Kitin Kitosan_anna Paramita E_13.70.0170_b5_ Unika Soegijapranata
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
239 -
download
2
description
Transcript of Kitin Kitosan_anna Paramita E_13.70.0170_b5_ Unika Soegijapranata
CHITIN DAN CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Anna Paramita E
NIM : 13.70.0170
Kelompok B5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum chitin dan chitosan ini yaitu oven, blender, ayakan,
peralatan gelas, hotplate
1.1.2. Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah limbah udang, HCl 0,75N;
1N dan 1,25 N serta NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Deasetilasi
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin Chitosan
Kelompok PerlakuanRendemen KitinI (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
B1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00
B2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%36,00 29,40 -
B3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%31,82 50,00 50,00
B4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%28,00 22,22 19,23
B5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%28,57 20,00 -
Berdasarkan hasil pengamata di atas dapat diketahui ada 3 jenis perlakuan yang berbeda tiap
kelompoknya. Pada hasil nilai % rendemen kitin I tertinggi terdapat pada kelompok B2, yaitu
sebesar 36% dan terendah pada kelompok B4 sebesar 28%. Pada % rendemen kitin II dan
nilai tertinggi terdapat pada kelompok B3 yaitu sebesar 50% milai terendah pada kelompok
B5 sebesar 20%. Dan pada rendemen kitosan kelompok B2 dan B5 tidak diperoleh hasil.
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini akan mengisolasi kitin dan kitosan dari limbah kulit udang. Kitin dapat
diisolasi dari kulit udang yang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%), dan
kalsium karbonat (45%-50%) (Marganof, 2003). Kulit udang memiliki kandungan kitin yang
cukup tinggi dan mudah didapatkan maka kulit udang menjadi sumber potensial pembuatan
kitin dan kitosan. Kitin kitosan bersifat biomaterial dan fleksibel. Padahal 20-30% limbah
dari limbah kulit udang mengandung senyawa chittin yang dapat diubah menjadi chitosan.
Dalam isolasi kitin dan kitosan dari kulit udang terdiri 3 tahapan yaitu demineralisasi,
deproteinasi dan deasetilasi. Pada tahapan demineralisasi dalam pembuatan kitin kitosan dan
untuk menghilangkan garam anorganik atau kandungan mineral yang terdapat pada kitin
terutama kalsium karbonat (CaCO3). Proses demineralisasi CaCO3 akan bereaksi dengan
asam klorida dan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut di
dalam air. Dan bagian residu yang tidak dapat larut dalam air merupakan senyawa kitin.
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin dengan reaksi hidrolisa dari amida oleh basa. kitin
bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basan. Diawali dengan terjadi reaksi adisi,
dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus
CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu kitosan (Bastaman, 1989).
Pada tahap demineralisasi, mula - mula limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan. Kemudian dicuci kembali dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan
lagi. Selanjutnya dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
Lalu dicampur dengan HCl (10:1) untuk HCl 0,75 N (Kelompok B1 & B2), HCl 1 N
(Kelompok B3 & B4), dan HCl 1,25 N (Kelompok B5). Selanjutnya diaduk selama 1 jam dan
dipanaskan pada suhu 90°C selama 1 jam. Kemudian dicuci hingga mencapai pH netral, lalu
dikeringkan suhu 80°C selama 24 jam.
Metode demineralisasi dalam praktikum ini sesuai dengan teori Prasetyo (2006), limbah
cangkang udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di bawah sinar matahari hingga
kering. Kemudian dicuci dalam air panas sebanyak dua kali, lalu direbus selama 10 menit
ditiriskan dan keringkan. Bahan yang telah kering digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-
60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida 1 N dengan perbandingan 10:1 (pelarut
dibandingkan dengan kulit udang) dan diaduk sekitar 1 jam. Lalu dibiarkan sebentar dan
dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai
pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam atau
dijemur sampai kering.
Dalam tahap ini dilakukan pencucian yang berulang kali yang bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang masih menempel sehingga tidak mencemari ektraksi kitin
(Bastaman, 1989). Selian itu penambahan HCl dengan konsentrasi tertentu untuk
menghilangkan kotoran atau mineral yang masih terkandung dalam bahan. Sebelum
mengekstraksi kitin, mineral yang terkandung dalam bahan harus dipisahkan karena kulit
udang mengandung mineral sekitar 30-50 % dari berat kering. Komposisi utama pada kulit
udang yakni kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Komponen tersebut dapat dilarutkan dalam
asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman, 1989). Perlakuan
pemanasan pada suhu 90oC untuk mempercepat proses perusakan mineral, dan kandungan
mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat dalam cangkang kulit udang akan hilang.
Selama pemanasan juga dilakukan pengadukan untuk menghindari terbentuknya gelembung-
gelembung selama proses demineralisasi (Puspawati & Simpen, 2010). Berdasarkan teori
Hendry (2008), selama proses pemisahan mineral akan terbentuk gas CO2 dalam bentuk
gelembung udara saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Namun pada kulit udang,
gelembung udara yang terbentuk relatif lebih sedikit. Tahapan pencucian hingga pH netral
untuk menghilangkan protein yang diikat oleh Na+ (No, 1989).
Setelah tahapan dimineralisasi dilanjutkan tahapan deproteinasi. Pada tahap deproteinasi
untuk melarutkan protein yang terdapat dalam bahan. Pertama-tama hasil (tepung) dari proses
demineralisasi dicampur NaOH (6:1), lalu diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu
90°C selama 1 jam. Setelah itu disaring dan didinginkan. Kemudian residu dicuci sampai pH
netral dan dikeringkan suhu 80°C selama 24 jam hingga dihasilkan kitin. Penambahan NaOH
untuk melarutkan protein yang masih berada pada bahan dan dapat meningkatkan rendemen
kitin (Puspawati & Simpen, 2010). Penambahan NaOH dalam praktikum ini tidal terlalu
besar karena mencegah terjadinya deasetilasi. Bila penambahan larutan NaOH dengan
konsentrasi dan suhu tinggi dapat menyebabkan kitin terdeasetilasi. Menurut Suptijah (2004)
menambahkan bahwa apabila konsentrasinya terlalu kecil, maka reduksi gugus protein akan
berjalan kurang sempurna, sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat terjadi degradasi struktur
protein.
Tahap terakhir yakni deasetilasi yakni tahap pembentukan kitosan dari kitin. Hal ini sesuai
dengan Robert (1992), bahwa proses ekstraksi kitosan terdiri dari tiga tahap, yaitu
deproteinasi, demineralisasi (pembuatan kitin) dan deasetilasi. Tahap deproteinasi dan
demineralisasi akan menghasilkan senyawa kitin, sedangkan tahap deasetilasi akan merubah
kitin menjadi kitosan. Jadi proses pembuatan kitin pada praktikum ini berlangsung sampai
tahap deproteinasi, kemudian pembuatan kitosan pada tahap deasetilasi.
Langkah yang dilakukan pada proses deasetilasi yang pertama adalah kitin yang sudah jadi
ditambahkan dengan NaOH 40% (Kelompok B1 & B2), 50% (Kelompok B3 & B4), dan 60%
(20:1) (Kelompok B5) sambil diaduk 1 jam pada suhu 90°C lalu didiamkan 30 menit. Residu
yang diperoleh kemudian dicuci hingga mencapai pH netral, dan dioven pada suhu 70°C
selama 24 jam lalu dihasilkan kitosan.
Penambahan NaOH dengan konsentrasi 40%-60% untuk menghidrolisis kitosan dengan
bantuan penggunakan larutan basa. Hal ini didukung teori dari Hirano (1989), kitosan
memiliki struktur kristal panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil,
sehingga pada proses deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan
konsentrasi berkisar antara 40-50% dan suhu yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan
kitosan. Penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu lebih tinggi, kitin dapat
terdeasetilasi. Sehingga proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang
memiliki derajat deasetilasi tinggi. Hal ini dikarenakan gugus fungsional amino mensubtitusi
gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin aktif. Menurut Zainoha et al., 2012
perlakuan basa kuat dan panas dapat menyebabkan hilangnya gugus asetil dalam kitin akibat
pemutusan ikatan antara gugus asetil dari gugus N-asetil dalam gugus amin.
Pada hasil pengamatan rendemen kitin I diketahui bahwa pada perlakuan ditambah HCl
0,75N, NaOH 40% pada kelompok B1 menghasilkan rendemen I sebesar 30,00% dan B2
menghasilkan 36,00%. Pada perlakuan ditambah HCl 0,75N, NaOH 50% pada kelompok B3
menghasilkan rendemen I sebesar 31,82% dan B4 menghasilkan 28,00%. Dan pada perlakuan
ditambah HCl 0,75N, NaOH 50% pada kelompok B5 menghasilkan rendemen I sebesar
28,57%. Dari hasil tersebut dapat diketahui semakin tinggi konsentrasi HCl, maka rendemen
kitin yang dihasilkan akan semakin sedikit. Namun ini tidak sesuai dengan teori yang ada,
seharusnya pada demineralisasi kandungan mineral pada kitin terutama kalsium karbonat
dapat terhilang. Semakin besar konsentrasi HCl maka garam mineral pada kitinyang hilang
akan semakin besar pula (Hargono & Djaeni, 2003). Pernyataan tersebut juga didukung oleh
Johnson & Peterson (1974) semakin tinggi konsentarsi HCL, akan semakin mudah serbuk
udang melepaskan mineral dan semakin banyak rendemen yang dihasilkan.
Pada tahapan deproteinasi didapatkan hasil berupa rendemen II pada tiap – tiap kelompok
berbeda. Pada kelompok B3 memiliki rendemen II paling besar yaitu 50,00% dan kelompok
B5 memiliki rendemen II paling kecil yaitu 20,00%. Namum pada hasil rendemen II pada
kelompok B2, B4 dan B5 mengalami penurunan dan pada kelompok B1 dan B3 mengalami
peningkatan. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada, bahwa hasil rendemen kitin dari
deproteinasi akan lebih rendah daripada hasil rendemen kitin yang telah mengalami
demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Tingginya hasil rendemen II dapat diakibatkan proses
deproteinasi yang tidak sempurna. Hal ini diakibatkan masih adanya kitin yang terbawa air
saat penetralan dan penyaringan, proses demineralisasi yang tidak optimal sehingga
menghambat proses deproteinasi. Tahapan deproteinasi dengan NaOH akan mengoptimalkan
penghilangan mineral dan protein pada kitin, sehingga rendemen kitin yang dihasilkan dapat
mengalami penurunan (Fennema, 1985).
Hasil rendemen kitosan diketahui pada kelompok B2 dan B5 tidak didapatkan rendemen
kitosan. Pada kelompok B3 memiliki rendemen kitosan paling tinggi dan hasil yang sama
dari rendemen II. dan kelompok B1 dan B4 memiliki hasil rendemen 25% dan 19,23% yang
mengalami penurunan. Pada B3 dan B4 seharusnya memiliki hasil yang relatif sama karena
perlakuannya sama. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi akibat pada tahap pencucian ada
sebagian sampel yang masi tersisa pada kain saring tidak ikut tertimbang atau ada sebagain
sampel yang ikut terbawa air saat proses pencucian dilakukan. Penggunaan konsentrasi
larutan NaOH yang tinggi akan memberi hasil akhir kitosan dengan nilai rendemen yang
lebih tinggi (Puspawati & Simpen, 2010).
Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa hasil rendemen kitosan B1 dengan
konsentrasi 40% lebih rendah dari B3 dengan konsentrasi 50%. Pada kelompok B5 tidak
dapat hasil rendemen kitosan dikarenakan rendemen yang dihasilkan habis. Hal ini terjadi
karena saat proses demineralisasi dan deproteinasi sampel meledak dan bahan yang tersisa
tinggal sedikit sehingga tidak ada kitosan yang tertinggal. Sedangkan pada kelompok B2
tidak dapat dihasilkan rendemen kitosan karena dalam tahapan deasetilasi salah dalam
menambahkan larutan NaOH sehingga tidak dapat terbentuk rendemen kitosan. Hasil kitin
dan kitosan memiliki warna yang kecoklatan dan berbentuk serbuk. Seharusnya kitin dan
kitosan memiliki warna putih, keras, tidak elastis dan tidak larut air. Ketidak kesesuain ini
akibat saat pemanasan suhu yang digunakan terlalu tinggi dan sampel meledak sehingga
menjadi gosong. Serta kitin dan kitosan yang didapatkan memang tidak dapat larut dalam air.
Menurut jurnal Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and
Chitosan (Jolanta, 2010). Kitin dan kitosan sering digunakan secara komersial karena tinggi
akan nitrogen (6,89%) bersifat biokompatibilitas, biodegradabilitas, non-toksisitas dan
kemampuan dalam serapan. Sifat utama kitosan memiliki kandunagn gugus amino yang
tinggi. Saat ini kitosan digunakan dalam makanan, kosmetik, pengolahan limbah air,
biomedis dan serat industri. Tingkat kelarutran dari kitosan tergantung dari tingkat N-
asetilasi. Metode umum untuk mengisolasi kitin dari kerang Crustacea melibatkan sejumlah
langkah seperti mencuci, grinding dan pengayakan kerang mentah, serta demineralisasi
(penghapusan kalsium karbonat di encer asam asam) dan deproteinisasi dengan NaOH atau
KOH. Penggunaan hidrolisis enzimatik untuk deproteinisasi dan mikroorganisme untuk
kedua demineralisasi dan deproteinisasi. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa biodegradasi
dari kitin dan kitosan sering dimanfaatkan dalam bidang pangan karena tidak beracun,
bersifat antimikroba, sebagai pengklat dan absorbsi, serta memiliki kemampuan untuk
membentuk lapisan film (A. S. Wieczorek, et al., 2014 dalam jurnal Microbial responses to
chitin and chitosan in oxic and anoxic agricultural soil slurries).
Dalam penelitian Murat, 2014 dikatakan bahwa kandungan kitin dari kelelawar sebesaer 28%
dari berat kering, sedangkan kitosan sebesar 22% dari berat kering. Padahal kitin dalam
Crustacea seperti udang, udang, kepiting dan lobster yang seing digunakan mengandung kitin
sebesar 15 – 25% dari berat kering. Dari penelitian itu kandungan kitin pada kelelawr lebih
banyak dibandingkan Crustacea. Namum penggunaan kitin dari kelelawar terlalu sulit karena
bahan bakuny sendiri sulit didapatkan dibandingkan dengan Crustacea yang tersedia banyak.
Dikatakan bahwa kitosan mampu untuk menghapus kandungan tanin dan untuk deacidify
pada ekstrak kopi, clarification pada minuman seperti anggur, bir dan jus buah. Untuk
turunan dari kitosan dapat digunakan kromatografi pertukaran ion, kromatografi khelasi,
tekanan tinggi kromatografi cair, kromatografi gel dan kromatografi lapis tipis (Jothi, 2013
dalam jurnal Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia
prashadi Winckworth, 1936).
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat dibuat dari kulit udang.
Proses pengolahan chitin menjadi chitosan akan melewati 3 tahap utama yaitu
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Demineralisasi untuk menghilangkan kandungan mineral yang ada dengan
menggunakan asam kuat seperti HCl.
Deproteinasi untuk menghilangkan kandungan protein yang berikatan dengan chitin
dengan menggunakan basa kuat seperti NaOH.
Deasetilasi untuk mengubah chitin menjadi chitosan.
Konsentrasi basa yang lebih tinggi memberi hasil akhir kitosan dengan nilai
rendemen yang lebih rendah.
Keberhasilan pembuatan kitosan yakni jenis bahan baku, proses ekstraksi kitin dan
pembuatan kitosan yang meliputi suhu, waktu dan konsentrasi alkali.
Aplikasi kitin dan kitosan dalam industri pangan sebagai sumber makanan dan
sumber nutrisi, pengawet makanan, filtrasi dan penjernihan jus buah, antioksidan.
Pemberian HCl bertujuan untuk melarutkan mineral-mineral yang ada.
Semakin tinggi konsentrasi HCl, jumlah rendemen kitin yang diperoleh akan
semakin rendah.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH, jumlah rendemen kitosan yang diperoleh akan
semakin tinggi.
Semarang, 2 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Tjan, Ivana Chandra
Anna Paramita E
13.70.0170
5. DAFTAR PUSTAKA
A. S. Wieczorek, S. A. Hetz, and S. Kolb. 2014. Microbial responses to chitin and chitosan in oxic and anoxic agricultural soil slurries. Journal of Biogeosciences. Vol 11, 3339–3352. Germany.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shells. Journal of Aeronautical and Chemical Engineering Vol 2(10):188-297.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hargono, S dan Haryani, D. 2008. Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta
Hargono, S dan Haryani, D. 2008. Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta
Hendry, J. 2008. Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. http://www.fmipa.unila.ac.id/prosiding2. Diakses tanggal 29 September 2013.
Hendry, J. 2008. Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. http://www.fmipa.unila.ac.id/prosiding2. Diakses tanggal 29 September 2013.
Hirano. 1989. Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan In.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Johnson dan Peterson, K. 1974. Chitosan As An Edible Invisible Film for Quality Preservation of Herring and Atlantic Cod. International Journal of Agricultural and Food Chemistry 50 (18): 5167-5178.
Jolanta Kumirska , Małgorzata Czerwicka, Zbigniew Kaczyński, Anna Bychowska , Krzysztof Brzozowski, Jorg Thöming, and Piotr Stepnowski. 2010. Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Journal of Marine Drugs ISSN 1660-3397 Vol (8), 1567-1636.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 5 November 2012.
Murat Kaya, Osman Seyyar, Talat Baran and Tuncay Turkes. 2014. Bat Guano As New and Attractive Chitin and Chitosan Source. Turkey.
N. Jothi and R. Kunthavai Nachiyar. 2013. Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 8 (2): 33-39, ISSN 2078-466X
Prasetyo, K.W. 2006. UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Zainoha Zakaria, Zatil Izzah, Mohammad Jawaid, and Azman Hassan. 2012. Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal Stability and Compatibility of Chitosan-Polyamide Blend. BioResources 7(4), 558-5580.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Kelompok B1
Rendemen Kitin I=30,00 %Rendemen Kitin I= 3 gram10 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=34,88 %Rendemen Kitin II=1,5 gram4,3 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=25,00%Rendemen Kitosan=0,5 gram2,0 gram
×100 %
Kelompok B2
Rendemen Kitin I=36,00 %Rendemen Kitin I= 4,5 gram12,5 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=29,4 %Rendemen Kitin II=0,5 gram1,7 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=0%Rendemen Kitosan=0 gram0 gram
×100 %
Kelompok B3
Rendemen Kitin I=31,82 %Rendemen Kitin I=3,5 gram11 gram
× 100 %
Rendemen Kitin II=50,00 %Rendemen Kitin II=1,5 gram3 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=50,00 %Rendemen Kitosan=0,1 gram1 gram
× 100 %
Kelompok B4
Rendemen Kitin I=28 %Rendemen Kitin I= 3,5 gram12,5 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=22,22 %Rendemen Kitin II= 1 gram4,3 gram
× 100 %
Rendemen Kitosan=19,23 %Rendemen Kitosan=0,5 gram2,6 gram
×100 %
Kelompok B5
Rendemen Kitin I=28,57 %Rendemen Kitin I= 3 gram10,5 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=20 %Rendemen Kitin II=0,5 gram2,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitosan=0%Rendemen Kitosan= 0 gram0,5 gram
×100 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal