glukosa diproduksi
dengan selulosa awal yang digunakan berdasarkan persamaan berikut:
(2)
dengan glukosa (g) adalah jumlah glukosa dalam cairan setelah hidrolisis dan
selulosa awal (g) adalah kandungan selulosa dalam TKKS sebelum mendapat
pretreatment. Semua percobaan dilakukan duplo dan galat (error) disajikan sebagai
standar deviasi.
2.6. Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan
Hidrolisis dan difermentasi simultan (Simultaneous Saccharification and
Fermentation, SSF) dilakukan berdasarkan metode dari NREL (Dowe and McMillan
2008) menggunakan enzyme komersial Cellic ® CTec2 (148 FPU/mL, Novozymes
Co, Bagsvaerd, Denmark) dengan dosis enzim 60 fpu/g selulosa. Konsentrasi
selulosa yang digunakan adalah sebesar 6% di dalam buffer sitrat 0.05 M pH 4.8. SSF
dilakukan dengan volume 100mL pada erlemeyer 250mL yang dilengkapi dengan
perangkap gas (bubble trap). SSF dilakukan pada suhu 31oC di dalam water bath
6
shaker selama 72 jam. Produksi etanol diamati setiap hari.
2.7. Metode Analisis
Analisis kimia dari komponen TKKS (lignin, hemiselulosa, dan selulosa) pada
penelitian Tahap 1 dan 2 dilakukan dengan menggunakan metode Chesson-Datta
(Datta 1981). Selulosa, hemiselulosa, dan lignin dari TKKS pada penelitian Tahap 3
ditetapkan dengan metode NREL (Sluiter A. et al. 2011). Jumlah abu ditentukan
dengan menggunakan furnace selama semalam pada 575°C (Sluiter A. D. et al.
2008). Berat kering ditentukan setelah pengeringan sampel pada suhu 105 ± 3oC
selama 24 jam sesuai dengan metode TAPPI T264 cm tes standar-97 (TAPPI 2002).
Pertumbuhan jamur selama pretreatment diperkirakan berdasarkan berat
kering biomassa jamur (Kumar et al. 2006). Analisis biomassa ini dilakukan untuk
penelitian Tahap 1 dan Tahap 2.
Perubahan gugus fungsional TKKS diamati berdasarkan perubahan adsorsi
atas spektrum IR (infra red) pada panjang gelombang tertentu (Jeihanipour, Karimi et
al. 2009). Pengukuran spektrum IR dilakukan dengan menggunakan spektrometer
FTIR (Impact, 410, Nicolet Instrument Corp, Madison, WI), 32 scan, resolusi 4 cm-1
dalam kisaran 600-4000 cm-1
dan dikendalikan dengan softwere Nicolet OMNIC 4,1
(Nicolet Instrumen Corp, Madison, WI) dan dianalisis menggunakan softwere eFTIR
® (EssentialFTIR, USA).
Evaluasi perubahan struktur fisik permukaan sampel TKKS sebelum dan
setelah pretreatment divisualisasikan menggunakan analisa Scanning Electron
Microscopy (SEM) model JEOL JSM-820 (JEOL Ltd, Akishima, Jepang).
Monosakarida (Selobiosa, Glukosa, Xylosa, Mannosa, Galaktosa dan
Arabinosa) dianalisis menggunakan sistem HPLC yang dilengkapi dengan
autosampler (WalterTM 717, Milford, USA), detektor UV (WalterTM 485, Milford,
USA), dan detektor ELS (WalterTM 2424, Milford, USA). Monosugar dipisahkan
menggunakan Bio-Rad Aminex HPX-87P kolom (Aminex HPX-87P, Bio-Rad,
USA), air murni sebagai fase gerak dengan laju alir 0,6 ml min-1
di bawah kondisi
isotermal pada 85oC. A Bio-Rad Carbo-P kolom pelindung (coloum guard, Bio-Rad,
USA) digunakan dan ditempatkan di luar kolom utama pada suhu kamar.
Konsentrasi etanol dianalisis menggunakan sistem HPLC yang dilengkapi
dengan autosampler (WalterTM 717, Milford, USA), detektor UV (WalterTM 485,
Milford, USA), dan detektor ELS (WalterTM 2424, Milford, USA). Monosugar
dipisahkan menggunakan Bio-Rad Aminex HPX-87H kolom (Aminex HPX-87H,
Bio-Rad, USA), H2SO4 0.025M sebagai fase gerak dengan laju alir 0,6 ml min-1
di
bawah kondisi isotermal pada 85oC. A Bio-Rad Carbo-P kolom pelindung (coloum
guard, Bio-Rad, USA) digunakan dan ditempatkan di luar kolom utama pada suhu
kamar. Etanol standard yang dilarutkan pada H2SO4 0.025M dalam beberapa
konsentrasi dipergunakan sebagai pembanding dan untuk kenghitung konsentrasi
etanol pada sampel.
Data-data hasil analisa dianalisis secara statistic. Data yang ditampilkan
adalah rata-rata dari setiap ulangan. Nilai standard deviation (SD) dihitung dan
7
ditampilkan untuk mengetahui galat (error) dari setiap data. Setiap perluan juga
dilakukan analisis varian (analisys of variance, ANOVA) untuk mengetahui
signifikansi pengaruh perlakuan terhadap control. Analisis korelasi dari beberapa data
percobaan dilakukan untuk mengetahui hubungan statistik antar data perlakuan
tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Seleksi Jamur Pelapuk Putih untuk Pretreatment Biologi Tandan Kosong
Kelapa Sawit
TKKS mengalami perubahan fisik setelah mengalami pretreatment biologi.
TKKS yang telah mendapat pretreatment menjadi lebih cerah dan lebih lunak
daripada TKKS tanpa pretreatment. Perubahan visual warna lignoselulosa adalah
salah satu karakteristik degradasi lignoselulosa oleh JPP (Hatakka Annele 2001).
Penurunan kadar lignin oleh JPP kemungkinan menyebabkan perubahan warna kayu
(Bajpai 2004, de Jong et al. 1997).
Perubahan kandungan lignin, selulosa, & hemiselulosa ditunjukkan pada
Gambar 2. Kandungan lignin & hemiselulosa menurun signifikan, sedangkan selulosa
meningkat signifikan setelah pretreatment biologi. Kandungan lignin menurun secara
signifikan dari 19,63% (kandungan awal) menjadi 15,32% (Pleurotus sp), Polyota sp
(16,63%) dan Agraily sp (18,07%). Kandungan hemiselulosa dari yang terendah
pada masing-masing perlakuan adalah Pleurotus sp (12,63%), Polyota sp (14,26%)
dan Agraily sp (15,18%). Kandungan selulosa (%) pada masing-masing perlakuan
adalah Pleurotus sp (56,04%), Agraily sp (44,13%) dan Polyota sp (42,03%).
Gambar 2. Persentase kandungan lignin tandan kosong kelapa sawit (TKKS): (a)
tanpa pertretmant biologi (kontrol), (b) Pleurotus sp, (c) Polyota sp, (d)
Agraily sp. Pretreatment biologi dilakukan pada fermentasi kultur
padat, tanpa aerasi, dan suhu kamar selama 4 minggu.
0
10
20
30
40
50
60
70
Kontrol Pleurotus sp Polyota sp Agraily sp
Kan
du
ng
an
(%
)
Lignin
Selulosa
Hemiselulosa
8
Ketiga isolate JPP dapat menurunkan kandungan lignin, namun yang
menunjukkan penurunan lignin tertinggi adalah Pleurotus sp. Kandungan
hemiselulosa (%) menunjukkan sedikit penurunan pada masing-masing isolat JPP.
Degradasi hemiselulosa terjadi pada proporsi yang relatif sama dengan degradasi
biomassa, sehingga persentase kandungan hemiselulosa terhadap biomassa total
sedikit mengalami penurunan. Perubahan kandungan selulosa (%) TKKS setelah
pretreatment bervariasi untuk masing-masing isolat JPP. Peningkatan persentase
selulosa setelah pretreatment biologi pada biomassa juga dilaporkan dalam referensi
(Xu et al. 2010). Peningkatan ini terjadi karena degradasi komponen lain (lignin &
hemiselulosa) lebih tinggi daripada degradasi selulosa, sehingga secara proposional
kandungan selulosa akan meningkat. Pleurotus sp mendegradasi lignin kurang lebih
22% dari kandungan awal lignin dan hasil ini sebanding dengan hasil yang
disebutkan dalam literatur, yaitu sebesar 25% setelah pretreatment biologi selama 60
hari (Taniguchi et al. 2005).
Penurunan tertinggi kandungan lignin & hemiselulosa, serta peningkatan
tertinggi kandungan selulosa oleh Pleurotus sp menunjukkan bahwa Pleurotus sp
lebih selektif dalam mendegradasi lignin daripada kedua isolate lain. Hasil senada
juga dilaporkan oleh Kerem et al. (1992) bahwa P. ostreatus lebih selektif
mendegradasi lignin daripada Phanerochaete chrysosporium. Beberapa literatur
melaporkan bahwa isolat Pleurotus sp menghasilkan enzim ligninolitik Lac, MnP,
dan VP; serta juga enzim hidrolitik (Chen et al. 2010, Goudopoulou et al. 2010,
Martínez et al. 2005, Tinoco et al. 2011). Isolat Pleurotus sp selanjutnya dipilih untuk
pretreatment biologi TKKS tahap 2 & 3 dan teridentifikasi sebagai Pleurotus
floridanus dengan nomor koleksi LIPIMC 966.
3.2. Pengaruh Penambahan Mangan (Mn) dan Tembaga (Cu) terhadap
Pretreatment Biologi Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pleurotus
floridanusi LIPIMC966
3.2.1. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Berat Kering dan Komponen
Lignoselulosa
Berat kering akhir TKKS yang telah mendapat pretreatment biologi selama
42 hari inkubasi ditampilkan pada Gambar 3. Penurunan ODW dari mulai yang
terbesar adalah sebagai berikut: 32.88% (Mn2+
), 29.08% (Cu2+
), dan 27.43% (tanpa
penambahan kation). Penurunan ODW tersebut adalah penurunan biomassa
lignoselulosa total yang meliputi penurunan kandungan lignin, selulosa,
hemiselulosa, dan komponen lainnya. JPP mendegradasi komponen padat menjadi
struktur yang lebih sederhana, bahan yang larut air dan produk gas yang
mengakibatkan penurunan berat kering biomassa lignoselulosa.
9
Gambar 3. Penurunan berat kering (oven dry weight, ODW) tandan kosong kelapa
sawit (TKK) selama pretreatment biologi menggunakan Pleurotus
floridanus LIPIMC966: (a) tanpa penambahan kation (kontrol), (b)
CuSO4 (Cu2+
), dan (c) MnSO4 (Mn2+
). Pretreatment biologi dilakukan
dengan fermentasi kultur padat, tanpa aerasi, dan pada suhu kamar.
Penurunan kandungan masing-masing komponen lignoselulosa TKKS
diperlihatkan pada Gambar 4. Setiap perlakuan menunjukkan pola penurunan yang
berbeda-beda. Hot water soluble (HWS) terdiri dari terdiri dari beberapa komponen,
seperti karbohidrat, protein, dan senyawa anorganik. Aktifitas P. floridanus
signifikan menurunkan kandungan HWS hingga kurang lebih 50% selama 42 hari
inkubasi. Pretreatment dengan Mn2+
dan Cu2+
menunjukkan kecepatan penurunan
kandungan HWS yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan kation
(Gambar 4 A).
Kandungan hemiselulosa TKKS menurun secara significant pada semua
perlakuan (Gambar 4 B). Perlakuan Mn2+
menunjukkan kecepatan penurunan yang
lebih cepat dibandingkan perlakuan yang lain pada hingga hari ke-21, kemudian
relatif konstan hingga hari ke-42. Perlakuan kontrol menunjukkan laju penurunan
yang lebih lambat, namun penurunan terus terjadi hingga hari ke-42 dan merupakan
penurunan hemiselulosa terbesar dibandingkan perlakuan lainnya. Pola penurunan
yang signifikat juga diperlihatkan pada kandungan lignin (Gambar 4 D).
Penurunan kandungan selulosa menunjukkan pola yang berbeda dengan
penurunan hemiselulosa dan lignin (Gambar 4 C). P. floridanus tidak signifikat
menurunkan kandungan selulosa pada semua perlakuan. Penurunan kandungan
hemiselulosa dan lignin pada penelitian tahap 2 ini mengkonfirmasi percobaan tahap
1 yang menunjukkan bahwa isolate P. floridanus lebih banyak mendegradasi
hemiselulosa dan lignin daripada selulosa. Dengan kata lain P. floridanus lebih
selektif dalam degradasi lignin, HWS, dan hemiselulosa dibandingkan selulosa.
0
5
10
15
20
25
30
0 7 14 21 28 35 42 49
Be
rat
Ke
rin
g (
gr)
Hari ke-
Kontrol Cu Mn
10
Gambar 4. Perubahan kandungan komponen TKKS, yaitu: hot water soluble
(HWS) (A), hemiselulosa (B), selulosa (C), dan lignin (D) selama
pretreatment dengan Pleurotus floridanus LIPIMC996 tanpa
penambahan kation (kontrol), dengan penambahan CuSO4 (Cu2+
), dan
penambahan MnSO4 (Mn2+
). Pretreatment biologi dilakukan dengan
fermentasi kultur padat, tanpa aerasi, dan pada suhu kamar.
Fakta bahwa penambahan Mn2+
dan Cu2+
dapat meningkatkan degradasi
lignoselulosa oleh jamur juga telah dilaporkan dalam beberapa referensi (Janusz et al.
2006, Levin et al. 2007, Tychanowicz et al. 2006). Penambahan konsentrasi tertentu
Mn2+
dan Cu2+
dapat menginduksi dan mengontrol produksi enzim ligninolitik yang
mengakibatkan peningkatan degradasi lignin. Konsentrasi Mn2+
dapat mempengaruhi
aktifitas MnP dan LIP, sedangkan Cu2+
dapat mempengaruhi aktivitas Lac (Isroi et al.
2011). Unsur Mn2+
dalam media pertumbuhan memainkan peran penting dalam
mengatur aktivitas mangan peroksidase (MnP) dan lignin peroksidase (LiP). Aktivitas
MnP mendominasi dalam kondisi ketersediaan Mn2+
, dan sebaliknya aktivitas LiP
mendominasi dalam kondisi konsentrasi Mn2+
yang rendah. MnP dapat berdifusi ke
dalam dinding sel yang mengalami lignifikasi dan mengoksidasi gugus non-fenolik
lignin, sedangkan Lac mengoksidasi struktur fenolik lignin.
3.2.2. Pengaruh Pretreatment Biologi Pada Karakteristik Fisik Dan Struktural
TKKS
Perubahan struktural TKKS dianalisis menggunakan FTIR, yang
mencerminkan perubahan gugus fungsional. Analisis spektrum FTIR ditunjukkan
pada Gambar 5 dan penetapan (assignment) band (pita) diuraikan pada Tabel 1.
11
Beberapa band yang berhubungan dengan polisakarida dan selulosa sedikit
mengalami perubahan untuk semua pretreatment, yaitu: 3450-3000, 1456, 1162-
1158, 897, dan 769 cm-1
. Spektrum pita ini sesuai dengan data kandungan selulosa
TKKS yang tidak terdegradasi oleh jamur. Puncak (peak) 640 cm-1
, 760 cm-1
dan
1.366 cm-1
yang berhubungan dengan selulosa mengalami perubahan signifikan
setelah pretreatment. Intensitas pada panjang gelombang 1739-1738 cm-1
(polisakarida) secara signifikan mengalami penurunan setelah pretreatment. Ikatan
antara lignin dan karbohidrat kemungkinan terdapat dalam peak ini (Takahashi dan
Koshijima 1988). Proses degradasi hemiselulosa dan lignin oleh jamur dapat
mematahkan ikatan antara karbohidrat dan lignin yang dapat berkontribusi dalam
penurunan adsorbsi pada peak 1739-1738 cm-1
ini.
Gambar 5. Spektra FTIR dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang telah
mendapat pretreatment dengan P. floridanus pada perlakuan kontrol,
Cu2+
dan Mn2+
selama a) 0 hari, b) 7 hari, c) 14 hari, d) 21 hari, dan e)
28 hari.
Kristalinitas selulosa dapat diprediksi dengan menggunakan rasio intensitas
dari band A1418/A895 yang dikenal sebagai Indeks Orde Lateral (LOI) (O'Connor,
Dupre et al 1958;. Hurtubise dan Krassig 1960). Kristalinitas selulosa menurun
selama pretreatment. Penambahan Mn2+
dan Cu2+
menunjukkan penurunan LOI yang
lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan kation. Perubahan pada absorbs IR
12
TKKS setelah pretreatment menunjukkan bahwa meskipun degradasi selulosa
rendah, tetapi struktur selulosa kemungkinan berubah.
Band pada panjang gelombang 1.595 dan 1.505 cm-1
yang berhubungan
dengan lignin signifikan mengalami perubahan setelah pretreatment dengan Mn2+
dan
Cu2+
. Sementara itu, intensitas pada panjang gelombang1.032 cm-1
juga menurun
setelah pretreatment dengan penambahan Mn2+
. Penyerapan spektrum IR pada
panjang gelombang 1422-1424 cm-1
menunjukkan adanya syringyl lignin (Pandey
dan Pitman 2003). Pengamatan pada panjang gelombang tersebut menunjukkan
beberapa perubahan penurunan yang signifikan, meliputi: kandungan lignin,
berkurangan gugus CC, CO, dan peregangan C = O (unit G terkondensasi> G
teresterifikasi). Analisis spektra FTIR pretreatment biologi TKKS menunjukkan
perubahan signifikan dalam beberapa gugus fungsional di berbagai daerah, khususnya
di unit G dan unit S lignin, dan menunjukkan deformasi biomassa selama
pretreatment biologi.
Tabel 1. Penetapan band absorbsi FTIR pada beberapa komponen tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) sesuai dengan literatur Panjang
gelombang
(cm-1
)
Penetapan
Assignments
Asal Ref.
670 C-O out-of-plane bending
mode
Selulosa (Schwanninger et
al. 2004)
715 Rocking vibration CH2 in
Cellulose Iβ
Selulosa (Schwanninger et
al. 2004)
858-853 C-H out of plane deformation
in position 2,5,6
G-Lignin (Fackler et al. 2010)
897 Anomere C-groups C(1)-H
deformation, ring valence
vibration
Polisakarida (Fackler et al. 2010,
Fengel 1992)
996-985 C-O valence vibration (Schwanninger et
al. 2004)
1035-1030 Aromatic C-H in plane
deformation, G>S; plus C-O
deformation in primary
alcohols; plus C=O stretch
(unconj.)
Lignin (Schwanninger et
al. 2004)
1162-1125 C-O-C assimetric valence
vibration
Polisakarida (Fackler et al. 2010,
Schwanninger et al.
2004)
1230-1221 C-C plus C-O plus C=O
strech; G condensed > G
etherified
Polisakarida (Fackler et al. 2010,
Fengel 1992)
1227-1251 C=O stretch, OH i.p. bending (Faix O. and
Böttcher 1992)
13
Panjang
gelombang
(cm-1
)
Penetapan
Assignments
Asal Ref.
1270-1260 G-ring plus C=O strectch G-Lignin (Faix O. 1991)
1315 O-H blending of alcohol
groups
Karbohidrat (Fackler et al. 2010)
1375 C-H deformation vibration Selulosa (Fengel 1992)
1470-1455 CH2 of pyran ring symmetric
scissoring ; OH plane
deformation vibration
(Schwanninger et
al. 2004)
1430-1416 Aromatic skeletal vibrations
with C-H in plane deformation
CH2 scissoring
Lignin (Faix Oskar et al.
1991)
1460 C-H in pyran ring symmetric
scissoring; OH plane
deformation vibration
Selulosa (Fengel 1992)
1515-1505 Aromatic skeletal vibrations;
G > S
Lignin (Faix Oskar et al.
1991)
1605-1593 Aromatic skeletal vibrations
plus C=O stretch; S>G; G
condensed > G etherified
Lignin (Faix Oskar et al.
1991)
1675-1655 C O stretch in conjugated p-
substituted aryl ketones
Lignin (Faix Oskar et al.
1991)
1738-1709 CO stretch unconjugated
(xylan)
Polisakarida (Faix Oskar et al.
1991)
2940-2850 Asymetric CH2 valence
vibration
(Schwanninger et
al. 2004)
2980-2835 CH2, CH2OH in Cellulose
from C6
Selulosa (Schwanninger et
al. 2004)
2981-2933 Symmetric CH2 valence
vibration
(Schwanninger et
al. 2004)
3338 Hydrogen bonded O-H
valence vibration;
O(3)H...O(3) intermolecular in
cellulose
Selulosa (Schwanninger et
al. 2004)
3.2.3. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Digestibilitas TKKS
Nilai digestibilitas TKKS dihitung berdasarkan persamaan 1 dan disajikan
pada Gambar 6. Nilai digestibilitas TKKS meningkat dengan meningkatnya waktu
inkubasi pretreatment biologi dengan P. floridanus. Digestibilitas awal TKKS untuk
semua perlakuan adalah antara 17,22-22,00%. Digestibilitas tertinggi TKKS tanpa
penambahan kation adalah 30,97% pada 28 hari inkubasi. Digestibilitas TKKS
tertinggi untuk perlakuan dengan penambahan Cu2+
dan Mn2+
adalah masing-masing
60.27% dan 55.67%. Data ini membuktikan bahwa pretreatment biologi TKKS
14
dengan penambahan Cu2+
dan Mn2+
membuat TKKS lebih rentan dan lebih mudah
dihidrolisis daripada tanpa penambahan kation.
Gambar 6. Hasil hidrolisis sampel TKKS yang telah mendapat pretreatment
biologi menggunakan P. floridanus LIPIMC996 a) tanpa penambahan
kation (kontrol), b) penambahan CuSO4 (Cu2+
), c) penambahan MnSO4
(Mn2+
). Hidrolisis menggunakan enzyme selulase (60 FPU/g substrat)
dan -glukosidase (64 pNGU/g substrat), suhu 50oC, selama 72 jam.
3.3. Perubahan Strultural Tandan Kosong Kelapa Sawit Setelah Pretreatment
dengan Pleurotus floridanus dan Asam Fosfat
3.3.1. Pengaruh Pretreatment pada Komponen Biomassa
Hasil analisa komposisi kandungan TKKS sebelum dan setelah pretreatment
dengan P. floridanus dan asam fosfat disajikan Gambar 7. Persentase kandungan
komponen lignoselulosa TKKS hanya sedikit berubah karena pretreatment jamur
tetapi secara signifikan berubah karena pretreatment asam fosfat, dan pretratment
dengan jamur diikuti oleh pretreatments asam fosfat. Hemiselulosa menunjukkan
persentase kandungan terendah pada kedua perlakuan dengan menggunakan
pretreatment asam fosfat, yaitu 9.09%. Persentase penurunan total solid
menunjukkan perubahan sangat signifikan setelah pretreatment. Pretreatment biologi
dengan P. floridanus menunjukkan penurunan berat kering terendah (1,31%) dan
penurunan total karbohidrat terendah (7,88%) dibandingkan dengan dua pretreatment
lainnya.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 7 14 21 28 35 42 49
Dig
esti
bil
ita
s (%
)
Waktu inkubasi (hari)
Kontrol Cu Mn
15
Gambar 7. Profil komponen tandan kosong kelapa sawit (TKKS) setelah
pretreatment. ASL: acid soluble lignin (lignin larut asam), AIL: acid
insoluble lignin (lignin tidak larut asam).
Kandungan hemiselulosa adalah yang paling terpengaruh oleh pretreatment
asam fosfat dan pretreatment kombinasi sebesar 18%. Degradasi total padatan setelah
pretreatment asam fosfat adalah sekitar 55%; sedangkan untuk pretreatment
kombinasi jamur asam fosfat sebesaar 64%. Kehilangan total karbohidrat dari kedua
perlakuan tersebut adalah 35% (pretreatment jamur) dan 33% (pretreatment jamur
dilanjutkan dengan pretreatment asam fosfat). Berdasarkan data tersebut pretreatment
jamur lebih menguntungkan ditinjau dari tingkat kehilangan karbohidrat yang lebih
rendah dibandingkan pretreatment asam fosfat dan pretreatment jamur yang diikuti
dengan pretreatment asam fosfat. Aplikasi pretreatment jamur untuk TKKS
memberikan jumlah karbohidrat yang lebih besar dan relatif lebih ramah lingkungan
daripada dua pretreatment lainnya.
3.3.2. Efek Pretreatment terhadap Struktur TKKS
Perubahan struktural TKKS dianalisis berdasarkan perbedaan spektra FTIR
dari TKKS yang tidak mengalami pretreatment dan setelah pretreatment ditunjukkan
pada Gambar 8. Penetapan dan pergeseran setiap band yang sesuai dengan literatur
tercantum dalam Tabel 2. Empat belas band yang ditemukan dalam semua sampel
TKKS berada pada kisaran 600-800 cm-1
dan 2.800-3.700 cm-1
. Band dengan
intensitas tinggi pada panjang gelombang 2.918, 2.985, dan 648 cm-1
hanya
ditemukan pada TKKS yang tidak mendapat pretreatment dan mendapat
pretreatment dengan jamur. Band yang hanya muncul pada sampel yang mendapat
pretreatment dengan asam fosfat dan pretreatment jamur diikuti dengan asam fosfat
adalah 1.224, 998 dan 666 cm-1
.
16
Gambar 8. Spektra FTIR dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di panjang
gelombang yang berkisar dari (a) 2.800-3.800 cm-1
dan (b) 600-1.800
cm-1
. Keterangan garis: tanpa pretreatment (garis merah), pretreatment
jamur (garis hijau), pretreatment asam fosfat (garis biru muda), jamur
diikuti oleh pretreatment asam fosfat (garis coklat muda).
Tabel 2. Penetapan band IR maksimum pada beberapa komponen tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) sesuai dengan literature.
TKKS
tanpa
pretreatment
Pretreatment
jamur
Pretreatment
asam fosfat
Pretreatment
jamur
dilanjutkan
dengan asam
fosfat
Penetapan Sumber Ref.
648 666 666 667 C-O out-of-plane
bending mode Selulosa
(Schwanni
nger et al.
2004)
716 - - -
Rocking
vibration CH2 in
Cellulose Iβ
Selulosa
(Schwanni
nger et al.
2004)
770 770 769 769 CH2 vibration in
Cellulose Iα Selulosa
(Schwanni
nger et al.
2004)
849 851 850 851
C-H out of plane
deformation in
position 2,5,6
G-Lignin (Fackler et
al. 2010)
897 896 895 895
Anomere C-
groups C(1)-H
deformation, ring
valence vibration
Polisakari
da
(Fackler et
al. 2010,
Fengel
1992)
- - 998 997 C-O valence
vibration
(Schwanni
nger et al.
2004)
1,032 1,033 1,022 1,022
Aromatic C-H in
plane
deformation,
G > S; plus C-O
deformation in
Lignin
(Schwanni
nger et al.
2004)
17
primary alcohols;
plus C=O stretch
(unconj.)
1,159 1,159 1,158 1,158 C-O-C assimetric
valence vibration
Polisakari
da
(Fackler et
al. 2010)
- - 1,224 1,223
C-C plus C-O
plus C=O strech;
G condensed > G
etherified
Polisakari
da
(Fackler et
al. 2010,
Fengel
1992)
1,241 1,237 1,243 1,245 C=O stretch, OH
i.p. bending
(Faix O.
and
Böttcher
1992)
1,266 1,267 1,267 1,267 G-ring plus C=O
strectch G-Lignin
(Faix O.
1991)
1,321 1,326 1,315 1,315 O-H blending of
alcohol groups
Karbohid
rat
(Fackler et
al. 2010)
1,375 1,371 1,370 1,372 C-H deformation
vibration Selulosa
(Fengel
1992)
1,418 1,418 1,420 1,419
Aromatic skeletal
vibrations with
C-H in plane
deformation CH2
scissoring
Lignin
(Faix
Oskar et
al. 1991)
1,462 1,457 1,455 1,459
C-H in pyran ring
symmetric
scissoring; OH
plane
deformation
vibration
Selulosa (Fengel
1992)
1,511 1,507 1,506 1,506
Aromatic skeletal
vibrations;
G > S
Lignin
(Faix
Oskar et
al. 1991)
1,593 1,609 1,608 1,607
Aromatic skeletal
vibrations plus
C=O stretch;
S>G; G
condensed > G
etherified
Lignin
(Faix
Oskar et
al. 1991)
1,640 1,646 1,654 1,663
C O stretch in
conjugated p-
substituted aryl
ketones
Lignin
(Faix
Oskar et
al. 1991)
1,735 1,735 1,735 1,735
CO stretch
unconjugated
(xylan)
Polisakari
da
(Faix
Oskar et
al. 1991)
2,850 2,850 2,850 2,850 Asymetric CH2
valence vibration
(Schwanni
nger et al.
2004)
2,918 2,918 2,918 2,918 Symmetric CH2
valence vibration
(Schwanni
nger et al.
18
2004)
3,338 3,345 3,346 3,351
Hydrogen
bonded O-H
valence
vibration;
O(3)H...O(3)
intermolecular in
cellulose
Selulosa
(Schwanni
nger et al.
2004)
Intensitas absorbsi IR yang kuat dan luas diamati pada panjang gelombang
sekitar 3.300 cm-1
. Peregangan ikatan hydrogen (OH) dari spektrum TKKS pada
panjang gelombang antara 3,000-3,600 cm-1
identik dengan karakteristik spectrum
FTIR selulosa I. Band IR ikatan hydrogen dari selulosa I adalah jumlah dari tiga
ikatan hidrogen-yang berbeda, yaitu: ikatan hidrogen intramolekul dari 2-OH · · · O-6,
ikatan hidrogen intramolekul dari 3-OH · · · O-5 , ikatan hidrogen antarmolekul dari
6-OH · · · O-3 (Schwanninger et al. 2004). Tinggi relatif band di interval panjang
gelombang ini menurun sebagai akibat dari menurunnya ikatan hydrogen &
kandungan selulosa. Band ikatan hydrogen dalam kisaran panjang gelombang dari
2.800-3.800 cm-1
menunjukkan kecenderungan yang sama dengan degradasi selulosa
setelah pretreatment.
Intensitas band yang kuat terlihat pada panjang gelombang 2.918 dan 2.850
cm-1
ditemukan pada TKKS yang tidak mengalami pretreatment dan mengalami
pretreatment jamur. Intensitas yang kuat di kedua band juga ditemukan pada
spektrum IR dari kayu utuh dan lignin kayu (wood lignin) (Fackler et al. 2010), yang
menunjukkan bahwa struktur lignin di TKKS mirip dengan lignin kayu. Penurunan
intensitas IR di kedua panjang gelombang tersebut pada TKKS yang mendapat
pretreatment dengan asam fosfat dan pretreatment kombinasi jamur dengan asam
fosfat menunjukkan perubahan struktur yang besar pada gugus CH2.
Spektrum inframerah pada kisaran panjang gelombang 1.150 dan 1.750 cm-1
jelas menunjukkan dua kelompok yang spektrum berbeda (Gambar 8b). Band pada
panjang gelombang sekitar 1.735 cm-1
adalah karbonil unconjugated berasal dari
asam uronic dari xylan pada hemiselulosa (Fackler et al. 2010). Ikatan antara lignin
dan karbohidrat kemungkinan berada pada panjang gelombang ini (Fengel 1992).
Intensitas IR pada panjang gelombang ini berkurang setelah pretreatment jamur dan
selanjutnya semakin rendah pada pretreatment asam fosfat maupun pretreatment
jamur-asam fosfat. Peak pada panjang gelombang 1.735 cm-1
sesuai dengan
perubahan kandungan hemiselulosa TKKS setelah pretreatment jamur dan degradasi
hemiselulosa yang tinggi setelah pretreatments asam fosfat dan pretreatment
kombinasi jamur dengan asam fosfat (Gambar 8b).
Perubahan struktural dalam lignin dan hilangnya unit aromatik ditunjukkan
oleh perubahan intensitas dalam pada panjang gelombang 1.646, 1.593 dan 1.506 cm-
1. Pretreatment jamur meningkatkan intensitas pada band 1.646 cm
-1 dan penurunan
intensitas band pada 1.593 dan 1.506 cm-1
. Perubahan ini menunjukkan adanya
19
pemecahan ikatan antara benzilik α - dan -atom karbon oleh pretreatment jamur
(Fackler et al. 2010). Kedua pretreatment asam fosfat dan pretreatment kombinasi
jamur dengan asam fosfat menunjukkan intensitas yang sama untuk band pada 1.646,
1.607 1.593, dan 1.506 cm-1
. Spektrum ini menjelaskan data persentase ASL yang
hampir sama pada TKKS yang mengalami pretreatment asam fosfat dan pretreatment
kombinasi jamur dengan asam fosfat.
Intensitas IR menurun pada panjang gelombang 1.462 dan 1.418 cm-1
, tetapi
meningkat pada panjang gelombang 1.321 cm-1
setelah pretreatment jamur.
Intensitas IR dari band-band ini berkurang setelah pretreatment asam fosfat dan
pretreatment kombinasi jamur dengan asam fosfat. Intensitas yang berbeda juga
ditemukan di dekat band 1.267 dan 1.236 cm-1
. Intensitas di band-band ini tidak
berubah setelah pretreatment jamur, namun berkurang setelah pretreatment asam
fosfat. Band pada1.267 cm-1
adalah band untuk guaiacyl lignin. Band pada 1.235 cm-1
adalah oleh kombinasi dari deformasi syringyl dan selulosa. Penurunan intensitas
pada panjang gelombang 1.235 cm-1
lebih besar daripada yang di panjang gelombang
1.267 cm-1
setelah pretreatment asam fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa syringyl
lignin lebih mudah terdegradasi oleh asam fosfat dibandingkan guaiacyl lignin.
Band pada panjang gelombang 1.375 cm-1
adalah band untuk deformasi
gugus CH2 dalam selulosa dan hemiselulosa. Intensitas band ini sedikit menurun
setelah pretreatment jamur dan hal itu sesuai dengan degradasi selulosa dan
hemiselulosa oleh jamur. Penurunan yang lebih tinggi dalam intensitas ditemukan
setelah pretreatment asam fosfat, dimana terjadi degradasi hemiselulosa yang tinggi.
Penurunan intensitas juga ditemukan di band di panjang gelombang 1.159 cm-1
, yaitu
band untuk getaran asimetris COO-> COC selulosa dan hemiselulosa. Semua sampel
TKKS yang mendapat pretreatment menunjukkan intensitas lebih rendah dari TKKS
yang tidak mendapat pretreatment. Perubahan dalam intensitas juga ditemukan pada
band di sekitar panjang gelombang 1.032 cm-1
yang merupakan peregangan CO
dalam selulosa dan hemiselulosa. Intensitas band ini sedikit meningkat setelah
pretreatment jamur. Di sisi lain, band itu bergeser ke 1.021 cm-1
dan menurun
intensitasnya setelah pretreatment asam fosfat. Pergeseran dan penurunan di band ini
mungkin disebabkan kandungan hemiselulosa yang menurun setelah pretreatment
asam fosfat.
Puncak spectrum IR pada panjang gelombang sekitar 895 cm-1
adalah
peregangan ikatan CHO - (1-4)-glikosidik. Intensitas puncak ini meningkat setelah
pretreatment jamur dan pretreatment asam fosfat, namun menurun jamur diikuti oleh
pretreatment asam fosfat (Gambar 8b). Gambar 9a menunjukkan puncak pada
panjang gelombang sekitar 750 cm-1
dan 716 cm-1
masing-masing merupakan band
untuk getaran CH2 dalam selulosa Iα dan selulosa I . Selulosa kristal terdiri dari dua
allomorphs, Selulosa Iα (triklinik) dan Selulosa I (monoklinik) (O'Sullivan 1997).
Puncak pada 769 cm-1
jelas ditemukan pada semua spektrum. Sedangkan puncak jelas
pada panjang gelombang 716 cm-1
hanya ditemukan dalam spektrum TKKS yang
tidak mendapat pretreatment dan kemudian menurun intensitasnya pada spectrum
20
TKKS yang mendapat pretreatment. Spektrum derivatif kedua mengungkapkan
bahwa puncak pada panjang gelombang sekitar 769 cm-1
untuk selulosa Iα
menunjukkan intensitas yang konstan setelah pretreatment. Namun, puncak pada
panjang gelombang 716 cm-1
untuk selulosa I menurun secara signifikan setelah
pretreatment (Gambar 9b).
Gambar 9. Spektra FTIR (a) dan spektrum derivatif kedua (b) pada panjang
gelombang 770 cm-1
(CH2 getaran di Selulosa Iα) dan 716 cm-1
(CH2
getaran di Selulosa I ). Keterangan garis: tidak diperlakukan (garis
merah), pretreatment jamur (garis hijau), asam fosfat pretreatment
(garis biru muda), jamur pretreatment asam fosfat diikuti (garis coklat
terang).
Berbagai metode telah diusulkan untuk mengkarakterisasi dan mengukur
kristalinitas selulosa menggunakan rasio intensitas dari band A1418/A895 IR dikenal
sebagai Indeks Orde Lateral (LOI) (Hurtubise and Krassig 1960, O'Connor et al.
1958). Nilai LOI untuk contoh TKKS masing-masing adalah 2.78 (tanpa
pretreatment), 1.42 (pretreatment jamur), 0.67 (pretreatment asam fosfat), dan 0.60
(pretreatment kombinasi jamur dengan asam fosfat). TKKS yang tidak mendapat
pretreatment memiliki nilai LOI tertinggi, sedangkan penurunan terbesar dicapai oleh
pretreatment asam fosfat dan pretreatment kombinasi jamur dengan asam fosfat.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai LOI asam fosfat dan pretreatment
jamur - asam fosfat. Hasil analisa korelasi antara nilai LOI dengam kandungan
hemiselulosa menunjukkan bahwa nilai LOI berkorelasi liner dengan kandungan
hemiselulosa. Korelasi LOI dan hemiselulosa mungkin disebabkan oleh fakta bahwa
band pada 894 cm-1
adalah frekuensi kelompok anomeric karbon pada hemiselulosa
dan selulosa (O'Connor et al. 1958). Hasil analisa ini juga menimbulkan dugaan
bahwa kristalinitas selulosa terkait dengan kandungan hemiselulosa.
3.3.3. Pengaruh pretreatment pada Morfologi TKKS
Fotomikrograf dari sampel TKKS disajikan pada Gambar 10. Permukaan serat
TKKS yang tidak mengalami pretreatment memperlihatkan tubuh silika (silica-
bodies) yang berbentuk bulat runcing. TKKS yang dipretreated jamur menunjukkan
bahwa beberapa badan silika telah dihilang dari permukaan serabut dan ditemukan
21
lubang-lubang kosong dipermukaan serabut TKKS (Gambar 10b). Pertumbuhan
miselium ditemukan pada sampel TKKS yang dipretreated jamur (Gambar 10c, d).
Miselium tumbuh di luar dan menembus ke dalam serabut TKKS.
Gambar 10. Fotomikrograf permukaan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). (A)
kontrol, tidak diperlakukan, (b) pretreatment jamur, (c) miselia jamur
yang terlihat tumbuh pada serat TKKS, (d) permukaan bagian dalam
serabut TKKS. SB = silica bodies (tubuh silika), LK = lubang kosong
bekas tempat silica bodies, M = miselium.
Gambar 11 menyajikan fotomikrograf contoh TKKS tanpa pretreatment,
mendapat pretreatment jamur, mendapat pretreatment asam fosfat, dan mendapat
pretreatment jamur-asam fosfat. Sampel TKKS yang tidak mendapat pretreatment
dan mendapat pretreatment jamur menunjukkan ukuran partikel yang lebih besar
dibandingkan dengan TKKS yang dipretreatmen asam fosfat dan jamur - asam fosfat.
Namun, ukuran partikel pada contoh TKKS yang mendapat pretreatment asam fosfat
terlihat lebih besar daripada sampel TKKS yang mendapat pretreatment jamur - asam
fosfat.
Sebagian silica bodies tampak hilang setelah contoh TKKS tanpa pretreatment
dihaluskan, namun silica bodies yang hilang terlihat lebih banyak pada contoh TKKS
yang mendapat pretreatment dengan jamur. Gambar 11 menunjukkan bahwa silica
bodies pada sampel TKKS yang mendapat pretreatment jamur lebih mudah
dihilangkan daripada pada contoh TKKS tanpa pretreatment. Pretreatment jamur
kemungkinan mengendorkan ikatan atara silica bodies dengan permukaan serabut
TKKS. Silica bodies tidak terlihat pada partikel TKKS yang mendapat pretreatment
asam fosfat dan jamur-asam fosfat. Serat TKKS terlihat mengalami kerusakan total
pada sampel TKKS yang mendapat pretreatment asam foafat maupun pretreatment
LK
SB a b
M c
M
d
22
jamur-asam fosfat.
Gambar 11. Perubahan permukaan TKKS sebelum dan sesudah pretreatment. Semua
sampel TKKS dihaluskan dengan ball-milling. (A) tanpa pretreatment,
(b) pretreatement jamur, (c) pretreatment asam fosfat, (d) pretreatment
jamur diikuti oleh asam fosfat.
3.3.4. Digestibilitas TKKS
Digestibilitas TKKS tanpa mengalami pretreatment dan yang telah mendapat
pretreatment setelah 72 jam hidrolisis enzimatik ditunjukkan pada Gambar 12.
Digestibilitas tersebut dihitung berdasarkan kandungan selulosa awal pada TKKS
sebelum pretreatment (persamaan 2). Digestibilitas TKKS yang tidak mendapat
pretreatment adalah sangat rendah (4,66%), yang disebabkan oleh kandungan lignin
dan hemiselulosa yang tinggi, serta kristalinitas selulosa yang tinggi.
Digestibilitas contoh TKKS yang mendapat pretreatment adalah sebagai
berikut: 18.85% (pretreatment jamur), 29.15% (pretreatment asam fosfat), dan
34.64% (pretreatment jamur-asam fosfat). Digestibilitas itu meningkat masing-
masing sebesar 400% (pretreatment jamur), 630% (pretreatment asam fosfat), dan
740% (pretreatment jamur-asam fosfat) kali dibandingkan dengan digestiblitas TKKS
yang tidak mendapat pretreatment. Selain itu, digestilitas tersebut sebanding dengan
digestilitas TKKS setelah mendapat pretreatment dengan amoniak (Ammonia Fibre
Expansion, AFEX) pretreatment (58%) (Lau et al. 2010), pretreatment alkali
(69.69%) (Piarpuzán et al. 2011), pretreatment superheated steam (66.33%) (Bahrin
et al. 2012) dan pretreatment natrium hidroksida -natrium hypoclorite (60%)
(Hamzah et al. 2011). Digestibilitas TKKS setelah pretreatment biologi selama 28
hari dengan P. floridanus lebih tinggi dibandingkan dengan digestibility kayu pinus
a b
c d
23
jepang yang di-pretreatment dengan Stereum hirsutum selama delapan minggu
(13,56%) (Lee et al. 2007).
Gambar 12. Digestilitas selulosa (%) tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dalam
proses hidrolisis enzimatik (berdasarkan kadar selulosa awal setelah
pretreatments). Bar error adalah standar deviasi. Hidrolisis
menggunakan enzyme Cellic CTec2, suhu 50oC, selama 72 jam.
Hasil analisis korelasi antara digestibilitas dengan nilai LOI menunjukkan
korelasi terbalik dimana digestibilitas TKKS meningkat dengan menurunnya nilai
LOI. Peningkatan digestibilitas tersebut disebabkan oleh beberapa perubahan pada
struktur TKKS, seperti penurunan kandungan hemiselulosa, putusnya ikatan antara
lignin dengan selulosa, penurunan kristalinitas dan peningkatan selulosa Iα. Selulosa
Iα adalah meta-stabil dan lebih reaktif daripada selulosa I (O'Sullivan 1997). Ini
kemungkinan yang membuat TKKS lebih reaktif dan lebih mudah dihidrolisis.
Sampel TKKS yang diprtreatment asam fosfat dan jamur-asam fosfat
menunjukkan kandungan lignin yang cukup tinggi hingga 44.66% lebih tinggi
daripada kandungan lignin pada contoh TKKS tanpa pretreatment maupun mendapat
pretreatment jamur. Fakta ini menekankan bahwa lignin tampaknya bukan satu-
satunya faktor yang menghambat hidrolisis dari TKKS. Ukuran partikel yang lebih
kecil seperti yang ditunjukkan pada fotomikrograf akan meningkatkan luas
permukaan partikel TKKS. Peningkatan luas permukaan ini kemungkinan juga
meningkatkan aksesibilitas selulosa TKKS terhadap enzyme yang juga memberikan
kontribusi terhadap peningkatan digestibilitas (Rollin et al. 2010).
3.3.5. Produksi Bioetanol dari TKKS yang telah Mendapat Pretreatment
Produksi bioetanol (etanol yield) diperlihatkan pada Gambar 13. Produksi
bioetanol dengan metode SSF dari contoh TKKS menunjukkan pola yang hampir
sama dengan digestilitas TKKS (Gambar 13). Produksi bioetanol dari tertinggi
berturut-turut adalah TKKS yang mendapat pretreatment jamur-asam fosfat, asam
fosfat, jamur, dan tanpa pretreatment.
4,66
18,85
29,15
34,64
05
1015202530
3540
Kontrol Pretreatment
Jamur
Pretreatment
asam fosfat
Pretreatment
jamur-asam
fosfat
Dig
esti
bil
ita
s se
lulo
sa (
%)
24
Gambar 13. Persentase (%) produksi bioetanol dari produksi maksimum teoritis
(ethanol yield) tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan metode SSF
(simultaneous saccharification and fermentation).
Yeast akan memfermentasi glukosa hasil hidrolis enzymatik selulosa dalam
TKKS menjadi etanol. Peningkatan digestibilitas selulosa akan sejalan dengan
peningkatan produksi etanol oleh yeast. Peningkatan yield etanol masing-masing
perlakuan pada jam ke-72 dibandingkan perlakuan kontrol adalah 222%
(pretreatment jamur), 642% (pretreatment asam fosfat), dan 701% (pretreatment
jamur dan asam fosfat). Yield etanol signifikan berkorelasi linier positif (r2=0,99)
dengan digestibiliti TKKS yang berarti bahwa peningkatan digestibility akan diikuti
dengan peningkatan etanol.
Yield etanol yang dihasilkan dari penelitian ini lebih tinggi dari yield etanol
yang dilaporkan pada beberapa literatur. Yield etanol dari TKKS yang telah
dipretreatment biologi sebesar 6 g/L lebih tinggi daripada yield etanol dari TKKS
yang di-pretreatment dengan alkali (4 g/L) (Piarpuzán et al. 2011). Peningkatan yield
etanol dari TKKS yang mendapat pretreatment kombinasi meningkat 7,01 kali.
Peningkatan ini lebih tinggi daripada peningkatan enceng gondok (Eichhornia
crassipes) yang dipretreatment dengan JPP dan alkali di mana peningkatannya hanya
sebesar 1,34 kali (Ma et al. 2010).
4. KESIMPULAN
Ketiga isolat JPP memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
mendegradasi lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Isolat Pleurotus floridanus
menunjukkan degradasi lignin tertinggi dan degradasi selulosa terendah. P.
floridanus adalah isolat yang lebih selektif mendegradasi lignin daripada isolat JPP.
Penambahan Cu2+
dan Mn2+
dapat meningkatkan degradasi lignin oleh P. floridanus.
kandungan lignin sampai dengan 46.62% dalam waktu 42 hari inkubasi. TKKS
mengalami perubahan fisik, kimia, maupun struktural, setelah pretreatment dengan P.
floridanus, asam fosfat, dan kombinasi keduanya. Beberapa gugus fungsional
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 24 48 72 96
Yie
ld E
tan
ol
(%)
Jam ke-Kontrol Pretreatment Jamur
Pretreatment Jamur - Asam Fosfat Pretreatment Asam Fosfat
25
terutama unit syringyl dan guaiacyl lignin mengalami perubahan signifikan.
Kristalinitas TKKS juga mengalami penurunan. Perubahan struktural penting yang
diamati oleh analisis FTIR adalah pengurangan hidrogen berikat (OH), penyerapan
karbonil unconjugated, penyerapan puncak (peak) untuk selulosa dan hemiselulosa,
dan penurunan puncak selulosa I . Digestibilitas TKKS dan produksi etanol
meningkat sangat signifikan pada kombinasi pretreatment biologi dan asam fosfat.
Degradasi lignin dan hemiselulosa, penurunan kristalinitas selulosa, penurunan
selulosa I , dan pengecilan ukuran partikel berkontribusi dalam peningkatan
digestibilitas dan produksi etanol.
5. Daftar Pustaka
Alvira P, Tomás-Pejó E, Ballesteros M, Negro MJ. 2010. Pretreatment technologies
for an efficient bioethanol production process based on enzymatic hydrolysis:
A review. Bioresource Technology 101: 4851-4861.
Anderson WF, Akin DE. 2008. Structural and chemical properties of grass
lignocelluloses related to conversion for biofuels. J Ind Microbiol Biotechnol
35: 355–366.
Bahrin EK, Baharuddin AS, Ibrahim MF, Razak MHA, Sulaiman A, Abd-Aziz S,
Hassan MA, Shirai Y, Nishida H. 2012. Physicochemical property changed
and enzymatic hydrolysis enhancement of oil palm emtpy fruit bunches
treated with superheated steam. BioResources 7(2): 1784-1801.
Bajpai P. 2004. Biological Bleaching of Chemical Pulps. Critical Reviews in
Biotechnology 24 (1): 1-58.
Camarero S, Bockle B, Martínez M, Martínez A. 1996. Manganese-Mediated Lignin
Degradation by Pleurotus pulmonarius. Applied and Environmental
Microbiology 62: 1070-1072.
Chen M, Yao S, Zhang H, Liang X. 2010. Purification and Characterization of a
Versatile Peroxidase from Edible Mushroom Pleurotus eryngii. Chinese
Journal of Chemical Engineering 18: 824-829.
Datta R. 1981. Acidogenic Fermentation of Lignocellulose-Acid Yield and
Conversion of Components. Biotechnology and Bioengineering XXIII:
2167-2170.
de Jong E, Chandra RP, Saddler JN. 1997. Effect of a Fungal Treatment of The
Brightness and Strength Properties of A Mechanical Pulp from Douglas-Fir.
Bioresource Technology 61: 61-68.
Dowe N, McMillan JD. 2008. SSF Experimental Protocols — Lignocellulosic
Biomass Hydrolysis and Fermentation. National Renewable Energy
Laboratory. Report no. NREL/TP-510-42630.
Fackler K, Stevanic JS, Ters T, Hinterstoisser B, Schwanninger M, Salmén L. 2010.
Localisation and characterisation of incipient brown-rot decay within spruce
wood cell walls using FT-IR imaging microscopy. Enzyme and Microbial
Technology 47: 257-267.
26
Faix O. 1991. Classification of Lignins from Different Botanical Origins by FT-IR
Spectroscopy. Holzforchung 45: suppl. 21-27.
Faix O, Böttcher JH. 1992. The influence of particle size and concentration in
transmission and diffuse reflectance spectroscopy of wood. Holz als Roh- und
Werkstoff 50: 221-226.
Faix O, Bremer J, Schmidt O, Tatjana SJ. 1991. Monitoring of chemical changes in
white-rot degraded beech wood by pyrolysis—gas chromatography and
Fourier-transform infrared spectroscopy. J Anal Appl Pyrolysis 21: 147-162.
FAOSTAT. 2012. Food and Agriculture Organization of the United Nations.
(Accessed 28 October 2012
http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor)
Fengel D. 1992. Characterization of Cellulose by Deconvoluting the OH Valency
Range in FTIR Spectra. Holzforschung 46: 283-285.
Goudopoulou A, Krimitzas A, Typas MA. 2010. Differential gene expression of
ligninolytic enzymes in Pleurotus ostreatus grown on olive oil mill
wastewater. Applied Microbiology and Biotechnology.
Hamzah F, Idris A, Shuan TK. 2011. Preliminary study on enzymatic hydrolysis of
treated oil palm (Elaeis) empty fruit bunches fibre (EFB) by using
combination of cellulase and β 1-4 glucosidase. Biomass and Bioenergy 35:
1055-1059.
Hatakka A. 2001. Biodegradation of Lignin. Pages 129-180 in Hofrichter M,
Steinbüchel A, eds. Biopolymer. Biology, chemistry, biotechnology,
applications. Vol. 1. Lignin, humic substances and coal, Wiley-WCH.
Hatakka AI. 1983. Pretreatment of wheat straw by white-rot fungi for enzymatic
saccharification of cellulose. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 18: 350–
357.
Hurtubise FG, Krassig H. 1960. Classification of Fine Structural Characteristics in
Cellulose by Infared Spectroscopy. Use of Potassium Bromide Pellet
Technique. Anal Chem 32: 177-181.
Isroi, Millati R, Syamsiah S, Niklasson C, Cahyanto MN, Lundquist K, Taherzadeh
MJ. 2011. Biological pretreatment of lignocelluloses with white-rot fungi and
its applications: A review. BioResources 6: 5224-5259.
Isroi, Ishola MM, Millati R, Syamsiah S, Cahyanto MN, Niklasson C, Taherzadeh
MJ. 2013 Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) after
fungal and phosphoric acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012.
Itoh H, Wada M, Honda Y, Kuwahara M, Watanabe T. 2003. Bioorganosolve
pretreatments for simultaneous saccharification and fermentation of beech
wood by ethanolysis and white rot fungi. J Biotechnol 103: 273-280.
Janusz G, Rogalski J, Barwinska M, Szczodrak J. 2006. Effects of Culture Conditions
on Production of Extracellular Laccase by Rhizoctonia pratiola. Polish Journal
of Microbiology 55 (4): 309-319.
27
Kumar AG, Sekaran G, Krishnamoorthy S. 2006. Solid state fermentation of Achras
zapota lignocellulose by Phanerochaete chrysosporium. Bioresource
Technology 97: 1521-1528.
Lau M, Gunawan C, Dale B. 2010. Ammonia Fiber Expansion (AFEX) Pretreatment,
Enzymatic Hydrolysis, and Fermentation on Empty Palm Fruit Bunch Fiber
(EPFBF) for Cellulosic Ethanol Production. Appl Biochem Biotechnol 162:
1847-1857.
Lee JW, Gwak KS, Park JY, Park MJ, Choi DH, Kwon M, Choi IG. 2007. Biological
pretreatment of softwood Pinus densiflora by three white rot fungi. J
Microbiol 45: 485-491.
Levin L, Villalba L, Re VD, Forchiassin F, Papinutti L. 2007. Comparative studies of
loblolly pine biodegradation and enzyme production by Argentinean white rot
fungi focused on biopulping processes. Process Biochemistry 42: 995 - 1002.
Ma F, Yang N, Xu C, Yu H, Wu J, Zhang X. 2010. Combination of biological
pretreatment with mild acid pretreatment for enzymatic hydrolysis and ethanol
production from water hyacinth. Bioresour Technol 101: 9600-9604.
Martínez AT, Speranza M, Ruiz-Dueñas FJ, Ferreira P, Camarero S, Guillén F,
Martínez MJ, Gutiérrez A, del Río JC. 2005. Biodegradation of
lignocellulosics: microbial, chemical, and enzymatic aspects of the fungal
attack of lignin. Int Microbiol 8: 195-204.
Nieves DC, Karimi K, Horváth IS. 2011. Improvement of biogas production from oil
palm empty fruit bunches (OPEFB). Ind Crops Prod 34: 1097-1101.
O'Connor RT, DuPré EF, Mitcham D. 1958. Applications of Infrared Absorption
Spectroscopy to Investigations of Cotton and Modified Cottons. Textile
Research Journal 28: 382-392.
O'Sullivan A. 1997. Cellulose: the structure slowly unravels. Cellulose 4: 173-207.
Palmieri G, Giardina P, Bianco C, Fontanella B, Sannia G. 2000. Copper Induction of
Laccase Isoenzymes in the Ligninolytic Fungus Pleurotus ostreatus. Applied
and Environmental Microbiology 66: 920-924.
Piarpuzán D, Quintero JA, Cardona CA. 2011. Empty fruit bunches from oil palm as
a potential raw material for fuel ethanol production. Biomass and Bioenergy
35: 1130-1137.
Rivers DB, Emert GH. 1988. Factors affecting the enzymatic hydrolysis of bagasse
and rice straw. Biological Wastes 26: 85-95.
Rollin JA, Zhu Z, Sathitsuksanoh N, Zhang YH. 2010. Increasing cellulose
accessibility is more important than removing lignin: A comparison of
cellulose solvent-based lignocellulose fractionation and soaking in aqueous
ammonia. Biotechnol Bioeng 108: 22-30.
Schwanninger M, Rodrigues JC, Pereira H, Hinterstoisser B. 2004. Effects of short-
time vibratory ball milling on the shape of FT-IR spectra of wood and
cellulose. Vib Spectrosc 36: 23-40.
28
Selig M, Weiss N, Ji Y. 2008. Enzymatic Saccharification of Lignocellulosic
Biomass. National Renewable Energy Laboratory. Report no. NREL/TP-510-
42629.
Sluiter A, Hames B, Ruiz R, Scarlata C, Sluiter J, Templeton D, Crocker D. 2011.
Determination of Structural Carbohydrates and Lignin in Biomass. . National
Renewable Energy Laboratory. Report no. NREL/TP-510-42618.
Sluiter AD, Hames B, Ruiz RO, Scarlata CJ, Sluiter J, Templeton D. 2008.
Determination of Ash in Biomass. National Renewable Energy Laboratory.
Report no. NREL/TP-510-42622.
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Pretreatment of Lignocellulosic Waste to Improve
Ethanol and Biogas Production. Int. J. Mol. Sci. 9: 1621-1651.
Taniguchi M, Suzuki H, Watanabe D, Sakai K, Hoshino K, Tanaka T. 2005.
Evaluation of pretreatment with Pleurotus ostreatus for enzymatic hydrolysis
of rice straw. Journal of Bioscience and Bioengineering 100: 637-643.
Taniguchi M, Takahashi D, Watanabe D, Sakai K, Hoshino K, Kouya T, Tanaka T.
2010. Effect of steam explosion pretreatment on treatment with Pleurotus
ostreatus for the enzymatic hydrolysis of rice straw. J Biosci Bioeng 110:
449-452.
Tinoco R, Acevedo A, Galindo E, Serrano-Carreon L. 2011. Increasing Pleurotus
ostreatus laccase production by culture medium optimization and
copper/lignin synergistic induction. J Ind Microbiol Biotechnol 38: 531–540.
Tychanowicz GK, de Souza DF, Souza CGM, Kadowaki MK, Peralta RM. 2006.
Copper Improves the Production of Laccase by the White-Rot Fungus
Pleurotus pulmonarius in Solid State Fermentation. Brazilian Archives of
Biology and Technology 49(5): 699-704.
Xu C, Ma F, Zhang X, Chen S. 2010. Biological pretreatment of corn stover by Irpex
lacteus for enzymatic hydrolysis. J. Agric. Food Chem 58: 10893–10898.
Yu H, Zhang X, Song L, Ke J, Xu C, Du W, Zhang J. 2010. Evaluation of white-rot
fungi-assisted alkaline/oxidative pretreatment of corn straw undergoing
enzymatic hydrolysis by cellulase. J Biosci Bioeng 110: 660-664.
Zhang Y-HP, Ding S-Y, Mielenz JR, Cui J-B, Elander RT, Laser M, Himmel ME,
McMillan JR, Lynd LR. 2007a. Fractionating recalcitrant lignocellulose at
modest reaction conditions. Biotechnol Bioeng 97: 214-223.
Zhang Y, Ding S, Mielenz J, Cui J, Elander R, Laser M, Himmel M, McMillan J,
Lynd L. 2007b. Fractionating recalcitrant lignocellulose at modest reaction
conditions. Biotechnol Bioeng 97: 214 - 223.