(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

154
1 DAFTAR ISI MANAJER-MANAJER TUHAN Komaruddin Hidayat 4 RAJA ABDULLAH DAN DIALOG ANTARAGAMA Tom Saptaatmaja 7 CUCU Sarlito Wirawan Sarwono 10 KEJARLAH DAKU, KAU KUTANGKAP Dedi Mulyadi 13 PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD Mohamad Sobary 17 DIPLOMASI HATI Saifuddin Aswari Rivai 20 MANTRA SIHIR MENJADI GURU PROFESIONAL Jejen Musfah 22 MENERTAWAKAN BANGSA SENDIRI Komaruddin Hidayat 25 MALU Sarlito Wirawan Sarwono 28 SERATUS HARI, KU HARUS KATAKAN APA? Dedi Mulyadi 31 RA POPO ITU MANTRA SAKTI Mohamad Sobary 35 KEMBALIKAN RUH PERJUANGAN HMI Azhar Kahfi 38 MENGEMBALIKAN HMI KE TENGAH RAKYAT Arief Rosyid Hasan 41 HUMPTY DUMPTY Sarlito Wirawan Sarwono 45 JAKARTA, OH JAKARTA Dedi Mulyadi 48 TAN MALAKA, J KASIMO, DAN GUS DUR

Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

Page 1: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

1

DAFTAR ISI

MANAJER-MANAJER TUHAN

Komaruddin Hidayat 4

RAJA ABDULLAH DAN DIALOG ANTARAGAMA

Tom Saptaatmaja 7

CUCU

Sarlito Wirawan Sarwono 10

KEJARLAH DAKU, KAU KUTANGKAP

Dedi Mulyadi 13

PERSATUAN YANG BELUM TERWUJUD

Mohamad Sobary 17 DIPLOMASI HATI

Saifuddin Aswari Rivai 20

MANTRA SIHIR MENJADI GURU PROFESIONAL

Jejen Musfah 22

MENERTAWAKAN BANGSA SENDIRI

Komaruddin Hidayat 25

MALU

Sarlito Wirawan Sarwono 28

SERATUS HARI, KU HARUS KATAKAN APA?

Dedi Mulyadi 31 RA POPO ITU MANTRA SAKTI

Mohamad Sobary 35

KEMBALIKAN RUH PERJUANGAN HMI

Azhar Kahfi 38

MENGEMBALIKAN HMI KE TENGAH RAKYAT

Arief Rosyid Hasan 41

HUMPTY DUMPTY

Sarlito Wirawan Sarwono 45

JAKARTA, OH JAKARTA

Dedi Mulyadi 48 TAN MALAKA, J KASIMO, DAN GUS DUR

Page 2: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

2

Mohamad Sobary 51

GAJI PNS

Rhenald Kasali 54

HARI ORANG SAKIT SEDUNIA

FX Wikan Indrarto 58

PRO-KONTRA ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Faisal Ismail 61 JAKARTA PERLU BELAJAR DARI KOTA LAIN

Ivan Hadar 64

PK

Sarlito Wirawan Sarwono 67

RADIO DAN SINGKONG

Eddy Koko 70

KASIH BERSEMI DI SAAT BANJIR

Dedi Mulyadi 74

MEMBAHAS TEMBAKAU DALAM PERSAHABATAN

Mohamad Sobary 77 RUU PERTEMBAKAUAN, CARA ELEGAN TOLAK IMPOR REGULASI

Zamhuri 80

GUS DUR, TIONGHOA, DAN PKB

A Halim Iskandar 84

IHWAL JARGON DI RANAH PUBLIK

Yuliz AR Komarawan 88

MENYELAMI PUSARAN BANJIR IBUKOTA

Anna Luthfie 91

BERHARAP RUPIAH, MENDAPAT MUSIBAH

Jejen Musfah 94 IMLEK DAN KESEJAHTERAAN

Tom Saptaatmaja 97

ENTREPRENEUR SPIRITUAL

Biyanto 100

DYSTOPIAN SOCIETY

Komaruddin Hidayat 103

Page 3: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

3

DI BALIK SAKIT HATI

Yasmin Jamilah 106

MUBAHALAH DAN SUMPAH POCONG

Moh Mahfud MD 108 EKSEPSIONALISME INDONESIA

Faried F Saenong 111

SPRING ROLL

Sarlito Wirawan Sarwono 113

GONG XI FA CAI, HUJAN REZEKI SEPANJANG TAHUN

Dedi Mulyadi 115

MORALITAS POLITIK JOKOWI

Mohamad Sobary 118

RAPUHNYA PILAR NEGARA

Komaruddin Hidayat 121 DI SITU KADANG SAYA MERASA SEDIH

Sarlito Wirawan Sarwono 124

HUJAN BATU DI MUSIM PACEKLIK

Dedi Mulyadi 127

DEFISIT MORAL BERNEGARA

Komaruddin Hidayat 131

MENGUBAH PERILAKU BANGSA

Sudjito 133

KESADARAN MENGENAI WAKTU

Mudji Sutrisno 136 DO NO HARM

Dicky Pelupessy 140

BANGSA BERBUDAYA DAN BAHAGIA

Mohamad Sobary 143

IMAN PERKAWINAN

Sarlito Wirawan Sarwono 146

MAIN KAYU KE IBUKOTA, DI KAMPUNG BALIK KE KAYU BAKAR

Dedi Mulyadi 149

BUDAYA MEMANIPULASI

Mohamad Sobary 152

Page 4: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

4

Manajer-Manajer Tuhan Koran SINDO 23 Januari 2015

Tidak menyesal diprovokasi oleh Andy F Noya untuk menonton film Bollywood berjudul

PK. Film yang dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma ini merupakan kritik tajam

terhadap intoleransi kehidupan beragama yang telah memecah belah persahabatan sesama

manusia, bahkan telah menimbulkan konflik berdarah-darah di berbagai belahan dunia.

Kritik itu disajikan secara jenaka, kocak, dan sangat filosofis sehingga film yang berdurasi

tiga jam ini terasa segar dan menghibur dari awal sampai akhir. Film ini mengingatkan saya

pada film serupa, yaitu My Name is Khan yang dibintangi Shah Rukh Khan. My Name is

Khan adalah kritik terhadap Barat yang selalu menaruh curiga pada Islam sebagai pemasok

teroris. Kritik-kritik dalam film itu disampaikan secara jenaka, namun sangat mengena dan

menghibur.

Iklim perfilman di India memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki negara mana pun.

Mereka secara bebas bisa memperolok-olok pejabat negara semisal polisi yang brengsek

lewat film tanpa kena sensor. Begitu pun dalam film PK ini, berbagai simbol dan tokoh

agama yang bagaikan manajer-manajer Tuhan dikritik. Tokoh agama selama ini kerap

mencari untung dengan menjual kewibawaan, ajaran, dan simbol agama yang disakralkan,

padahal itu tak luput dari pabrikasi ulah manusia.

Ceritanya dimulai ketika PK (Aamir Khan) yang datang dari planet lain mendarat ke Bumi

untuk melakukan riset, namun dia tidak bisa kembali ke planet asalnya gara-gara jimat yang

berupa kalung dicopet orang dan dibawa lari entah ke mana. Sebagai sosok alien, meskipun

sangat cerdas, PK sama sekali tidak mengenal budaya manusia yang tinggal di Bumi.

Nama PK sendiri, atau Tipsy dalam bahasa Inggris, artinya orang yang setengah mabuk dan

perilakunya aneh. Dia telanjang dan tidak tahu bahasa manusia. Semuanya serbaasing,

sehingga orang memanggilnya PK. Beruntung dia bertemu seorang reporter TV cantik

bernama Jaggu (Anushka Sharma) yang setia menolongnya. Jaggu melihat PK memiliki

keunikan. Dia berempati dan berusaha bersahabat untuk menggali misteri siapa

sesungguhnya PK yang aneh namun cerdas itu.

Di planet PK berasal, semuanya tanpa busana. Mereka berkomunikasi melalui pikiran

langsung, tanpa sarana bahasa verbal. Oleh karena itu, dia heran dan merasa gaduh dengan

bahasa manusia yang sedemikian banyak diksinya, namun banyak sekali kata-kata itu

digunakan untuk menutupi kebohongannya. Antara pikiran, ucapan, dan tindakan tidak selalu

sinkron. Bahasa tidak selalu mendekatkan antarpribadi, tapi malah menutupi atau

menciptakan pertengkaran.

Page 5: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

5

PK juga merasa aneh dan mulai belajar tentang busana. Antara laki-laki dan perempuan

dipisahkan dan dibedakan oleh busananya. Padahal aslinya manusia terlahir telanjang, hadir

dengan kelugasan dan kejujuran.

Lebih mengherankan lagi adalah pakaian dan tradisi keagamaan yang beraneka ragam di

mana antar kelompok justru mengklaim dirinya paling benar atau paling merasa dekat dengan

Tuhan. Kelompok-kelompok agama itu memiliki manajer yang meyakini dirinya sebagai

mandataris Tuhan. Para manajer itu sebagai perantara dan juru selamat untuk menyampaikan

keluh kesah dan permintaan kepada Tuhan.

Dengan cerdas dan jenaka, PK menjungkirbalikkan petuah-petuah para manajer Tuhan. Kalau

istri sakit, misalnya, PK melarang datang ke kuil dan minta tolong pendeta untuk

menyembuhkan dengan membayar uang. Namun, cintai dan rawatlah istri baik-baik dengan

konsultasi ke dokter dan dibelikan obat. Berbagai makanan sesajen untuk Tuhan itu lebih

baik dibagikan kepada orang miskin ketimbang dipersembahkan Tuhan yang tidak

memerlukan makan dan minum.

Ketika PK melihat orang berdoa di depan patung Tuhan, dan patung-patung itu pun dijual di

sekitar kuil, PK membelinya dan kemudian memanjatkan doa kepadanya. Tetapi ketika

doanya tidak terkabul, dia protes pada penjualnya dan ingin membeli yang lebih besar agar

doanya terkabul. Tetapi lagi-lagi doanya tidak terkabul, maka dia mengolok-olok penjual

patung Tuhan sebagai penipu. Adegan ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Ibrahim ketika

berdialog dengan Raja Namrud yang penyembah patung. Secara cerdas, Ibrahim mematahkan

semua argumen Namrud yang kemudian marah dan Ibrahim dibakar, namun selamat.

Menurut PK, di sana ada dua macam Tuhan. Pertama, Tuhan di langit, yang mahagaib, yang

merupakan Tuhan sejati Pencipta semesta ini dan seluruh manusia. Kedua, ada Tuhan-Tuhan

yang diciptakan oleh manusia lalu disembah dan dibelanya seakan Tuhan lemah sehingga

memerlukan pembelaan manusia.

Maka di Bumi, lalu muncul banyak Tuhan dan banyak agama. Masing-masing komunitas

agama berdoa pada Tuhan ciptaannya sendiri. PK melihatnya dengan heran, ibarat melakukan

komunikasi via telepon pada Tuhan yang sejati, banyak yang salah nomor sehingga doanya

tidak sampai. Namun demikian, semuanya yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah

Tuhan sejati.

Akibat adanya keragaman agama dengan doktrin dan pemeluknya yang militan, konflik

antarpemeluk agama tak terhindarkan. Ada agama yang menyucikan hewan sapi, tetapi ada

pula agama yang menyuruh menyembelih sapi agar dicintai Tuhannya. Masing-masing

kelompok menciptakan identitas masing-masing yang terlihat pada keunikan pakaiannya,

tempat sucinya dan adegan ritualnya. Padahal, kata PK, ketika semuanya telanjang seperti

penduduk planet dia berasal, semuanya sama karena di sana tak ada pakaian dan mereka

berkomunikasi langsung melalui pikiran sehingga tidak ruwet dan tidak menimbulkan salah

paham serta pertengkaran seperti di Bumi.

Page 6: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

6

Perilaku dan dialog kritis PK dengan tokoh-tokoh agama itu menjadi tersebar luas berkat

inisiatif dan kecerdikan Jaggu sebagai reporter TV yang menyiarkannya secara

langsung. Pemirsa diajak membedakan antara substansi dan kemasan. Antara pembawa suara

kebenaran dan manajer-manajer Tuhan yang bertindak bagaikan CEO institusi keagamaan.

Setelah melakukan perjalanan panjang, lagi-lagi berkat bantuan Jaggu, jimatnya ketemu

sehingga PK bisa kembali lagi ke planet asalnya.

Dia berpesan pada temannya yang hendak melakukan ekspedisi ke bumi. Pertama, jangan

terlalu percaya pada bahasa manusia, karena tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kedua, harus

mengetahui fungsi dan makna pakaian, karena jika salah memilih bisa menimbulkan

malapetaka. Ketiga, ini yang paling lucu dan pedas, kalau ada orang berbicara tentang Tuhan,

sebaiknya kamu menyingkir jauh-jauh saja.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 7: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

7

Raja Abdullah dan Dialog Antaragama Koran SINDO 24 Januari 2015

Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00

waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini

disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi. Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al

Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi.

Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru-

paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja

Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1).

Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja

Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putera mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya,

Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah

Raja Fahd terserang stroke.

Berkat kedekatannya dengan Amerika Serikat, Abdullah berhasil menekan Washington untuk

menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait

tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski

memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan

kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina.

Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang

mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan

kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur.

Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie

Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam

membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi (Yahudi,

Kristen, dan Islam).

Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun

jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar

dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New

York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan

mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri

Page 8: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

8

acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan

pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel.

Yang monumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada

6/11/2007. Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar

sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi

agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang

disahkan di Roma pada 28 Januari 1965.

Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam

agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat

dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama

berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, Gereja

Katolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam.

Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat:

”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak

sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan

dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan

sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra

Aetate, Roma 28/1/1965).

Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan

bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang

yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad

memang sangat terkenal dengan toleransinya. Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah

yang terkenal itu.

Harold Coward juga menulis dalam bukunya Pluralisme-Tantangan bagi Agama-Agama

bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi

alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh

diperlihatkan dalam ajarannya”.

Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam.

Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang

Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah

mengajak nabi, suaminya, mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang

menjadi rahib Kristen. Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau

Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi.

Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di

antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangan

lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja

Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.

Page 9: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

9

Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah

yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus

membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum

PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan,

”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama,

khususnya antara Islam dan Kristen”.

Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang

sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai

“Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim

dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anaknya” yang beragama Yahudi, Kristen,

dan Islam.

Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan

munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi

antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak-

anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis

oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang

tamu rumah Nabi Ibrahim.

Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus

dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog

dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini.

Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita

kembali kepada ajakan berlomba-lomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil,

dan Alquran.

TOM SAPTAATMAJA

Teolog

Page 10: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

10

Cucu Koran SINDO 25 Januari 2015

Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun, tetapi dia fasih sekali bermain

gagdet. Yang paling disukainya adalah berbagai game tentang mobil.

Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis mana-mana yang harus disentuh

dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek mobil yang mana yang dia mau dan mau

balapan dengan mobil yang merek apa. Bukan itu saja, dia menirukan suara-suara yang

didengarnya, mulai dari bunyi tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang

diucapkannya begitu saja tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burung beo.

Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya 6 tahun, sudah di kelas 1

SD. Dia juga mulai kariernya seperti Ammar. Main gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun

Spiderman dan Ben 10, menirukan kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika

masih di TK B, dia sudah fasih melafalkan Martin Luther King ”I have a dream” dalam

bahasa Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau eyang kakung-nya ceramah bahasa

Inggris di Kongres Psikologi Internasional.

Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya tinggal di Tegal, dengan bahasa

Jawa Tegal yang kental. Ketika saya dites TOEFL untuk dikirim ke Amerika Serikat setelah

menyelesaikan pendidikan psikolog, saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa

Jawa Tegal. Maka saya terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia

Amerika) dan mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris.

Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah

saya baru belajar bahasa Inggris betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan

makalah saya dimuat dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali. Itu terjadi di awal

tahun 1970-an. Tetapi, karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal itu tidak

bisa lepas dari bahasa apa pun yang saya ucapkan.

Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun kedua, saya hanya tahu radio.

TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru

saya kenal ketika saya sudah punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar

lagi di Belanda untuk S-3 saya (akhir 1970-an), dan sejak 1980-an saya mulai menggunakan

radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio panggil ketika

itu), dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP (handphone), email,

Twitter, Blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti menjadi smartphone yang bisa

untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari jalan non-macet di Jakarta dengan

menggunakan fasilitas GPS Googlemap atau Waze. Pokoknya dibandingkan dengan profesor

Page 11: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

11

lain seusia saya, saya tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an.

Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap kalah jauh. Baik dalam soal bahasa,

maupun dalam soal per-gadget-an. Ibaratnya, cucu-cucu saya ini adalah native speakers

dalam dunia bahasa Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan

semua hal yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa.

Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering dijadikan bahan lucu-lucuan kalau

seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi kesenjangan tersebut sebetulnya mencerminkan

perbedaan antar generasi yang di dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius.

Dalam ilmu kependudukan, generasi saya yang lahir di sekitar tahun 1940 hingga 1960-an

disebut generasi Baby Boomers (BB), anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut

Generasi X (Gen-X) dan generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y

(Gen-Y). Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta artifak

(benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda, terutama di masyarakat

golongan menengah-atas yang rata-rata juga berpendidikan menengah-atas.

Dengan perkataan lain, secara antropologis, ketiga generasi itu hidup dalam budaya yang

berbeda. Artinya, ketiga generasi itu sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun

mereka boleh jadi tinggal dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (anak baru

gede) berkonflik dengan orangtuanya.

Di perusahaan-perusahaan, para direktur dari generasi BB yang biasa dengan keteraturan dan

disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak bisa mengikuti jalan pikiran para manajer dari Gen-

X yang serba mau cepat, serba terobosan, dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih

baik. Gen-X lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja.

Tetapi, Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk ke dunia virtual (maya), bukan

dunia nyata, apalagi lokal (keluarga, tetangga, teman sekolah dll.). Seorang Gen-Y bisa

duduk sama pacarnya di kafe, sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing

dengan teman masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di

negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran.

Karena itu, Gen-Y disebut juga generasi milenial atau generasi internet atau bahkan generasi

autis. Karena dunia mereka adalah dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat

daripada media massa, maka berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau

globalisasi Gen-X masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC,

globalisasi Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan

radikalisme agama dari Timur Tengah.

Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang di-kamsud sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa

Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi tantangan

Page 12: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

12

yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai global dari Gen-Y yang sangat

mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 13: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

13

Kejarlah Daku, Kau Kutangkap Koran SINDO 26 Januari 2015

Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah

terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya

termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya. Betapa pentingnya peran air sehingga

tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya.

Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan.

Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata

kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain.

Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat

bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah

penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa-

rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah

berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama

“banjir”.

Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi

langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang

ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini

izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.”

Musim hujan saat ini memang sangat berbeda. Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun

berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan

secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang

menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca,

pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain.

Kegalauan ini kini melanda saudara-saudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan

Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat

lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya

pertanggungjawaban administrasi keuangannya.

Duh, jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen

yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata

teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi

penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD,

Page 14: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

14

lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan.

Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam

setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan

lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat

lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket

pesawat.

Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura

untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah nini pergi ke

Singaparna saja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan, biar cucu

nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang

memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.”

“Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu

akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul, pangarih, dan

dulang, nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini

terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.”

***

Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap

pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura,

sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap.

Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media

diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan

pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk

mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di mana-mana, panas yang

menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak

pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka.

Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan

yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke mana-mana, menjadi sosok

makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langit-langit

spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk

hujan.

Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau

benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau

berusaha untuk menangkapku.”

Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia

begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan. Senyum, sapa, cinta

Page 15: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

15

mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan

kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman

kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah

tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian.

Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis

yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas-

batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma

terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno,

Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan

yang kuat. Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak

menyukainya lagi.

Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi

era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap,

memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan. “Mending keneh zaman Bung Karno nya?”

Itulah yang terucap saat Orde Baru. “Piye kabare? Enak zamanku, toh?” Itulah seloroh yang

diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan

pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus

Dur yang pluralis. Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh

kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi

problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas.

Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan

yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan

mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah.

Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam

menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat

seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan

seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang

berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan. Kemudian

bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini.

Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih,

“Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab

dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman

dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa

gagah.”

“Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke

salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena

si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan

film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.”

Page 16: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

16

“Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid

yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu

hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum

layak untuk nonton film itu?”

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 17: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

17

Persatuan yang Belum Terwujud Koran SINDO 26 Januari 2015

Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki

“semangat” dan “logika” yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga “membentuk”

wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu.

Di zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno

sering menyebut “revolusi multikompleks” atau “pancamuka” untuk menggambarkan

kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Di zaman itu, hidup tanpa

revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang

“merombak” dan “menjebol”. Itu inti sebuah revolusi.

Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh

bangsa. Oleh karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau

bangsa kita tercerai-berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekad dan semangat untuk bersatu

harus bulat. Makna persatuan itu sendiri yaitu persatuan bangsa juga sebuah agenda kerja

yang belum selesai.

Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu

bangsa dan persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita

bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan dan

dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa

disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaik-baiknya di dalam sejarah

kita sendiri.

Di zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak

karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto

berniat “menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar

dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi. Gaya pemerintahan populis Bung Karno

dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat

apa pun. Beliau akan “hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno.

Tapi Pak Harto bukan tokoh biasa. Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat

Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai

pembangunan. Pidato pagi pembangunan. Pidato siang pembangunan dan pada malam hari

masih bicara pembangunan. Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan

pembangunan semata.

Page 18: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

18

Saat itu, terasa betul bahwa kata ‘pembangunan’ memang memiliki kekuatan sihir dan daya

pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi

ukuran loyalitas kepada negara. Beliau galak kepada siapa pun yang memiliki pemikiran lain.

Itu tanda tidak loyal. Tapi kepada para penjilat dan siapa saja yang bersedia menjadi

“bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan

untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang

raja kepada hamba sahayanya yang setia.

Dan, pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto

bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Pada saat itu, tiap makhluk yang bisa berbicara,

dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih

mengucapkan kata itu.

Di masa-masa sesudah reformasi di zaman kita “merdeka”, di masa keterbukaan yang

seterbuka-terbukanya, kalangan elite di berbagai daerah sebentar-sebentar meneriakkan

ancaman untuk memisahkan diri agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana

kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak anti-demokrasi.

Pertama, ada sikap “tengil” yang begitu arogan dan merasa pada tempatnya menggunakan

bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua,

sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah “menarik diri” tapi sebetulnya agresif,

yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.

Bagi kita, esensinya jelas: “tengil” atau tidak, anti-demokrasi atau tidak, semua gejala tingkah

laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan

bangsa itu sebetulnya belum “solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk

digoyang-goyang. Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai.

Dan jika pemerintah tidak sensitif, kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-

kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin pula bisa

menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna. Sampai hari ini, kita

memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan

bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu.

Sikap dan tingkah laku politisi yang main “geng-gengan”, klik-klikan, dan segenap tingkah

laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri, dan mau enak sendiri,

jelas meresahkan. Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa,

setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda

persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya.

Mereka mengabaikan tanggug jawab politik. Panggung politik nasional, yang bergengsi dan

memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat “main-main” seenaknya. Belum lagi semangat

korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekad

memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua

Page 19: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

19

tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya.

Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan

perkawinan di antara anak-anak mereka, dan mereka sendiri bangga dengan hubungan “besan

dengan besanan” di dalam suatu partai politik atau antarpartai, bagi kita hanya kesan negatif

yang terasa. Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik

partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di

dalam korupsi.

Besan yang korup akan dilindungi oleh besan yang belum korup, tapi masih berkuasa.

Menantu yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh mertua yang merasa masih

jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa?

Politik besanan dan besanan politik memang mengandung persatuan. Tapi bukan wujud

persatuan bangsa. Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguh-sungguh

dibangun untuk suatu persatuan bangsa. Mungkin hal itu tidak akan pernah ada?

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 20: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

20

Diplomasi Hati Koran SINDO 28 Januari 2015

Hati. Jika ditelaah secara global, bagian tubuh manusia ini memiliki tugas dan makna

penting.

Meski posisinya “sedikit kalah” dari jantung, hati justru lebih banyak memainkan peran di

luar tubuh manusia. Jika ingin mengulas habis mengenai fungsi organ tubuh ini, kita bisa

mendapatkan informasinya dari berbagai sumber, mulai dari buku, internet, atau gadget.

Barang-barang itu tidaklah untuk sulit didapat.

Namun, terlepas dari ilmu kesehatan tersebut, hati juga bisa dilakukan sebagai media

diplomasi. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanya sekadar bahasa klise ataupun teori

pencitraan. Tapi sama sekali tidak bagi saya, dan kabupaten kecil di Provinsi Sumatera

Selatan yang bernama Lahat. Diplomasi hati ini yang membantu saya menjalankan proses

pembangunan sehari-hari.

Diplomasi hati ini pula yang sedikit banyak membantu saya memenangkan pesta demokrasi

pemilihan bupati/wakil bupati Lahat selama dua periode. Banyak hal yang tidak bisa saya

ceritakan terkait diplomasi hati di sini. Namun, saya punya sedikit cerita yang sampai saat ini

sangat berguna bagi saya dan keluarga. Diplomasi hati ini saya terapkan kepada masyarakat

binaan yang “kebetulan” menginap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II/A Lahat.

Dan, banyak hal yang bisa kita dapat dari mereka yang harus mengalami pemulihan jiwa di

sana. Saya, selaku pemimpin, wajib merangkul mereka agar tidak merasa dipandang sebelah

mata. Supaya mereka tetap dianggap ada, dan bisa kembali ke tengah-tengah kita.

Mungkin kalau ada kesempatan berkunjung ke sana, Anda bisa tanyakan sendiri bagaimana

respons mereka dalam setiap kunjungan Anda ke lapas. Mereka merasa diperhatikan dengan

kehadiran kita. Jika dipikir-pikir, itu sesuatu yang kecil, tapi ternyata sangat besar

manfaatnya. Anda bisa belikan mereka durian. Anda bisa ajak seluruh penghuni lapas makan

bersama dan sebagainya. Dan, saya juga sering mengimbau anak-anak saya, jika ingin

menggelar acara ulang tahun, lebih baik merayakannya bersama orang-orang lapas atau

dirayakan di panti asuhan.

Selain itu, saya juga ada sedikit cerita mengenai julukan “Bupati Ayam” yang diberikan

masyarakat kepada saya. Mereka menahbiskan seperti itu lantaran saya selalu menyempatkan

diri mengunjungi rumah warga yang tengah berduka karena salah satu anggota keluarga

mereka meninggal.

Page 21: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

21

Namun, terlepas dari bantuan ayam serta uang duka, kehadiran sosok bupati dalam suasana

seperti itu tentu sangat membantu meringankan beban mereka. Bisa dibayangkan jika

kehilangan anggota keluarga, Anda mungkin tidak bisa berbuat banyak. Bingung. Namun,

suasana tentu akan berbeda ketika ada sosok yang berdiri di rumah mereka. Itu yang

membuat saya bersemangat dalam memimpin pemerintahan di Kabupaten Lahat.

Jika keluar rumah pada sore hari, saya juga sering melihat sekumpulan anak-anak kecil. Dan

ketika saya melintas, terdengar suara memanggil saya dengan sapaan “Wari-Wari”. Itu nama

panggilan saya sejak kecil dari orang tua. Sebagai pejabat, tentunya, saya berhak tersinggung,

apalagi saat mengetahui yang memanggil sebutan saya itu adalah anak-anak kecil.

Tapi di balik panggilan kecil itu, hikmahnya justru sangat besar. Saya jadi tahu bahwa

seluruh lapisan masyarakat mengenal saya mulai dari orang dewasa hingga anak-anak kecil.

Itu nilai plus bagi saya. Di sinilah diplomasi hati bermain. Lakukan pendekatan itu dari hati

ke hati dan dari hari ke hari. Insya Allah, amanah itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya,

bukan sekadar materi yang bisa datang dan pergi begitu saja.

Hal itu memang mudah untuk diucapkan, tapi sungguh sulit untuk dijalankan. Namun kalau

kita belajar memahami apa yang dirasakan orang yang kekurangan, diplomasi hati itu bisa

dijalankan. Bayangkan kalau Anda, anak Anda, ataupun keluarga Anda berada dalam posisi

kekurangan. Mungkin Anda akan tahu bagaimana caranya.

Cerita terakhir mengenai diplomasi hati, Anda mungkin tidak percaya jika setiap kali hendak

melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan pesawat, saya selalu menyempatkan diri

ke toilet bandara. Selain memang kodratnya sebagai manusia yang kerap gugup ketika

hendak terbang sehingga harus buang air sebagai solusi terbaik, di toilet, saya juga belajar

mengenai perjuangan para petugas toilet dalam bekerja.

Di situlah hati nurani saya terketuk. Ternyata masih banyak orang Indonesia yang bisa

bertahan di tengah kerasnya kehidupan, meski harus bekerja hampir 16 jam di toilet. Tak

jarang saya mengajak mereka ngobrol. Dan, mereka sangat terharu ada pejabat Bupati kecil

seperti saya yang perhatian. Di situ, mereka bisa bercerita dengan siapa pun.

Saat ini Indonesia masih sangat minim pemimpin yang menjalankan diplomasi hati. Dan saya

pikir, mungkin itu harus dimulai dari Sumsel terlebih dahulu. Memang sulit jika dibayangkan

tanpa dilaksanakan. Butuh keyakinan yang kuat. Namun kalau tidak pernah dijalankan,

diplomasi hati itu hanya akan bersemayam di hati tanpa bisa terealisasi.

SAIFUDDIN ASWARI RIVAI

Bupati Lahat

Page 22: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

22

Mantra Sihir Menjadi Guru Profesional Koran SINDO 30 Januari 2015

Pada 2015 ini pemerintah akan menghapus sertifikasi guru melalui Pendidikan dan Latihan

Profesi Guru (PLPG) dan akan menggantikannya dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Sebelumnya sertifikasi guru dilakukan melalui PLPG dan/atau PPG. Setelah mengikuti PLPG

atau PPG dan dinyatakan lulus, guru akan mendapatkan sertifikat guru profesional. Sertifikat

itu bukti tertulis bahwa ia kompeten dalam mengajar dan mendidik.

Benarkah setelah mendapatkan selembar sertifikat pendidik, guru yang tadinya dianggap

tidak profesional menjadi profesional? Jawabannya jelas tidak. Sekali, dua kali, atau bahkan

tiga kali pelatihan tidak akan menjadikan guru profesional. Menjadi guru profesional bukan

proses sebentar–seperti program PLPG dan PPG, melainkan membutuhkan proses yang

panjang dan penuh perjuangan tanpa henti.

Kompetensi guru berkaitan dengan kecerdasan, pendidikan, dan pengalaman guru. PLPG dan

PPG bertujuan meningkatkan kompetensi guru. Namun, apakah pelaksanaan keduanya sudah

sesuai prosedur standar dan harapan? Tidak semua LPTK mengasramakan peserta PPG

karena tidak punya asrama. PLPG juga tidak luput dari kekurangan. Proses transfer

pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak akan berhasil jika suasana pelatihan tidak

nyaman–baik saat pelatihan maupun di luar pelatihan.

Faktor penghambat efektivitas pelatihan tersebut seperti waktu yang padat (dari pagi hingga

malam hari), ruang kelas yang tidak nyaman, makanan, dosen yang tidak kompeten, dan

tempat menginap yang tidak layak. Aspek-aspek ini sangat bergantung pada LPTK pelaksana

PLPG.

Apakah mereka mau menyediakan fasilitas yang terbaik bagi guru agar nyaman selama

pelatihan atau mengambil keuntungan materi dari “perahu”– meminjam istilah seorang teman

dosen–bernama PLPG? Jika panitia (LPTK) memilih keuntungan materi, yang terjadi adalah

pengabaian mutu. Seolah membenarkan fakta selama ini bahwa budaya mutu lembaga

pendidikan kita sangat lemah. Maka itu, komplain berkali-kali dari peserta dan dosen setiap

pelatihan hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

Sebagai pelatihan yang mengukur kompetensi guru, hampir semua peserta PLPG lulus–untuk

tidak mengatakan 100%. Padahal kompetensi awal peserta pasti sangat beragam. Kelulusan

jelas tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya. Ini karena penilaian dosen atau

pelatih tidak hanya menggunakan standar objektivitas, tapi juga subjektivitas seperti belas

Page 23: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

23

kasihan. Ini bentuk dukungan dosen kepada guru terhadap kebijakan pemerintah yang belum

tentu 100% benar.

Pelatihan guru melalui PLPG oke, tapi lulus PLPG sebagai syarat menerima tunjangan

profesi no. Faktanya, banyak guru yang gajinya lebih rendah dari buruh, padahal ia

kompeten. Maka itu, sebaiknya pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada semua

guru terutama guru honorer dan guru swasta yang gajinya jauh dari standar minimal gaji guru

PNS.

Penguatan Lembaga

Pertanyaannya, program apa setelah guru memperoleh sertifikat guru? Pertama, perkuat dan

kembangkan lembaga pusat pelatihan guru. Guru mata pelajaran umum atau di bawah

Kemendikbud dilatih di Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidik dan Kependidikan

(P4TK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).

Dua lembaga tersebut sangat perlu dikembangkan agar bisa menjangkau guru yang belum

pernah mendapatkan pelatihan. Lembaga ini juga penting karena diperlukan lembaga kredibel

untuk melatih guru secara profesional, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi

pelatihan. Lembaga ini bahkan memiliki penginapan dan ruang kelas memadai yang akan

sangat memengaruhi kenyamanan peserta selama pelatihan.

Khusus untuk guru agama dan guru mata pelajaran dalam rumpun PAI (Bahasa Arab,

Akidah, Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam) di bawah Kemenag, mendesak

didirikan lembaga pelatihan yang bertugas mengembangkan kompetensi mereka. Hanya

dengan cara ini, prinsip keadilan bagi guru bisa ditegakkan.

Guru membutuhkan model pelatihan berjenjang, dari dasar, menengah, hingga lanjutan.

Pelatihan guru sebaiknya bukan hanya diinisiasi dan didanai oleh pemerintah pusat, tapi juga

oleh pemerintah daerah, dan sekolah.

Kedua, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran

(MGMP). Dinas Pendidikan mengembangkan dan melibatkan KKG dan MGMP dalam

program kependidikan di kota dan provinsi masing-masing. KKG dan MGMP bekerja sama

dengan LPTK terdekat untuk pengembangan pendidikan. Dua organisasi guru tersebut

sumber data tentang kondisi sekolah yang otentik sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahan

diskusi, seminar, workshop, penelitian, bahkan pengambilan kebijakan untuk pengembangan

pendidikan.

Sangat disayangkan bahwa kerja sama antara sekolah dan organisasi tersebut dengan LPTK

tidak terjalin maksimal. LPTK mengirim mahasiswa untuk praktik mengajar di sekolah setiap

semester. Tidak sebatas ini, mestinya LPTK dan sekolah melakukan kegiatan bersama untuk

pengembangan keilmuan bidang pendidikan dan pengajaran. Ia bisa berupa seminar,

workshop, atau penelitian.

Page 24: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

24

Ketiga, benahi LPTK. Sudah saatnya sistem perekrutan calon guru diubah. Mahasiswa calon

guru harus diseleksi kemampuan bahasa asing (Inggris untuk guru umum dan Arab untuk

guru khusus [agama]), prestasi akademik dan non-akademik, dan bakatnya menjadi guru.

Penerimaan jumlah mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan.

Kita tahu lulusan LPTK lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru. Buat apa

menerima banyak mahasiswa calon guru jika akhirnya kita tahu bahwa mereka akan bekerja

selain menjadi guru.

Jika secara yuridis tertulis bahwa PPG dibiayai oleh pemerintah dan berasrama, perlu

dipertimbangkan kemungkinan pendidikan guru sejak di LPTK didesain seperti PPG.

Pendidikan di LPTK dan PPG dibiayai pemerintah dan berasrama. Artinya, pendidikan calon

guru adalah ikatan dinas. Pembangunan asrama di setiap LPTK penyelenggara PPG sesuai

amanah undang-undang guru dan dosen (No 14/2005) harus segera dimulai. Dampak

kebijakan ini akan terasa lima hingga 10 tahun ke depan.

Perbaikan selalu dimulai dari langkah awal dan niat yang baik. Maka itu, tidak ada alasan

menunda sesuatu yang baik bagi dunia pendidikan. Bukankah pendidikan adalah kunci

kemajuan bangsa.

Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan suatu bangsa. Saya kira bangsa besar adalah

bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan menempatkan mereka dalam posisi yang

terhormat. Dengan demikian, tidak ada istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk

menyulap orang menjadi guru profesional dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan.

Menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan, di mana guru tidak boleh berhenti

belajar; membaca dan praktik. Tugas pemerintah dan sekolah adalah menyediakan

lingkungan yang nyaman bagi guru untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif.

JEJEN MUSFAH

Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 25: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

25

Menertawakan Bangsa Sendiri Koran SINDO 30 Januari 2015

Dalam ilmu psikologi dikenal istilah ‘archetype’, yaitu sifat dan kecenderungan perilaku

laten yang melekat pada setiap orang yang merupakan bawaan turun-temurun, tanpa melalui

proses belajar.

Jenis archetype ini puluhan jumlahnya, salah satunya disebut ‘warrior’. Secara harfiah berarti

naluri prajurit atau petarung yang bertujuan untuk membela diri dan meraih kemenangan.

Seorang petarung akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya.

Pada diri anak kecil naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan

yang berujung dengan berantem. Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala

dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin juga

bertanding memperebutkan pacar.

Panggung kehidupan adalah panggung persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing-

masing pihak ingin menang. Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya,

peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan dengan tambahan

unsur seni, wasit, dan sportivitas; misalnya saja dalam sepak bola atau pertandingan seni bela

diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif

hadiah, namun harus menjadi etika dan fairness.

Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan

kekuasaan semakin seru, meriah, dan gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali

kota, gubernur, DPR, hingga presiden. Bermunculan political warriors. Sayangnya, banyak

di antara petarung politik itu yang tidak menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka

ingin menang, tetapi tidak dengan cara ksatria dan fair. Misalnya melancarkan fitnah, money

politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak rasional dan tidak etis dilakukan

semata untuk menang.

Kalaupun nanti dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih

runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat sebagai seorang

pemimpin atau penguasa.

Yang akhir-akhir ini muncul dan membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik

antara lembaga Polri dan KPK. Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan,

namun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Mungkin saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah dikeluarkan ketika

Page 26: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

26

mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang ksatria. Bukan pemenang dan

juara sejati. Bukan seorang warrior terhormat, melainkan pecundang dan koruptor.

Mental pecundang itu ingin hidup aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi

pejuang rakyat, namun semua itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas

penegak hukum, mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar

manusia yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone).

Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa

yang salah, setiap orang punya naluri warrior. Naluri berantem menaklukkan lawan.

Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi perkelahian antara maling dan tukang

ronda. Antara penegak hukum dan penjahat.

Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat pertengkaran dan permusuhan

adalah oknum. Namun, karena oknum, jabatan formal, legalitas, otoritas dan kekuasaan

berkait berkelindan makanya yang mesti diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan

oknumnya mesti diamputasi.

Yang membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah

berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah

mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undang-undang semata untuk

melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat korupsi. Jadinya, kita

menonton adegan dan figur-figur publik yang norak, konyol, dan membuat malu kita semua.

Penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif

untuk melayani rakyat akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan

berkorban menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan.

Kita ini sudah lama merdeka. Di mana-mana berdiri perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat

negara pun disyaratkan sarjana, akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk

tidak korupsi. Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa

mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat gaduh bangsa

dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan, tetapi juga terkutuk.

Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara secara rasional dan bermartabat?

Setiap tahun APBN keluar untuk penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara.

Untuk training dan pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar

konsultan. Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising oleh

pertengkaran dan sandera-menyandera antarlembaga penegak hukum?

Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang mahal ongkosnya. Tetapi,

jangan-jangan lebih tepat disebut kedunguan karena akal sehat dan nuraninya tidak bekerja

normal.

Page 27: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

27

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 28: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

28

Malu Koran SINDO 1 Februari 2015

Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN 43 Purworejo, Jawa Tengah,

Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai

(11/04/2013). Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua korban langsung shock.

Berdasarkan berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah melakukan

terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi, tindakan nekat pelajar

SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya.

Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota keluarganya menengok neneknya,

Rokhimah, di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang tidak berapa lama, korban keluar rumah

dan teriak akan bunuh diri karena tidak dibelikan motor.

Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus

lain, remaja yang keinginannya tak terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri

yang sejak kecil mengasuhnya. Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang

lain, atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga

disikat!

Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang serbadestruktif (termasuk

tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola, demo anarkistis, dll.), tetapi kebanyakan

teori itu melupakan satu faktor penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”.

Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan

kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman-

teman. Semuanya sudah punya motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan

meninggalkanku karena aku nggak punya motor. Kan nggak mungkin lah, mereka ngebut ke

mana-mana naik motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!”

Nah, rasa malu itulah yang menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema

kalah dari Persib, malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman-

teman kalau nggak ikutan merokok atau ngegele, bahkan baru-baru ini ada anak yang tewas

karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali yang arusnya

sedang deras. Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali (malu kalau

nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas.

***

Page 29: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

29

Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang dewasa pun

sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik kelas. Ibu itu tidak

kehilangan akal.

Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal (asli-tapi-palsu) dari sekolah,

tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan

gratifikasi). Maka dengan rapor aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan

naik kelas! Yang penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama,

ga papa, yang penting gak malu-maluin!

Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua

cara masyarakat mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan

norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture).

Orang Amerika (Barat) dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah

dengan menerapkan aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan

sanksinya (penjara, denda, neraka/surga, dll.).

Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam hati individu sehingga pengemudi

orang Amerika otomatis akan berhenti jika lampu merah menyala walaupun lalu-lintas

sedang sepi di tengah malam. Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau

menyerobot lampu merah. Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib dan

tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan buku ke

perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa bersalah kalau tidak

melakukannya.

Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang

memberlakukan ”budaya malu” (shame culture). Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika,

menyerah kepada Sekutu di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih

(tidak ada hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar

dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan menusuk perut

sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu bahwa Jepang menyerah

walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan Nagasaki tewas kena bom atom Amerika

Serikat.

Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah gengsi, yang mendorong

perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk bangkit kembali dan

dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser barang-barang elektronik dan automotif

terbesar dan terbaik di dunia.

Budaya orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama

mengandalkan gengsi atau budaya malu. Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku

bangsa ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga korupsi,

jadi nggak malu-maluin. Naik motor melawan arus atau angkot berhenti seenaknya atau

menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak malu-maluin. Tapi kalau disuruh

Page 30: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

30

diskusi di kelas atau duduk paling depan kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau,

soalnya malu, takut dianggap sok tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan.

Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena walaupun agama mengajarkan amar

makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin.

Di era Reformasi sekarang ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu

harus diubah ke mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal

pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan Perumka

(Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api).

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 31: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

31

Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa? Koran SINDO 2 Februari 2015

Dalam tradisi masyarakat kita, khususnya masyarakat tradisional Sunda dan Jawa, bilangan

seratus memiliki makna magis yang menjadi acuan dan standardisasi kebudayaan.

Apabila seseorang meninggal, bilangan kenduri atau selamatan sebagai bentuk refleksi

peringatan akan dimulai sejak angka satu atau sehari yang disebut dengan ‘sadugna’,

kemudian tiga hari yang disebut ‘tiluna’, tujuh hari disebut ‘tujuhna’, 40 hari disebut ‘matang

puluh’, dan terakhir adalah 100 hari, kemudian akan diperingati peristiwa tahunan yang

disebut dengan ‘mendak taun’.

Angka 100 mencerminkan kematangan kerangka awal dari sebuah peristiwa yang memiliki

implikasi yang cukup besar bagi perjalanan angka-angka berikutnya. Pada aspek penilaian,

angka 100 merupakan puncak penilaian tertinggi sehingga siapa pun yang mendapat nilai 100

sempurnalah dia untuk sebuah prestasi yang ditekuninya.

Saat ini kita disibukkan dengan 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk

apresiasi dan harapan terhadap langkah-langkah berikutnya sebagaimana visi dan misi serta

janji kampanye yang pernah disampaikan. Gempita perjalanan politik sang fenomena adalah

harapan baru bagi masyarakat Indonesia.

Tentunya hal tersebut didasarkan pada literasi perjalanan politik yang cukup magis dan

atraktif dalam karier tangga jabatan di Indonesia. Betapa tidak, seorang wali kota pada

sebuah wilayah yang relatif kecil di Jawa Tengah melesat menjadi seorang gubernur

DKI. Selanjutnya dalam waktu yang relatif sangat pendek terpilih menjadi seorang presiden

dengan sokongan publik yang sangat luas, yang bertumpu pada spirit kebersamaan humanis,

spirit menghormati perbedaan atau pluralisme, dan spirit perubahan terhadap tata laku

aparatur dan komponen bangsa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan

sebagai negara yang bersendikan Pancasila, berkitabkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan

prinsip spirit perubahan Nawacita yang bertumpu pada gerakan revolusi mental.

Berkaca pada seluruh problem bangsa yang sudah memasuki tahap akut pada seluruh sendi

kehidupan, memang tidak mudah melakukan perubahan terhadap struktur dan kultur yang

sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat elite, kita menghadapi politik

transaksional yang meletakkan aspek kompromi material sebagai pilar utama dalam

hubungan politik karena lenyapnya politik ideologis pasca-Reformasi ‘98.

Lumpuhnya politik ideologis telah melahirkan konsepsi politik tanpa arah yang meletakkan

seluruh kerangka pikir dan kerangka tindak pada negosiasi dan kompromi kapitalisasi. Ini

Page 32: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

32

secara tidak langsung telah memarginalkan para politisi yang berbasis visi ideologis dan

memberikan ruang yang cukup terbuka pada kaum kapitalis untuk mengambil peran politik

dan menentukan seluruh kebijakan kenegaraan di Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat, kita berhadapan dengan semakin menurunnya kerangka hidup

yang bersifat gotong royong sebagai spirit ideologis dalam tata kehidupan masyarakat kita.

Bukan hanya di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa pun kini hampir tak dijumpai

kerumunan orang membersihkan selokan, membangun rumah, membangun jalan,

membangun irigasi, melaksanakan kegiatan kenduri yang didasarkan pada spirit keikhlasan

tanpa pamrih.

Dalam bidang politik, kita tidak lagi menjumpai orang yang rela menjual kambingnya,

menjual berasnya, menggadaikan surat keputusan penempatan kerjanya, yang seluruhnya

didedikasikan untuk memberikan dukungan sepenuhnya pada kandidat yang dipilihnya.

Topati jiwa raga demi menjaga marwah, martabat, dan kehormatan kandidat yang menjadi

pilihannya.

Kini semuanya sudah bertarif dengan label yang sering diucapkan secara terbuka oleh

masyarakat, “Wani piro?” Hampir semua kekuatan politik maju tak gentar, membela yang

bayar. Tetapi, tentu tidak semua, masih ada yang rela berkampanye tanpa ongkos, meski

memang jumlahnya sangat sedikit.

Tradisi hidup yang sangat kuat, budaya gotong-royong tanpa kasta, justru sangat terjaga di

kampung-kampung adat yang secara umum masyarakatnya berpegang teguh pada tradisi,

jarang nonton televisi, jarang baca koran, jarang berinteraksi melalui media sosial, tidak

pernah belajar Filsafat Pancasila, tetapi mereka tetap secara utuh dan menyeluruh berpegang

teguh pada seluruh nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bukan hanya menjadi simbol persatuan,

melainkan menjadi spirit keyakinan yang sudah tidak lagi memilah aspek kebangsaan, aspek

ketuhanan, dan aspek keagamaan.

Proses perjalanan politik untuk mewujudkan kemenangan menjadi kandidat terpilih tidak bisa

dimungkiri pasti mendapat sokongan dari berbagai perangkat politik yang memiliki

kepentingan terhadap kekuasaan jabatan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber-

sumber ekonomi strategis negara sehingga kekuatan politiknya diharapkan mampu

mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan modal kebijakan strategis yang dinikmati

oleh masyarakat, serta kemampuan untuk menggerakkan sumber-sumber politik melalui

penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis.

Kekuatan kapital politik yang memberikan partisipasi yang cukup besar dalam proses

pemenangan pilpres juga memiliki harapan yang cukup luas terhadap akses sumber daya

alam, penambahan jumlah kapital, pasar yang terbuka, serta berbagai fasilitas kebijakan

sebagai bentuk simbiosis antara kekuasaan dan dunia usaha.

Hal tersebut bentuk hubungan sosial-politik yang terbangun saat ini serta tidak bisa dibantah

Page 33: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

33

dan tak terbantahkan oleh siapa pun yang menjadi kandidat atau pemenang kekuasaan politik.

Keluar dari seluruh komitmen tersebut akan menimbulkan kegaduhan politik sebagai

konsekuensi dari sebuah proses perjalanan transaksi kekuasaan.

Siapa pun dia, kekuatan apa pun dia, pasti melakukan hal yang sama. Akrobatik logika yang

membalikkan seluruh fakta yang terjadi pada proses perjalanan kampanye hanyalah bentuk

spirit idealisme kesendirian yang akhirnya akan terkepung oleh fakta-fakta politik yang

terjadi sebagai realitas dari sebuah investasi politik.

Berlari menghindari kepungan kekuasaan sebagai bentuk imbal jasa dari sebuah investasi

politik dan ekonomi hanya akan dianggap sebuah pengingkaran yang mengabaikan jasa-jasa

orang yang telah diterima. Nalar kemanusiaan kita akan selalu berkata secara jujur bahwa kita

akan memberikan prioritas bagi siapa pun yang telah memberikan andil dan jasa untuk

membuat kita seperti hari ini.

Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kuring mah teu ngamasalahkeun saha waé nu

ngajabat, nu penting mah sing jalulur jeung nyaah ka masyarakat, pakulian kudu mayeng,

harga béas tong mahal teuing. Lamun mamangkatan ongkos tong nérékél waé. Apanan ieu

mah musingkeun, keur basa BBM naék ongkos ojég nuturkeun naék .” (Saya tidak

mempermasalahkan siapa yang menjabat, yang penting jujur dan sayang pada masyarakat,

ada pekerjaan tetap, harga beras tidak terlalu mahal, kalau bepergian ongkos jangan naik

melulu. Ini kan malah memusingkan, saat BBM naik ongkos ojek ikut naik).

“Giliran BBM turun, tukang ojek tetap saja tidak mau menurunkan. Kalau kira-kira bakal

diturunkan lagi, nanti enggak usah dinaikkan. Karena ada istilah ‘sawan kuya’, kalau naiknya

tidak jadi sampai atas, nanti turunnya juga tidak berani sampai ke tanah. Akhirnya diam di

tengah-tengah, jadi nyusahkeun saréréa (jadi bikin susah semua orang).”

Lain lagi dengan cerita Ma Icih. Dalam kurun waktu 100 hari ini hari-harinya dilanda

kebahagiaan. Entah kenapa dia kini senang bersolek ketika memasuki awal bulan. Gairah

hidupnya seperti membara, padahal dulu Ma Icih selalu melamun karena ditinggalkan oleh

Bah Jumanta, kekasih sejatinya.

Kebahagiaan Ma Icih tersebut ternyata bukan karena gelora cinta yang ada dalam dirinya,

melainkan tumbuhnya harapan baru karena dalam setiap bulan Ma Icih kini menjadi seorang

janda pensiunan, berhak mendapat jatah Kartu Keluarga Sejahtera sebesar Rp200.000 yang

diambil di Kantor Pos.

Kegembiraan itu bahkan kini semakin bertambah karena Ma Icih mendapat kabar akan

menjadi anak asuhnya Pak Kades yang berhak mendapat tambahan biaya hidup sebesar

Rp200.000 lagi per bulan karena gaji Pak Kades kini meningkat sebagai dampak dari

bertambahnya Anggaran Desa. Betapa bahagianya Ma Icih di perjalanan 100 hari ini

sehingga Ma Icih lirih berkata seperti anak muda yang dimabuk cinta, “100 hari ku merasa

bahagia... Berapa lagi yang akan kuterima?”

Page 34: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

34

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 35: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

35

Ra Popo Itu Mantra Sakti Koran SINDO 2 Februari 2015

Pasangan Jokowi-JK telah memenangkan kontes politik yang disebut pemilihan umum

dengan anggun, tapi dibuat ruwet oleh berbagai orang dengan berbagai kepentingan.

Dalam masa penuh ketegangan waktu itu, pikiran dan perasaan bangsa Indonesia terkuras.

Ada orang yang tak merasa malu, yang memperpanjang ketegangan itu dengan berbagai ulah

politik. Tapi, menang adalah menang. Pasangan Jokowi-JK menunjukkan dengan baik bahwa

mereka menang.

Jokowi difitnah secara keji lewat jalur umat Islam, tapi beliau tidak bereaksi. Ketika

wartawan bertanya, jawabnya pendek: “ra popo“, Prinsipnya, tidak apa-apa, tidak ada

masalah. Difitnah bahwa dirinya bukan muslim, reaksi beliau sama: “ra popo“. Banyak

tuduhan, yang bersifat fitnah, dijawab dengan kalem: “ra popo“ tadi.

Saat itu fenomena “ra popo“ itu tampak menonjol. Sikap percaya diri beliau sangat besar.

Sikap pemaafnya agak luar biasa. Sesudah kemenangannya bisa diterima oleh mereka yang

kalah, beliau betul-betul “ra popo“. Ini berarti beliau sehat, selamat, dan bahagia.

Ada tokoh yang tak setuju dengan sikap serba”ra popo“ itu. Baginya, ini dianggap

meremehkan persoalan penting. Seorang pemimpin, kata tokoh tersebut, tak boleh sebentar-

sebentar berkata “ra popo“. Baginya, ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi dengan

sikap lebih serius dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar. Sikap serba ”ra popo“

itu dianggap tidak pantas.

Tapi, pendapat itu bukan satu-satunya kebenaran. Orang yang lapang dada dan berjiwa besar

mengapa tak boleh bersikap rileks, serileks-rileksnya, sehingga semua persoalan lalu dihadapi

dengan sikap “ra popo“? Apa serius dan rasa tanggung jawab itu berarti bahwa fitnah harus

dibalas fitnah? Apa bedanya tukang fitnah dengan orang baik, yang punya keluhuran dalam

politik? Mengapa marah harus dibalas marah?

Dalam mitologi Jawa, ada tokoh bernama Puntadewa. Ini tokoh serbatulus dan hidupnya

damai lahir-batin. Sikap Jokowi yang damai itu membuat konstelasi politik masa itu menjadi

lebih damai. Kalau menghadapi “serangan” lawan Jokowi ganti “menyerang”, suasana

kehidupan politik jelas akan bertambah panas.

Para empu kehidupan yaitu para tokoh dunia rohani berpendapat, kalau suatu persoalan

disikapi sebagai bukan persoalan, niscaya dia akan benar-benar menjadi bukan persoalan.

Page 36: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

36

Menghadapi keruwetan hidup dengan sikap “ra popo“ itu memiliki dua kemungkinan:

pertama, itu menjadi “doa” yang dikabulkan, dan kedua, merupakan “mantra”. Boleh jadi

bahkan merupakan “mantra sakti”.

Orang baik dan tulus jiwanya selalu diberi keistimewaan untuk memiliki sejenis “mantra

sakti” itu. Kesaktian mantra itu bisa dibuktikan, tiap sabda menjadi fakta, tiap jenis cita-cita

bisa dicapai, dan apa pun yang diciptanya terwujud. Ini kearifan dan corak kesaktian orang-

orang zaman dulu.

Apakah Jokowi punya warisan darah orang arif-bijaksana dari masa lalu? Mengapa tiap yang

ditanggapi dengan sikap “ra popo“ lalu betul-betul “ra popo“ dan tidak menjadi masalah

sama sekali? Pak Presiden, ini daya energi macam apa?

Sekarang persoalannya agak lain. Ketika kebijakan beliau disorot publik dan di antara mereka

ada pula para pendukung setianya, Presiden dimohon mendengar suara rakyat yang tulus

memihak kepadanya. Jangan dengarkan menteri yang menganggap rakyat itu sesuatu yang

tak jelas. Presiden punya sikap sendiri yang lebih bagus dan lebih bijaksana.

Orang baik, bersih, dan bijaksana itu mahal sekali. Hebat. Tapi, pemimpin bangsa tidak

cukup sekadar baik, bersih, dan bijaksana. Posisi moral politiknya harus jelas. Pemihakannya

pada kebenaran tak perlu diragukan.

Maka, bila ada orang yang terindikasi apalagi sudah terbukti korup, pemimpin wajib

menghadapinya dengan tegas. Bahkan harus lebih tegas dibanding siapa pun di kolong langit

ini. Orang baik, bersih, dan bijaksana, serta tegas sikapnya, tak perlu dinasihati orang lain

karena sudah mampu menasihati diri sendiri. Beliau pun tak perlu diberi saran orang lain

karena sudah ahli memberi saran bagi dirinya sendiri.

Di masyarakat pun tak perlu ada keluhan karena beliau sudah mendengar sebelum orang

mengeluh. Pendeknya, beliau sudah mendengar apa yang tak terdengar. Ini memang

pekerjaan berat dan terasa agak istimewa. Ketika ada keluhan, orang yang korup jangan

dijadikan pejabat negara, jawabnya harus jelas: “memang tidak”. Boleh pula ditambah: “dan

saya tak berniat menjadikannya pejabat”.

Syukur bila kemudian berpidato untuk memberi penegasan: “Jangan khawatir. Apa yang anda

semua pikirkan juga hal yang saya pikirkan.” Wah, kalau begini keadaannya, betapa

mentereng pemimpin kita.

Tapi, kalau menghadapi keluhan tadi diam-diam jawabnya “ra popo“, saat itu beliau bukan

lagi “tulodho“, bukan teladan yang wajib didengar. Ini ibarat Subali yang sudah ditinggalkan

oleh Wisnu, yang semula, sejak lama, ada di dalam dirinya.

Kita tahu, Subali ditinggalkan Wisnu berarti kehilangan kedewataan. Watak dewa pada

makhluk biasa itu pendeknya tidak ada lagi. Kita juga tahu, kehilangan kedewataan itu

Page 37: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

37

tinggal ibarat “kayu growong kanggonan tekek“, ibarat pohon besar berlubang yang ditempati

tokek. Ini kayu yang tak ada gunanya.

Sesudah 100 hari memerintah, Jokowi disorot mata publik, dengan pertanyaan, dengan

keraguan, dengan kritik, dan bahkan dengan kemarahan dan rasa kecewa. Tapi, ada juga yang

tetap berharap dengan sikap mendukung. Jangan risau Pak Presiden, mereka berhak berbuat

begitu. Tapi, 100 hari itu belum apa-apa. Prestasi seseorang belum bisa ditentukan dalam

masa sependek itu.

Mungkin ada jawaban psikologis yang menyenangkan: jangan jadi Subali yang ditinggalkan

Wisnu. Jangan menjadi “kayu growong dinggoni tekek“ tadi. Orang baik, bersih, dan

bijaksana, yang sudah belajar bersikap tegas, niscaya tak khawatir menghadapi apa yang bisa

dianggap “tim penilai” tadi. Silakan menilai, “ra popo“. Lakukan saja.

Jangan lupa, “ra popo“ itu seonggok kata yang memiliki kekuatan mantra sakti seperti sudah

terbukti pada masa pemilu tempo hari. “Ra popo“ bukan sembarang kata. Dia punya

pengaruh, dia punya wibawa. Tapi, saat ini, ketika keadaan terasa agak genting dan

mencemaskan, kata sebagai sekadar kata tak cukup.

Suara rakyat harus didengar. Kalau ada menteri bilang: “rakyat yang tak jelas” jangan

didengar, Pak Presiden boleh bilang: “ra popo“. Saya mendoakan, semoga “ra popo“ ini

menjadi kekuatan “mantra sakti”.

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Email: [email protected]

Page 38: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

38

Kembalikan Ruh Perjuangan HMI Koran SINDO 5 Februari 2015

“Kegagalan HMI kegagalan satu generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi”

(Ahmad Wahib)

Di Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan

kegelisahan Ahmad Wahib tersebut.

Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah intelektual merupakan alat

perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai tumpul bersamaan dengan dominasi warna

politik di HMI dan hampir semua gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya.

Musti diakui, gerakan mahasiswa dan pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh

perjuangannya. Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan produktivitas

intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di dalam sanubari anak negeri.

Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan mayoritas gerakan pemuda di negeri ini.

Mahasiswa dan pemuda yang semestinya mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan

keberdayaannya.

Di tengah kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual

dengan kondisi kebangsaan saat ini. Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum

gerakan pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang

visioner, bermoral, dan berintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di masa depan.

Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran kepeloporan HMI

setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator.

Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas organisasi pemuda mengalami

antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan kepentingan

rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik. Gerakan mahasiswa dan

pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat, namun rakyat tidak pernah merasa

diperjuangkan hak-haknya.

Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan hadirnya musuh bersama

(common enemy) di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita

bersama secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari sentralisme

menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti peta fragmentasi

Page 39: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

39

kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan.

Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah menjadi wabah yang tak terelakkan dari

jantung organisasi HMI sehingga orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan

independensi karena larut di arus besar permainan politik (political mainstream). Itu terbukti

dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik oleh momentum

peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok yang kalah biasanya tidak mau

menerima secara fair kekalahannya. Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau

mengakomodasi kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di

mana masing-masing top leader berebut legitimasi kekuasaan.

Kedua, aktivitas kajian strategis-konseptual, penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader

kian jarang dilakukan, kecuali hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari

dimensi substansial.

Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan, ketimbang rumusan programatik

yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele. Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya

sebatas tujuan “antara”. Artinya, kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim

kuasa. Namun, tidak siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim.

Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif, ketimbang diplomatis. Semestinya

pola diplomasi dengan menyodorkan desain konsep dapat berimplikasi lebih sistemik

daripada harus selalu berkonfrontasi.

Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah intelektual belum mampu

memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan jurang kesenjangan antara rakyat

(grassroots) dengan elite. Kita seolah lebih nyaman menjadi komunitas eksklusif yang

terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada elite. Tidak terjadi

relasi yang integrated individual and community level empowerment , sebagaimana

dipesankan Louise Jennings dalam Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment .

Semangat Zaman HMI

Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni dunia Islam, kebangsaan, dan

kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini senyatanya belumlah digarap secara maksimal.

Kondisi dunia Islam, sebagaimana diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan.

Terorisme berbasis agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham anti-

pluralisme merebak di mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama

terajut di negeri ini.

Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah munculnya virus-virus kedengkian

yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai Islam inklusif, toleran, dan humanis

niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara.

Page 40: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

40

Pada kondisi kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga

daerah. Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat karena dikemplangnya

kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka memperkaya diri secara membabi

buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain yang dirampasnya. HMI seharusnya

mengambil kembali semangat perjuangan yang dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan.

Sementara kondisi kemahasiswaan Indonesia saat ini masih dibelit krisis

identitas. Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis akibat infiltras i globalisasi

melalui alat teknologi informasi dan komunikasi.

Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini menjadi ciri khas HMI,

tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren dalam diri seorang kader HMI. Mengutip

apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur

bermakna kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader

organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum.

Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman

yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu menganalisis apa yang akan menjadi

tantangan ke depan untuk kemudian mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas

sudah dimulai dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang

diperdagangkan tak hanya barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja.

Jangan sampai HMI menjadi beban sejarah bangsa ini. Dengan jumlah anggota tersebar di

berbagai pelosok di Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa

harus dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan kiprah

intelektualisme HMI musti dikibarkan!!

AZHAR KAHFI

Ketua Bidang PTKP PB HMI

Page 41: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

41

Mengembalikan HMI ke Tengah Rakyat Koran SINDO 6 Februari 2015

Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 2015 genap berusia 68 tahun. Usianya hanya

terpaut 18 bulan dengan usia Republik Indonesia.

Kita bersyukur hingga kini HMI tetap hadir dengan kiprah kader beserta alumninya yang

membanggakan. Dalam lingkungan kebangsaan yang terus mengalami dinamika dan

perubahan, HMI tetap mampu memerankan diri dan memberi kontribusi kepada kemajuan

masyarakat dan bangsa Indonesia secara produktif. Sepanjang usianya, HMI telah melahirkan

begitu banyak intelektual, pemimpin politik, aktivis sosial, birokrat, pengusaha, dan kaum

profesional lainnya.

Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara terus-menerus terhadap

perkembangan bangsa Indonesia. Figur-figur besar seperti Lafran Pane, Ahmad Dahlan

Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para syahid seperti Ahmad Wahib dan Munir, adalah

telaga hikmah yang menyediakan teladan bagi kita untuk terus menyegarkan semangat dalam

berjuang bagi kemajuan masyarakat.

Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus bersedia menanggung kerugian

kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri, dengan berani memusatkan perhatian pada

usaha mewujudkan kebajikan bagi orang banyak. Suatu usaha yang dilandasi keyakinan

bahwa tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari

raya tanpa berpuasa.

Independensi adalah khitah, yaitu sikap terbuka dan selalu sedia menjaga jarak yang sama

dengan segala hal, kecuali kebenaran. Independensi bukanlah sikap pasif menunggu ke mana

embusan angin, namun berwujud pada kerja amar makruf. Dalam bingkai kekinian, amar

makruf berarti proaktif, saling membantu, bergotong royong, membangun, dan meningkatkan

kualitas hidup masyarakat.

Dalam lapangan pengabdian masa kini, amar makruf tak bisa lagi sekedar mengandalkan

semangat berkobar saja, namun juga mensyaratkan wawasan keilmuan mendalam dan

kemampuan teknis yang mumpuni. Keduanya menjadi prasyarat dari profesionalitas dalam

sebuah bidang spesialisasi. Tentu bukan profesional yang tinggal di menara gading, namun

seorang spesialis yang tekun dan konsisten, yang membaktikan kemahirannya secara tulus

dalam memecahkan masalah kemasyarakatan.

Dengan semangat tersebut, kami menyelenggarakan kepengurusan PB HMI periode 2013-

2015, yang alhamdulillah telah menginjak akhir tahun kedua. Berkat perhatian dan bantuan

Page 42: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

42

dari banyak pihak, kepengurusan PB HMI kali ini dapat berlangsung kondusif dan

kontributif. Independensi organisasi dan soliditas kepengurusan relatif terjaga sepanjang

momentum politik yang telah berlalu.

Melalui kepengurusan ini, PB HMI telah memiliki kantor/sekretariat baru di Jln. Sultan

Agung 25A, beranjak dari kantor lama di Jln. Diponegoro 16A. Untuk menunjang

konsolidasi, kami segera luncurkan insancita.co, portal jejaring sosial khusus HMI.

Penataan pranata organisasi juga terus dilakukan melalui peningkatan kapasitas pengurus,

pembaruan pedoman perkaderan, dan penguatan lembaga-lembaga profesi serta badan

penelitian dan pengembangan. Juga yang sedang berjalan, yaitu pendalaman demokrasi

substansial melalui pendampingan komunitas, masih akan terus dilaksanakan.

***

Membincang HMI adalah membincang wajah-wajah optimistis bagi keindonesiaan. Tidak

saja karena sejarah HMI, pada tapal-tapal sejarah dan momentumnya yang paling

menentukan, berjalin erat dengan sejarah bangsa ini. Juga karena HMI akan terus menjadi

ruang belajar bagi mahasiswa Islam untuk mendidik diri dan berkontribusi aktif bagi

pembangunan bangsa.

Indonesia kini selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi. Dengan segala

kekurangannya, impian- impian yang mengemuka pada gerakan Reformasi 1998 bisa

dikatakan sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak

perubahan: kebebasan sipil-politik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya

politik sipil melalui gerakan kesukarelawanan dan sistem multipartai.

Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi demokrasi. Tantangan terbesar

menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang

timpang. Secara ideal, mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk

menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara.

Tugas pemerintah adalah mengeliminasi jarak yang menganga, di antara aspirasi rakyat dan

kebijakan negara. Dalam hal ini, kita selalu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan

aspiratif. Kepemimpinan yang tangguh bukan hanya karena dukungan koalisi politik, namun

karena berpegang teguh pada konstitusi, sambil merendahkan telinganya pada jerit aspirasi

masyarakat.

Demokrasi kita melalui pemilukada langsung, dengan segala kurang di segala sisinya, telah

menerbitkan harapan. Sejalan dengan desentralisasi kekuasaan, muncul banyak kepala daerah

yang menunjukkan kepemimpinan yang berkomitmen dan mengakar kuat pada aspirasi lokal.

Sejak awal kemerdekaan Republik, sirkulasi kepemimpinan nasional selalu berasal dari jalur

pendidikan, militer, organisasi massa, dan dunia bisnis. Kepemimpinan daerah kini telah

Page 43: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

43

menjadi rahim baru bagi kepemimpinan nasional. Prospek dan keberhasilan model

kepemimpinan ini, kita sedang menunggu pembuktiannya, tak lain tak bukan adalah pada

figur presiden kita saat ini, Bapak Ir. Joko Widodo.

Penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik melalui emansipasi

rakyat adalah pilihan model perjuangan HMI yang relevan untuk dilaksanakan. Inilah saatnya

mobilitas HMI dikembalikan ke tengah-tengah rakyat.

Dalam hal ini, HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai

pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Dengan mengisi ruang kosong dalam sistem

demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan keinginan untuk

memenuhi kesejahteraan rakyat.

***

Bangsa Indonesia sedang berada pada kesempatan emas untuk segera melenting menjadi

bangsa yang maju dan sejahtera. Struktur penduduk Indonesia sedang menjanjikan

kesempatan untuk segera mencapai masa gemilang tersebut. Bonus demografi yang kita

peroleh sejak 2012 perlu dimanfaatkan segera, untuk memacu produktivitas angkatan kerja

dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Pada puncaknya kelak di tahun 2028, jumlah angkatan kerja mencapai 67% dari seluruh

penduduk, dan rasio kebergantungan jatuh hingga titik terendah 47%, artinya 100 penduduk

usia produktif hanya menanggung 47 usia non-produktif. Tulang punggung pemanfaatan

bonus demografi adalah pemuda. Konsentrasi pembangunan pemuda menjadi strategis bukan

hanya karena jumlahnya, karena inilah masa penentuan kualitas dalam kehidupan seseorang.

Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada pemuda akan menentukan perubahan

yang berlangsung sepanjang hidupnya. Kunci utamanya adalah pendidikan yang berkualitas

dan terbuka bagi semua. Tak boleh ada satu pun remaja yang luput dari akses terhadap

lembaga pendidikan.

Metode belajar harus diusahakan dapat sesuai dengan kebutuhan sosial dan menekankan pada

keterampilan hidup (life skill), yaitu penguatan karakter dan kemampuan sosial. Selain itu,

kita perlu segera mengubah paradigma, dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan

kekuatan, bukan beban masalah. Memandang pemuda sebagai beban masalah hanya akan

membawa pada kebijakan jangka pendek yang reaksioner, sekadar anti-ini dan anti-itu.

Sebaliknya dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan kekuatan masa depan, niscaya

membawa pada model kebijakan yang sistematis dan berorientasi pembangunan jangka

panjang.

HMI sebagai organisasi mahasiswa, dengan kesempatan mengakses pendidikan dan

pekerjaan lebih tinggi dibanding sebayanya, diminta atau tidak, akan selalu ikut bertanggung

jawab untuk melakukan pendampingan terhadap pemuda yang tak berkesempatan.

Page 44: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

44

Dengan potensi dan sebaran kader dan alumni HMI di seluruh Indonesia, kita sesungguhnya

bisa berbuat lebih banyak untuk membantu penyediaan ruang belajar dan beraktualisasi bagi

peningkatan kapasitas SDM pemuda. Jika satu cabang HMI minimal memiliki satu model

pendampingan komunitas. Dengan 200 lebih cabang yang kita miliki saat ini, ditambah

gandeng tangan dari alumni dan lembaga yang ikut berpihak, maka sesungguhnya satu

pekerjaan besar sedang kita bangun; menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang

unggul.

Setiap organisasi barangkali tak bisa berkelit untuk melaksanakan tugas sejarahnya. Merawat

warisan nilai dan teladan dari para pendahulu yang baik, sambil menerima perubahan di masa

kini untuk kemajuan yang lebih baik. Semoga penyampaian ini mendapat perkenan, dalam

konteks saling mengingatkan dalam kebenaran, untuk memandu kita semua pada citacita

masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah SWT. Yakin Usaha Sampai.

ARIEF ROSYID HASAN

Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)

Page 45: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

45

Humpty Dumpty Koran SINDO 8 Februari 2015

Humpty Dumpty adalah makhluk dalam lagu nina bobok-nya orang Inggris. Lagu tradisional

rakyat Inggris yang diperkirakan sudah populer sejak 1797 itu tidak jelas siapa pengarangnya,

tetapi setiap ibu di Inggris, hafal lirik itu yang salah satu versinya seperti ini: Humpty Dumpty

sat on a wall, Humpty Dumpty had a great fall. All the kings horses and all the kings men

Couldnt put Humpty together again.

Kalau saya terjemahkan bebas, kira-kira versi bahasa Indonesia-nya seperti ini: Humpty

Dumpty duduk di dinding tinggi, Humpty Dumpty jatuh tak bisa bangun lagi. Semua kuda

dan tentara raja tak bisa jadikan Humpty Dumpty seperti semula.

Tidak ada yang tahu Humpty Dumpty itu makhluk apa dan bentuknya seperti apa, tetapi pada

1904 seorang artis membuat buku cerita tentang Humpty Dumpty yang digambarkannya

sebagai makhluk anthropomorphic egg atau makhluk berbentuk telur yang mirip manusia

yaitu bisa berbicara dan bertingkah laku seperti manusia.

Di Amerika Serikat, sosok Humpty Dumpty sudah dimasukkan ke dalam lagu-lagu, dongeng,

buku, dan film, bahkan kajian filsafat dan etika. Tak terhitung jumlahnya. Tetapi, salah satu

yang menarik adalah seperti yang diceritakan dalam literatur klasik In Through the Looking-

Glass (Masuk melalui Gelas Kaca), di mana si makhluk telur itu bertemu seorang gadis kecil

bernama Alice (kalau tidak salah adegan ini ada dalam film kartun Walt Disney Alice in the

Wonderland) dan mereka mengobrol.

“Aku benar-benar tak mengerti apa arti kejayaan,” kata Alice. Humpty Dumpty menjawab

dengan angkuh, “Pasti kamu tidak akan mengerti, sampai suatu saat saya kasih tahu artinya.

Jadi bagiku itu pukulan yang mematikan untukmu.”

“Tetapi, arti kejayaan kan bukan pukulan yang mematikan?” Alice memprotes. Humpty

Dumpty tersenyum sinis. “Ketika saya menggunakan satu kata,” katanya, “Arti kata itu

tergantung pada saya sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.”

“Jadi, kamu boleh membuat kata dengan arti apa saja sesukamu?” Alice bertanya lagi karena

tidak mengerti. “Jadi, tergantung siapa yang berkuasa, dialah yang memberi arti pada suatu

kata,” ucap Humpty Dumpty masih tetap sinis, “Apa mau dikata, kata-kata itu memang

misteri.”

***

Page 46: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

46

Maka itu, dialog ini sampai dibahas dalam ilmu filsafat segala karena maknanya dalam

banget. Buat saya saja (yang, maaf, profesor) diperlukan pemikiran yang mendalam untuk

memahami dialog itu, apalagi buat orang awam.

Tetapi, dialog itu di dalam buku maupun film ditujukan untuk anak-anak. Barangkali anak-

anak yang otaknya belum terlalu ruwet seperti orang dewasa malah lebih bisa memahaminya

karena anak-anak itu selalu dalam posisi bawahan, yang harus selalu menurut apa kata

penguasa, termasuk papa, mama, opa, oma, ibu dan bapak guru, dan sebagainya.

Misalnya kejadian yang baru-baru ini dialami Valerie. Sepulang dari sekolah (dia kelas V

SD), baru saja masuk rumah terdengar suara klakson penjual es krim kesukaan dia. Segera

dia bilang pada mamanya, “Ma, beli es krim, ya?” Mamanya yang sedang asyik ngerumpi

sama tetangga yang suaminya selingkuh, segera menjawab, “Iya, sana-sana, ambil duitnya di

dapur.” Maka Valerie segera memanggil tukang es krim, melesat mengambil uang di dapur,

dan sekejap kemudian dia sibuk menjilati es krim kesukaannya.

Esoknya, pas pulang sekolah juga, si tukang es krim lewat lagi. Es kriimmm...tot...tot...tot.

Karena pengalaman kemarin, otomatis Valerie minta mamanya lagi, dong, “Ma, beli es krim,

ya?”. Tapi, kali ini Mama sedang kesal karena suaminya tidak menjawab ketika ditelepon dan

di-SMS, “Jangan-jangan dia lagi selingkuh juga seperti suaminya Ibu Ayub, tetangga

sebelah,” pikir Mama. Maka dengan jengkel dia menjawab permintaan Valerie, “Apaa?

Eeeh... udah ... sana-sana!” Dengan gembira Valerie berlari hendak menyetop si tukang es

krim lagi. Tetapi, mamanya segera memanggilnya kembali, “Heeh, Valerie!! Mau ke mana

kamu?” “Mau manggil es krim, Ma,” Valerie menjawab sambil menghentikan larinya. “Siapa

yang suruh kamu beli es krim? Ini kan jam tidur siang. Sana-sana kamu tidur siang, nanti sore

belajar, besok kan ulangan!” perintah si Mama tegas.

Siapa yang tidak bingung coba. Kemarin ‘sana-sana’ artinya ‘boleh beli es krim’, sekarang

‘sana-sana’ artinya ‘harus tidur siang’. Itulah yang dimaksud oleh Humpty Dumpty bahwa

penguasa suka mainkan arti kata-kata seenaknya sendiri. Selama dia yang berkuasa, dialah

yang menentukan arti-arti kata-kata itu.

Di dunia birokrasi ada dialog seperti ini. Lurah: Jadi mulai hari ini, kita bisa deklarasikan

bahwa kelurahan kita bebas banjir. Nanti akan saya laporkan ke Pak Wali agar kota kita

mendapat penghargaan Adipura. // Ketua RW 04: Belum bisa Pak Lurah. Di RW saya, RT 12

dan sebagian RT 13 masih kebanjiran.// Lurah: Aaah... itu mah cuma air tergenang namanya,

bukan banjir. Sebentar lagi juga surut. Udah, pokoknya tanda tangan saja, deklarasinya ya

Pak RW. Nanti kalau kita menang Adipura, kita potong kambing, sekalian doakan saya

supaya SK pengusulan saya jadi camat cepat ditandatangani Pak Wali.

Jadi kata ‘banjir’ pun bisa banyak artinya.

***

Page 47: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

47

Kalau kita tarik lagi ke bidang politik, kita akan tambah mumet lagi. Misalnya istilah- istilah

seperti: koalisi abadi, Plt (pelaksana tugas), seratus hari, menunda, tidak memberhentikan,

kader partai atau petugas partai, revolusi mental, dan seterusnya. Semua membingungkan.

Bagaimana kita bisa membangun bangsa dan negara kalau semua kebingungan.

Ibaratnya pasukan tentara, kalau ada aba-aba “Siaaap...grak!” Otomatis diikuti oleh seluruh

pasukan dengan serempak karena aba-aba itu hanya satu artinya. Kalau aba-aba itu boleh

dikritisi oleh setiap anggota pasukan, pasti pasukan akan berantakan.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 48: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

48

Jakarta, Oh Jakarta Koran SINDO 9 Februari 2015

Jakarta adalah sebuah nama yang begitu melekat di seluruh telinga rakyat Indonesia. Kota

yang menjanjikan segudang harapan bagi siapa pun yang berani bertaruh jiwa, merenda nasib

untuk memenuhi hasrat khayali kehidupan di alam imajinasi.

Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di

tengah inferiornya berbagai daerah dengan kekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya.

Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di

seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif,

legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya. Hampir seluruh kerajaan

bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman,

dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta.

Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang

dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia.

Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi

melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota. Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang

cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang

penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang-

orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami,

Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa.

Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga

keuangannya nyaris tidak terserap. Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan

kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh

penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat

Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah

dapat dibayangkan, seluruh pelayanan pemerintah akan terhenti karena uang kami habis

hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri.

Kini kami hanya menanti penuh harap aliran mobil yang berpelat nomor B agar mau mampir

makan di warung-warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa

mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya.

Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah,

sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta

tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang

Page 49: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

49

berubah. Tetapi, pajaknya yang puluhan miliar bahkan triliunan pergi meninggalkan kantong-

kantong kami yang kering menuju pundi-pundi keuangan di Jakarta. Kami harus bekerja

mengumpulkan karcis parkir, karcis pasar, dan berbagai pendapatan recehan lain yang

kadang kami malu karena kami harus bertengkar dengan rakyat kami sendiri yang sebenarnya

tidak layak untuk dipungut.

Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dua tahun lalu diserahkan kepada kami untuk dikelola

sebagai sumber pendapatan yang relatif besar untuk ukuran kami kini diwacanakan untuk

dihapus. Kalau mau berkata jujur, selama ini juga pemilik tanah hampir 40% tidak

membayarnya. Tetapi, kami juga menyadari, puluhan ribu hektare tanah di kampung kami

dimiliki oleh orang-orang Jakarta yang dibiarkan kering tanpa makna dan kami pun sulit

untuk mendapatkan pajaknya.

Sementara semua urusan yang berhubungan dengan instansi pusat, kami selalu harus

membayarnya. Nikah kami harus bayar, cerai kami harus bayar, membuat sertifikat tanah

kami harus bayar. Tragisnya, kalau yang cerai sudah tua, tambah puyeng di kepala karena

enggak ada pria yang lirik lagi. Untung masih ada Program Ibu Asuh. Masih ada deh harapan

buat manjangin umur.

Kini danau kami yang airnya dikirim untuk orang Jakarta dihuni oleh 28.000 keramba yang

para pemiliknya berdomisili di Jakarta. Ketika kami ingin menertibkannya, kami berhadapan

dengan ribuan gajah yang seolah tak ada satu pun kekuatan yang mampu kami gerakkan

untuk menghadapinya. Tetapi, dalam lirih kami tetap bertekad, satu batang lidi akan kami

gunakan untuk mengorek kuping gajah-gajah besar itu agar mau meninggalkan danau yang

sangat kami cintai.

Pada saat kemarau, kami sering kekeringan karena surutnya sumur timba yang kami

miliki. Danau besar yang sering kami banggakan, cintanya lebih terasa bagi orang Jakarta,

karena aliran airnya yang deras ke seluruh penjuru Ibu Kota dibanding ke kampung kami

yang sering tersendat karena minimnya pipa yang kami miliki.

Tetapi, semuanya tak akan membuat kami gusar dan putus asa. Seluruh energi yang tersisa

akan kami kerahkan agar danau kebanggaan kami mampu mengalirkan cintanya kepada

penghuni warga yang lama menunggu belas kasihnya.

Anak-anak kami bersekolah di sekolah sederhana agar efektif dalam biaya. Mereka tak

mengenal lagi SMP, cukup dengan SD sembilan tahun, agar sekolahnya tetap di

kampungnya. Uang anak-anak kami tidak cukup untuk jajan di sekolah sehingga mereka

membawa bekal makanan dari rumah yang dimasak oleh ibunya sehingga terhindar dari

keracunan makanan. Anak-anak kami setiap minggu makan telur dan minum susu yang

disediakan cuma-cuma oleh sekolah agar mereka tumbuh sehat dan cerdas.

Page 50: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

50

Anak-anak kami pun tak belajar sampai sore karena harus mencari kayu bakar untuk tungku-

tungku kami. Anak-anak kami harus menyabit rumput untuk kambing peliharaan kami dan

harus menyulam, merenda untuk belajar memenuhi kebutuhan sandang.

Setiap ruang kelas kami siapkan jamban agar kami tak dianggap kaum marginal dan kaum

jorok. Kalaupun kami sakit, ambulans tersenyum menjemput kami untuk mengantar ke balai

pengobatan yang melayani kami tanpa biaya, tanpa membedakan kaya dan miskin.

Kini sekolah menengah kami tumbuh di setiap sudut kecamatan dan kami mampu mengisinya

tanpa harus bicara masalah pungutan. Walau kami dihentakkan dengan perubahan

kewenangan, yang beberapa waktu lalu disahkan orang Jakarta.

Setiap minggu petugas kependudukan berkeliling kampung mencatatkan kewarganegaraan

kami tanpa pungutan. Di pusat kota kami mengantre menunggu giliran pencatatan, tanpa

calo, tanpa upah pegawai yang berpuluh-puluh juta, kami tetap terlayani.

Kini di pusat kotaku yang kecil, taman-taman tertata rapi. Di setiap sudut kutemui lampu

bertopi caping. Kami merasa kami tetap Indonesia walau seluruh energi yang kami miliki

tinggal lemak yang tersisa karena daging empuk dan tulang lunak yang kami miliki sudah

kami serahkan seluruhnya kepada Jakarta.

Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, ”Enggak apa-apa Ema mah tidak makan

tulang lunak dan daging empuk juga. Jangankan sekarang Ema sudah ompong, sejak muda

pun Ema mah memang kurang suka. Lebih suka makan daun-daunan, akar-akaran, dan

beubeutian (umbi-umbian) yang jauh lebih sehat dan higienis dibanding daging dan tulang

lunak yang sering menimbulkan kolesterol. Ternyata kebiasaan Ema makan dangdaunan

(daun-daunan) ditiru oleh orang-orang Jakarta sekarang.”

“Ema mah ngahenang ngahening, ngeunah dahar tibra hees, (hening, enak makan nyenyak

tidur) dibanding batur (orang lain) yang katanya banyak uang dan banyak makanan, tapi

kelihatannya kurang tidur dan emosional, akhirnya banyak bertengkar sampai terdengar di

sudut kampung tetangga Ema yang punya tivi. Jam satu malam saja masih terdengar suara

pertengkaran dari Jakarta. Teuing marebutkeun naon, teu ngarti ema mah. (Entah

memperebutkan apa, Ema tidak mengerti)”.

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 51: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

51

Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur Koran SINDO 9 Februari 2015

Tamu ayahnya pada malam itu menimbulkan teka-teki. Pada mulanya, Husen Banten, nama

tamu itu, biasa-biasa saja seperti para tamu lain. Tapi demi melihat ayahnya yang begitu

serius, bahkan ada kesan gugup menyambutnya, dia mulai bertanya-tanya.

Itulah yang dialaminya pada suatu hari, kira-kira pukul 8.00 malam, ketika dia baru berusia

lima tahun. Dia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Bocah itu segera membukanya,

dan di depan pintu berdiri seorang laki-laki kurus dengan pakaian biru. Orang yang belum

dikenalnya itu bertanya, ”Apakah Bapak ada di rumah? Tolong bilang pada beliau bahwa Pak

Husen Banten datang bertamu.”

Gus Dur kecil, bocah berusia lima tahun tadi, segera menemui ayahnya, dan melaporkan

kedatangan Pak Husen Banten itu. Sang ayah segera bangun dan menyuruh anaknya itu untuk

menyampaikan kedatangan tamu tadi pada ibunya. Gus Dur kaget melihat tanda keseriusan di

wajah ayahnya.

Dan sang ayah hanya mengatakan bahwa tamu itu teman lama beliau. Cukup. Hanya itu yang

bisa dikatakan pada anaknya yang masih bocah. Tapi, kata Gus Dur setelah dewasa,

sebagaimana dapat kita baca pada halaman 57-58 buku Dialog Peradaban: untuk Toleransi

dan Perdamaian (2010), beliau baru tahu bahwa tamu yang menyebut dirinya Husen Banten

itu ternyata Tan Malaka yang hebat itu.

Tokoh populer, dengan nama besar, bahkan nama besar yang mengagumkan, tak selalu

memiliki jaminan bahwa dia pasti dikenal secara luas. Tokoh yang mengambil peran untuk

bergerak di bawah tanah selalu memiliki risiko seperti itu. Tapi siapa bilang itu risiko? Tak

dikenal itu bagian dari strategi perjuangannya agar lebih leluasa bergerak tanpa diketahui

identitasnya.

Sebagai orang bawah tanah, dia memang sengaja, dan menginginkan, dengan penuh

kesadaran, untuk tak dikenal. Setidaknya selama yang bersangkutan masih merasa perlu

”bersembunyi.”

Ada lagi kenangan masa kecil, yang dilaporkan di halaman 58-59 buku tadi. Gus Dur pernah

diajak ayahnya ke rumah temannya, Pak Kasimo, ketua umum Partai Katolik. Di rumah Pak

Kasimo, sang ayah mengeluarkan sebuah bungkusan dan diserahkan pada temannya itu.

Gus Dur bertanya apa isi bungkusan tadi sesudah mereka dalam perjalanan pulang. Ayahnya

Page 52: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

52

menjelaskan bahwa itu sumbangan uang untuk seorang teman yang lain lagi. Pak Kasimo

sedang mengumpulkan dana pembangunan rumah, untuk diberikan pada Pak Prawoto. Beliau

tokoh Partai Masyumi, orang besar, yang belum punya rumah.

Gus Dur mengatakan bahwa beliau sangat terkesan pada persahabatan mereka. Ayahnya

tokoh NU, Pak Kasimo tokoh Katolik, sedang Pak Prawoto tokoh Masyumi, yang baru

merencanakan mendirikan negara Islam. Kedua temannya itu jelas tak menyetujui rencana

tersebut. Tapi teman adalah teman. Ini persahabatan luar biasa.

Jenis persahabatan macam ini sekarang sudah tidak ada lagi. Kebesaran jiwa di dalam diri

para tokoh sekarang sudah terhapus oleh sikap saling curiga dan semangat saling menjegal,

saling memfitnah, dan semangat jatuh menjatuhkan.

Sisa kebesaran itu, pendeknya, tidak ada lagi. Kini yang tinggal pada para tokoh hanya

perasaan benar sendiri, ingin menang sendiri, dan bahwa orang lain, siapa pun dia, dianggap

musuh. Dan musuh harus dibasmi. Di dunia politik basmi-membasmi itu berlangsung dengan

siapa saja yang dianggap merupakan penghalang cita-cita dan segenap langkah politik yang

dibuat untuk menguntungkan diri sendiri. Tak terlintas dalam pikiran para tokoh zaman

sekarang untuk mendukung orang lain yang tak sejalan dengan kita. Mereka yang tak sejalan

itu disebut musuh.

Tokoh besar masa lalu memang sungguh besar. Gus Dur, yang menikmati suasana hidup di

dalam keluarganya yang memiliki rasa persahabatan yang dalam dan tulus dengan siapa

pun. Gus Dur menyerap kebesaran ayahnya dan teman-teman ayahnya, tak peduli mereka

Katolik, Masyumi, atau PKI seperti Tan Malaka. Orang-orang besar itu memancarkan aura

kebesaran jiwa mereka. Maka, anehkah bila Gus Dur di kemudian hari menjalin persahabatan

dengan siapa pun, tanpa memedulikan latar belakang mereka? Keanehan Gus Dur, yang

sering disebut ”tak mudah dipahami” itu, agaknya, memang merupakan fenomena yang

sudah ”didesain” oleh tatanan struktural yang berkembang di zaman itu.

Di kemudian hari kita tahu Gus Dur memanggul banyak tugas besar yang tak mudah

dilaksanakan tanpa kebesaran jiwa yang memancar dan menerangi kegelapan tatanan hidup

yang sering menjengkelkan. Agaknya, sejak dulu sudah jelas, Gus Dur digiring lebih dulu

oleh nasib–mungkin nasib baik– untuk menjadi pewaris kebesaran jiwa para tokoh tadi.

Bila kemudian, seperti kita ketahui sekarang, setelah wafatnya beliau dikukuhkan menjadi

wali ke-10, pengukuhan itu hanya formalitas sosial, karena bukankah dasar-dasarnya sudah

ditata sejak dulu? Fenomena itu hanya ingin menyatakan bahwa di atas bumi, di bawah

kolong langit ini, tidak ada ”barang” dadakan, tidak ada ”barang” kebetulan.

Tan Malaka menjadi tokoh pejuang yang gigih, tokoh gerakan di bawah tanah yang

beroperasi secara sangat rapi, dan memiliki jaringan luas di mana-mana. Jaringan itu bersifat

lintas batas etnis, aliran politik, warna dan haluan partai, dan berbeda-beda agama, tapi

mereka disatukan oleh agenda bersama: cita-cita keindonesiaan. Ini mungkin terlalu luas.

Page 53: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

53

Jadi bisa juga dirumuskan, setelah kemerdekaan, kita merasa memanggul kewajiban mengisi

kemerdekaan itu dengan segenap agenda politik kebudayaan, yang mewujudkan cita-cita kita

bernegara, dan memanggul sepenuhnya mandat konstitusi kita. Tan Malaka, orang besar

zaman itu, yang mewakili kepentingan politik PKI, dan J Kasimo, membawakan agenda

politik Partai Katolik, untuk kebesaran Indonesia.

Zaman mereka sudah lewat. Segenap kenangan buat mereka terasa begitu indah, manusiawi,

dan penuh semangat untuk bersatu. Jauh di masa depan yang mereka bayangkan hanya satu:

sebuah Indonesia yang kuat dan berwibawa. Gus Dur jelas tokoh penting yang merupakan

bagian dari zaman ini. Pemikirannya masih sangat berpengaruh. Sikap politik keagamaannya

begitu akomodatif, tidak kaku dan selalu siap memberi orang lain tempat yang nyaman secara

psikologis maupun politik.

Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur tak memiliki kaitan organisatoris, bukan tokoh-tokoh

yang terikat oleh sebuah partai. Tapi mereka terikat, tanpa perjanjian tanpa kontrak, oleh

nilai-nilai perjuangan yang sama. Mereka berjuang dengan cara masing-masing untuk

membikin Indonesia ini ”rumah” bagi semua pihak, semua warga negara, tanpa batas etnis,

bahasa, partai dan aliran politik. ”Rumah” itu kadang terasa hampir jadi. Tapi kadang

kelihatan begitu porak-poranda.

Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur sudah tak lagi bersama kita. Kini dicari orang-orang,

tokoh-tokoh, yang memiliki kesalehan politik seperti mereka. Kini dicari siapa di antara kita

yang merupakan penerus mereka?

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 54: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

54

Gaji PNS Koran SINDO 12 Februari 2015

Selama beberapa pekan belakangan ini dibuat terpesona oleh pemberitaan tentang pegawai

negeri sipil (PNS). Anda tentu tahu apa yang saya maksud. Iya, soal gaji.

Sebagai dosen, saya juga PNS, dan sudah biasa mendengar janji surga seperti ini. Semoga

kali ini benarlah adanya.

Mulanya adalah gaji PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Angkanya memang

fenomenal. Bayangkan, gaji awal pegawai bisa Rp7 juta. Ini boleh dibilang setara dengan gaji

pegawai baru di perusahaan papan atas Indonesia.

Lalu, gaji lurah bisa mencapai Rp33,7 juta, camat Rp44,3 juta, dan wali kota Rp75,6 juta.

Gaji seorang kepala badan bahkan bisa mencapai angka Rp78,7 juta.

Isu berikutnya adalah gaji seorang dirjen pajak. Angka yang sudah beredar adalah di atas

Rp100 juta per bulan. Bahkan, sebagian kalangan menilai angka tersebut masih terlalu

kecil. Ada yang mengusulkan gaji dirjen pajak setara dengan gaji gubernur Bank Indonesia

yang Rp194 juta per bulan. Ini tentu dikaitkan dengan pajak yang mesti dikumpulkannya.

Untuk tahun 2015, target penerimaan pajak sebesar Rp1.300 triliun.

Mungkin kita yang awam agak terheran-heran, besar sekali ya? Untuk diketahui, gaji menteri

rata-rata Rp19 juta per bulan. Lalu, gaji seorang Wakil Presiden RI ”hanya” Rp42 juta per

bulan, dan gaji Presiden Rp62 juta. Tapi kalau Anda jadi wirausaha senior dan berhasil, Rp1

miliar saja bisa didapat sebulan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi menteri

pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Disharmoni semacam ini harus ia

bereskan.

PNS = Kaya

Bicara soal gaji PNS, bukan angkanya semata yang menarik perhatian saya. Sebagai orang

yang suka mencermati isu-isu tentang perubahan, justru perubahan itu sendirilah yang

menarik perhatian saya. Perubahan seperti apa?

Saya ingin mengulang cerita lama. Suatu ketika kolega saya yang asal Sumatera Utara pulang

kampung. Di sana ia berkumpul bersama orang tuanya, juga kakek dan neneknya. Saat

berkumpul bersama keluarga dan tetangga kiri-kanan rumahnya, sang nenek mengeluh.

Page 55: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

55

Keluhannya begini, ”Iya, cucu saya yang satu ini masih bekerja di perusahaan swasta. Belum

jadi pegawai negeri.”

Rupanya bagi sang nenek menjadi pegawai negeri adalah idamannya. Pekerjaan terhormat.

Itu cita-cita yang bahkan ia sendiri tak mampu mewujudkannya.

Kita yang pernah ke kampung-kampung tentu bisa merasakan hal ini. Penghormatan orang

desa terhadap pegawai negeri, yang dulu disebut ambtenaar, memang luar biasa. Ia menjadi

orang yang disapa pertama saat berpapasan di jalan. Kalau punya pangkat namanya jadi

pejabat.

Tapi hal yang paling ditakutinya bukan kata ‘korupsi’, tapi ‘mutasi’. Ya, sampai-sampai

Bupati Bojonegoro, Kang Yoto, begitu dilantik langsung bilang, ”Tak akan ada mutasi

kendati kalian dulu tak mendukung saya.” Ia pun disambut dengan keplokan meriah oleh PNS

yang dulu mendukung incumbent.

Kembali lagi ke cerita tadi, ketika di desa-desa ada masalah, ia juga menjadi tempat bertanya.

Penghormatan semacam ini bahkan mengalahkan minimnya gaji yang diterima oleh sang

ambtenaar.

Celakanya, semakin ke sini, penghormatan masyarakat terhadap pegawai pemerintah sudah

kian susut. Mereka bahkan dianggap sebagai sumber masalah dengan jargonnya yang sangat

terkenal, ”Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.” Bahkan biasa kita dengar,

buat mereka yang ingin kaya, tetapi lewat cara kerja yang jujur, jangan jadi PNS. Orang-

orang tua kerap menasihati anak-anaknya, ”Kalau mau kaya, jangan jadi PNS. Jadilah

pedagang.”

Kalau ada PNS yang kaya–rumahnya megah, tanahnya ada di mana-mana, anak-anaknya

sekolah di luar negeri, dan punya istri simpanan–setiap orang bakal menduga, itu pasti

diperoleh dari hasil korupsi. Anggapan seperti itu semoga bakal usang. Setidak-tidaknya di

Provinsi DKI Jakarta.

Kalau melihat gaji lurah, camat, wali kota, dan jajaran pimpinan lainnya di lingkungan

Pemprov DKI Jakarta, semuanya seakan-akan menegaskan: siapa bilang menjadi PNS tidak

bisa kaya! Memang belum bisa disebut kaya raya, tetapi jelas mereka termasuk kelompok

masyarakat yang terbilang berada. Bukan miskin.

Ini juga akan menarik calon karyawan Citibank atau Bank Mandiri untuk berpaling menjadi

lurah saja. Menjadikan posisi lurah-lurah lama yang lemot akan tergeser. Dengan gaji

barunya, sebentar lagi kita akan menyaksikan–atau malah sudah terjadi–perubahan besar di

lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Menjadi pegawai di sana adalah sebuah profesi yang membanggakan. Gajinya tidak kalah

dengan pegawai swasta. Dulu menjadi PNS adalah pilihan kedua, setelah tidak diterima

Page 56: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

56

bekerja di swasta. Kini di lingkungan Pemprov DKI Jakarta anggapan itu tidak berlaku lagi.

Menjadi PNS di sana adalah cita-cita banyak lulusan perguruan tinggi, negeri atau swasta.

Perubahan lainnya–ini yang saya harapkan tidak terjadi–kian banyak PNS di Pemprov DKI

Jakarta yang memiliki mobil. Sebab, Jakarta bakal semakin macet saja.

Mana Kerjanya

Akankah kenaikan gaji itu diiringi dengan perbaikan kinerja? Itulah perubahan yang juga kita

tunggu-tunggu. Ini memang pertanyaan yang rada-rada susah dijawab. Mirip dengan diskusi

mana lebih dulu, ayam atau telur.

Baiklah mari kita tebarkan semangat optimistis. Bukankah kita sudah memiliki referensinya.

Anda ingat bukan langkah seperti itu sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Ignasius

Jonan. Sewaktu diangkat menjadi dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI), Jonan memilih untuk

menaikkan gaji pegawainya terlebih dahulu. Baru setelah itu Jonan menuntut pegawainya

bekerja habis-habisan untuk membenahi KAI.

Hasilnya kelihatan. Pada masa Jonan, kinerja KAI terus membaik. Kualitas pelayanannya

semakin meningkat. Bahkan, KAI menjadi perusahaan transportasi pertama yang menerapkan

e-ticketing atau tiket elektronik. Bukan lagi transaksi tunai.

Secara bisnis, KAI juga mampu membalikkan kinerjanya dari semula merugi menjadi

menguntungkan. Mungkin itu sebabnya Jonan kemudian ditunjuk jadi menteri perhubungan.

Tapi ingat, Jonan bukan cuma urus kenaikan gaji. Ia bongkar banyak hal secara menyeluruh,

terpadu. Gaji saja tak akan mengubah kebiasaan. Mustahil kita dapatkan hasil yang berbeda

kalau caranya sama berulang-ulang.

Bagaimana dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta? Mungkin karena kenaikan gaji itu masih

baru, belum lagi dinikmati oleh para PNS di Pemprov DKI Jakarta, dampaknya belum terlalu

terasa. Setidak-tidaknya kalau banjir besar yang kemarin melanda Jakarta, kita jadikan

sebagai rujukan. Semula saya berharap dengan gaji barunya, kinerja aparat pemprov dalam

melayani masyarakat bakal habis-habisan.

Misalnya, jajaran pegawai Dinas Perhubungan bakal habis-habisan mengatur lalu lintas yang

saat Jakarta dikepung genangan air kacaunya luar biasa. Bahkan, pegawai dari dinas yang

lain pun ikut membantu. Nyatanya saya tidak melihat hal itu di lapangan. Malah, polisi dan

”polisi swasta” yang sibuk mengatur arus lalu lintas. Di mana para pegawai Pemprov DKI?

Mungkin mereka sibuk memikirkan jalan pulang. Mencari jalan mana yang bakal mereka

tempuh agar tidak kena macet.

Sesuatu yang baru kadang membuat kita gagap. Itu wajar saja. Hanya, saya berharap

kegagapan tersebut jangan berlarut-larut. Para pegawai Pemprov DKI Jakarta mesti ingat,

Page 57: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

57

gaji kalian naik berkat kami. Uang kamilah yang Anda nikmati. Jadi sudah sewajarnya kalau

kami ganti menuntut Anda untuk bekerja keras. Layani kami. Jangan malah membuat susah.

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

Page 58: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

58

Hari Orang Sakit Sedunia Koran SINDO 12 Februari 201

Hari Orang Sakit Sedunia (World Day of the Sick) ditetapkan oleh Sri Paus Yohanes Paulus

II pada 13 Mei 1992 dan mulai dirayakan pada 11 Februari 1993. Bapa Suci menetapkan Hari

Orang Sakit Sedunia (HOSS) setahun setelah didiagnosa menderita penyakit parkinson pada

awal 1991.

Apa yang sebaiknya kita ketahui? Ketiga tema HOSS yang terus-menerus didengungkan

setiap 11 Februari adalah mengingatkan semua orang beriman untuk berdoa secara khusyuk

dan tulus bagi mereka yang sedang sakit. Kedua, mengundang semua orang beriman untuk

merefleksikan sakit dan penderitaan manusia. Ketiga, penghargaan bagi semua orang yang

bekerja dalam bidang kesehatan.

Subtema HOSS 2015 ini mengajak kita untuk merenungkan dari perspektif ”sapientia cordis”

(kebijaksanaan hati) seturut seruan Paus Fransiskus. Pertama, kebijaksanaan hati berarti

melayani saudara-saudara kita yang sedang sakit, yang diawali dengan kemurnian hati,

pelayanan dan bela rasa, sampai menghasilkan buah yang baik.

Dalam pelaksanaan melayani orang sakit tersebut, kita diharapkan mampu bersikap seturut

semangat Ayub, ”Saya mata untuk orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15)

kepada sesama yang sakit, khususnya orang miskin, anak yatim, dan janda. Hari ini juga kita

semua diajak untuk menunjukkan bukan dengan kata-kata, tetapi dengan kehidupan yang

berakar dalam iman sejati bahwa kita mampu menjadi ”mata untuk orang buta” dan ”kaki

bagi orang lumpuh”.

Pelayanan kita tidaklah harus dilakukan dengan menjadi petugas kesehatan bagi para pasien.

Sebenarnya kita dapat sekadar dekat dengan orang sakit, terutama yang membutuhkan

perawatan lama, membantu dalam memandikan, berpakaian, mencucikan dan menyuapkan

makanan. Layanan sederhana seperti ini terutama bila dilakukan berkepanjangan, pastilah

dapat menjadi sangat melelahkan dan memberatkan. Apalagi pada pasien yang sakit berat

sudah pasti tidak lagi mampu mengungkapkan rasa terima kasihnya, karena kesadarannya

sudah jauh menurun.

Meskipun tidak ada yang menginginkannya, setiap manusia akan mungkin mengalami sakit,

penderitaan, bahkan dapat berlanjut dengan kematian. Sakit yang ringan sekalipun sebaiknya

digunakan sebagai sebuah momentum penting untuk mensyukuri sehat. Apalagi sakit berat,

kronis, dan kemungkinan sembuhnya kecil seperti kanker, sudah seharusnya menjadi

momentum untuk menyatukan kita semua umat manusia. Kita diingatkan untuk bersandar

Page 59: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

59

pada Tuhan menyadari pentingnya iman bagi mereka yang sakit dan berbeban berat untuk

datang kepada Tuhan.

Dalam pertemuan dengan Tuhan melalui caranya masing-masing, mereka yang sakit akan

menyadari bahwa dirinya tidak sendirian. Kita dapat membantu orang sakit agar masa

penderitaannya dapat diubah menjadi masa rahmat.

Sering kali dalam penderitaan sakitnya orang mudah terjatuh untuk menjadi putus asa dan

kehilangan harapan. Pada saat itulah kita yang sehat sebaiknya menekankan akan penyertaan

Tuhan, sehingga masa sakit tersebut dapat diubah menjadi masa rahmat Ilahi dengan

permenungan mendalam untuk mengevaluasi kembali hidup seseorang, mengakui kegagalan,

buruknya perilaku hidup, dan kesalahan, serta membangkitkan kerinduan akan Tuhan dan

mengikuti jalan menuju rumah-Nya.

Kedua, kebijaksanaan hati seharusnya diartikan bahwa waktu yang kita habiskan dengan

orang sakit, apalagi melayaninya, adalah waktu suci. Sering kali kita lupa nilai khusus

tentang waktu yang dihabiskan di samping tempat tidur orang sakit, karena alasan terburu-

buru dan terjebak dalam hiruk-pikuk aktivitas rutin. Kebijaksanaan hati berarti bahwa kita

memberikan waktu mendampingi saudara yang sakit, karena kita secara bebas mengurus dan

bertanggung jawab untuk orang lain.

Ketiga, kebijaksanaan hati berarti menunjukkan solidaritas dengan saudara-saudara kita dan

tidak menghakimi mereka atas sakit yang mereka alami. Saat mengunjungi, merawat, dan

menemani orang sakit, diam saja pun sudah mencukupi seperti teman-teman Ayub: ”Dan

mereka duduk dengan dia di tanah tujuh hari tujuh malam dan tidak ada yang berbicara

sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa penderitaannya sangat besar.”

(Ayub 2:13). Bagi kita semua yang sehat, memberikan pendampingan, penghiburan dan

perhatian untuk mereka yang sakit sangatlah berarti.

Selain itu, kita disadarkan akan pergerakan roda kehidupan. Pada saat sehat kita seharusnya

meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana untuk membantu mereka yang sakit. Pada saat

yang lain sangat mungkin kita sendiri justru menjadi orang yang sakit dan memerlukan hal

sama dari semua orang di sekitar kita sebagaimana pergerakan dan putaran roda kehidupan.

Pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sekarang berlaku di Indonesia, kendali

mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan untuk pasien yang sakit akan lebih mudah

terwujud. Kendali tersebut juga penjaminan pembiayaan pasien dilakukan oleh BPJS

Kesehatan. Hal ini dapat terwujud karena kebebasan profesi dokter semakin mampu

direduksi, kompleksitas masalah medis pasien makin dapat diabaikan, dan mutu pelayanan

medik yang dilakukan semakin dapat disetarakan.

Jaminan pembiayaan pasien apabila tetap di dalam pengendalian akan dapat menjangkau

seluruh rakyat Indonesia (universal health coverage) dengan dana BPJS Kesehatan yang

tersedia. Terjadi perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia setelah

Page 60: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

60

sistem JKN diberlakukan sejak 1 Januari 2014. Jasa medis yang diterima petugas kesehatan

pada umumnya terjadi penurunan nominal dibandingkan dengan pada saat sistem kesehatan

yang lama.

Penghargaan bagi petugas kesehatan layak diberikan terutama karena dedikasinya yang tetap

tinggi dan tidak berubah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi para pasien sesuai

ketentuan dalam program JKN.

Dengan momentum Hari Orang Sakit Sedunia 11 Februari 2015 kita diingatkan agar

memiliki kebijaksanaan hati bagi para orang sakit. Sudahkah kita bertindak untuk

meringankan beban orang sakit di sekitar kita?

FX WIKAN INDRARTO

Dokter Spesialis Anak RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S-3 UGM

Page 61: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

61

Pro-Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan Koran SINDO 13 Februari 2015

Ide islamisasi ilmu pengetahuan digelindingkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (sarjana muslim

asal Palestina) di era 1980-an.

Lahir di Jaffa pada 1 Januari 1921, al-Faruqi pernah menjabat sebagai gubernur Galilee saat

Palestina masih di bawah kekuasaan Inggris. Ketika Zionis-Israel mencaplok tanah Palestina

dan mendirikan negara Yahudi pada 1948, al- Faruqi berimigrasi ke Libanon dan masuk di

Universitas Amerika di Beirut. Dia melanjutkan studinya ke Universitas Indiana (Amerika

Serikat) dan kemudian belajar di Universitas al-Azhar selama empat tahun (1954-1958).

Pernah mengajar di beberapa universitas di Amerika utara, termasuk di Universitas McGill

(Montreal, Kanada). Pada 1963 al-Faruqi kembali ke AS dan mengajar di Universitas Temple

dan dia diberikan kepercayaan untuk merancang program studi Islam di universitas tersebut.

Pada 1980 al-Faruqi bersama Sheikh Taha Jabir al-Alwani, Dr Abdul Hamid Sulaiman

(mantan rektor Universitas Islam Antarbangsa Malaysia), dan Anwar Ibrahim mendirika n

International Institute of Islamic Thought di Kuala Lumpur, Malaysia.

Al-Faruqi dan keluarganya mengalami nasib tragis. Seorang laki-laki pembegal membunuh

al-Faruqi, Lois Lamya (istrinya), dan Anmar al-Zein (puterinya) di rumahnya di Philadelphia

pada 27 Mei 1986. Motif pembunuhan ini diduga karena al-Faruqi banyak melancarkan

kecaman dan kritik keras terhadap politik Zionis-Israel. Sampai sekarang Badan Intelijen

Amerika (FBI) belum berhasil menangkap si pembunuh.

Dalam menyebarluaskan gagasannya, al-Faruqi menulis buku bertajuk Islamization of

Knowledge. Beberapa kalangan sarjana muslim menyatakan pro dan setuju dengan gagasan

islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh al-Faruqi. Di pihak lain, ada beberapa

kalangan sarjana muslim yang kontra dan tidak setuju dengan ide islamisasi ilmu

pengetahuan yang digagas al-Faruqi.

Masih menjadi pertanyaan saya, mengapa al-Faruqi tidak menggagas tentang Islamization of

Sciences? Saya berpendapat, knowledge (pengetahuan) dan science (ilmu pengetahuan) itu

berbeda. Misalnya, kita mengetahui ada hujan turun dari langit. Itu namanya pengetahuan.

Kajian kita tentang sebab-sebab turunnya hujan bermula dari terjadi penguapan air laut, lalu

menjadi awan menggumpal, dan dari gumpalan awan ini akhirnya terjadi hujan. Itulah yang

disebut ilmu pengetahuan. Al-Faruqi menggagas islamisasi pengetahuan atau islamisasi ilmu

pengetahuan?

Page 62: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

62

Buku al-Faruqi Islamization of Knowledge diterjemahkan oleh Anas Mahyudin ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan islamisasi sains yang

digulirkan al-Faruqi tampaknya dimotivasi oleh kegelisahannya saat melihat ilmu

pengetahuan Barat yang semakin “sekuler”.

Di Barat, dikotomi dan separasi ilmu-ilmu agama (religious sciences) dan ilmu-ilmu sekuler

(secular sciences) sudah lama terjadi yaitu sejak sekularisme dianut oleh masyarakat Barat

sekitar abad ke-17 M. Sejak itu ihwal duniawi (termasuk ilmu pengetahuan umum/sekuler)

dibedakan dan dipisahkan dari ihwal agamawi.

Di sekolah Barat murid-murid dilarang berdoa di ruang kelas sebelum pelajaran dimulai. Jika

pun ada program studi agama (termasuk Islam) di universitas Barat, itu dimaksudkan sebagai

kajian akademik murni dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan ketakwaan dan

penguatan iman. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran misalnya banyak

“disalahgunakan” untuk praktik aborsi dan euthanasia dalam masyarakat Barat.

Berbagai fenomena di Barat itulah tampaknya yang menggerakkan al-Faruqi mencetuskan ide

islamisasi ilmu pengetahuan. Kita memahami kegelisahan al-Faruqi. Dia ingin

mengembalikan sains dan teknologi serta penggunaannya ke jalan sesuai ajaran agama

(Islam). Perlu ditanyakan: sejauh manakah ide islamisasi sains yang dicanangkan oleh al-

Faruqi itu mencapai target dan sasaran? Sudah terwujudkah ide islamisasi ilmu pengetahuan

dambaan al-Faruqi itu? Jika sudah terwujud, elemen-elemen sekuler manakah dari ilmu

pengetahuan Barat itu yang sudah diislamisasi?

Sebagaimana disinggung di atas, gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang dilontarkan oleh

al-Faruqi menuai kontroversi di kalangan sarjana muslim. Ada yang pro dan ada yang

kontra. Seorang sarjana muslim Indonesia yang kontra terhadap gagasan islamisasi sains versi

al-Faruqi adalah Munawir Sjadzali (menteri agama era 1990-an). Menurut Munawir, ilmu

pengetahuan itu bersifat universal, tidak ada ilmu pengetahuan Islam, ilmu pengetahuan

Barat, dan ilmu pengetahuan bukan Islam.

Saya tidak melihat ada substansi materi ilmu pengetahuan sekuler Barat yang telah

diislamisasi. Para sarjana Barat tidak merasa ada elemen-elemen ilmu pengetahuan mereka

yang telah diislamisasi. Ilmu pengetahuan sekuler Barat tetap dan terus berkembang dan

dikembangkan secara modern dan canggih oleh para ilmuwan Barat seiring perkembangan

zaman.

Menurut saya, para pakar muslim memakai teori-teori tertentu ilmu pengetahuan Barat

kemudian mengembangkan teori-teori tadi dengan menggunakan rujukan ajaran Islam. Atau,

para sarjana muslim tadi sudah menguasai teori-teori ilmu keislaman dan mengayakannya

dengan ilmu-ilmu Barat modern yang mereka nilai sesuai dengan Islam. Dengan cara

demikian, lahirlah ilmu pengetahuan yang bercorak islami.

Page 63: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

63

Misalnya ahli-ahli ekonomi muslim menggunakan teori-teori tertentu ilmu ekonomi sekuler

Barat yang menurut penilaiannya tidak bertentangan dengan Islam. Lalu dia mengembangkan

dan menciptakan sendiri ilmunya itu dengan memakai rujukan ajaran Islam. Atau, dia sendiri

sudah menguasai beberapa teori ekonomi Islam dan mengayakannya dengan teori dan kajian

ilmu ekonomi sekuler Barat yang dia nilai sesuai dengan ajaran Islam. Dari studinya itu,

lahirlah ilmu ekonomi Islam (syariah).

Dalam konteks ini, sarjana muslim tadi hanya mengambil teori, materi, dan substansi ilmu

ekonomi sekuler Barat yang ia nilai tidak bertentangan dengan Islam. Sedangkan teori,

materi, dan substansi ilmu ekonomi sekuler Barat (bercorak kapitalistik) yang dia nilai

berlawanan dengan Islam tidak diadopsi. Jadi tidak ada materi-materi ilmu pengetahuan

sekuler Barat yang diislamisasi.

Hasil-hasil teknologi Barat (AS) juga sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara Arab-muslim sudah terbiasa menggunakan teknologi

perminyakan ciptaan AS untuk mengeksplorasi hasil minyak mereka. Apa yang salah dengan

teknologi perminyakan AS? Apanya yang perlu diislamkan?

Ilmu matematika di Barat mengatakan bahwa 2+2=4. Ilmu matematika di dunia Islam juga

mengatakan bahwa 2+2= 4. Apa yang salah dengan ilmu matematika di dunia Barat? Apanya

yang perlu diislamkan?

Yang berbeda antara Barat dan Islam terletak pada filsafat dan pandangan hidup antara

keduanya. Barat bertumpu pada sekularisme-antroposentrisme, sedangkan Islam (muslim)

berpangkal pada teosentrisme. Akibat itu, ilmu pengetahuan di Barat terlepas dari agama

(dengan segala implikasi dan konsekuensinya), sedangkan dalam Islam tidak.

FAISAL ISMAIL

Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 64: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

64

Jakarta Perlu Belajar dari Kota Lain Koran SINDO 14 Februari 2015

Jakarta kembali menjadi berita yang tidak membanggakan, meski sudah bisa diprediksi.

Metropol Indonesia yang pada 22 Juni 2015 nanti hampir berusia setengah milenium ini,

menggondol gelar terburuk.

Baru-baru ini, setelah sebelumnya oleh The Economist, Jakarta mendapat predikat kota paling

berbahaya; Castrol Magnatec Stop-Start menobatkan Jakarta menjadi kota paling macet di

dunia. Lebih dari itu, tujuh tahun lalu, penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP,

2009) mendudukkan Jakarta pada peringkat ke-3 sebagai kota paling buruk kualitas udaranya

di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.

Tinggal di Jakarta yang sangat padat sungguh jauh dari kenyamanan. Hampir semua sumber

kehidupan yang vital seperti air dan udara, sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil

penelitian UNEP tersebut menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di

kota metropolitan ini terbukti mengandung ekoli, bakteri yang berasal dari kotoran manusia.

Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak. Penyebab utamanya adalah

emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah

mulai menerapkan peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus

menggunakan bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan. Pemprov DKI Jakarta juga

telah menyusun RTRW 2010-2030 yang, sayangnya, diprotes berbagai pihak karena

dianggap tidak partisipatif.

Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang meragukan apakah

mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya, yang kini berpenduduk 20 juta

jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis

bahwa Sao Paulo, Brasil, ”berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin

melakukan perencanaan atasnya.” Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru

berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan, apa kesan mendiang Levi Strauss seandainya

melihat Sao Paulo, apalagi Jakarta saat ini.

Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara

berkembang, bukan disebabkan kemakmuran kota, tetapi akibat kemiskinan desa.

Belajar dari Kota lain

Secara teoretis, arus urbanisasi ini akan lebih terbendung seandainya sentra-sentra di daerah

Page 65: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

65

mampu menawarkan lapangan kerja cukup. Pada aspek ini, sebenarnya ada ”titik temu”

kepentingan antara Jakarta dan daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk

mengurangi beban kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan, seharusnya

menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.

Jakarta bisa menjembatani— atau melakukan investasi langsung—di daerah terutama dalam

sektor industri padat karya. Boleh juga dicoba program pemulangan ”putera daerah” dari

Jakarta untuk mengisi berbagai lowongan pekerjaan di daerah.

Status Jakarta sebagai ibu kota negara, sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis,

juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di kota ini. Rencana

pemindahan lokasi kegiatan administrasi pemerintahan ini, kiranya perlu dihidupkan kembali.

Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta, tampaknya harus menjadi bagian dari

prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke

depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan adalah sebuah keharusan, termasuk dalam

kemungkinan merevisi RTRW 2010-2030. Shakespeare pernah memformulasikan sebuah

kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, ”Apakah kota itu, kalau bukan

penduduknya.”

Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas

penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun,

mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi

biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.

Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli

perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota

sering kali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide

kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut

patut dipertimbangkan.

Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah model inovatif dan partisipatif,

dalam bentuk Orcamento Participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan

anggaran. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-

forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.

Sejak beberapa tahun terakhir, warga Porto Alegre dapat langsung memutuskan penggunaan

dana sebagai investasi bagi kemaslahan lapis sosial bawah terkait air minum, kanalisasi,

jalan, pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta

pengadaan jaringan pembuangan air limbah.

Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasilia dan

beberapa negara Amerika Latin. Dalam kaitan ini, model demokrasi representative-

Page 66: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

66

procedural, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan

langsung warga kota lewat OP.

Dari dalam negeri, Jokowi yang kini menjadi RI 1, dan sempat menjadi gubernur DKI

Jakarta, kala menjadi wali kota Solo pernah mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan

warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, dia lebih dulu mendengar

inspirasi para pelaku sektor informal itu.

Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau membakar lokasi. Tak heran, acara

pemindahan berlangsung mulus dan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan

pasukan keraton.

Kita berharap pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi

masukan bagi pembenahan Jakarta.

IVAN HADAR

Arsitek; Perencana Kota; Direktur Eksekutif Ide

Page 67: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

67

PK Koran SINDO 15 Februari 2015

Dulu, semasa saya sekolah SMP di Tegal, paling senang saya nonton film India dan

Malaysia. Yang saya ingat bintang film India yang terkenal saat itu adalah Raj Kumar, dan

bintang film Malaysia namanya P Ramlee.

Ketika saya jadi dosen tamu di Universiti Malaya tahun 2008, setiap malam saya masih

menyaksikan film-filmnya P Ramlee, masih diputar, berulang-ulang. Dan, orang Malaysia

zaman sekarang masih kenal P Ramlee. Lain halnya dengan film India. Sejak saya SMA

sampai saya kuliah dan sampai sekarang, saya hampir tidak pernah menonton film India lagi.

Film India bukan untuk anak gaul, melainkan untuk anak-anak kampung, atau anak gedongan

yang kampungan. Pokoknya di mata saya, film India adalah film norak yang isinya nyanyi-

nyanyian, nari-narian, cinta-cintaan, dan polisi bego.

Tetapi siapa nyana, tahu-tahu saya yang sudah nonton banyak sekali film bagus mancanegara,

maupun nasional (pernah dua kali jadi juri Festival Film Indonesia dan sekali jadi juri

Festival film Maya), kok bisa nonton film India yang satu ini.

Film besutan sutradara Raj Kumar Hirani itu berjudul PK, dibaca dalam lafal bahasa Inggris:

dan ejaan Indonesia “Pi-Kei”, yang ternyata dalam bahasa Hindi artinya adalah “slebor”

(tidak mabuk, tetapi seperti orang mabuk). Nama itu diberikan kepada seorang makhluk asing

dari planet antah-berantah yang sedang melaksanakan misi penelitian ke planet bumi (seperti

astronot bumi Neil Armstrong, yang pernah mendarat di bulan).

Makhluk astronot itu, walaupun wujudnya seperti manusia (dimainkan oleh Aamir Khan),

perilakunya sangat aneh. Dia bertelanjang bulat dan tidak bisa bicara, sehingga untuk

menutupi tubuhnya dia mencuri baju dari mobil-mobil yang diparkir, tetapi bergoyang-

goyang, karena penumpangnya sedang melakukan hubungan seks dan melepas baju-baju

mereka.

PK juga baru bisa berbicara dengan bahasa manusia kalau ia bisa memegang tangan

seseorang selama enam jam atau lebih. Setiap orang yang akan dipegang tangannya menolak,

marah-marah atau bahkan lari ketakutan. Tetapi beruntung PK diajak temannya untuk ke

rumah pelacuran, dan di situlah dia bisa menyerap bahasa Hindi dengan cara memegang

tangan si pelacur selama enam jam, sampai si pelacur yang awalnya terheran-heran akhirnya

ketiduran.

Sementara itu, sejak PK mendarat di bumi, remote control yang tergantung di lehernya

dijambret orang. Padahal, remote control itu adalah untuk memanggil pesawat yang

Page 68: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

68

mengantar-jemputnya ke bumi. Tanpa alat itu, PK tidak bisa pulang ke planetnya sendiri.

Maka misi PK sekarang berubah, yaitu mencari remote control-nya yang hilang, yang

dicarinya sampai ke New Delhi, di mana ia mendapat petunjuk bahwa remote control itu

sudah diambil Tuhan, maka dia harus memintanya ke Tuhan. Maka sejak itu misinya berubah

menjadi mencari Tuhan.

Di New Delhi, dia berkenalan dengan seorang presenter TV yang cantik bernama Jaggu

(dimainkan oleh Amashka Sharmai), dan Jaggu inilah yang menolongnya untuk menemukan

Tuhan dan remote control-nya.

Pada suatu hari, ketika ia sedang menunggu Jaggu di kantor stasiun TV, PK melihat salah

satu pegawai yang kebetulan lewat menjatuhkan sesuatu. Dengan niat baik, PK memungut

benda itu dan mencoba mengembalikan kepada pemiliknya. Namun, si pemilik malah

meloncat menjauh, “Idih, benda apa itu? Itu bukan punya saya”. Dengan heran, PK mencoba

memberikannya kepada pegawai lain di sekitar situ, ternyata semua menolak, bahkan ada

yang marah.

Maka dia bertanya kepada Jaggu dan bosnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kotak

kondom, dan Jaggu serta bosnya pun tertawa. Tetapi PK tidak mengerti. Mengapa kalau

kondom orang ketakutan, tetapi kalau uang yang jatuh, orang berebut untuk memilikinya?

***

Di sinilah filosofi yang sangat dalam dari film komedi satire itu. Walaupun sambil tertawa-

tawa karena adegan-adegan yang kocak, penonton ikut berpikir bersama PK, mengapa orang

ketakutan pada kotak kondom, tetapi sangat bernafsu untuk memiliki uang? Keduanya hanya

benda terbuat dari kertas? Ternyata manusia punya cara berpikir yang tidak masuk akal PK

yang makhluk planet itu.

Di kesempatan lain, PK juga pernah membeli makanan dengan uang bergambar Mahatma

Gandhi. Tetapi ketika ia memberi gambar Mahatma Gandhi dari sebuah pamflet, si tukang

makanan menolak. Maka PK pun bingung lagi. Gambarnya persis sama, tetapi kok yang satu

boleh ditukar dengan makanan, yang lain tidak?

Begitu juga ketika ia mencari Tuhan. Dia menemukan banyak sekali tuhan di New

Delhi. Ada tuhan yang menyuruhnya menyembelih sapi, tetapi ada yang menyuruhnya

menyembah sapi. Ada yang minta sesajian anggur yang mahal, ada yang menguber-uberinya

sampai dia lari lintang pukang gara-gara dia mau mempersembahkan anggur di masjid. Ada

lagi yang melarang kita makan setelah matahari terbenam, tetapi ada yang justru

mengharuskan makan setelah matahari terbenam, karena di siang hari diharamkan

makan. Dan seterusnya.

Ternyata semua tuhan itu adalah ciptaan manusia, yang ditaati dan ditakuti karena para

pemuka agama itu (istilah PK: manajer-manajer tuhan) membuat umat masing-masing

Page 69: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

69

ketakutan pada tuhan ciptaan itu. Maksudnya adalah agar umat mau saja melakukan apa yang

disuruh oleh manajer agama, termasuk memberi sumbangan uang untuk keperluan

pembangunan rumah ibadah dll. Padahal, Tuhan yang asli menciptakan jutaan planet seperti

bumi ini, dan Dia tidak minta apa-apa. Dia tidak minta dibela seperti yang akan dilakukan

oleh pendeta Hindu, Tapasvi Maharaaj, yang bertubuh tambun dan berwibawa, ketika PK

mengatakan bahwa tuhannya Tapasvi Maharaaj adalah tuhan ciptaannya sendiri.

Manusia tidak akan berhenti saling membunuh, selama mereka hanya menyembah tuhan-

tuhan yang diciptakannya sendiri. Demikian kesimpulan PK, si makhluk slebor dari planet

antah-berantah itu.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 70: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

70

Radio dan Singkong Koran SINDO 16 Februari 2015

Asal tahu, media radio siaran di Indonesia itu nasibnya ibarat singkong. Tumbuh di semua

daerah, dan pernah dimakan oleh hampir semua orang, dari rakyat jelata sampai

presiden. Kecuali penyandang cacat pendengaran (maaf), semua pernah mendengarkan radio,

walau hanya sekilas.

Tetapi seberapa banyak orang menghargai atau bangga terhadap singkong dan radio? Orang

lebih bangga makan keju (nonton TV) dibandingkan singkong (dengar radio), padahal

singkong dan radio punya sejarah panjang di negeri ini. Itu sekedar bermisal-misal dan

analogi pribadi dari pengalaman mengelola radio dan usaha warung makan serbasingkong.

Seperti petani singkong, mengelola radio pun cukup melelahkan dan hasilnya sering tidak

sebanding. Banyak pengelola radio harus merengek, berebut kue iklan yang mayoritas

dikuasai media bergambar. Tentu ada perusahaan radio yang sukses, tetapi tetap tidak banyak

jumlahnya. Tidak perlu jauh melihat ke daerah, cermati saja usaha radio di Ibu Kota, ada

pemilik radio yang gemah ripah, tetapi lebih banyak yang susah. Begitu pun petani singkong.

Ada yang kaya, tetapi lebih banyak hanya mengenakan kolor dengan kulit hitam legam

terbakar matahari.

Jika ingin tahu kenyataan kondisi usaha radio siaran lebih banyak yang semaput, bisa lihat di

daerah. Hari ini siaran meriah, boleh jadi karena empunya radio baru dapat bayaran iklan,

tetapi lusa yang terdengar hanya desis mirip ular derik alias tidak siaran. Sepi! Setelah diam

tidak jelas alasannya, tiba-tiba radio berkumandang lagi. Tidak ada pendengar protes, seakan

sama-sama paham. Lalu bagaimana radio bisa terus hidup dan ada? Semua itu semata-mata

karena kecintaan pemilik dan karyawan kepada radio.

Radio siaran, sejatinya, merupakan media paling murah dan cukup efektif. Seharusnya radio

mendapat perhatian banyak pihak, terutama pejabat pemerintah. Hanya media radio yang

mampu menjangkau dengan cepat wilayah di mana media lain tidak bisa segera hadir.

Melihat sifatnya, maka memanfaatkan radio sebagai media penyampai informasi, terkait

sosialisasi dan kampanye atas kebijakan atau program pemerintah yang mendesak akan

cukup efektif. Hal itu pula yang mendorong Badan PBB untuk Pendidikan, Organisasi, dan

Kebudayaan (UNESCO) mencanangkan tanggal 13 Februari sebagai Hari Radio Se-

dunia. UNESCO menilai radio adalah salah satu instrumen penting dalam perubahan sosial

dunia.

Page 71: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

71

Peringatan hari radio dimaksudkan UNESCO sebagai upaya menyadarkan para pembuat

kebijakan tentang pentingnya aliran informasi radio. Sayangnya, di Indonesia pemahaman

masyarakat dan pejabat terhadap radio sebagai media efektif sangat kurang, bahkan semakin

merosot. Sebagian besar birokrat enggan berakrab-akrab dengan radio, tetapi lebih memilih

tampil di media lain. Kondisi tersebut diperparah dengan jajaran pemerintahan yang bertugas

melakukan sosialisasi ke masyarakat, tentang kebijakan departemen atau lembaganya, dengan

menomorsekiankan media radio dalam kegiatannya.

Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan, antara lain tidak paham karakter radio,

menganggap radio sebagai media murahan dan tidak sedikit terkait urusan “proyek”.

Pengalaman mengundang menteri untuk hadir dalam acara talkshow radio membuktikan,

pada dasarnya banyak pejabat suka berbicara di media yang satu ini. Tetapi mereka terkesan

tidak mendapat masukan dari stafnya, terutama bagian komunikasi, mengenai perlunya

memanfaatkan media radio.

Buktinya, ketika pejabat pamit pulang selalu mengatakan, puas bisa bicara di radio karena

waktu yang relatif panjang sehingga leluasa menjelaskan programnya. Juga mengaku terhibur

bisa berinteraksi langsung dengan pendengar baik melalui short message service (SMS)

maupun telepon. Mereka mengungkapkan keinginannya bisa kembali diberi ruang di radio

untuk bicara.

Kurang Percaya Diri

Radio sebagai media memiliki perjalanan panjang. Radio yang mengabarkan peristiwa dan

memopulerkan penyanyi melintas benua. Lewat radio pejuang Indonesia mengetahui Jepang

kalah perang dan menyerah menyusul kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dulu,

masyarakat nun jauh “menonton” pertandingan bulu tangkis atau sepak bola melalui siaran

radio. Saat kerusuhan Mei 1998, berujung pada jatuhnya Suharto sebagai presiden Indonesia,

peran radio begitu besar menyampaikan informasi pergerakan kerusuhan di berbagai kota dan

masyarakat menyimak antusias.

Begitu besar peran radio, tetapi seberapa banyak masyarakat mengingat dan menyadari

pentingnya radio? Bagaimana radio yang semula begitu populer kemudian terkesan menjadi

media kurang penting?

Berkurangnya pamor radio di Indonesia, harus diakui, salah satunya karena awak radio itu

sendiri tidak percaya diri dan lemah kreativitas. Orang radio sering merasa minder dengan

media televisi dan cetak, bahkan dengan media online. Fatalnya, banyak awak radio tidak

paham tentang karakter radio, sehingga tidak mampu membuat program siaran yang baik

serta gagal “menjual” produknya. Akibat semua itu, gagal pula meraih pendengar dan iklan,

sehingga berdampak kepada kehidupan radio itu sendiri.

Gempuran terhadap kehidupan radio, memang, tidak bisa dihindari seiring dengan kemajuan

zaman. Tetapi orang radio harus bangga dan percaya diri, faktanya radio tidak mati karena

Page 72: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

72

kehadiran internet seperti terjadi pada sebagian media cetak. Kehadiran internet justru

membantu perkembangan radio dalam memperluas siarannya, terutama pada radio

berjaringan. Minat kepada siaran radio juga bisa diamati dengan munculnya ribuan radio

komunitas melalui frekuensi analog maupun digital (streaming). Perlu diketahui, sistem

produksi audio radio streaming juga sama dengan radio konvensional, setidaknya ada

mikrofon dan mixer audio, hanya beda media siarnya.

Mungkin ada pengelola radio yang kecut ketika mengetahui jajak pendapat Kompas bahwa

posisi radio sebagai tempat mencari informasi nilainya hanya 1,8% di bawah media sosial

(2,9%) dan jauh dari televisi (41,9%), surat kabar (26,6%) dan situs berita (25,9%). Tetapi

coba simak survei American Press Institute pada Maret 2014 di Amerika. Dilaporkan,

masyarakat mengikuti berita melalui televisi sebanyak 87%, laptop/komputer 69%, radio

65% dan koran cetak atau majalah 61%. Tentu tempat dan karakter masyarakat dari kedua

tempat survei tersebut berbeda, sehingga hasilnya pun tidak sama. Tetapi perlu diingat,

masyarakat di Amerika yang sudah sangat melek internet, pada kenyataannya tetap

mendengarkan radio.

Penelitian Kompas berdasarkan temuan di 12 kota, sementara di perdesaan masyarakat masih

banyak yang setia dengan radio sebagai teman bekerja menoreh karet, di pasar dan lainnya.

Percaya diri dan kreativitas sangat diperlukan dalam mengelola radio.

Bukti bahwa radio bisa berada pada posisi sejajar dengan media lain adalah talkshow

“Polemik” Radio Trijaya FM, setiap Sabtu pagi di Warung Daung, Cikini, Jakarta

Pusat. Acara radio yang selalu diliput media cetak, televisi, dan online sebagai rujukan dan

sumber berita mereka. Pada masanya, acara ini mendapat kepercayaan dari kalangan politisi,

akademisi, tokoh masyarakat, LSM, birokrat, pengamat dan lain. Mereka mengaku senang

diundang sebagai narasumber talkshow ini.

Tidak sedikit mereka yang semula belum terkenal menjadi kesohor setelah tampil di Polemik,

kemudian rutin menjadi pembicara di televisi. Hal itu membuktikan radio bukan media

pinggiran selama digarap dengan serius.

Mengelola radio sama dengan mengolah bahan singkong menjadi berbagai bentuk makanan

seperti getuk, tiwul, keripik, dan sebagainya. Enak di lidah atau enak di kuping pendengar

radio tergantung kreativitas, kecintaan, dan keseriusan mengelola radio itu sendiri. Perlu

diingat, acara talkshow Polemik selalu menyajikan makanan singkong olahan kepada

narasumber, meskipun dia seorang menteri dan wartawan yang meliput acara ini

sendiri. Koki Warung Daun mengolah dan mengemas sajian singkong dengan apik, resik,

menarik, dan enak.

Jadi, jika radio dikelola secara asal, tidak beda dengan singkong yang hanya dikupas

kemudian dijemur menjadi gaplek. Rasanya pahit dan apek. Selamat Hari Radio Sedunia!

Page 73: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

73

EDDY KOKO

Mantan SM & Pimred Radio Trijaya FM

Page 74: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

74

Kasih Bersemi di Saat Banjir Koran SINDO 16 Februari 2015

Banjir merupakan kenduri tahunan yang melanda beberapa daerah di Indonesia dari mulai

Bandung, Tangerang, sampai Jakarta dan seakan menjadi peristiwa yang minim solusi.

Ketika terjadi banjir, berbagai keluh kesah menghiasi wajah media cetak, media elektronik,

media sosial. Semua berisi tentang cerita dukanya banjir. Tetapi jangan lupa, banjir juga bisa

menjadi ekspresi kebahagiaan bagi anak-anak. Mereka bebas bermain di jalan raya, bebas

berenang, bebas tidak ke sekolah, bahkan orang tuanya juga ikut bebas tidak ngantor. Di

jalan raya, bebas dari pelanggaran lalu lintas dan motor bebas masuk ke jalan tol.

Ternyata banjir ada nikmatnya juga ya? Coba kalau tarif listrik, tarif telepon, ketika banjir

ikut dibebaskan. Sempurna deh... Ini namanya banjir yang membawa bahagia.

Kita memang tidak tahu kalau ditanya banjir ini salah siapa. Salah pembuang sampahkah,

salah penata permukimankah, atau salah PLN-kah? Yang jelas jawabannya ya salah sendiri,

kenapa mau tinggal di daerah banjir?

Ketika banjir aktivitas kehidupan nyaris lumpuh. Mobil mewah berharga miliaran bahkan

puluhan miliar rupiah yang menghiasi jalan-jalan di ibu kota dengan berbagai kegagahannya

seolah tak berdaya menghadapi tingginya arus air. Sebaliknya, barang-barang yang biasanya

dianggap sepele, bahkan nyaris tak dihargai, yang menjadi penghuni tempat-tempat

pembuangan sampah dan daerah-daerah kumuh, justru menjadi begitu bermanfaat. Ban

bekas, jeriken, sepeda kayuh, gerobak sampah, dan rakit bambu, menjadi hal-hal yang begitu

dicari dan dicintai.

Banjir berhasil mengikat tali cinta tanpa kasta, yang kaya dan yang miskin bahu-membahu

untuk saling menyelamatkan. Mereka tiba-tiba menjadi sangat dermawan, ketika naik rakit,

naik gerobak, tangannya menggenggam erat para pemikul dan pendorongnya, karena

khawatir terjatuh terbawa arus.

Banjir juga ternyata mampu merenda kembali cinta kasih yang selama ini tergadaikan oleh

suami atau istri yang sibuk dengan pekerjaan. Istri biasanya sibuk dengan aktivitas kebugaran

seperti nyalon, nyenam, nyoping, serta anak-anak yang sibuk dengan pelajaran dan les. Pada

saat banjir mereka tinggal di rumah, menjalankan ritual kebersamaan, membersihkan lantai,

mencuci, makan bersama, bahu-membahu dengan pembantu yang biasanya jarang dilakukan

di saat normal. Ternyata banjir mampu mendatangkan gelombang kasih sayang.

Namun, seperti biasa, manakala banjir sudah surut, mereka akan kembali dicampakkan tanpa

Page 75: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

75

harga sedikit pun. Itulah tradisi kita yang selalu menghargai sesuatu pada saat dibutuhkan dan

mencampakkannya manakala seluruh hajatnya sudah terpenuhi. Mungkin ini adalah sebuah

kutukan dari sebuah ungkapan kalimat, yang entah siapa pertama kali mengucapkannya,

“Habis manis sepah dibuang.”

Perilaku tersebut bukan hanya pada urusan banjir, tetapi juga melanda hampir seluruh pranata

kehidupan sosial kita. Ketika menjadi atlet ternama maka kita membanjirinya dengan pujian

setinggi langit, namun membiarkan dia hidup terlunta-lunta manakala sudah renta dari

prestasi. Perilaku ini juga menimpa pada kaum hidung belang yang menemui wanita

penghibur dengan penuh hasrat dan meninggalkannya tanpa kata setelah seluruh hasratnya

terpenuhi. Mengukur seluruh keinginan dengan kalkulasi jual beli, waktunya pendek dan

terbatas, tanpa ungkapan cinta dan rasa. Yang ada, berapa harga nafsu harus kutumpahkan?

Bandingkan dengan orang asing, yang memperlakukan wanita dengan penuh etika dan

estetika. Tak peduli dengan identitas PSK sekalipun, mereka menganggapnya sebuah profesi

yang harus dihormati, sehingga mereka tak canggung untuk menemani minum, makan,

berjalan, bercengkerama, berdansa, berdisko. Maka bolehlah kita jujur, kita

berperikehewanan, mereka berperikemanusiaan. Walaupun dari sisi nilai, kedua-duanya

memang bukan hal yang mulia.

Ketika banjir melanda, maka kita sibuk mencari cara mengalirkan air agar tidak tergenang.

Berbagai perangkat teknologi pun disiapkan. Mesin pompa, kanal, biopori, bahkan sampai

terowongan pintar ala Malaysia. Namun, kita masih sibuk dengan fogging, sibuk dengan

infus, sibuk dengan suntik, operasi, kemoterapi, dan berbagai kegiatan pengobatan lainnya.

Di sisi lain, kita tidak pernah sibuk untuk membiayai, membangun perangkat, membuat

hukuman yang tegas bagi siapa pun yang merusak karakter lingkungan sehingga memiliki

dampak menurunnya kesehatan masyarakat. Lantas, kekuatan mana yang bisa menyelesaikan

seluruh problem di hilir, sedangkan hulunya tidak pernah kita rawat dan kita cintai.

Ahli fikih kita sibuk dengan kata halal dan haram yang sangat normatif. Dari mulai babi,

anjing, ular, tikus, dan berbagai hal-hal yang diharamkan lainnya, namun kita seperti tidak

lagi bisa berkata haram untuk kadar gula yang tinggi, kadar lemak yang tinggi, kadar asam

yang tinggi, zat pewarna, makanan kedaluwarsa, udara yang tercemar, air yang tercemar,

tanah yang tercemar. Seolah itu semua bukan ranahnya para ahli fikih.

Setiap hari kita bicara persoalan mengendalikan inflasi, meningkatkan daya beli, membangun

produktivitas, tetapi kita biarkan anak-anak muda kita bercengkerama dengan berbagai

perangkat yang bersifat konsumtif, mulai perangkat otomotif, elektronik, fashion, yang

semuanya digunakan hanya untuk meningkatkan gengsi. Sedangkan kehidupan mereka

semakin jauh dari kreativitas, minim inovasi.

Sikap konsumtif itu telah melahirkan banjir produk impor di negeri yang serbaada, mulai dari

banjir mobil impor, motor impor, beras impor, garam impor, kedelai impor, gula impor, yang

Page 76: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

76

akan membawa tenggelamnya bangsa ini pada utang yang tidak akan pernah habis ceritanya.

Mang Udin, tetangga di kampung saya, tersenyum ketika ditanya masalah pengendalian

inflasi, “Saya tidak mengerti apa itu inflasi. Yang jelas saya menanam padi pupuknya dari

kotoran sapi, kalau pengen ikan tinggal pasang pancing di pinggir kali, kalau pengen makan

sayur saya memetik kacang panjang di pematang sawah. Kalau bepergian paling hanya ke

pasar, itu pun memakai sepeda.”

“Kalau makan tidak pernah berpikir tentang kadar gula dan kadar lemak, sebab habis makan,

kecruk macul. Lamun hayang kapake ku pamajikan, cukup ngala buah jambe (kalau mau

dipuji istri, tinggal petikin pinang). Makanya ketika ada pejabat yang berkampanye One day

no rice (sapoe teu nyatu kejo), saya jadi bingung. Ari aing kudu nyatu naon? Dadahareun nu

sejen mah euweuh di lembur aing. Piraku kudu ngadahar kumeli dicocol kanu sambel, asa

teu pantes jeung kumelina oge kudu meuli ka pasar (Saya mesti makan apa? Makanan yang

lain tidak ada di kampung saya. Masa mesti makan kentang dicolek sambal, rasa-rasanya

kurang pantas, lagipula kentangnya mesti beli di pasar).”

Ma Icih, istri setia Mang Udin, ikut menimpali, “Ema diberi pengarahan masalah

pengendalian inflasi di kantor desa. Ema kan jadi bingung, sabab pan ema mah nyangu jeung

nyambel ku sorangan, ngagoreng lauk make minyak keletik meunang nyieun ema sorangan,

baju meunang ngecos, samping meunang nenun. Lamun peuting-peuting hayang kapake ku

Mang Udin, Ema mah cukup ngalembar daun seureuh diapuan make jambe, taah... tingali

huntu ema, rangeteng can aya nu coplok (Sebab ema menanak nasi dan membuat sambal

sendiri, menggoreng ikan memakai minyak kepala buatan sendiri, baju dijahit sendiri,

selendang hasil tenun sendiri. Kalau malam ingin dipuji Mang Udin, ema cukup makan daun

sirih, tuh lihat gigi ema masih lengkap). Mantak ge ema mah, (makanya ema) berani unjuk

gigi di depan para tetangga, karena gigi ema mah beres keneh (masih rapi).”

“Sekalipun rumah ema sekadar rumah panggung, namun tidak pernah runtuh oleh gempa atau

terbawa banjir, karena leuweung tutupan tonggoheun imah (hutan lindung di atas bukit)

selalu diberi sesajen, tanda kasih sayang antara ema dan hutan. Di usia yang semakin senja,

ema dan Mang Udin hidup rukun bahagia. Tiada hari tanpa banjir kasih sayang, walaupun

ema tidak pernah merayakan Valentine.”

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 77: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

77

Membahas Tembakau dalam Persahabatan Koran SINDO 16 Februari 2015

Serikat Rakyat, sebuah LSM yang memiliki komitmen besar memperjuangkan nasib petani

tembakau, berkoordinasi dengan Asosiasi Petani Tembakau (APTI), meminta dukungan

Komnas HAM, untuk menyelenggarakan sebuah diskusi terbuka.

Diskusi itu diadakan pada 11 Februari 2015 di kantor Komnas HAM, Jakarta. Tujuannya

menyusun suatu konsep akademik yang bakal diajukan pada pemerintah untuk menjadi suatu

pertimbangan menyusun kebijakan pertembakauan. Hadir dalam pertemuan itu para tokoh

anti-tembakau maupun tokoh-tokoh pembela tembakau.

Diskusi itu membahas sikap pemerintah kita yang belum melakukan ratifikasi Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC) yang resminya diajukan WHO, untuk menjadi

perhatian negara-negara di seluruh dunia. Seorang tokoh di bidang kesehatan masyarakat

menguraikan perlunya pemerintah meratifikasi FCTC tersebut, dengan argumen yang

meyakinkan bahwa kita tidak rugi apa pun bila kita meratifikasinya.

Diberikan contoh negara-negara yang telah melakukan ratifikasi tanpa kerugian apa pun,

bahkan dalam urusan dengan tembakau, produk tembakau dan memperdagangkannya tetap

secara leluasa tanpa beban apa pun. Kecuali itu, dia menyarankan agar FCTC tak

dihubungkan dengan persoalan petani tembakau.

Seorang tokoh lagi memberikan gambaran, sekarang ini kita lemah di bidang olahraga karena

pengaruh merokok. Dia mencontohkan di zaman Sarengat, pada tahun 1962- an, bidang

olahraga kita mencapai prestasi hebat. Sekarang ini kita bangsa perokok. Prestasi olahraga

anjlok. Bangsa perokok bukan olahragawan yang baik.

Tanggapan bermunculan dari pihak pembela tembakau. Di antara tanggapan yang muncul

adalah ratifikasi tanpa pemahaman persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari

jelas membahayakan bangsa kita. Negara-negara yang telah melakukan ratifikasi tanpa

masalah, itu kasus mereka, yang berbeda dari kasus kita.

Jika kita harus juga melakukan ratifikasi itu, maka kita harus memiliki strategi dan program-

program mengatasi apa yang kemungkinan bakal timbul kelak. Jadi, dipelajari dulu secara

saksama dan mendalam, baru kemudian merancang berbagai kemungkinan jalan keluar, jika

timbul masalah di kemudian hari. Ringkasnya, ratifikasi bukan sekadar ratifikasi, untuk ikut-

ikut negara lain tanpa mempelajari seluk-beluk teknisnya, yang mungkin bakal merugikan

kita, bahkan membahayakan kita.

Page 78: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

78

Suasana diskusi terasa begitu tenang. Semua pihak mendengarkan tanggapan itu dengan

sesekali mencatat di buku masing-masing. Yang lain diam. Di wajah mereka tak terlihat

kerut-merut yang menandakan sikap tak setuju.

Suasana ruang diskusi di kantor Komnas HAM itu malah lebih mirip dengan suatu acara

pengarahan, yang hanya wajib didengar. Tidak ada yang mendebat, atau memotong pada saat

suatu pihak berbicara. Kelihatannya, inilah pertemuan antara para tokoh anti-tembakau

dengan para tokoh pembela tembakau yang paling nyaman dan paling bersaudara. Biasanya,

ada debat-debat, tangkis-menangkis, perasaan tersinggung, marah, atau dengki, dan kelihatan

saling menuduh, saling memojokkan.

Tanggapan lain menggambarkan suasana lapangan jika ratifikasi dilakukan tanpa pemahaman

mendalam, dan tanpa menyiapkan program penyelamatan. Dicontohkannya di zaman Badan

Pengelola Perdagangan Cengkih (BPPC), yang sangat mematikan petani cengkih. Petani

terpukul. Kehidupan ekonomi rumah tangga porak-poranda. Pendidikan anak-anak menjadi

kacau. Sebagian anak petani cengkih menempuh kuliah dengan susah payah mencari uang

sendiri. Ini kasus nyata, yang tak boleh terulang melalui FCTC tersebut. Ratifikasi ya

ratifikasi, tetapi dengan kesiapan konsep maupun teknis yang matang.

Tanggapan lain masih bermunculan dari pihak petani tembakau dan pembela petani

tembakau. Ratifikasi FCTC tanpa merisaukan hubungannya dengan petani tembakau? Tidak

bisa. Petani tembakau di sini pihak yang turut diatur oleh peraturan tersebut. Dengan

sendirinya, harus dihubungkan dengan petani tembakau. Mereka yang bakal terkena dampak

aturan itu.

Kemudian tanggapan tentang menurunnya prestasi olahraga bangsa kita. Mengapa yang

disorot generasi Sarengat, pada tahun 1962-an, dan meloncat ke generasi hari ini? Bagaimana

fenomena olah raga di zaman Rudy Hartono, Tjuntjun, Cristian Hadinata, turun ke Liem Swie

King, Icuk Sugiarto, dan lain-lain yang hebat-hebat, dan mendominasi dunia bulu

tangkis? Mengapa fenomena ini tak disebutkan? Bukankah ini terjadi sesudah zaman

Sarengat tersebut?

Prestasi olahraga kita sekarang merosot, apa betul karena mereka perokok? Olahraga

memang membutuhkan napas yang baik. Napas pertama, jangan sesaki, oleh penyebab apa

pun. Sesak napas bisa karena faktor non-rokok. Selebihnya gizi.

Di pelatnas disediakan kebutuhan terbaik bagi olahragawan. Banyak faktor penyebab prestasi

olahraga kita merosot. Jadi bukan hanya perkara merokok.

Suasana bersahabat di dalam ruang diskusi sangat kelihatan. Tak ada yang memotong

pembicaraan tersebut. Ini diskusi para pejuang yang berpikir bagi kepentingan masyarakat.

Para petani tembakau, dan para pembela petani tembakau, siap diatur, dan mau

mendengarkan aturan itu. Mereka memerlukan pula tata kehidupan masyarakat yang sehat,

Page 79: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

79

sebagaimana diinginkan para tokoh anti-tembakau. Dalam hal itu ada kesamaan yang bisa

dibikin makin dekat. Semua berjuang dengan baik. Patut menjadi renungan, bahwa kita tak

perlu baku hantam, dengan kedengkian dan permusuhan, seperti terjadi selama ini. Diskusi

hari ini sangat bagus.

Para tokoh, semuanya bangsa Indonesia, beberapa di antaranya tokoh terhormat, mengapa

berkelahi satu sama lain, padahal yang bakal memetik keuntungan terbesar justru bangsa

asing. Kita semua tahu, ada dana asing dalam jumlah sangat besar, yang diumumkan melalui

website secara global dan terbuka untuk diakses siapa pun. Dana itu dikucurkan pada

lembaga apa saja yang bisa melakukan penelitian dan menemukan keburukan dan bahaya

merokok. Intinya, harus dinyatakan rokok berbahaya. Tujuan dukungan keuangan itu untuk

membunuh tembakau dan produk olahannya, keretek, dan semua tenaga kerja yang hidup dari

memproduksi keduanya.

Semua pihak diam dan mendengarkan. Ada yang membuat catatan. Tapi ruangan itu

kelihatan lebih tenang daripada ruang sebuah pengajian yang mana pun. Kita berbahagia,

para tokoh, aktivis, pemikir, peneliti, dokter, politisi, kelihatan seia sekata dalam pembahasan

perkara yang biasanya sensitif dan mudah “menyengat”. Bahkan usul pihak anti-tembakau

yang disampaikan pada bagian akhir diskusi, terdengar seperti suara petani tembakau dan

aspirasi petani tembakau itu sendiri. Ini tanda kebesaran hati beliau. Dan kita berterima kasih.

Kita heran. Kali ini tidak ada yang sengaja “menyengat” dan juga tidak ada yang “tersengat”.

Suasana diskusi seperti majelis zikir yang sedang berdoa, dan semua serentak menjawab:

amin, amin, amin. Semoga dikabulkan. Semoga Tuhan mengijabahi. Semoga bangsa

Indonesia bahagia. Dan petani tembakau pun ingin ikut berbahagia, sedikit saja.

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 80: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

80

RUU Pertembakauan, Cara Elegan Tolak Impor Regulasi

Koran SINDO 17 Februari 2015

Isu tembakau kembali menjadi salah satu trending topic setelah rapat paripurna Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (9/2) lalu, mengesahkan 159 RUU periode 2015-2019.

Pada tahun 2015 telah ditetapkan prioritas 37 RUU untuk dibahas, salah satu RUU yang

menjadi prioritas adalah RUU Pertembakauan.

RUU Pertembakauan tersebut lahir dari perdebatan panjang pro-kontra antarkelompok

masyarakat mengenai produksi dan konsumsi tembakau yang diklaim menimbulkan dampak

masalah kesehatan, walaupun isu kesehatan sendiri dinilai tidak berdiri sendiri menjadi faktor

determinan dalam merespons problem pertembakauan.

Di sisi lain, regulasi yang menjadi landasan yuridis dalam pengaturan masalah

pertembakauan juga dinilai kurang memadai. Regulasi yang ada lebih banyak merespons isu

tembakau dari dimensi kesehatan. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 36/2009 tentang

Kesehatan yang menegaskan tembakau sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk

Tembakau bagi Kesehatan.

Padahal, pengaturan masalah tembakau tidak cukup hanya dilihat dari isu kesehatan, karena

masalahnya telah melebar menjadi persoalan yang multiproblem. Masalah pertembakauan

bukanlah masalah ”bisnis asap” semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke

dalam ”tulang sumsum” sistem ekonomi masyarakat. Mulai hulu sampai hilir bisnis ”asap

ajaib” ini telah menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun rupiah.

Dari ilustrasi tersebut, rasanya sulit menerima argumentasi bahwa masalah pertembakauan

hanya semata problem kesehatan an sich, sehingga tembakau harus mendapatkan perlakuan

diskriminatif. Persoalannya bukan karena kita tidak butuh sehat, melainkan relasi antara

tembakau dan kesehatan masih menimbulkan perdebatan.

Di sisi lain, disinyalir regulasi yang mengatur masalah pertembakauan di Indonesia lebih

banyak diadopsi (baca: diimpor) dari negara asing. Contoh nyata regulasi impor adalah label

warning yang tersaji dalam bungkus rokok kretek. Regulasi ini dilaksanakan. Label yang

berbunyi ”Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan

Gangguan Kehamilan dan Janin”, sebetulnya merupakan produk pemikiran dan hasil riset

impor yang diterima tanpa reserve.

Page 81: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

81

Klaim dalam label warning dalam bungkus keretek tersebut menurut Wanda Hamilton dalam

bukunya Nicotine War - Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat, berasal dari Surgeon

General (SG). SG sendiri merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan

Sains Pemerintah Amerika Serikat. SG didirikan oleh Kongres pada 1798. Sekarang ini

pejabatnya adalah Vice Admiral Regina M Benjamin MD MBA.

Laporan Surgeon General tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan pertama kali

diterbitkan pada 1964. Laporan ini berisi hasil penelitian kasus-kasus di AS tentang pengaruh

rokok terhadap semua sistem organ tubuh yang diperbaharui secara berkala. Menurut Wanda

Hamilton, sejak 1988 Surgeon General telah disusupi orang-orang dari pabrik farmasi yang

membuat permen karet nikotin dan koyok nikotin, yaitu produk-produk pengganti rokok.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan belum mendapatkan jawaban dari kegiatan riset

sampai sekarang baik oleh regulator, akademisi, maupun stakeholders kretek adalah

bagaimana dengan rokok asli Indonesia (kretek), apakah juga menyebabkan stigma penyakit

sebagaimana klaim dalam bungkus rokok tersebut?

Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul “Study casts doubt on heart risk factors”

(International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi kardiologi paling besar yang pernah

dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor

risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.

Bahkan, Monica Study, melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak

dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam

obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the

European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling lama dan

paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di

Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia.

Sekalipun hasil studi Monica yang didanai Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan

tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dan faktor risiko fisik, WHO tetap saja

mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi

utama bagi risiko individual.

Instrumen Internasional

Seperti diketahui, saat ini di tingkat internasional ada instrumen lega yang mengatur tentang

distribusi rokok. Instrumen dari WHO tersebut adalah Framework Convention on Tobacco

Control (FCTC). Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini belum menandatangani

FCTC. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional yang dibuat di

bawah pengawasan WHO.

FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan maksud untuk merespons epidemi penggunaan

tembakau di era global. Anehnya beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi

Page 82: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

82

penekanan yang lebih berat pada sektor tembakau dan industri hasil tembakau (IHT).

Padahal, ada stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai

konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure

group.

Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum yang demokratis mensyaratkan empat perangkat

kondisi sosial. Pertama, persamaan dalam setiap proses politik. Kedua, tidak ada kelompok

yang memonopoli. Ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan

publik. Keempat, menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang

tidak dapat dihindarkan.

Sayangnya, produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat

menggambarkan terjaminnya prinsip-prinsip tersebut. Hal ini bias dilihat dari sikap ”given”

pemerintah yang teresonansi dalam penerbitan UU Kesehatan dan PP 109/2012 secara konten

mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat FCTC.

Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan

berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan

sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya

bersumber dan berdasar pada ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno

sebagai ”Philosofischegrondslad” dan harus berdasarkan pada UUD 1945.

Secara teoretis, menurut kriminolog Fakultas Hukum Universitas Diponegoro IS Susanto, ada

tiga perspektif mengenai pembentukan undang-undang untuk menjelaskan hubungan antara

hukum (undang-undang) dengan masyarakat. Pertama, model konsensus. Model ini

mendasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan pencerminan dari nilai dasar

kehidupan sosial. Dengan demikian, pembuatan serta penerapan undang-undang dipandang

sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.

Kedua, model pluralis. Model ini menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok

sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai.

Ketiga, model konflik. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik,

masyarakat sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik tanpa

membahayakan kesejahteraan masyarakat.

Substansi FCTC yang nyata-nyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan

stakeholders kretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi begitu saja substansinya menjadi

substansi hukum di Indonesia. Semestinya produk regulasi hukum semangatnya adalah

mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya harus memperhatikan berbagai

dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani, tenaga kerja, serta dimensi lingkungan dan

kesehatan. Produk hukum sebagai produk kebijakan publik harus meramu nilai keadilan

(filosofis), kemanfaatan (sosiologis), dan bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum

(normatif) semata.

Page 83: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

83

ZAMHURI

Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus

Page 84: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

84

Gus Dur, Tionghoa dan PKB Koran SINDO 17 Februari 2015

“Sebab kalau semuanya ngalor (ke utara), bedanya cendekiawan dengan hansip, lalu apa?”

(Gus Dur)

Lontaran bernada ironi itu muncul dari lisan Gus Dur ketika mengomentari dirinya yang tak

mau masuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Sebuah ungkapan yang mengandung filosofi penting bahwa seorang cendekiawan haruslah

mau dan mampu melawan arus besar sekalipun, demi nilai-nilai yang dianggap benar. Seperti

itulah sikap Gus Dur yang dapat dilihat atas pembelaannya terhadap umat Konghucu, sejak

era 1990-an dan tampil dengan kebijakan humanis terhadap etnis Tionghoa ketika beliau

menjadi Presiden ke-4 RI.

Bagi Gus Dur, diapresiasinya Imlek dan pernik Tionghoa lainnya bukanlah semata-mata

sebagai implementasi toleransi atau pluralisme belaka, namun merupakan sense of belonging

(rasa saling memiliki), yang dalam konsep keberagamaan aswaja NU, sikap tersebut sebagai

pengejawantahan tawassuth. Di mana tawassuth tidak semata-mata dimaknai moderatisme

yang diam, tapi tawassuth merupakan jalan progresif yang aktif advokatif.

Paradigma tawassuth tidak menjadikan manusia sebagai tukang vonis atas kelabilan negeri

ini. Karena itulah, ketika gurita konglomerasi Tionghoa era Orde Baru membuncah, yang

memunculkan tindakan diskriminasi dan pengucilan terhadap etnis Tionghoa, tiba-tiba, etnis

Tionghoa menjadi musuh bagi sebagian kalangan negeri ini. Lebih ironis lagi, nuansa

permusuhan akan semakin dahsyat, jika etnis Tionghoa itu non-muslim. Karena dalam benak

sebagian kalangan utamanya rakyat yang merasakan aroma kesenjangan ekonomi, kesalahan

etnis Tionghoa dianggap sudah berlipat-lipat.

Dalam kondisi seperti ini, Gus Dur tampil sebaliknya. Gus Dur justru menjadi teman bagi

etnis Tionghoa. Ketika rezim Orba berada di kulminasi kejayaan plus konglomerasi Tionghoa

yang beraroma kesenjangan, Gus Dur justru hadir sebagai pembela yang tegar. Tindakan

pembelaan diambil Gus Dur, semata-mata agar manusia menjadi ummatan wasathan, umat

yang tawassuth, muslim yang bersikap moderat di antara dua kutub ekstremisme beragama,

yaitu ekstrememisme keberagamaan yang terlalu eskapis dan ekstremisme keberagamaan

hedonis. Muslim yang selalu menjadi saksi hidup nilai Islam moderat yang selalu

diperjuangkan agar membumi.

Berdasarkan paham keislaman NU, Gus Dur tidak mempersoalkan identitas partikular.

Page 85: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

85

Karena dalam perilaku muasyarah (pergaulan) pasti terdapat identitas partikular yang akan

menautkan sekelompok orang untuk berkumpul sebagaimana identitas partikular yang

dirujuknya itu. Karena itulah, dalam pandangan Gus Dur, eksklusivisme etnis Tionghoa

selama Orba bukanlah sebuah persoalan.

Tindakan Tionghoa yang hanya berkumpul dengan sesama Tionghoa atau kawin hanya

dengan sesama mereka tak lain hanya bentuk partikularisme semata. Eksklusivitas terasa

memanas justru karena etnis Tionghoa dibatasi gerak langkahnya di luar wilayah ekonomi.

Di negeri ini, kaum pribumi akrab dengan khazanah Tionghoa yang telah terpatri bukan

sebagai the other dalam momentum kehidupan. Kisah Laksmana Ceng Ho, Kyai Telingsing,

dan Adipati Jinbun dalam kronik sejarah menghiasi benak masyarakat banyak. Pernik-pernik

itu pun digugah Gus Dur dengan penyebutan identifikasi genealogisnya yang kosmopolit

sebagai keturunan Tionghoa. Anehnya, publik non-Tionghoa merasa bahwa identifikasi itu

hanya bermomentum sepihak bagi etnis Tionghoa dan bukan etnis lain.

Padahal, Gus Dur melalui identifikasi itu sedang membangun integrasi kebangsaan karena

selain identifikasinya dengan etnis Tionghoa, di saat sama Gus Dur mengidentifikasi dirinya

dengan raja Jawa dan Nabi Muhammad. Identitas genetis raja Jawa dan Nabi Muhammad

bukan semata-mata karena Gus Dur orang Jawa atau NU yang sangat cinta Rasul itu kuat di

Jawa. Gus Dur sebenarnya sedang mendekatkan sensitivitas eksklusivitas itu pada emosi

stabilisasi kebangsaan.

Gus Dur paham kesenjangan itu sebenarnya banyak ditemui di Jawa daripada misalnya di

Kalimantan Barat. Di mana di Kalbar, etnis Tionghoa terasa ”akrab” karena tampil dalam

berbagai profesi sejak tukang becak sampai pebisnis.

Politik Kebangsaan

Politik kebangsaan PKB pada dasarnya berupaya menampilkan sebaik mungkin sisi positif

setiap identitas primordial, lalu menjadikannya sinergis dengan kebangsaan. Prinsip

perjuangan partai menegaskan bahwa PKB bergerak berdasar prinsip persaudaraan dan

kebersamaan dalam kerangka ahlu sunnah wal jamaah.

Sebagaimana NU, kerangka ini melihat entitas Tionghoa sebagai warga negara yang terikat

dalam Darus Sulh (negara sanggah). Darus sulh ala NU ini menarik karena melihat Indonesia

sebagai negara yang berhimpun di dalamnya aneka keragaman yang berdiri atas dasar

rekonsiliasi (islah).

Bagi Gus Dur, PKB jelas beda dengan NU. Karena PKB sengaja diposisikan sebagai media

perjuangan politik NU, PKB kendaraan utama politik nahdliyin, PKB merupakan jalan agar

NU menjadi koordinat dalam percaturan nasional. Karena itulah, tujuan politik PKB bukan

berarti menempatkan semua orang NU di posisi strategis negeri ini.

Page 86: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

86

Filosofi politik PKB adalah berbagi tempat dengan orang lain asal orang lain itu

menyelaraskan diri dengan nilai aswaja. Hal tersebut ditunjukkan Gus Dur ketika berusaha

segiat mungkin menarik kader non-muslim dan muslim non-NU untuk berperan dalam

pengelolaan PKB, termasuk etnis Tionghoa, untuk membangun sense of belonging. Artinya,

jika kepentingan Tionghoa diperjuangkan oleh orang Tionghoa bersama kader NU maka

itulah rasa saling memiliki yang melampaui toleransi.

PKB sejak awal menisbatkan dirinya sebagai partai nasional. Kepentingan nasional menjadi

poin juang utama PKB, yang sama pentingnya dengan kepentingan santri. Sesuai nilai aswaja

lainnya, At Tawazun, PKB akan berupaya secermat mungkin melihat setiap persoalan anak

bangsa dalam kacamata yang tidak berat sebelah. Sesuatu diukur secara adil dalam logika

itidal.

Menarik sekali, kalau konsep keadilan dalam manhaj berpikir NU bukanlah harus berdasar

”Islam murni” ala kaum fundamentalis. NU telah berkomitmen Pancasila adalah matriks nilai

kenegaraan di Indonesia. Artinya, Islam yang mengawankan diri seakrab mungkin dengan

kebangsaan. Begitu pun PKB, kelima sila itu ditegaskan sebagai asas partai dan diikuti nilai

aswaja sebagai prinsip perjuangan.

Menggandeng etnis Tionghoa dalam PKB jelas merupakan cara hidup berorientasi masa

depan ala NU. NU dan PKB tak pernah terkejut ketika melihat tokoh-tokoh Tionghoa secara

tiba-tiba tampil di dunia politik dan pemerintahan. Bagi PKB, justru di situlah identitas

primordial yang selama ini dimusuhi bisa tampil dan harmonis dengan kebangsaan.

Membumikan aswaja yang moderat itu sekali lagi bukan ranah untuk orang NU.

Membumikan aswaja itu untuk kepentingan nasional dan PKB adalah institusi yang berupaya

membawa aswaja itu dalam daya jangkau lebih luas.

Sebagai penutup, saya teringat kalau almarhum Gus Dur sering diidentikkan dengan Khidir,

nabi nyeleneh dalam khazanah Islam. Tentunya kita tahu, kalau Khidir memiliki tiga

orientasi. Masa lalu, sekarang, dan masa depan. Ketika membangun rumah roboh, Khidir

berorientasi masa lalu. Ketika melubangi perahu, Khidir berorientasi masa kini. Dan ketika

membunuh anak kecil, Khidir berorientasi masa depan.

Berkaitan dengan etnis Tionghoa ini, Gus Dur telah melakukannya. Orientasi masa lalu

disadarkan Gus Dur dengan seringnya beliau merekam jejak Tionghoa masa lalu, paling

sederhana beliau lakukan dengan identifikasi genetisnya itu.

Masa sekarang dimulai sejak Gus Dur mencabut kebijakan yang memasung Tionghoa. Masa

sekarang adalah momen di mana Tionghoa dibangkitkan untuk tampil sesuai potensinya

masing-masing mulai pebisnis, politisi, intelektual, sampai pejabat pemerintahan.

Page 87: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

87

A HALIM ISKANDAR

Ketua DPW PKB Jawa Timur dan Ketua DPRD Jawa Timur

Page 88: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

88

Ihwal Jargon di Ranah Publik Koran SINDO 18 Februari 2015

“Sekarang ‘seperti itu’ ya. Kalian kekasih hati tahu, ... .” “… 11 kabupaten dan kota berstatus

kejadian luar biasa atau KLB demam berdarah.” “ … berdaulat di bidang politik, berdikari di

bidang ekonomi, dan juga di bidang budaya,… ”

Saat ini kita sering mendengar kata-kata atau istilah kurang familiar yang dilontarkan oleh

berbagai kalangan di negeri ini. Sebut saja Syahrini yang baru-baru ini mempopulerkan

istilah “seperti itu”. Para wartawan pun tak ketinggalan menggunakan frase “kejadian luar

biasa” ketika melaporkan berita tentang suatu penyakit. Bahkan, Presiden Jokowi pun ikut

serta dengan menggunakan istilah ‘berdikari’ saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 20

November 2014 lalu.

Istilah “seperti itu”, “kejadian luar biasa”, dan “berdikari” inilah yang kemudian disebut

‘jargon’. Secara etimologi, kata ‘jargon’ berasal dari bahasa Inggris abad pertengahan

Jargo(u)n, gargoun, girgoun yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung. Menurut KBBI,

‘jargon’ merupakan kosakata khusus yang digunakan di bidang kehidupan (lingkungan)

tertentu.

Adapun pakar bahasa mendefinisikan ‘jargon’ sebagai bahasa yang digunakan oleh kalangan

tertentu, tetapi kurang dipahami oleh masyarakat luas. Jargon bukanlah bahasa yang bersifat

rahasia karena bisa dipahami dengan cara mempelajarinya. Jargon dapat berupa frase,

kalimat, singkatan, atau akronim seperti ‘berdikari’, ‘DPO’, dan ‘KLB’. Di lingkungan

tertentu, jargon berupa huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi keduanya.

Dalam kehidupan sehari-hari, jargon merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon

berhubungan erat dengan suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon seperti ‘gan’,

‘cendol’, ‘bata merah’, ‘pertamax’, ‘pejwan’, ‘no afgan’, ‘COD’ (cash on delivery), dan

‘WTB’ (want to buy) identik dengan para kaskuser. Sementara itu, “kejadian luar biasa”

merupakan jargon yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja di bidang

kesehatan. Masyarakat awam pada umumnya hanya mengenal istilah itu dengan kata

‘wabah’.

Pada prinsipnya, jargon-jargon tersebut digunakan untuk mempermudah komunikasi

antaranggotanya. Jargon juga digunakan untuk mengefektifkan proses komunikasi dan

meningkatkan citra diri. Dengan menggunakan jargon berupa singkatan dan angka tertentu,

anggota komunitas dapat dengan singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan

banyak kata.

Page 89: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

89

Umpamanya, anggota kepolisian sering menggunakan jargon seperti ‘DPO’ (daftar pencarian

orang), ‘DVI’ (disaster victim identification), ‘RI 1’ (presiden), ‘5-4’ (sedang ada

demonstrasi) atau ‘buntut tikus’ (handy talky) antaranggotanya.

Sementara itu, jargon ‘berdikari’ (berdiri di kaki sendiri) berfungsi untuk meningkatkan citra

pemerintahan. Jargon tersebut kurang lebih bermakna pemerintah berusaha menjadikan

bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dengan mengandalkan kemampuan sendiri.

Melalui jargon ini, pemerintah berusaha meraih dukungan dari masyarakat luas. Nampaknya

penggunaan jargon di ranah publik merupakan cara efektif untuk meraih simpati dari

khalayak.

Di sisi lain, penggunaan jargon di ruang publik pun menimbulkan polemik. Farid Gaban yang

merupakan seorang wartawan pada 2008 mengkritik penggunaan jargon oleh para pemegang

kepentingan. Menurutnya, penggunaan jargon telah mengotak-ngotakkan masyarakat menjadi

kelompok-kelompok kecil dan mengaburkan pesan yang akan disampaikan.

Makin hari, makin banyak pejabat publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan

memproduksi jargon. Baru-baru ini, Hikmahanto Juwana, salah satu tim independen KPK-

POLRI, dalam salah satu pernyataannya menyebut istilah ‘anomali’. Jargon ini merupakan

istilah ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan sebuah penyimpangan atau

ketidaknormalan. Namun, dalam hal ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan

yang sedang terjadi antara KPK dan Polri. ‘Anomali’ hanya dipahami oleh segelintir orang.

Tentunya, orang-orang awam di pangkalan ojek dan pasar kurang familiar dengan jargon

itu. Mungkin bagi mereka istilah itu terdengar rumit dan abstrak. Dalam kasus ini,

penggunaan jargon tersebut dirasa kurang tepat digunakan di ruang publik.

Jargon berupa singkatan atau akronim juga bisa membuat orang pusing. Pasalnya, jargon

tersebut hanya dimengerti kalangan tertentu saja dan masyarakat luas umumnya kurang

paham. Jargon seperti ‘kontras’ (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan),

‘markus’ (makelar kasus), ‘cakus’ (calo kasus), ‘cakil’ (calo keliling), ‘curas’ (pencurian

dengan kekerasan), ‘KLB’ (kejadian luar biasa) merupakan contoh kecil akronim dan

singkatan yang sering muncul di ranah publik. Kebanyakan jargon tersebut dihasilkan pejabat

publik dan disebarluaskan melalui media.

Menyikapi penggunaan jargon di ranah publik, ada baiknya kita melihat kembali tujuan kita

berkomunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan. Namun, apa jadinya

jika pesan yang disampaikan sulit dipahami bahkan terdengar abstrak dan rumit karena

jargon. Tentunya kita bisa dikatakan gagal dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kita

sebaiknya menghindari penggunaan jargon di ranah publik yang merupakan komunitas

heterogen.

Salah satu caranya dengan membayangkan lawan bicara kita ketika hendak berbicara atau

menulis. Selain itu, sebisa mungkin kita menggunakan kata-kata sederhana, konkret, spesifik,

dan mudah dipahami khalayak ramai termasuk tukang ojek dan penjual di pasar.

Page 90: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

90

YULIZ AR KOMARAWAN

Duta Bahasa Jawa Barat 2014

Page 91: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

91

Menyelami Pusaran Banjir Ibu Kota Koran SINDO 18 Februari 2015

Sampai saat ini Jakarta sebagai ibu kota negara masih saja terendam banjir. Bukan kabar baru

memang, mengingat Jakarta sesungguhnya sudah pernah dinyatakan darurat banjir, sejak

pertengahan Januari (2014) tahun lalu.

Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memulai program rekayasa

cuaca. Agaknya penanggulangan bencana banjir tidak cukup hanya dengan manajemen dan

teknologi pengurangan genangan, tetapi juga penataan lingkungan, termasuk menegakkan

rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).

Presiden pun sudah pernah menyingsingkan celana (sampai lutut), karena Istana Negara

kebanjiran. Andai Istana akan terus kebanjiran, toh takkan sampai mengganggu aktivitas

ekonomi maupun politik. Boleh jadi, cukup baik untuk pencitraan politik, yakni yang

dirasakan rakyat, dirasakan pula oleh ”penghuni” Istana (walau tidak membutuhkan bantuan

pangan).

Program rekayasa cuaca pernah dicoba, yakni menghardik awan ke arah laut agar hujan jatuh

di perairan Laut Jawa. Kawasan sekitar Ibu Kota (Tangerang dan Bekasi) juga mesti

dimitigasi untuk mengurangi banjir. Jika tidak, dampaknya pasti menghambat perekonomian

dan menyebabkan inflasi (terutama harga bahan pangan). Tetapi rekayasa cuaca dilakukan

bagai ”setengah hati”.

Trauma banjir Jakarta, siapa tak miris? Sampai Ibu Kota dinyatakan dalam situasi darurat

banjir. Istana Merdeka pun tak luput dari genangan air setinggi 20 cm. Lebih lagi curah hujan

di Ibu Kota selalu menunjukkan tren terus meningkat rata-rata lebih dari 20 milimeter per

bulan dibanding normalnya.

Paradigma meteorologi memastikan, bahwa peningkatan curah hujan disebabkan naiknya

suhu udara. Saat ini Jakarta semakin hangat. Suhu yang semakin hangat ini mengundang

massa uap udara berpindah dari tempat rendah ke tempat yang semakin tinggi, dalam hal ini

dari lautan ke daratan Jakarta.

Sehingga semestinya seluruh masyarakat (terutama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota)

mewaspadai tren cuaca ekstrem. Termasuk mitigasi untuk mengurangi dampak banjir. Dulu

pernah digagas (dan sudah dipraktikkan) rekayasa cuaca. Konon hanya dengan 100 ton

garam, sudah cukup untuk menghindarkan Ibu Kota dari banjir bandang.

Setahun berlalu, saat ini, ancaman dampak bencana banjir masih tetap. Boleh jadi, Istana

Page 92: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

92

Negara juga tetap terancam banjir. Bahkan, Gubernur DKI (saat itu Jokowi) sudah

memerintahkan pintu air yang mengarah ke Istana dibuka. Ini untuk mengurangi banjir di

daerah yang paling parah terdampak.

Tetapi sesungguhnya, bencana tak pernah datang tiba-tiba. Selalu ada semacam early

warning alamiah, berupa gejala bencana. Namun, sejak banjir bandang (besar) pertama, satu

dekade lalu, permasalahannya tetap. Curah hujan tinggi yang tak terserap bumi dari daerah

Puncak (Bogor) tak terbendung masuk Jakarta.

Selalu seperti itu. Yang berbeda, kawasan yang terendam makin meluas. Seolah-olah

pemerintah (dan pemerintah DKI) tidak berbuat apa pun.

Masyarakat daerah di luar Ibu Kota juga menghadapi situasi serupa. Karena daya dukung

wilayah daerah aliran sungai (DAS) semakin menyusut. Ini yang menyebabkan selalu

meluberkan air. Antara lain Sungai Bengawan Solo tidak hanya mengalir sampai (akhirnya)

ke laut, melainkan juga menerjang sawah dan merendam perkampungan.

Cara sistemik (penerapan teknologi rekayasa cuaca) mesti dilaksanakan lebih masif. Namun

DAS juga harus tetap dijaga ketat, tidak boleh ”ditanami” pabrik dan rumah tinggal.

Sebagaimana amanat UU Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mestilah

kukuh menjaga lingkungan hidup.

Spirit Hadapi Banjir

Kerugian yang diakibatkan banjir sungguh besar secara keekonomian. Sering pula diiringi

inflasi karena gagal panen dan terhambatnya jalur distribusi. Tetapi inilah periode (musim)

yang cukup efektif untuk mengendurkan eksploitasi perekonomian oleh masyarakat. Sebagai

gantinya, pemerintah mestilah bekerja lebih keras memberi stimulus berupa proyek

infrastruktur. Serta program karitatif menjaga daya beli masyarakat.

Di berbagai negara yang kerap menghadapi bencana, masyarakat dilatih menghadapi

bencana, sejak dini. Bahkan melalui kurikulum sekolah. Di Amerika Serikat diajarkan

kurikulum menghadapi badai dan kebakaran. Sedangkan di Jepang dan Korea Selatan,

sekolah-sekolah mengajarkan menghadapi banjir akibat tsunami. Termasuk pengajaran

pengelolaan sumber makanan pada saat gempa.

UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 9 huruf (b) memberikan

kewenangan memasukkan penanggulangan bencana pada perencanaan pembangunan. Karena

itu, seyogianya dalam penyusunan RPJMD tingkat kabupaten dan kota, juga memasukkan

aspek penanggulangan dampak bencana. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) merupakan regulasi yang ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penetapannya tak

lama setelah pelantikan kepala daerah (baru) yang memenangi pilkada.

Page 93: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

93

Februari ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen. Terdapat kenaikan

harga-harga total hampir sebesar 10% selama Januari 2015, walau pada sebulan itu inflasi

tercatat ”hanya” 1,07%. Kenaikan inflasi dan indeks harga konsumen (IHK) tergolong rutin,

tetapi tahun ini terjadi tren semakin naik. Januari tahun (2014) lalu inflasi tercatat tak lebih

dari 0,9%. Pada saat sama, banjir menyebabkan seluruh moda transportasi (darat, laut, dan

udara) mengalami kendala di jalan. Dus, mengurangi suplai bahan pangan. Ujung-ujungnya

biaya transportasi juga naik.

Bahkan menurut data BPS, karena cuaca pula, upah jasa tukang dan upah pembantu rumah

tangga turut naik. Karena itu, pemerintah daerah mesti bersiap-siap menggencarkan operasi

pasar. Inovasi dan kreasi tim BPBD harus selalu dilakukan, termasuk memasukkan aspek

rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Sebab berdasar mapping bencana, seluruh daerah di Jawa Timur tanpa terkecuali, (di 38

kabupaten dan kota), rawan terhadap bencana banjir. Ancaman peringkat kedua, berupa badai

di 31 kabupaten/kota, serta potensi gempa bumi di 23 kabupaten/kota. Lalu bencana susulan

berupa tanah longsor mengancam di 20 kabupaten/kota.

Terlepas dari budaya politik kita yang lebih meletakkan bencana dan berbagai peristiwa

memilukan sebagai ajang narsis partai politik, yang justru dikhawatirkan adalah bahwa

bencana khususnya di Jakarta, bukan sesuatu yang harus diselesaikan, tetapi malah sekadar

sebagai alat mencari keuntungan politik. Artinya, bencana yang terjadi di Ibu Kota acap

menjadi pintu masuk bagi kepentingan politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan.

Bahkan sering terjadi bencana atau persoalan lain di Ibu Kota menjadi panggung pertarungan

politik di level Provinsi Jakarta dengan pusat. Apalagi secara politik, penguasa Jakarta alias

gubernur DKI Jakarta tidak akur dengan Presiden RI. Maka kemudian yang terjadi adalah ada

pertarungan kepentingan politik antara DKI-1 dan RI-1.

Kondisi itu sesungguhnya bukan kabar baru, bahwa penanganan bencana atau permasalahan

apa pun di Jakarta tidak pernah murni sebagai penanganan bencana, tetapi selalu melakukan

melibatkan faktor kepentingan politik di dalamnya.

ANNA LUTHFIE

Ketua DPP Partai Perindo Indonesia

Page 94: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

94

Berharap Rupiah, Mendapat Musibah Koran SINDO 19 Februari 2015

Kasus dugaan 700-an ijazah palsu yang dilakukan guru di Minahasa awal 2015 ini tidak bisa

dianggap persoalan sepele. Kasus ini terus berulang, dan sepertinya sulit dihilangkan.

Pada 2012 lalu, di Jawa Timur ditemukan 1.600-an ijazah palsu yang dipakai guru, dosen,

dan mahasiswa. Dari jumlah tersebut, 62% akta IV, 31% S-1, 4% S-2, dan 1% S-3.

Pemalsuan ijazah dengan alasan apa pun tidak bisa dibenarkan, apalagi yang melakukan

adalah guru, orang yang tugas utamanya membentuk karakter siswa. Disebut ‘guru’ artinya

bisa digugu dan ditiru segala ucapan dan tindakannya. Selain guru, pemalsuan ijazah

dilakukan oleh calon kepala daerah dan calon anggota legislatif.

Karena Rupiah

Mudah diduga bahwa kasus ini bertambah masif–dipicu oleh rencana pemerintah yang

mewajibkan guru bergelar sarjana (S-1) paling lambat akhir 2015 (UU No. 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen). Jika tidak maka guru harus rela turun pangkat menjadi staf

administrasi atau dipensiunkan sebagai guru. Siapa yang tidak takut dengan kebijakan ini,

meski realitasnya bisa saja diundur?

Kecuali itu, guru membeli ijazah palsu demi sertifikasi. Guru yang belum sarjana tidak akan

dipanggil mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi

Guru (PPG) sebagai proses peningkatan mutu, dan jika lulus maka ia berhak mendapat

sertifikat pendidik. Dengan itu, guru dianggap layak mengajar dan berhak mendapat

tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok. Guru melakukan dosa berjamaah demi

rupiah, yaitu membeli ijazah palsu.

Saya tidak percaya bahwa kasus ini semata kesalahan guru. Kepala sekolah dan pengawas

pasti tahu kondisi guru. Analoginya, orang tua pasti tahu apa saja yang diperbuat anaknya.

Jika kuliah, guru setidaknya membutuhkan izin dari kepala sekolah. Jika tiba-tiba ia punya

ijazah, mestinya kepala sekolah adalah orang pertama yang menindaknya. Besar

kemungkinan kepala sekolah terlibat langsung maupun tidak langsung.

Mengapa banyak guru yang belum sarjana? Setiap guru punya jawaban masing-masing,

namun tak lepas dari tiga hal ini: tidak punya biaya kuliah, jarak tempuh ke tempat kuliah

jauh, dan sudah malas belajar entah karena usia maupun kesibukan.

Saya percaya minat belajar guru kita masih rendah. Bahwa persyaratan guru minimal harus S-

Page 95: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

95

1 sudah ditetapkan pemerintah sejak 2005. Artinya, mereka mengabaikan kebijakan ini yang

sudah berusia sembilan tahun rentang waktu yang lebih dari cukup untuk mengambil

keputusan: menjadi guru atau tidak sama sekali.

Alih-alih segera kuliah, mereka malah memalsukan ijazah. Meski praktik ini mungkin

dianggap biasa, guru harus bisa mengatakan tidak. Mark Driscoll menyatakan “Morality is

not determined by majority, its determined by the lord.”

Moralitas Guru

Sungguh guru harus segera merevolusi mentalnya. Kejujuran adalah modal paling berharga

yang harus dimiliki guru. Bagaimana pun situasinya, guru tidak bisa dibenarkan berbohong.

Kecuali pemalsuan ijazah, banyak guru terbukti melakukan plagiasi karya tulis ilmiah untuk

kenaikan pangkatnya, dan memberikan jawaban soal UN (ujian nasional) kepada siswa agar

lulus. Sekadar memberikan contoh lain tentang sikap tak terpuji guru.

Guru harus punya integritas karena tugasnya adalah mendidik di samping mengajar. Martin

Luther King berkata, “Intelligence plus character, that is the goal of true education.” Tugas

berat guru bukan menjadikan siswa pintar, tetapi menjadikan mereka manusia yang baik.

Pembentukan karakter itu akan berhasil manakala guru bisa dijadikan teladan dalam soal

moralitas.

Dalam mendidik, sangat penting dilandasi kepercayaan siswa terhadap guru. Thomas

Jefferson berujar, “Truth is certainly a branch of morality and a very important one to

society.” Kepercayaan siswa tumbuh manakala guru mampu hadir sebagai sosok teladan

dalam ucapan dan tindakan.

Tindakan guru mengambil jalan pintas dengan memalsukan ijazah merupakan antitesis dari

kesungguhan dan keuletan dalam menuntut ilmu, meski misalnya, dalam keterbatasan

ekonomi, jarak jauh, dan sangat sibuk. Yang pertama merupakan contoh buruk bagi siswa,

sedangkan yang kedua adalah contoh baik yang bisa menginspirasi siswa (ingat novel best

seller dan film Laskar Pelangi).

Kasus ini mengandung pelajaran bahwa guru harus jujur dan tidak berhenti belajar. Dua sikap

yang jika ditiru siswa akan menjadikan mereka sukses dalam kehidupan. Siswa memiliki

kecenderungan meniru gurunya, karena ia adalah pahlawan dan bintang bagi siswa. Elbert

Hubbard menulis, “The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true

teacher is the learner.”

Tiga Langkah

Mengingat darurat moralitas guru di atas, pemerintah dan yayasan bisa mempertimbangkan

langkah berikut. Pertama, pemerintah menyediakan beasiswa bagi guru yang belum S-1,

terutama guru yang lokasi sekolahnya jauh dari LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga

Page 96: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

96

Kependidikan). Artinya, Mendikbud memperpanjang batas waktu guru harus S-1, maksimal

empat tahun dari 2015.

Kedua, pemerintah dan yayasan menjamin bahwa kepala sekolah memberikan kelonggaran

waktu mengajar bagi guru yang melanjutkan studi. Guru sering dilema karena kepala sekolah

tidak atau kurang mendukung kuliahnya. Pilihan guru yang kuliah hanya dua: tetap mengajar

atau kuliah. Demi kelangsungan hidup, banyak guru memilih tidak kuliah.

Ketiga, aparat penegak hukum memproses kasus pemalsuan ijazah ini sampai tuntas untuk

memberikan efek jera bagi guru-guru lainnya. Guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembuat

ijazah yang terbukti terlibat ijazah palsu diberi hukuman sesuai hukum yang berlaku. Saya

yakin masih banyak guru yang memiliki moralitas dan integritas tinggi.

Akhirnya, sah saja guru berharap tambahan rupiah, tapi caranya harus benar. Membeli ijazah,

karena berharap rupiah, bertentangan dengan moralitas (dan) hukum. Alih-alih mendapat

rupiah, bisa jadi guru mendapat musibah. Lagi pula, terlalu rendah martabat guru, jika

menjadikan rupiah sebagai tujuan.

Guru harus tetap menjaga marwah, walaupun hidup susah. Mempertahankan integritas inilah

yang membuat hidup menjadi bermakna, sebagaimana ditulis Immanuel Kant, “Life without

reason and morality has no value.”

JEJEN MUSFAH

Sekretaris Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 97: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

97

Imlek dan Kesejahteraan Koran SINDO 19 Februari 2015

Tidak terasa Imlek sudah datang kembali yang jatuh bersamaan dengan 19 Februari 2015

kalender Masehi. Tahunnya menunjukkan angka 2566, yang dihitung sejak kelahiran

Confucius pada 551 Sebelum Masehi. Dengan demikian, angka 2566 merupakan

penjumlahan angka 551 dan 2015.

Kata ”Imlek” berasal dari bahasa Hokkian Selatan, berarti ”penanggalan bulan”. Perhitungan

penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar

calendar) dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Uniknya perhitungan

penanggalan ini juga didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calendar)

seperti penanggalan Masehi.

Jika dibanding dengan tahun baru lainnya, Imlek boleh jadi merupakan satu-satunya hari

yang paling unik dan inklusif. Keunikannya, perayaan tahun baru ini bisa dirayakan warga

Tionghoa atau China yang beragama apa pun.

Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang biasanya jatuh

pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta

menyambut musim semi, yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada

tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang

Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh.

Tujuannya, tak lain sebagai syukur dan doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih

banyak, di samping untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat

dan tetangga. Jadi pada mulanya Imlek bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan

upacara tradisional masyarakat Tiongkok.

Di Republik Rakyat Tiongkok, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama

Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Tetapi, khusus bagi saudara-saudara

penganut Konghucu dan Buddha, hingga kini Imlek tetap merupakan perayaan keagamaan.

Bagi umat Konghucu misalnya secara khusus Imlek merupakan peringatan tahun kelahiran

Sang Nabi (Kongzi atau Confucius), tokoh yang punya banyak pesan moral.

Upacara menyambut Tahun Baru Imlek oleh penganut Konghucu disebut taopekong,

dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/bulan La (bahasa Mandarin)

tanggal 23 atau 24. Kata ”taopekong” bermakna ”paman buyut” (saudara laki-laki buyut)

dengan makna kiasan ”dewa”. Taopekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau

generasi di atasnya.

Page 98: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

98

Sedangkan identifikasi Imlek sebagai hari raya Buddhis dimulai setelah agama Buddha

menyebar di Tiongkok pada zaman Dinasti Han (202 SM-221 M), di bawah Raja Han, Ming

Ti. Awalnya agama Buddha hanya dianut kalangan istana, lalu menyebar ke masyarakat.

Rakyat yang sudah menganut agama Buddha masih tetap mempertahankan budaya

tradisionalnya, bahkan kadang tercampur dengan kepercayaan kuno seperti Taoisme dan

Konfusianisme.

Bagi Tionghoa Kristen atau muslim, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Meski

demikian, tentu tidak ada salahnya jika pada Tahun Baru Imlek yang merupakan tradisi dari

nenek moyang ini, Tionghoa Kristen atau muslim berdoa dan bersyukur pada Sang Khalik.

Nah, dari ilustrasi di atas menjadi menarik bahwa Imlek ternyata tidak eksklusif, tapi inklusif

karena bukan terkait agama atau golongan tertentu. Dalam Imlek terkandung pesan yang

mencoba menjembatani semua sekat-sekat yang ada. Imlek menjadi hari raya kultural

Tionghoa secara umum. Singkatnya ada satu Imlek yang bisa dirayakan oleh semua. Karena

itu, semua etnis Tionghoa, baik yang totok atau peranakan, tidak perlu takut atau ragu lagi

untuk secara terbuka merayakan Imlek.

Entah Tionghoa penganut Konghucu, Buddha, Islam, atau Kristen pada satu hari Imlek ini

bisa bersatu dalam satu rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Satu. Segala perbedaan bukan

coba dihapus, tetapi diterima dan dihargai keberadaannya. Semua yang berbeda bisa bersatu

memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di sebagian kelenteng

di Jawa seperti Kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban yang menerima siapa pun yang hendak

masuk maupun menginap. Saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-

kelenteng itu sering terdapat patung-patung setempat yang sama sekali tidak terdapat dalam

tradisi Tiongkok.

C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki sekitar 115 dewa yang ada di kelenteng-kelenteng

di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda. Ini boleh jadi selaras

dengan prinsip ”Yin-Yang” agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga.

Harmoni bukan berarti hendak menghapus perbedaan, tapi justru dijaga agar perbedaan itu

bisa dikelola sehingga menjadi satu lagu merdu. Bukankah sebuah lagu merdu tersusun dari

nada-nada yang berbeda?

Karena itu, pesan inklusif Imlek harus mampu diterjemahkan dalam bentuk menghindari

segala bentuk komersialisasi Imlek yang hanya mengumbar semangat konsumerisme. Imlek

harus diterjemahkan menjadi solidaritas dan empati bagi saudara-saudara sebangsa,

khususnya yang tengah menjadi korban banjir baik di Jakarta, Bandung, atau di dekat Kali

Lamong, Surabaya.

Jangan lupa, dalam Imlek melekat satu tradisi yakni pemberian ”angpau”. Nah, di tengah

kondisi saudara-saudara sebangsa dilanda banyak bencana banjir, rasanya bijak jika kita juga

Page 99: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

99

berbagi angpau dengan mereka, sebagai ekspresi solidaritas kita. Tanpa solidaritas atau bela

rasa bagi yang lemah, kemakmuran atau kesejahteraan yang kita nikmati tiada akan berarti,

malah menjerat kita dalam sikap tamak penuh egosentrisme. Tanpa kesediaan berbagi dengan

yang lemah dan miskin, kita jelas gagal menghidupi pesan atau semangat inklusif Imlek.

Selama ini kekayaan dan kemakmuran hanya dinikmati sebagian kecil kalangan atas dan

tidak menyentuh sebagian besar kaum jelata atau wong cilik. Semoga ke depan akan kian

banyak perbaikan demi kesejahteraan negeri ini. Semoga kita semua sadar bahwa

kesejahteraan seharusnya menjadi milik semua orang. Gong Xi Fa Choi 2566.

TOM SAPTAATMAJA

Teolog

Page 100: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

100

Entrepreneur Spiritual Koran SINDO 19 Februari 2015

Ada fenomena yang menarik diamati terkait dengan kegiatan training spiritual. Umumnya

training spiritual diikuti kalangan muslim perkotaan. Waktunya pun dipilih pada setiap akhir

pekan (weekend).

Paket pelatihan yang ditawarkan para entrepreneur spiritual ternyata laris manis. Padahal

untuk mengikuti training spiritual peserta dikenakan biaya mahal. Pertanyaannya, mengapa

kalangan muslim perkotaan antusias mengikuti training spiritual meski harus mengeluarkan

biaya mahal?

Training spiritual kini telah menjadi rutinitas sekaligus pengganti rekreasi yang biasa

dilakukan kelompok menengah ke atas pada setiap akhir pekan. Training spiritual telah

menjadi sarana relaksasi pikiran setelah bekerja selama seminggu. Dengan mengikuti

training spiritual, seseorang berharap terhindar dari penyakit stres yang seringkali dialami

masyarakat perkotaan.

Jika dicermati, training spiritual sejatinya telah menjadi fenomena global era 1990-an.

Tepatnya sejak Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog

tentang kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ). Dengan EQ, seseorang dapat memahami

perasaan orang lain sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan

diri (self awareness).

Danah Zohar dan Ian Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai

kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Melalui SQ, seseorang mampu meraih nilai-nilai,

pengalaman, dan kenikmatan spiritual (the taste of spirituality). Temuan tersebut menegaskan

peranan EQ dan SQ sebagai faktor penting kesuksesan seseorang. Dengan demikian,

kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan melalui intelligence quotient (IQ).

Begitu karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall diterbitkan dalam edisi

Indonesia, kesadaran untuk mengoptimalkan potensi IQ, EQ, dan SQ, dalam rangka meraih

sukses hidup menjadi tren. Karya-karya itu telah menginspirasi munculnya buku bertemakan

spiritualitas dan tasawuf. Kita pun menemukan karya penulis-penulis produktif semacam Ary

Ginanjar Agustian (ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam serta ESQ Power),

Agus Mustafa (penulis buku-buku bertemakan dialog tasawuf dan modernitas), Mohammad

Sholeh (Salat Tahajud dan Kesehatan), Abu Sangkan (Salat Khusyuk), dan Yusuf Mansur

(Belajar Salat).

Yang mengagumkan, ternyata buku-buku tersebut termasuk kategori best seller. Respons

Page 101: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

101

masyarakat yang luar biasa itulah yang kemudian mengilhami beberapa penggiat kajian

spiritualitas dan tasawuf melakukan terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan.

Tawaran training spiritual itu pun disambut muslim perkotaan dengan antusias. Maka itu,

jadilah kegiatan training spiritual menjadi profesi bagi entrepreneur spiritual.

Kajian keagamaan dan paket training spiritual telah menjadi gejala di beberapa kota besar.

Warga Jakarta pasti mengenal beberapa kelompok kajian keagamaan dan spiritualitas.

Misalnya, Tazkia Sejati (Djalaluddin Rahmat), Klub Kajian Agama (almarhum Nurcholish

Madjid), Training Meditasi (Anand Krishna), Training ESQ (Ary Ginanjar Agustian), dan

Shalat Khusyuk (Abu Sangkan). Demam training spiritual pun menular ke Surabaya,

Bandung, Makassar, dan Medan.

Selain training spiritual, kegiatan keagamaan dalam bentuk zikir juga berkembang pesat

melalui kiprah Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar (AA Gym), dan Yusuf Mansur. Fenomena

spiritualitas juga mewujud dalam kelompok-kelompok salawat. Misalnya, kelompok salawat

Nabi pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.

Bukan hanya itu, guru spiritual juga kini menjadi profesi yang menggiurkan di Ibu Kota. Itu

terjadi karena umumnya elite politik, pejabat publik, bahkan selebritas di negeri ini

membutuhkan guru spiritual.

Para penggiat spiritual yang piawai memanfaatkan psikologi masyarakat perkotaan inilah

yang disebut entrepreneur spiritual sejati. Mereka para penggiat training spiritual telah

berhasil melakukan komodifikasi nilai-nilai keagamaan dan modernitas.

Entrepreneur spiritual dapat menyelami perasaan muslim perkotaan yang mengalami dahaga

spiritual akibat kehidupan individualistik dan materialistik. Ibaratnya, muslim perkotaan

sedang merindukan kehidupan yang bermakna (meaningful). Apalagi jika melihat kondisi

bangsa yang pelan, tapi pasti mengalami degradasi moral. Training spiritual juga dapat

menjadi benteng bagi muslim perkotaan agar terjauhkan dari pengaruh dunia mistik, klenik,

dan perdukunan, yang juga menjadi tren.

Mengutip hasil workshop tentang Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and

Modernity in Contemporary Islam, yang diselenggarakan oleh Griffith University, Brisbane,

Australia dan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta (2001), dikatakan bahwa

terdapat lima kecenderungan masyarakat kota terhadap sufisme atau spiritualitas pada

umumnya yaitu: (1) searching for meaningful life (pencarian makna hidup), (2) intellectual

exercise and enrichment (perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan), (3)

psychological escape (sebagai solusi problem psikologis), (4) religious justification

(mengikuti tren keagamaan), dan (5) economic interest (komodifikasi agama untuk

kepentingan ekonomi).

Jika lima indikator itu digunakan untuk mengamati tren spiritualitas muslim perkotaan, faktor

utama mereka mengikuti training spiritual adalah psychological escape. Itu dapat dimaklumi

Page 102: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

102

karena muslim perkotaan merupakan kelompok yang bersentuhan langsung dengan dampak

modernitas. Problem terbesar masyarakat modern umumnya adalah persoalan kemanusiaan

seperti keterasingan, individualistik, materialistik, dan moralitas.

Berkaitan dengan ada kecenderungan economic interest yang menyertai training spiritual, itu

harus diakui sebagai bagian dari profesionalisme. Budaya kerja profesional menuntut

pengelolaan training spiritual layaknya sebuah bisnis.

Karena itu, tidak mengherankan jika entrepreneur spiritual melaksanakan training spiritual di

hotel berbintang. Entrepreneur spiritual juga memanfaatkan kecanggihan informasi dan

teknologi (IT). Bahkan urusan penataan ruang, soundsystem, dan cahaya lampu, menjadi

bagian yang diperhatikan entrepreneur spiritual. Dengan cara itu, entrepreneur spiritual dapat

memainkan emosi keagamaan peserta pelatihan sehingga mampu menghadirkan penyesalan,

kesedihan, keharuan, dan kesyahduan.

Puncaknya, ketika peserta training spiritual hanyut dalam penyesalan. Tanpa terasa air mata

peserta pun menetes. Peserta training spiritual menangis tersedu-sedu sebagai tanda

penyesalan atas segala kesalahan.

Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti training spiritual itu seseorang dapat berubah

menjadi lebih baik? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah. Karena pasti butuh

waktu untuk mengamati perubahan perilaku peserta training spiritual. Paling tidak

entrepreneur spiritual telah membantu muslim perkotaan untuk merasakan kenikmatan

spiritual.

BIYANTO

Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Page 103: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

103

Dystopian Society Koran SINDO 20 Februari 2015

Sejarah kelahiran Republik Indonesia ini didorong oleh tekad dan keyakinan akan datangnya

utopian society, sebuah masyarakat gemah ripah loh jinawi, tentrem kerto raharjo.

Setelah penjajah pergi, rakyat yakin dan menunggu datangnya sebuah masyarakat yang

damai, makmur, dan sejahtera di bawah kepemimpinan Ratu Adil pilihan Tuhan. Keyakinan

ini diperkuat oleh pesan Alquran untuk mewujudkan apa yang disebut: baldatun toyyibatun

wa rabbun ghafur. Negara yang indah dan menyenangkan di bawah ampunan Ilahi.

Pemikiran dan keyakinan utopian society ini sesungguhnya tidak hanya ditemukan pada

masyarakat Nusantara prakemerdekaan, tetapi juga masyarakat lain yang hidupnya tertindas.

Dulu Bani Israel juga punya konsep utopian society ketika hidupnya sangat menderita di

bawah kekuasaan Firaun, lalu muncul Nabi Musa yang diyakini sebagai juru selamat yang

akan mendatangkan masyarakat dan negara yang makmur di atas tanah yang

dijanjikan. Orang Yahudi mengklaim bahwa tanah yang dijanjikan itu sekarang bernama

Yerusalem. Tapi kenyataan historis-politis menunjukkan Yerusalem itu merupakan wilayah

konflik dan peperangan jauh sejak sebelum Masehi yang berlangsung hingga hari ini.

Psikologi orang kalah dan putus asa selalu membayangkan dan mengharapkan datangnya juru

selamat yang akan mengantarkan mereka pada dunia baru yang mereka mimpikan (utopian

society). Hampir setiap masyarakat bangsa dan ideologi besar dunia serta agama memiliki

keyakinan dan harapan datangnya masyarakat utopia. Ideologi komunis membayangkan

terwujudnya masyarakat tanpa kelas yang serbamakmur, tak ada pengangguran dan

kemiskinan, semuanya dicukupi dan dilindungi oleh negara.

Ideologi kapitalisme membayangkan hadirnya masyarakat yang setiap warganya memiliki

kemerdekaan penuh, mereka hidup dalam suasana kompetisi yang diatur bersama oleh

undang-undang, sehingga kehidupan layaknya sebuah festival, sesuai dengan minat dan

bakatnya. Mereka yang kalah bersaing akan disantuni oleh negara dari uang pajak yang

dipungut dari para pemenangnya.

Dalam tradisi agama, masyarakat utopia yang dibayangkan, kalaupun di dunia tidak terwujud,

maka mesti menunggu nanti di akhirat setelah kematian nanti, berupa masyarakat surgawi.

Jadi, utopia itu selalu memberikan harapan dan hiburan di kala penderitaan berkepanjangan.

Makanya masyarakat yang menderita dan lama tertindas merasa tak berdaya, selalu berdoa

kapan datangnya Juru Selamat atau Ratu Adil, pemimpin besar yang mampu mengangkat

Page 104: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

104

mereka dari keterpurukan.

Namun, dalam realitas sejarah, yang kadang dijumpai justru dystopian society. Di balik

hiruk-pikuk dan pasang surut kehidupan politik, masyarakat selalu berharap, enough is

enough . Semoga kegaduhan dan kegelapan segera berakhir lalu tiba matahari pagi yang

cerah. Tapi kadang harapan tinggal harapan, karena masih juga dijumpai kehidupan sosial

yang serbagaduh, centang-perentang, karut-marut, tidak aman dan tidak nyaman, jauh dari

yang diimpikan.

Dibanding masa penjajahan Belanda dan Jepang, tentu masyarakat Indonesia saat ini jauh

lebih baik. Kita mesti bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada para pejuang

kemerdekaan. Namun, bagi sebagian masyarakat Indonesia di berbagai wilayah, kemakmuran

itu masih jauh dari semestinya.

Kehidupan toto tentrem loh jinawi, kehidupan yang tenteram dan makmur bagi mereka masih

juga utopis. Sejak 1945 sampai 1965 berbagai peristiwa konflik berdarah-darah datang

sambung-menyambung. Banyak saudara kita sebangsa dan setanah air masih dalam situasi

masyarakat distopia. Sementara itu, pada panggung politik juga masih terjebak pada

dystopian political stage.

Cita-cita reformasi yang dibayangkan akan mengantarkan kehidupan kita menjadi semakin

maju, kemakmuran merata, kesejahteraan rakyat meningkat, kehidupan politik kian beradab

dan menarik dilihat, nyatanya masih juga menyedihkan kondisinya. Belum hilang dari

ingatan kita bagaimana rakyat heboh menyukseskan pemilu dan juga pilkada dengan berbagai

dinamikanya, begitu pemilu selesai sekarang gantian yang heboh dan tengkar justru sesama

aparat pemerintah sehingga kondisi ini sangat melukai rakyat.

Apa pun alasannya, 100 hari pertama pemerintahan ini justru ditandai dengan lumpuhnya

KPK, lembaga pemberantasan korupsi, ketika beperkara dan berhadapan dengan lembaga

kepolisian yang juga sama-sama pendekar anti-korupsi. Seru dan ironis, masing-masing pihak

mengeluarkan jurus dan senjata mautnya dengan menyatakan tersangka pelaku korupsi pada

jajaran pendekarnya.

Di atas kertas seakan yang terjadi adalah maling teriak maling, koruptor teriak koruptor. Bisa

saja yang terjadi kedua belah sama-sama salah, atau sama-sama benar, atau salah satu yang

benar dan yang salah. Bagaimanakah cerita selanjutnya, masyarakat akan menunggu.

Masyarakat ingin melihat penyelesaiannya secara fair dan transparan, jangan sampai terjadi

penzaliman dan kriminalisasi terhadap yang lain. Jika pihak atau unsur pimpinan KPK yang

salah, masyarakat ingin tahu apa dan seberapa besar-kecil kesalahannya sehingga layak jadi

tersangka. Begitu pun jika pihak atau unsur pimpinan Polri yang melakukan korupsi, mesti

diungkap secara fair dan transparan, demi mengembalikan martabat dan wibawa kepolisian.

Lagi-lagi kita membayangkan hadirnya utopian state, sebuah negara dengan pemerintahan

Page 105: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

105

yang cerdas, bersih, kompeten dan mampu memajukan bangsanya sebagaimana yang

dibayangkan, diimpikan dan dicitakan oleh para pejuang kemerdekaan dengan pengorbanan

jiwa dan raga. Jadi, jika sebelum pilkada dan pemilu para politisi begitu manis dan peduli

pada rakyat sebagai calon pemilih, namun sering dinilai lupa setelah duduk di kekuasaan,

jauh lebih parah lagi kalau jajaran penguasa juga lupa akan cita-cita dan pengorbanan para

pejuang kemerdekaan.

Komitmen menjaga moral dan cita-cita perjuangan kemerdekaan itu bukan semata masalah

hukum tata negara. It is above and beyond the law. Kita memang membangun negara hukum.

Bernegara itu berkonstitusi. Tetapi mesti diingat bahwa ruh konstitusi itu moral dan cita-cita

luhur untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

Dengan demikian, jika seorang pejabat dinyatakan dan terbukti korup, siapa pun orangnya,

maka tak perlu lagi dibela-bela dengan berbagai dalil hukum untuk mencari pembenaran dan

pembelaan.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 106: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

106

Di Balik Sakit Hati Koran SINDO 20 Februari 2015

Dalam KBBI edisi keempat dituliskan: ‘hati’ adalah bagian perut yang merah kehitam-

hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari

makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu. Adapun ‘sakit’ diartikan: berasa tidak

nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu.

Kalau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud boleh memberikan

penghargaan untuk frase yang paling sering dicatut orang-orang berbagai golongan, frase

‘sakit hati’ akan keluar sebagai pemenangnya. Kata ‘sakit hati’ ada di mana-mana disebutkan

para remaja yang sedang patah hati, dijadikan tema buku literatur dan film yang legendaris,

hingga dijadikan jargon yang digunakan untuk mendongkrak beberapa momentum yang

korelatif dengan urusan percintaan. Kata ‘sakit hati’ juga muncul dalam berbagai bentuk yang

unik dan kreatif.

Ada banyak sekali pertanyaan menarik di balik penyebutan kata ‘sakit hati’ sebagai

kompensasi perasaan nyeri yang didapat seseorang kala menghadapi kekecewaan. Secara

struktur bahasa, penggunaan frase ‘sakit hati’ membawa ambiguitas yang bisa diterjemahkan

dari beberapa sudut pandang. Penggunaan frase ‘sakit hati’ bisa dipandang secara harfiah

maupun secara metaforik.

Hati sebagai salah satu organ pencernaan memang berisiko mendapatkan berbagai macam

disfungsi atau penyakit seperti hepatitis atau sirosis. Jika diartikan secara harfiah, ‘sakit hati’

berarti ‘mengalami disfungsi pada hati’. Namun, jika diartikan secara metaforik, ‘sakit hati’

berarti semacam sensasi sesak di dada saat mengalami perasaan kecewa, takut, mau pun

marah.

Frase ‘sakit hati’ pada nyatanya lebih sering diartikan secara metaforik. Orang biasa

menyebut ‘sakit hati’ untuk mengompensasi perasaan sakit di dada, bukannya berkata ‘sakit

hati’ untuk mengasosiasikan salah satu disfungsi hati. Menarik sekali untuk menelaah

bagaimana frase ini bisa berkembang dan melihat korelasi serta penjelasannya secara ilmiah.

Hasil riset membuktikan bahwa sensasi sakit pada dada saat mengalami kekecewaan itu

memiliki dua komponen, yaitu komponen sensorik dan komponen afektif. Komponen

sensorik memberi informasi mendasar mengenai sakit yang dirasakan, sementara komponen

afektif memberi informasi yang sifatnya kualitatif, seperti interpretasi terhadap rasa sakit itu

sendiri.

Naomi Essenberg, seorang psikolog dari University of California Los Angeles, Amerika

Page 107: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

107

Serikat, mengemukakan bahwa otak manusia memiliki beberapa bagian yang aktif selama

rasa sakit dirasakan anterior cingulate cortex sebagai bagian otak yang memberi alarm

terhadap rasa sakit serta right ventral prefrontal cortex sebagai bagian otak yang mengatur

jalannya rasa sakit tersebut.

Akan tetapi, perasaan sakit yang dirasakan itu tidak ada kaitannya dengan organ pernapasan

yang terletak pada dada. Semua perasaan sakit itu berasal dari otak, yang memberikan

berbagai stimulus pada kelenjar endokrin untuk menghentikan pemberian hormon yang

memicu datangnya perasaan senang.

Saat berada dalam situasi yang mengecewakan, otak akan memerintahkan stimulus pada

kelenjar endokrin untuk mengeluarkan hormon kortisol, yang merupakan hormon pemacu

stress. Hormon kortisol jika disekresikan secara berlebihan akan memicu otak untuk

mengirim darah terlalu banyak pada otot, yang berujung pada rasa lelah dan letih. Efek inilah

yang nantinya membuat kepala sakit, leher pegal, dan sensasi menyakitkan pada dada. Jadi,

perasaan sakit hati ini sama sekali tidak berkaitan dengan terjadinya disfungsi pada sistem

pernapasan.

Riset yang dilakukan Essenberg ini rasanya cukup menjelaskan bagaimana seseorang

merasakan sensasi sakit pada dada saat mengalami kekecewaan. Walau terdengar sepele,

ternyata rasa ‘sakit hati’ ini berpotensi membawa semacam komplikasi yang sifatnya fatal.

Pada tahun 2012, Marjorie Landis dan James Landis, sepasang suami istri yang sudah

menikah selama 65 tahun, meninggal hanya dalam selang waktu 88 menit. Tim dokter dari

John Hopkins University yang menyelidiki kasus ini kelak melaporkan sebuah kesimpulan

bahwa perasaan kecewa (yang kerap diasosiasikan dengan sakit hati) membawa efek yang

mematikan untuk kondisi jantung, kondisi yang merenggut nyawa Marjorie Landis dan James

Landis.

Menyenangkan rasanya mengetahui makna di balik arti frase ‘sakit hati’, frase populer yang

kerap terdengar sehari-hari. Walaupun frase ‘sakit hati’ tidak bisa diartikan secara harfiah,

namun bisa dikatakan frase yang kerap mendominasi percakapan sehari-hari ini memiliki arti

tertentu dalam sains.

YASMIN JAMILAH

Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat 2013

Page 108: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

108

Mubahalah dan Sumpah Pocong Koran SINDO 21 Februari 2015

Setelah pada awal pekan ini, 16 Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi mengetokkan palu

bahwa penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) tidak sah, maka saling kecam dan saling bully antarpendukung KPK dan Budi

Gunawan memanas.

Ada yang mengecam hakim karena dianggapnya merusak tata hukum. Ada yang bersorak dan

menuding KPK keok dan terbukti telah melakukan tindakan sewenang-wenang dalam

menetapkan seorang tersangka. Oleh para penyerangnya KPK semakin dipojokkan dengan

pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena telah ditetapkan

menjadi tersangka oleh Polri dalam tindak pidana umum dan diberhentikan sementara oleh

Presiden.

Di jejaring sosial saling serang itu lebih seru dan liar, banyak yang tanpa argumen dan

menyesatkan pemahaman. Misalnya ada cuitan di Twitter yang kemudian di-retweet secara

berantai bahwa yang menimpa KPK sekarang ini membuktikan bahwa mubahalah sedang

bekerja dan terjadi di KPK.

Bagi orang yang paham sedikit saja tentang fikih Islam, pastilah segera tahu bahwa yang

mencuitkan mubahalah bekerja di KPK itu tidak paham arti ‘mubahalah’. ‘Mubahalah’

adalah saling bersumpah dan kesediaan menerima laknat Allah melalui ritual atau cara

tertentu jika keterangan atau tuduhan dan bantahannya tidak benar. Di dalam mubahalah

kedua pihak yang berselisih sama-sama menyatakan, “Kalau Anda benar dan saya salah maka

saya bersedia dilaknat oleh Allah.”

Di dalam syariat Islam ketentuan tentang mubahalah tercantum di dalam Alquran, Surat Ali

Imran ayat (61) yang diturunkan oleh Allah karena pertentangan paham akidah yang sangat

penting antara umat Islam dan kaum Kristen. Seorang pendeta Kristen dari Najran bersikeras

bahwa Isa (Jesus) anak Allah sedangkan menurut Islam Isa adalah manusia biasa yang

diangkat menjadi nabi. Untuk menyelesaikan perbedaan tajam yang tidak bisa dipertemukan

itu maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak pendeta Najran melakukan

mubahalah, yakni sama-sama bersumpah bahwa dirinya benar dan siapa yang tidak benar

bersedia mendapat laknat dari Allah.

Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, pendeta dari Najran itu tidak bersedia ber-

mubahalah dan memilih membayar jizyah (denda) atas pernyataan-pernyataannya. Pada

masa-masa sesudah Nabi Muhammad sering dilakukan mubahalah untuk menyelesaikan

perselisihan yang tidak mencapai titik temu sehingga perselisihan diakhiri dan masing-

Page 109: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

109

masing menyerahkan akibatnya kepada Allah dengan bersedia dilaknat jika berdusta.

Jadi, yang namanya mubahalah ada cara ritualnya, yakni bersumpah dengan kalimat dan cara

tertentu dan dengan saksi-saksi resmi, yakni keluarga terdekat semua pihak yang ber-

mubahalah.

Di dalam masyarakat kita dikenal juga adanya sumpah pocong. Dalam praktiknya sumpah

pocong sering dicampur-aduk dengan ritual agama secara bidah dan khurafat. Misalnya,

pihak-pihak yang bersumpah dibungkus dengan kain kafan seperti mayat, kemudian

ditidurkan di shaf masjid dan dituntun oleh pemuka agama setempat untuk saling bersumpah,

bersedia dilaknat oleh Allah jika dirinya bohong. Sumpah pocong ini sering ditakuti oleh

orang yang berbohong karena ada kepercayaan bahwa laknat Tuhan akan terjadi secepatnya,

misalnya, mati disambar petir, mati terbakar seluruh keluarga, mati tertimpa pohon, atau

ditabrak mobil.

Dalam semua perkara yang pernah ditangani oleh KPK, sejak berdirinya pada tahun 2003,

tidak pernah ada mubahalah. Tidaklah benar dan mengada-ada kalau dikatakan bahwa akibat

mubahalah sekarang sedang bekerja di KPK. Sebab KPK maupun orang yang diadili karena

dakwaan korupsi tak pernah ber-mubahalah.

Memang terkadang ada juga yang menantang sumpah pocong atau ber-mubahalah, tetapi

tantangan itu tak pernah dipenuhi. Sesaat setelah dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta,

misalnya, Anas Urbaningrum mengajak mubahalah, tetapi mubahalah itu tak pernah terjadi.

Sejak dulu KPK tak pernah meladeni ajakan sumpah pocongatau mubahalah, melainkan

melakukan pembuktian melalui proses peradilan yang di dalamnya memang ada sumpah.

Di pengadilan memang ada acara sumpah untuk para saksi tetapi hanya sumpah biasa, bukan

sumpah pocong dan bukan mubahalah. Sistem peradilan kita tidak mengenal sumpah pocong

atau mubahalah. Oleh sebab itu, ketika beredar cuitan bahwa apa yang menimpa KPK

sekarang ini adalah karena bekerjanya mubahalah, agar tidak menyesatkan, saya pun bercuit

bahwa apa yang terjadi di KPK tak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.

Kalaulah peristiwa yang terjadi di KPK ini akan dikaitkan dengan kasus Anas Urbaningrum

yang dipidana dan pernah menantang mubahalah, maka frase “mubahalah sedang bekerja”

juga salah karena dua hal. Pertama, tak pernah ada pelaksanaan mubahalah sebab tantangan

Anas tak ditanggapi sama sekali baik oleh hakim maupun oleh KPK.

Kedua, jauh sebelum adanya tantangan mubahalah KPK sendiri selalu mendapat hantaman

dari delapan penjuru angin. Kalaulah mau dipaksa dikait-kaitkan maka, mungkin, istilah

awam yang ada hubungannya adalah ‘kualat’, bukan mubahalah. Hantaman yang terjadi pada

2009 malah lebih dahsyat.

Komisi pemberantasan korupsi di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan

berbagai cara. Tak ada urusan dengan laknat karena mubahalah. Lagipula, kalau soal laknat

Page 110: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

110

Allah terhadap korupsi atau penyuapan, itu tak perlu pakai mubahalah segala karena sudah

ada Hadis sahih, “Laknatullah ala al-raasyi wa al-murtasyi. “ Terjemahannya: Allah

melaknat penyuap dan penerima suap.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 111: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

111

Eksepsionalisme Indonesia Koran SINDO 21 Februari 2015

Dalam sebuah workshop bertajuk ”Female Islamic Authority in Comparative Perspective:

Exemplars, Institutions, Practices” yang diadakan 8- 9 Januari 2015 di KITLV Leiden,

diskusi tentang eksepsionalisme Indonesia kembali mengemuka.

Hampir semua paper dalam workshop yang diurus David Kloos (Indonesanis muda di

KITLV) dan Mirjam Kunkler (Princeton University) itu membahas berbagai model otoritas

ulama perempuan di Iran, Tajikistan, Thailand, Singapura, Indonesia, dan India. Mungkin

oleh kekhasannya, di sini selalu saja berlangsung diskusi tentang Indonesian exceptionalism

(keterkecualian Indonesia).

Secara khusus, paper penulis berjudul ”Exercising Religious Authority: Female Islamic

Authority in Majelis Taklim Circles in Jakarta” juga menyedot perhatian tentang

eksepsionalisme Indonesia. Exceptionalism mengandaikan adanya model budaya yang

melekat kuat pada masyarakat tertentu–yang sulit dipengaruhi atau berubah oleh faktor

eksternal.

Sejak muncul dalam konteks Weberianisme (yang awalnya meyakini hanya Protestanisme

yang mampu menerima demokrasi dan modernitas), istilah ‘exceptionalism’ sangat bernuansa

negatif. Negara-negara Arab, misalnya, disebut sebagai exceptionalism karena hanya mereka

yang tidak dapat menerapkan dan menjalankan demokrasi secara baik.

Menariknya, eksepsionalisme Indonesia justru bernuansa positif. Dalam banyak diskursus

ilmiah di berbagai disiplin ilmu, Indonesia selalu dikecualikan secara positif. Dalam konteks

Asia Tenggara, Indonesia selalu mendapat pengecualian dengan dibedakan dari Malaysia,

Singapura, dan Thailand dalam hal tren negatif tentang Islam dan masyarakat muslim.

Dalam konteks dunia Islam pun, Indonesia selalu dikecualikan sebagai satu-satunya negara

berpenduduk muslim yang dapat mengembangkan demokrasi, baik secara teoretis, maupun

dengan pengayaan melalui kreasi lokalitas. Dalam ekspresi yang lain, demokrasi di Indonesia

kuat dan menguat karena ditopang oleh semangat moderasi para elite dan anggota

masyarakat.

Dalam workshop di Leiden tersebut, Indonesia kembali disebut eksepsional karena memiliki

banyak eksemplar dan institusi yang menopang terbentuknya otoritas ulama perempuan sejak

dulu hingga kini. Sebelum Islam datang ke Indonesia, perempuan telah menikmati otoritas

politik dengan adanya ratu-ratu yang berkuasa. Perempuan-perempuan berstatus sultanah,

pahlawan dan pejuang di berbagai bidang, mudah ditemukan di Indonesia. Dalam konteks

Page 112: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

112

keulamaan, Indonesia telah melahirkan ulama perempuan model Indonesia, meski tidak

terekspos secara berimbang dengan ulama laki-laki. Kita mungkin bisa mengingat- ingat

peran Rahmah El-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Khiriyah Hasyim Asyari, Nyai

Sholihah Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan perempuan Islam di awal Abad 20.

Di masa sekarang ini, sebagaimana dibahas dalam lima makalah tentang ulama perempuan

Indonesia dalam workshop tersebut, beberapa individu dan berbagai institusi tampak terlibat

dalam reproduksi ulama perempuan. Proses reproduksi itu dilakukan secara sadar dan

terstruktur dalam lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia.

MUI, dengan program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang awalnya hanya menerima laki-

laki, telah melibatkan peserta perempuan. Secara khusus, LSM Rahima telah menjalankan

program Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sejak 2005 dengan melibatkan nyai (istri kiai)

dan ning (anak perempuan kiai) yang memiliki potensi besar dari berbagai pesantren di

Indonesia. Tradisi kitab kuning selalu menjadi bagian penting dalam program ini. NU dan

Muhammadiyah juga melakukan reproduksi yang sama sehingga dapat terlibat dalam forum

bahtsul masail dan majlis tarjih yang memutuskan banyak hal tentang hukum Islam di

Indonesia.

Lingkungan majelis taklim (MT) di Jakarta juga cukup memiliki model dalam reproduksi

muballighah yang berotoritas di lingkungannya masing-masing. Kehadiran Tuti Alawiyah,

Suryani Thahir, dan Faizah Ali adalah sosok ulama perempuan yang mewarisi otoritas

keagamaan dari bapak mereka yang ulama besar.

Ditambah dengan pewarisan tradisi keulamaan dan keilmuan dari Indonesia (MT, pesantren,

dan IAIN) dan Mesir (Al-Azhar), mereka mampu membangun otoritas keagamaan yang

diakui secara nasional. Hal ini kemudian terdiseminasi secara efektif dan terstruktur dalam

lingkungan majelis taklim yang telah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.

Individu dan institusi seperti ini yang jarang–untuk mengatakan tidak ada–ditemui di negara-

negara berpenduduk mayoritas muslim lain. Paper yang mengangkat ulama perempuan dari

negara lain lebih fokus pada model alamiah (Iran dan India), atau memang peran otoritas

keagamaan yang sulit dilakukan oleh ulama laki-laki (Tajikistan).

Meski dengan model otoritas keagamaan yang telah terfragmentasi sedemikian rupa,

Indonesia mampu hadir sebagai negara muslim yang dapat beradaptasi secara cepat dan tepat

dengan demokrasi dan modernitas. Akademisi seperti Henk Nordholt, Mirjam Kunkler dan

Ben Soares yang terlibat aktif dalam diskusi di workshop ini pun mengakui banyak hal bahwa

Indonesia selalu menjadi pengecualian.

FARIED F SAENONG

Peneliti pada Pusat Studi Alquran dan The Nusa Institute

Page 113: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

113

Spring Roll Koran SINDO 22 Februari 2015

Buat yang belum tahu, “spring roll” itu artinya lumpia. Aslinya dari bahasa Inggris, tetapi

sudah berubah jadi bahasa cafe atau restoran. Buktinya, kalau kita pesan makanan itu di cafe;

atau restoran berbintang, dan kita bilang “Minta lumpia dua porsi”, pasti si pelayan akan

mengoreksi, “Baik, dua porsi spring roll“. Padahal maksudnya sama saja, ya lumpia itu.

Padahal si pelayan nggak bisa bahasa Inggris sama sekali.

Anehnya, berapa kali pun kita koreksi dengan kata “lumpia”, si waiter (kalau laki-laki) atau

waitress (kalau perempuan) akan nyamber balik, “Iya, Pak, spring roll“. Jadi di cafe; tidak

ada lumpia, yang ada spring roll. Tidak ada pelayan, yang ada waiter atau waitress.

Lumpia yang paling asli dan paling top berasal dari Semarang. Tepatnya lumpia Jalan

Mataram! Buat yang non-muslim, lumpia Gang Lombok! Ukurannya sebesar dua kepalan

tangan saya, rasanya sangat yummy (buat yang doyan rebung campur udang atau ayam, atau

daging lain yang nggak pernah saya makan, tapi konon nggak kalah lezat), dan harganya

kalau saya tidak salah sekitar Rp10.000-an. Mungkin sekarang sudah naik, sejak harga BBM

naik, dan tidak ikut turun setelah BBM turun lagi, tetapi saya yakin tidak lebih dari Rp15.000

per satuan.

Tetapi kalau kita beli lumpia dari cafe harganya Rp30.000-an untuk satu porsi, yang isinya

antara 4-6 bilah lumpia seukuran jari tengah saya, tanpa rebung di dalamnya, hanya kentang

dan sayuran. Makan satu porsi pun tidak akan mengenyangkan anak balita. Karena itu

namanya ‘spring roll’, bukan lumpia.

Spring roll biasanya dipesan untuk menemani cappucino atau black coffee yang harganya di

cafe Rp40.000-an segelas, padahal kopi susu atau kopi hitam yang sama, di warung kopi

harganya hanya Rp2.000 atau Rp3.000 per gelas, atau di warteg mungkin hanya Rp500 per

gelas (saya nggak pengalaman ngopi di warteg, maaf, jadi info saya mungkin kurang akurat).

Begitu juga nama-nama makanan dan minuman yang lain, es jeruk jadi orange juice, sayap

ayam goreng jadi chicken wing, bahkan di restoran-restoran bergaya Prancis ada menu yang

namanya escargot, yang tak lain dan tak bukan adalah keong sawah, yang kalau kita nemu di

halaman rumah kita, langsung kita injak sampai mbonjrot (waktu saya kecil paling suka kasih

garam ke dalam keong, dan melihat bagaimana keong itu mati pelan-pelan sambil dagingnya

mencair pelan-pelan, lebih sadis dari ISIS, tetapi anak-anak nggak nyadar bahwa itu sadis).

Nah, keong model beginian, ketika sudah jadi escargot, harganya sama dengan steak atau

lobster yang termasuk makanan kelas satu di resto-resto papan atas, yang harganya bisa

mencapai lebih dari Rp150.000 per porsi.

Page 114: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

114

Jadi manusia itu sangat aneh, kan? Barang yang sama, diubah namanya, harganya sudah

berlipat sepuluh kali. Bahan pakaian yang dibeli di Pasar Tanah Abang, ketika sudah masuk

toko ber-AC di mal, ditempeli merek luar negeri, harganya naik 10 kali lipat, dan Tante

Wendy pun membelinya dengan santai, karena dia barusan juga, bareng teman arisannya Ceu

Nita, makan spring roll yang mutunya KW5 (kualitas no. 5), tetapi harganya dua kali lipat

dari lumpia yang ori (orisinal) dari Semarang.

Kebetulan Tante (atau di rumah biasa dipanggil ‘taci’ atau ‘cici’) Wendy, merayakan Imlek

dan dia cerita pada Ceu Nita, bahwa dia perlu ke bank untuk menukar uang receh, buat isi

angpau. “Loh, sama banget dengan saya” kata Ceu Nita, “saya setiap Lebaran, juga ke bank

nukerin duit kecil buat anak-anak tetangga, keponakan-keponakan, dan penjaga makam”.

Tante Wendy jadi makin semangat, “Oh iya, kamu Lebaran ke makam doain orang tua, kan?

Kami juga sama, kalau Imlekan sembahyangan, doain orang tua dan leluhur”. Lah, terus apa

bedanya Lebaran sama Imlekan? Tetapi kalau disuruh tukar posisi (Wendy...Lebaran,

Nita...Imlekan) pasti dua-duanya tidak mau. Kalau ada astronot dari planet antah-berantah

datang dan survei ke bumi, pasti dia kebingungan.

Jadi, manusia itu memang hobi banget utak-atik makna (dalam bahasa psikologi: mind set)

supaya dia lebih nyaman dan dapat apa yang dimauinya. Turis Arab datang jauh-jauh ke

daerah Ciloto (Puncak), karena konon di sana bisa kawin mutah dengan gadis-gadis lokal,

yang kalau di lokalisasi Dolly di Surabaya (yang sudah ditutup oleh pemkot) disebut

melacur. Tetapi karena namanya kawin mutah, otomatis surga jaminannya, karena bukan

tergolong zina.

Sebaliknya, setiap 14 Februari (yang sama saja dengan tanggal-tanggal yang lain sepanjang

365 hari per tahun), oleh dunia bisnis diberi nama khusus ‘Valentine Day’, dan di-marketing

besar-besaran, maka para remaja pun tergiur beli cokelat atau bunga untuk kekasih hatinya,

atau bahkan pesan meja di restoran berbintang, dengan cahaya lilin di meja, dilatarbelakangi

musik lembut nan romantis, berpegangan tangan sambil berpandangan mata dan memesan

escargot, orange juice, dan cappuccino, dan tentu saja spring roll.

Terus Pemda atau MUI mau ngatur dengan berbagai peraturan untuk melarang Valentine?

Omong kosong. Larangan tetap berjalan, tetapi Valentine tetap jalan. Imlek dilarang selama

35 tahun, tetapi langsung hidup lagi begitu diizinkan oleh Presiden Gus Dur. Valentine,

Imlek, kawin mutah atau spring roll tidak akan ada matinya, sebab intinya tuh di sini...

(sambil nunjuk dahi).

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 115: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

115

Gong Xi Fa Cai, Hujan Rezeki Sepanjang Tahun

Koran SINDO 23 Februari 2015

Hujan bagi orang kota saat ini menjadi peristiwa yang menakutkan, karena ketika hujan turun

mereka mesti bersiap menghadapi genangan air yang tak mampu lagi diserap tanah akibat

seluruh lapisan permukaannya sudah berbeton. Hendak lari ke sungai sudah tertimbun oleh

sampah, bersemayam di rawa sudah berubah menjadi hutan-hutan beton.

Tapi bagi masyarakat perdesaan, hujan adalah anugerah Tuhan yang dikirim melalui jasa

angin, awan, kabut, dan matahari yang senantiasa turun pada suhu tertentu. Sang Penjaga

suhu jutaan hektare belantara yang terhampar di berbagai belahan dunia serta dewa salju yang

bertapa di Kutub Utara dan Kutub Selatan, mereka diam dalam kebisuan untuk menjaga

keseimbangan penghuni semesta antara dua musim atau empat musim.

Pertapaan mereka kini sering terusik oleh berisiknya anak manusia yang senantiasa

mengganggu kekhusyukannya melalui pembabatan hutan, pembakaran batu bara serta faktor

yang memicu peningkatan emisi karbon lainnya yang mengakibatkan efek rumah kaca.

Perubahan iklim adalah bencana bagi kaum petani dan nelayan yang mengubah siklus

kehidupan mereka yang selama ini menggantungkan diri dari kemurahan dan kasih sayang

alam.

Gangguan yang mereka alami merupakan dampak dari kerakusan kelompok manusia yang

menumpukkan seluruh kekayaannya pada lalu lintas keuangan yang kadang mereka sendiri

tak mampu menikmatinya. Tumpukan gedung pencakar langit, gemerlap kehidupan di pusat-

pusat kota, serta hobi yang kadang sudah tidak masuk akal sehat, adalah bagian dari gaya

hidup manusia yang memberikan dampak bagi perubahan iklim.

Hujan pada saat Tahun Baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa adalah pancaran harapan

rezeki yang akan didapat pada perjalanan waktu yang akan dijalani. Imlek atau tahun baru

bagi masyarakat Tionghoa sudah melekat dalam tradisi kehidupan masyarakat kita.

Hubungan kekerabatan yang sangat alami terpatri dalam rentang waktu yang cukup lama.

Orang Sunda menyebut Imlek dengan kalimat “Babaru Cina”.

‘Babaru’ artinya membuka areal persawahan baru yang dalam bahasa ilmu pertanian disebut

‘ekstensifikasi’. Biasanya orang Sunda membuka beberapa bukit yang memiliki sumber-

sumber air dengan bentuk posisi tapak siring atau sengked agar sawahnya teraliri air dengan

baik dari sumber air di gunung.

Page 116: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

116

Kecerdasan membuka areal pertanian baru oleh leluhur kita ternyata tak mampu diwujudkan

ketika 1 juta hektare lahan pertanian dibuka di bumi Kalimantan pada era Orde Baru yang

menghancurkan tatanan ekosistem dan hanya menghasilkan rawa-rawa baru. Yang menjadi

faktor utama kegagalan tersebut mungkin adalah hawa nafsu membukanya karena ada pohon

besar di situ yang bisa ditebang, mungkin pula karena nominal proyek yang bisa melahirkan

keuntungan atau mungkin karena penghitungan teknis yang tidak tepat.

Terlepas dari itu semua, kita mestinya belajar bahwa kekuatan perencanaan dan modal tak

akan ada arti manakala tidak lahir dari kejernihan hati dan penghormatan terhadap para

leluhur. Babaru Cina, bisa jadi dalam setiap tahun baru masyarakat Tionghoa yang mayoritas

para pebisnis punya rezeki baru. Rezeki baru akan lahir dari imajinasi, improvisasi, dan

langkah-langkah baru yang terlahir dari adanya tantangan dan persaingan hidup yang

semakin kompetitif.

China dengan hamparan negara dan karakternya kini menjadi kekuatan tangguh dalam dunia

bisnis, baik kekuatan negaranya maupun kekuatan individunya yang tersebar di seluruh dunia

yang telah berhasil menjadi sosok para pebisnis tangguh dan mumpuni di berbagai bidang.

Mereka adalah kelompok masyarakat dan individu yang tekun dalam mengelola sesuatu.

Hal-hal kecil yang sering kali kita remehkan justru mereka produksi dengan baik: jarum

pentul, peniti, kancing cetet, ritsleting, kancing, dan silet. Kini mereka pun menguasai

produksi kapal perang, kapal selam, pesawat tempur, pesawat angkut, motor, televisi,

perangkat komunikasi, bahkan teknologi luar angkasa.

Prinsip-prinsip hidup yang diterapkan merupakan kekuatan fundamen dari seluruh

keberhasilan yang dicapainya. Pola hidup prihatin pada saat seluruh usahanya belum

mencapai keberhasilan adalah ideologi hidup yang patut menjadi teladan. Bubur adalah saksi

dari perjalanan keprihatinan yang mesti dijalani. Manakala hasil produksinya belum berjalan

sesuai harapan, bubur adalah bagian dari makanan yang harus disantap agar seluruh

pengeluaran menjadi efisien.

Hari ini ternyata bubur sudah dianggap tidak relevan lagi bagi masyarakat Tionghoa karena

mereka sudah subur makmur sehingga bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan. Tapi bagi

orang Sunda, tidak ada urusan antara bubur dengan miskin atau kaya. Bubur adalah bagian

dari energi pagi. Tanpa bubur, hidup tanpa vitalitas. Itulah sebabnya, tukang bubur hampir

ada pada setiap sudut: ada Bubur Ayam Sampoerna Cianjur, Bubur Ayam PR Savoy Homann

Bandung, atau Bubur Ayam Sukabumi. Tapi di Purwakarta, bubur ayam yang enak justru

adanya di malam hari, Bubur Check Shift namanya. Mungkin sebagian orang tidak akan

nyenyak tidur tanpa dihantar oleh semangkuk bubur.

Bagi masyarakat Sunda, bukan hanya bubur yang menjadi penghantar pagi. Ada soto, kupat

tahu, surabi, lontong sayur, pokoknya seluruh penganan yang terbuat dari beras. Kata Mang

Udin, tetangga di kampung saya, “Ku urang Sunda mah bubur teh teu dianggap dahar (bagi

orang Sunda menyantap bubur tidak dianggap makan), soto teu dianggap dahar, surabi teu

Page 117: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

117

dianggap dahar, kupat tahu lontong sayur juga belum dianggap makan, kecuali kalau sudah

makan nasi. Orang Sunda itu makannya cuma sekali, da isuk-isuk mah sasarap (pagi-pagi

sarapan), beurang ngawadang, tah sore karek dahar ... (nah, sore baru makan).”

Makanya, beras itu sesuatu yang sangat penting. Jangan coba ganggu urusan yang satu ini.

Masyarakat bisa berteriak, mata melotot, badan bergetar karena salatri (perut melilit saking

lapar). Kalau sudah salatri, hukumnya ada dua. Yang satu pingsan, yang satu lagi kesurupan.

Dengan profesinya yang mayoritas pebisnis, hujan rezeki masyarakat Tionghoa tidak ada

musimnya. Karena dalam setiap waktu, seluruh keuangannya berputar tak terpengaruh lagi

oleh musim. Di musim hujan saat orang perlu payung, perlu jas hujan, perlu jaket, perlu kaus

tangan, kaus kaki, belinya di toko engkoh. Di musim kemarau saat petani perlu pompa air,

perlu topi, perlu kaca mata rayban, belanjanya tetap saja di toko engkoh. Tiap malam, tiap

hari, beli obat nyamuk, beli sabun, sikat gigi, odol, sampo, belinya tetap saja di toko engkoh.

Beli motor, beli mobil, beli sepeda, beli dorongan bayi, di toko engkoh juga.

Eeh, waktu Natalan yang ramai tokonya engkoh. Lebaran, yang ramai tokonya engkoh juga.

Ternyata kalau dipikir-pikir, si engkoh itu lebarannya sepanjang tahun, malah bisa dibilang

tiap hari juga lebaran.

Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, istri cantiknya Mang Udin, “Kalau rezeki

kita terbatas, itu salah kita dalam berdoa. Kenapa tangannya tengadah, kan artinya menunggu

diberi. Coba si enci dan si engkoh kalau berdoa, pasti diajul (dijolok) pake hio. Makanya

rezekinya lebih banyak jatuh dibanding kita yang cuma nunggu rezeki yang jatuh. Si engkoh

dan si enci itu sebelum ngajul (menjolok) susuguh (memberi persembahan) dulu, disiapkan

buah yang bagus, ratus yang bagus. Semakin bagus susuguh-nya, semakin banyak rezeki

yang didapatnya.”

“Nggak tau apa alasannya, tradisi susuguh kepada leluhur banyak para tokoh yang melarang.

Akibatnya, anak cucu kami sudah tidak kenal lagi leluhurnya. Mungkin suatu saat kami pun

tak akan lagi memiliki tanah leluhur karena sudah habis terjual dan tergusur.”

“Kalau yang ngajul-nya si engkoh dan si enci, sedangkan tangan kita cuma tengadah, wajar

saja kalau kita kebagiannya sedikit. Itu pun kalau si engkoh dan si encinya masih punya hati

untuk ngasih pada kita. Tapi, sekarang, si engkoh dan si enci tidak mungkin ngasih kepada

kita karena si engkoh dan si enci tidak mau terlibat gratifikasi....”

Selamat Tahun Baru, Koh, Ci .... Melimpah rezeki sepanjang tahun, Gong Xi Fa Cai.

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 118: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

118

Moralitas Politik Jokowi Koran SINDO 25 Februari 2015

Kelihatannya Presiden Jokowi tidak jadi dan tidak akan kehilangan “public trust“. Situasi

politik yang agak menegangkan sekitar tiga minggu lalu itu membuat publik bingung.

Kemudian berbagai penilaian terhadap Presiden Jokowi muncul. Ada yang marah, ada yang

kecewa, ada yang sudah bicara untuk melengserkannya.

Betapa rentan sikap politik kita. Jarak dari dukungan ke kemarahan, dan kekecewaan begitu

dekatnya. Bahkan jarak dari dukungan ke gagasan melengserkannya terasa lebih dekat lagi.

Inilah kira-kira situasi politik yang mewakili aspirasi publik yang “romantis”, yang

mengandaikan tokoh yang didukungnya sempurna, dan setiap saat diharapkan bisa memberi

kepuasan politik mereka.

Kalau kita mendukung atau memilih tokoh secara dewasa jadi tidak “romantis” seperti itu

niscaya apa pun yang terjadi, apalagi tokoh kita itu baru menjalankan tugasnya selama tiga

bulan, kita masih longgar untuk memberinya kesempatan.

Mendukung dan memilih secara dewasa selalu ada “reserve“. Kita bukan pendukung dan

pemilih fanatik, apalagi dengan fanatisme buta. Memilih dengan “reserve“ itu kita sudah

menduga pilihan kita punya kekurangan di sana-sini. Jadi kita siap untuk kecewa dan tahu

pada suatu saat akan kecewa, tapi tak disertai kemarahan dan mengumbar kutukan. Apalagi

sudah siap melengserkannya.

Tradisi menilai seorang pemimpin dalam masa kerja tiga bulan itu mungkin bagian dari

kegenitan mungkin bahkan kekonyolan politik yang percuma. Sesudah kita percaya pada

“platform” politik dan program kerjanya, kita sudah menaruh kepercayaan kepadanya untuk

bekerja lima tahun. Penilaian tiga bulanan itu tindakan politik yang sia-sia karena akhirnya di

sana disetujui lagi untuk tidak diapa-apakan. Kalau sekadar mau mengkritik, sehari kerja pun

sudah bisa dikritik. Seminggu bekerja sudah boleh pula diawasi secara ketat.

Tetapi, jatah lima tahun belum layak sama sekali untuk diungkit-ungkit. Ini tak berarti bahwa

pemimpin kita itu harus bekerja “full“ lima tahun. Kontrak lima tahun itu memang ada syarat-

syaratnya.

Sikap latah dan gampang bicara tentang melengserkan itu tidak sehat sama sekali. Ini tanda

sikap politik yang “mentah” dan tak akan pernah memberikan kontribusi untuk membangun

kepemimpinan bangsa yang sehat dan demokratis. Ini sikap politik yang tak bertanggung

jawab.

Page 119: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

119

Andaikata suara itu datang dari pihak musuh yang sejak semula tak mendukung, itu pun

bukan potret sikap politik yang elegan. Kita memang tidak heran karena yang bicara seperti

itu politisi yang belum punya kiblat politik yang jelas. Tapi, kalau aktivis yang sudah matang,

akademisi yang berwibawa, dan rohaniwan yang tak lagi tergiur urusan duniawi dan jabatan-

jabatan politik, pantang berbicara seperti itu. Mereka ini antara lain golongan yang bisa

disebut “concerned citizens“, atau “devoted intellectuals“, yang mampu membangun

kematangan politik bangsa dan moralitas politik seluruh warga negara dengan cara yang

penuh kehormatan.

Dalam keruwetan politik yang menyesakkan dada seperti tiga minggu lalu itu, setiap pihak,

termasuk politisi yang punya karakter kepemimpinan yang jelas, wajib mencari jalan

pemecahan demi kebaikan seluruh bangsa, demi tumbuhnya demokrasi, demi suburnya

model kepemimpinan yang kita dambakan bersama.

Begitu hendaknya yang wajib dilakukan kaum intelektual yaitu para aktivis, pemikir,

rohaniwan, dan kaum seniman. Memberi nasihat, mengkritik, atau memberi komentar

terbuka, bagi mereka ini tidak ada tujuan lain kecuali membangun tegaknya moralitas politik

yang jernih, yang kiblat rohaniahnya tak diragukan.

Mereka ini seksi melek, tidak lalai, dan tidak lupa sama sekali untuk mengamati apa yang

terjadi di dalam tata pemerintahan dan sikap pemerintah yang memanggul mandat konstitusi.

Pemikiran mereka merupakan representasi “pendidikan” politik bagi warga negara, suara

mereka mewakili wilayah rohani kita, yang mengolah dan menerjemahkan dengan baik pesan

“langit” ke dalam bahasa bumi.

Boleh juga disebut bahwa pemikiran dan suara mereka itu kawinan antara realitas ideal dan

realitas sosiologis. Yang ideal itu kerangka rohani yang tak terpegang, sebaliknya, yang

sosiologis jelas sesuatu yang “riil” dan nyata dalam hidup kita. Kalau Presiden dan para

pejabat tinggi lain siap mendengarkan suara golongan ini, selamatlah perjalanan politik

mereka. Itu juga berarti selamatlah moralitas pribadinya sebagai penyelenggara negara yang

memanggul mandat konstitusi tadi.

Kita tahu Presiden Jokowi ya Jokowi. Sederhana, polos, dan terkadang tampak, atau

mengesankan hanya paham akan ihwal teknis belaka. Ada pula kesan, tokoh ini posisi

tertingginya hanya di level gubernur karena untuk menghadapi lawan-lawan politik yang bisa

“menjerit” setinggi langit akan kekurangan kemampuan. Untuk melakukan berbagai “deal“

politik yang sedikit kotor, beliau tak bakal terampil.

Tapi, benarkah beliau tidak terampil? Dalam menangani kasus pengedar narkoba, musuh

dunia saat ini, aturannya jelas; tidak ada toleransi. Di mana-mana tindakannya sama tegasnya.

Tak peduli suara apa pun, Presiden Jokowi, yang diduga tak bakal berani bertindak itu

ternyata kita saksikan sendiri beliau tegas. Contoh presiden sebelumnya, yang mengabdi

kepada kepentingan internasional demi citra pribadinya, tak digubris.

Page 120: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

120

Ada orang yang sosok moralitas pribadinya baik, memiliki standar moral yang tinggi, bersih,

dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh jadi belum tercatat. Kata orang, yang bersangkutan

belum berpengalaman, dan diduga bakal tak sebaik moralitas pribadinya. Apakah dalam

kasus Presiden Jokowi dalil ini berlaku? Apakah terbukti beliau tak pandai melakukan

berbagai “deal“ politik yang penuh tipu muslihat itu?

Strategi terobosan politik untuk menangani kasus polisi dan KPK yang sensitif dan ruwet itu

sama sekali tak terduga. Ini cara semanis Maradona memasukkan gol ke gawang lawan,

dengan bantuan tangan: sesuatu yang tak diperbolehkan. Tapi, dengan jenaka Maradona

berkata, setengah mengakui: kalau toh ada tangan, itu tangan Tuhan.

Untuk membuat semua pihak tak kehilangan muka, langkah Presiden Jokowi jitu, seperti

tindakan orang yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden biar pun sebetulnya belum

berpengalaman.

Tapi, jalan tengah sering menyisakan persoalan lebih serius. Tindakan tak jadi melantik BG

itu manis secara politik, dan lebih manis secara diplomatik, tapi ketegasan hukum tak boleh

dikorbankan. Penegakan hukum wajib diteruskan sampai tidak ada sisa pertanyaan moral

politik yang mengganjal.

Ada media yang menyebut Presiden Jokowi itu tinggal menikmati buah reformasi. Tapi,

bukan hanya itu. Banyak tokoh lain yang merupakan “liability“ dalam derap reformasi dan

menjadi gangguan dan penghalang reformasi. Presiden Jokowi bukan hanya menikmati buah

reformasi. Beliau juga aset bagi reformasi. Standar moral dan etiknya jelas. Moral politiknya

lebih jelas lagi.

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Email: [email protected]

Page 121: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

121

Rapuhnya Pilar Negara Koran SINDO 27 Februari 2015

Ibarat membangun rumah besar, Indonesia resmi didirikan dan diakui dunia sejak Agustus

1945.

Mengingat sedemikian luas wilayah dan besar jumlah penduduknya, tiang-tiang atau pilar

yang menyangganya mesti kokoh. Di antaranya adalah pilar angkatan bersenjata yang

bertugas menjaga keamanan dan keutuhan negeri. Dari sisi ini jelas kita kedodoran. Orang

luar yang berniat jahat atau ingin mencuri kekayaan alam kita bisa keluar-masuk dari pintu

mana saja. Berbagai penyelundupan narkoba, perdagangan gelap, dan aktor-aktor terorisme-

radikalisme mudah luput dari pengawasan dan pencegahan.

Lemahnya pilar ini saja sudah merembet ke mana-mana sehingga negara mengalami kerugian

dan kegaduhan sangat besar. Ibarat seorang petani yang memiliki sawah amat luas dan tidak

sanggup mengurus dan merawatnya, maka maling-maling dengan leluasa memungut hasil

kebunnya atau bahkan menduduki tanahnya. Siapa yang mesti disalahkan?

Pilar lain yang juga amat vital adalah bidang pendidikan yang bertugas menumbuhkan dan

mengantarkan warga negara agar cerdas, terampil, berkarakter serta mencintai bangsa, negara

dan masyarakatnya. Dengan demikian, lewat pilar pendidikan masa depan bangsa dan negara

dititipkan. Bagaimana nasib masa depan bangsa ini dipercayakan dan dipertaruhkan pada

pilar pendidikan.

Tapi, lagi-lagi, cerita pendidikan kita sangat mengecewakan baik di tingkat menengah

maupun perguruan tinggi. Indikatornya sederhana saja. Korelasi antara pendidikan dan

kemajuan ekonomi, kompetisi keilmuan dalam percaturan global serta perilaku sosial, politik

dan birokrasi masih jauh dari yang diharapkan.

Setiap tahun negara mengeluarkan anggaran paling besar untuk sektor pendidikan, dari tahun

ke tahun, namun produk yang dihasilkan belum mampu bersaing dengan negara-negara lain

yang lebih kecil populasi dan kekayaan alam serta penduduknya. Berarti ada masalah sangat

serius dengan pilar pendidikan bangsa ini. Begitu banyak faktor non-pendidikan yang telah

merusak dan menghambat agenda penguatan pilar pendidikan.

Lemahnya pilar pendidikan juga berimplikasi pada lemahnya pilar ekonomi bangsa. Meski

Indonesia memiliki sumber daya alam dan penduduk yang melimpah, kini bangsa ini menjadi

pangsa-pasar hasil teknologi asing yang menggiurkan. Sejak dari peralatan anak sekolah,

peralatan rumah tangga, kantor dan automotif hampir semuanya didominasi produk

Page 122: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

122

asing. Bahkan juga hidangan di atas meja makan dan peralatan mandi kebanyakan produk

asing. Artinya, aspek industri manufaktur untuk mengelola dan meningkatkan harga jual yang

semua bahan mentahnya kita punya, tapi ternyata mesti melalui tangan asing yang

melakukannya, lalu kita jadi pembelinya. Termasuk juga bahan bakar mobil. Ini realitas yang

menyedihkan dan sudah lama berlangsung. Kapan akan berakhir?

Sebagai negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik juga merupakan

pilar bernegara yang mesti dikembangkan agar sehat dan kuat. Sebagai negara demokrasi,

pemerintahan tidak mungkin terbentuk dan berjalan tanpa adanya multipartai politik peserta

pemilu secara berkala.

Parpol dan pemilu merupakan lembaga mekanisme untuk memperbarui kontrak antara rakyat

dan negara. Rakyat menyerahkan kedaulatannya lewat parpol untuk diteruskan pada negara,

lalu negara membayar kembali dengan memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada

warganya melalui pemerintahan yang terbentuk. Pemerintah itu asalnya dari rakyat,

mengemban amanat rakyat, namun bekerja atas nama negara dan digaji oleh negara. Dalam

kinerjanya, pemerintah diawasi oleh wakil rakyat yang terhimpun dalam lembaga DPR. Jadi,

secara teoretis pilar bernegara itu sudah lengkap dan tertata rapi.

Di samping yang disebut di atas, masih terdapat pilar lain berupa lembaga tinggi negara yang

secara teoretis berperan memperkukuh serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi, pertanyaan, keluhan dan gugatan yang selalu muncul adalah, mengapa kondisi

bangsa, masyarakat dan pemerintahan kita tidak enak dilihat, didengar dan diikuti sepak

terjangnya? Mengapa kemiskinan dan pelanggaran hukum serta etika sosial mudah sekali

dijumpai di mana-mana? Bahkan sebagian rakyat menilai telah terjadi pembajakan dan

pengkhianatan kedaulatan dan mandat rakyat yang telah diberikan kepada para wakilnya dan

aparat negara. Berbagai pilar bernegara tadi yang sekarang paling heboh dan menimbulkan

kekecewaan rakyat adalah pilar partai politik dengan berbagai implikasi dan turunannya.

Di negara yang telah mapan dan kokoh pilar-pilarnya, yang terjadi adalah pilar tadi saling

menyangga dan memperkuat yang lain, tak ubahnya bangunan rumah yang masing-masing

tiang saling menyangga. Tetapi jika ada tiang utama yang keropos, bengkok dan patah, maka

akan sangat membahayakan dan mengganggu tiang yang lain. Bebannya menjadi berat dan

bisa membuat rumah ambruk.

Demikianlah, yang mengemuka di negeri ini pilar politik malang-melintang membuat repot

pilar lain. Kinerja dunia pendidikan, keamanan, ekonomi, infrastruktur diintervensi oleh

tangan-tangan politik sehingga prinsip akuntabilitas dan profesionalisme tidak berjalan.

Padahal mekanisme pelimpahan kedaulatan rakyat pada negara dilakukan melalui medium

parpol peserta pemilu.

Di sini terjadi ironi dan deviasi yang dilakukan oleh dunia parpol yang memikul mandat dan

kepercayaan rakyat untuk membangun dan memajukan kehidupan bernegara, yang terjadi

adalah perusakan kaidah-kaidah hukum dan etika bernegara yang merupakan produk dari

Page 123: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

123

demokrasi dengan aktor utamanya parpol.

Melihat parpol yang sakit, maka pilar lain mesti berdiri kokoh dan berani melawan tangan-

tangan politik yang hendak memperlemah pilar lain. Jajaran eksekutif meskipun awalnya

utusan dan usulan parpol, begitu duduk sebagai aparat pemerintah mereka adalah mengemban

amanat rakyat yangdilimpahkan pada negara, bukan lagi pekerja dan anak buah partai.

Jumlah rakyat jauh lebih banyak ketimbang elite-elite pimpinan parpol. Mereka ini yang

memiliki kedaulatan primer dan ibu kandung yang melahirkan negara.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 124: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

124

Di Situ Saya Kadang Merasa Sedih

Koran SINDO

Minggu, 1 Maret 2015

Itulah ungkapan dari seorang polwan, Brigadir Dewi Sri Mulyani, yang tiba-tiba menjadi

fenomenal dan menarik perhatian jago speech composing Eka Gustiwana.

Ungkapan itu pun jadi speech composing yang makin menarik untuk disimak. Termasuk

antara lain, ”Lagi enak-enak makan, tiba-tiba lidah kegigit... di situ kadang saya merasa

sedih” atau ”Saat buka ciki, tapi cikinya tumpah semua ... di situ kadang saya merasa sedih”

atau ini yang paling seru, ”Pas udah pup, pas mau cebok gak ada air .... di situ kadang saya

merasa sedih”.

Eka mengunggahnya di media sosial pertama kali pada tanggal 22 Februari 2015. Empat hari

kemudian, waktu saya menulis artikel ini, sudah di-like oleh 1.363 orang dan 23 dislike serta

ditonton oleh 42.967 viewer. Saya sendiri sudah agak lama menonton ungkapan Brigadir

Dewi itu, sebagai bagian dari iklan acara 86 (Operasi Polisi) di salah satu stasiun TV.

Tapi fenomena Brigadir Dewi bukan yang pertama, apalagi satu-satunya. Pada tahun 2011

kita juga pernah dihebohkan oleh fenomena Brigadir Satu (Briptu) Norman, anggota Brimob

di Gorontalo, yang tiba-tiba mencuat menjadi penyanyi dangdut yang sangat terkenal hanya

gara-gara dia lipsing lagu India Chaiyya... chaiyya di pos jaga dan diunggah oleh temannya

ke Youtube. Dari sanalah dia mendapat sambutan luar biasa dari pengguna Youtube sehingga

akhirnya dia diundang ke Jakarta untuk perform di Jakarta.

Mula-mula masih izin atasan, tampil berseragam Brimob, didampingi perwira-perwira

atasannya yang ikutgembira karena ada polisi yang bisa menghibur masyarakat. Tapi lama-

lama Briptu Norman tidak betah dikawal atasan terus, maka dia ke Jakarta untuk rekaman

tanpa izin sehingga dia kena ganjaran dipecat dan sekarang jadi tukang bubur manado di

kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, dan hampir tidak ada lagi yang kenal, apalagi ingat sama

dia.

Brigadir Dewi suatu saat sudah pasti akan dilupakan juga walaupun dia tidak akan terjebak

dalam kasus desersi yang bisa memutus kariernya. Namun yang sebenarnya saya ingin cerita

bukan tentang polisi, karier polisi atau bahkan oknum polisi. Juga bukan soal polisi versus

KPK. Yang ingin saya bahas di sini adalah tentang fenomena meme di media sosial.

Suatu gejala yang baru tahun-tahun terakhir ini saja terkenal dan dipakai meluas mulai dari

kaum elite masyarakat papan atas sampai ke tukang gorengan, anak sekolah, PRT (pembantu

rumah tangga), dan siapa saja yang bisa punya HP yang sekarang harganya hanya lebih

Page 125: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

125

mahal sedikit dari gratis.

***

Zaman dulu sekali, di awal Republik Indonesia baru berdiri, setiap tanggal 17 Agustus Bung

Karno berpidato di Istana Negara dan disiarkan melalui radio ke seluruh Indonesia. Tidak

tanggung- tanggung, pidatonya bisa sampai tiga jam dan orang pun tekun mendengarkan dan

selama setahun berikutnya, apa yang dipidatokan itu akan menjadi arahan atau pedoman

hidup seluruh bangsa Indonesia.

Di zamannya Pak Harto sudah ada TV yang mulai beroperasi sejak masa akhir pemerintahan

Bung Karno. Tapi TV waktu itu dikelola oleh satu stasiun saja, yaitu TVRI yang merupakan

TV pemerintah. Jadi informasi masih terpusat di tangan pemerintah. Setiap ada masalah,

Menteri Penerangan Harmoko menghadap Presiden Soeharto ke Istana atau Binagraha.

Keluar dari Binagraha, Menteri Harmoko akan mengumumkan melalui TVRI petunjuk Bapak

Presiden, yang selanjutnya akan dijadikan pedoman oleh segenap lapisan masyarakat.

Jadi sampai di situ pemerintah masih jadi penentu terpenting dalam pembentukan opini

masyarakat. Situasi berubah ketika Indonesia mulai mengenal TV swasta dan radio-radio

swasta. Bersama dengan koran-koran dan majalah yang sudah lebih dahulu ada, media baru

ini disebut media massa yang bisa menyebarluaskan berita dan opini di luar pemerintah,

tetapi masih dikendalikan oleh beberapa institusi tertentu (Dewan Pers, Persatuan Wartawan

Indonesia, asosiasi jurnalis, asosiasi TV swasta, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional

Indonesia, perusahaan-perusahaan pemilik media massa, UU, Kementerian Kominfo, dll).

Tapi situasi betul-betul berubah setelah media sosial berkembang melalui teknologi internet.

Media ini adalah media komunikasi lewat internet yang terbuka, siapa saja bisa berhubungan

dengan siapa saja, ngomong tentang apa saja. Di sini pemerintah sudah hampir tidak punya

kendali sama sekali di bidang informasi. Pendapat publik yang dulu mengerucut pada arahan

Presiden atau pemerintah sekarang sangat simpang siur. Apa saja bisa jadi opini.

Di situlah Brigadir Dewi dan Briptu Norman bisa seketika naik daun, tetapi juga cepat hilang

turun lagi. Apalagi media massa selalu membutuhkan sumber berita, maka apa pun yang

tersiar di media sosial cepat sekali diunggah ke media massa. Begitu sudah masuk media

massa, fenomena itu cepat ditularkan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke

kelompok lain.

Itulah yang disebut meme, yaitu gagasan, ide, mimik atau gerak yang cepat tersebar dan ditiru

melalui jalur komunikasi budaya. Ketika jalur itu berevolusi makin cepat, perubahan sosial,

politik, dan budaya lewat meme ini pun bertambah cepat. Bukan hanya cepat, tetapi juga tak

terkendali arahnya, dia bisa lari ke mana saja.

Penyanyi-penyanyi yang ngetop hari ini banyak yang mengawali debutnya melalui Youtube.

Para koordinator lapangan aksi-massa mengerahkan massanya cukup lewat Whatsapp dengan

Page 126: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

126

menggunakan berbagai bentuk pesan melalui media sosial, termasuk meme.

Tapi kawanan geng motor, begal, ISIS, dan teroris juga menggunakan meme yang disebar

melalui berbagai media sosial seperti Facebook, website, blog, Twitter, BBM, Path,

Instagram, dan entah apa lagi untuk memengaruhi pikiran publik.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 127: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

127

Hujan Batu di Musim Paceklik

Koran SINDO

2 Maret 2015

Batu merupakan benda yang memiliki watak yang keras, berfungsi untuk membangun

keseimbangan di tengah kelabilan tanah, baik yang ada di laut, di gunung, di bukit, di sungai

maupun di daratan.

Dalam sejarah peradaban manusia, batu memiliki peran yang sangat penting untuk menjadi

bagian dari kehidupan keseharian masyarakat kita. Kita pernah memasuki zaman batu atau

paleolitikum di mana masyarakat menggunakan perkakas batu sebagai alat untuk

mengumpulkan nafkah kehidupan keluarga. Membelah kayu menggunakan perkakas batu,

menumbuk menggunakan perkakas batu, memotong daging hewan menggunakan perkakas

batu, serta berbagai aktivitas pertanian dan berburu lainnya sampai menciptakan api juga

menggunakan batu.

Seiring dengan kemajuan perkembangan manusia, batu tak lagi menjadi teman keseharian

masyarakat. Secara umum lebih banyak digunakan untuk kepentingan pembangunan

infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, irigasi, gedung hingga peranti infrastruktur lainnya

yang tidak pernah terlepas dari kekokohan batu. Peradaban masa lalu biasanya meninggalkan

jejak yang tidak lapuk oleh perjalanan waktu dan musim. Batulah yang menjadi saksi sejarah

bagi setiap temuan penelitian.

Batu bagi masyarakat Sunda juga mencerminkan watak kepemimpinan yang menggariskan

lekuk peradaban. Batu Tulis di Bogor merupakan peranti peninggalan sejarah Kasiliwangian;

seorang raja yang adil telah berhasil meletakkan telapak kaki pada benda yang cukup keras.

Artinya seorang pemimpin dengan keyakinan dan kerja kerasnya akan mampu meninggalkan

jejak sejarah yang cukup kuat bagi kehidupan anak-cucunya di masa depan dengan berpegang

teguh pada kelembutan hati, kehalusan jiwa yang dalam istilah keseharian masyarakat Sunda

disebut Siliwangi: Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih.

Kekuatan kelembutan kepemimpinan akan mampu merajut kehidupan yang beradab. Lembut

dalam kata-kata tak berarti dia lemah dalam pengambilan keputusan. Dalam sejarah

peradabannya, para raja dahulu selalu meninggalkan karya sastra. Di balik karya sastra itu

berdirilah masjid yang kokoh, candi yang megah dan indah, daerah aliran sungai yang tertata

serta kehidupan masyarakat yang beradab.

Ucapan seorang adalah seperti pisau terhunus dengan ujung yang tajam, hanya akan

melahirkan genderang peperangan tanpa henti. Kita pahami bersama bahwa peperangan tak

Page 128: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

128

pernah melahirkan kemakmuran, yang lahir adalah penderitaan. Sesejahtera-sejahteranya

masyarakat berperang, adalah semiskin-miskinnya masyarakat dalam kehidupan damai.

***

Kalau bercerita tentang peperangan, Ma Icihlah pakarnya. Dengan mata yang berkaca-kaca,

suara lirih Ma Icih terdengar, ”Ema pernah ngalamin hidup susah pake baju dari karung,

kalau ada pesawat tempur harus masuk lubang sambil ngegél (menggigit) karet. Makan

cukup dengan bodogol (bonggol) pisang. Ah, pokonya mah riweuh (merepotkan)... di sawah

tidak tenang, di rumah tidak tenang, di pasar tidak tenang.”

“Makanya Ema pusing kalau lihat pemimpin dan para elite kerjanya bertengkar aja. Kapan

mau ngebangunnya, sementara kehidupan semakin sulit. Habis hujan jalan pada bolong, gas

tilu kilo (tiga kilo) langka di pasaran dan harganya jadi mahal, harga béas apung-apungan

(harga beras melambung).”

“Kan tidak mungkin seluruh masalah ini diselesaikan kalau di antara elite dan pemimpin

terus berbeda paham atau berbeda pendapat. Ema malah curiga, jangan-jangan perbedaan

pendapat ini terjadi karena di antara para pemimpin dan elite beda pendapatan ... Kalau

pendapatannya sudah sama, mungkin tak ada lagi perbedaan paham.”

“Cuman masalahnya satu, mereka tak lagi menjadikan Ema sebagai alasan untuk mengajukan

berbagai hak seperti hak angket yang berujung interpelasi. Teuing nanahaon eta teh ... (entah

apa itu maksudnya).”

Kalau bicara masalah hak, justru hak Ema yang selama ini hilang; hak mendapatkan jalan

yang baik, hak kalau malam bisa tidur nyenyak tanpa harus takut kemalingan, hak mendapat

listrik yang tidak sering mati kalau ada hujan, hak mendapat pasokan air bersih, ditambah lagi

Ema juga pusing karena hak sepatu Mang Udin yang copot, sedangkan tukang sol sepatu

langganan Mang Udin yang biasa mangkal di pinggir jalan hari ini tidak ada, katanya

diangkut petugas. Padahal orang Garut berhak juga untuk hidup di Jakarta.

Saat ini Ema juga semakin sedih karena hak Ema untuk mendapat perhatian dan kasih sayang

dari Mang Udin akhir-akhir ini semakin kurang Ema dapatkan. Mang Udin saat ini hari-

harinya habis untuk mencari batu-batu baru; batu kecubung, batu bacan, batu pancawarna,

zamrud, safir, jala sutra, biduri.... Mang Udin sekarang ini lebih sering ke sungai, ke gunung,

ke laut mencari batu idamannya.

Tak peduli hujan, angin, petir, pokona mah siga nu kaédanan we (pokoknya seperti yang

tergila-gila saja).... Kalau pulang sok gagaradah kana kutang (menggeledah baju dalam)

Ema. Bukan hendak melakukan petualangan cinta anak muda, tapi dia minta uang untuk

membuat watang (batang cincin). Nggak tahu sudah berapa puluh batu tersimpan di rumah.

Hari-hari Ema dilanda kesepian karena sentuhan lembut Mang Udin sama Ema makin jarang

Ema rasakan.

Page 129: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

129

Mang Udin sibuk menggosok batu ke celana pangsinya sambil berkata penuh janji manis,

”Dengarkan, Ma ... ini batu bacan, bukan batu sembarangan. Kalau peruntungannya sudah

tepat, harganya bisa mahal. Bukan hanya puluhan ribu, tapi bisa jutaan bahkan miliaran. Kita

bisa kaya dengan menjual batu ini.”

Ceuk (kata) Ema sama Mang Udin, ”Mahal sotéh lamun dipakéna ku Pa SBY, leungeunna

bersih, cicingna mun kumpulan téh di hareup. Lamun pidato kasorot ku lampu buburinyayan,

jadi hargana mahal sabab nu makéna jelema terkenal. Tapi lamun dipaké ku manéh, unggal

poé ukur buburuh macul, ramona hideung, lamun aya kumpulan diuk pangtukangna. Dipoto

dinu medsos gé kalahka rumeuk. Saha atuh nu rek meulina?” (Mahal itu kalau dipakai oleh

Pak SBY, tangannya bersih, dalam pertemuan duduknya di depan. Kalau sedang pidato

tersorot lampu tampak berkilauan, jadi harganya mahal karena yang memakai orang terkenal.

Tapi kalau kamu yang pakai, yang tiap hari cuma buruh nyangkul, jarinya legam, kalau

duduk dalam pertemuan paling belakang, difoto di medsos juga malah buram. Siapa dong

yang mau membelinya?)

Ma Icih melanjutkan, ”Ngomongnya juta miliar dari batu ali (cincin) kesayangan, kalau

makan enak ternyata sama sambel anu direkuh di coét batu ku mutu batu. Asa teung-teuingan

manéh mah Udin, cul dogdog tinggal igel... Nu lain dienya-enya, nu enya dilain-lain... Ari

batu ali nu can tanggu manfaatna ditareangan, ari coet batu di imah geus sapuluh taun teu

diganti tepi ka beulah embung meuli nu anyar.” (Ngomongnya juta miliar dari batu cincin

kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambal yang dihaluskan pakai ulekan batu di

atas cobek batu. Keterlaluan kamu Udin... yang palsu dianggap asli, yang asli dianggap

palsu... Batu akik yang belum tentu manfaatnya terus dicari-cari, tapi cobek batu di rumah

yang sudah sepuluh tahun ada di rumah hingga terbelah enggan membeli yang baru).

“Kalau lihat kelakuan Mang Udin, Ema khawatir nanti taman-taman tak indah lagi, bangunan

tanpa fondasi, jalan tanpa landasan, dan dapur bisa berhenti nyambel, karena tak ada lagi

pengrajin coét (cobek) batu, pengrajin mutu (ulekan) batu, pembuat jubleg batu, kuli batu

belah, kuli batu biskos, dan kuli abu batu... semuanya beralih profesi menekuni batu akik

yang lebih menjanjikan. Walah... bisa bahaya yeuh.”

***

Walaupun Ema kesel sama Mang Udin, karena kecintaannya sama batu ali hampir melupakan

cintanya sama Ema, tapi Ema menentang juga kalau yang mengatakan make batu ali itu

musyrik karena mencintai batu ali adalah mencintai kebudayaan dan kekayaan kita sendiri.

Ema tak habis pikir kalau Mang Udin pake gelang bahar ditertawakan, dianggap preman

kampung.

Kalau pake batu ali dan bakar kemenyan dianggap dukun dan dimusyrikkan. Tapi ketika

orang bangga pake gelang giok impor yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit, terus

pake minyak wangi impor, ngga ada tuh yang mengatakan musyrik. Jadi Ema berpandangan,

kemusyrikan itu hanya diperuntukkan bagi kebudayaan kita.

Page 130: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

130

Kadang Ema bingung, kok pendapat tentang kemusyrikan hanya diperuntukkan bagi produk

budaya dalam negeri, tapi tidak berlaku untuk produk budaya asing. Palebah dieu mah Ema

teu ngarti (di bagian ini Ema tidak mengerti)....

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 131: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

131

Defisit Moral Bernegara

Koran SINDO

Jum'at, 6 Maret 2015

Rabu kemarin saya danYudi Latif diundang diskusi di kantor Wantimpres (Dewan

Pertimbangan Presiden) berbicara tentang Pancasila dan Kebangsaan. Tanpa ada kompromi

sebelumnya, ternyata kami berbicara dengan kesimpulan yang sama.

Bahwa Pancasila sebagai ideologi bernegara, itu sudah selesai. Yang memprihatinkan adalah

justru nilai-nilai Pancasila yang pernah tumbuh dalam masyarakat dan menjadi panduan serta

spirit para generasi awal Republik ini semakin terkikis. Nilai-nilai kemanusiaan yang

berketuhanan, berkeadilan, dan berorientasi kerakyatan semakin menipis, ditinggalkan dan

dikhianati.

Kita mengalami defisit moral-ideologis dalam berbangsa dan bernegara. Tabungan moral

warisan para pendahulu semakin menipis, sementara kita tidak melakukan reinvestasi moral

untuk kita wariskan pada generasi penerus.

Jika di sana terdapat sekian banyak teori kepemimpinan, salah satu teori yang disepakati

bersama adalah memimpinlah dengan keteladanan. Pemimpin yang memberikan suri teladan

ini semakin sulit ditemukan. Para pendiri Republik ini adalah para politisi dan sekaligus juga

negarawan. Mereka biasa berbeda dan bertengkar tentang pandangan politiknya. Namun,

etika politik tetap dijaga dan kepentingan bangsa-negara di atas kepentingan serta loyalitas

politik golongan.

Sekarang ini yang terjadi sebaliknya. Orang rela mengorbankan kepentingan rakyat dan

negara demi kepentingan diri dan kelompoknya. Fungsi hukum yang sedianya untuk menjaga

keadilan dan melindungi warga agar tidak dizalimi orang lain, kadang kala yang terjadi

adalah mempermainkan hukum, dengan otoritas dan jabatan yang dimiliki, untuk

membenarkan yang salah semata karena kepentingannya terganggu.

Yang menyedihkan, defisit moral politik ini juga melanda lingkungan parpol yang merupakan

tulang punggung dan aktor demokrasi serta pemasok politisi serta pejabat negara. Banyak

kader parpol yang masuk penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Lalu parpol juga

terjangkit perpecahan antarelitenya.

Setiap ada musyawarah atau kongres nasional untuk pergantian pimpinan, selalu beredar

uang untuk membeli loyalitas dan membeli suara dukungan. Ini realitas politik yang pahit

dilihat dan diterima. Ketika idealisme dan etika politik tak lagi tumbuh di lingkungan parpol,

kelanjutannya panggung negara juga terkena imbasnya karena dalam era demokrasi yang

Page 132: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

132

namanya pemerintah adalah panggung bagi wakil-wakil parpol.

Masyarakat sekarang ini merasa semakin sulit menunjuk politisi yang bisa dijadikan suri

teladan baik secara moral maupun intelektual. Dahulu para aktivis dan pejuang politik adalah

juga pencinta ilmu. Mereka rata-rata pencinta buku sehingga terlihat keluasan wawasannya.

Tentu saja sekarang masih ada yang memiliki kualitas seperti itu. Namun terasa semakin

langka.

Yang menonjol sosok politisi adalah juga pemain bisnis dan pelobi. Ketika seseorang masuk

ranah politik praktis, yang ada di benaknya adalah kalkulasi untung-rugi secara ekonomi.

Seorang politisi adalah juga seorang pelobi yang berlangsung di belakang layar. Yang

kemudian keluar ke publik hanyalah beberapa pernyataan singkat tanpa wawasan intelektual

dan kenegarawanan, bahkan sering membingungkan rakyat.

Belakangan ini terjadi dinamika dan akrobat politik yang membuat rakyat bingung, kecewa,

dan lelah. Pra-pemilu massa terbagi menjadi dua kelompok pendukung, yaitu Koalisi Merah

Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tetapi ketika Presiden Joko Widodo

(Jokowi) mengusulkan Budi Gunawan menjadi kapolri, suara KMP mendukung kebijakan

Jokowi, sementara suara KIH sangat kritis pada Jokowi. Padahal, Jokowi jadi presiden

diusung oleh KIH. Pelajaran dan tontonan politik apa yang hendak disampaikan pada rakyat?

Yang juga menyedihkan adalah lembaga KPK yang masih mendapat dukungan tertinggi

rakyat, justru mengalami pingsan di saat Jokowi pilihan rakyat menjadi presiden. Kalau

Presiden Jokowi tidak segera mengambil kebijakan tegas pro-rakyat, kepercayaan rakyat

pada pemerintah pasti akan menurun.

Jadi, bermula dari defisit moral berbangsa dan bernegara, eksesnya bisa ke mana-mana.

Bangsa ini akan kehilangan momentum untuk bangkit dan maju. Kekompakan gerak bersama

antara pemerintah dan rakyat tidak terjadi. Kriminalitas dan radikalisme akan muncul di

mana-mana.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 133: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

133

Mengubah Perilaku Bangsa

Koran SINDO

Jum'at, 6 Maret 2015

KORAN SINDO menurunkan Tajuk berjudul ”Negeri Gaduh” (28/2/15). Sorotan terhadap

realitas politik, sosial, hukum, anggaran, dan kriminalitas cukup merepresentasikan kondisi

negeri ini sebagai negeri gaduh.

Konflik Polri versus KPK terus berulang dan berkepanjangan, tak jelas muaranya. Terlepas

dengan sikap yang telah diambil Presiden, kita tidak begitu yakin penegakan hukum di negeri

ini semakin membaik. Tidak lain karena perilaku bangsa sudah telanjur korup. Sungguh

dikhawatirkan, aktivitas pemberantasan korupsi masih terkendala karakter bangsa dan

berbagai implikasi negatif konflik laten tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa karena kegaduhan itu, energi bangsa terkuras, para pejabat dan

aparat negara tidak fokus menjalankan tugas. Fungsi-fungsi penting yang merupakan tugas

pokok masing-masing bahkan sering diabaikan dan ditinggalkan. Pelayanan publik jadi

kurang baik dan tentu saja merugikan masyarakat.

Pada hemat saya, untuk mengubah negeri ini dari gaduh menjadi teduh, perlu diawali dengan

mengubah perilaku bangsa, dari korup menjadi jujur, dari kufur menjadi syukur. Kita sadar

bahwa keinginan sebagian besar masyarakat agar kegaduhan segera diakhiri masih sulit

terwujud. Ini semua bukan pekerjaan mudah dan sederhana, melainkan pekerjaan berat dan

kompleks. Tidak lain karena perilaku kufur dan korup telah mewabah, merambah berbagai

kalangan penyelenggara negara maupun warga negara, di pusat maupun daerah.

Kasus-kasus yang dideskripsikan Tajuk tersebut sarat dengan perilaku nista pihak-pihak

terkait. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan korupsi. Ahok berseteru

dengan DPRD DKI karena dugaan anggaran siluman. Begal sepeda motor dibakar karena

masyarakat habis kesabarannya. Ego individu, ego kelompok, maupun ego kelembagaan

justru dipertontonkan para elite tanpa rasa bersalah, tanpa upaya pengendalian diri dan

introspeksi. Dengan mengedepankan ungkapan ”politik itu dinamis”, perilaku politisi sulit

dipegang konsistensinya. Orang Jawa bilang: ”esok dele, sore tempe, alias leda-lede, mencla-

mencle”.

Secercah sinar terang muncul ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan tekadnya untuk

melakukan revolusi mental. Dalam rangka mengubah perilaku bangsa, pemerintah sudah

menyediakan dana Rp149 miliar untuk anggaran revolusi mental. Dana sebesar itu akan

digunakan untuk kampanye ubah perilaku misal melalui iklan, film, dialog publik, dan

Page 134: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

134

menyuruh tokoh-tokoh agama bicara perubahan perilaku. Dana diberikan kepada

Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan dan pelaksanaannya akan

dibagikan kepada kementerian-kementerian terkait.

Akankah revolusi mental berhasil, sementara program dan indikator keberhasilannya belum

jelas?

Sekadar urun-rembuk, revolusi mental sebenarnya dapat disederhanakan sebagai program

pengubahan perilaku bangsa agar senantiasa mengedepankan perilaku syukur atas dua hal

yaitu: (1) rahmat Tuhan berupa kemerdekaan, dan; (2) penguasaan tanah, air, serta sumber

daya alam melimpah. Syukur di sini dalam maknanya ”menggunakan atau mengolah nikmat

yang dilimpahkan Tuhan sesuai dengan tujuan dianugerahkannya”.

Sebagai bangsa, kita yakin dengan daya kreasi atau inisiasi yang melekat pada jiwa setiap

warga negara bahwa kemerdekaan dapat dijadikan peluang untuk membangun negara.

Sumber daya alam melimpah, laksana jamrud khatulistiwa, bila digunakan dan diolah bangsa

sendiri secara bijak, pastilah mendatangkan kesejahteraan berkelanjutan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

Cinta Tanah Air dan berdaulat atas negeri sendiri merupakan manifestasi perilaku syukur dan

keberhasilan revolusi mental. Boleh jadi kita galau, resah, gelisah melihat realitas bahwa

neokolonialisasi negara atau perusahaan asing atas negeri ini semakin membelenggu. Utang

luar negeri terus bertumpuk. Data terbaru Bank Indonesia yang dirilis 19 Februari 2015 per

kuartal keempat 2014 sebesar Rp3.759 triliun. Sektor keuangan, industri pengolahan,

pertambangan, listrik, gas, dan air bersih menjadi penyumbang utang terbesar swasta.

Dalam penguasaan sumber daya alam, Freeport menguasai emas, tembaga, dan hasil tambang

lain di Bumi Cenderawasih, sementara pemerintah hanya memperoleh 10% dari seluruh

hasilnya. Hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dibagi-bagi melalui hak

pengelolaan hutan kepada para petinggi dan dikerjasamakan dengan perusahaan asing.

Negara hanya memperoleh bagian sekitar 20% dari iuran hasil hutan dan pajak. Dari tambang

batu bara dan hasil tambang lain, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara 70%

lainnya menjadi hak pemegang konsesi.

Data kasar tersebut cukup memberi gambaran bahwa kita belum berdaulat atas negeri sendiri.

Dalam perspektif teologi hukum, gelisah atas nasib negeri merupakan bagian dari siksa

Tuhan di dunia. Mengapa bangsa ini disiksa? Tentu karena pelanggaran terhadap norma-

norma yang ditetapkan-Nya. Nafsu menumpuk harta, ingin cepat kaya, ingin langgeng

berkuasa, adalah contoh-contoh perilaku nista yang dibenci Tuhan dan makhluk-Nya.

Apalagi, seiring bergolaknya nafsu duniawi, hukum direkayasa melalui aktivitas politik dan

bisnis, agar perilakunya seolah-olah legal, padahal yang demikian itu amoral. Di dalam

Pancasila, nilai-nilai keadaban dan keadilan menjadi dasar dan sumber membentuk perilaku

syukur.

Page 135: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

135

Pada jiwa manusia beradab tertanam budi luhur dan melalui pendayagunaan cipta, rasa, dan

karsanya dihasilkan kebudayaan. Perilaku korup, jelas bukan budaya, bukan lahir dari

keluhuran budi, melainkan mentalitas sesat dan rakus terhadap uang negara. DPR, Polri, dan

Badan Pertanahan Nasional ditengarai merupakan lembaga-lembaga terkorup, sementara

KPK tergolong lembaga paling bersih. Barangkali akan efektif bilamana revolusi mental

diprioritaskan terhadap lembaga-lembaga negara terkorup tersebut.

Perubahan perilaku bangsa dapat diamati keberhasilannya ketika dari hamparan laut luas,

segenap komponen bangsa dapat makan ikan segar dengan harga murah, memakai perhiasan

nan indah, dapat berlayar dengan aman dan nyaman, serta menikmati indahnya mata hari

terbit maupun tenggelam. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSI

Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Page 136: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

136

Kesadaran Mengenai Waktu

Koran SINDO

Sabtu, 7 Maret 2015

Dalam pandangan Hindu-Buddha, yang ikut masuk ke salah satu pandangan Nusantara dalam

paham Jawa mengenai waktu, dibagikanlah empat periode. Simbolismenya adalah yang

berharga dalam peradaban saat ini yaitu emas, perak, perunggu, dan besi.

Zaman sejahtera atau emas dinamai zaman kritea, secara batin penghayatan darma itu utuh

dan kesadaran menghayatinya untuk hidup 100% ke bakti atau darma. Inilah zaman emas.

Zaman tritea adalah saat waktu adalah periode perak di mana masih dua pertiga atau 70%

orang-orang berkesadaran menghayati waktu sebagai darma bakti, baik untuk dunia maupun

sesama.

Ketika kesadaran darma pecah mendua dan 50% ke arah positif serta 50% ke negatif zaman

ini disebut dwaparwa atau dua kecondongan ke kehidupan yang berdarma atau

sebaliknya. Oleh karena itu, daya energi yang dalam bahasa modern disebut prokehidupan

tepat selalu berada dalam lawan energi yang anti kehidupan atau anti memberikan darma.

Inilah periode bersimbol perunggu.

Zaman berikutnya ada masa waktu kacau atau chaos yaitu kaliyuga. Pada masa ini hanya

tinggal sepertiga kesadaran menghayati hidup berdasar darmanya. Cirinya: orientasi ke darma

atau menghayati hidup untuk memperindahnya, pemuliaan sudah dikalahkan oleh hasrat

penghancurannya, memayu hayuning bawana hanya slogan kosong tanpa laku tindakan.

Kaliyuga sebagai periode disorientasi darma disimbolkan besi yang tidak berharga. Yang

terus diambil oleh pujangga-pujangga Jawa sebagai peringatan untuk waspada, dalam hal ini

seperti Ronggowarsito yang terkenal dengan tafsir kaliyuga sebagai masa yang tidak ikut-

ikutan edan ora komanan (baca: yang tidak ikut gila tidak akan kebagian).

Orang-orang kacau arah hidupnya dengan mengejar pemenuhan hasrat-hasratnya untuk

berkuasa, untuk serakah. Dalam situasi seperti ini, masih berbahagialah orang yang tetap

sadar dan waspada untuk tidak hanyut dalam gelombang gila ini.

***

Paham periodisasi waktu di atas menarik untuk dibandingkan sebagai cermin dengan

kesadaran waktu di pandangan-pandangan dunia lain. Ketika seorang Chairil Anwar penyair

Indonesia awal pascaperiode pra-Indonesia berteriak untuk zamannya dengan ”kalau sampai

Page 137: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

137

waktuku, ku mau tak seorang pun kan merayu, tidak juga kau” (sajak senja di pelabuhan itu),

maka sang waktu bagi Chairil dipahami sebagai perjalanan aktif manusia subyek untuk

menentukan ziarah hidupnya di dunia ini. Apalagi sajak terkenalnya sebagai ”aku binatang

jalang dari kumpulan terbuang”, para penafsir sastra meletakkan Chairil Anwar sebagai

eksistensialis, pelaku yang tidak menyerah pada siklus waktu namun menentukan langkahnya

dalam waktu.

Apakah empat periodisasi Nusantara khususnya Jawa di depan merupakan penghayatan

waktu sebagai roda berputar, di mana lingkaran hidup dihayati sebagai siklus dari masa emas

sampai masa besi kacau dan berputar lagi ke silih berganti, asalkan manusia menyadari siklus

itu dengan waspada sadar?

Sebenarnya sistematisasi ilmu kebudayaan dan filsafatnya yang berdasar lapangan induktif

pengalaman menghayati waktu lalu mengabstraksikannya dan membuatnya kategori-kategori

secara deduksi dengan akal budi rasional, pandangan waktu yang satu siklus sedang yang

kedua linier. Yang siklus, orang mengikuti jalan putar waktu, menghadapinya dengan

penyesuaian batin, sedang yang linier, manusia menaruh diri sebagai subjek sadar yang

menentukan detik, menit, tahun untuk menentukan langkah hidupnya.

Ketika ilmu sebagai sistematisasi logis, rasional dengan menegaskan pentingnya kombinasi

antara mendekati realitas waktu dari lapangan nyata dalam fenomena-fenomenanya baik

siklis maupun linier dan merangkumkannya sebagai paradigma teoritik abstrak, maka antara

praksis di lapangan dan teori harus simbiosis, saling memberi daya dorong pengolahan

fenomena-fenomena lapangan menjadi pandangan hidup lalu diterapkan ke lapangan dan

diuji baru untuk paradigma-paradigma baru.

***

Mengapa kesadaran mengenai waktu di antara kita perlu ditajamkan dan dijadikan titik tolak

menguji banyak perilaku aneh kita? Pertama, menyadari sang waktu sebagai berharga itu

banyak tafsir maknanya. Ada yang menafsir dan menghayati dari dalam, intrinsik dari batin

waspada sadarnya untuk selalu sadar waktu jangan tergesa-gesa tanpa renungan alias

mendahului saat suci seperti petuah ojo ngece mongso.

Namun, pribadi-pribadi yang transisional belum mengolah kesadaran waktunya lalu jalan

pintas meloncat ikut-ikut ke tafsir time is money atau waktu adalah uang tanpa olahan, akan

menerobos tanpa waspada budi untuk melintasi paksa palang-palang keselamatan pintu-pintu

lintasan kereta api. Aneh sekali, demi nyawanya sendiri, ia tidak bisa sabar hening menunggu

10-20 menit. Nekat menerobos untuk apa? Mengejar waktu adalah uang? Terburu-buru?

Padahal setelah menerobos terjadilah kecelakaan. Padahal yang berhasil nekat lalu setelahnya

mengobrol dan bergosip ria alias membuang waktu kualitatif tetapi menghayati tanpa nilai

waktu kuantitatif.

Page 138: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

138

Kedua, kita ini sebagai bagian sejarah Nusantara yang menjadi Indonesia hampir 70 tahun,

sehingga osmosis kesadaran waktu dalam kearifan-kearifan lokal kemajemukan tentang

waktu harus didialogkan terus-menerus dengan apresiasi waktu zaman linier, kalender-

kalender baru yang tidak siklis.

Artinya, yang berharga dari misalnya kesadaran manusia Bali dengan pandangan dunianya

yang mengenal kearifan trimatra desa: ruang; kala: waktu; dan rasa intuisi taksu sebagai

patra harus bertemu menjadi proses sintesis, kalau itu ada tesis, lalu antitesis atau osmosis

mengambil yang baik lalu dikawinkan dengan yang baru.

Dengan kata lain, proses diri sebagai bagian dari semesta dalam kesadaran waktu siklis

memang harus diterima sebagai bagian pelaku yang sama ketika masuk ke kesadaran waktu

linier di mana subjek itu penentu waktu. Apakah strukturalis harus terus menerus dialog

dengan subjek-subjek mentalis yang sadar diri? Jawabnya: pasti.

Karena itu, usaha-usaha proses menyadari Nusantara menjadi Indonesia dalam renung

kesadaran mengenai waktu sama dengan perjalanan locus genius dengan pengendapan

kearifan-kearifan lokal dan maju dalam peradaban pencerahan budi dan jernih nurani untuk

merajut kebijaksanaan hidup universal secara harkat manusia dan global (dalam makna

terbatas rasional ekonomis).

Ketiga, berdasarkan tiga kata-kata kunci peradaban yang mencatat kesadaran waktu manusia

dalam kata kunci ‘kyrios’ yang merupakan makna suci untuk kronos (saat) sebagai puncak

waktu peradaban. Lalu kata ‘momentum’ (istilah latin untuk menunjuk saat ini ‘nunc’=

sekarang) dan dikombinasikan dengan tempat yang di sinilah (=hic), manusia yang sadar

waktu dan sadar ruang dalam mewujudkan keputusannya untuk menandai sejarah dengan

karyanya.

Dan yang ketiga, kalimat kata-kata bijak yang disucikan dengan tes uji pengalaman yang

berbunyi: ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir

dan ada waktu untuk berpulang. Semuanya ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada

waktunya. Kesalahan kita semua adalah karena kita menafsirnya sebagai hanya waktu kita,

waktu dunia, waktu kuantitatif angka-angka tanpa diproses hening dengan sang pemilik

waktu, yaitu waktu-Nya.

Oleh karena itu, tidak cukup kepintaran dan kepandaian akal budi untuk menggolong-

golongkan apa itu waktu. Bahkan tidak cukup sistematisasi logis mengenai waktu linier.

Mengapa? Karena kedua-duanya hanyalah ungkapan kesadaran waktu kuantitatif. Yang kita

butuhkan adalah kesadaran waktu kuantitatif yang mendialogkan terus-menerus kerja-kerja

teknologi dan langkah-langkah material pembangunan dengan transformasi transformasi

kualitatif dalam gelombang kesadaran waktu kultural spiritual hingga semuanya ada

waktunya dan waktu-Nya.

Page 139: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

139

Ingin contoh buat bangsa ini? Bacalah dan renungkanlah saat bangsa menemukan momentum

sejarah merdekanya sebagai berdaulat Negara Republik Indonesia dalam kalimat pernyataan

merdekanya: ”Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini kami menyatakan

kemerdekaan ... ”. Kesadaran akan berkah dari Yang Ilahi untuk momentum sejarah bangsa

ini semestinya menjadi oase kerja-kerja pembangunan dan transformasi kita!.

MUDJI SUTRISNO SJ

Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan

Page 140: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

140

Do No Harm

Koran SINDO

Sabtu, 7 Maret 2015

Bencana menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Dan, kerusakan dan penderitaan itulah

yang mengundang bantuan dari luar wilayah terjadinya bencana.

Makin besar skala bencana yang terjadi, biasanya makin besar bantuan yang datang. Ambil

contoh, tsunami tahun 2004 di Aceh membuat datangnya bantuan yang luar biasa besar dari

dalam negeri dan terlebih lagi dari luar negeri.

Bantuan yang datang ke wilayah bencana bertujuan atau ditujukan untuk mengatasi

kerusakan dan mengurangi penderitaan. Namun, ada kalanya bantuan yang datang tidak

efektif atau tidak benar-benar bisa mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.

Bahkan, bantuan itu bisa pula berdampak negatif atau merusak di kemudian hari. Bantuan

yang tidak membantu misalnya adalah bantuan yang menimbulkan konflik di antara penerima

bantuan atau antara yang menerima bantuan dan tidak menerima bantuan. Contoh lainnya,

bantuan yang menimbulkan kebergantungan terhadap bantuan.

Pada intinya, bantuan-bantuan yang diberikan bukannya memberikan hasil yang positif, tetapi

malah memberikan hasil yang negatif. Mengacu pada kemungkinan timbulnya hasil yang

justru negatif, dalam dunia pemberian bantuan dikenal prinsip ”do no harm”. Prinsip ini

untuk mengantisipasi dan sekaligus mencegah sesuatu–dalam hal ini adalah hasil–yang tidak

diinginkan.

Prinsip ini menggarisbawahi bahwa seyogianya apa yang dimaksudkan untuk mengatasi

kerusakan dan mengurangi penderitaan jangan sampai menimbulkan kerusakan lebih lanjut

atau di kemudian hari. Prinsip ini amat penting karena seperti yang dinyatakan oleh Anderson

(1999) bahwa bantuan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak diperkirakan (unintentional

harm).

Dasar dari prinsip ”do no harm” adalah empati terhadap mereka yang mengalami bencana

dan kepekaan terhadap konteks, baik sosio-budaya maupun sosio-politik, yang melingkupi

mereka yang mengalami bencana. Empati membantu untuk memahami apa yang dipikirkan

dan dirasakan oleh mereka yang mengalami bencana.

Sedangkan kepekaan terhadap konteks membantu untuk menilai secara jernih apa yang

mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, prinsip ini

berujung pada tujuan untuk tidak menimbulkan kerusakan atau kerusakan lebih lanjut pada

mereka yang mengalami bencana.

Page 141: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

141

Bencana di KPK

Bermula dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri oleh Jokowi dan

penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, yang terjadi kemudian adalah KPK

bak mengalami bencana. Akibat ketidaktegasan– terutama terhadap Polri– dan

ketidaksegeraan Jokowi mengambil keputusan, alih-alih mengalami penguatan, KPK

mengalami pelemahan.

Kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri, pemberhentian sementara Abraham Samad dan

Bambang Widjojanto, dan penunjukan Plt pimpinan KPK telah membuat KPK tak berdaya.

KPK sekarang tak bisa lagi bekerja memberantas korupsi seperti sedia kala. KPK, sebagai

lembaga yang dinilai publik memiliki rekam jejak paling baik dalam pemberantasan korupsi,

telah lumpuh. KPK memang masih ada, namun KPK sedang mengalami kesulitan luar biasa

saat ini. Bahkan, sekarang KPK seolah sedang menunggu datangnya terpaan bencana lain,

yaitu gelombang praperadilan dari para koruptor yang telah ditersangkakan oleh KPK yang

akan menggerus tenaga dan konsentrasi KPK.

Di tengah bencana yang telah terjadi dan menunggu bencana berikutnya, para pegawai KPK

berusaha menunjukkan semangat bertahan menghadapi bencana yang terjadi. Para pegawai

KPK, yang notabene hasil perekrutan secara profesional–bukan perekrutan secara politik,

menunjukkannya dengan melakukan aksi (3 Maret 2015) untuk menyatakan sikap mereka,

yang di antaranya menolak rencana pelimpahan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan

Agung. Namun sungguh ironis, aksi tersebut ditanggapi oleh Wapres Jusuf Kalla dengan

meminta pegawai KPK mengoreksi diri dan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi menilai

aksi pegawai KPK tersebut sebagai pembangkangan dan mengancam akan memberikan

sanksi.

Baik JK maupun Yuddy sewajarnya paham bahwa KPK sedang mengalami bencana.

Sewajarnya mereka mengerti bahwa KPK sedang mengalami kelumpuhan dan

ketidakmampuan untuk menjalankan tugas utamanya memberantas korupsi.

Sudah seharusnya JK dan Yuddy tahu bahwa bukan hanya pimpinan tetap KPK sudah tidak

ada karena diberhentikan sementara, tetapi juga para pegawai KPK bekerja di dalam suasana

yang amat tidak kondusif karena konsentrasi dan fokus mereka tersita sejak terjadinya

kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Tanggapan yang diberikan JK dan Yuddy jelas menunjukkan betapa tidak berempatinya

mereka, baik terhadap KPK sebagai institusi yang sedang mengalami pelemahan luar biasa

maupun terhadap para pegawai KPK yang bisa jadi sedang mengalami demotivasi dan

demoralisasi. Aksi para pegawai KPK tersebut di satu sisi menampilkan keresahan mereka,

namun di sisi lain menampilkan semangat dan daya tahan mereka dalam mengemban tugas

besar melakukan pemberantasan korupsi.

Tanggapan JK dan Yuddy mencerminkan ketidakmauan dan, boleh jadi, ketidakmampuan

Page 142: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

142

mereka memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan para pegawai KPK. Tanggapan mereka

itu menggambarkan betapa tidak pekanya mereka terhadap apa yang dirasakan sedang terjadi

pada KPK dan apa yang mungkin terjadi pada KPK seandainya para pegawainya terkena

sanksi.

Respons yang ditunjukkan oleh JK dan Yuddy jelas tidak membuat situasi sulit yang dihadapi

KPK berubah membaik karenanya. Malah, respons tersebut adalah tambahan tekanan

terhadap mereka yang selama ini menjadi pelaksana sesungguhnya pemberantasan korupsi

yang dijalankan oleh KPK.

Yuddy adalah menteri yang mendayagunakan aparatur negara. JK, selain wakil presiden, ia

adalah ketua umum Palang Merah Indonesia–lembaga yang aktif merespons kondisi bencana.

Ia pun pernah menjabat sebagai kepala Bakornas Penanggulangan Bencana. Ia tentunya

mafhum bahwa mereka yang mengalami bencana harus dihindarkan mengalami kerusakan

lebih lanjut dari tindakan-tindakan yang diterima atau ditujukan kepada mereka. Oleh karena

itu, kepada mereka berdua perlu diingatkan: apabila tidak bisa melakukan sesuatu yang

membuat para pegawai KPK berdaya guna di tengah situasi sulit yang mereka hadapi, jangan

pula mereka menimbulkan kerusakan pada KPK.

Dan, jika Jokowi telah menjadi bagian yang mendatangkan bencana bagi KPK maka jangan

sampai mereka–JK dan Yuddy–menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada KPK. Pak Wapres

dan Pak Menteri, please do no harm!

DICKY PELUPESSY

Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI; Kandidat Doktor di Victoria University,

Melbourne

Page 143: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

143

Bangsa Berbudaya dan Bahagia

Koran SINDO

Sabtu, 7 Maret 2015

Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah. Dengan keramahan itu, kita

seolah merupakan bangsa paling unggul di dunia.

Tapi bangsa-bangsa lain kelihatannya tak tergiur untuk turut berlomba agar bisa menjadi

bangsa yang ramah seperti bangsa kita. Dalam percaturan dunia, keramahan yang kita

banggakan itu hampir tak memiliki arti apa pun. Sifat ”ramah-tamah”, dan ”budi bahasa yang

manis”, tidak mengangkat derajat bangsa kita secara nyata. Ramah-tamah bukan ukuran

sebuah kemajuan.

Kira tahu, ramah-tamah tak enak dimakan. Untuk menjadi bangsa yang sehat, produktif, dan

juara olahraga yang dibutuhkan bukan sifat ramah-tamah. Suatu bangsa menjadi maju di

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki suatu corak keunggulan, tapi tidak

ada hubungannya dengan keramah-tamahan. Mengapa para pemimpin bangsa kita sering

menghibur diri dengan watak, yang sama sekali bukan merupakan suatu keunggulan penting

dalam percaturan dunia?

Ramah-tamah yang berhenti hanya pada ramah-tamah itu sendiri, dan kita tak memiliki

sesuatu apa pun yang dapat kita banggakan, mungkin kita hanya menjadi tontonan di pinggir

jalan. Ketika sumber daya alam di dalam negeri kita sendiri diperebutkan oleh bangsa-bangsa

lain di dunia, dengan modal ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, dan keterampilan

menyusun peraturan perundang-undangan yang canggih, yang melindungi kepentingan dan

segenap sepak terjang mereka, adakah gunanya sifat ramah-tamah itu? Dapatkah ramah-

tamah menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk mencegah keserakahan mereka supaya

kita tak menjadi kaum miskin, karena selalu dirampok terus menerus?

Ramah-tamah sama sekali bukan senjata yang bisa menyelamatkan kita. Ramah-tamah pun

jelas tak bisa melindungi kita dari para penjarah durjana yang melahap tambang-tambang,

hutan, air, tanah dan bebatuan kita. Tak diragukan, bahkan sebaliknya: ramah-tamah itulah

yang membuat kita ditipu, dibodoh-bodohi dan dianggap sepele oleh bangsa lain.

Pada saat bangsa-bangsa lain di dunia berlomba menjadi kekuatan di garis paling depan di

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya kita mengimbangi mereka untuk menjadi

bangsa yang yang paling maju di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya. Maju di

bidang sastra dan kebudayaan membuat kita menjadi bangsa lebih kreatif di bidang

kehidupan apa pun. Kreativitas mendorong kita menjadi bangsa produktif.

Page 144: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

144

Dengan kreativitas itu, segenap sumber daya alam, kekayaan hutan untuk obat-obatan,

niscaya kita produksi sendiri dan tak dibiarkan dicuri bangsa-bangsa lain, dan diaku sebagai

milik mereka. Kalau kreativitas kita membuat kita menjadi bangsa produktif di bidang obat-

obatan, tak peduli disebut ”tradisional”, persetan disebut ”lokal” niscaya kita sudah maju dan

tak perlu tergantung pada obat-obatan bikinan bangsa lain yang mahalnya sontoloyo itu. Ini

hanya urusan sederhana.

Dunia sastra menggali kembali khazanah obat-obat bikinan nenek moyang zaman dahulu,

yang sekarang sudah tak tampak. Semua ditulis kembali, dan menjadi bacaan mulia bagi kita.

Selebihnya, bacaan mulia itu menjadi sumber kekayaan ilmu pengetahuan di bidang obat-

obatan tadi.

Sikap pemerintah yang berhubungan dengan perkara ini harus jelas. Kebijakan di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan obat-obatan tadi harus

dirumuskan dengan sebaik-baiknya, dan pemerintah melindungi rakyat yang kreatif dan

produktif mengolah sumber daya alam kita sendiri. Bukankah segenap kekayaan alam

diabdikan bagi kehidupan bangsa, dan untuk memakmurkan kita semua, yang memang

merupakan warga negara yang berbakti dan mengabdi bagi negeri, dengan segenap jiwa raga

kami?

Para pemimpin bangsa, berpidatolah tentang betapa mendesaknya kebutuhan memajukan

dunia sastra dan kebudayaan, dan semangat merangsang bangsa kita menjadi lebih kreatif dan

produktif. Para pemimpin bangsa, yang memang punya kapasitas sebagai pemimpin, harus

selalu ada di garis depan di bidang pemikiran. Jika perlu, para pemimpin wajib selalu

mendahului pemikiran umum di kalangan kaum awam.

Di sini pemimpin berarti komando. Dan apa yang dikomandokan, menghadapi kerasnya–

bahkan kejamnya–persaingan dunia hari ini. Biarkanlah mereka bersaing dalam bidang yang

kita belum mampu, dan kita sebaiknya memilih untuk tak ikut-ikutan dalam persaingan itu

agar kita tak tergilas. Tapi diam-diam, kita mengembangkan suatu kompetensi khusus, yang

tak mereka perhatikan, dan di bidang khusus itu kita maju, unggul, jitu, nomor satu.

Kita kuasai bidang obat-obatan tadi, dan produksi kita nomor satu. Perlahan-lahan, dari sana

kita menggali dari sumber keunggulan sastra dan kebudayaan kita tadi, segi apa lagi yang

kira-kira memberi kita peluang untuk maju di bidang yang lain lagi. Kita pilih bidang-bidang

yang kita kuasai, dan bangsa lain tidak. Melalui lahan kemajuan itu kita ”hadir” di dalam

percaturan dunia. Dan kita ”dihitung”, ”direken”, dan dihargai.

Tapi, jangan sekali-kali mengulangi kebanggaan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah tadi.

Ini kebanggaan palsu, kosong, tanpa isi. Tak perlu ramah, tak perlu indah budi bahasanya,

tapi kita melek politik, kita paham gerak pemikiran bangsa-bangsa lain. Kita tahu apa yang

mereka jadikan persaingan.

Tidak ramah mungkin tak menjadi soal, asal kita kreatif. Tidak murah senyum pada bangsa

Page 145: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

145

lain tak menjadi persoalan apa pun, asal kita produktif. Jika produksi kita tak menjadi

unggulan di pasar dunia, jangan mengeluh. Negeri kita ini pasar yang sebesar-besarnya pasar.

Kita jual produk kita, untuk sementara, di dalam negeri. Dan itu sudah cukup. Kita wajib

menjadi bangsa yang kaya dan berwibawa.

Tapi jika kita belum mampu mencapai target itu, kita tak usah kaya dulu, tak menjadi

masalah. Tapi dengan kemajuan dalam bidang sastra dan kebudayaan tadi, kita menargetkan

cita-cita dan aspirasi hidup yang lain: menjadi bangsa yang berbudaya, dan berbahagia.

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 146: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

146

Iman Perkawinan

Koran SINDO

Minggu, 8 Maret 2015

‘Iman’ artinya percaya. Istilah ini khusus digunakan untuk agama dan Tuhan. Jadi dalam

agama kita mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, dan karena itu kita bersungguh-

sungguh (berkomitmen) melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya serta menghindari apa

yang dilarang-Nya.

Tetapi, kita tidak mengatakan ‘beriman kepada istri’ walau kita sungguh-sungguh percaya

kepadanya dan karena itu bersungguh-sungguh (berkomitmen) pula melaksanakan apa yang

diperintahkannya serta menghindari apa yang dilarangnya.

Saya misalnya minum beberapa butir obat dan segelas jamu yang disiapkan istri saya tiap

pagi dan sore. Saya tidak tahu obat-obat apa itu karena setiap kali ke dokter, dia ikut masuk

ke ruang periksa dan dialah yang menghafal obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan

meraciknya tiap hari untuk saya. Dengan patuh saya meminumnya karena saya percaya

kepada istri saya. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya beriman kepada istri saya.

Walau begitu, ‘iman’ dan ‘percaya’ pada hakikatnya tetap sinonim.

***

Pada Senin, 3 Maret 2015 di Universitas Indonesia berlangsung sebuah ujian doktor.

Promovendus (calon doktor) yang mempertahankan disertasinya hari itu adalah Dr Melok

Roro Kinanti, seorang psikolog, yang meneliti tentang perkawinan di Desa Dadap,

Indramayu, Jawa Barat.

Desa yang berlokasi di Pantura itu terkenal sebagai desa produsen tenaga kerja wanita

(TKW), dan pekerjaan utama penduduknya adalah nelayan dan petani. Penelitian Dr Melok

mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan perkawinan dalam

konteks suami-istri yang harus berpisah selama bertahun-tahun karena istri harus bekerja di

luar negeri. Untuk itu, peneliti telah mewawancarai 11 wanita mantan TKW, enam di

antaranya sudah bercerai, sedangkan yang lima masih mempertahankan perkawinannya.

Dari enam yang sudah bercerai, empat disebabkan oleh suami berselingkuh selama istri

bekerja di luar negeri, sedangkan yang dua bercerai karena faktor lain, termasuk faktor

mertua. Sementara itu, yang tidak bercerai disebabkan ada komitmen perkawinan yang

diupayakan oleh pasangan yang bersangkutan di tengah banyak faktor lingkungan yang

sangat mungkin mengganggu pernikahan.

Page 147: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

147

Temuan ini mengukuhkan pendapat sebagian psikolog (termasuk saya sendiri) bahwa dengan

kepercayaan yang kuat kepada janji perkawinan (akad nikah), kemungkinan terjadi

perceraian bisa diperkecil. Kepercayaan kepada akad nikah ini bisa saya sebutkan sebagai

beriman kepada perkawinan karena ada unsur agama dan ada Tuhan di dalamnya.

***

Di kelas psikologi klinis, di Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia, Jakarta, di

mana saya mengajar, pernah saya tanyakan kepada mahasiswa, yang semuanya calon S-2

Psikologi Klinis, dan sudah bergelar S-1 Psikologi, apakah mereka percaya bahwa

keberhasilan perkawinan itu lebih terjamin jika ada faktor yang dipercaya oleh adat Jawa

yaitu ”bibit, bebet, dan bobot” (keturunan, kelas ekonomi, dan tingkat pendidikan) yang

baik?

Hampir semuanya menjawab, ”Percaya!” Penasaran, saya masih tanya mereka lagi, apakah

mereka percaya bahwa dalam perkawinan, yang paling penting adalah faktor seiman

(pasangan suami dan istri mempunya kepercayaan agama yang sama). Jawabnya lagi-lagi,

”Percaya!”

Tetapi, dalam kenyataan yang sebenarnya, situasinya tidak seperti itu. Tengok saja di sekitar

Anda, teman-teman, kenalan atau kerabat Anda, atau mungkin juga termasuk diri dan

keluarga Anda sendiri. Berapa banyak yang mengalami perceraian, padahal mereka sudah pas

betul kalau soal bibit, bebet dan bobot, bahkan juga iman agama. Dua pihak, yang suami

maupun yang istri sama-sama ganteng dan cantik, berasal dari keluarga-keluarga yang sama-

sama terpandang, berada dan berintegritas tinggi, dan sudah umrah, atau bahkan berhaji

bersama. Pokoknya pasangan yang sangat ideal. Masuk infotainment sudah beberapa kali

untuk dijadikan teladan oleh kaum pasangan muda lain. Tetapi, pasangan ini tiba-tiba

diberitakan (dalam infotainment juga) sudah menghadap pengadilan negeri atau pengadilan

agama untuk minta bercerai.

Padahal, beberapa pekan lalu, seorang seniman musik besar, Rinto Harahap yang kebetulan

Kristen, meninggal dunia dengan tenang, setelah menikah 42 tahun, tanpa cela, dengan

istrinya yang muslim. Anak-anak mereka pun menjadi dewasa tanpa ada masalah hingar-

bingar yang memalukan keluarga (setidaknya yang diketahui masyarakat).

Tentu banyak yang protes pada apa yang saya sampaikan ini. Tetapi, itulah faktanya, dan

saya sedang bicara tentang perkawinan di sini, di dunia ini, bukan tentang apa yang akan

terjadi kelak di akhirat. Pertanyaan kita sekarang, sebagai orang kebanyakan yang masih

mendambakan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup adalah, mengapa perkawinan

Rinto Harahap dan para TKW di Desa Dadap bisa bertahan, sementara banyak pasangan lain

tidak?

Perkawinan Rinto bertahan walau beda agama, perkawinan sebagian TKW bertahan walau

hidup terpisah selama beberapa tahun. Menurut istilah Dr Melok, yang menggunakan teori

Page 148: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

148

Bioekologi dari psikolog Brofenbrenner, penyebab bertahannya perkawinan adalah ada

proximal processes yang optimal, yang dalam bahasa Indonesia yang sederhana bisa diartikan

sebagai ‘komitmen untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai rintangan yang tujuannya

untuk mempertahankan perkawinan itu sendiri’.

***

Seperti dengan setiap janji, janji perkawinan harus dipercaya, dan dilaksanakan dengan taat

sampai kepada titik takwa (pokoknya perkawinanku nomor satu). Tentu saja dalam

perkawinan tidak digunakan istilah ‘takwa’ seperti di dalam agama. Karena itulah, ada istilah

‘proses proksimal’ atau komitmen terhadap perkawinan.

Yang penting, dua pihak yang terlibat perkawinan harus sama-sama punya komitmen yang

besar terhadap janji perkawinannya sendiri untuk mempertahankan perkawinan. Itulah

temuan dari disertasi Dr Melok Roro Kinanti.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 149: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

149

Main Kayu di Ibu Kota, di Kampung Balik ke Kayu Bakar

Koran SINDO

Senin, 9 Maret 2015

Gas saat ini merupakan sebuah komoditas strategis yang begitu memengaruhi kehidupan

banyak orang karena hampir seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia hari ini sangat

bergantung pada gas.

Gas yang diisikan pada tabung memiliki dua kualifikasi. Pertama, tabung gemuk yang berisi

12 kg dan 50 kg, merupakan tabung tanpa subsidi yang diperuntukkan bagi kepentingan

masyarakat kelas menengah ke atas. Kedua, tabung melon yang berisi 3 kg yang

diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah karena di dalamnya terdapat unsur subsidi

pemerintah yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kelas bawah.

Gas merupakan sebuah orientasi pemerintah untuk menghilangkan subsidi terhadap minyak

tanah yang pada zaman Pak Harto merupakan salah satu bahan baku penting untuk kebutuhan

industri rumah tangga yang mendapat subsidi cukup tinggi dari pemerintah, tapi dapat

diperoleh dengan mudah oleh masyarakat hingga pelosok perdesaan.

Pengurangan subsidi adalah penghematan untuk mengurangi beban anggaran negara sehingga

uang penghematan tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan modal usaha untuk

rakyat, serta kegiatan investasi jangka panjang. Selain itu, pengurangan subsidi juga untuk

menghilangkan spekulasi serta penyelundupan barang ke negara-negara lain yang tanpa

subsidi.

Kebijakan tersebut mendapat sambutan yang cukup luas dari masyarakat sehingga beralihlah

masyarakat ke elpiji bukan hanya di perkotaan, melainkan sampai ke pelosok-pelosok desa.

Penggunaan elpiji 3 kg bukanlah perjalanan tanpa hambatan. Banyak sekali peristiwa

menarik ketika masyarakat mulai menggunakan tabung gas melon. Banyak yang tidak tahu

caranya, terjadi kebocoran pada regulator atau pada tabungnya, yang menimbulkan peristiwa

kebakaran di berbagai tempat hingga menelan korban jiwa. Untunglah kini peristiwa

semacam itu sudah tidak terdengar lagi. Tabungnya sudah relatif lebih baik dan regulatornya

sudah lebih aman.

Namun, ada peristiwa baru lagi yaitu tabung melonnya sulit didapat. Entah kurang pasokan,

entah penggunanya yang bertambah, entah dijual oleh pangkalan ke pihak lain, entah dioplos

Page 150: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

150

karena harga gas yang 12 kg dan 50 kg mengalami kenaikan. Entahlah, yang jelas Ma Icih

pusing.

Kalau dulu kita berperang melawan musuh agar kita merdeka sehingga rakyat kita menjadi

makmur, murah sandang dan pangan, bisa tidur nyenyak karena para penjaga negara menjaga

seluruh warganya, yang sakit diobati, kalau meninggal negara mengurusnya, menyiapkan

kuburan yang baik, merawatnya sebagai bentuk penghormatan kepada warganya, lalu

keluarga yang ditinggalkan mendapat ketenangan karena negara menjaminnya, menjamin

makannya, menjamin pendidikannya, dan menjamin seluruh kehidupan lainnya yang menjadi

hak-hak setiap warga negara. Eh... setelah kita merdeka, uang cukup banyak, tapi hak rakyat

susah untuk diberikan.

Di Jakarta, yang katanya pusat orang-orang pintar, pemimpin dan DPRD-nya bertengkar

tiada habis ngeributin urusan pengesahan duit milik rakyat. Ma Icih tambah pusing lagi

karena peristiwa pertengkaran kekanak-kanakan didramatisasi menjadi peristiwa heroik main

kayu ala koboi sedang menumpas kejahatan, sampai urusan kesiapan untuk mati terbunuh

dalam pertempuran tersebut jadi trending topic.

Kata Ma Icih, ”Kata cucu Ema, di medsos sekarang ada gerakan #SaveAhok dan #SaveHaji

Lulung. Ema bingung, urusan duit kenapa jadi Save Ahok dan Haji Lulung. Memangnya ini

duit mereka? Padahal setahu Ema, pabrik yang ada di kampung Ema bayar pajaknya di

Jakarta. Mobil bus jelek yang mengangkut cucu Ema ke pabrik, nomornya nomor Jakarta.

Ditambah mobil pribadi yang berbaris di pabrik, nomornya nomor Jakarta. Berarti kampung

Ema ikut menyumbang duit ke Jakarta.”

“Di bagian ini, Ema mau bicara ah kepada Sep Ahok dan Haji Lulung, anggarkan dong untuk

menjaga kelestarian Gunung Wayang dan Gunung Windu yang menjadi hulu Sungai

Citarum, kan orang Jakarta minumnya dari Jatiluhur. Anggarkan juga untuk jalan di kampung

Ema sebab bus yang bernomor Jakarta ikutan merusak jalan di kampung Ema.”

“Urusan gas, Ema juga tidak habis pikir karena perubahan penggunaan gas elpiji 3 kg di

kampung-kampung berdampak pada berhentinya penggunaan kayu bakar. Karena kayu bakar

sudah tidak dibutuhkan, anak-anak di perdesaan tak lagi memiliki aktivitas untuk pergi ke

kebun dan ke hutan mencari kayu bakar selepas pulang sekolah. Mereka hari ini sibuk

menghabiskan waktu untuk main game, nonton televisi, main ponsel, motor-motoran, yang

seluruhnya menggunakan uang untuk membelinya. Penggunaan uang tersebut kebanyakan

bersumber dari penjualan kebun dan sawah sehingga di kampung-kampung kini tak lagi

produktif. Mereka bergantung pada beras raskin karena sawah yang dimilikinya sudah dijual

kepada orang kota sehingga ketika beras harganya mahal, semakin beratlah beban

hidupnya.”

“Akhirnya, banyak yang merantau ke luar negeri atau kalau yang tidak sabar, kadang anak

perempuan terjerumus dalam dunia hitam menjadi pelayan di tempat hiburan, bahkan

menjual dirinya. Anak laki-laki mencari usaha yang kadang ingin untung dari enteng, yang

Page 151: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

151

tidak berkeringat, yang tidak usah kepanasan, tapi uangnya banyak. Kan bingung, teuing

usaha naon anu model kitu ... (entah usaha apa yang model begitu).”

“Yang jelas, sekarang sudah sulit mencari orang yang bisa nyangkul, bisa ngawuluku dan

ngagaru (membajak sawah). Bagaimana produksi beras mau meningkat kalau pelaku

pertaniannya saja sudah jarang. Apalagi kata banyak orang, sebentar lagi Ema akan ada

saingan baru, namanya Ma Ea (MEA) yang katanya orang Bangladesh, boleh kerja di sawah

Ema. Ya kalau kira-kira di sawah Ema tidak ada yang nyangkul, nanti yang nyangkul-nya

orang Bangladesh.”

“Duh, kenapa jadi begini ini téh? Jadi bertentangan dengan cita-cita kekasih Ema, Mang

Udin, yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kalau pada akhirnya masih bangsa asing

yang menguasai kita.”

“Menurut Ema, hal yang aneh kalau kita yang tinggal di kampung seperti Ema harus ribut

urusan gas elpiji. Padahal, dahan-dahan pohon kering berserakan di mana-mana. Dari dulu

juga kita kan sudah pakai suluh (kayu bakar), nasinya lebih enak, masakannya lebih lezat. Itu

terbukti, banyak orang kota yang mencari kampung-kampung, rumah-rumah bambu untuk

sekadar makan dengan nasi kampung yang ditanak pakai suluh. Tetapi, orang pandai yang

tinggal di kota memang suka bikin pusing kita. Kalau tahu masak nasi pakai suluh lebih enak,

lebih murah, dan lebih efisien, kenapa atuh budaya kami harus diubah pakai elpiji.”

“Mending mun aya, ieu mah pan euweuh gasna oge. Teuing ah, lieur Ema mah... (Mending

kalau ada. Ini gasnya pun tidak ada. Entahlah, pusing Ema jadinya...)”

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 152: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

152

Budaya Memanipulasi

Koran SINDO

Senin, 9 Maret 2015

Kita hidup di dalam iklim kebudayaan manipulatif yang berkembang sejak zaman Orde Baru.

Manipulasi demi manipulasi itu dulu sebetulnya memang lahir dari kebutuhan nasional kita

sehingga racun manipulasi di dalamnya tak begitu kita rasakan. Apa yang sekarang kita

anggap sebagai manipulasi pada saat itu memang bukan masalah bagi kita.

Atas nama ”modernisasi”, pada tahun-tahun 1968/1969 pemerintah melalui Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan membuka berbagai pusat kursus di daerah Karet untuk mengisi

kebutuhan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Ada Kursus Pegawai Administrasi (KPA), ada

Kursus Pegawai Administrasi Atas (KPAA).

Mereka dilatih keterampilan di bidang ”administrasi” untuk menjadi tenaga terampil yang

disetarakan dengan lulusan SLP dan SLA. Kebijakan resmi itu jelas: ”setara” ”tidak setara”

pokoknya ”disetarakan”. Dengan begitu mereka yang menempuh kursus dalam waktu lebih

pendek itu secara resmi memiliki derajat dan kepangkatan sama persis dengan lulusan tingkat

SLP maupun SLA.

Di tahun-tahun sesudahnya, sebutan crash-programme terdengar begitu mentereng, begitu

”modern” dan menjadi solusi atas berbagai macam soal. Dan kita tak merasakan sama sekali

bahwa di kemudian hari hal-hal semacam itu akan menjadi masalah besar bagi kualitas dan

harkat manusia, yang juga kualitas dan harkat seluruh bangsa kita.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan menteri-menterinya yang silih berganti,

kelihatannya hanya menikmati posisi elite itu dan sama sekali tak ada yang berfilsafat atau

sedikit berpikir bahwa kebijakan-kebijakan resmi mereka itu merongrong habis-habisan

kewibawaan lembaga mereka sendiri. Akibatnya juga jelas menggerogoti harkat kemanusiaan

kita hingga saat ini.

Kecuali pusat-pusat kursus yang dipelihara dengan baik itu, menteri-menteri itu juga

membiarkan–bahkan mengizinkan–lahirnya SMA-SMA swasta yang kualitasnya tak begitu

membahagiakan kita. Di Jakarta ada satu SMA swasta yang khusus buat anak-anak–banyak

di antaranya anak ”bengal” para pejabat negara–yang merasa tak begitu cocok dengan SMA

”biasa”, yang menanamkan disiplin belajar dan bertingkah laku sebagai pelajar, dengan baik.

Ini jalan menyimpang dari tatanan sekolah yang kita dambakan. Tapi penyimpangan itu

”resmi”, setidaknya ”setengah” resmi, karena pejabat di bidang itu tahu persis persoalannya

seperti mereka tahu diri mereka sendiri.

Page 153: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

153

Di tingkat pendidikan tinggi, lahir pula secara ”resmi” berbagai sekolah tinggi berupa

akademi maupun universitas yang secara ideal menjawab kebutuhan pendidikan bagi

bangsa. Tapi sebetulnya mereka hanya melihat sisi bisnis besar yang menguntungkan.

Mereka tak begitu menaruh perhatian atas pendidikan–apalagi kualitas pendidikan–dan para

pejabat tinggi di departemen itu turut berbahagia menyambut lahirnya begitu banyak sekolah

tinggi yang, sejak awal, semangat dasarnya hanya ”berjualan” ijazah tanpa ada tanggung

jawab.

Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi model itu, yang beroperasi sore dan malam

hari, pada umumnya buat melayani pegawai-pegawai kantor pemerintah dan, maaf, anak-

anak ”buangan” yang kualitas akademiknya tak begitu memberi harapan. Kedua kelompok

ini aspirasinya sama: yang penting memperoleh ijazah sarjana biarpun nilai kesarjanaan sama

sekali tak ada di dalam diri mereka.

Bagi pegawai tadi, sudah jelas sejak awal, mereka kuliah hanya untuk meraih kesetaraan

dengan sarjana ”beneran” yang kuliah beneran secara serius dan memeras pemikiran secara

serius pula. Mereka hanya butuh selembar kertas yang disebut ijazah tadi untuk naik

pangkat. Hanya itu.

Tidak ada pada mereka semangat belajar dan menuntut ilmu beneran untuk menjadi pandai

dalam arti sebenarnya. Apalagi untuk menjadi bijaksana. Ini saja sudah merupakan

manipulasi dalam usaha kita membentuk kualitas manusia Indonesia. Tapi ini semua

dibiarkan dan ketika ujian, lulus tak lulus mereka itu harus lulus.

Jadi ketika jalan resmi membangun bangsa sudah mentok secara akademis, jalan lain mereka

tempuh. Mereka siap membayar berapa saja untuk lulus. Ini bukan manipulasi kecil-kecilan

karena kualitas kesarjanaan telah mereka tempuh bukan dengan jalan akademis, melainkan

dengan jalan kriminal.

Jangan lupa, di antara mereka, yang ”lahir” dari kebudayaan manipulasi ini, kelak ada yang

menjadi pejabat tinggi yang kompetensi teknis maupun filosofisnya hanya sampai pada

tataran membuat kebijakan publik yang pasti manipulatif juga. Kesarjanaan yang lahir dari

mentalitas menyimpang, buahnya jelas penyimpangan.

Mustahil bahwa aparat pendidikan tinggi tak pernah mendengar fenomena ini berkembang di

wilayah kekuasaan mereka. Tapi mereka masih duduk manis dan bersikap ”ayem” melihat

segenap manipulasi tadi. Juga mustahil bila mereka tak pernah mendengar bahwa di

sementara perguruan tinggi, para mahasiswa membawa pisau ketika ujian untuk meneror

pengawas agar mereka bebas nyontek.

Bila sang menteri sendiri masih tetap merasa ”berbahagia-sejahtera” melihat fenomena ini,

mengapa dirjen dan para bawahannya harus risau? Mustahil menteri tak mengetahui ini. Jadi

mengapa dirjen dan para bawahannya yang sikapnya juga manipulatif dan menipu itu harus

lapor dan membahas persoalannya dengan menteri?

Page 154: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015

154

Apa lagi gunanya bersungguh-sungguh bila sikap tahu sama tahu untuk berpura-pura ”tidak

tahu” lebih aman dan lebih selamat? Hingga di sini, mustahil bahwa manipulasi memalukan

itu belum mereka ketahui.

Menteri-menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dan kebudayaan telah

membikin pendidikan dan kebudayaan hancur. Mereka memilih dirjen pendidikan yang tak

tahu pendidikan. Mereka memilih dirjen kebudayaan yang buta huruf total di bidang

kebudayaan. Bila ditanya sebabnya, jelas karena menterinya sendiri buta huruf di bidang itu.

Mungkin semua menteri begitu. Menteri yang baru saja diganti menjadi contoh bagus untuk

menggambarkan keburukan itu. Apa menteri yang sekarang lebih paham akan persoalan

pendidikan dan kebudayaan?

Sebaiknya kita tak usah berharap bukan karena putus harapan, melainkan karena kita

mempertanyakan kompetensi yang sekarang dan yang dulu, apa bedanya? Perlu dicatat, para

rektor, apalagi rektor yang tidak begitu berhasil, bukanlah pemikir di bidang pendidikan.

Apalagi di bidang kebudayaan.

Pak Jokowi, sampean orang baik dan tulus mengabdi untuk kepentingan bangsa. Untuk

membuktikan lebih jauh ketulusan itu, tolong lakukan sesuatu. Jangan biarkan menteri yang

tak kompeten ikut magrong-magrong di kabinet sampai lima tahun. Penting ditegaskan, kalau

tak memiliki kapasitas menteri, tak usah lama-lama menjadi menteri. Jika ini dilakukan, yang

terjadi jelas sebuah ”revolusi mental” yang sampean katakan.

Sebaliknya, ”revolusi mental” tak bakal pernah menemukan momentum politiknya jika

manipulasi dalam kebudayaan kita ini dibiarkan menguasai kesadaran kita dan membuat kita

hidup dalam kesadaran manipulatif, tanpa akhir.

MOHAMAD SOBARY

Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]