(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

212
DAFTAR ISI INDONESIA, BANGSA MARITIM YANG TERSESAT Bagus Jatmiko 4 DEMOKRASI DAN KEPATUHAN Janedjri M Gaffar 8 TATA KELOLA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN BARU Gun Gun Heryanto 11 PEPESAN KOSONG KOALISI TANPA SYARAT Moch Nurhasim 14 OPOSISI JUGA SEKSI Iding Rosyidin 17 PEMILIHAN WAKIL GUBERNUR DKI: UJIAN “PANAS” KOALISI MERAH PUTIH Eko Ardiyanto 20 PEJABAT PUBLIK & SISTEM POLITIK Dinna Wisnu 22 MENGAPA HENDROPRIYONO? Bawono Kumoro 25 MELACAK AKAR KONFLIK ARAB-YAHUDI Faisal Ismail 28 KEADILAN SUBSTANTIF Moh Mahfud MD 31 DEMOKRASI INDONESIA Firman Noor 34 ANALISIS DAMPAK REGULASI Romli Atmasasmita 37 PENUMPANG GELAP JOKOWI-JK Bambang Soesatyo 40 1

description

opini para pakar yang dimuat di Koran SINDO dan situs www.sindonews.com

Transcript of (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Page 1: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

DAFTAR ISI

INDONESIA, BANGSA MARITIM YANG TERSESATBagus Jatmiko 4

DEMOKRASI DAN KEPATUHANJanedjri M Gaffar 8

TATA KELOLA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN BARUGun Gun Heryanto 11

PEPESAN KOSONG KOALISI TANPA SYARATMoch Nurhasim 14

OPOSISI JUGA SEKSIIding Rosyidin 17

PEMILIHAN WAKIL GUBERNUR DKI: UJIAN “PANAS” KOALISI MERAH PUTIHEko Ardiyanto 20

PEJABAT PUBLIK & SISTEM POLITIKDinna Wisnu 22

MENGAPA HENDROPRIYONO?Bawono Kumoro 25

MELACAK AKAR KONFLIK ARAB-YAHUDIFaisal Ismail 28

KEADILAN SUBSTANTIFMoh Mahfud MD 31

DEMOKRASI INDONESIAFirman Noor 34

ANALISIS DAMPAK REGULASIRomli Atmasasmita 37

PENUMPANG GELAP JOKOWI-JKBambang Soesatyo 40

PARASIT DI TUBUH POLRIMarwan Mas 43

GAWAT DARURAT HUKUM KONSERVATIFMoh Mahfud MD 46

ABORSI PADA KASUS PEMERKOSAAN

1

Page 2: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Sofyan Hasdam 48

KOALISI ABADISarlito Wirawan Sarwono 50

ANAS DAN OPINI YANG BERUBAHMa’mun Murod Al-Barbasy 53

PENGUNDURAN DIRI JOKOWIZainal Arifin Mochtar 57

MUNIR, 10 TAHUN MENOLAK LUPATom Saptaatmaja 60

KORUPSI DI SEKTOR MIGASMarwan Batubara 63

DUA PRESIDENAndi Syafrani 66

PERUBAHAN SISTEM DAN POLEMIKNYAM Alfan Alfian 70

PILKADA YANG KONSTITUSIONAL, DEMOKRATIS, DAN EFISIENAhmad Yani 73

PENGUNDURAN DIRI AHOKMuhammad Tri Andika 76

MK BUKAN LEGISLATIFMoh Mahfud MD 78

PARADOKS PILKADA LANGSUNG ATAU TAK LANGSUNGMoch Nurhasim 80

KEPASTIAN ARAH PENYELESAIAN SENGKETA PILKADASamsul Wahidin 83

PRESIDENSIAL PASCA-PEMILU 2014Janedjri M Gaffar 86

MORALITAS VS EFISIENSIRomli Atmasasmita 89

RUSAK AKIBAT PILKADA LANGSUNGBambang Soesatyo 92

QUO VADIS PILKADA?Ma’mun Murod Al-Barbasy 96

2

Page 3: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

KITA DAN REFERENDUM SKOTLANDIADinna Wisnu 99

FEDERASI ADVOKAT INDONESIAAmzulian Rifai 102

WAJAH GANDA JOKOWI-JKRomanus Ndau Lendong 105

KADO PAHIT DI AKHIR JABATANMarwan Mas 108

KELIRUMOLOGI DALAM HUKUMMoh Mahfud MD 111

ADVOKAT DALAM CENGKERAMAN POLITIKAndi Syafrani 113

HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (I)Anas Urbaningrum 116

HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (II)Anas Urbaningrum 119

HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (III)Anas Urbaningrum 122

PLEIDOI ANAS, MERINDU KEADILANMa’mun Murod Al-Barbasy 125

PELANTIKAN ANGGOTA DPR YANG TERSANGKUT KORUPSIJamal Wiwoho 128

DEMOKRASI BUKAN UNTUK MENYESATKANArissetyanto Nugroho 131

MEMPERSOALKAN KONSISTENSI JOKOWIBambang Soesatyo 134

KELIRUMOLOGI KEADILAN SUBSTANTIFMoh Mahfud MD 137

BECERMIN PADA NEGARA HUKUM YANG RETAKW Riawan Tjandra 139

PEMBEBASAN BERSYARAT: KELIRU ASAL, MELESET TUJUANReza Indragiri Amriel 142

3

Page 4: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Indonesia, Bangsa Maritim yang Tersesat

Koran SINDO

23 Agustus 2014

Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, dengan lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat.

Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan. Namun, ada hal yang belum disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih jauh dari hal tersebut? 

Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman. Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali menjelma sebagai sebuah negara maritim besar. 

Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim. 

Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat alasan penyebab hal ini terjadi.

 Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial, yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama di bumi Indonesia, terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa

4

Page 5: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

maritim. Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa. 

Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah perkembangan ekonomi nasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur) daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang. 

Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan.

*** 

Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini kemudian akan diisi entitas-entitas lain selain dari pemerintahan yang sah. Di banyak daerah yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut. 

Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian “effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan mereka. 

Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah. Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana menteri. 

Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah

5

Page 6: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam kariernya di pemerintahan AS. Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara.

Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa. Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim. 

Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada Perang Dunia ke-II. Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman (Kriegsmarine) oleh Hitler sang Fuhrer yang kemudian berakibat fatal. 

Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim, terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Poros pertahanan sebuah negara maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan maritimnya. 

Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta. 

Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensi-agensi yang mempunyai kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan, perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi-asosiasi kemaritiman lainnya yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta. 

Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas. 

Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.●

6

Page 7: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

MAYOR BAGUS JATMIKO

Perwira TNI AL, Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate School, Monterey, California

7

Page 8: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Demokrasi dan Kepatuhan

Koran SINDO

25 Agustus 2014

Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan pemohon. 

Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya. 

Penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil pemilu anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya keberhasilan bagi MK, namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah berhasil menjalani pemilu secara damai dalam menentukan pemerintahan yang akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia menjalani dua pemilu pada 2014 ini juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. 

Final dan Mengikat 

Pasal 24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap warga negara. 

Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas. Pada posisi ini MK menjadi penafsir akhir konstitusi yang harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir demi berjalannya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu, diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika menjatuhkan putusan akan menghilangkan semua perbedaan. 

8

Page 9: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Dalam konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu diperlukan agar kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar otoritas akhir pemutus perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang diakui semua pihak, ia harus bersifat independen dan imparsial terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta maupun penyelenggara. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara mendalam berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan proses politik terhadap putusan hukum. 

Konstruksi ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi sehingga melahirkan kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan, personal hakim, dan argumentasi putusan. Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan, memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara. 

UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat diartikan sebagai seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah argumentasi putusan. Bagian utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan. 

Pertimbangan hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 adalah sumber legalitas konstitusional putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti strategis putusan yang dijatuhkan. Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan cara menggelar persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan imparsialitas hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan mendalam. 

Kepatuhan 

Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan, apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi memuaskan. Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014 dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik oleh pemohon, termohon, maupun pihak terkait. 

9

Page 10: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum. 

Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres, melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang. Hanya dengan kepatuhan demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih substantif, yaitu proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan. ●

JANEDJRI M GAFFARDoktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang

10

Page 11: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru

Koran SINDOSenin,  25 Agustus 2014

PERHELATAN pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai dengan beragam cerita yang mengiringinya. Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya.

Pemilu secara umum berjalan damai dan tiap pihak menghormati hukum, peraturan, etika, dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar negeri.

Tantangan Global

Presiden terpilih lima tahun ke depan akan dihadapkan pada kompleksitas persolan di segala lini. Karena itu, butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya politik berupa dukungan, dan public trust sebagai modal sosial.

Salah satu tantangan faktual di era baru ini adalah pengelolaan komunikasi pemerintahan dalam optimalisasi peran di dalam negeri, kawasan maupun dunia internasional. Ada sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan pemerintah memiliki visi komunikasi yang jelas, terarah, dan adaptif dengan konteks perubahan yang terjadi.

Tantangan geopolitik terutama kompetisi di kawasan ASEAN dan dunia. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi mencakup lokasi, luas, serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijakan.

Kondisi geografi suatu negara tentu sangat memengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara bersangkutan seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, hubungan perdagangan. Jika kita identifikasi ada sejumlah tantangan nyata di depan mata.

Pertama, tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pemberlakuan action dari Masyarakat Ekonomi ASEAN ini bertujuan memenuhi target MDGs (Milennium Development Goals). Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara

11

Page 12: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

sehat di berbagai bidang.

Dengan konsep area ASEAN sebagai pasar tunggal, pembebasan bea tarif masuk antarnegara dan kerja sama saling menguntungkan mengharuskan Pemerintah Indonesia mengoptimalkan strategi komunikasi di kawasan. Indonesia harus meyakinkan pihak lain sebagai engine of growth bagi ekonomi kawasan dan dunia. Strategi komunikasi digunakan untuk promosi ekspor, membangun global brand, standardisasi internasional, penetrasi pasar baru di luar negeri, serta mengelola citra dan reputasi produk lokal kita kompetitif dalam persaingan global. 

Kedua, di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini pun Indonesia belum tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah.

Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis bahwa keberadaan Indonesia hanya menjadi kanal kepentingan Amerika untuk merayu India dan China. Tentu stigma negatif ini harus diubah dengan mengoptimalkan peran di G-20 untuk kemajuan Indonesia.

Ketiga, tantangan zona perang informasi global yang bersifat asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Misalnya di pengujung 2013, SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia.

Ironis memang karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pasti memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013), menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global.

Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff.

Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Belum lagi tantangan perang cyber. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional.

Metode seperti ini misalnya yang dipilih Wikileaks yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Beberapa informasi yang dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia.

12

Page 13: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Prioritas Pemerintah

Tata kelola komunikasi nasional juga harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Komunikasi sangat vital sehingga perlu ditempatkan pada posisi yang strategis. Pemerintah baru harus mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi dan menjaga modal sosial berbentuk public trust.

Sejumlah tindakan komunikasi bisa dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan akses informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah, komunikasi strategis terkait isu kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan respons cepat pemerintah.

Pemerintah harus memiliki blue print yang jelas mengenai pengelolaan opini publik, public relations politik, marketing komunikasi, komunikasi sosial, komunikasi internasional, komunikasi antarbudaya dll. Oleh karena begitu penting dan strategisnya komunikasi bagi pemerintahan baru diperlukan kebijakan dan tata kelola komunikasi yang optimal.

Presiden SBY telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2014 yang ditandatanganinya pada 20 Januari 2014 mengenai pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Detiknas adalah lembaga koordinasi eksekutif yang dibentuk dan diketuai Presiden Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 20 Tahun 2006. Detiknas memiliki visi untuk mempercepat pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia secara efisien dengan membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi program-program TIK di seluruh kementerian/lembaga. 

Sayangnya, peran dewan ini antara ada dan tiada! Ke depan, menurut saya, harus ada tata kelola yang lebih fokus pada sinkronisasi komunikasi nasional dan internasional. Mampu merumuskan kebijakan umum, arahan strategis, koordinasi sistemik guna menyelesaikan persoalan komunikasi pemerintahan baru.

DR GUN GUN HERYANTODosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)

13

Page 14: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pepesan Kosong Koalisi Tanpa Syarat

Koran SINDO

26 Agustus 2014

Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal menunggu pelantikan pada 20 Oktober 2014 mendatang. Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian menarik.

Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol). Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam pilpres menang (KORAN SINDO, 12/8).

Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan. Secara ideal bisa saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa syarat dapat diterapkan. PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh 109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%.

Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan. Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja sendiri.

Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden-DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah undang-undang. DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undang-undang tanpa persetujuan presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.

14

Page 15: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

***

Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah. Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai hampir mustahil dilakukan. Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan.

Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja dimakzulkan. Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70% partai koalisinya menguasai kursi parlemen.

Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo- Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang. Dengan modal partai pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan partai-partai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri, termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah.

Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat, atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan. Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih.

Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang bisa menjadi antiklimaks. Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan terhadap presiden terpilih.

Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden

15

Page 16: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser oposisi dengan penguasaan 52,14%. Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi.

Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa imbal jasa? ●

MOCH NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI

16

Page 17: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Oposisi juga Seksi

Koran SINDO

27 Agustus 2014

Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait masalah ini, banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih yang beranggotakan partai-partai politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur masuk ke dalam kekuasaan?

Kekuasaan yang Menggoda

Bukan tidak mungkin sebagian anggota Koalisi Merah Putih akan berpindah haluan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, sejumlah elite partai ini banyak yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai anggota Koalisi Merah Putih lain mulai melakukan manuver.

Golkar misalnya bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari Koalisi Merah Putih. Hal yang sama juga tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar biasa.

Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di luar, mereka seolah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Ini diperparah dengan kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang

17

Page 18: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when and how). Akibat itu, mereka lebih memilih untuk berada di dalam kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil risiko untuk berada di luar kekuasaan.

Oposisi, Mengapa Tidak?

Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk kesewenangan lain. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di negeri ini pada masa Orba.

Kekuatan penyeimbang tidak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota Koalisi Merah Putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis, peran sebagai oposisi bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik. Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar, besar kemungkinan oposisi akan menjadi investasi politik pada masa-masa yang akan datang.

Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti. Demikianlah kita misalnya menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode berikutnya. Karena itu, publik sangat berharap anggota Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, PKS, dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota Koalisi Merah Putih lainnya, konsisten memainkan peran oposisi paling tidak selama lima tahun ke depan.

Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada ihwal berikut. Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, tapi harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai oposisi saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik.

Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain, partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justru akan menimbulkan antipati publik. Ini malah membahayakan bagi partai-partai itu.

18

Page 19: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki reformasi oposisi mulai muncul meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada dua periode pemerintahan kemarin misalnya PDIP telah memainkan peran oposisi dengan cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka itu, sangat tepat kalau Gerindra, PKS, dan partai anggota Koalisi Merah Putih lain juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan menempuh jalur oposisi.

Pada masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih berganti kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini. Sebaliknya, ia justru isu seksi yang mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Sekali lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi.

IDING ROSYIDINDosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute    

19

Page 20: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pemilihan Wakil Gubernur DKI: Ujian ”Panas” Koalisi Merah Putih

Koran SINDO

27 Agustus 2014

Senin (25/8) lalu 106 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dilantik dan diambil sumpahnya. Aroma pertarungan politik sudah langsung merebak di Kantor DPRD yang bersebelahan dengan Balai Kota tempat gubernur dan wakil gubernur berkantor.

Dengan keterpilihan Joko Widodo sebagai presiden RI 2014-2019, secara otomatis sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 Ayat 3, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan naik menjadi gubernur DKI Jakarta. Lalu, siapa wakil gubernurnya yang akan mendampingi Ahok? Di sinilah ”ujian panas” pertama Koalisi Merah Putih pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ditentukan. Merujuk komposisi anggota DPRD DKI 2014-2019 kekuatan Koalisi Merah Putih berjumlah 57 kursi (Gerindra 15, PKS 11, PPP 10, Demokrat 10, Golkar 9, dan PAN 2), sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK berjumlah 49 kursi (PDIP 28 kursi, Hanura 10, PKB 6, dan NasDem 5).

Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI diusulkan PDIP dan Gerindra, hanya dua partai inilah yang berhak mengajukan calon wakil gubernur ke DPRD, ini sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 26 ayat 4 yang isinya: ”Kepala daerah mengajukan dua calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik pengusungnya dulu untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD”. Aroma persaingan ”merebut” kursi DKI-2 sudah terlihat dari sikap Partai Gerindra dan PDI Perjuangan yang ”ngotot” mengajukan calon masing-masing.

Dari Gerindra ada nama M Sanusi (ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI 2009-2014) dan M Taufik (ketua DPD Gerindra DKI), sementara PDIP mengantongi tiga calon yakni Boy Sadikin (ketua DPD PDIP DKI Jakarta), Djarot Saiful (mantan Wali Kota Blitar), dan Bambang DH (mantan Wali Kota Surabaya). Partai Gerindra tentu akan bertarung habis-habisan untuk merebut kursi wakil gubernur DKI karena partai pendukung Prabowo Subianto ini tak ingin kehilangan muka dua kali setelah kalah di pilpres lalu.

Tawaran-tawaran politik di panggung pimpinan DPRD DKI akan menjadi ”hadiah” jika anggota Koalisi Merah Putih solid. Bukan tidak mungkin, jika kursi wakil gubernur DKI diisi

20

Page 21: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

kader Gerindra, ketua DPRD akan diisi anggota dari PPP atau Demokrat, sedangkan posisi wakil ketua DPRD dan ketua komisi akan dibagi rata pendukung Koalisi Merah Putih. Namun, kalkulasi politik Koalisi Merah Putih ini sebaiknya juga harus mempertimbangkan masukan Ahok sebagai gubernur DKI pengganti Jokowi, yang menginginkan pendampingnya orang yang jujur, pekerja keras, dan bisa mengimbangi sikap dinamis dirinya.

Syarat menjadi kepala daerah juga pernah disampaikan Ahok. Selain pertimbangan dari Ahok, Partai Gerindra sebagai motor Koalisi Merah Putih di DPRD DKI Jakarta juga harus memperhitungkan masa depan politik untuk pilkada selanjutnya. Jangan sampai, karena hanya ingin memaksakan kehendak merebut kursi DKI-2, prestasi Ahok dan wakil gubernurnya nanti justru menjadi bumerang.

Fraksi Demokrat Jadi Penentu

Hampir mirip dengan situasi di DPR pusat, Fraksi Demokrat di DPRD DKI Jakarta akan menjadi penentu peta koalisi. Hitungan politik Koalisi Merah Putih di DPRD DKI bisa bubar jalan jika Fraksi Demokrat yang memiliki 10 kursi memilih bergabung ke koalisi pendukung Jokowi-JK dan mendukung calon wakil gubernur yang akan diajukan PDI Perjuangan. Fraksi Demokrat tentu punya kalkulasi politik tersendiri, jika mereka memilih bergabung dengan PDIP daripada Gerindra, bisa jadi partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki target di Pilkada atau Pemilu Legislatif 2019 mendatang agar bisa kembali menjadi fraksi mayoritas seperti pada 2004-2009. Jika Fraksi Demokrat benar bergabung dengan PDIP, dukungan ini tentu tak ”gratis”, pasti ada tawar-menawar politik bagi kader Demokrat di DPRD DKI.

Menurut prediksi penulis, selaku gubernur DKI Jakarta yang baru nanti, Ahok pasti menginginkan pendampingnya berasal dari koalisi yang dimotori PDI Perjuangan agar dukungan di legislatif semakin kuat karena Ahok yang berasal dari Gerindra dan wagub yang berasal dari PDIP akan memiliki kepentingan yang sama yakni kepemimpinan yang sukses hingga 2017.

Jika pasangan ideal ini terwujud, masalah penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tentu tidak akan menjadi masalah seperti tahun sebelumnya. Lalu, bagaimana akhir ”drama” pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta ini? Jawabannya akan mulai terlihat pada proses pemilihan pimpinan DPRD DKI 2014-2019 hingga penetapan wakil gubernur. Apakah Koalisi Merah Putih akan lolos pada ”ujian panas” pertamanya ini? Kita lihat saja nanti.

EKO ARDIYANTOMahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta

21

Page 22: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pejabat Publik & Sistem Politik

Koran SINDO

27 Agustus 2014

Tiga hari lalu Jenderal Prayuth Chan-ocha menjadi orang nomor dua terkuat di Thailand setelah Raja King Bhumibol Adulyadej. Dia adalah perdana menteri ke-29 dan akan memimpin Thailand menuju pemilihan umum di bulan Oktober 2015. Dia saat ini masih menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat Thailand, tetapi akan memasuki masa pensiun pada bulan September tahun ini.

Meski begitu masyarakat Thailand masih ragu apakah sang jenderal akan legawa meletakkan jabatannya mengingat sejarah sepak terjang militer sebagai kekuatan politik yang mampu memotong seluruh jalur prosedur demokrasi yang dibangun di Thailand. Kalaupun Jenderal Prayuth memiliki niat baik untuk meletakkan jabatan militernya, sang pengganti haruslah seseorang yang ia kenal baik dan loyal. Hal ini mengandung makna bahwa kepangkatan tidak menjamin loyalitas bila tidak disertai hubungan antarpribadi yang dekat.

Selain itu, konsultasi dengan pihak kerajaan juga tidak dapat diabaikan karena Raja Thailand masih menjadi figur kuat dalam menentukan arah politik (termasuk upaya menuju demokrasi) di Thailand walaupun secara fisik beliau semakin hari lemah karena usia. Ujian terdekat Jenderal Prayuth adalah penyusunan kabinet. Apakah ia akan mengakomodasi kelompok Kaus Merah dan Kuning? Siapakah yang mendapatkan posisi penting dalam kabinet?

Beberapa analis politik mengatakan politik tidak beda dengan sistem ekonomi pasar. Para aktor saling bertransaksi untuk mendapatkan legitimasi dari aktor lain. Istilah umumnya, tidak ada makan siang gratis. Di Amerika misalnya dikenal dengan istilah pork-barrel, yaitu tukar-menukar dukungan dengan mengucurkan proyek pembangunan di sebuah wilayah. Namun perumpamaan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pertama karena dalam ekonomi pun tidak ada yang namanya persaingan bebas. Pertukaran dalam ekonomi pasar juga memiliki biaya yang membuat hukum permintaan-penawaran tidak selalu berjalan sempurna. Para ekonom menyebutnya anomali, tetapi ahli sosiologi dan politik menyebutnya sebagai aspek sosial ekonomi.

Maksudnya bahwa ekonomi hidup dalam sebuah ruang yang sesak dengan berbagai macam sistem, aturan, nilai, moral, etika, sistem rasional, dan sebagainya. Pada saat permintaan BBM tinggi dan persediaan rendah, harga minyak di SPBU semestinya mengikuti hukum tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi karena sistem politik menahan harga tersebut walaupun akibatnya pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan

22

Page 23: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

atau kesehatan menjadi tersendat-sendat pelaksanaannya. Demokrasi Thailand adalah salah satu contoh terdekat yang dapat kita diskusikan.

Demokrasi di sana selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan selalu terjadinya kudeta militer apabila masyarakat sipil tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka secara sipil. Penjelasan yang umum yang melatarbelakangi kekhawatiran itu antara lain karena sistem demokrasi Thailand masih mencampuradukkan antara kekuasaan monarki dan kekuasaan politik modern. Secara formal kekuasaan Raja Thailand telah berkurang dibandingkan 80 tahun lalu. Ketika itu raja menyetujui desakan kaum reformis untuk memberikan hak konstitusi kepada warga di mana raja melepaskan kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Meski demikian, raja Thailand saat ini masih merupakan pimpinan tertinggi dari angkatan bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan. Kebebasan berpendapat dijamin selama tidak menyinggung simbol-simbol kerajaan. Siapapun yang melanggar akan masuk ke penjara. Pertanyaannya kemudian apakah demokrasi dengan percampuran antara kekuasaan raja dan sistem politik yang modern adalah sebuah bentuk demokrasi yang ideal untuk masyarakat Thailand? Jawabannya sangat relatif.

Bagi kaum rational choice, demokrasi di Thailand bukan demokrasi yang ideal karena sistem politiknya tidak menyediakan atau mendukung tumbuhnya tindakan-tindakan rasional untuk mencapai tujuannya. Sistem politik harus menciptakan lingkungan di mana para aktor dan tindakannya didorong berpolitik dengan menggunakan etika, moral, dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima akal manusia khususnya etika dan moral. Apabila sistem politik tidak mendukung hal tersebut, yang terjadi adalah tindakan para aktor politik yang tidak bermoral dan tidak beretika.

Pandangan demikian banyak berbenturan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contoh adalah China dengan sistem satu partainya. Apakah kita dapat menyatakan bahwa China lebih baik dari Thailand atau sebaliknya Thailand lebih baik dari China? Kaum realis-pragmatis berpandangan baik atau tidaknya demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat itu sendiri. Apabila sistem itu tidak cocok, rakyat pasti akan menolak dan melakukan perubahan. Namun, apabila cocok, masyarakatnya akan baik-baik saja.

Negara-negara sosialis sebelum Tembok Berlin runtuh menolak sistem demokrasi Barat. Mereka menganggap demokrasi itu adalah demokrasi borjuis. Hanya Kuba dan China yang secara resmi menyatakan menganut ideologi sosialis yang masih bertahan. Negara-negara Timur Tengah yang masih memiliki kekuasaan monarki juga menolak demokrasi tersebut karena terlalu sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Apabila kita menyerahkan definisi yang ideal dan tidak dari sejauh mana masyarakat bereaksi, apakah kita tidak terjebak dalam relativisme atau pendapat yang menyatakan tidak ada satu kebenaran yang sah karena kebenaran itu bersifat terbatas baik oleh waktu maupun ruang?

Saya tidak berniat menjawab pertanyaan itu karena selain ruang yang terbatas, pertanyaan

23

Page 24: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

tersebut lebih baik dijawab oleh pejabat publik yang akan menggantikan atau memperpanjang kekuasaan mereka seusai hiruk pikuk pemilihan legislatif dan presiden bulan lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini semestinya menjadi pertanyaan yang harus hidup dalam benak seluruh pejabat politik di Indonesia, terutama mereka yang duduk di kursi presiden, parlemen, kabinet, badan-badan negara dan lembaga publik lain. Para pejabat harus hati-hati dalam memutuskan dan bertindak karena apa yang mereka lakukan akan memiliki dampak yang besar kepada masyarakat.

Para pejabat publik tidak boleh berhenti mencari jawaban ideal tentang mengapa mereka ingin maju dan duduk di kursi kekuasaan. Apakah karena berjuang untuk mengurangi kemiskinan? Berjuang memperbesar biaya pendidikan atau kesehatan? Melakukan perubahan untuk kehidupan toleransi atau hanya iseng demi memperbaiki status sosial ekonomi? Apabila para anggota parlemen tidak lagi peduli untuk mencari tahu apa yang membuat mereka terdorong masuk di parlemen, sejak saat itulah mereka tidak lagi berarti. ●

DINNA WISNU, PhDCo-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu    

24

Page 25: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Mengapa Hendropriyono?

Koran SINDO

28 Agustus 2014

Usai sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15%). 

Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu. Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara–baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum–telah menanti untuk segera dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang. 

Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto Kristianto, dan Akbar Faizal. Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko Widodo- Jusuf Kalla. Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan. 

Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut. Mantan wali kota Solo itu berdalih memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan intelijen bagi kantor transisi. 

Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam Lampung. Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang keprihatinan publik. 

25

Page 26: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Apalagi, AM Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan. 

Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan lingkaran terdalam kekuasaan? Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM. 

Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan kembali terbuka. Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. 

Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Statuta International Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional. 

Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari tuntutan hukum pelanggaran HAM. Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran HAM. Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa. 

Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti peran menjadi seorang pahlawan. Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para

26

Page 27: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

pejuang gerakan-gerakan reformasi. 

Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu. Semoga Joko Widodo belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye pilpres lalu. Menempatkan tokoh- tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik. ● 

BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center

27

Page 28: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Melacak Akar Konflik Arab-Yahudi

Koran SINDO

29 Agustus 2014

Dari segi akidah dan syariah, bangsa Arab dan Yahudi mempunyai banyak ikatan pertalian, kedekatan, dan persamaan. Jika dirunut sampai ke nenek moyang, bangsa Arab dan Yahudi masih keturunan Nabi Ibrahim. 

Agama Islam dan agama Yahudi sama-sama melarang umatnya makan babi. Kedua agama sama-sama mengajarkan kepada komunitasnya untuk berkhitan. Kedua komunitas (dan Kristen) sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai kota suci. Akan tetapi, karena muatan sentimen politik antara umat Arab dan umat Yahudi jauh lebih dominan, konflik berdarah pun terjadi secara turun-temurun sampai sekarang ini.

Akar masalah konflik Arab-Yahudi bermula sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah pada abad ke-7 M. Awalnya, komunitas Yahudi menandatangani Piagam Madinah dan menyatakan setia kepada Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Tapi ketika Perang Ahzab (Khandaq) terjadi pada 627 M, komunitas Yahudi (Bani Quraizhah) berkhianat, mereka membantu kaum Quraisy menyerang umat Islam. Akibat pengkhianatan ini, kaum Yahudi banyak yang dijatuhi hukum mati. Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mengusir komunitas Yahudi dari Madinah karena mereka merupakan musuh dalam selimut. Kaum Yahudi menyebar di daerah Khaibar dan sekitarnya. Keberadaan Yahudi di wilayah itu tetap menjadi ancaman bagi umat Islam. Karena itu, pasukan muslim menyerang dan menaklukkan mereka. 

Jika dihitung sejak zaman Nabi (abad ke-7 M), konflik Arab-Yahudi sudah berlangsung lebih dari 14 abad dan belum berakhir sampai sekarang. Jika dihitung sejak berdirinya negara Israel tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 66 tahun. Belum juga ada penyelesaian politik. Tidak tercapainya penyelesaian secara adil dan permanen telah menyebabkan terjadinya serangkaian konflik berdarah yang mengerikan. Di tahun 1967, perang enam hari Arab-Israel pecah dan berakhir dengan kekalahan pihak Arab (yang melibatkan tentara gabungan Mesir, Suriah, Lebanon, dan Palestina). Karena tentara Israel memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern, negara zionis itu menang. Resolusi DK PBB agar Israel mundur ke wilayah perbatasan sebelum perang tidak diindahkan Israel. Sampai sekarang Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan milik Suriah.

Israel menyerang Lebanon pada September 1982 dan tentaranya mengepung Sabra dan Shatila yang menjadi konsentrasi pengungsian Palestina. Dalam situasi terkepung, pasukan Kristen Maronit Falangis dengan mudah memasuki Sabra dan Shatila dan membantai rakyat sipil. Diperkirakan 3.500 orang terbantai (kebanyakan pengungsi Palestina). Tindakan milisi Kristen Falangis merupakan “balasan” terhadap milisi muslim menyusul terbunuhnya Bashir

28

Page 29: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Gamayel (dari Partai Kristen Kataeb) dalam suatu ledakan bom di Beirut. Saat itu Gamayel dinyatakan menang dalam pemilu dan sebagai presiden terpilih. PM Ariel Sharon dan rezim zionis Israel harus bertanggung jawab atas terjadinya “massacre“ ini karena tentaranya memuluskan jalan bagi milisi Falangis ke Sabra dan Shatila untuk melakukan pembantaian. 

Agresi tentara Israel ke Gaza yang pertama terjadi pada 27 Desember 2008. Pasukan Israel secara gencar menyerang Gaza secara eksesif, masif, dan membabi buta. Tiga pekan lamanya tentara Israel melakukan serangan ke Gaza dan berakhir pada 18 Januari 2009. Pasukan Israel menjatuhkan berton-ton bom ke Gaza. Militer Israel melancarkan serangan dari udara, darat, dan laut dengan persenjataan yang modern dan canggih. Sementara Hamas hanya mengandalkan roket. Akibat gempuran ini, banyak korban tragis berjatuhan di pihak Palestina: lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Mayoritas mereka adalah anak-anak, wanita, dan rakyat sipil yang tidak berdosa.

Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Palestina ludes. Fasilitas-fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur. Di pihak Israel, 13 tentaranya tewas dan beberapa orang terluka terkena roket Hamas. Gaza sangat mengalami kekurangan makanan, air, dan aliran listrik. Rumah sakit sangat kewalahan merawat ratusan korban (anak-anak, perempuan, dan rakyat sipil) yang terluka. 

Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No 1860 yang isinya menyerukan kepada Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun, rezim zionis Israel tak bergeming sedikit pun dan terus menggempur Gaza. Dalam sidang DK PBB, Amerika Serikat (AS) abstain. Sikap politik AS—baik di bawah pemerintahan Partai Republik maupun Partai Demokrat—tetap pro-Israel. Gencatan senjata tercapai setelah Gaza porak poranda digempur tentara Israel. 

Agresi militer Israel ke Gaza yang kedua terjadi pada 8 Juli 2014. Pola, taktik, dan strategi serangan tentara Israel ke Gaza serupa dengan serangan pada tahun 2008-2009. Berawal dengan membombardir Gaza dari udara, pasukan Israel lantas menyerbu dari darat secara besar-besaran. Pihak Hamas, yang hanya mengandalkan roket, tidak berdaya menghadapi serangan tentara Israel yang menggunakan tank, senjata berat, dan rudal yang modern dan canggih. Israel di bawah rezim Benjamin Netanyahu mempersenjatai diri dengan Iron Dome yang dapat menangkis serangan roket Hamas sebelum mencapai sasaran. Dengan cara ini, pihak Israel dapat meminimalisasi korban penduduk sipil.

Agresi brutal Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina dan melukai lebih dari 8.000 orang Palestina (termasuk anak-anak, perempuan, dan penduduk sipil). Gedung, masjid, rumah penduduk, universitas, sekolah (termasuk sekolah PBB) dan fasilitas umum seperti jaringan telepon, aliran listrik, dan saluran air minum hancur remuk. Penduduk Gaza sangat kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya. 

Di pihak Israel, sejumlah kecil tentaranya tewas dan beberapa penduduk sipil terluka terkena

29

Page 30: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

serangan roket dari Gaza. Atas inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Menlu AS John Kerry, gencatan senjata antara Hamas-Israel tercapai, tetapi hanya dalam hitungan jam dan tidak efektif. Kini Mesir terus memediasi agar terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, tetapi belum maksimal. 

Perang terus berlanjut: Hamas meroket Israel, Israel mengebom Gaza. Dua petinggi militer Hamas beserta istri dan anaknya tewas terkena bom Israel. Masih sulit ditemukan solusi politik yang dapat mendamaikan Palestina (Hamas) dan Israel yang telah begitu lama terlibat konflik. Masing-masing pihak hendaknya bersikap realistis, yaitu dapat menerima tawaran “two state solution”. Palestina hendaknya menerima dan mengakui eksistensi negara Israel, begitu juga Israel hendaknya menerima dan mengakui keberadaan Negara Palestina. 

Kedua negara hidup berdampingan secara damai. Inilah seruan yang terdengar di kalangan masyarakat internasional dan inilah opsi yang dapat dipandang sebagai “win-win solution.” ●

FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

30

Page 31: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Keadilan Substantif

Koran SINDO

30 Agustus 2014

Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat sebagai bahan polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap hari, baik di forum-forum persidangan MK maupun dalam ulasan (komentar-komentar) di media massa. 

“Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasal-pasal undang-undang,” demikian seruan yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara dengan hati nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang. 

Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan untuk bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum.

Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural (procedural justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya didasarkan pada bunyi undang-undang. Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu. 

Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang

31

Page 32: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan pedoman. 

Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern, terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum tertulis. 

Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum (putusan) sendiri di luar undang-undang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham (legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya. 

Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian, tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan. 

Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik literatur dalam wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonis-vonis. Banyak vonis MK yang sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan keadilan yang ternyata disambut baik dalam dunia penegakan hukum di Indonesia.

Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan hukum progresif yang digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui Universitas Diponegoro. Satjipto mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasal-pasal UU, tetapi harus lebih banyak dicari di dalam denyut-denyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. ●

32

Page 33: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi  

33

Page 34: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Demokrasi Indonesia

Koran SINDO

1 September 2014

Sekitar empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati hasil pemilihan dengan elegan dan damai. 

Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore. Sepintas Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya. 

Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan. 

Kesadaran Konstitusional 

Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama, terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS. Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik. 

Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana. Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, terbukti hanya sebuah riak-riak kecil. 

Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan, namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mereka. Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias

34

Page 35: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak terjadi. 

Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja, secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini. 

Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim 

Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi. Apa yang telah terjadi mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara dengan mayoritas warganya umat Islam. 

Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme. Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik. 

Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres adalah semakin terbangun kompromi. 

Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang jauh lebih prinsipiil. Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level partai, namun pula di level ormas dan relawan. 

Beberapa Catatan 

Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan bahkan kemunduran. Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci baik dan buruk penyelenggaraan pemilu. Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT.

35

Page 36: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga. Belum lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini. 

Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar. Sedihnya, sikap seperti itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar lepasnya di beberapa media. 

Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong individualisme dan pragmatisme. Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi.

FIRMAN NOOR Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI

36

Page 37: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Analisis Dampak Regulasi

Koran SINDO

2 September 2014

Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact Analysis (RIA) telah dipraktikkan pada empat era pemerintahan Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk negara-negara baru di wilayah Eropa Timur. 

Analisis ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan tidak semata-mata pada apa yang terjadi (what is) atau apa yang telah terjadi (ex ante). Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan menemukan solusi atas perkiraan dampak yang akan terjadi dengan diberlakukannya suatu undang-undang yang terkait kepentingan publik secara luas. 

Evaluasi tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik sebagaimana lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”. Pendekatan kedua ini telah berhasil setidaknya di negara-negara yang telah disebutkan di atas: mempertemukan penilaian benar (right) dan salah (wrong) dan penilaian ”risiko (cost ) dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan akan tampak sinkronisasi antara tujuan hukum (Aristoteles) dan prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut ada pada tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan kemanfaatan. 

***

Keenam variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi satu sama lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan ahli ekonomi, dapat membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang sangat produktif dan mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam kenyataan selalu dipertimbangkan dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti. 

Contohnya dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta tidaklah rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan keuangan negara jauh di bawah batas biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek jera terhadap pelakunya? Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana seharusnya diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara. 

37

Page 38: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Konsep ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan dari ”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara. Bukankah dengan penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara jauh di bawah biaya perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua kerugian negara, yaitu pertama disebabkan biaya perkara akan bertambah besar dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan PK, dan biaya makan seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar Rp15.000 per hari. 

Sebab kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara yang sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas. Penanganan perkara yang kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan kerugian keuangan negara dua atau tiga kali lipat dari kerugian keuangan negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada negara. 

Penelitian M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari total kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96 (19,5%), dan USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai kerugian keuangan negara dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7 triliun dari illegal logging, dan Rp300 triliun dari illegal fishing, sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan kepada negara. 

***

Merujuk pada pendekatan ”cost and benefit ratio” dibandingkan dengan pendekatan ”benar dan salah” serta kenyataan inefisiensi pengembalian kerugian keuangan negara terbukti bahwa politik hukum pidana nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY, khususnya dalam pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke dalam penjara, namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang signifikan– dengan semakin banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas letak keuntungan (benefit) bagi kepentingan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di dalam Bab XIV UUD 1945. 

Kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang terjadi, koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara yang memiliki pengaruh dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di dalam penjara. 

Solusi yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta masyarakat sipil dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan misi serta program-program nyata secara rasional (bukan emosional) melalui penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.  

38

Page 39: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran Bandung 

39

Page 40: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Penumpang Gelap Jokowi-JK

Koran SINDO

4 September 2014

Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). 

Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan masih belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya menangkal penetrasi kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan mudah dilihat publik jika ada penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru, sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam debat kandidat calon presiden putaran terakhir. 

Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas memang banyak kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami (Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan sebuah rezim pemerintahan. 

Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar proyek-proyek pemerintah yang profitable atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu tak akan pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau ruang kerja menteri. 

Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok-kelompok itu hanya perlu bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan itu di pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau menteri. Maka itu, ketika Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi dan tidak memberi akses bagi kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi jempol. Tetapi, pada saat bersamaan, muncul juga pertanyaan. 

Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi atau bahkan Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi. Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost

40

Page 41: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

recovery. Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus ini kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus korupsi ini bisa berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di kabinet.

Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli impor sejumlah komoditas kebutuhan pokok rakyat. Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel daging sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga kedelai, bawang putih, hingga daging sapi.

Ambisi Jokowi untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat ideal dan menjadi harapan seluruh rakyat. Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu khalayak. Tetapi, di ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang sudah melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar Jokowi-JK.

Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK pada tahap persiapan transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar kabinet dan pemerintahan mereka nanti tidak disusupi penumpang gelap. 

Suara Publik 

Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra International yang mengelola pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan Eropa. 

Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini dengan kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional. Toyota, Daihatsu, dan Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka jika Jokowi bersikukuh terus mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut untuk diasumsikan bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang industri automotif. 

Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian. Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS

41

Page 42: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk menjadi operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut. 

Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil sebagai pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka itu, boleh jadi, McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi kelompok kepentingan dari AS untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain itu kepada Jokowi-JK. 

Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana Jokowi-JK menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung memproduksi ponsel di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu dalam pertemuan dengan Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok kepentingan yang berhasil memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi kepada tim Jokowi-JK. 

Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok-kelompok kepentingan untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris sama dengan praktik koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses seperti itulah akan muncul penumpang gelap dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok kepentingan bisa merusak strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang dijanjikannya semasa kampanye. 

Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar yang diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam membentuk kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan tidak layak untuk menjabat menteri. 

Harapan kita, pasangan Jokowi- JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng-bopeng pemerintahan yang amburadul. Selamat bekerja!  

BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

42

Page 43: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Parasit di Tubuh Polri

Koran SINDO

5 September 2014

Tertangkapnya dua Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bertugas di Polda Kalimantan Barat, karena diduga terkait kasus narkoba di Malaysia, bukan hanya mempermalukan Polri, melainkan juga Indonesia sebagai sebuah bangsa bermartabat. 

Keduanya ditangkap Polis Narkotik Diraja Malaysia (PDRM) di Kuching, Malaysia, Sabtu (30/8). Banyaknya kasus di tubuh Polri yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat merupakan parasit yang sepertinya sangat susah dihentikan. Salah satu kasus yang juga memalukan menjelang Idul Fitri adalah tertangkapnya 10 anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Pemalang, Jawa Tengah (Jateng), lantaran diduga melakukan pungutan liar (pungli) terhadap sopir-sopir truk agar bisa melintas di atas Jembatan Comal, Pemalang, Sabtu 9 Agustus 2014 (Koran SINDO, 13/8/2014). 

Peristiwa ini diibaratkan melalui pepatah kuno, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Sepertinya pimpinan Polri belum menemukan strategi jitu pembinaan personel agar berperilaku terhormat. Selalu terdengar ada oknum polisi yang mengingkari sumpahnya sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, serta penegak hukum. 

Setelah keberhasilan mengamankan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan Operasi Ketupat Lebaran 2014 yang menuai pujian karena mampu menekan jumlah kecelakaan di jalan dan gangguan kamtibmas, kasus di Malaysia menjadi klimaks. Semuanya selalu mengarah pada aspek finansial, seolah gaji dan tunjangan tidak cukup sehingga harus mencari penghasilan tambahan yang melanggar hukum. 

Polisi Jujur 

Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan Polis Diraja Malaysia soal keterlibatan kedua anggota Polri, tetapi kesan yang muncul di ruang publik ialah institusi berbaju cokelat itu betul-betul terpuruk. Hampir setiap hari ada berita tentang perilaku anggota Polri yang memalukan. Ini menjadi indikasi bahwa pembinaan dan pengawasan di internal tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

Janji pimpinan Polri yang akan mereformasi diri belum membawa hasil yang memuaskan. Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Jika suatu kasus yang meresahkan berhasil dibongkar polisi, dipastikan mendapat sambutan dan respek luar biasa dari masyarakat. Apalagi warga masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah

43

Page 44: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dilawan. Hampir semua kekuasaan yang besar itu sering diselewengkan saat melakukan penegakan hukum. 

Lebih celaka, karena tindakan itu selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum yang membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional. Untuk memberantas parasit di tubuh Polri tentu bukan persoalan gampang, sebab terkait dengan perilaku dan kultur. Polri harus sadar bahwa tugas menjaga kamtibmas dan penegakan hukum tidak akan berhasil dengan baik tanpa mengubah perilaku dan kultur. Maka, reformasi Polri perlu didesain secara totalitas dengan sasaran membangun kembali agar anggota polisi berperilaku jujur, bersih, dan profesional. 

Mental korup yang memanfaatkan suatu kasus sebagai sumber uang harus segera dihentikan. Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut dicari-cari kesalahannya atau dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia. Kepala Polri Jenderal Sutarman yang terus berupaya mendapatkan kepercayaan dan simpati dari masyarakat harus menjadi perhatian pimpinan Polri di daerah. Perilaku pungli dan masih lemahnya profesionalitas dalam mengungkap kejahatan, ibarat pepatah ”menepuk angin” dalam merebut kepercayaan dan simpati masyarakat. 

Dalam berbagai dimensinya, bukan tidak mungkin praktik suap menguatkan dugaan banyak orang untuk pemenuhan target setoran buat atasan. Jika betul seperti itu–meski kita berharap tidak demikian– agaknya sulit bagi Polri membersihkan parasit institusi. 

Diskresi Kepolisian 

Kasus tertangkapnya dua anggota Polri di Malaysia, pungli Jembatan Comal di Pemalang dan maraknya penyelewengan anggota menjadi momen bagi Polri untuk memperbaiki kinerja. Kita percaya masyarakat akan terus membutuhkan polisi, sehingga aparat kepolisian harus mampu menunjukkan perilaku yang baik. 

Kejadian di Malaysia bukan hanya melanggar disiplin karena keberadaannya di sana bukan melaksanakan tugas, melainkan termasuk kejahatan yang memalukan bangsa. Jika terbukti, tentu layak dihukum berat, meskipun itu dilakukan di negeri orang. Kasus itu merusak upaya yang tengah dibangun Kepala Polri untuk menjadikan polisi sebagai panutan bagi masyarakat. Kita mendukung segala upaya membersihkan aparat kepolisian yang masih sering berperilaku korup, baik yang kecil-kecil terlebih yang besar. 

Artinya, bukan hanya polisi yang berjuang memperbaiki citranya, masyarakat juga selalu berjuang mengubah persepsi terhadap polisi. Sebab tidak ada untungnya memupuk stigma negatif kepada polisi. Apalagi polisi bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat, keduanya akan selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan.

Banyak polisi yang cerdas, berintegritas, dan punya hati nurani dalam melaksanakan fungsi dan tugas. Mereka punya kompetensi dan profesionalitas, terutama saat berhadapan dengan

44

Page 45: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

persoalan masyarakat yang membutuhkan tindakan kepolisian. Tetapi kenapa polisi masih sering dicemooh? Boleh jadi ini terkait dengan pelaksanaan ”diskresi” kepolisian yang kadang melampaui kewenangan polisi. Ini yang acap menimbulkan salah tafsir yang dilaksanakan oleh individu polisi yang sedang bertugas di tengah masyarakat. Padahal, penerapan diskresi butuh kecerdasan dan kualitas kompetensi seorang anggota polisi, sebab meskipun diskresi untuk kepentingan umum tetapi kadang tidak sejalan dengan ketentuan tertulis. 

Publik juga banyak tahu bahwa pekerjaan polisi penuh dinamika, yang kadang tidak semua orang memahaminya. Di dalamnya butuh kemampuan khusus yang bukan sekadar pengabdian, melainkan juga pola pikir yang rasional dan bijak. Jika itu mampu diapresiasi, maka parasit di tubuh Polri setidaknya terhenti, atau paling tidak bisa diminimalkan.

MARWAN MASGuru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

45

Page 46: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Gawat Darurat Hukum Konservatif

Koran SINDO

6 September 2014

Minggu (31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesetyo, biasa dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia Gawat Darurat. Buku setebal 1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan Bamsoet di berbagai media massa selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sesuai judulnya, buku tersebut menggambarkan sisi suram Indonesia selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Di dalam buku yang dibagi atas sembilan isu gawat darurat Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan yang tak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY.  Saya sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu, mempunyai kesan bahwa isi buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap pemerintahan SBY. Saya mempertanyakan, mengapa hanya menulis kritik dan tidak ada sama sekali tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintahan SBY. Atas kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa bukunya itu memang berisi reaksi atas berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari posisinya sebagai pengawas pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan pengawas terhadap yang diawasi. Maka itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan SBY seperti meningkatnya demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers, stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini.

Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang dikupasnya, buku ini menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau glosarium berbagai persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua. Kalau kita ingin mengingat dan melihat peristiwa penting dan panas pada era tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada daftar isi buku dan mendapat penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian- uraiannya meski opininya lebih berwajah Bamsoet.

Saya sependapat dengan mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi buku Bamsoet ini memuat beragam masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang tak bisa dicegah dan ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY. Janji SBY yang pernah mengatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi tak benar-benar bisa dilakukan. Malah tokoh-tokoh partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, baik yang ada di eksekutif maupun di legislatif banyak yang terlibat korupsi.

Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika keseluruhan isi buku ini dispesifikkan pada sudut hukum atau diletakkan di dalam kerangka pemahaman hukum yang agak teoretis, dapat dikatakan bahwa hukum-hukum kita saat ini sudah menjadi begitu konservatif. Hukum konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, pembuatannya lebih banyak

46

Page 47: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

ditentukan secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara, miskin partisipasi rakyat. Pada zaman Orde Baru semua rancangan undang-undang (UU) sampai penetapannya sangat didominasi oleh lembaga eksekutif sehingga DPR lebih merupakan rubber stamps atau stempel karet yang harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang diajukan pemerintah. Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih besar untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap konservatif, lebih banyak ditentukan oleh elite. 

Tidak jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai produk hukum dibicarakan melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR, termasuk di hotel-hotel, dan restoran-restoran. Itulah sebabnya banyak UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang kemudian ditangkap dan dihukum oleh KPK.

Kedua, dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak kolusi antarpenegak hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang digelandang ke pengadilan karena penyuapan dan permainan perkara. Hukum konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite, sedangkan penegakannya diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan.

Ketiga, hukum konservatif memberi peluang opened interpretative yakni memberi peluang besar untuk ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator dengan berbagai peraturan pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat aturan-aturan turunan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi perdebatan penting atas satu materi RUU di DPR, sulit dicapai titik temu, tetapi kemudian diambil jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa hal yang diperdebatkan itu diserahkan saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan oleh pemerintah atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian membuka terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan.

Dari bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif kemudian timbul pertanyaan mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini hukum-hukum kita masih konservatif? Bukankah reformasi kita lakukan agar kita bisa membangun sistem politik yang demokratis sehingga bisa lahir hukum-hukum yang responsif? Jawabannya, karena sebenarnya konfigurasi politik kita sudah berbelok dari demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis pada masa sekarang ini.  

Di dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi didominasi oleh aspirasi rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif menjadi niscaya.  

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi 

47

Page 48: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Aborsi pada Kasus Pemerkosaan

Koran SINDO

6 September 2014

Salah satu persoalan yang memancing polemik yang cukup ramai yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 yang melegalkan aborsi pada kasus pemerkosaan.

Dalam PP ini ada dua jenis aborsi yang diperbolehkan. Pertama, aborsi dalam keadaan darurat. Artinya, kalau kehamilan dipertahankan dan tidak dilakukan aborsi, nyawa ibunya terancam. Pada aborsi jenis ini tak ada perdebatan. Semua pihak dapat menerima karena dianggap sebagai hal yang harus dilaksanakan untuk menyelamatkan ibu.

Kedua, aborsi pada kehamilan yang disebabkan oleh kasus pemerkosaan. Inilah yang mengundang reaksi dari banyak pihak yang berpendapat bahwa pemerkosaan bukan alasan untuk dilakukan terminasi kehamilan. Dengan kata lain, hak hidup janin dalam kandungan tidak boleh diakhiri hanya karena janin ini berasal dari pembuahan melalui proses pemerkosaan.

Aborsi merupakan istilah kedokteran yang berarti menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Umumnya dianggap bayi belum dapat hidup di luar kandungan apabila tuanya kehamilan belum mencapai umur 28 pekan atau berat badan jabang bayi belum 1.000 gram. Aborsi ini dapat dilakukan oleh tenaga medis dengan indikasi yang jelas (abortus medicinalis) dan dapat dilakukan melalui praktik ilegal tanpa indikasi medis (abortus provocatus criminalis) atau “illegal induced aborsion“.

Pada tindakan aborsi tanpa indikasi medis tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sudut pandang mana pun kita melihat, tindakan ini perbuatan melawan hukum baik jika dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun oleh tenaga nonprofesional seperti aborsi yang sering dilakukan oleh dukun.  

Dari kelompok yang memperbolehkan aborsi pada kasus pemerkosaan memiliki pandangan tersendiri baik dari sudut pandang “kehidupan” maupun “kemanusiaan”. Dari kelompok proaborsi melihat kehidupan terjadi ketika janin dalam kandungan sudah hidup ketika jantungnya telah berdenyut pada usia kehamilan sekitar 16 pekan. Sedangkan kelompok antiaborsi melihat kehidupan itu dari sudut kehidupan seluler yaitu sejak ovum (telur) dibuahi oleh sperma dan ini yang dianut semua agama.  

Dari sudut pandang kemanusiaan, kelompok proaborsi melihat beberapa aspek. Pertama, anak yang lahir akibat pemerkosaan tentu tidak diinginkan kehadirannya sehingga anak ini dikhawatirkan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari ibunya. Kedua, pemerkosaan merupakan peristiwa “traumatik” bagi korbannya sehingga kejadian itu tentu hendak

48

Page 49: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dilupakan dari memori alam sadarnya. Namun, jika ada anak yang lahir dari peristiwa yang sangat biadab itu, tentu sang korban akan selalu mengingat peristiwa tragis yang pernah dialaminya setiap dia memandang anaknya.  

Walaupun aborsi yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah ini dibatasi sampai umur kehamilan 40 hari, ini tetap merupakan hal yang seharusnya tidak dilegalkan karena aturan ini sangat rawan untuk disalahgunakan. Demikian pula, dari segi profesi kedokteran, tindakan pengguguran kandungan pada kasus ini pelanggaran sumpah dokter yang berbunyi: “Saya akan menjaga kehidupan insani sejak saat pembuahan”. Karena itulah, tidak heran kalau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi yang juga cukup lantang menentang kehadiran PP ini.  

Dari segi hukum tentu sangat bergantung pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 itu. Kalau PP ini tetap dipertahankan dalam arti bahwa aborsi akibat pemerkosaan tetap dianggap sebagai perbuatan yang legal, tentu tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi tidak dapat dipersalahkan. Namun, jika pemerintah cukup peka melihat aspirasi yang berkembang, tentu pasal ini akan dicabut dan tidak lagi menyinggung masalah pemerkosaan sebagai permasalahan khusus di dalam PP tersebut. Dengan demikian, aborsi tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum walaupun latar belakang kehamilannya terjadi akibat pemerkosaan.

Masalah aborsi memang salah satu persoalan kesehatan yang cukup serius di Indonesia. Saat ini 2,5 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun. Dengan kata lain, sekitar 7.000 perempuan hamil menggugurkan kandungannya setiap hari. Pengguguran kandungan ini terjadi karena berbagai cara, termasuk pertolongan dari tenaga medis (dokter maupun bidan).  

Padahal ancaman hukuman bagi petugas yang melakukan praktik aborsi cukup berat yaitu pelanggaran KUHP Pasal 299, 338, 346, 348, dan 349, termasuk juga melanggar Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Untuk itu, pemerintah seyogianya memperhatikan aspek sosiologis dari permasalahan ini. Dengan ancaman hukuman yang begitu berat saja kasus aborsi masih sangat marak, terlebih jika kran hukum mulai diperlonggar.  

Sangat wajar jika mayoritas masyarakat menolak PP No 61 itu. Terlebih, Majelis Ulama Indonesia sejak 2000 telah mengeluarkan fatwa haram melakukan aborsi dan tentu majelis agama yang lain pun pasti tidak menyetujui tindakan yang merampas hak hidup dari janin yang telah berkembang di dalam rahim ibunya. ●

 

DR SOFYAN HASDAM SPS

Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), Mantan Wali Kota Bontang

49

Page 50: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koalisi Abadi

Koran SINDO

7 September 2014

Menjelang pilpres, beberapa parpol membentuk Koalisi Merah Putih. Tujuannya adalah untuk pemenangan pilpres. Strategi ini sama sekali tidak ada salahnya, karena ketika itu sangat dibutuhkan kekompakan dari semua kekuatan untuk memenangkan pilpres dan hasilnya pun luar biasa. Pasangan Prabowo-Hatta mencapai perolehan suara hampir separuh dari seluruh suara yang masuk dan hanya kalah tipis dari pasangan Jokowi-JK.

Namun sekarang, Koalisi Merah Putih itu terancam kekompakannya. Bahkan, kekompakan internal semua partai pendukung terancam. Ada anggota partai yang minta kongres atau muktamar dipercepat, ada ketua umum partai yang dinyatakan gagal oleh sebagian fungsionarisnya, dan anggota-anggota itu kemudian dipecat oleh ketua umum. Pokoknya, koalisi yang pada masa kampanye digadang-gadang sebagai koalisi abadi, setelah tidak berhasil mencapai sasarannya, langsung menjadi tidak abadi lagi. Tetapi itu pun tidak ada yang harus dipersalahkan karena memang begitulah ciri kelompok di Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia, tiga pemimpin besar Indonesia pernah menjadi murid HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Mereka adalah Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo. Ketiganya adalah patriot-patriot muda yang bercita-cita untuk memerdekakan Indonesia. Tetapi pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI pada 1945, kekompakan mereka bubar, karena Semaun memilih jalan komunisme, Kartosuwiryo mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang kemudian ditumpas oleh Soekarno, sedangkan Soekarno sendiri memproklamasikan kemerdekaan RI bersama Bung Hatta. Namun, koalisi Soekarno-Hatta pun bubar, dan sekarang tinggal jadi nama bandara internasional di Cengkareng. 

Tidak hanya dalam politik koalisi itu tidak abadi. Band-band kondang juga pecah, justru setelah jadi terkenal. Termasuk band bocah, Cowboy Junior yang ditinggalkan oleh salah satu anggotanya, Bastian. Dalam olahraga sama saja. PSSI pecah jadi dua kubu. Lahir Liga Indonesia yang menjadi pesaing kompetisi-kompetisi PSSI yang sudah ada. Begitu juga dalam dunia bisnis, berbagai merger dan kongsi pecah setelah sukses. Bahkan, kekompakan keluarga-keluarga keraton Jawa pecah sejak Belanda berhasil menghasut petinggi-petinggi kerajaan Mataram sehingga mereka terbelah menjadi empat keraton, dua di Yogyakarta, dua di Solo. Tidak selesai sampai di situ, sampai hari ini kemelut internal keluarga Mangkunegaran dan Kesunanan di Solo masih terjadi.

Dari contoh-contoh di atas, bisa diperkirakan bahwa Jokowi (di tingkat nasional) dan Ahok (di tingkat DKI) akan menghadapi masalah yang sama. Relawan-relawan Jokowi-JK yang berhasil memenangkan persaingan ketat dalam Pilpres 2014, mulai saling berlomba untuk

50

Page 51: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

merapat ke Rumah Transisi. 

Kata Sentilan-Sentilun, kalau orang antre di pompa bensin, tentu karena ingin mendapat bensin, kalau orang antre di Rumah Transisi tentu kepengin jadi menteri. Begitu juga di level DKI. Koalisi kompak antara PDIP-Gerindra yang sukses memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub 2012 yang lalu, sekarang pecah, karena kedua pihak saling bersaing untuk memperebutkan posisi wakil gubernur DKI. 

***

Di sisi lain, mengapa di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia (masing-masing hanya dua parpol yang dominan) dan Belanda (12 parpol) rakyatnya bisa lebih konsisten? Parpol-parpol di negara-negara maju lebih abadi dari di negara-negara berkembang seperti Indonesia (jumlah partai politik di Indonesia pernah hanya tiga, tetapi kemudian naik turun sampai pernah 40 partai, dan di tahun 2014 ini tercatat 15 parpol peserta pemilu). 

Beberapa penelitian psikologi politik mengungkapkan bahwa party ID (Identification ) di negara-negara maju lebih kuat dari pada personal ID. Seorang pengikut Partai Demokrat, sampai kapan pun tetap menyatakan dirinya sebagai Demokrat, terlepas dari siapa calon presidennya. Begitu juga yang partisan Republik, dan keluarga masing-masing. Lain halnya dengan di Indonesia. Di zaman Orde Lama, orang kompak masuk PNI karena Bung Karno. Pindah ke era Orde Baru, orang berbondong masuk Golkar, karena Soeharto; dan di masa Reformasi, SBY merupakan daya tarik yang menyebabkan Partai Demokrat menang. Begitu juga dengan Gus Dur, Prabowo, dan Jokowi. 

Mereka punya karisma sendiri-sendiri yang menarik massanya masing-masing. Ingat! Gus Dur di-impeach oleh MPR, khususnya oleh kelompok yang sama yang sebelumnya menobatkan dirinya menjadi presiden. Bukan oleh rakyat. Dan seandainya hari ini Prabowo yang menang, kubu Jokowi juga akan terpecah, karena sebagian pasti akan ada yang menyeberang ke kubu pemenang. Tentu saja ini tidak baik untuk bangsa Indonesia ke depan. 

Sebagai bangsa, kita tidak boleh lagi terpaku pada kebiasaan mengikuti orang, karena tidak ada jaminan bahwa orang akan selamanya baik dan sehat walafiat. Jokowi menang, karena faktor Jokowi-nya, bukan karena PDIP-nya. Begitu pula seandainya Prabowo menang, itu karena faktor Prabowo-nya, bukan karena Gerindra-nya. Itu tidak bagus. Pengalaman bangsa ini dengan Soekarno dan Soeharto adalah pemimpin yang awalnya bagus bisa berubah jadi tidak bagus. Namanya juga manusia.

Karena itu, tugas Jokowi-JK sebagai presiden terpilih sekarang adalah membiasakan bangsa Indonesia ini untuk merujuk pada gagasan dan program yang betul-betul ditujukan untuk kemaslahatan rakyat jelata. Program-program harus dibangun berdasarkan data empiris, dan diwujudkan melalui sistem-sistem yang terukur. 

51

Page 52: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Para pemimpin harus bicara tentang sistem dan program yang didasarkan pada pengalaman dan bukti empirik, bukan ABS (asal bapak senang). Dengan cara ini, rakyat akan percaya pada sistem yang disosialisasikan oleh pemimpin, dan pada saatnya masyarakat akan percaya pada sistem itu sendiri, tanpa melihat siapa orangnya yang menjalankan sistem itu.

SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

52

Page 53: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Anas dan Opini yang Berubah

Koran SINDO

9 September 2014

Bila dibandingkan dengan kasus lain, kasus Hambalang yang melibatkan Anas Urbaningrum (AU) termasuk paling banyak menyita perhatian publik. Ini setidaknya tergambar dari opini publik yang berkembang.

Tentu ini hal wajar. Selain menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat, AU juga dinilai banyak kalangan sebagai politisi muda yang diharapkan bisa menjadi pelanjut estafet kepemimpinan nasional. Menariknya, bila dalam banyak kasus korupsi opini yang berkembang cenderung konsisten bersifat ”menghakimi”, pada kasus AU ada perbedaan. 

Menyikapi kasus AU, sejak awal opini publik terbelah antara yang pro dan kontra meski arus besar opini tetap bersifat "menghakimi". Dalam perkembangannya, opini publik mengalami perubahan yang dinamis dari yang sebelumnya bersifat "menghakimi" berubah menjadi opini yang empatik dan simpatik. Perubahan opini ini utamanya dirasakan betul sejak kasus AU memasuki tahapan persidangan. 

Opini Menyesatkan 

Sebagaimana lazimnya, ketika seseorang diberitakan secara masif diduga terlibat tindak pidana korupsi, pemberitaan tersebut cenderung diamini sebagai opini kebenaran. Opini ini juga dirasakan betul dalam kasus AU. Pemberitaan media yang begitu masif berhasil menggiring dan membangun opini akan keterlibatan AU dalam kasus Hambalang. Secara mainstream, opini yang berkembang tidak berpihak ke AU. 

Opininya begitu negatif dan menyesatkan. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas sebagai ketua umum Partai Demokrat yang mengaitkan dengan iklan PD sebagai ”partai antikorupsi”. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas sebagai politisi muda yang dinilai tidak berbeda jauh dengan kebanyakan politisi Senayan lain yang korup. Ada opini yang mengaitkan AU dengan salah satu organisasi kemahasiswaan dan dunia pesantren. 

Terkait dengan KPK, dibangun juga opini bahwa selama ini KPK tidak pernah sembarangan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Maka itu, siapa pun yang telah ditetapkan sebagai tersangka tak akan pernah lepas dari jeratan hukuman. Opini dibangun untuk memperkuat posisi dan sangkaan KPK atas keterlibatan AU dalam proyek Hambalang. Opini terkait KPK ini sesungguhnya bagus, namun tidak bisa dipahami secara absolut. 

Jika proses hukum pasti membuat orang bersalah, lantas buat apa ada proses persidangan? Kenapa tidak langsung saja setiap tersangka tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman tanpa

53

Page 54: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

perlu proses persidangan? Ada proses persidangan tentu dimaksudkan untuk menemukan keadilan yang sejati. Selain itu, menganggap KPK ”serbabenar” juga mengandung unsur ”syirik” karena telah memosisikan individu-individu di dalam KPK bak Tuhan yang seakan tak pernah dan tak boleh salah. 

Harusnya, KPK dan segala tindakannya yang diharapkan adil dan objektif tetap dilihat sebagai lembaga dengan kumpulan manusia. Sehebat-hebatnya manusia adalah manusia. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia. Bukan malaikat, bukan pula Tuhan. Manusia selalu terlekat sifat-sifat dasar kemanusiaannya.

Begitu kuatnya opini yang menyudutkan AU, praktis berbagai bantahan yang dilakukan AU tak mampu berubah opini yang berkembang saat itu. ”Sumpah Monas” bahkan tak mampu meredakan opini negatif. Tentu kita masih ingat saat AU membuat sumpah dan tantangan yang sangat serius: "Gantung Anas di Monas jika terbukti terlibat korupsi kasus Hambalang." Tak pernah ada seorang politisi yang berani menyatakan sumpah serupa dan AU tentu sadar atas ”sumpah” yang diucapkannya.

Dalam Islam, siapa pun tidak dibenarkan bersumpah yang sejenis dengan ”huruf qasam” (billahi, wallahi, tallahi) dengan tujuan kebohongan. Namun, ketika penjelasan apa pun terkait ketakterlibatannya dalam kasus Hambalang tidak juga dipercaya publik, sumpah AU harus dipahami sebagai bentuk ”protes” atas tuduhan dan opini publik yang secara sosial berhasil memojokkan dan menghukum AU. 

Sumpah AU ini harus dipahami sebagai tantangan besar bagi siapa saja, termasuk media dan aparat penegak hukum, baik KPK maupun majelis hakim, untuk secara serius menginvestigasi dan menemukan alat bukti yang kuat terkait keterlibatan AU. Meski AU sudah melakukan ”sumpah Monas”, tak juga mampu menyurutkan berkembangnya opini negatif atas dugaan keterlibatan AU dalam kasus Hambalang. 

Opini yang Berubah 

Sejak kasus AU memasuki tahapan persidangan, ada perubahan opini publik yang begitu dinamis terkait kasus AU. Sebelumnya opini yang berkembang cenderung negatif, namun sejak memasuki tahap persidangan, opini publik yang berkembang cenderung bergeser ke arah yang positif. Antusiasme sebagian masyarakat untuk mengikuti perkembangan kasus AU terbilang cukup tinggi. 

Selain terlihat dari persidangan AU yang selalu dipenuhi pengunjung, ini juga tergambar dari komentar-komentar di media sosial dari mulai yang bernada kritis terhadap KPK karena dinilai cenderung mencari-cari kesalahan sampai pada komentar tentang kemungkinan AU memperoleh putusan bebas murni. Perubahan opini ini setidaknya menggambarkan pandangan objektif dari masyarakat dalam menyikapi kasus AU. 

Bila sebelum tahapan persidangan opini yang terbangun di masyarakat berangkat dari

54

Page 55: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

pemberitaan yang berbasis opini, ketika memasuki tahap persidangan opini apa pun mau tidak mau harus dibangun atas dasar dan berbasis pada fakta persidangan. Karena basisnya fakta persidangan, siapa pun, baik dari kubu AU, kubu KPK, maupun masyarakat, tidak lagi bisa membangun opini yang terlepas begitu saja dari fakta persidangan. 

Semua yang ”berbicara” dan menjadi basis opini adalah fakta persidangan. Maka itu, siapa pun yang mencoba membangun opini yang bertolak belakang dengan fakta persidangan pasti akan dicibir masyarakat. Sementara bila ditilik dari fakta persidangan, kecenderungan kuat ”berpihak” pada AU. Lebih dari 80 saksi yang dihadirkan hampir semua ”meringankan” AU. 

Praktis hanya saksi Nazaruddin, Neneng (istri Nazaruddin), dan dua supir Nazaruddin dan Neneng yang berhasil memberatkan AU meski tampak jelas kesaksian keempatnya penuh dengan kebohongan. Padahal saksi-saksi dihadirkan kebanyakan saksi dari JPU yang semestinya ”memberatkan” AU dan sedikit sekali saksi fakta maupun saksi ahli yang berasal dari AU. 

Dengan persaksian yang demikian, tak heran bila semua dakwaan JPU terpatahkan di persidangan. Saksi ramai-ramai justru memberatkan dan membantah dakwaan JPU. Sekadar contoh persaksian mantan Kepala Divisi Konstruksi Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noor yang membantah pemberian mobil Harrier kepada AU sebagai tanda jadi proyek Hambalang. Teuku Bagus bahkan menjelaskan bahwa dirinya tidak kenal dan tidak pernah bertemu dan memberi uang kepada AU. 

Teuku Bagus juga menyatakan bahwa dirinya sebelumnya tidak pernah kenal dan bertemu AU di belahan dunia mana pun. Padahal jelas AU menjadi tersangka karena tuduhan menerima Harrier dari Adhi Karya. Begitu juga saksi lain seperti Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, Ahmad Mubarok, Ignatius Mulyono, Wafid Muharram, Joyo Winoto, Paul Nelwan, Wasit Suaidy, Nunung Krisbianto, Opapaci, Metro TV, dan Rakyat Merdeka, dan Khalilur R Abdullah Sahlawiy justru keterangannya di persidangan berbeda dengan dakwaan JPU dan memberatkan JPU. 

Yang menarik adalah kesaksian Clara Maureen, bekas pegawai Nazaruddin, yang menjelaskan skenario rekayasa Nazaruddin dan para pegawainya untuk menjerat AU. Clara dan para pegawai Nazaruddin disuruh untuk membikin cerita palsu untuk bisa menjerat AU. Kesaksian ini menjelaskan sebagian proses tentang bagaimana AU menjadi tersangka.

Sungguh miris melihat kasus AU. Dengan jeratan dakwaan yang begitu menyeramkan, ternyata tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat di dalam persidangan. Fakta-fakta persidangan inilah yang telah menyebabkan terjadi perubahan opini publik dari yang sebelumnya negatif dan ”menghakimi” menjadi opini yang lebih bersahabat, empatik, dan simpatik. 

Semoga dan memang seharusnya JPU menjadikan fakta persidangan sebagai pertimbangan dalam membuat tuntutan. Begitu juga majelis hakim mampu membuat putusan hukuman

55

Page 56: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

secara adil dengan mendasarkan pada fakta persidangan dan kebenaran yang diyakininya. Semoga. ●

MA’MUN MUROD AL-BARBASY

Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta 

Pengunduran Diri Jokowi56

Page 57: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

9 September 2014

Salah satu yang sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan di kitaran keterpilihan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden yang akan dilantik Oktober mendatang yakni perihal kewajiban dirinya untuk mengundurkan diri pascaterpilih menjadi presiden. 

Logikanya sederhana, tidak mungkin ada rangkap jabatan dari seorang kepala negara dan kepala daerah. Karena itu, Jokowi harus segera mengundurkan diri dari jabatan kepala daerah di Jakarta sebelum prosesi pelantikan di dua pertiga akhir Oktober. Pembicaraan hangatnya, apakah ada kemungkinan bagi Jokowi untuk tidak dilantik karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak “mengizinkan” pengunduran diri Jokowi. 

Hangatnya bahkan cenderung menjadi panas setelah pernyataan terbuka salah satu pimpinan DPRD yang membeberkan kemungkinan penolakan atas permintaan pengunduran diri Jokowi. Padahal jika tidak dilantik, krisis konstitusional bisa membayangi. 

Izin atau Perintah Administratif? 

Saya sesungguhnya tidak terlalu yakin bahwa tidak ada langkah politik yang sedang dikembangkan Jokowi. Boleh jadi, untuk mencairkan konstelasi kaku dukungan partai di Jakarta terhadap dirinya, sudah ada langkah untuk menarik sedikit Koalisi Merah Putih ke kubu Jokowi. Hal yang rasionalnya adalah memuluskan langkah pengunduran diri dan akhirnya dapat dilantik sebagai presiden. 

Mari kesampingkan soal politik tersebut dan menganalisisnya secara hukum. Sesungguhnya, jika dibaca aturan hukum yang mendasari pengaturan soal pemberhentian seorang kepala daerah, istilah “DPRD memberikan izin” soal pengunduran diri adalah tidaklah tepat. Baik bahasa dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkhusus pada Paragraf Keempat tentang Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maupun dalam PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sama sekali tidak terdapat istilah izin.

Dalam Pasal 29 Ayat (1), (2) dan (3), bahasanya jelas. Ayat (1) mengatur bahwa Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: (a) meninggal dunia; (b) permintaan sendiri; atau (c). diberhentikan. Lalu kemudian, Ayat (2) memberikan penjelasan detail tentang makna kata diberhentikan di huruf c dan mekanismenya. Ayat (3) mengatur tentang mekanisme jika meninggal dunia atau permintaan sendiri. 

Ketentuan ayat (3) ini adalah “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b

57

Page 58: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD”. 

Begitu pula ketentuan PP No 6 Tahun 2005. Bahkan terkesan pasal-pasal dalam aturan tersebut, khususnya mengatur hal yang sama di atas, adalah “copy-paste“ dari bunyi UU-nya. Artinya, yang ada adalah ada pemberitahuan pimpinan DPRD terhadap keseluruhan anggotanya yang kemudian diputuskan dalam rapat paripurna. Bisakah makna kata “diputuskan” dalam rapat paripurna adalah bersifat izin? 

Sesungguhnya tidak! Harus diingat, ada kewenangan administratif yang melekat dengan konsep perizinan dan karenanya jabatan pemberi izin bisa memilih antara memberikan izin atau tidak, tetapi ada juga yang tidak oleh karena sifatnya adalah hanya mengesahkan sebagai akibat ada tindakan hukum yang mendahuluinya.

Contohnya, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menerbitkan siapa pemenang pemilu legislatif dan tahapan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dilewati, presiden harus menerbitkan keppres pengangkatan para anggota DPR tersebut. Tentu, kewenangan mengeluarkan keppres berada di diri seorang presiden, tetapi tidak termasuk di dalamnya kewenangan penolakan. 

Presiden tidak bisa mengatakan saya tidak mau menerbitkan keppres pengangkatan tersebut. Konsepsinya, tindakan hukum yang mendahului sebelum kewenangan presiden mengeluarkan keppres menjadi “kewajiban administratif” bagi presiden untuk mengeluarkannya. Malah jika tidak dikeluarkan, presiden bersalah dalam hal itu. Begitulah hukum bekerja untuk mengenyahkan kemungkinan tersandera oleh abuse of power secara administratif meskipun kewenangan, tetapi bukan berarti bisa tidak dikeluarkan, melainkan wajib untuk dikeluarkan. 

Akan halnya sifat kata “diputuskan dalam rapat paripurna” sesungguhnya bukanlah rezim izin. Tetapi, haruslah melanjutkan tindakan hukum pengunduran diri yang mendahului sebelum diadakan rapat paripurna. Artinya, saya menafsirkan, tidak ada kewenangan DPRD untuk menilai layak atau tidak orang yang mengundurkan diri lalu oleh DPRD diberikan penolakan. Tetapi, harusnya dilanjutkan ke arah putusan untuk pemberhentiannya. Makna diputuskan bukanlah bersifat pilihan, melainkan konsekuensi hukum untuk dilanjutkan. 

Tidak hanya makna kata tafsir teori kewajiban administratif, tetapi ini juga bisa dilihat jika dianalisis secara struktur aturan perundang-undangan. Pasal 29 Ayat (1) mengatur orang yang diberhentikan oleh karena tiga alasan, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Ayat (2) lalu menjelaskan perihal diberhentikan. Menariknya, Ayat (3) menyatukan keterangan lebih lanjut tentang meninggal maupun permintaan sendiri. Ayat tiga menggabungkan proses pemberhentian untuk meninggal dunia, permintaan sendiri, berakhir masa jabatan, dan tidak melaksanakan tugas karena berhalangan tetap. Semua hal yang secara logis disatukan oleh karena memang sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan. 

58

Page 59: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Belum lagi kalau kita lakukan tafsiran prudential yang secara teori penafsiran hukum menghitung cost and benefit dari sebuah penafsiran. Penolakan DPRD tentu sangatlah mahal harganya oleh karena kita sudah menyelenggarakan pemilu presiden. 

Menundukkan Politik ke Hukum 

Tetapi, yang namanya politik, semua bisa terjadi. Seringkali aturan hukum kemudian ditafsirkan menurut keinginan. Politik seringkali memanglimai hukum, padahal ini negara hukum. Apalagi secara praktik telah terjadi untuk wakil gubernur Jakarta yakni ketika Prijanto mengundurkan diri, tetapi pengundurannya ditolak oleh paripurna DPRD. 

Artinya, proses yang kemungkinan menjadi sangat berbau politik haruslah ditundukkan ke proses hukum. Karena itu, judicial review di MK menjadi sangat mungkin untuk menyelesaikan proses dan meneguhkan makna kata hukum yang sesungguhnya dari perizinan tersebut.

MK adalah lembaga hukum negara yang dibuat untuk menyelesaikan semua sengketa yang berbau politik. Ada baiknya Jokowi menjadi pemohon di MK untuk menutup kemungkinan ada proses politik yang menghalangi pelantikan akibat penolakan pengunduran diri. Adakah legal standing Jokowi untuk melakukan itu? Tentunya iya. Dia presiden terpilih yang akan dilantik, tetapi berpotensi terhalangi melalui aturan hukum yang bisa didebatkan makna sesungguhnya. 

Sederhana, menguji pasal-pasal yang bisa disandera secara politik dan secara cepat meminta putusan MK untuk menyelesaikan hal tersebut di atas secara hukum. ●

ZAINAL ARIFIN MOCHTAR

Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta dan Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

Munir, 10 Tahun Menolak Lupa

59

Page 60: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

9 September 2014

Waktu cepat berlalu. Tak terasa, sudah 10 tahun peristiwa pembunuhan Munir. Pejuang hak asasi manusia (HAM) asal Batu, Jawa Timur itu meninggal akibat diracun pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Almarhum ke Belanda mendapat beasiswa dari Gereja Belanda untuk studi Hukum Kemanusiaan di Universitas Utrecht.

Setelah 10 tahun para aktivis HAM di berbagai kawasan di negeri ini menggelar unjuk rasa dan menolak untuk lupa mengingat kasus Munir masih menjadi misteri. Artinya, siapa aktor intelektual atau pelaku sesungguhnya pembunuhan Munir lewat racun arsenik hingga kini masih menjadi teka-teki. 

Memang Pollycarpus pernah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir, tapi banyak kalangan meragukan Polly sebagai pelaku tunggal. Keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 4 Oktober 2006 juga menyatakan, Pollycarpus tak terbukti membunuh Munir. Padahal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005 menyatakan Pollycarpus terlibat pembunuhan Munir. Maka itu, hingga kini masih tanda tanya tentang siapa dalang atau pelaku utama pembunuh Munir?

Sudah 10 tahun para aktivis HAM mencoba berjuang agar si dalang bisa diadili, tapi perjuangan ini seperti membentur dinding arogansi hukum di negeri ini. Kita tahu hukum tak memihak yang lemah atau memihak mereka yang berjuang atas nama kaum lemah seperti Munir. Suciwati, istri almarhum, sampai pernah menulis surat terbuka untuk Presiden SBY pada masa awal kepresidenan akhir 2004. Hingga kini tiap Kamis, Suciwati dan para korban HAM bahkan masih setiap berdemo di depan Istana Negara, tapi tetap tidak ada respons dari Presiden. Namun, selama pemerintah dan bangsa ini mengabaikan Munir, justru Munir akan menjadi legenda yang tidak pernah mati dalam perjuangan penegakan HAM. 

Di forum internasional mana saja, setiap masalah HAM Indonesia menjadi tema pembicaraan nama Munir bisa dipastikan disinggung. Apalagi semasa hidup, Munir memang pernah meraih beberapa penghargaan di antaranya “The Right Livelihood Award“. Munir pernah mengatakan bahwa “hak-hak manusia dalam pengertian solidaritas manusia telah menciptakan suatu bahasa baru yang universal dan sama yang melintasi batas-batas ras, gender, etnis, atau agama”. 

Karena itu, Munir juga menjadi perintis menuju dialog bagi semua orang. Dia pejuang HAM dengan visi sangat inklusif. Seorang pejuang HAM sejati memang tidak akan pilih-pilih dalam memperjuangkan kemanusiaan. Bagi pejuang HAM sejati, kemanusiaan memang jauh lebih penting dari sekadar sekat-sekat yang sering memecah-belah kemanusiaan.

Tentu ada yang tak suka dengan sikap Munir itu. Bagi para penguasa Orba ketika itu misalnya, Munir adalah duri yang amat dibenci. Ketidaksukaan penentang HAM pada Munir

60

Page 61: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

termanifestasi pada ancaman-ancaman yang ditujukan kepada Munir pribadi sampai akhirnya dia mati diracun.

Visi HAM Munir kian terbentuk saat ia menjadi mahasiswa di Malang pada era 1980-an. Skripsinya saja soal nasib kaum buruh. Saat-saat itulah nuraninya mulai tergugah menyaksikan betapa buruknya nasib buruh. Tanpa ragu ia mengalihkan kegiatannya ke pembelaan nasib kelas terhisap ini. Kemudian Munir menjadi sukarelawan pada Kantor LBH Surabaya. Di tengah potret buram buruh saat ini yang ditandai dengan banyak buruh migran yang mati atau disiksa, penulis jadi merindukan sosok seperti Munir.

Visi HAM Munir terlihat pada nama yang diberikan kepada anak pertamanya, Sulthan Alif Allende. Idola Munir adalah Nabi Muhammad SAW, yang tampak pada nama Alif. Munir menganggap Nabi Muhammad adalah pemimpin umat Islam yang berusaha menegakkan masyarakat madani dengan membebaskan para budak. Munir juga mengagumi Salvador Allende, mantan Presiden Chile dari Partai Sosialis, yang digulingkan dan tewas ketika Jenderal Pinochet mengudeta Allende. 

Munir akhirnya juga layak sebagai pejuang demokrasi dengan visi HAM yang sejati atau tidak palsu tanpa motif mencari jabatan atau uang. Ini layak dikenang di tengah kondisi perpolitikan kita yang mengagungkan materi dan kekuasaan serta mengabaikan etika atau moralitas sehingga semua cara dihalalkan. Simak, semasa hidup, Munir tetap suka pakai sepeda motor. Bandingkan dengan mantan aktivis 1998 yang kini ikut dalam sistem kekuasaan, rambutnya amat klimis, tampilan fisiknya perlente, mobil mewah menjadi penghias, membela rakyat sekadar jadi retorika.

Para aktivis yang dulu pernah menjadi korban pun, ketika menikmati kursi kekuasaan, terbukti akhirnya melupakan komitmen HAM yang dulu sama-sama diperjuangkan bersama Munir. Memang tidak banyak aktivis yang memiliki konsistensi untuk berjuang menegakkan keadilan sebagaimana diteladankan Munir. 

Hendropriyono 

Maka itu, para aktivis HAM yang masih berdiri di belakang Munir terus menyuarakan segera dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Dulu tuntutan ini sudah disuarakan pada Presiden SBY yang hanya bisa berjanji tanpa bukti. Menyambut kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014, tuntutan serupa juga disampaikan. Jokowi menjanjikan akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. 

Tapi, tak sedikit kalangan ragu karena Hendropriyono yang ketika Munir dibunuh aktif di Badan Intelijen Negara (BIN) kini justru menduduki posisi penting di Tim Transisi. Memang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebuah keniscayaan. Pengadilan inilah yang memiliki kompetensi untuk mengadili berbagai bentuk pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pembunuhan Munir. Kita berharap saja Pengadilan HAM Ad Hoc tidak akan ditunda lagi pembentukannya. Semakin kita menunda semakin membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Ini menjadi

61

Page 62: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

cela dalam demokrasi kita. Menurut Menlu AS John Kerry yang ikut memperingati 10 tahun pembunuh Munir, pengungkapan kasus Munir menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia. 

Namun, jangan lupa tujuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc bukanlah untuk melampiaskan dendam. Setelah diketahui siapa yang bertanggung jawab, termasuk siapa dalang pembunuhan Munir, proses rekonsiliasi harus dilakukan. 

Dengan demikian, kita akan melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan. Dengan memaafkan, bangsa ini akan bisa bersatu dan tidak tersandera masa lalu sehingga bisa bekerja total bagi masa depan yang lebih baik. ●

TOM SAPTAATMAJA

Salah Satu Penulis dalam Buku “Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa

Korupsi di Sektor Migas

62

Page 63: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

10 September 2014

Pada Rabu, 3 September 2014, Menteri ESDM Jero Wacik resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Jero disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor jo Pasal 421 KUHP. Pasal tersebut menyangkut penyalahgunaan wewenang dan pemerasan. 

Sejalan dengan itu KPK pun telah menetapkan status pencegahan ke luar negeri terhadap Jero melalui pengiriman surat ke Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). KPK menjelaskan, sejak Jero menjabat, atas perintah Jero, dana operasional menteri (DOM) di KESDM menjadi lebih besar dari yang dianggarkan. Untuk peningkatan DOM tersebut, beberapa pejabat di lingkungan KESDM telah diminta untuk melakukan berbagai hal secara melanggar hukum. Peningkatan DOM antara lain didapat melalui kick back jasa konsultan, pengumpulan dana rekanan, dan rapat-rapat fiktif. 

Nilai DOM yang didapat dengan cara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang tersebut berjumlah Rp9,9 miliar. KPK mengatakan bahwa penetapan status Jero menjadi tersangka bermuasal dari pengembangan penyidikan dan penyidangan kasus korupsi mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Sekjen KESDM Waryono Karno. KPK menjelaskan, rentetan penangkapan serta penetapan sebagai tersangka ketiga pejabat di atas merupakan upaya yang akan saling terkait dan akan terus berlanjut, guna memberantas masih maraknya tindak pidana korupsi di sektor migas, termasuk oleh mafia migas. 

Janji KPK ini, sebagaimana dijelaskan oleh Johan Budi sebagai Juru Bicara KPK (4/9/2014), diharapkan akan terwujud dengan menangkap koruptor-koruptor lain, baik dari pengembangan kasus-kasus ketiga tersangka di atas, maupun dari kasus-kasus lain yang ditemukan atau yang dilaporkan oleh masyarakat. Kita pantas mengapresiasi langkah KPK yang akhirnya menjadikan Jero sebagai tersangka, mengingat kurun waktu ditemukannya uang USD200.000 di kantor Sekjen ESDM hingga pencekalan Jero sudah lebih dari satu tahun. 

KPK telah bersikap biar lambat asal selamat, atau lambat tapi pasti! Karena itu, guna memastikan bahwa KPK akhirnya akan menangkap pula koruptor-koruptor lain yang tingkat korupsinya lebih besar atau jaringan oknum pelakunya lebih luas, kita perlu memberi masukan dan dukungan kepada KPK.

Sebelum membahas lebih lanjut perlu dicatat bahwa kegiatan yang dapat menjadi lahan korupsi antara lain pada penetapan cost recovery, penjualan minyak bagian negara, lelang wilayah kerja, perpanjangan kontrak, alokasi penjualan gas dan penetapan subkontraktor jasa pendukung. 

63

Page 64: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Dalam penetapan cost recovery, modus yang dilakukan berupa penggelembungan cost recovery dan pemasukan pekerjaan tidak relevan cost recovery atau bertentangan dengan PP Cost Recovery Nomor 79/2010. Dugaan korupsi jenis ini sering dilaporkan BPK, dan pada Agustus 2013 yang lalu BPK melaporkan dugaan penyelewengan adalah USD221,5 juta. Tentu saja kita berharap KPK dapat menindaklanjuti temuan BPK tersebut.

Dalam hal perpanjangan kontrak lapangan migas, kita berharap KPK menyelidiki lebih lanjut kasus pemberian 20% saham Blok West Madura Offshore kepada Kodeco, mengingat untuk itu negara hanya menerima USD5 juta dari potensi pendapatan sekitar USD300 juta. Begitu pula dengan kasus tak kunjung diputusnya status kontrak Blok Mahakam yang oleh Jero akan diberikan kepada Total dan Inpex. Padahal, sesuai kepentingan ketahanan energi nasional, mestinya blok tersebut diserahkan kepada Pertamina.

Jero, yang sempat berkunjung ke Prancis pada 2011 yang lalu, pantas diusut karena membela asing. Dari proses pengadilan Rudi dan keterangan pengacara Rudi, Rusdi Bakar, terungkap keterlibatan sejumlah pejabat SKK baik dalam kasus suap-menyuap oleh Kernel maupun pada kasus-kasus lain. Nama-nama yang sering disebut antara lain Johannes Widjanarko, Gerhard Rumeser, dan Iwan Ratman. Berdasarkan informasi dari Rudi, Rusdi Bakar pun menjelaskan keterlibatan nama-nama lain dalam berbagai kasus yang merugikan negara. Misalnya Kepala BP Migas diduga terlibat penyelewengan penjualan LNG spot Tangguh ke Taiwan yang merugikan negara USD47 juta.

Rusdi Bakar menyatakan, dalam kasus kontrak kapal FSO 114 di CNOOC yang berakhir September 2014, dan AWB berakhir 2013, ternyata tender untuk pengganti yang dibutuhkan untuk menjamin kelanjutan proses lifting tidak kunjung dilaksanakan manajemen SKK Migas yang dijabat Lambok Hutauruk. Akibatnya, CNOOC diperkirakan tidak akan dapat melakukan proses tender dan terpaksa melakukan bridging dengan biaya lebih mahal dan negara berpotensi dirugikan sekitar USD2,5 juta per tahun. Rusdi Bakar juga menyampaikan adanya kerugian negara dalam proyek pengembangan lapangan gas Terang Serasun Batur (TSB) oleh Kangean Energi Indonesia (KEI) pada 2010. Dalam hal ini telah terjadi penggelembungan biaya proyek, yang akan dibayar melalui mekanisme cost recovery, USD630 juta menjadi USD1,06 miliar AS. 

Berbagai kasus di atas berasal dari Rudi Rubiandini sebagai salah satu pejabat yang bekerja di BP Migas sebelum menjadi kepala SKK Migas pada 2013. Karena itu sudah selayaknya KPK pun mengembangkan kasus-kasus tersebut untuk menangkap pelakunya. Selain itu, sudah selayaknya pula KPK mengusut semua pejabat Kementerian ESDM, selain Jero dan Waryono, yang terlibat dalam pengumpulan DOM, baik yang mengetahui terjadinya pemerasan namun mendiamkan, maupun yang mengetahui dan ikut menikmati hasilnya.

Hal yang juga sangat penting adalah, jika ingin memberantas korupsi di sektor migas KPK sudah selayaknya tidak berhenti pada proses pengadilan terbatas hanya pada sangkaan awal. 

Kasus suap-menyuap Rudi bisa dikembangkan untuk mengusut kasus-kasus lain seperti yang

64

Page 65: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

pernah diungkap Rudi pada persidangan. Kasus Waryono diharapkan dapat berkembang untuk mengungkap korupsi lain di sektor migas dan minerba. Demikian pula dengan Jero, yang kita harapkan persidangannya kelak tidak hanya berhenti memproses kasus pemerasan remeh-temeh yang berjumlah Rp9,9 miliar. Ke depan, KPK harus konsisten dengan tekad terus mengembangkan dan menuntaskan berbagai kasus besar korupsi di sektor migas tanpa pandang bulu dan tidak pula pilih tebang. 

Dengan telah terungkapnya berbagai bukti dari persidangan Rudi, rasanya sangat layak jika masyarakat percaya bahwa KPK sebenarnya bisa mengusut lebih banyak kasus dan menangkap lebih banyak orang dibanding hanya mengusut Rudi, Waryono, dan Jero. Bagi pemerintahan mendatang, apa yang telah dirintis KPK tersebut harus didukung dengan komitmen untuk menambah personel dan anggaran KPK. Memilih menteri ESDM dan kepala SKK Migas yang berintegritas tinggi, profesional, cerdas, berani dan independen merupakan hal lain yang kita harapkan dari pemerintah. ●

MARWAN BATUBARA Direktur Eksekutif IRESS     

Dua Presiden

65

Page 66: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

10 September 2014

Saat ini Indonesia memiliki dua presiden: Susilo Bambang Yudhoyono, presiden keenam Indonesia yang masih berkuasa hingga akhir masa jabatannya; dan Joko Widodo, calon presiden terpilih hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang pada akhir Oktober nanti akan dilantik menjadi presiden ketujuh. 

Kenapa disebut ada dua presiden saat ini? Pertama, karena Joko Widodo telah mendapatkan pengawalan Paspampres, unit khusus TNI yang dalam tugas pokok dan fungsinya hanya mengawal presiden dan wakil presiden berikut keluarganya. Sebagaimana diketahui, sejak 22 Agustus 2014, KPU telah menyerahkan pengawalan keamanan Jokowi dari Polri ke Paspampres. Jokowi juga telah mendapatkan fasilitas mobil khusus sebagai bagian dari pengamanan tersebut.

Kedua, Jokowi telah melakukan tindakan acting president dengan membentuk Tim Transisi dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait rencana kebijakan nasional. Mengenai ini, Jokowi bahkan telah bertemu beberapa kali dengan SBY untuk membicarakan hal-hal strategis kebijakan publik, seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak.

Ketiga, secara psikologis, setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pemohonan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta, mayoritas rakyat sudah memandang dan memperlakukan Jokowi sebagai presiden, meski de facto sebenarnya masih sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi tidak saja melakukan kegiatan kerja di wilayah DKI Jakarta, tapi juga terus blusukan ke wilayah lain Indonesia, yang disambut masyarakat layaknya presiden. 

Periodisasi Presiden dan Wakil Presiden 

Bagaimana sebenarnya posisi hukum Jokowi dan Jusuf Kalla saat setelah ditetapkan oleh KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih dan dikuatkan oleh putusan MK? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan, secara hukum, sejak kapankah dimulainya periode jabatan presiden dan wakil presiden? Konstitusi kita hanya mengatur periode pemerintahan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 7 UUD 1945. Tidak aturan teknis lain, baik di dalam UUD maupun undang-undang yang menjelaskan sejak kapan presiden dan wakil presiden memulai dan mengakhiri masa jabatannya. 

UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan oleh KPU (Pasal 160), dan kemudian dilantik oleh MPR (Pasal 161 [1]) di mana pengucapan sumpah/janji menjadi peristiwa hukum yang menandai pelantikan (Pasal 162 (4)). Peristiwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak disertai pembacaan surat keputusan penetapan presiden dan

66

Page 67: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

wakil presiden oleh MPR karena MPR tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara. 

Pelantikan oleh MPR justru dilakukan dengan pembacaan SK KPU tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 34 (3) UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). MPR hanya menyiapkan berita acara pelantikan sebagai bukti hukum proses pelantikan telah dilaksanakan (vide Pasal 34 [7]). Pelantikan inilah yang selama ini secara implisit ditafsirkan sebagai awal perhitungan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden (sekaligus masa akhir), yang karenanya menjadi semacam tradisi ketatanegaraan kita. Hal ini pula sebagaimana dimaksud dalam frase “pidato awal masa jabatan” dalam ketentuan Pasal 34 (8) UU MD3.

Apakah pelantikan dapat menjadi tonggak awal perhitungan periode masa awal presiden dan wakil presiden sebagaimana seperti pada penetapan masa awal jabatan kepala daerah? Penulis berpendapat bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dapat dijadikan patokan perhitungan awal sebagaimana pada pelantikan kepala daerah karena beberapa alasan. 

Pertama, berbeda dengan pelantikan kepala daerah, pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dengan membacakan SK MPR, melainkan SK KPU. Sedangkan pelantikan kepala daerah tidak dilakukan oleh presiden atau menteri dalam negeri dengan membacakan SK KPU, melainkan dengan SK presiden di mana di dalamnya terdapat klausul yang secara tegas mengatur periode awal dan akhir jabatan kepala daerah yang dilantik. SK KPU dalam pelantikan kepala daerah hanya dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Artinya, yang menjadi dasar periode kepala daerah adalah SK Presiden. 

Kedua, karenanya, yang menjadi dasar dalam penentuan masa awal periode presiden dan wakil presiden adalah SK KPU, untuk kasus Jokowi dan JK adalah SK KPU Nomor 536/ Kpts/KPU/Tahun 2014 bertanggal 22 Juli 2014. Di dalam SK KPU tersebut secara tegas disebutkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 dan berlaku sejak tanggal ditetapkan. Artinya, pasangan tersebut sudah secara sah menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia sejak tanggal ditetapkan, dan dengan sendirinya masa jabatan Presiden SBY dinyatakan telah berakhir (demisioner), meski hal ini tidak dinyatakan di dalam SK KPU tersebut. 

Keputusan MK terkait dengan SK KPU ini yang menjadi objek perselisihan PHPU Pilpres 2014 tidak dalam kapasitas mengubah isi dan substansi SK SKPU, melainkan hanya membatalkannya atau menunda pelaksanaannya, jika permohonan PHPU pilpres oleh Pasangan Prabowo-Hatta dikabulkan.

Ketiga, sebagaimana ditegaskan pula di dalam Pasal 9 (1) UUD 1945, presiden dan wakil presiden telah ada dan sah secara hukum, hanya belum sempurna dalam memangku jabatannya sebelum bersumpah. Sumpah jabatan presiden dan wakil presiden karenanya hanyalah fase penyempurnaan jabatan, bukan syarat sah presiden dan wakil presiden. 

67

Page 68: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Keempat, otoritas penyelenggaraan pemilu berada di tangan KPU. Hal ini diakui dengan tegas di mana dalam pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR yang dibacakan adalah SK KPU. Karenanya KPU saja yang secara legal punya hak menentukan batas periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, bukan MPR. Berdasarkan argumen diatas, penulis berkesimpulan bahwa penentuan masa awal jabatan presiden dan wakil presiden ditetapkan oleh KPU, bukan dengan pelantikan MPR. Akan tetapi, secara hukum Jokowi- JK belum dapat menjalankan fungsinya hingga pelantikan sumpah dilakukan oleh MPR. 

Kerancuan dan Kekosongan Hukum 

Di sinilah letak adanya kontradiksi hukum yang sangat nyata mengenai persoalan ini. Di satu sisi, KPU diakui sebagai penyelenggara pemilu, di mana KPU yang menentukan seluruh tahapan pemilu, termasuk tahapan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 (6) UU Nomor 42/2008 juncto PKPU Nomor 4/2014. Di sisi lain, konstitusi menyatakan pelantikan dilakukan di hadapan MPR (Pasal 3 UUD). MPR sebagai pemangku hajat pelantikan ditentukan waktunya oleh KPU, bukan menentukannya sendiri. 

Harusnya dilakukan pemisahan antara proses penetapan legalitas presiden dan wakil presiden terpilih sekaligus penetapan masa awal dan akhir jabatannya oleh KPU, dan seremonial pelantikan yang merupakan semacam inaugurasi seluruh rangkaian prosesnya di MPR, sehingga terdapat kepastian hukum dalam perhitungan periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden seperti kepala daerah. Atau, diberikan kewenangan bagi MPR untuk membuat semacam SK penetapan presiden yang di dalamnya ditentukan klausul mengenai periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dilantik. 

Penetapan hukum mengenai masa jabatan presiden ini sangat urgen agar tidak menimbulkan adanya “dua presiden” seperti saat ini, di mana keduanya secara de jure masih sah secara hukum. Jokowi merasa sudah menjadi presiden karena telah adanya SK KPU mengenai penetapan dirinya sebagai presiden untuk periode 20014-2019, sedangkan SBY masih menjadi presiden karena belum adanya pelantikan/penyumpahan Jokowi di MPR. Peristiwa hukum saat ini adalah peristiwa yang belum ada presedennya. 

Inilah momen pertama kali terjadi transisi pemerintahan dalam sistem pemilu langsung sejak 2004. Karenanya, momen ini menjadi penting untuk disikapi oleh para pembuat hukum untuk membuat aturan tentang mekanisme transisi pemerintahan presiden yang lebih pasti dan memberikan kepastian hukum dalam sebuah undang-undang khusus tentang kepresidenan. Karenanya, pijakan hukum kita harus jelas dan pasti, tidak hanya bertumpu pada tradisi ketatanegaraan semata. ●ANDI SYAFRANI Praktisi Hukum dan Tenaga Pengajar di UIN Jakarta

68

Page 69: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Perubahan Sistem dan Polemiknya69

Page 70: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

11 September 2014

Tidak ada yang baku dalam sistem politik dalam menerjemahkan demokrasi, termasuk dalam mengutak-atik sistem pemilu. Karena itulah maka ketika perubahan sistem dilakukan oleh penentu kebijakan politik dilakukan, hal itu sebenarnya wajar saja. Namun, memang setiap perubahan sistem politik biasanya disertai dengan polemik.

Demikianlah pula yang menonjol saat ini menyusul perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan usulan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari metode langsung kembali ke pemilihan di “dalam ruangan” melalui DPRD. Polemik berjalan menyertainya, ada yang pro ada yang kontra. Ada yang menuding para politisi tengah “bersekongkol” dan “berselingkuh”, ada yang melihatnya biasa-biasa saja, ada pula yang menganggapnya sebagai hal yang harus dilakukan demi perbaikan sistem.

Tulisan ini tidak akan mengomentari pendapat-pendapat pro-kontra yang beredar, namun hendak mengulas tentang perubahan konstelasi politik dan konsekuensinya. Kita tahu bahwa demokrasi secara harfiah “pemerintahan rakyat” di mana rakyat adalah “penentu”. Namun, “penentu” yang dimaksud kemudian lebih banyak bertransformasi maknanya sebagai pemberi legitimasi terhadap wakil-wakil rakyat (elected politicians) atau para penentu kebijakan. Rakyat menyerahkan urusan-urusan politik ke mereka.

Dan, manakala pilihan dan kebijakan politik mereka tidak memuaskan, rakyat bisa menghukum dalam pemilu berikutnya. Kalau tidak sabar, mereka bisa melakukan tekanan-tekanan yang dalam kasus tertentu memperbesar gerakan ekstraparlementer, bahkan bisa menyulut revolusi rakyat (people power). Rakyat pada akhirnya berdiri sebagai kelompok (massa) penekan yang posisinya dalam proses politik wilayah pengaruhnya tidak langsung. Penentu kebijakan bisa menerima aspirasi-aspirasi kelompok penekan yang sangat gencar melakukan perlawanan atau memperjuangkan isu tertentu, tetapi juga tidak. Atau, lazim ada tuntutan-tuntutan yang diakomodasi, ada pula yang ditolak.

Proses politik hingga munculnya produk kebijakan yang mengikat dan berdampak pada rakyat, pada akhirnya memang tidak dapat memuaskan semua kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks inilah, orang akhirnya menyadari bahwa pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan politik, tidak dapat dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan antarkekuatan politik. Pascapemilu, ketika konstelasi politik nasional atau lokal berubah maka lazim manakala rakyat akan disuguhi perubahan-perubahan, di samping yang tetap. Argumen dan Kepentingan

Dalam demokrasi semua kekuatan politik punya “dalih pembenaran” terhadap pilihan, sikap

70

Page 71: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dan langkah politiknya. Masing-masing punya basis argumentasinya, terlepas tentu ada nuansa riwayat kepentingan politiknya. Katakan yang pro terhadap pemilihan langsung, mereka berargumen bahwa sistem itulah yang paling tepat diterapkan di Indonesia, karena menjamin kedaulatan rakyat, rakyat ikut berpartisipasi dalam menentukan pemimpin, dan mencegah politik uang oleh para elite politik.

Tetapi yang pro-pemilihan lewat DPRD, punya pendapat bahwa faktanya pemilihan langsung biayanya sangat besar, dan yang terjadi di lapangan ialah banyaknya praktik pragmatisme-transaksional di mana politik uang merambah ke mana-mana, dan rakyat menikmati itu. Di stasiun-stasiun televisi, debat bisa imbang, kalau dihadirkan pembicara-pembicara yang pro dan kontra. Demikian pula di media massa lainnya. Tetapi, belakangan ini, dan tampaknya ini imbas Pilpres 2014, polemik berlangsung tidak seimbang, manakala beberapa surat kabar tertentu tidak memberi ruang yang seimbang bagi yang berpendapat pro atau yang kontra.

Media massa boleh berpihak dalam editorialnya, tetapi dalam pemberitaan bahwa ada beda pendapat semestinya bisa diupayakan pendapat pro dan kontra dihadirkan, sehingga rakyat kebanyakan tahu manfaat dan mudarat masing-masing pilihan. Dalam konteks polemik usulan perubahan pilkada, jelas bahwa rata-rata partai politik pendukung Koalisi Merah Putih, yakni yang mendukung Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014, tampak kompak mendukung perubahan. Dari sisi kepentingan politik, keberadaannya di luar pemerintahan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran mereka dalam lapangan politik, manakala pilkada dilakukan lewat DPRD.

Mereka punya peluang untuk merebut sebanyak mungkin kepemimpinan DPRD, bahkan juga di DPR mengingat adanya perubahan UU tentang MD3 mekanisme pemilihanlah yang ditempuh. Dari sisi ikhtiar politik untuk bisa mengimbangi pemerintah, maka apa yang dilakukan oleh partai-partai Koalisi Merah Putih itu, lazim semata. Kalau kemudian dikesankan bahwa mereka telah “membajak demokrasi”, bagaimana mungkin hal itu dilakukan dalam mekanisme yang formal dan legal?

Kalaupun kemudian ada yang merasa kecewa, hal itu bisa diekspresikan ke dalam berbagai cara, apakah demonstrasi, menggalang petisi melalui internet, menulis opini di surat kabar, atau hal-hal lainnya yang dilakukan secara damai. Tetapi dalam sistem politik kita DPR memang punya fungsi legislasi, membuat dan merevisi perundang-undangan. Padahal, kita tahu bahwa DPR adalah arena kontestasi politik.

Hasil dari suatu produk sistem politik, bagaimanapun tidak lepas dari subjektivitas kekuatan-kekuatan politik, yang notabene partai-partai politik. Bisa saja, apabila memang banyak yang tidak puas maka ia akan memicu suatu sentimen antipartai. Tetapi dalam kehidupan politik demokratis manapun, sikap antipartai biasanya tetap tidak akan bisa memengaruhi kebijakan politik partai-partai dalam isu-isu tertentu. “Shutdown” Amerika

Bahwa apa yang dilakukan oleh para politisi Koalisi Merah Putih terkait dengan revisi UU

71

Page 72: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

tentang MD3 dan UU tentang Pemerintahan Daerah, isunya sangat berbeda dengan kasus ekstrem yang pernah terjadi di Amerika. Pasalnya, yang dipersoalkan ialah perubahan mekanisme dalam pemilu, dan tidak menyangkut hal-ihwal penolakan anggaran, sebagaimana dilakukan Partai Republik sehingga pemerintah Amerika terpaksa “tutup” alias “shutdown“.

Kita masih ingat, pada Oktober 2013, sebagian besar layanan publik pemerintah Amerika Serikat, berhenti, karena perdebatan tak berujung antara kubu Republik dan Demokrat. Mereka saling menyalahkan sebagai penyebab penutupan layanan badan federal, taman nasional, dan fasilitas di seantero negeri. “Shutdown“ dimulai ketika Kongres, yang terdiri atas DPR (House) dengan dominasi Partai Republik dan Senat yang didominasi Partai Demokrat, melewati tenggat waktu pembahasan anggaran. Rapat itu seharusnya memutuskan soal penambahan anggaran darurat untuk membiayai anggaran pemerintah. Pembahasan menemui jalan buntu karena kubu Republik mensyaratkan penambahan anggaran baru dapat dilakukan jika terlebih dahulu dilakukan peninjauan ulang atas UU Kesehatan yang mendasari “Obamacare“. “Shutdown“ Amerika, tidak terjadi sekali itu, sebelumnya terjadi pada 1995-1996.

Apa yang terjadi di Amerika merupakan contoh ekstrem ketika, proses politik di Kongres berdampak pada “kesengsaraan rakyat”, kendatipun biasanya “shutdown“ tidak berlangsung lama. Kalaupun seandainya skenario Koalisi Merah Putih dalam memuluskan mekanisme pemilihan langsung dalam pilkada sukses, maka mereka yang merasa dirugikan masih punya ruang dan kesempatan untuk menuangkan ketidaksetujuannya. Mekanisme “judicial review“ ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih bisa ditempuh. Masa depan polemik ditentukan MK. Bisa jadi MK membatalkan revisi UU tentang MD3, tetapi bisa pula tidak demikian. Akan halnya dengan revisi UU tentang Pemerintahan Daerah, apabila sudah disetujui DPR, juga sama.

Para pengkritik lazim menyebut manuver politik Koalisi Merah Putih akan sia-sia, karena besar kemungkinan dapat dibatalkan MK. Kendatipun, ceritanya kemudian bisa lain. Tetapi memang demikianlah proses politik. Elite politik merasa punya hak untuk bermanuver, tetapi di sisi lain kelompok-kelompok kepentingan juga punya hak untuk menekan dan berpendapat. Memang keputusan apapun bisa berdampak, namun dalam polemik kali ini, prosesnya di DPR, masih sangat jauh dari bayang-bayang “shutdown“. ●

M ALFAN ALFIANDosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Pilkada yang Konstitusional, Demokratis dan Efisien

72

Page 73: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Koran SINDO

12 September 2014

Pro-kontra pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau langsung oleh rakyat menunjukkan proses berdemokrasi yang sehat. 

Perbedaan pendapat tersebut bukan merupakan langkah mundur, tetapi menjadi musyawarah untuk perbaikan kehidupan berdemokrasi yang efektif dan efisien, serta bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, konstitusi tidak pernah mengharuskan adanya pilkada langsung. 

Di dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.“ Pemilihan norma dasar berbentuk frase “dipilih secara demokratis” ini berbeda dengan sistem pemilihan anggota DPRD, yang disebut konstitusi “dipilih melalui pemilihan umum”. Pasal 18 ayat 3 berbunyi, “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

Dua ayat dalam konstitusi tersebut membuktikan sistem pemilihan kepala daerah dan DPRD bersifat asimetris. Norma dasar untuk pemilihan kepala daerah dan DPRD berbeda, sehingga sistem pilkada dan pemilihan anggota DPRD juga seharusnya berbeda. Bila pilkada dijalankan dengan metode seperti pemilihan umum, yang langsung dilakukan oleh rakyat, norma untuk pilkada dan pemilihan anggota DPRD dalam UUD akan diatur dalam satu ayat yang sama. Ayat tersebut berbunyi misalnya, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah dipilih melalui pemilihan umum.” 

Pilkada juga seharusnya sejak dulu tidak dimasukkan dalam rezim pemilu karena batasan pemilu yang konstitusional telah dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2 bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah.” Konstitusi tidak memasukkan kepala daerah sebagai objek pemilihan umum, yang dipilih langsung oleh rakyat. Dapat dinyatakan pilkada langsung selama ini bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan konstitusi.

Pilkada langsung tentu membawa manfaat, tetapi juga mengandung mudarat. Manfaatnya adalah rakyat berkesempatan memberikan suara secara langsung. Tetapi, manfaat ini menjadi kabur karena sesudah pilkada berlangsung, rakyat tidak berkesempatan mengoreksi dan memperbaiki pemda secara langsung. 

Pada sebagian daerah, partisipasi politik pascapilkada memang dihargai dan diberi ruang yang luas. Beberapa kepala daerah melakukan blusukan, mencari tahu suara hati rakyat dan

73

Page 74: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

situasi kehidupan mereka. Beberapa yang lain membuka ruang di radio dan televisi daerah, membuat ajang urun rembuk setiap pekan, bahkan memanfaatkan jaringan seluler dan internet untuk menjalankan komunikasi publik. 

Mereka berhasil menyapa rakyatnya dan dipuji karena kinerjanya memenuhi harapan publik. Akan tetapi, mereka bagus berkomunikasi bukan karena sistemnya yang baik, melainkan karena orangnya yang terdidik, berintegritas tinggi dan mau berbagi dengan rakyat. Padahal, suatu sistem yang baik akan dapat melestarikan yang baik-baik, sementara jika pemimpinnya saja yang baik maka belum tentu kebaikan itu berlanjut setelah dia tidak menjabat. 

Pada sebagian besar daerah, hubungan langsung antara kepala daerah dan rakyat pascapilkada baru sebatas mimpi. Kepala-kepala daerah justru menjadi raja-raja kecil, yang begitu berkuasa dan susah dijangkau oleh rakyatnya. Bahkan, mereka pun susah untuk berkomunikasi dengan partai-partai yang mengusungnya, sehingga di banyak kasus terjadi pecah kongsi. Ini indikasi lain dari adanya mudarat pilkada langsung. 

Hal yang lebih memusingkan kepala adalah sekali mereka terpilih, dinasti baru tercipta. Mereka dapat berkuasa dua periode, tetapi mereka dapat melanjutkannya lagi melalui istrinya, anaknya, atau dirinya menjadi wakil kepala daerah. Mereka pun dapat berbagi ruang kekuasaan publik bagi keluarganya di beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi. Ini bukan hanya terjadi di Provinsi Banten, tetapi juga daerah-daerah lain. Dapat dinyatakan bahwa pilkada langsung memberikan kesempatan tumbuhnya kembali nepotisme dan politik dinasti, yang justru ingin dikubur oleh reformasi dan demokrasi.

Produk pilkada lewat DPRD juga bagus, meski seperti produk pilkada langsung, tidak semuanya bagus. Contohnya adalah Bang Ali Sadikin, produk pemilihan DPRD. Pertimbangan strategis lain untuk melakukan perubahan sistem pilkada adalah efisiensi. Bayangkan, jika diasumsikan biaya pilkada sembilan provinsi besar (Jatim, Jabar, Jateng, Sumut, Sulsel, Banten, Sumsel, Lampung, dan DKI Jakarta) rata-rata Rp750 miliar, sedangkan 25 provinsi lainnya rata-rata Rp500 miliar, lalu ditambah sekitar 500 kabupaten/kota dengan biaya rata-rata Rp50 miliar, maka total biaya pilkada langsung itu mencapai Rp44,25 triliun! 

Ini merupakan penghematan APBN dan APBD yang sangat besar sehingga kita dapat mengurangi beban fiskal tanpa menaikkan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik secara rutin. Penghematan akan semakin besar jika dihitung biaya kampanye dari setiap pasangan calon. Bila setiap pasangan menghabiskan Rp10 miliar, dan ada tiga pasangan calon pada setiap pilkada langsung, maka sekurang-kurangnya ada biaya tambahan lebih dari Rp16 triliun. 

Dengan demikian, pilkada langsung seluruh Indonesia menelan biaya lebih dari Rp60 triliun! Bahkan, jika pilkada berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, biaya-biaya itu membengkak, baik anggaran APBN untuk MK, pembiayaan perkara oleh masing-masing pihak, dan besarnya kemungkinan biaya sosial, seperti kerusuhan. 

74

Page 75: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Jika pilkada dilakukan oleh DPRD, biayanya diperkirakan tidak sampai sepersepuluhnya, sehingga anggaran yang dapat dihemat dapat disalurkan ke bidang kesejahteraan rakyat. Bila ada kekhawatiran praktik suap-menyuap dalam pilkada melalui DPRD, maka KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tinggal menjalankan praktik penyelidikan mendalam, termasuk penyadapan bila ada indikasi tersebut. 

Lagi pula, PPATK dapat membantu fungsi pencegahan. Lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan tugasnya secara efektif karena yang diawasi hanya puluhan orang anggota DPRD dan pimpinan partai.

Di sisi lain, mayoritas produk pilkada langsung bermasalah secara hukum. Sekitar 60 persen dari kepala daerah diproses hukum oleh Polri, Kejaksaan RI dan KPK. Banyaknya kepala daerah yang tersangkut hukum karena mereka harus menanggung beban kampanye yang sangat besar, yang harus dikembalikan pada masa kepemimpinannya.

Bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pengembalian sistem pilkada ke jalur yang benar dan konstitusional sudah dipikirkan sejak Mukernas PPP 2010 di Medan. Mukernas merekomendasikan pilkada dilakukan oleh DPRD. 

Karena itu, tudingan perubahan sistem pilkada menjadi konstitusional ini karena kepentingan politik jelas berlebihan. Jauh sebelum terbetik di dalam pikiran adanya Koalisi Merah Putih, koalisi permanen dan Pilpres 2014, PPP sudah mengusulkannya demi kemaslahatan bangsa Indonesia. ●

AHMAD YANI

Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI

Pengunduran diri Ahok

Koran SINDO

12 September 2014

75

Page 76: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pengunduran diri Basuki Tjahaja Purnama, atau yang biasa disapa Ahok, sebagai kader Partai Gerindra merupakan realitas politik yang menarik untuk disimak. 

Sikap Ahok yang konsisten mendukung pilkada langsung yang dipandang lebih demokratis dibanding dengan pandangan partainya, dianggap menjadi faktor utama pengunduran diri Ahok. Konflik Ahok dengan Gerindra tidak bisa dihindarkan. Lantas pertanyaannya, apakah beda pandangan mengenai pilkada antara Ahok dan Gerindra menjadi faktor utama pengunduran diri wagub DKI Jakarta sebagai kader Partai Gerindra? 

Pengunduran diri dalam keanggotaan partai politik pada dasarnya merupakan sesuatu yang normal. Setiap partai politik dalam AD/ART-nya pasti mengatur mekanisme pengunduran diri seseorang dari keanggotaan organisasinya. Dengan kata lain, pengunduran diri seseorang dari partai politik merupakan hak yang sah. Atas dasar ini, sikap Ahok mundur dari partai yang telah mengusungnya menjadi wagub DKI Jakarta adalah hak politik yang bersangkutan.

Namun, dalam peristiwa yang tengah berkembang antara Ahok dan Gerindra, terlalu sederhana tampaknya jika Ahok menjadikan isu perbedaan sikap dalam isu pilkada sebagai alasan utama pengunduran dirinya. Bisa jadi hal ini hanya merupakan faktor pemicu bukan faktor utama. Dalam hal perbedaan pandangan antara kepala daerah dan partainya, sepertinya bukan hanya terjadi pada kasus Ahok. Kita juga bisa melihat bupati/wali kota lain yang memiliki perbedaan pendapat dengan partainya mengenai isu pilkada ini. 

Sebut saja Ridwan Kamil yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra serta Bima Arya Sugiarto yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Keduanya juga mendukung pilkada secara langsung dan memiliki sikap yang berbeda dengan pandangan partainya. Atau jika lebih luas lagi untuk bisa melihat singgungan pendapat antara kepala daerah dan partainya, kita bisa melihat hubungan Trismaharini dengan PDIP di Surabaya. 

Sehingga, perbedaan pendapat dalam satu partai merupakan isu yang biasa, dan berlebihan nampaknya jika ini bisa menjadi faktor utama pengunduran diri Ahok dari Gerindra. Masih cukup banyak faktor yang bisa turut menjelaskan pengunduran diri Ahok di luar isu perbedaan pandangan tersebut. Seperti faktor komunikasi politik Ahok yang sangat unik, atau bahkan ada motivasi politik lain yang muncul seiring dengan perkembangan dinamika politik nasional. 

Perilaku Politik vs Etika Politik Pengunduran diri Ahok juga bisa mengajak kita sedikit menengok benturan dua aspek dalam kajian Ilmu Politik yang sering kali tidak pernah sejalan; yakni perilaku politik dan etika politik. Membahas perilaku politik pada tataran yang normatif, sering kali dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang naif. 

Sebab katanya, politik memang tentang seni bagaimana mendapatkan kekuasaan yang

76

Page 77: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

menghalalkan segala cara. Atas dasar inilah sering kali etika politik hanya menjadi bagian yang tersudutkan dalam pembahasan perilaku aktor politik. Namun, penulis berpandangan bahwa kerasnya pertarungan perebutan kekuasaan dengan segala cara, tidak akan pernah menutup kerinduan masyarakat akan dijunjungnya etika politik. 

Sejatinya, kekuasaan politik yang sudah didapatkan tidak hanya membutuhkan legitimasi secara hukum, tapi juga dibutuhkan pembenaran normatif yang berlaku di dalam masyarakat. Namun, politik adalah pertarungan kekuatan. Sering kali realitas politik yang dipertontonkan tidak bisa dijelaskan dalam etika politik yang dianggap ideal. 

Mundur sebagai Wagub DKI Jakarta? 

Sikap Ahok yang tidak mundur dari wagub DKI Jakarta bisa dipahami secara konstitusional, sebab tidak ada aturan yang menegaskan ia harus mundur dari posisinya. Meskipun kader partai dan dicalonkan oleh partai, kepala daerah tidak bisa diganti dari jabatannya ketika dirinya keluar dari partai yang mengusungnya. Kendali partai terputus bersamaan dengan pelantikan kandidat yang diusung sebagai kepala daerah. 

Namun pada saat yang bersamaan, penulis berpendapat bahwa hal ini merupakan cermin dari sistem politik kita yang masih mengabaikan etika politik, sehingga kepala daerah bisa dengan mudah meninggalkan partai politik yang telah mengusungnya ketika jabatan yang dituju sudah dicapai. Lebih jauh lagi, dalam konteks ini penulis juga berpandangan bahwa ke depannya di satu sisi pelibatan publik yang luas dalam proses pilkada langsung yang sudah sepuluh tahun diterapkan harus tetap dijaga. Pasalnya, ongkos pembelajaran politik yang sudah dikeluarkan bangsa ini tidak terbuang sia-sia. 

Namun, jangan sampai pada saat yang bersamaan hal ini justru memperlemah peran dan fungsi partai politik dalam praktik berdemokrasi. Peran partai politik tetap harus diperhatikan secara serius ke depannya. ●

MUHAMMAD TRI ANDIKA MA

Kepala Jurusan Ilmu Politik Universitas Bakrie, Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS) 

MK Bukan Legislatif

Koran SINDO

13 September 2014

77

Page 78: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Mahkamah Konstitusi (MK) bisa diibaratkan sebagai lembaga negara yang dibenci, tetapi juga dirindui sekaligus. Setelah meledaknya kasus penangkaptanganan Ketua MK Akil Mochtar, 2 Oktober 2013, MK menjadi sasaran kebencian dan kemarahan banyak pihak. Perkara-perkara lama yang sudah bertahun-tahun selesai di MK diungkit-ungkit lagi, dituding sebagai produk korupsi, para pimpinan lembaga negara mengisolasi MK dengan membuat keputusan yang terkait dengan MK tanpa mengundang pimpinan MK, bahkan pada sidang resmi MK diserang secara brutal oleh pengunjung sidang. 

Namun pada saat yang sama MK tetap dirindukan dan menjadi tempat berharap untuk menyelesaikan secara adil dan konstitusional berbagai konflik yang terkait dengan masalah-masalah konstitusi. Meskipun banyak yang mencaci MK, banyak pula yang tetap mengajukan perkara ke MK untuk diputus, baik pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) maupun pengujian undang-undang (judicial review). 

Uniknya, tidak jarang kita mendengar ancaman orang akan menguji ke MK satu UU yang masih berupa ide atau rencana alias belum menjadi UU. Harus diingat, MK bukan lembaga legislatif atau lembaga negara pembentuk atau pembuat UU. MK adalah lembaga yudikatif yang mengadili jika ada masalah konstitusionalitas UU, tetapi MK tidak boleh membuat vonis pengujian UU yang sifatnya mengatur, sebab yang boleh mengatur dengan UU hanya lembaga legislatif (DPR dan pemerintah). 

Penggagas peradilan konstitusi Hans Kelsen mengatakan bahwa MK merupakan negative legislator atau lembaga yang hanya boleh membatalkan atau menegasikan UU (atas sebagian isinya) tanpa boleh membuat isi UU. Tegasnya, dalam konteks UU, MK boleh membatalkan UU, tetapi tidak boleh membuat peraturan yang menjadi materi muatan UU. 

Harus diingat pula bahwa MK hanya boleh membatalkan UU atau isi UU yang bertentangan dengan konstitusi atau berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara, kelompok masyarakat maupun badan hukum. MK tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang hanya tidak disukai oleh seseorang, ditentang oleh sekelompok orang, atau tidak disenangi oleh hakim MK sendiri. 

Ukuran utama bagi MK untuk membatalkan UU atau isi UU adalah manakala ia benar-benar bertentangan dengan konstitusi. Itulah sebabnya dari begitu banyak pengajuan judicial review ke MK (minimal sampai April 2013), terdapat hanya sekitar 23% yang dikabulkan, itu pun banyak yang dengan pengabulan bersyarat. 

Di dalam beberapa putusan MK ada dua istilah yang sering dipergunakan sebagai alasan untuk membatalkan atau tidak membatalkan isi UU, yakni istilah opened legal policy (pilihan politik hukum yang terbuka) dan closed legal policy (pilihan politik hukum yang tertutup) sebagaimana diatur di dalam UUD. MK tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang materinya menjadi pilihan politik hukum terbuka (opened legal policy) bagi DPR, tetapi boleh membatalkan isi UU yang secara konstitusional bersifat tertutup alias tak bisa diartikan lain dari isi UUD. 

78

Page 79: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Ihwal pencalonan pasangan capres/cawapres oleh parpol atau gabungan parpol, misalnya, bisa disebut sebagai contoh dari pilihan politik hukum yang tertutup. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pasangan capres/cawapres harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. MK tidak boleh membatalkan isi UU yang sudah mengatur sama dengan isi UUD itu. Yang bisa mengubah itu hanya MPR melalui amendemen atas UUD 1945.

Ini berbeda dengan pencalonan kepala daerah yang memang tidak menutup calon perseorangan. Pasal 18B UUD 1945 mengatur, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Istilah demokratis mencakup pengajuan calon melalui parpol yang sudah mempunyai kursi di DPRD dan pengajuan calon secara perseorangan. Maka itu ketika lembaga legislatif mereduksi istilah demokratis dengan hanya memberi hak pengajuan calon kepala daerah kepada parpol, MK membatalkannya. Reduksi atas istilah demokratis itu dipandang sebagai pelanggaran atas hak konstitusional warga negara.

Ini lain lagi, misalnya, soal banyaknya kursi atau daerah pemilihan untuk pemilu legislatif serta jumlah komisi di DPR RI. Hal-hal tersebut sepenuhnya menjadi hak lembaga legislatif untuk menentukannya. MK tak boleh membatalkan hal-hal tersebut, apalagi kemudian mengaturnya, kecuali nyata-nyata ada pemasungan terhadap hak konstitusional atau melanggar prinsip-prinsip dalam konstitusi. MK tak bisa membatalkan isi UU yang menentukan jumlah anggota atau jumlah alat kelengkapan seperti komisi-komisi di DPR, sebab hal-hal tersebut merupakan pilihan politik hukum terbuka bagi lembaga legislatif untuk menentukannya sendiri sesuai dengan hak dan prosedur yang tersedia. 

Kalau MK membatalkan hal-hal yang sudah menjadi hak DPR untuk menentukannya sendiri berdasar pilihan politik hukum secara terbuka, apalagi kemudian ikut mengaturnya, maka MK telah bergeser atau digeser dari lembaga yudikatif menjadi lembaga legislatif. Itu tidak boleh terjadi, kecuali dengan alasan luar biasa dan bersifat einmalig. 

Sebagai mantan hakim MK saya mulai merasa gembira karena dalam vonis-vonisnya belakangan ini MK sudah independen, tidak terombang-ambing oleh intervensi atau teror opini, keluar dari trauma dan mulai berjalan dengan gagah sebagai penjaga demokrasi dan nomokrasi. ●

Paradoks Pilkada Langsung atau Tak Langsung

Koran SINDO

13 September 2014

79

Page 80: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Ihwal pro-kontra pilkada langsung atau dipilih DPRD bukan hanya wilayah “pertarungan politik”. Isu pilkada langsung atau tak langsung secara substansial adalah refleksi dua perspektif utama pemilihan (elektoral). 

Dalam perkembangan demokrasi suatu negara, termasuk di Indonesia, demokrasi dalam konteks elektoral mengalami pasang surut. Sejak era pascakemerdekaan hingga Orde Baru, perspektif yang menonjol adalah demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung. Demokrasi model ini di antaranya dicirikan oleh proses pemilihan yang sifatnya terbatas. Partisipasi politik bukan sesuatu yang inklusif. 

Di era transisi demokrasi/konsolidasi demokrasi, khususnya era reformasi, perspektif lama demokrasi perwakilan mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, muncul suatu keyakinan baru bahwa demokrasi perwakilan menisbikan partisipasi rakyat yang memiliki kedaulatan, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Bandul penentu kekuasaan akhirnya diubah, dikembalikan kepada rakyat yang memiliki kedaulatan atau hak suara yang menentukan. 

Perdebatan mana yang lebih baik, pilkada langsungkah atau pilkada melalui DPRD? Perdebatan yang muncul ke publik akhir-akhir ini di media terasa kurang berimbang. Secara teoritik, kedua praktik demokrasi itu, baik pemilihan langsung maupun melalui perwakilan, menyimpan kecenderungan yang hampir mirip. Kedua-duanya memiliki kekuatan sekaligus menyumbang kelemahan. 

Demokrasi langsung dan tidak langsung (perwakilan), kedua-duanya tidak dapat menghindarkan dirinya dari politik transaksional. Politik uang (money politics) tetap saja terjadi pada kedua jenis pilkada. Pada pilkada langsung, politik uang misalnya, terjadi saat proses penentuan calon kepala daerah agar memperoleh direstui partai dan politik uang juga terjadi pada saat pelaksanaan pilkada. 

Sudah jamak atau menjadi rahasia umum, biaya politik para kandidat gubernur, bupati, dan wali kota muncul mulai dari proses pencalonan internal partai hingga akan dilantik. Dari sifatnya itu, proses internal partai juga tidak bisa menghindari politik dinasti dan/atau oligarki partai. Partai sebagai salah satu pihak yang dapat mencalonkan calon kepala daerah juga tidak dapat terhindar dari hukum besi oligarki. Pada beberapa kasus, perjuangan untuk berkuasa akhirnya dimulai dari penguasaan partai yang kemudian berlanjut pada proses penentuan pencalonan gubernur, bupati dan wali kota. Pada jenis kedua pilkada, baik pilkada langsung maupun melalui perwakilan, kedua-duanya tidak mungkin bisa memberikan jaminan dapat mengatasi watak asli keduanya, oligarki partai dalam penentuan calon dan transaksi politik lainnya. 

Perbedaan yang mencolok pada kedua jenis pilkada itu hanya terletak pada beberapa sisi. Pada pilkada langsung, pertama, ada alternatif calon lain dari jalur independen. Sehingga, muncul tokoh-tokoh baru yang tidak memiliki kendaraan partai politik. Kedua, penentu

80

Page 81: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

kemenangan adalah rakyat sebagai pemilik suara. Partisipasi politik meluas, rakyat menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya.

Namun, dari penyelenggaraan pilkada langsung sejak Juni 2005 harus diakui, perilaku pemilih juga tidak menceritakan suat kemajuan yang berarti. Transaksi politik antara calon kepala daerah dengan pemilih juga sering terjadi. Mobilisasi melalui jalur-jalur “agama, kesukuan, etnik, kekerabatan”, dan pembelian suara nyaris pula tidak terhindarkan. Memilih kucing dalam karung juga sering tak dapat dihindari. Lebih dari itu, beberapa pengalaman pilkada dan pemilu legislatif juga memperlihatkan adanya gejala transformasi perilaku pemilih yang pada beberapa wilayah tertentu tidak pula dapat menghindarkan diri dari pengaruh patron-klien dan orang kuat di daerah. 

Fakta lain yang juga menjadi penting, argumentasi dari demokrasi partisipatif yang hendak dipertahankan dari pilkada langsung, tapi bukankah ada gejala bahwa pilkada langsung makin tidak menarik pemilih untuk mencoblos. Pada beberapa pilkada langsung partisipasi pemilih jauh lebih rendah, di bawah 50%. Gejala seperti itu juga tidak dapat dinafikkan, bahwa ada yang tidak beres dari pelaksanaan pilkada langsung selama ini. 

Sementara pada pilkada perwakilan, dapat saja ada alternatif calon dari jalur independen, tetapi, komposisi DPRD akan menentukan siapa yang terpilih. Publik pun dapat dengan mudah membaca siapa calon yang akan direstui oleh DPRD. Ditimbang dari segi biaya, seperti yang pernah dikeluhkan oleh Jusuf Kalla, pilkada langsung lebih menyedot dana APBN dan APBD ketimbang pilkada melalui perwakilan. Itulah paradoks pilkada, baik langsung maupun pilkada perwakilan. 

Kedua-duanya juga menyimpan potensi rente dan korupsi. Para kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat juga tidak terhindar dari korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri hingga Januari 2014 menunjukkan kurang lebih 318 (60%) dari 524 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Kedua-duanya juga tak terhindar dari sifat oligarki partai, kecuali kalau partai-partai politik itu dikubur.  Tetapi itu tidak mungkin dilakukan, karena partai adalah instrumen utama demokrasi pemilihan.

Lebih dari itu semua, pertimbangan dalam memutuskan pilkada langsung dan tidak langsung–yang kedua-duanya juga konstitusional, jangan terjebak pada mikropik politik yang sifatnya sesaat.

Menurut hemat penulis, kedua jenis pilkada harus dapat menjawab beberapa tantangan, antara lain pertama, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) berdampak pada kualitas demokrasi yang substantif di tingkat lokal. Kedua, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang dapat memerintah. Selama ini hasil pilkada langsung hanya sedikit yang menunjukkan pemerintahannya bekerja atau dapat memerintah. Ketiga, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) akan melahirkan kesejahteraan rakyat, menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat. 

81

Page 82: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Keempat, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) melahirkan kepala daerah yang benar-benar “merakyat,” dekat dengan rakyat, mengerti rakyat, dan menyelesaikan masalah mereka. Kelima, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) akan membawa kemajuan bagi daerah. 

Refleksi atas kelima pertanyaan itu pesannya tegas, bahwa desain pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) bukan semata-mata untuk mencapai tujuan demokrasi pemilihan, tetapi harus dapat membawa manfaat bagi rakyat yang memiliki kedaulatan. ●

MOCH NURHASIM

Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI

Kepastian Arah Penyelesaian Sengketa Pilkada

Koran SINDO

15 September 2014

82

Page 83: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Jika tak ada aral, pada 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) akan kembali dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini menyusul disetujui oleh sebagian terbesar kekuatan politik di DPR tentang pengembalian kewenangan memilih oleh para wakil rakyat di daerah tersebut. 

Seiring itu, penyelesaian sengketa pilkada juga berubah. Perubahan itu menyusul dibacakan putusan No 1-2/PUU-XII/14 berdasarkan permohonan uji materi inkonstitusionalitas Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan itu dijatuhkan pada 19 Mei 2014. Membaca legal reasoning dari putusan tersebut, secara teknis ternyata penyelesaian sengketa pilkada telah membuka ruang untuk korupsi. Bukti konkretnya adalah tertangkap tangan Akil Mochtar sebagai terdakwa korupsi sengketa pilkada.

Sebelum prahara MK yang mendudukkan Akil sebagai terdakwa, sebenarnya pembentuk UU sudah berencana mengalihkan penyelesaian sengketa pilkada tersebut dengan memberi kewenangan ke peradilan umum. Berarti naungan formalnya adalah Mahkamah Agung dengan jajaran peradilan di bawahnya. Di dalam RUU Pilkada yang sebentar lagi disahkan, sengketa pilkada akan dikembalikan ke Mahkamah Agung (MA). Itu diatur pada Pasal 28 ayat 1. Dinyatakan: ”Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan diajukan ke Mahkamah Agung paling lambat tiga hari setelah penetapan penghitungan suara dalam pemilihan gubernur dengan tembusan panitia pemilihan (panlih)”. Ketentuan ini berlaku untuk pemilihan gubernur (pilgub).

Sejalan dengan mekanisme ini, perselisihan pilkada tingkat kabupaten/kota akan diselesaikan di pengadilan tinggi (PT). Penegasan ini diatur pada RUU Pasal 130 ayat 1. Dinyatakan: ”Terhadap penetapan rekapitulasi penghitungan suara dan penetapan calon bupati/wali kota terpilih, calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan tinggi paling lambat tiga hari setelah penetapan”. Putusan lembaga pengadil tersebut bersifat final and binding (final dan mengikat, tak ada upaya hukum lain). Klausul ini penting sebab jalur reguler perkara puncaknya senantiasa di MA. Dengan demikian, putusan sengketa pilkada hanya dilakukan pada satu tingkat dan hanya satu kali. 

Penyelesaian Bukan oleh MK 

Membaca dasar hukum, mengapa sengketa pilkada itu masuk ke MK hingga saat ini adalah Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksud. Pada pasal itu dinyatakan bahwa ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”. Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Sebagai konsekuensi, pilkada masuk ke rezim pemilu dan namanya pemilukada. 

83

Page 84: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Sebagai akibat ke hilirnya, oleh karena kewenangan MK adalah menyelesaikan masalah sengketa pemilu, pemilu untuk gubernur, bupati dan wali kota yang semestinya hajat lokal menjadi hajat nasional yang diselenggarakan di daerah. Sebenarnya terlalu besar jika memasukkan hajat daerah yang notabene wilayah kecil. Hal demikian juga tidak sesuai dengan berbagai upaya yang arahnya desentralisasi dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah.

Dari sisi ini, mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada ke pengadilan tinggi untuk level bupati/wali kota masuk akal. Secara praktis, sengketa pemilukada bupati/wali kota yang harus diselesaikan di level MK memerlukan biaya besar. Apalagi jika sengketa itu berasal dari daerah yang jauh dari Jakarta. Kecenderungan selama ini, persidangan penyelesaian sengketa pemilukada di MK itu bahkan cenderung melibatkan massa. Ongkos untuk itu terlalu mahal, khususnya jika dibandingkan dengan penyelesaian yang dilaksanakan di ibu kota provinsi yaitu di pengadilan tinggi setempat. Kalau itu terjadi, berarti berubah lagi dari rezim pemilukada ke rezim pilkada. 

Sisi lain yang menjadi keberatan dari sengketa pemilukada dan kalau nanti diselesaikan di daerah menjadi sengketa pilkada adalah kondisi pengadilan yang disinyalemen masih tidak atau belum bersih dari penyimpangan. Bahasa praktisnya, institusi pengadilan meskipun gaji hakimnya sudah dinaikkan, namun masih subur dicokoli mafia hukum. Pada level MA pun demikian. Banyak cerita buruk tentang perilaku hakim MA yang mencuat ke publik. Ada yang menilai, perpindahan dari MK ke MA ibarat keluar dari mulut harimau, tapi masuk ke mulut buaya. Sami mawon.

Pada perspektif yuridis, berdasarkan hukum acara selama ini MA tidak memeriksa fakta. MA adalah peradilan tertinggi, bukan judex factie. Kalau kemudian perselisihan gubernur masuk ranah MA, itu memerlukan pembenahan terhadap asas hukum dimaksud dan itu levelnya adalah UU. Hal ini yang secara tersirat menjadi pertimbangan dalam putusan mengapa MK akhirnya memilih untuk tidak mengadili sengketa pilkada. Dengan pembatalan ketentuan tentang kewenangan MK mengadili sengketa pilkada, kekhawatiran bahwa MK akan memegang kewenangan ”instan” tersebut tidak diperlukan. Artinya MK dengan sukarela melepaskan kewenangan yang sebenarnya bertentangan dengan khitah-nya sebagai penengah atas sinyalemen pertentangan antara UU dan UUD. 

Sebagai catatan, pada putusan yang dibacakan pada 19 Mei 2014 itu sengketa pilkada tetap ditangani MK sampai diberlakukan UU Pilkada dalam beberapa waktu mendatang. Padahal seharusnya putusan MK taat asas bahwa putusan berlaku sejak diucapkan. Ketentuan pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD sudah tidak berlaku sejak saat itu. Artinya bahwa seharusnya kewenangan atas sengketa pilkada segera diserahkan kepada lembaga sebelum pengalihan kewenangan yaitu pada Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi. Bukan menunda dengan alasan ketidaksiapan lembaga yang dibungkus dengan kalimat— menunggu perubahan undang-undang.

Kendati demikian, kabar gembiranya toh UU itu segera disahkan dan tidak ada sengketa pilkada yang sedang ditangani MK. Jadi sengketa pilkada yang akan diajukan pada 2015 dan

84

Page 85: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

seterusnya yang menangani adalah pengadilan tinggi untuk tingkat kabupaten/kota dan Mahkamah Agung untuk tingkat provinsi.

SAMSUL WAHIDINGuru Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang

Presidensial Pasca-Pemilu 2014

Koran SINDO

15 September 2014

Pada 1 Oktober mendatang kita akan memiliki DPR baru hasil Pemilu 2014. Sedangkan presiden dan wakil presiden terpilih akan mengucapkan sumpah pada 20 Oktober mendatang.

85

Page 86: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Hasil dua pemilu tersebut telah mengubah peta politik dan akan memengaruhi dinamika ketatanegaraan. Peta politik cenderung berubah menjadi dua kekuatan politik yaitu koalisi pemerintah dan koalisi nonpemerintah. Satu menguasai pemerintahan, sedangkan yang lain menguasai mayoritas kursi DPR. Peta ini menjadi ujian baru bagi sistem ketatanegaraan kita, terutama agar tetap berjalan sesuai karakter sistem presidensial, tidak terjebak dalam kecenderungan sistem parlementer. 

Presidensial di Indonesia 

Pilihan terhadap sistem pemerintahan presidensial ditegaskan melalui Perubahan UUD 1945, bahkan disepakati untuk memperkuat sistem presidensial yang sebelumnya banyak mengandung unsur parlementer. Kesepakatan dasar tersebut diwujudkan dengan mengembalikan kewenangan pembentukan undang-undang kepada DPR di satu sisi dan di sisi lain meneguhkan kedudukan presiden yang bersifat fix term sebagai konsekuensi dari presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR.

Perbedaan dasar antara sistem parlementer dan presidensial sesungguhnya adalah pada siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan. Pada sistem parlementer, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Parlemenlah yang menentukan bagaimana pemerintahan dijalankan dan siapa yang menjalankan. Pemerintah, dalam hal ini perdana menteri dan kabinet, tidak lain adalah semacam komite di dalam parlemen. Karena itu, parlemen dapat sewaktu-waktu mengganti pemerintahan, apalagi jika terjadi perubahan peta kekuatan politik dan koalisi.

Sistem presidensial memiliki perbedaan tajam dengan parlementer. Pemerintahan dipegang oleh presiden yang dipilih melalui pemilu yang terpisah dengan pemilu parlemen. Antara kelembagaan dan kekuasaan parlemen dengan presiden adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Pemerintahan tidak digantungkan kepada parlemen. Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki hak sepenuhnya menentukan jalannya pemerintahan dan pembangunan berdasarkan visi, misi, dan program yang diusung, yang karena itulah rakyat memilihnya. Kedudukan pemerintahan berimbang dengan kedudukan parlemen. Di dalam sistem presidensial, fungsi parlemen bukan menentukan ataupun membentuk pemerintahan, melainkan lebih pada fungsi pembentukan undang-undang sebagai kerangka yang harus dijalankan pemerintah, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Tentu saja tidak ada satu pun sistem pemerintahan yang sepenuhnya sama. Setiap negara memiliki karakter atau penyesuaian dengan kondisi internal. Misal, presidensial di Indonesia tidak sama dengan presidensial di Amerika Serikat. Jika di Amerika, presiden memiliki hak veto atas rancangan undang-undang (RUU) yang telah disetujui oleh kongres, namun presiden tidak memiliki kewenangan dalam seluruh proses pembahasan. Di Indonesia sebaliknya, presiden memiliki kewenangan dalam proses pembahasan dan persetujuan RUU, namun tidak memiliki hak veto. Namun, perbedaan yang ada itu tidak mengurangi prinsip presidensial yaitu kekuasaan pemerintahan ada pada presiden.

Presidensial Pasca-Pemilu 2014 

86

Page 87: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Sejak perubahan UUD 1945 kita telah menjalankan sistem presidensial yang telah diperkuat. Pada masa itu tidak pernah terjadi ketegangan hubungan yang berarti dalam hubungan antara DPR dan presiden. Faktor yang paling berpengaruh adalah karena cairnya hubungan antara kekuatan-kekuatan politik. Walaupun terbentuk Sekretariat Gabungan dan terdapat partai- partai nonpemerintah, hubungan masih bersifat lentur dan setiap partai memiliki otonomi dalam menentukan sikap dan pendapat mengenai berbagai persoalan kenegaraan.

Pemilu 2014 menghasilkan peta kekuatan politik yang berbeda. Telah terbentuk koalisi partai pendukung pemerintah di satu sisi dan di sisi lain koalisi partai nonpemerintah. Koalisi ini tampaknya lebih permanen meski tetap dapat berubah dalam perjalanan lima tahun ke depan, apalagi jika terjadi pergantian kepemimpinan partai politik.

Terbentuknya dua kekuatan koalisi ini ujian bagi sistem presidensial kita. Ada kekhawatiran akan menimbulkan ketegangan hubungan antara presiden dan DPR yang dapat berujung pada stagnasi pemerintahan dan pembangunan. Kekhawatiran ini bercermin pada hubungan antara partai pemerintah dan partai oposisi di berbagai negara dan pengalaman kita tatkala menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Namun, kekhawatiran ini tidak perlu berlebihan jika dikembalikan pada perbedaan dasar antara presidensial dan parlementer. 

Keberadaan partai koalisi nonpemerintah tentu juga harus dimaknai dalam sistem presidensial. Koalisi nonpemerintah di DPR tetap berperan dalam koridor tugas dan wewenang yang dimiliki untuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Oposisi dalam pemerintahan presidensial tidak boleh dimaknai sebagai kekuatan antipemerintahan atau kekuatan yang bertujuan untuk mengganggu atau bahkan menjegal pemerintahan yang telah ditentukan oleh konstitusi bersifat fix term. Oposisi dalam sistem presidensial adalah kekuatan penyeimbang guna memastikan pemerintahan dan pembangunan adalah untuk seluruh rakyat dan tidak disalahgunakan. Bukan kekuatan asal beda atau senantiasa berorientasi untuk merebut kekuasaan pemerintahan. 

Satu Tujuan Beda Peran 

Kita percaya bahwa segenap komponen bangsa, khususnya kekuatan partai politik, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, memiliki satu tujuan, yaitu menjalankan pemerintahan dan pembangunan demi kesejahteraan rakyat. Setiap anggota DPR, pemerintah, dan partai politik tentu memahami bahwa kalaupun terdapat koalisi nonpemerintah, harus berbeda dengan oposisi dalam sistem parlementer.

Perbedaan antara partai pemerintah dan nonpemerintah hanyalah pada peran yang dijalankan, bukan kekuasaan yang diperebutkan. Partai pemerintah berperan melalui penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Partai di luar pemerintah, termasuk partai pemerintah tentunya, berperan melalui pembentukan undang-undang, pengawasan, dan penyusunan anggaran.

87

Page 88: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Berpijak pada perspektif konstitusi demikian itulah, kita dapat mewujudkan konstitusionalitas Indonesia yakni kesesuaian segala aspek penyelenggaraan dan kehidupan negara berdasarkan aturan dasar yang menjadi materi muatan konstitusi, yang dilaksanakan, baik dalam bentuk aturan hukum, tindakan penyelenggara negara, maupun tindakan warga negara. Dengan demikian, berbagai agenda pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional dapat dilaksanakan dan diwujudkan. 

JANEDJRI M GAFFARDoktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang 

Moralitas vs Efisiensi

Koran SINDO

16 September 2014

88

Page 89: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Sejarah kelahiran hukum pidana menjelaskan bahwa hukum pidana klasik berpijak pada kesusilaan sebagai basis penilaian perilaku, baik (right) atau salah (wrong). Untuk penilaian baik atau buruk, rujukan yang diakui adalah undang-undang, tidak ada yang lain, kecuali agama. 

Nilai baik atau buruk di dalam undang-undang, perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman, merupakan nilai moral yang diterima dan diakui mayoritas masyarakat sesuai dengan faktor geografis, waktu, dan kultur yang telah melembaga dalam masyarakatnya. Basis moralitas masyarakat yang tertulis dalam UU telah berusia ratusan tahun yang lampau dan di dalam sistem hukum pidana Indonesia tercatat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—lege generali—tahun 1811, yang diberlakukan di seluruh Indonesia sejak 1873. 

Nilai moralitas di balik KUHP dalam konteks perkembangan masyarakat masa kini—abad globalisasi— sudah tentu jauh berbeda dengan masa abad pertengahan lampau. Atas perkembangan tersebut, sejak tahun 1955, sistem hukum pidana Indonesia mengakui keberadaan UU pidana di luar KUHP atau dikenal dengan UU Pidana Khusus (lex specialis) dan UU Pidana Administratif (lex specialis systematic). UU Pidana khusus misalnya UU Tipikor dan UU TPPU, adapun UU Pidana Administratif misalnya UU Ketentuan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau UU Perbankan. 

***

Sekalipun dalam sistem hukum pidana Indonesia diakui ada tiga golongan UU Pidana, basis penilaian moralitas masih tetap mendominasi pandangan baik pembentuk UU maupun para ahli, apalagi kalangan praktisi hukum pidana di Indonesia. Menguatnya dominasi pandangan moralitas tersebut mengakibatkan dalam praktik penegakan hukum saat ini tidak jelas lagi fungsi hukum pidana, apakah masih mengutamakan fungsi ultimum remedium atau primum remedium dalam arti apakah sanksi administratif atau sanksi perdata lebih diutamakan daripada sanksi pidana atau sebaliknya. 

Dalam keadaan anomali penerapan sanksi pidana di dalam aktivitas bisnis atau aktivitas perseorangan di Indonesia dewasa ini, sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat dan diikuti negara-negara Eropa telah terjadi perubahan pandangan mendasar yang berdampak terhadap penggunaan sanksi pidana dan berusaha mengembalikan fungsi ultimum remedium sampai pada batas-batas yang diterima masyarakat liberalis-kapitalis. Bagaimana cara mengembalikan posisi fungsi ultimum remedium tersebut? 

Para ahli hukum di negara tersebut telah menggunakan analisis ekonomi dalam melihat dampak suatu regulasi terhadap kesejahteraan masyarakatnya atau dikenal dengan economic analysis of law (EAL) yang dipelopori Ronald Coase (1978), Guido Calabresi (1961), dan Richard A Posner (1973). Juga tokoh penting yang berjasa di lapangan hukum pidana Gary S.Becker yang dikenal dengan karyanya Economics Analysis of Human Behavior.

89

Page 90: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pendekatan analisis ekonomi terhadap UU Anti-Trust dan UU Perpajakan di AS berkembang merambah masalah kejahatan dan penghukuman sampai saat ini. Posner misalnya meragukan efisiensi penggunaan hukuman badan dibandingkan dengan hukuman denda baik secara sosial maupun secara ekonomi. Bahkan dia meragukan produktivitas hukuman badan tersebut terhadap produktivitas eks narapidana setelah bebas dari penjara.

Pendapat Posner dalam konteks Indonesia ternyata benar, misalnya anggaran untuk perkara korupsi (APBN) sekitar Rp100 juta, untuk KPK lebih dari nilai tersebut. Jika ada perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah batas anggaran tersebut, pertanyaannya apakah perkara dilanjutkan atau dihentikan dengan kewajiban tersangka mengembalikan sejumlah kerugian tersebut kepada kas negara, ditambah bunga denda terhitung sejak tempus delicti sampai yang bersangkutan ditahan? Jika tetap dilanjutkan dan terdakwa dijatuhi hukuman tiga tahun dengan biaya makanan napi untuk per hari per satu napi Rp15.000, total biaya yang dikeluarkan negara adalah 3 x 365 x 15.000 + Rp100 juta (biaya perkara) atau Rp116.425.000. Jika rata-rata per tahun terdapat 100 napi koruptor, total biaya negara yang dikeluarkan selama tiga tahun adalah 300 x Rp116.425.000, yaitu Rp34.927.500.000. Total biaya tersebut belum termasuk biaya perawatan untuk kesehatan narapidana.

Biaya yang menjadi beban negara tersebut jelas telah menggerus APBN sehingga basis penilaian moralitas saat ini lebih banyak mudarat daripada maslahatnya, apalagi dalam keadaan negara defisit. Alokasi anggaran negara sebanyak itu tentu amat membantu untuk program kesehatan dan pendidikan.

***

Efek jera yang berbasis moralitas saat ini tidak nyata karena pelaku sebagai aktor yang rasional dengan perhitungan nilai ekonomis cenderung melakukan kejahatan atau berpotensi menjadi residivis. Karena bagi mereka melakukan kejahatan termasuk korupsi memiliki opportunity cost yang lebih kecil daripada benefit yang diperoleh. Misalnya kemudahan- kemudahan selama menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan (LP).

Sudah saatnya dipertimbangkan alternatif sanksi yang bersifat nonpenal, tetapi tetap menjerakan bukan dalam konteks fisik melainkan dalam konteks finansial dan sosial, misalnya pidana denda optimal plus bunga dan pidana kerja sosial. 

KUHP Belanda sejak 1996, untuk kejahatan tertentu, telah meninggalkan basis moralitas dengan tujuan keadilan retributif dan telah menggunakan analisis ekonomi mikro dengan tujuan keadilan restoratif, yaitu hukuman yang menggunakan sistem transaksi di mana penuntut wajib menghentikan tuntutan jika tersangka telah membayar kerugian kepada korban atau pelakunya berusia 70 tahun atau tindak pidana diancam pidana di bawah enam tahun (Pasal 74 dan 74 a).

90

Page 91: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

ROMLI ATMASASMITAGuru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Unpad 

  

Rusak Akibat Pilkada Langsung

Koran SINDO

16 September 2014

91

Page 92: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal sudah mengalami kerusakan parah karena masyarakat di hampir semua daerah terkotak-kotak oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan bagian dari upaya mengakhiri pengotak-kotakan masyarakat. 

Terkotak-kotak warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada langsung tak bisa ditutup-tutupi lagi. Pengotak-kotakan itu sulit dihindari karena tokoh-tokoh lokal yang bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya mengerahkan dukungan dari keluarga besar, kerabat, suku, dan warga dari desa atau kampung tempat lahir sang calon. Pengotak-kotakan itu tidak otomatis berakhir pascapilkada. Ketidakpuasan dari calon yang dinyatakan kalah selalu menyisakan sentimen negatif terhadap calon yang menang bersama pendukungnya. 

Sentimen negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan. Sebagian warga Bali tetap tidak respek terhadap Gubernur I Made Mangku Pastika yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemenang pemilihan gubernur Bali pada 2013. Sebagian warga Jawa Timur pun kurang lebih berperilaku sama dalam menyikapi kemenangan Soekarwo, apalagi setelah MK menolak gugatan Khofifah Indar Parawansa, pesaing Soekarwo.

Apalagi jika pengotak-kotakan warga dalam pilkada langsung itu diwarnai aksi kekerasan berdarah. Akan muncul dendam yang tak berkesudahan. Juni 2008, Maluku Utara dilanda kerusuhan akibat pilkada langsung. Pendukung pasangan Abdul Gafur-Abdur Rahim Fabanyo bentrok dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah menteri dalam negeri menetapkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang. Di Tana Toraja, Pilkada Juni 2010 bahkan menelan korban tewas akibat bentrok kedua kubu pendukung pasangan. Kekerasan berdarah juga terjadi dalam Pilgub Bali. Seorang pendukung Made Mangku Pastika bernama Made Pasek Bendana terluka akibat ditebas senjata samurai. 

Rangkaian contoh kasus ini menggambarkan kerusakan yang sudah terjadi akibat pelaksanaan pilkada langsung. Artinya, ekses pilkada langsung bukan hanya terlihat dari biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu kerusakan paling parah akibat pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni dalam masyarakat serta hilangnya sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat secara turun-temurun. Padahal, harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal itu secara historis justru telah menjadi faktor penguat ketahanan warga setempat. 

Ekses pilkada langsung bermunculan di berbagai daerah karena figur-figur peserta pilkada bersama komunitas pendukungnya belum dipersiapkan untuk berperilaku demokratis dan fair dalam menyikapi hasil perhitungan suara. Tidak mengherankan jika gugatan hasil pilkada menumpuk di MK. Dalam beberapa kasus, pilkada bahkan cenderung dijadikan persoalan hidup-mati sehingga para pendukung masing-masing kubu sering didorong untuk berhadap-hadapan. Pertanyaannya, akankah gejala terkotak-kotak masyarakat itu akan terus dibiarkan? 

Ada kecenderungan bahwa pengotak-kotakan warga akan terus berulang setiap daerah

92

Page 93: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu tertentu. Kalau kecenderungan yang berbahaya ini dibiarkan, artinya negara memelihara potensi konflik dalam skala yang sangat mengerikan. Karena itu, harus ada upaya memulihkan harmoni antarkelompok masyarakat di berbagai daerah. 

Persatuan masyarakat dan sistem nilai yang turun-temurun telah diikat oleh kearifan budaya lokal harus direvitalisasi. Demokratisasi pada akhirnya memang harus diwujudkan, tetapi demokratisasi tidak boleh mencabut setiap individu dari akar budaya lokal. Kebebasan berpendapat serta kebebasan memilih dan dipilih jangan sampai menghancurkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat musyawarah-mufakat sebagai sistem nilai yang telah memelihara persatuan dan kesatuan warga bangsa selama ini. 

Asas Manfaat 

Karena itu, pilkada oleh DPRD perlu diberlakukan kembali. Mekanisme ini harus dipahami sebagai upaya bersama mewujudkan kembali harmoni antarkelompok masyarakat di berbagai wilayah di Tanah Air. Pilkada oleh DPRD sama sekali tidak menghilangkan daulat rakyat sebab anggota DPRD dipilih oleh rakyat. Memang, tidak ada yang sempurna dari mekanisme pilkada langsung maupun pilkada oleh DPRD. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan ini telah dibahas para ahli dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini. 

Berangkat dari pemahaman itu, tentu harus ada keberanian untuk melihat dan menilai mekanisme apa yang paling banyak mendatangkan manfaat. Nah, karena pilkada langsung sudah terbukti menimbulkan banyak kerusakan, tentu saja mekanisme pemilihan ini harus dihentikan dulu. Sebagai salah satu jalan keluar, pilkada oleh DPRD menjadi alternatif yang paling ideal. Ini bukan sekadar pilihan sekumpulan politisi di Senayan (DPR RI). Pilihan ini setidaknya sudah direkomendasi oleh organisasi keagamaan terkemuka. PP Muhammadiyah menolak pilkada langsung karena tidak membawa banyak manfaat. 

Muhammadiyah meminta supaya pilkada, khususnya tingkat gubernur, dipilih oleh DPRD. Menurut kajian hukum PP Muhammadiyah, gubernur adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara menegaskan, ”Muhammadiyah pada kajian akademisnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan pilkada langsung, khususnya tingkat provinsi dan gubernur, ternyata tidak membawa hasil dan manfaat yang banyak.”

Senada, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menegaskan NU mendukung pilkada oleh DPRD. Posisi dan sikap NU ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. ”Ini keputusan para ulama sepuh yang dengan jernih menilai mudarat (dampak buruk) pilkada langsung sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai,” kata Said Aqil. Para ulama menilai, pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelemahan. Namun, para kiai yang mengalami langsung kondisi di lapangan menilai efek negatif yang ditimbulkan oleh pilkada langsung lebih besar

93

Page 94: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dari pilkada tak langsung, terutama terkait biaya yang besar dan konflik horizontal akibat perbedaan dukungan. 

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pun menyarankan pemilihan gubernur oleh DPRD, sementara pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Menurut Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, pandangan Lemhanas ini didasarkan pada kajian Lemhannas pada 2007. Rekomendasinya, pemerintah dan DPR lebih baik menyetujui usulan agar pemilihan gubernur melalui DPRD dan pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara langsung. Cukup jelas bahwa harus ada yang diperbaiki terkait mekanisme pilkada. 

Mekanisme pilkada langsung juga ideal, tetapi dia telah menimbulkan kerusakan yang sangat mengkhawatirkan karena penerapannya dipaksakan yakni ketika sebagian masyarakat, termasuk penyelenggara pilkada, belum cukup siap untuk menghargai hakikat dari one man one vote. Pilkada justru sering dijadikan ajang atau pasar jual-beli suara.

Demokrasi perwakilan yang diwarnai semangat musyawarah-mufakat sejatinya tradisi Indonesia. Tradisi ini sama sekali tidak mengharamkan beda pendapat atau beda pilihan. Akhirnya, demi tujuan bersama yang lebih besar dan strategis, selalu ada kemauan bermusyawarah untuk bermufakat. Sejarah Indonesia sarat dengan praktik demokrasi perwakilan serta semangat musyawarah-mufakat. Di atas tradisi itulah eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap kokoh dan terjaga.

Jangan korbankan rakyat demi periuk nasi dari proyek pilkada langsung atas nama kepentingan rakyat dan demokrasi. Kita tahu, penghapusan proyek pilkada langsung tersebut berarti hilang pula kontrak dan peluang rezeki bagi pengamat dan akademisi asongan yang selama ini dimanfaatkan para calon kepala daerah. Lalu, perusahaan dan lembaga yang hidupnya dari hasil survei juga akan gulung tikar. 

Para pengacara yang selama ini main di lahan sengketa pilkada juga akan gigit jari. Media cetak, elektronik seperti TV dan radio, media online, advertising dalam dan luar ruang juga terancam kekurangan pendapatan. Termasuk para bandar dan tukang ijon akan kehilangan lahan.

Rencana pengalihan pilkada langsung ke pilkada DPRD memang akan mengganggu kepentingan banyak pihak. Wajar kalau mereka yang terganggu itu ngotot dan pasang badan dengan berbagai cara agar pilkada langsung tersebut tetap dilanggengkan.

BAMBANG SOESATYOAnggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

94

Page 95: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Quo Vadis Pilkada?

Koran SINDO

16 September 2014

95

Page 96: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Imbas ketegangan pilpres tampak masih berlanjut. Perbedaannya, jika menjelang dan saat pilpres ketegangan terjadi di arena pilpres, ketegangan pascapilpres beralih ke lembaga wakil rakyat: DPR RI. Ketegangan politik terkini terlihat dalam pembahasan RUU Pilkada. 

Sebelumnya ketegangan sudah terlihat saat pembahasan RUU MD3 yang disahkan 8 Juli 2014, sehari menjelang pilpres. Dalam rapat paripurna ini, tiga fraksi pendukung Jokowi-JK (PDIP, Hanura, dan PKB) walk out dari sidang karena tidak setuju dengan isinya, terutama mengenai mekanisme pemilihan pimpinan DPR termasuk alat kelengkapannya yang dipilih langsung secara paket. Ini berbeda dengan UU sebelumnya di mana ketua DPR menjadi hak partai pemenang pemilu legislatif. 

Pembahasan RUU Pilkada juga menggambarkan terjadinya ketegangan antara kubu Koalisi Merah Putih dengan kubu Jokowi-JK. Ketegangan terjadi terkait dengan mekanisme pemilihan bupati/wali kota. Kubu Koalisi Merah Putih menginginkan pemilihan bupati/wali kota dilakukan melalui pemilihan di DPRD. Sementara kubu Jokowi-JK menghendaki pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara langsung. 

Das Sollen Pilkada 

Secara normatif, bila merujuk pada pendekatan klasik ilmu politik, kehadiran negara atau dalam lingkup lokal disebut sebagai pemerintah daerah (kabupaten/kota) secara das sollen bertujuan untuk mewujudkan “kebaikan bersama” (public good, maslahat-i aliammah). Kalau konsisten dengan misi mulia kehadiran negara, mekanisme pemilihan bupati/wali kota harusnya sejalan dengan semangat tujuan hadirnya negara. Mekanismenya harus dibuat seideal mungkin untuk bisa menghasilkan pemimpin ideal, bersih, dan tidak korup. Bukan hanya itu, sistemnya pun harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang baik dan mampu mendorong partisipasi politik publik.

Mengenai RUU Pilkada, ada dua model pemilihan yang menjadi bahan perdebatan, yaitu model perwakilan yang dilakukan di DPRD dan model pemilihan langsung dengan melibatkan rakyat untuk memilihnya. Dua model ini sebenarnya ideal dan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan ber-khusnuzan bahwa partai merupakan institusi sah dalam demokrasi yang berfungsi menyiapkan kadernya untuk duduk sebagai anggota DPRD, mampu melakukan rekrutmen politik dengan baik sehingga dapat menghasilkan wakil rakyat yang baik pula, diyakini bila pemilihan bupati/wali kota dilakukan oleh DPRD pun akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal sesuai dengan kehendak masyarakat. Begitu juga kalau kita ber-khusnuzan bahwa rakyat Indonesia sudah cerdas dan dewasa berpolitik dan paham akan peran serta tanggung jawab politiknya, pemilihan langsung pun diyakini akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal, aspiratif, dan sejalan dengan kehendak rakyat. 

Artinya kalau kedua model ini berjalan di atas proses dan mekanisme politik yang benar dan demokratis, apa pun model pemilihan yang dipakai akan sama-sama menghasilkan

96

Page 97: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

bupati/wali kota yang baik di mata rakyat. Karenanya mempertentangkan keduanya jadi tidak penting. Sebaliknya, jika dua model ini tidak dikawal dengan baik, dua model pemilihan ini pun diyakini akan sama-sama menjadi model yang tidak ideal. 

Realitas Praksis 

Dua model pemilihan ini pernah dan tengah diterapkan di Indonesia. Model perwakilan berlangsung pada masa Orde Baru sampai awal Reformasi, tepatnya sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang mengubah pemilihan tak langsung menjadi pemilihan langsung. Sementara model pemilihan langsung diterapkan sejak UU Pemda disahkan sampai saat ini. Faktanya, dua model ini ternyata lebih sering menelurkan pemimpin yang tidak ideal dan korup. Terbukti ratusan bupati/wali kota produk pemilihan tak langsung maupun pemilihan langsung mendekam di penjara.

Pada era Orde Baru, pemilihan menggunakan model perwakilan, tentu dalam pengertian yang serbaformalistis dan dimaksudkan untuk memperkuat hegemoni politik rezim. DPRD tak lebih hanya menjadi penyetuju atas calon pilihan rezim. Praktik model pemilihan ini berlanjut hingga awal Reformasi.

Meski dengan model pemilihan yang sama, praktiknya begitu paradoks. Bila era Orde Baru pemilihan tak langsung menghasilkan bupati/wali kota yang relatif lebih baik, meski kebanyakan dari militer, sebaliknya di era Reformasi justru tak sedikit menghasilkan bupati/wali kota yang tidak ideal. Praktiknya juga begitu kotor, sarat money politics dengan beragam modus, mulai dari karantina anggota DPRD oleh kandidat tertentu, pembagian handphone oleh calon tertentu untuk memastikan pilihan sampai pada pembagian uang secara demonstratif. Karena model pemilihan perwakilan dinilai merusak, sebagai antitesis UU Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan perubahan model pemilihan menjadi pilkada langsung. 

Kebanyakan daerah saat ini telah melaksanakan pilkada langsung sebanyak dua kali. Hasilnya, pilkada langsung juga tidak selalu mampu menghasilkan pemimpin yang baik. Bahkan lebih banyak mafsadat ketimbang maslahat-nya. Dengan logika bahwa pemilihan tak langsung di DPRD cenderung tidak demokratis dan rawan terjadi praktik money politics karena hanya melibatkan sedikit orang, pilkada langsung pun dinilai menjadi solusi. Namun ternyata praktiknya tidak lebih baik dari pemilihan tak langsung. Praktik money politics tetap terjadi dan bahkan dalam bentuk yang lebih masif. Masyarakat pun telah dirusak oleh dan menjadi terbiasa dengan uang (suap). Bukan hanya itu, konflik vertikal juga kerap terjadi. Begitu juga konflik horizontal hampir selalu terjadi di banyak daerah. Perlu Perbaikan Menyeluruh 

Fakta bahwa dua model pemilihan yang das sollen sebenarnya bagus ini, dalam praktiknya sama-sama negatif dan merusak. Kenapa bisa terjadi? Rendahnya mentalitas negarawan dari sebagian besar politisi menjadi faktor determinan. Tentu berbeda antara politisi-negarawan yang dalam melakukan aktivitas politik selalu berpikir yang terbaik untuk bangsa dan negara dan politisi bukan negarawan yang dalam beraktivitas politik selalu mengedepankan

97

Page 98: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

kepentingan politik individu, golongan, dan bersifat sesaat. Saya yakin politisi (Senayan) menyadari karut-marutnya sistem politik, tetapi tak juga tergerak untuk memperbaikinya secara menyeluruh. Selalu saja perubahan (bukan perbaikan) sistem politik dilakukan parsial dan sarat kepentingan politik yang bersifat sesaat. 

Gaduhnya pembahasan RUU Pilkada menjadi cermin nyata rendahnya mentalitas negarawan. Politisi (Senayan) tampak tak terlihat mempunyai kemauan politik (political will) untuk melakukan perbaikan sistem politik dan sebaliknya justru terjebak pada praktik politik yang terkadang dan bahkan lebih sering secara diametral berhadapan dengan kepentingan politik publik. Kalau benar politisi (Senayan) mempunyai political will untuk melakukan perbaikan sistem politik, lakukan secara menyeluruh dengan secara fundamental berubah seluruh undang-undang politik agar senapas dengan upaya perbaikan sistem politik.

Karenanya, tidak hanya RUU Pilkada yang diributkan, tapi UU Partai Politik, UU MD3, UU Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu, dan undang-undang lain yang mempunyai kaitan dengan politik juga harus diubah dan disinergikan. Semangatnya harus sama ke arah perbaikan sistem politik. Upaya ini harus dilakukan. Kalau tidak, jangan harap terjadi perbaikan kehidupan politik. Kalau upaya ini dinafikan, pemilihan bupati/wali kota memakai model apa pun tak akan bisa mengubah kehidupan politik lokal ke arah yang lebih baik, lebih bermartabat, mampu menekan praktik korupsi dan money politics. 

Semoga ini menjadi perhatian serius politisi (Senayan) dalam membahas RUU Pilkada. Mereka tidak sekadar gaduh membahas model pemilihan: langsung dipilih rakyat atau melalui perwakilan di DPRD, tapi UU Pilkada juga harus mampu menjawab pelbagai soal yang timbul selama pelaksanaan pilkada, baik ketika masih menganut pemilihan tak langsung di DPRD maupun ketika pilkada langsung. Semoga!

MA’MUN MUROD AL-BARBASYDosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Kita dan Referendum Skotlandia

Koran SINDO

17 September 2014

98

Page 99: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Satu hari lagi masyarakat Skotlandia akan menentukan masa depan mereka; apakah akan tetap berada dalam persekutuan dengan Inggris Raya atau merdeka menjadi negara berdaulat.

Rasa khawatir tidak hanya dialami oleh masyarakat Inggris dan Skotlandia, tetapi juga negara-negara lain, khususnya anggota Uni Eropa. Mereka khawatir bahwa aksi referendum yang akan dilakukan besok akan memotivasi gerakan-gerakan separatis untuk menuntut kemerdekaan, seperti Catalania dan Basque di Spanyol, Flanders di Belgia, Veneto di Italia.

Siapa sangka bahwa di abad modern ini masih ada gerakan pemisahan diri dari negara sekuat Inggris. Tuntutan untuk memisahkan diri dari Inggris sudah lama dipikirkan dan didiskusikan antara Skotlandia dan Inggris sejak abad ke-19. Inggris Raya sendiri memiliki sistem politik yang rumit karena terdiri atas Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales. 

Empat wilayah tersebut otonom dari sisi legislatif, namun pemerintah pusat tetap memiliki kekuasaan untuk memveto kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen mereka. Empat wilayah itu bukan negara federalis, namun disebut sebagai devolution di mana pemerintah pusat mendelegasikan kekuasaan kepada wilayah tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Selain empat wilayah itu, ada dua wilayah, Channel Island dan Isle of Man, yang disebut Crown Dependencies. Dua wilayah itu bukan bagian dari Inggris Raya, namun hubungan mereka erat dan mereka menyebut hubungan tersebut sebagai kemitraan. 

Selain itu, ada kurang lebih 14 wilayah yang masuk dalam kategori Overseas Teritories. Dalam pengertian sederhana, 14 wilayah itu dapat pula disebut koloni dari Inggris. Rumitnya hubungan politik dan kuasa dengan wilayah-wilayah itu yang membuat referendum menjadi pertaruhan besar bagi Inggris Raya.

Alasan warga Skotlandia yang menuntut pemisahan dari Inggris adalah keyakinan bahwa secara ekonomi mereka akan lebih kuat. Majalah Financial Times pada Februari 2014 bahkan mengatakan bahwa Skotlandia akan menjadi 20 negara dengan ekonomi terkuat di dunia, lebih kuat daripada Israel atau Jepang. Keyakinan ini timbul karena Skotlandia memiliki kekuatan ekonomi energi berupa cadangan minyak dan gas yang bernilai 1.500 miliar dan 25% potensi tenaga angin Eropa. Mereka menganggap bahwa selama ini potensi itu lebih banyak dinikmati oleh Inggris Raya ketimbang mereka sendiri. Mereka mengambil contoh misalnya subsidi untuk petani lebih rendah di Skotlandia daripada petani di Inggris walaupun dari luas wilayah, pertanian Skotlandia lebih luas dari Inggris Raya.

Namun demikian, Inggris Raya menjelaskan bahwa Skotlandia akan mengalami kerugian besar apabila memisahkan diri dan merdeka. Secara ekonomi, Skotlandia telah menikmati keuntungan dari perdagangan yang mereka lakukan karena tidak perlu pusing dengan urusan biaya di perbatasan, seperti pajak atau cukai. Inggris Raya juga mengatakan bahwa sistem pasar yang telah tercipta sudah sangat sempurna untuk bisa menyejahterakan seluruh wilayah yang bergabung, baik mereka yang masuk dalam negara persemakmuran maupun sekadar mitra.

Dalam kampanyenya, Inggris mengatakan bahwa sebagian besar perdagangannya, 65% dilakukan di pasar Inggris Raya; ini lebih besar dibandingkan dengan seluruh pasar dunia bila

99

Page 100: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

digabungkan. Hal ini menandakan bahwa jumlah pekerjaan, transaksi perdagangan, dan kesejahteraan akan lebih terjamin ketika Skotlandia tergabung dalam pasar Inggris Raya.

Pro dan kontra tentang keuntungan dan kerugian secara ekonomis bagi Skotlandia dan Inggris Raya tidak akan memuaskan apabila diuraikan lebih lanjut dalam ruang yang terbatas ini. Namun demikian, apa beberapa hal yang menarik dari kampanye ini dan dapat menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia. Pertama, pengakuan bahwa sistem perekonomian Inggris Raya dibangun atas dasar prinsip pooling (pengumpulan) dan sharing (pembagian) risiko dan sumber daya. 

Apabila salah satu wilayah membutuhkan maka wilayah lain akan memberikan. Ketika satu wilayah mendapatkan keuntungan lebih, sistem pajak yang baik akan mendistribusikan keuntungan itu bagi seluruh warga. Terlepas apakah pernyataan ini adalah bagian dari kampanye referendum, ide bahwa model “ekonomi ditanggung bersama” yang datang dari negara yang tidak henti-hentinya mengampanye liberalisasi pasar di seluruh dunia, adalah bukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dapat terwujud apabila pengelolaan politik ekonomi dilakukan sebagai suatu keterpaduan. 

Kedua, Inggris mampu mengonsolidasi wilayah-wilayah yang secara geografis terpencar di mana secara politik setiap wilayah memiliki sejarah politiknya masing-masing, termasuk keinginan untuk memisahkan diri. Pada masa lalu, mungkin mereka menggunakan tindakan yang koersif untuk meredam gejolak tersebut. Namun dengan semakin terbukanya dunia, cara-cara tersebut tidak lagi dapat diterima. Konsekuensinya, mereka harus membangun sebuah sistem politik yang dapat diterima dan disepakati sebagai sebuah aturan main dalam menjalankan demokrasi. 

Adanya sistem politik Negara Persemakmuran, Crown Dependencies, dan British Overseas Territories yang berlaku dengan segala kerumitan yang ada menunjukkan ada upaya untuk membuat semua pihak merasa hadirnya “keadilan”, dan juga membuktikan bahwa sistem politik untuk menghadirkan demokrasi tidak pernah hanya satu model yang berlaku untuk semua negara. Setiap negara memiliki model-modelnya sendiri sejauh itu dapat diterima dan dijadikan landasan. Hal ini perlu menjadi pelajaran buat kita, terutama para politisi yang mulai memasuki pertarungan politik baru pascapemilu legislatif dan pemilihan presiden beberapa bulan lalu. Para politisi perlu mengedepankan rasionalitas dan etika dalam mengejar kepentingan politik dan jangan sampai melakukan langkah-langkah yang dapat mengguncang seluruh sistem demokrasi. Negara yang modern adalah negara yang mempercayai bahwa sistem yang mereka bangun mampu menghadirkan demokrasi yang dapat diterima, dan dalam menghadirkan kepercayaan itu tidak perlu tabu menerapkan kekhasan per daerah. Pada akhirnya sistem adat istiadat, kebiasaan, keunikan kondisi per daerah perlu diapresiasi dan diberi ruang dalam politik. 

Sementara dalam segi pembangunan, keterpaduan strategi termasuk kunci untuk meraih keuntungan yang lebih besar bagi anggota masyarakat. Model “ekonomi ditanggung

100

Page 101: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

bersama” menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat untuk merasakan pentingnya memadukan langkah ekonomi, meskipun sudut pandang politik boleh berbeda-beda. ●

DINNA WISNU, PhDCo-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

Federasi Advokat Indonesia

Koran SINDO

18 September 2014

Di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang semakin terbuka, mengglobal, dan sangat dinamis sekarang ini kehadiran advokat semakin diperlukan. Kesadaran pihak-pihak yang bersengketa untuk menggunakan jasa advokat juga meningkat. Kondisi itu sejalan dengan

101

Page 102: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

peningkatan animo lulusan SMA untuk melanjutkan pendidikan di fakultas hukum. Selain itu, kualitas dan profesionalitas para advokat juga cukup variatif. Untuk waktu yang lama ada kesan bahwa syarat menjadi advokat ”tidak terlalu sulit”.

Ada banyak organisasi advokat yang dapat menjadi wadah guna mengantarkan seseorang menjadi advokat. Selama ini masing-masing organisasi advokat memiliki caranya sendiri untuk merekrut advokat. Akibat itu, masyarakat mendapatkan kemampuan advokat yang cukup timpang antardaerah.

Isu lain yang hingga saat ini belum juga tuntas adalah soal bagaimana format ideal organisasi advokat Indonesia? Apakah cukup satu saja (single bar association) ataukah banyak organisasi advokat (multi bar association)? Dalam rencana merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat justru isu ini yang lebih mengemuka. 

Tunggal atau Banyak Wadah 

Mungkin tidak banyak kalangan nonhukum yang mengetahui bahwa Indonesia memiliki delapan organisasi advokat. Delapan organisasi itu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Perseteruan antarorganisasi advokat masih cukup dirasakan masyarakat. Ini terjadi karena masing-masing mengklaim sebagai organisasi yang benar dan paling berhak eksis. Dalam perseteruan ini, yang paling dirugikan adalah para pencari keadilan yang mengandalkan soliditas dan profesionalitas para advokat. Aura perseteruan antarorganisasi advokat masih terasa.

Salah satu perbedaan pendapat adalah mengenai Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 089/ KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010. SKMA itu memerintahkan Ketua PT Se-Indonesia untuk mengambil sumpah calon advokat yang diusulkan Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat yang disepakati antara Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Peradi. 

Namun, belakangan KAI menolak kesepakatan yang ditandatangani pada 24 Juni 2010 itu. Salah satu alasannya, atas dasar SKMA tersebut mengakibatkan sejumlah calon advokat di luar Peradi tidak dapat disumpah di PT dan mengalami kesulitan beracara. Itu pula sebabnya topik yang tetap mengemuka terkait revisi Undang-Undang Advokat adalah apakah organisasi advokat di Indonesia sebaiknya satu saja ataukah boleh berjumlah banyak? Faktanya, saat ini di Indonesia ada delapan organisasi wadah para advokat.

Ada pihak yang meyakini kualitas advokat Indonesia hanya akan tercipta apabila para advokat bernaung dalam satu organisasi. Melalui ”wadah tunggal ini” lebih terkontrol mekanisme ujian dan kontrol terhadap para advokat. Sebaliknya akan sulit apabila ada banyak organisasi advokat yang menerapkan standar berbeda.

102

Page 103: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Ada dua masalah ketika ada upaya menjadikan wadah tunggal para advokat dalam kondisi telah ada delapan wadah advokat. Apakah kedelapan organisasi itu meleburkan diri menjadi satu wadah tunggal ataukah dibentuk semacam federasi advokat yang menaungi seluruh organisasi advokat? Namun, bukan juga tidak ada pemikiran untuk menjadikan Indonesia memiliki organisasi advokat yang banyak. Para advokat diberi kebebasan untuk membentuk organisasi advokat sebagaimana prinsip kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Ada yang berpendapat bahwa Pasal 28 ayat 1 UU No 18/2003 tentang Advokat yang hanya mengakui organisasi tunggal advokat akan mengancam tujuan dari pembentukan UU itu. Frasa yang menyatakan satu-satunya dalam Pasal 28 ayat 1 UU Advokat dapat membunuh organisasi advokat yang tidak diberikan pengakuan dalam praktik dan itu telah melanggar HAM. 

Advokat Harus Lebih Baik 

Seharusnya misi merevisi UU Advokat untuk mendapatkan advokat yang lebih baik siap bersaing dalam lingkungan global. Sebenarnya tidak soal organisasi advokat itu tunggal atau berjumlah banyak. Justru yang relevan itu adalah bagaimana meningkatkan kualitas advokat Indonesia agar mampu bersaing secara internasional, termasuk dalam menghadapi AFTA 2015. Seandainya tidak dapat ditunda, revisi Undang-Undang Advokat harus juga menitikberatkan kepada persoalan selain soal jumlah wadah berhimpun, juga soal bagaimana pendidikan calon advokat dan pendidikan lanjutan bagi advokat. 

Sulit untuk mendapatkan advokat berkualitas jika ada banyak organisasi advokat yang menciptakan keragaman pola rekrutmen, standar penilaian, dan sistem kelulusan. Mungkin patut dipertimbangkan para advokat harus lulus terlebih dahulu pendidikan magister advokat (S-2). Gelar magister advokat dijadikan persyaratan formal untuk mengikuti ujian profesi advokat. Perlu disepakati mekanisme pengawasan advokat dengan lembaga pengawas yang kredibel. Lembaga tersebut harus memiliki kewibawaan dalam menindak para advokat yang melanggar kode etik. 

Federasi Advokat 

Sebaiknya wadah organisasi advokat Indonesia berbentuk federasi. Penjelasan sederhananya eksistensi delapan organisasi yang ada (bahkan lebih) tetap diakui, namun semua bergabung dalam satu ”wadah federal” sebagai organisasi induk. Kita tidak dapat meniadakan realita bahwa wadah advokat Indonesia selama ini memang tidak tunggal. Harus ada jaminan pengurus federasi advokat ini adalah para advokat yang tergabung dalam delapan organisasi yang ada. Tidak boleh ada dominasi advokat tertentu saja yang duduk dalam organisasi federasi tersebut. 

Jika ditafsirkan ada dominasi dan diskriminasi, apa pun nama wadah tunggal berusaha dibentuk tidak akan bertahan lama. Namun, harus ada kepatuhan dari para advokat bahwa hanya organisasi federal itulah yang memiliki kewenangan lintas organisasi. Kewenangan

103

Page 104: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

menentukan persyaratan menjadi advokat, kurikulum pendidikan, dan standar kelulusan sungguh bebas dari praktik KKN. Mungkin apa yang terjadi sekarang ini sama dengan konsep federasi di mana Peradi sebagai induk semua organisasi advokat. Tinggal lagi semua advokat menerima kehadiran Peradi yang mengayomi semua advokat tanpa ada tuduhan bersikap diskriminatif. 

Pemerintah juga tidak boleh ditafsirkan terlalu campur tangan terhadap organisasi profesi. Jangan sampai revisi UU Advokat diartikan sebagai campur tangan pemerintah dan sebagai upaya mempreteli Peradi yang sudah eksis. Itu sebabnya jangan memaksakan pengesahan revisi UU Advokat dalam kondisi silang pendapat yang sangat tajam sekarang ini. Jangan- jangan UU No 18/2003 tersebut sama sekali belum perlu direvisi. Walau begitu, ada juga argumentasi bahwa rencana revisi UU Advokat itu karena selama ini advokat dinilai tidak menunjukkan soliditas.

Kita menghargai hak untuk berserikat sehingga ada beragam wadah. Namun, tidak juga berarti boleh mengesampingkan upaya menghadirkan advokat berkualitas melalui wadah tunggal dalam bentuk federasi advokat tersebut.

AMZULIAN RIFAIGuru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Wajah Ganda Jokowi-JK

Koran SINDO

18 September 2014

Sesuai janjinya, Jokowi-JK akhirnya mengumumkan postur kabinet, Senin, 15 September 2014. Kabinetnya terdiri atas 34 menteri dengan rincian 19 kementerian tetap, 6 kementerian berubah nama, 6 kementerian gabungan, dan 3 kementerian baru. Kursi menteri akan diisi

104

Page 105: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

oleh 18 profesional dan 16 dari partai politik. Posisi wakil menteri dipertahankan di pos Kementerian Luar Negeri, lainnya dihilangkan.

Tampak tidak ada perbedaan signifikan antara kabinet Jokowi-JK dan kabinet SBY-Boediono yang juga terdiri atas 34 menteri. Perbedaan kecil hanya soal alokasi kursi menteri di kabinet SBY-Boediono yakni 14 dari profesional dan 20 dari parpol. Perbedaan kecil lain adalah pos wakil menteri yang mencapai 17 orang di antaranya untuk Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian. 

Tidak ada perbedaan signifikan postur kabinet ini cacat dini Jokowi-JK. Soal ini tidak boleh diremehkan karena jauh sebelum dan selama kampanye pilpres, isu perampingan kabinet menjadi daya tarik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Jokowi-JK. Jadi, Jokowi-JK harus mampu memberikan penjelasan yang jujur, rasional, dan argumentatif soal dipertahankan postur kabinet gemuk tersebut agar tidak dituding telah melakukan pembohongan publik. 

Kegenitan Tim Transisi 

Hal positif yang dilakukan Jokowi-JK sebelum menjalankan pemerintahannya adalah membentuk Tim Transisi. Secara teoritik, Tim Transisi berperan untuk melakukan berbagai kajian tentang gagasan/konsep, kelembagaan dan kualifikasi personalia yang memadai sebagai syarat untuk mewujudkan kabinet profesional yang mampu bekerja cepat, akurat, berkualitas, dan murah. Tim ini juga diperlukan untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK. Sayangnya, tanggung jawab mahaberat dan mulia ini tidak ditunjang dengan keanggotaan Tim Transisi yang dapat diandalkan. 

Keterpilihan Rini Soemarno sebagai ketua merefleksikan kuatnya dominasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Selagi menjabat menteri perdagangan era Megawati Soekarnoputri, kinerja Rini tidak meyakinkan. Begitu pula kehadiran intelektual (Andi Widjajanto, Anies Baswedan) dan aktivis (Hasto Kristianto, Akbar Faisal) tidak mampu meyakinkan publik bahwa tim ini bisa bekerja optimal.

Minimnya pengalaman anggota Tim Transisi dalam pemerintahan membuat tim ini gagal menghasilkan agenda-agenda yang meyakinkan sehingga bisa mengikat Jokowi-JK. Soal postur kabinet misalnya, awalnya tim ini yakin bisa dirampingkan hingga 20 kementerian saja. 

Jokowi juga kerap menyatakan bahwa kabinetnya akan ramping dan profesional. Tapi, gagasan ini dengan mudah dipatahkan oleh JK. Dengan dalil bahwa dirinya sudah lama di pemerintahan dan lebih berpengalaman, JK menegaskan bahwa postur kabinet tetap 34 kementerian sehingga Tim Transisi tidak boleh gegabah mengurangi itu. Mempertahankan 34 kementerian merupakan efek dari kuatnya dominasi JK.

105

Page 106: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Kenyataan ini menyingkap dua soal serius. Pertama, Tim Transisi dibentuk semata-mata untuk membangun citra bahwa kepemimpinan Jokowi-JK benar-benar dirancang dan dipersiapkan secara matang. Itu terlihat dari kegenitan tim untuk menebar wacana intelektual tentang berbagai rancangan perubahan. Perlahan tapi pasti, publik sadar bahwa semua itu tidak lebih dari intellectual exercise, yang ramai dan asyik diperdebatkan, tapi sulit diadopsi menjadi keputusan politik yang mengikat dan operasional.

Andi Widjajanto mengatakan bahwa Tim Transisi telah menyelesaikan tugasnya menyusun postur kabinet dan kualifikasi menteri, tapi soal keputusan akhir menjadi urusan Jokowi-JK. Jika demikian, apa bedanya kajian akademis di berbagai perguruan tinggi dengan kerja Tim Transisi?

Kedua, sejak awal JK sudah tidak sepakat dengan gagasan perampingan kabinet yang digagas Jokowi. JK memang menjadi bagian dari perancang postur kabinet dengan 34 kementerian saat berpasangan dengan SBY periode 2004-2009. Namun, selama kampanye JK sengaja membiarkan gagasan ini berkembang sekadar untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas demi memenangkan Pilpres 2014. Sulit dibantah bahwa di sini Jokowi-JK sudah cacat secara etik karena menjanjikan sesuatu yang akhirnya tidak akan mereka laksanakan. 

Wajah Ganda 

Demi membangun pemerintahan yang kuat dan optimal bekerja untuk rakyat, Jokowi-JK menjanjikan bahwa kabinetnya akan didominasi oleh profesional murni. Kualifikasi menteri dipatok tinggi yakni memiliki kompetensi, berintegritas, serta memiliki jiwa kepemimpinan. Jokowi-JK juga membuka kemungkinan kader partai menjadi menteri, tapi kader bersangkutan harus meletakkan jabatannya di partai. Di samping itu, merujuk pada koalisi gemuk kabinet SBY-Boediono yang didominasi kader partai, Jokowi-JK bertekad merampingkan itu. 

Jokowi-JK juga mendeklarasikan koalisi partai tanpa syarat. Partai Golkar yang ingin merapat dengan konsesi beberapa kursi menteri ditolak karena tidak sesuai proposal koalisi Jokowi-JK. Terkesan bahwa koalisi ini bisa secara mandiri berjalan tanpa didukung partai lain di luar PDIP, PKB, Hanura, NasDem, dan PKPI. Tapi, belum lagi berkuasa, Jokowi-JK sudah menerapkan politik wajah ganda. Pertama, jatah kursi ternyata dibagi hampir merata antara profesional dan partai. Jokowi memang menyebutnya profesional partai. Tapi, Jokowi lupa bahwa profesional bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat, sementara kader partai tidak. 

Kasus korupsi yang melibatkan beberapa menteri di era SBY-Boediono bukti bahwa kader partai tidak mungkin sepenuhnya bisa profesional karena mereka juga bertanggung jawab untuk menutupi kelemahan keuangan kekuatan politiknya. Syarat melepas jabatan bagi kader partai yang menjadi menteri juga tinggal sayup-sayup.

Kedua, meski mengaku tidak merasa terancam dengan manuver politik oposisi yang digalang Koalisi Merah Putih (KMP), diam-diam Jokowi-JK melobi berbagai kekuatan politik untuk

106

Page 107: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

memperkuat koalisinya. JK bahkan menyatakan telah menyiapkan jatah kursi menteri bagi partai yang mau bergabung dengan pemerintah.

Jika kelak anggota koalisi Jokowi-JK bertambah, tekad untuk membentuk kabinet yang profesional dan total bekerja untuk rakyat menjadi sulit diwujudkan. Di mana pun koalisi multipartai yang gemuk cenderung lemah, lamban, dan boros. Lemah karena mudah pecah setiap ada perbedaan kepentingan, lamban karena pengambilan keputusan yang bertele-tele, dan boros karena menghabiskan banyak anggaran untuk menjaga soliditas koalisi.

ROMANUS NDAU LENDONGDosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Kado Pahit di Akhir Jabatan

Koran SINDO

18 September 2014

Penetapan tersangka Jero Wacik, mantan menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi indikasi bahwa kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diwarnai pengemplang uang negara. 

107

Page 108: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Wajar jika publik menilai Presiden SBY telah gagal memimpin kabinetnya dari godaan korupsi. Betapa tidak, Jero sebagai orang dekat SBY adalah menteri aktif ketiga yang dijerat korupsi oleh KPK setelah Menpora Andi Alifian Mallarangeng dan Menteri Agama Suryadharma Ali. Substansi dalam memerangi korupsi masih jauh dari harapan sebab bukan hanya jajaran menterinya yang diduga terlibat korupsi. Tidak sedikit kader Partai Demokrat yang dipimpin SBY meringkuk dalam penjara karena korupsi. Misalnya, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Nazaruddin, Hartati Murdaya, Jero Wacik, dan Sutan Bathoegana yang merupakan kader pilihan. 

SBY selaku ketua umum Partai Demokrat tidak mampu membina moral dan integritas kadernya agar tidak korupsi. Itulah kado terpahit dalam mengakhiri masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang kontradiksi dengan ikon SBY yang akan serius memberantas korupsi di jajaran pemerintahannya. Hanya satu keberhasilan SBY yaitu pada pemberian keluasan bagi KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk memproses semua kasus korupsi. 

SBY tidak mengintervensi penyidikan dan proses hukum di pengadilan. Tetapi, sikap itu tidak terlepas dari semakin kuatnya peran publik, aktivis antikorupsi, pers, dan mahasiswa yang terus mengawasi proses hukum. SBY akan menggali lubang sendiri jika berani mengusik kinerja polisi, kejaksaan, KPK, dan pengadilan dalam pemberantasan korupsi. Peran civil society yang begitu kuat setidaknya memaksa penguasa untuk tidak mengintervensi proses hukum keluar dari jalurnya seperti saat Orde Baru. 

Mafia Migas 

Kualitas korupsi di Kementerian ESDM menjadi urgen ditelisik mengingat posisi Jero sangat strategis dalam mengendalikan sektor minyak dan gas bumi (migas) dari hulu hingga hilir dengan nilai perdagangan ratusan triliun rupiah. Sangat mungkin KPK membongkar mafia migas yang sudah lama diintai sebab para mafia menjadi parasit di Kementerian ESDM. Ulah mereka menyebabkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Terkait dugaan permintaan dana untuk kepentingan biaya operasional menteri ESDM seperti diungkap KPK. 

Ini diperkuat oleh fakta persidangan dengan terdakwa Rudi Rubiandini di Pengadilan Tipikor Jakarta, 25 April 2014 bahwa Pertamina menjadi sasaran pemalakan. Jaksa KPK memperdengarkan rekaman hasil sadapan pembicaraan Waryono dengan Rudi yang diperdengarkan dalam sidang. Saksi mantan Sekjen ESDM Waryono butuh dana talangan. Tentu ada kaitannya dengan temuan KPK uang USD200.000 di ruang kerja Waryono.

Publik berharap pemerintahan baru nanti tidak tersandera oleh mafia pajak, apalagi Jokowi pernah berjanji akan menumpas segala mafia, baik mafia migas, perpajakan, maupun mafia pertanahan. Betapa tidak, cengkeraman mafia begitu sulit disentuh lantaran diduga kuat melibatkan pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Lebih dari itu, Jokowi-JK juga harus memilih menteri yang antikorupsi.

108

Page 109: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Tetapi, sinyal yang dikirim Jokowi-JK yang menetapkan 34 kementerian yang jumlahnya sama dengan kabinet SBY bisa menjadi blunder awal sebab kontradiksi dengan janjinya yang akan membangun struktur kementerian yang ramping. Pembagian 18 menteri untuk kalangan profesional dan 16 jatah menteri untuk profesional partai politik bisa diartikan kalau proses transaksional dengan partai pendukung sudah mulai terjadi. Padahal, koalisi yang dibangun selalu didengungkan tidak ada transaksi.

Meski KPK bertekad membongkar berbagai kasus megakorupsi, keberhasilannya sangat ditentukan oleh political will presiden. Kalau Jokowi benar-benar berkomitmen memberantas korupsi, tidak akan ada satu pun halangan bagi KPK menjalankan misinya. KPK tidak boleh berhenti hanya sampai menteri sebab jaringan mafia migas begitu kuat yang terus-menerus merecoki penghasilan negara dari sektor migas. 

Lanjutkan Pengungkapan 

Keberhasilan KPK mengembangkan penyidikan dari gratifikasi sampai dugaan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak terlepas dari penangkapan Rudi. Apalagi Jero Wacik memiliki benang merah sebagai penentu keluar kebijakan pengendalian dan pengelolaan bisnis migas. KPK memiliki pijakan untuk melanjutkan mengungkap mafia migas sebab tidak mungkin para pebisnis migas mau memberi uang pelicin kepada menteri tanpa ada sasaran lebih besar yang diharapkan. Mereka begitu enak ongkang-ongkang kaki menerima fee yang bertahun-tahun menikmati licinnya bisnis migas. Jika aktivitas mereka bisa dihentikan atau minimal mengurangi intensitasnya, tentu berpengaruh positif terhadap penghasilan negara dari sektor migas dan pengurangan subsidi BBM.

Beroperasinya mafia di sejumlah kementerian yang diduga dibentengi elite partai politik menyebabkan program kerja pemerintah tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Lebih celaka hambatan itu memang sengaja diciptakan agar bisa mendapat uang pelicin dari pengusaha yang berjuang mendapatkan proyek atau mengurus izin usaha. Laksana rumput liar, para mafia di berbagai kementerian selalu memiliki cara untuk survive. Butuh kesatuan sikap semua jajaran kementerian dan pemerintah daerah untuk memerangi para mafia anggaran.

Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai triliunan rupiah dari sektor migas ditengarai terjadi di setiap lapisan pemerintahan. Korupsi migas secara masif bukan hanya pada birokrasi pusat, melainkan juga gubernur, bupati, dan wali kota, hingga jajaran anggota legislatif provinsi dan kabupaten/kota. Sepertinya negeri ini kena kutukan oleh perilaku oknum pejabat negara yang seenaknya meraih keuntungan sendiri dari hasil bumi. 

Padahal, menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Alih-alih dipakai untuk kemakmuran rakyat, justru dimakan sendiri yang membuat angka kemiskinan rakyat setiap tahun meningkat.

109

Page 110: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

MARWAN MASGuru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

Kelirumologi dalam Hukum

Koran SINDO

20 September 2014

Jumat (19 September 2014) kemarin sahabat saya Jaya Suprana memotori seminar kelirumologi di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mungkin merupakan kekeliruan ketika Jaya meminta saya untuk berbicara di dalam seminar kelirumologi itu. Maunya sih saya menolak karena takut keliru, tapi kalau menolak saya khawatir menjadi

110

Page 111: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

lebih keliru lagi. Namun keliru-keliru pun sebenarnya tak apa-apa karena seminarnya memang seminar kelirumologi. Semakin keliru, semakin relevan.

Alasan yang agak akademis, mengapa semula saya ingin menolak menjadi pembicara, karena saya tak tahu apa definisi kelirumologi ini. Di kamus-kamus dan ensiklopedi belum ada kata atau istilah kelirumologi ini. Tapi saya nekat mendefinisikan kelirumologi adalah penggunaan atau pemahaman yang keliru atas istilah-istilah yang dipakai masyarakat baik permanen maupun insidental sehingga menimbulkan kegaduhan atau salah paham terbatas maupun meluas. Berdasar definisi nekat itu saya akan berbicara kelirumologi dalam hukum dengan cerita-cerita pop di bawah ini. 

Pada suatu hari di awal tahun 2011 saya mendapat SMS dari seorang kawan bahwa di koran lokal di Ternate ada berita “Gugatan Gafur Ditolak MK”. Berita tersebut berisi uraian yang sangat insinuatif-provokatif bahwa gugatan Gafur untuk membatalkan kemenangan Thaib Armain dalam sengketa Pemilihan Gubernur Maluku Utara ditolak oleh MK karena MK diintervensi oleh Presiden. Disebarkan juga isu bahwa sehari sebelum pengucapan vonis Ketua MK dipanggil oleh Presiden SBY.

Berita itu bukan hanya keliru, tetapi juga salah. Bukan hanya terjadi kelirumologi, tetapi juga salahologi. Selama saya jadi ketua MK tak pernah dan tak mungkin Presiden memanggil saya untuk urusan perkara apa pun atau siapa pun. Itu salahologinya. Kelirumologinya, kasus Gafur saat itu adalah kasus sengketa kewenangan antara KPU Maluku Utara dan Presiden. KPU Maluku Utara mempersoalkan Presiden karena mengangkat Thaib Armain sebagai gubernur terpilih berdasar fatwa Mahkamah Agung. Jadi perkara itu bukanlah gugatan Gafur, melainkan permohonan KPU Maluku Utara.

Kelirunya lagi berita itu menyebutkan bahwa gugatan ditolak, padahal yang benar permohonan tidak dapat diterima. Di dalam hukum peradilan ada perbedaan antara “tidak dapat diterima” dan “ditolak”. Tidak dapat diterima berarti pokok perkara tidak diperiksa karena beberapa alasan, misalnya, karena lewat waktu, pemohon tidak mempunyai legal standing atau bukan pihak yang berhak mengajukan pemohonan, permohonan tidak jelas (kabur), pokok perkaranya merupakan kompetensi lembaga peradilan lain, perkara yang sama sudah pernah diputus (ne bis in idem). Jika perkara dinyatakan “tidak dapat diterima”, pokok perkara belum atau tidak diperiksa. Untuk permohonan yang tidak dapat diterima masih terbuka kemungkinan diajukan lagi asal sudah dibetulkan, misalnya legal standing subjeknya atau kekaburan objeknya. 

Dalam kasus sengketa Pilgub Maluku Utara yang melibatkan Gafur dan Thaib Armain, misalnya, perkara itu bukan ditolak, melainkan tidak dapat diterima oleh MK. Alasannya, yang punya legal standing untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan dalam kasus itu adalah KPU (pusat), bukan KPU Maluku Utara. Saat itu pokok perkara tentang siapa yang bisa menetapkan pemenang pilgub itu dipersoalkan oleh KPU Maluku Utara, tetapi MK menyatakan yang punya legal standing adalah KPU (pusat) sebagai lembaga yang kewenangannya disebutkan di dalam konstitusi. Jadi perkaranya tidak dapat diterima, tetapi dapat diajukan kembali oleh yang punya legal standing.

111

Page 112: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Salah paham yang sama terjadi saat MK memutus sengketa Pilpres 2009. Waktu itu MK memutus “menolak eksepsi termohon (KPU)” dan “menolak pokok permohonan para pemohon (Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto)”. Belum setengah jam vonis selesai diucapkan tiba-tiba ada statement dari salah seorang DPP Golkar bahwa MK salah memutus. Katanya, pilpres tidak ada yang menang karena dua-duanya ditolak MK. Rupanya yang bersangkutan keliru memahami arti eksepsi dan pokok permohonan. 

Duduk perkaranya, pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengajukan permohonan (sebagai pemohon) yang dalam pokok perkaranya meminta agar hasil pilpres dibatalkan karena SBY-Boediono menang secara curang. Atas permohonan tersebut pihak KPU (termohon) mengajukan eksepsi agar permohonan tidak dapat diterima karena masalah kecurangan pemilu menjadi ranah peradilan pidana, bukan wewenang MK. Oleh sebab itu sebelum memutus pokok perkara, MK memutus dulu eksepsi termohon dengan menyatakan “menolak” eksepsi tersebut, sebab MK secara absolut berwenang mengadili kasus tersebut. 

Karena eksepsi ditolak, kemudian MK memeriksa dan memutus pokok perkaranya. Hasilnya, MK menolak permohonan dalam pokok perkara karena para pemohon tak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Adalah tidak mungkin MK langsung memutus menolak pokok perkara kalau eksepsinya tidak ditolak lebih dulu.

Orang yang tidak paham pembedaan istilah yang secara eksklusif dipergunakan di dalam hukum bisa terjebak dalam kelirumologi yang bisa membingungkan dan menghebohkan masyarakat. Celakanya justru sekarang ini banyak wartawan bidang hukum yang menulis berita dengan kelirumologi sehingga membingungkan, bahkan memancing kekisruhan. ●

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

Advokat dalam Cengkeraman Politik

Koran SINDO

20 September 2014

Beberapa hari ke depan, sebelum mengakhiri masa kerjanya, DPR periode 2009-2014 akan mengetuk palu mengesahkan RUU Advokat. Menurut DPR dan pemerintah, UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan advokat. 

Pro-kontra muncul menyikapi pembahasan dan pengesahan RUU ini. Mayoritas advokat yang bernaung di organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menolak RUU ini.

112

Page 113: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pertama kali dalam sejarah Indonesia, ribuan Advokat berseragam toga turun ke jalanan meneriakkan penolakan pengesahan RUU Advokat. Sebagian advokat lagi yang berada di luar Peradi mendorong parlemen segera menjatuhkan palunya mengganti UU lama.

Ada beberapa isu krusial dalam RUU Advokat yang meruncingkan sikap pro-kontra tersebut. Di antaranya model multibar organisasi, pembentukan Dewan Advokat Nasional, dan penerapan asas retroaktif dalam penentuan waktu pengangkatan advokat. 

Penyatuan Advokat 

Ide tentang multibar organisasi advokat menyeruak setelah konflik organisasi advokat semakin mengental. Ketentuan imperatif UU Advokat Nomor 18/2003 tentang singlebar yang diperkuat oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain Putusan Nomor 101/2009, tidak diindahkan oleh para advokat. Alih-alih ikut menegakkan ketentuan hukum UU Advokat dan perintah MK, para advokat (khususnya yang senior) terus bermanuver untuk saling memperkuat eksistensi organisasi masing-masing. RUU Advokat yang dalam pembahasan DPR saat ini diduga sebagai produk manuver tersebut. 

Organisasi-organisasi advokat yang sebelumnya ikut bergabung dalam satu wadah Peradi mulai memisahkan diri. Selain berhimpun dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang belakangan juga terbelah dua, beberapa organisasi lama advokat, seperti Peradin, juga mendeklarasikan independensi mereka dari organisasi induk. Alhasil, masyarakat dan penegak hukum lain dibingungkan dengan banyak jenis kartu advokat keluaran organisasi yang dipakai advokat dalam berpraktik. Merespons perpecahan organisasi advokat, pembuat UU mengakomodasi ide multibar. 

Meski penetapan model organisasi ini pada hakikatnya adalah legal policy, di sinilah letak persoalannya. Pertama, upaya Mahkamah Agung dalam penyatuan organisasi advokat sebenarnya sudah berjalan baik. Sebagai institusi hukum yang berkepentingan langsung dengan profesi advokat, MA telah mengeluarkan SK No 089/KMA/VI/2010 yang berisi perintah kepada ketua pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah advokat Peradi setelah terjadi Akta Perdamaian Peradi dan KAI. Namun, akta dan SK ini tidak digubris oleh salah satu pihak pembuat kesepakatan. 

MK juga telah melakukan upaya penegasan untuk pemantapan penyatuan organisasi dengan mengukuhkan norma UU Advokat Tahun 2003 dalam beberapa putusannya. Namun, pemerintah berlepas tangan dengan alasan menjaga independensi profesi advokat. Respons pembuat hukum justru menegaskan keabsahan eksistensi organisasi-organisasi advokat dalam RUU yang ada.

Kedua, terkait rencana penetapan multibar dan “penyeragaman” organisasi advokat dalam RUU Advokat, dimunculkan suatu lembaga baru yang disebut Dewan Advokat Nasional (DAN). Keberadaan dewan ini yang jadi persoalan baru dalam upaya penyatuan organisasi advokat. Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dengan institusi antara lain

113

Page 114: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

menyangkut kewenangannya yang sangat besar karena menentukan kode etik nasional sebagai pembentuk Majelis Kehormatan Kode Etik dan penentu tata kelola profesi advokat secara nasional.

Selain itu, pemilihan DAN oleh DPR setelah proses seleksi oleh tim yang dibentuk presiden juga memunculkan komplikasi dan kontradiksi serius terhadap niat baik untuk menjaga independensi profesi mulia (officium nobile) ini. Campur tangan DPR dan Presiden dalam pemilihan ini secara langsung pasti akan menarik lembaga tertinggi advokat dalam kepentingan politik yang tidak perlu bagi dunia profesional. Kemandirian dan independensi profesional advokat akan berhadapan dengan tujuan politik yang berseteru di DPR. 

Akibat itu, lembaga tertinggi profesi advokat ini akan tercengkeram dalam gurita kepentingan politik praktis. Dus, sebagai konsekuensi DAN yang dibentuk melalui UU, lembaga ini dibiayai oleh negara (RUU Pasal 53). Ketentuan ini secara eksplisit bertentangan dengan syarat advokat yang tidak boleh duduk di lembaga negara yang dibiayai keuangan negara (Pasal 9 (2)). Pertanyaannya, bagaimana mungkin advokat tidak boleh merangkap dan duduk di lembaga DAN yang notabene lembaga tertinggi profesinya? Ini yang tidak diatur di dalam RUU yang ada. 

Ketiga, dengan keberadaan lembaga DAN, profesi advokat menjadi berbeda dan terlihat aneh dibanding dengan profesi lain yang diakui negara seperti dokter, perawat, atau notaris. Profesi advokat menjadi satu-satunya profesi yang organisasi tertingginya dipilih oleh pejabat publik dan politik (DPR dan Presiden). Model ini jelas tidak sesuai dengan tren organisasi profesional modern.

Dalam dunia profesional modern, kemandirian dan independensi profesi dibentuk dengan melepaskan diri dari ikatan politik dan luar. Organisasi diberikan ruang yang seluasnya untuk menerapkan prinsip self-organizing atau self-regulating. Pendekatan pengaturan organisasi dilakukan melalui soft law yang dibuat sendiri oleh setiap institusi, bukan hard law melalui pejabat publik pembentuk perundang-undangan. Karena organisasi ini bagian dari civil society yang harus merdeka, bukan political society yang melibatkan politisi. Perbaikan 

Terlepas dari beberapa persoalan kritis dalam RUU Advokat, ada beberapa perbaikan yang penting dalam RUU ini yang patut diperhatikan misalnya mengenai norma penguatan hak imunitas advokat. Jika sebelumnya para advokat masih memiliki kekhawatiran dalam menjalankan profesinya mengingat ada beberapa rekannya yang dikriminalisasi dalam profesinya, kini norma imunitas advokat dikukuhkan dalam RUU. Bahkan ada upaya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak profesional advokat.

Untuk perbaikan kualitas UU Advokat, pembuat hukum harus lebih memperhatikan pengaturan aspek-aspek profesionalitas dengan lebih menjamin kemandirian dan integritas profesi yang dijadikan sebagai salah satu pilar penegak hukum ini. Bukan malah membatasi dengan ketentuan yang membelenggu dan merusak kredibilitas profesional dengan campuran

114

Page 115: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

kepentingan politik. ●

ANDI SYAFRANI Praktisi Hukum dan Tenaga Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta   

Hadirkan Fakta yang Benar (I)

Koran SINDO

22 September 2014

Hari ini adalah saat bersejarah bagi saya karena akan membacakan nota pembelaan (pleidoi) pribadi selaku Terdakwa di persidangan ini. 

Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Majelis Hakim yang berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Nota Pembelaan pada

115

Page 116: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

persidangan yang terhormat ini. Terima kasih juga saya sampaikan atas jalannya persidangan yang baik, sungguh-sungguh, terbuka, bebas dan berhasil membuka fakta-fakta penting terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya.

Tidak keliru kalau saya menyebut persidangan ini sebagai persidangan yang berkualitas. Persidangan yang berkualitas tidak akan hadir tanpa kepemimpinan sidang yang berkualitas pula. Kualitas persidangan sangat ditentukan oleh kesungguhan dan kecakapan Ketua Majelis dan dibantu oleh para Anggota Majelis di dalam memandu dan memimpin jalannya persidangan. Kami semua bisa menilai dan merasakannya, demikian pula publik yang mengikuti persidangan ini, baik yang hadir secara langsung maupun yang mengikuti lewat pemberitaan media massa. 

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah menjalankan tugasnya secara amat sering. Sangat mungkin kasus yang didakwakan dan proses persidangan ini bagi JPU adalah sesuatu yang khas dan tidak akan ditemukan lagi pada persidangan-persidangan yang lain. Saya juga menghormati kerja keras JPU yang menyebut berangkat dari kepentingan obyektif, meskipun dijalankan dengan metode yang subyektif dan pada akhirnya tidak menghormati objektivitas yang terbentang jelas di dalam persidangan ini. 

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Penasihat Hukum yang sabar, telaten dan gigih mendampingi saya, baik dalam proses penyidikan maupun persidangan. Saya menghargai toleransi dan pengertian para Penasihat Hukum kepada saya yang berusaha belajar maksimal di dalam ikhtiar agar terbentang terang fakta-fakta yang sesungguhnya terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya. Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada para sahabat, baik yang hadir maupun tidak hadir di persidangan, yang tulus memberikan doa dan simpati serta merindukan berlakunya keadilan. Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya tentang sahabatnya yang sangat banyak, beliau menjawab akan menghitung jumlah sahabatnya pada saat terkena musibah.

Terima kasih juga layak disampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang selalu mengikuti persidangan ini, baik yang berani memberitakan secara obyektif dan berimbang maupun yang sudah dibekali dengan framing negatif. Tentu saja objektivitas sangat dimuliakan dalam kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab. 

***

Pada bagian Pendahuluan Surat Tuntutan JPU memberikan beberapa catatan, mulai tentang Metode Klarifikasi, Membangun Persepsi, Kualitas keterangan saksi M. Nazaruddin, Kepentingan Politik, Keterikatan Psikologis Saksi dan Terdakwa dan Bukan Mengadili Kongres. Pertama, menghadirkan fakta yang benar. JPU mempersoalkan cara Terdakwa dan Penasihat Hukum yang menanyakan kepada saksi atas keterangan saksi di dalam BAP yang belum dihadirkan di persidangan. Padahal hal tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan, fitnah dan cerita bohong yang menyangkut Terdakwa dan para saksi yang dimintakan klarifikasi dan tanggapan.

116

Page 117: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan. Karena itulah klarifikasi atas fitnah dan kebohongan didalam BAP adalah penting di dalam persidangan ini. Jika JPU menilai metode klarifikasi sebagai sebuah penyesatan fakta, hal itu adalah penilaian yang keliru. Justru sebaliknya, kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan JPU yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih khusus untuk menjustifikasi dakwaan tidak didalami lebih lanjut, maka malah berpotensi penyesatan fakta. 

Kedua, korban opini. JPU melakukan penilaian subyektif bahwa Terdakwa dan Penasihat Hukum terjebak dalam upaya membangun persepsi, di mana penilaian tersebut dikaitkan dengan karakteristik Terdakwa sebagai seorang politisi. Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejak tahu 2011 Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada proyek Hambalang. 

Persepsi ini dibangun secara sistematis, dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan bergelombang. Bahwa seolah-olah benar Terdakwa menerima gratifikasi mobil Harrier dari Adhi Karya atas proyek Hambalang. Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai tersangka, kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Persepsi tentang persiapan untuk menjadi calon Presiden juga dibangun JPU melalui beberapa SMS yang ada di dalam HP istri saya, Athiyyah Laila, dari beberapa orang yang mengirimkan pesan SMS. 

Padahal kalau sedikit cermat dan jernih dalam membaca pesan SMS tersebut adalah jelas isinya doa dan harapan dari para pengirim pesan. Bukan doa, harapan dan permintaan dukungan dari istri saya, apalagi dari Terdakwa. Siapa pun dengan mudah bisa memahami bahwa penerima pesan SMS tidak bisa menolak pesan yang masuk, termasuk materi pesannya.

Ketiga, kualitas keterangan saksi Pinokio. Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar justice collabolator kepada M Nazaruddin, meskipun LPSK pernah menolak permohonan yang sama. Adalah hak JPU untuk percaya kepada kesaksian M Nazaruddin atau percaya terpaksa karena menjadi satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada Terdakwa. Adalah hak Nazaruddin untuk membuat keterangan-keterangan yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan tidak berdasar. Adalah hak M Nazaruddin untuk memberikan keterangan di BAP dan di persidangan yang tidak mengandung nilai kebenaran. Juga adalah hak M Nazaruddin untuk membuat skenario dan mengarahkan, memaksa dan bahkan mengancam staf-stafnya untuk memberikan keterangan bohong tentang Terdakwa. 

Adalah hak M Nazaruddin untuk membuat skenario dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan. Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian M Nazaruddin otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena pernah bersaksi untuk perkara Angelina Sondakh, Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam, Teuku Bagus M.

117

Page 118: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Noor, dan Andi Mallarangeng. 

Memandang seluruh kesaksian M Nazaruddin sebagai kebenaran adalah tindakan gebyah-uyah atau penyamarataan yang tidak bisa dibenarkan. Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa) jelas sejak awal M Nazaruddin berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum. Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio demi memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan “sabda” Nabi atau keterangan saksi-saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembunyi? Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum mestinya menolak. Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan keterangan- keterangannya.

Keempat, mengapa JPU mempersoalkan saksi memberatkan? Selama persidangan telah dihadirkan 104 orang saksi, yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut: 91 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU, 3 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 6 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum, serta 4 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum. 

Dengan komposisi saksi yang dihadirkan tersebut, dan itu hanya sebagian dari total saksi yang diperiksa pada saat penyidikan, maka menjadi aneh kalau JPU mengeluh dan mempersoalkan saksi-saksi dan keterangannya di depan persidangan. Karena itulah menjadi terkesan mengada-ada kalau JPU mengatakan bahwa tidak sedikit saksi yang memiliki keterikatan psikologis dengan Terdakwa sehingga validitasnya diragukan.  

(Bersambung)

ANAS URBANINGRUM

Hadirkan Fakta yang Benar (II)

Koran SINDO

23 September 2014

JPU menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi politik, yaitu korupsi yang terjadi dalam lingkup kegiatan politik, dilakukan oleh aktor politik dan dibungkus dengan instrumen politik, serta terjadi dalam momen politik. 

Tentu saja definisi ini bisa diperdebatkan. Definisi dari Universitas Princeton menyebut

118

Page 119: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

“political corruption is the use of legislated powers by government official for illegitimate private gain“. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa kegiatan ilegal baru dapat disebut korupsi politik jika terkait langsung dengan tugas-tugas resmi yang diemban (if the act is directly related to their official duties). 

Korupsi politik menurut Arnold J Heidenheimer dari Washington University, adalah setiap transaksi antara kalangan swasta dengan kalangan sektor publik, di mana hal-hal yang seharusnya menjadi barang milik publik secara ilegal diubah menjadi pembayaran atau hadiah. Sementara terdakwa mendefinisikan korupsi politik sebagai perbuatan yang secara sengaja membuat kebijakan untuk publik menjadi kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu. Kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat dibelokkan untuk kepentingan pihak tertentu. 

Namun, persidangan ini bukanlah forum untuk memperdebatkan apa definisi korupsi politik. Juga bukan untuk memperdebatkan apakah ada korupsi politik atau tidak. Ada ahli hukum yang berpendapat bahwa ada korupsi politik. Ada pula yang berpendapat bahwa korupsi politik tidak ada dalam konteks hukum. Jika konteksnya adalah debat khasanah istilah, korupsi politik bisa menjadi salah satu kekayaan khasanah untuk memberikan perspektif. Tetapi jika hendak diterapkan dalam penegakan hukum pidana korupsi, istilah tindak pidana korupsi politik harus dikembalikan pada aturan hukum yang sudah tersedia. 

Adalah tidak pada tempatnya membuat istilah sendiri di dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana. Menurut penilaian terdakwa, kategori tindak pidana korupsi politik yang diterapkan pada perkara yang didakwakan oleh JPU adalah pengakuan secara terbuka bahwa dakwaan dan tuntutan kepada terdakwa bersifat politik dan penuh dengan nuansa politik, hal yang sejak awal dinyatakan sangat dihindari oleh JPU. Awalnya perkara ini adalah dinamika internal Partai Demokrat sejak penyelenggaraan kongres ke-2 di Bandung, yang berlanjut pada proses-proses konsolidasi dan kontestasi politik internal, termasuk di tingkat lokal. 

Inilah yang ujungnya melahirkan desakan terbuka dari Jeddah kepada KPK untuk segera memperjelas status hukum saya. Desakan Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu segera ditindaklanjuti secara internal dengan pengambilalihan wewenang ketua umum oleh Majelis Tinggi. Pada saat yang bersamaan, beredar sprindik atas nama Anas Urbaningrum ke publik dan menjadi pemberitaan yang luas, sebelum akhirnya terbit Sprindik KPK 22 Februari 2013. 

***

Amat jelas bahwa penetapan tersangka tidak bisa dilepaskan dari dinamika dan faksionalisme internal di Partai Demokrat, termasuk bagaimana tangantangan kekuasaan bekerja. Oleh karena itulah yang sesungguhnya didakwa dan dituntut oleh JPU dalam perkara ini adalah peristiwa politik demokrasi bernama Kongres Partai Demokrat, yang di dalamnya ada

119

Page 120: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

kompetisi dan kontestasi politik antarcalon ketua umum dengan segala dinamikanya. 

Kompetisi dan kontestasi politik internal inilah, yang dijalankan menurut AD/ART dan Tata Tertib Kongres, ada penanggung jawab, ada panitia pengarah (SC), ada panitia pelaksana (SC), ada peserta kongres, ada pembiayaan kepanitiaan dan pemenangan dari setiap kelompok kontestan, serta ada hasil kongres sebagai bagian dari sistem dan kelembagaan Partai Demokrat secara utuh, yang berusaha didekati dan dipaksakan menjadi peristiwa korupsi politik. Meskipun JPU menyatakan di dalam surat tuntutan bukan mengadili kongres, amat jelas ini adalah mengadili kongres atau tepatnya mengadili sepertiga kongres. 

Mengapa? Karena yang diadili adalah salah satu saja dari kontestan Kongres Partai Demokrat di Bandung. Jika dilihat bahwa terdakwa pada saat itu adalah penyelenggara negara, karena juga masih menjadi anggota DPR, pada saat yang sama kontestan yang lain adalah ketua DPR dan menteri yang juga dalam kategori penyelenggara negara. Semua tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa proses konsolidasi dan penggalangan dalam pemenangan menggunakan cara dan pendekatan yang sama. Tidak ada perbedaan yang substansial dan signifikan dengan yang dilakukan oleh tim relawan terdakwa. 

Bahkan, internal Partai Demokrat saat itu bisa melihat ada calon ketua umum (kontestan) yang jauh lebih gebyar proses penggalangan dan metode pemenangannya. Kalau yang disasar hanya satu orang kontestan, apalagi secara khusus dicari-cari dan dipaksakan kesalahan secara hukum pidana korupsi politik, tentu hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah politik.

Di dalam surat tuntutan secara khusus juga disebut bahwa karena bukan kongres yang diajukan ke persidangan, sehingga bukan panitia kongres yang harus dihadirkan, tetapi adalah tim pemenangan Anas Urbaningrum dalam pencalonan sebagai ketua umum. Sehingga jelas kiranya pihak-pihak mana yang harus dimintai keterangan dan dihadirkan di persidangan. Kalimat ini adalah penegasan bahwa sejak awal telah terjadi pengkhususan kepada Anas Urbaningrum dan sekaligus memagari atau membentengi agar tidak masuk dan menyentuh pihak-pihak yang sesungguhnya secara objektif hukum menjadi pihak yang sama dan serata dengan terdakwa, tetapi secara politik tidak boleh tersentuh oleh proses hukum yang terkait dengan kongres. 

Pada saat disebut bahwa bukan panitia kongres yang dihadirkan tentu yang dimaksudkan adalah panitia pengarah yang ketuanya adalah Edhie Baskoro Yudhoyono, karena faktanya telah dihadirkan Didik Mukriyanto, ketua panitia pelaksana kongres yang juga telah diperiksa sebagai saksi pada saat proses penyidikan. Padahal, siapa pun yang mengerti tentang penyelenggaraan kongres pasti melihat panitia pengarah sebagai pihak yang paling paham tentang seluruh rangkaian acara dan bagaimana penyelenggaraannya.

Persidangan ini semakin berwarna politik ketika sejak awal surat dakwaan dibuka dengan kalimat imajiner bahwa sejak 2005 terdakwa sudah berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi calon presiden. Dakwaan dan tuntutan makin beraroma politik ketika surat tuntutan ditutup dengan nasihat politik agar terdakwa rela berkorban seperti Wisanggeni dalam

120

Page 121: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

konteks kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014. Meskipun terdakwa tidak bisa ikut dalam kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014, pengorbanannya menjadikan keunggulan Pandawa dalam Perang Bharatayuda. ●

(Bersambung)

ANAS URBANINGRUM

Hadirkan Fakta yang Benar (III)

Koran SINDO

24 September 2014

Saya mendengarkan dan membaca dengan seksama surat tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) pada persidangan lalu. Sungguh surat tuntutan dengan sungguh-sungguh disiapkan dan disusun dengan sangat lengkap. Pastilah hal tersebut hasil dari kerja keras tim yang hebat dan kompak. Sebagai terdakwa, saya sangat menghargai dan menghormati itu.

121

Page 122: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat tersebut, izinkan saya sebagai terdakwa untuk menyatakan bahwa surat tuntutan yang lengkap tersebut tidak memasukkan unsur keadilan, objektivitas, dan fakta-fakta persidangan yang tergelar secara terbuka sepanjang persidangan ini berlangsung. Saya tidak tahu mengapa hal demikian bisa terjadi. Apakah karena kealpaan, kesengajaan, atau lantaran keterpaksaan.

Apa pun sebab dan alasannya, apakah karena sengaja, alpa semata, atau terpaksa, mengabaikan fakta-fakta persidangan adalah pilihan yang tidak objektif dan tidak menghormati persidangan. Karena itulah, ketika di dalam surat tuntutan ada pujian yang bertubi-tubi kepada majelis hakim, sungguh pujian tersebut tidak mempunyai sambungan batin dengan diabaikannya fakta-fakta persidangan yang terungkap di persidangan ini, bagian penting dari keberhasilan kepemimpinan ketua majelis hakim yang dibantu para anggota majelis hakim? 

Jika salah satu hasil kepemimpinan majelis hakim yakni fakta-fakta persidangan tidak dihargai dan malah disepelekan, pujian di dalam surat tuntutan tersebut adalah pujian formal-prosedural semata dan bukan pujian yang otentik-substansial. Salah satu cara terbaik untuk menghormati persidangan, termasuk atas kepemimpinan majelis hakim adalah menghormati dan memuliakan fakta-fakta persidangan. 

Di situlah juga bersemayam objektivitas, fairness, dan keadilan, nilai-nilai yang sangat penting dalam proses penegakan hukum yang benar-benar diorientasikan untuk menemukan kebenaran dan keadilan sejati. Ketika JPU di dalam menyusun surat tuntutan memalingkan muka dari fakta-fakta persidangan, itu tidak bisa dibedakan dengan berpaling dari kebenaran. Kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan di persidangan berada pada fakta-fakta persidangan dari para saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah. 

Surat tuntutan yang disusun dengan meremehkan fakta-fakta persidangan sulit dibedakan dari ekspresi kemarahan dan kebencian melalui sarana penegakan hukum. Demikian halnya menjadi dipisahkan dari pemaksaan dan kekerasan hukum kepada warga negara. Jika dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan absolut berpotensi untuk terjadi kekerasan politik, dalam konteks sistem penegakan hukum yang hegemonik dan absolut juga mudah tergelincir pada kecenderungan dan praktik kekerasan hukum. Sesuatu yang seharusnya dihindari aparat penegak hukum yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan keadilan.

JPU sebagai aparat penegak hukum yang bertugas atas nama kepentingan publik berkewajiban menegakkan keadilan dengan cara menjadikan fakta-fakta persidangan sebagai bahan untuk menyusun surat tuntutan. Jika fakta-fakta persidangan sebagai salah satu dari hasil persidangan yang dipimpin majelis hakim tidak digunakan sebagai dasar, disepelekan, dan diabaikan, pertanyaannya adalah apakah persidangan ini hanya seremonial dan sekadar sebagai alat untuk menjustifikasi ada tuntutan yang berat? 

***

122

Page 123: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Mencermati tuntutan yang diajukan JPU, sungguh itu tuntutan yang sangat lengkap, berat, dan di luar akal sehat. Lengkap karena merupakan gabungan dari hukuman badan, uang pengganti, perampasan aset, denda, dan pencabutan hak sipil. Berat karena tidak sejalan dengan fakta-fakta persidangan yang sudah tergelar secara terbuka di depan publik. Di luar akal sehat karena tidak bisa dibedakan dari ekspresi kemarahan, kebencian, dan kezaliman.

Sangat mungkin tuntutan yang sangat berat dan sulit dicerna akal waras ini karena terdakwa dituduh melakukan obstruction of justice. Bagaimana seorang terdakwa yang ditahan, dicabut kebebasannya, tidak mempunyai kewenangan dan kekuasaan, disebut melakukan obstruction of justice, atau menghalang-halangi keadilan? Apa yang dilakukan terdakwa di persidangan adalah berusaha menggali fakta-fakta selengkap mungkin agar bisa dinilai dengan tepat, adil, dan proporsional tentang perkara yang sedang didakwakan. Semua juga atas izin dari majelis hakim yang tentu mempunyai takaran tentang kepantasan dan kepatutan dalam persidangan. 

Semestinya yang dinilai sebagai obstruction of justice adalah perencanaan dan tindakan-tindakan yang dilakukan M Nazaruddin, para anak buahnya, dan pihak lain yang bertujuan mencelakakan terdakwa secara hukum, termasuk memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar secara sistematis. Jika apa yang dilakukan terdakwa di persidangan untuk secara sungguh-sungguh menghasilkan fakta-fakta yang otentik dan lengkap dianggap sebagai obstruction of justice, apakah artinya terdakwa yang diam dan pasrah, menyerah pada dakwaan meskipun dakwaan tersebut tidak benar, dianggap sebagai mendukung keadilan? 

Jika itu yang dianggap benar dan dinilai sejalan dengan tujuan penegakan hukum, perlu ditegaskan sejak awal bahwa terdakwa yang baik dan teladan adalah yang pasrah dengan dakwaan dan menerima begitu saja di dalam proses persidangan. Tapi, saya yakin kita semua yang cinta dan berkomitmen menegakkan keadilan akan setuju dan mendukung kontestasi yang adil antara JPU dan terdakwa, semata-mata untuk menemukan kebenaran materiil yang akan dinilai majelis hakim berdasarkan aturan hukum dan keyakinannya. 

***

Sebelum mengakhiri nota pembelaan (pleidoi) ini izinkanlah saya menyampaikan ihwal yang semoga bisa melengkapi makna, substansi, spirit, dan pesan dasar dari pleidoi ini. Sejak awal perkara yang didakwakan kepada saya tidak terlepas dari dinamika dan kepentingan politik, setidak-tidaknya di internal Partai Demokrat, tangan kekuasaan, dan digiring sedemikian rupa oleh orkestra opini karena sebagian kekuatan opini sulit dipisahkan dari kekuatan dan kepentingan politik. 

Hari-hari belakangan ini orkestrasi opini untuk membangun persepsi, termasuk untuk memengaruhi persepsi, perspektif, dan keyakinan hakim. Kendati demikian, saya yakin fakta-fakta hukum di persidangan lebih kuat dibandingkan dengan opini dan persepsi yang secara sistematis dibangun media-media tertentu.

Saya hanya ingin mengangkat sedikit mutiara nilai kearifan Jawa yakni ojo dumeh dan ojo adigang, adigung, adiguna. Secara sederhana “ojo dumeh“ bermakna pesan “jangan

123

Page 124: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

sombong” dan “jangan mentang-mentang”. Sedangkan “ojo adigang, adigung, adiguna“ juga bermakna pesan dan peringatan kepada siapa pun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan, kekuasaan, dan kewenangan) untuk tidak bersikap sewenang-wenang. Agar siapa yang mempunyai kekuatan, kedudukan, kekuasaan, dan kewenangan tidak terjebak pada sikap “sapa sira, sapa ingsun“, “siapa kamu, siapa aku”. Segala sesuatu ada batasnya ada pula masanya. Ada akhirnya dan ada pula akhirnya. Ihwal ini amat relevan dengan ajaran, komitmen, dan spirit keadilan di dalam proses penegakan hukum.

Di atas segalanya ada kekuasaan Tuhan dan “Gusti ora sare“, “Tuhan tidak tidur”. Tuhan menuntun karma mencari alamatnya sendiri-sendiri sesuai logika alam dan ketentuan Tuhan. Wamakaruu wamakarallah, Wa Allahu khoirul makirin. ● 

ANAS URBANINGRUM

Pleidoi Anas, Merindu Keadilan

Koran SINDO

24 September 2014

Pada persidangan 11 September 2014, jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut Anas Urbaningrum dengan penjara 15 tahun. Anas juga didenda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan yang paling dahsyat adalah tuntutan membayar kerugian negara Rp94.180.050.000 dan USD5.261.070. JPU juga menuntut agar hak politik Anas dicabut. Tuntutan ini praktis tak berbeda dengan dakwaan, di mana sebagian besar dakwaannya berangkat dari ocehan Nazaruddin dan tidak berbasis pada fakta persidangan.

124

Page 125: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pada persidangan 18 September 2014, giliran Anas memberikan nota pembelaan (pleidoi). Kalau mengikuti persidangan secara objektif dan kritis antara tuntutan JPU dan persidangan pleidoi, akan terlihat ada kontestasi “kebenaran” yang saling bertolak belakang. Tuntutan JPU sangat mengejutkan dan bertolak belakang dengan fakta-fakta persidangan. Sebaliknya, pleidoi Anas justru mencerminkan pembelaan yang rasional, objektif, dan mendasarkan pada fakta persidangan. 

Pokoknya Anas Harus Salah 

Tuntutan JPU yang sulit dinalar akal sehat sebenarnya sekadar penegasan (taukid) bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, melainkan domain politik. Karena politik, apa pun fakta persidangannya tidak penting bagi JPU, yang penting bahwa Anas harus dituntut seberat-beratnya. Ini tergambar dari dakwaan JPU yang tak berbeda jauh (copy paste) dari tuntutan. Dakwaan JPU benar-benar mengabaikan fakta persidangan. Roh politik menghalalkan segala cara jauh lebih jelas terlihat dari roh penegakan hukum yang hanya menghalalkan kebenaran dan keadilan.

Tuntutan JPU menggambarkan kepanikan karena dakwaannya dipatahkan oleh para saksi. Ternyata kasus yang begitu heboh tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat di persidangan. JPU mengalami kesulitan menemukan alat bukti otentik dan relevan yang sejak awal memang diragukan akan mampu dibuktikan. Sementara “pesan politik”- nya sejak awal sangat jelas bahwa Anas harus dituntut seberat-beratnya. 

Kenapa JPU gagal membuktikan dakwaannya? Kasus Anas memang bukan kasus hukum, melainkan kasus politik. Tentu tak mungkin kasus politik didekati dengan pendekatan hukum, pasti akan sulit dibuktikan. Tapi, kalau didekati dengan pendekatan politik, pasti akan dengan mudah dapat dibuktikan. Sejak awal kasus Anas diyakini dominan motif politiknya. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, banyak peristiwa politik yang mengiringinya. Ada penolakan SBY atas pencalonan Anas sebagai calon ketua umum Partai Demokrat. 

Ada permintaan SBY agar Anas mundur sebagai calon ketua umum Partai Demokrat, baik secara langsung di Wisma Negara maupun menyuruh menteri-menterinya yang secara khusus datang ke arena Kongres Partai Demokrat di Bandung. Ada survei SMRC yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di kisaran angka 8%. Survei SMRC ini menjadi pembenar bagi elite Partai Demokrat untuk meminta Anas mundur. Ada desakan SBY dari Jeddah agar KPK segera “tuntaskan” kasus Anas. 

Ada rapat Majelis Tinggi pada 9 Februari 2013 dengan agenda “kudeta” terhadap Anas. Ada acara pengalihan isu kudeta berupa Rapimnas Majelis Tinggi pada 17 Februari 2013 dan peristiwa lain hingga Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2013. Mengaitkan peristiwa-peristiwa politik tersebut dengan penetapan Anas sebagai tersangka tentu sangat korelatif. Apalagi, meski “status tersangka” masuk ranah hukum, KPK pun masih“teledor” dengan tersebarnya sprindik Anas yang (di)bocor(kan) oleh orang kepercayaan Abraham Samad (sebagaimana hasil sidang Komisi Etik KPK terkait kebocoran sprindik Anas). 

125

Page 126: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Berani Adil Hebat 

Kasus Anas ini benar-benar akan menjadi ujian tersendiri bagi majelis hakim dalam membuat putusan. Satu sisi, ada tuntutan JPU yang irasional, tidak objektif, dan mengabaikan rasa keadilan serta telah benar-benar menafikan fakta-fakta persidangan. Di sisi lain, ada fakta-fakta persidangan, ada kesaksian para saksi berjumlah 96 yang menyangkal dan mematahkan dakwaan JPU terhadap Anas. 

Ujian lain bagi majelis hakim, selama ini ada opini yang berhasil dibangun bahwa KPK tidak pernah salah dalam menersangkakan orang. Tidak ada orang yang menjadi tersangka KPK memperoleh vonis bebas murni. Sepertinya opini ini dibangun untuk menjadi “tameng hukum” yang antisipatif bagi KPK. Kalaupun faktanya salah dalam menersangkakan orang, KPK tetap akan mendapat pembelaan publik.

Bangunan opini ini diyakini akan menyulitkan posisi majelis hakim. Kalau membebaskan Anas, akan dicap sebagai hakim yang tidak propemberantasan korupsi. Sementara kalau menghukumnya, nurani majelis hakim tentu sulit menerima karena fakta di persidangan justru dakwaan JPU terbantahkan. Praktis hanya Nazaruddin, Neneng, dan dua supir Nazaruddin yang mengamini dakwaan-dakwaan JPU.

Secara teologis, dalam kaitan penegakan hukum, posisi hakim adalah “wakil Tuhan” di muka bumi. Sebagai “wakil Tuhan”, tentu menjadi keharusan bagi hakim untuk menghadirkan nilai-nilai dan sifat-sifat ilahiah yang salah satunya keharusan untuk berlaku adil (al-adalah) dalam penegakan hukum. 

Saya meyakini bahwa majelis hakim yang menangani kasus Anas pun menyadari akan posisinya sebagai “wakil Tuhan” dan akan memberikan putusan secara proporsional (adil). Semua orang yang mempunyai perkara hukum tentu berharap kehadiran hakim yang betul-betul menyadari posisinya sebagai “wakil Tuhan”, tak terkecuali Anas. Dia tentu sangat merindu dan mendamba keadilan dalam kasus yang membelitnya. Apalagi kasus Anas jelas berbeda dengan kasus korupsi lain. 

Jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka hingga masuk persidangan, kasus korupsi yang disangkakan dan didakwakan ke Anas sangat sumir, tidak jelas, kontroversial, dan terkesan dipaksakan. Terjadi pro dan kontra di masyarakat. Sejak kasusnya memasuki persidangan bahkan mulai ada opini yang berubah dan meyakini bahwa kasus Anas bukan kasus hukum, tapi kasus politik. 

Seakan ingin mempertegas bahwa kasusnya hanya sebuah rekayasa politik, Anas menutup pleidoi-nya dengan mengutip “ayat politik”: Wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makirin, Mereka boleh saja membuat rekayasa (politik), tapi ingat bahwa Allah sebaik-baiknya pembuat rekayasa (QS Ali Imran: 54).

126

Page 127: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Anas juga menutup pleidoi dengan sebuah pantun sindiran kepada JPU dan keyakinan bahwa majelis hakim akan memutus perkaranya dengan hati nurani: “Dari Pakanbaru ka Siamang Bunyi, Singgah sabanta di Muaro Beti. Bialah JPU bakahandak sasuko ati, Ambo picayo Majelis Hakim mamutuih jo hati nurani.” Semoga! ● 

MA’MUN MUROD AL-BARBASY Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Jakarta, dan Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah 

Pelantikan Anggota DPR yang Tersangkut Korupsi

Koran SINDO

25 September 2014

Pelantikan 560 anggota DPR hasil Pemilihan Umum 9 April 2014 tinggal menunggu waktu. Jika tidak ada aral melintang, pada 1 Oktober semua wakil rakyat penghuni Senayan itu akan dilantik. 

Suasana ingar-bingar tentu akan mewarnai perhelatan yang menyempurnakan tahap pelantikan pada calon terpilih. Semua sanak saudara handai tolan keluarga akan tersenyum lebar setelah pelantikan yang menandai pintu gerbang sebagai anggota terpilih dari lembaga

127

Page 128: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

negara yang tugas utamanya sebagai legislator (penyusun undang-undang), budgeter (perencana anggaran), dan controller (pengawas).

Di samping suasana menyenangkan tersebut, masih ada masalah besar menyelimuti kondisi pelantikan tersebut. Ihwal permasalahan tersebut adalah adanya dugaan beberapa calon anggota DPR yang tersandung perkara korupsi. 

Adalah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang memantik problema ini, yaitu ajuan surat ke KPU dengan tembusan Bawaslu agar calon anggota DPR yang berstatus sebagai tersangka korupsi ditunda pelantikannya atau tidak dilantik. Dari catatan penulis, calon anggota DPR terpilih periode 2014-2019 yang akan dilantik pada 1 Oktober 2014 terdapat 5 calon yang masih dalam kubangan perkara korupsi. Kelima orang tersebut adalah Jero Wacik dari Partai Demokrat daerah pemilihan Bali, dan 4 orang calon legislatif dari PDI Perjuangan masing-masing Idham Samawi dari daerah pemilihan DIY, Marten Apuy dari dapil Kalimantan Timur, Herdian Koesnadi dari dapil Banten, dan Adriansyah dari dapil Kalimantan Selatan. 

Jika dilihat secara keseluruhan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota hasil pemilu legislatif tahun ini terdapat 48 orang legislator yang masih berkutat dengan masalah korupsi, masing-masing Partai Demokrat 13 orang, PDI Perjuangan 12, Partai Golongan Karya 11 orang, PKB 5 orang, Partai Gerindra dan Partai Hanura masing-masing 3 orang, PPP 2 orang, serta Partai Nasdem dan PAN masing-masing 1 orang. Jika dipetakan dalam lingkup kewilayahan, maka dari 48 caleg tersebut sebanyak 26 orang menjabat anggota DPRD kabupaten/kota, 17 orang anggota DPRD provinsi, dan 5 orang anggota DPR RI. 

Pro–Kontra 

Mengingat kompleksitas masalah tersebut publik di Nusantara ini mempertanyakan layak dan patutkah calon legislatif yang sudah menyandang status tersangka, terdakwa, dan atau terpidana dalam kasus korupsi untuk dapat dilantik sebagai anggota Dewan? Terdapat pendapat yang terbelah atas pertanyaan tersebut. 

Pihak yang tidak setuju menyatakan alasan yang relevan untuk tidak dilantik sebagai wakil rakyat berikut. Pertama, calon legislatif itu akan melawan lafal sumpah/janji yang diucapkan pada saat pelantikan agar tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum serta mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, partai dan golongan.

Kedua, untuk melindungi citra dan kehormatan parlemen. Hal ini sangat relevan manakala anggota DPR yang baru dihiasi oleh wajah baru atau wajah lama yang tidak terkait sama sekali dengan perkara-perkara korupsi yang menjadikan kemiskinan dan penderitaan bagi jutaan rakyat Indonesia.

128

Page 129: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Ketiga, unsur moral menjadi sangat penting dan mendalam. Hal ini bisa terjadi jika anggota DPR itu sedang tersandung perkara korupsi. Persyaratan itu penting karena pelaku korupsi bertentangan semangat dan moralitas masyarakat itu sendiri yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya berkampanye melawan KKN, khususnya korupsi. 

Keempat, dengan menunda pelantikan legislator yang sedang kesrimpet perkara-perkara korupsi itu diharapkan dapat legitimasi moral yang bersih dan berintegritas. Pada kondisi tersebut amatlah penting untuk meningkatkan kredibilitas dan legitimasi anggota DPR di mata masyarakat sehingga anggota DPR.

Kelima, dengan statusnya sebagai tersangka, terdakwa terpidana tentu akan memengaruhi kinerja dan persepsi publik atas kinerjanya. Dalam logika yang ada legislator yang tersandung korupsi akan lebih fokus pada masalah-masalah hukum yang sedang menjeratnya jika dibanding memikirkan nasib rakyat. Karena itu, seolah membenarkan suatu ungkapan mengatur diri sendiri yang sedang bermasalah dengan korupsi sangat menguras waktu, biaya dan tenaga sehingga tidak mungkin fokus pada tugas dan kewajibannya sebagai seorang legislator.

Pada bagian lain juga sangat kuat ungkapan untuk mendorong pelantikan anggota legislatif yang terkait dengan kasus korupsi tanpa harus menunda pelantikannya. Adalah Ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK, Puan Maharani, yang meminta untuk tetap dilakukan pelantikan sebagai anggota legislatif walau anggota legislatif tersebut terkait masalah korupsi. 

Selanjutnya Putri Megawati Soekarnoputri itu juga menyatakan bahwa sesuai dengan asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang bersangkutan tetap bisa dilantik. Pendapat cucu presiden pertama tersebut seolah juga diamini oleh wakil Ketua DPRRI Pramono Anung yang mengatakan partai sebagai pengusung calon legislatif dapat mencegah pelantikan anggota DPR yang akan dilantik jika ada masalah-masalah (kasus korupsi) yang sedang melilitnya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh ketua PKS Hidayat Nur Wahid bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa dipertimbangkan untuk tidak dilantik karena cacat moral serta tidak berintegritas, sebab sebagai wakil rakyat nantinya akan sulit membedakan masalah hukum yang menjeratnya dengan pejabat publik. 

Landasan Normatif 

Mengenai bisa tidaknya calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi agar dapat dilantik atau tidak jika kita kembalikan secara normatif maka akan merujuk pada Peraturan KPU Nomor 29/2013 tentang penetapan hasil pemilu, perolehan kursi, calon terpilih, dan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. 

Pada Pasal 50 ayat (1) dinyatakan bahwa calon legislatif terpilih dapat dibatalkan atau diganti

129

Page 130: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

apabila: meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPR provinsi, DPRD kabupaten/kota dan terbukti melakukan tindak pidana pemilu berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan yang pasti (inkracht van gewijde). Pencalonan caleg terpilih bisa batal karena melakukan tindak pidana jika dijatuhi hukuman penjara berdasar putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih. 

Melihat konstruksi pada Pasal 50 ayat (1) para pemangku kepentingan dapat mengimplementasikan maupun mengesampingkan ketentuan tersebut dengan dasar dan alasan yang sangat rasional. Walau sudah jelas landasan hukumnya, para calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi maupun partai politiknya yang mengusungnya ada baiknya mengedepankan etika. Etika ini diperlukan untuk menjaga integritas partai pengusung, kredibilitas anggota DPR, kehormatan lembaga DPR. 

Karena itu, perlu terobosan etika dalam berpolitik, khususnya sebagai pejabat publik agar lebih mengedepankan profesionalisme, konsentrasi dalam bekerja, integritas moral yang tinggi, dan dengan kredibilitas moral yang tidak diragukan. Selamat bekerja anggota DPR periode tahun 2014-2019 dengan berjuang untuk dan atas nama kepentingan rakyat serta mewujudkan kemampuan sebagai legislator, budgeter, dan controller yang profesional. Semoga.

PROF DR JAMAL WIWOHO, SH, MHUMGuru Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo

Demokrasi Bukan untuk Menyesatkan

Koran SINDO

25 September 2014

Setelah 16 tahun era reformasi berjalan, dunia politik nasional kembali diriuhkan oleh kencangnya keinginan untuk mengubah sistem politik, yakni terkait pemilihan kepala daerah (pilkada). 

Situasi ini disebabkan adanya perubahan pasal pada RUU Pemilihan Kepala Daerah, yang merujuk kepada pelaksanaan pemilihan gubernur/bupati/wali kota dilakukan oleh anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. RUU Pilkada adalah bagian dari RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang diajukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam

130

Page 131: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Negeri (Kemendagri), kepada DPR untuk menggantikan UU Nomor 32/2004 jo UU Nomor 12/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah. 

Kementerian Dalam Negeri melansir, setidaknya lebih dari 300 orang pejabat daerah telah menjadi tersangka korupsi. Hal ini menunjukkan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sering melakukan tangkap tangan tidak membuat jera para pejabat pemerintah di pusat dan daerah. Tingginya biaya politik dalam sistem politik setelah amendemen UUD 1945 dituding sebagai faktor penyebab utama. Pelaksanaan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu gubernur, dan pemilu bupati/wali kota secara langsung menimbulkan tingginya biaya politik. Setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada selalu menimbulkan kontroversi. Munculnya gugatan dari pihak yang merasa dicurangi atau dirugikan sehingga menyebabkan kekalahan.

Penyakit paling kronis adalah adanya money politics. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang calon anggota legislatif meminta tim suksesnya mengembalikan kubah masjid yang sudah disumbangkan untuk sebuah desa karena suaranya ternyata jeblok di TPS-TPS desa tersebut. Tentu masih banyak kasus-kasus lain yang membuat miris siapa pun. Sudah menjadi kisah usang pula apabila seorang caleg akhirnya harus mengalami habis harta bendanya dan menimbun banyak utang karena ikut bertarung dalam pemilihan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. 

Kasus-kasus yang terjadi di dalam ”pesta demokrasi” tersebut tidak boleh dianggap remeh. Bagaimana mungkin proses demokrasi dinodai oleh perbuatan curang? Bagaimana ”suara rakyat” yang bisa ”ditukargulingkan” dengan perbaikan jalan yang hanya beberapa ratus meter panjangnya? Saya yakin, para pendiri bangsa yang sudah menemukan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 akan meneteskan air mata apabila bisa menyaksikan betapa ”minimnya” hati nurani para elite politik— yang mengatasnamakan demokrasi— menempatkan pemilu dan pilkada secara langsung sebagai ”dewa demokrasi”. Peran Parpol 

Dengan demikian, sesungguhnya wajar apabila terdapat kelompok anggota DPR dari berbagai fraksi Senayan mengusulkan dilakukan pilkada melalui DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, tidak menggunakan sistem pilkada langsung. Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak berarti mencederai demokrasi. Tidak berarti pula kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi mundur karena adanya perubahan sistem pilkada, bahkan pemilu presiden sekalipun. Tidak berarti pula mengkhianati reformasi dan menghalangi suara rakyat dalam berdemokrasi. Bukankah rakyat sudah menguasakan suaranya kepada para wakil rakyat di DPRD?

Dengan adanya pemilihan kepala daerah oleh DPRD ada banyak manfaat yang dapat diperoleh. Penghematan pembiayaan dan minimnya potensi konflik horizontal yang berkepanjangan baik di kalangan PNS maupun rakyat daerah. Setiap calon tidak perlu lagi berkampanye secara langsung, membuat atribut, memasang iklan kampanye, dan membagi-bagi bantuan dalam bentuk barang maupun uang. 

131

Page 132: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Kapabilitas dan integritas seorang calon akan lebih mudah diketahui karena sudah sangat dikenal oleh masing-masing parpol/fraksi pengusungnya. Selain itu, gubernur, bupati, dan wali kota terpilih akan lebih mudah dimintai pertanggungjawaban terhadap program- program pembangunan yang dilakukan. Setiap kepala daerah tidak bisa lagi beralasan bahwa rakyat masih mendukungnya dan rakyat menerima program pembangunan yang dilakukan di daerahnya. 

Untuk meminimalkan efek negatif pilkada tak langsung adalah parpol dituntut lebih terpacu untuk memajukan kader-kader terpilihnya. Untuk itu, parpol harus benar-benar melakukan perbaikan menyeluruh rekrutmen atas setiap kadernya yang memiliki kapabilitas dan integritas mumpuni untuk dicalonkan sebagai anggota Dewan maupun pimpinan daerah. 

Jika di era lalu kita mengenal penelitian khusus untuk menyaring rekam jejak calon anggota Dewan dan pimpinan daerah, maka saat ini kita bisa mengaplikasikan hal serupa dalam bentuk yang berbeda, misalnya prasyarat mengikuti tes potensi akademik bagi calon mahasiswa S-2, TOEFL score, dll. Track record seorang kader akan lebih mudah ditelisik ketimbang harus mencalonkan orang di luar parpol apalagi orang yang benar-benar baru dalam menjalani karier politiknya. 

Parpol harus menjadi kawah candradimuka untuk kader-kader pemimpin di Indonesia. Artinya, parpol tidak bisa lagi mengusung kader-kader kagetan yang direkrut karena kemampuan finansial dan sudah populer di masyarakat. Praktek money politics pun bisa lebih diminimalisasi karena masing-masing anggota Dewan akan saling melakukan kontrol terhadap anggota lainnya. 

Jadi kita tidak perlu harus takut dengan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung karena kenyataannya hingga kini 12 juta penduduk DKI ‘rela’ bupati dan wali kota diangkat gubernur serta 3,5 juta penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta bangga memiliki gubernur dan wakil gubernur yang tidak pernah dipilih.

DR ARISSETYANTO NUGROHORektor Universitas Mercu Buana Jakarta 

132

Page 133: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Mempersoalkan Konsistensi Jokowi

Koran SINDO

26 September 2014

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah mempertontonkan inkonsistensi. Dari rencana membangun koalisi ramping, kini berpotensi menjadi gemuk. Dari koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat, dialokasikan belasan jabatan menteri untuk para profesional dari parpol. Dan, dari janji membentuk kabinet ramping yang efektif, Jokowi justru copy paste postur Kabinet Indonesia Bersatu II yang gendut.

Catatan publik tentang perjalanan Jokowi menuju panggung kontestasi pemilihan presiden 2014 hingga proses keterpilihannya sangat lengkap. Perjalanan itu sarat janji sehingga ekspektasi publik pun terbilang tinggi. Saat ini, ketika Jokowi dan Tim Transisi yang diketuai

133

Page 134: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Rini Soemarno merancang kabinet, publik pun ingin melihat realisasi janji-janji itu. Nyaris, tak satu pun yang bisa diwujudkan Jokowi, sebab di permukaan yang tampak justru inkonsistensi.

Pertanyaannya, apakah inkonsistensi Jokowi itu akan terhenti saat dia mulai dilantik sebagai presiden, atau akan berlanjut sepanjang era kepresidenannya? Pertanyaan ini bukan mengada-ada, sebab mengacu pada fakta berupa janji atau pernyataan yang dikedepankan Jokowi sendiri. 

Pertanyaan tadi memang belum perlu dijawab sekarang, karena semua pihak harus menunggu, serta memberi kesempatan kepada Jokowi dan kabinetnya bekerja merealisasikan janji-janji mewujudkan kesejahteraan bersama. Akan tetapi, Jokowi perlu diingatkan bahwa inkonsistensinya telah dicatat. 

Pertama, tentang koalisi parpol pendukung. Beberapa saat setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mencalonkannya sebagai presiden, Jokowi melakukan sejumlah pertemuan dengan pimpinan parpol untuk menjajaki koalisi dalam pilpres. Di sela-sela penjajakan yang tidak mudah itu, Jokowi menegaskan bahwa dia tidak butuh banyak parpol untuk berkoalisi. Dia bahkan sudah sangat percaya diri ketika berhasil menjalin kerja sama dengan Partai Nasional Demokrat. 

Dalam prosesnya kemudian, Jokowi harus melupakan koalisi ramping yang diinginkannya. Penggemukan koalisi terus berproses dengan bergabungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan PKPI. Ternyata, ini pun belum cukup. Jokowi masih membutuhkan setidaknya dua parpol lagi. “Kita terbuka karena masalahnya membangun negara. Bangsa sebesar ini tak bisa sendirian; tak bisa dibangun oleh satu atau empat partai saja,” kata Jokowi, Sabtu (20/9). 

Kedua, tentang janji koalisi tanpa syarat alias tidak ada bagi-bagi jabatan menteri. Jokowi dengan lantang menegaskan bahwa parpol yang bergabung dalam koalisi pemerintahannya harus ikhlas, dan karenanya tidak boleh mengajukan syarat atau meminta jatah jabatan menteri. Syarat yang diajukan Jokowi ini mustahil diterima parpol lain. 

Belakangan, diketahui bahwa syarat itu justru mempersulit Jokowi sendiri dalam upayanya memperbesar koalisi parpol pendukungnya di parlemen. Tidak mampu memenuhi janji itu, Jokowi akhirnya seperti menjilat ludahnya sendiri. Tidak kurang dari 16 jabatan menteri dialokasikan untuk para profesional dari parpol. 

Dengan alokasi untuk parpol sebanyak itu, Jokowi berharap dapat memecah soliditas Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengannya. Menyusul pengalokasian itu, berkembang spekulasi bahwa dua parpol anggota KMP akan merapat ke Jokowi. Presiden terpilih itu bahkan sangat yakin akan mendapatkan tambahan parpol anggota koalisinya. 

Ketiga, tentang menggagas kabinet ramping. Jokowi mungkin lupa bahwa mengurangi

134

Page 135: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

jumlah kementerian dalam pemerintahannya nanti justru menghadirkan pekerjaan baru yang sesungguhnya tidak perlu. Mengurangi jumlah kementerian dengan cara menggabungkan beberapa portofolio punya implikasi yang luas. Dalam praktiknya nanti, pemerintah justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri, karena penggabungan itu tentu butuh tahapan untuk beradaptasi.

Gagasan merampingkan kabinet itu nyata-nyata tidak ideal sehingga harus digugurkan. Akhirnya, postur kabinet yang diumumkan Jokowi praktis sama dan sebangun dengan Kabinet Indonesia Bersatu II yang dirancang Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. 

Faktor APBN 

Untuk menjaga konsistensi, Jokowi harus realistis. Apalagi, warisan masalah yang menghadangnya cukup banyak dan sangat beragam. Dia bahkan akan mengawali pemerintahannya dalam suasana yang serba tidak nyaman, terutama karena minimnya ruang fiskal akibat gelembung alokasi anggaran untuk subsidi. 

Pil pahit pertama adalah upaya meluruskan atau koreksi kebijakan subsidi negara. Karena mengurangi kenikmatan banyak orang, mengoreksi subsidi pasti tidak mudah karena akan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Sebaliknya, jika bersikukuh merealisasikan program-program pembangunan yang dijanjikan selama periode kampanye kepresidenannya, Jokowi memang harus menyehatkan dan menguatkan peran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). 

Kecenderungan APBN yang konsumtif harus diubah menjadi produktif. APBN yang sehat dan produktif akan memberi ruang bagi Jokowi merealisasikan program Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, hingga mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim. Menjadikan APBN kuat dan produktif adalah pekerjaan yang amat sulit, bahkan ada risiko politiknya. Karena itu dibutuhkan peran serta maupun pengertian rakyat. 

Pasalnya, APBN yang kuat dan produktif bisa diwujudkan jika negara cq pemerintah tidak lagi sembrono memberikan subsidi. Kalau sekarang subsidi boleh dinikmati semua orang, termasuk kelas menengah dan warga kaya raya, nantinya penerima subsidi harus dibatasi dengan kriteria yang relevan dan masuk akal. Risiko politik atas keberanian mengoreksi kebijakan subsidi akan mengecil jika Jokowi dan kabinetnya mampu memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat tentang perlunya mengurangi alokasi anggaran untuk subsidi. Paling utama tentu saja menekan gelembung anggaran untuk subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM).

Keberanian Jokowi memperbarui politik subsidi hampir pasti akan ditentang banyak orang. Namun, pelurusan politik subsidi itu akan merefleksikan konsistensi Jokowi. Sebab dari pembenahan subsidi itu, APBN tahun-tahun mendatang akan lebih sehat dan kuat untuk membiayai program-program unggulan Jokowi. 

135

Page 136: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Sebaliknya, citra inkonsistensi Jokowi akan semakin nyata kalau dia tidak berani meluruskan politik subsidi. Pasalnya, APBN akan tetap terlihat konsumtif serta tidak mampu membiayai kebutuhan pembangunan. Konsekuensinya, Jokowi akan sulit merealisasikan semua yang pernah dijanjikannya. Konsistensi Jokowi harus terus-menerus dipersoalkan sebagai cara untuk mengingatkan presiden terpilih bahwa dia telah mengikat janji dengan semua elemen rakyat.

Sekarang semuanya dalam posisi menunggu. Agar Jokowi tampak sebagai sosok presiden yang konsisten, dia harus berupaya merealisasikan semua program unggulannya itu. Beberapa program unggulan memang akan melibatkan modal swasta. Namun, Jokowi tetap saja harus menjadikan APBN tahun-tahun mendatang semakin produktif agar dia bisa merealisasikan program-program populis seperti Indonesia Sehat atau Indonesia Pintar itu.●

BAMBANG SOESATYO

Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia 

Kelirumologi Keadilan Substantif

Koran SINDO

27 September 2014

Ini masih lanjutan soal kelirumologi yang saya tulis pekan lalu dari seminar bersama Jaya Suprana. Saya bisa menyebut satu contoh lagi, betapa keliru memahami satu istilah seringkali menimbulkan kegaduhan. 

Pada 2009, MK membatalkan satu hasil penetapan KPU tentang keanggotaan DPR/DPRD karena peraturan KPU yang mendasarinya batal. Kemudian, seorang komisioner KPU menyatakan bahwa penetapannya tentang anggota DPR/DPRD terpilih tetap sah karena vonis MK berlaku ke depan( prospektif), tidak berlaku surut (retroaktif). Terjadilah saling klaim

136

Page 137: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

antara parpol dan para caleg. Rupanya komisioner KPU itu tak paham perbedaan arti ”batal” dan ”dibatalkan” sebagai istilah hukum. 

Menurut hukum, keputusan yang batal itu sifatnya extunc, artinya konsekuensi dari peraturan/keputusan yang dinyatakan batal itu dianggap tidak pernah ada. Ada pun jika pengadilan mengatakan ”membatalkan” maka sifatnya ex-nunc. Artinya, keberlakuan keputusan/peraturan yang dibatalkan itu berhenti sejak pengadilan membatalkannya, sehingga akibat-akibat dan/atau manfaat peraturan/keputusan sebelum dibatalkan dinyatakan sah. Ya, banyak kegaduhan karena kelirumologi atau kekeliruan dalam memahami istilah- istilah hukum, termasuk kelirumologi wartawan dalam membuat berita. 

Di luar istilah-istilah yang lebih teknis, kekeliruan acap terjadi juga pada masalah yang cukup serius bahkan filosofis. Dalam sengketa pemilihan umum (pileg, pilpres, dan pemilukada) di Mahkamah Konstitusi (MK) kerap muncul perebutan kebenaran tafsir tentang ”keadilan substantif”. Misalnya pihak pemohon mengatakan telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena membuat daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) di luar daftar pemilih tetap (DPT). 

DPKTb yang dibuat di luar perintah UU itu oleh pemohon dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi karena ternyata banyak disalahgunakan, bahkan ditengarai ada mobilisasi pemilih tambahan dengan memanfaatkan DPKTb. Maka itu, pemohon meminta agar, demi keadilan dan tegaknya konstitusi, keputusan KPU tentang hasil pemilu dibatalkan oleh MK.

Sebaliknya, pihak termohon KPU menyatakan bahwa justru pembuatan DPKTb diperlukan demi keadilan. Alasannya, banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di dalam DPT, atau, karena sedang berada jauh dari tempat pemungutan suara di mana dirinya terdaftar sebagai pemilih. Oleh sebab itu, demi keadilan, menjadi tepat jika KPU membuat pengaturan tentang daftar pemilih tambahan atau DPKTb itu sehingga hak konstitusional untuk memilih tidak terhalangi oleh persoalan teknis-administratif.

Di mana letak kelirumologi dalam kontroversi ini? Ternyata kedua kubu yang punya argumen yang saling bertentangan itu justru sama-sama berdalih ”demi keadilan”. Yang satu mengatakan bahwa keadilan itu harus dibangun dengan cara tidak membuat peraturan DPKTb di luar DPT karena bisa mengacaukan dan bisa disalahgunakan, seperti mobilisasi pemilih fiktif dan pemilih ganda. Sementara yang satunya mengatakan bahwa justru ”demi keadilan” itulah KPU harus membuat peraturan DPKTb yang membuka peluang bagi warga negara yang tidak terdaftar di DPT atau sedang berada di tempat lain untuk tetap bisa menggunakan haknya untuk memilih. 

Persoalannya kemudian merambah ke debat soal keadilan substantif. Yang satu mengatakan bahwa demi keadilan substantif maka ketentuan yang ada di dalam dan menjadi bunyi UU tak perlu disiasati dengan membuat peraturan ekstra, agar tak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan-kecurangan; sedangkan yang satunya mengatakan bahwa demi keadilan substantif diperlukan peraturan ekstra guna menampung mereka yang terhalang hak pilihnya

137

Page 138: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

karena tak tercantum di dalam DPT. Soalnya, apakah dalam keadilan substantif itu penegakan hukum harus sama dengan bunyi UU (apa pun isinya), ataukah boleh keluar dari bunyi UU yang isinya dirasa tidak mampu memberi rasa keadilan?

MK sendiri sudah lama mengampanyekan dirinya sebagai lembaga yang bekerja untuk menegakkan keadilan substantif (substantive justice), bukan sekadar penegak keadilan prosedural (procedural justice). Di dalam istilah, keadilan substantif ini terkandung makna filosofis bahwa hakim tidak harus dibelenggu oleh aturan-aturan formal-prosedural atau bunyi UU. Hakim boleh membuat hukum sendiri di luar UU jika UU yang ada tidak memadai atau tidak memberi rasa keadilan. Makna filosofis yang seperti ini bisa dipahami, misalnya, dari pernyataan Bung Karno ketika pada 10 Juli 1945 menyatakan di depan sidang BPUPKI bahwa prosedur formalitet harus dibuang ke tong sampah jika tidak memberi manfaat. 

Sikap MK seperti dinyatakan dalam vonis sengketa Pilpres 2009, menegakkan keadilan substantif ”boleh” keluar dari bunyi UU yang tidak adil, tetapi ”tidak harus” selalu keluar dari ketentuan atau isi UU. Selama rasa keadilan masih bisa ditemukan di dalam UU, pengadilan harus memberlakukan isi UU. Hakim, baru boleh keluar dari isi UU jika setelah digali sedemikian rupa, rasa keadilan itu tetap tidak dapat ditemukan di dalamnya.

Jadi, penegakan keadilan substantif itu membuka peluang bagi hakim untuk membuat vonis hukum sendiri di luar UU sesuai dengan rasa keadilan, sekaligus membuka peluang untuk memberlakukan isi UU sepanjang bisa ditemukan darinya rasa keadilan. Idealnya, keadilan substantif mempertemukan public common sense dengan pasal-pasal UU dan/atau dengan keyakinan hakim dalam memutus.

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi

Becermin pada Negara Hukum yang Retak

Koran SINDO

27 September 2014

Nyaris terluput dari perhatian publik di tengah konflik (elite) berkepanjangan dan kesibukan para elite menebar janji penuh pesona, ternyata masih ada anak bangsa yang menjadi korban kriminalisasi hukum. 

Di Semarang, Jawa Tengah, Sri Mulyati sempat mendekam di tahanan selama 13 bulan akibat tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Sri Mulyati sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, ditambah denda Rp2 juta subsider dua bulan

138

Page 139: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

penjara. Di Mahkamah Agung kemudian terbukti bahwa tuduhan itu tak berdasar dan Sri Mulyati dibebaskan oleh MA dengan vonis bebas murni. Karena menghukum orang tidak bersalah, negara dijatuhi denda sebesar Rp5 juta.

Peristiwa menyedihkan itu berawal saat Sri Mulyati yang menjadi kasir di salah satu tempat karaoke ditangkap polisi dengan tuduhan berat mempekerjakan anak di bawah umur. Polisi bukannya menahan pemilik atau pimpinan tempat karaoke itu, melainkan Sri Mulyati yang bergaji Rp750.000 per bulan. Tragisnya, saat polisi melakukan penggerebekan, Sri Mulyati justru sedang tidak bekerja. Di saat itulah manajer tempat karaoke itu menelepon Sri Mulyati dan memintanya datang. 

Begitu sampai di tempat itu, Sri Mulyati langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Sri Mulyati dijerat dengan Pasal 8 UU Perlindungan Anak dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak. Ironisnya, konon sang pemilik karaoke itu justru tak tersentuh oleh proses hukum.

Di masa lalu, filosof Rousseau sempat memimpikan lahirnya sebuah negara hukum yang kini juga dicanangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945. Dalam negara hukum itu setiap warga negara tak boleh kehilangan kebebasan personalnya di saat ia mematuhi hukum. Kewajiban setiap orang untuk mematuhi hukum harus merupakan cerminan dari kehendak subjektifnya yang otentik. 

Apa yang dialami Sri Mulyati merupakan bagian dari kriminalisasi di negeri yang konstitusinya mendeklarasikan negara hukum, tetapi warga negara yang tak punya daya ekonomi, politik maupun sosial bisa tercederai oleh bekerjanya positivisme sistem hukum kriminal (criminal justice system). Meminjam tesis filosof Bourdieu (1998), hukum sering bekerja di bawah kendali oknum yang mampu mendikte makna bahasa yang tersurat dalam teks undang-undang sehingga praksis penegakan hukum justru telah melampaui makna linguistik bahasa teks undang-undang karena ditawan oleh kuasa kepemilikan kapital, terutama kapital simbolik. 

Sri Mulyati tentu tak punya kuasa membangun kuasa oposisi atas ke(tidak)adilan hukum yang dialaminya seperti para elite yang mampu membangun kekuatan oposisi untuk melakukan tawar-menawar terhadap kekuatan politik rivalnya. Sri Mulyati telah menjadi korban kekerasan simbolik dan struktural akibat idealitas kepastian hukum yang menurut Tebbit (2000) tak mampu melepaskan diri dari formalisme hukum. Hukum prosedural telah kehilangan rasionalitas dan mencabut makna substantif yang seharusnya digali para penegak hukum.

Suatu konsep keadilan menurut Rawls tidak dapat bertumpu pada prinsip utilitas ataupun prinsip intuisionis. Keadilan sebagai fairness sebagai alternatif teori-teori keadilan kontemporer, menurut Rawls, memberikan prinsip-prinsip keadilan sebagai patokan dalam mendistribusikan sumber-sumber daya sosial. Prinsip-prinsip tersebut dipilih orang-orang yang rasional dalam sebuah kontrak sosial hipotesis, posisi asali (original position). 

139

Page 140: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Posisi asali merupakan kondisi persamaan awal yang mengarah pada dua prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan prosedural dalam posisi asali merupakan mekanisme pengawasan dan menempatkan semua orang dalam keadaan setara sebagai person moral. Perilaku yang terjadi dalam dunia penegakan hukum (law enforcement) dan perilaku peradilan (the behaviour of court) di Indonesia mengalami something wrong. 

Fakta empiris yang dialami Sri Mulyati tersebut melengkapi berbagai kasus sebelumnya yang pernah dialami Mbok Minah, kasus pencuri sandal, pencuri tebu, Prita Mulyasari, dan sejenisnya yang menyajikan realitas kasatmata adanya ketidakadilan dalam masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau si penguasa dan si rakyat jelata, hal yang sudah menjadi gambaran yang dianggap biasa terjadi. 

Tentu ditinjau dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, bahkan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Padahal ditinjau dari segi kodratnya, sejak lahir masing-masing manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk berkembang sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial dan warga negara. Guna memenuhi hak dan kewajiban itu, secara universal diakui adanya hak asasi manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB pada tahun 1948 telah dituangkan di norma yang dinamakan Universal Declaration of Human Right. 

Beberapa oknum penegak hukum tak jarang kurang memiliki sensitivitas terhadap HAM. Padahal penegak hukum selalu mendengungkan bahwa dalam penegakan hukum harus berdasarkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu atau masyarakat.

Peristiwa tragis yang dialami Sri Mulyati tak boleh berulang. Penegakan hukum di era supremasi hukum seharusnya mampu menjadi tindakan komunikatif yang sungguh-sungguh mampu menyuarakan keadilan substantif di balik bahasa teks hukum. 

Sri Mulyati hanyalah kasir sebuah karaoke, seorang buruh kecil, yang dipaksa untuk becermin di hadapan negara hukum yang retak. Akibat kasus tersebut, tiga dari empat anaknya harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Peristiwa ironis yang terjadi di saat para elite kini sibuk membangun koalisi dan membangun menara kata-kata serta menebar janji yang tak selalu dipenuhi di saat berkuasa! ●

DR W RIAWAN TJANDRAPengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

140

Page 141: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Pembebasan Bersyarat: Keliru Asal, Meleset Tujuan

Koran SINDO

29 September 2014

Kekesalan naik ke ubun-ubun saban kali menyimak warta tentang betapa ringannya ganjaran hukum bagi pelaku korupsi. Yang mutakhir adalah pembebasan bersyarat bagi sejumlah koruptor, walau telah melakukan kejahatan dahsyat, hanya “diinapkan” untuk periode waktu singkat di dalam penjara.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia punya pembelaan diri atas kebijakan tersebut. Menurut seorang pejabat teras di kementerian itu, pembebasan bersyarat diatur dalam UU No

141

Page 142: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

12/1995 tentang Permasyarakatan. Ia menambahkan, pembebasan bersyarat hendaknya dilihat sebagai langkah penegakan hukum sekaligus untuk menciptakan kepastian hukum.

Kendati bisa diterima nalar, pernyataan sedemikian rupa mengindikasikan bobot filosofis penghukuman yang dianut rezim Kemenkumham saat ini. Perspektif kriminologi masih kental mewarnai corak berpikir kementerian atau setidaknya pejabat tersebut yang ditandai oleh dominannya pertimbangan terhadap kondisi dan hak pelaku kejahatan. Tilikan viktimologi masih dangkal, empati terhadap korban pun demikian, sebagaimana tampak pada nihilnya pernyataan berisikan kepedulian terhadap para korban (masyarakat Indonesia!) yang telah digagahi para penjahat korupsi.

Secara umum dikenal lima jenis doktrin atau filosofi penghukuman yang mendasari pemberian perlakuan terhadap para pelaku kejahatan. Mari kita cermati satu per satu untuk menakar jika ada filosofi di balik pembebasan bersyarat bagi para narapidana korupsi. 

Apakah filosofi restorasi? Tentu tidak tepat menyikapi kasus dan pelaku korupsi dengan filosofi tersebut. Pembebasan bersyarat baru dapat dipandang sebagai perlakuan dengan latar filosofi restorasi apabila kelak pelaku berkesempatan berhadap-hadapan secara langsung dengan korbannya. Dengan pertemuan sedemikian rupa, tata kehidupan personal dan sosial yang sudah kadung dirusak koruptor dapat dibenahi kembali. Di situ pelaku mengutarakan penyesalan dan permintaan maaf, sementara korban boleh memberikan pemaafan dan menuntut ganti rugi langsung dari pelaku.

Kondisi semacam itu tidak berlaku dalam kejahatan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, bukan serangan terhadap orang per orang atau kelompok per kelompok. Korupsi merupakan kejahatan besar yang mengoyak seluruh dimensi kehidupan suatu bangsa. 

Mungkinkah pembebasan bersyarat dilakukan dengan rehabilitasi sebagai basis filosofisnya? Pun tidak bisa diterima. Faktanya, selain mengirim para narapidana korupsi ke penjara khusus koruptor (misal: Sukamiskin), pemenjaraan tidak disertai dengan program-program yang bersifat merehabilitasi. Dengan kata lain, di dalam penjara penjahat korupsi memperoleh perlakuan yang tidak berbeda dengan penjahat-penjahat selain tindak korupsi. Penjara khusus bagi narapidana korupsi tak pelak seperti menjadi hotel prodeo bintang empat karena para penghuninya tidak dicampur dengan pelaku kriminalitas jenis lain.

Penghukuman dengan doktrin rehabilitasi diselenggarakan sebagai suatu program yang menyasar kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) di balik perilaku jahat. Jika kebutuhan itu berhasil dikelola secara positif yakni melalui program rehabilitasi, diasumsikan bahwa individu tidak akan lagi mengulangi perilaku jahatnya. Sebaliknya, apabila dorongan-dorongan untuk berbuat korupsi ternyata tidak dimodifikasi selama pelaku berada di balik jeruji besi dan itu berarti bahwa penjara telah gagal difungsikan sebagai lingkungan untuk proses belajar ulang, dipastikan bahwa pelaku akan melakukan perbuatan korupsinya setelah mengakhiri masa pemenjaraan.

Kalau bukan restorasi dan rehabilitasi, seberapa mungkin pembebasan bersyarat ditegakkan di atas filosofi pembatasan kapasitas (incapacitation) pelaku? Para pengusung penghukuman

142

Page 143: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

dengan filosofi ini memandang bahwa pelaku kriminalitas harus dibatasi mobilitasnya. Aksesnya terhadap sumber daya kejahatan juga harus ditutup. Pemenjaraan menjadi pilihan jenis hukuman.

Filosofi ini tak mengena untuk kejahatan jenis korupsi. Apa pasal? Mobilitas dan kapasitas fisik bukan unsur vital bagi penjahat korupsi. Koruptor bekerja dengan teknologi, mengelabui sistem, memanipulasi aturan, dan kerap kali mengajak kongkalikong aparat penegak hukum. Untuk menggangsir uang negara, koruptor tidak harus berhadapan secara frontal dengan pihak yang ia viktimisasi. Berbeda dengan bromocorah konvensional semisal pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan lainnya.

Dengan modus kejahatan yang tidak mengandalkan gerak dan kapasitas fisik, incapacitation kehilangan relevansinya jika diterapkan bagi koruptor. Jadi tidak hanya pembebasan bersyarat bertolak belakang total dengan incapacitation, doktrin ini juga akan bisa diaplikasikan secara tepat guna hanya apabila kapasitas tidak dibatasi dalam pengertian fisik. 

Berikutnya adalah filosofi penangkalan. Hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi dinilai menimbulkan efek tangkal jika pelaku tidak mau lagi mengulangi perbuatan kriminalnya dan pihak lain tidak mau meniru perilaku serupa. Berbasis pada hukum sebab-akibat, filosofi penangkalan menuntut ada pertimbangan dijatuhkan jenis perlakuan (hukuman) yang tepat agar koruptor tidak melakukan korupsi kembali. Juga agar warga masyarakat tidak terinspirasi untuk menampilkan kelakuan kotor bak hewan pengerat itu.

Doktrin penangkalan berjalan efektif ketika negara juga telah membangun sistem pemantauan gerak narapidana korupsi pascapemenjaraan. Tanpa sistem pemantauan itu, pembebasan bersyarat tak lebih dari pembebasan musang ke kandang itik. Sampai kapan pun dipuasakan dengan cara apa pun, tidak akan pernah musang menjadi vegetarian. 

Filosofi kelima adalah balas dendam. Dinilai sebagai doktrin paling purba, hukuman bagi bandit harus menyakitkan. Pelaku kejahatan harus dibikin menderita. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Semakin berat tipe kejahatan si pelaku, semakin brutal pula hukuman yang ditimpakan kepadanya. Apakah pelaku jera atau kelak mengulangi perbuatannya, tidak terlalu dipusingkan. Apakah kerugian korban dapat dipulihkan, itu isu nomor sekian. Apakah orang lain mendapat pembelajaran dari kesakitan pelaku, bukan tujuan yang ingin direalisasikan. 

Pokoknya, tak lain, kriminal harus diempas ke jurang rasa pedih dan sedih. Kematian penjahat juga dianggap sah-sah saja. Pembebasan bersyarat, lagi-lagi, berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan filosofi balas dendam.

Lima doktrin penghukuman telah diuraikan. Pembebasan bersyarat sebagai “langkah penegakan hukum”, di mata saya, sungguh-sungguh tidak berkesesuaian dengan doktrin mana pun. Bahkan kontras dengan serbaneka rasionalisasi di balik pembebasan bersyarat, melihat situasi penegakan hukum khususnya terhadap kejahatan korupsi saat ini, penjatuhan sanksi sekeji mungkin bagi pelaku kejahatan luar biasa itu saya yakin sebagai pilihan realistis yang sangat dinanti-nanti bukan hanya oleh saya. Allahu a’lam. ●

143

Page 144: (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Pakar Psikologi Forensik, Alumnus The University of Melbourne, Anggota World Society of Victimology 

144