(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
1
DAFTAR ISI
MANAJER-MANAJER TUHAN
Komaruddin Hidayat 4
RAJA ABDULLAH DAN DIALOG ANTARAGAMA
Tom Saptaatmaja 7
CUCU
Sarlito Wirawan Sarwono 10
KEJARLAH DAKU, KAU KUTANGKAP
Dedi Mulyadi 13
PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD
Mohamad Sobary 17 DIPLOMASI HATI
Saifuddin Aswari Rivai 20
MANTRA SIHIR MENJADI GURU PROFESIONAL
Jejen Musfah 22
MENERTAWAKAN BANGSA SENDIRI
Komaruddin Hidayat 25
MALU
Sarlito Wirawan Sarwono 28
SERATUS HARI, KU HARUS KATAKAN APA?
Dedi Mulyadi 31 RA POPO ITU MANTRA SAKTI
Mohamad Sobary 35
KEMBALIKAN RUH PERJUANGAN HMI
Azhar Kahfi 38
MENGEMBALIKAN HMI KE TENGAH RAKYAT
Arief Rosyid Hasan 41
HUMPTY DUMPTY
Sarlito Wirawan Sarwono 45
JAKARTA, OH JAKARTA
Dedi Mulyadi 48 TAN MALAKA, J KASIMO, DAN GUS DUR
2
Mohamad Sobary 51
GAJI PNS
Rhenald Kasali 54
HARI ORANG SAKIT SEDUNIA
FX Wikan Indrarto 58
PRO-KONTRA ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Faisal Ismail 61 JAKARTA PERLU BELAJAR DARI KOTA LAIN
Ivan Hadar 64
PK
Sarlito Wirawan Sarwono 67
RADIO DAN SINGKONG
Eddy Koko 70
KASIH BERSEMI DI SAAT BANJIR
Dedi Mulyadi 74
MEMBAHAS TEMBAKAU DALAM PERSAHABATAN
Mohamad Sobary 77 RUU PERTEMBAKAUAN, CARA ELEGAN TOLAK IMPOR REGULASI
Zamhuri 80
GUS DUR, TIONGHOA, DAN PKB
A Halim Iskandar 84
IHWAL JARGON DI RANAH PUBLIK
Yuliz AR Komarawan 88
MENYELAMI PUSARAN BANJIR IBUKOTA
Anna Luthfie 91
BERHARAP RUPIAH, MENDAPAT MUSIBAH
Jejen Musfah 94 IMLEK DAN KESEJAHTERAAN
Tom Saptaatmaja 97
ENTREPRENEUR SPIRITUAL
Biyanto 100
DYSTOPIAN SOCIETY
Komaruddin Hidayat 103
3
DI BALIK SAKIT HATI
Yasmin Jamilah 106
MUBAHALAH DAN SUMPAH POCONG
Moh Mahfud MD 108 EKSEPSIONALISME INDONESIA
Faried F Saenong 111
SPRING ROLL
Sarlito Wirawan Sarwono 113
GONG XI FA CAI, HUJAN REZEKI SEPANJANG TAHUN
Dedi Mulyadi 115
MORALITAS POLITIK JOKOWI
Mohamad Sobary 118
RAPUHNYA PILAR NEGARA
Komaruddin Hidayat 121 DI SITU KADANG SAYA MERASA SEDIH
Sarlito Wirawan Sarwono 124
HUJAN BATU DI MUSIM PACEKLIK
Dedi Mulyadi 127
DEFISIT MORAL BERNEGARA
Komaruddin Hidayat 131
MENGUBAH PERILAKU BANGSA
Sudjito 133
KESADARAN MENGENAI WAKTU
Mudji Sutrisno 136 DO NO HARM
Dicky Pelupessy 140
BANGSA BERBUDAYA DAN BAHAGIA
Mohamad Sobary 143
IMAN PERKAWINAN
Sarlito Wirawan Sarwono 146
MAIN KAYU KE IBUKOTA, DI KAMPUNG BALIK KE KAYU BAKAR
Dedi Mulyadi 149
BUDAYA MEMANIPULASI
Mohamad Sobary 152
4
Manajer-Manajer Tuhan Koran SINDO 23 Januari 2015
Tidak menyesal diprovokasi oleh Andy F Noya untuk menonton film Bollywood berjudul
PK. Film yang dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma ini merupakan kritik tajam
terhadap intoleransi kehidupan beragama yang telah memecah belah persahabatan sesama
manusia, bahkan telah menimbulkan konflik berdarah-darah di berbagai belahan dunia.
Kritik itu disajikan secara jenaka, kocak, dan sangat filosofis sehingga film yang berdurasi
tiga jam ini terasa segar dan menghibur dari awal sampai akhir. Film ini mengingatkan saya
pada film serupa, yaitu My Name is Khan yang dibintangi Shah Rukh Khan. My Name is
Khan adalah kritik terhadap Barat yang selalu menaruh curiga pada Islam sebagai pemasok
teroris. Kritik-kritik dalam film itu disampaikan secara jenaka, namun sangat mengena dan
menghibur.
Iklim perfilman di India memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki negara mana pun.
Mereka secara bebas bisa memperolok-olok pejabat negara semisal polisi yang brengsek
lewat film tanpa kena sensor. Begitu pun dalam film PK ini, berbagai simbol dan tokoh
agama yang bagaikan manajer-manajer Tuhan dikritik. Tokoh agama selama ini kerap
mencari untung dengan menjual kewibawaan, ajaran, dan simbol agama yang disakralkan,
padahal itu tak luput dari pabrikasi ulah manusia.
Ceritanya dimulai ketika PK (Aamir Khan) yang datang dari planet lain mendarat ke Bumi
untuk melakukan riset, namun dia tidak bisa kembali ke planet asalnya gara-gara jimat yang
berupa kalung dicopet orang dan dibawa lari entah ke mana. Sebagai sosok alien, meskipun
sangat cerdas, PK sama sekali tidak mengenal budaya manusia yang tinggal di Bumi.
Nama PK sendiri, atau Tipsy dalam bahasa Inggris, artinya orang yang setengah mabuk dan
perilakunya aneh. Dia telanjang dan tidak tahu bahasa manusia. Semuanya serbaasing,
sehingga orang memanggilnya PK. Beruntung dia bertemu seorang reporter TV cantik
bernama Jaggu (Anushka Sharma) yang setia menolongnya. Jaggu melihat PK memiliki
keunikan. Dia berempati dan berusaha bersahabat untuk menggali misteri siapa
sesungguhnya PK yang aneh namun cerdas itu.
Di planet PK berasal, semuanya tanpa busana. Mereka berkomunikasi melalui pikiran
langsung, tanpa sarana bahasa verbal. Oleh karena itu, dia heran dan merasa gaduh dengan
bahasa manusia yang sedemikian banyak diksinya, namun banyak sekali kata-kata itu
digunakan untuk menutupi kebohongannya. Antara pikiran, ucapan, dan tindakan tidak selalu
sinkron. Bahasa tidak selalu mendekatkan antarpribadi, tapi malah menutupi atau
menciptakan pertengkaran.
5
PK juga merasa aneh dan mulai belajar tentang busana. Antara laki-laki dan perempuan
dipisahkan dan dibedakan oleh busananya. Padahal aslinya manusia terlahir telanjang, hadir
dengan kelugasan dan kejujuran.
Lebih mengherankan lagi adalah pakaian dan tradisi keagamaan yang beraneka ragam di
mana antar kelompok justru mengklaim dirinya paling benar atau paling merasa dekat dengan
Tuhan. Kelompok-kelompok agama itu memiliki manajer yang meyakini dirinya sebagai
mandataris Tuhan. Para manajer itu sebagai perantara dan juru selamat untuk menyampaikan
keluh kesah dan permintaan kepada Tuhan.
Dengan cerdas dan jenaka, PK menjungkirbalikkan petuah-petuah para manajer Tuhan. Kalau
istri sakit, misalnya, PK melarang datang ke kuil dan minta tolong pendeta untuk
menyembuhkan dengan membayar uang. Namun, cintai dan rawatlah istri baik-baik dengan
konsultasi ke dokter dan dibelikan obat. Berbagai makanan sesajen untuk Tuhan itu lebih
baik dibagikan kepada orang miskin ketimbang dipersembahkan Tuhan yang tidak
memerlukan makan dan minum.
Ketika PK melihat orang berdoa di depan patung Tuhan, dan patung-patung itu pun dijual di
sekitar kuil, PK membelinya dan kemudian memanjatkan doa kepadanya. Tetapi ketika
doanya tidak terkabul, dia protes pada penjualnya dan ingin membeli yang lebih besar agar
doanya terkabul. Tetapi lagi-lagi doanya tidak terkabul, maka dia mengolok-olok penjual
patung Tuhan sebagai penipu. Adegan ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Ibrahim ketika
berdialog dengan Raja Namrud yang penyembah patung. Secara cerdas, Ibrahim mematahkan
semua argumen Namrud yang kemudian marah dan Ibrahim dibakar, namun selamat.
Menurut PK, di sana ada dua macam Tuhan. Pertama, Tuhan di langit, yang mahagaib, yang
merupakan Tuhan sejati Pencipta semesta ini dan seluruh manusia. Kedua, ada Tuhan-Tuhan
yang diciptakan oleh manusia lalu disembah dan dibelanya seakan Tuhan lemah sehingga
memerlukan pembelaan manusia.
Maka di Bumi, lalu muncul banyak Tuhan dan banyak agama. Masing-masing komunitas
agama berdoa pada Tuhan ciptaannya sendiri. PK melihatnya dengan heran, ibarat melakukan
komunikasi via telepon pada Tuhan yang sejati, banyak yang salah nomor sehingga doanya
tidak sampai. Namun demikian, semuanya yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah
Tuhan sejati.
Akibat adanya keragaman agama dengan doktrin dan pemeluknya yang militan, konflik
antarpemeluk agama tak terhindarkan. Ada agama yang menyucikan hewan sapi, tetapi ada
pula agama yang menyuruh menyembelih sapi agar dicintai Tuhannya. Masing-masing
kelompok menciptakan identitas masing-masing yang terlihat pada keunikan pakaiannya,
tempat sucinya dan adegan ritualnya. Padahal, kata PK, ketika semuanya telanjang seperti
penduduk planet dia berasal, semuanya sama karena di sana tak ada pakaian dan mereka
berkomunikasi langsung melalui pikiran sehingga tidak ruwet dan tidak menimbulkan salah
paham serta pertengkaran seperti di Bumi.
6
Perilaku dan dialog kritis PK dengan tokoh-tokoh agama itu menjadi tersebar luas berkat
inisiatif dan kecerdikan Jaggu sebagai reporter TV yang menyiarkannya secara
langsung. Pemirsa diajak membedakan antara substansi dan kemasan. Antara pembawa suara
kebenaran dan manajer-manajer Tuhan yang bertindak bagaikan CEO institusi keagamaan.
Setelah melakukan perjalanan panjang, lagi-lagi berkat bantuan Jaggu, jimatnya ketemu
sehingga PK bisa kembali lagi ke planet asalnya.
Dia berpesan pada temannya yang hendak melakukan ekspedisi ke bumi. Pertama, jangan
terlalu percaya pada bahasa manusia, karena tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kedua, harus
mengetahui fungsi dan makna pakaian, karena jika salah memilih bisa menimbulkan
malapetaka. Ketiga, ini yang paling lucu dan pedas, kalau ada orang berbicara tentang Tuhan,
sebaiknya kamu menyingkir jauh-jauh saja.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
7
Raja Abdullah dan Dialog Antaragama Koran SINDO 24 Januari 2015
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00
waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini
disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi. Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al
Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi.
Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru-
paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja
Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1).
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja
Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putera mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya,
Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah
Raja Fahd terserang stroke.
Berkat kedekatannya dengan Amerika Serikat, Abdullah berhasil menekan Washington untuk
menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait
tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski
memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan
kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina.
Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang
mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan
kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur.
Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie
Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam
membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi (Yahudi,
Kristen, dan Islam).
Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun
jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar
dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New
York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan
mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri
8
acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan
pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel.
Yang monumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada
6/11/2007. Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar
sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi
agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang
disahkan di Roma pada 28 Januari 1965.
Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam
agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat
dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama
berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, Gereja
Katolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam.
Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat:
”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak
sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan
dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan
sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra
Aetate, Roma 28/1/1965).
Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan
bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang
yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad
memang sangat terkenal dengan toleransinya. Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah
yang terkenal itu.
Harold Coward juga menulis dalam bukunya Pluralisme-Tantangan bagi Agama-Agama
bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi
alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh
diperlihatkan dalam ajarannya”.
Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam.
Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang
Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah
mengajak nabi, suaminya, mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang
menjadi rahib Kristen. Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau
Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi.
Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di
antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangan
lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja
Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.
9
Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah
yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus
membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum
PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan,
”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama,
khususnya antara Islam dan Kristen”.
Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang
sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai
“Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim
dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anaknya” yang beragama Yahudi, Kristen,
dan Islam.
Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan
munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi
antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak-
anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis
oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang
tamu rumah Nabi Ibrahim.
Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus
dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog
dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini.
Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita
kembali kepada ajakan berlomba-lomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil,
dan Alquran.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
10
Cucu Koran SINDO 25 Januari 2015
Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun, tetapi dia fasih sekali bermain
gagdet. Yang paling disukainya adalah berbagai game tentang mobil.
Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis mana-mana yang harus disentuh
dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek mobil yang mana yang dia mau dan mau
balapan dengan mobil yang merek apa. Bukan itu saja, dia menirukan suara-suara yang
didengarnya, mulai dari bunyi tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang
diucapkannya begitu saja tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burung beo.
Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya 6 tahun, sudah di kelas 1
SD. Dia juga mulai kariernya seperti Ammar. Main gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun
Spiderman dan Ben 10, menirukan kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika
masih di TK B, dia sudah fasih melafalkan Martin Luther King ”I have a dream” dalam
bahasa Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau eyang kakung-nya ceramah bahasa
Inggris di Kongres Psikologi Internasional.
Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya tinggal di Tegal, dengan bahasa
Jawa Tegal yang kental. Ketika saya dites TOEFL untuk dikirim ke Amerika Serikat setelah
menyelesaikan pendidikan psikolog, saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa
Jawa Tegal. Maka saya terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia
Amerika) dan mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris.
Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah
saya baru belajar bahasa Inggris betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan
makalah saya dimuat dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali. Itu terjadi di awal
tahun 1970-an. Tetapi, karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal itu tidak
bisa lepas dari bahasa apa pun yang saya ucapkan.
Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun kedua, saya hanya tahu radio.
TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru
saya kenal ketika saya sudah punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar
lagi di Belanda untuk S-3 saya (akhir 1970-an), dan sejak 1980-an saya mulai menggunakan
radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio panggil ketika
itu), dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP (handphone), email,
Twitter, Blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti menjadi smartphone yang bisa
untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari jalan non-macet di Jakarta dengan
menggunakan fasilitas GPS Googlemap atau Waze. Pokoknya dibandingkan dengan profesor
11
lain seusia saya, saya tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an.
Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap kalah jauh. Baik dalam soal bahasa,
maupun dalam soal per-gadget-an. Ibaratnya, cucu-cucu saya ini adalah native speakers
dalam dunia bahasa Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan
semua hal yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa.
Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering dijadikan bahan lucu-lucuan kalau
seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi kesenjangan tersebut sebetulnya mencerminkan
perbedaan antar generasi yang di dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius.
Dalam ilmu kependudukan, generasi saya yang lahir di sekitar tahun 1940 hingga 1960-an
disebut generasi Baby Boomers (BB), anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut
Generasi X (Gen-X) dan generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y
(Gen-Y). Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta artifak
(benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda, terutama di masyarakat
golongan menengah-atas yang rata-rata juga berpendidikan menengah-atas.
Dengan perkataan lain, secara antropologis, ketiga generasi itu hidup dalam budaya yang
berbeda. Artinya, ketiga generasi itu sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun
mereka boleh jadi tinggal dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (anak baru
gede) berkonflik dengan orangtuanya.
Di perusahaan-perusahaan, para direktur dari generasi BB yang biasa dengan keteraturan dan
disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak bisa mengikuti jalan pikiran para manajer dari Gen-
X yang serba mau cepat, serba terobosan, dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih
baik. Gen-X lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja.
Tetapi, Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk ke dunia virtual (maya), bukan
dunia nyata, apalagi lokal (keluarga, tetangga, teman sekolah dll.). Seorang Gen-Y bisa
duduk sama pacarnya di kafe, sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing
dengan teman masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di
negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran.
Karena itu, Gen-Y disebut juga generasi milenial atau generasi internet atau bahkan generasi
autis. Karena dunia mereka adalah dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat
daripada media massa, maka berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau
globalisasi Gen-X masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC,
globalisasi Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan
radikalisme agama dari Timur Tengah.
Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang di-kamsud sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa
Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi tantangan
12
yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai global dari Gen-Y yang sangat
mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
13
Kejarlah Daku, Kau Kutangkap Koran SINDO 26 Januari 2015
Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah
terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya
termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya. Betapa pentingnya peran air sehingga
tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya.
Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan.
Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata
kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain.
Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat
bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah
penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa-
rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah
berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama
“banjir”.
Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi
langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang
ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini
izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.”
Musim hujan saat ini memang sangat berbeda. Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun
berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan
secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang
menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca,
pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain.
Kegalauan ini kini melanda saudara-saudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat
lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya
pertanggungjawaban administrasi keuangannya.
Duh, jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen
yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata
teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi
penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD,
14
lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan.
Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam
setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan
lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat
lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket
pesawat.
Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura
untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah nini pergi ke
Singaparna saja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan, biar cucu
nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang
memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.”
“Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu
akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul, pangarih, dan
dulang, nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini
terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.”
***
Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap
pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura,
sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap.
Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media
diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan
pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk
mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di mana-mana, panas yang
menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak
pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka.
Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan
yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke mana-mana, menjadi sosok
makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langit-langit
spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk
hujan.
Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau
benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau
berusaha untuk menangkapku.”
Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia
begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan. Senyum, sapa, cinta
15
mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan
kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman
kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah
tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian.
Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis
yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas-
batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma
terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno,
Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan
yang kuat. Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak
menyukainya lagi.
Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi
era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap,
memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan. “Mending keneh zaman Bung Karno nya?”
Itulah yang terucap saat Orde Baru. “Piye kabare? Enak zamanku, toh?” Itulah seloroh yang
diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan
pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus
Dur yang pluralis. Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh
kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi
problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas.
Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan
yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan
mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah.
Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam
menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat
seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan
seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang
berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan. Kemudian
bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini.
Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih,
“Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab
dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman
dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa
gagah.”
“Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke
salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena
si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan
film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.”
16
“Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid
yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu
hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum
layak untuk nonton film itu?”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
17
Persatuan yang Belum Terwujud Koran SINDO 26 Januari 2015
Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki
“semangat” dan “logika” yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga “membentuk”
wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu.
Di zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno
sering menyebut “revolusi multikompleks” atau “pancamuka” untuk menggambarkan
kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Di zaman itu, hidup tanpa
revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang
“merombak” dan “menjebol”. Itu inti sebuah revolusi.
Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh
bangsa. Oleh karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau
bangsa kita tercerai-berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekad dan semangat untuk bersatu
harus bulat. Makna persatuan itu sendiri yaitu persatuan bangsa juga sebuah agenda kerja
yang belum selesai.
Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu
bangsa dan persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita
bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan dan
dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa
disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah
kita sendiri.
Di zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak
karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto
berniat “menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar
dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi. Gaya pemerintahan populis Bung Karno
dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat
apa pun. Beliau akan “hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno.
Tapi Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat
Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai
pembangunan. Pidato pagi pembangunan. Pidato siang pembangunan dan pada malam hari
masih bicara pembangunan. Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan
pembangunan semata.
18
Saat itu, terasa betul bahwa kata ‘pembangunan’ memang memiliki kekuatan sihir dan daya
pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi
ukuran loyalitas kepada negara. Beliau galak kepada siapa pun yang memiliki pemikiran lain.
Itu tanda tidak loyal. Tapi kepada para penjilat dan siapa saja yang bersedia menjadi
“bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan
untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang
raja kepada hamba sahayanya yang setia.
Dan, pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto
bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, tiap makhluk yang bisa berbicara,
dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih
mengucapkan kata itu.
Di masa-masa sesudah reformasi di zaman kita “merdeka”, di masa keterbukaan yang
seterbuka-terbukanya, kalangan elite di berbagai daerah sebentar-sebentar meneriakkan
ancaman untuk memisahkan diri agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana
kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi.
Pertama, ada sikap “tengil” yang begitu arogan dan merasa pada tempatnya menggunakan
bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua,
sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah “menarik diri” tapi sebetulnya agresif,
yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.
Bagi kita, esensinya jelas: “tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah
laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan
bangsa itu sebetulnya belum “solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk
digoyang-goyang. Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai.
Dan jika pemerintah tidak sensitif, kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-
kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin pula bisa
menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna. Sampai hari ini, kita
memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan
bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu.
Sikap dan tingkah laku politisi yang main “geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah
laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri, dan mau enak sendiri,
jelas meresahkan. Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa,
setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda
persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya.
Mereka mengabaikan tanggug jawab politik. Panggung politik nasional, yang bergengsi dan
memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat “main-main” seenaknya. Belum lagi semangat
korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekad
memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua
19
tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya.
Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan
perkawinan di antara anak-anak mereka, dan mereka sendiri bangga dengan hubungan “besan
dengan besanan” di dalam suatu partai politik atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif
yang terasa. Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik
partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di
dalam korupsi.
Besan yang korup akan dilindungi oleh besan yang belum korup, tapi masih berkuasa.
Menantu yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh mertua yang merasa masih
jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa?
Politik besanan dan besanan politik memang mengandung persatuan. Tapi bukan wujud
persatuan bangsa. Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh
dibangun untuk suatu persatuan bangsa. Mungkin hal itu tidak akan pernah ada?
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
20
Diplomasi Hati Koran SINDO 28 Januari 2015
Hati. Jika ditelaah secara global, bagian tubuh manusia ini memiliki tugas dan makna
penting.
Meski posisinya “sedikit kalah” dari jantung, hati justru lebih banyak memainkan peran di
luar tubuh manusia. Jika ingin mengulas habis mengenai fungsi organ tubuh ini, kita bisa
mendapatkan informasinya dari berbagai sumber, mulai dari buku, internet, atau gadget.
Barang-barang itu tidaklah untuk sulit didapat.
Namun, terlepas dari ilmu kesehatan tersebut, hati juga bisa dilakukan sebagai media
diplomasi. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanya sekadar bahasa klise ataupun teori
pencitraan. Tapi sama sekali tidak bagi saya, dan kabupaten kecil di Provinsi Sumatera
Selatan yang bernama Lahat. Diplomasi hati ini yang membantu saya menjalankan proses
pembangunan sehari-hari.
Diplomasi hati ini pula yang sedikit banyak membantu saya memenangkan pesta demokrasi
pemilihan bupati/wakil bupati Lahat selama dua periode. Banyak hal yang tidak bisa saya
ceritakan terkait diplomasi hati di sini. Namun, saya punya sedikit cerita yang sampai saat ini
sangat berguna bagi saya dan keluarga. Diplomasi hati ini saya terapkan kepada masyarakat
binaan yang “kebetulan” menginap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II/A Lahat.
Dan, banyak hal yang bisa kita dapat dari mereka yang harus mengalami pemulihan jiwa di
sana. Saya, selaku pemimpin, wajib merangkul mereka agar tidak merasa dipandang sebelah
mata. Supaya mereka tetap dianggap ada, dan bisa kembali ke tengah-tengah kita.
Mungkin kalau ada kesempatan berkunjung ke sana, Anda bisa tanyakan sendiri bagaimana
respons mereka dalam setiap kunjungan Anda ke lapas. Mereka merasa diperhatikan dengan
kehadiran kita. Jika dipikir-pikir, itu sesuatu yang kecil, tapi ternyata sangat besar
manfaatnya. Anda bisa belikan mereka durian. Anda bisa ajak seluruh penghuni lapas makan
bersama dan sebagainya. Dan, saya juga sering mengimbau anak-anak saya, jika ingin
menggelar acara ulang tahun, lebih baik merayakannya bersama orang-orang lapas atau
dirayakan di panti asuhan.
Selain itu, saya juga ada sedikit cerita mengenai julukan “Bupati Ayam” yang diberikan
masyarakat kepada saya. Mereka menahbiskan seperti itu lantaran saya selalu menyempatkan
diri mengunjungi rumah warga yang tengah berduka karena salah satu anggota keluarga
mereka meninggal.
21
Namun, terlepas dari bantuan ayam serta uang duka, kehadiran sosok bupati dalam suasana
seperti itu tentu sangat membantu meringankan beban mereka. Bisa dibayangkan jika
kehilangan anggota keluarga, Anda mungkin tidak bisa berbuat banyak. Bingung. Namun,
suasana tentu akan berbeda ketika ada sosok yang berdiri di rumah mereka. Itu yang
membuat saya bersemangat dalam memimpin pemerintahan di Kabupaten Lahat.
Jika keluar rumah pada sore hari, saya juga sering melihat sekumpulan anak-anak kecil. Dan
ketika saya melintas, terdengar suara memanggil saya dengan sapaan “Wari-Wari”. Itu nama
panggilan saya sejak kecil dari orang tua. Sebagai pejabat, tentunya, saya berhak tersinggung,
apalagi saat mengetahui yang memanggil sebutan saya itu adalah anak-anak kecil.
Tapi di balik panggilan kecil itu, hikmahnya justru sangat besar. Saya jadi tahu bahwa
seluruh lapisan masyarakat mengenal saya mulai dari orang dewasa hingga anak-anak kecil.
Itu nilai plus bagi saya. Di sinilah diplomasi hati bermain. Lakukan pendekatan itu dari hati
ke hati dan dari hari ke hari. Insya Allah, amanah itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya,
bukan sekadar materi yang bisa datang dan pergi begitu saja.
Hal itu memang mudah untuk diucapkan, tapi sungguh sulit untuk dijalankan. Namun kalau
kita belajar memahami apa yang dirasakan orang yang kekurangan, diplomasi hati itu bisa
dijalankan. Bayangkan kalau Anda, anak Anda, ataupun keluarga Anda berada dalam posisi
kekurangan. Mungkin Anda akan tahu bagaimana caranya.
Cerita terakhir mengenai diplomasi hati, Anda mungkin tidak percaya jika setiap kali hendak
melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan pesawat, saya selalu menyempatkan diri
ke toilet bandara. Selain memang kodratnya sebagai manusia yang kerap gugup ketika
hendak terbang sehingga harus buang air sebagai solusi terbaik, di toilet, saya juga belajar
mengenai perjuangan para petugas toilet dalam bekerja.
Di situlah hati nurani saya terketuk. Ternyata masih banyak orang Indonesia yang bisa
bertahan di tengah kerasnya kehidupan, meski harus bekerja hampir 16 jam di toilet. Tak
jarang saya mengajak mereka ngobrol. Dan, mereka sangat terharu ada pejabat Bupati kecil
seperti saya yang perhatian. Di situ, mereka bisa bercerita dengan siapa pun.
Saat ini Indonesia masih sangat minim pemimpin yang menjalankan diplomasi hati. Dan saya
pikir, mungkin itu harus dimulai dari Sumsel terlebih dahulu. Memang sulit jika dibayangkan
tanpa dilaksanakan. Butuh keyakinan yang kuat. Namun kalau tidak pernah dijalankan,
diplomasi hati itu hanya akan bersemayam di hati tanpa bisa terealisasi.
SAIFUDDIN ASWARI RIVAI
Bupati Lahat
22
Mantra Sihir Menjadi Guru Profesional Koran SINDO 30 Januari 2015
Pada 2015 ini pemerintah akan menghapus sertifikasi guru melalui Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru (PLPG) dan akan menggantikannya dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Sebelumnya sertifikasi guru dilakukan melalui PLPG dan/atau PPG. Setelah mengikuti PLPG
atau PPG dan dinyatakan lulus, guru akan mendapatkan sertifikat guru profesional. Sertifikat
itu bukti tertulis bahwa ia kompeten dalam mengajar dan mendidik.
Benarkah setelah mendapatkan selembar sertifikat pendidik, guru yang tadinya dianggap
tidak profesional menjadi profesional? Jawabannya jelas tidak. Sekali, dua kali, atau bahkan
tiga kali pelatihan tidak akan menjadikan guru profesional. Menjadi guru profesional bukan
proses sebentar–seperti program PLPG dan PPG, melainkan membutuhkan proses yang
panjang dan penuh perjuangan tanpa henti.
Kompetensi guru berkaitan dengan kecerdasan, pendidikan, dan pengalaman guru. PLPG dan
PPG bertujuan meningkatkan kompetensi guru. Namun, apakah pelaksanaan keduanya sudah
sesuai prosedur standar dan harapan? Tidak semua LPTK mengasramakan peserta PPG
karena tidak punya asrama. PLPG juga tidak luput dari kekurangan. Proses transfer
pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak akan berhasil jika suasana pelatihan tidak
nyaman–baik saat pelatihan maupun di luar pelatihan.
Faktor penghambat efektivitas pelatihan tersebut seperti waktu yang padat (dari pagi hingga
malam hari), ruang kelas yang tidak nyaman, makanan, dosen yang tidak kompeten, dan
tempat menginap yang tidak layak. Aspek-aspek ini sangat bergantung pada LPTK pelaksana
PLPG.
Apakah mereka mau menyediakan fasilitas yang terbaik bagi guru agar nyaman selama
pelatihan atau mengambil keuntungan materi dari “perahu”– meminjam istilah seorang teman
dosen–bernama PLPG? Jika panitia (LPTK) memilih keuntungan materi, yang terjadi adalah
pengabaian mutu. Seolah membenarkan fakta selama ini bahwa budaya mutu lembaga
pendidikan kita sangat lemah. Maka itu, komplain berkali-kali dari peserta dan dosen setiap
pelatihan hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Sebagai pelatihan yang mengukur kompetensi guru, hampir semua peserta PLPG lulus–untuk
tidak mengatakan 100%. Padahal kompetensi awal peserta pasti sangat beragam. Kelulusan
jelas tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya. Ini karena penilaian dosen atau
pelatih tidak hanya menggunakan standar objektivitas, tapi juga subjektivitas seperti belas
23
kasihan. Ini bentuk dukungan dosen kepada guru terhadap kebijakan pemerintah yang belum
tentu 100% benar.
Pelatihan guru melalui PLPG oke, tapi lulus PLPG sebagai syarat menerima tunjangan
profesi no. Faktanya, banyak guru yang gajinya lebih rendah dari buruh, padahal ia
kompeten. Maka itu, sebaiknya pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada semua
guru terutama guru honorer dan guru swasta yang gajinya jauh dari standar minimal gaji guru
PNS.
Penguatan Lembaga
Pertanyaannya, program apa setelah guru memperoleh sertifikat guru? Pertama, perkuat dan
kembangkan lembaga pusat pelatihan guru. Guru mata pelajaran umum atau di bawah
Kemendikbud dilatih di Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidik dan Kependidikan
(P4TK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).
Dua lembaga tersebut sangat perlu dikembangkan agar bisa menjangkau guru yang belum
pernah mendapatkan pelatihan. Lembaga ini juga penting karena diperlukan lembaga kredibel
untuk melatih guru secara profesional, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi
pelatihan. Lembaga ini bahkan memiliki penginapan dan ruang kelas memadai yang akan
sangat memengaruhi kenyamanan peserta selama pelatihan.
Khusus untuk guru agama dan guru mata pelajaran dalam rumpun PAI (Bahasa Arab,
Akidah, Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam) di bawah Kemenag, mendesak
didirikan lembaga pelatihan yang bertugas mengembangkan kompetensi mereka. Hanya
dengan cara ini, prinsip keadilan bagi guru bisa ditegakkan.
Guru membutuhkan model pelatihan berjenjang, dari dasar, menengah, hingga lanjutan.
Pelatihan guru sebaiknya bukan hanya diinisiasi dan didanai oleh pemerintah pusat, tapi juga
oleh pemerintah daerah, dan sekolah.
Kedua, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP). Dinas Pendidikan mengembangkan dan melibatkan KKG dan MGMP dalam
program kependidikan di kota dan provinsi masing-masing. KKG dan MGMP bekerja sama
dengan LPTK terdekat untuk pengembangan pendidikan. Dua organisasi guru tersebut
sumber data tentang kondisi sekolah yang otentik sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahan
diskusi, seminar, workshop, penelitian, bahkan pengambilan kebijakan untuk pengembangan
pendidikan.
Sangat disayangkan bahwa kerja sama antara sekolah dan organisasi tersebut dengan LPTK
tidak terjalin maksimal. LPTK mengirim mahasiswa untuk praktik mengajar di sekolah setiap
semester. Tidak sebatas ini, mestinya LPTK dan sekolah melakukan kegiatan bersama untuk
pengembangan keilmuan bidang pendidikan dan pengajaran. Ia bisa berupa seminar,
workshop, atau penelitian.
24
Ketiga, benahi LPTK. Sudah saatnya sistem perekrutan calon guru diubah. Mahasiswa calon
guru harus diseleksi kemampuan bahasa asing (Inggris untuk guru umum dan Arab untuk
guru khusus [agama]), prestasi akademik dan non-akademik, dan bakatnya menjadi guru.
Penerimaan jumlah mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan.
Kita tahu lulusan LPTK lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru. Buat apa
menerima banyak mahasiswa calon guru jika akhirnya kita tahu bahwa mereka akan bekerja
selain menjadi guru.
Jika secara yuridis tertulis bahwa PPG dibiayai oleh pemerintah dan berasrama, perlu
dipertimbangkan kemungkinan pendidikan guru sejak di LPTK didesain seperti PPG.
Pendidikan di LPTK dan PPG dibiayai pemerintah dan berasrama. Artinya, pendidikan calon
guru adalah ikatan dinas. Pembangunan asrama di setiap LPTK penyelenggara PPG sesuai
amanah undang-undang guru dan dosen (No 14/2005) harus segera dimulai. Dampak
kebijakan ini akan terasa lima hingga 10 tahun ke depan.
Perbaikan selalu dimulai dari langkah awal dan niat yang baik. Maka itu, tidak ada alasan
menunda sesuatu yang baik bagi dunia pendidikan. Bukankah pendidikan adalah kunci
kemajuan bangsa.
Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan suatu bangsa. Saya kira bangsa besar adalah
bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan menempatkan mereka dalam posisi yang
terhormat. Dengan demikian, tidak ada istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk
menyulap orang menjadi guru profesional dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan.
Menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan, di mana guru tidak boleh berhenti
belajar; membaca dan praktik. Tugas pemerintah dan sekolah adalah menyediakan
lingkungan yang nyaman bagi guru untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif.
JEJEN MUSFAH
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Menertawakan Bangsa Sendiri Koran SINDO 30 Januari 2015
Dalam ilmu psikologi dikenal istilah ‘archetype’, yaitu sifat dan kecenderungan perilaku
laten yang melekat pada setiap orang yang merupakan bawaan turun-temurun, tanpa melalui
proses belajar.
Jenis archetype ini puluhan jumlahnya, salah satunya disebut ‘warrior’. Secara harfiah berarti
naluri prajurit atau petarung yang bertujuan untuk membela diri dan meraih kemenangan.
Seorang petarung akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya.
Pada diri anak kecil naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan
yang berujung dengan berantem. Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala
dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin juga
bertanding memperebutkan pacar.
Panggung kehidupan adalah panggung persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing-
masing pihak ingin menang. Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya,
peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan dengan tambahan
unsur seni, wasit, dan sportivitas; misalnya saja dalam sepak bola atau pertandingan seni bela
diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif
hadiah, namun harus menjadi etika dan fairness.
Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan
kekuasaan semakin seru, meriah, dan gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali
kota, gubernur, DPR, hingga presiden. Bermunculan political warriors. Sayangnya, banyak
di antara petarung politik itu yang tidak menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka
ingin menang, tetapi tidak dengan cara ksatria dan fair. Misalnya melancarkan fitnah, money
politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak rasional dan tidak etis dilakukan
semata untuk menang.
Kalaupun nanti dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih
runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat sebagai seorang
pemimpin atau penguasa.
Yang akhir-akhir ini muncul dan membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik
antara lembaga Polri dan KPK. Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan,
namun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Mungkin saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah dikeluarkan ketika
26
mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang ksatria. Bukan pemenang dan
juara sejati. Bukan seorang warrior terhormat, melainkan pecundang dan koruptor.
Mental pecundang itu ingin hidup aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi
pejuang rakyat, namun semua itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas
penegak hukum, mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar
manusia yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone).
Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa
yang salah, setiap orang punya naluri warrior. Naluri berantem menaklukkan lawan.
Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi perkelahian antara maling dan tukang
ronda. Antara penegak hukum dan penjahat.
Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat pertengkaran dan permusuhan
adalah oknum. Namun, karena oknum, jabatan formal, legalitas, otoritas dan kekuasaan
berkait berkelindan makanya yang mesti diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan
oknumnya mesti diamputasi.
Yang membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah
berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah
mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undang-undang semata untuk
melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat korupsi. Jadinya, kita
menonton adegan dan figur-figur publik yang norak, konyol, dan membuat malu kita semua.
Penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif
untuk melayani rakyat akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan
berkorban menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan.
Kita ini sudah lama merdeka. Di mana-mana berdiri perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat
negara pun disyaratkan sarjana, akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk
tidak korupsi. Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa
mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat gaduh bangsa
dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan, tetapi juga terkutuk.
Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara secara rasional dan bermartabat?
Setiap tahun APBN keluar untuk penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara.
Untuk training dan pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar
konsultan. Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising oleh
pertengkaran dan sandera-menyandera antarlembaga penegak hukum?
Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang mahal ongkosnya. Tetapi,
jangan-jangan lebih tepat disebut kedunguan karena akal sehat dan nuraninya tidak bekerja
normal.
27
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
28
Malu Koran SINDO 1 Februari 2015
Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN 43 Purworejo, Jawa Tengah,
Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai
(11/04/2013). Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua korban langsung shock.
Berdasarkan berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah melakukan
terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi, tindakan nekat pelajar
SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya.
Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota keluarganya menengok neneknya,
Rokhimah, di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang tidak berapa lama, korban keluar rumah
dan teriak akan bunuh diri karena tidak dibelikan motor.
Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus
lain, remaja yang keinginannya tak terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri
yang sejak kecil mengasuhnya. Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang
lain, atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga
disikat!
Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang serbadestruktif (termasuk
tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola, demo anarkistis, dll.), tetapi kebanyakan
teori itu melupakan satu faktor penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”.
Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan
kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman-
teman. Semuanya sudah punya motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan
meninggalkanku karena aku nggak punya motor. Kan nggak mungkin lah, mereka ngebut ke
mana-mana naik motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!”
Nah, rasa malu itulah yang menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema
kalah dari Persib, malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman-
teman kalau nggak ikutan merokok atau ngegele, bahkan baru-baru ini ada anak yang tewas
karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali yang arusnya
sedang deras. Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali (malu kalau
nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas.
***
29
Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang dewasa pun
sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik kelas. Ibu itu tidak
kehilangan akal.
Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal (asli-tapi-palsu) dari sekolah,
tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan
gratifikasi). Maka dengan rapor aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan
naik kelas! Yang penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama,
ga papa, yang penting gak malu-maluin!
Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua
cara masyarakat mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan
norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture).
Orang Amerika (Barat) dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah
dengan menerapkan aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan
sanksinya (penjara, denda, neraka/surga, dll.).
Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam hati individu sehingga pengemudi
orang Amerika otomatis akan berhenti jika lampu merah menyala walaupun lalu-lintas
sedang sepi di tengah malam. Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau
menyerobot lampu merah. Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib dan
tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan buku ke
perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa bersalah kalau tidak
melakukannya.
Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang
memberlakukan ”budaya malu” (shame culture). Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika,
menyerah kepada Sekutu di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih
(tidak ada hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar
dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan menusuk perut
sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu bahwa Jepang menyerah
walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan Nagasaki tewas kena bom atom Amerika
Serikat.
Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah gengsi, yang mendorong
perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk bangkit kembali dan
dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser barang-barang elektronik dan automotif
terbesar dan terbaik di dunia.
Budaya orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama
mengandalkan gengsi atau budaya malu. Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku
bangsa ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga korupsi,
jadi nggak malu-maluin. Naik motor melawan arus atau angkot berhenti seenaknya atau
menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak malu-maluin. Tapi kalau disuruh
30
diskusi di kelas atau duduk paling depan kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau,
soalnya malu, takut dianggap sok tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan.
Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena walaupun agama mengajarkan amar
makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin.
Di era Reformasi sekarang ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu
harus diubah ke mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal
pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan Perumka
(Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
31
Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa? Koran SINDO 2 Februari 2015
Dalam tradisi masyarakat kita, khususnya masyarakat tradisional Sunda dan Jawa, bilangan
seratus memiliki makna magis yang menjadi acuan dan standardisasi kebudayaan.
Apabila seseorang meninggal, bilangan kenduri atau selamatan sebagai bentuk refleksi
peringatan akan dimulai sejak angka satu atau sehari yang disebut dengan ‘sadugna’,
kemudian tiga hari yang disebut ‘tiluna’, tujuh hari disebut ‘tujuhna’, 40 hari disebut ‘matang
puluh’, dan terakhir adalah 100 hari, kemudian akan diperingati peristiwa tahunan yang
disebut dengan ‘mendak taun’.
Angka 100 mencerminkan kematangan kerangka awal dari sebuah peristiwa yang memiliki
implikasi yang cukup besar bagi perjalanan angka-angka berikutnya. Pada aspek penilaian,
angka 100 merupakan puncak penilaian tertinggi sehingga siapa pun yang mendapat nilai 100
sempurnalah dia untuk sebuah prestasi yang ditekuninya.
Saat ini kita disibukkan dengan 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk
apresiasi dan harapan terhadap langkah-langkah berikutnya sebagaimana visi dan misi serta
janji kampanye yang pernah disampaikan. Gempita perjalanan politik sang fenomena adalah
harapan baru bagi masyarakat Indonesia.
Tentunya hal tersebut didasarkan pada literasi perjalanan politik yang cukup magis dan
atraktif dalam karier tangga jabatan di Indonesia. Betapa tidak, seorang wali kota pada
sebuah wilayah yang relatif kecil di Jawa Tengah melesat menjadi seorang gubernur
DKI. Selanjutnya dalam waktu yang relatif sangat pendek terpilih menjadi seorang presiden
dengan sokongan publik yang sangat luas, yang bertumpu pada spirit kebersamaan humanis,
spirit menghormati perbedaan atau pluralisme, dan spirit perubahan terhadap tata laku
aparatur dan komponen bangsa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan
sebagai negara yang bersendikan Pancasila, berkitabkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan
prinsip spirit perubahan Nawacita yang bertumpu pada gerakan revolusi mental.
Berkaca pada seluruh problem bangsa yang sudah memasuki tahap akut pada seluruh sendi
kehidupan, memang tidak mudah melakukan perubahan terhadap struktur dan kultur yang
sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat elite, kita menghadapi politik
transaksional yang meletakkan aspek kompromi material sebagai pilar utama dalam
hubungan politik karena lenyapnya politik ideologis pasca-Reformasi ‘98.
Lumpuhnya politik ideologis telah melahirkan konsepsi politik tanpa arah yang meletakkan
seluruh kerangka pikir dan kerangka tindak pada negosiasi dan kompromi kapitalisasi. Ini
32
secara tidak langsung telah memarginalkan para politisi yang berbasis visi ideologis dan
memberikan ruang yang cukup terbuka pada kaum kapitalis untuk mengambil peran politik
dan menentukan seluruh kebijakan kenegaraan di Indonesia.
Dalam kehidupan masyarakat, kita berhadapan dengan semakin menurunnya kerangka hidup
yang bersifat gotong royong sebagai spirit ideologis dalam tata kehidupan masyarakat kita.
Bukan hanya di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa pun kini hampir tak dijumpai
kerumunan orang membersihkan selokan, membangun rumah, membangun jalan,
membangun irigasi, melaksanakan kegiatan kenduri yang didasarkan pada spirit keikhlasan
tanpa pamrih.
Dalam bidang politik, kita tidak lagi menjumpai orang yang rela menjual kambingnya,
menjual berasnya, menggadaikan surat keputusan penempatan kerjanya, yang seluruhnya
didedikasikan untuk memberikan dukungan sepenuhnya pada kandidat yang dipilihnya.
Topati jiwa raga demi menjaga marwah, martabat, dan kehormatan kandidat yang menjadi
pilihannya.
Kini semuanya sudah bertarif dengan label yang sering diucapkan secara terbuka oleh
masyarakat, “Wani piro?” Hampir semua kekuatan politik maju tak gentar, membela yang
bayar. Tetapi, tentu tidak semua, masih ada yang rela berkampanye tanpa ongkos, meski
memang jumlahnya sangat sedikit.
Tradisi hidup yang sangat kuat, budaya gotong-royong tanpa kasta, justru sangat terjaga di
kampung-kampung adat yang secara umum masyarakatnya berpegang teguh pada tradisi,
jarang nonton televisi, jarang baca koran, jarang berinteraksi melalui media sosial, tidak
pernah belajar Filsafat Pancasila, tetapi mereka tetap secara utuh dan menyeluruh berpegang
teguh pada seluruh nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bukan hanya menjadi simbol persatuan,
melainkan menjadi spirit keyakinan yang sudah tidak lagi memilah aspek kebangsaan, aspek
ketuhanan, dan aspek keagamaan.
Proses perjalanan politik untuk mewujudkan kemenangan menjadi kandidat terpilih tidak bisa
dimungkiri pasti mendapat sokongan dari berbagai perangkat politik yang memiliki
kepentingan terhadap kekuasaan jabatan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber-
sumber ekonomi strategis negara sehingga kekuatan politiknya diharapkan mampu
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan modal kebijakan strategis yang dinikmati
oleh masyarakat, serta kemampuan untuk menggerakkan sumber-sumber politik melalui
penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis.
Kekuatan kapital politik yang memberikan partisipasi yang cukup besar dalam proses
pemenangan pilpres juga memiliki harapan yang cukup luas terhadap akses sumber daya
alam, penambahan jumlah kapital, pasar yang terbuka, serta berbagai fasilitas kebijakan
sebagai bentuk simbiosis antara kekuasaan dan dunia usaha.
Hal tersebut bentuk hubungan sosial-politik yang terbangun saat ini serta tidak bisa dibantah
33
dan tak terbantahkan oleh siapa pun yang menjadi kandidat atau pemenang kekuasaan politik.
Keluar dari seluruh komitmen tersebut akan menimbulkan kegaduhan politik sebagai
konsekuensi dari sebuah proses perjalanan transaksi kekuasaan.
Siapa pun dia, kekuatan apa pun dia, pasti melakukan hal yang sama. Akrobatik logika yang
membalikkan seluruh fakta yang terjadi pada proses perjalanan kampanye hanyalah bentuk
spirit idealisme kesendirian yang akhirnya akan terkepung oleh fakta-fakta politik yang
terjadi sebagai realitas dari sebuah investasi politik.
Berlari menghindari kepungan kekuasaan sebagai bentuk imbal jasa dari sebuah investasi
politik dan ekonomi hanya akan dianggap sebuah pengingkaran yang mengabaikan jasa-jasa
orang yang telah diterima. Nalar kemanusiaan kita akan selalu berkata secara jujur bahwa kita
akan memberikan prioritas bagi siapa pun yang telah memberikan andil dan jasa untuk
membuat kita seperti hari ini.
Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kuring mah teu ngamasalahkeun saha waé nu
ngajabat, nu penting mah sing jalulur jeung nyaah ka masyarakat, pakulian kudu mayeng,
harga béas tong mahal teuing. Lamun mamangkatan ongkos tong nérékél waé. Apanan ieu
mah musingkeun, keur basa BBM naék ongkos ojég nuturkeun naék .” (Saya tidak
mempermasalahkan siapa yang menjabat, yang penting jujur dan sayang pada masyarakat,
ada pekerjaan tetap, harga beras tidak terlalu mahal, kalau bepergian ongkos jangan naik
melulu. Ini kan malah memusingkan, saat BBM naik ongkos ojek ikut naik).
“Giliran BBM turun, tukang ojek tetap saja tidak mau menurunkan. Kalau kira-kira bakal
diturunkan lagi, nanti enggak usah dinaikkan. Karena ada istilah ‘sawan kuya’, kalau naiknya
tidak jadi sampai atas, nanti turunnya juga tidak berani sampai ke tanah. Akhirnya diam di
tengah-tengah, jadi nyusahkeun saréréa (jadi bikin susah semua orang).”
Lain lagi dengan cerita Ma Icih. Dalam kurun waktu 100 hari ini hari-harinya dilanda
kebahagiaan. Entah kenapa dia kini senang bersolek ketika memasuki awal bulan. Gairah
hidupnya seperti membara, padahal dulu Ma Icih selalu melamun karena ditinggalkan oleh
Bah Jumanta, kekasih sejatinya.
Kebahagiaan Ma Icih tersebut ternyata bukan karena gelora cinta yang ada dalam dirinya,
melainkan tumbuhnya harapan baru karena dalam setiap bulan Ma Icih kini menjadi seorang
janda pensiunan, berhak mendapat jatah Kartu Keluarga Sejahtera sebesar Rp200.000 yang
diambil di Kantor Pos.
Kegembiraan itu bahkan kini semakin bertambah karena Ma Icih mendapat kabar akan
menjadi anak asuhnya Pak Kades yang berhak mendapat tambahan biaya hidup sebesar
Rp200.000 lagi per bulan karena gaji Pak Kades kini meningkat sebagai dampak dari
bertambahnya Anggaran Desa. Betapa bahagianya Ma Icih di perjalanan 100 hari ini
sehingga Ma Icih lirih berkata seperti anak muda yang dimabuk cinta, “100 hari ku merasa
bahagia... Berapa lagi yang akan kuterima?”
34
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
35
Ra Popo Itu Mantra Sakti Koran SINDO 2 Februari 2015
Pasangan Jokowi-JK telah memenangkan kontes politik yang disebut pemilihan umum
dengan anggun, tapi dibuat ruwet oleh berbagai orang dengan berbagai kepentingan.
Dalam masa penuh ketegangan waktu itu, pikiran dan perasaan bangsa Indonesia terkuras.
Ada orang yang tak merasa malu, yang memperpanjang ketegangan itu dengan berbagai ulah
politik. Tapi, menang adalah menang. Pasangan Jokowi-JK menunjukkan dengan baik bahwa
mereka menang.
Jokowi difitnah secara keji lewat jalur umat Islam, tapi beliau tidak bereaksi. Ketika
wartawan bertanya, jawabnya pendek: “ra popo“, Prinsipnya, tidak apa-apa, tidak ada
masalah. Difitnah bahwa dirinya bukan muslim, reaksi beliau sama: “ra popo“. Banyak
tuduhan, yang bersifat fitnah, dijawab dengan kalem: “ra popo“ tadi.
Saat itu fenomena “ra popo“ itu tampak menonjol. Sikap percaya diri beliau sangat besar.
Sikap pemaafnya agak luar biasa. Sesudah kemenangannya bisa diterima oleh mereka yang
kalah, beliau betul-betul “ra popo“. Ini berarti beliau sehat, selamat, dan bahagia.
Ada tokoh yang tak setuju dengan sikap serba”ra popo“ itu. Baginya, ini dianggap
meremehkan persoalan penting. Seorang pemimpin, kata tokoh tersebut, tak boleh sebentar-
sebentar berkata “ra popo“. Baginya, ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi dengan
sikap lebih serius dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar. Sikap serba ”ra popo“
itu dianggap tidak pantas.
Tapi, pendapat itu bukan satu-satunya kebenaran. Orang yang lapang dada dan berjiwa besar
mengapa tak boleh bersikap rileks, serileks-rileksnya, sehingga semua persoalan lalu dihadapi
dengan sikap “ra popo“? Apa serius dan rasa tanggung jawab itu berarti bahwa fitnah harus
dibalas fitnah? Apa bedanya tukang fitnah dengan orang baik, yang punya keluhuran dalam
politik? Mengapa marah harus dibalas marah?
Dalam mitologi Jawa, ada tokoh bernama Puntadewa. Ini tokoh serbatulus dan hidupnya
damai lahir-batin. Sikap Jokowi yang damai itu membuat konstelasi politik masa itu menjadi
lebih damai. Kalau menghadapi “serangan” lawan Jokowi ganti “menyerang”, suasana
kehidupan politik jelas akan bertambah panas.
Para empu kehidupan yaitu para tokoh dunia rohani berpendapat, kalau suatu persoalan
disikapi sebagai bukan persoalan, niscaya dia akan benar-benar menjadi bukan persoalan.
36
Menghadapi keruwetan hidup dengan sikap “ra popo“ itu memiliki dua kemungkinan:
pertama, itu menjadi “doa” yang dikabulkan, dan kedua, merupakan “mantra”. Boleh jadi
bahkan merupakan “mantra sakti”.
Orang baik dan tulus jiwanya selalu diberi keistimewaan untuk memiliki sejenis “mantra
sakti” itu. Kesaktian mantra itu bisa dibuktikan, tiap sabda menjadi fakta, tiap jenis cita-cita
bisa dicapai, dan apa pun yang diciptanya terwujud. Ini kearifan dan corak kesaktian orang-
orang zaman dulu.
Apakah Jokowi punya warisan darah orang arif-bijaksana dari masa lalu? Mengapa tiap yang
ditanggapi dengan sikap “ra popo“ lalu betul-betul “ra popo“ dan tidak menjadi masalah
sama sekali? Pak Presiden, ini daya energi macam apa?
Sekarang persoalannya agak lain. Ketika kebijakan beliau disorot publik dan di antara mereka
ada pula para pendukung setianya, Presiden dimohon mendengar suara rakyat yang tulus
memihak kepadanya. Jangan dengarkan menteri yang menganggap rakyat itu sesuatu yang
tak jelas. Presiden punya sikap sendiri yang lebih bagus dan lebih bijaksana.
Orang baik, bersih, dan bijaksana itu mahal sekali. Hebat. Tapi, pemimpin bangsa tidak
cukup sekadar baik, bersih, dan bijaksana. Posisi moral politiknya harus jelas. Pemihakannya
pada kebenaran tak perlu diragukan.
Maka, bila ada orang yang terindikasi apalagi sudah terbukti korup, pemimpin wajib
menghadapinya dengan tegas. Bahkan harus lebih tegas dibanding siapa pun di kolong langit
ini. Orang baik, bersih, dan bijaksana, serta tegas sikapnya, tak perlu dinasihati orang lain
karena sudah mampu menasihati diri sendiri. Beliau pun tak perlu diberi saran orang lain
karena sudah ahli memberi saran bagi dirinya sendiri.
Di masyarakat pun tak perlu ada keluhan karena beliau sudah mendengar sebelum orang
mengeluh. Pendeknya, beliau sudah mendengar apa yang tak terdengar. Ini memang
pekerjaan berat dan terasa agak istimewa. Ketika ada keluhan, orang yang korup jangan
dijadikan pejabat negara, jawabnya harus jelas: “memang tidak”. Boleh pula ditambah: “dan
saya tak berniat menjadikannya pejabat”.
Syukur bila kemudian berpidato untuk memberi penegasan: “Jangan khawatir. Apa yang anda
semua pikirkan juga hal yang saya pikirkan.” Wah, kalau begini keadaannya, betapa
mentereng pemimpin kita.
Tapi, kalau menghadapi keluhan tadi diam-diam jawabnya “ra popo“, saat itu beliau bukan
lagi “tulodho“, bukan teladan yang wajib didengar. Ini ibarat Subali yang sudah ditinggalkan
oleh Wisnu, yang semula, sejak lama, ada di dalam dirinya.
Kita tahu, Subali ditinggalkan Wisnu berarti kehilangan kedewataan. Watak dewa pada
makhluk biasa itu pendeknya tidak ada lagi. Kita juga tahu, kehilangan kedewataan itu
37
tinggal ibarat “kayu growong kanggonan tekek“, ibarat pohon besar berlubang yang ditempati
tokek. Ini kayu yang tak ada gunanya.
Sesudah 100 hari memerintah, Jokowi disorot mata publik, dengan pertanyaan, dengan
keraguan, dengan kritik, dan bahkan dengan kemarahan dan rasa kecewa. Tapi, ada juga yang
tetap berharap dengan sikap mendukung. Jangan risau Pak Presiden, mereka berhak berbuat
begitu. Tapi, 100 hari itu belum apa-apa. Prestasi seseorang belum bisa ditentukan dalam
masa sependek itu.
Mungkin ada jawaban psikologis yang menyenangkan: jangan jadi Subali yang ditinggalkan
Wisnu. Jangan menjadi “kayu growong dinggoni tekek“ tadi. Orang baik, bersih, dan
bijaksana, yang sudah belajar bersikap tegas, niscaya tak khawatir menghadapi apa yang bisa
dianggap “tim penilai” tadi. Silakan menilai, “ra popo“. Lakukan saja.
Jangan lupa, “ra popo“ itu seonggok kata yang memiliki kekuatan mantra sakti seperti sudah
terbukti pada masa pemilu tempo hari. “Ra popo“ bukan sembarang kata. Dia punya
pengaruh, dia punya wibawa. Tapi, saat ini, ketika keadaan terasa agak genting dan
mencemaskan, kata sebagai sekadar kata tak cukup.
Suara rakyat harus didengar. Kalau ada menteri bilang: “rakyat yang tak jelas” jangan
didengar, Pak Presiden boleh bilang: “ra popo“. Saya mendoakan, semoga “ra popo“ ini
menjadi kekuatan “mantra sakti”.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
38
Kembalikan Ruh Perjuangan HMI Koran SINDO 5 Februari 2015
“Kegagalan HMI kegagalan satu generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi”
(Ahmad Wahib)
Di Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan
kegelisahan Ahmad Wahib tersebut.
Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah intelektual merupakan alat
perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai tumpul bersamaan dengan dominasi warna
politik di HMI dan hampir semua gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya.
Musti diakui, gerakan mahasiswa dan pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh
perjuangannya. Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan produktivitas
intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di dalam sanubari anak negeri.
Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan mayoritas gerakan pemuda di negeri ini.
Mahasiswa dan pemuda yang semestinya mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan
keberdayaannya.
Di tengah kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual
dengan kondisi kebangsaan saat ini. Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum
gerakan pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang
visioner, bermoral, dan berintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di masa depan.
Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran kepeloporan HMI
setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator.
Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas organisasi pemuda mengalami
antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan kepentingan
rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik. Gerakan mahasiswa dan
pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat, namun rakyat tidak pernah merasa
diperjuangkan hak-haknya.
Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan hadirnya musuh bersama
(common enemy) di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita
bersama secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari sentralisme
menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti peta fragmentasi
39
kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan.
Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah menjadi wabah yang tak terelakkan dari
jantung organisasi HMI sehingga orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan
independensi karena larut di arus besar permainan politik (political mainstream). Itu terbukti
dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik oleh momentum
peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok yang kalah biasanya tidak mau
menerima secara fair kekalahannya. Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau
mengakomodasi kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di
mana masing-masing top leader berebut legitimasi kekuasaan.
Kedua, aktivitas kajian strategis-konseptual, penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader
kian jarang dilakukan, kecuali hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari
dimensi substansial.
Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan, ketimbang rumusan programatik
yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele. Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya
sebatas tujuan “antara”. Artinya, kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim
kuasa. Namun, tidak siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim.
Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif, ketimbang diplomatis. Semestinya
pola diplomasi dengan menyodorkan desain konsep dapat berimplikasi lebih sistemik
daripada harus selalu berkonfrontasi.
Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah intelektual belum mampu
memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan jurang kesenjangan antara rakyat
(grassroots) dengan elite. Kita seolah lebih nyaman menjadi komunitas eksklusif yang
terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada elite. Tidak terjadi
relasi yang integrated individual and community level empowerment , sebagaimana
dipesankan Louise Jennings dalam Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment .
Semangat Zaman HMI
Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni dunia Islam, kebangsaan, dan
kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini senyatanya belumlah digarap secara maksimal.
Kondisi dunia Islam, sebagaimana diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan.
Terorisme berbasis agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham anti-
pluralisme merebak di mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama
terajut di negeri ini.
Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah munculnya virus-virus kedengkian
yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai Islam inklusif, toleran, dan humanis
niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara.
40
Pada kondisi kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga
daerah. Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat karena dikemplangnya
kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka memperkaya diri secara membabi
buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain yang dirampasnya. HMI seharusnya
mengambil kembali semangat perjuangan yang dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan.
Sementara kondisi kemahasiswaan Indonesia saat ini masih dibelit krisis
identitas. Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis akibat infiltras i globalisasi
melalui alat teknologi informasi dan komunikasi.
Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini menjadi ciri khas HMI,
tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren dalam diri seorang kader HMI. Mengutip
apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur
bermakna kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader
organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum.
Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman
yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu menganalisis apa yang akan menjadi
tantangan ke depan untuk kemudian mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas
sudah dimulai dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang
diperdagangkan tak hanya barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja.
Jangan sampai HMI menjadi beban sejarah bangsa ini. Dengan jumlah anggota tersebar di
berbagai pelosok di Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa
harus dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan kiprah
intelektualisme HMI musti dikibarkan!!
AZHAR KAHFI
Ketua Bidang PTKP PB HMI
41
Mengembalikan HMI ke Tengah Rakyat Koran SINDO 6 Februari 2015
Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 2015 genap berusia 68 tahun. Usianya hanya
terpaut 18 bulan dengan usia Republik Indonesia.
Kita bersyukur hingga kini HMI tetap hadir dengan kiprah kader beserta alumninya yang
membanggakan. Dalam lingkungan kebangsaan yang terus mengalami dinamika dan
perubahan, HMI tetap mampu memerankan diri dan memberi kontribusi kepada kemajuan
masyarakat dan bangsa Indonesia secara produktif. Sepanjang usianya, HMI telah melahirkan
begitu banyak intelektual, pemimpin politik, aktivis sosial, birokrat, pengusaha, dan kaum
profesional lainnya.
Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara terus-menerus terhadap
perkembangan bangsa Indonesia. Figur-figur besar seperti Lafran Pane, Ahmad Dahlan
Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para syahid seperti Ahmad Wahib dan Munir, adalah
telaga hikmah yang menyediakan teladan bagi kita untuk terus menyegarkan semangat dalam
berjuang bagi kemajuan masyarakat.
Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus bersedia menanggung kerugian
kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri, dengan berani memusatkan perhatian pada
usaha mewujudkan kebajikan bagi orang banyak. Suatu usaha yang dilandasi keyakinan
bahwa tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari
raya tanpa berpuasa.
Independensi adalah khitah, yaitu sikap terbuka dan selalu sedia menjaga jarak yang sama
dengan segala hal, kecuali kebenaran. Independensi bukanlah sikap pasif menunggu ke mana
embusan angin, namun berwujud pada kerja amar makruf. Dalam bingkai kekinian, amar
makruf berarti proaktif, saling membantu, bergotong royong, membangun, dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
Dalam lapangan pengabdian masa kini, amar makruf tak bisa lagi sekedar mengandalkan
semangat berkobar saja, namun juga mensyaratkan wawasan keilmuan mendalam dan
kemampuan teknis yang mumpuni. Keduanya menjadi prasyarat dari profesionalitas dalam
sebuah bidang spesialisasi. Tentu bukan profesional yang tinggal di menara gading, namun
seorang spesialis yang tekun dan konsisten, yang membaktikan kemahirannya secara tulus
dalam memecahkan masalah kemasyarakatan.
Dengan semangat tersebut, kami menyelenggarakan kepengurusan PB HMI periode 2013-
2015, yang alhamdulillah telah menginjak akhir tahun kedua. Berkat perhatian dan bantuan
42
dari banyak pihak, kepengurusan PB HMI kali ini dapat berlangsung kondusif dan
kontributif. Independensi organisasi dan soliditas kepengurusan relatif terjaga sepanjang
momentum politik yang telah berlalu.
Melalui kepengurusan ini, PB HMI telah memiliki kantor/sekretariat baru di Jln. Sultan
Agung 25A, beranjak dari kantor lama di Jln. Diponegoro 16A. Untuk menunjang
konsolidasi, kami segera luncurkan insancita.co, portal jejaring sosial khusus HMI.
Penataan pranata organisasi juga terus dilakukan melalui peningkatan kapasitas pengurus,
pembaruan pedoman perkaderan, dan penguatan lembaga-lembaga profesi serta badan
penelitian dan pengembangan. Juga yang sedang berjalan, yaitu pendalaman demokrasi
substansial melalui pendampingan komunitas, masih akan terus dilaksanakan.
***
Membincang HMI adalah membincang wajah-wajah optimistis bagi keindonesiaan. Tidak
saja karena sejarah HMI, pada tapal-tapal sejarah dan momentumnya yang paling
menentukan, berjalin erat dengan sejarah bangsa ini. Juga karena HMI akan terus menjadi
ruang belajar bagi mahasiswa Islam untuk mendidik diri dan berkontribusi aktif bagi
pembangunan bangsa.
Indonesia kini selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi. Dengan segala
kekurangannya, impian- impian yang mengemuka pada gerakan Reformasi 1998 bisa
dikatakan sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak
perubahan: kebebasan sipil-politik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya
politik sipil melalui gerakan kesukarelawanan dan sistem multipartai.
Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi demokrasi. Tantangan terbesar
menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang
timpang. Secara ideal, mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk
menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara.
Tugas pemerintah adalah mengeliminasi jarak yang menganga, di antara aspirasi rakyat dan
kebijakan negara. Dalam hal ini, kita selalu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan
aspiratif. Kepemimpinan yang tangguh bukan hanya karena dukungan koalisi politik, namun
karena berpegang teguh pada konstitusi, sambil merendahkan telinganya pada jerit aspirasi
masyarakat.
Demokrasi kita melalui pemilukada langsung, dengan segala kurang di segala sisinya, telah
menerbitkan harapan. Sejalan dengan desentralisasi kekuasaan, muncul banyak kepala daerah
yang menunjukkan kepemimpinan yang berkomitmen dan mengakar kuat pada aspirasi lokal.
Sejak awal kemerdekaan Republik, sirkulasi kepemimpinan nasional selalu berasal dari jalur
pendidikan, militer, organisasi massa, dan dunia bisnis. Kepemimpinan daerah kini telah
43
menjadi rahim baru bagi kepemimpinan nasional. Prospek dan keberhasilan model
kepemimpinan ini, kita sedang menunggu pembuktiannya, tak lain tak bukan adalah pada
figur presiden kita saat ini, Bapak Ir. Joko Widodo.
Penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik melalui emansipasi
rakyat adalah pilihan model perjuangan HMI yang relevan untuk dilaksanakan. Inilah saatnya
mobilitas HMI dikembalikan ke tengah-tengah rakyat.
Dalam hal ini, HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai
pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Dengan mengisi ruang kosong dalam sistem
demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan keinginan untuk
memenuhi kesejahteraan rakyat.
***
Bangsa Indonesia sedang berada pada kesempatan emas untuk segera melenting menjadi
bangsa yang maju dan sejahtera. Struktur penduduk Indonesia sedang menjanjikan
kesempatan untuk segera mencapai masa gemilang tersebut. Bonus demografi yang kita
peroleh sejak 2012 perlu dimanfaatkan segera, untuk memacu produktivitas angkatan kerja
dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pada puncaknya kelak di tahun 2028, jumlah angkatan kerja mencapai 67% dari seluruh
penduduk, dan rasio kebergantungan jatuh hingga titik terendah 47%, artinya 100 penduduk
usia produktif hanya menanggung 47 usia non-produktif. Tulang punggung pemanfaatan
bonus demografi adalah pemuda. Konsentrasi pembangunan pemuda menjadi strategis bukan
hanya karena jumlahnya, karena inilah masa penentuan kualitas dalam kehidupan seseorang.
Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada pemuda akan menentukan perubahan
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Kunci utamanya adalah pendidikan yang berkualitas
dan terbuka bagi semua. Tak boleh ada satu pun remaja yang luput dari akses terhadap
lembaga pendidikan.
Metode belajar harus diusahakan dapat sesuai dengan kebutuhan sosial dan menekankan pada
keterampilan hidup (life skill), yaitu penguatan karakter dan kemampuan sosial. Selain itu,
kita perlu segera mengubah paradigma, dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan
kekuatan, bukan beban masalah. Memandang pemuda sebagai beban masalah hanya akan
membawa pada kebijakan jangka pendek yang reaksioner, sekadar anti-ini dan anti-itu.
Sebaliknya dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan kekuatan masa depan, niscaya
membawa pada model kebijakan yang sistematis dan berorientasi pembangunan jangka
panjang.
HMI sebagai organisasi mahasiswa, dengan kesempatan mengakses pendidikan dan
pekerjaan lebih tinggi dibanding sebayanya, diminta atau tidak, akan selalu ikut bertanggung
jawab untuk melakukan pendampingan terhadap pemuda yang tak berkesempatan.
44
Dengan potensi dan sebaran kader dan alumni HMI di seluruh Indonesia, kita sesungguhnya
bisa berbuat lebih banyak untuk membantu penyediaan ruang belajar dan beraktualisasi bagi
peningkatan kapasitas SDM pemuda. Jika satu cabang HMI minimal memiliki satu model
pendampingan komunitas. Dengan 200 lebih cabang yang kita miliki saat ini, ditambah
gandeng tangan dari alumni dan lembaga yang ikut berpihak, maka sesungguhnya satu
pekerjaan besar sedang kita bangun; menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang
unggul.
Setiap organisasi barangkali tak bisa berkelit untuk melaksanakan tugas sejarahnya. Merawat
warisan nilai dan teladan dari para pendahulu yang baik, sambil menerima perubahan di masa
kini untuk kemajuan yang lebih baik. Semoga penyampaian ini mendapat perkenan, dalam
konteks saling mengingatkan dalam kebenaran, untuk memandu kita semua pada citacita
masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah SWT. Yakin Usaha Sampai.
ARIEF ROSYID HASAN
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
45
Humpty Dumpty Koran SINDO 8 Februari 2015
Humpty Dumpty adalah makhluk dalam lagu nina bobok-nya orang Inggris. Lagu tradisional
rakyat Inggris yang diperkirakan sudah populer sejak 1797 itu tidak jelas siapa pengarangnya,
tetapi setiap ibu di Inggris, hafal lirik itu yang salah satu versinya seperti ini: Humpty Dumpty
sat on a wall, Humpty Dumpty had a great fall. All the kings horses and all the kings men
Couldnt put Humpty together again.
Kalau saya terjemahkan bebas, kira-kira versi bahasa Indonesia-nya seperti ini: Humpty
Dumpty duduk di dinding tinggi, Humpty Dumpty jatuh tak bisa bangun lagi. Semua kuda
dan tentara raja tak bisa jadikan Humpty Dumpty seperti semula.
Tidak ada yang tahu Humpty Dumpty itu makhluk apa dan bentuknya seperti apa, tetapi pada
1904 seorang artis membuat buku cerita tentang Humpty Dumpty yang digambarkannya
sebagai makhluk anthropomorphic egg atau makhluk berbentuk telur yang mirip manusia
yaitu bisa berbicara dan bertingkah laku seperti manusia.
Di Amerika Serikat, sosok Humpty Dumpty sudah dimasukkan ke dalam lagu-lagu, dongeng,
buku, dan film, bahkan kajian filsafat dan etika. Tak terhitung jumlahnya. Tetapi, salah satu
yang menarik adalah seperti yang diceritakan dalam literatur klasik In Through the Looking-
Glass (Masuk melalui Gelas Kaca), di mana si makhluk telur itu bertemu seorang gadis kecil
bernama Alice (kalau tidak salah adegan ini ada dalam film kartun Walt Disney Alice in the
Wonderland) dan mereka mengobrol.
“Aku benar-benar tak mengerti apa arti kejayaan,” kata Alice. Humpty Dumpty menjawab
dengan angkuh, “Pasti kamu tidak akan mengerti, sampai suatu saat saya kasih tahu artinya.
Jadi bagiku itu pukulan yang mematikan untukmu.”
“Tetapi, arti kejayaan kan bukan pukulan yang mematikan?” Alice memprotes. Humpty
Dumpty tersenyum sinis. “Ketika saya menggunakan satu kata,” katanya, “Arti kata itu
tergantung pada saya sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.”
“Jadi, kamu boleh membuat kata dengan arti apa saja sesukamu?” Alice bertanya lagi karena
tidak mengerti. “Jadi, tergantung siapa yang berkuasa, dialah yang memberi arti pada suatu
kata,” ucap Humpty Dumpty masih tetap sinis, “Apa mau dikata, kata-kata itu memang
misteri.”
***
46
Maka itu, dialog ini sampai dibahas dalam ilmu filsafat segala karena maknanya dalam
banget. Buat saya saja (yang, maaf, profesor) diperlukan pemikiran yang mendalam untuk
memahami dialog itu, apalagi buat orang awam.
Tetapi, dialog itu di dalam buku maupun film ditujukan untuk anak-anak. Barangkali anak-
anak yang otaknya belum terlalu ruwet seperti orang dewasa malah lebih bisa memahaminya
karena anak-anak itu selalu dalam posisi bawahan, yang harus selalu menurut apa kata
penguasa, termasuk papa, mama, opa, oma, ibu dan bapak guru, dan sebagainya.
Misalnya kejadian yang baru-baru ini dialami Valerie. Sepulang dari sekolah (dia kelas V
SD), baru saja masuk rumah terdengar suara klakson penjual es krim kesukaan dia. Segera
dia bilang pada mamanya, “Ma, beli es krim, ya?” Mamanya yang sedang asyik ngerumpi
sama tetangga yang suaminya selingkuh, segera menjawab, “Iya, sana-sana, ambil duitnya di
dapur.” Maka Valerie segera memanggil tukang es krim, melesat mengambil uang di dapur,
dan sekejap kemudian dia sibuk menjilati es krim kesukaannya.
Esoknya, pas pulang sekolah juga, si tukang es krim lewat lagi. Es kriimmm...tot...tot...tot.
Karena pengalaman kemarin, otomatis Valerie minta mamanya lagi, dong, “Ma, beli es krim,
ya?”. Tapi, kali ini Mama sedang kesal karena suaminya tidak menjawab ketika ditelepon dan
di-SMS, “Jangan-jangan dia lagi selingkuh juga seperti suaminya Ibu Ayub, tetangga
sebelah,” pikir Mama. Maka dengan jengkel dia menjawab permintaan Valerie, “Apaa?
Eeeh... udah ... sana-sana!” Dengan gembira Valerie berlari hendak menyetop si tukang es
krim lagi. Tetapi, mamanya segera memanggilnya kembali, “Heeh, Valerie!! Mau ke mana
kamu?” “Mau manggil es krim, Ma,” Valerie menjawab sambil menghentikan larinya. “Siapa
yang suruh kamu beli es krim? Ini kan jam tidur siang. Sana-sana kamu tidur siang, nanti sore
belajar, besok kan ulangan!” perintah si Mama tegas.
Siapa yang tidak bingung coba. Kemarin ‘sana-sana’ artinya ‘boleh beli es krim’, sekarang
‘sana-sana’ artinya ‘harus tidur siang’. Itulah yang dimaksud oleh Humpty Dumpty bahwa
penguasa suka mainkan arti kata-kata seenaknya sendiri. Selama dia yang berkuasa, dialah
yang menentukan arti-arti kata-kata itu.
Di dunia birokrasi ada dialog seperti ini. Lurah: Jadi mulai hari ini, kita bisa deklarasikan
bahwa kelurahan kita bebas banjir. Nanti akan saya laporkan ke Pak Wali agar kota kita
mendapat penghargaan Adipura. // Ketua RW 04: Belum bisa Pak Lurah. Di RW saya, RT 12
dan sebagian RT 13 masih kebanjiran.// Lurah: Aaah... itu mah cuma air tergenang namanya,
bukan banjir. Sebentar lagi juga surut. Udah, pokoknya tanda tangan saja, deklarasinya ya
Pak RW. Nanti kalau kita menang Adipura, kita potong kambing, sekalian doakan saya
supaya SK pengusulan saya jadi camat cepat ditandatangani Pak Wali.
Jadi kata ‘banjir’ pun bisa banyak artinya.
***
47
Kalau kita tarik lagi ke bidang politik, kita akan tambah mumet lagi. Misalnya istilah- istilah
seperti: koalisi abadi, Plt (pelaksana tugas), seratus hari, menunda, tidak memberhentikan,
kader partai atau petugas partai, revolusi mental, dan seterusnya. Semua membingungkan.
Bagaimana kita bisa membangun bangsa dan negara kalau semua kebingungan.
Ibaratnya pasukan tentara, kalau ada aba-aba “Siaaap...grak!” Otomatis diikuti oleh seluruh
pasukan dengan serempak karena aba-aba itu hanya satu artinya. Kalau aba-aba itu boleh
dikritisi oleh setiap anggota pasukan, pasti pasukan akan berantakan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
48
Jakarta, Oh Jakarta Koran SINDO 9 Februari 2015
Jakarta adalah sebuah nama yang begitu melekat di seluruh telinga rakyat Indonesia. Kota
yang menjanjikan segudang harapan bagi siapa pun yang berani bertaruh jiwa, merenda nasib
untuk memenuhi hasrat khayali kehidupan di alam imajinasi.
Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di
tengah inferiornya berbagai daerah dengan kekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya.
Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di
seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya. Hampir seluruh kerajaan
bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman,
dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta.
Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang
dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia.
Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi
melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota. Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang
cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang
penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang-
orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami,
Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa.
Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga
keuangannya nyaris tidak terserap. Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan
kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh
penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat
Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah
dapat dibayangkan, seluruh pelayanan pemerintah akan terhenti karena uang kami habis
hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri.
Kini kami hanya menanti penuh harap aliran mobil yang berpelat nomor B agar mau mampir
makan di warung-warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa
mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya.
Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah,
sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta
tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang
49
berubah. Tetapi, pajaknya yang puluhan miliar bahkan triliunan pergi meninggalkan kantong-
kantong kami yang kering menuju pundi-pundi keuangan di Jakarta. Kami harus bekerja
mengumpulkan karcis parkir, karcis pasar, dan berbagai pendapatan recehan lain yang
kadang kami malu karena kami harus bertengkar dengan rakyat kami sendiri yang sebenarnya
tidak layak untuk dipungut.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dua tahun lalu diserahkan kepada kami untuk dikelola
sebagai sumber pendapatan yang relatif besar untuk ukuran kami kini diwacanakan untuk
dihapus. Kalau mau berkata jujur, selama ini juga pemilik tanah hampir 40% tidak
membayarnya. Tetapi, kami juga menyadari, puluhan ribu hektare tanah di kampung kami
dimiliki oleh orang-orang Jakarta yang dibiarkan kering tanpa makna dan kami pun sulit
untuk mendapatkan pajaknya.
Sementara semua urusan yang berhubungan dengan instansi pusat, kami selalu harus
membayarnya. Nikah kami harus bayar, cerai kami harus bayar, membuat sertifikat tanah
kami harus bayar. Tragisnya, kalau yang cerai sudah tua, tambah puyeng di kepala karena
enggak ada pria yang lirik lagi. Untung masih ada Program Ibu Asuh. Masih ada deh harapan
buat manjangin umur.
Kini danau kami yang airnya dikirim untuk orang Jakarta dihuni oleh 28.000 keramba yang
para pemiliknya berdomisili di Jakarta. Ketika kami ingin menertibkannya, kami berhadapan
dengan ribuan gajah yang seolah tak ada satu pun kekuatan yang mampu kami gerakkan
untuk menghadapinya. Tetapi, dalam lirih kami tetap bertekad, satu batang lidi akan kami
gunakan untuk mengorek kuping gajah-gajah besar itu agar mau meninggalkan danau yang
sangat kami cintai.
Pada saat kemarau, kami sering kekeringan karena surutnya sumur timba yang kami
miliki. Danau besar yang sering kami banggakan, cintanya lebih terasa bagi orang Jakarta,
karena aliran airnya yang deras ke seluruh penjuru Ibu Kota dibanding ke kampung kami
yang sering tersendat karena minimnya pipa yang kami miliki.
Tetapi, semuanya tak akan membuat kami gusar dan putus asa. Seluruh energi yang tersisa
akan kami kerahkan agar danau kebanggaan kami mampu mengalirkan cintanya kepada
penghuni warga yang lama menunggu belas kasihnya.
Anak-anak kami bersekolah di sekolah sederhana agar efektif dalam biaya. Mereka tak
mengenal lagi SMP, cukup dengan SD sembilan tahun, agar sekolahnya tetap di
kampungnya. Uang anak-anak kami tidak cukup untuk jajan di sekolah sehingga mereka
membawa bekal makanan dari rumah yang dimasak oleh ibunya sehingga terhindar dari
keracunan makanan. Anak-anak kami setiap minggu makan telur dan minum susu yang
disediakan cuma-cuma oleh sekolah agar mereka tumbuh sehat dan cerdas.
50
Anak-anak kami pun tak belajar sampai sore karena harus mencari kayu bakar untuk tungku-
tungku kami. Anak-anak kami harus menyabit rumput untuk kambing peliharaan kami dan
harus menyulam, merenda untuk belajar memenuhi kebutuhan sandang.
Setiap ruang kelas kami siapkan jamban agar kami tak dianggap kaum marginal dan kaum
jorok. Kalaupun kami sakit, ambulans tersenyum menjemput kami untuk mengantar ke balai
pengobatan yang melayani kami tanpa biaya, tanpa membedakan kaya dan miskin.
Kini sekolah menengah kami tumbuh di setiap sudut kecamatan dan kami mampu mengisinya
tanpa harus bicara masalah pungutan. Walau kami dihentakkan dengan perubahan
kewenangan, yang beberapa waktu lalu disahkan orang Jakarta.
Setiap minggu petugas kependudukan berkeliling kampung mencatatkan kewarganegaraan
kami tanpa pungutan. Di pusat kota kami mengantre menunggu giliran pencatatan, tanpa
calo, tanpa upah pegawai yang berpuluh-puluh juta, kami tetap terlayani.
Kini di pusat kotaku yang kecil, taman-taman tertata rapi. Di setiap sudut kutemui lampu
bertopi caping. Kami merasa kami tetap Indonesia walau seluruh energi yang kami miliki
tinggal lemak yang tersisa karena daging empuk dan tulang lunak yang kami miliki sudah
kami serahkan seluruhnya kepada Jakarta.
Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, ”Enggak apa-apa Ema mah tidak makan
tulang lunak dan daging empuk juga. Jangankan sekarang Ema sudah ompong, sejak muda
pun Ema mah memang kurang suka. Lebih suka makan daun-daunan, akar-akaran, dan
beubeutian (umbi-umbian) yang jauh lebih sehat dan higienis dibanding daging dan tulang
lunak yang sering menimbulkan kolesterol. Ternyata kebiasaan Ema makan dangdaunan
(daun-daunan) ditiru oleh orang-orang Jakarta sekarang.”
“Ema mah ngahenang ngahening, ngeunah dahar tibra hees, (hening, enak makan nyenyak
tidur) dibanding batur (orang lain) yang katanya banyak uang dan banyak makanan, tapi
kelihatannya kurang tidur dan emosional, akhirnya banyak bertengkar sampai terdengar di
sudut kampung tetangga Ema yang punya tivi. Jam satu malam saja masih terdengar suara
pertengkaran dari Jakarta. Teuing marebutkeun naon, teu ngarti ema mah. (Entah
memperebutkan apa, Ema tidak mengerti)”.
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
51
Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur Koran SINDO 9 Februari 2015
Tamu ayahnya pada malam itu menimbulkan teka-teki. Pada mulanya, Husen Banten, nama
tamu itu, biasa-biasa saja seperti para tamu lain. Tapi demi melihat ayahnya yang begitu
serius, bahkan ada kesan gugup menyambutnya, dia mulai bertanya-tanya.
Itulah yang dialaminya pada suatu hari, kira-kira pukul 8.00 malam, ketika dia baru berusia
lima tahun. Dia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Bocah itu segera membukanya,
dan di depan pintu berdiri seorang laki-laki kurus dengan pakaian biru. Orang yang belum
dikenalnya itu bertanya, ”Apakah Bapak ada di rumah? Tolong bilang pada beliau bahwa Pak
Husen Banten datang bertamu.”
Gus Dur kecil, bocah berusia lima tahun tadi, segera menemui ayahnya, dan melaporkan
kedatangan Pak Husen Banten itu. Sang ayah segera bangun dan menyuruh anaknya itu untuk
menyampaikan kedatangan tamu tadi pada ibunya. Gus Dur kaget melihat tanda keseriusan di
wajah ayahnya.
Dan sang ayah hanya mengatakan bahwa tamu itu teman lama beliau. Cukup. Hanya itu yang
bisa dikatakan pada anaknya yang masih bocah. Tapi, kata Gus Dur setelah dewasa,
sebagaimana dapat kita baca pada halaman 57-58 buku Dialog Peradaban: untuk Toleransi
dan Perdamaian (2010), beliau baru tahu bahwa tamu yang menyebut dirinya Husen Banten
itu ternyata Tan Malaka yang hebat itu.
Tokoh populer, dengan nama besar, bahkan nama besar yang mengagumkan, tak selalu
memiliki jaminan bahwa dia pasti dikenal secara luas. Tokoh yang mengambil peran untuk
bergerak di bawah tanah selalu memiliki risiko seperti itu. Tapi siapa bilang itu risiko? Tak
dikenal itu bagian dari strategi perjuangannya agar lebih leluasa bergerak tanpa diketahui
identitasnya.
Sebagai orang bawah tanah, dia memang sengaja, dan menginginkan, dengan penuh
kesadaran, untuk tak dikenal. Setidaknya selama yang bersangkutan masih merasa perlu
”bersembunyi.”
Ada lagi kenangan masa kecil, yang dilaporkan di halaman 58-59 buku tadi. Gus Dur pernah
diajak ayahnya ke rumah temannya, Pak Kasimo, ketua umum Partai Katolik. Di rumah Pak
Kasimo, sang ayah mengeluarkan sebuah bungkusan dan diserahkan pada temannya itu.
Gus Dur bertanya apa isi bungkusan tadi sesudah mereka dalam perjalanan pulang. Ayahnya
52
menjelaskan bahwa itu sumbangan uang untuk seorang teman yang lain lagi. Pak Kasimo
sedang mengumpulkan dana pembangunan rumah, untuk diberikan pada Pak Prawoto. Beliau
tokoh Partai Masyumi, orang besar, yang belum punya rumah.
Gus Dur mengatakan bahwa beliau sangat terkesan pada persahabatan mereka. Ayahnya
tokoh NU, Pak Kasimo tokoh Katolik, sedang Pak Prawoto tokoh Masyumi, yang baru
merencanakan mendirikan negara Islam. Kedua temannya itu jelas tak menyetujui rencana
tersebut. Tapi teman adalah teman. Ini persahabatan luar biasa.
Jenis persahabatan macam ini sekarang sudah tidak ada lagi. Kebesaran jiwa di dalam diri
para tokoh sekarang sudah terhapus oleh sikap saling curiga dan semangat saling menjegal,
saling memfitnah, dan semangat jatuh menjatuhkan.
Sisa kebesaran itu, pendeknya, tidak ada lagi. Kini yang tinggal pada para tokoh hanya
perasaan benar sendiri, ingin menang sendiri, dan bahwa orang lain, siapa pun dia, dianggap
musuh. Dan musuh harus dibasmi. Di dunia politik basmi-membasmi itu berlangsung dengan
siapa saja yang dianggap merupakan penghalang cita-cita dan segenap langkah politik yang
dibuat untuk menguntungkan diri sendiri. Tak terlintas dalam pikiran para tokoh zaman
sekarang untuk mendukung orang lain yang tak sejalan dengan kita. Mereka yang tak sejalan
itu disebut musuh.
Tokoh besar masa lalu memang sungguh besar. Gus Dur, yang menikmati suasana hidup di
dalam keluarganya yang memiliki rasa persahabatan yang dalam dan tulus dengan siapa
pun. Gus Dur menyerap kebesaran ayahnya dan teman-teman ayahnya, tak peduli mereka
Katolik, Masyumi, atau PKI seperti Tan Malaka. Orang-orang besar itu memancarkan aura
kebesaran jiwa mereka. Maka, anehkah bila Gus Dur di kemudian hari menjalin persahabatan
dengan siapa pun, tanpa memedulikan latar belakang mereka? Keanehan Gus Dur, yang
sering disebut ”tak mudah dipahami” itu, agaknya, memang merupakan fenomena yang
sudah ”didesain” oleh tatanan struktural yang berkembang di zaman itu.
Di kemudian hari kita tahu Gus Dur memanggul banyak tugas besar yang tak mudah
dilaksanakan tanpa kebesaran jiwa yang memancar dan menerangi kegelapan tatanan hidup
yang sering menjengkelkan. Agaknya, sejak dulu sudah jelas, Gus Dur digiring lebih dulu
oleh nasib–mungkin nasib baik– untuk menjadi pewaris kebesaran jiwa para tokoh tadi.
Bila kemudian, seperti kita ketahui sekarang, setelah wafatnya beliau dikukuhkan menjadi
wali ke-10, pengukuhan itu hanya formalitas sosial, karena bukankah dasar-dasarnya sudah
ditata sejak dulu? Fenomena itu hanya ingin menyatakan bahwa di atas bumi, di bawah
kolong langit ini, tidak ada ”barang” dadakan, tidak ada ”barang” kebetulan.
Tan Malaka menjadi tokoh pejuang yang gigih, tokoh gerakan di bawah tanah yang
beroperasi secara sangat rapi, dan memiliki jaringan luas di mana-mana. Jaringan itu bersifat
lintas batas etnis, aliran politik, warna dan haluan partai, dan berbeda-beda agama, tapi
mereka disatukan oleh agenda bersama: cita-cita keindonesiaan. Ini mungkin terlalu luas.
53
Jadi bisa juga dirumuskan, setelah kemerdekaan, kita merasa memanggul kewajiban mengisi
kemerdekaan itu dengan segenap agenda politik kebudayaan, yang mewujudkan cita-cita kita
bernegara, dan memanggul sepenuhnya mandat konstitusi kita. Tan Malaka, orang besar
zaman itu, yang mewakili kepentingan politik PKI, dan J Kasimo, membawakan agenda
politik Partai Katolik, untuk kebesaran Indonesia.
Zaman mereka sudah lewat. Segenap kenangan buat mereka terasa begitu indah, manusiawi,
dan penuh semangat untuk bersatu. Jauh di masa depan yang mereka bayangkan hanya satu:
sebuah Indonesia yang kuat dan berwibawa. Gus Dur jelas tokoh penting yang merupakan
bagian dari zaman ini. Pemikirannya masih sangat berpengaruh. Sikap politik keagamaannya
begitu akomodatif, tidak kaku dan selalu siap memberi orang lain tempat yang nyaman secara
psikologis maupun politik.
Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur tak memiliki kaitan organisatoris, bukan tokoh-tokoh
yang terikat oleh sebuah partai. Tapi mereka terikat, tanpa perjanjian tanpa kontrak, oleh
nilai-nilai perjuangan yang sama. Mereka berjuang dengan cara masing-masing untuk
membikin Indonesia ini ”rumah” bagi semua pihak, semua warga negara, tanpa batas etnis,
bahasa, partai dan aliran politik. ”Rumah” itu kadang terasa hampir jadi. Tapi kadang
kelihatan begitu porak-poranda.
Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur sudah tak lagi bersama kita. Kini dicari orang-orang,
tokoh-tokoh, yang memiliki kesalehan politik seperti mereka. Kini dicari siapa di antara kita
yang merupakan penerus mereka?
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
54
Gaji PNS Koran SINDO 12 Februari 2015
Selama beberapa pekan belakangan ini dibuat terpesona oleh pemberitaan tentang pegawai
negeri sipil (PNS). Anda tentu tahu apa yang saya maksud. Iya, soal gaji.
Sebagai dosen, saya juga PNS, dan sudah biasa mendengar janji surga seperti ini. Semoga
kali ini benarlah adanya.
Mulanya adalah gaji PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Angkanya memang
fenomenal. Bayangkan, gaji awal pegawai bisa Rp7 juta. Ini boleh dibilang setara dengan gaji
pegawai baru di perusahaan papan atas Indonesia.
Lalu, gaji lurah bisa mencapai Rp33,7 juta, camat Rp44,3 juta, dan wali kota Rp75,6 juta.
Gaji seorang kepala badan bahkan bisa mencapai angka Rp78,7 juta.
Isu berikutnya adalah gaji seorang dirjen pajak. Angka yang sudah beredar adalah di atas
Rp100 juta per bulan. Bahkan, sebagian kalangan menilai angka tersebut masih terlalu
kecil. Ada yang mengusulkan gaji dirjen pajak setara dengan gaji gubernur Bank Indonesia
yang Rp194 juta per bulan. Ini tentu dikaitkan dengan pajak yang mesti dikumpulkannya.
Untuk tahun 2015, target penerimaan pajak sebesar Rp1.300 triliun.
Mungkin kita yang awam agak terheran-heran, besar sekali ya? Untuk diketahui, gaji menteri
rata-rata Rp19 juta per bulan. Lalu, gaji seorang Wakil Presiden RI ”hanya” Rp42 juta per
bulan, dan gaji Presiden Rp62 juta. Tapi kalau Anda jadi wirausaha senior dan berhasil, Rp1
miliar saja bisa didapat sebulan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi menteri
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Disharmoni semacam ini harus ia
bereskan.
PNS = Kaya
Bicara soal gaji PNS, bukan angkanya semata yang menarik perhatian saya. Sebagai orang
yang suka mencermati isu-isu tentang perubahan, justru perubahan itu sendirilah yang
menarik perhatian saya. Perubahan seperti apa?
Saya ingin mengulang cerita lama. Suatu ketika kolega saya yang asal Sumatera Utara pulang
kampung. Di sana ia berkumpul bersama orang tuanya, juga kakek dan neneknya. Saat
berkumpul bersama keluarga dan tetangga kiri-kanan rumahnya, sang nenek mengeluh.
55
Keluhannya begini, ”Iya, cucu saya yang satu ini masih bekerja di perusahaan swasta. Belum
jadi pegawai negeri.”
Rupanya bagi sang nenek menjadi pegawai negeri adalah idamannya. Pekerjaan terhormat.
Itu cita-cita yang bahkan ia sendiri tak mampu mewujudkannya.
Kita yang pernah ke kampung-kampung tentu bisa merasakan hal ini. Penghormatan orang
desa terhadap pegawai negeri, yang dulu disebut ambtenaar, memang luar biasa. Ia menjadi
orang yang disapa pertama saat berpapasan di jalan. Kalau punya pangkat namanya jadi
pejabat.
Tapi hal yang paling ditakutinya bukan kata ‘korupsi’, tapi ‘mutasi’. Ya, sampai-sampai
Bupati Bojonegoro, Kang Yoto, begitu dilantik langsung bilang, ”Tak akan ada mutasi
kendati kalian dulu tak mendukung saya.” Ia pun disambut dengan keplokan meriah oleh PNS
yang dulu mendukung incumbent.
Kembali lagi ke cerita tadi, ketika di desa-desa ada masalah, ia juga menjadi tempat bertanya.
Penghormatan semacam ini bahkan mengalahkan minimnya gaji yang diterima oleh sang
ambtenaar.
Celakanya, semakin ke sini, penghormatan masyarakat terhadap pegawai pemerintah sudah
kian susut. Mereka bahkan dianggap sebagai sumber masalah dengan jargonnya yang sangat
terkenal, ”Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.” Bahkan biasa kita dengar,
buat mereka yang ingin kaya, tetapi lewat cara kerja yang jujur, jangan jadi PNS. Orang-
orang tua kerap menasihati anak-anaknya, ”Kalau mau kaya, jangan jadi PNS. Jadilah
pedagang.”
Kalau ada PNS yang kaya–rumahnya megah, tanahnya ada di mana-mana, anak-anaknya
sekolah di luar negeri, dan punya istri simpanan–setiap orang bakal menduga, itu pasti
diperoleh dari hasil korupsi. Anggapan seperti itu semoga bakal usang. Setidak-tidaknya di
Provinsi DKI Jakarta.
Kalau melihat gaji lurah, camat, wali kota, dan jajaran pimpinan lainnya di lingkungan
Pemprov DKI Jakarta, semuanya seakan-akan menegaskan: siapa bilang menjadi PNS tidak
bisa kaya! Memang belum bisa disebut kaya raya, tetapi jelas mereka termasuk kelompok
masyarakat yang terbilang berada. Bukan miskin.
Ini juga akan menarik calon karyawan Citibank atau Bank Mandiri untuk berpaling menjadi
lurah saja. Menjadikan posisi lurah-lurah lama yang lemot akan tergeser. Dengan gaji
barunya, sebentar lagi kita akan menyaksikan–atau malah sudah terjadi–perubahan besar di
lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Menjadi pegawai di sana adalah sebuah profesi yang membanggakan. Gajinya tidak kalah
dengan pegawai swasta. Dulu menjadi PNS adalah pilihan kedua, setelah tidak diterima
56
bekerja di swasta. Kini di lingkungan Pemprov DKI Jakarta anggapan itu tidak berlaku lagi.
Menjadi PNS di sana adalah cita-cita banyak lulusan perguruan tinggi, negeri atau swasta.
Perubahan lainnya–ini yang saya harapkan tidak terjadi–kian banyak PNS di Pemprov DKI
Jakarta yang memiliki mobil. Sebab, Jakarta bakal semakin macet saja.
Mana Kerjanya
Akankah kenaikan gaji itu diiringi dengan perbaikan kinerja? Itulah perubahan yang juga kita
tunggu-tunggu. Ini memang pertanyaan yang rada-rada susah dijawab. Mirip dengan diskusi
mana lebih dulu, ayam atau telur.
Baiklah mari kita tebarkan semangat optimistis. Bukankah kita sudah memiliki referensinya.
Anda ingat bukan langkah seperti itu sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Ignasius
Jonan. Sewaktu diangkat menjadi dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI), Jonan memilih untuk
menaikkan gaji pegawainya terlebih dahulu. Baru setelah itu Jonan menuntut pegawainya
bekerja habis-habisan untuk membenahi KAI.
Hasilnya kelihatan. Pada masa Jonan, kinerja KAI terus membaik. Kualitas pelayanannya
semakin meningkat. Bahkan, KAI menjadi perusahaan transportasi pertama yang menerapkan
e-ticketing atau tiket elektronik. Bukan lagi transaksi tunai.
Secara bisnis, KAI juga mampu membalikkan kinerjanya dari semula merugi menjadi
menguntungkan. Mungkin itu sebabnya Jonan kemudian ditunjuk jadi menteri perhubungan.
Tapi ingat, Jonan bukan cuma urus kenaikan gaji. Ia bongkar banyak hal secara menyeluruh,
terpadu. Gaji saja tak akan mengubah kebiasaan. Mustahil kita dapatkan hasil yang berbeda
kalau caranya sama berulang-ulang.
Bagaimana dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta? Mungkin karena kenaikan gaji itu masih
baru, belum lagi dinikmati oleh para PNS di Pemprov DKI Jakarta, dampaknya belum terlalu
terasa. Setidak-tidaknya kalau banjir besar yang kemarin melanda Jakarta, kita jadikan
sebagai rujukan. Semula saya berharap dengan gaji barunya, kinerja aparat pemprov dalam
melayani masyarakat bakal habis-habisan.
Misalnya, jajaran pegawai Dinas Perhubungan bakal habis-habisan mengatur lalu lintas yang
saat Jakarta dikepung genangan air kacaunya luar biasa. Bahkan, pegawai dari dinas yang
lain pun ikut membantu. Nyatanya saya tidak melihat hal itu di lapangan. Malah, polisi dan
”polisi swasta” yang sibuk mengatur arus lalu lintas. Di mana para pegawai Pemprov DKI?
Mungkin mereka sibuk memikirkan jalan pulang. Mencari jalan mana yang bakal mereka
tempuh agar tidak kena macet.
Sesuatu yang baru kadang membuat kita gagap. Itu wajar saja. Hanya, saya berharap
kegagapan tersebut jangan berlarut-larut. Para pegawai Pemprov DKI Jakarta mesti ingat,
57
gaji kalian naik berkat kami. Uang kamilah yang Anda nikmati. Jadi sudah sewajarnya kalau
kami ganti menuntut Anda untuk bekerja keras. Layani kami. Jangan malah membuat susah.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
58
Hari Orang Sakit Sedunia Koran SINDO 12 Februari 201
Hari Orang Sakit Sedunia (World Day of the Sick) ditetapkan oleh Sri Paus Yohanes Paulus
II pada 13 Mei 1992 dan mulai dirayakan pada 11 Februari 1993. Bapa Suci menetapkan Hari
Orang Sakit Sedunia (HOSS) setahun setelah didiagnosa menderita penyakit parkinson pada
awal 1991.
Apa yang sebaiknya kita ketahui? Ketiga tema HOSS yang terus-menerus didengungkan
setiap 11 Februari adalah mengingatkan semua orang beriman untuk berdoa secara khusyuk
dan tulus bagi mereka yang sedang sakit. Kedua, mengundang semua orang beriman untuk
merefleksikan sakit dan penderitaan manusia. Ketiga, penghargaan bagi semua orang yang
bekerja dalam bidang kesehatan.
Subtema HOSS 2015 ini mengajak kita untuk merenungkan dari perspektif ”sapientia cordis”
(kebijaksanaan hati) seturut seruan Paus Fransiskus. Pertama, kebijaksanaan hati berarti
melayani saudara-saudara kita yang sedang sakit, yang diawali dengan kemurnian hati,
pelayanan dan bela rasa, sampai menghasilkan buah yang baik.
Dalam pelaksanaan melayani orang sakit tersebut, kita diharapkan mampu bersikap seturut
semangat Ayub, ”Saya mata untuk orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15)
kepada sesama yang sakit, khususnya orang miskin, anak yatim, dan janda. Hari ini juga kita
semua diajak untuk menunjukkan bukan dengan kata-kata, tetapi dengan kehidupan yang
berakar dalam iman sejati bahwa kita mampu menjadi ”mata untuk orang buta” dan ”kaki
bagi orang lumpuh”.
Pelayanan kita tidaklah harus dilakukan dengan menjadi petugas kesehatan bagi para pasien.
Sebenarnya kita dapat sekadar dekat dengan orang sakit, terutama yang membutuhkan
perawatan lama, membantu dalam memandikan, berpakaian, mencucikan dan menyuapkan
makanan. Layanan sederhana seperti ini terutama bila dilakukan berkepanjangan, pastilah
dapat menjadi sangat melelahkan dan memberatkan. Apalagi pada pasien yang sakit berat
sudah pasti tidak lagi mampu mengungkapkan rasa terima kasihnya, karena kesadarannya
sudah jauh menurun.
Meskipun tidak ada yang menginginkannya, setiap manusia akan mungkin mengalami sakit,
penderitaan, bahkan dapat berlanjut dengan kematian. Sakit yang ringan sekalipun sebaiknya
digunakan sebagai sebuah momentum penting untuk mensyukuri sehat. Apalagi sakit berat,
kronis, dan kemungkinan sembuhnya kecil seperti kanker, sudah seharusnya menjadi
momentum untuk menyatukan kita semua umat manusia. Kita diingatkan untuk bersandar
59
pada Tuhan menyadari pentingnya iman bagi mereka yang sakit dan berbeban berat untuk
datang kepada Tuhan.
Dalam pertemuan dengan Tuhan melalui caranya masing-masing, mereka yang sakit akan
menyadari bahwa dirinya tidak sendirian. Kita dapat membantu orang sakit agar masa
penderitaannya dapat diubah menjadi masa rahmat.
Sering kali dalam penderitaan sakitnya orang mudah terjatuh untuk menjadi putus asa dan
kehilangan harapan. Pada saat itulah kita yang sehat sebaiknya menekankan akan penyertaan
Tuhan, sehingga masa sakit tersebut dapat diubah menjadi masa rahmat Ilahi dengan
permenungan mendalam untuk mengevaluasi kembali hidup seseorang, mengakui kegagalan,
buruknya perilaku hidup, dan kesalahan, serta membangkitkan kerinduan akan Tuhan dan
mengikuti jalan menuju rumah-Nya.
Kedua, kebijaksanaan hati seharusnya diartikan bahwa waktu yang kita habiskan dengan
orang sakit, apalagi melayaninya, adalah waktu suci. Sering kali kita lupa nilai khusus
tentang waktu yang dihabiskan di samping tempat tidur orang sakit, karena alasan terburu-
buru dan terjebak dalam hiruk-pikuk aktivitas rutin. Kebijaksanaan hati berarti bahwa kita
memberikan waktu mendampingi saudara yang sakit, karena kita secara bebas mengurus dan
bertanggung jawab untuk orang lain.
Ketiga, kebijaksanaan hati berarti menunjukkan solidaritas dengan saudara-saudara kita dan
tidak menghakimi mereka atas sakit yang mereka alami. Saat mengunjungi, merawat, dan
menemani orang sakit, diam saja pun sudah mencukupi seperti teman-teman Ayub: ”Dan
mereka duduk dengan dia di tanah tujuh hari tujuh malam dan tidak ada yang berbicara
sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa penderitaannya sangat besar.”
(Ayub 2:13). Bagi kita semua yang sehat, memberikan pendampingan, penghiburan dan
perhatian untuk mereka yang sakit sangatlah berarti.
Selain itu, kita disadarkan akan pergerakan roda kehidupan. Pada saat sehat kita seharusnya
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana untuk membantu mereka yang sakit. Pada saat
yang lain sangat mungkin kita sendiri justru menjadi orang yang sakit dan memerlukan hal
sama dari semua orang di sekitar kita sebagaimana pergerakan dan putaran roda kehidupan.
Pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sekarang berlaku di Indonesia, kendali
mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan untuk pasien yang sakit akan lebih mudah
terwujud. Kendali tersebut juga penjaminan pembiayaan pasien dilakukan oleh BPJS
Kesehatan. Hal ini dapat terwujud karena kebebasan profesi dokter semakin mampu
direduksi, kompleksitas masalah medis pasien makin dapat diabaikan, dan mutu pelayanan
medik yang dilakukan semakin dapat disetarakan.
Jaminan pembiayaan pasien apabila tetap di dalam pengendalian akan dapat menjangkau
seluruh rakyat Indonesia (universal health coverage) dengan dana BPJS Kesehatan yang
tersedia. Terjadi perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia setelah
60
sistem JKN diberlakukan sejak 1 Januari 2014. Jasa medis yang diterima petugas kesehatan
pada umumnya terjadi penurunan nominal dibandingkan dengan pada saat sistem kesehatan
yang lama.
Penghargaan bagi petugas kesehatan layak diberikan terutama karena dedikasinya yang tetap
tinggi dan tidak berubah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi para pasien sesuai
ketentuan dalam program JKN.
Dengan momentum Hari Orang Sakit Sedunia 11 Februari 2015 kita diingatkan agar
memiliki kebijaksanaan hati bagi para orang sakit. Sudahkah kita bertindak untuk
meringankan beban orang sakit di sekitar kita?
FX WIKAN INDRARTO
Dokter Spesialis Anak RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S-3 UGM
61
Pro-Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan Koran SINDO 13 Februari 2015
Ide islamisasi ilmu pengetahuan digelindingkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (sarjana muslim
asal Palestina) di era 1980-an.
Lahir di Jaffa pada 1 Januari 1921, al-Faruqi pernah menjabat sebagai gubernur Galilee saat
Palestina masih di bawah kekuasaan Inggris. Ketika Zionis-Israel mencaplok tanah Palestina
dan mendirikan negara Yahudi pada 1948, al- Faruqi berimigrasi ke Libanon dan masuk di
Universitas Amerika di Beirut. Dia melanjutkan studinya ke Universitas Indiana (Amerika
Serikat) dan kemudian belajar di Universitas al-Azhar selama empat tahun (1954-1958).
Pernah mengajar di beberapa universitas di Amerika utara, termasuk di Universitas McGill
(Montreal, Kanada). Pada 1963 al-Faruqi kembali ke AS dan mengajar di Universitas Temple
dan dia diberikan kepercayaan untuk merancang program studi Islam di universitas tersebut.
Pada 1980 al-Faruqi bersama Sheikh Taha Jabir al-Alwani, Dr Abdul Hamid Sulaiman
(mantan rektor Universitas Islam Antarbangsa Malaysia), dan Anwar Ibrahim mendirika n
International Institute of Islamic Thought di Kuala Lumpur, Malaysia.
Al-Faruqi dan keluarganya mengalami nasib tragis. Seorang laki-laki pembegal membunuh
al-Faruqi, Lois Lamya (istrinya), dan Anmar al-Zein (puterinya) di rumahnya di Philadelphia
pada 27 Mei 1986. Motif pembunuhan ini diduga karena al-Faruqi banyak melancarkan
kecaman dan kritik keras terhadap politik Zionis-Israel. Sampai sekarang Badan Intelijen
Amerika (FBI) belum berhasil menangkap si pembunuh.
Dalam menyebarluaskan gagasannya, al-Faruqi menulis buku bertajuk Islamization of
Knowledge. Beberapa kalangan sarjana muslim menyatakan pro dan setuju dengan gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh al-Faruqi. Di pihak lain, ada beberapa
kalangan sarjana muslim yang kontra dan tidak setuju dengan ide islamisasi ilmu
pengetahuan yang digagas al-Faruqi.
Masih menjadi pertanyaan saya, mengapa al-Faruqi tidak menggagas tentang Islamization of
Sciences? Saya berpendapat, knowledge (pengetahuan) dan science (ilmu pengetahuan) itu
berbeda. Misalnya, kita mengetahui ada hujan turun dari langit. Itu namanya pengetahuan.
Kajian kita tentang sebab-sebab turunnya hujan bermula dari terjadi penguapan air laut, lalu
menjadi awan menggumpal, dan dari gumpalan awan ini akhirnya terjadi hujan. Itulah yang
disebut ilmu pengetahuan. Al-Faruqi menggagas islamisasi pengetahuan atau islamisasi ilmu
pengetahuan?
62
Buku al-Faruqi Islamization of Knowledge diterjemahkan oleh Anas Mahyudin ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan islamisasi sains yang
digulirkan al-Faruqi tampaknya dimotivasi oleh kegelisahannya saat melihat ilmu
pengetahuan Barat yang semakin “sekuler”.
Di Barat, dikotomi dan separasi ilmu-ilmu agama (religious sciences) dan ilmu-ilmu sekuler
(secular sciences) sudah lama terjadi yaitu sejak sekularisme dianut oleh masyarakat Barat
sekitar abad ke-17 M. Sejak itu ihwal duniawi (termasuk ilmu pengetahuan umum/sekuler)
dibedakan dan dipisahkan dari ihwal agamawi.
Di sekolah Barat murid-murid dilarang berdoa di ruang kelas sebelum pelajaran dimulai. Jika
pun ada program studi agama (termasuk Islam) di universitas Barat, itu dimaksudkan sebagai
kajian akademik murni dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan ketakwaan dan
penguatan iman. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran misalnya banyak
“disalahgunakan” untuk praktik aborsi dan euthanasia dalam masyarakat Barat.
Berbagai fenomena di Barat itulah tampaknya yang menggerakkan al-Faruqi mencetuskan ide
islamisasi ilmu pengetahuan. Kita memahami kegelisahan al-Faruqi. Dia ingin
mengembalikan sains dan teknologi serta penggunaannya ke jalan sesuai ajaran agama
(Islam). Perlu ditanyakan: sejauh manakah ide islamisasi sains yang dicanangkan oleh al-
Faruqi itu mencapai target dan sasaran? Sudah terwujudkah ide islamisasi ilmu pengetahuan
dambaan al-Faruqi itu? Jika sudah terwujud, elemen-elemen sekuler manakah dari ilmu
pengetahuan Barat itu yang sudah diislamisasi?
Sebagaimana disinggung di atas, gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang dilontarkan oleh
al-Faruqi menuai kontroversi di kalangan sarjana muslim. Ada yang pro dan ada yang
kontra. Seorang sarjana muslim Indonesia yang kontra terhadap gagasan islamisasi sains versi
al-Faruqi adalah Munawir Sjadzali (menteri agama era 1990-an). Menurut Munawir, ilmu
pengetahuan itu bersifat universal, tidak ada ilmu pengetahuan Islam, ilmu pengetahuan
Barat, dan ilmu pengetahuan bukan Islam.
Saya tidak melihat ada substansi materi ilmu pengetahuan sekuler Barat yang telah
diislamisasi. Para sarjana Barat tidak merasa ada elemen-elemen ilmu pengetahuan mereka
yang telah diislamisasi. Ilmu pengetahuan sekuler Barat tetap dan terus berkembang dan
dikembangkan secara modern dan canggih oleh para ilmuwan Barat seiring perkembangan
zaman.
Menurut saya, para pakar muslim memakai teori-teori tertentu ilmu pengetahuan Barat
kemudian mengembangkan teori-teori tadi dengan menggunakan rujukan ajaran Islam. Atau,
para sarjana muslim tadi sudah menguasai teori-teori ilmu keislaman dan mengayakannya
dengan ilmu-ilmu Barat modern yang mereka nilai sesuai dengan Islam. Dengan cara
demikian, lahirlah ilmu pengetahuan yang bercorak islami.
63
Misalnya ahli-ahli ekonomi muslim menggunakan teori-teori tertentu ilmu ekonomi sekuler
Barat yang menurut penilaiannya tidak bertentangan dengan Islam. Lalu dia mengembangkan
dan menciptakan sendiri ilmunya itu dengan memakai rujukan ajaran Islam. Atau, dia sendiri
sudah menguasai beberapa teori ekonomi Islam dan mengayakannya dengan teori dan kajian
ilmu ekonomi sekuler Barat yang dia nilai sesuai dengan ajaran Islam. Dari studinya itu,
lahirlah ilmu ekonomi Islam (syariah).
Dalam konteks ini, sarjana muslim tadi hanya mengambil teori, materi, dan substansi ilmu
ekonomi sekuler Barat yang ia nilai tidak bertentangan dengan Islam. Sedangkan teori,
materi, dan substansi ilmu ekonomi sekuler Barat (bercorak kapitalistik) yang dia nilai
berlawanan dengan Islam tidak diadopsi. Jadi tidak ada materi-materi ilmu pengetahuan
sekuler Barat yang diislamisasi.
Hasil-hasil teknologi Barat (AS) juga sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara Arab-muslim sudah terbiasa menggunakan teknologi
perminyakan ciptaan AS untuk mengeksplorasi hasil minyak mereka. Apa yang salah dengan
teknologi perminyakan AS? Apanya yang perlu diislamkan?
Ilmu matematika di Barat mengatakan bahwa 2+2=4. Ilmu matematika di dunia Islam juga
mengatakan bahwa 2+2= 4. Apa yang salah dengan ilmu matematika di dunia Barat? Apanya
yang perlu diislamkan?
Yang berbeda antara Barat dan Islam terletak pada filsafat dan pandangan hidup antara
keduanya. Barat bertumpu pada sekularisme-antroposentrisme, sedangkan Islam (muslim)
berpangkal pada teosentrisme. Akibat itu, ilmu pengetahuan di Barat terlepas dari agama
(dengan segala implikasi dan konsekuensinya), sedangkan dalam Islam tidak.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
64
Jakarta Perlu Belajar dari Kota Lain Koran SINDO 14 Februari 2015
Jakarta kembali menjadi berita yang tidak membanggakan, meski sudah bisa diprediksi.
Metropol Indonesia yang pada 22 Juni 2015 nanti hampir berusia setengah milenium ini,
menggondol gelar terburuk.
Baru-baru ini, setelah sebelumnya oleh The Economist, Jakarta mendapat predikat kota paling
berbahaya; Castrol Magnatec Stop-Start menobatkan Jakarta menjadi kota paling macet di
dunia. Lebih dari itu, tujuh tahun lalu, penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP,
2009) mendudukkan Jakarta pada peringkat ke-3 sebagai kota paling buruk kualitas udaranya
di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Tinggal di Jakarta yang sangat padat sungguh jauh dari kenyamanan. Hampir semua sumber
kehidupan yang vital seperti air dan udara, sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil
penelitian UNEP tersebut menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di
kota metropolitan ini terbukti mengandung ekoli, bakteri yang berasal dari kotoran manusia.
Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak. Penyebab utamanya adalah
emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah
mulai menerapkan peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus
menggunakan bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan. Pemprov DKI Jakarta juga
telah menyusun RTRW 2010-2030 yang, sayangnya, diprotes berbagai pihak karena
dianggap tidak partisipatif.
Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang meragukan apakah
mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya, yang kini berpenduduk 20 juta
jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis
bahwa Sao Paulo, Brasil, ”berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin
melakukan perencanaan atasnya.” Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru
berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan, apa kesan mendiang Levi Strauss seandainya
melihat Sao Paulo, apalagi Jakarta saat ini.
Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara
berkembang, bukan disebabkan kemakmuran kota, tetapi akibat kemiskinan desa.
Belajar dari Kota lain
Secara teoretis, arus urbanisasi ini akan lebih terbendung seandainya sentra-sentra di daerah
65
mampu menawarkan lapangan kerja cukup. Pada aspek ini, sebenarnya ada ”titik temu”
kepentingan antara Jakarta dan daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk
mengurangi beban kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan, seharusnya
menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.
Jakarta bisa menjembatani— atau melakukan investasi langsung—di daerah terutama dalam
sektor industri padat karya. Boleh juga dicoba program pemulangan ”putera daerah” dari
Jakarta untuk mengisi berbagai lowongan pekerjaan di daerah.
Status Jakarta sebagai ibu kota negara, sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis,
juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di kota ini. Rencana
pemindahan lokasi kegiatan administrasi pemerintahan ini, kiranya perlu dihidupkan kembali.
Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta, tampaknya harus menjadi bagian dari
prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke
depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan adalah sebuah keharusan, termasuk dalam
kemungkinan merevisi RTRW 2010-2030. Shakespeare pernah memformulasikan sebuah
kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, ”Apakah kota itu, kalau bukan
penduduknya.”
Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas
penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun,
mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi
biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli
perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota
sering kali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide
kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut
patut dipertimbangkan.
Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah model inovatif dan partisipatif,
dalam bentuk Orcamento Participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan
anggaran. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-
forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.
Sejak beberapa tahun terakhir, warga Porto Alegre dapat langsung memutuskan penggunaan
dana sebagai investasi bagi kemaslahan lapis sosial bawah terkait air minum, kanalisasi,
jalan, pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta
pengadaan jaringan pembuangan air limbah.
Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasilia dan
beberapa negara Amerika Latin. Dalam kaitan ini, model demokrasi representative-
66
procedural, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan
langsung warga kota lewat OP.
Dari dalam negeri, Jokowi yang kini menjadi RI 1, dan sempat menjadi gubernur DKI
Jakarta, kala menjadi wali kota Solo pernah mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan
warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, dia lebih dulu mendengar
inspirasi para pelaku sektor informal itu.
Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau membakar lokasi. Tak heran, acara
pemindahan berlangsung mulus dan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan
pasukan keraton.
Kita berharap pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi
masukan bagi pembenahan Jakarta.
IVAN HADAR
Arsitek; Perencana Kota; Direktur Eksekutif Ide
67
PK Koran SINDO 15 Februari 2015
Dulu, semasa saya sekolah SMP di Tegal, paling senang saya nonton film India dan
Malaysia. Yang saya ingat bintang film India yang terkenal saat itu adalah Raj Kumar, dan
bintang film Malaysia namanya P Ramlee.
Ketika saya jadi dosen tamu di Universiti Malaya tahun 2008, setiap malam saya masih
menyaksikan film-filmnya P Ramlee, masih diputar, berulang-ulang. Dan, orang Malaysia
zaman sekarang masih kenal P Ramlee. Lain halnya dengan film India. Sejak saya SMA
sampai saya kuliah dan sampai sekarang, saya hampir tidak pernah menonton film India lagi.
Film India bukan untuk anak gaul, melainkan untuk anak-anak kampung, atau anak gedongan
yang kampungan. Pokoknya di mata saya, film India adalah film norak yang isinya nyanyi-
nyanyian, nari-narian, cinta-cintaan, dan polisi bego.
Tetapi siapa nyana, tahu-tahu saya yang sudah nonton banyak sekali film bagus mancanegara,
maupun nasional (pernah dua kali jadi juri Festival Film Indonesia dan sekali jadi juri
Festival film Maya), kok bisa nonton film India yang satu ini.
Film besutan sutradara Raj Kumar Hirani itu berjudul PK, dibaca dalam lafal bahasa Inggris:
dan ejaan Indonesia “Pi-Kei”, yang ternyata dalam bahasa Hindi artinya adalah “slebor”
(tidak mabuk, tetapi seperti orang mabuk). Nama itu diberikan kepada seorang makhluk asing
dari planet antah-berantah yang sedang melaksanakan misi penelitian ke planet bumi (seperti
astronot bumi Neil Armstrong, yang pernah mendarat di bulan).
Makhluk astronot itu, walaupun wujudnya seperti manusia (dimainkan oleh Aamir Khan),
perilakunya sangat aneh. Dia bertelanjang bulat dan tidak bisa bicara, sehingga untuk
menutupi tubuhnya dia mencuri baju dari mobil-mobil yang diparkir, tetapi bergoyang-
goyang, karena penumpangnya sedang melakukan hubungan seks dan melepas baju-baju
mereka.
PK juga baru bisa berbicara dengan bahasa manusia kalau ia bisa memegang tangan
seseorang selama enam jam atau lebih. Setiap orang yang akan dipegang tangannya menolak,
marah-marah atau bahkan lari ketakutan. Tetapi beruntung PK diajak temannya untuk ke
rumah pelacuran, dan di situlah dia bisa menyerap bahasa Hindi dengan cara memegang
tangan si pelacur selama enam jam, sampai si pelacur yang awalnya terheran-heran akhirnya
ketiduran.
Sementara itu, sejak PK mendarat di bumi, remote control yang tergantung di lehernya
dijambret orang. Padahal, remote control itu adalah untuk memanggil pesawat yang
68
mengantar-jemputnya ke bumi. Tanpa alat itu, PK tidak bisa pulang ke planetnya sendiri.
Maka misi PK sekarang berubah, yaitu mencari remote control-nya yang hilang, yang
dicarinya sampai ke New Delhi, di mana ia mendapat petunjuk bahwa remote control itu
sudah diambil Tuhan, maka dia harus memintanya ke Tuhan. Maka sejak itu misinya berubah
menjadi mencari Tuhan.
Di New Delhi, dia berkenalan dengan seorang presenter TV yang cantik bernama Jaggu
(dimainkan oleh Amashka Sharmai), dan Jaggu inilah yang menolongnya untuk menemukan
Tuhan dan remote control-nya.
Pada suatu hari, ketika ia sedang menunggu Jaggu di kantor stasiun TV, PK melihat salah
satu pegawai yang kebetulan lewat menjatuhkan sesuatu. Dengan niat baik, PK memungut
benda itu dan mencoba mengembalikan kepada pemiliknya. Namun, si pemilik malah
meloncat menjauh, “Idih, benda apa itu? Itu bukan punya saya”. Dengan heran, PK mencoba
memberikannya kepada pegawai lain di sekitar situ, ternyata semua menolak, bahkan ada
yang marah.
Maka dia bertanya kepada Jaggu dan bosnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kotak
kondom, dan Jaggu serta bosnya pun tertawa. Tetapi PK tidak mengerti. Mengapa kalau
kondom orang ketakutan, tetapi kalau uang yang jatuh, orang berebut untuk memilikinya?
***
Di sinilah filosofi yang sangat dalam dari film komedi satire itu. Walaupun sambil tertawa-
tawa karena adegan-adegan yang kocak, penonton ikut berpikir bersama PK, mengapa orang
ketakutan pada kotak kondom, tetapi sangat bernafsu untuk memiliki uang? Keduanya hanya
benda terbuat dari kertas? Ternyata manusia punya cara berpikir yang tidak masuk akal PK
yang makhluk planet itu.
Di kesempatan lain, PK juga pernah membeli makanan dengan uang bergambar Mahatma
Gandhi. Tetapi ketika ia memberi gambar Mahatma Gandhi dari sebuah pamflet, si tukang
makanan menolak. Maka PK pun bingung lagi. Gambarnya persis sama, tetapi kok yang satu
boleh ditukar dengan makanan, yang lain tidak?
Begitu juga ketika ia mencari Tuhan. Dia menemukan banyak sekali tuhan di New
Delhi. Ada tuhan yang menyuruhnya menyembelih sapi, tetapi ada yang menyuruhnya
menyembah sapi. Ada yang minta sesajian anggur yang mahal, ada yang menguber-uberinya
sampai dia lari lintang pukang gara-gara dia mau mempersembahkan anggur di masjid. Ada
lagi yang melarang kita makan setelah matahari terbenam, tetapi ada yang justru
mengharuskan makan setelah matahari terbenam, karena di siang hari diharamkan
makan. Dan seterusnya.
Ternyata semua tuhan itu adalah ciptaan manusia, yang ditaati dan ditakuti karena para
pemuka agama itu (istilah PK: manajer-manajer tuhan) membuat umat masing-masing
69
ketakutan pada tuhan ciptaan itu. Maksudnya adalah agar umat mau saja melakukan apa yang
disuruh oleh manajer agama, termasuk memberi sumbangan uang untuk keperluan
pembangunan rumah ibadah dll. Padahal, Tuhan yang asli menciptakan jutaan planet seperti
bumi ini, dan Dia tidak minta apa-apa. Dia tidak minta dibela seperti yang akan dilakukan
oleh pendeta Hindu, Tapasvi Maharaaj, yang bertubuh tambun dan berwibawa, ketika PK
mengatakan bahwa tuhannya Tapasvi Maharaaj adalah tuhan ciptaannya sendiri.
Manusia tidak akan berhenti saling membunuh, selama mereka hanya menyembah tuhan-
tuhan yang diciptakannya sendiri. Demikian kesimpulan PK, si makhluk slebor dari planet
antah-berantah itu.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
70
Radio dan Singkong Koran SINDO 16 Februari 2015
Asal tahu, media radio siaran di Indonesia itu nasibnya ibarat singkong. Tumbuh di semua
daerah, dan pernah dimakan oleh hampir semua orang, dari rakyat jelata sampai
presiden. Kecuali penyandang cacat pendengaran (maaf), semua pernah mendengarkan radio,
walau hanya sekilas.
Tetapi seberapa banyak orang menghargai atau bangga terhadap singkong dan radio? Orang
lebih bangga makan keju (nonton TV) dibandingkan singkong (dengar radio), padahal
singkong dan radio punya sejarah panjang di negeri ini. Itu sekedar bermisal-misal dan
analogi pribadi dari pengalaman mengelola radio dan usaha warung makan serbasingkong.
Seperti petani singkong, mengelola radio pun cukup melelahkan dan hasilnya sering tidak
sebanding. Banyak pengelola radio harus merengek, berebut kue iklan yang mayoritas
dikuasai media bergambar. Tentu ada perusahaan radio yang sukses, tetapi tetap tidak banyak
jumlahnya. Tidak perlu jauh melihat ke daerah, cermati saja usaha radio di Ibu Kota, ada
pemilik radio yang gemah ripah, tetapi lebih banyak yang susah. Begitu pun petani singkong.
Ada yang kaya, tetapi lebih banyak hanya mengenakan kolor dengan kulit hitam legam
terbakar matahari.
Jika ingin tahu kenyataan kondisi usaha radio siaran lebih banyak yang semaput, bisa lihat di
daerah. Hari ini siaran meriah, boleh jadi karena empunya radio baru dapat bayaran iklan,
tetapi lusa yang terdengar hanya desis mirip ular derik alias tidak siaran. Sepi! Setelah diam
tidak jelas alasannya, tiba-tiba radio berkumandang lagi. Tidak ada pendengar protes, seakan
sama-sama paham. Lalu bagaimana radio bisa terus hidup dan ada? Semua itu semata-mata
karena kecintaan pemilik dan karyawan kepada radio.
Radio siaran, sejatinya, merupakan media paling murah dan cukup efektif. Seharusnya radio
mendapat perhatian banyak pihak, terutama pejabat pemerintah. Hanya media radio yang
mampu menjangkau dengan cepat wilayah di mana media lain tidak bisa segera hadir.
Melihat sifatnya, maka memanfaatkan radio sebagai media penyampai informasi, terkait
sosialisasi dan kampanye atas kebijakan atau program pemerintah yang mendesak akan
cukup efektif. Hal itu pula yang mendorong Badan PBB untuk Pendidikan, Organisasi, dan
Kebudayaan (UNESCO) mencanangkan tanggal 13 Februari sebagai Hari Radio Se-
dunia. UNESCO menilai radio adalah salah satu instrumen penting dalam perubahan sosial
dunia.
71
Peringatan hari radio dimaksudkan UNESCO sebagai upaya menyadarkan para pembuat
kebijakan tentang pentingnya aliran informasi radio. Sayangnya, di Indonesia pemahaman
masyarakat dan pejabat terhadap radio sebagai media efektif sangat kurang, bahkan semakin
merosot. Sebagian besar birokrat enggan berakrab-akrab dengan radio, tetapi lebih memilih
tampil di media lain. Kondisi tersebut diperparah dengan jajaran pemerintahan yang bertugas
melakukan sosialisasi ke masyarakat, tentang kebijakan departemen atau lembaganya, dengan
menomorsekiankan media radio dalam kegiatannya.
Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan, antara lain tidak paham karakter radio,
menganggap radio sebagai media murahan dan tidak sedikit terkait urusan “proyek”.
Pengalaman mengundang menteri untuk hadir dalam acara talkshow radio membuktikan,
pada dasarnya banyak pejabat suka berbicara di media yang satu ini. Tetapi mereka terkesan
tidak mendapat masukan dari stafnya, terutama bagian komunikasi, mengenai perlunya
memanfaatkan media radio.
Buktinya, ketika pejabat pamit pulang selalu mengatakan, puas bisa bicara di radio karena
waktu yang relatif panjang sehingga leluasa menjelaskan programnya. Juga mengaku terhibur
bisa berinteraksi langsung dengan pendengar baik melalui short message service (SMS)
maupun telepon. Mereka mengungkapkan keinginannya bisa kembali diberi ruang di radio
untuk bicara.
Kurang Percaya Diri
Radio sebagai media memiliki perjalanan panjang. Radio yang mengabarkan peristiwa dan
memopulerkan penyanyi melintas benua. Lewat radio pejuang Indonesia mengetahui Jepang
kalah perang dan menyerah menyusul kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dulu,
masyarakat nun jauh “menonton” pertandingan bulu tangkis atau sepak bola melalui siaran
radio. Saat kerusuhan Mei 1998, berujung pada jatuhnya Suharto sebagai presiden Indonesia,
peran radio begitu besar menyampaikan informasi pergerakan kerusuhan di berbagai kota dan
masyarakat menyimak antusias.
Begitu besar peran radio, tetapi seberapa banyak masyarakat mengingat dan menyadari
pentingnya radio? Bagaimana radio yang semula begitu populer kemudian terkesan menjadi
media kurang penting?
Berkurangnya pamor radio di Indonesia, harus diakui, salah satunya karena awak radio itu
sendiri tidak percaya diri dan lemah kreativitas. Orang radio sering merasa minder dengan
media televisi dan cetak, bahkan dengan media online. Fatalnya, banyak awak radio tidak
paham tentang karakter radio, sehingga tidak mampu membuat program siaran yang baik
serta gagal “menjual” produknya. Akibat semua itu, gagal pula meraih pendengar dan iklan,
sehingga berdampak kepada kehidupan radio itu sendiri.
Gempuran terhadap kehidupan radio, memang, tidak bisa dihindari seiring dengan kemajuan
zaman. Tetapi orang radio harus bangga dan percaya diri, faktanya radio tidak mati karena
72
kehadiran internet seperti terjadi pada sebagian media cetak. Kehadiran internet justru
membantu perkembangan radio dalam memperluas siarannya, terutama pada radio
berjaringan. Minat kepada siaran radio juga bisa diamati dengan munculnya ribuan radio
komunitas melalui frekuensi analog maupun digital (streaming). Perlu diketahui, sistem
produksi audio radio streaming juga sama dengan radio konvensional, setidaknya ada
mikrofon dan mixer audio, hanya beda media siarnya.
Mungkin ada pengelola radio yang kecut ketika mengetahui jajak pendapat Kompas bahwa
posisi radio sebagai tempat mencari informasi nilainya hanya 1,8% di bawah media sosial
(2,9%) dan jauh dari televisi (41,9%), surat kabar (26,6%) dan situs berita (25,9%). Tetapi
coba simak survei American Press Institute pada Maret 2014 di Amerika. Dilaporkan,
masyarakat mengikuti berita melalui televisi sebanyak 87%, laptop/komputer 69%, radio
65% dan koran cetak atau majalah 61%. Tentu tempat dan karakter masyarakat dari kedua
tempat survei tersebut berbeda, sehingga hasilnya pun tidak sama. Tetapi perlu diingat,
masyarakat di Amerika yang sudah sangat melek internet, pada kenyataannya tetap
mendengarkan radio.
Penelitian Kompas berdasarkan temuan di 12 kota, sementara di perdesaan masyarakat masih
banyak yang setia dengan radio sebagai teman bekerja menoreh karet, di pasar dan lainnya.
Percaya diri dan kreativitas sangat diperlukan dalam mengelola radio.
Bukti bahwa radio bisa berada pada posisi sejajar dengan media lain adalah talkshow
“Polemik” Radio Trijaya FM, setiap Sabtu pagi di Warung Daung, Cikini, Jakarta
Pusat. Acara radio yang selalu diliput media cetak, televisi, dan online sebagai rujukan dan
sumber berita mereka. Pada masanya, acara ini mendapat kepercayaan dari kalangan politisi,
akademisi, tokoh masyarakat, LSM, birokrat, pengamat dan lain. Mereka mengaku senang
diundang sebagai narasumber talkshow ini.
Tidak sedikit mereka yang semula belum terkenal menjadi kesohor setelah tampil di Polemik,
kemudian rutin menjadi pembicara di televisi. Hal itu membuktikan radio bukan media
pinggiran selama digarap dengan serius.
Mengelola radio sama dengan mengolah bahan singkong menjadi berbagai bentuk makanan
seperti getuk, tiwul, keripik, dan sebagainya. Enak di lidah atau enak di kuping pendengar
radio tergantung kreativitas, kecintaan, dan keseriusan mengelola radio itu sendiri. Perlu
diingat, acara talkshow Polemik selalu menyajikan makanan singkong olahan kepada
narasumber, meskipun dia seorang menteri dan wartawan yang meliput acara ini
sendiri. Koki Warung Daun mengolah dan mengemas sajian singkong dengan apik, resik,
menarik, dan enak.
Jadi, jika radio dikelola secara asal, tidak beda dengan singkong yang hanya dikupas
kemudian dijemur menjadi gaplek. Rasanya pahit dan apek. Selamat Hari Radio Sedunia!
73
EDDY KOKO
Mantan SM & Pimred Radio Trijaya FM
74
Kasih Bersemi di Saat Banjir Koran SINDO 16 Februari 2015
Banjir merupakan kenduri tahunan yang melanda beberapa daerah di Indonesia dari mulai
Bandung, Tangerang, sampai Jakarta dan seakan menjadi peristiwa yang minim solusi.
Ketika terjadi banjir, berbagai keluh kesah menghiasi wajah media cetak, media elektronik,
media sosial. Semua berisi tentang cerita dukanya banjir. Tetapi jangan lupa, banjir juga bisa
menjadi ekspresi kebahagiaan bagi anak-anak. Mereka bebas bermain di jalan raya, bebas
berenang, bebas tidak ke sekolah, bahkan orang tuanya juga ikut bebas tidak ngantor. Di
jalan raya, bebas dari pelanggaran lalu lintas dan motor bebas masuk ke jalan tol.
Ternyata banjir ada nikmatnya juga ya? Coba kalau tarif listrik, tarif telepon, ketika banjir
ikut dibebaskan. Sempurna deh... Ini namanya banjir yang membawa bahagia.
Kita memang tidak tahu kalau ditanya banjir ini salah siapa. Salah pembuang sampahkah,
salah penata permukimankah, atau salah PLN-kah? Yang jelas jawabannya ya salah sendiri,
kenapa mau tinggal di daerah banjir?
Ketika banjir aktivitas kehidupan nyaris lumpuh. Mobil mewah berharga miliaran bahkan
puluhan miliar rupiah yang menghiasi jalan-jalan di ibu kota dengan berbagai kegagahannya
seolah tak berdaya menghadapi tingginya arus air. Sebaliknya, barang-barang yang biasanya
dianggap sepele, bahkan nyaris tak dihargai, yang menjadi penghuni tempat-tempat
pembuangan sampah dan daerah-daerah kumuh, justru menjadi begitu bermanfaat. Ban
bekas, jeriken, sepeda kayuh, gerobak sampah, dan rakit bambu, menjadi hal-hal yang begitu
dicari dan dicintai.
Banjir berhasil mengikat tali cinta tanpa kasta, yang kaya dan yang miskin bahu-membahu
untuk saling menyelamatkan. Mereka tiba-tiba menjadi sangat dermawan, ketika naik rakit,
naik gerobak, tangannya menggenggam erat para pemikul dan pendorongnya, karena
khawatir terjatuh terbawa arus.
Banjir juga ternyata mampu merenda kembali cinta kasih yang selama ini tergadaikan oleh
suami atau istri yang sibuk dengan pekerjaan. Istri biasanya sibuk dengan aktivitas kebugaran
seperti nyalon, nyenam, nyoping, serta anak-anak yang sibuk dengan pelajaran dan les. Pada
saat banjir mereka tinggal di rumah, menjalankan ritual kebersamaan, membersihkan lantai,
mencuci, makan bersama, bahu-membahu dengan pembantu yang biasanya jarang dilakukan
di saat normal. Ternyata banjir mampu mendatangkan gelombang kasih sayang.
Namun, seperti biasa, manakala banjir sudah surut, mereka akan kembali dicampakkan tanpa
75
harga sedikit pun. Itulah tradisi kita yang selalu menghargai sesuatu pada saat dibutuhkan dan
mencampakkannya manakala seluruh hajatnya sudah terpenuhi. Mungkin ini adalah sebuah
kutukan dari sebuah ungkapan kalimat, yang entah siapa pertama kali mengucapkannya,
“Habis manis sepah dibuang.”
Perilaku tersebut bukan hanya pada urusan banjir, tetapi juga melanda hampir seluruh pranata
kehidupan sosial kita. Ketika menjadi atlet ternama maka kita membanjirinya dengan pujian
setinggi langit, namun membiarkan dia hidup terlunta-lunta manakala sudah renta dari
prestasi. Perilaku ini juga menimpa pada kaum hidung belang yang menemui wanita
penghibur dengan penuh hasrat dan meninggalkannya tanpa kata setelah seluruh hasratnya
terpenuhi. Mengukur seluruh keinginan dengan kalkulasi jual beli, waktunya pendek dan
terbatas, tanpa ungkapan cinta dan rasa. Yang ada, berapa harga nafsu harus kutumpahkan?
Bandingkan dengan orang asing, yang memperlakukan wanita dengan penuh etika dan
estetika. Tak peduli dengan identitas PSK sekalipun, mereka menganggapnya sebuah profesi
yang harus dihormati, sehingga mereka tak canggung untuk menemani minum, makan,
berjalan, bercengkerama, berdansa, berdisko. Maka bolehlah kita jujur, kita
berperikehewanan, mereka berperikemanusiaan. Walaupun dari sisi nilai, kedua-duanya
memang bukan hal yang mulia.
Ketika banjir melanda, maka kita sibuk mencari cara mengalirkan air agar tidak tergenang.
Berbagai perangkat teknologi pun disiapkan. Mesin pompa, kanal, biopori, bahkan sampai
terowongan pintar ala Malaysia. Namun, kita masih sibuk dengan fogging, sibuk dengan
infus, sibuk dengan suntik, operasi, kemoterapi, dan berbagai kegiatan pengobatan lainnya.
Di sisi lain, kita tidak pernah sibuk untuk membiayai, membangun perangkat, membuat
hukuman yang tegas bagi siapa pun yang merusak karakter lingkungan sehingga memiliki
dampak menurunnya kesehatan masyarakat. Lantas, kekuatan mana yang bisa menyelesaikan
seluruh problem di hilir, sedangkan hulunya tidak pernah kita rawat dan kita cintai.
Ahli fikih kita sibuk dengan kata halal dan haram yang sangat normatif. Dari mulai babi,
anjing, ular, tikus, dan berbagai hal-hal yang diharamkan lainnya, namun kita seperti tidak
lagi bisa berkata haram untuk kadar gula yang tinggi, kadar lemak yang tinggi, kadar asam
yang tinggi, zat pewarna, makanan kedaluwarsa, udara yang tercemar, air yang tercemar,
tanah yang tercemar. Seolah itu semua bukan ranahnya para ahli fikih.
Setiap hari kita bicara persoalan mengendalikan inflasi, meningkatkan daya beli, membangun
produktivitas, tetapi kita biarkan anak-anak muda kita bercengkerama dengan berbagai
perangkat yang bersifat konsumtif, mulai perangkat otomotif, elektronik, fashion, yang
semuanya digunakan hanya untuk meningkatkan gengsi. Sedangkan kehidupan mereka
semakin jauh dari kreativitas, minim inovasi.
Sikap konsumtif itu telah melahirkan banjir produk impor di negeri yang serbaada, mulai dari
banjir mobil impor, motor impor, beras impor, garam impor, kedelai impor, gula impor, yang
76
akan membawa tenggelamnya bangsa ini pada utang yang tidak akan pernah habis ceritanya.
Mang Udin, tetangga di kampung saya, tersenyum ketika ditanya masalah pengendalian
inflasi, “Saya tidak mengerti apa itu inflasi. Yang jelas saya menanam padi pupuknya dari
kotoran sapi, kalau pengen ikan tinggal pasang pancing di pinggir kali, kalau pengen makan
sayur saya memetik kacang panjang di pematang sawah. Kalau bepergian paling hanya ke
pasar, itu pun memakai sepeda.”
“Kalau makan tidak pernah berpikir tentang kadar gula dan kadar lemak, sebab habis makan,
kecruk macul. Lamun hayang kapake ku pamajikan, cukup ngala buah jambe (kalau mau
dipuji istri, tinggal petikin pinang). Makanya ketika ada pejabat yang berkampanye One day
no rice (sapoe teu nyatu kejo), saya jadi bingung. Ari aing kudu nyatu naon? Dadahareun nu
sejen mah euweuh di lembur aing. Piraku kudu ngadahar kumeli dicocol kanu sambel, asa
teu pantes jeung kumelina oge kudu meuli ka pasar (Saya mesti makan apa? Makanan yang
lain tidak ada di kampung saya. Masa mesti makan kentang dicolek sambal, rasa-rasanya
kurang pantas, lagipula kentangnya mesti beli di pasar).”
Ma Icih, istri setia Mang Udin, ikut menimpali, “Ema diberi pengarahan masalah
pengendalian inflasi di kantor desa. Ema kan jadi bingung, sabab pan ema mah nyangu jeung
nyambel ku sorangan, ngagoreng lauk make minyak keletik meunang nyieun ema sorangan,
baju meunang ngecos, samping meunang nenun. Lamun peuting-peuting hayang kapake ku
Mang Udin, Ema mah cukup ngalembar daun seureuh diapuan make jambe, taah... tingali
huntu ema, rangeteng can aya nu coplok (Sebab ema menanak nasi dan membuat sambal
sendiri, menggoreng ikan memakai minyak kepala buatan sendiri, baju dijahit sendiri,
selendang hasil tenun sendiri. Kalau malam ingin dipuji Mang Udin, ema cukup makan daun
sirih, tuh lihat gigi ema masih lengkap). Mantak ge ema mah, (makanya ema) berani unjuk
gigi di depan para tetangga, karena gigi ema mah beres keneh (masih rapi).”
“Sekalipun rumah ema sekadar rumah panggung, namun tidak pernah runtuh oleh gempa atau
terbawa banjir, karena leuweung tutupan tonggoheun imah (hutan lindung di atas bukit)
selalu diberi sesajen, tanda kasih sayang antara ema dan hutan. Di usia yang semakin senja,
ema dan Mang Udin hidup rukun bahagia. Tiada hari tanpa banjir kasih sayang, walaupun
ema tidak pernah merayakan Valentine.”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
77
Membahas Tembakau dalam Persahabatan Koran SINDO 16 Februari 2015
Serikat Rakyat, sebuah LSM yang memiliki komitmen besar memperjuangkan nasib petani
tembakau, berkoordinasi dengan Asosiasi Petani Tembakau (APTI), meminta dukungan
Komnas HAM, untuk menyelenggarakan sebuah diskusi terbuka.
Diskusi itu diadakan pada 11 Februari 2015 di kantor Komnas HAM, Jakarta. Tujuannya
menyusun suatu konsep akademik yang bakal diajukan pada pemerintah untuk menjadi suatu
pertimbangan menyusun kebijakan pertembakauan. Hadir dalam pertemuan itu para tokoh
anti-tembakau maupun tokoh-tokoh pembela tembakau.
Diskusi itu membahas sikap pemerintah kita yang belum melakukan ratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) yang resminya diajukan WHO, untuk menjadi
perhatian negara-negara di seluruh dunia. Seorang tokoh di bidang kesehatan masyarakat
menguraikan perlunya pemerintah meratifikasi FCTC tersebut, dengan argumen yang
meyakinkan bahwa kita tidak rugi apa pun bila kita meratifikasinya.
Diberikan contoh negara-negara yang telah melakukan ratifikasi tanpa kerugian apa pun,
bahkan dalam urusan dengan tembakau, produk tembakau dan memperdagangkannya tetap
secara leluasa tanpa beban apa pun. Kecuali itu, dia menyarankan agar FCTC tak
dihubungkan dengan persoalan petani tembakau.
Seorang tokoh lagi memberikan gambaran, sekarang ini kita lemah di bidang olahraga karena
pengaruh merokok. Dia mencontohkan di zaman Sarengat, pada tahun 1962- an, bidang
olahraga kita mencapai prestasi hebat. Sekarang ini kita bangsa perokok. Prestasi olahraga
anjlok. Bangsa perokok bukan olahragawan yang baik.
Tanggapan bermunculan dari pihak pembela tembakau. Di antara tanggapan yang muncul
adalah ratifikasi tanpa pemahaman persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari
jelas membahayakan bangsa kita. Negara-negara yang telah melakukan ratifikasi tanpa
masalah, itu kasus mereka, yang berbeda dari kasus kita.
Jika kita harus juga melakukan ratifikasi itu, maka kita harus memiliki strategi dan program-
program mengatasi apa yang kemungkinan bakal timbul kelak. Jadi, dipelajari dulu secara
saksama dan mendalam, baru kemudian merancang berbagai kemungkinan jalan keluar, jika
timbul masalah di kemudian hari. Ringkasnya, ratifikasi bukan sekadar ratifikasi, untuk ikut-
ikut negara lain tanpa mempelajari seluk-beluk teknisnya, yang mungkin bakal merugikan
kita, bahkan membahayakan kita.
78
Suasana diskusi terasa begitu tenang. Semua pihak mendengarkan tanggapan itu dengan
sesekali mencatat di buku masing-masing. Yang lain diam. Di wajah mereka tak terlihat
kerut-merut yang menandakan sikap tak setuju.
Suasana ruang diskusi di kantor Komnas HAM itu malah lebih mirip dengan suatu acara
pengarahan, yang hanya wajib didengar. Tidak ada yang mendebat, atau memotong pada saat
suatu pihak berbicara. Kelihatannya, inilah pertemuan antara para tokoh anti-tembakau
dengan para tokoh pembela tembakau yang paling nyaman dan paling bersaudara. Biasanya,
ada debat-debat, tangkis-menangkis, perasaan tersinggung, marah, atau dengki, dan kelihatan
saling menuduh, saling memojokkan.
Tanggapan lain menggambarkan suasana lapangan jika ratifikasi dilakukan tanpa pemahaman
mendalam, dan tanpa menyiapkan program penyelamatan. Dicontohkannya di zaman Badan
Pengelola Perdagangan Cengkih (BPPC), yang sangat mematikan petani cengkih. Petani
terpukul. Kehidupan ekonomi rumah tangga porak-poranda. Pendidikan anak-anak menjadi
kacau. Sebagian anak petani cengkih menempuh kuliah dengan susah payah mencari uang
sendiri. Ini kasus nyata, yang tak boleh terulang melalui FCTC tersebut. Ratifikasi ya
ratifikasi, tetapi dengan kesiapan konsep maupun teknis yang matang.
Tanggapan lain masih bermunculan dari pihak petani tembakau dan pembela petani
tembakau. Ratifikasi FCTC tanpa merisaukan hubungannya dengan petani tembakau? Tidak
bisa. Petani tembakau di sini pihak yang turut diatur oleh peraturan tersebut. Dengan
sendirinya, harus dihubungkan dengan petani tembakau. Mereka yang bakal terkena dampak
aturan itu.
Kemudian tanggapan tentang menurunnya prestasi olahraga bangsa kita. Mengapa yang
disorot generasi Sarengat, pada tahun 1962-an, dan meloncat ke generasi hari ini? Bagaimana
fenomena olah raga di zaman Rudy Hartono, Tjuntjun, Cristian Hadinata, turun ke Liem Swie
King, Icuk Sugiarto, dan lain-lain yang hebat-hebat, dan mendominasi dunia bulu
tangkis? Mengapa fenomena ini tak disebutkan? Bukankah ini terjadi sesudah zaman
Sarengat tersebut?
Prestasi olahraga kita sekarang merosot, apa betul karena mereka perokok? Olahraga
memang membutuhkan napas yang baik. Napas pertama, jangan sesaki, oleh penyebab apa
pun. Sesak napas bisa karena faktor non-rokok. Selebihnya gizi.
Di pelatnas disediakan kebutuhan terbaik bagi olahragawan. Banyak faktor penyebab prestasi
olahraga kita merosot. Jadi bukan hanya perkara merokok.
Suasana bersahabat di dalam ruang diskusi sangat kelihatan. Tak ada yang memotong
pembicaraan tersebut. Ini diskusi para pejuang yang berpikir bagi kepentingan masyarakat.
Para petani tembakau, dan para pembela petani tembakau, siap diatur, dan mau
mendengarkan aturan itu. Mereka memerlukan pula tata kehidupan masyarakat yang sehat,
79
sebagaimana diinginkan para tokoh anti-tembakau. Dalam hal itu ada kesamaan yang bisa
dibikin makin dekat. Semua berjuang dengan baik. Patut menjadi renungan, bahwa kita tak
perlu baku hantam, dengan kedengkian dan permusuhan, seperti terjadi selama ini. Diskusi
hari ini sangat bagus.
Para tokoh, semuanya bangsa Indonesia, beberapa di antaranya tokoh terhormat, mengapa
berkelahi satu sama lain, padahal yang bakal memetik keuntungan terbesar justru bangsa
asing. Kita semua tahu, ada dana asing dalam jumlah sangat besar, yang diumumkan melalui
website secara global dan terbuka untuk diakses siapa pun. Dana itu dikucurkan pada
lembaga apa saja yang bisa melakukan penelitian dan menemukan keburukan dan bahaya
merokok. Intinya, harus dinyatakan rokok berbahaya. Tujuan dukungan keuangan itu untuk
membunuh tembakau dan produk olahannya, keretek, dan semua tenaga kerja yang hidup dari
memproduksi keduanya.
Semua pihak diam dan mendengarkan. Ada yang membuat catatan. Tapi ruangan itu
kelihatan lebih tenang daripada ruang sebuah pengajian yang mana pun. Kita berbahagia,
para tokoh, aktivis, pemikir, peneliti, dokter, politisi, kelihatan seia sekata dalam pembahasan
perkara yang biasanya sensitif dan mudah “menyengat”. Bahkan usul pihak anti-tembakau
yang disampaikan pada bagian akhir diskusi, terdengar seperti suara petani tembakau dan
aspirasi petani tembakau itu sendiri. Ini tanda kebesaran hati beliau. Dan kita berterima kasih.
Kita heran. Kali ini tidak ada yang sengaja “menyengat” dan juga tidak ada yang “tersengat”.
Suasana diskusi seperti majelis zikir yang sedang berdoa, dan semua serentak menjawab:
amin, amin, amin. Semoga dikabulkan. Semoga Tuhan mengijabahi. Semoga bangsa
Indonesia bahagia. Dan petani tembakau pun ingin ikut berbahagia, sedikit saja.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
80
RUU Pertembakauan, Cara Elegan Tolak Impor Regulasi
Koran SINDO 17 Februari 2015
Isu tembakau kembali menjadi salah satu trending topic setelah rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (9/2) lalu, mengesahkan 159 RUU periode 2015-2019.
Pada tahun 2015 telah ditetapkan prioritas 37 RUU untuk dibahas, salah satu RUU yang
menjadi prioritas adalah RUU Pertembakauan.
RUU Pertembakauan tersebut lahir dari perdebatan panjang pro-kontra antarkelompok
masyarakat mengenai produksi dan konsumsi tembakau yang diklaim menimbulkan dampak
masalah kesehatan, walaupun isu kesehatan sendiri dinilai tidak berdiri sendiri menjadi faktor
determinan dalam merespons problem pertembakauan.
Di sisi lain, regulasi yang menjadi landasan yuridis dalam pengaturan masalah
pertembakauan juga dinilai kurang memadai. Regulasi yang ada lebih banyak merespons isu
tembakau dari dimensi kesehatan. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 36/2009 tentang
Kesehatan yang menegaskan tembakau sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan.
Padahal, pengaturan masalah tembakau tidak cukup hanya dilihat dari isu kesehatan, karena
masalahnya telah melebar menjadi persoalan yang multiproblem. Masalah pertembakauan
bukanlah masalah ”bisnis asap” semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke
dalam ”tulang sumsum” sistem ekonomi masyarakat. Mulai hulu sampai hilir bisnis ”asap
ajaib” ini telah menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun rupiah.
Dari ilustrasi tersebut, rasanya sulit menerima argumentasi bahwa masalah pertembakauan
hanya semata problem kesehatan an sich, sehingga tembakau harus mendapatkan perlakuan
diskriminatif. Persoalannya bukan karena kita tidak butuh sehat, melainkan relasi antara
tembakau dan kesehatan masih menimbulkan perdebatan.
Di sisi lain, disinyalir regulasi yang mengatur masalah pertembakauan di Indonesia lebih
banyak diadopsi (baca: diimpor) dari negara asing. Contoh nyata regulasi impor adalah label
warning yang tersaji dalam bungkus rokok kretek. Regulasi ini dilaksanakan. Label yang
berbunyi ”Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan
Gangguan Kehamilan dan Janin”, sebetulnya merupakan produk pemikiran dan hasil riset
impor yang diterima tanpa reserve.
81
Klaim dalam label warning dalam bungkus keretek tersebut menurut Wanda Hamilton dalam
bukunya Nicotine War - Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat, berasal dari Surgeon
General (SG). SG sendiri merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan
Sains Pemerintah Amerika Serikat. SG didirikan oleh Kongres pada 1798. Sekarang ini
pejabatnya adalah Vice Admiral Regina M Benjamin MD MBA.
Laporan Surgeon General tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan pertama kali
diterbitkan pada 1964. Laporan ini berisi hasil penelitian kasus-kasus di AS tentang pengaruh
rokok terhadap semua sistem organ tubuh yang diperbaharui secara berkala. Menurut Wanda
Hamilton, sejak 1988 Surgeon General telah disusupi orang-orang dari pabrik farmasi yang
membuat permen karet nikotin dan koyok nikotin, yaitu produk-produk pengganti rokok.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan belum mendapatkan jawaban dari kegiatan riset
sampai sekarang baik oleh regulator, akademisi, maupun stakeholders kretek adalah
bagaimana dengan rokok asli Indonesia (kretek), apakah juga menyebabkan stigma penyakit
sebagaimana klaim dalam bungkus rokok tersebut?
Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul “Study casts doubt on heart risk factors”
(International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi kardiologi paling besar yang pernah
dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor
risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.
Bahkan, Monica Study, melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak
dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam
obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the
European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling lama dan
paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di
Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia.
Sekalipun hasil studi Monica yang didanai Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan
tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dan faktor risiko fisik, WHO tetap saja
mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi
utama bagi risiko individual.
Instrumen Internasional
Seperti diketahui, saat ini di tingkat internasional ada instrumen lega yang mengatur tentang
distribusi rokok. Instrumen dari WHO tersebut adalah Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC). Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini belum menandatangani
FCTC. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional yang dibuat di
bawah pengawasan WHO.
FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan maksud untuk merespons epidemi penggunaan
tembakau di era global. Anehnya beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi
82
penekanan yang lebih berat pada sektor tembakau dan industri hasil tembakau (IHT).
Padahal, ada stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai
konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure
group.
Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum yang demokratis mensyaratkan empat perangkat
kondisi sosial. Pertama, persamaan dalam setiap proses politik. Kedua, tidak ada kelompok
yang memonopoli. Ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan
publik. Keempat, menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang
tidak dapat dihindarkan.
Sayangnya, produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat
menggambarkan terjaminnya prinsip-prinsip tersebut. Hal ini bias dilihat dari sikap ”given”
pemerintah yang teresonansi dalam penerbitan UU Kesehatan dan PP 109/2012 secara konten
mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat FCTC.
Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan
sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya
bersumber dan berdasar pada ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno
sebagai ”Philosofischegrondslad” dan harus berdasarkan pada UUD 1945.
Secara teoretis, menurut kriminolog Fakultas Hukum Universitas Diponegoro IS Susanto, ada
tiga perspektif mengenai pembentukan undang-undang untuk menjelaskan hubungan antara
hukum (undang-undang) dengan masyarakat. Pertama, model konsensus. Model ini
mendasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan pencerminan dari nilai dasar
kehidupan sosial. Dengan demikian, pembuatan serta penerapan undang-undang dipandang
sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.
Kedua, model pluralis. Model ini menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok
sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai.
Ketiga, model konflik. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik,
masyarakat sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik tanpa
membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Substansi FCTC yang nyata-nyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan
stakeholders kretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi begitu saja substansinya menjadi
substansi hukum di Indonesia. Semestinya produk regulasi hukum semangatnya adalah
mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya harus memperhatikan berbagai
dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani, tenaga kerja, serta dimensi lingkungan dan
kesehatan. Produk hukum sebagai produk kebijakan publik harus meramu nilai keadilan
(filosofis), kemanfaatan (sosiologis), dan bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum
(normatif) semata.
83
ZAMHURI
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus
84
Gus Dur, Tionghoa dan PKB Koran SINDO 17 Februari 2015
“Sebab kalau semuanya ngalor (ke utara), bedanya cendekiawan dengan hansip, lalu apa?”
(Gus Dur)
Lontaran bernada ironi itu muncul dari lisan Gus Dur ketika mengomentari dirinya yang tak
mau masuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sebuah ungkapan yang mengandung filosofi penting bahwa seorang cendekiawan haruslah
mau dan mampu melawan arus besar sekalipun, demi nilai-nilai yang dianggap benar. Seperti
itulah sikap Gus Dur yang dapat dilihat atas pembelaannya terhadap umat Konghucu, sejak
era 1990-an dan tampil dengan kebijakan humanis terhadap etnis Tionghoa ketika beliau
menjadi Presiden ke-4 RI.
Bagi Gus Dur, diapresiasinya Imlek dan pernik Tionghoa lainnya bukanlah semata-mata
sebagai implementasi toleransi atau pluralisme belaka, namun merupakan sense of belonging
(rasa saling memiliki), yang dalam konsep keberagamaan aswaja NU, sikap tersebut sebagai
pengejawantahan tawassuth. Di mana tawassuth tidak semata-mata dimaknai moderatisme
yang diam, tapi tawassuth merupakan jalan progresif yang aktif advokatif.
Paradigma tawassuth tidak menjadikan manusia sebagai tukang vonis atas kelabilan negeri
ini. Karena itulah, ketika gurita konglomerasi Tionghoa era Orde Baru membuncah, yang
memunculkan tindakan diskriminasi dan pengucilan terhadap etnis Tionghoa, tiba-tiba, etnis
Tionghoa menjadi musuh bagi sebagian kalangan negeri ini. Lebih ironis lagi, nuansa
permusuhan akan semakin dahsyat, jika etnis Tionghoa itu non-muslim. Karena dalam benak
sebagian kalangan utamanya rakyat yang merasakan aroma kesenjangan ekonomi, kesalahan
etnis Tionghoa dianggap sudah berlipat-lipat.
Dalam kondisi seperti ini, Gus Dur tampil sebaliknya. Gus Dur justru menjadi teman bagi
etnis Tionghoa. Ketika rezim Orba berada di kulminasi kejayaan plus konglomerasi Tionghoa
yang beraroma kesenjangan, Gus Dur justru hadir sebagai pembela yang tegar. Tindakan
pembelaan diambil Gus Dur, semata-mata agar manusia menjadi ummatan wasathan, umat
yang tawassuth, muslim yang bersikap moderat di antara dua kutub ekstremisme beragama,
yaitu ekstrememisme keberagamaan yang terlalu eskapis dan ekstremisme keberagamaan
hedonis. Muslim yang selalu menjadi saksi hidup nilai Islam moderat yang selalu
diperjuangkan agar membumi.
Berdasarkan paham keislaman NU, Gus Dur tidak mempersoalkan identitas partikular.
85
Karena dalam perilaku muasyarah (pergaulan) pasti terdapat identitas partikular yang akan
menautkan sekelompok orang untuk berkumpul sebagaimana identitas partikular yang
dirujuknya itu. Karena itulah, dalam pandangan Gus Dur, eksklusivisme etnis Tionghoa
selama Orba bukanlah sebuah persoalan.
Tindakan Tionghoa yang hanya berkumpul dengan sesama Tionghoa atau kawin hanya
dengan sesama mereka tak lain hanya bentuk partikularisme semata. Eksklusivitas terasa
memanas justru karena etnis Tionghoa dibatasi gerak langkahnya di luar wilayah ekonomi.
Di negeri ini, kaum pribumi akrab dengan khazanah Tionghoa yang telah terpatri bukan
sebagai the other dalam momentum kehidupan. Kisah Laksmana Ceng Ho, Kyai Telingsing,
dan Adipati Jinbun dalam kronik sejarah menghiasi benak masyarakat banyak. Pernik-pernik
itu pun digugah Gus Dur dengan penyebutan identifikasi genealogisnya yang kosmopolit
sebagai keturunan Tionghoa. Anehnya, publik non-Tionghoa merasa bahwa identifikasi itu
hanya bermomentum sepihak bagi etnis Tionghoa dan bukan etnis lain.
Padahal, Gus Dur melalui identifikasi itu sedang membangun integrasi kebangsaan karena
selain identifikasinya dengan etnis Tionghoa, di saat sama Gus Dur mengidentifikasi dirinya
dengan raja Jawa dan Nabi Muhammad. Identitas genetis raja Jawa dan Nabi Muhammad
bukan semata-mata karena Gus Dur orang Jawa atau NU yang sangat cinta Rasul itu kuat di
Jawa. Gus Dur sebenarnya sedang mendekatkan sensitivitas eksklusivitas itu pada emosi
stabilisasi kebangsaan.
Gus Dur paham kesenjangan itu sebenarnya banyak ditemui di Jawa daripada misalnya di
Kalimantan Barat. Di mana di Kalbar, etnis Tionghoa terasa ”akrab” karena tampil dalam
berbagai profesi sejak tukang becak sampai pebisnis.
Politik Kebangsaan
Politik kebangsaan PKB pada dasarnya berupaya menampilkan sebaik mungkin sisi positif
setiap identitas primordial, lalu menjadikannya sinergis dengan kebangsaan. Prinsip
perjuangan partai menegaskan bahwa PKB bergerak berdasar prinsip persaudaraan dan
kebersamaan dalam kerangka ahlu sunnah wal jamaah.
Sebagaimana NU, kerangka ini melihat entitas Tionghoa sebagai warga negara yang terikat
dalam Darus Sulh (negara sanggah). Darus sulh ala NU ini menarik karena melihat Indonesia
sebagai negara yang berhimpun di dalamnya aneka keragaman yang berdiri atas dasar
rekonsiliasi (islah).
Bagi Gus Dur, PKB jelas beda dengan NU. Karena PKB sengaja diposisikan sebagai media
perjuangan politik NU, PKB kendaraan utama politik nahdliyin, PKB merupakan jalan agar
NU menjadi koordinat dalam percaturan nasional. Karena itulah, tujuan politik PKB bukan
berarti menempatkan semua orang NU di posisi strategis negeri ini.
86
Filosofi politik PKB adalah berbagi tempat dengan orang lain asal orang lain itu
menyelaraskan diri dengan nilai aswaja. Hal tersebut ditunjukkan Gus Dur ketika berusaha
segiat mungkin menarik kader non-muslim dan muslim non-NU untuk berperan dalam
pengelolaan PKB, termasuk etnis Tionghoa, untuk membangun sense of belonging. Artinya,
jika kepentingan Tionghoa diperjuangkan oleh orang Tionghoa bersama kader NU maka
itulah rasa saling memiliki yang melampaui toleransi.
PKB sejak awal menisbatkan dirinya sebagai partai nasional. Kepentingan nasional menjadi
poin juang utama PKB, yang sama pentingnya dengan kepentingan santri. Sesuai nilai aswaja
lainnya, At Tawazun, PKB akan berupaya secermat mungkin melihat setiap persoalan anak
bangsa dalam kacamata yang tidak berat sebelah. Sesuatu diukur secara adil dalam logika
itidal.
Menarik sekali, kalau konsep keadilan dalam manhaj berpikir NU bukanlah harus berdasar
”Islam murni” ala kaum fundamentalis. NU telah berkomitmen Pancasila adalah matriks nilai
kenegaraan di Indonesia. Artinya, Islam yang mengawankan diri seakrab mungkin dengan
kebangsaan. Begitu pun PKB, kelima sila itu ditegaskan sebagai asas partai dan diikuti nilai
aswaja sebagai prinsip perjuangan.
Menggandeng etnis Tionghoa dalam PKB jelas merupakan cara hidup berorientasi masa
depan ala NU. NU dan PKB tak pernah terkejut ketika melihat tokoh-tokoh Tionghoa secara
tiba-tiba tampil di dunia politik dan pemerintahan. Bagi PKB, justru di situlah identitas
primordial yang selama ini dimusuhi bisa tampil dan harmonis dengan kebangsaan.
Membumikan aswaja yang moderat itu sekali lagi bukan ranah untuk orang NU.
Membumikan aswaja itu untuk kepentingan nasional dan PKB adalah institusi yang berupaya
membawa aswaja itu dalam daya jangkau lebih luas.
Sebagai penutup, saya teringat kalau almarhum Gus Dur sering diidentikkan dengan Khidir,
nabi nyeleneh dalam khazanah Islam. Tentunya kita tahu, kalau Khidir memiliki tiga
orientasi. Masa lalu, sekarang, dan masa depan. Ketika membangun rumah roboh, Khidir
berorientasi masa lalu. Ketika melubangi perahu, Khidir berorientasi masa kini. Dan ketika
membunuh anak kecil, Khidir berorientasi masa depan.
Berkaitan dengan etnis Tionghoa ini, Gus Dur telah melakukannya. Orientasi masa lalu
disadarkan Gus Dur dengan seringnya beliau merekam jejak Tionghoa masa lalu, paling
sederhana beliau lakukan dengan identifikasi genetisnya itu.
Masa sekarang dimulai sejak Gus Dur mencabut kebijakan yang memasung Tionghoa. Masa
sekarang adalah momen di mana Tionghoa dibangkitkan untuk tampil sesuai potensinya
masing-masing mulai pebisnis, politisi, intelektual, sampai pejabat pemerintahan.
87
A HALIM ISKANDAR
Ketua DPW PKB Jawa Timur dan Ketua DPRD Jawa Timur
88
Ihwal Jargon di Ranah Publik Koran SINDO 18 Februari 2015
“Sekarang ‘seperti itu’ ya. Kalian kekasih hati tahu, ... .” “… 11 kabupaten dan kota berstatus
kejadian luar biasa atau KLB demam berdarah.” “ … berdaulat di bidang politik, berdikari di
bidang ekonomi, dan juga di bidang budaya,… ”
Saat ini kita sering mendengar kata-kata atau istilah kurang familiar yang dilontarkan oleh
berbagai kalangan di negeri ini. Sebut saja Syahrini yang baru-baru ini mempopulerkan
istilah “seperti itu”. Para wartawan pun tak ketinggalan menggunakan frase “kejadian luar
biasa” ketika melaporkan berita tentang suatu penyakit. Bahkan, Presiden Jokowi pun ikut
serta dengan menggunakan istilah ‘berdikari’ saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 20
November 2014 lalu.
Istilah “seperti itu”, “kejadian luar biasa”, dan “berdikari” inilah yang kemudian disebut
‘jargon’. Secara etimologi, kata ‘jargon’ berasal dari bahasa Inggris abad pertengahan
Jargo(u)n, gargoun, girgoun yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung. Menurut KBBI,
‘jargon’ merupakan kosakata khusus yang digunakan di bidang kehidupan (lingkungan)
tertentu.
Adapun pakar bahasa mendefinisikan ‘jargon’ sebagai bahasa yang digunakan oleh kalangan
tertentu, tetapi kurang dipahami oleh masyarakat luas. Jargon bukanlah bahasa yang bersifat
rahasia karena bisa dipahami dengan cara mempelajarinya. Jargon dapat berupa frase,
kalimat, singkatan, atau akronim seperti ‘berdikari’, ‘DPO’, dan ‘KLB’. Di lingkungan
tertentu, jargon berupa huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi keduanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, jargon merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon
berhubungan erat dengan suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon seperti ‘gan’,
‘cendol’, ‘bata merah’, ‘pertamax’, ‘pejwan’, ‘no afgan’, ‘COD’ (cash on delivery), dan
‘WTB’ (want to buy) identik dengan para kaskuser. Sementara itu, “kejadian luar biasa”
merupakan jargon yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja di bidang
kesehatan. Masyarakat awam pada umumnya hanya mengenal istilah itu dengan kata
‘wabah’.
Pada prinsipnya, jargon-jargon tersebut digunakan untuk mempermudah komunikasi
antaranggotanya. Jargon juga digunakan untuk mengefektifkan proses komunikasi dan
meningkatkan citra diri. Dengan menggunakan jargon berupa singkatan dan angka tertentu,
anggota komunitas dapat dengan singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan
banyak kata.
89
Umpamanya, anggota kepolisian sering menggunakan jargon seperti ‘DPO’ (daftar pencarian
orang), ‘DVI’ (disaster victim identification), ‘RI 1’ (presiden), ‘5-4’ (sedang ada
demonstrasi) atau ‘buntut tikus’ (handy talky) antaranggotanya.
Sementara itu, jargon ‘berdikari’ (berdiri di kaki sendiri) berfungsi untuk meningkatkan citra
pemerintahan. Jargon tersebut kurang lebih bermakna pemerintah berusaha menjadikan
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dengan mengandalkan kemampuan sendiri.
Melalui jargon ini, pemerintah berusaha meraih dukungan dari masyarakat luas. Nampaknya
penggunaan jargon di ranah publik merupakan cara efektif untuk meraih simpati dari
khalayak.
Di sisi lain, penggunaan jargon di ruang publik pun menimbulkan polemik. Farid Gaban yang
merupakan seorang wartawan pada 2008 mengkritik penggunaan jargon oleh para pemegang
kepentingan. Menurutnya, penggunaan jargon telah mengotak-ngotakkan masyarakat menjadi
kelompok-kelompok kecil dan mengaburkan pesan yang akan disampaikan.
Makin hari, makin banyak pejabat publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan
memproduksi jargon. Baru-baru ini, Hikmahanto Juwana, salah satu tim independen KPK-
POLRI, dalam salah satu pernyataannya menyebut istilah ‘anomali’. Jargon ini merupakan
istilah ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan sebuah penyimpangan atau
ketidaknormalan. Namun, dalam hal ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan
yang sedang terjadi antara KPK dan Polri. ‘Anomali’ hanya dipahami oleh segelintir orang.
Tentunya, orang-orang awam di pangkalan ojek dan pasar kurang familiar dengan jargon
itu. Mungkin bagi mereka istilah itu terdengar rumit dan abstrak. Dalam kasus ini,
penggunaan jargon tersebut dirasa kurang tepat digunakan di ruang publik.
Jargon berupa singkatan atau akronim juga bisa membuat orang pusing. Pasalnya, jargon
tersebut hanya dimengerti kalangan tertentu saja dan masyarakat luas umumnya kurang
paham. Jargon seperti ‘kontras’ (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan),
‘markus’ (makelar kasus), ‘cakus’ (calo kasus), ‘cakil’ (calo keliling), ‘curas’ (pencurian
dengan kekerasan), ‘KLB’ (kejadian luar biasa) merupakan contoh kecil akronim dan
singkatan yang sering muncul di ranah publik. Kebanyakan jargon tersebut dihasilkan pejabat
publik dan disebarluaskan melalui media.
Menyikapi penggunaan jargon di ranah publik, ada baiknya kita melihat kembali tujuan kita
berkomunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan. Namun, apa jadinya
jika pesan yang disampaikan sulit dipahami bahkan terdengar abstrak dan rumit karena
jargon. Tentunya kita bisa dikatakan gagal dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kita
sebaiknya menghindari penggunaan jargon di ranah publik yang merupakan komunitas
heterogen.
Salah satu caranya dengan membayangkan lawan bicara kita ketika hendak berbicara atau
menulis. Selain itu, sebisa mungkin kita menggunakan kata-kata sederhana, konkret, spesifik,
dan mudah dipahami khalayak ramai termasuk tukang ojek dan penjual di pasar.
90
YULIZ AR KOMARAWAN
Duta Bahasa Jawa Barat 2014
91
Menyelami Pusaran Banjir Ibu Kota Koran SINDO 18 Februari 2015
Sampai saat ini Jakarta sebagai ibu kota negara masih saja terendam banjir. Bukan kabar baru
memang, mengingat Jakarta sesungguhnya sudah pernah dinyatakan darurat banjir, sejak
pertengahan Januari (2014) tahun lalu.
Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memulai program rekayasa
cuaca. Agaknya penanggulangan bencana banjir tidak cukup hanya dengan manajemen dan
teknologi pengurangan genangan, tetapi juga penataan lingkungan, termasuk menegakkan
rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).
Presiden pun sudah pernah menyingsingkan celana (sampai lutut), karena Istana Negara
kebanjiran. Andai Istana akan terus kebanjiran, toh takkan sampai mengganggu aktivitas
ekonomi maupun politik. Boleh jadi, cukup baik untuk pencitraan politik, yakni yang
dirasakan rakyat, dirasakan pula oleh ”penghuni” Istana (walau tidak membutuhkan bantuan
pangan).
Program rekayasa cuaca pernah dicoba, yakni menghardik awan ke arah laut agar hujan jatuh
di perairan Laut Jawa. Kawasan sekitar Ibu Kota (Tangerang dan Bekasi) juga mesti
dimitigasi untuk mengurangi banjir. Jika tidak, dampaknya pasti menghambat perekonomian
dan menyebabkan inflasi (terutama harga bahan pangan). Tetapi rekayasa cuaca dilakukan
bagai ”setengah hati”.
Trauma banjir Jakarta, siapa tak miris? Sampai Ibu Kota dinyatakan dalam situasi darurat
banjir. Istana Merdeka pun tak luput dari genangan air setinggi 20 cm. Lebih lagi curah hujan
di Ibu Kota selalu menunjukkan tren terus meningkat rata-rata lebih dari 20 milimeter per
bulan dibanding normalnya.
Paradigma meteorologi memastikan, bahwa peningkatan curah hujan disebabkan naiknya
suhu udara. Saat ini Jakarta semakin hangat. Suhu yang semakin hangat ini mengundang
massa uap udara berpindah dari tempat rendah ke tempat yang semakin tinggi, dalam hal ini
dari lautan ke daratan Jakarta.
Sehingga semestinya seluruh masyarakat (terutama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota)
mewaspadai tren cuaca ekstrem. Termasuk mitigasi untuk mengurangi dampak banjir. Dulu
pernah digagas (dan sudah dipraktikkan) rekayasa cuaca. Konon hanya dengan 100 ton
garam, sudah cukup untuk menghindarkan Ibu Kota dari banjir bandang.
Setahun berlalu, saat ini, ancaman dampak bencana banjir masih tetap. Boleh jadi, Istana
92
Negara juga tetap terancam banjir. Bahkan, Gubernur DKI (saat itu Jokowi) sudah
memerintahkan pintu air yang mengarah ke Istana dibuka. Ini untuk mengurangi banjir di
daerah yang paling parah terdampak.
Tetapi sesungguhnya, bencana tak pernah datang tiba-tiba. Selalu ada semacam early
warning alamiah, berupa gejala bencana. Namun, sejak banjir bandang (besar) pertama, satu
dekade lalu, permasalahannya tetap. Curah hujan tinggi yang tak terserap bumi dari daerah
Puncak (Bogor) tak terbendung masuk Jakarta.
Selalu seperti itu. Yang berbeda, kawasan yang terendam makin meluas. Seolah-olah
pemerintah (dan pemerintah DKI) tidak berbuat apa pun.
Masyarakat daerah di luar Ibu Kota juga menghadapi situasi serupa. Karena daya dukung
wilayah daerah aliran sungai (DAS) semakin menyusut. Ini yang menyebabkan selalu
meluberkan air. Antara lain Sungai Bengawan Solo tidak hanya mengalir sampai (akhirnya)
ke laut, melainkan juga menerjang sawah dan merendam perkampungan.
Cara sistemik (penerapan teknologi rekayasa cuaca) mesti dilaksanakan lebih masif. Namun
DAS juga harus tetap dijaga ketat, tidak boleh ”ditanami” pabrik dan rumah tinggal.
Sebagaimana amanat UU Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mestilah
kukuh menjaga lingkungan hidup.
Spirit Hadapi Banjir
Kerugian yang diakibatkan banjir sungguh besar secara keekonomian. Sering pula diiringi
inflasi karena gagal panen dan terhambatnya jalur distribusi. Tetapi inilah periode (musim)
yang cukup efektif untuk mengendurkan eksploitasi perekonomian oleh masyarakat. Sebagai
gantinya, pemerintah mestilah bekerja lebih keras memberi stimulus berupa proyek
infrastruktur. Serta program karitatif menjaga daya beli masyarakat.
Di berbagai negara yang kerap menghadapi bencana, masyarakat dilatih menghadapi
bencana, sejak dini. Bahkan melalui kurikulum sekolah. Di Amerika Serikat diajarkan
kurikulum menghadapi badai dan kebakaran. Sedangkan di Jepang dan Korea Selatan,
sekolah-sekolah mengajarkan menghadapi banjir akibat tsunami. Termasuk pengajaran
pengelolaan sumber makanan pada saat gempa.
UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 9 huruf (b) memberikan
kewenangan memasukkan penanggulangan bencana pada perencanaan pembangunan. Karena
itu, seyogianya dalam penyusunan RPJMD tingkat kabupaten dan kota, juga memasukkan
aspek penanggulangan dampak bencana. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) merupakan regulasi yang ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penetapannya tak
lama setelah pelantikan kepala daerah (baru) yang memenangi pilkada.
93
Februari ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen. Terdapat kenaikan
harga-harga total hampir sebesar 10% selama Januari 2015, walau pada sebulan itu inflasi
tercatat ”hanya” 1,07%. Kenaikan inflasi dan indeks harga konsumen (IHK) tergolong rutin,
tetapi tahun ini terjadi tren semakin naik. Januari tahun (2014) lalu inflasi tercatat tak lebih
dari 0,9%. Pada saat sama, banjir menyebabkan seluruh moda transportasi (darat, laut, dan
udara) mengalami kendala di jalan. Dus, mengurangi suplai bahan pangan. Ujung-ujungnya
biaya transportasi juga naik.
Bahkan menurut data BPS, karena cuaca pula, upah jasa tukang dan upah pembantu rumah
tangga turut naik. Karena itu, pemerintah daerah mesti bersiap-siap menggencarkan operasi
pasar. Inovasi dan kreasi tim BPBD harus selalu dilakukan, termasuk memasukkan aspek
rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Sebab berdasar mapping bencana, seluruh daerah di Jawa Timur tanpa terkecuali, (di 38
kabupaten dan kota), rawan terhadap bencana banjir. Ancaman peringkat kedua, berupa badai
di 31 kabupaten/kota, serta potensi gempa bumi di 23 kabupaten/kota. Lalu bencana susulan
berupa tanah longsor mengancam di 20 kabupaten/kota.
Terlepas dari budaya politik kita yang lebih meletakkan bencana dan berbagai peristiwa
memilukan sebagai ajang narsis partai politik, yang justru dikhawatirkan adalah bahwa
bencana khususnya di Jakarta, bukan sesuatu yang harus diselesaikan, tetapi malah sekadar
sebagai alat mencari keuntungan politik. Artinya, bencana yang terjadi di Ibu Kota acap
menjadi pintu masuk bagi kepentingan politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan.
Bahkan sering terjadi bencana atau persoalan lain di Ibu Kota menjadi panggung pertarungan
politik di level Provinsi Jakarta dengan pusat. Apalagi secara politik, penguasa Jakarta alias
gubernur DKI Jakarta tidak akur dengan Presiden RI. Maka kemudian yang terjadi adalah ada
pertarungan kepentingan politik antara DKI-1 dan RI-1.
Kondisi itu sesungguhnya bukan kabar baru, bahwa penanganan bencana atau permasalahan
apa pun di Jakarta tidak pernah murni sebagai penanganan bencana, tetapi selalu melakukan
melibatkan faktor kepentingan politik di dalamnya.
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo Indonesia
94
Berharap Rupiah, Mendapat Musibah Koran SINDO 19 Februari 2015
Kasus dugaan 700-an ijazah palsu yang dilakukan guru di Minahasa awal 2015 ini tidak bisa
dianggap persoalan sepele. Kasus ini terus berulang, dan sepertinya sulit dihilangkan.
Pada 2012 lalu, di Jawa Timur ditemukan 1.600-an ijazah palsu yang dipakai guru, dosen,
dan mahasiswa. Dari jumlah tersebut, 62% akta IV, 31% S-1, 4% S-2, dan 1% S-3.
Pemalsuan ijazah dengan alasan apa pun tidak bisa dibenarkan, apalagi yang melakukan
adalah guru, orang yang tugas utamanya membentuk karakter siswa. Disebut ‘guru’ artinya
bisa digugu dan ditiru segala ucapan dan tindakannya. Selain guru, pemalsuan ijazah
dilakukan oleh calon kepala daerah dan calon anggota legislatif.
Karena Rupiah
Mudah diduga bahwa kasus ini bertambah masif–dipicu oleh rencana pemerintah yang
mewajibkan guru bergelar sarjana (S-1) paling lambat akhir 2015 (UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen). Jika tidak maka guru harus rela turun pangkat menjadi staf
administrasi atau dipensiunkan sebagai guru. Siapa yang tidak takut dengan kebijakan ini,
meski realitasnya bisa saja diundur?
Kecuali itu, guru membeli ijazah palsu demi sertifikasi. Guru yang belum sarjana tidak akan
dipanggil mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi
Guru (PPG) sebagai proses peningkatan mutu, dan jika lulus maka ia berhak mendapat
sertifikat pendidik. Dengan itu, guru dianggap layak mengajar dan berhak mendapat
tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok. Guru melakukan dosa berjamaah demi
rupiah, yaitu membeli ijazah palsu.
Saya tidak percaya bahwa kasus ini semata kesalahan guru. Kepala sekolah dan pengawas
pasti tahu kondisi guru. Analoginya, orang tua pasti tahu apa saja yang diperbuat anaknya.
Jika kuliah, guru setidaknya membutuhkan izin dari kepala sekolah. Jika tiba-tiba ia punya
ijazah, mestinya kepala sekolah adalah orang pertama yang menindaknya. Besar
kemungkinan kepala sekolah terlibat langsung maupun tidak langsung.
Mengapa banyak guru yang belum sarjana? Setiap guru punya jawaban masing-masing,
namun tak lepas dari tiga hal ini: tidak punya biaya kuliah, jarak tempuh ke tempat kuliah
jauh, dan sudah malas belajar entah karena usia maupun kesibukan.
Saya percaya minat belajar guru kita masih rendah. Bahwa persyaratan guru minimal harus S-
95
1 sudah ditetapkan pemerintah sejak 2005. Artinya, mereka mengabaikan kebijakan ini yang
sudah berusia sembilan tahun rentang waktu yang lebih dari cukup untuk mengambil
keputusan: menjadi guru atau tidak sama sekali.
Alih-alih segera kuliah, mereka malah memalsukan ijazah. Meski praktik ini mungkin
dianggap biasa, guru harus bisa mengatakan tidak. Mark Driscoll menyatakan “Morality is
not determined by majority, its determined by the lord.”
Moralitas Guru
Sungguh guru harus segera merevolusi mentalnya. Kejujuran adalah modal paling berharga
yang harus dimiliki guru. Bagaimana pun situasinya, guru tidak bisa dibenarkan berbohong.
Kecuali pemalsuan ijazah, banyak guru terbukti melakukan plagiasi karya tulis ilmiah untuk
kenaikan pangkatnya, dan memberikan jawaban soal UN (ujian nasional) kepada siswa agar
lulus. Sekadar memberikan contoh lain tentang sikap tak terpuji guru.
Guru harus punya integritas karena tugasnya adalah mendidik di samping mengajar. Martin
Luther King berkata, “Intelligence plus character, that is the goal of true education.” Tugas
berat guru bukan menjadikan siswa pintar, tetapi menjadikan mereka manusia yang baik.
Pembentukan karakter itu akan berhasil manakala guru bisa dijadikan teladan dalam soal
moralitas.
Dalam mendidik, sangat penting dilandasi kepercayaan siswa terhadap guru. Thomas
Jefferson berujar, “Truth is certainly a branch of morality and a very important one to
society.” Kepercayaan siswa tumbuh manakala guru mampu hadir sebagai sosok teladan
dalam ucapan dan tindakan.
Tindakan guru mengambil jalan pintas dengan memalsukan ijazah merupakan antitesis dari
kesungguhan dan keuletan dalam menuntut ilmu, meski misalnya, dalam keterbatasan
ekonomi, jarak jauh, dan sangat sibuk. Yang pertama merupakan contoh buruk bagi siswa,
sedangkan yang kedua adalah contoh baik yang bisa menginspirasi siswa (ingat novel best
seller dan film Laskar Pelangi).
Kasus ini mengandung pelajaran bahwa guru harus jujur dan tidak berhenti belajar. Dua sikap
yang jika ditiru siswa akan menjadikan mereka sukses dalam kehidupan. Siswa memiliki
kecenderungan meniru gurunya, karena ia adalah pahlawan dan bintang bagi siswa. Elbert
Hubbard menulis, “The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true
teacher is the learner.”
Tiga Langkah
Mengingat darurat moralitas guru di atas, pemerintah dan yayasan bisa mempertimbangkan
langkah berikut. Pertama, pemerintah menyediakan beasiswa bagi guru yang belum S-1,
terutama guru yang lokasi sekolahnya jauh dari LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga
96
Kependidikan). Artinya, Mendikbud memperpanjang batas waktu guru harus S-1, maksimal
empat tahun dari 2015.
Kedua, pemerintah dan yayasan menjamin bahwa kepala sekolah memberikan kelonggaran
waktu mengajar bagi guru yang melanjutkan studi. Guru sering dilema karena kepala sekolah
tidak atau kurang mendukung kuliahnya. Pilihan guru yang kuliah hanya dua: tetap mengajar
atau kuliah. Demi kelangsungan hidup, banyak guru memilih tidak kuliah.
Ketiga, aparat penegak hukum memproses kasus pemalsuan ijazah ini sampai tuntas untuk
memberikan efek jera bagi guru-guru lainnya. Guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembuat
ijazah yang terbukti terlibat ijazah palsu diberi hukuman sesuai hukum yang berlaku. Saya
yakin masih banyak guru yang memiliki moralitas dan integritas tinggi.
Akhirnya, sah saja guru berharap tambahan rupiah, tapi caranya harus benar. Membeli ijazah,
karena berharap rupiah, bertentangan dengan moralitas (dan) hukum. Alih-alih mendapat
rupiah, bisa jadi guru mendapat musibah. Lagi pula, terlalu rendah martabat guru, jika
menjadikan rupiah sebagai tujuan.
Guru harus tetap menjaga marwah, walaupun hidup susah. Mempertahankan integritas inilah
yang membuat hidup menjadi bermakna, sebagaimana ditulis Immanuel Kant, “Life without
reason and morality has no value.”
JEJEN MUSFAH
Sekretaris Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
Imlek dan Kesejahteraan Koran SINDO 19 Februari 2015
Tidak terasa Imlek sudah datang kembali yang jatuh bersamaan dengan 19 Februari 2015
kalender Masehi. Tahunnya menunjukkan angka 2566, yang dihitung sejak kelahiran
Confucius pada 551 Sebelum Masehi. Dengan demikian, angka 2566 merupakan
penjumlahan angka 551 dan 2015.
Kata ”Imlek” berasal dari bahasa Hokkian Selatan, berarti ”penanggalan bulan”. Perhitungan
penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar
calendar) dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Uniknya perhitungan
penanggalan ini juga didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calendar)
seperti penanggalan Masehi.
Jika dibanding dengan tahun baru lainnya, Imlek boleh jadi merupakan satu-satunya hari
yang paling unik dan inklusif. Keunikannya, perayaan tahun baru ini bisa dirayakan warga
Tionghoa atau China yang beragama apa pun.
Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang biasanya jatuh
pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta
menyambut musim semi, yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada
tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang
Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh.
Tujuannya, tak lain sebagai syukur dan doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih
banyak, di samping untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat
dan tetangga. Jadi pada mulanya Imlek bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan
upacara tradisional masyarakat Tiongkok.
Di Republik Rakyat Tiongkok, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama
Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Tetapi, khusus bagi saudara-saudara
penganut Konghucu dan Buddha, hingga kini Imlek tetap merupakan perayaan keagamaan.
Bagi umat Konghucu misalnya secara khusus Imlek merupakan peringatan tahun kelahiran
Sang Nabi (Kongzi atau Confucius), tokoh yang punya banyak pesan moral.
Upacara menyambut Tahun Baru Imlek oleh penganut Konghucu disebut taopekong,
dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/bulan La (bahasa Mandarin)
tanggal 23 atau 24. Kata ”taopekong” bermakna ”paman buyut” (saudara laki-laki buyut)
dengan makna kiasan ”dewa”. Taopekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau
generasi di atasnya.
98
Sedangkan identifikasi Imlek sebagai hari raya Buddhis dimulai setelah agama Buddha
menyebar di Tiongkok pada zaman Dinasti Han (202 SM-221 M), di bawah Raja Han, Ming
Ti. Awalnya agama Buddha hanya dianut kalangan istana, lalu menyebar ke masyarakat.
Rakyat yang sudah menganut agama Buddha masih tetap mempertahankan budaya
tradisionalnya, bahkan kadang tercampur dengan kepercayaan kuno seperti Taoisme dan
Konfusianisme.
Bagi Tionghoa Kristen atau muslim, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Meski
demikian, tentu tidak ada salahnya jika pada Tahun Baru Imlek yang merupakan tradisi dari
nenek moyang ini, Tionghoa Kristen atau muslim berdoa dan bersyukur pada Sang Khalik.
Nah, dari ilustrasi di atas menjadi menarik bahwa Imlek ternyata tidak eksklusif, tapi inklusif
karena bukan terkait agama atau golongan tertentu. Dalam Imlek terkandung pesan yang
mencoba menjembatani semua sekat-sekat yang ada. Imlek menjadi hari raya kultural
Tionghoa secara umum. Singkatnya ada satu Imlek yang bisa dirayakan oleh semua. Karena
itu, semua etnis Tionghoa, baik yang totok atau peranakan, tidak perlu takut atau ragu lagi
untuk secara terbuka merayakan Imlek.
Entah Tionghoa penganut Konghucu, Buddha, Islam, atau Kristen pada satu hari Imlek ini
bisa bersatu dalam satu rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Satu. Segala perbedaan bukan
coba dihapus, tetapi diterima dan dihargai keberadaannya. Semua yang berbeda bisa bersatu
memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.
Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di sebagian kelenteng
di Jawa seperti Kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban yang menerima siapa pun yang hendak
masuk maupun menginap. Saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-
kelenteng itu sering terdapat patung-patung setempat yang sama sekali tidak terdapat dalam
tradisi Tiongkok.
C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki sekitar 115 dewa yang ada di kelenteng-kelenteng
di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda. Ini boleh jadi selaras
dengan prinsip ”Yin-Yang” agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga.
Harmoni bukan berarti hendak menghapus perbedaan, tapi justru dijaga agar perbedaan itu
bisa dikelola sehingga menjadi satu lagu merdu. Bukankah sebuah lagu merdu tersusun dari
nada-nada yang berbeda?
Karena itu, pesan inklusif Imlek harus mampu diterjemahkan dalam bentuk menghindari
segala bentuk komersialisasi Imlek yang hanya mengumbar semangat konsumerisme. Imlek
harus diterjemahkan menjadi solidaritas dan empati bagi saudara-saudara sebangsa,
khususnya yang tengah menjadi korban banjir baik di Jakarta, Bandung, atau di dekat Kali
Lamong, Surabaya.
Jangan lupa, dalam Imlek melekat satu tradisi yakni pemberian ”angpau”. Nah, di tengah
kondisi saudara-saudara sebangsa dilanda banyak bencana banjir, rasanya bijak jika kita juga
99
berbagi angpau dengan mereka, sebagai ekspresi solidaritas kita. Tanpa solidaritas atau bela
rasa bagi yang lemah, kemakmuran atau kesejahteraan yang kita nikmati tiada akan berarti,
malah menjerat kita dalam sikap tamak penuh egosentrisme. Tanpa kesediaan berbagi dengan
yang lemah dan miskin, kita jelas gagal menghidupi pesan atau semangat inklusif Imlek.
Selama ini kekayaan dan kemakmuran hanya dinikmati sebagian kecil kalangan atas dan
tidak menyentuh sebagian besar kaum jelata atau wong cilik. Semoga ke depan akan kian
banyak perbaikan demi kesejahteraan negeri ini. Semoga kita semua sadar bahwa
kesejahteraan seharusnya menjadi milik semua orang. Gong Xi Fa Choi 2566.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
100
Entrepreneur Spiritual Koran SINDO 19 Februari 2015
Ada fenomena yang menarik diamati terkait dengan kegiatan training spiritual. Umumnya
training spiritual diikuti kalangan muslim perkotaan. Waktunya pun dipilih pada setiap akhir
pekan (weekend).
Paket pelatihan yang ditawarkan para entrepreneur spiritual ternyata laris manis. Padahal
untuk mengikuti training spiritual peserta dikenakan biaya mahal. Pertanyaannya, mengapa
kalangan muslim perkotaan antusias mengikuti training spiritual meski harus mengeluarkan
biaya mahal?
Training spiritual kini telah menjadi rutinitas sekaligus pengganti rekreasi yang biasa
dilakukan kelompok menengah ke atas pada setiap akhir pekan. Training spiritual telah
menjadi sarana relaksasi pikiran setelah bekerja selama seminggu. Dengan mengikuti
training spiritual, seseorang berharap terhindar dari penyakit stres yang seringkali dialami
masyarakat perkotaan.
Jika dicermati, training spiritual sejatinya telah menjadi fenomena global era 1990-an.
Tepatnya sejak Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog
tentang kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ). Dengan EQ, seseorang dapat memahami
perasaan orang lain sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan
diri (self awareness).
Danah Zohar dan Ian Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai
kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Melalui SQ, seseorang mampu meraih nilai-nilai,
pengalaman, dan kenikmatan spiritual (the taste of spirituality). Temuan tersebut menegaskan
peranan EQ dan SQ sebagai faktor penting kesuksesan seseorang. Dengan demikian,
kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan melalui intelligence quotient (IQ).
Begitu karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall diterbitkan dalam edisi
Indonesia, kesadaran untuk mengoptimalkan potensi IQ, EQ, dan SQ, dalam rangka meraih
sukses hidup menjadi tren. Karya-karya itu telah menginspirasi munculnya buku bertemakan
spiritualitas dan tasawuf. Kita pun menemukan karya penulis-penulis produktif semacam Ary
Ginanjar Agustian (ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam serta ESQ Power),
Agus Mustafa (penulis buku-buku bertemakan dialog tasawuf dan modernitas), Mohammad
Sholeh (Salat Tahajud dan Kesehatan), Abu Sangkan (Salat Khusyuk), dan Yusuf Mansur
(Belajar Salat).
Yang mengagumkan, ternyata buku-buku tersebut termasuk kategori best seller. Respons
101
masyarakat yang luar biasa itulah yang kemudian mengilhami beberapa penggiat kajian
spiritualitas dan tasawuf melakukan terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan.
Tawaran training spiritual itu pun disambut muslim perkotaan dengan antusias. Maka itu,
jadilah kegiatan training spiritual menjadi profesi bagi entrepreneur spiritual.
Kajian keagamaan dan paket training spiritual telah menjadi gejala di beberapa kota besar.
Warga Jakarta pasti mengenal beberapa kelompok kajian keagamaan dan spiritualitas.
Misalnya, Tazkia Sejati (Djalaluddin Rahmat), Klub Kajian Agama (almarhum Nurcholish
Madjid), Training Meditasi (Anand Krishna), Training ESQ (Ary Ginanjar Agustian), dan
Shalat Khusyuk (Abu Sangkan). Demam training spiritual pun menular ke Surabaya,
Bandung, Makassar, dan Medan.
Selain training spiritual, kegiatan keagamaan dalam bentuk zikir juga berkembang pesat
melalui kiprah Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar (AA Gym), dan Yusuf Mansur. Fenomena
spiritualitas juga mewujud dalam kelompok-kelompok salawat. Misalnya, kelompok salawat
Nabi pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
Bukan hanya itu, guru spiritual juga kini menjadi profesi yang menggiurkan di Ibu Kota. Itu
terjadi karena umumnya elite politik, pejabat publik, bahkan selebritas di negeri ini
membutuhkan guru spiritual.
Para penggiat spiritual yang piawai memanfaatkan psikologi masyarakat perkotaan inilah
yang disebut entrepreneur spiritual sejati. Mereka para penggiat training spiritual telah
berhasil melakukan komodifikasi nilai-nilai keagamaan dan modernitas.
Entrepreneur spiritual dapat menyelami perasaan muslim perkotaan yang mengalami dahaga
spiritual akibat kehidupan individualistik dan materialistik. Ibaratnya, muslim perkotaan
sedang merindukan kehidupan yang bermakna (meaningful). Apalagi jika melihat kondisi
bangsa yang pelan, tapi pasti mengalami degradasi moral. Training spiritual juga dapat
menjadi benteng bagi muslim perkotaan agar terjauhkan dari pengaruh dunia mistik, klenik,
dan perdukunan, yang juga menjadi tren.
Mengutip hasil workshop tentang Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and
Modernity in Contemporary Islam, yang diselenggarakan oleh Griffith University, Brisbane,
Australia dan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta (2001), dikatakan bahwa
terdapat lima kecenderungan masyarakat kota terhadap sufisme atau spiritualitas pada
umumnya yaitu: (1) searching for meaningful life (pencarian makna hidup), (2) intellectual
exercise and enrichment (perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan), (3)
psychological escape (sebagai solusi problem psikologis), (4) religious justification
(mengikuti tren keagamaan), dan (5) economic interest (komodifikasi agama untuk
kepentingan ekonomi).
Jika lima indikator itu digunakan untuk mengamati tren spiritualitas muslim perkotaan, faktor
utama mereka mengikuti training spiritual adalah psychological escape. Itu dapat dimaklumi
102
karena muslim perkotaan merupakan kelompok yang bersentuhan langsung dengan dampak
modernitas. Problem terbesar masyarakat modern umumnya adalah persoalan kemanusiaan
seperti keterasingan, individualistik, materialistik, dan moralitas.
Berkaitan dengan ada kecenderungan economic interest yang menyertai training spiritual, itu
harus diakui sebagai bagian dari profesionalisme. Budaya kerja profesional menuntut
pengelolaan training spiritual layaknya sebuah bisnis.
Karena itu, tidak mengherankan jika entrepreneur spiritual melaksanakan training spiritual di
hotel berbintang. Entrepreneur spiritual juga memanfaatkan kecanggihan informasi dan
teknologi (IT). Bahkan urusan penataan ruang, soundsystem, dan cahaya lampu, menjadi
bagian yang diperhatikan entrepreneur spiritual. Dengan cara itu, entrepreneur spiritual dapat
memainkan emosi keagamaan peserta pelatihan sehingga mampu menghadirkan penyesalan,
kesedihan, keharuan, dan kesyahduan.
Puncaknya, ketika peserta training spiritual hanyut dalam penyesalan. Tanpa terasa air mata
peserta pun menetes. Peserta training spiritual menangis tersedu-sedu sebagai tanda
penyesalan atas segala kesalahan.
Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti training spiritual itu seseorang dapat berubah
menjadi lebih baik? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah. Karena pasti butuh
waktu untuk mengamati perubahan perilaku peserta training spiritual. Paling tidak
entrepreneur spiritual telah membantu muslim perkotaan untuk merasakan kenikmatan
spiritual.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
103
Dystopian Society Koran SINDO 20 Februari 2015
Sejarah kelahiran Republik Indonesia ini didorong oleh tekad dan keyakinan akan datangnya
utopian society, sebuah masyarakat gemah ripah loh jinawi, tentrem kerto raharjo.
Setelah penjajah pergi, rakyat yakin dan menunggu datangnya sebuah masyarakat yang
damai, makmur, dan sejahtera di bawah kepemimpinan Ratu Adil pilihan Tuhan. Keyakinan
ini diperkuat oleh pesan Alquran untuk mewujudkan apa yang disebut: baldatun toyyibatun
wa rabbun ghafur. Negara yang indah dan menyenangkan di bawah ampunan Ilahi.
Pemikiran dan keyakinan utopian society ini sesungguhnya tidak hanya ditemukan pada
masyarakat Nusantara prakemerdekaan, tetapi juga masyarakat lain yang hidupnya tertindas.
Dulu Bani Israel juga punya konsep utopian society ketika hidupnya sangat menderita di
bawah kekuasaan Firaun, lalu muncul Nabi Musa yang diyakini sebagai juru selamat yang
akan mendatangkan masyarakat dan negara yang makmur di atas tanah yang
dijanjikan. Orang Yahudi mengklaim bahwa tanah yang dijanjikan itu sekarang bernama
Yerusalem. Tapi kenyataan historis-politis menunjukkan Yerusalem itu merupakan wilayah
konflik dan peperangan jauh sejak sebelum Masehi yang berlangsung hingga hari ini.
Psikologi orang kalah dan putus asa selalu membayangkan dan mengharapkan datangnya juru
selamat yang akan mengantarkan mereka pada dunia baru yang mereka mimpikan (utopian
society). Hampir setiap masyarakat bangsa dan ideologi besar dunia serta agama memiliki
keyakinan dan harapan datangnya masyarakat utopia. Ideologi komunis membayangkan
terwujudnya masyarakat tanpa kelas yang serbamakmur, tak ada pengangguran dan
kemiskinan, semuanya dicukupi dan dilindungi oleh negara.
Ideologi kapitalisme membayangkan hadirnya masyarakat yang setiap warganya memiliki
kemerdekaan penuh, mereka hidup dalam suasana kompetisi yang diatur bersama oleh
undang-undang, sehingga kehidupan layaknya sebuah festival, sesuai dengan minat dan
bakatnya. Mereka yang kalah bersaing akan disantuni oleh negara dari uang pajak yang
dipungut dari para pemenangnya.
Dalam tradisi agama, masyarakat utopia yang dibayangkan, kalaupun di dunia tidak terwujud,
maka mesti menunggu nanti di akhirat setelah kematian nanti, berupa masyarakat surgawi.
Jadi, utopia itu selalu memberikan harapan dan hiburan di kala penderitaan berkepanjangan.
Makanya masyarakat yang menderita dan lama tertindas merasa tak berdaya, selalu berdoa
kapan datangnya Juru Selamat atau Ratu Adil, pemimpin besar yang mampu mengangkat
104
mereka dari keterpurukan.
Namun, dalam realitas sejarah, yang kadang dijumpai justru dystopian society. Di balik
hiruk-pikuk dan pasang surut kehidupan politik, masyarakat selalu berharap, enough is
enough . Semoga kegaduhan dan kegelapan segera berakhir lalu tiba matahari pagi yang
cerah. Tapi kadang harapan tinggal harapan, karena masih juga dijumpai kehidupan sosial
yang serbagaduh, centang-perentang, karut-marut, tidak aman dan tidak nyaman, jauh dari
yang diimpikan.
Dibanding masa penjajahan Belanda dan Jepang, tentu masyarakat Indonesia saat ini jauh
lebih baik. Kita mesti bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada para pejuang
kemerdekaan. Namun, bagi sebagian masyarakat Indonesia di berbagai wilayah, kemakmuran
itu masih jauh dari semestinya.
Kehidupan toto tentrem loh jinawi, kehidupan yang tenteram dan makmur bagi mereka masih
juga utopis. Sejak 1945 sampai 1965 berbagai peristiwa konflik berdarah-darah datang
sambung-menyambung. Banyak saudara kita sebangsa dan setanah air masih dalam situasi
masyarakat distopia. Sementara itu, pada panggung politik juga masih terjebak pada
dystopian political stage.
Cita-cita reformasi yang dibayangkan akan mengantarkan kehidupan kita menjadi semakin
maju, kemakmuran merata, kesejahteraan rakyat meningkat, kehidupan politik kian beradab
dan menarik dilihat, nyatanya masih juga menyedihkan kondisinya. Belum hilang dari
ingatan kita bagaimana rakyat heboh menyukseskan pemilu dan juga pilkada dengan berbagai
dinamikanya, begitu pemilu selesai sekarang gantian yang heboh dan tengkar justru sesama
aparat pemerintah sehingga kondisi ini sangat melukai rakyat.
Apa pun alasannya, 100 hari pertama pemerintahan ini justru ditandai dengan lumpuhnya
KPK, lembaga pemberantasan korupsi, ketika beperkara dan berhadapan dengan lembaga
kepolisian yang juga sama-sama pendekar anti-korupsi. Seru dan ironis, masing-masing pihak
mengeluarkan jurus dan senjata mautnya dengan menyatakan tersangka pelaku korupsi pada
jajaran pendekarnya.
Di atas kertas seakan yang terjadi adalah maling teriak maling, koruptor teriak koruptor. Bisa
saja yang terjadi kedua belah sama-sama salah, atau sama-sama benar, atau salah satu yang
benar dan yang salah. Bagaimanakah cerita selanjutnya, masyarakat akan menunggu.
Masyarakat ingin melihat penyelesaiannya secara fair dan transparan, jangan sampai terjadi
penzaliman dan kriminalisasi terhadap yang lain. Jika pihak atau unsur pimpinan KPK yang
salah, masyarakat ingin tahu apa dan seberapa besar-kecil kesalahannya sehingga layak jadi
tersangka. Begitu pun jika pihak atau unsur pimpinan Polri yang melakukan korupsi, mesti
diungkap secara fair dan transparan, demi mengembalikan martabat dan wibawa kepolisian.
Lagi-lagi kita membayangkan hadirnya utopian state, sebuah negara dengan pemerintahan
105
yang cerdas, bersih, kompeten dan mampu memajukan bangsanya sebagaimana yang
dibayangkan, diimpikan dan dicitakan oleh para pejuang kemerdekaan dengan pengorbanan
jiwa dan raga. Jadi, jika sebelum pilkada dan pemilu para politisi begitu manis dan peduli
pada rakyat sebagai calon pemilih, namun sering dinilai lupa setelah duduk di kekuasaan,
jauh lebih parah lagi kalau jajaran penguasa juga lupa akan cita-cita dan pengorbanan para
pejuang kemerdekaan.
Komitmen menjaga moral dan cita-cita perjuangan kemerdekaan itu bukan semata masalah
hukum tata negara. It is above and beyond the law. Kita memang membangun negara hukum.
Bernegara itu berkonstitusi. Tetapi mesti diingat bahwa ruh konstitusi itu moral dan cita-cita
luhur untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Dengan demikian, jika seorang pejabat dinyatakan dan terbukti korup, siapa pun orangnya,
maka tak perlu lagi dibela-bela dengan berbagai dalil hukum untuk mencari pembenaran dan
pembelaan.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
106
Di Balik Sakit Hati Koran SINDO 20 Februari 2015
Dalam KBBI edisi keempat dituliskan: ‘hati’ adalah bagian perut yang merah kehitam-
hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari
makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu. Adapun ‘sakit’ diartikan: berasa tidak
nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu.
Kalau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud boleh memberikan
penghargaan untuk frase yang paling sering dicatut orang-orang berbagai golongan, frase
‘sakit hati’ akan keluar sebagai pemenangnya. Kata ‘sakit hati’ ada di mana-mana disebutkan
para remaja yang sedang patah hati, dijadikan tema buku literatur dan film yang legendaris,
hingga dijadikan jargon yang digunakan untuk mendongkrak beberapa momentum yang
korelatif dengan urusan percintaan. Kata ‘sakit hati’ juga muncul dalam berbagai bentuk yang
unik dan kreatif.
Ada banyak sekali pertanyaan menarik di balik penyebutan kata ‘sakit hati’ sebagai
kompensasi perasaan nyeri yang didapat seseorang kala menghadapi kekecewaan. Secara
struktur bahasa, penggunaan frase ‘sakit hati’ membawa ambiguitas yang bisa diterjemahkan
dari beberapa sudut pandang. Penggunaan frase ‘sakit hati’ bisa dipandang secara harfiah
maupun secara metaforik.
Hati sebagai salah satu organ pencernaan memang berisiko mendapatkan berbagai macam
disfungsi atau penyakit seperti hepatitis atau sirosis. Jika diartikan secara harfiah, ‘sakit hati’
berarti ‘mengalami disfungsi pada hati’. Namun, jika diartikan secara metaforik, ‘sakit hati’
berarti semacam sensasi sesak di dada saat mengalami perasaan kecewa, takut, mau pun
marah.
Frase ‘sakit hati’ pada nyatanya lebih sering diartikan secara metaforik. Orang biasa
menyebut ‘sakit hati’ untuk mengompensasi perasaan sakit di dada, bukannya berkata ‘sakit
hati’ untuk mengasosiasikan salah satu disfungsi hati. Menarik sekali untuk menelaah
bagaimana frase ini bisa berkembang dan melihat korelasi serta penjelasannya secara ilmiah.
Hasil riset membuktikan bahwa sensasi sakit pada dada saat mengalami kekecewaan itu
memiliki dua komponen, yaitu komponen sensorik dan komponen afektif. Komponen
sensorik memberi informasi mendasar mengenai sakit yang dirasakan, sementara komponen
afektif memberi informasi yang sifatnya kualitatif, seperti interpretasi terhadap rasa sakit itu
sendiri.
Naomi Essenberg, seorang psikolog dari University of California Los Angeles, Amerika
107
Serikat, mengemukakan bahwa otak manusia memiliki beberapa bagian yang aktif selama
rasa sakit dirasakan anterior cingulate cortex sebagai bagian otak yang memberi alarm
terhadap rasa sakit serta right ventral prefrontal cortex sebagai bagian otak yang mengatur
jalannya rasa sakit tersebut.
Akan tetapi, perasaan sakit yang dirasakan itu tidak ada kaitannya dengan organ pernapasan
yang terletak pada dada. Semua perasaan sakit itu berasal dari otak, yang memberikan
berbagai stimulus pada kelenjar endokrin untuk menghentikan pemberian hormon yang
memicu datangnya perasaan senang.
Saat berada dalam situasi yang mengecewakan, otak akan memerintahkan stimulus pada
kelenjar endokrin untuk mengeluarkan hormon kortisol, yang merupakan hormon pemacu
stress. Hormon kortisol jika disekresikan secara berlebihan akan memicu otak untuk
mengirim darah terlalu banyak pada otot, yang berujung pada rasa lelah dan letih. Efek inilah
yang nantinya membuat kepala sakit, leher pegal, dan sensasi menyakitkan pada dada. Jadi,
perasaan sakit hati ini sama sekali tidak berkaitan dengan terjadinya disfungsi pada sistem
pernapasan.
Riset yang dilakukan Essenberg ini rasanya cukup menjelaskan bagaimana seseorang
merasakan sensasi sakit pada dada saat mengalami kekecewaan. Walau terdengar sepele,
ternyata rasa ‘sakit hati’ ini berpotensi membawa semacam komplikasi yang sifatnya fatal.
Pada tahun 2012, Marjorie Landis dan James Landis, sepasang suami istri yang sudah
menikah selama 65 tahun, meninggal hanya dalam selang waktu 88 menit. Tim dokter dari
John Hopkins University yang menyelidiki kasus ini kelak melaporkan sebuah kesimpulan
bahwa perasaan kecewa (yang kerap diasosiasikan dengan sakit hati) membawa efek yang
mematikan untuk kondisi jantung, kondisi yang merenggut nyawa Marjorie Landis dan James
Landis.
Menyenangkan rasanya mengetahui makna di balik arti frase ‘sakit hati’, frase populer yang
kerap terdengar sehari-hari. Walaupun frase ‘sakit hati’ tidak bisa diartikan secara harfiah,
namun bisa dikatakan frase yang kerap mendominasi percakapan sehari-hari ini memiliki arti
tertentu dalam sains.
YASMIN JAMILAH
Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat 2013
108
Mubahalah dan Sumpah Pocong Koran SINDO 21 Februari 2015
Setelah pada awal pekan ini, 16 Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi mengetokkan palu
bahwa penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tidak sah, maka saling kecam dan saling bully antarpendukung KPK dan Budi
Gunawan memanas.
Ada yang mengecam hakim karena dianggapnya merusak tata hukum. Ada yang bersorak dan
menuding KPK keok dan terbukti telah melakukan tindakan sewenang-wenang dalam
menetapkan seorang tersangka. Oleh para penyerangnya KPK semakin dipojokkan dengan
pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena telah ditetapkan
menjadi tersangka oleh Polri dalam tindak pidana umum dan diberhentikan sementara oleh
Presiden.
Di jejaring sosial saling serang itu lebih seru dan liar, banyak yang tanpa argumen dan
menyesatkan pemahaman. Misalnya ada cuitan di Twitter yang kemudian di-retweet secara
berantai bahwa yang menimpa KPK sekarang ini membuktikan bahwa mubahalah sedang
bekerja dan terjadi di KPK.
Bagi orang yang paham sedikit saja tentang fikih Islam, pastilah segera tahu bahwa yang
mencuitkan mubahalah bekerja di KPK itu tidak paham arti ‘mubahalah’. ‘Mubahalah’
adalah saling bersumpah dan kesediaan menerima laknat Allah melalui ritual atau cara
tertentu jika keterangan atau tuduhan dan bantahannya tidak benar. Di dalam mubahalah
kedua pihak yang berselisih sama-sama menyatakan, “Kalau Anda benar dan saya salah maka
saya bersedia dilaknat oleh Allah.”
Di dalam syariat Islam ketentuan tentang mubahalah tercantum di dalam Alquran, Surat Ali
Imran ayat (61) yang diturunkan oleh Allah karena pertentangan paham akidah yang sangat
penting antara umat Islam dan kaum Kristen. Seorang pendeta Kristen dari Najran bersikeras
bahwa Isa (Jesus) anak Allah sedangkan menurut Islam Isa adalah manusia biasa yang
diangkat menjadi nabi. Untuk menyelesaikan perbedaan tajam yang tidak bisa dipertemukan
itu maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak pendeta Najran melakukan
mubahalah, yakni sama-sama bersumpah bahwa dirinya benar dan siapa yang tidak benar
bersedia mendapat laknat dari Allah.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, pendeta dari Najran itu tidak bersedia ber-
mubahalah dan memilih membayar jizyah (denda) atas pernyataan-pernyataannya. Pada
masa-masa sesudah Nabi Muhammad sering dilakukan mubahalah untuk menyelesaikan
perselisihan yang tidak mencapai titik temu sehingga perselisihan diakhiri dan masing-
109
masing menyerahkan akibatnya kepada Allah dengan bersedia dilaknat jika berdusta.
Jadi, yang namanya mubahalah ada cara ritualnya, yakni bersumpah dengan kalimat dan cara
tertentu dan dengan saksi-saksi resmi, yakni keluarga terdekat semua pihak yang ber-
mubahalah.
Di dalam masyarakat kita dikenal juga adanya sumpah pocong. Dalam praktiknya sumpah
pocong sering dicampur-aduk dengan ritual agama secara bidah dan khurafat. Misalnya,
pihak-pihak yang bersumpah dibungkus dengan kain kafan seperti mayat, kemudian
ditidurkan di shaf masjid dan dituntun oleh pemuka agama setempat untuk saling bersumpah,
bersedia dilaknat oleh Allah jika dirinya bohong. Sumpah pocong ini sering ditakuti oleh
orang yang berbohong karena ada kepercayaan bahwa laknat Tuhan akan terjadi secepatnya,
misalnya, mati disambar petir, mati terbakar seluruh keluarga, mati tertimpa pohon, atau
ditabrak mobil.
Dalam semua perkara yang pernah ditangani oleh KPK, sejak berdirinya pada tahun 2003,
tidak pernah ada mubahalah. Tidaklah benar dan mengada-ada kalau dikatakan bahwa akibat
mubahalah sekarang sedang bekerja di KPK. Sebab KPK maupun orang yang diadili karena
dakwaan korupsi tak pernah ber-mubahalah.
Memang terkadang ada juga yang menantang sumpah pocong atau ber-mubahalah, tetapi
tantangan itu tak pernah dipenuhi. Sesaat setelah dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta,
misalnya, Anas Urbaningrum mengajak mubahalah, tetapi mubahalah itu tak pernah terjadi.
Sejak dulu KPK tak pernah meladeni ajakan sumpah pocongatau mubahalah, melainkan
melakukan pembuktian melalui proses peradilan yang di dalamnya memang ada sumpah.
Di pengadilan memang ada acara sumpah untuk para saksi tetapi hanya sumpah biasa, bukan
sumpah pocong dan bukan mubahalah. Sistem peradilan kita tidak mengenal sumpah pocong
atau mubahalah. Oleh sebab itu, ketika beredar cuitan bahwa apa yang menimpa KPK
sekarang ini adalah karena bekerjanya mubahalah, agar tidak menyesatkan, saya pun bercuit
bahwa apa yang terjadi di KPK tak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.
Kalaulah peristiwa yang terjadi di KPK ini akan dikaitkan dengan kasus Anas Urbaningrum
yang dipidana dan pernah menantang mubahalah, maka frase “mubahalah sedang bekerja”
juga salah karena dua hal. Pertama, tak pernah ada pelaksanaan mubahalah sebab tantangan
Anas tak ditanggapi sama sekali baik oleh hakim maupun oleh KPK.
Kedua, jauh sebelum adanya tantangan mubahalah KPK sendiri selalu mendapat hantaman
dari delapan penjuru angin. Kalaulah mau dipaksa dikait-kaitkan maka, mungkin, istilah
awam yang ada hubungannya adalah ‘kualat’, bukan mubahalah. Hantaman yang terjadi pada
2009 malah lebih dahsyat.
Komisi pemberantasan korupsi di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan
berbagai cara. Tak ada urusan dengan laknat karena mubahalah. Lagipula, kalau soal laknat
110
Allah terhadap korupsi atau penyuapan, itu tak perlu pakai mubahalah segala karena sudah
ada Hadis sahih, “Laknatullah ala al-raasyi wa al-murtasyi. “ Terjemahannya: Allah
melaknat penyuap dan penerima suap.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
111
Eksepsionalisme Indonesia Koran SINDO 21 Februari 2015
Dalam sebuah workshop bertajuk ”Female Islamic Authority in Comparative Perspective:
Exemplars, Institutions, Practices” yang diadakan 8- 9 Januari 2015 di KITLV Leiden,
diskusi tentang eksepsionalisme Indonesia kembali mengemuka.
Hampir semua paper dalam workshop yang diurus David Kloos (Indonesanis muda di
KITLV) dan Mirjam Kunkler (Princeton University) itu membahas berbagai model otoritas
ulama perempuan di Iran, Tajikistan, Thailand, Singapura, Indonesia, dan India. Mungkin
oleh kekhasannya, di sini selalu saja berlangsung diskusi tentang Indonesian exceptionalism
(keterkecualian Indonesia).
Secara khusus, paper penulis berjudul ”Exercising Religious Authority: Female Islamic
Authority in Majelis Taklim Circles in Jakarta” juga menyedot perhatian tentang
eksepsionalisme Indonesia. Exceptionalism mengandaikan adanya model budaya yang
melekat kuat pada masyarakat tertentu–yang sulit dipengaruhi atau berubah oleh faktor
eksternal.
Sejak muncul dalam konteks Weberianisme (yang awalnya meyakini hanya Protestanisme
yang mampu menerima demokrasi dan modernitas), istilah ‘exceptionalism’ sangat bernuansa
negatif. Negara-negara Arab, misalnya, disebut sebagai exceptionalism karena hanya mereka
yang tidak dapat menerapkan dan menjalankan demokrasi secara baik.
Menariknya, eksepsionalisme Indonesia justru bernuansa positif. Dalam banyak diskursus
ilmiah di berbagai disiplin ilmu, Indonesia selalu dikecualikan secara positif. Dalam konteks
Asia Tenggara, Indonesia selalu mendapat pengecualian dengan dibedakan dari Malaysia,
Singapura, dan Thailand dalam hal tren negatif tentang Islam dan masyarakat muslim.
Dalam konteks dunia Islam pun, Indonesia selalu dikecualikan sebagai satu-satunya negara
berpenduduk muslim yang dapat mengembangkan demokrasi, baik secara teoretis, maupun
dengan pengayaan melalui kreasi lokalitas. Dalam ekspresi yang lain, demokrasi di Indonesia
kuat dan menguat karena ditopang oleh semangat moderasi para elite dan anggota
masyarakat.
Dalam workshop di Leiden tersebut, Indonesia kembali disebut eksepsional karena memiliki
banyak eksemplar dan institusi yang menopang terbentuknya otoritas ulama perempuan sejak
dulu hingga kini. Sebelum Islam datang ke Indonesia, perempuan telah menikmati otoritas
politik dengan adanya ratu-ratu yang berkuasa. Perempuan-perempuan berstatus sultanah,
pahlawan dan pejuang di berbagai bidang, mudah ditemukan di Indonesia. Dalam konteks
112
keulamaan, Indonesia telah melahirkan ulama perempuan model Indonesia, meski tidak
terekspos secara berimbang dengan ulama laki-laki. Kita mungkin bisa mengingat- ingat
peran Rahmah El-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Khiriyah Hasyim Asyari, Nyai
Sholihah Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan perempuan Islam di awal Abad 20.
Di masa sekarang ini, sebagaimana dibahas dalam lima makalah tentang ulama perempuan
Indonesia dalam workshop tersebut, beberapa individu dan berbagai institusi tampak terlibat
dalam reproduksi ulama perempuan. Proses reproduksi itu dilakukan secara sadar dan
terstruktur dalam lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia.
MUI, dengan program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang awalnya hanya menerima laki-
laki, telah melibatkan peserta perempuan. Secara khusus, LSM Rahima telah menjalankan
program Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sejak 2005 dengan melibatkan nyai (istri kiai)
dan ning (anak perempuan kiai) yang memiliki potensi besar dari berbagai pesantren di
Indonesia. Tradisi kitab kuning selalu menjadi bagian penting dalam program ini. NU dan
Muhammadiyah juga melakukan reproduksi yang sama sehingga dapat terlibat dalam forum
bahtsul masail dan majlis tarjih yang memutuskan banyak hal tentang hukum Islam di
Indonesia.
Lingkungan majelis taklim (MT) di Jakarta juga cukup memiliki model dalam reproduksi
muballighah yang berotoritas di lingkungannya masing-masing. Kehadiran Tuti Alawiyah,
Suryani Thahir, dan Faizah Ali adalah sosok ulama perempuan yang mewarisi otoritas
keagamaan dari bapak mereka yang ulama besar.
Ditambah dengan pewarisan tradisi keulamaan dan keilmuan dari Indonesia (MT, pesantren,
dan IAIN) dan Mesir (Al-Azhar), mereka mampu membangun otoritas keagamaan yang
diakui secara nasional. Hal ini kemudian terdiseminasi secara efektif dan terstruktur dalam
lingkungan majelis taklim yang telah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.
Individu dan institusi seperti ini yang jarang–untuk mengatakan tidak ada–ditemui di negara-
negara berpenduduk mayoritas muslim lain. Paper yang mengangkat ulama perempuan dari
negara lain lebih fokus pada model alamiah (Iran dan India), atau memang peran otoritas
keagamaan yang sulit dilakukan oleh ulama laki-laki (Tajikistan).
Meski dengan model otoritas keagamaan yang telah terfragmentasi sedemikian rupa,
Indonesia mampu hadir sebagai negara muslim yang dapat beradaptasi secara cepat dan tepat
dengan demokrasi dan modernitas. Akademisi seperti Henk Nordholt, Mirjam Kunkler dan
Ben Soares yang terlibat aktif dalam diskusi di workshop ini pun mengakui banyak hal bahwa
Indonesia selalu menjadi pengecualian.
FARIED F SAENONG
Peneliti pada Pusat Studi Alquran dan The Nusa Institute
113
Spring Roll Koran SINDO 22 Februari 2015
Buat yang belum tahu, “spring roll” itu artinya lumpia. Aslinya dari bahasa Inggris, tetapi
sudah berubah jadi bahasa cafe atau restoran. Buktinya, kalau kita pesan makanan itu di cafe;
atau restoran berbintang, dan kita bilang “Minta lumpia dua porsi”, pasti si pelayan akan
mengoreksi, “Baik, dua porsi spring roll“. Padahal maksudnya sama saja, ya lumpia itu.
Padahal si pelayan nggak bisa bahasa Inggris sama sekali.
Anehnya, berapa kali pun kita koreksi dengan kata “lumpia”, si waiter (kalau laki-laki) atau
waitress (kalau perempuan) akan nyamber balik, “Iya, Pak, spring roll“. Jadi di cafe; tidak
ada lumpia, yang ada spring roll. Tidak ada pelayan, yang ada waiter atau waitress.
Lumpia yang paling asli dan paling top berasal dari Semarang. Tepatnya lumpia Jalan
Mataram! Buat yang non-muslim, lumpia Gang Lombok! Ukurannya sebesar dua kepalan
tangan saya, rasanya sangat yummy (buat yang doyan rebung campur udang atau ayam, atau
daging lain yang nggak pernah saya makan, tapi konon nggak kalah lezat), dan harganya
kalau saya tidak salah sekitar Rp10.000-an. Mungkin sekarang sudah naik, sejak harga BBM
naik, dan tidak ikut turun setelah BBM turun lagi, tetapi saya yakin tidak lebih dari Rp15.000
per satuan.
Tetapi kalau kita beli lumpia dari cafe harganya Rp30.000-an untuk satu porsi, yang isinya
antara 4-6 bilah lumpia seukuran jari tengah saya, tanpa rebung di dalamnya, hanya kentang
dan sayuran. Makan satu porsi pun tidak akan mengenyangkan anak balita. Karena itu
namanya ‘spring roll’, bukan lumpia.
Spring roll biasanya dipesan untuk menemani cappucino atau black coffee yang harganya di
cafe Rp40.000-an segelas, padahal kopi susu atau kopi hitam yang sama, di warung kopi
harganya hanya Rp2.000 atau Rp3.000 per gelas, atau di warteg mungkin hanya Rp500 per
gelas (saya nggak pengalaman ngopi di warteg, maaf, jadi info saya mungkin kurang akurat).
Begitu juga nama-nama makanan dan minuman yang lain, es jeruk jadi orange juice, sayap
ayam goreng jadi chicken wing, bahkan di restoran-restoran bergaya Prancis ada menu yang
namanya escargot, yang tak lain dan tak bukan adalah keong sawah, yang kalau kita nemu di
halaman rumah kita, langsung kita injak sampai mbonjrot (waktu saya kecil paling suka kasih
garam ke dalam keong, dan melihat bagaimana keong itu mati pelan-pelan sambil dagingnya
mencair pelan-pelan, lebih sadis dari ISIS, tetapi anak-anak nggak nyadar bahwa itu sadis).
Nah, keong model beginian, ketika sudah jadi escargot, harganya sama dengan steak atau
lobster yang termasuk makanan kelas satu di resto-resto papan atas, yang harganya bisa
mencapai lebih dari Rp150.000 per porsi.
114
Jadi manusia itu sangat aneh, kan? Barang yang sama, diubah namanya, harganya sudah
berlipat sepuluh kali. Bahan pakaian yang dibeli di Pasar Tanah Abang, ketika sudah masuk
toko ber-AC di mal, ditempeli merek luar negeri, harganya naik 10 kali lipat, dan Tante
Wendy pun membelinya dengan santai, karena dia barusan juga, bareng teman arisannya Ceu
Nita, makan spring roll yang mutunya KW5 (kualitas no. 5), tetapi harganya dua kali lipat
dari lumpia yang ori (orisinal) dari Semarang.
Kebetulan Tante (atau di rumah biasa dipanggil ‘taci’ atau ‘cici’) Wendy, merayakan Imlek
dan dia cerita pada Ceu Nita, bahwa dia perlu ke bank untuk menukar uang receh, buat isi
angpau. “Loh, sama banget dengan saya” kata Ceu Nita, “saya setiap Lebaran, juga ke bank
nukerin duit kecil buat anak-anak tetangga, keponakan-keponakan, dan penjaga makam”.
Tante Wendy jadi makin semangat, “Oh iya, kamu Lebaran ke makam doain orang tua, kan?
Kami juga sama, kalau Imlekan sembahyangan, doain orang tua dan leluhur”. Lah, terus apa
bedanya Lebaran sama Imlekan? Tetapi kalau disuruh tukar posisi (Wendy...Lebaran,
Nita...Imlekan) pasti dua-duanya tidak mau. Kalau ada astronot dari planet antah-berantah
datang dan survei ke bumi, pasti dia kebingungan.
Jadi, manusia itu memang hobi banget utak-atik makna (dalam bahasa psikologi: mind set)
supaya dia lebih nyaman dan dapat apa yang dimauinya. Turis Arab datang jauh-jauh ke
daerah Ciloto (Puncak), karena konon di sana bisa kawin mutah dengan gadis-gadis lokal,
yang kalau di lokalisasi Dolly di Surabaya (yang sudah ditutup oleh pemkot) disebut
melacur. Tetapi karena namanya kawin mutah, otomatis surga jaminannya, karena bukan
tergolong zina.
Sebaliknya, setiap 14 Februari (yang sama saja dengan tanggal-tanggal yang lain sepanjang
365 hari per tahun), oleh dunia bisnis diberi nama khusus ‘Valentine Day’, dan di-marketing
besar-besaran, maka para remaja pun tergiur beli cokelat atau bunga untuk kekasih hatinya,
atau bahkan pesan meja di restoran berbintang, dengan cahaya lilin di meja, dilatarbelakangi
musik lembut nan romantis, berpegangan tangan sambil berpandangan mata dan memesan
escargot, orange juice, dan cappuccino, dan tentu saja spring roll.
Terus Pemda atau MUI mau ngatur dengan berbagai peraturan untuk melarang Valentine?
Omong kosong. Larangan tetap berjalan, tetapi Valentine tetap jalan. Imlek dilarang selama
35 tahun, tetapi langsung hidup lagi begitu diizinkan oleh Presiden Gus Dur. Valentine,
Imlek, kawin mutah atau spring roll tidak akan ada matinya, sebab intinya tuh di sini...
(sambil nunjuk dahi).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
115
Gong Xi Fa Cai, Hujan Rezeki Sepanjang Tahun
Koran SINDO 23 Februari 2015
Hujan bagi orang kota saat ini menjadi peristiwa yang menakutkan, karena ketika hujan turun
mereka mesti bersiap menghadapi genangan air yang tak mampu lagi diserap tanah akibat
seluruh lapisan permukaannya sudah berbeton. Hendak lari ke sungai sudah tertimbun oleh
sampah, bersemayam di rawa sudah berubah menjadi hutan-hutan beton.
Tapi bagi masyarakat perdesaan, hujan adalah anugerah Tuhan yang dikirim melalui jasa
angin, awan, kabut, dan matahari yang senantiasa turun pada suhu tertentu. Sang Penjaga
suhu jutaan hektare belantara yang terhampar di berbagai belahan dunia serta dewa salju yang
bertapa di Kutub Utara dan Kutub Selatan, mereka diam dalam kebisuan untuk menjaga
keseimbangan penghuni semesta antara dua musim atau empat musim.
Pertapaan mereka kini sering terusik oleh berisiknya anak manusia yang senantiasa
mengganggu kekhusyukannya melalui pembabatan hutan, pembakaran batu bara serta faktor
yang memicu peningkatan emisi karbon lainnya yang mengakibatkan efek rumah kaca.
Perubahan iklim adalah bencana bagi kaum petani dan nelayan yang mengubah siklus
kehidupan mereka yang selama ini menggantungkan diri dari kemurahan dan kasih sayang
alam.
Gangguan yang mereka alami merupakan dampak dari kerakusan kelompok manusia yang
menumpukkan seluruh kekayaannya pada lalu lintas keuangan yang kadang mereka sendiri
tak mampu menikmatinya. Tumpukan gedung pencakar langit, gemerlap kehidupan di pusat-
pusat kota, serta hobi yang kadang sudah tidak masuk akal sehat, adalah bagian dari gaya
hidup manusia yang memberikan dampak bagi perubahan iklim.
Hujan pada saat Tahun Baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa adalah pancaran harapan
rezeki yang akan didapat pada perjalanan waktu yang akan dijalani. Imlek atau tahun baru
bagi masyarakat Tionghoa sudah melekat dalam tradisi kehidupan masyarakat kita.
Hubungan kekerabatan yang sangat alami terpatri dalam rentang waktu yang cukup lama.
Orang Sunda menyebut Imlek dengan kalimat “Babaru Cina”.
‘Babaru’ artinya membuka areal persawahan baru yang dalam bahasa ilmu pertanian disebut
‘ekstensifikasi’. Biasanya orang Sunda membuka beberapa bukit yang memiliki sumber-
sumber air dengan bentuk posisi tapak siring atau sengked agar sawahnya teraliri air dengan
baik dari sumber air di gunung.
116
Kecerdasan membuka areal pertanian baru oleh leluhur kita ternyata tak mampu diwujudkan
ketika 1 juta hektare lahan pertanian dibuka di bumi Kalimantan pada era Orde Baru yang
menghancurkan tatanan ekosistem dan hanya menghasilkan rawa-rawa baru. Yang menjadi
faktor utama kegagalan tersebut mungkin adalah hawa nafsu membukanya karena ada pohon
besar di situ yang bisa ditebang, mungkin pula karena nominal proyek yang bisa melahirkan
keuntungan atau mungkin karena penghitungan teknis yang tidak tepat.
Terlepas dari itu semua, kita mestinya belajar bahwa kekuatan perencanaan dan modal tak
akan ada arti manakala tidak lahir dari kejernihan hati dan penghormatan terhadap para
leluhur. Babaru Cina, bisa jadi dalam setiap tahun baru masyarakat Tionghoa yang mayoritas
para pebisnis punya rezeki baru. Rezeki baru akan lahir dari imajinasi, improvisasi, dan
langkah-langkah baru yang terlahir dari adanya tantangan dan persaingan hidup yang
semakin kompetitif.
China dengan hamparan negara dan karakternya kini menjadi kekuatan tangguh dalam dunia
bisnis, baik kekuatan negaranya maupun kekuatan individunya yang tersebar di seluruh dunia
yang telah berhasil menjadi sosok para pebisnis tangguh dan mumpuni di berbagai bidang.
Mereka adalah kelompok masyarakat dan individu yang tekun dalam mengelola sesuatu.
Hal-hal kecil yang sering kali kita remehkan justru mereka produksi dengan baik: jarum
pentul, peniti, kancing cetet, ritsleting, kancing, dan silet. Kini mereka pun menguasai
produksi kapal perang, kapal selam, pesawat tempur, pesawat angkut, motor, televisi,
perangkat komunikasi, bahkan teknologi luar angkasa.
Prinsip-prinsip hidup yang diterapkan merupakan kekuatan fundamen dari seluruh
keberhasilan yang dicapainya. Pola hidup prihatin pada saat seluruh usahanya belum
mencapai keberhasilan adalah ideologi hidup yang patut menjadi teladan. Bubur adalah saksi
dari perjalanan keprihatinan yang mesti dijalani. Manakala hasil produksinya belum berjalan
sesuai harapan, bubur adalah bagian dari makanan yang harus disantap agar seluruh
pengeluaran menjadi efisien.
Hari ini ternyata bubur sudah dianggap tidak relevan lagi bagi masyarakat Tionghoa karena
mereka sudah subur makmur sehingga bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan. Tapi bagi
orang Sunda, tidak ada urusan antara bubur dengan miskin atau kaya. Bubur adalah bagian
dari energi pagi. Tanpa bubur, hidup tanpa vitalitas. Itulah sebabnya, tukang bubur hampir
ada pada setiap sudut: ada Bubur Ayam Sampoerna Cianjur, Bubur Ayam PR Savoy Homann
Bandung, atau Bubur Ayam Sukabumi. Tapi di Purwakarta, bubur ayam yang enak justru
adanya di malam hari, Bubur Check Shift namanya. Mungkin sebagian orang tidak akan
nyenyak tidur tanpa dihantar oleh semangkuk bubur.
Bagi masyarakat Sunda, bukan hanya bubur yang menjadi penghantar pagi. Ada soto, kupat
tahu, surabi, lontong sayur, pokoknya seluruh penganan yang terbuat dari beras. Kata Mang
Udin, tetangga di kampung saya, “Ku urang Sunda mah bubur teh teu dianggap dahar (bagi
orang Sunda menyantap bubur tidak dianggap makan), soto teu dianggap dahar, surabi teu
117
dianggap dahar, kupat tahu lontong sayur juga belum dianggap makan, kecuali kalau sudah
makan nasi. Orang Sunda itu makannya cuma sekali, da isuk-isuk mah sasarap (pagi-pagi
sarapan), beurang ngawadang, tah sore karek dahar ... (nah, sore baru makan).”
Makanya, beras itu sesuatu yang sangat penting. Jangan coba ganggu urusan yang satu ini.
Masyarakat bisa berteriak, mata melotot, badan bergetar karena salatri (perut melilit saking
lapar). Kalau sudah salatri, hukumnya ada dua. Yang satu pingsan, yang satu lagi kesurupan.
Dengan profesinya yang mayoritas pebisnis, hujan rezeki masyarakat Tionghoa tidak ada
musimnya. Karena dalam setiap waktu, seluruh keuangannya berputar tak terpengaruh lagi
oleh musim. Di musim hujan saat orang perlu payung, perlu jas hujan, perlu jaket, perlu kaus
tangan, kaus kaki, belinya di toko engkoh. Di musim kemarau saat petani perlu pompa air,
perlu topi, perlu kaca mata rayban, belanjanya tetap saja di toko engkoh. Tiap malam, tiap
hari, beli obat nyamuk, beli sabun, sikat gigi, odol, sampo, belinya tetap saja di toko engkoh.
Beli motor, beli mobil, beli sepeda, beli dorongan bayi, di toko engkoh juga.
Eeh, waktu Natalan yang ramai tokonya engkoh. Lebaran, yang ramai tokonya engkoh juga.
Ternyata kalau dipikir-pikir, si engkoh itu lebarannya sepanjang tahun, malah bisa dibilang
tiap hari juga lebaran.
Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, istri cantiknya Mang Udin, “Kalau rezeki
kita terbatas, itu salah kita dalam berdoa. Kenapa tangannya tengadah, kan artinya menunggu
diberi. Coba si enci dan si engkoh kalau berdoa, pasti diajul (dijolok) pake hio. Makanya
rezekinya lebih banyak jatuh dibanding kita yang cuma nunggu rezeki yang jatuh. Si engkoh
dan si enci itu sebelum ngajul (menjolok) susuguh (memberi persembahan) dulu, disiapkan
buah yang bagus, ratus yang bagus. Semakin bagus susuguh-nya, semakin banyak rezeki
yang didapatnya.”
“Nggak tau apa alasannya, tradisi susuguh kepada leluhur banyak para tokoh yang melarang.
Akibatnya, anak cucu kami sudah tidak kenal lagi leluhurnya. Mungkin suatu saat kami pun
tak akan lagi memiliki tanah leluhur karena sudah habis terjual dan tergusur.”
“Kalau yang ngajul-nya si engkoh dan si enci, sedangkan tangan kita cuma tengadah, wajar
saja kalau kita kebagiannya sedikit. Itu pun kalau si engkoh dan si encinya masih punya hati
untuk ngasih pada kita. Tapi, sekarang, si engkoh dan si enci tidak mungkin ngasih kepada
kita karena si engkoh dan si enci tidak mau terlibat gratifikasi....”
Selamat Tahun Baru, Koh, Ci .... Melimpah rezeki sepanjang tahun, Gong Xi Fa Cai.
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
118
Moralitas Politik Jokowi Koran SINDO 25 Februari 2015
Kelihatannya Presiden Jokowi tidak jadi dan tidak akan kehilangan “public trust“. Situasi
politik yang agak menegangkan sekitar tiga minggu lalu itu membuat publik bingung.
Kemudian berbagai penilaian terhadap Presiden Jokowi muncul. Ada yang marah, ada yang
kecewa, ada yang sudah bicara untuk melengserkannya.
Betapa rentan sikap politik kita. Jarak dari dukungan ke kemarahan, dan kekecewaan begitu
dekatnya. Bahkan jarak dari dukungan ke gagasan melengserkannya terasa lebih dekat lagi.
Inilah kira-kira situasi politik yang mewakili aspirasi publik yang “romantis”, yang
mengandaikan tokoh yang didukungnya sempurna, dan setiap saat diharapkan bisa memberi
kepuasan politik mereka.
Kalau kita mendukung atau memilih tokoh secara dewasa jadi tidak “romantis” seperti itu
niscaya apa pun yang terjadi, apalagi tokoh kita itu baru menjalankan tugasnya selama tiga
bulan, kita masih longgar untuk memberinya kesempatan.
Mendukung dan memilih secara dewasa selalu ada “reserve“. Kita bukan pendukung dan
pemilih fanatik, apalagi dengan fanatisme buta. Memilih dengan “reserve“ itu kita sudah
menduga pilihan kita punya kekurangan di sana-sini. Jadi kita siap untuk kecewa dan tahu
pada suatu saat akan kecewa, tapi tak disertai kemarahan dan mengumbar kutukan. Apalagi
sudah siap melengserkannya.
Tradisi menilai seorang pemimpin dalam masa kerja tiga bulan itu mungkin bagian dari
kegenitan mungkin bahkan kekonyolan politik yang percuma. Sesudah kita percaya pada
“platform” politik dan program kerjanya, kita sudah menaruh kepercayaan kepadanya untuk
bekerja lima tahun. Penilaian tiga bulanan itu tindakan politik yang sia-sia karena akhirnya di
sana disetujui lagi untuk tidak diapa-apakan. Kalau sekadar mau mengkritik, sehari kerja pun
sudah bisa dikritik. Seminggu bekerja sudah boleh pula diawasi secara ketat.
Tetapi, jatah lima tahun belum layak sama sekali untuk diungkit-ungkit. Ini tak berarti bahwa
pemimpin kita itu harus bekerja “full“ lima tahun. Kontrak lima tahun itu memang ada syarat-
syaratnya.
Sikap latah dan gampang bicara tentang melengserkan itu tidak sehat sama sekali. Ini tanda
sikap politik yang “mentah” dan tak akan pernah memberikan kontribusi untuk membangun
kepemimpinan bangsa yang sehat dan demokratis. Ini sikap politik yang tak bertanggung
jawab.
119
Andaikata suara itu datang dari pihak musuh yang sejak semula tak mendukung, itu pun
bukan potret sikap politik yang elegan. Kita memang tidak heran karena yang bicara seperti
itu politisi yang belum punya kiblat politik yang jelas. Tapi, kalau aktivis yang sudah matang,
akademisi yang berwibawa, dan rohaniwan yang tak lagi tergiur urusan duniawi dan jabatan-
jabatan politik, pantang berbicara seperti itu. Mereka ini antara lain golongan yang bisa
disebut “concerned citizens“, atau “devoted intellectuals“, yang mampu membangun
kematangan politik bangsa dan moralitas politik seluruh warga negara dengan cara yang
penuh kehormatan.
Dalam keruwetan politik yang menyesakkan dada seperti tiga minggu lalu itu, setiap pihak,
termasuk politisi yang punya karakter kepemimpinan yang jelas, wajib mencari jalan
pemecahan demi kebaikan seluruh bangsa, demi tumbuhnya demokrasi, demi suburnya
model kepemimpinan yang kita dambakan bersama.
Begitu hendaknya yang wajib dilakukan kaum intelektual yaitu para aktivis, pemikir,
rohaniwan, dan kaum seniman. Memberi nasihat, mengkritik, atau memberi komentar
terbuka, bagi mereka ini tidak ada tujuan lain kecuali membangun tegaknya moralitas politik
yang jernih, yang kiblat rohaniahnya tak diragukan.
Mereka ini seksi melek, tidak lalai, dan tidak lupa sama sekali untuk mengamati apa yang
terjadi di dalam tata pemerintahan dan sikap pemerintah yang memanggul mandat konstitusi.
Pemikiran mereka merupakan representasi “pendidikan” politik bagi warga negara, suara
mereka mewakili wilayah rohani kita, yang mengolah dan menerjemahkan dengan baik pesan
“langit” ke dalam bahasa bumi.
Boleh juga disebut bahwa pemikiran dan suara mereka itu kawinan antara realitas ideal dan
realitas sosiologis. Yang ideal itu kerangka rohani yang tak terpegang, sebaliknya, yang
sosiologis jelas sesuatu yang “riil” dan nyata dalam hidup kita. Kalau Presiden dan para
pejabat tinggi lain siap mendengarkan suara golongan ini, selamatlah perjalanan politik
mereka. Itu juga berarti selamatlah moralitas pribadinya sebagai penyelenggara negara yang
memanggul mandat konstitusi tadi.
Kita tahu Presiden Jokowi ya Jokowi. Sederhana, polos, dan terkadang tampak, atau
mengesankan hanya paham akan ihwal teknis belaka. Ada pula kesan, tokoh ini posisi
tertingginya hanya di level gubernur karena untuk menghadapi lawan-lawan politik yang bisa
“menjerit” setinggi langit akan kekurangan kemampuan. Untuk melakukan berbagai “deal“
politik yang sedikit kotor, beliau tak bakal terampil.
Tapi, benarkah beliau tidak terampil? Dalam menangani kasus pengedar narkoba, musuh
dunia saat ini, aturannya jelas; tidak ada toleransi. Di mana-mana tindakannya sama tegasnya.
Tak peduli suara apa pun, Presiden Jokowi, yang diduga tak bakal berani bertindak itu
ternyata kita saksikan sendiri beliau tegas. Contoh presiden sebelumnya, yang mengabdi
kepada kepentingan internasional demi citra pribadinya, tak digubris.
120
Ada orang yang sosok moralitas pribadinya baik, memiliki standar moral yang tinggi, bersih,
dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh jadi belum tercatat. Kata orang, yang bersangkutan
belum berpengalaman, dan diduga bakal tak sebaik moralitas pribadinya. Apakah dalam
kasus Presiden Jokowi dalil ini berlaku? Apakah terbukti beliau tak pandai melakukan
berbagai “deal“ politik yang penuh tipu muslihat itu?
Strategi terobosan politik untuk menangani kasus polisi dan KPK yang sensitif dan ruwet itu
sama sekali tak terduga. Ini cara semanis Maradona memasukkan gol ke gawang lawan,
dengan bantuan tangan: sesuatu yang tak diperbolehkan. Tapi, dengan jenaka Maradona
berkata, setengah mengakui: kalau toh ada tangan, itu tangan Tuhan.
Untuk membuat semua pihak tak kehilangan muka, langkah Presiden Jokowi jitu, seperti
tindakan orang yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden biar pun sebetulnya belum
berpengalaman.
Tapi, jalan tengah sering menyisakan persoalan lebih serius. Tindakan tak jadi melantik BG
itu manis secara politik, dan lebih manis secara diplomatik, tapi ketegasan hukum tak boleh
dikorbankan. Penegakan hukum wajib diteruskan sampai tidak ada sisa pertanyaan moral
politik yang mengganjal.
Ada media yang menyebut Presiden Jokowi itu tinggal menikmati buah reformasi. Tapi,
bukan hanya itu. Banyak tokoh lain yang merupakan “liability“ dalam derap reformasi dan
menjadi gangguan dan penghalang reformasi. Presiden Jokowi bukan hanya menikmati buah
reformasi. Beliau juga aset bagi reformasi. Standar moral dan etiknya jelas. Moral politiknya
lebih jelas lagi.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
121
Rapuhnya Pilar Negara Koran SINDO 27 Februari 2015
Ibarat membangun rumah besar, Indonesia resmi didirikan dan diakui dunia sejak Agustus
1945.
Mengingat sedemikian luas wilayah dan besar jumlah penduduknya, tiang-tiang atau pilar
yang menyangganya mesti kokoh. Di antaranya adalah pilar angkatan bersenjata yang
bertugas menjaga keamanan dan keutuhan negeri. Dari sisi ini jelas kita kedodoran. Orang
luar yang berniat jahat atau ingin mencuri kekayaan alam kita bisa keluar-masuk dari pintu
mana saja. Berbagai penyelundupan narkoba, perdagangan gelap, dan aktor-aktor terorisme-
radikalisme mudah luput dari pengawasan dan pencegahan.
Lemahnya pilar ini saja sudah merembet ke mana-mana sehingga negara mengalami kerugian
dan kegaduhan sangat besar. Ibarat seorang petani yang memiliki sawah amat luas dan tidak
sanggup mengurus dan merawatnya, maka maling-maling dengan leluasa memungut hasil
kebunnya atau bahkan menduduki tanahnya. Siapa yang mesti disalahkan?
Pilar lain yang juga amat vital adalah bidang pendidikan yang bertugas menumbuhkan dan
mengantarkan warga negara agar cerdas, terampil, berkarakter serta mencintai bangsa, negara
dan masyarakatnya. Dengan demikian, lewat pilar pendidikan masa depan bangsa dan negara
dititipkan. Bagaimana nasib masa depan bangsa ini dipercayakan dan dipertaruhkan pada
pilar pendidikan.
Tapi, lagi-lagi, cerita pendidikan kita sangat mengecewakan baik di tingkat menengah
maupun perguruan tinggi. Indikatornya sederhana saja. Korelasi antara pendidikan dan
kemajuan ekonomi, kompetisi keilmuan dalam percaturan global serta perilaku sosial, politik
dan birokrasi masih jauh dari yang diharapkan.
Setiap tahun negara mengeluarkan anggaran paling besar untuk sektor pendidikan, dari tahun
ke tahun, namun produk yang dihasilkan belum mampu bersaing dengan negara-negara lain
yang lebih kecil populasi dan kekayaan alam serta penduduknya. Berarti ada masalah sangat
serius dengan pilar pendidikan bangsa ini. Begitu banyak faktor non-pendidikan yang telah
merusak dan menghambat agenda penguatan pilar pendidikan.
Lemahnya pilar pendidikan juga berimplikasi pada lemahnya pilar ekonomi bangsa. Meski
Indonesia memiliki sumber daya alam dan penduduk yang melimpah, kini bangsa ini menjadi
pangsa-pasar hasil teknologi asing yang menggiurkan. Sejak dari peralatan anak sekolah,
peralatan rumah tangga, kantor dan automotif hampir semuanya didominasi produk
122
asing. Bahkan juga hidangan di atas meja makan dan peralatan mandi kebanyakan produk
asing. Artinya, aspek industri manufaktur untuk mengelola dan meningkatkan harga jual yang
semua bahan mentahnya kita punya, tapi ternyata mesti melalui tangan asing yang
melakukannya, lalu kita jadi pembelinya. Termasuk juga bahan bakar mobil. Ini realitas yang
menyedihkan dan sudah lama berlangsung. Kapan akan berakhir?
Sebagai negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik juga merupakan
pilar bernegara yang mesti dikembangkan agar sehat dan kuat. Sebagai negara demokrasi,
pemerintahan tidak mungkin terbentuk dan berjalan tanpa adanya multipartai politik peserta
pemilu secara berkala.
Parpol dan pemilu merupakan lembaga mekanisme untuk memperbarui kontrak antara rakyat
dan negara. Rakyat menyerahkan kedaulatannya lewat parpol untuk diteruskan pada negara,
lalu negara membayar kembali dengan memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada
warganya melalui pemerintahan yang terbentuk. Pemerintah itu asalnya dari rakyat,
mengemban amanat rakyat, namun bekerja atas nama negara dan digaji oleh negara. Dalam
kinerjanya, pemerintah diawasi oleh wakil rakyat yang terhimpun dalam lembaga DPR. Jadi,
secara teoretis pilar bernegara itu sudah lengkap dan tertata rapi.
Di samping yang disebut di atas, masih terdapat pilar lain berupa lembaga tinggi negara yang
secara teoretis berperan memperkukuh serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi, pertanyaan, keluhan dan gugatan yang selalu muncul adalah, mengapa kondisi
bangsa, masyarakat dan pemerintahan kita tidak enak dilihat, didengar dan diikuti sepak
terjangnya? Mengapa kemiskinan dan pelanggaran hukum serta etika sosial mudah sekali
dijumpai di mana-mana? Bahkan sebagian rakyat menilai telah terjadi pembajakan dan
pengkhianatan kedaulatan dan mandat rakyat yang telah diberikan kepada para wakilnya dan
aparat negara. Berbagai pilar bernegara tadi yang sekarang paling heboh dan menimbulkan
kekecewaan rakyat adalah pilar partai politik dengan berbagai implikasi dan turunannya.
Di negara yang telah mapan dan kokoh pilar-pilarnya, yang terjadi adalah pilar tadi saling
menyangga dan memperkuat yang lain, tak ubahnya bangunan rumah yang masing-masing
tiang saling menyangga. Tetapi jika ada tiang utama yang keropos, bengkok dan patah, maka
akan sangat membahayakan dan mengganggu tiang yang lain. Bebannya menjadi berat dan
bisa membuat rumah ambruk.
Demikianlah, yang mengemuka di negeri ini pilar politik malang-melintang membuat repot
pilar lain. Kinerja dunia pendidikan, keamanan, ekonomi, infrastruktur diintervensi oleh
tangan-tangan politik sehingga prinsip akuntabilitas dan profesionalisme tidak berjalan.
Padahal mekanisme pelimpahan kedaulatan rakyat pada negara dilakukan melalui medium
parpol peserta pemilu.
Di sini terjadi ironi dan deviasi yang dilakukan oleh dunia parpol yang memikul mandat dan
kepercayaan rakyat untuk membangun dan memajukan kehidupan bernegara, yang terjadi
adalah perusakan kaidah-kaidah hukum dan etika bernegara yang merupakan produk dari
123
demokrasi dengan aktor utamanya parpol.
Melihat parpol yang sakit, maka pilar lain mesti berdiri kokoh dan berani melawan tangan-
tangan politik yang hendak memperlemah pilar lain. Jajaran eksekutif meskipun awalnya
utusan dan usulan parpol, begitu duduk sebagai aparat pemerintah mereka adalah mengemban
amanat rakyat yangdilimpahkan pada negara, bukan lagi pekerja dan anak buah partai.
Jumlah rakyat jauh lebih banyak ketimbang elite-elite pimpinan parpol. Mereka ini yang
memiliki kedaulatan primer dan ibu kandung yang melahirkan negara.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
124
Di Situ Saya Kadang Merasa Sedih
Koran SINDO
Minggu, 1 Maret 2015
Itulah ungkapan dari seorang polwan, Brigadir Dewi Sri Mulyani, yang tiba-tiba menjadi
fenomenal dan menarik perhatian jago speech composing Eka Gustiwana.
Ungkapan itu pun jadi speech composing yang makin menarik untuk disimak. Termasuk
antara lain, ”Lagi enak-enak makan, tiba-tiba lidah kegigit... di situ kadang saya merasa
sedih” atau ”Saat buka ciki, tapi cikinya tumpah semua ... di situ kadang saya merasa sedih”
atau ini yang paling seru, ”Pas udah pup, pas mau cebok gak ada air .... di situ kadang saya
merasa sedih”.
Eka mengunggahnya di media sosial pertama kali pada tanggal 22 Februari 2015. Empat hari
kemudian, waktu saya menulis artikel ini, sudah di-like oleh 1.363 orang dan 23 dislike serta
ditonton oleh 42.967 viewer. Saya sendiri sudah agak lama menonton ungkapan Brigadir
Dewi itu, sebagai bagian dari iklan acara 86 (Operasi Polisi) di salah satu stasiun TV.
Tapi fenomena Brigadir Dewi bukan yang pertama, apalagi satu-satunya. Pada tahun 2011
kita juga pernah dihebohkan oleh fenomena Brigadir Satu (Briptu) Norman, anggota Brimob
di Gorontalo, yang tiba-tiba mencuat menjadi penyanyi dangdut yang sangat terkenal hanya
gara-gara dia lipsing lagu India Chaiyya... chaiyya di pos jaga dan diunggah oleh temannya
ke Youtube. Dari sanalah dia mendapat sambutan luar biasa dari pengguna Youtube sehingga
akhirnya dia diundang ke Jakarta untuk perform di Jakarta.
Mula-mula masih izin atasan, tampil berseragam Brimob, didampingi perwira-perwira
atasannya yang ikutgembira karena ada polisi yang bisa menghibur masyarakat. Tapi lama-
lama Briptu Norman tidak betah dikawal atasan terus, maka dia ke Jakarta untuk rekaman
tanpa izin sehingga dia kena ganjaran dipecat dan sekarang jadi tukang bubur manado di
kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, dan hampir tidak ada lagi yang kenal, apalagi ingat sama
dia.
Brigadir Dewi suatu saat sudah pasti akan dilupakan juga walaupun dia tidak akan terjebak
dalam kasus desersi yang bisa memutus kariernya. Namun yang sebenarnya saya ingin cerita
bukan tentang polisi, karier polisi atau bahkan oknum polisi. Juga bukan soal polisi versus
KPK. Yang ingin saya bahas di sini adalah tentang fenomena meme di media sosial.
Suatu gejala yang baru tahun-tahun terakhir ini saja terkenal dan dipakai meluas mulai dari
kaum elite masyarakat papan atas sampai ke tukang gorengan, anak sekolah, PRT (pembantu
rumah tangga), dan siapa saja yang bisa punya HP yang sekarang harganya hanya lebih
125
mahal sedikit dari gratis.
***
Zaman dulu sekali, di awal Republik Indonesia baru berdiri, setiap tanggal 17 Agustus Bung
Karno berpidato di Istana Negara dan disiarkan melalui radio ke seluruh Indonesia. Tidak
tanggung- tanggung, pidatonya bisa sampai tiga jam dan orang pun tekun mendengarkan dan
selama setahun berikutnya, apa yang dipidatokan itu akan menjadi arahan atau pedoman
hidup seluruh bangsa Indonesia.
Di zamannya Pak Harto sudah ada TV yang mulai beroperasi sejak masa akhir pemerintahan
Bung Karno. Tapi TV waktu itu dikelola oleh satu stasiun saja, yaitu TVRI yang merupakan
TV pemerintah. Jadi informasi masih terpusat di tangan pemerintah. Setiap ada masalah,
Menteri Penerangan Harmoko menghadap Presiden Soeharto ke Istana atau Binagraha.
Keluar dari Binagraha, Menteri Harmoko akan mengumumkan melalui TVRI petunjuk Bapak
Presiden, yang selanjutnya akan dijadikan pedoman oleh segenap lapisan masyarakat.
Jadi sampai di situ pemerintah masih jadi penentu terpenting dalam pembentukan opini
masyarakat. Situasi berubah ketika Indonesia mulai mengenal TV swasta dan radio-radio
swasta. Bersama dengan koran-koran dan majalah yang sudah lebih dahulu ada, media baru
ini disebut media massa yang bisa menyebarluaskan berita dan opini di luar pemerintah,
tetapi masih dikendalikan oleh beberapa institusi tertentu (Dewan Pers, Persatuan Wartawan
Indonesia, asosiasi jurnalis, asosiasi TV swasta, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia, perusahaan-perusahaan pemilik media massa, UU, Kementerian Kominfo, dll).
Tapi situasi betul-betul berubah setelah media sosial berkembang melalui teknologi internet.
Media ini adalah media komunikasi lewat internet yang terbuka, siapa saja bisa berhubungan
dengan siapa saja, ngomong tentang apa saja. Di sini pemerintah sudah hampir tidak punya
kendali sama sekali di bidang informasi. Pendapat publik yang dulu mengerucut pada arahan
Presiden atau pemerintah sekarang sangat simpang siur. Apa saja bisa jadi opini.
Di situlah Brigadir Dewi dan Briptu Norman bisa seketika naik daun, tetapi juga cepat hilang
turun lagi. Apalagi media massa selalu membutuhkan sumber berita, maka apa pun yang
tersiar di media sosial cepat sekali diunggah ke media massa. Begitu sudah masuk media
massa, fenomena itu cepat ditularkan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke
kelompok lain.
Itulah yang disebut meme, yaitu gagasan, ide, mimik atau gerak yang cepat tersebar dan ditiru
melalui jalur komunikasi budaya. Ketika jalur itu berevolusi makin cepat, perubahan sosial,
politik, dan budaya lewat meme ini pun bertambah cepat. Bukan hanya cepat, tetapi juga tak
terkendali arahnya, dia bisa lari ke mana saja.
Penyanyi-penyanyi yang ngetop hari ini banyak yang mengawali debutnya melalui Youtube.
Para koordinator lapangan aksi-massa mengerahkan massanya cukup lewat Whatsapp dengan
126
menggunakan berbagai bentuk pesan melalui media sosial, termasuk meme.
Tapi kawanan geng motor, begal, ISIS, dan teroris juga menggunakan meme yang disebar
melalui berbagai media sosial seperti Facebook, website, blog, Twitter, BBM, Path,
Instagram, dan entah apa lagi untuk memengaruhi pikiran publik.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
127
Hujan Batu di Musim Paceklik
Koran SINDO
2 Maret 2015
Batu merupakan benda yang memiliki watak yang keras, berfungsi untuk membangun
keseimbangan di tengah kelabilan tanah, baik yang ada di laut, di gunung, di bukit, di sungai
maupun di daratan.
Dalam sejarah peradaban manusia, batu memiliki peran yang sangat penting untuk menjadi
bagian dari kehidupan keseharian masyarakat kita. Kita pernah memasuki zaman batu atau
paleolitikum di mana masyarakat menggunakan perkakas batu sebagai alat untuk
mengumpulkan nafkah kehidupan keluarga. Membelah kayu menggunakan perkakas batu,
menumbuk menggunakan perkakas batu, memotong daging hewan menggunakan perkakas
batu, serta berbagai aktivitas pertanian dan berburu lainnya sampai menciptakan api juga
menggunakan batu.
Seiring dengan kemajuan perkembangan manusia, batu tak lagi menjadi teman keseharian
masyarakat. Secara umum lebih banyak digunakan untuk kepentingan pembangunan
infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, irigasi, gedung hingga peranti infrastruktur lainnya
yang tidak pernah terlepas dari kekokohan batu. Peradaban masa lalu biasanya meninggalkan
jejak yang tidak lapuk oleh perjalanan waktu dan musim. Batulah yang menjadi saksi sejarah
bagi setiap temuan penelitian.
Batu bagi masyarakat Sunda juga mencerminkan watak kepemimpinan yang menggariskan
lekuk peradaban. Batu Tulis di Bogor merupakan peranti peninggalan sejarah Kasiliwangian;
seorang raja yang adil telah berhasil meletakkan telapak kaki pada benda yang cukup keras.
Artinya seorang pemimpin dengan keyakinan dan kerja kerasnya akan mampu meninggalkan
jejak sejarah yang cukup kuat bagi kehidupan anak-cucunya di masa depan dengan berpegang
teguh pada kelembutan hati, kehalusan jiwa yang dalam istilah keseharian masyarakat Sunda
disebut Siliwangi: Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih.
Kekuatan kelembutan kepemimpinan akan mampu merajut kehidupan yang beradab. Lembut
dalam kata-kata tak berarti dia lemah dalam pengambilan keputusan. Dalam sejarah
peradabannya, para raja dahulu selalu meninggalkan karya sastra. Di balik karya sastra itu
berdirilah masjid yang kokoh, candi yang megah dan indah, daerah aliran sungai yang tertata
serta kehidupan masyarakat yang beradab.
Ucapan seorang adalah seperti pisau terhunus dengan ujung yang tajam, hanya akan
melahirkan genderang peperangan tanpa henti. Kita pahami bersama bahwa peperangan tak
128
pernah melahirkan kemakmuran, yang lahir adalah penderitaan. Sesejahtera-sejahteranya
masyarakat berperang, adalah semiskin-miskinnya masyarakat dalam kehidupan damai.
***
Kalau bercerita tentang peperangan, Ma Icihlah pakarnya. Dengan mata yang berkaca-kaca,
suara lirih Ma Icih terdengar, ”Ema pernah ngalamin hidup susah pake baju dari karung,
kalau ada pesawat tempur harus masuk lubang sambil ngegél (menggigit) karet. Makan
cukup dengan bodogol (bonggol) pisang. Ah, pokonya mah riweuh (merepotkan)... di sawah
tidak tenang, di rumah tidak tenang, di pasar tidak tenang.”
“Makanya Ema pusing kalau lihat pemimpin dan para elite kerjanya bertengkar aja. Kapan
mau ngebangunnya, sementara kehidupan semakin sulit. Habis hujan jalan pada bolong, gas
tilu kilo (tiga kilo) langka di pasaran dan harganya jadi mahal, harga béas apung-apungan
(harga beras melambung).”
“Kan tidak mungkin seluruh masalah ini diselesaikan kalau di antara elite dan pemimpin
terus berbeda paham atau berbeda pendapat. Ema malah curiga, jangan-jangan perbedaan
pendapat ini terjadi karena di antara para pemimpin dan elite beda pendapatan ... Kalau
pendapatannya sudah sama, mungkin tak ada lagi perbedaan paham.”
“Cuman masalahnya satu, mereka tak lagi menjadikan Ema sebagai alasan untuk mengajukan
berbagai hak seperti hak angket yang berujung interpelasi. Teuing nanahaon eta teh ... (entah
apa itu maksudnya).”
Kalau bicara masalah hak, justru hak Ema yang selama ini hilang; hak mendapatkan jalan
yang baik, hak kalau malam bisa tidur nyenyak tanpa harus takut kemalingan, hak mendapat
listrik yang tidak sering mati kalau ada hujan, hak mendapat pasokan air bersih, ditambah lagi
Ema juga pusing karena hak sepatu Mang Udin yang copot, sedangkan tukang sol sepatu
langganan Mang Udin yang biasa mangkal di pinggir jalan hari ini tidak ada, katanya
diangkut petugas. Padahal orang Garut berhak juga untuk hidup di Jakarta.
Saat ini Ema juga semakin sedih karena hak Ema untuk mendapat perhatian dan kasih sayang
dari Mang Udin akhir-akhir ini semakin kurang Ema dapatkan. Mang Udin saat ini hari-
harinya habis untuk mencari batu-batu baru; batu kecubung, batu bacan, batu pancawarna,
zamrud, safir, jala sutra, biduri.... Mang Udin sekarang ini lebih sering ke sungai, ke gunung,
ke laut mencari batu idamannya.
Tak peduli hujan, angin, petir, pokona mah siga nu kaédanan we (pokoknya seperti yang
tergila-gila saja).... Kalau pulang sok gagaradah kana kutang (menggeledah baju dalam)
Ema. Bukan hendak melakukan petualangan cinta anak muda, tapi dia minta uang untuk
membuat watang (batang cincin). Nggak tahu sudah berapa puluh batu tersimpan di rumah.
Hari-hari Ema dilanda kesepian karena sentuhan lembut Mang Udin sama Ema makin jarang
Ema rasakan.
129
Mang Udin sibuk menggosok batu ke celana pangsinya sambil berkata penuh janji manis,
”Dengarkan, Ma ... ini batu bacan, bukan batu sembarangan. Kalau peruntungannya sudah
tepat, harganya bisa mahal. Bukan hanya puluhan ribu, tapi bisa jutaan bahkan miliaran. Kita
bisa kaya dengan menjual batu ini.”
Ceuk (kata) Ema sama Mang Udin, ”Mahal sotéh lamun dipakéna ku Pa SBY, leungeunna
bersih, cicingna mun kumpulan téh di hareup. Lamun pidato kasorot ku lampu buburinyayan,
jadi hargana mahal sabab nu makéna jelema terkenal. Tapi lamun dipaké ku manéh, unggal
poé ukur buburuh macul, ramona hideung, lamun aya kumpulan diuk pangtukangna. Dipoto
dinu medsos gé kalahka rumeuk. Saha atuh nu rek meulina?” (Mahal itu kalau dipakai oleh
Pak SBY, tangannya bersih, dalam pertemuan duduknya di depan. Kalau sedang pidato
tersorot lampu tampak berkilauan, jadi harganya mahal karena yang memakai orang terkenal.
Tapi kalau kamu yang pakai, yang tiap hari cuma buruh nyangkul, jarinya legam, kalau
duduk dalam pertemuan paling belakang, difoto di medsos juga malah buram. Siapa dong
yang mau membelinya?)
Ma Icih melanjutkan, ”Ngomongnya juta miliar dari batu ali (cincin) kesayangan, kalau
makan enak ternyata sama sambel anu direkuh di coét batu ku mutu batu. Asa teung-teuingan
manéh mah Udin, cul dogdog tinggal igel... Nu lain dienya-enya, nu enya dilain-lain... Ari
batu ali nu can tanggu manfaatna ditareangan, ari coet batu di imah geus sapuluh taun teu
diganti tepi ka beulah embung meuli nu anyar.” (Ngomongnya juta miliar dari batu cincin
kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambal yang dihaluskan pakai ulekan batu di
atas cobek batu. Keterlaluan kamu Udin... yang palsu dianggap asli, yang asli dianggap
palsu... Batu akik yang belum tentu manfaatnya terus dicari-cari, tapi cobek batu di rumah
yang sudah sepuluh tahun ada di rumah hingga terbelah enggan membeli yang baru).
“Kalau lihat kelakuan Mang Udin, Ema khawatir nanti taman-taman tak indah lagi, bangunan
tanpa fondasi, jalan tanpa landasan, dan dapur bisa berhenti nyambel, karena tak ada lagi
pengrajin coét (cobek) batu, pengrajin mutu (ulekan) batu, pembuat jubleg batu, kuli batu
belah, kuli batu biskos, dan kuli abu batu... semuanya beralih profesi menekuni batu akik
yang lebih menjanjikan. Walah... bisa bahaya yeuh.”
***
Walaupun Ema kesel sama Mang Udin, karena kecintaannya sama batu ali hampir melupakan
cintanya sama Ema, tapi Ema menentang juga kalau yang mengatakan make batu ali itu
musyrik karena mencintai batu ali adalah mencintai kebudayaan dan kekayaan kita sendiri.
Ema tak habis pikir kalau Mang Udin pake gelang bahar ditertawakan, dianggap preman
kampung.
Kalau pake batu ali dan bakar kemenyan dianggap dukun dan dimusyrikkan. Tapi ketika
orang bangga pake gelang giok impor yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit, terus
pake minyak wangi impor, ngga ada tuh yang mengatakan musyrik. Jadi Ema berpandangan,
kemusyrikan itu hanya diperuntukkan bagi kebudayaan kita.
130
Kadang Ema bingung, kok pendapat tentang kemusyrikan hanya diperuntukkan bagi produk
budaya dalam negeri, tapi tidak berlaku untuk produk budaya asing. Palebah dieu mah Ema
teu ngarti (di bagian ini Ema tidak mengerti)....
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
131
Defisit Moral Bernegara
Koran SINDO
Jum'at, 6 Maret 2015
Rabu kemarin saya danYudi Latif diundang diskusi di kantor Wantimpres (Dewan
Pertimbangan Presiden) berbicara tentang Pancasila dan Kebangsaan. Tanpa ada kompromi
sebelumnya, ternyata kami berbicara dengan kesimpulan yang sama.
Bahwa Pancasila sebagai ideologi bernegara, itu sudah selesai. Yang memprihatinkan adalah
justru nilai-nilai Pancasila yang pernah tumbuh dalam masyarakat dan menjadi panduan serta
spirit para generasi awal Republik ini semakin terkikis. Nilai-nilai kemanusiaan yang
berketuhanan, berkeadilan, dan berorientasi kerakyatan semakin menipis, ditinggalkan dan
dikhianati.
Kita mengalami defisit moral-ideologis dalam berbangsa dan bernegara. Tabungan moral
warisan para pendahulu semakin menipis, sementara kita tidak melakukan reinvestasi moral
untuk kita wariskan pada generasi penerus.
Jika di sana terdapat sekian banyak teori kepemimpinan, salah satu teori yang disepakati
bersama adalah memimpinlah dengan keteladanan. Pemimpin yang memberikan suri teladan
ini semakin sulit ditemukan. Para pendiri Republik ini adalah para politisi dan sekaligus juga
negarawan. Mereka biasa berbeda dan bertengkar tentang pandangan politiknya. Namun,
etika politik tetap dijaga dan kepentingan bangsa-negara di atas kepentingan serta loyalitas
politik golongan.
Sekarang ini yang terjadi sebaliknya. Orang rela mengorbankan kepentingan rakyat dan
negara demi kepentingan diri dan kelompoknya. Fungsi hukum yang sedianya untuk menjaga
keadilan dan melindungi warga agar tidak dizalimi orang lain, kadang kala yang terjadi
adalah mempermainkan hukum, dengan otoritas dan jabatan yang dimiliki, untuk
membenarkan yang salah semata karena kepentingannya terganggu.
Yang menyedihkan, defisit moral politik ini juga melanda lingkungan parpol yang merupakan
tulang punggung dan aktor demokrasi serta pemasok politisi serta pejabat negara. Banyak
kader parpol yang masuk penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Lalu parpol juga
terjangkit perpecahan antarelitenya.
Setiap ada musyawarah atau kongres nasional untuk pergantian pimpinan, selalu beredar
uang untuk membeli loyalitas dan membeli suara dukungan. Ini realitas politik yang pahit
dilihat dan diterima. Ketika idealisme dan etika politik tak lagi tumbuh di lingkungan parpol,
kelanjutannya panggung negara juga terkena imbasnya karena dalam era demokrasi yang
132
namanya pemerintah adalah panggung bagi wakil-wakil parpol.
Masyarakat sekarang ini merasa semakin sulit menunjuk politisi yang bisa dijadikan suri
teladan baik secara moral maupun intelektual. Dahulu para aktivis dan pejuang politik adalah
juga pencinta ilmu. Mereka rata-rata pencinta buku sehingga terlihat keluasan wawasannya.
Tentu saja sekarang masih ada yang memiliki kualitas seperti itu. Namun terasa semakin
langka.
Yang menonjol sosok politisi adalah juga pemain bisnis dan pelobi. Ketika seseorang masuk
ranah politik praktis, yang ada di benaknya adalah kalkulasi untung-rugi secara ekonomi.
Seorang politisi adalah juga seorang pelobi yang berlangsung di belakang layar. Yang
kemudian keluar ke publik hanyalah beberapa pernyataan singkat tanpa wawasan intelektual
dan kenegarawanan, bahkan sering membingungkan rakyat.
Belakangan ini terjadi dinamika dan akrobat politik yang membuat rakyat bingung, kecewa,
dan lelah. Pra-pemilu massa terbagi menjadi dua kelompok pendukung, yaitu Koalisi Merah
Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tetapi ketika Presiden Joko Widodo
(Jokowi) mengusulkan Budi Gunawan menjadi kapolri, suara KMP mendukung kebijakan
Jokowi, sementara suara KIH sangat kritis pada Jokowi. Padahal, Jokowi jadi presiden
diusung oleh KIH. Pelajaran dan tontonan politik apa yang hendak disampaikan pada rakyat?
Yang juga menyedihkan adalah lembaga KPK yang masih mendapat dukungan tertinggi
rakyat, justru mengalami pingsan di saat Jokowi pilihan rakyat menjadi presiden. Kalau
Presiden Jokowi tidak segera mengambil kebijakan tegas pro-rakyat, kepercayaan rakyat
pada pemerintah pasti akan menurun.
Jadi, bermula dari defisit moral berbangsa dan bernegara, eksesnya bisa ke mana-mana.
Bangsa ini akan kehilangan momentum untuk bangkit dan maju. Kekompakan gerak bersama
antara pemerintah dan rakyat tidak terjadi. Kriminalitas dan radikalisme akan muncul di
mana-mana.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
133
Mengubah Perilaku Bangsa
Koran SINDO
Jum'at, 6 Maret 2015
KORAN SINDO menurunkan Tajuk berjudul ”Negeri Gaduh” (28/2/15). Sorotan terhadap
realitas politik, sosial, hukum, anggaran, dan kriminalitas cukup merepresentasikan kondisi
negeri ini sebagai negeri gaduh.
Konflik Polri versus KPK terus berulang dan berkepanjangan, tak jelas muaranya. Terlepas
dengan sikap yang telah diambil Presiden, kita tidak begitu yakin penegakan hukum di negeri
ini semakin membaik. Tidak lain karena perilaku bangsa sudah telanjur korup. Sungguh
dikhawatirkan, aktivitas pemberantasan korupsi masih terkendala karakter bangsa dan
berbagai implikasi negatif konflik laten tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa karena kegaduhan itu, energi bangsa terkuras, para pejabat dan
aparat negara tidak fokus menjalankan tugas. Fungsi-fungsi penting yang merupakan tugas
pokok masing-masing bahkan sering diabaikan dan ditinggalkan. Pelayanan publik jadi
kurang baik dan tentu saja merugikan masyarakat.
Pada hemat saya, untuk mengubah negeri ini dari gaduh menjadi teduh, perlu diawali dengan
mengubah perilaku bangsa, dari korup menjadi jujur, dari kufur menjadi syukur. Kita sadar
bahwa keinginan sebagian besar masyarakat agar kegaduhan segera diakhiri masih sulit
terwujud. Ini semua bukan pekerjaan mudah dan sederhana, melainkan pekerjaan berat dan
kompleks. Tidak lain karena perilaku kufur dan korup telah mewabah, merambah berbagai
kalangan penyelenggara negara maupun warga negara, di pusat maupun daerah.
Kasus-kasus yang dideskripsikan Tajuk tersebut sarat dengan perilaku nista pihak-pihak
terkait. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan korupsi. Ahok berseteru
dengan DPRD DKI karena dugaan anggaran siluman. Begal sepeda motor dibakar karena
masyarakat habis kesabarannya. Ego individu, ego kelompok, maupun ego kelembagaan
justru dipertontonkan para elite tanpa rasa bersalah, tanpa upaya pengendalian diri dan
introspeksi. Dengan mengedepankan ungkapan ”politik itu dinamis”, perilaku politisi sulit
dipegang konsistensinya. Orang Jawa bilang: ”esok dele, sore tempe, alias leda-lede, mencla-
mencle”.
Secercah sinar terang muncul ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan tekadnya untuk
melakukan revolusi mental. Dalam rangka mengubah perilaku bangsa, pemerintah sudah
menyediakan dana Rp149 miliar untuk anggaran revolusi mental. Dana sebesar itu akan
digunakan untuk kampanye ubah perilaku misal melalui iklan, film, dialog publik, dan
134
menyuruh tokoh-tokoh agama bicara perubahan perilaku. Dana diberikan kepada
Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan dan pelaksanaannya akan
dibagikan kepada kementerian-kementerian terkait.
Akankah revolusi mental berhasil, sementara program dan indikator keberhasilannya belum
jelas?
Sekadar urun-rembuk, revolusi mental sebenarnya dapat disederhanakan sebagai program
pengubahan perilaku bangsa agar senantiasa mengedepankan perilaku syukur atas dua hal
yaitu: (1) rahmat Tuhan berupa kemerdekaan, dan; (2) penguasaan tanah, air, serta sumber
daya alam melimpah. Syukur di sini dalam maknanya ”menggunakan atau mengolah nikmat
yang dilimpahkan Tuhan sesuai dengan tujuan dianugerahkannya”.
Sebagai bangsa, kita yakin dengan daya kreasi atau inisiasi yang melekat pada jiwa setiap
warga negara bahwa kemerdekaan dapat dijadikan peluang untuk membangun negara.
Sumber daya alam melimpah, laksana jamrud khatulistiwa, bila digunakan dan diolah bangsa
sendiri secara bijak, pastilah mendatangkan kesejahteraan berkelanjutan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Cinta Tanah Air dan berdaulat atas negeri sendiri merupakan manifestasi perilaku syukur dan
keberhasilan revolusi mental. Boleh jadi kita galau, resah, gelisah melihat realitas bahwa
neokolonialisasi negara atau perusahaan asing atas negeri ini semakin membelenggu. Utang
luar negeri terus bertumpuk. Data terbaru Bank Indonesia yang dirilis 19 Februari 2015 per
kuartal keempat 2014 sebesar Rp3.759 triliun. Sektor keuangan, industri pengolahan,
pertambangan, listrik, gas, dan air bersih menjadi penyumbang utang terbesar swasta.
Dalam penguasaan sumber daya alam, Freeport menguasai emas, tembaga, dan hasil tambang
lain di Bumi Cenderawasih, sementara pemerintah hanya memperoleh 10% dari seluruh
hasilnya. Hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dibagi-bagi melalui hak
pengelolaan hutan kepada para petinggi dan dikerjasamakan dengan perusahaan asing.
Negara hanya memperoleh bagian sekitar 20% dari iuran hasil hutan dan pajak. Dari tambang
batu bara dan hasil tambang lain, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara 70%
lainnya menjadi hak pemegang konsesi.
Data kasar tersebut cukup memberi gambaran bahwa kita belum berdaulat atas negeri sendiri.
Dalam perspektif teologi hukum, gelisah atas nasib negeri merupakan bagian dari siksa
Tuhan di dunia. Mengapa bangsa ini disiksa? Tentu karena pelanggaran terhadap norma-
norma yang ditetapkan-Nya. Nafsu menumpuk harta, ingin cepat kaya, ingin langgeng
berkuasa, adalah contoh-contoh perilaku nista yang dibenci Tuhan dan makhluk-Nya.
Apalagi, seiring bergolaknya nafsu duniawi, hukum direkayasa melalui aktivitas politik dan
bisnis, agar perilakunya seolah-olah legal, padahal yang demikian itu amoral. Di dalam
Pancasila, nilai-nilai keadaban dan keadilan menjadi dasar dan sumber membentuk perilaku
syukur.
135
Pada jiwa manusia beradab tertanam budi luhur dan melalui pendayagunaan cipta, rasa, dan
karsanya dihasilkan kebudayaan. Perilaku korup, jelas bukan budaya, bukan lahir dari
keluhuran budi, melainkan mentalitas sesat dan rakus terhadap uang negara. DPR, Polri, dan
Badan Pertanahan Nasional ditengarai merupakan lembaga-lembaga terkorup, sementara
KPK tergolong lembaga paling bersih. Barangkali akan efektif bilamana revolusi mental
diprioritaskan terhadap lembaga-lembaga negara terkorup tersebut.
Perubahan perilaku bangsa dapat diamati keberhasilannya ketika dari hamparan laut luas,
segenap komponen bangsa dapat makan ikan segar dengan harga murah, memakai perhiasan
nan indah, dapat berlayar dengan aman dan nyaman, serta menikmati indahnya mata hari
terbit maupun tenggelam. Wallahualam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
136
Kesadaran Mengenai Waktu
Koran SINDO
Sabtu, 7 Maret 2015
Dalam pandangan Hindu-Buddha, yang ikut masuk ke salah satu pandangan Nusantara dalam
paham Jawa mengenai waktu, dibagikanlah empat periode. Simbolismenya adalah yang
berharga dalam peradaban saat ini yaitu emas, perak, perunggu, dan besi.
Zaman sejahtera atau emas dinamai zaman kritea, secara batin penghayatan darma itu utuh
dan kesadaran menghayatinya untuk hidup 100% ke bakti atau darma. Inilah zaman emas.
Zaman tritea adalah saat waktu adalah periode perak di mana masih dua pertiga atau 70%
orang-orang berkesadaran menghayati waktu sebagai darma bakti, baik untuk dunia maupun
sesama.
Ketika kesadaran darma pecah mendua dan 50% ke arah positif serta 50% ke negatif zaman
ini disebut dwaparwa atau dua kecondongan ke kehidupan yang berdarma atau
sebaliknya. Oleh karena itu, daya energi yang dalam bahasa modern disebut prokehidupan
tepat selalu berada dalam lawan energi yang anti kehidupan atau anti memberikan darma.
Inilah periode bersimbol perunggu.
Zaman berikutnya ada masa waktu kacau atau chaos yaitu kaliyuga. Pada masa ini hanya
tinggal sepertiga kesadaran menghayati hidup berdasar darmanya. Cirinya: orientasi ke darma
atau menghayati hidup untuk memperindahnya, pemuliaan sudah dikalahkan oleh hasrat
penghancurannya, memayu hayuning bawana hanya slogan kosong tanpa laku tindakan.
Kaliyuga sebagai periode disorientasi darma disimbolkan besi yang tidak berharga. Yang
terus diambil oleh pujangga-pujangga Jawa sebagai peringatan untuk waspada, dalam hal ini
seperti Ronggowarsito yang terkenal dengan tafsir kaliyuga sebagai masa yang tidak ikut-
ikutan edan ora komanan (baca: yang tidak ikut gila tidak akan kebagian).
Orang-orang kacau arah hidupnya dengan mengejar pemenuhan hasrat-hasratnya untuk
berkuasa, untuk serakah. Dalam situasi seperti ini, masih berbahagialah orang yang tetap
sadar dan waspada untuk tidak hanyut dalam gelombang gila ini.
***
Paham periodisasi waktu di atas menarik untuk dibandingkan sebagai cermin dengan
kesadaran waktu di pandangan-pandangan dunia lain. Ketika seorang Chairil Anwar penyair
Indonesia awal pascaperiode pra-Indonesia berteriak untuk zamannya dengan ”kalau sampai
137
waktuku, ku mau tak seorang pun kan merayu, tidak juga kau” (sajak senja di pelabuhan itu),
maka sang waktu bagi Chairil dipahami sebagai perjalanan aktif manusia subyek untuk
menentukan ziarah hidupnya di dunia ini. Apalagi sajak terkenalnya sebagai ”aku binatang
jalang dari kumpulan terbuang”, para penafsir sastra meletakkan Chairil Anwar sebagai
eksistensialis, pelaku yang tidak menyerah pada siklus waktu namun menentukan langkahnya
dalam waktu.
Apakah empat periodisasi Nusantara khususnya Jawa di depan merupakan penghayatan
waktu sebagai roda berputar, di mana lingkaran hidup dihayati sebagai siklus dari masa emas
sampai masa besi kacau dan berputar lagi ke silih berganti, asalkan manusia menyadari siklus
itu dengan waspada sadar?
Sebenarnya sistematisasi ilmu kebudayaan dan filsafatnya yang berdasar lapangan induktif
pengalaman menghayati waktu lalu mengabstraksikannya dan membuatnya kategori-kategori
secara deduksi dengan akal budi rasional, pandangan waktu yang satu siklus sedang yang
kedua linier. Yang siklus, orang mengikuti jalan putar waktu, menghadapinya dengan
penyesuaian batin, sedang yang linier, manusia menaruh diri sebagai subjek sadar yang
menentukan detik, menit, tahun untuk menentukan langkah hidupnya.
Ketika ilmu sebagai sistematisasi logis, rasional dengan menegaskan pentingnya kombinasi
antara mendekati realitas waktu dari lapangan nyata dalam fenomena-fenomenanya baik
siklis maupun linier dan merangkumkannya sebagai paradigma teoritik abstrak, maka antara
praksis di lapangan dan teori harus simbiosis, saling memberi daya dorong pengolahan
fenomena-fenomena lapangan menjadi pandangan hidup lalu diterapkan ke lapangan dan
diuji baru untuk paradigma-paradigma baru.
***
Mengapa kesadaran mengenai waktu di antara kita perlu ditajamkan dan dijadikan titik tolak
menguji banyak perilaku aneh kita? Pertama, menyadari sang waktu sebagai berharga itu
banyak tafsir maknanya. Ada yang menafsir dan menghayati dari dalam, intrinsik dari batin
waspada sadarnya untuk selalu sadar waktu jangan tergesa-gesa tanpa renungan alias
mendahului saat suci seperti petuah ojo ngece mongso.
Namun, pribadi-pribadi yang transisional belum mengolah kesadaran waktunya lalu jalan
pintas meloncat ikut-ikut ke tafsir time is money atau waktu adalah uang tanpa olahan, akan
menerobos tanpa waspada budi untuk melintasi paksa palang-palang keselamatan pintu-pintu
lintasan kereta api. Aneh sekali, demi nyawanya sendiri, ia tidak bisa sabar hening menunggu
10-20 menit. Nekat menerobos untuk apa? Mengejar waktu adalah uang? Terburu-buru?
Padahal setelah menerobos terjadilah kecelakaan. Padahal yang berhasil nekat lalu setelahnya
mengobrol dan bergosip ria alias membuang waktu kualitatif tetapi menghayati tanpa nilai
waktu kuantitatif.
138
Kedua, kita ini sebagai bagian sejarah Nusantara yang menjadi Indonesia hampir 70 tahun,
sehingga osmosis kesadaran waktu dalam kearifan-kearifan lokal kemajemukan tentang
waktu harus didialogkan terus-menerus dengan apresiasi waktu zaman linier, kalender-
kalender baru yang tidak siklis.
Artinya, yang berharga dari misalnya kesadaran manusia Bali dengan pandangan dunianya
yang mengenal kearifan trimatra desa: ruang; kala: waktu; dan rasa intuisi taksu sebagai
patra harus bertemu menjadi proses sintesis, kalau itu ada tesis, lalu antitesis atau osmosis
mengambil yang baik lalu dikawinkan dengan yang baru.
Dengan kata lain, proses diri sebagai bagian dari semesta dalam kesadaran waktu siklis
memang harus diterima sebagai bagian pelaku yang sama ketika masuk ke kesadaran waktu
linier di mana subjek itu penentu waktu. Apakah strukturalis harus terus menerus dialog
dengan subjek-subjek mentalis yang sadar diri? Jawabnya: pasti.
Karena itu, usaha-usaha proses menyadari Nusantara menjadi Indonesia dalam renung
kesadaran mengenai waktu sama dengan perjalanan locus genius dengan pengendapan
kearifan-kearifan lokal dan maju dalam peradaban pencerahan budi dan jernih nurani untuk
merajut kebijaksanaan hidup universal secara harkat manusia dan global (dalam makna
terbatas rasional ekonomis).
Ketiga, berdasarkan tiga kata-kata kunci peradaban yang mencatat kesadaran waktu manusia
dalam kata kunci ‘kyrios’ yang merupakan makna suci untuk kronos (saat) sebagai puncak
waktu peradaban. Lalu kata ‘momentum’ (istilah latin untuk menunjuk saat ini ‘nunc’=
sekarang) dan dikombinasikan dengan tempat yang di sinilah (=hic), manusia yang sadar
waktu dan sadar ruang dalam mewujudkan keputusannya untuk menandai sejarah dengan
karyanya.
Dan yang ketiga, kalimat kata-kata bijak yang disucikan dengan tes uji pengalaman yang
berbunyi: ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir
dan ada waktu untuk berpulang. Semuanya ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada
waktunya. Kesalahan kita semua adalah karena kita menafsirnya sebagai hanya waktu kita,
waktu dunia, waktu kuantitatif angka-angka tanpa diproses hening dengan sang pemilik
waktu, yaitu waktu-Nya.
Oleh karena itu, tidak cukup kepintaran dan kepandaian akal budi untuk menggolong-
golongkan apa itu waktu. Bahkan tidak cukup sistematisasi logis mengenai waktu linier.
Mengapa? Karena kedua-duanya hanyalah ungkapan kesadaran waktu kuantitatif. Yang kita
butuhkan adalah kesadaran waktu kuantitatif yang mendialogkan terus-menerus kerja-kerja
teknologi dan langkah-langkah material pembangunan dengan transformasi transformasi
kualitatif dalam gelombang kesadaran waktu kultural spiritual hingga semuanya ada
waktunya dan waktu-Nya.
139
Ingin contoh buat bangsa ini? Bacalah dan renungkanlah saat bangsa menemukan momentum
sejarah merdekanya sebagai berdaulat Negara Republik Indonesia dalam kalimat pernyataan
merdekanya: ”Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini kami menyatakan
kemerdekaan ... ”. Kesadaran akan berkah dari Yang Ilahi untuk momentum sejarah bangsa
ini semestinya menjadi oase kerja-kerja pembangunan dan transformasi kita!.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan
140
Do No Harm
Koran SINDO
Sabtu, 7 Maret 2015
Bencana menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Dan, kerusakan dan penderitaan itulah
yang mengundang bantuan dari luar wilayah terjadinya bencana.
Makin besar skala bencana yang terjadi, biasanya makin besar bantuan yang datang. Ambil
contoh, tsunami tahun 2004 di Aceh membuat datangnya bantuan yang luar biasa besar dari
dalam negeri dan terlebih lagi dari luar negeri.
Bantuan yang datang ke wilayah bencana bertujuan atau ditujukan untuk mengatasi
kerusakan dan mengurangi penderitaan. Namun, ada kalanya bantuan yang datang tidak
efektif atau tidak benar-benar bisa mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.
Bahkan, bantuan itu bisa pula berdampak negatif atau merusak di kemudian hari. Bantuan
yang tidak membantu misalnya adalah bantuan yang menimbulkan konflik di antara penerima
bantuan atau antara yang menerima bantuan dan tidak menerima bantuan. Contoh lainnya,
bantuan yang menimbulkan kebergantungan terhadap bantuan.
Pada intinya, bantuan-bantuan yang diberikan bukannya memberikan hasil yang positif, tetapi
malah memberikan hasil yang negatif. Mengacu pada kemungkinan timbulnya hasil yang
justru negatif, dalam dunia pemberian bantuan dikenal prinsip ”do no harm”. Prinsip ini
untuk mengantisipasi dan sekaligus mencegah sesuatu–dalam hal ini adalah hasil–yang tidak
diinginkan.
Prinsip ini menggarisbawahi bahwa seyogianya apa yang dimaksudkan untuk mengatasi
kerusakan dan mengurangi penderitaan jangan sampai menimbulkan kerusakan lebih lanjut
atau di kemudian hari. Prinsip ini amat penting karena seperti yang dinyatakan oleh Anderson
(1999) bahwa bantuan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak diperkirakan (unintentional
harm).
Dasar dari prinsip ”do no harm” adalah empati terhadap mereka yang mengalami bencana
dan kepekaan terhadap konteks, baik sosio-budaya maupun sosio-politik, yang melingkupi
mereka yang mengalami bencana. Empati membantu untuk memahami apa yang dipikirkan
dan dirasakan oleh mereka yang mengalami bencana.
Sedangkan kepekaan terhadap konteks membantu untuk menilai secara jernih apa yang
mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, prinsip ini
berujung pada tujuan untuk tidak menimbulkan kerusakan atau kerusakan lebih lanjut pada
mereka yang mengalami bencana.
141
Bencana di KPK
Bermula dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri oleh Jokowi dan
penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, yang terjadi kemudian adalah KPK
bak mengalami bencana. Akibat ketidaktegasan– terutama terhadap Polri– dan
ketidaksegeraan Jokowi mengambil keputusan, alih-alih mengalami penguatan, KPK
mengalami pelemahan.
Kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri, pemberhentian sementara Abraham Samad dan
Bambang Widjojanto, dan penunjukan Plt pimpinan KPK telah membuat KPK tak berdaya.
KPK sekarang tak bisa lagi bekerja memberantas korupsi seperti sedia kala. KPK, sebagai
lembaga yang dinilai publik memiliki rekam jejak paling baik dalam pemberantasan korupsi,
telah lumpuh. KPK memang masih ada, namun KPK sedang mengalami kesulitan luar biasa
saat ini. Bahkan, sekarang KPK seolah sedang menunggu datangnya terpaan bencana lain,
yaitu gelombang praperadilan dari para koruptor yang telah ditersangkakan oleh KPK yang
akan menggerus tenaga dan konsentrasi KPK.
Di tengah bencana yang telah terjadi dan menunggu bencana berikutnya, para pegawai KPK
berusaha menunjukkan semangat bertahan menghadapi bencana yang terjadi. Para pegawai
KPK, yang notabene hasil perekrutan secara profesional–bukan perekrutan secara politik,
menunjukkannya dengan melakukan aksi (3 Maret 2015) untuk menyatakan sikap mereka,
yang di antaranya menolak rencana pelimpahan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan
Agung. Namun sungguh ironis, aksi tersebut ditanggapi oleh Wapres Jusuf Kalla dengan
meminta pegawai KPK mengoreksi diri dan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi menilai
aksi pegawai KPK tersebut sebagai pembangkangan dan mengancam akan memberikan
sanksi.
Baik JK maupun Yuddy sewajarnya paham bahwa KPK sedang mengalami bencana.
Sewajarnya mereka mengerti bahwa KPK sedang mengalami kelumpuhan dan
ketidakmampuan untuk menjalankan tugas utamanya memberantas korupsi.
Sudah seharusnya JK dan Yuddy tahu bahwa bukan hanya pimpinan tetap KPK sudah tidak
ada karena diberhentikan sementara, tetapi juga para pegawai KPK bekerja di dalam suasana
yang amat tidak kondusif karena konsentrasi dan fokus mereka tersita sejak terjadinya
kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Tanggapan yang diberikan JK dan Yuddy jelas menunjukkan betapa tidak berempatinya
mereka, baik terhadap KPK sebagai institusi yang sedang mengalami pelemahan luar biasa
maupun terhadap para pegawai KPK yang bisa jadi sedang mengalami demotivasi dan
demoralisasi. Aksi para pegawai KPK tersebut di satu sisi menampilkan keresahan mereka,
namun di sisi lain menampilkan semangat dan daya tahan mereka dalam mengemban tugas
besar melakukan pemberantasan korupsi.
Tanggapan JK dan Yuddy mencerminkan ketidakmauan dan, boleh jadi, ketidakmampuan
142
mereka memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan para pegawai KPK. Tanggapan mereka
itu menggambarkan betapa tidak pekanya mereka terhadap apa yang dirasakan sedang terjadi
pada KPK dan apa yang mungkin terjadi pada KPK seandainya para pegawainya terkena
sanksi.
Respons yang ditunjukkan oleh JK dan Yuddy jelas tidak membuat situasi sulit yang dihadapi
KPK berubah membaik karenanya. Malah, respons tersebut adalah tambahan tekanan
terhadap mereka yang selama ini menjadi pelaksana sesungguhnya pemberantasan korupsi
yang dijalankan oleh KPK.
Yuddy adalah menteri yang mendayagunakan aparatur negara. JK, selain wakil presiden, ia
adalah ketua umum Palang Merah Indonesia–lembaga yang aktif merespons kondisi bencana.
Ia pun pernah menjabat sebagai kepala Bakornas Penanggulangan Bencana. Ia tentunya
mafhum bahwa mereka yang mengalami bencana harus dihindarkan mengalami kerusakan
lebih lanjut dari tindakan-tindakan yang diterima atau ditujukan kepada mereka. Oleh karena
itu, kepada mereka berdua perlu diingatkan: apabila tidak bisa melakukan sesuatu yang
membuat para pegawai KPK berdaya guna di tengah situasi sulit yang mereka hadapi, jangan
pula mereka menimbulkan kerusakan pada KPK.
Dan, jika Jokowi telah menjadi bagian yang mendatangkan bencana bagi KPK maka jangan
sampai mereka–JK dan Yuddy–menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada KPK. Pak Wapres
dan Pak Menteri, please do no harm!
DICKY PELUPESSY
Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI; Kandidat Doktor di Victoria University,
Melbourne
143
Bangsa Berbudaya dan Bahagia
Koran SINDO
Sabtu, 7 Maret 2015
Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah. Dengan keramahan itu, kita
seolah merupakan bangsa paling unggul di dunia.
Tapi bangsa-bangsa lain kelihatannya tak tergiur untuk turut berlomba agar bisa menjadi
bangsa yang ramah seperti bangsa kita. Dalam percaturan dunia, keramahan yang kita
banggakan itu hampir tak memiliki arti apa pun. Sifat ”ramah-tamah”, dan ”budi bahasa yang
manis”, tidak mengangkat derajat bangsa kita secara nyata. Ramah-tamah bukan ukuran
sebuah kemajuan.
Kira tahu, ramah-tamah tak enak dimakan. Untuk menjadi bangsa yang sehat, produktif, dan
juara olahraga yang dibutuhkan bukan sifat ramah-tamah. Suatu bangsa menjadi maju di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki suatu corak keunggulan, tapi tidak
ada hubungannya dengan keramah-tamahan. Mengapa para pemimpin bangsa kita sering
menghibur diri dengan watak, yang sama sekali bukan merupakan suatu keunggulan penting
dalam percaturan dunia?
Ramah-tamah yang berhenti hanya pada ramah-tamah itu sendiri, dan kita tak memiliki
sesuatu apa pun yang dapat kita banggakan, mungkin kita hanya menjadi tontonan di pinggir
jalan. Ketika sumber daya alam di dalam negeri kita sendiri diperebutkan oleh bangsa-bangsa
lain di dunia, dengan modal ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, dan keterampilan
menyusun peraturan perundang-undangan yang canggih, yang melindungi kepentingan dan
segenap sepak terjang mereka, adakah gunanya sifat ramah-tamah itu? Dapatkah ramah-
tamah menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk mencegah keserakahan mereka supaya
kita tak menjadi kaum miskin, karena selalu dirampok terus menerus?
Ramah-tamah sama sekali bukan senjata yang bisa menyelamatkan kita. Ramah-tamah pun
jelas tak bisa melindungi kita dari para penjarah durjana yang melahap tambang-tambang,
hutan, air, tanah dan bebatuan kita. Tak diragukan, bahkan sebaliknya: ramah-tamah itulah
yang membuat kita ditipu, dibodoh-bodohi dan dianggap sepele oleh bangsa lain.
Pada saat bangsa-bangsa lain di dunia berlomba menjadi kekuatan di garis paling depan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya kita mengimbangi mereka untuk menjadi
bangsa yang yang paling maju di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya. Maju di
bidang sastra dan kebudayaan membuat kita menjadi bangsa lebih kreatif di bidang
kehidupan apa pun. Kreativitas mendorong kita menjadi bangsa produktif.
144
Dengan kreativitas itu, segenap sumber daya alam, kekayaan hutan untuk obat-obatan,
niscaya kita produksi sendiri dan tak dibiarkan dicuri bangsa-bangsa lain, dan diaku sebagai
milik mereka. Kalau kreativitas kita membuat kita menjadi bangsa produktif di bidang obat-
obatan, tak peduli disebut ”tradisional”, persetan disebut ”lokal” niscaya kita sudah maju dan
tak perlu tergantung pada obat-obatan bikinan bangsa lain yang mahalnya sontoloyo itu. Ini
hanya urusan sederhana.
Dunia sastra menggali kembali khazanah obat-obat bikinan nenek moyang zaman dahulu,
yang sekarang sudah tak tampak. Semua ditulis kembali, dan menjadi bacaan mulia bagi kita.
Selebihnya, bacaan mulia itu menjadi sumber kekayaan ilmu pengetahuan di bidang obat-
obatan tadi.
Sikap pemerintah yang berhubungan dengan perkara ini harus jelas. Kebijakan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan obat-obatan tadi harus
dirumuskan dengan sebaik-baiknya, dan pemerintah melindungi rakyat yang kreatif dan
produktif mengolah sumber daya alam kita sendiri. Bukankah segenap kekayaan alam
diabdikan bagi kehidupan bangsa, dan untuk memakmurkan kita semua, yang memang
merupakan warga negara yang berbakti dan mengabdi bagi negeri, dengan segenap jiwa raga
kami?
Para pemimpin bangsa, berpidatolah tentang betapa mendesaknya kebutuhan memajukan
dunia sastra dan kebudayaan, dan semangat merangsang bangsa kita menjadi lebih kreatif dan
produktif. Para pemimpin bangsa, yang memang punya kapasitas sebagai pemimpin, harus
selalu ada di garis depan di bidang pemikiran. Jika perlu, para pemimpin wajib selalu
mendahului pemikiran umum di kalangan kaum awam.
Di sini pemimpin berarti komando. Dan apa yang dikomandokan, menghadapi kerasnya–
bahkan kejamnya–persaingan dunia hari ini. Biarkanlah mereka bersaing dalam bidang yang
kita belum mampu, dan kita sebaiknya memilih untuk tak ikut-ikutan dalam persaingan itu
agar kita tak tergilas. Tapi diam-diam, kita mengembangkan suatu kompetensi khusus, yang
tak mereka perhatikan, dan di bidang khusus itu kita maju, unggul, jitu, nomor satu.
Kita kuasai bidang obat-obatan tadi, dan produksi kita nomor satu. Perlahan-lahan, dari sana
kita menggali dari sumber keunggulan sastra dan kebudayaan kita tadi, segi apa lagi yang
kira-kira memberi kita peluang untuk maju di bidang yang lain lagi. Kita pilih bidang-bidang
yang kita kuasai, dan bangsa lain tidak. Melalui lahan kemajuan itu kita ”hadir” di dalam
percaturan dunia. Dan kita ”dihitung”, ”direken”, dan dihargai.
Tapi, jangan sekali-kali mengulangi kebanggaan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah tadi.
Ini kebanggaan palsu, kosong, tanpa isi. Tak perlu ramah, tak perlu indah budi bahasanya,
tapi kita melek politik, kita paham gerak pemikiran bangsa-bangsa lain. Kita tahu apa yang
mereka jadikan persaingan.
Tidak ramah mungkin tak menjadi soal, asal kita kreatif. Tidak murah senyum pada bangsa
145
lain tak menjadi persoalan apa pun, asal kita produktif. Jika produksi kita tak menjadi
unggulan di pasar dunia, jangan mengeluh. Negeri kita ini pasar yang sebesar-besarnya pasar.
Kita jual produk kita, untuk sementara, di dalam negeri. Dan itu sudah cukup. Kita wajib
menjadi bangsa yang kaya dan berwibawa.
Tapi jika kita belum mampu mencapai target itu, kita tak usah kaya dulu, tak menjadi
masalah. Tapi dengan kemajuan dalam bidang sastra dan kebudayaan tadi, kita menargetkan
cita-cita dan aspirasi hidup yang lain: menjadi bangsa yang berbudaya, dan berbahagia.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
146
Iman Perkawinan
Koran SINDO
Minggu, 8 Maret 2015
‘Iman’ artinya percaya. Istilah ini khusus digunakan untuk agama dan Tuhan. Jadi dalam
agama kita mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, dan karena itu kita bersungguh-
sungguh (berkomitmen) melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya serta menghindari apa
yang dilarang-Nya.
Tetapi, kita tidak mengatakan ‘beriman kepada istri’ walau kita sungguh-sungguh percaya
kepadanya dan karena itu bersungguh-sungguh (berkomitmen) pula melaksanakan apa yang
diperintahkannya serta menghindari apa yang dilarangnya.
Saya misalnya minum beberapa butir obat dan segelas jamu yang disiapkan istri saya tiap
pagi dan sore. Saya tidak tahu obat-obat apa itu karena setiap kali ke dokter, dia ikut masuk
ke ruang periksa dan dialah yang menghafal obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan
meraciknya tiap hari untuk saya. Dengan patuh saya meminumnya karena saya percaya
kepada istri saya. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya beriman kepada istri saya.
Walau begitu, ‘iman’ dan ‘percaya’ pada hakikatnya tetap sinonim.
***
Pada Senin, 3 Maret 2015 di Universitas Indonesia berlangsung sebuah ujian doktor.
Promovendus (calon doktor) yang mempertahankan disertasinya hari itu adalah Dr Melok
Roro Kinanti, seorang psikolog, yang meneliti tentang perkawinan di Desa Dadap,
Indramayu, Jawa Barat.
Desa yang berlokasi di Pantura itu terkenal sebagai desa produsen tenaga kerja wanita
(TKW), dan pekerjaan utama penduduknya adalah nelayan dan petani. Penelitian Dr Melok
mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan perkawinan dalam
konteks suami-istri yang harus berpisah selama bertahun-tahun karena istri harus bekerja di
luar negeri. Untuk itu, peneliti telah mewawancarai 11 wanita mantan TKW, enam di
antaranya sudah bercerai, sedangkan yang lima masih mempertahankan perkawinannya.
Dari enam yang sudah bercerai, empat disebabkan oleh suami berselingkuh selama istri
bekerja di luar negeri, sedangkan yang dua bercerai karena faktor lain, termasuk faktor
mertua. Sementara itu, yang tidak bercerai disebabkan ada komitmen perkawinan yang
diupayakan oleh pasangan yang bersangkutan di tengah banyak faktor lingkungan yang
sangat mungkin mengganggu pernikahan.
147
Temuan ini mengukuhkan pendapat sebagian psikolog (termasuk saya sendiri) bahwa dengan
kepercayaan yang kuat kepada janji perkawinan (akad nikah), kemungkinan terjadi
perceraian bisa diperkecil. Kepercayaan kepada akad nikah ini bisa saya sebutkan sebagai
beriman kepada perkawinan karena ada unsur agama dan ada Tuhan di dalamnya.
***
Di kelas psikologi klinis, di Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia, Jakarta, di
mana saya mengajar, pernah saya tanyakan kepada mahasiswa, yang semuanya calon S-2
Psikologi Klinis, dan sudah bergelar S-1 Psikologi, apakah mereka percaya bahwa
keberhasilan perkawinan itu lebih terjamin jika ada faktor yang dipercaya oleh adat Jawa
yaitu ”bibit, bebet, dan bobot” (keturunan, kelas ekonomi, dan tingkat pendidikan) yang
baik?
Hampir semuanya menjawab, ”Percaya!” Penasaran, saya masih tanya mereka lagi, apakah
mereka percaya bahwa dalam perkawinan, yang paling penting adalah faktor seiman
(pasangan suami dan istri mempunya kepercayaan agama yang sama). Jawabnya lagi-lagi,
”Percaya!”
Tetapi, dalam kenyataan yang sebenarnya, situasinya tidak seperti itu. Tengok saja di sekitar
Anda, teman-teman, kenalan atau kerabat Anda, atau mungkin juga termasuk diri dan
keluarga Anda sendiri. Berapa banyak yang mengalami perceraian, padahal mereka sudah pas
betul kalau soal bibit, bebet dan bobot, bahkan juga iman agama. Dua pihak, yang suami
maupun yang istri sama-sama ganteng dan cantik, berasal dari keluarga-keluarga yang sama-
sama terpandang, berada dan berintegritas tinggi, dan sudah umrah, atau bahkan berhaji
bersama. Pokoknya pasangan yang sangat ideal. Masuk infotainment sudah beberapa kali
untuk dijadikan teladan oleh kaum pasangan muda lain. Tetapi, pasangan ini tiba-tiba
diberitakan (dalam infotainment juga) sudah menghadap pengadilan negeri atau pengadilan
agama untuk minta bercerai.
Padahal, beberapa pekan lalu, seorang seniman musik besar, Rinto Harahap yang kebetulan
Kristen, meninggal dunia dengan tenang, setelah menikah 42 tahun, tanpa cela, dengan
istrinya yang muslim. Anak-anak mereka pun menjadi dewasa tanpa ada masalah hingar-
bingar yang memalukan keluarga (setidaknya yang diketahui masyarakat).
Tentu banyak yang protes pada apa yang saya sampaikan ini. Tetapi, itulah faktanya, dan
saya sedang bicara tentang perkawinan di sini, di dunia ini, bukan tentang apa yang akan
terjadi kelak di akhirat. Pertanyaan kita sekarang, sebagai orang kebanyakan yang masih
mendambakan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup adalah, mengapa perkawinan
Rinto Harahap dan para TKW di Desa Dadap bisa bertahan, sementara banyak pasangan lain
tidak?
Perkawinan Rinto bertahan walau beda agama, perkawinan sebagian TKW bertahan walau
hidup terpisah selama beberapa tahun. Menurut istilah Dr Melok, yang menggunakan teori
148
Bioekologi dari psikolog Brofenbrenner, penyebab bertahannya perkawinan adalah ada
proximal processes yang optimal, yang dalam bahasa Indonesia yang sederhana bisa diartikan
sebagai ‘komitmen untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai rintangan yang tujuannya
untuk mempertahankan perkawinan itu sendiri’.
***
Seperti dengan setiap janji, janji perkawinan harus dipercaya, dan dilaksanakan dengan taat
sampai kepada titik takwa (pokoknya perkawinanku nomor satu). Tentu saja dalam
perkawinan tidak digunakan istilah ‘takwa’ seperti di dalam agama. Karena itulah, ada istilah
‘proses proksimal’ atau komitmen terhadap perkawinan.
Yang penting, dua pihak yang terlibat perkawinan harus sama-sama punya komitmen yang
besar terhadap janji perkawinannya sendiri untuk mempertahankan perkawinan. Itulah
temuan dari disertasi Dr Melok Roro Kinanti.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
149
Main Kayu di Ibu Kota, di Kampung Balik ke Kayu Bakar
Koran SINDO
Senin, 9 Maret 2015
Gas saat ini merupakan sebuah komoditas strategis yang begitu memengaruhi kehidupan
banyak orang karena hampir seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia hari ini sangat
bergantung pada gas.
Gas yang diisikan pada tabung memiliki dua kualifikasi. Pertama, tabung gemuk yang berisi
12 kg dan 50 kg, merupakan tabung tanpa subsidi yang diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat kelas menengah ke atas. Kedua, tabung melon yang berisi 3 kg yang
diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah karena di dalamnya terdapat unsur subsidi
pemerintah yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kelas bawah.
Gas merupakan sebuah orientasi pemerintah untuk menghilangkan subsidi terhadap minyak
tanah yang pada zaman Pak Harto merupakan salah satu bahan baku penting untuk kebutuhan
industri rumah tangga yang mendapat subsidi cukup tinggi dari pemerintah, tapi dapat
diperoleh dengan mudah oleh masyarakat hingga pelosok perdesaan.
Pengurangan subsidi adalah penghematan untuk mengurangi beban anggaran negara sehingga
uang penghematan tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan modal usaha untuk
rakyat, serta kegiatan investasi jangka panjang. Selain itu, pengurangan subsidi juga untuk
menghilangkan spekulasi serta penyelundupan barang ke negara-negara lain yang tanpa
subsidi.
Kebijakan tersebut mendapat sambutan yang cukup luas dari masyarakat sehingga beralihlah
masyarakat ke elpiji bukan hanya di perkotaan, melainkan sampai ke pelosok-pelosok desa.
Penggunaan elpiji 3 kg bukanlah perjalanan tanpa hambatan. Banyak sekali peristiwa
menarik ketika masyarakat mulai menggunakan tabung gas melon. Banyak yang tidak tahu
caranya, terjadi kebocoran pada regulator atau pada tabungnya, yang menimbulkan peristiwa
kebakaran di berbagai tempat hingga menelan korban jiwa. Untunglah kini peristiwa
semacam itu sudah tidak terdengar lagi. Tabungnya sudah relatif lebih baik dan regulatornya
sudah lebih aman.
Namun, ada peristiwa baru lagi yaitu tabung melonnya sulit didapat. Entah kurang pasokan,
entah penggunanya yang bertambah, entah dijual oleh pangkalan ke pihak lain, entah dioplos
150
karena harga gas yang 12 kg dan 50 kg mengalami kenaikan. Entahlah, yang jelas Ma Icih
pusing.
Kalau dulu kita berperang melawan musuh agar kita merdeka sehingga rakyat kita menjadi
makmur, murah sandang dan pangan, bisa tidur nyenyak karena para penjaga negara menjaga
seluruh warganya, yang sakit diobati, kalau meninggal negara mengurusnya, menyiapkan
kuburan yang baik, merawatnya sebagai bentuk penghormatan kepada warganya, lalu
keluarga yang ditinggalkan mendapat ketenangan karena negara menjaminnya, menjamin
makannya, menjamin pendidikannya, dan menjamin seluruh kehidupan lainnya yang menjadi
hak-hak setiap warga negara. Eh... setelah kita merdeka, uang cukup banyak, tapi hak rakyat
susah untuk diberikan.
Di Jakarta, yang katanya pusat orang-orang pintar, pemimpin dan DPRD-nya bertengkar
tiada habis ngeributin urusan pengesahan duit milik rakyat. Ma Icih tambah pusing lagi
karena peristiwa pertengkaran kekanak-kanakan didramatisasi menjadi peristiwa heroik main
kayu ala koboi sedang menumpas kejahatan, sampai urusan kesiapan untuk mati terbunuh
dalam pertempuran tersebut jadi trending topic.
Kata Ma Icih, ”Kata cucu Ema, di medsos sekarang ada gerakan #SaveAhok dan #SaveHaji
Lulung. Ema bingung, urusan duit kenapa jadi Save Ahok dan Haji Lulung. Memangnya ini
duit mereka? Padahal setahu Ema, pabrik yang ada di kampung Ema bayar pajaknya di
Jakarta. Mobil bus jelek yang mengangkut cucu Ema ke pabrik, nomornya nomor Jakarta.
Ditambah mobil pribadi yang berbaris di pabrik, nomornya nomor Jakarta. Berarti kampung
Ema ikut menyumbang duit ke Jakarta.”
“Di bagian ini, Ema mau bicara ah kepada Sep Ahok dan Haji Lulung, anggarkan dong untuk
menjaga kelestarian Gunung Wayang dan Gunung Windu yang menjadi hulu Sungai
Citarum, kan orang Jakarta minumnya dari Jatiluhur. Anggarkan juga untuk jalan di kampung
Ema sebab bus yang bernomor Jakarta ikutan merusak jalan di kampung Ema.”
“Urusan gas, Ema juga tidak habis pikir karena perubahan penggunaan gas elpiji 3 kg di
kampung-kampung berdampak pada berhentinya penggunaan kayu bakar. Karena kayu bakar
sudah tidak dibutuhkan, anak-anak di perdesaan tak lagi memiliki aktivitas untuk pergi ke
kebun dan ke hutan mencari kayu bakar selepas pulang sekolah. Mereka hari ini sibuk
menghabiskan waktu untuk main game, nonton televisi, main ponsel, motor-motoran, yang
seluruhnya menggunakan uang untuk membelinya. Penggunaan uang tersebut kebanyakan
bersumber dari penjualan kebun dan sawah sehingga di kampung-kampung kini tak lagi
produktif. Mereka bergantung pada beras raskin karena sawah yang dimilikinya sudah dijual
kepada orang kota sehingga ketika beras harganya mahal, semakin beratlah beban
hidupnya.”
“Akhirnya, banyak yang merantau ke luar negeri atau kalau yang tidak sabar, kadang anak
perempuan terjerumus dalam dunia hitam menjadi pelayan di tempat hiburan, bahkan
menjual dirinya. Anak laki-laki mencari usaha yang kadang ingin untung dari enteng, yang
151
tidak berkeringat, yang tidak usah kepanasan, tapi uangnya banyak. Kan bingung, teuing
usaha naon anu model kitu ... (entah usaha apa yang model begitu).”
“Yang jelas, sekarang sudah sulit mencari orang yang bisa nyangkul, bisa ngawuluku dan
ngagaru (membajak sawah). Bagaimana produksi beras mau meningkat kalau pelaku
pertaniannya saja sudah jarang. Apalagi kata banyak orang, sebentar lagi Ema akan ada
saingan baru, namanya Ma Ea (MEA) yang katanya orang Bangladesh, boleh kerja di sawah
Ema. Ya kalau kira-kira di sawah Ema tidak ada yang nyangkul, nanti yang nyangkul-nya
orang Bangladesh.”
“Duh, kenapa jadi begini ini téh? Jadi bertentangan dengan cita-cita kekasih Ema, Mang
Udin, yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kalau pada akhirnya masih bangsa asing
yang menguasai kita.”
“Menurut Ema, hal yang aneh kalau kita yang tinggal di kampung seperti Ema harus ribut
urusan gas elpiji. Padahal, dahan-dahan pohon kering berserakan di mana-mana. Dari dulu
juga kita kan sudah pakai suluh (kayu bakar), nasinya lebih enak, masakannya lebih lezat. Itu
terbukti, banyak orang kota yang mencari kampung-kampung, rumah-rumah bambu untuk
sekadar makan dengan nasi kampung yang ditanak pakai suluh. Tetapi, orang pandai yang
tinggal di kota memang suka bikin pusing kita. Kalau tahu masak nasi pakai suluh lebih enak,
lebih murah, dan lebih efisien, kenapa atuh budaya kami harus diubah pakai elpiji.”
“Mending mun aya, ieu mah pan euweuh gasna oge. Teuing ah, lieur Ema mah... (Mending
kalau ada. Ini gasnya pun tidak ada. Entahlah, pusing Ema jadinya...)”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
152
Budaya Memanipulasi
Koran SINDO
Senin, 9 Maret 2015
Kita hidup di dalam iklim kebudayaan manipulatif yang berkembang sejak zaman Orde Baru.
Manipulasi demi manipulasi itu dulu sebetulnya memang lahir dari kebutuhan nasional kita
sehingga racun manipulasi di dalamnya tak begitu kita rasakan. Apa yang sekarang kita
anggap sebagai manipulasi pada saat itu memang bukan masalah bagi kita.
Atas nama ”modernisasi”, pada tahun-tahun 1968/1969 pemerintah melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan membuka berbagai pusat kursus di daerah Karet untuk mengisi
kebutuhan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Ada Kursus Pegawai Administrasi (KPA), ada
Kursus Pegawai Administrasi Atas (KPAA).
Mereka dilatih keterampilan di bidang ”administrasi” untuk menjadi tenaga terampil yang
disetarakan dengan lulusan SLP dan SLA. Kebijakan resmi itu jelas: ”setara” ”tidak setara”
pokoknya ”disetarakan”. Dengan begitu mereka yang menempuh kursus dalam waktu lebih
pendek itu secara resmi memiliki derajat dan kepangkatan sama persis dengan lulusan tingkat
SLP maupun SLA.
Di tahun-tahun sesudahnya, sebutan crash-programme terdengar begitu mentereng, begitu
”modern” dan menjadi solusi atas berbagai macam soal. Dan kita tak merasakan sama sekali
bahwa di kemudian hari hal-hal semacam itu akan menjadi masalah besar bagi kualitas dan
harkat manusia, yang juga kualitas dan harkat seluruh bangsa kita.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan menteri-menterinya yang silih berganti,
kelihatannya hanya menikmati posisi elite itu dan sama sekali tak ada yang berfilsafat atau
sedikit berpikir bahwa kebijakan-kebijakan resmi mereka itu merongrong habis-habisan
kewibawaan lembaga mereka sendiri. Akibatnya juga jelas menggerogoti harkat kemanusiaan
kita hingga saat ini.
Kecuali pusat-pusat kursus yang dipelihara dengan baik itu, menteri-menteri itu juga
membiarkan–bahkan mengizinkan–lahirnya SMA-SMA swasta yang kualitasnya tak begitu
membahagiakan kita. Di Jakarta ada satu SMA swasta yang khusus buat anak-anak–banyak
di antaranya anak ”bengal” para pejabat negara–yang merasa tak begitu cocok dengan SMA
”biasa”, yang menanamkan disiplin belajar dan bertingkah laku sebagai pelajar, dengan baik.
Ini jalan menyimpang dari tatanan sekolah yang kita dambakan. Tapi penyimpangan itu
”resmi”, setidaknya ”setengah” resmi, karena pejabat di bidang itu tahu persis persoalannya
seperti mereka tahu diri mereka sendiri.
153
Di tingkat pendidikan tinggi, lahir pula secara ”resmi” berbagai sekolah tinggi berupa
akademi maupun universitas yang secara ideal menjawab kebutuhan pendidikan bagi
bangsa. Tapi sebetulnya mereka hanya melihat sisi bisnis besar yang menguntungkan.
Mereka tak begitu menaruh perhatian atas pendidikan–apalagi kualitas pendidikan–dan para
pejabat tinggi di departemen itu turut berbahagia menyambut lahirnya begitu banyak sekolah
tinggi yang, sejak awal, semangat dasarnya hanya ”berjualan” ijazah tanpa ada tanggung
jawab.
Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi model itu, yang beroperasi sore dan malam
hari, pada umumnya buat melayani pegawai-pegawai kantor pemerintah dan, maaf, anak-
anak ”buangan” yang kualitas akademiknya tak begitu memberi harapan. Kedua kelompok
ini aspirasinya sama: yang penting memperoleh ijazah sarjana biarpun nilai kesarjanaan sama
sekali tak ada di dalam diri mereka.
Bagi pegawai tadi, sudah jelas sejak awal, mereka kuliah hanya untuk meraih kesetaraan
dengan sarjana ”beneran” yang kuliah beneran secara serius dan memeras pemikiran secara
serius pula. Mereka hanya butuh selembar kertas yang disebut ijazah tadi untuk naik
pangkat. Hanya itu.
Tidak ada pada mereka semangat belajar dan menuntut ilmu beneran untuk menjadi pandai
dalam arti sebenarnya. Apalagi untuk menjadi bijaksana. Ini saja sudah merupakan
manipulasi dalam usaha kita membentuk kualitas manusia Indonesia. Tapi ini semua
dibiarkan dan ketika ujian, lulus tak lulus mereka itu harus lulus.
Jadi ketika jalan resmi membangun bangsa sudah mentok secara akademis, jalan lain mereka
tempuh. Mereka siap membayar berapa saja untuk lulus. Ini bukan manipulasi kecil-kecilan
karena kualitas kesarjanaan telah mereka tempuh bukan dengan jalan akademis, melainkan
dengan jalan kriminal.
Jangan lupa, di antara mereka, yang ”lahir” dari kebudayaan manipulasi ini, kelak ada yang
menjadi pejabat tinggi yang kompetensi teknis maupun filosofisnya hanya sampai pada
tataran membuat kebijakan publik yang pasti manipulatif juga. Kesarjanaan yang lahir dari
mentalitas menyimpang, buahnya jelas penyimpangan.
Mustahil bahwa aparat pendidikan tinggi tak pernah mendengar fenomena ini berkembang di
wilayah kekuasaan mereka. Tapi mereka masih duduk manis dan bersikap ”ayem” melihat
segenap manipulasi tadi. Juga mustahil bila mereka tak pernah mendengar bahwa di
sementara perguruan tinggi, para mahasiswa membawa pisau ketika ujian untuk meneror
pengawas agar mereka bebas nyontek.
Bila sang menteri sendiri masih tetap merasa ”berbahagia-sejahtera” melihat fenomena ini,
mengapa dirjen dan para bawahannya harus risau? Mustahil menteri tak mengetahui ini. Jadi
mengapa dirjen dan para bawahannya yang sikapnya juga manipulatif dan menipu itu harus
lapor dan membahas persoalannya dengan menteri?
154
Apa lagi gunanya bersungguh-sungguh bila sikap tahu sama tahu untuk berpura-pura ”tidak
tahu” lebih aman dan lebih selamat? Hingga di sini, mustahil bahwa manipulasi memalukan
itu belum mereka ketahui.
Menteri-menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dan kebudayaan telah
membikin pendidikan dan kebudayaan hancur. Mereka memilih dirjen pendidikan yang tak
tahu pendidikan. Mereka memilih dirjen kebudayaan yang buta huruf total di bidang
kebudayaan. Bila ditanya sebabnya, jelas karena menterinya sendiri buta huruf di bidang itu.
Mungkin semua menteri begitu. Menteri yang baru saja diganti menjadi contoh bagus untuk
menggambarkan keburukan itu. Apa menteri yang sekarang lebih paham akan persoalan
pendidikan dan kebudayaan?
Sebaiknya kita tak usah berharap bukan karena putus harapan, melainkan karena kita
mempertanyakan kompetensi yang sekarang dan yang dulu, apa bedanya? Perlu dicatat, para
rektor, apalagi rektor yang tidak begitu berhasil, bukanlah pemikir di bidang pendidikan.
Apalagi di bidang kebudayaan.
Pak Jokowi, sampean orang baik dan tulus mengabdi untuk kepentingan bangsa. Untuk
membuktikan lebih jauh ketulusan itu, tolong lakukan sesuatu. Jangan biarkan menteri yang
tak kompeten ikut magrong-magrong di kabinet sampai lima tahun. Penting ditegaskan, kalau
tak memiliki kapasitas menteri, tak usah lama-lama menjadi menteri. Jika ini dilakukan, yang
terjadi jelas sebuah ”revolusi mental” yang sampean katakan.
Sebaliknya, ”revolusi mental” tak bakal pernah menemukan momentum politiknya jika
manipulasi dalam kebudayaan kita ini dibiarkan menguasai kesadaran kita dan membuat kita
hidup dalam kesadaran manipulatif, tanpa akhir.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: