Skripsi Fix

78
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngatsiah, 2005). Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan gaya hidup ( urbanisasi ), kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar pengolahan makanan yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. 1,3,8 Definisi lain demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Demam thypoid merupakan penyakit endemik di Asia, Amerika latin, Karibia dan 1

Transcript of Skripsi Fix

Page 1: Skripsi Fix

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngatsiah, 2005). Penyakit ini juga

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya

berkaitan erat dengan gaya hidup ( urbanisasi ), kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar pengolahan makanan

yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi

masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan

penegakan diagnosis pasti.1,3,8

Definisi lain demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik

yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Demam thypoid merupakan penyakit endemik di Asia, Amerika latin, Karibia

dan Oceania, termasuk Indonesia penyakit yang masih tergolong endemik di

negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi yang

ditularkan melalui makanan dan minuman ini, disebabkan oleh kuman S. Typhi

(Salmonella typhi). Makanan atau air yang terkontaminasi Salmonella typhi

melalui karier asimtomatik merupakan penyebab utama demam tifoid (Dipiro dkk,

2005). Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002

sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian.2,4,6

1

Page 2: Skripsi Fix

Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun dengan angka

kejadian sekitar 900.000 kasus per tahun dengan 20.000 kematian. Kelompok

penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat

menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia

insidensi penyakit tersebut tergolong masih tinggi. Penyakit tersebut diduga erat

hubungannya dengan hygiene perorangan yang kurang baik, sanitasi lingkungan

yang jelek ( misalnya penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan

sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan,

pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna).4,5

Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun. Hal ini

secara tidak langsung akan mempengaruhi proses tumbuh kembang, produktivitas

kerja, belajar, karena bila penderita terkena penyakit ini setidaknya akan

mengurangi jam kerja antara 4-6 minggu, terlebih bila disertai dengan komplikasi

intestinal (perdarahan intestinal, perforasi usus) atau komplikasi ekstra intestinal

(komplikasi hematologik, hepatitis tifosa,pankreatitis tifosa, miokarditis, tifoid

toksik).4,8

Tata laksana pada demam tifoid yang masih sering digunakan adalah

istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. Antibiotik

merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan

banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit

dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (WHO, 2006).2,3,5

Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas

tepat dalam mengindikasi pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap

2

Page 3: Skripsi Fix

efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut. Orientasi

penggunaan antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan

hasil yang aman, efektif, dan efisien. Pemakaian antibiotik secara tidak rasional

dapat menimbulkan kekebalan atau resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut,

meningkatkan toksisitas, dan efek samping obat. Antibiotik yang digunakan yaitu

Kloramfenikol, Tiamfenikol, Ampisilin, Quinolon dan Sefalosporin generasi 1.5,6

Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi

sekitar 15 %.Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah

perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam

14-28 hari menjadi 3-5 hari. Akan tetapi tingginya angka kekambuhan (10-25%),

toksisitas terhadap sumsum tulang ( anemia aplastik) merupakan perhatian

terhadap kloramfenikol .2,3

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotika spektrum luas yang aktif

terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh

streptomyces venezuela dan merupakan antibiotika yang terpilih untuk mengobati

penyakit tifus perut ( tifus abdominalis ). Dosis kloramfenikol yang umum adalah

50-100 mg/kg/hari. Dosis oral 1 g menghasilkan kadar darah antara 10-15 ug/mL.

Chloramphenicol palmitate merupakan suatu pro-drug yang dihidrolisis dalam

usus untuk menghasilkan chlorampenicol bebas. Melalui hidrolisis, menyebabkan

kadar darah sedikit lebih rendah dibandingkan kadar darah yang dicapai dengan

obat yang diberikan secara oral. Setelah absorbsi, kloramfenikol didistribusikan

secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Hal ini meliputi juga sistem saraf

pusat dan cairan serebrospinal, sehingga konsentrasi kloramfenikol dalam jaringan

3

Page 4: Skripsi Fix

otak setara dengan konsentrasi dalam serum. Dosis sistemik kloramfenikol tidak

perlu diubah pada saat kerja ginjal menurun, namun harus dikurangi dalam jumlah

besar pada kegagalan hati. Bayi-bayi berusia kurang dari seminggu dan bayi-bayi

prematur memiliki klirens kloramfenikol yang kurang baik, sehingga dosis harus

dikurangi menjadi 25 mg/kg/hari .4,12

Kloramfenikol sangat banyak digunakan oleh masyarakat sehingga banyak

diproduksi oleh pabrik-pabrik farmasi dalam dan luar negeri. Kloramfenikol

jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal, namun pemberian lebih dari 3

gram/hari secara teratur menyebabkan gangguan pada maturasi sel darah merah

peningkatan serum besi, dan anemia. Kelainan ini dapat sembuh kembali jika obat

dihentikan. Untuk ini harus diperhatikan bahwa kloramfenikol mempunyai efek

samping yang sangat berbahaya yaitu depresi sumsum tulang sehingga pembuatan

sel-sel darah merah terganggu. Karena alasan ini dianjurkan pemakaiannya hanya

pada penyakit tifus dan pada penyakit infeksi yang berat saja (meningitis) dan

berdasar pengalaman dan uji laboratorium .4,7

Beberapa efek samping lain dari penggunaan kloramfenikol berupa

gangguan lambung-usus, lesi oral, radang pada lidah dan mukosa mulut (SAR).

Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu menghambat sintesis protein yang

dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel bakteri. Penggunaan yang terlalu lama dari

kloramfenikol dapat menyebabkan ketidakseimbangan flora normal rongga mulut.

Ketidakseimbangan flora normal rongga mulut lebih disebabkan penekanan

terhadap jumlah bakteri-bakteri baik di rongga mulut karena efek penggunaan

4

Page 5: Skripsi Fix

kloramfenikol. Keadaan inilah yang memicu lesi-lesi oral di dalam rongga mulut

seperti radang mukosa ( SAR) ,radang lidah dan lain sebagainya .1,2

Stomatitis aphtosa merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser

yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak

memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya. Gangguan imunologik, defisiensi

nutrisi, dan kelainan hormonal semuanya sudah pernah diungkapkan dalam kasus-

kasus SAR. Manifestasi klinis dari SAR dimulai dengan gejala prodromal rasa

terbakar setiap waktu mulai dari 2 sampai 48 jam sebelum munculnya ulser.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lehner ( 2003 ), antibodi seseorang akan

berpengaruh terhadap pembentukan SAR. Keseimbangan flora normal didalam

rongga mulut juga berperan sangat penting dalam terjadinya pembentukan lesi-lesi

oral rongga mulut termasuk SAR. Apabila bakteri-bakteri probiotik seperti

lactobacillus rhamnosus, L.paracasei, L.casei, L.acidophilus mengalami

penurunan jumlah didalam rongga mulut dikarenakan berbagai sebab dapat

mempercepat pembentukan lesi-lesi oral rongga mulut termasuk SAR. Salah satu

penyebab penurunan bakteri probiotik dalam rongga mulut yaitu penggunaan

beberapa jenis antibiotik (Kloramfenikol, Tiamfenikol, dan Ampisilin ). Salah

satu faktor yang menyebabkan digunakannya beberapa jenis antibiotik tersebut

adalah penyakit demam thypoid .2,3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas ,maka didapat rumusan masalah “

Apakah ada hubungan penggunaan antibiotika Kloramfenikol dengan timbulnya

stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid “.

5

Page 6: Skripsi Fix

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui

hubungan yang ada antara penggunaan antibiotika kloramfenikol dengan

stomatitis aphtosa yang timbul pada rongga mulut pasien demam thypoid .

1.3.2 Tujuan Khusus

Menjelaskan timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam

thypoid yang merupakan efek samping penggunaan antibiotika

kloramfenikol.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi penulis

a. Menambah pengalaman penelitian dan wawasan ilmu pengetahuan di

bidang kesehatan gigi .

b. Meningkatkan kemampuan dalam membuat suatu laporan penulisan

khususnya tentang timbulnya stomatitis aphtosa akibat penggunaan

antibiotika kloramfenikol pada pasien demam thypoid .

1.4.2 Bagi tenaga kesehatan dan dokter gigi

a. Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan tentang dampak yang

ditimbulkan dari penggunaan antibiotika kloramfenikol .

b. Dapat digunakan sebagai alasan untuk mencari alternatif obat

antibakteri (Salmonella typhi) yang lain jika penggunaan

kloramfenikol memicu timbulnya stomatitis aphtosa .

6

Page 7: Skripsi Fix

c. Membantu dokter gigi dalam mendiagnosa kesehatan umum pasien

yang dapat memengaruhi prosedur perawatan gigi .

d. Membantu dokter gigi dalam menentukan diagnosis dan prognosis dari

perawatan gigi yang dilakukan.

1.4.3 Bagi masyarakat

a. Menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi masyarakat khususnya

tentang kesehatan gigi dan mulut .

7

Page 8: Skripsi Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Thypoid

2.1.1 Definisi

Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Secara historis, typhus berasal dari

bahasa Yunani ”typhos” yang berarti asap, atau yang lebih halus lagi dari asap,

merupakan kiasan yang menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh

asap yang sedang naik di awan, dari asal nama di atas menggambarkan bahwa

kesadaran penderita demam tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang

sering ditulis dalam kepustakaan adalah ”typhus abdominalis” suatu istilah yang

kurang tepat, karena dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan

gejala demam tifus yang menyerang alat pencernaan. 4,30

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai

karakteritik demam, sakit kepala dan ketidak enakan abdomen berlangsung lebih

kurang 3 minggu yang juga disertai nyeri tekan pada perut, pembesaran limpa dan

erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Jika

penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang

disebabkan oleh S typhi. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus

menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula

keterlambatan penegakan diagnosis pasti. 5

8

Page 9: Skripsi Fix

2.1.2 Etiologi

Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab

bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan

demam tifoid yang berat disertai bakteriemia. Kuman Salmonella ini berbentuk

batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif, ukuran 1-3.5 um x

0.5-0.8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh kecuali

Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum.1

Kuman ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu

15 - 41oC dan pH pertumbuhan 6-8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan

biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella

resisten terhadap zat-zat kimia tertentu yang menghambat bakteri enterik

lainnya.Kuman mati pada suhu 56oC juga pada keadaan kering. Dalam air bisa

tahan selama 4 minggu.3

Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi3

2.1.3 Klasifikasi Salmonella

Klasifikasi salmonella sangat kompleks karena organisme ini biasanya

lebih merupakan sebuah kesatuan rangkaian dibanding sebagai spesies tersendiri.

Anggota jenis salmonella biasanya diklasifikasikan menurut dasar epidemiologi,

9

Page 10: Skripsi Fix

jenis inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan V1. Nama (misalnya

Salmonella typhi ,Salmonella typhimurium ) ditulis sebagai jenis dan spesies,

bentuk tata nama ini menyeluruh tetapi penggunaannya tidak berlaku. Studi

tentang DNA hibridasi memperlihatkan bahwa ada 7 kelompok evolusioner.

Hampir semua serotipe salmonella yang menginfeksi manusia adalah DNA

hibridisasi kelompok 1, jarang salmonella menginfeksi manusia dengan kelompok

IIIa dan IIIb. Ada lebih dari 2400 serotipe salmonella termasuk lebih dari 1400

dalam DNA hibridisasi group 1 yang dapat menginfeksi manusia. Empat serotipe

salmonella yang menyebabkan demam thypoid dapat diidentifikasi dalam

laboratorium yang terekomendasi dengan tes biokimia dan tes serologi.6

Tabel 1. Salmonella Nomenclature6

10

Page 11: Skripsi Fix

2.1.4 Patogenesis penyakit demam thypoid

Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman

Salmonella typhi (S. typhi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung,

sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus

sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman

dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke

plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotelial

tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel

fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang

kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.4,6

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen

usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

11

Page 12: Skripsi Fix

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, dan koagulasi .4,7

Di dalam plaques peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh

darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia

akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoidini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi.4,7

Gambar 2. Plaque Peyeri4

Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara

mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada

sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit

kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem

retikulo endotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian

12

Page 13: Skripsi Fix

kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu

lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari

leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear

dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan

akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

pernapasan, dan gangguan organik lainnya .6,8

Gambar 3. Patogenesis Bakteri6

13

Page 14: Skripsi Fix

Gambar 4. Patogenesis Demam Typhoid8

2.1.5 Diagnosis

Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya

sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang

khas dengan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu, penegakan diagnosis

sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan

meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu

dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

14

Page 15: Skripsi Fix

Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap bila belum

ditunjang dengan diagnosa laboratorium mikrobiologi klinik, tetapi diagnosa

laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya

antigen / antibodi dalam sampel dan melalui kultur mikroorganisme. Diagnosis

demam tifoid dapat diambil dengan anamnesis berupa demam, gangguan

gastrointestinal, dan dapat disertai gangguan kesadaran. Diagnosis banding

demam tifoid adalah gastroenteritis virus, enteritis bakteri selain karena

Salmonella, kolitis pseudomembran, appendisitis, dan kolesistitis. Untuk

memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan

tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.4,9,32

Gambar 5. Keluhan dan Gejala Demam Typoid.32

15

Page 16: Skripsi Fix

Untuk keakuratan dalam menegakan diagnosa penyakit,dokter akan

melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah

tepi,pemeriksaan Widal dan biakan empedu.8

1. Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah

dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada

gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang

meningkat dan eosinofilia.8

2. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat

anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau

menunjukkan kenaikan progresif.8

3. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu

dengan ditemukannya kuman Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu

pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces. Sampel darah

yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces

dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-

benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).Sedangkan untuk memastikan

apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada

diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan

memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti

Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC

(Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia).8

16

Page 17: Skripsi Fix

2.1.6 Manifestasi klinik

Gambaran klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada

orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui

makanan, sedang lewat minuman yang terlama 30 hari, pada masa inkubasi

mungkin ditemukan gejala seperti perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan menurun, gejala yang biasa

ditemukan adalah 4:

1. Demam

Kasus khas demam berlangsung 3 minggu dan suhu tidak terlalu tinggi

sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasa

menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari, minggu

kedua penderita terus dalam keadaan demam, pada minggu ketiga berangsur turun

dan suhu kembali normal pada akhir minggu ketiga . 31

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, lidah tertutup selaput putih,

ujung dan tepinya kemerahan. Abdomen dapat ditemui perut kembung. Hati dan

limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi

tetapi juga dapat diare atau normal . 31

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran pasien menurun. Jarang terjadi koma dan gelisah

(kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Pada punggung

17

Page 18: Skripsi Fix

dan anggota gerak dapat ditemukan bintik-bintik kemerahan karena emboli basil

dalam kulit, dapat pula bradikardi dan epistaksis . 31

2.1.7 Manifestasi Oral

Saat demam tifoid, lidah menjadi putih seperti terlapisi bulu. Lapisan putih

tersebut merupakan lapisan pucat (bio film) yang menjadi tempat berkumpulnya

ribuan bakteri anaerobik yang memproduksi gas. Gas tersebut menyebabkan nafas

yang tidak sedap .Oleh sebab itu pasien demam thypoid memiliki nafas berbau .

Lapisan tersebut terbentuk karena efek perubahan flora normal di rongga mulut

yang disebabkan oleh bakteri.11

2.2 Antibiotika Oral

2.2.1 Definisi

Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang diperoleh atau dibentuk

oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu

menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya .1

2.2.2 Macam-macam Obat Antibiotika oral

Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik dibagi menjadi :

a. Antibiotik yang mempengaruhi dinding sel

Sel kuman dikelilingi oleh suatu struktur kaku yang disebut

dinding sel, yang melindungi membran protoplasma dibawahnya terhadap

trauma, baik osmotik maupun mekanik. Karena itu, setiap zat yang mampu

merusak dinding sel dan mencegah sintesisnya akan menyebabkan

terbentuknya sel-sel yang peka terhadap tekanan osmotik.1 Antibiotik yang

18

Page 19: Skripsi Fix

termasuk kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin dan antibiotik beta

laktam lainnya.33

b. Antibiotik yang mengganggu atau merusak membran sel

Membran sel memegang peranan vital dalam sel. Membran sel

merupakan pembatas osmotik bagi bebasnya difusi antara lingkungan luar

dan dalam sel. Membran sel juga dapat mempengaruhi konsentrasi

metabolit dan bahan gizi didalam sel dan merupakan tempat

berlangsungnya pernafasan dan aktivitas biosintetik tertentu. Beberapa

antibiotik diketahui mampu merusak atau memperlemah satu atau lebih

dari fungsi-fungsi ini, yang akan menyebabkan gangguan-

gangguanterhadap kehidupan sel. Antibiotik yang termasuk kelompok ini

ialah polimiksin, nistatin, dan amfoterisin B. 1

c. Antibiotik yang mengganggu fungsi DNA

Sejumlah obat-obat antimikroba berfungsi terutama mengganggu

atau merusak struktur dan fungsi DNA. Struktur molekul DNA erat

kaitannya dengan dua peran utamanya yaitu duplikasi dan transkripsi. Oleh

karenanya, setiap zat yang mampu mengganggu struktur DNA, akan pula

mempengaruhi seluruh fase pertumbuhan dan metabolisme kuman.

Antibiotika yang termasuk kelompok ini adalah rifampisin dan golongan

kuinolon.1

d. Antibiotik yang menghambat sintesis protein

Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yaitu

: transkripsi dan translasi. Antibiotik yang mampu menghambat salah satu

19

Page 20: Skripsi Fix

proses ini, akan menghambat sintesis protein. Antibiotik yang termasuk

dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosida, kloramfenikol,

tetrasiklin, makrolida, dan linkomisin.1

2.2.3 Kloramfenikol

Gambar 6. Rumus Bangun Kloramfenikol.1

Farmakologi :

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotika spektrum luas yang aktif

terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh

streptomyces venezuela dan merupakan antibiotika yang terpilih untuk mengobati

penyakit tifus perut ( tifus abdominalis). Kloramfenikol merupakan penghambat

yang kuat terhadap sintesis protein pada mikroorganisme, berbentuk kristal yang

diabsorbsi secara cepat dari saluran gastrointestinal, didistribusikan secara luas ke

dalam jaringan dan cairan tubuh. Obat ini memblokir ikatan asam amino pada

rantai peptida yang mulai timbul pada unit 50S ribosom dengan mengganggu

kerja peptidyl transferase. Kloramfenikol terutama bersifat bakteriostatik, dan

spektrum, dosis, kadar dalam darah sama dengan tetrasiklin. Resistensi terhadap

kloramfenikol disebabkan pengrusakan obat oleh enzim (cloramfenicol

acetyltransferase) yang berada dibawah kontrol plasmid .1,2,3

20

Page 21: Skripsi Fix

Kloramfenikol jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal. Namun,

pemberian lebih dari 3 gram/hari secara teratur menyebabkan gangguan pada

maturasi sel darah merah, peningkatan serum besi, dan anemia. Kelainan ini dapat

sembuh kembali jika obat dihentikan. Kadang-kadang kloramfenikol dapat

menyebabkan anemia aplastik apabila penggunaan dalam waktu lama dan

berlanjut. Karena alasan ini, penggunaan kloramfenikol umumnya digunakan

hanya pada infeksi yang jelas berdasar pengalaman dan uji laboratorium. Dosis

kloramfenikol yang normal adalah 50-100 mg/kg/hari.1,3

Penggunaan klinis

Sebagai obat sistemik ,kloramfenikol hampir tidak dipakai lagi berhubung

toksisitasnya yang kuat ,resistensi bakteri, dan tersedianya obat-obat yang lebih

efektif (misalnya sefalosporin). Obat ini diindikasikan untuk pengobatan infeksi-

infeksi ricketsia yang parah dan penyakit tifus. Kloramfenikol juga digunakan

sebagai alternatif untuk antibiotik beta-laktam bagi pengobatan meningitis bakteri

yang disebabkan oleh strain-strain pneumokokkus atau meningokokkus, yang

ditemukan pada pasien-pasien dengan reaksi hipersensitivitas mayor terhadap

penicilin. Dosisnya 50-100 mg/kg/hari.1

Kontra Indikasi

Kontraindikasi kloramfenikol pada pasien dengan kegagalan hati dan

infeksi-infeksi bakteri yang ringan .2

Efek samping

Efek samping yang di timbulkan dari penggunaan kloramfenikol adalah :

21

Page 22: Skripsi Fix

A. Gangguan gastrointestinal

Mual-mual, muntah, diare, hal ini jarang dijumpai pada anak-anak.

Kandidiasis dan stomatitis dapat timbul sebagai efek perubahan flora

normal. 1

B. Gangguan Sumsum Tulang

Kloramfenikol dapat menimbulkan suatu supresi reversible

terhadap produksi sel darah merah yang terkait dosis, pada dosis diatas 50

mg/kg/hari setelah 1-2 minggu.1

C. Toksisitas pada bayi baru lahir

Apabila bayi diberi dosis diatas 50 mg/kg/hari, obat dapat

terakumulasi dan mengakibatkan sindrom bayi kelabu ( gray baby

sindrome ) .Ciri-cirinya : muntah-muntah, hipotermi, perubahan warna

menjadi kelabu, tonus otot menurun, dan kolaps.1

D. Interaksi dengan Obat Lain

Seperti halnya inhibitor bakteriostatik dari sintesis protein mikroba

lainnya, kloramfenikol juga dapat mengantagonis obat-obat bakterisid

seperti penisilin atau aminoglikosid.1

2.2.4 Pengaruh Kloramfenikol terhadap stomatitis aphtosa

Beberapa efek dari penggunaan kloramfenikol antara lain mual, muntah,

kandidiasis oral, kolaps. Pada penderita demam thypoid dapat terjadi perubahan

flora normal akibat penggunaan kloramfenikol. Hal ini mengakibatkan terjadinya

stomatitis aphtosa dan kandidiasis oral. Penekanan jumlah terhadap bakteri-

22

Page 23: Skripsi Fix

bakteri probiotik dan jamur yang sejatinya flora normal dalam rongga mulut akan

menjadi patogen karena efek penggunaan kloramfenikol. 1,3

2.3 Stomatitis Aphtosa

2.3.1 Definisi

Stomatitis aphtosa merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser

yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak

memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya .Gangguan imunologik, defisiensi

nutrisi, dan kelainan hormonal semuanya sudah pernah diungkapkan dalam

kasus.2

Pasien penderita SAR diklasifikasikan dalam tiga kategori tergantung pada

presentasi klinis dari lesinya : ulser minor, ulser mayor, dan herpetiform ulser.

Ulser minor memiliki diameter yang besarnya kurang dari satu sentimeter dan

sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan parut. Ulser mayor memiliki

diameter lebih dari satu sentimeter dan akan membentuk jaringan parut pada

penyembuhannya. Ulser herpetiform dianggap sebagai suatu kumpulan rekuren

sebanyak berlusin-lusin, dari ulser kecil yang timbul di seluruh mukosa mulut.2,17,1

Gambar 7. SAR Tipe Mayor.7

23

Page 24: Skripsi Fix

Gambar 8. SAR Tipe Minor.18

Gambar 9. SAR Herpetiform.18

2.3.2 Etiologi

Etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan

karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang

menjadi ulser.2

Faktor-faktor predisposisi

1. Faktor genetik

24

Page 25: Skripsi Fix

Faktor genetik dianggap memainkan peranan yang sangat besar pada pasien

yang menderita SAR. Insiden SAR dipercaya meningkat pada pasien yang

memiliki riwayat keluarga positif terkena SAR.3 Kurang lebih 50%

keturunan derajat pertama dari penderita SAR juga akan mengidap SAR. 20

2. Faktor Hormon

Pada wanita, sekelompok stomatitis apthosa sering terlihat di masa pra-

menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga

berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting

adalah estrogen dan progesteron. 20,23

3. Faktor defisiensi nutrisi

Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12)

kemungkinan 2x lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat. Pada

penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan SAR dengan menurunnya intake

makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1, akan tetapi pada penelitian

ini tidak dilakukan pengujian hubungan antara intake makanan dengan fakta-fakta

defisiensi haematologi.

4. Faktor Imunologi

Respon imun yang berlebihan pada pasien menyebabkan ulserasi lokal

pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit

pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.20

5. Faktor Mikroorganisme

Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis SAR, baik itu

secara langsung maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan

25

Page 26: Skripsi Fix

reaksi silang dengan mukosa mulut. Streptococcus L-form ditemukan pada

penderita SAR yang merupakan tipe dari Streptococcus sanguis, meski pada

penelitian selanjutnya di golongkan sebagai tipe dari Streptococcus mitis. Reaksi

silang antara streptococcus dengan mukosa mulut telah ditemukan dan

memperlihatkan jumlah serum antibodi yang signifikan.20

6. Faktor stress

Stress sangat berpengaruh pada sejumlah perubahan hidup yang terjadi

termasuk kemampuan dalam menimbulkan suatu penyakit. Stress dapat disertai

rasa cemas dan kadang terlihat adanya depresi. Kejadian stress dapat memberikan

respon terhadap tubuh baik itu respon fisiologis, respon psikologis, respon

hormonal, maupun respon hemostatik. Aktifnya hormon glukokortikoid pada

orang yang mengalami stress menyebabkan meningkatnya katabolisme protein

sehingga sintesis protein menurun. Akibatnya metabolisme sel terganggu

sehingga rentan terhadap rangsangan (mudah terjadi ulcer). 20

7. Faktor Penyakit Sistemik

SAR ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory

bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. Celiac sprue atau

sprue topical yang merupakan sindroma mal absorpsi yang tidak diketahui

penyebabnya, yang sering terjadi di Asia dan Karibia. Penyakit ini berhubungan

dengan kekurangan folat dan mal absorbsi vitamin B12, lemak, dan nutrient

lainnya. Dengan adanya kelainan mal absorbsi tersebut maka akan semakin

memicu terjadinya defisiensi nutrisi yang merupakan factor predisposisi

timbulnya SAR.20

26

Page 27: Skripsi Fix

8. Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers,

agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan

seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR. 20

9. Merokok

Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok.

Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok. Prevalensi dan

keparahan SAR lebih rendah pada perokok berat dibandingkan dengan yang

bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti

merokok. 20

10. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS ( Sodium lauril sulfat )

Produk yang mengandung SLS yaitu agen berbusa, paling banyak

ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur. SLS dapat meningkatkan

resiko terjadinya ulser, dikarenakan efek SLS dapat menyebabkan epitel pada

jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian

telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS

mengalami sariawan lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam

satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa

bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat

mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.20

27

Page 28: Skripsi Fix

2.3.3 Gambaran klinis SAR

Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput

kuning keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematous

dan dapat bertahan untuk beberap hari atau bulan. Karateristik ulser yang sakit

terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal,

labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa

orofaring .2,20

2.3.4 Patogenesis

Stanley ( 2004 ) telah membagi karakter klinis dari SAR kepada 4 tahap

yaitu :

1. Pre monitori

2. Pre-ulseratif

3. Ulseratif

4. Penyembuhan

Tahap pre monitori terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR.

Pada waktu prodromal, pasien akan merasa sensasi mulut terbakar pada tempat

dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan

menginfeksi epitelium, dan oedem akan mulai berkembang.22,23

Tahap pre-ulseratif terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi

SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi

28

Page 29: Skripsi Fix

eritematous. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pra ulserasi ini.

Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap

ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan

fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.21,23

Tahap Penyembuhan terjadi pada hari ke-4 hingga 35. Ulser tersebut akan

ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan selalu tidak meninggalkan

jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Oleh karena itu, semua lesi SAR

menyembuh dan lesi baru berkembang.21,24

2.4 Kerangka konsep

29

KLORAMFENIKOL

( LAMA PENGGUNAAN)

PENURUNAN JUMLAH BAKTERI BAIK DI RONGGA MULUT

EFEK PERUBAHAN MIKROBA FLORA NORMAL

PENINGKATAN JUMLAH BAKTERI-BAKTERI JAHAT

(AEROB/ANAEROB)

PERUBAHAN RAGI MENJADI HIFA (JAMUR PATOGEN )

STOMATITIS APHTOSA DAN KANDIDIASIS ORAL

Page 30: Skripsi Fix

2.5 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol

dengan timbulnya stomatitis aptosa pada pasien demam thypoid.

H1 : Terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol

dengan timbulnya stomatitis aptosa pada pasien demam thypoid.

30

Page 31: Skripsi Fix

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasi dengan cross sectional.27

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medis dan Instalasi Rawat Inap Bagian Endokrin (Penyakit Dalam) Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 8 Oktober – 12 Oktober 2012.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi penelitian

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pasien demam thypoid di Bangsal Rawat Inap Bagian Endokrin RSMH Palembang.

3.3.2 Sampel penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yaitu sebanyak sampel yang didapat melalui rumus sebagai berikut 26:

n = (Za)2PQ = (1,96)2.0,227.0,773 = 269,6 = 270 ( dengan pembulatan )

d2 (0,05)2

Keterangan : n : Besar sampel

Z : Nilai Z pada derajat kemaknaan ( biasanya 95% = 1,96 )

31

Page 32: Skripsi Fix

P : Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak

diketahui

proporsinya, ditetapkan 50% ( 0,50)

d : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan : 10%

(0,10), 5%(0,05) atau 1%(0,01)

Q : 1-P

3.3.3 Karakteristik sampel

Sampel yang dipilih didalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

Pasien Demam Thypoid dan pasien non demam thypoid, baik pria maupun wanita, dengan rentang usia 25-60 tahun dan bersedia untuk diwawancarai.26

b. Kriteria Ekslusi

Pasien Demam Thypoid dan pasien non demam thypoid, baik pria maupun wanita, dengan rentang usia 25-60 tahun, disertai dengan penyakit selain penyakit dalam dan tidak bersedia untuk diwawancarai.25

3.4 Tehnik Pengambilan Sampel

Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan random sampling. Pengambilan sampel dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :26

270 sampel

Pasien Demam thypoid Bukan pasien Demam Thypoid

Kloramfenikol (+) Kloramfenikol (-) Kloramfenikol(+) kloramfenikol(-)

K (+) K (-) K(+) K(-) K(+) K(-) K(+)K(-)

32

Page 33: Skripsi Fix

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.25

Variabel-variabel dalam penelitian ini,yaitu:

1. Variabel bebas atau variabel independent : Demam thypoid dan kloramfenikol

2. Variabel terikat atau variable dependent : Stomatitis Aphtosa

3.6 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur Skala Ukur

Hasil Ukur

1.Variabel bebas Demam thypoid penyakit sistemik

yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan hati

Data primer atau sekunder

Nominal Demam tinggi naik turun atau tidak naik turun

2. Kloramfenikol suatu antibiotika spektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh streptomyces venezuela dan merupakan

Wawancara atau rekam medik

Nominal Menggunakan atau tidak menggunakan

33

Page 34: Skripsi Fix

antibiotika yang terpilih untuk mengobati penyakit tifus perut ( tifus abdominalis)

3.Variabel terikatStomatitis Aphtosa

merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya

Observasi dengan instrumen dasar

Nominal Ditemukan atau tidak ditemukan

3.7 Alur penelitian

3.7.1 Bagan alur penelitian

3.7.2 Cara Kerja penelitian

34

Permasalahan

Pengumpulan literatur

Perumusan masalah

Desain penelitian

Pengumpulan data

Analisa data

Pembuktian hipotesis

Page 35: Skripsi Fix

A. Informed concent

Peneliti memberikan beberapa pertanyaan kepada populasi dengan

kuesioner yang telah disiapkan untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan

kriteria yang telah ditetapkan. Selanjutnya peneliti menjelaskan tentang tindakan

apa yang akan diterima oleh sampel dan sampel mengisi informed consent yang

telah disediakan sebagai tanda persetujuan. Kuesioner dan informed consent

terlampir. 27

B. Etikal clearance

Pemeriksaan terhadap sample dilakukan oleh drg. Nandang Koeswara dan

drg. Lizanna dan data dicatat oleh peneliti. Pemeriksaan dilakukan dengan

menggunakan cermin mulut dan alat sterilisasi. Setelah itu dilakukan pada saat

pengambilan foto, sample ditutup matanya dan beberapa sample diberikan

pengobatan gratis.

C. Pemeriksaan stomatitis

a. Alat dan bahan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini telah disterilisasi dengan

menggunakan autoclave. Autoclave adalah alat sterilisasi yang mempergunakan

uap dibawah tekanan. Alat-alat seperti cermin mulut, sonde, pinset dan ekskavator

harus dikemas dalam keadaan terbuka atau dibungkus dengan kain muslin, kertas,

nilon, foil alumunium atau plastik tembus uap. Sterilisasi dengan autoclave diatur

pada temperatur 100ºC dan selama 20 menit. 29

Alat dan bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini, yaitu:

1. Alat tulis

35

Page 36: Skripsi Fix

2. Autoclave

Autoclave

3. Nierbeken

Nierbeken4. Alkohol

Alkohol

5. Pinset

6. Eksavator

36

Page 37: Skripsi Fix

7. Kaca mulut

8. Sonde

Pinset, Ekskavator, Cermin mulut, Sonde

9. Kapas

10. Masker

11.Sarung tangan

37

Page 38: Skripsi Fix

Sarung Tangan

11. Kamera

Kamera

b. Persiapan sampel

Sampel duduk menghadap sinar cahaya, lalu kepalanya disandarkan pada

dental unit dengan sedikit menengadah. Pemeriksa duduk atau berdiri di sebelah

kanan sampel agar dapat lebih mudah untuk melihat keadaan mulut sampel .

c. Cara pemeriksaan

38

Page 39: Skripsi Fix

Alat yang telah disterilisasi kita olesi dengan alkohol 70%. Pemeriksaan

dilakukan dengan mencari stomatitis pada rongga mulut sampel. Deteksi dimulai

dari mukosa bukal, mukosa bibir, palatum, orofaring dan lidah dengan bantuan

kaca mulut. Stomatitis akan tampak sebagai bercak putih tertutup selaput kuning

keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran eritema, biasanya

ukurannya yang bervariasi 1-30 mm.2

Setelah itu dicatat bagian-bagian mana dari rongga mulut sampel yang

terdapat stomatitis. Bagian rongga mulut yang terdapat stomatitis kita foto dengan

mengaburkan identitas sampel .

3.8 Analisa Data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji statistik dengan analisis

bivariat. Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yaitu

dengan menggunakan uji Chi-Square. Rancangan analisa data dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

Tabel 2. hubungan antara kloramfenikol dengan stomatitis

Kloramfenikol

Stomatitis Ditemukan Tidak ditemukan

Menggunakan a b

Tidak menggunakan c d

Total

a

Nilai P = a+b+c+d

ad

39

Page 40: Skripsi Fix

Nilai PR = bc

Keterangan : PR : Prevalensi rasio

a : data yang terhitung ( count ) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)

b : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)

c : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)

d : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)

Jika PR ≤ 1 : maka kloramfenikol tidak terbukti menimbulkan stomatitis.

Jika PR ≥ 2 : maka kloramfenikol terbukti menimbulkan stomatitis.

40

Page 41: Skripsi Fix

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil Penelitian

Penelitian tentang hubungan lamanya penggunaan kloramfenikol dengan

timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid telah dilakukan di

bagian rekam medis dan instalasi rawat inap (penyakit dalam) RSMH Palembang.

Penelitian ini dilakukan selama satu minggu, dimulai pada tanggal 23 November

2012 dan berakhir pada tanggal 30 November 2012. Penelitian ini menggunakan

sampel sebanyak 270 sampel dengan distribusi sampel sebagai berikut (tabel 3).

Tabel 3 . Distribusi sampel berdasarkan jenis penyakit

No. Jenis Penyakit . Jumlah sample

1. Demam thypoid 270 sampel

Total 270 sampel

Sampel diambil dari rekam medis periode tahun 2011-2012 dipilih secara

acak melalui nomor rekam medis yang terdapat di bagian rekam medis RSMH

Palembang. Selanjutnya dari nomor rekam medis tersebut, peneliti mencari berkas

rekam medis dan melihat data yang dibutuhkan. Dari 270 sampel tersebut,

didapatlah keterangan tentang pasien yang menggunakan kloramfenikol.

Distribusi penggunaan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel dibawah ini (tabel 4)

41

Page 42: Skripsi Fix

Tabel 4. Distribusi penggunaan kloramfenikol pada sampel.

No. Penggunaan Kloramfenikol Jumlah

sampel

Presentase

1. Menggunakan kloramfenikol 53 19,63 %

2. Tidak menggunakan

kloramfenikol

217 80,37 %

270 sampel 100 %

Tabel 4 menunjukkan perbandingan jumlah antara sampel yang

menggunakan kloramfenikol dan sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol.

Dari 270 sampel, didapatkan hasil yaitu sebanyak 53 sampel menggunakan

kloramfenikol dimana seluruhnya merupakan pasien demam thypoid dan 217

sampel tidak menggunakan kloramfenikol. Selanjutnya, dari pasien yang

menggunakan kloramfenikol dan tidak menggunakan kloramfenikol dilihat apakah

terdapat stomatitis aphtosa atau tidak. Distribusi ditemukan atau tidak

ditemukannya stomatitis aphtosa dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi ditemukannya stomatitis aphtosa pada sampel yang

menggunakan kloramfenikol

No. Stomatitis aphtosa Jumlah sampel Presentase

1. Ditemukan stomatitis aphtosa 17 sampel 32,07 %

2. Tidak Ditemukan stomatitis

aphtosa

36 sampel 67,93 %

53 sampel 100 %

Tabel 5. Menunjukkan distribusi ditemukan dan tidak ditemukannya

stomatitis aphtosa pada pasien yang menggunakan kloramfenikol. Lama waktu

yang diperlukan sampai timbulnya stomtitis aphtosa pada pasien demam thypoid

yang menggunakan Kloramfenikol rata-rata dari hari ke 3-6. Berdasarkan tabel 5,

42

Page 43: Skripsi Fix

sebanyak 32,07 % dari 53 sampel ditemukan stomatitis aphtosa yaitu sebanyak 17

sampel dan 67,93% tidak ditemukannya stomatitis aphtosa yaitu sebanyak 36

sampel.

Dari hasil pemeriksaan, ditemukan stomatitis aphtosa di beberapa daerah

pada rongga mulut, antara lain di daerah bibir bawah, mukosa bukal, lidah dan

orofaring. Beberapa contoh gambar dari stomatitis aphtoa yang ditemukan pada

pasien yang menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Pasien demam thypoid yang menggunakan

kloramfenikol dan ditemukan adanya stomatitis aphtosa.

Gambar 11 .Pasien demam thypoid yang menggunakan

kloramfenikol dan ditemukan adanya stomatitis aphtosa.

43

Page 44: Skripsi Fix

Stomatitis aphtosa ternyata tidak hanya ditemukan pada sampel yang

menggunakan kloramfenikol, tetapi juga ditemukan pada sampel yang tidak

menggunakan kloramfenikol. Distribusi ditemukan stomatitis aphtosa pada sampel

yang tidak menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi ditemukannya stomatitis aphtosa pada sampel yang tidak

menggunakan kloramfenikol.

No. Stomatitis aphtosa Jumlah sampel Persentase

1. Ditemukan stomatitis aphtosa 32 14,74 %

2. Tidak Ditemukan stomatitis

aphtosa

185 85,26 %

Total 217 100 %

Tabel 6. menunjukkan distribusi ditemukan dan tidak ditemukannya

stomatitis aphtosa pada sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol.

Berdasarkan tabel 6, didapatkan hasil bahwa 14,74% dari 217 sampel yaitu

sebanyak 32 sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol ternyata ditemukan

stomatitis aphtosa dan sebanyak 85,26% dari 217 sampel yaitu sebanyak 185

sampel tidak ditemukannya stomatitis aphtosa. Pada sampel yang tidak

menggunakan Kloramfenikol tetapi terdapat stomatitis aphtosa lebih dikarenakan

dari mekanisme antibiotik pada umumnya yaitu penekakan terhadap jumlah flora

normal di rongga mulut pasien sehingga terjadi ketidakstabilan jumlah bakteri dan

jamur yang sejatinya ialah flora normal. Perbandingan ditemukannya stomatitis

aphtosa pada sampel yang menggunakan kloramfenikol dan yang tidak

menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6. Pada sampel

yang menggunakan kloramfenikol, persentase ditemukannya stomatitis aphtosa

adalah 32,07% sedangkan pada sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol

adalah sebesar 14,74%.

Hubungan antara penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis

aphtosa dapat dinilai melalui perhitungan secara statistik. Perhitungan statistik ini

44

Page 45: Skripsi Fix

terdiri dari crosstabulation dan Chi-Square. Crosstabulation berfungsi untuk

melihat nilai expected count dari sel a, sel b, sel c dan sel d.35 Hasil perhitungan

dengan crosstabulation dapat dilihat pada tabel 7.34

Tabel 7. Hubungan penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis

aphtosa dengan Crosstabulation.

Stomatitis aphtosa Total

ditemukan Tidak

ditemukan

Penggunaan

kloramfenikol

menggunakan Count 17 32 49

Expected

Count

9,6 39,4 49,0

Tidak

menggunakan

Count 36 185 221

Expected

Count

43,4 177,6 221,0

Total Count 53 217 270

Expected

Count

53,0 217,0 270,0

Berdasarkan tabel 7, didapatlah nilai sel a yaitu 17 dengan

expected count 9.6, nilai sel b yaitu 32 dengan expexted count 39.4, nilai sel c

yaitu 36 dengan expected count 43.4 dan nilai sel d yaitu 185 dengan expected

count 177.6. Dari nilai ini kita dapat menghitung nilai PR ( Prevalence Ratio)

dengan rumus sebagai berikut :34

45

Page 46: Skripsi Fix

Nilai PR = ad/bc

= 17.185/32.36

= 3145/1152

= 2,73

Dari tabel diatas, didapatlah nilai PR > 2 yaitu sebesar 2,73. Hal ini

menunjukkan bahwa kloramfenikol terbukti dapat menimbulkan stomatitis

aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH

Palembang.

Uji Chi-Square dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan

antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa

yang ditunjukkan melalui nilai probabilitas. Jika nilai probabilitas atau Asymp.

Sig. (2-sides) kurang dari 0.05, maka kloramfenikol terbukti dapat menyebabkan

stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap penyakit

dalam RSMH Palembang.34

Tabel 8 . Hubungan lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya

stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat

inap Penyakit Dalam RSMH Palembang dengan Uji Chi-Square

menggunakan program SPSS 19.

Value Df Asymp.

Sig. (2-

sided)

Exact

Sig. (2-

sided)

Exact

Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-

Square

8,611a 1 ,003

Continuity

Correction(a)

7,484 1 ,006

Likelihood

Ratio

7,717 1 ,005

46

Page 47: Skripsi Fix

Fisher's Exact

Test

,005 ,004

Linear-by-

Linear

Association

8,579 1 ,003

N of Valid

Cases

270

a. Selanjutnya, setelah nilai expected count diketahui tidak kurang

dari 5, maka hal ini telah memenuhi syarat untuk dilakukannya

uji Chi-Square.

b. Dihitung komputerisasi hanya untuk tabel 2x2.

Pada uji Chi-Square, kolom Asymp. Sig. (2-sided) menunjukkan

nilai probabilitas. Pada tabel diatas, nilai Asympt. Sig hubungan

penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa yaitu

0,003. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan

antara penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa

pada pasien demam thypoid.34

4.2. Pembahasan

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah sampel yang digunakan

adalah 270 sampel dengan sampel yang menderita demam thypoid.Dari

270 sampel demam thypoid didapatkan sebanyak 53 sampel menggunakan

kloramfenikol dan 17 diantaranya ditemukan stomatitis aphtosa. Dari data

diatas, didapatlah prevalensi stomatitis aphtosa akibat penggunaan

kloramfenikol pada pasien demam thypoid sebesar 32,07%.

Kandidiasis dan stomatitis dapat timbul sebagai efek perubahan

flora normal ( katzung 2004 )1. Efek samping penggunaan kloramfenikol

antara lain gangguan usus-lambung, gangguan perifer, radang lidah dan

47

Page 48: Skripsi Fix

radang mukosa mulut ( Obat-obat penting 2007 )12. Pada penderita demam

thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH Palembang,

terjadinya stomatitis aphtosa akibat penggunaan kloramfenikol timbul

karena efek perubahan flora normal dan penurunan jumlah bakteri baik

( probiotik ) didalam rongga mulut. Ketidakseimbangan flora normal

rongga mulut lebih disebabkan penekanan terhadap jumlah bakteri-bakteri

baik di rongga mulut karena efek penggunaan kloramfenikol. Keadaan

inilah yang memicu lesi-lesi oral di dalam rongga mulut seperti radang

mukosa ( SAR) ,radang lidah dan lain sebagainya.9

Selain itu faktor lain yang menyebabkan pasien demam thypoid di

instalasi Nilrawat inap penyakit dalam RSMH palembang memiliki

persentase stomatitis aphtosa yang cukup tinggi dikarenakan tingkat

kebersihan mulut pasien di instalasi rawat inap RSMH Palembang yang

rendah . Tingkat kebersihan mulut pasien dapat dilihat dari nilai OHI-S

(Oral Hygiene Index- Simplified). Dari sampel yang dilakukan

pemeriksaan, didapatlah hasil bahwa sebagian besar nilai kebersihan mulut

pasien rawat inap RSMH Palembang adalah buruk ( skor >3 ). Hal ini

menunjukkan bahwa kesadaran pasien terhadap kebersihan mulut masih

rendah. Keadaan rongga mulut yang buruk inilah yang diduga memicu

timbulnya perubahan flora dirongga mulut dari yang sebelumnya fisiologis

( ragi ) menjadi patologis ( hifa ) yang menimbulkan stomatitis aphtosa

dan kandidiasis oral.

Dari tabel 8, didapatlah nilai p (p value) adalah 0,003. Secara

statistik, maka H0 ditolak atau dengan kata lain H1 diterima, dimana

memiliki makna yakni ada hubungan antara lamanya penggunaan

kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam

thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH Palembang.

48

Page 49: Skripsi Fix

BAB V

PENUTUP

5. 1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di bagian rekam medis dan

instalasi rawat inap bagian penyakit dalam RSMH Palembang, dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan

timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap

RSMH Palembang .

5. 2. Saran

Saran yang dapat diberikan oleh penulis antara lain:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih detail mengenai

hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya

stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid.

2. Perlu perhatian yang lebih untuk tetap menjaga kesehatan dan kebersihan

rongga mulut agar dapat mencegah timbulnya komplikasi dari penyakit

demam thypoid yang menggunakan kloramfenikol.

49

Page 50: Skripsi Fix

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung BG. Farmakologi Dasar Klinik, 8th ed. Airlangga BFFKU, editor.

Surabaya : Salemba Medika; 2004.

2. Malcolm A. Lynch VJB,MS.G. Ilmu Penyakit Mulut Diagnosis dan

Terapi. 8th ed. Susanto DYESdDWS, editor. Jakarta: Binarupa Aksara;

1993.

3. Jawetz MA. MIKROBIOLOGI KEDOKTERAN. St ed. Airlangga

BMFKU, editor. Jakarta: Salemba Medika; 2005.

4. Santoso H. KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

PADA KASUS DEMAM THYPOID YANG DIRAWAT PADA

BANGSAL PENYAKIT DALAM DI RSUP DR.KARIADI

SEMARANG. SEMARANG: FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA ; 2009; 32-43.

5. Utami TN. DEMAM THYPOID. Pekan Baru, RIAU : Facultuy Of

Medicine – University of Riau; 2010.

6. MARHAMAH. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA

PASIEN DEMAM THYPOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PEMBALAH BATUNG

KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN.

SURAKARTA: FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH SSURAKARTA; 2009.

7. SAFITRI IR. ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU

MUHAMMADIYAH SURAKARTA. SURAKARTA : FAKULTAS

FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA; 2009.

8. Putri AIW. POLA RESISTENSI BAKTERI SALMONELLA TYPHI

PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA. 2010.

50

Page 51: Skripsi Fix

9. Wulan Lestari* AANZDD. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan

Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam

RSUP DR.M.Djamil Padang. PADANG; FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS;2006.

10. W d. Demam thypoid. Media IDI. 1998;23:4-7 .

11. Sasanti DH. STOMATITIS YANG SERING DI JUMPAI DI KLINIK.

JAKARTA: FKG UI : 2009 .

12. Drs. Tan Hoan Tjay DKR. Obat-obat Penting KHASIAT,

PENGGUNAAN, DAN EFEK-EFEK SAMPINGNYA. 6th ed. Jakarta:

PT Elex Media Komp[utindo; 2007.

13. Sibuea WH. Pengobatan Demam Thypoid dengan Kombinasi

Deksametason, Kloramfenikol dan Antibiotika sesuai Uji Resistensi Guna

Mempercepat Penyembuhan. Majalah Kedokteran Indonesia 1992; 42 (8):

438-443.

14. Noer S, et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 1996: 435-442.

15. Hadinegoro SR. Masalah Multi Drug Resistance Pada Demam Tifoid

Anak. Cermin Dunia Kedokteran 1999; 124:5-10.

16. Katcher MJ, Ludlow JB, Sammelson AD, Campbell T, Pusek SN.

Evaluation of a bioadhesif device for the management of apthous ulcers. J

Am Dent Assoc 2001; 132 (3) : 368-376.

17. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicines diagnosis and treatment,

Philadelpia,London,Mexico city, New York, St.Louis, San Paulo, Sydney.

J.B, Lippincott Company.2004;63-65.

18. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter S.R. Mucosal Disease Series,

Recurrent Aphtous Stomatitis. Journal of Oral Disease. Avaluable at:

http://www.blackwellsynergy.com.

19. Canker Sores ( Recurrent Aphtous Stomatitis ) Cause and Control,

Avaluable at : http://www.google.com

51

Page 52: Skripsi Fix

20. Guyton A.C.,and Hall E.J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi IX. Alih

Bahasa: Setiawan I., Tengadi, Santoso A. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1997.

21. Melamed F. Brief Clinical Update-Aphthous Stomatitis. UCLA

Department of Medicine. Avaluable at: http://www.ucla.com.

22. Roger RS. Recurrent apthous stomatitis : Clinical characteristic and

associated systemic disorder. Senninars in Cutaneus Medicine and Surgery

1997;16 (4);278-283.

23. Haikal, Mohammad. Skripsi USU : Stomatitis Aftosa Rekuren. Medan.

2009.

24. Hadi SSS. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. Kumpulan

Makalah KPPIKG X 1994.

25. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka

Cipta, Jakarta, Indonesia, hal.89, 92, 146, 188.

26. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka

Cipta, Jakarta, Indonesia, hal.38, 39, 40, 127, 130, 183.

27. Dahlan, M.Sopiyudin. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal

Penelitian Bidang Kedokteran dan `Kesehatan. CV. Sagung Seto, Jakarta,

Indonesia, hal. 62-64.

28. Dahlan, M.Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan.

Edisi 4. Salemba Medika, Jakarta, Indonesia, hal. 122-125.

29. Baum,Lloyd.et. al. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi Edisi III. EGC,

Jakarta Indonesia, hal.118.

30. Ngatsiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta ; EGC.

31. Ngatsiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

32. Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC.

33. Istiantoro, Yati H dan Gan, Vincent HS. Penisilin, Sefalosporin dan

Antibitik Betalaktam lainnya. Dalam: Ganiswarna, Sulistia G, editor .

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: 2007. Hal. 664-93.

52

Page 53: Skripsi Fix

34. M.Dahlan.Sopiyudin. 2009. Salemba Medika. Statitstik Untuk Kedokteran

dan Kesehatan . Edisi 4. Jakarta: EGC.

53

Page 54: Skripsi Fix

54