Surimi_Anastasya_13700084_B2 Unika Soegijapranata

download Surimi_Anastasya_13700084_B2 Unika Soegijapranata

of 15

description

Praktikum Surimi kloter B diadakan pada hari Senin tanggal 14 September 2015 hingga Selasa tanggal 15 September 2015 di laboratorium Rekayasa Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata, bersamaan dengan bab Kecap Ikan dan Kitin-Kitosan. Asdos yang menjaga pada hari itu adalah Michelle Darmawan, Tjan Ivana Chandra dan Yusdhika Bayu S. Praktikum dimulai pada pukul 15.00 hingga 17.00.

Transcript of Surimi_Anastasya_13700084_B2 Unika Soegijapranata

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:Nama: Anastasya GumelarNIM: 13.70.0084Kelompok: B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015Acara I2

1.

2. MATERI DAN METODE1.1. Materi1.1.1. AlatAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kain saring, pisau, penggiling daging, dan freezer.

1.1.2. BahanBahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir, polifosfat, esbatu.

1.2. Metode

RUMUS :LuasAtas = LA= 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )LuasBawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )Luas Area Basah = LA - LBMg H2O =

1

2. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan pembuatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan SurimiKel.PerlakuanHardnessWHC(mgH2O)Sensori

KekenyalanAroma

B1Daging ikan giling + sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%.129,74280917,72++++

B2Daging ikan giling + sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%.292,02218185,65++++++

B3Daging ikan giling + sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%.112,7318565,40+++

B4Daging ikan giling + sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%.151,29303858,12++++

B5Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam 5% + polifosfat 0,5%.134,31301219,49++

Keterangan:KekenyalanAroma+= tidak kenyal+= tidak amis++= kenyal++= amis+++ = sangat kenyal+++= sangat amis

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa penambahan sukrosa dan polifosfat dengan konsentrasi yang berbeda akan mempengaruhi produk surimi yang dihasilkan dari segi jumlah mgH2O atau WHC (Water Holding Capacity) dan kualitas sensori yang meliputi kekenyalan dan aroma. Nilai WHC yang terbesar terdapat pada kelompok B3 dengan penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat pada daging ikan giling. Nilai WHC terendah terdapat pada kelompok B2 dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat pada daging ikan giling. Sedangkan dari segi kualitas sensori kekenyalan dan aroma, produk surimi yang memiliki kekenyalan yang paling tinggi adalah daging ikan giling dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat pada kelompok B2 serta daging ikan giling dengan penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,5% polifosfat pada kelompok B4. Produk surimi yang memiliki aroma paling amis adalah daging ikan giling dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat pada kelompok B2.

3. PEMBAHASANProduk surimi merupakan daging lumat/giling yang telah dibersihkan dan dicuci secara berulang-ulang sehingga hampir seluruh komponen bau, pigmen, darah, dan lemak dapat hilang/terbuang. Pada penerapannya, surimi disimpan dalam bentuk beku dengan penambahan bahan antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al., 1999). Surimi beku dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan perbedaan kandungan garamnya yaitu surimi mu-en (surimi tanpa penambahan garam) dan surimi ka-en (surimi dengan penambahan garam), selain itu dikenal pula surimi na-na (surimi yang masih mentah dan tidak mengalami tahap pembekuan) (Suzuki, 1981). Pada dasarnya hampir semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi hanya saja ikan berdaging putih, tidak berbau seperti lumpur dan tidak begitu amis serta mempunyai kemampuan pembentukan gel yang maksimal yang akan menghasilkan produk surimi dengan kualitas yang baik (Peranginangin et al., 1999).

Dalam praktikum ini digunakan daging ikan bawal sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi ka-en karena terdapat penambahan garam selama proses pembuatan surimi (Winarno, 1993). Pada umumnya, surimi dapat diolah menjadi berbagai macam produk yang sering disebut dengan fish jelly product seperti bakso, otak-otak, pempek dan lain-lain (Flick et al., 1990). Komponen kimia utama yang terdapat dalam daging ikan bawal adalah air, protein kasar dan lemak. Komponen ini berpengaruh besar terhadap sifat, nilai nutrisi, kualitas sensori dan stabilitas selama penyimpanan daging. Kandungan lainnya seperti karbohidrat, vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit, bagian ini juga berperan dalam menentukan nilai nutrisi, sifat sensori, dan penampakan produk secara keseluruhan (Sikorski, 1990).

Langkah awal yang dilakukan adalah ikan bawal dicuci dan dagingnya dipisahkan dari kulit/sisik, sirip, ekor, organ dalam, dan tulang-tulangnya. Kemudian daging ikan bawal yang sudah bersih ditimbang sebanyak 100 gram dan dihaluskan menggunakan blender dengan penambahan es batu untuk menjaga temperatur agar tetap rendah. Daging ikan yang telah dihaluskan kemudian dicuci dengan air es sebanyak tiga kali menggunakan kain saring. Daging ikan giling yang telah dicuci kemudian diberi perlakuan yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok. Perlakuan pertama adalah daging ikan giling ditambah dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok B1 dan B2); 5% (kelompok B3 hingga B5); garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok; dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok B1); 0,3% (kelompok B2 dan B3); 0,5% (kelompok B4 dan B5). Daging ikan giling yang telah diberi perlakuan kemudian diaduk hingga rata dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibekukan di dalam freezer selama satu malam. Keesokan harinya surimi yang telah beku dithawing terlebih dahulu di dalam refrigerator kemudian diukur nilai WHC dan kualitas sensorinya yang meliputi kekenyalan dan aroma yang diuji menggunakan panelis. Sedangkan pengukuran WHC dilakukan dengan mengukur jumlah mgH2O menggunakan milimeter block dan rumus sebagai berikut :

Cara kerja tersebut sesuai dengan metode yang digunakan oleh Shimazamaninejad (2013) di mana pembuatan surimi diberikan penambahan garam sebanyak 2,5% dan selama proses diusahakan daging ikan dalam kondisi suhu rendah yaitu dengan menambah es batu pada saat daging ikan diblender. Hal ini salah satunya bertujuan agar kualitas daging ikan dapat dipertahankan dalam suhu rendah serta meningkatkan kekuatan gel.

Selama proses pembuatan surimi faktor yang menjadi penentu utama adalah suhu air yang digunakan untuk mencuci daging dan proses penggilingan daging ikan itu sendiri. Suhu air yang digunakan untuk mencuci daging sangat menentukan karena adanya kandungan protein larut air yang akan hilang selama proses pencucian yang nantinya akan berpengaruh pada karakteristik kekuatan gel yang terbentuk. Jika suhu air yang digunakan lebih tinggi dari 15C akan menyebabkan semakin banyak protein larut air yang akan terbuang bersama dengan air. Surimi akan memiliki kekuatan gel terbaik jika daging ikan yang telah digiling dicuci dengan air yang suhunya berkisar antara 10C-15C (Schwarz dan Lee, 1988). Adanya penambahan garam selama proses leaching akan mempercepat penghilangan air dari daging ikan yang telah digiling/dihaluskan (Ditjen Perikanan Tangkap, 1990). Selain untuk mempercepat proses penghilangan air, fungsi yang paling utama dari garam adalah untuk melepas miosin yang ada pada serat ikan, hal ini sangat penting untuk mencapai kekuatan gel yang maksimal (Hosseini et. al., 2015).

Selain suhu air yang digunakan selama pencucian, kesegaran ikan juga akan menentukan kualitas dari produk surimi yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh Jafarpour (2012), proses pengolahan dan penyimpanan produk surimi dapat mempengaruhi kualitas. Kualitas gel surimi dapat ditingkatkan dengan penambahab zat aditif protein, dengan memanfaatkan mikroba transglutaminase dan dapat juga dengan dilakukannya pencucian yang akan meningkatkan kekuatan gel surimi. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan selama praktikum, yaitu dilakukan pencucian menggunakan suhu dingin secara berulang-ulang.

Berdasar Standar Nasional Indonesia (1992), ada beberapa syarat bahan baku dalam pembuatan surimi, yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari bau yang dapat mengidentifikasikan adanya pembusukan, tidak ada tanda-tanda dekomposisi serta pemalsuan produk, bebas dari faktor-faktor lain yang dapat mengurangi mutu dari produk, dan yang terpenting tidak membahayakan kesehatan manusia. Secara organoleptik bahan baku harus memiliki karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya memiliki rupa dan warna yang bersih dengan warna daging spesifik dengan jenis ikan, bau yang segar, daging yang elastis dan kompak serta rasa yang netral sampai agak manis. Jika dibandingkan dengan standar yang ada maka hasil pengamatan yang diperoleh ada yang telah sesuai dengan standar yang ada karena aroma dari produk surimi yang dihasilkan tidak amis pada perlakuan daging ikan giling yang ditambah dengan 5% sukrosa; 2,5% garam; 0,3% dan 0,5% polifosfat dan ada juga hasil pengamatan yang belum sesuai karena surimi yang dihasilkan memiliki aroma yang sangat amis yaitu pada perlakuan daging ikan giling ditambah dengan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat.

Dari hasil pengamatan yang ada pada Tabel 1 maka dapat dilihat adanya variasi hasil yang diperoleh hal ini dapat terjadi karena adanya perlakuan atau penambahan bahan tambahan dalam konsentrasi yang berbeda. Selama pembuatan surimi ikan bawal ini ditambahkan tiga macam bahan tambahan yaitu sukrosa, garam dan polifosfat. Winarno et al. (1980) mengatakan, bahan tambahan tersebut sengaja ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu untuk meningkatkan kualitas surimi yang dihasilkan. Bahan pertama yang ditambahkan adalah sukrosa, sukrosa merupakan salah satu jenis bahan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi untuk menghambat proses denaturasi protein selama proses pembekuan dan penyimpanan beku karena dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air oleh ikatan hidrogen. Sukrosa sebagai cryoprotectant akan meningkatkan kemampuan air sebagai pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein serta dapat menstabilkan protein (Agustini et. al., 2008). Dalam praktikum kali ini digunakan adalah sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 2,5% (kelompok B1 dan B2) dan 5% (kelompok B3, B4, dan B5). Bahan kedua yang ditambahkan pada daging ikan giling adalah garam. Tujuan utama ditambahkannya garam adalah untuk melepaskan miosin yang ada pada serat ikan dan hal ini sangat penting dalam pembentukan gel. Disamping itu garam juga digunakan sebagai bumbu penyedap rasa atau untuk meningkatkan aroma jika garam digunakan dalam jumlah yang cukup tinggi akan mengakibatkan perubahan citarasa dari surimi yang dihasilkan sehingga tidak perlu ditambahkan dalam jumlah yang terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan tahapan penambahan garam yang dilakukan selama praktikum, yaitu sebesar 2,5% dari daging ikan giling untuk setiap kelompok kecil.

Bahan ketiga yang ditambahkan adalah polifosfat dengan konsentrasi 0,1% (Kelompok B1); 0,3% (Kelompok B2 dan B3) dan 0,5% (Kelompok B4 dan B5). Polifosfat dalam praktikum ini bertujuan untuk memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Gabungan antara miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air sehingga dapat menahan mineral dan vitamin. Selain itu dengan ditambahkannya polifosfat akan meningkatkan nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi terutama dalam sifat elastisitasnya. Meskipun polifosfat bukan merupakan cryoprotectan tetapi polifosfat tetap perlu ditambahkan untuk memperbaiki kemampuan daya ikat air/water holding capacity (WHC). Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2 % hingga 0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). Sedangkan dalam praktikum ini polifosfat ditambahkan dari range 0,1-0,5%.

Selama praktikum pembuatan surimi menggunakan ikan bawal ini dilakukan pengujian pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap water holding capacity surimi. Kelompok B1 dan B2 menggunakan sukrosa dengan konsentrasi 2,5% sedangkan kelompok B3 sampai B5 menggunakan sukrosa dengan konsentrasi 5%. Sedangkan untuk garam yang digunakan, semua kelompok menggunakan konsentrasi garam yang sama yaitu sebanyak 2,5%. Menurut Wiguna (2005), semakin besar konsentrasi cryoprotectant atau sukrosa yang ditambahkan dalam pembuatan surimi maka kemampuan pengikatan air (water holding capacity) akan semakin meningkat. Dari hasil pengamatan praktikum ini, pada kelompok B1 dan B2 hasil kemampuan water holding capacity pada surimi dengan penambahan sukrosa konsentrasi 2,5% menunjukkan hasil WHC yang lebih kecil dibandingkan surimi dengan penambahan sukrosa 5%. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada.

Selama proses pembuatan surimi juga ditambahkan garam, sehingga surimi yang dihasilkan merupakan surimi jenis ka-en karena adanya penambahan garam dalam konsentrasi tertentu hal ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Suzuki (1981). Penambahan garam dapat menurunkan jumlah air dalam adonan daging ikan giling dari surimi dan dapat memacu pembentukan gel yang elastis dan fleksibel. Menurut Shimizu et al. (1994), biasanya dalam pembuatan surimi, konsentrasi garam yang digunakan adalah 2 hingga 3% karena bila terlalu berlebih akan menimbulkan rasa asin yang kuat. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan selama praktikum, tidak ada perbedaan konsentrasi garam yang diberikan pada daging ikan giling, akan tetapi seluruh daging ikan giling ditambahkan garam sebesar 2,5%. Konsentasi tersebut masih dalam batas yang cukup untuk membuat protein miofibril larut sehingga akan memberikan adonan surimi yang elastis dan fleksibel.

Selain adanya penambahan garam dan sukrosa, pada pembuatan surimi juga ditambahkan polifosfat yang bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan surimi. Menurut Tan et al. (1988), polifosfat tidak tergolong dalam senyawa cryoprotectant, namun sering ditambahkan dalam proses pembuatan surimi untuk meningkatkan daya ikat air (water holding capacity) selain itu juga dapat meningkatkan kelembutan pada adonan surimi. Menurut Toyoda et al.(1992), jumlah polifosfat yang ditambahkan akan berpengaruh pada tekstur surimi sehingga surimi menjadi lebih lembut dan lebih kenyal. Berdasarkan teori yang ada maka seharusnya semakin banyak polifosfat yang ditambahkan maka kekenyalan dari produk surimi juga semakin meningkat. Hal ini kurang sesuai dengan hasil pengamatan bahwa penambahan polifosfat sebanyak 0,3% dapat memberikan tingkat kekenyalan yang cukup tinggi. Jika dibandingkan antara nilai WHC dengan tingkat kekenyalan maka semakin tinggi nilai WHC maka seharusnya semakin rendah tingkat kekenyalannya yang dikarenakan tingginya jumlah air (mgH2O) yang ada di dalam surimi (Fogaca et. al., 2013).

4.

5. KESIMPULAN

Kualitas surimi yang baik adalah tidak terlalu amis, memiliki kemampuan gel yang baik, tingkat kekenyalan/elastisitas yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah kesegaran ikan, suhu penyimpanan, suhu pencucian daging ikan. Surimi ka-en diproduksi dengan penambahan garam pada konsentrasi 2,5%. Cryoprotectant yang digunakan adalah sukrosa yang dapat menghambat proses denaturasi protein pada produk surimi. Semakin besar konsentrasi sukrosa maka kemampuan WHC (water holding capacity) semakin besar. Penambahan polifosfat bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan surimi. Jumlah polifosfat yang digunakan akan mempengaruhi tekstur surimi sehingga surimi menjadi lebih lembut. Selama pencucian daging ikan giling sebaiknya menggunakan air dengan suhu yang relatif rendah untuk menghindari hilangnya protein larut air yang berlebihan. Proses pencampuran dan pengadukan antara daging ikan giling dengan bahan tambahan akan menentukan efektivitas dari bahan tambahan.

Semarang, 26 September 2015Praktikan,Asisten Dosen Yusdhika Bayu S.

Anastasya Gumelar(13.70.0084)6. DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen Perikanan] Direktorat Jenderal Perikanan. (1990). Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat JenderalPerikanan, Departemen Pertanian.

Agustini, Tri Winarni; Y.S. Darmanto and Danar Puspita Kurnia Putri. (2008). Evaluation on utilization of small marine fish to produce surimi using different cryoprotectective agents to increase the quality of surimi. Journal of Coastal Development. Vol. 11: 131-140.

Flick GJ, Barna MA, Enriquez LG. (1990). Processing finfish. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, editor. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.

Fogaca Fabiola et. al. (2013). Optimization of The Surimi Production From Mechanically Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface Methodology. Journal of Food Quality ISSN 1745-4557.

Hosseini-Shekarabi et. al. (2015). Effect of Heat Treatment on The Properties of Surimi Gel From Black Mouth Croaker (Atrobucca nibe). International Food Research Journal 22(1): 363-371 (2015).

Jafarpour A, Hajiduon HA, Rez aie M. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. J Food Process Technol 3:190. doi:10.4172/2157-7110.1000190.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi PengolahanSurimi.Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Schwarz MD, Lee CM. (1988). Comparison of The Thermostability of Redhake and Alaska Pollack Surimi During Processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 1351.

Shimazamaninejad, Bahare Shabanpour dan Ali Shabani. (2013). Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Farmed Common Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). World Journal of Fish and Marine Sciences 5 (5): 533-539, 2013.

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Sikorski ZE. (1990). Seafood: Resources, Nutritional Composition andPreservation. Florida: CFC Press Inc, Boca Ratan.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Ltd.

Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.

Wiguna, A. N. (2005). Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

7. LAMPIRAN6.1. Perhitungan Rumus perhitungan WHC (mg H2O):

Perhitungan WHC Kelompok B1

Perhitungan WHC Kelompok B2

Perhitungan WHC Kelompok B3

Perhitungan WHC Kelompok B4

Perhitungan WHC Kelompok B5

6.2. Laporan Sementara6.3. Diagram Alir6.4. Abstrak Jurnal