Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

22
Acara III CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 Kelompok: C3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

description

Kitin merupakan komponen terbesar dalam kulit udang, dan dapat banyak digunakan dalam industri pangan dengan cara memproses kitin agar menjadi kitosan. Kitosan didapatkan melalui deasetilasi kitin setelah didapatkan kitin melalui proses demineralisasi dan deproteinasi. Pada praktikum kitin dan kitosan akan dilakukan pembuatan kitin dan kitosan sesuai dengan prosedur yaitu dengan melakukan demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi

Transcript of Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

Page 1: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

Acara III

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Rudyanto Kurniawan 12.70.0168

Kelompok: C3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

Page 2: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1

berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan III (%)

C1 Kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

20 20 7,843

C2 Kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

32 33,333 17,500

C3 Kulitudang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

24 20 11,429

C4 Kulitudang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

41 16,667 11,763

C5 Kulitudang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

29 33,333 14,285

C6 Kulitudang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

35 28,571 11,765

Berdasarkan data dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa perlakuan yang diberikan

untuk setiap kelompok adalah berbeda. Dapat dilihat pada hasil pengamatan tersebut

hasil yang didapatkan juga berbeda, pada rendemen kitin I, didapatkan hasil yang paling

tinggi adalah pada kelompok C4 dengan perlakuan kulit udang + HCl 1 N + NaOH

3,5% + NaOH 50%, yaitu 41%, yang paling rendah adalah pada kelompok C1 dengan

perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 20%. Dapat

dilihat pada rendemen kitin II, ada persentase yang meningkat misalnya pada kelompok

C2 dan C5, dan ada juga yang menurun, pada kelompok C4 dan C6 dan bahkan ada

yang tetap, misalnya pada kelompok C1. Pada rendemen kitin II, yang paling tinggi

adalah kelompok C2 dan C5 yaitu 33,333%: dan yang paling rendah adalah kelompok

C4 yaitu 16,667%. Pada rendemen kitosan, didapatkan hasilnya menurun semua, yang

paling tinggi adalah pada kelompok C2 dengan perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N +

NaOH 3,5% + NaOH 40%, yaitu 17,500% dan yang paling rendah adalah kelompok C1

dengan perlakuan kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 7,843%.

Dapat disimpulkan bahwa setelah menjadi kitosan, persentase rendemen akan menurun,

1

Page 3: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

2

dapat diasumsikan hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor. Dalam data tersebut,

tidak dapat dilihat pola perubahan pada masing – masing rendemen berdasarkan

perbedaan perlakuan terhadap masing – masing kulit udang yang diuji.

Page 4: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, dilakukan percobaan pembuatan Kitin kitosan dengan bahan dasar

kulit udang. Menurut Prabandari et al(2005) udang memiliki limbah yang banyak dan

perlu dimanfaatkan agar menjadi sesuatu yang lebih berguna. Hal tersebut dapat

dilakukan untuk mencegah pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan sekitar.

Limbah kulit udang dapat dimanfaatkan karena mengandung zat kitin dalam jumlah

yang cukup besar. Untuk udang dengan persentase kitin yang paling besar yaitu udang

windu, memiliki persentase kitin sebesar 99,1%. Proses pembuatan kitin kitosan

tidaklah terlalu susah, cukup sederhana dan sudah dapat menghasilkan kitin kitosan

dengan kualitas yang cukup baik. Menurut Muzzarelli (1985), kitin adalah biopolimer

yang berada dalam kulit udang yang memiliki unit N-asetil-D-glukosamin yang terikat

pada ikatan β 1,4. Kitin pada umumnya terbentuk sebagai kristal yang berwarna putih,

tidak berbau, tidak dapat larut dalam air dan tidak berasa. Kitin memiliki rumus molekul

(C8H13NO5)n. Ditambahkan juga dari pernyataan Shaikh et al(2011), kitosan adalah

polimer karbohidrat alami yang didapatkan dari deasetilasi kitin. Kitosan memiliki

rumur struktur 2-amino-2- deoxy-β- D-glucopyranose

Marganov (2003), kitin tergolong sebagai polisakarida glukosamin yang berantai lurus,

dan nama lainnya adalah β (1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-

Glukosamin). Kitin dapat diproses menjadi kitosan melalui proses deasetilasi. Menurut

Van Toan(2014), kitin kitosan dapat juga digunakan untuk kebutuhan biomedis seperti

untuk mengobati luka dan menjaga kesehatan kulit di Jepang. Menurut Ming et

al(2009), kitin dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu α-kitin, β-kitin dan γ-kitin. α-kitin

memiliki struktur rantai antiparalel, sedangkan β-kitin memiliki ikatan hidrogen rantai

paralel dan γ-kitin memiliki ikatan paralel dan antiparalel..Menurut Jiffy et al(2013),

kitin dapat ditemukan di dalam dinding sel fungi, eksoskeleton beberapa organisme

seperti crustaceans, arthropoda, serangga, moluska, dan sebagainya. Kitin dan kitosan

sudah banyak digunakan sebagai bahan tambah dalam industri, yaitu untuk

meningkatkan kualitas bahan pangan, meningkatkan umur simpan dalam bahan pangan.

Berikut adalah tabel yang menyajikan tentang komponen yang terdapat di dalam

kitosan:

3

Page 5: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

4

Kadar air 2,2%

Karbohidrat 82%

Mineral 0,7%

Protein 0,83%

Turbiditas 20,2 NTU

Water Binding Capacity 450%

Fat Binding Capacity 290%

Menurut Van Toan(2014), salah satu parameter penting untuk melihat kualitas kitin

kitosan adalah viskositas. Kualitas dari kitin kitosan dapat dilihat dari viskositasnya,

apabila viskositasnya semakin tinggi, maka kualitas kitin kitosan akan semakin baik.

Hal tersebut dapat dikuatkan dari pernyataan Tokura (2006), bahwa setiap harinya

viskositas kitosan akan menurun seiring dengan berkurangnya viskositasnya. Menurut

Suhardi (1992), di dalam kulit udang, kitin tidak berdiri sendiri namun menjadi suatu

gabungan antara kitin, dengan potein, garam anorganik dan pigmen. Kitin banyak

digunakan dalam industri pangan dan kosmetik, dan di dalam kitin terdapat enzim yang

merupakan bahan pendukung contohnya enzim lakatase, papain, kimotripsin, asam

fosfatase. Menurut Dunn et al(1997) kitosan merupakan produk turunan kitin yang

didapatkan melalui beberapa tahap pemrosesan. Sifat dari kitosan adalah dapat larut di

dalam asam asetat, asam sitrat, dan asam format. Selain itu kitosan dapat berperan

sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah industri, terutama limbah industri

yang mengandung protein tinggi. Selain itu, kitosan juga dapat digunakan untuk

mengontrol penyakit – penyakit yang timbul pasca panen. Kitosan dapat berperan

sebagai zat anti-mikrobial dan dapat memberikan pertahanan pada jaringan tumbuhan.

Dalam praktikum ini dilakukan percobaan dalam pembuatan kitosan yang diproses

mulai dari awal hingga akhir. Menurut Hargono et al (2008), tahap dalam pembuatan

kitosan umumnya melalui tahap pencucian, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.

Tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan kadar mineral(CaCO3)

yang terlalu tinggi, deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terlalu

tinggi dan terbentuk kitin, terakhir adalah deasetilasi bertujuan untuk mengurangi gugus

alkil pada kitin agar menjadi kitosan. Dalam praktikum ini, dilakukan langkah – langkah

tersebut untuk mendapatkan kitosan. Tahap awal yang dilakukan dalam praktikum ini

Page 6: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

5

adalah diawali dengan pembuatan kitin(demineralisasi dan deproteinasi), yang diawali

dengan tahap pencucian. Pencucian dilakukan dengan mencuci limbah udang dengan air

mengalir, dan dikeringkan, kemudian dicuci dengan air panas 2 kali lalu dikeringkan

kembali. Menurut Astawan & Astawan (1988), pencucian dilakukan bertujuan untuk

menghilangkan kotoran yang masih menempel agar tidak menganggung proses

ekstraksi kitin. Lalu limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak

dengan ayakan 40-60 mesh. Menurut Bastaman(1989), pengancuran kulit udang

bertujuan untuk memperluas permukaan bahan agar reaksi dengan pelarut lebih cepat.

Kemudian, dilakukan proses demineralisasi dengan mencampur serbuk limbah udang

dengan HCl dengan perbandingan (10:1) dengan konsentrasi 0,75 N, 1 N dan 1,25 N.

Menurut Muzarelli(1997), penambahan HCl adalah untuk melarutkan garam – garam

inorgaik dan mineral di dalam udang, terutama CaCO3. Ditambahkan juga dari

pernyataan Bastaman(1989) bahwa penambahan HCl digunakan untuk merlarutkan

mineral yang terkandung di dalam kulit udang, karena mineral dalam kulit udang juga

cukup tinggi yaitu sekitar 30-50% dari berat kering kulit udang. Reaksi antara HCl dan

CaCO3 akan membentuk kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut

dalam air. Komponen mineral tersebut juga dapat dilarutkan dengan menggunakan

H2SO4 atau asam laktat. Kemudian dilakukan pengadukan pada suhu 90oC dan

dilakukan selama 1 jam. Setelah pengadukan, dilakukan pencucian sampai pH netral

dan dikeringkan di dalam oven selama 24 jam. Menurut Muzzarelli (1977) proses

pemanasan yang dilakukan pada tepung udang pada suhu 90o akan menghasilkan

senyawa pyrazine yang berguna sebagai penambah cita rasa. Sedangkan proses

pengadukan menurut pernyataan Bastaman (1989,) bertujuan untuk menjaga

homogenitas larutan tepung udang yang sedang diproses. Dan untuk pengeringan di

dalam oven, menurut Fellows(1990), bertujuan untuk mengeringkan dan mengurangi

kadar air yang ada di dalam bahan pangan yang dikeringkan untuk mencegah

pertumbuhan mikroorganisme mengingat bahwa air merupakan media pertumbuhan

mikroorganisme yang baik.

Kemudian dilakukan proses deproteinasi dengan menambahkan NaOH 3,5% dengan

perbandingan (6:1). Menurut Johnson & Peterson (1974), prinsip dasar dari deproteinasi

adalah untuk memisahkan kitin dengan protein. Ditambahkan juga dari pernyataan

Page 7: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

6

Bastaman(1989), deproteinasi bertujuan untuk memisahkan ikatan yang mengikat

protein dengan kitin dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi antara 2-3%.

Ditambahkan juga dari pernyataan Martinou et al (1995) , bahwa larutan NaOH akan

mengubah konformasi dari kristalin kitin yang rapat, sehingga enzim akan lebih mudah

untuk penetrasi agar proses deasetilasi polimer dapat berjalan dengan baik. Menurut

Rogers (1986), larutan NaOH akan terionisasi di dalam air kemudian terbentuk ion

natrium dan ion hidroksida. Pada tahapan ini, asam akan mendorong ion hidroksida

dengan ion hidrogen bereaksi dan membentuk molekul air atau H2O. Kemudian

dilakukan pengadukan selama 1 jam sambil dipanaskan pada suhu 90oC. Kemudian

dilakukan pencucian dengan kain saring sampai didapatkan pH netral. Kemudian dioven

selama 24 jam dan hasil yang didapatkan adalah berupa kitin. Menurut Rogers (1986),

pemanasan pada suhu 90oC dalam proses deproteinasi adalah untuk menguapkan air dan

untuk mengkonsentrasikan NaOH, dan pengadukan dilakukan agar NaOH yang

digunakan lebih cepat bereaksi dengan kulit udang hasil deminerealisasi dan menjaga

agar proses deproteinasi dapat berjalan dengan baik. Proses pencucian akan

mempengaruhi sifat penggembungan kitin terhadap basa.

Terakhir yang dilakukan adalah deasetilasi. Deasetilasi merupakan proses yang

melibatkan pengubahan gugus asetil (-NHCOCH3) yang terdapat pada kitin untuk

menjadi gugu amina (NH2) pada NaOH pekat dengan persentase cukup tinggi Berikut

adalah reaksi yang terjadi dalam reaksi deasetilasi:

(C8H13NO5)n+ NaOH =>(C6H11NO2)n + CH3COONa.

Mastuti (2005)

Pada tahap ini, pertama kitin ditambahkan dengan NaOH pada persentase yang berbeda,

40%, 50% dan 60% dengan perbandingan (20:1). Menurut Rochima et al(1991)

penambahan NaOH dalam deasetilasi adalah bertujuan untuk mereduksi air, memutus

ikatan antara atom N(nitrogen) dengan gugus karboksil. Struktur kitin cukup tebal dan

kuat sehingga dapat mengatasi masalah yang biasa timbul pada masalah senyawa gugus

N-asetil. Menurut Martinou et al(2005),penggunaan NaOH pada konsentrasi ¿ 40%

akan mengasilkan rendemen pada kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi. Pada

tahapan tersebut, gugus fungsional amino(-NH3+) akan mensubstisuti gugus asetil kitin

Page 8: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

7

dalam sistem larutan dan menjadi semakin aktif.. Kemudian dilakukan pengadukan

selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan

pemanasan pada suhu 90oC selama 1 jam, kemudian disaring dan dicuci sampai pH

netral. Lalu dioven selama 24 jam dan didapatkan kitosan. Menurut Puspawati et al

(2010) pemanasan dapat menaikkan derajat deasetilasi, maka tujuan dari proses

pemanasan tersebut adalah agar didapatkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang

tinggi. Menurut Rogers(1986), pendinginan yang dilakukan selama 30 menit adalah

bertujuan untuk mengendapkan kitosan secara maksimal pada bagian bawah.

Berdasarkan hasil pengamatan yang ada dalam praktikum ini, dapat dilihat adanya hasil

yang berbeda – beda satu sama lain, pada rendemen kitin I, didapatkan hasil yang paling

tinggi adalah pada kelompok C4 dengan perlakuan kulit udang + HCl 1 N + NaOH

3,5% + NaOH 50%, yaitu 41%, yang paling rendah adalah pada kelompok C1 dengan

perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 20%. Dapat

dilihat pada rendemen kitin II, ada persentase yang meningkat misalnya pada kelompok

C2 dan C5, dan ada juga yang menurun, pada kelompok C4 dan C6 dan bahkan ada

yang tetap, misalnya pada kelompok C1. Pada rendemen kitin II, yang paling tinggi

adalah kelompok C2 dan C5 yaitu 33,333%: dan yang paling rendah adalah kelompok

C4 yaitu 16,667%. Pada rendemen kitosan, didapatkan hasilnya menurun semua, yang

paling tinggi adalah pada kelompok C2 dengan perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N +

NaOH 3,5% + NaOH 40%, yaitu 17,500% dan yang paling rendah adalah kelompok C1

dengan perlakuan kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 7,843%.

Dapat disimpulkan bahwa setelah menjadi kitosan, persentase rendemen akan menurun,

dapat diasumsikan hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor. Dalam data tersebut,

tidak dapat dilihat pola perubahan pada masing – masing rendemen berdasarkan

perbedaan perlakuan terhadap masing – masing kulit udang yang diuji. Hasil dalam

praktikum ini tidak sesuai dengan teori Johnson dan Peterson (1974), bahwa dengan

semakin tingginya konsentrasi asam maka rendemen kitin yang didapatkan akan

menjadi semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan semakin tingginya

konsentrasi asam dan basa maka ikatan protein dan mineral dengan kitin akan semakin

mudah dilepaskan dan didapatkan kitin dengan rendemen yang semakin besar. Hal yang

sama juga berlaku untuk kitosan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya beberapa

Page 9: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

8

kemungkinan salah satunya adalah menurut Fennema (1985), kitin yang dihasilkan bisa

jadi menghasilkan hasil yang kurang maksimal, salah satunya adalah karena

deproteinasi yang tidak sempurna, salah satunya adalah saat penetralan dan pencucian

dengan air, dan ada komponen yang terbuang bersama dengan air atau bisa jadi masih

ada mineral yang tertinggal saat demineralisasi yang mengganggu proses deproteinasi.

Ketidaksesuaian juga dapat terjadi karena pernyataan Hong et al(1989), bahwa apabila

penggunaan basa pada rendemen kitosan semakin tinggi, maka rendemen kitosan akan

menjadi semakin rendah yang disebabkan oleh adanya depolimerisasi rantai kitosan.

Depolimerisasi tersebut akan menyebabkan menurunnya berat molekul kitosan.

Menurut Johnson & Peniston (1982), suhu sangat mempengaruhi berat molekul kitin

dan kitosan, karena dapat memecah ikatan polimer dalam kitin dan kitosan. Sehingga

dapat diasumsikan bahwa ikatan polimer pecah karena penggunaan suhu hotplate yang

terlalu tinggi. Adapun salah satu solusi yang bisa kita lakukan. Menurut Angka &

Suhartono (2000) demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah dilakukan ekstraksi

protein, karena apabila proses demineralisasi dilakukan sebelum ekstraksi protein, maka

dapat terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral yang mengganggu

proses deproteinasi.

Page 10: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Kitin dapat dihasilkan dari penggunaan kulit udang

Kitin dapat ditemukan di dalam cangkang hewan moluska, arthropoda, serangga

Kitosan merupakan produk turunan hasil deasetilasi kitin

Kualitas kitin dapat dilihat dari viskositasnya yang terus menurun dari waktu ke

waktu

Dalam pembuatan kitosan diawali dengan pembuatan kitin yang meliputi proses

demineralisasi dan deproteinasi

Untuk membuat kitosan, dilakukan deasetilasi kitin.

Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral dengan menggunakan

HCl

Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dengan menggunakan

NaOH

Deasetilasi dilakukan untuk membentuk kitosan dengan menggunakan NaOH

berkonsentrasi tinggi

Demineralisasi yang tidak sempurna akan mengganggu proses deproteinasi

Ada baiknya jika proses demineralisasi dilakukan setelah deproteinasi.

Semarang, 15 September 2014 Asisten dosenStella Gunawan

Rudyanto Kurniawan12.70.0168

9

Page 11: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.

Bastaman S. (1989). Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan from Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Fellows, P. (1990). Food Processing Technology Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.

Hargono, Abdullah dan Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57.

Hartati, F. K.; T. Susanto; S. Rakhmadiono; dan L. Adi. (2002). Faktor-faktor yang Bepengaruh Terhadap Tahap Deproteinasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Biosain 2(1) April 2002.

Jiffy Paul P, Sharmila Jesline J.W & K. Mohan (2013) Development of chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The Manjang, Y., 1993, Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Khitosan, JurnalPenelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan, http://rudyct.topcities.com/pps702_7103 4/marganof.htm., 15 Desember 2007.

Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr Res273:235-242.

Mastuti W, Endang. (2005). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Suhu Pada Proses DeasetilasiI Khitin dari Udang. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/j-kim-4-1-12.pdf.

10

Page 12: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

11

Md. Monarul Islama, Shah Md. Masumb, M. Mahbubur Rahmana, Md. Ashraful Islam Mollab, A. A. Shaikhc, S.K. Roya (2011) Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties

Ming-Tsung Yen a, Joan-Hwa Yang b, Jeng-Leun Mauc,(2009) Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells

Muzzarelli, R.A.A., (1985), ”Chitin in the Polysaccharides”, vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego.

Muzzarelli, RAA. (1997). Depolymerization of chitins and chitosans with hemicellulase, lysozyme, papain, and lipases. Di Dalam RAA. Muzzarelli dan MG Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc, Grottamare.

Nguyen Van Toan. (2014).Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Preatreatment

Nguyen Van Toan. (2014). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials.

No H.K dan S.P. Meyers. (1997). Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam R.A.A. Muzzarelli dan M.G. Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc., Grottamare

Prabandari, R.; A. Mangalik; J. Achmad; dan Agustina. (2005). Pengaruh Waktu Perebusan dari Dua Jenis Udang yang Berbeda Terhadap Kualitas Tepung Limbah Udang Putih (Peneus indicus) dan Udang Windu (Penaeus monodon). EnviroScieniteae 1 (1): 24-28.

Puspawati & Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Kosentrasi NaOH. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/j-kim-4-1-12.pdf.

Rochima, Emma; Sugiyono; Dahrul Syah; and M.T.Suhartono. (2004). Derajat Deasetilasi Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase Isolat Bacillus papandayan K29-14. http:// resources .unpad. ac .id / unpad –content / uploads / publikasi_dosen/Makalah-1.Derajat....pdf.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Tokura (2006). Material Science of Chitin and Chitosan. Kodansha, Tokyo

Page 13: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus perhitungan :

Rendemen kitin I = beratkeringb erat basah I

x 100%

Rendemen kitin II = beratkitinb erat basah II

x 100%

Rendemen kitosan = beratkitosanbera t basah III

x 100%

Hasil perhitungan:

Kelompok C1

Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I

×100 %= 210

×100 %=20 %

Rendemen Kitin II = Berat Kitin

Berat Basah II×100 %=0,5

2,5×100 %=20 %

Rendemen Kitosan = Berat Kitosan

Berat Basah III× 100 %=0,4

5,1× 100 %=7,843 %

Kelompok C2

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,210

x 100 %=32 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,33 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100%=0,7

4x100 %=17,5%

Kelompok C3

Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I

x 100 %=2,410

x 100 %=24 %

12

Page 14: Kitin & Kitosan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

13

Rendemen Kitin II¿beratkitin

beratbasahIIx100%=0,5

2,5x100 %=20 %

Rendemen Kitosan¿beratkitosan

beratbasah IIIx100 %=0,4

3,5x100 %=11,429 %

Kelompok C4

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=4,110

x100 %=41 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,4

2,4x100 %=16,66 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,2

1,7x 100 %=11,764 %

Kelompok C5

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=2,910

x100 %=29 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,333 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,5

3,5x 100 %=14,285 %

Kelompok C6

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,510

x100 %=35 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,8

2,8x 100 %=28,571%

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,4

3,4x100 %=11,765 %

5.2. Jurnal

5.3. Laporan sementara