Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Kitin Kitosan _Melina Kiswandihardjo_12.70.0033_Kloter C_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Click here to load reader
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
36 -
download
5
description
Transcript of Kitin Kitosan _Melina Kiswandihardjo_12.70.0033_Kloter C_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Acara IV
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Melina Kiswandihardjo
NIM: 12.70.0033
Kelompok C1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dari percobaan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel.1 berikut
Tabel 1. Hasil Pengamatan kitin dan kitosan
Kel PerlakuanRendemen kitin I
(%)Rendemen kitin II
(%)Rendemen kitosan
(%)
C1
Kulit udang HCl 0,75 NNaOH 3,5%NaOH 40%
20 20 7,843
C2
Kulit udang HCl 0,75N
NaOH 3,5%NaOH 40%
32 33,333 17,500
C3
Kulit udang HCl 1 N
NaOH 3,5%NaOH 50%
24 20 11,429
C4
Kulit udang HCl 1 N
NaOH 3,5%NaOH 50%
41 16,667 11,764
C5
Kulit udang HCl 1,25 NNaOH 3,5%NaOH 60%
29 33,333 14,285
C6
Kulit udang HCl 1,25 NNaOH 3,5%NaOH 60%
35 28,571 11,765
Dari hasil pengamatan yang didapatkan, dapat dilihat bahwa rendemen kitin I banyak
didapatkan pada penambahan HCl 1, sedangkan pada rendemen kitin II tidak ada
perbedaan yang signifikan pada penambahan NaOH konsentrasi 3,5%, dan pada
rendemen kitosan III pada penambahan NaOH yang paling kecil konsentrasinya yakni
40% mendapatkan hasil rendemen yang paling besar.
1
2
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, bahan utama yang digunakan dalam pembuatan kitin dan
kotosan ini adalah limbah kulit udang. Limbah dari udang agar memiliki manfaat dan
nilai ekonomi yang tinggi dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk mengelola
limbah ini. Bahan utama yang digunakan yakni kulit udang memiliki kandungan protein
yang jumlahnya cukup tinggi, selain itu limbah kulit udang ini dapat digunakan sebagai
pembuatan kitin dan kitosan menurut Moeljanto (1992). Limbah udang menurut
Marganov (2003) mengandung kitin sekisar 15 hingga 20%, komponen abu, pigmen,
protein sekisar 25 hingga 40% dan kalsium karbonat sekisar 45 hingga 50%. Namun
kandungan pada ikan ini juga bergantung dari beberapa faktor yakni lingkungan,
musim, umur, jenis kelamin dan jenis spesiesnya. Sumber-sumber kitin menurut Beaney
et al. (2005) dapat diambil dari udang, serangga, jamur, tulang rawan cumi-cumi
maupun cangkang dari kepiting. Selain itu, menurut Muzzarelli (1977), dengan adanya
proses pemanasan larutan tepung dengan suhu berkisar 90oC dapat menghasilkan
senyawa pyrazine yang dapat dimanfaatkan sebagai zat penambah cita rasa.
Sekarang ini, kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai macam industri yakni
industri makanan, farmasi, pertanian, dan bioteknologi. Kitosan menurut Cahyaningrum
et al. (2007), dapat digunakan sebagai bahan anti mikroba dimana kitosan memiliki
kandungan enzim lisozim dan gugus amino polisakarida yang punya kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu kitosan punya polikation yang
muatannya positif sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
umumnya bakteri dan jamur. Dalam jurnal yang berjudul Production of Chitin and
Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials oleh Nguyen Van Toan
(2009) dikatakan, bahwa dalam materi dan metode yang dilakukan dalam jurnal dan
dalam praktikum ini memiliki kesamaan, yakni melalui tahap demineralisasi, kemudian
dilakukan tahap deproteinasi dan kemudian memasuki tahap deasetilasi. Pada jurnal ini
dilakukan penelitian dengan menggunakan 2 bahan yakni kulit udang yang masih segar
dan kulit udang yang melalui pengolahan dengan dibekukan. Protein yang dihasilkan
pada kitin dan kitosan mendapatkan nilai yang lebih tinggi pada kulit udang yang masih
2
3
segar, hal ini bisa dikarenakan karena pada kulit udang yang dibekukan dapat
mengalami pemecahan matriks protein sehingga konsentrasi proteinnya lebih rendah.
Berdasarkan jurnal dengan judul Improved Chitin and Chitosan Production from Black
Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment oleh Nguyen Van Toan (2011),
dinyatakan bahwa kitin dan kitosan punya berbagai kegunaan dalam biomedical dan
penyembuhan. Bahan mentah selama ini langsung didapat dari sisa cangkang udang,
yang berbeda-beda kualitasnya. Maka, diadakan penelitian untuk memenuhi standar
kualitas dan mengembangkannya. Digunakan asam Salicylic sebagai perawatan awal
pada material sebelum diproses. Hasilnya, kitosan yang diproduksi dari udang harimau
hitam memiliki kualitas lebih baik jika dirawat terlebih dahulu dengan asam salicylic.
Hasil ini serupa dengan bila material cangkang dikondisikan dengan benzoat cair.
Kitosan yang berkualitas bagus dapat digunakan sebagai bahan mentah berkualitas
untuk selanjutnya diolah lebih lanjut.
Dari jurnal Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells
oleh Ming Tsung Yen et al. (2008) dikatakan bahwa kitin adalah biopolimer yang
berlimpah di alam yang berguna untuk keperluan biomedical atau pengobatan. Kitosan
merupakan suplemen makanan yang memiliki kemampuan mengikat lemak. Kitin dan
kitosan didapat dari crustacean, salah satunya dari cangkang kepiting. Untuk
mengetahui karakter fisika kimia kitin dan kitosan, dilakukan penelitian dengan
pemurnian kitin menggunakan N-deasetilasi dalam tiga kondisi suhu 60oC, 90oC, dan
120oC. Hasil kitosan paling baik didapat pada suhu 120oC. Semakin lama waktu reaksi,
kandungan nitrogen, karbon, dan hydrogen pada kitosan meningkat dengan
perbandingan setara. Pada umumnya, ketiga kondisi menunjukkan karakter fisika dan
kimia yang kurang lebih sama.
Dari jurnal yang berjudul Development of Chitosan based Active Film to Extend the
Shelflife of Minimally Processed Fish oleh Jiffy Paul et al. (2013) dilakukan pembuatan
kemasan yang berasal dari limbah crustacea. Kitin dan kitosan memiliki potensi besar
dalam penggunaannya untuk kemasan makanan karena sifatnya yang tahan lama, ramah
lingkungan, fleksibel, tidak mudah rusak, dan anti bakteri. Dalam pemrosesan
3
4
crustacea, banyak dihasilkan limbah buangan yang tidak baik efeknya bagi lingkungan
karena susah terurai. Maka, limbah ini dimanfaatkan untuk dibuat kemasan makanan.
Untuk mengetahui kualitasnya, diadakan penelitian dengan 3 percobaan yaitu
membungkus daging ikan segar menggunakan lapisan kitosan, lapisan plastik biasa, dan
tanpa lapisan (ketiganya didiamkan dalam suhu ruangan). Hasilnya pada ikan yang
ditutup dengan lapisan kitosan tetap awet dan tidak berubah jika dibandingkan dengan
dua sampel yang lain. Namun karena percobaan pada jurnal ini hanya dilakukan selama
3 hari saja, maka diperlukan penelitian lebih lanjut.
Kitin berasal dari hewan intervertebrata (misalnya udang) karena merupakan bahan
dasar dari pembentuk kerangka luarnya. Kandungan dalam kitin terdapat nitrogen. Kitin
memiliki rumus kimia yakni 2-asetamida-2-dioksi-D-Glukosa, ikatan yang dimiliki kitin
adalah ikatan β-glikosidik (1,4), ikatan inilah yang menghubungkan unit-unit tulangnya
menurut Muzzarelli (1985). Berdasarkan jurnal yang berjudul Preparation of Chitosan
from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties oleh Monarul Islam et al. (2011),
udang yang kita gunakan saat praktikum ini merupakan kelompok crustacea, selain itu
menurut jurnal ini kitosan banyak digunakan sebagai agen pengkelat bahan metal,
kosmetik, di bidang pertanian dan penanganan air. Pada jurnal ini, dilakukan tahapan
pembuatan kitosan yang sama yakni melalui tahap demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi. Menurut Ornum (1992), kitin merupakan bahan yang mudah terdegradasi
(secara bilogis, misalnya dengan adanya mikroba penghasil kitinase atau lisozim), tidak
memiliki kandungan toksik, larut dalam larutan dimetil asetamida atau litium klorida
dan tidak larut pada larutan dengan pH netral dan asam anorganik maupun asam
organik. Selain itu kitin memiliki ciri: warnanya putih dan punya panas yang spesifik
sekitar 0,373 kal/gr/°C (Peter, 1995).
Kitosan sendiri merupakan senyawa kimia yang merupakan turunan dari kitin. Struktur
kimia kitosan yakni 2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa (merupakan hasil dari deasetilasi
dari kitin, dan merupakan polisakarida kationik) menurut Monarul Islam et al. (2011).
Dikatakan polisakarida kationik karena struktur kimianya terdapat gugus asetil yang
hilang dan tersisa gugus amina dalam bentuk bebas, dari struktur ini lah kitosan
memiliki fungsi sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah yang banyak
4
5
mengandung protein (Hartati et al., 2002). Tambahan teori dari Balley et al. (1977)
bahwa kitosan merupakan hasil yang melalui proses hidrolisis dengan basa kuat.
Menurut Monarul Islam et al. (2011), kitosan memiliki sifat sebagai antimikroba. Dari
teori Dunn et al. (1997) kitosan tidak dapat larut dengan air, dan dapat terdegradasi.
Dalam pembuatan kitin dan kitosan ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yakni
tahap pertama adalah demineralisasi, tahap kedua adalah deproteinasi dan ketiga adalah
deasetilasi kitin menjadi kitosan. Demineralisasi adalah proses penghilangan mineral
yang ada pada kitin. Pada praktikum ini diperlukan adanya demineralisasi karena bahan
yang digunakan adalah kulit udang yang kandungan protein dan mineralnya tinggi
(Suhartono, 1989).
Pada tahap pertama yakni demineralisasi, pertama-tama limbah udang yang digunakan
dicuci dengan air kemudian dikeirngkan dan dicuci lagi dengan menggunakan air panas
sebanyak dua kali ulangan. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang
menempel pada kulit udang. Pencucian dengan air panas dilakukan untuk
menghilangkan mikroorganisme yang tidak diharapkan. Setelah dicuci dengan air panas
maka dikeringkan terlebih dahulu, pengeringan ini dengan tujuan agar air yang
digunakan untuk mencuci limbah tadi menguap sehingga kadar air pada limbah dapat
dikurangi, sehingga dengan kadar air yang berkurang maka mikroorganisme tidak dapat
tumbuh. Kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak, penghancuran ini
menurut Naznin (2005) merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk memperluas
luas permukaan agar dapat berkontak dengan larutan yang akan digunakan dalam proses
selanjutnya dengan maksimal dan lebih efisien.
Setelah dilakukan pengayakan, maka diambil 10 gram dari serbuk yang telah diayak
tadi dan diletakkan didalam beaker glass. Kemudian serbuk tadi dicampur dnegan
larutan HCl (10:1) dengan 100 ml HCl dan 10 gram kitin. Larutan HCl yang digunakan
pada masing-masing kelompok berbeda, yakni 0,75N untuk kelompok C1 dan C2,
konsentrasi 1N untuk kelompok C3 dan C4, dan konsentrasi 1,25N untuk kelompok C5
dan C6. Setelah penambahan ini,diaduk dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
HCl digunakan menurut Suhardi (1992) untuk menghilangkan mineral yang ada dalam
5
6
serbuk kulit udang tadi, dimana kulit udang mengandung mineral seperti kalsium
karbonat dan dengan penambahan HCl ini makan kalsium karbonat dapat dihilangkan.
Proses pengadukan menurut Fachruddin (1997) dilakukan agar antara serbuk kulit
udang yang dicampurkan dengan larutan HCl ini dapat menjadi homogen/tercampur
rata. Menurut Puspawati & Simpen (2010) pemanasan yang dilakukan setelah
pencampuran serbuk kulit udang dengan HCl ini agar proses penghilangan mineral
dapat dipercepat dengan pemanasan, mengingat sifat kitin yang mudah terdegradasi
menurut teori Ornum (1992). Setelah proses pemanasan selesai berlangsung lalu
rendemen tadi dicuci dengan air hingga didapatkan pH netral yang dilakukan dengan
menggunakan kertas lakmus hingga didapatkan warna yang sesuai dengan indikator
warna yang ada. Penertralan ini menurut Bartnicki-Garcia (1989) agar kandungan
mineral yang masih ada dalam serbuk kulit udang menghilang dan kitin yang diperoleh
tidak menguap saat dioven. Setelah dicapai pH netral, maka serbuk tadi dikeringkan
kedalam oven selama 24 jam dengan suhu 80°C dengan tujuan agar kandungan air yang
tersisa hilang dan produk kitin dapat menjadi bubuk kembali. Keesokan harinya
persentasi rendemen dapat dihitung.
Proses kedua yang dilakukan adalah deproteinasi yang merupakan proses penghilangan
protein menggunakan larutan alkali dan pemanasan agar kadar protein yang ada dapat
dikurangi (Lehninger, 1975). Langkah pertama, dari hasil demineralisasi yakni tepung
kulit udang dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1. NaOH merupakan
larutan alkali yang dapat mengubah konformasi kristalin kitin yang rapat jadi enzim
dapat lebih mudah masuk ke polimer kitin menurut Martinou et al. (1995). Selain itu
menurut Suharto (1984) penambahan NaOH dengan konsentrasi 3,5% ini telah sesuai
karena paling efektif dalam menghilangkan protein. Setalah pencampuran dengan
NaOH, larutan dipanaskan diatas hot plate selama 1 jam dengan suhu 90°C. Pemanasan
dilakukan untuk mendenaturasi protein sehingga mineral makin mudah terpisah dan
NaOH semain terkonsentrasikan jadi hasil yang didapatkan lebih optimal menurut
Ramadhan et al. (2010). Menurut Laila & Hendri (2008), pengadukan yang dilakukan
saat pemanasan perlu dilakukan untuk meratakan pemanasan dan untuk menghindari
peluapan gelembung udara yakni gas CO2 saat pemanasan terjadi. Setelah itu disaring
dan kemudian didinginkan lalu dicuci hingga pH nya netral. Pendinginan ini dilakukan
6
7
agar padatan dan cairan yang tidak larut dapat terpisah sehingga dapat mempermudah
proses berikutnya. Pencucian hingga pH netral ini dilakukan untuk menghilangkan
protein dan mencegah kitin teruap pada proses pengeringan (Bartnicki-Garcia, 1989).
Pencucian sendiri dapat mempengaruhi penggembungan kitin dengan alkali yang akan
menyebabkan proses hidrolisis basa pada gugus asetamida yang ada pada rumus kimia
kitin semakin efektif. Setelah diuji bahwa pH yang didapatkan netral dengan kertas
lakmus, residu yang didapatkan dikeringkan didalam oven selama 24 jam dengan suhu
80°C, menurut Roger (1986) pengeringan ini dilakukan agar air yang tersisa dapat
teruapkan. Keesokan harinya, berat kering dari kitin ditimbang dan rendemen yang
diperoleh dapat dihitung.
Proses ketiga yang dilakukan adalah deasetilasi kitin menjadi kitosan. Deasetilasi
sendiri merupakan penghilangan gugus asetil yang ada dalam kitin dapat tergantikan
oleh gugus amino sehingga kitosan terbentuk dengan menggunakan NaOH (Muzzarelli
& Peter, 1997). Pada tahap ini, pertama-tama kitin yang sudah dikeringkan ditambahkan
dengan NaOH dengan berbagai macam konsentrasi yang berbeda, untuk kelompok C1
dan C2 menggunakan NaOH dnegan konsentrasi 40%, untuk kelompok C3 dan C4
menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%, dan untuk kelompok C5 dan C6
menggunakan NaOH dengan konsentrasi 60%. Pemberian NaOH ini ditambahkan
dengan perbandingan 20 banding 1. Penambahan NaOH pada tahap deasetilasi ini
dengan tujuan agar proses deasetilasi berlangsung dengan cepat dan sempurna menurut
teori Naznin (2005). Ditambah dengan teori dari Ramadhan et al. (2010) dengan adanya
konsentrasi alkali yang makin tinggi maka akan memecah ikatan gugus karboksil dalam
atom nitrogen yang strukturnya tebal dan panjang, oleh sebab itu pada praktikum ini
dilakukan dengan 3 macam konsnetrasi alkali yang berbeda untuk dilihat mana
konsentrasi yang lebih efisien untuk digunakan dalam menghasilkan rendemen yang
tinggi. Menurut Angka & Suhartono (2000) alkali akan memperepat proses deasetilasi
karena gugus amino akan menggantikan gugus asetil kitin yang ada dalam larutan.
Kemudian larutan diaduk dan dipanaskan selama 1 jam dengan suhu 90oC. Menurut
Reece et al. (2003) pengadukan dilakukan agar panas rata dari derajat deasetilasi
kitosan, karena dengan peningkatan suhu yang terjadi akan meningkatkan derajat
deasetilasi. Adanya peningkatan suhu dan derajat deasetilasi karena pemanasan maka
7
8
pH yang dihasilkan akan menjadi basa jadi setelah proses pemanasan, larutan dicuci
dengan air hingga pH-nya menjadi netral. Setelah tercapai pH netral maka dikeringkan
didalam oven dengan suhu 70oC selama 24 jam. Menurut Rogers (1986), pengeringan
dilakukan agar air yang ada teruapkan dan kitosan yang dihasilkan kering. Berat kering
kitosan ditimbang dan persentase rendemen yang diperoleh dihitung.
Hasil pengamatan yang diperoleh, didapatkan data rendemen kitin 1, rendemen kitin 2
dan rendemen kitosan 3. Dari hasil yang didapatkan pada rendemen kitin I, dapat
disimpulkan rendemen kitin yang diperoleh pada penambahan HCl dengan konsentrasi
1N lebih besar dibandingkan dengan penambahan HCl 0,75N dan 1,25N. Hal ini tidak
sesuai dengan teori yang ada yakni teori yang dikemukakan oleh Laila & Hendri (2008)
dimana seharusnya konsnetrasi HCl yang tinggi akan meningkatkan hasil rendemen
kitin yang dihasilkan karena mineral-mineral yang ada dalam serbuk udang makin
mudah untuk lepas. Ketidak sesuaian praktek dan teori yang ada ini dikarenakan adanya
proses percobaan yang kurang sempurna, misalnya saat pencucian ada kitin yang
terbuang jadi ada ketidaksesuaian dalam perhitungan sehingga menghasilkan hasil
persentase rendemen yang tidak akurat.
Pada hasil rendemen kitin II, dapat dilihat bahwa hasil rendemen kitin yang didapatkan
berbeda-beda pada masing-masing kelompok. Kelompok yang mendapatkan rendemen
paling kecil adalah kelompok C4, sedangkan kelompok C2 dan C5 mendapatkan
persentase rendemen kitin yang sama besarnya. Penambahan NaOH pada tahap ini
sama, yakni dengan perbandingan 6 banding 1. Adanya perbedaan yang dihasilkan pada
masing-masing kelompok ini karena adanya perbedaan dari awal (persentase rendemen
I dari proses demineralisasi dimana ada kitin yang terbuang saat pencucian). Proses
pencucian dengan air akan berpengaruh pada jumlah kitosan yang didapatkan, air yang
digunakan dapat mengandung mineral sehingga bila dipanaskan dapat menjadi garam
seperti kalsium (yang merupakan mineral), oleh sebab itu menurut Ramadhan et al.
(2010) yang paling akurat dalam proses pencucian seharusnya menggunakan aquades.
Pada hasil terakhir yakni rendemen kitosan III, dapat dilihat bahwa persentase yang
paling besar dimiliki oleh kelompok C2 kemudian diikuti dengan kelompok C5, C6, C4,
C3 dan C1 dimana kelompok C2 menggunakan NaOH dengan konsentrasi 40%.
8
9
Adanya perbedaan antar tiap kelompok dikarenakan adanya perbedaan konsnetrasi
NaOH yang ditambahkan pada masing-masing kelompok. Namun pada hasil yang
didapatkan ini tidak sesuai dengan teori Ramadhan et al. (2010) dimana konsentrasi
NaOH yang ditambahkan semakin besar akan meningkatkan hasil rendemen kitosan.
Kelarutan protein dan mineral pada kondisi alkali lebih besar dibandingkan dalam
kondisi asam karena ada proses hidrolisis yang lebih tinggi pada keadaan alkali menurut
Fennema (1985). Adanya ketidaksesuaian dengan teori yang ada ini karena adanya
kesalahan saat proses demineralisasi maupun deproteinasi dimana mineral maupun
protein yang sehatusnya dihilangkan belum hilang secara sempurna, selain itu ada pula
kemungkinan kitin yang terbuang saat pencucian sehingga berdampak pada perhitungan
selanjutnya. Adanya perbedaan cara pengadukan pada masing-masing praktikan juga
dapat mempengaruhi hasil yang didapatkan, menurut Reece et al. (2003) pengadukan
yang berlebihan akan meningkatkan derahat deasetilasi kitosan jadi walaupun
konsnetrasi NaOH yang ditambahkan kecil dengan pengadukan yang berlebihan ini
makan rendemen yang dihasilkan bisa lebih tinggi dibandingkan yang diberi konsentrasi
NaOH tinggi namun pengadukannya biasa saja.
9
3. KESIMPULAN
Kulit udang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kitin dan kitosan.
Kitosan mengandung senyawa anti mikroba, dan dapat digunakan sebagai agen
pengkelat bahan metal.
Enzim lisozim dan gugus amino polisakarida dapat menghambat pertumbuhan
mikroba.
Ada 3 tahap pembuatan kitin dan kitosan yakni demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi.
Kitin memiliki rumus kimia: 2-asetamida-2-dioksi-D-Glukosa dengan ikatan β-
glikosidik (1,4).
Kitin merupakan bahan yang mudah terdegradasi.
Kitosan merupakan hasil turunan kitin dengan struktur kimia: 2-amino-2-dioksi-β-
D-Glukosa.
Kitosan merupakan hasil deasetilasi dari kitin.
Kitosan tidak dapat larut dalam air dan dapat terdegradasi.
Demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral.
Kulit udang mengandung banyak mineral.
Pencucian dengan air panas guna untuk mengontrol pertumbuhan mikroba.
Penghancuran bahan dilakukan untuk memperluas luas permukaan agar kontak
dengan pelarut lebih efisien.
HCl digunakan untuk menghilangkan mineral yang ada dalam kulit udang.
pH netral dapat berfungsi untuk menjaga kandungan kitin agar tidak menguap saat
dikeringkan.
Deproteinasi merupakan proses penghilangan protein dengan menggunakan larutan
alkali.
Deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil yang ada dalam kitin dan
digantikan oleh gugus amino.
Konsentrasi HCl yang tinggi akan menghasilkan persentase rendemen yang tinggi.
Konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan persentase rendemen yang
tinggi.
Semarang, 17 September 2014 Asisten Dosen
11
- Stella Gunawan
Melina Kiswandihardjo
12.70.0033
11
12
4. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bartnicki-Garcia, S. (1989). The biological cytology of chitin and chitosan synthesis infungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin andChitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.
Beaney, P; J. L. Mendoza & M. Healy. (2005). Comparison of Chitins Produced by Chemical and Bioprocessing Methods. J. Chem Technol Biotechnol 80:145–150.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and properties of chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hartati, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor- Faktor yangBerpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009 /SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Limam, Zouhour. et al. (2011). Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647
12
13
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan, http://rudyct.topcities.com/pps702_7103 4/marganof.htm. Diakses tanggal 11 September 2014.
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr Res 273:235-242
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Monarul, Md I; Masum, Md Shad; Mahbubur, M R; Ashaful, Md Islam Mola; Shaikh, A; Roy, SK. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences. Bangladesh.
Muzzarelli, R. A. A. & M. G. Peter. (1997). Chitin Handbook. Eds., Atec, Grottammare, Italy. ISBN 88-86889-01-1.
Muzzarelli, R.A.A, (1985). “Chitin”. Pergamon Press, New York.
Muzzarelli, R.A.A. (1977). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.
Naznin, R. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7): 1051-1054, 2005.
Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.
Paul, Jiffy P; Jesline, Sharmila JW; & Mohan, K. (2013). Development of Chitosan based Active Film to Extend The Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
13
14
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Suhardi. (1992). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suhartono MT. (1989). Enzim dan bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.IPB.
Van, Nguyen Toan. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. School of Biotechnology International University. Vietnam.
Van, Nguyen Toan. (2011). Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shell Using Salicylic Acid Pretreatment. School of Biotechnology International University. Vietnam.
Yen, Ming-Tsung; Yang, Joan-Hwa; Mau, Jeng-Leun. (2008). Physicochemical characterization of Chitin and Chitosan from Crab Shells. Journal Carbohydrate Polymers. Taiwan.
14
15
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Kelompok C1
Rendemen Kitin I =
Rendemen Kitin II =
Rendemen Kitosan =
Kelompok C2
Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin II
Rendemen Kitosan
Kelompok C3
Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin II
Rendemen Kitosan
Kelompok C4
Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin II
Rendemen Kitosan
Kelompok C5
Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin II
Rendemen Kitosan
15
16
Kelompok C6
Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin II
Rendemen Kitosan
5.2. Scan Viper
5.3. Diagram Alir
5.4. Laporan Sementara
16