Tandan Sawit No 3 Maret 2015

10
Edisi No. 3 | Maret 2015

Transcript of Tandan Sawit No 3 Maret 2015

Page 1: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

Edisi No. 3 | Maret 2015

Page 2: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

2 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 3Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Potret Buram Buruh Perempuan Perkebunan Sawit Di Kalimantan Tengah

Dampak dari kehadiran perke-bunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan

tenaga kerja pada sektor perkebu-nan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu, terdapat kelompok masyarakat yang langsung maupun tidak langsung tergantung pada perkebunan kelapa sawit. Menurut KADIN, perkebu-nan kelapa sawit di Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung. Sawit Watch sendiri mencatat jumlah buruh yang bekerja di perkebunan sawit sudah mencapai 10,4 juta orang dimana 70 % dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh harian lepas.

Industri sawit memang memberi-kan keuntungan besar bagi pebisnis dan negara, tapi keuntungan terse-but tidak terlihat dalam realitas kehidupan buruh. Perkebunan kelapa sawit yang didukung negara memiliki kekuasaan besar untuk menentukan kelangsungan hidup buruh. Besarnya

kekuasaan perkebunan mengakibat-kan buruh rentan terhadap tinda-kan eksploitasi dan informalisasi hubungan kerja. Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit di Kalimantan. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja dan alat pelind-ung diri yang layak, terkurung dalam camp/barak dengan pengawasan ketat, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, informalisasi hubun-gan kerja serta pelibatan isteri dan anak bekerja tanpa dibayar.

Kondisi Buruh Perempuan Di Perke-bunan Sawit Kalimantan Tengah

Luas perkebunan sawit di Ka-limantan Tengah 2,1 juta hektar. Terdapat 350 ijin perkebunan sawit dimana 86 diantaranya sudah men-gantongi ijin clear dan clean. Diluar ijin clear dan clean, perkebunan sawit tersebut illegal, tapi masih

beroperasi. Jumlah buruh perkebu-nan mencapai 600.000 orang, seba-gian besar merupakan buruh migran dari Jawa, Sulawesi dan NTT yang didatangkan melalui program trans-migrasi atau melalui penyalur tenaga kerja resmi dan tidak resmi.

Buruh perempuan di perkebunan sawit Kalimantan Tengah bekerja di bagian pemupukan, penyemprotan, perintis (pembabat), cuci karung pu-puk, menjaga Tempat Penitipan Anak, perawatan jalan dan wilayah sekitar barak. Diluar itu, buruh perempuan terlibat dalam pekerjaan memanen, namun tidak menerima upah. Beber-apa perkebunan menetapkan kebi-jakan mewajibkan buruh pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Bila buruh pemanen tidak membawa isteri, buruh dinyatakan mangkir atau mandor akan men-datangkan kernet yang upahnya harus dibayar sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan.

Memanen Tanpa DibayarPekerjaan memanen adalah

Buruh perempuan di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah

Tandan Sawit Edisi No. 3

Penanggung JawabJefri Gideon Saragih

Pemimpin RedaksiJopi Peranginangin

Dewan RedaksiJefri Gideon Saragih,

Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Jumadi Jaya, Astrid, Castri, Jopi Peranginangin, Ronald

Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban

Raja, Sukardi, Maryo Saputra

Tata LetakJopi Peranginangin

Alamat RedaksiPerkumpulan Sawit Watch

Bogor Baru TamanJalan Cisangkui Blok B 6/1

Kel. Tegal Lega, Bogor Tengah, Jawa Barat - 16127Telp: 02518352171 Fax: 02518352047

Web: www.sawitwatch.or.idTwitter: @SawitWatch

Editorial

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah baik untuk sektor tambang maupun pangan. Kekayaan alam yang melimpah itu memberikan tantangan dan kes-empatan untuk membawa ekonomi Indonesia ke arah pembangunan berkelanjutan.

Pengelolaan sumber daya alam dengan bertanggung jawab, lestari, dan adil akan memastikan bahwa kekayaan ini berguna untuk banyak pihak — bukan hanya se-bagian orang — dan bahwa manfaat jangka panjang akan lebih dari mengkompensasi dampak eksploitasi.

Sayangnya, pengelolaan sumber daya alam itu belum dilakukan dengan baik. Masih banyak kegiataan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara ilegal dan ber-tentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.

Hal ini setidaknya tercermin dari aksi sejumlah lembaga swadaya masyarakat daerah yang bergerak di lingkungan hidup melaporkan dugaan kasus dugaan penjarahan sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengaduan dilayangkan ke KPK karena masih banyak kasus-kasus di tingkat daerah yang hingga kini belum terjamah. Banyak sumber daya alam dijadikan sebagai komoditi yang diselewengkan oleh pihak swasta maupun pejabat daerah.

Akibat kegiatan korupsi di sumber daya alam itu, perkiraan kerugiannya luar biasa, sekitar Rp 201.81 triliun. Dugaan korupsi dilakukan dalam praktik pengusahaan perkebu-nan sawit, pertambangan batubara dan biji besi.

Modus yang dilakukan untuk menjarah sumber daya alam itu pun dinilai cukup be-ragam. Pola-pola yang dilakukan para penjarah SDA itu adalah dengan cara menyiasati perizinan, tidak membayar dana reklamasi, menyewa broker untuk mengurusi perizinan, serta menggunakan proteksi back up dari oknum penegak hukum.

Selain itu, tidak jarang para pengusaha merambah hutan baik secara ilegal maupun legal untuk melakukan penebangan di wilayah konservasi. Bahkan tidak sedikit pejabat yang memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya bisa memperoleh konsesi.

Meihat kerugian negara yang cukup besar, sudah seharusnya instansi-instansi terkait segera mengambil tindakan tegas terhadap aksi korupsi di sumber daya alam ini.

Dalam kasus ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Pemberian izin pengelolaan lahan perlu dilakukan secara ketat dengan mengacu pada pengelolaan sumber alam yang berkelanjutan.

Salam Redaksi

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.

Daftar Isi � Potret Buram Buruh Perempuan Perkebunan Sawit Di Kalimantan Tengah.... Halaman 03 � Korupsi di sektor Perkebunan Ringkasan Investigasi Korupsi di Dua Provinsi..... Halaman 06 � Penyakit Kronis Kebakaran Hutan dan Lahan..... Halaman 10 � Mendorong Pembentukan Badan Penyelesaian Konflik Agraria.... Halaman 14 � Benua Biru Mengancam Kelestarian Hutan Indonesia ..... Halaman 16 � Praktek Pengelolaan Kebun Berkelanjutan oleh Petani Sawit..... Halaman 18

LaporanUtama

Page 3: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

4 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 5Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

LaporanUtama LaporanUtama

pekerjaan yang dilakukan buruh laki-laki. Namun, sebagian besar pemanen “terpaksa” membawa isteri ke tem-pat kerja untuk membantu pencapa-ian target kerja. Perempuan-perem-puan ini kemudian bekerja tanpa dibayar oleh perusahaan, sementara resiko kerja ditanggung sendiri. Di PT Salonok Ladang Mas (SLM) misalnya, target kerja buruh pemanen untuk tahun tanam 2004 sebanyak 180 janjang (TBS). Perusahaan tersebut menetapkan 180 janjang ini harus dibagi oleh pemanen dan isterinya. Biasanya pemanen 100 janjang dan isterinya 80 janjang, pekerjaan memanen tetap dilakukan suami, sementara isteri mengutip beron-dolan, merapikan pelepah, memind-ahkan TBS ke Tempat Penampungan Hasil. Perusahaan hanya membayar upah suami, sementara isteri tidak. Bila target kerja ini tidak tercapai, pemanen diharuskan memanen di areal seluas 4 hektar atau memotong upah.

Situasi yang sama juga dapat dilihat di perkebunan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Di perusahaan ini, target kerja buruh pemanen sebanyak 185 janjang dengan upah 1 HK bagi buruh yang memenuhi basis borong Rp 80.000. Buruh pemanen yang me-nerima Rp 80.000 harus memenuhi 3 kriteria yaitu : jumlah janjang, hek-taran (luas ancak) dan jam kerja. Bu-ruh pemanen yang belum memenuhi 185 janjang dan di ancaknya sudah kosong (tidak ada lagi yang dipanen), disuruh mandor untuk memanen di ancak lain (memperluas hektaran). Buruh pemanen juga dikenai denda bila basis borong tidak terpenuhi. Untuk memenuhi target kerja, buruh pemanen membawa anak atau isteri.

Di PT Sarana Prima Multi Niaga (SPMN), sistem pengupahan ber-basis tonase yang yang ditetapkan perusahaan mengakibatkan buruh pemanen diharuskan memenuhi tar-get tertentu. Konsekuensinya, buruh pemanen harus mengajak anak atau isteri ikut bekerja. Buruh perempuan yang bekerja di bagian maintanance (perawatan) di perusahaan tersebut,

sebagian besar membantu suaminya yang bekerja sebagai pemanen, bila target kerja mereka sendiri sudah terpenuhi.

Isteri buruh tidak memiliki hubungan kerja dengan perusa-haan namun terpaksa ikut bekerja demi mencapai target kerja yang tak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang buruh pemanen. Mereka bekerja tanpa alat keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai sep-erti helm, sarung tangan dan sepatu boot.

Menjadi Buruh Harian Lepas Per-manen

Buruh PT HMBP dikategorikan dalam 2 status, buruh tetap dan BHL. Perkebunan mengangkat status buruh BHL menjadi permanen setelah ada desakan dari buruh. Terdapat puluhan buruh yang diangkat menjadi buruh permanen tahun 2013 lalu, padahal masa kerjanya sudah lebih dari 5 tahun. Buruh perempuan di PT HMBP berstatus sebagai BHL. Mayoritas perempuan di perkebunan ini bekerja di bagian perawatan atau pemupukan dan berstatus sebagai BHL, padahal mereka sudah bekerja diatas 2 tahun.

Tidak hanya di PT HMBP, di PT SLM, PT Kerry Sawit Indonesia (KSI), buruh perempuan yang bekerja dibagian perawatan sebagian besar masih berstatus BHL walaupun masa kerja mereka sudah diatas 3 tahun. Menurut buruh PT KSI, dari setiap mandoran yang beranggotakan 20-26 orang, biasanya ada 4-5 orang yang berstatus sebagai BHL.

Massifnya jumlah buruh perem-puan yang bertahun-tahun menyan-dang status BHL menunjukkan bahwa pengusaha mengabaikan hak-hak yang mesti diterima oleh para buruh perempuan. Indonesia telah mer-atifikasi konvensi CEDAW dalam UU NO 7 tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Bekerja dengan RacunMenyemprot, pekerjaan yang di-

lakukan oleh buruh perempuan. May-oritas dari buruh penyemprot ini ber-

status BHL. Pekerjaan ini dilakukan dengan cara manual. Buruh penyem-prot menggendong 20 Kg (pestisida + alat semprot) mengelilingi ancak yang telah ditentukan. Sebelumnya, mandor terlebih dahulu mencampur pestisida dengan air dalam dosis tertentu dan menyerahkannya kepada penyemprot. Buruh bertanggung-jawab menyemprot diluas yang telah ditentukan. Rata-rata buruh penyem-prot diharuskan menghabiskan 6-10 Kap (alat semprot) setiap harinya. Perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri yang memadai.

Gramoxone, Glifosat, Rhodi-amine dan Roundup adalah produk yang digunakan dalam proses kerja. Perusahaan tidak menyediakan in-formasi tentang potensi dampak dan bahaya dari pestisida yang digunakan, juga tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana menggunakan pestisida secara tepat dan cara untuk menghindari bahaya kesehatan. Akibatnya, buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot rentan mengalami kecelakaan kerja atau mengalmi penyakit akibat kerja seperti gangguan pernafasan, tangan terbakar, pusing, mata kabur bahkan buta. Di PT SPMN, ditemukan 3 orang buruh penyemprot yang mengalami gangguan dibagian mata akibat terke-na percikan Gramoxone. Sementara itu di PT Mustika Sembuluh 1, 2 orang buruh perempuan mengalami infeksi di paru-paru.

Memupuk, jenis pekerjaan lain yang dilakukan buruh perempuan. Seorang buruh pemupuk diharuskan menghabikan rata-rata 13-15 karung setiap harinya, dimana 1 karung pupuk beratnya 50 kilogram. Buruh pemupuk melakukan pemupukan dengan cara menggendong goni (atau menggunakan alat kerja tambahan seperti ember namun disediakan sendiri oleh buruh) langsung mena-burkan pupuk di sekeliling pohon sawit dengan tangan telanjang tanpa menggunakan sarung tangan.

Akses Pelayanan Kesehatan DibatasiTidak mudah bagi buruh untuk

mengakses pelayanan kesehatan yang

disediakan perusahaan karena harus berurusan dengan birokrasi perkebu-nan. Buruh perempuan yang mengu-rus izin tidak bekerja karena sakit sering dipersulit oleh manajemen pe-rusahaan. Buruh yang sudah mengan-tongi rekomendasi agar tidak bekerja dari klinik perusahaan, seringkali harus bekerja karena manajemen tidak memberikan izin.

Di PT SPMN, buruh perempuan yang sudah memperoleh rekomen-dasi tidak bekerja karena haid dari poliklinik perusahaan, tapi sering ditolak oleh manajemen. Hal yang sama ditemui di PT KSI, dimana buruh perempuan tidak memperoleh ijin haid bagi buruh perempuan, walaupun izin cuti ini tertulis dalam perjanjian kerja.

Di areal perkebunan, umumnya terdapat poliklinik, tapi minim fasili-tas. Buruh bisa mengakses pelayanan kesehatan dari poliklinik setelah mendapat persetujuan dari mandor.

Bila poliklinik tidak mampu mengoba-ti penyakit buruh, maka buruh akan dirujuk ke rumah sakit tertentu (yang telah mengikat kerja sama dengan perusahaan). Dalam situasi seperti ini, perusahaan kerap mengabaikan tanggungjawab biaya perobatan. Perusahaan sering mengatakan pada buruh bahwa biaya perobatan ditang-gung sendiri, karena penyakit yang diderita tidak masuk dalam BPJS.

Situasi ini ditemukan di PT Mus-tika Sembuluh 1, dimana seorang bu-ruh yang telah dirujuk ke rumah sakit di Sampit (RS DR Murjani) diharuskan membayar sendiri biaya perobatan dan transportasi. Buruh tersebut menurut dokter harus rutin melaku-kan pemeriksaan, namun karena mahalnya ongkos, itu tidak pernah dilakukan buruh tersebut.

Di PT SPMN, ambulan yang ada tidak bisa diakses dengan mudah oleh buruh yang membutuhkan karena rumitnya birokrasi yang harus dijalani

(harus atas persetujuan HRD). Pada Februari 2013 lalu, 1 orang buruh meninggal di jalan karena lambatnya surat jalan ambulan dari perusahaan. Pada Februari 2015 lalu, keluarga buruh penyemprot yang mengalami kecelakaan kerja dan harus dirujuk ke rumah sakit di Banjarmasin men-galami kesulitan mengakses ambulan. Pihak perusahaan hanya menyanggupi mengantar pasien sampai keluar dari areal perkebunan saja.

Meskipun Indonesia telah merati-fikasi Konvensi CEDAW (Convention of All Forms of Discrimination Against Women) melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, namun, hingga saat ini buruh perem-puan di perkebunan masih saja mengalami diskriminasi. Hak-hak yang mesti diberikan sebagaimana tersebut sama sekali tidak diterima buruh.***

Buruh perempuan bekerja tanpa alat keamanan yang memadai

Page 4: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

6 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 7Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

LaporanUtama LaporanUtama

Korupsi di seKtor perKebunan ringKasan investigasi Korupsi di dua provinsi

Persoalan korupsi di sektor perkebunan sawit semakin mengemuka belakangan ini.

Tertangkap tangannya para pejabat daerah terkait praktek korupsi di sektor perkebunan sawit menjadi puncak gunung es dari kesemrawutan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Kesemrawutan pengelolan sumber daya ala mini seringkali mela-hirkan konflik yang berkepanjangan.

Secara umum, persoalan praktek korupsi di sektor perkebunan sawit utamanya berputar di masalah peri-jinan. Tidak heran apabila selembar ijin seringkali menjadi komoditas dagangan hangat bagi pejabat dan pengusaha sawit terlebih dalam era demokrasi elektoral yang membutuh-kan biaya mahal.

Sawit Watch baru saja meny-elesaikan studi investigative terkait dengan korupsi di sektor perkebu-nan. Studi dilakukan di 2 provinsi yakni Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah. Dari berbagai penelusuran, temuan dan analisis terhadap studi kasus di dua wilayah tersebut, maka dapat ditemukan bahwa semakin masifnya perluasan perkebunan sawit

seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan sarat dengan dugaan tindak pidana korupsi.

Untuk studi kasus di wilayah Kabupaten Banggai, dalam hal ini di dataran Toili dan Suaka Margasatwa Bakiriang, ditemukan pola perkebu-nan sawit yang dilakukan tanpa ijin dimana operasi perkebunan sawit yang dilakukan oleh PT. BHP (kawasan Toili) tidak memiliki alas hak atau ijin yang sah. Sementara untuk kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang yang belum mengalami revisi peruntukan kawasan, usaha perkebunan sawit telah dilakukan. Kerugian Negara yang timbul atas tindakan ini adalah hilangnya penerimaan negara yang seharusnya diperoleh dari aktivitas perkebunan sawit tersebut. Selain itu terdapat pula dugaan penggelapan Dana Reboisasi dimana pihak PT. BHP masih menunggak pinjaman dana re-boisasi sebesar Rp. 10.924.667.744,72 pada tahun 2007 dan diperkirakan tunggakan ini akan sulit dibayarkan oleh PT. BHP karena sebagian lahan-nya justru ditanami dengan tana-man sawit yang tidak masuk dalam

skema penerimaan pelunasan dana reboisasi.

Sementara untuk kasus di wilayah Bulungan Kalimantan Utara, Pelak-sanaan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dimiliki oleh PT Bagong Putra Serasi pada kenyataannya tidak dilakukan secara sepenuhnya oleh pe-rusahaan tersebut. PT Bagong Putra Serasi hanya melakukan pemanfaatan kayu hutan saja setelah itu lahan dib-iarkan begitu saja. Terlebih kemudian terdapat keganjilan dalam proses peralihan ijin yang dilakukan oleh PT. Bagong Permai Sejahtera kepada PT. Sawit Berkat Sejahtera dimana notabene adalah satu perusahaan yang sama karena hanya melakukan pergantian nama saja, ternyata men-galami perbedaan lokasi. Lokasi baru PT. Sawit Berkat Sejahtera bahkan berada diluar lokasi PT. Bagong Per-mai Sejahtera sebelumnya.

Di kabupaten Banggai, posisi PT. KLS (Murad Husein) sebagai “pihak kuat” yang tercipta berdasarkan hubungan kekeluargaan maupun kedekatan pertemanan dengan pejabat lokal maupun pusat diten-garai menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya operasi perkebunan sawit tanpa ijin dan keti-daknetralan aparat penegak hukum dalam menangani konflik yang timbul karena operasi perkebunan tanpa ijin ini.

Di Bulungan, dugaan adanya peran pejabat pemberi ijin dan pengawasan pelaksanaan ijin usaha perkebunan begitu mengemuka seiring dengan begitu mudahnya PT. Bagong Permai Sejahtera melaku-kan pemanfaatan kayu hutan saja dan kemudian melakukan peralihan ijin yang dimiliki. Lemahnya penga-wasan aparat negara yang berwenang terhadap usaha perkebunan sawit di wilayah ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut.

Study Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Bulungan

Pada tahun 2004, masyarakat dusun Sajau mengalami satu konflik dengan sebuah perusahaan sawit yang bernama PT. Bagong Putra Serasi. Ka-sus ini diawali dengan terbitnya izin pengelolaan lahan untuk keperluan penanaman sawit disebuah area hu-tan yang sebagiannya bersinggungan dengan hutan adat yang dihuni oleh masyarakat di Dusun Sajau.

PT. Bagong Putra Serasi me-nyatakan telah mengantongi izin perkebunan sawit dengan besaran luas 20.000 hektar, dan juga telah mengantongi IPK (izin pengelo-laan kayu). Pada satu tahap proses negoisasi antara pihak perusahaan dan masyarakat, disepakati bahwa masyarakat adat akan menerima jika hutan adat yang telah dikolanya selama puluhan tahun tersebut akan digunakan sebagai lahan perkebunan sawit dan akan mendapatkan bagian 20% sebagai pertanian plasma. Dalam perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa pihak masyarakat adat akan meminta dikembalikan haknya atas hutan adat, jika pada saatnya nanti perusahaan tidak melakukan penana-man kebun sawit.

Namun waktu berjalan 3 sam-pai 4 tahun, yang dilakukan oleh PT. Bagong Putra Serasi hanyalah melakukan pembabatan hutan, dan

mengambil kayunya saja. Masyarakat adat kemudian melakukan pengaduan perihal kasus tersebut kepada DPRD Kabupaten Bulungan. Namun dua kali pengaduan dilakukan, tidak pernah ada tindaklanjut dari pihak DPRD atas kasus tersebut. Pemanggilan perusa-haan, pemerintah, ataupun masyara-kat yang melakukan pengaduan tidak pernah dilakukan, apalagi diperte-muan dalam satu forum.

Karena tekanan dari masyarakat, perusahaan kemudian melakukan penyemaian beberapa hektar lahan yang sedianya akan ditanami sawit, namun yang terjadi hanya sekedar penyemaiaan, karena penanaman tidak pernah dilakukan. Dan berbagai alat berat yang dipergunakan untuk penebangan kayu, masih ada diareal lokasi.

Pada tahun 2007, PT. Bagong Putra Serasi mengalihkan izin penge-lolaan lahan tersebut kepada peru-sahaan lain yang bernama PT. Sawit Berkat Sejahtera. Padahal dalam SK Bupati atas PT. Bagong Putra Serasi, tidak diperbolehkan untuk melaku-kan pemindahan atau pengalihan izin kepada pihak perusahaan lain.

Yang cukup mengherankan, lo-kasi yang dialihkan kepada PT. Sawit Berkat Sejahtera tersebut berbeda dengan lokasi PT. Bagong Putra Se-rasi. Lokasi yang menjadi izin dari PT. Sawit Berkat Sejahtera sebesar 9.100 hektar yang lokasinya berada diluar 20.000 hektar yang menjadi lahan pengelolaan PT. Bagong Putra Serasi.

Pemilik perusahaan dari PT. Sawit Berkat Sejahtera adalah pengusaha dari Jakarta, belum diketahui nama dari pemilik perusahaan tersebut. Isu yang beredar di masyarakat men-gatakan bahwa pemilik PT. Bagong Putra Serasi dan PT. Sawit Berkat Sejahtera adalah nama yang sama, hanya perusahaan saja yang berbeda.

Dan sampai dengan saat ini, persoalan tersebut belum mengalami satu perkembangan yang berarti. Perusahaan masih tetap terus berop-erasi, sementara masyarakat adat juga masih tetap memperjuangkan hak-haknya.

Dugaan Praktek Korupsi Sektor Kelapa Sawit di Provinsi Sulawesi

TengahPenelitian investigasi dugaan

korupsi di Sulawesi Tengah difokus-kan di kabupaten Banggai. Pemilihan kabupaten Banggai ini karena ka-bupaten ini merupakan kabupaten yang mengalami perkembangan pesat dalam bidang perkebunan kelapa sawit. Hal ini ditunjukkan dengan se-makin maraknya kemunculan kebun-kebun sawit ataupun pembangunan kilang pengolahan sawit.

Konflik penguasaan lahan antara masyarakat Desa Piondo dan Desa Bukit dengan PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) merupakan konflik yang telah berlangsung lama, konflik agraria ini setidaknya mulai terjadi sejak tahun 1990-1991 ketika PT. BHP mulai melakukan pengukuran terhadap areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikuasainya secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa Piondo, akibatnya banyak tanah milik masyarakat desa Piondo yang diklaim oleh PT. BHP sebagai areal HTI, bah-kan menurut hasil investigasi Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng bahwa tidak kurang dari 184 Ha areal perkebunan milik masyarakat Desa Piondo tumpang tindih dengan areal HTI milik perusahaan.

PT. BHP sendiri adalah peme-gang izin HTI seluas 13.400 Hektar di wilayah Kec. Toili dan Toili Barat berdasarkan SK Menhut Nomor 146/kpts-II/1996, tanggal 4 April ta-hun 1996. PT. BHP juga merupakan perusahaan patungan dari PT. Kurnia Luwuk Sejati milik Murad Husain yang menguasai 60 % saham dengan PT. In-hutani I yang mengusai 40% saham PT. BHP, pada tahun 2007 PT. KLS men-gakuisisi seluruh saham milik Inhutani I. Sementara itu, dari penelusuran dokumen diketahui bahwa IUPHHK Hutan Tanaman Industri untuk PT. BHP adalah dalam status tidak aktif.

PT. BHP sendiri sebelumnya diketahui mendapatkan bantuan dana reboisasi dari pemerintah untuk menanam pohon sengon dan akasia di area hutan tanaman industri itu. Badan Pemeriksa Keuangan dalam Lapoaran Pemeriksaan Tahun 2007 menemukan bahwa PT. BHP masih menunggak pengembalian dana

Rumah Adat di Kampung Sajau yang berkonflik dengan perkebunan sawit

Page 5: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

8 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 9Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Badaruddin, warga Piondo yang menjadi korban perkebunan sawit di Luwuk

LaporanUtama LaporanUtama

reboisasi. Adapun rincian mengenai dana reboisasi PT. BHP:

1. Penempatan Modal Pemerin-tah = 3.566.876.343

2. Pinjaman 0% = 8.280.866.0853. Total Kewajiban Jatuh Tempo

2007 = 11.924.667.744,72. 4. Kewajiban yang sudah dibaya

r = 1.000.000.0005. Total tunggakan = Rp.

10.924.667.744,72Sementara status dari pengembalian dana reboisasi ini adalah Reschedule.

Sejak tahun 2000, petani yang semakin kekurangan tanah mulai melakukan pengambilalihan kembali terhadap tanah-tanah yang diklaim oleh pihak perusahaan. Masyarakat menanami sejumlah tanaman tahu-nan di lahan tersebut. Komoditi yang paling banyak dijumpai adalah kakao, rambutan dan sejumlah tanaman jangka panjang seperti durian. Situasi ini berlangsung berlangsung sampai dengan sekitar tahun 2004.

Pada tahun 2008, PT. BHP mulai

klaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 hektar, yang ditanami Kakao (4.000 ha) dan Kelapa Sawit (2.010 ha). Terkait klaim HGU ini, berdasarkan hasil investigasi FRAS diketahui bahwa PT. KLS telah mengambil alih dan menguasai lahan milik petani secara tidak sah setidak-tidaknya terhadap lahan seluas ± 3000 Ha. Lahan-lahan tersebut sebelumnya adalah milik masyarakat Desa Tou, Moilong, Singkoyo, Benteng Kec. Toili. Tindakan melawan hukum ini telah dilaporkan ke Polres Bang-gai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan Laporan Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/SPK tertanggal 12 November 2009. Atas laporan terse-but, sejak 31 Desember 2009 polisi telah menetapkan Murad Husain sebagai tersangka kasus perkebunan ilegal, namun tidak ditahan. Setelah melalui proses pelimpahan dan pengembalian berkas antara pihak Kepolisian dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Luwuk, pda tanggal 14 April 2012 pihak Kepolisian mengeluarkan

melakukan pengambil-alihan lahan yang sebelumnya telah ditanami dengan bermacam-macam tanaman perkebunan oleh petani Desa Piondo dan selanjutnya secara perlahan-lahan ditanami dengan kelapa sawit. Pengambil-alihan atau penggusuran ini seringkali mendapatkan sokon-gan dari pihak atau oknum aparat kepolisian dan TNI setempat. Petani melakukan protes keras atas aksi penggusuran ini dan melakukan aksi demonstrasi hingga mengadukan tindakan sewenang-wenang PT. BHP ke KOMNASHAM.

Pada tahun 2009 KOMNASHAM melakukan kunjungan langsung ke areal yang menjadi obyek sengketa dan kebeberapa desa lain yang juga menjadi korban tindakan PT. BHP. Selain upaya penyelesaian melalui KOMNASHAM, petani juga melaku-kan upaya-upaya penyelesaian lain melalui Pemda maupun DPRD. Hasilnya kemudian pada akhir tahun 2009 Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai membentik Tim Investigasi dan Advokasi untuk penyelesaian sengketa tersebut. Sementara itu, pengaduan ke KOMNASHAM ditutup setelah terjadi dialog di gedung DPRD pada 18 Agustus 2010.

Aktivitas penggusuran dan pena-naman kelapa Sawit semakin massif dilakukan oleh PT. BHP dan tidak hanya di desa Piondo dan Bukit Jaya tetapi juga meluas hingga wilayah Desa Mekar Sari, Karya Makmur, Makapa dan beberapa desa lainnya. Selain melakukan penggusuran dan penanaman kelapa sawit di areal-areal yang sebelumnya telah dikua-sai petani, Perusahaan juga secara sengaja melakukan penimbunan terhadap jalan-jalan menuju lahan-lahan perkebunan maupun pertanian milik petani pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 dengan dukun-gan atau back-up dari kurang lebih 350 personil aparat TNI yang berasal dari KODIM 1308 Luwuk. Konflik ini terus berlangsung dan kemudian me-nyebabkan 23 orang petani ditangkap dan seorang aktivis bernama Eva Susanti Bande juga ditangkap.

Selain terkait persoalan HTI, sejak tahun 1991 PT KLS juga meng-

Surat Perintah Penghentian Penyidi-kan terhadap Murad Husein karena tidak cukup bukti.

Sementara itu, kawasan suaka margasatwa Bakiriang juga men-galami kerugian akibat masuknya perusahaan sawit ke wilayah suaka. Kawasan Bakiriang ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI melalui Surat Keputusan Menhutbun No.398/Kpts-II/1998, tanggal 21 April 1998. Dalam surat tersebut ditetap-kan bahwa luas kawasan SM Bakiriang adalah 12.500 hektar. Kini hutan yang dihuni burung Maleo tersebut dalam kondisi kritis karena sebagian areanya menjadi perkebunan sawit. Alih fung-si kawasan hutan Bakiriang ini dilaku-kan dengan cara ilegal. Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah, menyebutkan per-ambahan hutan Bakiriang dilakukan masyarakat sejak 2006 dan diduga kuat melibatkan atau disponsori oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Pemerintah Sulawesi Tengah pernah

melakukan relokasi terhadap warga di sekitar kawasan yang melakukan perambahan Bakiriang namun beber-apa tahun kemudian warga tersebut kembali melakukan aktivitas di dalam kawasan Bakiriang dengan menanam sawit yang kemudian dijual warga dengan PT KLS. BKSDA sendiri sudah berupaya meminta PT KLS menghen-tikan kegiatan perkebunan sawit di dalam kawasan. Tetapi hingga saat ini perkebunan sawit di dalam kawasan Bakiriang tetap berlanjut.

Bahwa investigasi awal mengenai praktek korupsi di sektor kelapa sawit menunjukkan indikasi kuatnya dugaan praktek korupsi yang melibatkan juga peran pejabat di dalamnya. Namun kendala yang utama adalah mengenai ketersediaan data-data yang cend-erung minim atau kurang memadai. Bahkan acapkali data-data yang seharusnya milik publik sangat sulkit untuk di dapat atau apabila berhasil didapatpun membutuhkan waktu dan kerja ekstra keras.***

Papan informasi milik PT KLS di Luwuk

Page 6: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

10 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 11Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Satu bulan setelah dilantik sebagai Presiden RI ke-7, aktifis lingkungan menggalang dukun-

gan lewat sebuah petisi yang dituju-kan ke Jokowi. Presiden yang dikenal dengan gaya kerja blusukan tersebut ditantang oleh para aktivis lingkun-gan dan segenap warga masyarakat untuk melakukan blusukan asap.

Lewat tantangan “Blusukan Asap” mereka meminta agar Presiden Jokowi melihat langsung lokasi keba-karan gambut dan hutan di Provinsi Riau. Petisi itu sendiri dilincurkan sejak Selasa, 28 Oktober 2014 lalu. Ada belasan ribu orang menandatan-gani petisi tersebut.

Tantangan ini jelas menunjukkan masalah kabut asap yang disebabkan oleh terjadinya kebakaran (pemba-karan) lahan dan hutan sudah men-jadi persoalan yang sangat kronis dan membutuhkan penanganan segera secara serius oleh pemerintah. Ketika harapan masyarakat begitu besar kepada pemerintahan Jokowi untuk menuntaskan berbagai masalah kronis di Indonesia mulai dari korupsi hingga persoalan kehutanan, maka tantan-

gan ini sejatinya merupakan bentuk kepercayaan masyarakat jika Jokowi mau turun tangan, maka persoalan menahun kebakara hutan dan kabut asap bakal bisa teratasi.

Sang pembuat petisi, Abdul Man-an (41) warga asli Kepulauan Meranti di Riau menegaskan betapa masalah ini sudah menjadi sedemikian genting untuk diatasai. Manan telah menjadi saksi hidup yang bersama warga lain-nya di Riau merasakan asap akibat kebakaran lahan gambut dan hutan yang telah terjadi selama 17 tahun terus-menerus.

“Tahun ini tidak lagi 12 bulan, tetapi hanya sembilan bulan, karena selama tiga bulan kami benar-benar hidup dalam asap dan kabut ,” kata Abdul Manan.

Salah satu penandatangan petisi ini, Wimar Witoelar yang merupakan pendiri yayasan Perspektif Baru mengatakan, kunjungan Jokowi ke Riau akan menjadi kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk memenuhi harapan pendukungnya dan segenap rakyat yang memerlukan kepemimpi-nan yang kuat dan realistis. “Kerja

keras dan respons tepat adalah ciri-ciri yang selalu diandalkan dari Presiden,” ujarnya.

Sementara Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefrie Gideon Saragih mengatakan, blusukan Jokowi ke wilayah kebakaran hutan dan lahan menjadi penting untuk menunjukkan keseriusan presiden-wakil presiden dalam mengambilalih penanganan bencana asap.

“Mengingat ini sudah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, sudah melampaui batas administrasi wilayah provinsi bahkan Negara. Blusukan ini menjadi simbolisasi komitmen Presiden Jokowi untuk menegaskan tanggung jawab negara memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi jutaan rakyat Indone-sia sebagaimana amanah konstitusi,” ujar Jefrie.

Tugas Jokowi dalam menangani masalah kebakaran hutan dan lahan ini mungkin terlihat sangat berat mengingat banyak faktor yang harus ditelaah terlebih dahulu untuk me-nentukan apa saja yang menjadi pe-nyebab masalah ini tak bisa kunjung

dituntaskan selama berpuluh tahun. Sebab persoalan ini tak hanya terjadi di Sumatera saja, khususnya Riau, tetapi juga di Kalimantan.

Hanya saja, partisipasi publik yang cukup tinggi dalam mencari upaya pemecahan atas persoalan ini bisa menjadi faktor yang meringank-an kerja pemerintah.

Dalam konteks ini, beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Sawit Watch, Walhi dan Jikalahari, berhasil membuat pemetaan atas faktor-faktor apa yang menyebabkan kasus-kasus kebakatan hutan terus terjadi dan seolah menjadi kasus yang langgeng tanpa bisa dipecahkan.

Ketiga lembaga tersebut dengan bantuan dari seorang akademisi hu-kum berhasil memetakan enam faktor yang melanggengkan persoalan keba-karan hutan dan lahan di Indonesia.Keenam faktor itu adalah:

1. Pelepasan perizinan bagi perkebunan kelapa sawit dan usaha skala besar lainnya di ekosistem gambut

2. Penegakan dan pengawasan hukum yang belum optimal atas pelaku pembakaran

3. Lempar tanggungjawab atas siapa pelaku pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat dari adanya celah hukum;

4. Ekspansi perkebunan Kelapa sawit adalah salah satu pe-nyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan;

5. Adanya ketimpangan pengua-saan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan;

6. Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan tidak berkol-erasi positif terhadap penanga-nan secara langsung terhadap kejadian kebakaran lahan di konsesi perkebunan kelapa sawit.

Pemetaan dilakukan lewat mengkaji salah satu kasus kejadian kebakaran hutan di Riau yang meli-batkan salah satu perusahaan terke-muka di Indonesia. Pada 9 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, menghukum terdakwa Danesuvaran KR Singam dan terdakwa PT Adei Plantation and

Industry yang diwakili Tan Kei Yoong. Keduanya dihukum karena akibat kelalaian mereka lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 dari 541 hektare pada Juli 2013 yang beraki-bat pada kerusakan lingkungan hidup.

PT Adei Plantation and Indus-try diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana denda Rp1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong. Perusahaan asal Malaysia tersebut juga dihu-kum melakukan pemulihan lahan yang rusak seluas 40 hektare dengan pengomposan menelan biaya Rp15,1 Miliar. Sementara Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, dan denda Rp2 miliar subsider 2 bulan kurungan.

Putusan majelis hakim ini hakim sangat jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Oleh JPU, PT Adei Plantation and Industry dituntut pidana denda Rp5 miliar dan pidana tambahan Rp15,7 miliar. Sementara Danesuvaran KR Singam dituntut hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp5 Miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

Dari analisis terhadap kasus pem-bakaran lahan oleh PT Adei Planta-tion, Sawit Watch bersama Walhi Riau dan Jikalahari berhasil memetakan persoalan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan. Dalam kasus itu, para pihak yang terbukti lalai sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, dijatuhi hukuman yang jauh lebih rendah dari dakwaan jaksa.

Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis yang lebih rendah dari tuntutan jaksa? Dalam kasus ini, ternyata majelis hakim juga menilai pemerintah dae-rah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak men-jalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh.

Selain sebagai regulator, pemer-intah, menurut majelis hakim, juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa AMDAL. BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah

Penyakit Kronis Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan di Sumatera

disetujunya telah dijalankan dengan baik.

Dari pertimbangan hakim inilah, dapat diketahui adanya persoalan lain yang menyebabkan masalah ke-bakaran lahan sulit diatas. Penegakan hukum yang lemah ternyata meru-pakan buah dari kelalaian pemerin-tah baik pusat maupun daerah yang ternyata terlalu mudah mengobral perizinan terutama perizinan untuk lahan sawit di atas ekosistem gam-but.

“Atas putusan ini, kementerian terkait harus mengevaluasi dan memberi sanksi administratif kepada Bupati Pelalawan dan Gubernur Riau karena telah lalai mengawasi AMDAL PT Adei Plantation and Industry, ter-masuk mereview izin usaha perusa-haan,” kata Muslim Rasyid, Koordina-tor Jikalahari.

Meski pemerintah dinilai ikut andil dalam kelalaian ini, dalam kasus ini, putusan yang rendah juga terjadi akibat ketidakcermatan maje-lis hakim dalam membuktikan keba-karan terjadi bukan semata akibat kelalalaian, tetapi juga kesengajaan. “Kami menilai hakim telah gagal membuktikan bahwa lahan terse-but sengaja dibakar bukan karena kelalaiannya. Ini karena hakim tidak memaknai dengan benar scientific evidence,” kata Made Ali dari Riau Corruption Trial.

Data Walhi Riau menyebut, PT Adei Plantation & Industry salah satu anak perusahaan grup Kuala Lumpur Kepong (KLK) bermarkas di Malaysia. Di Indonesia KLK memiliki 17 anak usaha perkebunan kelapa sawit terse-bar di Sumatera dan Kalimantan.

“Kegiatan anak usaha mereka khususnya di Riau kerap merusak gambut berkontribusi pada keru-sakan lingkungan belum lagi lahan yang mereka kelola milik masyarakat adat,” kata Riko Kurniawan.

Buktinya? Riko menyebut tahun 1999, ketika PT Adei mengelola HGU-nya di Desa Batang Nilo Kecil. HGU tersebut tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat tiga persu-kuan Piliang, Melayu, dan Pelabi. “Akhirnya itulah lahan yang dijadikan KKPA. Namun tetap saja yang kelola

LaporanUtama LaporanUtama

Page 7: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

12 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 13Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Petugas pemadam kebakaran bekerja keras memadamkan api yang membakar lahan di areal kebun sawit

Anak-anak menjadi korban dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan

LaporanUtama LaporanUtama

PT Adei,” ujarnya.Gambut yang terbakar di areal

KKPA yang dibakar di areal PT Adei membuktikan perusahaan tidak mam-pu menjaga gambutnya yang memang rawan terbakar. “Ini menambah bukti bahwa kerusakan gambut memang sengaja dilakukan oleh perusahaan,” kata Riko.

“Kami menghimbau kepada Presiden agar turun tangan memper-baiki gambut dengan cara merevisi

izin perusahaan sawit di Riau yang beroperasi di areal gambut,” ujarnya menambahkan.

RSPO (Roundtable on Sustanable Palm Oil) sebagai salah satu lembaga sertifikasi untuk perkebunan sawit berkelanjutan harus menghukum KLK Grup karena terbukti telah melang-gar hukum Indonesia serta prinsip dan kriteria yang ada dalam RSPO. “Kami mendesak agar KLK Grup dikeluarkan dari keanggotaan RSPO karena telah

melakukan praktek bisnis merusak lingkungan hidup,” kata Riko.

Ringannya putusan pemidan-aan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan terha-dap korporasi yang terafiliasi dengan Kuala Lumpur Kepong Group tersebut menambah rentetan panjang keberpi-hakan ‘hukum’ kepada korporasi asal Malaysia ini. Berdasarkan catatan Jikalahari, pada 1 Oktober 2001, PT Adei Plantation & Industry yang diwakili oleh C Goby selaku General Manager yang bertanggungjawab terhadap pembakaran areal perke-bunan kelapa sawitnya yang berada di Kabupaten Kampar dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 250 juta.

Hanya saja putusan yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terdampak asap tersebut, malah diringankan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Riau dengan pidana penjara selama delapan bulan dan denda Rp100 juta. Kesaktian PT Adei Plan-tation ketika berhadapan dengan hukum juga terlihat dari putusan bebas yang dikeluarkan oleh Penga-dilan Negeri Pelalawan terhadap tiga pengurusnya, yaitu Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Singgam terkait dengan perkara Izin Usaha Perkebunan (IUP) illegal yang terungkap ketika penyidikan kasus perkara pembakaran areal perkebu-naannya pada tahun 2013.

Putusan bebas dalam perkara izin usaha perkebunan illegal ini dianggap janggal. Riko mengatakan, maje-lis memutus bebas para terdakwa hanya karena pertimbangan tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ karena alasan kewarganegaraan ketiga terdakwa. “Itu merupakan keputusan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universi-tas Negeri Semarang (Unnes) Bagus Hendradi Kusuma, menilai UU Perke-bunan yang menjadi dasar untuk menuntut ketiga terdakwa dalam kasus IUP ini memiliki cacat yuridis. Khususnya terkait pengaturan soal pertanggungjawaban pidana korpora-si. Akibatnya, penerapan pertang-gungjawaban pidana korporasi pada

UU Perkebunan harus tunduk pada aturan umum sistem induk hukum pidana nasional yang dimuat dalam Buku I KUHP. Dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 103 KUHP.

Selain itu, termaktub pula dalam Pasal 59 KUHP. Pasal itu menentu-kan: “Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melaku-kan pelanggaran tidak dipidana”.

“Ketentuan KUHP mensyarat-kan hanya pengurus korporasi yang terlibat dalam suatu tindak pidana sajalah yang dapat diposisikan sebagai subjek hukum yang harus di-mintakan pertanggungjawabannya,” kata Bagus.

Berdasarkan fakta persidangan diketahui ketiga petinggi PT Adei Plantation, Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Singgam merupakan pengurus korporasi yang bertanggungjawab terhadap pengu-

rusan izin usaha perkebunan kelapa sawit untuk lokasi yang dikelola den-gan pola KKPA antara Koperasi Petani Sejahtera PT Adei Adei Plantation.

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit seluas 540 hektare tidak diser-tai Izin Usaha Perkebunan, bertentan-gan dengan Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan tersebut merujuk pada pada Per-aturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang dalam Pasal 6 mensyaratkan: “Usaha budidaya tanaman perkebu-nan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas lahannya 25 (dua puluh lima) hektare atau lebih wajib memiliki izin”.

Dengan merujuk pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 yang menegaskan perbuatan pidana terkait perizinan perkebunan ini dilakukan secara ber-sama-sama, maka Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Sing-gam memiliki peranan dalam setiap

proses perizinan yang tidak mereka lakukan. Sehingga tidak beralasan apabila majelis hakim dalam perkara tersebut mengenyampingkan aturan umum baik sebagai pelaku maupun turut melakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Bagus menambahkan, rumusan Jaksa Penuntut Umum dikemu-dian hari patut mempertimbangkan penggunaan Pasal 55 ayat (2) KUHP mengenai uitlocker (penganjur) untuk menjerat pengurus korporasi, apa-bila didalam suatu rumusan aturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit sistem pertanggung-jawaban pidana korporasi.

“Dengan melihat salah satu con-toh kasus di provinsi Riau, ini meru-pakan bentuk nyata bahwa ketegasan hukum bagi perusahaan pelaku pembakaran belumlah sekuat yang diharapkan, harapannya ada upaya tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakaran lainnya,” kata Bondan Adrianyu, Departemen Kampanye Sawit Watch.***

Page 8: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

14 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 15Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Indonesia sebagai negara agraris, masih diliputi oleh permasalahan konflik sumber daya alam/agraria. Tingginya konflik ini disebabkan oleh adanya ketimpa-

ngan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi ber-basis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) dengan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skala besar perkebunan, kehuta-nan dan pertambangan, dan penguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat).

Konflik yang ada sebagian telah menyebabkan ter-jadinya Kekerasan. Pengambil-alihan lahan masyarakat loka/adat bagi kepentingan dunia bisnis diwarnai dengan tindakan-tindakan kekerasan. Keterlibatan para pre-man terorganisir dan aparat negara dalam pengamanan unit bisnis menambah intensitas kekerasan yang dialami oleh masyarakat tersebut. Implikasi ikutan dari konflik tanah antara masyarakat adat/lokal dengan dunia bisnis seringkali berujung pada tindakan penangkapan dan pemidanaan oleh aparat kepolisian dan pengadilan ketika kekerasan tidak sanggup menghentikan tuntutan masyara-kat.Tuduhan kriminal kepada mereka seringkali meng-gunakan aturan-aturan pidana yang multitafsir. Patut diduga, tindakan pengkriminalan ini dimaksudkan untuk

mengintimidasi, agar penguasaan lahan mereka oleh du-nia bisnis menjadi mudah. Kendati konflik terus mening-kat, upaya-upaya serius pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang ada masih belum menunjukkan langkah yang serius, bahkan cendrung seperti sengaja dipelihara. Dunia bisnis cendrung ber-lindung dibalik penegakan hukum yang buruk. Masyarakat yang menjadi korban konflik tidak memiliki pijakan dan mekanisme yang mendukung mereka dalam penyelesaian konflik sumber daya alam.

Konflik sumber daya alam terjadi bukan melulu karena benturan kepentingan para pihak dalam praktik dilapangan, melainkan dipicu oleh kebijakan negara yang memang belum mengakomodir secara serius klaim penge-lolaan sumber daya alam secara adat atau tradisional oleh berbagai komunitas lokal yang hingga kini masih mewarisi tradisi penguasaan lahan secara turun temurun baik indi-vidual maupun komunal. Pola penguasaan dan pemilikan ini memang tidak sama dengan standar hukum pertana-han formal yang didasarkan atas sertifikat kepemilikan, akibatnya terjadi benturan serius hukum positif dengan hukum adat/turun temurun/tradisional masyarakat dalam mengelola hutan tanah.

Sikap pemerintah terhadap keberadaan pola penge-lolaan adat terhadap sumber daya alam, bahkan semakin

Konflik agraria harus segera dihentikan dengan membentuk badan penyelesaian konflik agraria

Darurat Darurat

jauh meninggalkan realita yang masih hidup di masyara-kat di berbagai pelosok negeri ini. Cerminan ini terlihat jelas dalam struktur arahan pemanfaatan ruang dari tingkat nasional hingga kabupaten yang berorientasi per-tumbuhan ekonomi dengan cara mengalokasikan ruang-ruang untuk kepentingan investasi berbasis sumber daya alam skala luas dan monokultur, seperti perkebunan sawit dan hutan tanaman industri sebagai bahan baku industri bubur kertas dan kertas.

Industri perkebunan dan kehutanan inilah yang ketika menjalankan operasi di lapangan akan berha-dapan langsung dengan masyarakat yang masih memegang teguh warisan pola penguasaan dan pemilikan sumber daya alam secara adat/turun-temurun/tradisional. Jadi dunia bisnis pada dasarnya juga menjadi korban kebi-jakan, yang dalam praktiknya juga menjadikan celah-celah buruknya sistem perundangan sebagai cara-cara menaklukkan masyarakat yang menuntut haknya.

Sepanjang 2014, sektor perkebunan berkontribusi be-sar atas maraknya praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Berdasarkan catatan KPA, sektor perkebunan menempati urutan kedua setelah sektor pem-bangunan infrastruktur dalam konflik agraria yang ber-langsung selama 2014. Berdasarkan catatan Sawit Watch, konflik di sektor perkebunan mencapai tak kurang 717 konflik. Konflik ini meliputi konflik lahan, kemitraan dan lingkungan. Umumnya konflik di sektor perkebunan sawit berlangsung dengan melibatkan perusahaan perkebunan, masyarakat adat dan lokal, aparat keamanan dan pasukan paramiliter binaan perusahaan. Trend konflik perkebunan terus meningkat.

Dari data tersebut di atas, sekitar 59% dari 1.000 pe-rusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Sawit Watch sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabu-paten. Totalnya ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Ka-limantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.

Berdasarkan data Sawit Watch, trend konflik di sektor perkebunan sawit terus meningkat bisa dilihat dari sejak 2007 dimana terjadi 514 konflik, kemudian pada 2008 ter-jadi 576 konflik, trus meningkat pada 2009 dimana terjadi 604 konflik, pada 2010 tercatat 608 konflik, pada 2011 ada 668 konflik, pada 2012 terjadi 679 konflik dan pada 2013 tercatat 680 konflik. Konflik-konflik di sektor perke-bunan sawit melibatkan sejumlah pemain besar seperti PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group dan perusahaan plat merah PTPN.

***Konflik agraria itu dengan demikian bersifat struc-

tural yang berakar pada politik dan kebijakan agraria yang etatistik, otoritarian, kapitalistik dan sektoral, yang semakin lama semakin berakibat pada terciptanya kon-

sentrasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan peman-faatan tanah dan sumber daya alam di satu pihak, dan di pihak lain semakin banyaknya rakyat yang kehilangan hak atau akses atas tanah, sumberdaya alam, dan wilayah hidup. Hidup dalam situasi konflik agrarian struktural itu mengancam keselamatan rakyat, produktifitas yang menurun, kerusakan lingkungan hidup yang menyulitkan, dan kesejahteraan yang merosot.

Pendekatan legal formal yang mengedepankan hukum positif juga kerap ditempuh. Pendekatan keamanan bah-kan pendekatan kekerasan masih menjadi modus utama pemerintah dalam menangani konflik agraria. Namun, pendekatan semacam ini bukannya menyelesaikan akar masalah, melainkan menambah dan memperparah keadaan. Pemerintah seringkali hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran yang mengambil tindakan jika kon-flik sudah meledak, meluas dampaknya,memakan kor-ban, dan terutama jika konflik itu sudah menjadi sorotan publik.Selama ini tidak ada penyelesaian konflik agraria struktural yang benar-benar mengurus akar masalahnya.

Diperlukan cara baru untuk mendapatkan hasil baru, yakni agar kasuskasus konflik agraria itu bisa selesai se-cara “adil dan beradab”. Memang, Presiden Joko Widodo telah membentuk susunan kabinet, termasuk didalam-nya dengan pembentukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkun-gan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral – yang ketiganya berwenang menge-luarkan ijin-ijin, hak-hak pemanfaatan dan bentuk-bentuk penguasaan (lisensi-isensi) atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah, yang dapat menjadi penyebab dari konflik-konflik agraria.

Masing-masing kementerian dan lembaga ini memiliki mekanisme-mekanisme tersendiri yang secara sektoral berada di tugas pokok dan fungsi masing-masing kement-erian dan lembaga untuk mengurus konflik-konflik agraria.Namun,karena masalah konflik-konflik agraria sudah bersi-fat extra-ordinary, baik dalam konteks besar,luasan dan skala konfliknya (Mulyani dkk 2004), maka Presiden musti turun tangan langsung mengurus penyelesaiannya secara menyeluruh, lintas sektoral dan tuntas.

Presiden RI sebagai kepala pemerintahan perlu membentuk suatu mekanisme nasional untuk menangani konflik-konflik agraria yang kronis dan meluas itu secara adekuat. Hal ini merupakan pelaksanaan rekomendasi quick win yang dihasilkan oleh Tim Transisi Jokowi-JK, dan merupakan langkah menghadirkan Negara untuk memenuhi hak-hak warga negara. Tentunya hal ini akan menjadi penanda baru bagi rakyat yang menjadi korban-korban dan terus berjuang agraria bahwa Negara hadir untuk memerdekakan mereka yang dikriminalisasi dan mereka yang hak atau aksesnya atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya diabaikan, dianggap ilegal, dan ditiadakan secara paksa.***

Mendorong Pembentukan Badan Penyelesaian Konf l ik Agrar ia

Page 9: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

16 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 17Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Konsumsi minyak sawit di eropa untuk kebutuhan bahan bakar kendaraan meningkat 3 kali

lipat sejak 2006. Peningkatan kon-sumsi minyak nabati dari kelapa sawit ini diprediksi akan berkontribusi terhadap penghancuran hutan tropis di Indonesia, memperluas dan me-langgengkan konflik sosial, dan serta meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Merujuk pada data yang dikelu-arkan jurnal International Institute for Sustainable Development (IISD), 9 September 2013, mengungkapkan bahwa 80% dari konsumsi kelapa sawit di negara-negara Uni Eropa antara tahun 2006 hingga tahun 2012 tersebut terkait erat dengan produksi bahan bakar minyak (biofuel). Kebi-jakan uni eropa terkait penggunaaan bahan bakar yang bersumber pada sumber energi terbarukan adalah sumbu pemicu bagi peningkatan konsumsi minyak sawit tersebut. Na-mun penggunaan minyak sawit untuk keperluan lain seperti kosmetik dan pangan nyaris tidak terjadi pening-katan.

Secara keseluruhan konsumsi kelapa sawit di 27 negara Uni Eropa

melonjak 41% dari 4,51 juta ton di tahun 2006 menjadi 6,38 juta ton di tahun 2012. Kebutuhan kelapa sawit untuk bahan bakar minyak kendaraan bermotor naik pesat sekitar 365% dari 402.000 ton menjadi 1,87 juta ton.

Belanda memimpin dalam meng-konsumsi minyak sawit di eropa. Terjadi peningkatan sekitar 9500% dari 5.000 ton menjadi 480.000 ton sepanjang periode ini. Jerman men-duduki urutan kedua terbesar dalam mengkonsumsi minyak sawit, sekitaer 300.000 metrik ton di tahun 2012, diikuti oleh Italia 220.000 ton, Span-yol 200.000 ton dan Finlandia 200.000 ton. Hanya Inggris yang cukup rendah dalam mengkonsumsi minyak sawit pada periode tersebut.

Temuan dalam laporan ini menyarankan agar produsen kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia membuat terobosan penting untuk melayani pasar bahan bakar di Eropa ini. Uni Eropa sendiri telah mewajib-kan setidaknya 10% dari pasar bahan bakar minyak di Eropa untuk trans-portasi sudah memenuhi persyaratan energi terbarukan di tahun 2020. Namun rencana ini akan memotong

target tersebut hingga setengahnya, dan membatasi jumlah biodiesel ber-basis tanaman yang bisa diproduksi.

Harga kelapa sawit saat ini masih tergolong tinggi, namun jika terjadi penurunan harga komoditi ini akan memungkinkan membuka pasar baru untuk minyak berbasis nabati, yang biasanya digunakan untuk memasak. Lalu lemak yang biasa digunakan untuk makanan olahan, sabun dan kosmetik dan kebutuhan industri lain-nya. Hingga saat ini, tingginya harga kelapa sawit membuat konversi ke biodiesel menjadi pilihan yang tidak menarik, namun jika harga kelapa sawit bisa turun hingga 40% maka penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar menjadi sebuah pilihan menarik.

Minyak sawit yang membanjiri pasar eropa tersebut sebagaian besar berasal dari Indonesia. Jika digabung dengan Malaysia, maka sekitar 85% kelapa sawit berasal dari kedua nega-ra bertetangga ini. Minyak sawit yang melesat ke angkasa sebagai salah satu komoditi paling menjanjikan secara ekonomi ini mempunyai kisah kelam dibaliknya. Minyak sawit yang

gurih tersebuh sebagai besar dihasil-kan dari hasil ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Hutan tropis dan lahan pangan dikorbankan untuk dita-nami pohon palem dari Afrika terse-but. Hutan yang dibongkar tersebut adalah rumah bagi jutaan satwa dan lahan gambut yang menyimpan jutaan ton karbon tak luput dari sasa-ran ekspansi kebun sawit. Selain itu, jutaan komunitas adat dan lokal ma-sih menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan. Ini adalah ancaman nyata bagi peradaban manusia.

Massifnya perluasan kebun sawit tersebut merupakan ancaman besar bagi keberlanjutan ekologi dan masa depan bangsa. Hal ini yang mendasari aktivis lingkungan untuk melakukan gerakan menolak perluasan perke-bunan sawit. Terkait hal ini, Friends of Earth Eropa, mendesak agar Uni Eropa menurunkan konsumsi minya sawitnya.

“Kelapa sawit menyebabkan deforestasi dalam jumlah masif, hilangnya satwa-satwa liar, konflik masyarakat, dan mempercepat pe-rubahan iklim,” ungkap Juru Kampa-nye Biodiesel Friends of Earth Eropa, Robbie Blake dalam pernyataannya. “Menjadi sebuah tanda bahaya meli-hat penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar kendaraan di Eropa yang meroket, dan akan terus bertambah, kecuali mereka melakukan pem-batasan. Para pengendara secara diam-diam sudah dipaksa untuk men-gisi bahan bakar yang sudah meng-hancurkan hutan tropis, masyarakat adat dan iklim.”

Beberapa NGO lingkungan di Indonesia juga melakukan aksi menekan Negara-negara uni eropa agar menurunkan konsumsi min-yak sawit mereka. Caranya dengan menekan penggunaan bahan bakar biodiesel di Eropa. Hal ini tentunya akan mengurangi konflik sosial di Indonesia.

Organisasi masyarakat sipil di negara-negara selatan telah me-nyaksikan pengembangan kebijakan biofuel di Eropa dengan rasa ce-mas. Peningkatan yang besar dalam permintaan minyak sawit di Eropa meningkatkan deforestasi, peram-

pasan tanah, dan konflik di Indonesia. Permintaan biofuel harus ditutup dan dikurangi jika Eropa hanya akan menyebabkan masalah bagi orang-orang Indonesia yang terkena dampak perluasan perkebunan kelapa sawit.

Data dari Greenpeace mengung-kapkan bahwa sekitar seperempat dari deforestasi di Indonesia antara tahun 2009 hingga 2011 disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Greenpeace juga menekankan perusahaan-perusahaan untuk mem-perketat kebijakan mereka untuk membeli kelapa sawit dari penyuplai mereka yang tidak menebang hutan alam dan lahan gambut demi perke-bunan baru.

Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan akibat dari perkemban-gan lahan kelapa sawit ini memaksa sejumlah pelaku industri untuk bertindak. Namun kendati sudah ada lembaga yang bertugas memberi koridor ramah lingkungan terhadap proses produksi kelapa sawit, yaitu RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), namun sejumlah kalangan seperti Sawit Watch, Friends of Earth di Eropa dan Greenpeace menilai bahwa penegakan aturan di dalam organisasi ini masih terlalu lemah.

Sementara itu, sebagian besar

Benua Biru Mengancam Kelestarian Hutan Indonesia

Wajah perkebunan sawit di Kalimantan Tengah

Opini Opini

kelapa sawit masih dikonsumsi di negara-negara yang tidak terlalu peduli dengan standar ramah lingkun-gan, seperti Indonesia, India, Cina, Malaysia dan Pakistan. Akibatnya dampak sertifikasi terhadap kelapa sawit hanya terbatas pada pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat, dan hal ini membuat isu sawit yang ramah lingkungan sulit untuk dilakukan.

Jika Negara-negara eropa tidak segera menurunkan konsumsi minyak sawitnya, maka dapat dipastikan kehancuran hutan tropis akan men-jadi keniscayaan. Hal ini disebabkan berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi – JK dibidang pengelolaan sumber daya alam. Salah satuny adalah rencana menghidupkan kem-bali program pembukaan kawasan perbatasan untuk perkebunan sawit. Dan juga adanya inisiatif pemerintah untuk mendistribusikan lahan seluas 9 juta hektar. Sebuah program populis yang terkesan pro rakyat, namun jika tidak diantisipasi maka distribusi la-han seluas 9 juta hektar tidak sampai ke rakyat. Ada kekhawatiran bahwa lahan yang didistribusikan tersebut sebagai besar akan diberikan ke peru-sahaan sawit.***

Page 10: Tandan Sawit No 3 Maret 2015

18 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 19Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Maret 2015 |

Praktek pengelolaan perkebunan sawit secara berkelanjutan sudah diterapkan oleh petani

sawit di Riau. Model pengelolaan perkebunan berkelanjutan oleh warga Desa Dosan, Kabupaten Siak ini men-jawab keraguan berbagai kalangan, khususnya pemerintah, yang seakan tak rela jika pengelolaan perkebunan sawit diserahkan ke petani. Hingga kini, pemerintah lebih condong memberikan kemudahan dan fasili-tas ke perusahaan perkebunan skala besar daripada ke petani. Berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan keberpihakan ke perusahaan sawit skala besar. Sementara ke petani cen-derung pengabaian. Tak ada satupun kebijakan yang bertujuan melindungi petani-petani sawit. Ada banyak alasan yang dikemukakan, termasuk alasan bahwa pengelolaan sawit oleh petani cenderung merusak lingkungan dan tidak berkelanjutan.

Tidak ada keberpihakan dari pemerintah terhadap petani ini adalah sumber permasalahan dari ra-tusan konflik-konflik yang berlangsung antara petani dengan perusahaan perkebunan sawit.

Lantas seperti apa sistem pen-gelolaan perkebunan berkelanjutan oleh petani di Desa Dosan tersebut? Bukan main-main sistem pengelo-laan mereka. Bahkan Menteri Per-tanian era Presiden SBY, Suswono melakukan kunjungan ke Desa Dosan pada 10 Januari 2013. Dengan mata kepala sendiri, Mentan menyaksikan bagaimana masyarakat Dosan mener-apkan praktik pengelolaan perke-bunan sawit secara berkelanjutan dengan mengutakan aspek ekologi. Masyarakat Dosan memaksimalkan potensi lahan yang ada tanpa harus melakukan ekspansi ke kawasan hutan. Masyarakat Dosan juga telah berkomitmen untuk tidak mene-bang sisa hutan di desanya. Setelah menjadi saksi inisiatif tersebut dan berbincang di perkebunan sawitnya, Menteri Suswono memberikan apr-esiasi positif atas apa yang dilakukan masyarakat Dosan dan ornop pen-dukung seperti Perkumpulan Elang, Jikalahari yang mendukung inisiatif tersebut.

Mentan memberikan apresiasi atas upaya yang dilakukan petani dari Desa Dosan tersebut. Karena apa

yang dia saksikan adalah fakta bahwa perkebunan sawit dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini sangat baik untuk melaku-kan kampanye positif atas tudingan bahwa perkebunan sawit selama ini dikelola dengan cara-cara yang merusak lingkungan dan menciptakan konflik agraria berdarah-darah. Pada-hal, perkebunan sawit jika dikelola dengan partisipatif dan berbasis pada keadilan sosial dan kesejahteraan petani maka hasilnya akan baik. Pendapatan petani naik dan hutan terjaga kelestariannya.

Tentu harapannya bahwa sistem pengelolaan yang dilakukan petani di Riau tersebut bisa menjadi contoh bagi daerah lain, bagaimana mem-bangun kelapa sawit bagi pening-katan ekonomi masyarakat, tetapi juga terintegrasi dengan sistem yang ramah lingkungan. Sehingga peman-faatan lahan gambut ini tidak hanya bisa diamanfaatkan oleh masyarakat tetapi juga penting untuk pemeli-haraan alam secara berkelanjutan.

Jangan Mengorbankan Hutan Dan Lahan Gambut Demi Kebun Sawit

Kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan peruba-han iklim dengan dua cara. Pertama, menggunduli dan membakar hutan melepaskan karbondioksida ke atmosfir dan kedua, wilayah hutan yang berfungsi sebagai penyer-ap karbon berkurang. Peran mereka dalam mengatur iklim sangat penting sehingga jika kita terus menghancurkan hutan tropis, maka kita akan kalah dalam memerangi pe-rubahan iklim. Hutan adalah rumah bagi keanekaragaman hayati dunia -- jutaan binatang dan tumbuhan. Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung kepada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.

Sementara itu lahan gambut terbentuk ketika genan-gan air menghambat pembusukan bahan organik - ke-banyakan vegetasi - dan terkumpul selama ribuan tahun. Secara global, gambut menyerap 25-30% emisi karbond-ioksida setiap tahunnya dan tanahnya mengandung 1.200 kali lebih banyak karbon dibandingkan pepohonan.

Ketika gambut dikeringkan, cadangan karbon bereaksi dengan oksigen di atmosfir. Lahan gambut yang kering sangat mudah terbakar, memiliki resiko yang tinggi dan api yang terus membara di dalam tanah akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Lahan gambut Indonesia, menutupi permukaan bumi sebesar 0,1 persen, namun dengan mengeringkan lahan gambut dan membakarnya telah menyumbang 4 persen emisi global per tahun, menjadikan Indonesia menjadi negara ketiga terbesar penyumbang emisi.

Lahan gambut mengandung 20 persen sumber air ta-war dunia, berperan penting dalam mengatasi kekeringan dan pencegahan terhadap banjir. Gambut tropis adalah hunian bagi keanekaragaman hayati, keunikannya (terma-suk medannya yang sulit) sering membuat lahan gambut jarang diteliti.

Desa Dosan terletak di ujung wilayah lahan gam-but Kampar. Luasnya yang mencapai ribuan hektar dan kedalaman lahan gambutnya bisa mencapai 15 meter, menjadikan Kampar sebagai wilayah lahan gambut yang terbesar dan paling terancam di dunia.

Bagi warga Desa Dosan, Hutan dan lahan gambut se-lalu menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Sehingga alasan kebutuhan dan prioritas melestarikan hutan menjadi sama pentingnya, karena hutan memberi mereka karet, rotan, makanan dan kayu. Mereka yang dahulunya pernah mengabaikan hutan, saat ini lebih bijaksana dalam mengelola perkebunan kelapa sawit dan buktinya mereka memiliki kualitas hidup yang lebih baik sekarang. Siklus kehidupan mereka telah sempurna. Tidak ada lagi kemiskinan di desa mereka.

Pengembangan Kebun Sawit Secara BerkelanjutanCerita pengembangan perkebunan sawit oleh pet-

ani di Desa Dosan dimulai pada awal tahun 2000-an. Saat itu Pemerintah Kabupaten Siak bekerjasama den-gan dengan perusahaan sawit milik negara, merancang skema perkebunan rakyat untuk petani sawit. Skala yang dikembangkan kecil, dan pengelolaannya diserahkan ke beberapa koperasi masyarakat lokal. Sejak tahun 2008,

penduduk Desa Dosan telah mengelola perkebunan secara mandiri, keuntungannya dapat diperoleh kembali oleh desa mereka, serta menyediakan juga lapangan peker-jaan bagi penduduk Dosan. Dengan dukungan LSM lokal Elang, perbaikan praktik pengelolaan telah meningkatkan produksi panen dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Skema perbaikan pengelolaan ini terbilang sukses sehingga bisa menjadi acuan untuk pengelolaan lahan gambut di Indonesia.

Terdapat solusi lokal di sektor kelapa sawit yang juga mampu melindungi hutan dan memberi keuntungan se-cara sosial dan ekonomi. Komunitas lokal adalah penjaga hutan dan lingkungan – nasib mereka lah yang diperta-ruhkan dan mereka sangat bergantung kepada ekosistem yang berfungsi secara sehat. Di sisi lain, mereka memberi contoh bagaimana menanam kelapa sawit dengan kontrol lokal secara menyeluruh menguntungkan bagi masyara-kat dan lingkungan serta membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Dimana lahan gambut telah dikonversi dapat dikelola dengan baik untuk menjaga kualitas dan kuantitas air, mengurangi dampak pada kubah gambut dan mengurangi emisi.***

P r a k t e k P e n g e l o l a a n K e b u n B e r k e l a n j u t a n o l e h P e t a n i S a w i t

Cerita dari kampung

Mentan era SBY saat berkunjung ke Desa Dosan

KabarWilayah KabarWilayah