(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

136
DAFTAR ISI MENINGGALKAN ANAK DENGAN PENGASUH BARU Aprilina Prastari 5 ROBIN WILLIAMS Sarlito Wirawan Sarwono 9 DENDAM DAN TRAGEDI ASWATAMA Mohamad Sobary 12 MENATA KEWENANGAN DAN OTORITAS YANG TERSERAK Agus Purnomo 15 YANG TERSISA DARI PILPRES Komaruddin Hidayat 18 KEKERASAN TERHADAP ANAK Erlangga Masdiana 20 MENJAGA ANAK DARI GERAKAN RADIKAL Nur’aini Ahmad 23 1

description

opini para pakar yang dimuat di Koran SINDO dan juga situs www.sindonews.com

Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Page 1: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

DAFTAR ISI

MENINGGALKAN ANAK DENGAN PENGASUH BARU

Aprilina Prastari 5

ROBIN WILLIAMS

Sarlito Wirawan Sarwono 9

DENDAM DAN TRAGEDI ASWATAMA

Mohamad Sobary 12

MENATA KEWENANGAN DAN OTORITAS YANG TERSERAK

Agus Purnomo 15

YANG TERSISA DARI PILPRES

Komaruddin Hidayat 18

KEKERASAN TERHADAP ANAK

Erlangga Masdiana 20

MENJAGA ANAK DARI GERAKAN RADIKAL

Nur’aini Ahmad 23

ANAK PEMULUNG DAN MUSIK YANG MEMBEBASKAN

1

Page 2: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Ivan Hadar 27

ANGKLUNG

Sarlito Wirawan Sarwono 30

KALAH-MENANG TERHORMAT

Mohamad Sobary 33

REFLEKSI RASA MALU DAN RASA BERSALAH

Reza Indragiri Amriel 36

KAMPUS DAN DERADIKALISASI

Biyanto 39

KELAHIRAN INDONESIA SEHAT

Dinna Wisnu 42

IJAZAH SAMA, KUALITAS BERBEDA

Komaruddin Hidayat 45

KITAB KUNING DAN TANTANGAN RADIKALISME

Khamami Zada 47

ANTARA ETIKA, HUKUM, DAN KEADILAN

2

Page 3: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Handi Sapta Mukti 50

MEMERAS SECARA IMAJINER

Mohamad Sobary 53

HAJI DAN MIGRASI STATUS SOSIAL

Muhammad Kholid Asyadulloh 56

PENDIDIKAN MENGANGKAT MARTABAT BANGSA

Komaruddin Hidayat 59

PAKTA INTEGRITAS

Sarlito Wirawan Sarwono 61

MEDITASI ROMO MUDJI

Mohamad Sobary 64

PENDIDIKAN TINGGI DAN RISET

Bambang Setiaji 67

DEMOKRASI VERSI MEDIA

Danang Sangga Buwana 70

PENDIDIKAN MISKIN IMAJINASI

3

Page 4: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Komaruddin Hidayat 73

AKHLAK PEMIMPIN PUBLIK

Biyanto 75

MISKIN VS SEJAHTERA

Ali Khomsan 78

PAKTA INTEGRITAS 2

Sarlito Wirawan Sarwono 81

KHIDZMAH KAHMI, BERSATU DEMI INDONESIA (I)

Moh Mahfud MD 84

KHIDZMAH KAHMI, BERSATU DEMI INDONESIA (II)

Moh Mahfud MD 87

GADAI SK JABATAN

Rhenald Kasali 90

JUALAN SURGA

Komaruddin Hidayat 93

4

Page 5: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Meninggalkan Anak dengan Pengasuh Baru

Koran SINDOSabtu,  23 Agustus 2014

PERBINCANGAN yang sedang jadi trending topic saat ini, baik di kantor, warung sayur, maupun sekolah, hampir sama: asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh belum atau tidak lagi kembali bekerja!

Bagi ibu bekerja, masalah ini memang memusingkan kepala. Apalagi kalau di rumah anak hanya tinggal dengan pengasuh tanpa ada orang tua atau keluarga lain yang mengawasi. Mau tidak mau, orang tua harus ekstracepat supaya dapat bekerja kembali dengan tenang. Sayangnya, meski pengasuh baru sudah ada, persoalan tidak selesai sampai di sini. Ada tantangan yang (jauh lebih) besar yang harus dihadapi orang tua.

Apalagi jika orang tua terpaksa merekrut meski sebenarnya kurang sreg di hati sehingga mengabaikan syarat-syarat yang sudah orang tua buat dalam merekrut pengasuh baru.

“Ya, daripada lama nggak dapat pengasuh, terpaksa deh aku ambil.” “Sebetulnya sih aku cari yang sudah berpengalaman tapi karena nggak ada, ya mau bagaimana lagi. Masa aku mau tambah cuti sih.” Namun, jangan sampai, karena ingin cepat memiliki pengasuh, hak anak jadi terabaikan.

Di dalam buku yang saya tulis, Berdamai dengan Asisten di Rumah (2010), masa-masa penyesuaian antara ibu, anak dan pengasuh biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama. Selama waktu tersebut, ibu dapat melihat dan pada akhirnya memutuskan apakah dapat melanjutkan menggunakan jasa pengasuh tersebut atau terpaksa mengganti. Apa saja yang akan ibu dan pengasuh lakukan selama waktu pengenalan tersebut?

Adaptasi Anak dan Pengasuh

Pada saat awal, tidak hanya anak yang perlu menyesuaikan diri dengan pengasuh barunya. Orang tua, khususnya ibu yang paling sering berinteraksi dengan pengasuh, dan pengasuh itu sendiri pun perlu penyesuaian.

Untuk anak, tidak semua dari mereka mudah menerima seseorang yang baru ia kenal. Apalagi jika anak terlalu dekat dengan pengasuh sebelumnya. Atau, pengasuh baru kurang menunjukkan sikap yang bersahabat.

Misalnya, tidak berusaha mengajak anak bermain atau tidak menunjukkan wajah yang ramah atau sikap yang bersahabat. Hal ini menyebabkan anak merasa kurang nyaman. Nah, jika anak sudah dapat memahami perkataan orang tua, sebaiknya, ketika proses mencari pengasuh

5

Page 6: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

baru, anak sudah diberi tahu bahwa akan ada mbak baru yang akan menjaganya selama ibu bekerja.

Jika memungkinkan dan diizinkan oleh divisi HRD tempat ibu bekerja, mintalah tambahan cuti (tanpa dibayar atau mengambil cuti tahun berikutnya) agar ibu dapat menemani anak dengan pengasuh barunya selama beberapa hari.

Solusi lain, mengerjakan pekerjaan kantor dari rumah dan mengirimnya via email. Dulu, ketika masih bekerja di advertising agency, saya pernah melakukan cara ini. Tentu, ibu yang paling mengerti bagaimana kondisi kantor dan kebijakan yang ada.

Maka, sebaiknya, rencana-rencana seperti ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Namun jika ibu benar-benar tidak dapat meninggalkan pekerjaan, setidaknya ada keluarga yang mengawasi anak dengan pengasuh barunya. Untuk pengasuh, meski berpengalaman dalam mengurus anak, tentu perlu waktu untuk mengenal anak yang akan dijaganya.

Idealnya, sebelum mengundurkan diri, pengasuh lama sebaiknya masih ada di rumah ketika pengasuh baru datang sehingga ia dapat belajar langsung dan melihat dulu bagaimana kebiasaan di rumah, terutama yang menyangkut kebiasaan anak. Namun jika tidak dapat dilakukan, ibu juga perlu memberi waktu agar pengasuh baru dapat mengenal anak dengan baik.

Jika ibu diizinkan mendapat cuti tambahan, pada hari pertama biarkan pengasuh hanya melihat dulu kebiasaan yang dilakukan anak. Kegiatan makan, mandi, sebaiknya tetap dilakukan oleh ibu. Hari kedua, ibu sudah bisa memintanya mengajak bermain dengan anak. Hari ketiga, lihat bagaimana reaksi anak. Jika ia terlihat mau berinteraksi dengan pengasuh, ibu dapat meminta pengasuh untuk bergantian menyuapi atau menemaninya makan. Begitu juga dengan mandi. Lalu, bagaimana dengan aturan?

Melihat pendidikan dan usia pengasuh, kita juga perlu pertimbangkan apakah pengasuh dapat cepat menerima pesan dari ibu atau tidak. Jika aturan langsung diterapkan, pengasuh dikhawatirkan akan merasa takut atau kaget.

“Duh, aturannya kok banyak, ya? Aku bisa nggak ya mengerjakannya? Kalau anaknya nggak mau nurut gimana?” Kira-kira seperti itulah perasaan yang dialami pengasuh jika ibu langsung memberi komando dalam jangka waktu cepat. Biarkan pengasuh merasa nyaman mengurus anak lalu pelan-pelan beri tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mengurus anak.

Hindari Melakukan Hal yang Ditakutkan Anak

Menurut ibu, apa yang biasanya ditakutkan anak? Bisa minum obat. Atau, mainan yang bentuknya tidak disukai anak. Maka jangan sampai pengasuh melakukan sesuatu yang tidak disukai anak, apalagi yang dapat membuatnya trauma.

6

Page 7: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Hal sepele misalnya saat mengeramasi anak. Ada anak yang tidak mau langsung diguyur dengan gayung tapi menggunakan shower. Jika pengasuh mengabaikan, bisa jadi, anak menjadi kesal dan merasa pengasuh tidak mengerti apa yang ia inginkan.

Menjaga Kedekatan Orang Tua dan Anak

Terkait dengan terlalu dekatnya anak dengan pengasuh lama, ini memang harus diantisipasi sejak ibu memilih menjadi ibu bekerja. Ada banyak cara yang dapat ibu lakukan sehingga anak dekat dengan pengasuh namun tidak tergantung.

Bukankah pengasuh pada akhirnya akan menikah, punya anak dan belum tentu dapat bekerja kembali? Apa jadinya jika anak mengalami demam, tidak mau makan kalau tidak dengan pengasuhnya? Apakah ibu tidak nelangsa melihatnya? Untuk itu, tak dapat ditawar lagi, menjaga kedekatan antara orang tua dan anak adalah keharusan. Caranya? Pertama, terapkan bahwa pengasuh hanya membantu ibu ketika ibu tidak ada di rumah untuk bekerja. Artinya, ketika di rumah, ibu dan bapak yang harus mengurus sendiri anak.

Kedua, luangkan waktu hanya untuk anak. Waktu itu bisa digunakan untuk mendongeng, bermain, atau melakukan kegiatan lain yang hanya dilakukan oleh anak dan orang tua tanpa pengasuh. Jadi sebaiknya, saat liburan dan pergi bersama, usahakan tak perlu membawa pengasuh.

Ibu dan bapak juga bisa menentukan kegiatan apa yang hanya boleh dilakukan oleh ibu dan bapak setiap hari. Misal, setiap pagi, harus ibu yang memandikan anak. Atau, tiap malam sebelum tidur, harus bapak yang mendongeng.

Ketiga, perbanyaklah memegang, mengelus, memeluk dan menyentuhnya. Dr. William Sears dalam bukunya The Successful Child (2006) mengatakan, anak yang sering dipeluk akan memiliki kedekatan dengan orang tuanya. Yang paling penting dari semuanya, banyaklah berdoa agar anak tetap dekat dengan orang tuanya.

Haruskah Dilanjutkan?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, karena beberapa alasan, tidak semua orang tua pada akhirnya merekrut pengasuh sesuai dengan kriteria. Apa yang sudah dilakukan pengasuh tentu dapat menjadi pertimbangan bagi orang tua apakah akan melanjutkan atau mengganti. Memang, perlu waktu lagi untuk mengganti. Maka kita pun perlu menganalisisnya dengan bijaksana dan kepala dingin.

Tentu, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal kita lihat sejauh mana kekurangannya. Apakah masih dapat ditolerir dan diperbaiki? Contohnya, jika pengasuh sering lupa melakukan sesuatu yang ibu inginkan, mungkin ini kekurangan yang dapat ditoleransi. Namun, perlu dipertimbangkan diganti, jika pengasuh kedapatan memarahi anak,

7

Page 8: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

menggunakan kata-kata kasar hingga memukul.

Hal itu dapat terlihat dari perubahan perilaku anak, anak menunjukkan ketakutan yang berlebihan jika ditinggal atau mengigau sesuatu yang kurang baik tentang pengasuh. Ibu dan bapak tentu memiliki kriteria sendiri dan paling memahami bagaimana pengasuh yang tepat untuk anak-anak di rumah.

Yang penting, sebagai ibu bekerja, kita sepatutnya memiliki prioritas dan alasan yang kuat mengapa harus bekerja dan tidak mengorbankan anak-anak demi karier.

APRILINA PRASTARI MSIPenulis Buku-Buku Komunikasi dan Parenting

8

Page 9: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Robin Williams

Koran SINDO

24 Agustus 2014

Saya bukan buaya nonton. Baik di bioskop maupun di video. Hanya sesekali saya mengajak istri saya atau diajak teman-teman kalau ada film yang (saya dengar-dengar) bagus.

Saya pun bukan orang yang nge-fans kepada bintang-bintang film tertentu. Tahu nama mereka pun tidak, apalagi hafal nama-nama mereka. Tetapi ketika saya membaca tentang tewasnya Robin Williams di KORAN SINDO tanggal 13 Agustus yang lalu, saya cukup terpana, karena ternyata saya sudah nonton empat film dari 22 film yang dibintanginya. Keempat film itu adalah: Awakenings (1990), Mrs Doubtfire (1993), Jumanji (1995), dan Night at the Museum (2006). 

Luar biasa, menurut ukuran saya (dan kata saya sendiri juga). Yang lebih luar biasa lagi adalah bahwa saya ingat dengan baik keempat film Robin Williams yang pernah saya tonton itu. Mrs. Doubtfire misalnya, mengisahkan sepasang suami-istri yang bercerai, dan sang ayah terpaksa meninggalkan rumah dan anak-anaknya yang sangat dicintainya. Ayah ternyata tidak bisa menahan rindu kepada anak-anaknya. 

Dan ketika tahu bahwa mantan istrinya (yang selalu sibuk itu) memerlukan pengasuh, sang ayah mencoba melamar dengan cara menyamar menjadi Mrs Doubtfire, yaitu seorang wanita setengah baya yang berpengalaman sebagai pengasuh anak-anak. Lamarannya diterima. Ibu dan anak-anak sama sekali tidak curiga, dan anak-anak dan pengasuh palsu segera bisa saling akrab. Ibu senang sekali, demikian juga anak-anak, dan tentu saja sang pengasuh palsu. 

Kepalsuan baru terbongkar ketika salah satu anak memergokinya sedang menggunakan toilet (pintunya kebetulan tak terkunci) dalam posisi berdiri layaknya laki-laki kalau sedang pipis. Tetapi setelah rahasianya terbongkar, keluarga itu justru bisa rukun kembali dan Mrs Doubtfire kembali menjadi suami dan ayah yang dicintai istri dan anak-anaknya. Pokoknya happy end (saya tidak suka film-film yang tidak happy end karena bukannya terhibur, malah tambah stres). 

Yang sangat menarik perhatian dalam kasus kematian Robin Williams adalah karena dia tewas lantaran bunuh diri. Seorang yang punya karakter sangat kuat, yang dapat mengelola emosinya dengan sangat baik, sehingga bisa berperan menjadi wanita setengah baya, akhirnya tewas karena bunuh diri. Apa pun alasannya, bunuh diri bukan suatu hal yang mudah diterima akal untuk seorang Robin Williams.

9

Page 10: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

*** 

Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api.// Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis.// Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G Vargas, presiden Brasil, tidak akan menembak jantungnya.// Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan minum alkohol dan obat depresi hingga overdosis.// Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Prancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.// 

Puisi ”Jika” itu saya dapat dari salah satu WhatsApp Group. Benar sekali. Kalau orang-orang tersebut di atas bisa bunuh diri, mengapa Robin Williams tidak? Sebaliknya pengungsi-pengungsi Suriah yang sudah tersudut, tetap mencoba melarikan diri dari gerombolan ISIS, tetap mencoba menghindari maut, tetap menghindari kematian, tidak bunuh diri, walaupun akhirnya mereka tetap tewas terbunuh. 

Ada pepatah yang mengatakan ”Sebelum ajal berpantang mati”. Itulah naluri manusia yang sebenarnya. Karena itu jika ada orang-orang yang bunuh diri, yang berarti melawan nalurinya sendiri, perlu dicari tahu apa faktor yang menyebabkan. Beberapa literatur mengungkapkan bahwa ada beberapa macam bunuh diri. Yang terbanyak adalah bunuh diri karena putus asa. 

Mungkin Robin Williams dan tokoh-tokoh selebritas terkenal lainnya yang bunuh diri termasuk jenis ini. Secara psikologis, faktor yang menyebabkan mereka bunuh diri tidak jauh berbeda dari seorang anak SD yang bunuh diri karena dia tidak lulus ujian nasional, sedangkan adiknya lulus. Dia takut dimarahi ibunya. Intinya orang-orang ini tiba-tiba merasa segala yang terjadi tidak sesuai harapannya, dan dia tidak punya kontrol lagi atas dirinya sendiri untuk meraih harapan itu. 

Orang seperti ini biasanya mengalami stres, depresi, keadaan emosi yang bipolar, atau gangguan kejiwaan lainnya sehingga mereka akhirnya bunuh diri. Sebagian tidak langsung kepada perilaku bunuh diri, tetapi lari ke narkoba dan tewas karena overdosis.

Jenis kedua adalah orang yang bunuh diri justru karena demi kehormatan, harga diri, adat atau membela ideologi, idealisme atau agama. Demonstran membakar dirinya untuk menentang rezim yang dianggapnya zalim. Bom bunuh diri dilakukan oleh orang yang yakin bahwa perbuatannya diridai Tuhannya. Dahulu di India, istri yang ditinggal mati suaminya, harus melakukan Sati, yaitu harus ikut terjun ke api pembakaran jenazah suaminya.

Penerbang Kamikaze di Perang Dunia II bunuh diri dengan menerjunkan pesawatnya ke kapal-kapal perang Amerika demi kemenangan Kaisar Jepang Tenno Heika. Dan ketika Tenno Heika menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 1945, berbondong-bondong orang

10

Page 11: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

datang ke halaman istana Kaisar Jepang itu untuk bersama-sama melakukan seppuku (bunuh diri) untuk membayar kehilangan harga diri sebagai Jepang.

Tidak seperti yang kita duga, konseling dan pelayanan hotline dengan para psikolog, psikiater atau pembimbing rohani, ternyata tidak terlalu efektif. Kalau orang mau bunuh diri, dia akan melakukannya walaupun dia sudah mendapat sejuta nasihat. Karena itu, pencegahan bunuh diri harus dilakukan dengan metode preventif, yaitu menjauhkan orang-orang yang sudah diduga bisa bunuh diri dari senjata api, senjata tajam, racun, atau hal-hal lain yang berbahaya. Lantai-lantai di mal, tepi jurang, atau tepi rel kereta api diberi pembatas, dan pasien-pasien penderita depresi dan gangguan jiwa lainnya diberi obat untuk mengembalikan semangat hidupnya.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

11

Page 12: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Dendam dan Tragedi Aswatama

Koran SINDO

25 Agustus 2014

Dalam lakon “Karna Tanding”, Prabu Salya, sang mertua, mengendalikan kereta perang Karna. Dengan keagungan dewata, dia seanggun Batara Kresna yang mengendalikan kereta perang Arjuna. Di dalam kereta itu ada Aswatama yang memperhatikan dengan cermat jalannya perang dan secara khusus melihat bagaimana Prabu Salya mengendalikan kereta menantunya. 

Memang benar, Prabu Salya mertua Karna, tapi dia juga paman Arjuna. Menantu dan keponakan sama beratnya. Kurawa dan Pandawa, dua-duanya “keluarga”. Kepada siapa dia akan memihak? Ini perkara pelik. Tidak mudah baginya untuk mengambil keputusan jelas, tanpa keraguan, tanpa dilema. Tiba-tiba Karna memintanya menjadi kusir untuk mengimbangi kemegahan Kresna yang menjadi kusir Arjuna. Ini juga permintaan dilematis. Tak ada secuil pun kemuliaan baginya menjadi kusir itu, terutama karena dia akan melihat Arjuna kemungkinan terkena panah sakti menantunya. 

Tapi Prabu Salya tak mau membiarkan dirinya di dalam ketidakjelasan yang menyiksa. Dia menerima permintaan menantunya untuk menjadi kusir senapati agung. Keraguan pun terpecahkan. Kini posisinya jelas: memihak Kurawa dan jelas turun ke medan laga di barisan senapati pihak Kurawa. Dalam serang-menyerang dengan panah dewata yang mengerikan, kedua pihak, Karna maupun Arjuna, sama hebatnya. Tapi ada momen-momen pendek mengerikan: panah Karna jelas bakal memenggal leher Arjuna yang sedetik sedang lengah, yaitu ketika dia sadar rambutnya terpanah dan “mahkota” kesatriaannya rontok. 

Saat itu Prabu Salya tahu, panah sang menantu berikutnya jelas akan menghabisi riwayat keponakannya. Dalam situasi menegangkan itu, secara kilat, yang tak diketahui siapa pun, kecuali oleh Aswatama, dia berusaha melindungi keponakannya. Kereta digenjot, kuda-kuda penariknya tak terkendali, dan akibatnya panah Karna yang melesat dengan kecepatan angin itu, yang seharusnya secara matematis pasti memenggal leher Arjuna, ternyata melenceng, bergeser beberapa jengkal dari sasaran. Dan saat itu Kresna menyuruh Arjuna membalas serangan dengan kecepatan melebihi kedipan mata. Panah Arjuna memenggal leher Karna. 

Dikisahkan, berkat ketajaman panah Arjuna yang disebut pitung pencukur, yaitu tujuh kali lebih tajam daripada silet, Karna masih tetap tegak. Lehernya yang sudah terputus masih menempel pada tubuhnya. Kecurangan Prabu Salya dilaporkan oleh Aswatama kepada Duryudana dalam suatu sidang darurat. Semua pihak kaget mendengarnya. Tapi Aswatama kalah wibawa menghadapi Prabu Salya, mertua sang raja. Aswatama sadar, tampaknya dia akan kalah. Banyak pihak yang membenarkannya dalam hati, tapi tak satu pun yang memihak

12

Page 13: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

kepadanya. 

Akhirnya dia lari masuk hutan, menghindari amukan Prabu Salya yang kejahatannya diketahui umum. Di hutan, Aswatama sendirian. Hatinya penuh kemarahan dan dendam. Dia tak habis pikir, mengapa laporannya, yang jelas berisi kebenaran, tak memperoleh telinga yang bisa mendengarnya? Bagaimana kebenaran yang tak ditoleh telinga bakal masuk ke dalam hati dan membentuk suatu sikap? Dia sadar, sang raja yang serakah dan menyembunyikan kebenaran memang mustahil bersedia menerima kebenaran tanpa prasangka. 

Di sekitarnya, orang yang bertindak benar malah celaka. Selain tak didengar rajanya, kebenaran selalu dicemooh orang-orang di kiri kanannya. Duryudana berada dalam lingkaran kemunafikan “agung”, yang dihalalkan oleh para pendukungnya, yaitu orang-orang yang mencari selamat dan kedudukan duniawi yang tak boleh tergoyah. Aswatama tak pandai menyanyikan tembang-tembang yang disukai rajanya. Dia hanya menyanyi jika baginya ada yang layak dinyanyikan. Tembang-tembang yang tak cocok dengan hati sang raja dibuang dan dilupakan. 

Raja hanya membutuhkan pujian, bukan mencari kebenaran. Mengapa Aswatama tak memujinya? Satria perkasa itu bersembunyi di dalam kesunyian hutan sampai ada terbetik kabar, raja telah gugur, perang dimenangi pihak Pandawa dan Kurawa luluh lantak jadi debu. Ini kebenaran. Mengapa mereka kalah dan mengapa Pandawa menang, sudah jelas tak mungkin diganggu gugat lagi. Panas hati Aswatama. Dia tak mau menerima kekalahannya karena dia masih bisa berbuat sesuatu. Tapi apakah berbuat sesuatu di sini dibenarkan oleh aturan dan hukum-hukum perang? Lagipula, bukankah perang telah selesai? Dia tak peduli. 

Pada malam sepi, ketika keluarga Pandawa dan sedikit pendukungnya sudah kelelahan dan merasa aman, semua tertidur. Dengan pedang yang menyalakan dendam di tangannya, dia menebas semua orang, tanpa kecuali, yang sedang nyenyak dalam kenyamanan tidur masing-masing itu. Lalu dia mendatangi satu titik cahaya, titik terpenting: bayi Dewi Utari, Parikesit, yang bakal menjadi penerus dinasti Pandawa. Dia terkam bayi itu dengan pedangnya yang berdarah-darah dan penuh dendam tadi. 

Tapi entah bagaimana, bayi itu bergerak, kakinya menyenggol tangkai keris di dekatnya, dan keris pun menyambar leher Aswatama yang lalu jatuh tak berdaya di kaki tempat tidur sang bayi, dalam posisi antara hidup dan mati dan penuh sesal, mengapa tak cukup puas membunuh semua yang dewasa dan lari dengan selamat ke hutan?

Dalam sekarat yang menyakitkan, Aswatama diterkam rasa dendam yang lebih dalam karena tak bisa tampil di depan umum, di tengah jiwa masyarakat yang hancur sesudah perang, bahwa dia telah menghabisi musuh-musuhnya. Dia menyesali kebodohannya dan kini tunduk dalam pelukan tragedi yang begitu getir. Dia merasakan, betapa sisa malam itu begitu panjang dan melelahkannya. Dia tak berdaya, tapi juga tak mampu memadamkan dendam, yang masih membakarnya, tanpa ampun, dari dalam. ●

13

Page 14: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. 

Email: [email protected]   

14

Page 15: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Menata Kewenangan dan Otoritas yang Terserak

Koran SINDO

26 Agustus 2014

Sejak awal Orde Baru, kementerian dan lembaga negara bertambah setiap lima tahun akibat konsolidasi dari partai-partai politik dan penataan birokrasi. Tiga kabinet terakhir di era setelah reformasi memiliki 34 kementerian portofolio (departemen), maksimal yang ditentukan undang-undang.

Adapun lembaga negara mencapai 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan 129 lembaga nonstruktural (LNS). Desentralisasi birokrasi kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota madya sejak tahun 2000, menambah lebih dari 550 lembaga negara tingkat daerah. Dampak dari mekarnya jumlah birokrasi adalah fragmentasi kewenangan atau otoritas yang saling silang. Fragmentasi ini sering kali menghambat dan bahkan mengubah kebijakan-kebijakan yang seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat luas dan generasi mendatang, menjadi perlindungan dan perlakuan khusus bagi sekelompok kecil masyarakat dan pengusaha.

Kerumitan birokrasi ini kemudian diwarnai lebih jauh dengan jumlah undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sangat banyak dalam dua dekade terakhir. Centang perenang peraturan dan terpecahnya kewenangan telah menyandera berbagai upaya strategis, sehingga konsolidasi kewenangan dan otoritas yang terserak tersebut harus merupakan prioritas kerja pada kesempatan pertama yang dimiliki presiden terpilih seusai pelantikan di DPR.

Penambahan, penghapusan, dan penggabungan adalah hal yang biasa dalam penyusunan kabinet. Namun, hal tersebut sering kali dilakukan secara terisolasi untuk satu-dua permasalahan sehingga justru menimbulkan permasalahan pada berbagai institusi terkait. Konsolidasi tugas dan kewenangan sebaiknya dimulai dengan identifikasi permasalahan prioritas untuk diselesaikan oleh Presiden Terpilih 2014-2019, yang kemudian dijadikan landasan penataan kewenangan dan pembagian tugas prioritas ke berbagai kementerian dan lembaga.

***

Opini ini membahas beberapa prioritas konsolidasi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, khususnya terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim, yaitu: a) pengelolaan sumber daya alam, b) koordinasi penataan ruang, c) pelestarian lingkungan, dan d)

15

Page 16: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

penanganan perubahan iklim.

Salah satu warisan birokrasi Orde Baru adalah kelembaman (inersia) di pemerintahan dalam merespons peluang budi daya alam. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan berdasarkan pada definisi bioma (biomes), yaitu kawasan atau zona yang memiliki kesamaan struktur tanaman atau iklim atau ekosistem. Alih-alih mewujudkan pembangunan berkelanjutan, tumpang tindih perizinan dalam pemanfaatan sumber daya alam di antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sering kali memperparah konflik penguasaan lahan dan sumber daya alam di antara warga masyarakat.

Hal ini dapat dihindari bila kewenangan kementerian terkait ditata ulang dan koordinasi kegiatan pemanfaatan dilakukan dalam satu atap. Pemanfaatan bersifat pengelolaan yang berkelanjutan seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan dikelola oleh sebuah Kementerian Budi Daya (Lahan, Hutan, Sungai, dan Lautan) dengan menggabungkan sebagian besar unit Kemenhut, Kementan, dan KKP sehingga koordinasi kebijakan, aturan pelaksanaan, pemberian insentif dan prioritas pelaksanaan anggaran dapat diarahkan secara menyeluruh.

Pengangkatan wakil menteri yang berbagi tugas sesuai keahlian dan prioritas kementerian asalnya dapat menjadi pilihan untuk memastikan pelaksanaan kewenangan dan otoritas yang komprehensif. Untuk Kementerian Budi Daya misalnya, dimungkinkan pengangkatan wamen Budi Daya Hutan, wamen Budi Daya Lahan Basah dan Sungai, dan wamen Budi Daya Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil. Terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam yang bersifat ekstraktif, seperti pertambangan, bahan bakar minyak dan gas bumi, tanggung jawab pengaturan dapat diberikan kepada Kementerian Sumber Daya Mineral dengan fokus peningkatan devisa dan nilai tambah kegiatan ekstraktif tersebut. Fokus ini akan membantu pencapaian kemanfaatan maksimal bagi kesejahteraan rakyat di sekitar kegiatan ekstraktif dan bagi keseluruhan masyarakat Indonesia.

Prioritas berikutnya adalah penguatan kelembagaan dan instrumen tata ruang. Penataan kewenangan ruang menjadi sulit ketika delapan kementerian dan lembaga serta ratusan pemerintah daerah provinsi/kota madya/kabupaten diberikan sebagian dari kewenangan tersebut. Konflik horizontal dan vertikal akibat wewenang pemberian izin pemanfaatan lahan tidak terpadu kerap terjadi, banyak kementerian dan lembaga yang harus dikoordinasikan untuk mencari solusi.

Biasanya koordinasi akan diwarnai dengan saling lempar tanggung jawab, ibarat kentang panas yang dijauhi oleh semua pihak sampai situasi konfliknya mereda. Penggabungan beberapa subunit kementerian dan lembaga terkait (dirjen Tata Ruang Kementerian PU, Badan Planologi Kemenhut, deputi Bidang Tata Lingkungan KLH, BPN, BKTR, dan direktur-direktur Bappenas) dalam satu kementerian yang memiliki kewenangan atas proses penataan ruang secara menyeluruh, dapat memperbaiki kerumitan konsolidasi penataan ruang. Integrasi vertikal proses penataan ruang, dari perencanaan sampai terbitnya sertifikat untuk berbagai jenis konsesi dan kepemilikan lahan, akan mengefisiensikan penyelesaian sengketa penguasaan lahan, percepatan pelaksanaan reformasi agraria, dan rehabilitasi lahan

16

Page 17: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

kritis.

Selain itu, konsolidasi ini juga akan membantu menyederhanakan proses perizinan dan menekan biaya pengadaan lahan bagi pembangunan infrastruktur seperti PLT panas bumi, perluasan bandara dan pelabuhan, jaringan listrik, perlintasan kereta api dan jalan raya.

***

Penataan ruang dan upaya pelestarian lingkungan merupakan dua sisi mata uang yang memastikan tercapainya “checks and balances“ antara keinginan eksploitasi sumber daya alam dan kebutuhan pelestarian lingkungan. Konsolidasi kewenangan budi daya dan penataan ruang juga merupakan jawaban terhadap tantangan perubahan iklim yang ditengarai semakin besar di masa depan.

Inventarisasi gas rumah kaca, pemilihan prioritas kegiatan adaptasi dan mitigasi, perumusan kebijakan, serta monitoring pelaksanaan kegiatan dan verifikasi capaian yang dihasilkan adalah tahapan pengelolaan perubahan iklim yang dapat dikelola secara mudah dan murah bila berada di bawah satu atap. Penggabungan beberapa subunit kementerian dan lembaga (dirjen PHKA Kemenhut, deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH, unit konservasi di KKP, deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas serta BMKG dan BP REDD+) ke dalam Kementerian Pelestarian Lingkungan, Tata Ruang, dan Perubahan Iklim menjadi pilihan yang logis.

Konsekuensi beban administrasi dalam upaya konsolidasi tidak dapat dihindari. Namun, aspek penghematan biaya menjadi signifikan dengan pengurangan jumlah kementerian menjadi hanya separuh dari kabinet sebelumnya. Optimalisasi sumber daya dilakukan dengan mengonsolidasikan berbagai badan seperti BMKG, Badan POM, BNPB, dan BNPT dalam posisi wakil-wakil menteri sehingga peningkatan koordinasi dan sinergi dapat dilakukan tanpa penambahan biaya birokrasi.

Opini ini menunjukkan upaya konsolidasi kewenangan tidak berarti menambah biaya dan personel, sumber dayanya tersedia dan dapat dilakukan di awal pembentukan kabinet. Presiden terpilih diharapkan berani mengambil langkah konsolidasi kewenangan, sehingga terbentuk kabinet yang lebih terpadu, ramping, dan memiliki efektivitas yang tinggi. Mengayuh sampan di antara hambatan centang perenang kewenangan, bukanlah sebuah pilihan. ●

AGUS PURNOMO Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim 

* Opini ini pandangan pribadi

17

Page 18: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Yang Tersisa dari Pilpres

Koran SINDO

29 Agustus 2014

Apa yang tersisa dari hajatan nasional pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli lalu? Jawaban pertanyaan ini akan sangat bervariasi, kepada siapa ditujukan. 

Bagi pasangan Jokowi-JK yang dinyatakan sebagai pemenang, justru tugas mulia dan berat baru dimulai. Duet presiden dan wakil presiden ini dituntut membuktikan janji-janjinya semasa kampanye bersama kabinet yang dibentuknya. Ibarat lari maraton jarak jauh, keduanya tengah bersiap menunggu peluit pelantikan untuk mengukir prestasi lima tahun ke depan dengan berbagai tantangan yang telah menghadangnya. Adapun bagi pasangan yang kalah, lain lagi agendanya. Namun, sesungguhnya jika kontestasi pilpres yang menelan biaya APBN sekitar Rp10 triliun dilihat sebagai ritual demokrasi, kedua pasangan secara moral-politik sama-sama menjadi pemenang. 

Semuanya pejuang untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Pilpres bukan akhir dan satu-satunya panggung pengabdian pada bangsa. Untuk menjadi seorang negarawan, Prabowo dan Hatta tidak mesti menjadi pemenang pilpres. Pembangunan bangsa ini tidak dimonopoli oleh presiden dan wakilnya. Tetapi sangat banyak panggung dan cara bagi mereka yang ingin memajukan rakyat, sejak dari pelaku bisnis, petani, sampai guru-guru di pelosok pegunungan. 

Dalam panggung politik, mereka yang mengambil sikap oposisi secara kritis, konstruktif dan berintegritas tak kalah jasanya dari jajaran eksekutif. Jadi, yang sangat didambakan rakyat bukan siapa pemenang pilpres, melainkan bagaimana membuat bangsa ini bangkit setelah pilpres usai, siapa pun presidennya. Dari sisi ini, justru Joko Widodo-Jusuf Kalla jauh lebih berat bebannya ketimbang Prabowo-Hatta karena pilpres bukan pertandingan piala dunia yang puncaknya adalah upacara pemberian hadiah bagi pemenangnya, setelah itu bubar. 

Tetapi, sekali lagi, bagi Jokowi-JK setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk palu menyelesaikan sengketa hasil suara justru pembuktian sebagai juara bagi keduanya baru akan dimulai. Dalam konteks ini, Prabowo-Hatta pun akan ditunggu dan dinilai rakyat, bagaimana mereka menyikapi kekalahannya. Apakah bersikap legawa atau tidak, biarkan rakyat yang menilai. Begitu pun pasangan Jokowi-JK, bagaimana mereka menyikapi kemenangan ini, rakyat yang akan memantau dan menilainya. Jika saat-saat menjelang pilpres aspirasi rakyat terbelah menjadi dua, kini semuanya menyatu diikat oleh keinginan kuat bagi terjadinya perbaikan dan perubahan nasib bangsa. 

18

Page 19: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Namun, mesti kita ingat juga, siapa pun yang menjadi presiden 2014-2019, kondisi ekonomi memaksa seorang presiden mesti berani membuat kebijakan yang tidak populer di mata rakyat, terutama pengalihan subsidi BBM ke sektor lain, sehingga sangat mungkin untuk sementara akan terjadi kemarahan rakyat kecil. Akibatnya sebagian rakyat yang tadinya memilih pasangan Jokowi-JK akan berbalik kecewa dan protes. Dalam situasi seperti ini, kita pun akan melihat bagaimana sikap partai yang memosisikan diri sebagai oposisi, apakah akan mendukung kebijakan pemerintah ataukah tidak. 

Andaikan tidak, rakyat akan mencermati alasan apa yang dikemukakan, apakah cukup rasional ataukah asal berbeda dengan sikap pemerintah. Sikap asal berbeda tanpa disertai argumen yang logis dan mudah dicerna rakyat justru akan menjatuhkan dirinya sendiri.

Perkembangan baru yang pantas dicatat adalah baru kali ini seorang presiden naik dan turun sesuai dengan kaidah demokrasi yang sehat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah selama dua periode, naik berdasarkan hasil pilpres dan turun juga secara damai setelah menyelenggarakan pilpres. 

Lebih dari itu, selama masa transisi terjadi komunikasi yang konstruktif antara presiden terpilih Jokowi dan Presiden SBY yang sebentar lagi akan menyerahkan estafet jabatan kepresidenan. Ini penting diapresiasi mengingat sejak Bung Karno beralih ke Pak Harto, dan juga serah-terima presiden berikutnya kepada penerusnya, hubungan dan komunikasi mereka kurang bagus. 

Rakyat Indonesia pasti senang melihat hubungan para elite politik di negeri berlangsung akrab dan terjalin komunikasi yang konstruktif di antara mereka demi kepentingan rakyat dan bangsa. Yang masih ditunggu rakyat adalah melihat Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta duduk-duduk santai membicarakan nasib rakyat dan bangsa. Mereka ingin sekali melihat para elite menjadi panutan bagaimana menciptakan kerukunan, apa pun agama, etnis, dan rumah parpolnya.

Jadi, kalau ditanya, apa yang tersisa dari pilpres? Tak lain adalah support, doa, dan harapan kepada pemerintah semoga bisa membawa bangsa ini semakin maju, rakyat semakin cerdas dan sejahtera serta disegani dalam pergaulan dunia.

Kepada teman-teman anggota legislatif, semoga mampu melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Jangan kecewakan kepercayaan rakyat. Kritik dan dampingi pemerintah agar kinerjanya bagus. Buatlah undang-undang (UU) yang benar, agar nantinya tidak digugat dan dibawa ke MK untuk digelar judicial review. Jangan sampai pembuatan UU yang telah menelan biaya teramat mahal, namun ibarat baju, setelah jadi ternyata tidak cocok dipakai. ●

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYATRektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, @komar_hidayat 

19

Page 20: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kekerasan terhadap Anak

Koran SINDO

30 Agustus 2014

Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Siak, Riau yang melibatkan suami-istri dan dua orang teman telah merenggut tujuh orang nyawa, enam di antaranya adalah anak-anak. Setidak-tidaknya ada lima tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku yaitu penculikan, penganiayaan, kesusilaan (sodomi), pembunuhan, dan mutilasi. 

Data tentang kekerasan terhadap anak. Data kejahatan terhadap anak di Indonesia masih menunjukkan “angka gelap” (dark number)-nya tinggi, artinya sulit mengetahui data sesungguhnya. Pasalnya, masyarakat masih memandang bahwa kekerasan yang menimpa anak, terutama kekerasan seksual, merupakan aib sehingga tidak bisa diketahui data sesungguhnya (masyarakat enggan melaporkan kekerasan seksual kepada pihak kepolisian). Berbeda halnya dengan kejahatan seks terhadap anak di Inggris di mana masyarakatnya lebih terbuka. 

Persoalan kejahatan (apalagi kejahatan seks) terhadap anak merupakan tindakan yang harus ditangani secara serius, baik penanganan hukumnya maupun penanganan trauma korbannya. Angka kekerasan seksual terhadap anak hampir terjadi setiap 20 menit. Kekerasan seksual terhadap anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki, yakni kejahatan pemerkosaan, incest, dan prostitusi anak. Sebagian besar korbannya adalah anak-anak berusia 11-17 tahun. Di Inggris memang tidak ada kejahatan seks atau kekerasan terhadap anak-anak diakhiri dengan mutilasi sebagai bentuk “penghilangan” barang bukti korban kejahatan. 

Kejahatan terhadap anak di Indonesia memang sangat ekstrem berbeda dengan berbagai negara. Merebaknya kejahatan pembunuhan bisa beriringan juga dengan mutilasi, karena tindakan memotong-motong mayat (mutilasi) ini dianggap sebagai cara pamungkas untuk menghilangkan jejak kejahatan. Namun, para pelaku tidak menyadari bahwa kejahatan pembunuhan di era modern sekarang ini jarang tidak terungkap, karena teknologi kepolisian telah mengalami kemajuan pesat. 

Realitas Kejahatan 

Kejahatan sudah menjadi realitas sosial yang tidak bisa dihilangkan dalam suatu masyarakat yang dinamis. Namun, apakah kejahatan itu mengalami intensitas kekerasan atau mengalami penurunan tingkat kekerasannya. Kondisinya dipengaruhi oleh berbagai potensi yang bisa meningkatkan intensitas kekerasannya. Faktor-faktor berpengaruh dalam peningkatan intensitas kekerasan, yaitu: Pertama, adalah subbudaya kekerasan yang dianut oleh para pelaku yang bisa menumbuhsuburkan tindakan kekerasan. Para pelaku yang memiliki riwayat

20

Page 21: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

langsung sebagai korban kekerasan akan berpotensi untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain. 

Kedua, media massa kita yang mengekspos kekerasan dan konflik secara tidak disadari telah menghadirkan “rasa atau selera yang wajar” (pembiasaan) terhadap kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan bagaikan tergerus dengan kekerasan sebagai suatu fenomena yang “wajar” terjadi. Kekerasan ditampilkan dengan modus operandi dan motif kejahatan dibahas sedemikian rupa supaya khalayak (audience) tertarik. Penampilan media semacam ini meskipun dimaksudkan dalam rangka melakukan kontrol sosial, namun pada sebagian kalangan juga bisa membawa efek peniruan (walaupun “delayed effect“) yang bisa menjadi katalog dalam memori panjang (long-term memory) pada penonton yang memiliki masalah yang hampir sama. 

Suatu ketika bisa amat berbahaya muncul jika ada problem pribadi dan sosial yang begitu menekan sehingga tinggal menunggu “trigger factors“ saja. Mutilasi atau kekerasan terhadap anak menggambarkan realitas sosial yang ada di masyarakat kita. Kita seakan-akan sudah dikepung (harus waspada) akan bahaya kekerasan terhadap anak. Orang tua yang memiliki anak-anak merasakan kekhawatiran terus menerus jika menonton dan membaca berita tentang kekerasan terhadap anak seperti: penculikan, perdagangan anak, mempekerjakan anak, sodomi, perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, aborsi kriminal (abortus provocatus criminalis), dan lain-lain. 

Ketahanan Sosial 

Bangunan nilai masyarakat kita perlu dipertanyakan, apakah masih menganut nilai-nilai Pancasila yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah nilai masyarakat kita telah bergeser kepada budaya pragmatisme?

Kualitas kekerasan terhadap anak dari waktu ke waktu terus meningkat. Secara kuantitatif, banyak bermunculan dari satu daerah ke daerah lain. Berbagai kejadian kekerasan di dalam rumah tangga seperti: ada seorang ibu karena kesal kepada suami melakukan penganiayaan kepada anaknya di Bandung dan Jember. Ada ibu yang rela menjual anaknya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ada seorang bapak memerkosa anak kandung, anak tiri, dan kemenakannya. Di luar rumah, berbagai kekerasan terhadap anak acap terjadi seperti: di kawasan permukiman liar, di kolong-kolong jembatan, pinggir rel kereta api, sekitar terminal.

Anak-anak sangat rentan menjadi korban kejahatan, karena mereka adalah orang yang semestinya mendapatkan perlakuan khusus. Mereka masih bergantung kepada orang dewasa (orang tua). Kasus-kasus kejahatan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak, adalah karena lepasnya kontrol orang tua terhadap anak. 

Ketika orang tua sudah mempercayakan kepada orang lain di luar rumah, misalnya di sekolah, berarti peran sebagai perlindungan adanya di lembaga sekolah. Dapat diartikan juga, nilai pengakuan terhadap hak-hak anak antara rumah (keluarga) dan sekolah tidak boleh

21

Page 22: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

bertentangan. Untuk kasus kekerasan seksual kepada anak di sekolah yang dialami korban-korban murid Jakarta International School (JIS), merupakan tamparan berat bagi para pendidik. 

Apalagi atas dasar nilai kemandirian, anak tidak mendapatkan pendampingan dijadikan sebagai korban kekerasan seksual. Dengan demikian, konsep ketahanan sosial menjadi kata kunci untuk dapat meredam berbagai tindakan kekerasan terhadap anak. Apatah lagi ketahanan sosial lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga yang mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang dan perlindungan terhadap anak. ●

ERLANGGA MASDIANA Kriminolog, Mantan Ketua Program Pascasarjana (PPS) Kriminologi FISIP UI 

22

Page 23: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Menjaga Anak dari Gerakan Radikal

Koran SINDO

30 Agustus 2014

Apa yang terjadi di Irak dan Suriah saat ini hendaknya benar-benar menjadi pelajaran yang berharga bagi kita bangsa Indonesia, terutama dalam menangkis ideologi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) masuk ke negara kita. Seluruh negara di dunia kini mewaspadai penyebaran paham ISIS dengan ideologi dan cara yang penuh kekerasan ke penjuru bumi. 

Umat Islam mana yang tak khawatir melihat tindakan ISIS yang sudah di luar perikemanusiaan. Orang tua memiliki peran sentral dalam menghindarkan negeri ini dari ISIS. Alasan perlunya kewaspadaan orang tua terhadap gerakan ISIS tentu sangat beralasan, karena kita di Indonesia ingin mengembangkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Bukanlah wajah Islam yang penuh dengan kekerasan, menumpahkan darah, bahkan membunuh sesama pemeluk Islam bila tak mau mengikuti ideologi yang dianut ISIS itu sendiri. 

ISIS tidak hanya memerangi orang berbeda agama atau berbeda paham seperti Syiah, Kristen, Yazidi, tetapi mereka juga membunuh orang Islam yang seiman, bahkan ulama sufi pun mereka bunuh karena beda ideologi dengan mereka. Paham ISIS, paham Islam yang keras, sadis, dan mengerikan. Ajaran yang dianut ISIS dalam berjihad adalah diperbolehkan membunuh birokrat, pemerintah, dan bahkan tokoh agama yang tidak mereka sukai. Mereka juga diperbolehkan merampok dan menyerang instansi tempat ibadah dan tempat keramaian. (KORAN SINDO, 10/8). 

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Aqil Siradj menegaskan, paham negara ISIS tidak dibenarkan oleh agama Islam. Menurutnya, apa yang dilakukan ISIS tidak direstui Islam, tidak direstui oleh Alquran. ISIS dikutuk oleh Allah, dikutuk oleh Islam. Menurut Said, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku kekerasan, sementara ISIS menghalalkan kekerasan bagi siapa saja yang bertentangan paham yang mereka anut. Tidak ada agama dalam kekerasan, tidak ada kekerasan dalam agama. (Antara News, 25/8). 

Kita perlu mengapresiasi terhadap keputusan yang diambil oleh negara kita di mana negara telah menyatakan “ISIS Organisasi Teroris” sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ansyaad Mbai selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Seminar Nasional “Membahas Fenomena ISIS, NKRI, dan Islam Rahmatan Lil Alamin” di Kemenag RI, Jumat (22/8). Seminar tersebut melibatkan para pimpinan ormas-ormas Islam, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). 

23

Page 24: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kesimpulan ISIS sebagai organisasi teroris diambil berdasarkan fakta bahwa gerakan itu ditemukan di kantong-kantong teroris dengan pendukung yang “berganti baju” dari gerakan teroris yang pernah ada, demikian juga modus yang mereka gunakan. Keberadaan ISIS di Indonesia menurut Mbai belum membuat organisasi resmi, namun ajaran yang disampaikan dan dilakukan adalah bentuk jaringan teroris. Maka itu, keberadaan ISIS di Indonesia sebagai bentuk ancaman bagi masyarakat dan keutuhan negara yang berideologi Pancasila. BNPT mengidentifikasi ISIS adalah jaringan yang sama dengan jaringan Al-Qaeda. 

Gerakan yang dilakukan dan pemahaman ekstrem dalam berjihad juga sama, karena itu ISIS bukanlah gerakan yang baru. Kenyataan di beberapa daerah yang sudah ditemukan penganut dan simpatisan ISIS dan sebagian mereka telah dibaiat ISIS. Bahkan, sudah ada simpatisan ISIS yang memasang bendera ISIS di rumahnya, seperti yang terjadi di Depok, walaupun didasarkan pada ketertarikan mereka pada bendera ISIS semata karena bertuliskan kalimat tauhid. Mencermati keadaan saat ini, setelah selesai pilpres, Indonesia harus meningkatkan kehati-kehatiannya dalam segala segi. 

Negara harus bisa berlaku adil, tidak diskriminatif, tidak menzalimi rakyat, dan membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya, memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan sebagainya. Sebagai warga negara, jangan mudah terhasut dan terpengaruh dengan hal-hal yang mungkin merugikan kita sendiri. Mulyadi Kartanegara (2014) mengatakan bahwa kita harus peduli dan prihatin atas perkembangan Islam di negeri kita akhir-akhir ini yang semakin mengarah pada pemahaman Islam simplistis, dogmatik, dan semakin keras. 

Hal ini menjadi suatu kekhawatiran yang mendasar bagi kita sebagai orang tua, jangan sampai kita lalai mengawasi anak-anak kita terutama mereka yang masih usia muda dan berjiwa muda, mereka mudah dipengaruhi oleh informasi-informasi yang menyesatkan (melalui media informasi yang sangat canggih, kadang kala orang tua tak mengerti karena keterbatasan pengetahuan mereka) merugikan. Alangkah sedih dan menyesakkan dada, tanpa sepengetahuan orang tua, tahutahu anaknya sudah berurusan dengan organisasi teroris, tertangkap, bahkan sudah meninggal di tangan Densus 88. 

Kenyataan membuktikan selama ini banyak anak-anak muda yang telah dicuci otaknya sehingga mereka rela menjadi “pengantin” dan kemudian meledakkan bom yang dipasang di tubuh mereka. Benarkah hal semacam itu syahid? Apakah itu dianjurkan dalam Islam? Yang pasti, pemahaman mereka terhadap ajaran agama belum kuat, keimanannya belum terbangun secara baik alias ikut-ikutan (sebut saja agama KTP). Kelemahan lainnya mereka belum mengerti dan paham ideologi negara Pancasila, belum memahami undang-undang negara secara baik. Sebagian ada dengan sadar mau mengganti dasar negara Indonesia dengan mendirikan kekhalifahan Islam. 

Dalam konteks ini, ada artikel menarik yang ditulis oleh Political Director of Huffington Post Inggris Mehdi Hasan berjudul “What the Jihadist Who Bought What the Jihadist Who Bought Islam for Dummies Islam for Dummies on Amazon Tells Us About Radicalization“ (Huffington Post, 21/8). Dalam artikelnya itu, Mehdi bercerita bahwa pemuda Inggris yang

24

Page 25: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

mengalami radikalisasi dan berperang ke Suriah pada Mei tahun ini bernama Yusuf Sarwar dan Mohammed Ahmed membeli dua buku Islam for Dummies (Islam untuk Pemula) dan Koran for Dummies (Alquran untuk Pemula). 

Fenomena ini menurut Hasan sangat menarik karena mengafirmasi beberapa pandangan ahli selama ini yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda yang teradikalisasi dan terjebak dalam gerakan radikal seperti ISIS umumnya adalah orang-orang yang pemahaman agamanya cenderung rendah (religious novices). Lebih lanjut, Hasan mengutip penelitian beberapa ahli yang tertuang dalam berbagai buku seperti psikolog forensik dan mantan anggota CIA Marc Sageman, ilmuwan politik Robert Pape, ahli hubungan internasional Rik Coolsaet, ahli dunia Islam Olivier Roy serta antropolog Scott Atran, yang telah meneliti kehidupan para teroris dan bersepakat bahwa bukan Islamlah penyebab dari perilaku radikal tersebut. Bahkan, dia menunjukkan bahwa ada kecenderungan anak-anak muda yang bergabung dengan gerakan radikal ini karena merasakan ketidakadilan dalam kehidupannya sehari-hari dan melihat ada harapan kesetaraan dan kesempatan untuk permulaan baru dalam gerakan teroris ini. 

Orang Tua sebagai Penanggung Jawab Utama 

Orang tua harus peduli akan masa depan anak-anaknya, karena masa depan anak adalah masa depan bangsa. Kita harus menjaga dan menjadikan bangsa kita bangsa yang rukun, damai, dan sejahtera, aman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita turut mendukung larangan resmi pemerintah yang melarang gerakan ISIS di Indonesia lantaran bertentangan dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara.

Orang tua berperan sebagai penanggung jawab utama dalam kehidupan anaknya. Ia adalah penggembala sesuai dengan hadis yang berbunyi “Kullukum raain wa kullukum mas uulun in wa kullukum mas uulun an raaan raaiyatikum“ artinya setiap kamu adalah penggembala dan akan diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang kamu gembalakan. Oleh karena itu, orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anaknya dari segala marabahaya baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat (azab neraka) dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi sebagai benteng dalam kehidupan anak di masa datang.. 

Orang tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya “Jagalah dirimu dan keluargamu dari azab neraka“ (QS At-Tahrim ayat 6). Nabi Muhammad SAW juga berpesan “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Sejatinya tak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka dan mencelakai dirinya dan memilih jalan yang salah atau jalan kekerasan yang merugikan dirinya sendiri dan keluarga. 

Tidak satu pun agama yang membenarkan yang nama bunuh diri, walaupun sebesar apa pun pesan yang hendak disampaikannya. Tak ada agama yang menganjurkan pemeluknya

25

Page 26: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

melakukan bunuh diri, demikian juga membunuh orang-orang yang tak berdosa, orang yang berbeda agama dengan mereka kecuali kalau mereka memerangi.

Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran. Bila anak dididik pada kebaikan maka dia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia dan akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan gurunya. Sebaliknya jika anak itu diajar pada kejahatan maka semua akan celaka. Sebaliknya bila anak dibesarkan dalam kekerasan, maka di jiwanya akan tertanam kekerasan dan bahkan balas dendam. Karena itulah, orang tua harus hati-hati, mendidik, memandu, dan membesarkan anak-anak mereka agar tetap berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin. Kita harus bisa menjaga anak kita agar menjadi orang-orang baik dan bergaul dengan orang yang baik. Jangan sampai anak-anak dan keluarga kita merugikan kita bahkan ada yang menjadi musuh bagi kita, bahkan bisa membunuh kita. ●

NUR'AINI AHMADKetua PB Persatuan Wanita Tarbiyah Islamiyah (Perwati), Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26

Page 27: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Anak Pemulung dan Musik yang Membebaskan

Koran SINDO

30 Agustus 2014

Jauh sebelum teori kecerdasan emosi terkait otak kanan diungkapkan oleh Daniel Goleman pada 1995, Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School yang terkenal dengan pedagogik kreatifnya, mengatakan: “Saya meyakini bahwa perkembangan emosi anak jauh lebih penting ketimbang kemajuan intelektualnya. Untuk itu, pendidikan musik sangat mendukung perkembangan anak secara signifikan“. (Summerhill School, 1960).

Lebih lanjut Neill mengungkapkan bahwa “Anak-anak dengan kecerdasan biasa-biasa saja, dengan belajar keras dan susah payah, memang bisa lolos ujian perguruan tinggi. Akan tetapi, selepas kuliah, mereka bakal menjadi guru yang tidak imajinatif, dokter yang sedang-sedang saja, atau pengacara yang payah.” Baginya, “intelektualitas tanpa minat dan emosi yang mendukung adalah percuma!“

Berbagai studi telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan musik sejak dini. Manfaatnya akan diperoleh hingga beberapa dekade ke depan. Selain otak kanan, pendidikan musik juga mempercepat perkembangan motorik seorang anak. Hal ini karena belajar alat musik membutuhkan koordinasi tangan dengan stimulasi visual (penglihatan) dan audio (pendengaran) dalam otak. Seperti sudah banyak diketahui, mendengarkan musik klasik sangat disarankan bagi para ibu hamil. Pasalnya, musik klasik dipercaya mampu menstimulasi pertumbuhan otak janin dalam kandungan. Tak sampai di situ, belajar alat musik juga sangat baik bagi anak-anak usia dini. 

Musik yang Membebaskan 

Pedagogik modern, meyakini bahwa pendidikan yang baik harus memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi serta mengekspresikan perasaannya. Dengan demikian, dalam diri anak didik akan muncul kesadaran bahwa pendidikan itu untuk dirinya, dan bahwa belajar itu adalah hak bukan kewajiban. Pendidikan juga bisa membangun kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, kesadaran kritis bisa membawa angin segar bagi perubahan tatanan sosial yang adil dan menyejahterakan. 

Konsep pendidikan yang membebaskan ini, tentu tak bisa dilepaskan dari seorang pemikir pendidikan kritis asal Brasil, Paulo Freire. Salah satu pemikiran utamanya adalah bahwa pendidikan harus bisa membangun kesadaran untuk memanusiakan manusia. Hal ini berlaku untuk semua termasuk untuk anak-anak yang berasal dari kelompok marjinal dan miskin. Saat ini terdapat sekitar 25 juta orang Indonesia yang dikategorikan sebagai orang miskin.

27

Page 28: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Dari jumlah tersebut, sekitar 10 juta adalah anak-anak usia sekolah. 

Sebagian dari mereka harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga tak jarang terpaksa drop out. Sayangnya banyak program bantuan diberikan dalam bentuk uang dan barang, yang oleh banyak pihak, dianggap relatif lebih “memberikan ikan ketimbang pancing”.

Sebuah contoh yang bisa menjadi inspirasi adalah pendidikan musik bagi anak-anak miskin yang bermukim di kawasan kumuh Caracas, Venezuela. Pendidikan musik dengan nama El Sistema ini dimulai di garasi bawah tanah milik dirigen, komponis, ekonom dan (kemudian juga) politisi José Antonio Antonio Abreu, hampir 40 tahun lalu. 

Tepatnya, pada 1975, Abreu mendirikan orkestra pertama di Venezuela yang anggotanya terdiri atas 12 anak muda kelompok termiskin dari perkampungan kumuh Caracas, ibu kota Venezuela. Sebuah proyek yang kini telah merambah berbagai penjuru bumi, termasuk melahirkan para musisi kelas dunia, seperti Top-Star Conductor, Gustavo Dudamel. 

Saat ini El Sistema, demikian gerakan yang diinisiasi Abreu itu, telah beranggotakan lebih dari 300.000 anak dari keluarga miskin. Proyek yang menjadi gerakan tersebut kemudian menginspirasi berbagai gerakan di negara-negara Amerika Latin, bahkan kemudian juga menginspirasi negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Korea. Sebuah penelitian di AS, misalnya, mencatat terdapat enam program yang terinspirasi oleh El Sistema, lima di antaranya berupa kegiatan “after school“, dan satu sebagai bagian integral kurikulum sekolah. 

Musik dan Anak Pemulung 

Indonesia, sebagai tahap awal, Yayasan Philharmonic Society (YPS) telah melakukan pendidikan musik yang membebaskan bagi ratusan anak-anak pemulung di dua kawasan kumuh di DKI Jakarta. Bantuan dari para guru dan relawan dalam proses seleksi ini, sangat dibutuhkan untuk memahami kondisi (kejiwaan, kesejahteraan, tingkat pendidikan, hobi, bakat seni musik) sebagai bagian dari proses membentuk orkestra pertama anak-anak pemulung, sebagai bagian dari kelompok termiskin di Indonesia. 

Pemeran utamanya adalah Jakarta Philharmonic Orchestra (JPO) sebagai salah satu komponen YPS yang dengan pengalaman dan sumber daya yang dimilikinya, bertanggung jawab terhadap metode, kurikulum, instrumen, dan sebagainya yang berkaitan dengan pendidikan musik dan pembentukan orkestra anak-anak (miskin). JPO, sebelumnya bernama Orkestra Simfoni Jakarta (OSJ), adalah orkestra tertua di Indonesia dengan pengalaman “jatuh-bangun” yang panjang melalui berbagai episode sejarah permusikan di negeri ini. 

Pernah berkembang pesat ketika Bang Ali (Sadikin) menjadi gubernur Jakarta yang kemudian diteruskan pada masa Gubernur Suryadi Soedirdja. Saat ini JPO dipimpin oleh beberapa figur, seperti Neneng Rahardja dan dirigen Yudianto Hinupurwadi. Tujuannya

28

Page 29: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

adalah mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat, dengan cara memberikan pendidikan musik secara cuma-cuma dan menjadi bagian dari orkestra. YPS juga berencana menggabung orkestra yang terdiri atas anak-anak berbagai strata sosial–miskin, menengah dan atas, sebagai langkah integrasi sosial. 

Beberapa prinsip dasar dari pendidikan musik yang membebaskan adalah, intensitas dan frekuensi, aksesibilitas dan kualitas, “passion first“ (gairah, semangat adalah yang pertama), setelah itu baru “precision“ (presisi), dan peleburan diri para anggota dalam kebersamaan orkestra. Terdapat kesepakatan tentang pentingnya memberikan rasa aman bagi para peserta yang berasal dari kelompok marginal. Dibutuhkan lingkungan yang penuh asah, asih, dan asuh, serta pendidikan musik yang murah dan gratis bagi anak dan pemuda dari kelompok termiskin dan berisiko.

Di Jakarta, penampilan awal orkes yang berjumlah 150 anak pemulung di hadapan 1.500 bocah yatim piatu dan tamu undangan dalam acara buka puasa bersama belum lama ini, telah membuat banyak penonton menangis bahagia, serta meningkatkan kepercayaan diri anak-anak yang sehari-hari berkutat dengan sampah. Pendidikan musik yang membebaskan dimaksudkan untuk memberikan “bekal” bagi anak-anak dan remaja dalam upaya– bersama dan secara individu–untuk keluar dari keterkungkungan kemiskinan dan keterpinggiran. 

Dari pengalaman mancanegara, pendidikan musik yang membebaskan bagi anak-anak dan remaja dari komunitas miskin dan terpinggirkan bisa menjadi gerakan yang memberikan kontribusi cukup signifikan bagi pemberantasan kemiskinan, sekaligus meningkatkan (indeks) pembangunan manusia sebuah bangsa. Bagi Indonesia, yang memiliki jumlah orang miskin dan hampir miskin mencapai angka di atas 100 juta jiwa, diperlukan cara yang lebih kreatif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. 

Pendidikan (musik) yang bersifat memandirikan agar membebaskan individu bisa keluar dari kemiskinan dan keterpinggiran adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, jumlah orang miskin yang tergantung pada bantuan akan semakin meningkat, sehingga selain menjadi beban bagi diri sendiri dan masyarakat, juga melemahkan jati diri dan harga diri bangsa. ●

IVAN HADARKetua Dewan Penasihat Yayasan Philharmonic Society (YPS), Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe)  

29

Page 30: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Angklung

Koran SINDO

31 Agustus 2014

Hampir semua orang Indonesia tahu angklung. Sebagian mungkin baru dengar-dengar saja, tetapi jauh lebih banyak yang sudah pernah menonton pertunjukannya (kendati hanya lewat TV), bahkan tidak sedikit yang sudah pernah ikut memainkan alat musik yang sudah kondang di seantero bumi ini. 

Saung Ujo di Bandung adalah salah satu tempat kita bisa belajar main angklung dalam waktu 10-15 menit saja. Saya pernah mengajak seorang teman saya, Dr Roseline Davido, psikolog dari Prancis, untuk berkunjung ke saung (dari bahasa Sunda, artinya: rumah) yang semua orang Bandung tahu itu. Saya pikir, pasti dia senang menonton musik khas daerah, yang alatnya juga sangat unik. Maka dengan mengajak istri saya juga, pergilah kami bertiga ke Bandung dengan tujuan: Saung Ujo (tentu saja sesudah itu kami ajak Roseline untuk menikmati aneka atraksi lain yang sangat menarik di Bandung dan sekitarnya, mulai kuliner sampai pemandangan alamnya). 

Roseline sangat menikmati saung yang juga berfungsi sebagai workshop dan tempat pameran. Layaknya turis lain, ia sibuk mengarahkan kameranya ke berbagai objek seni dan pertunjukan yang digelar di sana. Terutama ketika tiba saatnya sejumlah anak dan remaja memainkan Blue Danube dan beberapa lagu lain yang akrab di telinganya, dengan harmoni yang sangat indah, padahal setiap pemain hanya bisa memainkan dua alat angklung, yang berarti dia hanya bisa memainkan dua not secara bergantian. Namun, hal yang paling membuatnya kagum, adalah ketika ia sendiri, dan semua pengunjung yang lain, dibagi angklung masing-masing sebuah. 

Mula-mula semua membunyikan angklungnya. Nah yang orang Jepang, orang Belanda, orang Prancis (termasuk Roseline), orang Sunda (para turis lokal), orang Jawa (termasuk istri dan saya sendiri), dan orang-orang lain, serempak menggoyangkan angklungnya, sekeras-kerasnya, bahkan ada yang saling adu keras dengan kawannya. Hasilnya adalah hiruk-pikuk luar biasa, bising yang jauh dari musik. Tak lama kemudian, salah satu anaknya Mang Ujo (saya lupa namanya, tetapi beliaulah penerus Mang Ujo) masuk, dan meminta semua hadirin berhenti membunyikan angklungnya. 

Serentak semuanya sunyi senyap. Sesudah itu mulailah anaknya Mang Ujo yang menjadi dirigen (yang dengan gerak-gerik tangannya memimpin sebuah orkes), memberi aba-aba untuk angklung ”do” dibunyikan panjang, sesudah itu ”re” panjang lagi. Dan seterusnya sampai semua nada satu oktaf dibunyikan. Kemudian ”do”, ”mi”, dan ”sol”, dibunyikan

30

Page 31: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

serempak untuk menghasilkan suara accord ”C”, sesudah itu ”do”, ”fa” dan ”la” untuk accord ”F”, ”sol”, ”si” dan ”re” untuk accord ”G”. Mulai kedengaran harmoni yang indah. Roseline sangat senang, begitu juga gerombolan turis cewek Jepang yang tampangnya seragam, semua mirip girlband Cherry Belle. 

Sesudah itu baru mulai memainkan lagu-lagu. Dirigen terampil sekali mengarahkan lebih dari seratus orang untuk tetap dalam harmoni. Apalagi di depan dipasang kain besar bertuliskan lagu dan partitur musiknya sehingga peserta lebih mudah mengikuti arahan dirigen. Selepas acara, saya tanya kepada Roseline, bagaimana kesannya. Jawabnya sangat antusias, dia senang sekali sudah bisa ikut memainkan lagu-lagu yang indah itu walaupun memegang hanya satu not. 

***

Jika seni musik pada umumnya, dan seni angklung pada khususnya, bisa menyenangkan semua partisipan, sejauh masing-masing menyimak dan mengikuti arahan dirigen, lain halnya dengan seni rupa. Seni rupa (seni lukis, seni patung, kaligrafi, seni kerajinan) dibuat sendiri oleh senimannya dan ditawarkan kepada publik. Ada yang senang, bahkan senang sekali sehingga mau membelinya dengan harga yang mahal. Namun, ada juga orang yang tidak senang, malah menganggap seni rupa karya orang lain adalah seni jiplakan atau seni murahan, atau bahkan bukan seni sama sekali. Demikian pula kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. 

Ibarat musik angklung, setiap warga negara hanya memainkan satu atau dua peran, pekerjaan atau profesi. Namun, kalau masing-masing peran, pekerjaan atau profesi itu dijalankan bersama-sama dalam satu perpaduan yang harmonis, di bawah pemimpin bangsa yang hebat, maka bangsa ini akan menghasilkan karya yang adiluhung. Jika sektor industri, distribusi, birokrasi, pendidikan, sarana dan prasarana, dan berbagai sektor lain di Indonesia, misalnya, bisa bersinergi bagaikan musik angklung, maka kita akan menjadi negara besar yang disegani dunia yang rakyatnya bukan hanya sejahtera, juga bahagia karena merasa telah ikut berpartisipasi, seperti halnya Roseline yang bahagia sekali karena telah ikut memainkan satu not dalam konser angklung indah yang barusan dimainkan. Sebaliknya kalau negara ini dipimpin dengan gaya mau menang sendiri, merasa diri masing-masing adalah yang paling pintar, dan paling benar, maka sebentar saja bangsa ini akan terkoyak-koyak, pecah belah, entah karena faktor suku, agama, rasialisme ataupun antargolongan politik.

Sekarang, bagaimana dengan masa depan Indonesia pasca-Pilpres 2014? Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memenangkan Jokowi dan JK.  Mudah-mudahan presiden dan wakil presiden terpilih ini bisa memainkan perannya sebagai pemimpin bangsa yang bergaya dirigen musik angklung, tetapi para elite politik bangsa ini masih ada saja yang ingin main sendiri-sendiri dan tidak peduli kepada ”dirigen” Jokowi-JK. Bukan hanya yang tadinya berasal dari kubu yang berseberangan, melainkan juga dari para pendukung dan relawan Jokowi-JK sendiri. Sebagian dari mereka ada yang belum puas kalau ide-idenya, gagasannya, atau sarannya belum diterima pimpinan baru bangsa ini

31

Page 32: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

yang dulu mati-matian dibelanya. Mereka berlomba-lomba untuk masuk ke ring 1-nya Jokowi dan JK. Malah ada yang berambisi untuk jadi menteri. Mereka pikir, merekalah yang lebih baik daripada relawan yang lain sehingga tanpa keterlibatan mereka, Jokowi dan JK akan gagal.

Mudah-mudahan Jokowi-JK bisa mengendalikan para pemain yang mau main sendiri-sendiri ini. Kalau tidak, jangan harap akan terjadi harmoni bangsa seindah harmoni musik angklung versi Mang Ujo.

SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

32

Page 33: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kalah-Menang Terhormat

Koran SINDO

2 September 2014

Hidup bukan sekadar perkara kalah-menang. Juga bukan hanya urusan takut-berani. Kaum muda remaja mungkin boleh berpikir seperti itu. 

Mereka boleh menjadikan takut-berani dan kalah-menang itu sebagai parameter kehidupannya, tetapi orang dewasa tidak. Kompetisi dalam hidup, pengembangan karier, dan pertarungan politik ukurannya memang kalah-menang itu. Tapi bagi mereka yang menjadikan hidupnya sebagai ”proyek” pematangan diri, kecanggihan berpikir filosofis tentang keharusan untuk adil dan benar, jujur dan manusiawi, kalah-menang dalam pertarungan apapun, tidak menjadi masalah. 

Ada yang sedih jika kalah. Ada yang gembira dan bangga jika menang. Itu layak dan manusiawi. Tapi bagi mereka, kalah bukan akhir segalanya. Dan, pihak yang menang bukan berarti telah mencapai puncak dari segenap puncak prestasi hidup. Kalah-menang hanya konsekuensi wajar dari tiap jenis permainan. Di sana tak ada konsep kalah bersama, atau menang bersama, kecuali gagasan aneh yang pernah disampaikan Bardosono pada 1980-an dalam dunia sepak bola. Tak mengherankan bila Bardosono pun kemudian menjadi sasaran kritik pedas dalam masyarakat.

Orang bijak meninggalkan pesan bijak pula: bila takut terkena badai, jangan berubah di tepi pantai. Ini petuah. tentang kewajaran hidup. Di pantai selalu berangin kencang. Dan, kemungkinan-kemungkinan tak menyenangkan itu dan segenap kewajarannya sudah terkalkulasi. Angin segar kita terima dengan rasa syukur. Kita jadi sehat. Tapi badai yang bisa meluluhlantakkan segala yang di sana juga harus diterima sebagai kewajaran alam. 

Lagi pula, bukankah sudah kita perhitungkan? Tak mungkin, dan tak bakal terjadi dalam sejarah bumi, yang hanya sekeping ini, jika pantai hanya menawarkan kesegaran. Tidak mungkin. Badai selalu ada. Begitu pula kewajaran politik dalam tiap kompetisi, pertandingan dan segala jenis ujian tentang kompetensi teknis yang kita miliki. Di sana, sayang sekali, harus ada ukuran tentang siapa yang lebih unggul, dan menang. Sebaliknya, selalu ada temuan tentang yang kurang unggul, dan ditempatkan di dalam kotak yang ”kalah”. 

Betapa wajarnya perkara kalah-menang dalam hidup kita. Di sini lalu bisa lahir sejenis petuah bijak, bagi yang tak siap kalah, dan tak bisa menerima kekalahan, sebaiknya jangan pernah mencoba memasuki gelanggang pertandingan, kompetisi dan berbagai jenis pertempuran untuk menguji tingkat kompetensi kita. Ini solusi paling damai. Pihak yang menang pun bisa hancur jika dia tak bisa menghayati arti kemenangannya. 

33

Page 34: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Pemenang yang kemudian sombong, dan merasa paling mumpuni, tak lama akan menjadi pihak yang kalah, dan bisa kalah total dalam arti sebenarnya. Jika pemenang bersikap ”menang tanpa ngasorake”, jelas bisa menjadi pemenang yang baik. Jika sang pemenang bisa bersikap ”the winner takes nothing ”, dia pemenang yang baik. Syukur kemudian bersahabat dengan yang kalah. Dan pihak yang kalah pun tak merasa jari kakinya diinjak oleh yang menang. 

Dengan begitu, wawasan keduanya serupa: kalah-menang itu perkara wajar. Pemenang tidak lalu merasa dirinya unggul seperti dewa-dewa. Dan yang kalah pun bukan sisa-sisa yang terbuang. Lebih-lebih bila yang menang itu menjadi pemenang karena semata memang punya kelebihan dan jujur sejujur-jujurnya. Ini pemenang sejati yang kita dambakan. Dan, ini pribadi yang kita cari. Menang dengan baik, tanpa melukai nilai kejujuran, tidak mudah.

Godaan dalam hidup banyak sekali. Jarang orang bisa melewatkan godaan secara mulus. Kita tahu, Puntadewa, raja Amarta, itu orang jujur sejujur-jujurnya. Dia ukuran dan sekaligus simbol kejujuran. Tak ada yang mampu melebihi kejujurannya. Dia pun manusia bijak tanpa tandingan. Tapi dalam perang besar yang disebut Bharatayudha, dia pernah tergoda bujukan untuk menomorsatukan kemenangan biarpun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Ini akibat bujukan Kresna yang bertubi-tubi menggodanya. Kresna meminta dia untuk mengatakan Aswatama mati, biarpun sebenarnya Aswatama belum mati. 

Dia mengatakannya dengan pelan, dan menyebut nama gajah yang mati dalam perang, yang namanya Estitama. Dia menyebutkan nama itu di bawah pengaruh Kresna untuk membuat Durna bingung. Dan benar, akibat ucapannya itu Durna memang menjadi bingung. Kereta orang jujur ini berada sejengkal di atas tanah. Roda keretanya tak menyentuh tanah seperti roda kereta raja-raja biasa. Lalu apa akibatnya bagi orang yang menjadi simbol kejujuran itu? Parah sekali. Dan dahsyat. 

Biasanya, tiap naik kereta kerajaannya, roda keretanya sejengkal mengambang di atas tanah. Pendeknya, roda-roda keretanya tak menyentuh tanah. Sekarang, sesudah dia dianggap menodai kejujuran, roda-roda keretanya kini menjadi kereta biasa, yang menyentuh tanah dan kotor. Orang jujur, yang menjadi ikon kejujuran ini pernah berbuat tidak jujur. Dia dipermalukan para dewa. Sekali lagi, bila dulu roda-roda kereta sejengkal mengambang di atas tanah, kini tidak lagi. Kini dia dianggap sama dengan orang biasa. Dia malu.

Bisakah kita menjadi lain, dan tak sama dengan Puntadewa? Mungkin berat urusan kita. Puntadewa terlalu mulia. Tapi sekadar menjadi pihak yang kalah tanpa merasa terbuang, kita bisa. Menjadi pemenang yang bersikap ”menang tanpa ngasorake ” atau ”the winner takes nothing ” kayaknya tak begitu sulit. Dengan begitu menang-kalah tetap terhormat. Ini seharusnya menjadi warna kehidupan kita. Juga kehidupan dalam politik. 

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

34

Page 35: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:[email protected] 

35

Page 36: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Refleksi Rasa Malu dan Rasa Bersalah

Koran SINDO

3 September 2014

” ...sepanjang pasien meyakini bahwa rasa bersalah adalah ketololan, maka ia tidak akan pernah merasa bersalah. Ia hanya akan merasa ‘sakit’.” (Freud, 1923) 

Hakikinya, manusia adalah makhluk baik nan mulia. Namun, manusia adalah gudangnya alpa. Jadi ibarat bandul, sepanjang umurnya, seluruh manusia selalu berayun-ayun antara kutub kebaikan dan kutub keburukan.

Perbedaannya tatkala sama-sama berbuat keburukan, sensasi hati dua manusia bisa berlainan. Ada yang diterjang perasaan malu, ada pula yang ditikam perasaan bersalah. Rasa malu dan rasa bersalah beda-beda tipis. Malu muncul ketika seorang individu membayangkan bagaimana individu-individu lain memandang ke arah dirinya akibat perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Sementara rasa bersalah timbul manakala seorang individu membayangkan betapa tindak-tanduk buruknya telah menyakiti pihak lain. 

Orang yang didera rasa malu lebih hirau pada dirinya sendiri. Jadi wajar jika reaksinya cenderung defensif. Alih-alih mengoreksi kesalahannya serta mengatasi akibatnya terhadap orang lain, orang yang merasa malu lebih terdorong untuk mencari jalan guna menutup-nutupi kekeliruannya. Berbeda dengan perasaan bersalah; ini menjadi pijakan bagi individu untuk menemukan penawar atas kepahitan yang telah diakibatkannya terhadap pihak lain.

Orang malu, kendati dalam hatinya mengaku bersalah, malah bisa marah-marah. Dia tak terima dituding. Itulah rasa ”sakit” yang Freud maksud sebagaimana kutipan di awal tulisan ini. Dan itu artinya, orang tersebut menolak memikul tanggung jawab atas kelakuan tak semenggahnya. Kalau bisa, ia ujung-ujungnya malah bisa mendesak pihak yang disakiti untuk meminta maaf. Sementara orang bersalah, walau di dalam hatinya juga ada endapan perasaan malu, lebih jujur untuk mengakui kekeliruannya. Ia tanggung risiko atas kealpaannya itu. Ia, di hilirnya, meminta maaf kepada pihak yang telah dirugikan. 

***

Baik perasaan malu maupun perasaan bersalah, keduanya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan karakter. Perasaan bersalah menjadi sasaran yang ingin dibentuk lewat pendidikan etika, standar perilaku, akhlak, dan sejenisnya. Unsur preventif terlihat dominan di situ. Unit pendidikan dan pelatihan yang memberi porsi besar pada pengajaran etika dan tata perilaku, merupakan ujung tombak dalam program pengembangan diri individu. 

36

Page 37: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Orang-orang yang dianggap masih bersih adalah target binaan unit tersebut. Dengan pendekatan sedemikian rupa, adalah individu itu sendiri yang berkedudukan sebagai penentu dilakukan maupun tidak dilakukannya sesuatu. Dapat dinalar, individu tersebut nantinya mempunyai ketangguhan lebih kuat untuk menangkal dorongan-dorongan jahat.

Perasaan malu, ketika dijadikan sebagai target pengembangan diri, dibangun lewat cara penghukuman. Penindakan atau pendekatan represif lebih kental di dalamnya. Unit penghukum berperan sebagai jangkar pembinaan individu. Orang-orang yang dinilai bersalah adalah kelompok yang disasar unit tersebut. Karena kesadaran bukan isu sentral di dalam desain tersebut, eksesnya adalah individu malah bisa terkondisikan (terlatih) untuk mempercanggih kelakuan salahnya semata-mata agar tidak diketahui pihak lain. 

Mempertajam rasa malu butuh pendekatan lebih instan daripada mengasah rasa bersalah. Itu karena rasa malu lebih dekat dengan kodrat berpikir manusia saat menyikapi dunianya, yakni pada saat berada dalam situasi yang positif, manusia akan cenderung mengklaim dirinya sebagai penyebab situasi tersebut. Sebaliknya, ketika masuk dalam keadaan yang negatif, ia akan menuding pihak lain sebagai penyebab keadaan tersebut. Aku harus selalu dibenarkan, dan kalian harus senantiasa disalahkan. 

Mengapa rasa malu lebih kuat menempel dalam jiwa manusia, boleh jadi karena perasaan itu sudah lebih dahulu muncul, yakni saat individu berusia sekitar lima belas bulan. Perasaan bersalah menyusul belakangan, yaitu tatkala individu menginjak usia tiga tahunan. Buruk muka cermin dibelah, kata pepatah lama tentang rasa malu. Ragam pertahanan diri semacam itu disebut sebagai bias atribusi, yaitu kesesatan pikir yang menjangkiti hati hampir setiap umat manusia. 

Memberantasnya susah luar biasa, karena sudah menjadi sifat bawaan bahwa manusia suka dielu-elukan dan benci menjadi objek kecaman. Boleh jadi itulah penjelasan mengapa penjahat semacam koruptor menutup wajah mereka saat digelandang ke KPK, namun kemudian tersenyum lebar setelah majelis hakim mengetuk palu tanda akhir persidangan. Vonis bersalah yang hakim jatuhkan tetap tidak mampu menstimulasi terbitnya perasaan bersalah. Dewi Justisia hanya mengaktifkan perasaan malu para cecunguk, sehingga ketika mereka sudah terbiasa menjadi sorotan publik, rasa malu pun pupus. 

***

Ulasan tentang perbedaan antara rasa malu dan rasa bersalah menjadi relevan untuk menyoroti pertikaian antara Kapolri Jenderal Sutarman dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Profesor Adrianus Meliala. Siapa yang tergerak oleh perasaan malu dan siapa pula yang terlecut oleh perasaan bersalah, hanya mereka berdua dan–tentunya– Allah yang tahu. Dari pengamatan eksternal, khalayak yang aktif mencermati Polri bisa jadi akan menyebut reaksi Jenderal Sutarman sebagai ekspresi perasaan malu yang lantas dikompensasikan dengan reaksi keras ke arah Profesor Adrianus. 

37

Page 38: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Siapa yang tahu bahwa bisa saja Jenderal Sutarman di ruangan kerjanya justru murka terhadap para bawahannya. Reaksi itu kemudian diikuti dengan ultimatum kepada seluruh jajaran korps Tribrata untuk memastikan bahwa Polri di bawah kepemimpinannya tidak pernah menjadikan unit reserse dan kriminal sebagai mesin uang para petinggi Polri. Jika itu yang terjadi di Markas Besar Polri, sahlah bahwa Jenderal Sutarman sesungguhnya juga merasa bersalah apabila kritik tajam Profesor Adrianus diabaikan. 

Perasaan bersalah yang langsung diikuti aksi berbenah. Begitu pula dengan Profesor Adrianus. Sebagai ekspresi perasaan bersalah, ia akhirnya secara terbuka meminta maaf kepada institusi Polri. Namun, siapa yang tahu bahwa di balik ungkapan bersalah itu barangkali juga terselip perasaan malu. Malu karena telah sekian kali formasi komisioner Kompolnas berganti, namun tetap belum signifikan perannya bagi perbaikan lembaga Polri. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIELPsikolog Forensik, Peserta Community Policing Development Program di Jepang, Penulis buku ”Polisi [Bukan] Manusia”

38

Page 39: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kampus dan Deradikalisasi

Koran SINDO

3 September 2014

Awalnya banyak pihak menduga bahwa pemberitaan tentang Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) merupakan pengalihan perhatian umat terhadap serangan Israel ke Palestina. 

Dugaan itu dapat dimaklumi karena berita media cetak dan elektronik tentang pembantaian warga sipil di Gaza, Palestina oleh pasukan Israel telah mengundang perhatian dunia. Namun, dugaan itu berubah seiring dengan semakin terkuaknya ISIS sebagai gerakan politik yang radikal. ISIS memang lebih tepat disebut gerakan politik, karena konteks kelahirannya merupakan reaksi terhadap situasi sosial politik di Irak dan Suriah. 

Sebagai gerakan politik yang mengatasnamakan Islam untuk merebut kekuasaan di Irak dan Suriah, ISIS tampak sangat cerdik tatkala mengampanyekan wacana negara Islam, khilafah, dan semangat anti Barat. Dampaknya, kelompok-kelompok fundamental yang sudah sekian lama bercita-cita mendirikan negara Islam menjadi terpesona. Karena itulah, kita harus memosisikan ISIS sebagai gerakan politik, bukan gerakan Islam. 

Apalagi dalam mencapai tujuannya, ISIS telah menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara radikal yang dibumbui dengan spirit jihad. Padahal, substansi ajaran jihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan sebagaimana diperintahkan syariat. Bahkan tokoh Muhammadiyah, Buya AR Sutan Mansur, memaknai jihad dalam arti bekerja dengan sepenuh hati. Perspektif ini penting dikembangkan karena sama sekali tidak mengaitkan jihad dengan perang. 

***

Dalam banyak kasus radikalisme bernuansa agama di Tanah Air, jelas sekali kaum muda selalu menjadi sasaran kaderisasi. Gembong ISIS dan terduga teroris asal Surabaya, Saifuddin Umar alias Abu Fida, mengakui sangat aktif merekrut kader-kader muda terutama dari kampus. Kaum muda yang sedang menuntut ilmu di kampus sengaja disasar karena mereka umumnya masih dalam proses menemukan jati dirinya (becoming). Di tengah proses ”menjadi” itulah, mereka sering kali terpesona dengan ideologi politik yang dikemas dengan simbol-simbol keislaman. 

Karena kampus telah menjadi sasaran kelompok radikalis, sivitas perguruan tinggi (PT) harus waspada. Pimpinan PT harus menyelamatkan mahasiswanya dengan menanamkan pendidikan tentang nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Langkah ini penting karena ada peningkatan radikalisme di PT, seperti ditunjukkan dalam berbagai kasus tawuran antarmahasiswa, demonstrasi anarkistis, serta keterlibatan sebagian mahasiswa dalam

39

Page 40: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

jaringan terorisme, Negara Islam Indonesia (NII), dan ISIS. 

Untuk mencegah penyebaran virus radikalisme di kalangan kaum muda, terutama yang ada di kampus, mahasiswa harus diajak untuk mempelajari nilai-nilai kewarganegaraan. Tentu tidak hanya berhenti pada aspek pengetahuan (civic knowledge), mahasiswa harus didorong untuk mengaktualisasikan pengetahuan mengenai civic values hingga mewujud dalam sikap dan watak (civic disposition), serta perilaku keseharian (civic skill). Melalui cara itulah, nilai-nilai kewarganegaraan menjelma menjadi budaya dalam kehidupan kaum muda di kampus. 

Agar nilai-nilai kewarganegaraan menjadi budaya, dibutuhkan ”gerakan” dari seluruh sivitas. Langkah selanjutnya adalah mendorong mahasiswa terlibat aktif dalam program deradikalisasi. Setiap mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendidik untuk teman sebayanya (peer teaching), terkait dengan persoalan radikalisme. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa sesungguhnya kaum muda (pelajar dan mahasiswa) selalu berperan dalam berbagai peristiwa yang menentukan perjalanan bangsa. 

Itu dapat diamati dari berbagai peristiwa bersejarah yang menunjukkan peranan kaum muda sebagai pendorong perubahan, seperti Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), dan reformasi (1998). Kiprah kaum muda tersebut menunjukkan bahwa mereka sejatinya memiliki kultur keilmuan dan keterampilan berorganisasi yang hebat. 

Mahasiswa seharusnya meneladani figur-figur penting yang berpengaruh dalam dunia pergerakan, diantaranya Ahmad Wahib, seorang mahasiswa yang terus bergulat dalam pencarian jati dirinya. Melalui pergulatannya itulah lahir karya monumental; Pergolakan Pemikiran Islam (1981). Juga ada Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang mewacanakan ”Islam Yes, Partai Islam No”. Gagasan itu merupakan bagian dari cita-cita besar Cak Nur untuk menyegarkan paham keagamaan umat. Pernyataan Cak Nur itu sekaligus menjadi kritik terhadap perilaku politisi muslim yang terhimpun dalam partai-partai Islam. 

***

Kiprah Ahmad Wahib dan Cak Nur dapat menjadi inspirasi mahasiswa untuk mendialogkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Untuk itulah, mahasiswa perlu terlibat dalam program deradikalisasi di kampus. Pelibatan mahasiswa dapat dimulai dengan mengajak mereka mewacanakan tema-tema yang berkaitan dengan civic values, seperti Pancasila, demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme. 

Tema demokrasi menarik dibahas terutama dalam kaitan dengan ajaran Islam dan Pancasila. Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi harus dipahami sebagai perwujudan ajaran Islam tentang musyawarah (syura). Karena itu, praktik demokrasi dengan segala kekurangannya harus terus disemai. Sementara pluralisme dan multikulturalisme, juga penting karena berkaitan dengan komitmen bangsa untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Dalam pernyataan penuh hikmah dikatakan bahwa perbedaan di kalangan umat (yang

40

Page 41: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

terdidik) adalah rahmat. 

Kita juga sering mendengar slogan yang menyatakan bahwa perbedaan itu indah. Meski realitas bangsa menunjukkan ”ber-Bineka”, namun harus tetap ”Tunggal Ika”. Itu berarti perbedaan seharusnya tidak menghalangi kita untuk bersatu sehingga kehidupan terasa penuh rahmat dan indah. Dalam konteks program deradikalisasi di kampus itulah, mahasiswa dapat menjadi pelopor dialog lintas etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. 

Dialog tidak harus dipahami secara formal, melainkan juga dialog-dialog informal melalui pentas seni, budaya, musik, teater, dan olahraga. Melalui perjumpaan-perjumpaan informal itu, orang akan melupakan status sosial, etnis, budaya, dan agama, yang dalam situasi formal dapat menjadi jarak yang membedakan antar individu.

Kini tugas mahasiswa adalah memperbanyak perjumpaan informal demi terwujudnya generasi masa depan bangsa yang terbuka, sehingga tidak mudah terpesona dengan ideologi baru yang radikalis, militan, dan intoleran.

BIYANTODosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Kelahiran Indonesia Sehat41

Page 42: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Koran SINDO

3 September 2014

Ketika sejumlah kalangan mengkritik ide Kartu Indonesia Sehat dari presiden terpilih Joko Widodo, saya justru merasa bersyukur bahwa akhirnya isu kesehatan mendapatkan perhatian besar dari seorang kepala negara. Selama 15 tahun era Reformasi, baru kali ini secara spesifik disebutkan bahwa seluruh warga negara Indonesia berhak memperoleh akses yang sama atas pelayanan kesehatan yang bermutu.

Selain itu, disebutkan juga bahwa warga negara Indonesia harus punya cara pikir yang berbeda tentang kesehatan, yakni untuk mengikuti pola hidup sehat. Cara berpikir seperti itu, menurut hemat saya, sangat tepat untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kebijakan publik. Indonesia yang sehat tidak bisa sepenuhnya bergantung pada kehebatan pemerintah memperbaiki sistem pelayanan kesehatan atau menyediakan asuransi kesehatan. 

Ada komponen tanggung jawab dari masyarakat yang bergerak untuk sadar dalam menjaga kesehatan lingkungan dan mengembangkan pola hidup sehat dalam keluarga, di mana pun mereka berada. Perlu digarisbawahi bahwa hal ini merupakan hal mendesak yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dibandingkan negara-negara lain di dunia, kinerja indikator kesehatan Indonesia selama 10 tahun lalu merosot di bawah rata-rata kinerja dunia dan Asia Timur. Meskipun ada sejumlah peningkatan belanja negara untuk bidang kesehatan, totalnya tidak lebih dari 2,72% PDB (produk domestik bruto). 

Ini sangat jauh di bawah syarat minimal World Health Organization (WHO) di mana negara yang sehat membutuhkan minimal alokasi dana 5% dari PDB untuk belanja bidang kesehatan. Bayangkan bahwa Thailand, Filipina, bahkan Timor Leste dan Vietnam mengalokasikan anggaran lebih tinggi dibandingkan Indonesia, masing-masing 4,06%, 4,07%, 5,07%, dan 6,81%. Repotnya, dana yang minim tersebut lebih banyak habis untuk belanja barang dan pegawai yang merupakan hal rutin belaka.

Saya pinjam pernyataan seorang praktisi senior bidang kesehatan yang juga merupakan generasi pertama pakar ekonomi bidang kesehatan, Prof Ascobat Gani. Menurutnya, terlalu lama Indonesia sekadar bicara program kesehatan apa yang harus dibuat, tetapi luput melihat bahwa sistem kesehatan di Indonesia sendiri sebenarnya tidak memadai untuk menjalankan program-program yang diusulkan dari sana-sini. Ibaratnya punya mobil, kita sibuk melihat apa saja yang harus diangkut oleh kendaraan tersebut, tetapi lalai memperbaiki kondisi mesin dan fisik mobil. 

Berapa pun uang yang digelontorkan, jika kendaraannya sudah usang, hasil capaiannya pun mustahil optimal. Pola penggunaan dana untuk belanja kesehatan di Indonesia melanggengkan penggerogotan sistem kesehatan yang adil. Pertama-tama mengenai

42

Page 43: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

ketersediaan fasilitas kesehatan. Ketika sistem asuransi kesehatan semesta dioperasikan per 1 Januari 2014, lembaga operasionalnya, yakni BPJS Kesehatan, tidak punya kendali atas ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai, apalagi di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. 

Hal itu menjadi tugas Kementerian Kesehatan karena anggarannya disalurkan ke sana, tetapi karena dananya kecil, yang dibangun sebatas fasilitas fisik tanpa jumlah tempat tidur yang cukup dan tenaga kesehatan yang memadai, bahkan sering kali tanpa kelengkapan alat kesehatan dan lab. Jumlah tempat tidur per 1.000 orang di Indonesia hanyalah 0,6, lebih rendah daripada di Kamboja (0,840) atau Laos (0,720). Jangankan bicara kelengkapan sebuah rumah sakit. Untuk tingkat puskesmas saja dari total 9.599 puskesmas di negara ini, ada sekitar 930 puskesmas yang tidak punya dokter umum. 

Rasio dokter umum per 100.000 penduduk hanya 48 orang, sementara untuk dokter spesialis hanya 12 orang. Bagi yang mengalami kecelakaan serius atau penyakit kronis, keselamatan nyawa mereka tidak terjamin karena dokter-dokter spesialis bergerombol di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa saja, sementara se-Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya ada 1 dokter spesialis anestesi (bius) dan tidak ada satu pun ahli bedah tulang. 

Dokter anak di seluruh Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Papua, Bengkulu, Maluku, Gorontalo, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara hanya di kisaran 12-16 orang, sementara hanya ada 5 dokter anak di Sulawesi Barat. Dari data tahun 2008 yang dikutip Meliala & Trisnantoro (2014), kemampuan Indonesia menghasilkan dokter, perawat, dan bidan per 100.000 penduduk hanya 2 dokter, 15 perawat, dan 4 bidan.

Dari segi ketersediaan alat kesehatan dan obat yang terjangkau, Indonesia masih terbebani pajak berlapis-lapis. Bila impor barang tambang bisa bebas dari bea cukai, untuk alat kesehatan dan obat kanker justru kena pajak bea barang mewah. Sementara itu di kalangan masyarakat menengah ke bawah, pendapatan bulanan mereka pertama-tama dipakai untuk konsumsi rokok dan pulsa, setelah itu baru untuk belanja pangan dan pendidikan. Ketika masyarakat disadarkan bahwa punya kartu asuransi kesehatan adalah perlu dan negara akan menanggung biaya bagi yang tidak mampu, ada problem di sisi pemahaman soal asuransi kesehatan. 

Pengguna sekadar menuntut dapat kemudahan pelayanan, bahkan bila perlu gratis, tetapi tidak paham bahwa asuransi sosial hanya bisa berlangsung jika jumlah orang yang sehat dan ikut asuransi lebih banyak daripada jumlah orang yang sakit. Jika peserta asuransi adalah orang-orang sakit saja, apalagi yang menderita penyakit kronis, kemampuan keuangan negara akan terlampau berat; sama seperti ribut-ribut seputar subsidi BBM belakangan ini. ●

DINNA WISNU, PhD

43

Page 44: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

44

Page 45: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Ijazah Sama, Kualitas Berbeda

Koran SINDO

5 September 2014

Setiap menghadiri wisuda sarjana selalu muncul pertanyaan dalam benakku, faktor apa saja yang membedakan kualitas mereka sekalipun mereka menerima ijazah dan mengenakan toga yang sama?  Belasan kali saya mewisuda sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selalu meninggalkan kesan serta kenangan yang sulit terlupakan. Yang pertama, mayoritas wisudawan/wati terbaik adalah perempuan. Bahkan pernah sarjana kedokteran terbaik adalah perempuan dan seorang hafizah (penghafal Alquran) sebanyak 30 juz. Secara psikologis, perempuan memang memiliki bakat lebih telaten, konservatif dan hati-hati serta sanggup membaca dan menghafal hal yang sama secara berulang-ulang. Fenomena ini akan mudah dilihat dalam aktivitas pengasuhan. 

Seorang ibu dengan sabar melakukan hal-hal yang sama secara berulang-ulang untuk melayani dan mendampingi anak-anaknya, satu hal yang sulit dilakukan seorang ayah. Faktor lain, di samping kecerdasan, adalah motivasi untuk menunjukkan bahwa perempuan mampu bersaing dengan mahasiswa laki-laki. Ketika memperoleh kesempatan yang sama, ternyata laki-laki dan perempuan sama saja kualitasnya dalam bidang keilmuan.

Lalu ada lagi yang kerap mengejutkan dan membuat haru, yaitu mereka yang prestasinya bagus itu datang dari keluarga miskin. Mereka kuliah sambil bekerja, seperti mengajar privat atau mereka sebagai mahasiswa penerima-penerima beasiswa. Beberapa dokter terbaik alumni UIN Jakarta berasal dari pesantren, datang dari keluarga miskin, namun memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga ketika memperoleh beasiswa penuh dan kesempatan belajar, kesempatan emas itu dimanfaatkan secara optimal.  

Dan ini tidak saja terbatas pada program studi kedokteran, tetapi juga program-program studi pada fakultas lain. Jadi, faktor motivasi belajar untuk meraih prestasi sangat signifikan pengaruhnya bagi seseorang. Keinginan kuat untuk menjadi anak yang membanggakan orang tua dan mampu memperbaiki nasib keluarganya juga menjadi pendorong yang sangat berpengaruh bagi sarjana yang datang dari keluarga kurang mampu.

Namun, ada juga fenomena lain, yaitu mahasiswa yang memiliki kecenderungan jadi aktivis sosial. Mereka kurang fokus pada kuliah karena waktu dan perhatiannya terbelah untuk mengikuti kegiatan sosial, pengembangan bakat, dan organisasi intra ataupun ekstra universitas. Grup band Wali yang terkenal itu adalah alumni UIN Jakarta, di antaranya ada yang belum sarjana. Bagi mahasiswa yang senang pada kegiatan yang bernuansa politik akan

45

Page 46: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

selalu rajin jika ada acara-acara diskusi atau demonstrasi. Mereka rela meninggalkan kuliah. Karenanya, mahasiswa tipe ini indeks prestasi kumulatifnya sedang-sedang saja, namun paling lama menghabiskan waktu di kampus.  Tetapi perlu juga dicatat, ada saja aktivis yang sekaligus juga prestasi akademisnya bagus. Mereka punya potensi jadi aktivis-intelektual atau intelektual-aktivis.

Demikianlah, ketika tiba hari wisuda, mereka mengenakan toga sama, ijazah sama, tetapi kualitas dan minatnya berbeda-beda. Ini sangat tergantung bagaimana memanfaatkan fasilitas umur dan kampus untuk mengakumulasi ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, salah satu peran kampus adalah tempat menyemai calon-calon pemimpin bangsa dengan modal ilmu pengetahuan dan karakter serta kemampuan berkomunikasi sosial. 

Orang pintar tetapi minus integritas bisa membahayakan dirinya dan orang lain. Orang bermoral baik tetapi bodoh juga tidak produktif hidupnya. Seorang sarjana yang pintar, baik moralnya, namun tidak memiliki keterampilan berkomunikasi juga repot mengembangkan kariernya sebagai seorang pemimpin. Ada sarjana yang bingung setelah diwisuda. Bingung dan gamang memasuki tantangan baru. Ada yang optimistis dan mantap melangkah ke episode kehidupan selanjutnya karena merasa mampu dan yakin dengan bekal yang telah dipersiapkannya. Padahal, mereka sama-sama memiliki jatah waktu 24 jam sehari-semalam.  

Mereka sama-sama menjalani kehidupan mahasiswa selama empat atau lima tahun. Saya memiliki data cukup akurat seputar kehidupan mahasiswa dan sarjana, antara yang bermutu dan kurang bermutu. Lagi-lagi, faktor motivasi, imajinasi masa depan, dan kemampuan pengendalian diri yang akan menentukan kualitas seorang sarjana. Ijazah dan titel boleh sama, tetapi nasib dan prestasi berbeda.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat 

46

Page 47: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kitab Kuning dan Tantangan Radikalisme

Koran SINDO

5 September 2014

Islam di Indonesia kini dihadapkan pada situasi pelik dan mengkhawatirkan. Aksi kekerasan dan terorisme yang dimotori sebagian kelompok Islam masih menjadi permasalahan serius. 

Ironisnya, setelah sekian lama kita disibukkan dengan fenomena gerakan dan jaringan terorisme, kini kita juga disibukkan oleh fenomena gerakan kekhalifahan Islam yang mengancam kedaulatan bangsa seperti yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Padahal, Indonesia adalah yang dikenal memiliki paham keagamaan yang toleran sejak berabad-abad lalu. 

Paham keagamaan yang lama dibentuk oleh para ulama pesantren kini mulai terkoyak oleh paham baru yang berasal dari Timur Tengah. Paham keagamaan masyarakat pun mulai bergeser ke arah yang militan dan radikal. Fenomena ini telah menjadi tantangan baru bagi masyarakat Islam yang memiliki paham keagamaan moderat. 

Dari Moderat ke Radikal 

Maraknya aksi radikalisme dan terorisme di Tanah Air sejatinya bentuk dari perubahan gerakan Islam di Indonesia. Muslim Indonesia yang dulunya dikenal sebagai muslim yang toleran, moderat, dan damai, sekarang ini telah berubah menjadi radikal dan militan. Ini terlihat dari aksi kekerasan dan terorisme yang menghiasi gerakan Islam di Indonesia. Tak henti-hentinya Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri menangkap para pelaku terorisme. Kini situasi bertambah sulit seiring perkembangan gerakan Islam. 

Radikalisme di Indonesia telah bertransformasi dalam sejumlah gerakan. Radikalisme tidak hanya bertransformasi ke dalam gerakan terorisme, tetapi juga telah mengarah pada gerakan radikal yang berorientasi pada kekhalifahan Islam. Sebut saja ISIS yang berhasil merebut sejumlah kota dengan jalan kekerasan. Setelah ISIS mulai berkembang di Tanah Air, perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia pun bermunculan. Pemerintah dengan cepat melarang gerakan ISIS berkembang di Tanah Air. Masyarakat pun ramai-ramai menolak gerakan ISIS. 

Baru saja muncul di ruang publik, ISIS langsung dilarang dan ditolak oleh pemerintah dan masyarakat. Fenomena berkembang gerakan radikalisme ini semakin mengukuhkan pandangan sebagian besar orang betapa gerakan transnasional Islam mudah masuk ke dalam wilayah Indonesia. Tampaknya, Indonesia tempat yang subur bagi perkembangan gerakan Islam transnasional. Masyarakat muslim Indonesia mudah sekali terpengaruh oleh gerakan

47

Page 48: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Islam yang datang dari Timur Tengah. Tak heran jika ISIS di Indonesia mudah menyebar ke sejumlah wilayah di Tanah Air. 

Kecenderungan ini mirip dengan perkembangan gerakan radikal Islam lain seperti Al-Qaeda dalam bentuk Jamaah Islamiyah yang berhasil melancarkan aksi terorisme. Keterkaitan kelompok-kelompok Islam dengan jaringan terorisme telah menjadi ancaman serius bagi perkembangan Islam di Indonesia. Hal yang paling disayangkan dari tipikal organisasi radikal ini adalah pandangannya yang ekstrem terhadap negara Indonesia. 

Mereka berpandangan negara Indonesia dipimpin oleh thaghut yang pantas diperangi. Pada gilirannya, paham ini menyebar luas di kalangan umat Islam. Tak heran jika aksi terorisme dalam dua dekade terakhir terus terjadi. Aksi terorismenya pun telah dikembangkan sasarannya dari tempat-tempat yang berhubungan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Kini sasarannya diarahkan ke aparat kepolisian negara. Ini semua menunjukkan bahwa radikalisme Islam di Indonesia mengalami transformasi dan metamorfosis sesuai perkembangan nasional dan global. 

Transformasi Kitab Kuning 

Berkembang luas gerakan radikal-transnasional di Tanah Air tak lepas dari perubahan orientasi umat Islam terhadap sumber pengetahuannya setelah menurunnya minat umat Islam terhadap kitab kuning. Padahal kitab kuning sejak berabad-abad yang lalu telah menjadi sumber rujukan pengetahuan Islam. Kitab kuning adalah sumber utama umat Islam setelah Alquran dan Sunnah. Para ulama telah menumpahkan seluruh pengetahuannya dalam kitab kuning sehingga umat Islam dapat memahami ajaran Islam dengan baik. 

Tapi, pada zaman seperti sekarang ini umat Islam mulai meninggalkan kitab kuning. Ini karena sulitnya mereka mengakses pengetahuan dalam kitab kuning akibat tidak memiliki seperangkat ilmu pengetahuan yang memadai. Di samping itu, mudahnya umat Islam mengakses pengetahuan keagamaan melalui internet juga menjadikan mereka lebih sering menggunakan internet. Akibat itu, pengetahuan mereka sangat instan dan tidak memiliki fondasi yang kuat. Anak-anak muda zaman sekarang mencari pengetahuan Islam dengan jalan mengakses di internet. 

Pada gilirannya mereka tidak mampu memfilter mana pengetahuan yang sesuai ajaran dasar Islam. Mereka pun mudah dipengaruhi ajakan untuk berbuat kekerasan atas nama agama. Di sinilah ruang yang terbuka bagi pembentukan pemahaman keagamaan yang radikal. Aksi terorisme juga banyak dipengaruhi oleh paham keagamaan yang tersebar di internet. 

Dalam konteks inilah diperlukan kontra radikalisme (counter radicalism) dalam bentuk respons terhadap wacana, pemikiran, dan gagasan yang disebarkan oleh para pelaku jaringan terorisme di ruang publik. Tujuan utama counter radicalism adalah menyediakan informasi dan pengetahuan yang qualified tentang tafsir-tafsir keagamaan kepada masyarakat (Angel

48

Page 49: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Rabasa dkk., Deradicalizing Islamist Extremist, 2010). 

Media yang efektif untuk melakukan counter radicalism adalah media publik yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas dan media komunitas yang dapat diakses secara spesifik oleh komunitas tertentu. Daya jangkau yang sangat luas dari media publik seperti televisi, radio, surat kabar, dan internet dapat meng-cover seluruh masyarakat. Jika dilakukan secara masif dan intensif, daya pengaruhnya akan sangat besar sekali. Namun, pilihan ini memerlukan budget yang sangat besar sehingga seringkali dilakukan secara sporadis dan tidak membawa dampak yang signifikan. 

Paul Pendleton (2008) justru berpendapat lain bahwa counter ideologies efektif jika mampu memperlemah ideologi teroris, bukan pada besarnya populasi. Karena itulah, penguatan kitab kuning sebagai sumber rujukan umat Islam mesti terus dilakukan. Kitab kuning tidak hanya diajarkan di pesantren-pesantren, tapi juga ditransformasikan ke dalam wacana publik yang mudah dipahami dan mudah diakses oleh publik. 

Kitab kuning tidak hanya menjadi buku yang dibaca di pesantren, tapi juga menjadi aplikasi teknologi informatika yang sekarang ini digemari generasi muda. Ini dilakukan agar generasi muda memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat sehingga dapat membentengi diri dari ajakan dan pengaruh gerakan radikal apa pun. Dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat, mereka mampu memfilter paham keagamaan yang datang sehingga mereka tidak mudah terjebak terlibat dalam jaringan radikalisme dan terorisme. 

Di sinilah transformasi kitab kuning menemukan elan vitalnya dalam membentuk paham keagamaan masyarakat secara kontekstual sesuai zamannya. Karena itulah, Kementerian Agama sudah sepatutnya mengembangkan kontekstualisasi kitab kuning yang sesuai zamannya dalam perangkat teknologi informasi sehingga mudah diakses oleh masyarakat. Dengan kondisi yang demikian ini, generasi muda Islam tidak mudah terjebak dalam jaringan radikalisme dan terorisme. 

Dengan begitu, kitab kuning akan selalu diakses sebagai bagian dari pembentukan paham keagamaan yang sejalan dengan nilai-nilai keindonesiaan sehingga Islam di Indonesia tampil dengan karakternya yang adaptif dan kontekstual. Dengan kata lain, Islam tidak tampil dengan wajah yang keras dan cenderung melakukan aksi kekerasan, tapi tampil dengan wajah yang moderat.

KHAMAMI ZADADosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

49

Page 50: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Antara Etika, Hukum, dan Keadilan

Koran SINDO

6 September 2014

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan dan mulai kembali membangun citra positifnya sebagai benteng terakhir penegak keadilan di Indonesia setelah sempat terpuruk ke tingkat yang paling rendah terkait kasus yang menimpa sang ketua beberapa waktu lalu.

Ini tidak terlepas dari kinerja MK yang dipimpin Hamdan Zoelva saat menangani dan memutuskan gugatan atas sengketa Pilpres 2014 yang diduga terjadi kecurangan sehingga digugat oleh salah satu pasangan yang bersaing. Sengketa Pilpres 2014 tersebut mengalir sampai jauh hingga ke meja MK dan berujung pada keputusan MK pada 22 Agustus 2014 yang menolak semua tuntutan penggugat yaitu pasangan capres dan cawapres nomor urut 1 terhadap Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), yang secara otomatis mengesahkan semua keputusan KPU atas hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 2.  

Kasus lainnya yang menarik di MK terungkap di acara Mata Najwa pada 28 Agustus 2014 di Metro TV yang bertajuk “Di Balik Pilar Konstitusi”. Pada 2013 MK yang juga dipimpin Hamdan Zoelva memenangkan gugatan uji materi yang diajukan oleh seorang satpam perusahaan bernama Marten Boiliu atas Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 96 yang mengatur hak-hak karyawan yang harus dilindungi dan dijalankan oleh perusahaan.  

Dengan keputusan MK tersebut, pihak tergugat (perusahaan) diwajibkan untuk membayar semua hak-hak karyawan (penggugat) dan kalimat hukum dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menjadi sengketa tersebut harus dihapuskan. Dari dua kasus tersebut, kita dapat melihat ada hal mendasar yang menjadi pokok persoalan dari setiap kasus adalah etika dan hukum itu. Dalam kasus Pilpres 2014, hukum telah mengalahkan etika. Kasus yang digugat pemohon pada Pilpres 2014 berupa pelanggaran dan kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres 2014 oleh KPU yang merupakan pelanggaran atas etika pemilu yang seharusnya berlangsung secara langsung umum, bebas, dan rahasia (luber).  

Etika pelaksanaan pemilu tersebut juga dilindungi dan diatur oleh hukum dan undang-undang sehingga pelanggaran atas etika pemilu dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum dan undang-undang. Atas dasar itulah, penggugat melaksanakan gugatannya dan mengujinya sampai ke tingkat MK. Pada kasus Marten, etika telah mengalahkan hukum di mana MK telah mengabulkan gugatan penggugat atas pelaksanaan UUKetenagakerjaan yang dianggap melanggar hak-hak karyawan dan mencederai rasa keadilan terhadap karyawan, khususnya yang mengalami PHK, atau mengundurkan diri yang dalam hal ini diwakili Marten.  

50

Page 51: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Atas dasar itulah, MK kemudian mengabulkan permohonan penggugat dan memerintahkan perusahaan untuk membayarkan seluruh hak-hak atas karyawan tersebut dan memerintahkan pemerintah menghapus pasal tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi masa kadaluwarsa dalam melakukan gugatan atas hak-hak buruh atau karyawan kepada perusahaan.

***

Masih banyak sebenarnya kasus lain yang tidak cukup untuk diungkapkan dalam tulisan ini satu per satu. Namun, melihat dari kasus-kasus yang ada, tampaknya etika tidak selalu bersesuaian dengan hukum. Sebaliknya, hukum tidak selalu bersesuaian dengan etika. Sampai ada satu ungkapan, orang yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Sebaliknya, orang yang melanggar hukum sudah pasti melanggar etika.  

Pelanggaran etika bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan, pelanggaran hukum semestinya diselesaikan lewat jalur hukum, walaupun pada beberapa kasus bisa juga diselesaikan secara kekeluargaan dengan memegang prinsip norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Jadi, mana yang memiliki kedudukan lebih tinggi, etika atau hukum? Secara definisi, etika adalah suatu sistem nilai dan norma atas perilaku yang berakar pada budaya suatu kelompok masyarakat di suatu tempat yang kemudian dilaksanakan dalam tindakan, peraturan, dan kesesuaian dengan hukum yang berlaku (Fraedrich Farrell: 2011).  

Adapun dari aspek teologis etika ada yang bersifat ethical egoism (self interest) dan ethical utilitarianism (greates good/happiness) yang berprinsip bahwa suatu keputusan dianggap benar jika keputusan tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kepentingan yang lebih besar. Jika digali lebih dalam lagi, unsur yang melengkapi sistem nilai dan etika terdiri atas self interest, personal virtues, religius, government requirements, utilitarian benefits, dan universal rules.  

Dari definisi tersebut jelas etika mempunyai kedudukan yang lebih luas dari hukum dan sudah seharusnya etika dan hukum berjalan beriringan dan bersesuaian, tidak ada konflik antara etika dan hukum. Karena hukum sebenarnya pengejawantahan dari sistem nilai dan etika yang berlaku di masyarakat yang diformalkan dalam bentuk hukum dan peraturan perundang-undangan negara. Masalahnya, seringkali hukum dan perundang-undangan belum sepenuhnya mencakup sistem nilai dan etika yang ada sehingga terjadilah celah (gap) antara hukum dan etika. Celah inilah yang seringkali menjadi sumber perdebatan, perselisihan, dan silang pendapat dalam sistem peradilan. 

Di Indonesia MK menjadi satu-satunya lembaga yang berhak memutuskan atas setiap kasus hukum yang tidak terselesaikan atau dirasa belum memenuhi rasa keadilan bagi salah satu pihak yang bersengketa. Pada titik inilah seringkali etika berhadapan dengan hukum dalam arti hukum dan perundang-undangan harus diubah untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan yang lebih luas seperti contoh kasus Marten di atas. Demikian juga sebaliknya. Pelanggaran etika diabaikan demi hukum dan keadilan seperti pada kasus Pilpres 2014.

51

Page 52: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kendati demikian, landasan dari dua keputusan itu tetap sama yaitu pembelaan terhadap kepentingan yang lebih besar dan rasa keadilan.  

Yang menarik di Indonesia ada istilah kekeluargaan untuk proses penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa. Budaya penyelesaian secara kekeluargaan ini didasari pada kebiasaan masyarakat Indonesia untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan. Dengan penyelesaian secara kekeluargaan, suatu kasus tidak perlu dibawa ke ranah hukum, namun cukup ditengahi oleh orang yang dituakan, kepala adat, kepala rukun tetangga, dan sebagainya, suatu perselisihan dapat diselesaikan. 

Yang terpenting, masing-masing pihak terpenuhi rasa keadilannya sehingga ikhlas menerima keputusan yang dimusyawarahkan tersebut. Pilihan untuk menyelesaikan suatu perselisihan secara hukum atau kekeluargaan akan kembali kepada masing-masing pihak. Persoalan sekecil apa pun bisa dibawa ke ranah hukum karena hukum dan keadilan adalah hak setiap individu.  

Apalagi dengan perkembangan sistem informasi saat ini, semakin banyak orang yang melek dan mengerti hukum, kantor lembaga bantuan hukum dan pengacara pun bertebaran di mana-mana. Tampaknya budaya penyelesaian secara kekeluargaan sedikit demi sedikit akan ditinggalkan, apalagi jika suatu persoalan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat material. ●

 

HANDI SAPTA MUKTI SSI MM

Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan 

52

Page 53: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Memeras Secara Imajiner

Koran SINDO

8 September 2014

Kata memeras itu biasanya berhubungan dengan benda-benda nyata di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi para peternak lembu perah, atau kambing, kata memeras, biasanya disebut ”memerah”, berhubungan dengan susu, untuk memperoleh apa yang kita banggakan sebagai minuman segar dan sehat. Boleh jadi malah disebut paling segar dan paling sehat. Peras memeras di sini sehat dan menyehatkan.

Bagi mereka yang memiliki ketangkasan luar biasa, memeras, dan sekali lagi diganti sebutan menjadi ”memerah” tadi, juga berhubungan dengan benda, yaitu hewan, tetapi yang diperahnya bukan lagi lembu atau kambing, melainkan kuda liar. Sulit membayangkan kuda liar bisa tunduk dan taat ketika ada orang yang datang menangkapnya, dan berusaha memerah susunya. 

Di dalam khasanah kehidupan orang ”prairie”, padang rumput di zaman ”wild wild west”, yaitu surganya orang Indian, yang sekarang menjadi Amerika Serikat itu, orang yang bisa berbuat begitu mungkin dapat dihitung dengan jari. Dan di dalam jumlah terbatas itu ada nama Old Shatterhand. Seliar apa pun seekor kuda, yang kekuatannya tak terhingga, Old Shatterhand mampu mengatasinya, sampai si kuda mandi keringat dan kehabisan tenaga.

Tapi peras-memeras di dalam birokrasi lain. Pemerasan di sana hampir tak menggunakan tenaga. Si pemeras boleh jadi tersenyum. Boleh jadi pula sambil sedikit melemparkan ucapan ini dan itu di balik senyumnya tadi. Sering kedua belah pihak berhadapan di suatu tempat rahasia, dan keduanya kelihatan akrab seperti dua sahabat yang lama tak bertemu Tak jarang pula mereka berjauhan satu dari yang lain. Jadi, ”memerah” susu harus berhadapan, dalam jarak berdekatan tetapi memeras di dalam birokrasi tidak. 

Yang diperas tak harus tersentuh. Dan pihak yang memeras tak harus menggunakan tangan. Inilah jenis pemerasan imajiner yang kita kenal di sebagai tingkah laku serong, atau selingkuh, dari aturan dan tata karma birokrasi. Kecuali imajiner, pemerasan di dalam birokrasi juga halus, dan lembut. Ancaman pun, jika diperlukan, dengan sendirinya sangat lembut, super halus, dan simbolik sekali sifatnya. 

Sama dengan pemerasan kaum mafioso yang menggetarkan manusia biasa. Novel The Godfather, dan filmnya, yang tetap memakai judul yang sama, bisa menjadi contoh aktual mengenai bagaimana kelembutan pemerasan yang justru terjadi di dalam liarnya dunia gelap di bawah tanah. Kaum mafioso tak perlu mengancam dengan kata-kata. 

Birokrat yang sadar akan kekuasaannya, apalagi pada tingkat menteri, juga tak perlu

53

Page 54: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

mengancam. Lagi pula tak jarang bahwa peras-memeras di dalam birokrasi itu dilakukan berdasarkan perasaan ”suka sama suka” karena ada kepentingan masing-masing yang sedang diperjuangkan. Di sini jelas tak perlu ada ancaman.

*** 

Bersikap lembut atau kasar, menggunakan gaya preman terminal bus maupun meminjam gaya mafioso, pemerasan di dalam birokrasi dikategorikan ke dalam tindak pidana korupsi. Dan pada hari ini, kita tahu bahwa korupsi berhadapan langsung dengan KPK, yang tak kenal tawar-menawar, dan tak bisa disogok. 

Korupsi ya korupsi. Dan barang siapa yang terbukti korupsi, bukan hanya dikenai tindak pidana kurungan, tapi juga dipermalukan. Di dalam masa genting ketika uang negara, yaitu jatah kesejahteraan rakyat dimakan para pejabat dengan cara yang begitu kejam, melawan kemanusiaan yang sudah terlunta-lunta, siapa pun yang korup dihukum. 

Tak peduli ia pejabat tinggi, pejabat tertinggi, keluarga mereka, saudara mereka, besan mereka, orang tua mereka, mertua mereka, atau istri dan anak, atau anak-anak mereka, semua ditangkap, diadili dan dihukum. Para pejabat KPK mulai lebih serius, dan bergerak menyerang perasaan mereka karena tanpa itu kelihatannya hukuman tak menimbulkan efek jera. Kejutan dibikin, dan menggetarkan semua pihak. 

Jangan ada yang menyangka bahwa di akhir masa jabatan berarti segalanya sudah berakhir. Banyak pihak ditangkap dan diperiksa sebelum pada akhirnya dijatuhi hukuman. Memeriksa pejabat di akhir masa jabatan itu membikin orang, kecuali badak, menjadi takut. Jadi banyak yang kelihatannya akan ditangkap KPK. 

Dan banyak yang ditangkap, lalu diadili, dan dihukum, itu baiknya bukan main. KPK telah menegakkan rasa keadilan yang selama ini dihancurkan para pejabat sendiri. Bila seseorang ditangkap dan tidak ada bukti bahwa dia, sang birokrat, menerima uang? Itu tetap masalah. Tak menerima uang tapi memperkaya orang lain, orang itu kena pasal yang hukumannya tak bisa ditawar-tawar tadi. Dia tak makan sepeser pun uang tapi tindakannya merugikan negara, itu juga korupsi. 

Dia tak mengantongi sepeser pun uang pun dari hasil kebijakannya, tapi karena kebijakannya itu membuatnya memperoleh hadiah suatu jabatan, tak peduli dia siapa, teman siapa, anak siapa, dan apa partainya, dia jelas korupsi. Dan kita tahu, dia harus dihukum. Dia dikategorikan korupsi kebijakan. Dan korupsi jenis ini lebih berbahaya. Korupsi kebijakan bisa merugikan negara dalam jumlah sangat besar. 

Tapi lebih dari itu, korupsi kebijakan yang tergolong tak merugikan negara, tetapi merugikan hak-hak warga masyarakat, terutama warga masyarakat miskin yang tak berdaya, ini lebih berbahaya, dan hukumannya harus lebih besar. Korupsi kebijakan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kebijakan.

54

Page 55: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

*** 

Kita belum cukup jelas bagaimana Pak Jero Wacik, abdi dalem ”kinasih”, dan tangan kiri sekaligus tangan kanan Bapak Presiden, dikabarkan melakukan pemerasan? Bagaimana orang yang kelihatannya ”senyam-senyum” melulu, dan kata-katanya begitu patriotik, melakukan tindakan yang disebut memeras? Bagaimana dia memeras? Mengapa istri dan anaknya juga diduga terlibat di dalam peras memeras itu? 

Media belum menjelaskan secara tuntas. Apakah gengsinya merosot dari langit ke bumi? Siapa pembela-pembelanya? Membela koruptor sebaiknya juga dikategorikan tindakan korupsi, karena jika dia dibayar dengan uang hasil korupsinya tadi. Maling, garong, kecu, perampok, pembunuh, harus dibela supaya mereka diperlakukan secara adil. Tapi bagaimana kalau koruptor dibikinkan aturan khusus, tegas dan keras, bahwa mereka tak perlu dibela? 

Alasannya jelas: memerah susu lembu, kambing etawa atau kuda liar itu pemerasan yang sehat dan menyehatkan. Tapi pemerasan di birokrasi, biarpun kelihatannya imajiner, jelek, tidak sehat, berbahaya, dan menghancurkan kehidupan. Seimajiner apa pun, memeras itu korupsi yang menghancurkan kemanusiaan.

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

55

Page 56: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Haji dan Migrasi Status Sosial

Koran SINDO

10 September 2014

Mulai pekan pertama September ini ribuan jamaah secara bergelombang menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan rukun Islam lain yang bisa dilakukan tanpa bekal luar biasa, haji adalah kewajiban yang hanya diperuntukkan bagi seorang muslim yang mampu (istithaah) mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS. Ali Imron/3: 97). 

Kriteria ini oleh para ulama diterjemahkan sebagai kemampuan untuk mendapatkan perbekalan, sarana transportasi, sehat jasmani-rohani, serta aman dalam perjalanan. Pada masa lalu muslim Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji memang menghadapi tantangan yang berat. Konon, untuk bisa menginjakkan kaki di Mekkah dibutuhkan waktu dua hingga enam bulan dengan kapal layar sehingga mengharuskan pelakunya untuk punya bekal yang lebih dari cukup. 

Tidak kalah pentingnya, sekembali dari haji, mereka biasanya menjadi pelopor untuk memajukan aspek keagamaan-sosial di kampung halamannya. Tata cara dan efek haji yang memadukan banyak aspek itu membuat masyarakat memberikan penghormatan tersendiri bagi mereka yang telah menunaikannya. Sebutan “haji” dan “hajah” dengan segala variannya memang memiliki konotasi strata sosial lebih tinggi dibandingkan sekadar menyebut “pak” atau nama saja. 

Perlakuan berbeda terhadap mereka juga berlaku dalam berbagai struktur kehidupan sosial: pergaulan sehari-hari, undangan, transaksi jual beli, pengantar pengantin, dan lain-lain. Tak urung, ibadah haji menjadi peristiwa keagamaan yang memiliki dampak yang bermuatan sosial yaitu ketinggian status sosial. Awalnya ibadah haji yang dilakukan seseorang memang dapat meningkatkan status sosialnya secara alamiah atau lebih tepatnya sebagai efek samping saja. Penghargaan masyarakat ini terkait ketidakmudahan untuk mencapai Mekkah serta peran progresivitasnya sebagai tokoh panutan setelah kembali ke Tanah Air. 

Perlakuan terhadap jamaah haji, dalam beberapa kasus, memang bisa mendorong pembiasan motivasi berhaji. Dalam penelitian Musyarrofah (2010), dengan mengambil sampel di Bangkalan, Jawa Timur, ternyata ada sebagian masyarakat yang menunaikan haji karena dilandasi pengharapan untuk memperoleh efek-efek sosial dalam kehidupannya. Meski bukan satu-satunya, tidak sedikit masyarakat yang sebelumnya hanya memiliki niat tipis untuk berhaji lantas mengeras karena faktor migrasi status sosial ini. Motivasi sosial memang bukan sesuatu yang baru dalam sejarah perjalanan umat Islam Indonesia. 

Dalam catatan Mitsuo Nakamura (1977), akhir abad ke-19, haji merupakan cara termudah

56

Page 57: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

bagi kalangan kelas menengah urban pribumi untuk naik kelas. Gelar haji di depan nama setelah kembali ke Tanah Air merupakan cara untuk memperoleh persamaan dengan aristokrat Jawa dan priyayi. Dua kelas yang selain menikmati banyak keistimewaan dari pemerintah kolonial Belanda juga mendapat penghormatan dan perlakuan yang lebih anggun dari masyarakat pribumi. 

Ditambah lagi dengan berbagai mitologi di seputar ibadah ini, semakin kuatlah animo umat Islam Indonesia untuk berlomba-lomba melaksanakannya. Meski tidak ada sumber teksnya yang otentik dari Alquran maupun Hadits, berbagai tempat di Mekkah banyak diyakini umat Islam Indonesia sebagai pintu untuk melihat dunia pascakehidupan (akhirat), entah itu sakralitas Kakbah, Multazam, Hajar Aswad, Padang Arafah, tugu tempat melempar Jumrah, Jabal Rahmat, serta tempat-tempat lain yang dilintasi dalam haji. 

Bias sosial niatan haji ini juga bisa terjadi dengan kebanyakan tradisi prosesi “pemberangkatan” hingga “kepulangan” yang luar biasa. Dalam beberapa kasus, tidak jarang biaya yang dikeluarkan untuk menggelar acara sampingan ini melebihi ongkos naik haji. Jika seseorang telah mendapat sedikit kepastian berangkat, biasanya langsung mengadakan tasyakuran dengan mengundang tetangga dan seluruh kerabat famili. Ketika berangkat, mereka juga diantar oleh tetangga dan kerabatnya secara berbondong-bondong dengan mobil, sepeda motor, dan berbagai atribut kemeriahan lain. 

Upacara ini ternyata tidak hanya berhenti sampai ketika jamaah sudah berangkat. Ketika ditinggal sang empu, di rumahnya diadakan pembacaan ayat-ayat suci Alquran secara sukarela tiap hari dengan jamuan yang ditanggung oleh tuan rumah. Setelah jamaah pulang ke Tanah Air pun diadakan acara penjemputan jauh yang lebih meriah dibandingkan pemberangkatan. Ketika sampai rumah, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi untuk meminta doa darinya sebelum akhirnya ditutup dengan tasyakuran lebih besar dibandingkan saat pemberangkatan. 

Ragam janji sosial sepertinya turut menggoda sebagian umat Islam untuk sesegera mungkin berangkat ke Mekkah. Kemudian lahirlah lingkaran setan: haji yang membawa peningkatan status sosial dan berhaji untuk meningkatkan status sosial. Ironisnya, bagi beberapa orang, berkunjung ke Mekkah ternyata juga dijadikan bungkus atas ketidakberesan moralitas. Sudah tak terhitung lagi berapa elite yang terlibat dalam skandal selalu berlindung di Kakbah yang lagi-lagi dibungkus dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Perlu ada perenungan terhadap motivasi atau niat berhaji sehingga ia membedakannya dengan wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di bulan haji. Meluruskan niat merupakan hal utama yang harus dilakukan para jamaah haji untuk mencapai status mabrur. Lazimnya sebuah ibadah kepada Tuhan, selain mengetahui dan menguasai tata caranya, masalah niat juga memang harus menjadi perhatian utama. Haji itu harus diniati semata-mata karena Allah, tidak boleh ada sedikit pun niat dan kepentingan selain karena-Nya. 

Sebagaimana yang pernah diungkap Nabi Muhammad SAW, prasyarat diterima atau tidak

57

Page 58: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

suatu amal bergantung pada niatnya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, bukan tidak mungkin seluruh aktivitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa selain kelelahan. Haji harus diniatkan secara tulus dari lubuk hati yang paling dalam (azam) untuk menyempurnakan keimanan, bukan gengsi atau alasan ini dan itu. Allahu alam bi al-Shawab. ●

MUHAMMAD KHOLID ASYADULLOH Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Aktivis Muhammadiyah 

58

Page 59: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Pendidikan Mengangkat Martabat Bangsa

Koran SINDO

12 September 2014

Dalam berbagai forum pelatihan guru-guru saya sering memulai dengan mengajukan pertanyaan sambil memegang handphone (HP/telepon genggam) dan mikrofon: mengapa harga handphone jauh lebih mahal, bahkan berlipat, ketimbang mikrofon, padahal secara fisik ukurannya lebih kecil? 

Jawabannya tentu sudah kita ketahui bersama. Meski ukurannya kecil, HP memiliki banyak fungsi yang sangat membantu aktivitas kita sehari-hari. Yang paling primer adalah mendekatkan jarak pendengaran dan pembicaraan yang tadinya jauh dan tak akan terjangkau oleh telinga lalu menjadi dekat. Di mana saja, kapan saja, selagi sinyalnya bagus kita bisa berkomunikasi lisan dengan teman melalui HP sekalipun berjarak lintas benua. 

Lebih dari sekadar untuk berbicara, HP juga dilengkapi berbagai fasilitas yang kita perlukan, sejak dari kamera, kalender, akses ke internet, musik, peta bumi, kamus, Alquran, dan sebagainya. Faktor lain lagi yang membuat menarik dan mahal adalah desainnya yang indah dan mungil. Jadi, apa yang membuatnya mahal? Karena di dalam HP terdapat investasi sains dan teknologi canggih. 

Demikian pula halnya dengan manusia. Hal yang membuatnya berharga dan dicintai serta diperlukan banyak orang bukan terletak pada fisiknya yang besar, melainkan kualitas yang melekat pada dirinya, terutama integritas dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Keduanya ini merupakan produk pendidikan yang bermutu dan berkesinambungan, mengingat mendidik seseorang sampai membuahkan hasil diperlukan waktu sekitar 20-25 tahunan. Beda dari menanam padi atau jagung yang menjanjikan panen hanya dalam waktu 3 bulanan. Pisang sekitar 6 bulanan, kelapa sekitar 5 tahunan.

Jadi, untuk meletakkan dasar dan strategi pendidikan bagi anak-anak bangsa mesti berpikir jauh ke depan, bukan berubah-ubah dan heboh setiap lima tahunan seperti halnya pemilu. Presiden beserta jajaran kabinet serta anggota DPR boleh saja ganti setiap lima tahun. Namun, pola dan strategi pendidikan tidak boleh berubah-ubah, kecuali dalam jangka waktu tertentu berdasarkan riset dan pemikiran yang matang. Bahkan sangat bisa jadi keberhasilan sebuah program pendidikan, ibarat menanam benih pohon, seorang presiden atau menteri pendidikan yang meletakkan fondasinya tidak melihat hasilnya karena sudah lebih dulu meninggal. 

Sejarah berbagai negara memberikan pelajaran, misalnya saja China, Australia, Jepang, Korea, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia, bahwa berkat pemerintah mereka yang sangat

59

Page 60: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

peduli dan serius dalam merancang dan melaksanakan strategi pendidikan bagi rakyatnya, negara-negara itu lebih maju. 

Penduduk bukannya menjadi beban dan menambah angka kemiskinan, tetapi sebagai kekuatan produktif untuk memacu dan menyangga kemajuan bangsa dan negaranya. Australia, yang dulunya sebagai tempat pembuangan atau penampungan penjahat kulit putih dari Eropa, sekarang merupakan salah satu negara paling makmur di dunia dan menjadi kiblat pendidikan. Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar ke Australia lebih besar ketimbang mereka yang ke Amerika. 

Ini semua berpangkal pada sistem pendidikannya yang dikelola secara serius dan terbuka bagi inovasi baru yang lebih baik. Begitu pun Jepang dan Korea Selatan, meski sumber daya alam dan jumlah penduduknya jauh lebih kecil dibanding Indonesia, karena pendidikannya bagus maka sektor industri menjadi terdongkrak maju yang pada urutannya membanjiri pasar Indonesia. Padahal, berapa banyak universitas di Indonesia yang usianya lebih tua, jumlah mahasiswanya lebih banyak, namun alumni yang dihasilkan tidak seproduktif mereka. Di mana letak kesalahannya?

Bagaimana halnya dengan negara-negara kecil seperti Hong Kong atau Singapura? Mereka lebih mudah dan cepat melakukan pemerataan dan akselerasi pendidikan bagi warganya. Singapura yang dulu lebih dikenal sebagai kota transit dan belanja, sekarang berhasil mengubah citranya sebagai negara yang menawarkan pendidikan bagus. Banyak profesor asing kelas dunia dihadirkan ke Singapura sehingga kultur dan kualitas pendidikannya berkembang naik berada pada peringkat kelas dunia. Yang juga fenomenal adalah Malaysia. Putra-putri terbaiknya secara masif difasilitasi untuk belajar ke luar negeri pada universitas kelas dunia atas beasiswa negara. 

Selain itu, sekian banyak sarjana berkualitas dari Indonesia ditawari untuk menjadi dosen di Malaysia. Mereka bekerja untuk mendidik dan memintarkan warga Malaysia dengan fasilitas dan gaji cukup. Jadi, jika sektor pendidikan di Indonesia tidak dibenahi secara serius dan memperoleh perhatian serta prioritas langsung dari jajaran wakil rakyat dan presiden, mudah diprediksi bangsa ini akan kalah bersaing dalam percaturan global. 

Sekarang pun dalam berbagai hal sudah kalah bersaing karena kelemahan kualitas SDM kita. Akar masalahnya adalah pada kebijakan dan politik pendidikan yang salah. Akibatnya, perkembangan penduduk yang mestinya menjadi ” bonus demografi”, jangan-jangan malah menjadi beban negara. Subsidi negara selalu naik, tetapi produktivitas rakyat menurun. 

Kita tidak bisa lagi menggantungkan kemurahan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa disertai keunggulan sains dan teknologi di bawah pemerintahan yang bersih.

60

Page 61: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Pakta Integritas

Koran SINDO

14 September 2014

Seorang ayah jengkel sekali kepada anak laki-lakinya yang kelas dua SMP, yang untuk ke sekian kalinya kedapatan membolos dan merokok di warung di depan sekolahnya. 

Saking marahnya, sang ayah menyuruh anaknya membuat surat perjanjian, di atas kertas bermeterai Rp6.000, yang menyatakan bahwa dia tidak akan membolos dan merokok lagi; dan kalau kedapatan dia mengulangi perbuatannya lagi, dia siap untuk distop uang sakunya. Tetapi nyatanya, dia bolos lagi, dan bolos lagi, sehingga akhirnya tidak naik kelas. Dan ketika si anak mengulangi perbuatannya, sang ayah pun tidak ambil peduli, alih-alih menyetop uang sakunya. 

Alasan ayahnya, nanti kalau tidak dibawakan uang, malah memalak anak orang, dan justru makin membolos. Jadi dibiarkannya saja anak itu membolos. Kesimpulannya, ayah gagal mendidik anaknya menjadi orang yang berintegritas.

*** 

Dasar dari integritas kepribadian pada hakikatnya adalah kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain. Orang yang berintegritas melaksanakan apa yang diucapkannya dan selalu memenuhi janji-janjinya. Orang seperti ini bisa dipercaya.

Salah seorang kenalan saya adalah pedagang suku cadang di daerah Sawah Besar, Jakarta Kota. Pada suatu hari saya ikut sopir saya ke tokonya untuk memasang kaca spion yang rusak ditabrak motor. Sambil menunggu, saya ngobrol dengan kenalan saya itu di kantornya. Ketika itulah ada seorang pemasok suku cadang masuk ke kantornya yang merangkap gudang kecil untuk menyimpan stok barang-barang. Pemasok itu melapor bahwa pesanan yang diminta sudah datang di depan toko dan harganya sekian juta rupiah. 

Maka tanpa banyak omong, kawan saya merobek selembar kertas koran dan mencoret-coret huruf Cina di kertas itu dan meminta si pemasok mengambil uangnya ke bank di sebelah tokonya. Pemasok yang rupanya sudah biasa dengan cara yang ”melanggar hukum” itu dengan tenang melenggang ke bank untuk mengambil uangnya dan langsung pulang setelah mendapat uangnya. 

Pada sore hari, sebelum bank tutup clearing, si tauke teman saya itu selalu datang sendiri ke bank dan menyetorkan uang tunai penghasilannya ke bank itu, sekalian menyelesaikan

61

Page 62: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

transaksi-transaksi hari itu, termasuk pengambilan uang dengan ”cekran” (cek tetapi koran) itu.

Surat di atas kertas bermeterai yang dibuat anak atas permintaan ayahnya, jelas lebih punya kekuatan hukum ketimbang koran yang dijadikan cek oleh tauke pedagang suku cadang itu. Tetapi yang punya kekuatan hukum belum tentu berlaku dalam realita kehidupan yang sesungguhnya. Cekran nyatanya dianggap lebih bonafide (bisa dipercaya) dari pada Pakta Integritas yang ditulis anak yang tukang membolos tadi. Hal ini membuktikan bahwa sejatinya integritas itu tidak perlu dipaktakan (ditulis dalam perjanjian yang resmi). Kalau orang punya integritas, pakai sobekan kertas koran pun cukup. 

Anehnya, orang masih saja sangat percaya pada pakta-pakta untuk menjamin integritas. Maka politisi-politisi oleh pimpinan partainya diharuskan menandatangani pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak akan korupsi dan/atau menyalahgunakan jabatan. Padahal nyatanya ada yang sudah beberapa kali menandatangani pakta integritas (sebagai anggota DPR, sebagai menteri) ujung-ujungnya ditangkap KPK juga. 

Bukan itu saja. Yang jauh lebih banyak adalah pejabat-pejabat pemerintah yang setiap kali serah-terima jabatan harus melakukan sumpah jabatan disaksikan rohaniwan yang membawa kitab suci dan diselenggarakan dalam upacara yang formal, baris-berbaris, penandatanganan dokumen sertijab dan lain-lain, disaksikan oleh para pejabat lain berikut para istri masing-masing. Padahal, banyak sekali di antara pejabat-pejabat yang disumpah itu yang juga korupsi, baik yang ditangkap polisi/KPK maupun yang tidak.

Jadi ada yang tidak nyambung antara yang dijanjikan, disumpahkan, atau dipaktakan dengan perilaku yang sesungguhnya. Selama hal itu dilakukan oleh perorangan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, disebutnya ”oknum”. Tetapi kalau sudah menjadi kebiasaan umum, dilakukan oleh hampir semua orang, diyakini sebagai hal yang benar (walaupun salah) dan sistemis, maka namanya budaya. 

Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya verbal, yaitu budaya yang lebih mengutamakan kata-kata ketimbang perbuatan. Budaya Indonesia memang cenderung berbudaya verbal. Kebanyakan orang Indonesia senang sekali mendengarkan kata-kata yang indah, yang membesarkan hati dan cenderung percaya sekali kepada apa yang diucapkan itu.

Maka diciptakanlah pantun dan syair yang indah, kalimat-kalimat yang berbunga-bunga, dan puja-puji kita dengar setiap hari di berbagai acara, doa-doa yang serbanormatif disampaikan pada setiap ulang tahun dan kebiasaan ABS (asal bapak/bunda senang) juga berasal dari budaya verbalisme itu. Lihat saja misalnya upacara pernikahan yang digelar mewah di hotel-hotel berbintang di Jakarta. 

Ketika kedua mempelai memasuki ruangan resepsi, MC mengucapkan dengan kata-kata yang indah bahwa malam ini adalah malam yang teramat indah untuk kedua mempelai. Pengantin wanita tampak bagaikan bidadari, dan sang pria bagaikan pangeran dari kerajaan kayangan.

62

Page 63: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Mereka saling merindu, karena sudah 40 hari dan 40 malam tidak berjumpa (di tradisi Jawa ada kebiasaan ”pingitan”, yaitu melarang kedua mempelai untuk saling berjumpa untuk jangka waktu tertentu sebelum pernikahan). 

Padahal semalam sebelumnya, si calon suami masih mengantarkan calon istrinya ke mal untuk membeli sepatu yang kelupaan dibeli. Bohong banget, kan? Tetapi kebohongan seperti itu justru yang disukai. Maka tidak heran sang ayah yang anaknya membolos melulu, lebih senang menyaksikan anaknya menuliskan janji palsunya, ketimbang memberi sanksi kalau anak itu ingkar janji. 

Janji tanpa sanksi, itulah penyebab mengapa sang anak membolos terus, dan mengapa para pejabat dan pegawai korupsi terus. Karena itulah memang negara kita memerlukan KPK. Maksudnya adalah untuk membuat pelaku korupsi jera. Tetapi itu saja tidak cukup. Kekuatan SDM yang mengawaki KPK tidak akan cukup untuk menangani korupsi yang sudah tersebar begitu banyak di Indonesia. 

Maka harus ada upaya lain untuk mencegah korupsi, misalnya mengembangkan sistem e-government untuk memperkecil kesempatan pejabat untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat yang dilayaninya. Jadi untuk mengurangi korupsi sebenarnya tidak perlu pakta, cukup dengan fakta saja.

63

Page 64: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Meditasi Romo Mudji

Koran SINDO

15 September 2014

Pameran sketsa Romo Mudji—yang dibuka hari Rabu, 10 September lalu, di teater arena Taman Ismail Marzuki, TIM, rumah kaum seniman yang bergengsi— memang bergengsi sekali. Kalau tak percaya, lihat saja sendiri apa isi yang dipamerkannya.

Romo orang serbabisa. Pastor Serikat Jesuit, terpelajar, dosen filsafat, esais, pendeknya seniman, aktivis di bidang-bidang yang berhubungan dengan agama dan kebudayaan, serta tekun melukis sketsa-sketsa tampak seperti terbukti di berbagai pamerannya, terutama pamerannya kali ini. Tulisannya, esai-esai tadi, dan sketsa-sketsanya menyampaikan kepada kita suatu kesaksian, seperti digali dari sebuah perjalanan yang sama: perjalanan di muka bumi yang fana ini, tetapi yang dijumput, yang dipetiknya, sebaliknya. Semua kesaksiannya dipilih hanya segi-segi terdalam dari hidup yang di mana pun sangat terasa begitu dangkal dan khas hanya yang bernilai keabadian. 

Setidaknya, ini potret keabadian dari apa yang tak abadi dan serbafana, yang bisa ditampilkan oleh hidup yang memang fana ini. Rupanya, ada juga sisi-sisi keabadian dari hidup dalam serbakefanaan ini. Dan ini pula wujud kontradiksi-kontradiksi, yang sebetulnya ruwet jika dinalar dengar daya pikir. Tapi entah mengapa, di tangan Romo, yang sudah memasuki usia ke 60 tahun—a productive and wonderful sixty —persoalannya menjadi seolah hanya begitu sederhana dan mudah dicerna ketika semuanya terlahir dalam karya demi karyanya, yang filosofis dan religius. 

Siapa yang bisa berkarya dengan kesan luar dan kedalaman isi seperti ini kalau bukan seorang rohaniwan yang memang dilatih memandang hidup, memandang dunia yang eksoterik ini dari segi-seginya yang esoterik? ”Kita tidak heran karena Romo rohaniwan.” ”Tapi apakah semua rohaniwan bisa melakukannya?” ”Agaknya cukup jelas, memang tak semua mereka bisa begitu. Tapi bukankah itu karena Romo orang filsafat, yang terlatih memandang hidup yang ruwet ini menjadi rumusan filosofis yang lebih ruwet lagi?” 

”Tapi bukankah kita tahu, tak semua orang yang dilatih berfilsafat memperlihatkan karya-karya macam itu?” ”Ah, kalau begitu mungkin karena Romo terlahir dari kombinasi orang tua, sang Ayah dari Yogya, dan sang Ibu dari Solo?” ”Kelembutan dan kehalusan Solo dan Yogya, filosofi Jawa, dan cara hidup yang membikin harmonis unsur-unsur yang kontradiktif satu sama lain memang bisa ditangani dengan baik oleh orang Jawa, dari pusat peradaban Jawa itu. Tapi pertanyaan pokoknya, apakah semua orang Solo atau Yogya atau orang yang lahir dari kombinasi Solo-Yogya mampu berkarya seperti itu? ”Ah, begini saja: Romo Mudji ya Romo Mudji. Selesai. Tak usah dibanding-bandingkan karena perbandingan memang tak diperlukan. Melihat karya-karyanya saja belum tentu bisa kita analisis secara jeli dan

64

Page 65: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

mendalam dalam waktu pendek. Apa lagi menelusuri modus-modus eksistensialnya yang lebih kompleks.

Salah satu sketsa itu ada yang memancarkan rasa syukur. Judulnya Kidung Syukur. Orang-orang saleh yang sudah mencapai usia setingkat usia beliau, apalagi yang sudah lebih, apa lagi memangnya yang harus dilakukannya dalam hidup ini bila bukan kekidungan dengan segenap rasa syukur?

Berkidung-kidung, menyanyi-nyanyi, dengan sendirinya bukan yang dipantulkan oleh suara, melainkan oleh kedalaman hati. Mungkin dalam diam. Menjadi ning koyo banyu, jernih bagai air, dan neng koyo watu, diam bagai batu. Dan syukur yang diam itu siapa tahu bila yang keluar justru sebuah tangis, yang dalam, tanpa suara, tanpa bunyi-bunyian. Tangisnya hati yang terdalam.

Sedalam apa pun Danau Toba, orang tahu berapa dalamnya. Bagi yang belum pernah tahu tapi ingin tahu bisa mengetahuinya dengan menggunakan teknologi. Tapi teknologi apa yang bisa kita gunakan untuk mengetahui kedalaman syukur Romo Mudji dalam Kidung Syukur yang dipamerkannya di rumah kaum seniman itu?

Kerendahan hati seorang rohaniwan atau orang biasa yang saleh niscaya menerima segala pemberian langit dengan syukur. Bahkan, ada yang dirasa sudah cukup dan tak perlu diperbanyak. Sayang, Romo Mudji tak bisa menjadi ukuran mengenai betapa dalamnya iman orang Indonesia. Kalau politisi Senayan yang gemar hiruk-pikuk dan pamer komitmen palsu yang berkata ”sudah cukup dan tinggal bersyukur”, pasti skala kebaikan hati bangsa kita bisa dipotret untuk menjadi indikator penting dan bergengsi. 

Kalau para birokrat partai dan nonpartai, bahkan yang datang dari kalangan perguruan tinggi, bisa begitu, negeri ini akan penuh dengan orang-orang baik, saleh, dan mendekati tipologi para santo, para wali, bahkan mungkin juga nabi-nabi. Kalau ini sudah terwujud— tapi KPK pun jelas tidak tahu sama sekali kapan akan terwujud—, negeri ini jelas aman dan amanah. Kita tak perlu partai politik yang berteriak kesucian, tetapi ternyata wakil-wakilnya juga mencuri secara terbuka tanpa malu-malu. 

Orang yang bicara mengenai Kidung Syukur dan satu lagi ”mencari cahaya terang”, melalui karya-karya seninya, mungkin menjadi representasi dari apa yang di dunia sastra Jawa tradisional, wayang, disebut orang yang sudah katoro, katari, katarimah brataniro, itu orang yang sudah dikenal baik oleh kekuasaan ”langit”, dikenal dengan baik, dan pengabdian hidupnya diterima, juga diterima dengan baik, dan karena itu lalu katari, ditanya, ”mau minta apa yang terbaik dalam hidupmu”, dan orang itu akan menjawabnya dengan rendah hati tanpa kata-kata, tanpa bunyi-bunyian, hanya suara hati yang terdengar: ”Matur sembah nuwun, sampun cekap.” Artinya terima kasih banyak, sudah cukup.

Kita tahu, ini mungkin bisa membikin para penguasa langit bergetar, penuh kekaguman. Jadi, ada betul to, orang, di bumi sana, yang merasa sudah cukup itu.

65

Page 66: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Romo, bagaimana rasanya bisa menulis esai-esai, bisa berfilsafat, dan membuat sketsa-sketsa, yang dipamerkan di tempat-tempat bergengsi, terutama di rumah kaum seniman di Taman Ismail Marzuki? Pertanyaan ini, bagi Romo, mungkin membingungkan. Apa jawabnya yang lebih bila bukan rasa syukur yang diungkapkan dengan kidung syukur, yang diam tapi dalam, yang gembira tapi menangis, karena hidup di usia ini tak lain dari syukur dan syukur. Itu mungkin inti meditasi Romo Mudji, meditasi di dalam hidup, di tengah segala yang bising, ruwet, dan pengap, tapi di dalam jiwa ada yang teduh, di dalam apa yang fana ada titik, biarpun kecil, yang abadi.

MOHAMAD SOBARYEsais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

66

Page 67: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Pendidikan Tinggi dan Riset

Koran SINDO

18 September 2014

Pendidikan tinggi meliputi jenjang D-1 sampai S-3 yang fungsinya bergradasi dari menyiapkan tenaga kerja terampil ke tenaga profesional dan peneliti. Mereka diharapkan dapat menjadi tenaga yang berkualitas di berbagai industri. Apa masalah utama kita? 

Industri tinggi seperti elektronik, transportasi, mobil dan motor, industri telekomunikasi, dan komputer masih didominasi negara maju dan impor. Indonesia merupakan pasar besar, tetapi kita tidak berpartisipasi dalam membuat, bahkan cenderung menjual kekayaan alam dan menukarkan kepada barang-barang tersebut. Pengembangan ekonomi dalam arti yang sebenarnya haruslah bertumpu pada riset dan pengembangan teknologi yang kemudian oleh pengusaha diaplikasikan dalam industri.

Sudah saatnya riset dan ekonomi menyatu. Bila departemen pendidikan dipecah, ada baiknya sekolah dasar sampai menengah berada dalam koordinasi menko kesra, tetapi pendidikan tinggi dan riset berada dalam koordinasi menko ekuin. Ini untuk memberikan nuansa perubahan dengan skala besar. 

Politik Belanja Pemerintah 

Peran pemerintah dengan anggaran pembeliannya yang besar akan memberi kesempatan industri tinggi serta riset di dalamnya semakin berkembang. Pengembangan misalnya mobil nasional dengan BBM konvensional dan mobil listrik. Industri ICT bisa dikembangkan dengan politik anggaran dari pemerintah. Pembelian dari pemerintah akan memberi kesempatan industri untuk berlanjut dan riset teknologi yang menyertainya juga berkembang.

Wacana penggantian mobil menteri ini kesempatan emas, mungkin dalam tiga atau empat tahun memakai mobil lama dari dan pada tahun kelima mobil ESEMKA yang lebih berkualitas sudah siap. Mobil nasional tentu saja tidak harus diciptakan semua di dalam negeri. Kerja sama dengan produsen mobil luar untuk berbagai komponen tentu saja diperlukan. Menugaskan salah satu BUMN untuk merakit mobil nasional adalah yang paling mungkin mengingat misinya sebagai pionir. Sekolah vokasi (D-1) automotif perlu terus dikembangkan diberi tugas yang sesuai dan perguruan tinggi diberi kesempatan melakukan riset pengembangan dari desain sampai pada inovasi yang memungkinkan dari komponen mobil.

Visi maritim pemerintahan baru pantas disambut dengan sekolah vokasi nelayan modern. Pada riset bidang pangan bioteknologi harus terus-menerus dilakukan. Kita berlomba dengan waktu. Penduduk kita masih bertambah tiga juta orang setahun. Jumlah ini sepadan dengan

67

Page 68: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

satu negara kecil setiap tahun. Agenda penelitian untuk memenuhi kebutuhan pangan baik secara intensifikasi yaitu perlunya meningkatkan produktivitas untuk memenuhi pertumbuhan tiga juta penduduk per tahun dan ekstensifikasi dengan memuliakan kembali tanah yang telantar di luar Jawa. Sekolah SMK peternakan dan pengolahan daging modern perlu dibentuk. Harus ditambahkan kata modern untuk memberi sugesti kebaruan untuk menarik generasi muda. 

Sebagai pionir sekali lagi perlu dibentuk BUMN sapi untuk misalnya mengembangkan sapi di NTT dan Papua. Papua dengan rumput menghijau sepanjang tahun sungguh memalukan kita mengimpor sapi. Di pelabuhan Sorong sapi itu sudah diolah oleh BUMN perintis dan harus dapat dipasarkan di supermarket. Ini harus dikaitkan dengan izin supermarket dengan kata lain bekerja all out.

Riset energi terbarukan dari tanaman mungkin menimbulkan konflik dan masalah, mobil dan motor berbasis baterai adalah solusinya. Energi dari batu bara yang ramah lingkungan, gas, panas bumi, angin, energi surya, dan energi nuklir yang akan menuai reaksi internasional harus digarap secara simultan. 

Angka Partisipasi Perguruan Tinggi 

Beban riset di atas tentu saja diperuntukkan untuk universitas kelompok atas, bagaimana dengan perguruan tinggi menengah bawah apakah peran pentingnya dalam bidang ekonomi. Kemajuan bangsa tidak lain terletak pada kualitas SDM secara umum, peran perguruan tinggi untuk memperbaiki SDM akan melahirkan kualitas usaha-usaha yang ada dari bisnis-bisnis kecil dalam keluarga sampai pada perusahaan-perusahaan yang dikelola secara profesional. Yang penting integrasi pendidikan tinggi dengan permasalahan bangsa terus harus dilekatkan, merespons dari lemahnya mental, moral yang rendah, korup, dan masalah ekonomi, manajemen, dan teknologi. 

Tingkat partisipasi ke perguruan tinggi memberikan kontribusi kemajuan bangsa secara umum. PTN hanya berjumlah 100 dan 52 di bawah Kementerian Agama. PTS berjumlah lebih dari 3000, peran PTS dalam meningkatkan partisipasi umum ini perlu. Pemerintah masih bisa berperan di PTS dengan lima hal: 1) Penempatan PNS di PTS, 2) Pembayaran sertifikasi pendidik, 3) Hibah-hibah program dan peralatan, 4) Beasiswa studi lanjut di dalam dan luar negeri, 5) Membiayai berbagai penelitian. 

Di samping daftar di atas untuk mempercepat ada program studi dan penelitian yang mendukung visi negara maritim, kepelabuhanan, dan perkapalan juga sangat memungkinkan penempatan program studi pemerintah yang mendukung baik di PTN dan PTS. Di PTN hal tersebut bukan barang baru, melainkan bisa juga ditempatkan program milik pemerintah di PTS. Ini sudah ada payung hukumnya, hanya memerlukan sedikit inovasi yaitu: 1) Mengangkat dan menempatkan sekitar 20 pengajar di PTS yang terkonsentrasi pada prodi baru yang dinginkan. 2) Kebutuhan laboratorium diadakan dengan hibah, 3) Manajemen prodi dititipkan kepada PT swasta dengan kontrak. 

68

Page 69: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Internasionalisasi Perguruan Tinggi dan Publikasi 

Globalisasi dan internasionalisasi mendorong perguruan tinggi menjalin hubungan antarbangsa. Profesor dan pengajar profesional serta mahasiswa melakukan mobilisasi pendidikan dan penelitian. Globalisasi pendidikan merupakan pemantik dari globalisasi sosioekonomi. Diharapkan, 10% dari perguruan tinggi di Indonesia bermain pada ranah global. Perguruan tinggi di dunia dilakukan ranking dengan penilaian berbagai sektor. Di antara sektor yang ada yang paling menghasilkan riset dan publikasi ilmiah. Publikasi di jurnal ilmiah diberi poin yang tinggi dalam tugas para pengajar. 

Namun, riset dan publikasi tersebut sering tidak terkait pengembangan industri dalam negeri. Sebaliknya, sering riset dan publikasi tersebut merupakan kebutuhan negara maju. Poin yang lebih tinggi perlu diberikan kepada karya-karya yang bermanfaat pada pengembangan sosial dan ekonomi dalam negeri. Menulis di koran seperti ini sangat penting dalam mencerahkan bangsa daripada publikasi jurnal untuk kepentingan industri di negara maju. Menulis di jurnal internasional untuk mata rantai industri negara maju poinnya 40, sedangkan karya kami ini hanya bernilai 1 poin. 

PROF BAMBANG SETIAJIRektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

69

Page 70: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Demokrasi versi Media

Koran SINDO

19 September 2014

Menarik menyimak kembali pernyataan Presiden SBY saat membuka Rapat Pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Istana Negara beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa kebebasan dapat berpotensi korup sebagaimana kekuasaan yang cenderung korup. Menganalogikan dalil kekuasaan Lord Acton, SBY mengatakan, “Liberty also can corrupt. Absolute liberty corrupt absolutely.”

Pernyataan ini setidaknya merefleksi dinamika politik pada pesta demokrasi 2014 di panggung media. Pesta demokrasi lima tahunan bangsa ini memang telah usai. Laju sistem demokrasi kita di satu sisi memang layak mendapatkan apresiasi mengingat pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) telah landing pada landasannya. 

Recovery politik pun niscaya segera dilakukan. Rakyat pendukung, elite politisi, maupun para kontestan calon pemimpin bangsa sudah harus melakukan rekonsiliasi nasional. Inilah saatnya merajut kembali temali kebangsaan yang sebelumnya tampak merenggang. Namun, di sisi lain, masih banyak elemen demokrasi yang butuh dievaluasi, terutama evaluasi atas peran media. Kita tentu masih ingat, betapa masyarakat Indonesia sempat sedemikian dibingungkan oleh keriuhan media dalam pemberitaan televisi terhadap calon presiden dan wakil hingga klimaks pada upaya saling klaim kebenaran hitung cepat (quick count). 

Fakta politisasi media (televisi) musti dibaca sebagai catatan merah dinamika penyiaran nasional meski secara faktual tidak ada media yang sepenuhnya netral. Namun, seharusnya mainstreaming keberpihakan pada politik dan kekuasaan tak lantas menciderai pula prinsip keberimbangan (cover both sides) dan prinsip kejernihan informasi. Jika prinsip-prinsip ini dilanggar, media (televisi dan pers) telah mengingkari eksistensinya sebagai pilar demokrasi. 

Framing Media 

Meminjam Eriyanto (2007), framing media merupakan cara penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu melalui bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lain. Maknanya, ketika media melakukan framing politik, sejatinya media tersebut sedang melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kebenaran politik. Itu dilakukan melalui pilihan bahasa, pembingkaian peristiwa, dan penyediaan ruang dan waktu untuk satu berita politik tertentu.

70

Page 71: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Bahasa dalam framing tidak semata-mata dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar media. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena itu, evaluasi atas peran media di tengah dinamika politik meniscayakan dampak psikologis berupa pengikisan kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi media.

Secara teknis dalam sebuah framing media selalu ada pihak yang diafirmasi (ditonjolkan) dan ada pihak yang dinegasi (disingkirkan). Bagi pihak yang diafirmasi, akan dimunculkan kesan empatik, asosiasi, serangkaian keunggulan, dan kebaikan. Sebaliknya, pihak yang dinegasi akan dimunculkan kesan stigmatis. Karena media merupakan ruang besar (big hall) bagi publik untuk memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial, bingkai realitas tertentu yang diproduksi media berpengaruh pada cara pemirsa menafsirkan sebuah peristiwa.

Pada tahap ini pemirsa bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, mereka individu aktif dalam menafsirkan suatu sajian media. Justru itulah muncul dampak beragam dari framing media ini. 

Kebingungan Massal 

Media terutama televisi telah menjadi referensi sosial. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur oleh jadwal program. Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya, masyarakatlah yang menjadi cermin televisi (Piliang, 1998: 237). Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Dengan begitu, televisi telah membentuk satu dunia tersendiri yakni sebuah dunia buatan yang justru lebih nyata dan lebih riil dibanding realitas yang sebenarnya.

Televisi kini ini tak ubahnya seperti Dewa Janus yang berwajah ganda. Di satu sisi ia menampakkan wajah negatif sebagai “tabung kebodohan” yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajah yang lain ia disebut secara positif sebagai panduan baru, “jendela melihat dunia”. (Mehdi Aghinta Hidayat, 2000:31). Karena itu, semua elemen bangsa harus segera menyadari secara kritis agar senantiasa mengambil jarak (kritis) terhadap setiap informasi framing televisi. 

Bagaimanapun keberpihakan media atas politik kekuasaan telah mendekonstruksi idealisme misi media sebagai jendela informasi sekaligus memosisikan kognisi masyarakat pada kebingungan massal. Skeptisisme psikologis yang ditanamkan media sejatinya telah pula menumbuhkan skeptisisme massal terhadap eksistensi demokrasi dan politik, mengingat media telah melegitimasi diri sebagai corong demokrasi. Akibatnya, dapat menurunkan tingkat partisipasi politik rakyat pada masa mendatang seiring menebalnya apatisme terhadap dinamika politik. Di titik ini, media harus segera melakukan evaluasi dan otokritik dalam upaya menjernihkan kembali informasi yang diproduksi untuk publik. Ini dilakukan semata-mata untuk menyehatkan kognisi sosial dari limbah informasi yang simpang siur. Karena jika

71

Page 72: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

media tidak sehat, akan terjadi wabah penyakit yang menyerang akal budi dan psikologis secara massal.

Demokrasi yang sehat memang tercermin dari dunia media yang sehat. Tetapi, demokrasi bukanlah milik media. Demokrasi itu milik rakyat (people centered democracy). Jika demokrasi telah diambil alih oleh media (media centered democracy), dikhawatirkan pernyataan SBY di atas akan menjadi kenyataan. Karena itu, media boleh bebas, namun harus bertanggung jawab, jernih, objektif, dan berorientasi pada upaya edukasi masyarakat. Semoga!

DANANG SANGGA BUWANAKomisioner KPI Pusat 

72

Page 73: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Pendidikan Miskin Imajinasi

Koran SINDO

19 September 2014

Semua kemajuan sains dan teknologi supercanggih yang membuat kita kagum dan tercengang semula berawal dari kekuatan imajinasi manusia. Adalah Christopher Columbus (1451-1506) yang menggemparkan penduduk Eropa setelah berhasil mendarat di Pulau Bahama (1492) karena keberanian berimajinasi untuk menaklukkan lautan lepas yang semula tak terbayangkan. 

Penduduk Eropa pun gempar dan mulai membayangkan adanya dunia baru untuk dijelajahi yang pada urutannya dunia baru itu bernama Amerika. Ini benar-benar menjanjikan kehidupan baru yang lebih bebas ketimbang Eropa. Begitu pun Thomas Alva Edison (1847-1931) yang selalu mendapatkan nilai buruk di sekolah sehingga ibunya mengajar sendiri di rumah. Karena kekuatan imajinasinya dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, ia dikenal sebagai pemegang rekor 1.093 hak paten atas namanya. Yang paling fenomenal dan historikal adalah penemuan lampu listrik. 

Demikianlah, masih terdapat sederet nama besar yang mengilhami kita semua yang namanya tertulis dengan tinta emas dalam buku-buku sejarah yang kemudian dibaca berulang-ulang oleh jutaan pelajar dan mahasiswa. Anak-anak Nusantara ini sesungguhnya dianugerahi talenta yang hebat. Mereka memiliki daya imajinasi yang luar biasa sehingga mampu mewariskan karya seni kelas dunia seperti bangunan Candi Borobudur dan Prambanan. Kehebatan dan kebesaran candi itu bukan semata terletak pada wujud fisiknya, tetapi juga nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang terkandung di dalamnya. Begitu juga dunia simbolik dalam pewayangan yang amat kaya dengan wisdom dan imajinasi. Bahkan Gatotkaca lebih dahulu terbang ke angkasa sebelum tercipta pesawat terbang.

Problem kita adalah hanyut pada budaya melankolis dan seremonial, tetapi sangat lemah dalam tradisi riset empiris-ilmiah untuk menciptakan karya-karya yang langsung mendatangkan kesejahteraan serta nilai tambah bagi masyarakat. Ini yang membedakannya dengan imajinasi yang tumbuh dalam masyarakat Barat yang dikaitkan dan diarahkan pada perbaikan dunia empiris melalui inovasi sains sehingga muncul temuan-temuan teknologi mutakhir yang disebut artificial intelligence dan artificial body. 

Proses awal penemuan teknologi itu berangkat dari kejelian berimajinasi berdasarkan bacaan terhadap semesta. Mungkin sekali dahulu para penemu mobil itu iri pada kecepatan hewan-hewan ketika berlari. Tuhan telah menganugerahkan hewan bisa lari kencang, tetapi manusia diberi keunggulan anugerah otak (head), tangan (hand), dan perasaan untuk berkehendak (heart) sehingga dengan kekuatannya itu manusia berhasil menciptakan teknologi kendaraan

73

Page 74: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

yang kecepatannya melebihi hewan yang mereka kagumi. Sebagai apresiasi atau simbol kemenangan, mobil-mobil itu pun diberi nama hewan seperti kijang, kuda, panther, jaguar. Lalu logo dan nama-nama pesawat terbang pun diambil dari nama burung.

Jadi, semesta ini sebelum diposisikan sebagai objek eksplorasi dan eksploitasi oleh pemilik modal uang, mesin, dan politik semula merupakan kitab terbuka yang menggugah imajinasi kita. Sekian banyak lirik lagu bagus juga terinspirasi oleh keindahan alam. Disayangkan, anak-anak kita sekarang semakin terjauh dari alam. Mereka lebih asyik bermain pada artificial nature yang dihadirkan komputer. Seakan mereka berada dalam alam sungguhan, padahal mereka tak lebih berada dalam dunia maya (virtual world).

Jangan diragukan sumbangan komputer bagi pendidikan dan melatih imajinasi. Tapi ketika komputer lebih banyak menyajikan permainan, games for fun, yang terjadi adalah proses penumpulan imajinasi anak dan hilangnya kepekaan sosial. Anak-anak tak lagi bergetar hatinya melihat berita perang di TV, misalnya yang terjadi di Gaza, karena permainan perang-perangan mereka jauh lebih seru dan mengasyikkan. Saling tembak, tendang, dan bunuh menjadi permainan yang akrab bagi anak-anak sekarang. Mereka melihat dan melakukannya di dunia maya, tetapi dampak negatifnya terjadi pada dunia nyata.

Di samping asyik menghabiskan waktu dengan permainan komputer, lemahnya pelajaran humaniora juga telah memiskinkan daya imajinasi anak-anak. Sejarah dan buku-buku novel sangat membantu membangkitkan daya imajinasi anak, tetapi sekarang tergeser oleh kursus matematika dan bahasa Inggris yang menekankan hafalan demi untuk lulus ujian nasional. Kenyataan ini menyedihkan mengingat bangsa Indonesia itu sangat majemuk, lagipula kita hidup di era multiple intelligences. Jadi, pendidikan mesti semakin menawarkan banyak alternatif pilihan studi, pengembangan minat dan bakat, karena Indonesia realitasnya memang beragam dari berbagai aspeknya, sementara dunia kerja menuntut intellectual adaptability dan skill interconnectivity. Jadi, keahlian tertentu sangat diperlukan, tetapi mesti memiliki kemampuan kerja sama dan komunikasi sosial yang baik.

Muara dari pendidikan itu pembangunan budaya bangsa. Jadi hakikatnya pendidikan adalah agenda membudidayakan anak-anak bangsa untuk memakmurkan dan memajukan penduduk bumi bersama bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya lewat pendidikan anak-anak kita antarkan agar menjadi warga dunia yang berbudaya dan berkeadaban, merayakan anugerah hidup dalam dunia yang semakin warna-warni yang merupakan anugerah Ilahi. Lets accept the differences, respect the differences, share the differences, and celebrate the differences. ●

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYATRektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat 

74

Page 75: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Akhlak Pemimpin Publik

Koran SINDO

19 September 2014

Publik tentu masih ingat ilustrasi Amien Rais tentang Perang Badar saat menjelang pilpres lalu. Saat situasi politik sedang memanas akibat dukung-mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), tokoh reformasi itu mengatakan bahwa ada partai politik tertentu yang berperilaku laksana pasukan yang turut berperang dalam Perang Badar, tetapi bertujuan untuk memperoleh harta rampasan perang. 

Analogi Perang Badar di tengah suasana politik yang memanas saat itu kemudian memicu kontroversi karena dianggap telah membawa ihwal yang bersifat primordial yakni agama dalam konteks pilpres yang notabene termasuk ranah politik. Kritik berbagai kalangan terhadap ilustrasi Amien Rais pun bertubi-tubi. Itu dapat dipahami karena Amien Rais adalah pendukung utama Prabowo-Hatta. Apalagi Perang Badar merupakan jihad suci yang melibatkan Rasulullah dan para sahabat. 

***

Di luar perdebatan yang muncul akibat analogi Amien Rais tersebut, para pemimpin publik negeri ini sejatinya dapat mengambil pelajaran tentang kepemimpinan Rasulullah dalam Perang Badar. Apalagi jika para pemimpin becermin pada kondisi yang dihadapi bangsa ini, terutama saat memasuki transisi kepemimpinan nasional pascapilpres. Persaingan dan dukung-mendukung capres kini sudah usai. Yang dibutuhkan adalah semangat kebersamaan untuk membangun bangsa. Untuk itulah, para pemimpin perlu meneladani Rasul dan para sahabat tatkala menghadapi situasi yang sangat sulit waktu Perang Badar.

Dikisahkan bahwa pada Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan yang berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta. Dengan sarana transportasi yang terbatas, Nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak perjalanan antara Madinah dan Badar diperkirakan 150 kilometer. Mengingat sulitnya medan dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta dinaiki tiga atau empat orang secara bergantian. Nabi pun mendapatkan bagian yang sama dengan sahabat lain. Selama perjalanan para sahabat beberapa kali menawari Nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Tetapi, tawaran itu ditolak Nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah kebersamaan. 

Rasanya inilah teladan yang perlu dijadikan spirit bagi setiap pemimpin dan pejabat publik. Pemenang pilpres, Jokowi-JK, yang sedang menunggu pelantikan sebagai presiden dan wakil presiden perlu mengambil pelajaran dari keteladanan Nabi tatkala beliau memimpin pasukan

75

Page 76: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

dalam Perang Badar. Pasangan Jokowi-JK harus meneladani perilaku Nabi Muhammad yang menunjukkan satunya kata dengan perbuatan.

Nabi jelas sekali menunjukkan bahwa tidak sepantasnya seorang pemimpin meminta fasilitas saat rakyat sedang menghadapi kesulitan. Itu dilakukan Nabi dengan tulus untuk membangun kebersamaan, bukan sekadar pencitraan. Bandingkan dengan realitas di negeri ini, terutama saat terjadi pergantian kepemimpinan kepala daerah. Juga saat pergantian anggota legislatif provinsi dan kabupaten/ kota. Mereka umumnya meminta fasilitas yang serbabaru, termasuk mobil dinas yang mewah. Padahal mobil dinas yang lama masih layak pakai. Tentu saja perilaku demikian tidak menunjukkan sikap yang berempati pada rakyat. 

***

Dalam Perang Badar juga diungkapkan betapa penting dukungan rakyat pada pemimpin yang mau berjuang untuk kepentingan masa depan bangsa. Dikisahkan bahwa tatkala pasukan muslim telah berhadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1000 orang dengan fasilitas transportasi unta yang berlimpah, Nabi sempat meminta pendapat pada sahabat. Beliau berseru dengan suara yang bergetar; ”Wahai para sahabat, berikanlah padaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?” Seorang sahabat dari golongan Muhajirin bernama Miqdad bin Amir maju seraya berkata; ”Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah. Kami akan tetap berjuang bersama tuan. Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil pada Nabi Musa yang mengatakan; Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan berperanglah.” Komitmen serupa juga ditegaskan Saad bin Muadz dari golongan Anshar.

Dukungan para sahabat terhadap Nabi ini penting dijadikan teladan bagi rakyat. Itu berarti semua elemen bangsa harus memberikan dukungan pada pemimpin yang telah dipilih rakyat melalui jalan demokrasi dengan segala kekurangannya. Syaratnya, pemimpin itu benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, kita harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya. 

Karena itu, kita harus mengapresiasi gagasan Jokowi yang menghendaki anggota kabinetnya menanggalkan jabatan di partai politik. Sayang sekali, gagasan segar Jokowi itu sempat ditolak partai pendukungnya. Padahal gagasan itu penting untuk meningkatkan kinerja menteri sehingga benar-benar total bekerja sebagai pelayan rakyat.

Dengan bermodalkan dukungan yang kuat dari para sahabat, Nabi memimpin Perang Badar dengan penuh optimisme. Untuk menguatkan keyakinan dalam berjuang, sejenak Nabi menghadapkan wajah ke kiblat guna bermohon pada Allah agar diberi pertolongan. Setelah merasa yakin doanya dikabulkan Allah, Nabi dan para sahabat maju ke medan laga dengan semangat berlipat. Dengan perjuangan dan bantuan Allah, Nabi dan para sahabat berhasil menaklukkan pasukan Quraisy yang berjumlah tiga kali lipat dari pasukan muslim (QS Al-Anfal : 9).

Peristiwa dalam Perang Badar memberikan pelajaran bahwa untuk mengatasi problem yang dihadapi, yang harus dilakukan pemimpin adalah selalu mendekatkan diri pada Tuhan.

76

Page 77: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kedekatan pada Tuhan ini penting karena dapat memberikan keyakinan dan energi yang luar biasa untuk keluar dari berbagai persoalan. Bukankah saat ini kita sedang menghadapi berbagai persoalan sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan politik yang tidak ringan? Jika kita tidak berhasil mengatasi problem tersebut, bangsa ini pasti akan berpotensi menjadi negara gagal (failed state).

Karena itulah, kita berharap pemimpin publik negeri ini mengambil pelajaran dari akhlak Rasulullah tatkala memimpin Perang Badar. Semoga Jokowi-JK dapat membentuk pemerintahan baru dengan semangat mengabdi demi masa depan bangsa yang lebih berdaulat dan bermartabat.

BIYANTODosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Miskin vs Sejahtera

77

Page 78: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Koran SINDO

20 September 2014

Apakah Indonesia termasuk negara miskin atau negara sejahtera? Ini bisa dinilai dari GNP per kapita, persentase penduduk miskin, angka melek huruf, prevalensi gizi kurang, dan sebagainya. Secara kualitatif, kemiskinan di negara kita teramati dengan baik ketika kita melihat masyarakat berebut daging korban saat Idul Adha, antre menunggu zakat yang dibagikan orang kaya menjelang Lebaran, atau berdesakan kala pembagian Raskin/BLSM. 

Kalau jumlah orang miskin di Indonesia “hanya” sekitar 28 juta dan pembagian Raskin ditujukan kepada hampir 80 juta penduduk kita, muncul pertanyaan: berapa sebenarnya jumlah orang miskin di negeri yang subur makmur gemah ribah loh jinawi ini? Jawaban yang pasti adalah orang miskin di sekitar kita banyak. Sebab itu, pekerjaan rumah (PR) untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera bukan pekerjaan mudah.

Ada beberapa bangsa di dunia yang termasuk tua dalam usia, namun tetap belum dikatakan sejahtera hingga saat ini. Mesir dan India adalah bangsa tua. Ribuan tahun lalu dua bangsa ini telah melahirkan peradaban yang lebih maju dibandingkan bangsa-bangsa lain. Namun, dalam perjalanan waktu hingga memasuki abad milenium, dua bangsa ini masih bergelut dengan persoalan bagaimana mengentaskan bangsanya dari keterpurukan.

Sementara ada bangsa-bangsa yang dapat dikatakan muda dalam usia, tetapi kini menjadi panglima ekonomi dalam percaturan hubungan antar bangsa. Kanada, Australia, atau Selandia Baru adalah negara-negara maju. Pembangunan di negara-negara tersebut baru diawali 150 tahun lalu. Amerika Serikat adalah negara melting pot yang kini berusia sekitar 200 tahun dibangun oleh bangsa-bangsa aneka ras yang tentu saja awalnya memiliki beragam budaya. Kini ras-ras di Amerika bersatu padu mewujudkan the American Dream, menjadi bangsa yang disegani dan rakyatnya hidup sejahtera. Negara-negara tersebut dengan kemampuan iptek, budaya, dan karakter bangsanya mampu menjadikan dirinya menjadi negara maju. Rakyat miskin di negara tersebut masih ada, namun jumlahnya relatif sedikit dan orang-orang miskin di negeri maju ini mendapat tunjangan kesejahteraan untuk menopang kebutuhan hidup minimalnya.

Bangsa Indonesia baru merdeka 68 tahun. Kalau ada yang menyebutkan kita belum sejahtera, tidak apa-apa. Kita bangga menjadi negara bahari, negara agraris, negara subur dengan kekayaan alam yang luar biasa termasuk sumber daya pertambangan yang tersebar di berbagai pulau. Namun, apakah sebutan-sebutan tersebut menjadikan kita lebih mudah untuk menjelma menjadi bangsa yang makmur? Ternyata, aset alam yang kita miliki tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyatnya. Jumlah petani atau nelayan miskin masih sangat banyak. Mereka turun-temurun terklasifikasi sebagai gurem yang tetap harus bekerja keras bermandikan lumpur dan tertimpa terik matahari di laut lepas, sekadar untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan biologisnya yang paling mendasar yaitu pangan. 

78

Page 79: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Jepang adalah contoh konkret negara maju meski miskin sumber daya alam. Sekitar 80% daratannya bergunung-gunung, tidak dapat untuk menopang pertanian atau peternakannya. Lahan pertanian di Jepang berkurang 20% selama 45 tahun. Selain itu, pemanfaatannya juga menurun secara signifikan. Namun, kita tidak pernah melihat orang Jepang antre beras dalam operasi pasar. Negara Matahari Terbit ini seolah tenang-tenang saja meski ketersediaan pangan hasil produksi dalam negeri senantiasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Jepang adalah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta. Kesembadaan pangannya hanya sekitar 40% berdasarkan basis kalori dan untuk biji-bijian sekitar28%. Kesembadaan biji-bijian ini jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia (85%), India (91%), dan Bangladesh (97%). Jepang mengimpor bahan-bahan mentah dari berbagai negara dan kemudian menyulapnya melalui iptek canggih menjadi barang jadi. Ekspor barang jadi made in Japan membanjiri pasar dunia dan mendatangkan devisa untuk kemakmuran bangsanya. Jepang laksana negara industri terapung yang besar sekali. Padahal, pada 1945 negeri ini porak-poranda akibat kalah dalam Perang Dunia II.

Swiss adalah negeri kecil yang daratannya hanya 11% yang bisa ditanami. Namun, dari Swiss inilah kita bisa merasakan cokelat yang paling lezat. Industri cokelat, susu, dan perbankan di Swiss pantas untuk disebut berkelas dunia.

Lalu, apa yang kurang dari negeri kita tercinta? SDM (Sumber daya manusia) berlimpah, upah tenaga kerja sama murahnya dengan China yang kini menjadi kekuatan ekonomi dunia, alamnya hijau subur, dan lautnya biru membentang luas. Ternyata Indonesia dinilai masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Thailand dan Vietnam menjadi eksportir penting produk-produk serealia dan hortikultura. Singapura, Filipina, dan Malaysia menawarkan kualitas pendidikan yang lebih bermutu dan menjaring lulusan-lulusan SMA (sekolah menengah atas) kita. Kita sampai kini masih sibuk bersilat lidah tentang bagaimana memberikan perlindungan jutaan TKI (tenaga kerja Indonesia) yang mencari nafkah di negeri jiran.

Kecerdasan orang-orang Indonesia tentu tidak kalah dibandingkan orang-orang di negara maju. Kita mempunyai tokoh sekaliber Habibie. Banyak mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri berprestasi baik dalam pencapaian akademisnya, bahkan memunculkan kekhawatiran terjadi brain drain. Mungkin ada yang berpandangan orang Indonesia kurang disiplin, tidak menghargai waktu, atau malas. Ternyata, ketika mereka menjadi karyawan yang bekerja di sektor industri di negara maju, mereka menjelma menjadi SDM yang sangat dapat diandalkan.

Jadi, tidak sejahteranya suatu negara sebenarnya ditentukan oleh karakter budaya, pendidikan, dan sikap hidup yang ditunjukkan warganya yang mungkin telah berurat-berakar puluhan tahun. Karakter bangsa-bangsa yang maju adalah: beretika, jujur, bertanggung jawab, taat aturan dan hukum, cinta pada pekerjaan, mau bekerja keras, dan disiplin menghargai waktu. Kalau birokrasi kita diisi oleh orang-orang yang tidak cinta pada pekerjaan, pegawai-pegawai yang tidak disiplin, tidak jujur, dan hanya berorientasi proyek

79

Page 80: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal, serta cenderung melanggar aturan, jangan pernah berharap untuk menjadi bangsa yang sejahtera. 

Mau berubah atau masih ingin miskin? Mengentaskan kemiskinan bukan persoalan mudah. Berbagai program telah dilaksanakan seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), subsidi Raskin, BPJS, Kartu Pintar, dan sebagainya. Kemiskinan memang bukan melulu persoalan kita akan memberi ikan atau kail. Rantai kemiskinan akan terputus apabila rakyat Indonesia mampu mengakses pendidikan dengan baik. Pendidikan akan membekali masyarakat untuk menjadi SDM yang kreatif dan mandiri. Sebab itu, wajib belajar tidak cukup hanya sembilan tahun, tetapi harus ditingkatkan menjadi 12 tahun. Jangan ada lagi perbedaan akses pendidikan antara rakyat yang tinggal di wilayah timur dan barat Indonesia. Pendidikan untuk semua harus menjadi tekad pemerintah baru mewujudkan bangsa yang lebih sejahtera. ●

ALI KHOMSAN Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Pakta Integritas 2

80

Page 81: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Koran SINDO

21 September 2014

Pada hari tulisan saya tentang “Pakta Integritas” dimuat di KORAN SINDO, Minggu lalu (14 September 2014), pada pagi yang sama saya mengikuti kegiatan pengajian rutin bakda subuh di Masjid Al Irfan dekat rumah saya di Kompleks UI, Ciputat. Majelis pengajian yang anggotanya bapak-bapak dan ibu-ibu penghuni kompleks ini berbeda modelnya dari majelis-majelis taklim lain. 

Di majelis kami, para anggota yang rata-rata dosen senior (bahkan banyak yang sudah purnabakti) saling berbagi tentang ilmu atau pengalaman masing-masing, untuk kemudian dibahas bersama dan kemudian disimpulkan oleh ustaz kami yang guru besar di UIN (karena anggota majelisnya banyak profesornya, ustaznya juga profesor) yaitu Prof Dr Fahrurozi.

Kebetulan yang mendapat giliran membacakan makalahnya pagi itu Bapak Haji Sugiarto (rata-rata anggota majelis kami sudah haji dan hajah) yang pakar administrasi publik dan kebetulan muazin masjid. Makalah beliau pada pagi itu bertajuk “Makna Hidup dalam Kehidupan Islam”. Dalam makalah itu Pak Sugiarto menyampaikan delapan petunjuk Allah SWT yang terdapat dalam Alquran agar setiap langkah hamba-hamba-Nya selalu lurus dalam nikmat dan rahmat Allah SWT agar hamba-hambanya terhindar dari sifat-sifat yang negatif seperti dengki, khianat, munafik, batil, syirik, iri hati, ria, dan sebagainya.

Menurut saya, makalah Pak Sugiarto ini menarik karena beliau begitu rajin mengumpulkan delapan petunjuk itu dari Alquran. Masa lalu usaha Pak Giarto ini membutuhkan waktu berjam-jam, atau mungkin berhari-hari, untuk membolak-balik Alquran dan mencari ayat-ayat terkait satu persatu (kecuali kalau beliau hafal Alquran). Untunglah, dengan fasilitas komputer dan internet zaman sekarang, upaya beliau bisa diselesaikan dalam hitungan menit saja. Tetapi, yang lebih menarik lagi adalah karena makalah Pak Sugiarto ini pas betul nyambung dengan tulisan saya di KORAN SINDO pada hari yang sama. 

***

Delapan petunjuk yang dimaksud adalah: (1) Jangan bicara tidak sesuai dengan kenyataan (Ash Shaff, 061: 203); (2) Jangan bersekongkol dengan kejahatan (Al Mujaadilah, 058: 9); (3) Jangan berprasangka buruk (Al Hujaraat, 049: 12); (4) Jangan mengungkit-ungkit amal ibadah (Al Baqarah, 002: 264); (5) Bertakwalah dan berbicara yang benar (Al Azhaab, 033: 70-71); (6) Berkawanlah dengan orang yang benar (At Taubah, 009: 119); (7) Wajib berlaku adil; dan (8) Bersabar dan bertaubatlah (Ali Imran, 003: 200). Kalau kita perhatikan baik-baik, akan bisa kita simpulkan bahwa delapan petunjuk Allah SWT itulah yang di dalam ilmu psikologi disebut sebagai kepribadian yang berintegritas. 

Kalau semua atau mungkin sebagian besar (kalau tidak bisa semua) pemimpin bangsa ini bisa memenuhi delapan petunjuk itu, insya Allah negara dan bangsa akan makmur sejahtera.

81

Page 82: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Tetapi, kalau tidak, rakyat pasti akan menderita. Kita lihat saja bagaimana dalam kehidupan sehari-hari petunjuk-petunjuk itu dipraktikkan atau tidak oleh para pemimpin masyarakat kita.

Beberapa waktu lalu seorang perwira menengah polisi dan seorang anak buahnya yang bertugas di Kalimantan Barat tertangkap PDRM (Polis Di Raja Malaysia) karena dicurigai menyelundupkan narkoba. Oknum itu akhirnya dilepas oleh PDRM karena kekurangan barang bukti. Namun, setelah diselidiki oleh Provost Polri justru terbukti bahwa dia memang terlibat jaringan narkoba, bahkan selama bertugas di Sumatera Utara (sebelum dipindah ke Kalbar), oknum itu kedapatan dua kali berselingkuh. Padahal di lingkungan tetangganya oknum ini dikenal sebagai warga yang rajin ngumpul-ngumpul di masjid, dan terkadang menjadi imam salat berjamaah. Di atas meja kantornya terletak dua Alquran (menurut laporan TV), bahkan dahinya bernoda hitam, tanda bahwa oknum ini tidak pernah meninggalkan salat. 

Contoh lain adalah ustaz yang merangkap dukun. Ustaz yang kondang, berwajah tampan, dan beristrikan artis ini ternyata mengaku bisa menyembuhkan segala penyakit. Tekniknya dengan membaca ayat-ayat Alquran, mematikan lampu, dan setelah lampu dinyalakan dia sudah menggenggam ulat di tangannya, yang diklaim berasal dari ubun-ubun pasiennya. Untuk penipuan itu, ustaz gadungan itu menetapkan tarif sampai belasan juta rupiah pada pasien-pasiennya. Akhirnya pengadilan memvonisnya bersalah dan si “uskun” (ustaz-dukun) ini harus masuk bui karena membohongi dan memeras pasien-pasiennya. 

Dua contoh ini jelas melanggar petunjuk Allah SWT karena bicara tidak sesuai dengan kenyataan, bersekongkol dengan yang jahat, tidak bertakwa, memeras dan tidak berlaku adil, dan ingin buru-buru kaya, yang artinya tidak bersabar dan jelas tidak bertaubat. Kalau mereka bertaubat, jelas tidak akan sampai tertangkap polisi. Dua contoh itu juga membuktikan bahwa orang-orang yang seharusnya berhati mulia di mata masyarakat justru bisa berlaku nista.

Kalau ditarik ke tingkat yang lebih tinggi, kita akan menemukan kelakuan yang melanggar petunjuk Allah SWT itu dilakukan juga oleh para pejabat tinggi, para jenderal, bahkan para menteri dan gubernur BI. Tangkapan-tangkapan KPK merupakan bukti yang tak terbantahkan.

Tetapi, bukan itu saja. Pelanggaran-pelanggaran yang tidak bisa dijangkau oleh KPK juga terus terjadi, khususnya di bidang politik. Apa saja isu atau polemik dalam bidang politik yang sedang seru diperbincangkan hari ini, hampir selalu mengandung prasangka buruk, mengungkit-ungkit amal ibadah orang lain dan melabelinya dengan dosa, kafir, musyrik, dan lain-lain, serta tidak berbicara yang benar walaupun demi kemaslahatan umat. Itulah yang dinamakan tidak berintegritas. Padahal para pemimpin itu semua pernah menandatangani pakta integritas atau minimal mengucapkan sumpah atau janji jabatan. ●

82

Page 83: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

83

Page 84: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Khidzmah KAHMI, Bersatu demi Indonesia (I)*)

Koran SINDO

22 September 2014

Rasa syukur terasa menghunjam dalam di lubuk hati kita karena dari waktu ke waktu Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dapat menunjukkan ketulusan khidzmah-nya kepada nusa dan bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dalam waktu yang panjang KAHMI telah ikut membangun NKRI dengan segala suka dan dukanya. Dalam sepanjang perjalanannya, sesuai dengan jati dirinya, sebagai himpunan insan akademis yang pencipta dan pengabdi KAHMI sudah menyatu dengan perjalanan bangsa dan negara kita, bukan hanya dalam menyumbang penguatan konsep ideologi dan konstitusi yang mempersatukan bangsa tetapi juga menyumbangkan orang-orangnya untuk turut mengelola negara dan mengabdi kepada bangsa di berbagai lapangan. 

Saat-saat ini kita sedang mencatat dengan syukur dan suka cita karena salah seorang tokoh KAHMI yang juga Ketua Majelis Etik Presidium MN-KAHMI, Bapak Jusuf Kalla, pada tahun 2014 ini telah terpilih sebagai Wakil Presiden RI untuk kedua kalinya. Kita mencatat pula bahwa di luar jabatan Wakil Presiden, peran KAHMI di lembaga-lembaga negara juga sangat signifikan. Jabatan-jabatan pimpinan di lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY, BPK, Kementerian, KPK, KPU sudah pernah atau sedang dipimpin oleh warga KAHMI. Begitu juga KAHMI banyak berkiprah dalam berbagai profesi dan civil society organization (CSO) . 

Kita berdoa agar para pengemban amanah dari KAHMI sukses dalam tugas dan per-khidzmat -an serta bisa mengakhirinya dengan selamat. Doa agar para pemegang amanah dari KAHMI itu sukses dan selamat dalam tugas sangatlah penting karena sejauh terkait dengan peran alumni HMI dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan ada saja noda hitam, betapapun kecilnya. Artinya, pepatah “tak ada gading yang tak retak” berlaku jua; sehebat apa pun KAHMI, ada nodanya jua. Dalam catatan pemberantasan korupsi misalnya, harus diakui ada beberapa alumnus HMI yang diburu, ditangkap, dan dipenjarakan, seperti yang juga terjadi pada kelompok-kelompok alumni organisasi mahasiswa yang lain. 

Kita sering kaget, merasa malu, dan diejek ketika ada alumni HMI yang digelandang ke Pengadilan Tipikor oleh KPK karena korupsi; sementara banyak sanjungan melangit dari masyarakat kepada KPK karena keperkasaannya memerangi korupsi. Tapi banyak yang lupa, hampir semua komisioner yang ada di KPK adalah alumni HMI juga. Oleh sebab itu sanjungan terhadap KPK harus dimaknai juga sebagai sanjungan terhadap KAHMI. 

84

Page 85: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kita boleh prihatin dan malu jika ada alumni HMI yang ditangkap KPK karena korupsi, tetapi pada saat yang sama kita juga harus bangga karena KPK yang disanjung-sanjung masyarakat itu dipimpin oleh orang-orang KAHMI juga. Itulah sebabnya, secara organisatoris MN-KAHMI memberikan dukungan sepenuhnya kepada KPK untuk lebih keras lagi memerangi korupsi. 

Bersama dengan dukungan itu KAHMI tetap menitipkan ide dan pesan moral agar pimpinan KPK yang dari KAHMI tetap membawa idealisme KAHMI untuk menyelamatkan dan membangun Indonesia ini sebagai baldatun thayyibatun warabbun ghafuur (negara yang bersih di bawah rida dan ampunan Tuhan) dan bukan baldatun sayyiatun wa rabbun rujuum (negara yang kotor di bawah kutukan Tuhan). KAHMI mendorong KPK untuk terus tegar memerangi korupsi tanpa pandang bulu karena hal itu adalah bagian dari misi KAHMI untuk menyelamatkan dan membangun Indonesia. 

Seperti dikatakan oleh Artidjo Alkostar, warga KAHMI yang kini adalah hakim agung yang sangat disegani, korupsi harus diperangi secara keras dan pelakunya harus dihukum berat karena “korupsi adalah kanker ganas yang bisa mematikan negara”. Meskipun begitu MNKAHMI juga mempersilakan jika ada warga KAHMI yang ingin mengkritik KPK jika memang ada tengara lembaga tersebut telah melakukan unprofessional dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Itu pun adalah bentuk per-khidzmat-an yang perlu dilakukan. 

Peringatan hari ulang tahun KAHMI yang ke-48, tahun 2014, ini mengambil tema “Bersatu Membangun Masa Depan Indonesia” karena dua alasan. Pertama, sejak awal KAHMI menjadikan kebersatuan bangsa Indonesia sebagai salah satu hal yang utama dalam platform perjuangannya, sebab yang akan kita bangun adalah Indonesia yang persatuannya kokoh agar menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Jadi, dalam situasi dan dengan cara apa pun KAHMI harus menguatkan kebersatuan Indonesia sebagai dasar dan tujuan perjuangannya. 

Kedua, pada saat ini kita baru saja keluar dari kontes politik nasional yang meriah, tetapi juga menegangkan dan panas, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden. Kita menyaksikan terjadinya polarisasi yang cukup tajam di tengah-tengah masyarakat karena perbedaan pemberian dukungan. Warga KAHMI pun mempunyai pilihan politik yang berbeda-beda sehingga sejak awal Presidium MN-KAHMI memutuskan untuk tidak menggunakan institusi KAHMI dalam mendukung atau tidak mendukung salah satu pasangan. 

Alhamdulillah, pilpres sudah selesai dengan hasil yang sah baik secara demokrasi (kedaulatan rakyat) maupun secara nomokrasi (kedaulatan hukum). Namun haruslah diakui, pembelahan politik dalam pilpres itu sampai sekarang belum pulih, di sana sini masih berlanjut pergulatan politik dan gap psikologis. Ada kekhawatiran, jangan-jangan terjadi instabilitas dan kelancaran tugas-tugas pemerintahan ke depannya terganggu. 

85

Page 86: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Di sinilah letak pentingnya untuk menekankan agar seluruh warga KAHMI bekerja keras supaya bangsa Indonesia tetap bersatu, pada kubu manapun warga KAHMI memberi dukungan pada pilpres kemarin.

(Bersambung)

*) Petikan pidato ulang tahun KAHMI ke-48

MOH MAHFUD MDKoordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI

86

Page 87: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Khidzmah KAHMI, Bersatu Demi Indonesia (II)

Koran SINDO

24 September 2014

Persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian yang hegemonis. Persatuan harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti setusuk sate. Dalam konteks inilah, KAHMI mengajak untuk memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik. 

Bagi KAHMI, demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi. 

Memang polarisasi perkubuan koalisi, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan. Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks and balances) secara sehat dalam sistem ketatanegaraan. 

Yang satu bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lainnya bisa berkonsentrasi untuk mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. Warga KAHMI yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya. Kalau ini bisa dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin sehat dengan hadirnya checks and balances yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk kesejahteraan rakyat.

87

Page 88: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem parlementer. Saya selalu mengatakan bahwa hukum tata negara di suatu negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di negara lain. Tidak ada teori hukum tata negara yang universal asli, karena setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan kebutuhan domestiknya masing-masing.

Yang harus kita lakukan adalah apa yang tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi-konvensi ketatanegaraan yang seperti itu. 

Dalam HUT ke-48 ini, Presidium Majelis Nasional KAHMI juga telah menyelenggarakan simposium tentang “Cetak Biru Indonesia Masa Depan” dan seminar tentang “Kedaulatan Pangan dan Ketahanan Energi”. Kita bersyukur ternyata warga KAHMI mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka HMI dan KAHMI. 

Melalui simposium dan seminar tersebut, kita menjadi tahu bahwa para ahli yang kita miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral. 

Keruwetan dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan) korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah tokoh KAHMI Prof Anwar Arifin, adalah cetak buram. Salah satu kesimpulan penting dari simposium dan seminar itu, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan yang telah dipilih. 

Saat ini kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. Seluruh warga KAHMI harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif serta di cabang-cabang dan ranting pemerintahan lainnya. Dirgahayulah Korps Alumni Himpunan

88

Page 89: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Mahasiswa Islam (KAHMI). ●

MOH MAHFUD MDKoordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI

89

Page 90: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Gadai SK Jabatan

Koran SINDO

25 September 2014

Pekan lalu media massa kita diramaikan oleh berita sejumlah anggota DPRD yang menggadaikan SK pengangkatan mereka untuk masa jabatan 2014-2019. 

Itu terjadi di sejumlah kabupaten/kota. Misalnya di Magelang, Jawa Tengah, 75% anggota DPRD melakukannya. Di Depok ada 50% anggota DPRD yang menggadaikan SK-nya. Fenomena serupa juga dilakukan anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta, juga di Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Itu setidak-tidaknya yang terekam oleh liputan media massa. Di luar itu, saya menduga, jumlahnya bisa lebih banyak lagi, meski mungkin belum seperti fenomena gunung es.

Motif gadai SK yang mereka lakukan beragam. Di Kabupaten Magelang, sejumlah anggota DPRD menggadaikan SK untuk memperoleh dana tunai Rp100 juta hingga Rp300 juta. Dana itu mereka alokasikan untuk membeli tanah, mobil, biaya sekolah, investasi lain, hingga mengganti biaya kampanye. Untuk kabupaten/kota atau provinsi yang lain rasanya kurang-lebih juga serupa.

Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada anggota DPRD periode 2014-2019, melainkan sudah berlangsung sejak dulu. Menurut seorang direktur utama sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bapas 69 di Magelang, setiap periode selalu saja ada anggota DPRD yang mengajukan permohonan pinjaman dengan menjaminkan SK-nya. Jadi, fenomena gadai SK sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Hanya ketika itu beritanya tidak seramai sekarang. Berita gembiranya, masih menurut direktur utama BPR tadi, sejauh ini tidak ada kendala dalam pembayaran angsuran. Jadi, tidak ada kredit macet dari gadai SK tersebut.

Aksi gadai SK sebetulnya bukan hanya dilakukan oleh kalangan legislatif, melainkan juga eksekutif. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) melakukannya. Mereka menggadaikan SK pengangkatannya sebagai PNS untuk memperoleh sejumlah dana tertentu. 

Menuai Kritik 

Banyak kecaman mengalir kepada anggota DPRD yang menggadaikan SK pengangkatannya. Ada yang menyebut aksi tersebut sebagai perilaku yang tidak patut dan tidak etis untuk dilakukan oleh anggota Dewan yang terhormat. Itu sama saja dengan anggota DPRD menggadaikan kehormatannya. Betulkah begitu? Dalam dunia bisnis atau di masyarakat kita, menggadaikan barang atau surat berharga lain dalam upaya untuk memperoleh uang tunai adalah fenomena yang sangat wajar. Banyak orang dan pengusaha yang melakukannya. 

90

Page 91: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Contohnya saat Lebaran silam. Beberapa pemudik yang tidak ingin membawa sepeda motornya untuk pulang kampung memilih “menitipkannya” ke jasa pegadaian. Cara itu lebih aman ketimbang meninggalkan sepeda motornya begitu saja di rumah. Selain itu, dari menggadaikan sepeda motornya tadi, si pemudik juga akan memperoleh uang tambahan yang bisa dibelanjakannya selama berada di kampung halaman. Anda tahu, selama Lebaran banyak barang yang digadaikan para pemudik. Bukan hanya sepeda motor, melainkan juga televisi, perhiasan, atau surat-surat berharga lain yang terlalu berisiko jika ditinggal di rumah selama mereka pulang mudik.

Saya bersahabat dengan sejumlah pengusaha, baik yang berskala kecil maupun menengah. Beberapa di antara mereka pernah kewalahan ketika menerima order mendadak dalam jumlah yang lumayan besar. Mereka menghadapi masalah modal kerja, terutama untuk pengadaan bahan baku. Mau pinjam ke bank, tapi banyak persyaratan dan prosesnya lama. Akhirnya ketimbang pusing kepala, para pengusaha tadi memilih menggadaikan beberapa mobilnya, ditambah dengan sertifikat rumah dan sejumlah perhiasannya. Dari situ mereka mendapatkan dana segar untuk pembelian bahan baku.

Apakah Anda mau mengatakan pengusaha yang menggadaikan mobil, sertifikat rumah, dan perhiasannya tengah mempertaruhkan kehormatannya? Jelas tidak. Malah saya berani menyebutnya sebagai langkah cerdas. Bayangkan, dengan langkahnya tadi, order perusahaan bertambah. Kita boleh berharap bonus pegawainya bisa bertambah, seiring peningkatan order tersebut.

Kehormatan 

Berkaca dari pengalaman yang terjadi di dunia bisnis, kini bagaimana Anda menilai aksi gadai SK jabatan oleh sejumlah anggota DPRD atau PNS tadi? Masihkah Anda memandangnya dengan sinis dan menganggapnya sebagai langkah yang menggadaikan kehormatannya?

Dalam ilmu ekonomi, setiap manusia diasumsikan sebagai makhluk yang rasional. Itu sebabnya ketika menetapkan pilihan, kita selalu berpegang pada pilihan terbaik pertama (the first best), lalu pilihan terbaik kedua (the second best), atau terbaik ketiga (the third best). Kalau pilihan terbaik pertama tidak tersedia, kita akan beralih ke pilihan terbaik kedua, ketiga, dan seterusnya. Pepatah mengatakan, kalau tidak ada rotan, akar pun jadi.

Saya kira, ketika sejumlah anggota DPRD atau PNS menggadaikan SK pengangkatannya, mereka sebetulnya tengah dihadapkan pada teori pilihan tadi. Kalau saja tersedia pilihan terbaik pertama, mungkin saja dalam bentuk tidak perlu menggadaikan SK-nya, mereka tentu akan mengambil pilihan tersebut. Tapi, kerap kita dihadapkan pada kondisi yang tidak punya pilihan. Bagi saya, langkah “terpaksa” itu jauh lebih baik ketimbang anggota DPRD tersebut berkolusi dengan kalangan eksekutif, merancang sejumlah proyek fiktif, yang tujuannya sebetulnya untuk menilap dana APBD.

Supaya fair, saya kira kita juga perlu mengkritik diri sendiri, atau melakukan otokritik. Apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD tadi adalah potret dari borosnya sistem

91

Page 92: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

pemilihan umum (pemilu) di negara kita. Untuk menjadi anggota DPRD, mereka harus menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah. Sementara untuk menjadi anggota DPR membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal hingga miliaran rupiah. 

Di sisi lain, imbalan sebagai anggota DPRD berbeda jauh dengan anggota DPR. Gaji seorang anggota DPRD hanya berkisar Rp3 juta sampai Rp5 juta meski di sana ada beberapa komponen tunjangan yang jumlahnya jauh lebih tinggi ketimbang gaji. Maka itu, ketimbang mengecam perilaku anggota DPRD yang menggadaikan SK jabatannya, jauh lebih baik kalau kita membenahi sistem pemilu agar mampu menjaring wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan mau melayani stakeholders-nya, dengan biaya yang jauh lebih murah.

Sementara ini kita hentikan saja aksi kecam-mengecam anggota DPRD. Kita tunggu apa yang akan mereka kerjakan bagi rakyat yang diwakilinya. Kata Wesley Branch Rickey, tokoh di balik kebesaran Major League Baseball dan namanya kemudian tercantum dalam Baseball Hall of Fame 1967, “It is not the honor that you take with you, but the heritage you leave behind.” ●

RHENALD KASALIPendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali 

Jualan Surga

92

Page 93: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

Koran SINDO

26 September 2014

Setiap bermain golf bersama Pak JK (Jusuf Kalla), selalu saja saya mendapatkan cerita dan lontaran pemikiran yang spontan, cerdas, dan jenaka. Misalnya saja Jumat lalu saya bermain golf di Senayan, sambil berjalan menapaki hamparan lapangan hijau kami berbincang ringan tentang fenomena gerakan ISIS di Irak-Suriah yang imbasnya sampai Indonesia. Spontan, Pak JK berkomentar, gerakan radikalisme agama itu di mana-mana selalu menawarkan jualan surga. Dianggapnya surga itu bisa diraih dengan pintas hanya dengan melakukan bom bunuh diri dengan niat jihad di jalan Allah. 

Padahal dalam setiap ceramah selalu ditutup dengan doa sapu jagat: Robbana atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina adzabannar (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Selamatkanlah kami dari api neraka). Jadi, kita diperintah oleh Allah, yang pertama untuk membangun kehidupan yang baik, damai, dan sejahtera. Sedangkan akhirat itu buah atau imbalan amal kita di dunia. 

Anehnya, kita sangat hafal dengan doa itu, tetapi doa itu tidak menimbulkan gerakan membangun kebajikan di dunia. Orang sanggup berjam-jam mengikuti pengajian dan doa bersama. Itu satu hal yang sangat bagus. Tetapi, akan jauh lebih bagus lagi kalau umat dan masyarakat itu digerakkan untuk juga kerja produktif membangun kehidupan yang baik. Ukuran kebaikan itu secara umum ditandai dengan tingkat pendidikan yang bagus, sejahtera, aman, dan produktif. 

Coba saja perhatikan, kata Pak JK. Dalam berbagai gerakan radikalisme agama itu yang diberitakan mati duluan adalah mereka yang pendidikannya rendah, ekonominya kurang baik. Tetapi, para pimpinannya yang menganjurkan jihad dengan kekerasan itu tinggal atau sembunyi di tempat yang aman. Mereka menganjurkan orang lain jihad dengan nyawa, tetapi dirinya sesungguhnya memiliki agenda dan cita-cita untuk menikmati kehidupan dunia. 

Mengapa begitu? Karena pada dasarnya naluri manusia memang menginginkan kehidupan yang baik di dunia sebelum ajal tiba. Maka itu, agama pun menganjurkan agar manusia membangun kehidupan yang baik, hidup dalam suasana damai dan sejahtera.

Pak JK memang sangat fasih dan tak pernah habis bahan cerita kalau bicara soal kekerasan dan perdamaian karena kita semua tahu reputasinya ketika mendamaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso. Baik provokator yang datang dari kubu Islam maupun Kristen, katanya, selalu menawarkan jalan ke surga secara pintas dengan modal nekat setelah didoktrin untuk menyerang lawan semata karena beda keyakinan agama. Bayangkan, jika hanya karena beda keyakinan agama lalu seseorang membunuh yang lain dengan harapan akan langsung masuk surga, agama justru akan menjadi sumber kekacauan dan permusuhan, bukan sumber

93

Page 94: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 24 agustus 2014-26 September 2014

pencerahan, perdamaian, dan kebaikan hidup bersama. 

Padahal bukankah semua agama memiliki motto sebagai sumber dan kekuatan perdamaian dan keadaban? Timur Tengah yang dalam sejarahnya merupakan wilayah kelahiran para nabi pembawa agama besar dunia sekarang ini citranya justru menjadi sumber api peperangan dan saling bunuh dengan melibatkan slogan dan motto keagamaan. Sebuah ironi sejarah. Anehnya lagi, masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah toleransi dan saling menghargai perbedaan - Bhinneka Tunggal Ika - sekarang malah ada yang ikut-ikutan.

Di rumah besar Indonesia ini melebur sekian banyak kesultanan untuk bersama menjaga dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesultanan Hamengku Buwono Yogyakarta yang bergelar Khalifatullah Sayyidin Panata Gama bahkan rela melebur masuk dalam NKRI, juga beberapa sultan lain di Nusantara ini. Jadi, jauh sebelum ISIS mendeklarasikan khalifah yang diberitakan mengajarkan kekerasan dan pembunuhan, di Yogyakarta sudah ada khalifah dan sultan yang justru ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka keras melawan penjajah, tetapi penyebar kedamaian sesama warga Indonesia meski berbeda etnis dan agama.

Tulisan ini jangan diartikan saya antigerakan jihad atau berjuang di jalan Tuhan. Tetapi, hanya ingin mengingatkan bahwa jihad yang lebih utama adalah berjihad membangun kehidupan yang baik, sejahtera, dan damai sebagai rasa syukur dan tanggung jawab atas anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita semua. 

Sesekali dalam sejarah peperangan dan pertempuran memang tidak bisa dielakkan. Tetapi, itu mesti memiliki alasan yang sangat kuat yang dibenarkan nalar sehat, etika sosial, dan pemahaman agama yang senantiasa menekankan prinsip keadilan, kebenaran, dan prokehidupan. 

Mengikuti berita seputar kekerasan oleh gerakan ISIS yang mendeklarasikan muncul khalifah baru bagi umat Islam sedunia, juga gerakan radikalisme keagamaan yang ingin mendirikan negara Islam sebagai pengganti NKRI, jika itu sebatas wacana keilmuan atau gerakan ideologis yang ditawarkan secara damai dan legal, itu sah-sah saja. Kita hidup di zaman terbuka yang memungkinkan siapa pun mengemukakan gagasan asalkan tidak melalui jalan kekerasan dan pemaksaan. Ide apa pun dipersilakan masuk ke bursa pasar secara terbuka. Nanti masyarakat yang akan menguji dan menilai itu.

Hanya, di sana ada rambu-rambu hukum, undang-undang, etika kepantasan sosial, dan mesti menjaga hak-hak warga negara untuk hidup tenang, bebas dari ancaman dan paksaan. Semua itu mesti ditaati. 

94