(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

106
Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage Dalam diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi. Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia, sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh sebelum Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim (archipelago), Indonesia bukanlah negara pertama yang menganut prinsip cabotage atas angkutan lautnya. Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik karena diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage, negara dan masyarakat Indonesia sudah menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan. Asas Kedaulatan Asas cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 17/2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam penjelasannya, undang- undang itu menegaskan, penggunaan kapal berbendera Indonesia

description

opini para pakar bertema ekonomi yang dimuat di Koran Sindo dan juga situs www.sindonews.com

Transcript of (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Page 1: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage

Dalam diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi.

Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia, sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh sebelum Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim (archipelago), Indonesia bukanlah negara pertama yang menganut prinsip cabotage atas angkutan lautnya. Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik karena diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage, negara dan masyarakat Indonesia sudah menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan.

Asas Kedaulatan

Asas cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 17/2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam penjelasannya, undang-undang itu menegaskan, penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.

Dalam konteks kehidupan bernegara, pelaksanaan asas cabotage bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas merupakan implementasi dari kedaulatannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menganut asas cabotage. Sebab, negara sangat diuntungkan ketika sektor pelayaran dipegang oleh bangsanya sendiri. Kapal-kapal yang melayani angkutan dalam negerinya juga dimiliki oleh warga negaranya sendiri sehingga ketika negara dalam kondisi darurat kapal-kapal tersebut siap dikerahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Kondisi ini akan berbeda jika kapal-kapal yang melayani kegiatan angkutan domestik dimiliki oleh perusahaan luar negeri karena pada saat negara dalam kondisi darurat, mereka dengan mudah dapat kembali ke negara masing-masing. Mereka akan mudah menyatakan situasi di negeri ini sudah tidak menguntungkan lagi.

Page 2: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Dampak Ekonomi

Dalam konteks perekonomian, pelaksanaan asas cabotage memiliki dampak yang sangat besar. Tidak hanya sektor kemaritiman, sektor ekonomi lain seperti perbankan, keuangan, asuransi, tenaga kerja, logistik, perdagangan dan usaha bongkar muat turut merasakan dampak positif kebijakan ini. Sulit membayangkan bagaimana kondisi sektor transportasi laut di Indonesia tanpa asas cabotage. Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat, 10 tahun lalu populasi kapal asing di perairan Indonesia lebih dominan dibandingkan kapal berbendera Merah Putih. Kapal-kapal berbendera selain Merah Putih menguasai 44,5% volume muatan laut dalam negeri, bahkan mengendalikan 95% volume muatan laut luar negeri (ekspor dan impor).

Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari ongkos angkut hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Kondisi itu cukup menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bangsa. Penguasaan asing atas kegiatan transportasi laut dalam negeri telah menimbulkan kerugian yang berlipat ganda bagi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, tarif pengiriman barang pada angkutan laut domestik sebelum asas cabotage jauh lebih mahal dibandingkan sekarang. Data INSA mengungkapkan, pada 2005, tarif pengiriman peti kemas pada rute Jakarta-Belawan mencapai Rp7 juta- 8 juta per TEUs, sedangkan sekarang turun menjadi Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per TEUs. Kondisi yang sama juga terjadi pada rute-rute lain seperti pengiriman peti kemas ke Jayapura, Sulawesi, dan sebagainya.

Penurunan ongkos angkutan laut itu bukan karena didorong oleh penurunan tarif di pelabuhan maupun peningkatan produktivitas pelabuhan, tetapi karena meningkatnya volume perdagangan sehingga memicu terjadinya evolusi penggunaan kapal ke yang lebih besar. Selain itu, pelaku usaha pelayaran juga melakukan subsidi silang dari kegiatan lainnya seperti ship management, keagenan hingga crew mining. Bisa dikatakan, dinamika ekonomi berbasis kemaritiman mengalami perubahan, bahkan pelayaran telah tumbuh menjadi backbone pertumbuhan perekonomian dari sektor maritim sehingga kapal berbendera Merah Putih kini telah mengendalikan kegiatan angkutan laut domestik dan mulai merangsek ke angkutan ekspor dan impor.

Di sisi lain, masyarakat sudah bisa menikmati akses konektivitas nasional, tarif angkutan yang semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut yang terus berkembang, aktivitas perdagangan yang meningkat hingga lapangan pekerjaan yang terus bertumbuh. Hanya saja, kemajuan industri pelayaran saat ini belum diimbangi percepatan peningkatan infrastruktur logistik seperti pelabuhan, akses jalan dari dan ke pelabuhan hingga konektivitas logistik di darat. Akibatnya, meskipun tarif angkutan laut sudah sangat kompetitif, biaya logistik secara keseluruhan masih tinggi.

Penguatan Kebijakan

Terlepas dari dialektika yang ada dan success story asas cabotage, pelaksanaan prinsip ini di Indonesia sesungguhnya masih belum optimal. Sebab akselerasi pelayaran dapat

Page 3: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

dimaksimalkan jika ada kemauan politik yang lebih besar untuk memberdayakan industri pelayaran dan perkapalan. Sebagai gambaran, banyak kebijakan fiskal yang tidak lazim diterapkan pada sektor pelayaran di dunia, tetapi hingga kini masih dibebankan kepada pelayaran dan perkapalan nasional seperti pengenaan PPN atas kegiatan bongkar muat barang/kontainer dan PPN atas pembelian BBM kapal.

Di sektor moneter, beban bunga pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan tidak sedikit perusahaan pelayaran yang mendapatkan bunga pinjaman pembiayaan untuk pembelian kapal hingga 13%. Karena itu, diperlukan kerangka kebijakan yang lebih kuat dan setara sebagaimana negara-negara penganut asas cabotage di belahan dunia lain, baik mencakup kebijakan fiskal dan perpajakan, moneter dan keuangan, maupun kebijakan teknis serta infrastruktur penunjang lainnya.

Penulis optimistis, kebijakan yang kuat dan setara akan mendorong akselerasi pelayaran sehingga konektivitas antarpulau di Indonesia semakin efektif dan mampu mendorong investasi industri di luar Pulau Jawa. Ke depan, sektor ini harus memiliki daya saing yang kuat di dalam negeri maupun luar negeri sebagai representasi atas kedaulatan negara.

CARMELITA HARTOTOCEO Andhika Lines, Ketua Umum INSA, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik 

C2B: Model Operasi Masa Depan

Page 4: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Saat pelaku bisnis masih melakukan model operasi yang berbasis B2C (business to consumer), Alibaba mulai beralih dari model tersebut. Setelah berkecimpung dan sukses di industri e-commerce, Alibaba, yang adalah perusahaan e-commerce terbesar di dunia saat ini, mempromosikan sebuah model operasi baru, yaitu C2B (consumer to business).

B2C merupakan model operasi inside-out, informasi dan penentuan produk berasal dari produsen kepada konsumen. C2B merupakan kebalikannya. Informasi dan penentuan produk berasal dari konsumen kepada produsen, sebuah model operasi outside-in. Pergeseran dari model operasi tersebut diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan internet dan jejaring sosial. Zeng Ming, Chief of Staff Alibaba, mengatakan bahwa peningkatan itu akan meningkatkan kekuatan konsumen dalam menentukan produk seperti apa yang laku. Konsumen akan menjadi kekuatan utama yang memengaruhi value chain sebuah produk, bukan produsen.

Hal ini menciptakan penciptaan dan pengembangan produk yang diarahkan oleh konsumen, bukan produsen. Saat gelombang baru ini mulai menggilas model operasi yang lama, model bisnis akan mengacu pada customization. Customization menuntut produsen untuk dapat menyesuaikan produknya dengan permintaan yang unik dari masing-masing konsumen. Customization membuat produsen menciptakan kapabilitas baru di dalam organisasinya untuk dapat memenuhi permintaan yang unik tersebut.

Customization memerlukan kemampuan organisasi untuk memberikan produk yang memenuhi kebutuhan unik masing-masing konsumen, variasi yang banyak, diproduksi dalam satuan produksi yang kecil, dan respons yang cepat. Dengan berkembangnya internet dan jejaring sosial, Alibaba percaya bahwa masa depan e-commerce lebih dari sekadar berpindahnya jalur distribusi ke media elektronik. E-commerce adalah C2B, di mana konsumen memiliki kekuatan untuk menentukan produk seperti apa yang mereka mau.

Sukses dengan C2B

Selain Alibaba yang mulai giat mempromosikan dan menjalankan C2B, perusahaan-perusahaan multinasional mulai memperhatikan suara konsumen dan mulai mengaplikasikan C2B. Esteban Kolsky melakukan riset berdasarkan wawancara pimpinan perusahaan-perusahaan multinasional seperti Coca Cola, HP, dan Kraft. Berdasarkan riset tersebut, Kolsky menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut mengadopsi C2B mengingat kecepatan (velocity), volume, validitas, dan nilai (value) dari suara konsumen yang didapat dari jejaring sosial.

Kolsky percaya bahwa perusahaan yang lebih dulu mengadopsi C2B benar-benar meraih keunggulan kompetitif. C2B memungkinkan perusahaan untuk memenuhi keinginan

Page 5: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

konsumen secara tepat, merespons kebutuhan secara cepat dan berinovasi lebih dahulu. Hal tersebut menciptakan loyalitas konsumen yang lebih tinggi. Kolsky menyampaikan aplikasi C2B yang komprehensif mencakup tiga hal utama. Pertama, kemampuan mengasimilasi informasi dalam langkah yang sistematis mengenai konsumen dan pasar.

Kedua, C2B menuntut operasionalisasi dari set data yang sama dari seluruh anggota perusahaan untuk secara tepat menentukan respons yang paling tepat bagi konsumen. Ketiga, menjalin kerja sama dengan konsumen mengenai bagaimana seharusnya bisnis itu dijalankan. Untuk dapat menjalankan aplikasi C2B yang komprehensif tersebut, disampaikan lima langkah kunci untuk diambil agar perusahaan dapat melaksanakan model operasi C2B yang efektif. Pertama, menciptakannya sebagai inisiatif strategis. Mengadopsi model operasi yang baru memerlukan adopsi keseluruhan dari anggota dan bagian organisasi.

Oleh karena itu, arah dari pemimpin puncak menjadi penting mengenai perubahan ini. Kedua, adopsi model operasi ini harus dijalankan pada seluruh lini dan fungsi di dalam organisasi. Adopsi ini memerlukan keterlibatan seluruh lini dan fungsi, mengingat perubahan ini merupakan perubahan mendasar model operasi untuk mendasarkan pengambilan keputusan berdasarkan informasi konsumen dan pasar. Ketiga, menciptakan satu set data yang terukur mengenai pasar dan konsumen. Informasi di internet dan jejaring sosial sangat beragam dan tidak terkalibrasi.

Perusahaan perlu menentukan satu set data yang relevan dan terukur dalam memahami pasar dan konsumen. Informasi yang terstandarisasi akan memudahkan pengumpulan data dan membangun pemahaman yang sama di antara berbagai fungsi dan lini di dalam organisasi. Keempat, menyusun laporan yang berbasis media sosial. Berdasarkan studi, Kolsky mendapati bahwa 70% dari perusahaan- perusahaan yang menjadi objek studinya memiliki laporan berbasis media sosial. Laporan berbasis media sosial mencakup pengukuran aktivitas di media sosial, indikator kinerja kunci tertentu, dan metodologi tertentu yang relevan dengan kebutuhan spesifik organisasi.

Kelima, bekerja sama dengan konsumen untuk co-create (menciptakan bersama) dan co-market (memasarkan bersama). Dengan adanya data set yang kaya mengenai konsumen dan pasar, perusahaan dapat mendorong konsumen yang puas untuk menciptakan bersama inovasi produk dan membantu memasarkan produk-produk perusahaan. Menjadi bisnis yang berbasis C2B memerlukan komitmen dan perubahan organisasi yang menyeluruh. Dengan gelombang internet dan jejaring media yang kuat, model bisnis ini menjanjikan kesempatan yang besar.

ALBERTO HANANIFounder dan Managing Partner BEDA & Company

Mewaspadai Siklus Baru

Page 6: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Setiap kehidupan memiliki siklusnya masing-masing. Kupu-kupu bermula dari telur, menetas jadi ulat yang buruk dan bagi sebagian orang menjijikkan, membentuk kepompong, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Perubahan ini berlangsung secara alamiah.

Kita menyebutnya metamorfosa. Pada akhir siklus, kupu-kupu yang indah itu akhirnya mati juga. Perusahaan atau bisnis pun memiliki siklusnya sendiri. Bermula dari ketika didirikan, mulai tumbuh, tetapi masih lambat, kemudian tumbuh semakin cepat sampai akhirnya mencapai masa kejayaannya. Setelah itu biasanya kinerja perusahaan mulai merosot. Bagi sebagian kita, siklus semacam itu adalah hal biasa. Siapa yang bisa menentang kehendak alam?

Setelah lama menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, China kini mulai terkena embusan siklus baru, pertumbuhannya melambat. Kini Indonesia pun tengah memasuki tahap ujian itu. Uang subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sepertinya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan, kini semua anggaran pemerintah tengah dipangkas. Padahal, sebentar lagi rakyat Indonesia akan butuh banyak uang, ya liburan, ya Lebaran. Kita juga butuh layanan publik yang lebih baik. Tetapi siklusnya tengah berbalik. Dalam banyak referensi, siklus semacam itu kita kenal dengan sebutan kurva Sigmoid. Kurva ini merupakan grafik fungsi aljabar yang berbentuk huruf S yang tertidur.

Grafik ini menggambarkan tahap awal pertumbuhan yang masih lambat, kemudian naik semakin cepat, mulai linier dan akhirnya menurun. Betulkah kita harus menerima kenyataan tersebut? Jelas tidak. Meski kurva Sigmoid tadi adalah fenomena alamiah, perusahaan tidak selalu harus berdiam diri dan mengikuti siklus tersebut. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mengangkat kembali pertumbuhannya yang mulai melandai, atau bahkan menurun.

Armada nasional Garuda Indonesia justru bangkit dengan berbelanja di saat siklus ekonomi dalam industri jasa penerbangan memburuk. Istilah Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia) acting ahead the curve (KORAN SINDO, 02 Agustus 2012). Memang, pada faktanya banyak perusahaan yang mengalami kesulitan untuk menepis berlakunya siklus Sigmoid tersebut. Padahal, gejala-gejalanya cukup jelas. Banyak perusahaan baru menyadarinya ketika kondisinya sudah nyaris menyentuh titik nadir. Saya punya beberapa contoh.

Lingkungan yang Berubah

Bagi sebagian generasi yang sudah cukup umur tentu masih ingat ketika mereka merayu kekasihnya melalui sepucuk surat. Setelah selesai ditulis, surat itu kemudian dimasukkan ke dalam amplop, bubuhi prangko dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak surat. Sisanya adalah jantung yang berdebar-debar menanti surat balasan. Bisa seminggu kemudian, bahkan lebih. Namun, sejak awal 2000-an saya sulit sekali menemukan anak-anak muda yang merayu kekasihnya dengan sepucuk surat. Mereka menggantinya dengan SMS, kemudian dengan

Page 7: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

BlackBerry Messenger, atau WhatsApp. Kalau ingin berbicara secara langsung, mereka pakai aplikasi Skype atau Google+. Perubahan lingkungan bisnis, yang dipicu oleh teknologi baru, seperti inilah yang membuat PT Pos Indonesia di masa lalu, dan banyak perusahaan lain, nyaris bangkrut. Pendapatan semakin menurun, laba bersihnya menipis dan akhirnya mulai merugi.

Tengok juga Merpati Nusantara yang model bisnisnya makin tak relevan. Makin menarik lagi didalami, ketika maskapai internasional lain merugi (dan untung itu ada di pasar domestik), petinggi Merpati justru menawarkan proposal baru untuk membuka trayek ke Timur Tengah sebagai solusi.

Fenomena ala Pos Indonesia juga dialami oleh perusahaan-perusahaan lain. Sebagian Anda tentu masih ingat ketika era maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) mulai tumbuh pada awal 2000-an. Banyak perusahaan terkena pukulan telak. PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan bus-bus antarprovinsi nyaris bangkrut. Siapa di antara kita yang masih mau menempuh perjalanan berhari-hari lamanya (kalau memakai Pelni) atau semalaman (dengan kereta dan bus antarprovinsi), kalau dengan biaya yang hanya sedikit lebih mahal bisa sampai ke tujuan dalam hitungan satu atau dua jam? Maka, tak mengherankan kalau Pelni, KAI atau bus-bus antarprovinsi kemudian ditinggalkan oleh pelanggannya. Untunglah Pos Indonesia (juga KAI) mampu bangkit. Perusahaan ini melakukan transformasi bisnis dari postal company menjadi network company.

Dari hanya berbisnis pengiriman surat, dokumen, atau uang menjadi bisnis distribusi dan logistik. Pos Indonesia bangkit dengan mengandalkan kekuatannya, yakni jaringannya yang sudah begitu luas tersebar di seluruh Indonesia. Belum ada perusahaan distribusi dan logistik, perusahaan asing sekalipun, yang mempunyai jaringan seluas Pos Indonesia. Kini, Pos Indonesia sudah bangkit lagi. Mereka sudah menuai keuntungan. Begitu juga KAI. Setelah melakukan transformasi, memangkas banyak inefisiensi, KAI berhasil kembali membukukan keuntungan.

Beberapa perusahaan bus antarprovinsi ada yang mengubah segmen bisnisnya. Mereka menaikkan kelasnya. Anda pernah mendengar Omah Mlaku? Ini bus antarprovinsi yang disulap menjadi bus carter yang mewah. Jumlah penumpangnya dibatasi, di dalamnya dilengkapi sofa dan meja rapat, serta fasilitas internet. Bus seperti cocok dipakai untuk roadshow. Kini, hanya Pelni yang kelihatannya masih agak tertinggal. Maskapai pelayaran nasional itu sampai sekarang masih belum bisa sepenuhnya keluar dari jerat krisis.

Reinvention

Selain transformasi, saya melihat reinvention menjadi kata kunci dari keberhasilan perusahaan- perusahaan seperti Pos Indonesia dan KAI untuk ke luar dari perangkap siklus Sigmoid. Melalui strategi reinvention, perusahaan-perusahaan itu mampu menciptakan sesuatu yang baru, sehingga membangun kurva Sigmoid yang baru di atas kurva yang lama.

Page 8: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Sejatinya, banyak perusahaan yang sebetulnya memahami perubahan yang terjadi di lingkungan bisnisnya. Kajian Donald Norman Sull (Why Good Companies Go Bad, 1999) menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang bermasalah bukan karena mereka tidak memahami terjadi perubahan lingkungan bisnis, serta tidak melakukan antisipasi.

Mereka memahami dan bahkan menyiapkan strategi antisipasi. Namun, pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu harus terjerat dalam masalah karena tidak mampu mengeksekusi strateginya dengan cepat dan tepat. Maka, membuat rencana dan menyiapkan strategi itu harus, tetapi mengeksekusi strategi adalah sesuatu yang lain. Itu sebabnya Ram Charan (2002) mewanti-wanti, 70% kegagalan bukan karena masalah strategi, tetapi karena buruknya eksekusi. Jadi, kerja, kerja, kerja.

RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali 

Agenda Perlindungan Konsumen

Koran SINDO

Page 9: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Kamis,  5 Juni 2014

MAKIN maju perekonomian suatu teknologi informasi mendorong konsumen di Indonesia semakin teredukasi dan terinformasi. Itulah yang membuat tuntutan atau aspirasi mereka semakin tinggi terhadap produk, baik produk barang maupun jasa.

Karena itu, kekuatan ekonomi Indonesia ada pada konsumen karena besarnya populasi jumlah penduduk kita. Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tidak kalah strategisnya dengan pelaku usaha sebagai pemilik modal. Pertanyaannya, mengapa posisi konsumen selalu dianggap lemah jika dibandingkan atau jika berhadapan dengan pelaku usaha?

Amanat UU Itulah poin penting dari pemikiran yang berkembang dalam forum diskusi beberapa waktu lalu. Ketika penulis menjadi pembicara pada dua tempat diskusi yaitu di Universitas Hasanudin (Unhas) bersama Prof Dr Ahmad Miru SH MH dengan tema ”Telaah Kritis Perlindungan Konsumen” dan di Universitas Indonesia Timur (UIT) bersama Prof Dr Bernadette Waluyo SH MH dengan tema ”Menyamakan Persepsi UU Perlindungan Konsumen”.

Secara umum ditegaskan bahwa amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Itu dimaksudkan agar kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Sebab itulah, negara seyogianya berpihak pada perlindungan konsumen.

Dengan kata lain, keberpihakan kepada konsumen sebenarnya wujud nyata ekonomi kerakyatan. Penerapan UUPK Nomor 8 Tahun 1999 dalam praktik akan banyak diuji melalui berbagai instrumen hukum perdata, termasuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Dalam konteks ada permasalahan (perselisihan) konsumen berhak mendapatkan advokasi serta perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa. Tidak hanya itu, konsumen juga berhak mendapatkan edukasi dan ganti rugi jika ada ketidaksesuaian.

Semua ini diharapkan sebagai pembangkit kesadaran semua pihak akan perlunya perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai penyedia barang atau jasa yang dikonsumsi konsumen. Sesungguhnya esensi perlindungan konsumen adalah konsumen dan pelaku usaha (pengusaha/produsen) saling membutuhkan. Sebab itulah, produksi dipandang tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengonsumsinya.

Di sinilah perlu hubungan harmonis antara pelaku usaha dan konsumen. Dengan harmonisasi

Page 10: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

antara hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tentu akan menjadi instrumen penting bagi pemerintah untuk menetapkan berbagai kebijakan. Dalam perspektif kepedulian buat konsumen, terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi mencerdaskan konsumen. Karena itu, seorang konsumen haruslah menjadi cerdas dan menyadari posisinya.

Dalam konteks ini konsumen harus kritis dan berani untuk menegakkan hak dan kewajiban selaku konsumen. Dua strategi menancapkan karakteristik (mindset) nasionalisme konsumen. Intinya perilaku konsumtif dan pragmatisme berkonsumsi harus dijauhkan dari konsumen. Apalagi globalisasi dan liberalisasi ekonomi hanya akan menggerogoti dan mengikis eksistensi produk dalam negeri.

Nasionalisme Konsumen Bangsa Indonesia kini sedang memasuki fase sangat menentukan dalam penegakan hukum dan pembangunan ekonomi terkait momentum pemilu presiden untuk periode 2014-2019. Harus diakui, periode lima tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)- Boediono tidaklah menggembirakan dalam memberikan kontribusi terhadap perlindungan konsumen.

Itu bisa dibuktikan ketika pemerintah membiarkan pemadaman listrik berhari-hari, kenaikan tarif tol yang membebani konsumen, pelayanan rumah sakit yang diskriminatif terhadap pasien yang tidak mampu, kondisi transportasi kita yang tidak memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen, terakhir kita menyaksikan calon penumpang kereta api harus berbondong-bondong dan begadang untuk membeli tiket mudik Lebaran.

Berbagai kasus yang tidak mencerminkan pemihakan kepada posisi konsumen bahkan terus bermunculan sepanjang lima tahun terakhir ini. Sekali lagi, sangat mustahil kita berbicara kualitas perlindungan terhadap konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada ihwal yang berkaitan dengan konsumen.

Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi contoh konkret bahwa betapa pemerintah tidak memiliki komitmen yang serius untuk memfungsikan dan memberdayakan lembaga ini secara optimal.

Bukan saja berbagai saran dan rekomendasi yang dikeluarkan tidak mendapat perhatian dan respons dari pemerintah, melainkan juga keterbatasan sarana dan prasarana lembaga ini untuk melayani dan mengoperasionalkan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan undang-undang. Padahal, eksistensi lembaga ini menurut amanat UU Perlindungan Konsumen adalah merupakan advisory body bagi presiden.

Karena itu, dalam hal perlindungan konsumen seharusnya secara fungsional lembaga ini benar-benar harus eksis di republik ini. Hal yang sama juga dialami Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sampai hari ini lembaga BPSK keberadaannya masih terbatas di setiap provinsi alias masih bisa dihitung jari di Indonesia.

Ironis sekali sebab sesuai amanat UU, BPSK ini harus sudah ada pada setiap daerah

Page 11: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

kabupaten dan kota. Pasal 49 UUPK menegaskan: ”Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”.

Penguatan BPKN, BPSK, dan LPKSM selama ini sejujurnya dianggap belumlah memadai. Atas dasar itulah, diperlukan political will dan komitmen pemerintah untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga ke depan tercipta perekonomian yang sehat dan dinamis.

Dengan tetap menjamin kepastian atas mutu, kenyamanan, dan keamanan barang dan /atau jasa yang diperolehnya di pasar. Tanpa memiliki kebijakan atau agenda perlindungan konsumen, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. Karena itu, sekali lagi, kita butuh pemimpin (presiden) yang punya visi yang jelas untuk meningkatkan perlindungan konsumen di Indonesia.

DR ABUSTANKomisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Agenda Ekonomi Capres

Koran SINDO

Page 12: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Jum'at,  6 Juni 2014

GENDERANG kampanye presiden sudah dimulai. Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan nomor 2, Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla akan semakin intensif mengomunikasikan visi, misi, dan agenda ekonomi kepada masyarakat.

Jika diperhatikan, visi dua calon presiden (capres) tersebut memiliki artikulasi yang tidak jauh berbeda dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yaitu”Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.

Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 disebutkan Indonesia akan menjadi negara maju (upper middle-income) pada 2025 dengan pendapatan per kapita sekitar USD14.250-15.500. Dengan demikian, kepemimpinan baru 2014-2019 akan menjadi fase antara untuk menghantarkan Indonesia menuju negara maju.

Ini tentu tidak mudah dan mencapai pertumbuhan tinggi bukan menjadi determinan tunggal untuk menjadi negara maju. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pemerintah mendatang yaitu meningkatkan kualitas pertumbuhan.

Ini tentu saja menghendaki ada perbaikan dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, namun juga perbaikan kualitas lingkungan hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, sangatlah penting untuk menuntaskan empat permasalahan struktural yaitu: (i) turunnya produktivitas; (ii) rendahnya kemampuan dasar industri manufaktur dan struktur industri yang timpang; (iii) stagnasi produktivitas sektor pertanian dan ketahanan pangan; dan (iv) kapabilitas teknologi yang rendah.

Walaupun sudah terlihat ada upaya untuk melakukan reformasi struktural dari masing-masing capres, agenda yang ada bukanlah terlepas dari program pemerintah periode sebelumnya. Kegagalan dan keberhasilan agenda pembangunan masa lalu perlu menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru untuk membuat kebijakan ekonomi yang lebih baik. Becermin dari pelajaran kebijakan ekonomi yang pernah ada, tulisan ini untuk menggugah masyarakat agar tetap kritis dalam memaknai janji-janji pasangan calon presiden.

Kritik Agenda Capres Prabowo

Kritik umum saat membaca visi-misi capres Prabowo yaitu cukup banyak target kuantitatif yang tertuang dalam sembilan lembar kertas kerja mereka di antaranya belanja untuk membangun kawasan ekonomi khusus yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp26 triliun, membangun 2.000 tower rumah susun, mengalokasikan dana sebesar Rp1 miliar per desa/kelurahan per tahun, alokasi dana perbaikan fasilitas sekolah sebesar Rp150 juta per sekolah. Capres Prabowo juga berjanji untuk menghapus pinjaman luar negeri pada 2019 dan

Page 13: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

mencapai defisit anggaran sebesar 1% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017.

Dengan demikian, guna membiayai agenda pembangunan, capres Prabowo perlu menggalang pendapatan dalam negeri (baik pajak dan bukan pajak) dan mengembangkan pembiayaan dalam negeri (obligasi dalam negeri). Pada waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi akan dipacu hingga 10% dan target porsi belanja negara mencapai minimal 19% dari PDB.

Dalam kerangka analisis ekonomi, target-target tersebut sulit dicapai untuk dua alasan utama. Pertama, jika pemerintah dan dunia swasta berebut sumber pendanaan dalam negeri, akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat. Kondisi ini akan menurunkan kegiatan investasi sektor swasta (istilah ekonomi disebut crowding out). Akibat itu, pihak swasta akan mengandalkan pada pembiayaan luar negeri yang lebih murah. Kondisi ini tengah terjadi dan pemerintah perlu mengawasi perkembangan utang swasta untuk mengantisipasi dampak terburuk yang dapat terjadi.

Kedua, target pertumbuhan ekonomi 10% merupakan hal yang sangat berat untuk dicapai dan target tersebut merupakan target tertinggi sejak Indonesia merdeka. Kondisi pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat, dan perkembangan ekspor yang kurang menyenangkan, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sejak 2011. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi (overheating) dapat memicu inflasi yang tidak saja merugikan masyarakat miskin, tapi juga bisa mendorong ketimpangan pendapatan yang makin melebar.

Kritik Agenda Capres Jokowi

Janji Jokowi tidak kalah banyak dengan Prabowo misalkan pencanangan 1.000 Desa Daulat Benih, program 1.000 Desa Organik, pembangunan monorel atau bawah tanah (underground), membangun 50.000 rumah sehat, 6.000 puskesmas, renovasi 5.000 pasar tradisional, dan lainnya.

Tentu saja program-program serupa juga sudah banyak berjalan baik yang dilakukan atas inisiasi pemerintah pusat/daerah dan badan usaha milik negara. Misalkan program rehabilitasi sekolah yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rehabilitasi pasar yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, ataupun program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan.

Kendala utama dalam menjalankan program-program yang inklusif yaitu masing-masing program umumnya saling berjalan sendiri-sendiri. Lemahnya keterpaduan dan keberlanjutan program membuat banyak program berjalan tidak efektif. Misalkan upaya pengembangan desa organik dalam kondisi perilaku industri yang masih mencemari lingkungan.

Keberadaan pasar tradisional dan modern yang saling bersaing berebut pembeli. Program-program seperti ini juga tidak ubahnya dengan mega proyek yang syarat penyimpangan dan

Page 14: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

korupsi. Demikian pula, kebijakan Jokowi untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektare menjadi 2 hektare per KK juga bukan hal mudah terutama di wilayah Jawa.

Di balik cerita sukses transmigran asal Jawa, juga banyak kegagalan yang terjadi. Terlebih dua tantangan sektor pertanian saat ini yaitu kepemilikan lahan yang banyak terkonsentrasi pada kelompok pemodal besar dan kecenderungan nilai tukar petani yang makin melemah, mendesak dilakukannya kebijakan afirmatif bagi para petani gurem.

Tantangan Kepemimpinan

Penting untuk melihat dalam debat capres nanti bagaimana masing-masing kandidat dapat mencari kesepakatan dari banyak target pembangunan yang dapat saling bertentangan. Misalkan dalam ideologi negara pembangunan (developmental state), pememerintah perlu meletakkan kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan secara berimbang (the development triangle). Demikian pula, dalam banyak keterbatasan (anggaran dan personel), skala prioritas menjadi sangat penting dilakukan.

Lebih jauh bagaimana gaya kepemimpinan (otoriter dan humanis) dan pengalaman dari masing-masing pasangan capres untuk dapat mengatasi masalah juga penting untuk dicermati. Dalam hal ideologi pembangunan ekonomi kedua pasangan relatif sama, namun keberhasilan pembangunan akan lebih banyak ditentukan oleh agenda prioritas dan cara (the art) untuk mencapai tujuan tersebut.

MAXENSIUS TRI SAMBODOPeneliti di Puslit Ekonomi–LIPI, Visiting Fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura

Masa Depan Kita di Laut

Koran SINDO

Jum'at,  6 Juni 2014

Page 15: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

INDONESIA tengah memasuki masa transisi pemerintahan dengan tiga warisan yang tidak pernah diharapkan: kemiskinan, pengangguran, dan nyaris kelaparan. Saya menyebut kemiskinan sebab pada kenyataannya sekitar 100 juta rakyat Indonesia hidup dengan status ekonomi rentan: miskin dan hampir miskin.

Lalu, tidak kurang dari 40 juta jiwa di antaranya tengah berjuang mendapatkan pekerjaan tetap dan layak. Meski terkesan seperti lelucon menyebut Indonesia rentan kelaparan, fakta belakangan terakhir menunjukkan bahwa tidak saja faktor kemiskinan yang menyebabkan rakyat tidak mampu membeli pangan. Ikhtiar negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat dari produksi dalam negeri juga kian lemah.

Puncaknya, sekitar USD12 miliar lenyap untuk impor pangan, lebih dari USD40 miliar untuk impor energi, dan utang luar negeri menumpuk tiap tahun. Nah , jika dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa saja kita terseok-seok memenuhi janji kemerdekaan: melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan tiap-tiap anak bangsa, bagaimana rakyat Indonesia boleh optimistis merayakan 100 tahun kemerdekaannya dengan (proyeksi) penduduk mencapai 450 juta jiwa kelak?

Bergeser ke Laut?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini berpesan bahwa Indonesia akan menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal memanfaatkan potensi laut. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang Indonesia harus diubah menjadi pembangunan berbasis darat-maritim (Kompas, 1/2).

Celakanya, meski dua periode pemerintahan SBY telah didukung porsi APBN maksimum (sepanjang sejarah republik) dan dengan anggaran kelautan yang terus tumbuh, wajah kemiskinan di kampung-kampung nelayan dan pulau-pulau kecil tidak juga berubah.

Ketimpangan pembangunan antara pulau besar dan kecil maupun pulau terdepan dan pedalaman kian tampak. Kejahatan di laut berupa illegal fishing, illegal logging, illegal mining, human trafficking, hingga perdagangan narkoba melalui jalur laut terus berlanjut. Belakangan investasi asing dimudahkan (ikut) mengelola perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 saat perjanjian batas perairan dengan 10 negara tetangga belum sepenuhnya tuntas.

Perubahan paradigma yang disebutkan Presiden SBY terbukti lebih dilatari kesadaran ekonomi (jangka pendek) yakni menipisnya sumber daya alam di darat dan tanpa mempertimbangkan kepentingan lebih besar: laut sebagai ruang juang dan ruang hidup bangsa.

Sebagai ruang juang, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara di laut dan hanya dua

Page 16: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

negara di darat. Jika tidak awas dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan laut dunia (convoyer belt) dapat menjadi ancaman serius bagi masuknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penyakit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Laut juga bukanlah lumbung ekonomi (ekstraktif) baru yang selalu siap menggantikan kebangkrutan sumber daya alam di darat. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Deklarasi Djuanda 1957 pertama kali dikumandangkan, laut telah pula menjadi ruang hidup bangsa dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi tujuan pengelolaannya.

Masa Depan

Masa depan adalah hari ini. Begitu pun wajah Indonesia 2045 merupakan hasil karya dan cipta anak-anak bangsa hari ini. Karena itu, Pemilu 2014 harus menghasilkan perubahan. Di hulu pemerintahan ke depan perlu memasukkan aspek kelautan, termasuk kekayaan budaya dan pengetahuan bahari bangsa ke tiap jenjang pendidikan. Jika saat ini hanya 20% dari seluruh sekolah kejuruan di Indonesia yang membidangi kelautan, ke depan perlu ditingkatkan menjadi 50%. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menghasilkan generasi Indonesia dengan mental dan adab kelautan yang kuat.

Sedangkan jangka pendek akan merombak struktur tenaga kerja kelautan dari sebelumnya tidak terlatih (unskill labour) ke berdaya saing tinggi (skill labour). Kita harus merevitalisasi (bukan menambah) armada perikanan rakyat agar lebih efektif dan efisien melakukan penangkapan ikan di perairan kepulauan. Lalu, secara bertahap merestrukturisasi 1.000 kapal yang ada di perairan kepulauan ke perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas.

Data termutakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa sebanyak 99,5% dari total armada perikanan nasional Indonesia beroperasi di perairan kepulauan atau berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai. Selain untuk mengoptimalkan produksi pangan perikanan, baik di perairan kepulauan maupun ZEEI strategi ini sekaligus dapat mempersempit masuknya kapal-kapal ilegal ke perairan Indonesia. Reformasi sektor keuangan pun menjadi mutlak guna mendukung pembangunan hulu-hilir kelautan.

Di hilir pemerintah dapat memperkuat konektivitas antarpulau dengan armada dagang dan transportasi handal guna mendukung hilirisasi industri nasional dan mendistribusikan layanan kesejahteraan ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia. Sebagai gambaran, sejak Orde Baru hingga penghujung pemerintahan Presiden SBY, hampir 80 pelabuhan perikanan berada di kawasan barat Indonesia.

Minimnya pelabuhan perikanan di timur Indonesia telah menyulitkan bangkitnya industri pengolahan ikan nasional. Terakhir, di tengah cuaca ekstrem dan arus liberalisasi yang semakin kuat, pemerintah perlu memfasilitasi secara rutin informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan, dan harga ikan kepada nelayan dan penambak.

Page 17: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Jika sebelumnya cabai keriting dan sederet komoditas pertanian dapat mudah diikuti perkembangan harga hariannya melalui media cetak dan elektronik, ke depan layanan informasi serupa harus tersedia untuk sedikitnya 18 komoditas ikan konsumsi rakyat Indonesia.

Harapannya, aktivitas perikanan menjadi lebih aman, efisien, begitu pun nelayan tidak lagi dirugikan dalam penetapan harga jual ikan. Meski belum sempurna, visi misi dua calon presiden telah memberi peluang terhadap perubahan (mendasar) strategi pembangun nasional. Maka itu, hanya dengan ikhtiar berbasis kelautan, presiden hasil Pemilu 2014 dapat mengantarkan Indonesia ke masa depan lebih baik.

M RIZA DAMANIKKetua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Penulis Buku ”Hak Asasi Nelayan” 

Menakar Ketajaman Visi Maritim Capres

Koran SINDO

Sabtu,  7 Juni 2014

Page 18: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

DUA calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam pemilihan presiden tahun ini relatif lebih memiliki visi di bidang kemaritiman. Satu hal yang patut diapresiasi tentunya. Secara tradisional dan berlaku global, yang dimaksud bidang kemaritiman adalah pelayaran dan sangat erat terkait dengan aktivitas perdagangan.

Dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660- 1783, Capt. A. T. Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal, mengatakan bahwa setelah perdagangan berkembang negara-negara yang memiliki armada pelayaran yang kuat meningkatkan kehadirannya di lautan dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk mengawal barang-barang yang diangkut kapal-kapal mereka. Dalam kalimat Mahan: ”...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping ...”. Di samping pelayaran, bidang kemaritiman juga mencakup pelabuhan, galangan kapal, dan pelaut.

Visi Prabowo Subianto dan Joko Widodo di bidang maritim adalah sama-sama ingin membangun pelabuhan. Ini pilihan yang tepat mengingat pelabuhan merupakan fasilitas yang teramat strategis; ia bukannya hanya sekumpulan beton di bibir pantai.

Ada kisah menarik terkait nilai strategis sebuah pelabuhan dari negeri jiran Malaysia ketika Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) dibangun di sana pada era 90-an. Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr Mahathir Mohamad, mendirikan pelabuhan tersebut tepat di seberang Singapura, tepatnya di Johor Baru.

Kebijakan ini sebetulnya tidak tepat karena PTP jauh dari kota besar atau kawasan industri utama yang terletak di ujung selatan Malaysia. Ini berarti hanya akan ada sedikit barang yang akan keluar-masuk dari pelabuhan itu. Namun, Dr M, panggilan akrab Mahathir Mohamad, tetap membangunnya. Dioperasikan pertama kali pada 1999 dan secara resmi diluncurkannya pada 2000, PTP kini merupakan salah satu pelabuhan penting di kawasan Asia dengan throughput tahunan melebihi 5 juta TEU. Last but not least, ada banyak putra Indonesia yang terlibat dalam pembangunan PTP.

Baru-baru ini keberadaan Pelabuhan Tanjung Pelepas mencuat dalam komunitas pelayaran domestik karena ada rute baru yang dibuka oleh pelayaran global Maersk Line dari Pelabuhan Makassar menuju PTP dengan menyinggahi terlebih dahulu Papua New Guinea (Port Moresby), Port Noro, yang berada di Kota Lae, kota terbesar kedua di Papua New Guinea, kemudian masuk ke Bitung dan berakhir di Tanjung Pelepas.

Kurang Tajam

Sayang, visi maritim dua pasang calon presiden yang ada kurang tajam. Alasannya, pertama, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun oleh para capres itu adalah pelabuhan yang sudah direncanakan sebelumnya oleh para teknokrat; para capres paling nantinya hanya tinggal mengeksekusinya saja.

Page 19: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Lebih jauh, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun itu bisa jadi tidak cocok dengan kebutuhan yang ada karena perencananya lebih mementingkan proyek dibanding kegunaan. Pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara adalah contoh pelabuhan yang dibangun dengan pendekatan seperti di atas.

Ketika dibangun pertama kali, Kuala Tanjung nyaris tanpa jalan masuk mau pun keluar. Pengembangnya sepertinya ingin truk-truk yang menuju ke sana terbang. Dengan fasilitas yang masih belum berkembang, Kuala Tanjung ditetapkan sebagai pelabuhan pengumpul atau hub port internasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional yang diterbitkan 5 Maret 2012 (sic).

Kedua, visi maritim Prabowo Subianto dan Joko Widodo sangat berorientasi ke dalam (inward looking). Padahal, pelabuhan di mana pun di seluruh dunia terhubung satu dengan lainnya dan mereka saling bekerja sama demi kemajuan bersama atau mutual co-existence.

Artinya, bukanlah hal yang memalukan jika kita membangun pelabuhan tidak jauh lokasinya dari pelabuhan yang jauh lebih mapan dari pelabuhan di Indonesia. Alangkah lebih baik jika kedua pasang capres juga mencanangkan visi untuk membangun pelabuhan tidak jauh dari Singapura, tepatnya di seputaran Batam, Kepulauan Riau.

Tidak ada yang membantah bahwa pelabuhan Negeri Singa itu merupakan magnet bagi pelayaran dunia. Jika kita bisa membangun pelabuhan (peti kemas) di Batam yang fasilitasnya setara dengan pelabuhan Singapura, kita akan bisa menampung limpahan peti kemas dari sana.

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Pelepas yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan Singapura dibangun dengan filosofi tadi. Terakhir, visi maritim kedua pasang capres kurang tajam karena tidak disertai dengan pernyataan bagaimana cara memasarkan pelabuhan-pelabuhan yang akan mereka bangun kelak jika menjadi presiden.

Pelabuhan bukanlah fasilitas sosial melainkan ia merupakan sebuah entitas bisnis yang harus mendatangkan uang bagi negara. Sudah banyak pelabuhan tapi pemasarannya diserahkan sepenuhnya kepada direksi perusahaan yang mengelolanya. Nyaris tidak pernah terdengar orang nomor satu di republik ini terlibat memasarkannya.

SISWANTO RUSDIDirektur The National Maritime Institute (Namarin), Jakarta

Page 20: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

RKP 2015 dalam Transisi Kepemimpinan

Di tengah kontestasi pemilu presiden, ada hal menarik dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2015 dan RAPBN 2015.

Sesuai UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2005–2025 dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan, “Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindari kekosongan rencana pembangunan nasional, presiden yang sedang memerintah

Page 21: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun RKP untuk tahun pertama periode pemerintahan presiden berikutnya.”

Presiden terpilih memiliki ruang gerak untuk menyempurnakan RKP dan APBN pada tahun pertama melalui mekanisme perubahan APBN (APBN-P). Mekanisme peralihan RKP dan APBN di tengah transisi kepemimpinan tidak terlalu menjadi perhatian kita semua pada RKP dan APBN 2009 lantaran pada Pilpres 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua. Untuk periode 2014–2019, Indonesia akan memilih presiden baru untuk melanjutkan agenda pembangunan nasional.

Dengan demikian, fase penyusunan RKP dan APBN 2015 untuk tahun pertama presiden baru dan proses perubahan atau penyesuaiannya berdasarkan visi-misi serta program prioritas presiden terpilih akan menjadi pembelajaran-konstitusi sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. RKP 2015 merupakan RKP tahun pertama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) III 2015–2019 dalam kurun RPJPN 2005–2025.

Karena itu, tidak hanya proses penyusunan RKP 2015 yang menjadi semakin penting, tetapi juga menjamin proses transisi dari pemerintah yang menyusun dan pemerintah yang menjalankan menjadi semakin krusial. Hal ini tidak hanya menjamin kesuksesan implementasi dari program dan kegiatan yang telah disusun dalam RKP 2015, melainkan juga penting bagi fondasi pembangunan jangka menengah III nasional sampai tahun 2019.

Tentunya pencapaian target RPJMN III akan menjadi modal yang sangat baik bagi pencapaian pembangunan nasional RPJMN IV 2020- 2025. Inilah yang menjadi esensi keberlanjutan pembangunan nasional lintas generasi. Agar proses transisi RKP dan APBN 2015 berjalan baik, pemerintah saat ini tengah melakukan beberapa hal strategis. Pertama, Presiden SBY di sejumlah kesempatan telah menyampaikan untuk mengundang presiden terpilih pada pemungutan suara 9 Juli 2014 untuk berkomunikasi mengenai RKP dan APBN 2015.

Meskipun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2007 penyusunan RKP dan APBN 2015 masih menjadi tugas dan kewenangan pemerintahan dan DPR RI 2009–2014, pelaksanaannya akan dilakukan oleh presiden periode 2014–2019. Oleh karenanya, komunikasi antara pemerintah yang menyusun dan yang melaksanakan menjadi krusial untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Kedua, terbuka luas bagi presiden terpilih periode 2014– 2019 melakukan penyesuaian RKP dan APBN 2015 melalui mekanisme APBN-P 2015.

Karena itu penyusunan RKP dan ABPN 2015 bersifat anggaran pokok dan dasar (baseline budget) dengan memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Melalui hal ini, pemerintahan baru akan memiliki ruang fiskal yang longgar untuk memasukkan program dan kegiatan prioritas pembangunan sesuai dengan visi-misi politik yang telah dijanjikan semasa periode kampanye pilpres.

Page 22: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Meski begitu, dalam penyusunan RAPBN 2015, pemerintah tetap memperhatikan arah dan strategi untuk merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan isu-isu strategis untuk mendukung tercapainya RKP 2015. Ketiga, dari sisi penyusunan RKP 2015, tugas pemerintahan saat ini adalah menjalankan secara konsisten yang menjadi amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Di dalamnya penyusunan RKP 2015 dilakukan mengikuti tahapan, mekanisme, dan proses penyusunan sesuai dengan tata aturan yang berlaku sehingga rencana kerja menghasilkan rancangan yang sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. Koordinasi dan sinkronisasi rancangan kerja kementerian/lembaga (renja K/L) dengan renja pemerintahan daerah dilakukan agar program kerja menjadi efisien, efektif, fokus, dan memiliki dampak langsung bagi tercapainya target pembangunan nasional.

Keempat, untuk memudahkan pemerintahan baru menjalankan RKP 2015, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk terus menjaga kesehatan fiskal melalui APBN-P 2014. Perekonomian Indonesia 2015 akan sangat dipengaruhi bagaimana kita mengelola kesehatan fiskal sepanjang tahun 2014. Dihadapkan pada situasi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan, fluktuasi nilai tukar rupiah, pelemahan ekspor dunia, serta risiko pembengkakan defisit anggaran, maka Inpres Nomor 4 Tahun 2014 tentang Program Penghematan dan Pemotongan Anggaran dikeluarkan.

Target pemerintah saat ini dapat menghemat Rp100 triliun dari rancangan APBN awal. Meskipun tidak mudah, kebijakan ini perlu diambil agar tidak hanya fiskal 2014 tetap kuat tetapi juga memudahkan pemerintahan baru dalam mengelola perekonomian nasional. Melalui keempat upaya ini kita semua berkeyakinan transisi kepemimpinan dan transisi rencana kerja pemerintah serta penganggarannya akan berjalan secara baik.

Selain itu, kita semua optimistis siapa pun presiden baru yang akan terpilih pada pemungutan suara 9 Juli 2014 akan membuka diri dalam berkomunikasi dengan pemerintah saat ini. Dengan demikian keterpaduan dan kontinuitas program kerja baik pusat maupun daerah antara pemerintahan perumus dan pelaksana, paling tidak, untuk tahun pertama dapat berlangsung baik.

Saya berkeyakinan ketika kita semua mampu menjaga fase transisi rencana kerja dan penganggaran secara baik, hal ini akan menjadi fondasi kuat bagi suksesnya RPJMN III 2014–2019 dan RPJP sampai pada tahun 2025.

Page 23: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Impor dan Sistem Pembayaran

Koran SINDO

Senin,  9 Juni 2014

Page 24: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

DENGAN model DGSE terlihat sangat jelas keterkaitan antara sistem pembayaran dan impor. Kenaikan harga impor bahan bakar dan pupuk membuat negara-negara Afrika berpendapatan rendah mengalami kesulitan dalam sistem pembayaran.

Transmisi moneter juga membuat pembayaran melalui telepon juga mengalami gangguan, misalnya yang terjadi di Kenya. Dengan model ini terbukti bahwa efek pendapatanlah yang merupakan sumber utama dari gangguan sistem pembayaran melalui transmisi impor. Di sinilah pentingnya kebijakan fiskal untuk menetralisasi dampak negatif dari efek pendapatan.

Negara yang mampu meningkatkan pengeluaran fiskalnya adalah negara-negara yang juga mampu menghindari permasalahan dalam sistem pembayaran. Di Asia hal yang sama juga terjadi khususnya ketika terjadi krisis pada 1998. Indonesia yang dianggap sebagai Macan Asia ternyata memiliki struktur perekonomian yang paling keropos dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang terkena hantaman krisis.

Ini terlihat dari biaya krisis ekonomi yang ditimbulkannya di mana sistem pembayaran Indonesia porak-poranda tidak karuan. Perbankan di Indonesia harus masuk ”ICCU” karena sebagian besar tidak mampu menjalankan aktivitas normalnya. Melemahnya rupiah menyebabkan impor dan utang luar negeri meningkat drastis yang menyebabkan cadangan devisa Indonesia terkuras habis-habisan.

Kondisi ini membuat sistem pembayaran mengalami permasalahan yang sangat serius. Masalah ini dapat terjadi karena sistem pembayaran terlalu mengandalkan kepada bank-bank milik pemerintah yang ternyata memiliki kredit macet yang sangat luar biasa. Kesalahan dalam membaca kondisi perekonomian Indonesia telah menyebabkan penyakit yang begitu besar di depan mata dalam perekonomian Indonesia tidak dapat terdeteksi.

Semasa periode Orde Baru permasalahan reformasi sistem pembayaran hampir tidak pernah tersentuh karena kroni Orde Baru sangat serakah ingin menguasai sistem pembayaran nasional sehingga likuiditas dalam pasar keuangan menjadi bersifat semu dan tidak terkontrol dengan baik.

Risiko dalam sistem pembayaran yang berkaitan dengan impor hanya bisa diselesaikan jika bank sentral dan bank komersial melakukan kerja sama yang sangat baik untuk mereformasi sistem pembayaran nasional.

Langkah inilah yang dilupakan oleh pemerintah Orde Baru yang selalu menganggap perekonomian Indonesia adalah Macan Asia yang tidak memiliki kelemahan. Orde Baru juga menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut merupakan perang ekonomi.

Jika logika bodoh itu diladeni, ada kekuatan negara asing yang tengah memusuhi Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia. Sementara Gerding (2014) mengatakan bahwa

Page 25: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

perusak ekonomi negara-negara yang terkena krisis ekonomi adalah aktor-aktor di dalam negeri sendiri. Negara Macan Asia dirampok oleh penguasanya sendiri.

Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Macan Asia karena menjadi good boy-nya Bank Dunia di mana Indonesia secara bodoh mengikuti resep neoliberal. Bank Dunia dan penguasa Indonesia menggunakan ”other people money”.

Gerding mengatakan: ”The corporate form provides ideal for lobbying for regulatory favors: corporations solve collective action problems by centralizing decisionmaking and allow managers to lobby with‘other people’s money’.”

Pada krisis yang terjadi pada 2008 di Amerika Serikat dan Uni Eropa, krisis pembayaran melalui transmisi impor bukanlah semata-mata merupakan perang ekonomi, melainkan karena kebodohan sistem ekonomi yang tidak mampu mengelola risiko yang ditimbulkan oleh proses ekonomi yang terjadilah yang merupakan sumber krisis ekonomi itu sendiri yang umumnya melalui transmisi impor dan akhirnya juga sistem pembayaran nasional. Landau, Garber, dan Scoenmaker pada 1997 sudah mengingatkan ini.

Mereka mengatakan: ”Payment system reforms are, nevertheless, crucially important and should be regarded as a key component of ongoing efforts to create sound and efficient financial systems. By strengthening payment systems to reduce systemic risk, central banks have increased their degrees of freedom. Indeed, they may soon be able to strengthen market discipline by letting financial institutions fail, perhaps even those currently perceived as too big to fail, without threatening the stability of the entire financial system.”

Tidaklah juga mengherankan jika perekonomian negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat juga akhirnya terjerembab ke dalam krisis perekonomian. Terbukti perekonomian Amerika Serikat masih terperangkap oleh risiko too big too fail sehingga terpaksa mengambil alih banyak institusi keuangan besar yang bukan hanya perbankan, tetapi juga asuransi dan industri manufaktur seperti industri mobil.

Perekonomian Amerika Serikat memiliki musuh di dalam dirinya sendiri yaitu tidak mau melakukan reformasi perekonomian khususnya reformasi sistem pembayaran.

Kesalahan yang sama juga dilakukan negara-negara Uni Eropa. Kembali kepada krisis Asia pada akhir 1990-an, pemimpin di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia juga alpa dalam mereformasi sistem perekonomian khususnya sistem pembayaran dalam konteks tidak terkontrolnya risiko ekonomi melalui transmisi impor.

Sistem mereka melupakan kewajiban ada likuiditas intraday. Likuiditas intraday harus dijamin dalam sistem pembayaran. Tanpa ada likuiditas intraday, sistem pembayaran rentan terhadap risiko too big too fail. Keberadaan jaminan dan biaya penalti juga sangat penting. Dua hal ini harus serempak dilakukan untuk menghilangkan risiko kredit dari otoritas moneter.

Page 26: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Hanya dengan cara itu, transmisi risiko krisis ekonomi dunia melalui mekanisme impor dapat dihilangkan dalam memengaruhi peningkatan risiko sistem pembayaran nasional!

ACHMAD DENI DARURI President Director Center for Banking Crisis

Pasar Modal Menjelang MEA 2015

Era globalisasi, keterbukaan, dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 harus diantisipasi. Harmonisasi ketentuan, persyaratan, maupun produk dan layanan mesti diupayakan agar memenuhi standar pasar modal regional maupun internasional.

Dengan demikian, bila sampai waktunya Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku, PT Kliring

Page 27: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) bersama semua pelaku pasar lainnya bisa berperan lebih luas dan tidak terbatas semata di pasar domestik. Untuk menuju ke arah tersebut, ada beberapa tahap. Langkah awal melakukan assessment untuk memenuhi prinsip dan rekomendasi International Organization of Securities Commissions (IOSCO).

Ini terkait dengan principles for financial market infrastructures. Assessment-nya akan dilakukan tahun ini untuk mengukur sejauh mana pemenuhan dan kesenjangan (gap) yang ada. Kedua, setelah gap diketahui, kemudian dilakukan upaya penyelesaian melalui program dan rencana aksi. Walau berharap apa yang kita miliki dan lakukan sudah memadai, ada beberapa hal yang harus disempurnakan. Untuk memulai ke arah sana mesti ada prakondisi dan model yang ditetapkan di awal. Bagaimana model operasionalnya?

Bagaimana peran Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) di satu negara jika nanti terjadi keterhubungan antarpasar? Itu semua harus didefinisikan agar dapat disiapkan. Apalagi ada beberapa hal yang harus diwaspadai dan disiapkan pada pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal dimaksud antara lain dari sisi kapasitas yang harus memadai dari aspek operasional, pemenuhan terhadap standar yang berlaku, dan memadai secara ketentuan. Selanjutnya memadai secara kapasitas organisasi maupun sumber daya manusia.

Infrastruktur pasar modal juga mesti disiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Tentu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), self regulatory organizations (SRO) lain, dan pelaku pasar. Ada beberapa tahapan penetapan arah pengembangan infrastruktur ke depan. Bentuknya ada blue print dan acuan perencanaan, baru kemudian penetapan agenda prioritas pengembangan infrastruktur pasar modal.

Secara nyata, selanjutnya ditetapkan agenda dan program pengembangan tersebut beserta struktur timnya. Tahap berikutnya pelaksanaan kerja. Untuk setiap program yang telah dijalankan akan terus disempurnakan secara berkelanjutan agar memenuhi kebutuhan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Sesuai dengan peran sebagai LKP di pasar modal, KPEI berkomitmen memberikan kontribusi terhadap pengembangan pasar modal di Indonesia. Mulai dari mengembangkan peraturan dan sistem teknologi pendukung, menyediakan sumber daya berkualitas hingga membuat prosedur operasional yang memenuhi aspek manajemen mutu.

Pada akhirnya juga melakukan rangkaian kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku. Dengan demikian, langkah-langkah KPEI dapat dipahami pelaku pasar dan dijalankan dengan baik. Aspek lainnya pengembangan. KPEI tidak boleh berhenti melakukan pengembangan agar dapat mengantisipasi setiap kebutuhan bisnis. Ini tidak dapat dilakukan sendiri, melainkan bersama seluruh elemen pelaku pasar modal seperti OJK, SRO lain, anggota bursa, dan para pelaku pasar.

Sebetulnya kalau kita melihat, tiap negara memiliki kondisi dan karakteristik pasar yang berbeda-beda. Prinsipnya KPEI harus selalu mengakomodasi kebutuhan kliring dan penjaminan yang berbasis kondisi dan karakteristik yang spesifik dari lingkungan pasar

Page 28: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

modal di Indonesia. Tentunya tidak terlepas dari upaya untuk memenuhi dan mengikuti standar, prinsip, dan rekomendasi yang berlaku secara global. Kita juga melakukan kerja sama dengan negara lain dalam beberapa aspek. KPEI aktif dan menjadi anggota lembaga-lembaga internasional.

Misalnya di The Asia-Pacific Central Securities Depository Group (ACG) yang anggotanya adalah seluruh lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyelesaian dan penyimpanan di Asia-Pasifik. Juga aktif di Pan Asia Securities Lending Association (PASLA), organisasi penyelenggara layanan pinjam meminjam efek, serta Central Counter Party (CCP) di Asia dan global. KPE juga aktif mengikatkan diri dalam kerja sama bilateral dengan lembaga sejenis dari negara lain.

Ada MoU dengan Korea Securities Depository (KSD), Central Depository Company of Pakistan Limited, Central Securities Depository of Iran (CSDI), Japan Securities Depository Center ( JASDEC ), Japan Securities Clearing Corporation (JSCC), dan Japan Securities Financing (JSF). Itu semua sebetulnya tidak terlepas dari misi pendirian serta amanat peran dan fungsi KPEI yang dimuat dalam Undang- Undang (UU) Pasar Modal.

KPEI didirikan untuk menjadi satu lembaga yang terkait langsung dengan fungsi kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bagi bursa di pasar modal di Indonesia. Misi KPEI adalah untuk menciptakan pasar modal yang aman di satu sisi, tapi juga tetap menarik di sisi lain.

Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan Pangan

Koran SINDO

Rabu,  11 Juni 2014

Page 29: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

DALAM pernyataan di berbagai media massa akhir-akhir ini, dua kandidat calon presiden (capres) yang tengah bertarung memperebutkan RI-1 membawa agenda pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu agenda utama pemerintahan mereka.

Salah satu pernyataan yang menarik dari kedua kandidat adalah pendirian bank pertanian khusus untuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil di sektor pertanian dan perikanan. ”Bank pertanian” merupakan terminologi yang menarik untuk dikutip media massa karena kalimat tersebut merefleksikan kritik publik atas minimnya peran perbankan dalam memberikan akses kredit kepada petani, nelayan, dan usaha mikro lainnya.

Bank Dunia (2010) menyebutkan bahwa selama ini permasalahan akses keuangan usaha mikro, termasuk usaha tani dan perikanan, adalah salah satu hambatan utama usaha mikro untuk bisa berkembang dengan baik. Data dari Bank Indonesia (BI) tahun 2012 menyebutkan sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi 7,73 % dari Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sebagian besar KUR dimanfaatkan untuk usaha perdagangan, yakni sebesar 47,2 %, dari total KUR di tahun 2012.

Meskipun akses keuangan untuk petani merupakan permasalahan besar, apakah solusi mendirikan bank pertanian merupakan kebijakan yang tepat dan efektif ? Sejak Orde baru, Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi pionir keuangan mikro bagi petani dan usaha mikro lainnya di Indonesia. Bahkan, BRI merupakan contoh sukses keuangan mikro di dunia yang banyak dikutip oleh akademisi (lihat misalnya dalam Rosengard & Prasetyantoko, 2011; Robinson, 2001; atau Miyashita, 2000) jauh sebelum gerakan Grameen Bank di Bangladesh mengemuka dan mendunia.

Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertujuan khusus untuk memberikan kredit pada sektor pertanian telah dilaksanakan BRI sejak tahun 1980-an. Sayangnya, program tersebut justru membebani keuangan negara dan membuat BRI mengalami kerugian keuangan dan akhirnya program tersebut ditutup.

Kemudian, pemerintah melanjutkan program kredit di sektor pertanian melalui program Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan sekarang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di luar dari program kredit yang dilakukan oleh perbankan, akses kredit untuk petani juga dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang berciri lebih informal dan berbasis komunitas, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), atau sistem arisan.

Riset dari Tambunan (2013) dan Bank Dunia (2009) menunjukkan sebagian besar usaha mikro, termasuk di dalamnya usaha pertanian, lebih banyak mengandalkan sumber pembiayaan informal daripada sumber pembiayaan dari perbankan. Penggunaan sumber-sumber informal ini, salah satunya, karena perbankan menerapkan banyak persyaratan yang menyulitkan usaha mikro, terutama perizinan usaha dan agunan. Sementara itu, selain mensyaratkan agunan dan legalitas usaha, perbankan juga memerlukan profil risiko kreditur.

Page 30: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Selama ini, usaha pertanian dianggap usaha dengan tinggi risiko, terlebih saat ini perubahan iklim memacu risiko gagal panen lebih besar. Jika perbankan hendak menurunkan standar risiko pembiayaan untuk petani, perbankan dihadapkan pada perhitungan efisiensi usaha.

Terkait dengan akses pembiayaan usaha mikro, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 mengenai Koperasi setelah gugatan diajukan oleh berbagai kelompok koperasi dan gabungan masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberdayaan koperasi. Sebelumnya, pemerintah berharap dengan pemberlakuan UU tersebut, koperasi dapat memperoleh akses keuangan yang lebih mudah ke perbankan.

Sayangnya, UU tersebut tidak didasarkan pada semangat dasar koperasi yang berbasis keanggotaan yang demokratis, namun lebih berbasis pada kepentingan pengurus yang rawan moral hazard. Gugatan para pegiat koperasi yang dimenangkan oleh MK ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah mendatang untuk dapat mengatasi akses keuangan usaha pertanian sekaligus membangun gerakan koperasi sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.

Bukan Sekadar Retorika

Maraknya jasa keuangan informal, bahkan termasuk rentenir, yang membiayai usaha mikro, di satu sisi merefleksikan resistensi lokal dalam merespons kebutuhan akses keuangan, namun di sisi lain mencirikan jurang yang cukup tinggi antara sektor formal dan informal. Tesis dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke (1953) masih relevan hingga saat ini, terutama jika melihat persoalan akses keuangan.

Sektor formal dan perusahaan besar mendapatkan kepercayaan yang sangat baik dari perbankan. UMKM yang mendapat kredit dari perbankan pun lebih banyak dari usaha menengah dan kecil, meskipun 99,9% atau sebesar 56,5 juta dari total unit usaha di Indonesia dikategorikan sebagai usaha mikro. Dari jenis usaha mikro yang dibiayai perbankan, usaha mikro berjenis pertanian yang paling minim. Kesenjangan sektoral merupakan persoalan mendasar dari akses keuangan petani.

Kebutuhan keuangan petani tradisional yang utama, yang kurang dipahami bank, bukan untuk melakukan ekspansi seperti sektor lainnya, namun untuk menstabilkan harga komoditas. Oleh karena itu, penyediaan lingkungan pemberdaya (enabling environment) yang bermanfaat untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Inovasi kebijakan yang lebih penting dilakukan, dibanding mendirikan bank pertanian yang bersifat repetitif, adalah, pertama, menyediakan asuransi pertanian untuk petani dan, kedua, mentransformasi koperasi simpan pinjam menjadi koperasi produksi.

Koperasi produksi, selain menaikkan posisi tawar petani terhadap rantai produksi global, juga berperan dalam meningkatkan efisiensi usaha tani serta mempercepat penyerapan teknologi dalam proses produksi. Ketika koperasi produksi mampu menyerap hasil tani anggota,

Page 31: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

membukukan keuntungan yang baik, dan mengelola secara demokratis, bank akan tertarik untuk membiayai usaha mereka.

Sementara itu, asuransi pertanian penting untuk membuat bank lebih tertarik membiayai usaha tani, menstabilkan harga pertanian, serta mengatasi kemiskinan petani. Di Indonesia, kenaikan harga pangan di tingkat pengecer mencapai 21,6% per tahun sejak 2010. Kenaikan ini cukup tinggi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, misalnya Thailand sebesar 10,1%, Myanmar sebesar 4,4%, atau Filipina yang relatif tidak meningkat. (FAO, 2011).

Ketika harga pertanian naik, kecenderungan untuk kebocoran impor akan lebih tinggi, dan petani semakin tidak berdaya untuk mengembangkan usaha tani mereka. Di banyak negara, pemerintah mengembangkan asuransi pertanian berbasis indeks kerawanan iklim terutama untuk menstabilisasi harga.

Di Jepang, pemerintah menyubsidi dana asuransi dan menyalurkannya lewat beberapa institusi dana pertanian secara kolektif per kelompok tani. Sementara itu, di Meksiko dan India, pemerintah menggandeng produsen jasa keuangan untuk membuat asuransi kolektif pertanian berbasis kerawanan iklim per wilayah.

Akhirnya, tawaran capres-cawapres mengenai pembentukan bank pertanian ini seharusnya bukan sekadar ide retorik yang ahistoris. Secara substantif, jasa keuangan yang lebih diperlukan oleh petani adalah asuransi pertanian dalam mendorong kemampuan usaha tani, yang pada gilirannya akan menaikkan profil usaha mereka untuk perbankan, dan secara jangka panjang berkontribusi pada ketahanan pangan. Koperasi juga perlu didorong untuk lebih berperan sebagai agen pembangunan.

HERJUNO NDARU KINASIHPeneliti The Habibie Center

Politik Subsidi BBM Capres

Visi dan misi dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 tidak secara tegas menyebutkan rencana pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Tim sukses pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengungkapkan bahwa pemerintahan Prabowo tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Sedangkan Darmawan Prasojo, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Page 32: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Subsidi BBM merupakan permasalahan pelik dan dilematis yang tidak pernah diselesaikan Presiden SBY dalam dua periode pemerintahannya sehingga siapa pun presiden terpilih harus mengatasi itu. Permasalahan itu berkaitan dengan pembengkakan subsidi BBM yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Selama periode 2011-213 total anggaran subsidi BBM dalam APBN sudah mencapai Rp635,6 triliun. Pada APBN 2014 dari total belanja subsidi sebesar Rp333,7 triliun, 80% di antaranya dialokasikan untuk subsidi BBM yang sudah mencapai Rp225,7 triliun.

Memang cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk menekan subsidi BBM adalah menaikkan harga BBM bersubsidi sesuai harga keekonomian. Masalahnya, setiap penaikan harga BBM bersubsidi selalu menaikkan inflasi yang berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat.

Dampak Penaikan Harga BBM

Selama ini penaikan harga BBM bersubsidi selalu memberikan dampak secara signifikan terhadap penurunan tingkat kesejahteraan rakyat, bahkan tidak menutup kemungkinan mempercepat akselerasi proses pemiskinan di negeri ini. Rakyat miskin memang tidak terkena dampak kenaikan harga BBM secara langsung lantaran mereka bukanlah konsumen BBM bersubsidi.

Namun, rakyat miskin sudah pasti akan terimbas dampak ikutan (multiplier effect) akibat penaikan harga BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter pada 1 April 2012 telah memicu kenaikan inflasi pada 2012 hingga 6,8% per tahun. Kontribusi inflasi terbesar terjadi pada sektor transportasi sehingga memicu kenaikan harga- harga kebutuhan pokok yang mencapai rata-rata sekitar 23,2% selama 2012.

Besaran inflasi tersebut telah menurunkan daya beli masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 1,5% atau bertambah sebanyak 4,5 juta orang. Memang pemerintah telah memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang ditetapkan sebesar Rp150.000 per bulan kepada setiap keluarga. Namun, jumlah BLSM tersebut dinilai tidak memadai untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.

Menurut BPS, pendapatan seseorang di bawah Rp7.075 per hari dikategorikan sebagai penduduk miskin. Kalau keluarga miskin mempunyai lima orang anggota keluarga, setiap anggota keluarga hanya menerima bagian BLSM sebesar Rp30.000 per bulan atau Rp1.000 per hari. Dengan demikian, penghasilan penduduk miskin penerima BLSM meningkat dari Rp7.075 menjadi Rp8.075 atau naik hanya 12,38%.

Kenaikan penghasilan penerima BLSM itu masih tidak mencukupi untuk menutup kenaikan harga kebutuhan pokok yang mencapai 23,2%. Tidak diragukan lagi, setiap kenaikan harga BBM bersubsidi akan menaikkan jumlah penduduk miskin meski pemerintah telah membagikan BLSM.

Page 33: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Solusi Permasalahan BBM Bersubsidi

Untuk mengatasi permasalahan dilematis tersebut, capres mestinya menetapkan politik subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan, dituangkan dalam tahapan rencana aksi sebagai solusi terhadap permasalahan BBM bersubsidi. Rencana aksi tersebut meliputi penetapan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi, migrasi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG), dan pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT).

Pertama, pemerintah harus menetapkan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi berdasarkan indikator terukur. Salah satu skema yang bisa digunakan adalah penaikan harga BBM bersubsidi secara berkala. Misalnya pemerintah menaikkan harga BBM Rp500 per liter setiap tiga bulan sekali sehingga diperkirakan pada tahun kedua harga BBM sudah mencapai harga keekonomian. Penaikan harga BBM secara berkala dengan jumlah kenaikan harga yang tidak terlalu besar, di samping dapat menekan efek inflasi, juga dapat meredam gonjang-ganjing akibat penolakan masyarakat terhadap penaikan harga BBM.

Selain itu, pada saatnya penaikan harga BBM secara berkala itu juga diharapkan dapat diterima secara ekonomi, sosial, dan politik, sekaligus dapat mendorong upaya migrasi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) serta pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT).

Kedua, pemerintah harus memberikan prioritas pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan untuk melakukan migrasi dari BBM ke BBG yang kontens subsidi BBG lebih rendah daripada subsidi BBM. Selain ketersediaan infrastruktur, pemerintah juga harus mempunyai komitmen kuat dan political will dalam menerapkan rencana migrasi dari BBM ke BBG. Keberhasilan pemerintahan SBY-JK dalam melakukan migrasi dari minyak tanah ke gas barangkali bisa menjadi referensi bagi pemerintahan yang baru dalam menerapkan rencana migrasi dari BBM ke BBG.

Ketiga, pemerintah harus secara serius dan terus-menerus dalam mengembangkan BBT yang bahan bakunya tersedia secara berlimpah di negeri ini. Data menunjukkan bahwa ketersediaan energi fosil penghasil BBM semakin menurun yang pada saatnya akan habis. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintah baru untuk segera mengembangkan BBT secara berkesinambungan.

Selain tiga solusi tersebut, pemerintah yang baru pun harus menghapus pemberian BLSM. Di samping besaran BLSM tidak pernah mencukupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebagai dampak penaikan harga BBM bersubsidi, pemberian BLSM selama ini juga lebih banyak menimbulkan dampak negatif.

Tanpa ada politik subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif dan berkesinambungan, serta komitmen kuat dari pemerintah, jangan harap presiden terpilih akan mampu mengatasi permasalahan pelik dan dilematis subsidi BBM yang selama 10 tahun telah membebani pemerintahan SBY tanpa bisa diatasi. ●

Page 34: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

FAHMY RADHIPeneliti Pusat Studi Energi UGM

Memerangi Praktik Kartel

Koran SINDO

Senin,  16 Juni 2014

PEREKONOMIAN nasional sarat praktik kartel. Potensi kerugian masyarakat sebagai konsumen akan terus berlanjut jika sistem hukum nasional tidak memberi sanksi maksimal kepada para pihak yang bersekutu dalam kartel.

Page 35: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Maka, Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas praktik kartel dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung dan simpatisannya masing-masing, dua pasang capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol. Sapu lidi merefleksikan harapan publik kepada pemimpin untuk melakukan pembersihan.

Artinya, siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presiden-wakil presiden terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo-Hatta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit kertas merah putih di rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan Pejuang Kebersihan Jakarta menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk pasangan Jokowi–JK.

Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan Matahari Indonesia”. Jika mengikuti arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam konteks Indonesia adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini telah mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel dalam perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Padahal, praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU menetapkan total denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan 19 importir itu melanggar Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Para importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar, sebagai strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol. Setelah kasus bawang putih, KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan dalam mematok bunga bank.

Penyelidikan KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada besaran bunga. Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat tinggi di atas BI rate. Tingkat bunga kredit tetap tinggi walau BI rate pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah ini sejak tahun 2011.

Persoalan ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku bunga, KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang melibatkan perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit memasarkan produknya karena tidak berafiliasi dengan bank.

Page 36: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Bank dan asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu didorong, tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari perusahaan terafiliasi. Tak jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu sudah difinalkan sebagai persyaratan. Nasabah tidak diberi kebebasan memilih walaupun nasabahlah yang membayar premi.

Bagi KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih sebagai pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus serupa terhadap dua bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak menimbulkan efek jera.

Kalau kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis berupa denda? Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus kartel selama ini hanya berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Destruktif

Padahal, praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain serta merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus “dipelihara” eksistensinya, yang menjadi korban adalah petani bawang putih. Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar dikendalikan oleh kartel yang pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya jauh lebih besar.

Karena itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran tentang ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan dan lonjakan harga kedelai beberapa waktu yang lalu.

Tingginya harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih dari itu, negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi semua sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya saing negara. Semua potensi lokal, baik skala kecil, menengah maupun besar, harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional.

Karena itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di bidang perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya penyatuan ekonomi ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu bersaing dengan negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi pasar jika dunia usaha dalam negeri tidak dipersiapkan untuk berkompetisi.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan sejumlah

Page 37: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum birokrat dalam kasus-kasus tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba saja simak kronologi kasus suap impor daging sapi itu. Selain itu, fakta bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor juga memberi peluang bagi hadirnya kartel.

Maka, dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat berat, terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika presiden ingin mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi tata niaga semua komoditas kebutuhan pokok.

Pembenahan itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat alias terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeliminasi peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan permintaan penawaran sejumlah komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah karena tantangannya adalah menghadapi kepentingan dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah menikmati untung dari praktik kartel itu.

Namun, gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan tingkat bunga kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap masyarakat dan para pengusaha sebagai nasabah. Boleh jadi, faktor suku bunga yang tinggi menjadi salah satu sebab rendahnya daya saing sektor bisnis dalam negeri.

Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat capres-cawapres adalah simbol sekaligus aspirasi. Siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk melancarkan gerakan bersih-bersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga membersihkan perekonomian negara dari praktik kartel.

BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Ketahanan Berbasis Impor

Koran SINDO

Selasa,  17 Juni 2014

DI tengah produksi gabah kering giling (GKG) yang terancam menurun tahun 2014, pemerintah kembali merencanakan mengimpor beras.

Page 38: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Penurunan produksi terjadi karena gangguan hama wereng batang cokelat yang meluas di 22 provinsi. Serangan wereng mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman padi dari 6,5 ton menjadi 4,5 ton GKG per hektar. Penurunan produksi akan mendongkrak kenaikan harga beras menjelang pilpres. Apalagi selama ini pemerintah lebih mengedepankan opsi impor beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan memberdayakan petani lokal.

Alasan klasik seperti serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk membuka keran impor. Seakan serangan wereng tidak bisa diatasi dan banjir tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning dan cara cerdik pun tidak ditemukan untuk solusi. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan pangan berbasis impor.

Kita menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai krisis beras, krisis kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawah putih hingga bawang merah. Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia.

Namun ironisnya, berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I/2014 hanya sebesar 0,94% atau melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yang sebesar 2,18%. Implikasinya, impor pangan makin tidak terbendung. Hampir 75 % dari kebutuhan pangan di dalam negeri dipenuhi dari impor.

Ruang impor pangan akan semakin terbuka lebar guna mengawal stabilitas politik Pemilu Presiden 2014. Agar gejolak harga pangan—memicu inflasi tinggi—terkendali, maka pangan harus tersedia. Sayangnya pangan yang tersedia kerap harganya tidak terjangkau rakyat miskin. Kian mahalnya harga pangan diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang dikuasai segelintir pemodal besar.

Praktik kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki semakin terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran raskin. Temuan ini menunjukkan bahwa suap impor pangan adalah jenis corruption by design. Fenomena ini menunjukkan pangan impor sudah dikendalikan oleh mafia pangan yang melibatkan pejabat tertentu dan politisi untuk meraup keuntungan.

Sepanjang 2013, Indonesia mengimpor bahan pangan utama dengan menghabiskan devisa sekitar Rp125 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun infrastruktur sektor pertanian. Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor mengalir ke Indonesia.

Page 39: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Meski usia kemerdekaan republik ini sudah memasuki 69 tahun, alih-alih pemerintah dapat menyejahterakan petani justru petani gurem kian meningkat jumlahnya. Petani kecil termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas pangan. Dalam satu dekade terakhir, petani di negara yang dikenal sebagai bangsa agraris ini mengalami proses pemiskinan.

Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan keluarga petani berkurang sebanyak 5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta keluarga, sepuluh tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah keluarga petani yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun atau laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun.

 Namun, jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Di negara maju, susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan pertanda kemajuan sektor pertanian. Penurunan jumlah keluarga petani gurem karena ada penyerapan tenaga kerja secara signifikan di sektor industri dan jasa. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah guremisasi akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan.

Jalan di Tempat

Setuju atau tidak setuju, selama 10 tahun terakhir pembangunan pertanian jalan di tempat atau bahkan ”mundur” ke belakang. Mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai ”petani”, hidupnya mengalami proses pemiskinan. Fenomena ini harus dapat menyadarkan pemerintahan hasil Pemilu 2014 bahwa pekerjaan rumah memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat belum selesai.

Rapuhnya decay kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada pembangunan sektor pertanian. Alokasi anggaran yang masih terbatas di kementerian pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap pangan impor. Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor maka perlu didorong penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya dan mengurangi ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis beras dan gandum.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk lokalnya seperti telepon seluler dan mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi harga mati dalam melepaskan diri dari jebakan pangan.

Sebagai bangsa agraris, Indonesia harus keluar dari jebakan dan perangkap pangan negara maju dengan segera melakukan pengurangan praktik liberalisasi pangan. Praktik ini telah menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus

Page 40: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

melakukan pembatasan penguasaan distribusi pangan melalui korporasi.

Satu hal yang tak kalah penting adalah kecenderungan selama ini yang memilih langkah gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus diakhiri. Kebergantungan pada impor ini hendaknya menyadarkan pemerintah untuk terus membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti perintah Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

POSMAN SIBUEA Guru Besar Tetap di Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Presiden Baru Jangan Abaikan Energi Terbarukan

Kamis,  19 Juni 2014

DI tengah hiruk-pikuk berita Pemilihan Umum Presiden 2014, ada beberapa berita menarik dari sektor energi Indonesia.

Page 41: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Yang pertama adalah per 1 Juli nanti akan ada enam golongan pelanggan listrik yang mengalami kenaikan bertahap hingga November 2014 per dua bulan di kisaran 5-11%. Dalam kerangka kenaikan ini pemerintah masih menyubsidi listrik sebesar Rp103,82 triliun.

Yang kedua adalah pengumuman besaran subsidi BBM dalam APBNP 2014 sebesar Rp246,49 triliun dari sebelumnya Rp284,986 triliun yang meskipun turun tetap saja nilainya lebih besar dari di APBN 2014 yang hanya Rp210,7 triliun.

Kenaikan tarif listrik ini walaupun tidak menyentuh kelas pelanggan paling rendah namun memberikan sinyalemen bahwa masalah ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada perubahan berarti baik dari segi harga di konsumen atau biaya pembangkitan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Subsidi ini akan terus terjadi karena biaya pembangkitan listrik tinggi sementara harga jualnya rendah. Merujuk pada laporan tahunan PLN tahun 2012, rata-rata harga penjualan listrik per KWH adalah Rp728,32 sementara biaya pembangkitannya Rp1.217,28 (PLN, 2012).

Sementara itu, masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih terus menjadi hal memusingkan pemerintah. Anggaran yang terbatas harus terus tergerus karena nilai subsidi BBM terus naik dari tahun ke tahun lantaran program diversifikasi energi masih belum cukup signifikan. Masalah energi adalah masalah menahun di Indonesia. Masalah ini harus diperhatikan dengan serius agar tidak justru mengganggu pertumbuhan bangsa ini.

Terlebih harga bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara cenderung menunjukkan tren yang meningkat. Tampaknya sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menguatkan kembali semangatnya untuk melakukan diversifikasi energi menuju pemanfaatan energi terbarukan. Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang memberikan perhatian terhadap energi terbarukan tidak dapat lagi diabaikan implementasinya dan harus didorong agar terus maju.

Terlebih industri perkembangan energi terbarukan di negara-negara maju telah menunjukkan posisinya sebagai sunrise industry. Keunggulan energi terbarukan tidak lagi hanya di keramahannya terhadap lingkungan, tapi juga efisiensi biayanya. Potensi inilah yang membuat beberapa perusahaan minyak ternama di dunia seperti Total, Chevron, Shell, British Petroleum, dan bahkan Saudi Aramco menginvestasikan uangnya di industri energi terbarukan.

Pencapaian Indonesia

Belakangan ini ada beberapa milestones dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia. Yang paling besar adalah pada bulan April 2013 energy sales contract (ESC) dan joint operating contract (JOC) untuk Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sudah ditandatangani. Tiga pembangkit tenaga panas bumi dengan kapasitas masing-masing 110 MW direncanakan akan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017 dengan harga pembelian listrik PLN dari PLTP Sarulla disepakati sebesar USD6,79 sen.

Page 42: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Harga ini jauh lebih murah dibandingkan biaya pembangkitan di Sumatera Utara dengan BBM yang mencapai USD35-40 sen. Jakarta Post mencatat pengoperasian PLTP Sarulla per tahunnya akan mengurangi subsidi listrik hingga Rp4 triliun. Yang kedua, Juni tahun lalu Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota kapasitas PLTS Fotovoltaik, dan kepada pemenang lelang seluruh hasil produksi listriknya akan dibeli seharga USD25-30 sen per KWH. Dalam aturan itu disebutkan kontrak pembelian berlaku selama 20 tahun dan bisa diperpanjang. Lelang ini sudah selesai dan sudah ada pemenangnya yang akan segera membangun fasilitas PLTS.

Pencapaian di dalam negeri dan perkembangan di luar negeri seharusnya mengubah paradigma energi kita bahwa berbicara energi terbarukan itu tidak hanya bicara mengenai kelestarian lingkungan, tapi juga bicara mengenai potensi efisiensi ekonomi. Sumber energi terbarukan tidak pelak lagi, merupakan jawaban yang feasible untuk tantangan masalah energi Indonesia. Energi terbarukan sudah saatnya dipandang sebagai sebuah ranah industri yang baru dan menjanjikan secara ekonomi.

Komitmen untuk Insentif

Energi terbarukan sudah menjadi tren global dan Indonesia tentu tidak boleh ketinggalan. Fokus ke pemanfaatan sumber energi terbarukan akan menjadi jawaban bagi pencapaian otonomi energi bangsa ini. Terlebih Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki hampir semua sumber energi terbarukan yang cukup seperti sinar matahari, angin, geotermal, arus laut, serta bioetanol.

Namun sekalipun sangat menarik dari sisi ekonomi, untuk membuatnya tumbuh dengan cepat tentu harus ada insentif yang diberikan pemerintah. Banyak pengalaman di negara-negara lain yang bisa dicontoh Indonesia untuk memajukan industri energi terbarukan. Misalnya salah satu insentif yang cukup menarik di Amerika Serikat adalah adanya Production Tax Credit (PTC) yang besarnya antara USD11-23 untuk tiap MWH yang dihasilkan oleh perusahaan pembangkit listrik energi terbarukan.

Besaran potongan pajak itu bervariasi bergantung pada jenis sektor energi terbarukan yang diproduksi dan berlaku selama 10 tahun. Selain itu, ada beberapa insentif lain yang diberikan oleh pemerintah AS seperti Investment Tax Credit serta Modified Accelerated Cost Recovery System (MACRS) yang membuat sektor ini cukup menarik bagi investor (Sustainable Energy in America Factbook, Bloomberg New Energy Finance, 2014).

Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman sukses Jerman yang menerapkan German Renewable Energy Act (Er-neuerbare- Energien-Gesetz/EEG) pada tahun 2000. Regulasi

Page 43: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

tersebut mengatur sistem feed-in tariff yang kompetitif. Perkembangan itu mendorong rumah tangga untuk membangun solar home system (SHS) yang menempatkan mereka pada posisi sebagai produsen energi yang bisa mendapatkan keuntungan yang menarik.

Perusahaan energi swasta pun menganggap aturan tersebut sebagai potensi bisnis yang menguntungkan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang energi terbarukan tumbuh dengan pesat. Kathrin Suhlsen dan Matthijs Hisschemoller dalam publikasinya di Jurnal Energy Policy dengan judul “Lobbying the Energiewende Assessing the Effectiveness of Strategies to Promote the Renewable Energy Business in Germany” (2014) mengatakan bahwa sistem feed-in tariff ala Jerman mencapai tingkat penerimaan yang sedemikian besar sehingga sudah diadopsi oleh sekitar dua pertiga anggota Uni Eropa. Aturan tersebut menjamin tiap KWH listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan akan mendapatkan feed-in tariff dan operator jaringan listrik (seperti PLN di Indonesia) harus memasukkannya kedalam grid dengan jaminan pembelian selama 20 tahun.

Jerman sendiri menargetkan pada 2020, 35% sumber energinya berasal dari energi terbarukan serta 80% pada 2050. Konsep ini diperkuat pada 2011 yang menargetkan akan menghilangkan PLTN paling lambat 2022. Suhlsen dan Hisschemoller juga menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan di bidang energi melihat potensi yang besar di sektor energi terbarukan dan mendorong pemerintah Jerman untuk memberikan perhatian besar serta insentif pada sektor ini.

Pengalaman beberapa negara maju menunjukkan potensi besar energi terbarukan. Daripada terus-menerus berkutat dengan angka subsidi listrik dan BBM yang terus melonjak dengan harapan turun yang kecil, tak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk insentif serta subsidi di bidang energi terbarukan yang nantinya dengan sendirinya bisa memangkas subsidi listrik dan BBM.

ROSARI SALEHGuru Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia

Hilirisasi dan Kutukan SDA

Gagasan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) bukan berkah, melainkan musibah sudah berkembang sejak tahun 1980-an. Ekonom Inggris Richard Auty melihat betapa pertumbuhan ekonomi negara yang kaya SDA justru lebih lambat ketimbang negara-negara yang miskin SDA.

Ada banyak alasan yang menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, kekayaan SDA justru kerap memicu terjadinya konflik internal di negara itu. Muncul faksi-faksi yang pada

Page 44: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

akhirnya semua bertujuan menguasai kekayaan SDA tersebut. Selain konflik internal, ada juga konflik dengan pihak eksternal. Contohnya, Irak yang mencoba menginvasi Kuwait sehingga terjadilah Perang Teluk pada 1990.

Atau kalau Anda mau contoh aktual adalah ketegangan antara China dan Vietnam akibat BUMN migas China, CNOOC, yang memasang anjungan minyak lepas di kawasan perairan yang masih menjadi sengketa. Bagaimana konflik di Papua yang tak kunjung reda? Itu pun tak lepas dari keberadaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia tentunya. Penelitian yang lain juga menunjukkan negara-negara yang kaya SDA cenderung lebih korup dan represif.

Perekonomian negara-negara tersebut tidak dikelola secara benar sehingga kekayaan SDA tak berimbas pada membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ingat saat kita menikmati oil boom di tahun 1970-an, kita justru mengalami krisis korupsi Pertamina di era mendiang Ibnu Sutowo. Jangan lupa pula, krisis yang menimpa politisi yang menaungi sektor pertambangan setelah ditangkapnya mantan Kepala SKK Migas oleh KPK belum lama ini.

Namun benarkah mitos-mitos tersebut tak lagi terbantahkan? Sebetulnya tidak juga. Kalau kita melihat negara-negara seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mereka berhasil menggunakan kekayaan SDA-nya sebagai modal untuk melakukan transformasi perekonomian. UEA kini menjadi salah satu negara jasa terbesar di dunia. Hanya saja, harap maklum, mereka harus menjadi anak baik dari induk The Seven Sisters.

 Posisi Tawar

Dalam konteks ini, saya melihat program hilirisasi yang dilakukan pemerintah harusnya bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kutukan SDA tadi. Program ini bukan hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA, tapi juga untuk menciptakan banyak lapangan kerja. Kini program hilirisasi sudah memasuki babak-babak yang menggembirakan.

Freeport dan Newmont, dua raksasa dalam bisnis mineral dunia, sudah menyatakan kesediaannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di sini. Padahal, semula keduanya ngotot menolak. Bahkan, mereka mengancam bakal terjadi PHK besar-besaran jika program hilirisasi dipaksakan. Sejak jauh-jauh hari saya melihat ancaman tersebut tak mungkin mereka laksanakan.

Mengapa? Melalui website keduanya, kita bisa membaca bahwa posisi Indonesia terlalu penting bagi mereka. Sebanyak 27% cadangan tembaga dan 96% cadangan emas Freeport ada di Indonesia. Untuk Newmont, 40% cadangan tembaganya juga ada di sini. Jadi, posisi tawar kita dalam konteks negosiasi hilirisasi, kalau politik kita berintegritas tinggi, sebetulnya sangat kuat. Saya pun percaya hilirisasi juga akan memberikan banyak nilai tambah bagi kita.

Misalnya, ada yang menyebut dalam rentang waktu 2017–2023, kita bakal memperoleh nilai

Page 45: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

tambah USD268 miliar atau setara dengan Rp3.082 triliun. Ini berarti hampir dua kali lipat dari nilai APBN 2014 yang Rp1.816triliun. Selain itu, program ini juga bakal memicu kemunculan industri- industri turunannya (supply chain) dan usaha-usaha pendukung lain. Misalnya makanan dan minuman, bahkan mungkin properti, dan sebagainya.

Tentu ada masalah lain, yaitu masalah sosial dan kurangnya pasokan listrik. Kalau mereka dipaksa membangun smelter dan mereka menyedot listrik yang kita pakai di pulau yang padat ini (Jawa), bisa Anda bayangkan apa jadinya Indonesia? Bukankah anak-anak sekolah, rumah sakit, perdagangan dan pertokoan, serta pabrik-pabrik akan kena dampaknya?

Manfaat lain dalam bentuk substitusi impor. Ini tentu bakal menghemat devisa. Kita setiap tahun terpaksa mengimpor alumina, di antaranya dari China, sebanyak 500.000 ton. Padahal, bauksit sebagai bahan baku pembuatan alumina aslinya didatangkan dari negara kita. Jadi, kita mengekspor bauksit dan setelah diolah menjadi alumina kita impor kembali. Fenomena ini tentu amat menyakitkan.

Namun semua manfaat itu tak bakal kita peroleh secara gratis. Bahkan kita harus melewati beberapa tahap yang menyakitkan. Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peran ekspor dari sektor pertambangan untuk kuartal I 2014 turun menjadi 4,5%. Padahal, tahun sebelumnya masih 6,5%. Keberhasilan kita memetik manfaat akan sangat ditentukan dari kemampuan kita bertahan dalam melewati tahap-tahap sulit, yang diperkirakan berlangsung selama dua sampai empat tahun.

The Art of Deal

Donald Trump dalam bukunya The Art of Deal (2004) menekankan betul prinsip “lindungi yang di bawah, maka yang di atas akan berjalan dengan sendirinya”. Maksudnya, dalam setiap negosiasi, kita juga harus menghitung kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika kita mampu melewati periode yang terburuk, hal-hal yang baik akan berjalan dengan sendirinya.

Contohnya, ketika memulai bisnis kasino di Atlantic City, banyak masalah yang harus Trump hadapi. Izin yang berbelit-belit, besarnya biaya, dan banyaknya orang yang meninggalkan kota tersebut. Kondisi itu tidak membuat Trump menyerah. Saat-saat sulit bagi mereka yang memiliki entrepreneurship yang kuat sering kali malah menjadi bagus untuk bertransaksi. Itu dibuktikan Trump.

Ia membeli seluruh saham perusahaan kasino milik orang lain dengan harga murah. Dengan cara seperti itu, perizinan tak lagi menjadi soal dan biaya konstruksi pun menjadi murah karena banyak kontraktor yang tidak bekerja akibat situasi yang memburuk. Trump berani menghadapi situasi terburuk dan berhasil melewatinya. Kini, kasino Atlantic City menjadi salah kasino terbesar di dunia.

Kembali ke program hilirisasi, kita mungkin tengah berada di masa yang sulit. Tapi, ini bukan alasan untuk mundur lagi. Setelah melewati masa-masa yang sulit, kita akan

Page 46: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

menyongsong masa depan yang lebih baik. Setelah hujan akan ada pelangi. Begitulah hukum alam. Hanya kita perlu menetapkan arah dari program hilirisasi.

Dalam konteks itulah saya jadi teringat ucapan Oliver Wendell Holmes, seorang hakim Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Ia menulis begini, “Tragedi terbesar Amerika bukanlah hancurnya SDA—meski ini juga tragedi. Tragedi yang benar-benar hebat justru hancurnya SDM oleh kegagalan kita dalam memanfaatkan kemampuan kita.”

Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, kita perlu memanfaatkan kekayaan SDA sebagai modal untuk membangun SDM supaya suatu saat negara kita bisa seperti negara sejahtera yang saya sebut di atas tadi, yang hidup dari tambang. Semoga.

Mengukur Pembangunan

Koran SINDO

Jum'at,  20 Juni 2014

Page 47: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

BADAN Pusat Statistik (BPS) membuat terobosan dengan meluncurkan indikator baru untuk mengukur hasil pembangunan: indeks kebahagiaan.

Menurut BPS, dari skala 0-100 (dari sangat tidak bahagia hingga sangat bahagia) masyarakat Indonesia pada 2013 berada pada indeks 65,11 poin. Artinya cukup bahagia. Menurut BPS, indeks kebahagiaan merupakan indikator subjektif yang mendampingi indikator objektif tingkat kesejahteraan warga. Cakupan kebahagiaan tak terbatas pada kondisi yang baik dan menyenangkan, tapi juga kehidupan yang bermakna.

BPS menemukan, ada 10 domain penentu kebahagiaan warga, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan.

Selama bertahun-tahun, pemerintah menggunakan pelbagai indikator makro seperti nilai tukar rupiah dan lifting minyak dan gas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga migas, dan tingkat suku bunga surat utang tiga bulan untuk mengukur kinerja pemerintah dan hasil pembangunan.

Saat ekonomi dunia loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi. Tetapi pertumbuhan itu hanya didorong oleh sektor modern atau non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja.

Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.

Ini memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari naiknya Rasio Gini: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya Rasio Gini Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi.

Artinya, bila kemiskinan absolut menurun maka kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan. Ini kelemahan mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas di masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi.

Page 48: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Ini semua tidak bisa dicakup oleh PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu. Angka ini berfungsi memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa.

Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal tidak demikian. PDB mencatat produksi barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat. Misalnya, perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas dan batu bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia adalah PDB Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing.

Pemerintah Indonesia kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat, padahal milik asing.

Ada banyak ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan Indeks Kebahagiaan (Your Better Life Index), indeks pengganti PDB. Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial.

Pertumbuhan pendapatan nasional boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian, yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).

Jauh sebelum itu, Bhutan, sebuah negara kecil di Pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: Indeks Pembangunan Manusia (human development index/HDI). Ini merupakan kombinasi dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.

Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Namun, PBB tak dapat memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan. Kini juga kian banyak ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan ekonomi.

Para ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009

Page 49: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB bukan hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, melainkan juga melencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.

PDB tidak memadai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. PDB adalah ukuran produksi pasar, tapi kerap diperlakukan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2009). Indikator PDB yang hanya melihat sisi produksi. PDB merupakan pengukuran jangka pendek. Mungkin suatu saat pendapatan tinggi, tetapi tidak berkelanjutan (Ananta, 2012).

Karena itu, perlu mengukur kekayaan suatu negara, bukan sekadar pendapatan. Indonesia misalnya, ekonomi tumbuh tinggi. Ini diperoleh dari obral sumber daya alam dengan cara ”keduk, keruk dan tebang”. Investasi asing dan pertumbuhan meningkat luar biasa.

Sialnya, suatu saat sumber daya alam habis, dan masyarakat di negara itu tidak dapat lagi menikmati sumber daya alam yang berlimpah karena telah habis tandas. Inikah namanya pembangunan! Langkah BPS perlu diapresiasi, meskipun indeks belum diadopsi sebagai indikator APBN.

KHUDORI Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”

Dukungan dan Fokus Presiden Terpilih

Koran SINDO

Senin,  23 Juni 2014

Page 50: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

BERKACA pada pengalaman Indonesia yang telah menyelenggarakan pemilu presiden (pilpres) langsung dua kali pasca-Reformasi (2004 dan 2009), stabilitas politik pasca pilpres menjadi syarat mutlak bagi kelancaran pembangunan lima tahunan.

Dukungan dari segenap elemen masyarakat bagi siapa pun yang terpilih sebagai presiden sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan pembangunan nasional yang semakin kompleks. Kita semua optimistis kedewasaan berdemokrasi, baik para elite, media, maupun masyarakat, semakin baik untuk siap menang dan siap kalah dalam pilpres kali ini.

Dukungan dan fokus presiden terpilih bersama pemerintahan baru hanya dapat terjadi apabila selama kampanye dan pemungutan suara pilpres, kita semua mampu menjaga stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban.

Ketika kita mendapat presiden terpilih, siapa pun yang diberikan mandat akan menjadi presiden Republik Indonesia 2014-2019, bukan hanya presiden konstituennya atau partai politik pendukungnya. Presiden terpilih harus merangkul semua kalangan dan semua pihak untuk bekerja bersama-sama membangun Indonesia. Inilah indahnya demokrasi.

Keberhasilan mengelola demokrasi sangat menentukan capaian pembangunan ekonomi nasional selama 10 tahun terakhir melewati sejumlah krisis ekonomi dunia, memulihkan dampak krisis ekonomi 1998, merehabilitasi bencana alam yang terjadi, dan menguatkan ekonomi domestik.

Itu hanya dapat dilakukan ketika stabilitas politik pascapemilu tetap terjaga. Presiden terpilih dapat fokus untuk merancang dan merealisasikan janji kampanye sesuai tahapan pembangunan dan sesuai rencana pembangunan jangka panjang (RPJP).

Dinamika politik antarpartai selama kontestasi pemilu mengubah diri secara konstitusional menjadi dinamika di parlemen. Fase transisi dari kontestasi antarpartai dan elite politik selama masa kampanye menjadi formasi partai pendukung dan penyeimbang pemerintahan terpilih di DPR akan sangat ditentukan bagaimana kita mengelola konflik selama kampanye.

Saya melihat kunci dari proses kampanye adalah bagaimana kita menjaga agar dinamika persaingan tidak berujung pada eskalasi kebencian antarpendukung. Selama Pilpres 2004 dan 2009 kita semua berhasil menjaga stabilitas politik tetap kondusif saat dan setelah pilpres.

Kita semua optimistis keberhasilan Pilpres 2004 dan 2009 akan dapat kita tingkatkan pada Pilpres 2014. Persaingan antartim sukses, relawan, dan para elite pendukung di setiap pasangan capres perlu menjaga batas-batas kepatutan dan menghindarkan diri dari ihwal yang berpotensi memecah belah bangsa.

Kampanye hitam perlu dihindari. Komitmen untuk hal tersebut telah dilakukan melalui Deklarasi Kampanye Damai di KPU untuk melakukan kampanye berintegritas dan damai satu hari sebelum masa kampanye pilpres secara resmi dilakukan.

Page 51: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Setiap pihak yang bersaing perlu semakin menyadari saat memperjuangkan kepentingan politik, menjaga kepentingan yang lebih besar yaitu keutuhan bangsa dan negara adalah hal yang jauh lebih utama dan strategis. Pasca-Reformasi kita semua juga berkomitmen untuk menuntaskan bilamana terjadi persoalan dan perselisihan selama masa kampanye dan pemungutan suara diselesaikan melalui jalur-jalur konstitusional.

Upaya untuk memaksakan kehendak yang bersifat anarkistis dan inkonstitusional perlu kita hindari bersama. KPU telah menjadwalkan penuntasan perselisihan hasil pilpres (28 Juli-11 Agustus) dan penetapan hasil pilpres pascaputusan MK (1-12 Agustus).

Sukses melalui masa kampanye dan pemungutan suara dipastikan akan menentukan efektivitas kerja presiden terpilih dan pemerintahan baru selama lima tahun ke depan. Ini penting mengingat presiden terpilih akan menghadapi sejumlah tantangan di bidang ekonomi yang tidak sederhana. Baik berupa tantangan yang bersumber dari eksternal maupun penuntasan sejumlah agenda pembangunan nasional.

Pada 1-2 tahun pertama presiden terpilih harus mempersiapkan kabinet yang solid, menuntaskan tahun fiskal 2014, membawa Indonesia lebih siap lagi menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, dan menghadapi dampak penghentian stimulus moneter di Amerika Serikat.

Sementara gejolak harga pangan dunia dan minyak mentah dunia ditambah dengan volatilitas nilai tukar juga perlu terus diwaspadai. Presiden dan kabinet baru akan sangat disibukkan dengan sejumlah agenda seperti penguatan fundamental ekonomi baik dari sisi inflasi, penyeimbangan defisit transaksi perdagangan, keseimbangan fiskal, dan kebijakan harga BBM bersubsidi.

Sementara itu, agenda pembangunan yang bersifat permanen seperti peningkatan kualitas dan aksesibilitas pendidikan, kesehatan, pelayanan umum, dan pembangunan infrastruktur juga harus tetap dilakukan. Ini akan ditambah dengan menyesuaikan postur APBN-P 2015 dengan program-program politik semasa kampanye pilpres.

Presiden terpilih juga akan menghadiri sejumlah pertemuan ekonomi internasional dalam kurun waktu yang berdekatan dalam forum G-20, APEC, ASEAN Summit, East- Asia Summit, dan ASEAN+ Summit.

Peran Indonesia dalam forum tersebut selama ini tidak hanya memperjuangkan kepentingan dalam negeri, tetapi juga tercipta tatanan ekonomi global yang semakin seimbang, adil, dan merata.

Presiden dan pemerintahan baru juga harus bekerja cepat untuk melakukan konsolidasi pembangunan bersama pemerintah daerah, BI, OJK, LPS, dan lembaga-lembaga lain. Fokus pada industrialisasi dan pembangunan infrastruktur akan membantu penciptaan lapangan

Page 52: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

kerja, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, kesejahteraan, dan produktivitas nasional.

Tantangan terbesar dari sisi domestik dan sektor riil adalah bagaimana presiden dan pemerintahan baru mampu mengimbangi tingginya permintaan domestik melalui peningkatan produksi nasional. Stimulus fiskal dan kemudahan berinvestasi perlu terus ditingkatkan dan ini membutuhkan koordinasi serta dukungan semua kalangan. Mewujudkan situasi kampanye yang teduh, damai, dan aman merupakan tanggung jawab semua pihak.

Media massa juga diharapkan dapat mengambil peran strategis untuk menciptakan persaingan politik yang baik. Selain itu juga langkah-langkah untuk menjaga netralitas PNS, TNI, Polri, lembaga penegak hukum, dan lembaga penyelenggara serta pengawas pemilu perlu terus kita tingkatkan. Ini penting tidak hanya bagi suksesnya pesta demokrasi kita, tetapi juga bagi keberhasilan pembangunan jangka menengah ketiga (2015-2019).

PROF FIRMANZAH PhD Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan

Kecakapan Mengelola APBD

Koran SINDO

Senin,  23 Juni 2014

Page 53: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

PEMERINTAH daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tiap tahun menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Di dalam APBD terdapat fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Melalui APBD, pemerintah menunjukkan keberpihakannya melalui pos penerimaan dan belanja daerah.

Dua pos itu sekaligus menggambarkan juga bagaimana pemerintah memperlakukan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau warganya. Sesuai asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, gubernur bertanggung jawab selaku pengelola keuangan daerah terhadap APBD.

Bagi badan legislatif (DPRD), keberadaan APBD merupakan alat untuk menilai kinerja pemerintah. Untuk memperkuat akurasi penilaian, DPRD menggunakan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan APBD yang sudah diaudit BPK.

Untuk itulah, gubernur memiliki kewajiban menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa BPK, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan pemeriksaan oleh BPK biasanya disertai penilaian melalui pemberian opini.

Dalam melakukan penilaian terhadap laporan keuangan pemerintah, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebagai peringkat pertama. Kemudian opini wajar dengan pengecualian (WDP) di urutan kedua. Pada peringkat ketiga adalah tidak beropini (disclaimer). Lalu yang keempat adalah opini tidak wajar (adverse).

Terkait pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan atau audit terhadap Laporan Keuangan APBD Tahun Anggaran 2013. Setelah menjalani proses audit, Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP). Opini yang diberikan BPK tersebut menurun dibandingkan opini WTP atas audit Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012 saat gubernur masih dijabat Fauzi Bowo.

Ramainya berita mengenai BPK yang memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 tentu menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang. Tahun Anggaran 2013 merupakan tahun pertama masa jabatan Gubernur Joko Widodo. Bagaimanakah sampai bisa keluar penilaian tersebut? Inti dari penilaian WDP yang dikeluarkan BPK adalah ada temuan yang dianggap berpotensi merugikan negara dalam APBD DKI Tahun Anggaran 2013.

BPK memberikan opini WDP didasari ada temuan audit. Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK mendapati 86 temuan. Dari jumlah temuan tersebut, BPK menemukan total kerugian yang berjumlah Rp1,54 triliun.

Page 54: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Dari temuan itu terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp85,36 miliar, kemudian potensi kerugian daerah sebesar Rp1,33 triliun, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp95,01 miliar. Hasil audit BPK juga menemukan bahwa terjadi pemborosan sebesar Rp23,13 miliar.

Lalu ditemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp59,23 miliar, berkaitan dengan belanja operasional pendidikan, kegiatan penataan jalan kampung, dan biaya pengendalian teknis kegiatan.

Berdasarkan audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 menunjukkan ada tiga hal penting. Pertama, kurangnya komitmen Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD.

Kedua, lemahnya sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI yang dipimpin Joko Widodo. Ketiga, meningkatnya pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo.

Di luar temuan tersebut, kinerja penyerapan APBD DKI Tahun Anggaran 2013 juga dinilai masih lemah dan terdapat sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) yang jumlahnya mencapai Rp7 triliun. Apabila kita melongok kembali saat BPK memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam audit pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta APBD Tahun Anggaran 2011, kita patut prihatin.

Mengingat prestasi tersebut merupakan momentum dalam mendorong tercipta akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah di Provinsi DKI ibu kota negara dan sekaligus menjadi barometer nasional. Pada saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2011, BPK mengungkapkan ada 69 temuan.

Temuan tersebut antara lain terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp4,82 miliar, temuan potensi kerugian daerah sebesar Rp2,44 miliar, dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp7,02 miliar.

Atas temuan-temuan tersebut, telah dilakukan penyetoran selama penyusunan laporan hasil pemeriksaan masing-masing indikasi kerugian daerah sebesar Rp2,24 miliar, potensi kerugian sebesar Rp2,02 miliar, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp532,86 juta.

Kemudian saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2012, temuan oleh BPK menurun menjadi 65 temuan yang meliputi temuan dengan indikasi kerugian daerah Rp11,05 miliar, temuan potensi kerugian daerah Rp7,15 miliar, kekurangan penerimaan daerah Rp18,52 miliar, dan temuan 3E senilai Rp117,82 miliar.

Hasil audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 membuka kenyataan bahwa Gubernur Joko Widodo kurang cakap

Page 55: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

dalam membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD. Kemudian Gubernur Joko Widodo juga kurang memberikan perhatian pada upaya membangun sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI.

Lalu, Gubernur Joko Widodo juga tidak menunjukkan kemampuannya dalam mencegah terjadi pelanggaran kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI. Kenyataan ini pertanda baik dan sekaligus memberikan panduan yang menunjukkan arah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang harusnya bisa dilakukan Gubernur Joko Widodo sebagai kepala daerah Provinsi DKI Jakarta.

KUSFIARDI Pengamat Ekonomi

Prospek Industri Kosmetik dan Pasar Bebas ASEAN

Prospek industri kosmetik di masa depan cukup baik. Kalau kita lihat industrinya tumbuh rata-rata 7–9% per tahun. Hal itu seiring perkembangan gaya hidup konsumen Indonesia dan dunia. Produknya juga semakin beragam, mulai dari hair care, skin care hingga herbal.

Page 56: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Penggunanya bukan lagi hanya perempuan. Pria pun sekarang lebih intens menggunakan produk-produk kosmetik. Misalkan produk perawatan untuk kulit, rambut, dan tubuh. Tapi kalau make up masih sangat jarang, bahkan khusus di Indonesia, saya belum pernah melihat. Penyebab lain, sebagian besar masyarakat memiliki kesan negatif terhadap metroseksual. Kenapa begitu? Memang butuh waktu. Pria metroseksual menaruh perhatian lebih pada penampilan. Cenderung memiliki kepekaan mode dan memilih pakaian berkualitas atau bermerek serta memiliki kebiasaan merawat diri atau grooming.

Salah satu tokoh dunia yang kerap diidentikkan dengan metroseksual itu adalah David Beckham. Jadi kalau ada yang mengatakan ini industri yang dying, itu tidak benar. Justru ini industri yang mempunyai prospek ke depan. Persaingan antara pemain lokal, produk impor dan investasi asing akan sangat ketat. Ini menunjukkan industri kosmetik sangat diminati. Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, perusahaan-perusahaan kosmetik sudah sangat siap. Mulai dengan memodernisasi mesin hingga meningkatkan kualitas talenta sumber daya manusia dan strategi bisnis.

Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini merupakan sebuah keniscayaan. Di mana-mana kalau mau maju tidak bisa hidup sendiri, tapi harus hidup dengan sekitarnya. Otomatis asing bisa masuk ke Indonesia, tapi Indonesia juga bisa ke luar negeri. Jadi begitu yang terjadi. Pengamatan saya, perusahaan kosmetik berskala besar sudah siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN karena mereka bukan pemain baru. Tapi memang perusahaan kosmetik berskala UKM masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, di antaranya mengembangkan jaringan, pemasaran, dan masalah internal.

Tapi kembali lagi, sebagai pebisnis, saya melihat kalau semangat ada, kemauan untuk belajar ada, pasti bisa. Pelaku usaha harus seperti itu. Apalagi di masa mendatang akan menghadapi persaingan yang semakin dahsyat. Agar semakin besar, modal usaha harus terus ditingkatkan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat sisi itu. Di antaranya pinjaman bank, melepas saham ke publik (initial public offering/IPO), mengundang investor yang sesuai dengan visi, misi, dan kultur perusahaan. Strategi ini bisa berdampak positif bagi perusahaan. Khususnya dalam menjaga kepercayaan investor, bank, dan institusi keuangan lain.

Jadi salah satu tantangan ke depan adalah harus menjaga dan meningkatkan kepercayaan. Tantangan lain, mengubah mindset konsumen agar lebih banyak mengonsumsi produk dalam negeri. Pada saat ini, produk impor masih disukai pasar. Sesuatu yang berasal dari Barat dan negara-negara Asia yang jauh lebih maju dianggap sangat advance. Padahal produk lokal Indonesia tidak kalah kualitasnya. Ini pekerjaan rumah kita untuk menjelaskan bahwa produk dalam negeri tidak kalah dari luar negeri.

Tentunya di sisi lain, produk lokal juga harus membuktikan bahwa pilihan masyarakat memang tidak salah. Kalau upaya industri mengubah mindset konsumen Indonesia jelas ada. PT Martina Berto Tbk telah lama melakukannya. Di antaranya dengan mengeluarkan produk

Page 57: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

yang inovatif dan diminati konsumen. Tapi ini memang membutuhkan waktu dan harus dilakukan bersama-sama. Misalnya Martha Tilaar Shop. Ini sebenarnya tidak kalah dengan ritel-ritel kosmetik asing yang lain. Kita ada Indonesia touch yang bagus, inovasi, dan modernisasi.

Martha Tilaar Shop sudah diterima konsumen lokal Indonesia, terbukti dengan pertumbuhan bisnisnya tiap tahun di atas 15%. Tentunya kita juga berharap peran dari lembaga negara dalam rangka memberikan intensif atas kreativitas-kreativitas perekonomian. Itu harus digenjot terus ke depan. Bentuknya bisa berupa insentif pajak dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan saya optimistis dengan Indonesia. Apalagi pemilu legislatif telah dilalui dan semuanya berjalan baik. Nanti pemilihan umum presiden juga saya yakini akan berjalan baik.

Siapa pun yang menang dan kalah, saya meyakini akan sangat bersahabat dengan pasar. Kalau sekarang ada selisih pendapat antarpendukung, ini merupakan pembelajaran positif di Indonesia. Kalau di negara maju, nantinya pihak yang menang dan kalah akan bersama lagi. Selisih pendapat itu biasa. Namanya juga bertanding, ada pendukung A, B, dan C. Tapi setelah itu bersama-sama lagi.

BRYAN TILAAR Direktur Utama PT Martina Berto Tbk (MBTO)

Kesulitan Waktu (?)

Koran SINDO

Rabu,  25 Juni 2014

Page 58: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

DI tengah era digital, manajer dan eksekutif dihadapkan dengan berbagai mekanisme koordinasi yang baru. Surat elektronik, pesan instan, hingga rapat virtual memenuhi jadwal mereka. Era baru ini membuat mereka menghadapi kesulitan baru, kesulitan waktu.

Berbagai mekanisme koordinasi yang baru tersebut membuat intensitas dalam berkomunikasi meningkat secara signifikan di dalam organisasi. Eksekutif mulai kesulitan mengatur waktu. Saat ingin mulai fokus memikirkan suatu permasalahan, rentetan surat elektronik, pesan instan, dan undangan rapat elektronik menyerbu dan mengaburkan fokus para eksekutif dalam memerhatikan masalah-masalah krusial.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Chris Brahm mencoba melihat bagaimana para eksekutif dan manajer perusahaan mengalokasikan waktunya untuk berkomunikasi secara internal di dalam organisasi.

Pada tahun 1990-an, komunikasi yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan meningkat dua kali lipat dari dekade sebelumnya, menjadi sebesar 9.000 kali komunikasi (melalui berbagai media) dalam satu tahun. Hal ini terutama didorong oleh adopsi awal surat elektronik.

Dekade berikutnya, 2000-an, angka tersebut meningkat lebih signifikan. Komunikasi meningkat hampir tiga kali lipat hingga 25.000 kali komunikasi per tahun dengan diadopsinya surat elektronik secara luas. Pada dekade 2010-an, Angka tersebut masih meningkat.

Dengan adopsi rapat-rapat virtual seperti Skype dan conference call, mekanisme koordinasi dan komunikasi meningkat menjadi 30.000 komunikasi per tahun. Dengan asumsi ada 240 hari kerja dalam satu tahun, angka tersebut menunjukkan bahwa seorang manajer atau pun eksekutif perusahaan ”diserang” oleh 125 pesan dalam satu harinya! Bayangkan, dalam satu hari Anda mendapati perangkat pintar saudara dipenuhi oleh notifikasi sebanyak 125 pesan. Dengan delapan jam kerja dalam satu hari, Anda harus merespons notifikasi setiap empat menit!

Kesulitan Baru: Waktu

Dengan serbuan komunikasi di era digital ini, manajer dan eksekutif perusahaan menemukan dirinya tenggelam dalam koordinasi dan komunikasi yang sering kali tidak menciptakan produktivitas dan kinerja yang baik. Pemimpin perusahaan sering kali menghabiskan waktunya hanya untuk merespons berbagai pesan yang masuk ke dalam perangkat pintarnya. Hal tersebut membuat mereka teralih sepenuhnya dari fokus utama untuk mengambil keputusan yang krusial.

Adopsi rapat virtual membuat para pemimpin perlu mengalokasikan waktu lebih banyak untuk berkoordinasi dalam rapat. Adanya conference call dan Skype meningkatkan interaksi secara virtual. Namun di tengah meningkatnya alokasi waktu untuk berkoordinasi, Chris Brahm menemukan dua poin negatif dari kenyataan baru ini. Pertama, koordinasi tidak

Page 59: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

mengarah pada pengambilan keputusan tertentu. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa koordinasi dan komunikasi hanya bersifat membagi informasi tertentu pada orang yang tidak relevan.

Studi tersebut menunjukkan bahwa isi pesan dari koordinasi tersebut hanya untuk membagi informasi, bukan untuk mengumpulkan masukan atas alternatif dalam menyelesaikan masalah tertentu. Kedua, perilaku rapat yang disfungsional meningkat. Sering dalam kejadian sehari-hari kita melihat bahwa dalam rapat seseorang terpaksa harus membalas pesan maupun mengangkat telepon dari pihak lain.

Selain itu, sering kali seorang manajer maupun eksekutif perusahaan menyetujui untuk datang dalam dua rapat di waktu sama. Sayangnya, mereka hanya akan mendatangi satu rapat saja. Hal-hal di atas membuat kinerja kolektif tim maupun individu menurun dan menciptakan efektivitas yang rendah di dalam sebuah perusahaan maupun organisasi.

Praktik Mengelola Waktu

Dengan kenyataan baru ini, kesulitan waktu tidak cukup hanya direspons oleh seorang individu saja. Apabila seorang individu mulai menerapi dirinya dengan manajemen waktu, semuanya menjadi sia-sia saat individu lain di dalam organisasi belum dapat menyesuaikan. Pengelolaan waktu perlu menjadi fokus organisasi. Perusahaan perlu memperhatikan bahwa waktu, sama seperti uang, adalah sumber daya yang langka. Perlu ada usaha kolektif dalam mengelolanya.

Organisasi perlu mengusahakan agar para manajer dan eksekutifnya memiliki ruang untuk memikirkan dan mengambil keputusan penting secara efektif, melalui waktu rapat dan koordinasi yang efisien dan produktif.

Terdapat beberapa praktik yang dapat digunakan oleh organisasi dalam mengelola waktu organisasi. Pertama, seleksi agenda rapat. Pemimpin perusahaan dan perangkat yang mendukungnya perlu secara konsisten menyusun agenda rapat yang jelas. Langkah berikutnya adalah mulai memilah dan menyeleksi rapat-rapat yang memiliki tingkat urgensi paling tinggi untuk audiens yang tepat.

Kedua, mekanisme evaluasi atas inisiatif program baru. Sering kali organisasi menghabiskan waktu terlalu banyak dalam mendiskusikan inisiatif program baru yang timbul di tengah tahun berjalan dan belum jelas eksekusinya. Ketiga, standardisasi pengambilan keputusan. Permasalahan manajemen rutin maupun permasalahan operasional yang sering timbul dapat ditentukan standar pengambilan keputusannya.

Keempat, disiplin organisasi atas waktu. Ada tiga hal yang dapat dibentuk dalam disiplin organisasi ini: agenda dengan sasaran yang jelas, waktu mulai tepat waktu, dan selesaikan rapat lebih cepat (terutama jika rapat terasa tidak mengarah pada pengambilan keputusan yang produktif). Di tengah kenyataan baru ini, organisasi perlu memperhatikan bahwa

Page 60: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

manajer dan pemimpinnya menghadapi kesulitan untuk mengatur waktu. Diperlukan usaha yang mencakup seluruh organisasi agar organisasi tidak menjadi disfungsional karena komunikasi dan koordinasinya.

ALBERTO HANANIFounder dan Managing Partner BEDA & Company

Mismatch Cipaganti

Di sekolah PAUD Kutilang-Rumah Perubahan, ada permainan balok yang mengajarkan anak-anak untuk membuat bangunan. Saya suka tertegun, anak-anak usia dini itu mampu membuat bangunan sesuai imajinasi mereka. 

Page 61: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Ada yang membuat Gereja Katedral, Masjid Istiqlal atau kapal Titanic lengkap dengan cerita versi mereka. Diam-diam saya suka terkagum- kagum melihat daya imajinasi anak- anak yang orangtuanya besar di sektor informal ini. Namun ada satu hal yang menarik, untuk membuat bangunan itu setiap anak hanya boleh mengambil sejumlah keping balok sesuai dengan kapasitas tangannya. Tak boleh lebih. Dan Anda tahu, kalau berlebih pasti akan ada berceceran. Istri saya memberi tahu, ini dilakukan untuk melatih anak-anak agar tidak “greedy”. 

Ya, tidak rakus dan serakah seperti yang sering kita saksikan di televisi, saat melihat koruptor, penjabat, pengusaha, artis, dan sebagainya yang tak pernah puas mengambil hak yang bukan miliknya. Mungkin, saya pikir, dulunya mereka tak pernah dilatih seperti anak-anak di PAUD ini.

Permainan semasa kecil tadi ternyata memberikan gambaran tentang karakter kita di kemudian hari. Bahkan setelah kita dewasa, dan mengelola banyak perusahaan. Perilaku para pebisnis kita, akhirnya, mirip perilaku anak-anak yang meraup balok tanpa batas tadi: Menggarap semua bidang usaha. Asal di situ ada peluang, mereka masuk. 

Pada akhirnya, bisnis mereka memang menjelma menjadi semacam konglomerasi. Adagium pembenarnya jangan menaruh telur Anda hanya dalam satu keranjang. Padahal, ini tak berarti harus di banyak keranjang, bukan? Sebaliknya, para pebisnis di Barat cenderung fokus pada satu bidang usaha tertentu, dan mengandalkan inovasi. Holcim fokus hanya di bisnis semen, GlaxoSmithKline di bisnis farmasi, atau Airbus di bisnis penerbangan. Dari skala usaha, ukuran bisnis mereka bahkan bisa lebih besar ketimbang bisnis konglomerat-konglomerat Asia. Dan negara diuntungkan karena mereka tak terkalahkan, berdaya saing tinggi. 

Imbal Hasil 

Prototipe bisnis ala Asia, yang cenderung melebar ke mana-mana, mungkin inilah masalah yang dihadapi oleh Cipaganti Group. Mulanya Cipaganti fokus pada transportasi darat, dari sewa mobil, bisnis berkembang menjadi jasa taksi, rental shuttle travel bus, dan sejenisnya. Tetapi belakangan, bisnis Cipaganti melebar. Mereka tergoda masuk ke pertambangan batu bara, rental alat-alat berat, properti, dan perbankan (BPR syariah). Kini, bisnis-bisnis itulah yang saya duga menjerat Cipaganti dan membuat CEO Cipaganti Group, AS, ditahan polisi karena dugaan penipuan dana milik ribuan nasabah Koperasi Cipaganti. 

Konon jumlah dana yang berhasil dihimpun koperasi itu sejak 2007 mencapai Rp3,2 triliun. Dana ini kemudian diinvestasikan ke berbagai anak usaha Cipaganti Group. AS ditahan karena koperasinya tidak bisa lagi membayar imbal hasil investasi kepada mitra-mitranya tadi. Alasannya, bisnis pertambangan batu bara ternyata tak seindah yang diimpikan banyak orang. Harga komoditi itu merosot sejak 2012. Ketika saya menelusuri lebih jauh soal imbal hasil yang ditawarkan, nilainya memang mengagetkan. Dengan menyetorkan dana minimal Rp100 juta, Koperasi Cipaganti berani menawarkan imbal hasil mulai dari 16,8% (tenor satu tahun) sampai mencapai 20,4% (tenor lima tahun). 

Page 62: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Semuanya fixed. Itu jelas sangat tinggi, melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional ditambah dengan tingkat inflasi per tahun. Kita tahu, tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan 5,5% dan inflasi berkisar 4,5%. Jadi, totalnya 10%. Nah, imbal hasil investasi Koperasi Cipaganti saya anggap tinggi karena angkanya di atas 10% per tahun. Iming-iming imbal hasil setinggi itu tentu menggiurkan pemilik uang yang ingin melipatgandakan kekayaannya tanpa harus bekerja keras. Persis seperti nasihat konsultan keuangan, “Biarkan uang Anda yang bekerja untuk Anda.” Nasihat semacam ini bisa merusak etos kerja bangsa. Mendidik orang cepat kaya dengan cara-cara instan, bukan lewat kerja keras. 

Mismatch 

Di luar kemungkinan adanya fraud yang tengah diselidiki kepolisian, saya melihat gagal bayar imbal hasil dari Koperasi Cipaganti sebagai kasus mismatch pembiayaan yang pada masa lalu pernah menjatuhkan sejumlah konglomerat. Misalnya kasus Bank Summa dan Grup Mantrust. Perusahaan-perusahaan itu terjebak dalam kesulitan dan bangkrut karena menggunakan dana-dana jangka pendek untuk investasi yang bersifat jangka panjang. Begitu pula dengan Cipaganti. Kita tahu margin bisnis transportasi darat hanya berkisar 15%—masih di bawah imbal hasil yang dijanjikan Koperasi Cipaganti. 

Lalu, bisnis pertambangan adalah bisnis padat modal dan berjangka panjang. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengembalikan investasi yang sudah ditanamkan dalam bisnis ini. Beberapa teman saya juga ada yang mencoba masuk ke bisnis ini. Karena tidak paham dengan seluk-beluk bisnisnya, mereka bak ikan masuk perangkap. Ingin menarik diri, tapi tidak bisa karena investasinya sudah terlalu besar. Karena sudah kepalang basah, mereka terus mengucurkan dananya ke bisnis ini, dan menyeret bisnis-bisnisnya yang lain. 

Saya menduga saat ini bisnis batu bara Cipaganti juga sudah berada dalam posisi point of no return. Untuk mencari dana guna membiayai investasinya, Cipaganti terpaksa membayar dengan harga mahal, sampai 20,4% pertahun. Dan, kini mereka tak sanggup membayarnya.

Sebetulnya kasus gagal bayar dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi, yang mirip dengan skema Ponzi, sudah berulang kali terjadi di negeri ini. Di antaranya kasus Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang menawarkan hasil sampai 30% per tahun. Kini, nasabah GTIS gigit jari, pengelolanya kabur.

Kata orang, keledai pun tak mau terperosok lubang yang sama untuk kedua kalinya. Lalu, bagaimana mungkin para investor yang mestinya jauh lebih cerdas daripada keledai, terperosok pada lubang yang sama untuk ke sekian kali. Kalau melihat itu, mungkin benar apa yang dikatakan Andy Stanley, seorang rohaniwan, bahwa, “Greed is not a financial issue. It’s a heart issue.” Bisnis ini ada terus bukan karena supply-nya, melainkan karena ada demand-nya. Yang berasal dari orang-orang yang juga greedy. 

Page 63: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

RHENALD KASALIPendiri Rumah Perubahan, @Rhenald_Kasali 

Tantangan Kemandirian Pangan

Presiden baru di negeri ini diharapkan mampu mewujudkan kemandirian pangan karena dengan sumber daya alam yang melimpah seharusnya kita mampu memberi makan 250 juta penduduk tanpa harus banyak mengandalkan impor. 

Oleh sebab itu, presiden baru harus mempunyai visi jangka panjang yang jelas tentang bagaimana kita akan membangun pertanian dan sekaligus mengendalikan impor pangan. Kemandirian pangan menurut UU No 18/2012 tentang Pangan adalah kemampuan negara

Page 64: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ke tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 

Pangan identik dengan pertanian. Namun sebagai negeri agraris, penyediaan pangan bangsa kita selalu dibayangi impor berbagai komoditi pangan. Penyediaan pangan rakyat membutuhkan kebijakan pertanian yang berpihak petani. Salah kebijakan, maka korbannya adalah pertaruhan nasib jutaan petani. Mereka akan semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Keberdayaan petani, daya saing produk, dan kelestarian lingkungan adalah paradigma baru pertanian di abad ke-21. 

Daya saing produk pertanian harus selalu diperbaiki. Lembaga-lembaga riset pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan setiap tahun menyerap anggaran cukup besar jangan hanya menjadi macan kertas. Hasil riset yang hanya ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar, tidak akan pernah menyejahterakan petani Indonesia.

Pertanian ramah lingkungan harus lebih digalakkan. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, tetapi juga untuk anak cucu kita di tahun-tahun mendatang. Rusaknya lingkungan berarti hancurnya kehidupan di masa datang, dan generasi saat ini akan terus dikutuk apabila kita tidak berusaha menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat terhadap lingkungan. 

Negara-negara lain banyak yang hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat. Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Tiongkok, dan Vietnam dapat berjaya dengan produk pertaniannya, mengapa kita tidak? Amerika sebagai negara industri maju tidak pernah meninggalkan pertaniannya, hingga kini negara tersebut tetap menjadi eksportir pangan-pangan utama ke berbagai negara. Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita, oleh sebab itu ciptakan kemakmuran bangsa melalui pembangunan pertanian yang tepat. 

Rendahnya produktivitas petani kita adalah konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi, pembangunan infrastruktur yang terbengkelai dll. Pembangunan pertanian harus dirancang dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Perlindungan kepada petani harus ditingkatkan. Amerika Serikat contohnya, telah mengeluarkan Agricultural Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap keunikan pertanian. 

Demikian pula dengan Jepang. Jadi, negara-negara maju yang mengandalkan sektor industri, juga sangat melindungi petani dan pertaniannya. Pandangan yang menyatakan Indonesia memerlukan transformasi yang mengubah pertanian dan perdesaan yang “bersifat tradisional”, menjadi pertanian dan perdesaan yang “berbudaya industri” perlu diamini. Berbudaya industri antara lain dicirikan oleh (1) produk yang berstandar dan berkualitas, (2) tepat waktu dalam pasokan produk, (3) sedikit ketergantungan terhadap lingkungan dalam proses produksi, (4) sistem permodalan yang kuat, dan (5) sistem manajemen yang akuntabel. 

Page 65: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Kendala-kendala di bidang pertanian untuk meningkatkan produksi pangan sangat banyak. Peningkatan jumlah penduduk dengan segala aktivitas ekonominya akan semakin menyedot produk-produk pertanian. Semakin banyak penduduk semakin tinggi kebutuhan akan beras, dan semakin sejahtera masyarakat maka tuntutan untuk mendapatkan pangan berkualitas juga semakin meningkat. Di lain sisi, sektor pertanian harus mengantisipasi berlanjutnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian serta menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan. 

Ketersediaan air untuk menunjang produksi pertanian semakin terbatas akibat kerusakan hutan dan keringnya embung. Selain itu, persoalan air berlanjut karena persaingan dengan industri dan pemukiman serta ketidakpastian iklim. Kalau saat ini kita mencari lumbung pangan desa, maka mungkin hanya ditemui di pemukiman Badui, Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi dan masyarakat tradisional lainnya. Hampir setiap rumah di suku Badui dan Kasepuhan Ciptagelar menyediakan leuit (lumbung pangan). Di masyarakat pertanian kita keberadaan lumbung pangan desa sudah sejak lama memudar. 

Perlu revitalisasi lumbung pangan, yang pengertiannya bukan sekedar tempat menyimpan hasil pertanian, tetapi juga menjadi lembaga keuangan pertanian atau penyedia input produksi pertanian. Hal ini akan bermanfaat untuk menyingkirkan peran tengkulak atau bahkan rentenir. Sebagai negara agraris, sering kali kita termanjakan oleh kesuburan Pulau Jawa sehingga lupa untuk menjadikan pulau-pulau lain di luar Jawa sebagai lumbung pangan. Pengabaian pembangunan pertanian di luar Jawa ini dapat berdampak serius manakala daya dukung Pulau Jawa sebagai lumbung pangan semakin menurun akibat industrialisasi yang juga terpusat di Jawa. 

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencarian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Pemikiran agar lahan-lahan tidur segera dimanfaatkan harus menjadi program nyata presiden baru yang akan datang. Pemindahan hak atas lahan mungkin tidak perlu dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah petani diberi hak garap sehingga lahan-lahan tidur. 

Kita semua menyadari keguraman petani Indonesia. Pemilikan lahan yang sangat sempit menyulitkan mereka untuk berproduksi secara maksimal. Namun, selama ini rasanya tidak ada langkah konkret untuk segera memperbaiki keadaan. Petani gurem tetap saja menjadi gurem selama bertahun-tahun. Kini tiba saatnya dilakukan perbaikan nasib petani dengan mengatur kembali pemanfaatan lahan tidur. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran untuk mendukung produksi pangan atau pertanian akan dapat menekan biaya pangan. 

Sebenarnya produktivitas pangan negara kita sama saja dengan negara-negara lain. Namun, petani di negara lain menikmati sarana prasarana yang lebih baik untuk mendukung kehidupan pertaniannya. Ini yang menyebabkan mereka dapat bertani secara lebih efisien. Pembangunan sarana jalan, misalnya, akan sangat membantu keancaran distribusi produk-

Page 66: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

produk pertanian. Demikian pula pembangunan irigasi mutlak mendapat prioritas karena banyak di antaranya yang merupakan peninggalan Belanda dan oleh sebab itu harus dilakukan perbaikan. 

Petani tidak bisa hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tidak dihormati karena korupsi, dan pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris, ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang pertanian. Kemandirian pangan mendesak untuk segera diwujudkan.

ALI KHOMSANGuru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Transportasi dan Arus Mudik Lebaran

Sepanjang bulan puasa dan menjelang Idul Fitri, pemerintah terus memonitor perkembangan harga sejumlah kebutuhan pokok masyarakat untuk mengantisipasi lonjakan inflasi yang berlebihan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis inflasi pada Mei 2014 sebesar 0,16% dan inflasi tahunan

Page 67: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

mencapai 7,32%. Untuk Juni 2014, inflasi diharapkan berada di level 0,3-0,4%. Sementara untuk Juli 2014 atau sepanjang bulan puasa dan Lebaran, target inflasi diharapkan tidak melebihi 1%. Artinya memang ada kenaikan inflasi di Juli sebagai fenomena musiman di bulan puasa, namun besaran inflasi dipandang masih dalam batas-batas yang aman dan terkendali. 

Dari tren historis, inflasi Juli beberapa tahun terakhir menunjukkan cukup terkendali kecuali pada 2008 dan 2013 yang relatif tinggi akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi masing-masing 1,37% dan 3,29% berturut-turut. Pada tahun 2009-2012, inflasi Juli relatif berada di bawah 1% kecuali Juli 2010 sebesar 1,57% akibat adanya kenaikan permintaan pascapemulihan ekonomi di sejumlah negara yang diikuti dengan kelangkaan komoditas pangan. Sementara inflasi Juli 2009 sebesar 0,45%; di Juli 2011 0,67% dan Juli 2012 0,7%. 

Selain persoalan ketersediaan pasokan barang, khususnya kebutuhan pokok masyarakat sepanjang Ramadan dan menjelang Lebaran, pemerintah bersama dengan perusahaan jasa transportasi juga terus mematangkan persiapan transportasi nasional. Persiapan dan kecukupan transportasi tidak hanya dalam memastikan kelancaran distribusi barang sepanjang bulan puasa, tetapi juga mengantisipasi lonjakan pemudik menjelang Lebaran. Kesiapan moda transportasi dan infrastruktur yang menopang sistem transportasi nasional terus ditingkatkan memasuki puasa dan Lebaran. 

Pemerintah telah menyiapkan transportasi dan infrastruktur dengan dukungan intermoda yang lebih terintegrasi baik moda angkutan darat, laut maupun udara. Hal ini dilakukan untuk menyebar distribusi pemudik sehingga tidak memusat pada salah satu moda transportasi saja yang berpotensi menimbulkan risiko transportasi. Pemerintah memastikan moda transportasi darat, laut, dan udara untuk angkutan Lebaran 2014 dalam keadaan siap, baik terkait jumlah armada maupun infrastruktur pendukungnya. Sejumlah infrastruktur pendukung saat ini telah dipersiapkan untuk mengantisipasi lonjakan pemudik di saat lebaran. 

Misalnya jalur pantura dan lintas timur dengan panjang jalan 9.000 km dan jalan tol sepanjang 700 km, ditambah jalan alternatif sepanjang 3.000 km telah disiapkan mengingat kedua jalur ini merupakan jalur terpadat pada saat Lebaran. Pemerintah terus melakukan koordinasi persiapan transportasi Lebaran bersama kementerian dan lembaga terkait secara intensif. Puncak arus mudik dan balik untuk jalur darat dan laut diperkirakan terjadi pada H-3 dan H+5, sementara untuk angkutan kereta api dan udara diperkirakan akan mencapai puncaknya pada H-2 dan H+5. 

Untuk transportasi darat, akan disiapkan 43 terminal angkutan darat utama yang tersebar di 12 provinsi, angkutan laut di 52 pelabuhan utama, angkutan udara pada 32 bandara utama, dan 9 daerah operasi kereta api wilayah Jawa dan Sumatera. Persiapan intermoda ini dilakukan untuk mengantisipasi jumlah pemudik Lebaran 2014 yang mencapai 19 juta orang. Pada Lebaran tahun 2014 ini, jumlah pemudik diperkirakan meningkat 3,8% atau sebanyak 19,3 juta orang dibanding tahun lalu sebesar 18,5% juta orang. 

Page 68: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Arus mudik Lebaran sebesar 19,3 juta orang ini diperkirakan menggunakan transportasi publik yang tersebar di angkutan darat (jalan) sebanyak 5,59 juta orang, angkutan kereta api 4,49 juta orang, angkutan udara 4,10 juta orang, angkutan sungai dan penyeberangan sejumlah 3,54 juta orang, dan angkutan laut 1,57 juta orang. Sementara itu, pemudik dengan kendaraan pribadi diprediksi mencapai 4,16 juta orang yang terdiri atas pengguna mobil pribadi 1,79 juta orang dan pengguna sepeda motor 2,37 juta orang. 

Koordinasi lintas kementerian dan kepolisian terus ditingkatkan untuk mempersiapkan transportasi Lebaran 2014, baik terkait kesiapan infrastruktur, armada transportasi, keamanan transportasi, maupun penetapan harga batas atas dan batas bawah. Untuk mengantisipasi lonjakan pemudik lebaran 2014, pemerintah telah menyiapkan 32 rangkaian tambahan angkutan kereta api di luar 293 kereta reguler dengan 416 lokomotif dan 1.555 gerbong penumpang. Untuk transportasi menggunakan angkutan darat, Organda telah menyiapkan 43.000 armada angkutan menjelang lebaran atau meningkat dari jumlah armada yang disiapkan pada Lebaran 2013 sebesar 23.000. 

Angkutan darat dengan 43.000 armada ini diperuntukkan untuk angkutan darat antarprovinsi dan lintas provinsi di seluruh Indonesia. Pemerintah juga berharap masyarakat pengguna sepeda motor untuk lebih menggunakan transportasi yang disediakan pemerintah dibanding menggunakan sepeda motor untuk mudik. Untuk mengurangi jumlah sepeda motor di jalan pada saat puncak arus mudik, pemerintah juga telah menyiapkan kendaraan angkut untuk sepeda motor bagi masyarakat yang ingin membawa sepeda motornya ketika mudik. 

Selain hal di atas, pemerintah juga melarang kendaraan angkut untuk barang (nonorang dan nonpangan) melintas di jalur mudik sejak H-4. Selain itu, peran aktif pemda untuk terus berkoordinasi khususnya untuk daerah yang dilalui jalur utama arus mudik dan wilayah-wilayah perbatasan perlu terus ditingkatkan. Koordinasi dini dan persiapan transportasi lebaran baik dari sisi infrastruktur, jumlah angkutan, keamanan maupun jalur mudik diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia. 

Kepolisian juga telah berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk memastikan jalur terbaik arus mudik dan balik Lebaran 2014, di samping mengantisipasi penumpukan arus di titik-titik tertentu. Sejumlah peralatan berat untuk wilayah-wilayah jalur mudik yang rawan longsor dan banjir juga telah disiapkan, di samping jalur alternatif. 

Dengan kesiapan transportasi mudik Lebaran 2014, saya optimistis arus mudik dan arus balik pada Lebaran tahun ini akan lebih baik dengan risiko yang lebih kecil. Kerja sama antarkementerian, lembaga, pemda, dan masyarakat akan terus ditingkatkan mengingat koordinasi ini dapat menekan potensi risiko dari arus mudik Lebaran.

Page 69: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

APBN dan Mandat Konstitusi

Secara teoretis pemerintah memiliki kekuatan yang besar untuk menstimulasi perekonomian suatu negara. Salah satu kekuatan yang dipunyai pemerintah adalah membuat kebijakan yang kredibel melalui sumber daya fiskal. Kebijakan fiskal sendiri merupakan rangkaian sumber daya pemerintah terkait anggaran (APBN). Dengan begitu, kebijakan fiskal akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, karena pada intinya kebijakan fiskal diarahkan untuk memperkuat ekonomi domestik lewat pendapatan negara dan pengeluaran publik. 

Page 70: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Melalui kebijakan fiskal pemerintah dapat mengontrol segala permasalahan perekonomian yang terjadi di sebuah negara. Kenyataan ini sebetulnya mudah dipahami, namun agak mengherankan apabila hingga sekarang pemerintah cenderung mengabaikan potensi tersebut. 

Konservatisme dan Inefisiensi 

Teori ekonomi standar menyatakan bahwa pada saat ekonomi normal anggaran bisa didesain seimbang, bahkan surplus. Dalam situasi normal, fungsi APBN lebih banyak didorong untuk memperbaiki fungsi alokasi dan distribusi. Peran sektor swasta lebih besar karena mereka berada dalam posisi bagus untuk melakukan ekspansi. Sebaliknya, pada saat ekonomi mengalami krisis, sektor swasta melemah sehingga dibutuhkan pendorong dari sisi pemerintah. 

Dalam situasi ini APBN bisa dibuat defisit untuk menjalankan fungsi stabilisasi perekonomian. Dalam kasus Indonesia, baik pada saat ekonomi berada dalam posisi stabil maupun darurat, APBN selalu dibuat defisit, yang tentu berkebalikan dengan dasar teori tersebut. Lebih mencemaskan lagi, defisit anggaran itu disusun dengan semangat konservatisme di sisi penerimaan dan inefisiensi pada sudut belanja. Pada sisi penerimaan, khususnya terkait pajak, kebijakan harus dikaitkan dengan amanah konstitusi yang salah satunya berporos kepada cita-cita keadilan sosial. 

Di negara-negara Eropa penganjur welfare state, kebijakan pajak didesain progresif karena meletakkan keadilan sosial di atas kesejahteraan individu. Di luar itu, pajak juga menempati posisi strategis karena alasan: (i) penerimaan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan dasar bagi warga (revenue); (ii) pemerataan sumber daya keuangan negara untuk pengurangan kemiskinan dan pemerataan (redistribution); (iii) salah satu bidang bagi pemerintah untuk membangun akuntabilitas kepada warga dan ruang bagi warga terlibat dalam kebijakan (representation); dan (iv) membatasi barang-barang publik yang buruk dan memperbanyak barang-barang yang baik (repricing) [Sucipto dkk, 2014].

Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah strategi penguatan penerimaan negara dengan cara menggali potensi pendapatan negara bukan pajak. Selama ini pendapatan dari hasil sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, ikan, hutan, dan lain-lain) melayang karena tata kelola yang buruk. Isu tata kelola ini juga terjadi di BUMN sehingga laba yang diperoleh jauh dari titik optimal. Jadi, sumber pendapatan negara sebetulnya sangat banyak, namun jalan yang harus ditempuh memang berliku. 

Kekayaan alam dapat menjadi sumber pendapatan negara bukan pajak. Potensi alam mulai dari minyak, bahan tambang, perkebunan, perikanan, sampai kehutanan dapat menjadi sumber peningkatan pendapatan negara. Di sini perlu dipahami, bahwa titik tekannya bukan eksploitasi alam, namun memastikan setiap eksplorasi diterima sesuai nilai yang sebenarnya. 

Politik Anggaran 

Page 71: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Pilar penting APBN adalah asumsi makroekonomi, yang dibuat sebagai panduan arah kebijakan dan program. Jika asumsi makroekonomi hanya berisi harapan atau target tanpa diimbangi dengan program dan alokasi anggaran yang mendukung, maka dipastikan harapan tersebut tidak akan bisa dicapai. Pada titik inilah salah satu kelemahan APBN yang dirancang pemerintah selama ini. 

Program dan alokasi anggaran tidak mencerminkan keselarasan asumsi makroekonomi yang dibuat, sehingga kinerja ekonomi yang dihasilkan meleset dari asumsi tersebut. Setidaknya, apabila asumsi makroekonomi itu (sebagian) tercapai, namun kinerja secara mikro tidak mendeskripsikan impian yang sebetulnya. Misalnya, pertumbuhan ekonomi hasilnya sesuai target, tapi angka kemiskinan turun sangat lambat. Lebih menyedihkan lagi, pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menyertakan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi pula. 

Di luar itu, di masa depan keberhasilan alokasi dan kualitas anggaran perlu dilihat dari sejauh mana program-program itu dijalankan. Kinerja keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut mesti dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan sumber daya dalam memproduksi pelayanan. Sementara itu, efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program yang telah ditentukan. 

Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (i) aksesibilitas (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik); (ii) kesesuaian (mencocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat); dan (iii) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan) [Dollery dan Wallis, 2001]. Terakhir, anggaran bukan hanya cermin alokasi teknokratis, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, namun yang jauh lebih penting adalah makna politiknya, yaitu politik anggaran. 

Politik anggaran harus dimaknai sebagai keberpihakan kebijakan dan alokasi anggaran yang secara sadar ditujukan untuk menjalankan mandat konstitusi. Sampai hari ini aspek itu nyaris diabaikan sehingga politik anggaran tidak memantulkan cahaya yang terkandung dalam konstitusi. Pasal-pasal ekonomi yang terkait dengan kesejahteraan dan keadilan terpinggirkan karena didesak oleh kepentingan sempit dan jangka pendek. 

Akibatnya, fungsi APBN sebagai pengungkit kesejahteraan dan keadilan masyarakat menjadi sirna. Jadi, sudah saatnya APBN dilihat sebagai instrumen teknokratis yang bersandar kepada aspek efisiensi dan efektivitas tanpa harus mengubur mandat konstitusi. ● 

AHMAD ERANI YUSTIKA Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Page 72: (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014