Sosiodemografi
-
Upload
wendi-irawan-dediarta -
Category
Documents
-
view
2.610 -
download
0
description
Transcript of Sosiodemografi
SOSIOLOGI PEDESAAN
MENCARI DAN MENGANALISIS KASUS-KASUS DAN ISYU-
ISYU SOSIODEMOGRAFI
Disusun Oleh:
Wendi Irawan Dediarta
(150310080137)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNVERSITAS PADJADJARAN
2009
PENDAHULUAN
Dalam perencanaan pembangunan, data kependudukan memegang peran yang penting. Makin
lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, makin mudah dan tepat rencana
pembangunan itu dibuat. Sebagai contoh, dalam perencanaan pendidikan, diperlukan data
mengenai jumlah penduduk dalam usia sekolah, dan para pekerja dalam bidang kesehatan
masyarakat memerlukan informasi tentang tingi randahnya angka kematian dan angka morbiditas
penduduk. Banyak lagi contoh-contoh lain dimana kependudukan sangat diperlukan dalam
perencanaan pembangunan.
Untuk dapat memahami keadaan kependudukan di suatu daerah atau negara maka perlu kajian
tentang demografi. Di Negara yang sedang membangun data komponen demografi hakiki
umumnya tidak lengkap, dan andaikata ada reabilitasnyapun sangat rendah. Untuk mengatasi
kekurangan ini ahli demografi membuat perkiraan (estimasi) komponen demografi berdasarkan
data hasil sensus penduduk atau data sekunder.
PEMBAHASAN
Teori Sosiodemografi
Berdasarkan Multilingual Demographic Dictionary (IUUSP, 1982) definisi demografi
adalah sebagai berikut;
Demografi mempelajari penduduk (suatu wilayah) terutama mengenai jumlah, struktur
(komposisi penduduk) dan perkembangannya (perubahannya).
Philip M. Hauser dan Dunddley Ducan (1959) mengusulkan definisi demogarafi sebagai
berikut:
Demografi mempelajari jumlah, persebaran, teritorial, dan komposisi penduduk serta
perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu, yang biasanya timbul karena
natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (perubahan
status).
Dari dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa demografi mempelajari struktur dan
proses penduduk di suatu wilayah. Struktur penduduk ini selalu berubah-ubah, dan
perubahan tersebut disebabkan proses demografi, yaitu: kelahiran (fertilitas), kematian
(mortalitas), dan migrasi penduduk. Demografi tidaklah mempelajari penduduk sebagai
individu, tetapi penduduk sebagai suatu kumpulan ( agregates atau collection). Jadi yang
dimaksud dengan penduduk dalam kajian demografi adalah sekelompok orang yang
bertempat tinggal disuatu wilayah. Selain itu demografi bersifat analitis matematis, yang
berarti analisis demografi didasarkan atas analisis kuantitatif, dan arena sifatnya yang
demikian maka demografi sering juga disebut dengan statistik penduduk. Seperti telah
disebut dimuka, demografi formal dengan teknik-teknik analisis kuantitatif dapat dibuat
perkiraan variabel-variabel demoografi berdasarkan data kependudukan yang didapat dari
sensus penduduk. Disamping itu dapat pula dibuat proyeksi penduduk untuk masa-masa
mendatang dan juga masa-masa yang lalu.
Demografi murni (pure demography) atau dapat juga disebut dengan demografi formal
(formal demography) hanya mendeskripsikan atau menganalisis yariabel-variabel demografi
seperti yang telah dicontohkan diatas, yaitu hubungan antara naik turunnya tingkat fertilitas
dengan struktur demografi disuatu daerah. Kajian demografi biasanya diampu oleh ahli-ahli
ilmu lain terutama ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, dan biologi (Yaukey:1990).
Sehubungan dengan hal tersebut, analisis demografi untuk suatu wilayah sangat tergantung
kepada metode analisis ilmu yang mengampunya. Namun demikian demografi sebagai ilmu
yang mempunyai pula metode tersendiri terutama dalam mengukur maupun membuat
estimasi variable demografi baik untuk masa lampau, masa kini maupun masa depan.
Jadi dapat kami simpulkan bahwa sosiodemografi adalah suatu ilmu yang mempelajari
struktur dan proses penduduk di suatu wilayah yang perubahan struktur penduduknya
dipengaruhi juga oleh proses-proses sosial dan perubahan sosial masyarakat di dalamnya.
Kasus Sosiodemografi (Kampung Pasar Minggu, Jakarta Selatan)
Pasar minggu berlokasi di bagian selatan Kota Jakarta. Sejak tahun 1900-an adalah pasar
utama sayur dan buah-buahan. Sejak lama, penduduk asli Betawi hidup berdampingan
dengan orang Cina yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang dan semula juga
merupakan tuan tanah. Orang Betawi umumnya tinggal di atas tanah yang luas dengan
pertanian sebagai mata pencahariannya. Sementara orang Cina tinggal secara mengelompok
sebagai pedagang atau menjadi tuan tanah yang tanahnya rata-rata lebih luas darai tanah
milik orang Betawi.
Sampai dengan tahun 1960-an banyak orang Betawi yang menanam sayur dan buah. Pada
dekade ini, para pendatang dari pedesaan di Jawa dan Madura mulai tinggal di Pasar
Minggu. Pendatang dari Wonogiri membuat dan menjual bakso, pendatang dari Tasikmalaya
menjadi tukang kredit, serta pendatang dari Madura menjual ikan segar. Pada umumnya para
pendatang ini tinggal dengan cara menyewa dari penduduk asli Betawi.
Beberapa warung Cina membentuk cluster-cluster yang dibangun sejajar dengan jalan raya
dan rel kereta api. Stasiun Pasar Minggu terletak di sebelah utara dari lokasi sekarang.
Disekitar lokasi stasiun, terdapat beberapa pedangan buah-buahan yang menggunakan kreta
api sebagai sarana transportasi. Perdagangan buah-buahan inilah yang menjadi embrio Pasar
Minggu yang pernah termasyur itu. Sementara pasar buah dan ikan serta toko-toko cina yang
juga membentuk cluster berada dipasar yang sekarang ini. Jalan raya lebarnya setengah dari
lebar sekarang atau berada di jalur barat jaran raya sekarang ini. Dengan demikian, halaman
untuk stasiun lebih lebar dari kondisi sekarang. Lebarnya lahan tersebut banyak digunakan
sebagai pasar buah dan cluster warung Cina sebagaimana disebut diatas.
Pada tahun 1970-an pengembangan kompleks bangunan dilakukan oleh pemerintah dan
swasta, sehingga berakibat kampong Pasar Minggu menjadi terkungkung oleh kompleks
perumahan dan Universitas. Kondisi ini menciptakan segregasi antara “orang kompleks dan
orang kampung”. Beberapa kompleks tersebut antara lain adalah perumahan Bea dan Cukai,
lalu diikuti oleh Villa Pejaten Mas, Villa Pejaten Indah, perumahan Kejaksaan dan
Universitas Nasional.
Pada decade 1970-an, perubahan sosial yang diakibatkan oleh kedatangan para perantau dari
daerah lain mulai terasa bagi penduduk asli (Betawi). Orang Betawi mulai menyewakan
rumahnya kepada para pendatang. Terminal secara spontan beralih di pasar tradisional (barat
jalan) dan sebagian lagi masih berada di stasiun.
Meskipun Pasar Minggu telah menjadi pusat bisnis dan perdagangan di Jakarta, namun
orang Betawi asli kesulitan dalam mencari pekerjaan di dalam aktifitas komersial yang baru.
Keterampilan yang mereka miliki adalah dalam pertanian dan bukannya dalam perdagangan.
Dari hasil diskusi, orang Betawi mengatakan bahwa mereka kurang memiliki keterampilan,
tidak memiliki akses, tidak memiliki kesempatan dan tidak memiliki kontak yang dapat
menyediakan kesempatan baru. Mereka juga tidak dapat bersaing dengan para pendatang
baru dari daerah lain. Orang Betawi menjual tanah, lalu uangnya digunkan untuk naik haji,
membeli motor dan beberapa barang kebutuhan lainnya. Keterbatasan sumber pendapatan
menyebabkan mereka terpaksa membagi tanahnya untuk disewa, dikontrak, atau dijual
kepada perantau atau bahkan harus pindah ketempat lain.
Pada decade 1980-an ini, pembagian tanah yang dilakukan selain untuk kepentingan
pendatang, juga dilakukan orang betawi terhadap ahli warisnya. Bagi para pendatang yang
tidak mampu, maka mereka menyerobot tanah-tanah kosong untuk mendirikan rumah
(squatters). Selain itu, berdirinya Universitas Nasional juga merupakan mata pencaharian
baru badi orang Betawi dengan cara menyewakan pondokan mahasiswa.
Pada decade 1990-an, cluster-cluster yang berada di dekat stasiun digusur untuk dijadikan
jalur hijau. Akibatnya adalah munculnya para pedagang kaki lima (PKL) yang menempati
bahu jalan berdekatang dengan jalur hijau. Pada masa ini, pasar bertingkat mulai dibangun.
Perubahan ini mengakibatkan tergusurnya sebagian toko-toko Cina yang bersifat sementara.
Setelah pasar selesai dibangun, maka para pedagang cina tersebut menempati lantai dasar
pasar dan berjualan elektronik. Rel kereta api mulai dibuat menjadi double track, sehingga
halaman stasiun untuk terminal menjadi berkurang luasnya. Untuk itu lalu dibangun terminal
yang menempati lahan seperti terminal sekarang.
Pada decade 2000-an, lebih dari 60% lahan digunakan untuk tempat tinggal. Orang Pasar
Minggu tentu masih ingat bahwa pada tahun 1970-an lahan-lahan tersebut masih penuh
dengan pepohonan, kebun, dan hutan. Meskipun demikian, pada saat ini diantara rumah-
rumah di kampong masih terdapat pepohonan dan tanah-tanah kosong. Penduduk kampung
meningkat secara dramatis pada dekade 2000-an ini. Diperkirakan 28.000 jiwa telah tinggal
diatas 270 hektar lahan (103 orang/hektar).
Dewasa ini, kampung Pasar Minggu menjadi lebih heterogen karena terdapat beberapa
kelompok etnis, seperti: Sunda, Jawa, Arek, Madura, Ambon, Batak, Minangkabau dan
Cina. Penduduk asli Betawi yang masih merupakan mayoritas dengan jumlah sekitar 40%
dari jumlah penduduk. Yang menjadi persoalan adalah kehadiran penduduk musiman yang
jumlahnya mendekati 50% dari jumlah penduduk, di kelurahan Pasar Minggu terdapat 1,912
KK penduduk dimana 1.342 KK diantaranya adalah penduduk musiman.
Kampung Pasar Minggu dewasa ini masih menegaskan suatu pedesaan di tengah-tengah
kota modern Jakarta. Lahan perkotaan yang masih dipenuhi dengan ruang dan penghijauan,
meskipun pada periode 1970- telah mulai dibangun perumahan dengan perkembangan yang
amat cepat.
Dalam perkembangan berikutnya, ternyata beberapa etnis yang tinggal di wilayah Pasar
Minggu dan bekerja di sektor barang dan jasa di pasar, dapat yang dikenali karakter mata
pencahariannya yang memiliki ciri khas yang merupakan identitas etnis mereka (Prabowo,
2002).
Analisis:
Kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus dari sosiodemografi, karena pada kasus
tersebut terjadi perubahan sosial dan struktur masyarakat yang berada di Kampung Pasar
Minggu (Jakarta Selatan). Perubahan sosial dan perubahan struktur di Kampung Pasar
minggu diakibatakan karena adanya perpindahan penduduk (migrasi) ke daerah tersebut yang
mengakibatkan penduduk asli daerah tersebut (betawi) menjadi terpinggirkan karena tidak
mampu bersaing dengan para pendatang dari daeran lain.
Kasus Sosiodemografi (Mobilitas Penduduk)
Fenomena mobilitas penduduk sudah terjadi lama sekali. Namun demikian, penelitian
maupun studi mengenai hal tersebut dapat dikatakan relative baru, dibandingkan aspek
kependudukan lainnya, yaitu kelahiran dan kematian. Tokoh yang dapat disebut sebagai
pelopor studi mengenai mobilitas penduduk adalh E.G Revenstein. Pada tahun 1885 dan
1899, Revenstein menulis artikel mengenai hokum migrasi atau “the law of migration’.
Sejak awal kemunculannya, hokum migrasi ini sudah banyak ditentang, namun harus diakui
bahwa hokum dari Revenstein itu dalam banyak hal masih menjadi acuan pembahasan
mobilitas penduduk sampai saat ini (Lee, 1966).
Sementara itu perlu diakui pula bahwa tingginya tingkat kematian serta masih rendahnya
fenomena mobilitas penduduk pada akhir abad XIX dan awal abad XX, menyebabkan
perhatian ahli kependudukan lebih banyak tercurah pada masalah kelahiran dan kematian
dibandingkan dengan mobilitas penduduk. Kaum Malthusian sangat yakin bahwa
pertumbuhan penduduk harus dikendalikan karena produksi pangan yang ada di dunia ini
tidak akan dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk jika pertumbuhan penduduk tersebut
terjadi secara ilmiah. Oleh karena itu untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk sangat
mendominasi pemikiran ahli kependudukan pada waktu itu.
Sejalan dengan kemajuan pembangunan, persoalan kelahiran dan kemaitan dapat
dikendalikan. Sebaliknya fenomena mobilitas penduduk menunjukan peningkatan perhatian
mobilitas penduduk sejalan dengan peningkatan transaksi dagang serta semakin
berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi (cohen 1996). Kemajuan pembangunan
di berbagai Negara Eropa pada abad XIX memerlukan peningkatan penggunaan tenaga kerja
sehingga muncul keperluan mendatangkan tenaga kerja dari Negara-negara lain dari Afrika,
China, India, dan Jepang, untuk bekerja di sector pertaian pada Negara-negara tersebut.
Sementara itu di Negara yang bersangkutan, proses industrialisasi yang terjadi telah
mendorong migrasi besar-besaran dari daerah perdesaan menuju perkotaan sehingga terjadi
proses urbanisasi yang cepat.
Di Indonesia sendiri, walaupun tidak ada dokumen resmi, yang mengungkapkan kapan
perpindahan penduduk itu pertama kali terjadi, namun diyakinan bahwa perpindahan
penduduk sudah terjadi sejak lama. Dalam catatan sejarah, beberapa kerajaan di Indonesia
seperti Sriwijaya atauoun Majapahit pada masanya, telah mengadakan ekspansi jauh keluar
wilayah nusantara bahkan sampai ke Benua Afrika. Beberapa suku bangsa Indonesia seperti
Bugis, Banjar, serta Minangkabau sudah lama dikenal sebagai suku perantau bahkan telah
melewati batas wilayah nusantara.
Dari gambaran tersebut sesungguhnya mobilitas penduduk merupakan kejadian yang mudah
dijelaskan dan Nampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian pada
prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan menentukan ukuran bagi mobilitas penduduk
itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hubungan antara mobilitas penduduk dengan proses
pembangunan yang terjadi dalam suatu Negara saling terkait. Perpindahan dari satu tempat
ketempat lain, baik sementara maupun menetap tidak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi
oleh pembangunan nasional. Dilain pihat tidak ada pembangunan yang berlangsung tanpa
ada keinginan untuk berpindah. Perpindahan penduduk sering sebagai penggerak proses
pembangunan setempat.
Oleh karenanya, mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembanguna
secara keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan
dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu tidak terlalu tepat untuk
hanya menilai semata mata aspek positip maupun negative dari mobilitas penduduk terhadap
pembangunan yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebalikannya. Tidak akan terjadi
proses pembangunantanpa adanya mobilitas penduduk. Tapi juga akan terjadi pengarahan
penyebaran penduduk yang berartii tanpa adanya kegiatan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Bagoes M. Ida. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.