Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

30
CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Lusia Dewinta MP NIM : 13.70.0133 Kelompok : D1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG Acara II

description

praktikum tentang kitin dan kitosan

Transcript of Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

0

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Lusia Dewinta MP

NIM : 13.70.0133

Kelompok : D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara II

Page 2: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1.Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah antara lain oven, blender, ayakan,

peralatan gelas.

1.1.2.Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain limbah udang, HCL 0,75 N, 1N,

1,25N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 meshdan ditimbang

Page 3: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Page 4: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.2. Deproteinasi

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 5: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

1.2.3.Deasetilasi

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 6: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan persen berat randemen kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemenKitin

I (%)RendemenKitin

II (%)RendemenKitosan

(%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH

50% + NaOH 3,5%

36,84 45,71 46,80

D4HCl1N + NaOH

50% + NaOH 3,5%

34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%

29,17 32,73 39,14

Pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa rendemen kitin kitosan pada setiap kelompok

diberi perlakuan yang berbeda-beda. Pada hasil rendemen I didapatkan hasil bahwa

prosentase tertingi didapatkan pada kelompok D3 yaitu sebesar 36,84% dengan

perlakuan HCl 1N sedangkan yang terendah pada kelompok D5 yaitu 29,17% dengan

perlakuan HCl 1,25N. Untuk rendemen II didapat hasil terbesar pada kelompok D3

yaitu 45,71% dengan perlakuan NaOH 3,5% dan yang terkecil pada kelompok D1 yaitu

25% dengan perlakuan yang sama yaitu NaOH 3,5%. Sedangkan prosentase kitosan

paling besar didapat kelompok D1 yaitu sebesar 48,25% dengan perlakuan NaOH 40%

dan yang terkecil kelompok D5 yaitu 39,14% dengan perlakuan NaOH 60%.

5

Page 7: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Dalam industri pangan, terkhusus industri pengolahan udang saat ini sudah banyak

berkembang di dunia seiring berjalannya waktu. Dalam pengolaha udang akan

didapatkan limbah udang. Limbah udang ini biasanya mengandung biopolimer, kitin,

kitosan, protein, viz dan astaxanthin yang memiliki nilai ekonomi relatif tinggi. Limbah

udang yang dimaksud disini adalah bagian kulit udang. Limbah kulit udang ini biasanya

mencapai 50% - 60% berat utuh udang dengan kitin sebesar 20% - 30%. Apabila limbah

ini dapat dimanfaatkan dengan baik selain dapat mengatasi polusi terhadap lingkungan

air tetapi juga dapat meningkatkan dan memberikan nilai tambahan bagi usaha-usaha

pengolahan ikan (Johnson dan Peniston, 1982). Hal ini sesuai dengan jurnal yang

disusun oleh Ishihara et al.,(2015) dengan judul “Adsorption of Silver Nanoparticles

onto Different Surface Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with

Antimicrobial Activities”, disini beliau menjelaskan bahwa kitin dan kitosan merupakan

polisakarida yang paling banyak ditemukan pada eksoskeleton dari seafood, seperti

kepiting maupun udang. Sedangkan menurut Zaku et al., (2011) dalam jurnalnya yang

berjudul “Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained

from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source” Kitin

adalah polisakarida kedua yang paling melimpah di alam setelah selulosa dan sebagian

besar ada di limbah dari pengolahan produk makanan laut contohnya kepiting dan

udang.

Kitosan merupakan polisakarida alami yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin

(Hussain et,al, 2013). Kitin sendiri merupakan polisakarida linier yang tersusun atas

ikatan (1-4),2-acetamida-2-deoksi-b-D-glukopiranosa sedangkan kitosan merupakan

polisakarida linier yang tersusun atas ikatan (1-4), 2-amino-2-deoksi-b-D-glukopiranosa

(Puvvada et,al,2012). Kitin dan kitosan memiliki sifat sebagai bahan pengemulsi,

koagulan, serta penebal emulsi. Lebih luas, kitin dan kitosan banyak bermanfaat

diberbagai bidang industri modern, antara lain industry farmasi, biokimia, bioteknologi,

biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membrane dan kesehatan

(Puspawati & Simpen, 2010). Secara detail dalam bidang medis, kitin dan kitosan

menunjukkan sifat-sifat biologis yang dapat membantu kesehatan manusia, yaitu dalam

6

Page 8: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

biodegradasi dalam tubuh, imunologi, antibakteri, dan aktivitas penyembuhan luka.

Kitosan sendiri memiliki potensi untuk menjadi materi pendukung dalam proses

pengiriman atau pewarisan gen, kultur sel dan jaringan (Sashiwa&Aiba, 2004).

Pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini dilakukan melalui 3 tahapan yaitu

demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal ini sesuai oleh teori dari Aranaz et al

(2009) yang mengatakan bahwa proses produksi kitin dilakukan melalui beberapa

tahapan utama yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi (perubahan menjadi

kitosan). Hal ini sama dengan pendapat Nguyen Van Toan, (2009) yang menyatakan

bahwa kitin dan kitosan diproduksi dari kulit udang atau limbah udang melalui tiga

tahapan. Tahapan tersebut antara lain adalah demineralisasi dan deproteinasi sehingga

dihasilkan kitin I dan kitin II, dan yang terakhir dilanjutkan dengan tahapan deasetilasi

yang nantinya akan menghasilkan kitosan.

3.1. Demineralisasi

Tahap demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa mineral yang

terkadung dalam limbah udang. Hal ini sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008)

yang menyatakan bahwa proses demineralisasidigunakan untuk menghilangkan garam-

garam inorganik atau kandungan mineral yang ada pada udang, terutama kalsium

karbonat (CaCO3). Dalam proses ini dilakukan beberapa langkah kerja. Mula-mula

limbah dari udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan beberapa saat. Setelah itu

dicuci kembali denghan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian

yang dilakukan pada limbah udang bertujuan untuk membersihkan limbah udang dari

kotoran. Pendapat ini lebih diperkuat lagi dengan adanya teori yang menyatakan bahwa

dalam persiapan, pertama yang harus dilakukan adalah mencuci dengan ai yang

mengalir sehingga kotoran ikut terbawa aliran (Rochima, 2005).

Setelah itu, dilanjutkan dengan penghancuran bahan menjadi serbuk. Penghancuran

bahan ini berujuan untuk membuat luas permukaan bahan atau sering dikatakan

mengecilkan ukuran sehingga saat kontak dengan larutan yang nantinya akan

ditambahkan lebih cepat. Kemudian hasil dari serbuk tersebut diayak dengan ayakan 40-

Page 9: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

60 mesh dengan jumlah serbuk 10 gram setiap kelompok. Pegayakan ini bertujuan

untuk memperluas permukaan partikel.

Kemudian setelah diayak, serbuk dicampur larutan HCl dengan perbandingan 10 : 1.

Untuk kelompok D1 dan D2 ditambahkan larutan HCl 0,75 N, untuk kelompok D3 dan

D4 ditambahkan larutan HCl 1 N dan untuk kelompok D5 ditambahkan larutan HCl

1,25 N. Dalam hal ini Bastaman (1989) mengungkapkan bahwa komponen mineral

dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer, seperti asam klorida, asam sulfat, atau

asam laktat. Dengan demikian, kandungan mineral pada kitin dapat dikurangi. Setelah

penambahan HCl, larutan diaduk dan dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90ºC selama

1 jam. Pengadukan dilakukan untuk meratakan pemanasan supaya mineral semakin

mudah terlepas dan dihilangkan. Residu hasil penyaringan kemudian dikeringkan

selama 24 jam pada 80oC di dalam oven. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan air

yang masih tersisa selama proses pencucian sehingga dihasilkan produk akhir dalam

bentuk kering (Prasetiyo, 2006).

Pada tabel hasil pengamatan diatas, dapat dilihat nilai rendemen kitin I kelompok

kelompok D5 sebesar 29,17% dengan perlakuan penambahan HCl 1,25N merupakan

nilai yang terkecil, sedangkan kelompok D3 mendapatkan nilai rendemen tertinggi

sebesar 36,84% dengan perlakuan penambahan HCl 1N. Hal ini tidak sesuai dengan

teori Suptijah (2004) yang menyatakan, penambahan asam pada konsentrasi yang

sesuai, dapat melarutkan mineral secara sempurna. Sehingga semakin tinggi konsentrasi

HCl yang ditambahkan seharusnya menghasilkan rendemen kitin I yang semakin besar.

Karena HCl dengan konsentrasi tertinggi yaitu yang digunakan oleh kelompok D5 yakni

1,25 N justru mendapatkan nilai terkecil. Ketidaksesuaian hasil dapat disebabkan karena

terdapat rendemen kitin yang hilang ketika dilakukan pencucian dan penyaringan.

Selain itu, menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan

setelah deproteinasi karena pada proses deproteinasi dapat terjadi kontaminasi protein

terhadap cairan ekstrak mineral.

Page 10: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

3.2. Deproteinasi

Tahap kedua yang dikalukan adalah deproteinasi. Proses deproteinasi bertujuan untuk

menghilangkan atau melarutkan protein dari udang dan dilakukan dengan menggunakan

larutan kimia yang bersifat basa (Lehninger, 1975). Hal ini sesuai dengan yang

dilakukan di praktikum, dimana tepung yang dihasilkan dari proses demineralisasi

ditambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk (6:1). Semua

kelompok menggunakan NaOH dengan kadar yang sama. NaOH 3,5% merupakan

larutan basa yang paling efektif untuk memperbesar volume partikel bahan (substrat)

sehingga ikatan antarkomponen menjadi renggang. NaOH 3,5% juga dapat

menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan mengalami deasetilasi pada

proses selanjutnya dan berubah menjadi kitosan (Suharto, 1984). Sedangkan menurut

Winarno (1997), pemanasan dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan

denaturasi protein sehingga protein terlarut dapat berkurang, begitu pula

sebaliknya.Setelah dipanaskan, larutan didinginkan, ditunggu sejenak hingga menjadi

dingin. Pendinginan ini perlusupaya kitin pada larutan dapat mengendap dibawah dan

tidak terbuang saat pencucian (Rogers, 1986).

Selanjutnya dilakukan hal yang sama seperti sebelumnya yaitu dilakukan pemanasan

pada suhu 90oC selama 1 jam sampai tidak ada air yang tersisa. Kemudian dilakukan

pencucian menggunakan kain saring dengan dialiri air mengalir sampai pH menjadi

netral. Kitin harus didinginkan dahulu sebelum dicuci tujuannya supaya kitin dapat

mengendap sehingga tidak terbuang saat pencucian berulang kali (Rogers, 1986).

Pencucian hingga pH netral juga dapat mempercepat penghilangan mineral dan

mencegah terjadi degradasi produk yang disebabkan oleh gugus amino bebas (Suptijah,

2004). Setelah itu dilakukan penimbangan dnegan menggunakan timbangan analiti,

berat yang didapatkan dianggap sebagai berat basah II. Kemudian dilanjutkan kembali

dengan proses pengeringan pada suhu 80oC selama 24 jam lamanya. Lehninger (1975),

menyatakan bahwa penambahan basa dalam pembuatan kitin dan kitosan ini memiliki

perbandingan 6:1. Hal ini sudah sesuai dengan praktikum kali ini. Dari proses ini maka

sudah terbentuk kitin.

Page 11: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Pada tabel hasil pengmatan diatas, untuk rendemen II didapat hasil terbesar pada

kelompok D3 yaitu 45,71% dengan perlakuan NaOH 3,5% dan yang terkecil pada

kelompok D1 yaitu 25% dengan perlakuan yang sama yaitu NaOH 3,5%. Dalam hal ini,

beberapa kelompok seperti kelompok D1 dan D2 mengalami penurunan rendemen jika

dibandingkan dengan rendemen kitin I. Penurunan ini, menurut Fennema (1985) pasti

terjadi karena kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar dibandingkan

pada suasana asam. Hal ini dikarenakan larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas

hidrolisis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan larutan asam seperti HCl.

Lehninger (1975) mengungkapkan bahwa deproteinasi dan demineralisasi pada

ekstraksi kitin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, suhu, dan lama waktu reaksi.

Kandungan protein dan mineral akan semakin banyak terpisah dan hilang seiring

dengan meningkatnya waktu, dosis dan konsentrasi basa atau asam yang digunakan.

Pereaksian dengan asam atau basajuga dapat melepaskan ikatan antara protein dengan

kitin dan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Namun ada

juga kelompok yang mngalami kenaikan nilai randemen seperti kelompok D3, D4 dan

D5. Faktor yang mempengaruhi kualitas kitin adalah tahapan dan kondisi proses yang di

dalamnya termasuk suhu pengeringan yang digunakan, lamanya proses pengolahan,

konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin (Laila

& Hendri, 2008). Kesalahan ini dapat disebabkan karena pengadukan dilakukan secara

manual dan kurang konstan sehingga larutan NaOH tidak bereaksi sempurna dengan

kitin (Kaunas, 1984).

3.3 Deasetilasi

Hasil yang didapatkan dalam proses sebelumnya adalah kitin, berat kering kitin

ditimbang dan kemudian dilanjutkan dengan penambahan NaOH kembali. Pada

kelompok D1 dan D2 ditambahkan NaOH 40% dari berat kering kitin yang didapatkan.

Kelompok D3 dan D4 ditambahkan NaOH 50% dari berat kering kitin yang didapatkan.

Sedangakan kelompok D5 ditambahkn NaOH 60% dari berat kering kitin yang

didapatkan. Semua kelompok perbandingannya sama yaitu 20:1. Langkah selanjutnya

diaduk selama 1 jam tanpa dilakukan pemanasan. Lalu didiamkan selama 30 menit.

Menurut Hussain et,al (2013) fungsi penambahan NaOH dengan pengadukan selama 1

jam adalah untuk mengendapkan polimer kitosan sehingga tidak ikut tersaring saat

Page 12: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

dicuci. Dan dilakukannya pendinginan selama 30 menit ini membantu terjaadinya

proses pengendapan yang nantinya tidak akkan terbuang saat pencucian (Rogers, 1986).

Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.Pemanasan hanya dilakukan

selama 1 jam saja karena jika dilakukan lebih lama maka akan terjadi denaturasi protein

(Winarno, 1997). Kemudian langkah selanjutnya yaitu disaring dengan kain saring dan

dicuci sampai dengan pH mencapai nilai netral. Langkah akhir adalah pengeringan pada

suhu 70oC selama 24 jam. Hasil yang akan didapatkan nanti adalah kitosan dengan

warna kekuningan. Hal ini sesuai dengan pernyataam Ramadhan et al. (2010) bahwa

setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk

serbuk dengan warna putih kekuningan. Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum

kali ini sudah sesuai dengan pedapat dari Martino et al. (1995), yang menyatakan bahwa

dengan adanya NaOH yang ditambahkan dapat merubah kristalin dari kitin yang rapat

menjadi renggang, sehingga ada beberapa enzim yang mudah masuk dalam kitin untuk

melakukan deasetilasi pada polimer dari kitin yang didapatkan.

Pada hasil pengamtan diatas, dapat dilihat bahwa prosentase kitosan paling besar

didapat kelompok D1 yaitu sebesar 48,25% dengan perlakuan NaOH 40% dan yang

terkecil kelompok D5 yaitu 39,14% dengan perlakuan NaOH 60%. Hasil yang didapat

tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan Mekawatiet al. (2000), yaitu penggunaan

konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen

kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi. Hal ini dikarenakan gugus fungsional

amino (NH3+) yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin

aktif, sehingga menyebabkan proses deasetilasi. Suhu pemanasan yang tinggi juga dapat

menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin. Selain

konsentrasi NaOH, suhu dan lamanya proses deasetilasi mempengaruhi hasil kitosan

(Puspawati & Simpen, 2010). Perbedaan hasil dapat dikarenakan ketidaksempurnaan

dalam melakukan praktikum, misalnya suhu pemanasan yang tidak konstan, waktu

pemanasan yang kurang tepat, dan sebagainya.

Kitin dan kitosan sangat berguna di berbagai pengaplikasian industry antara lain adalah

digunakan sebagai pharmaceuticals, biokimia, bioteknologi, kosmetik, biomedical,

industri kertas, industri pangan, industri tekstil dan lain sebagainya. Kegunaan kitin dan

Page 13: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

kitosan dalam industri pangan antara lain adalah dapat digunakan sebagai emulsifier,

koagulan, chelating agent, dan sebagai thickener emulsion. Selain itu kitosan dapat

digunakan untuk substitusi dengan formalin untuk mengawetkan makanan dan disajikan

aman untuk konsumen. Selain itu dalam jurnalnya yang berjudul “Development of

Chitosan Based Active Film to Extend The Shelf Life of Minimally Processed Fish” Paul

et al., (2013) menjelaskan bahwa kitin dan kitosan dapat membantu dalam berbagai

industri pengemasan, menurutnya kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai

pembungkus makanan karena memiliki kemampuan untuk membentuk film semi-

permiabel. Sedangkan kitosan juga dapat berperan sebagai agen chelating yang dapat

mengikat logam dan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba (Paul et al., 2013). Hal

ini sesuai dengan teori (Sakthivel et al., 2015) dalam jurnalnya yang berjudul

“Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from

Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India” disini beliau menjelaskan

bahwa Chitin dan chitosan memiliki berbagai kegiatan biologis yang dikenal sebagai

kegiatan antitumor atau antioksidan , meningkatkan sistem imun tubuh, meningkatkan

efek perlindungan terhadap infeksi dengan beberapa bakteri patogen, dan anti jamur

serta antimikroba. Sedangkan chitosan sendiri dapat menghambat pertumbuhan

berbagai bakteri .

Islam (2011), menyatakan bahwa kitin dan kitosan bisa digunakan pula untuk suplemen,

serta obat-obatan, dan juga bisa mengurangi polusi lingkungan karena ada pemanfaatan

limbah udang. Kitosan sendiri adalah senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada

bidang pangan, dimana kitosan dapat berguna sebagai zat antimikrobia. Hal ini

dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang

mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan

dipengaruhi oleh konsentrasi dari pelarut yang digunakan untuk melarutkan kitosan ini

dimana antimikroba yang menggunakan kitosan ini efektif untuk menghambat

pertumbuhan dari berbagai macam kapang dan bakteri (Cahyaningrum, 2007).

Menurut jurnal Abdulkarim et al., (2013) yang berjudul “Extraction and

Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell” Kitin merupakan

komponen utama dalam cangkang udang, kepiting, dan tulang rawan dari cumi-cumi.

Page 14: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Sedangkan kitosan memiliki banyak manfaat, diantaranya telah banyak digunakan di

bidang yang beraneka ragam , mulai dari pengelolaan limbah pengolahan makanan,

kedokteran dan bioteknologi. Dan dalam bidang pertanian , penggunaan kitosan telah

dibentuk untuk meningkatkan hasil produksi padi dan anggrek.

Page 15: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Limbah yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang.

Kitin sendiri merupakan polisakarida linier yang tersusun atas ikatan (1-4),2-

acetamida-2-deoksi-b-D-glukopiranosa.

Kitosan merupakan polisakarida linier yang tersusun atas ikatan (1-4), 2-amino-2-

deoksi-b-D-glukopiranosa.

Pembuatan kitin dilakukan melalui 2 tahap yaitu demineralisasi dan deproteinasi.

Tujuan utama dari proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan mineral

utama dalam limbah udang yaitu kalsium dengan pelarutan menggunakan HCl.

Tujuan utama dari proses deproteinasi adalah untuk menghilangkan kadar protein

yang terlalu tinggi dengan mendekomposisi albumen menggunakan NaOH menjadi

asam amino yang lebih terlarut.

Pembuatan kitosan dilakukan melalui proses deasetilasi.

Tujuan utama dari proses deasetilasi adalah untuk mengendapkan adanya kitosan

menggunakan NaOH sehingga tidak ikut larut dan tersaring dalam air.

Pengeringan bertujuan untuk menguapkan air secara keseluruhan sehingga

didapatkan bubuk kitin dan kitosan.

Semakin banyak HCl yang ditambahkan maka prosentase rendemen semakin

sedikit.

Prosentase rendemen II lebih sedikit dibandingkan rendemen I karena semakin

banyak hillangnya zat dalam proses deproteinasi.

Semakin banyak penambahan NaOH, semakin tinggi prosentase rendemen yang

didapatkan.

Dalam dunia pangan, kitin dan kitosan dapat dimanfaatkan sebagai emulsifier,

koagulan, chelating agent, dan sebagai thickener emulsion, untuk substitusi dengan

formalin, mengawetkan makanan.

14

Page 16: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Semarang, 29 Oktober 2015Praktikan Asisten Dosen

Lusia Dewinta MP Tjan, Ivana Chandra (13.70.0133)

Page 17: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, A., M.T. Isa., S. Abdulsamam., Abubakar, J.M., Alewo, O.A. (2013).

Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil

and Environmental Research Vol.3, No.2, 2013.

Angka SI & Suhartono MT.(2000).Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor PKSPL-IPB.

Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris

Acosta. (2009).Functional Characterization of Kitin and Kitosan.Current

Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Kitin and Kitosan From

Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,

Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.

Belfast. 143 p.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang

Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia,

FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober

2007: 93-98.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New

York. http://lemlit.unila.ac.id/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI

%20PDF/bidang%203/41.pdf

Hussain, Md Rabiul, Murshid Iman and Tarun K. Maji. (2013). Determination of

Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of

Essential Oil from Chitosan and Chitosan-Gelatin Complex Microcapsules.

International Journal of Advanced Engineering Aplications 6 (4): 4-12.

Ishihara, M., Vinh, Q. N., Yasutaka, M., Shingo, N., Hidemi, H. (2015). Review

Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of

Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. International

Journal of Molecular Sciences ISSN 1422-0067.

Islam, Monarul et al. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and

Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences.

Bangladesh.

16

Page 18: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Johnson, E., dan Peniston, Q. P., (1982), “Process for the Manufacture of Chitosan, US

Patent, 4

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation,

USA.

Laila, A danHendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media

Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Martinou, A.; D. Kafetzopoulos; and V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation

Byenzymatic Means: Monitoring Of Deacetylation Processes. Carbohydr Res

273:235-242.

Mekawati, Fachriyah, E. &Sumardjo, D.(2000). Aplikasi Kitosan Hasil Tranformasi

Kitin Limbah Udang (Penaeusmerguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.

Jurnal Sains and Matematika FMIPA Undip, Vol. 8 (2). Semarang.

Nguyen Van Toan. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed

Shrimp Shell Materials. School of Biotechnology, International University, Ho

Chi Minh City. Vietnam.

Paul, J., Sharmila, J.J.W., Mohan, K. (2013). Development of Chitosan Based Active

Film to Extend The Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal

of Research in Engineering & Technology ISSN 2321-8843 Vol. 1, Issue 5.

Prasetiyo, K.W. (2006). PengolahanLimbahCangkangUdang.

LembagaIlmuPengetahuan Indonesia.

Puspawati, N. M. dan Simpen, I. N. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit

Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restorant Seafood menjadi Khitosan

melalui Variasi Konsentrasi NaOH.

Puvvada, Yateendra Shanmukha, Saikishore Vankayalapati, & Sudheshnababu

Sukhavasi. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from Exoskeleton of

Shrimp for Application in The Pharmaceutical industry. International Current

Pharmaceutical Journal 1(9): 258-263.

Page 19: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.

Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap

Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 :

17-21.

Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan

Cirebon Jawa Barat.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

California.Science Published Ltd., England.

Sakthivel, D., Vijayakumar, N., Anandan, V. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan

from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry

Southeast Coast of India. Human Journals Research Article: Vol 4 (1):12-24

Sashiwa, H. dan S. Aiba. 2004. Chemically modified chitin and chitosan as

biomaterials. Progress in Polymer Science. 29 (2004) 887-908.

Suharto, B. (1984). PengaruhPerlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai

Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.

Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Winarno,F.G.(1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta.

Zaku, S.G., S. A. Emmanuel O. C.A.,S. A. Thomas. (2011). Extraction and

characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of

common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of

Food Science Vol. 5(8), pp. 478 – 483.

Page 20: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkering

beratbasa h I× 100 %

Rendemen Chitin II = beratkitin

beratbasa h II×100 %

Rendemen Chitosan = beratkitosan

beratbasa h III×100 %

Kelompok D1

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14 %

Rendemen Chitin II = 28

× 100 %

= 25 %

Rendemen Chitosan = 1,523,15

×100 %

= 48,25 %

Kelompok D2

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14%

Rendemen Chitin II = 2,046,5

× 100 %

= 31,38 %

Rendemen Chitosan = 1,383,5

×100 %

= 39,43 %

Kelompok D3

Rendemen Chitin I = 3,59,5

× 100 %

= 36,84 %

Rendemen Chitin II = 1,63,5

×100 %

= 45,71 %

19

Page 21: Kitinkitosan LusiaDewinta 13.70.0133 D1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Rendemen Chitosan = 1,172,5

× 100 %

= 46,80 %

Kelompok D4

Rendemen Chitin I = 4

11,5× 100 %

= 34,78 %

Rendemen Chitin II = 1,74,5

× 100 %

= 37,78 %

Rendemen Chitosan = 0,982,5

× 100 %

= 39,20 %

Kelompok D5

Rendemen Chitin I = 3,512

×100 %

= 29,17 %

Rendemen Chitin II = 1,85,5

×100 %

= 32,73 %

Rendemen Chitosan = 1,373,5

× 100 %

= 39,14 %

6.1. Laporan Sementara

6.2. Diagram Alir

6.3. Abstrak Jurnal