skripsi revisi 3.doc

162
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan normatif asli yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistem hukum yang berlaku. Hingga sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum. Dilihat dari segi umurnya, maka hukum tertua yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, menyusul kemudian hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum tersebut memiliki ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem hukum di Indonesia disebut sistem hukum majemuk. 1 Inilah yang menyebabkan sistem hukum di Indonesia menjadi lemah. 1 Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994), Cet. Ke-1, h. 9.

Transcript of skripsi revisi 3.doc

Page 1: skripsi revisi 3.doc

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan normatif asli yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat

mempengaruhi tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistem

hukum yang berlaku. Hingga sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum.

Dilihat dari segi umurnya, maka hukum tertua yang berlaku di Indonesia adalah

hukum adat, menyusul kemudian hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem

hukum tersebut memiliki ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem hukum di

Indonesia disebut sistem hukum majemuk.1 Inilah yang menyebabkan sistem hukum

di Indonesia menjadi lemah.

Menurut Daud Ali, hukum Islam di Indonesia secara garis besar dapat dipilah

menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum

Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang

disebut muamalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau

ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan dan wakaf.

Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan

kemasyarakatan, bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana yang belum

1Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994), Cet. Ke-1, h. 9.

Page 2: skripsi revisi 3.doc

2

memerlukan peraturan perundangan karena lebih jelas sebagai tergantung kepada

tingkatan iman dan takwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri.2

Hukum Islam secara formal yuridis pertama kali berlaku sebagai hukum

positif yaitu pada tahun 1974 dengan dikeluarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan.3 Tidak sekedar itu, pada tahun 1977 lahir Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang hanya berlaku bagi umat Islam.4

Puncaknya dari keberhasilan umat Islam yaitu dengan diberlakukannya Kompilasi

Hukum Islam sebagai pijakan hukum dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 1

tahun 1991 yang merupakan hasil Loka Karya Nasional.5

Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud kongkrit dalam rangka

pemberlakukan hukum Islam bagi Umat Islam di Indonesia.6 Dengan kata lain,

Kompilasi Hukum Islam secara khusus hanya berlaku bagi rakyat Indonesia yang

beragama Islam yang terdiri dari tiga bidang, yakni bidang hukum perkawinan,

bidang pewarisan dan bidang perwakafan.

Karena Kompilasi Hukum Islam merupakan produk manusia (sekalipun yang

menyusunnya adalah para ulama), maka tidak bisa dipungkiri pasal-pasal yang ada di

dalamnya masih terdapat banyak kekurangan dan juga tidak menutup kemungkinan

2Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2003), Cet. Ke-6, h. 23

3Ibid, h. 244

?Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2004), Cet. Ke-1, h. 638

5Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 148

6Ibid, h. 150

Page 3: skripsi revisi 3.doc

3

terdapat kesalahan. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah pasal-pasal yang

berkenaan dengan waris, karena permasalahan merupakan syariat yang diperintahkan

oleh Allah Ta’ala.

Ilmu waris adalah salah satu cabang ilmu dalam dinul Islam yang sangat

urgen, karena di dalamnya terkandung begitu banyak masalah yang cukup pelik dan

kompleks. Kepelikan dan kekomplekan masalah waris ini tidak hanya terdapat dalam

teori-teori ilmu fara’idh sebagaimana yang telah dibahas secara eksplisit oleh para

ulama fikih klasik maupun kontemporer. Kenyataannya, dalam kehidupan

bermasyarakat juga terdapat banyak masalah waris yang kadang-kadang tidak sesuai

seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau sudah ada namun belum dijelaskan

secara eksplisit oleh para ulama.

Para ulama juga telah menyepakati hal ini, mengingat harta dan

pembagiannya merupakan obyek yang sangat diminati manusia. Biasanya harta

warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan.

Maka Allah Ta’ala perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam kitab-Nya dengan

penjelasan yang detail dan terperinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan

berdasarkan hawa nafsu. Membaginya di antara para ahli waris sesuai dengan

tuntunan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuinya.7 Allah Ta’ala

mengisyaratkan hal ini dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 11:

7Abdullah Ali Bassam, Taisiirul al-‘Allam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Terj: Kathur Suhardi, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, (Jakarta: Darul Falah. 2003), Jilid III, Cet. Ke-2, h. 725.

Page 4: skripsi revisi 3.doc

4

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pembahasan tentang waris terdapat pada

buku II bab I pasal 171 sampai dengan bab VI pasal 214, atau dengan kata lain

terdapat 43 pasal yang membahas tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.8

Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya

merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk

Syafi’iyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.9 Dari

beberapa ketentuan waris yang merupakan pengecualian antara lain yang berkaitan

tentang bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal tersebut

menjelaskan bahwa ayah berhak mendapatkan 1/3 (sepertiga) dari harta waris jika

pewaris tidak memiliki anak.

Bunyi pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang terdapat di dalam buku II pada

bab III Kompilasi Hukum Islam tertulis sebagai berikut:

”ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.”10

Ayah yang menerima bagian seperenam dalam keadaan pewaris ada

meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Qur’an maupun rumusannya dalam

fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan jika tidak ada

8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo. 2004), Cet. Ke-4. h. 155.

9Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 196

10

?Ibid, h. 157.

Page 5: skripsi revisi 3.doc

5

far’u al-warits, maka ayah mendapatkan ‘ashabah (sisa).11 Sebagaimana Firman

Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 11:

Namun jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada

anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, dan tidak pula tersebut

dalam kitab fikih manapun.12 Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan

ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu

seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana

yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.13

Dari keterangan di atas, terlihat jelas bahwa pembahasan tentang bagian waris

ayah yang tidak mempunyai far’u al-warits dalam Kompilasi Hukum Islam sangatlah

berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya,

padahal Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif yang penyusunannya

berdasarkan kitab-kitab fikih para ulama dan telah menjadi rujukan para hakim dalam

menyelesaikan berbagai persoalan. Ini tentu bertolak belakang dengan keinginan

11Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 197

12Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 32913

?Ibid

Page 6: skripsi revisi 3.doc

6

seluruh rakyat Indonesia yang mengharapkan adanya persamaan dalam penerapan

hukum.

Terkait penjelasan di atas, penulis melihat bahwa masalah ini menarik untuk

dikaji lebih lanjut dan mendalam. Melakukan pembahasan yang intens terhadap bunyi

Kompilasi Hukum Islam pada pasal 177. Berdasarkan pemaparan di atas, maka judul

yang penulis angkat adalah “HAK WARIS AYAH MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM (Studi Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam)”

Alasan memilih permasalahan ini karena penulis melihat adanya kesenjangan

antara pendapat Kompilasi Hukum Islam dengan pendapat jumhur ulama terkait

masalah kewarisan ayah.

A. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-

pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.14 Dan sesuai dengan

pemaparan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam

skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah ?

2. Bagaimana tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi Hukum Islam

tentang bagian waris ayah ?

B. Tujuan Penelitian

14Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993), Cet. Ke-7, h. 312.

Page 7: skripsi revisi 3.doc

7

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam skripsi

ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris

ayah.

2. Untuk mengetahui tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi Hukum

Islam tentang bagian waris ayah.

A. Signifikansi Penelitian

Dari hasil penelitian ini, penulis berharap karya ini memiliki manfaat sebagai

berikut:

1. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang

pendapat Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah.

2. Sebagai rujukan bagi yang berkeinginan melakukan penelitian lebih lanjut

terhadap permasalahan ini dengan tema yang sama dari sudut pandang yang

berbeda.

3. Sumbangsih bagi khazanah keilmuan Islam, terutama dibidang hukum Islam

bagi mahasiswa/i STIS Hidayatullah khususnya dan masyarakat pada

umumnya.

4. Sebagai tambahan kelengkapan referensi kepustakaan bagi perpustakaan STIS

Hidayatullah.

A. Definisi Operasional

Page 8: skripsi revisi 3.doc

8

Agar tidak terjadi interpretasi dalam penafsiran, maka dari judul skripsi yang

penulis angkat yaitu “Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Pasal

177 Kompilasi Hukum Islam)” dapat diurai kata dan artinya sebagai berikut:

1. Hak Waris Ayah : Hak mempunyai beberapa makna,

yakni benar, bagian, milik, kepunyaan, kewenangan.15 Jadi, maksud penulis

dalam pembahasan ini adalah kewenangan warisan ayah dari pewaris.

2. Kompilasi Hukum Islam : Kompilasi Hukum Islam adalah salah satu

kitab hukum yang menjadi landasan Negara Indonesia sebagaimana yang

tercantum pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.16

Jadi yang penulis maksudkan di sini adalah bagian waris 1/3 ayah jika tidak

bersamanya anak seperti yang tertuang di dalam ketentuan pasal 177 Kompilasi

Hukum Islam.

A. Kajian Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini, pendekatan yang digunakan lebih cenderung

kepada segala sesuatu yang bersifat kepustakaan (library research). Dengan

demikian, secara tidak langsung penulis dituntut untuk menelaah secara intens

berbagai bentuk bahan tulisan, seperti buku, majalah, jurnal, artikel dan lain-lain yang

temanya seputar dengan tema yang sedang dikaji.

15Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa. 2008), h. 502

16

?Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,…,h. 15.

Page 9: skripsi revisi 3.doc

9

Tema umum dalam penelitian ini adalah hukum waris. Oleh karena

pembahasan tentang hukum waris, terkhususnya di Negara Indonesia ini sangat luas

dan kompleks, maka penulis lebih mengkerucutkan lagi (focus research) obyek kajian

penulis pada permasalahan tertentu, sehingga lebih efektif dan terarah dalam

penulisannya. Akhirnya penulis menetapkan permasalahan ketentuan warisan bagi

ayah yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam, terutama tentang kewarisan

ayah seperti yang tertuang pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Masalah ini akan

menjadi tema khusus dalam penelitian ini. Sehingga judul yang penulis angkat dalam

penelitian ini adalah “Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi

Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam).

Sejauh yang penulis temukan, ada sebuah buku dengan judul “Fiqih

Mawaris” yang ditulis bersama oleh dua pakar hukum dari IAIN Sunan Gunung Jati

serang, yakni Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. Dalam buku tersebut tertulis

bahwa : Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat

jumhur fuqaha. Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian, salah satunya

terkait bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Bagian ayah

menurut jumhur adalah 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan far’ul al-waris, dan

menerima ashabah apabila pewaris tidak meninggalkan far’ul al-waris. Sedangkan

dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan

far’ul al-waris adalah 1/3 bagian.17

17Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 196-197

Page 10: skripsi revisi 3.doc

10

Selain itu, penulis juga menemukan sebuah skripsi yang ditulis oleh Yusron

Hamdi, mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang

dengan judul “Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177

Kompilasi Hukum Islam)”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kandungan pasal

177 Kompilasi Hukum Islam sama seperti yang ada di dalam nash al-Qur’an dan fiqih

mawaris. Akan tetapi perbedaan kandungan dalam pasal tersebut ketika mayit

meninggalkan ayah, suami dan ibu. Dalam hal ini fiqih mawaris mengikuti ijtihad

Umar bin Khattab yang mana ayah mendapatkan ashabah, suami mendapatkan 1/3

bagian sedangkan ibu mendapat 1/3 sisa (setelah diambilnya bagian suami),

permasalahan ini disebut dengan gharrawain. Akan tetapi, Kompilasi Hukum Islam

memiliki ijtihad yang lain dengan menetapkan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian

dengan pertimbangan kemaslahatan berdasarkan asas tanggung jawab yang adil dan

berimbang, yang mana ayah memiliki tanggung jawab yang besar daripada ibu,

sehingga memberikan kepastian atas bagian ayah.18

Perlu penulis tegaskan, bahwa meskipun objek yang diangkat penulis sama

dengan skripsi di atas, yakni tentang hak waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam.

Namun ada perbedaan yang sangat signifikan antara skripsi yang penulis susun

dengan skripsi Yusron Hamdi, yakni terkait sudut pandang terhadap interpretasi

kandungan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini, skripsi Yusron tersebut

berusaha mendukung kepastian hukum terkait penetapan 1/3 bagian ayah apabila

18

?Yusron Hamdi, “Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam)”, Skripsi, (Malang: UIN Malik Ibrahim, 2011)

Page 11: skripsi revisi 3.doc

11

tidak bersama far’ul al-waris, sedangkan hasil yang ingin penulis angkat dalam

skripsi ini, yakni mengkritisi penetapan 1/3 bagian ayah sebagai sebuah kepastian

hukum.

Penulis menyatakan bahwa sejauh ini di perpustakaan STIS Hidayatullah telah

ada beberapa skripsi yang membahas waris dan Kompilasi Hukum Islam. Namun

penelitian-penelitian mengenai waris dan Kompilasi Hukum Islam yang sudah ada

hanya terbatas pada satu bagian pembahasan dalam masalah waris ataupun Kompilasi

HukumIslam, sebagaimana uraian berikut ini:

1. Skripsi Halimatussa’diah dengan judul “Praktik Pembagian Waris di

Kelurahan Teritip-Balikpapan Timur”. Dalam penelitian tersebut, peneliti

menggunakan penelitian lapangan dengan terjun langsung ke masyarakat

untuk melihat realita praktik pembagian warisan menurut hukum waris Islam.

2. Skripsi Binti Musfiroh dengan judul “Zina Waris Menurut Mazhab Hanafi

dan Maliki”. Dalam tulisannya, peneliti lebih cenderung meneliti satu bagian

dari kewarisan yaitu tentang status waris anak zina. Sumber atau data primer

dari penelitian ini adalah kitab karangan Ulama Hanafiyyah dan kitab

karangan Ulama Malikiyyah.

3. Skripsi Fajriyah dengan judul “Waris Bagi Pembunuh Menurut Hukum Imam

Syafi’i”. Sumber atau data primer dari penelitian ini adalah kitab al-Umm jilid

VII.

Page 12: skripsi revisi 3.doc

12

4. Skripsi Nur Inayah dengan judul “Analisis Terhadap Pasal 49 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Wewenang Pengadilan

Agama Dalam Pelaksanaan Hukum Waris Islam”. Dalam penelitian ini, yang

menjadi data primer peneliti adalah Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989, tepatnya yang terdapat pada poin Nomor 2 alinea ke-6.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, peneliti belum menemukan satupun

karya skripsi yang mengangkat tema tentang bagian waris ayah dalam sudut

pandang Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku bagi warga

Negara yang beragama Islam. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan sebagai

pengisi kekosongan tersebut.

A. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) dengan mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang

tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal, dan sumber data lain yang ada

kaitannya dengan skripsi yang penulis angkat.

b. Sifat Penelitian

Page 13: skripsi revisi 3.doc

13

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, maksudnya penulis tidak hanya

menyusun dan mengumpulkan data saja, tetapi juga menganalisa serta

menginterpretasi terhadap data tersebut.

2. Data dan Sumber Data

a. Data

Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah bunyi pasal 177 KHI

tentang bagian waris ayah.

b. Sumber Data

1) Data Primer

Data primer yang menjadi rujukan utama yaitu pasal 177

Kompilasi Hukum Islam

2) Data sekunder

Adapun data sekunder yang menjadi bahan acuan penulis adalah

karya-karya yang terkait dengan obyek pembahasan serta yang

mendukung sumber data primer, baik dari buku, majalah, jurnal,

artikel, skripsi, internet dan lain-lain yang akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

3) Data Tertier

Adapun data tertier yang penulis gunakan yaitu berupa kamus dan

ensiklopedi.

3. Metode Analisis Data

Page 14: skripsi revisi 3.doc

14

1) Content analisis, yaitu menganalisis data dalam upaya yang relevan

sebagai dasar bagi penulis untuk mengkaji teori dan mencari hubungan

fungsional dengan tema penelitian.

2) Studi analisis, yaitu upaya menganalisis lebih mendalam pasal 177

Kompilasi Hukum Islam terkait persoalan bagian waris 1/3 ayah

dengan menggunakan data kualitatif, yakni data yang tidak bisa diukur

secara langsung.19

A. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini penulis kemukakan sebagai upaya

menjawab rumusan masalah yang telah penulis paparkan di atas. Skripsi ini akan

dibagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup yang kemudian akan

disusun menjadi beberapa bab yang masing-masing terbagi dalam beberapa sub-bab.

BAB I, yang berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, definisi operasional,

kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II, merupakan landasan teori yang meliputi definisi waris, Sejarah waris,

Asas-asas Kewarisan, Syarat dan Rukun Waris, , Sebab dan Penghalang Waris, Ahli

Waris, dan bagian waris ayah menurut ulama.

BAB III, disini akan menjelaskan secara rinci tentang Sejarah Pembentukan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum

19Cf. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2001), h. 67

Page 15: skripsi revisi 3.doc

15

Islam, Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam, Isi dari Kompilasi Hukum Islam, dan

Ketentuan Waris Ayah Dalam Kompilasi Hukum Islam

BAB IV, berisi analisa penulis sebagai peneliti terhadap pandangan Kompilasi

Hukum Islam berkaitan dengan bagian waris ayah yang kemudian disesuaikan

kebenarannya berdasarkan tinjauan hukum Islam.

BAB V, adalah bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

Page 16: skripsi revisi 3.doc

16

KETENTUAN WARIS

A. WARIS

1. Definisi Waris

a. Menurut Hukum Islam

Waris berasal dari bahasa Arab, yakni warasa yang memiliki arti:

mengganti, memberi, dan mewarisi.20 Sedangkan warisan yaitu harta

peninggalan yang terdiri atas barang-barang berwujud atau tidak berwujud,

bernilai atau tidak bernilai, dan ada pada saat seseorang meninggal dunia.21

Lafaz mawarits ( yang merupakan jamak dari lafaz (المواريث mirats (

(ميراث yang merupakan mashdar dari kata waratsa-yaritsu-miiratsan.

Maknanya menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang

kepada orang lain.22 Maksudnya adalah harta peninggalan yang ditinggalkan

oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).23

Sedangkan pengertian mawarits menurut istilah ialah seseorang yang

mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia dengan sebab-

20Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, …, h. 35521

?Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1991), Jilid 17, Cet. Ke-1, h. 249

22

?Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari’atil Islamiyah ‘ala Dhauil Kitab Was Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta:Gema Insani Press. 2007), Cet. Ke-10, h. 33.

23

?Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby. 1958), h. 9.

Page 17: skripsi revisi 3.doc

17

sebab tertentu dan dengan syarat tertentu.24 Muhammad Ali ash-Shabuni

mengatakan bahwa mawarits adalah: “Pindahnya hak milik orang yang

meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak

menurut hukum syara’ “.25 Dengan demikian lafaz mawarits tidaklah terbatas

pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda semata, tetapi juga mencakup

yang selainnya. Ayat-ayat al-Qur’an banyak menegaskan hal ini, di antaranya

Allah Ta’ala berfirman dalam pada QS. An-Naml ayat 16:

Hal ini juga kita dapati dalam hadits Nabi Muhammad SAW:

26العلماءورثةاألنبياء

Ilmu mawarits sering disebut juga ilmu fara’idh, yang secara bahasa

berarti ketentuan,27 yaitu ilmu mengenai pembagian waris secara

pemahaman dan penghitungan.28 Kamil Muhammad ‘Uwaidah

mendefinisikan fara’idh sebagai bagian yang telah ditentukan bagi ahli

waris.29

24Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006), Cet. Ke-1, h. 126.

25

?Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits fi Asy-Syari’atil …, h. 4126

?Ibid, h. 33.27

?Abu Malik K amal, Shahih Fiqih as-sunnah, Terj, Abu Ihsan al-Atsari dan Amir Hamzah Fachiruddin, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka at- Tazkia. 2009), Jilid 4,

28Muhammad al-Utsaimin, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj: Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media. 2009), Cet. Ke -2, h. 482.Cet. Ke-2, h. 581

Page 18: skripsi revisi 3.doc

18

Selain itu dinamai fara’idh karena di dalam ketentuan kewarisan Islam

yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak yang telah ditentukan bagiannya

dibandingkan dengan yang tidak ditentukan bagiannya.30

Ilmu fara’idh mencakup tiga unsur penting,31 yaitu:

1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.

2) Pengetahuan tentang bagian ahli waris.

3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan

pembagian harta warisan.

b. Menurut Hukum Adat

Hukum waris menurut hukum adat adalah segala sesuatu yang memuat

garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta

warisan, pewaris dan waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan

penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.32 Menurut

Soepomo hukum waris adat adalah segala sesuatu yang memuat peraturan-

peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-

barang harta benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.33

29Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ fi Fiqhi An-Nisa, Terj: Abdul Ghoffar, Fikih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), Cet. Ke-17, h. 503

30

?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam... h. 5.31

?Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Ahkamul Mawarits fi Fiqhil-Islami, Terj: Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris Terlengkap, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing. 2011), Cet. Ke-3, h. 13.

32Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990), h. 7 33

?Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fak. Hukum UII, 1967), h. 2

Page 19: skripsi revisi 3.doc

19

Sedangkan menurut Ter Haar,34 hukum waris adat adalah meliputi aturan-

aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan pengoperan

kekayaan yang berwujud material dan immaterial dari suatu generasi kepada

generasi lainnya.

2. Sejarah Waris

a. Waris Sebelum Islam

Pada zaman Jahiliyah orang-orang Arab merupakan bangsa yang gemar

mengembara dan berperang. Kehidupan mereka bergantung dari hasil

perniagaan rempah-rempah serta hasil jarahan dan rampasan perang dari

bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Mereka beranggapan bahwa kaum

lelaki yang sudah dewasa saja yang mampu dan memiliki kekuatan dan

kekuasaan dalam memelihara harta kekayaan mereka. Anggapan semacam di

atas berlaku pula dalam hal pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka

saat itu memberikan harta warisan kepada kaum laki-laki dan tidak kepada

perempuan, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan bukan kepada anak-

anak, kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia serta kepada

orang-orang yang diadopsi.35 Menurut mereka, anak-anak yang belum dewasa

dan kaum perempuan termasuk keluarga yang belum atau tidak pantas

menjadi ahli waris. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa janda

34

?Tokoh Belanda yang pernah tinggal di Indonesia dan ekaligus sebagai pakar dalam hukum yang ikut mendukung teori resepsi dalam Islam yang diciptakan oleg Christiaan Snouck Hurgronje.

35Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putra. 1972), t.t, h. 424

Page 20: skripsi revisi 3.doc

20

perempuan dari orang yang meninggal termasuk wujud harta warisan yang

dapat diwariskan kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.36

Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa dasar-dasar pewarisan pada

zaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:37

1) Al-Qarabah atau pertalian kerabat

Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak seperti ketika Islam telah

diturunkan. Hanya ahli waris laki-laki yang dewasa saja yang diberi hak

menerima warisan. Karena merekalah yang secara fisik mampu

memainkan senjata menghancurkan musuh. Adapun mereka yang

mendapatkan hak mewarisi adalah: anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman dan anak laki-laki paman.

2) Al-Hilf wa al-Mu’aqadah atau janji setia

Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama antara

dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh

kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak

meninggal. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut:

“Darahku adalah darahmu, pertumpahan darahku adalaha pertumpahan

darahmu, perjuanganmu adalah perjuanganku, perangku adalah

perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi

hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku 36

?Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, … h. 3 37

?Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia…, h. 362

Page 21: skripsi revisi 3.doc

21

karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai penganti

nyawaku dan akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti

nyamamu.”38

3) Al-Tabanni atau pengangkatan anak

Kehadiran anak angkat dimasukkan sebagai keluarga besar bapak

angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung. Praktis,

hubungan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu dari

keduanya meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta

peninggalannya.

b. Waris Masa Awal Islam

Dalam hukum kewarisan Islam, kaum kerabat yang berhak menerima

harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa saja,

melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan

Islam tidak dikenal adanya perjanjian prasetia dan pengangkatan anak

(adopsi).39 Pembatalan dan penghapusan sebab-sebab pewarisan yang

berdasarkan janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi) di atas bukan

berarti Islam melarang umatnya untuk menjadikan seseorang sebagai anak

angkat atau teman perjanjian. Namun hendaklah diingat bahwa anak angkat

dan perjanjian dalam hukum Islam bukanlah ahli waris. Pemberian harta

38Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif. 1981), t.t, h. 14 39Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 8

Page 22: skripsi revisi 3.doc

22

kepada anak angkat atau perjanjian dapat dilakukan melalui hibah atau

wasiat.40

1. Asas-asas Kewarisan

Hukum waris Islam sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Ilahi yang

disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Sunnah-nya, di

dalamnya terkandung beberapa asas. Asas-asas tersebut adalah sebagi berikut:

a. Asas Ijrabi

Asas ijrabi yang terkandung dalam hukum kewarisan Islam mengandung

arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah Ta’ala tanpa

digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur ijrabi

(memaksa=compulasary) itu terlihat terutama dari kewajiban ahli waris untuk

menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan

jumlah yag telah ditentukan oleh Allah Ta’ala di luar kehendaknya sendiri.

Oleh karena itu, calon pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan

hartanya setelah dia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya,

secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan

yang sudah dipastikan.

40

?Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika. 1993), t.t, h. 170-171

Page 23: skripsi revisi 3.doc

23

b. Asas Bilateral

Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang menerima hak atau

bagian warisan dari kedua belah pihak, yaitu kerabat dari keturunan laki-laki

dan kerabat dari keturunan perempuan. Ahli waris kerabat lain yang tidak

disebut secara nyata dalam al-Qur’an dapat diketahui dari penjelasan yang

diberikan oleh Rasulullah SAW. juga dapat diketahui dari perluasan

pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya kewarisan

kakek dapat diketahui dari kata abun dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa

Arab artinya kakek secara umum. Demikian juga dengan nenek, dapat

dikembangkan dari perkataan ummun yang terdapat dalam al-Qur’an.

c. Asas Individual

Asas ini dimaksudkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam, harta

warisan dapat dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara

perseorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan

dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli

waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa

terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah

ditentukan.

Page 24: skripsi revisi 3.doc

24

d. Asas Keadilan Berimbang

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum kewarisan Islam harus

senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang

diperoleh dengan kewajiban yang harus ditunaikan. Laki-laki dan perempuan

misalnya, mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang

dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam

sistem kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari

pewaris pada hakekatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap

keluarganya.

Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris

berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap

keluarganya. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan

keluarganya, oleh karena itu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

e. Asas Akibat Kematian

Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang

lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang

mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak

dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan selama

orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala

bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik

secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah

Page 25: skripsi revisi 3.doc

25

kematiannya, tidak termasuk dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

Ini berarti bahwa hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk

kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang.41

f. Asas Personalitas Keislaman

Asas ini mengandung pengertian bahwa peralihan harta warisan hanya

terjadi apabila antara pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam.42

2. Rukun dan Syarat Waris

a. Rukun Waris

Rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:43

1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik yang hakiki maupun

hukum yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.

Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan

merupakan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah

meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmy yaitu suatu

kematian yang dinyatakan atas keputusan hakim atas dasar beberapa

sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau

hak.44

41Amir Syarifuddin, Hukum Waris Islam …, h. 45 42

?Idris Jakfar dan Taufik Yahya, Hukum Kewarisan Nasional, (Jakarta: Tinta Mas. 1995), h. 28-29.

43

?Sayyid Sabiq, Fiqhul-Sunnah.., h. 426 44Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif

di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2009), h. 2

Page 26: skripsi revisi 3.doc

26

2) Ahli Waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan

salah satu sebab-sebab pewarisan.

Pengertian ahli waris disini adalah orang yang mendapat harta waris

karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak

semua keluarga dari pewaris dinamakan ahli waris. Demikian pula orang

yang berhak mendapatkan harta waris mungkin saja dia di luar ahli

waris.45

3) Warisan, dinamakan juga denga tirkah atau mirats, yaitu harta atau

hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris.

Dalam berbagai kitab, khususnya kitab mazhab disebutkan yang

dimaksud dengan tirkah pada dasarnya secara umum adalah segala apa

yang ditinggalkan oleh si mayit berupa harta yang telah bersih dari hak

orang lain, dan berupa hak yang bernilai harta.46

a. Syarat-syarat Waris.

Dalam kitab fiqh al-sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan syarat dari waris-

mewarisi adalah sebagai berikut:47

1) Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum.

45

?Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris, …h. 48 46Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer Islam, (Jakarta: Kencana.

2004), Cet. Ke-1, h. 238 47

?Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, h. 426-427

Page 27: skripsi revisi 3.doc

27

Kematian pewaris menurut ulama para fiqih dibedakan menjadi 3

macam,48 yakni:

a) Mati haqiqiy, yaitu hilangnya nyawa seseorang, baik kematian itu

disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan

meninggal, atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni

kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang.

b) Mati hukmiy, yaitu suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis

hakim, baik pada hakekatnya seseorang benar-benar masih hidup

maupun dalam kemungkinan antara hidup dan mati.49

c) Mati taqdiriy, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqiy dan bukan

hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.

2) Hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, walaupun secara

hukum seperti anak dalam kandungan.

Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan,

sedang perpindahan hak itu hanya didapat melalui jalan waris. Oleh

karena itu, setelah pewaris meninggal dunia, maka ahli warisnya harus

betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata. Orang yag

telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi dalam memiliki harta,

48

?Dian Khoirul Umam, Fiqih Mawaris, …h. 45 49

?Komite Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Ahkamul Mawarits…, h. 61

Page 28: skripsi revisi 3.doc

28

baik dengan cara waris ataupun lainnya, bahkan ia sudah tidak

memerlukannya lagi.50

3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang

pewarisan.

Dengan ketiga syarat ini, diharapkan para ahli waris berupaya untuk

tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk

menerima harta peninggalan si pewaris.

1. Sebab-sebab dan Penghalang Waris

a. Sebab-Sebab Waris

Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban dari orang yang telah

meninggal dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan

harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru terjadi manakala ada sebab-sebab

yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab tersebut

adalah: 1). Pernikahan (al-Zaujiyyah), 2). Kekerabatan (al-Qarabhah) dan 3)

wala’.51

1) Pernikahan (al-Zaujiyyah)

Hubungan pernikahan terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang

sah dan terjadi antara suami –istri sekalipun hubungan intim dan khulwah

(berkumpul bersama) belum dilakukan. Dalil yang menyebutkan adanya

50Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris..., h. 49 51Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, …, h. 28

Page 29: skripsi revisi 3.doc

29

ikatan pernikahan sebagai salah satu sebab terjadinya waris mewarisi

adalah firman Allah ta’ala dalam surah an-Nisa’ ayat 12:

……

Adapun pernikahan yang fasid dan bathil (rusak), maka di antara

mereka tidak ada hubungan waris-mewarisi

2) Kekerabatan (al-Qarabah)

Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal

dunia kepada yang masih hidup adalah hubungan kekerabatan antara

keduanya, yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.

Kekerabatan merupakan sebab adanya mewarisi yang paling kuat karena

kekerabatan merupakan unsur kualitas adanya seseorang yang tidak dapat

dihilangkan begitu saja.52Allah Ta’ala berfirman dalam surah al-Anfal

ayat 75:

3) Wala’

52Ibid, h. 118

Page 30: skripsi revisi 3.doc

30

Wala’ yaitu kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syar’i

antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabka

adanya pembebasan budak. Atau antara seseorang dengan seorang

lainnya disebabkan adanya akad muwalah atau muhalafah.53 Wala’ ini

memberikan hak ashabah yang mengukuhkan orang yang memerdekakan

budak dan ahli waris ashabah-nya karena diri mereka sendiri, baik

kemerdekaan diberikan karena suka rela, karena hukum wajib, zakat

ataupun kafarat berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW:54

�ن عن #م�ا وس�لم علي�ه الل�ه ص�لى النبي عن عمر اْب ق�ال: إن55أعتق لمن الوالء

b. Penghalang-Penghalang Waris

Yang dimaksud dengan penghalang-penghalang waris adalah hal-hal,

keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya

mendapat warisan tidak mendapatkannya.56 Adapun penghalang-penghalang

saling mewarisi adalah sebagai berikut:

1) Pembunuhan

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang

dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi

53

?Suparman Usman dan Yususf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 29 54

?Muhammad al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita…, h. 487 55Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih al-Bukhari, Bab al-Wala-u liman A’taqa wa Mirats al-Laqith

(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy), t.t56

?Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 32

Page 31: skripsi revisi 3.doc

31

penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang

dibunuhnya.57 Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan

oleh Ibnu Abbas r.a.:

#ه قتيال قتل من رث وا له يكن لم ن وإ يرثه، ال فإن لله- ا ل رسو ن# فإ لده وا أو لده و ن كا إن و غيره58ميراث لقاتل : ليس سلم- قضى و عليه الله صلى

2) Berlainan Agama

Para ahli waris telah bersepakat bahwasanya berlainan agama antara

orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah

satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama

terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi antara satu agama

dengan syari’at yang berbeda.59 Dasar hukum berlainan agama sebagai

penghalang waris adalah hadis dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya

Rasulullah SAW bersabda:

�رث ال��لم ي��ا المس��ر الك��ا وال ف��ر الك��لم ف� }رواه المس

60}المسلم

57

?Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam…, h. 76 58

?Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Kewarisan dalam Syari’at Islam…, h. 54 59Komite Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Ahkamul Mawarits…, h. 47 60

Page 32: skripsi revisi 3.doc

32

3) Budak

Budak menjadi penghalang mewarisi karena status dirinya yang

dipandang sebagai tidak cakap melakukan perbuatan hukum, demikian

kesepakatan mayoritas ulama.61 Status seorang budak tidak dapat menjadi

ahli waris karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus

hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang

budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat

mewariskan harta peninggalannya, sebab dia sendiri dan segala harta yang

ada pada dirinya adalah milik tuannya.62

Oleh karena itu budak tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik itu

budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak

mukatab (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan

membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan

(karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan

anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama

mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi

sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari

Abdullah bin Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda tentang budak

yang dimerdekakan sebagian:

?Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy), t.t

61

?Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia…, h. 405-406 62A. Hasan, Al-Faraidh…, h, 43

Page 33: skripsi revisi 3.doc

33

63منه عتق ما قدر على يرث

A. AHLI WARIS

1. Definisi Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya

dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga pewaris termasuk

ahli waris. Demikian pula orang yang berhak mendapat harta waris mungkin saja

di luar ahli waris.64 Orang yang berhak menerima warisan adalah orang yang

mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris

yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu,

mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya

persyaratan sebagai berikut:

a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.

b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima

warisan.

c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih

dekat.65

1. Kewajiban Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan

63

?Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy)

64Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam…, h. 61 65

?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam…, h. 211

Page 34: skripsi revisi 3.doc

34

Apabila seseorang meninggal dunia, harta benda peninggalannya tidak boleh

langsung dibagikan kepada ahli warisnya. Jika ada hal-hal yang bersangkut paut

dengan warisan, maka hal itu harus segera diselesaikan lebih dahulu. Adapun hal-

hal yang bersangkut paut dengan warisan yang harus diselesaikan lebih dahulu

adalah:

a. Tahjiz atau biaya penyelenggaraan jenazah, yaitu segala yang diperlukan

seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada

penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya

memandikan, mangkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan

sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir.

b. Hutang-hutang yang berkaitan dengan harta peninggalan. Apabila pewaris

mempunyai hutang, maka hutang itu harus diselesaikan terlebih dahulu

sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris.66

c. Apabila pewaris telah berwasiat agar sebagian hartanya diberikan kepada

seseorang, maka wasiat itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum harta

warisan dibagikan kepada ahli waris. Dan banyaknya wasiat tidak boleh

melebihi sepertiga tirkah.67

d. Membagi sisa harta peninggalan kepada ahli waris sesuai dengan petunjuk

al-Qur’an, hadits dan ‘ijma ulama.

2. Golongan Ahli Waris

66Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris…, h. 57 67

?Ibid, h. 43

Page 35: skripsi revisi 3.doc

35

Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri dari 2 golongan:

a. Golongan Laki-laki

Ahli waris dari golongan laki-laki yang telah disepakati ada 15 orang. Para

ulama syariat telah bersepakat mengenai pewarisan lima belas golongan laki-

laki tersebut.68 Mereka adalah:69

1) Al-Ibn, yaitu anak laki-laki.

2) Ibnul Ibn, yaitu cucu laki-laki (anak laki-laki bagi anak laki-laki), dan

seterusnya yaitu cucu laki-laki bagi anak laki-laki hingga ke bawah.

3) Al-Ab, yaitu bapak (ayah).

4) Al-Jadd min Jihati al-Ab, yaitu kakek, bapak bagi bapak hingga ke

atas, yaitu kakek bagi bapak dan kakek bagi kakek, dan seterusnya dari

pihak laki-laki.

5) Al-Akhusy-Syaqiq, yaitu saudara laki-laki seibu sebapak.

6) Al-Akhu –li Ab, yaitu saudara laki-laki sebapak, bukan seibu.

7) Al-Akh-li Um, yaitu saudara laki-laki seibu, bukan sebapak.

8) Ibnul Akhisy-Syaqiq, yaitu keponakan laki-laki seibu sebapak, anak

laki-laki bagi saudara laki-laki seibu sebapak.

68

?Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam Al-Mawarits fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, …,. h. 230.

69

?A. HAsan, Al-Fara’id…, h. 22-23

Page 36: skripsi revisi 3.doc

36

9) Ibnul-Akh-li Ab, yaitu keponakan laki-laki sebapak, anak laki-laki bagi

saudara laki-laki sebapak.

10) Al-‘Ammusy-Syaqiq, yaitu paman seibu sebapak, saudara laki-laki

seibu sebapak bagi bapak.

11) Al-‘Ammu-li Ab, yaitu paman sebapak, saudara laki-;aki sebapak bagi

bapak.

12) Ibnul-‘Ammusy-Syaqiq, yaitu sepupu laki-laki seibu sebapak, anak

laki-laki bagi paman seibu sebapak.

13) Ibnul-‘Ammu-li Ab, yaitu sepupu laki-laki sebapak, anak laki-laki

paman sebapak.

14) Az-Zauj, yaitu suami.

15) Al-Mu’tiq, yaitu budak laki-laki yang dimerdekakan.

b. Golongan Perempuan

Para ulama bersepakat ada sepuluh orang dari golongan perempuan yang

bisa mendapatkan warisan.70 Mereka adalah:71

1) Al-Bint, yaitu anak perempuan.

2) Bintul-Ibn, yaitu cucu perempuan, anak perempuan bagi anak laki-laki

atau anak perempuan bagi cucu laki-laki hingga ke bawah.

3) Al-Umm, yaitu ibu (bunda).

70Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah…, h. 128

71

? A. Hasan, Al-Fara’id…, h. 24

Page 37: skripsi revisi 3.doc

37

4) Al-Jaddah min Jihatil-Umm, yaitu nenek dari pihak ibu, yakni ibu bagi

ibu, ibu bagi nenek dan seterusnya.

5) Al-Jaddah min jihatil-Ab, yaitu nenek dari pihak bapak, yakni ibu bagi

bapak, ibu bagi kakek dan seterusnya.

6) Al-Ukhtusy-Syaqiqah, yaitu saudara perempuan seibu sebapak.

7) Al-Ukhtu-li Ab, yaitu saudara perempuan sebapak.

8) Al-Ukhtu li-Umm, yaitu saudara perempuan seibu.

9) Az-Zaujah, yaitu isteri.

10) Al-Mu’tiqah, yaitu budak perempuan yang dimerdekakan.

3. Ash-habul Furudh

Al-Fardh menurut bahasa ialah ketentuan atau ketetapan.72 Sedangkan

menurut istilah adalah bagian yang telah ditentukan secara syar’i untuk ahli waris

tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd, dan tidak kurang

kecuali dengan jalan ‘aul.73 Di dalam al-Qur’an pembagian waris secara fardh

yang telah ditentukan jumlahnya merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu setengah

(1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan

seperenam (1/6).74

a. Setengah (1/2)

72Ibid, h. 33 73

?Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits…, h. 106 74

?Ibid, h. 107

Page 38: skripsi revisi 3.doc

38

Para ahli waris yang menerima bagian setengah (1/2) ada lima orang, yaitu

suami, seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-

laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak.75

1) Suami

Suami berhak mendapat setengah dengan syarat jika tidak bersama-

sama dengan keturunan si mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak

perempuan serta cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan laki-

laki, serta generasi ke bawahnya.

2) Anak perempuan

Anak perempuan berhak mendapat setengah jika memenuhi dua

syarat. Pertama, tidak bersama dengan anak laki-laki yang menjadi

mu’ashib-nya. Kedua, tidak bersama dengan anak perempuan si mayit

yang lain.

3) Cucu perempuan dari anak laki-laki.

Cucu perempuan dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya- berhak

mendapatkan setengah jika memenuhi tiga syarat. Pertama, tidak

bersama-sama dengan mu’ashib-nya. Kedua, tidak bersama-sama dengan

saudara perempuan lainnya dan anak perempuan pamannya yang

sederajat. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan mayit

yang derajatnya lebih tinggi.

75

?Ibid, h. 111

Page 39: skripsi revisi 3.doc

39

4) Saudara perempuan kandung

Saudara perempuan kandung berhak mendapatkan setengah bagian

jika memenuhi empat syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan

saudara laki-laki sekandung (mu’ashibnya). Kedua, tidak bersama-sama

dengan saudara perempuan sekandung lainnya. Ketiga, tidak bersama-

sama dengan ahli waris keturunan mayit, yaitu anak laki-laki, anak

perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan keturunan di

bawahnya. Keempat, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur si

mayit dari golongan laki-laki, yaitu ayah dan kakek serta keturunan ke

atasnya.

5) Saudara perempuan sebapak

Saudara perempuan sebapak berhak mendapatkan bagian waris jika

memenuhi lima syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan saudara laki-

lakinya yang sebapak. Kedua, tidak bersama-sama dengan saudara

perempuan sebapak yang lainnya. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli

waris keturunan mayit (secara mutlak). Keempat, tidak bersama-sama

dengan ahli waris leluhur mayit dari golongan laki-laki. Kelima, tidak

bersama-sama dengan saudara sekandung, baik laki-laki maupun

perempuan.

b. Seperempat (1/4)

Page 40: skripsi revisi 3.doc

40

Ahli waris yang mendapatkan seperempat (1/4) hanya dua orang, yaitu

suami dan istri.76

1) Suami

Suami mendapatkan bagian seperempat setelah memenuhi satu syarat,

yaitu bila suami mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si

mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari

anak laki-laki serta cucu perempuan dari anak laki-laki, baik keturunan

itu berasal darinya atau dari suami yang lain.

2) Istri

Untuk mendapatkan warisan seperempat, istri harus memenuhi satu

syarat, yaitu ia mewarisi harta peninggalan tidak bersama-sama dengan

ahli waris keturunan si mayit (suami).

c. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) hanya satu

orang, yakni istri. Untuk mendapatkan seperdelapan, istri harus memenuhi

satu syarat, yakni ia harus mewarisi bersama-sama dengan ahli waris

keturunan si mayit, baik yang berasal dari dirinya atau bukan.

d. Dua pertiga (2/3)

Ahli waris yang menerima bagian warisan dua pertiga (2/3) ada empat

orang yang semuanya dari golongan perempuan. Mereka yaitu dua orang anak

76Ibid, h. 121

Page 41: skripsi revisi 3.doc

41

perempuan atau lebih, dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki atau

lebih, saudara-saudara perempuan sekandung, dan saudara-saudara

perempuan sebapak.

1) Dua orang anak perempuan atau lebih

Dua orang anak perempuan atau lebih akan mendapatkan bagian dua

pertiga apabila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya anak

perempuan berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, dua orang anak

perenpuan atau lebih itu tidak mewarisi bersama-sama saudara laki-laki

yang menjadikannya ‘ashabah bersama (‘ashabah ma’al ghair).

2) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki.

Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki akan

mendapatkan warisan dua pertiga dengan memenuhi tiga syarat. Pertama,

hendaklah mereka berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, tidak mewarisi

bersama-sama ahli waris yang menjadikannya ‘ashabah bersama. Ketiga,

tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang lebih

tinggi derajatnya, yaitu anak laki-laki atau anak perempuan.

3) Dua orang saudara sekandung atau lebih

Dua orang saudara sekandung atau lebih bisa mewarisi harta waris

dengan bagian dua pertiga jika telah memenuhi empat syarat. Pertama,

minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersama-

sama dengan saudara laki-laki sekandung. Ketiga, mereka tidak bersama-

Page 42: skripsi revisi 3.doc

42

sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak

bersama-sama dengan leluhur si mayit.

4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih

Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih berhak mendapatkan

harta waris yang dua pertiga jika telah memenuhi lima syarat. Pertama,

minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersama-

sama dengan saudara laki-laki seayah. Ketiga, mereka tidak bersama-sama

dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak bersama-

sama dengan leluhur si mayit. Kelima, mereka mewarisi tidak bersama-

sama dengan saudara saudara-saudara kandung, baik laki-laki maupun

perempuan.

e. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang menerima sepertiga (1/3) ada dua orang, yaitu ibu dan

anak-anak ibu.

1) Ibu

Ibu dapat mewarisi sepertiga dari harta waris secara utuh bila telah

memenuhi tiga syarat. Pertama, ia tidak bersama-sama dengan ahli waris

keturunan si mayit. Kedua, ibu tidak bersama-sama dengan saudara-

saudaranya (baik laki-laki dan perempuan, saudara-saudaranya sekandung,

seayah, seibu, atau campuran).

1) Anak-anak ibu (saudara-saudara laki-laki dan perempuan seibu)

Page 43: skripsi revisi 3.doc

43

Anak-anak ibu dapat mewarisi sepertiga bagian dari harta waris bila

telah memenuhi 3 syarat. Pertama, hendaknya anak-anak ibu berjumlah

dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, tidak

mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Ketiga,

tidak mewarisi bersama-sama dengan ahli waris leluhur si mayit dari

golongan laki-laki.

f. Seperenam (1/6)

Ahli waris yang mendapatkan bagian tetap seperenam (1/6) ada 7 orang,

yaitu ayah, ibu, kakek, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara

perempuan seayah, dan anak ibu (baik laki-laki maupun perempuan).

1) Ayah

Ayah mewarisi bagian seperenam dari harta waris jika telah memenuhi

satu syarat, yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan

si mayit, baik laki-laki maupun perempuan.

2) Ibu

Ibu dapat mewarisi seperenam bagian setelah memenuhi satu syarat,

yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit atau

Page 44: skripsi revisi 3.doc

44

beberapa (berkumpulnya dua orang atau lebih saudara laki-laki atau

perempuan, atau salah satu dari mereka).

3) Kakek

Kakek yang dimaksud di sini adalah jadd shahih (kakek langsung dari

si ayah), bukan jadd ghair shahih (kakek yag hubungan nasabnya dengan

si mayit diselingi oleh perempuan). Adapun kakek berhak mendapat

seperenam bagian dari warisan ketika telah memenuhi 2 syarat. Pertama,

kakek bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Kedua, kakek

tidak bersama-sama dengan ayah.

4) Nenek

Nenek dapat mewarisi seperenam bagian warisan jika talah memenuhi

satu syarat, yaitu tidak bersama-sama dengan ibu.

5) Seorang cucu perempuan atau lebih

Seorang cucu perempuan atau lebih dapat mendapatkan warisan

seperenam jika telah memenuhi dua syarat. Pertama, dia tidak bersama-

sama dengan mu’ashib-nya yang sederajat dengan cucu laki-laki. Kedua,

dia tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang

derajatnya lebih tinggi, kecuali bila mewarisinya bersama-sama dengan

anak perempuan atau cucu perempuan yang sederajat lebih tinggi.

6) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih

Page 45: skripsi revisi 3.doc

45

Seorang saudara perempuan seayah atau lebih dapat mewarisi bagian

tetap seperenam bila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya dia

mewarisi bersama-sama saudara perempuan sekandung yang mewarisi

bagian tetap ½ (setengah). Kedua, dia tidak bersama-sama dengan

mu’ashib-nya (saudara laki-laki seayah)

7) Anak ibu

Anak-anak mewarisi bagian tetap seperenam jika telah memenuhi tiga

syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit

secara mutlak. Kedua, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur dari

golongan laki-laki. Ketiga, jika anak ibu hanya sendiri.

4. ‘Ashabah

Secara bahasa ‘ashabah adalah bentuk masdar dari kata at-ta’shib, yang

berasal dari kata ‘ashshoba-yu’ashshibu-ta’shib yang berarti kerabat si mayit

sebapak.77 Sedangkan secara istilah ‘ashabah adalah orang-orang yang tidak

mempunyai saham-saham (bagian-bagian) tertentu, tetapi mengambil bagian yang

tersisa setelah diambil bagian ashhabul-furudh, atau mengambil seluruh harta

peninggalan apabila tidak ada seorang ahli waris ashhabul-furudh.78

‘Ashabah ada dua macam, yakni ‘ashabah nasabiyah, yaitu berdasarkan

adanya ikatan kekerabatan, dan ‘ashabah sababiyah, yaitu berdasarkan adanya

77Ibid, h. 251-252 78

?Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah…, h.34

Page 46: skripsi revisi 3.doc

46

sebab memerdekakan budak.79 ‘Ashabah Nasabiyah terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu ‘ashabah bil nafsi, ‘ashabah bil ghair dan ‘ashabah ma’al ghair.80

a. ‘Ashabah bil Nafsi

‘Ashabah bil Nafsi terdiri dari seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada

suami dan saudara laki-laki seibu.81 Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu anak

laki-laki; cucu laki-laki pancar laki-laki; bapak; kakek; saudara laki-laki

sekandung; saudara laki-laki sebapak; anak laki-laki saudara laki-laki

sekandung; anak laki-laki saudara laki-laki sebapak; paman sekandung;

paman sebapak; anak laki-laki paman sekandung; anak laki-laki paman

sebapak.82

b. ‘Ashabah bil Ghair

Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabah bil Ghair adalah seorang

atau sekelompok anak perempuan bersama seorang atau sekelompok anak

laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang

atau sekelompok saudara laki-laki manakala sekelompok laki-laki tersebut

menjadi ahli waris ‘ashabah bil nafsi.83 Mereka yang termasuk ‘ashabah bil

ghair ada empat kelompok. Pertama, satu anak perempuan atau lebih bersama

79

?Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, h. 432 80

?Ahmad Rifa’i Arief, Taisir al-Ma’sur fi ‘Ilmi al-Faraidh, (Ponpes Daar El-Qalam: Tanggerang. t.t), h. 6

81

?Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 75 82Ibid83

?Ibid, h. 77

Page 47: skripsi revisi 3.doc

47

anak laki-laki yang sederajat dengannya. Kedua, satu cucu perempuan dari

anak laki-laki atau lebih bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki yang

sederajat dengannya. Ketiga, satu orang saudara perempuan kandung atau

lebih bersama saudara kandung. Dan Keempat, satu orang saudara sebapak

atau lebih bersama saudara laki-laki sebapak.84

c. ‘Ashabah ma’al Ghair

Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabah ma’al ghair adalah

seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun

sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak

perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak

laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-lakai atau bapak, serta tidak ada

saudaranya yang laki-laki yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah

bil ghair.85 Mereka hanya ada dua kelompok yang berasal dari ashhabul

furudh, yaitu seorang saudara perempuan kandung atau lebih bersama anak

perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang saudara

perempuan sebapak atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan

dari anak laki-laki.86

A. BAGIAN WARIS AYAH

84

?Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 262-264 85Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, h. 438 86

?Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 266

Page 48: skripsi revisi 3.doc

48

Ayah selamanya tidak bisa dihalangi untuk mendapatkan warisan, namun dia

dapat menghalangi orang lain. Sedangkan warisan yang diterimanya bisa berbeda-

beda sesuai perbedaan furu’ ahli ‘waris keturunan’ yang mewarisi, baik laki-laki

maupun perempuan.87 Dalam hal ini, warisan untuk ayah dipengaruhi oleh tiga

keadaan:

1. Ayah mewarisi dengan fardh atau hanya bagian tetap. Bagian ayah seperenam

(1/6) ketika ada furu’ laki-laki yang mewarisi, yaitu anak laki-laki, cucu laki-

laki dari anak laki-laki dan keturunan di bawahnya. Dasar atau dalil dari

keadaan ini adalah firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 11:

Apabila ayah telah mengambil fardh-nya, maka sisa harta warisan itu untuk

ahli waris laki-laki yang terdekat dan furu’ laki-laki lebih berhak mendapatkan

‘ashabah daripada ayah.88 Contohnya: seorang wafat meninggalkan istri, ayah dan

anak laki-laki. Asal masalah kasus ini adalah 24, dengan perincian: istri

mendapatkan seperdelapan (1/8) karena ada furu’ yang mewarisi; ayah

mendapatkan seperenam (1/6) karena ada furu’ laki-laki yang mewarisi, yaitu

anak laki-laki; dan anak laki-laki mendapatkan sisa sebagai ‘ashabah.

Istri 1/8 3

Ayah 1/6 4

87

?Ibid, h. 201 88Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 202

Page 49: skripsi revisi 3.doc

49

Anak laki-laki Sisa 17

2. Ayah mewarisi hanya dengan cara ‘ashabah. Ayah dapat mengambil semua

harta waris atau sisa harta setelah pembagian fardh, dengan syarat dia seorang

diri atau tidak ada furu’sama sekali, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan demikian, jika si mayit hanya meninggalkan ayah, maka ayah dapat

mengambil seluruh harta warisan. Dalam keadaan itu, ayah menjadi ashabah

bil nafsi.

3. Jika dalam keadaan Gharrawain

Masalah gharrawain hanya terjadi manakala para ahli waris yang ditinggalkan

oleh pewaris terdiri atas ibu, ayah dan suami atau istri.89 Dalam kasus ini

berdasarkan petunjuk al-Qur’an, istri menerima furudh sebanyak ¼ karena

pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima furudh 1/3 karena pewaris tidak

menerima anak dan beberapa orang saudara. Jumlah furudh adalah 1/4 + 1/3 =

3/12 + 4/12 = 7/12. Ayah sebagai ‘ashabah akan mendapat 5/12. Jumhur ulama

tetap memahami furudh ibu 1/3 yag disebutkan dalam al-Qur’an itu sebagai 1/3

sisa harta sebagaimana bila ayah dan ibu itu didampingi oleh suami.90

Berdasarkan pemahaman jumhur ini ibu mendapat 1/3 dari ¾ (atau sisa

setelah diambil hak istri) menjadi ¼. Bila istri mendapat ¼ dan ibu juga

89Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 131 90

?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam …, h. 110-111

Page 50: skripsi revisi 3.doc

50

mendapat ¼ maka ayah sebagai ahli waris ‘ashabah mendapat ½. Dengan cara

begini hak ayah menjadi dua kali hak ibu.91

BAB III

SAJIAN DATA

A. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Sejarah Kompilasi Hukum Islam

Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk

pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawar Sadzali, MA pada

bulan Februari 1985 Dalam ceramahnya di depam mahasiswa IAIN Sunan Ampel

Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari

berbagai pihak. Apakah ini merupakan ide dari menteri agama sendiri ? Mengapa

demikian ? Karena kalau membaca buku “Prof. K.H. Ibrahim Husein dan

pembaharuan hukum Islam di Indonesia” maka kesan yang muncul seakan-akan

ide ini berpangkal dari pemikiran K.H. Ibrahim Husein yang kemudian

disampaikan kepada Prof. H. Bustanul Arifin SH, hakim agung  ketua muda 91

?Ibid, h. 111

Page 51: skripsi revisi 3.doc

51

Mahkamah Agung yang membawahi pengadilan agama yang menerima dan

memahami dengan baik.92

Menurut Abdul Chalim Mohammad, gagasan untuk melakukan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih Mahkamah

Agung terlibat dalam kegiatan pembinaan badan-badan peradilan agama dan

dalam penataran-penataran ketrampilan teknis justisial para hakim, agama baik

ditingkat nasional maupun regional. Selanjutnya, ia mengutip pidato sambutan

Bustanul Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para

alim ulama se-jawa timur tangal 16 oktober 1985 yang menyatakan bahwa dalam

rapat-rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departeman Agama telah

diperoleh kesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan-badan Peradilan

Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain dengan :

a. Memberikan dasar formal: kepastian hukum dalam bidang hukum acara

dan dalam susunan kekuasaan peradilan agama dan kepastian hukum

(legal security) dibidang hukum materil.

b. Demi tercapainya legal security bagi para hakim, bagi para justibelen

(orang awam) penarik keadilan maupun bagi masyarakat Islam sendiri

perlu aturan-aturan hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau 

dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang munakahat (perkawinan),

faraidl (kewarisan), dan wakaf.93

92Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia…, h. 31 93Ibid, h. 32

Page 52: skripsi revisi 3.doc

52

Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasannya, bahwa

perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan ini didasari oleh

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:94

a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain

hukum yang jelas yang dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

maupun oleh masyarakat.

b. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah

menyebabkan hal-hal: (1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa

yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), (2) tidak mendapat

penjelasan bagaimana menjalankan syariat itu (yanfidziyah), dan (3) akibat

kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-

alat yang tersedia dalam undang-undang dasar 1945 dan perundang-

undangan lainnya.

c. Di dalam sejarah Islam, pernah ditiga Negara, hukum Islam diberlakukan

sebagai perundang-undangan Negara: (1) di India pada masa Raja al Rijeb

yang menbuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal

dalam fatwa alamfiri, (2) di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan

nama majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan (3) hukum Islam pada tahun 1983

dikodifikasikan di Subang.95

94

?Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama, 1993/1994, h.135

95Amrullah Ahmad. Sf. Dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press), cet. Ke-1, h. 11-12

Page 53: skripsi revisi 3.doc

53

Kemudian gagasan Bustanul Arifin disepakati. Maka untuk itu, dibentuklah

tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKB)

Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.

25  tahun 1985, tertanggal 25 maret 1985. Dalam tim tersebut, Bustanul Arifin

dipercaya sebagai pimpinan umum dengan anggota tim yang meliputi para

pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras seluruh

anggota tim Bustanul Arifin mendekati para ulama, akhirnya keluar instruksi

presiden No. 1 tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang hukum

perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan, dan Buku III tentang hukum

perwakafan. Instruksi presiden tanggal 10 Juni 1991 itu kemudian ditindaklanjuti

oleh Menteri Agama dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 154

tahun 1991 tanggal 22 juli 1991.96

Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk; hukum

normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum

formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang  

pertama menggunakan pendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan

penghampiran struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua ini pun proses

legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara

formal untuk umat Islam, seperti PP Nomor 28 tahun 1977 tentang pewakafan,

UU Nomor 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji, dan UU Nomor

96Ibid.

Page 54: skripsi revisi 3.doc

54

38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kedua, materi-materi hukum Islam

diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara

formal, seperti UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU nomor 7

tahun 1989 tentang peredilan agama.

Berbeda dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam sejarahnya adalah

produk kebijakan hukum pemerintah yang proses penyusunannya didasarkan pada

hukum normatif Islam, terutama fiqih mazhab Syafi’i. Oleh karenanya, boleh jadi

hal itu membuat Kompilasi Hukum Islam (KHI) tampil dalam wajah yang tidak

akrab dengan hukum-hukum nasional dan internasional yang memiliki komitmen

kuat pada tegaknya masyarakat yang egaliter, pluralis, dan demokratis. Bahkan

disinyalir oleh sejumlah pemikir muslim bahwa alih-alih menjadi landasan agama

untuk demokratisasi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam beberapa

pasalnya mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi  di

Indonesia. Kalau pasal-pasal tersebut dibiarkan, maka Kompilasi Hukum Islam

(KHI) akan terus menerus turut menyuburkan praktik diskriminasi dalam

masyarakat, terutama terhadap perempuan dan kaum minoritas.

Tentu saja praktik ini bertentangan dengan produk-produk hukum nasional,

seperti UU Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan, undang-undang yang terakhir ini dirumuskan sebagai

konsekuensi logis dari ratifikasi Negara terhadap CEDAW (the Convention On

the Elimination of All From Discrimination Against Women), UU Nomor 39

Page 55: skripsi revisi 3.doc

55

tahun 1999 tentag HAM yang sangat menekankan upaya perlindungan dan

penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan UUD 1945 dan Amandemen

UUD 1945.

2. Landasan dan Rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

a. Landasan Kompilasi Hukum Islam

Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan kompilasi hukum

Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10

Juni 1991. Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang

perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah

ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam, maka

Kompilasi Hukum Islam itu yang memuat hukum materiil-nya dapat

ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden.

Pendapat tersebut antara lain didasarkannya pada disertasi dari A. Hamid

S. at-Tamimi. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Instruksi Presiden tersebut

dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara.

Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden, kedudukan

hukumnya adalah sama.97 Karena itu pembicaraan mengenai kedudukan

kompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden di maksud.

97Suny Ismail, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991), h. 44

Page 56: skripsi revisi 3.doc

56

Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari kompilasi ini

adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991

No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik Indonesia

No. 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan:

1) Bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991

tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh

Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

2) Bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu

dilaksanakan dengan sebaik-baiknyadan dengan penuh tanggung

jawab.

3) Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama

Republik Indonesia tentang pelaksaan Instruksi Presiden Republik

Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991.98

Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur

Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.

3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan

Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.99

98Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, h. 55-5699

?Ibid, h. 58

Page 57: skripsi revisi 3.doc

57

Bilamana kita berasumsi sesuai dengan Instruksi Presiden dan keputusan

Menteri Agama, kompilasi ini mempunyai kedudukan sebagai “Pedoman”,

dalam artian sebagai  petunjuk bagi para hakim peradilan agama dalam

memutuskan dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah

tergantung sepenuhnya dari para hakim dimaksud untuk menuangkan dalam

keputusan-keputusan mereka masing-masing, sehingga kompilasi ini akan

terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam

yurisprudensi peradilan agama. Dengan cara demikian, maka peradilan agama

tidak hanya sekarang berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang

sudah digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi justru

mempunyai peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan dan

sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.100

Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai masalah ini kiranya

juga patut diperhatikan bagaimana pemikiran dan keinginan para pakar hukum

kita tentang bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini

didudukkan dalam sistem hukum Islam. M. Yahya Harahap, misalnya dalam

tulisannya menyebutkan tujuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

disusun pada waktu itu adalah:

1) Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara

konkrit.

100Ibid

Page 58: skripsi revisi 3.doc

58

2) Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di

lingkungan peradilan Agama.

3) Dan sifat kompilasi bewawasan Nasional (bersifat supra sub kultural,

aliran satu madzhab) yang diperlakukan bagi seluruh masyarakat

Islam Indonesia, apabila timbul sengketa di depan sidang peradilan

agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas menentukan pilihan

dari sumber kitab fikih yang ada).

4) Serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang

lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.  

Dalam konteks sosiologi, kompilasi yang bersubstansi hukum Islam jelas

merupakan produk keputusan politik. Instrumen hukum politik yang

digunakan adalah Inpres No. 1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam

dalam tata hukum Indonesia, Kompilasi Hukum Islam bisa disebut sebagai

representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan

oleh penguasa politik pada zaman orde baru.101

Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai kedudukan

yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk

hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi,

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum

Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para pembuatnya. 101Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, h.144

Page 59: skripsi revisi 3.doc

59

Kehadirannya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan

politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde

baru.102

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi

perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa

melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi

politik demokratis melahirkan    hukum-hukum yang berkarakter

responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan

melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konsernvatif/ortodoks. Pengaruh

politik hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) akan menjadi karakter-

karakter politik hukum Islam di Indonesia.103 Pengaruh tersebut akan

membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum

agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara pancasila. Keberadaan

hukum Islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang

dicanangkan Negara. Di sini lalu proses filterisasi terhadap materi hukum

Islam oleh Negara.

Dengan demikian, secara ideologis Kompilasi Hukum Islam (KHI) berada

pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam

paradigma agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh umat Islam secara

kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan 102

? http://mohammadrafiul.blogspot.com/2010/05/ Makalah Kompilasi Hukum Islam, Tanggal 26 November 2012, Pukul 09.35

103Mohammad Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, h.675-676

Page 60: skripsi revisi 3.doc

60

sosial menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam

berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan

pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua  paradigm

yang  berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum

Islam di Indonesia. Karena itu Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan

satu-satunya hukum materil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan

yuridis dari Negara.104

a. Rujukan Kompilasi Hukum Islam

Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, kitab-kitab yang dijadikan

rujukan Pengadilan Agama pada dasarnya sangat beragam. Akan tetapi pada

tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.

B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 tentang kitab rujukan bagi para Hakim

Pengadilan Agama. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa

untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara,

maka para Hakim Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) dianjurkan agar

mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini:105

1) Al-Bajuri

2) Fathul Mu’in dengan Syarahnya

104

? http://mohammadrafiul.blogspot.com/2010/05/ Makalah Kompilasi Hukum Islam26 November 2012, Pukul 10.05

105Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam…, h. 21-22

Page 61: skripsi revisi 3.doc

61

3) Syarqawi ala Tahrir

4) Qulyibi/Muhalli

5) Fathul Wahab dengan Syarahnya

6) Tuhfah

7) Targhibul Musytaq

8) Qawaninusy Syar’iyah lisayyid Usman bin Yahya

9) Qawaninusy Syar’iyah lisayyid Shodaqah Dakhlan

10) Syamsuri lil Fara’idh

11) Bughyatul Mustarsyidin

12) Al-Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah

13) Mughnil Muhtaj106

Menurut Yahya Harahap, operasional dalam penelitian kitab-kitab fiqih

sebagai sumber Kompilasi Hukum Islam secara singkat sebagai berikut:

1) Penentuan kitab fiqih yang dijadikan bahan pengkajian (antara lain

I’natul Thalibin, Tharghibul Mukhtar, al-Fiqhu ‘ala Madzahibil

Arba’ah, Fiqhu Sunnah, Fathul Qadir, dan lain sebagainya).

106Ibid, h. 22

Page 62: skripsi revisi 3.doc

62

2) Pelaksanaannya dioercayakan kepada beberapa institut Agama Islam

Negeri (IAIN) yang penandatanganan kerjasamanya dilakukan tanggal

19 Maret 1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang

ditunjuk.

3) Dari kitab fiqih tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat pendapat

hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia.107

Dalam penelitian kitab-kitab fiqih sebagai sumber Kompilasi Hukum

Islam telah dikaji dan ditelaah sebanyak 38 macam kitab fiqih yag dibagi pada

7 IAIN yang telah ditunjuk, yaitu:108

1) IAIN ar-Raniri Banda Aceh:

a) Al-Bajuri

b) Fathul Mu’in

c) Syarqawi alat Tahrir

d) Mughnil Muhtaj

e) Nihayah al-Muhtaj

107

?M. Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah. 1988), h. 93

108

?Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam…, h. 39-41

Page 63: skripsi revisi 3.doc

63

f) Asy-Syarqawi

2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:

a) I’natul Thalibin

b) Tuhfah

c) Targhibul Musytaq

d) Bulghat al-Salik

e) Syamsuru fil Fara’idh

f) Al-Mudawanah

3) IAIN Antasari Banjarmasin:

a) Qalyubi/Mahalli

b) Fathul Wahab dengan Syarahnya

c) Bidayatul Mujtahid

d) Al-Umm

e) Bughyatul Murtarsyidin

f) Aqiedah wa al-Syari’ah

Page 64: skripsi revisi 3.doc

64

4) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:

a) Al-Muhalla

b) Al-Wajiz

c) Fathul Qadir

d) Al-Fiqhu ‘ala Madzhabil Arba’ah

e) Fiqhu Sunnah

5) IAIN Sunan Ampel Surabaya:

a) Kasyf al-Qina

b) Majmu al-Fatawa Ibn Taimiyyah

c) Qawaninus Syari’ah lil Sayyid Usmanbin Yahya

d) Al-Mughni

e) Al-Hidayah Syarah Bidayah Taimiyyah Mubtadi

6) IAIN Alauddin Ujung Pandang:

a) Qawaninus Syari’ah lil Sayyid Shadaqah Dakhlan

b) Nawab al-Jalil

Page 65: skripsi revisi 3.doc

65

c) Syarah ibnu Abidin

d) Al-Muwattha

e) Hasyiah Syamsudin Muh. Irfat Dasuki

7) IAIN Imam Bonjol Padang:

a) Bada’i as-Sanna’i

b) Tabyid al-Haqaiq

c) Al-Fatawi al-Hindiyah

d) Fathul Qadir

e) Nihayah

3. Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam

Menurut Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 maka

ditetapkan bahwa Pimpinan Umum dari proyek ini adalah Prof. H. Bustanul

Arifin, SH. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung

dengan dibantu oleh dua orang Wakil Pimpinan Umum, masing-masing HR.

Djoko Soegianto, SH. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang

Page 66: skripsi revisi 3.doc

66

Hukum Perdata Tidak Tertulis Mahkamah Agung dan H. Zaini Dahlan, MA.

Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.109

Sebagai Pimpinan Pelaksana proyek adalah H. Masrani Basran, SH, Hakim

Agung Mahkamah Agung dengan Wakil Pimpinan Pelaksana H. Muchtar

Zarkasih, SH, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen

Agama. Sebagai sekretaris adalah Ny. Lies Sugondo, SH, Direktur Direktorat

Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil sekretaris Drs.

Maarfuddin Kosasih, SH. Bendahara adalah Alex Marbun dari Mahkamah Agung

dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Di samping itu ada pula pelaksana bidang

yang meliputi:

a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi:

1) Prof. H. Ibrahim Husain LML (dari Majelis Ulama)

2) Prof. H. MD. Kholid, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung)

3) Wasit Aulawi MA (Pejabat Departemen Agama)

b. Pelaksana Bidang Wawancara:

1) M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung)

2) Abdul Gani Abdullah, SH (Pejabat Departemen Agama)

109Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam…, h. 34

Page 67: skripsi revisi 3.doc

67

c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data:

1) H. Amiroeddin Noer, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung)

2) Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama)

4. Isi Kompilasi Hukum Islam (KHI)     

Secara keseluruhan Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal dengan

distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang terbesar

adalah pada buku hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang

paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena

ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena intensif dan terurai

atau tidaknya pengaturannya masing-masing yang tergantung pada tingkat

penggarapannya. Hukum perkawinan karena kita sudah menggarapnya sampai

pada hal-hal yang detail dan hal-hal yang sedemikian dapat dilakukan mencontohi

pengaturan yang ada dalam perundang-undangan tentang perkawinan. Sebaliknya

karena hukum kewarisan tidak pernah digarap demikian maka ia hanya muncul

secara garis besarnya dan dalam jumlah yang cukup terbatas.110

Selain itu pengaturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam ini khususnya

untuk bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum substantif

saja yang memang seharusnya menjadi porsi kompilasi, akan tetapi sudah cukup

banyak memberikan pengaturan tentang masalah prosedural atau yang berkenaan

110Ibid, h. 63

Page 68: skripsi revisi 3.doc

68

dengan tatacara pelaksanaan yang seharusnya termasuk dalam porsi perundang-

undangan perkawinan. Mengenai apa yang disebut terakhir secara faktual telah

kita temukan di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan peraturan

pelaksanaannya sebagaimana kemudian dilengkapi dengan berbagai undang-

undang terakhir dengan undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan

agama yang juga memuat beberapa pasal berkenaan dengan hukum acara

mengenai perceraian. Akibat dimasukkannya semua aspek hukum tersebut maka

terjadi “pembengkakan” dalam bidang hukum perkawinan sedang dalam hukum

lainnya terasa sangat sedikit.111

Penjelasan yang diatur dalam kompilasi hukum Islam terdapat tiga buku, yaitu

buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku

III tentang Hukum Perwakafan. Adapun mengenai isi dari Kompilasi Hukum

Islam dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut: 

1. Hukum Perkawinan112

Sistematika Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum perkawinan ini

adalah sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum (pasal 1)

Bab II : Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10)

Bab III : Peminangan (11-13)

Bab IV : Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14-29)

111

?Ibid, h. 63-64 112Ibid, h. 65-66

Page 69: skripsi revisi 3.doc

69

Bab V : Mahar    (pasal 30-38)

Bab VI : Larangan Kawin (pasal 39-44)

Bab VII : Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52)

Bab VII : Kawin Hamil (pasal 53-54)

Bab IX : Beristeri lebih dari satu orang (pasal 55-59)

Bab X : Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69)

Bab XI : Batalnya Perkawinan (pasal 70-76)

Bab XII : Hak dan Kewajiban suami isteri (pasal 77-84)[20]

Bab XIII : Harta kekayaan dalam perkawinan (pasal 85-97)

Bab XIV : Pemeliharaan Anak (pasal 98-106)

Bab XV : Perwalian (pasal 107-112)

Bab XVI : Putusnya Perkawinan (pasal 113-148)

Bab XVII : Akibat putusnya perkawinan (pasal 149-162)

Bab XVIII : Rujuk (pasal 163-169)

Bab XIX : Masa berkabung (pasal 170)[21]

Bila kita perhatikan kerangka sistematika tersebut ternyata ada beberapa

materi yang satu dengan yang lainnya seharusnya tidak perlu dimasukkan

dalam satu bab tersendiri. 

2. Hukum Kewarisan113

113Ibid, h. 77-78

Page 70: skripsi revisi 3.doc

70

Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit

bilamana dibandingkan hukum perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan

di atas. Kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171)

Bab II : Ahli Waris (pasal 172-175)

Bab III : Besarnya bahagian (pasal 176-191)

Bab IV : Aul dan Rad (pasal 192-193)

Bab V : Wasiat (pasal 194-209)

Bab VI : Hibah

Sebagaimana halnya dengan hukum perkawinan maka apa yang diatur

dalam ketentuan umum adalah pengertian-pengertian dan ternyata di sini juga

tidak menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan dalam

buku ke II ini. Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi

pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus

diselesaikan sesuai dengan   ketentuan hukum-hukum Islam. Hal ini adalah

merupakan suatu hal yang sangat prinsip sekali, akan tetapi di dalam

kompilasi ini disebut secara sepintas dalam rumusan mengenai pewarisan dan

ahli waris.

Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan

bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun juga kita

temukan dalam kompilasi buku kedua ini. Sebagaimana halnya pewaris

Page 71: skripsi revisi 3.doc

71

adalah Islam maka ahli waris pun harus beragama Islam. Untuk itu pasal 172

menegaskan tentang indikator untuk menyatakan seseorang itu adalah

Islam.114  

3. Hukum Perwakafan

Bagian terakhir atau buku ke-III Kompilasi Hukum Islam (KHI)  adalah

tentang hukum perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum (pasal 215)

Bab II : Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (paal

216-222)

Bab III : Tata cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

(pasal 223-224)

Bab IV : Perubahan, Penyelasaian dan Pengawasan Benda

Wakaf (pasal 225-227)

Bab V : Ketentuan peralihan (pasal 228)

Apa yang diatur dalam bab ini isinya jauh lebih sedikit bilamana

dibandingkan dengan dua buku terdahulu sehingga tidak banyak hal yang

perlu dikomentari dalam bagian ini. Selain itu materi hukum yang termuat

dalam bagian ini juga sedikit berbeda dengan materi hukum yang diatur dalam

dua buku terdahulu yang disebut sebagai materi hukum yang bersifat peka,

114Ibid, h. 78

Page 72: skripsi revisi 3.doc

72

maka persoalan mengenai perwakafan adalah termasuk dalam lapangan

hukum yang bersifat sedikit agak netral.

B. Hak Waris Ayah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Ketentuan Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Setiap kelompok masyarakat di dunia ini tentu mempunyai sifat

kekeluargaannya sendiri yang biasanya sangat berpengaruh terhadap sifat

kewarisan dalam masyarakat itu. Demikian pula pada masyarakat Islam di

Indonesia, di dalamnya telah memberikan bimbingan tentang tata kehidupan

keluarga muslim. Tata kehidupan keluarga muslim di Indonesia pada umumnya

bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip keluarga yang mempertimbangkan hubungan

kekerabatan baik melalui jalur pria maupun wanita secara serentak. Hal ini

membawa pengaruh pula terhadap kebutuhan hukum kewarisan yang bersifat

bilateral. Memang antara hukum perkawinan dan hukum kewarisan merupakan

satu sistem hukum yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat mata uang

dengan dua sisinya.115

Oleh sebab itu, hukum kewarisan Islam yang dikembangkan dalam Kompilasi

Hukum Islam adalah hukum kewarisan yang sejalan dan serasi dengan sifat-sifat

hukum perkawinan yang bersifat bilateral. Itulah sebabnya maka hukum

115Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Quen. 2009), h. 26-27

Page 73: skripsi revisi 3.doc

73

kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai

berikut116:

a. Pada garis besarnya, Kompilasi Hukum Islam sama dengan fiqih sunny

(faraidh ahlusunnah) yang selama ini diajarkan di Indonesia. Kemudian

dengan fiqih sunny, yakni norma-norma syariáh yang terkandung dalam

al-Qurán dan Sunnah oleh Kompilasi diadakan pembaharuan pola, yakni

dari pola kewarisan patrilinial menjadi pola kewarisan bilateral sesuai

dengan pola hukum kewarisan Islam yang hidup di Indonesia.

b. Jenis dan kelompok ahli waris disederhanakan dan disesuaikan dengan

struktur keluarga muslim di Indonesia yang bilateral, serta masih

menggunakan istilah dzawil arham meskipun tidak disebutkan dalam

Kompilasi Hukum Islam namun tetap diakui keberadaannya dan mereka

tetap ahli waris sesuai dengan posisinya masing-masing.

c. Berdasarkan skala prioritas untuk mewarisi, ahli waris dikelompokan

menjadi empat, yaitu:

1) Ahli waris utama (yaitu anak laki-laki dan anak perempuan, termasuk

di sini ahli waris pengganti ahli waris utama, yakni cucu pewaris).

2) Ahli waris inti (yaitu anak, ayah, ibu, dan janda/duda, termasuk di sini

ialah ahli waris wasiat wajibah).

116Ibid, h. 27-31

Page 74: skripsi revisi 3.doc

74

3) Ahli waris lengkap (yaitu mereka ini ditambah saudara laki-laki dan

perempuan, kakek, nenek, paman dan bibi)

4) Ahli waris pengganti lainnya (yaitu kemenakan pewaris dan lain-

lainnya).

d. Berdasarkan kepastian besarnya porsi (bagian) yang diterima, ahli waris

dikelompokan menjadi lima, yaitu:

1) Ahli waris ‘ashabah (yaitu yang menerima bagian seluruhnya dari sisa

harta warisan yang telah diambil oleh ahli waris inti atau dzawil-

furudh).

2) Ahli waris dzawil-furudh (yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti

yang telah ditetapkan dalam Al-Qurán).

3) Ahli waris dzawil-Arham (yaitu ahli waris yang besarnya bagian

ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditetapkan dalam Al-Qurán

dan Sunnah).

4) Ahli waris pengganti (yaitu ahli waris yang besar bagiannya ditetapkan

berdasarkan hak ahli waris yang digantikan kedudukannya itu, dengan

ketentuan tidak boleh melebihi besarnya bagian dari ahli waris lain

yang sejajar dengan yang digantikannya itu).

Page 75: skripsi revisi 3.doc

75

5) Ahli waris wasiat wajibah (yaitu ahli waris yang hak mewarisinya

ditetapkan berdasarkan wasiat wajibah, dengan ketentuan bahwa

bagian ahli waris ini tidak boleh melebihi sepertiga dari harta

warisan).

e. Jenis ahli waris yang tidak disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam

(termasuk disini kelompok ahli waris yang dalam ilmu fiqih disebut

dzawil al-arham) tetap diakui keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk

sebagian (yakni cucu dan keponakan pewaris) ditampung sebagai ahli

waris pengganti dengan penetapan yang luwes dan fleksibel.

f. Diadakan ijtihad baru untuk menampung kebutuhan hukum dimasyarakat

mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qurán dan

Sunnah, misalnya tentang anak angkat, cucu dari anak perempuan, bagian

ayah bila mewarisi bersama ibu dan suami (duda) dan sebagainya dengan

mengambil dan menerapkan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam al-

Qurán dan Sunnah.

g. Prinsip pembagian waris dengan menggunakan teknik ‘aul dan radd tetap

dipertahankan dengan menerapkan radd secara mutlak kepada ahli waris

dzawil al-furudh (pasal 193 KHI).

h. Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil kaji

ulang ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum

Page 76: skripsi revisi 3.doc

76

barat serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syariáh

Islam sehingga dapat membawa pembaharuan yang:

1) selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,

2) mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori

ilmu hukum, administrasi dan manajemen,

3) dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan

ketertiban dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk

melindungi kebenaran dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi

kehidupan yang maju dan mandiri di bawah naungan dan ridha Ilahi.

i. Karena diyakini bahwa hukum keluarga yang hendak dituju oleh al-Qurán

dan Sunnah ialah hukum keluarga yang bersifat bilateral, baik dalam

bidang perkawinan maupun kewarisan maka hukum kewarisan dalam

kompilasi pun ingin memberikan arah kepada kewarisan yang bersifat

bilateral sebagaimana dikehendaki oleh syari’ah Islam.

2. Hak Waris Ayah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Pada dasarnya kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum

kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk Syafi’iyyah di

Page 77: skripsi revisi 3.doc

77

dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.117 Beberapa

ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian tersebut antara lain

adalah:

a. Mengenai anak atau orang tua angkat (pasal 171 (h) dan pasal 209).

Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur fukaha, anak angkat tidak

saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam Kompilasi

Hukum Islam, perihal anak atau orang tua angkat ini diatur bagiannya

sebagaimana ahli waris lainnya.

b. Mengenai Dzawil al-Arham

Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak

menjelaskan tentang keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris dzawi al-

arham. Pertimbangannya mungkin karena dalam kehidupan sekarang ini

keberadaan dzawil al-arham jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar

hukum warisan. Padahal, mengenai pewarisan dzawil al-arham ini sudah

menjadi kesepakatan jumhur fukaha.

c. Mengenai radd (pasal 193)

Dalam masalah radd ini kompilasi hukum Islam di Indonesia mengikuti

pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam

117Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 96

Page 78: skripsi revisi 3.doc

78

pembagian terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan

kepada seluruh ahli waris tanpa terkecuali.

d. Mengenai wasiat wajibah dan ahli waris pengganti (pasal 182 dan pasal

185)

e. Mengenai bagian ayah (pasal 177).

Ada pun ketentuan bagian waris ayah dalam kompilasi hukum Islam (KHI)

dijelaskan pada pasal 177 Kompiasi Hukum Islam (KHI):

“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”.

Bagian ayah menurut jumhur adalah 1/6 (seperenam) bagian apabila pewaris

meninggalkan far’u al-waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki

pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar perempuan). Ayah akan

mendapatkan 1/6 bagian sisa apabila pewaris meninggalkan far’u al-waris, tetapi

tidak ada far’u al-waris laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki pancar laki-

laki), dan menerima ‘ashabah (sisa) apabila pewaris tidak meninggalkan far’u al-

waris.118 Ini sejalan dengan firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 11:

……

Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam, bagian ayah apabila pewaris tidak

meninggalkan far’u al-waris adalah 1/3 (sepertiga) bagian.

118 Ibid, h. 197

Page 79: skripsi revisi 3.doc

79

Ayah yang menerima bagian seperenam dalam keadaan pewaris ada

meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Qur’an maupun rumusannya

dalam fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan

jika tidak ada far’u al-warits, maka ayah mendapatkan ‘ashabah (sisa).119 Namun

jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka

yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, dan tidak pula tersebut dalam

kitab fikih manapun.120

Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai

salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu

dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim

berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.121

Ayah mendapat bagian sisa harta setelah diambil 1/3 bagian ibu, maka muncul

bagian 1/3 bagi ayah juga berdasarkan besar bagian yang didapatkan ayah dalam

masalah gharrawain sama dengan bagian ‘ashabah. Penjelasan tersebut yaitu jika

ayah tidak meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam

perhitungannya maka jumlah ‘ashabah sama besarnya dengan sepertiga bagian.

Sedangkan dalam masalah gharrawain yang lainnya yaitu ketika ayah tidak

meninggalkan anak namun bersama istri dan ibu, hal tersebut memang berbeda

ketika ayah hanya bersama suami dan ibu, karena apabila ayah mendapat 1/3

119

? Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 197120

? Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329121

? Ibid

Page 80: skripsi revisi 3.doc

80

bagian yang lebih dan bagian tersebut akan dikembalikan kepada ayah, dengan

kata lain bahwa ayah juga mendapat ‘ashabah. Jadi, ketetapan dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 177 yang menyatakan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian jika

tidak ada anak, akan tetapi bersama suami dan ibu, hal tersebut tidak mengurangi

bagian ayah ‘ashabah yang merupakan hasil ijtihad dalam masalah gharrawain

karena porsi ‘ashabah yang semestinya didapat oleh ayah sama besarnya dengan

1/3 bagian.

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Analisis Terhadap Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Tentang Bagian Waris

Ayah.

Jika merujuk kembali sejarah terbentuknya Negara Indonesia, maka di sana

akan ditemui bahwasanya bangsa ini bukan merupakan Negara sekuler dan buka pula

Negara agama (bukan berdasarkan pada agama tertentu). Namun Republik Indonesia

menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 adalah Negara yang berdasarkan atas

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini adalah sila pertama dari Pancasila yang menjadi dasar

Negara. Rumusan tafsirnya, menurut Hazarain, sebagaimana dikutip oleh Amir

Syarifuddin,122 ditafsirkan sebagai berikut:

122Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya. 1993), Cet. Ke-2, h. 170

Page 81: skripsi revisi 3.doc

81

1. Dalam Negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang

bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi umat Islam, atau yang

bertentangan dengan kaidah-kaidah agama lain, seperti agama Nasrani, Hindu

dan Budha. Ini berarti bahwa di dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh

berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-

norma(hukum) agama dan norma kesusilaan bagi bangsa.

2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam, dalam makna

menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk

bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu

memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara Negara.

3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk

melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama

yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri

menjalankannya menurut agama masing-masing.

Berdasarkan tafsiran hazarain tersebut, maka Negara wajib menjalankan

syariat agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia, termasuk menjalankan syariat

Islam bagi umat Islam. Begitu pula sebaliknya, Negara tidak boleh membuat

peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syari’at suatu agama, termasuk Negara

tidak boleh membuat peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syari’at Islam

bagi umat Islam.

Page 82: skripsi revisi 3.doc

82

Hal inilah yang menjadi dasar bagi penulis untuk menganalisa pasal 177

Kompilasi Hukum Islam mengenai kewarisan 1/3 bagian ayah. Sebab pasal tersebut

telah melanggar maksud dan tujuan dari pancasila, karena adanya besar bagian 1/3

bagian ayah dalam pasal 177 Kompilasi Hukum Islam membuat umat Islam di

Indonesia meraba-raba kevalidan ketentuan hukum tersebut jika ditinjau dengan

pandangan ketentuan (hukum) dalam Islam.

Secara keseluruhan, penyusunan Kompilasi Hukum Islam didasari oleh

beberapa hal, yaitu: upaya pemenuhan kebutuhan yang tertulis bagi peradilan agama,

selain itu agar keputusan yang diterapkan pengadilan agama tidak menjadi simpang

siur karena dasar penetapan yang berbeda-beda, dan juga karena kebutuhan

masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang membutuhkan sebuah

peraturan hukum Islam yang diakui oleh Negara. Selain alasan tersebut, menurut

Bustanul Arifin, persepsi yang tidak seragam dikalangan masyarakat yang beragama

Islam akan dan sudah menyebabkan hal: (1) ketidakseragaman dalam menentukan

apa-apa yang disebut hukum Islam itu. (2) tidak mendapat penjelasan bagaimana

menjalankan syariat itu. (3) akibat kepanjangannya adalah tidak mampu

menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam undang-undang dasar

1945 dan perundang-undangan lainnya.123

Terkait dengan hukum kewarisan di Indonesia, pada umumnya umat Islam di

Indonesia memaknai bagian waris sebagai pembagian secara adil, yaitu sama rata

123Bustnul Arifin, Kompilasi: Fikih dalam Bahasa Undang-Undang, (Pesantren, No. 2 Vol. II 1985), h. 27

Page 83: skripsi revisi 3.doc

83

antara bagian laki-laki dengan bagian perempuan. Hal ini dikarenakan pemahaman

mereka tentang agama ini (Islam) sangat rendah, sehingga tidak sedikit dari mereka

yang berusaha dengan jalan apapun agar keinginannya tercapai. Akhirnya disusunlah

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang di antaranya mengatur tentang pembagian

warisan kepada ahli warisnya. Dengan harapan masyarakat, terkhusus umat Islam

sedikit lebih mengetahui dan menjadi ketentuan bersama dalam menetapkan

pembagian waris yang sesuai dengan syari’at.

Hal ini sangatlah logis, sebab perjalanan penyusunan Kompilasi Hukum Islam

begitu panjang, karena telah dipahami bahwa pembuatan sebuah peraturan tidaklah

mudah, karena di dalamnya terdapat banyak proses yang harus dilewati. Setelah

Kompilasi Hukum Islam selesai disusun dan diedarkan, bukan berarti masalah

peraturan tersebut selesai disitu, karena dalam Kompilasi Hukum Islam masih

terdapat pasal-pasal yang berbeda dengan hukum syari’at (hukum Islam). Hal ini

wajar terjadi karena Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad baru yang

dilakukan oleh kelompok ulama Indonesia.

Pada dasarnya kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum

kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk Syafi’iyyah di

dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.124 Salah satu

pengecualian tersebut yaitu terdapat dalam pasal 177 tentang bagian waris untuk

ayah, yang mana perbedaan di sana begitu tampak.

124Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawari, h. 96

Page 84: skripsi revisi 3.doc

84

Bagian ayah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177

sebagaimana berikut:

”ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.”125

Kandungan pasal di atas sekilas terlihat tidak terdapat masalah di dalamnya.

Namun ketika pasal teresebut ditinjau dari pandangan hukum Islam, maka di sana

akan terlihat permasalahan yang begitu jelas, yaitu tentang bagian ayah sepertiga jika

tidak bersama anak. Dalil yang dijadikan landasan yaitu al-Qur’an terdapat pada surat

an-Nisa [4] ayat 11:

…….

Ibnu katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa dalam kewarisan, ibu

dan bapak memiliki beberapa kondisi sebagai berikut:

Pertama, ibu bapak bersama anak-anak. Jika demikian, maka masing-masing

mendapat seperenam. Jika pewaris hanya memiliki seorang anak perempuan, maka si

anak mendapat setengah, masing-masing ibu dan bapak mendapat seperenam, dan si

bapak mendapat seperenam lagi karena ‘ashabah. Dalam kondisi demikian, ayah

berkedudukan sebagai penerima bagian tertentu (sebagai ash-habul al-furudh ) dan

penerima ‘ashabah.

125

? Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 157.

Page 85: skripsi revisi 3.doc

85

Kedua, ayah dan ibu serta saudara-saudara pewaris, baik saudara kandung

atau saudara sebapak, ataupun seibu. Mereka tidak mendapatkan pusaka sedikit pun

jika ada ayah. Walaupun tidak menghadap, keberadaan mereka menghijab bagian ibu

dari sepertiga menjadi seperenam. Jadi, ibu mendapat seperenam jika pewaris punya

saudara. Jika tidak ada ahli waris ibu dan bapak, maka bapak mengambil benda

pusaka.126

Ketiga, ibu dan bapak sebagai ahli waris satu-satunya. Jika demikian,maka ibu

mendapat sepetiga dan ayah sebagai penerima ’ashabah murni. Dalam kondisi

demikian, ayah bisa memperoleh dua kali lipat dari bagian ibu, yaitu dua per tiga.

Jika pewaris memiliki istri atau suami, di samping ayah dan ibu, maka suami

mendapat setengah dan istri mendapat seperempat. Kemudian para ulama berbeda

pendapat mengenai apa yang dapat diambil ibu. Jika demikian, pendapat mereka

terbagi tiga. Pendapat yang paling shahih mengatakan bahwa ibu dapat mengambil

sepertiga dari sisa pada dua kasus di atas, karena sisa itu bagaikan seluruh pusaka

dalam kaitan dengan ibu dan ayah. Allah telah menetapkan bagian setengah dari ibu

yang diambil dari bagian yang ditetapkan Allah bagi ayah. Maka ibu mengambil

sepertiga dari sisa dan ayah mengambil sisa sebagai bagian dua pertiganya itu. Inilah

pendapat Umar dan Utsman. Riwayat yang paling sahih dari dua riwayat yang ada

adalah dari Ali, dan riwayat inilah yang dipegang oleh Ibnu Mas’ud dan Zaid bin

Tsabit. Itulah pendapat para ulama, imam yang empat dan jumhur ulama.127

126Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru Al-‘Aliyyul Qadir li ikhtishoriTafsir Ibnu Katsir, Terj: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Maktabah Ma’arif: 1989), Jilid 1, h. 120

127Ibid, h.

Page 86: skripsi revisi 3.doc

86

Penafsiran tentang bagian ayah dalam surat an-Nisa’ ayat 11 akan diketahui

berdasarkan dalalah al-iqtidha’ ayat tersebut yang menjelaskan tentang bagian waris

ayah. Terkait dalalah al-iqtidha’ (biasa juga disebut iqtidha an-nash), dia merupakan

salah satu cara yang dipakai para ulama dalam mengambil hukum berdasarkan dari

lafadz-lafadz dalam al-Qur’an dan al-Hadits, yang lebih popular dikalangan para

ualama dan para ahli bahasa dengan sebutan qawa’id al-lughat (pendekatan

bahasa).128 Lebih rincinya adalah sebagaimana yang ditulis Ali Hasaballah dalam

kitab Ushul al-Tasyri’ al-Islami, bahwa qawa’id al-lughat ialah kaidah-kaidah yang

dirumuskan para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk

melakukan pemahaman terhadap makna lafal, sebagai hasil analisa induktif dari

tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa maupun syair atau

nazam.129

Adapun pengertian iqtidha’al-nash (dalalah al-iqtidha), sebagaimana yang

dirumuskan Zaky al-Din Sya’ban adalah:

�لى م الكآل ل�ة دال هى ال�ن�ص اق�ت�ضاء���كوت ع���ه م�س�� ع�ن�ف ي�ت�و�م. الكآل صدق ع�ل�يه ق

“Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.”130

128Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press. 2007), h. 66 129Ali HAsaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif. 1971), h. 203 130

? Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah, 1965), h. 367-368.

Page 87: skripsi revisi 3.doc

87

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru

bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang

terkandung dari suatu teks nash. Dalalah al-iqtidha adalah penunjuk lafal nash

kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika

yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai

contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Alaq ayat 17 berikut ini:

Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan

menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya:

“Maka Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolong)”

Jika dikaitkan dengan penafsiran surat an-Nisa ayat 11 tentang bagian ayah,

seharusnya ayah mengambila sisa harta (‘ashabah) setelah ibu mengambil bagian 1/3

(sepertiga). Hal ini seperti pada umumnya penafsiran mufassir tentang ayat tersebut,

bahwa bagian ayah adalah ‘ashabah jika tidak terdapat anak, dan hal tersebut sudah

menjadi ijma’.

Jika dirinci secara singkat, bagian ayah dalam ilmu mawaris adalah sebagai

berikut:

1. Ayah mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan ketentuan bahwa jika dia

mewarisi bersama far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-

laki, dan cucu perempuan).

2. Ayah mendapat ‘ashabah bi an-Nafsi, yaitu apabila ayah mewarisi tidak

bersama far’ul waris.

Page 88: skripsi revisi 3.doc

88

3. Ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan ashabah jika bersama dengan anak

perempuan atau cucu perempuan saja.

4. Ayah mendapat ‘ashabah jika bersama suami atau istri dan ibu. Sedangkan

ibu mendapat 1/3 (sepertiga) sisa. Permasalahan ini biasa disebut dengan

masalah gharrawain.

Sedangkan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam, secara garis besar terdapat dua

keadaan ayah mendapat bagian waris dari ahli warisnya (anaknya):

1. Ayah akan mendapat 1/3 (sepertiga) jika si mayit tidak memiliki anak.

2. Dan ayah akan mendapat 1/6 (seperenam) jika si mayit memiliki anak

Ayah mendapat bagian seperenam jika pewaris meninggalkan anak, hal ini

telah sesuai dengan al-Qur’an maupun rumusannya dalam fikih sebagaimana yang

telah disepakati oleh jumhur ulama. Jika pewaris tidak memiliki far’u al-warits, maka

ayah mendapatkan ‘ashabah (sisa).131 Akan tetapi jika menetapkan ayah menerima

sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam

al-Qur’an, dan tidak pula tersebut dalam kitab fikih manapun.132 Ayah kemungkinan

mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul

furud. Itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu

menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur

Ahlusunnah.133

131Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris.........., h. 197132

?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329

133Ibid

Page 89: skripsi revisi 3.doc

89

Berdasarkan analisa yang dilakukan, setidaknya penulis akan mengangkat

sebagai argumen yang dijadikan pembenaran terhadap ketentuan pasal 177 Kompilasi

Hukum Islam tentang besar 1/3 bagian bagi ayah. Walaupun kenyataannya argumen

tersebut masih perlu ditinjau jika melihat dari aspek syari’ah. Penulis perlu

memaparkan hal ini, agar arah penganalisaan terhadap kewarisan 1/3 ayah dalam

pasal 177 Kompilasi Hukum Islam lebih terarah dan sistematis.

Penjelasan mengenai 1/3 bagian bagi ayah merupakan hasil dari metode

interpretasi untuk memahami bunyi pasal tersebut. Sebab undang-undang merupakan

salah satu unsur dalam sistem hukum, maka sifat dasar sistem hukum juga merupakan

sistem dasar undang-undang.134 Lebih lanjut dikemukakan oleh Dworkin sebagaimana

dikutip Anton Freddy Susanto “hukum merupakan konsep interpretatif, ilmu hukum

apapun yang ingin dianggap haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi.”135

Berdasarkan jenisnya, maka metode penafsiran dalam ilmu hukum ada 9

macam, yaaitu: metode penafsiran gramatikal, otentik, teleologis (sosiologis),

sistematis (logis), historis (subjektif), komparatif, futuristis (antisipatif), restriktif dan

ekstensif. Metode interpretasi tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan

berdasarkan 2 pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2) the

purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk

kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada

pendekatan kedua.136

134Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: 1996), h. 23 135

?Anton Freddy Sutanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005 136

Page 90: skripsi revisi 3.doc

90

Setelah penulis mencoba meneliti lebih lanjut, ternyata penulis mendapati

adanya kekeliuran yang sangat signifikan pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam.

Hal ini berdasarkan hasil revisi yang dilakukan Mahkamah Agung, yaitu Surat

Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni

1994 tentang pengertian pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal ini seharusnya

berbunyi sebagai berikut:

”ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi

meninggalkan suami dan ibu. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam

bagian.”

Jadi, maksud dari 1/3 bagian ayah dalam pasal tersebut adalah besar bagian

ayah dalam masalah gharrawain, yaitu jika ayah tidak bersama anak namun bersama

ibu dan suami/istri. Penulis juga berpendapat bahwasanya arti yang terkandung dalam

revisi pasal di atas adalah bahwa ayah mempunyai tiga macam cara dalam

mendapatkan warisan:

1. Ayah menerima ‘ashabah, apabila pewaris tidak meninggalkan anak.

2. Ayah menerima 1/3 bagian bila tidak meninggalkan anak tetapi ayah bersama

suami/istri dan ibu.

3. Ayah menerima 1/6 bagian bila meninggalkan anak.

Kemudian bagian 1/3 bagi ayah jika tidak bersama anak pada pasal 177

Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan asas bilateral dalam kewarisan. Dalam hal ?Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan

Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.

Page 91: skripsi revisi 3.doc

91

ini Kompilasi Hukum Islam bermaksud untuk melindungi posisi ayah untuk

mendapatkan bagian pasti, sebab jika mendapat ‘ashabah bisa saja bagian ayah akan

lebih sedikit dari ibu, dan yang lebih parah bisa jadi ayah tidak mendapatkan bagian

dari harta waris.

B. Tinjauan Kewarisan Terhadap Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Bagian Waris Ayah.

Hukum kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an

bersifat qath’i (absolute), baik keberadaannya maupun dalalah-nya (penunjukkan

hukumnya). Oleh karenanya, pengaplikasian dan penafsiran ilmu ini tidak dapat

dilakukan oleh sembarang orang, karena ilmu waris membutuhkan ilmu-ilmu yang

lainnya. Yaitu ilmu al-ansab (penasaban), ilmu al-hisab (perhitungan), dan juga ilmu

tentang fatwa, karena ketiga ilmu tersebut dapat membantu untuk memahami ilmu

waris.

Merujuk dari analisa yang dipaparkan penulis di atas, maka untuk memahami

makna pasal tersebut harus menggunakan metode penafsiran otentik yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung, bahwa 1/3 bagi ayah merupakan permasalahan gharrawain.

Jika dirinci, maka akan didapati bahwa masalah gharrwain ini besar bagiannya sama

dengan bagian ayah ketika ‘ashabah. Penjelasannya yaitu jika ayah tidak

Page 92: skripsi revisi 3.doc

92

meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam perhitungannya maka

jumlah ‘ashabah sama besarnya dengan 1/3 bagian. Untuk lebih jelasnya lihat table di

bawah.

Tabel 1

Ahli waris Besar bagian Asal masalah (6)

Suami ½ 3

Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian suami) 1

Ayah ‘ashabah 2

Dari table di atas terlihat jelas bahwa bagian ‘ashabah ayah sama dengan

bagian 1/3, maka hal tersebut tidak mengurangi ketetapan yang ditentukan

gharrawain tersebut, walaupun ada perubahan dari ‘ashabah menjadi 1/3.

Begitu juga dalam kondisi ayah mewarisi bersama istri dan ibu, kejadian ini

berbeda ketika ayah mewarisi bersama suami dan ibu, karena apabila ayah mendapat

1/3 bagian akan terdapat bagian yang lebih dan bagian tersebut dikembalikan kepada

ayah dalam keadaan ‘ashabah. Sebagaimana table di bawah ini.

Tabel 2

Ahli waris Besar bagian Asal masalah (4)

Page 93: skripsi revisi 3.doc

93

Istri ¼ 1

Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian istri) 1

Ayah ‘ashabah 2

Biasanya, bagian ayah selalu lebih besar dari ibu. Akan tetapi dalam kondisi

seperti ini, bagian ayah yang ‘ashabah lebih kecil dibanding bagian ibu, sebab ibu

mendapat 1/3 sedangkan ayah sebagai ‘ashabah hanya mendapat 1/6. Oleh karena itu,

jika menggunakan argumen di atas, maka penulis berasumsi bahwasanya Kompilasi

Hukum Islam menggunakan ijtihad Umar ra. terkait masalah gharrawain di atas

untuk melindungi bagian ayah, jangan sampai lebih kecil dari bagian ibu, sebab al-

Qur’an menegaskan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Sebagaimana

yang tercantum dalam al-Qur’an Surat a-Nisa [4] ayat 11:

….

“bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak

perempuan…” (Q.S. an-Nisa’:11)

Sebenarnya masalah gharrawain merupakan hasil pemikiran Umar ra. yang

dalam prakteknya jarang sekali terjadi. Masalah ini juga terkenal dengan sebutan

umariyyatain, dan karena jarang terjadi maka disebut pula ghoribatain.137 Jadi,

berdasarkan argumen ini berarti pasal 177 Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur

tentang masalah gharrawain jika ayah hanya bersama suami dan ibu.

137Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, …, h. 132

Page 94: skripsi revisi 3.doc

94

Dari penjelasan di atas, memang sangat berbeda dengan ketentuan yang

terantum dalam al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an ayah hanya mendapatkan

‘ashabah apabila tidak meninggalkan anak, sebagaimana hasil ijma para ulama,

walaupun di sana terdapat ibu dan suami atau istri.

Terkait permasalahan gharrawain, maka dalam tinjauan kewarisan, pasal

tersebut sudah sejalan dengan yang telah tertetapkan dalam hukum Islam. Namun

kenyataannya dalam Kompilasi Hukum Islam terjadi ketimpangan lain yang tidak

sejalan dengan syari’at. Sebab Kompilasi Hukum Islam menghapus maksud lain,

yaitu bagian ‘ashabah jika tidak bersama anak dan menetapkan bagian ayah secara

pasti.

Di sinilah letak permasalahannya, karena Kompilasi Hukum Islam dalam

pasalnya menetapkan bagian waris ayah jika tidak meninggalkan anak secara pasti,

yakni 1/3 bukan ‘ashabah. Artinya, Kompilasi Hukum Islam secara berani merubah

status ayah yang semula ashabah ketika tidak bersamanya anak menjadi ash-habul

al-furudh. Meskipun maksud dari pasal tersebut adalah masalah gharrawain, ayah

dalam kondisi seperti ini tetap berposisi sebagai ‘ashabah, bukan salah satu bagian

dari ash-habul al-furudh sebagaimana yang telah tertetapkan dalam Kompilasi

Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam mendasari penetapan 1/3 bagian ayah secara pasti

karena mashlahah yang akan didapat ayah dan mencegah mafsadat yang terjadi,

sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyebutkan:

Page 95: skripsi revisi 3.doc

95

Gل�ُب KِحK الم#َص#ا َج# الم#َف#اسKد رُعG د� و# ل

“Mendatangkan mashlahah dan mencegah mafsadah”138

Mengomentari tentang mashlahah, Mustafa Zaid, sebagaimana yang

diungkapkan Hasbi Umar mengemukakan satu alasan penggunaan mashlahah dalam

kajian hukum sebagai berikut: “bahwa tujuan diturunkannya syariat adalah agar para

mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya,

karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan

dihadapkan pada mufsadat (kerusakan).”139

Lebih jauh lagi, para ulama membatasi kebebasan akal dalam kajian

mashlahah dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai berikut:140

a) Mashlahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan

kasus hukum yang ditetapkan.

b) Mashlahah tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional.

c) Mashlahah tersebut harus sesuai dengan maksud syar’i dalam menetapkan

hukum, dan tidak bertentangan dengan nash, baik dengan dalil-dalil tekstualnya

maupun dengan dasar-dasar pemikiran substansialnya. Dengan kata lain,

mashlahah itu harus sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.

138Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, (Makkah: Maktabah al-Asdiy, t.t), Juz 1, h. 73

139Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, …, h. 114

140Abi Ishaq al-Syatibiy, al-Muwafaqah fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1991), Jilid. 4, h. 364-367

Page 96: skripsi revisi 3.doc

96

Dengan demikian, jika melihat dari paparan di atas, seharusnya penetapan 1/3

(sepertiga) bagian untuk ayah dalam Kompilasi Hukum Islam bisa dikategorikan

sebagai sebuah mashlahah yang harus diterapkan. Namun sesungguhnya hal itu

belum, dan bahkan tidak bisa dikategorikan demikian, sebab yang paling penting dari

semua itu adalah bahwa penetapan besar bagian 1/3 bagi ayah dalam Kompilasi

Hukum Islam adalah penetapan hukum yang bertentangan dengan nash, yakni bagian

waris ayah yang tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 11. Dan juga karena hukum

kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an bersifat qath’i

(absolute), baik tsubut (keberadaannya) maupun dalalah-nya (penunjukkan

hukumnya).

Sebagai seorang muslim, seharusnya meyakini dengan sepenuh hati

bahwasanya hukum waris dalam Islam merupakan aplikasi dari adanya maqasid asy-

syari’ah, yaitu hifz al-mal wa al-irdh. Artinya, individu seorang muslim pasti

terpenuhi hak-haknya karena adanya pembagian hak waris yang telah ditentukan

bagian-bagiannya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Termasuk dalam hal ini

bagian ayah yang telah ditetapkan Allah SWT dalam firman-Nya adalah sebagai

‘ashabah jika tidak mewarisi bersama anak.

Perlu penulis tekankan bahwa masalah waris sangatlah sensitif. Karena itu,

Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah

hak kepemilikan materi (harta) ini dibagi sekehendak manusia. Dia

menjelaskankannya di dalam al-Qur’an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan

Page 97: skripsi revisi 3.doc

97

perbuatan aniaya dikalangan umat manusia, sebab bisa jadi di dalamnya terdapat hak

ahli waris yang lain. Dan juga Allah SWT melarang manusia untuk memakan harta

orang lain dengan cara yang batil, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah

[2] ayat 188:

Syariat Islam telah menetapkan tentang pembagian waris, baik orangnya,

hartanya maupun bagiannya secara rinci dalam nash yang sharikh. Terkait ahli waris

dan bagiannya, syariat telah menetapkan hak bagian dari setiap ahli waris,

sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ [4’] ayat 7:

Bersandar dari ayat ini, dan juga berdasarkan pemaparan-pemaparan terkait

ahli waris, maka dapat dipahami secara dzahir bahwa yang mendapatkan hak waris

secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, yaitu yang

mendapatkan dengan cara fardh dan tidak akan mendapatkan dengan cara ‘ashabah.

Mereka ini terdiri dari dua dari kalangan laki-laki, yaitu suami dan laki-laki seibu,

dan lima dari kalangan perempuan, yaitu istri, ibu, saudara perempuan seibu, nenek

dari jalur ibu ke atas dan nenek dari jalur ayah ke atas.

Kedua, yaitu yang mendapatkan warisan dengan cara ‘ashabah saja, tidak

pernah mendapatkan dengan cara fardh. Mereka adalah anak laki-laki, cucu dari anak

laki-laki ke bawah, saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki sekandung,

Page 98: skripsi revisi 3.doc

98

saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki seayah, paman laki-laki sekandung,

anak dari paman laki-laki sekandung ke bawah, paman laki-laki seayah, anak dari

paman laki-laki seayah ke bawah, al-mu’tiq dan al-mu’tiqah.

Ketiga, yaitu mereka yang terkadang mendapatkan warisan dengan cara fardh,

dan terkadang mendapatkan warisan dengan cara ‘ashabah. Terkadang juga mereka

dalam kondisi mendapatkan warisan dengan cara fardh sekaligus sebagai ’ashabah.

Mereka ini yaitu ayah dan kakek. Dan keempat, yaitu mereka yang terkadang

mendapatkan warisan dengan cara fardh, dan terkadang mendapatkan warisan dengan

cara ‘ashabah. Namun mereka tidak berada dalam kondisi mendapatkan warisan

dengan cara fardh sekaligus sebagai ’ashabah. Mereka itu terdiri dari empat dari

kalangan perempuan, yaitu satu anak perempuan atau lebih, satu cucu perempuan dari

anak laki-laki atau lebih, satu saudara perempuan kandung atau lebih, satu saudara

perempuan seayah atau lebih.

Dengan memperhatikan dalil-dalil dari al-Qur’an dan seluruh pembahasan

mengenai hak bagian setiap ahli waris dalam hukum syara’, maka hasil penetapan

Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 177 yang menentukan ayah mendapatkan

sepertiga bagian jika tidak terdapat anak adalah tindakan yang keliru karena

menyalahi hukum syara’. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak sepantasnya bagi

umat Islam di Indonesia, terkhusus bagi para hakim di Pengadilan Agama

berpedoman kepada ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam dalam

menyelesaikan permasalahan bagian waris ayah jika tidak ada anak, Sebab secara

Page 99: skripsi revisi 3.doc

99

tidak langsung ia telah menentang syari’at Allah. Seharusnya sebagai individu

muslim untuk selalu mendahulukan hukum Allah (Syari’at) daripada hukum lain,

terlebih jika hukum tersebut bertentangan dengan ketentuan syari’at.

Menurut hemat penulis, asas ijbari yang mengandung arti bahwa ketentuan

tentang pembagian harta warisan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits

merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa, karenanya wajib pulalah bagi

setiap pribadi muslim untuk melaksanakannya. Jadi hukum adanya penetapan

sepertiga bagian bagi ayah jika tidak ada anak pada pasal 177 Kompilasi Hukum

Islam adalah tidak tepat (salah), karena jelas bertentangan dengan hukum Allah

Ta’ala. Karena secara tidak langsung aturan tersebut mengajak seorang muslim,

khususnya bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak taat pada ajaran Allah Ta’ala dan

mengajak mereka menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam membagi

harta waris. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Q.S An-Nisa ayat 13-14:

Bahkan orang semacam ini digolongkan oleh Allah Ta’ala sebagai orang

kafir, zhalim dan fasik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah ayat

44:

Firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah ayat 45:

Page 100: skripsi revisi 3.doc

100

Firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah ayat 47:

Berdasarkan pemaparan terkait dengan alasan pembenaran sekaligus

sanggahan terhadap pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang dipaparkan penulis di

atas, maka sebagai umat Islam yang sekaligus sebagai rakyat Indonesia, penulis

menghimbau kepada otoritas negara ini untuk sesegera mungkin mengambil langkah

bijak terhadap bagian waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177. Satu-

satunya langkah bijak yang bisa diambil yaitu dengan merevisi pasal 177 Kompilasi

Hukum Islam, khususnya pada bagian 1/3 bagian ayah.

Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menawarkan tiga opsi yang bisa

diambil oleh otoritas Negara terkait yang diamanahi untuk mengubah Kompilasi

Hukum Islam ini.

Pertama, ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris

1/3 ayah tersebut dihapus keseluruhan. Ini harus dilakukan karena mengakibatkan

kemudharatan pada umat Islam, letak kemudharatannya yaitu pasal tersebut mengajak

umat Islam untuk mengambil hukum yang tidak sesuai dengan hukum syara’. Hal ini

sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

Gر الG الض#ر# Gَز# ي

“Kemudharatan harus dihilangkan”141

141Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, h. 52

Page 101: skripsi revisi 3.doc

101

Kedua, mengubah dan memperjelas teks pasal 177 Kompilasi Hukum Islam

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Yaitu kalimat “ayah

mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak” dengan

kalimat “ayah mendapatkan sisa harta (‘Ashabah) bila pewaris tidak meninggalkan

anak”. Sebab mengubah ketentuan tersebut wajib hukumnya, sebagaimana kaidah

fiqhiyyah menyebutkan:

# م#ا KمP ال #ت Q الو#اَجKُبG ي KهK إال َجKُبS و#ا ف#ُهGو# ْب

“(Sarana) apa saja yang tidak sempurna dari suatu kewajiban kecuali dengan

adanya hal tersebut, maka (sarana) tersebut wajib pula hukumnya”142

Dan opsi yang terakhir yaitu sesuai dengan opsi yang kedua, kemudian

menambah pasal lain yang khusus membahas permasalahan gharrawain.

142Ibid, h. 65

Page 102: skripsi revisi 3.doc

102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang penulis simpulkan terkait

pasal 177 Kompilasi Hukum Islam tentang kewarisan ayah:

1. Penjelasan mengenai 1/3 bagian bagi ayah merupakan hasil dari metode

interpretasi yang dipakai untuk memahami bunyi pasal tersebut, yakni metode

otentik. Hal ini berdasarkan hasil revisi yang dilakukan Mahkamah Agung,

yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994

tanggal 28 Juni 1994 tentang pengertian pasal 177 Kompilasi Hukum Islam.

Penjelasannya yakni, maksud dari 1/3 bagian ayah dalam pasal tersebut adalah

besar bagian ayah dalam masalah gharrawain, yaitu jika ayah tidak bersama

anak namun bersama ibu dan suami/istri.

Kemudian bagian 1/3 bagi ayah jika tidak bersama anak pada pasal 177

Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan asas bilateral dalam kewarisan.

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam bermaksud untuk melindungi posisi

ayah untuk mendapatkan bagian pasti, sebab jika mendapat ‘ashabah bisa saja

bagian ayah akan lebih sedikit dari ibu, dan yang lebih parah bisa jadi ayah

tidak mendapatkan bagian dari harta waris.

Page 103: skripsi revisi 3.doc

103

2. Terkait permasalahan gharrawain, maka dalam tinjauan kewarisan, pasal

tersebut sudah sejalan dengan yang telah tertetapkan dalam hukum Islam.

Namun kenyataannya dalam Kompilasi Hukum Islam terjadi ketimpangan

lain yang tidak sejalan dengan syari’at. Sebab Kompilasi Hukum Islam

menghapus maksud lain, yaitu bagian ‘ashabah jika tidak bersamanya anak

dan menetapkan bagian ayah secara pasti.

Jika yang dimaksud pasal 177 Kompilasi Hukum Islam sebagai penetapan

secara pasti bagian waris ayah, maka dari tinjauan kewarisan hal ini jelas

diharamkan. Karena secara tidak langsung ketentuan pasal tersebut telah

mengajak umat Islam untuk mengikuti hukum selain hukum syari’at yang

telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

B. Saran

1. Kepada pemerintah, khususnya otoritas yang diberi wewenang untuk merevisi

Kompilasi Hukum Islam untuk meninjau kembali pasal-pasal yang terdapat

dalam Kompilasi Hukum Islam, terkhusus pasal 177 tentang bagian waris

ayah untuk kemudian merevisinya sesegera mungkin. Agar masyarakat,

khususnya para hakim di Pengadilan Agama bisa dengan leluasa menerapkan

Kompilasi Hukum Islam tanpa dibayang-bayangi rasa takut untuk berbuat

salah atau dosa.

2. Diharapkan kepada seluruh mahasiswa/i agar terus melakukan penelitian

terhadap hukum atau undang-undang, khususnya tentang Kompilasi Hukum

Page 104: skripsi revisi 3.doc

104

Islam yang berlaku dinegeri ini. Sebab masih banyak permasalahan yang akan

kita temui jika itu dikaitkan dengan hukum Islam. Dengan demikian bisa

memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum Islam khususnya

dalam masalah waris yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam.

3. Kepada STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah) Hidayatullah sebagai perguruan

tinggi Islam, diharapkan untuk melengkapi penyediaan buku-buku di

perpustakaan, khususnya buku-buku yang terkait dengan hukum Islam dalam

perspektif Negara Indonesia, agar mahasiswa/i yang sedang melakukan

penelitian skripsi dapat menjadikannya sebagai referensi dengan tema yang

sama namun dari aspek yang berbeda.