skripsi revisi 3

40
BAB I PENDAHULUAN Hepatitis virus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dimana organ hati merupakan sasaran utama (Chatar, 2001). Hepatitis sudah dikenal sejak lama. Kitab suci Babilonia pada abad ke-5 SM sudah menyebut suatu ikhterus yang sering terjadi. Hipokrates juga menyebut adanya epidemic jaundice. Tetapi McDonald (1908-1918) merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa virus yang menjadi penyebab hepatitis. Penyakit ini juga dikenal dalam bidang kemiliteran, sebab sering timbul pada waktu perang misalnya sewaktu perang melawan Rusia (1904-1905), Perang Dunia pertama, dan Perang Dunia kedua, sekitar 5 juta tentara Jerman dan orang sipil meninggal akibat hepatitis B. (Purnama dan Tjokronegoro, 1984, cit. Darmawan, 1994). Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah kesehatan dunia yang serius pada masa kini. WHO memperkirakan bahwa lebih dari sepertiga populasi dunia memiliki bukti serogical infeksi hepatitis B (Sande dkk, 2006). Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis terutama di Asia, misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea dimana 50 - 70% dari penduduk berusia 1

Transcript of skripsi revisi 3

Page 1: skripsi revisi 3

BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis virus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dimana

organ hati merupakan sasaran utama (Chatar, 2001). Hepatitis sudah dikenal sejak

lama. Kitab suci Babilonia pada abad ke-5 SM sudah menyebut suatu ikhterus

yang sering terjadi. Hipokrates juga menyebut adanya epidemic jaundice. Tetapi

McDonald (1908-1918) merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa virus

yang menjadi penyebab hepatitis. Penyakit ini juga dikenal dalam bidang

kemiliteran, sebab sering timbul pada waktu perang misalnya sewaktu perang

melawan Rusia (1904-1905), Perang Dunia pertama, dan Perang Dunia kedua,

sekitar 5 juta tentara Jerman dan orang sipil meninggal akibat hepatitis B.

(Purnama dan Tjokronegoro, 1984, cit. Darmawan, 1994).

Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah kesehatan dunia

yang serius pada masa kini. WHO memperkirakan bahwa lebih dari sepertiga

populasi dunia memiliki bukti serogical infeksi hepatitis B (Sande dkk, 2006).

Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis terutama di Asia,

misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea dimana 50 - 70% dari penduduk berusia

antara 30 sampai 40 tahun pernah kontak dengan virus hepatitis B (HBV) dan

sekitar 10 - 15% menjadi pengidap Hepatitis B surface Antigen (HBsAg).

Pengidap HBsAg terbagi dalam 2 golongan: tanpa adanya tanda-tanda hepatitis

kronik (pengidap asimtomatik) dan disertai tanda-tanda hepatitis kronik.

Golongan terakhir ini yang berjumlah sekitar 10 – 30% dari pengidap, harus

berhati-hati karena adanya peluang untuk menjadi sirosis hepatis dan kemudian

hepatoma (Kosasih dan Sukiman, 1992).

Di Indonesia, prevalensi infeksi VHB pada donor darah sekitar 2,4% - 9,1%,

tetapi di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, prevalensinya setinggi 17%.

Meskipun banyak terkumpul data epidemiologi-serologi dari hepatitis B,

kebanyakan penelitian menggunakan pertanda serologi terbatas untuk mendeteksi

infeksi VHB sehingga mereka tidak dapat menentukan populasi pasti dari karier,

1

Page 2: skripsi revisi 3

karena adanya mutasi virus atau variasi pada respons imun pejamu (Budihusodo

dkk, 1991, cit. Widjaja dkk, 1998).

Hingga kini kekuatiran tertular hepatitis B masih menghantui banyak anggota

masyarakat. Dasar kekuatiran tersebut dalah sosok menyedihkan penderita sirosis

hati ataupun karsinoma hepato-seluler yang tidak tersembuhkan yang terjadinya

hampir selalu dikaitkan dengan hepatitis B. Hampir 80% dari karsinoma hepato-

seluler disebabkan oleh virus hepatitis B. Hal ini akan berdampak luas terhadap

banyak aspek kehidupan rumah tangga penderita. Karsinoma hepato-seluler

terjadi setelah infeksi dan kanker ini paling sering ditemukan pada daerah yang

endemi hepatitis B (Lubis, 1991, cit. Darmawan 1994).

Sekitar 5 - 10% penderita dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B

berkembang menjadi infeksi kronis dan angka ini akan menjadi lebih tinggi bila

inffeksi terjadi pada masa yang lebih dini atau bayi dan anak-anak (Habie dkk,

2000).

Tertularnya dokter gigi akibat luasnya penyebaran hepatitis B di masyarakat

tentunya tidak bisa dihindari. Penelitian adanya HBsAg dan antibodinya,

menunjukkan bahwa profesi dokter gigi mempunyai resiko tertular infeksi ini

yang cukup tinggi dibandingkan dengan penduduk biasa. Dengan sendirinya

dokter gigi juga dapat menularkan infeksi ini kepada pasiennya. Salah satu

penelitian di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi penyakit ini pada dokter

gigi sebesar 13%, sedangkan pada penduduk biasa hanyalah 4%. Prosentasi ini

ternyata bertambah tinggi pada ahli bedah mulut. Hal yang sama juga ditemukan

pada ahli bedah dan ahli patologi (Darmawan, 1994).

Penularan VHB dalam kedokteran gigi dapat terjadi antara pasien dengan

dokter gigi secara timbal-balik atau antara pasien dengan pasien yaitu melalui

alat-alat yang digunakan, kontak dengan darah, dan pertukaran cairan tubuh.

Selain dokter gigi, yang termasuk golongan berisiko tinggi tertular adalah petugas

kesehatan lainnya : dokter, paramedik, petugas laboratorium (Lesmana, 1993).

Penularan horizontal pada bayi dan anak diduga memegang peran yang penting

dalam penyebaran infeksi VHB di Indonesia, walaupun penularan perinatal

2

Page 3: skripsi revisi 3

(vertikal) juga penting sebagai sumber penyebaran yang sangat infeksius bagi

lingkungan sekitarnya (Widjaja, 1999).

Berdasarkan latar belakang diatas timbul masalah yaitu bagaimana penularan

penyakit hepatitis B dalam praktek kedokteran gigi dan cara pencegahannya.

Pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memberi informasi tentang cara

penularan penyakit hepatitis B dalam praktek kedokteran gigi serta cara

pencegahannya.

Manfaat pembuatan skripsi ini diharapkan dapat membuka wawasan dokter

gigi dalam mendeteksi hepatitis B sehingga bisa mengurangi kemungkinan

terinfeksi hepatitis B pada praktek kedokteran gigi.

3

Page 4: skripsi revisi 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiologi

1. Virus dan Hepatitis B

Virus adalah suatu mikroorganisme hidup yang dapat menyebabkan penyakit

infeksi baik pada manusia, binatang, maupun tumbuhan. Virus hanya dapat dilihat

melalui mikroskop elektron, karena hanya memiliki ukuran yang sangat kecil,

yaitu atara 25 sampai 250 nm. Virus tumbuh dan berkembang di dalam sel hidup,

sedangkan di luar sel virus tidak berubah (Lesmana, 1993).

Sebuah virus terdiri dari molekul asam nukleat yang merupakan inti virus,

salah satunya DNA (Deoxy Ribonucleic Acid) atau RNA (Ribonucleic Acid).

Hampir semua bentuk virus adalah Icosahedral dan dibungkus oleh suatu

selubung protein yang disebut Nucleocapsid. Capsid berfungsi melindungi asam

nukleat dan memfasilitasi perlekatan dan penetrasi sel host dari virus (Jawetz

dkk, 2007).

Adapun sifat-sifat khusus virus (Syahrurachman, 1993):

a. Virus mengadakan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam sel

nukleus, sitoplasma atau di dalam kedua-duanya dan tidak mengadakan kegiatan

metabolisme jika berada di luar sel hidup.

b. Virus tidak mempunyai informasi genetik sistem Lipman untuk sintesis energi

berpotensi tinggi.

c. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan binner (binary fission).

Partikel virus baru dibentuk dengan suatu proses biosintesis majemuk yang

dimulai dengan pemecahan suatu partikel virus infektif menjadi lapisan protein

pelindung dan komponen asam nukleat infektif.

d. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk

keperluan metabolismenya.

e. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan baru digabung

di dalam sel hospes tidak lama sebelum dibebaskan.

4

Page 5: skripsi revisi 3

Hampir semua virus memiliki faktor untuk mengaktifkan proses biosintesis sel

hospes sendiri dan kemudian mengubahnya dengan tujuan untuk membentuk sel

virus yang baru. Akibat dari proses ini maka sebagian besar sel-sel hospes

menjadi mati dan terjadilah gejala-gejala infeksi klinis. Dengan kata lain, asam

nukleat virus mempunyai informasi yang dibutuhkan untuk memerintahkan sel

host yang sudah terinfeksi guna mensistesis sejumlah makromolekul khusus yang

dibutuhkan untuk pembentukan turunan virus atau virus-virus baru. Selama siklus

replikatif itu akan dihasilkan banyak salinan asam nukleat dan lapisan protein

virus. Lapisan protein ini pada akhirnya akan membentuk kapsid yang befungsi

membungkus dan melindungi asam nukleat virus dari lingkungan ekstra selnya

(McCullough, 2005).

Ada empat tipe dari genom-genom asam nukleat yang ditemukan pada virus

yang biasa beraplikasi di dalam tubuh manusia yaitu (McCullough, 2005):

a. Single-stranded DNA (ssDNA)

b. Double-stranded DNA (dsDNA)

c. Single-stranded RNA (ssRNA)

d. Double-stranded RNA (dsRNA)

Contoh virus yang mengandung DNA misalnya Parvovirus, Papovavirus,

Adenovirus, Herpesvirus, Poxvirus, Hepadnavirus. Sedangkan contoh virus yang

mengandung RNA antara lain Picornavirus, Kalisivirus, Reovirus, Arbovirus,

Togavirus, Arenavirus, Koronavirus, Retrovirus, Bunyavirus, Ortomiksovirus,

Paramiksovirus, Rabdovirus, dan Flavivirus.

2. Hepatitis B Virus

Virus hepatitis B sekarang lebih dikenal dengan nama antigen permukaan

VHB (HBsAg) karena terdapat di permukaan VHB. Dalam bidang kedokteran

gigi yang paling memegang peranan adalah penularan VHB dalam praktek

kedokteran gigi melalui darah dan saliva. Cara penularan VHB adalah secara

parenteral, sedangkan lukanya sendiri merupakan “port of entry” dari VHB.

Potensi saliva dalam penyebaran VHB telah ditunjukkan secara eksperimental

pada binatang percobaan (Lesmana, 1998).

5

Page 6: skripsi revisi 3

Virus hepatits B atau partikel Dane merupakan partikel bulat berukuran 42

nanometer (nm) dengan selubung fosfolipid (HBsAg) dengan ketebalan sekitar 7

nm. Virus hepatitis B ini mengandung inti nukleokapsid bagian dalam DNA yang

panjangnya 27 nm, yang berikatan kuat dengan antigen inti 19 kD (Widjaja,

1997).

Inti virus juga mengandung DNA polymerase dan memiliki aktivitas protein

kinase. Genom virus hepatitis B berbentuk sirkuler dengan molekul DNA yang

sebagian berantai ganda dengan bagian yang memiliki rantai tunggal yang

panjangnya variable. Rantai DNA yang panjang disebut minus sempurna atau

bagian rantai DNA L (-) yang komplementer terhadap mRNA virus kurang lebih

epanjang 3200 nukleotida, sedangkan rantai yang pendek atau S (+) memiliki

panjang yang beragam (sekitar 50-70% dari rantai yang panjang). Karenanya,

genom sirkuler hanya merupakan dupleks yang bersifat sebagian (Widjaja, 1997).

Partikel Dane adalah partikel virus hepatitis B yang lengkap, terdiri atas

bungkus luar yang disebut dengan Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg), sebuah

partikel inti yang disebut dengan Hepatitis B core antigen (HBcAg), dan genom,

sebuah bentuk yang tidak biasa dari lingkaran DNA yang disebut dengan antigen e

(HBeAg) (Darmono, 1993).

Virus hepatitis B pada manusia merupakan prototip famili virus Hepadna

(Hepatitis Associated DNA Viruses). Penemuan struktur dan organisasi virus

hepatitis B mengarah pada penemuan berbagai virus lain yang mempunyai

hubungan erat, seperti : virus hepatitis pada woodchuck, virus hepatitis pada

ground squirell, virus hepatitis pada bebek, virus hepatitis pada tree squirrel, virus

hepatitis pada heron (Widjaja, 1997).

6

Page 7: skripsi revisi 3

Gambar 1. Virus Hepatitis B dengan rantai tunggal RNA (Newark, 2009)

Protein nukleokapsid juga bersifat antigenik, terdiri dari HBcAg yang disandi

oleh gen core dan HBeAg yang disandi oleh gen pencore. Secara imunologik

terdapat 4 subtipe utama yaitu HBV, yaitu atas dasar tipe dari HBsAg. Subtipe

tersebut adalah adw, adr, ayw, dan ayr yang semuanya mengandung grup antigen

a yang sama (Sastrosoewignjo dan Triyanti, 1993).

Stabilitas VHB terhadap desinfektan dan suhu tidak selalu sama dengan

stabilitas HBsAg. VHB dapat diinaktivasi dengan otoklaf, formalin 4% selama

minimum 1 jam, dan sodium hipoklorit 0,5% minimum 1 jam (Sastrosoewignjo

dan Triyanti, 1993). The Center of Disease Control di Phoenix menunjukkan

bahwa air mendidih atau larutan sodium hypochloride 1% untuk waktu 10 menit

akan membuat virus hepatitis B menjadi tidak aktif (Lesmana, 1998).

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarkat yang serius baik di dunia

maupun di Indonesia karena jumlah penderitanya yang semakin meningkat.

Indonesia merupakan salah satu wilayah besar yang terdiri dari ribuan pulau

7

Page 8: skripsi revisi 3

dengan berbagai rasdan kebudayaan, dengan variasi endemik yang besar.

Prevalensi HBsAg ditemukan sekitar 3,5% sampai 9,1% di Indonesia, dengan

rata-rata 5,1%. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara dengan tingkat

endemik menengah keatas (Hasan, 2005).

Adanya infeksi virus hepatitis B dapat dideteksi dengan penemuan HBsAg

dalam darah yang diproduksi jutaan kali lebih banyak dari virusnya sendiri. Bila

HBsAg ini menetap lebi dari 6 bulan, berarti kasus ini bersifat menetap (kronik).

Anti HBsAg baru muncul sesudah proses penyembuhan, sehingga penderita

menjadi imun terhadap infeksi berikutnya. HBsAg biasanya akan ada selama

serangan akut, dan segera menghilang setelah penyembuhan. HBeAg akan

menetap keberadaannya pada kasus kronik (Lesamana, 1993).

B. Patogenesis

Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran

darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.

Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,

partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk

pertikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali

dirangsang adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena

dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa

jam (Soemohardjo dan Gunawan, 2006).

Seperti virus-virus lainnya, virus hepatitis B tidak dapat bereplikasi tanpa

bantuan sel hospes. Sel hati yang terinfeksi akan membuat partikel virus B, yaitu:

1) HBsAg dibuat di sitoplasma sel hati

2) Partikel inti dibuat di inti sel hati

Kemudian kedua partikel tersebut akan bergabung dan membentuk partikel

virus hepatitis B yang utuh, dimana:

1) Pada fase replikatif banyak dibentuk partikel utuh

2) Pada fase non replikatif sedikit dibentuk partikel utuh

Virus hepatitis B dan antigen virusnya tidak bersifat sitopatik secara

langsung. Kerusakan hati yang timbul disebabkan oleh kelainan imunologi yang

8

Page 9: skripsi revisi 3

disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap virus yang masuk. Penyakit ini dapat

ditularkan dari ibu pengidap terutama dengan HBeAg positif (+) kepada bayi yang

dilahirkannya. Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting disease),

tetapi sekitar 95% dari infeksi yang terjadi pada masa ini akan berkembang

menjadi pengidap (carrier) virus hepatitis B. Tingginya persentasi pengidap VHB

akibat terinfeksi sesama bayi, dihubungkan dengan imunotoleransi sel T, yang

umumnya timbul bila infeksi terjadi pada saat sistem kekebalan tubuh belum

berkembang sempurna (Widjaja, 1997).

Pada penyakit hepatitis B akut ternyata yang berperan adalah sel T sitotoksik.

Proses penyembuhan terjadi bila sel tersebut berhasil membersihkan semua sel

hati yang terinfeksi. Bila sel T sitotoksik tidak berhasil menghancurkan seluruh

sel hati yang terinfeksi maka proses ini akan berkepanjangan sehingga menjadi

kasus kronis. Namun, jika proses penghancuran sel hati tidak terjadi maka akan

terjadi kasus pengidap sehat. Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut

maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3

kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus

hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan

tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika

tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier

inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (diantara dua hal

tersebut) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis (Suharjo

dan Cahyono, 2006).

1) Pada hepatitis B akut

Terjadi peradangan sel hati sebagai akibat respon imun yang normal. Tapi bila

sistem imunitas tubuh normal, maka akan terjadi suatu mekanisme untuk menekan

sintesa virus B oleh sel hati sehingga berangsur-angsur virus tersebut akan hilang

dari tubuh.

2) Pada hepatitis B fulminan

Terjadi kerusakan sel-sel hati yang hebat sebagai akibat respon imun yang

berlebihan.

3) Tidak terdapat respon imun sehingga tidak terjadi kelainan sel hati

9

Page 10: skripsi revisi 3

Namun sintesa partikel virus B tetap berlangsung dan infeksi menjadi

persisten. Disini terdapat gangguan faal sel limfosit, yang dapat ditemukan pada

pasien leukemia, keadaan gagal ginjal, bayi, pasien yang mendapat terapi

imunosupresif.

4) Pada hepatitis B kronis persisten

Bila respon imun ada tetapi tidak sempurna maka akan terjadi peradangan sel

hati, tapi sintesa partikel virus B juga tidak dapat ditekan secara efektif sehingga

infeksi virus B menjadi persisten.

5) Pada hepatitis B kronis aktif

DNA virus B menyatu dengan DNA sel hati, merupakan tahap penting bagi

kemungkinan timbulnya hepatoma.

C. Penularan

Penyabaran virus hepatitis B melalui darah, saliva, semen, secret nasofaring,

keringat, urin, air susu ibu, dan tinja. Penyebarannya bisa berlangsung melewati

sejumlah cara seperti melalui (Little & Falace, 1988, cit. Darmawan, 1994):

1) Kulit, misalnya serum atau plasma yang terinfeksi tersalur melalui alat suntik

yang disuntikkan menembus kulit.

2) Kulit yang rusak yang kemudian terkontaminasi dengan serum atau plasma

yang terinfeksi.

3) Absorpsi serum atau plasma yang terinfeksi melalui mukosa mulut atau mata.

4) Absorpsi cairan sekresi yang terinfeksi, misalnya saliva yang mengenai kulit

yang terluka atau semen sewaktu berhubungan intim.

5) Transfer serum, plasma, dan saliva yang sudah terinfeksi melalui permukaan

benda mati.

Virus hepatitis tidak dapat disebarkan melalui fekal-oral. Begitu juga

penyebaran melalui udara tidak menimbulkan epidemik, sebab virus ini tidak bisa

mengudara meskipun berada dalam buangan ludah (National Health and Medical

Research Council, 1985, cit. Darmawan, 1994).

Meskipun belum ada konfirmasi tentang penyebaran virus hepatitis B melalui

pernafasan dan makanan, tetapi transmisi melalui percikan yang mengudara dari

10

Page 11: skripsi revisi 3

dengan kecepatan tinggi atau penyemprot air dengan tekanan kuat. Semua

penyebaran ini merupakan penyebaran yang transversal. Ada lagi penyebaran

terjadi secara vertikal yaitu penyebaran dari ibu yang sedang hamil dan menderita

hepatitis kepada anaknya. Maka anak tersebut nantinya juga akan menderita

hepatitis B. Biasanya anaknya berumur pendek karena adanya kerusakan hati yang

kronis atau terjadi karsinoma (Darmawan, 1994).

D. Gejala Klinis

Setiap proses peradangan akan menimbulkan gejala. Berat ringannya gejala

yang timbul tergantung dari ganasnya penyebab penyakit dan daya tahan tubuh

penderita. Oleh karena penyebab terbanyak penyakit hepatitis disebabkan oleh

virus maka pembahasan selanjutnya lebih ditekankan pada hepatitis virus.

Keluhan dan gejala klinis penyakit hepatitis virus umumnya sama. yang berbeda

hanyalah perkembangan penyakitnya. Gejala hepatitis terbagi dalam empat tahap

(Sanityoso, 2006).

1) Fase inkubasi

Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.

Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini

tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar

dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.

2) Fase prodomal ( pra ikterik)

Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala

ikterus. Fase ini berlangsung beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada

penderita seperti badan terasa lemas, cepat lelah, lesu, tidak nafsu makan

(anorexia), mual, muntah, perasaan tidak enak dan nyeri di perut, demam kadang-

kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada persendian (arthralgia), pegal-pegal di

seluruh badan terutama di pinggang dan bahu (mialgia), dan diare. Kadang-

kadang penderita seperti akan pilek dan batuk, dengan atau tanpa disertai sakit

tenggorokan. Karena keluhan di atas seperti flu, maka keadaan di atas disebut

sindroma flu.

3) Fase ikterus

11

Page 12: skripsi revisi 3

Biasanya setelah suhu badan menurun, warna urin penderita berubah menjadi

kuning pekat seperti air teh. Bagian putih dari bola mata (sclera), selaput lendir

langit-langit mulut, dan kulit berubah warna menjadi kuning-kuning yang disebut

juga ikterik. Bila terjadi hambatan aliran empedu yang masuk ke dalam usus maka

tinja akan berwarna pucat seperti dempul, yang disebut faeceacholis. Ikterik akan

timbul bila kadar bilirubin dalam serum melebihi 2mg/dl. Pada saat ini penderita

baru menyadari bahwa ia menderita sakit kuning atau hepatitis. Selama minggu

pertama dari fase ikterik, warna kuningnya akan terus meningkat, selanjutnya

menetap. Setelah 7-10 hari secara perlahan-lahan warna kuning pada mata dan

kulit akan berkurang. Pada saat ini, keluhan yang ada umumnya mulai berkurang

dan penderita merasa lebih enak. Fase ikterik ini berlangsung sekitar 2-3 minggu.

Pada usia lebih lanjut, sering terjadi gejala hambatan aliran empedu (cholestasis)

yang lebih berat sehingga menimbulkan warna kuning yang lebih hebat dan

berlangsung lebih lama.

4) Fase konvalesen (penyembuhan)

Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali

dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan

kembalinya nafsu makan. Umumnya penyembuhan sempurna secara klinis dan

laboratoris memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelah timbulnya penyakit.

E. Penatalaksanaan

1. Diagnosis

a. Anamsesis

Anamnesis adalah suatu tanya jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan

pasien. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat obstetric dan ginekologi

(khusus perempuan), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem

dan anamnesis anamnesis pribadi (Setyohadi, 2006).

Anamnesis sangat penting agar kita dapat menjaga diri dari kemungkinan

tertular penyakit dari pasien. Dalam hal ini kita bisa bertanya tentang riwayat

kesehatan pasien bilamana dia pernah atau sedang menderita suatu penyakit

12

Page 13: skripsi revisi 3

seperti hepatitis. Kita juga harus berhati-hati apabila dalam anamnesis

menemukan penggunaan obat-obatan terlarang, penggunaan jarum suntik,

penderita AIDS, dan pasien pernah mengalami cuci darah dalam waktu yang

lama.

b. Gambaran Klinis

Penyakit ini sering ditandai dengan perubahan warna pada kulit dan bagian

putih mata (sklera) yang menjadi kekuningan karena adanya pengendapan pigmen

bilirubin. Gambaran klinis yang biasa didapatkan pada penderita hepatitis B dalam

masa 45-160 hari adalah ikterus, Jaundice (gambar 2), hepatomegali, suhu diatas

normal. Orang dewasa cenderung untuk mengalaminya dibandingkan anak-anak.

Gambar 2. Penderita Jaundice, tampak matanya berwarna agak kekuningan

(Simon, 1998)

c. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam upaya mendeteksi kasus-

kasus yang tidak tampak secara klinis sedini mungkin sehingga kemungkinan

13

Page 14: skripsi revisi 3

penularan dapat diperkecil. Pemeriksaan HBsAg mempunyai sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi sangat diperlukan dalam upaya untuk mendeteksi penderita

yang sakit atau pengidap sehat, pemantauan secara berkala, tes saring terhadap

donor darah serta pemeriksaan sebelum vaksinasi (Habie, 2000).

Saat ini telah dikenal tes ELISA (Enzime Linked Iunosorbent Assay) dan

RPHA (Reserved Passive Hemaglutination Assay) untuk mendeteksi HBsAg.

Kedua tes tersebut yang paling sering digunakan oleh laboratorium-laboratorium.

Tes ELISA yang telah dikembangkan dengan sensitivitas dan spesifitas mendekati

100% adalah tes diagnosa yang sangat akurat saat ini (Habie, 2000).

Tes RPHA adalah yang paling mudah terutama tes tunggal. Cara kerjanya

cepat, tidak mahal, dan praktis cocok untuk negara berkembang, karena itu

metode ini banyak dipakai di laboratorium-laboratorium untuk membantu

diagnosis dan tes saring hepatitis B, tetapi ada kelemahannya yaitu sering terjadi

fenomena prozone dan relative kurang spesifik (Habie, 2000).

2. Prognosis

Sekelompok kecil penderita (sekitar 1% dari orang yang terinfeksi)

mengalami perkembangan yang cepat dari penyakit yang dideritanya pada tahap

akut dan mengembangkan kerusakan hati yang parah. Hal ini dapat terjadi selama

berhari-hari, berminggu-minggu dan mungkin berakibat fatal. Infeksi VHB bisa

diderita oleh semua orang tetapi biasanya jika sudah berumur 15 tahun keatas.

Dibandingkan dengan jenis hepatitis lain, hepatitis B lebih banyak mengakibatkan

penderitaan dan kematian (Darmawan, 1994).

3. Patokan Tata Laksana Umum Perawatan Gigi dan Mulut

Yang menyulitkan adalah apabila penderita mengidap hepatitis B yang

gejalanya tidak nyata. Untuk itu, sebaiknya dokter gigi mengikuti patokan tata-

laksana umum perawatan gigi dan mulut untuk menghindari tertular serta

menularkan hepatitis B. patokan tata-laksana umum ini, sebaiknya dilaksanakan

pada setiap pasien tidak peduli apakah dia penderita hepatitis atau tidak.

Pelaksanaan patokan tata-laksana umum ini tetap belum menjamin untuk tidak

tertular hepatitis B, namun jelas mengurangi kemungkinan tertular. Patokan

sebagai berikut (Darmawan, 1994):

14

Page 15: skripsi revisi 3

a. Riwayat perawatan

Yang dimaksud dengan riwayat perawatan adalah semua perawatan kesehatan

yang sudah pernah diperoleh atau yang sedang dilaksanakan. Sejumlah pertanyaan

perlu dikemukakan dalam hal ini seperti penyakit yang sedang diderita, pernah

menderita hepatitis atau tidak, apakah ada penyakit lain yang sering kambuh,

apakah mengalami penurunan berat badan drastis, dan lain-lainnya. Sayangnya,

meskipun pasien sudah menjawab sejumlah pertanyaan, seringkali tetap saja

keadaan penderita tidak dapat diketahui seluruhnya. Keadaan ini akan lebih rumit

apabila penderita hanya sebagai pembawa (carrier) atau yang menderita hepatitis

kronis aktif. Pada penderita ini tidak tampak adanya gejala, bahkan tidak

merasakan adanya kelainan, padahal produksi virus tetap berlanjut begitu juga

dengan kerusakan hatinya.

b. Memakai bahan atau alat pelindung lengkap serta tindakan perlindungan

(gambar 3)

1) Sarung tangan

Pemakaian sarung tangan akan melindungi tangan dokter gigi yang sedang

luka dari kemungkinan terkontaminasi darah atau saliva penderita. Selain itu,

sarung tangan juga akan melindungi tangan dari kemungkinan tertusuk atau teriris

dengan pisau, karena sarung tangan yang akan tertusuk atau teriris terlebih dahulu.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa satu sarung tangan untuk semua pasien

sebab sarung tangan mudah dibersihkan dan didesinfeksi sesudah dipakai.

Pembersihan sarung tangan akan lebih mudah daripada pembersihan tangan.

Tetapi sebetulnya yang paling baik tetap satu sarung tangan untuk setiap pasien,

sebab bisa saja sesudaha merawat seorang pasein sarung tangan itu mengalami

bocor kecil.

2) Pakaian pelindung

Pakaian pelindung dapat dipakai untuk menghindari kontak badan dengan

cairan tubuh. Contoh dari pakaian pelindung seperti pakaian operasi, apron, jas

klinik, dan jas lab. Pakaian pelindung ini harus diganti saat terkena saliva atau

darah. Pakaian ini juga selayaknya tidak digunakan di luar area kerja.

3) Masker dan pelindung mata

15

Page 16: skripsi revisi 3

Pemakaian masker dan pelindung mata selain melindungi dokter dari percikan

darah dan saliva pasien, juga melindungi pasien dari percikan saliva dokter yang

merawatnya.

4) Penutup yang disposable

Yang dimaksud penutup adalah penutup yang menutupi permukaan yang

kemungkinan terkontaminasi seperti pemegang lampu unit, kepala alat roentgen,

atau alat lain yang susah dicuci dan didesinfeksi. Dengan memakai penutup yang

disposable ini maka penutup tersebut dapat dibuang setiap selesai perawatan

pasien.

5) Hand piece atau contra angle

Pada pemakaian alat dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan banyak

percikan saliva atau darah yang akan beterbangan di udara sehingga bisa

mengakibatkan terjadinya kontaminasi. Jika dapat bekerja dengan rubber dam

tentu keadaan ini akan bisa teratasi. Selain jenis handpiece atau contra angle yang

bukan kecepatan tinggi, sebaiknya dipilih yang autoclaveable.

6) Pencucian tangan

Pencucian tangan in harus betul-betul bersih sesudah melakukan perawatan

pada penderita. Hal yang sama juga dilakukan sesudah terkontaminasi dan

sebelum meninggalkan ruang praktek. Pencucian tangan dimulai dari siku ke

bawah.

7) Pembersihan percikan darah

Semua percikan darah yang mengenai dental unit, peralatan gigi, dan alat-alat

yang dipakai harus dibersihkan. Pembersihan ini mula-mula dapat dilakukan

dengan air dan sabun kemudian dilakukan desinfeksi, misalnya dengan larutan

hipoklorida. Oleh sebab itu, harus diusahakan agar selama perawatan hanya tejadi

sedikit perdarahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam 1 mL darah terdapat

1x10⁷ virus.

8) Hati-hati dengan alat tajam dan jarum suntik

Semua alat tajam dan runcing yang kemungkinan bisa melukai tangan harus

dipakai dengan hati-hati. Jarum suntik yang sudah dipakai sebaiknya jangan

disarungi lagi tetapi langsung saja dibengkokkan dan dibuang. Pembuangannya

16

Page 17: skripsi revisi 3

bersama alat atau bahan disposable lain serta tampon pada tempat yang

berdinding kaku.

Gambar 3. Operator yang menggunakan peralatan lengkap ketika melakukan

tindakan pembedahan (Bonnie, 2011)

4. Pencegahan Penularan

Suatu kenyataan bahwa penularan virus hepatitis anatara dokter gigi dengan

pasien serta antara pasien dengan pasien terjadi karena kelalaian dalam tindakan

pencegahan.Berpegangan pada standar perawatan dari suatu profesi saja tidak

merupakan jaminan terhadap pertanggung-jawaban pencegahan penularan.

Kadang-kadang dituntut suatu standar yang lebih tinggi misalnya pemeriksaan

darah secara rutin dari kelompok pengidap virus hepatitis B (Sachs, cit. Lesmana,

1993).

17

Page 18: skripsi revisi 3

Berbagai cara yang dibuat untuk mencegah berkontak dengan VHB. Sebagai

contoh yang spesifik dari tindakan pencegahan yaitu dengan mengikuti langkah-

langkah: sarung tangan harus digunakan ketika sedang melakukan semua tindakan

yang berpotensi terdapat bahan-bahan yang terinfeksi; pakaian pelindung harus

dipakai dan dilepas sebelum meninggalkan area kerja; masker dan pelindung mata

harus dipakai untuk mencegah dari cipratan atau materi terlepas yang beresiko

menular; hanya menggunakan jarum sekali pakai; jarum harus langsung dibuang

kedalam tempat khusus; permukaan meja harus dibersihkan menggunakan bahan-

bahan kimia seperti kombinasi phenol sintesis dengan iodofor, kombinasi phenol

dengan alcohol, chlorine compound, atau sodium hipoklorit (Jawetz dkk, 2007) .

Untuk perawatan pasien pengidap khususnya, yaitu (Lesmana, 1993):

a. Gunakan low speed bur untuk menghindari menyemprotnya cairan dari dalam

mulut,

b. Hindari tertusuknya tangan dalam sarung tangan oleh alat-alat tajam,

c. Bila sudah ada luka, bungkus dahulu dengan plaster anti air, sebelum

memakai sarung tangan,

d. Bila mungkin pasien pengidap dirawat yang terakhir, dan

e. Masukkan segera semua sampah ke dalam kantung plastik sebelum

membuangnya ke tempat sampah.

Pada kelompok penduduk yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan

infeksi virus hepatitis B juga dapat dilakukan pencegahan melalui progam

penyuluhan kesehatan. Sebagai contoh, orang yang sering menyalahgunakan obat-

obatan tertentu seperti orang kecanduan obat bius dengan cara menyuntikkan obat

tersebut melalui intravena harus diberikan penyuluhan akan bahaya penularan

infeksi virus hepatitis B melalui satu jarum suntik untuk beberapa orang tanpa

disterilkan terlebih dahulu (Darmono, 1993).

Pencegahan infeksi virus Hepatitis B dapat dilakukan melalui non imunisasi

dan imunisasi. Pencegahan non imunisasi dapat dilakukan dengan cara,

menghindari kontak dengan darah maupun cairan tubuh pasien yang terinfeksi

virus Hepatitis B, tidak menggunakan jarum suntik dan alat kedokteran yang tidak

steril, dan cara-cara pencegahan umum lainnya (Murdiyati, 2011). Sedangkan

18

Page 19: skripsi revisi 3

pencegahan dengan melalui imunisasi terdiri dari 2 cara yaitu imunisasi pasif,

dengan memberikan suntikan Hepatitis B Imuno Globilin (HBIG) yang digunakan

untuk melindungi pasien dari infeksi Hepatitis B rekuren setelah transplantasi hati,

sedangkan imunisasi aktif dengan memberi suntikan vaksin hepatitis B (Lesmana,

1993).

Pemberian HBIG dianggap kurang efektif karena hanya akan menunda infeksi

selama 6 bulan, sedangkan pemberian vaksin ternyata sangat bermanfaat, karena

tubuh akan membentuk zat anti yang dapat bertahan cukup lama dengan titer yang

lebih tinggi. Pada penderita hepatitis B yang telah sembuh, akan terdapat zat anti

dalam darah yang dapat bertahan seumur hidup (Lesamana, 1993).

Vaksinasi aktif perlu diberikan kepada mereka yang belum atau kurang

memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (HBsAb negatif atau positif dengan titer

kurang dari 10 IU/I) yang dianggap kurang protektif, sedangkan resiko akan

kontak dengan virus hepatitis B adalah tinggi atau sedang. Mereka yang perlu

divaksinasi (Kosasih dan Sukiman, 1992) :

a. Pekerja bidang kesehatan atau kedokteran, terutama bila ada peluang bagian

tubuhnya tertusuk oleh jarum atau benda tajam : dokter spesialis bedah, spesialis

THT, dokter umum, dokter beserta semua pegawai yang bekerja di laboratorium,

unit hemoliadisis, dinas transfusi darah dan unit bedah mayat. Pegawai paramedik

: perawat, bidan, teknisi. Pegawai non medik, misalnya dibagian binatu,

pembersihan dan lain-lain.

b. Pasien yang sering mendapatkan transfusi darah atau komponen darah seperti

penderita hemophilia, talasemia, anemia aplastik dan sebagainya.

c. Mereka yang bepergian ke daerah endemik dan atau mereka yang sering ada

kontak seksual ekstra-marital dengan partner yang berganti-ganti.

d. Kontak dalam keluarga dengan penderita hepatitis B akut atau kronik atau

pengidap, terutama bila merupakan suami atau istri.

e. Bayi lahir dari ibu yang mengidap HBsAg.

Pemakaian secara luas masih jauh dari yang diharapkan karena mahalnya

harga vaksin yang ada.

5. Terapi

19

Page 20: skripsi revisi 3

Pengobatan terhadap infeksi VHB masih jauh dari harapan, karena tidak

adanya pengobatan yang efektif sampai saat ini, meskipun banyak penemuan baru

serta kemajuan dibidang tersebut. Selain itu, pengobatan penyakit itu masih sangat

mahal sehingga hanya sebagian kecil penderita yang dapat diobati (Widjaja,

2001).

Interferon alfa adalah obat yang diakui oleh FDA untuk pengobatan hepatitis

B. Hasil pengobatan dengan interferon pada penderita dari suku bangsa asia hanya

menghasilkan kurang dari 5% penderita yang hilang HBsAg nya dan sekitar 10-

15% hilang HBeAg nya. Akhir-akhir ini, analog nukleosida, seperti lamivudin (3-

thiacytidine), menunjukkan efek yang lebih kuat dalam menekan replikasi VHB.

Keuntungan lamivudin adalah dapat diberikan secara peroral dan efek sampingnya

minimal (Widjaja, 2001).

Perkembangan analog nukleosida yang baru seperti adefoir, entecavir,

lobucavir, dan FTC sedang dalam taraf penelitian uji klinis taraf akhir.

Diharapkan obat tersebut atau kombinasinya dapat mencegah timbulnya mutasi

dan memberi penekanan maksimal terhadap replikasi VHB ( Widjaja, 2001).

6. Sterilisasi

Semua peralatan medis maupun non medis yang ada dalam ruangan praktek

harus diusahakan sesteril mungkin (Darmono, 1993).

a. Peralatan medis harus:

1) Direbus paling sedikit 30 menit dalam air yang mendidih setiap kali akan

digunakan untuk melakukan perawatan atau tindakan medis. Sebelum alat itu

direbus harus direndam dalam antiseptik beberapa menit dan dicuci dulu

dengan air sabun. Untuk melakukan tindakan ini harus menggunakan sarung

tangan.

2) Diulas dengan alkohol 70%, setiap sehabis digunakan dalam rongga mulut

atau kontak dengan darah dan ludah.

3) Menggunakan jarum dan syringe yang steril pada waktu melakukan

injeksi. Sebaiknya digunakan disposable injection yang masih dijamin

sterilitasnya dan setelah selesai digunakan jarum tersebut harus dirusak agar

tidak digunakan untuk kepentingan yang lain.

20

Page 21: skripsi revisi 3

b. Peralatan non medis

1) Tempat untuk meletakkan alat selama melakukan perawatan dan tindakan

medis harus sesering mungkin diulas dengan alkohol 70%.

2) Gelas, yang digunakan untuk kumur-kumur selama perawatan juga harus

segera disterilkan setelah dipakai.

3) Meja, kursi gigi, dan sputum yang diperkirakan kontak dengan darah dan

ludah, tempat meletakkan, alat yang telah disterilkan harus sesering mungkin

diulas dengan alkohol atau antiseptik yang lain.

4) Cone x ray, pengatur focus lampu harus sering diulas dengan alkohol 70%

atau antiseptik yang lain.

21

Page 22: skripsi revisi 3

BAB III

PEMBAHASAN

Tertularnya dokter gigi akibat ketika praktek dapat bisa dihindari. Penelitian

adanya HbsAg dan antibodinya, menunjukkan bahwa profesi dokter gigi

mempunyai resiko tinggi tertular infeksi ini yang cukup tinggi dibandingkan

dengan penduduk biasa. Dengan sendirinya dokter gigi juga dapat menularkan

infeksi ini kepada pasiennya. Salah satu penelitian di Amerika menunjukkan

bahwa prevalensi penyakit ini pada dokter gigi sebesar 13%, sedangkan pada

penduduk biasa hanya 4% (Darmawan, 1994).

Masalah yang menyulitkan bagi dokter gigi adalah bila penderita mengidap

hepatitis B yang gejalanya tidak nyata. Untuk itu, sebaiknya dokter gigi mengikuti

prosedur yang berlaku. Prosedur perawatan gigi dan mulut yang biasanya

dilaksanakan untuk menghindari tertular serta menularkan hepatitis B. Prosedur

perawatan umum ini tetap belum menjamin untuk tidak tertular hepatitis B, namun

dapat mengurangi resiko kemungkinan tetular.

Setiap pasien yang datang ke tempat praktek harus diperlakukan sesuai

dengan prosedur yang berlaku. Prosedur yang pertama kali dilakukan adalah

anamnesis. Anamnesis sangat penting karena kita bisa mengetahui apabila pasien

tersebut menderita suatu penyakit menular atau tidak. Pertanyaan yang dapat kita

tanyakan antara lain nama, alamat, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat kesehatan diri

sendiri, riwayat kesehatan keluarga, dan sebagainya.

22

Page 23: skripsi revisi 3

Setelah itu dilakukan pemeriksaan inra oral dan ekstra oral. Kemudian

dilakukan tindakan sesuai dengan diagnosis yang sudah ditetapkan. Semua itu

merupakan tindakan yang dilakukan jika pasien tidak menderita suatu penyakit

menular, seperti hepatitis B.

Prosedur penanganan pasien dengan penyakit menular berbeda dengan

penanganan pasien yang tidak memiliki penyakit menular, sehingga dalam

keadaan ini pemeriksaan sesuai prosedur merupakan suatu kontroversi. Di satu sisi

pasien ingin segera mendapatkan pengobatan secepat mungkin karena sakit gigi

yang tidak tertahankan lagi, namun disisi lainnya dokter gigi merasa takut tertular

penyakit dari pasiennya. Maka diperlukan suatu tindakan yang tidak berbahaya

bagi dokter maupun pasiennya.

Perlu diperhatikan agar dokter gigi memakai barrier selengkap mungkin

dalam menangani pasien. Sarung tangan, masker, apron, kacamata, dan penutup

kepala dapat memperkecil kemungkinan kita tertular penyakit dari pasien.

Sterilisasi alat-alat juga perlu dilakukan agar virus, bakteri, maupun fungi yang ada

bisa mati.

Bila perawatan sudah selesai dilakukan, dimana pasien dengan penyakit

menular itu bukan merupakan pasien terakhir, kita harus melakukan tindakan

untuk mencegah penularan penyakit terhadap pasien selanjutnya yang sedang

berada di ruang tunggu. Contoh tindakan yang bisa dilakukan adalah pengamanan

dan pembuangan limbah tercemar. Sarung tangan yang sudah digunakan dan kapas

atau cotton roll yang digunakan oleh pasien yang menderita penyakit menular

perlu mendapatkan penanganan khusus. Sampah yang berasal dari praktek

kedokteran gigi ini disebut sampah tercemar. Sampah tersebut dapat dimasukkan

kedalam kantong khusus yang diberi label BIOHAZARD. Selanjutnya sampah

tercemar ini dapat diserahkan ke Rumah Sakit untuk kemudian dimusnahkan atau

dibuang ke incinerator.

Pada saat dilakukan tindakan pada pasien dengan penyakit menular sangat

mungkin timbul percikan saliva, aerosol, maupun debris yang tercecer ke

lingkungan kerja kita, seperti ke karpet atau dental unit. Maka dalam hal ini perlu

segera dilakukan dekontaminasi atau pencegahan penularan dengan cara

23

Page 24: skripsi revisi 3

menggunakan bahan desinfektan pada benda-benda tersebut agar pasien

berikutnya akan lebih aman dari penularan penyakit.

Spitton atau tempat pembuangan air kumuran pasien juga perlu mendapatkan

penanganan khusus sebab kalau tidak, ada kemungkinan pasien sesudahnya atau

bahkan kita dapat tertular penyakit. Penularan mungkin juga terjadi karena salah

satu media penularan hepatitis B melalui saliva, darah, dan sputum box ini menjadi

tempat yang menampung saliva pasien. Cara menanganinya adalah dengan

melakukan dekontaminasi dengan natrium hipoklorit 0,5%-1% selama 10 sampai

15 detik dan kemudian dicuci dengan menggunakan H₂0₂. Apabila masih terdapat

sisa jaringan yang tertinggal maka akan timbul buih. Kemudian selanjutnya

dilakukan desinfeksi pada spitton tersebut misalnya dengan menggunakan

Glutaraldehid 2% atau etanol 70%.

Semua hal diatas memiliki keuntungan dan kerugian. Salah satu

keuntungannya adalah semua hal yang dilakukan dapat mencegah penularan

penyakit dari pasien kedokter gigi maupun sebaliknya sehingga kita dapat bekerja

dengan tenang. Sedangkan kerugiannya adalah peralatan untuk desinfeksi dan

sterilisasi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

24

Page 25: skripsi revisi 3

DAFTAR PUSTAKA

Bonnie. 2011. Operasi Bedah – Perkembangan Teknologi Kedokteran.

http://www.rumahsakitmitrakemayoran.com/operasi-bedah-

perkembangan-tekonologi-kedokteran/. on-line.

Darmawan, A. 1994. Penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut penderita hepatitis

B dalam kedokteran gigi. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti

26: 91-99.

Darmono, M. 1993. Pencegahan infeksi virus hepatitis B (VHB) dalam praktek

kedokteran gigi. Jurnal PDGI 3: 36-41.

Habie, M.Z., Pakasi, R.D., Arif, M. 2000. Studi Tes Reversed Passive

Hemaglutination Assay (RPHA) Pada Penderita Tersangka Hepatitis

Virus B. Jurnal Medika Nusantara 21: 165- 169.

Hasan, I. 2005. Epidemiology of Hepatitis B. The Indonesian Journal of Internal

Medicine 37: 231-234.

Jawetz., Melnick., Adelberg’s. 2007. Hepatitis Viruses. Medical Microbiology. Ed.

ke-24. Hlm 466-485.

Lesmana, R. 1993. Risiko penularan virus hepatitis B dalam kedokteran gigi.

Jurnal PDGI 3: 30-34.

Lobb, W.K., McGrath, P.J., dan Zakariasen, K.L. 1996. Infection Control

recommended for the dental office and the dental laboratories. The

Journal of the American Medical Association 127: 672-679.

Lubis, N.U. 1996. Progam imunisasi masal hepatitis B di Indonesia. Cermin Dunia

Kedokteran 110: 19-20.

McCullough, M.J. dan Savage., N.W. 2005. Oral viral infections and the

therapeutics use of antiviral agents in dentistry. Australian Dental

Journal. 50: S31.

25

Page 26: skripsi revisi 3

Misnadiarly. 1993. Situasi penyakit hepatitis B dan C hepatomikobakterialis di

Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia XXI. Hlm. 224-

228.

Murdiyanti, S. 2011. Imunisasi hepatitis.

http://www.citty-notes.co.cc/2011/03/imunisasi-hepatitis.html. on-

line.

Newark,J. 2009. Hepatitis B. Microbiology.

http://microbiology2009.wikispaces.com/hepatitis+B. on-line.

Setiyohadi, B. 2006. Anamnesis. Ilmu Penyakit Dalam. Ed. ke-4. Hlm 20-21.

Sande, V.D., Waight, P., Mendy, M., Solon, P.R., Hutt, P., Fulford, T., dkk. 2006.

Long Term Protection againts Carriage of Hepatitis B Virus after Infant

Vacctination. The Journal of Infectious Diseasess 193: 1528-1535.

Widjaja, S. 1997. Perkembangan terbaru virus hepatitis B. Majalah Kedokteran

Indonesia 47: 573-579.

Widjaja, S., Simon, S., Ali, S., Listiawan, I., Yap, SH. 1998. Beberapa aspek

epidemiologi hepatitis B dan hepatitis C di kelurahan Kalianyar,

Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia 48: 241-248.

Widjaja, S., Magdalena, M., Salim, Z. 1999. Efek Imunopotensiasi Levamisol

Terhadap Sintesis Zat Anti Pada Mahasiswa yang diimunisasi Hepatitis

B. Majalah ilmu Fakultas Kedokteran USAKTI 18: 69-76.

Widjaja, S. 2001. Berbagai aspek infeksi virus hepatitis B dan C di Jakarta.

Majalah Kedokteran Indonesia 51: 147-152.

26