(Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

147
Honor Killing Kejadiannya tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan. Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba dia ditarik oleh sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan kerabat- kerabat laki-lakinya), dibawa ke tepi jalan dan dilempari batu sampai mati. Tidak ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk polisi. Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan memilih menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal. Keputusannya ini dinyatakan telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu dia harus dihukum rajam, sesuai dengan hukum syariah versi sebagian tertentu dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan. Akibat perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk menentang perbuatan kejam yang sewenang- wenang itu, yang bukan untuk pertama kalinya terjadi di negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam untuk bunuh diri kalau pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku pembunuhan istrinya itu. Anehnya, pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat membiarkan, malah menonton adegan sadis itu (lebih sadis dari di film karena yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan. *** Adapun di Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut. ”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang yang diduga Front Pembela Islam (FPI),

description

opini para pakar yang dimuat di Koran Sindo dan situs www.sindonews.com

Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Page 1: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Honor Killing

Kejadiannya tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan. Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba dia ditarik oleh sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan kerabat-kerabat laki-lakinya), dibawa ke tepi jalan dan dilempari batu sampai mati.

Tidak ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk polisi. Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan memilih menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal. Keputusannya ini dinyatakan telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu dia harus dihukum rajam, sesuai dengan hukum syariah versi sebagian tertentu dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan.

Akibat perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk menentang perbuatan kejam yang sewenang-wenang itu, yang bukan untuk pertama kalinya terjadi di negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam untuk bunuh diri kalau pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku pembunuhan istrinya itu. Anehnya, pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat membiarkan, malah menonton adegan sadis itu (lebih sadis dari di film karena yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan.

***

Adapun di Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut. ”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang yang diduga Front Pembela Islam (FPI), Kamis (29/5/ 2014) malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario. Kejadian bermula saat jemaat menggelar acara ibadat rutin sekaligus peringatan Hari Kenaikan Isa Almasih.

Sekitar pukul 20.30, segerombolan orang bergamis dengan mengendarai motor mendatangi rumah Julius Felicianus, 54, yang menjadi tempat acara. Sesampainya di lokasi, massa langsung melempari rumah dengan batu. Massa juga merusak motor milik jemaat yang terparkir di depan rumah. Tak hanya itu, massa kemudian memaksa untuk masuk ke dalam rumah dan bermaksud untuk membubarkan kegiatan doa tersebut. Akibat dari serangan itu, Julius Felicianus dan beberapa temannya terluka parah karena dipukuli.”

***

Semua orang tahu bahwa Islam bukan agama sadis. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, agama yang membawa kedamaian dan rahmat dari Allah SWT, pencipta semesta alam. Memang Rasulullah sendiri pernah berperang untuk membela Islam. Perang yang amat

Page 2: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

terkenal adalah Perang Badar (tentara Islam menang) dan Perang Uhud (tentara Islam kalah). Karena itu Profesor Amin Rais mengibaratkan ”perang” pilpres harus bersemangat Perang Badar, bukan Perang Uhud.

Tapi seorang ustaz teman saya (bukan Ustaz Guntur Bumi atau Ustaz Taufan Langit, yang ini mah ustaz biasa, Ustaz Fulan) pernah menghitung-hitung berapa sering sih Nabi Besar kita itu berperang, menggunakan kekerasan untuk membela agama? Ternyata hitung punya hitung, perangnya Rasulullah hanya makan waktu kurang dari 2% dari masa beliau berdakwah yang 20 tahun itu. Itu pun untuk membela diri karena umatnya benar-benar terancam. Tapi dalam praktiknya Islam jadi agama yang sangar seperti itu, ya?

Bukan hanya terhadap agama lain, seperti yang terjadi di Sleman, tetapi terhadap sesama muslim sendiri, bahkan kerabat dan anak kandung sendiri juga dihajar sampai mati seperti nasib yang menimpa Fauzana. Demikian pula kejadian di Sampang, Madura. Di tahun 2011 pengikut-pengikut Syiah diserang, banyak orang tewas dan terluka sehingga mereka akhirnya bermigrasi ke Sidoarjo (dan diberi tempat oleh Pemda Sidoarjo, Jatim).

Padahal gara-garanya cuma konflik antaranak-anak dari Ustaz Tajul Muluk al-Ali Murtadha, yaitu pimpinan dari Pondok Pesantren Syiah di Sampang. Gara-gara konflik, membela kepentingan pribadi, pecahlah konflik sosial yang berdarah-darah. Kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok-kelompok, itulah yang menjadi sumber kekerasan dan eksklusivisme di antara sebagian umat Islam (termasuk bom-bom teroris yang sudah membunuh ratusan orang).

Cobalah telusuri semua konflik yang bernuansa agama (termasuk yang non-Islam). Yang di Irak, yang di Suriah, di Mesir, dll. Carilah akar penyebabnya, pasti akan ditemui perdebatan atau konflik yang membawa-bawa akidah, tetapi pelaku-pelakunya di balik itu semua pasti punya kepentingan. Boleh juga kepentingan negara-negara adikuasa yang berebut sumber daya alam seperti minyak mentah dll. Namun, walaupun awalnya hanya konflik antarindividu atau antarkelompok, lambat laun sikap-sikap eksklusif, memusuhi kelompok lain, main hakim sendiri, tindak kekerasan dan sebagainya sudah meresap ke dalam diri masyarakat, termasuk aparat-aparat pemerintahnya (polisi membiarkan tindak kriminal di depan hidungnya).

Seorang ibu yang kebetulan nonmuslim tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri karena nuansanya sudah mengarah ke agama tertentu, tidak netral lagi. Bahkan dia sendiri (sekarang jadi dosen) mengaku bahwa di SMP (waktu itu ia bersekolah di negeri) ia pernah diludahi kawan sendiri hanya karena dia bukan muslim. Jadi, sudah tiba saatnya bahwa agama dikembalikan ke ranah kehidupan pribadi masing-masing. Kalau mau pendidikan agama, masukkan ke sekolah agama yang sesuai dengan keyakinan orang tua sendiri.

Tidak perlu menuntut sekolah negeri untuk mengajari agama yang isinya justru menjauhkan siswa dari umat yang tidak sekepercayaan. Di KTP juga tidak perlu lagi dicantumkan agama

Page 3: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

karena tidak ada gunanya, bahkan bisa menjadi ajang diskriminasi kalau misalnya orang yang bersangkutan melamar kerja. Yang jelas, ketika agama itu diurus oleh institusi negara yang namanya Kementerian Agama justru dijadikan sumber korupsi. Sangat merendahkan citra agama itu sendiri.

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia       

Page 4: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Orang Utan

Koran SINDO

Senin,  9 Juni 2014

HINGGA kini masih hangat dibahas isu mengenai kerusakan hutan Indonesia (deforestasi) dan orang utan. Kedua isu tersebut dikaitkan dengan perkebunan sawit, di mana ada semacam tuduhan bahwa sawitlah penyebab deforestasi dan terbunuhnya (berkurangnya) orang utan di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah benar bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab (utama) kerusakan hutan di Indonesia dan matinya orang utan? Deforestasi sendiri masih ditafsirkan beragam. Ini disebabkan perbedaan pengertian hutan dengan kawasan hutan. Publik sering kurang memahami perbedaan hutan dengan kawasan hutan sehingga sering meng-gebyah-uyah (menggeneralisasi) bahwa kebun sawit menyebabkan berkurangnya hutan Indonesia.

Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Menurut Forest Resources Assessment (FRA, 2000), hutan adalah lahan dengan luasan minimal 0,5 ha dengan tutupan vegetasi pohon (tree crown cover) minimal 10%, ketinggian pepohonan minimal 5 m. Kawasan hutan, menurut UU 41/ 1999, adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Secara gampang bisa dijelaskan bahwa hutan adalah pohon-pohonnya, sedangkan kawasan hutan adalah status legal wilayahnya.

Sebagai kawasan hutan, kita mengenal antara lain hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi konversi (HPK) adalah kawasan hutan eks HPH (log over forest) yang sebenarnya sudah direlakan untuk diubah fungsinya menjadi kegunaan nonkehutanan guna menopang kegiatan pembangunan.

Deforestasi selama ini didefinisikan sebagai penebangan pepohonan (hutan) yang diubah peruntukannya menjadi bukan hutan. Padahal sebenarnya esensi dari deforestasi adalah perubahan (konversi) kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Data hutan Indonesia yang katanya 133 juta ha adalah kawasan hutan bukan hutan dalam arti luasan vegetasinya walaupun data Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa dari 133

Page 5: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

juta ha kawasan hutan, sekitar 40 juta ha di antaranya sudah tidak berhutan (degraded).

Sudah menjadi keniscayaan bahwa sebagai negara berkembang, di mana pemerintah harus menyediakan ruang untuk pertambahan penduduk serta aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya, kawasan hutan produksi konversi adalah cadangan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi konversi hanyalah masalah waktu dan lokasi di mana prioritas pembangunan dilakukan sesuai prosedur pelepasan kawasan hutan yang diatur undang-undang.

Dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit, konsesi lahan yang diberikan pemerintah (daerah) adalah berstatus area penggunaan lain (APL) atau ada yang menyebut kawasan budi daya nonkehutanan (KBNK) atau kadang-kadang hutan produksi konversi (HPK). Baik APL ataupun KBNK adalah bukan kawasan hutan.

Perusahaan yang mendapat izin konsesi di kawasan HPK harus memproses izin pelepasan kawasan hutan kepada menteri kehutanan. Tanpa izin pelepasan kawasan hutan, status hak lahan tidak akan bisa menjadi HGU (hak guna usaha).

Sesuai UU, tidak mungkin pemerintah memberikan izin konsesi di hutan produksi, apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Karena itu, sangatlah tidak relevan jika ekspansi kebun kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan kawasan hutan, bukan dengan hutannya. Masalahnya, di beberapa kasus ada bukan kawasan hutan yang masih berhutan (berpohon). Karena ketidaksamaan definisi sebagaimana disebutkan di atas, ekspansi penanaman sawit di lahan seperti ini dikategorikan sebagai deforestasi.

Memang demikianlah menurut peraturan perundangan di Indonesia bahwa penebangan vegetasi di areal bukan kawasan hutan adalah bukan suatu pelanggaran. Namun, penebangan hutan (pohon) di areal bukan kawasan hutan tetap dianggap deforestasi oleh kalangan LSM lingkungan karena mereka hanya melihatnya dari aspek fisik (citra satelit), di mana yang tadinya tutupan vegetasi (berwarna hijau) berubah menjadi tidak hijau atau menjadi (hijau) kebun sawit.

Demikian juga dengan masalah orang utan, sangat tidak relevan bahwa perkebunan kelapa sawit dituduh menjadi penyebab matinya orang utan. Orang utan tidak ada hubungannya dengan perkebunan kelapa sawit.

Sekali lagi, mengacu pada UU Kehutanan, habitat orang utan adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni kawasan hutan konservasi di mana di dalamnya termasuk taman nasional dan suaka marga satwa untuk melindungi keanekaragaman hayati tertentu termasuk orang utan. Adanya kasus orang utan ”lari” atau ”ditemukan” di perkebunan sawit boleh jadi karena hutan konservasi yang menjadi habitatnya sudah rusak.

Page 6: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Dengan demikian, persoalan deforestasi maupun orang utan adalah persoalan tata ruang. Pokok persoalan yang kita hadapi adalah ketidakjelasan dan atau kebelumtuntasan masalah tata ruang ini.

Tuntutan pembangunan akibat pertambahan penduduk mendorong percepatan pemekaran wilayah, tetapi penyesuaian tata ruangnya tidak sinkron. Dengan begitu, suatu areal yang menurut tata ruang provinsi/pemerintah daerah bukan kawasan hutan, menurut pemerintah pusat adalah kawasan hutan.

Ketika industri mendapatkan izin konsesi lahan dari pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas pembangunan, tiba-tiba dituduh oleh pemerintah pusat bahwa industri tersebut melanggar peraturan. Industri menjadi bingung karena pemerintah sendiri tidak satu bahasa, padahal bagi industri yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dari satu pemerintah, bukan pemerintah yang berbeda-beda.

Kerusakan hutan memang telah menjadi rahasia umum. Persoalannya ada pada masalah pengelolaan kawasan hutan. Batas kawasan hutan tidak jelas atau masyarakat sulit membedakan mana kawasan hutan dan mana bukan kawasan hutan.

Perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan bukan monopoli perkebunan kelapa sawit. Menurut studi World Growth (2010), perambahan kawasan hutan terbesar justru dilakukan oleh masyarakat miskin yang ingin membuka ladang guna memenuhi kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka. Ini sangat mungkin karena kawasan hutan tidak jelas batasnya dan tidak dijaga, apalagi lokasinya nun jauh di sana.

JOKO SUPRIYONO Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

Page 7: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Politik Konservasi Laut

Koran SINDO

Senin,  9 Juni 2014

PADA Mei 2014 Indonesia menjadi tuan rumah World Coral Reef Conference (WCRC). Salah satu hasil penting WCRC tersebut adalah ada komunike bersama tentang pengelolaan terumbu karang secara global yang menekankan pendekatan baru yakni terintegrasi melalui tata kelola yang efektif, ramah gender, sensitif risiko bencana, serta orientasi bisnis yang ramah lingkungan. Bagaimana implikasinya terhadap kelautan Indonesia?

Perspektif Global

Kini pembicaraan isu lingkungan laut hampir selalu menyentuh isu terumbu karang. Ini karena ekosistem terumbu karang memiliki peran ekologis yang sangat penting bagi tumbuhnya populasi ikan serta keseimbangan ekosistem laut.

Karena itu, inisiatif global pengelolaan terumbu karang terus didorong seperti Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, Food Security (CTI-CFF ), The Eastern Tropical Pacific Seascape Project and The Indian Ocean Challenge, West African Conservation Challenge, serta Coral Reefs for the Americas Region.

Hal yang menarik dari berbagai kesepakatan internasional itu adalah pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan harus memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, serta antisipasi dampak perubahan iklim. Dengan ditambahkan aspek gender, bencana, serta bisnis ramah lingkungan, tentu makin menarik dan menunjukkan kemajuan.

Pertama, selama ini isu pengelolaan terumbu karang hanya fokus pada aspek ekologi sehingga seolah yang terpenting adalah bagaimana terumbu karang lestari tanpa memikirkan bagaimana kelangsungan hidup manusia di sekitarnya. Inilah yang sering memicu ketidakadilan. Ini sesuai tulisan Forsyth (2002) yang mengatakan bahwa bila pengelolaan lingkungan hanya bertumpu pada prinsip-prinsip ekologis semata, yang terjadi adalah ketidakadilan.

Fakta konflik antara konservasi terumbu karang dan perikanan terjadi di mana-mana di dunia, tak hanya di Indonesia. Karena itu, perlu sinergi antardisiplin ilmu sebagai dasar untuk menciptakan tata kelola yang efektif dan adil. Kedua, kerusakan terumbu karang selama ini dipahami sebagai akibat ulah nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Padahal kerusakan

Page 8: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

oleh bisnis besar juga terjadi.

Pencemaran industri, sedimentasi akibat penebangan hutan secara masif oleh usaha besar, dan perdagangan karang oleh eksportir adalah contoh betapa bisnis besar juga berkontribusi terhadap kerusakan. Jadi, poin bisnis ramah lingkungan sangat penting ditekankan dan perlu dirumuskan instrumen operasionalnya.

Ketiga, konservasi laut selama ini dipahami hanya domain laki-laki. Padahal naluri perempuan terhadap alam mestinya dipertimbangkan sehingga perannya harus didorong. Dengan prinsip baru sensitif gender dalam komunike WCRC, akan makin mengukuhkan peran perempuan dalam konservasi baik pada pengambilan kebijakan maupun implementasinya.

Agenda

Tentu sejumlah poin di atas merupakan kemajuan penting dalam pengelolaan konservasi laut yang adil. Namun, persoalannya adalah bagaimana implementasinya di Indonesia. Ada sejumlah langkah yang perlu didorong.

Pertama, meski kerja sama regional dan global terus didorong, sebaiknya Indonesia harus percaya diri untuk menemukan model khas yang efektif dan tidak silau dengan model-model Barat yang positivistik dan seolah universal serta memiliki sofistifikasi akademik yang menakjubkan, namun kurang pas untuk konteks sosial politik dunia ketiga seperti Indonesia.

Di sinilah ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus didorong untuk lebih percaya diri melakukan riset-riset unggulan yang hasilnya bisa mentransformasi model konservasi laut. Kedua, organisasi nelayan harus didorong untuk mengambil peran penting dalam konservasi laut. Ini karena merekalah yang pada akhirnya merasakan hasil pengelolaan terumbu karang. Mulainya bisa dengan penguatan jejaring komunitas prokonservasi lintas wilayah.

Dengan jejaring ini akan tercipta mekanisme saling belajar antarkomunitas dalam konservasi laut. Ketiga, model kawasan konservasi laut (KKL) yang diinisiasi pemerintah mestinya bisa diukur tingkat keberhasilannya.

Selama ini ukuran keberhasilan KKL masih sebatas pada penetapan luasan dan belum sampai pada efektivitas pengelolaan dan hasil konservasi. Target-target perluasan KKL sebaiknya dibatasi dan sekarang mulai fokus pada efektivitas pengelolaan dan instrumen monitoring yang lebih akurat.

Keempat, instrumen perdagangan mestinya mulai diterapkan untuk membangun bisnis ramah lingkungan dan prokonservasi laut. Hal yang paling efektif untuk membendung peran bisnis dalam kerusakan terumbu karang adalah penegakan hukum dan instrumen perdagangan seperti ecolabeling. Namun, persoalannya, hukum lingkungan kita belum kuat. Begitu pula kepedulian konsumen terhadap produk-produk alam masih rendah.

Page 9: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Tentu apa yang selama ini telah dirintis oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat dalam konservasi laut perlu diapresiasi. Namun, empat agenda di atas perlu dilakukan untuk mempertajam peran masing-masing pihak sehingga apa yang dilakukan bisa lebih dipertanggungjawabkan.

ARIF SATRIA Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB

Page 10: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Fanatisme Membakar Jiwa

Ketika di dalam sajak ”Diponegoro”, yang penuh kekaguman, dan pujian-pujian, Chairil Anwar berkata: ”dan bara kagum menjadi api”, penyair itu tak otomatis ”terbakar”.

Jiwanya pun tak terbelah. Kekagumannya pada pahlawan kita, Pangeran Diponegoro, tak menimbulkan suatu keretakan. Sebaliknya, ”bara kagum” yang ”menjadi api” itu menggugah semangat kita untuk menyatu, menjadi kekuatan yang utuh, tunggal, melawan penjajah, dan meneguhkan diri kita sebagai bangsa. Kita disatukan oleh sepenggal puisi. Setidaknya, semangat kita untuk ”menjadi satu”, diperkuat oleh puisi yang penuh kekaguman itu.

Saat Pangeran dari keraton Mataram, Yogyakarta, melabrak kompeni, tak otomatis kalangan elite Jawa mendukungnya. Tidak juga rakyat. Dalam situasi parah, ketika kejahatan kompeni sudah tak tertahankan, orang yang ragu akan gunanya melawan penjajah itu masih tak terbilang banyaknya.

Pada mulanya banyak yang menentang Sang Pangeran. Dan pada akhir banyak kalangan atas yang berkhianat pada beliau. Menjelang peperangan berakhir, ketika pada kemudian beliau ditangkap secara licik, dengan menggunakan dalih pura-pura berunding, penjilat kompeni luar biasa banyaknya. Tapi puisi ini lahir kurang lebih seabad kemudian, di saat perlunya kita bersatu demikian besarnya.

Kita rindu akan persatuan. Kita rindu untuk menjadi sebuah bangsa yang kuat. Sekarang, kurang lebih kita sudah menjadi bangsa yang dibayangkan Khairil dulu. Kita sudah bersatu. Kita sudah punya kiblat politik yang jelas. Mengapa hanya karena kita ingin memilih presiden dan wakilnya, kita desak-desakan, saling menjelekkan dan fitnah-memfitnah, seolah kita menghadapi musuh yang bakal menghancurkan kehidupan kita?

Dua pasang calon presiden dan wakilnya, masing-masing berhadapan sebagai saingan, sekadar saingan–dan bukan lawan, bukan musuh–mengapa turut terbakar habis-habisan, seolah kita juga bermusuhan? Mengapa fenomena politik itu membuat kita menjadi begitu militan, seolah siap tempur, melawan orang lain, yang sebetulnya juga tak tahu apa-apa? Kalau tim sukses bekerja mati-matian, dengan fanatisme yang menjulang ke langit, silakan saja. Begitu juga kalau jurkam dan para penasihat siap bertempur dengan orang-orang di pihak ”sana” yang dianggap musuh.

Tapi benarkah mereka musuh? Dan kita, kalangan bawah, yang punya aspirasi, tapi tak akan cukup jelas bahwa aspirasi kita bakal dipenuhi, apa yang kita perjuangkan? Kalau jago kita menang, pilihan kita unggul, apa hasil buah yang bakal kita petik? Nasib kita sebagai rakyat kalangan bawah bakal terangkat, dan kita menjadi warga terhormat? Kita makmur? Kita diberi keadilan? Dan kita bahagia? Siapa bisa menjawab pertanyaan ini? Jago pidato tahu jawabnya?

Page 11: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Orang pendiam, yang tak menomorsatukan kemampuan pidato, juga punya jawabnya? Apakah semua akan berkata seperti lagu Joan Baez: ”the answer, my friends, is blowing in the wind ”? Atau seperti bait lagu Mas Ebied G Ade: ”tanyakan pada rumput yang bergoyang”? Kalau semuanya hanya akan begitu sikapnya pada kita, setelah mereka menang, maka apakah gunanya kita menjadi begitu fanatik, dan siap bermusuhan dengan siapa saja yang tak sejalan dengan pikiran kita? Edankah kita, rela memusuhi saudara-saudara kita sendiri, semata karena bius politik omong kosong?

Kita kagumi jago kita, dengan kekaguman buta. Yang kita kagumi sama sekali tak mencukupi. Apalagi kalau kelak dia menipu kita, seperti politik pada umumnya. Kita hanya akan terinjak-injak tiap saat, tapi tiap lima tahun kita lupa, lupa, lupa, dan mendukung terus menerus orang yang menipu itu. Mengapa kita ikut-ikutan membuat iklim politik kita menjadi begitu muram, dan penuh aroma permusuhan? Tim sukses, yang belum tentu sukses, jurkam-jurkam, yang lebih banyak bicara setinggi langit, dan para penasihat, yang impiannya semata untuk memperoleh jabatan, memang sudah layak kalau mereka bermusuhan dengan pihak lain.

Mereka tidak berjuang dengan cinta pada bangsa, dan negara. Mereka berjuang untuk jabatan. Demi jabatan, mereka membela jago pilihannya, dengan menggelapkan sejarah, yang buruk dibilang baik. Mereka menggelapkan fakta, yang kurang dibilang mencukupi. Itu watak politisi. Mungkin pula watak kaum oportunis. Rakyat mengerti ruh politik, tapi mereka tak menyukai tipu menipu seperti itu.

Tapi mengapa semua seperti lupa diri, dan seolah siap mati di jalan, demi membela jago masing-masing? Bagi kita, orang biasa, warga masyarakat di kalangan bawah, boleh saja menjagokan salah satu calon. Menjagokan sepasang calon. Itu wujud partisipasi politik. Boleh juga disebut kewajiban warga negara. Ini persoalan penting. Tapi mengapa kita, orang biasa, di kalangan bawah, ikut-ikut ”tidak waras”? Mengapa ibaratnya bahkan ”jiwa” kita ikut ”terbakar” iklim fanatik seperti itu dan kita membiarkannya? Apa yang bakal kita peroleh sebagai imbalannya?

Kalau jago pilihan kita menang, mungkin kita puas. Tapi kepuasan itu segera hilang dalam tiga hari, atau seminggu. Akankah kepuasan kita bertahan terus menerus, kelak, setelah kita tahu bahwa kita dikhianati, lagi dan lagi, seperti dulu, dalam pemilu demi pemilu, yang tak punya perhatian pada kita? Bagaimana kalau jago kita kalah? Di mana wajah kita mau kita taruh? Kita sudah fanatik, sudah siap berperang dengan tetangga, tapi jago kita kalah. Mungkin kita malu. Mungkin sakit hati. Tapi siapa yang bisa kita salahkan?

Kalau kita fanatik bagi kepentingan besar; untuk negara, atau bangsa, mungkin sikap kita bisa dipahami. Pertaruhan kita jelas tak bakal tampak terlalu besar. Jika kalah pun, kita tak akan malu. Kita masih terhormat, karena kita membela negara, atau bangsa, yang memang wajib dibela. Tapi kalau fanatisme kita itu tertuju pada orang, pribadi, yang disebut tokoh, yang tak jelas sikap politiknya, maka apa gunanya fanatisme, apa gunanya pengorbanan? Kita akan

Page 12: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

menjadi pahlawan? Jelas tidak. Kita, yang miskin, akan dibikin menjadi kaya? Juga tidak.

Adakah jaminan pada kita, bahwa tokoh-tokoh yang kita jagokan, dan kita bela mati-matian dengan fanatisme berlebihan itu, bahwa mereka akan memenuhi janji yang telah mereka ucapkan? Kalau jawabnya juga tidak, dan kelihatannya pasti tidak, maka apa gunanya, kita biarkan fanatisme kosong tanpa makna itu membakar ”jiwa” kita? Apa gunanya?

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected] 

Page 13: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Brasil Siap Menyambut Piala Dunia 2014

Pembukaan Piala Dunia 2014 akan bergulir beberapa jam lagi. Mayoritas penduduk Brasil telah menyiapkan segala sesuatunya untuk memeriahkan pesta terakbar sejagat itu.

Kota Sao Paulo, tempat berlangsungnya upacara pembukaan, kini benar-benar beraroma Piala Dunia. Pernak-pernik berbau sepak bola menghiasi berbagai lokasi. Warga setempat terlihat begitu antusias dan tidak sabar lagi untuk berpesta. Intinya mereka siap memuaskan para pengunjung. “Pembukaan Piala Dunia merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap sejarah Brasil. Ini sangat berharga bagi kami. Atmosfer kegembiraan yang terasa di sini begitu luar biasa. Selelah apa pun, kami tetap merasa termotivasi. Suasana ini membuat kami ingin terus tersenyum,” ucap Daphne Cornez, Direktur Artistik Piala Dunia 2014.

Kemeriahan bukan hanya milik Sao Paulo.Sejumlah kota yang ikut menjadi tuan rumah pertandingan ikut mempercantik diri. Brasilia misalnya. Kawasan yang akan menggelar sejumlah laga ini, termasuk duel Brasil kontra Kamerun, bermetamorfosis menjadi kota penuh warna. Sejumlah bangunan memasang lampu atau pencahayaan warna-warni. Gedung Kongres Nasional sekarang bermandikan cahaya hijau dan kuning kala malam hari. Dua warna yang merepresentasikan Brasil. Cara serupa dilakukan Gedung Metropolitan Cathedral dan Planalto Palace.

Sejumlah fasilitas ikut dipermak. Kereta dicat menggunakan warna kuning dengan variasi hijau, warna khas negara tersebut. Gerai-gerai yang menjajakan cendera mata melakukan hal serupa, yakni menambah embel-embel kuning dan hijau. Warganya juga punya cara tersendiri untuk menyambut Piala Dunia 2014. Cukup banyak warga Brasilia yang membentangkan bendera dan seragam pemain Brasil di pinggir jalan. Ada pula yang menyalurkan aspirasinya dengan membuat grafiti bertemakan timnas Brasil atau Piala Dunia 2014.

Menjajakan budaya lokal dilakukan oleh Rio de Janeiro. Tempat Spanyol menjalani salah satu partainya itu akan mempertontonkan capoeira, ilmu bela diri yang berbalut tarian. Atraksi itu konon akan digelar secara rutin selama Piala Dunia 2014. Bahkan, pengunjung dipersilakan memperagakan gerakannya, seperti yang dilakukan timnas Inggris. Rio de Janeiro baru akan menggelar laga perdananya, Argentina vs Bosnia-Herzegovina di Grup F, pada Minggu (15/6).

Kemarin, baru ada segelintir suporter yang mengunjungi Maracana. Sementara itu, pemandangan tim utama Belanda yang akan menghadapi Spanyol pada persaingan Grup D di Arena Fonte Nova, besok, terlihat saat mereka berlatih terakhir sebelum berangkat ke Salvador. Sebanyak 13 pemain menjalani pelatihan terpisah dari rekan-rekannya di Estadio Jose Bastos Padilha Gavea, Selasa (10/6). Uniknya, Pelatih Louis van Gaal tidak memantau

Page 14: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

mereka.

Sosok yang akan menangani Manchester United selepas Piala Dunia ini justru memimpin training match melibatkan 10 pemain cadangan, termasuk di antaranya Klaas-Jan Huntelaar, Memphis Depay, Leroy Fer, dan Jeremain Lens. Pemain yang berpotensi masuk tim utama De Oranje mencakup nama-nama tenar seperti Robin van Persie, Arjen Robben, dan Wesley Sneijder. Mereka ditemani Jasper Cillessen, Bruno Martins Indi, Stefan de Vrij, Daryl Janmaat, Ron Vlaar, Daley Blind, Nigel de Jong, Jordy Clasie, Jonathan da Guzman, dan Dirk Kuyt.

Dipimpin Asisten Pelatih Patrick Kluivert, ke-13 pemain dibagi menjadi dua tim. Cillessen, Indi, De Vrij, Vlaar, dan Kuyt bertugas menahan gempuran rekan-rekannya. Namun, mereka tidak turun bersamaan. Setiap dua pemain nonkiper bergantian turun membantu Cillessen mengawal gawang. Komposisi dua versus delapan ini jelas memudahkan tim menyerang. Beberapa kali Cillessen harus memungut bola di dalam gawangnya. Indi sempat beberapa kali merebut bola dari Van Persie, sedangkan Robben menusuk lewat dribel. Yang paling bersinar adalah Sneijder.

Dia menciptakan empat gol melalui tendangan keras di luar kotak penalti dan mendapat pujian staf. Selepas itu pemain berlatih tendangan bebas. Vlaar dan De Jong bergantian menendang bersama Sneijder, Robben, Van Persie, dan De Guzman.

Page 15: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Basis Data Pelaku dan Korban

Koran SINDO

Kamis,  12 Juni 2014

PREDATOR seksual adalah setan yang bergentayangan meneror anak-anak kita. Jumlah mereka, sebagaimana yang terungkap di media massa, sebenarnya ”belum” begitu banyak.

Demikian pula dengan korban, hanya sedikit yang berproses hukum. Apabila logika dengan hitung-hitungan macam itu yang dipakai, akan mudah bagi siapa pun–termasuk penegak hukum–untuk berpikir bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak belum mencapai derajat yang mengkhawatirkan. Bandingkan dengan predator asal Australia, Osborne, yang di dalam catatannya mengaku telah memerkosa sekitar 2.500 anak.

Torehan kebiadaban sedahsyat itu barangkali hanya bisa disaingi oleh Schwartzmiller. Ia, selama tiga puluh tahun, mengekspresikan watak durjananya di tiga negara. Hasilnya adalah timbunan nama bocah-bocah malang dalam sebuah daftar sepanjang 1.300 halaman.

Jika hasil penelitian dirujuk, bahwa terdapat potensi kuat para korban suatu saat akan beralih paras menjadi pelaku kejahatan yang sama, maka bisa dibayangkan kelipatan angka yang sebegitu besar menyangkut jumlah bibit-bibit predator seksual berikutnya. Itu dengan catatan mereka, korban kanak-kanak itu, tidak memperoleh pertolongan komprehensif sepanjang hayat guna mendukung pemulihan cedera fisik dan luka psikis mereka.

Tingginya angka ”kloning” pelaku kekerasan seksual terhadap anak, baru satu hal. Hal lain, yang kian menakutkan, adalah fakta bahwa hingga saat ini belum ditemukan formula jitu guna memodifikasi tabiat dan perilaku mereka. Penghukuman, termasuk kebiri sekali pun, tidak akan menurunkan kecenderungan para pelaku kejahatan yang satu ini untuk mengulangi perbuatan keji mereka (baca ”Kebiri Membuat Predator Lebih Keji ”, KORAN SINDO, 19 Mei 2014).

Pada saat yang sama, riset memperlihatkan bahwa para pelaku membangun dua bentuk jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai konsekuensi hidup dikucilkan publik, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk tujuan katarsis.

Terlebih difasilitasi oleh teknologi komunikasi semacam surel dan grup-grup maya, orang-orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara lebih patut di tengah-tengah masyarakat. Para predator itu juga tukar menukar pengetahuan

Page 16: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan syahwat tak senonoh mereka.

Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis lain dibikin dengan tujuan nista. Antarpredator saling bertukar informasi tentang pengalaman ”menyenangkan” dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak berikutnya.

Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan membongkar–antara lain–riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai sebagai monster di sekolah sekaligus zone pemangsaan para predator seksual tersebut.

Bertitik tolak dari kompleksitas psikologis para pelaku serta dinamika pelaku-korban seperti di atas, sesungguhnya amat penting bagi kepolisian, keimigrasian, kependidikan, kepariwisataan, ketenagakerjaan, dan lembaga-lembaga lainnya untuk membangun basis data (database) tunggal dan terintegrasi tentang para pelaku kejahatan seksual, baik yang bertipe pedofil maupun yang melancarkan aksinya akibat dorongan situasional. Bahkan, khusus bagi pelaku yang tengah dan telah menjalani sanksi pidana, data-data mereka dibuka bagi publik.

Jadi, ketika mengubah pelaku bisa dikatakan mustahil dilakukan, paling tidak negara menyediakan satu fasilitas bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya tangkal mereka terhadap penyusupan para predator seksual.

Basis data ini secara tidak langsung merupakan bentuk sanksi sosial, yakni mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan seksual di masyarakat. Di samping basis data yang berisi biodata tentang para predator, otoritas terkait juga perlu membangun basis data khusus tentang korban.

Basis data ini harus bersifat tertutup alias tidak dapat diakses oleh sembarang pihak. Basis data khusus ini didesain sebagai sistem pemantauan terhadap proses rehabilitasi korban. Di mana korban berobat, siapa profesional yang menanganinya, keluhan-keluhan yang dialami korban, dan informasi-informasi lainnya tersedia dalam kondisi senantiasa terbarui.

Basis data khusus korban merupakan bentuk ”pertanggungjawaban” atas kegagalan para pihak yang sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak disebut eksplisit bertanggung jawab melakukan perlindungan terhadap anak-anak.

Kondisi korban yang selalu terpantau diharapkan menjadi stimulan bagi siapa pun yang telah menjadi korban keganasan para predator seksual. Ini merupakan jawaban atas keraguan para korban dan keluarga mereka bahwa, alih-alih menderita ulang akibat viktimisasi publik, melapor ke bala bantuan (polisi, rumah sakit, sentra perlindungan anak, dan lainnya) merupakan titik awal proses penyembuhan.

Dengan kondisi terpantau seperti itu pula, peluang korban menjadi pelaku dapat ditekan semaksimal mungkin, sehingga putuslah mata rantai kekerasan seksual itu. Hemat saya,

Page 17: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

terlepas bahwa hingga kini belum ada definisi dan parameter tentang ”Indonesia darurat kejahatan terhadap anak”, pola penanganan terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak sudah saatnya diperkuat.

Rangkaian tindakan yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi, seperti yang diperagakan menyusul kegemparan kasus TK Jakarta International School, sungguh tidak akan mampu mengimbangi kecanggihan operasi kejahatan seksual terhadap anak yang telah mengambil bentuk berupa jaringan internasional.

Siapa kiranya yang paling patut tergerak membangun sistem perlindungan anak berbasis data tersebut? Siapa lagi kalau bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang baru saja menyelesaikan rapat kerjanya. Semangat, langkah serempak!

REZA INDRAGIRI AMRIEL Anggota World Society of Victimology, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

Page 18: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Perang Bandar dalam Pilpres

Berdasarkan pengalaman banyak penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah, dua pemilu legislatif dan pilpres terakhir, dan sesungguhnya juga pemilihan kepala desa yang sudah terjadi sejak lama, peran kapital dalam pemenangan terbilang sangat besar.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap penyelenggaraan pilkada kabupaten/kota, jumlah uang yang ditebarkan mencapai belasan bahkan puluhan miliar. Dan untuk pilkada provinsi, bisa puluhan bahkan ratusan miliar. Besaran finansial yang dibutuhkan untuk pemenangan, bisa dikatakan linear dengan jumlah pemilih, sebab mayoritas pemilih mau menggunakan hak pilih jika mendapatkan imbalan uang. Karena itu, di antara faktor yang sangat diperhitungkan dalam pemenangan calon presiden dan wakil presiden adalah kekuatan finansial.

Dalam masyarakat yang menganggap bahwa uang dalam setiap hajatan demokrasi lima tahunan sebagai sebuah keniscayaan, kekuatan finansial menjadi salah satu faktor pendukung kemenangan yang tidak bisa disepelekan. Dan karena itu, setiap calon yang maju dalam perebutan kekuasaan tertinggi di republik ini haruslah memiliki kemampuan finansial yang kuat, baik dalam konteks kemampuan finansial pribadi, atau kemampuan untuk mengonsolidasi dukungan finansial.

Karena kebutuhan dukungan finansial yang sangat besar, tidak mungkin pribadi-pribadi calon presiden atau wakil presiden sendiri yang memenuhi kebutuhan finansial tersebut. Keterlibatan masyarakat yang masih sangat lemah secara ekonomi, ditambah dengan kecenderungan materialistik, dan juga sikap apatis dalam politik, sangat tidak bisa diharapkan untuk membantu pembiayaan yang diperlukan oleh para kandidat. Bahkan, merekalah yang justru menjadi salah satu faktor penyebab kebutuhan finansial menjadi lebih tinggi.

Inilah yang menjadi jalan masuk bagi pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial besar untuk terlibat dalam pemenangan. Tentu saja mereka memiliki tujuan agar memiliki pengaruh terhadap penyelenggara negara yang ujungnya menguntungkan mereka secara finansial dan bahkan bisa ditambah yang lain-lain. Mereka lebih tepat disebut sebagai para bandar yang tidak secara langsung berada dalam lingkaran politik, tetapi suatu saat nanti bisa sangat berpengaruh kepada pengambilan keputusan politik.

***

Terdapat beberapa jenis bandar yang terlibat dalam proses pemilu secara langsung: Pertama, bandar yang bertujuan sekedar untuk bermain judi atau taruhan. Mereka adalah para bandar judi yang melakukan perjudian dengan memasang taruhan tentang siapa yang akan menjadi pemenang. Dan jika masing-masing bandar sudah memiliki prediksi yang sama tentang pihak yang akan menjadi pemenang, model taruhan mereka bukan berdasarkan siapa yang akan

Page 19: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

menjadi pemenang, tetapi berdasarkan selisih angka kemenangan yang akan terjadi.

Rentang angka itulah yang akan digunakan sebagai media taruhan. Peran mereka dalam skala tertentu tidak bisa diabaikan. Pasalnya, mereka akan mengeluarkan sejumlah uang untuk mempengaruhi pilihan pemilih sehingga angka dukungan bisa sesuai dengan prediksi mereka. Tujuan jelas, yakni mereka mendapatkan keuntungan finansial dari lawan bermain judi. Namun, di samping hanya murni bermain judi, bandar ini juga bisa menyinergikannya dengan kepentingan yang ingin dimainkan dengan menjadi bandar model kedua, yakni bandar yang bertujuan untuk berada pada lingkaran yang dekat dengan kekuasaan.

Tujuan mereka adalah mendapatkan akses kepada kekuasaan, agar bisa melakukan kolusi ketika nanti calon yang mereka dukung menang dalam pemilu. Karena tujuan ini, tidak sedikit bandar yang bermain di lebih dari satu kaki. Dengan cara itu, siapa pun yang menjadi pemenang, maka bandar model kedua ini akan mendapatkan akses kepada kekuasaan untuk mengamankan bisnis atau kepentingan lain yang sedang dan akan mereka jalani. Bandar ini biasanya adalah mereka yang ingin mendapatkan tender-tender dari proyek-proyek pemerintah. Dengan telah menanam budi untuk memenangkan calon tertentu, akses untuk mendapatkan proyek-proyek tersebut akan menjadi lebih lempeng. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Ketiga, bandar yang memiliki tujuan lebih besar ingin mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik agar Indonesia mengarah kepada ideologi politik yang diinginkan. Ini melibatkan bandar yang berskala internasional. Dan tujuan akhir para bandar ini sesungguhnya juga adalah ekonomi, yakni untuk bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menguntungkan kekuatan asing dalam rangka mengeruk kekayaan Indonesia.

Karena tujuan besar ini, mereka tidak akan sayang untuk mengeluarkan dana dalam jumlah yang sangat besar. Pasalnya, dana yang sangat besar itu masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan besar yang akan dihasilkan dalam jangka panjang.

***

Peran tiga macam bandar tersebut dalam Pilpres 2014 sangat terasa indikasinya. Dan, semua macam bandar ini sangat berbahaya bagi kedaulatan Indonesia di masa depan. Karena itu, pendidikan politik menjadi sangat penting, agar masyarakat menyadari bahwa mereka seharusnya berhati-hati dalam memilih pemimpin.

Jangan sampai memilih pemimpin hanya karena mendapatkan sejumlah uang. Rakyat harus segera disadarkan dan diberdayakan, agar mereka tidak sekadar dimobilisasi dengan menggunakan energi finansial. Mobilisasi masyarakat pemilih karena uang sangat berbahaya, karena berpotensi menyebabkan Indonesia mendapatkan pemimpin yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan ideal.

Perlu ada gerakan untuk membuat masyarakat menyadari bahwa partisipasi mereka sangat

Page 20: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

diperlukan untuk mendapatkan penyelenggara negara yang baik dan juga kompeten serta memiliki kemandirian dalam membuat kebijakan-kebijakan politik yang benar-benar menguntungkan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Mereka harus disadarkan bahwa untuk itu mereka dituntut untuk melakukan pengorbanan, bukan hanya dengan tidak menjadikan pemberian yang berbentuk materi sebagai alasan memilih, bahkan harus mau memberikan sumbangan finansial kepada para calon yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas, agar memiliki kemampuan untuk melakukan usaha-usaha merebut kekuasaan guna memperbaiki negara dan menolong warganya.

Mungkin yang bisa disumbangkan oleh masyarakat kebanyakan berjumlah tidak besar. Namun jika mereka melakukan gerakan yang masif, tidak menutup kemungkinan juga akan bisa menghasilkan jumlah besar yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kekuatan finansial yang diberikan para bandar. Dan dengan cara inilah, jalan para bandar yang akan mengganggu kebijakan negara bisa ditutup. Hanya bandar perjudian biasa yang akan masih terus bertahan, sebab perjudian ini tampaknya akan terus bertahan sepanjang sejarah umat manusia di dunia ini. Wallahu alam bi al-shawab.

DR MOHAMMAD NASIH MSIPengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan ”Monash Institute” Semarang

Page 21: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Spirit Multikulturalisme Piala Dunia

Gebyar Piala Dunia edisi ke-20 resmi dimulai. Hajatan akbar empat tahunan ini berlangsung di Brasil mulai 12 Juni hingga 13 Juli 2014. Sebanyak 32 kontestan mewakili negara masing-masing akan unjuk kekuatan untuk menjadi yang terbaik. Karena mewakili negara maka sepak bola sekaligus menjadi media untuk menumbuhkan spirit nasionalisme.

Pada konteks inilah nilai-nilai persatuan, perjuangan, pengorbanan, kehormatan, dan harga diri, sebagai satu bangsa dipertaruhkan. Nilai-nilai nasionalisme itu menjadi penyemangat setiap pemain sehingga berlaga dengan sepenuh hati guna meraih kemenangan demi menjaga martabat bangsanya. Selain menumbuhkan spirit nasionalisme, sepak bola juga memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya multikulturalisme. Melalui permainan sepak bola, setiap pemain dengan berbagai latar belakang etnis, budaya, dan agama, dipertemukan menjadi satu kekuatan. Bahkan, di era modern ini berkembang budaya naturalisasi pemain-pemain berkualitas dari mancanegara.

Seakan tidak mau ketinggalan, PSSI juga menaturalisasi sejumlah pemain demi meraih mimpi menjadi peserta Piala Dunia pada suatu waktu nanti. Perbedaan agama antarpemain tidak menjadi halangan untuk membangun tim yang tangguh. Tengoklah tim nasional Prancis yang dihuni beberapa pemain muslim, seperti Karim Benzema dan Franck Ribery. Pemain berkulit hitam yang sering menjadi sasaran rasisme juga dapat bermain dalam satu tim seperti Mario Balotelli (Italia) dan Jerome Boateng (Jerman).

Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sepak bola dapat menjadi media yang efektif untuk menciptakan pembauran antarwarga (melting pot). Slogan resmi Piala Dunia 2014, All in One Rhythm , terasa sangat relevan untuk dijadikan spirit menumbuhkan multikulturalisme. Slogan tersebut seakan mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan yang plural. Demikian juga dengan lagu resmi Piala Dunia, We Are One, yang dinyanyikan duet penyanyi Pitbull dan Claudia Leitte.

Spirit We Are One mengiringi pembukaan Piala Dunia sekaligus laga perdana yang mempertemukan Brasil melawan Kroasia. Lagu resmi Piala Dunia menegaskan pentingnya semangat mewujudkan kehidupan berbangsa yang ramah dengan keragaman.

Multikulturalisme dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap pluralitas budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka tetap diakui (Kymlika, 1989). Dengan demikian, tujuan utama multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik (public sphere) sehingga memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing.

Page 22: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan multikulturalisme mutlak diperlukan dalam konteks kekinian. Pertama, adanya fenomena penindasan atau penafian atas dasar agama, etnis, dan budaya. Dikotomi antara ”kita” (kelompok dominan) dan ”mereka” (di luar kelompok dominan) sering kali dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini banyak terjadi di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan publik, dan hubungan sosial lainnya. Agar diskriminasi ini memperoleh legitimasi, kelompok minoritas terus ditekan sehingga kehilangan eksistensi.

Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarjinalkan kelompok tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Akibatnya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas. Pada konteks inilah, multikulturalisme hendak menjawab kebutuhan yang mendasar kelompok minoritas untuk mengembangkan identitas budaya dan memberikan penghargaan terhadap eksistensinya.

Ketiga, kaum urban dan migran sering kali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah sering kali disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli atau pribumi. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang. Lebih ironis lagi, rekrutmen pejabat publik sering kali tidak didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak, tetapi asal daerah dan pertimbangan politik lokal dan faktor primordialisme lainnya.

Berdasarkan tiga argumen tersebut, kesadaran multikulturalisme perlu terus digelorakan agar tumbuh sikap saling memahami kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, kekhasan tidak boleh disamakan dengan keunggulan. Cara berpikir ini penting dikedepankan dalam memahami keragaman latar belakang sosial budaya. Dalam memahami kekhasan etnis, budaya, dan agama, kita layak belajar pada teori filsuf Prancis, Emmanuel Levinas (1971) tentang penampakan wajah. Dikatakan oleh Levinas bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu sama sekali berbeda dari aku. Namun demikian, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan.

Bahkan, kehadiran yang lain justru akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan. Melalui teori penampakan wajah akan tergambar yang lain (the other ). Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan orang saling bertegur sapa serta mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap.

Wajah yang menampak dalam gambar mencair dalam afeksi sehingga tidak hanya berhenti pada persepsi, tetapi juga mengkristal dalam kesadaran seseorang. Teori Levinas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan nir kepentingan. Hubungan ini menyebabkan seseorang bertanggung

Page 23: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

jawab terhadap yang lain tanpa menuntut imbalan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi.

Pelajaran multikulturalisme terasa sekali dalam permainan sepak bola. Semua pemain bahu-membahu dan saling membantu sehingga tidak tampak budaya yang mendominasi. Penonton juga dapat menikmati pertandingan dan memberikan dukungan penuh pada pemain; meski sejujurnya harus diakui bahwa antara pemain dan penonton sejatinya memiliki perbedaan sosial budaya. Hal itu menunjukkan betapa penting permainan sepak bola sebagai media untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme. Semoga semarak Piala Dunia dapat dijadikan pelajaran untuk membangun Indonesia yang lebih ramah terhadap keragaman.

BIYANTODosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Page 24: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pesan untuk Calon Presiden

Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.

Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.

Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.

Mengenal Diri

Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.

Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban.

Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri.

Mawas Diri

Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.

Page 25: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut.

Cikal Bakal Kesewenangan

Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.

Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian.

Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno.

Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa.

BENNI SETIAWAN Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Analis Sosial Budaya IndoStrategi

Page 26: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Lika-liku Kejujuran

Kamis, 11 Juni 2014 yang baru lalu, saya semimbar dengan Busyro Muqoddas, Wakil Ketua KPK (aslinya beliau adalah dosen UII, Yogyakarta) dalam acara “Seminar Intervensi Perilaku Korupsi Sejak Dini”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa Program Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi UI, di Kampus UI, Depok.

Dalam ceramahnya yang sangat memikat, ada tiga hal yang menarik perhatian saya yang ingin saya jadikan masukan untuk tulisan kali ini. Yang pertama adalah rekaman percakapan antara seorang saksi dan terdakwa sebagai berikut: “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” “Mau menyampaikan, Pak.” “Ya, silakan.” “Kami belum bisa menyiapkan yang 10%, kalau 5% sudah siap.” “Astagfirullahalazhim... kenapa?” Dan seterusnya.

Yang menarik di sini adalah digunakannya jargon-jargon agama (yang semuanya bermakna doa dan kebaikan), dalam percakapan tentang suatu hal yang sudah jelas dan sudah dipahami oleh yang bersangkutan sebagai hal yang diharamkan oleh agama itu sendiri.

Yang kedua. Dari penelitian terhadap para tersangka, ditemukan bahwa semua tersangka (termasuk yang sudah terpidana) tanpa terkecuali melibatkan keluarga dalam perilaku korupsi. Yang pasti anak, dan istri. Ada kalanya juga termasuk menantu, dan ponakan (keponakan). Jadi kalau disingkat AMPI (anak, menantu, ponakan, dan istri). Sekarang ditambah lagi dengan office boy (OB), jadi AMPIO. Bahkan, ada yang kawin lagi dua atau tiga istri untuk pencucian uangnya. Nilai-nilai dan gaya hidup keluarga langsung berubah ketika seseorang terlibat korupsi. Nilai-nilai moral digeser oleh nilai-nilai yang mengutamakan uang.

Dan yang ketiga (bukan yang terakhir, karena masih banyak yang menarik, tetapi tidak saya muat di sini karena keterbatasan halaman) adalah bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik. Bahkan, ada undang-undang yang dibuat untuk melegalkan korupsi. Pantaslah jika begitu banyak anggota DPR yang mampu memiliki properti dan juga sejumlah istri (resmi dan siri) yang melebihi batas-batas akal dan budi.

***

Dalam Ilmu Filsafat Etika, ada teori yang mengatakan bahwa hukum seharusnya mencerminkan moral. Moral yang tidak dilandasi hukum seperti macan ompong yang tidak punya gigi. Karena itu, hukum pidana dibuat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan kejahatan yang bertentangan dengan moral.

Undang-Undang Antiteror dan Undang-Undang Antinarkoba adalah untuk menangkal kejahatan yang terkait dengan terorisme dan penyalahgunaan obat yang juga amoral. Tetapi

Page 27: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

yang lebih mengerikan adalah hukum yang dibuat tanpa landasan moral, karena bisa digunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Hukum apartheid di Afrika Selatan (sebelum Nelson Mandela), atau Undang-Undang Perbudakan di Amerika sebelum Perang Saudara, atau Hukum Tanam Paksa yang dibuat ketika pemerintah Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, adalah contoh dari hukum-hukum yang dibuat penguasa semata-mata untuk melindungi kepentingannya sendiri.

Masalahnya, mengapa pejabat-pejabat pemerintah dan anggota-anggota DPR/D di negara Indonesia yang ber-Pancasila sampai melegalkan berbagai hal yang sebetulnya kejahatan? Misalnya berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur pertambangan, perikanan, kehutanan, pelayanan masyarakat. Ternyata agama sudah bukan alat pencegahan, apalagi penanggulangan yang manjur. Terbukti, pelaku-pelaku korupsi saling menyapa dan berdialog dengan menggunakan ungkapan-ungkapan agama. Padahal, pelaku-pelaku korupsi di Kementerian Agama juga pastinya orang-orang yang menguasai ilmu agama tingkat tinggi.

***

Dulu, seorang kriminolog bernama Cesarre Lombrosso sangat terkenal dengan teorinya Delinquento Nato, artinya: kejahatan adalah watak yang dibawa sejak lahir. Karena itu, wajah penjahat bisa dibedakan dengan mudah dari wajah orang baik-baik. Misalnya tampang yang seram, berjenggot, berkumis dan beralis tebal, tulang pipi menonjol. Tetapi melihat penghuni-penghuni rumah tahanan atau penjara KPK sekarang, kita tidak bisa lagi menemukan wajah-wajah tipikal Lombrosso itu.

Pencuri-pencuri uang rakyat yang mencapai nilai ratusan miliar itu berwajah tampan, terpelajar, dengan jemari yang halus karena tidak pernah dipakai untuk bekerja keras, bahkan ada yang mantan Putri Indonesia. Karena itu, hari ini teori Lombrosso tersebut sudah tidak valid lagi. Namun, Dr Busyro justru menemukan hal yang baru dalam pengamatannya di KPK, yaitu tetap sumber kejahatan korupsi itu berawal dari keluarga dan bermuara di keluarga juga. Bukan dalam arti biologik atau genetik, melainkan dalam konteks budaya, sosial, dan psikologi.

Misalnya, seorang ayah melarang anaknya memberi tahu bahwa dia sedang ada di rumah, kepada pak RW yang datang untuk menagih iuran bulanan kebersihan kampung. Ayah sudah mengajarkan kebohongan, dan sebuah kebohongan akan diteruskan dengan kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya yang bersangkutan bingung sendiri dengan kebohongan-kebohongan yang telah diciptakannya sendiri (apalagi pada suami-suami yang hobi selingkuh). Pada gilirannya, anak yang disuruh berbohong itu akan menjadi pembohong juga di masa depannya.

Jangan heran kalau kemudian kebohongan (lawan kata dari kejujuran), makin lama makin membudaya dan sistemik di Indonesia. Apalagi, budaya bohong itu sudah menular pula ke sekolah-sekolah. Pada tahun 2011, di SD Negeri 2, Gadel, Surabaya, siswa terpandai kelas VI, bernama Alif, dipaksa oleh kepala sekolah untuk memberi contekan jawaban soal-soal

Page 28: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

UN kepada teman-temannya sesekolah (disiapkan guru tertentu untuk bertugas sebagai kurir untuk mendistribusikan jawaban soal dari Alif ke peserta-peserta ujian yang lain).

Targetnya memang: seluruh siswa di SD itu harus lulus dengan nilai baik. Pokoknya PGPS (pandai goblok penilaian sama). Ketika Alif mengadu kepada ibunya dan ibu melapor kepada kepala sekolah, malah ibu itu diadili oleh Persatuan Orang Tua Murid dan Guru, dan akhirnya keluarga Alif diusir dari kampung itu, karena dianggap telah memalukan warga.

Tidak heran kalau korupsi di Indonesia sekarang menjadi sistemik, dan salah satu cara untuk mengatasinya bisa dimulai dari pendidikan kejujuran di lingkungan keluarga. Korupsi harus ditangkal dari hulunya (keluarga), tidak cukup hanya dikenai sanksi di hilirnya (KPK).

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 29: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Kita Tidak Sedang Berperang

Bahkan dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan pihak “sana”. Barang siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang kalah.

Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri, sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.

Di sini ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”.

Dia bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.” Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Persaingan itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang, kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis, kita boleh curang?

Dalam persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak, yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.

Selama kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak dibenarkan etika,

Page 30: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua tampak jejaknya.

Budi baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup.

***

Selama masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang cara-cara para calon pemimpin itu tampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan harapan yang didambakan.

Tapi, ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan perang.

Ini bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra” persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak “mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita menang secara bersih, dan terhormat?

 Lalu kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin, kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa.

Dengan apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?

Page 31: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Para penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak kita tawarkan kepada dunia?

Di zaman serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita. Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan pada dunia?

Bagaimana meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.

Tapi, menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang.

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

Page 32: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Politik 2014

Koran SINDO

Selasa,  17 Juni 2014

PEMILIHAN umum (pemilu) merupakan hajat besar sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Ini merupakan momen penting di mana bangsa Indonesia paling tidak untuk lima tahun ke depan akan ditentukan.

Untuk itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan begitu suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan nasib masyarakat untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan semua berpartisipasi proses berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses oleh siapa pun, dari golongan apa pun itu, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti penyandang disabilitas.

Usaha memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam pemilu- pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014 menjadi isu yang cukup diperhatikan.

Banyak lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang ramah kursi roda, lembar suara berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi populasi penyandang disabilitas di Indonesia cukuplah tinggi, yakni sekitar 35 juta lebih (WHO 2011).

Suara Penyandang Disabilitas

Alasan melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The Asia Foundation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak paham akan pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.

Meskipun begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam pemilu bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa kuatkah isu disabilitas akan disuarakan

Page 33: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

oleh para calon wakil rakyat maupun pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu disabilitas dalam pemilu terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu disabilitas dan seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan pemerintah di negeri ini.

Hal demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar fasilitas yang mudah diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Foundation menyebut masyarakat enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan mereka agar lebih tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan. Bisa disimpulkan bahwa stigma masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang percaya akan kemampuan penyandang disabilitas.

Stigma buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai pemimpin mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang tidak akan memilih difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan dengan usaha mewujudkan implementasi penegakan hak-hak penyandang disabilitas.

Hal yang demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi ketidakbisaan penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi ”kebenaran” bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga penyandang disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini dapat dilihat pada hasil survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak akan memilih pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3% menolak menjawab.

Di sisi lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas kepemimpinan, penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi merupakan jalan yang terbaik sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak pada data yang dikeluarkan oleh The Asia Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, 22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu.

Perihal pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat penting, dan 41,10% penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78% tidak tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam Pemilu 2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi.

Lantas apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82% menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88% dikarenakan mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan demikian, harapan penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah tinggi bagi perubahan nasib mereka. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang

Page 34: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

dihasilkan oleh pemilu kali ini.

Sejumlah 32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65% sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa terwakili, 2,94% tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada prinsipnya harapan tinggi yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai pesta yang menghasilkan orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka.

Isu Disabilitas

Pemilu merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan atas kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme penyandang disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua platform partai politik. Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan disabilitas sebagai program utama dalam kampanye.

Lagipula, absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas sebagai anggota legislatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan, semakin meneguhkan bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua pasang calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak dalam visi-dan misi mereka yang diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas dalam pemilu kali semakin meneguhkan kondisi penyandang disabilitas yang selama ini terus termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat.

Mereka harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang tidak terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan, akses pekerjaan, dan yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Jika mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari kelompok penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam berbagai program mereka yang terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu 2014, lantas bagaimana suara disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah fungsi demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat?

Page 35: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

SLAMET THOHARI Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of Hawaii at Manoa

Page 36: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Politik Perempuan Menyambut Pilpres

Koran SINDO

Selasa,  17 Juni 2014

PADA 9 April 2014 bangsa Indonesia telah menggelar perhelatan demokrasi, yaitu pemilu legislatif. Sebagai pemilu keempat di era Reformasi, Pemilu 2014 merupakan perhelatan demokrasi yang penting bagi proses konsolidasi demokrasi kita yang sampai saat ini masih terus berlangsung.

Salah satu isu penting dalam konsolidasi demokrasi itu adalah peningkatan partisipasi dan penguatan representasi perempuan dalam kancah politik, khususnya di parlemen. Di era Reformasi ini representasi perempuan di parlemen memang mengalami fluktuasi dan pasang surut. Pada periode 1999-2004, anggota DPR perempuan sebanyak 44 orang atau 8,80%. Representasi perempuan meningkat pada pemilu kedua di masa reformasi.

Pada periode 2004-2009, wakil rakyat perempuan meningkat menjadi 62 orang (11%), meski dengan persentase lebih kecil ketimbang periode 1992-1997, yaitu 12,15% dengan 60 wakil perempuan. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan kenaikan perempuan terpilih secara signifikan menjadi 101 orang perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014.

Tidak hanya di level DPR RI, hasil Pemilu 2009 juga membawa peningkatan jumlah perempuan terpilih di legislatif tingkat DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Kenaikan itu adalah: 18% di DPR, 16% kursi perempuan di seluruh DPRD provinsi, dan 12 % perempuan di seluruh DPRD kabupaten/kota. Sayang, Pemilu 2014 yang diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan representasi perempuan tidak tercapai.

Pada pemilu keempat di era ini representasi perempuan di parlemen justru turun. Jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 hanya 17,32%, yaitu 97 kursi dari 560 anggota DPR. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih jauh dari angka kritis (critical number) sebesar 30% dari jumlah anggota parlemen.

Penurunan Representasi Politik Perempuan

Penurunan ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor kultural. Faktor ini berupa paradigma patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Dunia politik masih dianggap sebagai dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang bahwa perempuan tidak pantas masuk kancah politik.

Situasi ini berdampak pada dua hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius

Page 37: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

masuk politik, dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih caleg perempuan.

Kedua, secara struktural, affirmative action yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan perempuan ternyata belum efektif. Langkah afirmasi yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu itu salah satunya berupa kewajiban bagi partai politik untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari total jumlah caleg di setiap daerah pemilihan.

Bahkan, KPU berwenang mencoret dari kepesertaan pemilu di dapil yang bersangkutan bagi partai politik yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30%. Namun, langkah itu ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan karena terbentur sistem pemilu yang sedemikian liberal. Pemilu dengan sistem terbuka dan suara terbanyak ternyata telah melahirkan kompetisi yang liberal dan menyuburkan politik uang.

Dalam situasi demikian, caleg yang tidak memiliki ”modal” banyak akan tersingkir dari pertarungan. Tradisi politik ini telah mendorong pemilih untuk menentukan pilihan tidak lagi secara rasional, melainkan memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis. Dalam konteks inilah caleg perempuan kerap menjadi korban dari kompetisi yang pragmatis tersebut.

Berbagai faktor penyebab penurunan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen itu perlu mendapatkan perhatian untuk dicegah dan diubah. Kabar kurang baik ini tentu menyadarkan kita bahwa kemajuan proses demokratisasi di Indonesia belum paralel dengan kemajuan politik kaum perempuan. Kondisi itu menunjukkan bahwa perjuangan politik perempuan masih jauh dari garis finis.

Masih panjang perjuangan yang harus dilakukan. Di samping secara kuantitatif terus mengejar pemenuhan angka representasi minimal, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan peran para anggota parlemen perempuan dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan, menciptakan keadilan gender, dan pemenuhan hak-hak kaum perempuan di semua ranah kehidupan.

Dalam negara demokrasi, parlemen menjadi alat negara yang berfungsi merumuskan dan mengesahkan regulasi, salah satunya undang-undang. Untuk itu, para legislator perempuan mempunyai tugas besar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Lebih dari sekadar perjuangan hak-hak dan nasib perempuan, parlemen menjadi arena strategis bagi perempuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Tidak hanya memberi ruang bagi sumber daya besar perempuan untuk turut serta mengambil kebijakan negara, perempuan juga membuat keputusan berdasarkan ethics of care atau peduli pada kepentingan banyak orang.

Menyambut Pilpres 2014

Page 38: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Setelah pemilu legislatif digelar, bangsa Indonesia masih mempunyai agenda politik yang tak kalah penting, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden. Perhelatan pemilihan pemimpin nasional yang akan digelar pada 9 Juli 2014 tersebut merupakan momentum strategis untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.

Tidak hanya untuk lima tahun mendatang, sebagai arena untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, Pilpres 2014 menjadi pertaruhan demokrasi Indonesia karena hingga 16 tahun reformasi, konsolidasi demokrasi kita belum juga selesai. Lebih dari sekadar peralihan kepemimpinan nasional, pilpres kali ini juga merupakan momentum bagi regenerasi kepemimpinan nasional.

Pada tahun politik 2014 inilah tongkat kepemimpinan nasional akan beralih dari generasi tua kepada generasi muda. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya tokoh-tokoh politik baru yang tampil menjadi capres. Situasi ini merupakan kemajuan bagi demokrasi Indonesia. Dengan tampilnya generasi muda dalam kancah kepemimpinan nasional, kita berharap berbagai agenda reformasi yang belum tuntas akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat.

Mengingat begitu pentingnya proses politik itu, kaum perempuan tidak boleh tinggal diam. Setelah berhasil terlibat dalam mengusahakan peningkatan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif, lalu, kaum perempuan juga harus kembali turut ambil bagian secara aktif dalam momentum pilpres ini. Sebagai salah satu komponen terpenting bangsa, setidaknya ada tiga hal yang harus didorong dan diupayakan kaum perempuan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional itu.

Pertama, meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam Pilpres 2014. Menurut data BPS, perempuan merupakan separuh dari populasi penduduk, yaitu 49,83% dari total populasi penduduk Indonesia. Pada DPT Pemilu 2014 lalu jumlah pemilih perempuan adalah 93.151.087 orang, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 93.418.119.

Kenyataan ini harus dibaca dengan perspektif bahwa perempuan sesungguhnya sangat menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan legislator dan penentuan kepemimpinan nasional. Karena itu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan dalam Pilpres 2014.

Kedua, memilih capres dan cawapres yang properempuan. Memilih pemimpin yang berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu keniscayaan karena keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sangat tergantung oleh political will pemimpinnya. Komitmen ini dapat dibaca dari visi dan misi capres-cawapres, di samping komitmen memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Pilihlah calon pemimpin yang memberikan perhatian khusus kepada perempuan dengan berbagai program aksi untuk memberdayakan dan melindungi kaum perempuan, serta memosisikan perempuan sebagai subjek yang setara, berdaulat secara politik, merdeka, dan

Page 39: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

bermartabat. Di samping itu, representasi perempuan dalam pemerintahan juga perlu ditingkatkan untuk mendorong pengarusutamaan gender di tingkat eksekutif.

Selama ini jumlah menteri perempuan di kabinet maksimal hanya 5 orang, atau 1,7% dari 34 kursi menteri. Dibandingkan dengan representasi perempuan di ranah legislatif, angka itu sangat timpang.

Ketiga, memastikan keberpihakan pemerintahan yang baru terhadap kaum perempuan. Di samping berpartisipasi dalam demokrasi prosedural berupa pemilu, hal yang jauh lebih penting adalah memastikan berjalannya demokrasi substansial dengan mendorong pelaksanaan komitmen pengarusutamaan gender dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang berkeadilan dan berpihak pada kaum perempuan.

Untuk itu, kita harus terus mendorong, mengawal, dan mengadvokasi kebijakan pemerintah yang baru melalui perumusan berbagai kebijakan dan aksi konkret dalam upaya pengembangan, pemenuhan hak, dan perlindungan terhadap perempuan. Pilpres 2014 ini merupakan momentum penting bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya melalui perjuangan politik.

Keterlibatan politik perempuan memiliki makna penting untuk meningkatkan keberpihakan negara terhadap kaum perempuan dan meneruskan agenda pengarusutamaan gender di Indonesia. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang kini sedang berlangsung kaum perempuan tidak boleh absen, karena tidak ada demokrasi sejati tanpa keterlibatan perempuan.

DRA IDA FAUZIYAH, MSI Ketua Umum PP Fatayat NU dan Ketua Komisi VIII DPR RI

Page 40: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Idealitas Beasiswa Miskin

Belakangan ini ramai berita mengenai Raeni, wisudawati terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan IPK 3,96 yang datang ke tempat wisuda diantar naik becak oleh bapaknya yang bekerja sebagai pengayuh becak.

Simpati mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke luar negeri. Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan mampu menjangkau untuk seluruh jenjang pendidikan.

Jika pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan dari segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk anak-anak keluarga miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga miskin setelah diterima di PT dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima tunjangan hidup dan bebas uang kuliah. Program afirmasi pendidikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berjalan.

Setidaknya, upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak tamat SMU dan SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi memang sebuah harapan namun cukup kompleks. Mengingat, beban biaya hidup dan biaya pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mudah.

Selain dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri khususnya juga diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan SLTA, di Papua misalnya, dapat melanjutkan pendidikan pada universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini, diperkirakan angka partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%. Capaian ini masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya sudah melebihi 65%.

 Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentunya merupakan sebuah keyakinan yang tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang pendidikan tinggi, akan memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai melalui masa pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga miskin.

Dalam kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle program (LCP) dalam menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan

Page 41: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

bahwa menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi penduduk yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini kemudian dihitung bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke dalam kategori termiskin.

Misalnya, akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang pendidikan, tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan tinggi, penyediaan keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat kelompok usia tua. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu hasil yang menarik adalah hanya sekitar 2% anak-anak keluarga miskin (pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Rendahnya akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah lebih dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat hasil perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk kelompok miskin, ternyata jumlah beasiswa melebihi jumlah anak yang berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi.

Lantas, beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa? Ada kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak membantu keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok keluarga pada decile terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke kelompok pengeluaran antara 20–40%.

Mempertajam Arah Sasaran

Program proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin dapat sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang difabel, anak yang bersal dari keluarga yang secara geografis sulit dijangkau, serta anak dari keluarga yang memiliki masalah sosial ekonomi, agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang pendidikan yang prospek untuk masa depan mereka.

Pertama jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi akan memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja.

Kedua,anak-anak dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang pendidikan tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh pasar kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan tetap tidak memudahkan mereka masuk ke pasar kerja.

Michael P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka memasuki

Page 42: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan, ketika pendidikan yang diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak banyak diperlukan di pasar kerja.

Oleh karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada pendidikan tinggi bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang.

ELFINDRI

Profesor Ekonomi SDM & Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang

Page 43: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Piala Dunia: Antara Ritual Konsumsi dan Politik

Piala Dunia 2014 sudah dimulai di Brasil. Perhatian masyarakat di seluruh dunia tertuju ke ajang empat tahunan tersebut. Piala Dunia adalah ajang olah raga dunia yang paling banyak ditonton.

Bagi penggila bola dunia, perhelatan ini selalu ditunggu-tunggu karena bersamaan dengan liburan musim panas. Pesta olahraga paling populer di muka bumi ini selalu menarik disimak, seolah menjadi pesta sepak bola empat tahunan yang sayang ditinggalkan begitu saja.

Sepak bola, sebagaimana sudah menjadi fenomena kesejagadan, tak hanya menyuguhkan atraksi dan penampilan pemain-pemainnya yang ciamik di lapangan. Ia tak sekadar menampilkan strategi permainan ala cattenacio ataupun total football-nya Belanda. Ia pun tak hanya menyodorkan berbagai selebrasi setelah gol diciptakan. Tetapi, sepak bola sudah melampaui hal-hal yang bersifat makro. Ia sudah menjadi multifenomena, dari ekonomi, kultural hingga politik.

Pada aras ini sepak bola betul-betul sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya akselerasi global dari berbagai ranah. Lapangan hijau dengan 22 pemain dan puluhan ribu penonton hanyalah bagian kasatmata yang kita saksikan. Lebih dari itu, sepak bola menghadirkan pengaruh yang sangat luar biasa di tingkat global.

Industri Global

Faktanya, saat ini sepak bola sudah menjadi industri global yang sarat dengan perputaran kapital. Sepak bola sudah menghasilkan ribuan pemain yang memiliki kontrak triliunan rupiah. Piala Dunia juga telah menghasilkan keuntungan bagi tuan rumah dan perusahaan- perusahaan global yang berkompetisi menjadi sponsor resminya.

Perusahaan-perusahaan yang logonya mejeng di seluruh stadion berlangsungnya Piala Dunia adalah salah satunya. Bagi perusahaan multinasional ajang ini merupakan ladang uang yang semakin mengukuhkan posisi bisnisnya. Tak kalah pentingnya adalah citra perusahaan dalam industri global. Salah satunya yang sangat kompetitif adalah persaingan berbagai produk jersey ternama.

Beberapa produk jersey yang merupakan perusahaan global itu adu seru menguasai dunia sepak bola global, terutama Piala Dunia. Produk-produk jersey tersebut selalu ditunggu-tunggu oleh jutaan penonton yang menyaksikan bagaimana kesebelasan favoritnya berlaga di ajang tersebut. Kontrak ini saja sudah memiliki harga yang sangat besar. Belum lagi harga hak siar dari seluruh pertandingan Piala Dunia ini yang disiarkan oleh seluruh negara di

Page 44: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

dunia.

Belum lagi penjualan tiket, merchandise, hingga acara nonton bareng yang digelar di setiap negara. Bagi pemain, inilah saatnya mereka menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka berhasil memikat pemantau dari berbagai klub raksasa, yakinlah kontrak mereka bakal meningkat selepas Piala Dunia. Mereka siap digadang-gadang dengan kontrak termahal di liga dunia.

Arena Konsumsi

Tak kalah pentingnya adalah, Piala Dunia menjadi arena konsumsi bagi jutaan manusia di muka bumi ini. Siaran televisi menjadi media strategis untuk menanamkan nilai-nilai baru yang disajikan dalam ajang tersebut. Sejarah mencatat, misalnya, ajang banyak pemain dunia yang menjadi trend setter gaya rambut, maupun fashion.

Di sinilah Piala Dunia menjadi arena berkembangnya tren dari mulai gaya rambut, kostum kesebelasan hingga aksesori lain yang kerap dipakai pemain-pemain. Setiap menjelang perhelatan Piala Dunia, bisnis kostum timnas peserta Piala Dunia selalu laris manis. Mulai dari yang harga pasar pinggiran hingga produk asli. Orang dewasa hingga anak-anak tak kalah memiliki kostum dari negara favoritnya.

Belum lagi berbagai pernak-pernik mulai dari cangkir, boneka, jam dinding, gantungan kunci laris diproduksi secara massal. Lagu resmi Piala Dunia juga banyak dicari oleh penonton di seluruh dunia. Meminjam istilah sosiolog Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi memiliki kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal ajang Piala Dunia.

Dalam pandangan Castell, penduduk di muka bumi ini adalah kumpulan konsumen. Begitulah Piala Dunia sudah menjadi ritual empat tahunan dan apa yang dijelaskan di atas menggambarkan bahwa kita sedang berada di era Post Footbalism.

Relaksasi Politik

Perhelatan Piala Dunia 2014 dalam konteks Indonesia menjadi istimewa karena terkait dengan dua momen penting yaitu pilpres dan Ramadan. Di tengah kontestasi politik yang semakin memanas setiap harinya dengan berbagai suguhan kampanye hitam kepada para kandidat capres-cawapres, Piala Dunia bisa menjadi alat pemersatu sekaligus meredakan berbagai ketegangan politik di kalangan pendukung, tim sukses hingga para kandidatnya.

Ibaratnya, Piala Dunia menjadi ruang relaksasi politik sesaat dengan menyaksikan laga-laga terbaik yang dipentaskan oleh tim-tim unggulan. Masyarakat bisa saja beda pilihan politik, tetapi dengan bola yang ditontonnya bisa mempersatukan sekaligus merekatkan tensi-tensi politik yang sudah provokatif dan di luar ambang batas rasional. Piala Dunia menjadi jembatan memecahkan stres politik yang sudah semakin tak sehat.

Page 45: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Politik selalu melahirkan atraksi-atraksi yang provokatif tanpa basis rasional. Politik sering dilakukan tanpa kendali moral. Semua atas nama kepentingan abadi. Tak ada rumus membangun budaya politik dengan suguhan seni politik yang ciamik. Nah, atraksi-atraksi para pemain terbaik di lapangan apalagi dengan gol-gol yang cantik mampu mengobati kegundahan politik yang sedang melanda panggung politik Indonesia.

Sepak bola melahirkan budaya dan nilai-nilai seni yang menjadi kekuatan emosi serta psikologis masyarakat. Kebersamaan dan guyub justru didapatkan dengan berbagai kesempatan nonton bareng untuk mendukung tim favoritnya. Mereka bisa teriak kencang sepuas-puasnya tanpa perlu mengumpat teman yang membela lawannya.

Mereka bisa berjingkrak-jingkrak merayakan selebrasi gol tim favoritnya tanpa melakukan serangan-serangan politik yang menjatuhkan lawannya. Inilah kekuatan dan ideologi sepak bola yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Tanpa pretensi politik, tanpa kepentingan religius. Sepak bola adalah ruang publik yang mencairkan kebuntuan-kebuntuan pemikiran sekaligus menata kembali nilai-nilai seni yang hilang dalam panggung politik Indonesia.

Karenanya, para tim sukses dan kandidat belajarlah dari para pemain sepak bola. Belajar membangun serangan kepada tim lawannya secara elegan, ciamik dan kekompakan dengan berbagai strategi yang dimilikinya. Apapun strateginya. Entah cattenacio, atau total football. Belajarlah bermain secara fair tanpa melakukan serangan fisik kepada lawan. Belajarlah sportif yang disuguhkan para pemain di lapangan.

Jika sepak bola yang sudah menjadi “agama dunia” bisa digemari jutaan umat manusia, maka kita sebenarnya tak lagi mendengar maraknya kampanye hitam yang murahan. Kita tak lagi menyaksikan sentimen SARA yang terus dihembuskan kepada kandidat tertentu.

Dengan sepak bolalah cermin peradaban bisa dilihat. Dan, politik Indonesia harusnya belajar betul kepada ajang Piala Dunia 2014. Selamat menikmati Piala Dunia 2014!

RAKHMAT HIDAYAT

Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Page 46: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Ayo Memilih Presiden

Dibandingkan pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan calon presiden (pilpres) jauh lebih simpel karena yang dipilih hanya dua pasangan: nomor 1 atau nomor 2.

Terlepas dari diskusi dan perdebatan terhadap kualitas capres-cawapres, semuanya adalah putra-putra bangsa yang sudah berkorban moril-materiil dan memiliki tekad untuk memimpin pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan. Tekad dan pengorbanan itu mesti kita hargai. Belum tentu para pengamat dan komentator politik yang meramaikan wacana publik memiliki nyali dan modal untuk maju ikut bertanding.

Meski pilpres belum terlaksana, sesungguhnya secara moril kedua pasangan sudah menjadi pemenang. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dengan gigih memperjuangkan hak-haknya untuk tampil menjadi pemimpin bangsa dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa. Betapa besar tanggung jawab yang mesti dipikul andai mereka nantinya terpilih. Karena itu, dari segi niat dan tekad, empat orang itu sudah menjadi pemenang.

Bayangkan saja, apa yang akan terjadi dengan sistem pemerintahan kita kalau tak ada yang mau maju bertanding memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden? Tidak mungkin jarum sejarah diputar kembali ke zaman primitif. Pemilu ini sangat strategis maknanya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebuah tahapan dan proses pendewasaan berdemokrasi sehingga diharapkan ke depan nanti kita beranjak dari demokrasi prosedural naik menjadi demokrasi yang lebih substansial dan fungsional.

Di antara cirinya adalah masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang terbaik, karena jika salah memilih, yang akan celaka dan dirugikan adalah bangsa dan rakyat sendiri. Diperkirakan, rakyat kita yang sadar dan melek demokrasi tak mencapai angka 20%. Artinya, menjadi wajar kalau seseorang ketika memilih calon bupati, gubernur, wakil rakyat atau capres nanti tanpa disertai pengetahuan dan pertimbangan rasional.

Bisa jadi karena semata hubungan kekerabatan, merasa satu kelompok keagamaan, kesamaan etnis, atau karena menerima uang ”serangan fajar” di hari pencoblosan. Semua itu merupakan realitas bangsa dan masyarakat kita yang mesti kita terima meski harus ada upaya pendidikan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Dalam hal ini parpol mesti tampil ke depan sebagai pelopor pendidikan politik bagi warga negara dan menganjurkan serta mengajak agar pilpres ini berjalan fair dan damai.

Kalau para pendukung di bawah ada yang fanatik dan brutal, itu pun bisa dimaklumi. Bukankah para suporter Persib dan Persija juga fanatik dan kadang brutal? Padahal mereka tidak mendapatkan upah dan janji apa-apa. Hanya saja, agenda pilpres sangat berbeda nilai

Page 47: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

dan implikasi strategisnya bagi bangsa dan pemerintahan ke depan. Jangan sampai dicederai dengan konflik berdarah-darah karena akan fatal akibatnya, antara lain rakyat akan semakin tidak percaya pada demokrasi dan parpol.

Akan menyulitkan pemerintah untuk melakukan estafet panggung politik nasional dengan elegan dan indah. Dunia luar pun akan memandang bangsa ini masih barbar. Pendeknya, jika rakyat dan dunia tidak percaya kepada Pemerintah Indonesia, agenda pembangunan ekonomi dan aspek lain akan terhambat. Pasti inflasi dan pengangguran akan tinggi. Konsumsi tidak bisa distop, sementara pertumbuhan ekonomi mandek. Sejauh ini suasana menjelang pilpres masih terkendali.

Rakyat juga tidak senang dengan berbagai kampanye hitam yang membuat gerah dan lelah. Sesungguhnya antarparpol yang bersaing tak lagi memiliki perbedaan ideologi tajam yang akan membangkitkan militansi tinggi antarpendukungnya. Namun ketika emosi dan simbol agama dibawa-bawa dan dilibatkan, biasanya orang mudah terpancing. Karena itu, sebaiknya kita berkompetisi secara rasional saja. Lebih menekankan keunggulan visi, misi, program, dan bayang-bayang kabinetnya.

Kalau isu agama dibawa-bawa, kebetulan semua yang bertanding adalah sosok muslim. Tak lagi relevan menilai keimanan seseorang. Kalaupun toh suatu saat ada calon yang bukan muslim, itu pun dilindungi oleh undang-undang dan hukum tidak membedakan etnik serta agama bagi siapa pun yang akan maju menjadi pemimpin di negara Pancasila yang majemuk ini. Bangsa dan negara mana pun di dunia berkembang mengarah pada masyarakat yang plural, baik etnik maupun agama.

Jika di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim bermunculan bangunan gereja dan wihara, di Barat yang mayoritas Kristen bermunculan bangunan masjid. Ini juga menunjukkan tumbuhnya komunitas muslim di Barat. Bahkan belum lama ini berkumandang azan di wilayah Vatikan, pusat agama Katolik. Di situ diadakan doa bersama lintas agama untuk perdamaian dunia.

Pemikiran yang tidak siap menerima dan menghargai perbedaan adalah sikap tiran dan fasis. Demokrasi adalah bagian integral dari budaya Nusantara untuk menerima perbedaan, sejalan dengan moto Bhinneka Tunggal Ika . Dengan ungkapan lain, lets celebrate the difference; accept the difference, respect the difference, share the difference.

Sadar akan pluralitas bangsa, mestinya kita menjadikan pemilu sebagai sebuah pesta dan ujian naik tingkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih matang dan dewasa. Pilihlah pasangan capres-cawapres sesuai dengan selera dan pilihan masing-masing. Kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Page 48: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Budaya dan Politik: Induksi-Deduksi

Koran SINDO

Jum'at,  20 Juni 2014

PENDEKATAN berdasarkan pengalaman merupakan pendekatan yang ingin menghayati kenyataan apa adanya serta mengecap, merasai dalam penghayatan penuh peristiwa-peristiwa yang dialami dan dijalani.

Istilah ilmiahnya adalah ”induksi”, artinya, ducare in: mengalami dari dalam, ”masuk menuntun diri ke ....”. misalnya, di belantara alam di Ubud tepatnya ”swarga loka resor”, bangunan rumah menyelaraskan diri dengan irama alam, mengikuti tumbuhan dan pepohonan secara sadar dan membiarkan tumbuh alami hingga tidak satu pohon pun bila tak perlu ditebang karena rumah-rumah alami Bali menyelaraskannya dengan alam.

Menarik mengamati peristiwa sehari-hari yang terbentang dari tempat baca serambi pondok melihat tupai-tupai berlompatan lincah, setiap kali merambati sulur-sulur ranting panjang. Tupai-tupai itu melenting salto ke ranting pohon berikutnya dengan loncatan silat alami sebelum ujung cabang yang terbebani tubuhnya meliuk ke bawah, tupai itu sudah meloncat hinggap di sulur berikut tempat ia menemukan makanan alami atau lebih tepat sarapan pagi di pukul delapan pagi itu dengan senam loncat-meloncat saling menyapa sesama tupai diiringi cericit kutilang sahut menyahut dan burung tuktuk yang memagut tuk tuk tuk batang pohon dengan paruhnya hingga musik patuk mematuk itu ”induktif” dipakai orang untuk menamainya sebagai burung tuk-tuk.

Sekejap Anda akan kritis bertanya, mengapa kata yang sama yaitu tuk-tuk dipakai orang-orang Kamboja dan Thailand untuk menamai kendaraan angkot semi bajaj? Jawabannya ada pada penjelasan Ferdinand de Saussure, bahwa makna bahasa tergantung pada komunitas pemakai bahasanya. Jadi secara induktif disepakati nama burung tuk-tuk karena pemberi maknanya orang-orang alam flora tropis yang bersepakat bersama.

Sedangkan di tempat lain tergantung konsensus pemakai bahasa yang oleh De Saussure diteorikan dalam proses memaknai (baca: the signifying process) ada penanda atau pelaku pemberi makna (baca: the signifier) dan yang ditandai (baca: the signified).

Inilah salah satu contoh pendekatan induktif yang mengambil dari pengalaman banyak beragam lalu membahasakannya. Sementara itu, pendekatan yang mengabstraksi dari pengalaman-pengalaman dan penghayatan beragam-ragam itu disebut ”deduksi”.

Contoh langsungnya, ketika Bung Karno bertemu beragam orang-orang Nusantara, ada orang

Page 49: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Jawa, Minang, Flores, Batak, Sunda, Makasar, Bugis, Papua, maka dengan pengalaman bertemu pula orang-orang beragam religi di sini: ada Islam, ada orang Hindu, Buddha, orang Kristen, ada yang berkepercayaan keyakinan religi bumi, maka saat Bung Karno menggali dasar bernegara yang menampung dan menjadi rumah besar Indonesia, dia mengabstraksikannya secara ”deduktif” (baca: de-ducare = harfiah berarti menuntun rangkum dalam abstraksi) menjadi kemanusiaan.

Lalu cita-cita bernilai yang harus diperjuangkan terus menerus agar tidak saling menindas, maka harus mengajar keadaban dan perlakuan adil satu sama lain. Jadilah deduksi kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila antar sesama yang unik berbeda saling berperang dan rebutan kuasa maka keadaan kembali ke naluri purba kebiadabanlah yang terjadi.

Induksi dan deduksi ini harus terus menerus diuji ke dinamika hidup yang terus bergerak. Sekali rumusan deduktif tertulis, maka ia harus dibawa ke induksi lagi dan setelah itu diabstraksi lagi menjadi deduksi, begitulah dinamika metode logika serap dan hayati pengalaman as such as it is lalu diidealisasi dengan perjuangan cita-cita yang mau dijadikan pandu ibu pertiwi.

Menarik mencatat dalam sejarah kejelian genius pendiri bangsa kita Bung Karno tatkala pada periode pembuangan di Ende, Flores 1934-1938, ketika induktif dari penghayatan sehari-hari bertemu religusitas orang-orang lokal religi bumi, bergaul dengan muslim-muslim toleran berbudaya serta dialog hidup dengan misionaris pendidik- pendidik Kristiani yang muda-muda, yang memberi ruang pustaka di Ende kala Bung Karno diasingkan dan psikologis merasa menjadi nobody.

Di sanalah induksi dan deduksi terwujud dahsyat dalam galian rangkum bakal sila pertama Pancasila. Bung Karno menulisnya setelah mengalami secara induktif dan mendeduksikan abstraknya dengan kalimat: Ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti.

Inilah rumusan kultural sila pertama yang sampai beberapa tahun yang lalu masih diusahakan dipraktekkan dengan mata ajaran budi pekerti, justru karena beda-beda religi Nusantara paling bisa dijembatani dengan toleransi antar religi dan interreligi kalau oasenya adalah budi pekerti religius.

Namun ketika perintah sejarah politis dalam wujud bendawi budaya atau tangible berdebat keras mengenai pentingnya menegaskan tauhid atau keesaan Allah secara politis, lalu digantilah rumusan bakal sila pertama itu menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah contoh nyata bahwa kita harus menjadi sadar dan tercerahkan apa konsekuensi rumusan politik sebagai wilayah hukum formal yang mereduksi rumusan kultural intangible atau ranah nilai dan ruh budaya.

Itulah sebabnya, jalan politis memecah atau devide kita dalam kubu di sini kawan dan di sana lawan. Menyadari butir renung ini semestinya membuat kita hati-hati terhadap kepentingan-kepentingan politis (baca: political interest) apabila tanpa budaya (baca: value atau nilai

Page 50: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

mengenai yang baik, yang bermoral). Pendiri bangsa rekan dwitunggal Bung Karno, yaitu Bung Hatta, menjadi contoh menarik sekali dalam posisi sejarahnya untuk bangsa ini.

Bung Hatta yang cendekiawan sekaligus merakyat tahu persis bahwa teori-teori ekonomi yang mendasarkan diri pada kapital besar dengan akibat kekayaan bumi dan mineral Nusantara ini bila tidak diatur dalam konstitusi dengan pasal-pasal hukum positif untuk sebesar-besar kemakmuran bagi masyarakat, pasti akan menghasilkan jurang kaya dan miskin serta negara oligopoli dan oligarki.

Karena itu, Pasal 33 Konstitusi UUD 1945 dirumuskan tajam setelah induksi kenyataan masyarakat yang miskin selama penjajahan dan yang tertindas karena tak punya modal atau tanah.

Maka deduksi hukum dirumuskan dengan fokus memakmurkan rakyat yang selama ini menyembah-nyembah, menunduk-nunduk seraya bermental perilaku ya tuanku alias daulat tuanku. Maka usaha bersama dalam koperasi sebagai deduksi demokrasi ekonomi yang saling membantu dalam usaha bersama untuk saling menyejahterakan menjadi panduannya.

Begitu pula dengan mengalami, merangkum penghayatan bersama rakyat kecil yang tulus memilih pemimpin-pemimpinnya dalam model desa, rumah gadang serta komunitas- komunitas tradisional secara mufakat melalui metode induksi lalu dirangkum abstraksikanlah secara deduktif rumusan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

***

Diktum rumus di atas sebelumnya secara kultural mengedepankan cara musyawarah sebagai inti (esensi) demokrasi desa (menurut Hatta). Maka dari itu, ketika kita semena-mena selalu secara pragmatis main solusi pemungutan pemenangan voting suara terbanyak, di sana rumusan Hatta ”kita ciderai” karena voting tega mengeliminasi yang kecil, yang minoritas demi mayoritas.

Namun yang paling dahsyat untuk tulisan induksi dan deduksi sebagai metode berpikir, merangkum dan merumuskan sebenarnya sudah dihayati oleh para bijak nenek moyang, leluhur ahli kehidupan yang menghayati dengan merenungi berjam-jam, berhari-hari bahkan berabad-abad lalu menuliskan kalimat bermakna, kalimat bijaksana: sepandai-pandai tupai melompat, .... Sekali gawal (gagal) juga. Mengapa? Pertama, para bijak dan tadi di depan tulisan saya catat induksi saya, para tupai ikut amat terampil dan ahli melompat.

Berarti esensi ontologis (bahasa sulit yang sederhananya mau mengatakan ciri laku tupai adalah kehebatannya meloncat dari ranting sulur pohon satu ke yang lain), namun sekali gagal loncat juga. Kedua, pepatah nasihat hidup bijak ini, sudah diuji dengan verifikasi berabad-abad secara induksi lalu diabstraksi deduksi dalam satu kalimat padat berisi yang sampai hari ini makna hikmahnya abadi.

Page 51: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Ketiga, dalam pepatah sepandai- pandai tupai melompat, sekali gagal juga (dan konsekuensinya tupai itu jatuh ke bawah) ingin dimuatkan nasihat agar kita jangan sombong, membesarkan diri pongah dengan mengecilkan sesama. Sebab jika ada yang terus berjaya seahli dan sepintar siapa pun, tidak ada yang tidak pernah gagal.

Yang penting adalah rendah hati mengolah kegagalan untuk bangkit lagi. Dalam aura hikmah bijak hidup ini, rakyat banyak amat cerdas menangkap yang pada dia dan mereka yang sederhana, tulus sebagai yang bisa diharapkan menjadi pandu bangsa.

Fenomena kecerdasan rakyat banyak ini baru saja dibuktikan dalam pemilu pileg (legislatif) kemarin dulu. Meski bombardir televisi, tayangan-tayangan hebat, baliho menyeruak menyesaki mata pandang, mata budi kita semua seolah tidak ada celah untuk mata nurani, tetapi yang dipilih rakyat banyak bukan citra-citra yang digeber media televisi, visual, kampanye hitam yang dimiliki mereka-mereka yang punya semuanya yaitu media visual, dana, kekayaan secara riuh-pikuk seakan membuat secara visual dan maya mereka gegap gempita menang!

Tetapi pilihan nurani rakyat banyak bukan mereka, tetapi yang bersahaja, yang tulus mau memperjuangkan kesejahteraan mereka. Bacaan cerdas rakyat banyak moga terwujud di 9 Juli 2014 ini pula, karena di sana termuat religusitas Tuhan tidak akan tidur, Gusti mboten sare karena doa-doa rintik dan alunan sembahyang mereka-mereka yang menjadi korban-korban kejahatan kemanusiaan serta politik bumi hangus dan hancurkan semua agar si pemenang seakan tampil mengaku diri penyelamat.

MUDJI SUTRISNO SJ Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan

Page 52: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Perjuangan Petani Rembang

Ketegangan di pegunungan Kendeng di wilayah Pati tempat kediaman sedulur sikep dan di wilayah perbatasan Rembang-Blora seperti bisul memecah. Petani-petani Blora sudah lama resah. Pembangunan pabrik semen yang direstui pemerintah setempat ditolak para petani yang bakal menjadi korban hidup-hidup yang tak dipikirkan pemerintahnya sendiri.

Kawasan pabrik sudah ditentukan secara sepihak oleh pabrik Semen Gresik yang sekarang menjadi Semen Indonesia. Wilayah tempat pabrik beroperasi hanya sekitar setengah kilometer dari desa hunian penduduk. Bunyi bising, polusi suara, tak bisa dibayangkan bagaimana dampaknya bagi ketenangan masyarakat. Polusi udara, debu-debu semen yang beterbangan, menyesakkan nafas penduduknya, tak diragukan bakal menjadi problem mengerikan. Dalam ketegangan terus-menerus pada tahun-tahun terakhir, teror dilakukan. Pihak pabrik dibantu atau minta bantuan– dengan membayar, tentu saja–aparat berwajib.

Kabarnya, ada pihak warga desa yang dipengaruhi dan disuruh meneror mayoritas warga desa lain yang menolak kehadiran semen. Pihak yang menjadi kaki tangan pabrik ini dengan sendirinya juga orang bayaran. Dia memang lahir di desa itu, besar dan hidup di desa itu. Tapi, menurut kabar yang disampaikan warga desa yang mengadu ke suatu pesantren di Rembang, orang itu gigih meneror tetangga-tetangganya sendiri. Bukan hanya itu. Orang-orang yang masih ada hubungan saudara dengannya, yang gigih menolak kehadiran pabrik yang bakal menghancurkan lingkungan mereka, juga diteror.

Kabarnya, dia selalu membawa golok panjang, sejenis pedang, dan ketika mendatangi sasarannya, termasuk keluarganya sendiri, senjata tajam itu diacung-acungkan untuk menakut-nakuti mereka. Tapi, warga desa yang sudah takut kepada pabrik semen tidak begitu takut pada peneror ini. Boleh jadi dia tak akan tega berbuat lebih jauh. Teror itu kekerasan. Tapi, dia tak bakal berani bertindak lebih keras dari kata-kata. Lain hal dengan pihak polisi yang tampak sigap, bersenjata, dan matanya tajam mengawasi setiap warga desa yang menolak kehadiran pabrik semen tadi.

Ada mahasiswa KKN pun kabarnya diselidiki dengan teliti, penuh kecurigaan. Orang desa setempat, orang baik-baik, warga negara yang melakukan kebaikan demi menjaga desa mereka sendiri, takut pada polisi itu karena dia aparat resmi. Bagaimana aparat resmi yang seharusnya melindungi warga masyarakat dari berbagai ancaman ternyata tak melakukan tugasnya. Sebaliknya, mengapa dia justru menjadi ancaman bagi masyarakat?

***

Page 53: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Duit memang berkuasa. Ketegangan demi ketegangan itu pecah dua minggu lalu. Jika bisul pecah merupakan tanda bakal datang kesembuhan, ketegangan dengan kekuatan-kekuatan luar yang memakai simbol-simbol resmi kenegaraan, apa akan jadinya? Kesembuhan akan datang, apa pemaksaan lebih lanjut, dengan kekerasan lebih kejam?

Saya hadir di Rembang, di sebuah pesantren tempat diskusi itu berlangsung. Warga masyarakat sudah diberi nasihat agar untuk sementara waktu mereka bersikap tenang. Menolak ya menolak. Itu kewajiban yang tak bisa ditunda. Menolak kehancuran diri sendiri dan lingkungan sekitarnya itu wujud kebajikan langit yang diminta diturunkan ke bumi buat menata kehidupan bumi yang makin ruwet dan makin kejam ini.

Penduduk desa itu telah melakukannya. Nasihat itu ditambah lagi: jangan ada tanda-tanda kekerasan dari para petani. Ke mana pun mereka muncul, di sawah, di ladang, apalagi di lokasi bakal pabrik itu didirikan, jangan membawa apa pun yang bisa diartikan bakal melakukan kekerasan. Kalau warga di ladang, usahakan hanya di ladang untuk salat bersama. Semua berbusana putih dan salat di sana sebagai cara kita bertahan agar tak dirusak oleh siapa pun. Langkah itu mulia. Kita hanya salat berjamaah. Kita hanya memohon perlindungan Allah karena polisi-polisi yang seharusnya melindungi sudah tak mungkin diharapkan.

Hanya tinggal kepada Allah satu-satunya penolong, pelindung, dan pemelihara yang bisa kita harapkan. Pendek kata, tanda-tanda kekerasan, jangan dilawan dengan kekerasan. Ini tak bakal menolong. Sebaliknya, kekerasan hanya akan memperparah kehidupan warga desa. Mereka pun setuju. Malam itu diskusi diakhiri dengan doa untuk kemudian diawali dengan tindakan nyata; hidup jauh dari simbol-simbol kekerasan.

***

Sekali lagi dua minggu lalu ketegangan itu pecah dalam bentuk kekerasan. Media nasional juga menyiarkan kekerasan itu.

Ibu-ibu–ya , ibu-ibu– tampak dipukuli aparat berwajib karena mereka juga turut demo, mempertahankan sekeping tanah tempat mereka menumpang hidup selama di dunia fana, yang bagi mereka, tak memberi kekayaan apa pun selain kekayaan rohani selama dizalimi pemerintahnya sendiri. Mereka petani miskin. Mereka perempuan-perempuan mulia. Apakah aparat yang kejam itu tak punya ibu? Kalau mereka punya dan ibu mereka juga sudah setua ibu-ibu yang mereka pukuli, apakah mereka tak merasa seperti memukuli ibu mereka sendiri? Jika di dalam hati kecil mereka ada terbetik perasaan seperti itu, mengapa mereka teruskan/mengapa seorang anak memukuli ibu mereka sendiri?

Betapa terkutuk mereka. Atau barangkali mereka sudah disergap mimpi-mimpi buruk sesudah kekejaman terhadap kaum ibu, yang sudah tua itu, sudah mereka lakukan. Mungkin mereka sudah dikutuk oleh perasaan mereka sendiri? Itu kalau mereka punya perasaan. Kalau tidak, siapa yang mengutuk mereka? Warga desa yang tak punya apa-apa selain jiwa yang

Page 54: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

tulus dan amal baik bagi kehidupan dunia mereka telah dihancurluluhkan oleh aparat keamanan yang membela pabrik semen yang tak bisa berbicara baik-baik dengan warga masyarakat setempat.

Para pimpinan pabrik itu orang sekolahan. Sebagian bisa berdoa. Sebagian salat. Sebagian mungkin orang NU. Tapi, bagaimana mencari untung bagi pabriknya sendiri, untung sendiri, mulia sendiri, kaya sendiri, tanpa berbagi dengan penduduk yang tanahnya dirusakbinasakan?

***

Saya tinggal di Jakarta. Tempat saya jauh dari lokasi. Ketika mendengar kekerasan itu berlangsung, saya tak bisa berbuat lain selain menulis esai perlawanan ini dan berdoa. Saya menemani penduduk perbatasan Rembang-Blora yang dianiaya. Saya berdoa untuk mereka.

Perlawanan ini untuk mendukung perlawanan mereka dan memperkukuh jiwa mereka bahwa mereka layak ditemani. Orang-orang tertindas di mana-mana butuh teman. Para penindas, penguasa pabrik Semen Indonesia, semoga masih bisa mendengar jeritan bangsanya sendiri. Lebih-lebih jeritan ibu-ibu. Apakah para pimpinan yang menyuruh dilakukannya kekerasan itu dulu tidak lahir dari seorang perempuan? Apakah mereka tidak punya ibu dan tak pernah punya ibu? Apakah mereka tak pernah merasakan kasih sayang dan kelembutan ibu mereka? Ibu-ibu yang dipukuli di ladang itu makhluk sejenis dengan ibu-ibu mereka sendiri.

Kalau aparat keamanan memukuli mereka, kita paham, mungkin orang tak terdidik dan dilatih kekerasan, tak bisa membayangkan bahwa yang mereka pukul itu ibu mereka sendiri. Tapi, kaum terpelajar, yang menjabat direktur, wakil direktur, bagian keuangan, direksi, atau para pejabat lainnya, membiarkan ibu-ibu dipukuli? Apakah jiwa mereka tumpul, setumpul jiwa aparat keamanan yang tak bisa membayangkan bahwa ibu-ibu itu orang tua mereka, ibu-ibu mereka sendiri?

Perjuangan petani Rembang menahan datangnya pabrik mahal sekali ongkosnya. Tapi, ”sedumuk bathuk, senyari bumi ” memang layak dibela. Apa pun dan berapa pun ongkosnya.

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

Page 55: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pemuda Dunia dalam Diplomasi Budaya Indonesia

Indonesia Channel (Inchan)– sebuah pertunjukan kolosal seni dan budaya Indonesia– diselenggarakan di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta Kamis minggu lalu. Gelaran tersebut kian memperkuat keyakinan setiap individu, di mana pun di dunia, bahwa soft power diplomacy adalah ”soko guru” diplomasi yang memiliki jangkauan luas, jangka panjang dan tanpa batas.

Diplomasi tidaklah semata milik dan dilakukan pemerintah. Individu dan berbagai elemen masyarakat, utamanya pemuda, bahkan menjadi aktor penting yang dalam banyak hal mencetak hasil justru lebih hebat dari apa yang dilakukan elite pemerintah. Sebab aktor nonpemerintah memiliki pengaruh kuat, penetrasi menyeluruh dan efisien serta berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Ini adalah fakta tak terbantahkan dan menjadi andalan utama diplomasi publik yang Indonesia dan banyak negara lain terus kembang-tingkatkan dalam dunia yang semakin global dan bergerak dinamis siang malam.

Inchan, yang disebut di awal tulisan, menjadi istimewa karena menampilkan 70 pemuda internasional terpilih dari 46 negara, peserta program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) yang ketika menginjakkan kaki di Indonesia memiliki pengetahuan sangat minim tentang negeri ini. Namun, mereka punya keinginan dan komitmen yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan untuk mendalami Indonesia. Dengan lancar dan membuat banyak orang terpukau, pemuda 20-30 tahun itu menyuguhkan gerak tari dan menggemakan nada-nada lagu tradisional Indonesia.

Padahal, mereka hanya punya waktu tiga bulan belajar di berbagai sanggar seni Indonesia. Sementara sekitar 2.000 penonton pertunjukan seni budaya Indonesia itu adalah masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan sudut jalan, termasuk orang-orang yang lahir dan besar di Indonesia yang sama sekali kaku menari, sumbang melagu dan timpang memainkan alat musik tradisional Indonesia. Inchan juga menjadi penting karena ajang pertunjukan seni budaya Indonesia itu sekaligus menandai penutupan BSBI, sebuah program tahunan pemerintah sejak dua belas tahun lalu. Dibuka di Jakarta dan ditutup di berbagai kota besar di daerah, yang tahun ini Yogyakarta dapat giliran.

Program ini telah melahirkan alumni 588 orang dari 56 negara. Pagelaran Inchan juga menjadi tonggak sejarah tahunan, karena dari sinilah dimulainya langkah baru perjalanan panjang promosi Indonesia di luar negeri dengan mengedepankan peran pemuda di negara-negara sahabat. BSBI melahirkan banyak sahabat Indonesia dan calon Indonesianist dengan energi baru dan wawasan Indonesia baru yang memang sangat kita perlukan di masa hadapan.

Page 56: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Setelah Inchan, peserta BSBI ”pulang kampung” ke negara masing-masing untuk kemudian berkiprah bersama, bagi dan untuk Indonesia serta negara mereka, bagi dan untuk dunia. Beberapa contoh terkini, setelah mengikuti program BSBI 2012, Renie Roos dari Belanda mendirikan Indonesia Netherlands Youth Society, bertujuan membangun pemahaman lebih baik dan mendorong komunikasi pemuda Belanda dan Pemuda Indonesia lebih dinamis. Sementara Brune Charvin dari Prancis, peserta BSBI 2013 membuat film dokumenter tentang Pakarena, tari tradisional Sulawesi Selatan untuk disiarkan di negaranya. Tahun ini sejumlah peserta BSBI menyatakan akan tinggal di Indonesia lebih lama untuk mendalami seni dan budaya Indonesia, karena waktu tiga bulan tak cukup.

Konektivitas

Dalam hubungan antarbangsa dan upaya bersama menuju dunia lebih ramah, damai dan bersahabat, pemuda menjalankan peran sentral dan strategis. Karena itu, pemuda perlu diberi bekal cukup dan ruang gerak lebih luas untuk mengenal dan mengembangkan diri, berkarya dan mengabdi serta aktif dalam setiap kegiatan yang mendorong peningkatan pemahaman mereka tentang pentingnya hubungan dan kerja sama internasional.

Dalam hubungan antarbangsa, pemuda adalah ”aset” dan ”aktor” kemajuan dunia beserta umatnya. Karena itu, konektivitas pemuda antar bangsa sangat penting, bahkan menentukan terutama dalam melanjutkan penataan baru, bahkan merajut kembali hubungan antar bangsa.

Masa depan dunia akan lebih banyak ditentukan pemuda sekarang yang kelak menjadi pemimpin dan pengendali kebijakan negara masing-masing. Ini yang kemudian menyentakkan Perdana Menteri Kanada, Brian Mulroney (1984-1993) yang secara khusus mendorong penyelenggaraan program pertukaran pemuda internasional melalui Canada World Youth (CWY) di bawah Canadian International Development Agency (CIDA). Kanada menyelenggarakan program pertukaran pemuda internasional dengan sekitar 50 negara termasuk Indonesia.

Dari program tersebut, telah lahir ratusan ribu sahabat muda Kanada di berbagai kawasan dunia yang terkoneksi dengan baik dengan Kanada. Indonesia memberikan perhatian besar terhadap pembangunan dan kemajuan pemuda dengan menyelenggarakan berbagai program dan pelatihan, selain pendidikan formal tentunya. Dalam membekali pemuda dengan wawasan dan pengetahuan internasional, banyak program berorientasi luar negeri diselenggarakan baik oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Luar Negeri maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Misalnya pertukaran pemuda Indonesia dengan Kanada, Australia, Tiongkok, Malaysia, Kapal ASEAN dan Jepang, pengiriman siswa dan mahasiswa berprestasi Indonesia ke luar negeri, dan Duta Belia. Sebagian besar alumni program tersebut kini tersebar luas di berbagai pelosok Tanah Air, di desa dan di kota, di gunung dan daerah pesisir. Mereka mengabdi menjadi pemimpin, penggerak, inisiator dan kontributor dalam denyut pembangunan kemajuan bangsa, baik pada tataran nasional maupun internasional.

Page 57: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Di sisi lain, Indonesia tak semata hanya fokus pada upaya meningkatkan peran dan kualitas sekitar 70 juta pemuda bangsa kita. Di seberang laut sana, di negara-negara sahabat kita, banyak sekali pemuda dan tokoh terkemuka yang berpotensi menjadi sahabat Indonesia. Mereka jadi sasaran lirikan dan perhatian kita. Berbagai program pemuda dan mahasiswa kita selenggarakan pula, antara lain program BSBI, Darmasiswa, pertukaran pemuda luar negeri dan Presidential Friends of Indonesia (PFoI) .

Duta Muda

Sekitar 80.000 pemuda Indonesia saat ini belajar di berbagai negara. Jumlah itu naik dari tahun ke tahun. Di Eropa saja, tahun 2013 meningkat 30% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan sama juga terjadi di Amerika Serikat, 30% juga, meski saat krisis ekonomi 1998 jumlahnya menurun tajam menjadi separo. Selain kuliah sebagai tugas utama di kampus yang tentunya harus diselesaikan tepat waktu, mahasiswa adalah juga soft power diplomacy Indonesia yang memperkenalkan sekaligus mempromosikan Indonesia di lingkungan masing-masing.

Sebagian mahasiswa telah melakukan peran tersebut amat baik, terutama di Eropa, Amerika Utara, dan beberapa negara Asia melalui pertunjukan seni budaya, ceramah, diskusi, dan pameran. Bahkan, 40 mahasiswa Harvard University, Massachusetts Institute of Technology, dan Tufts Fletcher School of Law and Diplomacy Amerika Serikat yang datang ke Jakarta dan menyelenggarakan Asia Leadership Trek III bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri tanggal 25 Juni 2014 minggu ini, merupakan salah satu bukti nyata mahasiswa Indonesia di luar negeri bekerja keras, berpromosi dan berdiplomasi setidaknya di kampus.

Sebab, sebagian mereka itu adalah mahasiswa Indonesia. Karena itu, kita menaruh harapan besar agar pemuda mahasiswa Indonesia di luar negeri lebih meningkatkan peranan dalam mempromosikan Indonesia. Andai saja 50% dari total mahasiswa Indonesia itu berperan mempromosikan Indonesia, berarti ada 40.000 orang duta muda kita yang menopang Perwakilan RI di luar negeri mempromosikan Indonesia. Ini perlu menjadi pemikiran serius agenda kita ke depan, agar kesadaran mahasiswa Indonesia di luar negeri lebih ditumbuhkembangkan bahwa mempromosikan Indonesia adalah bagian dari tugas dan misi bangsa yang harus mereka lakukan tanpa pamrih. Jumlah mereka luar biasa besar dibanding jumlah mahasiswa asing yang ada di Indonesia, yang juga merupakan sahabat bangsa yang diharapkan mempromosikan Indonesia di luar negeri.

AL BUSYRA BASNURPengamat Internasional

Menyelamatkan PSK, Menghukum Mucikari

Page 58: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Para pekerja seks komersial (PSK) Dolly mempertanyakan komitmen pemerintah untuk membina mereka sebelum menutup kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu. Pertanyaan yang masuk akal, karena berulang kali pemerintah daerah Surabaya memang menjanjikan akan memberikan pembekalan keterampilan agar para PSK tersebut dapat berganti profesi. 

Karena para PSK menganggap pemerintah tidak memenuhi janji, mereka dikabarkan menolak keras rencana penutupan Dolly. Terdapat beberapa catatan terkait situasi di Dolly dan reaksi para PSK di sana. Pertama, saya tidak yakin bahwa para PSK menentang agenda pemerintah Surabaya. Mayoritas –setidaknya demikian– PSK melawan rencana penutupan Dolly, lebih karena mereka diintimidasi oleh para mucikari. Dalam kondisi terjerat dalam perangkap, para PSK tidak memiliki pilihan kecuali mematuhi desakan mucikari-mucikari tersebut. 

Kedua, ketika kebanyakan kalangan menyoroti masalah Dolly dari perspektif moral dan ekonomi, sangat penting sesungguhnya untuk membingkai situasi Dolly juga sebagai situasi kejahatan. Dalam konteks sedemikian rupa, niscaya muncul kebutuhan akan kategorisasi: siapa pelaku dan siapa korban. Yang belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya, oleh karena itu perlu ditegaskan, adalah posisi sekian banyak negara yang kini menyetarakan prostitusi sebagai human trafficking. 

Dengan penyetaraan tersebut, para PSK dipandang sebagai korban, sementara para mucikari dianggap sebagai pelaku kejahatan yang telah mengeksploitasi orang lain sebagai mesin ekonomi mereka. Ketiga, paradigma bahwa prostitusi merupakan human trafficking menjadi acuan bagi –khususnya– penegak hukum untuk mengembangkan strategi penindakan baru. Strategi ini lebih bersifat represif, dengan asumsi bahwa pendekatan sosio-edukatif telah dijalankan terlebih dahulu. 

Strategi dimaksud adalah alih-alih melakukan penertiban secara nondiskriminatif, otoritas hukum perlu memprioritaskan upaya penyisiran (baca: penangkapan) terhadap para mucikari dan memproses mereka secara pidana. Apabila nantinya divonis bersalah, patut kiranya para mucikari tidak hanya dikenai sanksi pemidanaan berupa pemenjaraan. Mucikari-mucikari itu juga seharusnya dikenakan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada para PSK yang telah mereka eksploitasi. Pada sisi itu pula, saya kerap mengerutkan dahi saban kali menyimak protes para PSK Dolly. 

Mereka, para korban mucikari, berulangkali memprotes pemerintah yang dinilai kurang peduli. Tetapi ironisnya, tidak pernah terdengar PSK mendesak para mucikari untuk membekali mereka dengan keterampilan agar bisa keluar dari pekerjaan hina tersebut. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga terkait dapat berkampanye secara masif agar para PSK berani melarikan diri dari orangorang yang telah memperbudak mereka. Isi kampanye itu tidak sebatas program pemberdayaan, tetapi juga jaminan perlindungan dari teror para

Page 59: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

mucikari terhadap PSK dan keluarga mereka. 

Keempat, beberapa kalangan melihat bahwa tidak sedikit PSK yang menunjukkan keberpihakan pada para mucikari mereka. Perempuan-perempuan malang itu justru melihat mucikari sebagai sosok yang memelihara dan melindungi. Seolah, tanpa mucikari, PSK yakin hidup mereka bakal sengsara. Kompleksitas psikologis tersebut sesungguhnya merefleksikan Stockholm Syndrome, yakni jatuh simpatinya para korban terhadap pihak yang sebenarnya telah memviktimisasi mereka.

Keberpihakan terhadap mucikari merupakan efek interaksi intens antara PSK dengan majikan mereka yang sesungguhnya berlangsung secara manipulatif. Mucikari hadir dengan berpura-pura sebagai sosok yang peduli. Mereka, misalnya, menyantuni kehidupan PSK maupun keluarganya, kendati uang santunan itu pada kenyataannya berasal dari PSK sendiri. Pendekatan lainnya, keluarga PSK diperkenankan tinggal di kawasan prostitusi, sebagai cara mucikari untuk membatasi ruang gerak PSK. Padahal, akal sehat mengatakan apabila mucikari benar-benar orang yang peduli maka mereka niscaya tidak akan mempekerjakan ataupun membiarkan para PSK berkecimpung di lembah nista itu untuk waktu yang tak pernah dipastikan kapan akan berakhir. 

Apalagi jika dilihat fakta bahwa perputaran uang dari bisnis maksiat di Dolly mencapai angka sangat fantastis, yakni satu hingga dua miliar per malam. Optimistis, jumlah tersebut bisa digunakan untuk mengentaskan prostitusi di sana. Tetapi pertanyaan sederhana yang niscaya dijawab dengan gelengan kepala: apakah PSK, selaku pekerja, menerima porsi terbesar dari omzet bisnis human trafficking tersebut? Adalah mucikari, bukan pihak lain, yang justru paling menikmati uang hasil jerih payah para PSK. 

Atas dasar itu, pemisahan antara PSK dan mucikari–seperti tercantum pada poin ketiga di atas–juga dijadikan sebagai sesi-sesi pendidikan guna meluruskan kembali persepsi para PSK akan relasi manipulatif yang telah menjerat mereka. Upaya untuk maksud tersebut bisa jadi tidak sederhana, karena distorsi psikologis kemungkinan juga dialami sanak saudara PSK sendiri. Tak pelak, re-edukasi perlu diperluas sasarannya, yakni para PSK dan orang-orang terdekat yang selama ini juga telah menggantungkan kehidupan mereka pada PSK tersebut. 

Kelima, upaya pemulangan para PSK ke kampung halaman mereka masing-masing dipastikan tidak akan efektif apabila tempat asal tersebut tidak menjanjikan sumber pendapatan yang baik. Penutupan Dolly, dengan demikian, sesungguhnya juga merupakan momentum yang tepat bagi program revitalisasi desa. Pemerintah mendatang mesti selekasnya merealisasikan program pembangunan pedesaan dengan menggiatkan potensi-potensi perekonomian setempat.

Keenam, riuh rendah penutupan Dolly terkesan kuat abai terhadap anak-anak para PSK di sana. Ini tidak boleh dipandang sepele! Secara normatif, sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, semua pihak berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya kepentingan terbaik anak. Anak juga merupakan

Page 60: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

kelompok individu yang sangat rentan tercederai akibat pekerjaan yang telah “dipilih” oleh ibu mereka. Anak-anak PSK terpapar langsung pada sikap ambigu terhadap nilai budi pekerti, yang tragisnya justru diperagakan oleh figur sentral yaitu orang tua mereka sendiri. 

Dan sangat beralasan untuk was-was bahwa itu semua merupakan basis yang sama sekali tidak ideal bagi perkembangan moral anak pada fase-fase hidup mereka berikutnya. Jadi jelas, penutupan Dolly maupun kompleks-kompleks prostitusi lainnya sepatutnya didesain secara terintegrasi dengan agenda perlindungan anak. Baik anak para PSK maupun anak-anak yang berada di sekitar Dolly. Namun disayangkan, instansi yang berkepentingan langsung dengan agenda tersebut–utamanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia–belum terlihat mengambil langkah nyata dan memadai guna menyelamatkan sesegera mungkin anak-anak PSK Dolly. Ayo, selamatkan para PSK dan borgol tangan para mucikari!

REZA INDRAGIRI AMRIELPakar Psikologi Forensik, Anggota World Society of Victimology 

Merindukan Pemimpin Kuat, Tegas, dan Berani

Page 61: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Bangsa ini tengah merayakan pesta demokrasi. Sebagai sebuah proses, puncaknya ada pada bilik suara, penghitungan, dan penetapan siapa yang menjadi pemenangnya.

Menjadi pemenang pemilu bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah awal untuk menepati janji. Karena itu, siapa pun pemenang tidak harus jumawa dan yang kalah jangan harus menerima dengan lapang dada. Ingatlah, semua suara itu amanah besar titipan rakyat dan harus dikembalikan kepada pemiliknya berupa program yang bermanfaat, adil, dan menyejahterakan.

Indonesia milik bersama karenanya rakyat jelata pun harus merasakan dirinya bagian penting dari negara. Faktor utama keberhasilan pembangunan yang dilakukan organisasi pemerintahan ada pada pemimpinnya. Teladan, transformator, dan mendorong segala daya upaya untuk mencapai tujuan bersama yang tercermin dalam visi-misinya. 

Bagi kalangan pengusaha, presiden-wakil presiden yang kuat, tegas, dan berani sangat dirindukan. Tanpa ketegasan dari pucuk pimpinan, akan sulit bagi pelaku ekonomi untuk mengejar target pertumbuhan, berkompetisi dengan negara tetangga, dan bernegosiasi di kancah internasional. Mari kita baca dan telaah platform ekonomi kedua pasangan capres-cawapres. Agar tahu akan dibawa ke mana arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan. Agar bisa kita menilai mana pemimpin yang punya orientasi, visi, kapasitas, serta track record komitmen yang jelas. Pada platform pasangan kandidat Prabowo-Hatta, tampak memberi rincian yang lebih detail tentang orientasi, visi, kapasitas, dan track record komitmen tersebut. 

Kedaulatan dan Kemandirian 

Komitmen saja tidaklah cukup. Indonesia butuh pemimpin yang kuat secara personal, politik, dan kebijakan untuk merealisasikan komitmen tersebut. Kuat untuk bekerja keras demi rakyatnya. Sanggup mendengarkan kritik dengan baik, mau mendengar apa yang diinginkan pemilik mandat. Kuat karena kecerdasannya, dengan cepat dan tepat mengambil keputusan yang terbaik.

Pemerintahan kuat memiliki beberapa prasyarat. Pertama, mendapat dukungan penuh dari rakyat. Dukungan itu diperlihatkan dengan angka keterpilihannya yang cukup tinggi. Kedua, setiap kebijakan harus mendapatkan dukungan dari DPR. Ini mungkin apabila partai pendukungnya memiliki jumlah kursi yang lebih banyak dari calon lainnya. Ketiga, pemerintahannya bersih dari korupsi, sehingga tidak ada beban ”kepentingan” ketika melakukan kebijakan. 

Mandat rakyat akan dengan mudah dilaksanakan, tepat sasaran dan dirasakan bermanfaat oleh masyarakat. Bagi pengusaha, pemerintahan kuat itu sangat penting karena menyangkut kepastian kebijakan, hukum yang dapat ditegakkan dan stabilitas politik. Pergolakan politik di Thailand misalnya menjadikan banyak sekali investor hengkang. Di Indonesia

Page 62: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

pembangunan infrastruktur banyak terkendala oleh sulitnya pengadaan lahan karena permainan spekulan yang membuat negara dan aparat hukumnya pun dapat dikalahkan. 

Hal ini merupakan salah satu contoh kasus dari sekian banyak pekerjaan rumah pemerintahan baru untuk segera diselesaikan. Pemerintahan yang kuat akan menjadikan pembangunan ekonomi prioritasnya ditujukan untuk kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi, serta percepatan pembangunan infrastruktur. Sebuah visi masa depan ekonomi global, di mana kebutuhan terhadap pangan dan energi menjadi hal utama, bahkan diprediksi bakal menjadi sumber utama sengketa dan peperangan antar negara. Kedaulatan politik di mata negara-negara dunia hanya mungkin apabila kedaulatan dan kemandirian ekonomi terbangun. 

Selain harus kuat, bangsa ini juga membutuhkan pemimpin yang tegas. Tegas sebagai sikap personal dan terimplementasi dalam kebijakan. Tegas berdasarkan aturan hukum dan nilai kebangsaan, di mana setiap kebijakan selalu berlandaskan nasionalisme, kepentingan bangsa dan kedaulatan. Idealnya presiden periode 2014-2019 tidak hanya mampu melakukan diplomasi, namun disegani oleh pemimpin bangsa lain sehingga tak ada lagi gangguan terhadap perbatasan. Tidak harus ada lagi anak bangsa yang menjadi TKI di negara lain menjadi korban kesewenang-wenangan.

Bukan hanya kuat dan tegas, Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang berani. Sikap berani tumbuh dari kesanggupan, kemampuan, dan keteguhan untuk memegang nilai dasar kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945. Seorang presiden-wakil presiden yang berani akan mendorong jajaran di bawahnya bertindak berani melawan penyimpangan yang terjadi di lingkungan organisasi birokrasinya. Reformasi birokrasi bukan hanya program yang besar dana remunerasi namun miskin implementasi, namun menjadi gelombang besar melanda seluruh aparatur negara karena presidennya yang menginspirasi. Pemimpin juga harus berani membela kebenaran dan sanggup untuk tidak populer. 

Subsidi BBM yang tak kunjung dicabut dan dialihkan ke program yang merakyat agar tepat sasaran adalah salah satu ujian pembuktian ketegasan dan keberanian presiden Indonesia mendatang. Begitulah kekuatan pemimpin bangsa yang menginspirasi. Tidak semua hal menjadi tanggungjawab mereka, namun kekuatan, ketegasan dan keberanian harus ditonjolkan, agar semua anak bangsa menjadi bangga sebagai manusia Indonesia. Aparatur birokrasinya bangga memberikan pelayanan terbaik kepada semua warga negara. Aparat hukumnya bekerja keras menegakkan aturan seadil-adilnya. 

Guru, dosen dan seluruh tenaga pendidik dengan riang hati mengajar seluruh generasi muda agar menjadi manusia Indonesia yang berkualitas global berkepribadian Indonesia. Militernya dengan gagah berani siap menjaga perbatasan dan kedaulatan. Pengusahanya mendapatkan kepastian hukum dan terayomi untuk terus berbisnis, menggerakkan roda ekonomi demi percepatan ekonomi nasional. Tokoh agama menjadi figur terdepan menjaga harmonisasi lintas keyakinan. Ibarat rantai, semuanya terkait, bahu membahu membangun Indonesia dalam ikatan kebinekaan. 

Page 63: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pada upaya pembangunan jangka panjang, presiden-wakil presiden terpilih harus menjamin dilakukannya reformasi pendidikan dan melahirkan wirausaha muda yang tangguh dan nasionalis sebagai pilar utama percepatan pembangunan. Merekalah yang harus didorong agar naik kelas, berkembang dari yang semula usaha kecil, kemudian masuk level usaha menengah dan membesar. Akhirnya, di atas segala bentuk ikhtiar terbaik, terpanjat doa semua anak bangsa, semoga Tuhan memberikan pemerintahan yang melindungi rakyat, bebas korupsi dan efektif dalam melayani. Kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan bukan lagi mimpi, namun segera terealisasi. Amin. ● 

SANDIAGA S UNO Pengusaha Nasional

TV Tanpa Penghinaan

Page 64: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pertelevisian negeri ini sebenarnya sedang disita perhatiannya pada berita dan cerita, terutama opini, pilpres yang kadang berkesan mengkhawatirkan. Namun, kasus acara Yuuk Keep Smile (YKS) dari Trans TV sempat membetot perhatian–atau kecemasan. 

Acara jenis variety yang disiarkan week-day, Senin-Jumat mulai sore hingga tengah malam, tanggal 20 Juni kemarin membuat sebagian masyarakat marah dan tersinggung. Tokoh komedian Betawi, seniman besar Benyamin Sueb, diasosiasikan dengan, maaf, anjing. Pertelevisian negeri ini perlu semprit agar tidak mengulang penghinaan dan atau penipuan. 

Yuk Kita Stop 

YKS, sebagai acara rutin sebenarnya bukan sekali ini kena protes. Saya termasuk yang berkeberatan ketika menampilkan joget/tari malam hari untuk anak-anak, yang disiarkan secara live. Namun, apa artinya protes pribadi, ketika institusi resmi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), atau juga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), tidak juga menggubris, atau tidak juga digubris. Dan kini, agak telak dan susah mengelak.

Dalam acara itu, pelawak bernama Cesar dihipnosis oleh Ferdian agar tidak takut pada anjing. Dalam bayangan Cesar, anjing dihidupkan sebagai Benyamin Sueb, yang bisa lucu ketika dipanggil dengan nama orang. Ini yang menuai protes keras. Tanpa menengok Undang-undang Penyiaran Pasal 36, ayat 6, tahun 2002, tentang larangan memperolok manusia. Dan, manusia di sini adalah tokoh besar Benyamin Sueb– yang oleh stasiun TV lain baru dirayakan kebesarannya, keberhasilannya, dan kaitannya dengan Betawi yang berulang tahun. Sedemikian geram para pendemo sehingga mengganti singkatan YKS menjadi Yuk Kita Stop, dan berniat melanjutkan gugatan secara perdata dan pidana. Meskipun masyarakat juga pesimistis. Akhirnya akan mengacu pada pola lama, nama YKS diubah menjadi (Bukan) YKS, atau malah (Tetap) YKS. 

Namun kali ini berbeda, KPI benar-benar memprotes, dan pihak Trans TV, benar-benar menghentikan tayangan selanjutnya. Artinya YKS menjadi masa lalu, dan masih menjadi bahan pembelajaran. Dan barangkali ini langkah yang baik, terutama karena urusannya menjadi panjang kalau dikaitkan terus dengan Benyamin Sueb. Artinya selama masih ada acara itu, selama ini kegusaran masih akan ada. Dan memasuki bulan puasa, sungguh tak elok masih membawa-bawa salah komunikasi begini. Dengan penghentian tayang, satu masalah telah selesai. 

Masalah lain yang mencemaskan– untuk tidak memakai istilah ”memprihatinkan” yang bernada politis karena sering diartikan tak ada tindak lanjut– karena sebenarnya ada persoalan lebih mendasar. Yaitu mengenai acara itu sendiri, dan atau bagaimana menyikapi saat siaran langsung, tentang jenis acara penghipnosisan, dan terutama jenis acara/program lain yang bisa menipu kalau tak diberi penjelasan seperlunya. 

Kontrol Siaran 

Page 65: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

YKS disiarkan secara live, kadang bisa mencapai empat jam atau lebih. Siaran live, dalam dunia televisi lebih dari sekadar bukan hasil rekaman, bukan film, tapi terutama adalah as it is happening. Disiarkan sebagai mana kejadian saat itu. Dengan kata lain, kontrol sepenuhnya atas program broadcast. Sehingga, kalau di awal asosiasi manusia dengan anjing dirasa akan menciderai perasaan, bisa langsung cut, bisa dihentikan. Bisa diganti hal atau orang lain atau tema lain. Kalau kontrol ini berlangsung, rasanya tayangan tidak menjadi fatal, sekitar 10 menit mengudara dan bisa disebut ”menghina”. Kalau kontrol ini terjadi, biasanya begitu cepat kita tahu reaksinya, akan lain ceritanya. Tapi justru di sini masalah utamanya. 

Stasiun siar menjadi bebal, menjadi arogan, menjadi penguasa tunggal dan tidak peduli hal-hal yang dianggap memperkecil kemungkinan mendapatkan nilai rating atau sharing. Padahal, justru kritik-kritik kecil yang ditanggapi bisa menjadikan awas, menjadikan peka. Saya ingin mengulang kritik saya dengan membawa anak-anak kecil bersiaran menjelang tengah malam. Ini bisa dihindarkan, bisa dicarikan waktu lain. Hal yang sama akan membuat waspada juga apakah itu usia anak-anak sekolah, dan lain sebagainya. Hal yang sama ketika menampilkan acara penghipnosisan. Seberapa benar-tidaknya seorang Cesar bisa tersugesti sehingga mampu melihat wajah anjing yang ditakuti menjadi wajah seseorang yang lucu? 

Saya tidak mengatakan sang hipnoterapis melakukan ”kerja sama” dengan pasien, melainkan apa yang terjadi pada Cesar belum tentu berlaku pada orang lain dalam kadar yang sama. Hal yang juga berlaku, dan sudah ditayangkan ketika Kiwil terhipnosis dan melihat semua perempuan berwajah sama dengan istrinya. Atau, Raffi Ahmad melihat balon seperti melihat Nagita, yang akan dinikahi. Sekurangnya ada penjelasan yang disampaikan bahwa hipnotis tidak berlaku mutlak pada semua orang di semua situasi. 

Karena ini akan bertabrakan dengan akal sehat, yang pada gilirannya bisa menyesatkan pemikiran. Stasiun siar TV berkewajiban dan bertanggung jawab atas apa yang diprogramkan, disiarkan dengan memberikan penjelasan baik lewat penjelasan atau teks. Bukan malah melakukan penipuan bahwa semua benar adanya, as it is happening. Pada gilirannya, dalam tema yang lebih besar, stasiun siar termasuk bertanggung jawab atas acara-acara, program, tentang penyembuhan alternatif, pengobatan ”aneh bin ajaib”, atau yang dianggap bisa menyesatkan. Penjelasan menjadi sangat perlu dan harus, agar kita lebih sadar untuk tidak menghina dan atau merendahkan sesama manusia, apalagi melakukan penipuan secara sadar. Pertelevisian kita bisa lebih baik, lebih menarik dan sekaligus lebih mendidik. ●

ARSWENDO ATMOWILOTOBudayawan

Marhaban Ya Ramadhan

Page 66: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Hari ini kita mulai berpuasa lagi. Spanduk-spanduk bertuliskan “Marhaban ya Ramadhan”, selamat datang Ramadan, bermunculan di mana-mana, yang menunjukkan betapa sukacitanya masyarakat menyambut bulan suci yang hadir setiap tahun sekali ini (sayang sekali, saking sukacitanya, banyak yang lupa untuk menurunkan kembali spanduk-spanduk itu setelah Lebaran, sehingga mengotori pemandangan kota). 

Sukacita ini bukan hanya merupakan reaksi spontan umat Islam ketika Ramadan tiba, melainkan memang ada hadisnya, ”Man fariha bidukhuli ramadhana harramahu Allahu jasadahu minan-nairan.” Artinya, “Siapa saja yang menyambut Ramadan dengan penuh sukacita, maka Allah haramkan jasadnya disentuh api neraka.” Apalagi ada hadis yang lebih terkenal, yang menyebutkan bahwa “Pada bulan Ramadan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu”. Waduh, bukan main. Betapa sukacitanya umat dengan adanya maklumat dari Rasullulah yang seperti itu.

*** 

Setahu saya hampir semua muslim (khususnya di Indonesia), mulai mengenal bulan Ramadan di masa kanak-kanak sebagai hal yang menyenangkan. Ramadan berarti buka puasa dengan makanan yang enak-enak, tarawih berarti main sama teman-teman di sekitar masjid dan di masjid juga biasanya disiapkan takjil (penganan buka puasa), habis sahur jalan-jalan atau main sepeda sampai pagi, dan nanti menjelang buka puasa ngabuburit, jalan-jalan lagi, main atau sekadar nongkrong sama teman-teman atau keluarga menunggu saat berbuka. 

Nanti menjelang Lebaran, ada baju baru, mudik, ketemu keluarga, makan-makan lagi, atau main ke tempat-tempat wisata. Anak mana yang tak senang dengan atraksi-atraksi seperti itu? Apalagi kalau bulan puasa pas bersamaan dengan liburan sekolah (seperti sekarang ini). Waduh.... senangnya bagaikan di surga (surganya anak-anak). Kelak kalau dewasa Ramadan tetap juga menyenangkan. Acara berbuka puasa dengan keluarga inti dan keluarga besar, dilanjutkan dengan salat tarawih bersama, terus lihat cucu-cucu main kembang api, berkejaran, ada yang jatuh, menangis, tetapi sebentar sudah tertawa-tawa lagi. 

Sangat menyenangkan. Giliran malam hari tidur lebih nyenyak sampai bangun sahur, tetapi ada yang menyempatkan tadarus dan salat malam, sebelum makan sahur. Pokoknya jalan lempeng ke arah pintu surga yang sudah dibuka lebar-lebar oleh Allah.

Tetapi hadis yang menyuruh kita senang berpuasa, dalam praktiknya dipelintir menjadi berpuasa untuk bersenang-senang. Main sepeda selepas sahur, zaman sekarang diganti menjadi main sepeda motor, ngebut, ngetrek, sama saja dengan kelakuan para geng motor. 

Kurang lebih 90% acara TV menjelang sahur adalah acara hiburan, lawak, loncat-loncat, teriak-teriak, baku pukul menggunakan styrofoam, termasuk para artis ceweknya yang tubuhnya berbalut jilbab (di luar Ramadan biasanya berbusana serbaterbuka mengikuti tren good governance yang juga serbaterbuka), dan tidak pernah dilupakan aneka undian

Page 67: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

berhadiah uang jutaan rupiah, dari sponsor, yang sebetulnya (menurut pendapat saya) adalah judi terselubung.

Begitu juga hadis tentang neraka yang dikunci dan setan-setan yang dibelenggu, ditafsirkan kita boleh berbuat apa saja, suka-suka kita. Bukankah setan sedang tidak absen, karena masih dibelenggu? Karena itu kita tidak akan kemasukan setan dan berdosa, apalagi dalam bulan Ramadan dosa-dosa kita diampuni semua. Nanti pada saat Idul Fitri kita sudah bersih lagi, kembali ke fitrah, layaknya bayi yang baru lahir, tanpa dosa. Padahal, yang dimaksud dengan hadis itu adalah kita sendirilah yang harus menghindari neraka, membelenggu setan-setan yang selalu mengajak kita ke neraka dan sebaliknya memperbanyak ibadah agar bisa menuju pintu surga. 

Ibaratnya, liburan sekolah. Pihak kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah ditutup, tidak ada pelajaran selama liburan. Itu berarti kita sendirilah yang tidak usah ke sekolah, sementara kalau kita mau ke sekolah tetap saja bisa. Misalnya untuk main sepak bola di lapangan sekolah atau untuk belajar bersama teman-teman menghadapi ujian nasional. Jadi bukan Allah sendiri yang membelenggu korps setan itu. Buktinya, selama Ramadan kejahatan malah meningkat (pencurian rumah-rumah yang ditinggal mudik penghuninya, termasuk juga korupsi dan maksiat jalan terus). 

Di Suriah dan Iraq orang terus saja berperang dan saling membunuh, walaupun di tengah- tengah bulan suci Ramadan. Bahkan mereka meneriakkan “Allahu Akbar!” sambil terus memuntahkan peluru dari senapan-senapan untuk membunuhi orang-orang. Memang ada juga yang secara konkret mencoba menutup pintu-pintu neraka, misalnya pemerintah daerah menutup semua tempat hiburan (panti pijat, spa, karaoke dll) selama Ramadan. Atau orang-orang yang selama Ramadan berhenti selingkuh dulu. Tetapi usai Ramadan semuanya, ya tempat hiburannya, ya selingkuhnya, mulai lagi dan baru berhenti lagi jika tiba Ramadan lagi tahun depan. 

Ini kan kadarkum, namanya. Kadang sadar (waktu Ramadan), kadang kumat (kumat lagi setelah Ramadan lewat).

***

Jadi, senanglah kamu menghadapi Ramadan. Bersukacitalah, karena Allah sudah menyiapkan jalan ke surga bagi yang bersukacita menghadapi Ramadan. Tetapi jangan hanya bersenang-senang semasa Ramadan, apalagi kalau itu maksiat. Perbuatlah hal-hal yang bermanfaat saja, dan hindarkan yang mudarat. Itulah makna puasa yang sebenarnya. Karena kita tidak mengamalkannya, maka setelah puasa kita balik lagi seperti sebelum puasa, bergelimang dosa lagi. Itulah sebabnya makin banyak orang korupsi walaupun si koruptor itu puasa juga, dan itulah sebabnya korupsi tidak kunjung hilang, walaupun kita selalu berpuasa sepanjang sejarah NKRI. Marhaban Ya Ramadhan.  

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

Page 68: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Menelusuri Jejak Iman Kita

Page 69: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

”Di manakah jejak iman kita?” ”Apakah iman memang punya jejak?” ”Punya. Dia punya jejak, dan tanda-tanda, yang dapat dibaca” ”Apakah iman memang bergerak, dan meninggalkan tanda, hingga kita tahu ke mana arah geraknya?” 

”Ya. Iman itu tumbuh, makin dewasa, makin matang, dan dia pun bergerak, sehingga jejak- jejak yang ditinggalkannya dapat kita temukan.” ”Nanti dulu. Iman siapa yang seperti itu ciri-cirinya? Komunitas orang-orang beriman yang bagaimana yang punya jejak, punya tanda dan bekas-bekas keimanan seperti itu?” ”Semua jenis komunitas orang-orang beriman seharusnya memiliki ciri-ciri identitas yang sama.” 

”Tapi kenyataannya tidak sama. Dan kita tak mungkin membuatnya sama” ”Ya. Mungkin begitu. Dan jika memang benar begitu, saya tak mengerti lagi harus bicara apa. Iman yang sama, wujud ibadah yang sama, dipersembahkan pada Tuhan yang sama, mengapa berbeda-beda jejak dan wujud eksistensialnya?” ”Kau benar, dan berhak merasa heran, kalau ukuran yang kau pakai hanya semua yang standar, pakem, dan normatif: iman melahirkan salat, iman diwujudkan dalam puasa, iman membawa kewajiban-kewajiban hukum yang tak bisa diabaikan. Kalau ini ukurannya, jejak iman niscaya sama di mana-mana.”

”Memangnya ada iman jenis apa lagi?” ”Kalau yang kau tanya itu, jawabnya jelas: iman ya iman. Di mana-mana tak kita temukan bedanya. Tapi buah iman ada banyak macamnya.” ”Banyak tapi sama. Apa yang datang dari ajaran yang sama, muncul praktek yang sama pula.” ”Ya. Itu kalau dilihat semata dari dimensi normatifnya agama.” ”Memangnya apalagi selain itu?” ”Mereka yang memperkaya pengamalan agama, dengan berbagai jenis ibadah, yang menunjung tinggi pula kewajiban etis, jelas membuat jejak-jejak iman yang berbeda. Mereka orang-orang yang tulus.”

”Ya. Tapi iman itu sama bukan?” ”Ya. Sama. Terutama bagi mereka yang memandang agama sebagai aturan hukum-hukum, yang normatif, dan tak bisa dielakkan. Semua orang beriman menaati aturan ini.” ”Itu sudah kita pahami bersama.” ”Tapi ada hamba-hamba yang baik hati, yang saleh, dan tulus dalam kesalehannya, telah membuat agama tampak menjadi lebih semarak, lebih manusiawi. Amalan lahir bukan semata karena panggilan hukum, melainkan juga karena panggilan etis, tambahan amal mulia, yang disukai Allah. 

Orang-orang ini jelas meninggalkan jejak iman yang lain, yang tak sama dengan apa yang bisa disebut ”mainstream” keagamaan” Keduanya kemudian diam. Dan kita merasa diantar oleh keduanya, ke dalam suatu corak kesadaran keagamaan yang lain, yang ukuran-ukurannya kualitatif, yang menekankan makna ketulusan dalam iman. Bila kita terbiasa menemukan jejak-jejak iman kita sendiri, yang tampil lebih pada dimensi yang tulus ini, kita tahu bahwa kita telah membiasakan berlatih dengan baik untuk bisa menjadi hamba yang tulus. 

Latihan ketulusan, yang kita tempuh, di atas landasan yang jelas, membuat kita siap menjalankan perintah puasa, yang ukuran-ukurannya begitu personal, dan menaruh ”trust”

Page 70: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

yang besar pada ketulusan kita. Mereka yang tak tulus bisa saja pada siang hari, ketika orang lain tak ada, makan kenyang, minum sepuas-puasnya, dan meneruskan puasanya, seperti orang-orang lain yang jujur pada diri mereka sendiri. Yang tak tulus, yang pura-pura berpuasa, bisa tak ketahuan siapa pun. 

Tak berpuasa tapi pura-pura berpuasa, semata karena malu jika kelihatan tak berpuasa, boleh saja kalau kita bisa menjalaninya. Tapi kepura-puraan seperti ini tak akan membuatnya mencapai sesuatu, atau menjadi sesuatu. Kepura-puraan ini sama dengan apa yang palsu, dan culas di dalam dunia politik. Orang politik terbiasa bersiasat, menipu seperti tak menipu, bohong seperti tidak bohong, dan kemudian, lebih serius lagi, memfitnah seperti tidak memfitnah. Tapi intinya mereka menipu, mereka bohong, dan mereka memfitnah. 

Puasa menekankan kejujuran dan sikap tulus. Dan kita, yang sudah berpuluh-puluh bulan Ramadhan berpuasa, apa yang kita praktekkan bila kita masih juga terpeleset dari apa yang bersifat etis, yang menjunjung kejujuran dalam hidup? Watak oportunis, dan bersikap serakah tanpa tahu malu, kelihatannya tak diperhatikan orang. Tapi kita tahu, di banyak kalangan watak itu dicaci maki, disesali dan dikutuk habis-habisan. Orang lain, yang kritis dan bawel itu, bisa saja kita tipu, dan kita kecoh. 

Tapi dapatkah kita mengecoh diri kita sendiri? Mungkin, diam-diam, kita selalu– tiap saat–menelusuri kembali jejak iman kita, dan untuk tahu, kita ini jenis apa, memiliki jejak iman seperti apa, ataukah kita tak punya jejak sama sekali. Ajaran puasa, yang menekankan pada kebebasan itu, dapatkah kita laksanakan secara bebas, dengan kebebasan orang dewasa, dan bertanggung jawab? Puasa, yang memberi kita trust, untuk bersikap tulus, sudahkah kita sambut dengan ketulusan? Atau di sini kita bersiasat, bohong dan pura-pura, seperti orang-orang di dunia politik? Sering kita merasa seperti sudah berjalan jauh, tetapi kita tidak menjadi semakin dekat dengan apa yang kita cari dalam perjalanan ini. 

Bahkan tak jarang, sesudah makin jauh kita melangkah, baru kita sadar, bahwa mungkin kita tersesat. Ini perjalanan tanpa peta, tanpa petunjuk arah, tanpa tanda kapan harus membelok, kapan berhenti, dan di tikungan mana belokan pertama dan terakhir. Berpuasa, begitu rumit, begitu dalam lekuk-lekuknya yang gelap. Tuhan, aku tak tahu, apa arti puasa dan ketulusanku. ● 

MOHAMAD SOBARY Budayawan

Pemimpin Baru di Bulan Ramadan

Page 71: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Republik Indonesia kembali hamil tua. Dari rahimnya segera lahir pemimpin baru dalam hitungan hari. Tidaklah mengada-ada untuk mengatakan bahwa kehadiran pemimpin baru Indonesia itu sebagai berkah dan rida Allah SWT, karena dia sudah bisa menampakkan diri di bulan suci Ramadan 1435 Hijriah ini. 

Rakyat akan menentukan pilihan pada 9 Juli 2014, atau hari kesepuluh ibadah puasa Ramadan tahun ini. Berkat mekanisme hitung cepat (quick count), petang hari itu juga, atau paling lambat 10 Juli 2014 esok harinya, pemimpin terpilih sudah bisa diketahui. Perkiraan ini tentu saja tidak bermaksud mendahului. Namun, mengacu pada pengalaman pilpres terdahulu, pemenang Pilpres 2014 mestinya sudah bisa ditetapkan petang hari itu juga, saat puluhan juta keluarga Indonesia sedang menyiapkan hidangan buka puasa pada 9 Juli 2014 itu. 

Berkah Yang Mahakuasa memang berlimpah untuk bangsa ini. Ketika kampanye pilpres kian memanas dan mulai membuat gelisah banyak orang, bulan puasa datang menghampiri negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini. Sisi lain dari bulan Ramadan adalah perintah kepada setiap muslim untuk kembali fokus kepada Sang Pencipta dalam ritual puasa, menahan dahaga dan lapar. Dahaga dan lapar tidak menyebabkan umat Muslim lemah, sebab kekuatan itu sejatinya bersumber dari Allah SWT. 

Maka, ingar-bingar kampanye pilpres sudah mencapai puncaknya di penghujung Juni 2014. Hari-hari sepanjang bulan suci Ramadan di bulan Juli ini adalah waktunya menahan diri dan menghalau semua nafsu dan berpikir jernih. Memang, selain fokus beribadah, umat diwajibkan untuk tetap melaksanakan semua kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing individu. Namun, semua kegiatan harus semata-mata bertujuan memuliakan Allah SWT. 

Karena masih dalam persiapan menuju pelaksanaan pilpres, bisa dipastikan bahwa banyak komunitas akan berinisiatif menyelenggarakan doa bersama, memanjatkan harapan agar bangsa ini diberi pemimpin yang amanah. Kalau suasana kebatinan masyarakat sudah seperti itu, kampanye hitam, fitnah, hujatan, serta sumpah serapah di ruang terbuka tidak boleh bergema sepanjang bulan suci ini. Tidak berarti kampanye pilpres harus dihentikan. Dengan sisa waktu yang tidak banyak lagi, kampanye memang harus berlanjut dan diintensifkan. Tetapi, mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, cara berkampanye tentu saja harus berubah total. 

Mengumpulkan massa dan orasi di ruang terbuka tampaknya tidak memadai lagi. Idealnya, yang dikedepankan kepada konstituen adalah pendekatan dialogis berlandaskan ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam). Jika pendekatannya dialogis, baik capres-cawapres maupun konstituen akan tergiring membahas hal-hal konkret, dan terhindar dari keinginan menyerang kandidat lain. Juga karena dialogis, tema yang dibahas lebih pada program- program konkret yang berkait dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat kebanyakan. Misalnya tentang politik pangan, papan, pendidikan hingga kesehatan. 

Page 72: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Tentu saja program-program besar seperti pembangunan infrastruktur dan mewujudkan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa juga perlu didiskusikan. Momentum bulan Ramadan hendaknya dimanfaatkan capres-cawapres untuk lebih mengampanyekan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, serta menerima perbedaan sebagai anugerah. Dengan pola kampanye yang mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, Pilpres 2014 akan berjalan mulus dan damai. 

Semua elemen rakyat pada hakikatnya memang menginginkan pilpres berlangsung sebagaimana mestinya dan mencerminkan derajat keadaban. Jadi, jangan nodai bulan Ramadan dengan kepentingan sempit tak terpuji yang berkait pilpres. Sebaliknya, gelisah dan cemas yang sempat tumbuh akibat kampanye yang kurang beretika bisa terhapuskan berkat kekuatan bulan Ramadan. 

Kegembiraan Ramadan 

Kalau pilpres sudah dipersepsikan sebagai kegembiraan politik, yang ditandai dengan tingginya aktivitas ribuan relawan, maka keterpilihan pemimpin baru di bulan suci ini pun layak dijadikan kegembiraan Ramadan. Utamanya karena Indonesia telah merampungkan salah satu agenda strategis dengan selamat. Juga karena rakyat Indonesia semakin dewasa melakoni demokrasi. Pemimpin terpilih pun akan tampil elegan karena dia lahir dari suasana kondusif di bulan suci. 

Siapa pun dia pasti akan diterima sebagai anugerah. Tak banyak negara di kawasan Asia yang bisa mengaktualisasikan demokrasi seperti yang dijalani Indonesia. Indonesia tidak mungkin lagi mundur dari pencapaian yang tecermin dari Pilpres 2014. Demokrasi akan terus bertumbuh. Ini sudah menjadi pilihan rakyat, sehingga semua potensi gangguan yang coba mereduksi pencapaian itu akan kalah dengan sendirinya.

Belakangan beberapa kalangan sering bertanya apakah suasana pasca Pilpres 2014 akan kondusif? Pertanyaan ini menjadi sebuah kewajaran karena pihak berwenang pun memprediksi kemungkinan terjadinya gangguan keamanan. Apalagi, beberapa peristiwa berskala kecil sudah mendahuluinya, sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta. Isu tentang potensi rusuh pasca Pilpres 2014 memang mulai menimbulkan ekses. Kecenderungan yang menggelisahkan ini mestinya tidak ditoleransi. Karena itu, jajaran TNI, Polri, dan BIN perlu memberi jaminan atau memastikan bahwa situasi pasca-Pilpres 2014 tetap kondusif. 

Dalam beberapa pekan terakhir ini pergunjingan mengenai kemungkinan terjadinya rusuh pascapilpres semakin marak. Boleh jadi karena Polri pun sudah memprediksi kemungkinan terjadinya benturan fisik antarpendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden di beberapa kota. Situasi seperti ini menggelisahkan, dan mestinya tidak ditoleransi. Eksesnya sangat nyata. 

Pada pekan terakhir Juni 2014, depresiasi rupiah berlanjut. Nilai tukar rupiah sudah tembus Rp12.000, tepatnya Rp12.103 per dolar AS. Sepanjang pekan itu, rupiah sudah terdepresiasi

Page 73: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

1,56 persen terhadap dolar AS. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari transaksi terakhir, Jumat (27/6), terkoreksi 27,28 poin. Faktor utama yang memengaruhi situasi pasar valuta dan saham akhir-akhir ini adalah dinamika politik menuju pilpres yang terkesan tidak kondusif. Kalau isu itu dibiarkan menjadi kenyataan, demokrasi Indonesia dipaksa melangkah mundur. Hal ini mestinya tidak boleh terjadi. Syukur bahwa Polri, TNI dan BIN siaga dan terus memantau dinamika publik. 

Memantau keadaan saja barangkali belum cukup. Sebagai langkah preventif, pihak berwenang tampaknya perlu berinisiatif membangun komunikasi dengan tim pemenangan masing-masing kubu capres-cawapres. Tak sekadar berkomunikasi, mereka diajak bekerja sama mewujudkan suasana kondusif dan damai. Masing-masing kubu harus menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Mudah-mudahan, niat baik yang digagas di bulan suci ini mendatangkan beribu manfaat. ● 

BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Ancaman Media Sosial terhadap Perkembangan Anak

Page 74: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Anak merupakan investasi masa depan bagi semua orang tua. Karena itu, setiap fase dalam proses perkembangan anak menjadi persoalan penting untuk senantiasa diperhatikan. 

Upaya memproteksi anak dari berbagai dampak negatif lingkungan sekitar harus diseimbangkan dengan strategi pendidikan anak yang tetap memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka agar mampu mengeksplorasi, bereksperimen, serta mengenal dunia mereka lebih jauh. Demikian pula ketika anak mulai beranjak remaja, kebutuhan mereka untuk bersosialisasi guna mengenal komunitas luar tetap membutuhkan pantauan dan kewaspadaan yang terukur. 

Sebagaimana banyak diketahui, sosialisasi merupakan proses penyesuaian dan pengenalan anak terhadap dunia luar untuk mengasah pengetahuan, kepekaan sosial, dan mematangkan karakter dasar mereka menuju individu yang siap dan matang. Seiring pesatnya revolusi dunia teknologi informasi, proses sosialisasi sering kali tidak ditempuh melalui proses interaksi langsung, melainkan dengan menggunakan alat komunikasi digital yang belakangan memiliki akses tanpa batas untuk mengenal semua aspek, dari yang positif maupun negatif. 

Keleluasaan mereka untuk mengakses sumber-sumber informasi di dunia maya itu membuka peluang besar bagi proses internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan kepribadian dan karakter dasar anak. Untuk itu, langkah-langkah protektif dan antisipatif menjadi mutlak ditempuh untuk menghindarkan anak dari ragam pengaruh negatif dunia maya yang sering kali lepas dari kendali dan kontrol perhatian para orang tua. 

Kemampuan orang tua untuk menyediakan berbagai fasilitas alat komunikasi canggih bagi anak-anak mereka sering kali tidak sepadan dengan kemampuan dan perhatian orang tua dalam memproteksi anak-anak dari potensi negatif yang ditimbulkannya. Bagi sebagian orang tua, kemampuan menyediakan fasilitas komunikasi terkini laiknya smartphone atau gadget justru menjadi ajang pamer sekaligus upaya menunjukkan eksistensi untuk menegaskan kelas sosial-ekonomi mereka sebagai orang tua yang mapan secara ekonomi. 

Mereka lupa bahwa fasilitas yang diberikan itu tak ubahnya pisau bermata dua (two edges knife), yang tak hanya memudahkan anak-anak mereka mudah bersosialisasi dengan teman sebayanya, tetapi juga berpotensi menikam mereka dari belakang akibat intensitasnya mengeksplorasi isi materi dunia maya yang tidak mendidik. Melalui alat-alat komunikasi super canggih itu, anak-anak akan terjembatani untuk mengeksplorasi persoalan-persoalan sensitif, yang secara materi barangkali tidak tepat atau belum sesuai dengan jenjang umur dan level kedewasaan mereka. 

Ambil contoh Jaka, 9, anak seorang teman yang sejak kecil dididik dalam sistem pendidikan di Australia dan belakangan harus pulang ke Indonesia karena mengikuti penugasan orang tuanya, tiba-tiba mengeluh takut dan menolak tidur sendiri di kamarnya. Jaka mengaku ketakutan seusai membaca broadcast cerita dan foto penampakan “hantu” yang dikirim teman-temannya di grup media sosial dan grup komunikasi maya. Selama di Australia, sebagaimana anak-anak belia di usianya, Jaka tidak diperkenankan memiliki akun media. 

Page 75: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Dalam konteks ini, Jaka mengalami kejutan budaya sekaligus kegamangan psikologis karena dalam sistem pendidikan dan pergaulan sosial sebelumnya, dirinya relatif tidak terpapar oleh materi-materi irasional yang tidak mendidik. Patut dipahami bahwa dalam masa pertumbuhan di usia anak prasekolah dan sekolah, anak akan cenderung mengeksplorasi daya imajinasi mereka sehingga belum mampu membedakan yang mitos dan fakta. Cerita-cerita horor dan mistis yang berakar pada mitos dan irasionalitas itu akan dengan mudah dipahami sebagai “realitas faktual” dalam ruang imajinasi mereka. 

Jika tidak dikontrol, perkembangan daya kritisisme anak akan terhalang oleh materi- materi imajinatif yang tidak mendidik. Selain materi horor, media sosial dan alat-alat komunikasi canggih itu juga memberikan kesempatan besar pada anak untuk terpapar materi seksualitas, sensualitas, serta pornografi yang tidak sesuai dengan level kedewasaan mereka. Materi-materi propaganda dan ekstremisme yang menstimulasi lahirnya neo-fundamentalisme juga menjadi materi lain yang harus diantisipasi. 

Belum lagi dampak lain akibat banyaknya software permainan (game) di dalam alat-alat komunikasi tersebut, hingga membuat mereka sering kali terasing oleh dunia dan lingkungan sekitarnya akibat tingginya intensitas bermain digital mereka ketimbang kegiatan bersosialisasi dan berkomunikasi dalam ruang permainan verbal dengan teman-teman sebaya mereka. 

Keniscayaan Proteksi 

Dalam kondisi seperti itu, orang tua harus benar-benar hadir sebagai pihak yang mampu menjaga sekaligus menyeimbangkan setiap dinamika dalam proses perkembangan anak. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilakukan orang tua yang “terpaksa” memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki akun media sosial atau alat-alat komunikasi canggih yang memiliki akses bebas terhadap internet. 

Pertama, pada dasarnya orang tua harus bersikap tegas dengan memberikan regulasi jelas kepada anak untuk membatasi penggunaan media internet dan alat-alat komunikasi canggih lainnya sesuai dengan porsi dan kadar kebutuhan masing-masing. Langkah antisipatif ini mutlak dilakukan mengingat sebelum anak menjadi individu yang matang, sikap permisif orang tua justru berpeluang menjadi efek negatif bagi anak. 

Sebab anak belum memiliki tingkat kematangan dan pemahaman yang mapan untuk memilah dan menyeleksi materi-materi layak, tidak layak, atau belum layak untuk dikonsumsinya. Karena itu, arahan (parental guidance) menjadi kata kunci bagi keberhasilan anak melalui fase-fase perkembangannya yang aman dan terarah.

Kedua, orang tua harus selalu mendampingi dan memberi pengertian kepada anak-anak bahwa setiap informasi yang diterimanya dari dunia maya tidak sepatutnya diterima seutuhnya, ditelan bulat-bulat, melainkan harus melalui daya serap dan seleksi pemikiran

Page 76: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

yang kritis dan rasional. Bahkan, nilai kritisisme yang menegaskan sesuatu yang rasional pun belum tentu faktual, juga harus mulai ditanamkan kepada anak sejak dini.

Ketiga, orang tua tidak boleh lepas kendali atas apa yang dilakukan dan diperhatikan anak-anak mereka yang dalam masa pertumbuhan. Upayakan sikap keterbukaan dalam berkomunikasi melalui diskusi akan segala hal dengan anak sehingga orang tua dapat menghindari sikap tertutup anak dari perhatian orang tuanya. Jika terpaksa harus memiliki akun media sosial dan menggunakan alat komunikasi super canggih lainnya, langkah protektif dapat dilakukan dengan mewajibkan anak untuk memberikan password kepada orang tua.

Keempat, orang tua harus mengetahui persis siapa saja elemen dan pihak-pihak yang berada di sekitar ikatan pertemanan dan pergaulan anak. Pemetaan lingkungan anak itu penting untuk memudahkan orang tua mengantisipasi gaya dan model pergaulan anak, sekaligus mengidentifikasi karakter-karakter orang-orang yang berada di sekitar anaknya. Dengan mengetahui betul seluk beluk watak dan karakter orang-orang di sekitar anaknya, orang tua dapat memberikan pengarahan yang optimal bagi pembentukan karakter anak, terutama mereka yang sedang beranjak dewasa.

Langkah-langkah kecil orang tua ini selanjutnya harus ditopang oleh hadirnya peran negara dalam upaya memproteksi anak-anak dari pengaruh negatif dunia digital. Regulasi atau aturan ketat perlu diberlakukan untuk membedakan segmentasi peran dan materi media yang layak konsumsi berdasarkan level kedewasaan dan kebutuhan masing-masing individu. 

Jika pemerintah belum mampu hadir di level itu, orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membentuk karakter mental anak, harus sadar sepenuhnya akan peran ini. Karena itu, dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional (29 Juni), penulis berusaha mengingatkan para orang tua agar jangan bangga menjadi orang tua yang hanya mampu menyediakan fasilitas komunikasi canggih bagi anak-anaknya jika pada akhirnya belum menghadirkan peran kontrol dan arahan yang tepat dan proporsional pada anak. 

Jika orang tua cenderung permisif dan lepas kendali, pada akhirnya fasilitas-fasilitas mewah itulah yang justru berpotensi menggelincirkan dan menjerumuskan anak-anak kita pada ancaman dekadensi moral dan salah pergaulan hingga menghambat terwujudnya generasi muda nusantara yang kritis dan konstruktif.  

YULINA EVA RIANY Peneliti dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia 

Ecosophy dan Capres Peduli SDA

Page 77: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Lingkungan hidup beserta isinya: manusia, hewan, tumbuhan, air, batu, udara, cahaya, dan lain-lain, saling berinteraksi dalam suatu sistem yang dinamis dan kompleks. Ia membentuk mata rantai kehidupan secara berkesinambungan.

Interaksi yang bersifat timbal balik ini diperkenalkan Ernst Haekel, ahli biologi Jerman, tahun 1869 dengan menyebutnya sebagai ekologi. Kini, ekologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungannya secara sistemik dan menyeluruh. Itulah sebabnya para ahli lingkungan memandang perlunya melihat ekologi secara mendalam (deep ecology) & bukan ekologi permukaan yang dangkal (shallow ecology). 

Dalam konteks inilah, ukuran-ukuran dimensi ekologi yang selama ini bertumpu pada interaksi organisme dengan lingkungannya perlu disempurnakan dengan pandangan yang lebih luas dan lebih mendalam. Hal ini menjadi sangat penting mengingat; (1) peran sumber daya alam (SDA) dan lingkungan sebagai penyangga sistem kehidupan, (2) semua benda ataupun hidupan di bumi ini mempunyai sifat intrinsic, dan (3) keanekaragaman hayati flora, fauna dan ekosistemnya harus mendapat penghargaan secara layak karena fungsinya yang sangat penting sebagai pendukung kehidupan manusia dan pembangunan. Paham ini dikenal sebagai ekologi dalam (deep ecology). 

Arne Naess, seorang filosof dan pendaki gunung berkebangsaan Norwegia, memperkenalkan pendekatan deep ecology ini tahun 1973 setelah ia melakukan penelitian sekaligus penjelajahan alam secara luas. Dalam perkembangannya, ekologi pun telah menjadi landasan utama gerakan konservasi sebagai upaya umat manusia untuk menyelamatkan bumi beserta lingkungan hidupnya dari ancaman kehancuran. 

Bumi kini sedang menghadapi krisis ekologi berkepanjangan, sehingga berbagai pihak terus mencari cara-cara baru untuk menyelamatkannya. Salah satu pendekatan yang sedang trendi, adalah pendekatan religius (moral dan spiritual). Pendekatan ini diharapkan mampu menggerakkan hati nurani manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan bumi secara menyeluruh. Gerakan religius itu, kini makin diterima berbagai kalangan, karena pendekatannya lebih menyentuh kepada pertanggungjawaban manusia (Homo sapiens) sebagai khalifah (makhluk yang berakal budi) untuk memberikan penghargaan kepada alam yang telah berjasa memberikan kehidupan. 

Naess memperkenalkan pendekatan di atas sebagai paham ecosophy atau paham konservasi (Drengson, 1999). Paham ecosophy ini, tidak hanya memberikan landasan pada tanggung jawab etika dan moral, tapi juga memberikan tempat terhormat pada pengetahuan lokal (local knowledge) yang banyak tersebar di berbagai wilayah di dunia, termasuk Indonesia. Prinsip dasar ecosophy atau deep ecology adalah menyelamatkan SDA dan lingkungannya dari kerusakan dengan mengedepankan moral. Kenapa? Karena hanya moralitas yang mampu menghargai dan menjaga alam demi keberlanjutan umat manusia itu sendiri. 

Sebagai umat beragama, kita juga seharusnya meyakini bahwa SDA di planet bumi ini adalah

Page 78: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

ciptaan Tuhan YME yang diperuntukkan bagi kesejahteraan makhluknya. Di pihak lain, Tuhan juga mengharuskan manusia untuk menjaganya secara bertanggung jawab dari berbagai ancaman kerusakan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai kewajiban untuk memelihara sistem ekologi bumi sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mendukung kehidupan manusia dari generasi ke generasi bisa tercapai. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa SDA mempunyai keterbatasan untuk mendukung kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan manusia nyaris tak terbatas karena keserakahannya. 

Pinjam kata-kata bijak Gandhi: Alam menyediakan kebutuhan manusia, tapi tidak untuk keserakahannya. Itulah sebabnya, kitab suci Alquran melarang manusia merusak alam untuk kepentingannya yang serakah (QS 2: 11,12) . Pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat yang kini mencapai tujuh miliar lebih telah menyebabkan cadangan SDA bumi kian tipis. Di samping itu, sistem cuaca yang kacau akibat perubahan iklim global telah berdampak pada perubahan sistem biologi dan sistem ekologi bumi. 

Dampaknya: cadangan pangan pun terus menyusut dan manusia bisa mengalami krisis pangan yang amat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya. Menurut perhitungan WWF (World Wildlife Fund), sejak tahun 1966 ecological footptrint penduduk bumi sudah berlipat dua, jika setiap tahunnya konsumsi SDA makhluk bumi mendekati angka 1,25 planet bumi. Jika kondisi itu terus berlanjut, menurut WWF pada tahun 2030 dibutuhkan dua planet bumi untuk mencukupi kebutuhan umat manusia. Padahal planet bumi hanya satu. Solusinya: umat manusia harus serius menghemat SDA. 

Untuk itulah harus ada upaya untuk meningkatkan produktivitas planet bumi namun tetap lestari, prokonservasi, dan proekologi. WWF dalam analisisnya menyatakan: masalah SDA dan lingkungan hidup kini telah menjadi krisis lingkungan global yang berdampak serius terhadap keberlanjutan kehidupan manusia. Sebagai reaksi terhadap krisis ini, sejak abad ke- 20 telah tumbuh dan berkembang gerakan penyelamatan alam dan lingkungan yang lebih mendasar dengan pendekatan ecosophy, yaitu pendekatan filosofi penyelamatan bumi dengan memasukkan dimensi ekologi dan religius (Alikodra, 2012). 

Naess memberikan definisi ecosophy sebagai filosofi yang pahamnya didasarkan atas ekologi yang harmoni dan seimbang (ecological harmony). Berarti ecosophy adalah filosofi yang mengusung pandangan bijak (wisdom) yang tertuang dalam norma, aturan, nilai (value), ataupun rumusan dalil (postulates) yang digunakan menjadi tuntunan manusia untuk menghargai alam lingkungannya. Sebagai makhluk beragama, pertanggungjawaban umat manusia terhadap kelestarian alam bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat nanti. 

Dengan demikian, di titik akhir perjalanan hidupnya, manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan Sang Pencipta. Dan inilah yang disebut god spot (Agustian, 2001). God spot merupakan pilar penting bagi pelaksanaan ecosophy sekaligus sebagai landasan bagi penyempurnaan politik maupun kebijakan untuk memelihara dan menjaga SDA dari kerusakan (Drengson, 1999). Dengan demikian, paham ecosophy yang berlandaskan etika konservasi bertujuan membongkar cara pandang manusia

Page 79: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

yang keliru tentang dirinya, tentang alam dan Sang Pencipta; juga tentang tempat dirinya di alam dan cara memperlakukan alam. 

Karena itu jika ecosophy ini diimplementasikan secara konsekuen, insya Allah akan membawa keselamatan umat manusia baik dunia maupun akhirat. Kita berharap, siapa pun capres yang terpilih, Prabowo Subianto atau Joko Widodo, peduli terhadap keberlanjutan dan kelestarian SDA. Indonesia, kata Prabowo Subianto, dalam Debat Capres 9 Juni lalu, adalah negara yang amat kaya SDA. Indonesia adalah negeri megabiodiversity yang luar biasa kaya dan kekayaan itu harus diselamatkan. 

Agar penyelamatan SDA ini muncul dari hati nurani terdalam setiap warga negara Indonesia, maka kita perlu memberikan landasan ecosophy sebagai dasar pemikirannya. Dengan landasan ecosophy, motivasi penyelamatan SDA tidak hanya bersifat material semata-mata, tapi juga spiritual. 

Dampaknya: penyelamatan ecosophy bukan saja merupakan tanggung jawab seorang warga negara terhadap tanah tumpah darahnya, tapi juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang hamba (manusia) terhadap Tuhannya.  

HADI S. ALIKODRA Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor 

Muhammadiyah dan Lokalisasi di Surabaya

Page 80: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pada 18 Juni yang lalu, Pemerintah Kota Surabaya secara resmi menutup dua lokalisasi terbesar di kota itu, yaitu Dolly dan Jarak. Penutupan ini sebetulnya merupakan rangkaian terakhir dari proses penutupan seluruh lokalisasi di Surabaya yang sudah dimulai sejak Desember 2012.

Berbeda dari proses penutupan lokalisasi di Dupak Bangunsari (Desember 2012), Tambak Asri (April 2013), Klakah Rejo (Agustus 2013), dan Sememi (Desember 2013) yang tak mengundang banyak liputan media, penutupan Dolly dan Jarak mengundang reaksi pro dan kontra cukup sengit di masyarakat dan mendapatkan liputan media yang cukup banyak. Penentangan terhadap keberadaan lokalisasi itu telah lama dan sudah sering disuarakan berbagai elemen masyarakat, terutama ormas keagamaan. 

Namun, penutupan itu baru bisa terjadi setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, yang kebetulan dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), bergerak langsung. Alasan penutupan yang sering dikemukakan adalah kesehatan (penyebaran HIV/AIDS), moralitas (merusak masa depan anak dan keluarga), dan ekonomi (pengembangan industri dan kota). Kritik terhadap penutupan ini berkisar pada terciptanya prostitusi liar di luar lokalisasi dan menjamurnya prostitusi elit di hotel-hotel. 

Alasan lainnya mengacu pada hak bekerja orang yang selama ini mendapatkan nafkah dari keberadaan lokalisasi, terutama karena penutupan itu dianggap mematikan industri seks rakyat dan mendukung industri seks kaum kapitalis. Tulisan ini tidak menyoroti tentang kontroversi penutupan lokalisasi dan peran pemerintah dalam penutupan. Kemampuan dan wewenang penutupan secara resmi memang hanya dimiliki dan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun, banyak proses lain selama penutupan dan pascapenutupan yang tak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. 

Karena itu, tulisan ini ingin melihat beberapa proses kultural yang dilakukan pihak swasta, dalam hal ini Muhammadiyah, dalam kaitannya dengan penanganan para PSK (pekerja seks komersial) dan mantan PSK. Ini adalah isu yang jarang mendapat liputan media dan ini adalah medan yang sering kali pemerintah merasa kewalahan. 

***

Salah satu identitas yang melekat pada Muhammadiyah selama ini adalah sebagai gerakan yang cukup giat memberantas TBC (takhayul, bidah, dan churafat). Di antara beberapa praktek keagamaan yang berkaitan dengan TBC adalah praktik-praktik keagamaan lokal yang tidak memiliki landasan kuat dalam Alquran dan Hadis seperti selamatan, ziarah kubur, dan tawasul. 

Pemahaman seperti itu memang masih dipraktekkan oleh beberapa pengikut Muhammadiyah di beberapa daerah. Namun berbeda daerah lain, Muhammadiyah di Surabaya memiliki terjemahan dan penerapan yang unik terhadap doktrin purifikasi TBC. Gerakan purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah Surabaya, terutama cabang Krembangan, lebih

Page 81: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

ditujukan pada purifikasi moral dan sistem sosial yang berupa praktik-praktik prostitusi. 

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah dalam penanganan, pembinaan dan pendampingan PSK dan mantan PSK sudah berlangsung sejak 2004 dengan dipelopori oleh Ketua Muhammadiyah Krembangan Arif An. Di antara program yang sudah dijalankan adalah berupa pemberian modal usaha cuci baju, warung kopi, toko kelontong; pemberian keterampilan pembuatan keset dan menjahit; pelatihan mengaji dan pendidikan bagi anak-anak PSK; dan perawatan kesehatan. Ada sekitar 25 PSK yang saat ini menjadi binaan Muhammadiyah. 

Purifikasi dalam bentuk penanganan PSK adalah sesuatu yang kurang lazim bahkan di Muhammadiyah sendiri dan pada awalnya mendapat tantangan yang cukup berat dari dalam Muhammadiyah dan juga masyarakat luar, termasuk PSK dan para pendukungnya. Dalam proses pembinaan, Arif An, misalnya, bercerita bahwa dia sudah sangat bersyukur jika PSK binaannya itu bisa berhenti dua bulan saja dari dunia prostitusi. Jika ada yang bisa bertahan tak kembali ke dunia prostitusi selama satu tahun, padahal dia masih muda, maka itu merupakan sesuatu yang luar biasa.

Tingkat keberhasilan kuantitatif dalam upaya ini, menurutnya, hanya sekitar 20%. Tapi upaya ini barangkali tak bisa sekadar dilihat dari kuantitas, tapi pada proses yang konsisten itu sendiri. Beberapa mantan PSK menceritakan bahwa untuk keluar dari dunia prostitusi itu sangat berat dan butuh tekat yang kuat. Salah seorang PSK bercerita bahwa suatu hari temannya menelepon dia dan memberi tahu kalau dia baru mendapat uang banyak karena pelanggan lagi ramai dan dia mengajaknya untuk melayani tamu-tamu itu. 

Bujukan seperti ini membuat mantan PSK mudah kembali ke aktivitas prostitusi jika dia tak punya niat kuat untuk keluar dari dunia itu. Apa yang dilakukan di Krembangan ini pada awalnya bahkan mendapat penentangan dari Muhammadiyah, terutama dari Aisyiah, sayap perempuan Muhammadiyah. 

Penentangan itu di antaranya karena wilayah dakwah ini sangat slippery (licin) yang membuat pelakunya mudah terpeleset dan jatuh. Alih-alih membantu para PSK keluar dari dunia prostitusi, banyak orang yang justru masuk terperosok ke dalamnya. Namun sekarang, program ini mendapat dukungan penuh dari Muhammadiyah. Bahkan, PCM Krembangan terpilih menjadi PCM percontohan di organisasi modernis Muslim ini. 

***

Apa sebetulnya makna purifikasi sosial dalam kaitannya dengan prostitusi? Istilah purifikasi moral dengan subyek dunia prostitusi ini sebetulnya bukan berasal dari Muhammadiyah. Istilah ini dipakai oleh Phil Hubbard dalam artikelnya yang berjudul ”Cleansing the metropolis: Sex work and the politics of zero tolerance ”. Artikel itu terbit di jurnal Urban Studies, volume 41, nomor 9, halaman 1687-1702. 

Page 82: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Hubbard mengkaji beberapa pemerintahan kota, terutama London dan Paris, dalam menangani lokalisasi dengan menerapkan kebijakan zero tolerance atau tak ada kompromi bagi lokalisasi. Istilah lengkap yang dipakai oleh Hubbard adalah ”moral cleansing and purification ”. Peran Muhammadiyah memang tak sama dengan pemerintah kota Surabaya yang memiliki wewenang mengatur tata kota dan pengembangan ekonomi dengan menutup lokalisasi. 

Namun, sikap zero tolerance itu juga ada di Muhammadiyah dan karena itulah organisasi ini menjadi pendukung kuat upaya penutupan berbagai lokalisasi di Surabaya. Salah satu pengurus Muhammadiyah Surabaya misalnya, tak mau mengakui prostitusi sebagai profesi dan karena itu ia tak bersedia menyebut mereka dengan istilah PSK. Ia memilih memakai istilah lama yang cenderung menghakimi yaitu, WTS (wanita tunasusila). Cara pandang Muhammadiyah itu sebetulnya sealur dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) wilayah Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya. 

Salah satu juru bicara pemerintah, misalnya, menyebutkan bahwa prostitusi bukanlah profesi karena tidak ada pajak dan zakat dalam kegiatan ini. Pada spanduk resmi acara penutupan lokalisasi Sememi pun istilah yang dipakai adalah WTS, bukan PSK.

Proses purifikasi moral yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu intinya diwujudkan dalam beberapa program, di antaranya adalah: Pertama, pendidikan bagi anak-anak PSK di sekolah Muhammadiyah ada diskriminasi. Proses ini dimaksudkan agar anak-anak itu tak meniru orang tuanya atau bahkan mengingatkan orang tuanya agar berhenti dari dunia prostitusi. Kedua, upaya pembelian wisma (brothel) dan mengalihfungsikannya menjadi tempat pendidikan atau kegiatan lain. 

Ketiga, dukungan kepada pemerintah untuk secara resmi menutup berbagai lokalisasi di Surabaya. Keempat, pemberian modal usaha dan pelatihan keterampilan terhadap para PSK dan mantan PSK sehingga mereka bisa mandiri tanpa harus kembali ke dunia prostitusi. Selain itu, akan dilakukan pembinaan rohani sehingga mereka konsisten keluar dari prostitusi. 

Kelima , mencoba memengaruhi pemerintah desa dan pejabat pemerintah di tingkat bawah untuk mendukung upaya penutupan. Keenam, mencarikan suami bagi PSK atau mantan PSK sebagai upaya praktis menghentikan praktik prostitusi.  

AHMAD NAJIB BURHANI Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 

Pendidikan dalam Visi-Misi Capres-Cawapres

Page 83: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Mengikuti putaran keempat debat capres-cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu, 29 Juni 2014, yang menghadirkan calon wakil presiden Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla, telah memberi harapan besar akan terus berlanjutnya program-program strategis yang ada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), siapa pun yang kelak akan memimpin negeri ini. 

Ini penting dijadikan pegangan sekaligus sebagai bahan untuk menentukan pilihan. Meski tidak secara spesifik dan panjang lebar menyebut soal Kurikulum 2013–satu dari sekian banyak program di Kemendikbud– baik Hatta Rajasa maupun Jusuf Kalla, dalam bahasa lain telah bersepakat untuk tetap menomorsatukan bidang pendidikan dan menjalankan apa yang menjadi program strategis di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kerangka pemberian akses dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadi pokok bahasan dalam acara debat tersebut. 

Program Afirmasi 

Dalam konteks visi-misi dua pasangan capres-cawapres, jelas tergambar bahwa terkait dengan pemenuhan hak terhadap pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas, semua sepakat harus terus dilakukan. Memang capaian angka partisipasi kasar (APK) di jenjang SD dan SMP (baca: pendidikan dasar), rata-rata nasional telah tercapai, tapi jika ditelusuri lebih jauh di tingkat kabupaten/kota, masih ada sekitar 25 kabupaten/kota yang APK-nya masih di bawah 75%. Apa maknanya? Meski ketercapaian APK dalam wajib belajar sembilan tahun, sudah tercapai secara nasional, tapi tetap dibutuhkan program afirmasi pada kabupaten-kabupaten yang APK-nya masih di bawah rata-rata nasional, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terpencil) dengan tidak hanya memikirkan pada capaian semata, tapi juga pada upaya peningkatan kualitas, dengan berpedoman pada pemenuhan standar pelayanan umum secara bertahap.

Penyediaan bantuan terutama bagi peserta didik kurang mampu, agar tidak putus sekolah dan pembangunan unitsekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), serta program rehabilitasi sekolah, menjadi titik perhatian, di samping upaya membangun budaya dan pola pikir di sebagian masyarakat yang masih menganggap sekolah hanya sekadar menghabiskan biaya, tanpa jaminan memperoleh lapangan kerja. 

Kini beberapa program afirmasi memang sudah dijalankan, mulai dari pemberian beasiswa (BSM dan Bidikmisi), pengiriman guru ke daerah 3T (SM3T), afirmasi pendidikan menengah (Adem) 3T, afirmasi pendidikan tinggi (Adik), dan lainnya. Hasilnya cukup signifikan, jumlah anak-anak putus sekolah di tiap jenjang dapat dikurangi, sementara mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, terus bertambah. Sejalan dengan itu pulalah, maka dapat dilihat, visi-misi kedua pasangan capres-cawapres bersepakat untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun dengan biaya negara– istilah yang digunakan pasangan Prabowo-Hatta, atau wajib belajar 12 tahun bebas pungutan–bahasa pasangan Jokowi-JK. 

Page 84: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Dalam kebijakan yang kini berjalan program wajib belajar 12 tahun, dikenal sebagai pendidikan menengah universal (PMU), di mana peserta didik jenjang SMA/SMK mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS). Kita optimistis, ke depan siapa pun yang nanti terpilih, program wajib belajar 12 tahun (baca: PMU) tetap akan dijalankan, sesuai visi-misi yang diusung kedua pasangan Capres-Cawapres, dan ini terkait pula dengan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, sekaligus mengubah struktur ketenagakerjaan yang ada saat masih terbilang belum kompetitif. 

Tentu ini semua dilakukan dalam upaya mengejar ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa (baca: Global Comvetitivenes Index—GCI). Laporan data Statistik World Bank 2011dan The Global Competitiveness Report2010-2011, menyajikan data, bahwa lama sekolah (baca: makin tinggi mengenyam pendidikan) berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI). 

Mutu Lulusan 

Lalu bagaimana visi-misi dua pasangan capres-cawapres berkait dengan kualitas? Keduanya sepakat untuk menitikberatkannya pada peningkatan kualitas pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat kurikulum dan upaya peningkatan kesejahteraan guru. Pasangan Prabowo-Hatta menggunakan istilah merevisi kurikulum nasional dengan memantapkan pengembangan budaya lokal bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sementara Jokowi-JK, memakai istilah memperjuangkan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan aspek nasional.

Berbicara kurikulum memang tidak hanya sebatas pada mata pelajaran (standar isi), karena di dalam kurikulum itu ada empat aspek dari delapan standar pendidikan, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, yaitu standar kompetensi lulusan; standar isi, standar proses pembelajaran; dan proses penilaian. Kini Kurikulum 2013 sudah disiapkan dengan mempertimbangkan keempat standar itu, yang memasukkan unsur sikap (sosial dan spiritual), pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang dan utuh, serta tidak berdiri sendiri, tetapi ada dalam tiap tema atau topik bahasan pelajaran. Sehingga tiap guru dan tiap mata pelajaran punya kontribusi yang sama dalam membekali peserta didik terkait sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 

Pengembangan Guru 

Tentu berbicara kurikulum belumlah lengkap ketika tidak menyentuh pada persoalan guru. Karena kurikulum yang baik, jika tidak disampaikan dengan baik oleh guru yang memiliki pengetahuan memadai maka kurikulum tinggallah kurikulum. Sebaliknya guru yang baik dengan tingkat pengetahuan memadai, jika tidak disiapkan dengan rancangan kurikulum yang baik, juga akan sia-sia. Itulah sebabnya keduanya harus dijalankan secara bersama-sama, seiring sejalan, karena memang keduanya–kurikulum dan guru–tidak bisa dipisahkan. 

Page 85: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pada titik ini pulalah, hal penting berkait dengan implementasi Kurikulum 2013 adalah guru. Pemerintah sekarang telah merintis upaya untuk pengembangan guru secara komprehensif dan terpadu melalui model ”segitiga sama sisi”. Di mana alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sedang dua sisi lainnya masing-masing berkait dengan pengukuran dan peningkatan kinerja; dan peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah bentuk segitiga yang kukuh, tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh yang satu sama lain saling berhubungan. 

Nasib UN 

Hal penting lain yang menjadi titik perhatian publik terkait dengan visi-misi bidang pendidikan capres-cawapres adalah pelaksanaan ujian nasional (UN). Bagaimana nasib UN pada pemerintahan ke depan? Dalam pandangan kedua pasangan capres-cawapres, UN diposisikan sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran, yang di dalamnya selalu ada evaluasi atau proses penilaian, sebagaimana ada dalam satu kesatuan kurikulum. Karena itu, UN ke depan sudah dapat dipastikan akan mengalami perubahan (baca: bukan dihapuskan). Hal ini tentu sejalan dengan penerapan penilaian pada Kurikulum 2013, yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif semata, tapi juga aspek psikomotorik dan afektif peserta didik. 

Jelas, melihat visi-misi kedua pasangan capres-cawapres yang tergambar baik dalam pernyataan-pernyataan saat kampanye, maupun dalam acara debat, pendidikan tetap menjadi hal utama untuk menjadikan bangsa ini lebih baik lagi. Kata kuncinya kedua pasangan sama- sama menekankan pentingnya pengawasan, akuntabilitas, transparansi dalam pemanfaatan anggaran pendidikan, sehingga bisa lebih efektif dan tepat sasaran serta penggunaan.

Tentu tulisan ini tidak hendak menggiring dan mengarahkan pembaca untuk memilih satu di antara kedua pasangan capres-cawapres, tapi lebih pada mengingatkan kepada kedua pasangan, agar mengetahui bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam visi-misi mereka, sebagian sudah dijalankan pada pemerintahan saat ini. Tinggal melanjutkan apa yang baik dan membuang apa yang kurang baik, sekaligus menambah apa-apa yang dianggap belum dilakukan. Acuannya tentu sebagaimana yang ada dalam tahapan pembangunan, yaitu rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Semoga! ●

SUKEMIStaf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media

Siapa yang Pantas?

Page 86: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Tanggal 9 Juli tinggal sebentar lagi. Banyak hal akan mendadak berakhir pada hari itu. Ingar-bingar pemilu yang memekakkan telinga akan mereda, spanduk dan atribut kampanye yang mengganggu mata akan perlahan menghilang, timeline di media sosial yang tadinya cenderung monotopical akan kembali normal. 

Namun, yang pasti hari itu kita akan memilih siapa yang akan kita percaya untuk memegang kepemimpinan bangsa ini untuk lima tahun ke depan. Dua alternatif gaya dan persona kepemimpinan yang ditawarkan di podium bangsa ini menampilkan dua pilihan yang cukup berbeda, sepertinya. Ada tawaran seorang purnawirawan jenderal yang gemar berkuda dengan solusi ekonomi kerakyatan dengan orientasi pertanian, kembalinya kedaulatan pangan, dan kewibawaan bangsanya. Atau ada tawaran solusi revolusi mental seorang eks wali kota populer yang demen musik heavy metal dan sepertinya sangat menikmati teknologi informasi dengan platform ”e-everything”-nya. 

Keduanya tentu orang-orang yang luar biasa karena sudah dapat merebut hati bangsa ini sehingga sampai pada posisinya sekarang. Tidak kurang liputan dan analisis mengenai latar belakang, prestasi, rekam jejak, character make-up, dan keseluruhannya tentang siapa mereka di hampir seluruh outlet berita di negara selama masa pemilu ini berlangsung. Masing-masing mendapatkan dukungan yang bisa terhitung luar biasa dari para suporternya. Dinamika proses kampanye kali ini menjadi saksi terhadap banyak inovasi cara dan gaya berkampanye yang sebelumnya–mungkin–belum pernah ada. 

Ragam dukungan dari yang wajar sampai yang cenderung miring pun banyak terlihat. Seperti babak final pertandingan sepak bola karena timnya tinggal dua. Fanatisme pengikutnya makin menjadi, mungkin.

***

Siapa pun yang terpilih nanti, yang pasti mereka adalah pilihan mayoritas rakyat bangsa ini. Terlebih lagi, siapa pun yang terpilih nanti adalah cerminan siapa dan bagaimana pemimpin dan kepemimpinan yang menurut kita sebagai bangsa pantas bagi negara ini untuk saat ini. 

Sang pemimpin adalah pemangku mandat kepercayaan yang diberikan para pendukungnya. Adalah tugasnya sebagai kandidat untuk meraup kepercayaan itu dari para pemilihnya saat kampanye dan mengemban kepercayaan itu ketika terpilih. Di lain pihak para pemilih secara sadar memilih berdasarkan keyakinan dan informasi yang dimilikinya tentang sang calon. Para pemilih berharap bahwa yang terpilih akan mengerti, mampu menjaga, dan membawa aspirasi dan kepercayaan yang diamanatkan kepadanya pada keadaan yang lebih baik pada masa depan. Harapannya adalah rakyat berkehendak, pemimpin bertindak. 

Ini sebuah proses dua arah yang sama-sama saling bergantung satu sama lain. Sebuah proses yang sangat bergantung pada persamaan informasi, paham, persepsi, dan kejujuran– atau kemampuan marketing– para participant-nya.

***

Page 87: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Every nation gets the government they deserve (Joseph de Maistre, 1811). Karena apa dan bagaimana bentuk dan prestasi sebuah pemerintahan, sebuah kepemimpinan negara atau bangsa adalah refleksi dari cara bangsa itu mendefinisikan kepemimpinan yang mereka inginkan, butuhkan. Yang mereka rasa pantas untuk mereka peroleh. 

Jadi, seperti apa yang pantas untuk kita ? Kita pantas untuk mendapat pemimpin yang mampu mendefinisikan keunikan dan kekuatan kita sebagai bangsa dan negara. Mengolah keunikan dan kekuatan itu menjadi identitas kebangsaan yang mandiri mempunyai wibawa. Kekuatan identitas yang mandiri dan rasa kebangsaan yang inklusif terhadap kemajemukan unsur bangsa akan menjadi dasar yang kuat untuk terbentuknya identitas bersama sebagai bangsa. Kita pantas untuk mendapat pemimpin yang sederhana dan tegas. 

Pemimpin yang dapat dimengerti rakyatnya, mampu mengurai dan menerjemahkan peliknya masalah bangsa dalam bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, dengan action plan penanganan permasalahan itu yang jelas, dan menyelesaikannya dengan efisien, tuntas. Kita pantas mendapat pemimpin yang berwawasan luas, yang mampu menggalang aset-aset bangsa, keseluruhan kekuatan dan kemampuan bangsa untuk menyempurnakan dan menyelenggarakan blue print tumbuh kembang dan arah langkah maju bangsa ini pada masa yang akan datang sehingga dapat menjadi bangsa yang mandiri, kuat, dan berwibawa, berdaulat. 

Kita pantas mendapat pemimpin yang mampu menciptakan rasa tenang dan aman untuk dapat hidup dan berkarya di negeri sendiri tanpa harus takut akan infiltrasi pihak mana pun yang bermaksud untuk mengganggu ketenangan itu. Pemimpin yang mendahulukan kepentingan internal daripada kepentingan eksternal. Bukan harapan-harapan yang berlebihan sepertinya. Bukankah kepemimpinan yang arif seharusnya mampu memberikan semua itu kepada mereka yang dipimpinnya? Sepertinya sudah waktunya kita memilih pemimpin yang mengerti rakyatnya, not the other way around. Pertanyaannya menjadi, siapa yang pantas memimpin kita? What goverment deserve us as its nation? 4 hari lagi! ●

MAKKI OMAR PARIKESIT Musisi

Blusukan

Page 88: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Blusukan adalah istilah Jawa. Lafal aslinya dalam bahasa Jawa adalah ”blusuk-an” (bunyi ”an” terpisah dari kata induknya ”blusuk ”), bukan ”blusu-kan” seperti biasa dilafalkan orang yang tidak fasih berbahasa Jawa (dengan bunyi ”k” yang kuat seperti dalam lafal kata-kata ”rekan akan makan ikan”). 

Arti kata blusukan adalah pergi ke tempat-tempat tertentu, termasuk yang belum pernah didatangi, jauh atau sulit dijangkau, untuk memenuhi hasrat keingintahuan. Dalam kehidupan sehari-hari ibu-ibu paling jago blusukan ke pasar-pasar. Dalam bulan Ramadan, apalagi nanti menjelang Lebaran, ibu-ibu di Jakarta sudah blusukan ke Pasar Tanah Abang atau Pasar ITC Mangga Dua untuk mencari bahan atau busana jadi untuk dikenakan keluarga saat Lebaran. 

Tidak seperti para bapak yang cenderung membeli apa saja yang pertama kali dilihatnya (asal memenuhi kriteria, harga nomor dua), ibu-ibu dengan tekun mendatangi kios demi kios pedagang untuk mencari barang yang terbaik, sesuai selera dan paling murah. Kadang-kadang selisih seribu-dua ribu rupiah pun dikejar walaupun untuk itu sang ibu harus jalan kaki cukup jauh untuk balik ke kios lain. Tapi hasil belanjaan ibu-ibu hampir dapat dipastikan top markotop: MMI (murah, meriah, dan istimewa). Lain dengan bapak-bapak yang belanja hanya berdasarkan konsep, itu pun sering tidak dilakukan sendiri, melainkan menyuruh sopir. Si bapak pikir, kalau sopir sudah dikasih konsep yang betul, pastilah dia akan beli barang yang betul. Hasilnya: MMK (mahal, marah, dan kecewa).

Dalam metode penelitian juga dikenal metode blusukan yang disebut dengan ”metode observasi partisipatif ”. Antropolog dan sosiolog sering melakukan ini. Pada 1973, seorang antropolog Amerika Serikat bernama Wyn Sargent blusukan ke Lembah Baliem (Papua) untuk mempelajari kehidupan suku Dani. Begitu mendalamnya dia melakukan penelitian sampai-sampai ia mau menikah dengan kepala suku Dani yang bernama Obohorok (masih memakai koteka) sebagai istri yang entah keberapa. 

Walaupun hanya sebatas perkawinan simbolik, keberanian Wyn Sargent telah membuahkan sebuah data antropologi (ditulis dalam buku) yang tak tertandingi nilainya, penuh dengan data yang tak mungkin diperoleh tanpa metode partisipasi seperti itu. Begitu juga Christiaan Snouck Hurgronje, seorang antropolog Belanda, pakar agama Islam (walaupun dari namanya saja jelas dia nonmuslim). 

Dia yang sudah malang-melintang di Timur Tengah, khatam Alquran dan sudah naik haji (sekali lagi: walaupun bukan muslim) dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Universitas Leiden untuk membantu penaklukan Aceh yang tidak bisa dikalahkan dengan operasi militer. Snouck Hurgronje tidak langsung pergi ke Aceh, melainkan menikahi seorang wanita Ciamis dulu dan punya beberapa anak sebelum akhirnya dia mengunjungi Aceh antara tahun 1891 dan 1982 dengan nama Haji Abdul Gafar. 

Suatu penyamaran yang sangat sempurna karena semua orang Aceh percaya kepadanya. Hurgronje kemudian meneliti semua adat-istiadat Aceh untuk membantu Pemerintah Kolonial Belanda menaklukkan Aceh dan akhirnya Aceh betul-betul ditaklukkan (secara

Page 89: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

militer) pada 1904. Catatan-catatan Hurgronje tentang Aceh masih tersimpan di Universitas Leiden, bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku itulah yang saya gunakan sebagai referensi ketika saya diminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membantu pendekatan kepada masyarakat Aceh dalam rangka penanggulangan bencana tsunami 2004. 

Dalam Islam, sangat terkenal kisah tentang Khalifah Umar bin Khatab RA yang gemar blusukan. Ia bahkan tinggal di sekitar permukiman orang miskin untuk tahu kehidupan mereka. Konon Umar pernah menemukan seorang ibu miskin yang sedang merebus batu. Ketika ditanya oleh Umar, ibu itu menjawab bahwa ia merebus batu untuk menghibur anaknya yang sedang kelaparan agar anaknya itu berhenti menangis. Maka Sayidina Umar pun kemudian mencanangkan sebuah sistem kesejahteraan di mana orang miskin, orang tua, anak telantar dsb ditanggung oleh negara (welfare state).

Keampuhan metode blusukan juga dimanfaatkan para sales manager. Menantu saya yang brand manager suatu produk makanan, misalnya, setiap hari blusukan ke pasar-pasar untuk mengecek kondisi pemasaran produknya. Dalam manajemen modern metode blusukan adalah bagian dari controlling, yaitu salah satu aspek dari sistem POAC (programming, organizing, actuating, dan controlling). 

Di Jepang metode blusukan ini dinamakan ”gemba”. Di dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia, sebenarnya sudah ada sistem kontrol berupa inspektorat jenderal atau inspektur pengawasan umum, di samping BPK dan BPKP. Mereka inilah yang seharusnya bekerja blusukan dan melakukan sidak (inspeksi mendadak) untuk menemukan kesalahan atau kecurangan yang mungkin terjadi. Tapi pada umumnya pengawas-pengawas ini pun ikut bermain bersama dengan yang diawasi. 

Kalau datang ke daerah atau suatu kantor pemerintah, pengawas-pengawas ini biasanya menikmati aneka gratifikasi (dari fasilitas sampai uang, bahkan wanita) sehingga mereka pulang tutup mata dan membuat laporan ABS (asal bapak senang) kepada atasannya. Kalau atasan (kepala daerah, kepala kantor) tidak turun langsung ke lapangan (di zaman Orde Baru namanya ”turba”, turun ke bawah), kecurangan tidak terdeteksi. Pantaslah kalau disinyalir potensi kebocoran negara bisa mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah (uang segitu kalau disimpan di gudang, mungkin diperlukan gudang sebesar Lapangan Monas).

Jadi sebetulnya blusukan bukan monopoli siapa pun. Bukan juga inovasi salah satu capres. Metode itu sudah ada, bahkan sejak zaman Umar bin Khattab. Tapi memang birokrat- birokrat dan politisi Indonesia sangat jarang yang melakukannya. Persoalannya, mereka sudah terbiasa berwacana saja, omdo (omong doang). Bahkan mereka bisa jadi anggota DPR atau menjadi menteri juga karena metode onani (omong sana-sini) doang. Ini warisan yang buruk dari sistem feodal yang telanjur mendarah daging dalam diri para birokrat dan politisi kita. 

Karena itu, siapa pun yang akan terpilih tanggal 9 Juli nanti, kalau mau sukses membangun negara dan bangsa ini, jangan menganggap enteng metode blusukan.  

Page 90: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

(Persepsi tentang) Kepribadian Pemimpin

Page 91: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Di tengah caci-maki, baku fitnah, dan saling hujat antarpendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), riset tentang kepribadian capres-cawapres yang dilakukan–antara lain–UI dan UNPAD patut dihargai. 

Kontribusi ilmiah dari perguruan tinggi diharapkan dapat membantu masyarakat luas memiliki referensi lebih luas sebelum memutuskan untuk memilih duet capres-cawapres tertentu. Dalam survei tersebut, jika harus dipetakan berdasarkan menang-kalah, Jokowi-Jusuf Kalla mengungguli Prabowo-Hatta Rajasa. Pasangan nomor dua dinilai baik oleh responden hampir pada seluruh sifat kepribadian. Sementara duet nomor satu memperoleh penilaian positif pada beberapa sifat saja.

Dalam survei tersebut, para responden adalah komunitas psikologi sendiri. Penentuan responden tersebut hingga derajat tertentu menjadikan hasil survei lebih legitimate. Komunitas psikologi selama ini dianggap sebagai pihak yang paling kompeten dalam memahami dan menilai individu. Termasuk, barangkali, ketika individu dimaksud adalah capres-cawapres. 

Bagaimana hasil survei tersebut dipresentasikan dan bagaimana (sebagian) media kemudian mengemasnya menjadi bahan ulasan, perlu disikapi secara bijak. Ini menjadi hal serius agar khalayak luas tidak terposisikan ke kedudukan inferior sehingga secara apriori memfungsikan hasil survei tersebut sebagai–katakanlah– acuan kebenaran.

*** 

Hemat saya, ada dua hal berbeda yang perlu disampaikan secara lebih tegas kepada publik. Pertama, dengan mengidentifikasi para peneliti dan metode yang mereka terapkan, bisa dipastikan bahwa survei tersebut sangat akurat, dalam pengertian bahwa survei tersebut benar-benar mengungkap dan menyajikan data semata-mata perihal persepsi para anggota komunitas psikologi tentang kepribadian capres-cawapres. 

Di dalam data tersebut niscaya tidak ada respons insinyur, pilot, tukang ledeng, arsitek, pesulap, dan profesi-profesi lain. Dengan demikian, tak perlu ada pertanyaan apalagi bantahan tentang kebenarannya. Itulah penilaian para warga psikologi tentang Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, titik. Beda penyikapan tertuju pada hal kedua yakni apakah persepsi para responden memang benar-benar sesuai kondisi kepribadian para capres dan cawapres. 

Dengan kata lain, perlu cermatan lebih seksama terhadap seberapa jauh kesebangunan antara watak capres-cawapres dengan apa yang para warga psikologi pikirkan tentang watak keempat pemimpin masa depan Indonesia tersebut. Masyarakat perlu diberikan garis bawah bahwa penelitian tersebut bukan merupakan–katakanlah– bedah psikologis secara langsung terhadap diri kedua pasangan capres dan cawapres. 

Pada ihwal itu ada beberapa alasan untuk mengedepankan skeptisisme. Alasan utama, sudah seberapa jauh sesungguhnya para responden secara tekun mempelajari perjalanan hidup para

Page 92: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

capres-cawapres yang menjadi objek survei. Kepribadian manusia adalah sesuatu yang kompleks. Atas dasar itu, jangankan untuk memperoleh potret utuh, untuk mendapat gambaran memadai tentang trait individu pun sesungguhnya membutuhkan kerja besar. 

Anggaplah misalnya sebagian responden patut dianggap sebagai ilmuwan yang telaten mencoba mempelajari diri Jokowi. Tapi, bagaimana dengan responden lain? Pun seintens apakah ilmuwan yang sama pada saat yang sama juga sempat membaca kepribadian Prabowo, Hatta, dan JK dengan level kedalaman setara? 

Kedua, seberapa tinggi sesungguhnya kualitas produk kognitif para pemikir profesional (kalangan terdidik) dibandingkan dengan orang biasa? Semestinya, dengan asumsi bahwa kaum intelektual-profesional memiliki perbendaharaan pengetahuan lebih luas dan konstelasi sinaps di dalam otak mereka lebih kompleks, masuk akal untuk berkeyakinan bahwa mutu pemikiran mereka jauh lebih tinggi dari orang biasa. 

Tapi, silakan kaget! Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1973) ternyata membangun simpulan berbeda berdasarkan studi-studi mereka mengenai proses kognitif dan–lebih spesifik–proses pembuatan keputusan manusia. Menerima nobel di bidang ekonomi, Kahneman (dan Tversky) memberikan warisan emas bagi dunia psikologi dalam memahami aktivitas berpikir manusia. 

Bertitik tolak dari pandangan dasar mereka bahwa mustahil manusia mampu berpikir secara rasional (komprehensif, sistematis, dan kompleks), Kahneman dan Tversky menyimpulkan bahwa manusia lebih sering mempraktikkan proses berpikir jalan pintas. Di mata keduanya, ketika dituntut untuk membuat keputusan yang kompleks, manusia justru acap gagal menganalisis situasi secara utuh. 

Kerja kognitif jalan pintas itu bisa dikatakan merupakan keniscayaan karena faktanya banyak hal yang harus dipikirkan atau dikerjakan oleh manusia secara bersamaan dalam waktu yang terbatas dan dengan stamina yang terbatas pula. Walau berpikir heuristic tidak serta-merta buruk, dalam salah satu riset Kahneman dan Tversky menyinggung bahwa proses berpikir jalan pintas juga bisa menghasilkan jebakan kognitif berupa bias representatif (representative bias). 

Melalui eksperimen, Kahneman dan Tversky meminta para subjek untuk menentukan sekian nama dengan karakteristik-karakteristik tertentu sebagai pengacara dan sekian nama lain sebagai teknisi mesin. Si X misalnya karena bersifat konservatif dikelompokkan sebagai teknisi. Sementara si Y yang menggemari debat dimasukkan subjek eksperimen ke dalam kelompok pengacara. 

Kahneman dan Tversky melihat bahwa pengasosiasian melalui proses stereotyping berlangsung sangat kuat melatarbelakangi para subjek ketika melakukan kategorisasi. Proses tersebut jauh lebih berpengaruh ketimbang informasi dasar yang telah Kahneman Tversky berikan sebelumnya kepada para subjek eksperimen. Error kognitif ternyata juga tidak bisa

Page 93: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

dihindari oleh dokter, insinyur, serta berbagai pemangku profesi dan kaum intelektual lain. 

Karena bukti ilmiah menunjukkan bahwa orang awam ternyata menghasilkan produk kognitif yang tak terpaut jauh–bahkan setara– dengan pemikir kelas kakap, melesetnya persepsi para anggota komunitas psikologi tentang kepribadian Prabowo- Hatta dan Jokowi-JK pun menjadi dugaan yang memiliki basis ilmiah. Basis tersebut adalah bias representatif.

*** 

Artikel ini pada akhirnya sepantasnya ditanggapi sebagai sambutan positif terhadap para pelaku survei di atas. Akan lebih besar lagi sesungguhnya pencerahan psikologi yang bisa diberikan tim penyurvei kepada publik kalau penjelasan teoritis tentang proses mental yang terjadi di dalam kepala para responden juga dipaparkan secara terbuka. 

Kritisi ini dilontarkan sebagai safeguard agar hasil survei tidak dimanfaatkan oleh pihak mana pun dengan mendistorsi realita bahwa penelitian tersebut seolah menyajikan gambaran tentang kepribadian para capres-cawapres. Produk intelektual berupa survei politik tersebut ”sebatas” persepsi atau penilaian pihak ketiga (responden) terhadap sifat-sifat empat kandidat pemimpin nasional. 

Akhirul kalam, satu garis bawah patut ditarik yakni hasil riset yang diselenggarakan dengan iktikad luhur (tanpa agenda setting menyimpang) tidak sepantasnya dimanipulasi sebagai amunisi politik untuk merendahkan kubu mana pun dalam kontes Pemilihan Presiden 2014. Kata-kata bijak dilontarkan Nabi Muhammad SAW ratusan tahun silam dan kembali menemukan relevansinya hari ini, ”Cintailah orang yang kamu cintai dengan sewajarnya karena boleh jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang kau benci dengan sewajarnya sebab mungkin saja suatu hari nanti ia akan menjadi orang yang engkau cintai.” Wallahualam.  

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Psikolog Forensik, Anggota Asosiasi Psikologi Islami

Pemimpin Visioner dan Keteladanan Bangsa

Koran SINDO

Page 94: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Selasa,  8 Juli 2014

Setiap orang bisa menjadi pengusaha, namun tidak semua orang memiliki visi yang bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Seorang pengusaha visioner bukan saja memiliki visi. Dia juga harus memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi tersebut menjadi kenyataan. Perusahaan yang memiliki visi-misi dengan kepedulian sosial tinggi, dalam jangka panjang terbukti dapat mengungguli perusahaan yang tidak mengindahkan tanggung jawab sosial.

Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy berkata, ”Jangan bertanya apa yang negara bisa berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negaramu.” Berpedoman kutipan di atas, ketika memulai usaha, kami memiliki visi sederhana, tetapi prinsipnya tetap memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Visi ini bukan berlaku saat itu saja, tetapi kami harapkan eksis selamanya, yaitu ”Menjadi perusahaan yang terbaik dalam industri keramik” selaras dengan ”Mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan masyarakat dan negara.”

Dalam menjalankan visimisi di atas, setiap SDM memegang komitmen penuh dan melaksanakannya setulus hati. Dalam penerapannya, telah terbukti mampu membawa kami melewati beberapa masa krisis, seperti krisis 1997-1998, krisis subprime 2007-2009, dan krisis Eropa 2009-2012. Kami bukan hanya mampu melalui krisis, namun juga terus bertumbuh menjadi perusahaan yang mampu bersaing dengan produk dari China.

Maret lalu kami diundang sebagai salah satu panelis di Harvard Asia Business Conference yang diselenggarakan Harvard Business School dan Harvard Kennedy School of Public Policy. Topik yang diangkat, “Creating a Share value in South East Asia”. Kami bisa diundang karena mereka melakukan riset terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki kinerja sangat baik, sekaligus melakukan corporate sosial responsibility yang berbeda, yang out of the box dan hasilnya sangat dirasakan masyarakat.

Kami berbicara mengenai tiga masalah yang melandasi kami memulai usaha di Indonesia. Pertama yakni legal system. Kita memiliki landasan hukum cukup baik, tetapi mengapa penegakan hukum tidak bisa seperti negara maju. Persoalannya adalah manusia-manusianya, mulai pengusaha, penguasa, hingga ahli-ahli hukum berkolusi untuk mengambil kesempatan dalam kelemahan di dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Apabila kita ingin perusahaan bertumbuh dengan konsisten secara sehat dan terbuka serta penguasa menjadi lebih akuntabel dan melayani, hanya satu pilihan, yaitu membawa perusahaan kita menjadi perusahaan publik. Bukan berarti perusahaan publik tidak melanggar aturan, melainkan juga compliance yang harus diikuti sangat jelas sehingga mengurangi terjadinya hal-hal yang merugikan pemegang saham minoritas, publik, pemerintah, dan

Page 95: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

karyawan. Hukum dan peraturan adalah fundamental terpenting dalam membangun satu institusi yang kuat dan terpercaya.

Kedua, sistem pendidikan. Kami mengamati hanya orang yang berada dan penduduk yang tinggal di kota besar yang memiliki akses pendidikan lebih baik. Inilah yang membuat pembangunan di daerah-daerah makin tertinggal karena kekurangan SDM berkualitas. Karena itu, penguasa dan pengusaha dituntut bekerja sama untuk berinvestasi, supaya bisa menciptakan lapangan kerja.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang rakyatnya sejahtera dan memiliki sistem pendidikan baik. Banyak universitas terkemuka di Amerika Serikat yang lokasinya berada di daerah terpencil. Ini berbeda dengan di Indonesia, di mana universitas yang baik selalu berlokasi di kota-kota besar. Diperlukan penguasa visioner untuk membangun daerahnya secara struktural dan result oriented .

Penguasa yang bersih ditambah dengan SDM yang berkualitas pasti akan menjadi magnet dahsyat untuk menarik investasi. Pembangunan daerah yang berkelanjutan harus bersandar pada pembangunan sumber daya manusianya, bukan bergantung pada kekayaan sumber daya alamnya.

Ketiga, mayoritas penduduk Indonesia masih miskin walaupun kita telah merdeka hampir 69 tahun. Alasan utama, karena para pemimpin tidak memiliki kepedulian untuk menaati hukum yang berlaku dan kualitas pendidikan yang rendah. Pemerintah selalu mengatakan, warga negara yang baik adalah warga negara yang taat membayar pajak. Tetapi kenyataannya, banyak penguasa yang tidak menjadi contoh sesuai slogannya untuk mengajak masyarakat menjadi warga negara yang baik. Banyak penguasa yang tidak bertanggung jawab dengan sembarangan menghabiskan anggaran dari penerimaan pajak.

Bagaimana pemerintah mampu mengajak masyarakat dan pengusaha untuk membayar pajak, tetapi pajak yang diterima tidak dikelola dengan tertib. Tidaklah heran KPK banyak menangkap penguasa nakal, baik dari tingkat pusat maupun daerah.

Malaysia banyak memiliki kesamaan dengan Indonesia. Sama-sama negara berkembang, sama-sama berasal dari rumpun Melayu, sama-sama negara bekas jajahan dan rakyatnya mayoritas muslim, sama-sama terletak di Asia Tenggara dan beriklim tropis. Malaysia bertekad menjadi negara maju pada 2018, dua tahun lebih cepat dari target semula, yaitu 2020. Sementara itu, Presiden SBY menargetkan Indonesia menjadi negara maju pada 2030. Kita merdeka lebih dulu dari Malaysia dan memiliki sumber daya alam jauh lebih kaya, nyatanya mereka jauh lebih maju. Di wilayah perbatasan kedua negara pun, masyarakat mereka jauh lebih sejahtera dibandingkan masyarakat kita, dan desa-desa mereka memiliki infrastruktur jauh lebih bagus.

Indonesia penuh dengan bermacam kekayaan alam, namun mayoritas rakyatnya tetap miskin. Ironisnya, para pejabat bisa hidup makmur dan menikmati hasil kekayaan alam yang berlimpah ruah. Persoalan ini akan terus terjadi karena pendidikan rakyat sangat tertinggal.

Page 96: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

SDM yang berprestasi selalu mencari kerja di segmen swasta. Sedikit dari mereka yang mau mengabdi bagi negara. Akibatnya para penguasa dipenuhi oleh orang-orang serakah, serakah terhadap harta, serakah terhadap jabatan, dan mau berbuat apapun demi memenuhi hawa nafsunya.

Maka nasihat tokoh India, Mahatma Gandhi, yang mengatakan, ”Dunia ini menyediakan dengan berlimpah untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, namun tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia” adalah satu kebenaran yang perlu kita renungkan.

TENDEAN RUSTANDYCEO PT Arwana Citramulia Tbk

Ibu-Ibu di Garis Depan

Page 97: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Semen Indonesia, wakil dunia kapitalis dan simbol kekuasaan besar, di mana nama pemerintah terdapat di dalamnya, jelas memancarkan wibawa besar dan bisa menakutkan. 

Tapi, ini kurun zaman baru, zaman sesudah reformasi, zaman terbuka lebar. Informasi terbuka, sikap manusia terbuka, keberanian terbuka, dan kesiagaan membela hak-hak hidup masyarakat pun terbuka. Orang tetap takut pada tekanan, cemas pada intimidasi, dan teror, tetapi di zaman terbuka ini orang berani menegaskan sikap secara terbuka pula untuk menyatakan bahwa dengan senjata kebenaran orang tak lagi takut pada siapa pun. 

Begitu juga ibu-ibu, kaum perempuan di dalam masyarakat kaum tani, di perbatasan antara Rembang dan Blora. Mereka maju ke garis terdepan menghadapi otoritas pabrik yang bersikap otoriter. Ketika urusan belum lagi jelas, kesepakatan belum tercapai, tapi pihak pabrik sudah nekat menetapkan secara sepihak wilayah pabrik dan titik operasionalnya sambil mengancam tuan rumah yaitu para petani pemilih tanah dan pemilik kehidupan yang hendak dipindahkan secara semena-mena itu. 

Di sana ada suatu jenis ”perampokan”. Suasana tegang bulan lalu itu, di mana banyak ibu-ibu digebuki aparat keamanan yang dibayar pabrik, ketegangan belum lenyap. Ibu-ibu tak gentar menghadapi kekerasan. Ya, siapa pun takut menghadapi situasi genting macam itu. Tapi, ibu-ibu yang terluka tubuh maupun hatinya kelihatannya maju terus. Seolah berteriak seperti dalam sajak Chairil Anwar, Diponegoro: ”tak gentar, lawan seratus kali banyaknya”. Memang tak gentar dan tak perlu gentar.

 Ibu-ibu ini tahu, karena mereka bagian dari ”dunia pesantren”, bahwa dalam perang demi perangnya dulu, Rasulullah selalu maju ke medan dengan jumlah tentara lebih kecil dari tentara musuh. Tapi, Rasulullah, seperti ibu-ibu ini, bersenjata kebenaran. Rasulullah yang mulia itu ibaratnya ”ditemani” secara langsung oleh Allah sendiri. Apa yang ditakuti dalam suasana kejiwaan sepeti itu?

Ibu-ibu yang ada di garis terdepan jangan pernah lupa dalam Mahabarata yang dahsyat itu peperangan juga tidak adil. Secara khusus itu perang saudara, lima orang Pandawa melawan seratus orang Kurawa. Lima melawan seratus. Kecuali itu, di pihak Kurawa yang seratus orang banyaknya itu terdapat partai koalisi yang terdiri atas raja-raja seribu negara. Betapa besar kekuatan mereka. Tapi, kebenaran, biarpun harus pontang-panting lebih dulu, tak bisa dikalahkan. Lima orang itu bisa menggempur kekuatan seratus orang. Perhitungan matematik, kalkulasi rasional dalam perang modern, dan apa pun yang gagah dalam uluran ”jumlah”, tampaknya tak berarti. Seratus orang binasa. Lima orang jaya.

Dalam kisah Ramayana, Batara Rama hanya berdua dengan adiknya, Laksmana. Karena mereka dibantu oleh monyet-monyet dari seluruh hutan Dhandhaka, hutan Mangliawan, dan kerajaan monyet di gua Kiskendha, sukseslah mereka ”menggepuk” Negeri Alengka, membunuh raksasa-raksasa tak terhitung jumlahnya, dan menamatkan riwayat raja keserakahan dan keangkuhan, bernama Dasamuka. 

Page 98: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

Pada zaman itu orang sudah tahu, Dasamuka tak terkalahkan. Kerajaan-kerajaan dan negeri- negeri di sekeliling Kerajaan Alengka itu siang malam dirundung rasa cemas dan takut kalau tiba-tiba diserang Dasamuka dan prajurit yang serakah dan angkuh itu. Keserakahan dan keangkuhan pernah berkuasa dan sekarang pun masih tetap ingin menjadi penguasa dunia. 

Pasar global, kapital global, dan kapitalis global, menjarah rayah aset bisnis dunia. Bisnis-bisnis besar, di negara-negara yang posisinya ”lokal” diserobot. Kapital global dan kapitalis global yang tak punya wudel, tak punya hati, mencaplok siapa saja dan apa saja yang bisa dicaplok, tak peduli bahwa itu ditempuh dengan peperangan, pembunuhan, penghancuran, dan kebohongan-kebohongan. Ada hukum yang mereka tetapkan sendiri bahwa yang besar harus menang, yang global tak boleh dikalahkan oleh yang lokal. 

Dalam perang bisnis mereka, pemerintah dibeli, media dibeli, pejabat negara dibeli, tokoh masyarakat dibeli, bromocorah dan preman-preman dibeli. Sebagian orang yang bisa dianggap sebagai ”rohaniwan” pun ada pula yang bisa dibeli. Pemerintah dan pejabat pemerintah dibeli? Ini tak terlalu mengherankan karena di mana pun pejabat memiliki watak seperti itu. Tapi, orang yang dianggap ”rohaniwan” dibeli juga? 

Ah, rohaniwan yang belum istikamah, yang belum ikhlas, yang belum sujud secara hakiki, dan belum berpuasa dalam arti sebenarnya, apa anehnya bila dia terbeli? Rohaniwan yang belum berpuasa dalam arti sebenarnya, kebutuhan makannya banyak, kebutuhan sandangnya mahal, kebutuhan rumahnya besar dan mewah, serta kebutuhan mobilnya, jelas sangat mahal. Puasa dalam arti sebenarnya bukan begitu. 

Mereka zuhud, hidup bersahaja, dan siap mengayom mereka yang lemah. Ibu-ibu, Srikandi di garis depan, itu orang-orang lemah dibandingkan dengan para jawara yang disewa pabrik. Jawara berseragam, jawara desa setempat, jawara berseragam pejabat, dan mereka yang berjubah, yang bersurban tinggi menjulang ke langit menantang debu, tapi yang bukan debu pabrik semen Indonesia, jelas kekuatan dahsyat. 

Tapi, apa tidak malu, kekuatan dahsyat yang begitu menggetarkan itu hanya digunakan untuk melawan ibu-ibu? Betapa memalukannya. Polisi negara, tentara negara, pejabat negara, semua milik negara dan misinya mengabdi kepentingan negara. Tapi, mengapa larut dalam keserakahan global dan menjadi wakil keangkuhan global, tanpa rasa kasihan menghadapi warga masyarakat yang lemah, dan mudah diteror, rentan dari ancaman? 

Dalam perang besar yang disebut Bharatayudha itu, Bhisma, pihak Kurawa, tak ada yang bisa menandingi. Dia terlalu kuat, terlalu perkasa. Mustahil ada pihak musuh, Pandawa, yang mampu mengalahkannya. Tapi, Bhisma itu pandita, rohaniwan, pencinta kebenaran. Melihat musuhnya terlalu lemah, dia minta pihak Pandawa mengirimkan senapati yang perkasa. 

Siapa yang perkasa itu? Bukankah di Pandawa hanya ada orang-orang lemah dibandingkan dengan kekuatan tak terhingga di dalam diri Bhisma? Orang perkasa itu ibu-ibu, seorang puri,

Page 99: (Sindonews.com) Opini sosial-budaya Koran Sindo 8 Juni 2014-9 Juli 2014

bernama Srikandi. Dia yang perkasa dan bakal mampu mengalahkan Bhisma di medan Kurusetra. 

Srikandi maju dan memasang panah pada busur yang dilengkungkan hingga begitu dalam melengkung dan panah melesat cepat. Bhisma roboh. Ini orang jujur, rohaniwan sejati, yang tahu menghargai manusia dan kemanusiaan. Dia rela, demi kebenaran tadi, gugur, menggeletak, bermandikan darah dari luka-lukanya sendiri. Dan dia merasa bahagia. 

Dari pihak Semen Indonesia sana, siapa yang jujur? Siapa yang mewakili dunia rohani? Siapa Bhisma mereka? Semua Kurawa, semua Dasamuka dan seluruh raksasa jahat, prajurit-prajuritnya yang tak mengenal kemanusiaan itu? Semen Indonesia, menjarah tanah warga negara Indonesia? Ibu-ibu, Srikandi, di sana tidak ada pandita, di sana tidak ada Bhisma. 

Tapi, dengan senjata kebenaran, ibu-ibu tak gentar– sekali lagi–”lawan seratus kali banyaknya”. Kalah-menang bukan urusan mereka. Darma hidup mereka jelas: membela hak, mempertahankan hak. Ibu-ibu siap di garis depan, tanpa tahu kapan ditarik ke belakang. ●

MOHAMAD SOBARY

Budayawan