BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngatsiah, 2005). Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan gaya hidup ( urbanisasi ), kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar pengolahan makanan
yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi
masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan
penegakan diagnosis pasti.1,3,8
Definisi lain demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik
yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Demam thypoid merupakan penyakit endemik di Asia, Amerika latin, Karibia
dan Oceania, termasuk Indonesia penyakit yang masih tergolong endemik di
negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi yang
ditularkan melalui makanan dan minuman ini, disebabkan oleh kuman S. Typhi
(Salmonella typhi). Makanan atau air yang terkontaminasi Salmonella typhi
melalui karier asimtomatik merupakan penyebab utama demam tifoid (Dipiro dkk,
2005). Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002
sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian.2,4,6
1
Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun dengan angka
kejadian sekitar 900.000 kasus per tahun dengan 20.000 kematian. Kelompok
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia
insidensi penyakit tersebut tergolong masih tinggi. Penyakit tersebut diduga erat
hubungannya dengan hygiene perorangan yang kurang baik, sanitasi lingkungan
yang jelek ( misalnya penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan
sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan,
pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna).4,5
Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun. Hal ini
secara tidak langsung akan mempengaruhi proses tumbuh kembang, produktivitas
kerja, belajar, karena bila penderita terkena penyakit ini setidaknya akan
mengurangi jam kerja antara 4-6 minggu, terlebih bila disertai dengan komplikasi
intestinal (perdarahan intestinal, perforasi usus) atau komplikasi ekstra intestinal
(komplikasi hematologik, hepatitis tifosa,pankreatitis tifosa, miokarditis, tifoid
toksik).4,8
Tata laksana pada demam tifoid yang masih sering digunakan adalah
istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. Antibiotik
merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan
banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit
dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (WHO, 2006).2,3,5
Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas
tepat dalam mengindikasi pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap
2
efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut. Orientasi
penggunaan antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan
hasil yang aman, efektif, dan efisien. Pemakaian antibiotik secara tidak rasional
dapat menimbulkan kekebalan atau resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut,
meningkatkan toksisitas, dan efek samping obat. Antibiotik yang digunakan yaitu
Kloramfenikol, Tiamfenikol, Ampisilin, Quinolon dan Sefalosporin generasi 1.5,6
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi
sekitar 15 %.Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah
perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam
14-28 hari menjadi 3-5 hari. Akan tetapi tingginya angka kekambuhan (10-25%),
toksisitas terhadap sumsum tulang ( anemia aplastik) merupakan perhatian
terhadap kloramfenikol .2,3
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotika spektrum luas yang aktif
terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh
streptomyces venezuela dan merupakan antibiotika yang terpilih untuk mengobati
penyakit tifus perut ( tifus abdominalis ). Dosis kloramfenikol yang umum adalah
50-100 mg/kg/hari. Dosis oral 1 g menghasilkan kadar darah antara 10-15 ug/mL.
Chloramphenicol palmitate merupakan suatu pro-drug yang dihidrolisis dalam
usus untuk menghasilkan chlorampenicol bebas. Melalui hidrolisis, menyebabkan
kadar darah sedikit lebih rendah dibandingkan kadar darah yang dicapai dengan
obat yang diberikan secara oral. Setelah absorbsi, kloramfenikol didistribusikan
secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Hal ini meliputi juga sistem saraf
pusat dan cairan serebrospinal, sehingga konsentrasi kloramfenikol dalam jaringan
3
otak setara dengan konsentrasi dalam serum. Dosis sistemik kloramfenikol tidak
perlu diubah pada saat kerja ginjal menurun, namun harus dikurangi dalam jumlah
besar pada kegagalan hati. Bayi-bayi berusia kurang dari seminggu dan bayi-bayi
prematur memiliki klirens kloramfenikol yang kurang baik, sehingga dosis harus
dikurangi menjadi 25 mg/kg/hari .4,12
Kloramfenikol sangat banyak digunakan oleh masyarakat sehingga banyak
diproduksi oleh pabrik-pabrik farmasi dalam dan luar negeri. Kloramfenikol
jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal, namun pemberian lebih dari 3
gram/hari secara teratur menyebabkan gangguan pada maturasi sel darah merah
peningkatan serum besi, dan anemia. Kelainan ini dapat sembuh kembali jika obat
dihentikan. Untuk ini harus diperhatikan bahwa kloramfenikol mempunyai efek
samping yang sangat berbahaya yaitu depresi sumsum tulang sehingga pembuatan
sel-sel darah merah terganggu. Karena alasan ini dianjurkan pemakaiannya hanya
pada penyakit tifus dan pada penyakit infeksi yang berat saja (meningitis) dan
berdasar pengalaman dan uji laboratorium .4,7
Beberapa efek samping lain dari penggunaan kloramfenikol berupa
gangguan lambung-usus, lesi oral, radang pada lidah dan mukosa mulut (SAR).
Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu menghambat sintesis protein yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel bakteri. Penggunaan yang terlalu lama dari
kloramfenikol dapat menyebabkan ketidakseimbangan flora normal rongga mulut.
Ketidakseimbangan flora normal rongga mulut lebih disebabkan penekanan
terhadap jumlah bakteri-bakteri baik di rongga mulut karena efek penggunaan
4
kloramfenikol. Keadaan inilah yang memicu lesi-lesi oral di dalam rongga mulut
seperti radang mukosa ( SAR) ,radang lidah dan lain sebagainya .1,2
Stomatitis aphtosa merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser
yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak
memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya. Gangguan imunologik, defisiensi
nutrisi, dan kelainan hormonal semuanya sudah pernah diungkapkan dalam kasus-
kasus SAR. Manifestasi klinis dari SAR dimulai dengan gejala prodromal rasa
terbakar setiap waktu mulai dari 2 sampai 48 jam sebelum munculnya ulser.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lehner ( 2003 ), antibodi seseorang akan
berpengaruh terhadap pembentukan SAR. Keseimbangan flora normal didalam
rongga mulut juga berperan sangat penting dalam terjadinya pembentukan lesi-lesi
oral rongga mulut termasuk SAR. Apabila bakteri-bakteri probiotik seperti
lactobacillus rhamnosus, L.paracasei, L.casei, L.acidophilus mengalami
penurunan jumlah didalam rongga mulut dikarenakan berbagai sebab dapat
mempercepat pembentukan lesi-lesi oral rongga mulut termasuk SAR. Salah satu
penyebab penurunan bakteri probiotik dalam rongga mulut yaitu penggunaan
beberapa jenis antibiotik (Kloramfenikol, Tiamfenikol, dan Ampisilin ). Salah
satu faktor yang menyebabkan digunakannya beberapa jenis antibiotik tersebut
adalah penyakit demam thypoid .2,3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ,maka didapat rumusan masalah “
Apakah ada hubungan penggunaan antibiotika Kloramfenikol dengan timbulnya
stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid “.
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui
hubungan yang ada antara penggunaan antibiotika kloramfenikol dengan
stomatitis aphtosa yang timbul pada rongga mulut pasien demam thypoid .
1.3.2 Tujuan Khusus
Menjelaskan timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam
thypoid yang merupakan efek samping penggunaan antibiotika
kloramfenikol.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi penulis
a. Menambah pengalaman penelitian dan wawasan ilmu pengetahuan di
bidang kesehatan gigi .
b. Meningkatkan kemampuan dalam membuat suatu laporan penulisan
khususnya tentang timbulnya stomatitis aphtosa akibat penggunaan
antibiotika kloramfenikol pada pasien demam thypoid .
1.4.2 Bagi tenaga kesehatan dan dokter gigi
a. Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan tentang dampak yang
ditimbulkan dari penggunaan antibiotika kloramfenikol .
b. Dapat digunakan sebagai alasan untuk mencari alternatif obat
antibakteri (Salmonella typhi) yang lain jika penggunaan
kloramfenikol memicu timbulnya stomatitis aphtosa .
6
c. Membantu dokter gigi dalam mendiagnosa kesehatan umum pasien
yang dapat memengaruhi prosedur perawatan gigi .
d. Membantu dokter gigi dalam menentukan diagnosis dan prognosis dari
perawatan gigi yang dilakukan.
1.4.3 Bagi masyarakat
a. Menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi masyarakat khususnya
tentang kesehatan gigi dan mulut .
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Thypoid
2.1.1 Definisi
Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Secara historis, typhus berasal dari
bahasa Yunani ”typhos” yang berarti asap, atau yang lebih halus lagi dari asap,
merupakan kiasan yang menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh
asap yang sedang naik di awan, dari asal nama di atas menggambarkan bahwa
kesadaran penderita demam tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang
sering ditulis dalam kepustakaan adalah ”typhus abdominalis” suatu istilah yang
kurang tepat, karena dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan
gejala demam tifus yang menyerang alat pencernaan. 4,30
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai
karakteritik demam, sakit kepala dan ketidak enakan abdomen berlangsung lebih
kurang 3 minggu yang juga disertai nyeri tekan pada perut, pembesaran limpa dan
erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh S typhi. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus
menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula
keterlambatan penegakan diagnosis pasti. 5
8
2.1.2 Etiologi
Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab
bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan
demam tifoid yang berat disertai bakteriemia. Kuman Salmonella ini berbentuk
batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif, ukuran 1-3.5 um x
0.5-0.8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh kecuali
Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum.1
Kuman ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu
15 - 41oC dan pH pertumbuhan 6-8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan
biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella
resisten terhadap zat-zat kimia tertentu yang menghambat bakteri enterik
lainnya.Kuman mati pada suhu 56oC juga pada keadaan kering. Dalam air bisa
tahan selama 4 minggu.3
Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi3
2.1.3 Klasifikasi Salmonella
Klasifikasi salmonella sangat kompleks karena organisme ini biasanya
lebih merupakan sebuah kesatuan rangkaian dibanding sebagai spesies tersendiri.
Anggota jenis salmonella biasanya diklasifikasikan menurut dasar epidemiologi,
9
jenis inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan V1. Nama (misalnya
Salmonella typhi ,Salmonella typhimurium ) ditulis sebagai jenis dan spesies,
bentuk tata nama ini menyeluruh tetapi penggunaannya tidak berlaku. Studi
tentang DNA hibridasi memperlihatkan bahwa ada 7 kelompok evolusioner.
Hampir semua serotipe salmonella yang menginfeksi manusia adalah DNA
hibridisasi kelompok 1, jarang salmonella menginfeksi manusia dengan kelompok
IIIa dan IIIb. Ada lebih dari 2400 serotipe salmonella termasuk lebih dari 1400
dalam DNA hibridisasi group 1 yang dapat menginfeksi manusia. Empat serotipe
salmonella yang menyebabkan demam thypoid dapat diidentifikasi dalam
laboratorium yang terekomendasi dengan tes biokimia dan tes serologi.6
Tabel 1. Salmonella Nomenclature6
10
2.1.4 Patogenesis penyakit demam thypoid
Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman
Salmonella typhi (S. typhi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.4,6
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
11
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, dan koagulasi .4,7
Di dalam plaques peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoidini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.4,7
Gambar 2. Plaque Peyeri4
Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara
mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada
sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit
kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem
retikulo endotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian
12
kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu
lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear
dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organik lainnya .6,8
Gambar 3. Patogenesis Bakteri6
13
Gambar 4. Patogenesis Demam Typhoid8
2.1.5 Diagnosis
Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya
sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu, penegakan diagnosis
sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan
meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
14
Penegakan diagnosis penyakit demam tifoid ini masih kurang lengkap bila belum
ditunjang dengan diagnosa laboratorium mikrobiologi klinik, tetapi diagnosa
laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya
antigen / antibodi dalam sampel dan melalui kultur mikroorganisme. Diagnosis
demam tifoid dapat diambil dengan anamnesis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan dapat disertai gangguan kesadaran. Diagnosis banding
demam tifoid adalah gastroenteritis virus, enteritis bakteri selain karena
Salmonella, kolitis pseudomembran, appendisitis, dan kolesistitis. Untuk
memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan
tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.4,9,32
Gambar 5. Keluhan dan Gejala Demam Typoid.32
15
Untuk keakuratan dalam menegakan diagnosa penyakit,dokter akan
melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah
tepi,pemeriksaan Widal dan biakan empedu.8
1. Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah
dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada
gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang
meningkat dan eosinofilia.8
2. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat
anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan progresif.8
3. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu
dengan ditemukannya kuman Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu
pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces. Sampel darah
yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces
dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-
benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).Sedangkan untuk memastikan
apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada
diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan
memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti
Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC
(Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia).8
16
2.1.6 Manifestasi klinik
Gambaran klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada
orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui
makanan, sedang lewat minuman yang terlama 30 hari, pada masa inkubasi
mungkin ditemukan gejala seperti perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan menurun, gejala yang biasa
ditemukan adalah 4:
1. Demam
Kasus khas demam berlangsung 3 minggu dan suhu tidak terlalu tinggi
sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasa
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari, minggu
kedua penderita terus dalam keadaan demam, pada minggu ketiga berangsur turun
dan suhu kembali normal pada akhir minggu ketiga . 31
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, lidah tertutup selaput putih,
ujung dan tepinya kemerahan. Abdomen dapat ditemui perut kembung. Hati dan
limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi
tetapi juga dapat diare atau normal . 31
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun. Jarang terjadi koma dan gelisah
(kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Pada punggung
17
dan anggota gerak dapat ditemukan bintik-bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kulit, dapat pula bradikardi dan epistaksis . 31
2.1.7 Manifestasi Oral
Saat demam tifoid, lidah menjadi putih seperti terlapisi bulu. Lapisan putih
tersebut merupakan lapisan pucat (bio film) yang menjadi tempat berkumpulnya
ribuan bakteri anaerobik yang memproduksi gas. Gas tersebut menyebabkan nafas
yang tidak sedap .Oleh sebab itu pasien demam thypoid memiliki nafas berbau .
Lapisan tersebut terbentuk karena efek perubahan flora normal di rongga mulut
yang disebabkan oleh bakteri.11
2.2 Antibiotika Oral
2.2.1 Definisi
Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang diperoleh atau dibentuk
oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya .1
2.2.2 Macam-macam Obat Antibiotika oral
Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik dibagi menjadi :
a. Antibiotik yang mempengaruhi dinding sel
Sel kuman dikelilingi oleh suatu struktur kaku yang disebut
dinding sel, yang melindungi membran protoplasma dibawahnya terhadap
trauma, baik osmotik maupun mekanik. Karena itu, setiap zat yang mampu
merusak dinding sel dan mencegah sintesisnya akan menyebabkan
terbentuknya sel-sel yang peka terhadap tekanan osmotik.1 Antibiotik yang
18
termasuk kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin dan antibiotik beta
laktam lainnya.33
b. Antibiotik yang mengganggu atau merusak membran sel
Membran sel memegang peranan vital dalam sel. Membran sel
merupakan pembatas osmotik bagi bebasnya difusi antara lingkungan luar
dan dalam sel. Membran sel juga dapat mempengaruhi konsentrasi
metabolit dan bahan gizi didalam sel dan merupakan tempat
berlangsungnya pernafasan dan aktivitas biosintetik tertentu. Beberapa
antibiotik diketahui mampu merusak atau memperlemah satu atau lebih
dari fungsi-fungsi ini, yang akan menyebabkan gangguan-
gangguanterhadap kehidupan sel. Antibiotik yang termasuk kelompok ini
ialah polimiksin, nistatin, dan amfoterisin B. 1
c. Antibiotik yang mengganggu fungsi DNA
Sejumlah obat-obat antimikroba berfungsi terutama mengganggu
atau merusak struktur dan fungsi DNA. Struktur molekul DNA erat
kaitannya dengan dua peran utamanya yaitu duplikasi dan transkripsi. Oleh
karenanya, setiap zat yang mampu mengganggu struktur DNA, akan pula
mempengaruhi seluruh fase pertumbuhan dan metabolisme kuman.
Antibiotika yang termasuk kelompok ini adalah rifampisin dan golongan
kuinolon.1
d. Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yaitu
: transkripsi dan translasi. Antibiotik yang mampu menghambat salah satu
19
proses ini, akan menghambat sintesis protein. Antibiotik yang termasuk
dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosida, kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida, dan linkomisin.1
2.2.3 Kloramfenikol
Gambar 6. Rumus Bangun Kloramfenikol.1
Farmakologi :
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotika spektrum luas yang aktif
terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh
streptomyces venezuela dan merupakan antibiotika yang terpilih untuk mengobati
penyakit tifus perut ( tifus abdominalis). Kloramfenikol merupakan penghambat
yang kuat terhadap sintesis protein pada mikroorganisme, berbentuk kristal yang
diabsorbsi secara cepat dari saluran gastrointestinal, didistribusikan secara luas ke
dalam jaringan dan cairan tubuh. Obat ini memblokir ikatan asam amino pada
rantai peptida yang mulai timbul pada unit 50S ribosom dengan mengganggu
kerja peptidyl transferase. Kloramfenikol terutama bersifat bakteriostatik, dan
spektrum, dosis, kadar dalam darah sama dengan tetrasiklin. Resistensi terhadap
kloramfenikol disebabkan pengrusakan obat oleh enzim (cloramfenicol
acetyltransferase) yang berada dibawah kontrol plasmid .1,2,3
20
Kloramfenikol jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal. Namun,
pemberian lebih dari 3 gram/hari secara teratur menyebabkan gangguan pada
maturasi sel darah merah, peningkatan serum besi, dan anemia. Kelainan ini dapat
sembuh kembali jika obat dihentikan. Kadang-kadang kloramfenikol dapat
menyebabkan anemia aplastik apabila penggunaan dalam waktu lama dan
berlanjut. Karena alasan ini, penggunaan kloramfenikol umumnya digunakan
hanya pada infeksi yang jelas berdasar pengalaman dan uji laboratorium. Dosis
kloramfenikol yang normal adalah 50-100 mg/kg/hari.1,3
Penggunaan klinis
Sebagai obat sistemik ,kloramfenikol hampir tidak dipakai lagi berhubung
toksisitasnya yang kuat ,resistensi bakteri, dan tersedianya obat-obat yang lebih
efektif (misalnya sefalosporin). Obat ini diindikasikan untuk pengobatan infeksi-
infeksi ricketsia yang parah dan penyakit tifus. Kloramfenikol juga digunakan
sebagai alternatif untuk antibiotik beta-laktam bagi pengobatan meningitis bakteri
yang disebabkan oleh strain-strain pneumokokkus atau meningokokkus, yang
ditemukan pada pasien-pasien dengan reaksi hipersensitivitas mayor terhadap
penicilin. Dosisnya 50-100 mg/kg/hari.1
Kontra Indikasi
Kontraindikasi kloramfenikol pada pasien dengan kegagalan hati dan
infeksi-infeksi bakteri yang ringan .2
Efek samping
Efek samping yang di timbulkan dari penggunaan kloramfenikol adalah :
21
A. Gangguan gastrointestinal
Mual-mual, muntah, diare, hal ini jarang dijumpai pada anak-anak.
Kandidiasis dan stomatitis dapat timbul sebagai efek perubahan flora
normal. 1
B. Gangguan Sumsum Tulang
Kloramfenikol dapat menimbulkan suatu supresi reversible
terhadap produksi sel darah merah yang terkait dosis, pada dosis diatas 50
mg/kg/hari setelah 1-2 minggu.1
C. Toksisitas pada bayi baru lahir
Apabila bayi diberi dosis diatas 50 mg/kg/hari, obat dapat
terakumulasi dan mengakibatkan sindrom bayi kelabu ( gray baby
sindrome ) .Ciri-cirinya : muntah-muntah, hipotermi, perubahan warna
menjadi kelabu, tonus otot menurun, dan kolaps.1
D. Interaksi dengan Obat Lain
Seperti halnya inhibitor bakteriostatik dari sintesis protein mikroba
lainnya, kloramfenikol juga dapat mengantagonis obat-obat bakterisid
seperti penisilin atau aminoglikosid.1
2.2.4 Pengaruh Kloramfenikol terhadap stomatitis aphtosa
Beberapa efek dari penggunaan kloramfenikol antara lain mual, muntah,
kandidiasis oral, kolaps. Pada penderita demam thypoid dapat terjadi perubahan
flora normal akibat penggunaan kloramfenikol. Hal ini mengakibatkan terjadinya
stomatitis aphtosa dan kandidiasis oral. Penekanan jumlah terhadap bakteri-
22
bakteri probiotik dan jamur yang sejatinya flora normal dalam rongga mulut akan
menjadi patogen karena efek penggunaan kloramfenikol. 1,3
2.3 Stomatitis Aphtosa
2.3.1 Definisi
Stomatitis aphtosa merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser
yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak
memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya .Gangguan imunologik, defisiensi
nutrisi, dan kelainan hormonal semuanya sudah pernah diungkapkan dalam
kasus.2
Pasien penderita SAR diklasifikasikan dalam tiga kategori tergantung pada
presentasi klinis dari lesinya : ulser minor, ulser mayor, dan herpetiform ulser.
Ulser minor memiliki diameter yang besarnya kurang dari satu sentimeter dan
sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan parut. Ulser mayor memiliki
diameter lebih dari satu sentimeter dan akan membentuk jaringan parut pada
penyembuhannya. Ulser herpetiform dianggap sebagai suatu kumpulan rekuren
sebanyak berlusin-lusin, dari ulser kecil yang timbul di seluruh mukosa mulut.2,17,1
Gambar 7. SAR Tipe Mayor.7
23
Gambar 8. SAR Tipe Minor.18
Gambar 9. SAR Herpetiform.18
2.3.2 Etiologi
Etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan
karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang
menjadi ulser.2
Faktor-faktor predisposisi
1. Faktor genetik
24
Faktor genetik dianggap memainkan peranan yang sangat besar pada pasien
yang menderita SAR. Insiden SAR dipercaya meningkat pada pasien yang
memiliki riwayat keluarga positif terkena SAR.3 Kurang lebih 50%
keturunan derajat pertama dari penderita SAR juga akan mengidap SAR. 20
2. Faktor Hormon
Pada wanita, sekelompok stomatitis apthosa sering terlihat di masa pra-
menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga
berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting
adalah estrogen dan progesteron. 20,23
3. Faktor defisiensi nutrisi
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12)
kemungkinan 2x lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat. Pada
penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan SAR dengan menurunnya intake
makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1, akan tetapi pada penelitian
ini tidak dilakukan pengujian hubungan antara intake makanan dengan fakta-fakta
defisiensi haematologi.
4. Faktor Imunologi
Respon imun yang berlebihan pada pasien menyebabkan ulserasi lokal
pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit
pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.20
5. Faktor Mikroorganisme
Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis SAR, baik itu
secara langsung maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan
25
reaksi silang dengan mukosa mulut. Streptococcus L-form ditemukan pada
penderita SAR yang merupakan tipe dari Streptococcus sanguis, meski pada
penelitian selanjutnya di golongkan sebagai tipe dari Streptococcus mitis. Reaksi
silang antara streptococcus dengan mukosa mulut telah ditemukan dan
memperlihatkan jumlah serum antibodi yang signifikan.20
6. Faktor stress
Stress sangat berpengaruh pada sejumlah perubahan hidup yang terjadi
termasuk kemampuan dalam menimbulkan suatu penyakit. Stress dapat disertai
rasa cemas dan kadang terlihat adanya depresi. Kejadian stress dapat memberikan
respon terhadap tubuh baik itu respon fisiologis, respon psikologis, respon
hormonal, maupun respon hemostatik. Aktifnya hormon glukokortikoid pada
orang yang mengalami stress menyebabkan meningkatnya katabolisme protein
sehingga sintesis protein menurun. Akibatnya metabolisme sel terganggu
sehingga rentan terhadap rangsangan (mudah terjadi ulcer). 20
7. Faktor Penyakit Sistemik
SAR ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory
bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. Celiac sprue atau
sprue topical yang merupakan sindroma mal absorpsi yang tidak diketahui
penyebabnya, yang sering terjadi di Asia dan Karibia. Penyakit ini berhubungan
dengan kekurangan folat dan mal absorbsi vitamin B12, lemak, dan nutrient
lainnya. Dengan adanya kelainan mal absorbsi tersebut maka akan semakin
memicu terjadinya defisiensi nutrisi yang merupakan factor predisposisi
timbulnya SAR.20
26
8. Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers,
agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan
seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR. 20
9. Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok.
Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok. Prevalensi dan
keparahan SAR lebih rendah pada perokok berat dibandingkan dengan yang
bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti
merokok. 20
10. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS ( Sodium lauril sulfat )
Produk yang mengandung SLS yaitu agen berbusa, paling banyak
ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur. SLS dapat meningkatkan
resiko terjadinya ulser, dikarenakan efek SLS dapat menyebabkan epitel pada
jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS
mengalami sariawan lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam
satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa
bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat
mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.20
27
2.3.3 Gambaran klinis SAR
Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput
kuning keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematous
dan dapat bertahan untuk beberap hari atau bulan. Karateristik ulser yang sakit
terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal,
labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa
orofaring .2,20
2.3.4 Patogenesis
Stanley ( 2004 ) telah membagi karakter klinis dari SAR kepada 4 tahap
yaitu :
1. Pre monitori
2. Pre-ulseratif
3. Ulseratif
4. Penyembuhan
Tahap pre monitori terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR.
Pada waktu prodromal, pasien akan merasa sensasi mulut terbakar pada tempat
dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan
menginfeksi epitelium, dan oedem akan mulai berkembang.22,23
Tahap pre-ulseratif terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi
SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
28
eritematous. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pra ulserasi ini.
Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap
ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan
fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.21,23
Tahap Penyembuhan terjadi pada hari ke-4 hingga 35. Ulser tersebut akan
ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan selalu tidak meninggalkan
jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Oleh karena itu, semua lesi SAR
menyembuh dan lesi baru berkembang.21,24
2.4 Kerangka konsep
29
KLORAMFENIKOL
( LAMA PENGGUNAAN)
PENURUNAN JUMLAH BAKTERI BAIK DI RONGGA MULUT
EFEK PERUBAHAN MIKROBA FLORA NORMAL
PENINGKATAN JUMLAH BAKTERI-BAKTERI JAHAT
(AEROB/ANAEROB)
PERUBAHAN RAGI MENJADI HIFA (JAMUR PATOGEN )
STOMATITIS APHTOSA DAN KANDIDIASIS ORAL
2.5 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol
dengan timbulnya stomatitis aptosa pada pasien demam thypoid.
H1 : Terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol
dengan timbulnya stomatitis aptosa pada pasien demam thypoid.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasi dengan cross sectional.27
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medis dan Instalasi Rawat Inap Bagian Endokrin (Penyakit Dalam) Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 8 Oktober – 12 Oktober 2012.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pasien demam thypoid di Bangsal Rawat Inap Bagian Endokrin RSMH Palembang.
3.3.2 Sampel penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yaitu sebanyak sampel yang didapat melalui rumus sebagai berikut 26:
n = (Za)2PQ = (1,96)2.0,227.0,773 = 269,6 = 270 ( dengan pembulatan )
d2 (0,05)2
Keterangan : n : Besar sampel
Z : Nilai Z pada derajat kemaknaan ( biasanya 95% = 1,96 )
31
P : Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak
diketahui
proporsinya, ditetapkan 50% ( 0,50)
d : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan : 10%
(0,10), 5%(0,05) atau 1%(0,01)
Q : 1-P
3.3.3 Karakteristik sampel
Sampel yang dipilih didalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
Pasien Demam Thypoid dan pasien non demam thypoid, baik pria maupun wanita, dengan rentang usia 25-60 tahun dan bersedia untuk diwawancarai.26
b. Kriteria Ekslusi
Pasien Demam Thypoid dan pasien non demam thypoid, baik pria maupun wanita, dengan rentang usia 25-60 tahun, disertai dengan penyakit selain penyakit dalam dan tidak bersedia untuk diwawancarai.25
3.4 Tehnik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan random sampling. Pengambilan sampel dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :26
270 sampel
Pasien Demam thypoid Bukan pasien Demam Thypoid
Kloramfenikol (+) Kloramfenikol (-) Kloramfenikol(+) kloramfenikol(-)
K (+) K (-) K(+) K(-) K(+) K(-) K(+)K(-)
32
3.5 Variabel Penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.25
Variabel-variabel dalam penelitian ini,yaitu:
1. Variabel bebas atau variabel independent : Demam thypoid dan kloramfenikol
2. Variabel terikat atau variable dependent : Stomatitis Aphtosa
3.6 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Skala Ukur
Hasil Ukur
1.Variabel bebas Demam thypoid penyakit sistemik
yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan hati
Data primer atau sekunder
Nominal Demam tinggi naik turun atau tidak naik turun
2. Kloramfenikol suatu antibiotika spektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh streptomyces venezuela dan merupakan
Wawancara atau rekam medik
Nominal Menggunakan atau tidak menggunakan
33
antibiotika yang terpilih untuk mengobati penyakit tifus perut ( tifus abdominalis)
3.Variabel terikatStomatitis Aphtosa
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ulser yang rekuren dan terbatas pada mukosa mulut dari pasien-pasien yang tidak memiliki tanda-tanda dari penyakit lainnya
Observasi dengan instrumen dasar
Nominal Ditemukan atau tidak ditemukan
3.7 Alur penelitian
3.7.1 Bagan alur penelitian
3.7.2 Cara Kerja penelitian
34
Permasalahan
Pengumpulan literatur
Perumusan masalah
Desain penelitian
Pengumpulan data
Analisa data
Pembuktian hipotesis
A. Informed concent
Peneliti memberikan beberapa pertanyaan kepada populasi dengan
kuesioner yang telah disiapkan untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan. Selanjutnya peneliti menjelaskan tentang tindakan
apa yang akan diterima oleh sampel dan sampel mengisi informed consent yang
telah disediakan sebagai tanda persetujuan. Kuesioner dan informed consent
terlampir. 27
B. Etikal clearance
Pemeriksaan terhadap sample dilakukan oleh drg. Nandang Koeswara dan
drg. Lizanna dan data dicatat oleh peneliti. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan cermin mulut dan alat sterilisasi. Setelah itu dilakukan pada saat
pengambilan foto, sample ditutup matanya dan beberapa sample diberikan
pengobatan gratis.
C. Pemeriksaan stomatitis
a. Alat dan bahan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini telah disterilisasi dengan
menggunakan autoclave. Autoclave adalah alat sterilisasi yang mempergunakan
uap dibawah tekanan. Alat-alat seperti cermin mulut, sonde, pinset dan ekskavator
harus dikemas dalam keadaan terbuka atau dibungkus dengan kain muslin, kertas,
nilon, foil alumunium atau plastik tembus uap. Sterilisasi dengan autoclave diatur
pada temperatur 100ºC dan selama 20 menit. 29
Alat dan bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Alat tulis
35
2. Autoclave
Autoclave
3. Nierbeken
Nierbeken4. Alkohol
Alkohol
5. Pinset
6. Eksavator
36
7. Kaca mulut
8. Sonde
Pinset, Ekskavator, Cermin mulut, Sonde
9. Kapas
10. Masker
11.Sarung tangan
37
Sarung Tangan
11. Kamera
Kamera
b. Persiapan sampel
Sampel duduk menghadap sinar cahaya, lalu kepalanya disandarkan pada
dental unit dengan sedikit menengadah. Pemeriksa duduk atau berdiri di sebelah
kanan sampel agar dapat lebih mudah untuk melihat keadaan mulut sampel .
c. Cara pemeriksaan
38
Alat yang telah disterilisasi kita olesi dengan alkohol 70%. Pemeriksaan
dilakukan dengan mencari stomatitis pada rongga mulut sampel. Deteksi dimulai
dari mukosa bukal, mukosa bibir, palatum, orofaring dan lidah dengan bantuan
kaca mulut. Stomatitis akan tampak sebagai bercak putih tertutup selaput kuning
keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran eritema, biasanya
ukurannya yang bervariasi 1-30 mm.2
Setelah itu dicatat bagian-bagian mana dari rongga mulut sampel yang
terdapat stomatitis. Bagian rongga mulut yang terdapat stomatitis kita foto dengan
mengaburkan identitas sampel .
3.8 Analisa Data
Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji statistik dengan analisis
bivariat. Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yaitu
dengan menggunakan uji Chi-Square. Rancangan analisa data dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 2. hubungan antara kloramfenikol dengan stomatitis
Kloramfenikol
Stomatitis Ditemukan Tidak ditemukan
Menggunakan a b
Tidak menggunakan c d
Total
a
Nilai P = a+b+c+d
ad
39
Nilai PR = bc
Keterangan : PR : Prevalensi rasio
a : data yang terhitung ( count ) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)
b : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)
c : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)
d : data yang terhitung ( count) dan data yang diharapkan terhitung (expect counted)
Jika PR ≤ 1 : maka kloramfenikol tidak terbukti menimbulkan stomatitis.
Jika PR ≥ 2 : maka kloramfenikol terbukti menimbulkan stomatitis.
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Hasil Penelitian
Penelitian tentang hubungan lamanya penggunaan kloramfenikol dengan
timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid telah dilakukan di
bagian rekam medis dan instalasi rawat inap (penyakit dalam) RSMH Palembang.
Penelitian ini dilakukan selama satu minggu, dimulai pada tanggal 23 November
2012 dan berakhir pada tanggal 30 November 2012. Penelitian ini menggunakan
sampel sebanyak 270 sampel dengan distribusi sampel sebagai berikut (tabel 3).
Tabel 3 . Distribusi sampel berdasarkan jenis penyakit
No. Jenis Penyakit . Jumlah sample
1. Demam thypoid 270 sampel
Total 270 sampel
Sampel diambil dari rekam medis periode tahun 2011-2012 dipilih secara
acak melalui nomor rekam medis yang terdapat di bagian rekam medis RSMH
Palembang. Selanjutnya dari nomor rekam medis tersebut, peneliti mencari berkas
rekam medis dan melihat data yang dibutuhkan. Dari 270 sampel tersebut,
didapatlah keterangan tentang pasien yang menggunakan kloramfenikol.
Distribusi penggunaan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel dibawah ini (tabel 4)
41
Tabel 4. Distribusi penggunaan kloramfenikol pada sampel.
No. Penggunaan Kloramfenikol Jumlah
sampel
Presentase
1. Menggunakan kloramfenikol 53 19,63 %
2. Tidak menggunakan
kloramfenikol
217 80,37 %
270 sampel 100 %
Tabel 4 menunjukkan perbandingan jumlah antara sampel yang
menggunakan kloramfenikol dan sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol.
Dari 270 sampel, didapatkan hasil yaitu sebanyak 53 sampel menggunakan
kloramfenikol dimana seluruhnya merupakan pasien demam thypoid dan 217
sampel tidak menggunakan kloramfenikol. Selanjutnya, dari pasien yang
menggunakan kloramfenikol dan tidak menggunakan kloramfenikol dilihat apakah
terdapat stomatitis aphtosa atau tidak. Distribusi ditemukan atau tidak
ditemukannya stomatitis aphtosa dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi ditemukannya stomatitis aphtosa pada sampel yang
menggunakan kloramfenikol
No. Stomatitis aphtosa Jumlah sampel Presentase
1. Ditemukan stomatitis aphtosa 17 sampel 32,07 %
2. Tidak Ditemukan stomatitis
aphtosa
36 sampel 67,93 %
53 sampel 100 %
Tabel 5. Menunjukkan distribusi ditemukan dan tidak ditemukannya
stomatitis aphtosa pada pasien yang menggunakan kloramfenikol. Lama waktu
yang diperlukan sampai timbulnya stomtitis aphtosa pada pasien demam thypoid
yang menggunakan Kloramfenikol rata-rata dari hari ke 3-6. Berdasarkan tabel 5,
42
sebanyak 32,07 % dari 53 sampel ditemukan stomatitis aphtosa yaitu sebanyak 17
sampel dan 67,93% tidak ditemukannya stomatitis aphtosa yaitu sebanyak 36
sampel.
Dari hasil pemeriksaan, ditemukan stomatitis aphtosa di beberapa daerah
pada rongga mulut, antara lain di daerah bibir bawah, mukosa bukal, lidah dan
orofaring. Beberapa contoh gambar dari stomatitis aphtoa yang ditemukan pada
pasien yang menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada gambar 10 dan 11.
Gambar 10. Pasien demam thypoid yang menggunakan
kloramfenikol dan ditemukan adanya stomatitis aphtosa.
Gambar 11 .Pasien demam thypoid yang menggunakan
kloramfenikol dan ditemukan adanya stomatitis aphtosa.
43
Stomatitis aphtosa ternyata tidak hanya ditemukan pada sampel yang
menggunakan kloramfenikol, tetapi juga ditemukan pada sampel yang tidak
menggunakan kloramfenikol. Distribusi ditemukan stomatitis aphtosa pada sampel
yang tidak menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi ditemukannya stomatitis aphtosa pada sampel yang tidak
menggunakan kloramfenikol.
No. Stomatitis aphtosa Jumlah sampel Persentase
1. Ditemukan stomatitis aphtosa 32 14,74 %
2. Tidak Ditemukan stomatitis
aphtosa
185 85,26 %
Total 217 100 %
Tabel 6. menunjukkan distribusi ditemukan dan tidak ditemukannya
stomatitis aphtosa pada sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol.
Berdasarkan tabel 6, didapatkan hasil bahwa 14,74% dari 217 sampel yaitu
sebanyak 32 sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol ternyata ditemukan
stomatitis aphtosa dan sebanyak 85,26% dari 217 sampel yaitu sebanyak 185
sampel tidak ditemukannya stomatitis aphtosa. Pada sampel yang tidak
menggunakan Kloramfenikol tetapi terdapat stomatitis aphtosa lebih dikarenakan
dari mekanisme antibiotik pada umumnya yaitu penekakan terhadap jumlah flora
normal di rongga mulut pasien sehingga terjadi ketidakstabilan jumlah bakteri dan
jamur yang sejatinya ialah flora normal. Perbandingan ditemukannya stomatitis
aphtosa pada sampel yang menggunakan kloramfenikol dan yang tidak
menggunakan kloramfenikol dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6. Pada sampel
yang menggunakan kloramfenikol, persentase ditemukannya stomatitis aphtosa
adalah 32,07% sedangkan pada sampel yang tidak menggunakan kloramfenikol
adalah sebesar 14,74%.
Hubungan antara penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis
aphtosa dapat dinilai melalui perhitungan secara statistik. Perhitungan statistik ini
44
terdiri dari crosstabulation dan Chi-Square. Crosstabulation berfungsi untuk
melihat nilai expected count dari sel a, sel b, sel c dan sel d.35 Hasil perhitungan
dengan crosstabulation dapat dilihat pada tabel 7.34
Tabel 7. Hubungan penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis
aphtosa dengan Crosstabulation.
Stomatitis aphtosa Total
ditemukan Tidak
ditemukan
Penggunaan
kloramfenikol
menggunakan Count 17 32 49
Expected
Count
9,6 39,4 49,0
Tidak
menggunakan
Count 36 185 221
Expected
Count
43,4 177,6 221,0
Total Count 53 217 270
Expected
Count
53,0 217,0 270,0
Berdasarkan tabel 7, didapatlah nilai sel a yaitu 17 dengan
expected count 9.6, nilai sel b yaitu 32 dengan expexted count 39.4, nilai sel c
yaitu 36 dengan expected count 43.4 dan nilai sel d yaitu 185 dengan expected
count 177.6. Dari nilai ini kita dapat menghitung nilai PR ( Prevalence Ratio)
dengan rumus sebagai berikut :34
45
Nilai PR = ad/bc
= 17.185/32.36
= 3145/1152
= 2,73
Dari tabel diatas, didapatlah nilai PR > 2 yaitu sebesar 2,73. Hal ini
menunjukkan bahwa kloramfenikol terbukti dapat menimbulkan stomatitis
aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH
Palembang.
Uji Chi-Square dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan
antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa
yang ditunjukkan melalui nilai probabilitas. Jika nilai probabilitas atau Asymp.
Sig. (2-sides) kurang dari 0.05, maka kloramfenikol terbukti dapat menyebabkan
stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap penyakit
dalam RSMH Palembang.34
Tabel 8 . Hubungan lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya
stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat
inap Penyakit Dalam RSMH Palembang dengan Uji Chi-Square
menggunakan program SPSS 19.
Value Df Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact
Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-
Square
8,611a 1 ,003
Continuity
Correction(a)
7,484 1 ,006
Likelihood
Ratio
7,717 1 ,005
46
Fisher's Exact
Test
,005 ,004
Linear-by-
Linear
Association
8,579 1 ,003
N of Valid
Cases
270
a. Selanjutnya, setelah nilai expected count diketahui tidak kurang
dari 5, maka hal ini telah memenuhi syarat untuk dilakukannya
uji Chi-Square.
b. Dihitung komputerisasi hanya untuk tabel 2x2.
Pada uji Chi-Square, kolom Asymp. Sig. (2-sided) menunjukkan
nilai probabilitas. Pada tabel diatas, nilai Asympt. Sig hubungan
penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa yaitu
0,003. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan
antara penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa
pada pasien demam thypoid.34
4.2. Pembahasan
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah sampel yang digunakan
adalah 270 sampel dengan sampel yang menderita demam thypoid.Dari
270 sampel demam thypoid didapatkan sebanyak 53 sampel menggunakan
kloramfenikol dan 17 diantaranya ditemukan stomatitis aphtosa. Dari data
diatas, didapatlah prevalensi stomatitis aphtosa akibat penggunaan
kloramfenikol pada pasien demam thypoid sebesar 32,07%.
Kandidiasis dan stomatitis dapat timbul sebagai efek perubahan
flora normal ( katzung 2004 )1. Efek samping penggunaan kloramfenikol
antara lain gangguan usus-lambung, gangguan perifer, radang lidah dan
47
radang mukosa mulut ( Obat-obat penting 2007 )12. Pada penderita demam
thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH Palembang,
terjadinya stomatitis aphtosa akibat penggunaan kloramfenikol timbul
karena efek perubahan flora normal dan penurunan jumlah bakteri baik
( probiotik ) didalam rongga mulut. Ketidakseimbangan flora normal
rongga mulut lebih disebabkan penekanan terhadap jumlah bakteri-bakteri
baik di rongga mulut karena efek penggunaan kloramfenikol. Keadaan
inilah yang memicu lesi-lesi oral di dalam rongga mulut seperti radang
mukosa ( SAR) ,radang lidah dan lain sebagainya.9
Selain itu faktor lain yang menyebabkan pasien demam thypoid di
instalasi Nilrawat inap penyakit dalam RSMH palembang memiliki
persentase stomatitis aphtosa yang cukup tinggi dikarenakan tingkat
kebersihan mulut pasien di instalasi rawat inap RSMH Palembang yang
rendah . Tingkat kebersihan mulut pasien dapat dilihat dari nilai OHI-S
(Oral Hygiene Index- Simplified). Dari sampel yang dilakukan
pemeriksaan, didapatlah hasil bahwa sebagian besar nilai kebersihan mulut
pasien rawat inap RSMH Palembang adalah buruk ( skor >3 ). Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran pasien terhadap kebersihan mulut masih
rendah. Keadaan rongga mulut yang buruk inilah yang diduga memicu
timbulnya perubahan flora dirongga mulut dari yang sebelumnya fisiologis
( ragi ) menjadi patologis ( hifa ) yang menimbulkan stomatitis aphtosa
dan kandidiasis oral.
Dari tabel 8, didapatlah nilai p (p value) adalah 0,003. Secara
statistik, maka H0 ditolak atau dengan kata lain H1 diterima, dimana
memiliki makna yakni ada hubungan antara lamanya penggunaan
kloramfenikol dengan timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam
thypoid di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH Palembang.
48
BAB V
PENUTUP
5. 1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di bagian rekam medis dan
instalasi rawat inap bagian penyakit dalam RSMH Palembang, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan
timbulnya stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid di instalasi rawat inap
RSMH Palembang .
5. 2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis antara lain:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih detail mengenai
hubungan antara lamanya penggunaan kloramfenikol dengan timbulnya
stomatitis aphtosa pada pasien demam thypoid.
2. Perlu perhatian yang lebih untuk tetap menjaga kesehatan dan kebersihan
rongga mulut agar dapat mencegah timbulnya komplikasi dari penyakit
demam thypoid yang menggunakan kloramfenikol.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung BG. Farmakologi Dasar Klinik, 8th ed. Airlangga BFFKU, editor.
Surabaya : Salemba Medika; 2004.
2. Malcolm A. Lynch VJB,MS.G. Ilmu Penyakit Mulut Diagnosis dan
Terapi. 8th ed. Susanto DYESdDWS, editor. Jakarta: Binarupa Aksara;
1993.
3. Jawetz MA. MIKROBIOLOGI KEDOKTERAN. St ed. Airlangga
BMFKU, editor. Jakarta: Salemba Medika; 2005.
4. Santoso H. KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA KASUS DEMAM THYPOID YANG DIRAWAT PADA
BANGSAL PENYAKIT DALAM DI RSUP DR.KARIADI
SEMARANG. SEMARANG: FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA ; 2009; 32-43.
5. Utami TN. DEMAM THYPOID. Pekan Baru, RIAU : Facultuy Of
Medicine – University of Riau; 2010.
6. MARHAMAH. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA
PASIEN DEMAM THYPOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PEMBALAH BATUNG
KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN.
SURAKARTA: FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SSURAKARTA; 2009.
7. SAFITRI IR. ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU
MUHAMMADIYAH SURAKARTA. SURAKARTA : FAKULTAS
FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA; 2009.
8. Putri AIW. POLA RESISTENSI BAKTERI SALMONELLA TYPHI
PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA. 2010.
50
9. Wulan Lestari* AANZDD. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan
Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam
RSUP DR.M.Djamil Padang. PADANG; FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS;2006.
10. W d. Demam thypoid. Media IDI. 1998;23:4-7 .
11. Sasanti DH. STOMATITIS YANG SERING DI JUMPAI DI KLINIK.
JAKARTA: FKG UI : 2009 .
12. Drs. Tan Hoan Tjay DKR. Obat-obat Penting KHASIAT,
PENGGUNAAN, DAN EFEK-EFEK SAMPINGNYA. 6th ed. Jakarta:
PT Elex Media Komp[utindo; 2007.
13. Sibuea WH. Pengobatan Demam Thypoid dengan Kombinasi
Deksametason, Kloramfenikol dan Antibiotika sesuai Uji Resistensi Guna
Mempercepat Penyembuhan. Majalah Kedokteran Indonesia 1992; 42 (8):
438-443.
14. Noer S, et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1996: 435-442.
15. Hadinegoro SR. Masalah Multi Drug Resistance Pada Demam Tifoid
Anak. Cermin Dunia Kedokteran 1999; 124:5-10.
16. Katcher MJ, Ludlow JB, Sammelson AD, Campbell T, Pusek SN.
Evaluation of a bioadhesif device for the management of apthous ulcers. J
Am Dent Assoc 2001; 132 (3) : 368-376.
17. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicines diagnosis and treatment,
Philadelpia,London,Mexico city, New York, St.Louis, San Paulo, Sydney.
J.B, Lippincott Company.2004;63-65.
18. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter S.R. Mucosal Disease Series,
Recurrent Aphtous Stomatitis. Journal of Oral Disease. Avaluable at:
http://www.blackwellsynergy.com.
19. Canker Sores ( Recurrent Aphtous Stomatitis ) Cause and Control,
Avaluable at : http://www.google.com
51
20. Guyton A.C.,and Hall E.J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi IX. Alih
Bahasa: Setiawan I., Tengadi, Santoso A. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
21. Melamed F. Brief Clinical Update-Aphthous Stomatitis. UCLA
Department of Medicine. Avaluable at: http://www.ucla.com.
22. Roger RS. Recurrent apthous stomatitis : Clinical characteristic and
associated systemic disorder. Senninars in Cutaneus Medicine and Surgery
1997;16 (4);278-283.
23. Haikal, Mohammad. Skripsi USU : Stomatitis Aftosa Rekuren. Medan.
2009.
24. Hadi SSS. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. Kumpulan
Makalah KPPIKG X 1994.
25. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta, Jakarta, Indonesia, hal.89, 92, 146, 188.
26. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta, Jakarta, Indonesia, hal.38, 39, 40, 127, 130, 183.
27. Dahlan, M.Sopiyudin. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan `Kesehatan. CV. Sagung Seto, Jakarta,
Indonesia, hal. 62-64.
28. Dahlan, M.Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan.
Edisi 4. Salemba Medika, Jakarta, Indonesia, hal. 122-125.
29. Baum,Lloyd.et. al. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi Edisi III. EGC,
Jakarta Indonesia, hal.118.
30. Ngatsiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta ; EGC.
31. Ngatsiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
32. Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC.
33. Istiantoro, Yati H dan Gan, Vincent HS. Penisilin, Sefalosporin dan
Antibitik Betalaktam lainnya. Dalam: Ganiswarna, Sulistia G, editor .
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007. Hal. 664-93.
52
34. M.Dahlan.Sopiyudin. 2009. Salemba Medika. Statitstik Untuk Kedokteran
dan Kesehatan . Edisi 4. Jakarta: EGC.
53
54