BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merokok merupakan salah satu kekhawatiran terbesar yang dihadapi dunia
kesehatan karena menyebabkan hampir 6 juta orang meninggal dalam setahun.
Lebih dari 5 juta orang meninggal karena menghisap langsung rokok , sedangkan
600 ribu orang lebih meninggal karena terpapar asap rokok (WHO, 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi perokok yang terbesar
di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2012
persentase prevalensi perokok pria yaitu 67% jauh lebih besar daripada perokok
wanita yaitu 2,7%. Diantara para perokok tersebut terdapat 56,7% pria dan 1,8%
wanita merokok setiap hari. Terdapat gap yang besar antara jum lah perokok
dewasa pria dan perokok wanita yang merokok setiap hari (OECD, 2013) .
Diperkirakan sebanyak seperempat perokok aktif akan meninggal pada usia 25 -69
tahun dan mereka kehilangan angka harapan hidup sekitar 20 tahun (Gajalakshmi
dkk., 2003).
Pada tahun 2005, WHO memulai program World Health Organization
Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) yang bertugas untuk
mengidentifikasi kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas merokok dan hal yang
terkait dengan upaya pencegahan. Pada tahun 2008, WHO mengidentifikasi 6
elemen pengendalian rokok yang dikenal dengan MPOWER yang merupakan
2
singkatan dari Monitoring, Protecting, Offering, Warning, Enforcing dan Raising.
Hingga saat ini Indonesia belum menandatangani WHO FCTC sehingga masalah
pengendalian rokok di Indonesia masih belum tertangani dengan baik karena tidak
adanya program pendampingan dalam pengendalian rokok.
Keinginan seseorang untuk merokok disebabkan karena beberapa hal.
Selain untuk memberikan image danmelepas penat, mengurangi stres juga
menjadi penyebabnya. Faktor sosiodemografi yang terdiri dari berbagai hal juga
dapat menjadi pencetus untuk merokok (Ǒncel dkk., 2011; Nazary dkk., 2010;
Rozi dkk., 2007). Klaster atau jenis pendidikan mempunyai hubungan dengan
status merokok (Chatterjee dkk., 2011). Memperoleh pengetahuan akan dampak
serta bahaya merokok dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam mengambil
tindakan dalam memandang kebiasaan merokok. Seseorang yang mempunyai
latar belakang pendidikan kesehatan cenderung untuk tidak m erokok
(Alexopoulos dkk., 2010; Chatterjee dkk., 2011). Aktivitas fisik yang dilakukan
sehari-hari memiliki hubungan dengan status merokok (Alexopoulos dkk., 2010).
Begitu pula dengan riwayat merokok orang tua. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Alexopoulos dkk. (2010) bahwa memiliki orang tua yang merokok
akan cenderung membuat seseorang untuk merokok terutama apabila yang
merokok adalah ibu.
Angka jum lah perokok pada kelompok dewasa muda meningkat setiap
tahunnya (CDC, 1999). Data Global Youth Tobacco Survey (GTYS) (2009)
mendapatkan bahwa persentase anak-anak usia 13-15 tahun yang merokok di
Indonesia mencapai 20,3%. Alexopoulos dkk. (2010) menyatakan bahwa
3
merokok pada usia dini merupakan masalah yang serius dan akan sulit untuk
dikendalikan sehingga perlu penanganan khusus dan segera agar angka perokok
dewasa dapat ditekan.
Hingga saat ini belum tersedia data jumlah perokok di kalangan
mahasiswa. Data terbaru di Indonesia menurut Global Health Professions Student
Survey (GHPSS) (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa klaster kesehatan di
Indonesia yang merokok sebanyak 8,6%. Tidak menutup kemungkinan bahwa
saat ini jumlah perokok dewasa muda pada kelompok mahasiswa maupun non -
mahasiswa semakin bertambah. Peningkatan tersebut dapat terjadi disebabkan
oleh peningkatan jumlah perokok pada kelompok pelajar sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah atas (USDHHS, 2000). Pemasaran industri rokok
yang menargetkan penduduk dewasa muda (18-24 tahun) sebagai target
konsumen utama juga memegang peranan dalam peningkatan angka ini
(Weschler, 2001). Mudahnya seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun
mendapatkan rokok karena tidak adanya regulasi yang ketat juga memegang peran
dalam peningkatan jumlah perokok pada dewasa muda (Alexopoulos dkk., 2010).
Sebanyak 59% penjual rokok tidak memerdulikan konsumen rokok yang masih
termasuk kelompok anak-anak (13-15 tahun) dan tetap menjualnya (GYTS,
2009).
Kualitas hidup seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam kebiasaan.
Dintaranya dapat dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi, status merokok dan
perilaku merokok. Faktor sosiodemografi yang memiliki hubungan dengan
kualitas hidup, dua diantaranya adalah klaster atau jenis pendidikan dan kebiasaan
4
olahraga. Klaster pendidikan memiliki hubungan dengan kualitas hidup
(Pekmezovic dkk., 2011; Zhang dkk., 2012). Seseorang yang memiliki latar
belakang pendidikan kesehatan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Zhang
dkk., 2012). Kebiasaan olahraga atau aktivitas fisik juga memiliki hubungan
dengan kualitas hidup (Pekmezovic dkk., 2011; Sabbah dkk., 2013; Zhang dkk.,
2012). Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa perokok
memiliki kualitas hidup lebih buruk daripada nonperokok (Strine dkk., 2005).
Pada penelitian di Massachusetts, orang-orang yang berhenti merokok se lama
penelitian memiliki skor kualitas hidup yang lebih baik, terutama pada ranah
kesehatan mental, energi dan vitalitas, serta kesehatan secara umum (Mitra dkk.,
2004). Bagi perokok, jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari memiliki
hubungan dengan kualitas hidup (Bedmar dkk., 2009; Vogl dkk., 2012). Sebuah
penelitian di Inggris menyatakan bahwa semakin banyak rokok yang dikonsumsi
dalam sehari maka akan semakin buruk pula kualitas hidup (Vogl dkk., 2012).
Sebagai salah satu instrumen pengukuran kualitas hidup, WHOQOL-
BREF telah digunakan dalam beberapa penelitian yang menggunakan responden
mahasiswa (Li dkk., 2009; Zhang dkk., 2012). Menurut Zhang dkk. (2012) yang
meneliti kualitas hidup mahasiswa dengan gender menggunakan WHOQOL -
BREF menyatakan bahwa domain psikologi dan domain sosial dari kualitas hidup
lah yang berpengaruh terhadap mahasiswa. Penggunaan instrumen tersebut dalam
penelitian yang terkait dengan kebiasaan merokok belum banyak dilakukan,
terutama pengunaannya pada kalangan muda yang berstatus mahasiswa.
5
Universitas Gadjah Mada merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di
Indonesia yang terletak di Kampus Bulaksumur Yogyakarta. S aat ini sudah
terdapat 18 Fakultas, 1 sekolah Pascasarjana dan 1 sekolah Vokasi . Jumlah
mahasiswa pada tahun 2012 sebanyak 51,796 orang yang berpotensi sebagai
perokok aktif dan pasif yang cukup besar (UGM, 2013).Sayangnya belum ada
peraturan pengendalian rokok denganpenegakan hukum yang jelas di wilayah
kampus. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian fakultas mengi jinkan
mahasiswa merokok di lingkungan kampus. Dampak buruk rokok ini dapat
dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh para mahasiswa. Penelitian untuk
mengukur kualitas hidup berdasarkan sosiodemografi dan status merokok dengan
instrumen WHOQOL BREF diperlukan untuk memberikan informasi kepada
pembuat kebijakan kampus agar wilayah kampus Universitas Gadjah Mada bebas
dari asap rokok sehingga staff pendidikan maupun kependidikan serta mahasiswa
dapat menjalani hidup dengan lebih sehat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
disusun rumusan masalah pada kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran variabel sosiodemografi (klaster, kebiasaan olahraga dan
riwayat merokok orang tua), status merokok, perilaku merokok dan kualitas
hidup pada domain fisik, domain psikologi, domain sosial dan domain
lingkungan mahasiswa.
6
2. Bagaimana hubungan variabel sosiodemografi (klaster, kebiasaan olahraga dan
riwayat merokok orang tua) dengan status merokok mahasiswa.
3. Bagaimana hubungan variabel sosiodemografi (klaster dan kebiasaan olahraga)
dengan kualitas hidupmahasiswa.
4. Bagaimana hubungan status merokokdengan kualitas hidup mahasiswa.
5. Bagaimana hubungan perilaku merokokdengan kualitas hidup mahasiswa.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kalangan mahasiswa Universitas Gadjah
Mada dengan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui gambaran variabel sosiodemografi (klaster, kebiasaan olahraga
dan riwayat merokok orang tua), status merokok, perilaku merokokdan kualitas
hidup pada domain fisik, domain psikologi, domain sosial dan domain
lingkungan mahasiswa.
2. Mengetahui hubungan variabel sosiodemografi (klaster, kebiasaan olahraga
dan riwayat merokok orang tua) dengan status merokok mahasiswa.
3. Mengetahui hubungan variabel sosiodemografi (klaster dan kebiasaan
olahraga) dengan kualitas hidupmahasiswa.
4. Mengetahui hubungan status merokokdengan kualitas hidup mahasiswa .
5. Mengetahui hubungan perilaku merokokdengan kualitas hidup mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
7
Penelitian ini sebagai penambah wawasan, pengetahuan ilmiah, serta informasi
terkait dengan kualitas hidup kelom pok mahasiswa
2. Bagi Pembuat kebijakan di Universitas, khususnya Universitas Gadjah Mada
Hasil penelitian ini dapat menyediakan informasi terbaru bagi pembuat
kebijakan di Universitas terkait kebijakan pengendalian rokok di lingkungan
kampus.
3. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru mengenai
dampak merokok terhadap kualitas hidup mahasiswa, khususnya di Universitas
Gadjah Mada. Dengan adanya informasi ini maka mahasiswa diharapkan dapat
ikut serta mendukung kebijakan kampus bebas asap rokok dan menjaga
perilaku merokok di dalam bermasyarakat.
4. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapakn dapat menjadi referensi penelitian
sosiodemografi dan status merokok dalam hubungan dengan kualitas hidup di
kalangan mahasiswa.
E. Tinjauan Pustaka
Tembakau merupakan tanaman yang mengakibatkan kecanduan yang
mengandung nikotin, zat karsinogen dan zat toksik. Ketika diubah menjadi suatu
produk yang di desain untuk melepaskan nikotin secara efisien maka zat toksik
bertanggung jawab dalam menyebabkan berbagai macam penyakit (WHO, 2006).
Menurut PP No. 109 tahun 2012, definisi rokok adalah salah satu produk
8
tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar atau dihisap dan/atau dihirup asapnya,
termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dih asilkan
dari tanaman Nicotiana tabacum , Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan
tambahan.
Sudah beberapa dekade berlalu semenjak rokok ditemukan tetapi
dampaknya sering diabaikan. Seiring dengan perkembangannya, tidak hanya
dampak positif yang didapat oleh masyarakat tetapi juga dampak negatifnya
terhadap kehidupan masyarakat. Dampak positif dirasakan terutama oleh petani
tembakau dan industr i rokok. Dampak negatif yang sudah pasti terkait dengan
masalah kesehatan. Banyak penyakit yang diakibatkan oleh merokok dan
penyakit-penyakit tersebut membawa dampak tidak hanya pada perokok aktif saja
namun juga terhadap orang-orang disekitar walaupun tidak pernah mengkonsumsi
rokok secara langsung. Dampak ini juga akan terasa dalam hal biaya atau
pengeluaran untuk kesehatan karena penyakit yang disebabkan oleh rokok
sebagian besar merupakan penyakit kronis yang membutuhkan biaya yang cukup
banyak dalam perawatannya. Efek buruk rokok akan berpengaruh terhadap
kualitas hidup seseorang dan masyarakat secara keseluruhan. Saat ini tidak hanya
kalangan dewasa yang sudah mapan yang mengkonsumsi rokok tetapi juga
kalangan dewasa muda yang berusia 18 – 25 tahun.
1. Epidemiologi Rokok di Indonesia
9
Menurut WHO (2012), Indonesia menempati posisi peringkat ke-4 dengan
jumlah terbesar perokok di dunia. Dari segi konsumsi rokok, Indonesia
menempati urutan ke-5 setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang.
Indonesia menduduki peringkat kedua dalam populasi dewasa pria yang merokok
setiap hari (OECD, 2013). Berdasarkan data Riskesdas (2010), 34,7% penduduk
Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas adalah perokok. Prevalensi merokok
untuk semua kelompok um ur mengalami peningkatan, terutama peningkatan
tajam pada kelompok umur mulai merokok 10-14 tahun sebesar kurang lebih 80%
selama kurun waktu 2001-2010 (Susenas, 2001; Riskesdas, 2010). Pada tahun
2013, jumlah penduduk Indonesia perokok yang berusia 10 tahun ke atas
mengalami penurunan menjadi 29,3% (Riskesdas, 2013).
Secara nasional, 52,3% perokok menghisap rata-rata 1-10 batang rokok
per hari dan sekitar 20%perokok menghisap sebanyak 11-20 batang rokok per
hari. Studi yang telah dilakukan di 14 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa
sejumlah 59,04% pria mengkonsumsi rokok. Pada kelompok wanita persentase
perokok menunjukkan angka 4,83% dari total penduduk kelompok tersebut.
Perokok pada pria rata-rata mengkonsumsi 10 batang rokok per hari, sedangkan
pada perokok wanita rata-rata mengkonsumsi rokok 3 batang sehari. Baik pria
(84,31%) maupun wanita (79,42%), lebih memilih rokok jenis kretek dibanding
jenis rokok lainnya (Aditama, 2002).
Terdapat berbagai jenis rokok yang dikonsumsi saat ini. Diantaranya
rokok kretek, rokok putih dan bidis. Rokok jenis bidis ini banyak dikonsumsi di
daerah India bagian pedesaan. Bidis berukuran lebih kecil dan mengadung 0,2-
10
0,3g tembakau yang dibungkus dalam tumbuan bernama temburni (Gajalakshmi
dkk., 2003). Di Indonesia terdapat dua macam rokok yang paling populer yaitu
rokok kretek dan rokok putih. Kedua jenis rokok ini di pasaran dapat berupa
rokok buatan pabrik maupun rokok buatan tangan. Pada tahun 2010, total
penjualan rokok buatan pabrik di Indonesia adalah 180 juta batang. Jumlah ini
meningkat 4,5% dari tahun 2009. (WHO, 2012)
Rokok putih banyak dikonsumsi oleh perokok di Amerika Serikat (AS).
Pola ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang 90% merokok jenis kretek
(Nitcher dkk., 2009). Hal ini justru berbahaya karena rokok kretek cenderung
dihisap lebih dalam karena efek anestesi yang terkandung dalam kretek. Rokok
kretek mengandung lebih banyak nikotin dibandingkan dengan rokok putih yaitu
sebesar 46,8 mg untuk rokok kretek dan 16,3 m g untuk rokok putih. Rokok kretek
juga mengandung lebih banyak CO yaitu sebesar 28,3 mg dan 15,5 mg untuk
rokok putih. Nikotin yang dikeluarkan oleh rokok kretek jumlahnya lebih banyak
karena tidak dilengkapi filter yang berfungsi mengurangi asap yang keluar dari
rokok seperti yang terdapat pada jenis filter (Sussana dkk. , 2003).
2. Dampak Rokok bagi Kesehatan
Menurut WHO (2011), kematian dan kesakitan terbesar di dunia
disebabkan karena merokok. Diperkirakan pada tahun 2005 jumlah kematian yang
diakibatkan karena merokok mencapai 5,4 juta, meningkat menjadi 6,4 juta di
tahun 2015 dan akan mencapai jumlah 8-10 juta di tahun 2030. Penelitian
memperkirakan seseorang yang memulai merokok pada usia remaja (70%
11
perokok memulai pada usia ini) dan terus menerus merokok sampai 2 dekade atau
lebih, akan meninggal 20-25 tahun lebih awal dari orang yang tidak pernah
merokok (Promkes, 2012a). Berdasarkan survey Kesehatan Dasar Indonesia pada
tahun 2010 prevalensi rokok terbesar adalah di kelompok usia 45-54 tahun
sebesar 38,2%. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007 yaitu
38%.
Rokok mengandung nikotin inhalasi yang pada akhirnya berdampak pada
kesehatan tubuh. Rata-rata nikotin dalam satu batang rokok sebanyak 13,5mg
(Connolly dkk., 2000). Setiap jenis rokok mengandung jumlah nikotin yang
berbeda-beda. Jenis rokok ultra light menghasilkan nikotin terinhalasi paling
sedikit karena hanya mengandung 0,4 mg nikotin. Jenis kretek menghasilkan
kadar nikotin terinhalasi paling tinggi yaitu sebesar 1,1 mg. Jenis rokok light
mengandung 0,8 mg kadar nikotin terinhalasi. Namun sebuah studi menyebutkan
hasil uji lab menunjukkan kadar nikotin pada rokok sebesar 1-2 mg.
Diperkirakan terdapat 4.800 bahan kimia dalam sebatang rokok dan juga
69 bahan diantaranya adalah zat yang dapat memicu kanker yaitu zat karsinogen
serta terdapat pula zat beracun. Dari zat karsinogen tersebut 11 bahan diantaranya
bersifat karsinogen pada manusia, 7 bahan mungkin bersifat karinogen pada
manusia, dan 49 bahan bersifat karsinogen terhadap hewan dan mungkin juga
bersifat karsinogen pada manusia. Bahan beracun yang banyak terkandung dalam
rokok diantaranya karbon monooksida, amonium, nitrogen oksida, hidrogen
cianida, hidrogen sulfida, akrolein, metanol, piridin, nikotin, fenol, katekol, anilin
12
dan maleat hidrazid. Selain zat-zat tersebut terdapat juga partikel-partikel seperti
nitrosamine, timah, cadmium dan polonium -210. (NCI, 2001; Promkes, 2012b).
Menurut USDHHS (2004), tidak sedikit penyakit yang diakibatkan karena
kebiasaan merokok. Berbagai macam jenis kanker dapat disebabkan oleh rokok
diantaranya akut myeloid leukemia, kandung kemih dan ginjal, serviks,
esophagus, lambung, laryngeal, paru-paru, mulut dan faring dan pankreas.
Merokok juga dapat menimbulkan penyakit pada paru-paru seperti pneumonia
dan COPD. Penyakit kardiovaskular juga dapat ditimbulkan akibat kebiasaan
merokok.Apabila seorang wanita mengkonsumsi rokok maka dapat
mengakibatkan penurunan kesuburan yang menyebabkan menopause dini,
kematian janin dan bayi lahir cacat. Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu
perokok rata-rata memiliki berat badan 200 gram lebih rendah dibandingkan
dengan bayi yang lahir dari seorang ibu yang nonperokok. Selain itu resiko kanker
serviks meningkat empat kali pada wanita perokok. Menurut sebuah studi yang
dilakukan di India bahwa setengah dari kematian akibat penyakit tuberkulosis
disebabkan karena kebiasaan merokok (Gajalakshmi dkk., 2003). Penyakit
Beurger yang juga dikenal dengan throaboanginosis obliterian yaitu terjadinya
inflamasi pada arteri vena dan syaraf utama kaki yang mengakibatkan
terhambatnya aliran darah dapat mengarah ke gangren sehingga perlu diamputasi
merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena dampak merokok
(Promkes, 2012b). Resiko kanker paru-paru dapat berkurang apabila jum lah tar
yang terkandung sedikit atau terdapat filter (NCI, 2001).
13
Menurut USDHHS (2006), dampak asap rokok tidak hanya dirasakan oleh
perokok aktif saja tetapi juga dapat dirasakan oleh perokok pasif. Diantaranya
dapat mengakibatkan kematian dini dan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Dikatakan bahwa setengah dari anak-anak di dunia merupakan perokok pasif.
Anak-anak dan orang dewasa mempunyai resiko yang berbeda-beda. Pada anak,
resiko sudden infant death syndrome meningkat. Anak-anak juga akan lebih
mudah terkena infeksi pernafasan akut, infeksi THT dan memperburuk asma.
Pada orang dewasa yang merupakan perokok pasif, asap rokok akan
meningkatkan resiko gangguan kardiovaskuler serta meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner dan kanker paru.
3. Upaya pengendalian rokok di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir indrustri rokok mengalami pertumbuhan
yang pesat. Keberadaan industr i rokok memang kontroversial karena disatu sisi
jumlah dana yang diterima pemerintah cu kup berpengaruh pada anggaran negara
serta mampu memberikan banyak lapangan kerja (Sumarno, 2002). Mudahnya
masyarakat mendapatkan rokok membuat Indonesia menjadi negara dengan
pengkonsumi rokok terbesar ke-4 di dunia (WHO, 2012). Bahkan anak dibawah
umurpun dapat dengan mudah memperoleh rokok (Azizah, 2013; GYTS, 2009).
World Health Organzation Framework Convention on Tobacco Control
(WHO FCTC) merupakan salah satu program milik WHO yang mulai
diberlakukan semenjak 27 Februari 200 5. WHO FCTC dikembangkan dalam
rangka merespon masalah tembakau yang dihadapi dunia dan mengedepankan
14
kesehatan masyarakat serta menyediakan kerjasama kesehatan dunia terkait
dengan merokok. Program kerja ini mempunyai tujuan untuk mengurangi
penggunaan tembakau. Hal-hal yang diatur untuk mendukung tujuan tersebut
yaitu penetapan harga dan pajak, perlindungan terhadap paparan asap rokok,
regulasi isi produk tembakau, kemasan dan label produk tembakau, pendidikan,
pelatihan dan kesadaran publik, iklan rokok dan sponsor. Selain itu W HO FCTC
juga berupaya mengurangi pasokan tembakau dengan mengatur perdagangan
produk tembakau. Dengan maraknya penggunaan rokok bagi anak-anak dibawah
umur maka WHO FCTC juga mengatur kebijakannya. Saat ini Indonesia
merupakan satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani WHO FCTC
(WHO, 2013). Pada tahun 2008, WHO meluncurkan program MPOWER yang
mana program ini merupakan tindak lanjut dari W HO FCTC untuk dapat
merealisasikan kegiatan-kegiatan pengendalian tembakau dan mengukur seberapa
jauh kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana. MPOWER merupakan singkatan dari
Monitoring, Protecting, Offering, Warning, Enforcing dan Raising. Sesuai dengan
namanya fungsi dari MPOWER adalah memonitor penggunaan tembakau dan
regulasi, menjaga atau melindungi dari dampak merokok, menawarkan bantuan
untuk tidak tergantung dengan produk tembakau, memperingatkan bahaya
tembakau, menyelenggarankan larangan iklan, promosi dan sponsor produk
tembakau dan menaikkan pajak tembakau (WHO, 2013).
Pemerintah Indonesia berupaya untuk membuat peraturan mengenai rokok.
Peraturan ini dituangkan dalam PP No. 109 tahun 2012 yang baru akan diterapkan
secara efektif pada tahun 2014.
15
Isi peraturan ini antara lain sebagai berikut.
a) Kewajiban produsen rokok mencantumkan larangan grafis dengan porsi 40%
dari luas permukaan kemasan
b) Pelarangan iklan rokok di semua media
c) Larangan khusus iklan rokok di media cetak
d) Pembatasan iklan rokok dalam bentuk baliho, dengan melarang iklan di jalan
protokol, kawasan tanpa rokok dan ukuran baliho maksimal 72 meter persegi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
Menurut Aditama (2002) terdapat 5 faktor yang mempengaruhi program
kontrol rokok di Indonesia yang dijelaskan sebagai berikut:
a) Sebanyak 12 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari industri rokok.
Dukungan atau bantuan terhadap penghidupan bagi petani tembakau, pekerja di
pabrik rokok, distributor dan toko-toko yang memperjual belikan rokok.
b) Pemasukan atau pajak dari industri rokok yang sangat mempengaruhi
pendapatan negara. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan terkait program kontrol rokok.
c) Masih sedikitnya penelitian mengenai rokok dan kesehatan serta hubungan
keduanya di Indonesia. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya menggunakan
literatur dari luar ketika membuat suatu kebijakan.
d) Penduduk Indonesia sudah terbiasa dengan merokok atau melihat orang
merokok sehingga ketika mengingatkan untuk tidak merokok dianggap suatu
hal yang tabu. Bahkan merokok juga sudah menjadi tradisi baik di perko taan
maupun pedesaan.
16
e) Belum adanya aturan yang kuat dari pemerintah mengenai kebijakan
pengontrolan merokok.
Salah satu upaya pemerintah dalam menangani kasus rokok adalah dengan
menerapkan kawasan bebas asap rokok yang diterapkan pada fasilitas umum
seperti bandara dan stasiun, namun hal ini masih menjadi pro dan kontra
(Promkes, 2013). Menurut WHO (2013), penerapan kawasan asap rokok di
Indonesia belumlah maksimal. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
mengamanatkan pentingnya pengembangan Kawasan Tanpa Rokok di 7 tatanan
yaitu Sasaran Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tempat Proses Belajar, Mengajar,
Tempat Anak Bermain, Tempat Ibadah, Angkutan Umum, Tempat Kerja dan
Tempat Umum. Fasilitas kota, perkantoran indoor, restoran, cafe, pub dan bar
belum memiliki aturan terkait bebas asap rokok (WHO, 2013). Upaya pemerintah
terkait pengobatan ketergantungan rokok juga belum berjalan dengan baik. Hal ini
dilihat dari belum adanya fasilitas konseling via telepon gratis bagi para perokok
yang menginginkan untuk berhenti m erokok. Tidak ditanggungnya biaya untuk
produk obat untuk berhenti merokok dan belum masuknya beberapa jenis obat
untuk berhenti merokok ke dalam daftar obat nasional (WHO, 2013).
4. Penggunaan Rokok dikalangan Mahasiswa
Pada tahun 2001— 2010, dilaporkan bahwa perokok pemula berusia 5-9
tahun meningkat dari 0,4% menjadi 1,7%. Hanya dalam 2 tahun, prevalensi
merokok di usia remaja (13-15 tahun) juga mengalami peningkatan sebanyak
7,7% yaitu sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. Menurut data Global
17
Youth Tobacco Survey (GTYS) (2009) bahwa terdapat 20,3% anak-anak usia 13-
15 tahun yang merokok di Indonesia. Prevalensi merokok kelom pok usia 15 tahun
ke atas pada tahun 2010 mencapai 35%; yang terdiri dari 65% pria dan 35%
wanita (Promkes, 2013). GHPSS melakukan penelitian di 10 fakultas kesehatan di
Indonesia pada tahun 2006 dimana sampel dari penelitian tersebut merupakan
mahasiswa tahun studi ketiga. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa
8,6% mahasiswa klaster kesehatan yang merokok dan 0,9% mengko nsumsi
produk tembakau lainnya. Diantara mahasiswa yang merokok tersebut, sepertiga
mahasiswa berkeinginan untuk berhenti.
Dari penelitian yang dilakukan di Kolombia, angka perokok pada
mahasiswa (18-24 tahun) semakin meningkat setiap tahunnya. Beberapa
penelitian terkait dengan peningkatan angka merokok pada kelompok mahasiswa
menunjukkan adanya peran beberapa faktor penyebab (Ah dkk., 2005; Kumar
dkk., 2011). Terbiasa mengkonsumsi rokok semenjak sekolah menengah pertama
dan sekolah menengah ke atas menjadi salah satu penyebabnya (Weschler, 2001).
Pendapat bahwa dengan merokok dapat menambah jumlah teman dan dapat
terlihat lebih atraktif juga merupakan alasan untuk merokok (GYTS, 2009). Pada
kelompok umur ini, ‗non daily smoking‘ merupakan hal yang umum (National
Survey on Drug Use and Health , 2003). Terdapat bukti bahwa lebih dari setengah
mahasiswa yang merokok pada tahun pertama akan tetap merokok ketika
memasuki tahun terakhir masa studinya dan 30% diantaranya merokok setiap hari
(Kenford dkk., 2005). Kebiasaan merokok mahasiswa terkadang di deskripsikan
menjadi ‗social smokers‘ (Levison dkk., 2007).
18
Levinson dkk.(2007) melakukan penelitian di delapan perguruan tinggi
terkait dengan tanda khas merokok pada mahasiswa. Sebanyak 56,3% mahasiswa
menolak dikatakan sebagai seorang perokok ―deniers‖ meskipun pada saat itu
mereka merokok. Frekuensi merokok mereka lebih sedikit dibandingkan dengan
perokok yang mengakui bahwa dirinya merokok dan ―deniers‖ mengatakan
bahwa mereka tidak mengalami ketergantungan pada rokok. Faktor utama yang
menyebabkan mereka merokok adalah pergaulan. Sebagian besar dari mahasiswa
mempunyai keinginan untuk berhenti merokok sebelum lulus.
Mao dkk. (2009) melakukan penelitian terhadap mahasiswa dari 19
perguruan tinggi di China mengenai hubungan psikososial dengan kebiasaan
merokok. Dari hasil penelitian didapatkan fakta bahwa jenis kelamin laki-laki,
status ekonomi keluarga rendah, persepsi terhadap rokok yang tinggi, serta orang
yang dapat merasakan manfaat dari merokok adalah mereka yang cenderung
pernah merokok atau sedang merokok saat ini. Jenis kelamin laki-laki, berumur
lebih tua, mempunyai banyak teman yang merokok, serta dapat merasakan
kenikmatan merokok adalah ciri-ciri seseorang yang cenderung tetap merokok
selama 6 bulan ke depan.
Studi cross-sectional yang dilakukan di Kolkata, melibatkan 515
mahasiswa klaster kesehatan dan 349 mahasiswa klaster nonkesehatan. Hasil
menunjukkan bahwa prevalensi penggunaan tembakau yaitu 18,3% pada
mahasiswa klaster kesehatan dan 43,6% pada mahasiswa klaster nonkesehatan
dan prevalensi mahasiswa merokok yaitu 14,9% pada mahasiswa klaster
kesehatan dan 40,7% pada mahasiswa klaster nonkesehatan. Pada mahasiswa
19
klaster kesehatan menunjukkan angka berhenti merokok yang lebih tinggi karena
pengetahuan yang tepat mengenai filter pada rokok dan penyakit yang dapat
timbul akibat merokok (Chatterjee dkk., 2011).
Sebuah penelitian di Vietnam menyatakan bahwa merokok dikalangan
mahasiswa klaster kesehatan bukanlah hal yang baru. Pengendalian rokok diantara
mahasiswa klaster kesehatan kurang efektif meskipun mereka telah dikenalkan
regulasi pembatasan tembakau karena regulasi tersebut tidak digalakkan dan
dikontrol dengan efektif. Para rektor dari tiga perguruan tinggi kesehatan di
Vietnam mengatakan bahwa m eskipun mahasiswa paham akan bahaya dan
dampak rokok tetapi mereka tetap merokok. Hal ini dikarenakan tidak ada
larangan ketat terkait penggunaan rokok (Huy dkk., 2004). Di Indonesia, 41%
mahasiswa yang menempuh studi di fakultas kesehatan mengakui bahwa terdapat
larangan merokok di area fakultas dan 41,1% mahasiswa mengatakan terdapat
larangan keras untuk merokok di area fakultas, namun masih terdapat 8,6% baik
mahasiswa maupun mahasiswi yang merokok di area fakultas (GHPSS, 2006).
Mahasiswa merokok dengan berbagai alasan. Diantara alasan-alasan
tersebut, terbiasa merokok dan ketergantungan nikotin dipercaya merupakan
alasan utama yang menyebabkan merokok. Menurut Alexopulos dkk. (2010)
aktivitas fisik, keluarga dan teman juga menjadi faktor penentu dalam kebiasaan
merokok mahasiswa. Hal tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rozi dkk. (2007) bahwa pendidikan ayah, pendidikan ibu, kebiasaan rokok
oleh saudara dan kondisi sosioekonomi keluarga berhubungan dengan kebiasaan
merokok mahasiswa. Ǒncel dkk. (2011) dan Nazary dkk. (2010) menegaskan
20
bahwa faktor sosiodemografi juga memegang peran dalam kebiasaan merokok.
Banyaknya rokok yang dikonsumsi dalam sehari merupakan salah satu poin
penting dalam mengukur tingkat ketergantungan seseorang dalam merokok,
namun untuk dapat menentukan tingkat ketergantungan masih dibutuhkan poin -
poin lain agar didapatkan tingkat ketergantungan yang pasti (Difranza dkk.,
2013). Selain itu jumlah rokok yang dikonsumsi juga menunjukkan kekuatan atau
kemampuan seseorang dalam merokok (Alexopoulos dkk., 2010; Chatterjee dkk.,
2011; Nazary dkk., 2010).
5. Pengertian Kualitas Hidup
UU Kes RI No 23 tahun 1992 mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan
sejahtera baik badan, jiwa maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. WHO (1948) mendefinisikan sehat adalah
suatu keadaan kondisi fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu
kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kualitas hidup
merupakan istilah popular yang digunakan untuk mendeskripsikan konsep well-
being. WHO (1997) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu
mengenai kedudukan individu dalam budaya dan sistem nilai dimana terkait
dengan tujuan, harapan, standar dan pemikiran. Konsep ini meluas dan
berpengaruh pada kesehatan, psikologi, tingkat kemandirian, hubungan sosial,
kepercayaan dan lingkungan individu. Gagasan kualitas hidup memegang peran
penting dalam beberapa hal termasuk merokok dan penyakit yang ditimbulkan
akibat kebiasaan merokok. Salah satu kesulitan dalam mendefinisikan kualitas
21
hidup karena konsep ini terdiri atas komponen obje ktif dan subjektif dari mental
dan fisik seseorang (D‘Abundo dkk., 2011). WHO sebagai organisasi dunia
mengadakan program WHOQOL untuk melihat dengan membandingkan kualitas
hidup secara cross-cultural (Igwilo dkk., 2013).
Kualitas hidup dapat dipengaruhi o leh berbagai hal. Faktor
sosiodemografi, status merokok dan perilaku merokok terbukti memiliki
hubungan dengan kualitas hidup (Castro dkk., 2010; Pekmezovic dkk., 2011;
Sabbah dkk., 2013; Vogl dkk., 2012; Zhang dkk., 2012). Klaster dan kebiasaan
olahraga adalah faktor sosiodemografi yang memiliki hubungan dengan kualitas
hidup (Pekmezovic dkk., 2011; Sabbah dkk., 2013; Zhang dkk., 2012). Seseorang
yang memiliki pengetahuan mengenai kesehatan memiliki pandangan yang
berbeda dengan populasi umum (Fallahzadeh & Mirzaei, 2012). Kebiasaan
merokok dapat mempengaruhi kesehatan seseorang sehingga juga akan dapat
mempengaruhi kualitas hidup (Castro dkk., 2010; Pekmezovic dkk., 2011; Sabbah
dkk., 2013; Vogl dkk., 2012). Pada seseorang yang merokok, perilaku merokok
memiliki hubungan dengan kualitas hidup (Bedmar dkk., 2009; Vogl dkk., 2012).
Semakin banyak rokok yang dikonsumsi dalam sehari maka akan semakin buruk
pula kualitas hidup (Vogl dkk., 2012). Hasil tersebut berdasarkan skor kualitas
hidup yang rendah pada setiap domainnya. Menurut kategori umur, maka
seseorang yang berusia muda hingga tua memiliki kualitas hidup yang rendah
apabila tergolong dalam kategori perokok berat sehingga dapat dikatakan bahwa
seseorang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang sehar i akan memiliki
kualitas hidup yang rendah.
22
6. Pengukuran Kualitas Hidup dengan Instrumen WHOQOL-BREF
Terdapat beberapa instrumen untuk mengukur kualitas hidup secara
general maupun spesifik.Instrumen general terdiri dari SF -36, WHOQOL 100 dan
WHOQOL-BREF.WHOQOL100 dan WHOQOL-BREF sudah diterjemahkan ke
dalam 30 bahasa termasuk Bahasa Indonesia (WHO, 1998).WHOQOL-BREF
diadaptasi dari W HOQOL 100. WHOQOL 100 terdiri dari 100 item pertanyaan
sedangkan WHOQOL terdiri dari 26 item pertanyaan. Pemakaian WHOQOL -
BREF direkomendasikan ketika terdapat batasan waktu atau ketika ingin
mempermudah responden. Perbedaan WHOQOL-BREF dan SF-36 adalah
WHOQOL-BREF mengukur kualitas hidup secara general tetapi SF -36 mengukur
kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan seperti dampak dari sebuah
penyakit. WHOQOL tidak hanya digunakan untuk mengukur kualitas hidup
perokok tetapi juga dapat mengukur aspek kualitas hidup secara luas untuk
populasi umum.
Terdapat duacara untuk mengubah nilai pada kuesioner WHOQOL-BREF
agar dapat dibandingkan. Yang pertama nilai rata-rata dari setiap domain berada
antara 4 hingga 20. Nilai rata-rata tersebut dikali 4 agar dapat diubah menjadi skor
skala dengan begitu akan dapat dibandingkan dengan nilai pada WHOQOL 100.
Cara kedua yaitu dikonversikan menjadi skala 0-100.Nilai yang tinggi
menunjukkan kualitas hidup yang tinggi pula , namun apabila terdapat satu data
hilang maka diambil nilai rata-rata dari domain tersebut. Domain tersebut tidak
dapat dihitung apabila terdapat lebih dari 20% data kosong/hilang atau lebih dari
23
dua item hilang.Kecuali untuk domain sosial, domain hanya bisa dihitung apabila
tidak ada data yang kosong/hilang.
Penelitian menggunakan WHOQOL-BREF untuk mahasiswa sudah
pernah dilakukan (D‘Abundo dkk., 2011). Wu & Yao (2007) menggunakan
WHOQOL-BREF untuk mengukur hubungan antara kualitas hidup dengan
keyakinan diri pada 101 mahasiwa kesehatan di National Taiwan University.
Hasil menunjukkan adanya hubungan yang baik antara kualitas hidup dengan
keyakinan diri mahasiswa, bermakna bahwa semakin baik kualitas hidup maka
keyakinan diri mahasiswa semakin tinggi. WHOQOL-BREF juga digunakan
untuk mengukur kualitas hidup pada mahasiswa di Thailand (Li dkk., 2009). Hasil
menyatakan bahwa WHOQOL-BREF dapat dipercaya dan valid untuk mengukur
kualitas hidup.
Zhang dkk.(2012) menggunakan WHOQOL-BREF untuk mengukur
kualitas hidup mahasiswa klaster kesehatan dan nonkesehatan di China. Penelitian
dilakukan pada Juni 2011 melibatkan 1686 mahasiswa klaster kesehatan dari
tahun pertama hingga kelima pada China Medical University. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan pada domain psikologi dan domain sosial pada
setiap angkatan.Mahasiswa tahun ketiga menunjukkan nilai terendah pada domain
psikologi dan domain sosial. Kepercayaan diri dalam berkarir, kota asal dan
kegiatan fisik berpengaruh terhadap kualitas hidup mahasiswa pada domain
tertentu. Penelitian ini menunjukkan pada faktor sosial demografi berpengaruh
pada hasil penelitian. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa WHOQOL-
BREF dapat dipercaya dan valid untuk mengukur kualitas hidup mahasiswa
24
kesehatan di China. Castro dkk. (2007) melakukan penelitian menggunakan
WHOQOL-BREF pada 276 perokok yang dipilih secara acak. Dari penelitian ini
didapatkan hasil bahwa WHOQOL-BREF terbukti reliable, mudah dan cepat
sebagai instrumen untuk mengukur kualitas hidup.
F. Landasan teori
Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat memberikan dampak
buruk bagi kesehatan. Faktor sosiodemografi merupakan salah satu pencetus
untuk merokok. Klaster atau jenis pendidikan perguruan tinggi memiliki
hubungan dengan status merokok (Chatterjee dkk., 2011). Mendapatkan
pendidikan kesehatan terkait dengan merokok akan mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap merokok. Kebiasaan olahraga dan riwayat merokok orang tua
juga memiliki hubungan dengan status merokok (Alexopoulos dkk., 2010).
Aktivitas fisik pada pria didasari oleh karena kesenangan dan tantangan. Salah
satu hal yang mempengaruhi anak untuk merokok adalah pengaruh orang tua
sehingga dikatakan bahwa riwayat merokok orang tua mempengaruhi status
merokok mahasiswa.
Kualitas hidup merupakan suatu alat pengukuran kesehatan yang dapat
mengukur pada berbagai domain. Terdapat berbagai macam faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup diantaranya sosiodemografi, sta tus merokok dan
perilaku merokok. Klaster pendidikan yang merupakan salah satu faktor
sosiodemografi memiliki hubungan dengan kualitas hidup (Pekmezovic dkk.,
2011; Zhang dkk., 2012). Kebiasaan olahraga atau aktivitas fisik juga memiliki
25
hubungan dengan kualitas hidup (Pekmezovic dkk., 2011; Sabbah dkk., 2013;
Zhang dkk., 2012). Kebiaasan merokok memberikan dampak buruk bagi
kesehatan sehingga status merokok memiliki hubungan dengan kualitas hidup
(Castro dkk., 2010; Pekmezovic dkk., 2011; Sabbah dkk., 20 13; Vogl dkk., 2012).
Pada seseorang yang merokok, perilaku merokok memiliki hubungan dengan
kualitas hidup (Bedmar dkk., 2009; Vogl dkk., 2012). Semakin banyak rokok
yang dikonsumsi dalam sehari maka akan semakin buruk pula kualitas hidup
(Vogl dkk., 2012).
G. Kerangka Konsep
Sosiodemografi:
- Klaster
- Kebiasaan
olahraga
- Riwayat merokok
orang tua
Status merokok:
- Perokok
- Nonperokok
Perilaku merokok:
- Ringan
- Sedang
- Berat
Kualitas Hidup
- Domain Fisik
- Domain Psikologi
- Domain Sosial
- Domain Lingkungan
26
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
H. Hipotesis
1. Ada hubungan variabel sosiodemografi (klaster, kebiasaan olahraga dan
riwayat merokok orang tua) dengan status merokok mahasiswa.
2. Ada hubungan variabel sosiodemografi (klaster dan kebiasaan olahraga)
dengan kualitas hidup mahasiswa.
3. Ada hubungan status merokok dengan kualitas hidup mahasiswa.
4. Ada hubungan perilaku merokokdengan kualitas hidup mahasiswa.