EDITORIAL - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan...

23

Transcript of EDITORIAL - database.sawitwatch.or.iddatabase.sawitwatch.or.id/Publikasi SW/Tandan...

1 Edisi II/Sept’08 - SW10

di sektor kesehatan atau kedokteran, yaitu mengenai aturan atau etika pengo-batan (atau tindakan medis tertentu) berkenaan dengan hak pasien dan keluarga-nya untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya sehingga pasien atau kelu-arganya dapat memberikan keputusan “iya atau tidak”

atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter atau rumah sakit.

Di Era Kolonial Belanda, Hukum Negara berben-turan dengan Hukum Adat setempat sehingga, ada ruang Middle Ground yang menjadi peluang penyele-saian benturan ini, FPIC adalah bentuk middle ground.

Kasus Lubuk Jering, Riau menjadi uji coba FPIC untuk mencari solusi keme-lut sawit. (Redaksi)

EDITORIAL

FREE, PRIOR, AND INFORMED CONSENT

SATU SOLUSIKEMELUT SAWITPerkebunan sawit se-

makin tahun semakin meluas. Target pemerintah hingga 2009 akan membuka lahan hutan untuk sawit di Papua seluas 5 juta hektar, yang dalam rentang dua ta-hun belakangan ini total laju perluasan nasional kebun sawit sudah mencapai 800 ribu hektar per tahun.

Sejalan dengan perluas-an areal kebun sawit na-sional tersebut, persoalan perkebunan sawit semakin meluas dan hampir berada dalam berbagai perspektif konfl ik, sosial, budaya, eko-nomi, dan ligkungan.

Sejak minyak sawit men-jadi komoditas andalan In-donesia dari masa Kolonial Belanda hingga sekarang, kemelut lahan yang terjadi antara perusahaan perke-bunan (milik negara mau-

pun swasta) tidak kunjung terselesaikan. Bahkan dengan kebutuhan perluasan akibat dinamika ekonomi-politik In-ternasional, tingkat kejadian

konfl ik dalam setiap tahun-nya bertambah. Ditengarai sejak diberlakukannya UU No.18/2004 tentang Perke-bunan, dari 164 kejadian konfl ik perkebunan dalam masa dua tahun ber-tambah menjadi 513 kejadian konfl ik.

Free, prior, and informed consent atau yang lebih dike-

nal dengan sebutan FPIC adalah salah satu pendeka-tan internasional berbasis hak dasar manusia dalam menerima informasi yang benar tentang suatu pem-bangunan, yang dampaknya agar subyek pembangunan tersebut dapat mengambil keputusan “iya atau tidak” terhadap pelaksanaan pem-bangunan tertentu secara bebas tanpa paksaan.

FPIC sebagai bentuk pendekatan kognitif (pe-nyadaran pikiran atau pema-haman) adalah pendekatan jalan tengah yang sedang diupayakan oleh banyak pihak untuk menjadi alat mempermudah penyelesa-ian konfl ik di sektor perke-bunan sawit.

Dalam edisi Tandan Sawit Kali ini, akan dipapar-kan sedikit tentang sejarah FPIC di Indonesia. FPIC sudah diterapkan sejak lama

“FPIC sudah diterapkan sejak

lama di sektor kesehatan atau

kedokteran, yaitu mengenai aturan atau etika pengobatan (atau tindakan medis tertentu) berkenaan dengan hak pasien dan keluarganya untuk mendapatkan informasi

sejelas-jelasnya sehingga pasien atau keluarganya dapat memberikan keputusan ‘iya atau tidak’ atas tindakan me-

dis yang akan dilakukan dokter atau rumah sakit”

2TandanSawit

Hatini dan Kartasapoetra (1992) menyebutkan, konfl ik adalah

cara untuk mencapai tujuan dengan melemahkan pihak lawan, tanpa meng-hiraukan norma dan nilai yang berlaku. Dalam pandangan keduanya, konfl ik tidak semata-mata menyangkut ke-pentingan fi sik, materialistik ataupun kebendaan, namun juga berkaitan den-gan penghargaan yaitu martabat, harga diri, dan prestise (gengsi).

Potensi konfl ik yang muncul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya

disebabkan adanya perjuangan un-tuk mempertahankan hidup dengan keterbatasan ruang atau sumberdaya, tetapi juga dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki manusia (innate instinct).

Teori sosial klasik masih membagi jenis konfl ik menjadi dua, yaitu yang sudah muncul ke permukaan (mani-fest) dan yang masih di bawah permu-kaan (latent). Kedua pembagian ini, merupakan muara dari ketimpangan struktur sosial-ekonomi-politik antara

Pembangunan perke-bunan sawit sering tersandung perma-salahan penggunaan dan alih fungsi lahan. Konfl ik antara peru-sahaan dengan ma-syarakat lokal (adat) lebih banyak karena hal ini. Dan dari se-jarah penyelesaian-nya, tidak satupun terselesaikan dengan saling menguntung-kan. Kasus Lubuk Jer-ing, menjadi pengala-man berharga dalam mencari model pe-nyelesaian konfl ik di perkebunan sawit.

MEDIASI KONFLIK PERKEBUNAN SAWITWIN WIN SOLUTIONDI LUBUK JERING, RIAU

kelas mayoritas yang lemah (proletar) dari segi akses, kekuasaan dan pe-ngetahuan dengan kelas elit/pemilik modal/tuan tanah (aristokrat/borjuis) yang mengusai akses, memiliki kekua-saan besar dan pengetahuan yang ber-dampak langsung bagi kelangsungan hidup kelas mayoritas.

Pada 2007 teridendifi kasi konfl ik antara perkebunan sawit dengan ma-syarakat lokal (adat) di Propinsi Riau sebanyak 35 konfl ik, artinya lebih dari 2 konfl ik naik ke permukaan setiap

Proses penandatanganan nota kesepakatan (MoU-Memorandum of Understanding) antara kedua belah pihak disaksikan mediator. Dan setelahnya, mediator memantau perkembangannya.(dok.Scale Up)

3 Edisi II/Sept’08 - SW10

bisnis sumberdaya alam, banyak pihak mendorong pelaku usaha sektor perke-bunan sawit untuk melakukan pembe-nahan dalam menghadapi penyelesa-ian konfl ik yang “win win solution”, menguntungkan semua pihak. Dialog dan negosiasi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan yang berkon-fl ik telah diterjemahkan dalam prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan oleh forum meja bundar untuk minyak sawit berkelanjutan (Rountable on Sus-taineble Palm Oil-RSPO), yang akan

Riau) meliputi adanya kepastian hu-kum (formal/informal), kenyamanan berusaha dan, keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut berlaku terutama untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonfl ik, tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, serta peningkatan devisa negara.

Sejak tata kelola perusahaan yang baik (corporate good governance) menjadi prasyarat perbaikan kualitas dalam

LAPORAN KHUSUS

bulannya. Konfl ik-konfl ik ini sebagian besar telah dibahas secara tripartit an-tara 2 pihak yang berkonfl ik (masyara-kat dan perusahaan) dan pemerintah (eksekutif dan legislatif), namun rata-rata harus terhenti tanpa penyelesaian yang tuntas, kalaupun ada tetapi cen-derung menyebabkan ketidakpuasan di satu pihak, terutama biasanya terjadi di pihak masyarakat.

Kondisi ideal yang sering menjadi tujuan penyelesaian konfl ik perkebu-nan sawit dimana pun (termasuk di

TAHAPAN MEDIASIKONFLIK KEBUNDI LUBUK JERING

Pra Kondisi Saling Percaya Ini merupakan kegiatan pra kondisi menuju negosiasi. Tahap ini sangat menen-tukan proses selanjutnya, karena konfl ik yang sudah berlangsung biasanya mem-buat keduabelah pihak un-tuk saling mencuriga (saling membenci dan menyerang). Kelemahan mediasi yang di-lakukan pemerintah selama, tidak memberikan ruang untuk negosiasi antara para pihak yang bertikai pada tahap ini.

Kelembagaan KomunitasAdanya kelembagaan un-tuk membicarakan segala tuntutan dan mengevalu-asi capaian serta sebagai perwakilan dalam forum negosiasi sangat pent-ing . Wadah komunitas ini dibutuhkan agar delegasi masyarakat tidak mudah putus asa terhadap capaian dan proses negosiasi yang membosankan dan berliku-liku. Untuk memenuhi ke-butuhan tersebut, biasanya mediator menempatkan seorang transformator di komunitas/desa, dengan agenda utama menjawab kemungkinan yang bisa me-nyebabkan proses negosiasi tidak efektif.

Tim Ahli IndependenDalam mediasi penyelesa-ian konfl ik dibutuhkan Dewan Pakar yang sudah punya komitmen untuk bekerja secara independen menurut keahliannya mas-ing-masing. Kedua belah pihak perlu menentukan Tim Ahli Independen ini. Dan jika dirasakan kurang mendapat persetujuan atas orang-orang yang di-tawarkan, mediator dapat membuka usulan dari kedu-abelah pihak dengan syarat, Tim Ahli yang akan ditunjuk keduanya harus independen dan profesional. Pendapat para ahli ini sangat dibutuhkan manakala dalam negosiasi nanti terdapat perbedaan pengertian yang bersifat substantif, yang bisa menyebabkan negosiasi ter-henti (deadlock). Kesepaka-tan menjadikan pendapat ahli sebagai data/fakta ber-sama yang akan digunakan dalam negosiasi di tahap awal dan perlu disepakati dalam aturan tata laksana negosiasi (code of conduct).

Pertemuan SilangMemulai pertemuan dengan keduabelah yang berkonfl ik secara silang dilakukan oleh mediator untuk mendapat-kan gambaran sejauhmana perbedaan kepentingan keduabelah pihak dan unsur-unsur yang menjadi dasar bertahan masing-mas-ing pihak. Melalui tahapan ini kebutuhan-kebutuhan dan gambaran proses beri-

kutnya dapat dirumuskan sehingga mediator sudah memiliki rancangan untuk di tawarkan. Pertemuan silang bisa dilakukan berulang-ulang jika ingin mendapat-kan gambaran yang lebih sempurna.

Tahapan PentingIni menjadi bagian dari capaian pertemuan silang atau dicapai melalui perte-muan perdana keduabelah pihak. Mediator sebaiknya menawarkan tahapan-taha-pan kepada keduabelah pihak berdasarkan hasil penjajakan kebutuhan awal yang sudah dilakukan, jan-gan membuatnya menjadi bola liar (kondisi tidak pasti). Jika konfl iknya menyangkut tumpang tindih penge-lolaan (pemanfaatan dan penguasaan) lahan, maka langkah awal yang selalu penting untuk dilakukan adalah; (a) Memperjelas batas klaim masing-masing pihak melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan tim gabungan masyarakat, perusahaan, dan mediator serta pihak pemerintah (seb-agai saksi). Pengambilan titik koordinat harus dilakukan bersama dengan satu alat (GPS/Global Positioning Sys-tem) atau masing-masing pihak memegang GPS seb-agai pembanding. Sebelum survey keduabelah pihak ha-rus mendapat pengetahuan standar pemetaan melalui peatihan kecil yang dilaku-kan oleh mediator dengan

mengundang tenaga ter-ampil. Penggambaran harus dilakukan bersama dengan menunjuk perwakilan, lalu kemudian disahkan secara bersama-sama pula dengan disaksikan/diketahui oleh mediator dan pemerintah setempat. (b) Pemetaan sosial ekonomi untuk mene-mukan peluang kerjasama/kemitraan antara keduabe-lah pihak sebagai gambaran penyelesaian atas konfl ik lahan. Pemetaan ini harus dibuat keterkaitan langsung dengan areal konfl ik yang sudah dipetakan. Karena itu keberadaan tim ahli yang sudah disepakati bersama sebelumnya sangat penting dalam pekerjaan ini.

Titik Temu KesepakatanUntuk memasuki proses ini hubungan keduabelah pihak sudah harus kon-dusif, sudah memiliki pemahaman yang baik tentang proses negosiasi, sudah mengenali persoa-lan dan tuntutan masing-masing dengan baik, dan sudah memiliki data tentang objek konfl ik serta gambaran tentang peluang-peluang kerjasama yang bisa dibangun sesuai potensi yang dimiliki mas-ing-masing pihak. Artinya disini keduabelah pihak telah siap berperang tapi tidak dengan senjata (emosi dan ego) tetapi dengan kesadaran menyelesaikan konfl ik dalam pantauan me-diator dan pemerintah.

4TandanSawit

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan audit terhadap perkebunan sawit perusahaan maupun kebun sawit rakyat (smallholders).

Pengalaman di Riau

Negosiasi sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat, walaupun dalam ru-ang lingkup yang sederhana seperti melalui transaksi jual-beli maupun dalam musyawarah untuk menentukan perencanaan pembangunan tingkat kampung, dan dalam lingkup terkecil keluarga (rumah tangga). Namun ne-gosiasi dengan pihak luar dalam penye-lesaian konfl ik sumber daya alam yang menyangkut kepentingan publik tentu berbeda dengan cara negosiasi seder-hana yang sering dilakukan masyara-kat. Karena itu diperlukan pra kondisi sebelum negosiasi utama dilakukan. Pra kondisi bisa diisi dengan kegiatan pelatihan simulasi negosiasi dan pe-ngenalan secara partisipatif mengenai persoalan mereka sendiri dan wawasan

tentang posisi hukum mereka dan pe-rusahaan serta kewajiban pemerintah.

Pra kondisi tersebut akan memban-tu masyarakat untuk tidak menguta-makan emosi dan ego, tetapi mengajak mereka berpikir strategis jangka pan-jang. Dalam kasus penyelesaian konfl ik antara masyarakat Desa Lubuk Jering

dengan PT. Riaupulp menunjukkan adanya perubahan cara pandang yang signifi kan setelah proses pra kondisi, masyarakat mulai menerima kehadiran perusahaan dalam musyawarah desa, begitu juga sebaliknya perusahaan le-bih terbuka atas kedatangan masyara-kat di kantor perusahaan.

Namun yang perlu diingat, de-ngan proses negosiasi yang panjang terkadang ada pihak yang tidak bisa menghindar dari rasa jenuh. Rasa jenuh akan diikuti penurunan sema-ngat dan menurunnya rasa percaya diri dari delegasi negosiasi ketika harus menghadapi pertanyaan dari anggota masyarakat lain atau perusahaan. Ke-curigaan terhadap delegasi negosiasi karena proses yang berlarut-larut bisa membuat anggota delegasi me-ngalami krisis legitimasi. Nah, di sini lah peran seorang transformator untuk memberikan motivasi pada anggota delegasi dan memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat lain, serta menegaskan bahwa tim delegasi sudah

Dalam proses-proses perundingan menuju penyelesaian konfl ik perkebunan sawit, semua pihak perlu dilibatkan. Kasus Lubuk Jering di Riau juga melibatkan Babinsa (dari unsur polisi dan tentara yang ditugaskan di desa), seperti terlihat di gambar. (dok.Scale Up)

“Namun yang perlu diingat, dengan proses negosiasi yang panjang terkadang ada pihak yang tidak bisa meng-hindar dari rasa jenuh. Rasa jenuh akan diikuti penurunan sema-ngat dan menurunnya rasa percaya diri dari dele-gasi negosiasi ketika harus menghadapi pertanyaan dari anggota masyarakat lain atau perusahaan. Kecurigaan terha-dap delegasi negosiasi karena proses yang berlarut-larut bisa membuat anggota delegasi mengalami krisis legitimasi.”

5 Edisi II/Sept’08 - SW10

perusahaan dan masyarakat akan san-gat membantu keberlanjutan negosiasi.

Poin refl eksi penting lainnya terjadi ketika negosiasi telah menghasilkan ke-sepakatan yang telah dituangkan dalam dokumen nota kesepahaman (MoU-Memorandum of Understanding) atau

nota perjanjian (MoA-Memorandum of Agreement). Fungsi transforma-tor penting dalam membantu tim delegasi menjelaskan arti pasal demi pasal isi kesepahaman/perjanjian. Pe-maknaan yang berbeda dari anggota masyarakat akan memberi peluang ter-jadinya pelanggaran-pelanggaran dan akan membuat nota kesepahaman/perjanjian menjadi kehilangan kekua-tan. Karena itu, mediator (atau tim independen lain) tetap bekerja melaku-kan monitoring dan evaluasi terha-dap implementasi dari kesepakatan yang telah dicapai, dan mediator juga mengeluarkan laporan perkembangan pasca kesepakatan untuk keduabelah pihak. Ini penting untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh salah satu pihak yang bisa beraki-bat pada konfl ik lanjutan yang men-nyebabkan renegosiasi ulang, tentu hal ini tidak diinginkan, karena akan memakan biaya dan energi sia-sia serta mengulang kesalahan masa lalu.(Az)

Ahmad Zazali, anggota Sawit Watch yang pernah memediasi penyelesaian konfl ik perkebunan di Lubuk Jering, Riau. Saat ini ia membawahi organisasi yang bergerak dalam resolusi konfl ik perkebunan, Scale Up di Riau.

Proses pengalihan kebun plasma dari PT. Riaupulp kepada masyarakat desa Lubuk Jering di lapangan. Dan tahap ini, adalah tahap penyele-sian konfl ik dari keduanya yang kemudian diatur dalam MoU atau MoA. (dok.Scale Up)

bekerja maksimal dan perlu mendapat dukungan dari anggota masyarakat yang lain. Karenanya mekanisme per-tanggungjawaban dari tim delegasi ke anggota masyarakat perlu dirumuskan sejak awal penentuan anggota delegasi, sehingga seorang transformator bisa selalu mengajak masyarakat untuk kembali pada aturan main yang sudah ada.

Krisis legitimasi juga bisa terjadi ter-hadap tim delegasi perusahaan, karena setiap saat harus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pimpi-nannya. Anggota delegasi biasanya akan mendapat tekanan dari pimpi-nannya (terutama dari bagian departe-men produksi) untuk secepat mungkin menyelesaikan konfl ik. Karena itu, komunikasi yang baik antara media-tor dengan pimpinan perusahaan akan bisa membantu supaya tim delegasi pe-rusahaan tidak mendapatkan “sanksi” dari pimpinannya. Pengalaman Kasus Lubuk Jering menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik antara pimpinan

6TandanSawit

Indonesia pernah menjadi negara serikat yang dibentuk pada tahun 1940-an. Dari berbagai dokumen

peninggalan Kolonial Belanda, Indo-nesia Serikat adalah upaya mencari titik temu (Middle Ground) antara pemerin-tahan adat dan modern yang memiliki sejarah beragam.

Belanda memerintah Indonesia lewat campuran antara pemerintahan langsung dan tak langsung. Di Jawa, mereka mengatur masalah-masalah se-tempat sampai ke tingkat desa, namun di sebagian besar daerah yang tercakup dalam ‘Outer Islands’ (luar Jawa), mereka mengakui pemerintahan adat setem-pat, meskipun pengaruh kekuasaannya atas wilayah hutan pedalaman seperti di Borneo amat lemah, dan baru kemudian perlahan-lahan berupaya memformalkan penerapan undang-undang adat.

Pemerintah kolonial Belanda juga memerintah lewat dualisme hukum: masalah-masalah masyarakat Eropa (sebagian besar masalah komersial) diatur menurut hukum kolonial yang dikembangkan dari hukum Ro-mawi-Belanda, dan masalah-masalah masyarakat pribumi diatur menurut pengadilan pribumi, yang berdasarkan hukum adat.

Upaya mencari titik temu (Middle Ground) yang ditawarkan oleh pe-ngakuan penguasa adat dan hukum adat ini semakin kuat seiring dengan menguatnya cengkraman pemerintah Belanda. Pengadilan pribumi semakin lama semakin tunduk di bawah penga-dilan regional yang diketuai oleh hakim Belanda yang ahli versi formal hukum adat dan banding dapat diajukan ke pengadilan banding yang dijalankan oleh ahli hukum pribumi professional

“Adat dan Negara selalu diper-tentangkan sejak lama. Indone-sia menjadi obyek pertentangan Adat-Negara sedari masa Kolo-nial Belanda. Karena pengaruh politik perubahan hukum tradisi ke hukum modern dalam praktik model pemerintahan di daerah jajahan (koloni), asimilasi me-nimbulkan ketidakjelasan. Hu-kum modern yang dibawa ben-tuk negara modern (demokrasi barat atau Eropa) telah menyeret hukum adat dalam penggeru-san. Middle Ground dari FPIC-Free, Prior and Informed Consent menjadi alternatif menemukan titik temu Adat-Negara. ”

FREE, PRIOR, AND INFORMED CONSENT

“TITIK TEMU HUKUM ADAT DAN NEGARA”

dengan hanya sedikit keterkaitan de-ngan hukum adat yang dianut masyara-kat bersangkutan. Meskipun demikian, di luar Jawa, prinsip bahwa masyarakat adat memiliki hak yang disebut sebagai ‘hak alokasi’ atas tanahnya masih tetap diakui selama pemerintahan kolonial Belanda.

Adat menjadi simbol identitas Indonesia yang baru merdeka dan, seiring perkembangan era gerakan nasional, dinyatakan sebagai peno-lakan atas pemerintahan Belanda. Dengan demikian, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, konstitusi baru mengkukuhkan adat dan mengakui hak kelompok masyara-kat adat ini (self-governing communities). Meskipun adanya pengakuan, Negara secara progresif mulai mengurangi otonomi masyarakat dan cakupan adat. Pengadilan adat di daerah per-

Pimpinan masyarakat adat, adalah wakil warga dalam proses perundingan dengan pihak luar mengenai implementasi dari free, prior, and informed consent. (dok.SW)

7 Edisi II/Sept’08 - SW10

Dalam tanggapannya atas tantangan tersebut dan juga tekanan-tekanan dari masyarakat sipil, pemerintahan baru yang reformis mengambil beberapa langkah untuk memperbesar otonomi daerah dan mengakui hak adat. Lang-kah-langkah ini meliputi pemberlakuan sejumlah UU yang memberikan otono-mi yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten dan menciptakan peluang bagi pengakuan bentuk pemerintahan daerah yang baru yang berdasarkan adat. Amandemen UU mengakui hak kelompok masyarakat adat (self-govern-ing communities). TAP MPR IX/2001 memandatkan DPR untuk merumus-kan sebuah UU baru yang mengakui hak adat atas tanah.

Para analis hukum menyatakan bah-wa lewat UU Lingkungan Hidup, UU Keluarga dan Penduduk Miskin dan lewat upaya meratifi kasi Konvensi Ke-anekaragaman Biologi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimi-nasi Rasial, berarti Indonesia juga telah menerima prinsip free, prior, and informed consent-FPIC (persetujuan bebas, dida-hulukan dan diinformasikan). Meski-pun adanya kemajuan-kemajuan ini, di

LAPORAN KHUSUS

70% wilayah Indonesia telah digolong-kan ke dalam ‘kawasan hutan’ dan de-ngan demikian tunduk pada UU Pokok Kehutanan (UU No.5 tahun1967). Menurut UU tersebut, wilayah yang didefi nisikan sebagai ‘hutan negara’, dimana adat diakui, tidak mengenal bentuk hak kepemilikan. UU ini juga membatasi pengakuan pemanfaatan dan akses tradisional. Namun, proses pengukuhan kawasan hutan menurut UU Kehutanan tersebut berjalan cacat, yang berarti bahwa sedikit hak telah benar-benar dihapuskan lewat juris-diksi Departemen Kehutanan.

Seiring dengan jatuhnya Soeharto, terjadi gerakan masyarakat adat yang kuat di Indonesia, yang menuntut pe-ngakuan hak dan lembaga adat – yang notabene sebenarnya menyerukan pemulihan yang telah dihancurkan oleh pemerintahan Orde Baru yang sentra-listik. Pada tahun 1999 dalam sebuah pernyataan kepada pers, gerakan ma-syarakat adat tersebut mengeluarkan sebuah tantangan kepada pemerintah yang baru: ‘jika negara tidak mengakui kami, kami juga tidak akan mengakui negara’.

lahan-lahan dihilangkan pada 1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1979, di bawah pemerintahan Soeharto, sebuah UU Pemerintahan Daerah dikeluarkan, yang memaksakan sistem pemerintahan yang seragam sampai ke tingkat desa, yang dengan demikian melumpuhkan lembaga-lembaga adat. UU tersebut ditarik pada tahun 1999, namun kerusakan yang ditimbulkan-nya terhadap lembaga adat sudah ter-lampau besar.

Pengakuan hak adat yang efektif atas tanah telah digusur habis-habisan. UU Pokok Agraria sungguh-sungguh mengakui prinsip hak adat atas tanah dan mengatur tentang penguasaan tanah secara kolektif namun hal ini dipandang hanya sebagai bentuk hak penguasaan (usufruct) yang lemah. Di samping itu, penguasaan tanah ini ter-gantung nyaris mutlak pada kepenting-an negara. Lebih lanjut lagi, peraturan yang diperlukan untuk mengakui hak penguasaan kolektif ini belum per-nah dikembangkan, jadi pengakuan, pemberian status dan pendaftaran hak kolektif secara formal belum pernah dilakukan. Di atas segalanya, lebih dari

Pembangunan perkebunan sawit yang tanpa melalui proses free, prior, and informed consent selalu menuai protes warga baik dari masyara-kat lokal atau adat yang wilayah hidupnya terkena pembangunan. Banyak kasus konfl ik lahan perkebunan sawit hal ini sering terjadi. (dok.SW)

8TandanSawit

tingkat pemerintah pusat, pemerintah masih lamban dalam memberlakukan UU dan peraturan yang mendorong reformasi ini, namun sejumlah daerah telah mengeluarkan Peraturan Dae-rah (Perda) yang mengakui lembaga adat, membentuk hutan masyarakat dan mendukung hak masyarakat atas tanah.

Pada tahun 2000, sebuah investigasi bersama yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), the World Agroforestry Centre (ICRAF) dan the Forest Peoples Pro-gramme (FPP) lewat dialog di tingkat masyarakat memeriksa hambatan-hambatan dan solusi atas masalah-ma-salah perwakilan, pe-ngakuan lembaga adat dan oleh karenanya ekspresi FPIC secara memadai. Kesimpulan dari investigasi ini dan sebuah studi yang dilakukan sesudahnya yang meninjau

hambatan dan kemungkinan dalam sertifi kasi kayu di Indonesia, FPIC dibutuhkan secara hukum di Indonesia dan sementara lembaga adat tetap kuat dan dapat diidentifi kasi di beberapa daerah (dan lemah di daerah lainnya), hal yang terakhir ini tidak diakui dan tidak dijamin secara memadai dalam undang-undang. Kese-pakatan yang mengikat secara hukum antara sektor swasta dan masyarakat dapat dicapai lewat para notaris namun agar pros-esnya dapat menjadi lebih umum dan dapat diterima reformasi hukum mut-lak dibutuhkan:

- Undang-undang No. 18 Tahun

2004 tentang Perkebunan pasal 9 Ayat 2 menyatakan ‘dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih

ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pasal (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk mem-peroleh kesepakatan mengenai pe-nyerahan tanah, dan imbalannya’

- Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau No. 3 Tahun 2004 ten-tang Penyelenggaraan Perkebunan Kelapa Sawit Pola Kemitraan pasal 4 ayat 6 menyatakan ‘sebelum melaksanakan aktifi tas pembangu-nan, perusahaan/investor dan atau masyarakat pemilik lahan dibantu

TP3K, SATGAS dan SATLAK wajib terlebih dahulu membebaskan lahan yang akan dibangun’.

Langkah ke Depan

Menjalankan KBDD (keputusan bebas, didahulukan dan diinformasi-kan) sangat membutuhkan komitmen berbagai pihak. Dengan tanpa mengu-rangi makna “penemuan jalan tengah” penyelesaian konfl ik hukum adat dan negara, perlu perhatian khusus dalam pemaknaan Middle Ground dari fungsi FPIC.

Middle Ground bukanlah sebuah tempat nyaman. Middle Ground adalah zona pendukung (buffer zone) yang legal, administratif dan konseptual antara berbagai budaya yang amat ber-beda. Pemerintah yang menolak Middle

Ground harus mundur dari daerah di-maksud dan membiarkan masyarakat adat tetap berdaulat. Konsekwensi buruk dari model penolakan yang di-gunakan proyek-proyek pembangunan ini telah banyak didokumentasikan sehingga tidak perlu diulangi di sini. Sama halnya, masyarakat adat yang menolak Middle Ground harus menolak pemerintah yang berusaha menguasai mereka, atau menerima asimilasi ke dalam masyarakat bangsa yang ber-dasarkan norma-norma yang bukan milik mereka. Middle Ground memberi-kan sebuah proses negosiasi alternatif dimana kedua belah pihak menolak untuk memaksakan keinginannya sendiri lewat tindakan kekerasan dan meyepakati kebutuhan untuk memeli-hara hubungan yang ada sesuai dengan proses dan norma-norma bersama.(NJ, dari berbagai sumber)

“Middle Ground bukanlah sebuah tempat nyaman.

Middle Ground adalah zona pendukung (buffer zone) yang legal, administratif dan konseptual antara berbagai buda-ya yang amat berbeda. Pemerintah yang menolak Middle Ground harus mundur dari daerah dimaksud dan membi-

arkan masyara-kat adat tetap berdaulat.”

Protes warga dan pengambilalihan kembali lahan kebun saat perayaan 17 Agustus, di perbatasan Indonesia-Malaysia. (dok.SW)

9 Edisi II/Sept’08 - SW10

Apa jadinya bila anda dinyatakan tidak be-

radat. Anda pasti malu, tidak senang, bahkan anda akan berupaya secepatnya membela diri, tuduhan itu tidak pas dan tidak berdasar dijatuhkan kepada anda.

Apakah makna yang dibanyangkan, dari kata ‘adat’? Apakah prolog tadi mewakili bayangan kha-layak? Bagaimana kalau adat dilekati dengan kata ‘kaum’, yakni kaum adat. Pastinya, bayangan kita akan me-ngarah ke masa lalu, yakni tentang Perang Padri.

Perang Padri terjadi di Sumatra Barat, lewat intrik Kolonial Belanda yang menempatkan dua kubu yang saling berhadapan antara Kaum Padri (Imam Bonjol sebagai salah satu pemimpinnya) dengan Kaum Adat. Kolonial Be-landa segaris dengan Kaum Adat.

Karena perang ini ber-barengan dengan Perang Jawa, dimana Pangeran

Diponegoro sebagai salahsatu pihak yang menantang Belanda, dihentikan dahulu.Pendek cerita, akhirnyakaum adat ‘sadar diri’ siapasebenarnya yang patut di-musuhi, maka Kaum Adat berbalik arah melawan Ko-lonial Belanda. Waktu itu,Kolonial Belanda bernamaVOC, suatu perusahaantransnasional yang diberi tugas oleh Pemerintah Be-landa untuk berdagang di Asia Tenggara.

Di jaman Pergerakan Nasional, walau tidak secara clear, terkesan tertangkap makna bahwa adat bu-kanlah termasuk barisan revolusioner, bahkan adat adalah obyek dari revolu-sioner. Beberapa suara kaum adat waktu itu lebih banyak berada di pihak-pihak yang menyuarakan perlunya negara federasi (Republik Indonesia Serikat - RIS). Bagi beberapa pihak, beberapa kaum adat dinilai pernah ‘selingkuh’ dengan pihak Kolonial Belanda dalam menggolkan proyek negara federasi. Bagi kaum ‘pengagum’ Negara Ke-satuan Republik Indonesia, adat adalah pihak yang perlu diwaspadai. Jadi, adat dinilai mempunyai beban karena ‘perselingkuhan’ itu.

Velde (1987) dalam buku Surat-surat dari Sumatra banyak bercerita tentang posisi Pemerintah Belanda

dimana terkait banyak hal cerita tentang Kaum Adat.

Saat ini, adat banyak dikaitkan ataupun dilekati dengan kata masyarakat yakni Masyarakat Adat. Apa itu masyarakat adat? Banyak versi yang mendefi nisikan hal itu. Defi nisi tersebut antara lain versi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografi s tertentu, serta me-miliki sistem nilai ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial, dan wilayah sendiri (Kongres I AMAN, 1999). Selain itu, terdapat pula versi ILO (international labour organization).

Dalam versi AMAN, terdapat ciri-ciri masyara-kat adat perlu mempunyai suatu wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat, dan mempunyai anggota yang mendiami wilayah tersebut, serta mempunyai aturan-aturan yang khas (bisa dibedakan dengan wilayah lain) dimana biasanya aturan-aturan tersebut dina-mai sebagai hukum adat. Dan biasanya masyarakat adat tersebut mempunyai institusi kelembagaan yang mengatur penggunaan hu-kum adat tersebut. AMAN adalah suatu aliansi yang merupakan persekutuan dari komunitas-komunitas

TAHU ADATTAHU DIRINYA ADA

NA Surambo, Sosiolog Pede-saan, Aktivis Sawit Watch.

Masyarakat Adat se-Nusan-tara dimana dideklarasikan tahun 1999.

Jadi, adat bukanlah tung-gal maknanya, beragam makna yang dibayangkan berkenaan dengan kata adat. Beragam di sini, tercakup berbagai aspek, misalnya tujuan, bentuk organisasi, bidang lingkup, bahkan sampai beban sejarah di atas. Murray Li (2002) me-nyatakan, adat adalah suatu kata yang mempunyai se-jarah legal dan politik yang panjang dan rumit. Adat biasanya meliputi segala sesuatu yang berupa acara-acara ritual tertentu dan ciri berbagai interaksi sehari-hari hingga denda-men-denda yang dikembangkan raja-raja pra-kolonial untuk menghindari terjadinya konfl ik dan meningkatkan kekuasaan mereka sendiri. Artinya adat memiliki arti sangat bervariasi menyang-kut peristiwa sehari-hari, tetapi tidak seorang pun yang sama sekali berada di-luar ataupun tanpa adat.

Akhirnya, adalah sangat wajar sekali apabila anda membela diri ketika anda dinyatakan tidak tahu adat. Karena bila anda din-yatakan tidak beradat maka dapat dinyatakan, eksistensi anda sudah tiada karena tak seorang pun yang sama sekali berada di luar atau-pun tanpa adat. (NAS)

OPINI

10TandanSawit

Sejak 1999, danau Sentarum dires-mikan sebagai Taman Nasional berdasarkan surat keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/ 1999 dengan luas kawasan mencapai 132.000 hektar. Danau yang terbentuk sejak zaman es atau Periode Pleistosen ini memiliki kekayaan fl ora dan fauna yang luar biasa, yang tak dimiliki daerah lain. Tumbuhannya saja ada 510 spesies dan 33 spesies di antaranya endemik TNDS (Taman Nasional Danau Senta-rum), termasuk 10 spesies di antaranya merupakan spesies baru.

Selain itu, hewan mamalia di TNDS ada 141 spesies. Sekitar 29 spesies di antaranya spesies endemik, dan 64 persen hewan mamalia itu endemik Borneo. Terdapat 266 spesies ikan, sekitar 78 persen di antaranya meru-pakan endemik air tawar Borneo.Tak cuma itu keunikan TNDS. Di danau ini terdapat reptil sebanyak 26 spesies dan burung 310 spesies, sekitar 13 spe-sies di antaranya merupakan burung endemik.

Tak heran, dengan berbagai keuni-kan tersebut TNDS ditetapkan seb-agai warisan kekayaan dunia yang tak

KEBUN SAWIT BESARJADI PENYANGGADANAU SENTARUM (?)

ternilai harganya. Walaupun banyak terdapat lahan gambut di Kalimantan Barat (Kalbar), namun sebagian be-sar berusia muda sekitar 2.000-7.000 tahun, sedangkan yang tertua satu-sa-tunya hanya TNDS.

Boleh dikatakan Taman Nasional Danau Sentarum merupakan per-wakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Demi menjaga keunikan dan kekayaan ekosistem di wilayah tersebut, pemerintah ka-bupaten Kapuas Hulu melalui Surat Keputusan Bupati No. 144 tahun 2003

11 Edisi II/Sept’08 - SW10

Perusahaan-perusahaan tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Bupati Kapuas Hulu, namun belum mendapat ijin AMDAL dari Bapedalda setempat.

Ditambahkan pula, ada 6 perusa-haan sawit yang konsesinya langsung berbatasan dengan kawasan TNDS. Dus ada 2 perusahaan sawit, PT Duta Nusa Lestari dan PT Kartika Prima Cipta yang jaraknya hanya 12 km dari TNDS, telah melakukan pembibitan di lahan seluas 400 ha.

Di bagian penutup surat Kepala Balai TNDS tersebut dinyatakan, Ba-lai TNDS bekerja sama dengan LSM mengadakan sosialisasi kepala ma-syarakat di dalam dan di sekitar TNDS tentang dampak limbah kelapa sawit.

Kekhawatiran para aktifi s LSM dan pengelola Taman Nasional serta kebin-gungan penduduk lokal terhadap masa depan Danau Sentarum yang terdesak perluasan perkebunan sawit memang sangat beralasan. Untuk itu dibutuh-kan langkah arif pemerintah dan para pemangku kebijakan untuk menjaga fungsi dan keunikan Danau Sentarum. Bagaimana jawaban pemerintah atas soal ini? (Jeff., Dari Berbagai Sumber)

layan dan penangkar ikan arwana, juga jenis ikan lainnya. Selain itu, penduduk lokal juga bisa memanfaatkan madu hutan dan kerajinan tangan seperti ro-tan sebagai penghasilan tambahannya. Sebagai penyangga air sungai Kapuas yang mengaliri berbagai kabupaten sepanjang 700 km dan bermuara di laut China Selatan, keberadaan TNDS tidak hanya menguntungkan sekitar 9 ribu jiwa penduduk di sekitar kawasan tersebut, juga sebagian besar penduduk propinsi Kalimantan Barat.

“ Danau Sentarum merupakan berkah Ilahi buat kami masyarakat tempatan (baca: lokal) yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional. Selain memberikan ikan untuk lauk-pauk dan sebagian bisa besar hasil tangkapan juga bisa untuk dijual,” kata Ade, penduduk desa Suhaid, dengan baik.

Keterangan Ade tadi ditimpali seorang tokoh masyarakat Suhaid. “Di daerah kami, ada banyak miliader. Rata-rata mereka berprofesi sebagai penangkar ikan Arwana dengan tujuan pasar ekspor. Jadi alangkah naifnya pemerintah bila mengatakan daerah ini miskin dan untuk memakmurkan-nya mesti dibangunkan kebun sawit. Lha...ini bagaimana?”

Kebun Sawit , Penyangga TNDS

Namun sejak tahun 2007, dikhawat-irkan oleh praktisi lingkungan dan Balai TNDS, keberadaan ekositem di kawasan TNDS dan keberlanjutan kehidupan manusia di sekitar ta-man nasional itu , juga di sepanjang aliran sungai Kapuas, mulai teracam kerena adanya kebijakan pemerintah memberikan ijin bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan penyangga TNDS.

Berdasarkan Surat Keterangan Ke-pala Balai Taman Nasional Danau Sen-tarum No.S.65/BTNDS.1/BKP/2008, saat ini ada 18 perusahaan kelapa sawit yang letaknya tersebar mengelilingi kawasan TNDS (zona penyangga) dengan luas total 384.394,883 ha.

tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Bahkan melalui konvensi UNESCO, TNDS ditetapkan sebagai kawasan lindung lahan basah (ramsar site).

Fenomena alam atau lebih tepat-nya keajaiban Danau Sentarum dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh banyak orang, terutama penduduk Kalbar yang hidup di tepian Sungai Kapuas. Saat musim hujan tiba, luapan air dari tujuh sumber air di hulu sungai Kapuas akan “ditangkap” oleh Danau Sentaraum, agar bagian hilir sungai tidak dilanda banjir bandang. Namun ketika musim kemarau tiba, danau itu akan melepaskan airnya ke aliran sungai Kapuas, untuk menghidupi ekosistem yang ada di enam kabupaten dan satu kota. Boleh dikatakan Danau Sentarum merupakan “bendungan alam” yang memang ada untuk mem-pertahankan kehidupan mahluk hidup.

Ekonomi Danau Sentarum

Selain aspek lingkungan, bagi pen-duduk yang hidup di dalam dan sekitar kawasan itu, Danau Sentarum mem-berikan sumber penghidupan utama mereka yang berprofesi sebagai ne-

Patok penanda batas areal HGU perke-bunan sawit di sekitar Danau Sentarum. Batas ini bukti Kawasan Danau Sentarum terancam akan dikonversi ke lahan sawit. (dok.SW)

Sebagai taman nasional baru, Kawasan Danau Sentarum masih memiliki pohon-pohon besar. Dalam gambar, masyarakat menemukan tanda merah di batang pohon yang akan ditebang perusahan pengem-bang sawit. (dok.SW)

LINGKUNGAN

12TandanSawit

”Saya sudah 22 tahun menjadi petani kelapa sawit. Sudah hapal bener cara menanam, merawat, memamen sampai menghitung modal dan untung dari kebun sawit. Tapi kenapa pemerintah lewat program revitalisasi perkebunan, khususnya di sektor perkebunan sawit, masih memperlakukan saya dan ribuan petani sawit lainnya seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.”, keluh Suprapto H.S, penduduk desa Kendarum, kecamatan Kuaro, kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Pria berusia 59 tahun asal Pur-wokerto yang ikut program PIR-TRANS tahun 1987 itu gundah, setelah mengikuti sosialisasi program revitalisasi perkebunan yang dilaku-kan pemerintah kabupaten Paser dan PTPN XIII. Ada dua persoalan pokok

yang dirasa akan memberatkan petani peserta program pemerintah tersebut. Pertama plafon kredit peremajaan kebun sebesar Rp 23.485.000 (bunga 5 tahun pertama sebesar 10% per tahun dan di tahun ke-6 sampai hutang petani lunas dikenai bunga 16% per tahun) yang ditetapkan oleh PTPN XIII yang mendapat dukungan pendanaan dari 5 sindikasi bank pemerintah. Kedua sistem manajemen satu atap oleh PTPN XIII.

Niat baik pemerintah melalui departemen pertanian meluncurkan program revitalisasi perkebunan yang didasarkan pada Permentan No. 33 tahun 2006 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan, SK Direktur Jendral Perkebunan No: 03/Kpts/ RC.110/1/

2007 Tentang Satuan Biaya Maksimum Pembangunan Peserta Program Revitalisasi Perkebunan, dan mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/pmk 06/2006 tentang kredit pengembangan energi nabati dan Revitalisasi perkebunan antara lain bertujuan untuk mempercepat pembangunan sektor perkebunan dan pengembangan perkebunan sawit rakyat demi peningkatan kesejahteraan petani plasma.

Ironisnya niat baik pemerintah tadi malah ditanggapin dingin oleh petani. Menurut hitungan petani yang telah berpengalaman puluhan tahun menjadi pekebun, untuk biaya peremajaan kebun sawit yang telah berusia 20-an tahun hanya membutuhkan biaya Rp

REVITALISASI PERKEBUNAN

SEJARAH YANGBERULANG

Program revitalisasi pertanian pemerintah terfokus kepada pengembangan perkebunan sawit. Revitalisasi termasuk program peremajaan kebun-kebun sawit yang sudah tidak produktif. Di-pandang dari sisi kepentingan petani kebun sawit, revitalisasi kebun tetap tidak menguntungkan petani.

13 Edisi II/Sept’08 - SW10

10-13 juta. Jadi plafon kredit yang ditawarkan kepada petani jelas-jelas tidak masuk akal dan PTPN XIII salah satu perusahaan yang ditunjuk pemerintah menjadi pelaksana program revitalisasi perkebunan dinilai hanya ingin mengeruk keuntungan besar belaka tanpa mempedulikan nasib petani.

Selain terbebani utang yang dirasakan cukup mencekik, program revitalisasi perkebunan untuk daerah pengembangan dan peremajaan kebun sawit, PTPN XIII juga menetapkan sistem pengelolaan kebun satu atap. Artinya sejak pembukaan lahan atau penggantian tanaman tua, penanaman, perawatan, memanen, penentuan harga sampai proses produksi tandan buah segar (tbs) menjadi minyak sawit mentah dimonopoli oleh pihak perusahaan (contract farming).

Petani hanya akan menjadi penonton yang ”digaji” setiap bulan oleh PTPN XIII berdasarkan berat

tbs yang dihasilkan dari kebun sawit miliknyanya. Bisa dipastikan gaji petani sawit akan sangat kecil dibandingkan apabila kebun sawit dikelola sendiri oleh petani. Pola manajemen kebun satu atap pada akhirnya akan memaksa petani menjadi buruh di kebun sendiri untuk menambah penghasilannya.

Apabila dicermati Program Revitalisasi Perkebunan pemerintahan SBY ini (khususnya di sektor perkebunan sawit ) tak berbeda dengan Program PIR-Trans dan PIR-Bun pada masa pemerintahan Suharto dan Pola KKPA sewaktu krisis moneter melanda Indonesia. Dimana nasib petani plasma (smallholder) hanya manis di atas kertas dan tingkat ketergantungannya terhadap perusahaan induk dirancang sedemikian rupa tetap tinggi agar mudah dikontrol demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa.

Pemerintah melalui Program Revitalisasi Perkebunan sebenarnya tak perlu repot-repot menentukan

perusahaan pelaksana untuk peremajaan kebun sawit. Apalagi sampai menentukan angka kredit dan sistem pengelolaan kebun sawit satu atap. Cukup berikan saja hutang berupa bibit, pupuk, pestisida kepada petani plasma. Mengaktifkan para petugas penyuluh pertanian (PPL) untuk membimbing petani dalam pengelolaan kebun sawit. Juga membuka pasar yang kompetitif tempat penampungan tbs hasil panen petani plasma.

Pengalaman puluhan tahun menjadi petani sawit membuat Suprapto H.S. dan ribuan petani plasma lainnya sudah cukup cerdas dan tangguh dalam mengelola kebun sawit. Kesejahteraan hidup juga bisa mereka perjuangkan sendiri. Campur tangan pemerintah sampai ke hal-hal teknis manajemen kebun hanya memiskinan petani plasma. (Abetnego Tarigan, tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Tempo Edisi 10-16 Mret 2008)

KEBIJAKAN

14TandanSawit

Juni lalu, 22 orang perempuan dari 11 propinsi berkumpul untuk membahas masalah seputar perke-

bunan kelapa sawit dan perempuan. Berbeda dengan tahun lalu, pertemuan para perempuan korban sawit kali ini tidak dapat dihadiri oleh beberapa peserta sebelumnya. Ada beberapa ibu yang tidak hadir karena terhalang berbagai alasan.

Salah satunya Ibu Nursiha. Ibu muda berusia 36 tahun asal Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak dapat menghadiri acara perempuan ko-rban sawit tersebut. Ia terpaksa harus mendekam di penjara selama 2 tahun karena didakwa sebagai provokator dan melakukan tindakan tidak meny-enangkan bagi salah satu perusahaan kebun sawit skala besar, PT. Persada Sawit Mas (PSM).

Ketidakhadiran Nursiha tersebut telah mengingatkan sebuah peristiwa yang terjadi pada 25 Juni 2006 lalu. Is-tri dari Ependi (45 tahun) ini ditangkap polisi atas tuduhan sebagai provokator kerusuhan yang menyebabkan matinya seorang preman bayaran PT PSM. Saat ditangkap, Nursiha sedang menggen-dong Novia, anak keempatnya yang baru berumur 2,5 tahun.

Sengketa lahan (HGU) Hak Guna Usaha milik PT PSM dengan masyara-kat di 27 desa di 3 kecamatan di Ogan Komering Ilir sudah berlangsung seta-hun lebih. Penetapan ijin HGU ber-nomor 460/1503/BPN/26-07/2005 dengan luas 45.000 ha telah meng-gusur tanah milik masyarakat. Lahan millik keluarga Nursiha ikut tergusur.

Namun dengan semangat menuntut keadilan, Nursiha bersama sebagian besar warga lainnya tetap gigih mem-pertahankan tanah miliknya demi ke-berlangsungan penghidupan warga di 3 kecamatan tersebut.

Warga sudah berupaya dialog dan menyurati Bupati maupun DPRD OKI, tapi tidak pernah digubris. Akh-irnya, terjadi unjuk rasa. Nursiha, ibu rumah tangga biasa yang telah melahir-kan empat orang anak ini tak takut ber-

KONFLIK PERKEBUNAN SAWIT SUMSEL

NURSIHA PUNJADI TERPIDANA

juang. Saat PT PSM mulai membabat hutan di atas tanah milik warga OKI, Ia berdiri tegak menghadang sebuah traktor. Bahkan perempuan yang kini menjalani tahanan kejaksaan selama 2 tahun ini naik ke atas traktor dan me-nyuruh pengemudinya turun.

Nursiha ditangkap atas dakwaan karena telah menyebabkan matinya seorang mandor (preman bayaran) saat unjuk rasa warga berlangsung. Ia didakwa telah memimpin pengeroyo-kan terhadap Mandor Darman hingga tewas. Tanpa didampingi seorang pen-gacara handal, ketok palu hakim Pen-gadilan Negeri OKI telah menyeretnya mendekam di penjara selama 2 tahun. Nursiha dipaksa pisah dengan Novia (2,5 tahun) atas kejahatan yang belum tentu benar dilakukannya.

“Semua masyarakat tidak menyukai Darman karena ulah premannya yang selalu menakut-nakuti masyarakat, tetapi tidak mungkin aku ingin mem-bunuh Darman yang juga masih ke-luarga dekatku, “ ujar Nursiha sambil berlinang airmata saat mendengarkan putusan hakim saat persidangan kasus bentrok warga OKI dengan PT PSM.

Tanpa kehadiran Nursiha dalam kegiatan workshop perempuan yang meriah di Juni lalu, menyebabkan para peserta hikmat dalam renungan malam dan doa bersama. Terselip doa untuk ibu Nursiha, ”Semoga Ibu Nursiha tetap diberikan kekuatan dalam men-jalani hidup, perjuangannya tidak pernah sia-sia, Ibu Nursiha menjadi inspirasi dan sumber motivasi bagi kita semua.” (Chica dan Elis)

Nursiha bersama putri bungsunya, Novia yang baru berumur kurang dari 2 tahun.

MASYARAKAT ADAT

“ Semua masyarakat ti-dak menyukai Darman

karena ulah premannya yang selalu menakut-

nakuti masyarakat, teta-pi tidak mungkin aku ingin membunuh Dar-man yang juga masih

keluarga dekatku. “

15 Edisi II/Sept’08 - SW10

seperti Tek Niman tak pernah jadi perhatian pe-rusahaan. Perusahaan tidak memberikan layanan dan jaminan kesehatan. Pusk-esmas perusahaan hanya mengobati buruh yang sakit pinggang, sakit kepala, dan sakit ringan lainnya. Padahal ada jamsostek untuk buruh seperti Tek Niman.

Sewaktu Tek Niman akan kembali ke kampungnya, beliau sempat diwawancarai oleh seorang aktivis lsm dari Korea, Bojo. Ketika ditanya apa yang Tek Niman mau sampaikan ke pada perusa-haan atau pemerintah yang selama ini mengabaikan hak-haknya sebagai buruh. Sambil terkekeh-kekeh, Tek Niman menjawab, ia me-minta pemerintah dan pe-rusahaan mengoperasi mata kanannya supaya masih bisa terus bekerja dan anaknya tetap bisa sekolah. Bojo pun hanya bisa menggeleng sambil tersenyum ketir dan nampak matanya berkaca-kaca. (Chica)

PRESIDEN BURUH PERKEBUNAN SAWIT

TEK NIMAN MINTAOPERASI MATA

Saya mengenal ibu Niman sewaktu dia mengikuti pertemuan

perempuan Juni 2008 yang lalu. Yaitu pertemuan “Para Perempuan Korban Sawit” yang diselenggarakan Sawit Watch tahun ini. Utusan dari propinsi Sumatra Barat, Ibu Niman. Namun agar akrab mengenalnya, dia meminta kami memanggilnya Tek Niman (bibi dalam bahasa Minang). Perawakannya yang gemuk tidak melukis-kan kepedihan hidupnya di kampung.

Tek Niman bekerja seb-agai buruh di perkebunan sawit PT AMP (Agro Ma-sang Perkasa) di Pasaman Barat, Sumatra Barat. Beliau telah bekerja sejak 14 tahun lalu. Sekarang beliau beru-sia 44 tahun, berarti sejak beliau berusia 30 tahun. Entah mengapa dia seorang diri dalam membesarkan anaknya-anaknya, menu-rut penuturan beliau sang suami tidak sanggup hidup dalam kemiskinan karena ti-

dak memiliki pekerjaan dan hanya mengandalkan gaji Tek Niman sebagai buruh perkebunan. Gaji yang di-peroleh untuk menghidupi 4 anak, ibu serta adiknya yang ikut bersamanya. Dengan nada bergurau Tek Niman mengatakan bahwa kalo boleh dibilang dialah pre-siden di rumahnya, dia yang mengatur segala keperluan rumah tangganya, jika tidak ada presiden, semua pen-duduk rumah kocar-kacir, katanya sambil tertawa.

Kehidupan Tek Niman amat sederhana. Dengan gaji 40 ribu rupiah sehari, gaji pokok 32 ribu ditambah premi dan susu sebesar 8 ribu, buruh seperti Tek Niman harus melakukan pekerjaan semuanya seperti merambah dan meracun. Penghasilan Tek Niman ha-rus mencukupi beras untuk 1 bulan 60 kg, minyak tanah yang hanya 5 liter dihemat agar cukup sampai sebulan. Rumahnya tidak berlistrik hanya pakai pelita untuk

penerangan. Untuk mema-sak Tek Niman terkadang menggunakan buah sawit yang terbuang untuk bahan bakar pengganti kayu. Dan menurutnya, jika kebutu-han melebihi pendapatan, ia terpaksa berhutang dan akan dibayarkan dengan gaji bulan depannya.

Tek Niman dan teman-temannya mulai bekerja dari jam 8.00 -13.30, dan biasanya setelah pulang dari bekerja, karena hari belum terlalu sore biasanya Tek Ni-man menawarkan diri untuk bekerja di kebun orang lain untuk menambah penghasi-lan. Dengan mendapat 30 ribu rupiah, ia menyemprot 1 liter racun roundap ke ila-lang dan belukar di sekitar pokok-pokok sawit.

Sambil menunjuk ke mata kanannya ia berkata, “mata saya ini rusak dan berlemak, dan ini karena ra-cun roundap yang terbawa angin dan masuk ke mata saat menyemprot”. Cacat karena terancun roundap

Apa yang ada di benak anda membaca judul tulisan di atas? Presiden para buruhkah atau yang menjadi presiden seorang buruh? Sebut saja Niman, memang seorang presiden yang bekerja di buruh perkebunan sawit. Hanya rakyatnya, adalah anggota kelu-arganya, dia adalah presiden di rumahn-ya dan sekaligus di kebun dimana ia dan keluarganya memburuh. Tek Niman, presiden buruh.

BURUH

16TandanSawit

PEKEBUN

KONVERSI KEBUN

PETANI MEMPEROLEH KEBUN YANG LAYAK

Penerapan pola kemitraan Inti-Plasma perlu komitmen serius dari semua pihak, terutama perusahaan (Inti). Kewajiban utama Inti memberikan kebun plasma layak produksi kepada petani. Kebun plasma layak berproduksi di umur tanam 4-5 tahun, seperti terlihat pada gambar. (dok.SW)

Plasma, areal perkebunan sawit untuk rakyat yang dibangun oleh perusahaan (inti). Petani

mendapatkan plasma biasanya pada tahun ke 4 setelah konversi lahan. Sementara yang dimaksud konversi (kebun) adalah proses persiapan doku-men pengalihan lahan (HGU-hak guna usaha), penetapan petani peserta, pe-nilaian kebun, sertifi kasi lahan hingga ke akad kredit. Konversi kebun, proses awal petani memperoleh plasma yang sudah dibangun dan disiapkan perusa-haan inti. Plasma adalah kebun berisi tanaman menghasilkan buah tandan sawit.

Pola kemitraan inti-plasma dalam perkebunan sawit tersebut akan me-nentukan kelanjutan usaha petani. Ke-wajiban perusahaan inti mengembang-kan plasma pada tahun 4 atau 5 adalah titik penentu keseriusan perusahaan. Plasma berisi Tanaman Menghasil-kan pada tahun ke-4, yang kemudian petani bisa menikmatinya hingga 25 tahun masa HGU.

Proses Konversi Kebun

Sebelum terjadi pengalihan kebun plasma dari perusahaan kepada petani, perusahaan inti memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban perusahaan inti

terhadap petani plasma meliputi pe-nyelesaian pengurusan sertifi kat hak milik, mengusulkan pengalihan kebun plasma, menyelesaikan penilaian fi sik kebun, dan melakukan akad kredit.

Tahapan proses yang menjadi tang-gung jawab perusahaan inti tersebut sering terlanggar perusahaan. Tanpa kontrol yang ketat, beban ini akh-irnya menimbulkan persoalan di masa datang. Semisal, perusahaan hanya mengembangkan kebun inti, kebun plasma terbengkalai. Petani plasma mengeluarkan pembiayaan tinggi dan kebun plasma gagal panen, panen tidak serempak dengan kebun inti.

“Konversi kebun, tahap penting dalam pola ke-mitraan di perkebunan sawit. Tahap ini, petani plasma harus hati-hati, banyak kebun plasma tak layak diberikan ke-pada petani.” (Darto, pendamping SPKS)

M Darto, pendamping petaniM Darto, pendamping petaniSPKS-KaltimSPKS-Kaltim

17 Edisi II/Sept’08 - SW10

Biang Masalah Konversi

Konversi kebun tidak berjalan mulus, biasanya terhambat oleh ketidakkon-sistenan pihak pengembang (perusa-haan pemegang HGU). Kebun plasma berproduksi (panen) tidak optimal. Situasi ini, akhirnya bergantung kepada keseriusan perusahaan inti, dan Pemer-intah (pusat dan daerah).

Ketidak kosistenan perusahaan untuk membangun kebun plasma yang baik, juga tergambar dari tidak transparannya saat pemberian (akad) kredit bagi petani. Perusahaan biasanya hanya memberikan halaman belakang

perjanjian (form yang ditandatangani oleh petani). Dokumen perjanjian (isi utuh) tidak diketahui oleh petani yang seharusnya dipahami petani sejak pem-bangunan kebun plasma.

Dokumen perjanjian untuk akad kredit merupakan dokumen biaya pembangunan kebun plasma tentang besaran yang harus dibayar oleh pet-ani. Dokumen ini dijadikan oleh pihak perusahaan sebagai dokumen petunjuk kepada pihak bank bahwa petani ber-sedia membayar kredit.

Dalam pembangunan kebun plasma yang baik, (calon) petani pola inti-

plasma harus terlibat langsung dalam penghitungan biaya pembangunan kebun plasma. Selain sebagai syarat akuntabilitas perusahaan inti, ini akan memberikan manfaat jelas dikemudian hari, ada kejelasan besaran dan lama masa waktu pengembalian kredit.

Konsolidasi kebun-kebun plasma sebelum dialihkan kepada petani ha-rus memenuhi standar teknis yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian kewajiban perusahaan inti ini sering kali terjadi, semisal pengalaman pet-ani di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Kebun plasma petani di Paser

Sumber: Laporan SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), Kalimantan TimurSumber: Laporan SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), Kalimantan Timur

KEWAJIBANPERUSHAAN INTI DALAM PROSESKONVERSIKEBUN

1. Penyelesaian pengurusan sertifi kat hak milik.

Pengurusan sertifi kat Hak Milik atas nama petani peserta mulai dilakukan 18 bulan sebelum bera-khirnya masa tenggang, dan harus sudah selesai 2 bulan sebelum berakh-irnya masa tenggang.

2. Usul Pengalihan Kebun Plasma

a. Perusahaan lnti sebagai mitra petani plasma yang membangun kebun plas-ma dalam hal ini, men-gajukan usul pengalihan kebun plasma kepada Bank 6 bulan sebelum berakhirnya masa teng-gang dan pengusulan itu terdapat tembusan kepada Direktur Jenderal Perkebunan, dilampiri dengan dokumen yang lengkap meliputi: 1). Surat Keputusan Perusahaan

lnti rnengenai penetapan petani peserta yang dik-etahui oleh petugas yang ditunjuk oleb Direktur Jenderal Perkebunan; 2). Perjanjian kerjasama antara Perusahaan lnti dengan Bank, mengenai pembelian hasil panen serta pelunasan kredit petani peserta. 3). Arus Tunai (Cash Flow) rata-rata dari kebun plasma yang akan dialihkan.

b. Bank yang bersangkutan setelah menerima usu-lan pengalihan kebun plasma dari Perusahaan lnti, segera mengadakan penelitian dan penilaian atas usulan tersebut be-serta dokumen keleng-kapannya dan menyele-saikannya dalam waktu 1 (satu) bulan.

c. Apabila dokumen keleng-kapan usulan Perusahaan lnti tidak lengkap jelas, Bank segera mengemba-likannya kepada Perusa-haan Inti, dengan tem-busan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan.

d. Peusahaan Inti segera melengkapi/memperjelas dokumen sesuai dengan permintaan Bank, dan mngembalikannya ke-

pada Bank paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan.

e. Bank setelah menerima pengembalian dokumen segera mengadakan penelitian dan penilaian sesuai huruf b.

3. Penilaian Fisik Kebun a. Perusahaan lnti sudah

harus mengajukan per-mohonan penilaian fi sik kebun plasma yang akan dialihkan kepada petani peserta kepada Direk-torat Jenderal Perkebu-nan 6 bulan sebelum berakhirnya masa teng-gang dengan tembusan kepada Bank.

b. Selambat-lambatnya 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut pada huruf a, Direktur Jenderal Perkebunan sudah harus meminta konfi rmasi kepada Bank apakah penilaian teknis akan dilakukan bersama atau diserahkan sepenuh-nya kepada Direktorat Jenderal Perkebunan.

c. Dalam hal Bank meny-erahkan sepenuhnya pe-nilaian teknis dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, maka pe-nilaian teknis dilakukan

sendiri oleh Direktorat Jenderal Perkebunan.

d. Hasil penilaian teknis baik yang dilakukan bersama-sama atau yang dilakukan sendiri oleh Di-rektorat Jenderal Perke-bunan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dituangkan dalam satu Berita Acara yang mengi-kat kedua belah pihak.

e. seluruh proses penilaian teknis harus sudah dise-lesaikan selambat-lam-batnya 2 (dua) bulan se-belum berakhirnya masa tenggang.

4. Penadatanganan akad kredit.

Apabila semua per-syaratan untuk ditanda-tanganinya akad kredit oleh petani peserta telah dipenuhi seluruhnya, yaitu berupa :Surat Kepu-tusan Perusahaan Inti mengenai penetapan petani peserta, Perjanjian Kerjasama antara Peru-sahaan Inti dengan Bank, ArusTunai (Cash Flow) rata-rata dari kebun plas-ma yang akan diserah-kan, Sertifi kat Hak Milik atas nama petani peserta, Berita Acara Penilaian Teknis Kebun Plasma.

18TandanSawit

Contoh: Penilaian Kebun Petani di KKPA Desa Bekoso, Kabupaten Paser*

No Faktor yang Dinilai Bobot Nilai Hasil Keterangan

Dasar Lapangan

1. Kondis tanaman

1. Jumlah Pohon 20 128 126 19.7

2. Pohon yang berbunga 10 108.5 58 5.3

3. Pohon yang berbuah 15 89.6 60 10.04

4. Berat TBS 15 89.6 21 3.5

2. Kondisi penutup tanah

1. Tidak ada lalang 6 2 2

2. 30% kacangan 4 128 0 0

3. Sistem Pengawetan Tanah

1. Lahan datar 8

2. Miring

a. Ada teras (3) 1 1

b. Parit, sirip ikan (2) 2 2

c. Parit Buang (3) 3 3

4. Jangka StrukturA. Jln produksi 1 koleksi1. Lebar jalan produksi 6 m koleksi 4.5 m

3 1 1

2. Diperkeras 3 1 1

3. Parit Kiri dan kanan 2 2 2

4. Tanjakan dapat dilalui truk 3 2 2

5. Gorong-gorong jembatan 2 2 2

B. TPH 1 1 1

C. Jalan panen/ pikul 2 0 0

D. Piringan 2 1 1

5 Kesan umumKebersihan, keseragaman dan HPT

4 1 1

Jumlah 100 57.54

Kualifi kasi Nilai Kebun: DHasil Rekomendasi: Tidak dapat dikonversi

Keterangan:* Penilaian Kebun milik petani plasma PTPN13, Armansyah Embu. Kebun yang dinilai sudah berusia tanam 5 tahun dan sudah dikonversi. Penilaian kebun ini sesuai dengan panduan teknis Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2006.

19 Edisi II/Sept’08 - SW10

diperoleh tidak sesuai standar. Kebun berisi pokok sawit yang jumlahnya kurang, kebun dipenuhi alang-alang dan kurang terawat dan lambat ber-buah.

Pemerintah baik pusat dan daerah (dirjenbun dan disbun) memiliki peran penting dalam proses pengalihan ke-bun plasma. Dalam Penilaian atas di-penuhinya standar fi sik pembangunan plasma dilakukan setiap tahun oleh Di-rektur Jenderal Perkebunan dengan ti-dak mengurangi wewenangnya dengan memberikan teguran diantara waktu penilaian apabila ternyata standar fi sik tidak dipenuhi. Terkait dengan pe-nilaian oleh pemerintah bahwa kebun tersebut tidak sesuai dengan stándar pemerintah maka tugas pemerintah

adalah: menetapkan penundaan peny-erahan kebun plasma kepada petani peserta dan diwajibkan perusahaan inti untuk memperbaiki kebun atas beban sendiri.

Masalahnya dalam peran sentral pemerintah ini seringkali bermain ber-sama pihak perusahaan dengan tidak menjalankan penilaian kebun dengan baik dan tidak dilakukan secara terbuka atau bersama petani/calon petani. Se-hingga petani seringkali mendapatkan dampak dari kinerja pemerintah ke-tika tidak melakukan penilaian kebun dengan baik. Kelemahan pemerintah juga dalam hal regulasi dalam penilaian kebun yakni hanya menilai 1 ha untuk mewakili 200 ha. Pemerintah dalam menilai kebun, dengan membentuk

tim penilaian kebun. Sayangnya, tim ini tidak melibatkan petani dalam proses penilaian kebun.

Peluang petani dalam proses ini untuk mengembalikan kebun plasma yang tidak layak adalah petani harus menilai kebunnya dengan bekerjasama dengan pihak lain yang independen dan haslnya direkomendasikan kepada pemerintah atau pihak perusahaan agar diperbaiki kembali. Serta pengawasan atau keterlibatan langsung petani dalam menilai kebun bersama pemerintah.

Penilaian kebun yang partispatif tersbut sebagai jalan petani plasma untuk memperoleh kebun yang layak, agar tidak rugi dikemudian hari. (MD)

Proses Konversi Kebun Petani Plasma di Kabupaten Paser

Kondisi kebun petani pasca konversi

Kebun plasma diberikan kepada petani, namun tidak sesuai dengan standar teknis perkebunan yang ditetapkan pemerintah. Kebun yang berusia Tanaman Menghasilkan (TM). yang berusia tanam 4-5 tahun, masih berisi banyak alang-alang (tidak terawat), infrastruktur jalan tidak ada, pokok sawit tidak lengkap dan lain-lain. Saat itu pula, petani plasma memprotes dan berjanji akan memperbaiki kebun plasma setelah konversi kebun dilakukan atau sesudah petani menandatangani akad kredit. Kondisi ini akan mempengaruhi percepatan pelunansan kredit petani dan produktifi tas sawit.

Transparansi dokumen konversi

Dokumen-dokumen terkait konversi kebun plasma tidak diberikan, disampaikan, diinformasikan atau menjadi arsip petani. Petani tidak memiliki salinan dokumen konversi. Semua arsip-arsip konversi kebun tidak pernah dipegang oleh petani. Banyak juga petani yang tidak mendapatkan isi perjanjian akad kredit. Petani hanya diberikan secarik kertas untuk ditandatangani (form penandatanganan kredit), sementara isi perjanjiannya tidak diberikan secara terbuka kepada petani.

Penanaman baru tanpa ganti rugi

Kebun-kebun dengan pokok sawit yang tidak lengkap dialihkan kepada petani dan penanaman kembali pokok sawit baru oleh petani tanpa bantuan dari pihak mitra (perusahaan). Tanggungan biayanya tidak pula mendapatkan potongan angsuran kredit. Pihak mitra (inti) seharusnya masih memiliki kewajiban untuk membantu penanaman kembali, memberikan petunjuk, memberikan bibit atau melakukan penundaan pengalihan kebun untuk diperbaiki kembali. Pengembalian kebun plasma kepada mitra (inti) jika penilaian kebun tidak layak dan pembiayaan perbaikan ditanggung sepenuhnya oleh inti tanpa harus membebani biaya kredit petani.

Tanda tangan akad kredit

Petani dipaksa untuk menandatangani akad kredit. Hal ini dilakukan setelah perusahaan perkebunan membangun kebun untuk petani baik untuk plasma maupun untuk KKPA. Di Kabupaten Paser, hampir di setiap kampung transmigran mengalami pemaksaan dari pihak perusahaan untuk menandatangani akad kredit. Petani pernah melakukan penolakan, namun usaha petani tersebut diancam oleh perusahaan untuk mengalihkan kebun tersebut kepada pihak lain. Petani transmigran yang tidak memiliki tanah dan usaha kebun, dengan terpaksa menerima dan menandatangani akad kredit tersebut. Hal ini terjadi pada petani plasma pada tahun 1980-an. Namun berulang kembali pada tahun 2007, dimana kebun KKPA di 12 koperasi mengalami hal yang sama dengan perusahaan negara yang sama yakni PTPN 13.

Transparansi dan tanggungjawab pemerintah untuk menilai kebun petani

Pemerintah melalui dirjenbun, membentuk tim penilaian kebun sebelum dilakukan proses pengalihan kepada petani plasma. Yang akan dinilai adalah kelengkapan-kelengkapan kebun yang sudah ditentukan standarnya oleh pemerintah. Kebun yang akan dinilai adalah kebun petani. Namun, dalam proses penilaian kebun ini, tidak ada keterbukaan kepada petani tentang berapa penilaiannya, berapa hasilnya, berita acara penilaian, bagaimana metode penilaiannya dan kebun siapa yang dinilai.

Ketiadaan akses petani dalam tim penilaian kebun

Tim yang dibentuk pemerintah untuk menilai kebun sebelum dilakukan proses konversi tidak dapat diakses oleh petani plasma. Hal ini mengakibatkan tidak adanya proses akuntabilitas, transparansi dan legalitas penilaian tersebut.

Dampak dari konversi kebun yang tidak layak

Dampaknya bagi petani sangat besar antara lain adalah produktifi tas rendah, karena tidak terawat kebunnya, serangan hama penyakit, terlambat masa berbuah, berat tandan yang tidak sesuai, dan menyulitkan petani ketika panen karena menyangkut infrastruktur.

20TandanSawit

Pembangunan perkebunan ke-lapa sawit skala besar itu bagi masyarakat adat seperti revolusi

(perubahan kondisi sosial budaya se-cara cepat), dimana masyarakat adat dengan kondisi kebijakan dan imple-mentasi sering kali didiskriminasi dan dimarjinalkan. Proses diskriminasi dan marjinalisasi inilah yang sedang terjadi pada sekitar 1 juta-an masyarakat adat pada perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan demikian ungkapan Abet Nego Tarigan, Perkumpulan Sawit

SAWIT PERBATASAN“TAK SEORANG PUN MAU DINILAI BODOH!”

KEBIJAKAN

Watch, dalam Semiloka Tindaklanjut Submission CERD (convenan elimi-nation on rasial and discrimination) di Pontianak, 14 – 15 Agustus 2008. Wahyu Wagiman, narasumber lain, peneliti di Elsam (Lembaga Studi Advokasi dan Hukum) menambah-kan pelanggaran ham yang menonjol dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan masuknya kebun sawit, kesejahteraan masyarakat adat menjadi menurun.

Tahun 2005 lalu, Pemerintah In-donesia merencanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit di sepanjang perbatasan Indonesia Malaysia di Kali-mantan sepanjang 850 km (Govt plans world’s largest oil palm plantations, the Jakarta Post, 18 Juli 2005 atau Kunjun-gan Presiden ke China: China Investasi US$7,5 Miliar, Media Indonesia, 30 Juni 2005). Dari pembangunan perke-bunan sawit ini, nantinya, akan menye-diakan tenaga kerja lebih dari setengah juta jiwa dan akan meningkatkan

Beberapa perangkat hukum dan aturan internasional, baik yang berupa konvensi atau deklarasi sering kali dibaikan oleh banyak pihak, termasuk oleh pemerintah daerah. CERD, atau Convenan Elemination on Rasial and Discrimination adalah perangkat aturan internasional yang memung-kin adanya jaminan pengamanan hak hidupnya atas rauang. Dan sayangnya, Pemerintah di daerah kurang mengenal CERD.

do

k.SW

21 Edisi II/Sept’08 - SW10

produksi tandan buah segar tiap tahun-nya sampai dengan 2,7 juta ton tandan buah segar. Proyek ini dipercayai akan menurunkan tingkat kesenjangan eko-nomi di wilayah perbatasan dimana telah terjadi kegiatan ekonomi illegal salah satunya illegal logging. Selain itu, di wilayah perbatasan ini juga terjadi keterisolasian dan keterbatasan dalam pengawasan sehingga kesan tidak terurus nampak sekali. Pembangunan kelapa sawit di perbatasan ini adalah bagian kompensasi dibukanya pintu masuk ke Malaysia, berapa banyak kayu yang bisa diambil? Wilayah ini sebena-rnya daerah tangkapan air yang perlu dilindungi, ungkap Syaban Setiawan, Eksekutif Daerah Walhi Kalbar.

Semendawai, Koordinator PIL-Net (Public Interest Lawyer Network) menyatakan beberapa Ornop yang tergabung dalam Tim Advokasi Per-batasan melakukan Submission CERD dilakukan karena tidak adanya jalan yang efektif ditingkat nasional sedang-kan situasi yang dihadapi “membutuh-kan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi skala atau jumlah pelanggaran serius, dan untuk mengu-rangi ancaman semakin memburuknya diskriminasi rasial. Bila dilihat lebih dalam masyarakat adat terkena dua hal, pertama kebijakan-kebijakan yang ada mendiskriminasi keberadaan masyara-kat adat, kedua, praktek pembangu-nan sistem perkebunan kelapa sawit mengusur dan merusak ekosistem hutan-hutan masyarakat adat. Dikare-nakan tekanan tingkat nasional kurang mempan maka tekanan masyarakat internasional dicoba agar pembangu-nan perkebunan kelapa sawit ini agar dihentikan.

Muasal diskriminasi ini bersum-ber kepada Konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ( ‘ … Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan ma-syarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang…’ ), yang akhirnya

diturunkan pada UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU N0 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Bahwa keberadaan masyarakat adat di-tentukan oleh beberapa syarat dimana adanya pengakuan pemerintah me-megang peranan penting. Hutan adat ditentukan oleh selembar sertifi kat kepemilikan tanah yang dikeluarkan pemerintah sedangkan model pengua-saan tanah adat bukanlah demikian. Akibatnya model penguasaan tanah atau hutan adat seringkali tidak diakui inilah diskriminasinya. Hal inilah po-kok-pokok hal yang diungkapkan oleh Sulistiono, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman).

Submission CERD ini direspon oleh Komisi CERD dengan menge-luarkan rekomendasi untuk proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit pada perbatasan Indonesia Ma-laysia di Kalimantan agar Pemerintah Indonesia:- Mengingatkan prinsip tanah, air dan

sumberdaya alam harus dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan terbesar bagi masyarakat. Ini juga dilakukan konsisten terhadap masyarakat adat

- Memastikan UU No 18 Tahun 2004 dalam penafsiran dan implementasinya menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan menggunakan lahan komunalnya

- Mengamankan hak menguasai dan kepemilikan dari komunitas-komunitas lokal (masyarakat adat) sebelum melanjutkan lebih jauh dengan Rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan

- Memastikan adanya konsultasi bermakna dengan komunitas lokal (masyarakat adat) dengan sudut pandang untuk mendapatkan per-setujuan dan partisipasi berkaitan pembangunan perkebunan kelapa sawit perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan

Fakta lapang menunjukkan lain, wa-cana pembangunan perkebunan kelapa sawit pada perbatasan Indonesia Ma-laysia di Kalimantan boleh berhenti, tetapi praktek pembangunan kelapa sawit tetap berjalan bahkan massif. Akibatnya, kehancuran masyarakat adat sejalan dengan rusaknya hutan adat mereka. Ada hal yang menarik bila dihubungkan dengan rekomenda-si-rekomendasi Komisi CERD, bahwa Pemerintah mempunyai struktur sampai ke bawah, rekomendasi terse-but sudah lebih dari satu tahun, dan sudah pernah dilakukan pertemuan antar departemen yang melibatkan pemerintah daerah. Kecil peluangnya, bila rekomendasi-rekomendasi Komisi CERD tidak sampai ke Pemda-pemda tersebut. Jikalau beberapa hal didepan benar adanya, memang rekomendasi-rekomendasi Komisi CERD diacuhkan dan secara sadar Pemerintah Daerah ikut berkontribusi dalam diskriminasi dan marjinalisasi Masyarakat adat di Perbatasan. Walaupun ada peluang lain dimana Pemda-pemda tidak me-mahami tentang mekanisme ini, tetapi hal ini seperti mengecilkan kecerdasan Pemda-Pemda, tidak ada seorang pun mau dinilai ‘bodoh’. (NAS)

Jalan baru menuju perbatasan Indonesia-Malaysia melalui 1, 8 juta hekar Sawit Perba-tasan”. (dok.SW)

22TandanSawit

13Pekebun

2Laporan Khusus

DARI PEMBACA

DUNIA MENYOROT SAWIT PERBATASAN (Website: sawitwatch.or.id)

Hutan Adat. Hutan adat kagak ade karna hutan ngak ikut pesta adat, dan tidak terkait adat. Hutan hanya tempat hidup masyarakat terpencil aja yg bisa disebut habitat.

Hutan ya hutan adat ya adat itu aja repot, kalau pemilikan hutan ya ada masyarakat modern pemilik

hutan, masyarakat terpencil pemilik hutan, Negara pen-gelola hutan, jangan ngada-ngada hutan adat ada, yang ada hutan lindung, hutan cagar alam dan hutan yg di-kategorikan dgn UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehu-tanan. Kamu buat repot UU aja. (Saboar)

Ketidaktahuan. Kalau hutan adat, ya hutan adat, jangan diinterpretasikan berbeda. Baca dikit teori negara biar matang mem-berikan komentar. Negara ini didirikan bukan milik pribadi tetapi sejumlah etnis dengan adatnya. Kalau tidak

mau menghargai adat bubar aja negara ini. (Roy)

Sebenarnya bukan tidak tahu tapi tidak mau tahu, kalo kita pernah hidup bermasyarakat pasti tahu ADAT itu apa? sebelum memberi komentar pelajari dulu isi threatnya, jadilah manusia yang bijak sekali-kali napa????? (Bangai)

Oil Palm Malaysia Down. Sepertinya oil palm malaysia akan terkejar oleh produksi oil palm indon, dengan se-genap cara isu perluasan ar-eal, kebakaran, green piece maka ha; itu hambat indon. (Mohaned Noor Badawi)

RedaksiPenanggung Jawab

Rudy Lumuru

Dewan Redaksi

Rudy Lumuru, Abet Nego Tarigan, NA Su-rambo, Edi Sutrisno, Norman Jiwan.

Pemimpin Redaksi

NA Surambo

Redaktur Pelaksana

Jefri Saragih

Redaksi

Jefri Saragih, Elsa Su-santi, Kartini, Yan Yan Hadiyana, Eep Safullah, Norman Jiwan, Djauhari.

Sekretariat Redaksi

Vinna

Distribusi dan Pelayanan Komplain

Eep Saifullah

KeuanganTina, Supapan dan Sukardi

Penerbit

Perkumpulan Sawit Watch

Alamat Redaksi

Jl. Sempur Kaler No.28, Bogor.Telp: 0251 8352171Fax: 0251 [email protected] foto: Sawit Watch

2Kasus Lubuk Jering...

1Satu solusi...

10...penyangga Danau Sen-tarum...

12..Sejarah

Berulang

15...Tek Niman, Presiden Buruh...

20Sawit Perbatasan