Kitin Kitosan_Ernadya_12.70.0176_E4_Unika Soegijarpranata

25
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan Kelompo k Perlakuan Rendemen Khitin 1 (%) Rendemen Khitin 2 (%) Rendemen Khitosan (%) E1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 34 18,987 15,333 E2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 18 13,514 16,400 E3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 21 14,285 15,200 E4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 14 14,706 12,000 E5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% 22 14,706 17,333 E6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% 26 28,571 8,500 Dari hasil pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa kelompok E1 dengan perlakuan penambahan HCL 0,75N dan NaOH 1

description

Praktikum THL Kitin-kitosan kloter E4

Transcript of Kitin Kitosan_Ernadya_12.70.0176_E4_Unika Soegijarpranata

Acara .(I,II,III,dst)

1. hasil pengamatan

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan KitosanKelompokPerlakuanRendemen Khitin 1 (%)Rendemen Khitin 2 (%)Rendemen Khitosan (%)

E1Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%3418,98715,333

E2Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%1813,51416,400

E3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%2114,28515,200

E4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%1414,70612,000

E5Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%2214,70617,333

E6Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%2628,5718,500

Dari hasil pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa kelompok E1 dengan perlakuan penambahan HCL 0,75N dan NaOH 40% menghasilkan rendemen kitin I sebanyak 34%, rendemen kitin II sebanyak 18,987% dan rendemen kitosan sebesar 15,333%. Kelompok E2 dengan penambahan larutan HCl 0,75N dan NaOH 40% menghasilkan rendemen I sebanyak 18%, rendemen II sebanyak 13,514% dan rendemen Khitosan sebesar 16,4%. Kelompok E3 dengan perlakuan penambahan larutan HCl dengan normalitas 1 N dan NaOH 50% menghasilkan rendemen kitin 1 sebanyak 21%, rendemen kitin II sebanyak 14,285% dan rendemen kitosan sebanyak 15,20%. Kelompok E4 dengan penambahkan HCl 1N dan NaOH 50% menghasilkan hasil rendemen kitin I sebanyak 14%, rendemen kitin II sebanyak 14,706% dan rendemen kitosan sebanyak 12%. Kelompok E5 dengan menambahkan larutan HCl 1,25 N di tambah 60% menghasilkan rendemen kitin I sebanyak 22%, rendemen kitin II sebanyak 14,706% dan menghasilkan rendemen kitosan 17,333%. Kelompok E6 dengan menambahkan larutan HCl 1,25 N di tambah 60% menghasilkan rendemen kitin I sebanyak 26%, rendemen kitin II sebanyak 28,571% dan menghasilkan rendemen kitosan 8,5%.

4

12

3

2. Pembahasan

Pada praktikum kali ini akan dilakukan percobaan mengenai kitin dan kitosan. Kitin mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi--D-Glukosa) dengan ikatan -glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa. Struktur kimia pada kitin hampir sama dengan selulosa, hanya dibedakan dengan gugus yang terikat pada atom C2. Pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida, sedangkan pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH (Muzzarelli, 1985). Bartnicki-Garcia (1989) memperkuat pernyatan bahwa kitin termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral seperti air sehingga pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa. Kitin tidak larut dalam asam encer. Hal ini menyebabkan pada kitin secara alami berbentuk kristal dan mengandung rantai-rantai polimer berkerapatan tinggi yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat. Austin (1981) juga berpendapat kitin merupakan polimer ikatan (1-4) 2-acetamido2deoxy glucan yang dapat diekstrak dari kulit atau eksoskeleton arthropoda (crustaceae dan insekta). Kitin juga dapat ditemukan pada dinding sel fungi (sekitar 30%60%), kulit kerang, paruh burung, dan tulang rawan (bagian tengah) cumicumi. Kitin bersifat fleksibel dan mudah larut dalam asam encer dan asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat dan asam formiat anhydrous, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik. Kitin yang larut dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan dapat memutuskan gugus asetil. Struktur kitin sama dengan selulosa, dengan ikatan antara monomernya dengan glukosida pada posisi (1-4). Bedanya pada gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon nomor dua, digantikan oleh gugus asetamina (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-Asetil glukosamin.

Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber cangkang hewan invertebrate laut berkulit keras (Crustacea) yang mengandung banyak kitim. Kadar Kitin yang terkandung dalam Crustacea berkisar 20-60% tergantung spesies. Limbah yang dihasilkan di Indonesia saat ini sekitar 56.200 ton pertahun. Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin kitosan ini adalah udang. Menurut Hadiwiyoto (1993), udang termasuk jenis Crustaceae. Hasil perikanan ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi meskipun bagian yang enak dimakan hanya sekitar 30-40% saja. Daging udang mempunyai kelebihan dalam hal kandungan asam aminonya daripada daging hewan darat. Di samping itu daging udang mempunyai rasa lebih enak daripada daging hasil perikanan lainnya untuk itu, udang selain diolah juga dapat diambil flavornya yang khas untuk pengolahan produk lain. Marganov (2003) menambahkan bahwa limbah udang mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen dan abu. Kulit udang mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan khitin 15-20%, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya. Kulit udang yang mengandung kitin dan kitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Selain kitin, juga dibahas mengenai kitosan, menurut Hirano 1989), kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari proses deasetilasi khitin dengan menggunakan alkali kuat. Khitosan bersifat tidak larut dalam air (polimer kationik) dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5. Khitosan mudah larut dalam asam organik yaitu asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat. Khitosan adalah senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4.

Pada praktikum ini di lakukan pembuatan kitin dan kitosan dari kulit udang yang sudah dikeringkan terlebih dahulu. Pengeringan kulit udang di lakukan dengan cara mencuci limbah kulit udang dengan air mengalir dan di keringkan, kemudiandi cuci lagi dengan air panas sebanyak 2 kali Menurut Astawan & Astawan (1988), hal ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada kulit udang tersebut. Setelah itu dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali dan keringkan kembali. Pengeringan ini berguna supaya dimana limbah udang merupakan sumber bagi mikroorganisme dimana pengeringan berguna untuk menurunkan kadar air sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh selain itu juga proses selanjutnya juga dijadikan tepung sehingga harus dihilangkan kadar airnya. Kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dimana hal ini dilakukan dengan menggunakan blender pada limbah udang yang telah kering tadi dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Lalu sebanyak 10 gram udang yang sudah di tumbuk tadi di tambahkan dengan HCl, setiap kelompok menambahkan HCl dengan normalitas yang berbeda beda yaitu 0,75N ; 1N dan 1,25 N setelan di tambahkan dengan HCl sebanyak 100 ml lalu larutan tersebut di aduk, proses pengadukan yang pada saat proses pemanasan ini agar didapat larutan yang homogen dan tepung dapat berikatan dengan larutan asam klorida yang larut dalam air. Pengadukan di lakukan selama 1 jam di atas suhu 90oC. Proses pemanasan pada larutan tepung udang pada suhu 90o akan menghasilkan pyrazine yang potensial sebagai zat penambah cita rasa (Muzzarelli, 1977). Proses pengadukan ini bertujuan untuk meratakan pemanasan selain itu juga untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena pemisahan mineral selama proses demineralisasi, dengan tingginya suhu pemanasan maka mineral akan semakin mudah terpisah. Setelah itu larutan di cuci dengan air keran sampai mendekati pH netral. Proses pertama ini disebut proses Demineralisasi. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam inorganik atau penghilangan kandungan mineral yang ada pada kitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3), dalam proses ini senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida yang larut dalam air (Bastaman, 1989).

Dari proses demineralisasi didapatkan rendemen kitin dengan hasil yang berbeda-beda tiap kelompok. Menurut Johnson dan Peterson (1974), pada kitin ikatan protein dan mineral serta bahan organik lainnya pada kulit udang dapat diregankan atau dilepaskan dengan perlakuan kimia seperti asam atau basa dengan dosis yang lebih tinggi disertai dengan proses/waktu yang lebih lama. Dari hasil pengamatan di atas didapatkan hasil rendeman tertinggi ada pada kelompok E1 dengan nilai 34%, Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008), yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar, karena senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan, karena kelompok E1 menggunakan HCL sebanyak 0,75 N. Lehninger (1975) juga berpendapat, nilai rendemen yang tinggi juga disebabkan adanya perlakuan pemanasan setelah penambahan HCl dan ditambah dengan proses pengadukan. Selain itu menurut Knorr (1984), apabila digunakan konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lebih lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada konsentrasi tinggi reaksi berjalan terlalu cepat sehingga asam klorida bereaksi dengan protein sedangkan komponen mineralnya belum terlepas secara sempurna. Selain itu, juga dapat disebabkan karena pada saat tahap pencucian, beberapa komponen juga ikut terbuang sehingga nilai rendemen kitin menjadi berkurang.

Pada hari ke-2 di lakukan proses deproteinase dengan cara tepung yang sudah di keringkan di hari sebelumnya di ambil sebanyak 20 gr lalu di tambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6 :1 atau setara dengan 120 ml penggunaan NaOH di karenakan penambahan NaOH 3,5% merupakan alkali paling efektif yang mampu memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, juga mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan mengalami deasetilasi dan berubah menjadi kitosan yang menyebabkan kadar kitin berkurang (Suharto, 1984). Setelah di tambahkan NaOH larutan tersebut diaduk dan dipanaskan lagi dengan suhu 900C selama 1 jam. Setelah 1 jam, larutan didinginkan dan di cuci lagi hingga pHnya mendekati netral. Setelah netral di keringkan dengan suhu 80oC selama 24 jam. Proses deproteinasi, pada prinsipnya deproteinisasi adalah memisahkan antara protein dan khitin. Umumnya dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 2-3% suhu 63-65 C dalam waktu 1-2 jam (Johnson & Peterson, 1974). Menurut Bastaman (1989), deproteinasi ini bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin, dengan cara menambahkan natrium hidroksida. Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah konformasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou et al. 1995). menurut Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30 menit adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap dibawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian.

Setelah melakukan proses di atas didapat hasil rendemen yang didapat menurun ada pula yang meningkat. Hasil di atas tidak sesuai dengan teori yang di berikan oleh Puspawati & Simpen (2010) yang menyatakan bahwa isolasi kitin dari kulit udang menghasilkan rendemen diatas 20%. Ketidaksesuaian ini terjadi pada kelompok E1 E5. Sedangkan untuk kelompok E6 sudah sesuai yaitu dengan 28,571%. Hal ini kemungkinan terjadi karena larutan basa seperti NaOH mempunyai aksi hidrolisis yang lebih tinggi sehingga pelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar dibandingkan pada suasana asam disebabkan karena (Fennema, 1985), yang berarti nilai rendeman akan semakin turun bila ada pelarut basa.

Lehninger (1975) menyatakan bahwa deproteinasi dan demineralisasi pada proses ekstraksi kitin berpengaruh pada konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi. Selama proses ekstraksi kitin berlangsung sejalan dengan meningkatnya waktu, dosis dan konsentrasi basa dan asam yang digunakan sehingga kandungan protein dan mineral akan semakin banyak yang terlepas. Perlakuan saat perendaman asam dan basa wncer disertai dengan pemanasan. Pemanasam tersebut bertujuan untuk melepaskan atau meregangkan ikatan antara protein dengan kitin dan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya pada kulit udang.

Tahap ketiga dari percobaan kitin dan kitosan ini adalah proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Menurut pendapat dari Muzzarelli and Peter(1997), proses deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari kitin untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino dengan menggunakan NaOH. Kitin yang diperoleh dari proses dimeneralisasi-deproteinasi dapat diubah menjadi kitosan dengan cara merubah gugus asetamida (NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (NH2). Proses penghilangan gugus asetil dinamakan deasetilasi. Proses deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina (NH2). Dengan demikian pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.

Pada proses deasetilasi, pertama-tama kitin ditambahkan NaOH (20:1) dengan ketentuan kadar masing-masing kelompok E1 dan E2 40%, kelompok E3 dan E4 50%, kelompok E5 dan E6 60%. Menurut Martinou(1995) peran NaOH yaitu untuk merubah konformasi kitin yang rapat menjadi renggang sehingga membuat enzim lebih mudah terekspos untuk mendeasetilasi polimer kitin. Penggunaan alkali berkonsentrasi tinggi ini dapat memutus ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen. Kemudian diaduk 1 jam dan didiamkan 30 menit. Menurut Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30 menit adalah agar bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap di bawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian. Penutupan dengan plastik bertujuan untuk mencegah hilangnya senyawa volatile karena penguapan selama proses pendinginan. Lalu larutan tersebut dicuci dengan air mengalir sampai pH netral.Lalu dipanaskan pada suhu 140oC selama 90 menit. Proses pengadukan bertujuan untuk meratakan suhu pemanasan bahan kitosan, dimana dengan tingginya suhu reaksi, maka derajat deasetalasi kitosan juga meningkat. Setelah itu disaring dan residu dicuci sampai pH netral. Pengetesan pH dilakukan menggunakan kertas pH. Setelah itu dikeringkan dengan suhu 70C selama 24 jam dan dihasilkan kitosan.

Setelah melakukan proses di atas didapat hasil rendemen kitosan yang di dapat setelah di lakukan proses deasetilasi. Rendemen kitosan terbesar diperoleh pada kelompok E5 dengan nilai sebesar 17,333% dengan perlakuan NaOH 60%, sedangkan rendemen kitosan terkecil diperoleh oleh kelompok E6 dengan nilai sebesar 8,5% yaitu dengan perlakuan NaOH 60%, hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Hong et al. (1989) yang menyatakan bahwa penggunaan NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin rendah. Konsentrasi NaOH yang tinggi akan menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang akhirnya akan menyebabkan penurunan berat molekul kitosan.

Menurut jurnal Puvvada et al, (2012) Chitosan merupakan polisakarida amino disiapkan oleh limbah pengolahan udang (shell) yang melibatkan sebagian deacetyla-tion dari kitin. Chitosan, polisakarida alami serbaguna, polimer alam yang paling melimpah kedua. Banyak ahli biokimia telah menemukan bahwa kitosan sebagai biokompatibel, biodegradable dan tidak beracun yang membuat penerapan yang luas di farmasi konvensional sebagai formulasi eksipien potensial. Dalam penelitian ini terutama difokuskan pada sintesis kitosan yang cocok untuk industri farmasi terutama dalam merancang tertunda dan dikendalikan sistem pengiriman obat. Penelitian utama difokuskan pada persiapan berat molekul rendah dari chitosan cocok untuk industri farmasi. Kitin yang mentah dikumpulkan dari exoskeleton dari Triopslongicaudatus dan Triopscancriformis spesimen yang kemudian diproses untuk mendapatkan Kitosan. Hasil kitosan ditemukan 35,49% dan dianalisis untuk parameter physiochemical nya.

Pada jurnal Morteza Shahabi Viarsagh et al, (2010), Parameter yang paling penting, yang mencirikan chitosan dan aplikasi, adalah derajat deasetilasi. Dalam penelitian ini pengaruh waktu deasetilasi pada kualitas kitosan yang dihasilkan diselidiki dengan mengukur jumlah glukosamin dan asetil glukosamin. Jumlah glukosamin dalam sampel diukur dengan menggunakan analisis HPLC berdasarkan metode pemerolehan. Dengan deasetilasi dari kitin diekstrak dalam 90 dan 180 menit, kitosan dengan derajat deasetilasi dari 69,75% dan 77,63% diperoleh, masing-masing. Oleh karena itu, dengan meningkatkan periode deasetilasi dalam kondisi suhu konstan dan konsentrasi NaOH, tingkat deasetilasi meningkat.

Pada jurnal M. Khorrami, et al, (2012). Menjelaskan tentang Lactobacillus plantarum, sebagai produsen asam dan protease laktat potensial, digunakan untuk ekstraksi biologis kitin dari kulit udang. L. plantarum ditumbuhkan dalam batch budaya yang mengandung serbuk kulit udang dan tanggal sirup, diinkubasi pada suhu 30 C. yang dihasilkan asam organik dan protease dalam budaya plantarum L. mampu demineralisasi dan deproteinize kulit udang. Persentase deproteinisasi dan demineralisasi masing-masing 45 dan 54. Dalam perawatan pasca sampel, encer asam dan alkali, yang dilaksanakan untuk menghasilkan chitin tertentu. Kitin dikonversi menjadi kitosan dengan N-deasetilasi dengan larutan NaOH. Persentase deasetilasi berdasarkan Spektrum FTIR adalah 83%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, Lactobacillus plantarum, bersama dengan pemanfaatan tanggal sirup biaya serendah sumber karbon dan tepat substrat, mampu demineralisasi dan deproteinize kulit udang. Pengobatan pasca kitin dengan asam ringan dan alkali, 0,5 mol L-1, menyebabkan ekstraksi Kitin dengan sifat yang lebih diinginkan, dengan 79,5% demineralisasi dan 71% deproteinisasi. Kitin yang diekstraksi, produk yang diinginkan dengan mudah dikonversi dengan kitosan dengan deasetilasi dalam larutan NaOH. Dalam proses ekstraksi kitin, Logistik dan Monod model kinetik yang cukup kompatibel dengan data eksperimen. Produk akhir, kitosan, mencapai tingkat yang baikdengan deasetilasi sekitar 83%.

Pada jurnal berikutnya yaitu jurnal Woojin Lee, et al, (2010) menjelaskan tentang Aktivitas antimikroba kitosan terhadap bakteri asam laktat dipelajari untuk diterapkan untuk mengendalikan dongchimi fermentasi (whole-lobak kimchi berair) untuk mencegah over-pematangan. Aktivitas antimikroba kitosan terhadap asam laktat bakteri Leuconostoc mesenteroides seperti Lactobacillus plantarum dan diuji pada 10, 20, 30, dan 40 mg / L konsentrasi dalam medium. Penambahan 40 mg / L dari kitosan dibuat pada 140 C selama 10 menit menunjukkan penghambatan yang kuat berpengaruh terhadap pertumbuhan L. mesenteroides dan L. plantarum. Efek dari penambahan kitosan untuk dongchimi juga telah telah dipelajari selama fermentasi pada temperatur yang berbeda dari 4, 10, dan 20 C. Penambahan kitosan menurun tajam jumlah sel yang layak bakteri asam laktat seperti Leuconostoc spp. dan spp Lactobacillus. pada tahap awal. Selanjutnya bakteri asam laktat pulih pertumbuhan ke tingkat yang sama seperti non-kitosan dongchimi diobati. Selama dongchimi yang fermentasi, penambahan chitosan pada kuantitas yang lebih besar sampai dengan 1000 mg / L (CS1000) memperpanjang fermentasi lezat periode. Penambahan kitosan dalam dongchimi tampaknya menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, sehingga menurunkan kandungan asam. Ini, oleh karena itu, menyebabkan kehidupan rak diperpanjang dan menghasilkan sebuah periode lezat lama untuk dongchimi.

Pada jurnal P.M Visakh, et al, (2012) menyatakan bahwa penambahan jumlah kecil (hingga 9% berat) dari partikel kitin microsized, berasal dari limbah kerang, untuk terkarboksilasi karet stirena-butadiena (XSBR) matriks (yang diterima dan anil 100 C) telah dipelajari. Secara khusus, Penelitian ini terkonsentrasi pada mekanik (merayap investigasi oleh nanoindentation dan analisis dinamis-mekanik) mereka, termal (termogram DSC dan thermogravimetry) dan pembengkakan perilaku (penyerapan toluen) dan diselesaikan oleh karakterisasi morfologi dengan pemindaian mikroskop elektron dan mikroskop kekuatan atom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anil memiliki efek terbatas pada sifat bahan, efek yang jauh dikurangi dengan penambahan tumbuh jumlah kepiting kitin. Perlu dicatat bahwa pengisi konten terbatas yang digunakan dalam penelitian ini tidak secara substansial memodifikasi perilaku creep linear XSBR untuk waktu loading yang cukup lama. Stabilitas termal dari sistem tidak juga muncul untuk dipertahankan bahkan dengan konten kitin maksimum menambahkan, sementara itu berfungsi cukup sebagai efektif penghalang terhadap penyerapan pelarut aromatik.

1. 2. kesimpulan Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa. Kitin mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi--D-Glukosa) dengan ikatan -glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Kulit udang mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan khitin 15-20% Kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari proses deasetilasi khitin dengan menggunakan alkali kuat. Proses pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini meliputi tiga proses penting, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi Pengeringan pada proses pembuatan kitin dan kitosan berguna berguna untuk menurunkan kadar air sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Proses pengadukan bertujuan untuk meratakan pemanasan selain itu juga untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Proses pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan kadar air yang masih tersisa saat pencucian sehingga ketika dihitung rendemennya hanya ada kitin atau kitosan saja. Semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar. Pelarut terbaik yang dapat menghasilkan rendemen kitin I tertinggi adalah HCl 1 N. Konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lebih lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Penambahan NaOH 3,5% merupakan alkali paling efektif yang mampu memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, juga mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan mengalami deasetilasi dan berubah menjadi kitosan yang menyebabkan kadar kitin berkurang. Tujuan pendinginan selama 30 menit adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap dibawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian. Deproteinasi dan demineralisasi pada proses ekstraksi kitin dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi. Proses pencucian hingga pH-nya netral mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik. Konsentrasi NaOH yang tinggi akan menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang akhirnya akan menyebabkan penurunan berat molekul kitosan.

Semarang, 18 September 2014Asisten Dosen

Rr. Ernadya Eka P Stella Gunawan 12.70.0176

4. daftar pustaka

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.

Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), 749753.

Bartnicki-Garcia, S. 1989. The biological cytology of chitin and chitosan synthesis infungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin andChitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queens University.Belfast. 143 p.

Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Yogyakarta.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 143.

Muzzarelli dan M.G. Peter ., (1997). Chitin Handbook. European Chitin Society. Itali.

Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.

Prabu K. and Natarajan E. (2012). Bioprospecting Of Shells Of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol 4 , Suppl 4, 2012.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 90.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Z.K.Wang,Q.L.Hu, and L ei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759,7 pages doi:10.1155/2010/369759.

5. LAMPIRAN

4. 5. 5.1. PerhitunganRumus :Rendemen kitin I = x 100%Rendemen kitin II = x 100%Rendemen kitosan = x 100%

Kelompok E1

Rendemen Kitin I = 34 %

Rendemen Kitin II = 18,987 %

Rendemen Kitosan = 15,333 %

Kelompok E2

Rendemen Kitin I = 18 %

Rendemen Kitin II = 13,514 %

Rendemen Kitosan = 16,4 %

Kelompok E3

Rendemen Kitin I = 21 %

Rendemen Kitin II = 14,285 %

Rendemen Kitosan = 15,20 %Kelompok E4

Rendemen Kitin I = 14 %

Rendemen Kitin II = 14,706 %

Rendemen Kitosan = 12 %Kelompok E5

Rendemen Kitin I = 22 %

Rendemen Kitin II = 14,706 %

Rendemen Kitosan = 17,333 %Kelompok E6

Rendemen Kitin I = 26 %

Rendemen Kitin II = 28,571 %

Rendemen Kitosan = 8,5 %

5.2. Jurnal

5.3. Laporan Sementara