Tandan Sawit volume 1/2009

24

description

This is an Indonesian bulletin that published by Sawit Watch and talk about palm oil issues in Indonesia

Transcript of Tandan Sawit volume 1/2009

Page 1: Tandan Sawit volume 1/2009
Page 2: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 2

RedaksiPenanggung JawabAbetnego Tarigan

Dewan RedaksiAbetnego Tarigan, Edi Sutrisno, NA Surambo, Jefri G. Saragih, Norman Jiwan.

Pemimpin RedaksiEdi Sutrisno

Redaksi PelaksanaJefri G. Saragih

RedaksiYan-Yan Hadiyana, Elsa Susanti, Carlo Naing-golan, Eep Saepullah, Fatilda Hasibuan, Inda Fatinaware.

Sekretariat RedaksiVinna Saprina

Distribusi danPelayanan KomplainEep Saepullah danSahroel

KeuanganTina Sumartina, Supapan dan Sukardi

PenerbitPerkumpulan Sawit Watch

Alamat RedaksiJl. Sempur Kaler No. 28, BogorTelp : 0251-8352-171Fax : [email protected] foto :Sawit Watch

Pola Yang Baik ituSeperti apa?

Konflik. Meskipun saya jauh di Jogja, tp saya ingin menanyakan kepada Sawit Watch dlm hal ini. Jika me-mang pola sawit itu salah, lalu program apa yang cocok? kar-ena solusinya itu seolah tidak ada. Konfliknya sangat runyam karena kalau dilihat sepintas di luar Jawa kepemilikan ta-nah juga tidak jelas. Pola pikir masyarakatnya juga jauh beda, contohnya teknologi bertan-

inya yang masih lahan berpin-dah. Cangkul dan Bajak sudah dikenal oleh Jawa abad ke-7 M di relief Candi Borobudur. Mereka tidak kenal. Menanam lalu Memanen begitu saja tidak ada perawatan. Kenapa tidak didampingi sehingga bisa ber-tani dengan baik? Kesejahteraan bukan berdasarkan penguasaan tanah, tapi karena pola pikir dan pola kerjanya. Masyarakat Jogja korban Gempa yang transmi-grasi ke luar Jawa, dapat tanah 2 Ha saja, kayanya bukan main sekarang. Tanam cabe 1 Ha dpt 4 ton (di Bantul bisa 8 ton) harga cabe di Kaltim 30rb/Kg ya bisa dihitung sendiri hasilnya. Nah seharusnya dibuat sistem bela-jar antar petani, tukar itu orang

asli dengan orang Tran, jangan sampai konflik diselesaikan tapi tetap saja miskin dengan tanah yang luas. Ingat, mereka umumnya juga hobi jual beli ta-nah, hobi tipu menipu, makanya susah percaya sama orang luar, liat saja di Jawa, orang jual beli tanah cuma lisan ga pake mat-erai ga pake di foto kayak artis saja tidak ada masalah. Kalau di luar Jawa, habis dibayar besok-besok anaknya, adiknya, bininya, datang minta bayaran lagi. Selesaikan konflik tapi juga dibina itu pola kehidu-pannya...bravo sawit watch...(Kandil Sasmita, Jogjakarta)

website : sawitwatch.or.id

2Lingkungan Terancam...

4Danau Sen-tarum ditanami Sawit...

15..Buruh Kebun terpidana..

6Ekspansi Sawit di Kaltim...

9..Warga dipen-jara..

11Mikrohidro selamatkan hutan adat..

22DemokrasiKerakyatan..

DARI PEMBACA

Page 3: Tandan Sawit volume 1/2009

3 Edisi I/Maret ‘09-SW10

grofuels – lebih dikenal dengan sebutan biofuel – dalam bahasa Indone-

sia disebut sebagai bahan bakar nabati, telah disebar-luaskan sebagai solusi untuk permasala-han perubahan iklim, karena dapat memenuhi kebutuhan en-ergi dunia dengan menghasil-kan emisi karbon yang lebih rendah dibanding bahan bakar lainnya. Bahkan Uni Eropa te-lah menetapkan keputusan bah-wa di tahun 2010, bahan bakar transportasi harus mengandung 10% agrofuels.

Beberapa pihak melihat tum-buhnya pasar agrofuels ini se-bagai sebuah peluang ekonomi bagi negara berkembang karena dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahter-aan. Sementara pihak lainnya justru khawatir proses ini mer-upakan awal dari privatisasi ta-nah dan sumberdaya alam oleh

perusahaan-perusahaan energi dalam skala besar.

Salah satu komoditi yang dapat dijadikan agrofuels adalah kela-pa sawit. Pesatnya pertumbuhan pasar minyak sawit berdampak pada pengembangan perkebu-nan kelapa sawit skala besar di sejumlah negara Amerika Latin, Afrika Barat dan Asia Teng-gara.

Patut diingat, perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab utama penggundulan hutan dan pembukaan lahan gambut Indo-nesia, yang berakibat punahnya spesies langka seperti orang utan, harimau Sumatra dan

keanekaragaman hayati lain-nya. Mekanisme pembakaran dalam membuka lahan dan pen-geringan gambut untuk ditan-ami sawit, ternyata menghasil-kan jutaan ton karbon dioksida (CO2) yang membuat Indonesia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.

Namun tidak hanya hutan dan lahan gambut yang kaya akan keanekaragaman hayati yang terancam perluasan kebun ke-lapa sawit. Dus ada jutaan pen-duduk Indonesia yang meng-gantungkan hidupnya pada hutan dan lahan gambut juga mengalami kesulitan. Mereka terpaksa kehilangan tanah dan kebun demi pembanguna kebun kelapa sawit Simak potret ling-kungan yang kami buat di Riau, Kalimantan Barat dan Kaliman-tan Timur. Gambaran persoalan lingkungan di Indonesia.

“Indonesia, sebagai neg-ara penghasil minyak sawit

mentah terbe-sar di dunia, saat ini memiliki perke-

bunan kelapa sawit seluas 7.4 juta hektar dan masih

berencana memperluas ke-bun sawitnya hingga men-capai 20 juta

hektar”

KETIKA KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN TERANCAM PERLUASAN KEBUN SAWIT

EDITORIAL

A

Page 4: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 4

persen di antaranya merupakan ikan ende-mik air tawar Borneo.Tak cuma itu keuni-kan TNDS. Di danau ini terdapat reptil se-banyak 26 spesies dan burung 310 spesies, sekitar 13 spesies di antaranya merupakan burung endemik.Tak heran, dengan berba-gai keunikan ini TNDS ditetapkan sebagai warisan kekayaan dunia yang tak ternilai harganya. Walaupun banyak terdapat lahan gambut di Kalimantan Barat (Kalbar), na-mun sebagian besar berusia muda sekitar 2.000-7.000 tahun, sedangkan yang tertua satu-satunya hanya TNDS. Boleh dikatakan Taman Nasional Danau Sentarum merupakan perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Demi menjaga keunikan dan kekayaan ekosistem di wilayah tersebut, pemerintah kabupaten Kapuas Hulu melalui Surat Keputusan Bu-pati No. 144 tahun 2003 tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupat-en Konservasi. Bahkan melalui konvensi UNESCO, TNDS ditetapkan sebagai ka-

wasan lindung lahan basah (ramsar site).

Fenomena alam atau lebih tepatnya keajai-ban Danau Sentarum dapat dilihat dan dira-sakan langsung oleh banyak orang, terutama penduduk Kalbar yang hidup di tepian Sun-gai Kapuas. Saat musim hujan tiba, luapan air dari tujuh sumber air di hulu sungai Ka-puas akan ”ditangkap” oleh Danau Senta-raum, agar bagian hilir sungai tidak dilanda banjir bandang. Namun ketika musim kema-rau tiba, danau itu akan melepaskan airnya ke aliran sungai Kapuas, untuk menghidupi ekosistem yang ada di enam kabupaten dan satu kota. Boleh dikatakan Danau Sentarum merupakan ”bendungan alam” yang me-mang ada untuk mempertahankan kehidu-pan mahluk hidup.

Manfaat Ekonomis Danau Sentarum

Selain aspek lingkungan, bagi penduduk yang hidup di dalam dan sekitar kawasan

KETIKA KEUNIKAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUMDITANAMI KELAPA SAWIT

LAPORAN KHUSUS

Ekosistem Danau Sentarum

Sejak 1999, danau Sentarum di resmikan sebagai Taman Nasion-al berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dan Perke-bunan Nomor 34/Kpts-II/ 1999 dengan luas kawasan mencapai 132.000 hektar. Danau yang terbentuk sejak zaman es atau periode pleistosen ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa, yang tak dimiliki daerah lain. Tumbuhannya saja ada 510 spesies dan 33 spesies di antaranya endemik TNDS, termasuk 10 spesies di antaran-ya merupakan spesies baru.

elain itu, hewan mamalia di TNDS ada 141 spesies. Sekitar 29 spesies di antaranya spesies endemik, dan

64 persen hewan mamalia itu endemik Bor-neo. Terdapat 266 spesies ikan, sekitar 78

S

Page 5: Tandan Sawit volume 1/2009

5 Edisi I/Maret ‘09-SW10

Lha...ini bagaimana?”

Danau Sentarum Terancam Ekspansi Kebun sawit

Namun sejak tahun 2007, dikhawatirkan oleh praktisi lingkungan dan Balai TNDS, keberadaan ekositem di kawasan TNDS dan keberlanjutan kehidupan manusia di sekitar taman nasional itu , juga di sepanjang aliran sungai Kapuas, mulai teracam kerena adan-ya kebijakan pemerintah memberikan ijin bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan penyangga TNDS.

Berdasarkan Surat Keterangan Kepala Balai Taman Nasional Danau Sentarum No.S.65/BTNDS.1/BKP/2008 tentang Konsesi Pem-bibitan Kebun Kelapa Sawit di Kawasan Pe-nyangga Taman Nasional Danau Sentarum disebutkan, saat ini di kawasan penyangga TNDS terdapat 18 perusahaan kelapa sawit yang letaknya tersebar mengeliling kawasan TNDS dengan luas total 384.394,883 ha.

Ke-18 perusahaan-perusahaan itu telah mendapat ijin prinsip dari

Bupati Kapuas

itu, Danau Sentarum memberikan sumber penghidupan utama mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan penangkar ikan arwa-na, juga jenis ikan lainnya. Selain itu, pen-duduk lokal juga bisa memanfaatkan madu hutan dan kerajinan tangan seperti rotan sebagai penghasilan tambahannya. Sebagai penyangga air sungai Kapuas yang menga-liri berbagai kabupaten sepanjang 700 km dan bermuara di laut China Selatan, ke-beradaan TNDS tidak hanya menguntung-kan sekitar 9 ribu jiwa penduduk di sekitar kawasan tersebut, juga sebagian besar pen-duduk provinsi Kalimantan Barat.

Keterangan Ade tadi ditimpali seorang to-koh masyarakat Suhaid. ” Di daerah kami, ada banyak miliader. Rata-rata mereka berprofesi sebagai penangkar ikan Arwana dengan tujuan pasar ekspor. Jadi alangkah naifnya pemerintah bila mengatakan daerah

ini miskin dan untuk memakmur-kannya mesti dibangunk-

an kebun sawit.

Hulu, namun belum mendapat ijin AMDAL dari Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat. Ditambahkan pula, ada 6 perusahaan sawit yang konsesinya langsung berbatasan den-gan kawasan TNDS. Dus ada 2 perusahaan sawit yakni PT Duta Nusa Lestari dan PT Kartika Prima Cipta yang jaraknya hanya 12 km dari TNDS, telah melakukan pem-bibitan di lahan seluas 400 ha. Di bagian penutup surat Kepala Balai TNDS tersebut dinyatakan, Balai TNDS bekerja sama den-gan LSM mengadakan sosialisasi kepala masyarakat di dalam dan di sekitar TNDS tentang dampak/ akibat limbah kelapa sawit.

Kekhawatiran para aktifis LSM dan pen-gelola Taman Nasional serta kebingungan penduduk lokal terhadap masa depan Danau Sentarum yang terdesak perluasan perkebu-nan kelapa sawit memang sangat beralasan. Untuk itu dibutuhkan langkah arif pemerin-tah dan para pemangku kekuasaan lainnya untuk menjaga fungsi dan keunikan Danau Sentarum. Bagaimana jawaban pemerintah atas soal ini? Jefri G. Saragih, Dep. Kampanye PSW

” Da-nau Sen-tarum merupakan berkah Ilahi buat kami masyarakat tempatan (baca: lokal) yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional. Selain memberikan ikan untuk lauk-pauk dan sebagian bisa besar hasil tangkapan juga bisa untuk dijual,” kata Ade, penduduk desa Suhaid

Page 6: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 6

PENDAHULUAN

engenaskan! Itu kata yang pal-ing tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi ling-

kungan hidup di Kalimantan Timur. Pa-dahal provinsi dengan luas 11% dari total luas Kepulauan Indonesia dengan jumlah penduduk + 2,8 juta jiwa dan tingkat ke-padatan 11,22 jiwa/km2, sebagian besar penduduk tinggal di pesisir pantai (53,35%) dan wilayah pedalaman (46,65%). Meski kekayaan alamnya luar biasa besar, namun provinsi ini memiliki penduduk miskin sebesar 324,8 ribu jiwa, ironisnya mereka tinggal di wilayah eksploitasi sumber daya alam tadi. Rezim pemerintahan boleh ber-ganti namun tak satupun mampu mem-berikan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan bagi penduduk Kalimantan Timur. .

Proses pembangunan yang eksploitatif den-gan mengobral perijinan investasi seperti pertambangan, perkebunan sawit skala be-sar dan hutan tanaman industri, membuat “ongkos” lingkungan hidup, sosial, ekono-mi dan politik yang harus ditanggung oleh masyarakat semakin mahal. Sebut saja, mis-alnya, harga yang mesti dibayar warga aki-bat pencemaran air dan udara, pergeseran

bentang alam dan banjir yang kerap mun-cul akibat deforestrasi. Akibatnya intensi-tas BENCANA EKOLOGIS meningkat di tigabelas Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur.

EKSPANSI KEBUN KELAPA SAWIT TIMBULKAN KONFLIK DI KALIMANTAN TIMUR

Di Kalimantan Timur tercatat 118 perusa-haan perkebunan kelapa sawit yang masih aktif dan tersebar di beberapa Kabupaten/Kota dengan luas perijinan sekitar 1.766.462 ha. Dari jumlah itu, Hak Guna Usaha (HGU) dan Ijin Usaha Perkebunan (IUP) hanya dimiliki oleh 54 perusahaan. Dari 54 peru-sahaan tadi, 32 perusahaan saja yang sudah merealisasikan kegiatan penanaman dengan luasan sekitar 200.000 ha.

Namun ambisi pemerintah RI untuk men-jadi pengekspor minyak sawit nomor satu di dunia membuat pemerintah provinsi dan kabupaten di Kalimantan Timur ingin memperluas perkebunan kelapa sawitnya (Elaeiss guineensis Jacq). Beberapa me-dia lokal di di provinsi ini menyebutkan, pemerintah provinsi itu akan memperluas kebun sawit di wilayahnya sampai 2,5 juta hektar.

Keberadaan kebun sawit itu menimbul-kan konflik bekepanjang yang tak kunjung terselesaikan. Menurut Wahana Lingkun-gan Hidup Indonesia Kalimantan Timur, terdapat 40 kasus akibat perkebunan sawit. konflik yang muncul tadi bersifat vertikal (masyarakat versus perusahaan) dan hori-zontal (masyarakat yang mendukung versus masyarakat yang menolak masuknya kebun sawit ke wilayah kelola mereka) juga konf-lik lingkungan. Akibatnya di beberapa tem-pat konflik tadi menimbulkan korban harta dan jiwa masyarakat.

Alat keamanan negara (Polisi dan Militer) pun sering dijadikan “bumper” oleh pe-rusahaan perkebunan untuk meredam dan menakut-nakuti rakyat yang menuntut ta-nahnya yang dirampas perusahaan untuk dikembalikan. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan “milisi” untuk melakukan in-timidasi terhadap warga. Menghadapi situ-asi ini pemerintah terkesan memposisikan diri “berkongsi” dengan perusahaan dalam bentuk dukungan kebijakan atau mengabai-kan (by ommision) pengaduan masyarakat.

Tingginya potensi konflik tersebut ternyata belum menjadi pelajaran penting bagi pe-merintah provinsi dan kabupaten di Kalim-

EKSPANSI KEBUN SAWIT! SALAH SATU PENYEBABBENCANA EKOLOGIS DI KALIMANTAN TIMUR

LAPORAN KHUSUS

M

Page 7: Tandan Sawit volume 1/2009

7 Edisi I/Maret ‘09-SW10

antan Timur untuk mereview kebijakannya. Lihat Tabel Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur

Peran Lembaga Keuangan dan Perbankan Terhadap Ben-cana Ekologi Lewat Program Revitalisasi Perkebunan

Program pemerintah berupa Revitalisasi Perkebunan menjadikan pihak perbankan dan lembaga keuangan sebagai konsorsium pemberi kredit untuk pengembangan tana-man perkebunan diberbagai daerah di Indo-nesia termasuk Kalimantan Timur. Secara tak langsung, deforestasi dan degrasi ling-kungan yang terjadi juga menjadi tanggung jawab lembaga keuangan dan perbankan.

Bank MandiriSampai dengan akhir Maret 2007, kredit yang telah disalurkan ke sektor perkebu-nan (on farm) sebesar Rp13,77 triliun. Terdiri dari 10,2 triliun ke perusahaan inti dan Rp3,57 triliun disalurkan kepada petani plasma. Untuk sektor perkebunan (off farm) juga telah disalurkan kredit sebesar Rp 8,1 triliun yang terdiri dari Rp 7,7 triliun untuk industri turunan perkebunan dan Rp.0,4 tri-lun untuk perdagangan. Peningkatan kin-erja dan prospek perkebunan yang baik dan terus meningkat disikapi oleh Bank Mandiri dengan membentuk unit kerja Plantation Specialist. Bank Mandiri berencana di ta-hun 2007 dapat melakukan ekspansi kredit untuk sektor perkebunan di segmen korpo-rasi sebesar Rp4 triliun.

Dalam BUMN Forum di Jakarta Convention Center, Bank Mandiri menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) IV dan PTPN XIII. Untuk PTPN XIII lahan yang ditanam seluas 33.453 Ha dengan lokasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.Kredit kepada petani plasma yang merupa-kan usaha berskala mikro disalurkan mela-lui sejumlah perusahaan inti yang bertindak sebagai mitra dari bank pelaksana. Perusa-haan tersebut juga penjamin kredit petani

plasma. Dalam rangka mendukung penyediaan bah-an baku energi nabati dan revitalisasi perke-bunan rakyat, Bank Mandiri akan menga-lokasikan kredit Rp 11 Triliun periode 2007 s/d 2010 untuk pembiayaan kebun kelapa sawit seluas 321.268 Ha di sentra-sentra perkebunan yang tersebar di 9 Propinsi yaitu; Riau, Sumatera Utara, Sumatera Ba-rat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi.

Bank Rakyat Indonesia (BRI)BRI menyalurkan kredit sebesar Rp 3 Tri-lyun di sektor perkebunan kelapa sawit dan telah ada 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengajukan kredit ke bank plat merah tersebut untuk perluasan perkebunan kelapa sawit terutama di Kalimantan dan Sumatera. Kebijakan pengucuran kredit BRI diprioritaskan untuk perkebunan yang separuhnya dimiliki petani plasma dengan bunga pertahun sebesar 10% dari 15% suku bungan pertahun BRI.

Dalam mekanisme penyaluran kredit, pihak

perbankan hanya berhubungan dengan peru-sahaan inti dan selanjutnya untuk penyalu-ran kredit kepada petani plasma dilakukan dan dikoordinasikan oleh perusahaan inti. Hingga Agustus 2006, kredit yang disalur-kan oleh BRI disektor kelapa sawit men-capai Rp 6 Trilyun dari total keseluruhan sebesar Rp 85 Trilyun dan beberapa tahun lalu BRI ditunjuk oleh pemerintah sebagai konsorsium untuk pendanaan kegiatan pan-gan, perkebunan dan biodiesel.

Bank Agro dan PT. Permoda-lan Nasional Madani (PNM)Bank Agro bekerjasama dengan PT. Per-modalan Nasional Madani (PNM) meny-etujui pengucuran kredit investasi senilai Rp 33,9 milyar untuk pengembangan kebun kelapa sawit milik petani plasma binaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII, di Kal-imantan Barat dan Kalimantan Timur. Posisi kredit investasi yang telah disalurkan Bank Agro ke petani plasma PTPN XIII senilai Rp 154,46 milyar. Dan dari total Rp 154,46 milyar kredit investasi yang telah disalur-kan kepada Plasma binaan PTPN XIII, Rp 33,9 milyar adalah kredit baru dan sisanya

Tabel Jumlah Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Timur

Sampai Tahun 2008

No Kabupaten J u m l a h Konflik Keterangan

1 Paser 12Masy vs MasyMasy vs Perusahaan

2 Penajam Paser Utara 3Masy vs MasyMasy vs Perusahaan

3 Kutai Timur 5Masy vs PerusahaanMasy vs Masy

4 Berau 10 Masy vs Perusahaan

5 Nunukan 7 Masy vs Perusahaan

6 Kutai Barat 5 Masy vs Perusahaan

7 Bulungan 0 Belum terdata

Page 8: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 8

adalah kredit yang sudah berjalan. Sumber dana untuk kredit investasi kebun kelapa sawit adalah dana dari Bank Agro dan Dana KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) melalui skim Kredit Koperasi Primer kepada Anggotanya (KLI-KKPA) yang dikelola oleh PT Permodalan Nasional Madani (joint financing).Dari skenario program nasional melalui

pemerintah dalam kerangka biofuel den-gan pengembangan tanaman kelapa sawit sebagai komoditas sangat mempengaruhi regulasi yang ada diperbankan, maraknya perbankan nasional menjadi salah satu fund rising disektor perkebunan dan disisi lain kegagalan sektor kehutanan terutama Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam percaturan kredit perbankan menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi percepatan ke-bijakan kredit perbankan nasional disektor perkebunan.

PREDIKSI LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN TIMURTAHUN 2009

Kecenderungan penggunaan lahan di Ka-limantan Timur dalam jangka waktu lima tahun ke depan masih menggunakan pola-pola konversi lahan/kawasan berhutan dan lahan-lahan produktif rakyat untuk dijadi-kan perkebunan skala besar, HPH – TI, per-tambangan energi dan mineral serta perlua-san wilayah konservasi yang tidak berbasis terhadap kepentingan rakyat.Penetapan kawasan konservasi berbasis ecofasis masih akan menjadi trend dengan skenario mendapat jasa lingkungan berupa mekanisme perdagangan karbon. Sedikit-

nya terdapat 3 Kabupaten yang mengikrar-kan dirinya menjadi Kabupaten Konservasi, yaitu: Kabupaten Malinau, Kabupaten Be-rau dan Kabupaten Paser, tetapi disisi lain-nya Kabupaten ini juga menjadi Kabupaten eksploitasi sumber penghidupan rakyat, dimana masih maraknya perluasan konsesi perijinan HPH/TI, perkebunan kelapa sawit skala besar, dan pertambangan serta perga-

dangan karbon.Tiga persoalan mendasar kehutanan Kali-mantan Timur diantaranya adalah: i). Tidak adanya pengakuan hak pengelolaan hutan masyarakat (Kawasan Kelola Rakyat), ii). Korupsi sector kehutanan dan iii). Ting-ginya gap “supply and demand” belum bisa teratasi dan terminimalisasi dengan baik. Kecenderungannya, pengakuan hak-hak kelola rakyat lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan kapitalisasi industri kehutanan, salah satunya adalah pulp and paper.

Kawasan pesisir pantai juga tidak luput dari incaran investasi asing, nasional dan lokal yaitu perluasan dan kontrak-kontrak baru ladang-ladang migas disepanjang kawasan pesisir dan lautan Kalimantan Timur (Selat Makassar dan Laut Sulawesi). Sedangkan untuk kabupaten/kota yang berada pada wilayah pesisir/pantai dan sungai, berpo-tensi untuk pengembangan infrastruktur kota dengan cara reklamasi wilayah perai-ran termasuk pantai dan sungai.

Tingkat deforestrasi, penurunan kualitas lingkungan hidup (pencemaran industri, pencemaran tanah dan pencemaran udara), serta penurunan sejumlah luasan kawasan

pesisir pantai pada tahun 2009 akan terus meningkat. Dan tentu saja penderitaan rakyat yang selama ini menimpa dan meng-gantungkan hidupnya terhadap beberapa akses kawasan tersebut akan semakin men-ingkat. Konflik-konflik yang berkaitan den-gan kepentingan pengelolaan sumber-sum-ber penghidupan rakyat pada tahun 2009 juga akan terus meningkat dibandingkan jumlah konflik tiga tahun terakhir (Cata-tan Tutup Tahun 2008 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur)

“Penetapan kawasan kon-

servasi ber-basis ecofasis masih akan menjadi trend

dengan skenario mendapat jasa lingkungandari mekanisme

perdagangan karbon.”

Page 9: Tandan Sawit volume 1/2009

9 Edisi I/Maret ‘09-SW10

i awal tahun 2009, ketika banyak orang merayakan tahun baru, be-lasan warga desa Tanjung Hanau,

Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan melakukan aktivitas lain. Mereka mencabut tanaman sawit di areal kebun PT.Wana Sawit Subur Lestari [PT.WSSL] yang sudah ditanam sejak tahun 2007. Tidak selesai dis-itu, keesokan harinya, 2 januari 2009, keg-iatan ”handep” itu kembali dilakukan. Ulah warga tadi berawal dari pemberian ijin lokasi perkebunan sawit oleh pemerintah ka-bupaten Seruyan kepada PT.Kharisma Ung-gul Centraltama Cemerlang [PT.KUCC] se-luas ± 19.500 ha. Setelah dilakukan survey lahan, akhirnya bupati Seruyan hanya me-nyetujui 14.200 ha lahan untuk dimiliki PT KUCC, yang pada 1 februari 2007 berganti nama menjadi PT Wana Sawit Subur Lestari (PT WSSL).

Setelah mengantongi ijin, PT WSSL pun mulai melakukan pembersihan lahan. Pekerjaan itu ternyata telah memasuki lahan sebagian warga Tanjung Hanau, yang sudah dikelola sejak tahun 2000-2006.

Warga Hanau menamakan lokasi berladang itu Natai Pambakal dan Ayap Pambakal [natai=daratan dan ayap=rawa]. Menurut cerita masyarakat, sejak puluhan tahun yang lalu Natai Pambakal merupakan areal per-ladangan yang dibuka oleh seorang kepala desa [Pambakal]. Masih menurut kisah tadi, untuk mencapai natai pambakal, dulunya masyarakat mesti naik sampan melalui sun-

gai bangkuang [anak sungai seruyan] kemu-dian masuk ke tatah pambakal [tatah=parit] dengan berjalan kaki. Selain untuk jalur transportasi menuju ladang, tatah pambakal juga biasa digunakan warga untuk men-gangkut kayu saat musim banjir

Konflik Berkelanjutan

Konflik lahan antara warga Tanjung Hanau dan PT WSSL terus berlanjut. Ada beber-apa perundingan yang digelar kedua belah pihak untuk mencari penyelesaian namun tak membuahkan hasil. Tawaran ganti rugi dari perusahaan sawit itu ditampik warga pemilik lahan di Natai Pambaka dengan alasan lahan yang mereka kelola sudah san-gat sempit akibat perluasan kebun sawit. berdasarkan hasil pengukuran tim desa tanggal 5 Oktober 2008, jumlahnya hanya 43 ha yang berisi tanaman karet dan buah-buahan.

Demi melindungi lahannya, warga pernah meminta agar aparat pemerintah melalui kepala desa menerbitkan Surat Keterangan Tanah [SKT] atas nama warga yang men-gelola Natai dan Ayap Pambaka. Namun kepala desa Tanjung Hanau tidak mau mem-berikan surat tersebut.

Anehnya, pembersihan lahan warga terse-but terus dilakukan bahkan anak perusahaan BEST GROUP (BORNEO EKA SAWIT TANGGUH) tersebut, menamai lahan war-ga di Natai Pambaka yang telah dibersihkan dengan sebutan Q 28. Menurut PT WSSL,

lahan warga di lokasi itu sudah dibebaskan dengan pembayaran ganti rugi melalui surat kesepakatan dan perjanjian.

Misalnya saja, lahan atas nama Rajab seluas 10 hektar dibayar dengan jumlah uang sebe-sar Rp. 10.000.000, tertanggal 10 juli 2008. Atau kebun atas nama Masteng, seluas 11 hektar dihargai Rp.14.850.000 tertanggal 10 sept 08. Namun keterangan PT WSSL itu segera dibantah oleh pemilik lahan. Menurut Rajab, dia tidak pernah menanda-tangani surat jual-beli lahan, apalagi sampai menerima uang sejumlah itu. Masteng juga mengamini pengakuan rekan karibnya itu, ”Itu penipuan yang dilakukan pihak perusa-haan dan pihak lain yang merugikan saya. Saya tidak pernah tanda tangan surat apala-gi dapat uang!”, katanya dengan tegas.

Merasa dibohongi, Rajab dan Masteng dibantu warga pemilik lahan di natai dan ayap pambaka yang lahannya diambil PT WSSL mulai melakukan pencabutan (handep) tanaman sawit, kemudian meng-gantinya dengan tanaman karet dan buah-buahan lokal. Melihat sikap masyarakat, pihak perusahaan yang didukung pejabat pemerintah dan aparat keamanan tidak ka-lah gesit.

Kali ini bergantian, giliran tanaman warga yang dicabut buruh PT WSSL dan kem-bali ditanami kelapa sawit. aksi saling baku cabut ini berlangsung beberapa kali. Ber-dasarkan kesaksian warga, saat melakukan pencabutan tanaman, pihak perusahaan

MASYARAKAT ADAT

PERUSAHAAN TANAM SAWIT

WARGA TANJUNG HANAU TUAI PENJARA

D

Page 10: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 10

selalu mendapat pengawalan dari aparat kepolisian. Hal ini tentu saja menimbul-kan kekecewaan dalam diri warga Tanjung hanau.

Puncaknya adalah handep yang dilakukan oleh warga pada 1 – 2 januari 2009. Diper-kirakan luas kebun sawit yang dicabut war-ga sekitar 30 hektar. Bila dihitung jumlah pokok pohon sawit yang dicabut berjumlah 3.900 batang, dengan asumsi dalam 1 hek-tar lahan berisi 130 pokok pohon sawit. Aksi tersebut akhirnya terhenti di sore hari pada 2 januari 2009. saat itu, 4 orang staf PT WSSL yang didampingi 4 orang aparat dari kepolisian sektor Hanau dan seorang berseragam militer meminta agar warga menghentikan aksinya. Menanggapi hal itu, warga juga meminta agar PT WSLL mengh-entikan aktifitasnya di lahan mereka. Men-jelang malam, masing-masing pihak mem-bubarkan diri.

Berakhir di Sel Tahanan

Keesekokan harinya, PT.WSSL mengeluar-kan surat kepada warga Tanjung hanau yang memiliki lahan di Q 28, isinya urusan lahan masyarakat dengan pihak perusahaan su-

dah diserahkan kepada pemerintah [camat, kades, BPD dan tim desa]. Pada bagian pe-nutup surat disebutkan, ”PT.WSSL akan melaporkan kepada aparat penegak hukum bila masyarakat melakukan masih tetap pengrusakan terhadap aset perusahaan di lokasi Q 28. ” Meski telah menghentikan aksi handepnya, pada 8 Januari 2009, tiba-tiba Rajab dijem-put polisi dari sektor Hanau dari pondoknya yang berada di lokasi lahan konflik [blok Q 28]. Rajab dimintai keterangan terkait pen-cabutan pohon pada tanggal 1 dan 2 januari yang lalu. Tak sampai sehari, ia dijadikan tahanan pihak kepolisian.

Tidak sampai disitu, 13 januari 2009, empat orang warga desa Tanjung Hanau kembali dijemput polisi. Tuduhan kepada Mugiansyah cs ini mirip tuduhan terhadap Rajab, melakukan pengrusakan aset peru-sahaan. Nasib mereka juga sama, menjadi tahanan. Begitu juga dengan Masteng dan Osong yang dicokot polisi tanggal 14 janu-ari 2009.

Pada akhirnya, Rajab, Mugiansyah, Dardi, Murdiono, Masteng dan Osong hanya menambah panjang deretan nama-nama

Mugiansyah atau ian, salah seorang warga desa Tanjung Hanau yang di-tahan

warga republik ini yang terpenjara karena mempertahankan sumber hidupnya dari perluasan kebun kelapa sawit. Kisah mu-rung warga Tanjung Hanau jelas menam-bah hitam citra perusahaan kebun sawit dan kewibawaan aparat penegak hukum di Indonesia. Sampai kapan kisah seperti ini mesti berulang? (Oeban Hadjo, anggota sawit watch di Kalimantan Tengah)

Page 11: Tandan Sawit volume 1/2009

11 Edisi I/Maret ‘09-SW10

Sudah ratusan tahun masyarakat Kampung Mu-luy, Kecamatan Muara Ko-mang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, hidup di kawasan hutan Gunung Lumut, yang dalam bahasa lokal sering disebut Alas Royong.

ila dirunut berdasarkan kesaksian masyarakat, kelompok subetnis Dayak Paser ini telah menetap di

daerah gunung Lumut sepanjang 13 genera-si. Hal itu terbukti dari catatan sejarah adat yang memuat urutan nama-nama kepala adat Kampung Muluy dari kepala adat pertama bernama Layung Jagar hingga pemangku adat saat ini bernama Jidan.

Dalam mengemban tanggung jawab, ses-eorang yang dipilih atau dihunjuk menjadi kepala adat mesti memiliki nilai filosofis ”mengetahui bahwa bumi atas bumi” . Mak-sudnya, kepala adat tadi dianggap sebagai pemiliki kampung dan hutan Gunung Lu-muy, sehingga dia mesti mengetahui seisi kampung dan hutan adat. Meski begitu, sang kepala adat tadi dilarang dan tidak ber-hak untuk menjual atau membagi lahan dan hutan adat kepada siapapun di luar warga Kampung Muluy.

Larangan itu berasal dari filosofis hidup penduduk Kampung Muluy yang bertahan hingga saat ini, yang meyakini bahwa pen-jualan atau pembagian tanah adat ke pihak lain, di kemudian hari pasti akan menim-bulkan konflik antar warga asli dan penda-tang bahkan bisa menimbulkan perkelahian antar saudara sendiri.

Selain itu, masyarakat Kampung Muluy juga sangat menghargai keberadaan hutan di sekitar wilayah tinggalnya. Menurut mer-eka, keberadaan hutan (esensi) ebih berhar-ga dari nyawanya sendiri (eksistensi). Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pe-manfaatn dan pelestarian hutan mesti terus diupayakan demi keberlanjutan kehidupan anak-cucu mereka di kemudian hari. Kar-enanya praktek-praktek pemanfaatan dan pelestarian hutan selalu dilakukan warga kampung Muluy dengan arif dan bijak ber-dasarkan petuah adatnya.

Jadi tidak mengherankan jika masyarakat Kampung Muluy akan mengeluarkan se-ruan ”lebih baik parang jalan duluan dari pada berbicara” ketika ada pihak lain yang hendak memasuki kawasan hutannya. Ber-dasarkan pengalaman warga, banyak pihak

Pembangunan MikrohidroSelamatkan Hutan Adat danKetersediaan Energi Berkelanjutan

LINGKUNGAN

B

Ahmad SJA, Direktur Pelaksana Yayasan Padi, Kalimantan Timur

Gambar contoh pembangunan mikrohidro

Page 12: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 12

yang ingin mengambil kayu dan sumber daya hutan lainnya secara berlebihan tanpa pernah memikirkan keberlanjutan hutan itu sendiri. Yang lebih parah lagi, bila hutan itu dikonversi menjadi kebun sawit skala besar. Akhirnya hutan pun musnah dan tak ber-manfaat lagi.

Melihat dari kegigihan masyarakat untuk meyelamatkan hutan adat dari pengrusakan pihak lain dan perluasan kebun sawit, kami pun tergerak untuk ikut mendukung upaya itu sekaligus mencari manfaat lain dari hu-tan. Misalnya saja memanfaatkan sumber air dari hutan untuk energi listrik dengan mem-buat mikrohidro. Selama 13 generasi hidup di daerah Gunung Lumut, warga Kampung Muluy tak pernah dialiri listrik.

Pengunaan mikrohidro di Kampung Muluy sebenarnya telah diwacanakan sejak tahun 80an, melihat potensi air yang berlimpah di kampung itu. Namun keterbatasan pengeta-huan dan peralatan yang ada, membuat usa-ha itu mengalami ketertundaan. Mimpi tadi baru bisa terwujud ketika tahun 2004, kami mengusulkan kepada lembaga GEP-SGP agar mendukung pembangunan mikrohidro tersebut. Bak gayung bersambut, permoho-nan itu pun disetujui.

Proses persiapan hingga pemasangan turbin dengan kapasitas 10.000 watt yang berjarak 4 kilometer dari Kampung Muluy, ternyata

memerlukan waktu dan tenaga ekstra. Set-elah bekerja keras bersama warga selama 3 tahun, di awal tahun 2008 Kampung Muluy pun telah merasakan aliran listrik. Bahkan peresmian listrik mikrohidro di Gunung Lu-mut itu dilakukan oleh Bupati Kabupaten Paser.

Tak lama berselang, keberadaan mikro-hidro, pengurusan administrasi dan mana-jemen diserahkan kepada sebuah lembaga, bentukan warga Kampung Muluy setelah bermusyawarah. Pasca mendapat aliran lis-trik, banyak kegiatan produksi yang bisa di-lakukan warga. Misalnya saja pasca panen padi, telah tersedia pabrik pengolahan padi menjadi beras. Juga kegiatan kerajinan tan-

gan yang dikelola oleh kaum perempuan. Yang paling menarik, Kampung Muluy yang terletak dekat Gunung Lumut kini sedang membuka diri bagi pengembangan ekowisata.

Bagi kami, program penyelamatan hutan dan ketersediaan energi di daerah terpen-cil lewat mikrohidro yang berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan peningka-tan produksi warga, seperti yang terjadi di Kampung Muluy, bisa menjadi model pen-gelolaan kawasan yang berbasis ekologi.(Ahmad SJA)

Proses pemasangan Kabel dan manualnya (sumber : ahmad sja)

Sungai Temulur, Gunung Lumut, Kaltim dan Mesin Mikrohidro yang sudah terpasang (sumber : Ahmad Sja)

Page 13: Tandan Sawit volume 1/2009

13 Edisi I/Maret ‘09-SW10

SURAT PENGADUAN DAN KEBERATAN

Kepada Yth;1. Presiden Roundtable on Sustainable Palm Oil [RSPO]2. Sekretaris Jendral Roundtable on Sustainable Palm Oil [RSDi:SingaporeSalam hormat,Pertama, kami menyampaikan salam semoga Anda dalam keadaan baik dan dapat menjalankan tugas dengan baik selalu sukses.Melalui surat ini, saya dan beberapa warga desa Kenyalan, Sebabi dan Pasi Putih ingin menyampaikan informasi sekaligus keberatan kami atas tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu anggota RSPO yaitu Musim Mas Group, melalui anak perusahaannya PT. Su-kajadi Sawit Mekar (PT SSM), yang berlokasi di Kecamatan Talawang Kabupaten Kotawaringin Timur, meliputi desa-desa Kanyala, Tanah Putih dan Sebabi serta beberapa desa lainnya.

Hal ini sengaja kami lakukan karena PT SSM mengajukan diri untuk mendapat sertifikat berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atas penyelenggaraan kebun sawitnya yang sesuai dengan prinsip dan kriteria forum yang Anda pimpin. Dan pada 16 Februari 2009, perusahaan tersebut mendapat sertifikat berkelanjutan dari forum yang Anda pimpin.

Menurut kami, PT SSM tidak layak mendapat sertifikat berkelanjutan dari RSPO karena dalam penyelenggaraan kebun sawit, perusahaan itu banyak melakukan pelanggaran dan perampasan hak kami, masyarakat tempatan, seperti penipuan, intimidasi, penggusuran dan peram-pasan lahan warga.

Kami mencoba menuliskan setiap upaya yang dilakukan untuk mendapatkan kembali hak-hak kami yang terampas, seperti berikut:Pada tanggal 24 April 2005, kami membuat portal jalan di kebun sawit milik PT. SSM sebagai bentuk protes karena kebun itu berada di atas lahan kami yang dirampas tanpa ijin dang anti rugi. Juga tanpa ada sosialisasi. Namun protes kami tidak ditanggapi, malah PT SSM mendatangkan aparat kepolisian untuk membuka portal dan membubarkan masyarakat.

Tidak berhenti disitu, pada 4 Juni 2005, limaratusan warga Kenyala melakukan aksi unjuk rasa untuk menekan pemerintah daerah dan DPRD Kotim dagar mencabut izin usaha PT. SSM karena dianggap merugikan dan mencaplok tanah masyarakat. Saat itu warga diterima oleh pimpinan DPRD Kotim dan Kadisbun Kab. Kotim mewakili pemerintah kabupaten. Dalam pertemuan tersebut masyarakat menunjuk-kan bukti kepemilikan lahan yang diserobot pihak perusahaan. Hasil dari pengaduan kami, DPRD dan Pemkab memutuskan PT SSM harus menghentikan operasinya sampai semua persoalan perampasan hak warga diselesaikan. Namun pihak perusahaan tidak mengindahkan keputusan tadi.

Kami tidak pernah berhenti berupaya. Merasa gagal di kabupaten, kami mengadukan persoalan ini ke tingkat provinsi dengan mendatangi DPRD Kalteng. Saat itu perwakilan warga diterima oleh anggota Komisi B DPRD Kalteng yang terdiri dari RYM Subandi, HM Asera, Ir Borak Milton dan Ir Artaban. Namun upaya inipun tak berhasil.

Merasa segala usaha mengalami kebuntuan, tanggal 29 November 2008, warga Dusun Bukit, desa Tanah Putih menutup akses ke kebun sawit dengan cara membangun perkemahan di tengah jalanan. Lagi-lagi aksi masyarakat itu bukannya diselesaikan dengan cara persuasif, malah dilakukan tindakan reperesif dengan mendatangkan kembali aparat kepolisian untuk membubarkan dan membawa barang-barang berupa tenda adan alat masak milik warga.

Sumber konflik berkepanjangan ini sesuangguhnya berawal dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT SSM, berupa:1. PT. SSM masuk desa Kanyala dan sekitarnya tanpa melakukan sosialisasi tentang rencana pembukaan perkebunan sawit. Kalau dilakukan, itu hanya dilakukan kepada segelintir orang yaitu ke pihak aparat pemerintah desa.2. Dalam menangani konflik, PT SSM selalu menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa tanpa berusaha untuk menyelesaikan langsung dengan masyarakat. 3. PT. SSM melakukan penggusuran tanah-tanah masyarakat tanpa ganti rugi yang layak, sedangkan masyarakat yang tidak mau menyerahkan lahan ditipu dan dipaksa untuk menyerahkannya seperti yang terjadi pada Langkai TN.4. PT. SSM tetap menggusur tanah-tanah yang sudah memiliki surat keterangan tanah milik masyarakat antara lain milik:

Langkai TN (surat keterangan bukti hak menurut hukum adat tahun 1997 seluas ± 150 Ha di desa Kanyala yang ditandatangi oleh kepala Desa Palangan, Kepala Dusun Luwuk Rengas dan Damang kepala adat dan saksi sebatas) lahan tersebut garap oleh PT. Suka jadi Sawit Mekar

Page 14: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 14

Jantan Bin Leger (surat tanah yang berlokasi di Desa Tanah Putih, Sungai Rasak Dukuh Sati) yang digarap oleh PT. Maju Aneka SawitLeger Judi (surat pernyataan pengakuan tanah tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi di wilayah dukuh Sati Desa Tanah Putih yang disah-kan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.

Siker Judi (surat Pernyataan Pengakuan Tanah di wilayah sungai Seranau Dukuh Sati Desa Tanah Putih pada tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi yang disahkan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati beserta saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.

Menggo Nuhan (surat Keterangan Hak Atas Tanah Ulayat Hukum Adat, wilayah Tanah Putih tahun 2006 seluas 119.072 meter persegi (11,90 ha) yang di tandatanagi oleh Sekertaris Desa Tanah Putih, Keapla Desa Tanah Putih dan Damang Kepala Adat Kecamatan Kota Besi dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.

n Akir Bin Saun (surat pernyataan tanah seluas 65.550 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh ketua RT 02 Desa Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih beserta saksi sebatas) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit

Akir Bin Saun (surat Pernyataan Tanah seluas 9.450 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh Ketua RT 02 Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit

5. Penggusuran 2 buah kuburan masyarakat, keluarga Apin di Desa Tanah Putih oleh PT. Maju Aneka Sawit –juga Group Musim Mas- (lokasi berdasarkan GPS berada pada titik Kordinat S 02º 31’07 E 112º 35’30).6. Mempidanakan masyarakat (Saudara Langkai TN dan Jon Senturi) dengan aduan yang mengada-ada, yaitu perbuatan tidak menyenangkan.

Berdasarkan data yang kami peroleh dari banyak sumber, selain persoalan perampasan tanah warga, PT SSM juga telah merugikan negara Republik Indonesia. Berdasarkan dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, yang melakukan uji dokumen terhadap program Gera-kan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) diperoleh kesimpulan bahwa proyek seluas 840 ha yang dilakukan di Desa Kanyala Kacamatan Kota Besi [sekarang Kecamatan Talawang] Kabupaten Kotawaringin Timur, terdapat lahan seluas 704,08 ha yang dibabat untuk areal perkebunan kelapa sawit oleh anak perusahaan Musim Mas tersebut.

Menurut BPK Republik Indonesia, masalah ini mengakibatkan Kerugian Negara sebesar Rp. 3.922.956.000,00 [tiga milyar Sembilan ratus dua puluh dua juta Sembilan ratus lima puluh enam ribu rupiah] atas biaya yang dikeluarkan untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan Produksi.

Melalui data-data di atas, kami menuntut agar Anda,sebagai pimpinan RSPO, mendesak Musimas Group segera menyelesaikan persoalan perampasan lahan dan kebun milik warga tempatan demi keberlanjutan kehidupan kami di masa depan. Atau lembaga RSPO ini memang tak peduli pada keberlanjutan kehidupan orang-orang pedalaman dan kecil seperti kami?

Demikian surat ini disampaikan, untuk menjadi perhatian pada kesempatan pertama.Kanyala-Kalimantan Tengah, 22 Januari 2009

Atas nama warga korban PT. SSM,[ LANGKAI TN.]

Tembusan disampaikan kepada :1. Yth. Presiden Republik Indonesia di Jakarta2. Yth. Menteri Pertanian Republik Indonesia di Jakarta3. Yth. Kepala Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta4. Yth. KOMNAS HAM Republik Indonesia di Jakarta5. Yth. Gubernur Kalimantan Tengah di Palangkaraya6. Yth. Ketua DPRD Kalimantan Tengah di Palangkaraya7. Yth. WALHI Eksekutif Nasional di Jakarta8. Yth. SAWIT WATCH di Bogor9. Yth. Lembaga Sertifikasi CONTROL UNION di Belanda10. Yth. Bupati Kotawaringin Timur di Sampit11. Yth. Kantor Pusat MUSIM MAS GROUP di Medan12. Yth. WALHI Kalimantan Tengah di Palangkaraya13. Yth. Save Our Borneo di Palangkaraya14. Yth. Pimpinan Redaksi Media Massa Lokal dan Nasional15. Yth. Warga masyarakat korban lainnya di tempat masing-masing16. Pertinggal

Page 15: Tandan Sawit volume 1/2009

15 Edisi I/Maret ‘09-SW10

ugiono, sebut saja begitu, tertun-duk lesu di “kursi pesakitan” pada awal April 2007 lalu. Baru saja bu-

ruh panen di kebun sawit milik Asian Agri Group tersebut divonis 8 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat, Su-matera Utara. Sebelum dijatuhi hukuman, ia berharap bisa segera dibebaskan karena merasa tak bersalah dan keinginan untuk segera bertemu istri dan dua anaknya yang masih kecil. Tapi sayang harapan itu mesti Sugiono pendam di dasar hatinya.

Kasus ini berawal saat gajian akhir bu-lan November 2006. Ketika itu Sugiono hanya menerima Rp. 500 ribu dari yang seharusnya diterima sebesar Rp. 887 ribu. Kekurangan upah tadi ditanyakannya pada kasir pada saat menerima uang. Bukan sisa uang yang dia terima, malah perintah agar Sugiono mempertanyakan kekurangan up-ahnya pada krani gaji, staf di kantor kebun yang pekerjaannya menghitung gaji setelah mendapat laporan jam kerja dan hasil panen para buruh dari mandor panen.

Sugiono pun bergegas menemui krani gaji, yang kemudian memintanya menghadap mandor panen (kepala satuan unit kerja para buruh panen). Setelah bertemu, Sug-iono dimintanya menghadap asisten kebun (pemimpin tertinggi satu wilayah kebun yang biasanya disebut afdeling) untuk me-nanyakan kekurangan gajinya sebesar Rp 387.000. Penanggung jawab administratif satu areal (kebun yang biasa disebut afdel-ing) itu menyarakan agar Sugiono memba-wa pulang duit sebesar Rp 500 ribu tadi dan

berjanji akan membayarkan kekurangan up-ahnya esok hari.

Berpikir sesaat, Sugiono memutuskan mengembalikan uang Rp 500 ribu tadi kepa-da kasir dan berencana meminta seluruh ga-jinya besok harinya. Dia sengaja mengem-balikan uang itu karena berapa temannya sesama buruh yang pernah mengalami keja-dian serupa, sisa gajinya tidak pernah diba-yarkan lagi oleh pihak perkebunan.

Esok harinya, Sugiono kembali menemui si asisten dan mendapat berita bahwa uang sisa gaji karyawan kebun yang dibagikan kemarin, telah dikembalikan ke kantor Be-sar. Asisten tadi menyarankan agar Sugiono bersabar. Selama empat hari putra Jawa kelahiran pulau Sumatra (pujakesuma) ini berusaha menahan diri.

Kini Sugiono dilanda kekalutan membeli sembako bagi keluarganya ketika uang yang dia dipinjam dari sanak-saudaranya, menunggu gajinya dibayar utuh, telah ha-bis terpakai. Niat berhutang ke warung sembako, Sugiono enggan karena tungga-kan bulan lalu belum juga terlunasi. Saat berangkat kerja keesokan harinya, Sugion sengaja mampir ke kantor kebun menan-yakan kapan gajinya bisa diberikan. Sial bagi Sugiono, sang asisten malah menyuruh Sugiono menanyakan masalah itu langsung kepada Maneger (kepala divisi kebun sawit yang terdiri dari beberapa afdeling).

Mendengar itu, kesabaran Sugiono hilang. Dia marah dan mengejar si asisten kebun. “Awalnya dia bilang sabar. Sekarang malah

dia menyuruh aku meminta gaji ke manejer. Setelah itu mau disuruh kemana lagi? Se-mentara anak dan istriku sudah tidak makan lagi di rumah.” kata Sugiono ketika ditemui setelah persidangan.

Saat masteran (apel pagi) keesokan hari, si asisten memberikan gaji Sugiono utuh. Tak lama berselang, sekitar pukul 09.00 pagi, mandor panen menyuruh Sugiono yang ten-gah tekun bekerja agar segera menghadap ke kantor divisi. Sesampai di sana, buruh panen ini langsung dicokok polisi yang telah lama menunggunya. Asisten kebun ternyata melaporkan perbuatan Sugiono, yang menurutnya melakukan pengancaman dengan kekerasan saat menuntut gaji. Ber-kas pemeriksaan perkara segera dituntaskan. Sugiono pun diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 335 KUHP.

Persoalan Sugiono hanyalah satu kisah dari sekian banyak derita yang menimpa buruh perkebunan. Hamper saban hari pasti ada buruh yang dihukum karena tidak mema-tuhi peraturan kerja dan basis borong yang ditargetkan perkebunan. Saking terbiasanya mendapat bentakan dan hukuman, sampai-sampai jabatan ADM (Administrateur) yang mengepalai beberapa divisi kebun) diplesetkan Buruh menjadi Asal Datang Marah. Dari hal sederhana itu saja, orang awam bisa mendapat gambaran perilaku para petinggi kebun terhadap Buruh. Na-mun bila buruh mencoba menuntut haknya, maka ia akan diperhadapkan si Tuan Kebon dengan Hukum. Persis sama dengan nasib Sugiono yang terpidana. (Fatilda H, PSW)

“Niat Tuntut Upah, Sugiono, Buruh Kebun Sawit jadiTerpidana”

BURUH

S

Page 16: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 16

Sebagai ritual 5 tahun sekali, isu Pemilu yang akan dilakukan pada 5 April 2009 nanti, lebih banyak men-gangkat persoalan ekonomi, perbaikan

fasilitas kesehatan dan pendidikan. Di tingkat nasional sendiri, persoalan korupsi dan krisis keuangan global mewarnai kegiatan yang kerap mengerahkan massa ini.

Namun dari banyaknya tema kampanye yang diusung partai politik dan para calon legislatif, isu sengketa lahan akibat pembangunan kebun kelapa sawit tidak pernah diangkat alias teng-gelam, Padahal perkara itu telah banyak me-renggut korban jiwa juga harta akibat konflik vertikal maupun horizontal yang muncul seir-ing dengan perluasan kebun sawit. Apabila bila tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik, konflik tersebut bisa menimbulkan amuk massa yang daya destruktifnya sangat luar biasa.

Tulisan ini mencoba menguraikan arsitektur konflik pembangunan kelapa sawit. Sengaja dipilih kata arsitektur (sebagai ilusi atraktif) untuk memudahkan pembaca melihat rancang bangun dus aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan itu secara sederhan namun men-dalam. Berdasarkan data yang dikumpulkan sejak tahun 1998, ada beberapa hal yang me-narik untuk dituliskan, antara lain:

Arsitektur pertama adalah pembakaran pe-rusahaan oleh masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung Jabung Barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora, Januari 1999 di Muara Bungo. Sep-tember 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Di bulan April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP pada Desember 2006 di Sarolangun.

Dari data-data yang dipaparkan itu, dapat di-tarik satu kesimpulan kecil bahwa hampir di setiap daerah yang dibuka untuk pembangu-nan kebun sawit skala besar akan menimbul-kan konflik yang berujung pada pembakaran kebun sawit oleh warga lokal. Rentang waktu pembakaran kebun sawit telah terjadinya pembakaran kebun sawit oleh masyarakat tempatan. Intensitas pembakaran kebun sawit, cukup tinggi rata-rata 1 kasus setiap tahunnya. Pemerintah masa reformasi bisa dikatakan gagal dalam menyelesaikan sengketa tanah sehingga berlarut-larut hingga menjalar ke banyak daerah lain.

Arsitektur kedua adalah pengalihan issu. Ada upaya sistematis untuk mengalihkan issu dari persoalan tanah menjadi masalah krimi-nal. Artinya persoalan tanah antara pemi-lik tanah dengan perusahaan sawit berubah jadi masalah kriminal dengan menggunakan tenaga keamanan swasta dan aparat penegak hukum sebagai alat untuk mengintimidasi dan membungkam perjuangan masyarakat untuk meraih lahannya kembali yang diambil secara sepihak oleh perkebunan kelapa sawit. Sam-pai sekarang metode ini sering digunakan oleh perkebunan kelapa sawit.

Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat. Cara ini sengaja dirancang lewat pendekatan legal formal. Akibatnya banyak warga tempatan yang berjuang mendapat-kan lahannya kembali dari penguasaan mesti menjadi pesakitan di ruang pengadilan lalu berakhir di balik terali penjara dengan status narapidana. Efek dari arsitektur ketiga ini adalam membuat jera pelaku langsung yang menuntut perusahaan sawit, juga menebar ter-ror pada orang lain yang simpatik terhadap perjuangan si pelaku tadi.

Misalnya saja, putusan hakim terhadap ter-dakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP. Semua pelaku dijerat dengan tuduhan melanggar pasal 170 KUHP.

Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut pandang hakim berbeda. Dalam perkara pem-bakaran PT. Jamika dan PT. KDA, pelaku har-uslah dibuktikan kesalahannya. Apabila tidak terbukti, maka pelaku haruslah dibebaskan. Kasus pembakaran PT. DIPP yang digelar di Pengadilan Negeri Bangko, majelis hakim yang menangani kasus ini melihat dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak terbukti melakukan pembakaran sebagaima-na diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukannya, sehingga si pelaku dapat dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP.

Arsitektur selanjutnya adalah pengamambil al-ihan tanah namun kebun sawit tidak dibangun oleh perusahaan sehingga status lahan itu ada-lah lahan kosong atau lahan sengketa . Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain; 1) Perundingan antara masyarakat pemi-lik tanah dengan pihak perusahaan berlang-sung alot dan tidak tercapai kesepakatan. 2) Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit karena pergantian manajemen perusa-haan atau perusahaan hanya ingin mengambil kayu yang tumbuh di atas lahan untuk dijual. Dan bisa juga niat jahat perusahaan untuk mendapatkan kredit dari perbankan dengan jaminan lahan kosong atau sengketa.

Dari deskripsi sederhana di atas dapat disem-pulkan bahwa sengketa lahan akibat pemban-gunan perkebunan kelapa sawit masih akan terus terjadi. Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan negara ini, baik sebagai kandidate anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah, sepantasnya memprioritaskan diri dan membuat program untuk menyelesai-kan konflik lahan akibat perluasan kebun sawit ini. Sepantasnya, inilah yang menjadi agenda perioritas calon wakil rakyat dan calon presi-den dalam berkampanye menjelang pemilu tanggal 9 April 2009 nanti. Hidup Demokrasi dan Salam Demokrasi.

MENELISIK ARSITEKTUR KONFLIK

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI

Musri Nauli, Praktisi Hukum dan Aktifis Lingkungan, tinggal di kota Jambi

* Tulisan pernah dimuat di Harian Jambi Express pada 30-31 Maret 2008. Diterbitkan ulang di website Sawit Watch setelah men-galami proses re-edeting guna mempersing-kat nan menyederhanakan isi tulisan.

KEBIJAKAN

S

Page 17: Tandan Sawit volume 1/2009

17 Edisi I/Maret ‘09-SW10

Dalam beberapa diskusi informal, tak sedikit ak-tifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indo-nesia kebingungan me-lihat sepak terjang Erik Wakker. Sering kali pria asal Belanda ini mendu-kung pekerjaan LSM dalam melakukan penulisan pro-posal kegiatan, identifiKa-si lembaga donor, kam-panye pengrusakan hutan dan konflik sosial serta lingkungan yang muncul akibat perluasan kebun sawit.

amun tak jarang pula, pria yang berdomisili di Pulau Penang, Ma-laysia ini melakukan assessment

dan jasa konsultasi lainnya untuk kepentin-gan perusahaan kelapa sawit. Keberpihakan yang terkesan mendua itulah yang men-jadi penyebab kebingungan sebagian aktifis LSM tadi ketika berhadapan dengan Erik Wakker.

Untuk menjawab sebagian dari kebingun-gan tadi, Abet Nego Tarigan (Direktur Ek-sekutif Perkumpulan Sawit Watch) sengaja melakukan wawancara -lewat telepon, dan surat elektronik- serta pertemuan langsung

dengan Erik Wakker disela-sela acara per-encanaan strategi Perkumpulan Sawit Watch pada 24-26 Maret 2009 lalu.

Berikut petikan hasil wawancara tersebut.

Abet: Bisa Anda jelaskan apa itu AIDEnvi-ronment?

Erik: AIDEnvironment adalah sebuah lembaga konsultan yang berpusat di Be-landa. Saat ini, AIDEnvironment memiliki 15 konsultan dan 3 orang staf pendukung. Lembaga ini didirikan bukan mencari ke-untungan semata. Maksudnya, keuntungan (red: uang) bukan tujuan utama dan satu-satunya. Kami ingin memberikan dukungan atau bantuan untuk keberlajutan dunia le-wat pekerjaan konsultasi.

Abet: Bagaimana latar belakang Anda sebe-lum bergabung dengan AIDEnvironment?

Erik: Di awal tahun 1990-an, saya melaku-kan studi lapangan yang panjang di Fil-ipina untuk Centre for Environmental Stud-ies Leiden (CML). Sepanjang studi tentang nilai ekonomis perdagangan rotan di Timur Laut Pulau Luzon itu, saya menemukan ro-tan dari hutan Siare Madre dibeli murah dari petani lokal namun dijual dengan har-ga tinggi di toko furniture di Belanda. Saya terkejut melihat kenyataan itu. Ini juga men-jadi pekerjaan utama saya ketika beraktifi-tas di Milieudefensi (Friends of the Earth Netherland) antara tahun 1991 -1996..

Abet: Apa yang Anda lakukan di Milieude-fensie?

Erik: Bersama aktifis lain, kami mencoba mengidentifikasi persoalan perdagangan kayu tropis di Belanda. Juga menyorot dampak negatif pada hutan dan masyarakat adat dari perdagangan tersebut. Tidak hanya mengangkat isu tadi untuk berkam-panye, kami juga memobilisasi penjual kayu, menyambangi pengembang proyek, perusahaan swasta dan pemerintah lokal di banyak kota agar menggunakan kayu yang berasal dari hutan yang terkelola den-gan baik. Kebijakan pemerintahan nasional juga mendukung pekerjaan kami tadi.

Abet: Bagaimana Anda dan beraktifitas dan membangun jaringan kerja di Indonesia?

Wawancara dengan Erik Wakker :

“RSPO dan Proses Sertifikasi Tidak bisa Diharapkan untuk Menyelesaikan Konflik di Perkebunan Kelapa Sawit”

N

Erik Wakker

KEBIJAKAN

Page 18: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 18

Erik: Belanda dan Indonesia mempunyai hubungan sejarah yang panjang. Selain itu, Negara kami juga membeli kayu dan banyak komoditas lainnya dari Indonesia. Setelah meninggalkan Milieudefensi, saya mem-bantu WWF Belanda mengidentifikasi cara-cara yang dapat dilakukan kantor WWF In-donesia guna memerangi kebakaran hutan, yang pada tahun itu sudah sangat diluar kendali. Itulah konsultasi pertama saya di Indonesia, bulan November 1997. Setelah itu, saya banyak bekerja dengan WALHI, Yayasan Telapak dan SKEPHI.

Abet: Apa hal menarik yang Anda temukan dari aktifitas itu?

Erik: Saya menemukan hubungan antara ke-bakaran hutan, perlua-san kebun kelapa sawit dan aliran modal dari bank komersial Belanda ke Indonesia. Setelah berdiskusi dengan LSM di Belanda, pada tahun 1999 kami memulai satu projek konsultasi riset ekonomi Profundo. Saat itu, Yayasan Tela-pak diminta mendokumnetasikan bagaima-na bank Belanda mendanai penghancuran hutan Indonesia melalui investasi kepada industri sawit. Laporan “Pendanaan Peng-hancuran Hutan” memberi dampak besar terhadap bank-bank dan industri sawit, khususnya Malaysia.

Abet: Saat itu, apakah Anda sudah men-genal Sawit Watch (SW)? Atau bagaimana Anda bisa terlibat dengan SW?

Erik: Awalnya, saya bekerja dengan Yayasan Telapak. Di sana, saya bertemu Rudy Lumuru tahun 2001. Informasi dari Rudy, membuat saya terkesan dengan jarin-gan kerja dan tujuan-tujuannya SW. Peker-jaan pertama yang saya lakukan bersama SW (tahun 2002) adalah memfasilitasi kunjungan staf Bank ABN Amro yang ingin berdiskusi dengan LSM Indonesa dan meli-hat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di

lapangan (red: perkebunan sawit). Orang bank tadi cukup terkejut melihat perbedaan yang tajam antara informasi yang mereka dapat dari kliennya (red: perusahaan kela-pa sawit) dengan kenyataan di lapangan.

Abet: Setelah perkenalan dengan Rudy Lumuru dan memfasilitasi kunjungan staf ABN Amro ke Indonesia, selanjutnya apa yang Anda lakukan?

Erik: Rudy dan saya menjadi teman baik. Lalu saya membantu SW berhubungan den-gan organisasi donor seperti DOEN Foun-dation dan Hivos. Tahun 2003, dibuatlah program “Equal Balance” fase pertama selama 3 tahun. Program itu didukung oleh donor yang berbeda. Tak lama kemudian, Rudy, staf dan jaringan kerja SW mengubah lembaga itu menjadi LSM. Sejak itu, kin-erja dan keberadaan SW semakin menin-gkat dan efektif dalam melakukan berbagai macam aktifitas yang mengesankan.

Abet: Sebagai anggota SW dan konsultan di AIDEnvironment, saya ingin menanyakan pendapat Anda tentang Roundtable on Sus-

tainable Palm Oil (RSPO, red:Pertemuan Meja Bundar untuk Penyelenggaraan Ke-bun Sawit Berkelanjutan)?

Erik: Tidak penting apa yang saya pikir ten-tang RSPO. Yang penting adalah SW memu-tuskan menjadi anggota RSPO sejak 2004. Saya rasa RSPO tidak akan menjadi seperti sekarang tanpa keterlibatan SW. Buktinya sederhana saja. Sebelum 2004, tidak ada (red: pemerintah dan perusahaan kelapa sawit) yang mau mendengarkan SW dan mitra lokalnya. Sekarang SW bisa mempu-nyai akses langsung kepada manager peru-sahaan dan pemerintah dalam memperbai-ki kondisi perkebunan sawit di Indonesia. Itu jelas “perbedaan besar”.

Abet: Namun sebagian aktifis LSM berangga-pan RSPO tidak akan pernah bisa membantu apalagi menyelesaikan konflik yang terjadi di perkebunan sawit. Menurut Anda, ba-gaimana sepantasnya sikap dalam RSPO?

Erik: Banyaknya kasus atau konflik yang muncul (red: di perkebunan sawit) menun-jukkan bahwa RSPO dan proses sertifikasi yang dilakukannya tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan konflik di perkebunan kelapa sawit. Tetapi RSPO menyediakan kerangka kerja bagi LSM dan masyarakat untuk berjuang keras demi keadilan dengan cara membawa kasus-kasus tadi ke ruang publik. Abet: Selain memiliki akses dan didengar-kan banyak pihak menurut Anda, apa hal lain yang bisa dilakukan SW di RSPO?

Erik: SW harus mendorong penegakan prin-sip dan kriteria RSPO agar mengikat pihak- pihak yang menjadi anggotanya. Apabila itu terjadi RSPO akan menjelma menjadi lem-baga yang diharapkan oleh banyak orang. Analoginya, jika Anda terus berjuang untuk menyelesaikan masalah Anda, maka bisa

“Memang ada banyak alasan bagi Sawit Watch untuk menarik diri dari

RSPO. Tapi setelah keluar dari sana, siapa lagi yang mau mendengarkan seruan, him-bauan dan masukan dari lembaga ini? Saya yakin, tidak akan ada!

Untuk itu Sawit Watch perlu ber-sikap hati-hati”,

Erik Wakker

Page 19: Tandan Sawit volume 1/2009

19 Edisi I/Maret ‘09-SW10

dipastikan Anda akan mendapat apa yang Anda inginkan. Menurut saya, perjuangan SW di RSPO mesti dimaknai dari analogi tadi.

Abet: Kembali ke aktifitas lembaga Anda. Di satu sisi, AIDEnvironment bekerja untuk NGO namun di sisi lain, ia juga bekerja un-tuk perusahaan sawit. Bagaimana mungkin AIDEnvironment mampu menjaga netrali-tas dan independensinya?

Erik: Sebagai lembaga konsultasi, kami memang bekerja dengan banyak pihak yang memiliki perbedaan kepentingan. Namun klien yang menggunakan jasa AIDEnvi-ronment harus mau melakukan perubahan “yang penuh arti”. Artinya konsultasi yang kami lakukan harus bermanfaat kepada lingkungan, hutan, masyarakat lokal, dan juga perusahaan. AIDEnvironment tidak in-gin hasil kerjanya digunakan untuk “green-wash”. Sejauh yang saya tahu, ini tidak pernah terjadi! Jika ada, kami tidak akan sungkan untuk menyanggahnya.

Terkadang kami memang menghadapi dilema ketika bekerja untuk banyak pihak. Namun benteng kami adalah intregitas diri dan transparansi. Bila ada LSM atau masyarakat ingin mengetahui secara khusus apa yang AIDEnvironment lakukan dengan perusahaan, kami pasti akan menjelaskan-nya.

Sampai sejauh ini, kami tidak pernah dan tidak akan pernah menerima “projek raha-sia” dari klien. Itu sudah menjadi prinsip dasar AIDEnvironment dalam bekerja. Si-lakan Anda dan banyak pihak lainnya mem-buktikannya sendiri.

Abet: AIDEnvironment juga bekerja seba-gai konsultan bagi lembaga donor. Misal-nya DOEN Foundation. Bagaimana ini bisa terjadi?

Erik: Kami memang menjadi konsultan un-tuk DOEN dengan tugas mengidentifikasi mitra kerja lembaga itu, membantu mitra DOEN dalam membuat proposal dan sering

juga dilibatkan dalam pelaksanaan projek. Namun keputusan akhir tentang pekerjaan-pekerjaan tadi ada pada Lembaga DOEN. Bukan Aidenvironment. Ini yang membuat kami tetap menjadi lembaga konsultasi. Abet: Tapi tarif konsultasi yang melibatkan AIDEnvironment sangat mahal. Bagaima-na…?

Erik: (red: Erik langsung memotong per-tanyaan) Itu karena kami harus memba-yar pajak yang jumlahnya cukup besar di Belanda. Juga standar hidup di sana jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Sewa kantor kami saja, misalnya, hampir 10 kali lebih mahal dibandingkan harga sewa di Indonesia. Tarif kami memang “disesuai-kan dengan harga pasar” di Belanda.

Tetapi saat bekerja di Malaysia atau In-donesia, AIDEnvironment punya hitungan tersendiri untuk memecahkan persoalan harga itu. Biasanya kami akan bekerja sama dengan konsultan lokal yang tarif-nya “sesuai dengan standar pasar lokal”, sehingga pekerjaan yang memiliki kwalitas yang sama yang dilakukan dibayar dengan harga yang lebih rendah.

Abet: Menurut Anda, apa hal prioritas yang mesti dilakukan SW ke depan?

Erik: Sebagai anggota SW, saya melihat penambahan jaringan kerja SW yang dida-pat dari program “Equal Balance II” telah membuat posisi tawar lembaga ini semakin kuat. Saya pikir banyak anggota SW belum menyadari betapa kukuhnya jaringan kerja itu. Hal lain adalah SW mempunyai posisi kunci dalam RSPO dan mengetahui apa yang terjadi di lapangan.

Tugas kita sekarang justru membawa kelu-ar dan membeberkannya secara terbuka se-mua konflik yang ada di perkebunan sawit . Setelah itu SW mesti masuk ke proses pe-nyelesaian konflik melalui perlawanan, dia-log dan negosiasi.

Abet: Bagaimana peran pemerintah dalam

menangani konflik-konflik itu?

Erik: Pemerintah harus duduk bersama dengan SW (red: juga LSM lain) dan peru-sahaan dalam mencari solusi dari konflik-konflik yang muncul di perkebunan sawit. Jika pemerintah tidak dilibatkan, mungkin mereka hanya akan duduk dan berdoa agar LSM dan perusahaan sawit bisa menyele-saikan semua masalah yang ada. Setelah itu, pemerintah akan pelesiran ke Eropa setiap tahun, untuk meyalahkan NGO yang dianggap penghasut munculnya konflik dan membiarkan buah apel busuk tetap ada di industri sawit.

Ini tidak bisa dibiarkan! LSM tidak punya kapasitas dan mandat untuk mengerjakan tugas-tugas pemerintah. Mekanisme sukar-ela di RSPO, juga tidak cukup untuk me-nyelesaikan masalah tadi. Kita membutuh-kan pemerintah untuk menjadi bagian dari proses perubahan dan mengatur perilaku industri sawit. Ini kewajiban pemerintah!

Abet: Terimakasih untuk Erik yang telah meluangkan waktu untuk menjawab pertan-yaan saya.

--------------*-------------

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch

Page 20: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 20

Siaran Pers Perkumpulan Sawit Watch

Satu Lagi Kebenaran Tidak Nyaman:

Peraturan Menteri Pertanian Ubah Lahan Gambut IndonesiaJadi Kebun Kelapa Sawit Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17,000 pulau. Pulau-pulau besar sep-erti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Papua masih tersisa hutan dan ekosistem tro-pis, rumah bagi gajah, badak, harimau Sumatra, Orang Utan, dll, spesies hutan basah tropis yang dilindungi, langka dan terancam punah akibat perluasan kebun sawit yang tidak terkendali.

Peraturan Menteri

Sawit Watch sangat khawatir jika pemerintah tetap menerapkan Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kela-pa sawit akan menybabkan perampasan hutan gambut dan lahan gambut milik masyarakat lokal dan masyarakat adat di seluruh nusantara dan berpotensi meningkatkan pemanasan global dan peruba-han iklim akibat emisi karbon yang terpapas oksigen lepas ke udara dari pembukaan lahan gambut.

Pasal 4 ayat 1 menyatakan:

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memanfaatkan lahan gambut sebelum Peraturan ini ditetap-kan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak lainnya berakhir.

Menurut kami, pertimbangan peraturan menteri tersebut secara hukum tidak sesuai dan secara substansi bertentangan dengan aturan hukum lainnya diantaranya:

UU No.26/2007 tentang Tata Ruang Nasional mewajibkan pemerintah pemerintah untuk melaku-• kan kajian, evaluasi dan pelaksanaan tata ruang nasional;

UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan dan • memenuhi hak-hak rakyat;

UU No.29/1999 tentang ratifikasi konvensi internasional tentang pengapusan segala bentuk dis-• kriminasi rasial (CERD);

Inpres No.2/2007 tentang percepatan revitalisasi dan rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan • Tengah;

Fakta yang tidak nyaman:

Akankah kita biarkan 2 juta ha atau 4 juta ha bahkan 13.5 juta ha sampai sekitar 20 juta ha lahan gam-but tropis Indonesia diubah menjadi kebun kelapa sawit? Ada beberapa temuan lapangan Sawit Watch yang patut dipertimbangkan secara cermat dan matang, yaitu:

Page 21: Tandan Sawit volume 1/2009

21 Edisi I/Maret ‘09-SW10

Pertama, di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra, Sawit Watch mencatat sejak tahun 2006-2008 telah terjadi peningkatan pemberian izin pembukaan lahan gambut kepada perusahaan kelapa sawit di kawasan gambut. Propinsi yang berambisi memperluas kebun sawitnya secara besar-besaran, misalnya, Kaliman-tan Barat sejumlah 706,379.1 ha, Kalimantan Tengah 239,388.93 ha, dan Riau 792,618.08 ha. Sawit Watch menemukan sekitar 348 perusahaan kelapa sawit dengan luas rata-rata 3.149,3 Ha setiap perusahaan.

Kedua, Indonesia telah menanam 7.5 juta ha lahan dengan sawit yang menghasilkan sekitar 19 juta ton CPO. Namun, pembangunan ekonomi yang hebat ini mengakibatkan 576 konflik lahan di 16 propinsi dari 23 propinsi yang mengembangkan kelapa sawit di Indonesia (Sawit Watch, Januari 2009).

Ketiga, emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan dalam sektor sawit diperkirakan telah menca-pai antara 3.1 dan 4.6 milliar ton CO2 – 46 sampai 68 kali pengurangan emisi karbon yang diharap-kan Uni Eropa dengan menggunakan biofuels. Selain itu, produksi minyak sawit dari konversi lahan gambut tropis Indonesia, akan memerlukan 420 tahun produksi biofuel untuk membayar kem-bali hutang karbon yang telah terpapas oksigen akibat pembukaan lahan gambut (Oxfam, 2008).

Potensi dampak:

Oleh karena itu, cepat atau lambat, ketika berlaku peraturan ini akan berdampak: Menghilangkan hak dan kebutuhan – membenarkan pengambil-alihan – hak masyarakat lokal dan masyarakat •

adat atas tanah dan sumber daya lainnya yang secara tradisional mereka miliki atau kuasai dan manfaatkan dalam kawasan sosial dan interaksi budaya;

Tidak menghargai prinsip untuk secara bebas menolak atau memberikan keputusan bebas, didahulukan • dan diinformasikan (FPIC) masyarakat terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka dalam pelestarian lahan gambut;

Mempercepat peningkatan laju deforestasi dan degradasi di kawasan gambut karena peraturan ini dibuat • tanpa adanya penelitian dan konsultasi secara sosial dan lingkungan

Membenarkan secara hukum pelepasan emisi karbon tak terkendali dari pembukaan lahan, pengeringan, • dan kanalisasi hanya demi memperluas perkebunan kelapa sawit;

Menggagalkan semangat agenda pembaruan agararia nasional dan kedaulatan pangan yang dicanangkan • oleh presiden republik Indonesia.

Rekomendasi:

Dengan ini, Sawit Watch mendesak pemerintah:Segera meninjau Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009;1. Membuat mekanisme dan tindakan cermat yang menjamin hak dan kebutuhan – kesejahteraan 2.

masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkena dampak oleh peraturan tersebut;Mengambil tindakan perbaikan dan pemulihan melalaui mekanisme yang berlaku secara nasional 3.

untuk menangani pelanggaran hak-hak rakyat dimasa lalu; Melakukan tindakan segera dan efektif untuk menyelesaikan semua konflik lahan dan sumber daya 4.

alam yang sedang terjadi dalam perkebunan kelapa sawit; Bila memungkinkan mencegah eskalasi konflik sosial dan degradasi lingkungan hidup dengan men-5.

erapkan mekanisme resolusi konflik yang permanen.6.

Dengan menerima dan melaksanakan rekomendasi ini, pemerintah Indonesia sesungguhnya telah me-lindungi hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat-nya sendiri. Juga demi menjaga keberlanjutan lingkungan untuk kepentingan umat manusia.

Norman JiwanNomor kontak: 081315613536

Page 22: Tandan Sawit volume 1/2009

TandanSawit 22

Sejak akhir 2008 lalu, Kusnadi Wirasaputra (yang akrab disapa Bung KWS) didapuk men-jadi sekretaris jenderal Sarekat Hijau Indone-sia, cikal bakal Partai Hijau Indonesia di masa mendatang. Pria asal Jawa Barat yang mulai beraktifitas di organisasi masyarakat sipil sejak tahun 1985, sengaja diwawancara tim Media Sawit Watch untuk mengetahui tanggapannya tentang Pemilihan Umum yang akan digelar pada 9 April 2009 dan sistem demokrasi yang pantas untuk bangsa Indonesia.

Berikut petikan wawancara tim redaksi Media Sawit Watch dengan Koesnadi Wirasaputra.

Red: Bagaimana tanggapan Anda pada sistem demokrasi Indonesia sekarang?

KWS: kita kembalikan saja ke sejarah. Negara ini sudah lama merdeka, tapi apa sudah ber-daulat sampai sekarang ini?

Red: Apa yang Anda maksud dengan ber-daulat ini?

KWS: Berdaulat itu berarti mandiri. Mengu-tamakan kepentingan rakyat. Caranya menuju ke situ dengan jalan mulai membatasi inter-vensi asing dari sisi ekonomi dan politik. Hingga suatu saat intervensi tadi bisa dihilan-gkan secara total.

Red: Bagaimana dengan anggapan banyak orang yang mengatakan tidak semua inter-vensi asing dalam bidang politik dan ekono-mi itu jelek?

KWS: Itu anggapan yang keliru. Bagaima-na mungkin orang asing mau “membantu” ekonomi dan membangun sistem politik yang katanya lebih “demokratis” tanpa ada kepent-ingannya? Buat saya itu nonsen.

Lihat saja sistem ekonomi yang dikembang-kan Indonesia saat ini. Semua kegiatan ekono-mi berorientasi pada ekspor bahan baku atau

bahan setengah jadi ke negara-negara utara. Skalanya juga dirancang luas dan besar. Ben-tuknya pasti menghisap rakyat banyak demi kepentingan sekelompok kecil pemodal. Bila dikaji lebih jauh, cara kerja para penggiat ekonomi jenis ini dimuluskan seperangkat kebijakan berupa produk hukum. Entahlah namanya Undang-Undang atau peraturan-per-aturan eksekutif Negara. Akibat dari semua itu adalah terbentuknya koloni-koloni baru dalam Negara ini.

Red: Anda bisa menyebutkan contoh konkret dari pernyataan tadi?

KWS: Lihat saja perkebunan kelapa sawit. Pengembangannya dimulai dari masa penja-jahan sampai sekarang perluasannya malah semakin gila-gilaan. Orientasinya jelas bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor. Pengembangannya dalam skala luas yang di-lakukan dengan cara mengkonversi hutan dan rawa gambut, merampas wilayah kelola kaum adat, mengintimidasi bahkan mengkriminal-isasikan rakyat yang menolak ekspansi kebun sawit ke daerah tinggalnya.

Anehnya praktek-praktek culas itu berlind-ung dibalik aturan-aturan hukum. Mulai dari UU Perkebunan sampai Surat Keputusan Bupati yang memberikan ijin lokasi. Ujung-ujungnya, perkebunan sawit skala besar tadi menjadi private area (wilayah khusus) yang mendapat perlakukan khusus pula. Bukankah ini namanya Negara dalam Negara? Coba cek sendiri ke kebun sawit.

(Koesnadi Wirasaputra pertama kali menyak-sikan langsung penderitaan penduduk tempa-tan akibat perluasan kebun sawit pada tahun 1993 di kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Saat itu PTPN II -perusahaan sawit milik negara- membuka kebun seluas 40 ribu hektar yang terhampar di tiga kecamatan meliputi 47 desa yang berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa. Dari pengalamannya itu, KWS membuat satu tulisan berjudul KOLONIALISASI SAWIT DI TANAH PASER yang sampai sekarang masih relevan untuk dibaca.)

Red: Anda punya resep menanggulangi per-soalan itu?

KWS: Ya jelas. Berdaulat secara ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi, yang mesti dicapai dan dipertahankan terus-menerus ada-lah ketahanan pangan. Artinya pengembangan komoditi pangan di wilayah yang memang cocok untuk budidaya itu pangan itu. Lalu pembentukan sentra-sentra industri di tiap region yang berbasis komoditi lokal. Jadi tiap region punya industri andalan. Bayangkan bila keanekaragaman produk tadi dijadikan dasar industri nasional? Betapa mandiri dan kayanya bangsa ini.

Satu hal lagi, produk apapun yang dikembang-kan di tingkat lokal atau regional tadi bukan orientasi ekspor. Tapi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Sisanya untuk cadangan bila terjadi suatu peristiwa yang tak direncana-kan. Peran Negara adalah mengatur peredaran komoditi antar daerah atau region. Kalaupun

Wawancara dengan Sekjen Sarekat Hijau Indonesia, Koesnadi Wirasaputra

“DEMOKRASI KERAKYATANPILIHAN TERBAIK UNTUK BANGSA INDONESIA”

KEBIJAKAN

Koesnadi WirasaputraSekjen Sarekat Hijau Indonesia

Page 23: Tandan Sawit volume 1/2009

23 Edisi I/Maret ‘09-SW10

mesti ekspor, itu dilakukan setelah menghi-tung kebutuhan dan stock dalam negeri.

Red: Bagaimana dengan persoalan politik?

KWS: Akar budaya bangsa ini adalah sosial-isme. Suka menolong sesama dalam seman-gat gotong-royong. Dalam sejarah Indonesia modern, Pancasila itulah hasil terbaik yang tergali dari sosialisme tadi. Turunan dari Pan-casila itu demokrasi kerakyatan. Artinya kepu-tusan apapun yang diambil mesti berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Mari berdebat panjang yang membutuhkan waktu lama. Tapi demi kebaikan bersama. Bukan demokrasi one man one vote! Itu budaya individualis yang diimpor! Memang instan, efektif dan efisien tapi tidak mengakar. Demokrasi kerakyatan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia!

Sekarang ini bahkan ada kelompok yang beru-saha mensintesakan antara kedaulatan rakyat tadi dengan demokrasi one man one vote. Na-manya gerakan sosdem alias sosialis-demokra-si. Makanya dibuatlah dialog multi pihak, pe-nyelenggaraan pemerintah yang bersih lewat goodgovernance dan lain-lain. Hasilnya apa? Itu cara halus kapitalisme/ imperialisme men-jinakkan Indonesia yang berbudaya gotong royong, musyawarah untuk mufakat tadi.

Red: Apa demi mewujudkan kedaulatan itu maka Anda bersedia didapuk menjadi sekre-taris jenderal Sarekat Hijau Indonesia?

KWS: Ya! Dan demi keberlanjutan hidup anak-cucu bangsa ini. Jadi ada tiga pilar yang mesti dilakukan secara bersamaan yaitu ke-mandirian ekonomi, politik dan keberlanjutan lingkungan. Pikirkan juga kehidupan generasi mendatang! Itu perintah Tuhan dalam semua agama.

(KWS resmi bergabung dengan Perkumpulan Sawit Watch pada tahun 2004. Sebelum dan setelah menjadi anggota lembaga ini, KWS banyak menginisiasi pembentukan organisasi rakyat - terutama di Pulau Kalimantan- salah satu alasannya, demi mewujudkan kedaulatan rakyat dalam ekonomi, politik dan pengelo-laan lingkungan)

Red: Apakah ada partai politik (parpol) pe-serta pemilu 2009 ini yang seide dengan Anda dalam mewujudkan kedaulatan rakyat itu?

KWS: Tidak Ada! Semua parpol peserta pemi-lu tahun ini hanya mengekspolitasi rakyat se-cara ekonomi, politik dan lingkungan. Mulai dari Bantuan Langsung Tunai, politik uang dan mulai berjalannya jual-beli karbon! Bila suatu saat nanti Sarekat Hijau Indonesia (SHI) berubah menjadi Partai Hijau Indonesia, Insya Allah, kedaulatan menjadi perjuangan utama.

Red: Pertanyaan terakhir Bung KWS. Apa harapan Anda pada Perkumpulan Sawit Watch (PSW)?

KWS: Saya punya 2 harapan terhadap or-ganisasi ini. Pertama PSW yang sudah mulai menginisiasi sentra produksi berbasis komodi-ti lokal, misalnya pembuatan kebun nilam per-

contohan di Kalimantan Tengah, bisa dikem-bangkan di tempat-tempat lain. Kedua PSW semakin aktif merangsang rakyat untuk mem-bentuk organisasi demi mencerdaskan rakyat secara politik dan ekonomi. Pembentukan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merupa-kan prestasi besar buat organisasi ini. Tapi apa SPKS saja sudah cukup? Lalu bagaimana den-gan pendirian institusi ekonomi yang mudah terjangkau dan tidak ngribetin rakyat? Saya pikir pendirian koperasi dan sejenisnya, perlu dilakukan PWS di masa mendatang.

Apabila PSW mau bekerja fokus melakukan 2 hal itu, bisa dipastikan kedaulatan rakyat akan cepat tersasar!

Red: Terimakasih untuk waktu dan jawaban Anda Bung KWS.

“Lihat saja perkebunan

kelapa sawit. Pengembangan-

nya dimulai dari masa penjajahan sampai sekarang perluasannya malah

semakin gila-gilaan. Orientasin-ya jelas bahan mentah atau

setengah jadi untuk diekspor.Pengembangannya dalam skala luas yang dilakukan

dengan cara mengkonversi hutan dan rawa gambut, merampas wilayah kelola kaum adat, mengintimidasi bahkan mengkriminalisasikan rakyat yang menolak ekspansi kebun sawit ke

daerah tinggalnya.”Koesnadi Wirasaputra

Page 24: Tandan Sawit volume 1/2009