Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP.doc
-
Upload
azman-hakim -
Category
Documents
-
view
111 -
download
3
description
Transcript of Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP.doc
Presentasi kasus
Status epileptikus konvulsif umum diinduksi infeksi SSP
Disusun oleh:
Farid Abdul Hadi, S.Ked.
Ruben Salamat P., S.Ked.
Moderator:
Dr. Zakiah Syeban, Sp.S.(K)
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, Oktober 2007
Presentasi kasus
Status epileptikus konvulsif umum diinduksi infeksi SSPFarid Abdul Hadi, Ruben Salamat P., S.Ked.Moderator: Dr. Zakiah Syeban, Sp.S.(K)Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSUPN dr. Cipto MangunkusumoJakarta, Oktober 2007
Pendahuluan
Status epileptikus (SE) konvulsif merupakan keadaan gawat darurat
neurologi yang paling sering ditemukan1. Meskipun berbahaya, sampai
sekarang belum diketahui mekanisme yang jelas mengenai patofisiologi
keadaan tersebut. Sebanyak dua belas hingga tiga puluh persen pasien
dengan epilepsi akut terdiagnosis dalam keadaan status epileptikus,2,3.
Treiman (1994) dan Celesia (1976) mengajukan klasifikasi status epileptikus
dalam bentuk sederhana berupa SE konvulsif umum, SE subtle, SE
nonkonvulsif (SE absence dan SE parsial kompleks), serta SE parsial
sederhana. Meskipun terdapat beberapa klasifikasi terbaru, misalnya dari
Rona dan Luders (2005) namun klasifikasi Treiman relatif lebih mudah
digunakan dalam keadaan gawat darurat4.
Manajemen status epileptikus mengikuti prosedur kegawatdaruratan umum5
dengan penangangan serius pada jalan napas (airway) dan ventilasi
karenanya Analisis Gas Darah (AGD) harus senantiasa dimonitor. Asidosis
metabolik (pH arteri <7.0) dapat membaik dengan sendirinya jika kejang
dapat diatasi6,7. Hipertermia juga dapat terjadi (pada 28 hingga 79 persen
pasien) akibat proses kejang -bukan karena infeksi- dan dapat diatasi
dengan pendinginan manual6,7. EEG dilakukan hanya untuk pasien dengan
status epilepsi refrakter berkepanjangan, tetap tidak sadar setelah
pemberian obat antiepilepsi, dan yang menggunakan obat paralisis jangka
panjang5.
Berikut ini merupakan kasus status epileptikus konvulsif umum episode akut
yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) dalam keadaan tidak sadar setelah empat jam
kejang terus-menerus pada pasien dengan riwayat epilepsi sejak kecil.
Selama perawatan pasien menunjukkan tanda-tanda perburukan (kesadaran
dan tanda vital) hingga akhirnya meninggal di Intermediate Ward (IW)
RSCM pada hari ke-5 perawatan.
Ilustrasi kasus
Anamnesis
Dilakukan aloanamnesis dengan ayah pasien pada saat masuk IGD, 22
September 2007 dan pada saat perawatan di Intermediate Ward (IW)
tanggal 24 September 2007.
Identitas
Laki-laki 33 tahun berinisial FI (NR RSCM 3150730), keturunan Arab,
tinggal di Jakarta, menikah dengan satu orang anak, biaya pribadi.
Keluhan utama
Kejang berulang empat jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang
Sebelum kejang:
Sebelum kejang tidak ditemuakan mulut berbusa, tidak mengkonsumsi
alkohol dan obat-obatan (selain obat antiepilepsi), bicara tidak pelo, tidak
ada kelemahan sesisi, tidak ada sakit kepala hebat, tidak ada sakit kepala
berputar, tidak ada kesemutan/baal, tidak ada trauma/kecelakaan kepala,
tidak mual, tidak muntah, tidak demam, dan keluarga pasien sudah
mengenal tanda-tanda jika pasien akan kejang berupa bibir yang mengecap-
ngecap atau mata yang suka berkedip-kedip. Pasien cukup tidur beberapa
hari sebelum timbul kejang.
Saat kejang:
Kejang berupa kaku dan kelojotan di sekujur tubuh, terutama di lengan
kanan dan kiri dengan mata mendelik ke atas. Setiap jam berlangsung tiga
hingga empat kali kejang masing-masing selama lima belas hingga dua
puluh menit dengan keadaan tidak sadar di antara kejang. Dagu pasien
sempat terbentur-bentur dinding dan lantai hingga menimbulkan luka
ringan.
Setelah kejang:
Pasien mengompol segera setelah kejang dan tidak sadar seperti tertidur.
Setelah itu pasien tidak berhenti mengerang dari kejang satu hingga kejang
berikutnya. Dibawa ke IGD RSCM dalam keadaan tidak sadar dengan bekas-
bekas luka di dagu dan lengan.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien menderita epilepsi sejak usia 15 tahun Satu bulan bisa 2-3x
serangan. Pasien tidak pernah minum obat teratur meskipun memiliki
persediaan obat di rumahnya. Pasien hanya minum panadol bila merasa
sakit kepala.
Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), stroke (-), penyakit jantung (-), alergi
tidak diketahui.
Riwayat sosial ekonomi
Narkoba (-), alkohol (-), merokok (+) sejak SMP setengah hingga satu
bungkus setiap hari. Sudah berkali-kali dikeluarkan dari tempat bekerja
karena penyakit epilepsi yang dideritanya.
Pemeriksaan fisis
Dilakukan saat perawatan di IW tanggal 24 September 2007.
Status general
Nadi: 124x/menit
Pernapasan: 36x/menit
Suhu : 37o C
TD kanan : 90/70
mmHg
TD kiri: 80/70mmHg
Kepala : deformitas (-), luka ekskoriasi di mandibula
dx et sin
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata
tertutup dalam kesadaran menurun
Leher : KGB submandibula sin teraba 2x3x2 cm
kenyal, mobile, NT (-), trakea di tengah
THT : perdarahan (-), mulut terpasang oropharyngeal
airway (OPA) dengan standby suction unit, hidung
terpasang selang nasogastric tube (NGT)
Paru : vesikuler , rh +/+ basah kasar di apeks kedua
lapang paru, wh -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II (N) , murmur (-), gallop
(-), batas jantung dalam batas normal
Abdomen : lemas datar, H/L tidak teraba, bising usus
(+) N
Ekstremitas : akral hangat , perfusi cukup CRT <2
detik, needle track (-)
Status neurologi
GCS: E1M1V2 = 4
Pupil : isokor , diameter 3mm/3mm, RCL +/+ RCTL
+/+
TRM : KK (+), Laseque >700/>700, Kernique
>1350/>1350
Nervus cranial : kesan paresis (-)
Motorik : kesan paresis (-)
Sensorik : sulit dinilai
Refleks fisiologis : ++/++ refleks patologis
(Babinski grup): -/-
++/++
otonom : terpasang kateter folley
Pemeriksaan penunjang
Hematologi rutin (serial):
22-09-2007 23-09-2007 Nilai
normal
Hb 18,6 ↑ 18.8 ↑ 13-16 g/dL
Hematokrit 54 ↑ 56 ↑ 40-48%
Leukosit 29.200 ↑ 30.400 ↑ 5.000-
10.000/uL
Trombosit 274.000 N 89.000 ↓ 150.000-
400.000/uL
MCH 90 N 90 N 82-92 fl
MCV 31 N 30 N 27-31 pg
MCHC 34 N 34 N 32-36 g/dl
Kimia darah (serial):
22-09-2007 23-09-2007 Nilai
normal
Ureum 40 ↑ 46 ↑ 20-40
mg/dL
Kreatinin 2.1 ↑ 2.5 ↑ 0,5-1,5
mg/dL
Gula Darah
Sewaktu
73 N --- 70-200
mg/dL
Elektrolit (serial):
22-09-2007 23-09-2007 Nilai
normal
Na+ 142 N 148 ↑ 135-
147meq/l
K+ 4.3 N 3.8 N 3,5-5,5
meq/l
Cl- 106 N 107 ↑ 100-106
meq/l
Analisis gas darah (serial):
22-09-2007
21:29
23-09-2007
12:35
Nilai
normal
pH 7.259 ↓ 7.332 ↓ 7,35-7,45
pO2 186.2 ↑ 131.8 ↑ 85-95
mmHg
pCO2 29.7 ↓ 30.2 ↓ 35-45
mmHg
HCO3 12.8 ↓ 15.5 ↓ 21-25
mmHg
BEc -12.8 ↓ -9.2 ↓ -2.5 - +2.5
Sat O2 97.9 ↑ 97.3 ↑ 85-95 %
Elektrokardiografi:
Sinus takikardi 120x/menit, Normoaksis, RVH (-),
LVH (-), ST elevasi di V4, V5, dan V6
Kesan iskemia anterolateral.
Masalah
Status epileptikus konvulsif umum
Systematic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
Acute Renal Failure (ARF)
Coronary Artery Disease (CAD) anterolateral
Trombositopenia
Perencanaan
EKG ulang
Pemeriksaan fungsi hati
Brain CT + kontras (ditunda karena kondisi jantung
tidak memungkinkan)
Thorax PA/Lateral
O2 4 Ltr/ mnt
IVFD Nacl 0,9 % 500cc/12jam
Folley catheter
NGT
Diazepam , bolus 2x½ amp
Fenitoin loading 625 mg lanjut 3x100
Ranitidin 2x1 amp
RHZE 450/300/1500/1500
Vitamin B6 3x1
Ceftriaxone 2x2 gr
Dexamethasone loading 10 mg dilanjutkan 4x5 mg
Aminovel 2x1
Levores 500 mg drip/24 jam
DC 6x250 cc
PCT 3 x 500 mg
Diet cair 6 x 200 cc
Epilepsi secara umum
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan
ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan berulang-ulang, yang disebabkan
lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang
bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Serangan epilepsi ialah suatu gejala epilepsi
yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-
tiba pula.
Etiologi
1. Idiopatik
Sebagian besar epilepsi pada anak adalah
oleh etiologi idiopatik ini.
2. Faktor Herediter
Beberapa penyakit herediter yang disertai
bangkitan kejang antara lain adalah
sklerosis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenil
ketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia
3. Faktor Genetik
Pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan Kongenital Otak
Antara lain berupa atrofi, porensefali,
agenesis korpus kalosum
5. Gangguan Metabolik
Misalnya pada hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia, hipernatremia
6. Infeksi
Radang yang disebabkan bakteri atau virus
pada otak atau selaputnya
7. Trauma
Kontusio serebri, hematoma subarakhnoid,
hematoma subdural
8. Neoplasma otak dan selaputnya
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi,
penyakit kolagen
10.Keracunan
Pada keracunan timbal (Pb), kamper,
fenotiazin, air
11.Lain-lain
Misalnya pada penyakit darah, gangguan
keseimbangan hormon, degenerasi
serebral
Faktor presipitasi
1. Faktor sensoris
2. Faktor sistemis
3. Faktor mental
Patofisiologi
Secara umum, epilepsi terjadi karena terjadi
penurunan potensial membran sel saraf akibat
proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau
toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya
muatan listrik dari sel saraf yang bersangkutan.
Penelitian menunjukkan pentingnya peranan
asetilkolin sebagai zat yang menurunkan potensial
membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan
listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja yang mana
menyebabkan manifestasi klinisnya pun muncul
sewaktu-waktu.
Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di
permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-
sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi
oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar
dari permukaan otak. Asetilkolin yang merembes
keluar dari permukaan otak pada kesadaran awas-
waspada adalah lebih banyak jika dibandingkan
dengan pada saat tidur. Asetilkolin lebih banyak
pada jejas otak jika dibandingkan dengan dalam otak
yang sehat. Pada tumor serebri atau pada adanya
sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai
gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio
serebri, atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan
setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada
tempat tersebut akan terjadi lepas muatan listrik sel-
sel saraf. Penimbunan setempat asetilkolin harus
mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas
muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan
mekanisme terjadinya epilepsi fokal yang biasanya
simptomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara
primer muatan listrik dilepaskan oleh nuklei
intralaminares talami yang dikenal juga sebagai inti
centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dari
lintasan asenden aspesifik atau lintasan asenden
ekstralemniskal. Input dari korteks serebri melaui
lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat
kesadaran. Bilamana samasekali tidak ada input
maka timbullah koma.
Pada epilepsi grand mal, oleh karena sebab
yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas
muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik
secara berlebihan. Peraqngsangan talamokortikal
yang berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh
tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang
memelihara kesadaranmenerima impuls aferen dari
dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Penelitian menunjukkan bahwa bagian dari
substansia retikularis di bagian rostral mesensefalon
yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-
inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang
sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot
skeletal, yang dikenal sebagai epilepsi petit mal.
Manifestasi klinis
Klasifikasi Epilepsi menurut Commission of
Classification and Terminology of the International
League against Epilepsi (ILAE) tahun 1981 adalah
sebagai berikut :
Sawan Parsial ( Sawan Fokal atau Sawan
Lokal )
A. Sawan Parsial Sederhana, sawan dengan
kesadaran tetap normal
1. Dengan gejala motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar
Sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar
Sawan dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke bagian lain.
Disebut juga sebagai Epilepsi Jackson.
c. Versif
Sawan disertai gerakan memutar
kepala, mata, tubuh
d. Postural
Sawan disertai dengan lengan atau
tungkai kaku dalam sikap tertentu
e. Disertai gangguan fonasi
Sawan disertai arus bicara yang
terhenti atau mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu
2. Dengan gejala somatosensoris atau
sensoris spesial
Sawan disertai halusinasi sederhana
yang mengenai kelima panca indera dan
bangkitan yang disertai vertigo
a. Somatosensoris
b. Visual
c. Auditoris
d. Olfaktoris
e. Gustatoris
f. Disertai Vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf
otonom
Seperti sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi
pupil
4. Dengan gejala psikis ( gangguan fungsi
luhur )
a. Disfasia
b. Disnemsia
c. Kognitif
d. Afektif
e. Ilusi
f. Halusinasi kompleks ( berstruktur )
B. Sawan Parsial Kompleks ( disertai
gangguan kesadaran )
1. Serangan parsial sederhana disertai
gangguan kesadaran, kesadaran mula-mula
baik baru kemudian menurun
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4
b. Dengan automatisme
2. Dengan penurunan kesadaran sejak
serangan, kesadaran menurun sejak
permulaan serangan
a. Hanya dengan penurunan kesadaran
b. Dengan automatisme
C. Sawan parsial yang berkembang menjadi
bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik)
1. Sawan parsial sederhana yang berkembang
menjadi bangkitan umum
2. Sawan parsial kompleks yang berkembang
menjadi bangkitan umum
3. Sawan parsial sederhana yang menjadi
bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum
II. Sawan Umum ( konvulsif atau non-
konvulsif )
A. 1. Sawan Lena (Absance)
a. Hanya penurunan kesadaran
b. Dengan komponen klonik ringan
c. Dengan konponen atonik
d. Dengan komponen tonik
e. Dengan automatisme
f. Dengan komponen autonom
2. Lena Tak Khas ( Atypical Absence )
Dapat disertai :
a. Gangguan tonus yang lebih jelas
b. Permulaan dan berakhirnya bangkitan
tidak mendadak
B. Sawan Mioklonik
C. Sawan Klonik
D. Sawan Tonik
E. Sawan Tonik-Klonik
F. Sawan Atonik
III. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialahbangkitan pada
bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan
yang mendadak berhenti sementara
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
untuk menentukan penyebab kejadian kejang atau
serangan yang baru pertama kali terjadi /
terdiagnosa antara lain adalah pemeriksaan
elektrolit, kadar gula darah, kadar ureum darah,
maupun fungsi hati. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab utama kelainan metabolik
yang mendasari kejang, sebelum mendiagnosa sustu
epilepsi. Tes skrining untuk zat toksik dilakukan
pada kecurigaan adanya intoksikasi atau reaksi
withdrawal terhadap obat.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga perlu
dilakukan pada pasien dengan kecurigaan kejadian
kejang karena adanya meningitis atau encephalitis.
Pemeriksaan neuroradiologi juga merupakan
pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk menentukan
adanya lesi structural sebagai penyebab terjadinya
kejang. Hal ini lebih mendukung apabila kejang yang
terjadi adalah kejang yang bersifat fokal. Modalitas
radiologi yang bisa dipakai antara lain CT-scan
kepala atau MRI. Kelebihan menggunakan MRI
sebagai metode pencitraan adalah alat ini bisa
menggambakan lesi yang sangat kecil/subtle,
misalnya pada tumor atau mesial temporal sclerosis.
Indikasi lain melakukan pencitraan neurologi
pada pasien dengan kejang yang pertama kali
adalah, defisit neurologis fokal yang baru, perubahan
status mental yang persisten, demam, trauma, sakit
kepala persisten, atau riwayat terapi kanker atau
antikoagulan, dan juga pasien yang mempunyai
sindrom immunodefisiensi.
Elektroensefalografi ( EEG ) merupakan
pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat
memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola
EEG yang bersifat khas epileptik, baik yang terekam
saat serangan maupun di luar serangan berupa
gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, atau paku lambat.
Video EEG dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pasti dari sebuah serangan dengan
kesadaran yang terganggu. Video EEG juga dapat
dilakukan untuk menggolongkan jenis kejang yang
terjadi ataupun sindrom epilepsi yang ada dengan
tujuan untuk mengoptimalkan pengobatan ataupun
untuk mempersiapkan suatu operasi dalam rangka
penatalaksanaan kejang.
Diagnosis diferensial
1. Sinkop
2. Gangguan Jantung
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
4. Hipoglikemia
5. Keracunan
6. Histeria
7. Narkolepsi
8. Paralisis Tidur
10. Migren
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah
timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas fisik
dan intelek penderita. Pengobatan epilepsi meliputi
pengobatan medikamentosa dan pengobatan
psikososial.
A. Pengobatan Medikamentosa
Prinsip-prinsip dasar dalam pengobatan
medikamentosa pada epilepsi antara lain :
1. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat
dihilangkan faktor pencetusnya, pemberian obat
harus dipertimbangkan.
2. Pemberian diberikan setelah diagnosis
ditegakkan.
3. Obat yang diberikan sesuai dengan jenis sawan.
4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena :
a. toksisitas akan berkurang
b. mempermudah pemantauan
c. menghindari interaksi obat
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Evaluasi hasil pengobatan
Bila gagal, cari penyebabnya :
- salah etiologi
- pemberian obat anti epilepsi yang kurang
tepat
- kurang penerangan (edukasi)
- faktor emosional sebagai pencetus
- termasuk intractable epilepsi
7. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang
selama minimal 2 sampai 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur
dengan menurunkan dosisnya.
Obat Pilihan Berdasarkan Jenis Sawan :
1. Bangkitan Fokal / Parsial
a. Sederhana
Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin
b. Kompleks
Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin, Asam
Valproat
c. Tonik-Klonik Umum Sekarang
Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin, Asam
Valproat
2. Bangkitan Umum
a. Tonik-Klonik
Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin, Asam
Valproat
b. Mioklonik
Klonazepam, Asam Valproat
c. Absens / Petit Mal
Klonazepam, Asam Valproat
Dosis Obat Anti-Epilepsi
B. Pengobatan non-medikamentosa
Diet
Diet ketogenik memiliki peranan dalam penanganan
kasus epilepsi yang berat pada anak-anak. Diet ini
terbukti efektif pada kasus epilepsi yang refrakter,
tetapi diet ini tidak direkomendasikan pada remaja
atau atau dewasa kecuali jika semua intake
makanan dilakukan melalui pipa nasogastrik.
Masaah lain yang menghambat panggunaan diet ini
adalah bahannya sendiri yang sulit dibeli.
Stimulasi Nervus Vagal
Stimulasi nervus vagal merupakan sebuah alat yang
dibuat untuk mengatasi epilepsi onset parsial yang
refrakter. Beberapa penelitan menyebutkan bahwa
metode ini juga terbukti dapat mengatasi epilepsi
umum. Alat ini mempunyai tingkat keberhasilan 40-
50% pada pemakaian selama 18 bulan, tingkat
keberhasilannya diukur dari berkurangnya gejala
serangan sebnyak 50% atau lebih. Banyak pasien
yang melaporkan perbaikan dalam intensitas kejang
dan juga perbaikan mood. Tetapi keadaan bebas
kejang sama sekali hanya dilaporkan pada < 10%
kasus
Terapi Bedah
Ada 2 macam terapi bedah dalam penanganan
epilepsi, yang pertama adalah paliatif dan potensial-
kuratif. Beberapa tahun yang lalu, terapi bedah
bertujuan paliatif yang paling umum dilakukan
adalah kallostomi anterior. Terapi ini diindikasikan
pada pasien dengan kejang atonik yang tidak bisa
diatasi dengan pengobatan, yang seringkali terkena
luka akibat terbentur banyak benda ketika jatuh.
Sekarang ini terapi seperti ini telah jarang
dilakukan. Penggunaan alat stimulasi nervus vagal
pada keadaan pasien yang sama telah mengantikan
kegunaan metode bedah ini.
Beberapa terapi bedah yang bertujuan kuratif
antara lain lobectomy atau, lesionectmy. Secara
umum, area epileptogenic harus dipetakan
menggunakan video EEG kecuali jika pasien dapat
dipastikan memiliki area epileptogenic unilateral di
lobus temporal.
Hasil akhir pada pasien yang memiliki epilepsi
lobus temporal yang menjalani terapi bedah akan
lebih baik, daripada area onset di tempat lain.
C. Pengobatan Psikososial
Edukasi pada pasien dan keluarganya bahwa
dengan pengobatan yang optimal sebagian besar
akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh
dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat
bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja, dan
bermasyarakat secara normal.
Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan
bebas serangan paling sedikit 2 tahun, dan bila
lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat
dihentikan pasien tidak mengalami sawan lagi,
maka dikatakan pasien telah mengalami
remisi.Diperkirakan 30% pasien tidak akan
mengalami remisi meskipun minum obat dengan
teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya
serangan ulang paling sering didapat pada sawan
tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Usia muda
lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.
Banyak ahli menggunakan penilaian faktor
resiko untuk memprediksi rekurensi setelah
penghentian terapi anti konnvulsan. Gambaran
normal pada sleep-deprived EEG dan gambaran
normal pad MRI akan menurunkan resiko relaps
pada penghentian obat.
Faktor lain yang dihubungkan dengan
peningkatan resiko terjadinya rekurensi setelah
penghentian obat:
EEG abnormal (perburukan gelombang
epileptiform atau adanya abnormalitas yang
fokal)
MRI yang abnormal (terutama pada lesi di
korteks atau area limbik)
Danya beberapa tipe kejang pada satu
kesempatan (lebih parah jika ada kejang
tonik atau atonik)
Tingginya jumlah serangan
Lamanya durasi penyakit sebelum akhirnya
dikontrol dengan obat
Sekitar 75% relaps setelah penghentian obat
terjadi pada tahun pertama.
Penghentian anti konvulsan sebaiknya dilakukan
dengan tapering off selama 6 sampai 10 minggu ini
berlaku terhadap semua jenis anti konvulsan,kecuali
primidon, fenobarbital dan benzodiazepine yang
harus di tapering off selama 10 sampai 16 minggu.
Status epileptikus
Status epileptikus adalah bangkitan yang
berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua
bangkitan atau lebih di mana antara bangkitan–
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran.
Klasifikasi status epileptikus berdasarkan
Treiman4
SE konvulsif umum (bangkitan umum tonik
klonik)
SE subtle
SE nonkonvulsif (bangkitan bukan umum
tonik–klonik, dibagi menjadi SE absence dan
SE parsial kompleks)
SE parsial sederhana
Gambaran klinis
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal
sampai separuh tubuh, gerakan adversif mata dan
kepala, sering merupakan awal dari status
epileptikus. Keluarga penderita yang melihat
kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enampuluh sampai delapanpuluh
persen status epileptikus dimulai dengan gejala-
gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum
akibat penyebaran lepas muatan listrik yang
terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke
hemisfer lain. Kejang tonik akan diikuti oleh
sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa di-
selingi oleh fase sadar. Dalam bentuk klinis seperti
ini penderita berada dalam ke- adaan status
epileptikus.
Etiologi
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari
insult akut pada otak dengan suatu fokus serangan.
Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui
adalah, in fark otak mendadak, anoksia otak,
bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor
otak, menghentikan kebiasaan minuman keras
secara mendadak, atau berhenti makan obat anti
kejang. Jarang status epileptikus disebabkan oleh
penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan
penggunaan penenang dengan men- dadak, pasca
anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang
sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi,
mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang
otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak.
Kelainan-kelainan ini terutama yang terdapat pada
lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status
epileptikus, dibandingkan dcngan lokasi lain pada
otak.
Penderita yang mempunyai riwayat epilepsi, dcngan
sen- dirinya mempunyai faktor pcncctus tertentu.
Umumnya karena tidak teratur makan obat atau
menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor
pencetus lain yang harus diperhatikan adalah
alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.
Patofisiologi
Suatu lepas muatan simpatis akan menyebabkan
naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut
jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang,
mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler.
Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong
oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya
mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah
sistemik akan turun, bila kejang berlangsung terus
dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi, yang
selanjutnya menyebabkan iskemi otak. Hal ini dan
berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksi sel-
sel otak.
Kejang otot yang luas dan melibatkan otot
pernafasan, selain mengganggu pernafasan secara
mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat
pernafasan di medulla oblongata. Di samping itu
kegiatan lepas muatan saraf otonom menyebabkan
sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi,
mengakibatkan ganggu- an difusi oksigen melalui
dinding alveolus.
Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah
adanya penggunaan enersi yang sangat banyak.
Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan
bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan,
sehingga persediaan senyawa fosfat enersi tinggi
terkuras. Hipotensi dan hipoksi akan memperburuk
keada- an, yang berakhir dengan kematian sel-sel
neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan
aritmi jantung, hipoksi otak yang berat dan
kematian. Kejang otot dan gangguan otoregulasi
lain, juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot,
edema paru dan nekrosis tubuler mendadak. Status
epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan
kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada
hipoglikemia berat atau hipoksi. Sel-sel neuron yang
mengalami iskemi selalu terdapat di daerah sektor
Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks
serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-
sel Purkinje.
Penatalaksanaan dan pengobatan
Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan
gawat darurat neurologi. Harus diatasi secepat
mungkin untuk meng- hindarkan kematian atau
cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1. Stabilisasi penderita.
2. Menghentikan kejang.
3. Menegakkan diagnosis.
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan
dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin
terganggu; member- sihkan udara dan jalan
pernafasan, serta memberikan oksigen. Dalam
keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama
atau ada hambatan saluran pemafasan, harus
dilakukan intubasi.
Tekanan darah dipertahankan, diberikan
garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor.
Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap,
gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan bagi
penderita epilepsi di- periksa kadar obat dalam
scrum darahnya.
Harus diperiksa gas-gas darah arteri, untuk
melacak adanya asidosis metabolik dan kemampuan
oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan
bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa
50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100
milligram intramuskular.
Berikut ini langkah stabilisasi penderita status
epileptikus dalam tatanan gawat darurat.5
Gambar1. Algoritma stabilisasi penderita status
epileptikus dalam tatanan gawat darurat, dikutip
dari Lowenstein Daniel H, Alldredge Brian K. Status
epilepticus [curent concept]. N Engl J Med
1998;14:972.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah
tahap stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai dengan
pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masing-
masing 10 mg. Pemberian bolus diazepam
dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu
pernafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah
dapat diatasi.
Bila pemberian diazepam yang waktu
paruhnya hanya se- kitar 15 menit belum berhasil,
diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama,
mempunyai waktu paruh selama 24 jam. Fenitoin
diberikan secara intravena, dilarutkan dalam garam
fisiologis, dengan dosis 18 mg/kg berat badan,
dengan kecepatan kurang dari 50 mg/menit. Efek
samping aritmi jantung sering timbul pada
pemberian fenitoin yang terlalu cepat atau lebih dari
50 mg/ menit, bukan karena jumlah fenitoin yang
diberikan.
Diazepam dan fenitoin dapat menekan
pernafasan, terutama bila pemberian terlalu cepat.
Oleh karena itu selama pemberian obat ini harus
dilakukan monitoring ECG dan pernafasan. Bila
kejang masih terus berlangsung sesudah 20 menit
pemberian fenitoin, intubasi harus dilakukan.
Selanjutnya diberi fenobarbital sampai kejang
berhenti atau dosis seluruhnya men- capai 20 mg/kg
berat badan. Fenobarbital juga diberikan per infus
dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama
pemberian fenobarbital harus diperhatikan
kemungkinan gangguan pernafasan dan turunnya
tekanan darah.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum
berhasil meng- hentikan kejang, maka ahli saraf
harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui
anestesi dengan pemberian pentobarbital atau
amobarbital. Takaran obat yang diberikan
disesuaikan sampai tercapai aktivitas otak yang
dikenal dengan outburst suppression pattern pada
rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama tiga
jam, agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk
embangkitkan homeostasis dan melawan kejang
berkelan-jutan.
Di tempat-tempat yang tidak mempunyai
sarana pemberian oat secara intravena atau tidak
ada fasilitas resusitasi, dapat iberikan pertolongan
pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot
atau rektum. Suntikan paraldehid masing-masing 5
mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam, atau
paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis,
sebanyak 5 ml melalui rektum.
Berikut ini diagram tata laksana status
epileptikus dalam tatanan gawat darurat.5
Gambar2. Alur tata laksana status epileptikus
dalam tatanan gawat darurat, dikutip dari
Lowenstein Daniel H, Alldredge Brian K. Status
epilepticus [curent concept]. N Engl J Med
1998;14:973.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari,
melainkan upaya untuk mencari apa yang menjadi
latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap
ini sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap
stabilisasi penderita. Selama dilakukan usaha untuk
mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital,
alloanamnesis dilakukan untuk memperoleh
keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya.
Adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan
alkohol, obat penenang, trauma, radang otak dan
penyakit lain yang ada kaitannya dengan status
epileptikus. Tahap ini sangat penting untuk
menentukan prognosis di samping keberhasilan
tahap sebelumnya.
Protokol penanganan SE
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10
menit)
Stadium II(1-90 mnt)
Stadium III(0-60/90
mnnt)
Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
Memperbaiki jalan nafas , pemberian oksigen,
resusitasi
Pemeriksaan status neurologis
Pengukuran tekanan darah, ndai , suhu
Ekg
Memasang infus pada pembuluh darah besar
Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
lab
Pemberian OAE emergens: Diasepam 10- 20 mg
iv ( kecepatran pemberian < 2-5 mg / ment atau
rektal dapat diulangi 15 mnt kemudian )
Memasukan 50 cc glukosa 50 % dengan atau
tanpa thiamin 250 mg iv
Menangani asidosis
Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus selama 30 mnt
setelah pemberian diazepam I beri phenytoin iv
stadium IV(30-90
menit)
15-18 mg / kg dengan kecepatan 50 mg / mnt
memulai terapi dengan vasopressor bila
diperlukan
mengoreksi komplikasi
bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
mnt, transfer pasien ke ICU, beri propofol
( 2mg/kgbb bolus iv diulang bila perlu) atau
thiopentone ( 100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit ) dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir lalu dilakukan tapering off
memantau bangkitan dan EEG , tekanan
intrakranial , memulai pemberian OAE dosis
rumatan
Status epileptikus refrakter
Pada umumnya sekitar 80 % pasien dengan SE
konvulsius dapat terkontrol dengan pemberian
benzodiazepin atau phenitoin. Bila bangkitan
masih berlangsung, yang kita sebagai status
epileptikus refrakter maka diperlukan
penanganan di ICU untuk dulakukan tindakan
anestesi.
Obat Dosis
Midazolam
Thiopenthone
001-0.1 mg/kgbb dengan
kecepatan pemberian 4 mg /
mnt dilanjutkan dwengan
pemberian 0.05-0.4
mg/kgbb/jam lewat infus
Pentobarbital
propofol
100-250 mg bolus diberikan
dalam 20 detik kemudian
dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit sampai
bangkitan teratasi. Kemudian
dilanjutkan dengan pemberian
dalam infus 3-5 mg/kgbb/jam
10-20 mg / kgbb dengan
kecepatan 25 mg/menit
kemudian 0.5-1 mg/kgbb/jam
20mg/kgbb kemudian
ditingkatkan menjadi 5-10
mg/kgbb/jam
Meningitis sebagai infeksi SSP
Istilah "meningitis" menunjukkan reaksi keradangan
yang mengenai satu atau semua lapisan selaput otak
yang membung-kus jaringan otak dan sumsum
tulang. Dalam arti yang terbatasmenunjukkan infeksi
difus yang mengenai lapisan pia dan araknoid (lepto
meningitis).Pada umumnya infeksi tidak hanya
terbatas pada selaput otak namun juga mengenai
jaringan otak (ensefalitis) dan pembuluh darah
(vaskulitis).
Pembagian klinis :
1. Meningitis bakteri akut
2. Meningitis subakut dan kronis.
Meningitis bakteri akut
Patogenesis :
infeksi mencapai selaput otak melalui :
-- Implantasi langsung setelah luka terbuka kepala
-- Perluasan langsung dari infeksi telinga tengah,
sinus para- nasalis dan wajah
-- Lewat aliran darah (bakteriemia atau sepsis)
-- Perluasan dari tromboflebitis kortikal dan abses
otak
-- Melalui lamina kribrosa pada rinore CSS yang
kronis atau rekuren.
Etiologi :
Meningitis adalah kasus darurat yang memerlukan
pengobatan segera tanpa menunggu hasil pembiakan
kuman, sehingga perlu diketahui jenis organisme
yang sering ditemukan
berdasarkan usia penderita.
-- Neonatus (sampai 30 hari) : Gram negatip
enterobaccili, Streptococcus grup B, Listeria
monocytogenes
-- Bayi (30 - 60 hari) : Streptococcus grup B,
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis.
-- Anak (2 - 4 tahun) : Haemophilus influenzae,
Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia.
-- Anak (lebih 4 tahun) dan dewasa: Streptococcus
pneumonia. Neisseria meningitidis, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae.
Manifestasi klinis :
Secara klinis meningitis purulenta pada dewasa ada
3 kelompok :
-- Kelompok I : dengan panas, nyeri kepala dan kaku
tengkuk mendadak diikuti kesadaran yang menurun.
-- Kelompok II : dengan panas, nyeri kepala dan kaku
tengkuk yang berjalan antara 1 - 7 hari, dengan
tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas;
penderita hanya mengantuk tanpa penurunan
kesadaran yang jelas.
-- Kelompok III :panas dan nyeri kepala mendadak
diikuti keadaan syok dengan hipotensi dan takikardia
oleh karena sepsis.
Pemeriksaan neurologis seringkali dijumpai tanda
rangsangan selaput otak (seperti kaku tengkuk,
tanda Kernig dan Brudzinki) , kelumpuhan saraf
kranial (strabismus, gerakan bola mata terganggu)
dan tanda fokal lain. Pada bayi dan anak sering
dijumpai kejang dan kesadaran yang menurun
sampai koma.
Faktor predisposisi:
Beberapa faktor predisposisi perlu dipikirkan seperti
otitis media dan mastoiditis, pneumonia, diabetes
mellitus, trauma kepala, abses otak, furunkulosis dan
selulitis. Meningitis dapat juga merupakan
komplikasi dari leukemia dan penyakit Hodgkin.
Diagnosis :
Pemeriksaan CSS menunjukkan tekanan meningkat
dengan warna keruh sampai purulen, dan
peningkatan jumlah lekosit (500 - 35000/cmm) yang
terutama terdiri sel PMN (stadium awal). Kadar
protein meningkat dan kadar glukosa menurun.
Hendaknya dilakukan pengecatan CSS (Gram)
disamping pembiakkan kuman. Pemeriksaan lain
seperti X-foto tengkorak, sinus paranasalis mastoid,
toraks dan EEG.
Pengobatan :
-- Pengobatan kausal dengan antibiotika dosis tinggi
sesuai dengan usia penderita dan kuman penyebab.
Dosis dewasa yang biasanya diberikan adalah :
Ampisilin : 300 - 400 mg per kg (6 dosis) i.v
Kloramfenikol :4 - 6 g/hari (4 dosis) i.v.
Gentamisin : 3 - 5 mg per kg (3 dosis) i.v
Oksasilin : 10 - 12 gram (6 dosis)
-- Pengobatan suportip dan simtomatik (cairan,
elektrolit, kejang, edema otak, febris).
Meningitis tuberkulosis
Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya
subakut atau kronis dengan angka kematian dan
kecacadan yang cukup tinggi.
Manifestasi klinis :
Adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah
muntah, kejang dan pemeriksaan neurologik
menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan
saraf kranial (terutama N III, IV, VI, VII) (30%),
edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%)
serta gangguan kesadaran.
Diagnosis :
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas
dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti
kaku tengkuk, tanda Kernig dan brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
-- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
-- peningkatan kadar protein
-- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
-- ditemukannya kuman tuberkulosis pada
pengecatan dan pembiakan CSS
-- kelainan foto toraks yang sesuai dengan
tuberkulosis
-- Pada anamnesis kontak dengan penderita
tuberkulosis aktif
Stadium :
Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :
-- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai
rangsangan selaput otak tanpa tanda neurologik
fokal atau tanda hidrosefalus.
-- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau
tanpa disertai tanda neurologis fokal misalnya
kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya
hemiparesis.
-- Stadium III : penderita dengan stupor atau
delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.
Pengobatan :
Beberapa kombinasi obat pernah diberikan untuk
menanggulangi penyakit ini namun pada dasarnya
obat tersebut harus dapat menembus sawar darah
otak, berada dalam CSS dengan kadar yang cukup
efektif dan aktivitas anti tuberkulosis tinggi,
resistensi dan kerja samping obat yang minimal.
-- Streptomisin 20 - 30 mg/kg/hari selama 2 minggu
kemudian dijarangkan 3 kali/minggu hingga klinis
dan laboratorium baik (perlu waktu kira-kira 6
minggu).
-- INH 20 - 25 mg/kg/hari pada anak anak atau 400
mg/hari pada dewasa selama 18 bulan.
-- Etambutol 25 mg/kg/hari sampai sel cairan
serebrospinal normal, kemudian diturunkan 15
mg/kg/hari selama 18 bulan.
-- Rifampisin 15 mg/kg/hari selama 6 - 8 minggu.
Kortikosteroid hanya dianjurkan bila ditemukan
tanda edema otak.
Abses otak
Sumber infeksi :
-- Penyebaran langsung dari otitits media,
mastoiditis atau sinusitis frontalis, etmoidalis,
sfenoidalis dan maksilaris.
-- Tromboflebitis kortikal, osteomielitis tulang
tengkorak.
-- Luka tembus pada tulang tengkorak.
-- Emboli septik yang berasal dari paru
(bronkiektasis, empiema, abses paru), dan jantung
(SBE, penyakit jantung kongenital).
Lokalisasi :
Sering daerah lobus frontalis dan parietalis, juga
ditemukan pada lobus temporalis dan serebelum
(otitis, media dan mastoiditis) serta abses yang
multiple.
Manifestasi klinis :
-- Gejala sistemik : panas, malaise, menggigil,
bradikardia.
-- Gejala SSP non fokal : akibat kenaikan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, muntah, gangguan
kesadaran).
-- Gejala fokal SSP : tergantung lokalisasi abses
(gangguan motorik, mental, sensorik,
kejang,ataksia).
Diagnosis :
-- Darah : sel lekosit dan laju endap darah
meningkat.
-- X-foto tengkorak, mastoiditis, sinusitis, pergeseran
kelenjar pineal.
-- CT scan : sangat membantu diagnosis dini maupun
follow-up pasca pengobatan/bedah. Demikian pula
CT scan sangat membantu pada penderita dengan
gejala meningitis yang disertai tanda lateralisasi
neurologi sebelum dilakukan punksi lumbal
-- EEG dan arteriogram.
Pengobatan :
-- Pemberian antibiotika yang adekuat terutama
stadium serebritis baik terhadap kuman aerob
maupun anaerob (Penisilin G, Kloramfenikol,
Metronidazole).
-- Tindakan pembedahan.
-- Pengobatan suportif dan simtomatik.
Manifestasi neurologis syok sepsis
Kondisi ini umumnya terjadi dirumah sakit sebagai
komplikasi serius dari penyakit yang sudah ada pada
pasen tersebut. Syok sepsis mempunyai angka
mortalitas yang tinggi yaitu antara 40-90% Sepsis
sebagai komplikasi dari penyakit lain yang berat
yaitu keganasan,sirhosis hati, diabetes, payah ginjal,
pasen tirah baring lama, pasen yang mendapatkan
pengobatan sitotoksik, serta pasen yang memakai
kateterdan nasogastric tube. Infeksi nasokomial ini
adalah penyebab tingginya kejadian sepsis.
Penyebab tersering dari syok sepsis ini adalah
infeksi gram negatif 30-80%, infeksi gram positif 6-
24%, sedangkan penyebab lain adalah virus dan
jamur (Glauser, 1991). Infeksi gram negatif biasanya
berasal dari infeksi traktus urinarius, traktus biliaris,
traktus digestivus, dari paru dan dapat juga dari
infeksi kulit, tulang dan sendi tapi kurang sering.
Sepsis akibat bakteri gram positif biasanya berasal
dari infeksi kulit, traktus respiratorius, dapat juga
berasal dari abses metastase. Sepsis karena jamur
oportunistik sering terdapat pada pasen yang
mendapatkan pengobatan imunosupresan dan pasen
pasca operasi (Root, 1991).
Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia
karena infeksi bakteri gram negatif di AS yaitu
antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi
sekarang insiden ini meningkat antara 300.000-
500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991).
Syok akibat sepsis terjadi karena adanya respon
sistemik pada infeksi yang seirus. Walaupun insiden
syok sepsis ini tak diketahui namun dlambeberapa
tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan
cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya
sepsis antara lain diabetes melitus, sirhosis hati,
alkoholismus, leukemia, limfoma, keganasan, obat
sitotoksis dan imunosupresan, nutrisiparenteral dan
sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal.
Di AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang
sering di ruang ICU.
Definisi
Syok sepsis adalah suatu sindroma klinik akibat
adanya invasi akut kedalam oleh organisme tertentu
atau produk toksiknya (Root 1991; Reynart 1991).
Menurut Dobb 91991), syok sepsis adalah suatu
sindroma sepsis yang disertai menurunnya tekanan
darah lebih dari 40 mmHg dari baseline, dan
memberikan respon terhadap pemberian cairan infus
dan obat.
Perbedaan sindroma sepsis dan syok sepsis
Sindroma sepsis Syok sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m
Takikardi 90x/m
Hipertermi 38 C
Hipotermi 35,6 C
Hipoksemia
Sindroma sepsis ditambah dengan
gejala:
Hipotensi 90 mmHg
Tensi menurun sampai 40 mmHg
dari
Peningkatan laktat plasma
Oliguria, Urin 0,5 cc/kgBB dalam 1
jam
baseline dalam waktu 1 jam
Membaik dengan pemberian cairan
emergensi
Penyakit syok hipovolemik, infark
miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan
Bakteremia adalah suatu keadaan ditemukannya
bakteri dalam kultur darah. Sepsis adalah suatu
kejadian infeksi yang disertai meningkatnya
frekwensi nafas lebih dari 20x/m atau 10 l/m, denyut
jantung lebih dari 90x/m dan suhu rektal diluar
range 35,5 C-38,5 C.
Etiologi
Syok sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri
gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter,
echoli, proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus),
infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue hemorrhagic
fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum).
Sedangkan pada kultur yang sering ditemukan
adalah pseudomonas, disusul oleh stafilokokus dan
pneumokokus. Syok sepsis yang terjadi karena
infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus,
sedangkan gram positif adalah 5-15% dari kasus
Patogenesis
Terjadinya syok sepsis dapat melalui dua cara yaitu
aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines.
Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding
bakteri gram negatif dan endotoksinnya serta
komponen dinding sel bakteri gram positif dapat
mengaktifkan:
• Sistim komplemen
• Membentunk kompleks LPS dan protein yang
menempel pada sel monosit
• Faktor XII (Hageman faktor)
Sistim komplemen yang sudah diaktifkan akan
merangsang netrofil untuk saling mengikat dan
dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya
dilepaskan derivat asam arakhidonat, enzim lisosom
superoksida radikal, sehingga memberikan efek
vasoaktif lokal pada mikrovaskuler yang
mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler.
Disamping itu sistim komplemen yang sudah aktif
dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya
efek kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom.
LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan
cytokines, kemudian cytokines akan merangsang
neutrofil atau sel endotel, sel endotel akan
mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1.
Sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah dan DIC. Cytokines dapat secara
langsung menimbulkan demam, perobahan-
perobahan metabolik dan perobahan hormonal.
Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh
peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada
dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah
aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi
sehingga terjadi disseminated intravascular
coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan
merobah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein
merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan
hipotensive agent yang potensial bradikinin,
bradikinin akan menyebabkan vasodiltasi pembuluh
darah.
Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan
perobahan-perobahan metabolik, perubahan
hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan
sindroma sepsis, hipotensi, respiratory distress
syndrome, multiple organ failure, akhirnya kematian.
Manifestasi Klinik
Syok sepsis sering didefenisikan terjadi akibat tidak
adekuatnya perfusi jaringan. Tetapi menurut Bone
(1992) sebenarnya syok sepsis lebih cocok terjadi
akibat hipotensi sehingga berkurangnya perfusi
jaringan, yang akhirnya menyebabkan disfungsi
organ (multiple organ failure). Pada keadaan
multiple organ failure terjadi koagulasi, respiratory
distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi
hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat
seperti terlihat pada tabel berikut
Multiple Organ Failure
DIC
Respiratory Distress Syndrome
Acute Renal Failure
FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0
dengan rendahnya platelet,
memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- perdarahan
Hipoksemia
Kreatinin > 2,0 ug/dl
Hepatobilier dysfunction
Central Nervous System
dysfunction
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan
Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Nilai alk. Fosfatase, SGOT, SGPT dua
kali nilai normal
GCS < 15
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah
banyak disfungsi organ akan meningkatkan angka
mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat
karena terganggunya permeabelitas kapiler
menyebabkan terjadinya odem otak peninggian
tekanan intrakranial akan menyebabkan terjadinya
destruksi seluler atau nekrosis jaringan otak . Tetapi
defisit neurologik fokal dapat terjadi akibat
meningkatnya aggregasi platelet dan eritrosit
sehingga menyumbat aliran darah serebral.
Sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan intra serebral.
Gangguan neurologis akibat syok sepsis dapat
diketahui dengan adanya:
- deman akut
- nyeri kepala
- mual, muntah
- kesadaran dapat menurun mulai dari somnolent
sampai koma
- defisit neurologik fokal biasanya jarang terjadi
- pada keadaan yang berat dapat ditemukan
gangguan gerakan okuler, gangguan refleks pupil,
nafas cheynestoke
Pengobatan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok
sepsis diperlukan tindakan yang agresif terhadap
penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi.
Untuk memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ
vital. Jika perlu dipasang CVP untuk mengukur
secara akurat volume cairan, cardiac output, dan
resistensi perifer sehingga dapat dimonitor
pemberian cairan dan tekanan darah Perbaikan
sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit
penyebab. Pasen yang dapat imunosupresan,
perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan
netropeni atau disfungsi netropil mungkin
memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga
diperhatikan adalah penggantian kateter intra vena,
kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi
perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95%
dan jika terjadi respiratory failure perlu dipasang
intubasi. Untuk pengobatan syok sepsis perlu
diperhatikan obat yang esensial
(hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial
(kortikosteroid, heparin dan opiat antagonis), masa
mendatang (antibodi monoklonal).
Perbaikan hemodinamik
Banyak pasen syok sepsis terjadi penurunan volume
intravaskuler, sebagai respon pertama harus
diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan
darah. Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan.
Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan
CVP dipelihara antara 10-12 mmH 0.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian
pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan
darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka
perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor
seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosis sepsis ditegakkan, antibiotik harus
segera diberikan, di mana sebelumnya harus
dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat.
Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil
kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari
mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan
diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan
gram negatif.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur
diketahui
2. Pasen yang dapat imunosupresan, khususnya
dengan neutropeni
3. Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang
sangat patogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan
yang dibuat sepsis dapat menurunkan angka
mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil
prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai
9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan perikan
angka mortalitas.
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang
sama dan hanya dan memperbaiki keadaan syok
tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas.
Nalokson suatu opiat antagonis diberikan pada
binatang percobaan untuk mencegah syok karena
diinduksi oleh endotoksin . Pada manusia dilakukan
suatu studi prospektif dan didapatkan hasil yaitu
naloksan tidak menaikkan tekanan darah tetapi
dapat mengurangi penggunaan vasopressor .
DIC asimptomatik tidak membutuhkan terapi
spesifik, jika terjadi perdarahan berat diperlukan
penggantian faktor pembekuan dan platelet,
penggunaan heparin, dan fibrinolitik lainnya masih
kontraversial.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi
monoklonal merupakan harapan dan diharapkan
dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas.
Prognosis
Perbaikan sepsis lebih tergantung kepada faktor host
dari pada virulensi organisme. Angka mortalitas
lebih dipengaruhi oleh underlying disease, misal
pasen sepsis dengan leukemia akut lebih tinggi
angka mortalitasnya dari pada pasen sepsis lainnya.
Diskusi kasus
Gawat darurat: status epileptikus
Seorang laki-laki 33 tahun datang ke IGD RSCM
dengan riwayat kejang berulang total sekitar
delapan kali kejang dengan durasi masing-masing
15-20 menit. Data ringkas ini sudah mengarah pada
kondisi gawat darurat neurologi tersering; status
epileptikus.1 Penanganan terdini untuk
menyelamatkan nyawa pasien ini ialah prosedur ABC
(Airway, Breathing, Circulation) diikuti monitor
fungsi jantung sambil memeriksa kandungan gula
darah sewaktu (GDS) untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial status epileptikus paling sering, yakni
sinkop dan gagal jantung.10,11Dilanjutkan dengan
akses intravena dan pemberian obat-obatan penurun
kejang hingga dicapai kondisi pasien yang stabil.5
Setelah itu baru dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan darah lain yang rutin dikerjakan untuk
kasus status epileptikus, yakni DPL, elektrolit, AGD,
fungsi hati, fungsi ginjal, dan jika memungkinkan
dapat diperiksa toksikologi serta kadar obat
antiepilepsi dalam serum.5
Dilakukan anamnesis yang mengarah pada
etiologi kejang dan diperoleh data bahwa tidak ada
riwayat penggunaan alkohol dan obat tertentu,
sehingga intoksikasi zat dapat disingkirkan secara
subyektif. Gejala defisit neurologis fokal dan
peningkatan tekanan intrakranial tidak ditemukan
sehingga etiologi stroke dapat disingkirkan. Trauma
kepala tidak ditemukan pada pasien ini. Pasien juga
cukup tidur dalam beberapa hari ini. Tidak
ditemukan demam, sakit kepala, dan penurunan
kesadaran (tanda khas infeksi SSP), namun semua
data ini belum bisa dipercaya karena pada saat
kejadian tidak ada orang yang menemani pasien,
termasuk istrinya. Para keluarga hanya menyatakan
bahwa mereka sudah paham keadaan jika pasien
akan kejang, yakni bibirnya mengecap-ngecap atau
matanya berkedip-kedip, dua tanda aura khas
epilepsi terutama dengan lesi jaringan di daerah
oksipital.9
Telah diketahui sebelumnya bahwa pasien
merupakan pengidap epilepsi sejak remaja (usia 15
tahun) dengan serangan sekitar dua hingga tiga kali
sebulan. Data ini mengarah pada kemungkinan
adanya juvenile myoclonic epilepsy berupa sindrom
serangan mioklonik dan tonik klonik yang muncul
pada usia remaja (12-18 tahun) dengan gambaran
EEG spesifik, prognosis baik, namun risiko kambuh
90% jika pengobatan dihentikan.10 Sayangnya, pasien
ini termasuk yang tidak teratur minum obat,
meskipun terdapat persediaan obat di rumahnya.
Menurut keluarga, pasien hanya minum obat
Panadol (Paracetamol) jika merasa sakit kepala.
Saat ini merupakan kali pertama pasien
mengalami serangan kejang dalam waktu lama dan
terus-menerus. Kejang kaku dan kelojotan di kedua
lengan sampai ke seluruh tubuh (tonik-klonik). Saat
kejang pasien sempat terbentur-bentur dinding dan
lantai hingga menimbulkan luka. Setelah kejang
pasien menjadi tidak sadar dan mengompol, tanda
telah terjadi gangguan otonom. Data-data tersebut
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo52
telah mampu menegakkan diagnosis status
epileptikus konvulsius umum pada pasien ini.
Etiologi epilepsi
Di IGD pasien masih sempat kejang dan terus-
menerus mengerang. Tanda erangan ini masih
mungkin merupakan tanda bahwa pasien sebenarnya
sedang merasa sakit kepala yang hebat. Dari
pemeriksaan fisis ditemukan tanda vital yang jelek,
yakni tekanan darah 90/70 mmHg dengan nadi 124
x/menit dan laju napas 36 x/menit, sebuah keadaan
syok neurogenik. Syok ini bisa juga terjadi akibat
proses septik setelah evaluasi hasil lab yang
menunjukkan leukositosis 29.000/cc dan foto toraks
di IGD yang menunjukkan adanya infiltrat dengan
kecurigaan ke arah tuberkulosis. Keadaan di atas
menunjukkan telah terjadinya systematic
inflammatory response syndrome (SIRS) karena
telah terdapat lebih dari satu gejala takipnoe
>20x/menit atau hiperventilasi pCO2 <32mmHg,
denyut nadi meningkat >90x/menit, suhu >380C atau
<360C.15,16
Diagnosis ini juga berdasarkan data adanya
gagal ginjal akut (Ur= 40 Cr=2.1) sebagai petanda
dimulainya kegagalan multiorgan. Begitu pula
berdasarkan hasil EKG ditemukan iskemia
anterolateral dengan sinus takikardi. Meskipun
belum termasuk gagal jantung, namun pada pasien
usia muda (33 tahun) dengan faktor risiko merokok
tidak lazim terjadi penyakit jantung koroner di
daerah anterolateral. Tanda ini menjadi petunjuk
adanya perburukan di organ tersebut. Tidak
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo53
ditemukan kelainan elektrolit pada pasien ini
sehngga etiologi metabolik dapat disingkirkan.
Meningitis merupakan penyebab status
epileptikus tipe konvulsifus yang paling sering.19
Namun meningitis tipe mana yang diderita pasien?
Kemungkinan besar sebelum sampai ke IGD pasien
sudah mengalami infeksi. Kalaupun pasien masih
bisa berjalan dan beraktivitas tidak seperti orang
sakit, bisa jadi infeksi yang dideritanya bersifat
subklinis. Keadaan ini bisa terjadi pada pasien
dengan perjalanan penyakit yang kronis, misalnya
tuberkulosis. Dengan data adanya defisit neurologis
(kejang) yang bersifat umum, tidak ada lateralisasi
lesi, serta adanya bukti proses spesifik di paru,
diagnosis lebih mengarah pada tuberkulosis sebagai
penyakit infeksi yang sering terjadi di Indonesia.
Namun demikian keduanya sama-sama terjadi
pada pasien yang umumnya imunokompromais dan
pasien masih dalam keadaan tidak sadar untuk
anamnesis lebih dalam. Sebanyak 15.3% pasien
dengan status epileptikus akan terdeteksi positif
Toxoplasma di serumnya (pemeriksaan IHA).18
Karenanya masih perlu dilaksanakan CT-Scan kepala
dengan pemberian kontras. Sayangnya, tidak bisa
dilakukan pada pasien ini mengingat adanya iskemia
di pembuluh darah koroner yang memperdarahi
bagian anterolateral jantung sehingga dikhawatirkan
akan menyebabkan trombus atau embolus. Prosedur
neovaskular terbukti dapat meningkatkan angka
kejadian trombus atau embolus, bahkan penggunaan
r-tPA sudah disarankan untuk mencegah kejadian
tersebut.17 Hal tersebut bisa terjadi karena adanya
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo54
kerusakan arteri dan karakteristik trombogenik dari
kateter, media kontras, atau media implan (coil,
stent, dll.).
Tata laksana dan prognosis
Urutan tata laksana sudah sesuai dengan prosedur,
yakni menghilangkan kejang, stabilisasi keadaan,
dan menegakkan diagnosis etiologi. Dalam
menghilangkan kejang telah diberikan regimen awal
diazepam bolus 5mg pada sepuluh menit pertama
dilanjutkan dengan fenitoin 625 mg namun masih
terdapat kejang hingga direncanakan untuk masuk
ICU guna memberi regimen anestesi dan intubasi
untuk napas buatan.
Keadaan klinis yang demikian dapat
dikategorikan sebagai status epileptikus refrakter
sehingga membutuhkan regimen anestesi, dalam hal
ini direncanakan pemberian Pentobarbital.
Sayangnya kamar ICU di RSCM penuh sehingga
untuk sementara pasien dirawat di Intermediate
Ward (IW) hingga akhirnya nyawanya tidak bisa
diselamatkan sampai hari kelima perawatan.
Penatalaksanaan pasien ini meliputi
pemberian oksigen 100% sebanyak 4l/menit dalam
sungkup rebreathing untuk mengatasi napas cepat.
Kateter urin senantiasa dipakai karena adanya
inkontinensia uri. Selang nasogastrik dipasang untuk
memasukkan obat dan sebisa mungkin nutrisi
enteral diberikan meski keadaannya tidak sadar.
Terapi definitif pasien ini ialah mengatasi
sepsis dengan antibiotik golongan penisilin
nonbetalaktam generasi ketiga dan keempat. Di
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo55
RSCM regimen yang digunakan (berdasarkan
standar pola kuman) ialah Levofloxacine 500mg dan
Ceftriaxone 2x2 g, meskipun dipertanyakan karena
penggunaannya yang sangat luas di berbagai
departemen. Untuk regimen standar di ICU dalam
mengatasi sepsis diberikan golongan
Imipenem/Meropenem atau Tazobactam. Namun
mengingat harganya yang relatif mahal (Rp.
650.000/vial) maka jenis Levofloxacine, Ceftriaxone,
Cefpirome, atau Cefixime masih digunakan.
Terapi definitif untuk kecurigaan TB
ekstraparu dengan hasil positif pada foto toraks,
walaupun belum dilakukan pemeriksaan sputum,
tetap membutuhkan regimen OAT dalam dosis yang
disamakan dengan kasus baru (setara KombiPak
WHO tipe I). Dengan berat badannya yang sekitar
50-60 kg, diberikan Rifampisin (15mg/kgBB 6-8
minggu), Isoniazid (20-25 mg/kgBB/hari selama 18
bulan), Pirazinamid, dan Ethambuthol (keduanya 25
mg/kgBB/hari selama 18 bulan) dalam dosis
berturut-turut 450-300-1500-1500. Pemberian OAT
khususnya pada pasien dengan sepsis kerusakan
multiorgan seperti ini harus dengan pemantauan
fungsi hati yang ketat karena regimen OAT, terutama
Pirazinamid, sangat mudah menimbulkan Drug-
induced Hepatitis (DIH).
Selebihnya kortikosteroid diberikan –meskipun
untuk pasien imunokompromais- untuk mendapatkan
dua efek. Pertama antiinflamasi poten yang dapat
menurunkan gejala inflamasi di SSP. Kedua, steroid
dapat mempermudah penetrasi OAT melalui sawar
darah otak sehingga membantu membunuh basil TB
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo56
yang umumnya melekat kuat di meningens hingga ke
tengkorak, terutama di daerah basis kranii.
Adjuvan H2-RA dengan dosis normal 20-40 mg
perhari diberikan untuk mencegah produksi asam
lambung berlebih akibat proses inflamasi SSP.
Vitamin neurotropik diberikan untuk memperbaiki
jaringan otak yang rusak akibat proses kejang yang
lama dan berulang-ulang. Antipiretik asetaminofen
tetap diberikan jika pasien demam dan mengingat
pasien dalam kondisi tidak sadar serta terdapat
kerusakan ginjal dan –diduga- hepar sehingga
memudahkan terjadi ensefalopati metabolik.
Diberikan regimen nutrisi parenteral asam-asam
amino yang tidak dimetabolisme menjadi ureum
berupa Aminovel atau Aminoleban.
Prognosis pasien ini seluruhnya ialah malam.
Kemungkinan hidup pasien dengan status epileptikus
refrakter ditambah sepsis dengan kegagalan
multiorgan merupakan penyebab tersering kematian
di ruang rawat intensif.20 Selain itu fungsi otak
pasien tentu sudah jauh berkurang dan dapat
dipastikan terjadi lesi di mana-mana, terutama
kecurigaan di daerah oksipital mengingat adanya
riwayat aura yang melibatkan area tersebut.
Kalaupun pasien hidup, kemungkinan bisa terjadi
gliosis (fibrosis otak) dan menyebabkan keadaan
yang lebih buruk di kemudian hari. Mengingat
pasien sudah memiliki penyakit epilepsi sebelumnya,
maka dalam keadaan apapun akan tetap mungkin
berulangnya serangan, apalagi compliance pasien
untuk minum obat sangat rendah. Jika pasien bisa
selamat, di kemudian hari risiko untuk terjadinya
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo57
status epileptikus akan tetap ada, dipicu oleh
keadaan tertentu.5
Referensi
1. Scott Rod C, Surtees Robert AH, dan Neville
Brian GR. Status epilepticus:
pathophysiology, epidemiology, and
outcomes. Arch Dis Child 1998;79:73-77.
2. Sung C-Y, Chu N-S. Status epilepticus in the
elderly: etiology, seizure type and outcome.
Acta Neurol Scand 1989;80:51-6.
3. Hauser WA. Status epilepticus: epidemiologic
considerations. Neurology 1990;40:Suplemen
2:9-13.
4. Spitz Mark. Status epilepticus [artikel
online]. eMedicine WebMD [diupdate 8 Maret
2007; diakses 3 Oktober 2007]. Tersedia dari
http://www.emedicine.com/neuro/topic417.ht
m
5. Lowenstein Daniel H, Alldredge Brian K.
Status epilepticus [curent concept]. N Engl J
Med 1998;14:970-6.
6. Aminoff MJ, Simon RP. Status epilepticus:
causes, clinical features and consequences in
98 patients. Am J Med 1980;69:657-66.
7. Simon RP. Physiologic consequences of status
epilepticus. Epilepsia 1985;26: Suplemen
1:858-66.
8. Shorvon Simon, Perucca Emilia, Fish David,
Dodson Edwin. The treatment of epilepsy 2nd
ed. Blackwell Science;2004:50-62. Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo58
9. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis
Dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Dian Rakyat,
1996 ; 439-47.
10.Syeban Z, Markam S, Harahap T. Epilepsi.
Dalam : Markam S, ed. Penuntun Neurologi.
Jakarta : Binarupa Aksara, 1992 ; 107-10.
11.Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi
S. Diagnostik Epilepsi. Dalam : Markam S,
ed. Jakarta : Binarupa Aksara, 1992 ; 111-5.
12.Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran
Umum Mengenai Epilepsi. Dalam :Harsono,
ed. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2.
Yogyakarta, 1996 ; 119-3.
13.Browne TR, Holmes GL. Primary care:
epilepsi dalam N Engl J Med 2001;
344:1145-1151, Apr 12, 2001. Review
Articles
14.Cavazos, JE - Seizures and epilepsi: overview
and classification –URL:
http://www.emedicine.com/neuro/topic415.ht
m
15.Bone RC. Toward an epidemiology and
natural history of SIRS (systemic
inflammatory response syndrome). JAMA.
1992;268(24):3452-3455.
16.Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al.
Efficacy and safety of recombinant human
activated protein C for severe sepsis. N Engl J
Med. 2001;344(10):699-709.
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo59
17.Haehnel Stefan et.al. Local intraarterial
Fibrinolysis of Thromboemboli Occuring
During Neoendovascular Procedures with
Recombinant Tissue Plasminogen Activator.
Stroke;2003:34: 1723-9.
18.Mirdha Ranjan Bijay. Status of Toxoplasma
gondii infection in the etiology of epilepsy. J
Pediatr Neurol;2003:1(2):95-98.
19.Chin RFM, Neville BG, Scott RC. Meningitis
is a common cause of convulsive status
epilepticus with fever. Arch Dis Child
2005;90:66–9.
20.Beal AL, Cerra FB. Multiple organ failure
syndrome in the 1990s. Systemic
inflammatory response and organ
dysfunction. JAMA. 1994;271(3):226-233.
Status epileptikus konvulsifus umum diinduksi infeksi SSP
Departemen Neurologi FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo60