(Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

158
1 DAFTAR ISI HAKIM SARPIN SELAMATKAN KPK Romli Atmasasmita 4 TERORISME BUKAN REPRESENTASI ISLAM Faisal Ismail 7 DOSEN HUKUM JADI MALU Moh Mahfud MD 10 PELUANG PARTAI BARU Anas Urbaningrum 13 AHOK, DPRD, ETIKA, DAN PRIORITAS Bambang Soesatyo 16 PROVOKASI NETANYAHU Dinna Wisnu 19 RAPBD DAN CHECKS AND BALANCES W Riawan Tjandra 22 KRIMINALISASI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI Romli Atmasasmita 25 ANTARA PAHLAWAN DAN PECUNDANG Bambang Usadi 28 ETIKA PENEGAKAN HUKUM Janedjri M Gaffar 32 TURBULENSI POLITIK PARTAI GOLKAR Firdaus Muhammad 35 DEMOKRASI JALAN KORUPSI Moh Mahfud MD 38 JANGAN INTERVENSI KEDAULATAN HUKUM INDONESIA! Firmandez 41 DIPLOMASI PERTAHANAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN LUAR NEGERI Rodon Pedrason 45 MELAWAN BEGAL POLITIK DAN MANDAT PALSU Bambang Soesatyo 49

Transcript of (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

Page 1: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

1

DAFTAR ISI

HAKIM SARPIN SELAMATKAN KPK

Romli Atmasasmita 4

TERORISME BUKAN REPRESENTASI ISLAM

Faisal Ismail 7 DOSEN HUKUM JADI MALU

Moh Mahfud MD 10

PELUANG PARTAI BARU

Anas Urbaningrum 13

AHOK, DPRD, ETIKA, DAN PRIORITAS

Bambang Soesatyo 16

PROVOKASI NETANYAHU

Dinna Wisnu 19

RAPBD DAN CHECKS AND BALANCES

W Riawan Tjandra 22 KRIMINALISASI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Romli Atmasasmita 25

ANTARA PAHLAWAN DAN PECUNDANG

Bambang Usadi 28

ETIKA PENEGAKAN HUKUM

Janedjri M Gaffar 32

TURBULENSI POLITIK PARTAI GOLKAR

Firdaus Muhammad 35

DEMOKRASI JALAN KORUPSI

Moh Mahfud MD 38 JANGAN INTERVENSI KEDAULATAN HUKUM INDONESIA!

Firmandez 41

DIPLOMASI PERTAHANAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN LUAR

NEGERI Rodon Pedrason 45

MELAWAN BEGAL POLITIK DAN MANDAT PALSU

Bambang Soesatyo 49

Page 2: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

2

GOLKAR DI PERSIMPANGAN JALAN

Gun Gun Heryanto 52

PARPOL DI KEMENKUMHAM

Margarito Kamis 55 BERAPA APBN UNTUK PARPOL?

Anas Urbaningrum 58

PELAJARAN DARI KISRUH RAPBD DKI

M Alfan Alfian 61

PEMBERIAN DANA PARTAI POLITIK

Bawono Kumoro 64

TEKNIK MEDIASI IDEAL KASUS PEMDA DKI VS DPRD

Frans H Winarta 67

REMISI BAGI KORUPTOR

Victor Silaen 70 HUKUM BAGI RAKYAT KECIL

Marwan Mas 73

PERPRES GOLKAR

Moh Mahfud MD 76

MENGULANG SKENARIO KUDATULI PDI PADA GOLKAR DAN PPP

Bambang Soesatyo 79

MENAKAR OTONOMI PARTAI POLITIK

Wasisto Raharjo Jati 83

KETEGASAN LEE KUAN YEW

Dinna Wisnu 86 MEMBENDUNG RADIKALISME DI DUNIA MAYA

Agus Surya Bakti 89

DISKREPANSI PELEMBAGAAN PARPOL

Gun Gun Heryanto 93

SOLUSI GOLKAR: AKHIRNYA MUNAS JUGA

Hajriyanto Y Thohari 96

HUKUM ISLAM MODERN

Moh Mahfud MD 99

MENGAPA SARPIN (TIDAK) MELANGGAR KUHAP?

Romli Atmasasmita 102

Page 3: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

3

BAPAK BANGSA SINGAPURA ITU TELAH PERGI

Frans H Winarta 105

HAK ANGKET UNTUK KEMURNIAN DEMOKRASI

Bambang Soesatyo 108 IRONI PERDAMAIAN TIMUR TENGAH

Dinna Wisnu 111

MENGUATKAN KEMBALI CITA KEBANGSAAN

Anna Luthfie 114

REKOMENDASI ULAMA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI

Romli Atmasasmita 118

PUTUSAN HAKIM BISA BERBEDA

Marwan Mas 121

GUBERNUR AHOK DI UJUNG TANDUK?

Tjipta Lesmana 124 RELAWAN DAN TIMSES MASUK BUMN?

Hendri B Satrio 127

KONSPIRASI POLITIK YASONNA LAOLY

Bambang Soesatyo 130

MASA DEPAN PENYELESAIAN KRISIS NUKLIR IRAN

Broto Wardoyo 134

MENANGANI ISIS DENGAN HUMANIS

Abdul Mu’ti 137

REFLEKSI KONFLIK DI TIMUR TENGAH

Dinna Wisnu 140 DUA SISI KOIN DIPLOMASI PERTAHANAN

Rodon Pedrason 143

PEMILIH JOKOWI YANG MULAI KECEWA

Moch Nurhasim 147

YAMAN DAN PERANG PROXY SAUDI-IRAN?

Indriana Kartini 150

PARTAI DEMOKRASI MINUS REGENERASI

Victor Silaen 153

KEKUATAN HUKUM DALAM PRAPERADILAN

Sudjito 156

Page 4: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

4

Hakim Sarpin Selamatkan KPK

Koran SINDO

5 Maret 2015

Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah

undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar lembaga-lembaga negara yang

telah dicantumkan dalam UUD 1945.

Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPR Nomor XI/1998 yang menuntut

penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pada masa itu ada kebutuhan mendesak

untuk melengkapi reformasi di bidang ekonomi, politik, dan di bidang HAM.

UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu hukum pembatas kewenangan pimpinan dan

pegawai KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK diposisikan sebagai

lembaga ad hoc yang memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary) karena

korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Rambu-rambu hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas

dan wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.

Ada beberapa rambu pembatas bagi KPK. Pertama, KPK merupakan lembaga negara

independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh

kekuasaan mana pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan

lima asas: kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan perundang-

undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas

dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas

proporsionalitas dan harus dapat memahami penjelasannya.

Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua merangkap anggota dan empat wakil

ketua merangkap anggota; harus bekerja secara kolektif; dalam mengambil keputusan yaitu

harus disepakati bersama dan disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap

pimpinan KPK dan pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung

berhubungan dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak

pidana korupsi dengan alasan apa pun. Mereka juga dilarang menangani perkara tindak

pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam

garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK. Juga ada

larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas,

atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan

jabatan tersebut. Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3.

Page 5: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

5

Selain larangan- larangan tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang

harus dipatuhi pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.

***

Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana disebut di dalam UU KPK,

tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan pegawai KPK.

Apalagi sanksi melanggar larangan atau kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara

jika ditetapkan sebagai tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan

diancam pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana

pokok.

Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK pada umumnya dan juga

masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK. Berdasarkan

ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 43 sampai Pasal 52 UU KPK, maka

penyelidik, penyidik, dan penuntut tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai

payung hukumnya.

Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39) adalah terbatas hanya pada

kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan saja serta kewenangan memerintah

terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya pada pimpinan KPK, bukan lagi atasan

mereka di instansi asalnya. Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah

diberhentikan sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.

Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada KPK maka mereka yang

diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes

Polri yang disahkan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan

HAM. Jika syarat-syarat penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh

pimpinan KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau ”penuntut”

adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan surat dakwaan menjadi

tidak mengikat lagi.

***

Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin dalam pertimbangannya tidak

mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif yang telah diuraikan di atas. Hakim

Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan

ketentuan mengenai subjek hukum dan objek hukum yang merupakan kewenangan KPK

(Pasal 11).

Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK berwenang melakukan penyelidikan

dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota Polri dan pejabat Polri dengan

pangkat/jabatan eselon II berdasarkan keputusan Presiden, dan apakah perkara BG terkait

nilai kerugian negara sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara

Page 6: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

6

korupsi yang telah menarik perhatian masyarakat.

Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat menunjukkan (bukan

membuktikan) bahwa dengan alat-alat bukti yang telah diperoleh, KPK berwenang

memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 11 UU

KPK.

Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum penyidik KPK dan tentang

asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin berperilaku sama agresifnya dengan

pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG

serta tentang asas kolektif pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat

dibayangkan semua hasil kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan

tersebut menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Alhasil KPK akan

kebanjiran gugatan TUN dan perdata melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah

dihadapi bukan saja oleh KPK, melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan.

Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan

KPK!

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

Page 7: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

7

Terorisme Bukan Representasi Islam

Koran SINDO

6 Maret 2015

Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dalam pertemuan puncak di Gedung Putih

yang dihadiri 60 delegasi dari 60 negara mengatakan bahwa teroris dan terorisme tidak

identik dengan Islam dan bukan representasi Islam.

Dengan tegas Obama mengatakan, ”Para teroris itu tidaklah berbicara mewakili satu miliar

muslim di dunia. Mereka menggambarkan diri sebagai pejuang suci, namun sebenarnya

mereka adalah teroris.” (KORAN SINDO, 28/2). Selanjutnya Presiden AS itu menekankan

agar seluruh pemimpin negara di dunia lebih aktif mencegah radikalisme dan

terorisme. Ideologi, propaganda, perekrut, dan penyandang dana yang menghasut orang untuk

melakukan kekerasan harus ditangani.

Benang merah yang dapat ditarik dari pidato Obama itu teroris dan terorisme adalah musuh

bersama yang harus dilawan dan dikalahkan oleh semua bangsa di dunia ini. Teroris dan

terorisme adalah musuh bersama bangsa-bangsa beradab yang menegakkan perdamaian,

kedamaian, keadaban, dan peradaban.

Pidato Obama itu tentu tidak terlepas dari fenomena kekerasan dan ”kejahatan” gerakan

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. ISIS di bawah

komando al-Baghdadi secara sadis memenggal kepala beberapa jurnalis (termasuk jurnalis

AS), menawan 229 anak, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak

sealiran, menebar teror, menyebar kebencian dan permusuhan, serta melakukan pembantaian

yang mengerikan di Irak dan Suriah terhadap kelompok (termasuk anak-anak, kaum wanita,

dan orang-orang lanjut usia) yang tidak seideologi dengan mereka. Kutukan dari masyarakat

internasional terhadap kekejaman ISIS datang dari berbagai belahan dunia.

AS dan sekutu Baratnya (seperti Inggris, Prancis, dan Jerman) serta negara-negara Arab-

muslim saling bekerja sama melakukan tindakan dan ”serangan” terhadap basis kekuatan

ISIS. Komunitas Kurdi di Irak juga angkat senjata melawan kekejaman ISIS. Kota Kobani

yang semula jatuh ke tangan ISIS kini telah direbut kembali oleh para pejuang Kurdi dari

tangan ISIS. Serangan AS dan sekutu Baratnya dan negara-negara Arab-muslim sudah

memperlihatkan hasilnya yang menyebabkan kekuatan ISIS mulai melemah.

Khawarij, Azahari, Noordin M Top

Dalam jubah yang berbeda, ISIS dapat disamakan dengan gerakan kaum Khawarij di zaman

Islam klasik. Dengan memekikkan jargon ”la hukma illa Allah” (tidak ada hukum selain

Page 8: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

8

hukum Allah), kaum Khawarij memaknai ayat itu menurut kepentingan ideologi mereka

sendiri dan memandang orang-orang di luar kelompoknya adalah halal darah mereka untuk

dibunuh. Orang-orang yang tidak sealiran dan tidak seideologi dengan mereka adalah halal

darah mereka untuk dihabisi nyawa mereka.

Kaum Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena Ali

menerima tahkim (arbitrase) dengan Muawiyah bin Abi Sufyan menyusul terjadi Perang

Shiffin. Salah satu korban gerakan radikalis-teroris Khawarij adalah Khalifah Ali bin Abi

Thalib (Khalifah Al-Rasyidin ke-4) yang mereka bunuh saat salat subuh di Masjid Kufah.

Momen yang sakral dan bersifat ilahiah itu dijadikan kesempatan oleh orang Khawarij untuk

menghabisi nyawa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dua pemimpin muslim lain yang juga

ditarget oleh kaum Khawarij untuk dibunuh adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (gubernur

Syria) dan Amru bin Ash (gubernur Mesir). Tapi, Muawiyah dan Amru selamat dan aman

dari ancaman maut orang-orang Khawarij.

Kaum Khawarij dapat dipandang sebagai aliran atau kelompok teroris pertama dalam sejarah

Islam. Di Indonesia gerakan terorisme antara lain digerakkan oleh Dr Azahari dan Noordin M

Top. Keduanya sebenarnya adalah warga negara Malaysia, tapi melakukan operasi dan aksi

teror di berbagai tempat di Indonesia bersama para teroris di negeri ini.

Azahari dan Noordin dikenal sangat pandai dan mahir merakit bom. Inilah salah satu ”modal”

utama dan senjata ampuh Azahari dan Noordin dalam melancarkan aksi terornya. Azahari

dan Noordin pada masanya dapat dipandang sebagai inspirator, motivator, dan dinamisator

gerakan terorisme di Indonesia untuk kurun waktu yang cukup panjang.

Densus 88 mengintai dan memburu Azahari dan Noordin dari waktu ke waktu, tapi keduanya

dapat mengelak dan meloloskan diri. Azahari dan Noordin diidentifikasi sebagai gembong

teroris yang menginspirasi dan mengeksekusi serangkaian aksi pengeboman beberapa gereja

di malam Natal (tahun 2000), bom Bali (2002), bom Hotel JW Marriot (2003), bom Kedubes

Australia (2004), dan bom Mega Kuningan (2009).

Akhirnya Densus 88 pada 2005 melakukan pengepungan dan menembak mati Dr Azahari di

Batu (Malang, Jawa Timur). Dalam penggerebekan, pada 2009 Densus 88 juga menembak

mati Noordin M Top di Surakarta.

Kematian Azahari dan Noordin tidak menghentikan gerakan terorisme di negeri ini. Densus

88 terus berupaya memberantas terorisme agar masyarakat dapat hidup tenang, aman, dan

damai.

Bukan Representasi Islam

Islam adalah agama perdamaian dan kedamaian. Secara harfiah arti Islam itu sendiri adalah

keselamatan, kedamaian atau perdamaian, ketundukan, dan kepasrahan diri. Tidak ada satu

pun ayat Alquran (juga dalam kitab suci agama-agama lain) yang menyuruh dan mengajarkan

Page 9: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

9

kepada para pemeluknya untuk melakukan terorisme, radikalisme, brutalisme, kekerasan,

kejahatan, perusakan, penyerangan, dan pembunuhan baik terhadap anggota umat seagama

maupun terhadap anggota jemaat tidak seagama.

Islam adalah agama yang mengajarkan kepada semua manusia tercipta salam (keselamatan

dan perdamaian) sesuai arti, esensi, visi, dan misi Islam itu sendiri. Dalam arti doktrin dan

praktik, Islam identik dengan kedamaian, perdamaian, keadaban, dan peradaban sebagai

tatanan kehidupan yang dibangun atas dasar moral kenabian dan etika ketuhanan.

Nabi Muhammad (nabi yang diutus oleh Allah untuk membawa dan menyiarkan agama

Islam) menyandang misi sebagai pembawa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam),

bukan sebagai pembawa mudarat, bencana, malapetaka, dan laknat bagi alam semesta.

Presiden AS Barack Obama benar. Terorisme tidak identik dan bukan merupakan

representasi agama (Islam) dan tidak mewakili umat Islam. Timbulnya radikalisme,

ekstremisme, dan terorisme sama sekali tidak berasal dan tidak bersumber dari ajaran agama

yang sangat sakral dan bersifat ilahiah. Akar-akar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di

kalangan minoritas kelompok agama lebih disebabkan oleh eksklusivitas pemaknaan agama,

rigiditas penafsiran teks-teks kitab suci, truth claim (klaim kebenaran) agama secara picik,

sempit, dan berlebih-lebihan, kesenjangan sosial ekonomi, dan radikalisasi-politisasi-

ideologisasi agama.

FAISAL ISMAIL

Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 10: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

10

Dosen Hukum Jadi Malu

Koran SINDO

7 Maret 2015

Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya bertemu dengan Wakil Rektor

V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna

Sugarda.

Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng itu memberi kami kesempatan untuk

bertukar pikiran tentang keadaan hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat

perkembangan hukum yang dalam praktik sering dijadikan semacam pencak silat untuk

mencari kemenangan, bukan alat untuk menegakkan yang benar.

Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu melihat perkembangan hukum

di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum tidak mampu menunjukkan fungsi dan

perannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi;

pemberantasan korupsi bukannya menguat, tetapi justru semakin melemah.

Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan

hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi,

melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya

korupsi. Lihat saja, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang

dijebloskan ke penjara karena korupsi.

Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela

koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali

menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar

posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan anti-korupsi, dalam kasus yang

berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang

semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.

Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil bisa dipilih sesuai dengan posisinya.

Hati nurani dan akal sehat publik menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa

manggung. ”Saya malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing

mahasiswa, saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya sering

lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari fakultas hukum nanti

tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.

”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut untuk memberi pendapat hukum dalam

kasus-kasus konkret karena pendapat yang rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik

Page 11: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

11

begitu saja oleh hakim, jaksa, atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai

bahkan sering dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.

Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di pengadilan, misalnya menjadi saksi

atau ahli karena kesaksian dan keahlian sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada

orang mau berkonsultasi atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang

dihadapi saya sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan

pendapat pengadilan dan dia jadi kecewa. ”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional

saja,” demikian saya sering menjawab.

Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa perbedaan pendapat antarpihak itu salah.

Justru perbedaan antara jaksa, pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka

karena dari sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya,

banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.

Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa

dibangun dengan mencari-cari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas,

dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan

serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi.

Sebagai orang yang lama belajar hukum dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya

tahu pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak,

tergantung pada apa yang diinginkan hakim. Seorang hakim, misalnya, kalau ingin

memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undang-undang nomor sekian, tapi kalau

mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor

lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya.

Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan

dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu

utama. Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum

seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati

nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling

mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara

yang sedang ditanganinya.

Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati

nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus

dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak

hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat

hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara

sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.

Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau

bermafia ria dengan penegak hukum yang lain. Maka itu, bukan hanya Pak Paripurna,

Page 12: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

12

melainkan semua dosen fakultas hukum harus merasa malu atas perkembangan dunia hukum

di negara kita sekarang ini.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 13: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

13

Peluang Partai Baru

Koran SINDO

10 Maret 2015

Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan perginya partai politik. Sewaktu-

waktu partai politik bisa hadir, pada kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai

yang dikenal nama dan keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses

yang menyangkut hajat publik. Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan dalam

UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari peran dan fungsi yang

nyata di dalam proses politik.

Kita akan menemukan paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999.

Jika yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan karena

syarat dalam UU makin berat. Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat 38,

dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang batas (threshold),

pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat 9, dan 2014 menjadi 10 partai.

Kecenderungannya justru bertambah banyak.

Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi lahirnya partai baru Partai

Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar

berpotensi memunculkan partai baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung

pertentangan yang tak kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru

dari eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?

Partai Baru Pasca-Reformasi

Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya Orde Baru adalah menjamurnya

partai politik baru. Keran pendirian partai dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup

”liberal”.

Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang

mencolok, 34%. Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul partai baru

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai Islam. Ada pula Partai

Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa

dikategorikan baru meskipun sejatinya ”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PDI–sering

disebut ”PDI Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.

Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke partai-partai baru, terutama PDI

Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas

fenomena politik kota. Ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri

Page 14: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

14

sebagai penerus Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam

politik baru. Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan basisnya di

desa-desa dan terutama di luar Jawa.

Pemilu 2004 memotret hadirnya partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) yang merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang

mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang 18,5%

persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR. Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi

menjadi 57 kursi, sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di

Senayan.

Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan pemilih

terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada sosok SBY dan PKS

yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap sebagai lokasi harapan baru.

Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009. Ketika Demokrat naik menjadi juara

dengan raihan 20,85%, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-

masing mendapat 14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya

tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo dan

nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto. Keduanya memetik

suara yang cukup untuk modal ke Senayan.

Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran partai baru.

Partai NasDem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di Riau berhasil menembus

Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura. Ini terkait anjloknya suara

Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan sedikitnya partai peserta pemilu.

Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46% suara PBB dan 0,91% suara Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati

pula oleh parpol lain selain NasDem.

Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai baru yang

berhasil menembus ketatnya kompetisi. Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke

parlemen, tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai baru

berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus menawarkan harapan

baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju pemilu berikutnya.

Pemilih Rasional dan Diferensiasi

Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang politik bagi partai baru dibuka oleh

berlangsungnya mekanisme reward and punishment. Berkembangnya jumlah pemilih

rasional akibat faktor pendidikan dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan

jumlah pemilih tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.

Page 15: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

15

Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman kepada partai yang dinilai tidak

memuaskan. Pemilih rasional mampu mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan

dan kekecewaan kepada partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam

konteks citra, pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang

kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan bergerak

mencari alternatif lain. Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang dinilai ada

harapan.

Tantangan terbesar dihadapi partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Jika kepuasan

publik terhadap kinerja pemerintah rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati.

Partai-partai koalisi oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius. Jika tidak cukup

terampil sebagai kekuatan penyeimbang yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula

mempertahankan jumlah pendukung apa lagi untuk menambah jumlah dukungan.

Dalam situasi seperti itu, jika tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik,

kemungkinan migrasi dukungan cukup terbuka. Syarat utamanya, partai tersebut tampil

sebagai alternatif dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat

perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga, yakni

kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan kuat, jaringan yang

luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan berkomitmen, serta strategi

sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang mesin popularitas yang masif.

Bagi partai baru yang demikian, pemilih kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk

menerima partai baru yang ”berbeda” dan membawa program yang nyata.

ANAS URBANINGRUM

Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Page 16: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

16

Ahok, DPRD, Etika, dan Prioritas

Koran SINDO

10 Maret 2015

Membangun dan membenahi Jakarta atau menonton pertarungan DPRD DKI versus

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Jika kisruh itu dipermanenkan hingga

tahun 2017, Jakarta tidak bisa produktif dan sulit mewujudkan suasana kondusif. Warga

Jakarta tentu lebih menginginkan Gubernur DKI dan DPRD DKI fokus dan memprioritaskan

pembangunan serta pembenahan kota yang tampak sangat semrawut dewasa ini.

Saat Gubernur DKI berperang kata-kata dan saling tuduh dengan DPRD DKI, banyak ruas

jalan di Ibu Kota berlubang dan mengancam keselamatan pengendara motor. Di sejumlah

ruas jalan, lubang-lubang itu bahkan tak tersentuh oleh kerja perbaikan jalan. Pada saat yang

sama, warga Jakarta dan sekitarnya juga diteror isu begal yang mengancam pengendara

motor. Jumlah aksi begal di wilayah DKI mungkin lebih rendah dibandingkan kota-kota

penyangga. Tapi rasa takut juga menyergap warga Ibu Kota. Dua masalah ini memerlukan

perhatian serius dan penanganan dari seluruh unsur dalam Musyawarah Pimpinan Daerah

(Muspida) DKI. Di dalamnya ada Gubernur DKI, Ketua DPRD DKI, Kapolda Metro Jaya,

dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya.

Beruntung bahwa untuk mencegah aksi begal, Polda dan Pangdam Jaya berinisiatif

melakukan operasi guna menumbuhkan rasa aman bagi warga. Namun warga Ibu Kota tetap

saja kecewa karena Pemprov DKI seperti tak peduli dengan banyaknya ruas jalan yang

rusak.

Faktor lain yang juga membuat warga Ibu Kota tidak nyaman adalah kebisingan. Warga

Jakarta sudah bosan dengan kebisingan yang rasanya seperti tak berkesudahan. Sejak

pemilihan presiden (pilpres) hingga periode sengketa Pilpres 2014, kemudian berlanjut

dengan kisruh Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta nyaris tak pernah

teduh dan tenang. Ketika kebisingan akibat kisruh Polri versus KPK mulai reda, justru

Gubernur DKI dan DPRD DKI menyulut kebisingan baru.

Sebagian besar warga Jakarta benar-benar mulai muak menyaksikan berlarut-larutnya

disharmoni Gubernur DKI dan DPRD DKI. Muak karena dari aspek perilaku, baik Gubernur

DKI Jakarta maupun DPRD DKI sudah tidak punya etika lagi. Kedua kubu tidak lagi

memprioritaskan fungsi masing-masing sebagai pejabat publik di Jakarta.

Publik melihat masing-masing ingin saling menjatuhkan. Setiap hari, masing-masing

melontarkan caci maki, saling hina dan saling tuduh di ruang publik. Mereka tidak lagi

menghargai dan menghormati harkat dan martabatnya sebagai pejabat publik maupun sebagai

Page 17: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

17

pemimpin dan sosok elite di Ibu Kota ini. Mereka menyulap dan menjadikan Jakarta sebagai

panggung untuk mempertontonkan rivalitas yang tak perlu.

Bukan fokus bekerja, mereka dilantik dan digaji untuk sekadar berkelahi atau adu kuat.

Untuk apa Jakarta memiliki gubernur dan DPRD kalau dua instrumen kepemimpinan itu

hanya fokus pada perang kata-kata, saling ancam dan saling hina? Tentu saja perseteruan

berkepanjangan antara Gubernur DKI dan DPRD DKI menjadi contoh buruk tentang

kepemimpinan dan tata kelola Ibu Kota. Jangan pernah ditiru.

Persoalan bermuara pada penolakan masing-masing terhadap pentingnya mengedepankan

etika pejabat publik. Sebagaimana bisa disimak selama ini, tak ada kesantunan dalam dialog

terbuka maupun ketika membuat dan mengeluarkan pernyataan. Tak jarang pilihan kata-kata

mereka sungguh tidak pantas. Egois dan merasa paling benar sendiri. Orang lain selalu dan

pasti salah. Lebih parah lagi, senang menantang pihak lain, membuat pernyataan yang

bersifat mengancam, marah dan enggan untuk mengerti orang lain.

Disorientasi

Target Ahok yang ingin membenahi birokrasi dan tata kelola Pemprov DKI memang patut

diacungi jempol. Tapi gaya Ahok sebagaimana yang dikenal selama ini belum tentu bisa

diterima seluruh unsur di dalam birokrasi Pemprov DKI. Tidak semua pegawai DKI bisa

menerima jika diperlakukan sangat keras dan kasar oleh atasannya. Gaya yang demikian

belum tentu efektif untuk mencapai target.

Dalam beberapa kesempatan, Ahok juga tampak kasar terhadap DPRD DKI. Sikap yang

demikian sudah barang tentu menimbulkan reaksi perlawanan dari DPRD DKI. Sebaliknya

DPRD DKI pun secara terbuka sering merendahkan martabat Gubernur DKI. DPRD DKI

memang wajib mengkritik atau mengecam kebijakan Gubernur DKI. Tapi kritik dan kecaman

itu tidak boleh mengurangi penghormatan terhadap institusi kegubernuran DKI.

Tidak semua persoalan harus diobral ke ruang publik. Dalam konteks etika pejabat publik,

ada masalah yang bisa diselesaikan melalui dialog dan lobi di ruang tertutup. Semangat inilah

yang tampaknya tidak dimiliki lagi oleh Gubernur DKI dan DPRD DKI saat ini. Idealnya,

semua masalah diketahui publik. Tapi, jika hanya menimbulkan keresahan atau kebisingan,

tetap saja publik yang dirugikan.

Kasus anggaran siluman di APBD DKI tahun 2015 tidak perlu menimbulkan kebisingan jika

Gubernur DKI dan pimpinan DPRD DKI mau berdialog dan bersepakat mencoret proyek-

proyek yang tidak tercantum dalam e-budgeting. Tapi, kalau kemudian Kemendagri bisa

menerima dua versi APBD DKI tahun 2015, itu jadi pertanda bahwa tidak ada dialog dan

Gubernur DKI serta DPRD DKI memang sengaja memperuncing rivalitas di antara mereka.

Lantas, apa yang didapat warga Jakarta? Tak lain dari kebisingan yang sesungguhnya tak

perlu. Karena rivalitas itu terus dikembangkan dan melebar tak keruan, Gubernur DKI dan

Page 18: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

18

DPRD DKI pun seperti terjangkit virus disorientasi karena tak tahu lagi mana yang prioritas

dalam konteks membangun dan membenahi Jakarta. Masing-masing hanya fokus pada

pendirian tentang siapa salah-siapa benar. Mereka lupa bahwa sesuai dengan jabatan dan

fungsi masing-masing, Gubernur DKI dan DPRD DKI harus memprioritaskan pembangunan

dan pembenahan kota serta pelayanan kepada warga Jakarta.

Kisruh Gubernur DKI dengan DPRD DKI yang terus berkembang mulai menimbulkan

kegelisahan di sebagian masyarakat. Kisruh di Jakarta ini seperti mengeskalasi disharmoni

yang terjadi antara Presiden Joko Widodo dengan sebagian kekuatan di DPR RI selepas

pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri. Di DPR ada upaya

untuk mengegolkan pelaksanaan hak angket, sementara DPRD DKI pun sedang berupaya

memuluskan penggunaan hak angket terkait dengan kontroversi APBD DKI tahun 2015.

Penggunaan hak angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan

yang ditabrak Gubernur DKI. Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan

perundang-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014, UU No. 17 Tahun 2004, dan UU

No. 17 Tahun 2003. Menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak

berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan

sampai provinsi dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (Bappeda),

melainkan dari hasil tim ahli (Tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku.

DPRD DKI pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh

dibahas DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD

DKI. Penggunaan hak angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena

perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke dalam

kasus hukum karena manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa Jokowi

menjabat sebagai gubernur DKI.

DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar diserahkan secara

sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri atau tanpa persetujuan DPRD

DKI. Hak angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang

kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah

selanjutnya yang akan ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI; Wakil Ketua Umum Kadin

Page 19: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

19

Provokasi Netanyahu

Koran SINDO

11 Maret 2015

Minggu lalu terjadi sebuah peristiwa ganjil dalam sejarah sistem politik di Amerika Serikat

(AS) dan mungkin juga di dunia. Kepala pemerintahan Israel, Benyamin Netanyahu,

memberikan pidato di depan Kongres AS tanpa melewati protokol diplomatik dari Gedung

Putih. Netanyahu datang atas undangan dari Ketua DPR (House of Representative) yang

berasal dari Partai Republikan John Boehner dan berpidato di hadapan Kongres.

Isi pidato Netanyahu adalah ajakan agar masyarakat Amerika menolak dialog damai antara

Iran dan AS. Ia ingin meyakinkan publik bahwa perundingan tersebut adalah usaha yang sia-

sia dan akan memberikan peluang bagi Iran untuk mengembangkan teknologi senjata

nuklirnya. Ia juga mengkritik kerja Badan Atom Internasional yang dianggap tidak dapat

mendeteksi kelihaian Iran dalam menyembunyikan maksud sesungguhnya dari rekayasa

program nuklir Iran.

Presiden AS Barack Obama mencemooh pidato Netanyahu sebagai tidak menyediakan

alternatif apa pun untuk membangun komunikasi dengan Teheran. Obama sendiri

menyatakan tidak mau bertemu dengan Netanyahu yang dalam minggu ini telah diprotes

melalui serangkaian unjuk rasa di dalam negeri. Kunjungan Netanyahu ke Washingto n DC

itu sendiri adalah bagian dari langkah diplomatiknya untuk mengganggu perundingan nuklir

yang sedang dilakukan Menteri Luar Negeri John Kerry dan mitranya dari Iran, Mohammed

Javad Zarif.

Jika selama ini dalam perundingan isu Iran John Kerry memberikan update perkembangan

kepada Israel, kali ini kebiasaan tersebut tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan

mengganggu proses perundingan. Hal ini tentu membuat Israel naik pitam karena mereka

dibiarkan “dalam gelap” dan hanya bisa menebak-nebak apa isi dari perundingan AS-Iran.

Perundingan nuklir Iran dengan P5+1 setelah terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden

Iran adalah proses yang panjang dan melelahkan. P5+1 adalah kelompok negara yang

membuka jalur diplomasi dengan Iran atas isu program nuklirnya, yakni 5 negara anggota

tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman.

Banyak orang yang awalnya pesimistis bahwa Rouhani akan membawa Iran mendekat

kepada dunia Barat karena kekuatan Dewan Ulama yang masih menjadi penentu arah

modernisasi Iran. Kesangsian ini sedikit demi sedikit berkurang dengan konsistennya Iran

dan enam negara besar lain untuk mendiskusikan masa depan teknologi nuklir Iran. Meski

demikian, di lain sisi, banyak pihak, khususnya Israel, yang menganggap perundingan

Page 20: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

20

tersebut hanya tarik-ulur Iran saja untuk secara diam-diam meningkatkan teknologi

pengayaan uranium mereka.

Dalam pidatonya di depan Kongres AS, Netanyahu ingin meyakinkan Kongres bahwa

kesepakatan AS-Iran adalah kesepakatan yang sangat buruk dan itu sebabnya harus ditolak.

Netanyahu berharap akan muncul kesadaran Iran adalah ancaman yang lebih besar bagi dunia

dibandingkan ancaman dari NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Isi pidatonya itu juga ditujukan kepada negara-negara Arab Sunni dan Timur Tengah, mulai

dari Arab Saudi hingga Mesir, yang saat ini juga memandang curiga perundingan Iran dengan

P5+1. Negara-negara Arab Sunni di Timur Tengah saat ini melihat meluasnya pengaruh Iran

ke Irak, Suriah, Lebanon dan saat ini di Yaman sebagai suatu ancaman. Alasan ini juga yang

menjadi penyebab penanganan NIIS yang setengah hati meskipun NIIS telah menelan korban

ribuan orang, termasuk para relawan kemanusiaan dari negara-negara Barat yang bekerja di

sana. Dibandingkan dengan bantuan yang diberikan kepada para pejuang yang melawan

rezim Assad, bantuan untuk perlawanan NIIS terbilang tidak penuh.

Rasa khawatir ini yang juga dieksploitasi Netanyahu untuk mengadu domba negara-negara di

Timur Tengah, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam pidatonya di hadapan 435 anggota

parlemen yang terdiri atas 245 dari Partai Republik dan 188 dari Partai Demokrat, Netanyahu

mengatakan bahwa Iran dan NIIS adalah setali tiga uang.

Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di lapangan adalah

perang antara NIIS dengan Iran sehingga membantu memerangi NIIS tidak berarti lantas

mendorong Iran menjadi teman. Provokasi ini tentu ditujukan kepada negara-negara Timur

Tengah yang menjadi aliansi AS saat ini.

Netanyahu memanfaatkan rasa khawatir negara-negara tersebut terkait dengan ide AS untuk

memasukkan Iran sebagai kawan aliansi di kawasan Timur Tengah. Israel mencoba

membangun dinding pemisah ideologi yang lebih lebar dan tinggi antara muslim Sunni dan

muslim Syiah. Hal ini dilakukan karena beberapa hari sebelumnya, John Kerry telah

melakukan safari politik ke negara-negara Timur Tengah untuk mendiseminasi hasil

perundingan dengan Iran.

Padahal ketika John Kerry bertemu dengan Raja Salman dari Arab Saudi dan menteri luar

negeri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi, dan Uni Emirat Arab, ia telah menegaskan

bahwa perundingan AS tidak akan membuat Iran berpeluang menggunakannya senjata

pemusnah massal. Ia juga menegaskan komitmen AS untuk mencegah ekspansi Iran di Timur

Tengah.

Kekhawatiran Netanyahu cukup beralasan setelah Yordania melakukan penyerangan dan

komitmen untuk memberantas NIIS setelah pilot mereka dibakar hidup-hidup. Demikian pula

dengan Mesir yang memberikan respons keras terhadap NIIS setelah 21 warganya yang

beragama Kristen dipenggal hidup-hidup.

Page 21: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

21

Israel menjadi khawatir bahwa negara-negara Arab yang sebelumnya masih setengah hati

memerangi NIIS menjadi motor untuk menghancurkan NIIS sehingga artinya juga secara

politik memberi peluang pengaruh pada Iran untuk berkembang. Sepak terjang Israel dan

polarisasi politik Sunni-Syiah di Timur Tengah tampaknya memperberat perundingan Iran

dan kelompok P5+1.

Provokasi Netanyahu jelas telah menjauhkan proses perdamaian. Pidatonya di Kongres AS

juga bukan kebetulan karena dari sisi waktu pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen

untuk menyelesaikan perundingan di akhir bulan Maret ini. Pidato itu juga bukan kebetulan

karena dalam beberapa minggu terakhir Netanyahu telah mendapat serangan politik dari

lawan politik baik di dalam maupun di luar partainya. Terakhir ia didemo 40.000 orang di

Rabin Square, Tel Aviv, minggu lalu.

Bagi Iran, perundingan nuklir ini memiliki implikasi ekonomi penting terkait dengan rencana

untuk menghapuskan sanksi ekonomi yang telah membuat ekonomi mereka terpuruk dalam

lima tahun terakhir. Di dalam negeri, Iran sendiri pun mendapatkan banyak tekanan kepada

Rouhani terkait dengan perundingan nuklir ini. Oleh sebab itu, dalam perundingan, Iran

menghendaki pencabutan sejumlah sanksi yang efeknya dapat langsung dirasakan masyarakat

seperti pembukaan rekening Iran di pasar Eropa dan Asia agar negara-negara lain dapat

segera membeli minyak dari Iran.

Bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, kita patut mewaspadai

gagasan-gagasan yang mirip dengan ide Netanyahu, yakni gagasan yang bertujuan memecah

belah persaudaraan antarumat Islam yang demokratis dan moderat. Jangan sampai kecurigaan

menghentikan langkah menuju perdamaian.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 22: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

22

RAPBD dan Checks and Balances

Koran SINDO

11 Maret 2015

Kontroversi seputar penyusunan RAPBD DKI Jakarta merupakan pembelajaran bagi publik

mengenai arti penting APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Versi Gubernur DKI, pada setiap pos penganggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdapat dugaan --meminjam terminologi Wamenkeu

Mardiasmo-- “dana siluman” yang tiba-tiba nongol dalam Rancangan APBD yang diserahkan

ke Kementerian Dalam Negeri. Konon, terdapat selisih dana Rp 12,1 triliun dalam RAPBD

yang diajukan melalui e-budgeting dengan yang disetujui dalam rapat paripurna DRPD. Hal

itulah yang kemudian mendorong Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

mengaudit RAPBD 2015.

Tak boleh diingkari bahwa dalam mekanisme penyusunan RAPBD dalam perspektif UU

Keuangan Negara dan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah mengharuskan adanya tiga fase penting, yaitu proses perencanaan partisipatif, proses

politik di DPRD, dan proses teknokratik.

Pertama, dalam proses perencanaan partisipatif, penyusunan RAPBD harus melewati

mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (arena eksekutif) maupun arena

penjaringan aspirasi masyarakat (arena DPRD) untuk menyerap seluas-luasnya kebutuhan

rakyat DKI. Melalui dua jalur proses penyerapan aspirasi rakyat tersebut dapat dibangun

kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif dalam Kebijakan Umum Anggaran

(KUA) Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang kemudian dijabarkan melalui

perumusan detail RAPBD dan pada akhirnya bermuara pada pengesahan RAPBD dalam

rapat paripurna DPRD.

Kedua, proses politik di DPRD merupakan ranah legitimasi politik yang merupakan wujud

kedaulatan rakyat. Maka kewenangan DPRD dalam pengesahan RAPBD ke depan lebih baik

difokuskan pada wilayah strategis proses penganggaran daerah. Artinya, agar tak timbul

dugaan maupun fitnah mengenai keterlibatan (oknum) anggota DPRD maupun SKPD dalam

manipulasi anggaran daerah, DPRD perlu membatasi keterlibatannya hanya sebatas

pembahasan di komisi dan di rapat paripurna saja. Demikian pula pengawasan DPRD cukup

dibatasi pada level kebijakan daerah yang difokuskan pada pertanggungjawaban Gubernur.

DPRD tak perlu memasuki wilayah satuan tiga (SKPD) dalam pelaksanaan pengawasan

anggaran.

Page 23: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

23

Ketiga, proses teknokratik penganggaran daerah perlu diserahkan sepenuhnya kepada

eksekutif baik dalam penyusunan draf RAPBD sampai pada mekanisme alokasinya dalam

kebijakan pembiayaan program maupun kegiatan. Meskipun tak terkait langsung dengan

kewenangan Banggar di DPRD, ada baiknya inspirasi yang diperoleh dari Putusan

Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 yang membatasi keterlibatan Badan

Anggaran (Banggar) DPR terhadap mekanisme penyusunan anggaran yang tak boleh lagi

sampai pada satuan III kementerian (satker) bisa dijadikan pembelajaran untuk mencegah

jerat politik uang terhadap para anggota DPRD.

Performance Budgeting

Sejatinya, selama ini melalui paket UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah

dilakukan reformasi birokrasi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah, yaitu

mengubah sistem keuangan tradisional menjadi sistem anggaran kinerja (performance

budgeting). Sistem tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan pendekatan incremental

dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban dalam setiap input yang

dialokasikan.

Melalui reformasi keuangan negara tersebut, sistem penyusuan anggaran harus disusun

dengan pendekatan atau sistem anggaran kinerja (performance budgeting), dengan penekanan

pertanggungjawaban tidak sekadar pada input tetapi juga pada output dan outcome.

Penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran kinerja harus dilakukan melalui

proses penyusunan yang bersifat partisipatif (bottom-up) melalui perencanaan anggaran

berbasis kinerja yang menggunakan parameter kemanfaatan (outcome) dari setiap mata

anggaran yang disusun. Dengan demikian, sangat mudah untuk menelusuri adanya

kecurangan dalam penyusunan maupun pengalokasian anggaran.

Keuangan negara yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat hal-hal sebagai berikut:

(1) sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (2) standar pelayanan yang diharapkan

dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; serta (3) bagian

pendapatan keuangan negara yang membiayai administrasi umum, belanja operasi dan

pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan. Untuk mengukur kinerja keuangan

pemerintah tersebut, dikembangkan standar analisis belanja, tolok ukur kinerja, dan standar

biaya.

Dengan digunakannya sistem anggaran berbasis kinerja saat ini, sungguh merupakan langkah

yang sangat ceroboh dan gegabah jika ada oknum-oknum di lingkungan SKPD maupun

DPRD DKI Jakarta yang berani menyisipkan mata anggaran yang dalam penyusunannya tak

bertitik tolak dari parameter anggaran kinerja di atas. Apalagi dengan telah dimulainya

penerapan sistem e-budgeting di lingkungan pemerintahan, termasuk di DKI Jakarta, pola

penyisipan mata anggaran semacam itu cepat ataupun lambat pasti bisa terlacak.

Prinsip pengeluaran negara/daerah dalam sistem anggaran berbasis kinerja ditopang oleh

prinsip-prinsip akuntabilitas dan value of money, kejujuran dalam penataan keuangan

Page 24: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

24

negara/daerah, transparansi dan pengendalian. Cara kerja tak profesional dalam penyusunan

dan penggunaan anggaran baik oleh legislatif maupun eksekutif telah mengingkari semangat

reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah yang diusung UU Keuangan Negara dan UU

Perbendaharaan Negara serta PP No. 58 Tahun 2005 yang dilaksanakan melalui Permendagri

No. 13 Tahun 2006 jo Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan Permendagri No. 21 Tahun

2011.

Pesan penting dari “buruk rupa” draf APBD DKI Jakarta jika dikaitkan dengan inspirasi yang

terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 adalah bahwa

perlunya purifikasi fungsi kelembagaan dalam konstelasi sistem checks and balances.

Eksekutif perlu dibatasi pada wilayah teknokratik APBD saja, tak perlu terlalu jauh

mencampuri wilayah legislasi dan politik anggaran. Sebaliknya DPRD juga perlu membatasi

diri sebatas pada wilayah politik anggaran baik dalam proses penyusunan APBD, pengesahan

melalui rapat paripurna sampai pada alokasinya.

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya juga telah

mengamanatkan agar pemerintah lebih menempatkan diri sebagai administrator dan tak perlu

terlalu dalam memasuki arena politik legislasi maupun politik anggaran. Demikian pula UU

Aparatur Sipil Negara dengan tegas mengembalikan fungsi aparatur sipil negara sebagai

pelayan publik, jangan menjadi birokrat yang berpolitik. Pembahasan anggaran di DPRD

merupakan arena politik yang tak boleh menyeret aparatur sipil negara ”bermain api” di arena

politik.

Baik eksekutif maupun legislatif di DKI perlu menahan diri agar sama-sama dapat mengingat

dengan baik bahwa kursi-kursi dan fasilitas yang mereka nikmati dibayar oleh rakyat dan

harus dikembalikan melalui pengabdian terbaik bagi rakyat. Siklus banjir DKI tak akan

berhenti hanya dengan memperdebatkan APBD!

DR W RIAWAN TJANDRA

Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 25: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

25

Kriminalisasi dalam Pemberantasan Korupsi

Koran SINDO

12 Maret 2015

Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan pendukung KPK telah

menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam doktrin hukum pidana adalah

suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana kemudian merupakan

tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku. Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan

yang semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU yang

berlaku.

Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang kriminalisasi sepanjang

dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan kehendak penyidik semata. Dalam

konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru seharusnya sebagai warga negara yang baik

menjunjung tinggi dan menghormati asas persamaan di muka hukum (equality before the

law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption

of innocence).

Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan di dalam UUD 1945 selain

konvensi internasional tentang hak sipil dan hak politik. Dua asas hukum pidana tersebut

harus berada dalam suatu keseimbangan dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara

karena bertentangan dengan prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai

antara tujuan dan cara mencapai tujuan.

Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah penyidikan dan di sisi lain seharusnya

menjadi pegangan bagi setiap orang yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang

menolak diperiksa penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya

sesuai UU dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa. Sebaliknya, penyidik dapat

dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum penyidikan,

penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan atau tuntutan ganti

rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Selain alasan-alasan tersebut,

mereka dapat merujuk putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan

hukum.

Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang dibenarkan berdasarkan UU yang

berlaku di Indonesia ketika hak-hak asasi setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri

kita, tidak ada lain lagi. Cara-cara Denny Indrayana yang mengaku pendukung KPK dari

sudut hukum justru tindakan melawan UU yang berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk

Page 26: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

26

memenuhi panggilan penyidik merupakan kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan

telah di luar akal sehat kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan

terhadap asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan

hanya UU KUHAP; dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah telah

dilanggar penyidik; tapi harus melalui mekanisme praperadilan.

Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi khususnya DI, BW, dan

YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum yang berlaku. Langkah itu cara-

cara politis untuk ”memaksa” Presiden selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau

mengintervensi proses penyidikan terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru

tidak dapat diterima dari sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali

dengan asas-asas dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Cara

tersebut bahkan bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana

telah diakui pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan

legislatif.

Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko Widodo yang

telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang tengah dilakukan oleh

Bareskrim. Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan kriminalisasi adalah jika

proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan ketentuan hukum yang berlaku.

Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah tindakan yang telah melampaui batas

kewenangan, tindakan yang telah mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak

sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam

Pasal 17 tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).

Jika kita bandingkan tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap

tersangka korupsi yang juga berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya

dengan tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan.

Sedangkan penyidik KPK adalah anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk

memojokkan penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.

Justru ”kriminalisasi” yang kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai

tersangka tanpa yang bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan

tanpa sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan

menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena alasan-

alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.

Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau calon tersangka oleh

Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme praperadilan atau menyiapkan

diri untuk membela diri di sidang pengadilan tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli

yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum itulah,

kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi” yang telah Anda tuduhkan kepada

Bareskrim.

Page 27: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

27

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran (Unpad)

Page 28: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

28

Antara Pahlawan dan Pecundang

Koran SINDO

12 Maret 2015

Sebagian masyarakat dan pemerhati permasalahan Polri-KPK menunjukkan respons yang

sudah tidak rasional. Seberapa pun penjelasan yang diberikan Polri tentang keterlibatan

komisioner KPK sulit dipercaya sebagai bentuk proses penegakan hukum.

Sebaliknya, komisioner KPK tetap dipercaya tidak bersalah meski fakta yang didukung

beberapa alat bukti mengarahkannya sebagai tersangka, atau paling tidak menjadi pembenar

dengan mengatakan tidak sebanding kasus yang disangkakan komisioner KPK non-aktif

dengan kasus yang sedang ditangani KPK.

Tampaknya pesan Ali bin Abi Thalib yang cukup terkenal, ”Jangan menjelaskan tentang

dirimu kepada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu

tidak percaya itu” menemukan relevansinya.

Sangat jarang yang melihat proses penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap

komisioner KPK non-aktif diterima sebagai salah satu mekanisme yang dapat dinilai sebagai

bentuk konkret dari mekanisme kontrol terhadap kinerja KPK, termasuk kinerja komisioner

KPK. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cenderung

korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup, demikian juga KPK tanpa kontrol (berarti

kekuasaan absolut) akan melahirkan potensi penyimpangan penegakan hukum di KPK.

Penguatan KPK seharusnya dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan penguatan

secara internal dan penguatan secara eksternal. Penguatan internal mengharuskan KPK

menerima, berlapang dada, dan bahkan membuka diri ketika siapa saja personelnya termasuk

komisioner KPK yang diduga bermasalah dengan pidana kemudian diproses secara hukum

sehingga menghindarkan segala putusan hukum KPK bisa menjadi bias dan tidak kredibel

karena melibatkan personel yang cacat hukum.

Pendekatan penguatan KPK secara eksternal dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas

proses penegakan hukum di KPK dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, harus

dipastikan penegakan hukum itu dilakukan secara profesional dan proporsional dengan

mengedepankan kepastian hukum dan rasa keadilan, asas, kaidah dan hak-hak hukum

terperiksa/tersangka.

Harus disadari bahwa upaya praperadilan terhadap proses penegakan hukum di KPK yang

dilayangkan beberapa pihak seyogianya dinilai sebagai bentuk nyata dari mekanisme kontrol

untuk memperkuat KPK agar lebih berhati-hati dan profesional dalam menangani perkara

Page 29: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

29

hukum. Di samping itu, penegakan hukum yang dilakukan lembaga eksternal seperti Polri

terhadap komisioner KPK harus dinilai sebagai mekanisme kontrol untuk memperkuat

internal KPK. KPK harus menunjukkan sisi kenegarawanan dengan berperilaku sebagai

lembaga negara yang menjunjung tinggi hukum dan kewibawaan negara salah satunya

menghormati putusan praperadilan. KPK harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak

bersalah dan seharusnya tidak lagi melakukan pembangkangan terhadap putusan

praperadilan, baik dalam bentuk demo pegawai maupun perilaku lain sebagai bentuk

perbuatan melawan hukum.

Konsekuensi dari putusan praperadilan dengan pembatalan status tersangka pemohon dan

penetapan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara pemohon memiliki konsekuensi

bahwa KPK harus menghentikan penyidikan dan tidak lagi menangani perkara pemohon.

Tetapi, disebabkan KPK tidak diperkenankan menghentikan penyidikan dan tidak memiliki

kewenangan penanganan perkara pemohon, mengharuskan perkara pemohon harus

dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan penyidikannya (dikeluarkan SP3).

Penyerahan penanganan perkara pemohon oleh KPK kepada kejaksaan harus disertai

penyerahan berkas perkara secara lengkap tidak hanya dalam bentuk surat pengantar.

Di sinilah pentingnya KPK mendefinisikan posisinya sebagai pahlawan sesungguhnya dalam

pemberantasan korupsi atau sekadar ”pecundang” yang menampilkan diri bak pahlawan

dengan sengaja menggiring opini publik secara tidak proporsional ketika komisioner KPK

berhadapan dengan masalah hukum yang diproses Polri atau keharusan KPK melimpahkan

perkara pemohon praperadilan.

Modal sosial yang cukup dimiliki KPK saat ini memberikan kesempatan kepada KPK untuk

menjelaskan kepada publik tentang pendidikan kesadaran taat hukum dan mengikuti prosedur

hukum secara benar. Pada saat yang sama, KPK harus menunjukkan sinergi dengan lembaga

penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Di lain pihak, Polri secara institusional harus mampu menampilkan diri secara elegan dalam

menanggapi berbagai isu yang berkembang. Termasuk di dalamnya tentang profesionalitas

penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif, membangun komunikasi massa yang

baik dan profesional, serta menegaskan dan memublikasikan proses penegakan hukum yang

sudah dilakukan Polri secara internal terhadap anggotanya yang terbukti melakukan

pelanggaran kode etik dan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

Polri pada 2012 menjelaskan ke publik bahwa sekitar 200-an personel Polri dipecat dan

diproses hukum karena terbukti melakukan tindak pidana, mulai dari kekerasan sampai tindak

pidana korupsi. Polri harus cukup ”firm” menjawab semua isu yang berkembang soal

penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif untuk memastikan publik, akademisi,

dan aktivitas anti-korupsi mendapatkan penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima.

Keterlibatan Kombes Victor Simanjuntak dalam penangkapan BW semestinya dijawab

dengan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan UU No. 2 Tahun 2002. Aturan

Page 30: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

30

tersebut tidak melarang polisi non-penyidik (bukan penegak hukum) terlibat dalam

penangkapan karena berdasarkan Pasal 16 sebagai penegas Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002,

baik sebagai penegak hukum maupun sebagai aparat keamanan, polisi sebagai personel Polri

diberi wewenang terlibat dalam penangkapan sebagaimana Polri non-penyidik juga pernah

dimintai bantuan untuk mendukung penegakan hukum seperti penggeledahan oleh KPK. Toh

pun, penangkapan BW tetap melibatkan penyidik yang sah dan diberi wewenang oleh

undang-undang serta ditunjuk dan ditetapkan pimpinan Polri.

Keputusan ada di KPK untuk memastikan diri menjadi pahlawan sesungguhnya dalam

penegakan hukum sekaligus sebagai negarawan, atau sebaliknya pada akhirnya akan menjadi

pecundang dengan membela mati-matian komisioner KPK non-aktif yang bermasalah dengan

hukum dan melakukan pembangkangan dengan menolak putusan praperadilan.

KPK harus memastikan berperan dalam pembangunan kesadaran hukum di Indonesia dengan

melakukan tugas penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi secara

proporsional, profesional, dan menghindarkan potensi keterlibatan campur tangan politik dan

vested interest dalam proses penegakan hukum.

Polri dituntut mampu bermain cantik mengelola isu dengan cara ”menumpangi” opini publik

yang sedang berkembang dan meluruskan isu yang tak berdasar secara elegan seiring

semangat opini publik yang terbentuk. Penegakan hukum terhadap komisioner KPK oleh

Polri harus mampu meyakinkan publik bahwa dampaknya justru memberikan penguatan

internal terhadap institusi KPK dalam melakukan penegakan hukum di bidang pemberantasan

tindak pidana korupsi.

Hal yang harus disyukuri saat ini adalah daya kritis masyarakat menunjukkan telah menuju

pada jalur yang benar setelah beberapa kali dalam periode kepemimpinan presiden yang

berbeda, komisioner KPK harus berhadapan dengan proses penegakan hukum di Polri.

Setidaknya ini dapat diindikasikan dengan dukungan masyarakat, melalui sosial media seperti

Facebook dan Twitter terhadap KPK.

Apabila pada kasus Bibit-Chandra dukungan mencapai 2 juta lebih pengguna Facebook dan

Twitter, sampai saat ini dukungan KPK di grup dan halaman (fanpage) Facebook hanya

mencapai paling tinggi sekitar 30.000 lebih pengguna, demikian juga di Twitter justru

hashtag #SaveKPK#SavePolri pengikutnya lebih banyak (5.000 lebih follower) dibanding

hanya hashtag #SaveKPK yang paling banyak memiliki 3.000 lebih follower.

Namun, perlawanan masif terhadap proses penegakan hukum yang masih cenderung berpihak

pada KPK bukan berpihak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Perlawanan ini lebih

nyaring dilakukan oleh akademisi, aktivis anti-korupsi, dan pihak-pihak yang berkepentingan

lainnya yang secara sosiologis berada di kelompok intelektual.

Ini mengharuskan Polri meresponsnya dengan membangun argumentasi proses penegakan

hukum berbasis kepastian hukum yang rasional dan mampu mematahkan argumentasi yang

Page 31: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

31

berkembang, serta menjaga dari pernyataan-pernyataan yang berakibat blunder, serta

berusaha terus-menerus membangun komunikasi massa yang simpatik dan empatik.

BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM

Analis Kebijakan Utama (Anjak) Utama Lemdikpol

Page 32: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

32

Etika Penegakan Hukum

Koran SINDO

12 Maret 2015

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD

1945. Negara hukum mengandung konsekuensi tidak hanya penyelenggaraan negara yang

harus memiliki dasar dan sesuai dengan aturan hukum, melainkan juga berarti tindakan warga

negara tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Terhadap pelanggaran hukum,

akan diberikan tindakan hukum yang berujung pada penjatuhan sanksi.

Dalam kerangka negara hukum, penegakan hukum merupakan elemen penting karena

menentukan apakah negara hukum akan menjadi slogan semata atau mewujud dalam

keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya penegakan, hukum akan

kehilangan maknanya sebagai pedoman perilaku dan kehilangan sifat paksaan sebagai

karakter utama. Di sisi lain, dalam proses penegakan hukum juga terdapat potensi

menimbulkan permasalahan dan pertentangan, bahkan terhadap tujuan hukum itu sendiri.

Karena itu, pelaksanaan oleh aparat penegak hukum menjadi wilayah krusial dalam rangka

mewujudkan negara hukum. Tidak mengherankan jika BM Taverne menyatakan, ”Beri aku

hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan

walau tanpa undang-undang secarik pun.”

Tujuan Penegakan Hukum

Pernyataan Taverne adalah suatu pernyataan ekstrem. Setidaknya ada dua hal penting dari

penyataan tersebut. Pertama, aparat penegak hukum yang diwakili hakim, jaksa, dan polisi

memiliki peran penting dalam penegakan hukum untuk memberantas kejahatan, bahkan

walau tanpa undang-undang. Tentu saja dalam kondisi saat ini tidak mungkin menegakkan

hukum tanpa ada dasar aturan hukum tertulis.

Kedua, pernyataan ”tanpa undang-undang secarik pun” menunjukkan bahwa hukum tidak

harus selalu dimaknai sebagai undang-undang. Tidak adanya undang-undang tidak berarti

tidak ada hukum. Konsekuensinya, penegakan undang-undang tidak selalu sama dengan

penegakan hukum. Karena itu, penegakan hukum tidak boleh dimaknai sekadar sebagai

pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang.

Penegakan hukum harus diabdikan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan,

kepastian, dan kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum tersebut bermuara pada terwujudnya tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketertiban hanya akan tercapai jika ada

keadilan, kepastian, dan keputusan hukum yang bermanfaat. Dalam pelaksanaannya mungkin

Page 33: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

33

saja terdapat kondisi atau peristiwa di mana pelaksanaan aturan ternyata menimbulkan

ketidakadilan bahkan mengganggu ketertiban sosial. Tentu saja tujuan hukum harus lebih

dikedepankan jika hal itu terjadi. Untuk itulah aparat penegak hukum dibekali dengan

kewenangan diskresi dan tentu saja harus memperhatikan etika penegakan hukum.

Etika Penegakan Hukum

Etika secara sederhana dapat diartikan sebagai seperangkat nilai yang menentukan baik atau

buruk suatu tindakan yang akan dipilih untuk dilakukan. Ukuran baik buruk dapat bersumber

pada nilai universal atau ditentukan oleh keadaan khusus suatu peristiwa. Etika lebih terkait

dengan persoalan sikap dan tata cara bertindak, bukan dengan substansi dari tindakan itu

sendiri. Ada kalanya dari sisi substansi suatu tindakan adalah benar, tetapi pilihan cara dari

tindakan itu tidak baik.

Etika penegakan hukum sangat penting untuk dikembangkan dan dijalankan karena beberapa

alasan. Pertama, hukum adalah norma yang bersumber pada tata nilai yang dipandang adil

dan benar yang menjadi salah satu ciri puncak peradaban manusia. Karena itu, penegakan

hukum juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan standar etika bangsa

beradab. Hukum yang ditegakkan dengan cara biadab dengan sendirinya akan menurunkan

derajat substansi hukum menjadi sekadar nafsu untuk menghukum atau menuntut balas.

Kedua, etika semakin diperlukan mengingat semakin berkembangnya kelembagaan aparat

penegak hukum. Yang dimaksud dengan penegak hukum saat ini bukan hanya hakim, jaksa,

dan polisi, tetapi telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan jenis

pelanggaran hukum yang semakin kompleks dan membutuhkan keahlian spesifik untuk

menanganinya dan tidak dapat dibebankan hanya kepada polisi dan jaksa.

Selain itu, mengingat aparat hukum diberi kuasa memaksa oleh negara, diperlukan

mekanisme untuk mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Upaya untuk

menciptakan aparat penegak hukum yang baik dilakukan dengan membentuk aparat penegak

hukum lain yang memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi, bahkan penindakan jika ada

aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum.

Salah satu potensi negatif dari perkembangan aparat penegak hukum itu adalah kemungkinan

tumpang tindih kewenangan dan perlawanan dengan menggunakan kuasa hukum yang

dimiliki. Hal inilah yang terjadi misalnya dalam hubungan antara KPK dan Polri. Tentu saja

hal ini tidak berarti penegakan hukum harus dikembalikan kepada satu lembaga saja karena

tidak sesuai dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi dan justru akan memperbesar

kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Etika penegakan hukum menjadi penting untuk mencegah terjadinya gesekan antaraparat

penegak hukum. Apabila proses penegakan hukum, terutama terkait dengan aparat penegak

hukum yang lain, dilakukan dengan cara-cara yang menjunjung etika, tentu pertentangan

antaraparat penegak hukum tidak perlu terjadi.

Page 34: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

34

Penegakan hukum yang etis tentu tidak boleh dimaknai sebagai pembiaran jika ada aparat

penegak hukum yang melanggar hukum. Etika lebih pada cara menangani pelanggaran

hukum. Hal ini dapat dimulai sejak ada indikasi awal pelanggaran hukum yang sebaiknya

segera berkoordinasi antarpimpinan sehingga pelanggaran tidak berlanjut.

Etika juga terkait dengan momentum tindakan penegakan hukum yang harus tepat sehingga

tidak menimbulkan persepsi perlawanan atau pembalasan serta tidak mencederai martabat

kelembagaan. Demikian pula jika memang harus ada tindakan terhadap aparat penegak

hukum, tentu harus dilakukan dengan cara-cara beradab dan sudah pada tempatnya tetap

memerhatikan status sebagai aparat penegak hukum.

JANEDJRI M GAFFAR

Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Page 35: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

35

Turbulensi Politik Partai Golkar

Koran SINDO

13 Maret 2015

Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar) berakhir. Keputusan

Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly memenangkan kubu Agung

Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP Golkar. Pemerintah menganulir

kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut

sejak awal dibaca kecenderungannya berpihak ke kubu Agung yang pro-pemerintah.

Penetapan Agung Laksono sebagai pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya

bukan titik akhir penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara

yang melahirkan turbulensi politik di internal Golkar. Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar

(MPG) tertanggal 3 Maret 2015 telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG

menjadi rujukan Kemenkumham dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil

Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat

Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara

internal dalam perselisihan kepengurusan.

Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung Laksono untuk segera

membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan kewajiban mengakomodasi kader-

kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela.

Keputusan pemerintah tersebut berpotensi ditafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar. Hal

itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan politik yang tergabung dalam

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah

Putih (KMP) sebagai kelompok oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan

terhadap dukungan Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP. Artinya,

kemenangan kubu Agung Laksono yang pro-pemerintah berpotensi menjadikan soliditas

KMP makin rapuh.

Intervensi pemerintah lebih awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali

digelar, ditandai intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku

wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh. Klimaksnya, setelah kubu

ARB berhasil menggelar Munas Bali, menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada

bayang-bayang kuasa JK. Hasilnya, Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang

melapangkan jalan Agung cs menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan

demikian, aura intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik

Kemenkumham.

Page 36: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

36

Turbulensi Golkar

Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam fragmentasi yang akut ditandai

perpecahan para elitenya. Sulit diingkari, politik Golkar mengalami turbulen hingga

terdisorientasi arah politiknya menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial

yang tergabung dalam kubu ARB kini dieliminasi.

Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan koordinasi ke daerah

yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air. Setidaknya,

Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi politik internal yang kini terbelah. Kekuatan

Golkar secara politik melemah setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini

mengendalikan partai.

Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para elitenya saat Pilpres 2014 lalu,

hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar.

Dualisme kepemimpinan Golkar versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga

butuh waktu untuk memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran

berpolitik, jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.

Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik partai yang lahir dari rahim

Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar acap dilanda polemik yang mengilhami

lahirnya partai baru yang lahir dari ”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari

konflik internal Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih

membuat rumah politik baru, di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat

mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh

mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang rekonsiliasi

politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.

Tradisi Kekuasaan

Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar diakibatkan lemahnya ideologi partai

sebagai visi para kader menentukan arah politik Golkar, namun lebih bersifat pragmatis.

Potensi konflik yang selalu mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya

militansi kader dalam mengawal Partai Golkar.

Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis, misalnya kubu Agung memilih

merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung ARB cs yang menandai petaka politik

Golkar akibat syahwat politik yang tak terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi

identik dengan tradisi politik Golkar.

Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi Golkar selama ini merupakan

partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga kini. Keberadaan JK dalam pemerintahan

Jokowi menjadi indikatornya. Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan

Page 37: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

37

pemerintah, namun mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang pro-

pemerintah.

Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi berlawanan dengan

pemerintah. Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di parlemen.

Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka, tetapi menjadi oposisi yang

konsisten mengawal kemungkinan terjadinya penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK.

Elite Golkar harus sadar bahwa fragmentasi elite merugikan masa depan partai. Harus lahir

kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi partai mandiri dengan jati dirinya

sendiri, tanpa intervensi pihak luar. Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang

memberikan warna dominan dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi

elite. Mungkinkah?

FIRDAUS MUHAMMAD

Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar; Direktur Eksekutif The Political Society

Page 38: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

38

Demokrasi Jalan Korupsi

Koran SINDO

14 Maret 2015

Lama tak berkomunikasi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ahmad Khoirul Umam berkirim

e-mail yang meminta saya membuat pengantar untuk buku yang akan diterbitkannya. Mantan

wartawan yang dulu sering meliput aktivitas saya ini, sekarang sudah menjadi kandidat

doktor di University of Queensland, Brisbane, Australia.

Di sela-sela keseriusan menyiapkan disertasi doktornya, Umam sempat menulis buku

Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di Indonesia. Buku itu berisi kegundahan dan

kemarahan akademisnya, karena ternyata demokrasi di Indonesia gagal menjadi sistem dan

mekanisme yang mampu secara efektif memerangi korupsi. Umam meminta saya membuat

pengantar atas buku yang berisi kekecewaan atas perkembangan politik di negara yang

dicintainya, Indonesia.

Saya agak terperangah ketika membaca statement di dalam draf buku itu bahwa teori-teori

yang menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk

memberantas korupsi ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia

telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan alat politik yang legal untuk

memberantas korupsi.

Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman

(2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis suatu negara akan semakin efektif

pemberantasan korupsinya, ternyata tak berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan

reformasi untuk membangun sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa

pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada

umumnya akan bisa dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi. Ternyata kita kecele.

Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang

melawan korupsi.

Reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar

elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi,

ternyata tak membuat korupsi berkurang. Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita

dan merajalela.

Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan. Ada yang

mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun demokrasi yang justru

tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah

menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme

Page 39: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

39

demokrasi. Sementara Saiful Mujani dalam buku Kuasa Rakyat (2012) mengatakan bahwa

demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat, melainkan sudah menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite.

Tetapi benarkah kita telah gagal memerangi korupsi melalui demokrasi yang kita bangun

dengan susah payah? Inilah yang harus didiagnosa. Bahwa setelah reformasi berjalan sekitar

17 tahun Indonesia tidak berhasil memerangi korupsi secara efektif, adalah fakta tak

terbantahkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dijadikan sistem,

sekaligus alat untuk memberantas korupsi, mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk

menjelaskan Indonesia.

Persoalannya, demokratisasi di Indonesia hanya berjalan pada periode pertama pemerintahan

hasil Pemilu 1999. Pemilu 1999 adalah pemilu yang paling demokratis setelah Pemilu 1955.

Itulah sebabnya pada periode tersebut kita memiliki anggota-anggota DPR yang cukup bagus,

mengeluarkan banyak UU yang cukup berkualitas, sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Bahkan pada periode pertama reformasi, kita melahirkan lembaga-lembaga penegak hukum

yang, pada mulanya sangat membanggakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi

Yudisial, Mahkamah Konstitusi. Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan

memberi harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi.

Namun lama-kelamaan, tepatnya setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai

bergeser menjadi oligarkis. Demokrasi menjadi pasar jual-beli untuk jabatan-jabatan

politik. Demokrasi menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun

secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-

pemilihan pejabat publik, baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR,

marak dengan isu politik uang dan koncoisme.

Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk saling bantai melalui kekuatan uang dan

kecurangan, begitu juga pemilihan kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan

permainan uang. Banyak parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang

demokratis, melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan

oleh beberapa gelintir orang. Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan

melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau, harus selalu

menerima.

Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan kita dapat juga disebut sebagai

sistem yang poliarkis, yakni sistem yang dalam pengambilan keputusan publiknya hanya

ditentukan oleh elite-elite berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan

berbagai organisasi profesi yang menonjol.

Apa pun identifikasi kepolitikan yang lebih tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk

Indonesia saat ini yang jelas bukanlah sistem demokrasi yang substantif. Menjadi niscaya,

sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi karena isinya memang bukan

demokrasi.

Page 40: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

40

Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan

kebernegaraan kita. Sebab berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan

berlakunya sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu

keruntuhannya. Diperlukan kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini

ke jalan demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 41: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

41

Jangan Intervensi Kedaulatan Hukum Indonesia!

Koran SINDO

14 Maret 2015

Sikap tegas dan lugas selalu mengandung risiko. Itulah yang dihadapi Indonesia ketika

menolak berkompromi dengan sindikat narkotika internasional.

Pemimpin pemerintahan dua negara sahabat, Brasil dan Australia, terang-terangan menghina

dan coba mengintervensi proses penegakan hukum. Namun, demi kedaulatan dan martabat

bangsa, Indonesia tidak boleh goyah dengan penghinaan itu.

Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi warga negara asing (WNA) terpidana mati

kasus narkoba sudah tepat. Tidak ada yang salah sebab perang terhadap sindikat narkotika

internasional harus dipahami sebagai bagian dari ketahanan nasional. Penetrasi sindikat

narkoba internasional telah menimbulkan ekses yang sangat serius terhadap generasi muda di

Tanah Air. Tak kurang dari 50 orang tewas setiap hari karena mengonsumsi narkoba. Untuk

memperkokoh kekuatannya di negara ini, sindikat narkoba internasional juga telah menyusup

ke tubuh birokrasi negara.

Itulah sekilas dari ekses akibat keleluasaan sindikat narkotika internasional membangun

bisnis haramnya di negara ini. Maka itu, eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, dari

mana pun asal negara sang terpidana, sudah sangat tepat. Dalam konteks kepentingan

nasional, eksekusi mati itu bagian dari perang melawan sindikat kejahatan itu.

Eksekusi terpidana mati itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada

semua sindikat kejahatan narkoba di seluruh dunia bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia

tak mau lagi berkompromi. Ketegasan sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.

Konstitusi Indonesia memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah

darah Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman narkoba terhadap generasi

muda. Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi penegakan

hukum di Indonesia, apalagi penegakan hukum dalam konteks memerangi kejahatan narkoba.

Eksekusi mati terhadap terpidana sering dibenturkan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi

manusia (HAM). Pertanyaannya, apakah para gembong narkoba itu masuk kelompok

pelanggar HAM?

Jelas bahwa para penjahat narkoba, direncanakan atau tidak, telah merenggut hak hidup orang

lain karena produk yang mereka perdagangkan secara ilegal itu memiliki kekuatan untuk

Page 42: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

42

menghilangkan nyawa para penggunanya. Sanksi hukuman mati diperlukan untuk

menumbuhkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba itu.

Memang, sangat wajar jika Presiden Brasil Dilma Rousseff marah karena Indonesia pada17

Januari 2015 telah mengeksekusi Marco Archer, orang Brasil yang terbukti bersalah

melakukan perdagangan narkoba di Indonesia. Apalagi, WNA asal Brasil lainnya, Rodrigo

Gularte, juga harus menghadapi sanksi serupa karena kesalahan yang sama. Wajar juga bila

Perdana Menteri Australia Tony Abbott bersama Menteri Luar Negeri Julie Bishop berupaya

menyelamatkan nyawa dua terpidana mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran

Sukumaran, dari sanksi hukuman mati di Indonesia.

Sebagai kepala pemerintahan, Abbott memang tidak boleh tinggal diam. Dia wajib melobi

Pemerintah Indonesia guna menyelamatkan warganya. Namun, Rousseff dan Abbott juga

harus mau menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu, keduanya pun harus

memahami kepentingan nasional Indonesia. Sindikat narkotika dari berbagai belahan dunia

telah menjadikan Indonesia sebagai pasar tujuan paling potensial. Menghadapi kenyataan itu,

Indonesia wajib memberi perlawanan maksimal. Salah satu bentuknya adalah hukuman mati

bagi gembong-gembong narkoba.

Picu Ketersinggungan

Sistem hukum di Brasil dan Australia barangkali masih memberi toleransi bagi para gembong

narkoba. Para gembong narkoba diberi keleluasaan untuk beroperasi dengan sanksi sangat

minimal yang nyaris tanpa efek jera. Rousseff dan Abbott tentu saja tidak bisa memaksa

Indonesia menerapkan sanksi yang sama terhadap para gembong narkoba.

Tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan kedua negara itu praktis berbeda.

Mengapa? Karena, puluhan juta orang tua, para pendidik, tokoh agama, dan para pemuka

masyarakat sudah sepakat memosisikan Indonesia sebagai darurat narkoba. Setiap hari

korban tewas terus berjatuhan. Penetrasi sindikat narkoba sudah menyusup ke tubuh birokrasi

negara. Sipir penjara, oknum penegak hukum, hingga oknum pengajar sudah menjadi bagian

dari jaringan sindikat narkotika internasional.

Menghadapi kenyataan seperti itu, rakyat Indonesia mendesak agar sistem hukum di negara

ini menolak berkompromi dengan penjahat narkoba. Bagi Indonesia, memberi toleransi

kepada para gembong narkoba internasional adalah sebuah perjudian bodoh karena

menjadikan masa depan generasi muda sebagai taruhannya. Indonesia jelas tidak boleh

memainkan perjudian itu. Sebaliknya, rakyat mendesak pemerintah agar merespons

kenyataan mengerikan itu dengan sikap sangat tegas dan lugas. Rakyat solid mendukung

ketika Presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi 11 terpidana mati, termasuk warga

Perancis, Brasil, dan dua warga Australia.

Pemerintah sangat siap ketika sikap tegas ini menimbulkan ketegangan diplomatik,

khususnya antara Indonesia dan Australia, walau Abbott berulang memohon pembatalan

Page 43: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

43

eksekusi mati tersebut. Upaya Australia mengajukan pertukaran tahanan juga kandas karena

memang sistem hukum Indonesia tidak mengenal pertukaran tahanan. Begitu pula ketika

Negara Kanguru tersebut akan menanggung semua biaya penahan dua warga negara selama

menjalankan hukuman di Indonesia asalkan keduanya tidak dijatuhi hukuman mati. Rupanya,

Brasil dan Australia menolak untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia itu.

Presiden Rousseff terang-terangan menghina Indonesia ketika menolak menerima surat

kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Totok Riyanto. Langkah tegas pemerintah

langsung menarik pulang Totok sangat tepat. Abbott juga ikut-ikutan menghina Indonesia

ketika dia mengungkit bantuan negaranya untuk korban tsunami Aceh. Tentu saja, dalam

konteks diplomasi yang berkeadaban, perilaku Rousseff dan Abbott tak lazim.

Abbott tak hanya memicu pertikaian diplomatik dengan Jakarta, tetapi juga menimbulkan

ketersinggungan masyarakat di berbagai pelosok daerah. Dia minta Indonesia balas budi atas

bantuan satu miliar dolar dari Australia saat peristiwa tsunami Aceh. Bantuan itu dibarter

dengan tidak mengeksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya adalah

anggota kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April

2005. Sukumaran, 33, dan Chan, 31, terbukti berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2

kilogram.

Pernyataan Abbott memancing kemarahan rakyat Indonesia. Masyarakat di berbagai daerah

merespons perilaku Abbott dengan gerakan pengumpulan ”Koin untuk Australia” sambil

terus mendesak penegak hukum mengeksekusi Sukumaran dan Chan. Sedangkan pada level

pemerintah, Kementerian Luar Negeri RI menilai Abbott sebagai diplomat amatiran dan

menolak mengomentari pernyataan pemimpin Australia itu. Sikap Kementerian Luar Negeri

RI sejalan dengan pandangan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menilai

perilaku Abbott justru tidak membantu menyelesaikan masalah.

Abbott boleh saja menyandang jabatan perdana menteri Australia. Namun, sudah beberapa

kali dia berbuat kontroversi yang tak perlu. Sebelum menyinggung bantuan Australia untuk

bencana tsunami Aceh, dia sempat membuat masalah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin

ketika meminta kompensasi atas kematian warga Australia dalam kecelakaan pesawat

Malaysia Airlines MH17. Mungkin, Abbott masih akan membuat pernyataan-pernyataan

yang kontroversial di kemudian hari.

Menghadapi perilaku Abbott seperti itu, Indonesia tidak perlu berlebihan dalam

menyikapinya. Di negerinya sendiri, Abbott sering menjadi bahan olok-olok. Karena itu,

Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan pendirian maupun keputusannya, termasuk

untuk kasus eksekusi dua anggota Bali Nine itu.

Indonesia melalui prinsip politik luar negeri bebas dan aktif tentu akan menghargai negara

lain untuk memperjuangkan kepentingan warga mereka. Namun, negara lain juga tidak boleh

mengintervensi apalagi menghina kedaulatan hukum Indonesia.

Page 44: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

44

FIRMANDEZ

Anggota Komisi I Fraksi Partai Golkar DPR RI

Page 45: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

45

Diplomasi Pertahanan sebagai Alat Kebijakan Luar Negeri

Koran SINDO

14 Maret 2015

Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di dunia internasional

belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli Pemerintah Indonesia sangat

tidak manusiawi.

Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di Indonesia adalah Australia,

sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada top list akan dieksekusi segera karena

dakwaan sebagai pemimpin jaringan penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara

Australia terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana

Menteri Tony Abbott mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat

agresif dan cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan

eksekusi. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan hukuman mati

tetap berjalan.

Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, Australia akan

melakukan boikot pariwisata Bali. Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan

Abbot yang mengatakan, bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah

mengucurkan dana miliaran dolar untuk membantu para korban tsunami di Aceh tahun

2004. Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut mengejutkan dunia dan

membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung karena telah merendahkan harga diri

bangsa Indonesia.

Pernyataan politik Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam

pergaulan tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan

bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat menyinggung dan

menyakiti bangsa Indonesia. Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk tidak

mengampuni kedua narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat

Indonesia kepada Australia.

Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan Bishop, yang mengancam

pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya Pemerintah Australia perlu berhitung

dengan cermat dengan segala rencana boikot-boikot mereka terhadap Indonesia. Sebab jika

boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja menjalankan diplomasi pertahanan terhadap

Australia, dengan memblokade jalur pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang

akan berakibat kerugian lebih besar di pihak Australia.

Page 46: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

46

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali selama ini merupakan tujuan wisata utama

warga Australia. Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki

peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi jumlah

wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis yang berasal dari

intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari total 9,3 juta wisatawan ke Bali.

Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimiliki

Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar,

Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II, merupakan jalur laut utama yang sering dilayari

kapal-kapal dagang Australia. Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke

China melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali.

Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa

Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB, agar

pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan kapal-kapal Australia.

Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia terhadap masalah dalam

negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia memberikan visa kepada sejumlah warga

Papua merupakan bentuk intervensi masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak

dicampuri oleh Australia.

Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia, maka dipastikan

perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan 2011 sebuah peternakan sapi

kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan sangat terpaksa dijual oleh

pemiliknya. Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan produksi daging

peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya. Kebijakan larangan ekspor sapi

ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada waktu sangat memukul para peternak di

Australia dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang masif.

Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di dunia, dan Indonesia

merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia yang mampu menghasilkan potensi

devisa sebesar 461 juta dolar Australia. Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan

dialami Australia jika jalur dagang negara tersebut ditutup.

Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total produksi hewan ternak

Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245 juta penduduk memang merupakan

”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup,

maka akan memunculkan gelombang protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat

menjadi faktor kehancuran pemerintahan perdana menteri yang berasal dari Partai Liberal

Australia tersebut.

Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini, selayaknya Indonesia

meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam konteks hubungan bilateral

dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan sejatinya adalah sebagai alat penting bagi

kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri sebuah negara.

Page 47: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

47

Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan kewaspadaan nasional

untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup regional. Dalam prosesnya,

diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen negara, baik politisi, pihak militer,

pejabat pemerintahan, para pakar, bahkan LSM.

Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI dapat memainkan peran

diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun 2014, akibat isu penyadapan yang

dilakukan Australia terhadap Presiden SBY. Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah

Indonesia menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah

perbatasan dengan menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok. Kehadiran TNI

dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir membuat parlemen Australia khawatir.

Karena dari wilayah sekitar Lombok dan Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah.

Kebijakan aktivasi diplomasi pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat

penting diterapkan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan

dalam negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.

Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kesejahteraan

rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup ditunjukkan dengan keteguhan terhadap

pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan

yang sinkron dengan keputusan politik. Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah

keputusan yang telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari

negara lain.

Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu gelar kekuatan bersenjata,

seakan-akan siap perang dengan Australia. Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan

untuk kesiapan berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai

yang diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut.

Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar kekuatan bersenjata di

sekitar Selat Lombok. Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan keunggulan

diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan

pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi secara halus Indonesia dapat

memberitahukan kepada setiap negara pengguna ALKI-II untuk sementara waktu

menghentikan kegiatan dagang mereka melalui jalur tersebut karena sedang dipergunakan

untuk latihan militer, sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga teritori

Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka Australia akan mengalami

kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan harga ternak yang ingin dijual Australia,

jika Negeri Kanguru ini tetap ingin mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.

Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan sekaligus dukungan

rakyat, bahwa pemerintah bersungguh-sungguh mengembangkan kekuatan dan meningkatkan

kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia serta martabat bangsa.

Page 48: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

48

Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia

merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara lain yang memandang rendah

bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan

santun dan diplomatis, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak

mencerminkan ucapan seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.

Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut dengan diplomatis, elegan

dan taktis tanpa perlu terjebak dengan manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda

menghindarkan diri dari cercaan bangsanya sendiri.

RODON PEDRASON

Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di

Ruprecht-Karls-Universität, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN

Kemdikbud RI

Page 49: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

49

Melawan Begal Politik dan Mandat Palsu

Koran SINDO

16 Maret 2015

Sebuah eksperimen politik sedang berlangsung dengan cara membelah Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Tentu saja ada agenda tersembunyi di balik

eksperimen politik itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendaknya mengamati arah dan target

eksperimen dimaksud.

Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR sudah terbukti

menjadi kekuatan penyeimbang yang kritis konstruktif. Sejumlah kebijakan presiden yang

pro-rakyat dan pro-kepentingan nasional mendapat dukungan solid dari KMP. Dari

kebutuhan anggaran untuk realisasi program sosial pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat

(KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), sampai keputusan Presiden mengubah figur calon

tunggal kepala Polri, semua didukung tanpa reserve oleh KMP.

Ambivalensi justru dipertontonkan kekuatan-kekuatan politik yang selama ini dikenal sebagai

pendukung Presiden Jokowi, khususnya semasa kampanye dan pemilihan presiden.

Kekuatan-kekuatan politik itu terang-terangan merongrong kepemimpinan Presiden Jokowi.

Mereka mengecam sejumlah menteri Kabinet Kerja yang loyal kepada Presiden, mendesak

dilakukan reshuffle kabinet hingga menggagas penggunaan hak angket oleh DPR guna

merespons keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai

kepala Polri.

Semua perilaku aneh dari kekuatan-kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi itu begitu

terang benderang di mata rakyat. Ada apa dengan mereka? Tentu tidak sekadar kekecewaan

karena tidak mendapat jatah menteri atau jabatan lain di pemerintahan sekarang ini. Pasti ada

agenda besar lain yang ingin diwujudkan walau tidak mudah.

Sudah bisa dipastikan bahwa KMP sama sekali tidak punya agenda menjatuhkan atau

memakzulkan Presiden Jokowi. Ketika sejumlah politisi anggota KMP ikut mendorong

penggunaan hak angket DPR untuk kasus pembatalan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan

sebagai kepala Polri, para pemimpin KMP justru memperlihatkan sikap sebaliknya. Para elite

KMP mengingatkan semua pihak menyadari bahwa harga yang akan dibayar bangsa ini akan

sangat mahal jika Presiden dimakzulkan untuk alasan-alasan yang tidak relevan. Isu tentang

penggunaan hak angket DPR ini akan mengemuka lagi setelah DPR mengakhiri masa reses

pekan terakhir Maret 2015. Pencalonan Komjen Pol Badroedin Haiti sebagai kepala Polri

bisa saja berjalan tidak mulus jika kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi melanjutkan

sikap ambivalen mereka.

Page 50: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

50

Dibutuhkan kekuatan mayoritas di DPR untuk memuluskan penggunaan hak angket itu.

Sudah barang tentu partai-partai pendukung Jokowi berharap bisa mendulang dukungan dari

komponen-komponen KMP. Untuk mendulang dukungan dari KMP itulah, dikreasi

eksperimen politik dengan memecah belah anggota KMP, utamanya PPP dan Partai Golkar.

Ada kekuatan besar yang menata skenario eksperimen itu dan menjadikan Menteri Hukum

dan HAM (Menkumham) Yasona H Laoly sebagai eksekutor pemecah PPP dan Golkar.

Eksperimen politik para pembegal demokrasi itu harus dihentikan. Itu sebabnya, parpol

anggota KMP di DPR akan menggulirkan hak angket terhadap Menkumham. Dia dipaksa

berperilaku seperti ”pembegal”, tepatnya begal demokrasi atau begal politik, karena

mencampuri masalah intern Partai Golkar dan PPP.

Loyalitas Tunggal

Pada kasus Partai Golkar misalnya, Menkumham sama sekali tidak menjadikan fakta

permasalahan sebagai acuan keputusan. Dia justru menjadikan kepentingan politik sebagai

dasar keputusannya.

Ketetapan hukum tentang kepengurusan PPP sudah jelas. Sementara pengurus Partai Golkar

hasil Munas Bali telah membeberkan fakta-fakta tentang dugaan pemalsuan surat mandat

yang menjadi dasar pelaksanaan Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung Laksono

dkk. Data-data itu sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada Rabu, 11 Maret 2015.

Tidak kurang dari 43 surat mandat yang tanda tangannya diduga palsu. Contohnya surat

mandat dari Aceh.

Selain itu, ada 104 surat mandat yang kop suratnya diduga tidak sesuai aslinya. Untuk kasus

ini, contohnya surat mandat dari Nabire. Tidak hanya itu. Ditemukan juga fakta tentang 19

surat mandat yang diduga stempelnya palsu dengan contoh kasus surat mandat dari

Kabupaten Manggarai, NTT. Selain itu, 40 surat mandat diduga tidak memiliki kewenangan

menandatangani surat mandat. Contohnya Gayo Lues dan Nagan Raya. Seluruhnya ada 133

surat mandat yang bermasalah.

Perbandingan surat mandat yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan Munas Bali dan

Munas Ancol pun sangat jelas menggambarkan siapa legitimate dan siapa yang minus

legitimasi. Pelaksanaan Munas Bali diperkuat oleh surat mandat 34 unsur DPD provinsi dan

512 surat mandat dari unsur DPD kabupaten/kota. Sementara itu, Munas Ancol hanya

didukung 16 surat mandat dari unsur DPD provinsi dan 260 surat mandat dari unsur

kabupaten/kota. Munas Bali legitimate karena dukungan 100% dari seluruh unsur

kepengurusan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, sedangkan Munas Ancol hanya

50,55%.

Data-data ini telah digunakan dalam persidangan Mahkamah Partai Golkar. Maka itu,

keputusan Menkumham memang patut digugat. Apalagi, Ketua Mahkamah Partai Golkar

Profesor Muladi menyebut Munas Bali lebih legitimate.

Page 51: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

51

Karena itu, dalam pernyataan resmi bersama yang dibacakan di Gedung DPR RI, Jumat

(13/2), KMP harus mengingatkan lagi Menkumham bahwa Indonesia ini negara hukum,

bukan negara kekuasaan. Sebagai menteri hukum, Laoly seharusnya bertindak ekstrahati-hati,

tidak melawan hukum, dan tidak menabrak undang-undang.

Dalam menyikapi persoalan internal di Partai Golkar dan PPP, Menkumham telah bertindak

sewenang-wenang. Menkumham bertindak dan berkeputusan hanya berdasarkan kepentingan

politik, bukan fakta permasalahan. Maka itu, gagasan KMP untuk menggunakan hak angket

menjadi bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Menkumham itu.

Keputusan Menkumham yang membuat Partai Golkar dan PPP tetap berselimut konflik

bukan hanya melawan hukum, melainkan jelas-jelas sarat kepentinggan politik. KMP yakin

bahwa model keputusan Menkumham seperti itu tidak pernah dikonsultasikan dengan

Presiden. Bisa dipastikan pula bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak tahu bahwa

keputusan Menkumham justru memihak salah satu kubu.

KMP menduga, ada pihak yang coba mengambil keuntungan politik; mengail di air keruh

jika Golkar dan PPP terus berkonflik. Pihak-pihak itu sekaligus ingin menjauhkan Golkar dan

PPP dari pusat kekuasaan. Sejauh ini Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dan

PPP kepemimpinan Djan Faridz bersama KMP secara politik mendukung sejumlah kebijakan

Presiden Jokowi.

Kalau aksi ”begal politik” terhadap Golkar dan PPP tidak dihentikan, aksi ini akan dijadikan

pintu masuk untuk mewujudkan agenda politik lain yang bisa mengancam kepentingan

nasional. Agenda kelompok yang berkepentingan dengan putusan Menkumham itu jelas

menjadi ancaman bagi tatanan demokrasi yang sudah dan sedang dibangun selama ini.

Selaku kepala pemerintahan, Presiden Jokowi sebaiknya mengingatkan Menkumham agar

hanya patuh pada perintah Presiden, bukan patuh pada kekuatan lain. Menkumham harus

menunjukkan loyalitas tunggal yakni loyal kepada Presiden. Bukan loyalitas ganda.

Artinya, setiap rancangan keputusan menteri harus dikonsultasikan lebih dahulu ke Presiden.

Bukan kepada kekuatan lain yang tidak kompeten. Apalagi jika keputusan itu menimbulkan

dampak yang luas dan strategis bagi masyarakat maupun pemerintah.

Karena jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap bangsa dan negara ini, yang

paling bertanggung jawab adalah penghuni Istana, Jalan Medan Merdeka. Bukan penghuni

istana atau rumah di alamat yang lain.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI

Page 52: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

52

Golkar di Persimpangan Jalan

Koran SINDO

16 Maret 2015

Prahara di tubuh Partai Golkar kian memanas. Rivalitas kubu Agung Laksono dan kubu

Aburizal Bakrie semakin menjauh dari titik temu untuk bersatu.

Salah satu faktor pemicu kian panasnya atmosfer konflik di tubuh Golkar adalah keputusan

Kementerian Hukum dan HAM yang mengakui kepengurusan DPP Partai Golkar versi

Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Keputusan yang ditandatangani Menteri

Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 10 Maret 2015 ini merujuk pada

keputusan Mahkamah Partai Golkar yang ditafsiri memenangkan munas versi kubu

Agung. Rujukan hukumnya disandarkan pada Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor

2 Tahun 2011 bahwa putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat.

Pascapengakuan, Golkar pun seolah berada di persimpangan jalan. Bingung, langkah apa lagi

yang mesti ditempuh untuk merekatkan kedua kubu, sekaligus bingung menentukan bandul

politiknya pada masa mendatang.

Dilema Kekuasaan

Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat ambigu. Kesamaan

pendapat terjadi di antara Muladi dan HAS Natabaya, yang berbeda dengan pendapat Djasri

Marin dan Andi Mattalatta. Muladi dan Natabaya merekomendasikan agar dua kubu

menghindari the winner takes all, merehabilitasi mereka yang dipecat, dan mengajak pihak

yang kalah dalam kepengurusan.

Sementara itu, Djasri Marin dan Andi Mattalatta menyampaikan pendapat yang lebih tegas.

Keduanya menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham

sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal Golkar secara aklamasi tak

demokratis. Keduanya juga menilai bahwa pelaksanaan Munas Jakarta sangat terbuka,

transparan, dan demokratis meski memiliki banyak kekurangan.

Tak bulatnya pandangan MPG inilah yang memicu multiinterpretasi atas putusan yang

dikeluarkan. Ini menjadi celah argumen bagi kubu ARB untuk terus melakukan upaya hukum

di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan membawa putusan Kemenkumham ke PTUN DKI

Jakarta.

Yang menarik dicermati dari kekisruhan internal Golkar ini ada dua hal. Pertama, dilema

dalam memilih saluran penyelesaian konflik. Golkar yang surplus politisi senior tentu

Page 53: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

53

menyadari agenda politik mendesak yang akan dihadapi mereka pada 2015 yakni pilkada

serentak. Jika konflik tak teratasi segera, ancaman nyata ada di depan mata. Sudah terbayang

betapa banyak agenda yang mesti disiapkan struktur Partai Golkar di daerah dalam

menyambut ketatnya persaingan pilkada serentak ini. Jikapun Golkar masih bisa ikut serta

dalam perhelatan pilkada, belum menjamin solidnya mesin pemenangan akibat dualisme

kepengurusan yang pasti punya imbas hingga ke struktur Golkar di daerah.

Dalam jangka panjang ini juga akan berpengaruh pada eksistensi Partai Golkar dalam

hubungannya dengan psikopolitis pemilih dan masyarakat. Seorang elite Partai Golkar kubu

ARB mengkhawatirkan, jika konflik terus berlarut-larut, bukan mustahil Golkar di Pemilu

2019 akan menjadi one digit party!

Dilema penyelesaian konflik muncul saat pendekatan kultural berupa islah lewat mediasi

gagal total. Lantas muncul alternatif penyelesaian seperti diatur UU Partai Politik, ternyata

juga tak membuahkan putusan jelas. Sementara solusi lewat pengadilan atau saluran di luar

partai juga mengandung risiko serius yakni pihak yang kalah biasanya menjadi kelompok

penyimpang bahkan memungkinkan ada partai baru atau partai tandingan yang menggerus

konstituen Golkar.

Dilema kedua, yang sesungguhnya lebih besar dan menggoda arah politik Golkar, yakni

kekuasaan! Sebagaimana kita ketahui, sejarah Partai Golkar adalah sejarah kekuasaan.

Konflik di tubuh Partai Golkar harus juga dimaknai sebagai pertarungan antarfaksi yang akan

membawa ke mana arah politik Golkar di era Jokowi-JK. Kubu ARB berkepentingan

membawa Golkar di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), sedangkan kubu Agung

berkeinginan mendulang sumber daya politik dengan merapat ke Koalisi Indonesia Hebat

(KIH).

Tak dimungkiri, situasi dinamis rezim Jokowi-JK yang sedang mencari titik keseimbangan

politik juga tampaknya membuka peluang besar akomodasi politik. Langkah pemerintahan

Jokowi-JK ini seolah mengonfirmasi tesis Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of

Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), bahwa

dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan

demokrasi model konsensus. Koalisi membangun pemerintahan merupakan bagian dari

konsensus tersebut.

Rekam jejak elite kekuasaan kita lebih banyak memilih pola ‘ko-opsi’ dan konsensus

daripada kompetisi politik secara fair. Anatomi kekuasaan Jokowi-JK pun tampaknya

meneruskan tradisi lama yakni mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan

keseimbangan yang sangat hati-hati.

Jika Golkar akhirnya juga masuk ke dalam skema koalisi partai pendukung pemerintah, ini

menyebabkan parpol di luar kekuasaan tak lagi efektif di parlemen. Dengan begitu, pola

hubungan promiscuous atau sering gonta-ganti pasangan di dalam koalisi yang menjadi

wajah rezim SBY juga akan menghiasi wajah kekuasaan Jokowi. Padahal Jokowi yang

Page 54: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

54

mengikrarkan diri akan membangun koalisi ramping dan berbasis hubungan tanpa syarat.

Meski masuknya Golkar akan menambah dukungan terhadap Jokowi, saat bersamaan juga

secara substantif akan mengundang kritisisme publik atas nilai keberbedaan rezim Jokowi

dibanding SBY dan Soeharto.

Tradisi Baru, Mungkinkah?

Terlepas dari siapa pun yang memenangi konflik internal di tubuh Golkar, seharusnya

menjadikan momentum saat ini untuk memulai tradisi baru sebagai partai modern yakni siap

di dalam dan di luar kekuasaan. Golkar sudah terbukti memiliki daya tahan sebagai

kolaborator dalam beberapa rezim kekuasaan, tetapi belum teruji berada di luar

pemerintahan.

Ada beberapa keuntungan bagi Golkar jika lima tahun ke depan konsisten berada di luar

kekuasaan. Pertama, Golkar memiliki kesempatan untuk menata ulang cara pandang, mental,

dan mekanisme keorganisasian. Sejak reformasi hingga sekarang, Golkar senantiasa

disibukkan dengan perburuan kekuasaan dan abai dengan urusan rumah tangga sendiri,

termasuk lemahnya optimalisasi peran partai dari pusat hingga daerah.

Kedua, Golkar bisa memaksimalkan posisi strategisnya sebagai partai pemenang kedua untuk

memperkuat peran dan posisi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa

berjalan. Kelompok di luar pemerintahan selama dua periode SBY nyaris tumpul karena tak

mampu menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.

Ketiga, keberadaan di luar kekuasaan harusnya menjadi kesempatan Golkar untuk melakukan

reposisi, terutama dalam pola hubungannya dengan basis konstituen. Persepsi masyarakat

tentang Golkar bisa menjadi lebih positif jika mau bekerja nyata (working in public) selama

lima tahun ke depan. Bukan mustahil, Golkar juga akan meraup insentif elektoral seperti

PDIP di Pemilu 2014.

Mungkinkah terjadi? Sangat bergantung pada mental dan sikap politisi Golkar.

GUN GUN HERYANTO

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy

Institute

Page 55: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

55

Parpol di Kemenkumham

Koran SINDO

17 Maret 2015

Belum cukup 24 jam Yasonna Laoly menjadi menteri hukum dan HAM, Indonesia

terguncang. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari dua kepengurusan Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) yang sedang bersengketa diakui keabsahannya. Kini, Indonesia

terguncang lagi dengan sebab yang sama. Kepengurusan Partai Golkar (PG) yang sedang

bersengketa, justru salah satunya diakui keabsahannya oleh kementerian ini.

Apakah ini menjadi tabiat dasar kementerian ini atau pemerintah Presiden Joko Widodo

(Jokowi), terus terang belum bisa disimpulkan secara definitif. Tetapi ini adalah sebuah

perkara besar, karena nihilnya derajat koherensi konstitusionalisme.

Konstitusionalisme bukan perkara menang atau kalah, tetapi perkara pijakan hukum, berbasis

nilai filosofi, yang dalam kasus Indonesia bersumber dari pembukaan UUD 1945. Soal ini,

kalau dilukai, di mana pun, menghasilkan selain kehidupan bar-bar, juga otoriter.

Babak Otoriter

Merindukan demokrasi, bukan saja karena demokrasi itu menjanjikan pengakuan terhadap

otonomi setiap orang sebagai makhluk mulia, dan merdeka, tetapi lebih dari itu. Dalam

demokrasi, otonomi setiap orang terjanjikan eksistensinya, dan menjadi prasyarat harkat dan

martabatnya setiap orang sebagai insan mulia terjamin pula eksistensinya.

Boleh jadi karena itulah, sehingga kecemasan George Washington dan John Adam, presiden

pertama dan kedua Amerika itu terhadap efek buruk partai politik, tak cukup ampuh menahan

gairah berpartai politik. Tetapi boleh jadi juga, politik aliran telah muncul sejak, ambil

misalnya, saat George Washington dipilih menjadi presiden, sehingga Thomas Jefferson dan

James Madison bergairah menghendaki berdirinya partai politik.

Dalam kasus Indonesia, Bung Syahrir jelas tidak mau republik yang masih muda kala itu

dicap fasis oleh sekutu. Cap fasis itu dalam keyakinannya hanya bisa ditiadakan bila

dimungkinkan berdirinya partai-partai politik. Keyakinan itu diamini Bung Hatta. Itulah

sekelumit kisah lahirnya partai politik di Republik Indonesia, yang kala itu masih berusia

tidak lebih dari tiga bulan.

Itu sebabnya, kala Masyumi, sebuah partai politik yang dikenali Daniel S Lev, indonesianis

hebat ini, sebagai partai dengan gairah konstitusionalisme tak tertandingi pada masanya

dipalu-godamkan oleh rezim lama, ditangisi. Bukan sekadar sebagai kebangkrutan demokrasi

Page 56: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

56

dan kematian konstitusionalisme paling mengenaskan, tetapi lebih dari itu, peristiwa itu

mengawali terkonsolidasinya demokrasi terpimpin, demokrasi bertuan penguasa.

Orde ini pun bangkrut pada 1966. Menariknya, Masyumi tak diberi hak hidup lagi, dan partai

baru yang hendak didirikan Bung Hatta pun tak direstui penguasa baru ini. Mencengangkan,

bermaksud mulia untuk menghidupkan konstitusionalisme, dengan cara melaksanakan UUD

secara murni dan konsekuen, ternyata berbelok.

Parmusi yang berkongres di Malang, dan telah menetapkan Moh. Roem sebagai ketua

umumnya, justru ditolak penguasa. Alasannya sederhana, Roem adalah salah satu eksponen

hebat Masyumi.

Konstitusionalisme terpimpin, untuk tak mengatakan feodal, masih terus berlanjut. Partai

Demokrasi Indonesia (PDI) dalam kongresnya di Medan, yang berhasil menetapkan

Megawati Soekarno Putri, anak Bung Karno sebagai ketua umumnya, ditolak penguasa.

Caranya pun mengerikan untuk ukuran demokrasi, tetapi sah untuk ukuran rezim otoriter.

Lahirlah PDI Perjuangan (PDIP), yang berhasil menugaskan kadernya menjadi presiden saat

ini, dan salah satu kadernya diangkat memangku jabatan menteri hukum dan HAM.

Hentikan

Pasti bukan merupakan kelanjutan logis konstitusionalisme feodal, terpimpin khas Orde

Lama, dan suka-suka, acak-kadul khas Orde Baru, sedang dihidupkan eksistensinya saat ini.

Tetapi keadaan yang dialami PPP dan PG saat ini, menandai sebuah gerak naik nalar

konstitusionalisme terpimpin dan otoriter itu. Nalar ini pendek, tak bening, tentu tak logis.

Nalar hukum otoriter memang tak mungkin mengenal maksud pembuat putusan. Pada

halaman 133 Putusan Mahkamah Partai Golkar, dinyatakan ”5 Amar Putusan” Mengadili,

dalam eksepsi; menerima eksepsi para Termohon dalam Perkara Nomor 02/PI-Golkatr/

II/2015 untuk sebagian. Menyatakan permohonan para pemohon dalam perkara Nomor

02/PI-Golkar/II/2015 tidak dapat diterima.

Dalam pokok perkara permohonan majelis Mahkamah Partai Golkar, amarnya berisi

penegasan; oleh karena terdapat pendapat berbeda di antara anggota Majelis Mahkamah

terhadap Pokok Permohonan, sehingga tidak tercapai kesatuan pendapat di dalam

menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua Munas Partai Golkar IX. Pendapat

berbeda dimaksud masing-masing adalah Muladi dan HAS Natabaya mempunyai pendapat

sebagai berikut. Inti pendapat keduanya mengakui tindakan yang diambil Aburizal Bakrie

dan Idrus Marham menyelesaikan sengketa ini di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tegas

dinyatakan bahwa tindakan keduanya sesuai rekomendasi Mahkamah Partai tanggal 23

Desember 2014. Dalam amar ini juga, keduanya merekomendasikan empat hal.

Setelah pendapat keduanya, barulah diuraikan pendapat dua anggota majelis lainnya. Dalam

kata-katanya sesudah pendapat Muladi dan HAS Natabaya dinyatakan pendapat berikutnya

Page 57: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

57

anggota Majelis Mahkamah Partai atas nama Djasri Marin dan Andi Mattalatta adalah

sebagai berikut. Diuraikanlah pendapat keduanya. Pada akhir pendapat keduanya, dinyatakan

(1) mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan seterusnya. (2) Meminta

Mahkamah Partai memantau proses konsolidasi tersebut sampai tuntas pada Oktober 2016.

Bagaimana membaca amar itu? Sengketa keabsahan dua kongres yang berbeda tidak

diputuskan hukumnya. Akibat hukumnya keadaan hukum semula— adanya sengketa—tidak

berubah. Sengketa jelas belum berakhir, karena tidak diputuskan hukumnya oleh Mahkamah

Partai Golkar.

Sungguh tragis, Kemenkumham melalui suratnya Nomor M.HH.II.03-26, berperihal

penjelasan tanggal 10 Maret 2015 meminta salah satu pihak yang bersengketa membentuk

kepengurusan, dan melaporkannya kepada kementerian ini. Nalar surat itu menempatkan

Kemenkumham sebagai atasan parpol, sekaligus pemerintahan sebagai pengurus partai. Ikut

mengatur kehidupan rumah tangga partai adalah ciri cara berpemerintahan khas negara

otoriter. Kecuali dari Tuhan, tidak ada satu pun ayat atau huruf dalam pasal 32 dan 33 dalam

UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol

memberi kewenangan itu kepada menteri meminta pengurus partai menyusun kepengurusan

dan melaporkannya kepada menteri.

Menyalahgunakan kewenangan, bahkan sewenang-wenang adalah kualifikasi paling tepat

atas tindakan itu. Kesewenang-wenangan adalah perkara paling mengerikan dalam negara

hukum demokratis.

MARGARITO KAMIS

Doktor Hukum Tata Negara; Staf Pengajar FH, Universitas Khairun Ternate

Page 58: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

58

Berapa APBN untuk Parpol?

Koran SINDO

18 Maret 2015

Hampir tidak ada perdebatan tentang urgensi bantuan anggaran negara kepada partai

politik. Ketentuan imperatif ihwal ini malah sudah tertuang di dalam Undang-Undang (UU)

tentang Partai Politik sejak awal reformasi, yakni UU No. 2 Tahun 1999.

UU Parpol yang terakhir— UU No 2 Tahun 2011— juga memuat ketentuan yang sama.

Dasar pemikirannya adalah tanggung jawab negara untuk ikut menghadirkan parpol yang

sanggup menunaikan fungsinya sebagai pilar demokrasi. Tak terbantahkan, parpol

mempunyai posisi penting dalam sistem negara demokrasi.

Wilayah debatnya adalah pada tataran implementasi. Bagaimana konstruksi falsafah dan

ketentuan UU tersebut diselenggarakan dengan tepat. Berapa besarannya, apa saja

peruntukannya, bagaimana memastikan akuntabilitasnya, adalah tema-tema yang menonjol.

Besaran terkait dengan kebutuhan partai dan kemampuan APBN, peruntukan menyangkut isu

ketepatan sasaran dan efektivitas, sedangkan akuntabilitas berhubungan dengan bagaimana

pertanggungjawabannya.

Formula Bantuan APBN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2009 yang berlaku hingga sekarang,

formula bantuan APBN kepada parpol sebesar Rp108 untuk setiap suara. UU Parpol sudah

mengatur bahwa dasarnya adalah jumlah suara hasil pemilu legislatif dari parpol yang

mempunyai kursi di parlemen. Jadi bantuan dari APBN hanya berlaku bagi parpol yang lolos

threshold, tanda parpol tersebut didukung oleh rakyat.

Jika patokannya hasil Pemilu 2014, ada 10 parpol yang lolos threshold. Perolehan suara total

10 parpol tersebut untuk tingkat DPR adalah 124.972.491 suara. Yang terbesar PDI

Perjuangan dengan perolehan 23.681.471 suara dan yang terkecil adalah Hanura dengan

capaian 6.579.498 suara. Kalau ketentuan PP dilaksanakan, total bantuan APBN kepada

seluruh parpol adalah Rp13,17 miliar. Penerima terbesar adalah PDIP dengan jatah Rp2,55

miliar dan diikuti oleh parpol-parpol lain secara proporsional.

Dibanding dengan kebutuhan dana partai per tahun, angka Rp2,55 miliar sangat jauh dari

cukup. Bahkan jikapun PDI Perjuangan atau parpol lainnya masing-masing mendapatkan

Rp13,17 miliar (angka total bantuan), juga belum mendekati memadai. Dari pengalaman

berbagai parpol yang serius, angka Rp2,55 miliar tidak lebih dari 2% saja angka kebutuhan

Page 59: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

59

riil. Belum lagi pada tahun menjelang pemilu dan tahun penyelenggaraan pemilu, kebutuhan

dana mengalami lonjakan serius.

Tidak berlebihan jika dikatakan formula yang berlaku sekarang tergolong sangat minimalis.

Mari bandingkan dengan formula lama yang berlaku pasca-Pemilu 1999. Saat itu

perhitungannya adalah Rp1.000 untuk setiap suara hasil pemilu legislatif, angka yang jauh

lebih besar dari pola minimalis sekarang.

Jika diambil contoh lima besar parpol berdasarkan hasil Pemilu 1999, berturut-turut

perolehan suaranya adalah: PDI Perjuangan 35.689.073, Partai Golkar 23.741.749, Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) 13.336.982, Partai Persatuan Pembangunan(PPP) 11.329.905,

Partai Amanat Nasional (PAN) 7.528.956 suara. Partai-partai tersebut masing-masing

mendapatkan sekitar Rp35,68 miliar, Rp23,74 miliar, Rp13,33 miliar, Rp11,32 miliar, dan

Rp7,52 miliar.

Dengan formula 1999 saja, jumlah bantuan dari APBN belum memadai. Apalagi dengan

formula yang berlaku saat ini. Faktanya, setiap parpol dituntut untuk membiayai urusan rutin

operasional dan pelaksanaan program yang diterjemahkan ke dalam bentuk ragam

kegiatan. Karena faktor keterbatasan dana, semua parpol terjebak urusan rutin. Program-

program yang terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi utama parpol tidak optimal

diselenggarakan, terutama kaderisasi, pencerahan anggota dan konstituen. Jika pun

dilaksanakan, skalanya masih terbatas.

Inilah musabab mengapa parpol sering absen dari kehidupan rakyat dan hanya hadir

menjelang atau saat pemilu. Realitas itulah yang meniscayakan adanya penyesuaian besaran

bantuan APBN. Dasar perhitungannya harus lebih rasional agar benar-benar bisa dirasakan

faedahnya bagi peningkatan kinerja parpol. Tentu saja tidak perlu bicara triliun. Gagasan

suntikan Rp1 triliun per tahun bagi setiap parpol terlalu jumbo. Malah bisa mengganggu

rasionalitas dan mengusik perasaan publik.

Harus ada kepantasan dan ukuran daya manfaatnya yang nyata. Ambil contoh, angka

perhitungannya dinaikkan menjadi Rp3.000 untuk setiap suara. Dengan angka itu maka 10

parpol yang sekarang mempunyai kursi di DPR akan mendapatkan alokasi bantuan cukup

lumayan. Kalau dihitung, masing-masing akan mendapatkan sekitar: Rp71 miliar untuk PDI

Perjuangan, Rp54 miliar Golkar, Rp44 miliar Gerindra, Rp38 miliar Demokrat, Rp34 miliar

PKB, Rp28 miliar PAN, Rp25 miliar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rp25 miliar Nasdem,

Rp24 miliar PPP, dan Rp20 miliar buat Hanura.

Meski jika dikalkulasi angka-angka tersebut belum cukup untuk mengongkosi seluruh

kegiatan parpol, setidaknya telah cukup menunjukkan keseriusan negara untuk mengambil

tanggung jawab mendukung kehidupan parpol yang lebih fungsional. Jikapun masih

dianggap belum cukup memadai, dasar angka perhitungan sebesar Rp3.000 dapat dinaikkan

lagi. Tetapi hemat saya, untuk kondisi sekarang ini angka tersebut sudah relatif rasional, bisa

dijelaskan, dan akan bermanfaat nyata bagi parpol untuk semakin bergiat.

Page 60: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

60

Harus juga ditegaskan bahwa tidak pada tempatnya jika parpol hanya menggantungkan diri

pada bantuan dari anggaran negara. Parpol tidak boleh menjadi ”anak manja” negara. Ada

potensi iuran anggota yang harus digali secara sungguh-sungguh. Ada pula sumbangan dari

perorangan dan korporasi yang bisa dioptimalkan dengan kreativitas meyakinkan calon

penyumbang. Trisula sumber dana: iuran, sumbangan, dan bantuan anggaran negara harus

berjalan seiring.

Terang dan Akuntabel

Justru lantaran ada potensi dari iuran dan sumbangan, maka peruntukan bantuan dari APBN

harus diatur ketat dan terang. Tidak elok kiranya jika bantuan tersebut digunakan untuk

membiayai urusan rutin operasional, seperti biaya kantor, pegawai, dan keperluan rutin

pengurus. Lebih tepat dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan dalam konteks penguatan

kelembagaan dan peran parpol, terutama kaderisasi dan penguatan relasi dengan konstituen.

Kegiatan diklat, kursus kader, pencerahan konstituen, bakti sosial dan pelayanan, adalah

sebagian contoh yang bisa disebut.

Hal terakhir yang tak kalah penting adalah memastikan semuanya akuntabel. Dana APBN

wajib dipertanggungjawabkan. Parpol harus menyiapkan SDM yang cakap untuk mengelola

dan mempertanggungjawabkan dana yang diterima menurut standar keuangan

negara. Pemerintah bertugas menyiapkan juklak-juknis dan melakukan supervisi. BPK

bertugas melaksanakan audit sebagaimana mestinya.

Karena itulah, mesti ada konsekuensi administratif dan pidana. Pelanggaran administratif

paling serius layak dijatuhi sanksi tidak mendapatkan jatah bantuan tahun

berikutnya. Pelanggaran pidana diproses berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku. Dengan

cara demikian, parpol dan pengurusnya dipaksa untuk bergegas profesional dan akuntabel

dalam mengelola bantuan dari APBN.

ANAS URBANINGRUM

Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Page 61: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

61

Pelajaran dari Kisruh RAPBD DKI

Koran SINDO

18 Maret 2015

Konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih berlangsung. Konflik ini menyita perhatian

khalayak luas.

Secara opini timbul kesan kuat bahwa berbeda dengan Ahok yang di atas angin, pihak DPRD

paling layak disorot dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(RAPBD) 2015. Opini demikian marak hingga ke ranah media sosial dan menjadikan DPRD

sebagai semacam musuh bersama.

Tentu saja itu terlalu berlebihan, mengingat bagaimanapun, apa yang tengah terjadi

merupakan bagian dari proses politik. Proses penentuan penyusunan dan penetapan anggaran

memerlukan kerja sama yang baik antara gubernur dan DPRD. Gubernur tidak dapat jalan

sendiri, demikian pula sebaliknya.

Dalam kisruh RAPBD DKI Jakarta, Ahok melakukan langkah kontroversial dengan

menyerahkan RAPBD ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi bukan versi hasil rapat paripurna

DPRD pada 27 Januari 2015. Ahok punya dalih bahwa RAPBD itu sarat dengan ”anggaran

siluman”.

Langkah ini secara prosedural dipandang sangat bermasalah, di mana pihak DPRD menuduh

Ahok telah melakukan pemalsuan dokumen. Mereka pun kompak melakukan hak angket.

Konflik yang berpola konfrontatif pun tak terelakkan.

Terkait dengan anggaran siluman, Ahok melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), sementara DPRD tetap melanjutkan proses hak angket. Pihak Kementerian Dalam

Negeri mengusulkan jalan mediasi supaya mereka duduk kembali, tetapi tidak mudah

dilakukan. Dalam perkembangannya, sebagai hasil evaluasi kementerian mencoret beberapa

pos anggaran kegiatan operasional senilai Rp281,9 miliar.

Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan, bila gubernur dan DPRD tidak

menindaklanjuti hasil evaluasi, akan dilakukan pembatalan sekaligus menyatakan berlakunya

APBD 2014 (Koran Tempo, 16/3/2015). Perkembangan tersebut babak baru dari drama

penyusunan RAPBD yang memaksa kedua belah pihak untuk kembali membahasnya.

Meminjam analisis pakar hukum Margarito Kamis, akan ada dua kemungkinan setelah ini.

Pertama, akan terjadi kesepakatan antara keduanya, dan dengan demikian hak angket akan

Page 62: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

62

berhenti karena tidak lagi ada tujuan yang hendak dicapai. Kedua, jika yang terjadi

sebaliknya, Ahok akan terpojok karena harus mengakui kekeliruan dalam RAPBD 2015.

Mungkin saja, manakala yang kedua ini yang terjadi, ujungnya adalah permakzulan Ahok

sebagai gubernur.

Kemerosotan Politik

Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh ini? Kita dapat menimbangnya dari perspektif

pembangunan politik (political development) sebagai lawan dari kemerosotan politik

(political decay). Intinya, dalam pembangunan politik, konflik dan konsensus merupakan dua

hal yang penting.

Konflik merupakan hal yang lazim dalam kehidupan politik, yang penting ia terkelola dengan

baik. Pembangunan politik membutuhkan konsensus yang berkualitas. Nah, dalam konteks

ini, kisruh RAPBD DKI Jakarta mencerminkan ada konflik yang berdampak pada

menguatnya kemerosotan politik.

Kemerosotan politik tentu akan berimbas pada ihwal yang terkait perikehidupan warga yang

menjadi sasaran pembangunan. Konflik bisa berdampak pada defisit pelayanan publik dan

optimalisasi fungsi- fungsi politik baik gubernur maupun DPRD. Berlarut-larut konflik hanya

akan membuat kondisi kehidupan politik dan pelayanan publik semakin memburuk.

Sejak awal konflik RAPBD juga mencerminkan terdapat masalah komunikasi politik yang

serius. Dalam konteks ini, Ahok tidak sepenuhnya nol masalah. Ahok yang memiliki karakter

komunikasi yang meledak-ledak dan konfrontatif, mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi

pola konfrontatifnya tidak terlalu baik dalam pembangunan politik. Ia perlu memperbaiki

cara dan gaya komunikasinya, terutama dalam menghadapi DPRD.

Di sisi lain, ada persoalan yang harus dicamkan oleh Ahok yakni konteks prosedural politik.

Barangkali Ahok ingin melakukan terobosan, tetapi ia diperhadapkan dengan persoalan legal-

prosedural. Dalam perspektif ini, DPRD tidak boleh serta-merta dipojokkan, mengingat ada

kewenangan yang melekat kepadanya.

Perlu dicatat juga bahwa dalam konflik politik DPRD-Ahok, seyogianya masing-masing

tidak melibatkan kekuatan di luar mereka. Memang dalam konteks ini, publik terus mengikuti

perkembangannya. Tetapi, memancing dan memanfaatkan emosi publik dalam konflik

terbatas ”dalam ruangan” dapat menimbulkan risiko ke arah konflik politik yang meluas ke

”luar ruangan”. Kalau demikian, fungsi kelembagaan politik sebagai manajemen konflik

tidak ada artinya lagi. Sebab itulah, baik Ahok maupun para elite politik DPRD sama-sama

punya tanggung jawab untuk tidak memainkan massa publik untuk kepentingan masing-

masing. Ahok bahkan turut bertanggung jawab memperkuat institusi DPRD, ketimbang

melemahkannya.

Lebih baik Ahok menampilkan dirinya sebagai ahli strategi yang mampu mengelola konflik

Page 63: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

63

yang ada tetap sebagai konflik terbatas di lingkungan DPRD dalam kerangka ”checks and

balances” dan menghindari keterlibatan massa publik. Demikian pula sebaliknya.

Bagaimanapun DPRD adalah institusi yang memiliki fungsi dan kewenangan yang

jelas. Demikian pula gubernur sebagai representasi pemerintahan atau eksekutif di daerah.

Dua lembaga ini harus kuat, mampu berjalan secara sinergis dalam kerangka ”checks and

balances”. Karena itu, harmonisasi dan sinergisasilah yang harus diutamakan.

Kalaupun ada persoalan yang terkait kejanggalan anggaran, pekerjaan untuk mengatasi ihwal

sedemikian merupakan pekerjaan bersama. Karena itu, pola konfrontatif sebagaimana yang

dilancarkan Ahok dalam batas-batas tertentu malah kontraproduktif.

Penguatan Kelembagaan

Orientasi penguatan kelembagaan bagaimanapun merupakan jalan keluar yang elegan.

Artinya, masing-masing harus berkaca diri dan kembali ke fungsi dan kewenangan

sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. Dalam konteks ini idealnya

gubernur memperoleh dukungan politik yang kuat dari DPRD.

Memang tidak semua gubernur punya basis dukungan partai politik dan ini artinya di atas

kertas dukungan formalnya di DPRD lemah. Realitas demikian semestinya dijawab dengan

mengoptimalkan kemampuan komunikasi yang integratif, bukan konfrontatif. Dalam kasus

Ahok yang terjadi sebaliknya. Ahok tidak punya basis dukungan yang kuat di DPRD, tetapi

justru memakai pola konfrontatif.

Dalam kasus kisruh RAPBD ini, Ahok menemukan tema yang diyakininya didukung oleh

publik dan dengan demikian risikonya adalah membenturkan DPRD dengan massa publik,

baik nyata maupun maya. Dalam batas-batas tertentu mungkin pendekatan demikian efektif,

setidaknya memaksa DPRD mengaca diri. Tetapi, lama-lama ia akan menjadi kontra

produktif karena membiarkan ruang konflik terus melebar.

Kita berharap kisruh RAPBD 2015 berujung pada ada jalan keluar yang baik dan konstruktif

dalam perspektif pembangunan politik. Sebaliknya, kemerosotan politik yang lebih parah

jangan dibiarkan terjadi. Ahok dan DPRD harus sama-sama berkaca diri.

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta

Page 64: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

64

Pemberian Dana Partai Politik

Koran SINDO

Kamis, 19 Maret 2015

Usul pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini usul

tersebut datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Politikus PDI Perjuangan itu

mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai peserta pemilu mendapat dana Rp1

triliun per tahun dari pemerintah.

Sikap pro dan kontra pun bermunculan terkait usul tersebut. Bagi para fungsionaris dan elite

partai politik, usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin eksistensi mereka di

langgam politik nasional. Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat

demokrasi, usul tersebut dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung

mengecewakan. Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi

dasar komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik tetapi

juga karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.

***

Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber daya

besar agar dapat mendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian

menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan

kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses. (Jacobson,

1980).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memang telah

mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai politik. Pertama,

iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal

oleh partai politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undang-undang mengenai

besaran iuran anggota.

Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur.

Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian besar partai politik

tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para anggotanya.

Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011

memaparkan tiga sumbangan dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik pelaksanaan

diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan bukan anggota

partai politik paling banyak senilai Rp1.000.000.000 per orang dalam waktu 1 (satu) tahun

Page 65: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

65

anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp7.500.000.000

per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.

Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran

Pendapatan belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan secara

proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara.

Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai pemilihan umum legislatif, pemilihan

presiden, dan pemilihan kepala daerah maka sumber-sumber keuangan di atas tidak lagi

mencukupi. Hal itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan

sumber-sumber keuangan di anggaran negara. Partai politik pun mulai melakukan perburuan

rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente dilakukan partai

politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan

atau akses politik.

Secara umum, ada dua modus utama perburuan rente dilakukan oleh partai politik. Pertama,

melalui lembaga legislatif (DPR/ DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan

dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan

pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah. Kedua, melalui lembaga

eksekutif. Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-

kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki

akses dana besar.

Di samping itu, perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara

menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah

kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.

Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur

senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah

Olahraga Nasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana

siluman Rp12,1 triliun dalam APDB DKI Jakarta merupakan sejumlah contoh kasus

perburuan rente dilakukan partai politik.

***

Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai

politik semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan

membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus Klitgaard C=D+M-A(C: corruption, D:

discretion , M: monopoly , dan A: accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini

relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan

elite politik. (Klitgaard, 2002: 29)

Page 66: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

66

Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat publik

merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan

dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang

semestinya digunakan untuk kesejahteraan.

Berbagai kasus korupsi melibatkan partai politik ditengarai masih akan terus terjadi. Apalagi,

partai politik di Indonesia belum mengedepankan pelembagaan transparansi dan

akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, publik

selama ini tidak pernah mengetahui dari mana saja asal usul dana dimiliki oleh partai politik.

Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini

didorong tiga hal: (1) praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia; (2)

kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran tanpa

disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban publik, dan (3)

ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana

secara ilegal.

Untuk itu, selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran tentang

sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh

partai politik. Salah satu sumber dana alternatif tersebut adalah melalui pemberian negara

sebagaimana diusulkan menteri dalam negeri.

Dasar utama dari usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik dalam

kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung

jawab negara agar partai politik berfungsi secara optimal.

BAWONO KUMORO

Peneliti Politik di The Habibie Center

Page 67: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

67

Teknik Mediasi Ideal Kasus Pemda DKI VS DPRD

Koran SINDO

19 Maret 2015

Kisruh perselisihan Pemda DKI Jakarta vs DPRD DKI Jakarta sebenarnya dapat dicarikan

jalan keluar, jika mediasi didasarkan pada metode mediasi yang baik dan dibuat aturan

bersama antara para pihak yang berselisih dan mediator.

Yang utama dalam proses mediasi adalah para pihak harus mempunyai kemauan untuk

menyelesaikan perselisihan karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta.

Rakyat memerlukan dana untuk membangun berbagai fasilitas umum, menjalankan roda

pemerintahan, dan membiayai serta mengatasi berbagai persoalan pelik di Jakarta seperti

kemacetan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.

Ada juga berbagai masalah yang harus segera dibereskan seperti banjir yang selalu datang

tiap tahun di musim hujan, sampah yang menumpuk, pendidikan yang layak, gedung sekolah

dan peralatan yang memadai, MRT, monorel serta pembangunan jalan dan taman.

Kemacetan perundingan dalam mediasi ini telah menyebabkan APBD 2015 yang notabene

telah mendapatkan persetujuan rapat paripurna DPRD Jakarta tidak dapat digunakan. Jika

saja kedua belah pihak dapat lebih bersikap dewasa dan “nuchter“, kemacetan ini tidak perlu

terjadi.

Proses mediasi yang diadakan oleh Kemendagri seharusnya dibuat aturan main seperti berapa

lama masing-masing pihak diberi kesempatan bicara dan setiap berbicara tidak boleh ada

interupsi. Ketika giliran tanya-jawab, para pihak tidak boleh berbicara dengan nada tinggi,

keras, emosional, menuduh, apalagi menghina, atau merendahkan pihak lain.

Semua jawaban dan pertanyaan baik dari mediator atau dari masing-masing pihak harus

dilakukan dengan sopan dan tidak emosional karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan

rakyat Jakarta. Para pihak harus menjauhkan diri dari membuat pernyataan melalui media

atau diliput media untuk mendinginkan suasana yang sudah panas dan tegang.

Para pihak dan mediator harus sadar benar bahwa hasil akhir dari proses mediasi ini adalah

untuk mencari win-win solution dan bukan mencari siapa salah dan benar. Forum mediasi

bukanlah pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan, tetapi mencari solusi bersama

agar APBD Jakarta 2015 dapat cair dan diserap secepatnya di Maret ini dan seterusnya

selama 2015.

Page 68: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

68

Caucus Perlu Diadakan

Dalam teknik mediasi, dikenal pertemuan caucus di mana para pihak ditemui secara terpisah

oleh mediator, dalam hal ini Kemendagri. Dalam pertemuan caucus ini, masing-masing pihak

mengemukakan aspirasi dan pendapatnya mengenai APBD versi paripurna dan APBD versi

e-budget. Setelah diberi waktu yang cukup, mediator mengambil inisiatif untuk menemukan

inti permasalahan dan meneruskan pendapat dan aspirasi satu pihak kepada pihak lain dalam

suasana tenang, rasional untuk mencari solusi bersama.

Jika para pihak sudah memahami pendapat dan aspirasi pihak lain, barulah diadakan

pertemuan segi tiga dengan memegang teguh aturan main yang telah dibuat dan disetujui

bersama.

Mediator betul-betul harus menjaga suasana pertemuan mediasi ini dan diberi hak menegur

jika ada pihak yang melanggar aturan main seperti berbicara keras dan emosional. Bila perlu,

mediator menskors pertemuan mediasi ke lain waktu jika mediasi berlarut-larut karena tidak

dicapai kesepakatan dari daftar isu-isu yang menjadi bahasan bersama. Isu-isu tadi dapat

dibicarakan atau dipecahkan bersama dalam suasana yang lebih kondusif di kesempatan lain.

Putusan Bersama Para Pihak

Apa yang sudah disepakati dan dicapai oleh para pihak, serta seluruh proses tanya jawab dan

diskusi dalam proses mediasi dicatat oleh transcriber sebagai arsip bersama. Dalam proses

mediasi, putusan dibuat oleh para pihak sendiri dan mediator hanyalah berfungsi sebagai

“umpire “ atau “wasit” yang menjaga teguh aturan main dan etika proses mediasi itu

sendiri. Dengan cara mediasi seperti ini, diharapkan tercipta “sense of belonging“ bahwa

putusan bersama ini adalah hasil kesepakatan para pihak dan sama sekali bukan putusan

mediator yang memfasilitasi acara mediasi ini.

Keseluruhan sidang mediasi ini harus dilakukan tertutup, bebas dari publikasi karena

tujuannya adalah mencari solusi dari adanya perbedaan jumlah sekitar Rp12,1 triliun antara

APBD 2015 hasil paripurna dengan e-budgeting Pemda DKI Jakarta.

Jika para pihak memerlukan konsultasi dan saran-saran dari Kemendagri, mediasi ini berubah

menjadi konsiliasi di mana tugas mediator berubah menjadi konsiliator bagi kedua belah

pihak. Dalam mediasi atau konsiliasi, persetujuan para pihak menjadi putusan mereka

bersama, karena mediator atau konsiliator tidak akan membuat keputusan bagi kedua belah

pihak.

Mengingat panasnya suasana saling tuding kedua belah pihak selama persiapan mediasi,

selama berlangsungnya mediasi, atau setelah mediasi tercapai, seharusnya disepakati bahwa

tidak akan ada liputan media secara terbuka dalam periode tersebut. Karena dapat menambah

situasi menjadi semakin panas dan memancing amarah publik karena kedua belah pihak,

yaitu Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta merupakan dua sorotan utama yang

Page 69: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

69

memiliki peran penting yang seharusnya saling mendukung dalam penyelenggaraan

pemerintahan DKI Jakarta. Proses mediasi harus dijalankan dalam ruangan tertutup, rahasia,

tanpa ingar-bingar liputan media sehingga proses mediasi tersebut dapat berjalan seefektif

mungkin tanpa adanya campur tangan pihak lain. Tontonan keributan yang terjadi dalam

penyelenggaraan mediasi atau konsiliasi seharusnya tidak perlu terjadi jika ada kepentingan

besar yang sedang diperjuangkan, yaitu kepentingan rakyat Jakarta yang sedang membangun

dalam segala bidang.

Perlu diingat, akibat gagalnya mediasi, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta, yang

hanya bisa menanti dan mengharapkan pembangunan di semua bidang berjalan dengan lancar

demi Jakarta baru yang modern, sejahtera, dan manusiawi.

FRANS H WINARTA

Ketua ICC-Indonesia Bidang Arbitrase dan arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan

SCIA

Page 70: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

70

Remisi bagi Koruptor

Koran SINDO

20 Maret 2015

Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang akan merevisi Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan mendapat tanggapan keras.

Pasalnya, di balik itu ada pula rencana pemerintah untuk memberikan remisi kepada

terpidana korupsi. Itu dianggap sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Remisi mestinya

tidak diobral, tetapi diberikan secara selektif dengan standar akuntabilitas yang tinggi. “Hak

warga telah dirampas koruptor. Wajar jika hak koruptor dicabut karena daya rusak korupsi

sangat tinggi,” kata Direktur Setara Institute Hendardi (14/3). Sementara Direktur Human

Rights Working Group (HRWG) Indonesia Khoirul Anam mengatakan, rencana Yasonna

Laoly sangat jauh dari pedoman Nawacita Presiden Jokowi yang bertekad memberantas

korupsi.

Sejujurnya, bukankah kita muak mengamati praktik korupsi yang merajalela di negara hukum

ini? Jika demikian maka kita sepatutnya bergerak bersama demi menyuarakan penolakan atas

rencana Menteri Laoly tersebut.

Sebaliknya, kita harus mendorong pemerintah untuk menghapus pemberian remisi tersebut,

entah dengan kebijakan “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab

yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan tersebut: demi semakin

menggentarkan para koruptor maupun calon koruptor, agar tak mudah melaksanakan niat

busuknya. Kita berharap, dengan adanya kebijakan itu, mereka berpikir seribu kali sebelum

berbuat korupsi.

Jadi, janganlah merasa iba kepada para koruptor sebab korupsi di sini sudah ditetapkan

sebagai kejahatan luar biasa. Atas dasar itu, bukankah koruptornya layak disebut penjahat

luar biasa? Karena perbuatan merekalah perlahan-lahan negara ini bangkrut dan rakyat makin

sengsara. Terkait itu, layakkah koruptor mendapatkan diskon masa tahanan? Pantaskah

negara berbelas kasihan kepada mereka dan lalu mengurangi masa tahanan yang harus

mereka jalani?

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan menghapus remisi bagi

koruptor sudah dilaksanakan oleh Menkumham Amir Syamsuddin melalui PP Nomor 99

Tahun 2012 itu. Amir menegaskan dirinya menolak pemberian remisi kepada koruptor.

Namun, pemberian remisi merupakan bentuk keadilan bagi terpidana yang mematuhi segala

peraturan. “Kami ingin menjadi pembina, bukan penghukum,” ujarnya.

Page 71: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

71

Dalam rapat evaluasi kinerja di Kompleks Parlemen, Senayan, 28 Agustus 2014, Amir

mengakui masih banyak kekurangan dalam PP tersebut. Namun, menurut dia, sepanjang

diterapkan secara selektif dan benar, PP tersebut masih bisa diterapkan.

Terbukti, memang, pada perayaan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2014, terpidana mafia

pajak Gayus Tambunan mendapat remisi lima bulan. Sedangkan mantan jaksa Urip Tri

Gunawan, yang terlibat kasus suap dari pengusaha Artalita, yang mendapat potongan

hukuman enam bulan.

Kebijakan Menteri Amir waktu itu mendapat kritikan dari pakar hukum tata negara Yusril

Ihza Mahendra. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan HAM, sebab

mendiskriminasi narapidana. Terkait itu saya ingin mengajukan pertanyaan ini: sebaik apakah

pemahaman kita tentang HAM? Mengertikah kita tentang bedanya hak asasi dan hak (tanpa

“asasi”)? Siapa sajakah yang mempunyai hak (baik tanpa “asasi” maupun dengan “asasi”)

itu? Manusia (persona) sajakah atau lembaga (non-persona) juga?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, mengingat Indonesia sudah berkali-kali terpilih

menjadi anggota Dewan HAM PBB. Sebagai konsekuensinya, Indonesia tentu harus

menghargai dan menegakkan aturan main soal HAM. Terkait itulah maka pemahaman kita

perihal HAM itu pun harus betul-betul jelas. Sebab, beberapa tahun silam, Prof Sri Edi

Swasono pernah mengatakan bahwa “Indonesia tidak menganut hak asasi

individual”. Menurut dia, Indonesia berbeda dengan dunia Barat yang menganut HAM

sebagai hak asasi individual. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu

seorang warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hak-hak asasi warga

negara lain.

HAM di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang

sebebas-bebasnya. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual.

Karena itu, di Indonesia kepentingan masyarakatlah yang utama.

Pemikiran seperti ini jelas patut dikritisi. Pertama, setiap manusia di seluruh dunia sama

dalam hakikatnya: sama-sama merupakan makhluk sosial. Itu berarti setiap manusia memiliki

kecenderungan untuk selalu berkawan dengan sesamanya sehingga karena perkawanan itulah

selanjutnya terbentuk perkumpulan-perkumpulan, baik yang kecil maupun besar, baik yang

bersifat sosial, budaya, ekonomis, politis, dan lainnya.

Kedua , setiap manusia telah diberikan Tuhan hak-hak yang tak dapat dicabut oleh pihak

manapun juga (inalienable rights). Itulah yang disebut hak asasi. Hanya manusialah yang

menerima hak-hak seperti itu, dan bukan makhluk lainnya, karena manusia adalah ciptaan

Tuhan yang paling mulia. Jadi, apa yang disebut HAM itu bersifat given (terberi) dari

Tuhan. Karena itu, hanya Tuhan jualah yang boleh mencabutnya, sedangkan pihak lain tidak

boleh termasuk negara. Itulah hak asasi, yang berbeda dengan hak (tanpa “asasi”).

Page 72: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

72

Barang milik saya, itu adalah hak saya. Orang lain tak boleh mengambilnya, kecuali dengan

seizin saya. Tapi selekas barang itu saya jual, maka hilanglah hak saya atas barang itu. Itulah

hak (tanpa “asasi”), yang dapat saja dicabut atau terlepas dari diri manusia karena sebab atau

alasan yang bermacam-macam (alienable rights).

Ketiga, pendekatan partikularistik yang memandang HAM di Indonesia berbeda dengan

HAM di negara-negara Barat sudah seharusnya diusangkan. Apalagi ini era globalisasi, yang

membuat berbagai pandangan, sikap, dan nilai-nilai antarbangsa kian lama kian mirip satu

sama lain. Salah satunya adalah pemaknaan atas HAM itu tadi: bahwa HAM bersifat

universal, yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada semua manusia sebagai makhluk

ciptaan-Nya yang secitra dengan-Nya. Jadi selain bersifat ilahi, HAM itu juga bersifat

individual atau tak terbagi (in-divere, asal kata “individu”).

Demi tercapainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh bermartabatlah, negara harus

menjamin pemenuhan HAM bagi setiap warga negaranya. Untuk itulah negara membuat

hukum sebagai landasannya. Dengan adanya hukum maka tak mungkin kebebasan sebagai

HAM menjadi “liar”. Apalagi kita tak hidup di ruang hampa yang tak ada hukum maupun

pedoman budayanya. Kita hidup di ruang-ruang bersama yang memiliki sejumlah peraturan

demi terwujudnya ketertiban hidup bersama.

Kondisi-kondisi itulah yang membuat HAM dalam pemenuhannya juga harus diimbangi

dengan kewajiban-kewajiban. Jadi, menghormati HAM orang lain merupakan keniscayaan

sebagaimana orang lain pun harus menghormati HAM yang kita miliki, sehingga baik

kepentingan individual maupun kepentingan masyarakat sama-sama pentingnya.

HAM juga bersifat dapat diatur (regulable) sekaligus dapat dibatasi (limitable). Bahkan ada

juga HAM yang bersifat derogable (dapat ditangguhkan pemenuhannya) karena kondisi-

kondisi tertentu, dan sebaliknya non-derogable (tak dapat ditangguhkan pemenuhannya) tak

hirau dalam kondisi apa pun (Gromme, 2001).

Lantas, bagaimana dengan narapidana? Bahwa mereka terpenjara karena dipenjarakan secara

paksa, itu berarti hak asasi mereka (kebebasan) telah dibatasi oleh negara. Itulah kewenangan

negara: menghukum orang-orang yang bersalah. Kalau di kemudian hari negara memberi

remisi bagi seorang napi, itu sesungguhnya bukan hak si napi melainkan kebijakan negara

sendiri.

Jadi terpulang kepada negara, mau mengubah kebijakan pemberian remisi itu atau tidak.

Namun, mengingat hari-hari ini sorotan publik dan media pada isu korupsi begitu gencarnya,

selayaknyakah Menteri Laoly berpikir seribu kali.

VICTOR SILAEN

Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Page 73: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

73

Hukum bagi Rakyat Kecil

Koran SINDO

20 Maret 2015

Fenomena penegakan hukum yang menjadi pusat perhatian publik saat ini adalah proses

peradilan Nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, dan Kakek (Mbah) Harso Taruno di

Pengadilan Negeri (PN) Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Kedua peristiwa itu kian memperkuat realitas tentang hukum yang “tajam ke bawah, tumpul

ke atas”. Istilah yang pertama kali diungkap Prof Moh Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah

Konstitusi bermakna, bahwa hukum hanya berlaku keras terhadap rakyat kecil tetapi tidak

berdaya terhadap petinggi negara dan orang berduit.

Realitas itu tidak hanya didiskusikan di kalangan akademisi, bahkan telah menjadi

pembicaraan di warung-warung kopi. Hampir semua kalangan merasa miris terhadap

penegakan hukum yang memilah-milah orang, tetapi pada saat yang bersamaan menunjukkan

sebaliknya.

Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan

dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum.

Fakta itu terurai secara telanjang, Nenek Asyani, 63, dijadikan pesakitan di pengadilan di PN

Situbondo. Asyani didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di

Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Tetapi dalam sidang terungkap bahwa kayu jati itu

miliknya sendiri, kemudian ditangguhkan penahanannya sejak 18 Maret 2015 oleh majelis

hakim.

Hukum Kelas Gedongan

Yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap orang-

orang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses kekuasaan, sehingga

yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda

jika penyelenggara negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat

lamban. Bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan

juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang

publik.

Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar

dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa

dibelokkan. Caranya, memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya

tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas.

Page 74: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

74

Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik

melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua

umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.

Meski sudah dirintis KPK, ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau

dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan,

keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu

gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil.

Realitas hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah

memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa

demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional.

Sangat menarik analisis Prof Moh Mahfud MD di harian ini (14/3/2015) bahwa demokrasi

yang dibangun sejak reformasi yang seharusnya semakin membaik, seperti diteorikan Blake

dan Martin (2006) atau Hellman (2008) akan berimbas pada efektivitas pemberantasan

korupsi, ternyata dalam realitas tidak berlaku di negeri ini. Malah, demokrasi Indonesia

kebablasan lantaran tidak efektif melawan korupsi. Maka benar apa yang disebut William

Liddle, bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi lantaran korupsi justru dilakukan melalui

mekanisme demokrasi.

Koreksi dan masukan berbagai pengamat agar keberlangsungan pedang hukum yang tumpul

ke atas segera diakhiri, sepertinya tertatih-tatih melangkah di lorong gelap. Proses hukum tak

berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan,

termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau

tepatnya mengkritik, siap-siaplah menghadapi tuntutan hukum.

Restorative Justice

Seperti kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani dan Kakek Harso Taruno, koreksi

terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons

dan simpati. Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan

hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak

dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum.

Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa

keadilan masyarakat (keadilan substantif). Tetapi realitas berkata lain, lebih banyak elite

kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat

kebanyakan. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada

hukum rimba di hutan belantara. Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao

sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran,

meskipun dengan alasan penegakan hukum.

Page 75: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

75

Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative

justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil seperti pada

Nenek Asyani? Restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada

kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak

selalu harus berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada

tindak pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan. Sekiranya pelaku dan korban

pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan

penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan.

Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang

melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum. Tetapi anehnya, justru

akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah.

Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah

perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya. Apalagi pada proses

peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan

restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban dan

pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.

Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya,

sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul

ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

Page 76: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

76

Perpres Golkar

Koran SINDO

21 Maret 2015

Rabu pertengahan pekan ini saya mengalami kesulitan yakni kesulitan untuk menjawab dan

menjelaskan kepada beberapa awak media yang menanyakan pendapat saya mengenai

rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkum-HAM) Yasonna Laoly mengeluarkan peraturan

presiden (perpres) untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan Partai Golkar.

Saya tak mudah menjawab sesuatu yang hampir tak mungkin ada yakni pernyataan Pak

Yasonna. Tak mungkin seorang Menkum-HAM tidak paham bahwa sebuah perpres tak bisa

dikeluarkan untuk menyelesaikan kisruh sebuah parpol. Saya yakin, Pak Yasonna tidak

mengatakan itu dan, tentulah, wartawan salah memahami atau salah mengutip atas apa yang

dinyatakan oleh Pak Yasonna.

Berbeda dari Pak Yusril yang mengatakan Pak Yasonna tak paham bidang tugasnya, saya

lebih cenderung mengira wartawan salah memahami atau salah mengutip dari Pak Yasonna.

Secara umum saya hanya menjawab bahwa Presiden tak perlu mengeluarkan perpres untuk

mengesahkan kepengurusan Partai Golkar. Bukan hanya tidak perlu, tetapi juga tidak bisa.

Mengapa? Karena sebuah perpres di dalam hukum itu peraturan atau produk hukum yang

bersifat mengatur (regeling), sedangkan pengesahan kepengurusan suatu partai merupakan

bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschikking).

Di dalam hukum ada perbedaan mendasar antara regeling dan beschikking. Regeling

(pengaturan) itu memberlakukan sesuatu yang bersifat abstrak umum, belum ada subjek dan

objeknya yang spesifik, sedangkan beschikking (penetapan) itu memberlakukan sesuatu yang

bersifat konkret-individual.

Contohnya sederhana. Adanya ketentuan bahwa setiap orang yang mempunyai penghasilan

sejumlah minimal tertentu harus membayar pajak sekian persen adalah regeling (pengaturan),

abstrak-umum, berlaku bagi siapa saja. Tetapi, ketika ada seorang bernama Badrun

mempunyai penghasilan sekian tertentu dan kemudian ditetapkan oleh kantor pajak

kewajiban kepada Badrun untuk membayar pajak sebesar tertentu maka itu adalah

beschikking (penetapan), konkret-individual. Hanya berlaku bagi Badrun (individual) dalam

pembayaran pajak (konkret). Penetapan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Badrun itu

tidak bisa dikeluarkan dalam bentuk peraturan Direktur Jenderal Pajak, melainkan dalam

bentuk keputusan atau penetapan kepala kantor pajak setempat.

Contoh lain misalnya utang piutang. Ketentuan bahwa barang siapa berutang harus

Page 77: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

77

membayar itu adalah regeling, berlaku bagi siapa saja. Ketika dalam suatu sengketa oleh

pengadilan si Muis dinyatakan berutang dan harus membayar sejumlah uang tertentu, putusan

pengadilan itu beschikking. Hanya berlaku bagi Muis (individual) dalam masalah utang

piutang tertentu (konkret).

Pembedaan seperti ini sangat mendasar dan menjadi materi awal ketika mahasiswa Fakultas

Hukum mulai belajar hukum administrasi negara. Mengapa penting? Sebab jika terjadi

sengketa karena ada pelanggaran dalam pembuatannya, kompetensi peradilannya berbeda.

Kalau pemerintah dianggap salah dalam membuat peraturan (regeling), upaya hukum untuk

melawannya dilakukan melalui pengujian yudisial atau judicial review. Tetapi, jika

pemerintah atau pejabat tata usaha negara dalam membuat keputusan (beschikking), upaya

hukum untuk melawannya adalah ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau

administratief rechtspraak atau bisa juga ke peradilan umum, bergantung pada isi

keputusannya.

Maksudnya, jika keputusan yang akan digugat itu merupakan keputusan dalam bidang

administrasi atau tata usaha negara, menjadi kompetensi PTUN untuk mengadilinya. Namun,

jika keputusan yang akan dilawan itu dalam bentuk perbuatan biasa (materiale daad) di

bidang keperdataan misalnya, menjadi kompetensi peradilan umum untuk mengadilinya.

Dalam kasus kisruh kepengurusan Partai Golkar itu, tentu tak bisa diselesaikan dengan

perpres sebab Partai Golkar itu secara hukum adalah ”individual” dan masalahnya jelas

menyangkut urusan kepengurusan yang sudah ”konkret”. Apa pun ujung kisruh Partai Golkar

itu hanya bisa berbentuk beschikking baik dalam bentuk keputusan pemerintah maupun

dalam bentuk vonis pengadilan.

Jadi secara hukum tak mungkin bisa ada Perpres tentang Kepengurusan Partai Golkar sebab

perpres itu harus bersifat abstrak-umum (regeling). Sifat regeling dari kepengurusan parpol

(termasuk pengaturan konfliknya) sudah termuat di dalam UU Partai Politik yakni pada

bagian yang mengatur tata cara pendaftaran atau pencatatan susunan pengurus bagi semua

parpol.

Penetapan kepengurusan Partai Golkar juga tak bisa dikeluarkan dalam bentuk keputusan

presiden (keppres) yang bersifat konkret-individual (beschikking). Di dalam UU Partai Politik

kewenangan menetapkan atau mencatat susunan pengurus parpol itu sudah didelegasikan

kepada Menkum-HAM. Untuk apa membawa-bawa Presiden lagi? Keputusan Menkum-

HAM tentang itu sudah bersifat final tanpa perlu dikeppreskan.

Sebagai catatan, ada jua pandangan yang kurang tepat dari internal Partai Golkar sendiri

terkait kompetensi PTUN untuk memerkarakan surat Menkum-HAM itu. Menurut Pengurus

Golkar kubu Aburizal Bakrie, pihaknya tidak bisa membawa kasus itu ke PTUN sekarang

karena bentuknya baru berupa surat biasa dari Menkum-HAM dan belum berbentuk SK

Pengesahan/Pencatatan Pengurus. Ini keliru sebab sebenarnya, menurut UU Peradilan Tata

Page 78: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

78

Usaha Negara, keputusan pejabat tata usaha negara bisa digugat ke PTUN meski tidak

berbentuk SK resmi.

Keputusan yang dalam bentuk surat biasa, bahkan nota atau memo yang tidak berkop atau

berstempel sekali pun, sudah bisa digugat ke PTUN asal pembuatnya jelas, objeknya jelas,

dan tidak dibantah oleh yang membuatnya.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 79: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

79

Mengulang Skenario Kudatuli PDI pada Golkar dan PPP

Koran SINDO

23 Maret 2015

Politik pecah belah seperti yang dialami Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) saat ini tak bisa dilepaskan dari kehendak dan ambisi penguasa.

Apa yang dialami Partai Golkar seperti mengulang skenario memecah belah Partai

Demokrasi Indonesia (PDI) oleh Orde Baru, yang ditandai dengan adu domba kubu Soerjadi

dukungan penguasa melawan Megawati Soekarnoputri untuk memperebutkan kepemimpinan

PDI pada 1996. Ada yang ingin melampiaskan dendamnya pada Partai Golkar?

Skenario adu domba itu ingin diulang saat ini dengan menunggangi konflik internal Partai

Golkar. Melalui wewenang dan kekuasaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly,

kekuatan-kekuatan politik pendukung pemerintah mendorong dan menempatkan Partai

Golkar pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) hasil Musyawarah Nasional (Munas) Bali berhadap-

hadapan frontal dengan kubu Partai Golkar pimpinan Agung Laksono (AL) hasil Munas

Ancol. Seperti copy paste dari skenario Mega vs Soerjadi oleh Orde Baru pada ARB vs AL

oleh penguasa sekarang.

Kecenderungan yang sama juga terlihat pada konflik berkepanjangan di tubuh Partai

Persatuan Pembangunan (PPP). Menkumham Laoly terang-terangan mengadu domba DPP

PPP pimpinan Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta, melawan DPP PPP pimpinan M

Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar Surabaya.

Skenario Mega vs Soerjadi berujung pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 yang dikenal

dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Saat itu kader PDI loyalis Mega

menduduki dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dan menggelar mimbar

bebas. Para orator pro-Mega memanfaatkan mimbar bebas itu untuk mengkritik dan

mengecam Orde Baru.

Sabtu subuh 27 Juli 1996, Kantor DPP PDI itu diserang sekelompok orang. Serangan

mematikan itu menewaskan banyak kader PDI loyalis Mega. Komnas HAM mencatat lima

pendukung Mega tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya ditahan. Namun, para saksi mata

yakin jumlah yang tewas mencapai puluhan orang, 300 lainnya luka parah. Sampai sekarang,

tidak ada yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa berdarah Kudatuli

itu. Namun, tragedi Kudatuli itu menjadi cikal bakal lahirnya Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDIP).

Page 80: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

80

Beberapa bulan lalu nyaris terjadi peristiwa berdarah di lokasi yang sama ketika para

simpatisan PPP loyalis Suryadharma Ali (SDA)-Djan Faridz merangsek masuk dan coba

menguasai Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro. Aksi serupa dibalas lagi oleh kubu Romi

pada 3 Desember 2014. Dua kubu akhirnya sepakat untuk bersama-sama mengamankan

kantor DPP itu.

Juga karena kepemimpinan yang terbelah, DPP Partai Golkar pimpinan ARB pun untuk

sementara mengalah dengan tidak berkantor di DPP Partai Golkar di Slipi. Dengan ancaman

kekerasan, Kantor DPP Partai Golkar diduduki secara paksa oleh AL dkk. Kubu ARB

mengalah karena tidak ingin menempuh kekerasan guna menghindari jatuh korban. Tetapi,

sudah jelas bahwa persoalan Partai Golkar belum tuntas.

Dengan memaksakan kemenangan Golkar Munas Ancol, yang ditandai pengesahan

kepengurusan DPP Partai Golkar dengan Ketua Umum AL, persoalan justru tambah rumit.

Manuver politik Menkumham Laoly ini sangat berisiko karena mengeskalasi masalah. Alasan

utamanya, masih ada proses hukum yang juga seharusnya diakui dan dihormati oleh

Menkumham.

Pengesahan DPP Partai Golkar Hasil Munas Ancol yang dipaksakan itu bahkan cacat hukum

karena hanya berlandaskan keputusan Mahkamah Partai yang telah dimanipulasi oleh

Menkumham sendiri. Menkumham terang-terangan mengabaikan fakta hukum dan

mendahului keputusan pengadilan. Padahal, mengacu pada sejumlah fakta, utamanya fakta

tentang pemalsuan surat mandat DPD I-II Partai Golkar, Munas Ancol itu nyata-nyata ilegal

sebab sarat dengan tindak pidana pemalsuan. Aksi pemalsuan itu sudah ditelanjangi di ruang

publik. Kasus tindak pemalsuan surat mandat DPD I dan II Partai Golkar sebagai syarat

penyelenggaraan Munas Ancol itu sudah dilaporkan ke Polri dan sedang didalami Bareskrim

Mabes Polri.

Antisipasi Ekses

Pengesahan itu pun menjadikan DPP Partai Golkar abnormal karena tidak dilengkapi

dokumen dan sejumlah persyaratan yang mutlak diperlukan. Dokumen yang belum

dilengkapi kubu Ancol meliputi bukti mandat asli DPD I-II Partai Golkar, notulen rapat,

absensi, hasil sidang komisi-komisi, serta pemandangan umum DPD I -II Partai Golkar di

sidang paripurna Munas Ancol.

Selain itu, dokumen pengesahan kepengurusan berupa akta notaris juga patut diragukan.

Logikanya, tidak ada notaris yang berani mengesahkan hasil Munas Ancol karena sarat

dokumen palsu sebab ada sanksi pidana bagi notaris yang membuat pengesahan berdasarkan

dokumen palsu.

Karena itu, Yusril Ihza Mahendra dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum DPP Partai

Golkar hasil Munas Bali sudah mengambil ancang-ancang. “Kami sedang berupaya

mendapatkan konfirmasi dari Kemenhumkam atas ditandatanganinya SK (surat keputusan

Page 81: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

81

pengesahan) itu. Alangkah baiknya jika kami mendapatkan copy atau salinan SK itu agar

kami segera mengambil langkah hukum. Jangan akal-akalan,” ucap Yusril.

Bagi Yusril, langkah hukumlah yang harus diambil karena SK Menkumham adalah sebuah

keputusan hukum. Demi menegakkan hukum dan konstitusi, rakyat akan melihat yang mana

yang lebih kuat di negara ini, hukum atau kekuasaan. “Mari kita sama-sama menyaksikannya

dalam suatu pertarungan hukum yang fair, adil, dan tidak memihak. Sejarah akan

mencatatnya,” kata Yusril.

Kerumitan akan menjadi-jadi karena kubu ARB tidak akan diam. Kubu ARB berencana

melaporkan Menkumham Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan

Agung dengan sangkaan melanggar Pasal 23 UU 31/1999 tentang Tipikor juncto Pasal 421

KUH Pidana.

Itulah rangkaian masalah yang ditumpuk-tumpuk Laoly akibat caranya menyikapi konflik

internal Partai Golkar. Perlawanan Partai Golkar kubu ARB tentu akan diikuti PPP kubu Djan

Faridz. Para elit dua partai yang merasa terzalimi diyakini akan menempuh saluran hukum.

Persoalannya, bagaimana akar rumput dua partai menyikapi konflik para elitenya? Ini yang

juga seharusnya dikalkulasi penguasa saat ini, khususnya Menkumham Laoly. Sebagai

pembantu Presiden, Menkumham jangan menutup mata, apalagi mengesampingkan realitas

politik itu. Menkumham yang bertindak atas nama Presiden dan pemerintah harus

bertanggung jawab jika keputusannya memihak kubu Ancol akan menimbulkan konflik

horizontal di akar rumput Partai Golkar seperti yang pernah dialami Megawati ketika

organisasi politiknya masih beridentitas PDI (hasil Kongres Surabaya).

Skenario Mega vs Soerjadi sebaiknya jangan di-copy paste pada ARB vs Agung untuk

konteks perpolitikan di era demokrasi sekarang ini. Jika pertikaian ARB vs Agung dibiarkan

berlarut-larut dan terjadi ekses seperti Kudatuli, akan muncul anggapan bahwa ada pihak

yang ingin melampiaskan dendam sejarah politiknya pada Partai Golkar. Saat terjadi tragedi

Kudatuli, Golkar yang masih berstatus ormas menjadi pendukung utama dan mesin politik

Orde Baru.

Presiden Joko Widodo jelas tidak memiliki dendam sejarah itu. Namun, jika ekses serupa

Kudatuli terjadi, Presidenlah yang akan menerima getahnya. Gerak maju reformasi politik

akan terhenti. Dinamika politik Indonesia akan mengalami kemunduran karena terbentuk

persepsi bahwa penguasa masih ingin mengontrol dan mengendalikan partai-partai politik.

Langkah paling konstruktif untuk mencegah ekses adalah kearifan penguasa untuk

mengedepankan sikap dan posisi yang independen. Harus muncul kemauan politik dari

semua unsur penguasa untuk keluar dari gelanggang pertikaian di tubuh Partai Golkar

maupun PPP. Pemerintah dan unsur kekuatan lain yang berada di belakang pemerintah harus

legawa, membiarkan pihak-pihak yang bertikai mandiri menyelesaikan persoalan internalnya,

baik melalui proses islah maupun melalui proses hukum.

Page 82: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

82

Penyelesaian pertikaian internal Partai Golkar masih akan menempuh proses dan perjalanan

panjang. Proses penyelesaian itu berpotensi menimbulkan instabilitas politik. Semoga,

potensi instabilitas itu juga dikalkulasi oleh Presiden Joko Widodo.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI

Page 83: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

83

Menakar Otonomi Partai Politik

Koran SINDO

24 Maret 2015

Membincangkan masalah otonomi dalam tubuh partai adalah membicarakan mengenai

independensi sebuah partai. Premis tersebut sesuai dengan fungsi partai politik sebagai

komunikator politik yang menjadi penjembatan antara negara dan masyarakat.

Namun demikian, membahas masalah otonomi dikaitkan dengan pembiayaan dan kekuasaan

adalah persoalan tersendiri. Dikarenakan hal itu akan berimplikasi kepada fungsi partai

politik sebagai pilar demokrasi.

Secara leksikal partai memiliki tiga tujuan, yakni office seeking (pengejar kuasa), rent seeking

(pengejar materi), dan public seeking (peraih simpati publik) yang kemudian menghasilkan

partai pemerintah dan partai oposisi. Meitzner (2013) menguji ketiga fungsi tersebut dalam

dua perspektif yakni institusionalisasi dan juga kartelisasi partai.

Hasilnya bisa disimak bahwa pasca-Orde Baru, setiap partai politik tumbuh dengan pola

relasi institusional bergaya tradisional, penjagaan relasi patrimonial dengan masyarakat, dan

pola kartel yang menghasilkan adanya konsensus politik antarpartai politik. Implikasinya

kemudian memunculkan beberapa isu strategis terkait partai politik di Indonesia, yakni

munculnya isu pembiayaan partai, munculnya patron partai, dan juga munculnya

penyanderaan negara.

Adapun kesemuanya tersebut bila dikulminasikan, kemudian menghasilkan temuan bahwa

setiap partai politik pasca otoritarian Indonesia memiliki ”otonomi relatif” terhadap posisi

tawar politik mereka dalam pemerintahan. Gagasan otonomi relatif sendiri pada dasarnya

berasal dari rumpun teori negara pasca kolonial yang dapat diartikan sebagai ”perilaku

otonom yang berusaha untuk melakukan subjugasi dan subordinasi terhadap kelas politik

lainnya”.

Dalam kasus negara pasca kolonial, negara/pemerintahan adalah arena status quo yang

diperebutkan oleh ketiga kelas yakni kelas politik yang partai politik, kelas ekonomi yang

diwakili oleh pengusaha/borjuasi, kelas masyarakat yang diwakili kelas masyarakat sipil.

Dalam hal ini, pertarungan dalam negara pascakolonial tersebut memunculkan kongsi kelas

politik dan kelas ekonomi sebagai pemenang utama.

Kasus partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa otonomi relatif tersebut dibangun

dengan cara menginjeksi logika ekonomi politik ke dalam perebutan kuasa. Hal itulah yang

kemudian menampilkan partai politik memegang kuasa otonomi relatif dalam negara yang

Page 84: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

84

berusaha menundukkan kelas ekonomi dan kelas masyarakat sipil sebagai bagian dari

penguasaan relatif terhadap kedua kelas tersebut.

***

Hal signifikan yang perlu dikaji mengenai derajat otonomi partai adalah relasinya dengan

pembiayaan partai melalui anggaran. Status otonomi yang menempatkan partai sebagai aktor

intermediary antara negara dengan masyarakat memungkinkan untuk mendapatkan dana

guna operasionalisasi politiknya.

Kondisi tersebut menempatkan partai politik sebagai entitas strategis bagi para stakeholder

untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam ranah politik. Konteks itulah yang justru

menjadikan dimensi independensi yang diusung oleh partai politik malah mengarahkan pada

patronase. Komoditisasi atas otonomi yang dimiliki partai politik itulah menjadikan orientasi

partai politik justru mengarahkan pada kepentingan ekonomi-politik.

Hal itu bisa disimak dengan maraknya borjuasi yang kini mendirikan maupun menjadi

pengurus partai. Yang terpenting dari membangun gagasan otonomi relatif dalam partai

politik Indonesia terletak dalam dua isu penting, yakni figuritas dan pembiayaan.

Partai politik di Indonesia pada dasarnya bercorak presidential party, yakni partai politik

sebagai personifikasi figur dan pembiayaan sendiri terkait dengan upaya partai dalam

memenuhi kas partai supaya bisa tetap eksis dan survival dalam arena politik kompetitif.

Kondisi tersebut kemudian yang meminggirkan dan menafikan dikotomi oposisi dan koalisi

tersebut, semata-mata hanya mengejar kursi kekuasaan semata.

Operasionalisasi otonomi relatif sebuah partai sangat ditentukan oleh figur ketua umum

sebagai chief of strategist. Peran itu diambil semata-mata untuk bisa menyelamatkan dan

memenuhi kepentingan politik partai dalam negara. Maka tidaklah mengherankan, apabila

dalam teorisasi otonomi relatif partai, kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi sendiri

hanya akan menurut perintahnya ketua umum daripada ketua lembaga pemerintahan

sekalipun.

Hal itu disebabkan semua kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi adalah petugas

partai atau pesuruh ketua umum dan bukan lagi abdi rakyat. Oleh karena itulah, pengamanan

kepentingan partai politik yang utama adalah pembiayaan mesti segera dilaksanakan dan

diamankan oleh segenap kader partai. Loyalitas yang kemudian menghasilkan lingkar kroni

bersifat oligarki merupakan suatu kebutuhan bagi partai untuk menerapkan prinsip

monoloyalitas demi kuasa yang dikejar.

Maka itulah, dalam kasus keterpilihan kepala eksekutif di Indonesia itu merangkap sebagai

patron partai dengan tujuan mengamankan aliran pembiayaan baik bagi partai maupun

kroninya. Pada akhirnya, kemudian, otonomi relatif yang terjadi dalam kasus konstelasi partai

politik di Indonesia menunjukkan bahwa presiden yang sebenarnya berkuasa adalah figur

Page 85: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

85

ketua partai.

Pola inilah yang menjelaskan kenapa loyalitas dan dedikasi bekerja para kader partai politik

di pemerintahan maupun oposisi di parlemen sendiri menginduk pada kebijakan pembiayaan

dan monoloyalitas yang dititahkan oleh sang ketua umum. Jika demikian adanya, wajah

politik di Indonesia sendiri adalah warisan patrimonalisme tradisional yang kemudian

mengalami transformasi dalam era demokrasi modern.

Sudah sewajarnya apabila praktik politik koruptif dan kolutif seperti demikian disudahi saja

karena negara sendiri arena pengabdian bagi publik sebagai demos dan bukan partai kepada

ketuanya.

WASISTO RAHARJO JATI

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI

Page 86: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

86

Ketegasan Lee Kuan Yew

Koran SINDO

25 Maret 2015

Singapura sedang dalam masa berkabung karena bapak pembangunan mereka Lee KuanYew

telah berpulang. Media nasional di Indonesia spontan dibanjiri ucapan belasungkawa. Yang

menarik, simpulan publik adalah bahwa Lee Kuan Yew layak dipuja karena prestasinya.

Dalam analisis kali ini saya menyoroti dua sisi ketegasan Lee Kuan Yew yang kerap

dibicarakan orang.

Bayangkan apabila Anda harus membangun sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya

alam dengan bermodalkan hanya sebuah pelabuhan yang menikmati keuntungan dari lalu

lintas perdagangan negara-negara sekelilingnya. Itulah tantangan yang harus dihadapi Lee

Kuan Yew muda ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari Persatuan Malaysia akibat

konflik rasialis yang tidak dapat didamaikan. Lee yang memimpikan persatuan antara

wilayah Malaysia dan Singapura harus meneteskan air matanya di depan kamera televisi

ketika menyatakan tidak ada lagi harapan untuk bersama pada tahun 1965.

Lee Kuan Yew adalah seorang realis dan pragmatis. Memasukkan dia ke dalam kotak-kotak

analisis ideologis sosialis atau kapitalis, kiri atau kanan, liberal atau konservatif akan

menemui hambatan atau kejanggalan dalam simpulannya. Pada masa berdirinya Singapura, ia

sangat dekat dengan gerakan komunis dan sosialis. Ia memahami bahwa pada masa itu hanya

gerakan sosialis yang mampu melakukan perlawanan secara terorganisasi untuk melawan

pemerintahan kolonial Inggris. Perlawanan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga

perlawanan ide dan gagasan tentang pentingnya persatuan bangsa Melayu dan kebebasan

untuk memerintah diri sendiri. Pada masa itu, hanya kelompok kiri yang mampu

menyediakan infrastruktur politik yang cukup untuk dapat menggerakkan rakyat. Alasan itu

yang menyebabkan Partai Aksi Rakyat dipenuhi kelompok sayap kiri pada awalnya.

Namun, seiring dengan waktu, Lee merasa bahwa kelompok sayap kiri tidak dapat

mengakomodasi gagasannya untuk membangun Singapura yang bebas dari ideologi mana

pun. Singapura yang bebas dari ideologi adalah syarat yang menurutnya dapat membuat

negara tersebut selamat dari kepungan negara-negara lain yang relatif lebih besar dalam

ukuran ekonomi, penduduk, atau militer seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam,

Kamboja, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Lee kemudian membersihkan unsur-unsur sayap kiri dalam partai dan pemerintahan.

Alasannya bukan karena ia memiliki fanatisme berlebih terhadap ideologi kapitalisme, tetapi

semata-mata lebih karena ia menginginkan sebuah kestabilan politik jangka

panjang. Pembersihan juga dilakukan terhadap oposisi yang secara frontal melakukan

Page 87: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

87

perlawanan. Ia mengatakan lebih menyukai oposisi dari dalam yang tidak melakukan

perlawanan untuk menjatuhkan, tetapi membangun.

Lee menyadari bahwa menerapkan kebijakan yang keras tanpa memasukkan prosedur

demokrasi dalam sistem politiknya akan membuat ketidakpuasan rakyat memuncak. Hal itu

lagi-lagi tidak akan produktif untuk pembangunan yang tengah dijalankannya. Ia pun tetap

menyelenggarakan pemilihan umum dan Partai Aksi Pekerja hingga saat ini terus

mendominasi kursi parlemen dibandingkan dengan tujuh partai lain.

Keputusannya untuk fokus ke pembangunan dan mengesampingkan kegiatan politik tentu

mendapat kritik dari negara-negara lain. Namun hingga saat ini tidak ada tindakan serius

berupa sanksi ekonomi atau embargo seperti yang terjadi kepada Kuba, Iran, Korea Utara,

dan negara lain. Ketegasannya itu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, ketertiban,

dan keteraturan di dalam masyarakat. Negara lain tidak dapat mengusik ”kedaulatan”

Singapura karena memahami bahwa ketegasan itu dilakukan untuk menciptakan kestabilan

yang pada akhirnya menguntungkan negara-negara lain yang berinvestasi di Singapura.

***

Sepeninggal Lee Kuan Yew dua hari lalu, Singapura akan menghadapi tantangan yang

berbeda dengan ketika Lee masih memimpin negeri itu. Beberapa kebijakannya bahkan

sekarang berbalik mengejarnya seperti bumerang.

Contoh adalah pembatasan kelahiran anak untuk mengerem tingkat kelahiran yang tinggi

pada tahun 1970-an. Kebijakan itu memang berhasil menekan tingkat kelahiran, tetapi mulai

membebani perekonomian ketika memasuki tahun 2000 karena telah membuat Singapura

defisit tenaga kerja lokal baik yang terampil atau tidak terampil. Defisit itu kemudian

dipenuhi dengan banjirnya tenaga kerja asing di Singapura. Komposisi mereka saat ini

mencapai 40% dari total penduduk.

Tingkat pertumbuhan penduduk yang berwarga negara Singapura kurang dari 1% setiap

tahunnya, sementara pertumbuhan penduduk yang bukan warga negara adalah sekitar 1,7%

dan sempat mencapai 11% pada 2009. Komposisi yang relatif besar itu pun menimbulkan

gesekan-gesekan rasialis yang laten. Terakhir bulan Desember 2013 terjadi kerusuhan di

Little India yang menyebabkan 27 orang luka-luka. Tenaga kerja asing juga membuat harga-

harga perumahan semakin meroket dan tidak terjangkau oleh warga negara Singapura

sendiri. Mereka yang memiliki properti berlebih kemudian menyewakannya kepada para

tenaga kerja asing.

Pembatasan kelahiran adalah salah satu contoh di Singapura di mana kebijakan pada masa

lalu saat ini tidak lagi kontekstual dan justru semakin merugikan pertumbuhan ekonomi

sebuah negara. Sejak tahun 2000-an, Pemerintah Singapura mulai menyadari hal tersebut

sehingga menawarkan insentif uang dan potongan pajak bagi perempuan berpendidikan yang

mau memiliki anak ketiga, keempat, bahkan kelima. Ternyata bukan hal sederhana

Page 88: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

88

mendorong orang muda yang berpendidikan untuk punya banyak anak. Jika dalam jangka

panjang kebijakan tersebut dianggap menguntungkan negara, Pemerintah Singapura perlu

menyadarkan warganya untuk melaksanakan perubahan tersebut. Itu hanya satu contoh.

Tentu masih banyak kebijakan lain yang sudah tidak relevan pada saat sekarang.

Apa yang dapat kita pejalari dari Lee Kuan Yew dan Singapura bukanlah betapa keras sistem

hukum dan politik pemerintahan yang dibangun, tetapi bagaimana cara mereka melihat

masalah dan menghasilkan jalan keluar dari masalah tersebut. Lee menyadari bahwa untuk

membawa Singapura mencapai tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi

diperlukan beberapa kebijakan yang tidak populis. Kebijakan itu tidak lahir dari ideologi

tertentu, tetapi dari membaca dengan cermat sekelilingnya.

Lee Kuan Yew adalah seseorang yang keras, berpendidikan, kaku dan tegas, tetapi ketika

bicara soal ”kedaulatan” Singapura, ia rela datang dan menaburkan bunga di makam Usman

dan Harun, dua pahlawan Indonesia yang dijatuhi hukuman mati karena aksi pengeboman di

Singapura.

Ia tidak hanya menghadapi kritik di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kata

hati/nuraninya demi memulai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Indonesia.

Pengorbanan ini terbukti berhasil apabila kita lihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan

neraca perdagangan yang terjadi antara Singapura dan Indonesia.

Kita pun harus mulai belajar mengandalkan rasionalitas dan akal sehat dalam memimpin dan

bersaing dengan negara-negara lain daripada sekadar emosi. Pemimpin harus mengukur

segala baik-buruk keputusannya dari berbagai macam sudut pandang, tetapi memutuskan

dengan kepala yang dingin.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 89: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

89

Membendung Radikalisme di Dunia Maya

Koran SINDO

25 Maret 2015

Terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas negara. Hubungan kuat

antara jaringan teroris di dalam dan di luar negeri menempatkan terorisme sebagai persoalan

kompleks yang membutuhkan penanganan komprehensif dan integratif antarlini.

Empat tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata

rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam

negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik

skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu

kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah.

Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi

informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Tak ayal,

ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena teknologi dan informasi menyebabkan

batas-batas negara menjadi semakin kabur. Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan

mudah diakses pada belahan bumi yang lain.

Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan

kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang dalam

peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam

peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas sekali, peperangan media

telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru. Pada

1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya.

Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media

internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media

mainstream. Jika media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris

menarasikannya sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan

simpati publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintas untuk menyampaikan pesan

langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.

Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal

terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan

yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang

secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media

sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.

Page 90: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

90

Melalui media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah.

Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang memandu

seseorang secara online.

Pengalaman dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk

bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses radikalisasi yang

terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan memutuskan untuk mengambil

tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat infiltrasi terorisme di dunia maya.

Arus Radikalisme Baru

Radikalisasi bukan suatu proses yang instan dan sederhana. Proses itu sangat kompleks dari

proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinasi, radikalisasi, hingga tindakan teror. Dulu

keseluruhan proses itu bisa dikatakan sebagai mata rantai dari proses radikalisasi ke arah

tindakan terorisme melalui jaringan dan sel tertutup.

Dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah

ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat ini kehadiran media

sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka. Semua kalangan bisa dengan

mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses

radikalisasi berlangsung di dunia maya.

Karena itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok teroris tidak hanya menghadirkan

propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh dari itu ada pola dan bentuk radikalisme baru

yang perlu diwaspadai.

Pertama, radikalisme di lingkungan remaja. Pilihan media sosial sebagai media propaganda

dan rekrutmen oleh kelompok teroris bukan sekadar karena alasan praktis dan mudah, tetapi

mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni arena media sosial tersebut adalah

kelompok remaja. Beberapa contoh dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke

Suriah adalah kalangan remaja dengan kisaran 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh

melalui media sosial.

Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. Profesor Rommel Banlaoi ketika meneliti anggota

kelompok terorisme di Filipina menegaskan bahwa anak muda yang terpengaruh dan masuk

dalam jaringan terorisme kebanyakan mereka yang putus sekolah, buta huruf, miskin, dan

pengangguran. Walaupun teori ini sepenuhnya tidak bisa dipatahkan, kehadiran propaganda

melalui media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas

menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.

Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka. Media online dan media sosial merupakan ruang publik

baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang

tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat

Page 91: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

91

terbuka. Pertemanan online antarnegara bahkan dapat mengajak seseorang untuk bergabung

dalam jaringan teroris.

Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup. Proses seseorang

menjadi radikal dapat terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai

lain yang memungkinkan seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.

Keterpengaruhan melalui media online memang tidak bisa dijadikan variabel tunggal yang

menentukan sikap radikal seseorang. Metode konvensional propaganda dan perekrutan

jaringan terorisme harus tetap diwaspadai. Namun, propaganda terorisme melalui media

online tidak bisa dianggap remeh. Melalui media online perubahan pola propaganda

terorisme berlangsung lebih masif dan terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi

tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat secara umum.

Mencegah Bersama

Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita

bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan

oleh kelompok teroris. Harus disadari, dibandingkan dengan negara-negara Barat, Indonesia

sedikit lebih terlambat dalam menyadari ancaman terorisme di media online. Amerika pasca-

Tragedi September Kelabu telah menyadari kehadiran ancaman cyber terrorism. Mereka

melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan pemerintah bahkan

membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui teknologi dan informasi.

Tampaknya, bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap arus

radikalisme di dunia maya ini. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam membendung paham

radikal di tengah masyarakat, pemerintah dengan melibatkan semua komponen meliputi

tokoh ulama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan lain-lain telah

bergerilya bersama dalam mengampanyekan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang

moderat di semua sektor.

Program pencegahan itu banyak diakui telah mampu membendung derasnya arus radikalisme

yang kencang beredar di tengah masyarakat khususnya pasca reformasi. Indikator

keberhasilan yang bisa dilihat bahwa masyarakat telah menjadikan terorisme sebagai musuh

bersama dan ancaman bagi keutuhan bangsa.

Semangat yang sama dan kekuatan bersama yang telah terbangun selama ini harus tetap solid

dalam bingkai strategi baru dalam menghadapi ancaman terorisme di dunia maya. Apa yang

bisa dilakukan? Pada level struktural, pemerintah harus segera memikirkan formulasi

kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif dalam menangani penyebaran propaganda

radikalisme dan terorisme. Tumpulnya regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris

yang dengan bebas menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya.

Page 92: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

92

Pada level kultural, masyarakat dari berbagai latar belakang keahlian dan organisasi harus

memberikan kontribusi dan proaktif dalam membendung arus radikalisme baru

tersebut. Sebenarnya sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi

pembanding sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya. Hanya, upaya saat ini

masih parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama.

Kami berharap seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu

membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan terorisme di

dunia maya. Mari bersama mencegah terorisme.

AGUS SURYA BAKTI

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT

Page 93: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

93

Diskrepansi Pelembagaan Parpol

Koran SINDO

26 Maret 2015

Hal memprihatinkan dalam realitas politik kita saat ini adalah menguatnya diskrepansi atau

ketidakcocokan antara harapan dan realitas dalam pelembagaan partai politik sebagai entitas

modern.

Beberapa partai seperti PPP dan Partai Golkar didera konflik berkepanjangan. Kedua partai

berpengalaman yang sama-sama lahir dari rahim Orde Baru ini tak mampu mengelola dan

menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal mereka.

Hal lain yang memprihatinkan adalah tren aklamasi dalam mekanisme pemilihan ketua

maupun calon ketua umum partai. Contoh terdekat, PDIP belum menggelar kongres, tetapi

berdasarkan keputusan hasil rapat kerja nasional (rakernas) di Semarang pada September

2014 Megawati hampir dipastikan kembali menjadi ketua umum PDIP 2015-2020 dan

pemilihannya didorong ke aklamasi. Pemilihan Aburizal Bakrie (ARB) dalam Munas IX di

Bali, juga melalui aklamasi yang berujung pada terbelahnya Golkar.

Munas II Partai Hanura pada 13-15 Februari 2015 hanya menjadi ajang pengukuhan secara

aklamasi Wiranto sebagai ketua umum. Hal yang sama berpotensi terjadi di Gerindra dan

Demokrat jika Prabowo dan SBY “turun gunung” menjadi calon ketua umum.

Penstrukturan Adaptif

Kualitas partai-partai yang ada saat ini memang sungguh memprihatinkan. Di tengah

dinamika politik nasional yang terus bergerak dan membutuhkan kiprah optimal partai

sebagai entitas penting dalam demokrasi, banyak dari mereka yang justru berkutat dalam

konflik internal.

Masalah mendasar dalam pengelolaan partai di Indonesia ialah lemahnya basis ideologi, etos

demokratik, dan ketidakjelasan skema regenerasi berkelanjutan. Basis ideologi telah lama

diabaikan, bahkan dianggap utopia karena banyak politisi yang memandang ideologi bias, tak

bermakna, dan tak lagi kontekstual. Etos demokratik berkaitan dengan formasi nilai-nilai

demokrasi dalam berpartai. Roh partai sebagai entitas publik, yang semestinya membuat

warga partai dan basis konstituen lebih berdaya, kerap tunduk pada ego dan kepentingan

segelintir elite yang memegang kuasa partai. Hal itu diperparah dengan adanya sumbatan

proses kaderisasi. Tahap alamiah kaderisasi yakni proses rekrutmen, penguatan, dan

pemberdayaan loyalis organisasi, serta distribusi dan alokasi kader ke sejumlah jabatan di

Page 94: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

94

internal maupun di tengah publik tereduksi, bahkan dibusukkan oleh oligarki, politik dinasti,

dan laku politik transaksional.

Banyak partai yang mengalami kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh

organisasi. Dalam terminologi Anthony Giddens, sebagaimana dikutip oleh West dan Turner

dalam Introducing Communication Theory (2008) penstrukturan adaptif ialah bagaimana

institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui

penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya. Dengan

demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan

mengadaptasi atau menciptakan aturan baru. Artinya, partai politik harusnya memperkuat

sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya menyuburkan

feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu

atau beberapa orang saja.

PPP terbelah menjadi dua, kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy. Sama-sama

menyandarkan diri pada aturan organisasi dengan tafsir sendiri-sendiri akibat konteks

kepentingan politik pragmatis yang berbeda. Pun demikian kubu Agung Laksono (Munas

Ancol) versus kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) yang seolah berada di labirin kekuasaan

dan tak kunjung menemukan jalan keluar. Padahal, kedua partai ini surplus para politisi

senior yang banyak makan asam garam manajemen konflik. Dengan demikian, persoalannya

bukan pada “jam terbang”, melainkan pada ego pribadi dan faksi. Padahal, sejarah

menunjukkan jika mekanisme penyelesaian konflik lewat pengadilan, salah satu pihak

biasanya membuat tandingan atau keluar dan mendirikan partai baru.

Fenomena Aklamasi

Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum di PDIP, Hanura, juga kemungkinan

terjadi di Gerindra dan Demokrat, menjadi penanda nyata menguatnya gejala groupthink!

Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy

Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat

kohesivitas tinggi dan sering gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang

mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan

sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa

dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya.

Saat pengurus dan kader partai tak lagi berani bicara atau mengeluarkan alternatif nama,

meski sekadar di level wacana, sudah bisa dipastikan begitu kuatnya batasan afiliatif

(affiliative constraints) di tubuh organisasi tersebut. Batasan afiliatif berarti anggota

kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disebut

sebagai penyimpang dan pengkhianat. Salah satu dampak signifikan dari buruknya kualitas

sirkulasi elite seperti ini adalah minimnya para pemimpin imparsial. Sosok-sosok seperti

Megawati, Wiranto, Prabowo, SBY dengan sendirinya akan selalu berada di puncak hierarki

otoritas partai. Suatu saat, jika terjadi transisi kepemimpinan dari figur utama ini ke yang

lain, barulah faksi-faksi di internal yang tadinya laten mengemuka ke ruang publik.

Page 95: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

95

Sesungguhnya tak salah jika partai memiliki figur kuat, hanya saja sumber daya politik figur

harus bertransformasi menjadi kekuatan sistem.

Ketidakmampuan partai mengelola konflik internal sama buruknya dengan ketidak berdayaan

partai keluar dari subordinasi figur. Kelembagaan parpol akan sangat rapuh dan tak akan

pernah mampu berdiri kokoh sebagai entitas publik yang demokratis. Partai yang berkonflik,

terancam lemah dan “tergopoh-gopoh” mengejar agenda politik yang membutuhkan fokus

perhatian, misalnya pilkada serentak di tahun ini. Adapun partai yang tersubordinasi

segelintir elite oligarkis hanya akan mendapatkan kenyamanan dan kemapanan palsu!

Saatnya partai memikirkan proses transformasi lebih sistemik. Menguatkan pola kaderisasi

dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Pengelolaan partai yang berkutat di lingkaran

oligarki elite akan menyebabkan gagalnya partai menuju partai modern.

GUN GUN HERYANTO

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy

Institute

Page 96: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

96

Solusi Golkar: Akhirnya Munas Juga

Koran SINDO

27 Maret 2015

Persis seperti yang saya perkirakan sebelumnya rute penyelesaian dualisme Partai Golkar

melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG) dan pengadilan hanya memberikan penyelesaian

yang bersifat ad hoc. Meski ada yang menang atau dimenangkan, ada yang kalah atau

dikalahkan, dan dengan langkah itu alih-alih dualisme kepengurusan berakhir dengan

sendirinya, PG tetap pecah menjadi seperti rempah-rempah.

Tindakan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No: M.HH-

01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Komposisi Personalia DPP Partai Golkar

tertanggal 23 Maret 2015 terbukti hanya menyelesaikan dualisme kepengurusan secara de

jure belaka. Secara de facto dualisme kepengurusan ini terus berjalan dengan segala reperkusi

dan resonansi politiknya yang bahkan tidak mustahil akan semakin panas dan eksesif. Lihat

saja setelah mendapatkan pengesahan pemerintah, DPP hasil Munas Jakarta segera saja

melakukan langkah mengubah pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR/MPR dan

selanjutnya mengangkat beberapa pelaksana tugas ketua DPD-DPD PG se-Indonesia. Tidak

mustahil langkah ini akan berjalan panas oleh karena DPP hasil Munas Bali juga merespons

dengan melakukan langkah- langkah konsolidasi kepemimpinan FPG DPR/MPR dan DPD-

DPD yang masih mendukungnya untuk melakukan perlawanan habis-habisan atas keputusan

pemerintah yang mengesahkan kepengurusan DPP Munas Jakarta yang dianggap tidak adil

dan sewenang-wenang itu.

Begitulah konsekuensi dari penyelesaian perpecahan politik sebuah partai politik melalui rute

MPG dan pengadilan yang notabene selalu bersifat ad hoc itu. Walhasil, jika tujuan

keputusan MPG dan pengesahan pemerintah adalah untuk mengakhiri perpecahan dan

dualisme kepengurusan DPP PG agar perpolitikan nasional stabil, tidak gaduh, dan kondusif

bagi jalannya pemerintahan hasil Pemilu 2014, tujuan itu tidak tercapai, untuk tidak

mengatakan gagal. Kecuali kalau pemerintah mempunyai tujuan lain yang kita sama sekali

tidak tahu.

Pemerintah itu Negara

Saya ingin sampaikan di sini bahwa melawan pemerintah secara frontal atau head to head itu

tidak banyak artinya kecuali hanya akan memberikan kepuasan psikologis. Di negeri seperti

ini, betapa pun lemahnya secara politik, pemerintah itu tetap saja pemerintah: sangat

berkuasa.

Page 97: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

97

Apa yang disebut dengan negara memang terdiri atas pemerintah, rakyat, dan

wilayah. Tetapi, pada sejatinya pemerintahlah manifestasi par excellence dari apa yang

disebut dengan negara. Maka itu, melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal akan

mudah didakwa dan dipelintir sebagi melawan negara. Boleh saja melawan pemerintah, tetapi

jangan secara frontal sebab pasti akan kalah!

Pemerintah itu mempunyai semua instrumen untuk menang dan memenangkan pertandingan

politik. Maka itu, sekali melawan pemerintahan haruslah dengan canggih. Kalau perlu,

dengan langkah memutar melalui rute politik yang namanya munas atau munaslub. Dalam

alam demokrasi hanya hasil munas yang demokratis pula yang dapat memaksa (fait

accomply) pemerintah atau negara untuk mau tidak mau mengesahkannya.

Di mana pun dan kapan pun, apalagi di Indonesia, melawan pemerintah tidak bisa dengan

frontal dan head to head, melainkan harus memutar. Pemerintah itu, sekali lagi, mempunyai

semua alat-alat kekuasaan untuk menang dan memenangkan sebuah pergumulan politik.

Apalagi manakala pemerintah sedang berusaha melakukan konsolidasi, akumulasi, dan

kapitalisasi dukungan politik dengan berbagai cara demi jalan pemerintahan yang stabil dan

efektif.

Memang kubu DPP Munas Bali sekarang masih ada pendukungnya. Tetapi, step by step,

sedikit demi sedikit, anggota FPG dan DPD-DPD PG itu akan menyerah juga. Pelan tapi pasti

(slow but sure) pragmatisme politiklah yang akan menang dan dominan!

Pengalaman Parmusi pada 1970 juga begitu: semua wilayah dan daerah waktu itu mengaku

berada di belakang kepemimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo. Tetapi, begitu

pengesahan pemerintah dikeluarkan, semua wilayah dan daerah step by step , pelan tapi pasti,

“balik kanan”, berpindah mendukung kepengurusan yang disahkan pemerintah. Artinya, kubu

DPP Munas Bali kemungkinan besar pasti akan kalah vis a vis negara. Negara itu, sekali lagi,

punya semua instrumen kekuasaan untuk menang. Maka itu, pemerintah sering disebut

“penguasa” karena memang berkuasa. Ala kulli hal, apa pun yang akan terjadi, pemerintah

mustahil menganulir keputusan itu.

Jika mau belajar dari pengalaman lama, pilihan yang paling realistis bagi kubu DPP hasil

Munas Bali sekarang ini adalah menunggu secara aktif dan proaktif munas yang oleh

pemerintah sendiri diminta dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2016. Di dalam amar

Putusan MPG dan SK Kemenkumham itu ada frase yang berbunyi: “segera melaksanakan

musyawarah-musyawarah daerah dan munas selambat-lambatnya tahun 2016”.

Pilihan yang tersedia tinggal satu ini! Dulu ketika belum ada amar Putusan MPG dan

pengesahan pemerintah, kubu DPP Munas Bali memang memiliki kekuasaan untuk

menggelar munas (lub). Tetapi, sekarang momentum itu sudah lewat, gone with the wind.

Jika sekarang kubu Munas Bali meminta munas (lub) sebagai modus dan rute penyelesaian

dualisme kepengurusan partai, itu sudah terlambat karena sudah dianggap terlalu kecil (too

late and too little) oleh lawannya. Pilihan bagi DPP Munas Bali sungguh semakin sempit:

Page 98: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

98

tinggal Munas 2016, kecuali ada putusan pengadilan atau PTUN yang berbunyi lain. Ini pun,

harus diingat, tidak akan juga menyelesaikan perpecahan yang sudah sangat eksesif ini.

Akhirnya Melalui Munas Juga

Perpecahan PG adalah perpecahan politik. Perpecahan politik hanya bisa diselesaikan secara

tuntas melalui forum dan mekanisme politik pula: munas atau munaslub. Saya konsisten

dengan sikap saya dari semula bahwa hanya dengan munas (munaslub)-lah rekonsiliasi PG

dapat diwujudkan. MPG dan pemerintah betapa pun rumusan keputusannya tidak ideal telah

memberikan peta politik (political roadmap) agar munas diselenggarakan selambat-

lambatnya pada 2016.

Karena itu, munas harus segera digelar demi teruwujud rekonsiliasi. Munas 2016 atau

munaslub adalah satu-satunya jalan (the one and the only) untuk menyelesaikan perpecahan

PG secara terhormat dan bermartabat. Sangat meyakinkan apa yang disebut dengan Munas

2016 tidak harus menunggu berlama-lama sampai pada 2016.

Pertanyaannya sekarang adalah masih adakah tersisa sikap kenegarawanan dalam diri

pimpinan dua kubu yang berseteru itu untuk --betapa pun pahitnya, apa boleh buat bersikap

legawa menerima solusi melalui munas 2016 itu? Jika masih ada tersisa sikap legawa dan

kenegarawanan, keduanya harus segera menerima solusi Munas 2016 itu dengan sebuah

kesepakatan (gentlemen agreement) mengenai waktu dan kepanitiaan munas. Ini jauh lebih

realistis daripada terus melakukan perlawanan yang menguras energi itu.

Sikap kenegarawanan ini ada atau tidak akan berjalan paralel dengan cepat atau lambatnya

pelaksanaan munas (selambat-lambatnya 2016) itu sendiri: semakin negarawan keduanya

niscaya semakin cepat munas itu digelar. Itu semakin baik. Walhasil, meski berputar-putar

sedemikian panjangnya rute yang ditempuh, akhirnya melalui munas juga, apa pun namanya.

Ini persis seperti yang penulis sarankan sejak semula. Makanya, percayalah padaku!

HAJRIYANTO Y THOHARI

Mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014

Page 99: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

99

Hukum Islam Modern

Koran SINDO

28 Maret 2015

Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa

metodologi yang ketat. Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang

kolot yang hanya mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung

oleh metodologi penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode- metode ilmu

hukum modern.

Ketika belajar di fakultas hukum yang, katanya, muatan maupun metodologinya sudah

modern, saya merasa mudah karena sudah mempelajari asas dan metodologinya saat di

madrasah, pondok pesantren, dan sekolah-sekolah Islam yang saya tempuh. Teori

penjenjangan hukum (hierarki perundang-undangan) atau Stufenbautheorie dari Hans Kelsen,

misalnya, sudah diajarkan di dalam metodologi hukum Islam melalui dialog antara Nabi

Muhammad dan Muadz bin Jabal, belasan abad sebelum Hans Kelsen lahir.

Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang

cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab,

dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak

ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada

Sunah Rasul,” jawab Muadz. ”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi.

”Saya akan menggunakan rayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi memuji

Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum.

Berdasarkan hadis tersebut, secara metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah

mengajarkan susunan hukum yang hierarkis, tak bisa dibalik karena yang lebih tinggi harus

menjadi dasar dari yang sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua

tingkatan-tingkatan dari ijtihad itu sendiri.

Teori ini mendahului teori stupa dari Hans Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun

secara berjenjang dan berlapis dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus

bersumber dan tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang

hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-

undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah. Dalam tata hukum

Indonesia pun, teori penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan peraturan dan

perundang-undangan mulai UUD 1945, TAP MPR, UU/perppu, PP, perpres, perda, hingga

seterusnya ke bawah.

***

Page 100: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

100

Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan masyarakat. Ada teori bahwa hukum

berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya karena hukum bukan ada dalam

vacuum. Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat berubah

maka hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah maka hukumnya pun

bisa berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (untuk

masyarakat itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang

mengatakan bahwa konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan

keadaan sosial ekonomi, politik, dan budaya saat dibuat. Karena itu, menurut Wheare, yang

melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa berbeda-beda dan bisa berubah-ubah

sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, baik waktu maupun tempatnya.

Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian

dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu

berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru

taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul

ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awaid. Atau kaidah bahwa ”hukum berubah

sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu yaduuru maalhukmu yaduuru maa

illatihi.

Umar ibn Khaththab dapat disebut sebagai fuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi

hukum itu disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat. Umar tidak memberikan zakat

kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam), padahal dalam Alquran disebutkan

mualaf adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Alasan

Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak perlu memberi insentif agar

orang masuk Islam.

***

Adanya asas dalam hukum modern bahwa jika ada hukum baru maka hukum lama tak

berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di dalam Islam sudah ada asas naasikh dan

mansuukh (hukum baru menghapus hukum lama dalam hal yang sama).

Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis

hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah), hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan

ketatanegaraan (siyaasah), dan hukum pemerintahan (imaamah).

Kaidah hukmul hakim yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah

kaidah di dalam hukum Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua

sistem hukum. Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas,

kerap timbul perselisihan di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan

tafsir atas hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika

hakim sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat,

mengakhiri perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihak-pihak yang

bersengketa.

Page 101: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

101

Kaidah ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan

ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan

vonisnya yang sudah final.

Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya hukum Islam sudah modern

lebih dulu. Menurut beberapa literatur, metode kodifikasi dan unifikasi hukum modern, yang

ditandai oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum

perdata) di Prancis, didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami

metodologi hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 102: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

102

Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?

Koran SINDO

28 Maret 2015

Banyak pertanyaan tentang putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara praperadilan yang

diajukan BG. Namun, tidak banyak orang bertanya mengapa seberani itukah Sarpin

memutuskan bahwa permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dikabulkan dan

putusan adalah putusan terakhir dan mengikat; tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat

diajukan untuk melawan putusan praperadilan Sarpin tersebut.

Pertanyaan ”mengapa” tersebut dapat dikaji dari dua aspek. Pertama, aspek keadilan dan

kemanfaatan yang berlawan dengan aspek kepastian hukum. Kedua, aspek fungsi dan

perkembangan hukum masa depan di Indonesia.

Aspek pertama, tentu ahli hukum normatif mempertahankan aspek kepastian hukum jauh

melebihi pentingnya dari keadilan dan kemanfaatan karena asas lex certa menuntut hakim

harus hanya menjadi ”mulut undang-undang”. Sedangkan aspek keadilan dan kemanfaatan

justru sebaliknya, mempertahankan bagaimana seharusnya hukum (UU) i.e KUHAP dibaca

dan ditafsirkan dan disesuaikan dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia.

Selain itu, tentu KUHAP yang merupakan UU (hukum tertulis) selalu tidak dapat mengikuti

perkembangan hukum dalam masyarakat seperti hukum hak asasi manusia.

***

Bagaimana caranya agar KUHAP dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum hak

asasi manusia yang merupakan pilar negara hukum yang demokratis? Jawaban ahli hukum

normatif pasti adalah perubahan KUHAP melalui Parlemen. Namun, bagi ahli hukum

pembangunan (meminjam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja) dan ahli

hukum progresif yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (alm. Satjipto

Rahardjo), perubahan terhadap KUHAP dapat dilakukan dengan putusan pengadilan melalui

keyakinan seorang hakim.

Pandangan ahli hukum pembangunan dan ahli hukum progresif ini diperkuat oleh pandangan

teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang mewajibkan para ahli hukum, akademisi,

dan praktisi untuk memperhatikan nilai-nilai (values) di balik norma yang tercantum di dalam

suatu UU.

Bagi pandangan teori hukum integratif, ketentuan tentang praperadilan di dalam KUHAP

Page 103: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

103

harus dibaca dan dipahami bukan hanya perlindungan hak asasi tersangka secara limitatif,

melainkan juga harus dipahami sebagai perjuangan untuk menciptakan nilai hak asasi setiap

orang yang ditetapkan tersangka oleh tangan kekuasaan.

Pemahaman mengenai nilai HAM inilah yang merupakan justifikasi atas penafsiran secara

luas (ekstensif) terkait ketentuan praperadilan di dalam KUHAP. Pemahaman tersebut

sekaligus memperluas wawasan mengenai perlindungan hak asasi in concreto sebagaimana

telah dicantumkan dalam Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,

dan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.

Sejatinya, keberadaan konstitusi yang mengatur secara tegas tentang HAM dan UU tentang

HAM tersebut, mutatis mutandis merupakan sumber hukum dan sekaligus payung hukum

bagi semua peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya terlepas apakah hak

asasi dimaksud telah dicantumkan atau tidak tercantum di dalam peraturan perundang-

undangan dimaksud.

Putusan hakim Sarpin telah membuat ruang hukum terbuka bagi setiap orang untuk

memperjuangkan perlindungan hak asasi bagi dirinya terhadap tangan-tangan kekuasaan

sekalipun kewenangan telah diberikan oleh UU.

***

Dalam kaitan putusan hakim Sarpin tentang kewenangan KPK menetapkan BG sebagai

tersangka, ahli hukum, akademisi, dan praktisi hukum perlu melihat dan memahami

keberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUADP

2014). UU tersebut secara formal mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang baik

di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Ketentuan Pasal 17 UU ADP 2014 tersebut telah menetapkan tiga jenis penyalahgunaan

kekuasaan (baca: kewenangan) yaitu melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan

wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Keberlakuan UU ADP 2014 dihubungkan

dengan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

KKN, serta UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diperkuat oleh ketentuan

larangan gratifikasi dan suap di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan

UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),

mencerminkan ”political will” pemerintah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang

baik dan benar (good governance/GG). Selain itu juga mencerminkan bahwa kedudukan UU

Tipikor merupakan ”ultimum remedium” terhadap pelanggaran yang bersifat administratif

sekalipun telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan telah

menimbulkan kerugian pada negara. Tafsir hukum ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU

Tipikor yang mewajibkan penegak hukum untuk hanya memberlakukan ketentuan UU

Tipikor terhadap ketentuan mengenai pelanggaran administratif yang merupakan tindak

pidana korupsi.

Page 104: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

104

Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana tercantum di dalam UU ADP 2014

menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana status hukum unsur ”penyalahgunaan

wewenang karena kedudukan dan jabatannya” di dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor.

Muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari hukum pidana atau hukum administrasi

pemerintahan?

Selama keberlakuan UU Tipikor 1999/2001 belum ada UU yang mengatur secara eksplisit

mengenai pengertian istilah ”penyalahgunaan wewenang” kecuali UU ADP 2014. Dalam

praktik, pengertian istilah tersebut cukup dilihat dari bunyi tupoksi sebagaimana dicantumkan

di dalam keppres pengangkatan penyelenggara negara. Sedangkan dengan UUADP 2014,

pembuktian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi

Pengadilan Tata Usaha Negara.

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Page 105: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

105

Bapak Bangsa Singapura Itu Telah Pergi

Koran SINDO

28 Maret 2015

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew telah pergi untuk selamanya,

meninggalkan negeri kepulauan dan bangsa yang sangat dicintainya.

Beliau telah memberikan seluruh jiwa-raga dan kehidupannya untuk membangun Singapura

dari bangsa yang hanya mempunyai pendapatan per kapita USD500 pada 1959 menjadi

USD56.000 pada saat meninggal dunia 23 Maret 2015. Tidak keliru kalau negara pulau itu

dikatakan sebagai keajaiban ekonomi Asia Tenggara karena dari negara yang tidak

mempunyai sumber daya alam, Singapura justru telah berkembang menjadi salah satu negara

termakmur di kawasan Asia.

Maka itu, tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa pencapaian Lee Kuan Yew

immeasurable. Lee bukan saja memimpin Singapura selama ±30 tahun, tetapi juga telah

berhasil membentuk Negara Singapura yang makmur, sejahtera, bebas korupsi, dan efisien.

Semua itu dicapainya dengan disiplin, hidup hemat, dan prihatin. Sadar akan kekurangan

sumber daya alam Singapura tidak membuatnya menyerah, namun justru mendorongnya

untuk mewujudkan mutu atau kualitas sumber daya manusia (SDM) Singapura yang kini

tergolong sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Singapura yang dulunya dikenal tidak ramah kepada hukum pada 1950-an, yang akrab

dengan perdagangan candu, kejahatan, prostitusi, dan kotor, telah menjelma menjadi negara

pulau yang bersih, teratur, tertata rapi, bebas korupsi, efisien, dan supremasi hukum

ditegakkan. Ini dimungkinkan karena rekam jejaknya yang tidak instan. Semua dirintisnya

dari bawah dan dengan kerja keras.

Lulusan Cambridge University di Inggris ini setelah menyelesaikan studi hukumnya memulai

karier sebagai lawyer yang tangkas dan kemudian masuk politik sebagai anggota parlemen.

Pada usia 36 tahun Lee menjadi perdana menteri pertama Singapura dan pada 1965

memisahkan diri dengan Malaysia karena alasan substansial.

Sebagai pemrakarsa berdirinya People Peoples Action Party (PAP) Lee dan kawan-kawan

betul-betul ingin menyejahterakan Singapura melalui penegakan hukum, hukum menjadi alat

atau ”law as a tool of social engineering” untuk membangun Singapura seperti saat ini.

Bagaimana masyarakat Singapura dan negara Singapura yang dicita-citakan Lee Kuan Yew

melalui rekayasa hukum bahkan sangat dikagumi dunia dan para pemimpin dunia.

Tidak salah kalau mantan PM Bob Hawze (1983-1991) menyatakan bahwa Australia

Page 106: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

106

berutang budi kepada Lee atas komentarnya untuk Australia membuka ekonominya agar

tidak menjadi beban bagi Asia sebagai ”the poor white trash of Asia”. Komentar seperti ini

telah menyentuh para pemimpin Australia untuk lebih serius membangun ekonomi Australia,

tidak kurang Tony Abbott menyebut Lee sebagai ”great nation builder”.

Sosok Lee tidak hanya menjadi perdana menteri bagi Singapura ataupun sekadar menteri

mentor bagi pemimpin-pemimpin Singapura setelahnya, namun sosoknya telah berubah

menjadi sosok negarawan dunia yang perkataannya didengarkan oleh para pemimpin tidak

hanya di kawasan ASEAN, tapi juga dunia.

Lee menjadikan hukum sebagai supremasi pembentukan negara Singapura. Bukan peraturan

perundang-undangan (legislation) saja yang menjadi andalan pemerintah dan pembentukan

negara dan masyarakat Singapura, tetapi putusan-putusan pengadilan (high court) juga

mengarahkan pada pembentukan negara sejahtera dan kepentingan umum. Pengalaman

konflik rasial masa lalu telah mengajarkan toleransi dan hidup damai sebagai masyarakat

multirasial.

Lee membuktikan bahwa meritokrasi akan mampu mengubah bangsa yang terpecah belah

dan tertinggal, dapat berubah menjadi bangsa yang bersatu dan maju. Kerja keras, disiplin,

dan efisiensi menjadi pegangan dalam kehidupan bangsa Singapura sehingga mereka dapat

bangga dengan pencapaian pembangunan selama Lee Kuan Yew memerintah dan

sesudahnya.

Sekarang tinggal bagaimana para penerusnya memelihara prestasi fenomenal ini karena

sudah mulai ada suara-suara generasi muda Singapura yang mengkritik kebijakan ”One Stop

Economy” di mana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi primadona

pembangunan dengan mengorbankan hak sipil dan demokrasi c.q. kebebasan berbicara.

Terlepas dari kekurangannya selama memimpin, masa duka selama seminggu ini dan antrean

masyarakat Singapura yang ingin menyampaikan penghormatan terakhir kepada bapak

bangsa Singapura yang berkilometer membuktikan simpati, penghargaan, dan rasa hormat

masyarakat Singapura kepada Lee Kuan Yew sebagai pemimpin dan bapak bangsa

Singapura.

Sebagai sesama warga Asia Tenggara, kita angkat topi atas jasa-jasa beliau dan

kepemimpinannya yang telah menaikkan pamor bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara.

Lee menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki visi akan mampu mengubah bangsanya,

sekalipun dengan keterbatasan sumber daya alam yang ada.

Singapura beruntung memiliki pemimpin sekaliber Lee Kuan Yew. Kepergian Lee adalah

kehilangan besar, tidak hanya bagi Singapura, tetapi juga bagi ASEAN dan dunia. Selamat

jalan Lee.

Page 107: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

107

FRANS H WINARTA

Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH

Page 108: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

108

Hak Angket untuk Kemurnian Demokrasi

Koran SINDO

31 Maret 2015

Demi kemurnian demokrasi, keberpihakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan

Laoly dalam menangani sengketa Partai Golkar dan PPP tidak boleh ditoleransi.

Keberpihakan dan intervensi itu harus diselidiki melalui penggunaan hak angket oleh DPR.

Hak angket adalah hak anggota DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran undang-undang

(UU) oleh pemerintah. Dalam kasus Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP),

pemerintah diduga telah melakukan intervensi terhadap konflik internal ke dua partai

itu. Ekstremnya, pemerintah telah berpihak pada salah satu kubu dengan cara memecah belah

partai bersangkutan.

Hingga pekan terakhir Maret 2015 usul penggunaan hak angket itu sudah mendapat

dukungan dari 116 anggota DPR dari lima fraksi. Rinciannya, 55 anggota Fraksi Partai

Golkar, 37 anggota Fraksi Partai Gerindra, 20 anggota Fraksi PKS, dua anggota Fraksi PPP,

dan dua anggota Fraksi PAN. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah karena masih

diedarkan ke seluruh anggota DPR.

Usul penggunaan hak angket itu pun secara resmi telah diserahkan ke pimpinan DPR pada

Rabu, 25 Maret 2015. Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Bidang Polhukam

Fadli Zon menerima dokumen usulan yang diserahkan oleh para inisiator hak angket.

Jika hak angket itu terlaksana, Panitia Khusus (Pansus) DPR akan menyelidiki praktik kotor

pembegalan demokrasi serta mengungkap oknum yang terlibat dalam praktik kotor itu.

Karena itu, Pansus Hak Angket DPR juga akan meminta keterangan dari semua pihak terkait,

termasuk staf, direktur, direktur jenderal, hingga menteri. Tentu saja Pansus Hak Angket

DPR juga akan menyita beberapa dokumen seperti notulen dan kajian dasar pertimbangan

hukum, termasuk rekaman.

Tak kalah pentingnya adalah menyelidiki serta mempertanyakan bagaimana seorang menteri

mengeluarkan kebijakan yang sangat penting itu tanpa diketahui Presiden. Seperti diketahui,

keputusan Menkumham Laoly atas kepengurusan Partai Golkar dan PPP melanggar UU dan

sarat kepentingan politik. Ini harus ditanyakan karena ada dugaan tentang kekuatan lain

selain Presiden sebagai atasan langsung menkumham yang bisa menekan, mengintervensi,

dan mendikte menteri.

Urgensi lain dari penggunaan hak angket DPR adalah menghindari gesekan atau bentrokan

para simpatisan Golkar dan PPP di level akar rumput. Dengan berprosesnya hak angket, para

Page 109: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

109

simpatisan akan melihat bahwa para elite partai masih terus menggunakan pendekatan legal

untuk menyelesaikan persoalan internal dua partai. Bisa terjadi konflik horizontal kalau

pendekatan legal dihentikan.

Itu sebabnya, selain mendorong penggunaan hak angket, Partai Golkar juga menempuh jalur

legal lain seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN), serta memasukan laporan tentang surat mandat palsu oleh kubu

Munas Ancol ke Bareskrim Mabes Polri. Dengan rangkaian langkah legal itu, pesan Partai

Golkar kubu Aburizal Bakrie (ARB) sangat jelas bahwa persoalan belum selesai, bahkan

masih harus menempuh proses yang panjang.

Boleh saja Menkumham Yasonna H Laoly menerbitkan keputusan tentang pengesahan kubu

Ancol. Tetapi, keputusan itu kini terbukti debatable. Keputusan menkumham itu patut

diperdebatkan karena tidak berpijak pada kebenaran materiil, melainkan hanya berdasarkan

kepentingan politik.

Menkumham secara terencana tidak meneliti dan tak mencermati kelemahan dasar hukum

penyelenggaraan Munas Ancol. Munas Ancol itu ilegal karena diselenggarakan oleh

beberapa orang yang bersekutu dalam apa yang disebut Gerakan Penyelamat Partai Golkar.

Patut disebut ilegal karena struktur organisasi dan maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah

Tangga (AD/ART) Partai Golkar tidak mengenal instrumen partai dengan identitas Gerakan

Penyelamat Partai Golkar itu.

Kelemahan dasar hukum Munas Ancol juga terlihat sangat jelas pada kasus pemalsuan

mandat dari DPD I-II Partai Golkar. Jelas bahwa Munas Ancol itu tidak punya legitimasi

karena penyelenggaraannya berdasarkan 43 surat mandat yang tanda tangannya diduga palsu.

Munas Bali didukung 34 unsur DPD provinsi dan 512 unsur DPD kabupaten/kota, sedangkan

Munas Ancol hanya dihadiri 16 unsur DPD provinsi dan 260 unsur DPD kabupaten/kota.

Kebenaran Materiil

Sangat layak untuk menuduh pemerintah memihak kubu Ancol karena menkumham tidak

mempertimbangkan data-data yang juga digunakan oleh Mahkamah Partai Golkar itu. Karena

itu, sangat wajar kalau kemudian kubu Munas Bali melihat keputusan Menkumham Laoly itu

debatable.

Bagi kubu Munas Bali, menkumham tidak berpijak pada asas pembuktian hukum dalam

mengatasi kisruh Partai Golkar. Karena itu, klaim kubu Agung Laksono bahwa keputusan

menkumham itu sudah memenuhi asas preae assumtio iustae causa bukan hanya prematur,

tetapi ngawur. Menurut asas ini, suatu produk hukum dianggap sah berlaku sebelum

dibuktikan dan dinyatakan sebaliknya dengan dibatalkan atau dicabut oleh yang

menerbitkannya atau oleh pengadilan.

Para ahli hukum sudah menegaskan bahwa asas preae assumtio iustae causa tidak bisa serta-

Page 110: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

110

merta digunakan untuk mengklaim kebenaran sebab ada beberapa syarat wajib terpenuhi.

Salah satu syarat utamanya adalah keputusan harus dibuat berdasarkan prinsip kehati-hatian,

cermat, tidak sewenang-wenang, dan tidak berpihak demi kepentingan pribadi atau

kelompok. Jika syarat itu tak terpenuhi dalam keputusan, kebenaran yang dicapai hanya

formal dan tidak memenuhi kebenaran materiil. Mengabaikan asas preae assumtio iustae

causa ketika membuat keputusan bisa dipidanakan.

Dari sini bisa dilihat bahwa proses penyatuan kembali Partai Golkar masih harus menempuh

perjalanan panjang. Persoalannya bahkan bisa makin rumit jika menkumham dilaporkan ke

pihak berwajib karena mengabaikan asas preae assumtio iustae causa itu. Jangan lupa bahwa

kubu Munas Bali sudah memasukkan laporan ke Bareskrim Mabes Polri tentang dugaan

pemalsuan mandat dalam penyelenggaraan Munas Ancol. Kalau ditindaklanjuti dengan

memasukkan laporan tentang keberpihakan menkumham dalam konteks asas preae assumtio

iustae causa, situasinya akan benar-benar runyam.

Benar bahwa keputusan menkumham dalam menyelesaikan kisruh Partai Golkar sangat

berbahaya. Keputusan ini berdampak pada integritas dan kredibilitas pemerintahan Presiden

Jokowi. Pemerintah akan dicap otoriter karena memberangus partai politik yang

berseberangan.

Untuk kepentingan siapa Menkumham Laoly membuat keputusan yang debatable itu?

Muncul dugaan bahwa ada kekuatan lain di tubuh pemerintah yang ingin melihat Partai

Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus diselimuti konflik. Presiden Joko

Widodo (Jokowi) hendaknya mewaspadai dan menghentikan gerakan ini.

Menkumham jelas sedang berpolitik. Karena berpolitik, dia memberanikan diri bertindak

gegabah, melawan hukum, dan menabrak undang-undang. Kalau dibiarkan, gerakan seperti

itu akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas politik di dalam negeri. Patut

digarisbawahi Presiden bahwa rakyat sudah jenuh dengan kebisingan akibat benturan politik.

Rakyat ingin suasana kondusif.

Sudah terbentuk persepsi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi gagal mengawal demokrasi

dan tatanan kehidupan berbangsa. Tangan-tangan kotor pemerintah diduga telah merekayasa

konflik politik dan hukum yang menyebabkan ruang publik bising. Pertanyaannya, kapan

Presiden Jokowi bisa mewujudkan suasana teduh seperti yang dijanjikan semasa kampanye

kepresidenan tahun lalu?

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

Page 111: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

111

Ironi Perdamaian Timur Tengah

Koran SINDO

1 April 2015

Yaman dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan di dunia Arab yang di masa kuno dulu

dikenal dengan sebutan Arabia Felix yang berarti “bahagia” atau “beruntung” karena ia

berada di Semenanjung Arab yang relatif lebih subur dibandingkan negara-negara

tetangganya.

Sayangnya, negeri yang berbatasan darat dengan Arab Saudi dan Oman itu kini dirundung

perang saudara. Sejumlah negara mulai menutup kantor-kantor perwakilan di Ibu Kota Sanaa

dan berupaya mengevakuasi warga masing-masing keluar dari Yaman, termasuk Indonesia.

Jika tingkat keseriusan perang ditentukan oleh lama perang, besaran (magnitude) perang

terutama prospeknya untuk melibatkan negara-negara kawasan, dan jumlah korban, maka

serius-tidaknya perang di Yaman ini setidaknya ditentukan dua faktor. Pertama, faktor

kemampuan Yaman sebagai suatu negara untuk menyelesaikan problem politik dan sosial

ekonomi secara internal. Kedua, faktor persepsi negara-negara lain terhadap problem di

Yaman.

Yaman dalam era modern termasuk negara yang dianggap negara gagal. Indeks Negara

Rentan 2014 yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace menempatkan Yaman di posisi “high

alert“ (waspada tinggi) yang masuk juga dalam kategori negara dengan tren pemburukan

kondisi politik tertinggi sepanjang 2009-2014.

Sebagai suatu negara, Yaman memang terkenal rentan akan faksi-faksi politik yang saling

berupaya menihilkan eksistensi faksi lain. Selain itu, pemerintahannya terkenal otoriter dan

represif. Kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah Yaman antara lain

adalah kelompok militan yang terkait Al-Qaeda, gerakan-gerakan separatis di bagian selatan

(termasuk Houthi yang kini dianggap biang kerok penyebab intervensi militer di bawah

komando Arab Saudi), dan kelompok separatis di utara Zaydi Shia. Masyarakat awam

terbilang tak berdaya karena politisi dikenal korup dan senjata beredar bebas.

Sebelum perang saudara kali ini Yaman sudah terjebak dalam ketegangan politik internal.

Misalnya selama 2011-2012 warga Yaman mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh untuk

mundur setelah berkuasa lebih dari 20 tahun. Ketika akhirnya Saleh mundur dan digantikan

oleh Wakil Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi, situasi sempat stabil sebelum akhirnya

memburuk lagi pada 2014.

Memburuknya situasi itu seiring dengan kudeta dan meluasnya gerakan Houthi yang

Page 112: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

112

menaklukkan gedung-gedung pemerintahan, menguasai Ibu Kota Sanaa, dan mendesak Hadi

untuk mendirikan pemerintahan bersatu dengan faksi-faksi politik yang lain, membubarkan

parlemen, mendirikan pemerintahan interim di bawah Mohammed Ali al-Houthi. Hadi

melarikan diri ke Aden dan menyebut kota itu sebagai ibu kota sementara.

Meskipun Houthi disebut-sebut sebagai biang kerok masalah, ada sumber-sumber lain yang

menyebut bahwa mantan Presiden Saleh juga ikut “bermain” dengan menggandeng kelompok

Houthi demi menjatuhkan Hadi karena dia masih berharap anaknya, Ahmed Ali Abdullah

Saleh, bisa menjadi generasi politisi berikutnya di Yaman.

Itulah sebabnya, meskipun pada awal 2014 Yaman dianggap membaik secara ekonomi dan

politik sejak dipimpin oleh pemerintahan transisi Presiden Hadi, kawasan Ibu Kota Sanaa

tetap panas akibat kelompok Houthi dan Sunni Salafi terus tegang. Pengungsian terus terjadi

dalam jumlah besar, terutama di bagian utara Yaman.

Kerentanan ini diperumit dengan beroperasinya afiliasi Al-Qaeda di Yaman. Akibatnya, di

Indonesia pun Yaman dikenal perlu diwaspadai karena menjadi tempat orang-orang belajar

radikalisme dan paham agama yang menyimpang.

Narasi di atas menggambarkan alasan mengapa Yaman dianggap negara-negara lain tidak

mampu menyelesaikan problem internalnya secara independen. Itu sebabnya ketika Presiden

Saleh enggan mundur dan justru melakukan pengejaran kejam kepada warga negara yang

dianggap anti terhadap pemerintahannya, saat negara sedang dalam kondisi genting, The Gulf

Cooperation Council turun tangan. GCC adalah persatuan politik ekonomi antarpemerintahan

negara-negara Teluk yang terdiri atas Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan Uni

Emirat Arab.

Selain kerja sama ekonomi seperti perdagangan dan pembentukan Dewan Moneter, negara-

negara GCC juga punya kesepakatan menyatukan pasukan untuk merespons kebutuhan

dukungan politik dari pemerintahan negara-negara anggotanya. Semua negara ini adalah

kerajaan dan karenanya kerap disindir sebagai gerakan mempertahankan karakter otoriter dari

negara-negara Timur Tengah.

Campur tangan GCC ini berlanjut terus ketika Arab Saudi menganggap gerakan Houthi

sebagai bagian dari meluasnya pengaruh dan kekuasaan Syiah Iran di Teluk. Houthi, yang

terbukti terampil di bidang persenjataan dan taktis memberikan tekanan pada pemerintahan

Hadi, dianggap sebagai momok oleh negara-negara Teluk dan yang negara-negara

berpenduduk mayoritas Sunni. Suasana ini menggambarkan betapa konflik Yaman berpotensi

berlarut-larut dan memakan banyak korban.

Keterlibatan GCC dan simpati yang dikirimkan oleh negara-negara lain seperti Pakistan dan

Turki bukan mustahil membuat suasana kawasan menjadi semakin panas. Daniel Brumberg

(2013) dari Georgetown University mengatakan, kejadian di Yaman adalah bukti bahwa

upaya menciptakan “tatanan politik baru” di Timur Tengah sebagai sangat menyakitkan dan

Page 113: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

113

fatal (secara politis maupun fisik).

Konsep patronase (mahsubiyya) yang selama ini dipakai oleh mantan Presiden Saleh telah

menyuburkan rasa takut antarkelompok bila patronnya tersingkir. Istilah Brumberg, politik di

Yaman bergantung pada metode autokrasi berbasis perlindungan-pemerasan (protection-

racket autocracies). Kelompok yang biasa dilindungi dibuat merasa takut, rentan karena tidak

bisa memenangkan pemilu, sementara kelompok yang berkuasa takut pada lawannya itu

karena secara pengaruh kelompok oposisi tersebut tetap signifikan dan karena itu mereka

enggan berkonsesi dengan mereka. Dengan imbuh senjata yang beredar bebas, sektarianisme,

ketidakpercayaan pada pemerintah, dan ketiadaan sistem penegakan hukum yang adil,

suasana yang hidup adalah kecurigaan dan upaya saling menihilkan.

Perang saudara di Yaman tentu memberi dampak langsung atau tidak langsung terhadap

proses perdamaian di Timur Tengah. Kejadian politik di Yaman seakan membenarkan

kekhawatiran negara-negara Arab dan Israel bahwa kelompok-kelompok politik yang

berafiliasi kepada Iran tengah melakukan ekspansi dan terutama akan medelegitimasi

perundingan nuklir yang sedang dilakukan antara Iran dan kelompok perundingan dari

Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, dan China.

Kita juga melihat situasi yang ironis di Timur Tengah, yaitu negara-negara Arab cepat

tanggap ketika kepentingan mereka terancam dan bukannya turun tangan memberikan

bantuan ekonomi yang diperlukan oleh Yaman untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.

Situasi tersebut tentu akan merugikan rakyat Yaman dan negara-negara Timur Tengah yang

penduduknya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bila hal ini terus terjadi, niscaya

perdamaian di Timur Tengah impian belaka.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 114: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

114

Menguatkan Kembali Cita Kebangsaan

Koran SINDO

1 April 2015

Salah satu kalimat yang seharusnya melekat dalam memori bangsa ini adalah tujuan untuk

apa bangsa dan negara ini berdiri.

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea terakhir disebutkan bahwa negara dan

bangsa ini, melalui pemerintahnya, memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk menuju dan

merealisasikan tujuan tersebut, bangsa ini sudah membekali dirinya dengan UUD 1945 yang

terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasar kepada Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan

Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh

Rakyat Indonesia.

Di sinilah esensi demokrasi menemukan perannya. Sila pertama Pancasila menjadi inspirasi

bagi sila-sila yang lain. Sementara aktivitas operasionalnya lebih dimainkan oleh sila

keempat yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi.

Dalam ilmu politik, demokrasi dipahami dalam dua aspek yaitu substansi dan

prosedural. Esensi substantif demokrasi, meminjam apa yang dinyatakan oleh Presiden

Amerika Serikat Abraham Lincoln: ”government from the people, by the people and for the

people”. Demokrasi itu sejatinya kegiatan pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat.

Sayangnya, demokrasi tidak berhenti di dalam kerangka substansi. Demokrasi harus dilihat

juga dari sisi praktik di lapangan. Di sinilah peran demokrasi sebagai prosedural

mendapatkan perhatian. Adalah Joseph Schumpeter (1942) yang mencoba melengkapi

pendekatan substansi tentang demokrasi yang cenderung klasik. Shcumpeter menawarkan

sebuah ”teori lain mengenai demokrasi” (metode demokrasi). Demokrasi dipahami sebagai

sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai kekuasaan yang diraih melalui kontestasi

politik.

Sementara Samuel Huntington mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah

pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat. Dengan mengikuti tradisi

Shcumpeterian, Huntington mendefinisikan bahwa sistem politik yang demokratis adalah

Page 115: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

115

sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih

melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. Semua calon bebas bersaing

untuk memperoleh dukungan suara pemilih.

Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik

rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hak-hak politiknya serta ada rekrutmen politik

terbuka dan pemilihan umum yang langsung, bebas, dan adil.

Pertarungan Politik

Tidak jarang kemudian yang terjadi dalam tataran praktik lapangan, demokrasi ibarat sekadar

pertarungan, panggung kontestasi elite. Konflik di sejumlah partai politik terkait dualisme

kepengurusan partai seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai

Golongan Karya, polemik pemilihan Kapolri, sampai pada tarik-menarik dukungan di

legislatif seperti ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih

(KMP) menjadi suguhan politik dari elite kepada publik. Namun, satu yang terkesan hilang,

yaitu partisipasi publik.

Berpijak dari hal tersebut menjadi maklum jika kemudian muncul kecenderungan sistem

politik yang memunculkan dua arus besar yaitu arus yang berorientasi pada kepentingan

masyarakat (populis), tapi juga ada kecenderungan munculnya arus yang berorientasi pada

kepentingan kelompok kekuasaan elite (elitis). Di mata sentimen publik selama ini arus

kedua yang cenderung mendominasi panggung politik di negeri ini.

Arus populis dimaknai sebagai kekuatan dinamika publik yang di dalamnya ada masyarakat

sipil yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan perubahan. Munculnya

berbagai kekuatan civil society dalam tataran masyarakat menjadi simbol arus ini meski akses

terhadap kekuasaan cenderung relatif tidak dekat.

Sementara kecenderungan arus elite tentu lebih dikuasai oleh kaum elite. Mereka lebih

menonjolkan perilaku elite politik maupun birokrat yang berorientasi pada kepentingan

pribadi dan kelompok. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme cenderung lahir atas kuatnya

arus elite ini.

Dalam pendekatan transisi demokrasi seperti yang dialami Indonesia pascaruntuh rezim

politik Orde Baru Soeharto yang otoriter pada 1998, dua arus tersebut bertarung dalam

sebuah kondisi liberalisasi politik. Ini disebut oleh ilmuwan politik O’Donnell dan Schmitter

sebagai fase yang secara teoritis sebagai ”fase transisi dari otoritarianisme entah menuju ke

mana.” Liberalisasi ini tidak lepas dari pemaknaan demokrasi sebagai hak dan kebebasan

yang ”sebebas-bebasnya” sehingga yang muncul kemudian bukanlah perilaku yang

memberikan kontribusi bagi upaya demokratisasi dan reformasi.

Perilaku politik para elite yang kurang beretika, institusi legislatif, pers, dan masyarakat sipil

yang menjalankan demokrasi cenderung masih kurang menjunjung tinggi nilai-nilai etika

Page 116: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

116

berdemokrasi akhirnya melahirkan perilaku dan kondisi yang ”korup dan chaos”. Kondisi ini

dikhawatirkan akan memunculkan arus balik demokrasi menuju otoritarianisme baru.

Otoritarianisme baru jangan sekadar dibayangkan kita kembali ke era Soeharto dengan

munculnya sosok dari generasi Soeharto atau sosok yang mendewakan kekuasaan Orde Baru.

Tidak sekadar itu. Otoritarianisme model baru juga berlaku ketika kondisi politik cenderung

lebih banyak dikuasai oleh arus politik yang lebih mengutamakan kepentingan

politiknya. Arus politik yang mengingkari janji-janji reformasi. Arus politik yang

mengingkari kepentingan rakyat.

Untuk itu, penulis melihat arus ini memang tidak bisa dihindari dan dicegah, namun bisa

dilawan dengan membangun kembali kesadaran bahwa bangsa ini masih memiliki nilai yang

diperjuangkan, melebihi nafsu politik berjangka pendek.

Politik kebangsaan menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan di tengah semakin jauhnya

harapan rakyat dengan elitenya, semakin berjaraknya kebutuhan rakyat dengan

pemenuhannya, semakin terkikisnya kesadaran berbangsa karena terkalahkan oleh sentimen

kelompok. Setiap energi bangsa harus membangun komitmen kebangsaan dan menyadari

bahwa era transisi demokrasi harus dapat memberikan iklim yang kondusif bagi

berlangsungnya konsolidasi demokrasi di semua aspek kehidupan bangsa.

Konsolidasi demokrasi yang berjalan baik akan memberikan jaminan bagi upaya pemantapan

dan pengembangan sistem politik demokratis sebagai landasan bagi berlangsungnya proses

reformasi yang sudah berlangsung hampir 17 tahun terakhir ini.

Pemerintahan Baik

Penulis melihat salah satu upaya yang relatif efektif untuk menata kembali gerak arus

reformasi, agar tetap didominasi arus kekuatan publik sebagai pemilik saham reformasi, bisa

dimulai dari terbukanya partisipasi publik pada penataan dan pengelolaan pemerintahan yang

baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan keterlibatan publik pada upaya

melahirkan pemimpin yang baik, berkarakter, dan tentu saja bersih.

Selama ini keterlibatan publik sekadar menjadi konsumen dari apa yang sudah disediakan

oleh partai politik. Pemilihan kepada daerah misalnya cenderung pada tahap penjaringan

calon didominasi oleh partai politik. Mestinya mulai dibuka ruang agar publik turut berperan

dalam calon-calon yang dilahirkan. Publik bisa menilai apakah seseorang layak menjadi

calon kepala daerah atau tidak.

Publik bisa menjadikan rekam jejak kinerja sang calon sebagai ukuran. Seperti yang digagas

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu hasil risetnya yang menyebut

perlunya skor pro bono publik sebagai syarat untuk menjadi anggota Dewan atau kepala

pemerintahan. Wakil rakyat harus mempunyai skor pro bono publik agar nanti perihal

substantif seperti akuntabilitas, representabilitas, dan responsibilitas terwakili dalam diri

Page 117: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

117

orang yang mewakili rakyat.

Skor pro bono publik ini dimaknai sebagai syarat di mana calon wakil rakyat atau calon

kepala daerah yang sudah bekerja dulu untuk masyarakat, baru ikut kompetisi. Selama ini

yang menjadi calon wakil rakyat, mereka berkampanye dulu dengan janji-janji yang pada

akhirnya membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu siapa dan

kualitasnya bagaimana.

Tentu ini menjadi bagian dari agenda untuk memperbaiki agar proses politik tidak lagi

terdominasi oleh perilaku elite yang korup, konflik kepentingan partai, sampai pada

pertarungan politik yang tidak produktif. Upaya-upaya ini lebih dimaksudkan untuk

mengupayakan kembali agar bangsa ini menata lagi cita dan kehendaknya ketika bangsa dan

negara ini didirikan.

Seperti yang diungkap oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis, yang mengatakan

nasionalisme sebagai ”le desire d’entre ensemble” (kehendak untuk bersatu). Demokrasi

yang kita bangun semestinya mengembalikan sekaligus menguatkan kehendak kebangsaan

tersebut yang menjadi cita-cita besar bagi negeri ini. Semoga!

ANNA LUTHFIE

Ketua DPP Partai Perindo

Page 118: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

118

Rekomendasi Ulama untuk Pemberantasan Korupsi

Koran SINDO

2 April 2015

Baru-baru ini Johan Budi, salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

telah berdiskusi dengan para ulama Pondok Pesantren Tebu Ireng. Diskusi tersebut

melahirkan lima rekomendasi yang ditujukan terhadap Presiden.

Kelima rekomendasi tersebut adalah: Pertama, bahwa korupsi merupakan kejahatan

kemanusiaan. Kedua, negara harus dipimpin dengan akal sehat dan berintegritas. Ketiga,

dalam praktik pemberantasan korupsi ada intervensi yang harus dicegah yang dapat

melemahkan (baca KPK). Keempat, merekomendasikan hukuman seberat-beratnya

pemiskinan, sanksi sosial dan menolak pemberian remisi dan bebas bersyarat. Kelima,

mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan

lembaga anti-korupsi (baca KPK).

Keikutsertaan para ulama dan perhatian yang sangat besar terhadap pemberantasan korupsi

khususnya KPK sangat kita apresiasi, karena dalam pemberantasan korupsi selain merupakan

penegakan hukum adalah juga penegakan nilai-nilai agama dan moralitas individual dan

masyarakat dalam kehidupan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Kelima rekomendasi hasil diskusi para ulama dan Johan Budi menunjukkan perhatian besar

para ulama terhadap pemberantasan korupsi. Penulis sangat sependapat dengan perhatian dan

partisipasi kaum ulama. Namun, masih ada yang terlewat dan tidak termuat dalam rumusan

halaqah para ulama karena saat ini dalam pengamatan penulis kinerja pemberantasan korupsi

oleh KPK jauh berbeda dengan Polri dan kejaksaan. Perbedaan yang mencolok adalah, baik

dalam penganggaran yang jauh lebih besar dari Polri dan kejaksaan yang memiliki cabang di

seluruh kabupaten dan kota; termasuk anggaran untuk iklan layanan (pemberitaan) anti-

korupsi dan anggaran untuk koalisi anti-korupsi.

KPK memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan Polri dan kejaksaan berdasarkan

UU KPK. Kewenangan luas tersebut diperkuat dengan strategi yang disebut ”naming and

shaming” yang berarti ”menyebutkan terbuka nama tersangka dan permalukan” yang telah

berhasil diwujudkan didukung oleh kedua pos anggaran KPK tersebut. Selain langkah

tindakan KPK tersebut, juga KPK telah memanfaatkan media dan pers secara optimal sejak

penyidikan sampai pada proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tipikor. Bahkan

dalam berbagai tayangan media elektronik, proses penangkapan dan penggeledahan serta

penyitaan harta tersangka selalu diikuti media cetak dan elektronik. Sedangkan langkah dan

Page 119: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

119

tindakan tersebut sangat terbatas dan jarang sekali dilakukan Polri dan kejaksaan; bahkan di

kedua institusi tersebut tidak ada dana untuk LSM anti-korupsi.

Fakta terurai di atas menunjukkan bahwa baik pemerintah dan parlemen justru telah

memperkuat KPK dibandingkan dengan Polri dan kejaksaan. Bahkan menurut penulis,

pemerintah dan parlemen telah bertindak diskriminatif terhadap Polri dan kejaksaan.

Strategi ”naming dan shaming” yang dilaksanakan KPK dan tidak dimiliki oleh Polri dan

kejaksaan, dalam pandangan penulis, tidak manusiawi bahkan jauh dari nilai-nilai agama dan

moralitas individual dan masyarakat yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Karena dengan cara tersebut, seorang tersangka KPK telah dizalimi jauh sebelum yang

bersangkutan ditetapkan sebagai terpidana.

Bahkan, sosok tersangka KPK telah berubah menjadi ”zombie” ketika duduk berhadapan

dengan majelis pengadilan tipikor tanpa daya dengan pengacara yang terhebat sekalipun.

Karena opini publik telah terbentuk bahwa yang bersangkutan adalah penjahat dan harus

dimusnahkan serta dimiskinkan dan tidak perlu dimaafkan sehingga majelis hakim tipikor

telah tersandera oleh character assassination yang terbuka di ruang publik terhadap

tersangka.

Kewenangan KPK berdasarkan UU KPK 2002 telah sangat luas dan membuka ruang yang

sangat leluasa terutama dengan kewenangan penyadapan yang tidak dimiliki oleh Polri dan

kejaksaan sehingga kewenangan tersebut sepatutnya diimbangi dengan proses hukum

penemuan bukti-bukti permulaan yang sesuai dengan UU.

Presiden Joko Widodo menurut penulis telah bertindak benar dengan tidak melakukan

intervensi terhadap kasus BW dan AS karena telah berpegang teguh pada amanahnya untuk

tetap bersumpah setia pada UUD dan peraturan perundang-undangan sesuai sumpah

jabatannya selaku Presiden sekalipun sebagai kepala negara.

Para ulama mungkin belum memahami perbedaan hakiki antara kriminalisasi, rekayasa, dan

politisasi. Kriminalisasi adalah perbuatan yang semula tidak diancam pidana kemudian

diancam pidana berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Rekayasa adalah perbuatan

institusi penegak hukum (Polri, kejaksaan atau KPK) yang telah menggunakan bukti-bukti

yang diperoleh secara melawan hukum (ilegal) untuk menetapkan seseorang sebagi

tersangka. Dan politisasi adalah perbuatan aparat penegak hukum menetapkan seseorang

tersangka dengan motif politik, didanai oleh partai politik atau disponsori oleh partai politik.

Untuk mengetahui bahwa ada pelemahan terhadap pimpinan KPK, sungguh tidak perlu

terjadi jika tidak ada kesalahan atau dosa masa lalu dari pimpinan KPK atau kesalahan ketika

menjalankan amanah sebagai pimpinan KPK.

Putusan hakim Sarpin membuktikan telah terjadi kekeliruan pimpinan KPK dalam

menetapkan BG sebagai tersangka yang bukan termasuk subjek hukum kewenangan KPK

Page 120: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

120

berdasarkan UU KPK sendiri. Apakah juga putusan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara

praperadilan yang diajukan BG termasuk sebagai upaya pelemahan KPK?

Dalam pandangan saya, pemiskinan koruptor merupakan salah satu tujuan dan harus

diterjemahkan ke dalam bahasa hukum sebagai tindakan penyitaan dan perampasan aset

koruptor yang tidak bertentangan dengan KUHAP dan UU Tipikor atau UU TPPU; tidak

boleh sekali-kali diartikan sebagai tujuan menghalalkan cara (het doelheiligdemidelen)

karena cara-cara tersebut bertentangan dengan keyakinan agama, Pancasila dan UUD 1945.

Presiden Joko Widodo sudah benar dalam kebijakannya menghadapi masalah pimpinan KPK

saat ini karena beliau telah menegaskan bahwa ”jangan ada sok kuasa hukum dan jangan

kriminalisasi”! dan tentunya mereka yang cerdik cendekia telah dapat menangkap arah pesan

Presiden tersebut yang jelas dan tegas!

Penulis masih penasaran atas rekomendasi hasil halaqah para ulama karena dalam KORAN

SINDO (30 Maret 2015) yang saya baca tidak memuat secara jelas masukan-masukan

introspeksi kepada KPK melalui Johan Budi. Menurut penulis, seharusnya masukan-masukan

para ulama juga penting diketahui publik secara luas sebagai bentuk transparansi publik

sesuai dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik berdasarkan UU KPK 2002.

Transparansi dan bentuk pertanggungjawaban kepada publik diperlukan agar publik juga

dapat mengawal langkah tindak lanjut pimpinan KPK terhadap masukkan dari hasil halaqah

para ulama tersebut.

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)

Page 121: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

121

Putusan Hakim Bisa Berbeda

Koran SINDO

2 April 2015

Pada hakikatnya hakim di Indonesia tidak wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya dalam

perkara sejenis. Hakim tidak terikat sepenuhnya pada asas ”the binding force of precedent”

(asas preseden) dalam perkara sejenis seperti pada negara-negara yang menganut sistem

hukum ”common law (Anglo-Saxon)”.

Itulah yang tecermin dalam putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto soal

penetapan tersangka oleh penyidik. Hakim Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar pada

Selasa 10 Maret 2015 menolak gugatan praperadilan yang diajukan Mukti Ali yang

ditetapkan tersangka korupsi oleh penyidik kepolisian. Hakim praperadilan PN Purwokerto

menyatakan penetapan tersangka bukan ranah praperadilan seperti dimaksud Pasal 77

KUHAP. Perkara yang dapat diputus melalui sidang praperadilan hanyalah sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta rehabilitasi

nama baik dan mekanisme permintaan ganti rugi. Termasuk penyitaan sebagaimana tersirat

dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf-d KUHAP bahwa ”Jika putusan menetapkan bahwa

benda/barang bukti yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka benda/barang bukti

tersebut harus dikembalikan kepada tersangka/terdakwa atau dari siapa benda itu disita”.

Rupanya hakim Kristanto Sahat punya keyakinan tidak memiliki kewenangan untuk

mengubah status tersangka Mukti Ali yang ditetapkan oleh Polres Banyumas. Tentu publik

akan bertanya, mengapa ada dua pengadilan memutus berbeda pada perkara sejenis? Sebab

pertimbangan hukum Kristanto Sahat berbeda dari yang digunakan hakim PN Jakarta Selatan

Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka korupsi yang ditetapkan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hakim PN Jakarta Selatan menggunakan pertimbangan lain dengan alasan melakukan

penemuan hukum (rechtsvinding). Ia ingin mengisi kekosongan hukum, padahal dipahami

bahwa ketentuan hukum formil (hukum acara) yang sudah jelas dan tegas tidak boleh

ditafsirkan menyimpang dari yang sudah diatur melalui penemuan hukum. Berbeda pada

hukum materiil yang memang diperbolehkan melakukan penemuan hukum secara progresif.

Pertimbangan Hukum

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa membekali dirinya dengan

ilmu hukum yang luas. Hal ini ditekankan Soedikno Mertokusumo (1993: 45-46), bahwa

”pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis-rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya

menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan

Page 122: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

122

pertimbangan hukum sebagai dasar dari putusannya”.

Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim yang secara teoretis

mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kiranya para hakim perlu lebih mendalami

sistem peradilan ”civil law system (Eropa kontinental)” yang secara teori dianut di Indonesia.

Hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui

bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.

Hakim Indonesia boleh saja mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara sejenis,

tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat. Tugas dan tanggung jawab hakim adalah

memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan bersalah atau tidak, atau pihak yang

beperkara sekaligus menerapkan hukumnya.

Metode berpikir hakim dilakukan secara deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke yang

khusus. Hakim berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto

(aturan khusus) yang sedang diadili. Hakim pada sistem hukum civil law boleh saja

mengikatkan diri pada preseden, tetapi tidak wajib. Bahkan di Inggris yang menganut sistem

hukum common law, hakim sering juga melepaskan diri dari keterikatan asas preseden

tertentu apabila kebutuhan masyarakat menghendaki lain.

Pertimbangan hukum harus jadi rujukan (reference) terhadap amar putusan. Setiap putusan

harus berdasarkan pada pertimbangan hukum yang diperkuat oleh teori hukum terhadap fakta

yang terungkap dalam sidang. Dalam merumuskannya, hakim harus melepaskan diri dari

kepentingan politis, serta mengikatkan diri pada ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Tidak

menafsirkan hukum formil dan prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat.

Ada dua pendekatan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Pertama, ”pendekatan

keilmuan” yang bertujuan untuk mengukuhkan putusan dari sisi teori hukum agar bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord). Itulah dasar

ilmiah suatu putusan hakim yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik, sekaligus diterima

secara luas oleh masyarakat atau pihak yang beperkara.

Kedua, ”pendekatan empiris” karena dalam realitasnya hukum tidak otonom. Hukum selalu

dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada di luar hukum, seperti kekuatan ekonomi,

politik atau kekuasaan, sosial, dan budaya masyarakat. Hukum bukan kaidah yang bebas nilai

lantaran bertitik tolak pada manusia (orang) sebagai subjek yang berorientasi pada kultural

dan moral. Teori hukum yang direfleksi dalam pertimbangan hukum, selain menuntut

koherensi logikal, juga menuntut pembuktian empiris.

Keyakinan Hakim

Perbedaan penafsiran hakim pada kasus sejenis menunjukkan bahwa kacamata yang dipakai

untuk melihat perkara yang ditangani juga berbeda. Penafsiran itu dituangkan dalam

Page 123: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

123

pertimbangan hukum yang akan menjadi penguat amar putusan. Maka itu, konsekuensi dari

pertimbangan hukum secara substansial dapat ditafsirkan menjadi dua makna.

Pertama, hakim yang memeriksa dan memutus perkara diberi kemandirian atau

kemerdekaan. Tidak boleh ada intervensi sehingga pertimbangan hukumnya juga

mencerminkan putusan yang dihasilkan. Kedua, kemandirian hakim bukan berarti kebebasan

tanpa batas. Hakim harus memerankan nuraninya sebagai tanggung jawab moral melalui

putusan yang dijatuhkan agar sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Di belahan dunia mana pun, sistem hukum tidak akan mungkin bisa menciptakan keadilan

substantif kalau hakim yang merupakan wakil Tuhan di dunia tidak memiliki independensi

dalam memutus perkara. Putusan hakim yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang

sudah jelas dan tegas yang tidak perlu lagi ditafsirkan, selain mencederai rasa keadilan

masyarakat, juga mendegradasi kepercayaan masyarakat pada hukum.

KUHAP adalah hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan

melaksanakan hukum materiil yang dilanggar. Penafsiran yang jauh menyimpang dari

ketentuan yang sudah jelas dan tegas bisa menghambat, bahkan mengacaukan proses

penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif

dengan asumsi mengikuti dinamika kehidupan serta menghargai nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman).

Perbedaan tafsir terhadap ketentuan normatif, tentu dihargai sebagai bagian dari proses

mencapai keadilan. Di situlah fungsinya hakim sebagai pengadil dengan memosisikan nurani

dan keyakinannya, sehingga siapa pun yang beperkara akan diputus secara adil.

Setiap hakim diberi kebebasan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang

tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Akan tetapi, hakim harus tetap berpijak pada

keyakinan dan ketentuan normatif yang mengatur tata cara menjatuhkan putusan. Apabila

pedoman itu tidak ditaati, akan membuka celah bagi pihak lain yang memiliki kepentingan

untuk mengintervensi hakim.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

Page 124: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

124

Gubernur Ahok di Ujung Tanduk?

Koran SINDO

4 April 2015

Dalam hitungan hari, Panitia Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta akan

melaporkan hasil kerjanya ke sidang pleno DPRD DKI.

Ada dua pertanyaan yang menarik sehubungan dengan selesainya kerja Panitia Hak

Angket. Pertama, bagaimana kira-kira sikap masing-masing fraksi di DPRD sehubungan

dengan hasil kerja Panitia Hak Angket? Kedua, bagaimana kira-kira sikap pleno DPRD DKI?

Terhadap kedua pertanyaan ini, prediksi saya sebagai berikut: Pertama, melalui voting,

Panitia Hak Angket pasti akan sepakat mengeluarkan sikap bahwa Gubernur Basuki Tjahaja

Purnama telah melanggar undang-undang, yaitu menyerahkan RAPBD 2015 secara sepihak,

tanpa persetujuan sama sekali dari Dewan. Kecuali itu, Gubernur disalahkan karena

melakukan pelanggaran etika, khususnya dalam berkomunikasi.

Yang menentang angket sejauh ini adalah Fraksi Nasdem, PKB, Hanura, dan PAN. Jumlah

kursi dari keempat fraksi tersebut hanya 23. Fraksi-fraksi besar adalah PDIP 28 kursi,

Gerindra 15, PKS 11, dan Golkar 9. Mereka ujung tombak angket. Yang unik dan membuat

saya tidak mengerti, Fraksi PDIP sejak awal mendukung penuh angket terhadap

Gubernur. Hal itu menunjukkan bahwa Basuki alias Ahok sudah kehilangan dukungan dari

Ibu Megawati Soekarnoputri. Jadi, kalau main hitung-hitungan di atas kertas, kekuatan anti-

angket dengan mudah digilas oleh kekuatan pendukung angket!

Kedua, ketika hasil Panitia Hak Angket dibawa ke Pleno Dewan, hampir dipastikan,

mayoritas wakil-wakil rakyat DKI itu, dengan penuh emosi, berteriak meminta Dewan untuk

meningkatkan status hak angket ke ”hak menyatakan pendapat”! Seperti kita ketahui

bersama, Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyatakan anggota DPR memiliki tiga hak pokok,

yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ketika sudah sampai pada

hak pokok yang ketiga, hak menyatakan pendapat, Presiden atau kepala daerah sesungguhnya

sudah diseret ke ”pengadilan” yang disebut impeachment, atau pemakzulan.

Hanya, prosedur pemakzulan atas Presiden berbeda dengan pemakzulan atas kepala daerah.

Peradilan terhadap Presiden ditempuh melalui putusan DPR RI untuk mengadili Presiden

karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap sumpahnya, atau menyimpang dari

ketentuan UUD 1945 atau melakukan tindak kejahatan. DPR kemudian menulis surat ke

Mahkamah Konstitusi untuk dimintakan pendapatnya. Jika MK memiliki sikap dan pendapat

yang sama, DPR meminta MPR untuk menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan

Presiden. Namun, jika MK berbeda pendapat dengan DPR mengenai tuduhan penyimpangan

Page 125: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

125

terhadap konstitusi maka proses pemakzulan pun berhenti. Di Sidang Istimewa, MPR tinggal

ketuk palu, karena seluruh anggota DPR merangkap anggota MPR. Jumlah anggota DPD di

MPR tidak terlalu signifikan, cuma 4x33 atau 132 anggota.

Mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah, jika DPRD menerima pendapat

mayoritas anggota Dewan untuk memberhentikan gubernur/bupati maka DPRD menulis surat

kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan pendapat hukumnya (legal opinion). Jika MA

sependapat dengan DPRD, yaitu terjadi penyimpangan serius yang dilakukan oleh

gubernur/bupati, maka MA menulis surat kepada Presiden, meminta Presiden

memberhentikan kepala daerah tersebut. Proses pemakzulan berhenti manakala MA

berseberangan pendapatnya dengan pendapat DPRD.

Permasalahannya: apakah Presiden bisa memveto pendapat hukum MA? Kalangan hukum

pasti terbelah pendapatnya. Ada yang berpendapat Presiden mau tidak mau harus mengikuti

putusan MA. Namun, ada juga yang berpendapat Presiden tetap memiliki hak untuk menolak,

di samping menerima putusan MA. Presiden Indonesia, berdasarkan ketentuan UUD 1945,

memang memiliki kewenangan legislatif dan yudikatif, di samping pemegang kewenangan

tertinggi di bidang eksekutif.

Dengan demikian, nasib Ahok takkan segera ”tamat” kalau pun mayoritas anggota DPRD

DKI serempak berteriak: ”Pecat Gubernur! Pecat Gubernur!”. Masih ada dua ”algojo” yang

sangat berkuasa yang harus dilewati oleh Dewan, yaitu Mahkamah Agung dan Presiden

Republik Indonesia. Di MA sendiri, proses peradilan terhadap gubernur Jakarta dipastikan

akan memakan waktu cukup lama.

Kami sangat percaya bahwa para hakim agung memiliki integritas tinggi, di samping

pengetahuan hukum yang dalam. Mereka takkan terbawa ”arus huru-hura” di DPRD Jakarta,

juga takkan terseret dalam konflik sektarian antara Gubernur Ahok dan DPRD Jakarta.

Kecuali itu, para hakim agung yang terhormat tentu akan mempelajari secara saksama apakah

pelanggaran terhadap etika komunikasi yang dilakukan oleh Gubernur Ahok, kalau memang

demikian, dapat dijadikan ”obyek perkara” untuk menjatuhkan sang Gubernur.

Kalau toh proses impeachment lolos di Mahkamah Agung, bagaimana dengan Presiden

Jokowi, benteng terakhir dari seluruh proses impeachment? Di atas kertas, Presiden akan

mati-matian mempertahankan Ahok. Semua orang sudah mengetahui bagaimana dekatnya

hubungan duet Jokowi-Ahok, sejak mereka berkampanye bersama dalam pemilihan gubernur

Jakarta tiga tahun yang lalu Namun, jika gonjang-ganjing politik, terutama di DPR RI, masih

terus panas dan menggoyahkan kedudukan Presiden Jokowi, ceritanya akan berlainan. Jadi,

bagaimana Presiden Jokowi bersikap manakala nasib Ahok akhirnya ”jatuh ke tangannya”,

akan sangat ditentukan bagaimana posisi Jokowi dalam konstelasi politik nasional ketika itu.

Kebencian Anggota Dewan

Tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa angket terhadap gubernur Jakarta lemah dan

Page 126: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

126

tidak rasional, hanya bermotifkan politis. Bahkan, ada pula tudingan bahwa angket itu

semata-mata untuk menutupi ”muka buruk” wakil rakyat atau sebagai senjata untuk

menolong sejumlah oknum anggota Dewan yang dicurigai terlibat dalam tindak korupsi

terkait dengan isi RUU APBD 2015.

Tudingan-tudingan semacam itu bisa benar, bisa juga subjektif. Tapi menurut keyakinan

saya, sentimen mendukung angket di Dewan merupakan ekor dari akumulasi kekecewaan dan

kemarahan mayoritas anggota Dewan terhadap perilaku (politik) Pak Gubernur.

Di mana-mana, juga di depan para anggota panitia hak angket DPRD Jakarta, saya

mengemukakan bahwa Ahok sesungguhnya pemimpin yang bagus, tegas, berani, pekerja

keras, dan cepat mengambil keputusan. Ia juga berani melawan arus, terutama ”arus jahat”

yang memang sudah sangat fenomenal di Republik Indonesia selama ini. Hanya, komunikasi

politik Ahok buruk, sangat buruk. Yang paling menyakitkan para anggota Dewan, ketika

Ahok menyatakan kesiapannya membangun 106 sel tahanan untuk (menjebloskan) anggota

Dewan! Seakan-akan ia menuding seluruh wakil rakyat itu maling dan korup!

Dilanda oleh amukan marah, maka praktik politik pun menjadi irasional. Sebagian besar

anggota Dewan, lalu, sepakat, untuk menjatuhkan Ahok dari kursinya sebagai gubernur DKI.

Rasional atau irasional, kalau sebagian besar yang empunya kuasa di Kebon Sirih sepakat

untuk memakzulkan Gubernur, Anda mau bilang apa?

Tapi, sekali lagi, setelah angket lolos di DPRD Jakarta, proses menjatuhkan Ahok masih

panjang dan alot. Para wakil rakyat masih harus bersabar menunggu keputusan Mahkamah

Agung dan Presiden Indonesia, kalau lolos juga dari Mahkamah Agung. Sementara itu, kalau

saja proses hukum di Bareskrim Polri terhadap para oknum pejabat terkait dengan tudingan

korupsi di RAPBD DKI bergulir cepat, nasib angket selepas gedung DPRD DKI akan

berubah pula.

PROF DR TJIPTA LESMANA

Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR

Page 127: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

127

Relawan dan Timses Masuk BUMN?

Koran SINDO

4 April 2015

Beberapa hari yang lalu sebuah kelompok diskusi Jakarta yang bernama Kelompok Diskusi

dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai-KOPI) melakukan polling opini publik tentang

pendapat masyarakat atas keputusan pemerintah memasukkan eks tim sukses dan relawan

Jokowi-JK menjadi komisaris BUMN. Polling dilakukan pada situs politik www.

uneg2politik.com. Hasil polling-nya, lebih dari 72% publik tidak setuju dengan kebijakan ini.

Setidaknya ada tujuh relawan yang menempati posisi strategis di perusahaan BUMN.

Relawan itu antara lain Cahaya Dwi Rembulan Sinaga yang menjadi komisaris independen

Bank Mandiri, Pataniari Siahaan komisaris independen BNI, Sonny Keraf komisaris

independen BRI, Jeffry Wurangin komisaris BRI, Refli Harun komisaris utama Jasa Marga,

dan Diaz Hendropriyono komisaris Telkomsel. Baru-baru ini Sukardi Rinakit ditawari masuk

jajaran komisaris di BTN, namun syukurlah beliau mengedepankan pilihan hatinya dan

menolak.

Praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di perusahaan BUMN sebenarnya lazim

dilakukan Presiden sebelumnya. Namun, baru kali publik mengungkapkan

ketidaksetujuannya pada keputusan tersebut. Keputusan tidak setuju dari publik patut diduga

sebagai reaksi atas janji Jokowi-JK yang saat masa kampanye pilpres menjanjikan tidak akan

bagi-bagi kursi. Lantas mengapa Presiden seperti memaksakan bahwa relawan harus masuk

menjadi petinggi di badan usaha milik negara (BUMN)? Bahkan ada selentingan di media

massa bahwa menteri BUMN sudah menyiapkan 600 posisi bagi relawan eks tim sukses

Jokowi di BUMN.

David Easton, profesor Universitas Chicago Amerika Serikat, pernah memprediksi bahwa ini

akan terjadi dalam politik. Easton menggariskan bahwa ada atribut yang disebut input-output

dalam sistem politik. Input berasal dari masyarakat yang isinya tuntutan dan dukungan,

sementara output adalah hasil kerja politik yang berasal dari tuntutan dan dukungan. Bila

dikaitkan dengan relawan saat pilpres lalu, relawan sedang memainkan fungsi tuntutan

kembali setelah output telah tercapai.

Tapi, bila hanya mengacu pada pemikiran Easton, ini tidak cukup kuat memaksakan Jokowi

memasukkan relawan ke BUMN. Saya mencatat, setidaknya ada satu alasan kuat yang

kemudian diturunkan menjadi dua alasan pendukung untuk menjawab pertanyaan tadi yaitu

Jokowi sangat memerlukan dukungan solid yang lebih banyak, terutama dari pendukungnya.

Jokowi Butuh Dukungan Solid

Page 128: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

128

Saat ini Jokowi diduga tidak memiliki dukungan solid di pemerintahan. Sangat kecil

kelompok politik yang benar-benar mendukung mantan gubernur Jakarta ini. Indikatornya

dapat dilihat mulai dari komposisi kabinet yang jauh dari harapan masyarakat hingga

rongrongan terhadap kebijakan yang bertubi-tubi menghujam Jokowi.

Selain itu, sudah jadi dugaan umum kekuatan KMP (Kalla, Mega, Paloh) lebih mendominasi

pemerintahan. KMP versi Istana ini patut diduga menjadi kekuatan yang sering membuat

kebijakan ajaib, yang membuat Jokowi tersudut. Salah satu contohnya adalah dugaan

berperannya KMP versi Istana dalam pencalonan BG sebagai kepala Polri atau keluarnya

Surat Keputusan Menteri Yasonna yang memengaruhi konflik PPP dan Partai Golkar. Selain

itu, tekanan juga hadir dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mulai bersikap abu-abu

menyikapi kebijakan Presiden Jokowi.

Dalam kondisi ”terdesak” seperti saat ini, Jokowi akhirnya berada pada posisi harus

memperkuat jaringan yang dia sadar loyal pada dirinya. Jaringan loyal yang dimiliki para

relawan. Presiden mungkin sangat mengharapkan relawan dengan ”hadiah” yang diterimanya

dapat menjadi tembok pertama Presiden dari hantaman lawan-lawan politiknya.

Jokowi Bukan Lagi Media Darling

Selain keadaan yang ”terdesak”, perlu diyakini bahwa Jokowi bukan lagi media darling.

Sebutan media darling kembali disematkan pada sosok Jusuf Kalla. JK sejak zaman SBY

sebetulnya selalu menjadi media darling. JK selalu disosokkan sebagai tokoh yang mumpuni

dan nyaris sempurna oleh media massa.

Ini semakin diperkuat saat JK hadir pada perayaan puncak Hari Pers Nasional 2015 di

Kepulauan Riau beberapa bulan lalu. JK membalas dukungan media dengan hadir secara

penuh di acara itu. Kehadiran JK menempatkan Jokowi pada posisi kurang bagus karena

menjadi Presiden pertama Indonesia yang tidak hadir pada acara perhelatan terbesar media

massa nasional itu.

Partai Pengusung yang Banyak Maunya

Blunder pertama Jokowi dalam politik sejak dia menjabat menjadi presiden adalah janji

politik semasa kampanye yang tidak memperbolehkan rangkap jabatan di parpol dan

pemerintahan. Walaupun janji politik ini bagus, tapi dalam politik praktis, janji ini

menyebabkan Jokowi kesulitan menjalankan pemerintahan.

Sebagai pemimpin yang bukan dari elite partai, Jokowi sulit independen dari parpol

pengusungnya dan koalisi parpol pendukungnya. Hasilnya, pemilihan posisi menteri kabinet

kerja yang sering disebut menteri ”KW 3” karena lebih mengedepankan pembagian kursi

kekuasaan daripada kapabilitas. PDIP sebagai parpol pengusung Presiden malah baru-baru ini

mendorong Presiden agar memperbolehkan menteri memegang jabatan ganda, melawan

kebijakan Presiden yang sudah mengharuskan pejabat negara tidak boleh menjabat di partai.

Page 129: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

129

Bayangkan saja bila akhirnya Jokowi goyah dan mengabulkan permintaan itu, pasti akan

banyak menteri yang menjadi pengurus parpol. Walaupun oleh beberapa pendukung Jokowi

mendoakan agar Jokowi menerima dorongan PDIP. Tujuannya agar Jokowi bisa jadi elite

partai seperti SBY dan Megawati yang lebih mudah menjalankan kebijakan sebagai presiden

karena juga mengatur kebijakan di partai politiknya.

Dari beberapa alasan, nanti mungkin sebagai individu kita dapat memahami mengapa Jokowi

memaksakan posisi penting di BUMN untuk para relawan pendukungnya. Presiden perlu

banyak dukungan untuk menjalankan program-programnya. Terdesak dan bukan lagi media

darling bisa jadi membuat Jokowi memaksakan diri untuk tidak memenuhi janjinya saat

kampanye dengan serta-merta menempatkan relawan dan tim sukses pada posisi kursi panas

BUMN.

HENDRI B SATRIO

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina

Page 130: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

130

Konspirasi Politik Yasonna Laoly

Koran SINDO

6 April 2015

Beruntun dalam rentang waktu sangat singkat, pemerintahan Presiden Joko Widodo dua kali

dipermalukan. Pasalnya, dua surat keputusan penyelesaian konflik internal dua partai politik

yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dibatalkan Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN). Masalah kompetensi dan kapabilitas sang menteri? Atau, karena

Yasonna berpolitik dengan mengelola konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-

larut? Kalau Menteri Hukum saja tidak mengerti hukum dan tidak taat hukum, ya celakalah

bangsa ini.

Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian dari gerakan kelompok tertentu yang tengah

menjalankan skenario busuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Saya mengendus ada

skenario besar yang terorganisasi menyerang Presiden Jokowi melalui orang-orang dekatnya

dari dalam.

Serangan dilakukan serentak melalui empat penjuru angin. Pertama, dari sisi ekonomi. Yakni

menciptakan instabilitas ekonomi melalui kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat seperti

BBM, gas elpiji, listrik, beras, transportasi. Kedua, dari sisi hukum. Yakni gerakan sistematis

pelemahan upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan lain-lain.

Ketiga, dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Yakni menciptakan rasa ketakutan dan

ketidaknyamanan rakyat dengan meningkatnya tindakan kekerasan. Dari fenomena para

begal motor, terorisme ISIS, hingga bentuk kriminal lainnya. Keempat, dari sisi

politik. Yakni menciptakan turbulensi politik di parlemen melalui pertikaian partai politik

agar menimbulkan kegaduhan terus-menerus yang diharapkan melahirkan kebencian serta

antipati partai politik kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi. Dan, Yasonna

diduga menjadi bagian dari skenario itu yang bertugas menciptakan turbulensi politik untuk

menggoyang Jokowi tersebut.

Jadi, wajar kalau Yasonna bersikap tidak menghormati keputusan hukum PTUN. Baik

terhadap keputusan PTUN terhadap Golkar maupun keputusan PTUN terhadap PPP.

Tujuannya sangat jelas. Ya itu tadi, agar instabilitas politik tetap terjaga, dan Jokowi tidak

bisa bekerja.

Seperti diketahui, penetapan penundaan diputuskan oleh majelis hakim PTUN atas dasar

permohonan dari kubu ARB sebagai penggugat sampai ada keputusan berkekuatan hukum

tetap. Alasan utama dikabulkannya penetapan penundaan adalah keadaan mendesak yang jika

Page 131: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

131

tidak dikabulkan, akan merugikan kepentingan penggugat. Atau akan menimbulkan suatu

akibat yang tidak dapat dipulihkan kembali.

Logikanya sederhana. Dengan ditunda keberlakuannya maka SK tersebut dengan sendirinya

menjadi tidak berlaku secara efektif sejak SK tersebut diterbitkan (ex tunc). Maka keadaan

kembali ke keadaan semula seperti pada saat sebelum SK tersebut diterbitkan.

Karena itu adalah putusan sela, tidak ada sesuatu apa pun yang harus dilakukan Menkumham.

Pasalnya, putusan sela yang berisi penundaan berlakunya SK tersebut berlaku efektif dan

mengikat secara hukum sejak putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka

untuk umum.

Pertanyaannya, apakah SK Menkumham tentang Kepengurusan Agung Laksono tadi sah?

Jawabnya sah. Namun, SK tersebut belum berlaku sehingga tidak membawa akibat hukum

apa pun.

Permalukan Presiden

Di luar dugaan terjadinya konspirasi Yasonna sebagaimana diuraikan di atas. Apa pun yang

dituju atau ingin dicapai Yasonna, dua kali sudah pemerintahan Presiden Joko Widodo

(Jokowi) menampilkan wajah tidak kapabel, pun tidak kredibel.

Tak hanya dikecam, perilaku Menkumham Laoly bahkan jadi bahan olok-olok publik,

khususnya para politisi, karena sang menteri menerbitkan dua surat keputusan (SK) yang

ujung-ujungnya bermasalah.

Benar-benar merasa tak nyaman karena pemerintahannya dipermalukan seperti itu, Presiden

Jokowi pun meminta hasil kajian Menteri Laoly terkait penyelesaian dualisme kepengurusan

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kalau Presiden sampai harus

meminta hal itu, pasti ada yang diragukan atau ingin dipertanyakan oleh Presiden.

Persoalan internal yang membelit Partai Golkar dan PPP tampaknya akan terus tereskalasi

karena Menteri Laoly sedang menjalankan misi politik melanggengkan konflik internal yang

sudah melanda dua partai ini. Karena misi politik itu harus dituntaskan dengan cara instan,

sepak terjang Laoly pun tampak menjadi serba terburu-buru dan amatiran. Tak peduli dengan

fakta-fakta tentang keabsahan dan proses hukum yang sedang ditempuh ARB dkk. maupun

Djan Faridz-SDA, Laoly nekat mengeluarkan surat keputusan pengesahan untuk

kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan kepengurusan Romy dkk.

Dan, karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di PPP sudah

mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak salah juga kalau

banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak independen. Memahami posisi

Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz pun tidak tinggal diam. Keduanya

menempuh cara-cara legal.

Page 132: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

132

Laoly-Agung

Hasil perlawanan gigih ARB dkk serta Djan Faridz dkk akhirnya sudah mempermalukan

pemerintah. Sebaliknya, PPP dan Golkar pun sesungguhnya tidak nyaman dengan situasi

seperti itu. Elite kedua partai pada dasarnya tidak ingin persoalan internal itu menjadi

berkepanjangan dan berlarut-larut. Dampaknya bukan hanya pada dinamika politik dalam

negeri yang kurang sehat, tetapi juga bisa mengganggu kinerja Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR). Baik soliditas Fraksi Partai Golkar (FPG) maupun Fraksi PPP di DPR pasti

terganggu. Lebih dari itu, kedua partai jelas tidak diuntungkan. Utamanya kalau dikaitkan

dengan persiapan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin

persiapan Golkar dan PPP tidak berjalan mulus akibat konflik internal yang berlarut-larut itu.

Ada kemiripan perilaku terburu-buru antara Menteri Laoly dan Agung Laksono dkk. Kalau

Menteri Laoly nekat bertindak cepat mengesahkan kepengurusan DPP Golkar produk Munas

Ancol dan DPP PPP produk Muktamar Surabaya, Agung Laksono dkk pun bertindak cepat

ingin segera menguasai FPG. Padahal, dari aspek legal, tindakan terburu-buru Agung

Laksono dkk justru menjadi ilegal. Masalahnya, belum ada ketetapan hukum mengikat yang

melegalkan aksi Agung Laksono dkk menggeruduk ruang rapat FPG di lingkungan DPR,

Senayan. Kalau aksi geruduk itu hanya berlandaskan SK Menkumham, jelas sangat lemah.

Utamanya karena DPP Partai Golkar produk Munas Bali sedang melayangkan gugatan

hukum atas SK Menkumham itu.

Perilaku terburu-buru itu pun masih coba dilanjutkan Agung Laksono dkk kendati PTUN

memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Menkumham itu. Agung Laksono dkk

menerbitkan surat peringatan pertama untuk kader Golkar di DPR, meliputi Setya Novanto,

Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo. Tindakan serba terburu-buru ini jelas

memperlihatkan iktikad tidak baik. Sama artinya Agung Laksono dkk tidak menghormati

keputusan PTUN.

Menteri Laoly pun sama dengan Agung dkk, yaitu tidak menghormati proses hukum. Menteri

Laoly tetap nekat mengesahkan kepengurusan Agung dkk, meski kubu ARB sudah

melayangkan gugatan ke pengadilan dan melaporkan kasus pemalsuan mandat DPD I-II

Partai Golkar dalam Munas Ancol.

Bukan faktor kebetulan jika terjadi kemiripan perilaku Menteri Laoly serta Agung Laksono

dkk. Kemiripan aksi ini pasti sudah dirancang untuk menciptakan dinamika politik tidak

sehat. Kalau kemudian Agung dkk serta Menteri Laoly tampak begitu berani bermanuver,

pasti karena ada dukungan sangat kuat dari unsur-unsur kekuasaan saat ini.

Namun, sesuatu yang busuk pada akhirnya akan tercium juga. Dalam kasus Partai Golkar,

baik Agung dkk maupun Menteri Laoly ceroboh. Dari segi kelengkapan dokumen misalnya,

Munas Ancol yang diselenggarakan Agung dkk itu jelas tidak legitimate. Akibatnya, pijakan

hukum Menteri Laoly dalam menetapkan kepengurusan Agung dkk pun sangat lemah.

Page 133: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

133

Itu sebabnya, PTUN menetapkan DPP Partai Golkar produk Munas Riau tahun 2009 sebagai

kepengurusan Golkar yang sah, dengan ARB sebagai ketua umum. Karena kecerobohan

Menteri Laoly, Presiden Jokowi harus menanggung malu.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

Page 134: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

134

Masa Depan Penyelesaian Krisis Nuklir Iran

Koran SINDO

Selasa, 7 April 2015

Tercapainya kata sepakat antara Iran dan negara-negara P5+1 (Amerika Serikat, Inggris,

Prancis, Rusia, China, dan Jerman) di Swiss menjadi kabar baik bagi stabilitas kawasan

Timur Tengah yang saat ini sedang bergejolak.

Butir-butir kesepakatan dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) menunjukkan

upaya pembatasan pengayaan uranium oleh Iran. Pilihan ini yang masuk akal. Sebelumnya

Iran tetap menghendaki untuk melanjutkan program nuklirnya dan diduga oleh negara-negara

Barat ingin mengembangkan senjata nuklir (weaponization).

Dari tujuh poin tersebut, ada dua poin yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Iran harus

bisa memberikan akses yang luas bagi Badan Energi dan Atom Dunia (IAEA) untuk

melakukan inspeksi bahkan di fasilitas nuklir Parchin yang merupakan fasilitas nuklir

militer.

Patut dicatat bahwa krisis nuklir ini berawal dari penolakan Iran untuk menerima tim inspeksi

IAEA yang sebelumnya melaporkan bahwa Iran melakukan pelanggaran dalam pengayaan

uranium. Kesediaan Iran untuk mengikuti kembali mekanisme pengawasan yang disepakati

secara internasional akan dapat mengurangi ketidakpercayaan di antara dua kubu yang

berseteru.

Kedua, kesediaan P5+1 untuk membatalkan embargo ekonomi terhadap Iran sebagai balasan

bagi kesediaan Iran menjalankan pembekuan pengayaan, mengurangi simpanan uranium, dan

mematuhi mekanisme pengawasan internasional.

Embargo ekonomi terhadap Iran, terutama yang terkait dengan penjualan minyak dan gas,

telah secara serius membuat Iran terkucil dan melemahkan perekonomian negara tersebut.

Kembalinya minyak dan gas Iran secara penuh di pasar internasional akan memperkuat basis

ekonomi negara tersebut dan, sekaligus, mengembalikan kekuatan Iran sebagai negara utama

di kawasan Timur Tengah.

***

Meski demikian, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar kesepakatan tersebut bisa

membuka jalan bagi penyelesaian damai yang sesungguhnya. Apalagi, proses perundingan di

Page 135: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

135

Swiss menunjukkan betapa alot pembicaraan di antara kedua kubu yang membuat Menlu

Amerika Serikat John Kerry meminta pemunduran deadline demi mencapai kesepakatan.

Pertama, ada gangguan dari masalah-masalah di kawasan yang terkait dengan Iran. Saat ini

setidaknya ada tiga isu di kawasan yang melibatkan Iran. Isu pertama adalah konflik di

Suriah. Iran merupakan pendukung utama rezim Bashar al-Asad dan penyedia logistik bagi

pasukan rezim dalam menghadapi kelompok perlawanan. Negara-negara Barat dan Arab

sendiri menentang kelangsungan rezim dan mendorong perubahan politik di Suriah.

Pengangkatan embargo ekonomi yang selama ini diberikan pada Iran tentu akan

memperbesar kemampuan negara tersebut dalam memberikan suplai dukungan kepada

rezim.

Isu kedua adalah instabilitas di Irak. Kelompok Syiah di Irak yang dekat dengan Iran

merupakan salah satu kekuatan politik utama di negara ini. Dalam upaya memerangi ISIS,

Amerika Serikat akan memerlukan bantuan yang semaksimal mungkin dari kelompok Sunni

yang saat ini menjadi mitra aliansi utama ISIS. Bantuan tersebut akan membutuhkan

pelibatan kelompok Sunni dalam politik di Irak yang tentunya akan merugikan kelompok

Syiah.

Jika di Irak pelemahan posisi politik kelompok Syiah tersebut masih dalam tahap potensi, di

Yaman hal tersebut sudah berlangsung. Intervensi militer Arab Saudi, salah satu sekutu

utama Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, di Yaman menjadi gangguan bagi

kekuasaan de facto kelompok Houthi yang pro-Teheran.

Upaya untuk menjauhkan pengaruh isu-isu utama di kawasan tersebut terhadap penyelesaian

krisis nuklir Iran akan bisa dilihat dalam periode hingga pencapaian kesepakatan final yang

dijadwalkan muncul akhir bulan Juni nanti. Kemampuan untuk melepaskan isu nuklir Iran

dari isu-isu lain di kawasan akan sangat dibutuhkan.

Gangguan kedua datang dari Israel. Secara tegas, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu

menyatakan bahwa kesepakatan butir-butir utama JCPOA merupakan sebuah kesalahan.

Israel secara konsisten mengusulkan penyelesaian militer dalam penanganan krisis nuklir

Iran.

Israel menilai penghentian paksa program nuklir Iran merupakan satu-satunya opsi yang

harus diambil dalam masalah ini. Israel meletakkan serangan nuklir dari Iran, baik secara

langsung maupun melalui kelompok-kelompok yang diketahui memiliki kedekatan dengan

Teheran, sebagai salah satu sumber ancaman utama mereka. Ancaman dari Iran bahkan

mampu menggeser ancaman serangan gabungan negara-negara Arab yang selama bertahun-

tahun merupakan sumber ancaman utama Israel.

Kedekatan Iran dengan Hezbollah dan Hamas juga menjadi perhatian utama Israel. Hamas

sendiri telah menggunakan rudal-rudal buatan Iran dalam beberapa perang terakhir melawan

Israel.

Page 136: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

136

Terakhir, gangguan terhadap pencapaian kesepakatan final juga akan datang dari dalam Iran

sendiri. Salah satu kunci keberhasilan negosiasi Iran dengan P5+1 adalah ada perubahan

rezim di Iran. Posisi Presiden Rouhani yang lebih lunak dalam hubungan eksternal Iran

menjadi faktor yang signifikan bagi tercapainya kesepakatan.

Ini berbeda dengan posisi yang diambil pemerintahan terdahulu yang didominasi oleh

kelompok konservatif. Kekuatan kelompok konservatif di dalam politik domestik Iran sendiri

masih besar. Bagi kelompok ini, isu nuklir terkait dengan harga diri Iran sebagai bangsa yang

besar. Keputusan untuk membekukan program pengayaan uranium dan pengurangan

simpanan uranium yang telah diperkaya akan dengan mudah diterjemahkan sebagai

kekalahan Iran terhadap Barat.

***

Terlepas dari tiga gangguan tersebut, dukungan terhadap pencapaian kesepakatan final harus

tetap diberikan. Pilihan Indonesia untuk mendukung penyelesaian diplomatik harus tetap

disampaikan. Ada dua garis batas yang perlu dipegang oleh Indonesia dalam isu ini.

Pertama, sebagai salah satu negara yang mendorong kesepakatan Non-Proliferation Treaty

(NPT), Indonesia harus bersikap jelas untuk menolak upaya pengembangan senjata nuklir

oleh negara baru mana pun. Mekanisme untuk memastikan bahwa proses weaponization

tersebut tidak terjadi yang kemudian harus didorong. Pengawasan secara penuh oleh IAEA

menjadi salah satu opsi yang harus didorong.

Kedua, penyelesaian damai melalui negosiasi harus menjadi satu-satunya pilihan. Opsi-opsi

di luar negosiasi, terutama opsi militer, harus dijauhkan. Posisi Iran sebagai kekuatan utama

di kawasan akan membawa konsekuensi regional bagi setiap upaya militer terhadap Iran.

BROTO WARDOYO

Dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Page 137: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

137

Menangani ISIS dengan Humanis

Koran SINDO

7 April 2015

Bagaimana negara mengatasi eksistensi dan penyebaran ideologi dan gerakan Islamic State of

Iraq and Syria (ISIS)–selanjutnya disebut Islamic State (IS)–masih kontroversial.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan dua langkah kontroversial.

Pertama, memblokir website yang diduga terindikasi terkait dengan kegiatan terorisme.

Kedua, merevisi beberapa undang-undang antara lain UU No 15/2003 tentang Terorisme dan

UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Alih-alih mendapatkan acungan jempol dan dukungan, berbagai pihak justru menila i langkah

yang dilakukan BNPT kontraproduktif, inkonstitusional, dan terindikasi melanggar hak asasi

manusia. BNPT terkesan gugup dan gagap menangani masalah ISIS.

State of Mind

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu lalu, Wakil Presiden

Jusuf Kalla menegaskan tiga hal penting terkait IS. Pertama, masalah IS sejatinya merupakan

persoalan pemikiran atau state of mind karena diperlukan pemahaman terhadap isi dari

pemikiran tersebut.

Kedua, ibarat virus, IS dapat masuk ke alam pikiran masyarakat bila negara lemah. Ibarat

tubuh, negara yang lemah akan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh virus.

Ketiga, karena merupakan pemikiran, jalan keluar dalam mengatasi masalah IS haruslah

dengan pemikiran pula.

Mengapa paham IS mudah masuk dan berkembang di Indonesia? Ada lima faktor yang saling

terkait antara satu dan lainnya. Pertama, faktor politik. Sistem negara Pancasila yang belum

mampu membawa bangsa Indonesia kepada kesejahteraan, keamanan, dan keadilan

menimbulkan kekecewaan politik dan keraguan terhadap sistem politik dan hukum nasional.

Kedua, faktor teologis, kekecewaan dan keraguan tersebut mendorong sebagian masyarakat

mencari model ideal sistem politik dan ketatanegaraan. Mereka yang terbuai romantisme

sejarah berusaha memproklamirkan sistem khilafah dan mendirikan negara Islam.

Ketiga, faktor ekonomi. Kesulitan hidup yang membelit akan mendorong seseorang mencari

jalan keluar pragmatis demi memperbaiki harkat hidup. Keempat, faktor globalisasi informasi

di mana seseorang dapat mengakses informasi dari berbagai sumber yang tanpa sensor dan

Page 138: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

138

tanpa batas.

Kelima, faktor solidaritas. Penindasan yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan

dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah, membangkitkan semangat jihad untuk

menolong sesama. Dalam beberapa hal cara-cara kekerasan dalam penindakan para ”teroris”

yang terpublikasi luas dapat menimbulkan simpati dan dendam kepada aparatur keamanan.

Pendekatan Humanis

Karena akar persoalannya terletak pada state of mind, solusi yang paling mungkin adalah

dengan pendekatan soft power. Pendekatan soft power perlu diutamakan melalui beberapa

langkah. Pertama, konter opini melalui media massa dan publikasi yang masif. Pemerintah

memiliki sumber daya dan sumber daya yang kuat membuat website dan buku-buku populer.

Selain elegan, cara demikian juga dapat mendorong dan menumbuhkan kreativitas yang sehat

dan budaya yang produktif.

Kedua, bekerja sama dengan ormas Islam mainstream yang moderat sebagai vocal point.

Ormas Islam ini juga dapat berperan sebagai religious broker yang menjadi agen dialog

dengan kelompok radikal.

Ketiga, membentuk peer group dengan memberdayakan generasi muda untuk terlibat dalam

penanggulangan terorisme. Pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga adalah kelompok

strategis yang dapat menjadi pionir dalam membangun tata kehidupan yang santun dan anti-

kekerasan.

BNPT dan pemerintah perlu banyak mendengar suara-suara tulus para pemimpin

agama. Tidak ada salahnya mengevaluasi pendekatan hard-power yang mengedepankan

keperkasaan serdadu dan kecanggihan senjata. Sepertinya masyarakat tidak bertambah tenang

dengan berbagai aksi penyerbuan yang terkesan over-acting. Cara-cara demonstratif yang

militeristik seperti yang dilakukan selama ini justru membuat masyarakat tegang.

Revisi undang-undang untuk menghabisi IS secara konstitusional nampaknya hanya akan

menghabiskan waktu. Cara-cara pre-emptive dengan melarang IS juga potensial memecah

belah umat dan mengadu domba masyarakat. Larangan tidak akan membunuh pemikiran,

tetapi justru memperteguh akar dan menumbuhkan suburkan generasi baru yang lebih

radikal.

Pendekatan soft-power lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan yang semakin merata,

keadilan untuk semua, dan rasa aman bagi semua. Pendekatan hard-power memang sudah

waktunya diminimalkan, bahkan jika memungkinkan dihentikan. Sebagaimana dikatakan

Fuller (2010) dalam A World Without Islam: ”Zero tolerance for terrorism” is another

slogan that needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian in character,

just as zero tolerance for crime has no functional meaning in contemporary society.”

Page 139: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

139

Mereka yang mencintai Indonesia tidak ada yang mendukung terorisme. Mereka yang peduli

pada perdamaian akan mengedepankan cara-cara yang damai dan manusiawi dalam

menyelesaikan masalah antar sesama manusia. Pendekatan humanis sepertinya lebih taktis

untuk menangani ISIS.

ABDUL MU’TI

Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 140: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

140

Refleksi Konflik di Timur Tengah

Koran SINDO

8 April 2015

Kawasan Timur Tengah mendapat perhatian dunia dalam beberapa pekan terakhir. Peristiwa

pertama yang mengawali kejutan politik dari kawasan itu di tahun 2015 adalah kudeta yang

dilakukan oleh pasukan Houthi terhadap Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.

Peristiwa itu kemudian membawa negara-negara Arab turut campur dan berbalik menyerang

pemberontak Houthi di Yaman. Serangan bersama itu juga disinyalir sebagai balasan atas

bantuan Iran kepada pemberontak Houthi yang dilakukan pada awal-awal serangan. Beberapa

pesawat yang diduga berasal dari Iran, tertangkap melintasi dan memberikan bantuan

serangan udara ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Presiden Yaman.

Peristiwa kedua yang juga penting adalah tercapainya kesepakatan antara P5+1 (yakni lima

negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa: Amerika Serikat,

Rusia, Cina, Inggris, Prancis, ditambah Jerman) dengan pemerintah Iran.

Walaupun masing-masing pihak menyatakan yang disepakati tersebut adalah outline (garis

besar) dan bukannya agreement (perjanjian) karena kesepakatan tersebut terbilang masih jauh

dari harapan masing-masing pihak, setidaknya kesepakatan itu dapat dijadikan titik tolak

untuk masuk ke dalam isu-isu lain yang lebih strategis.

Beberapa isu yang telah dinegosiasikan antara P5 + 1 dan Iran antara lain berkurangnya

fasilitas pengayaan nuklir Iran dan kemampuannya untuk meningkatkan kualitas teknologi

tersebut dalam kurun waktu 15 tahunan. Di sisi lain, Iran menunggu Amerika Serikat dan

negara-negara Eropa mencabut sanksi ekonomi atas Iran.

Selain dua peristiwa tersebut, ISIS juga mengalami popularitas cukup tinggi. Tidak hanya di

Indonesia, ideologi ISIS juga menarik orang-orang muda di Eropa. Survei yang dilakukan

oleh ICM untuk kantor berita Russian Rossiya Segodnya pada Agustus tahun lalu

menyebutkan 16% dari anak muda Prancis menyokong ideologi ISIS. Data itu menunjukkan

ISIS semakin menyaingi Al-Qaeda yang umumnya hanya disokong oleh beberapa kelompok

kuat di Pakistan dan Afghanistan.

Kejadian-kejadian tersebut ada yang membawa kabar baik dan ada juga kabar buruk. Hal itu

membuat kita menjadi sulit untuk menyimpulkan apakah sedang ada kecenderungan

terjadinya perdamaian di Timur Tengah, atau justru situasi semakin memburuk, atau status

quo (tidak maju dan tidak mundur). Namun, pernyataan yang paling mengerikan adalah

Page 141: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

141

apabila kita mulai mempercayai bahwa kawasan tersebut tidak akan pernah damai dan

mereka hidup dari pertikaian.

Pertanyaan yang sering muncul di benak publik, apakah konflik dan ketegangan tersebut

dilatarbelakangi oleh persaingan ideologi Sunni dan Syiah? Media Al-Jazeera dalam konteks

konflik di Yaman menyimpulkan konflik yang terjadi di Yaman adalah konflik

berkepanjangan antara kelompok Syiah yang dipimpin oleh Abdulmalik al-Houthi melawan

Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi dari kelompok Sunni. Kelompok Hadi ini didukung oleh

kelompok Partai Islah Sunni. Konflik ini dianggap sebagai buntut penggulingan mantan

Presiden Ali Abdul Saleh yang telah memerintah Yaman sejak 1990 seiring protes publik

pada masa Arab Springs tahun 2011.

Tidak jelas juga dasar simpulan dari media tersebut karena mereka tidak menggali lebih

dalam perihal konflik horizontal tersebut. Masalahnya, seperti yang terjadi di beberapa

negara Arab lain, transisi demokratis yang lahir dari gerakan Arab Springs memang tidak

dibimbing oleh semangat kebangsaan dan gagasan negara demokratis ideal. Hanya beberapa

negara yang berhasil melewati tahap yang kritis itu untuk berlalu dari sistem pemerintahan

yang otoriter menuju menjadi pemerintahan yang demokratis. Kita dapat menyebutkan

sedikit di antaranya adalah Tunisia, walaupun itu sempat ternodai dengan aksi penyanderaan

kelompok teroris tiga pekan lalu.

Dalam kekosongan gagasan kebangsaan tersebut, politik identitas masuk mengisi dan

mempertegas perbedaan antarkelompok. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana politik

identitas itu menjadi pemicu atau yang memotivasi konflik? Ataukah politik identitas itu

hanya dijadikan sebagai alat bagi sejumlah kelompok? Agak sulit tampaknya untuk mengurai

kerumitan tersebut dan menentukan faktor apa yang menentukan. Apa yang dapat kita lihat

bahwa politik identitas dan kepentingan kelompok adalah saling melengkapi dalam konteks

di Timur Tengah.

Sejauh ini perjalanan sejarah transisi politik di negara-negara Arab yang kita pahami dari

gerakan Arab Springs adalah dimotivasi oleh perubahan dan gagasan yang sekuler dan bukan

dari gagasan yang sektarian. Masyarakat menghendaki berakhirnya pemerintahan otoriter

yang telah menguasai negara selama lebih dari 20 atau 30 tahun.

Pemerintahan yang dibayangkan oleh gerakan masyarakat sipil pada saat itu adalah sebuah

pemerintahan demokratis, di mana setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk

memilih dan dipilih. Ada kesadaran sebetulnya pada masa tersebut bahwa persaingan

antarsuku untuk merebut kekuasaan adalah kesalahan yang harus dihindari.

Hal yang menarik kemudian adalah perjalanan fokus konflik yang berubah di Timur Tengah:

dari konflik antara pemerintahan otoriter terhadap gerakan masyarakat pro-demokrasi

menjadi konflik antara kelompok dan suku, dan kemudian terakhir menjelma menjadi konflik

antara Sunni dan Syiah.

Page 142: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

142

Konflik itu mungkin sudah ada namun menguat dan menurun seiring dengan konflik-konflik

internal yang ada di setiap negara. Kita masih ingat bagaimana delapan negara yang saat ini

berada di bawah Operation Decisive Storm untuk menyerang Houtis (Qatar, Uni Emirat

Arab, Bahrain, Kuwait, Yordania, Mesir, Maroko, dan Sudan) pernah berbeda pendapat

tentang krisis yang terjadi di Mesir terkait dengan berkuasanya Jenderal Sisi dan dilarangnya

organisasi Persaudaraan Muslimin di Mesir. Pada saat itu, legitimasi Jenderal Sisi

dipertanyakan oleh negara-negara sekutunya. Demikian pula ketika menanggapi posisi

organisasi lain seperti Hammas.

Dari jauh, yang dapat kita simpulkan, konflik yang terjadi di dalam negeri negara-negara di

Timur Tengah dapat menarik intervensi negara lain baik secara langsung ataupun tidak

langsung. Negara-negara tersebut sulit menahan diri untuk tidak mencampuri urusan dalam

negeri negara lain. Hal ini tidak terbatas hanya kepada negara-negara Arab. Israel juga

merasa mereka harus turut campur walaupun mesti beraliansi dengan negara-negara Arab lain

untuk menghadapi Iran.

Di sini kita menilai pentingnya norma dan etika dalam hubungan internasional. Norma dan

etika bukan sesuatu yang mengikat seperti konvensi namun menjadi landasan dalam

berkomunikasi dengan negara-negara lain. Norma dan etika dapat menjadi jalan keluar dari

rasa curiga yang biasanya menjadi dasar interpretasi dalam menganalisa fakta di lapangan.

Apakah norma dan etika ini benar-benar hilang di Timur Tengah? Tampaknya tidak. Hal ini

dapat dilihat dari hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab lain seperti Yordania,

Mesir, dan bahkan Arab Saudi. Ada sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa tidak mungkin

di antara mereka akan saling serang, apalagi dalam konteks menghadapi Iran.

Pada hubungan inilah sering kali para analis menganggap bahwa sebetulnya yang terjadi

bukanlah konflik sekterian, tetapi konflik untuk menjaga status quo kekuasaan yang selama

ini berkuasa di Timur Tengah.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 143: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

143

Dua Sisi Koin Diplomasi Pertahanan

Koran SINDO

8 April 2015

Penggunaan kata-kata ”diplomasi” dan ”pertahanan” pada terminologi “diplomasi

pertahanan” secara bersamaan dianggap sesuatu hal yang anomali sejak lama. Tetapi,

sekarang ini penggabungan dua kata tersebut tidak lagi menjadi masalah. Sejak 2006 secara

resmi negara-negara ASEAN telah menjalankan konsep diplomasi pertahanan dalam

merespons perubahan lingkungan politik dan keamanan di kawasan.

Para pakar telah menyaksikan bukti-bukti kuat tentang penguatan secara institusional

rancangan diplomasi pertahanan dalam lingkup multilateral. Memang, penguatan tersebut

sebuah perkembangan yang signifikan setelah dalam waktu yang cukup lama negara di

kawasan menolak untuk membahas kerja sama pertahanan regional.

Munculnya diplomasi pertahanan multilateral di Asia Tenggara adalah sebuah fenomena

yang relatif baru. Banyak pakar yang berpendapat bahwa belum ada satu pun definisi

universal tentang diplomasi pertahanan, tetapi fitur spesifik yang membentuk pemahaman

kontemporer diplomasi pertahanan tampaknya muncul dalam konteks Asia Tenggara.

Hampir satu dasawarsa terakhir kita melihat kerja sama yang lebih erat antara militer ASEAN

atas berbagai isu yang mencakup tugas dan fungsi utama, serta peran militer di luar tugas

tradisional militer itu sendiri, seperti tugas-tugas penjaga perdamaian, memajukan tata

pemerintahan yang baik, respons cepat terhadap bencana alam dan kemanusiaan, serta

melindungi hak asasi manusia.

Seperti telah dibuktikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pertahanan. Berbeda

dengan kegiatan sebelumnya, diplomasi pertahanan di Asia Tenggara saat ini melibatkan

kerja sama militer dengan militer dan antara mitra di kawasan. Konsekuensi yang signifikan

bagi diplomasi pertahanan adalah bahwa militer di kawasan dan infrastruktur yang terkait

menjadi lembaga yang terlibat lebih intens dalam praktik diplomasi dan kebijakan luar negeri

negara-negara Asia Tenggara.

Penggunaan kekuatan bersenjata untuk mendukung diplomasi negara secara historis berkaitan

dengan kepentingan nasional. Keterlibatan militer dalam diplomasi merupakan elemen untuk

mencegah ambisi asing, yang dapat dilakukan melalui pamer kekuatan militer.

Dalam hal ini berupa unjuk kemampuan personel, kecanggihan persenjataan dan kemampuan

untuk membangun rasa saling menghormati dan rasa persaudaraan. Kemampuan tersebut

Page 144: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

144

diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional baik politik, ekonomi, integritas nasional,

atau kedaulatan negara.

***

Salah satu elemen kekuatan nasional adalah kualitas diplomasi seperti yang dijelaskan

Morgenthau. Diplomasi sangat krusial meskipun unsur ini sangat tidak stabil. Diplomasi bisa

dikatakan adalah otak dari kekuatan nasional, sedangkan semangat nasional adalah jiwanya.

Kualitas diplomasi dari setiap negara yang terlibat dalam hubungan internasional sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diplomasi tidak dapat berdiri sendiri karena dalam

diplomasi terdapat gabungan strategi militer dan tentu saja upaya sipil melalui cara-cara

diplomatik.

Sedangkan Clausewitz menggambarkan diplomasi sebagai hubungan antara sarana, cara, dan

tujuan. Dia menyebutnya sebagai ”trinitas paradoks” yang terdiri atas pemerintah, militer,

dan masyarakat. Pemerintah merepresentasikan bentuk tanggung jawab untuk menentukan

tujuan politik dan muara dari konflik. Militer bertanggung jawab untuk mengembangkan

strategi (cara) dan masyarakat yang diwakili oleh parlemen mewakili kehendak dan sumber

daya (sarana).

Dalam konteks polemik hukuman mati bagi dua terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan

Myuran Sukumaran, setiap elemen dari trinitas paradoks yang mewakili kepentingan nasional

Indonesia maupun Australia telah memainkan perannya masing-masing. Pemerintah

Australia telah melakukan lobi diplomatik agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan Indonesia bersedia memberikan pengampunan. Penolakan yang

dilakukan Presiden Jokowi terhadap lobi pemerintahan Tony Abbott disampaikan dengan

terang benderang; ”Kita ini menjaga hubungan baik dengan negara mana pun, ingin

bersahabat dengan negara mana pun, tapi kedaulatan hukum tetap kedaulatan hukum.

Kedaulatan politik tetap kedaulatan politik.”

Tindakan Pemerintah Indonesia memindahkan duo Bali Nine ke Nusakambangan ditanggapi

dengan sangat reaktif oleh Abbott yang mengaku muak dengan rencana eksekusi mati dua

warga negara Australia tersebut. Di kalangan masyarakat sendiri pro dan kontra terhadap

rencana pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana duo Bali Nine merambah ke berbagai

media sosial, baik di Indonesia maupun di Australia.

Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung eksekusi mati tetap dilaksanakan,

terlebih lagi setelah masyarakat Indonesia merasa direndahkan oleh pernyataan Abbott yang

mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan ”pemaksaan” pembatalan hukuman mati bagi

warga negaranya. Solidaritas masyarakat Indonesia begitu menggelora dengan melakukan

gerakan ”koin untuk Abbott”, sebagai ganti dana bantuan kemanusiaan untuk korban

Tsunami Aceh.

Page 145: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

145

***

Lantas di manakah peran militer dalam menyikapi rencana pelaksanaan hukuman mati bagi

terpidana? Bagi TNI sendiri keikutsertaan mengawal pemindahan Chan dan Myuran ke

Nusakambangan merupakan bentuk ketegasan TNI dalam mendukung politik negara.

Menurut Ian Storey, setidaknya ada lima dimensi diplomasi pertahanan, salah satu dari

dimensi tersebut adalah pertukaran dan penempatan atase pertahanan sebagai penyambung

lidah kebijakan pertahanan negara. Atase pertahanan sesungguhnya merupakan intelijen

terbuka yang mendapat izin dari pemerintah negara akreditasi. Atase pertahanan berhak dan

legal mengumpulkan berbagai informasi intelijen, situasi politik, dan isu-isu keamanan di

negara tempat mereka ditugaskan, tanpa takut dicurigai dan dituduh melakukan kegiatan

mata-mata.

Peran mengumpulkan informasi politik di negara para atase pertahanan ditugaskan ini dapat

dimaksimalkan TNI untuk mendukung kebijakan politik luar negeri Indonesia. Seperti saat

ini, kengototan dan kepanikan Abbott serta Bishop dengan menggunakan berbagai cara

diplomasi ditengarai sesungguhnya memiliki agenda politik lain di dalam negaranya sendiri.

Paniknya Abbott bukanlah bentuk kepanikan masyarakat Australia terhadap hukuman mati

yang akan dijalani Chan dan Myuran. Nuansa kepanikan dan situasi politik menjelang

digelarnya pemilu di Australia pada 2016 merupakan informasi berharga bagi atase

pertahanan yang dapat menjadi senjata Presiden Jokowi untuk menekan balik Abbott.

Pernyataan Abbott tentang bantuan kemanusiaan untuk Tsunami Aceh menuai kecaman keras

dari berbagai kalangan di Australia. Musuh-musuh politik Abbott memanfaatkan blunder

politik Abbott dan berusaha menjatuhkan jabatan perdana menteri yang saat ini dipegang

Abbott.

Momentum emas bagi lawan-lawan politik ini membuat Abbott ketar-ketir karena

popularitasnya menurun drastis dan pada pemilu mendatang Abbott khawatir akan kehilangan

posisinya. Di satu sisi, situasi politik yang berubah dengan cepat ini mendorong Abbott dan

Bishop berusaha keras melakukan lobi kepada pemerintahan Indonesia agar duo Bali Nine

dapat terbebas dari hukuman mati.

Saat ini pemerintahan Abbott sedang berkejaran dengan waktu kampanye dan pemilu yang

semakin mendekat. Keberhasilan mereka membebaskan Chan dan Myuran atau setidaknya

dapat menunda pelaksanaan hukuman mati sampai selesainya pemilu di Australia akan

mengembalikan popularitas Abbott dan dapat menjadi roket pendorong popularitasnya untuk

mempertahankan kursi perdana menteri.

Di sisi lain, penolakan Presiden Jokowi terhadap permintaan Abbott dan kabinetnya

tampaknya merupakan blessing in disguise bagi Presiden Jokowi. Secara tidak sengaja,

ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terhadap duo Bali Nine membuat Abbott blingsatan dan

Page 146: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

146

Presiden Jokowi memegang kartu truf dalam melakukan komunikasi diplomatik dengan PM

Abbott.

***

Peran Atase Pertahanan Indonesia dalam diplomasi pertahanan ibarat dua sisi uang koin yang

saling menunjang. Analisis tentang situasi politik dalam negeri Australia ini menjadi

informasi politik yang dapat menjadi faktor kunci Pemerintah Indonesia dalam hubungan

bilateral dengan Australia maupun dengan negara lain tempat atase pertahanan ditugaskan.

Pemerintahan Presiden Jokowi dapat menerapkan kebijakan yang cocok untuk keunggulan

diplomasi Indonesia. Presiden Jokowi mengantongi kelemahan Abbott yang saat ini terdesak

dengan agenda politiknya dan opini publik Australia yang mulai meninggalkannya.

Sesungguhnyalah, informasi yang diperoleh dan menjadi produk intelijen hasil analisis atase

pertahanan merupakan sebaris kalimat krusial dalam menentukan kebijakan Pemerintah

Indonesia. Kebijakan politik yang dapat menentukan arah perkembangan ekonomi,

efektivitas diplomasi, dan terutama kedaulatan negara.

Diplomasi pertahanan melalui praktik intelijen terbuka menjadi penting karena analisis yang

dihasilkan merupakan koleksi informasi yang melingkupi politik, ekonomi, pertahanan, dan

kondisi sosial budaya negara akreditasi tempat atase pertahanan ditugaskan. Diplomasi

pertahanan merupakan jembatan bagi komunikasi dua pihak angkatan bersenjata dan sarana

diplomasi berbagai isu pertahanan.

Diplomasi pertahanan dapat mempererat kerja sama antarangkatan bersenjata dan

meningkatkan rasa saling percaya antarnegara yang akan mencegah konflik-konflik baru di

kawasan. Diplomasi pertahanan dapat juga menjadi senjata diplomatik efektif bagi kebijakan

politik negara.

Menjadi tepat kiranya bahwa politik militer (khususnya TNI) merupakan politik negara, yang

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

RODON PEDRASON

Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di

Ruprecht-Karls Universitat, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN

Kemdikbud RI

Page 147: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

147

Pemilih Jokowi yang Mulai Kecewa

Koran SINDO

8 April 2015

Jokowi memang layak disebut tokoh fenomenal sebelum dan setelah Pemilihan Presiden

2014. Mantan Wali Kota Solo itu kariernya melejit.

Sebelum menang sebagai presiden, ia terlebih dahulu menjadi pemenang Pemilihan Gubernur

DKI-Jakarta berpasangan dengan Ahok. Berbekal popularitas saat memimpin Solo dan DKI,

Jokowi ”naik kelas,” menjadi calon presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDIP).

Harapan publik sebelum pilpres begitu besar terhadap sosok Jokowi untuk memimpin

Indonesia. Para pendukung Jokowi dengan suka rela membentuk ”organisasi” relawan untuk

mendukung sang calon Presiden. Para relawan tumbuh seiring cita-cita dan harapannya

masing-masing. Harapan mereka begitu besar bahkan sangat muluk bahwa sosok Jokowi

akan dapat mengatasi pelbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia.

Setelah Jokowi-JK resmi dilantik menjadi presiden, sorot mata rakyat dengan berjuta

perasaan dan harapan terpahat saat mereka turut mengiringi sang Presiden dengan kereta

kuda hingga pintu Istana. Sejumlah media nasional dan internasional juga mengungkapkan

hal yang sama. Majalah Time membuat cover khusus dengan judul A New Hope (Harapan

Baru). Media-media di Tanah Air pun memuat headline yang hampir mirip, harapan baru

kepemimpinan Jokowi di panggung politik nasional.

Itulah politik. Politik sebagai seni memoles citra dan elektabilitas. Dalam politik akan selalu

muncul fenomena silih berganti ”pemimpin yang disanjung dan pemimpin yang dijunjung”.

Tapi, jangan lupa, sejarah politik juga memperlihatkan banyak pemimpin yang disanjung dan

dijunjung, berubah dengan cara yang sebaliknya.

Mereka yang Mulai Kecewa

Hasil survei Indo Barometer terbaru yang dirilis 5 April menunjukkan tingkat kepuasan

masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi rendah. Hanya sekitar 57,5% masyarakat puas

terhadap kinerja Presiden Jokowi. Survei ini dapat dimaknai sebagai peringatan dini (early

warning) bagi pemerintahan Jokowi sebab pemerintahan baru berjalan enam bulan.

Ketidakpuasan para pendukung Jokowi dan sebagian rakyat lainnya dimulai dari sejumlah

kebijakan Presiden yang kontroversial. Respons publik tidak terlalu bergairah saat Presiden

mengumumkan susunan Kabinet Kerja. Nuansa politik balas budi masih terasa begitu kental

Page 148: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

148

ketimbang kabinet kerja dan profesional yang dijanjikan. Drama politik Teuku Umar yang

begitu kental, begitu telanjang di mata publik seluruh Indonesia.

Reaksi publik yang ”diam” satu bulan setelah Presiden Jokowi-JK dilantik dengan menaikkan

sekaligus mencabut subsidi premium telah membuat rakyat kecil ”terdiam.” Turun-naik harga

BBM telah membuat perasaan dan hati rakyat terkoyak. Memang benar, inflasi turun bahkan

mendekati nol koma sekian persen, tetapi rakyat kecil tidak mengerti logika ekonomi, yang

mereka rasakan ialah apa-apa naik dan harga tidak menentu. Semua jenis subsidi dikurangi

dan bahkan dihilangkan.

Saat publik sedang depresi seperti itu, riuh rendah politik kembali terjadi. Presiden Jokowi

membuat sejumlah kebijakan politik yang kurang tepat. Gagasan penentuan pejabat publik

dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK saat menetapkan

menteri-menteri justru tidak berlaku saat pengangkatan calon jaksa agung dan terakhir yang

membuat gempar adalah kasus calon Kapolri Budi Gunawan. Kasus tersebut telah ”meluas,”

bahkan melebar menjadi senjata untuk melemahkan KPK.

Kisruh antara KPK dan Polri bagaimana pun bukan kesalahan Budi Gunawan, tetapi bermula

dari posisi dan sikap Presiden. Sikap Presiden yang tidak tegas, abu-abu, dan cenderung

safety player, tampak pada kasus-kasus politik dan kekuasaan yang bertalian dengan garis

politik Teuku Umar dan garis politik partai pendukungnya. Ikon bahwa Jokowi adalah sosok

yang tegas, cepat, kerja dan kerja, mulai berbalik dengan sendirinya.

Perjalanan waktu dalam berkuasa akan menentukan sejauh mana Presiden dapat lepas dari

bayang-bayang politik Megawati. Ungkapan ”petugas partai” yang waktu awal-awal

pencalon Presiden tidak memiliki konotasi negatif, kembali menusuk perasaan. Istilah itu

disematkan pada sejumlah langkah kebijakan Presiden yang dianggap tidak mencerminkan

garis politiknya, Nawacita atau sembilan cita-cita.

Komentar keras Rizal Ramli di sejumlah media massa bahwa pemerintahan Jokowi

menyengsarakan rakyat hanyalah satu contoh kecil. Rizal Ramli— yang belakangan diangkat

menjadi komisaris utama BNI— menyebut bahwa menurunnya kepercayaan publik

disebabkan kinerja menteri ekonomi yang tidak maksimal. Menteri ekonomi di kabinet

Jokowi-JK hanya menaikkan harga untuk menyelesaikan masalah, bukan mencari jalan

keluar lain yang lebih berpihak terhadap rakyat.

Reproduksi Nawacita sebagai sebuah visi atau misi sudah dilakukan. Masalahnya, rakyat

menanti kebijakan Presiden yang sesuai dengan Nawacita itu. Itulah yang sedang diuji oleh

rakyat Indonesia, apakah langkah dan kebijakan Presiden sesuai atau bertentangan dengan

Nawacita.

Sebagai ilustrasi, tak satu pun kata keluar dari Presiden mengenai begal yang sedang marak

terjadi. Padahal pada Nawacita 1 menyebutkan ”Kami akan menghadirkan kembali negara

untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.”

Page 149: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

149

Jangan Ada Dusta

Meredupnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintahan Jokowi jangan dianggap remeh.

Logika pemerintah yang menganggap bahwa dukungan rakyat tidak penting justru akan

menimbulkan prahara politik yang lain.

Argumen aji mumpung sebagai ”penguasa” lalu melakukan laku-laku politik despotik justru

akan melahirkan beragam kekecewaan politik lainnya. Sama halnya dengan itu, laku dan

tindakan politik pemerintahan Jokowi yang mulai meninggalkan rakyat sebagai basis

pemilihnya melalui mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat

justru bertentangan dengan garis politiknya. Banyaknya publik yang menyindir dengan

ucapan, ”Untung saya tidak memilih Jokowi,” merupakan variasi yang paling sering

dikemukakan rakyat sebagai ekspresi kekecewaan mereka.

Salah satu langkah untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi

ialah dengan mendengar suara rakyat. Suara rakyat sering disebut sebagai suara Tuhan, vox

populi-vox dei, bukan hanya saat mereka dibutuhkan untuk memberikan dukungan politik

elektoral. Dalam memerintah dan membuat kebijakan pun mereka wajib didengar.

MOCH NURHASIM

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI

Page 150: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

150

Yaman dan Perang Proxy Saudi-Iran?

Koran SINDO

9 April 2015

Perang di Yaman menambah deretan panjang konflik di kawasan Timur Tengah. Kali ini

kekuatan asing yang diwakili koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi

melakukan intervensi atas situasi politik dalam negeri Yaman.

Koalisi negara-negara Arab yang bergabung antara lain Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar,

Bahrain, Maroko, Sudan, dan Yordania. Koalisi ini juga didukung oleh Turki, Pakistan,

Mesir, Amerika Serikat, dan Israel. AS dalam hal ini memberikan dukungan intelijen dan

logistik melalui the United States Central Command yang bertanggung jawab untuk wilayah

Timur Tengah.

Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi menggelar serangan udara pada 26 Maret guna

menghancurkan kekuatan militan Houthi atau kelompok Ansarullah yang berlatar belakang

Syiah Zaydiyah dan sangat diperhatikan oleh Saudi.

Dinamika Politik Yaman

Yaman merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang terkena imbas Arab Spring 2011.

Yaman merupakan negara termiskin di Dunia Arab. Yaman berada di peringkat keempat

terendah dalam Human Development Index di Dunia Arab setelah Sudan, Djibouti, dan

Mauritania. Selain itu, Yaman juga berada di peringkat ke-146 dalam Corruption Perceptions

Index menurut Transparansi Internasional 2010 dan peringkat ke-8 dalam Failed States Index

pada 2012 (naik dua peringkat dari 2010).

Jatuhnya ibu kota Yaman, Sanaa, ke tangan kelompok militan Houthi pada 21 September

2014 menandai babak baru dalam dinamika politik Yaman pasca-Revolusi 2011. Kelompok

Houthi berhasil menguasai ibu kota Yaman dan melemahkan pengaruh elite politik di masa

rezim Ali Abdullah Saleh yang dijatuhkan pascarevolusi.

Ironisnya, kelompok Houthi justru semakin kuat karena mendapat dukungan dari mantan

Presiden Ali Abdullah Saleh yang masih menjadi aktor utama di Yaman meski telah

dijatuhkan pada 2012. Saleh disinyalir menggunakan unit militer yang masih loyal

terhadapnya untuk membantu Houthi melawan kekuatan Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi

yang kemudian meminta suaka ke Arab Saudi setelah dikuasai Sanaa oleh Houthi.

Kepentingan Arab Saudi

Page 151: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

151

Kebijakan Arab Saudi di Yaman secara historis didorong oleh salah satu faktor yakni

problem wilayah perbatasan sepanjang 1.800 km. Garis tegas perbatasan menjadi faktor

permasalahan dan akhirnya didemarkasi pada Juni 2000 tatkala Yaman secara formal

menerima kedaulatan Saudi atas provinsi wilayah selatan yakni Asir, Najran, dan Jizan yang

sebelumnya menjadi bagian wilayah Imamate Yaman. Sebaliknya, Saudi mengabaikan

ambisinya memperluas teritorinya melalui Hadramaut hingga Laut Merah. Meski telah ada

resolusi isu perbatasan, Saudi terus mengkhawatirkan bahwa rakyat Yaman tidak sepenuh

hati menerima hilangnya tiga provinsi yang diambil alih Arab Saudi.

Arab Saudi juga telah diingatkan oleh perkembangan politik di Yaman sejak unifikasi pada

1990. Pengalaman liberalisasi politik di negara tetangganya, dengan adanya pemilu,

persaingan partai, dan media yang relatif bebas, menjadi alarm bagi pemerintah otoritarian

Saudi. Saudi juga khawatir akan gerakan Houthi di wilayah utara (Provinsi Saadah) dan

mencurigai ada keterkaitan antara Houthi dan Iran.

Perang Proxy Saudi-Iran?

Jika dianalisis, intervensi Arab Saudi di Yaman didasari oleh beberapa faktor: pertama, pihak

Arab Saudi mengklaim bahwa berdasarkan observasi melalui gambar satelit menunjukkan

ada pemindahan rudal Scud ke wilayah perbatasan Saudi di utara Yaman (basis wilayah

Houthi) yang diyakini dapat menjangkau wilayah Saudi.

Kedua, Saudi memandang kelompok Houthi sebagai boneka Iran. Riyadh sangat

mengkhawatirkan masa depan Yaman di bawah kendali Houthi dan menyamakannya dengan

kelompok Hizbullah di Lebanon.

Ketiga, situasi politik Yaman yang mengalami kekacauan dan diyakini akan menjadi “negara

gagal” (failed state) dipandang oleh para pemimpin negara-negara Arab dapat mengancam

keamanan regional Timur Tengah. Keempat, perundingan nuklir Iran dengan lima negara

anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1), yang ditentang olah Arab Saudi,

berhasil mencapai kesepakatan. Ini ditakutkan oleh Saudi karena dapat memarginalkan Saudi

dan mengancam nilai strategis Saudi bagi AS. Karena itu, Saudi berupaya memengaruhi

atmosfer perundingan dengan menampilkan Iran sebagai “pengacau” keamanan di Timur

Tengah.

Pertanyaannya kemudian, apakah perang di Yaman bisa dikatakan sebagai perang proxy

Saudi-Iran? Apabila dianalisis, peran Iran di Yaman sebenarnya kurang signifikan. Ini

didukung oleh beberapa faktor: pertama, Teheran memandang Yaman tidak memiliki nilai

strategis bagi kepentingan nasional maupun ambisinya untuk memperluas pengaruh di Timur

Tengah.

Kedua, untuk melibatkan diri di negara miskin dan terpecah seperti Yaman justru akan sangat

membebani Teheran, mengingat pasukan Iran hadir di Suriah dan Irak serta Iran masih

menderita akibat sanksi ekonomi dari negara-negara Barat.

Page 152: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

152

Ketiga, peran Iran lebih signifikan di Irak, Suriah, dan Lebanon ketimbang Yaman mengingat

jaringan aliansi dengan negara-negara tersebut memberikan akses bagi Iran ke wilayah

Mediterania dan perbatasan Israel. Khusus dengan kelompok Hezbollah di Lebanon, peran

Iran sangat signifikan karena Teheran memandang sebagai partner strategis dalam

menghadapi Israel.

Keempat, seandainya Saudi tidak melakukan intervensi dan Houthi berhasil membentuk

pemerintahan di Yaman, Iran tidak serta-merta melibatkan diri dan menancapkan

pengaruhnya mengingat Teheran tidak memiliki sumber daya yang memadai.

Karena itu, terlalu dini untuk memandang perang di Yaman sebagai bentuk perang proxy

antara Saudi-Iran. Berdasarkan konteks politik lokal, kekerasan yang terjadi di Yaman

merefleksikan kontestasi antara pihak mana yang akan menguasai negara dan siapa yang

memenangkan status quo.

Perang ini juga bukan perang sektarian antara Sunni-Syiah, melainkan perang kekuatan yang

tidak berimbang antara beberapa negara melawan faksi politik sebuah negara.

INDRIANA KARTINI

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Page 153: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

153

Partai Demokrasi Minus Regenerasi

Koran SINDO

9 April 2015

Ada beberapa hal yang mengherankan dari sistem demokrasi di Indonesia. Pertama, masa

jabatan presiden dan kepala daerah dibatasi hanya boleh dua kali berturut-turut. Tetapi,

mengapa masa jabatan wakil rakyat (DPR, DPD, dan DPRD) tak ada batasnya?

Kedua, partai politik adalah elemen yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Buktinya,

partai selalu berperan penting dalam mengusung calon-calon pemimpin di aras lokal maupun

nasional. Di aras lokal, sejak 2007, memang telah dibuka peluang bagi calon independen atau

perseorangan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala

daerah. Tetapi, mengapa untuk maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dari

jalur independen atau perseorangan itu tidak bisa?

Ketiga, jika partai politik merupakan elemen sangat penting dalam sistem demokrasi,

mengapa ketua umum partai juga tidak dibatasi masa jabatannya? Mengapa elite politik

seperti Megawati Soekarnoputri bisa terus-menerus memimpin PDI Perjuangan sejak 1999?

Merujuk pemikiran Giovanni Sartori (1976), partai politik yang modern memiliki empat ciri:

1) partai harus terbuka; 2) partai memiliki ideologi yang demokratis; 3) partai memiliki

sistem regenerasi yang teratur; 4) partai mempunyai sistem kaderisasi yang baik.

Terkait PDI Perjuangan dengan Megawati yang telah lebih dari 15 tahun menjadi ketua

umum, tidakkah itu menunjukkan sistem regenerasi mengalami kemacetan? Kaderisasi,

fungsi lainnya, tak dapat disangkal selama ini berjalan lancar di PDI Perjuangan. Buktinya,

ada banyak kader yang telah mengalami mobilitas politik di tubuh partai, termasuk yang

mengisi posisi-posisi strategis di lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, khusus untuk

posisi ketua umum partai, mengapa tak pernah terjadi pergantian? Herannya, bahkan untuk

Kongres Ke-4 PDI Perjuangan di Bali, 9-12 April ini, sudah bisa dipastikan dari sekarang

bahwa posisi ketua umum partai akan tetap dipegang oleh Megawati.

Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, selama ini saban kongres

pengukuhan kembali Megawati dilakukan saat akhir kongres. Dalam kongres mendatang

pengukuhan kembali Megawati sebagai “imam politik” partai berlambang banteng moncong

putih itu akan dilakukan awal kongres.

Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan, salah satu agenda kongres partai yang mestinya

sangat penting, yakni memilih ketua umum, menjadi tak penting lagi. Jauh sebelum kongres

berlangsung pun siapa yang kelak menjadi ketua umum untuk periode berikutnya sudah bisa

Page 154: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

154

dipastikan.

Tidakkah nilai dan makna demokrasi di partai yang memakai nama “demokrasi” ini menjadi

pupus karenanya? Tidakkah demokrasi merupakan ciri politik modern? Tetapi, mengapa di

dalam sebuah partai yang melabeli dirinya demokrasi tidak ada regenerasi?

***

Sebagian orang berkata, itulah aklamasi, dan aklamasi juga bagian dari demokrasi. Betulkah

itu?

Pertama, demokrasi di ranah pilih-memilih pemimpin (election) mestinya mengedepankan

voting atau hitung suara. Untuk itu, seharusnya ada lebih dari satu calon untuk dipilih. Kalau

cuma satu, jelas tak perlu ada election. Kalau tak ada election, benarlah Trimedya: di awal

kongres sudah bisa dikukuhkan bahwa ketua umum PDI Perjuangan periode berikutnya

adalah Megawati.

Pertanyaannya, mengapa tak ada calon alternatif selain Megawati? Apakah tak ada kader lain

yang mampu? Tentu saja ada, bahkan cukup banyak. Tetapi, mengapa mereka tak

dimajukan? Mungkinkah ada “tekanan” dari ketua umum incumbent yang didukung oleh para

loyalisnya di partai?

Kata seorang kader yang juga anggota DPR di salah satu stasiun televisi swasta baru-baru

ini: “Kami yang mengenal ketua umum kami. Jadi tidak benar penilaian dari para pengamat

bahwa ada tekanan dari ketua umum kami kepada kader-kader yang ingin maju menjadi

calon ketua umum.” Betul, “orang dalam” partai pasti lebih mengenal ketua umumnya

daripada para pengamat yang hanya mencermati dari luar. Tetapi, secara ilmiah ada metode

penelitian untuk melakukan cek dan ricek sebuah kebenaran yang disebut triangulasi. Untuk

itu, justru bukan “orang dalam” yang harus didengarkan, melainkan “orang-orang luar”

(setidaknya tiga pihak) yang juga tahu betul bagaimana Megawati selama ini di partai.

Sebutlah, misalnya, Permadi, Roy BB Janis, Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Eros Djarot,

Arifin Panigoro, dan lainnya.

Kedua, aklamasi bisa saja diterima sebagai bagian dari demokrasi asalkan didahului dengan

ditetapkannya lebih dari satu calon untuk dipilih. Misalkan selain Megawati ada kader lain

yang diajukan sebagai calon ketua umum, tapi ternyata hasil voting memenangkan Megawati

secara mutlak (suara bulat). Ini jelas harus diterima sebagai hasil yang sesuai prosedur

demokrasi di ranah election.

Namun, jika sejak awal calonnya hanya satu, itu bukan aklamasi namanya karena election

juga tak ada. Jadi yang penting dalam sebuah election adalah kontestasi dan kompetisi.

PDI Perjuangan yang selama ini mengklaim diri sebagai partai wong cilik mestinya membuka

diri terhadap dinamika aspirasi masyarakat. Cermatilah, misalnya, hasil survei pakar dan

Page 155: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

155

opinion leader Poltracking pertengahan Maret lalu dalam menyongsong Kongres PDI

Perjuangan. Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda, hasil survei

merekomendasikan Jokowi untuk menjadi ketua umum PDI Perjuangan. Selain itu, ada

nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Hasto Kristiyanto, Tjahyo

Kumolo, Maruarar Sirait, Prananda Prabowo, dan Puan Maharani.

Sementara hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

menyebutkan, PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan. Dari seluruh ketua dan

sekretaris DPC partai di daerah yang ditanyakan tentang apakah yang pantas memimpin PDI

Perjuangan harus berasal dari trah Soekarno, diperoleh hasil bahwa yang setuju hanya 57,4%

responden. Sedangkan di luar trah Soekarno, Jokowi mendapat respons dari 47,3% yang

mengatakan dia pantas memimpin meski tidak berasal dari trah Soekarno.

Berdasarkan itu, mungkin inilah saatnya kita menyatakan dua hal penting ini demi

keberlangsungan modernisasi politik dalam sistem demokrasi dan sistem kepartaian di

Indonesia. Pertama, usangkanlah gerontokrasi (kepemimpinan di tangan kaum tua). Kedua,

tinggalkanlah dinasti politik.

Jika dua hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para elite politik PDI Perjuangan, bukan

tak mungkin seiring waktu akan terjadi proses pembusukan politik (political decay) di tubuh

partai.

VICTOR SILAEN

Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Page 156: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

156

Kekuatan Hukum dalam Praperadilan

Koran SINDO

10 April 2015

Latah. Ikut-ikutan. Hanya berbekal pemikiran hukum dangkal. Itu sah, tetapi enggak cukup

modal. Ujungnya, kalah dalam praperadilan.

Itulah nasib mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Hakim Tatik Hadiyanti

berpendapat bahwa sah atau tidak penetapan tersangka bukan ranah praperadilan. Penetapan

tersangka bukan merupakan upaya paksa, melainkan syarat untuk melakukan upaya paksa

yang berbentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.

Ada atau tidak bukti permulaan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah sudah memasuki

substansi pokok perkara yaitu tentang pembuktian yang bukan kewenangan lembaga

praperadilan. Selain itu, masalah ada atau tidak kerugian negara sebagai alat bukti yang

dituntut oleh pihak kuasa hukum SDA, menurut Tatik, sudah memasuki substansi pokok

perkara sehingga bukan menjadi kewenangan lembaga praperadilan.

”Atas dasar ihwal tersebut, permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya dan kepada

pemohon dibebankan biaya perkara sebesar nihil,” ucapnya saat membacakan amar putusan

di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4/15). Putusan tersebut didasarkan pada Pasal

1 ayat 10 KUHAP jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat 1 huruf d yang sifatnya sangat limitatif

mengatur bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.

Langkah-langkah hukum SDA itu diduga kuat terinspirasi ”kemenangan” Komjen Pol Budi

Gunawan (BG). Maka itu, SDA mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai

tersangka korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama periode 2012-2013. Orang

bilang, itulah ”Sarpin effect”.

Kalau saja upaya praperadilan SDA menang, ”Sarpin effect” pasti lebih dahsyat lagi. ”Siulan”

hakim Sarpin akan mengakibatkan munculnya ”kobaran api” praperadilan dari para tersangka

korupsi lainnya. Inilah yang dikhawatirkan KPK dan penggiat anti-korupsi di negeri ini.

***

Pada hemat saya, ada beberapa pelajaran berharga bagi masyarakat luas atas hiruk-pikuk dan

sengkarut kasus praperadilan ini. Pertama, jangan-jangan SDA dan kuasa hukumnya mengira

bahwa semua kasus penetapan tersangka dapat digeneralisasi sehingga kasus Komjen Pol BG

berlaku juga atas kasus SDA. Mereka lupa bahwa setiap kasus memiliki keunikannya

sendiri. Sejak kronologi perkara, motivasi, kompleksitas, maupun substansinya berbeda-beda.

Page 157: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

157

Mana mungkin hal demikian diputus dengan vonis yang sama. Bukankah vonis hakim harus

adil dan apa yang disebut keadilan adalah proporsionalitas dalam konteks perbedaan, kasus

per kasus. Dari sanalah, ”keberuntungan” pada Komjen Pol BG, sementara ”kebuntungan”

menimpa SDA.

Kedua, SDA, kuasa hukumnya, dan masyarakat luas, mesti paham bahwa lembaga

pengadilan yang menangani praperadilan tergolong sebagai lembaga modern. Dipastikan, di

dalamnya ada sisi modernitas antara lain rasional, kepastian hukum, materialistik, dan

mekanistik. Untuk menang perlu dana besar dan kekuatan berlimpah. Tetapi, jangan lupa,

secara sosiologis, dipastikan pula, ada sisi primordial-irasional.

Boleh saja, mereka mempermasalahkan kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana

korupsi sesuai Pasal 11 huruf a Undang-Undang KPK. Sah-sah pula mereka percaya pada

pengadilan dan menggunakannya untuk mendapatkan putusan agar pengadilan menyatakan

surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) nomor Sprin.Dik-27/01/05/2014 dan

Sprin.dik-27A/01/12/2014 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Bahkan, tidak salah kalau

SDA juga menuntut KPK membayar ganti rugi sebesar Rp1 triliun atas penetapan dirinya

sebagai tersangka.

Tetapi, perlu dipahami bahwa pada ranah sosiologis-empiris, sering dijumpai ada pemikiran,

sikap, dan perilaku penegak hukum yang bengkok, dan ada pula yang tegak-lurus, tegar, tak

goyah oleh segala bentuk rayuan maupun tekanan. Artinya, kualitas putusan hakim masih

menjadi teka-teki. Kalah atau menang, sama besar peluangnya.

Ketiga, ketika SDA tidak rela ditetapkan sebagai tersangka korupsi, menjadi wajar ada upaya

pembelaan diri. Kuasa hukum SDA mendayagunakan teks-teks hukum sebagai kekuatan

dalam rangka mematahkan fakta-fakta yang dituduhkan. Jangan lupa, teks-teks hukum, baik

yang termuat dalam KUHP, KUHAP, UU Tipikor, dan sebagainya tidak pernah memiliki

kepekaan individual, sosial, dan lingkungan, bahkan tidak mampu mengubah dirinya sendiri.

Apakah yang dihadapi oleh SDA itu sebagai buah rekayasa politik ataukah murni kasus

hukum, teks-teks hukum hanya diam.

Perlu diketahui bahwa kekuatan hukum yang efektif muncul dari manusia-manusia penggerak

teks-teks hukum tersebut. Jadilah, teks-teks hukum multitafsir, berwajah abu-abu, bermakna

berbeda-beda ketika dipertemukan dengan aksi-aksi penegak hukumnya. Di sinilah perlu

dicermati seksama bahwa penegak hukum yang mengawal kasus Komjen BG berbeda dengan

penegak hukum yang mengawal kasus SDA.

Benarkah semua penegak hukum dalam dua kasus berbeda tersebut tergolong profesional,

memegang teguh moralitas, berwawasan Pancasila sehingga berani menggunakan irah-irah

putusan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ataukah ”Demi

Keadilan Berdasarkan Keuangan Yang Maha Kuasa”? Adakah praperadilan diwarnai

kemunafikan, rekayasa, patgulipat? Hal demikian menjadi teka-teki dan kecurigaan

masyarakat luas, tetapi sulit pembuktiannya.

Page 158: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015

158

***

Membongkar kekuatan-kekuatan hukum, baik yang positif maupun negatif, menjadi prasyarat

untuk akselerasi pemberantasan korupsi di negeri ini. Kekuatan hukum positif adalah tekad,

semangat, dan komitmen penegak hukum sebagai ”nabi-nabi keadilan” yaitu orang-orang

yang mau berjihad demi terwujudnya negeri yang bersih dari korupsi; sementara kekuatan

hukum negatif adalah sebaliknya. Kekuatan hukum negatif ada pada koruptor dan kroninya.

Terbayang: ”Jangan-jangan sistem peradilan kita sudah dikuasai oleh kekuatan hukum

negatif”.

Adakah Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Presiden melihat

kelemahan-kelemahan dalam sistem peradilan dan berusaha memperbaikinya? Sayangnya,

bila pertanyaan ini melayang begitu saja, gone with the wind. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO, SH MSi

Guru Besar Ilmu Hukum UGM