Stella Skleritis

38
LAPORAN KASUS SKLERITIS Pembimbing : dr. Vanessa, SpM. Disusun oleh: Stella Kusumawardhani NIM : 10.2014.064 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

description

laporan kasus

Transcript of Stella Skleritis

Page 1: Stella Skleritis

LAPORAN KASUS

SKLERITIS

Pembimbing :

dr. Vanessa, SpM.

Disusun oleh:

Stella Kusumawardhani

NIM : 10.2014.064

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RS. FMC BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Page 2: Stella Skleritis

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Ny. S

Umur : 51 tahun

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Cijujung

II. ANAMNESIS

Dilakukan Autoanamnesis pada tanggal 14 November 2015, jam 14.30 WIB.

Keluhan Utama :

Nyeri pada mata kanan.

Keluhan Tambahan :

Mata kanan terasa nyeri, merah, dan berair.

Riwayat perjalanan penyakit :

Pasien datang ke poliklinik mata RS.FMC dengan keluhan mata kanan yg

terasa nyeri, memerah dan berair sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluh nyeri

terutama dirasakan jika menggerakkan matanya, selain itu pasien juga mengeluh

penglihatannya agak sedikit terganggu, dan tidak nyaman saat melihat sinar, tidak

ada keluhan gatal, dan tidak terdapat kotoran mata. Selain itu pasien juga

mengeluh pegal-pegal pada persendian tangan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

a. Umum :

- Hipertensi : Tidak ada

- Kencing Manis : Tidak ada

1

Page 3: Stella Skleritis

- Asma : Tidak Ada

- Gastritis : Tidak Ada

- Alergi Obat : Tidak Ada

b. Mata :

- Riwayat penggunaan kacamata : (-)

- Riwayat operasi mata : (-)

- Riwayat trauma mata : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 130/90 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Status Oftalmologi

KETERANGAN OKULO DEXTRA OKULO SINISTRA

1. VISUS (OD) (OS)

Tajam Penglihatan 0,5 Pinhole: 0,8 1.0

Axis Visus - -

Koreksi Maju -

Addisi - -

Distansia Pupil 62 62

Kacamata Lama - -

2. KEDUDUKAN BOLA MATA

2

Page 4: Stella Skleritis

Eksoftalmos Tidak ada Tidak ada

Enoftalmos Tidak ada Tidak ada

Deviasi Tidak ada Tidak ada

Gerakan Bola Mata Baik ke semua arah Baik ke semua arah

3. SUPERSILIA

Warna Hitam Hitam

Simetris Simetris Simetris

4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR

Edema Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Ada Tidak ada

Ektropion Tidak ada Tidak ada

Entropion Tidak ada Tidak ada

Blefarospasme Tidak ada Tidak ada

Trikiasis Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Fissura palpebra Baik Baik

Ptosis Tidak ada Tidak ada

Hordeolum Tidak ada Tidak ada

Kalazion Tidak ada Tidak ada

5. KONJUNGTIVA TARSALIS SUPERIOR DAN INFERIOR

Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Folikel Tidak ada Tidak ada

Papil Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Anemis Tidak ada Tidak ada

Kemosis Tidak ada Tidak ada

3

Page 5: Stella Skleritis

6. KONJUNGTIVA BULBI

Sekret Tidak ada Tidak ada

Injeksi Konjungtiva Tidak ada Tidak ada

Injeksi Siliar Ada Tidak ada

Injeksi Subkonjungtiva Tidak ada Tidak ada

Pterigium Tidak ada Tidak ada

Pinguekula Tidak ada Tidak ada

Nevus Pigmentosus Tidak ada Tidak ada

Kista Dermoid Tidak ada Tidak ada

7. SISTEM LAKRIMALIS

Punctum Lakrimalis Terbuka Terbuka

Tes Anel Tidak dilakukan Tidak dilakukan

8. SKLERA

Warna Kemerahan Putih

Ikterik Tidak ada Tidak ada

Nyeri Tekan Ada Tidak ada

9. KORNEA

Kejernihan Jernih Jernih

Permukaan Licin Licin

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Infiltrat Tidak ada Tidak ada

Keratik Presipitat Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Ulkus Tidak ada Tidak ada

4

Page 6: Stella Skleritis

Perforasi Tidak ada Tidak ada

Arkus Senilis Ada Ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Tes Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10. BILIK MATA DEPAN

Kedalaman Kedalaman cukup Kedalaman cukup

Kejernihan Jernih Jernih

Hifema Tidak ada Tidak adak

Hipopion Tidak ada Tidak ada

Fler Tidak ada Tidak ada

11. IRIS

Warna Coklat Coklat

Sinekia Tidak ada Tidak ada

Koloboma Tidak ada Tidak ada

12. PUPIL

Letak Sentral Sentral

Bentuk Bulat Bulat

Ukuran 5 mm 5 mm

Refleks Cahaya Langsung Positif Positif

Refleks Tak Langsung Positif Positif

13. LENSA

Kejernihan Jernih Jernih

Letak Di tengah Di tengah

Shadow Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

14. BADAN KACA

5

Page 7: Stella Skleritis

Kejernihan Jernih Jernih

15. FUNDUS OKULI

Refleks fundus Positif Positif

Warna Orange Orange

Rasio Arteri:Vena 2:3 2:3

C/D Ratio 0,3 0,3

Eksudat Tidak ada Tidak ada

Makula Lutea Tegas Tegas

Perdarahan Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

16. PALPASI

Nyeri Tekan Ada Tidak ada

Massa Tumor Tidak ada Tidak ada

Tensi Okuli N +/palpasi N+/palpasi

Tonometri Schiotz 12,4 14,3

17. KAMPUS VISI

Tes Konfrontasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Belum dilakukan

V. RESUME

Pasien datang ke poliklinik mata RS.FMC dengan keluhan mata kanan

terasa nyeri sejak 2 hari yang lalu. Rasa nyeri terutama dirasakan jika

menggerakkan matanya, dan jika melihat cahaya. Selain itu pasien juga mengeluh

6

Page 8: Stella Skleritis

mata kanannya memerah dan berair. Pasien juga mengeluh pegal-pegal di

persendian tangan. Dengan pemeriksaan opthalmologi didapatkan VOD 0,5

dengan Pinhole 0,8 sedangkan VOS 1.0. COA: kedalaman cukup/kedalaman

cukup, lensa: jernih/jernih, CD Ratio 0,3/0,3 ,rasio AV: 2:3/2:3, Pupil 3mm/3mm.

Pada pemeriksaan tonometri didapatkan TIO 12,4/14.3.

DIAGNOSA KERJA

Ocular Dextra (OD) :

Skleritis

Ocular Sinistra (OS) :

Emetropia

VI. DIAGNOSA BANDING

Episkleritis

VII. ANJURAN PEMERIKSAAN

Rheumatoid serum

Antibodi anntinuklear serum (ANA)

VIII. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

NSAID

Immunosupresan

Kortikosteroid

IX. PROGNOSIS

OD OS

Ad vitam : Dubia ad bonam Bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam Bonam

7

Page 9: Stella Skleritis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Sklera

Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan terkeras

dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran yang

bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga kelembapan

mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 – 14 mikron, dan kaya akan

serat elastik serta mengandung otot halus. Sklera berfungsi untuk melindungi struktur

bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

(Sumber: http://biologinyanuris.blogspot.com/2009/05/sistem-indra-indra penglihat.html)

8

Page 10: Stella Skleritis

Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis

ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm.

Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena

trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di

belakang insersio otot rektus.

Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk

lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina kribosa.

Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada sekitar saraf

optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm

posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat

jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.

Gambar 2. Sklera

(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)

II. Etiologi

Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan

penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:

I. Autoimun (48%)

o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:1,2

Rheumatoid arthritis

Systemic lupus erythematosus

Ankylosing spondylitis

9

Page 11: Stella Skleritis

Reactive arthritis

Psoriatic arthritis

Gouty arthritis

Inflammatory bowel diseases

Relapsing polychondritis

Polymyositis

Sjögren syndrome

Mixed connective tissue disease

Progressive systemic sclerosis

o Penyakit vaskulitik, antara lain:1,4

Polyarteritis nodosa

Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome

Wegener’s granulomatosis

Behçet disease

Giant cell arteritis

Cogan syndrome

II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1

o Tuberkulosis

o Sifilis

o Sarkoidosis

o Toksoplasmosis

o Herpes simpleks

o Herpes zoster

o Infeksi Pseudomonas

o Infeksi Streptokokus

o Infeksi Stafilokokus

o Aspergilosis

o Leprosi

III. Lain-lain (2%)

o Atopi

o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan

(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).1

10

Page 12: Stella Skleritis

IV. Idiopatik

11

Page 13: Stella Skleritis

III. Patofisiologi

Gambar 3. Skleritis

(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen

kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan

skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus

erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout

dan sifilis.

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala

utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun

pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya

skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma.

Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan

vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik

(hipersensitivitas tipe IV).

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody

IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)

dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan

larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena

FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas

12

Page 14: Stella Skleritis

aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi

hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu

maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya

antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi

yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang

ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh

pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi

menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium

dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam

– macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas

tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.1

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang

disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga

hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan

dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan

peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan

sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya

memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada

netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel

mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan

waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.

Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari

pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu

deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan

mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar

pada bagian anterior atau bagian posterior mata.

13

Page 15: Stella Skleritis

IV. Klasifikasi

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari

skleritis anterior adalah:

1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh

permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang

yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20%

kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit

sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada

sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai

sklerokeratitis.

4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien

yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan

nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia

perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

14

Page 16: Stella Skleritis

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi

dari nodul

(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)

Gambar 6. Skleromalasia perforans

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang

terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.2 Terdapat

perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan

15

Page 17: Stella Skleritis

sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina

eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

V. Diagnosis

5.1 Anamnesis

Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien.

Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa

nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan.

Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan

terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan

pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis

mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat

membangunkan pasien dari tidurnya.

5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan

tajam penglihatan.

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan

apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan Sklera

o Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa

peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea

gelap.

o Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh

peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut,

maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum

berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam

atau coklat gelap.

16

Page 18: Stella Skleritis

Pemeriksaan slit – lamp

o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental.

Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.

o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral

bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut

posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya

edema pada sklera dan episklera.

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai

jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan

episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular

pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan

proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.

Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid,

dan perdarahan atau ablasio retina.

5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa

pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:1

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

17

Page 19: Stella Skleritis

7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya

akumulasi cairan pada kapsul tenon

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)

VI. Diagnosa Banding

o Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara

konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik,

alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.

Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan

dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis.

Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada

episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai

onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis.

Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

18

Page 20: Stella Skleritis

Gambar 8. Episkleritis

(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa

mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada

episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna

merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau

ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat

menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini

dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,

melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5%

topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan

pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

19

Page 21: Stella Skleritis

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian

fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

VII. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang

terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.

Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,

pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila

dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat

imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak

mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan,

efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat

menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko

tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk

perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi

remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

20

Page 22: Stella Skleritis

Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat

digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat

juga digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil,

cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan

Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa,

cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator

seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid

pada bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan –

lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat

memperparah proses nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa

antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan

imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta,

dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan

terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam

penyakit skleritis ialah:

A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)

Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs

bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan

dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.

Pemberian:

Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk

menghindari gangguan pada saluran pencernaan.

21

Page 23: Stella Skleritis

1. Indometasin (Indocin)

Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat

diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi

glukuronid.

Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hari

Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih

mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.

2. Diflunisal (Dolobid)

Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik.

Memiliki efek antipiretik dan anti – radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan

aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah

penghambat prostaglandin – sintase.

Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.

Dosis maksimum: 1500 mg/hari.

3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)

Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi

peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,

menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.

Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 – 15 jam.

Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.

4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)

Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang,

jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri,

kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang

menghasilkan sintesis prostaglandin.

Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki

22

Page 24: Stella Skleritis

paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).

Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari

400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi

3200 mg/hari

5. Sulindac (Clinoril) 

Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis

prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.

Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.

Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.

6. Piroxicam (Feldene) 

Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma.

Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis

prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.

Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40

mg/hari

B. Agen Imunosupresan

Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap

NSAIDs.

1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)

Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.

Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan

(nyeri, bengkak, kaku).

Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5

mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu

Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg

23

Page 25: Stella Skleritis

(meningkatkan resiko supresi sum –sum tulang). Kurangi sampai serendah

mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjang

Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati

2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)

Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating

agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan

penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal

dan neoplastik.

Pemberian IV:

Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval

2-4 minggu

Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari

Pemberian oral:

Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten

Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari

Pemberian:

Berikan dosis pertama sepagi mungkin

Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral

Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.

Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai

2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)

3. Azathioprine (Imuran)

Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme

purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.

Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat

ditingkatkan seperti berikut:

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari

24

Page 26: Stella Skleritis

setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.

Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis

efektif terendah tercapai

4. Cyclosporine (Neoral)

Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang

dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.

Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat

ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari

Awasi: fungsi ginjal

C. Glukokortikoid

Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.

Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan

skleritis yang berulang.

1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)

Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif

lainnya.

Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO

Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu

Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis

IM setiap harinya sama dengan dosis oral.

Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap

minggu.

Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV

Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari

2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)

25

Page 27: Stella Skleritis

Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara

meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat

menurunkan peradangan.

Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari.

VIII. Komplikasi

Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema

dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid,

retina, dan saraf optik.12 Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan.

Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya

kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis

dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi

serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat

glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina,

keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus

skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior,

namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.2 Skleritis dapat berulang dan

berpindah ke posisi sklera yang berbeda.

IX. Prognosis

Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan

penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta

yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya

penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

26

Page 28: Stella Skleritis

Kesimpulan

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya

infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Skleritis merupakan

penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik,

yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun

gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat

menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia,

dan penurunan tajam penglihatan.

Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior.

Sekitar 94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis

posterior. Skleritis anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse

anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan

necrotizing scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Untuk mendiagnosa

skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan oftalmologi, serta

pemeriksaan penunjang.

Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit ini

dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses

peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan

konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh bagian

sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri

ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai

sensasi benda asing di dalam mata.3

Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang biasa

dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan imunomodulator.

Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian terkait. Komplikasi

27

Page 29: Stella Skleritis

yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera,

glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada

penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis dapat menyebabkan hilangnya

penglihatan secara permanen.

Daftar Pustaka

1. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.

2. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American

Academy of Ophthalmology; 1985.

3. Easty, DL, G.Smolin. External Eye Disease. England; Butterworths; 1985.

4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.

28