Kitin Fixx

22
1 1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, beaker glass, kain saring, timbangan analitik, kertas lakmus, termometer, gelas ukur, pengaduk, dan hot plate. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25N, NaOH 3,5%; 40%; 50%; 60%. 1.2. Metode Demineralisasi 1 Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl Kemudian dipanaskan pada suhu 90 o C selama 1 jam. Lalu dicuci sampai pH netral. Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan

Transcript of Kitin Fixx

Page 1: Kitin Fixx

1

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, beaker

glass, kain saring, timbangan analitik, kertas lakmus, termometer, gelas ukur, pengaduk,

dan hot plate.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan

1,25N, NaOH 3,5%; 40%; 50%; 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

1

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Page 2: Kitin Fixx

2

Deproteinasi

2

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 3: Kitin Fixx

3

Deasetilasi

3

Kitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 4: Kitin Fixx

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan mengenai kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

B1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00

B2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%36,00 29,40 -

B3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%31,82 50,00 50,00

B4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%28,00 22,22 19,23

B5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%28,57 20,00 -

Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa kulit udang diberi

perlakuan yang berbeda. Rendemen kitin I tertinggi diperoleh kelompok B2 sebesar

36,00% dengan perlakuan penambahan HCl 0,75 N dan NaOH 40%, sedangkan

rendemen terendah diperoleh kelompok B4 sebesar 28,00% (HCl 1 N dan NaOH 50%).

Rendemen kitin II tertinggi diperoleh kelompok B3 sebesar 50,00% dengan perlakuan

penambahan HCl 1 N dan NaOH 50%, sedangkan rendemen terendah diperoleh

kelompok B5 sebesar 20,00% dengan perlakuan penambahan HCl 1,25 N dan NaOH

60%. Rendemen kitosan tertinggi diperoleh kelompok B3 sebesar 50,00% dengan

perlakuan penambahan HCl 1 N dan NaOH 50%. Sedangkan kelompok B2 dan B3

tidak mendapatkan hasil rendemen kitosan.

4

Page 5: Kitin Fixx

5

3. PEMBAHASAN

Kitin dapat diekstrak dari kerangka luar dari Crustacea seperti udang, kepiting, prawn,

dan crayfish (kaya et al., 2014). Menurut Zakaria et al. (2012), kitin dapat diubah

menjadi kitosan dengan cara menghilangkan gugus asetil menggunakan larutan

konsentrat natrium dioksida. Deasetilasi dari kitin menjadi kitosan yaitu dengan

menghidrolisis glukosamin dengan kitosanase (Wieczorek et al., 2014). Kitin tidak

dapat larut dalam air dan pelarut organik. Kitin hanya mampu larut dalam N,N-

dimethylacetamide (DMAc)-LiCl, heksafluoroasetone atau heksafluoro-2-propanol.

Ketika kadar N-asetilasi kurang dari 50% maka kitin menjadi larut dalam larutan asam

(pH < 6) yang kemudian akan disebut sebagai kitosan (Kumirska et al., 2010).

Cangkang udang mengandung kitin sebesar 20-50% dari berat keringnya (Suhardi,

1993). Kitin memiliki karakkteristik berwarna putih, berbentuk padatan amorf (kristal),

dan biodegradable oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase (Peter, 1995).

Kitosan bersifat anti bakteri, biokompatibel, pengkelat, bioaktif, dan dapat terbiodegrasi

(Knorr, 1984). Kemampuan kitosan menghambat bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi

pelarutan kitosan (Cahyaningrum et al., 2007). Kitin beserta turunannya dapat

digunakan sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi dalam bidang

pangan (Suhardi, 1993). Kitosan mampu menghilangkan tannin dan deacidify di ekstrak

kopi sehingga digunakan dalam industry kopi, wine, bir, jus buah, dan lain-lain (Jothi &

Nachiyar, 2013). Kitosan dapat digunakan enkapsulasi bahan makanan aktif dan

immobilisasi enzim (Zhao et al., 2011).

Metode dalam praktikum kitin dan kitosan ini telah sesuai dengan pernyataan Rokhati

(2006) yaitu dilakuannya 3 tahapan proses yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan

deasetilasi. Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral terutama kalsium

karbonat (CaCO3) pada cangkang udang. Mula-mula limbah udang dicuci dengan air

mengalir dan dikeringkan, kemudian dicuci di dalam air panas dua kali dan dikeringkan

kembali. Pencucian dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan pengotor

dalam limbah udang. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sisa air pencucian

(Roger, 1986). Kemudian limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak

5

Page 6: Kitin Fixx

6

dengan ayakan 40-60 mesh. Penghancuran bertujuan untuk memperbesar luas

permukaan serbuk, sehingga kontak dengan senyawa pelarut dapat berlangsung

sempurna (Lay, 1994). Setelah itu ditambahkan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N dengan

perbandingan 10:1. Penambahan asam encer seperti asam sulfat, asam laktat, atau asam

klorida dapat melarutkan komponen mineral sehingga dapat mengurangi kandungan

mineral dalam limbah udang (Bastaman, 1989). Lalu larutan dipanaskan selama 1 jam

pada suhu 90oC sambil diaduk. Menurut Laila & Hendri (2008), pengadukan bertujuan

untuk meratakan serbuk dalam larutan HCl dan mencegah terjadinya peluapan

gelembung gas CO2 yang dihasilkan dari proses demineralisasi. Pemanasan pada suhu

90oC bertujuan untuk mempercepat proses perusakan mineral dalam cangkang kulit

udang (Puspawati & Simpen, 2010). Larutan kemudian dicuci sampai pH netral dan

dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam. Setelah itu dihitung rendemen kitin I.

Pencucian larutan sampai pH netral bertujuan untuk menetralkan larutan kitin yang

semula dalam kondisi asam karena penambahan HCl. Pengeringan dengan oven

bertujuan untuk menguapkan sisa air pada produk kitin (Roger, 1986).

Metode selanjutnya adalah deproteinasi. Menurut Rokhati (2006), deproteinasi

merupakan proses penghilangan protein menggunakan larutan basa NaOH. Setelah

tepung yang dihasilkan dari proses demineralisasi dikeringkan, kemudian dicampur

dengan NaOH 3,5% (6:1) lalu dipanaskan pada suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam.

Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan protein pada kitin dari hasil tahap

demineralisasi (Reece & Mitchell, 2003). NaOH dapat memperbesar volume dari

partikel substrat dan menghidrolisis gugus asetil pada kitin yang menyebabkan ikatan

antar komponen merenggangkan sehingga kitin mengalami deasetilasi dan berubah

menjadi kitosan. Pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein sehingga

memudahkan pemisahan protein (Suharto,1984). Sedangkan pengadukan dapat

meratakan dan mengefisienkan proses denaturasi protein oleh larutan NaOH karema

proses pemanasan dan pengadukan akan mengkonsentrasikan NaOH (Ramadhan et al.,

2010). Setelah itu residu disaring dan didinginkan. Residu kemudian dicuci sampai pH

netral serta dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam, dari proses ini akan dihasilkan

kitin. Pendinginan bertujuan untuk mengendapkan kitin sehingga kitin tidak terbuang

ketika proses pencucian. Pencucian hingga pH netral berfungsi untuk menetralkan kitin

Page 7: Kitin Fixx

7

yang bersifat basa karena penambahan NaOH, serta pencegahan degradasi kitin selama

pengeringan akibat adanya kandungan gugus amino bebas. Pengeringan bertujuan untuk

menguapkan sisa air pada produk kitin (Roger, 1986).

Tahap ketiga yaitu deasetilasi. Deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari

kitin, dimana gugus asetamida pada kitin akan digantikan dengan gugus amino dengan

menggunakan NaOH (Muzzarelli, 1997). Derajat deasetilasi merupakan parameter mutu

kitosan yang menunjukkan banyaknya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari

rendemen kitosan maupun kitin (Knoor, 1982). Deasetilasi dilakukan dengan cara kitin

ditambah larutan NaOH 40%, 50%, dan 60% (20:1), sambil diaduk selama 1 jam dan

didiamkan selama 30 menit. Larutan NaOH bersifat alkali dapat menghidrolisis ikatan

gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin melalui proses deasetilasi dari gugus

asetamida sehingga menjadi gugus amina, sehingga menghasilkan rendemen kitosan

yang semakin besar (Ramadhan et al., 2010). Kemudian diaduk selama 1 jam dan

didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan 90oC selama 1 jam sambil diaduk.

Pengadukan dapat meratakan pemanasan dari derajat deasetalasi kitosan. Semakin

tinggi suhu, maka derajat deasetilasi kitosan juga semakin meningkat dan pH juga

semakin basa (Reece dan Mitchell, 2003). Setelah itu disaring dan residu dicuci

menggunakan air sampai pH netral, lalu dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam dan

dihasilkan kitosan. Pencucian hingga pH netral berfungsi untuk menetralkan kitin yang

bersifat basa karena penambahan NaOH. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan air

yang tertinggal dari proses pencucian serta dapat dihasilkan produk kitosan yang

berbentuk kering (Rogers, 1986).

Berdasarkan hasil pengamatan, kulit udang diberi perlakuan yang berbeda pada tiap

kelompok. Rendemen kitin I merupakan rendemen hasil proses demineralisasi.

Rendemen kitin I tertinggi diperoleh kelompok B2 sebesar 36,00% dengan perlakuan

penambahan HCl 0,75 N dan NaOH 40%, sedangkan rendemen terendah diperoleh

kelompok B4 sebesar 28,00% (HCl 1 N dan NaOH 50%). Semakin besar konsentrasi

HCl yang ditambahkan dalam proses demineralisasi, maka akan semakin kecil

rendemen kitin yang dihasilkan karena senyawa mineral dalam bahan semakin mudah

dilepaskan (Laila & Hendri, 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut seharusnya

Page 8: Kitin Fixx

8

kelompok B5 dengan konsentrasi HCl tertinggi memiliki berat rendemen kitin I terkecil

dan kelompok B1 dengan konsentrasi HCl terendah memiliki berat rendemen kitin I

terbesar. Menurut Lehninger (1975), semakin rendah nilai rendemen yang dihasilkan

dapat disebabkan karena perlakuan pemanasan dan pengadukan yang tidak sempurna.

Pengadukan dan pemanasan menyebabkan proses demineralisasi dalam kitin lebih

cepat, serta panas yang diterima larutan lebih merata sehingga dapat menyebabkan

jumlah rendemen menurun. Selain itu, ketidaksesuaian dapat terjadi karena pada saat

pencucian, ada sebagian kitin yang terbuang. Kitin dapat terdegradasi akibat konsentrasi

asam yang terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lama sehingga rendemen kitin

yang dihasilkan lebih rendah (Knorr, 1984).

Rendemen kitin II merupakan rendemen hasil proses deproteinasi. Rendemen kitin II

tertinggi diperoleh kelompok B3 sebesar 50% dengan perlakuan penambahan HCl 1 N

dan NaOH 50%, sedangkan rendemen terendah diperoleh kelompok B5 sebesar 20%

dengan perlakuan penambahan HCl 1,25 N dan NaOH 60%. Angka & Suhartono (2000)

mengungkapkan bahwa seharusnya rendemen kitin I (rendemen demineralisasi) lebih

tinggi dibandingkan rendemen kitin II (rendemen deproteinasi). Menurut Fennema

(1985), kelarutan mineral dan protein pada suasana basa lebih besar dibandingkan pada

suasana asam, karena basa memiliki sifat hidrolisis yang lebih tinggi daripada asam.

Namun hasil pengamatan kelompok B1 dan B3 tidak sesuai dengan teori tersebut karena

mengalami peningkatan nilai rendemen kitin I ke rendemen kitin II. Ketidaksesuaian ini

mungkin disebabkan karena proses pengeringan yang tidak sempurna dan menyebabkan

air yang belum teruapkan ikut terhitung sebagai berat rendemen kitin. Selain itu dapat

disebabkan karena pengadukan yang tidak sempurna sehingga larutan NaOH tidak

bereaksi sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984). Fennema (1985) menambahkan bahwa

semakin besar konsentrasi NaOH yang diberikan, maka semakin rendah pula nilai

rendemen kitin-nya. Dengan demikian seharusnya kelompok B5 memperoleh nilai

rendemen kitin II yang lebih rendah dibandingkan kelompok lain karena menggunakan

konsentrasi NaOH tertinggi. Hal ini telah sesuai dengan hasil hasil pengamatan.

Rendemen kitosan tertinggi diperoleh kelompok B3 sebesar 50%. Sedangkan kelompok

B2 dan B5 tidak memperoleh rendemen kitosan. Dari semua kelompok menunjukkan

Page 9: Kitin Fixx

9

adanya penurunan rendemen pada kitosan, kecuali kelompok B3. Semakin tinggi

konsentrasi NaOH yang ditambahkan, maka rendemen kitosan akan semakin rendah.

Larutan NaOH dengan konsentrasi tinggi dapat memicu terjadinya proses

depolimerisasi pada rantai molekul kitosan sehingga menyebabkan berat molekul

kitosan mengalami penurunan (Hong et al., 1989). Namun menurut Ramadhan et al.

(2010), larutan alkali dengan konsentrasi tinggi dapat menghidrolisis kitin, sehingga

menghasilkan rendemen kitosan yang semakin besar. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan, maka semakin

besar pula nilai rendemen kitosan yang diperoleh.

Page 10: Kitin Fixx

10

4. KESIMPULAN

Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral terutama kalsium karbonat

(CaCO3).

Penambahan HCl dapat melarutkan komponen mineral sehingga dapat

mengurangi kandungan mineral dalam limbah udang.

Deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein menggunakan larutan basa

NaOH.

Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan protein pada kitin dari hasil

tahap demineralisasi, memperbesar volume dari partikel substrat, dan

menghidrolisis gugus asetil pada kitin sehingga kitin berubah menjadi kitosan.

Deasetilasi bertujuan untuk mengganti gugus asetamida pada kitin dengan gugus

amino dengan menggunakan NaOH sehingga kitin berubah menjadi kitosan.

Larutan NaOH dalam tahap deasetilasi menghidrolisis ikatan gugus karboksil

dengan atom nitrogen dari kitin sehingga menghasilkan rendemen kitosan yang

semakin besar.

Semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan, semakin kecil rendemen

kitin yang dihasilkan.

Rendemen kitin I lebih tinggi dibandingkan rendemen kitin II.

Semakin besar konsentrasi NaOH yang diberikan, maka semakin rendah nilai

rendemen kitin-nya.

Semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan, semakin besar nilai

rendemen kitosan yang diperoleh.

Semarang, 5 Oktober 2015 Asisten Dosen:Praktikan, -Tjan, Ivana Chandra

Clementia Caroline13.70.0020

10

Page 11: Kitin Fixx

11

5. DAFTAR PUSTAKA

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. 2007. Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hong, H., No K, Meyers SP, Lee KS. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Jothi N. & R.K. Nachiyar. 2015. Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 8 (2): 33-39.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Kaya M., O. Seyyar, T. Baran, T. Turkes. 2014. Bat Guano As New And Attractive Chitin And Chitosan Source. Frontiers in Zoology, 11:59.

Knoor, D. 1982. Function properties of chitin and chitosan. J.Food.Sci. 4736.

Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 1 : 85.

Kumirska J., M. Czerwicka, Z. Kaczyński, A. Bychowska, K. Brzozowski, J. Thöming, P. Stepnowski. 2010. Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Mar. Drugs 8, 1567-1636.

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Chitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

11

Page 12: Kitin Fixx

12

Lehninger, A.L. 1975. Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Muzzarelli, R. A. A. & M. G. Peter. 1997. Chitin Handbook. Eds., Atec, Grottammare, Italy. ISBN 88-86889-01-1.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Chitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Chitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Rokhati, N. (2006). Pengaruh Derajat Deasetilasi Khitosan Dari Kulit Udang Terhadap Aplikasinya Sebagai Pengawet Makanan. Jurnal Reaktor, Vol. 10 No. 2, Hal. : 54-58.

Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wieczorek A.S., S.A. Hetz, S. Kolb. 2014. Microbial Responses To Chitin And Chitosan In Oxic And Anoxic Agricultural Soil Slurries. Biogeosciences, 11:3339–3352.

Zakaria Z., Z. Izzah, M. Jawaid, A. Hassan. 2012. Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal Stability and Compatibility of Chitosan Polyamide Blend. BioResource 7(4):5568-5580.

Page 13: Kitin Fixx

13

Zhao, L. M. L. E. Shi, Z. L. Zhang, J. M. Chen, D. D. Shi, J. Yang and Z. X. Tang. (2011). Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Brazilian Journal of Chemical Engineering Vol. 28, No. 03, pp. 353 – 362.

Page 14: Kitin Fixx

14

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Kelompok B1

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I= 3 gram10 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=30,00 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II=1,5 gram4,3 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=34,88 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan=0,5 gram2,0 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=25,00 %

Kelompok B2

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I= 4,5 gram12,5 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=36,00 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II=0,5 gram1,7 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=29,4 %

Rendemen Kitosan

14

Page 15: Kitin Fixx

15

Rendemen Kitosan=0 gram0 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=0 %

Kelompok B3

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=3,5 gram11 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=31,82 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II=1,5 gram3 gram

×100%

Rendemen Kitin II=50,00 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan=0,1 gram1 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=50,00 %

Kelompok B4

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I= 3,5 gram12,5 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=28 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= 1 gram4,3 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=22,22 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan=0,5 gram2,6 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=19,23 %

Kelompok B5

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I= 3gram10,5 gram

× 100 %

Page 16: Kitin Fixx

16

Rendemen Kitin I=28,57 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II=0,5 gram2,5 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=20 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= 0 gram0,5 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=0 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal