(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

223
DAFTAR ISI PILKADA SERAGAM DI NEGERI BERAGAM Amzulian Rifai 4 PERKEMBANGAN POLITIK KITA M Alfan Alfian 8 HAK POLITIK KORUPTOR Marwan Mas 11 MENTERI “PROFESIONAL” PARTAI? Arya Budi 14 NEGARA HUKUM YANG SEJAHTERA Romli Atmasasmita 17 VOTING PILKADA: BEREBUT TUAH ATAS NAMA DEMOKRASI Jamal Wiwoho 20 SANG DEMOKRAT ATAU SUTRADARA TONIL? Anas Urbaningrum 23 RUU DAN PERPPU PILKADA Moh Mahfud MD 26 MENUJU PENGUATAN CHECKS AND BALANCES Firman Noor 29 MENDADAK PERPPU Idil Akbar 32 POLITIK PRAGMATIS TANPA NASIONALISME Sudjito 35 PERPPU PERLINDUNGAN DIRI Marwan Mas 38 ROBOHNYA KAKBAH KAMI Faisal Ismail 41 1
  • Upload

    ekho109
  • Category

    Law

  • view

    672
  • download

    16

description

opini para pakar yang dimuat di KORAN SINDO dan situs www.sindonews.com

Transcript of (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Page 1: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

DAFTAR ISI

PILKADA SERAGAM DI NEGERI BERAGAMAmzulian Rifai 4

PERKEMBANGAN POLITIK KITAM Alfan Alfian 8

HAK POLITIK KORUPTORMarwan Mas 11

MENTERI “PROFESIONAL” PARTAI?Arya Budi 14

NEGARA HUKUM YANG SEJAHTERARomli Atmasasmita 17

VOTING PILKADA: BEREBUT TUAH ATAS NAMA DEMOKRASIJamal Wiwoho 20

SANG DEMOKRAT ATAU SUTRADARA TONIL?Anas Urbaningrum 23

RUU DAN PERPPU PILKADAMoh Mahfud MD 26

MENUJU PENGUATAN CHECKS AND BALANCESFirman Noor 29

MENDADAK PERPPUIdil Akbar 32

POLITIK PRAGMATIS TANPA NASIONALISMESudjito 35

PERPPU PERLINDUNGAN DIRIMarwan Mas 38

ROBOHNYA KAKBAH KAMIFaisal Ismail 41

JALAN PANJANG PILKADAIrfan Ridwan Maksum 44

MEMBANGUN STABILITAS PEMERINTAHANMoch Nurhasim 47

UU MATI, PERPPU TAK HIDUPMoh Mahfud MD 50

1

Page 2: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

PERPPU YANG SALAHFritz Edward Siregar 52

MEMERANGI ISISBroto Wardoyo 55

REVISI P3 SPS, MENGEKANG ATAU MELINDUNGI JURNALIS TV?Hendrata Yudha 58

JOKOWI JANGAN “PARNO”, KMP BUKAN MUSUHBambang Soesatyo 61

ATURAN PUSING JEUNG MUSINGKEUNDedi Mulyadi 64

BERLEBIHAN MELIHAT POLITIKM Alfan Alfian 67

KABINET RAMPINGMarwan Mas 70

MEMBANGUN TRADISI OPOSISIAnas Urbaningrum 73

BELANJA LANGSUNG NYAMAN, BELANJA TAK LANGSUNGMERADANGDedi Mulyadi 77

PERTARUHAN JOKOWI-JKGun Gun Heryanto 80

PASANG NAIK PRESIDEN JOKOWIM Alfan Alfian 83

JOKOWI, SELEBRASI, DAN MODAL POLITIKFirman Noor 86

TAMU NEGARA DAN PRIORITASDinna Wisnu 89

HARAPAN KINERJA HUKUM PEMERINTAHAN JOKOWI-JKRomli Atmasasmita 92

HAK PREROGATIF ITU SIMPELMoh Mahfud MD 95

DILEMATIKA DPR DALAM PENYIKAPAN PERPPU 1/2014Asep Warlan Yusuf 98

REALITAS DIVIDED GOVERNMENT

2

Page 3: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dinna Wisnu 101

KABINET BUKAN IMPIANMoch Nurhasim 104

KOALISI POLITIK ITU RAPUHVictor Silaen 107

MENGHALAU DEMOKRASI TANPA HATIRefly Harun 110

MUSYAWARAH DAN VOTINGMargarito Kamis 113

JANGAN OBRAL PERPPUMoh Mahfud MD 116

KISRUH DPR DAN HARAPAN YANG HILANGMohammad Nasih 119

BABAK BARU KRISIS POLITIK DPRMuhammad Tri Andika 123

DEMOCRAZY DI PARLEMENIdil Akbar 126

MPR RI & GERAKAN EMPAT PILAR NEGARAHajriyanto Y Thohari 129

KIH GAGAL TANGGAPI PERUBAHANBambang Soesatyo 132

DPR & PERTARUHAN DEMOKRASIGun Gun Heryanto 135

PENJUAL SATE & UU ITEJamal Wiwoho 138

DAMPAK PARLEMEN TERBELAHW Riawan Tjandra 141

BBM, KEDAULATAN ENERGI, DAN SKK MIGASFahmy Radhi 144

PERPPU ITU DIUJI KE MKMoh Mahfud MD 147

PERPPU DAN PILKADA SERENTAKMarwan Mas 150

3

Page 4: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Pilkada Seragam di Negeri Beragam

Koran SINDO

30 September 2014

Sekalipun Undang-Undang Pilkada telah disahkan, perdebatan soal pemilihan langsung atau tidak langsung belum berakhir. Ada yang berpandangan bahwa fokus perdebatan hanya berkutat pada pemilihan langsung atau pemilihan oleh DPRD. Bukan pada kualitasnya. Heboh soal itu bertambah runyam setelah aksi walk out Partai Demokrat yang dipandang sebagai penyebab kekalahan kelompok yang propemilihan langsung.

Sepertinya pilkada itu semata-mata soal mekanisme pemilihan langsung atau oleh DPRD. Bagi yang propemilihan langsung, memandang pemilihan oleh DPRD itu tidak demokratis, merampas kedaulatan rakyat. Sebaliknya, kelompok yang propilkada oleh DPRD menilai pilkada langsung lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Dalam soal cara memilih ini, rakyat disajikan menu yang terbatas: dipilih secara langsung atau dipilih oleh DPRD. Tidak ada opsi lain, opsi yang ketiga misalnya. Mungkin itu alasannya mengapa Partai Demokrat memilih keluar dari gelanggang. 

Pihak yang menuntut pilkada langsung karena menilai jika meniadakan itu berarti mengambil kedaulatan rakyat. Ada yang mengutip ungkapan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suatu perumpamaan untuk menegaskan powerful-nya suara rakyat tersebut.

Namun, kelompok yang kontra dengan pemilihan langsung juga beralasan. Di antara alasan yang prinsip karena pilkada selama ini tidak juga menunjukkan perbaikan. Lebih dari 70% kepala daerah terlibat kasus hukum. Sebagian rakyat juga terlibat dalam politik uang. Belum lagi jika menghitung financial cost yang besarnya di luar akal sehat. Begitu juga social cost akibat praktik pilkada langsung. Pendek kata jika tetap pada ego masing-masing, “sampai kapan pun” ide dua kelompok yang berbeda ini tidak akan pernah menyatu. 

Bangsa yang Beragam 

Para pendiri negara ini paham benar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam. Suatu anugerah luar biasa dari pencipta ketika menyaksikan bangsa Indonesia dapat eksis di tengah keberagaman yang luar biasa pula. Itu sebabnya dalam banyak hal simbol-simbol negara menggambarkan keberagaman itu. Kita mengenal kata Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan pengakuan keberagaman bangsa Indonesia. Jarang ada negara yang memiliki dasar negara seperti Pancasila yang semua silanya sarat pengakuan bahwa bangsa ini bangsa yang beragam dan para pendiri negara ini berusaha menyerap berbagai perbedaan itu.

Agar hukum itu dapat diterima dan dapat diterapkan dengan baik dalam suatu negara, ia harus merefleksikan nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat. Seandainya hukum kita

4

Page 5: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

berdasarkan nilai yang ada di negara Barat semata, aturan itu hanya ada di atas kertas dan bermasalah dalam penerapannya. Hal yang sama ketika kita akan menerapkan undang-undang tentang pilkada tanpa menimbang serius nilai-nilai asli bangsa kita. 

Argumentasi Yuridis 

Dalam mendiskusikan apakah pilkada itu langsung atau oleh DPRD dapat dipandang dari aspek yuridis dan politis. Secara yuridis, kita mengacu kepada UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya benar bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat. 

Namun, agar praktik kedaulatan itu tidak “ke mana-mana” dan ditafsirkan sesuai selera masing-masing, pedoman untuk menerapkan kedaulatan itu adalah UUD 1945. UUD 1945 telah membuat terang soal pilkada ini. Pasal 18 Ayat (4) “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Tidak ada satu kata pun dalam UUD 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah itu oleh DPRD atau dipilih secara langsung oleh rakyat. 

Maka itu, tidak tepat dan sekaligus sebagai sikap try and error ketika UU No 32 tahun 2004 dirumuskan secara rigid memaksakan pilkada seragam di seluruh Indonesia. Kata “dipilih secara demokratis” menunjukkan penyusun UUD 1945 paham benar keberagaman bangsa Indonesia yang atas dasar keberagaman itu tidak mungkin seluruh daerah dipukul rata menggunakan sistem pemilihan kepala daerah yang sama. 

Jika kita hanya berbicara atas dasar yuridis semata, pedoman lain dapat mengacu pada Pasal 18 Ayat (3) bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Pasal ini menegaskan bahwa para anggota DPRD yang harus dipilih melalui pemilihan langsung, sedangkan jabatan kepala daerah pemilihannya dilaksanakan secara demokratis. 

Dalam ilmu negara diajarkan bahwa pemilihan demokratis itu dapat langsung ataupun dilakukan melalui lembaga perwakilan. Kedua-duanya sama-sama demokratisnya. Namun, jika pilkada ditinjau semata-mata dari aspek politis, sangat mungkin menabrak ketentuan yuridis.

Sejak awal di antara fraksi di DPR RI sikapnya berubah-ubah. Perubahan sikap itu ditafsirkan sesuai kepentingan mereka, bukan atas dasar nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi. Seandainya saja rujukan sikap itu pada budaya bangsa, pastilah tidak bersikap rigid dan memberi harga mati antara sistem pemilihan langsung atau tidak langsung saja. 

Pilkada Seragam 

Karena itu, mestinya disadari “sampai kapan pun” tidak akan ada titik temunya apabila kita

5

Page 6: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

memaksakan sistem pemilihan kepala daerah yang seragam (langsung atau oleh DPRD) di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Kita mengingkari kehendak dan cita-cita para pendiri negara ini apabila tetap memaksakan sistem pilkada yang seragam. Padahal praktik pilkada tidak seragam itu sudah lama diterapkan. 

Kita menyaksikan para wali kota di Provinsi DKI tidak melalui pemilihan umum. Demikian juga pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY atau keharusan pilkada langsung di Aceh. Tentu ada dasarnya mengapa cara itu yang digunakan. Itu juga sebagai fakta ada pengakuan perlunya sistem pilkada yang beragam, tidak seragam. Mungkin sulit mencari tandingan ada negara lain semajemuk Indonesia. 

Keberagaman ini memunculkan pola pemilih yang beragam pula. Ada daerah-daerah yang masyarakatnya “sudah cocok” dengan tradisi pemilihan langsung. Bagi kelompok masyarakat ini, kalah-menang dalam pemilihan tidak menjadi soal. Itu juga tradisi demokrasi yang dianut bangsa Barat/maju. Tengok saja pemilu sekaliber referendum kemerdekaan di Skotlandia untuk lepas dari Inggris, berlangsung damai penuh kegembiraan. 

Perbedaan pandangan secara terbuka seringkali memunculkan perang terbuka pula. Lembaga peradilan belum menjadi tradisi untuk menyelesaikan masalah. Jika pun mereka ke pengadilan seringkali menghasilkan permusuhan berkepanjangan pascapersidangan.

Keterbatasan ekonomi dan kemiskinan ideologi sebagian besar rakyat kita juga menyumbang permasalahan dalam penerapan sistem pilkada langsung yang mungkin tidak terjadi di daerah seperti Jakarta, Bogor, atau Bandung. Mereka memilih bukan karena visi-misi, melainkan berapa “uang transpor” yang diterima sebagai dana pengganti karena tidak ke sawah, tidak melaut, tidak menyadap karet atau tidak menjadi kuli panggul pada hari pencoblosan. 

Pastilah Propilkada Langsung 

Saya yakin saat ini mayoritas orang dan lembaga di Indonesia akan membela pilkada secara langsung. Tengok saja serangan terhadap SBY sangat masif sebagai alamat kekesalan setelah Partai Demokrat walkout dalam paripurna yang memberikan kemenangan kepada Koalisi Merah Putih pengusung pilkada oleh DPRD. 

Di antara alasan propilkada langsung karena banyak lembaga telah terbentuk dan mapan sebagai back up pemilihan secara langsung. Tidak heboh lagi peran KPU, Bawaslu, Panwaslu, DKPP, lembaga-lembaga survei, jika kelak pilkada mutlak hanya oleh DPRD. Belum lagi jika dihitung juga aspek bisnis yang menggiurkan. Ada dana miliaran rupiah dibelanjakan untuk iklan pilkada, untuk melakukan survei, untuk percetakan. 

Pemerintah sekarang juga sudah tersandera dalam sistem pilkada langsung karena sistem ini lahir di era Presiden SBY yang “sepertinya” memiliki kewajiban moral untuk mempertahankannya. Jangan-jangan bangsa kita telanjur terjebak dalam semangat demokrasi langsung. Akibat itu, pilkada yang oleh UUD 1945 tidak harus langsung pun kita jadikan

6

Page 7: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

pemilihan langsung. Seakan-akan jika tidak langsung, melanggar nilai demokrasi. Mungkin ada yang tidak tahu, AS sekalipun, “dewanya negara demokrasi” tidak memilih presidennya secara langsung. Ia dipilih oleh sekelompok orang sebagai perwakilan yang disebut electoral college.

Mestinya para pengambil keputusan tidak serta-merta memutuskan pilkada dengan salah satu opsi: langsung atau oleh DPRD. Harus ada kajian mendalam atas akar budaya bangsa kita sehingga tidak main pukul rata. Pemaksaan salah satu opsi tersebut tergolong tidak bijak dan tidak sejalan dengan pendiri negara ini. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang beragam “dipaksa” untuk menerapkan sistem pemilihan yang seragam.

Agaknya ketuk palu pimpinan sidang paripurna DPR RI menyetujui pilkada oleh DPRD bukanlah tahap final. Perang antarkelompok pro dan kontra pilkada langsung akan terus berlanjut dalam berbagai rupa. Inilah akibatnya jika hukum lari dari akar budaya asli bangsa Indonesia yang senyatanya beragam itu. ●

PROF AMZULIAN RIFAI PHD

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang 

7

Page 8: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perkembangan Politik Kita

Koran SINDO

30 September 2014

Terlepas dari drama yang menyertainya, konstelasi politik kita yang telah berubah pascapilpres semakin tampak jelas. Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres yakni Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Partai Demokrat (tanpa mengesampingkan PBB), telah memantapkan posisi politiknya di parlemen. Kemenangannya dalam voting penentuan mekanisme pilkada yakni dilakukan melalui DPRD, menandai momen penting KMP, setelah sebelumnya menang dalam penentuan tata tertib pemilihan pimpinan DPR dan revisi UU tentang MD3. Di luar parlemen, massa dicoba digerakkan untuk memprotes berbagai keputusan politik itu, tetapi parlemen tetap jalan dengan logika politiknya sendiri.

Kalau dikaitkan dengan kekecewaan publik, tidak saja dikaitkan dengan manuver KMP di parlemen, tetapi juga manuver Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam mendesain kabinet dari yang semula dijanjikan ramping, tetapi kenyataannya tetap gemuk. Ini seolah menunjukkan bahwa “janji kampanye adalah satu hal, kebijakan politik adalah hal lain.”

Perubahan-perubahan agenda politik sangat mungkin terjadi dalam perjalanan pemerintahan ataupun parlemen. Dalam kasus Jokowi sebagai presiden terpilih, variabel pentingnya terutama adalah aktor, baru kemudian partai. Tidak berubahnya postur kabinet yakni dengan tetap mempertahankan 34 buah kementerian sebagaimana kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), variabel JK sebagai aktor tampak lebih berpengaruh.

Dalam dinamika politik parlemen, KMP memainkan logika politik partai sebagai kekuatan penyeimbang. Untuk mengimbangi kekuatan pemerintah, KMP harus menguasai kepemimpinan politik di parlemen dari pusat hingga daerah-daerah. Dalam konteks inilah, terlepas dari argumentasi yang telah dibangunnya, dikembalikannya pilkada melalui DPRD, memberikan peluang besar bagi KMP untuk merealisasikan agenda politik penguasaan parlemen.

Sisi Pemerintah 

Jokowi sendiri kepada media mengatakan KMP adalah kerikil bagi pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa konsolidasi dan manuver politik KMP sangat diperhitungkan. Kini ia harus realistis dalam menghadapi perkembangan politik. Tidak mungkin pemerintahan akan jalan dengan efektif manakala masalah-masalahnya dengan kalangan oposisi atau penyeimbang tidak terkelola dengan lebih baik. 

8

Page 9: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Pihaknya kelihatannya tengah berpikir keras, bagaimana cara mengelola realitas oposisional yang pascaterbentuk pimpinan parlemen baru, “susah dipecah” itu. Ketika DPR dipimpin oleh KMP, setidaknya raket badminton telah dipegang oleh lawan tanding yang tidak dapat diabaikan kemampuan bermainnya. 

Hubungan pemerintah dan DPR yang sehat dapat dibayangkan seperti permainan badminton atau bulu tangkis. Pemerintah ada di satu sisi, parlemen yang didominasi kekuatan penyeimbang ada di sisi lain. Keduanya sama-sama memegang raket. Wasitnya Mahkamah Konstitusi. Rakyat sebagai penonton akan nyaman kalau pertandingannya imbang, setidaknya leher tidak kaku sebelah begitu pertandingan dimulai. 

Sisi Penekan 

Ketika rakyat telah menyerahkan urusan-urusan politiknya sedemikian rupa ke pemerintah dan parlemen, logika politik lazim bergerak menurut logika pemerintah dan parlemen. Rakyat tetap abstrak dan lazim menggumpal kedalam kelompok-kelompok kepentingan atau penekan yang digerakkan oleh elite-elite sipil nonpemerintah di luar parlemen. Mereka dapat menjadi kumpulan massa yang punya tujuan yang sama atas tema-tema tertentu yang tidak mereka sukai, apakah kepada pemerintah atau parlemen. 

Kelompok-kelompok penekan demikian dewasa ini tampak memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok media massa yang juga punya pilihan politik masing-masing. Partisipasi masyarakat dalam konteks ini tidak lagi ditunjukkan dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara atau ikut berpemilu, tetapi berubah menjadi partisipasi politik penggalangan opini dan tekanan.

Biasanya mereka proaktif dalam mengampanyekan sesuatu yang secara sederhana lebih mudah ditangkap, mana yang mereka maksudkan sebagai pahlawan, dan mana pula yang “common enemy“. Ekstremnya, sisi ini bisa membuahkan “people power“, sebagaimana kasus Mesir dalam penjatuhan Husni Mubarak, sebelum dalam perkembangannya, digagalkan oleh militer. 

Namun, politik massa sangat riskan tindak kekerasan karena kekuatan pro biasanya segera diikuti kekuatan kontra yang di lapangan bisa bertabrakan. Dalam kadar tertentu kasus Thailand bisa menjadi pelajaran. 

Sisi Parlemen 

Dari sisi parlemen, kekuatan politik pemerintah yang lebih kecil dibanding penyeimbang bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan strategis justru lebih banyak ditentukan oposisi. Kalau komunikasi politik pemerintah jelek dan dengan demikian pengelolaan parlemen oleh pemerintah tidak bagus, bisa saja kebijakan-kebijakan pemerintah akan tersandera. 

Pemerintah setidaknya akan repot berhadapan dengan parlemen yang melalui fungsi

9

Page 10: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kepengawasannya lebih aktif dalam mengkritik. Beberapa rencana kebijakan mungkin bisa tersandera oleh parlemen yang dikuasai oposisi. Kendati demikian, dalam sistem politik Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) walaupun sama-sama berpemerintahan presidensial, parlemen Indonesia tidak dapat melumpuhkan negara. DPR kita tidak akan bisa membuat negara “shutdown“ sebagaimana kejadian demikian pernah melanda AS beberapa kali.

Di Indonesia, dan sesungguhnya juga demikian halnya di berbagai tempat, termasuk di Amerika, lobi antartokoh menjadi sangat menentukan dalam memecahkan kebuntuan politik. Semakin cair hubungan komunikasi antartokoh, semakin mudahlah kebuntuan politik dipecahkan. 

Sistem politik parlemen kita bagaimanapun erat ditentukan dinamikanya oleh partai-partai. Kendati pemilu legislatif yang mendasari anggota parlemen dilakukan dengan basis suara terbanyak, mereka tetap harus patuh dengan garis kebijakan partai. Padahal partai lazim dikendalikan oleh aktor-aktor penentu yang dalam konteks tertentu oleh Robert Michels disebut para oligarkis. Para aktor atau “the ruling elite“ partai itulah yang memainkan peran sangat penting dalam proses-proses politik parlemen. Ketika kebuntuan politik terjadi, dilakukan lobi dan hakikat lobi adalah antaraktor partai-partai. 

Epilog 

Dalam ranah persaingan politik parlemen, KMP tampak tengah “menjadi pemenangnya”. Atas realitas demikian, kubu pemerintah tidak perlu menyesalinya sebab memang seperti itulah realitas politik yang berkembang. Yang penting semua pihak agar berikhtiar konsisten dalam mengejawantahkan prinsip “checks and balances“ sehingga demokrasi berjalan secara imbang, baik dalam konteks korektif maupun kualitas kebijakan. 

KMP sebagai penyeimbang maupun pemerintah termasuk semua menteri dalam kabinet pemerintahan semakin dituntut kompetensinya dalam berproses politik yang bermuara kualitas. Kalau aktor-aktor utama dan pelaku operasional KMP dan pemerintah tekor kompetensi, politik akan berhenti pada sekadar drama yang statis. ●

M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

10

Page 11: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Hak Politik Koruptor

Koran SINDO

1 Oktober 2014

Pencabutan hak politik terhadap koruptor dari kalangan penyelenggara negara dalam putusan hakim dapat menjadi “efect determinant“ dari suatu hukuman. Betapa tidak, penyelenggara negara seperti menteri, gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR/DPRD, atau pejabat kepolisian adalah penyelenggara negara yang seharusnya menjaga amanat rakyat. Tidak boleh melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.

Para penyelenggara negara begitu enak melakukan korupsi. Bukan hanya mengutak-atik anggaran proyek saat membahas dan menetapkan APBN/APBD, korupsi juga dilakukan melalui kebijakan secara kolaboratif antara pejabat eksekutif, wakil rakyat, dan pengusaha dalam perizinan. Padahal, mereka menduduki jabatan publik itu karena dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga wajar jika hakim mencabut hak politiknya. 

Dasar Pemikiran 

Pencabutan hak politik terpidana korupsi menjadi wajar karena mereka yang dipercaya rakyat, tetapi justru mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Maka itu, putusan progresif Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mencabut hak politik sebagai pidana tambahan untuk tidak memilih dan dipilih dalam jabatan publik atau jabatan yang dipilih rakyat memang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). 

Itu juga ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) butir iii KUHP (Pidana) sebagai aturan umum, hak memilih dan dipilih bisa dicabut. Pencabutan hak tertentu seperti “hak untuk dipilih dan dipilih dalam jabatan publik” sejatinya bisa menjadi alat penjeraan sekaligus menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara. 

Bukan hanya itu, UU Korupsi juga mengancam “pembayaran uang pengganti” yang jumlahnya paling banyak sesuai jumlah uang atau harta benda yang diperoleh dari korupsi. Sayangnya, ketentuan ini bisa diganti (subsidair) dengan penjara yang ternyata sangat rendah jika selama satu bulan tidak mampu dibayar dan tidak ada harta benda terdakwa yang dapat disita untuk membayar uang pengganti hasil korupsi. 

Pencabutan hak politik pada dasarnya sebagai hukuman tambahan selain hukuman pokok dan denda. Putusan itu menyebabkan terpidana kehilangan hak politiknya untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk menduduki jabatan publik. Biasanya hakim menilai dalam pertimbangan hukumnya karena terpidana terbukti telah menyalahgunakan hak dan

11

Page 12: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

wewenangnya sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara. 

Sebetulnya hukuman ini tidak berupa hukuman badan, tetapi bisa efektif lantaran “menimbulkan rasa malu” dengan mencabut hak terpidana yang menjadi bagian dari hak politik dalam bernegara. Sangat penting melakukan advokasi terhadap pengenaan pidana tambahan misalnya penuntut umum kejaksaan harus berani pula menuntut pencabutan hak politik mengingat besarnya intensitas kejahatan korupsi. 

Pertimbangan lain mencabut hak politik lantaran tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia sehingga dikategorikan derogable right seperti dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hak politik dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain yang dirampas hak sosial-ekonominya oleh koruptor. Di dalamnya tersirat upaya untuk memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. 

Amunisi Baru 

Ada dua putusan hakim selama reformasi yang menjatuhkan pencabutan hak politik dan keduanya hasil kerja KPK. Pertama, pencabutan hak politik yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta terhadap terpidana Irjen Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Djoko juga dijatuhi pidana 18 tahun penjara dari sebelumnya 10 tahun penjara, denda Rp1 miliar, serta hukuman tambahan berupa: pembayaran uang pengganti sebesar Rp32 miliar. 

Kedua, putusan kasasi MA (15/9/2014) terhadap Luthfi Hasan Ishaaq dengan mencabut hak politiknya lantaran terbukti menerima suap dalam kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Majelis hakim yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Moh Askin, dan MS Lumme juga memperberat hukuman mantan presiden PKS itu yang semula 16 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara serta denda Rp1 miliar dengan penjara pengganti (subsidair) satu tahun penjara jika tidak membayar pidana denda. 

Tampaknya kedua putusan hakim yang berani mencabut hak politik bisa menjadi amunisi baru bagi hakim dalam membuat tobat para koruptor. Selain itu, ada juga upaya pemiskinan berupa denda, hukuman pembayaran uang pengganti yang dikorupsi, termasuk penyitaan hasil korupsi dengan menerapkan UU Pencucian Uang yang menggunakan “pembuktian terbalik”. 

Apabila tuntutan dan putusan hakim kasasi MA ini dijadikan standar yurisprudensi bagi pejabat negara yang seharusnya memegang amanah rakyat, tentu para hakim perkara korupsi wajar mengikutinya. Tanpa bermaksud mengangkangi asas praduga tak bersalah, akan banyak yang terkena getahnya. Sebut saja, Sutan Bhatoegana, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik yang saat ini dalam status tersangka di KPK. Tujuan asasi pencabutan hak politik cukup rasional, setidaknya dapat menekan pandangan

12

Page 13: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

dalam tulisan saya di harian ini (13/3/2014) bahwa “Korupsi Sudah Menjadi Cita-cita“. Wallahu a’lam bishowab. ●

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar; Penulis Buku “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (2014)

Menteri “Profesional” Partai?

13

Page 14: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Koran SINDO

1 Oktober 2014

Drama paripurna DPR RI terkait RUU Pilkada pada 25-26 September 2014 lalu hampir mengonfirmasi kegagalan komunikasi politik yang dilakukan kubu Jokowi-JK untuk sekadar membuat “koalisi kurus” menjadi sedikit gemuk. 

Beberapa waktu sebelumnya kegagalan dalam komunikasi politik dengan partai pendukung juga ditunjukkan presiden terpilih Jokowi yang mengumumkan skema menteri dalam kabinetnya mendatang. Secara kuantitas, jumlah menteri yang diumumkan Jokowi tempo hari tetap berjumlah 34 menteri dengan rincian: 3 menteri koordinator dan 31 menteri bidang. Komposisi pos menteri 2014-2019 itu adalah 18 menteri profesional (nonpartai) dan 16 menteri “profesional” partai. 

Pada kategori menteri kedua inilah pemerintahan Jokowi-JK perlu diawasi. Apalagi jika komposisi menteri “profesional” partai ini banyak diisi lebih banyak oleh PDIP sebagai coalition leader akibat Jokowi-JK tak mampu membangun koalisi ramping alias minimal winning coalition (Riker, 1962), dan hanya bertahan dengan “koalisi kurus” saat ini dengan anggota PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI. 

Selain dukungan parlemen yang lemah, menteri partai juga bisa jadi duri dalam daging kabinet Jokowi-JK ke depan yang akhirnya berdampak destruktif pada governability (kemampuan menjalankan pemerintahan) lima tahun ke depan.

Secara simbolik, terminologi menteri “profesional” partai digunakan Jokowi untuk menyampaikan pesan bahwa sekalipun menteri terkait berasal dari partai, para menteri “profesional” partai direkrut dan bekerja menggunakan kaidah profesional terkait kompetensi dan bidang yang dipimpin. 

Namun, secara substantif, paling tidak ada empat kualifikasi penting seorang menteri disebut profesional: 1) menteri tersebut mempunyai kesesuaian antara pendidikan dan latar belakang bidang atau sektor kerja dengan bidang kementerian yang dipimpin, 2) seorang menteri harus mempunyai rekam jejak kepemimpinan terutama dalam proses eksekusi kebijakan, 3) menteri tersebut sudah teruji integritasnya sehingga bersih dari kasus hukum terutama korupsi, 4) menteri mempunyai komitmen besar untuk merealisasikan tujuan negara untuk menyelesaikan problem bangsa-negara di bidangnya. 

Singkatnya, kesesuaian bidang, leadership skill, integritas, dan berorientasi problem-solving adalah empat pilar penting jika kabinet Jokowi-JK ingin disebut kabinet ahli alias zaken kabinet. Persoalannya, empat kualifikasi menteri profesional ini hampir selalu mempunyai

14

Page 15: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kontradiksi dengan menteri partai yang biasanya berakhir dengan menteri partai minus profesional.

*** 

Ada empat kontradiksi kualifikasi profesional versus fakta dan kecenderungan di lapangan yang meliputi menteri partai ini. Pertama, dalam banyak kasus pemerintahan Gus Dur, Megawati, SBY menteri partai hanya profesional pada satu hal: kepemimpinan. Sebagai misal, publik mungkin sampai sekarang masih sulit memahami keputusan SBY menempatkan kadernya yang pakar teknologi informasi untuk memimpin kementerian yang mengurus olahraga dan para atlet. Karena birokrasi sebagai sebuah “kerajaan” tersendiri, kementerian bisa saja tetap berjalan sekalipun “salah orang” karena birokrasi di kementerian bekerja dengan nalarnya sendiri.

Kedua, problem integritas hampir selalu muncul akibat dualisme menteri: pejabat negara sekaligus pejabat partai. Pemerintahan SBY kecolongan tiga menteri aktifnya dalam tindak pidana korupsi Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Agama, dan ESDM di mana tiga menteri ini adalah fungsionaris partai. 

AM di Kemenpora adalah sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, SDA di Kemenag adalah ketua umum PPP, dan JW di Kementerian ESDM adalah sekretaris Majelis Tinggi Demokrat yang menggantikan AM. Singkat cerita, problem integritas menteri partai yang “diangkat” oleh KPK ini ekses dari karakter menteri partai yang berwajah ganda: tunduk pada tugas partai, namun juga loyal terhadap partai. 

Ketiga, menteri partai berada dalam konflik mandat atas dirinya sehingga problem-solving sebagai sebuah nalar kerja yang seharusnya berpindah menjadi rent-seeking. Survei yang pernah dilakukan Poltracking (Oktober 2013) terhadap menteri-menteri partai politik pada pemerintahan SBY-Boediono menunjukkan bahwa lebih dari 50% publik tidak mengetahui program, hasil kerja, dan kinerja menteri partai. Ini terjadi akibat nalar koalisi yang lebih dominan melekat pada menteri partai. 

Model presidensialisme kata Carl J Friedrich (1912-2007) adalah sebentuk monokratische form der demokratie (bentuk monokrasi dari demokrasi) karena penekanan dan pemusatan pemerintahan di tangan presiden. Tentu, hal ini bisa terjadi tanpa ada alasan lain di luar soal relasi kuasa yang sedang bertumbukan di bawah meja presiden. 

Terkait ini, hasil perekaman terhadap banyak studi demokrasi yang dilakukan Larry Diamond dalam Developing Democracy towards Consolidation (2003, 160-162) agaknya cukup relevan dengan potensi kegaduhan politik di Istana (baca: koalisi pemerintahan). Diamond menyatakan bahwa ada perbedaan perilaku pejabat publik antara yang ditunjuk (dari atas) dan yang dipilih (dari bawah). Pejabat publik yang dimandatkan melalui pemilu dengan rakyat memilih langsung pemimpinnya cenderung akan mencipta perilaku elite atau pejabat publik terpilih yang lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap publik pemilih dibandingkan

15

Page 16: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

yang ditunjuk oleh elite yang lebih tinggi kedudukannya. 

Keempat, beda sumber legitimasi presiden dan menteri: dipilih dan ditunjuk. Tesis Diamond sedikit banyak mengonfirmasi perilaku menteri di lembaga kepresidenan di Indonesia. Menteri bukanlah pejabat yang dipilih dari bawah, dia ditunjuk dari atas (baca: presiden). Sekalipun logika “dipilih dan ditunjuk” menciptakan konsekuensi perilaku politik yang berbeda, elite pejabat dari dua jalur ini sama-sama berorientasi ganda. 

Pejabat yang memerintah dengan dipilih, menurut Diamond, akan berperilaku lebih responsif dan pada saat yang sama beratribusi vested interest soal popularitas untuk mencipta elektabilitas. Sementara pejabat yang memerintah dengan ditunjuk (baca: menteri partai) akan mengorientasikan programnya pada pemenuhan kepuasan penunjuk sehingga kerja-kerja maupun aktivitas selebihnya dimaksudkan untuk mencipta popularitas, tingkat kesukaan, dan berlanjut pada tingkat elektabilitas. 

Artinya, sekalipun perilaku orang yang ditunjuk atasan akan berbeda dengan orang yang dipilih dari bawah oleh publik, siapa pun pejabatnya akan berakhir pada ambisi klimaks untuk ikut berkontestasi di pemilu. Artinya, lembaga Kementerian adalah organ-organ negara yang berada di bawah presiden dan hanya tunduk pada presiden yang mengangkat dan mengadakannya. 

Akibat itu, menteri partai tidak sedang duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan bangsa, apalagi bergerak dengan visi yang sama. Tetapi, menteri partai bekerja untuk menghindari sangsi dan memperoleh catatan prestasi di kabinet, plus bonus popularitas. Ini terjadi karena menteri terbagi dalam tiga nalar kerja: 1) pembantu presiden, 2) kader partai di kabinet, 3) pejabat yang bekerja untuk dirinya sendiri. Kursi menteri tak ubahnya bisa lebih politis daripada kursi presiden dan wakilnya. 

Menteri partai yang jumlahnya 16 orang dari 34 pos menteri bekerja dengan nalar wakil dan utusan partai sebagai fund-riser partai. Menteri juga tak lupa bekerja untuk dirinya sendiri. Nalar kerja ini tak jauh dari agenda elektoral, untuk memastikan dirinya masuk dalam radar partai. Hasilnya, ada tugas jabatan, tugas kepartaian, dan tugas pencitraan. ●

ARYA BUDI

Peneliti Poltracking Institute

16

Page 17: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Negara Hukum yang Sejahtera

Koran SINDO

2 Oktober 2014

Judul tulisan di atas merupakan perpaduan sekaligus abstraksi dari ketentuan UUD 1945, khususnya Bab I Pasal 1 ayat (3) dan Bab XIV Pasal 33. 

Belanda menganut negara kesejahteraan (welfare state), namun di dalam perkembangan pembentukan hukumnya termasuk hukum pidana telah diarahkan kepada hukum yang menyejahterakan rakyatnya. Indonesia di dalam konstitusi UUD 1945 telah secara eksplisit menyatakan sebagai negara hukum, tetapi dalam perkembangan pembentukan hukumnya sering melupakan amanat konstitusi UUD 1945, khususnya Bab XIV tersebut. 

Dalam kenyataannya memang benar bahwa dalam setiap perancangan UU hampir tidak pernah diperhatikan secara sungguh-sungguh ketentuan Bab XIV khusus Pasal 33 tersebut dengan persepsi bahwa urusan tugas meningkatkan kesejahteraan hanya berada pada pundak ahli ekonomi dan birokrat ekonom yang ada di pemerintahan. Sedangkan setiap langkah kebijakan ekonomi harus dilandaskan pada aturan hukum yang memperkuat kebijakan di bidang ekonomi dengan tujuan mencapai kesejahteraan.

Di kalangan para ahli hukum sampai saat ini di Indonesia terdapat persepsi keliru bahwa hukum tidak ada kaitan dan relevansinya dengan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Kekeliruan persepsi para ahli dan praktisi hukum tentu bersumber pada masalah pendidikan hukum dan ekonomi di perguruan tinggi yang tidak memberikan kesempatan untuk memilih mata kuliah di luar lingkup kurikulum fakultasnya masing-masing. 

Dalam praktik dan pengalaman penulis, ketika disusun UU tentang Kepailitan atau UU Perseroan Terbatas, hampir dipastikan tim penyusun 99-100% adalah memiliki latar belakang pendidikan hukum; keikutsertaan ahli ekonomi dan pemangku kepentingan cukup pada sosialisasi atau RDPU. Begitu pula ahli ekonomi pengambil kebijakan di negeri ini sering berpandangan keliru bahwa hukum hanya alat (tool) untuk mewujudkan kebijakan ekonomi di dalam kenyataan masyarakat; juga sering diabaikan peranan para ahli hukum di mana mereka seharusnya bekerja sama. 

Peristiwa BLBI dan Bank Century antara lain disebabkan masih ada sekat parokialisme yang tegas di antara dua ahli tersebut dalam membahas permasalahan bangsa dan negara. Keadaan kontroversial penuh rasa keakuan tersebut juga berlaku bagi dua golongan para ahli tersebut terhadap ahli ilmu politik. Akibat itu, undang-undang yang telah ditetapkan satu sama lain sering tidak jelas arah politik hukum yang seharusnya dianut di dalam membawa perjalanan bangsa ini ke depan.

17

Page 18: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

*** 

Dalam kurun waktu 69 tahun Indonesia merdeka, saya mengamati dan meneliti bahwa sampai saat ini politik hukum Indonesia merdeka belum jelas arah capaiannya menciptakan kesejahteraan di dalam perlindungan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat bagi rakyatnya. Mekanisme yang cocok dalam penyusunan suatu naskah RUU terkait semua sektor kehidupan di negara ini seharusnya tetap mengikutsertakan para ahli ekonomi dan ahli ilmu politik sesuai kekhususannya masing-masing. 

Kementerian satu-satunya yang merupakan koordinator proses legislasi sejak proses penyusunan, harmonisasi, dan sinkronisasi sampai pada proses pembahasan naskah RUU seharusnya Kementerian Hukum dan HAM; dan seharusnya juga merupakan satu pintu proses legislasi sehingga tidak ada lagi K/L bekerja sendiri dan langsung “bekerja sama” dengan DPR RI di dalam menggolkan sebuah RUU.  Dalam kenyataan terjadi kebalikannya; jika K/L tidak berhasil menembus proses legislasi yang dikoordinasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, mereka berkolaborasi dengan anggota DPR RI agar RUU yang disiapkan K/L berhasil dan tentu tidak ada makan siang yang gratis. Mekanisme dan keadaan masalah terkait proses legislasi harus diubah dan dihentikan dari setiap gaya “terobosan hukum” yang kontraproduktif. 

Di lapangan hukum pidana, capaian untuk menyejahterakan rakyat bukan hal mustahil jika para ahli hukum pidana dan pengambil kebijakan di bidang hukum mengubah mindset (nalar) dari teori moralitas dengan penilaian benar (right) atau salah (wrong) setiap tingkah laku manusia, kepada teori efisiensi (teori ekonomi) dengan penilaian “cost and benefit ratio“. Perubahan mindset tersebut dalam terapan akan mempertanyakan: apakah perilaku yang benar berdampak menguntungkan atau merugikan bagi masa depan masyarakat dan pribadi pelakunya; begitu pula mengenai perilaku yang salah. 

Dalam konteks praksis, setiap kebijakan pemerintah dalam segala sektor kehidupan akan selalu diukur bukan hanya dalam bentuk larangan atau kebolehan, melainkan juga dalam bentuk solusi jangka panjang jika terjadi pelanggaran atas larangan dan kebolehan itu dengan menggunakan analisis dampak regulasi (ADR) atau regulatory impact analysis (RIA). Analisis ini telah digunakan oleh para pengambil kebijakan publik di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa sejak 1970-an.

Mengapa pendekatan teori ekonomi dengan ADR diperlukan untuk masa depan bangsa ini? Di lapangan hukum pidana misalnya pemberantasan korupsi, penelitian penulis menunjukkan bahwa selama kurun 2009-2013 total kerugian keuangan negara di seluruh sektor pembangunan mencapai hampir Rp500 triliun. Sementara kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan oleh kejaksaan, kepolisian, dan KPK mencapai kurang lebih Rp8.716.000.000.000 (delapan triliun tujuh ratus enam belas miliar), hanya tercapai kurang dari 20%. Capaian tiga institusi penegak hukum tersebut belum dikurangi dengan biaya perkara korupsi rata-rata Rp200 juta per tahun dan biaya makan narapidana per hari Rp15.000 dengan rata-rata jumlah narapidana 100.000 orang per bulan dan rata-rata

18

Page 19: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

menjalani hukuman selama 1-3 tahun. 

Kalkulasi secara total dana APBN dan keberhasilan pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi terbukti tidak signifikan, bahkan jauh lebih kecil dari harapan membantu kesejahteraan rakyat. Fakta dan data tersebut merupakan buah dari pengutamaan pendekatan penjeraan (deterrent effect) dari pemulihan hubungan baik antara pelaku dan korban (negara atau perorangan atau kelompok) berbasis efisiensi dan berdampak produktif. 

Solusi alternatif dari penjeraan/penghukuman adalah sistem pemidanaan non-penal (nonpenal policy) yang mengutamakan best-practices baik bagi kepentingan negara maupun korban perorangan maupun pelaku. Hukuman yang cocok dalam konteks pendekatan efisiensi ini hukuman denda yang tinggi dilengkapi dengan hukuman bersyarat dan pidana kerja sosial bagi pelakunya.

Sistem hukuman nonpenal ini bukan bertujuan efek jera secara fisik, melainkan efek jera baik secara finansial maupun sosial dan bersamaan dengan sistem hukuman tersebut negara tidak perlu harus mengeluarkan biaya yang sangat besar dan tidak efisien. Biarkan biaya hasil penghematan dengan sistem hukuman ini disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat. ●

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

19

Page 20: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Voting Pilkada: Berebut Tuah atas Nama Demokrasi

Koran SINDO

3 Oktober 2014

Mei tahun 1998 banyak dikenal sebagai momentum reformasi sistem pemerintahan yang semula sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. 

Kala itu para mahasiswa bersama rakyat beramai-ramai melawan sistem pemerintahan orde baru yang sentralistik dan ingin mengubah sistem keterwakilan dalam menentukan pilihan kebijakan (policy) menjadi sistem langsung yang melibatkan partisipasi publik dalam pemilihan pimpinan baik nasional (presiden) maupun lokal (gubernur, bupati/ wali kota). Euforia pemberdayaan masyarakat (society empowerment) itu kemudian dilegitimasi dalam sebuah rangkaian peraturan perundang-undangan yang dihasilkan satu tahun setelah reformasi 1998. 

Ya, sejak tahun 1999 itulah maka Indonesia telah mendesain dan dipraktikkan lima tahun setelah itu dengan demokrasi secara langsung, yaitu sebuah kekuasaan yang diberikan dari rakyat, kepada rakyat dan untuk rakyat. Dalam sistem itu, masyarakat dimobilisasi sebagai agen setiap perubahan dalam memilih pemimpin-pemimpinnya. Lebih dari satu dasawarsa, kita telah mempraktikkan demokrasi langsung itu, dan melalui rencana Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) itulah keberadaan sistem demokrasi di Indonesia diuji dan dikoyak kembali. 

Ujian pertama tentu akan dipertanyakan bagaimana sikap dan pendapat lembaga pembuat undang-undang itu sendiri (presiden bersama-sama DPR). Sejak tahun 2012 pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sudah menyusun dan mengajukan draf rancangan perubahan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU No 32 tahun 2004). Setelah melalui pembahasan panjang dan alot, lima fraksi DPR ingin mengubah dari demokrasi langsung ke demokrasi tidak langsung yakni pemilihan melalui DPRD. Kelima fraksi tersebut yakni Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan serta empat fraksi yang tetap menginginkan demokrasi langsung, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Hanura, sementara Fraksi Partai Demokrat kurang jelas posisinya. 

Melalui perbebatan yang sangat alot dan mendebarkan RUU Pilkada yang rencananya disahkan pada 25 September, mundur sampai pukul 01.30 atau Jumat dini hari 26 September baru dapat diputuskan secara voting terbuka pada sidang paripurna DPR yang dihadiri hanya 361 anggota (karena Fraksi Partai Demokrat melakukan walkout). Dari voting terbuka

20

Page 21: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

tersebut 226 anggota DPR setuju pemilihan tidak langsung dan 135 anggota menyetujui pemilihan langsung dan tidak ada anggota yang abstain

Pro-Kontra 

Palu “godam” voting pleno minus Fraksi Partai Demokrat dengan putusan kemenangan pemilihan tidak langsung tersebut memberikan legitimasi bahwa pemilihan gubernur, bupati/ wali kota dilakukan oleh DPRD dan bukan langsung oleh rakyat tersebut menimbulkan silang pendapat (pro-kontra) dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 

Pendapat yang tidak setuju atas putusan pemilihan tidak langsung mengatakan dan berpijak bahwa hakikat demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Oleh karena itu, palu yang telah diketuk oleh Priyo Budi Santoso pagi dini hari tersebut dianggap telah mengambil dan mencabut hak-hak demokrasi rakyat. 

Selain itu, putusan sidang paripurna tersebut juga telah dianggap mengambil hak dan merampok hak memilih jutaan rakyat untuk menentukan pemimpin di daerahnya baik provinsi, kabupaten, maupun kota madya. Putusan itu juga dianggap bahwa pilkada lewat DPRD hanya akan mengulangi rezim lama agar setiap kepala daerah tunduk, patuh, dan takut kepada DPRD. 

Oleh karena itu, pilkada tidak langsung hanya menekankan dan hanya untuk kelompok tertentu, bukan kepentingan rakyat dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, mereka berpendapat pilkada tak langsung baru ideal jika rakyat mewakili kekuatan sebagai pemberi mandat pada wakilnya di DPRD, sedangkan pemilihan DPRD kita senyatanya bukan untuk kepentingan-kepentingan itu. 

Di samping itu, melihat kepentingan rakyat yang lebih besar, sistem pemilihan melalui DPRD memupuk politik dagang sapi serta transaksi politik yang dilakukan oleh anggota DPRD dalam bentuk suap-menyuap di lembaga yang bertugas sebagai legislasi, budgeter, serta lembaga kontrol pada daerah provinsi/kabupaten/kota. 

Pendapat yang menyetujui pilkada tidak langsung dengan beberapa dalih yang menyeruak dan dengan dasar yang kuat, antara lain: Pertama, sila keempat Pancasila yang menyatakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedua, tak ada satu larangan dalam UUD 45 karena UUD 45 hanya menyatakan bahwa presiden dipilih secara langsung, sedangkan gubernur, bupati/wali kota dipilih secara demokratis. Ketentuan inilah yang kini diperebutkan antara demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.

Ketiga, besarnya biaya yang dianggarkan dalam APBD yang digunakan pemilihan langsung telah mengganggu keuangan daerah yang mestinya dapat digunakan untuk memberikan dan meningkatkan pelayanan publik (public service) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Keempat, adanya pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan

21

Page 22: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

langsung ternyata belum dapat menjaring dan menemukan pemimpin-pemimpin daerah yang bebas KKN, ternyata ada banyak kepala daerah yang bermasalah dengan hukum (setidaknya ada sekitar 321 orang kepala daerah kini sedang berurusan dengan aparat penegak hukum --kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). 

Namun demikian, adanya dengan segala kekurangan atas sistem tidak langsung namun dalam sisi lain masih nampak adanya kelebihan-kelebihan, antara lain: dapat dicegah dan dihindari adanya kerusuhan dan kebencian antar pendukung demikian pula tidak ada persaingan antar tim sukses masing-masing calon serta dapat dicegah dan dapat dihindari adanya demonstrasi anarkis dari calon yang kalah 

Selain itu, sistem tidak langsung dapat mencegah adanya politik uang terhadap rakyat serta dapat dicegahnya penggunaan barang-barang milik pemerintah daerah disalahgunakan dalam penggunaannya pada masa kampanye. Di samping itu, sistem tidak langsung juga dapat dicegah pemaksaan dan penyalahgunaan aparat birokrasi sehingga birokrasi tetap netral. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam sistem tidak langsung adalah tidak ada gugatan ke MK. 

Kontroversi antara pemilihan langsung maupun tidak langsung itu tidak pernah lepas dari kepentingan apa yang ada dalam setiap Fraksi DPR yang dipenuhi oleh para politisi “profesional”. Oleh karena itu, aspek politiklah yang dominan yakni saling mencari, merebut, dan mempertahankan kekuasaan itu atas nama yang sangat mendasar dari “tuah” demokrasi itu sendiri, yakni rakyat. ●

PROF DR JAMAL WIWOHO SH MHUM

Guru Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II Universitas Sebelas Maret UNS Solo 

22

Page 23: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Sang Demokrat atau Sutradara Tonil?

Koran SINDO

3 Oktober 2014

Dari balik dinding tahanan, sayup-sayup saya mendengar hiruk-pikuk pengesahan RUU Pilkada. Musababnya, sikap Fraksi Demokrat yang walk out (WO) menjelang voting. Alasan Demokrat karena 10 poin perbaikan yang diusungnya tidak diterima oleh koalisi pendukung pilkada langsung.

Kekecewaan publik terhadap sikap Demokrat, khususnya kepada Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merebak, bahkan mengalahkan kekecewaan atas “kalahnya” pilkada langsung dalam voting tersebut. Bahkan saya berhipotesis, jika Demokrat ikut voting dan pilkada langsung tetap kalah, masyarakat tidak akan sekecewa ini karena manfaat versus mudarat pilkada langsung atau lewat DPRD adalah diskusi yang bisa terus berkembang seiring berjalannya waktu. Metode pilkada bukanlah perkara halal-haram yang mutlak. 

Masyarakat lebih marah atas ketidakjelasan sikap. Masyarakat marah kepada Demokrat sebagai pihak yang seharusnya bisa melakukan sesuatu, mengambil sikap yang jelas untuk memperjuangkan suatu pilihan, tetapi membuang kesempatan itu karena kepentingan yang sulit diterima logika publik.

 Tak Ada Pilihan 

Apa yang dimaksud kepentingan yang sulit diterima publik? Kita tahu bahwa sejak lama hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Megawati Soekarnoputri membeku. Kebekuan ini menyebabkan SBY, selaku Ketua Umum Partai Demokrat dan juga Presiden yang akan lengser, kesulitan untuk membangun komunikasi dengan Jokowi-JK, baik sejak pilpres hingga pasangan itu menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. 

SBY tahu, dan tidak punya pilihan, kecuali mendekat kepada Jokowi-JK untuk melancarkan proses transisi pemerintahan dan mengamankan diri dan keluarganya di masa datang. Karena itu, sejak pilpres, Demokrat membangun citra netral, walaupun itu pasti mengundang kekecewaan Hatta Rajasa, pasangan Prabowo Subianto dalam pilpres yang juga mantan menteri yang paling loyal sekaligus besan SBY. 

Kita bisa menyaksikan betapa selama pilpres, Demokrat bergerak bak tari poco-poco dari Kawanua: ke kanan lalu ke kiri lalu ke depan, goyang-goyang sebentar, lalu kembali ke titik semula alias tidak ke mana-mana. Ada orang-orang yang diutus ke kedua kubu, tapi setahu saya tidak terlalu digubris, khususnya oleh kubu Jokowi-JK. Kegagalan poco-poco pada

23

Page 24: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

pilpres itulah yang membuat SBY tidak punya pilihan. Berbeda dengan bukunya yang berjudul Selalu Ada Pilihan.

SBY tahu salah satu momen terakhir yang bisa digunakan untuk mencairkan kebekuan komunikasi dirinya dengan kubu Jokowi-JK tinggal pengesahan RUU Pilkada. Sebagai seorang perancang skenario yang apik, SBY sudah menjalankan permainannya sejak “tampil” di YouTube dan mengatakan mendukung pilkada langsung. Kita membaca di media betapa pernyataan SBY tersebut masih ditanggapi kader Demokrat sebagai gagasan, bukan perintah. Kader Demokrat juga menganggap saat itu SBY berbicara sebagai presiden, bukan ketua umum Partai Demokrat.

Sikap Demokrat baru jelas beberapa hari kemudian lewat konferensi pers. Yang menarik, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menyatakan pemerintah telah memasukkan 10 poin perbaikan pilkada langsung yang diajukan Demokrat ke dalam RUU. 

Masyarakat Menilai 

Ternyata “10 poin perbaikan” inilah yang dijadikan sebagai bargaining Demokrat. Ini juga yang menjadi alasan walk out menjelang Rapat Paripurna. Mereka berdalih bahwa 10 poin perbaikan tidak diterima oleh forum lobi fraksi. Yang menarik jika kita membaca media, menjelang rapat, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Arif Wibowo menyatakan pihaknya secara prinsip sepakat dengan Demokrat mengenai perbaikan pilkada langsung, hanya masih ada hal-hal kecil yang perlu dibicarakan dengan Demokrat dan fraksi-fraksi lain. Menurut Arif Wibowo, untuk sekarang (menjelang Rapat Paripurna) pihaknya fokus pada hal-hal pokok. Lalu apakah Demokrat bersikap drastis hanya karena hal-hal kecil?

Seperti layaknya film India, jagoannya datang belakangan. Seperti kita tahu, SBY kemudian menyatakan kecewa dengan proses dan hasil rapat paripurna dan akan memperjuangkan pilkada langsung melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. SBY menyatakan akan mencari siapa dalang di balik WO Fraksi Demokrat menjelang voting. Belakangan setelah kembali dari luar negeri SBY menyatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), termasuk memasukkan 10 poin perbaikan. Terhadap materi ini, sulit dibedakan apakah SBY sedang berposisi sebagai presiden RI atau ketua umum Partai Demokrat. 

Sebagai orang yang pernah di Partai Demokrat, pernyataan terakhir ini sangat lucu. Mereka yang memahami struktur dan proses pengambilan keputusan di internal Demokrat paham betul bagaimana tidak ada sehelai daun pun jatuh tanpa persetujuan SBY. Pernyataan “mencari dalang” lebih tepat dibaca “mencari kambing hitam” agar sinetron ini terus berlanjut. Orang awam pun bisa menilai skema permainan ini. 

Dalam kalkulasi politik pencitraan SBY, jika skenario uji materi dikabulkan MK, maka kredit dan pujian akan berdatangan kepadanya sebagai pahlawan demokrasi. Insiden WO Fraksi Demokrat adalah kesalahan segelintir oknum. Apalagi, SBY punya alibi sedang berada di

24

Page 25: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

luar negeri, persis ketika terjadi rapat tentang Bank Century dan beberapa peristiwa penting lainnya di tanah air.

Boleh jadi SBY mengharapkan masyarakat lupa, siapa yang sebenarnya memperjuangkan pilkada langsung. Jika nanti pilkada langsung diterapkan, itu akan diklaim sebagai legacy SBY. Ini juga yang akan digunakan sebagai modal merehabilitasi hubungan dengan kubu Jokowi-JK.

Demikian halnya dengan skenario menerbitkan perppu yang dianggap sebagai pilihan populer karena sesuai dengan selera opini publik. Jika perppu disetujui DPR, jelas akan menjadi kredit politik penting bagi SBY. Apalagi secara substansi, ide politik itu sejalan dengan yang diperjuangkan oleh koalisi politik pendukung Jokowi-JK. Dengan demikian, secara citra dapat poin, secara politik juga mendapat keuntungan.

Tapi akhirnya poco-poco tetaplah sebuah tarian hiburan. Walau SBY sudah balenggang pata-pata dan pe goyang pica-pica, masyarakat punya penilaiannya sendiri. Ternyata penilaian itu bukanlah tepuk tangan, apalagi standing ovation di akhir pertunjukan. Masyarakat sudah cerdas dan mampu mengekspresikan dirinya. Tagar #ShameOnYouSBY yang sampai menjadi trending topic dunia di Twitter hingga menarik perhatian media internasional adalah “hadiah” sekaligus simbol perlawanan masyarakat kepada presiden yang akan segera undur diri itu. Sekali lagi, masyarakat lebih marah kepada ketidakjelasan dan kepalsuan sikap, daripada terhadap sebuah kekalahan dalam suatu pertandingan yang jujur dan fair. Inilah pelajaran penting demokrasi bagi bangsa ini. 

Demokrasi memang membutuhkan demokrat sejati. Nah, yang perlu dijawab adalah, apakah yang tersedia adalah sosok Sang Demokrat atau sutradara tonil (teater)? Wallahu alam. Hanya Tuhan yang tahu ●

ANAS URBANINGRUM

Pernah Menjadi Politikus Partai Demokrat

25

Page 26: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

RUU dan Perppu Pilkada

Koran SINDO

4 Oktober 2014

Meski sering disebut sebagai bangsa pelupa, mungkin masih banyak di antara kita yang tidak lupa ketika pada 1997 tiba-tiba Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko dicopot oleh Presiden Soeharto. 

Setelah berhasil mengantarkan Golkar menjadi pemenang pemilu (1997) dengan kisaran kemenangan 73%, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Penerangan (Menpen) itu pada Juni 1997 dicopot dari jabatannya sebagai menpen. Presiden Soeharto tiba-tiba melakukan reshuffle kecil, mencopot Harmoko dan mengangkat Kepala Staf Angkatan Darat Hartono sebagai menpen. 

Harkomo sendiri kemudian diparkir, diangkat menjadi menteri urusan khusus tanpa menyebut khusus untuk apa. Biasanya kalau ada urusan khusus, kekhususannya disebutkan secara eksplisit, tetapi untuk Menteri Urusan Khusus Harmoko tidak disebutkan apa tugas khususnya.

Ketika masyarakat sedang ribut dan bertanya-tanya tentang peristiwa politik itu, tiba-tiba ada peristiwa baru. Menpen yang baru, Hartono, mengumumkan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sudah disetujui dalam sidang paripurna DPR saat Harmoko menjadi menpen akan direvisi dan dibahas lagi dengan DPR karena Presiden tidak setuju pada sebagian isinya. Presiden tidak mau menandatangani RUU itu sebelum isinya diperbaiki. Masyarakat pun ribut. 

Harmoko menjelaskan, RUU itu sudah dibahas secara intensif oleh pemerintah bersama DPR selama delapan bulan. Kata Harmoko dirinya, selaku menpen, mewakili pemerintah dengan sebuah amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU itu sampai akhirnya disepakati bersama DPR. Kok, tiba-tiba Presiden meminta menpen yang baru untuk membahasnya kembali bersama DPR? 

Anggota DPR dari PPP Aisyah Amini berteriak, ”Tak ada mekanisme pembahasan kembali kalau sudah disetujui pemerintah dan DPR.” Tapi karena waktu itu kekuatan Presiden sangat hegemonik, DPR yang diketuai Kharis Suhud tak dapat mengelak dan membahas kembali RUU itu bersama Menpen Hartono dan mengubah sebagian isinya. Setelah itu, barulah Presiden Soeharto menandatangani RUU itu menjadi undang-undang (UU).

Diam-diam masyarakat pun menyimpan trauma. Karena trauma, tak lama setelah Reformasi, pada saat melakukan amendemen tahap kedua atas UUD 1945 MPR menambahkan ayat baru atas Pasal 20 UUD 1945, yakni ayat (5) yang menegaskan, ”Jika dalam 30 hari setelah

26

Page 27: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah sebuah RUU tidak ditandatangani oleh presiden, maka RUU itu sah sebagai UU dan harus diundangkan.” 

Jadi sejarah lahirnya Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah untuk memagari agar presiden tidak punya pintu untuk menolak sebuah RUU yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan tidak mau menandatanganinya. Maka itu menjadi menghebohkan ketika pada 26 September 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari Washington DC, menyatakan (mungkin) dirinya tidak akan menandatangani RUU tersebut, bahkan mungkin akan menempuh jalur hukum ke MK atau ke MA. 

Mensesneg Sudi Silalahi pun, kalau pers tak salah kutip, membuat pernyataan aneh saat menegaskan, ”RUU tak bisa berlaku menjadi UU kalau tidak ditandatangani oleh Presiden.” Agak mengherankan, Presiden dan Mensesneg, saat itu, tak mengaitkan sama sekali pernyataannya dengan Pasal 20 ayat (5) dan sejarah yang melatarbelakanginya baik sebagai tafsir gramatis maupun sebagai tafsir historis. 

Lebih jauh dari itu, saat bertemu khusus dengan Yusril Ihza Mahendra di Tokyo, Presiden SBY meminta saran kepada pakar hukum tata negara tersebut. Saran Yusril mengagetkan juga, yakni agar Presiden SBY maupun Jokowi tidak menandatangani RUU tersebut. Bahkan, masih saran Yusril, setelah dilantik sebagai presiden Jokowi mengembalikan saja RUU itu ke DPR. 

Saya berbeda pendapat dengan Yusril. Menurut saya saran Yusril agar Jokowi mengembalikan RUU itu ke DPR bisa memasukkan Jokowi ke dalam situasi sulit. Presiden (SBY maupun Jokowi) boleh saja tidak menandatangani sebuah RUU, sebab berdasar Pasal 20 ayat (5) sebuah RUU bisa berlaku sah sebagai UU baik ditandatangani maupun tidak ditandatangani oleh presiden. Tapi kalau mengembalikan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama bisa diartikan presiden menggunakan kewenangannya dengan melanggar hak konstitusional DPR. Hal itu bisa menimbulkan sengketa kewenangan yang bisa berujung ke pendakwaan politik (impeachment). Pandangan saya ini tentu bisa diperdebatkan.

Untungnya, masalahnya kini telah bergeser. Presiden SBY pada 2 Oktober 2014 telah menandatangani RUU tersebut sekaligus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkannya. Secara yuridis prosedural, presiden tidak salah mengeluarkan perppu karena kewenangan untuk itu memang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945. Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis setingkat dengan UU.

Tapi, meski setingkat dengan UU, karena dibuat dalam keadaan genting dan memaksa, keberlakuan perppu dibatasi hanya sampai masa sidang DPR berikutnya. Dalam masa keberlakuannya itu perppu bisa diuji melalui legislative review atau political review di DPR untuk ditentukan, apakah akan disetujui menjadi UU ataukah akan ditolak. Seperti halnya UU, perppu yang masih harus diuji di DPR tersebut bisa juga diuji ke MK melalui judicial

27

Page 28: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

review. Alhamdulillah, ribut-ribut soal pilkada kini sudah mereda.

MOH MAHFUD MD 

Guru Besar Hukum Konstitusi

28

Page 29: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Menuju Penguatan Checks and Balances

Koran SINDO

6 Oktober 2014

Pasca-Pilpres 2014 bangsa kita disuguhi sebuah pertarungan sengit tingkat tinggi yang melibatkan dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Pertarungan serial antara kubu KMP dan KIH dapat dilihat dalam berbagai macam bacaan. Bagi yang pesimistis akan melihatnya sebagai sebuah situasi yang akan menyulitkan bagi pembuatan kebijakan (deadlock) yang ujung-ujungnya kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Pertarungan sengit ini juga dianggap hanya akan menyuburkan nuansa oligarki, baik dalam makna mendahulukan kepentingan politik masing-masing kelompok maupun dalam arti semakin tergusurnya aspirasi masyarakat yang tertutup oleh awan mendung pertarungan kepentingan masing-masing kubu koalisi itu. 

Pandangan-pandangan tersebut memang tidak bisa disalahkan. Beberapa ahli seperti Juan Linz dan Scott Mainwaring telah mengingatkan tentang situasi di atas. Bagi keduanya, situasi tidak menyenangkan di atas bahkan tetap berpotensi terjadi meski presiden bukanlah kekuatan minoritas dalam parlemen.

Meski demikian, situasi sengitnya pertarungan legislatif dan eksekutif sebenarnya tidak melulu harus berakhir fatal. Bahkan dapat menjadi situasi yang diperlukan, setidaknya dalam upaya membangun tradisi checks and balances yang lebih proporsional, yang tampaknya telah menjadi barang asing dalam kehidupan politik bangsa ini. 

Dalam Naungan Kartel 

Pertarungan politik antara legislatif dan eksekutif, dalam skema presidensial, yang mewujud pada pertarungan pihak KMP dan KIH sesungguhnya belum ada preseden di republik ini. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) hingga Orde Baru (1966-1998) legislatif selalu dalam bayang-bayang presiden. Peran DPR dikebiri hingga menjadi sekedar lembaga pemberi legitimasi atas kehendak presiden.

Di awal reformasi, nuansa bangkitnya DPR (legislative heavy) mulai terasakan. Sepintas menunjukkan mulai adanya keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Namun jika ditelaah lebih dalam, kontrol itu semu. Hal ini karena pemerintah yang terbentuk merupakan kepanjangan tangan saja dari kekuatan politik dalam parlemen. Kenyataan ini terlihat dari komposisi kabinet Gus Dur yang dijejali sejumlah elite partai yang notabene adalah tokoh-tokoh teras seluruh partai besar dan menengah yang ada di DPR.

Dengan situasi ini, kehidupan politik secara substansi lebih bernuansakan kartel. Terbukti kemudian eksistensi pemerintahan Gus Dur segera pudar saat ia berupaya meninggalkan

29

Page 30: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

koalisi besar tersebut. Di usia singkat pemerintahan Gus Dur, mekanisme checks and balances sejatinya belum seutuhnya sempat terlaksana, terhenti tidak lama ketika upaya untuk lebih menyeimbangkan kekuatan itu dicoba oleh Gus Dur.

Pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden Megawati mewarisi sebuah situasi politik kartel yang secara substansi tetap tidak menguatkan semangat checks and balances. Pada masa SBY, situasi juga belum menggembirakan. Kalaupun coba untuk diupayakan pelaksanaan spirit checks and balances, itu masih bersifat sporadis. 

Sumber dari ini semua adalah karena presiden mampu menghimpun sebuah kekuatan politik mayoritas di parlemen. Pada periode pertama kekuasaannya, partai-partai pendukung pemerintahan SBY adalah kekuatan mayoritas di DPR, persisnya setelah keberhasilan JK menjadi pucuk pimpinan Golkar. Begitu juga pada periode kedua. Gabungan kursi partai-partai pendukungnya bahkan menguasai 421 kursi atau sekitar 75% dari total kursi DPR. Dalam konstelasi politik semacam inilah sekali lagi dapat dimengerti jika hubungan bernuansakan kontrol jelas sulit untuk benar-benar mewujud. 

Saat ini situasinya relatif berbeda, presiden bukanlah kepanjangan kepentingan DPR dan juga tidak didukung oleh kekuatan mayoritas di DPR. Masing-masing lembaga juga akan saling mengimbangi mengingat tidak dapat dengan mudahnya didikte. Dengan atmosfer tersebut, eksistensi trias politica dengan semangat checks and balances yang genuine berpotensi menguat. 

Beberapa Dampak Positif 

Terlepas dari beberapa aspek negatif yang masih berpotensi terjadi, kontestasi KMP dan KIH sebenarnya dapat menjadi sebuah jalan masuk bagi sebuah pemerintahan yang lebih berkualitas. Prinsipnya, dengan menguatnya spirit checks and balances dari parlemen tentu saja pemerintah akan makin serius dalam mengajukan sebuah rancangan kebijakan dan juga dalam menjalankan kebijakan itu. Dengan kata lain, kualitas kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya akan lebih baik lagi.

Terbangunnya checks and balances yang baik juga berpotensi kuat meminimalkan politik kartel. Politik kartel yang cenderung menggejala selama ini muncul disebabkan karena para aktor politik, terutama antara pemerintah dan oposisi, tidak memiliki sikap yang ajek dalam memosisikan dirinya. Akibatnya, manakala ada tawaran politik transaksional dari salah satu pihak pada pihak lain yang sifatnya memberikan keuntungan eksklusif bagi semua, hal itu dengan akan mudah bergayung sambut. Pertarungan di DPR belakangan ini memperlihatkan bahwa KMP masih cukup konsisten dengan agenda politiknya. 

Terlepas dari masih lemahnya komunikasi politik PDIP dengan KMP, hal yang menyebabkan KMP bersikap konsisten adalah komitmen kuat terhadap cita-cita bersama yang ada di koalisi itu. Kita tidak pernah tahu sampai kapan sikap konsisten dan konsekuen ini akan terus terjadi. Namun setidaknya hingga kini peluang untuk politik kartel masih relatif tertutup. Tentu saja

30

Page 31: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

ujung itu semua seharusnya tetap demi kepentingan bangsa dan bukan gagah-gagahan kelompok. 

Untuk itu upaya-upaya untuk membuka komunikasi ala negarawan tidak boleh terhenti. Maksud utamanya adalah agar kedua belah pihak dapat saling memahami iktikad baik masing-masing pihak, yang nantinya dapat menjadi batu loncatan sebuah hubungan yang produktif. Hanya dengan komunikasi yang baik itulah checks and balances akan tidak dipandang sebagai sarana untuk saling jegal, melainkan sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi hadirnya pemerintahan yang lebih aspiratif dan efektif. ●

FIRMAN NOOR, PHD Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI

31

Page 32: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Mendadak Perppu

Koran SINDO

6 Oktober 2014

Penerbitan Perppu Nomor 1/2014 yang menganulir UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tidak Langsung seakan-akan menjadi jawaban atas kegelisahan dan tuntutan rakyat Indonesia yang menginginkan pilkada dilakukan secara langsung. Namun jika sedikit menyimak dan mencermati penerbitannya, perppu ini tidak lepas dari kritikan terutama mengenai proses dan motif politik yang terdapat pada kemunculannya.

Secara prinsip, penerbitan perppu memang merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara yang dilindungi UUD 1945. UUD Pasal 22 ayat (1) menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Konteks berhak menetapkan ini tentu bersifat subjektif, tergantung penilaian pribadi, proses berpikir, dan perasaan diri dalam kedudukannya sebagai presiden. 

Dalam kacamata politik, penerbitan perppu bukan sekadar persoalan yang bisa dipandang lazim-lazim saja. Karena itu, dalam konteks kelembagaan dan hubungan antarlembaga tinggi negara, perppu harus ada kejelasan skema, interpretasi yang relatif sama dan tentu saja proses politik yang dialektik. Itu mengapa ayat (2) Pasal 22 UUD menyebutkan bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR agar bisa diimplementasikan.

Menilai Perppu Pilkada yang diterbitkan ini, secara politik–sebagaimana dipersyaratkan dalam UU–Presiden SBY perlu menjelaskan dua hal penting. Pertama, secara konkret apakah unsur kegentingan yang memaksa atau keadaan mendesak sudah terpenuhi dalam penerbitan perppu? Sejauh mana kegentingan tersebut bisa memaksa Presiden untuk menerbitkan perppu? Kedua, mengenai kualitas perppu apakah cukup sebanding dengan kebutuhan yang menjadi kepentingan rakyat secara luas? Karena, penilaian substansial secara jamak baik UU Pilkada dengan tidak langsung maupun perppu dengan pilkada langsung sama-sama bernilai demokratis. 

Merasa Genting 

Sejauh ini, sulit menemukan alasan urgensial perlunya perppu ini diterbitkan. Subjektivitas Presiden dalam menilai penerbitan perppu ini masih relatif lemah. Itu mengapa pro-kontra atas penerbitan perppu ini terus terjadi. Namun jamak suara kritis yang terdengar adalah mempertanyakan seperti apa kegentingan yang memaksa perlunya perppu. Presiden hanya memberi alasan bahwa beliau mendengar suara rakyat yang menginginkan pilkada dilakukan secara langsung dan banyaknya kecaman yang ditujukan kepadanya sebagai ketua umum Demokrat yang dinilai ikut bertanggung jawab disahkannya UU Pilkada dengan sistem tidak langsung (melalui DPRD). 

32

Page 33: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Penilaian subjektif ini tentu masih debatable. Terlebih, penilaian subjektif tidak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melakukan generalisasi yang kemudian melahirkan pendapat perlunya perppu diterbitkan. Dengan kata lain, interpretasi kegentingan ini masih belum tuntas dan terkesan memaksa untuk dianggap genting. Kemarahan dan kecaman rakyat memang benar terjadi dengan upaya DPR yang ingin pilkada dilakukan secara tidak langsung. Namun kecaman dan kemarahan itu beralih ke Demokrat dan SBY sebagai ketua umumnya yang dinilai tidak konsekuen dengan sikap politik yang mendukung pilkada langsung. 

Keputusan untuk walkout karena “mutung“ atas tidak dimasukkannya opsi ketiga usulan Fraksi Partai Demokrat, yakni pilkada langsung dengan 10 perbaikan, merupakan sikap politik yang dianggap kontraproduktif dengan komitmen untuk mempertahankan harapan rakyat secara luas. Jika alasan ini yang dinilai sebagai kegentingan yang memaksa, subjektivitas perlunya perppu menjadi tidak proporsional. Padahal, kegentingan semestinya lebih mengarah pada akibat krusial atau ekses yang timbul sehingga mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Misalnya adalah timbul konflik horizontal, instabilitas keamanan dan politik.

Dengan subjektivitas seperti itu, Presiden bisa dinilai menggunakan wewenangnya untuk kepentingan partai. Terlebih, isi perppu dengan jelas memasukkan seluruh opsi yang diusulkan Partai Demokrat. Dampaknya apa? Perppu hanya akan dianggap sebagai alat menetralisasi kecaman yang ditujukan ke SBY dan juga Demokrat dan oleh DPR akan dinilai tidak krusial. Karenanya, memperbesar peluang untuk ditolak oleh DPR. 

Dramaturgi Politik 

Terlepas dari terbitnya perppu tersebut yang mengembalikan demokrasi langsung dalam pilkada, motif politik yang menyertai patut untuk dipertanyakan. Secara politik, bisa jadi inilah cara SBY untuk mengembalikan marwah politiknya kembali dan menjaga citra politiknya tetap bersih dan akomodatif terhadap suara rakyat. Ini juga dapat dibaca untuk menetralisasi kemarahan rakyat terhadap partai Demokrat. Dramaturgi politik ini semakin apik terlihat nanti ketika dibahas oleh DPR untuk diputuskan disetujui ataupun tidak disetujui.

Sangat beralasan, apa pun keputusan DPR nantinya (menerima maupun menolak) tetap akan memberi keuntungan politik buat SBY dan Demokrat. Jika DPR menyetujui perppu, SBY akan disanjung sebagai hero bagi keberlangsungan demokrasi substantif di Indonesia. Bahkan tak mungkin, meminjam istilah Ruhut Sitompul, SBY akan dinobatkan oleh rakyat sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Sebaliknya, jika sampai perppu ini ditolak DPR, SBY dan Partai Demokrat akan terbebas dari kecaman rakyat. Rakyat kemudian akan mengalihkan kecamannya kepada DPR, khususnya parpol yang menolak Perppu Pilkada langsung dengan perbaikan ini. Political trick yang jitu untuk dimainkan, bukan? 

Jika penilaian subjektif terhadap perlunya perppu ada di tangan Presiden, yang berhak

33

Page 34: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

menilai secara objektif terhadap isi perppu dan kegentingan yang memaksa untuk diterbitkannya perppu ada di tangan legislatif (DPR). Karena itu, DPR-lah yang akan menguji apakah kegentingan yang memaksa Presiden menerbitkan Perppu Pilkada Langsung dengan perbaikan cukup beralasan dan masuk akal serta menguji kualitas perppu akankah memiliki implikasi besar terhadap tatanan demokrasi di Indonesia yang berdaulat dan berpancasila. 

Proses politik selanjutnya akan lebih menarik untuk dicermati karena konsekuensi politik dari perppu ini–disetujui ataupun tidak disetujui– oleh DPR akan berpengaruh terhadap konstelasi politik di tanah air. Menarik pula menanti rencana SBY selanjutnya terhadap perppu yang telah diterbitkan dan kemudian ditolak oleh DPR. Karena hingga saat ini SBY pun masih menentukan plan B terhadap hasil keputusan DPR yang jika kemudian menolak Perppu Pilkada ini nantinya. ●

IDIL AKBAR Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti Politik Nusantara Institute 

34

Page 35: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Politik Pragmatis Tanpa Nasionalisme

Koran SINDO

7 Oktober 2014

KORAN SINDO, dalam Tajuk “Drama Pragmatisme Politik“, menyorot tajam pergulatan politik di Gedung DPR, Senayan. Dinyatakan bahwa sukses Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pertarungan politik di parlemen mengukuhkan dominasi mereka, setelah mampu memecundangi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pengesahan Undang-Undang MD3, Tata Tertib DPR, dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Harus diakui, kekalahan KIH tersebut terjadi akibat ketidakmampuan mereka merangkul partai lain agar masuk dalam barisan koalisi hingga mereka gagal memenuhi kuota parpol supaya bisa mengajukan paket (3/10/14).

Soal dominasi ataukah rangkul-merangkul, bergandengan tangan ataukah perseteruan abadi, dalam dunia perpolitikan serba mungkin terjadi. Betapapun kita pesimistis akan terwujudnya sinergitas antara dua koalisi yang bertikai, namun pada dimensi moralitas, perlu ada pencerahan kepada semua pihak, agar wawasan politiknya tersingkap luas, sehingga kepentingan bangsa dan negara menjadi fokus orientasinya. 

Nasionalisme, menjadi kata kunci untuk mengubah perbedaan pandangan, kepentingan dan wawasan, yang potensial konflik, menjadi persatuan dalam bingkai kebinekaan. Perihal nasionalisme, ada beberapa catatan untuk diingat, agar tidak menyembul sebagai komoditas politik semata, tetapi melekat erat sebagai sikap dan perilaku politik. Pertama, nasionalis sejati adalah nasionalis yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sikap dan perilaku politik berawal dari niat baik untuk menggapai rida dan bimbingan ilahi (Tuhan Yang Maha Esa), sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai khalifatullah, dan oleh karenanya tiada ucapan dan perbuatan kecuali sopan dan santun demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keinsafan tentang posisi, jati diri, dan amanah sebagai khalifatullah, akan menjadi pendorong, pengarah, dan pengendali segala perilaku politiknya.

Kedua, ajaran nasionalisme dari negara lain, baik yang bersumber dari nilai-nilai ketimuran, maupun kebaratan, umumnya mengajarkan perpolitikan dikotomis, sifatnya saling serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar kepentingan partainya sendiri, suatu nasionalisme transaksional, nasionalisme yang tega mengorbankan partai lain demi kemenangan dirinya. 

Nasionalisme ini memiliki dosa publik begitu besar, karena publik senantiasa diobjekkan, dipermainkan, dan dibeli suaranya dengan dalih demokrasi. Dosa besar ini menjadi biang kehinaan dan kehancuran partai yang bersangkutan, ketika publik sadar dan berani menggugatnya. Sejarah akan mencatatnya, dan bom waktu akan meledak, menghancurkannya.

35

Page 36: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Ketiga, nasionalis sejati adalah nasionalis yang peka terhadap penderitaan rakyat. Konkretnya, KMP ataupun KIH hanya dapat disebut sebagai koalisi yang memiliki nasionalisme sejati, bila mampu mengendalikan diri, prihatin, ikut merasakan penderitaan rakyat. 

Bangsa ini sedang dirundung malang, karena mismanajemen pemerintahan, sehingga negara terjerat utang, dan tunakedaulatan. Bersama rakyat, mestinya kita bangkit, survive, melepaskan diri dari belenggu neokolonialisme. Nasionalis sejati, mestinya mampu memperbaiki sikap politiknya, bersatu padu melawan segala bentuk penjajahan, utamanya memulihkan kedaulatan atas sumber daya alam di seluruh wilayah negeri. Nasionalisme Pancasila sebagai konsep telah teruji kebenaran dan kehebatannya, dan tak seorang pun mampu menyanggahnya. Namun, konsep bagus itu akan menjadi “macan ompong” atau menara gading semata, bila tidak diamalkan dalam kehidupan bernegara. 

Para politikus dan penyelenggara negara, wajib memberi contoh dan keteladanan. Tanpa harus menyebut secara eksplisit Pancasila, siapa pun yang mampu berpolitik secara jujur, sopan, dan mengedepankan musyawarah, telah menjadi bukti bahwa dirinya ber-Pancasila. Sebaliknya, betapapun dengan suara lantang, keras, berapi-api mengatasnamakanrakyat, akan tetapi ujung-ujungnya walk out, patut dipertanyakan komitmennya terhadap Pancasila.

Mengubah pragmatisme menjadi nasionalisme memang tidak semudah membalik tangan. Kendala utama adalah sifat sombong (al-kibr). Sifat ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara. Kesombongan umumnya bermula dari rasa percaya diri berlebihan (al-`ujb). Sifat sombong cenderung terejawantahkan menjadi tindakan destruktif.

Patut diduga, para politikus yang nongkrong di berbagai lembaga pemerintahan adalah mereka yang terjangkiti penyakit batin-kejiwaan. Bahkan, orang-orang mulia, seperti cendekiawan, para pakar, para ulama, pun tidak sedikit yang terjangkiti penyakit batin- kejiwaan ini. Sebagian dari mereka, kini sedang menjalani “pengobatan” di rumah prodeo, agar kembali sehat dan menjadi manusia bermartabat.

Menundukkan politik pragmatisme ke dalam nasionalisme, dapat dilakukan dengan mendasarkan pada dua hal. Pertama, menumbuhkan moral intelektual melalui kesediaan belajar, menemukan kebenaran, dan mengembangkan ilmu. Pendidikan politik, oleh karenanya, perlu diajarkan sedari usia dini, misal: belajar sejarah perjuangan bangsa, mengenal makna simbol-simbol negara, menghayati lagu kebangsaan dan nasional, dan memupuk karakter komunalistik-religius, gotong-royong. Pengetahuan yang diajarkan, terus ditumbuhkembangkan menjadi sikap dan perilaku politik, sehingga dapat dipastikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah merasuk menjadi pandangan hidupnya.

Kedua, mendekonstruksi kesombongan menjadi rendah hati (tawadhu). Socrates, filsuf rendah hati, berkata, “I only know that I don’t know.” Kini, banyak politikus tahu bahwa dirinya tak tahu tentang perpolitikan. Sudah sampai di Senayan, duduk di kursi empuk, menerima gaji dan fasilitas begitu besar, akan tetapi baru akan belajar berpolitik secara

36

Page 37: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

pragmatis. Sungguh celaka, dengan ilmu politik yang dangkal, telah lantang mengklaim sebagai politikus nasional. Mereka itu, bagikan kodok dalam tempurung.

Para politikus, perlu belajar tentang makna doa Nabi Musa AS “Rabbi zidni `ilman“ (Ya Allah, tambahkan kepadaku ilmu). Ilmu itu basisnya amal. Ilmu itu lebih berharga daripada harta dan kekuasaan. Tanpa ilmu dan kerendahan hati, praktik politik cenderung sesat, menimbulkan kerusakan. Politik pragmatis tanpa nasionalisme sama artinya bernegara Indonesia tanpa Pancasila. Wallahualam. ●

PROF DR SUDJITO SH MSIGuru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

37

Page 38: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perppu Perlindungan Diri

Koran SINDO

8 Oktober 2014

Lantaran merasa dirinya dikecam sejumlah kalangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat gebrakan dengan memanfaatkan kekuasaannya. Padahal, tinggal beberapa hari lagi kekuasaannya berakhir, sehingga penerbitan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pembatalan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan 10 perbaikan, bukan lagi sekadar pencitraan, melainkan upaya perlindungan diri dari berbagai kecaman. 

Setelah tidak lagi menjabat presiden, cap sebagai ”pembunuh demokrasi langsung” akan terus melekat pada diri SBY. Yang penting, perppu dikeluarkan meskipun pada akhirnya akan ditolak DPR, sebab Koalisi Merah Putih yang menghendaki pilkada di DPRD menguasai kursi parlemen. Tetapi kalau disetujui DPR, tentu nama SBY yang terangkat sebagai pahlawan demokrasi. Sementara Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura) yang begitu gigih berjuang saat pembahasan di DPR tidak akan mendapat nama baik. 

Sekiranya Fraksi Partai Demokrat tidak walk-out dari ruang rapat, kemudian mau bersinergi dengan pendukung pilkada langsung tanpa memaksakan 10 opsi perbaikan, maka perppu tidak perlu dikeluarkan. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Presiden SBY telah menerbitkan 17 perppu dan disetujui DPR. Yang terakhir, Perppu Nomor 1/2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga disetujui DPR, tetapi dibatalkan MK melalui uji materi. 

Langkah politik SBY meskipun konstitusional, tetapi siapa pun tahu kalau perppu tidak serta-merta membatalkan UU Pilkada yang telah disetujui bersama. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perppu harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak maka perppu itu harus dicabut. Koalisi Merah Putih yang menguasai mayoritas kursi DPR pasti akan mengeluarkan reaksi penolakan atas perppu tersebut. 

Perdebatan Kegentingan 

Ada dua perppu yang dikeluarkan Presiden SBY, yaitu Perppu Nomor 1/2014 terkait pilkada langsung dengan 10 perbaikan dalam UU Pilkada, serta Perppu Nomor 2/2014 yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD memilih gubernur, bupati, dan wali kota dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru disahkan. Perppu belum tentu menyelesaikan masalah, malah akan membuat perdebatan baru, baik pada ”penilaian subjektif” presiden maupun pada ”penilaian objektif” yang akan dilakukan DPR. 

38

Page 39: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perdebatan prosedur dan alasan terbitnya perppu selalu muncul terkait ”kegentingan yang memaksa” seperti dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Mengacu pada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, ada tiga kriteria penerbitan perppu, yaitu karena ada kebutuhan mendesak, adanya kekosongan hukum, serta agar tercipta kepastian hukum.

Ukuran kegentingan yang memaksa harus betul-betul ada ancaman yang pasti dan nyata di depan mata, bukan ancaman yang direka-reka. Secara konstitusionalitas, kegentingan yang memaksa adalah ketika kondisi negara membahayakan jika tidak dikeluarkan perppu. Unjuk rasa dan berbagai kecaman publik di media sosial terhadap SBY dan Partai Demokrat belum bisa dijadikan dasar kegentingan memaksa. Pasalnya, aksi unjuk rasa dan protes di media sosial merupakan wujud dari penyampaian aspirasi publik.

Memang ada dua ”hak presiden” dalam UUD 1945 untuk melakukan tindakan politik, yaitu tindakan atas adanya ”keadaan bahaya” dalam Pasal 12 dan ”kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Presiden berhak melakukan tindakan karena ”keadaan bahaya” berdasarkan ukuran ”objektif” seperti dimaksud dalam UU Negara dalam Keadaan Bahaya. Tetapi berbeda pada ”kegentingan yang memaksa”, presiden sepenuhnya menentukan sendiri alasannya melalui pertimbangan ”subjektif” sesuai penilaian presiden. Penilaian ”objektif” perppu dilakukan DPR (legislative review) pada masa sidang berikutnya, apakah menyetujui atau menolak sehingga perppu harus dicabut. 

Perppu juga bisa diuji materi (judicial review) di MK sesuai putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/ 2009 atas uji materi Perppu Nomor 4/2009 tentang MK, bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi UU dan tingkatannya sederajat, sehingga MK bisa melakukan uji materi terhadap perppu. Siapa pun boleh mengajukan uji materi terhadap perppu asalkan memiliki legal standing sebagai salah satu syarat dikabulkannya permohonan. 

Kacaukan Kepastian Hukum 

Perppu ini serba tanggung dan politis, bahkan secara substantif justru mengacaukan kepastian hukum. Kalaupun langkah penerbitan perppu karena mengapresiasi suara rakyat, dampak sosial lain dari pilkada langsung mestinya juga disimak. Perpecahan rumpun keluarga yang beda pilihan, terbelahnya tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta mobilisasi dan ketakutan para guru dan pegawai pemerintah daerah setiap pelaksanaan pilkada adalah sebagian dari dampak sosial itu. 

Suara mereka ini tidak terekspos di media massa lantaran terdistorsi oleh kelompok tertentu yang mendapat penghasilan dan kepentingan politik dari pilkada langsung. Bahkan unjuk rasa anarkis yang menyebabkan terjadi penganiayaan dan pembunuhan, serta perusakan dan pembakaran berbagai kantor pemerintah di daerah dan kantor KPUD, menjadi pemandangan biasa. Akibatnya, demokrasi langsung yang awalnya diniatkan untuk mengukuhkan kedaulatan rakyat di daerah, tidak dapat disangkal telah berbelok arah menjadi mesin perusak demokrasi. 

39

Page 40: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Akan lebih terhormat sekiranya SBY membiarkan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dikebiri untuk mengajukan uji materi ke MK. Sepertinya SBY mempertaruhkan ”hak subjektifnya” dalam menilai kegentingan yang memaksa untuk sekadar mendapat simpati publik. Apalagi perppu berlaku sejak ditandatangani presiden, kemudian diserahkan kepada DPR. Hal ini merupakan wujud ketidakkonsistenan yang mengacaukan kepastian hukum, sebab UU Pemerintahan Daerah yang juga sudah disahkan DPR memiliki keterkaitan langsung dengan UU Pilkada. 

Perppu yang mencabut UU Pilkada di DPRD dan pasal kewenangan anggota DPRD untuk memilih kepala daerah, setidaknya telah merusak tatanan sistem hukum (kepastian hukum) yang telah diperkuat dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Apabila perppu ditolak DPR, sudah pasti akan terjadi kekosongan hukum dalam memilih kepala daerah. Tidak mungkin lagi memberlakukan UU Pilkada di DPRD karena sudah dicabut dengan perppu. Begitu pula, tidak bisa menerapkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah lantaran sudah dicabut oleh UU Pilkada dan UU Pemda yang baru.  

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

40

Page 41: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Robohnya Kakbah Kami

Koran SINDO

8 Oktober 2014

Pada tahun 1973, pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan restrukturisasi politik yang menghasilkan tiga kekuatan sosial politik, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia; dalam perkembangannya PDI ditransformasi menjadi PDIP), dan Golkar (Golongan Karya). 

Khusus tentang PPP, partai ini secara resmi didirikan pada 5 Januari 1973 dan merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Sebagai partai penyalur aspirasi umat Islam, PPP memakai lambang Kakbah. Gambar Kakbah dipilih sebagai lambang PPP atas saran dan usul Kiai Bisri Samsuri yang merupakan kiai senior dan tokoh penting dalam partai itu. 

Sebelum mengusulkan gambar Kakbah sebagai lambang PPP, Kiai Bisri melakukan salat istikharah, memohon petunjuk kepada Allah untuk memilih lambang yang cocok bagi PPP. Sebagai hasilnya, Kiai Bisri mengusulkan gambar Kakbah sebagai lambang PPP dan usul ini disetujui oleh jajaran pimpinan PPP.

Pada 19 Februari 1985, Presiden Soeharto–dengan persetujuan DPR–mengeluarkan Undang-Undang No 3/1985 yang isinya menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi partai-partai politik dan Golkar. Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang No 3/1975 (dikeluarkan pada 27 Agustus 1975) yang menyatakan bahwa partai-partai politik dan Golkar tetap diperbolehkan memakai asas khusus di samping asas Pancasila. Dengan diberlakukannya UU No 3/1985, semua kekuatan sosial politik (Golkar, PDI, dan PPP) harus memakai Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Menindaklanjuti kebijakan pemerintah, PPP mengganti asas Islam dengan asas Pancasila dan juga mengganti lambang Kakbah dengan lambang Bintang. Menyusul runtuhnya rezim Orba pada 1998 dan munculnya Era Reformasi, PPP kembali memakai Islam sebagai asasnya dan Kakbah sebagai lambangnya. 

Pergolakan Internal 

Di era rezim Orba (1966-1998), keberadaan PPP (dan PDIP) tak ubahnya hanya sebagai pelengkap penderita. Sepanjang sejarah Orba, baik PPP maupun PDIP tidak pernah satu kali pun memenangi pemilu dan perolehan kedua partai tersebut sangat jauh tertinggal dari Golkar (mesin politik rezim Orba yang sangat efektif).

41

Page 42: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Melalui Opsus (Operasi Khusus) pimpinan Ali Moertopo, rezim Orba sering kali melakukan intervensi ke dalam urusan internal PPP dan PDIP, terutama ketika kedua partai itu hendak melakukan pemilihan pemimpin di arena muktamar atau kongres. Calon-calon pemimpin PPP dan PDIP yang vokal dan kritis terhadap rezim Orba, mereka pasti terdepak dan bisa jadi karier politik mereka tidak berkembang lagi. Rezim Orba merekayasa pemilihan sehingga terpilih sosok pemimpin partai yang berpenampilan ”yes-men” terhadap sang rezim. Di bawah panji-panji dan jargon ”demokrasi Pancasila,” rezim Orba mengintervensi urusan internal PPP dan PDIP dan praktis kedua partai ini dibonsai dan dipecundangi dalam setiap Pemilu.

Akan halnya PPP, partai ini di era rezim Orba tidak sepi dari pergolakan internal. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, fusi yang tidak tuntas. Terutama unsur Muslimin Indonesia (MI) dan unsur NU sulit melakukan fusi secara tuntas yang disebabkan oleh visi, misi, tradisi, kultur, dan teologi politik yang tidak sama antara keduanya. Kedua, persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan. Hal ini memanas dan meruncing ketika rezim Orba (melalui Opsus-nya) ikut campur tangan dan melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan partai. Rezim Orba merestui para pemimpin yang tidak vokal dan tidak kritis terhadap kebijakan sang rezim. Jajaran pimpinan partai yang direstui dan diakui itu disahkan oleh rezim Orba dengan cara mengeluarkan SK (surat keputusan) yang ditandatangani oleh presiden.

Ketiga, kepentingan politik terutama antara unsur MI dan unsur NU. Ini dapat dilihat ketika J Naro (ketua umum PPP saat itu) mencoret sejumlah nama calon legislatif (caleg) dari unsur NU yang dinilai sangat vokal dan kritis terhadap penguasa rezim Orba. KH Saifuddin Zuhri adalah salah seorang tokoh dari unsur NU yang namanya dicoret oleh Naro dari daftar caleg ketika itu. 

Robohnya (Partai) Kakbah 

Konflik di tubuh PPP memanas lagi menjelang Pemilu 2014. Suryadharma Ali (SDA), ketua umum DPP PPP, menghendaki PPP berkoalisi dengan kubu Prabowo Subianto yang memimpin Koalisi Merah Putih. Dalam suatu kampanye yang dilakukan Prabowo, SDA hadir dan itu merupakan isyarat bahwa PPP secara pasti merapat ke kubu Prabowo. Sebagian pimpinan PPP yang lain seperti Emron Pangkapi dan Romahurmuziy menginginkan PPP berkoalisi dengan kubu Jokowi-JK. 

Setelah konflik berlangsung cukup lama dan terasa panas, akhirnya disepakati PPP berkoalisi dengan kubu Prabowo. Untuk sementara konflik bisa diredam, tapi tampaknya hal itu belum dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Aspirasi politik pada sebagian pimpinan PPP yang ingin berkoalisi ke kubu Jokowi-JK belum padam sama sekali. Dalam rakernas PDIP, Emron Pangkapi hadir dan hal ini sebagai isyarat dia dan kubunya akan merapat ke kubu Jokowi-JK.

Bagaikan api dalam sekam, konflik di tubuh PPP meledak lagi. Emron Pangkapi (wakil ketua umum DPP PPP) dan Romahurmuziy (sekjen DPP PPP) mengeluarkan surat yang isinya

42

Page 43: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

memecat SDA dari jabatan ketua umum partai. Kubu Emron mengatakan bahwa SDA dipecat dari jabatan ketua umum partai karena SDA tersangkut perkara hukum (ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait dana haji). Dengan memecat SDA, kata kubu Emron, citra PPP menjadi bersih. SDA pun membalas dengan memecat Emron dan Romahurmuziy dari jabatan masing-masing. SDA berdalih bahwa yang bisa memecat dirinya adalah forum muktamar (kongres). Pemecatan dirinya oleh kubu Emron, kata SDA, adalah ilegal.

Di tengah konflik yang sengit ini, kubu Emron menghendaki agar muktamar PPP dipercepat, sebaliknya SDA menginginkan muktamar setelah pelantikan kabinet Jokowi-JK (direncanakan 23 Oktober 2014). Jika muktamar PPP diselenggarakan sebelum pelantikan kabinet Jokowi-JK, tuduh DSA, kubu Emron hanya ingin mendapatkan ”ghanimah” (rampasan perang). Maksudnya, ingin memperoleh jabatan menteri dalam kabinet Jokowi- JK. 

Walaupun sudah diserukan oleh Kiai Maimun Zubair (ketua Majelis Syariah PPP) agar dilakukan islah (perdamaian) antara kubu Emron dan SDA, tetapi konflik antara keduanya masih terus berlanjut dan belum terselesaikan. SDA mengklaim bahwa dirinya adalah korban kezaliman kubu Emron. Karena itu, secara logika hukum, kata SDA, dia tidak mungkin melakukan islah (perdamaian) dengan kubu Emron.

Predikat ”persatuan” dan lambang ”Kakbah” pada PPP tidak lagi menyentuh hati nurani para pemimpinnya yang terlibat konflik. PPP bukan lagi partai persatuan. PPP bukan lagi partai Kakbah. (Partai) Kakbah telah roboh.  

FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

43

Page 44: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Jalan Panjang Pilkada

Koran SINDO

10 Oktober 2014

Berlalu sudah keputusan oleh DPR RI terhadap RUU mengenai pilkada diambil. Sistem ini boleh dikatakan telah mengalami pasang-surut dalam bumi NKRI. Pilkada langsung ataupun tidak langsung adalah strategis dalam NKRI, karena melalui proses ini didapat pemimpin bangsa di tingkat lokal. 

Intinya dalam proses tersebut adalah diperolehnya kepala daerah yang berkualitas. Kepala daerah yang mengerti tugas-tugas pemerintahan, mampu mengoperasionalkan kebijakan pusat di tempatnya, dan mampu mendorong kemajuan daerahnya. Soal mekanismenya, yang sekarang dikenal dengan pilkada, berubah-ubah caranya sepanjang sejarah NKRI. Pertanyaannya selalu dimunculkan, tepatkah secara sistematis dengan bangun NKRI? 

Tidak Kompatibel 

Dalam masa-masa awal kemerdekaan, karena serbataktis, manajemen republik ini membawa pengisian jabatan kepala daerah melalui pilkada amatlah sederhana termasuk jabatan anggota DPRD. Jabatan kepala daerah masih bervariasi polanya. Di beberapa tempat faktor keturunan menjadi mekanisme, di beberapa tempat ex-officio, di beberapa tempat diangkat pemerintah pusat. Namun, semuanya disahkan pemerintah pusat.

Secara normatif sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki sejumlah UU Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur soal pilkada. Undang-undang pertama, UU No 1 Tahun 1945, adalah UU yang paling sederhana dan tidak terlalu jelas mengatur soal ini. Praktiknya juga mencerminkan keadaan negara yang masih baru lepas dari kemerdekaan. Banyak kepala daerah adalah hasil masa penjajahan. Kepala daerah yang mengikuti UU tersebut umumnya ex-officio pejabat pusat di daerah, terdapat pula kepala daerah yang merupakan mantan pejuang dalam Komite Nasional Indonesia di Daerah.

Undang-undang berikutnya, UU No 22 Tahun 1948, diatur bahwa pilkada oleh DPRD. Undang-undang ini menyatakan bahwa kepala daerah tidak berdiri sendiri dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kepala daerah memimpin sebuah dewan terdiri dari beberapa orang berjumlah ganjil termasuk dengan dirinya. Anggota yang lain tersebut diambil dari anggota DPRD untuk menjalankan pemerintahan daerah. Maka dikenal sistem “plural executive“, sama dengan di masa UU sebelumnya.

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepala daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota saat itu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (wakil

44

Page 45: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

pemerintah). Dikenal dengan sistem prefektur dan bersifat fused sehingga terjadi peran ganda pada seorang kepala daerah.

UU No 22 Tahun 1948 diganti oleh UU No 1 Tahun 1957. UU pengganti ini mengatur pilkada langsung dan tidak mengenal kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, baik gubernur maupun bupati/wali kota. Tidak ada wakil pemerintah di daerah pada masa UU ini. Namun, UU tersebut masih mengenal “plural executive“. Kepala daerah memimpin dewan pemerintah daerah sebagai elemen tertinggi dalam pemerintah daerah. Anggotanya diambil dari anggota DPRD sebagian yang terpilih dan berjumlah ganjil. Pada saat itu, di tingkat nasional terjadi pergantian sistem presidensial menjadi parlementer. Di tingkat nasional menganut sistem multipartai.

Di tingkat nasional terjadi perpecahan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Hatta keluar dari kabinet karena ketidaksetujuannya terhadap sistem pilkada langsung tersebut. Praktiknya sampai UU tersebut dicabut kembali, pilkada langsung yang diatur oleh UU tidak pernah terlaksana. Hampir semua kepala daerah adalah hasil pemilihan melalui DPRD hasil UU sebelumnya. 

Undang-undang berikutnya, UU No 18 Tahun 1965, mencabut kembali sistem pilkada langsung yang sampai masa Pak Harto dianut. Pilkada saat itu melalui DPRD. Pada saat UU 18/1965, pimpinan DPRD wajib diisi oleh Nasakom sesuai UU tersebut. Kepala daerah masa Pak Karno ini, semua diisi oleh unsur Nasakom. Dalam masa ini, eksekutif bersifat tunggal karena tidak bersama-sama memimpin dengan suatu badan atau dewan seperti pada masa sebelumnya. Kepala daerah kembali dual-role. Menurut UU, di samping sebagai kepala daerah, juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat. Bahkan, DPRD tunduk kepada wakil pemerintah pusat. Pada masa ini justru, DPRD memberi laporan kepada wakil pemerintah.

Secara nasional, terjadi pergeseran sistem presidensial kembali. Multipartai masih diacu dengan dominasi Nasakom.

Sistem pilkada oleh DPRD diteruskan oleh UU No 5 Tahun 1974. Masa ini menganut eksekutif tunggal seperti UU sebelumnya. Dual-role juga demikian, tetapi diacu dengan keadaan nasional telah berubah. Multipartai tidak dianut, hanya tiga partai. Dominasi eksekutif sangat kuat dengan tetap diacunya presidensial. Pemilihan kepala daerah cenderung rekayasa pemerintah pusat. Dalam hal ini, DPRD sangat lemah.

Undang-undang penggantinya, UU No 22 Tahun 1999, pilkada tetap melalui DPRD ditambah hak impeach DPRD atas kepala daerah. Dikenal istilah legislative heavy. Stagnasi pemerintahan terjadi karena hubungan antara DPRD dan kepala daerah sering kali dispute. Gubernur bertindak pula sebagai wakil pemerintah, sedangkan bupati/walikota tidak. Di tingkat nasional tetap dianut sistem presidensial, hanya saja menganut multipartai. 

Keadaan di tingkat daerah yang tidak kondusif membawa keinginan merevisi UU tersebut. Keinginan yang kuat adalah mengubah Pilkada melalui DPRD ke pilkada langsung. Akhirnya, pilkada langsung dianut oleh UU No 32 Tahun 2004 pengganti UU 22/1999.

45

Page 46: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Sistem wakil pemerintah masih berlaku hanya di pundak gubernur, sedangkan bupati/wali kota berkedudukan sebagai kepala daerah semata. Sistem multipartai dianut dan legislative heavy masih mewarnai di tingkat nasional. 

Pilkada di tangan DPRD masa UU No 22/1999 dan pilkada langsung masa UU No 32/2004, semuanya menganut sistem paket. Dalam kedua sistem, dipilih kepala daerah bersama-sama seorang wakil kepala daerah. Dua UU terakhir yang dilahirkan sejak masa reformasi ini dikenal dengan UU pengubah momentum pelaksanaan otonomi daerah di bumi NKRI yang mengacu ‘local-democratic model’. Keduanya tergolong hasil big-bang approach dalam desentralisasi di Indonesia. 

Pelajaran Berharga 

Pilkada langsung di bumi NKRI diacu oleh para pendiri negara dan penerusnya dengan memperhatikan sistem yang berkembang, tidak sepenggal-sepenggal hanya memikirkan nilai demokrasi. Nilai demokrasi jika dipikirkan semata, tentu Inggris, Australia, Prancis, Jerman sebagai negara-negara sangat demokratis seharusnya memilih pilkada langsung. Buktinya mereka tidak menganutnya, bahkan sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat pun tidak dengan pilkada langsung. 

Sistem wakil pemerintah pun menjadi acuan. Negara-negara di mana dianut wakil pemerintah, maka tidak dianut pilkada langsung. Pendiri negara memahami betul soal ini.

Sistem kepartaian harus diperbaiki. Seharusnya DPRD pun dapat diisi oleh kalangan nonpartai agar mampu menampung calon independen. Ini semua soal kekompakan antarsubsistem pemerintahan dalam NKRI. Dengan demikian, pilkada melalui DPRD juga memiliki agenda perbaikan, pilkada langsung pun demikian terhadap bangun NKRI. ●

IRFAN RIDWAN MAKSUMKetua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, FISIP, UI, Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah RI

46

Page 47: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Membangun Stabilitas Pemerintahan

Koran SINDO

10 Oktober 2014

Hasil pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR makin mengukuhkan dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Walaupun saat pemilihan paket pimpinan MPR, KMP tidak solid dengan menyeberangnya Partai Pembangunan Indonesia (PPP) ke kubu PDIP, secara umum KMP telah menjadi kekuatan buldoser di DPR dan MPR. 

Peta kekuatan politik di DPR yang tidak imbang, akan terus menyulitkan partai koalisi pemerintah. Pascapemilihan pimpinan MPR, koalisi pemerintah yang awalnya hanya memiliki 37% dukungan, dengan masuknya PPP, jumlah dukungannya agak “relatif” meningkat menjadi 44%. Walau ada peningkatan, masuknya PPP belum sepenuhnya menjadi isyarat bahwa PPP akan seterusnya mendukung koalisi pemerintah. Sementara itu, kekuatan KMP minus PPP tetap saja menakutkan. Di atas kertas, KMP tetap dominan di DPR walau ditinggalkan PPP dengan dukungan suara 55%.

Pascapemilihan pimpinan MPR, posisi “penyeimbang” yang awalnya diperankan oleh Partai Demokrat (PD), kini diperankan oleh PPP. Posisi politik PPP relatif mengambang kalau tidak dapat disebut mengalami “kesulitan,” antara menjadi anggota koalisi pemerintah atau tetap menjadi bagian dari koalisi oposisi (KMP).

Secara riil politik, perkembangan politik parlemen di atas juga menggambarkan lemahnya benteng KIH, koalisi pendukung pemerintah. Kekalahan untuk kesekian kali (5-0) KIH dari KMP di parlemen dapat ditafsirkan sebagai rapuhnya benteng politik presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam diskursus presidensialisme, kecilnya dukungan politik parlemen kepada presiden dan kuatnya oposisi dapat menimbulkan ketimpangan demokrasi presidensialisme. Ketimpangan kekuatan di parlemen selain menyulitkan presiden, juga akan menimbulkan kepincangan mekanisme checks and balances antara DPR dengan presiden. 

Secara konseptual, presidensialisme mendudukkan posisi presiden dan parlemen sama-sama kuat, karena keduanya mendapat legitimasi dari pemilihan umum secara langsung. Walau secara konseptual seperti itu, dinamika politik yang beku antara presiden dengan DPR dapat memicu terjadinya kebuntuan politik yang panjang. Kebuntuan politik adalah suatu kondisi di mana kebijakan-kebijakan pemerintah (presiden) digantung atau diambangkan oleh parlemen.

Dalam sistem presidensialisme, tanpa dukungan DPR, presiden nyaris tidak akan efektif dapat menjalankan pemerintahannya. Checks and balances tidak mungkin dapat seimbang. Contoh paling akurat dari peristiwa itu dapat dilihat dari peristiwa shutdown Amerika, ketika rancangan kebijakan keuangan Presiden Obama ditolak oleh parlemen, karena berubahnya perimbangan kekuatan Partai Republik atas Partai Demokrat. Gejala

47

Page 48: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

serupa dapat saja terjadi pada praktik presidensialisme di Indonesia, manakala kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi-JK terus ditolak oleh parlemen. Kebuntuan politik (deadlock) antara lain diakibatkan oleh lemahnya posisi presiden (eksekutif) di hadapan legislatif (DPR). 

Posisi presiden yang lemah di parlemen tidak bisa dinafikan atau dibiarkan dengan cara yang penting presiden bekerja dan bekerja. Cara presiden tersebut tidak akan mengubah keadaan, karena bekerjanya sistem presidensialisme memerlukan hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat fondasi kebijakan pemerintahan. Solusi yang penting kerja dan kerja adalah gagasan yang keliru, karena situasi itu akan menyebabkan pemerintahan berjalan sendiri tanpa memedulikan fungsi dan peran legislatif. 

Memahami presidensialisme dengan cara demikian, justru akan menimbulkan keguncangan politik yang tidak berujung, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kelumpuhan kelembagaan antara legislatif dan eksekutif. Dalam konteks Indonesia, efek dari ketimpangan kekuatan politik koalisi pemerintah versus oposisi, akan membelenggu kinerja Jokowi-JK. Kehendak Jokowi- JK yang ingin menciptakan pemerintahan yang efektif, sebuah pemerintahan presidensial yang dapat bekerja dan memerintah, belum sepenuhnya aman. Keinginan tersebut dapat berbalik menjadi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dikendalikan. 

Jangan dilupakan bahwa presidensialisme juga mensyaratkan bahwa presiden perlu memperoleh jaminan dukungan di DPR. Selain itu, syarat kemampuan presiden dalam mengendalikan koalisi serta oposisi merupakan syarat awal kalau pemerintahan ingin dapat berfungsi secara maksimal. Pengendalian koalisi merupakan titik kunci dari stabilitas pemerintahan yang dibangun. Tidak ada rumus baku atau akademik mengenai hal itu. Pengalaman politik seorang presiden terpilih akan menentukan apakah gerbong koalisi tetap utuh ataukah akan tercerai berai. 

Sebaliknya, pengendalian pemerintahan dari gangguan oposisi memerlukan kepiawaian dalam menjalankan seni pemerintahan presidensialisme oleh presiden. Cara membiarkan yang penting bekerja bukanlah rumus yang pernah diajarkan sebagai jalan menstabilkan pemerintahan. Karena itu, pesan penting bagi Jokowi-JK, tak ada rumus untuk dapat mengendalikan kekuatan oposisi yang begitu besar. Ancaman goyahnya politik dan ketidakefektifan pemerintahan Jokowi-JK justru makin terbuka lebar, manakala performance pemerintahan Jokowi-JK dianggap tidak optimal. 

Ancaman stabilitas pemerintahan Jokowi-JK juga tergantung dari sikap dan perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam politik sehari-hari di parlemen. Kekalahan 5-0 PDIP dari KMP pada minggu pertama awal sidang parlemen harus menjadi pelajaran agar PDIP tidak jemawa dan tidak arogan. Sebagai partai yang sebelumnya oposisi, PDIP saat ini mengalami karma politik sebagai partai penguasa (partai pemerintah). 

Kesalahan yang sama juga terjadi para lingkar dalam dan para pendukung Jokowi-JK yang membayangkan bahwa pemerintah dapat bekerja atau memerintah (governable) tanpa perlu

48

Page 49: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

dukungan partai politik di DPR yang kuat. Perspektif itu ibarat memimpikan suatu harmoni tanpa modal, yang dalam perspektif presidensialisme justru dapat menjerumuskan presiden dalam situasi-situasi politik yang sulit. Sebaliknya, gaya kepemimpinan Presiden yang tidak perlu membutuhkan dukungan DPR justru akan menjadi awal dari ancaman instabilitas pemerintahan lima tahun mendatang. ●

MOCH NURHASIMPeneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

49

Page 50: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

UU Mati, Perppu Tak Hidup

Koran SINDO

11 Oktober 2014

Akun Twitter saya @mohmahfudmd dibanjiri pertanyaan: Benarkah jika Perppu No. 1 Tahun 2014 ditolak oleh DPR bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam mekanisme pemilihan kepala daerah? Karena tak mungkin menjawab itu melalui Twitter, saya tulis pokok-pokok analisisnya melalui “Kolom” ini. 

Menurut Pasal 22 UUD 1945 jika terjadi keadaan genting dan memaksa Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang hierarkinya sejajar dengan UU. Alasan genting dan memaksa merupakan hak subjektif Presiden, ditentukan sendiri oleh Presiden tanpa ukuran objektif yang ditentukan di dalam UU. Tetapi melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menentukan tiga rambu alasan untuk dikeluarkannya sebuah Perppu dengan alasan genting dan memaksa: (1) Karena kekosongan hukum atau tidak adanya UU yang mengatur tentang hal yang harus segera diselesaikan berdasar UU; (2) UU yang ada tidak dapat dipergunakan; (3) Situasi atau waktu sangat mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat UU secara norma.

Karena hierarkinya sejajar dengan UU padahal hanya dibuat sendiri oleh Presiden, masa berlakunya Perppu terbatas hanya sampai pada masa sidang DPR berikutnya. Pada masa sidang berikut itu DPR harus melakukan political review atau legislative review atas Perppu tersebut, apakah akan disetujui atau akan ditolak. Jika Perppu itu disetujui oleh DPR maka ia menjadi UU tetapi jika DPR menolak Perppu tersebut maka ia dinyatakan tidak berlaku. 

Perppu No 1 Tahun 2014 lahir bukan karena kekosongan hukum, melainkan mengosongkan hukum yang sudah ada dulu (mencabut UU Pilkada) untuk kemudian baru mengisinya dengan Perppu. Hal ini secara yuridis bisa menimbulkan problem kekosongan hukum jika ternyata DPR kelak menolak Perppu tersebut. Sebab pada saat dikeluarkan, Perppu itu berlaku secara sah, dan dengan itu secara sah pula mencabut keberlakuan UU No. 22 Tahun 2014. Maka itu jika DPR kelak menolak Perppu tersebut bisa terjadi kekosongan hukum karena UU No. 22 Tahun 2014 sudah dimatikan (dicabut), sedangkan Perppu yang menggantikannya tak bisa dihidupkan karena ditolak DPR. 

Ada yang mengatakan, jika DPR menolak Perppu tersebut maka UU yang sudah dimatikannya otomatis hidup kembali. Pandangan ini bisa benar dalam bidang hukum perdata, tetapi menurut saya kurang tepat kalau diberlakukan untuk hukum tata negara. Perppu yang di-review di DPR itu bukan tidak sah, melainkan ditolak untuk dijadikan UU. Adapun sebelum ditolak ia berlaku secara sah sehingga sah pula saat mencabut UU No. 22

50

Page 51: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Tahun 2014. Harus diingat, keputusan DPR dalam me-review Perppu hanya berisi menerima atau menolak, tak bisa menolak sebagian, menerima sebagian atau menerima dengan perbaikan. 

Untuk memberlakukan lagi sebuah UU pun DPR harus melalui pembahasan lagi dari awal, melalui kesepakatan politik, memasukkannya ke dalam Prolegnas, dan membahas sesuai dengan tahapan-tahapan yang tersedia. Memang baru pertama ini sebuah Perppu langsung mencabut sebuah UU yang mengatur masalah-masalah rutin yang masih eksis, sehingga membuka risiko terjadinya kekosongan hukum jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Maka itu, untuk jangka panjang, perlu penyediaan instrumen hukum untuk mengantisipasinya. 

Ada yang mencontohkan bahwa MK sudah pernah membuat putusan menghidupkan lagi UU Ketenagalistrikan setelah terlebih dulu MK menyatakan batal UU Ketenagalistrikan yang baru. Ini tentu hal yang berbeda sebab yang dilakukan MK adalah proses yudikatif, bukan legislatif seperti di DPR dalam melakukan review atas Perppu. Sebagai lembaga peradilan, demi kemanfaatan hukum, MK bisa saja memutus hal seperti itu.

Di dalam proses peradilan memang ada istilah “membatalkan” (ex nunc) dan istilah “menyatakan batal” (ex tunc). Kalau “menyatakan membatalkan” maka putusan itu bersifat prospektif (berlaku ke depan sejak diputus), tetapi kalau “menyatakan batal” maka putusan itu berlaku retroaktif (berlaku ke belakang sejak ditetapkan) sehingga peraturan/keputusan yang disengketakan dianggap tidak pernah ada dan keputusan/peraturan yang lama bisa dihidupkan lagi melalui amar putusan. Itu tergantung pada bagaimana pilihan vonis pengadilan, apakah mau membatalkan atau menyatakan batal. Tetapi yang kita bicarakan tentang sudah matinya UU dan tak bisa hidupnya Perppu ini adalah dalam konteks political/legislative review di DPR, bukan judicial review. 

Kemungkinan terjadinya kekosongan hukum tentang Pilkada karena UU sudah mati dan pilkada tak bisa hidup itu untuk perkembangan politik terbaru sekarang ini memang lebih mungkin tidak terjadi. Sebab sejak keluarnya Perppu tersebut, parpol-parpol yang kemarin getol memperjuangkan dan memenangkan pemilihan melalui DPRD tampaknya tidak menolak; bahkan banyak yang mengisyaratkan akan menerimanya. Tetapi hal tersebut tetap penting didiskusikan secara akademis untuk mengantisipasi masalah yang mungkin, suatu saat, tiba-tiba muncul sehingga perlu instrumen hukum. Di dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya, perlu dicantumkan larangan Perppu langsung mencabut UU melainkan hanya boleh menangguhkan berlaku UU sampai selesainya pembahasan atau pengujian Perppu tersebut oleh DPR. ●

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

51

Page 52: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perppu yang Salah

Koran SINDO

11 Oktober 2014

Dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Oktober 2014 adalah sebuah kesalahan fatal.

Sejak Presiden SBY memerintah, Presiden telah mengeluarkan 20 perppu. Jumlah tersebut lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah perppu yang telah dihasilkan oleh seluruh presiden Indonesia lainnya. Perppu terakhir yang diterbitkan adalah Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada), serta Perppu No 2/2014 tentang Perubahan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbitan Perppu No 1/2014 itu sekaligus mencabut UU No 22/2014 tentang Pilkada yang diputuskan DPR pada 26 September yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sementara Perppu No 2/2014 hanya mencabut dua ayat dari UU No 23/2014 terkait kewenangan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam memilih kepala daerah.

Di dalam bagian menimbang, pemerintah menyatakan bahwa UU Pilkada yang telah disahkan DPR telah menimbulkan persoalan serta kegentingan memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 sehingga Presiden dapat mengeluarkan perppu. Apabila kita mengikuti cara berpikir pemerintah untuk mengeluarkan perppu ini, ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah agar dapat mengeluarkan perppu yaitu (1) ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU, tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan [par 3.10]. 

Mahkamah juga menyatakan bahwa keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbul kegentingan memaksa [par 3.12] dan tergantung kepada penilaian subjektif presiden [par 3.13]. Materi dari sebuah perppu sama dengan undang-undang, tetapi karena keadaan memaksa dan subjektif menurut presiden, dikeluarkanlah perppu.

Kegentingan memaksa dalam Perppu Pilkada adalah tekanan dari publik terhadap Presiden SBY. Isu mengenai pilkada langsung atau tidak langsung tidak termasuk kategori memaksa. Masyarakat sipil dan akademisi telah menyuarakan dan mengadvokasi pentingnya pemilihan kepala daerah tetap diadakan secara langsung dan tidak melalui DPRD. Argumentasi keadaan memaksa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya tidak terpenuhi. Persyaratan pertama tidak terpenuhi.

Tidak pernah kita temukan perppu setebal dan sekompleks dari Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan 143 halaman dan 206 pasal. Perppu ini

52

Page 53: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

tidak sekadar mengatur pemilihan kepala daerah langsung dengan menghidupkan kembali peran KPU dalam pemilihan kepala daerah, tetapi juga mengatur sengketa penghitungan suara yang akan dilakukan Mahkamah Agung, menghapuskan pasangan calon sebagai satu paket dan kemungkinan ketiadaan wakil kepala daerah untuk daerah tertentu.

Logika hukum yang dibangun dalam pengundangan perppu juga mengundang tanda tanya besar. Presiden baru saja menandatangani UU Nomor 22 dan 23 Tahun 2014 dan tidak lama kemudian Presiden mengeluarkan Perppu 1/2014 untuk membatalkan UU yang baru saja diundangkan. Perppu tidak dapat membatalkan sebuah undang-undang karena perppu didesain untuk mengisi kekosongan hukum. Persyaratan kedua dan ketiga tidak terpenuhi. 

***

Melihat komposisi anggota DPR dan koalisi yang sudah terjadi, berbagai para pengamat politik telah memprediksi bahwa dua perppu ini sangat mungkin ditolak DPR. Apabila hal tersebut terjadi, para hukum tata negara Indonesia terbelah menjadi dua. Ada yang menyatakan bahwa UU Nomor 22/2014 berlaku kembali dan pendapat yang lain menyatakan bahwa terjadi kekosongan hukum baru sehingga DPR dan presiden perlu membuat undang-undang baru. Hukum ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki pengalaman seperti itu. 

Kesalahan terbesar dari Presiden SBY dengan mengeluarkan perppu ini adalah ketidakpercayaan kepada sistem yang telah dibangun oleh UUD 1945. Original intent saat pembahasan proses amendemen UUD 1945 kenapa Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk adalah sebagai penyeimbang terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan baik oleh DPR dan/atau presiden dalam mengeluarkan sebuah undang-undang. Sistem ini telah terbukti berjalan dengan baik. 

Masyarakat serta presiden telah menikmati peran yang dilakukan MK tidak saja mengembalikan hak konstitusi yang telah dirampas dengan memberlakukan suatu undang-undang, tetapi MK juga sudah menjadi jawaban terhadap berbagai permasalahan konstitusionalitas yang terjadi di republik ini. Apabila Presiden menghormati mekanisme judicial review yang telah diberikan oleh UUD 1945, konstitusionalitas cara pemilihan kepala daerah akan diuji dan Mahkamah dapat memberikan tafsir terbaik bagaimana proses yang seharusnya. 

Richard E Neustadt, penulis buku Presidential Power (1960), berucap, “the Presidency is not place for amateurs“. “[The office of the the president needs] experienced politicians of extraordinary temperament. That sort of expertise can hardly be acquired without deep experience in political office. The Presidency is a place for men of politics. But by no means it is a place for every politician.” 

Ketidakmampuan Presiden untuk bertindak tegas sejak awal pembahasan dan pengelolaan politik pemilihan kepala daerah di DPR mengakibatkan Presiden harus mengeluarkan perppu yang tidak saja salah, tapi juga dapat dihindarkan apabila Presiden mampu melaksanakan

53

Page 54: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

perannya tidak saja sebagai kepala negara/kepala pemerintahan, tapi juga sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Seorang presiden memang tidak lepas dari kesalahan. Tetapi, memperbaiki sebuah kesalahan dengan melakukan sebuah kesalahan lainnya dan menyerahkan beban politik kepada penerusnya adalah memori yang tidak indah di penghujung masa bakti. ●

FRITZ EDWARD SIREGAR PhD Student pada University of New South Wales (UNSW) Australia 

54

Page 55: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Memerangi ISIS

Koran SINDO

11 Oktober 2014

Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya melakukan serangan ke basis-basis wilayah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang belakangan menyebut dirinya sebagai negara Islam. Namun, akankah strategi tersebut mampu menghentikan ISIS?

Transformasi ISIS merupakan sebuah fenomena tersendiri. Muncul pada 2004 sebagai Al-Qaeda Irak, kelompok ini sekarang menjadi salah satu kelompok paling ditakuti oleh masyarakat internasional. Tidak kurang terdapat 30 negara yang berkomitmen untuk memerangi ISIS yang dicap sebagai kelompok yang keji, bahkan oleh kelompok teror sekaliber Al-Qaeda.

Perdebatan mengenai ISIS di Indonesia lebih banyak diletakkan dalam konteks ideologis. Pandangan ini tidaklah salah, namun tidak seutuhnya tepat. Pembahasan mengenai ISIS tetap harus dilekatkan dalam konteks lokal di kawasan, terutama dalam konteks perang sipil di Irak dan Suriah. 

Transformasi ISIS dan Pemetaan Kekerasan 

Ada dua hal yang harus diperhatikan manakala berbicara mengenai ISIS. Pertama, transformasi ISIS erat kaitannya dengan pemetaan kekerasan di Irak. Kajian mengenai kekerasan di Irak menunjukkan bahwa ada tiga kekerasan yang berkembang sebelum penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Irak. Tipe pertama adalah kekerasan yang dilakukan terhadap pasukan Amerika Serikat di Irak. Serangan ini didominasi Al-Qaeda Irak yang memang meletakkan Amerika Serikat sebagai musuh utama.

Tipe kedua adalah kekerasan yang dilakukan terhadap pasukan keamanan dan birokrasi Irak. Pelaku utama kekerasan jenis ini adalah kelompok-kelompok berbasis etnis, terutama Suni, yang cenderung ditinggalkan dalam proses politik pascakedatangan Amerika Serikat dan keruntuhan kekuasaan Saddam Husein. Tipe ketiga adalah kekerasan yang menyasar kelompok etnis tertentu yang dikenal dengan istilah ethno-terrorism. Aksi-aksi kekerasan jenis ini dilakukan oleh semua kelompok etnis dengan menyasar kelompok etnis yang lain.

Pascapenarikan mundur pasukan Amerika Serikat, kekerasan tipe pertama mulai menghilang. Yang kemudian terjadi adalah ada pergeseran area kerja kelompok yang dikategorikan sebagai jihadis internasional di Irak ke Suriah. Dalam periode inilah Al-Qaeda Irak kemudian bertransformasi sebagai ISIS. ISIS melakukan operasi-operasi militer di Suriah untuk melawan rezim Bashar al-Asad. Awalnya mereka bersatu jalan dengan

55

Page 56: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kelompok-kelompok jihadis internasional lain, termasuk Jabhat al-Nusra, namun kemudian mulai berbeda pendapat.

Upaya ISIS untuk mengakuisisi Jabhat al-Nusra berakhir dengan kegagalan dan ISIS secara resmi dilepaskan dari Al-Qaeda. ISIS saat ini, berdasarkan laporan International Crisis Group pada awal September, merupakan kekuatan antirezim di Suriah yang memiliki penguasaan wilayah paling luas. 

Terorisme Abad XXI 

Hal kedua yang juga harus diperhatikan dalam melihat transformasi ISIS adalah bentuk organisasi ISIS itu. ISIS salah satu contoh terorisme di abad XXI. ISIS memiliki karakteristik kelompok teror berbasis religius seperti yang dimiliki Al-Qaeda. Namun, ISIS juga memiliki karakteristik kelompok insurgensi yang membutuhkan penguasaan wilayah sebagai basis kekuatan dan perlawanan. Artinya, ISIS bisa berbaur dengan baik dan melakukan aktivitas secara terselubung di wilayah-wilayah yang tidak dikuasainya dan, pada saat yang bersamaan, bisa melancarkan operasi dari wilayah-wilayah yang dikuasainya. 

Wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS rata-rata memiliki masalah mendasar yang sama yaitu tidak terkontrol oleh pemerintah pusat. Kesatuan jalan antara ISIS dan kelompok-kelompok radikal Suni salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah pusat di Irak untuk mengakomodasi kepentingan kelompok Suni.

Penguasaan wilayah oleh ISIS juga memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut. Bukan saja karena ada safe haven bagi aktivitas ISIS, melainkan juga karena ada ladang-ladang minyak di wilayah yang dikuasai yang bisa menjadi sumber pendanaan ISIS. 

Rekonstruksi Irak dan Perdamaian Suriah 

Dengan melihat dua hal tersebut, ada dua hal yang kemudian harus dikritisi dari strategi memerangi ISIS yang dibawa Amerika Serikat. Pertama, pilihan pada opsi operasi militer, baik secara langsung maupun dengan mendanai dan mempersenjatai kelompok-kelompok lokal untuk memerangi ISIS, terutama kelompok Kurdi, hanya akan berkontribusi secara minimal atau justru membawa efek bumerang yang merugikan. Opsi militer akan dapat dilakukan untuk meminimalkan ruang gerak ISIS di beberapa wilayah, namun tidak akan bisa secara penuh mematikan kelompok ini. 

Jika opsi menggunakan kekuatan-kekuatan lokal yang dikedepankan, ancaman konflik sektarian justru semakin besar. Opsi kekerasan dalam menghadapi ISIS juga akan memberikan justifikasi bahwa apa yang selama ini diperjuangkan ISIS bukanlah hal yang salah yang akhirnya justru memperkuat justifikasi religius yang dibangun ISIS.

Opsi lain yang seharusnya lebih dikedepankan adalah penguatan kapasitas lokal. Opsi ini terkait program rekonstruksi Irak pascaperang dan proses perdamaian di Suriah. Salah satu

56

Page 57: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

bagian penting dari pidato Presiden Obama dalam perang melawan ISIS adalah penguatan kapasitas pasukan keamanan Irak (Iraqi National Guard). Penguatan kapasitas pasukan keamanan Irak seharusnya diimbangi penguatan birokrasi dan berbagai program rekonstruksi pascakonflik di wilayah-wilayah yang selama ini diabaikan.

Kedua, penguatan kapasitas pasukan keamanan dan birokrasi serta distribusi kesejahteraan juga harus diimbangi penataan politik. Selama ini kelompok-kelompok yang ada di Irak tidak mampu membangun kesepakatan mengenai penataan politik. Pilihan penyelesaian “Irak untuk Irak” yang selama ini diambil ternyata justru memarginalkan etnis Suni dalam upaya membangun kesepakatan penataan politik. Intervensi eksternal dalam upaya penataan tersebut bisa menjadi opsi selain operasi militer di basis-basis ISIS yang sekarang dijalankan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. 

Terakhir, meminimalkan kemampuan gerak ISIS di Suriah membutuhkan komitmen pihak- pihak eksternal, termasuk Amerika Serikat dan Rusia, untuk secara serius mencari solusi penyelesaian. Konflik di Suriah menjadi semakin rumit dengan keberadaan tiga kubu yang saling bertarung yaitu kekuatan koalisi antirezim yang melibatkan kelompok nasional (seperti Free Syrian Army), kelompok Islam (seperti Syrian Islamic Front atau Syrian Revolutionary Front), dan kelompok jihadis internasional (seperti Jabhat al-Nusra), ISIS dan para simpatisannya, serta rezim Bashar al-Assad dan kelompok-kelompok pendukungnya. Keberadaan aktor eksternal dalam konflik Suriah tersebut akan menentukan apakah penyelesaian damai dan rekonstruksi pascakonflik bisa dilakukan atau tidak.

Memerangi ISIS tidak bisa dilakukan hanya dengan instrumen militer. Keunikan ISIS harus diimbangi dengan model penyelesaian yang melibatkan pula instrumen nonmiliter untuk memotong jalinan aliansi yang melibatkan ISIS dengan kelompok-kelompok lain, menekan ruang gerak ISIS, dan membuat ISIS kehilangan justifikasi eksistensinya. ●

BROTO WARDOYO Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

57

Page 58: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Revisi P3 SPS, Mengekang atau Melindungi Jurnalis TV?

Koran SINDO

11 Oktober 2014

Eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, Pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur ihwal penyiaran. Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxiliary state institution.

Untuk menjalankan fungsinya, KPI memiliki wewenang (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah, dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban, dan evaluasi.

Dalam melakukan semua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lain karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait wewenang yudisial karena terjadi pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.

Menarik sekali mengikuti focus group discussion (FGD) yang diadakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat belum lama ini. Sebagai wakil masyarakat, para komisioner KPI yang hadir dalam FGD itu secara terbuka mengakui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) tentang karya-karya jurnalistik yang merupakan produk turunan dari wewenang KPI sesuai UU Penyiaran itu ternyata masih perlu disempurnakan.

Berdasarkan pengalaman pengaduan masyarakat dan perkembangkan dunia penyiaran, ada beberapa pasal-pasal yang tidak “bunyi”, kaku, terlalu konseptual, multitafsir, kurang visioner, dan jauh dari operasionalisasi di lapangan yang membuat kagok proses produksi jurnalistik sehingga menimbulkan benturan yang tak perlu. 

Di sisi lain, suasana “kebatinan” ketika P3 SPS lama dan situasi sekarang itu disusun sudah jauh berbeda. Komposisi komisioner KPI dengan latar belakang jurnalis yang cukup banyak memberikan warna ke arah perbaikan yang ingin melindungi profesi jurnalis televisi, bukan mengekang, merintangi, bahkan membatasi kerja jurnalistik. Apalagi saat ini tren para

58

Page 59: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

stakeholder penyiaran terutama masyarakat merindukan produk jurnalistik yang lebih pro-publik, bermanfaat bagi kehidupan yang lebih baik, berimbang, tidak menghasut atau menyesatkan, dan jauh dari sikap partisan. 

Sebagian besar pengelola newsroom televisi berusaha menyajikan berita yang sesuai kode etik, aturan, dan kepatutan norma-norma sosial yang ada. Hanya, dalam praktik memang masih sering “terpeleset” memproduksi karya jurnalistik yang dibumbui adegan kekerasan, cabul, dan sadis; terutama di berita-berita peristiwa kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan kriminalitas. Tidak dimungkiri, atas nama share, rating, dan eksklusivitas; tayangan kekerasan tetap memiliki penontonnya. 

Hanya, karena siaran televisi itu bermuka dua, di satu sisi dapat mengedukasi masyarakat menjadi lebih baik, namun di sisi lain malah menimbulkan efek peniruan oleh masyarakat sehingga semestinya adegan kekerasan, sadis, dan cabul tidak lagi muncul di layar kaca.

***

Revisi P3 SPS diperlukan agar tidak ada kebingungan. Seperti yang tercantum pada Pasal 17 yang menyebutkan lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan. Pasal ini perlu diperjelas dengan memasukkan keterangan bahwa kekerasan itu bukan hanya bersifat fisik, tapi juga nonfisik. 

Aksi demonstrasi kelompok masyarakat dan ormas yang mengatasnamakan agama dan berulang kali mengancam, menyerukan kalimat penghasutan, termasuk kategori kekerasan nonfisik sehingga tak layak masuk dalam badan berita atau kutipan (sound of talent). Adegan kekerasan fisik dan nonfisikyangditampilkan secara audio, visual (biasanya rekaman CCTV kecelakaan lalu lintas, rekaman masyarakat soal adegan mesum, peristiwa bencana alam, video amatir kekerasan kriminalitas), maupun narasi juga secara tidak sadar bisa masuk ke berita tanpa proses jurnalistik. 

Begitu juga dengan berita yang sumbernya berasal dari institusi keamanan yang gemar memproduksi jargon tersendiri. Berita yang labelisasi pelaku tindak teroris, yang selalu menyertakan atribusi asal daerah pelaku, sudah dijelaskan. Namun, atribusi pelaku kriminalitas tidak ada penjelasan, padahal intensitas berita kriminal sangat tinggi masuk ke program jurnalistik.

Penjelasan konsep siaran langsung atau live report yang kini secara teknis menjadi lebih mudah dan murah juga harus dioperasionalkan agar tidak multitafsir. Pada Pasal 47 soal siaran langsung tidak dibedakan apakah itu program panggung musik atau program berita. 

Ada kecenderungan, siaran langsung dikemas sebagai gimmick dalam produk berita itu agar kelihatan eksklusif. Live report seharusnya dilabeli sebagai penyampaian informasi yang sangat-sangat penting, punya kepentingan publik yang lebih luas, berdampak bagi hajat hidup orang banyak, bukan sekadar liputan yang berlebihan (hyper coverage). Jika live report ini dilakukan oleh jurnalis televisi yang “belum matang”, besar sekali potensi pengabaian hukum

59

Page 60: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

besi kode etik dan elemen dasar jurnalistik yang berpangku pada verifikasi fakta dan kredibilitas narasumber. 

Live report penggerebekan teroris, aksi demonstrasi ormas atau buruh, penggusuran, bencana alam, dan sejenisnya yang hanya menyajikan tontonan visual yang dramatis dan kaya gambar itu bisa berpotensi menyesatkan masyarakat dan berubah menjadi laporan agitasi yang bisa menyulut kekerasan lanjutan.

Hal lain yang tak kalah penting, KPI sebagai lembaga negara independen yang merupakan representasi masyarakat bukan penguasa hendaknya menghapus “ancaman” pembredelan pers yang masih tercantum dalam Pasal 75 Standar Program Siaran, mengenai sanksi pelanggaran berupa penghentian sementara mata acara yang bermasalah (huruf b), pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu (huruf e), tidak diberi perpanjangan izin penyelenggara siaran (huruf f), dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (huruf g). UU Pokok Pers yang lebih tinggi derajatnya menjamin bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Penghapusan press breidel ordonantie peninggalan Orba itu tidak akan membuat tumpul taring KPI jika pelanggaran P3 SPS ini masih terus dilakukan oleh lembaga penyiaran. KPI bisa memaksimalkan sanksi denda, namun dengan penjabaran aturan main yang detail. Denda tidak lagi harus berupa denda cash money, tapi dikonversikan menjadi tayangan iklan layanan masyarakat (ILM) dengan tema civic education.

Revisi P3 SPS memang menjadi kewajiban dan harus didukung semua stakeholder penyiaran, menyesuaikan dengan dinamika masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang pada masanya. Ujungnya adalah melindungi jurnalis televisi memproduksi program berita yang berkualitas di layar kaca. ●

HENDRATA YUDHA Pengurus Pusat IJTI

60

Page 61: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Jokowi Jangan “Parno”, KMP Bukan Musuh

Koran SINDO

13 Oktober 2014

Reformasi politik Indonesia maju satu tahap lagi. Penanda pertama adalah terpilih sosok presiden yang bukan berasal dari komunitas elite atau darah biru dalam jagat perpolitikan nasional. Sedangkan penanda kedua adalah penguasaan oposisi atas parlemen.

Dua penanda ini otomatis sudah menggambarkan kematangan Indonesia dalam menerapkan prinsip negara yang demokratis. Bisa dipastikan bahwa demokratisasi Indonesia akan terus berevolusi, sejalan dengan meningkatnya kepedulian rakyat terhadap idealisme kehidupan berbangsa-bernegara. Rakyat kini tidak hanya peduli pada program dan gerakan pemberantasan korupsi, tetapi juga lantang menyuarakan aspirasinya terhadap misalnya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). 

Banyak daerah berhasil melahirkan sejumlah pemimpin baru berusia muda. Mereka bukan berasal dari komunitas darah biru di negara ini. Orang-orang muda penuh idealisme itu terpilih karena program pembangunan daerah yang mereka tawarkan bisa meyakinkan rakyat. Gejala ini membuktikan bahwa mesin demokrasi telah bekerja cukup efektif di Indonesia sehingga setiap orang bisa tampil di pentas kepemimpinan nasional atau daerah. Pentas kepemimpinan tidak lagi menjadi jatah komunitas darah biru. 

Sepanjang tahun politik 2014 ini, efektivitas kerja mesin demokrasi di Indonesia juga telah membuat kejutan baru. Selain terpilih Joko Widodo sebagai presiden, kejutan lainnya adalah penguasaan oposisi atas parlemen. Mayoritas parlemen digenggam oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Konsekuensinya, kursi kepemimpinan DPR dan MPR pun diraih oleh koalisi partai politik yang berseberangan dengan presiden terpilih.

Perkembangan ini seharusnya melegakan karena mekanisme checks and balances akan lebih sehat dan kuat. Posisi legislatif dan eksekutif yang berimbang seharusnya dilihat sebagai faktor yang ideal. Harap diingat lagi bahwa sepanjang era Orde Baru hingga 10 tahun periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, mekanisme checks and balances oleh parlemen jauh dari efektif karena mayoritas kekuatan politik di parlemen justru berada di bawah ketiak presiden alias dikontrol oleh eksekutif. Sepanjang periode kedua 2009-2014, Presiden Yudhoyono menggagas apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan Koalisi parpol pendukung pemerintah. 

Kalau konfigurasi kekuatan parlemen dibuat seperti itu, mekanisme checks and balances

61

Page 62: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

pasti tak akan jalan karena Sekretariat Gabungan Koalisi akan memaksa anggotanya di parlemen (fraksi DPR) menuruti apa saja langkah pemerintah. Publik tentu masih ingat bagaimana fraksi-fraksi DPR yang menjadi anggota koalisi itu harus “berontak” menyikapi skandal Bank Century. Atau, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nyata-nyata tidak efektif dan juga tidak produktif itu dibiarkan lolos dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di DPR. 

Lolosnya program BLT menjadi bukti bahwa parlemen kehilangan sikap kritisnya karena mayoritas kekuatan parlemen tercatat sebagai bagian dari pemerintah. Kini terbukti bahwa BLT itu bahkan tidak mampu mengurangi jumlah warga miskin. Kini dan di masa depan kesalahan yang sama tak boleh berulang. Kekuasaan dan kewenangan besar yang digenggam pemerintah harus diawasi oleh parlemen yang mampu berfungsi efektif melaksanakan mekanisme checks and balances itu. 

Maka itu, sangat ideal jika kebiasaan parlemen dikendalikan oleh pemerintah harus dihentikan sekarang juga. Harus ada keberanian untuk mengakui bahwa dalam rentang waktu yang sangat panjang, DPR hanya “bersandiwara” dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Kekuatan-kekuatan politik di DPR mudah tergoda untuk menjadi bagian dari pemerintah. 

Tak jarang, sikap kritis parlemen hanya dijadikan alat tawar. Manakala kepentingan legislatif dan eksekutif bisa dipertemukan melalui kompromi, kekuatan politik di DPR akan membiarkan apa pun program legislatif lolos. Misalnya, ada UU yang mutlak membolehkan tarif sebuah jasa kepentingan publik dinaikkan setiap dua tahun oleh penyedia jasa publik dimaksud. Jelas bahwa UU yang demikian lahir dari perangai parlemen kolutif.

Curiga Berlebihan 

Karena itu, jangan dulu terlalu jauh bertafsir negatif atas konfigurasi kekuatan politik di DPR dan MPR saat ini. Fakta tentang dominasi KMP di parlemen hendaknya dipahami berdasarkan semangat mewujudkan mekanisme checks and balances yang kuat dan efektif. Seharusnya ditumbuhkan keyakinan bersama bahwa perimbangan kekuatan legislatif-eksekutif akan mendorong pemerintah lebih produktif dan progresif. Pemerintah tidak lagi tergoda membuat program asal-asalan demi pencitraan. Sebaliknya, DPR pun tidak akan asal-asalan mengkritisi program pemerintah. 

Selama program pemerintah berkait langsung dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, tidak ada alasan sedikit pun bagi DPR untuk menggagalkan program itu. Semua unsur kekuatan di DPR pun paham bahwa jika sembarangan menjegal program pemerintah, DPR sendirilah yang akan dirugikan. Minimal, sebagai politisi, anggota DPR akan kehilangan simpati dan popularitasnya. Dengan begitu, masyarakat dan juga presiden terpilih Joko Widodo tidak perlu risau menyikapi dominasi KMP di parlemen.

62

Page 63: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Sesungguhnya konfigurasi kekuatan di DPR-MPR saat ini sejalan dengan keinginan Jokowi. 

Semua masih ingat ketika Jokowi mengatakan dia ingin koalisi partai pendukung yang ramping. Keinginan Jokowi itu secara tidak langsung memberi akses bagi terbentuk kekuatan oposisi di parlemen. Sebagian besar partai politik didorong untuk membentuk kekuatan yang berseberangan dengan pemerintahannya.

Memang, dalam sistem pemerintahan presidensial sangat ideal jika pemerintah diawasi oleh legislatif yang kuat. Banyak cabang kekuasaan berada dalam genggaman presiden. Seorang presiden bahkan memiliki hak prerogatif dalam lingkup eksekutif. Wajar bila dibutuhkan legislatif yang kuat untuk mengawasi semua kekuasaan itu. Jadi, keinginan Jokowi itu sudah terwujud dan patut disyukuri karena bisa menjadi modal untuk melaksanakan pemerintahan yang transparan dan pro-rakyat. Maka itu, kecurigaan tentang niat KMP menjegal atau memakzulkan Jokowi hendaknya tidak diteruskan. Kecurigaan seperti itu bukan hanya berlebihan, tetapi juga membuat suasana tidak kondusif. 

Harap dicamkan bahwa harga yang harus dibayar bangsa ini akan sangat mahal jika program presiden dihambat oleh parlemen. Apalagi jika ada target memakzulkan presiden. Butuh proses politik yang panjang dan rumit untuk bisa memakzulkan presiden. Kalau dikonversikan, proses panjang itu menjadi biaya politik dalam bentuk ketidakpastian dan potensi konflik.

DPR tidak serta-merta bisa memakzulkan presiden, melainkan hanya bisa menginisiasi setelah ditemukan bukti kesalahan presiden. Dari bukti itu, DPR masih harus lagi menggunakan hak menyatakan pendapat untuk kemudian membawa masalahnya ke Mahkamah Konstitusi dan seterusnya. 

Bukan hanya berlebihan, melainkan juga angan-angan yang sama sekali tidak relevan ketika presiden baru belum juga dilantik, tetapi banyak orang begitu sering menyuarakan kecurigaan tentang kemungkinan pemakzulan. Mereka seakan-akan sudah bisa menebak tindak inkonstitusional apa yang akan dilakukan presiden. Kecenderungan ini tentu saja amat menggelikan. Mereka lupa bahwa kewajiban berkomunikasi pemerintah-DPR akan meminimalisasi potensi kesalahan yang mungkin saja bisa dilakukan presiden. 

Terwujudnya perimbangan atau kesetaraan presiden-DPR seyogianya ditanggapi positif karena mekanisme checks and balances akan jauh lebih efektif dibanding jika mayoritas kekuatan di DPR menjadi bagian dari pemerintah. Kalau mau jujur, masyarakat sebenarnya sudah lama mendambakan kesetaraan itu.

Jokowi dan para pendukungnya tidak perlu “parno” atau ketakutan. KMP bukanlah musuh, melainkan mitra dalam usaha bersama menyejahterakan rakyat. Sekaranglah saatnya. Lebih baik memulainya sekarang daripada tidak pernah sama sekali hanya karena ketakutan yang tidak beralasan. ●

63

Page 64: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

BAMBANG SOESATYOSekretaris Fraksi Partai Golkar DPR/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Aturan Pusing Jeung Musingkeun

Koran SINDO

13 Oktober 2014

Lieur ngalieurkeun... pusing jeung musingkeun (memusingkan), itulah  peraturan dalam dunia birokrasi  kita. Seharusnya peraturan dibuat untuk  menciptakan keteraturan pada sebuah sistem yang bisa melahirkan produk yang  sehat dan menyehatkan--disebut efisien dan kompetitif.

Saat ini saya sering melihat ada  legislator di daerah yang terjerat pasal  korupsi perjalanan dinas. Mereka tersandung  masalah hukum karena melakukan perjalanan ganda pada waktu yang  bersamaan seperti manipulasi hotel, manipulasi tiket pesawat, atau menggunakan  surat perjalanan dinas bodong. Para anggota Dewan sengaja melakukan  itu karena ingin mendapatkan tambahan penghasilan. Memang para legislator dilarang mendapatkan tambahan di luar gaji dan tunjangan sesuai PP Nomor 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD serta Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.  

Hitung-hitungannya, biaya perjalanan dinas itu sangat besar, bisa mencapai 30% dari total anggaran DPRD. Tak heran, banyak anggota DPRD yang  pelesiran berbungkus studi banding, mulai antarkota dalam provinsi, antarkota luar provinsi, bahkan perjalanan ke  luar negeri. Setiap jenis kegiatan untuk menghasilkan produk legislatif dibuat dalam ruang lingkup perjalanan dinas. Tungtungna jadi bodor (akhirnya jadi  lawakan). Kalau kita perhatikan para  legislator dari Kalimantan datang ke Jawa Barat, dari Jawa Barat pergi ke Kalimantan, dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Acapkali dua rombongan sering bertemu dan bertegur sapa di udara.

Begitu pula, untuk kegiatan rapat DPRD harus dibuat sama. Setiap kegiatan  mesti dilaksanakan di hotel luar kota. Uang saku anggota Dewan akan bertambah apabila pola rapatnya seperti itu. Tak heran legislator dari Bandung rapat di Jakarta, dari Jakarta rapat di Bandung, dari Purwakarta rapat di Bandung, dan dari Bandung ada yang rapat di Purwakarta.

Selain itu, jenis pekerjaan pun  dibuat lebih lama karena ada jatah uang saku rapat harus diambil semua. Kalau tidak dibuat lama, uang sakunya tidak  cair. Kalaupun uangnya diambil, tapi  rapatnya dibikin sebentar, itu korupsi, apanan jadi ngalieurkeun (sehingga memusingkan).  

64

Page 65: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Yang tidak habis pikir, setiap daerah  juga harus mengeluarkan biaya jamuan tamu. Setiap hari mendapat kunjungan para anggota Dewan yang studi banding  atau kunjungan kerja. Ujung-ujungnya hanya untuk sekadar mendapatkan stempel bukti perjalanan dinas atas nama formalitas. Birokrasi menjadi panjang berliku, tugas legislasi berputar mengelilingi seluruh Nusantara, bahkan dunia, hanya  untuk mendapat satu istilah “tambahan  penghasilan”. 

Waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan sebuah kebijakan menjadi berputar seperti pesawat yang akan mendarat, sangat lama, sedangkan masyarakat menanti produk yang cepat, negara ingin berlari mengejar ketertinggalan yang terkerangkeng oleh lamanya produk undang-undang dibuat. Para anggota Dewan pun pusing  karena makin lama makin bingung, daerah mana lagi yang harus dikunjungi, karena samudera luas dilewati, gunung tinggi dilampaui, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Kute, Jimbaran, Makassar, Bunaken, Jayapura, Raja Ampat, Danau Toba, Singkarak, Senggigi, Batam, nyebrang sedikit ke Singapura dan masih banyak lagi daerah lainnya. 

Hotel-hotel berbintang disambangi bahkan target untuk menambah penghasilan karena perjalanan dinas malah jadi tekor ketika dalam perjalanan dinas istri yang ditinggalkan harus dibekali, uang di dompet harus terisi, di tempat tujuan harus rekreasi, tambah lagi dengan biaya “kenakalan” yang lebih besar dari uang saku yang diterima. Pusing lah ... Ujung-ujungnya harus cari tambahan lagi untuk kecukupan perjalanan dinas. Kegiatan perjalanan dinas juga memusingkan penanggung jawab keuangan, bikin malas anggota Dewan, bikin lama peraturan perundang-undangan, bikin rumit birokrasi. Boro-boro produktivitas, ujungnya banyak yang terjerat hukum karena lalai, karena lupa, bahwa setahun ada 365 hari, dikurangi libur. Banyak  orang yang lupa membuat laporan perjalanan dinas setahun 400 hari.

Apa yang dilakukan oleh para anggota  Dewan bisa jadi salah. Jujur saja, mereka terpaksa melakukan itu karena tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan uang tambahan. Tapi, menurut saya, yang musingkeun itu yang membuat peraturan. Kalau ingin anggota Dewan produktif dan sejahtera, caranya gampang. Tambahan penghasilan jangan dari perjalanan dinas, jangan rapat di luar kota, tapi buat saja uang saku rapat, pasti anggota Dewan senang rapat karena itu pekerjaannya. Akhirnya mereka betah di kantor, kan efisien.  

Rapat-rapat cukup di ruang komisi, tidak usah cari hotel. Berapa tuh duit yang diirit? Kalau ingin lebih produktif lagi, tambahan penghasilan diberikan kepada setiap produk. Satu undang-undang atau perda diberi nilai berapa yang harus diterima. Pasti anggota Dewan produktif karena semakin rajin di kantor, semakin besar penghasilan diterima. Ditambah lagi kalau terus di kantor, kan enggak perlu memikirkan yang di rumah karena enggak ditinggalkan. Juga godaan kenakalan semakin sedikit. Irit deh duit. 

Gampang kan? Kemudian tidak akan ada manipulasi administrasi keuangan karena ukurannya produk. Yakin deh, DPRD terbebas dari korupsi karena perjalanan dinasnya sudah tidak diperlukan lagi. Memang kita ini suka aneh, membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit, perjalanan dekat  menjadi jauh, waktu yang pendek menjadi panjang. Enggak tahu harus

65

Page 66: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

nyalahin siapa, yang jelas kita menjadi oon oleh peraturan yang kita buat sendiri. Selain pemborosan juga musingkeun... ●    

KANG DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

66

Page 67: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Berlebihan Melihat Politik 

Koran SINDO

15 Oktober 2014

Pasca-Pilpres 2014, politik kerap dilihat secara berlebihan, atau meminjam bahasa anak muda zaman sekarang “lebay“. Politik Indonesia dipandang telah berjalan secara sangat mencemaskan, bermula dari sikap Koalisi Merah Putih (KMP) yang mempermasalahkan pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya, serentetan kebijakan DPR terutama soal perubahan UU tentang Pilkada dari pilihan langsung ke DPRD, hingga kemenangan paket pimpinan DPR dan MPR oleh KMP, di mana semua itu langsung dibaca dan diserukan berulang-ulang sebagai realitas politik yang sangat mencemaskan. Benarkah demikian?

Tulisan ini justru berangkat dari pernyataan Jusuf Kalla (JK), bahwa kondisi sekarang tidak banyak hal yang berbeda dengan sebelumnya, jadi jangan khawatir (terhadap hubungan) pemerintah-DPR. Dalam pandangan JK, kalaupun koalisi pemerintahan menguasai parlemen, hal itu tidak menjamin pemerintahan berjalan tanpa kritikan tajam dari para politisi di DPR. Contoh kasusnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid II di mana koalisi pemerintah justru menguasai parlemen, tetapi tidak menjamin tidak adanya ketidaksesuaian pendapat di antara mereka. Bagi JK, DPR dari KMP tidak ada masalah, selama presiden tidak melakukan pengkhianatan negara, korupsi, dan pelanggaran moral besar (Kontan.co.id, 10/10/2014).

Apa yang dikatakan JK sesungguhnya merupakan otokritik yang objektif sebagai peringatan yang lazim atas konsekuensi politik Jokowi sejak awal. Dalam berbagai kampanyenya, Jokowi terkesan tidak ingin direpotkan oleh partai-partai. Dalam menggalang dukungan partai-partai, koalisi Jokowi-JK tampak membatasi diri. Akibatnya kekuatan-kekuatan besar seperti Golkar dan Partai Demokrat yang merasa tertutup pintu, bergerak cepat ke koalisi Prabowo-Hatta. Jokowi-JK tetap percaya diri memenangkan pilpres, dan konsekuensinya, siap untuk “dikepung” oleh kekuatan politik KMP di parlemen. Dari sisi itu, sesungguhnya realitas politik yang dihadapi Jokowi-JK merupakan konsekuensi logis semata dari desain politiknya sejak awal.

Secara eksperimentatif, berbagai kalangan menganggapnya ideal, kendatipun amat riskan dalam penegakan stabilitas politik, karena terlampau mengentengkan faktor partai-partai. Kita telah melihat strategi konvensional dilakukan oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai penopang kekuatan politik Jokowi-JK di parlemen yang ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Dari skenario dua posisi wakil ketua MPR untuk KMP, ternyata hanya satu yang

67

Page 68: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

bisa diraih, yakni dari PPP. Bandul politik PPP bergerak dari KMP ke KIH dalam pemilihan pimpinan MPR. Kendatipun paket KIH gagal terpilih, PPP tampaknya sudah telanjur hijrah ke KIH. Dengan demikian, kekuatan KMP menjadi berkurang, tetapi tidak terlampau signifikan karena kursi KMP masih lebih banyak dari KIH plus PPP.

Dua Poros

Terlepas dari gegap gempitanya politik kita, di mana pasar sempat kaget dengan proses politik di DPR dan MPR belakangan ini, sesungguhnya secara manajemen konflik “realitas politiknya” sudah lebih maju. Hal ini disebabkan terdapatnya dua poros politik di tengah-tengah realitas multipartai yang tidak sederhana. Kita memang punya sepuluh partai politik pascapemilu 2014, sehingga apabila mereka berjalan sendiri-sendiri, dari segi kompatibilitasnya dengan sistem pemerintahan presidensial, sangat merepotkan. 

Berbagai ahli berpendapat, sistem presidensial akan kuat manakala terdapat multipartai sederhana atau lebih sedikit jumlah partai. Nah, ketika dua kutub besar mengerucut dalam koalisi “permanen” yang meringkas sepuluh partai, maka logikanya, pemerintah lebih dimudahkan dalam mengelola konflik dalam hubungannya dengan parlemen. Selanjutnya, semakin solid masing-masing koalisi (KMP dan KIH), maka semakin efektif pula proses politik kita. Karena jelas sudah siapa “kawan” dan siapa “lawan”, ketika bertanding dalam arena politik formal, DPR dan MPR. Ini akan membuat dinamika politik, justru lebih elegan ketimbang contoh kasus perseteruan pendapat dalam pemerintahan SBY terkait dengan kasus Skandal Bank Century tempo dulu.

Pemerintahan Jokowi justru tidak perlu dirisaukan dengan fenomena penggerogot politik. Maksudnya, adanya partai politik yang berbeda sikap di koalisi pemerintahan. Justru, kalau melihat fenomena PPP yang melompat ke kubu KIH, maka KMP-lah yang potensial menghadirkan partai-partai penggerogot baru. Itu sangat mungkin manakala kalkulasi pragmatis partai-partai pendukungnya, dinilai tidak sebanding dengan pengorbanan mereka. Dalam kasus PPP, kalkulasi demikian yang tampak mengemuka.

Problem Pemerintah

Problem pemerintah justru tidak terlampau rumit dengan realitas dua poros politik di parlemen. Kuncinya sederhana, manakala pemerintah mampu memainkan peran-peran komunikasi politiknya dengan baik, maka problem parlemen dapat diatasi dengan baik. Pemerintah harus luwes dan “pandai bergaul”. Karena parlemennya dikuasai KMP, maka pemerintah harus kembangkan “politik kulonuwun”.

Siapa saja yang merepresentasikan pemerintah harus pro-aktif dalam menjelaskan apa yang akan mereka buat dan lakukan. Kalau pendekatannya tepat maka yang akan terjadi adalah berjalannya mekanisme demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif mengedepankan pergulatan wacana yang kualitatif. Dalam hal ini, peluncuran suatu kebijakan, pastilah akan memicu debat kualitatif di DPR, dan pemerintah harus berikhtiar menjaga suasana deliberasi itu sedemikian rupa. Tentu, peluang untuk di-voting tetap terbuka, tetapi yang dapat diselesaikan secara konsesual, juga tetap terbuka.

68

Page 69: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dalam konteks inilah, pemerintah tidak perlu alergi terhadap mekanisme voting dalam mempertahankan kebijakan yang telah diambilnya oleh DPR. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya banyak jurus yang masih dapat dipakai untuk meyakinkan DPR. Dan kebijakan pemerintah tentu tidak hanya satu, tetapi banyak. Tidak mungkin semua kebijakan ditolak DPR. Dari sisi ini maka terlalu sensitif dalam melihat politik, apalagi sekadar terjebak pada retorika-retorika politik yang bernada “mengancam pemerintah”, tentu tidak baik bagi pemerintah sendiri. Harus ada “cek dan ricek” dan proporsionalitas politik. 

Di sisi lain, pemerintah juga tidak cepat-cepat terjebak pada ancaman balik kepada oposisi, bahwa pihaknya punya dukungan massa yang nyata. Penggunaan massa dalam politik, apalagi terhadap isu-isu pro-pemerintah, selain aneh juga dapat kontraproduktif. Karena itu, dalam hal ini, wacana “people power“ menjadi tidak relevan, karena tidak ada dalam sejarah, massa menggulingkan oposisi. Yang ada, massa menggulingkan pemerintah. Dari sisi ancaman “people power“, pemerintah tidak akan menuainya, kecuali apabila ada kasus-kasus besar. Terakhir, terkait dengan pasar, tampaknya semakin ke sini, dinamika politik semakin dapat dimengerti, sehingga pasar mampu menyesuaikan diri. 

Intinya, tidak ada yang perlu sangat dikhawatirkan dalam politik Indonesia. Semua masih berjalan sesuai koridor konstitusi, kendatipun politik gaduh. Kegaduhannya masih lazim, karena semua pihak sesungguhnya menyimpan kehendak yang sama untuk mencari titik temu, dan bukan kebuntuan politik. Nuansa untuk mencapai konsensus masih terasa dalam politik kita, ketimbang konflik yang kontraproduktif. Inilah yang semestinya dicermati dan diikhtiarkan. Bukan dramatisasi berlebihan (lebay) bahwa politik Indonesia sudah sedemikian mencemaskan. ●

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

69

Page 70: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Kabinet Ramping

Koran SINDO

17 Oktober 2014

Pengumuman tahap kedua postur kabinet Jokowi-JK dalam konferensi pers di Rumah Dinas Gubernur Jakarta (10/10/2014) tak menimbulkan kata “wah” dari rakyat. Sebab jumlah menteri jauh dari “kabinet ramping” seperti yang dijanjikan saat kampanye. 

Perubahannya adalah jumlah kementerian jatah untuk parpol menjadi 15 yang sebelumnya 16 menteri, sedangkan dari kalangan profesional tetap 18 menteri. Boleh jadi Jokowi mulai risih oleh sorotan berbagai kalangan kalau jatah yang diberikan kepada parpol cukup besar. Hanya, pengurangan jumlah menteri terlalu sedikit, padahal Tim Transisi mengusulkan paling banyak 28 kementerian. Sekiranya ini diikuti, atau paling maksimal 30 kementerian, tentu tidak akan dituding ingkar dari janjinya. Memang Pasal 15 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara memberi batas maksimal 34 kementerian seperti pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Jebakan Transaksional 

Jatah 15 menteri bagi parpol, termasuk janji bagi PPP yang juga akan diberi satu menteri, sulit disangkal telah terjadi tarik-ulur dengan pimpinan parpol pendukung. Malah, publik bisa menafsirkan kalau Jokowi-JK telah masuk dalam “jebakan transaksional” lantaran gentar pada kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Padahal, Jokowi selalu menyebut tidak ada transaksi dalam membangun koalisi parpol. 

Apa pun argumentasinya, publik akan menilai Jokowi sudah luluh dari tekadnya yang ingin melakukan efisiensi anggaran pada kabinetnya. Namun, kalau hanya satu pengurangannya, sama saja kalau disebut asal memenuhi janji. Yang penting tidak sama jumlahnya dengan kabinet pemerintahan SBY. Sekiranya hanya 28 kementerian, tentu akan menjadi sejarah baru dalam pemerintahan Indonesia. 

Jumlah kabinet tidak bisa dikalkulasikan dengan perimbangan jumlah penduduk seperti pada kepolisian yang memang punya standar dunia perimbangan antara jumlah polisi dan jumlah penduduk yang harus dilayani. Pasalnya, kementerian negara menurut Pasal 1 butir-1 UU Kementerian Negara adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Secara kualitas, berbeda dengan tugas kepolisian yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Wajar jika ada yang menduga masih tambunnya kementerian yang digagas Jokowi karena ingin membalas budi. 

70

Page 71: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Amerika Serikat dengan penduduk yang lebih besar dari Indonesia, Presiden Obama saat ini hanya memiliki 15 menteri dan 6 pejabat setingkat menteri. Meskipun beban kerja pemerintahan Obama sangat berat dan parpol yang mendukung tidak mayoritas di Kongres, tetapi tidak pernah terpengaruh oleh jebakan transaksional dalam menentukan dan memilih jumlah menteri. Postur kabinet ramping akan memudahkan mengorganisasi birokrasi dan menata jalannya pemerintahan. 

Sekiranya semua anggota kabinet orang yang tepat, paham masalah dan ahli pada bidang kementeriannya, serta mampu mengeksekusi dan handal dalam pengawasan, setidaknya bisa mewujudkan harapan pemerintahan ke depan. Lima belas kementerian yang menjadi jatah parpol, bukan tidak mungkin menimbulkan ekses yang tidak sejalan dengan visi-misi Jokowi- JK. Tanpa bermaksud menafikan peran partai, tetapi dalam memilih calon menteri tidak boleh terjadi transaksional dagang sapi. Nama-nama calon menteri yang diusulkan parpol dan berbagai kalangan masyarakat tidak boleh diterima begitu saja tanpa uji kompetensi dan integritas. 

Adanya rencana Jokowi untuk menyerahkan nama-nama calon menteri yang sudah final ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri rekam jejak, tentu patut diapresiasi. Sebab begitu banyak nama-nama yang disampaikan, termasuk dari “tim head hunter“ yang belum tentu layak masuk dalam jajaran kabinet kerja. 

Memancing KMP? 

Janji akan memberikan kursi menteri bagi parpol yang tergabung dalam KMP, tentu sesuatu yang wajar. Tetapi melihat soliditas KMP, kecuali PPP yang sempat hengkang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) saat pemilihan pimpinan MPR, rasanya amat susah pancingan itu berhasil. Malah bisa membuat galau partai yang sejak awal mendukung jika kursi menteri yang diberikan tidak proporsional. 

Kecuali terjadi pergantian ketua umum Partai Golkar yang cukup berpotensi meninggalkan KMP, terutama jika yang terpilih nanti sosok yang dekat dengan JK. Apabila KMP berantakan, sistem pemerintahan presidensial yang ideal tidak akan tercapai. Proses checks and balances yang lebih efektif dan proporsional, meskipun masih asing di Indonesia, seharusnya mulai dibangun pada pemerintahan Jokowi-JK. 

KMP yang mayoritas di parlemen bisa mendesain “keseimbangan” dengan pengawasan yang terukur dan strategis terhadap pemerintah. Semua program pemerintah yang pro-rakyat harus tetap diawasi, agar tidak melenceng dari relnya. Pola inilah yang dibutuhkan dalam mencapai Indonesia Hebat, bukan menguasai parlemen yang boleh jadi hanya menjadi juru bicara pemerintah.

Dalam skema sistem presidensial, saling kontrol dan mengimbangi antara legislatif dan eksekutif belum pernah terlaksana secara konsekuen. Presiden selalu berupaya menguasai

71

Page 72: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

parlemen dengan alasan agar kebijakannya tidak mendapat gangguan di parlemen. Secara teori, pandangan ini keliru sebab presiden justru akan kuat jika parlemen mampu melakukan pengawasan agar semua kebijakan presiden mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Gagasan Jokowi-JK yang menekankan “koalisi ramping” tentu wajar didukung lantaran menguatkan sistem presidensial. Apalagi, kebangkitan DPR mulai terasa dan sekilas terjadi proses checks and balances antara legislatif dan eksekutif, meskipun masih longgar sehingga harus diperbaiki oleh KMP. Pemerintahan mendatang tidak boleh mewarisi situasi politik yang serbaformalitas tanpa menekankan pada demokrasi substansial melalui penguatan semangat checks and balances. Kalau kabinet irit ramping tidak dikelola dengan baik, setidaknya akan menuai kritikan berkelanjutan yang tentu saja tidak efektif dalam membangun Indonesia. ●

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar 

72

Page 73: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Membangun Tradisi Oposisi

Koran SINDO

17 Oktober 2014

Meskipun tidak mungkin terjadi, sempat merebak spekulasi penjegalan pelantikan Presiden Jokowi. Kekhawatiran yang berlebihan itu muncul menyusul kembali kalahnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pemilihan pimpinan MPR. 

Dengan komposisi pimpinan DPR dan MPR, termasuk peta jumlah suara koalisinya, ada yang menduga akan ada upaya main kayu agar pelantikan presiden pada 20 Oktober 2014 terhambat. Bahkan, ada yang mengaitkan dengan skenario agar Susilo Bambang Yudhoyono bisa memperpanjang kekuasaannya. Ini adalah spekulasi yang tidak bisa dikonfirmasi dengan akal sehat dan tidak ada jalannya di dalam konstitusi. 

Sempat muncul statement Hashim Djojohadikusumo yang mengatakan Koalisi Merah Putih (KMP) akan menjadi oposisi aktif dan menghambat pemerintahan Jokowi. Kalimat keras Hashim bahwa Jokowi harus “membayar” pilihan politiknya meninggalkan kursi gubernur DKI Jakarta turut memberi aksentuasi persepsi adanya aksi politik yang akan dilakukan Prabowo dan koalisinya terhadap pemerintahan baru. Pernyataan ini belakangan diklarifikasi sendiri oleh Hashim sebagai pelintiran media. 

Beberapa politisi koalisi dwiwarna itu ikut menjelaskan bahwa yang menjadi semangat mereka adalah mengawal dan memastikan agar program-program pemerintahan Jokowi sejalan dengan kepentingan rakyat. Bukan menghambat, mengganggu, apalagi menjegal.

Komposisi kekuatan di parlemen setidaknya untuk sementara ini memang menunjukkan KMP jauh lebih kuat ketimbang KIH. Dalam lima kali kesempatan “pertempuran politik”, yakni pengesahan UU MD3, Tatib DPR, UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR dan MPR, koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta itu memimpin dengan skor 5-0. 

Dalam waktu dekat juga akan ada pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR. Jika metodenya voting, kemungkinan akan didominasi oleh fraksi-fraksi KMP. Fraksi-fraksi yang tergabung di dalam KIH, baru akan mendapatkan posisi pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR jika ada kesepakatan untuk musyawarah dan berbagi.

Peta koalisi politik di parlemen dengan hasil-hasil pertarungan yang sudah berlangsung memang cenderung kurang menguntungkan posisi Presiden Jokowi dan pemerintahan yang akan dibentuknya. Padahal, ini bukan peta baru. Koalisi ini terbentuk semenjak proses pilpres. Sebagian menganalisis KMP akan segera bubar setelah pilpres, tetapi kenyataannya

73

Page 74: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

tidak demikian. Pengelolaan KMP tampak sungguh-sungguh. Inilah yang membuat KMP sementara ini cukup solid dan berhasil menguasai Senayan.

Posisi KMP yang kuat di parlemen bisa berpotensi menciptakan kebuntuan politik, jika pemerintahan Presiden Jokowi tidak sigap dan cekatan dalam membangun komunikasi politik, termasuk kompromi-kompromi yang masuk akal agar kebijakan dan program pemerintah mendapatkan dukungan. 

Kesempatan Sejarah 

Namun, kuatnya KMP di parlemen juga bisa menjadi potensi besar untuk membangun tradisi oposisi yang kuat, sehat, dan produktif. Oposisi yang kuat akan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah yang kuat. Proses saling mengecek dan mengimbangi antara eksekutif dan legislatif tidak saja menjadi kapital untuk berjalannya demokrasi, tetapi juga untuk memastikan agar pemerintah bekerja dalam pengawasan yang efektif.

Oposisi yang kuat bukanlah ancaman bagi pemerintah. Justru oposisi akan memaksa pemerintah lebih hati-hati, cermat dan bekerja pada jalur yang benar. Oposisi yang kritis juga bisa memacu pemerintah untuk bekerja lebih keras untuk menampilkan prestasi terbaik.Capaian-capaian pemerintah inilah yang menjadi bahan berkontestasi dengan oposisi di depan publik.

Sejauh ini tradisi oposisi belum terbangun dengan baik. Secara konseptual, oposisi sudah diterima sebagai hal yang tak terhindarkan dan bahkan dihajatkan dalam pemerintahan demokratik. Tetapi di dalam praktik, di mata pemerintah oposisi masih sering dipahami sebagai kekuatan pengganggu, penghambat dan ancaman. Sebaliknya dari perspektif oposisi, kadang kala muncul semangat dan motivasi untuk membuat jalan-jalan buntu dan membuat citra bahwa pemerintah gagal. Oposisi seolah dilakukan dengan tendensi untuk mendestruksi kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Sekarang adalah tahun 2014. Sudah 15 tahun sejak pemilu pertama zaman Reformasi. Kita sudah melewati masa-masa awal belajar berdemokrasi. Sudah tiba saatnya memulai tradisi baru relasi eksekutif dan legislatif yang sehat dan konstruktif. Relasi yang dibangun di atas fondasi kekuatan yang sama-sama kuat dan rasa tanggung jawab atas tugas dan kewenangan masing-masing. Legislatif yang kuat bukan untuk menekan dan mengintimidasi eksekutif. Sebaliknya, eksekutif yang kuat bukan untuk bekerja semaunya sendiri dan anti-kritik. 

Tradisi Baru 

Tentu saja tidak gampang untuk membangun tradisi oposisi yang kuat, sehat, dan produktif, tetapi juga jelas bukan pekerjaan yang mustahil. Apalagi, sekarang ada potensi besar dan kesempatan terbuka dengan komposisi suara di parlemen yang sementara dikuasai KMP. Kesempatan sejarah yang baik ini sayang kalau lepas dan dibiarkan begitu saja. Bagaimana cara memulainya?

74

Page 75: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Pertama, mesti diniatkan dengan tegas bahwa menjadi oposisi adalah pilihan terhormat. Meskipun posisi sebagai oposisi awalnya merupakan konsekuensi dari kekalahan pada saat pilpres, menjalankan fungsi oposisi bukanlah sikap dan pilihan politik orang-orang kalah.

Kalah di dalam pilpres tidak berarti kalah segalanya. Menang pilpres juga bukan kemenangan mutlak segala-galanya. Justru kekalahan di lapangan eksekutif (pilpres) bisa menjadi jalan untuk kemenangan di lapangan legislatif, yakni dalam proses-proses politik di DPR.

Kedua, oposisi bukanlah “oposisionalisme”, bukan sikap waton sulaya alias asal beda. Oposisi berbeda dengan sikap asal bantah terhadap pemerintah. Oposisi sejati adalah kekuatan kontrol dan korektif jika pemerintah menyimpang dan sebaliknya sanggup memberikan dukungan jika pemerintah dalam posisi yang benar.

Waton sulaya atau sikap asal beda bukanlah oposisi, melainkan ekspresi ketidakdewasaan dalam berpolitik. Oposisi dipandu oleh nilai dan platform perjuangan, waton sulaya digerakkan oleh kemarahan dan dendam.

Ketiga, oposisi harus memiliki garis-garis nilai dasar perjuangan yang jelas. Itulah yang akan memandu dan sekaligus menjadi ukuran untuk menilai arah, kebijakan dan program kerja pemerintah. 

Jika nilai dasar perjuangan di bidang ekonomi adalah nasionalisme, kemandirian dan kerakyatan, misalnya, itu perlu dirumuskan dengan jelas dan dijadikan pedoman yang konsisten. Jika yang dijadikan nilai dasar perjuangan politik adalah Demokrasi Pancasila, rumusan dan agenda-agendanya harus jelas dan disosialisasikan kepada publik. Dengan demikian, oposisi bukan hanya kumpulan suara dan kekuatan, melainkan juga ide, gagasan, dan cita-cita yang jelas. Oposisi harus mempunyai platform perjuangan yang jelas sehingga mempunyai identitas. 

Keempat, oposisi atau koalisi oposisi harus dikelola dengan manajemen politik yang baik. Manajemen yang baik bukan saja terkait dengan peristiwa-peristiwa pengambilan keputusan di Senayan, melainkan juga dalam konteks konsolidasi ide dan rumusan-rumusan kebijakan yang diperjuangkan. Karena pemerintah punya segala perangkat untuk mendukung program-programnya berjalan, oposisi juga perlu merintis semacam Sekretariat Bersama (Sekber) yang membantu menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan bagi kerja-kerja oposisional yang produktif. 

Jika komandan koalisi pendukung pemerintah di parlemen jelas siapa orangnya dan biasanya terkait langsung dengan presiden, koalisi oposisi juga perlu memperjelas mekanisme pengaturan relasi politik internal, termasuk siapa yang menjadi pimpinannya.

Kelima, dari sisi pemerintah juga harus mulai belajar tidak alergi, benci, takut, dan terganggu dengan hadirnya oposisi. Pemerintah tidak perlu khawatir berlebihan dengan kekuatan oposisi. Sebaliknya malah harus membiasakan diri untuk melakukan kontestasi terbuka dan akuntabel dengan kekuatan oposisi.

75

Page 76: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Tentu tidak boleh lupa untuk membuka jalur-jalur komunikasi politik informal dan non-formal yang tidak selalu terbuka di depan media. Para komunikator yang andal sangatlah dibutuhkan. Pemerintah harus berani “berjalan keluar” atau go out dan bukan walk out dalam membangun komunikasi dengan simpul-simpul politik oposisi. Sesuatu yang sangat penting untuk menghindari jalan buntu pada saat terjadi pertarungan politik yang tajam.

Jika langkah-langkah itu dilakukan, insya Allah konstelasi politik di parlemen sekarang yang dinamis antara KMP dan KIH justru akan menjadi pintu pembuka untuk terbangunnya tradisi politik baru: oposisi Indonesia yang sehat, kuat, dan produktif. 

Publik juga akan melihat pertandingan yang menarik berupa perpaduan antara “logika kekuatan” dan kekuatan logika. Oposisi yang sejati pastilah bermanfaat untuk membangun Indonesia hebat dengan kibaran megah Sang Merah Putih. ●

ANAS URBANINGRUMKetua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia

76

Page 77: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Belanja Langsung Nyaman, Belanja Tak Langsung Meradang

Koran SINDO

20 Oktober 2014

Dalam sistem belanja pemerintah daerah dikenal dengan istilah belanja langsung dan belanja tidak langsung sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah berkali-kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21/2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahkan besaran belanja langsung merupakan gambaran dari komitmen pemerintah terhadap pembangunan masyarakat, sehingga sempat menjadi sorotan tajam terhadap belanja langsung daerah yang masih di bawah 50%. Porsi belanja langsung yang ideal adalah 70% dan belanja tidak langsungnya 30%. Bahkan apabila lebih besar dari itu jauh lebih baik.

Tapi kadang istilah ini akan menjadi aneh kalau melihat dokumen anggaran belanja daerah, karena banyak nomenklatur anggaran yang lucu. Sudut pandangnya murni akuntansi, bukan psikologi atau sosiologi pembangunan. Sebagai contoh, belanja barang dan jasa merupakan belanja langsung, tetapi menerjemahkan barang dan jasa menjadi tidak relevan dengan barang dan jasa untuk masyarakat karena jenis kegiatannya berwujud seminar di hotel, perjalanan dinas, sosialisasi pembangunan, membeli alat tulis kantor, honorarium pegawai, uang lembur, perawatan kendaraan bermotor, perawatan gedung kantor, yang semuanya menghabiskan cukup banyak anggaran. Ah, pokona mah kagiatan keur kasajahtraan pagawe we lah... lain jang kabutuhan rakyat (pokoknya kegiatan untuk kesejahteraan pegawai).

Sedangkan bantuan keuangan kepada instansi yang lebih rendah, seperti bantuan gubernur untuk kabupaten/kota, bantuan keuangan kepada desa, belanja hibah konstruksi untuk membangun jalan desa, irigasi desa, kantor desa, pos kamling, posyandu, sarana peribadatan, rumah rakyat miskin, bantuan pengobatan bagi masyarakat, bantuan penanganan bencana alam, dan kegiatan pembangunan desa lainnya yang memiliki dampak yang cukup luas bagi upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, dikatagorikan sebagai belanja tidak langsung. 

Besaran anggaran tersebut tidak akan memengaruhi prestise dari sebuah anggaran belanja, bahkan cenderung dianggap sebagai bentuk kelalaian pengelolaan keuangan karena belanja hibah dan belanja bantuan alokasi desa, yang merupakan komponen belanja tidak langsung, tidak boleh lebih besar dari besaran alokasi belanja langsung. Padahal ceuk kuring, apanan ieu nu langsung karasa ku rahayat. Kunaon jadi teu langsung? Ah, teu ngarti (menurut saya, kan seperti ini yang terasa oleh rakyat. Mengapa jadi tidak langsung? Tidak mengerti). 

77

Page 78: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Menurut saya, logika akuntansi harus berbanding lurus dengan logika sosiologi dan psikologi pembangunan bahwa konsepsi pembangunan merupakan konsepsi holistik keilmuan, bukan konsepsi sudut pandang, karena logika ini dapat disalahgunakan oleh para pengelola anggaran agar bisa sebesar-besarnya dengan mudah menikmati anggaran tanpa dikategorikan korupsi bahkan dapat mendongkrak prestise anggaran karena besaran belanja langsung menjadi tinggi. 

Enak kan? Ngeunah meureun... Nu kieu ngeunah ngaranna... geus mah babari nyusun anggaranna, babari ngaluarkeunna, babari nanggungjawabkeunna, halal deuih ngadaharna ceuk administrasi (enak kali...begini namanya enak… mudah menyusun anggarannya… mudah mengeluarkannya, mudah mempertanggungjawabkannya, halal pula untuk dimakan menurut administrasi). Padahal, sudut pandang belanja bukan hanya input dan output, tetapi harus ada outcome dan benefit bagi kepentingan masyarakat. Outcome dan benefit ini seringkali luput dari penilaian para auditor karena dianggap bukan wilayah administrasi audit, tapi wilayahnya politik audit yang merupakan kewenangan para legislator. 

Kalau legislatornya juga lupa, karena sibuk dalam perjalanan dinas dan bimbingan teknis yang sama harus dipertanggungjawabkan, lantas siapa yang mengoreksi politik anggaran kita? Kasihan Mang Udin yang rumahnya roboh, jalan ka lembur (ke kampung) yang kaya kobongan lele, kantor desa yang sudah déngdék (miring). Ah, pokona mah pikarunyaeun wé.. (pokoknya sangat memprihatinkan). 

Sedangkan hasil audit badan pemeriksa, APBD-nya teropini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), karena penyajian administrasinya sangat bagus, baik belanja modal, belanja barang, pengelolaan aset, alur kas, dan sebagainya. Euh, meni ngeunah pisan euy... surga sugan ieu mah... (sangat enak seperti di surga).

Kenyataan berikutnya, belanja langsung dalam bentuk belanja modal, barang dan jasa yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat, seperti membangun jalan, jaringan listrik, jaringan air bersih, penataan taman kota, ruang terbuka hijau, irigasi, sekolah dan berbagai kegiatan infrastruktur lainnya, sangat lambat penyerapannya, karena ketakutan para pengelola anggaran untuk melaksanakan kegiatan yang dianggap berisiko tinggi. Risiko tersebut adalah risiko berhadapan dengan aspek hukum akibat kelalaian pengelolaan administrasi dan kelalaian pengelolaan teknis konstruksi.

Anehnya, aktivis anti-korupsi kita, paling kencang menyoroti belanja seperti ini. Jangankan ada salahnya, nggak ada salahnya pun tetap dilaporkan. Kalau sudah dilaporkan, urusannya bukan benar dan salah, tapi capenya itu, matak stres we pokona mah. Itulah yang bikin pegawai pada nggak mau jadi pelaksana kegiatan, padahal ini yang jadi inti keberhasilan anggaran. 

Sedangkan belanja langsung yang di atas, jarang ada aktivis LSM yang melaporkan, apalagi oleh LSM abal-abal, bisa jadi karena dia nggak ngerti, karena tidak terlihat. Dampak dari rasa takut pengelola anggaran terhadap belanja kerakyatan yang beresiko, akibatnya rakyat

78

Page 79: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

juga yang merasakan dan dirugikan, karena dalam setiap tahun terjadi penumpukan Silpa (Sisa Lebih Penghitungan Anggaran) di berbagai daerah. Tidak tanggung-tanggung, Silpa tersebut kadang mencapai 50% dari total anggaran. Bayangkan, kalau se-Indonesia disatukan, berapa ratus triliun tuh. Kalau APBN kita Rp2.000 triliun, SILPA-nya 40% berarti ada Rp800 triliun uang dalam setiap tahun nongkrong di bank. 

Enak bener yah, bank kita. Terus, uangnya dipinjamkan kepada pegawai negeri, pantesan atuh untung wae (pantas saja selalu untung). Kalau melihat hal tersebut, ini sudah merupakan kategori gawat, karena konstruksi anggaran yang dikumpulkan dari berbagai sumber pendapatan, baik eksploitasi sumber daya alam, pengumpulan pajak, pinjaman luar negeri, dan sumber-sumber lainnya yang diatur oleh undang-undang, tidak memiliki dampak yang besar bagi upaya mewujudkan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Logika anggaran pembangunan yang terlalu administratif telah mengerangkeng kreativitas penyelenggara negara untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan pelayanan umum masyarakat. Pada aspek lain, logika administratif telah dimanfaatkan oleh administrator ulung untuk hidup tenang dengan honor besar dan fasilitas sempurna, tapi tetap dikategorikan sebagai pejabat bersih karena tidak pernah bersentuhan dengan pelanggaran hukum. 

Ngeunah pisan nya (enak sekali ya) memanfaatkan istilah belanja langsung dan tidak langsung. Pada akhirnya ada belanja langsung yang bikin nyaman dan ada belanja tidak langsung yang bikin tidak nyaman... Siapa berani bikin belanja langsung sebanyak-banyaknya yang bikin nyaman para pegawainya, siapa berani nekat bikin belanja yang tidak langsung, tapi bikin nyaman masyarakatnya? 

Pék wé pikiran lah...!!! (coba pikirkan…!!!) Saatnya pengelola anggaran yang pasang badan demi rakyat dihargai, jadi pahlawan sejati, sedangkan yang ulung dalam administrasi tapi rakyat gigit jari dikasih gelar banci... Kalau yang ini nggak setuju juga nggak apa-apa... moal maksa, ah... (gak akan maksa ah).

Jadi menurut saya, judul belanja sudah saatnya kita ganti. Jangan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung, sebab ngabingungkeun. Ganti saja dengan Belanja untuk Pegawai dan Belanja untuk Masyarakat, biar nanti ketahuan gede mana bagian Kang Dedi dengan bagian Ma Icih. Dan ini berlaku bukan hanya untuk daerah saja lho, tapi untuk semua, termasuk kementerian dan semua lembaga negara. Setuju kan? Kalau nggak setuju juga nggak apa-apa.

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

79

Page 80: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Pertaruhan Jokowi-JK

Koran SINDO

20 0ktober 2014

Hari ini Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Seluruh komponen masyarakat, apa pun etnis, agama, dan afiliasi politiknya, patut mengapresiasi momentum ini sebagai langkah penting dan menentukan perjalanan kesejarahan Indonesia. 

Jokowi sebagai presiden ketujuh diberi mandat sangat dahsyat yakni kuasa dan otoritas memimpin bangsa besar dengan segala kompleksitas persoalannya. Tak mudah, jalan yang akan ditempuh sangat terjal, curam, dan berisik! Butuh konsentrasi tingkat tinggi dalam mengendalikan birokrasi di tengah ekspektasi rakyat dan tekanan beragam pihak. 

“Oase” Elite 

Sebelum pelantikan Jokowi-JK digelar, ada beberapa momentum komunikasi politik para elite yang patut diapresiasi dan turut melahirkan suasana kondusif. Pertama, langkah simpatik pimpinan MPR yang secara khusus menemui Jokowi-JK (Senin,13/10), kemudian Jokowi berjumpa dengan Aburizal Bakrie (Rabu, 15/10), dan tentunya yang paling menyedot perhatian khalayak adalah pertemuan Jokowi dengan Prabowo Subianto (Jumat, 17/10). 

Perjumpaan para elite yang menjadi kunci dinamika politik nasional saat ini bak “oase” di tengah kegersangan politik kita sejak rivalitas pilpres bergulir. Polarisasi tajam dan penuh intrik menyebabkan politik Indonesia mencapai titik kulminasinya. Sempat muncul kekhawatiran akan ada kebuntuan dan tendensi saling menegasikan peran di antara kelompok-kelompok yang bertarung. Ini dipicu dari rivalitas koalisi pendukung Prabowo dan koalisi pendukung Jokowi yang sejak tahapan pilpres usai hingga jelang pelantikan terus bersaing menemukan akses terhadap kuasa dan sumber otoritas bagi mereka untuk lima tahun ke depan. 

Namun, kekhawatiran tersebut terobati dengan langkah elegan para elite untuk mengembangkan pendekatan public relations politik yang produktif. Perjumpaan Jokowi dengan Prabowo bisa jadi simbolik dan normatif, tetapi memiliki resonansi signifikan dalam perspektif pendidikan politik. Pesan kuat yang muncul dan impresif bagi khalayak adalah rivalitas memperebutkan kekuasaan tidak harus mengorbankan keindonesiaan.

Perjumpaan ini sangat penting memelihara semangat komunitarianisme yang menjadi basis tradisi masyarakat Indonesia yakni paguyuban (gemeinschaft) bukan patembayan (gesellschaft). Paguyuban merupakan kelompok sosial yang anggota-anggotanya memiliki

80

Page 81: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

ikatan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Sementara patembayan kelompok sosial yang anggota-anggotanya memiliki ikatan lahir yang bersifat jangka pendek.

Perjumpaan Jokowi dan Prabowo yang menjadi kompetitor di Pilpres 2014 bisa memelihara semangat komunitarianisme. Menurut Etzioni dalam The Spirit of Community (1993), komunitarianisme merupakan kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa ada puritanisme yang menindas. 

Substansinya tentu saja keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perjuangan kepentingan pribadi yang harus diimbangi dengan komitmen pada kebersamaan. Saat bicara keindonesiaan, ego dan pertentangan harus luruh pada jalannya agenda bangsa dan negara. Prabowo elegan dan simpatik saat mau menerima Jokowi, pun demikian Jokowi punya kecerdasan tradisional untuk menempuh komunikasi melalui saluran face-to-face informal daripada saluran formal organisasional yang kaku. 

Andai SBY, Megawati, Amien Rais, dan sejumlah tokoh lain bisa nyaman duduk bersama dan dipersatukan semangat keindonesiaan, bukan mustahil demokrasi kita akan semakin produktif. Perjumpaan bukan jaminan tidak ada kompetisi di kemudian hari. Sisi utama dalam politik tentu saja rivalitas sepanjang hayat. Hanya, rivalitas harus mengedepankan keadaban publik bukan menjadi penghancur keberagaman terlebih memorak-porandakan kekitaan Indonesia. 

Dialektika Relasional 

Satu hal yang pasti, usai dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK tak punya banyak waktu berleha-leha. Butuh kecepatan, kecerdasan, dan kecermatan dalam menyusun program-program nyata yang bisa membahagiakan rakyat, bukan segelintir elite. Bukan waktunya lagi pencitraan dan berwacana. Fokus Jokowi-JK adalah membawa birokrasi bekerja produktif untuk mengonfirmasi janji-janji kampanye yang telah berserakan di beragam catatan publik. 

Pertaruhan pertama dan sangat menentukan langkah lanjutan bagi Jokowi-JK adalah pembentukan kabinet. Harapan publik sangat tinggi bahwa Jokowi harus menghadirkan kabinet berbasis meritokrasi. Sederet sosok di kabinet Jokowi-JK akan menjadi impresi awal dari publik terhadap Jokowi. Ini pertaruhan menjaga public trust karena sejatinya di situlah basis kekuatan Jokowi-JK. Saat DPR dikuasai secara dominan oleh koalisi Prabowo, sandaran kuasa Jokowi harusnya dukungan rakyat. Jika wajah kabinet lebih merepresentasikan pragmatisme politik, lewat akomodasi politik secara berlebihan, sangat mungkin kekecewaan publik muncul dan berkembang. 

Pertaruhan berikutnya adalah realisasi program jangka pendek dan menengah yang kerap dijadikan ukuran apakah pemerintahan Jokowi melaju ke arah yang tepat atau tidak. Contohnya, seberapa cakap dan cepat Jokowi merealisasikan program-program pro-rakyat

81

Page 82: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

yang sudah digadang-gadang sejak kampanye pemilu. Misalnya soal isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Terkadang masyarakat tak cukup memiliki kesabaran dalam menilai seperti apa pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan program jangka panjangnya. Karena itu, beragam program jangka pendek dan menengah menjadi pertaruhan menentukan!

Situasi semacam inilah yang oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya, Relating Dialogues and Dialectics (1996), digambarkan dapat menghadirkan dialektika relasional. Situasi yang dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika sekaligus indikator untuk mengukur performa pemerintahan Jokowi-JK.

Impresi publik menjadi sangat penting bagi perjalanan awal pemerintahan Jokowi-JK karena ini akan menumbuhkan harapan, dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantongi usai pemilu. Sebaliknya, jika pertaruhan ini gagal, persoalan berat menghadang di depan mata; kontrol kekuatan non-pemerintah di DPR begitu kuat, dan dukungan publik akan melemah. Selamat bekerja keras Jokowi-JK! ●

DR GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

82

Page 83: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Pasang Naik Presiden Jokowi

Koran SINDO

21 Oktober 2014

Senin, 20 Oktober 2014, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Yang membedakan dengan sebelumnya, kali ini pelantikannya tidak hanya khidmat di Gedung MPR, tetapi juga meluap ke luar. 

Dengan kereta kencana, pasangan terpilih dalam Pilpres 2014 ini diarak. “Pesta rakyat” dan istana menyambutnya. Inilah babak baru sejarah politik Jokowi sebagai manusia politik paling fenomenal di Indonesia saat ini.

Pelantikan Senin terjadi ketika kebekuan politik nasional cair, terutama pascapertemuan Jokowi dengan Prabowo Subianto, rivalnya dalam pilpres. Sebelumnya, para pendukung Jokowi sangat resah dengan sikap Prabowo dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan pilpres. Pascapenolakan seluruh gugatan oleh MK, ternyata tidak menyurutkan agenda politik KMP untuk, dan akhirnya, “menguasai kepemimpinan parlemen”. Kondisi demikian semakin mengkhawatirkan kubu pro-Jokowi.

Pertemuan Jokowi dengan Prabowo, kendatipun tidak menghapus formasi kepolitikan yang sudah terbentuk, merupakan perkembangan politik penting dalam proses komunikasi politik antarelite nasional. Jokowi tampak menyadari betul bahwa mencairkan kebekuan komunikasi adalah bagian integral dari pekerjaannya sebagai presiden terpilih. Nyatanya, Jokowi mampu memainkan peran sebagai komunikator politik “tanpa beban”, ketimbang Megawati Soekarnoputri. 

***

Gegap gempitanya pelantikan Jokowi-JK pun menandai puncak “euforia” pendukungnya. Masa bulan madu tengah berlangsung sejak kemenangannya, dan pesta pelantikan menandai babak awal yang “pasang naik”. Tumpuan harapan, terutama terhadap kebijakan-kebijakan yang populis, segera dijatuhkan ke pasangan yang didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) itu. Para pendukungnya memang masih belum dilekangkan dengan janji-janji populis kampanye pilpres yang membuat harapannya melonjak.

“Karisma” Jokowi hadir dari gaya kepemimpinannya yang populis. Populisme politik, kendatipun tidak ada definisi baku terhadapnya, sangat menonjol dalam kepemimpinan Jokowi sejak ia menjadi wali kota Surakarta, kemudian gubernur DKI Jakarta. Jokowi meringkasnya populisme dalam istilah “blusukan“. Ia mendatangi warga dan berbincang-bincang dengan mereka. Ia juga membuat kebijakan yang kelihatannya sepele, tetapi

83

Page 84: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

membuat publik mengapresiasinya, setelah terus-menerus diberitakan media massa. 

Populisme ialah yang terkait dengan kebijakan untuk kepentingan rakyat yang dapat dilihat secara langsung dampaknya, atau hal-hal yang terkait dengan keberhasilan komunikasi elite dengan rakyat secara “tanpa jarak”. Jokowi bisa memerankan yang kedua itu sedemikian rupa, tampak lebih alamiah, karena memang ia politisi yang “orang biasa”. Jokowi hadir dalam pentas politik Indonesia, bukan dalam konteks yang bergenealogi aktivis atau dinasti politik. Ia seorang sarjana kehutanan yang melejit sebagai pengusaha mebel di Surakarta. 

Jokowi memang fenomenal, karena mampu merebut perhatian publik luas setelah menjadi politisi. Ia diuntungkan oleh situasi kepemimpinan nasional yang bergaya sangat formal dan kaku. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden ternecis kedua setelah Bung Karno. SBY sangat memperhatikan cara berpakaian dan bertutur kata dalam pidatonya. Banyak yang membaca SBY adalah presiden yang suka pencitraan, dan justru karena itu ia malah dikesankan “kurang otentik” dan menjadi ekstrem lain gaya kepemimpinan Jokowi. 

Ketika gaya kepemimpinan nasional didominasi formalitas yang mengesankan adanya jarak lebar dengan “rakyat”, Jokowi mengambil alternatif lain. Gaya kepemimpinannya mirip Mbah Maridjan, penunggu Gunung Merapi yang demikian populer tempo dulu. Tetapi, tentu saja, Jokowi lebih canggih ketimbang Mbah Maridjan, lagi pula konteksnya, Jokowi merupakan pemimpin formal. Eksplorasi gaya kepemimpinan informal Jokowi dimaksudkan “memperpendek jarak” dengan yang dipimpin.

Ketika menjadi wali kota Surakarta, sesungguhnya tidak semua kebijakannya istimewa, kecuali populisme yang terus diberitakan media. Media melesatkan popularitasnya. Ia segera menjadi ikon dan lakon dalam serial panjang karier politiknya yang berpuncak sebagai presiden.

Populisme Jokowi kali ini justru akan menghadapi ujian dari internal pemerintahan sendiri, termasuk dari JK sebagai sosok senior yang rasional dan jajaran menteri kabinet yang membidangi ekonomi. Beban dan tantangan ekonomi Indonesia cukup berat, sehingga bisa dipahami manakala pemerintahan Jokowi merencanakan menaikkan harga bahan bakar minyak, dengan dalih beban subsidi negara sudah sangat tinggi. 

Kebijakan demikian tentu tidak populer. Jokowi sebagai “sosok karismatik”, karenanya akan diuji, apakah ia akan dapat meredam protes-protes yang muncul, secara argumentatif dan empatik.

Masa bulan madu juga dapat terganggu oleh pilihan pemerintah dalam menyusun kabinet. Reputasi, integritas, dan kompetensi sosok-sosok kabinet akan dilihat. Jokowi yang harus memilih sosok-sosok yang direkomendasikan partai-partai pendukungnya serta para profesional murni, dihadapkan pada penerimaan publik dan pasar. 

Akhirnya, Jokowi-JK benar-benar dipaksa untuk “back to the reality“ dalam mendesain dan

84

Page 85: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

menggolkan kebijakan-kebijakan pemerintahan, kendatipun harus berhadapan dengan parlemen “yang galak” karena didominasi oleh Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kelompok penyeimbang.

***

Pemerintah tentu punya berbagai rencana kebijakan yang bagus. Misalnya, bagaimana “poros maritim” diwujudkan. Terhadap hal-hal demikian, parlemen tentu tidak punya “alasan” untuk menolak, kecuali mengawasi jalannya kebijakan. Parlemen punya peran penting dalam mengoptimalkan fungsi pengawasannya, karena banyak “kebijakan baru”, kalau bukan “eksperimentatif” yang akan menandai era Jokowi. 

Pemerintah akan tetap punya kebijakan populis dan yang berpotensi sebagai terobosan, selain kebijakan yang tidak populer. Pada akhirnya, politik adalah persepsi, dan kelak publik akan menimbang, apakah pemerintahan Jokowi akan tertutup oleh kebijakan-kebijakan populernya atau sebaliknya. Dalam konteks ini, wajar pula manakala salah satu indikator penilaiannya adalah, apakah kebijakan-kebijakan pemerintah banyak menguntungkan “pihak asing” ataukah kepentingan nasional. Begitu dilantik maka Jokowi-JK resmi masuk gelanggang politik kenegaraan, sebagai aktor utama perpolitikan bangsa sebagai representasi utama kelembagaan eksekutif. 

Indonesia menganut sistem presidensial dalam pemerintahannya. Karena itu, kendatipun bisa direpotkan oleh parlemen, presiden punya kekuatan politik yang besar. Pengelompokan politik parlemen ke dalam KMP dan KIH, teoritis berdampak pada penguatan sistem presidensial. Karenanya dengan realitas kepemimpinan parlemen yang didominasi penyeimbang, tidak perlu dikhawatirkan, kendatipun menuntut kecanggihan komunikasi politik.

Selamat datang pemerintahan baru Jokowi-JK, selamat bekerja untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. ●

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

85

Page 86: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Jokowi, Selebrasi dan Modal Politik

Koran SINDO

21 Oktober 2014

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah manusia biasa. Dia bukanlah manusia setengah dewa (demigod) atau figur tiada bercacat. 

Bagi para pendukungnya, Jokowi adalah sosok yang saat ini amat tepat untuk memimpin bangsa dalam meraih kejayaan dan kehidupan yang lebih layak. Sosoknya yang apa adanya menjadi harapan akan hilangnya kepalsuan dan segala macam kamuflase yang manipulatif. Jokowi adalah juga satu di antara para penghancur tembok protokoler birokratis yang telah membuat seorang pemimpin menjadi untouchables (tak tersentuh) dan tidak sensitif pada aspirasi rakyat. Dia adalah sosok yang membumi, yang memahami apa yang dicita-citakan terutama oleh kalangan masyarakat kebanyakan. 

Di mata para pengagumnya, Jokowi adalah sebuah keharusan yang patut diperjuangkan kehadirannya sekarang juga. Namun bagi para penentangnya, Jokowi tak lebih dari sekedar bidak yang digerakkan oleh tangan-tangan di balik layar yang berorientasi sempit dan eksklusif. Sosoknya yang terlalu membumi menyebabkannya lebih pantas menjadi seorang manajer di level pemerintahan daerah, dan bukan pemimpin (leader) yang memiliki kecanggihan visi menembus waktu untuk negara besar seperti Indonesia. 

Dan, segenap janji yang masih terbengkalai atau terlupakan menyebabkan dirinya sulit diandalkan. Lebih dari itu, Jokowi adalah sosok politisi biasa yang dalam sebuah keterdesakan atau sebuah kesempatan bisa saja berubah haluan atau kebijakan. Bagi para pengkritiknya, dia adalah sosok yang amat sadar pencitraan dalam jubah populisme. 

Terlepas dari beragam persepsi atasnya, saat ini Jokowi adalah presiden terpilih dari sebuah mekanisme demokratis yang sah. Keberadaannya dijamin secara konstitusional. Sebagai seorang presiden dalam sebuah sistem demokrasi, harus dapat dipahami bahwa saat ini dirinya adalah sosok yang memiliki legitimasi untuk mendapat giliran melaksanakan amanat atau mandat rakyat. 

Eksistensi Relawan, DPR, dan Asing 

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemimpin di negara demokrasi, selain kapasitas individu dan orang-orang di sekitarnya, setidaknya ada tiga modal dasar yang dimiliki Jokowi yang dapat membantunya menjalankan amanat rakyat. Pertama, adalah fanatisme dari para pendukungnya atau jamak disebut sebagai relawan. Eksistensi relawan yang mencerminkan

86

Page 87: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

bekerjanya populisme ini merupakan modal besar untuk dapat membantu presiden dalam menyosialisasikan maksud kebijakan dan kehendak presiden, sekaligus turut menjaga kepercayaan diri masyarakat pada Jokowi. 

Pun mereka dapat diandalkan untuk menangkal isu-isu yang tidak benar termasuk kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat. Para relawan dapat menjadi penyeimbang (pihak ketiga) dari segenap upaya mengadu domba presiden dan kelompok masyarakat atau institusi tertentu.

Kedua, badan legislatif atau DPR yang berkomitmen untuk menjadi penyeimbang dirinya. Sebuah kebetulan yang patut disyukuri bahwa kehadiran presiden seperti Jokowi dibarengi dengan kehadiran DPR yang telah memantapkan sikap untuk membantunya menghasilkan dan menjalankan kebijakan yang berkualitas, melalui sebuah pengawasan semesta. 

Dalam hal ini, sekali lagi perlu dipahami bahwa demokrasi menyaratkan sebuah division of power, yang mewujud pada keberadaan cabang-cabang trias politica. Dengan demikian, secara substantif demokrasi jelas menolak accumulation of power dalam satu tangan, yang notabene telah menjebak bangsa ini berkali-kali dalam sebuah model pemerintahan otoriter (baik atas dasar populisme atau pembangunanisme) atau belakangan model pemerintahan kartel. 

Oleh karena itu, upaya untuk konsisten dengan nilai-nilai demokrasi dalam rangka menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih sempurna, eksistensi DPR dari kalangan oposisi yang berupaya menjalankan semangat checks and balances jelas bukan justru sesuatu yang harus ditakuti melainkan merupakan modal yang amat berharga.

Ketiga, sentimen internasional yang positif. Sejauh ini terlihat cukup jelas sinyal optimisme dari pihak asing, baik dari kalangan pemerintahan maupun dunia usaha. Hal ini karena secara umum Jokowi dipandang sebagai figur yang bersahabat dan tidak agresif, dengan cita-cita utama yang lebih fokus pada pembenahan ke dalam (inward looking). 

Bagi negara-negara sahabat di belahan dunia Barat dia pun dipandang memiliki track record atau catatan masa lalu yang tidak cacat atau bermasalah. Sentimen positif pemerintah asing dan pasar global yang positif itu tentu saja merupakan modal yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi pemerintahannya di kemudian hari. Tidak saja kondisi ini dapat bermanfaat dalam turut melapangkan program kebijakan beliau, namun pula dalam membantu Indonesia untuk semakin berkibar dalam percaturan internasional. Ketiga hal di atas tentu saja perlu dikelola dengan apik dalam semangat kenegarawanan dan kebangsaan yang tinggi. 

Objektivitas dan kearifan dalam melihat kualitas pemerintahan Jokowi harus dikedepankan. Tanpa itu, ketiganya justru dapat menjadi kontraproduktif bagi eksistensi pemerintahan Jokowi. Semangat tinggi relawan yang tidak pada tempatnya, dengan prinsip dasar Jokowi can do no wrong, misalnya, hanya akan menajamkan skisma bahkan konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, penyikapan yang kurang tepat atas DPR dengan halusinasi dan

87

Page 88: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kecurigaan berlebihan bisa saja berujung pada deadlock berkepanjangan. Dan kesalahan dalam merespons pihak asing, bisa jadi justru dapat melanggengkan situasi asimetris zonder kewibawaan. 

Fokus dan Berwibawa 

Saat ini dan ke depan, masyarakat berharap agar Presiden Jokowi dapat fokus pada pekerjaan pokoknya sebagai orang nomor satu di badan eksekutif. Adalah sebuah kabar baik jika memang pemerintahan Jokowi-JK mampu untuk dapat segera berkiprah dan membuat gebrakan-gebrakan yang aspiratif dan efektif dalam mengurus pemerintahan dan (terutama) masyarakat banyak. Untuk itu, akan semakin baik jika presiden tidak terjebak dalam upaya-upaya politis untuk sekadar mengamankan kekuasaannya di mata DPR. 

Di sisi lain, hilangkan pula segala tetek bengek pencitraan populisme yang dapat membawa pada pengultusan tanpa banyak manfaat, layaknya yang terjadi pada masa Evita Peron di Argentina. Kemudian, pastikan bahwa bangsa ini memang memiliki seorang presiden dan bukan sekadar alat partai. Jokowi harus segera dapat menjelmakan dirinya sebagai alat bangsa yang berwibawa dalam kendali volunte generale seluruh rakyat Indonesia yang tengah bergerak menuju misi luhurnya. 

Dalam kepentingan ini, dirinya harus segera dapat memastikan penghentian segala bentuk pola hubungan yang dapat melanggengkan oligarki yang berdampak pada pengerdilan dari kebesaran makna seorang presiden Republik Indonesia. Pembebasan dari jebakan kebergantungan oligarkis dan terwujudnya independensi yang berwibawa merupakan sebuah keharusan. Dengan itulah pemerintahan Jokowi benar-benar dapat fokus menjadi pelayan kepentingan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Dan, pada akhirnya membuktikan bahwa selebrasi atas dirinya memang berarti selebrasi bagi kita semua, rakyat Indonesia. ●

FIRMAN NOOR PhD

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI

88

Page 89: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Tamu Negara dan Prioritas

Koran SINDO

22 Oktober 2014

Pesta rakyat menyambut berkuasanya Presiden Joko Widodo membawa gelombang harapan dari sejumlah negara sahabat. Sejumlah pejabat tinggi dan pimpinan negara hadir dalam pelantikan presiden dan wakil presiden Indonesia ketujuh ini meskipun tidak dengan undangan.

Jika dicermati, sebagian besar tamu negara yang hadir dalam acara pelantikan adalah pejabat tinggi dari negara-negara tetangga, misalnya Sultan Brunei Darussalam HM Sultan Hassanal Bolkiah, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak. 

Kemudian Gubernur Jenderal Papua Nugini Michael Ogio, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario, dan Utusan Khusus Presiden Vietnam. Selebihnya hadir pejabat dari Amerika Serikat, Selandia Baru, Kerajaan Belanda, Republik Korea, Kanada, Sri Lanka, Rusia, Turki, Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok. 

Di antara tamu-tamu negara tersebut, menarik bahwa yang dipilih untuk ditemui pertama-tama oleh Presiden Joko Widodo adalah Perdana Menteri Singapura, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri Australia, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Negara yang mendapatkan kesempatan utama untuk bertemu Presiden Joko Widodo juga menerima kehormatan karena hal itu menunjukkan makna yang mendalam. Prioritas untuk melakukan pertemuan juga disesuaikan dengan jabatan perwakilan yang diutus. Kepala pemerintahan atau kepala negara akan mendapat prioritas utama ketimbang menteri luar negeri atau jabatan di bawahnya. 

Ada setidaknya dua hal penting yang tersirat dalam prioritas penerimaan tamu negara tersebut. Pertama, Indonesia menyambut inisiatif dari negara-negara tetangga untuk menjaga dan mengembangkan relasi positif dalam kurun 5 tahun mendatang, termasuk dalam memperbaiki ketegangan yang pernah mengganggu hubungan kedua pihak.

Kedua, pemerintahan Jokowi mengutamakan penyelesaian ”pekerjaan rumah” dari negara- negara terdekat, dimulai dari negara tetangga yang berbatasan langsung dan sedang atau masih dirundung masalah, diikuti negara-negara yang memainkan peranan penting di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. 

Dengan Singapura, misalnya, ada isyarat bahwa pertemuan dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong akan membuka komunikasi yang lebih produktif dan kerja sama yang baik

89

Page 90: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

mengenai kesamaan prioritas kedua negara. Kita tahu pemerintahan yang bersih adalah prioritas dalam pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintahan di Singapura sehingga kerja sama pencegahan korupsi menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Urusan ekstradisi koruptor dan pencegahan tindak pencucian uang menjadi penting untuk dikembangkan. Selain itu, ada masalah penanganan asap yang masih menjadi problem tahunan, problem penyelundupan, selain tentu saja potensi kerja sama ekonomi.

Selain itu, Singapura perlu dijaga perasaannya juga karena Indonesia berniat mengembangkan potensi kelautan dan menjaga wilayah perbatasannya dengan lebih tegas. Jangan sampai niat Indonesia tersebut dianggap ancaman karena selama ini Singapura diuntungkan oleh berkembangnya industri penerbangan dan pelabuhan. 

Dengan Malaysia, sapaan kepada Perdana Menteri Nadjib mengisyaratkan relasi positif antarsaudara serumpun. Apalagi Malaysia juga sangat diharapkan berkembang semakin demokratis dan mendukung agenda-agenda perlindungan hak asasi manusia (HAM) di ASEAN. 

Kehadiran PM Nadjib salah satunya juga dimungkinkan karena dukungan Indonesia selama ini dalam membuka dialog lebih positif dengan pihak oposisi di Malaysia. Bukan rahasia lagi bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla berjasa melakukan pendekatan informal kepada PM Nadjib dan Anwar Ibrahim, memberi mereka harapan bahwa demokrasi punya masa depan di Malaysia. 

Dengan Australia, pertemuan Perdana Menteri Tony Abbott dengan Presiden Joko Widodo otomatis membalikkan kebuntuan komunikasi antarkedua negara sejak skandal penyadapan dan pengiriman kembali kapal-kapal pencari suaka ke wilayah perairan Indonesia. Ketegasan Indonesia tentang batas-batas perairan Indonesia semoga membuka peluang kerja sama di daerah perbatasan dan bukannya menjadi sumber ketegangan baru. 

Dengan Amerika Serikat (AS), dipastikan agenda kerja sama ekonomi, lingkungan hidup, dan pertahanan di kawasan maupun untuk mengatasi terorisme termasuk bagian dari hal-hal yang didiskusikan dengan Presiden Joko Widodo. AS sangat prihatin dengan perkembangan aliran ISIS dan ingin memastikan bahwa Indonesia ingin memeranginya. 

Indonesia yang memang menolak aliran ISIS perlu menegaskan bahwa dukungan dalam mencegah antiterorisme tetap harus berpegang pada penghormatan atas HAM, terutama terhadap hak-hak masyarakat sipil yang bisa menjadi korban ketika terjadi penindakan tegas terhadap kelompok ISIS. Dalam hal kerja sama kawasan, Indonesia pasti diminta penjelasan lebih lanjut mengenai ide poros maritim dan bentuk penguatan pertahanan laut. 

Hadirnya tamu-tamu negara adalah sinyal dukungan dan keinginan berelasi baik dengan Indonesia. Pada akhirnya Indonesia pula yang perlu menindaklanjutinya dalam bentuk diplomasi. Karena mustahil hal-hal detail dapat dibahas dalam pertemuan singkat tamu negara dan Presiden. Pihak Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan perlu

90

Page 91: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

sigap menindaklanjutinya sesuai dengan turunan arah kebijakan yang dikehendaki pemerintahan Indonesia yang  baru.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 

91

Page 92: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Harapan Kinerja Hukum Pemerintahan Jokowi-JK

Koran SINDO23 Oktober 2014

Sampai kemarin harap-harap cemas mengenai siapa calon menteri, khususnya bidang hukum dan penegakan hukum, amat terasa bukan bagi ahli hukum saja, melainkan juga pemangku kepentingan lain seperti kalangan pengusaha nasional dan asing. Mengapa? Alasan sederhana, karena mereka ingin Indonesia dihormati sebagai negara yang cinta damai, aman, dan nyaman serta setiap aktivitas selalu terlindungi secara hukum. 

Keinginan tersebut tentu bersifat universal pada setiap bangsa dan di semua negara. Keinginan dimaksud tidak selalu tercapai dan bagi Indonesia, setelah melampaui masa pemerintahan enam presiden juga masih jauh dari harapan tersebut.

Mengapa? Jawaban atas pertanyaan sangat kompleks, tidak cukup satu dua halaman, bahkan mungkin ratusan halaman jawaban sekalipun sulit menjawabnya.

Tampaknya pemimpin nasional Indonesia kewalahan membenahi masalah hukum dan penegakan hukum. Bukan mereka tidak mau, namun tidak mampu disebabkan tidak berjiwa hukum dalam setiap kebijakan politik di segala bidang. Apa maksudnya? Berjiwa hukum adalah memandang hukum tidak sekadar norma dan logika semata, tetapi sebagai sebuah nilai (values) yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila di dalam penyusunan dan pembahasan setiap rancangan UU dan keputusan politik.

Dalam pengamatan penulis, nilai tersebut telah ditinggalkan. Sekalipun dalam bab “mengingat” setiap UU selalu dicantumkan UUD 1945, tetapi dalam penyusunan dan pembahasan RUU dilupakan. Alasannya hanya karena tidak cocok dengan nilai baru (modern) yang intinya bersumber pada filsafat liberalistik individualistik dan berpihak pada kaum pemilik modal (kapitalis). Konteks ini bertentangan secara diametral dengan keberpihakan pada paham musyawarah dan mufakat dan gotong royong yang bertujuan menyejahterakan sekitar 240 juta jiwa rakyat Indonesia.

Siapa yang tidak tahu masalah ini tentu hanya berpura-pura tidak tahu, apalagi pejabat negara yang ketika disumpah menyatakan akan setia pada Pancasila dan UUD 1945. Namun apa lacur, kenyataan hidup pemerintahan kita selama enam kali masanya mempunyai arah lain yang dianggap lebih penting dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.

Sebanyak 35% rakyat miskin tentu tidak mengetahui, lagi pula tidak perlu mengetahui

92

Page 93: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kecuali perutnya terisi setiap hari dan esok lusa ada jaminan untuk tetap hidup lebih baik dari semula. Namun, pemimpin dalam bidang hukum sejatinya mengawal perjalanan kebijakan bidang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan dengan segala ramifikasinya. Bukan sebaliknya, hanya ingin menunjukkan kuasa hukum semata, apalagi dibarengi arogansi kekuasaan bak Petruk jadi ratu.

Masyarakat Indonesia termasuk patrilineal, bukan matrilineal, sehingga seyogianya para pendamping pimpinan nasional sampai jajaran di bawahnya tidak “mendominasi”, apalagi berperilaku sebagai “kepala kantor” karena baik-buruknya dan berhasil atau tidaknya kinerja suami adalah berada pada beban suaminya itu. 

Dalam bahasa birokrasi di Indonesia, ada pepatah “jika jalan depan susah bisa jalan belakang”, sudah menjadi “tradisi” pada setiap pergantian pemerintahan, tentunya kita tidak tahu komisi apa lagi yang patut mengawasi masalah ini.

Dalam konteks persaingan usaha yang didambakan sehat dan tidak curang, apalagi melibatkan korporasi asing, tentu korporasi nasional harus waspada dan menjaga kualitas kinerja menjauhi dari perbuatan suap untuk memperoleh proyek. Karena sudah banyak kasus baik di KPK dan kejaksaan, korporasi terlibat tindak pidana termasuk korupsi. Namun di balik itu semua, tidak semua kasus korporasi adalah murni pidana melainkan juga ada yang dilatarbelakangi persaingan usaha (bisnis) mungkin khas di Indonesia saja.

Petinggi hukum harus waspada terhadap iklim persaingan usaha baik antara korporasi nasional dan asing atau antarkorporasi asing, karena ada beberapa kasus korporasi disponsori oleh korporasi pesaingnya dengan tujuan menghancurkan kredibilitas korporasi melalui penetapan pengurusnya sebagai tersangka dan terdakwa. Dari sana bisa terjadi aset korporasi disita dan akhirnya dirampas dengan putusan pengadilan. Dan, dampak negatifnya adalah karyawan di-PHK dan devisa dan pajak badan sirna karenanya. Dalam kasus seperti ini, jelas kerugian keuangan negara menjadi lima kali lipat dan unik karena negara telah menimbulkan kerugian bagi negaranya.

Pak Jokowi dan JK, penulis dan tentu semua ahli hukum mendambakan pemimpin yang perhatian terhadap masalah hukum sebagaimana penulis uraikan di atas, khususnya dalam bidang perpajakan yang bak benang kusut. Di satu sisi, penerimaan pajak (dalam negeri/luar negeri) tidak pernah memenuhi target dalam setiap APBN dengan alasan jumlah wajib pajak (WP) yang baru mencapai 20 juta orang, dan kurangnya pegawai pajak berbanding jumlah penduduk (seharusnya jumlah WP). Selain itu, sistem otomasi perpajakan belum efektif sampai tingkat kecamatan/kabupaten/kota.

Di sisi lain, “hanky-panky“ fiskus dan WP masih belum berhenti mungkin akibat “self assessment“ yang disalahgunakan. Selain itu operasi perpajakan belum dapat menyentuh jaringan tersembunyi antara fiskus, atasan fiskus,dan WP.

Pemerintah SBY telah mengeluarkan empat Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi, alih-

93

Page 94: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

alih korupsi cepat diberantas, malahan korupsinya meningkat semakin cepat. Revisi UU KUP dan UU Tipikor sangat mendesak agar dapat dibenahi mana perbuatan fiskus atau WP yang murni sengketa pajak, pidana pajak atau termasuk tindak pidana korupsi. Sampai saat ini, pembedaan tegas belum jelas karena UU-nya dan iklim dunia usaha menjadi gamang khawatir berimbas menjadi korupsi hanya karena ada kerugian keuangan negara.

Visi dan misi hukum Indonesia ke depan seharusnya berbasis pada “cost and benefit ratio“ bukan hanya semata mata pada penilaian “benar (right) atau salah (wrong)” karena penilaian pertama telah gagal secara signifikan membangun masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman dan damai.

ROMLI ATMASASMITAGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

94

Page 95: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Hak Prerogatif Itu Simpel

Koran SINDO25 Oktober 2014

Selain banyak yang memuji, banyak juga yang menyayangkan Presiden Jokowi meminta rekam jejak calon menteri yang akan diangkat dalam kabinetnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sehingga memperlambat pelantikan kabinet yang akan dipimpinnya.

Mereka yang menyayangkan dan mengkritik langkah Jokowi itu mengatakan bahwa pengangkatan menteri merupakan hak prerogatif Presiden yang bisa langsung dilakukan tanpa harus meminta catatan atau opini dari KPK dan PPATK. Bahkan ada yang kemudian menyatakan, atas langkahnya itu Jokowi telah mengurangi energi hak prerogatifnya, lebih-lebih setelah ada pernyataan keras dari Ketua KPK Abraham Samad bahwa calon menteri yang diberi kode stabilo merah dan kuning tidak boleh diangkat menjadi menteri.

Terlepas dari pernyataan Abraham Samad yang mungkin berlebihan karena berpretensi mengintervensi hak prerogatif Presiden, bagi banyak orang, termasuk saya, langkah Presiden Jokowi meminta rekam jejak, bahkan opini, kepada KPK dan PPATK, itu bukan hanya diperbolehkan, tetapi patut diapresiasi dengan diberi nilai tinggi.

Secara yuridis-konstitusional tidak ada larangan sama sekali bagi Presiden untuk meminta catatan atau opini dari siapapun untuk menggunakan hak prerogatifnya mengangkat menteri, termasuk memintanya dari KPK dan PPATK. Bahkan secara substantif meminta atau tak meminta opini merupakan bagian dari hak prerogatif juga.

Arti ‘hak prerogatif’ itu simpel saja, yakni hak untuk menetapkan atau memutuskan sendiri tentang sesuatu tanpa boleh diintervensi atau dicampuri oleh siapa pun. Yang terpenting dari hak prerogatif adalah produknya, yang berbentuk keputusan atau ketetapan, itu dibuat atas hak dan kewenangan sendiri tanpa dicampuri pihak lain. Soal bahan-bahan untuk membuat keputusan atau ketetapan itu menghimpun bahan dari orang lain tentu boleh saja. Meminta bahan atau informasi dari istri, tetangga, atau kepala kampung yang bersangkutan sekali pun boleh; apalagi meminta dari KPK dan PPATK.

Bagi sebagian besar masyarakat langkah Presiden Jokowi meminta rekam jejak dari KPK dan PPATK merupakan langkah yang bukan saja boleh, tetapi juga sangat positif dan patut diapresiasi. Langkah itu harus dipandang sebagai komitmen tinggi dari Presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersih dari bau-bau korupsi. Tantangan Indonesia yang paling besar saat ini adalah pemberantasan korupsi dan dalam memeranginya harus dipimpin oleh pemerintah yang bersih dari korupsi.

95

Page 96: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Upaya memberantas korupsi harus dilandasi sikap dan pilihan politik untuk tidak toleran sedikit pun terhadap korupsi. Akan menjadi omong kosong siapa pun yang berbusa-busa mengatakan akan memerangi korupsi jika masih punya sikap toleran sekecil apa pun terhadap korupsi. Dalam konteks inilah kita harus memberi acungan jempol kepada Jokowi karena telah memulai langkah pemerintahannya dengan membersihkan dulu tubuh kabinetnya dari kuman-kuman korupsi.

Banyak yang berharap agar langkah Jokowi untuk membersihkan tubuh pemerintahan dari korupsi ini dapat dilakukan juga dalam penentuan pejabat-pejabat lain, seperti calon kepala daerah atau para pejabat eselon I dan II. Artinya, ada harapan yang sangat besar agar langkah Jokowi ini dijadikan semacam manual untuk pengangkatan pejabat; kalau perlu ditulis di dalam peraturan perundang-undangan.

Langkah seperti ini bukan hanya bermanfaat untuk jangka pendek dalam penentuan pejabat pada periode tertentu tetapi sekaligus bisa bermanfaat bagi perang terhadap korupsi untuk jangka panjang. Sebab dengan manual seperti ini, siapa pun yang ingin kariernya bagus dan lancar, sejak awal sudah harus menjauhi korupsi agar kelak tak terhalang ketika akan menaiki tangga-tangga karier.

Kita memaklumi, permintaan record dari KPK dan PPATK itu sebenarnya juga merupakan upaya Jokowi untuk menyiasati tekanan politik yang harus dihadapi, misalnya, sodoran nama-nama calon menteri dari parpol-parpol yang sebenarnya resisten di mata publik karena diragukan kredibilitasnya. Dengan itu Jokowi bisa mengatakan tak bisa mengangkat Si Anu karena menurut catatan KPK dan PPATK tidak bagus. Di sini terlihat kecerdikan Jokowi.

Kalau pada akhirnya Jokowi berhasil membentuk kabinet yang bersih dari orang-orang korup atau berbau korup, pertanyaan dan kekecewaan publik atas "sedikit" terlambatnya pembentukan kabinet akan langsung terobati. Kemelesetan jadwal-jadwal yang telah dijanjikannya, seperti dicatat di bawah ini pun, akan dimaklumi.

Hanya beberapa hari setelah dipastikan menang sebagai Presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi, Jokowi langsung membentuk Tim dan Rumah Transisi. Dari Tim dan Rumah itulah lahir konsep-konsep pembaruan dan janji-janji teknis. Misalnya, kabinet akan diumumkan sekitar September agar setelah dilantik bisa langsung bekerja tanpa membuang waktu untuk belajar lagi. Tapi kemudian yang berhasil diumumkan hanya perubahan nama-nama kementerian dan pengelompokannya yang itu pun masih berubah-ubah, terutama jumlahnya. Katanya, nama-nama menteri akan diumumkan sebelum pelantikan Presiden tetapi ini pun diumumkan diundur ke sore hari atau sehari setelah pelantikan. Setelah itu masih mundur dan mundur lagi.

Pertanyaan dan kekecewaan publik atas kelambanan langkah-langkah pembentukan kabinet itu akan langsung sirna jika akhirnya Jokowi bisa mengumumkan kabinet yang terdiri dari orang-orang bersih. Publik akan mengatakan, Jokowi hanya menunda soal teknis untuk menjaga dan menjamin masalah yang prinsip. Publik akan kembali menyambut dengan

96

Page 97: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

gembira dan gempita sambil mengatakan,"Tak salah rakyat memilih Jokowi."

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi

97

Page 98: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dilematika DPR dalam Penyikapan Perppu 1/2014

Koran SINDO29 Oktober 2014

Menurut mantan Presiden SBY (saat menjabat sebagai presiden) alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala Daerah) yaitu untuk menjamin pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945; kedaulatan rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan kepala daerah sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan. Jadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak sejalan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Selain alasan tersebut, juga pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi. Mengapa dengan perppu? Karena menurut mantan Presiden SBY, terdapat pertimbangan mengenai kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat tentang persyaratan perlunya perppu apabila:

1. Ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; dan

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dengan pertimbangan tersebut, Pasal 205 Perppu No 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dengan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014, wajar, logis, dan sah kalau Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menolak gugatan terhadap UU tersebut, karena objek uji materiilnya sudah tidak berlaku. Setelah gugatan ditolak oleh MK, bagaimana nasib Perppu No 1 Tahun 2014? Tentunya perppu tersebut harus diajukan oleh Presiden kepada

98

Page 99: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Di sini DPR hanya berwenang untuk menolak atau menyetujui saja, tidak ada pembahasan substansi. Apabila DPR setuju, Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi undang-undang yang definitif, sah, dan mengikat setelah diundangkan. Sebaliknya, apabila DPR menolak perppu tersebut, atas inisiatif DPR atau Presiden menerbitkan undang-undang yang isinya mencabut Perppu No 1 Tahun 2014.

Apabila DPR menolak dan selanjutnya terbit undang-undang yang mencabut Perppu No 1 Tahun 2014, dengan serta-merta Undang-Undang No 22 Tahun 2014 menjadi berlaku kembali seketika. Mengapa UU No 22 Tahun 2014 berlaku lagi seketika? Karena perppu yang mencabut UU No 22 Tahun 2014 tidak sah mencabutnya sehubungan dengan DPR telah menolak perppu tersebut menjadi UU. Dengan berlakunya kembali UU No 22 Tahun 2104, sesungguhnya tidak terjadi kekosongan hukum dalam mengatur pemilihan kepala daerah.

Dilema DPR

Bagaimana selanjutnya sikap DPR terhadap perppu yang akan diajukan kepadanya? Jika mayoritas suara DPR, dalam hal ini Koalisi Merah Putih (KMP), konsisten dengan sikapnya bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD, tentunya Perppu No 1 Tahun 2014 harus ditolak. Sebaliknya, apabila Koalisi Merah Putih berupah pikiran, tentu Perppu No 1 Tahun 2014 akan diterima untuk menjadi undang-undang.

Tersiar kabar bahwa Presiden SBY ketika itu sudah berkomunikasi dengan para pimpinan KMP dan konon ada kesepakatan bahwa KMP akan menyetujui perppu menjadi undang-undang, benarkah demikian? Ada analisis mengapa mantan Presiden SBY ”berani” menandatangani RUU PiIkada oleh DPRD yang diajukan oleh DPR, padahal Fraksi Demokrat di DPR ketika mengambil putusan justru walkout sehingga suara menyetujui pilkada oleh DPRD menjadi unggul.

Tindakan selanjutnya dari Presiden SBY adalah setelah Presiden menandatangani UU Pilkada oleh DPRD, segera SBY menerbitkan perppu untuk mencabut UU yang baru saja ditandatanganinya. Mengapa SBY bersikap demikian? Analisisnya: pertama, ada desakan masyarakat sehingga momentumnya harus dimanfaatkan untuk pencitraan bahwa SBY concern dengan pilkada langsung.

Kedua, dalam berbagai kesempatan SBY selalu membanggakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga yang berhasil membangun sistem ketatanegaraan dan politik yang demokratis. Ketiga, akan digelar pertemuan internasional di Bali yang membicarakan soal demokrasi, tentunya SBY sangat berkepentingan membangun image sebagai presiden yang berkomitmen pro-demokrasi.

Keempat, dengan strategi politik dua kaki yang dibuat SBY, Partai Demokrat berharap mendapat dukungan politik dari Jokowi dan partai koalisinya di satu sisi, di sisi lain juga dari

99

Page 100: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

KMP karena dengan walkout suara KMP menjadi unggul. Dengan tindakan walkout ini pula, sesungguhnya dikandung maksud sebagai strategi ”unjuk kuasa” bahwa saat itu Fraksi Demokrat adalah fraksi terbesar di DPR yang harus dihormati oleh fraksi-fraksi lain. Ini dengan mengajukan opsi ketiga yakni pilkada langsung dengan tambahan substansi 10 poin.

Kelima, konon ada komunikasi dan kesepakatan antara Presiden SBY dan KMP bahwa apabila diterbitkan perppu, akan didukung. Mengapa kesepakatan ini muncul karena Presiden SBY telah mampu ”mencegah” atau ”menghambat” terjadi gugatan di MK, yang berpotensi kuat akan membatalkan UU No 22 Tahun 2014 sehingga KMP tidak ”dikalahkan” lagi oleh MK untuk kesekian kalinya.

Keenam, memang perppu itu dibuat dengan ketulusan hati dan kejernihan berpikir Presiden SBY untuk benar-benar mengembalikan kedaulatan rakyat yang juga sejalan dengan pemilihan presiden secara langsung.

Timbul pertanyaan bagaimana selanjutnya nasib Perppu No 1 Tahun 2014 di DPR? Karena kesepakatan antara KMP itu terjadi dengan mantan Presiden SBY, khawatir Presiden Jokowi beserta mitra koalisinya tidak cukup mampu menggalang kekuatan agar KMP menerima Perppu No 1 Tahun 2104 untuk disahkan menjadi undang-undang.

Ada kekhawatiran juga apabila perppu memang ditolak, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) secara diam-diam pada dasarnya ikut menikmati dengan sukacita. Ini dapat terjadi sebagai upaya KIH menjalin hubungan dengan KMP semakin dekat dan hangat. Kalau begini akhir jalan ceritanya nanti, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Yang diuntungkan tentunya adalah seluruh partai politik, baik parpol di KMP maupun di KIH, dan yang dirugikan tentunya rakyat pemilih sebagai pemegang asli kedaulatan.

Untuk itu, agar rakyat percaya kepada DPR, mendesak agar DPR berpikir jernih, objektif, rasional, dan demokratis dalam penyikapan terhadap Perppu No 1 Tahun 2014.  

ASEP WARLAN YUSUF Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung

100

Page 101: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Realitas Divided Government

Koran SINDO29 Oktober 2014

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengumumkan Kabinet Kerja untuk masa bakti 2014-2019. Kabinet ini tentu tidak dapat memuaskan seluruh pihak dan sudah pasti tidak mungkin untuk melakukan hal tersebut.

Banyak pihak yang melakukan protes dan menyatakan kekecewaan karena beberapa orang yang diangkat menjadi menteri diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM, korupsi, atau dipertanyakan kemampuannya. Sementara pihak lain yang mengapresiasi mengatakan bahwa susunan Kabinet Kerja telah mencerminkan semangat Presiden Jokowi yang selalu menekankan kerja, kerja, dan kerja. Pihak yang tidak mendukung dan tidak mengkritik lebih bijak dengan mengatakan untuk memberikan kesempatan kepada para menteri untuk bekerja dan membuktikan dirinya.

Sebenarnya wajar bila persoalan setuju atau tidak setuju terhadap keputusan atau kebijakan yang diambil lembaga politik akan menimbulkan kegaduhan. Namun kegaduhan politik dalam level tertentu juga menimbulkan keresahan masyarakat, apalagi ketika kegaduhan tersebut mengindikasikan kecenderungan untuk membuat buntu pengambilan keputusan. 

Kita lihat bahwa ada dua kekuatan politik yang saat ini berhadap-hadapan, yakni Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, dan di antara mereka cukup sengit perbedaan pandangannya. Bagi generasi pemilih saat ini, kegaduhan ini merupakan hal baru; belum pernah dialami sejak era Reformasi 1998.

Kenyataannya, terbaginya dua kekuatan politik tersebut adalah kenyataan yang harus kita terima. Walaupun ada saja kelompok masyarakat yang menolak realitas baru ini dan merujuk pada nostalgia masa lalu di mana eksekutif dan legislatif relatif damai dan harmonis, kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Pasalnya, perubahan itu juga adalah konsekuensi dari harapan masyarakat yang menginginkan pemerintahan bersih dan tidak dilandasi kekuatan oligarki dan politik transaksional.

Pertanyaannya kemudian apakah pemerintah akan berjalan dengan efektif? Apakah kebijakan-kebijakan pemerintah akan mengalami hambatan yang berujung pada produk layanan masyarakat yang inferior?

Indikator Politik dan Lembaga Survei Indonesia (2014) menyimpulkan melalui penelitian mereka bahwa pemerintahan akan cenderung berjalan efektif apabila mayoritas suara di parlemen mendukung pemerintahan yang berkuasa. Survei terhadap kabupaten/kota yang

101

Page 102: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

melaksanakan pilkada tahun 2005 dan tidak mengalami pemekaran wilayah selama 2004-2009 memperlihatkan bahwa terjadi kemajuan ekonomi di kabupaten/kota yang pemerintah daerahnya memperoleh dukungan suara mayoritas di legislatif. Dukungan itu terutama terkait dengan Undang-Undang MD3 lama yang di dalamnya hierarki kepemimpinan dan alat-alat kelengkapan legislatif diatur sesuai dengan perolehan suara partai dalam pemilu sebelumnya.

Terlepas dari kurang tepatnya pengukuran divided government dan dampaknya dalam penelitian tersebut, mungkin juga karena rilis penelitian ini belum berbentuk artikel ilmiah, mereka ingin menunjukkan bahwa pemerintahan yang didukung suara mayoritas di legislatif lebih sedikit mengalokasikan belanja untuk pegawai, barang dan jasa, dan sebaliknya lebih banyak mengalokasikan belanja modal. Belanja modal memiliki makna positif karena menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah daya beli masyarakat.

Itu sebabnya kita kini perlu menelaah lebih jauh tentang fakta seputar risiko adanya divided government (pemerintahan yang terbelah dengan lembaga legislatif dan eksekutif dikuasai partai/koalisi yang berbeda) untuk konteks Indonesia.

Dalam politik di Amerika Serikat sejak 1901 hingga 2015, ada 40% masa terjadi divided government. Partai yang memenangi pemilu presiden tidak memiliki suara mayoritas di parlemen (House). Beberapa analis memiliki pendapat yang berbeda tentang sejauh mana pemerintahan yang terbelah itu mampu berjalan efektif. David Mayhew (1991) adalah salah seorang yang mengatakan bahwa pemerintahan yang terbelah tetap dapat berjalan efektif.

Ia melakukan pembuktian melalui penelitian tentang volume dari produk-produk perundang-undangan yang dikeluarkan pada 1947-1990 yang tidak terpengaruh jumlahnya. Ia juga mempertegas pendapatnya dengan membuktikan bahwa sejumlah undang-undang penting tetap dapat dihasilkan oleh pemerintahan Amerika Serikat pada 1991-2002.

Temuan tersebut dibantah oleh penelitian lain yang mengkritik metode pengukuran Mayhew. Beberapa peneliti menemukan bahwa pemerintah yang terbelah memang memiliki dampak dilihat dari rasio dari undang-undang yang disahkan dengan keseluruhan agenda legislasi dan bahwa UU yang tidak signifikan (trivial) akan lebih mudah lahir.

Namun yang menarik adalah simpulan baru bahwa divided government tidak memengaruhi lahirnya UU yang penting bagi Amerika Serikat. Lebih penting lagi, ada peneliti yang menemukan kebuntuan kebijakan juga dapat terjadi dalam unified government, yakni apabila suara mayoritas anggota parlemen yang mendukung pemerintahan berkuasa sangat heterogen kepentingannya dan tidak bisa dikonsolidasikan. Jadi satu koalisi atau bahkan satu partai pun belum menjamin mereka kompak.

Temuan-temuan tersebut perlu menjadi perhatian baik lembaga eksekutif maupun legislatif. Yang perlu dihindari adalah ketidakmampuan untuk mengubah kebijakan yang terbukti buruk efeknya. Ketidakmampuan ini akan merugikan masyarakat, khususnya ketika program-program yang tidak berjalan adalah program yang kritis dibutuhkan seperti bantuan sosial,

102

Page 103: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

asuransi sosial, kesehatan, standardisasi lulusan.

Yang juga perlu diantisipasi adalah reaksi masyarakat terhadap divided government dan ketidakberdayaan pemerintah menghadapi gempuran oposisi di parlemen. Efeknya terbilang langsung: masyarakat kita telah diambangkan dari kegiatan politik dan bersikap apatis bahkan cenderung sinis tentang kegiatan politik. Setiap hari media massa baik elektronik, cetak maupun media sosial terpapar oleh ulasan dan pembicaraan tentang konflik dan perseteruan yang tidak kunjung selesai antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.

Perpecahan itu tidak hanya terjadi di parlemen, tetapi juga mulai memengaruhi hubungan sosial masyarakat. Di media sosial seperti Facebook dan Twitter, banyak pengguna yang mulai memutus tali pertemanan hanya karena status dan komentar teman atau rekannya mulai mengganggu kenyamanan mereka.

Di beberapa tempat ibadah, perpecahan itu juga disebarkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini tidak sehat bagi demokrasi, khususnya ketika sebagian masyarakat mulai jenuh dan mulai mempertanyakan apakah demokrasi yang sedang kita jalani cocok dengan pilihan politik mereka, padahal konflik antardua kubu mungkin belum akan menyurut. Pemerintah masih harus terus berkonsultasi dengan parlemen untuk menghasilkan produk-produk hukum yang diperlukan untuk kebijakan mereka.

Demokrasi perlu melalui realitas kegaduhan macam ini dan divided government adalah realitas baru. Tak bisa kita bernostalgia belaka menginginkan suasana politik yang serbaharmonis, sementara memang ada banyak hal yang harus diperbaiki untuk negeri ini berkembang lebih optimal. Kita tetap harus percaya bahwa sistem politik yang sekarang kita jalani tidaklah sempurna, tetapi sudah berjalan di jalur yang benar. 

Mungkin yang perlu dilakukan untuk menghindari konflik di tengah masyarakat adalah metode atau cara politik yang lebih santun dari partai politik. Politisi harus mengetahui batas-batas ucapan mana yang dapat menimbulkan perpecahan nasional dan ucapan mana yang masih dalam koridor demokrasi.

DINNA WISNU, PhDCo-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

103

Page 104: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Kabinet Bukan Impian

Koran SINDO29 Oktober 2014

Minggu, 26/10/2014 sore menjelang malam hari, Presiden dan Wapres Joko Widodo-Jusuf Kalla akhirnya mengumumkan 34 nama sebagai menteri pembantu mereka. Tak ada yang istimewa dari drama pengumuman nama-nama menteri yang ditunggu-tunggu oleh publik. Kabinet Kerja Jokowi-JK pun tidak seindah yang diwacanakan sebelumnya, kabinet ramping dan profesional.

Sebulan sebelum Jokowi-JK dilantik, Rumah Transisi pernah meminta beberapa tim untuk menggodok postur kabinet. Usulan nomenklatur kabinet yang diberikan para ahli pun beragam, mulai dari kabinet ramping antara 22-23 kementerian hingga kabinet yang posturnya berjumlah tidak sampai 34 kementerian.

Dari usulan postur kabinet yang disusun para ahli, tak satu pun yang diterima Jokowi. Postur kabinet tampaknya lebih mengikuti cara berpikir Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak perlu berubah dari postur kabinet yang pernah ada sebelumnya, sehingga pemerintahan langsung bisa cepat bekerja. Wacana pun kemudian dibelokkan, diputar 360 derajat mengikuti logika perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah kementerian.

Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan, Singapura saja yang jumlah penduduknya lebih sedikit memiliki kurang lebih 34 kementerian, demikian pula dengan Malaysia. Wacana itu dimunculkan untuk melegitimasi bahwa gagasan perampingan kabinet oleh Jokowi tidak mungkin dapat dilakukan.

Ada dua faktor yang menyulitkan perampingan kabinet terjadi. Pertama, perubahan nomenklatur kabinet akan memakan waktu relatif panjang, bisa satu sampai dua tahun. Proses yang panjang dapat menghambat kerja pemerintah. Kedua, dengan perampingan, jatah menteri dari partai-partai koalisi bisa saja terkurangi. Atau kesulitan dalam memilih nama-nama orang yang disodorkan. Itu membuat langkah Presiden Jokowi terbatas.

Jokowi sebagai presiden tampaknya tidak dapat berbuat banyak, kalau tidak dikatakan ”pasrah,” dalam menentukan skenario postur kabinet yang berisi jatah partai koalisi, unsur profesional, dan orang-orang tertentu ”yang dititipkan”. Dari 34 kementerian yang diumumkan, partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memperoleh lebih dari 20 jatah kursi, sisanya 14 menteri diisi kalangan profesional dan militer. Tidak ada yang baru dari komposisi postur kabinet Jokowi-JK, yang berasal dari politisi partai, militer, pengusaha, dan profesional.

104

Page 105: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dari postur kabinet yang diumumkan hari minggu yang lalu, partai koalisi Jokowi-JK seperti PPP, Nas-Dem, Hanura, PKB, dan PDIP masing-masing diberi jatah menteri secara proporsional. PDIP jumlahnya hanya empat, namun banyak dari kalangan profesional yang menjadi menteri yang memiliki kedekatan dengan lingkaran PDIP. Salah satu yang mencolok adalah kursi menteri khusus yang dihadiahkan ke Puan Maharani hingga harus dibuatkan kementerian baru bernama Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Orang-orang dekat Megawati seperti Rini Sumarno dan Tjahjo Kumolo pun memperoleh tempat yang strategis.

Rini Sumarno, sosok kontroversial yang dekat dengan Mega, pun menduduki posisi menteri yang sangat strategis sebagai menteri BUMN. Sementara Tjahjo Kumolo sebagai menteri dalam negeri.

Dari nama-nama menteri yang diumumkan, publik tak perlu euforia, tak banyak kejutan dari nama-nama yang dicalonkan sebagai menteri pada Kabinet Kerja Jokowi-JK. Tak ada yang baru atau mencengangkan dari postur kabinet yang dibentuk Jokowi-JK. Kabinet yang diumumkan pun jauh dari impian banyak orang, yang awal-awalnya menaruh harapan begitu besar sebagai kabinet ramping, kabinet profesional, dan kabinet kerja (zakenkabinet). Tak ada tokoh-tokoh yang akan membawa langkah perubahan yang cepat dalam kabinet yang baru saja disahkan Presiden Jokowi.

Dari segi penempatan orang, ada beberapa hal yang menarik karena penempatan orang-orang tertentu tidak semata-mata didasarkan pertimbangan kemampuan dan kecocokan kursi menteri yang akan didudukinya. Sebagai contoh, hilangnya nama Wiranto dalam diskursus nama menteri, menyebabkan masuknya nama Saleh Husin. Munculnya Saleh Husin, politisi Hanura, menyebabkan bergesernya Rachmat Gobel dari awalnya sebagai menteri perindustrian menjadi menteri perdagangan. Demikian pula penempatan Ferry Mursyidan Baldan, mantan politisi dari Partai Golkar yang pindah ke Nas-Dem ini, menempati posisi sebagai menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN.

Sementara postur kementerian di bidang ekonominya pun tidak terlalu ”kuat,” dibandingkan dengan struktur kabinet di era pemerintahan sebelumnya. Akademisi dari Universitas Indonesia pun terkesan sangat mendominasi.

Dari segi kabinet yang bersih, tak ada jaminan dari itu semua. Rekomendasi KPK dan PPATK adalah rekomendasi yang biasa, bukan rekomendasi yang spesial yang hanya dilakukan Presiden Jokowi ketika ingin menempatkan seorang pejabat. Itu juga bukan tradisi baru karena sebelumnya, Presiden SBY sudah menjadikan rekomendasi KPK dan PPATK sebagai rujukan pertama untuk menempatkan seorang pejabat.

Lolosnya dua nama yang diduga berapor ”merah” seperti telah disampaikan KPK kepada Presiden Jokowi memupus harapan bahwa kabinet yang dibentuk adalah kabinet yang sungguh-sungguh bersih. Posisi-posisi strategis kabinet lebih banyak dikuasai politisi ketimbang oleh orang-orang profesional. Posisi-posisi itu seperti menteri BUMN, ESDM, perindustrian, menko perekonomian, menkopolhukam, dan menteri dalam negeri.

105

Page 106: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Keinginan awal Jokowi untuk membangun postur kabinet tanpa syarat, tidak bisa didikte oleh partai koalisi, tampaknya juga tidak terbukti. Menteri-menteri yang diangkat juga sebagian mewakili kepentingan koalisi partai yang mendukungnya seperti politisi dari Nas-Dem, Hanura, PDIP, PKB, dan PPP. Partai pendukung KIH memperoleh jatah yang berbeda-beda, PPP misalnya memperoleh 1 kursi menteri, PKB memperoleh 3 kursi menteri, NasDem kurang lebih 2 kursi, Hanura 2 kursi, dan PDIP yang paling banyak, sekitar 6 kursi.

Sementara dari sisi integritas sebagai bangsa, postur kabinet yang disusun Presiden Jokowi tidak mencerminkan osmosis kebinekaan Indonesia. Orang-orang yang terpilih ”sebagian” besar adalah orang Jawa dan urutan berikutnya adalah Sumatera. Sisanya didominasi dari kawasan Indonesia timur, Bali, NTT, Maluku, Makassar, dan Papua. Mungkin ini deal dan pengaruh JK dalam menetapkan 34 jumlah kementerian dan dalam menentukan asal-usul kawasan calon menteri yang akan duduk dalam kabinet yang baru saja diumumkan.

Terlepas dari segala kelemahan dari Kabinet Kerja yang disusun Presiden Jokowi, waktulah yang akan menentukan, apakah kabinet yang baru saja diumumkan benar-benar sebagai kabinet kerja atau justru kabinet yang banyak masalah.  

MOCH NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI 

106

Page 107: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Koalisi Politik Itu Rapuh

Koran SINDO30 Oktober 2014

Ketika koalisi partai-partai politik pendukung Prabowo-Hatta yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PBB dideklarasikan pada 14 Juli lalu dan diklaim sebagai koalisi permanen, banyak kalangan yang menyatakan keraguannya.

Mereka tak percaya bahwa koalisi tersebut akan utuh, solid, dan abadi, setidaknya sampai 2019. Benarlah, dalam perjalanannya kemudian, Partai Demokrat kerap memperlihatkan sikap setengah hati bahwa mereka merupakan bagian yang integral di Koalisi Merah Putih (KMP) itu. Presiden SBY yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat misalnya pada 15 September lalu menyatakan bahwa partainya bukan anggota KMP. Ia mengungkapkan, partai yang dipimpinnya telah menolak tawaran koalisi yang dipimpin Partai Gerindra tersebut.

Tawaran itu diberikan dengan sangat konkret dan jelas. “Partai Demokrat memang diajak kedua kubu dengan cara yang berbeda-beda,” kata SBY dalam wawancara khusus yang diunggah ke media sosial YouTube (14/9/2014). “Kami punya prinsip dan etika politik sendiri,” kata SBY. Demokrat, menurut SBY, memilih masuk ke wilayah yang konstruktif yaitu menjadi partai penyeimbang dan tak berada baik di kubu pemerintah maupun KMP.

Demokrat memastikan diri akan mendukung jika kebijakan pemerintah Jokowi memihak rakyat. Namun, Demokrat akan menolak dan melawan jika Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat atau tak realistis. Sikap non-koalisi SBY tersebut, 3 Oktober lalu, secara konkret dikonfirmasi dengan keluarnya dua perppu sebagai pengganti UU Pilkada (Tidak Langsung) yang sepekan sebelumnya disahkan DPR berdasarkan hasil voting yang dimenangkan kubu KMP.

Dua perppu tersebut tentu dapat dibaca sebagai ketidaksetujuan SBY selaku ketua umum DPP Partai Demokrat. Tak heran jika kemudian Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono langsung menyikapinya secara positif. “Poinnya (perppu itu) adalah untuk kebaikan bangsa. Semua fraksi pasti setuju untuk kebaikan bangsa,” katanya (3/10/2014).

PPP, yang sejak masa kampanye pileg pertengahan Maret lalu telah memperlihatkan kedekatannya dengan Partai Gerindra hingga kemudian menjadi bagian di KMP, akhirnya juga memutuskan untuk menyeberang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK pada sidang paripurna pemilihan ketua dan para wakil ketua MPR, 8 Oktober lalu. Terlepas dari motivasi PPP hijrah ke KIH, yang jelas

107

Page 108: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

fakta tersebut memperkuat keraguan akan utuh, solid, dan abadinya sebuah koalisi politik. Itulah politik yang selalu dinamis. Itu sebabnya dalam politik nyaris tak ada satu pun hal yang ideal.

Semua serbapraktis karena nilai utamanya memang pragmatisme. Bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi seperti rakyat.

Begitulah, sudah sejak lama filosof politik Inggris pada abad ke-19 Lord Palmerston berkata begini: “Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.” Tesis itu benar, bahkan bernilai kekal, sehingga menjadi salah satu adagium dalam literatur ilmu politik. Kali ini mungkin menjadi kawan senasib- sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi, menjadi lawan yang berpunggungan. Kalau perlu, bahkan bisa saling menjegal dan menghancurkan.

Atas dasar itu, sulit diterima jika KMP diklaim sebagai koalisi yang permanen. Koalisi bukanlah persahabatan ataupun sejenis hubungan sosial yang minus orientasi laba. Sebaliknya, koalisi adalah pertemuan antarkekuatan politik yang saling mencari keuntungan berdasarkan kepentingan-kepentingan yang diemban setiap kekuatan politik itu.

Maka itu, selama kepentingan antarkekuatan politik itu sama, hubungan pun dapat terus berjalan. Tapi, jika tidak, pelan tapi pasti hubungan mereka akan retak atau bahkan rusak. Dengan begitu, koalisi politik mana pun selalu rapuh. Ia mudah retak dan bahkan rusak kapan saja, bergantung ada atau tiada kepentingan yang mempertemukan kekuatan-kekuatan politik yang berhimpun di dalamnya. Gambaran seperti itu lazim terlihat di pelbagai ajang kontestasi politik rebutan posisi semisal pilkada dan pilpres.

Pada 2012 dalam Pilgub DKI saat menjelang putaran I semua pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanye-kampanye mereka. Masuk ke putaran II setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan Adji-Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara. Itulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Manfaat kekuasaan itu sendiri sangat besar karena membuat pelbagai kepentingan menjadi mudah untuk diraih.

Logika itulah yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston tadi. Logika yang sama juga dapat menjelaskan mengapa makhluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Memang, umumnya orang cenderung rakus kekuasaan, dan jika kekuasaan itu sudah didapatkan, orang itu ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya. Pemikir politik lain, Harold Lasswell, pernah mengatakan bahwa politik adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.

Dipadukan dengan adagium Palmerston di atas, tak heranlah jika politik kerap terlihat

108

Page 109: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kompromistik sebagaimana yang diperlihatkan oleh partai-partai yang berkoalisi sebentar ke sini sebentar lagi ke sana. Koalisi politik memang niscaya penuh kompromi dan karena itu tak mungkin tanpa syarat. 

VICTOR SILAEN Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan 

109

Page 110: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Menghalau Demokrasi Tanpa Hati

Koran SINDO31 Oktober 2014

Setelah pertemuan primus interpares masing-masing kubu, banyak yang mengira persaingan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR akan reda.

Nyatanya, lakon terbaru kedua kubu menunjukkan hal yang sebaliknya. Jokowi boleh saja mencairkan kebekuan komunikasi politik dengan mengunjungi Prabowo menjelang pelantikannya sebagai presiden. Namun, para punggawa kedua panglima tetap saja bertempur, melanjutkan lakon perseteruan KMP-KIH. Entah kapan selesainya.

Lakon terbaru soal perebutan jatah pimpinan alat kelengkapan DPR. KMP sudah tak sabar ingin menyapu bersih pimpinan alat kelengkapan DPR, menyusul dominasi mereka dalam pemilihan pimpinan DPR maupun MPR. KIH, sebaliknya, ingin mengerem laju dominasi tersebut dengan cara memboikot sidang paripurna pemilihan (penetapan) alat kelengkapan DPR. Cara KIH memboikot adalah dengan belum mengirimkan nama-nama anggota DPR yang akan mengisi alat kelengkapan.

KMP tetap memaksakan penetapan alat kelengkapan DPR karena menganggap kuorum pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR sudah tercapai, yaitu dengan kehadiran enam fraksi di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP. Artinya, kuorum lebih dari setengah jumlah fraksi sudah tercapai, demikian juga kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPR.

Namun, KIH tetap menganggap kuorum itu tidak tercapai karena nama-nama alat kelengkapan dari Fraksi PPP tidak sah, tidak mewakili hasil kongres di Surabaya baru-baru ini, yang juga sudah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sendiri sudah mengeluarkan surat keputusan akan perubahan kepengurusan tersebut, yang tentu saja diprotes balik oleh kubu KMP.

Buntut dari semua itu, terbentuknya pimpinan DPR tandingan oleh kubu KIH setelah sebelumnya menyampaikan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang berasal dari kubu KMP. Hingga tulisan ini dibuat terjadi deadlock. Celakanya, peraturan tata tertib DPR tidak menyediakan mekanisme untuk mengatasi jalan buntu tersebut.

Sistem Paket

Keinginan kubu KMP untuk menguasai pucuk-pucuk pimpinan parlemen, mulai dari ketua- wakil ketua DPR hingga pimpinan alat-alat kelengkapan, sesungguhnya difasilitasi oleh

110

Page 111: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

aturan yang memang sudah salah dari awal, yaitu pemilihan dengan sistem paket ketika musyawarah-mufakat tidak tercapai.

Pemilihan model seperti ini, dalam aras persaingan dua kubu yang permanen, mengakibatkan dampak negatif bagi bekerjanya parlemen dan keberlangsungan praktik demokrasi. Dengan pemilihan sistem paket, bisa terjadi fenomena zero sum game, fenomena saling meniadakan. Bila satu kubu muncul, sudah pasti akan menenggelamkan kubu yang lain. Pemilihan ini juga memunculkan fenomena the winner takes all, pemenang mengambil semuanya, seperti halnya sistem pemilu mayoritarian (distrik).

Prinsip pemilihan pimpinan seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan prinsip kebersamaan, bukan invididualisme yang sangat ditentang oleh the founding parents saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Terlebih hal ini terjadi di rumah rakyat, baik MPR maupun DPR.

Kita tahu bahwa MPR dan DPR adalah representasi dari keberagaman seluruh rakyat. Keberagaman seluruh rakyat ini harus tercermin pula dari unsur pimpinan dan alat kelengkapan. Dengan model sapu bersih ala KMP sudah pasti prinsip representasi dari keberagaman seluruh rakyat tersebut tidak akan tercapai. Celakanya, celah dominasi ini difasilitasi oleh aturan tentang pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR baik dalam undang-undang maupun tatib DPR. Seperti yang diatur dalam UU Nomor 17/2014 (UU MD3), bila pemilihan dengan musyawarah-mufakat tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara terbanyak dengan sistem paket.

Karena itu, kita harus kembali kepada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam prinsip ini, DPR sesungguhnya (seharusnya) hanyalah perpanjangan tangan dari rakyat, bukan dari fraksi atau elite-elite politik parpol. Bila prinsip musyawarah-mufakat tidak tercapai, seharusnya dilakukan pemilihan dari dan oleh anggota. Prinsipnya, one person one vote, satu anggota satu suara.

Dengan model pemilihan seperti ini bisa dipastikan tidak akan terjadi dominasi satu kelompok terhadap pemilihan unsur pimpinan yang lebih dari satu orang. Bisa saja kelompok mayoritas memenangkan suara terbanyak pertama, tetapi suara terbanyak kedua atau ketiga pasti milik kelompok politik lain. Dengan demikian, bila jumlah pimpinan alat kelengkapan sebanyak empat orang, sapu bersih tidak akan terjadi. Kubu-kubu yang ada di DPR tetap akan terwakili dalam alat kelengkapan.

Pemilihan Anggota Lembaga Independen

Prinsip one person one vote harus berlaku pula untuk pemilihan pejabat-pejabat publik yang harus melalui pemilihan (seleksi) oleh DPR nantinya, seperti para anggota KPU, Bawaslu, KPK, dan sebagainya. 

Selama ini, pemilihan dengan sistem paket telah membuat calon-calon terbaik tidak terpilih,

111

Page 112: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

karena tidak masuk dalam paket yang dipilih oleh DPR. Sering dalam beberapa kesempatan saya mengatakan, dalam pemilihan atau seleksi di DPR, makin seorang calon independen, kredibel, dan berkualitas, makin dia tidak terpilih. Orang yang terpilih biasanya calon yang mau berkompromi dengan DPR.

Selama ini model pemilihan seperti tidak bermasalah karena umumnya semua kekuatan fraksi terwakili, tidak ada pengelompokan politik yang ekstrem seperti KMP versus KIH. Yang berlaku adalah aliran-aliran politik seperti berasal dari NU, Muhammadiyah, HMI, GMNI, dan sebagainya. Aliran-aliran politik tersebut menyebar di banyak partai, tidak mengumpul.

Pemilihan dengan model paket selama ini diletakkan dalam kerangka persaingan KMP-KIH, tentu akan memunculkan dominasi satu kelompok saja yang kebetulan menguasai suara mayoritas. Bisa KMP, bisa KIH. Yang jelas, dominasi kelompok mana pun menjadi tidak sehat.

Fenomena ini tidak mencerminkan tradisi berdemokrasi Pancasila, tetapi sekadar demokrasi pancaindra, yaitu mengambil keuntungan berdasarkan sinyal yang disampaikan oleh pancaindra, baik itu penglihatan, pendengaran, ucapan, penciuman, maupun rabaan tanpa melibatkan hati.

Demokrasi pancaindra hanya mewadahi kepentingan jangka pendek sebatas apa yang bisa dirasakan oleh indra kita. Kita harus menghalau tumbuhnya demokrasi seperti ini. Tidak peduli siapa yang diuntungkan antara KMP dan KIH, karena tanpa hati demokrasi kita akan mati. ● 

REFLY HARUN Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara

112

Page 113: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Musyawarah dan Voting

Koran SINDO31 Oktober 2014

Musyawarah dan voting selalu terasa merdu dan syahdu didengar kala panggung kehidupan berbangsa dan bernegara merindukan keputusan-keputusan besar.

Kini, entah karena rindu itu atau bukan, kedua kata itu didendangkan sedemikian hebatnya oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dan KMP, dua poros kekuatan politik besar yang terbentuk, entah disengaja atau tidak, yang kini menghiasi, tidak hanya di kehidupan DPR, melainkan juga bangsa ini, jujur bukan tak memiliki faedah demokratis. Kelak gejala ini dapat meneguhkan prinsip pemerintahan partai, tetapi ambisi yang menyala-nyala bisa menjungkirbalikkan semuanya.

Mengelola Ambisi

KIH, untuk sebagian orang ditahbiskan sebagai pendukung pemerintah, nyatanya mengalami kekalahan beruntun dalam sejumlah isu di DPR. Sebaliknya KMP, yang ditahbiskan bukan lawan, melainkan pengimbang pemerintah, terus menang dalam serangkaian pertempuran di DPR.

Menang kalah, adu kuat, kuat-kuatan, tak terasa kini muncul menjadi tabiat politik dalam pertempuran itu. Akankah tabiat yang mulai menggejala ini melembaga dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik, khususnya di DPR? Rasanya tabiat itu bukan sesuatu yang pantas dirindukan.

Yang dirindukan orang, tentu sesuai akal sehat, tidak lain adalah ditemukannya cara-cara berkelas khas orang-orang berkelas menyelesaikan soal-soal besar. Partai politik, dan orang partai yang kebetulan menjadi anggota DPR, tak hanya harus berjibaku dengan keharusan-keharusan konvensional untuk mengagregasi dan memformulasi kemauan rakyat yang beragam itu, melainkan lebih dari itu. Mereka harus menemukan hal-hal menawan, mengagumkan, bahkan membuat orang takjub untuk didedikasikan kepada bangsa ini.

Bangsa bukan sekadar satu kesatuan hukum, apalagi administrasi, tetapi juga satu kesatuan budaya, kesatuan rasa tentang hari esok yang indah nan gemilang dalam semua aspek. Deliberasi rasa itu, mau atau tidak, suka atau tidak, harus dikenali dengan sungguh-sungguh oleh partai politik, dan orang-orang partai di DPR untuk dirumuskan dan diputuskan untuk dikerjakan pemerintah, dan mengawasinya. Diakui, rasa dan mimpi-mimpi itu tidak selalu mudah dirumuskan dan diberi bentuk. Perkaranya sederhana, selalu ada ambisi dari setiap partai atau anggota DPR, entah karena ideologi atau hal lainnya.

113

Page 114: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Ambisi-ambisi ini, apa pun yang merangsangnya, mau atau tidak, harus dikelola. Ambisi, mungkin seperti tesis Alexander Hamilton, salah seorang eksponen kenamaan dalam Phliadelphia Constitutional Convention 1787, harus dilawan dengan ambisi pula. Menghadap-hadapkan ambisi dengan ambisi, tentu bertujuan agar ambisi itu tidak berubah menjadi tirani; mayoritas atau minoritas.

Berhasrat semulia itu, mengantarkan para perumus konstitusi Amerika menemukan cara rumit, tetapi gemilang. Caranya adalah memberi kerangka normatif atas ambisi-ambisi itu melalui hukum, konstitusi. Kerangka normatif itu berfungsi sebagai pemandunya. Musyawarah mufakat atau voting adalah cara mengelola ambisi-ambisi, yang diberi kerangka kerja normatif.

Kerangka kerja normatif itu dirumuskan sangat eksplisit dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sering disebut UU MD3. Kepatuhan pada kerangka kerja ini akan menjadi tabiat indah dan memberi sumbangan signifikan atas mekarnya elan esensial demokrasi-harkat dan martabat manusia.

Renungkan dan Kenalilah

Bukan karena bermusyawarah itu sama maknanya dengan mendekatkan yang jauh, mempersempit perbedaan dan menemukan titik temu yang elok, melainkan bermusyawarah juga sama maknanya dengan mendemonstrasikan elan kesantunan dan keagungan budi demokrasi. 

Berdemokrasi bukan sekadar menata kelembagaan, tetapi berdemokrasi juga sama maknanya dengan memanggungkan kerinduan akan hidupnya akal budi. Memandu kehidupan kebangsaan dengan akal budi, yang dalam kasus kita terpancar dari sila demi sila dalam Pancasila, memang tidak selalu harus memutuskan hal ihwal berbangsa dan bernegara dengan cara musyawarah untuk mufakat. Tetapi tetap saja harus diusahakan sekuat tenaga, sesungguh-sungguhnya.

Kala tak berujung manis, maka memutuskannya dengan cara pemungutan suara, voting, harus dilihat sebagai cara yang sama manisnya dalam esensi. Bangsa ini indah karena pernah dilintasi dengan cara itu. Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 11 Juli 1945, yang dipimpin Bung Karno, proklamator dan negarawan yang dikagumi dunia ini, pernah menggunakannya.

Dikutip oleh Mohammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, sebagai berikut. “Ketua: mengulangi lagi bahwa kalimat itu kompromistis antara golongan kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambule dianggap diterima.”

Usai mengemukakan kalimat itu Bung Karno melanjutkan, yang dalam kata-katanya tergambar, betapa hal yang diputuskan itu diambil dengan cara voting. Kata Bung Karno,

114

Page 115: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

dimajukan soal pimpinan negara di tangan satu orang atau beberapa orang, panitia menyetujui satu orang, diterima dengan 10 suara setuju, 9 suara tidak setuju. Dimajukan soal nama kepala negara, nama presiden diterima oleh panitia dengan 12 suara (Mohammad Yamin, Jilid I, 1952, halaman 259).

Kenalilah sejarah seanggun dan semenawan itu, resapilah hakikatnya dan agunglah seutuhnya, niscaya tidak muncul rasionalitas tirani minoritas dan mayoritas. Keagungan sejarah itu tak memungkinkan 200 orang anggota DPR, sebut saja begitu, mungkin yang tergabung dalam KIH hanya datang pada saat paripurna. Tetapi membuat DPR baru, tandingan, sama dengan meminta pemerintah berhenti bekerja. Itu lantaran skema relasi fungsi konstitusional hanya memungkinkan pemerintah bekerja dengan satu organ DPR.

Konstitusionalisme ini mesti dirawat dengan akal budi demokrasi. Kisruh ini, jujur mesti diakhiri, dan untuk tujuan itu, hidupkanlah akal budi demokrasi. Mengawasi pemerintah itu penting, sama pentingnya dengan saling mengawasi dalam organ legislatif. Jangan undang datangnya tirani. ● 

MARGARITO KAMIS Doktor Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate 

115

Page 116: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Jangan Obral Perppu

Koran SINDO1 November 2014

Benar kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, belakangan ini Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) kerapkali disalahgunakan dan ditafsirkan sendiri-sendiri (1/11/2014). Adalah mengkhawatirkan, sejak Reformasi 1998 jumlah perppu terus meningkat, padahal perppu hanya boleh dikeluarkan jika keadaan genting dan memaksa.

Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya dalam 10 tahun, sudah diluncurkan 18 perppu yang jika dibandingkan dengan lamanya memerintah menjadi jumlah produk yang terbanyak. Menurut catatan, pada era Megawati (selama tiga tahun tiga bulan) dikeluarkan tiga perppu, era Abdurrahman Wahid (satu tahun sembilan bulan) dikeluarkan dua perppu, era Habibie (satu tahun lima bulan) dikeluarkan tiga perppu, dan era Soeharto (lebih dari 32 tahun) hanya dikeluarkan 18 perppu.

Celakanya, penerbitan perppu belakangan ini terasa bernuansa politik jangka pendek yakni karena kalah bertarung dalam proses politik yang normal atau sekadar untuk keluar dari jepitan politik biasa. Belakangan ini terasa perppu dikeluarkan bukan karena situasi genting atau darurat sehingga diperlukan produk hukum yang bisa diproses secara cepat melalui jalan yang tidak normal, melainkan karena selera politik yang tak terkait kebutuhan politik kebangsaan yang inklusif.

Perppu sering digunakan sebagai jalan yang dipilih untuk kepentingan politik sekejap, tidaklah hanya menjadi monopoli lembaga politik resmi. Di kalangan aktivis pro-demokrasi pun, termasuk aktivis-aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), ini pernah terjadi.

Pada pertengahan 2000-an aktivis-aktivis ICW gencar mendukung dikeluarkan perppu tentang Kocok Ulang Hakim Agung dengan alasan banyak hakim yang diragukan integritasnya untuk memberantas mafia peradilan dan memerangi korupsi.

Namun, pada 2009 ketika Presiden SBY berencana mengeluarkan perppu tentang Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK karena terjadi kekosongan ternyata ICW menolak keras dengan alasan presiden tidak boleh mengintervensi independensi KPK melalui perppu. Saat itu, setelah Bibit Samad dan Chandra Hamzah diperiksa oleh Polri dan akan dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak-Buaya) Presiden SBY akan mengeluarkan perppu untuk bisa mengisi kekosongan pimpinan KPK secara cepat dengan Plt. Setelah melalui kontroversi yang panas dan melampaui penolakan ICW akhirnya perppu ini dikeluarkan menjadi Perppu Nomor 4 Tahun 2009.

116

Page 117: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Belakangan ini terasa ada kecenderungan dukungan dari aktivis-aktivis ICW, sekurang-kurangnya tak ada penolakan sama sekali, ketika pada 2 Oktober 20114 Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 terkait pemilihan kepala daerah. Perppu itu dikeluarkan oleh Presiden SBY setelah DPR bersama pemerintah menyetujui RUU Pemerintahan Daerah yang menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 22 Tahun 2014. Perppu itu mengganti mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

Siapa pun tidak bisa menyimpulkan, apalagi menuding bahwa ICW tidak konsisten dalam menyikapi kewenangan membuat perppu bagi Presiden. Kita, saya pun, seringkali bersikap ambigu dalam menghadapi perppu, terkadang setuju, terkadang tidak setuju, bergantung pada kesimpulan dan perasaan kita masing-masing dalam membaca situasi politik.

Hukum dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan, termasuk perppu, memang merupakan produk politik. Dalam artinya sebagai peraturan perundang-undangan, hukum merupakan kristalisasi atau formalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing dan bergulat, baik melalui hegemoni dan dominasi maupun melalui kompromi.

Maka itu, seperti UU, keberadaan perppu sebagai produk politik takkan terhindarkan. Yang ingin ditekankan dalam kolom ini adalah keharusan bahwa perppu tidak boleh diobral untuk kepentingan politik kelompok dan berjangka pendek, melainkan harus untuk politik kebangsaan yang inklusif. Perppu hanya boleh dikeluarkan kalau sangat diperlukan dalam keadaan yang benar-benar genting.

Sebab itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan karena kepentingan politik yang sempit, melalui Putusan Nomor 138/PUU/VII/2009 (Perkara Pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009), MK menentukan tiga syarat keadaan genting yang dapat digunakan Presiden untuk mengeluarkan perppu.

Pertama, karena terjadi kekosongan hukum dalam arti tidak ada UU yang dapat dipergunakan untuk mengatasi satu masalah yang harus segera diselesaikan, sedangkan masalahnya hanya bisa diselesaikan berdasar UU. Tentu secara mendasar presiden tidak boleh serampangan mencabut dulu satu UU yang nyata-nyata ada untuk kemudian mengatakan terjadi kekosongan hukum sehingga harus dikeluarkan perppu.

Kedua, UU yang ada tidak dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah yang harus segera diselesaikan tersebut. Ketiga, waktunya sangat mendesak sehingga tidak memungkinkan dibuat UU melalui prosedur yang normal. Jika ketiga alasan tersebut tidak ada, perppu tidak bisa dikeluarkan. Kalau tidak diatur seperti itu, bisa terjadi suatu saat kelak presiden selalu mengeluarkan perppu bila mendapat tekanan politik atau kalah dalam pertarungan politik normal.

Benarlah sikap Wapres Jusuf Kalla saat menolak usul dikeluarkan perppu guna mengatasi

117

Page 118: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

konflik politik antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di DPR yang berembus sejak dua hari lalu. Sebaiknya, dua kubu melakukan musyawarah mufakat saja.

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi

118

Page 119: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Kisruh DPR dan Harapan yang Hilang

Koran SINDO1 November 2014  

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tiga fungsi dasar, yaitu: legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Tiga fungsi tersebut sangat penting untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang berorientasi kepada pembangunan negara yang baik. Jika fungsi-fungsi tersebut dijalankan secara optimal, maka cita-cita kenegaraan juga akan bisa dicapai secara akseleratif. Dan untuk itu, diperlukan suasana politik yang “kondusif”.

Konflik politik harus dikelola secara dewasa, sehingga konflik politik yang bisa dikatakan menjadi sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi bisa membuat lembaga negara tetap produktif menghasilkan kebijakan dan program yang positif untuk menyejahterakan rakyat. Jika suasana politik tidak kondusif, maka yang akan terjadi justru sebaliknya. Capaian-capaian yang sudah ada, bisa mengalami degradasi. Negara akan mengalami kerugian, dan ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menjadi korban.

Karena itu, kekisruhan yang terjadi di DPR dengan adanya pimpinan DPR “tandingan” oleh kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merupakan sebuah insiden politik yang sangat disayangkan. Sebagian rakyat yang sebelumnya cemas karena dihantui oleh wacana bahwa akan terjadi pergantian kekuasaan dalam suasana tidak normal bahkan kekisruhan, telah lega karena menyaksikan kenyataan bahwa proses politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ternyata terjadi dengan sangat mulus, dalam suasana kekeluargaan. Bahkan disebut sebagai prosesi politik yang paling baik sepanjang sejarah Republik ini.

Pihak-pihak yang sebelumnya terlibat dalam kompetisi sangat sengit dan dianggap berseteru ternyata hadir dalam acara serah terima jabatan tertinggi negeri ini dalam satu majelis. Bahkan, Prabowo yang sering disebut tidak legawa dengan kekalahannya dalam Pilpres, tidak seperti dugaan banyak orang, hadir dalam Sidang Paripurna MPR pada 20 Oktober 2014 dan menunjukkan sikap kesatrianya. Setidaknya, itulah yang terlihat di permukaan.

Sebaliknya, yang kemudian membuat suasana kembali kisruh adalah kelompok KIH. KIH yang sebelumnya dengan sangat intens membangun wacana bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) tidak siap menerima kekalahan, justru bagai menepuk air di dulang, tepercik di muka sendiri. Justru merekalah yang kemudian menghambat proses-proses politik di DPR dengan tidak mengirimkan nama-nama untuk mengisi keanggotaan di alat-alat kelengkapan DPR, sehingga menyebabkan kinerja DPR tidak berjalan optimal, bahkan bisa dikatakan mandek.

Sikap KIH ini dipicu oleh KMP yang mengambil secara total posisi-posisi kepemimpinan di

119

Page 120: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

DPR maupun MPR. Dan dengan mekanisme yang ada, berdasarkan kalkulasi hal yang sama akan terjadi pada perebutan pimpinan di alat kelengkapan DPR.

Nampaknya, KIH mengidap kekhawatiran bahwa jika KMP berkuasa secara dominan, apalagi total, maka hal itu akan mengganggu kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Kekhawatiran ini, dalam konteks suasana politik yang sangat terbuka sekarang ini, bisa dikatakan berlebihan. Justru dengan eksistensi KMP yang kuat, ada harapan bahwa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK akan berjalan dengan kontrol yang ketat dari DPR.

***

Kekuatan KMP yang relatif solid untuk menjadi kekuatan penyeimbang, sesungguhnya layak dianggap sebagai berkah politik tersendiri. Karena, baru terjadi pada periode politik ini terdapat partai politik dalam jumlah besar tetap bertahan di luar kekuasaan eksekutif yang biasanya dianggap sangat menggiurkan. Sejarah politik sebelumnya mencatat bahwa partai-partai politik yang kalah dalam pilpres, terutama Partai Golkar, ikut bergabung dalam kekuasaan eksekutif.

Bahkan, KMP telah diprediksi oleh banyak pihak hanya akan permanen jika menang pilpres. Jika kalah, maka akan bubar jalan. Namun ternyata, pasca-Pilpres 2014, Partai Golkar sebagai kekuatan politik terbesar kedua di DPR menyatakan dengan tegas, walaupun tentu saja dengan bahasa retorik, akan membantu pemerintah dari DPR. Hanya PPP, yang karena ketua umumnya mengalami masalah hukum, maka konflik internalnya tidak bisa terkelola dengan baik dan berimplikasi kepada sikap politik yang dalam momentum-momentum tertentu mendua.

Dengan KMP menjadi kekuatan politik dominan di DPR, praktik-praktik korupsi yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa ditekan. Sebagai kekuatan penyeimbang di DPR, maka fraksi-fraksi yang tergabung dalam KMP akan bertindak secara ekstra hati-hati dengan menjauhi praktik-praktik penyelewengan kekuasaan, terutama korupsi. Sebab, jika mereka melakukan penyelewengan kekuasaan, maka mereka akan kehilangan “taji” untuk melakukan kontrol atas pemerintah.

Dalam konteks ini, peluang korupsi berjamaah antara pihak pemerintah dengan DPR akan bisa ditekan. Sebab, DPR secara umum tidak akan bisa korupsi jika hanya sendirian. Secara umum, korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum di DPR hanya bisa terjadi apabila ada kesepakatan dengan oknum-oknum yang ada di rumpun kekuasaan eksekutif. Jika pun terdapat peluang korupsi yang ada di DPR, maka dengan adanya dua kubu di DPR, keduanya akan “saling intai”. Dengan demikian, peluang korupsi di DPR akan menjadi semakin kecil. 

***

Dua periode politik sebelumnya yang di dalamnya penguasa eksekutif mendapatkan dukungan sangat dominan dari kekuatan politik di DPR seharusnya menjadi pelajaran

120

Page 121: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

berharga. Dengan dukungan dominan itu, justru yang terjadi adalah penyelewengan kekuasaan yang terbilang besar.

Tidak sedikit anggota DPR dan juga pejabat eksekutif yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena mereka berkomplot untuk korupsi. Dalam konteks ini, harmoni yang terjadi antara rumpun kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Justru sebaliknya, harmoni di antara dua rumpun kekuasaan ini lebih banyak melahirkan penyelewengan kekuasaan. Karena itu, mestinya dominasi KMP di DPR tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, walaupun seandainya KMP membangun kebijakan-kebijakan politik yang tidak objektif kepada pemerintah, semisal dengan menghambat program-program pemerintah.

Situasi yang sangat terbuka sekarang ini, dengan keberadaan media yang sangat kuat, juga dengan media sosial yang memungkinkan cukup banyak masyarakat bisa mengakses informasi secara cepat dari sumber-sumber yang akurat, maka tindakan politik yang menghambat program-program politik pemerintah justru akan merugikan pihak yang melakukannya.

Akibat lainnya, Pemerintahan Jokowi-JK dalam situasi tersebut tidak memiliki pilihan lain selain menjalankan kekuasaan dengan benar untuk rakyat. Jika pemerintah Jokowi-JK benar-benar secara konsisten membuat dan berusaha menjalankan program-program yang menguntungkan rakyat, tetapi dihalang-halangi oleh KMP melalui lembaga DPR, maka partai-partai yang tergabung dalam KMP akan mendapatkan resistensi dari masyarakat. Asumsi sederhananya, dalam pemilu selanjutnya partai-partai tersebut tidak akan didukung oleh rakyat.

Jokowi dan JK juga tidak perlu dikhawatirkan akan digulingkan di tengah jalan. Sebab, untuk bisa memakzulkan presiden di tengah jalan bukanlah perkara mudah, bahkan dengan konstitusi yang ada sekarang bisa dikatakan hampir mustahil. Hanya jika presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindakan-tindakan tertentu yang membuatnya tidak layak lagi menjadi presiden sajalah, salah satu atau keduanya bisa dimakzulkan.

Mestinya kubu KIH di DPR membangun politik yang kondusif untuk keberhasilan pemerintahan yang mereka dukung. Sebab, tanpa dukungan DPR secara institusional, pemerintahan tidak akan bisa berjalan. Dominasi KMP di DPR saat ini mesti dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang biasa saja. Posisi yang sama juga bisa dialami oleh partai-partai yang tergabung dalam KIH dalam periode politik yang lain. Apalagi secara faktual, tidak ada aturan main yang dilanggar. Dengan sikap dewasa, pemerintahan akan bisa berjalan.

DPR juga akan menjadi lembaga yang mampu memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kekuasaan eksekutif yang memiliki peluang korupsi secara mandiri. Jika di dalam DPR terdapat sikap yang tidak dewasa, maka masyarakat akan semakin membangun generalisasi untuk bersikap antipati kepada DPR.

121

Page 122: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dan jika DPR sibuk dengan dirinya sendiri, maka fungsi-fungsinya, terutama untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan, akan tidak bisa dijalankan. Di sinilah peluang korupsi akan menjadi semakin besar. Wallaahu alam bi al-shawab. 

DR. MOHAMMAD NASIH, M.SI. Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru di Rumah Perkaderan Monash Institute

122

Page 123: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Babak Baru Krisis Politik DPR

Koran SINDO1 November 2014

Dideklarasikannya pimpinan DPR tandingan menandai babak baru krisis politik di lembaga legislatif. Peristiwa politik ini sontak mengejutkan publik dan memunculkan rasa keprihatinan terhadap perilaku elite politik DPR. DPR yang diharapkan bisa bekerja optimal dalam mengawal jalannya eksekutif justru masih sibuk terlibat konflik internal yang tidak jelas penyelesaiannya.

Secara kelembagaan, proses konsolidasi DPR harusnya bisa berjalan lebih cepat. Sebab, selain pelantikan DPR dilakukan lebih awal dibandingkan dengan pelantikan presiden, DPR juga harus sudah mulai bisa bekerja ketika susunan kabinet yang dibentuk presiden selesai dilantik.

Banyaknya fungsi DPR yang harus sudah dijalankan seharusnya mendorong DPR untuk semakin cepat dalam mengonsolidasikan lembaganya. Namun, apa yang terjadi di DPR saat ini tidaklah demikian. Agenda penetapan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) justru menjadi momen terciptanya krisis politik baru di DPR. Setelah melewati pertarungan perebutan kursi pimpinan DPR dan kemudian dilanjutkan pemilihan pimpinan MPR, kini hubungan Koalisi Merah Putih/KMP (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, Demokrat) dan Koalisi Indonesia Hebat/KIH (PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PPP) kembali menegang dalam proses penetapan pimpinan AKD.

Di satu sisi KIH meminta kebijaksanaan Koalisi Merah Putih untuk berbagi kursi pimpinan AKD, di sisi lain Koalisi Merah Putih memandang permintaan yang diajukan oleh KIH masih terlalu banyak. Situasi inilah yang kemudian membuat KIH tidak mau menyerahkan daftar nama anggotanya untuk mengisi AKD dalam rapat paripurna DPR. Situasi inilah yang selanjutnya dimanfaatkan Koalisi Merah Putih untuk menyapu bersih kursi pimpinan AKD.

Terhadap situasi ini, penulis mengangkat dua buah pertanyaan, yakni bagaimana sebenarnya pengaruh terbentuknya pimpinan DPR tandingan yang dideklarasikan oleh KIH terhadap kinerja DPR dan apa dampak politiknya?

Frustrasi Politik

Deklarasi pimpinan DPR tandingan menurut hemat penulis mencerminkan beberapa hal. Pertama, deklarasi pimpinan DPR tandingan lebih merupakan ekspresi frustrasi politik yang dialami oleh KIH ketimbang sebagai mekanisme percepatan pengonsolidasian di DPR. Kefrustrasian ini semakin nampak ketika KIH justru mendorong Presiden Jokowi untuk

123

Page 124: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

mengeluarkan perppu guna membatalkan UU MD3. Satu langkah yang justru bisa mempersulit jalannya pemerintahan Jokowi-JK dalam mengimplementasikan agenda-agenda strategisnya.

Kedua, keberadaan pimpinan tandingan DPR bisa dikatakan sebagai manuver politik yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh KIH. Sebab sekalipun dibentuk kepemimpinan tandingan, keberadaannya tidak diatur dalam peraturan mana pun. Sehingga, pemimpin DPR tandingan tidak bisa melakukan apa pun selain hanya sebagai simbol perlawanan politik terhadap Koalisi Merah Putih.

Sebenarnya, dengan status KIH sebagai bagian dari kelompok yang tengah berkuasa, masih banyak mekanisme lain di parlemen yang bisa ditempuh guna memperkuat kinerja Pemerintah Jokowi-JK. Membuat tandingan pimpinan DPR yang saat ini dipegang oleh Koalisi Merah Putih hanya akan memperlebar jarak politik antar-kedua belah pihak, yang kemudian justru bisa menghambat kinerja Presiden Jokowi.

Dampak Manuver KIH

Meski demikian, adanya deklarasi pimpinan DPR tandingan berpotensi memunculkan dampak yang tidak kecil. Setidaknya ada tiga dampak yang diakibatkan dari manuver politik KIH ini. Pertama, deklarasi pimpinan DPR tandingan sangat berpotensi memunculkan konflik politik yang tidak substansial.

Hal ini dikarenakan deklarasi yang dilakukan KIH lebih nampak sebagai simbol perlawanan politik ketimbang kebajikan niatnya untuk meningkatkan kinerja DPR. DPR yang seharusnya sudah mulai sibuk berkoordinasi dengan eksekutif, pada akhirnya masih harus terjebak dalam konflik internal yang sangat prosedural.

Kita juga bisa membaca peristiwa tersebut sebagai refleksi dari sebagian elite yang masih belum bisa bersikap ksatria dalam berpolitik. Kita bisa rasakan bahwa gesekan di masyarakat bawah akibat warisan pertarungan pilpres relatif menurun setelah Jokowi dan Prabowo menunjukkan sikap ksatrianya, di mana kedua tokoh bertemu dalam suasana yang hangat. Suatu peristiwa yang telah menyentuh emosi masyarakat Indonesia.

Dampak kedua adalah akan menurunnya kualitas kinerja DPR. Dengan situasi saat ini, secara prosedural DPR memang sudah bisa menjalankan fungsinya untuk melakukan pengawasan dan berkoordinasi dengan eksekutif. Namun, selagi KIH masih pada posisinya saat ini, maka praktis hanya 314 dari 560 anggota dewan yang bekerja. 216 lainnya baru bisa bekerja setelah KIH menyerahkan daftar nama anggotanya dan disahkan dalam paripurna DPR untuk masuk ke dalam AKD yang sudah terbentuk.

Terhadap kondisi ini kita sangat bisa pastikan bahwa kualitas kinerja DPR tidak akan maksimal. Sebab, hampir separuh dari anggota DPR yang semuanya dari KIH tidak bisa terlibat dalam proses yang dilaksanakan di dalam AKD.

Kondisi ini akan semakin buruk jika KIH terus mendesak Presiden Jokowi untuk

124

Page 125: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

mengeluarkan perppu menggantikan UU MD3. Kalau langkah ini yang selanjutnya ditempuh dan Presiden Jokowi mengamininya, maka krisis politik akan semakin meluas.

Dampak ketiga dari peristiwa ini yaitu akan semakin terpuruknya citra DPR di mata masyarakat. Dengan adanya deklarasi pimpinan DPR tandingan oleh KIH, penulis melihat hal ini bukan akan meningkatkan legitimasi publik terhadap DPR, justru malah semakin menguatkan bayangan masyarakat mengenai sikap para elite politik di DPR yang belum mampu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok dan pribadi.

Menuju Konsolidasi DPR

Konsolidasi DPR adalah prasyarat agar kinerja DPR bisa maksimal. Dan, melihat situasi saat ini, faktor sikap politik para anggota Dewan yang lebih mengedepankan kepentingan publik menjadi cara yang harus ditempuh. Dalam pertarungan politik ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan dalam pertarungan demokrasi harus disikapi sikap secara ksatria oleh siapa pun. Ksatria dalam makna menerima keputusan yang telah ditetapkan dan meresponsnya secara konstitusional, bukan dengan melakukan pemboikotan politik atau dengan mendeklarasikan tandingan dari kepemimpinan yang sah, yang pada akhirnya justru akan merugikan masyarakat.

Lebih jauh daripada itu, terbelahnya dua kekuatan di DPR, KIH dan KMP, merupakan kenyataan politik kita hari ini yang harus diterima oleh setiap pihak. Pembelahan tersebut jangan dipandang sebagai penghambat demokrasi, namun justru sebaliknya, sebagai peningkat kualitas demokrasi.

Perjalanan lima tahun ke depan akan sangat dinamis. Namun sepanjang dijalankan secara konstitusional, dinamika yang terjadi bisa menjadi energi besar bagi pembangunan demokrasi Indonesia ke depannya. 

MUHAMMAD TRI ANDIKA S.SOS., M.A Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie, Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies  

125

Page 126: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Democrazy di Parlemen

Koran SINDO3 November 2014

Masalah negeri ini sudah sedemikian kompleks dan beragam. Pemerintahan sekarang memiliki beban dan tanggung jawab besar untuk bisa menyelesaikan kompleksitas tersebut.

Bijaknya, siapa pun tentu harus berusaha agar tidak lagi membebani pemerintahan dengan beban masalah yang semakin melengkapi keruwetan. Maka itu, kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak agar tak lagi menambah daftar panjang masalah-masalah yang harus dituntaskan. Contohnya dalam beberapa hari ini, tensi politik di parlemen kembali memanas. Ketidakpuasan atas hasil penentuan alat kelengkapan dewan (AKD) dan pimpinan komisi menjadi pemicunya.

KMP menyapu bersih seluruh AKD dan komisi dan tak menyisakan sedikit pun ruang bagi KIH. Reaksinya, KIH membentuk pimpinan DPR tandingan. KIH yang dimotori PDIP berdalih pembentukan pimpinan DPR ini dilakukan karena KMP menutup ruang komunikasi dan menciptakan otoritarianisme di Parlemen. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah membuat tandingan ini dibenarkan? Apa dasar hukumnya? Ataukah ini hanya reaksi situasional semata agar ada bargaining position di parlemen?

Sulit menampik bahwa faktanya semua proses politik, baik dari dominasi KMP maupun reaksi membentuk pimpinan DPR tandingan oleh KIH merupakan manifestasi dari syahwat politik berkuasa. Namun dalam konteks ini, dinamika politik yang berlangsung sudah tak lagi menggubris kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam konstitusi. Sudah tak ada lagi dinamika politik yang mengedepankan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi Pancasila, yakni musyawarah mufakat. Demokrasi yang seharusnya hadir di sana sudah tak ada lagi dan digantikan dengan democrazy.

Tidak Dibenarkan

Membuat tandingan meski sifatnya sementara tentulah tidak dibenarkan. Tidak ada dalam konstitusi kita yang membenarkan terbentuknya dualisme kepemimpinan di DPR. Bahkan kritik kerasnya, jika terus dipaksakan dan terus dilangsungkan justru akan merusak tatanan kenegaraan Indonesia.

Reaksi ketidakpuasan semestinya tetap disalurkan secara konstitusional, bukan dengan cara yang tidak memiliki dasar hukum. Jika sudah demikian, kerugian terbesar pastinya akan ditanggung rakyat karena para wakilnya terlalu sibuk berdinamika dan membuat kegaduhan terus di parlemen.

126

Page 127: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Secara politik, dualisme kepemimpinan ini juga hanya akan menciptakan ketidakpastian terutama terkait masa depan legislasi, arah dan target pencapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas), politik anggaran dan pengawasan. Bagaimana seluruh fungsi ini bisa dijalankan jika setiap pengajuan dan pembahasan selalu berujung konflik internal di parlemen. Bagaimana rakyat juga akan menaruh kepercayaan jika dewan terus menciptakan kegaduhan karena tarik menarik kepentingan.

Lebih jauh, dualisme kepemimpinan di DPR ini akan menarik Presiden Jokowi dalam pusaran konflik dan menciptakan dilema sikap. Mengapa? Karena hubungan yang terjalin tidak lagi bersifat official antara eksekutif dan legislatif, tetapi jatuh dalam magnet konflik kepentingan. Di satu sisi, Presiden harus tetap berhubungan baik dengan parlemen yang dalam seluruh unsur pimpinan di DPR didominasi oleh KMP. Tetapi di sisi lain, Presiden pun juga tak mungkin meninggalkan KIH yang membentuk pimpinan DPR tandingan karena mereka merupakan koalisi partai pendukungnya.

Bahkan jika mau menelaah lebih dalam, pembentukan pimpinan DPR tandingan justru membahayakan posisi Jokowi sebagai Presiden. Mengapa bisa begitu? Sebab kondisi chaos ini akan menciptakan kondisi genting atau keadaan mendesak sehingga menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan perppu. Jika sudah demikian, hal ini akan dapat menimbulkan konflik berkelanjutan antara Presiden, KIH dan KMP dan tak menutup kemungkinan berakhir dengan pemakzulan.

Karena itu, sikap Presiden pada nantinya juga akan menentukan bagaimana konstelasi politik ini berlangsung. Apakah berada di tengah-tengah agar tidak terseret pada konflik kubu-kubuan di parlemen atau akan memihak ke salah satu?

Harus Diselesaikan

Secara hukum, sebetulnya tidak ada dualisme pimpinan DPR tersebut. Pasalnya, seluruh ketentuan dalam pemilihan hingga dilantik sebagai unsur pimpinan DPR sudah sesuai dengan UU. Bisa dikatakan, dibentuknya pimpinan DPR tandingan hanyalah reaksi situasional yang disebabkan ketidakpuasan terhadap mekanisme politik yang dijalankan di DPR.

Akan tetapi, jika ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan berakibat fatal bagi tatanan hukum kenegaraan dan juga politik. Itulah mengapa persoalan dualisme ini harus segera diselesaikan. Penyelesaian yang paling bisa dilakukan adalah dengan melakukan islah politik, membangun kembali komunikasi yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan membangun kesejajaran dalam relasi.

Ini penting agar setiap anggota di masing-masing kubu tidak lagi terjebak dalam pemikiran sentrisme politik, atau istilah lainnya adalah hanya ingin sekadar menang-menangan. Sesuai dengan filosofi dasar dari politik, yakni upaya untuk mencapai kebaikan bersama, maka setiap elemen haruslah mulai menyadari pentingnya kebersamaan untuk kepentingan yang lebih besar.

127

Page 128: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Satu pemikiran penting lainnya adalah bagaimana kekuasaan memang menjadi tujuan bagi semua elemen dan aktor-aktor politik, sehingga usaha politik yang dilakukan akan selalu diorientasikan hanyalah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tetapi dalam konteks lembaga perwakilan yang berlandaskan pada demokrasi Pancasila, maka setiap bagian dari kekuasaan haruslah terdistribusi secara adil dan merata. Jika tidak, hanya akan menciptakan hegemoni kekuasaan yang cenderung korup dan sewenang-wenang.

Semoga ada kesadaran dari para elite dan pemimpin negeri ini untuk menyelesaikan masalah ini demi kemajuan dan kebaikan bersama.  

IDIL AKBAR Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute

128

Page 129: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

MPR RI & Gerakan Empat Pilar Negara

Koran SINDO4 November 2014  

Sejak reformasi, kecuali periode 1999-2004, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) memang menjadi lembaga negara yang sunyi sepi. MPR hanya menjadi berita media dua kali saja dalam sepanjang lima tahun masa baktinya: pertama, pada saat bersidang untuk pemilihan pimpinan (1-6 Oktober): kedua, pada saat sidang paripurna pelantikan presiden dan wakil presiden tanggal 20 Oktober.

Setelah itu, MPR tidak akan pernah bersidang paripurna lagi sekalipun kecuali ada agenda berikut ini: Sidang Tahunan untuk mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus (kalau jadi), Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, pelantikan dan/atau pemilihan presiden dan/atau wakil presiden jika salah satu atau keduanya, sendirian atau bersama-sama berhalangan tetap atau berhenti sebagai presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya.

Dalam konteks seperti itu, lantas apa yang bisa diharapkan pada MPR? Atau dengan kata lain apa yang bisa dilakukan oleh pimpinan MPR dan pimpinan fraksi-fraksi serta kelompok anggota yang kosong pasca sidang pelantikan presiden itu? Pertanyaan ini terutama bagi pimpinan MPR yang notabene merupakan badan permanen (permanent body), bukan diarahkan kepada anggota MPR. Pasalnya, bagi anggota MPR oleh karena mereka adalah juga merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentu tidak menjadi persoalan: mereka mengikuti sidang-sidang atau rapat-rapat di DPR dan DPD.

Terobosan Konstitusional

Maka itu, jawaban terhadap pertanyaan kepada pimpinan MPR tersebut di atas sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi pimpinan MPR itu sendiri. Pasalnya, MPR tidak akan pernah melaksanakan sidang paripurna kecuali ada tiga agenda besar tersebut di atas. Alhasil, tidak akan ada berita apa pun dari MPR kecuali pimpinan MPR bisa melakukan terobosan selama masih dalam koridor konstitusi. Ini bukan proposal yang sulit, namun juga tidak mudah dan ringan. Diperlukan kejelian dan kecerdasan politik untuk melakukan terobosan ini.

Pimpinan MPR periode 2009-2014 membuat terobosan dengan melakukan: pertama, Gerakan Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (dulu disebut Empat Pilar Negara); dan kedua, memprakarsai Rapat Konsultasi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara yang diikuti oleh presiden, wakil presiden, pimpinan MPR, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pimpinan Dewan Perwakilan

129

Page 130: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Daerah (DPD), pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK), pimpinan Mahkamah Agung (MA), pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Yudisial (KY) setiap dua bulan sekali.

Berkat Gerakan Sosialisasi Empat Pilar dan Rapat Konsultasi ini, muncullah berita-berita tentang MPR. Selebihnya adalah dan hanyalah pernyataan-pernyataan individual pimpinan MPR tentang isu-isu aktual di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam perspektif Empat Pilar Negara.

Kini pimpinan MPR, termasuk di dalamnya pimpinan fraksi dan kelompok anggota, harus memikirkan dengan sungguh-sungguh apa yang akan dilakukan oleh MPR periode ini setelah pelantikan presiden dan wakil presiden tanggal 20 Oktober 2014 ini. Tentu bukan berpikir mengada-adakan agenda agar MPR bisa mengadakan sidang, melainkan memikirkan apa-apa yang akan dilakukan untuk bangsa dan negara yang sifatnya strategis dan mendasar.

Pasalnya, apa pun yang dilakukan MPR haruslah bersifat mendasar, fundamental, dan strategis seperti misalnya menyangkut implementasi dasar negara, tujuan negara, dan arah negara sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945. Atau dengan kata lain menyangkut aksi dan implementasi dasar dan ideologi negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara).

Pasalnya, mereka bisa melanjutkan atau tidak melanjutkan program dan gerakan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara). UU tentang MD3 hanya memerintahkan dilakukannya sosialisasi Putusan MPR. Tidak ada yang lain. Dari ketentuan ini, MPR periode 2009-2014 membuat terobosan gerakan sosialisasi Empat Pilar itu.

Kini pertanyaannya adalah terobosan apakah yang akan dilakukan oleh pimpinan MPR periode ini untuk mengisi hari-harinya yang sepi dan panjang dengan program-program dan gerakan-gerakan yang secara cerdas dielaborasi dari frase ”melakukan sosialisasi Putusan MPR” tersebut di atas. Apa yang disebut dengan ”putusan MPR” adalah tidak banyak: UUD 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR, dan Keputusan-Keputusan MPR.

Gerakan Sosialisasi Pancasila

Dalam konteks dan perspektif ini, tentu saja saya berharap pimpinan MPR melanjutkan dan menyempurnakan program atau gerakan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik.

Sebagai sebuah gerakan maka sosialisasi empat pilar negara haruslah dilakukan secara sistematis dan masif. Di mana pun dan kapan pun sebuah gerakan haruslah selalu dilakukan secara metodologis, dinamis dan sistematis. Alhasil harus merupakan sistematisasi yang

130

Page 131: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

dinamis sekaligus dinamisasi yang sistematis. Itulah kata kunci dari sebuah gerakan itu. Untuk menopang sosialisasi Empat Pilar menjadi sebuah gerakan atau movement, MPR periode sebelumnya membentuk tiga buah Tim Kerja, yaitu Tim Kerja Sosialisasi, Tim Kerja Pengkajian, dan Tim Kerja Anggaran, untuk menopangnya.

Pimpinan MPR memang seyogianya orang-orang yang banyak melakukan pemikiran yang reflektif dan refleksi yang visioner mengenai dasar negara, tujuan negara, arah atau kiblat negara, persoalan integrasi nasional, dan lain-lainnya. Atau dengan kata lain, pimpinan MPR, sekali lagi termasuk di dalamnya pimpinan fraksi dan kelompok anggota, haruslah siap menjadi manusia refleksi (man of reflection) atau manusia pemikir (man of thinking), bukan kaum pekerja (man of action) atau manusia praktisi (man of practition).

Pimpinan MPR tidaklah sama dengan pimpinan DPR. Demikian juga halnya pimpinan fraksi atau kelompok anggota MPR bukanlah pimpinan fraksi DPR yang mengurus politik sehari-hari (day to day politics). Pimpinan MPR lebih tinggi dari pada itu dan karenanya juga harus berpikir lebih tinggi daripada pimpinan DPR berpikir. Pimpinan MPR harus berpikir dalam level abstraksi yang sangat tinggi, yaitu menyangkut dasar negara, tujuan negara, dan aturan-aturan dasar negara.

Tentu pekerjaan dan bidang seperti terurai di atas itu akan tidak menarik bagi mereka yang tidak menaruh kepedulian (concern) pada hal-hal yang sifatnya mendasar. Apalagi bagi orang-orang yang tidak terbiasa bergiat dalam aktivisme intelektual yang biasa berpikir secara filosofis. Tetapi bagaimanapun, hal itu harus dimulai. Percayalah banyak hal yang bisa dikerjakan sebagai pimpinan MPR. Semoga!

HAJRIYANTO Y THOHARIMantan Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014

131

Page 132: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

KIH Gagal Tanggapi Perubahan

Koran SINDO4 November 2014

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) gagal menanggapi perubahan. Dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR saat ini adalah wujud nyata dari desain perubahan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal ingin membangun pemerintahan dengan koalisi kekuatan politik yang ramping. KIH seharusnya menerima status minoritas mereka sebagai konsekuensi logis dari perubahan itu.

Publik tentu masih ingat saat Jokowi mengatakan bahwa dia ingin koalisi partai politik (parpol) pendukung yang ramping dalam pemerintahannya. Tentu saja ada konsekuensi dari desain koalisi ramping versi Jokowi itu. Secara tidak langsung, bagian terbesar dari kekuatan politik di DPR didorong untuk berada di luar pemerintahan. Ekstremnya, disuruh menjadi oposisi. Desain itu sudah terwujud.

Karena itu, fakta bahwa gabungan parpol dalam KMP menggenggam posisi mayoritas mestinya disikapi dengan lapang dada. Jokowi bersama parpol anggota KIH harus siap mental menghadapi kenyataan itu. Bahkan, KIH pun harus mau realistis atas status minoritas mereka di DPR.

Sesungguhnya, dengan koalisi ramping, Presiden Jokowi secara tidak langsung sudah mendesain kesetaraan eksekutif-legislatif. Pemerintahan Presiden Jokowi ingin mengakhiri ”dominasi” eksekutif atas legislatif yang sudah berlangsung puluhan tahun. Akibat dominasi eksekutif itu, DPR sudah dianggap kehilangan daya kritisnya, bahkan dilecehkan dengan sebutan tukang stempel.

Dengan semakin dewasanya demokrasi di Indonesia, dominasi eksekutif itu harus diakhiri. Pemerintah dan DPR harus setara. Kesetaraan eksekutif-legislatif menuntut DPR yang kuat dan independen. Itulah konsekuensi perubahan yang lahir dari konsep koalisi ramping yang diinginkan Presiden Jokowi. Desain inilah yang mestinya dipahami oleh semua komponen KIH di DPR RI.

Jika KIH kemudian berulah dengan membentuk pimpinan DPR tandingan untuk mengganggu ritme kerja DPR, parpol-parpol itu praktis gagal menanggapi perubahan. KIH bisa dituduh sebagai kekuatan politik yang menolak kesetaraan eksekutif-legislatif. Padahal untuk mengikis perilaku korup para oknum birokrat sekaligus mewujudkan good and clean governance, kesetaraan eksekutif-legislatif menjadi syarat mutlak. Dan, agar bisa efektif menjalankan fungsi check and balances, DPR tidak boleh lagi berada di bawah ketiak pemerintah.

132

Page 133: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Manakala DPR tidak bisa efektif melaksanakan fungsi checks and balances itu, akan ada banyak masalah yang berpotensi tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh presiden. Skandal Bank Century, praktik kartel minyak dan kartel-kartel komoditi lainnya adalah beberapa contoh kasus paling faktual yang sampai sekarang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, karena kekuatan DPR untuk melakukan pengawasan terus dipreteli oleh pemerintah.

Kesetaraan eksekutif-legislatif dalam arti yang sebenar-benarnya, belum pernah terwujud. Sepanjang era Orde Baru, DPR betul-betul hanya jadi tukang stempel. Bahkan 10 tahun periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono pun, fungsi checks and balances sama sekali tidak efektif karena dipreteli oleh apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah.

Peran DPR yang salah itu tak boleh berulang. Unsur KMP di DPR periode 2014-2019 sudah mempertegas posisinya. KIH pun seharusnya demikian, mendukung pemerintahan Presiden Jokowi-JK tanpa harus kehilangan daya kritisnya. Tidak pada tempatnya KIH mencurigai KMP ingin menjegal pemerintah.

Potensi Instabilitas

Karena itu, tindakan KIH membuat gaduh di DPR patut dipertanyakan motifnya. Gaduh di DPR sekarang ini berpotensi mengganggu pemerintahan Jokowi-JK yang start-nya terbilang mulus. Sangat kontras. Ketika semua menteri Kabinet Kerja mulai bekerja, KIH malah berulah membuat DPR terbelah.

KIH seharusnya sadar bahwa membuat pimpinan DPR tandingan adalah manuver politik yang berpotensi menimbulkan kerusakan sangat serius. Pasalnya, manuver KIH ini bisa menyeret pemerintahan Jokowi-JK ke pusaran konflik yang berujung pada stagnasi jalannya pemerintahan mereka.

Manuver KIH dengan membentuk pimpinan DPR ilegal secara tidak langsung menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis. Pasalnya, KIH secara tidak langsung memaksa Jokowi-JK untuk membuat pilihan yang sangat ekstrem, yakni mengakui pimpinan DPR yang sah, atau mengakui pimpinan DPR ilegal yang dibentuk koalisi parpol pendukung Jokowi-JK.

Mengakui pimpinan DPR yang sah adalah sebuah keniscayaan konstitusional bagi Jokowi-JK. Sebaliknya, Jokowi-JK bertindak inkonstitusional jika mengakui pimpinan DPR ilegal bentukan KIH, Presiden-Wapres akan terlibat konflik dengan pimpinan DPR yang sah. Jokowi-JK diyakini tidak akan mau terperangkap dalam konflik seperti ini.

Persoalannya pun akan bertambah rumit bagi Jokowi-JK jika menolak mengakui pimpinan DPR versi KIH. Di sinilah dilema bagi Jokowi-JK. Bukan tidak mungkin akan terjadi keretakan hubungan antara Jokowi-JK dan parpol anggota KIH yang mendukung mereka.

133

Page 134: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Lebih dari itu, medan konflik baru yang dibangun KIH akan merusak mekanisme kerja sama DPR dengan pemerintah, terutama terkait anggaran. KIH harus menyadari bahwa jika pemerintahan Jokowi-JK yang baru seumur jagung ini stagnan atau terhenti akibat konflik di DPR, kerusakan yang ditimbulkannya akan sangat serius. Manuver KIH berpotensi menimbulkan instabilitas. Setelah itu, muncul kecenderungan berikutnya berupa tumbuhnya kesan ketidakpastian. Kalau kecenderungan seperti itu berlarut-larut, kepercayaan semua komponen publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK akan merosot mendekati titik nol.

Dengan begitu, manuver KIH sekarang ini bukan hanya tidak cerdas, tetapi benar-benar tanpa pertimbangan yang matang dan arif. Presiden dan Wapres sudah menunjukkan rasa tidak nyaman akibat masalah yang berkembang di DPR. Jokowi-JK seharusnya fokus pada langkah-langkah awal pemerintahan mereka. Tetapi akibat ulah KIH di DPR, kedua pemimpin mau tak mau harus menyisihkan waktu untuk mengamati perkembangan di DPR.

Padahal, ada beberapa persoalan strategis yang harus segera ditangani Jokowi-JK, misalnya soal menipisnya stok BBM bersubsidi yang mulai menimbulkan ekses di sejumlah daerah. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah harus bekerja sama dengan DPR.

Bagaimanapun, isu BBM bersubsidi adalah pertaruhan politik bagi pemerintah sekarang ini. Kalau benar alokasi BBM bersubsidi habis sebelum waktunya, pilihannya hanya dua. Menambah alokasi BBM bersubsidi dengan persetujuan DPR, atau memberi akses kepada Pertamina untuk menjual premium dan solar dengan harga keekonomian.

Jokowi-JK, KIH seharusnya lebih peduli pada persoalan-persoalan seperti ini, daripada sekadar membuat gaduh di DPR. Sayang, dengan suasana di DPR yang sarat konflik seperti hari-hari ini, pemerintahan Jokowi-JK tentu saja dipaksa menunggu sampai situasinya kondusif. Persoalannya, kapan KIH akan berhenti berulah?

BAMBANG SOESATYOSekretaris Fraksi Partai Golkar DPR/Presidium Nasional KAHMI 2012–2017

134

Page 135: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

DPR & Pertaruhan Demokrasi

Koran SINDO4 November 2014

Beberapa hari ini, di tengah aktivitas akademis yang sedang dilakukan di University of Western Sydney (UWS), penulis menyimak pemberitaan tentang politik Indonesia melalui media-media Australia terutama televisi. Salah satu topik hangat beberapa televisi Australia menyangkut Indonesia adalah soal munculnya pimpinan DPR “tandingan”. Mereka bisa memaklumi konteks DPR yang terbelah menjadi kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Meskipun demokrasi selalu melibatkan kontestasi, jelas tergambar keheranan mereka terkait munculnya pimpinan DPR “tandingan” tersebut. Ulasan berita bernada sinis terkait hal ini, sesungguhnya sangat bisa dimaklumi, karena fenomena yang sama juga disikapi secara kritis di berbagai media dalam negeri. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini menjadi pertaruhan berisiko bagi demokrasi Indonesia dan reputasi kita di dunia internasional.

Wakil Rakyat?

Indonesia memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Satu kondisi yang merujuk pada apa yang kerap terjadi di Amerika Serikat. Partai yang menguasai Kongres adalah partai yang berseberangan dengan partai yang mengusung presiden. Hal berisiko dari situasi semacam ini adalah zero-sum game. Kedua belah pihak sama-sama ngotot, dan lebih mementingkan kelompoknya sendiri-sendiri dan berprinsip “kalah jadi abu, menang jadi arang”. Salah satu contoh tak simpatik mengemuka di DPR lewat drama pimpinan DPR “tandingan”.

Memang kekesalan dalam pertarungan perebutan pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan lainnya pasti berimbas pada suasana di DPR, terlebih polarisasi tajam di DPR itu sudah terbentuk lama terutama saat rangkaian proses pemilu presiden dimulai. Titik kulminasi politik nasional sempat mencair, terutama saat Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Ada perjumpaan politik Jokowi dan Prabowo beserta sejumlah elite lain di DPR maupun MPR. Namun saat itu, penulis memprediksi bahwa suasana kekitaan antarelite tersebut tetap tidak akan menghilangkan rivalitas tajam antara KIH dan KMP.

DPR sejatinya adalah wakil rakyat bukan wakil elite politisi! Artinya sejak mereka ditahbiskan sebagai wakil rakyat yang terhormat, maka sejak itu pula mereka harus berkhidmat pada urusan rakyat bukan semata golongan. Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632–1704) dan Montesquieu (1689–1755). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif

135

Page 136: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan.

Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.

Sementara dalam perspektif Montesquieu dalam mahakaryanya Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia.

Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat, sehingga lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Versi Locke tampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR kita mengacu pada konsep Trias Politikanya Montesquieu. Hal ini kita buktikan dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing- masing. Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos parliamentary threshold (PT).

Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni sebagai perwakilan bangsawan. Sejumlah hal yang kini diperjuangkan DPR nyaris kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau menyejahterakan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah atas, yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.

Manajemen Kehormatan

Seharusnya, DPR meminjam pendapat John van Mannen dan Stephen Barley (1985) mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia

136

Page 137: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kekinian. DPR baru pun lebih banyak diramaikan hanya oleh perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya diubah segera oleh para anggota DPR baru adalah menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Sehingga, DPR benar-benar menjadi wakil rakyat.

Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction). Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah, jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan checks and balances melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Hanya yang mengkhawatirkan, para politisi DPR tak cukup dewasa berpolitik sehingga saling menyandera satu dengan lainnya.

Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baik pribadi maupun kolektif, harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme. Amanah rakyat telah dipegang oleh mereka untuk dioptimalkan menjadi kerja nyata dalam satu periode jabatan. Kehormatan tak muncul serta-merta, melainkan harus diatur dan dikendalikan melalui berbagai tindakan individual yang relevan dengan fungsi mereka sebagai wakil rakyat, bukan wakil kaum bangsawan!

DR GUN GUN HERYANTODosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Visiting Researcher di University of Western Sydney

137

Page 138: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Penjual Sate dan UU ITE

Koran SINDO5 November 2014

Dalam siaran televisi swasta nasional terlihat seorang ibu menangis tersedu-sedu dan mengiba untuk memohon maaf dan kalau perlu bersujud di depan presiden Joko Widodo, karena anaknya ditangkap oleh petugas Subdirektorat Cyber Crime Mabes Polri.

Usut punya usut ternyata Muhammad Arsyad Assegaf, 24, si tukang sate dan anak dari Ibu Mursidah itu diduga telah melakukan tindak pidana yang cukup berat yakni melakukan pelanggaran Undang-Undang Pornografi; Undang-Undang Informasi, dan Transaksi Elektronik serta KUHP.

Secara singkat, tindakan pidana itu karena MAA diduga telah memuat, memperbanyak serta menyebarluaskan melalui akun jejaring sosial Facebook yang berisi gambar/potongan-potongan gambar, foto, dan kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan terhadap presiden ketujuh tersebut. Akibatnya, tindakannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran, penghinaan, dan pornografi dengan menggunakan perangkat komunikasi atau elektronik.

Bukan yang Pertama

Kasus yang menimpa MAA sebagai dampak semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia bukanlah kasus baru dan pertama. Setidak-tidaknya masih ada dua lagi kasus serupa yang terjadi sebagai dampak pemberlakuan UU ITE itu.

Contohnya kasus yang menimpa Prita Mulya Sari. Kehebohan publik pernah muncul awal 2009 di kala Prita menulis melalui pesan terbatas pada email yang kemudian disebarluaskan kepada teman-temannya. Pada email tersebut, Prita mengeluhkan dan mempertanyakan berbagai hal sebagai pasien atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Serpong Tangerang. Karena RS Omni Internasional merasa telah dicemarkan nama baiknya, kasus Prita pada 4 Juni 2009 untuk pertama kalinya diajukan ke meja hijau di Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan dari jaksa bahwa Prita telah melakukan pelanggaran Pasal 310, 311 KUHP dan atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Selain kasus Prita, kasus yang mendapatkan perhatian publik sebagai dampak adanya UU ITE dalam catatan penulis adalah kasus Florence. Sekitar akhir Agustus tahun ini, bermula dari ketidakpuasan Florence Saulina Sihombing, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, atas layanan SPBU di Yogyakarta. Guna menumpahkan kekesalan tersebut, Florence kemudian menulis di akun Path dengan kata-kata yang membuat sebagian besar masyarakat Yogyakarta memerah daun telinganya. 

138

Page 139: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dalam akun Path tersebut, mahasiswi program Notariat UGM itu menulis antara lain: “Jogjamu terlalu membosankan”; “Jogja sucks”; “Jogja membosankan”; “Apalah Jogja tanpa UGM”; “oh Sultan, plis mengertikah”; “Jogja miskin dan tak berbudaya”; “teman2 Jakarta-Bandung jangan tinggal di Jogja”, dll.

Kicauan dalam Path tersiar ke akun Twitter, Facebook, WhatApps, Line, dan berbagai media sosial lainnya sehingga dengan sangat cepat pula kicauan Florence tersebut mendapat tanggapan yang sangat beragam, baik pro maupun kontra.

Mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dan dengan kurang kooperatifnya mahasiswi program Notariat tersebut, polisi melakukan langkah cepat dengan memanggil, meminta keterangan dan akhirnya menahan Florence (walaupun dalam dua hari berikutnya dilakukan penangguhan penahanan).

Dalam skala yang sama, walau agak berbeda kualitasnya ketiga kasus tersebut (kasus MAA, kasus Prita, dan kasus Florence) secara normatif sandaran yang dipakai oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dalam menangani kasus tersebut sama. Penegak hukum mengenakan ketentuan Pasal 310 ayat (2) atau 311 KUHP tentang delik penghinaan yang disiarkan di muka umum/pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun dan denda Rp4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) serta UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun (khusus kasus MAA).

Di samping menggunakan KUHP, karena perbuatan “kicauan” MAA, Prita, Florence itu dilakukan dengan perangkat teknologi informasi (TI) maka akibat pemberitaan tersebut dapat juga dikenakan ketentuan dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Secara spesifik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut menyatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pelanggaran atas Pasal 27 ayat (3) tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”

Dalam tiga kasus tersebut, secara kasatmata timbul kesan bahwa tindak pidana dalam kasus MAA, Prita, Florence adalah delik biasa, artinya tanpa ada pengaduan orang yang merasa dirugikan maka polisi/jaksa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan melakukan penahanan pada pelaku. Di sisi lain, penegakan hukum dalam kasus-kasus seperti ini masih belum adil dan masih terkesan tebang pilih. Jika pelakunya adalah orang “biasa”, aparat penegak hukum selalu sigap dan cepat untuk melakukan due process of law, namun manakala pelakunya adalah orang yang kuat dan berpengaruh maka aparat akan terkesan lamban dalam penanganannya.

“Kesan” ini seolah membenarkan bahwa hukum akan kuat menghujam ke bawah dan akan

139

Page 140: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

tumpul manakala ke atas. Sementara itu, penegakan hukum pada kasus seperti itu akan berbalik karena jika korban itu merupakan orang yang mempunyai akses kuat maka penegakannya bersifat cepat atau sesegera mungkin ditangani, dan sebaliknya jika korbannya orang yang tidak/sedikit akses maka penegakannya berjalan lamban.

Sementara itu jika dilihat dari optik berbeda yakni polisi, maka tindakan lembaga penegakan hukum untuk melakukan penangkapan hingga penahanan itu merupakan hak kepolisian karena delik tersebut merupakan delik umum atau delik biasa, bukan merupakan delik aduan; oleh karena itu ada atau tidak ada pengaduan (dari Jokowi) polisi pasti akan mengusut tuntas delik penghinaan yang dilakukan media sosial tersebut.

Dilema UU ITE, UU ITE belum disosialisasikan dengan baik, dampaknya sering sekali masyarakat tanpa sadar melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam konteks UU ITE tersebut. Oleh karena itu, para pengguna media sosial di dunia maya harus berhati-hati dan bijak dalam menyebarluaskan informasinya kepada pihak ketiga. Biasanya para pengguna media sosial pernah mendengar undang-undang ITE, tetapi tidak pernah ada niatan untuk mencari dan membaca UU tersebut, padahal Pasal 27-37 Undang-Undang tersebut disadari dapat dipahami cukup jelas.

Namun demikian, dalam kasus MAA si penjual sate misalnya, harus dipahami bahwa tujuan penegakan hukum pidana adalah bagaimana mengembalikan kembali sebuah tatanan sosial yang awalnya terjadi disharmonisasi kemudian lahir dan muncul harmonisasi menuju perdamaian bersama dalam masyarakat.

Penulis meyakini bahwa otokritik pada pengguna media sosial tidak akan mungkin beredar sangat cepat jika tidak beredar ke media massa karena semua orang akan menjadi tahu. Namun demikian, harus diakui bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di era elektronik dan digital ini harus tetap dijamin dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan sopan santun serta jauh dari kata-kata kotor dan maki-makian, kebencian, pornografi dan hal-hal yang bertentangan dengan etika, moral, dan hukum.

Mengakhiri tulisan ini, ada suatu hikmah yang kita petik kasus Muhammad Arsyad Assegaf yakni bahwa dalam era globalisasi dan demokratisasi maka sarana dan prasarana komunikasi sangatlah canggih dan dengan cepat berkembang ke seluruh penjuru dunia. Media sosial tengah menjadi bagian di tengah-tengah kemajemukan masyarakat dapat digunakan secara bijak untuk kepentingan-kepentingan yang positif. Namun demikian, jika tidak pandai-pandai memanfaatkan media sosial tersebut akan menimbulkan masalah yang sebaliknya bahkan akibatnya lebih mengerikan bagi penggunanya jika tidak tahu dan tidak hati-hati akan akibat hukumnya. Semoga!

PROF DR JAMAL WIWOHO, SH, MHWakil Rektor II/Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

140

Page 141: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Dampak Parlemen Terbelah

Koran SINDO5 November 2014

Meluasnya ketidakpuasan terhadap proses pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan di DPR telah berujung pada terjadinya friksi yang semakin tajam di tubuh lembaga legislatif. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau koalisi pendukung Jokowi-JK yang terdiri dari fraksi-fraksi: PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PKPI ditambah sebagian anggota fraksi PPP versi Romahurmuziy telah mengajukan mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR, dan bahkan telah mendeklarasikan dibentuknya pimpinan DPR tandingan.

Krisis politik tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari sikap politik KIH yang menuding bahwa mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR sarat dengan rekayasa politik yang diperlihatkan dari perilaku para anggota DPR yang tergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisi pendukung Prabowo yang menyapu bersih seluruh kursi pimpinan dan ketua alat kelengkapan DPR.

Sebenarnya langkah untuk menguasai kursi-kursi pimpinan di Senayan atau yang secara populer sering juga disebut gedung miring itu, sudah dapat ditebak sejak dilakukannya penggantian UU MD3 melalui UU No 17 Tahun 2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan Peraturan Tatib DPR yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dari KMP.

Dalam konteks politik, langkah kontestasi politik untuk memperebutkan kursi di Senayan tersebut barangkali ada yang menilai sah-sah saja dilakukan, karena memang DPR merupakan sebuah lembaga politik yang bekerja dengan nalar politik. Namun, dalam perspektif teori organisasi, tragedi terbelahnya DPR tersebut justru menggambarkan kelemahan kapasitas dari pimpinan DPR dalam mengakomodasi polaritas pendapat di kalangan anggota DPR dan sekaligus juga merupakan kegagalan institusi DPR dalam melaksanakan konsolidasi politik pascapilpres.

Fenomena parlemen yang terbelah (divided parliament) telah memunculkan dua versi pimpinan DPR yang terjadi saat ini. Hal tersebut sejatinya sangat kontraproduktif terhadap upaya Jokowi-JK bersama kabinet yang dinamakan sebagai Kabinet Kerja untuk bergerak cepat menuntaskan sejumlah agenda pemerintahan dalam mendesain dan mengeksekusi sejumlah program/kegiatan kementerian/lembaga.

Beberapa implikasi dari terjadinya krisis politik di DPR tersebut antara lain: pertama, kegagalan DPR dalam melaksanakan berbagai program kerja strategis sebagai mitra penyeimbang pemerintah melalui peranan komisi dan badan. Sejumlah rencana program/kegiatan yang membutuhkan persetujuan dari DPR akan gagal dieksekusi sebagai akibat alat kelengkapan DPR tak bisa bekerja dengan efektif. Ujungnya, rakyat tak mungkin

141

Page 142: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

menikmati manfaat dari program/kegiatan pemerintah yang gagal dieksekusi.

Kedua, parlemen yang terbelah akan memandulkan fungsi pengawasan dari DPR karena terjadi krisis kewibawaan DPR. Di titik inilah sebenarnya DPR bisa secara perlahan mengalami proses pembusukan politik (political decay) akibat salah satu fungsi utamanya untuk melakukan pengawasan politik sebagai mitra penyeimbang bagi pemerintah gagal dilaksanakan.

Ketiga, fungsi penganggaran yang dimiliki oleh DPR juga terancam tak berjalan dengan baik karena situasi yang tak kondusif untuk bersama-sama dengan pemerintah melakukan pembahasan-pembahasan terhadap RAPBN. Padahal, dalam UUD Negara RI 1945 dinyatakan bahwa apabila pemerintah gagal menyusun RAPBN untuk tahun anggaran tertentu maka APBN yang dipergunakan tak lain adalah APBN tahun sebelumnya. Penggunaan APBN tahun sebelumnya tersebut jelas akan menyebabkan terjadinya stagnasi pemerintahan karena berbagai asumsi-asumsi makroekonomi yang semula dipergunakan sebagai dasar penetapan pembiayaan program/kegiatan APBN pada tahun sebelumnya, tentunya sudah tak lagi sesuai dengan realitas kondisi perekonomian makro APBN tahun berikutnya.

Keempat, berbagai fungsi internal DPR juga akan mengalami pemandulan. Misalnya, Majelis Kehormatan DPR juga tak akan bisa bekerja dengan efektif dalam situasi DPR yang terbelah. Badan Anggaran DPR juga akan mengalami stagnasi karena situasi politik Senayan yang tak kondusif. Badan legislasi juga akan mengalami disorientasi sebagai akibat sulitnya untuk menyusun Prolegnas bersama-sama dengan pemerintah karena krisis politik di Senayan akan membuat stagnasi pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi Badan Anggaran.

Dalam Tatib DPR jelas-jelas disebutkan bahwa rapat dan keputusan DPR dianggap sah jika dihadiri oleh 50% + 1 unsur fraksi. Maka, dengan posisi 5 fraksi vs 5 fraksi, baik rapat yang diselenggarakan oleh KMP maupun KIH tidak sah karena tidak memenuhi 50% +1 unsur fraksi. Jika KMP berhasil menarik kembali gerbong PPP ke KMP, masalah dualisme pimpinan DPR pun akan berakhir. Dengan kembalinya PPP ke KMP, syarat 50% + 1 unsur fraksi bisa terpenuhi. Sayangnya, posisi PPP sudah dikunci di KIH melalui surat Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi yang memilih bergabung ke KIH. Selain itu, di pimpinan DPR versi KIH, PPP juga menempatkan wakilnya di jajaran pimpinan DPR.

Benarkah posisi DPR yang terbelah ini akan mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK? Tentunya jawabannya adalah tidak, jika tidak terkait dengan pengajuan anggaran baru untuk membiayai program/kegiatan baru yang diusulkan oleh kementerian/lembaga. Selama program-program Kabinet Kerja masih menggunakan anggaran yang lama, Jokowi tidak memerlukan konsultasi dengan DPR. Namun, tentu saja, jika sampai 2015 DPR masih terbelah, pemerintahan Jokowi akan mengalami kendala yang serius, meskipun secara konstitusional UUD Negara RI 1945 membolehkan pemerintahan Jokowi menggunakan anggaran tahun sebelumnya.

142

Page 143: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu secara otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR. Dengan parlemen yang terbelah, rapat-rapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil keputusan apa pun. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.

Berdasarkan Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281 maupun 284 ayat (1) diatur bahwa pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1) yang pada intinya mengatur bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada.

Krisis politik di DPR harus bisa diakhiri melalui mediasi politik yang fairness dan adil dengan didukung sikap kenegarawanan dari masing-masing kubu.

DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUMPengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

143

Page 144: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

BBM, Kedaulatan Energi, dan SKK Migas

Koran SINDO6 November 2014  

Belakangan ini isu energi kian mengemuka, yaitu masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Masalah ini harus dapat perhatian serius, karena salah satu misi Jokowi-JK adalah pencapaian Kedaulatan Energi sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.

Kedaulatan energi merupakan hak negara dan bangsa dalam menentukan kebijakan pengelolaan energi secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak asing. Pencapaian Kedaulatan Energi di negeri ini bukanlah perkara mudah. Pasalnya, Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) masih bernuansa liberal.

Selain UU yang liberal tersebut, lembaga yang berwenang mengelola migas, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang kemudian digantikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tampaknya tidak mempunyai komitmen kuat untuk mencapai kedaulatan energi. Tidak mengherankan, sejak pendirian BP Migas pada 2002 hingga kini, dominasi penguasaan ladang migas Indonesia sudah jatuh ke tangan kontraktor asing. Data Direktorat Jenderal Migas ESDM menyebutkan, sejak 2002, pengelolaan sumber migas Indonesia lebih didominasi oleh kontraktor asing yang menguasai sekitar 74%, hanya 22% dikuasai oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, sementara yang dikelola oleh konsorsium sebesar 4%.

Kalau pemerintahan Jokowi-JK memang serius menerapkan misinya untuk mencapai Kedaulatan Energi, salah satu yang harus diprioritaskan adalah membubarkan SKK Migas, dengan melakukan reorganisasi lembaga tersebut. Pertimbangannya, selain tidak punya komitmen terhadap pencapaian Kedaulatan Energi, keberadaan SKK Migas sesungguhnya ilegal karena sudah dibubarkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK terhadap uji materi UU No 22/2001 telah menetapkan bahwa keberadaan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu harus dibubarkan terhitung sejak 13 November 2012. Memang pemerintahan SBY sudah membubarkan BP Migas, namun kemudian mengubahnya menjadi SKK Migas, yang ditempatkan di bawah struktur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kewenangan Besar SKK Migas

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 9 Tahun 2013, SKK Migas ditunjuk untuk melaksanakan pengelolaan kontrak kerja sama (KKS) seluruh kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Seperti BP Migas, kewenangan SKK Migas sangat besar, di antaranya: memberikan pertimbangan kepada menteri ESDM untuk persetujuan KKS, menandatangani

144

Page 145: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

kontrak, menjual migas bagian dari pemerintah, mengeluarkan peraturan, dan melaksanakan pengawasan terhadap KKS.

Kewenangan SKK Migas yang sangat besar berpotensi memicu moral hazard terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi dan suap, yang merugikan negara. Penangkapan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK disebabkan penyalahgunaan kewenangannya dalam menjual minyak jatah pemerintah. Rudi Rubiandini ditangkap tangan atas penerimaan suap dari PT Kernel Oil, perusahaan oil trading yang bermarkas di Singapura. Pemberian suap tersebut tentunya dimaksudkan sebagai pelicin untuk memenangkan PT Kernel Oil dalam tender kontrak penjualan minyak Indonesia.

Aroma suap tersebut sesungguhnya tidak hanya terjadi pada proses pemenangan tender lelang oil trading, tetapi juga berpotensi terjadi pada setiap penetapan kontrak pengelolaan ladang migas, baik kontrak yang baru, maupun perpanjangan kontrak ladang migas. Adanya indikasi suap tersebut barangkali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan ladang migas di Indonesia lebih dikuasai oleh kontraktor asing ketimbang kontraktor nasional.

Sedangkan potensi penyimpangan lainnya terjadi dalam penetapan recovery cost, biaya yang dibebankan dalam APBN untuk membayar biaya eksplorasi kepada investor. Indikasinya, alokasi recovery cost dalam APBN cenderung meningkat, sedangkan lifting minyak justru cenderung menurun. Dalam APBNP 2012, recovery cost dianggarkan sebesar USD15,16, meningkat dibanding APBN 2012 yang dianggarkan sebesar USD12,33. Anehnya, peningkatan recovery cost itu tidak secara signifikan menaikkan lifting minyak, justru sebaliknya malah terjadi penurunan. Lifting minyak Indonesia hingga akhir 2013 hanya mencapai 891 barel per hari, padahal produksi minyak tahun sebelumnya bisa mencapai 950 barel per hari.

Selain itu, SKK Migas juga berwenang sebagai regulator dan pengawas, sekaligus sebagai pemain bisnis migas. Dengan kewenangan tersebut, hubungan antara SKK Migas dan kontraktor sebagai G-to-B (government-to-business).

Hubungan G-to-B berpotensi menimbulkan permasalahan serius bagi negara manakala terjadi persengketaan bisnis yang diadukan ke Arbitrase Internasional. Kontraktor sebagai pemohon bisa menuntut kepada Arbitrase Internasional untuk menyita seluruh aset negara selama proses persidangan persengketaan berlangsung, sehingga negara bisa bangkrut jika seluruh asetnya harus disita.

Reorganisasi SKK Migas

Untuk meminimkan berbagai persoalan yang timbul akibat kewenangan yang terlalu besar, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas dan melakukan reorganisasi lembaga tersebut. Prinsip utama dalam reorganisasi adalah pemisahan kewenangan yang selama ini digenggam SKK Migas.

Kewenangan sebagai regulator dan pengawasan sebaiknya diserahkan kepada Kementerian

145

Page 146: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

ESDM, sedangkan kewenangan sebagai pelaku bisnis diberikan kepada BUMN yang baru dibentuk untuk menjalankan usaha hulu minyak dan gas bumi. BUMN itu diberikan kewenangan untuk mengambil alih seluruh pengelolaan KKS, baik kontrak lama maupun kontrak baru.

Seluruh aset dan sekitar 1.200 karyawan yang selama ini dikelola oleh SKK Migas dialihkan ke BUMN tersebut. Tujuan pembentukan BUMN adalah untuk melakukan pengelolaan usaha hulu migas secara optimal sehingga dapat memaksimalkan penerimaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN itu dituntut untuk meningkatkan lifting sesuai target ditetapkan oleh pemerintah, yang menjadi salah satu indikator kinerja BUMN baru tersebut.

Selain itu, BUMN itu harus lebih berpihak kepada kontraktor dalam negeri, baik BUMN maupun perusahaan swasta nasional, ketimbang kontraktor asing, sehingga mempercepat pencapaian Kedaulatan Energi.

Mengingat peran penting dalam pengelolaan migas dalam pencapaian Kedaulatan Energi dan peningkatan penerimaan negara, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas, sekaligus melakukan reorganisasi dalam waktu dekat ini. Kalau perlu, upaya pembubaran dan reorganisasi tersebut dilakukannya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) sebagai dasar hukumnya, sembari menunggu diundangkannya UU Migas yang baru.

Tanpa pembubaran dan reorganisasi SKK Migas, jangan harap misi Jokowi-JK dalam pencapaian kedaulatan energi untuk negeri dapat dicapai.

FAHMY RADHIPengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM)

146

Page 147: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perppu Itu Diuji ke MK

Koran SINDO8 November 2014 

Setelah reda karena ditenggelamkan oleh berita-berita tentang tarung politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR, kini isu UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), apakah akan secara langsung atau melalui DPRD, muncul kembali sebagai berita.

Aktivis Didik Supriyanto dan kawan-kawannya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian formal atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 18 hari sebelum mengakhiri masa pengabdiannya. 

Seperti diketahui, suhu politik panas membara pada minggu terakhir bulan September lalu ketika DPR membahas dan memutuskan RUU Pilkada yang akhirnya, setelah diwarnai walk out, menetapkan mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden SBY menjadi sangat galau dan menyatakan ketidaksetujuannya. 

Semula ada wacana Presiden SBY tidak akan menandatangani RUU tersebut. Tetapi kemudian Kepala Negara memilih menandatanganinya pada 2 Oktober 2014 menjadi UU No 22 Tahun 2014. Kemudian, pada hari yang sama, mengeluarkan pencabutan atasnya melalui Perppu No 1 Tahun 2014. Masyarakat pun ribut dengan berbagai kritik panas, liar, dan kadang melempar bully secara kasar. 

Kalau tak setuju, mengapa tak dinyatakan dalam sidang saat DPR mengambil keputusan bersama pemerintah? Kalau tak setuju, mengapa dulu mengajukan RUU Pilkada tak langsung yang disertai surat resmi presiden kepada DPR? Kalau tak setuju, mengapa tidak menginstruksikan Fraksi Partai Demokrat di DPR agar bergabung dengan PDIP menolak pilkada melalui DPRD? 

Sebenarnya lebih dari sekadar banyaknya kritik pedas dan bully liar pada Pak SBY itu, saat ini, ada fakta yang harus diantisipasi secara arif yaitu kemungkinan terjadinya kekosongan hukum. Meski ada yang berpendapat lain tetapi pada umumnya pakar hukum tata negara berpendapat, jika kelak DPR menolak Perppu tersebut maka akan terjadi kekosongan hukum. 

Alasannya, Perppu itu sah saat dikeluarkan sehingga sah pula saat mencabut berlakunya UU Pilkada. Oleh sebab itu, jika DPR kelak menolak Perppu itu maka UU Pilkada No 22 Tahun 2014 sudah tidak bisa hidup lagi. Ada contoh tentang ini, yakni, pengangkatan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didasarkan atas Perppu No 4 Tahun 2009. 

147

Page 148: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Untuk menggantikan kekosongan ketua KPK setelah Antasari Azhar dihukum dan mengantisipasi tidak kuorumnya pimpinan KPK jika Bibit Samad dan Chandra Hamzah dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak Buaya) Presiden SBY mengeluarkan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Plt. Pimpinan KPK. Berdasarkan Perppu tersebut, Tumpak Hatorangan kemudian terpilih menjadi Plt. Ketua KPK.

Tetapi ketika ternyata Perppu itu ditolak oleh DPR maka kedudukan Tumpak tak diusik, tetap dalam jabatannya sampai terpilihnya Busyro Muqoddas di DPR. Tumpak terus menjadi Plt Ketua KPK meskipun Perppu yang menjadi dasar pengangkatannya ditolak oleh DPR. Alasannya, pengangkatan Tumpak dilakukan oleh Perppu yang masih sah berlaku karena belum ditolak DPR. 

Akan muncul masalah serius, jika Perppu Pilkada kelak ditolak oleh DPR, sebab UU Pilkada yang ada sudah dicabut oleh Perppu ketika Perppu itu masih sah. Maka menjadi menarik ketika Didik Supriyanto dkk mengajukan pengujian formal ke MK agar Perppu tersebut dinyatakan inkonstitusional. Alasannya, Perppu itu tidak memenuhi syarat-syarat keadaan genting dan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. 138/PUU/VII/2009.  Sungguh berbahaya jika kelak ada Presiden yang sembarangan mengeluarkan Perppu saat tidak ada alasan-alasan genting yang memaksa.

Jika kelak MK membatalkan Perppu tersebut karena inkonstitusional, bisa saja MK menghidupkan kembali UU Pilkada yang sudah dibatalkan oleh Perppu tersebut. Alasannya sederhana. Keputusan DPR ketika menolak Perppu adalah keputusan politik yang hanya bisa menyatakan menolak atau menerima Perppu tanpa bisa menghidupkan kembali UU yang telah dicabut oleh Perppu itu. 

Sedangkan putusan MK adalah putusan hukum. Jika satu UU/Perppu dinyatakan inkonstitusional oleh MK, bisa saja UU/Perppu itu dianggap tidak pernah ada. Yang penting, pilihan vonisnya harus jelas, apakah menyatakan ”batal” atau menyatakan ”membatalkan”. 

Jika vonis MK menyatakan batal (ex-tunc) maka putusannya berlaku surut sehingga UU/Perppu tersebut dianggap tidak pernah ada dan akibat-akibat hukum yang pernah ditimbulkannya, seperti pencabutan sebuah UU, bisa dihidupkan kembali. Dalam menyatakan batal itu MK, minimal dalam konklusinya, harus menyatakan bahwa UU/Perppu batal dan UU yang dicabutnya berlaku kembali. Tetapi jika vonis itu menyatakan membatalkan (ex-nunc) maka vonis itu bersifat prospektif, berlaku ke depan, sehingga akibat-akibat yang sudah terjadi dianggap sah dan diteruskan sampai selesai atau sampai ada UU baru.

Ada contoh jelas tentang ini. Melalui putusan No. 01-021-022/PUU/I/2003 tanggal 15 Desember 2004 MK menyatakan batal UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan memberlakukan kembali UU yang sebelumnya telah dicabut oleh UU tersebut. 

Harus diingat, pengujian yang dilakukan oleh Didik Supriyanto bukanlah uji materiil, melainkan uji formal. Ia tak mempersoalkan pilkada langsung atau tak langsung. Yang dipersoalkan adalah prosedur dan syarat-syarat keluarnya Perppu yang dinilainya

148

Page 149: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

inkonstitusional dan lebih merupakan selera politik presiden. Didik sebenarnya dikenal sebagai pendukung fanatik Pilkada Langsung.

Maka itu, MK harus menutup mata seperti dewi keadilan, tak boleh terseret arus politik. Pikiran MK harus sepenuhnya yuridis-konstitusional yang salah satu pijakannya adalah kemanfaatan hukum bagi bangsa dan negara.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

149

Page 150: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Perppu dan Pilkada Serentak

Koran SINDO8 November 2014

Sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu (2/10/2014), sejak itu berlaku secara positif. 

Perppu setara dengan UU sehingga menjadi dasar penyelenggaraan pilkada. Minimal sampai perppu ditetapkan nasibnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam masa sidang pada 2015, apakah diterima atau ditolak. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menegaskan, perppu harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak, perppu itu harus dicabut. Tetapi, bila disetujui, perppu menjadi UU. 

Menjadi perdebatan kalau perppu ditolak DPR, apakah secara otomatis berlaku kembali UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang di dalamnya mengatur pilkada di DPRD? Dalam ranah hukum tata negara, suatu UU yang dibatalkan oleh perppu yang ternyata kemudian perppu itu ditolak DPR, UU bersangkutan tidak secara otomatis berlaku. 

Makna penolakan perppu oleh DPR berarti perppu itu ditolak secara keseluruhan menjadi UU sehingga akibat hukum yang dihasilkan oleh perppu yang ditolak DPR juga tidak berlaku. Untuk memberlakukan kembali sebuah UU, DPR harus memulai lagi dari awal. Misalnya, ada kesepakatan politik oleh fraksi di DPR untuk membahasnya lagi sesuai mekanisme tata tertib DPR. 

Inilah yang pertama dalam sejarah penerbitan perppu negeri ini, presiden mendesain perppu dengan mencabut berlakunya sebuah UU. Padahal selama ini perppu hanya menangguhkan berlakunya suatu UU atau ketentuan UU, atau membuat ketentuan baru untuk mengisi kekosongan hukum dengan pertimbangan “ada kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 ayat 1 UUD). 

Jika Perppu Pilkada ditolak DPR, selain mengosongkan hukum lantaran mencabut UU Nomor 22/2014, juga “mengacaukan kepastian hukum”. Lebih celaka kalau Presiden Jokowi memenuhi permintaan fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) agar segera menerbitkan perppu yang mencabut pemberlakuan UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagai imbas perseteruan dalam memilih pimpinan DPR. 

Artinya, Perppu Pilkada yang mencabut suatu UU menjadi preseden buruk jika presiden saat ini dan berikutnya menjadikannya sebagai dasar untuk melawan UU yang tidak sesuai kehendak politiknya meski sudah disepakati bersama DPR. Mayoritasnya fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) plus Fraksi Partai Demokrat di parlemen bukan tidak mungkin “obral

150

Page 151: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

perppu” akan jadi tontonan dalam pemerintahan Jokowi-JK. 

Pilkada Serentak 

Taruhlah, Perppu Pilkada itu disetujui DPR menjadi UU, satu aspek yang patut dipikirkan adalah ada desain “pilkada serentak” secara regional (provinsi) dimulai pada 2015. Pada 2019 sesuai putusan MK juga dilaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak. 

Tetapi, pemilu serentak akan dilakukan secara nasional pada 2020. Termasuk pemilihan kepala desa serentak di kabupaten pada hari dan bulan yang sama. Ketentuan pilkada serentak diatur pada Pasal 201 Perppu Pilkada bahwa pemungutan suara serentak untuk memilih gubernur, bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2015. 

Pemungutan suara serentak bagi gubernur, bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2018 dengan masa jabatan gubernur, bupati/wali kota sampai 2020. Jika pemilihan tidak dapat diselenggarakan karena tidak ada calon yang mendaftar, diangkat penjabat kepala daerah sampai terpilih gubernur, bupati/wali kota pada 2020. 

Pemungutan suara serentak yang masa jabatannya berakhir pada 2019 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2020. Pemungutan suara serentak secara nasional dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2020.

Salah satu tujuan pilkada serentak adalah meminimalisasi anggaran dari APBN dan APBD. Namun, berkaca pada pengalaman selama ini, justru biaya calon kepala daerah yang sebetulnya sangat besar dan susah dikontrol meskipun ada pembatasan. 

Perppu juga mengatur pembatasan biaya kampanye calon kepala daerah, tetapi sangat sulit dikontrol. Misalnya, biaya untuk parpol pengusung, biaya mengumpulkan dukungan KTP bagi calon perseorangan, biaya kampanye, biaya sosialisasi, biaya untuk tim sukses, termasuk biaya untuk politik uang. Inilah yang selalu dikritik, bukan hanya pada besarnya dana negara yang dipakai menyelenggarakan pilkada. Justru dana pribadi calon yang jauh lebih besar lantaran mengikuti kehendak demokrasi langsung (demokrasi liberal sesuai kehendak pasar). Setelah terpilih, sudah pasti akan mencari akal untuk mengembalikan dana besar yang dikeluarkan dengan menyalahgunakan kekuasaan. 

Itulah yang sering saya sebut kalau secara terselubung “korupsi sudah menjadi cita-cita”. Selain mengemplang APBN dan APBD, menerima suap dan gratifikasi untuk pengeluaran izin usaha atau izin pertambangan juga balas jasa proyek yang dibiayai APBN/APBD buat pengusaha hitam yang menjadi donatur kampanye. 

Tidak Berpasangan 

151

Page 152: (Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november 2014

Yang juga menarik dalam perppu adalah pemilihan tidak lagi berpasangan dalam satu paket. Ini sudah pasti memberatkan kandidat lantaran harus maju sendirian dan membiayai dirinya sendiri. Kecuali sudah main mata dengan calon wakil kepala daerah yang akan diusulkan setelah terpilih. 

Semua wakil yang diusulkan bisa berasal dari pegawai negeri sipil, juga bisa non-pegawai negeri sipil. Itu diatur dalam Pasal 170 Perppu bahwa pengisian wakil gubernur dan wakil bupati/wakil wali kota dilaksanakan paling lambat satu bulan setelah pelantikan dengan masa jabatan yang sama. Untuk wakil gubernur diangkat oleh presiden atas usul gubernur terpilih melalui menteri dalam negeri. Sedangkan wakil bupati/wakil wali kota diangkat menteri dalam negeri atas usul bupati/walikota terpilih melalui gubernur.

Pilihan pilkada serentak yang hanya memilih gubernur dan bupati/wali kota tanpa pasangan tentu mengubah konstelasi dan atmosfer politik di daerah. Selain memberatkan calon kepala daerah dari sisi pembiayaan dan sosialisasi, mengubah partisipasi rakyat, juga menutup kasak-kusuk sosok tertentu yang selama ini hanya memburu wakil. Tetapi, secara gagasan perppu ingin meredam konflik antara kepala daerah dan wakilnya menjelang akhir jabatan lantaran ingin maju sendiri-sendiri untuk periode kedua.

MARWAN MASGuru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

152