Skripsi Risti Fix

64
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Deklarasi Millennium Development Goals (MDG’s) yang telah dicanangkan dalam pertemuan global tahun 90-an bertujuan untuk mengurangi separuh masalah kelaparan di dunia, mengupayakan semua anak dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, menghapus perbedaan jender tanpa melihat tingkat pendidikan, mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan anak balita, mengurangi angka kematian ibu tiga per empat dari angka sekarang, serta menyediakan air bersih bagi separuh penduduk dunia pada tahun 2015. Dasar sasaran butir keempat MDG’s adalah anak balita. Mengingat usia anak balita merupakan masa ‘kehidupan emas’, maka dalam masa ini kita mempunyai peluang ‘emas’ untuk dapat melakukan intervensi selama masa tumbuh kembang sehingga dicapai manusia dewasa yang sehat dengan kualitas prima (WHO 2011). Periode balita ini merupakan masa kritis pertumbuhan otak yang disebut juga sebagai windows of opportunity, yang berarti pada periode ini akan berdampak buruk jika tidak diperhatikan, tetapi berdampak baik kalau pada masa tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya (Soetjiningsih & Suandi 2002). Dalam literatur lain dikatakan sebagai

Transcript of Skripsi Risti Fix

Page 1: Skripsi Risti Fix

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Deklarasi Millennium Development Goals (MDG’s) yang telah dicanangkan

dalam pertemuan global tahun 90-an bertujuan untuk mengurangi separuh masalah

kelaparan di dunia, mengupayakan semua anak dapat menyelesaikan pendidikan

sekolah dasar, menghapus perbedaan jender tanpa melihat tingkat pendidikan,

mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan anak balita, mengurangi angka

kematian ibu tiga per empat dari angka sekarang, serta menyediakan air bersih bagi

separuh penduduk dunia pada tahun 2015. Dasar sasaran butir keempat MDG’s

adalah anak balita. Mengingat usia anak balita merupakan masa ‘kehidupan emas’,

maka dalam masa ini kita mempunyai peluang ‘emas’ untuk dapat melakukan

intervensi selama masa tumbuh kembang sehingga dicapai manusia dewasa yang

sehat dengan kualitas prima (WHO 2011).

Periode balita ini merupakan masa kritis pertumbuhan otak yang disebut juga

sebagai windows of opportunity, yang berarti pada periode ini akan berdampak buruk

jika tidak diperhatikan, tetapi berdampak baik kalau pada masa tersebut dimanfaatkan

sebaik-baiknya (Soetjiningsih & Suandi 2002). Dalam literatur lain dikatakan sebagai

periode critical window yaitu masa 2 tahun pertama kehidupan, dimana pada periode

ini merupakan waktu yang tepat untuk promosi mengenai pertumbuhan optimal,

perkembangan kesehatan fisik, maupun perilaku. Berdasarkan penelitian-penelitian

sebelumnya, secara konsisten didapatkan bahwa pada usia ini merupakan puncak usia

untuk terjadinya masalah-masalah seperti penurunan pertumbuhan, defisiensi dari

mikronutrien tertentu, dan terjadinya penyakit yang sering mengenai anak seperti

diare (Kathryn Dewey 2001).

Intervensi yang perlu diperhatikan salah satunya adalah kebutuhan nutrisi.

Nutrisi yang baik yaitu nutrisi yang adekut, yang seimbang antara zat gizi yang

masuk ke dalam tubuh (intake) dengan kebutuhan yang diperlukan untuk aktivitas,

pertumbuhan, dan lainnya (WHO 2011). Oleh karena itu setiap daur kehidupan

Page 2: Skripsi Risti Fix

2

memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda. Pada tiga tahun pertama kehidupan,

kebutuhan nutrisi yang adekuat dan seimbang merupakan kebutuhan akan asuh yang

terpenting untuk perkembangan setiap anak menjadi manusia seutuhnya

(Tanuwidjaya 2002). Konsekuensi jangka pendek yang akan segera terlihat dari

kurang adekuatnya nutrisi selama masa perkembangan anak antara lain terjadi

keterlambatan dalam tumbuh kembang anak. Sedangkan manifetasi dari defisiensi

nutrisi dalam jangka panjang berhubungan dengan penurunan intelektual, kapasitas

kerja, dan keseluruhan kesehatan selama remaja dan dewasa. Setelah usia 2 tahun

akan sangat sulit untuk mengembalikan kegagalan perumbuhan ataupun

perkembangan yang telah terjadi (Kathryn Dewey 2001).

Kurangnya pemberian ASI, praktek pemberian makanan pendamping ASI yang

salah, dan tingginya penyakit-penyakit akibat infeksi merupakan masalah dasar

penyebab malnutrisi selama dua tahun pertama kehidupan (Kathryn Dewey 2001) .

Karena alasan tersebut, sangat penting untuk memastikan kebutuhan nutrisi pada

masa ini terpenuhi dengan tepat. Untuk itu WHO maupun pemerintah Indonesia

merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan

sampai usia dua tahun dengan tambahan makanan untuk pandamping ASI.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa ASI

memiliki komposisi yang unik, yang diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh

kembang bayi manusia (Soetjiningsih & Suandi 2002). Pemberian ASI memilki

banyak keunggulan, selain memiliki kandungan gizi yang lengkap dan cukup untuk

bayi sampai enam bulan pertama kehidupan, pemberian ASI secara eksklusif pun

akan meminimalisasi masuknya bahan infeksius, meminimalisasi terjadinya alergi

ataupun intoleransi terhadap suatu bahan makanan tertentu, dan selain itu pemberian

ASI pada bayi merupakan hal yang praktis dan terjangkau oleh semua kelas ekonomi

(Wardlow, M.G., Hampl, J.S. & Disilvestro, R.A. 2004).

Pemberian ASI juga bermanfaat bagi ibu yang memberikannya, antara lain

mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat involusi uterus, dan

menunda kembalinya kesuburan akibat dari amenore anovulasi (Soetjiningsih &

Suandi 2002).

Page 3: Skripsi Risti Fix

3

Soepardi 2007, menyatakan bahwa pada saat air susu ibu (ASI) tidak lagi

mencukupi kebutuhan nutrisi bayi, maka makanan pendamping ASI (MPASI) harus

diberikan sebagai makanan tambahan. Praktek pemberian MPASI merupakan suatu

proses awal ketika pemberian ASI saja kepada bayi sudah tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan yang harus dicapai oleh bayi tersebut, dan oleh karena itu

makanan padat maupun cair dibutuhkan sebagai pendamping ASI (Kathryn Dewey

2001).

Makanan pendamping ASI seharusnya diberikan pada waktu yang tepat, artinya

setiap anak seharusnya mulai menerima makanan tambahan disamping ASI sejak usia

enam bulan (WHO 2011). Pemberian MPASI disesuaikan dengan perkembangan

saluran cerna bayi yang belum sempurna. Pemberian MPASI terlalu dini, telah

diketahui dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain bayi lebih sering

menderita diare, bayi mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi

malnutrisi/gangguan pertumbuhan anak, dan mengakibatkan penurunan produksi

ASI, oleh karena itu pemberian MPASI pada saat yang tepat bertujuan untuk

mencegah kemungkinan timbulnya masalah-masalah tersebut. Overfeeding juga dapat

terjadi karena bayi tersebut belum mampu memberikan pertanda bahwa ia sudah

kenyang, dan alasan lain adalah bayi belum mampu menelan MPASI dengan benar

dan berpotensi untuk tersedak(Soepardi 2007).

Literatur lain mengatakan bahwa anak yang diberi MPASI pada usia antara 4-6

bulan memiliki BB ataupun BB/TB lebih rendah dibandingkan anak yang diberi

MPASI pada usia 6 bulan (Lawrence 2005), sehingga pemberian MPASI harus

dimulai pada usia 6 bulan.

Nilai gizi MPASI harus adekuat seperti kandungan dalam ASI, bersih, rasa dan

bentuk yang menarik dalam jumlah yang cukup. Makanan pendamping ASI tidak

menggantikan ASI, tetapi secara bertahap diberikan untuk mendampingi ASI

sehingga bayi mendapatkan nutrisi sesuai dengan kebutuhan gizi bayi (Soedibyo, S.

& Winda, F. 2007).

Page 4: Skripsi Risti Fix

4

Tujuan dari proses pemberian MPASI yaitu (Soetjiningsih & Suandi 2002):

a. Memenuhi kebutuhan zat makanan yang adekuat untuk keperluan hidup,

memelihara kesehatan, dan untuk aktifitas sehai-hari.

b. Menunjang tercapainya tumbuh kembang yang optimal.

c. Mendidik anak untuk terbina selera dan kebiasaan makan yang sehat, memilih

dan menyukai makanan yang sesuai dengan keperluan anak.

Berdasarkan data Riskesdas 2010, tertulis bahwa praktek pemberian ASI secara

eksklusif selama 6 bulan sangat rendah yaitu hanya 15,3% dan dinyatakan pula

bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari 19 provinsi yang memiliki

prevalensi kekurusan diatas angka prevalensi nasional. Di sisi lain dalam laporan

yang sama Provinsi Jawa Barat merupakan merupakan salah satu provinsi yang

memiliki masalah kegemukan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik mengetahui apakah usia pertamakali

anak mulai mendapatkan MPASI mempengaruhi keadaan status gizi anak tersebut.

Sehingga dapat melihat pentingnya praktek pemberian MPASI yang benar terutama

usia memulai pemberian MPASI.

I.2. Perumusan Masalah

Prevalensi gizi kurang pada anak di Desa Cileungsi masih cukup tinggi yaitu

12.1%. Pada usia 6-24 bulan merupakan masa yang penuh risiko, dimana pada

periode ini banyak berkaitan dengan masalah pemberian ASI, usia pertama pemberian

MPASI dan asupan gizi. Terlalu dini atau terlambatnya bayi diberikan MPASI diduga

mempunyai kontribusi terhadap terjadinya gizi kurang. Berdasarkan latar belakang di

atas maka timbul pertanyaan yang hendak dijawab dengan penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana distribusi status gizi anak usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi

Kecamatan Cileungsi kabupaten Bogor?

2. Bagaimana distribusi usia anak saat pertama kali diperkenalkan dengan

makanan pendamping ASI?

3. Bagaimana distribusi anak yang mendapatkan ASI eksklusif?

Page 5: Skripsi Risti Fix

5

4. Mengetahui apakah ada hubungan antara status gizi dengan riwayat

pertama kali pemberian MPASI?

I.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan :

I.3.1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara usia pertama kali pemberian MPASI dengan

status gizi anak usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi Kecamatan Cileungsi kabupaten

Bogor periode Februari 2012.

I.3.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi status gizi anak usia 6-24 di Desa Cileungsi

Kecamatan Cileungsi kabupaten Bogor.

b. Mengetahui distribusi usia pertama kali anak mendapatkan makanan

pendamping ASI.

c. Mengetahui distribusi anak yang mendapatkan ASI eksklusif

I.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

I.4.1. Masyarakat umum

Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan sehingga diharapkan

masyarakat bisa mengetahui tentang pentinnya nutrisi untuk anak terutama

mengenai pemberian makanan pendamping ASI.

I.4.2 Desa tempat penelitian

Memberikan gambaran mengenai hubungan antara usia pertama kali

pemberian makanan pendaping ASI dengan status gizi anak, sehingga

diharapkan akan meningkatkan kegiatan promotif mengenai pemberian ASI

eksklusif dan promosi mengenai praktek pemberian MPASI yang tepat untuk

anak.

Page 6: Skripsi Risti Fix

6

I.4.3 Diri sendiri

Untuk menambah wawasan tentang ilmu kesehatan anak khususnya mengenai

kebutuhan nutrisi untuk anak dan juga untuk mengaplikasikan ilmu

pengetahuan yang telah didapat khususnya ilmu CRP (Community Research

Programe).

Page 7: Skripsi Risti Fix

7

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka

II.1.1. Status gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara

asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Dalam penentuan status gizi anak

diperlukan indikator status gizi untuk menilainya. Indikator status gizi merupakan

tanda-tanda yang dapat memberikan indikasi tentang status gizi anak tersebut.

Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak

saat konsepsi sampai berakhirnya masa remaja (Tanuwidjaya 2002).

Tumbuh yang prosesnya disebut pertumbuhan ialah bertambahnya ukuran

dan jumlah sel serta jaringa interseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik dan

struktur tubuh dalam arti sebagian ataupun keseluruhan. Kembang yang

peristiwanya disebut perkembangan ialah bertambahnya kemempuan struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks, yang bersifat kualitatatif (Hariyono &

Moersintowati 2002).

II.1.2. Penilaian Status Gizi

Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung

dan tidak langsung (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

a. Penilaian gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat

penilaian, yaitu:

1) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia (Supariasa,

Bachyar, & Ibnu 2002). Tanda-tanda pertumbuhan fisik merupakan

indikator status gizi yang dapat diamati dengan pertambahan besarnya

ukuran-ukuran antropometri, otot, kulit serta jaringan lemak, darah,

dan lain-lain. Parameter antropometri yang dipakai pada penilaian

Page 8: Skripsi Risti Fix

8

pertumbuhan fisik yaitu tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipat

kulit, lingkar lengan atas, panjang lengan, dan panjang tungkai

(Moersintowati 2002). Pada prakteknya, ukuran antropometri yang

bermanfaat dan sering dipakai adalah:

a) Berat badan

Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting,

dipakai dalam setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada

setiap kelompok umur (Suyitno 2002).

Pengukurn dapat dilakukan dengan tepat menggunakan timbangan

elektronik, bayi dalam keadaan telanjang, atau pada anak hanya

menggunakan pakaian dalam saja. Timbangan lain yang dapat

digunakan dengan tepat adalah timbangan yang menggunakan

dacin, atau timbangan injak yang secara teratur ditera untuk

menjaga ketepatanya (Moersintowati 2002).

b) Tinggi badan

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang penting,

keistimewaannya adalah nilai tinggi badan meningkat terus,

walaupun laju tumbuh berubah dari pesat pada bayi muda,

kemudian melambat dan menjadi pesat lagi pada masa remaja,

selanjutnya melambat lagi kemudian berhenti dengan nilai tinggi

maksimal pada usia 18-20 tahun. Pengukuran tinggi badan pada

anak sampai usia 2 tahun dengan menggunakan infantometer,

diperlukan bantuan ibu untuk memegang kepala anak agar tetap

menempel pada ubun-ubun, kesulitan biasanya pada saat

meluruskan tungkainya dengan telapak kaki menempel pada

pengukur, karena bayi tidak suka dipegang agar diam beberapa

waktu (Moersintowati 2002).

c) Lingkar kepala

Pengukuran pada lingkaran occipitofrontal menunjukan ukuran

pertumbuhan kepala dan otak. Laju tumbuh pesat pada enam bulan

Page 9: Skripsi Risti Fix

9

pertama bayi, dari 35 cm saat lahir menjadi 43 cm pada 6 bulan.

Laju kemudian berkurang, hanya 46,5 cm pada usia 1 tahun dan

49 cm pada usia 2 tahun. Selanjutnya berkurang drastis yaitu

hanya bertambah 1 cm sampai usia 3 tahun dan bertambah lagi

kira-kira 5 cm sampai usia remaja/dewasa. Oleh karena itu

manfaat pengukuran lingkar kepala terbatas sampai usia 3 tahun,

kecuali jika diperlukan seperti pada kasus hidrocephalus

(Moersintowati 2002).

d) Lingkar lengan atas

Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan

lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan

tubuh dibandingkan dengan berat badan. Laju tumbuh lambat, dari

11 cm saat lahir menjadi 16 cm saat usia 1 tahun. Selanjutnya

tidak banyak berubah selama 1-3 tahun (Moersintowati 2002).

e) Lipatan kulit

Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapuler

merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit,

yang mencerminkan kecukupan energi. Dimanfaatkan untuk

menilai terdapatnya keaadaan gizi lebih, khususnya pada keadaan

obesitas (Moersintowati 2002).

2) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai

status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-

perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi.

Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut,

dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan

tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk

survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang

untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari

kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan

Page 10: Skripsi Risti Fix

10

untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan

pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit

(Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

3) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen

yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada bebagai macam

jaringan tubuh (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

4) Biofisika

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status

gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, Bachyar, & Ibnu

2002).

b. Penilaian gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1) Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara

tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi.

Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan

individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan

gizi (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

2) Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian

berdasarkan umur, angka kesakitan dan angka kematian akibat

penyebab tertentu dan data lainny yang berhubungan dengan gizi.

Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak

Page 11: Skripsi Risti Fix

11

langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, Bachyar, &

Ibnu 2002).

3) Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi antara

beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah

makanan yang tersedia sangat tergantung dan keadaan ekologi seperti

iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

II.1.3. Klasifikasi Status Gizi

Alat yang penting dalam penilaian pertumbuhan adalah kurva pertumbuhan.

Penilaian pertumbuhan dimulai dengan memplot hasil pengukuran tinggi badan,

berat badan pada kurva standard (misalnya NCHS), sejak intra uterin hingga

remaja. Pada prinsipnya, ada tiga cara pemaparan inidikator antropomeris

(Arisman 2007), yaitu:

a) Persentase, dengan cara berat badan (tinggi badan atau ukuran antropometris

lain) pada usia tertentu dibagi dengan berat baku acuan.

b) Persentil, cara yang mengacu pada posisi nilai suatu ukuran secara

keseluruhan (100%) dari pengukuran populasi acuan yang disusun

berdasarkan ranking.

c) Z-skor, atau simpangan baku/ standar deviasi (SD), dilakukan dengan cara

melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang diperiksa. Angka ini

melukiskan jarak nilai baku median dalam urutan simbangan baku. Nilai z-

skor diperoleh dari hasi pembagian antara ukuran antropometris orang yang

diperiksa dengan nilai baku acuan.

Cara umum yang dilakukan untuk mengukur keadaan gizi adalah dengan

cara megukur ukuran tubuh atau antropometri. Indikator antropometri yang umum

digunakan untuk mengukur keadaan gizi adalah indeks antropometri (Ansori

2002), yaitu:

Page 12: Skripsi Risti Fix

12

a. Berat badan terhadap umur (BB/U)

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini

tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun

akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.

Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya

pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut) (Riskesdas

2010). Penggunaan indeks BB/U memiliki kebihan atara lain lebih mudah dan

lebih cepat dimengerti oleh masyarakat, baik untuk mengukur status gizi akut

maupun kronis, sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan kecil, dan

dapat mendeteksi over weight (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

b. Tinggi badan terhadap umur (TB/U)

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis,

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan,

perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari

sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek ((Riskesdas

2010).

c. Berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB)

Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya

akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama

(singkat), misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan

(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk

identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga

memberikan indikasi kegemukan ((Riskesdas 2010).

d. Lingkar lengan atas (LLA)

Berat badan merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan tulang, otot,

lemak, cairan tubuh dan lainnya. Defisit dalam berat terhadap umur dapat

memiliki dua macam arti, yaitu defisit dalam arti BB/U menunjukan keadaan

kurang gizi yang kronis atau gizi pada masa lampau (stunting), sedangkan defisit

BB/TB menunjukan keadaan gizi saat ini atau akut (wasting) (Ansori 2002).

Page 13: Skripsi Risti Fix

13

Tabel 2.1.Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks

Sumber : KMK Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010.

II.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi dibagi menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak

langsung (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

a. Faktor yang mempengaruhi secara langsung

Penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah konsumsi makanan dan

penyakit infeksi, kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.(Soekirman,

2002). Dengan demikian timbulnya gizi kurang tidak hanya kurangnya

makanan tetapi juga adanya penyakit infeksi. Sebagai contoh anak yang

mendapatkan cukup makanan namun sering mengalami penyakit infeksi

misalnya diare akhirnya akan dapat menderita gizi kurang, dan sebaliknya anak

kurang mendapatkan makanan akan menurun daya tahan tubuhnya sehingga

lebih mudah terserang penyakit.

Page 14: Skripsi Risti Fix

14

Makanan sebagai faktor yang mempengaruhi secara langsung status gizi anak

bukan hanya mengenai kecukupan jumlah secara kuantitas saja tetapi harus

juga terpenuhi kecukupan secara kualitasnya.

b. Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung

1) Daya beli dan ketahanan pangan di keluarga

Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan pangan seluruh anggota keluaraga dalam jumlah yang cukup dan

baik mutunya. Tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang

cukup yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan

makanan yang diperlukan.

2) Pola asuh gizi

Pola asuh gizi merupakan faktor yang secara tidak langsung

mempengaruhi konsumsi makanan pada bayi. Termasuk didalamnya adalah

praktek dalam pemberian makanan. Pemberian makanan dengan jenis yang

tepat dan waktu yang tepat sangatlah mempengaruhi keadaan gizi bayi.

3) Pelayanan kesehatan

Peran pelayanan telah lama diadakan untuk memperbaiki status gizi.

Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat

membantu dalam meningakatkan derajat kesehatan. Dengan pelayanan

kesehatan yang optimal kebutuhan kesehatan masyarakat akan terpenuhi. Salah

satu bentuk pelayana kesehatan yaitu kegiatan posyandu yang dapat memantau

pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan penimbangna berat badan

secara rutin tiap bulan.

c. Masalah utama

Terbentuknya masalah dalam ketersediaan pangan, pola asuh, dan pelayana

kesehatan tidak lain merupakan lingkaran setan karena adanya masalah

kemiskinan, masalah kurangnya pendidikan, dan rendahnya kesempatan kerja.

d. Masalah dasar

Dasar pemasalahan dari masalah gizi di Indonesia adalah ketidaksetabilan

krisis politi dan ekonomi.

Page 15: Skripsi Risti Fix

Pelayanan Kesehatan

ASUPAN GIZI

Masalah Dasar

Masalah Utama

Penyebab Tak Langsung

Penyebab Langsung

KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA

KRISIS POLITIK DAN EKONOMI

PENYAKIT INFEKSI

Status Gizi

Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah TanggaPerilaku/ Asuhan Ibu dan Anak

15

Bagan 2.1.

Faktor Penyebab Masala Gizi (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002)

II.1.5. Gangguan Nutrisi

Gangguan terpenuhinya nutrisi akan menyebabkan masalah gizi pada anak.

Masalah gizi merupakan kesenjangan antara keadaan gizi yang diharapkan

dengan kenyataan yang ada. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah

kesehatan masyarakat, namun penanggulanganya tidak dapat dilakukan dengan

pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah

gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus

melibatkan berbagai sektor yang terkait (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

Masalah gizi pada anak antara lain:

a. Masalah gizi kurang

i. KEP (Kurang Energi Protein)

Kekurangan Energi Protein (KEP) disebabkan disebabkan kekurangan

makanan sumber energy secara umum dan kekurangan sumber protein.

Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap

Page 16: Skripsi Risti Fix

16

penyakit terutama penyakit infeksi, dan mengakibatkan rendahnya tingkat

kecerdasan (Almatsier 2001).

ii. Anemia besi

Akibat paling sering dari defisiensi besi adalah anemia defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi sangat banyak dijumpai pada wanita terutama yang

tinggal di pedesaan, anak-anak, wanita pekerja pabrik. Anemia besi

menyebabkan penurunan kemampuan fisik atau produktifitas kerja,

penurunan kemampuan berfikir, dan penurunan antibodi sehingga mudah

terserang infeksi (Almatsier 2001).

iii. Gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI)

Kekurangan iodium terutama terjadi di daerah pegunungan, dimana tanah

kurang mengandung iodium. GAKI menyebabkan pembesaran kelenjar

tiroid. Pada anak-anak menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan

jasmani, maupun mental (Almatsier 2001).

iv. Defisiensi vitamin

Vitamin adalah nutrien esensial yang harus dipasok dari luar. Manifestasi

dari defisiensi vitamin tergantung dari jenis dari defisiensi vitamin.

Tabel 2.1.

Keadaan ketergantungan vitamin (Barness 1999)

Page 17: Skripsi Risti Fix

17

b. Masalah gizi lebih

i. Obesitas

Terdapat penelitian yang menyatakan obesitas pada masa kanak-kanak

dapat menjadi obesitas pada dewasa (10-30%). Sedangkan obesitas

memiliki korelasi terjadinya penyakit kardiovaskuler, atherosclerosis, dan

diabetes (Barness 1999).

ii. Kelebihan protein

Asupan protein berlebihan, terutama jika tidak ada air yang cukup, dapat

menimbulkan demam dehidrasi. Tanda-tanda kelebihan protein jarang,

tetapi bayi premtur yang diet tinggi protein memiliki peningkatan risiko

morbiditas (Barness 1999).

Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih

didominasi oleh KEP, masalah anemia besi, defisiensi vitamin A, dan obesitas

terutama di kota-kota besar (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).

II.1.6. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)

Ketika air susu ibu (ASI) tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayi, maka

makanan pendamping ASI (MPASI) harus diberikan sebagai makanan tambahan.

Istilah makanan pendamping ASI bermacam-macam yaitu makanan pelengkap,

makanan makanan tambahan, makanan padat, makanan sapihan atau weaning

food, makanan peralihan, ataupun beikost (istilah dalam bahasa jerman yang

artinya makanan selain dari ASI yang diberikan pada bayi) (Ansori 2002).

Perubahan kebutuhan dari ASI eksklusif ke makanan pendamping umumnya

terjadi pada usia 6-24 bulan, dan periode ini sangat sensitif untuk terjadinya

malnutrisi pada anak. Pemberian makana pada anak mempunyai tujuan, yaitu

(Soetjiningsih & Suandi 2002):

a. Memenuhi kebutuhan zat makanan yang adekuat untuk keperluan hidup,

memelihara kesehatan, dan untuk aktifitas sehari-hari.

b. Menunjang tercapainya tumbuh kembang yang optimal.

Page 18: Skripsi Risti Fix

18

c. Mendidik anak untuk terbina selera dan kebiasaan makan yang sehat, memilih

dan menyukai makanan yang sesuai dengan keperluan anak.

Saat mulai memberikan MPASI, harus disesuaikan dengan maturitas saluran

pencernaan bayi dengan kebutuhannya. Di awal kehidupannya, lambung dan usus

bayi sesungguhnya belum sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam

susu (laktosa), tetapi belum mampu menghasilkan amilase dalam jumlah yang

cukup. Ini berarti bahwa bayi tidak dapat mencerana tepung sampai paling tidak

usia 3 bulan. Sehingga makanan pertama dan utama untuk bayi adalah ASI

(Arisman 2007).

Bayi dengan berat lahir >3800 g cenderung mendapat makanan pendamping

ASI lebih dini karena bayi menunjukkan rasa laparnya atau ibu mengira bayi

kurang kenyang (Hamlyn 2002). Sesungguhnya, tidak ada manfaat dari

pemberian MPASI yang kurang dari 6 bulan meskipun dilakukan dengan

persiapan akan higien yang baik dan tinggi akan nutrisi (Dewey et.al 1999), selain

itu terdapat banyak alasan untuk memulai memberikan MPASI pada waktu yang

tepat yaitu usia 6 bulan, antara lain:

a. Bayi lebih sering menderita diare

b. Bayi ebih mudah alergi terhadap zat makanan tertentu

c. Terjadi malutrisi atau gangguan pertumbuhan anak

d. Menurunkan produksi ASI

e. Meningkatkan beban ginjal

Alasan mengapa MPASI dimulai pada umur 4-6 bulan, adalah (Soetjiningsih

& Suandi 2002):

a) Kebutuhan energi bayi untuk pertumbuhan dan aktifits makin bertamah,

sedangkan produksi ASI relatif tetap, sehingga dibutuhkan makanan selain

ASI untuk membiasakan bayi makan makanan lain selain ASI.

b) Pada umur 4 bulan, bayi sudah mengeluarkan air liur lebih banyak dan

produksi enzim amylase lebih banyak pula, sehingga bayi siap menerima

makanan lain selain ASI.

Page 19: Skripsi Risti Fix

19

c) Bayi sudah bisa menutup mulutnya dengan rapat dan menggerakan lidahnya

ke belakang.

d) Selain itu pada usia kurang dari 4 bulan bayi belum mampu menelan MPASI

dengan benar dan berpotensi untuk tersedak dan tidak dapat tidur nyenyak

pada malam hari (Dewey et al. 1999).

e) Bayi dengan berat lahir rendah cenderung diberikan MPASI secara dini oleh

orang tuanya, padahal ini tidak meningkatkan pertumbuhan bayi tersebut

(Forsyth et.al. 1993)

Kandungan gizi yang perlu dipenuhi untuk balita sesuai dengan pedoman

pemberian MPASI adalah sebagai berikut (Depkes RI 2006):

a) Kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gr protein.

Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gr protein,

maka kebutuhan yang diperoleh dari MPASI adalah 250 Kalori dan 6 gr

protein.

b) Kebutuhan gizi bayi usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gr

protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gr protein, maka

kebutuhan yang diperoleh dari MPASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gr

protein.

WHO menyatakan bahwa dalam pemberian MPASI harus tepat, baik waktu

mulainya pemberian, konsistensi dan jenis makanan yang diperkenalkan, maupun

frekuensi pemberiannya. WHO menyarankan bahwa bayi harus menerima

makanan pendamping pada usia 6 bulan 2-3 kali sehari disamping ASI sampai

usia 8 bulan dan meningkat menjadi 3-4 kali pada usia 9-11 bulan dan pada usia

12-24 bulan tambahan MP 1-2 kali perhari (WHO, 2011).

LIPI dan UNICEF pada tahun 2000 melaporkan rata-rata MPASI diberikan

pada umur 4,3 bulan di Jakarta, 3,6 bulan di Bogor, dan 4,8 bulan di Lombok

Selatan. Prihatanto (1994) dalam penelitiannya di Magelang mendapatkan bahwa

bayi sudah mendapatkan MPASI rata-rata pada umur 3,4 bulan (Ansori 2002).

Gangguan pertumbuhan mulai umur 6 bulan banyak ditemui di negara

berkembang, sebagai akibat kualitas dan higien MPASI yang kurang memadai

Page 20: Skripsi Risti Fix

20

(Dewey 1999). Berbagai penelitian di Indonesia dan secara nasional menunjukan

bahwa prevalensi gangguan gizi BB/U (berat badan terhadap umur) berdasarkan

baku WHO-NCHS terdapat sekitar 40% pada bayi 6-11 bulan (Ansori 2002).

Hasil review oleh Moetarjemi (1993) telah memperlihatkan bahwa makanan

tambahan di negara berkembang frekuensinya besar untuk terkontaminasi dengan

pathogen dan ini merupakan faktor terbesar untuk terjadinya kasus penyakit diare

dan berhubungan dengan keadaan malnutrisi pada anak setelah usia 6 bulan.

Sedangkan WHO (1999) dalam laporannya bahwa dengan diperkenalkannya

makanan tambahan yang mana di banyak negara kondisi persiapannya yang tidak

higienis, kemungkinan terekspos oleh kuman infektif dari patogen foodborns.

Banyak hasil studi melaporkan bahwa insiden penyakit diare tinggi khususnya

setelah makanan pendamping ASI diberikan (Sheth & Dwivedi 2006).

MPASI yang diberikan kurang dari 4 bulan, bila dibiarkan berlanjut dapat

menyebabkan bayi mudah terserang infeksi yang merupakan salah satu penyebab

utama gizi buruk pada masa penyapihan. Bila tidak segera diatasi dapat

menimbukan gangguan pertumbuhannya juga membawa kematian pada bayi

(Pudjiadi 1997). Di negara berkembang usia pemberian makanan tambahan

menjadi faktor kesehatan masyarakat yang penting karena risiko terjadinya diare

akibat kontaminasi makanan tambahan, serta risiko potensial gangguan

pertumbuhan bila makanan tambahan diberikan terlambat (Ansori 2002).

Terlalu lambat mulai memberikan MPASI juga kurang baik karena dapat

menyebabkan bayi kurang gizi dan menghambat keterampilan makan bayi.

Kekurangan gizi dapat terjadi karena kebutuhan makro dan mikronutrien dari ASI

hanya dapat memenuhi sampai usia 6 bulan (Soetjiningsih & Suandi 2002).

Page 21: Skripsi Risti Fix

Pelayanan Kesehatan

ASUPAN GIZI

Masalah Dasar

Masalah Utama

Penyebab Tak Langsung

Penyebab Langsung

KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA

KRISIS POLITIK DAN EKONOMI

PENYAKIT INFEKSI

Status Gizi

Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah TanggaPerilaku/ Asuhan Ibu dan Anak

Usia Pertama Kali diberikan MPASI Status Gizi Bayi

21

II.2. Kerangka Teori

II.3. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian teori dalam rumusan masalah di atas, maka penulis

mengembangkan kerangka konsep sebagai berikut :

Kerangka konsep penelitian

Variabel independen Variabel dependen

II.4. Hipotesis

H1: ada hubungan antara usia pertama kali pemberian makanan pendamping

ASI dengan status gisi anak usia 6-24 bulan di PKM Cileungsi.

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

Page 22: Skripsi Risti Fix

22

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitin analitik dengan pendekatan potong lintang (cross

sectional) dengan melakukan wawancara serta pengukuran berat badan dan tinggi badan

untuk menentukan status gizi pada bayi usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi Kecamatan

Cileungsi Kabupaten Bogor. Penilaian status gizi berdasarkan kritreria WHO 2006

menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB.

III.2. Waktu dan Tempat

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Cileungsi. Lokasi pengambilan sampel dilakukan

di Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 yang memiliki jumlah bayi

banyak, posyandunya aktif, selain itu lokasinya tidak jauh dan bisa terjangkau. Di lakukan

pengukuran pada bulan Februari 2012.

III.3. Populasi Penelitian

III.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini yaitu semua bayi berusia 6-24 bulan pada bulan Februari

2012 di Desa Cileungsi. Penetapan populasi bayi usia 6-24 bulan dengan pertimbangan

diharapkan ibu-ibu bayi masih mengingat usia saat pertama kali diberikan MPASI. Selain

itu usia dua tahun pertama kehidupan merupakan waktu yang optimal untuk

pertumbuhan, perkembangan kesehatan fisik maupun perilaku.

III.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya

(Notoadmodjo 2010). Sampel pada penelitian ini yaitu anak berusia 6-24 bulan di

posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 di Desa Cileungsi.

III.3.3. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eklusi

Sebagai kriteria inklusi adalah anak terhitung berusia usia 6-24 bulan pada

bulan Februari 2012 yang datang ke Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04,

dan RW 09 . Sedangkan kriteria eksklusi adalah anak berusia 6-24 bulan yang

Page 23: Skripsi Risti Fix

23

orang tua atau pengasuhnya tidak ingat usia pertama kali anak diberi MPASI,

ataupun orang tua tidak setuju untuk menjadi sampel penelitian.

III.4. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan berdasarkan desain penelitian secara statistik atau

skala pengukuran variable. Dalam penelitian ini variable status gizi menggunaan

skala numerik sehingga desain penelitian ini yaitu analitik numerik tidak berpasangan

dan penentuan besar sampel dengan rumus (Dahlan 2010):

n=2((Zα−Zβ)Sx 1−x 2 )

2

n= besar sampel

Zα= 1.64 pada kepercayaan 95%

Zβ= 1,28 pada kekuatan uji 80%

x1-x2= selisih rata-rata yang dianggap bermakna = 1

S= standar deviasi= 2

Dengan memasukan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh:

n=2((1.64−1.28)21 )

2

=68

Dengan demikian, besar sampelnya adalah 68.

III.5. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dengan cara teknik convenience atau accidental, yaitu

teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang ditemui

dan bersedia menjadi responden dijadikan sampel (Dahlan 2010). Peneliti melakukan

pengambilan sampel Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 desa

Cileungsi.

Page 24: Skripsi Risti Fix

24

III.6. Definisi Operasional

No.

Variabel Definisi Alat

ukur

Cara ukur Hasil ukur Skala

1. Usia pertama kali pemberian MPASI

usia anak saat pertamakali diberi MPASI baik berupa buah, nasi, ataupun lainnya baik berupa makanan padat, cair, maupun setengah padat

chek

list

Wawancara orang

tua

1. <4 bulan

2. 4-<6 bulan

3. ≥6 bulan

Ordinal

2. Status gizi Adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Diukur panjang badan, tinggi badan pada hari yang sama.

chek

list

Berdasarkan

kriteria baku

WHO 2006

menggunakan

software

WHOAnthroII.P

C

Indeks

antropometri

berdasarkan

standar deviasi

Interval

III.7. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel Independen: usia pertama kali bayi diberian MPASI

Variabel Dependen: Status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB

Page 25: Skripsi Risti Fix

Penentuan lokasi posyandu tempat pengambilan sampel (3)

Penentuan jumlah sampel (2)

Pengumpulan data (4)

Bersedia

Persiapan Penelitian (1)

Analisis data yang telah diperoleh (6)

Tidak Bersedia

25

III.8. Alur Penelitian

III.9. Protokol Penelitian

1) Persiapan penelitian

Persiapa meliputi persiapan form untuk mengumpulkan data. Form terdiri atas

lembar persetujuan dan lembar kriterian sampel (usia, jenis kelamin, TB, BB,

dan usia pertama kali diberi MPASI). Persiapan tim untuk pengambilan

sampel. Memastikan bahwa tim mengerti dengan jelas kriteria sampel dan

cara ukur.

2) Penentuan jumlah sampel

Jumlah sampel ditentukan dengan rumus sesuai dengan jenis pendekatan

masalahnya yaitu analitik numerik tidak berpasangan sehingga didapatkan

jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 68 sampel.

3) Pengambilan sampel

Page 26: Skripsi Risti Fix

26

Teknik sampling yg digunakan yaitu dengan teknik convenience atau

accidental.

4) Analisa data

Analisis data dengan menggunakan uji hipotesi Annova karena masalahnya

berupa analitik numerik tidak berpasangan.

III.10. Rencana Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang atau cross

sectional. Berdasarkan masalah penelitian yaitu analitik komparatif numerik tidak

berpasangan >2 kelompok, maka untuk menganalisis data akan digunakan adalah

menggunakan program SPSS dengan uji Anova sebagai uji analisisnya

(Dahlan,2010).

Page 27: Skripsi Risti Fix

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBHASAN

IV. 1. Gambaran Lokasi Penelitian

Desa Cileungsi merupakan salah satu desa di Kecamatan Cileungsi Kabupaten

Bogor. Desa ini terdiri dari 14 RW. Berdasarkan laporan hasil bulan penimbangan

balita tingkat Puskesma tahun 2011 jumlah balita yang ada di desa ini sebanyak 4.227

anak dan balita yang ikut serta dalam penimbangan sebanyak 2.924 anak. Dilaporkan

bahwa persentase balita yang mengalami gizi sangat kurang sebesar 0,2%, balita

dengan gizi kurang sebesar 11,8%, balita gizi normal sebesar 80,46%, dan balita

dengan gizi lebih sebesar 7,36%.

IV. 2. Hasil Penelitian

IV. 2. 1. Persebaran Data

Persebaran data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data yang terdistribusi

normal secara analitis. Metode pengujian kenormalan data dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov (Dahlan 2009). Hasil uji untuk data status gizi BB/U, TB/U,

dan BB/TB didapatkan nilai p> 0,05 maka kesimpulannya adalah distribusi status gizi

BB/U, TB/U, dan BB/TB normal.

IV. 2. 2. Distribusi Usia Pertama Pemberian MPASI pada Anak

Dari penelitian ini didapatkan distribusi usia pertama kali anak mendapatkan MPASI,

yaitu hanya 24 anak yang mendapatkan MPASI sesuai waktunya (setelah enam

bulan), sedangkan 24 anak telah mulai diberi MPASI di usia antara empat sampai

enam bulan, dan 21 anak lainya telah diberi MPASI kurang dari usia empat bulan.

Seperti yang terlihat dari table berikut:

Page 28: Skripsi Risti Fix

28

Table 4.1. Frekuensi usia pemberian MPASI pertama kali

Usia Jumlah Persentase

<4 bulan 20 39.4

4-6 bulan 25 36.8

6 bulan 23 33.8

Jumlah 68 100

Diagram 4.1. Frekuensi usia pemberian MPASI pertama kali

Dari data diatas juga dapat terlihat bahwa distribusi pemberian ASI ekslusif

yaitu 33,8%. Keadaan ini lebih baik dari nilai persentase nasional yang diperoleh dari

Riskesdas 2010 hanya 15,3%.

IV. 2. 3. Distribusi status gizi anak

IV. 2. 3.1. Distribusi status gizi anak indeks BB/U

Gambaran status gizi berdasarkan indeks BB/U dengan metode Z-score

pada anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar -0.5485, nilai

terendah -4.13, dan tertinggi 2.14. Jumlah anak yang mengalami gizi buruk atau

Page 29: Skripsi Risti Fix

29

nilai Z-score <3SD sebanyak 3 anak (4.4%), mengalami gizi kurang atau nilai Z-

score < 2SD sebanyak 4 anak (5.9%), anak dengan keadaan status gizi baik atau

nilai Z-score antara 2–(-2)SD sebanyak 58 anak (85.3%), sedangkan anak dengan

keadaan status gizi lebih atau nilai Z-zcore >2SD sebanyak 3 anak (4.4%).

Table 4.2. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan BB/U

Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median

BB/U 68 -4.13 2.14 -0.5485 -0.565

Table 4.3.Frekuensi status gizi anak indeks BB/U

Status gizi Frekuensi Persentase

Gizi lebih (>2 SD) 3 4.4Gizi baik (2- (-2) SD) 58 85.3

Gizi kurang ((-2) - (-3) SD) 4 5.9Gizi buruk (<-3 SD) 3 4.4

Total 68 100

Diagram 4.2. Frekuensi status gizi indeks BB/U

Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan MPASI

memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4 bulan yang

menderita gizi buruk sebanyak 10%, mengalami gizi kurang sebesar 10 %, dan 80 %

Page 30: Skripsi Risti Fix

30

mengalami gizi baik, pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-6

bulan 4% mengalami gizi buruk, 8% mengalami gizi kurang, 84% dalam keadaan gizi

baik, dan 4% mengalami gizi lebih, sedangkan pada anak yang mendapatkan MPASI

setelah anak berusia 6 bulan terihat 91,3% dalam keadaan status gizi baik, 8.7 %

dalam keadaan gizi lebih, dan tidak ditemukan anak yang mengalami gizi kurang

maupun gizi buruk.

Diagram 3Frekuensi status gizi berdasarkan usia pertama pemberian MPASI

IV. 2. 3.2. Distribusi status gizi anak indeks TB/U

Gambaran status gizi berdasarkan indeks TB/U dengan metode Z-score pada

anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar -1.18, nilai terendah -4.33,

dan tertinggi 4.82. Jumlah anak yang sangat pendek atau nilai Z-score <3SD

sebanyak 8 anak (11.8%), yang pendek atau nilai Z-score < 2SD sebanyak 11

anak (16.2%), anak dengan keadaan normal atau nilai Z-score antara 2–(-2)SD

Page 31: Skripsi Risti Fix

31

sebanyak 45 anak (66.2%), sedangkan anak tinggi atau nilai Z-zcore >2SD

sebanyak 4 anak (5.9%).

Table 4.4. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan TB/U

Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median

TB/U 68 -4.33 4.82 -1.18 -1.26

Table 4.5.Frekuensi status gizi anak indeks TB/U

Status gizi Frekuensi Persentase

Tinggi (>2 SD) 4 5.9Normal (2- (-2) SD) 45 66.2

Pendek ((-2) - (-3) SD) 11 16.2Sangat Pendek (<-3 SD) 8 11.8

Total 68 100

Diagram 4.2. Frekuensi status gizi indeks TB/U

Page 32: Skripsi Risti Fix

32

Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan

MPASI memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4

bulan yang mengalami sangat pendek sebanyak 25%, pendek sebesar 20%, dan

55% normal. Pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-6 bulan 8%

anak sangat pendek, 16% anak pendek, 68% normal, dan 8% tinggi. Pada anak

yang mendapatkan MPASI setelah anak berusia 6 bulan terihat 4,3% anak sangat

pendek, 13% anak pendek, 73,9% dalam keadaan normal, 8,7% dalam keadaan

tinggi.

Diagram 3Frekuensi status gizi berdasarkan usia pertama pemberian MPASI

IV. 2. 3.3. Distribusi status gizi anak indeks BB/TB

Gambaran status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan metode Z-score

pada anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar 0.14 , nilai terendah -

4.04, dan tertinggi 3.58. Jumlah anak yang sangat kurus atau nilai Z-score <3SD

sebanyak 1 anak (1.5%), yang kurus atau nilai Z-score < 2SD sebanyak 3 anak

(4.4%), anak dengan keadaan normal atau nilai Z-score antara 2–(-2)SD sebanyak

Page 33: Skripsi Risti Fix

33

58 anak (85.3%), sedangkan gemuk atau nilai Z-zcore >2SD sebanyak 6 anak

(8.8%).

Table 4.6. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan BB/TB

Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median

BB/TB 68 -4.04 3.58 0.14 0.26

Table 4.7.Frekuensi status gizi anak indeks BB/TB

Status gizi Frekuensi Persentase

Gemuk (>2 SD) 6 8.8Normal (2- (-2) SD) 58 85.3

Kurus ((-2) - (-3) SD) 3 4.4Sangat Kurus (<-3 SD) 1 1.5

Total 68 100

Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan

MPASI memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4

bulan yang mengalami sangat kurus sebanyak 5%, kurus sebesar 5%, 85%

Page 34: Skripsi Risti Fix

34

normal, dan 5% gemuk. Pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-

6 bulan 8% anak kurus, 84% normal, dan 8% gemuk. Pada anak yang

mendapatkan MPASI setelah anak berusia 6 bulan terihat 87% dalam keadaan

normal, 13% dalam keadaan gemuk, dan tidak ditemukan anak yang kurus

maupun sangat kurus.

IV. 2. 4 Hubungan antara Usia Pertama Pemberian MPASI dengan Status Gizi

Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak

berdasarkan indeks BB/U, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.036

(p<0.05). Sehingga bisa diakatakan menolak Ho atau artinya terdapat hubungan

antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks

BB/U.

Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak

berdasarkan indeks TB/U, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.039

(p<0.05). Sehingga bisa diakatakan menolak Ho atau artinya terdapat hubungan

antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks

TB/U.

Page 35: Skripsi Risti Fix

35

Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak

berdasarkan indeks BB/TB, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.52

(p>0.05). Sehingga bisa diakatakan terima Ho atau artinya tidak terdapat hubungan

antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks

BB/TB.

IV. 3. Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti di dapatkan persentase status gizi

dengan indeks BB/U jumlah anak yang mengalami gizi buruk 4.4%, mengalami gizi

kurang 5.9%, anak dengan keadaan status gizi baik 85.3%, sedangkan anak dengan

keadaan status gizi lebih 4.4%. Berdasarkan indeks TB/U didapatkan jumlah anak

yang sangat pendek 11.8%, yang pendek 16.2%, anak dengan keadaan normal 66.2%,

sedangkan anak tinggi 5.9%. Berdasrkan indeks BB/TB didapatkan jumlah anak yang

sangat kurus 1.5%, yang kurus 4.4%, anak dengan keadaan normal 85.3%, sedangkan

gemuk 8.8%.

Berdasarkan analisis data yang diperoleh, didapatkan adanya hubungan antara

usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan keadaan status gizi anak

menurut indeks BB/U. Hasil dari uji statistik Anova didapatkan p = 0,036 (p<0.05)

sehingga menunjukan adanya hubungan antara usia pertama kali anak mendapatkan

MPASI dengan kedaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/U. Uji statistik

Anova terhadap usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi berdasarkan

indeks TB/U didapatkan p = 0,039 (p<0.05) sehingga menunjukan adanya hubungan

antara usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak

berdasrkan indeks TB/U. Uji statistik Anova terhadap usia pertama pemberian

MPASI dengan status gizi berdasarkan indeks BB/TB didapatkan p = 0,52 (p>0.05)

sehingga menunjukan tidak adanya hubungan antara usia pertama kali anak

mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak berdasrkan indeks BB/TB.

Adanya hubungan antara usia pertama pemeberian MPASI dengn status gizi

anak bisa terjadi dikarenakan waktu pemberian MPASI yang tidak tepat, terutama

pemberian MPASI terlalu dini. Karena sesungguhnya sistem pencernaan anak pada

Page 36: Skripsi Risti Fix

36

awal kehidupan belum sepenuhnya matang, yang mengakibatkan anak sukar untuk

mencerna jenis nutrien tertentu yang berakibat terjadinya diare. Selain itu di negara

berkembang, higienis dari penyiapan MPASI belum baik, sehingga hal ini pun dapat

menjadi penyebab diare pada anak. Dan bila berlanjut dapat mengakibatkan gangguan

pada pertumbuhan anak tersebut.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad Ansori di

Kecamatan Pedamakan Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan pada tahun

2001 menyatakan terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan

keadaan status gizi bayi usia 6-12 bulan. Selain itu, hasil penelitian Novia Ritasari di

Kecamatan Ujung Pangkah Gresik pada tahun 2009 pun menyatakan terdapat

hubungan antara pola pemberian MPASI terutama usia pemberian pertama terhadap

status gizi bayi usia 6-12 bulan. Namun penelitian lain yaitu Suyatno di Puskesmas

Mrangen Demak, Jawa Tengah pada tahun 2003 menyatakan bahwa tidak terdapat

hubungan praktek pemberian MPASI dini terhadap kejadian gizi buruk.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia pertama pemberian MPASI

berhubungan dengan status gizi dengan menggunakan indeks BB/U dan TB/U,

namun tidak terdapat hubungan dengan menggunakan indeks BB/TB. Hal ini terjadi

kemungkinan karena anak yang normal berdasarkan indeks BB/TB sesungguhnya

dalam keadaan gizi kurang menurut indeks BB/U ataupun merupakan anak yang

pendek berdasarkan indeks TB/ U ataupun sebaliknya.

IV. 4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak terbebas dari keterbatasan penelitian mengingat banyaknya

variable lain yang mempengaruhi keadaan status gizi pada anak. Selain itu terdapat

kemungkinan terjadinya bias yang ditemukan dalam penelitian ini, diantaranya bias

dalam mengingat kembali kapan anak mendapat MPASI pertama kali. Hal ini

terrdapat kemungkinan ibu salah dalam memberikan informasi. Untuk

meminimalisasi bias tersebut, maka dalam menggali informasi dilakukan seakurat

mungkin dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan tentang waktu pertam kali

pemberian MPASI.

Page 37: Skripsi Risti Fix

37

Dalam pengukuran berat badan dan tinggi badan anak kemungkinan terjadi

Measurement Error, karena pada saat anak ditimbang kondisinya sering dalam

keaadaan gelisah, menangis, dan bergerak-gerak sehingga menimbulkan kesalahan

interpretasi dalam menentukan hasil pengukuran berat badan maupun tinggi badan

yang sebenarnya.

Page 38: Skripsi Risti Fix

38

BAB V

PENUTUP

V. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang diperoleh,

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Didapatkan terbanyak pemberian MPASI dimulai pada usia antara 4-6 bulan.

2. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks BB/U sebesar -0.54

dan median -0.56.

3. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks TB/U sebesar –1.18

dan median -1.26.

4. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB sebesar 0.14

dan median 0.26.

5. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/U adalah status gizi baik

yaitu sebesar 85,3%, gizi lebih sebanyak 4.4%, anak dengan status gizi kurang

sebanyak 5.9%, sedangkan sebesar 4.4% dalam keadaan status gizi buruk.

6. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks TB/U adalah normal sebesar

66.2%, anak tinggi 5.9%, anak pendek sebanyak 5.9%, sedangkan sebesar

11.8% sangat pendek.

7. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB adalah normal sebesar

85,3%, anak gemuk sebanyak 8.8%, anak kurus sebanyak 4.4%, sedangkan

sebesar 1.5% sangat kurus.

8. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan

bahwa terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan

status gizi berdasarkan indeks BB/U pada anak berusia 6-24 bulan.

9. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan

bahwa terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan

status gizi berdasarkan indeks TB/U pada anak berusia 6-24 bulan.

Page 39: Skripsi Risti Fix

39

10. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan

bahwa tidak terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan

status gizi berdasarkan indeks BB/TB pada anak berusia 6-24 bulan.

V. 2. Saran

1. Kepada PKM Cileungsi selaku tempat pelayanan kesehatan untuk bekerja

sama dengan sektor-sektor terkait untuk memberikan penyuluhan pada ibu-ibu

yang memiliki anak maupun pada calon-calon ibu tentang pentingnya

pemberian ASI secara eksklusif dan mengenain praktek pemberian MPASI

yang tepat. Selain itu juga penyuluhan mengenai pentingnya membawa anak

ke Posyandu untuk pemantuan status gizi anak.

2. Untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan variabel-variabel lain yang

dapat mempengaruhi status gizi, ataupun menggunakan metode lain dalam

menentukan status gizi.

Page 40: Skripsi Risti Fix

40

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2001, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ansori, M. 2002, Hubungan Umur Pertama Pemberian Makanan Pendamping Air

Susu Ibu (MPASI) dengan Status Gizi Bayi Umur 6-12 Bulan di Kecamatan

Padamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan 2001, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Arisman, M.B. 2007, Gizi dalam Daur Kehidupan, EGC, Jakarta

Barnes, L.A. & Curran, J.S. 1999, ‘Nutrisi’, Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak,

Editor: Behrman, R.E., Kliegman, R.M. & Jenson, H.B. EGC, Jakarta.

Dahlan, M.S. 2010, Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta.

Dahlan, M.S. 2010, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.

Dahlan, M.S. 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.

Dewey, K.G., Cohen, R.J., Brown, K.H., & Rivera, L.L. 1999, ‘Age of Introduction of Complementary Food and Growth of Term, Low Birth Weight, Breast-fed Infant: A Randomized intervention Study in Honduras’, American Journal Clinic Nutrition, Vol. 69.

Dewey, K. 2001, Complementary Feeding: Report of The Global Consultation and

Summary of Guiding Principle for Complementary Feeding of The Breastfed

Child, World Health Organization, Geneva.

Forsyth, J.S., Ogston, S.A., Clark, A., Forey, C.D., & Howie, P.W. 1993, ‘Relation between Early Introduction of Solid Food to Infant and Their Weght and Ilness During The First Two Years of Life’, British Medical Journal, Vol. 306.

Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status

Gizi Anak.

Page 41: Skripsi Risti Fix

41

Narendra, M.B. 2002, ‘Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.95-111

Narendra, M.B. & Suyitno, H. 2002, ‘Pertumbuhan Fisik Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.51-62

Needlman, R.D. 1999, ‘Nutrisi’, Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Editor:

Behrman, R.E., Kliegman, R.M. & Jenson, H.B. EGC, Jakarta.

Notoadmodjo, S. 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) Lokal

Tahun 2006, Jakarta, Depkes RI, 2006.

Pujiadi, S. 1997, Ilmu Gizi Klinis pada Anak, FKUI, Jakarta.

Ritasari, N. 2009, Hubungan antara Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI

dengan Status giz Bayi Umur 4-12 Bulan di Desa Gunan Kecamatan Slogohimo

Kabupaten Wonogiri, Universitas Airlangga.

Sheth, M. & Dwivedi, R. 2006, ‘Complementary Food Associated Diarrhea’, Indian

Journal of Pediatric, Vol. 73.

Soedibyo, S. & Winda, F. 2007, ‘Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu pada Bayi yang Berkunjung ke Unit Pediatri Rawat Jalan’, Sari Pediatri, Vol.8, No.4, Maret., pp.270-5

Soetjiningsih & Suandi. 2002, ‘Gizi untuk Tumbh Kembang Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.22-33

Supariasa, I.D.N., Bakri, B. & Fajar, I. 2001, Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.

Suyatno, 2003. Pengaruh Jangka Panjang Pemberian Makanan Pendamping Air Susu

Ibu pada Usia Dini terhadap Pertumbuhan dan Kesakitan Anak, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro.

Tanuwidjaya, S. 2002, ‘Kebutuhan Dasar Tumbuh Kembang Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.13-21

Page 42: Skripsi Risti Fix

42

Wardlow, M.G., Hampl, J.S. & Disilvestro, R.A. 2004, Prespective in Nutrition, Mc Graw Hill, New York.

WHO. 2011. Nurtition Complementary Feeding. Available from:

http://www.who.int/

Page 43: Skripsi Risti Fix

43

Lampiran

Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi BB/U

Usia MPASI pertama

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig

BB/U <4 bulan

4- 6 bulan

6 bulan

.166

.090

.107

20

25

23

.200

.153

.200

Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi TB/U

Usia MPASI pertama

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig

TB/U <4 bulan

4- 6 bulan

6 bulan

.127

.171

.110

20

25

23

.200

.058

.200

Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi BB/TB

Usia MPASI pertama

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig

BB/TB <4 bulan

4- 6 bulan

6 bulan

.192

.135

.098

20

25

23

.051

.200

.200