(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015

248
1 DAFTAR ISI PELAKSANAAN UU KORUPSI DAN LEX SPECIALIS Andi Hamzah 4 PARPOL JANGAN TERBELAH (CATATAN AKHIR TAHUN DEMOKRASI) Marwan Mas 8 11 TAHUN KPK Emerson Yuntho 11 MENGHUKUM MATI KORUPTOR? (REFLEKSI DAN TITIK BALIK HUKUM 2014) Mardiansyah SP 14 FORMAT BARU RELASI ISLAM DAN PANCASILA Ma’mun Murod Al-Barbasy 17 REFLEKSI PEMERINTAHAN JOKOWI-JK Idil Akbar 21 SEGERAKAN UU PEMILU 2019 Moh Mahfud MD 24 FAKSIONALISASI PARTAI DAN OLIGARKI ELITE Wasisto Raharjo Jati 27 CATATAN TAHUN 2014 DAN HARAPAN 2015 Bambang Soesatyo 30 MENEGAKKAN KONSTITUSIONALISME Janedjri M Gaffar 34 MENGHIDUPKAN DEMOKRASI DEMOKRAT Gede Pasek Suardika 37 KONTROVERSI IZIN TERBANG QZ8501 W Riawan Tjandra 40 2015, BAGAIMANA NASIB PEMERINTAHAN JOKOWI? Bawono Kumoro 43 KEHARUSAN SELEKSI HAKIM MK Moh Mahfud MD 46 RELASI MEDIA & TERORISME Ahmad Khoirul Umam 49

Transcript of (Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015

1

DAFTAR ISI

PELAKSANAAN UU KORUPSI DAN LEX SPECIALIS

Andi Hamzah 4

PARPOL JANGAN TERBELAH (CATATAN AKHIR TAHUN

DEMOKRASI)

Marwan Mas 8

11 TAHUN KPK

Emerson Yuntho 11

MENGHUKUM MATI KORUPTOR? (REFLEKSI DAN TITIK BALIK

HUKUM 2014)

Mardiansyah SP 14

FORMAT BARU RELASI ISLAM DAN PANCASILA

Ma’mun Murod Al-Barbasy 17

REFLEKSI PEMERINTAHAN JOKOWI-JK

Idil Akbar 21

SEGERAKAN UU PEMILU 2019

Moh Mahfud MD 24

FAKSIONALISASI PARTAI DAN OLIGARKI ELITE

Wasisto Raharjo Jati 27 CATATAN TAHUN 2014 DAN HARAPAN 2015

Bambang Soesatyo 30

MENEGAKKAN KONSTITUSIONALISME

Janedjri M Gaffar 34

MENGHIDUPKAN DEMOKRASI DEMOKRAT

Gede Pasek Suardika 37

KONTROVERSI IZIN TERBANG QZ8501

W Riawan Tjandra 40

2015, BAGAIMANA NASIB PEMERINTAHAN JOKOWI?

Bawono Kumoro 43 KEHARUSAN SELEKSI HAKIM MK

Moh Mahfud MD 46

RELASI MEDIA & TERORISME

Ahmad Khoirul Umam 49

2

KPK MENANTANG PRESIDEN!

Tjipta Lesmana 52

KASUS BG VERSUS KPK

Romli Atmasasmita 56 PENEGAKAN HUKUM BELUM MENUNJUKKAN SINYAL

PERUBAHAN Frans H Winarta 59

SILANG SENGKARUT TATA KELOLA DESA

Caswiyono Rusydie CW 62

AWAN POLITIK CUMULONIMBUS

Komaruddin Hidayat 66 KASUS BG: PERSILANGAN HUKUM PIDANA & TATA NEGARA

Gede Pasek Suardika 68

KURSI PANAS KAPOLRI

Marwan Mas 71

MORAL DI ATAS HUKUM

Moh Mahfud MD 74

PERSETUJUAN PERPPU PILKADA

Saldi Isra 77

KONTROVERSI EKSEKUSI MATI

Amzulian Rifai 80 EFEK JERA DAN DARURAT NARKOBA

Bambang Soesatyo 84

INDONESIA MOVE ON

Achmad M Akung 87

HUKUMAN MATI DALAM KONTEKS INTERNASIONAL

Dinna Wisnu 91

PROMOSI YANG ABAIKAN ETIKA

Victor Silaen 94

KASUS BG: ALAT BUKTI DAN TERSANGKA

Romli Atmasasmita 97 TEKNIK MEMILIH ARBITRER TERBAIK

Frans H Winarta 100

KASUS SAMAD DAN MASA DEPAN KPK

3

Moh Mahfud MD 104

MOMENT OF TRUTH BAGI POLRI

Reza Indragiri Amriel 107

PEMERINTAH TAK PERLU KHAWATIR PADA MEDIA MASSA

Hasan Asyari 110

PERHATIAN PADA KASUS BG

Yunus Husein 113 TIMUR TENGAH PASCA-ABDULLAH

Abdul Mu’ti 117

REVOLUSI MENTAL JOKOWI!

Mohammad Nasih 121

KE(TAK)JELASAN SIKAP PRESIDEN

Zainal Arifin Mochtar 124

PELEMAHAN KPK

Amzulian Rifai 128

MEMUDARNYA PESONA BINTANG

Gun Gun Heryanto 131 BUKAN SEKADAR OKNUM

Dinna Wisnu 134

SELAMAT(KAN) JALAN KPK (5)

Saldi Isra 137

SAATNYA PERPPU DAN KOMITE ETIK KPK

Gede Pasek Suardika 141

DEMAGOG

Moch Nurhasim 143

KARTEL POLITIK DAN POSISI JOKOWI

Aditya Perdana 146 DRAMATURGI POLITIK MADU TIGA

Idil Akbar 150

4

Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis Koran SINDO 27 Desember 2014

Kita telah memiliki sosok jaksa agung baru. Kita berharap, jaksa agung yang akarnya berasal

dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat strategi penegakan hukum

yang adil dan fair.

Ketegasan jaksa agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang

kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus-kasus

tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ditafsirkan terlalu luas

sehingga keluar dari teori hukum pidana.

Belakangan ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran

para pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan; dan kerja sama PT

Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penyelenggaraan 3G di

frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga terjadi pemaksaan terhadap korporasi.

Pada kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah layak tetap

menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ataukah selayaknya

menggunakan Undang-Undang lex specialis, mengingat ada payung hukum khusus selain UU

Tipikor. Adalah tugas mulia jaksa agung baru menempatkan kasus apakah layak dengan UU

Tipikor ataukah dengan lex specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan.

Cukup menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus hukum

karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat munculnya dua putusan

kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang lama tapi saling bertentangan.

Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama,

kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3

triliun berdasarkan perhitungan BPKP. Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor

282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat

Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai

dengan denda sebesar Rp300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun

yang dibebankan kepada korporasi IM2.

Sedangkan dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli

2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.

Bagaimana penyelesaiannya?

5

Lex Specialis

Perkara ini adalah tentang kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2

dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang-

Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian

apakah perbuatan menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak

perlu izin?

Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi IM2 tetap

melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal 11 ayat (1) jo Pasal 7

UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman pidana hingga maksimum enam

tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah. Itulah merupakan lex specialis.

Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga telah diperkuat oleh

Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor

T684/M.KOMINFO/KU.04.01/11/2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat dan

IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri Kominfo telah

mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan Indar Atmanto tidak

melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi, berarti dia tidak melawan hukum

seandainya pun negara dapat rugi.

Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang Telekomunikasi sebagai

pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan aturan yang bersifat umum (legi

generali). Dengan status lex specialis, artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undang-

undang legi generali.

Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU legi generali

harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar Atmanto telah dijatuhi

pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tidak tepat dalam perkara semacam

IM2 ini menggunakan legi generali.

Layak Bebas

PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti delik tidak terbukti.

Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan

hukum. Kedua, unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.

Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh PT

IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat dalam surat dakwaan dan

harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, jika satu bagian inti saja tidak

terbukti, maka putusannya menjadi bebas.

6

Perbuatan melawan hukum artinya beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk

korupsi ialah ”tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan

hukum ini berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting.

Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu, dengan melawan hukum dia memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Hal yang sering terjadi dalam praktik penegakan hukum, sering salah kaprah mengenai Pasal

2 ini. Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah terjadi

korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu telah melawan hukum

dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bahkan United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia menegaskan

bahwa kerugian negara bukan unsur korupsi.

Jadi bagaimana jika negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu tidak

memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar (memperkaya) atau

menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara melawan hukum? Saya ulangi

yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi. Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak

dibuktikan itu semua, maka putusan itu keliru.

Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU Telekomunikasi, barangkali karena tidak

berwenang menyelidiki delik telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah

menghadirkan Menkominfo saat itu. Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak

merugikan negara. Sehingga kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan

internet di Indonesia menggunakan model bisnis yang sama.

Jadi PT IM2 tidak melawan hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti

delik korupsi Pasal 2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena

dakwaan tidak terbukti.

Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua akuntan atau auditor

dapat dipanggil sebagai ahli, tidak mesti BPKP. Namun yang harus dibuktikan lebih dulu

adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan hukum atau bertentangan dengan UU

Telekomunikasi atau tidak, dan berapa jumlah uang yang diperoleh secara melawan hukum?

Upaya mencari keadilan bagi Indar dengan dua putusan saling bertentangan maka ada

langkah peninjauan kembali (PK). Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu

menjatuhkan pidana yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada

kelalaian hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan.

7

Kasus IM2 memang bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan jaksa agung baru

untuk kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali)

dan lex specialis.

PROF DR ANDI HAMZAH SH

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana

8

Parpol Jangan Terbelah (Catatan Akhir Tahun Demokrasi)

Koran SINDO

30 Desember 2014

Konflik internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di negeri ini

belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai tersebut adalah Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebetulnya bisa

disebut “partai senior” karena merupakan partai yang sudah eksis sejak Orde

Baru. Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian

kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok.

Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau

tidak mendukung pemerintahan baru. Dua kelompok elite parpol saling mengklaim

kebenarannya sendiri untuk memperebutkan jabatan ketua umum dengan beragam

kepentingan.

Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP

berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada

kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh

menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.

Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran

koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya

bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan

pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang

sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.

Jaga Soliditas

PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy)

bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat

muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar

Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM

dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan

Faridz. Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua

Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta.

Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam

musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan

9

munas tandingan di Ancol, Jakarta.

Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi

dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara

musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak

yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32

Ayat 2 UU Parpol).

Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir

jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan

PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya

tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan

pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah

belah kesolidan mereka.

Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung

pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagai

pemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian

kepemimpinan. Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat

bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah.

Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah

dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar

jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan.

Regenerasi dan Kaderisasi

Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan

kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak

tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg)

menjelang pemilu.

Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga

banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan

sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka.

Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi

indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati

Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya

Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

di Partai Demokrat. Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang

karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda.

10

Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya

upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin. Calon

pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang,

serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang

bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang

pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang.

Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai. Apalagi

kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak

sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda

senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan

apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di level kepemimpinan nasional.

Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini, betapa urgennya keterlibatan

tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka

panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda

merupakan sesuatu yang niscaya.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

11

11 Tahun KPK Koran SINDO 31 Desember 2014

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 29 Desember 2014 lalu, tepat berusia 11

tahun. Keberadaan lembaga antikorupsi yang berdiri pada akhir tahun 2013 ini telah menjadi

harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama frustrasi atas merebaknya korupsi di

negeri ini.

Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi

institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya

pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir

semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga kelompok bisnis. Wilayah

kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK

dan dijebloskan ke penjara.

Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption

Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh

kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh

pengadilan. Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai

ke pengadilan.

Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik

korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu

Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali. KPK juga telah memproses kasus

korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo; dan Ketua

Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara

Rp249 triliun berhasil diselamatkan.

Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan, antara lain dengan

sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku

korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang,

menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik

untuk pelaku korupsi.

***

Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang

sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga

memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir

12

mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi. Meski berstatus

tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan.

Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan

berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah

lebih dari tiga tahun belum juga ditahan.

Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak

perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK. Artinya, meski sudah

ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan

ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah

dilakukan penyidikan.

Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan” ini misalnya saja dalam perkara suap

pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat. KPK

sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunun Nurbaeti)

serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa

bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut.

Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap

penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai

dibentuk sejak KPK dipimpin Antasari Azhar. Meski KPK telah meminta keterangan

sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih

tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan.

KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal,

yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan

atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara,

dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi.

***

Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu

terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan

para pendukungnya. Massifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan

istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back). Beberapa pelemahan yang

menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review) UU KPK ke

Mahkamah Konstitusi (MK).

Sedikitnya tujuh uji materi UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK.

Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya

mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang.

Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara

13

pencucian uang yang berasal dari korupsi.

Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah.

Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR

meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya revisi UU KPK, RUU

KUHP, dan RUU KUHAP.

Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan

diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK

tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya

pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak

pihak termasuk dari rakyat dan media.

Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan

memperbaiki kekurangan yang ada. Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala

upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga

harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi

dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian. Langkah

pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya

pemberantasan korupsi.

Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya

pembajakan dan pelemahan KPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon

pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti

RUU KUHAP dan RUU KUHP.

Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu

terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada

upaya pelemahan terhadap KPK.

EMERSON YUNTHO

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

14

Menghukum Mati Koruptor? (Refleksi dan Titik Balik Hukum 2015)

Koran SINDO

1 Januari 2015

Ungkapan China yang mengatakan hanya ada dua tempat yang tidak mengenal suap, yaitu

neraka dan Hakim Bao, boleh jadi benar adanya. Indonesia misalnya, sejak reformasi

digulirkan 1998 sampai kini memasuki usia yang ke-16 ternyata masih belum lepas dari

gurita suap, kolusi, nepotisme, dan korupsi.

Perihal korupsi oleh para koruptor sesungguhnya dipicu oleh adanya kekuasaan dengan

kewenangan diskretif yang tak terkontrol disertai dengan lemahnya pengawasan, atau lazim

kita kenal dengan power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.

Akhir-akhir ini, berbagai pendapat dan ulasan pemikiran makin marak menyoroti penerapan

hukuman mati bagi koruptor di Indonesia bahkan langsung merujuk pada penerapan

hukuman mati seperti di China. Kita ketahui bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa China

memang banyak diwarnai dengan penerapan hukum dan aturan yang silih berganti dalam

setiap dinasti.

Menurut Ivan Taniputera dalam History of China (2009) dikenal adanya reformasi

pemerintahan Dinasti Qin yang dicetuskan oleh Shang Yang. Sebagai penganut legalisme,

Shang Yang menerapkan hukum dengan tegas sebagai landasan pembangunan negara tanpa

pandang bulu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Lebih jauh, penerapan hukuman

yang tegas sampai pada hukuman mati juga bisa dipelajari pada masa Dinasti Song (Hakim

Bao Zheng).

Namun, apa sesungguhnya yang bisa kita petik dari kisah hukuman mati dalam sejarah China

tersebut? Ada dua hal penting yang perlu disadari dan dipahami kita di Indonesia bahwasanya

hukuman mati tersebut bisa berlaku dan berjalan efektif karena adanya dua hal, yaitu: (1)

kepastian hukum yang diterapkan adil bagi siapa saja; (2) sosok pemimpin dan

kepemimpinannya yang menakhodai penegakan hukum tersebut. Ketegasan hukum Shang

Yang maupun Bao Zheng tidak lepas dari kuatnya sosok penegak hukum yang inheren dalam

setiap proses kepemimpinan mengambil keputusan, baik dalam memberikan hukuman

maupun imbalan/penghargaan (reward and punishment).

Kalau demikian alur pikir yang kita gunakan, lalu bagaimana seyogianya proses

penghukuman bagi koruptor di Indonesia? Sampai pada menghukum matikah?

Efek Jera Hukuman

15

Perilaku koruptif yang telah membudaya di Indonesia tidak lain disebabkan oleh hilangnya

efek jera yang semestinya ditimbulkan dari proses menghukum. Teori deterrence (efek jera)

sebagai doktrin sistem peradilan pidana di Indonesia menjelaskan tiga hal yang menyebabkan

suatu hukuman memiliki efek jera: Pertama, kesegeraan suatu tindakan (salarity); kedua,

specific deterrence yang menegaskan kepastian suatu perbuatan (certainty); dan ketiga,

pembebanan (severaty) yang memberikan hukuman secara adil sesuai dengan perbuatannya.

Demikian halnya hukuman mati bagi koruptor, setidaknya dapat memenuhi tiga unsur di atas

sehingga proses menghukum dimaknai sebagai rangkaian tindakan dari awal sampai akhir

(keseluruhan proses prosedural dan substansial) yang dapat menimbulkan efek jera.

Indonesia bersama 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati (menurut

Amnesty International and hands off Cain, 2007) perlu mengkaji lebih dalam tentang

penerapan hukuman mati untuk para koruptor. Pasalnya, sepanjang permasalahan utama

kepastian hukum belum mampu diwujudkan, menghukum mati seseorang hanya akan

ditafsirkan sebagai tindakan kejam tidak manusiawi yang belum memberikan dampak jera

bagi orang lain dan masyarakat.

Belum lagi, untuk memahami hukuman seharusnya diletakkan pada kerangka utuh rangkaian

proses baik secara prosedural maupun substansial. Bukan semata seseorang diproses, lalu

berakhir dengan target dijatuhi hukuman, tapi juga proses-proses substansial yang

menyertainya seperti sanksi moral dan sosial dari lingkungan masyarakat. Pemahaman

“menghukum” secara utuh inilah yang patut dikembangkan dan dimaknai oleh publik

sehingga proses dihukum akan memberi efek pembelajaran bagi yang menjalaninya sekaligus

menimbulkan efek jera bagi orang lain (general deterrence).

Jadi makin jelaslah, kejeraan suatu hukuman akan sangat tergantung dari tingkat kepastian

hukum yang mampu diwujudkan. Tanpa kepastian, mustahil hukuman apa pun yang

diberikan (termasuk hukuman mati) akan membawa efek jera.

Kepemimpinan Menghukum Mati

Diskursus penanggulangan korupsi melalui salah satunya penerapan hukuman mati tidaklah

semudah yang diwacanakan dapat terealisasi. Dari segi aturan Undang-Undang No 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Korupsi, para koruptor dimungkinkan dikenai ancaman pidana

hukuman mati. Namun, dalam implementasinya tidak bisa serta-merta digunakan karena

masih menyisakan perdebatan panjang yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan, alangkah baiknya

perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang lebih konstruktif, yakni akar permasalahan

perilaku korupsi itu sendiri. Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi

diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati? Mengapa masyarakat sangat

membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah dihukum mati?

16

Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera. Tetapi lebih dari itu, yang

dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati para koruptor adalah salah satu

bentuk “pelarian” masyarakat (way out for the hope) yang telah jengah, jenuh dan letih atas

potret penegakan hukum kita di Indonesia.

Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum mati koruptor akan lahir

setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut penegakan hukum yang penuh dengan

ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam konteks memformulasikan harapan publik tersebut,

kepemimpinan mewujudkan kepastian hukum menjadi kuncinya.

Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya kepastian hukum yang

lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di tingkatan legislatif,

kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong kepastian hukum amat menentukan

pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan hukuman mati. Di bagian lain pada tataran

eksekutif, kepemimpinan pemerintah dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting

dalam menjamin kepastian hukum agar dapat menjawab “kegundahan” masyarakat yang

sudah apatis terhadap upaya dan proses penegakan hukum selama ini.

Lantas, kalau boleh berandai-andai Indonesia masa depan di kala kepastian hukum sudah

mampu ditegakkan, masih perlukah hukuman mati untuk sang koruptor? Mari kita renungi

bersama.

MARDIANSYAH SP

Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI) Jakarta dan Kader Partai Perindo

17

Format Baru Relasi Islam dan Pancasila Koran SINDO 2 Januari 2015

Tanggal 22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ

melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei melibatkan 100

responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI

1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%.

Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview)

dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII,

HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28%

lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.

Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila;

memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama;

memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan

Pancasila; serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman

dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan

penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.

Hasil Survei

Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi

negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini

menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang

ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakan

tersebut tetap minoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat.

Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang

menyatakan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%.

Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan

fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat

Indonesia.

Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa

dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan

terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden

rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%. Pandangan ini

menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang

Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi.

18

Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu

sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju

jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormas-ormas Islam. Hanya 10% yang

tidak setuju.

Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden

juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu

sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran

besar Islam dalam kehidupan bernegara.

Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran

normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai

mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski

sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secara politik.

Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut

sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai

di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaan-kerajaan Islam yang

pernah hadir di Indonesia.

Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua muslim, 51% responden

menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait

dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam.

Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju

penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.

Format Baru Relasi

Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila

sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat

ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh

1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya

begitu kuat.

Hal ini terlihat saat sidang-sidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia

Sembilan, dan Konstituante; maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis,

seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi

secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.

Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan,

dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu,

aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama

seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al-Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal

terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad. Semua nilai-nilai itu sangat Islami.

19

Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilai-nilai agama harus

dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok.

Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila,

nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.

Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi

tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan

berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan

rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi

terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).

Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa

Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam

itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam

dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam

dengan Pancasila. Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk

bumi”.

Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus

dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan

bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi

Islam dan Pancasila.

Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukkan perannya masing-

masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang-

sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu

kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum

nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ini lahir akibat

tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya

tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan.

Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara

Islam dan pendirian khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam

sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta

terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan

hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika

menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.

Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan,

kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini

bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945,

tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan

umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.

20

Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan

sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya,

sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya

dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya. Perda-perda

syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok,

melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka tunggal ika-an.

Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila

diharapkan bisa diakhiri. Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan

sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang

mubazir. Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-

persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis.

MA’MUN MUROD AL-BARBASY

Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ

21

Refleksi Pemerintahan Jokowi-JK Koran SINDO 2 Januari 2015

Dua bulan lebih sudah sejak dilantik 20 Oktober lalu, Jokowi-JK memimpin Indonesia.

Untuk bisa menyimpulkan apakah pemerintahan saat ini berhasil atau tidak masihlah terlalu

dini. Usia pemerintah yang masih seumur jagung tentu belumlah bisa dinilai hasil

pemerintahannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, dalam waktu yang masih

minim tersebut, perencanaan dan proses di dalam menjalankan pemerintahan serta inisiasi

dari kebijakan yang telah pula diimplementasikan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama.

Pertanyaannya, sudahkah pemerintahan Jokowi-JK memberi kesan positif terhadap usaha

memenuhi harapan rakyat akan Indonesia yang lebih baik? Harapan rakyat Indonesia

terhadap pemerintahan Jokowi-JK tidaklah berlebihan. Setidaknya, hal itu yang sering

tercitrakan bahwa Jokowi-JK diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan segala

permasalahan yang dihadapi bangsa ini.

Lalu, apakah Jokowi-JK mampu memenuhi harapan tersebut, itu yang perlu dibuktikan

selama lima tahun ke depan. Kebijakan strategis dalam menyelesaikan persoalan negara akan

ditunggu dan dinilai oleh rakyat. Maka itu pula, setiap keputusannya akan memberi indikator

penting bagi keberlangsungan pemerintahan ke mana akan diarahkan.

Ke mana pemerintahan ini diarahkan mungkin menjadi kata kuncinya. Hal ini sekaligus

merefleksikan apa saja usaha yang dilakukan Jokowi-JK dalam membawa pemerintahannya.

Lebih jauh, perencanaan strategis juga perlu mendapat sorotan penting. Sebab, pada akhirnya

Jokowi-JK harus menjatuhkan keputusan pada pilihan kebijakan, melanjutkan perencanaan

sehingga menjadi sebuah kebijakan atau tidak.

Perlu dipahami bahwa penilaian terkait rencana kebijakan merupakan bagian penting dan tak

dapat dilepaskan dari penilaian terhadap kebijakan itu sendiri. Memang kadar penilaian ini

tak lebih tinggi dari halnya kebijakan yang telah diimplementasikan.

Beberapa Refleksi Strategis

Membangun tradisi politik yang sama sekali baru bukanlah hal mudah. Perlu komitmen dan

juga ketegasan mutlak agar proses politik yang dilakukan lebih karena dorongan

kebijaksanaan personal dan bukan atas intervensi dan problem jasa politik. Setidaknya itu

refleksi pertama yang diperoleh dari kabinet yang disusun Jokowi-JK, yang semula terlihat

cukup confidence untuk menyusun kabinet ramping, tetapi tidak dilakukan.

22

Beruntung, kabinet didominasi sebagian besar kalangan profesional. Namun, bukan berarti

menteri profesional tak lepas dari kesan politis. Selain di antaranya disorot karena persoalan

track record kepemimpinan dalam kementerian di masa lalu, terakhir pengangkatan orang

parpol menjadi Jaksa Agung menyiratkan kuatnya pengaruh parpol atau tokoh politik tertentu

dalam penyusunan SDM di kabinet.

Refleksi kedua yang sangat menyita perhatian publik Indonesia adalah terkait kenaikan harga

BBM bersubsidi. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi memang cenderung lazim

diambil oleh setiap rezim. Bahkan di era pemerintahan SBY, Presiden telah menaikkan harga

BBM hingga 4 kali selama 10 tahun periode kepemimpinannya. Namun, di era Jokowi-JK,

menaikkan harga BBM menjadi tak lebih sesederhana dari sebelumnya.

Sebab pada saat yang sama, kebijakan menaikkan harga BBM kontradiktif dengan harga

minyak dunia yang justru turun dan semakin turun hingga berada di titik terendah dalam 10

tahun terakhir. Kontradiksi ini menjadi sumber pertanyaan, di mana relevansi perlunya

menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun? Memang akhirnya per 1 Januari

2015 pemerintahan Jokowi-JK menurunkan harga premium menjadi Rp7.600.

Refleksi ketiga terkait dengan beberapa rencana strategis Pemerintah yang juga sudah mulai

menyedot perhatian publik, di antaranya rencana kenaikan TDL. Kenaikan TDL yang

menurut klaim pemerintah sebagai dampak dari naiknya kurs dolar menjadi implikasi

kebijakan yang di masyarakat suka ataupun tidak harus diterima.

Tak berhenti di sini, dampak kenaikan TDL biasanya akan pula menimbulkan ekses lain

berupa kenaikan pada kebutuhan pokok masyarakat, kelesuan sektor industri dan bahkan tak

menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya pengurangan pekerja pada sektor riil.

Problem seperti ini dipastikan akan membuat kebijakan yang dilematis bagi Pemerintah.

Meski, sangat kecil kemungkinan untuk tidak jadi dilaksanakan.

Menuntut Komitmen

Apa yang sudah disampaikan pada saat pencapresan lalu merupakan satu bentuk komitmen

yang harus dilaksanakan. Rakyat Indonesia tentu akan melihat dan menilai sejauh mana

komitmen tersebut mampu diimplementasikan secara riil dan berkontribusi terhadap

peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Sebagai pemimpin negara sewajarnya bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapi

bangsa. Karena itu, ketika rakyat menyampaikan pendapat kritis tentu didasarkan pada upaya

menuntut komitmen Jokowi-JK terhadap penuntasan masalah yang dihadapi rakyat.

Selama dua bulan memimpin Indonesia, Jokowi-JK masih terlihat gamang dengan komitmen

yang ada. Indikasinya tampak terlihat, baik dari kebijakan yang sudah diimplementasikan

maupun baru berupa rencana strategis, sudah cukup membuat ketidaknyamanan secara

massif. Tapi sebagai rakyat, masih tersisa harapan dan pemikiran positif bahwa situasi ini

23

hanya terjadi di permulaan dan akan happy ending pada perjalanan hingga pemerintahan ini

berakhir. Semoga!

IDIL AKBAR

Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute

24

Segerakan UU Pemilu 2019 Koran SINDO 3 Januari 2015

Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik yang

sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi lebih sejuk. Koalisi

Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai titik temu; dan menyadari

kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya akan

merugikan semuanya, terutama rakyat.

Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan

DPR maupun antarkoalisi di DPR. Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya

masing-masing sesuai konstitusi.

Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah

membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg) maupun

pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera diselesaikan agar

cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai politik untuk melakukan berbagai

persiapan.

Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas sistem pemilu

dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali kita mengalaminya,

menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan

serentak.

Tidak dapat disangkal Pileg 2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan

ditengarai penuh kecurangan. Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan

terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg

2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem proporsional

tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja dilakukan dan tidak

perlu dipertentangkan dengan putusan MK. Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu

sebenarnya bukan perintah putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor

10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang

sangat tidak adil.

Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan adalah

lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal 214 huruf a, b, c,

d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak

dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.” Menurut MK ketentuan

ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang

mendapat suara minimal 30% dari BPP.”

25

Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional atau sistem

distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal policy yang bisa dipilih yang

mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan pemerintah.

Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh

legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu diubah lagi

menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu

menjadi hak lembaga legislatif.

Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan sendirinya menuntut

dibuatnya undang-undang baru yang bisa mencakup mekanisme pemilihan dan penetapan

capres/cawapres dan caleg sekaligus.

Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai presidential

threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu memakai threshold sehingga

semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru langsung bisa mengajukan

capres/cawapres.

Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan

threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan sejumlah

minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh mengajukan

capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai

kursi di DPR RI sekarang.

Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam

dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai

parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014 langsung boleh

mengajukan capres/cawapres.

Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil Pileg

2014 sehingga capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang

sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif masih terbuka untuk

diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif.

Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015

dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian, jika ada

pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan

diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan

dengan undang-undang yang sudah jelas. Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai

menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-

tahapan pemilu sudah dimulai.

26

Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk mengatasi

kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan politik

jangka pendek. Jika undang-undang bisa diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan

dan manuver politik tidak akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

27

Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite Koran SINDO 3 Januari 2015

Membincangkan eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas

dari adanya faksionalisasi partai. Adanya segregasi maupun fragmentasi antarelite internal

partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di Indonesia.

Perpecahan antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian

menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin oleh Agung

Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya faksionalisasi dalam tubuh

partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena konfliktual dalam partai itu, adanya

kepentingan tertanam (vested intered) antarelite partai itu yang sifatnya laten.

Tercatat sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu,

kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi elite partai induk.

Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan Masyumi. PDI yang

menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK, maupun PDI

Perjuangan. Golkar yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan

Gerindra.

Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik lainnya terlahir dari

basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak berlangsung lama. Daya survivalitasnya

dalam dunia politik tidak memiliki akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti

halnya partai yang terlahir dari proses faksionalisasi.

Adalah suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk persaingan antara

oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi. Tipologi oligarki yang

berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara oligarki penguasa (warring

oligarchy) dengan oligarki menengah (middle oligarchy).

Dalam hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah

kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk bisa

ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan arena jejaring

dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan personal.

Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi dalam upaya merebut posisi ketua

umum. Posisi tersebut menjadi teramat penting dalam upaya mempertahankan maupun juga

menambah sumber daya ekonomi-politik.

Secara umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap

28

pembilahan, yakni mutually excluded maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012).

Dalam pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian

menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih berupaya

untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh sama.

Pola transaksional maupun bargaining politic menjadi alat ukur dalam menjembatani

hubungan impersonal antara kelompok kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian

menciptakan koalisi oligarki kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi

dalam tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki kepentingan

berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis vote seeking, partai

berbasis office seeking, atau sebagai partai berbasis policy seeking. Ketiga varian orientasi

inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu terus berlangsung secara simultan

dan inheren.

Pemahaman kedua, faksionalisasi sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam

tubuh partai yang sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada

pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian mengidentifikasikan

dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan kelompok elite dalam tubuh

partai itu sendiri.

Dalam tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan

partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi disorganisasi

dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit kemudian masih tetap terjaga.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya

baik sebagai fungsi mentoring, koordinatif, maupun fungsi supervisi politik.

Faktor figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan

faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu, simbol

pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun ketika berhadapan

dengan kelompok lain.

Maka melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan serta memiliki

akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan sekarang ini adalah era

kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya meneguhkan premis dan asumsi bahwa

faksionalisasi partai tidak lebih dari usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai

saja.

Jika demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip hukum

besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru menghamba kuasa

daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang menunjukkan gejala ke arah sana

bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar usaha mempertahankan dan menambah

keuntungan pribadi dan kelompok daripada mengartikulasikan kepentingan publik secara

utuh.

29

Faksionalisasi partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika

organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian menghasilkan

arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali

memperkuat relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput

daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara mempertahankannya.

Berbicara mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk

kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking), tetapi lebih pada bentuk fragmentasi

ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk. Hal inilah yang membedakan antara

kasus faksionalisasi di negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang

mencari kuasa.

Kasus pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti yang

terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories di Inggris lebih

karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih satu partai. Adapun dalam kasus

negara berkembang seperti halnya Partai Kongres India dengan pecahannya Bharatiya Janata

Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian berkembang dalam bentuk

identitas politik lainnya.

Maka apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan oligarki itu pada

dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk fragmentasi

identitas politik. Pertarungan antarberbagai identitas inilah yang kemudian akan mengerucut

pada munculnya partai baru dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen”

dalam partai induk.

Pada akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga kemudian

menimbulkan faksi-faksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ tunggal yang satu

kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai kontestasi antarelite yang saling

mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam berbagai intrik politik tertentu.

Faksionalisasi adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product

dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan

kepentingan organisasi.

WASISTO RAHARJO JATI

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI

30

Catatan Tahun 2014 dan Harapan 2015 Koran SINDO 5 Januari 2015

Presiden Joko Widodo telah menetapkan sejumlah program dan target pembangunan tahun

2015 yang terdengar merdu dan ambisius.

Pertanyaannya, mungkinkah realisasi program-program itu bisa berjalan mulus kalau

pemerintah terus memainkan lakon harmoni semu dengan DPR? Tahun 2015 belum tentu

produktif karena suhu politik diperkirakan lebih panas.

Tahun politik 2014 memang telah berakhir. Karenanya, semua komponen masyarakat

Indonesia seharusnya mulai fokus membangun diri, komunitas dan

lingkungannya. Sayangnya, tahun politik 2014 belum bisa dikatakan telah berakhir. Tahun

politik itu ternyata menyisakan masalah. Penanda utamanya adalah belum harmonisnya

hubungan eksekutif- legislatif. Kalau ada klaim bahwa hubungan pemerintah-DPR baik-baik

saja, itu klaim tentang harmoni yang semu.

Siapa saja pasti masih ingat dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang

larangan sementara bagi para menteri untuk menghadiri undangan rapat kerja dengan DPR.

Kiranya, esensi larangan itu sudah sangat memperjelas sikap dasar pemerintah yang belum

mau membangun sinergi dengan DPR. Padahal, sinergi pemerintah-DPR merupakan sebuah

keniscayaan. Tak boleh diingkari demi alasan apa pun.

Menjadi dosa konstitusional jika pemerintah-DPR tidak bersinergi. Pihak yang menolak

bersinergi akan langsung didakwa dengan tuduhan melanggar konstitusi. Hingga akhir 2014,

semua pihak bisa melihat bahwa sinergi pemerintah-DPR belum tulus. Hubungan kedua

lembaga tinggi negara ini masih diwarnai saling curiga. Bahkan, saling percaya belum

terbangun sama sekali.

Kendati mendapat dukungan solid Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Presiden Jokowi terkesan

belum merasa aman jika mayoritas kekuatan di DPR digenggam Koalisi Merah Putih (KMP)

yang mengambil posisi sebagai mitra kritis. KMP bahkan dituding akan menjegal

pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Rasa tidak aman yang menyelimuti Presiden itu tercermin dari sikap dan keputusan

pemerintah terhadap kisruh Partai Golkar, dan juga PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Cara atau strategi pemerintah membiarkan kedua partai politik ini terperangkap dalam

kepengurusan ganda memperlihatkan betapa pemerintah sangat berkepentingan untuk

menggoyahkan soliditas KMP.

31

Ketelanjangan interes itu sudah tak bisa lagi ditutup-tutupi oleh apa pun. Gerilya politik para

pendukung Jokowi dilanjutkan pascapelantikan presiden. PPP kisruh dan terbelah, begitu pun

Partai Golkar. Sebagian elemen kekuatan di dua partai ini ingin bergabung dalam koalisi

parpol pendukung Jokowi, sementara elemen kekuatan lainnya bertahan untuk menjadi mitra

yang kritis.

Memang, di permukaan, yang tampak adalah perebutan kepemimpinan partai. Tetapi,

sesungguhnya, kisruh di tubuh dua partai ini terjadi karena kerja kotor oknum penguasa yang

memecah belah kesolidan partai dengan kekuasaan dan iming- iming jabatan. Bagaimana

pemerintah menunggangi kisruh PPP dan Golkar bahkan ditunjukan dengan terang-terangan.

Dalam kasus Partai Golkar misalnya, kecenderungan pemerintah untuk memihak pada salah

satu kubu dinyatakan secara terbuka dengan pernyataan resmi. Sudah barang tentu, perilaku

tidak etis yang dipertontonkan pemerintah itu bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru

mengeskalasi persoalan.

Stagnasi Pemerintahan

Sebesar apakah persoalan itu tereskalasi akan dilihat publik setidaknya sepanjang paruh

pertama 2015. Artinya, bisa dipastikan bahwa sikap saling curiga antara pemerintah dan DPR

akan berlanjut di tahun 2015. Rumitnya PPP dan Golkar menyelesaikan masalah internal

mereka akan memberi dampak signifikan terhadap DPR dan dampak signifikan itu belum

tentu bersifat positif. Bisa saja yang muncul lebih banyak dampak negatifnya.

Bukan tidak mungkin DPR akan terbelah lagi sebagai akibat dari penyelesaian akhir kisruh

PPP dan Golkar yang tidak memuaskan semua elemen di tubuh dua partai itu serta anggota

KMP lainnya. Jadi, kalau sebelumnya KIH bermanuver membelah DPR, giliran KMP dan

elemen-elemen lain di tubuh PPP dan Golkar yang akan bermanuver membelah DPR. Kalau

perkiraan ini menjadi kenyataan, pemerintahan Jokowi-JK juga akan terkena dampak

negatifnya. Mungkin, Jokowi akan menerbitkan lagi surat berisi instruksi melarang para

menteri menghadiri rapat kerja dengan DPR. Jadi, bukan hanya suhu politik yang berpotensi

makin panas, tetapi persoalan pun menjadi semakin rumit dan berlarut-larut.

Dalam suasana serbatidak kondusif seperti itu, mungkinkah APBN-P 2015 yang akan

diajukan pemerintah akan dibahas dan disetujui DPR tepat pada waktunya? Patut diragukan.

Kalau persetujuan APBN-P 2015 tertunda, pemerintahan Jokowi-JK bisa mengalami

stagnasi. Karena itu, 2015 belum tentu lebih baik dari tahun 2014. Bisa dipastikan bahwa

harmoni semu yang coba dilakoni Presiden Jokowi saat ini pada gilirannya akan

memengaruhi pencapaian target-target presiden.

Seperti diketahui, untuk 2015, pemerintah benar-benar fokus pada sektor infrastruktur. Sudah

dipastikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat, Kementerian

Pertanian, dan Kementerian Perhubungan akan berupaya merealisasi program-program besar

32

nan strategis. Dalam mempersiapkan APBN- 2015, pemerintah lebih terfokus pada kerja-

kerja besar di tiga kementerian itu.

Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah berencana membangun jaringan kereta api

(KA) trans-Sumatera, trans-Kalimantan, dan trans-Sulawesi. Di tiga pulau besar ini,

pembangunannya direalisasi sekitar Februari atau Maret 2015. Untuk jaringan KA trans-

Papua, studi kelayakan sedang dibuat dan pembangunannya diharapkan bisa dimulai pada

paruh kedua 2015.

Selain rel KA dan ruas jalan tol, pemerintahan Jokowi juga berambisi merealisasi

pembangunan infrastruktur energi pada 2015. Di antaranya pembangkit listrik, kilang

minyak, dan jaringan pipa gas di sejumlah kota. Pembangunan infrastruktur di sektor maritim

pun mulai direalisasi. Hal itu ditandai dengan pembangunan dan pengembangan puluhan

pelabuhan untuk menopang program tol laut.

Untuk mewujudkan target swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang, akan dibangun

49 waduk dalam lima tahun. Untuk 2015, sebanyak 13 waduk akan dimulai pembangunannya

dengan anggaran sekitar Rp9 triliun. Kemampuan desa membangun pun dieskalasi.

Anggarannya dialokasikan Rp20 triliun dari sebelumnya Rp11 triliun. Per desa diproyeksikan

menerima sekitar Rp750 juta pada 2015, sementara alokasi anggaran untuk perlindungan

sosial mencapai Rp50 triliun.

Untuk membiayai program-program besar dan strategis itu, sebagian anggaran berasal dari

program pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Berkat turunnya harga

minyak dan menaikkan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal pemerintah bertambah sekitar

Rp230 triliun. Kalau semua target program tahun 2015 berjalan mulus, target pertumbuhan

ekonomi 7% dalam tiga tahun ke depan bisa diwujudkan.

Jokowi boleh punya ambisi dan rencana. Tapi konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah

tidak boleh jalan sendiri. Untuk membiayai ambisi dan rencananya, pemerintah butuh

persetujuan DPR. Maka mulus atau tidak mulusnya realisasi program-program pembangunan

itu sangat bergantung pada setinggi apakah derajat harmoni pemerintah dan DPR. Untuk itu

kita perlu mengingatkan agar ambisi tersebut tidak kandas di tengah jalan.

Pertama, sangat urgen bagi Jokowi untuk menunjukkan respek kepada DPR. Kedua, jangan

usil mencampuri masalah internal partai politik. Ketiga, batasi segala bentuk politik balas

budi kepada para bandar atau sponsor dan para pendukung saat pilpres yang dapat merugikan

rakyat. Keempat, kendati telah beberapa kali ingkar janji seperti janji koalisi dan kabinet

ramping, menteri dan jaksa agung non-parpol, kali ini kita berharap Jokowi menepati janjinya

untuk tidak merebut jabatan ketua umum PDIP pada Kongres PDIP mendatang.

Kelima, hentikan segala bentuk intervensi dan campur tangan ke partai politik lawan. Karena

langkah tersebut bisa menjadi blunder politik yang membahayakan kelangsungan

pemerintahan itu sendiri.

33

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

34

Menegakkan Konstitusionalisme Koran SINDO 6 Januari 2015

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban negara-

negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpangkal pada

kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan

terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional.

Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan

politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan dipatuhi

bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi

dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa

Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum.

Tahun 2014 telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan

tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang telah terjadi

akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di

tahun 2015 ini.

Demikian pula halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk

meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai bagian dari

upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia. Bahkan

pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah menunjukkan kematangan

peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan konstitusional.

Tahun 2014 bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama, pada tahun lalu MK

berada pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol untuk

kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun lalu MK harus

menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) sebagai bagian dari

proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan

yang sedang menurun, MK ditantang untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang

menentukan keberlanjutan kehidupan ketatanegaraan.

Berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan

tugas konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil Pemilu 2014

sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1 perkara perselisihan hasil

Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang

sejarah berdirinya MK.

35

Namun catatan yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa

bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai negara demokrasi

dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam, baik dalam pemilu legislatif

maupun dalam pilpres berakhir dengan damai melalui putusan MK yang bersifat final dan

mengikat sebagai amanat konstitusi.

Putusan MK telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan

adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan

melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan

kepatuhan terhadap konstitusi. Kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum

inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam

menegakkan konstitusionalisme Indonesia.

Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan

terhadap hukum dan putusan hukum. Tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan

jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan

didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata.

Selain memutus perselisihan hasil pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan

kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian undang-

undang (PUU). Sepanjang 2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140

perkara PUU yang diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak

110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71 perkara

yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU sampai dengan 31

Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara.

Adapun jumlah perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29

perkara (29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas rata-

rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu sebanyak 22%.

Beberapa putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait

pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan penafsiran

persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY, putusan memutus

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan MK, putusan tindak pidana

perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan konstitusi, dan putusan pembatalan

keseluruhan UU Koperasi.

Pelaksanaan putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme

Indonesia di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan

kepatuhan terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan untuk

mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan. Semuanya bergantung dan sekaligus

merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara.

36

Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh setiap lembaga negara akan memperkuat

kematangan peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat

yang menerima dan menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan

pilpres. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan

mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional.

Sepanjang keberadaan MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU,

telah dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang

dimiliki. Pada tahun 2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak

termasuk bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya

tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah ditindaklanjuti dengan

adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perppu

Nomor 1 Tahun 2014. Kedua produk hukum tersebut memberikan kewenangan memutus

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada MA.

Namun ada beberapa putusan yang perlu segera didorong untuk dilaksanakan karena

menentukan bangunan hukum dan ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme

Indonesia. Beberapa putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan

dan mekanisme pembentukan undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden, dan DPD

yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan peninjauan kembali

(PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres

serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang; dan putusan

mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat

administrasi pemerintahan.

JANEDJRI M GAFFAR

Doktor Ilmu Hukum; Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang

37

Menghidupkan Demokrasi Demokrat Koran SINDO 6 Januari 2015

Membangun budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah

mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi dan

prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit melalui tangga biasa.

Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada

lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam

menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul

berbagai penamaan sistem demokrasi. Ada Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila yang

hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi.

Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan

organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan

demokrasi kita hari ini dan di masa depan. Tanggung jawab partai politik dalam membangun

demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di

level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan

demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika

di partai sendiri masih bermasalah.

Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan

publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak

dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan

eksklusifnya untuk terus mendapat privilege. Hal ini berdampak pada menguatnya

antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan

bersama para kader partai politik di Indonesia.

SBY dan Demokrat

Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan

mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang

bintang Mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya Susilo Bambang

Yudhoyono sebagai Presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan

memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.

Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis

yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak

kejayaan PD.

38

Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi

dalam PD pasca-2010. Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul

konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman

normal bermula.

Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah

anugerah bagi partai. Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu

2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga

menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas

SBY.

Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah

bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran

SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai. Namun upaya ini terjegal, bahkan

Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni.

Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian

dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan

berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY

menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke

Pemilu 2014.

Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman

bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat.

Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak

terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di

PD menjelang Kongres 2015.

SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks

sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua

umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.

Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal

mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta

konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam

pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal

menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan. Pada prinsipnya, PD

di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelint ir

kerabatnya.

Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan

DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan

mantan ketua umum Anas Urbaningrum. Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh

memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah

39

Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8

kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan

bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang

rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan

hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.

Ikhtiar Membangun Demokrasi

Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang

untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi

tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang

menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri. Apalagi hanya untuk sekawanan

Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari

keuntungan pribadi di dalam partai.

SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis

cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau

pertaruhkan. Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai

Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan

panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah

Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar.

Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk

memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan

ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum,

tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar, bukan membiarkan saja dagelan

pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut

dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik

rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di

zaman normal.

GEDE PASEK SUARDIKA

Kader Partai Demokrat; Anggota Dewan Perwakilan Daerah

40

Kontroversi Izin Terbang QZ8501 Koran SINDO 7 Januari 2015

Di tengah masih berkabungnya keluarga penumpang dan seluruh rakyat di negeri ini atas

musibah yang dialami pesawat terbang AirAsia Indonesia QZ8501 dengan rute Surabaya-

Singapura yang jatuh di sekitar perairan Karimata/dekat Belitung Timur, aksi saling

melempar tanggung jawab perihal siapa pemberi izin untuk penerbangan pesawat AirAsia

QZ8501 terus berlangsung.

Dalam teori hukum administrasi negara, izin dimaknai oleh Spelt dan Ten Berge (1993)

sebagai “bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan”. Dengan memberikan izin, pemerintah selaku penguasa

memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tertentu yang

sejatinya dilarang.

Masih menurut Ten Berge dan Spelt, izin diperlukan karena aktivitas yang dilakukan

pemohon izin berkaitan dengan perkenan yang diberikan pemerintah atas tindakan yang demi

kepentingan umum mengharuskan dilakukan pengawasan khusus terhadapnya.

Perdebatan mengenai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas aktivitas

penerbangan pesawat nahas AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu pagi, 28 Desember

2014, berkembang paralel dengan pertanyaan publik mengenai peristiwa yang

melatarbelakangi musibah yang menimpa pesawat nahas tersebut meski dugaan sementara

diarahkan pada kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh awan cumulonimbus (awan CB)

yang selama ini banyak dilansir oleh berbagai media massa.

Pihak maskapai AirAsia Indonesia dipersalahkan telah melanggar izin rute penerbangan

periode winter 2014-2015 26 Oktober 2014-26 Maret 2015 yang seharusnya menjadi otoritas

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurut

Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata pada 4 Januari 2015 surat izin terbang dari

Kemenhub hanya diberikan pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu sehingga aktivitas

penerbangan AirAsia pada Minggu dinilai dilakukan menyalahi izin yang telah diberikan.

Namun, Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha mengungkapkan, tak ada

masalah perizinan pada penerbangan AirAsia QZ8501. Untuk rute penerbangan tersebut,

AirAsia telah mengajukan izin rute dan jadwal kepada Indonesia Slot Coordinator (IDSC)

dan di dalam slot sudah diperbolehkan. Rapat IDSC dihadiri oleh Kemenhub selaku

regulator, juga Angkasa Pura I dan AirNav Indonesia.

41

Slot yang diminta telah disesuaikan pula dengan kesediaan bandara internasional tujuan

seperti Australia atau Singapura. Apabila memang tersedia dan tak ada masalah pada jalur

udara, akan diteruskan ke Dirjen Perhubungan Udara untuk mendapatkan persetujuan.

Setelah itu akan dikirimkan ke Air Traffic Controller dan Angkasa Pura I (AP I) untuk

diumumkan.

Namun, menurut General Manager Angkasa Pura I Trikora Harjo, pemberian izin rute

penerbangan bukan merupakan kewenangan AP I. AP I bertugas sebatas pemberian fasilitas

terminal dan tempat parkir pesawat di bandara.

Melalui Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor AU.008/30/6/DRJU. DAU-

2014 tanggal 24 Oktober 2014 perihal Izin Penerbangan Luar Negeri Periode Winter

2014/2015, Plt. Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo membekukan sementara izin

rute penerbangan Indonesia AirAsia Surabaya-Singapura pp terhitung mulai Jumat, 2 Januari

2014. Itu berkaitan dengan penilaian pihak Kemenhub bahwa penerbangan rute Surabaya-

Singapura tersebut melanggar izin. Menurut versi Kemenhub, pembekuan baru akan dicabut

setelah hasil investigasi dan evaluasi terhadap jatuhnya QZ 8501 di Selat Karimata keluar.

Pembekuan rute penerbangan Surabaya-Singapura PT Indonesia AirAsia oleh Direktorat

Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub tersebut tak urung mendapat kritik tajam dari

sejumlah pilot dan mantan pilot maskapai penerbangan di Indonesia. Salah satunya datang

dari mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Capt Sardjono Jhony

Tjitrokusumo. Menurut Jhony, alasan pembekuan rute AirAsia oleh Kemenhub akibat

melayani penerbangan pada Minggu (saat terjadi insiden QZ8501) tidak sesuai dengan jadwal

yang diberikan Kemenhub yaitu Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu terlalu dipaksakan.

Mantan pilot tersebut menilai kalaupun penerbangan yang dilakukan AirAsia tersebut dinilai

oleh pihak Kemenhub sebagai tidak berjadwal, dia yakin bahwa maskapai tersebut pasti telah

menerima flight approval untuk melayani penerbangan tambahan atau extra flight yang

diajukan ke otoritas penerbangan nasional yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan

Udara. Menurut Jhony, extra flight merupakan bagian dari pelayanan angkutan Natal dan

Tahun Baru sehingga tidak perlu mencari-cari kesalahan.

Dia menyayangkan penerbitan kebijakan pembekuan rute tersebut oleh Kemenhub yang

dinilainya sebagai keputusan reaktif. Padahal, Komite Nasional Keselamatan Transportasi

(KNKT) belum juga menyelesaikan investigasi atas penyebab kecelakaan nahas yang

menimpa Airbus A320-200 milik AirAsia pada Minggu lalu.

Berkaca pada silang sengkarut kebijakan perizinan penerbangan yang berkembang

pascainsiden jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 tersebut, kiranya itu

memperlihatkandengan kasatmata kelemahan administratif sistem perizinan penerbangan

pesawat. Secara paradigmatik izin telah digeser maknanya sekadar sebagai persyaratan

administratif semata-mata dari hakikat maknanya sebagai instrumen pengawasan dan

pengendalian oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Itu terlihat dari ketidakjelasan

42

rentang kendali dalam kebijakan perizinan penerbangan yang terkesan tersebar pada berbagai

tangan otoritas.

Dalam hukum administrasi negara, sejatinya kewenangan yang berhak memberikan atau

menolak izin adalah yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang secara

langsung. Dalam kasus tersebut, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 kewenangan itu

melekat pada Kemenhub yang mewakili pemerintah dalam melaksanakan “hak menguasai

negara atas penerbangan.” Meskipun suatu kewenangan tersebut dapat dimandatkan kepada

otoritas tertentu sebagai mandataris, pertanggungjawaban eksternal terakhir tetap berpuncak

pada Kemenhub sebagai wakil pemerintah di bidang perhubungan.

Justru dengan kasus yang menimpa AirAsia QZ8501 tersebut, kini saatnya Kemenhub

menata ulang desain rentang kendali perizinan penerbangan melalui standar operasional

prosedur yang jelas sebagai diamanatkan oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan.

Jika polemik seputar otoritas perizinan terus berlanjut, dapat saja pihak keluarga korban

mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi untuk

meneliti keabsahan perizinan tersebut. Ini penting karena itu konon juga terkait upaya hukum

klaim asuransi yang mensyaratkan legalitas penerbangan sebagai syarat untuk mendapat

santunan asuransi bagi para korban pesawat tersebut.

Inilah saatnya menhub berani berbenah dan melakukan bersih-bersih ke dalam agar ke depan

administrasi perizinan tidak justru menjadi kendala dalam sistem keselamatan penerbangan

karena sejumlah keuntungan haram yang dinikmati segelintir oknum yang abai terhadap

implikasinya yang mengamputasi hajat keselamatan orang banyak.

DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM

Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

43

2015, Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi?

Koran SINDO 9 Januari 2015

Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri

sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai

konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).

Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di

parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko

Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik

pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).

Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan

Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi

pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat

mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat

dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.

Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan

Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan

Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia

Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR).

Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla

diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di parlemen dalam melakukan lobi

dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur

menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR

awal Oktober lalu.

Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin

mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus.

Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban.

Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik parlemen saat hendak

menggulirkan berbagai rencana kebijakan.

Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak

44

(BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di parlemen. Hingga awal

Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak

interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan

kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti. Para anggota DPR penandatangan hak

interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera,

Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional.

Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi

dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam

memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi

sasaran tembak empuk kelompok oposisi di parlemen. Apalagi pada 2015 akan ada

kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di

parlemen.

Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi

Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR

mendesak untuk segera dituntaskan.

Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam

rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi

dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang

memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.

Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi

Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di parlemen terhadap pemerintahan

Jokowi dan Jusuf Kalla, terutama saat hendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti

pengurangan subsidi BBM dan APBN.

Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat

melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa

mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap

Partai Demokrat.

Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janji-janji

politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga

dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres

2004.

Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari

45

kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik

antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik.

BAWONO KUMORO

Peneliti Politik The Habibie Center

46

Keharusan Seleksi Hakim MK Koran SINDO 10 Januari 2015

Rabu, 7 Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, I Gede

Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden untuk mulai bertugas

sebagai hakim konstitusi. Palguna terpilih menggantikan Hamdan Zoelva sebagai hakim yang

diajukan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai

hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang yang

diajukan (nominated) oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh presiden, tiga

orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diajukan oleh

MA. Harus ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut bukan “mewakili”,

melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga negara tersebut. Semua hakim

konstitusi haruslah independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga negara yang

mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres), hakim MK

tidak bertanggung jawab dan tidak mewakili presiden, sebab keppres hanya bersifat

administratif untuk meresmikan.

Sekarang ada kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan melalui proses seleksi

yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah Pasal 19 UU MK. Ini jauh berbeda

dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada periode pertama, saat pertama kali MK

dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim MK memang lebih bersifat langsung diajukan

oleh tiga lembaga negara, tidak banyak melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang

belum menarik perhatian publik.

Meski begitu, mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal sejarah dan segala

idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode pertama yang tanpa isu dan

intrik politik telah melahirkan figur-figur yang baik dan berintegritas. Di bawah

kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, hakim-hakim MK periode pertama mampu meletakkan

dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi yang kokoh dan disegani.

Namun, sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul aspirasi agar hakim-

hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak rekrutmen hakim MK periode kedua,

masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim yang berlatar belakang partai politik. Ketika

saya mengikuti seleksi sebagai calon hakim MK dari DPR pada tahun 2008, misalnya,

Indonesia Corruption Watch (ICW) mempersoalkan saya karena saya berasal dari parpol.

Tetapi ketika itu saya terus maju karena menurut undang- undang tidak ada syarat calon

47

hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau sudah menjadi hakim MK mereka

bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol. Ketika itu saya bilang, saya tak pernah

terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa menunjukkan, banyak orang yang berlatar belakang

LSM terlibat korupsi.

Hakim-hakim periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan dengan parpol. Sebutlah

Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I Gede Palguna yang duduk di MPR

mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa bekerja dengan baik.

Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakim-hakim MK yang dari Presiden sejak

periode kedua. Untuk pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh Adnan

Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakim-hakim MK berikutnya Presiden SBY

tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung ditetapkan oleh

Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar dari masyarakat.

Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh tiga

menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi siapa pun

tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan partisipatif, melainkan

lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan

Hamdan yang cukup dikritik; ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri

tugasnya.

Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar

tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan langsung

memperkarakannya ke PTUN.

Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses

yang transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK. Palguna tidak

ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada

yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik

adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh Presiden pasti akan

ada yang mengkritik, tetapi siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin

berlebihan.

Kritik bahwa kalau punya latar belakang parpol cenderung korup tentu harus dikritik balik

karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya, lihat saja, orang-orang yang dipenjara

karena korupsi ternyata bukan hanya mereka yang berlatar belakang parpol, melainkan juga

mereka yang datang dari berbagai latar belakang profesi dan organisasi seperti parpol,

birokrasi, perguruan tinggi, pengusaha, bahkan dari LSM.

Seleksi untuk memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan integritas dan kapabilitas,

bukan dengan latar belakang profesi atau organisasinya. Pada masa-masa mendatang

48

pembentukan tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK harus ditradisikan,

bukan hanya oleh Presiden, tetapi juga oleh DPR dan MA.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

49

Relasi Media & Terorisme Koran SINDO 12 Januari 2015

Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di

Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/2015), kembali mengguncang kesadaran

masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global.

Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi

kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia ; serta penembakan massal di

sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban,

termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014.

Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan

sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah

menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak

mengakomodasi kepentingan ekonomi-politik, aspirasi sipil, dan ideologinya.

Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi

majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang

dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan

kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka

terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo.

Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David

Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls

cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam

kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global.

Anomali Relasi Media dan Terorisme

Secara teoritik, ‘terorisme’ merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan

penggunaan terminologi ‘terorisme’ sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang

menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non-

state agent), maupun media itu sendiri.

Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka

antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis

kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara

juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen

50

state-terrorism atau tindak terorisme yang disponsori dan difasilitas oleh negara. Akibat itu,

distorsi dan sensasionalisasi terhadap fakta dan makna terorisme menjadi terbuka.

Dalam konteks ini, peran media dalam kajian kontraterorisme menunjukkan relevansinya. Di

satu sisi media dapat menjadi teman dekat teroris, di sisi lain media dapat menjadi agen

counter terrorism.

Terorisme selama ini diartikan sebagai aksi kekerasan yang digunakan untuk

mengomunikasikan pesan-pesan khusus untuk menarik perhatian publik melalui publikasi

aksi-aksi mereka (Hoffman, 2006). Untuk memperoleh target utamanya, para teroris

membutuhkan media sebagai alat propaganda yang strategis untuk menyampaikan pesan

penting kepada pihak-pihak yang menjadi sasaran utama. Itu umumnya dilakukan dengan

menampikan aksi-aksi kebiadaban hingga menimbulkan tekanan psikologis publik dengan

memainkan rasa cemas, gelisah, dan menebar ketakutan (politics of fear) untuk meningkatkan

posisi tawar dan mencapai sasaran utama aksi terorisme.

Media dan terorisme memang memiliki relasi simbiosis (Nacos, 1999; Wilkinson, 1997).

Menurut Walter B Jaehning (1978), para teroris umumnya memiliki pengetahuan memadai

mengenai timing aksi, medan pergerakan, dinamika audiens, struktur aksi, dan korban yang

disasar dari tindakan mereka untuk mengoptimalkan efek dramatisasi pemberitaan atas

tindakan mereka.

Tanpa pemberitaan media, aksi terorisme tidak akan menemukan entitas makna dan target

kepentingannya. Sebagaimana disampaikan mantan PM Inggris Margaret Thatcher, publisitas

media merupakan “the oxygen of terrorism” atau “the lifeblood of terrorism” (Picard, 1991).

Tetapi, satu hal yang perlu dipahami, pesan kekerasan dalam aksi terorisme memang

membutuhkan korban. Tetapi, target utama dari aksi-aksi terorisme acapkali tidak terkait

langsung dengan korbannya. Prinsip dasar itulah yang didefinisikan oleh Schimd dan de

Graff (1982) sebagai ‘strategi komunikasi kekerasan’ (‘violence communication strategy’).

Persoalan menjadi berubah ketika sebuah aksi terorisme justru menyasar sebuah institusi

media sebagaimana yang menimpa redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris. Media tidak lagi

diposisikan sebagai “mitra komunikator aksi” mereka, tidak pula menjadi “target antara” aksi

kebiadabannya, melainkan menjadi sasaran utama dari aksi terornya.

Kebebasan Bertanggung Jawab

Ketika media diserang, kemungkinan terkuatnya adalah kelompok teroris tersebut memiliki

hubungan konfliktual dengan institusi media tersebut. Adanya dugaan sejumlah kalangan

yang mensinyalir majalah Charlie Hebdo sebagai penerbit yang kontroversial karena sering

mengeksploitasi wilayah-wilayah tabu politik dan keagamaan sebagai bahan tertawaan dan

olok-olokan, telah memperkuat sinyalemen relasi konfliktual tersebut.

51

Terlepas dari mana pun asal kelompok teroris tersebut, yang pasti tragedi terorisme ini

mengajarkan kepada dunia pers kontemporer tentang pentingnya kembali berpijak kepada

prinsip kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom) dalam menjalankan kerja-

kerja jurnalistik.

Prinsip kebebasan berekspresi yang telah mapan dalam tradisi masyarakat Barat yang

cenderung sekuler akan sering mengalami benturan dengan kelompok-kelompok konservatif

yang masih sensitif dan membutuhkan pengakuan sekaligus penghormatan terhadap prinsip-

prinsip dasar keyakinan, agama, ideologi, dan afiliasi politik mereka. Jika itu dilanggar,

menjadi wajar ketika kelompok-kelompok konservatif radikal akan menjadikan institusi

media yang tidak bertanggung jawab sebagai sasaran utama aksi-aksi terorisme mereka untuk

menyampaikan pesan kepada dunia tentang harapan penghormatan terhadap identitas dan

keyakinan mereka.

Media harus memiliki tingkat kecerdasan dan sensitivitas yang lebih baik untuk memilah-

milah setiap materi yang layak dan tidak selayaknya dipublikasikan. Kepentingan modal dan

perebutan pasar acapkali menjadi faktor utama yang mendeligitimasi prinsip-prinsip dasar

jurnalisme. Kepentingan rating, oplah, aliran iklan, dan aspek sensasionalitas institusi media

terbukti di banyak kasus telah menjadi biang keladi penyalahgunaan arti kebebasan pers.

Akibat itu, beragam materi dieksploitasi dalam bingkai drama, tragedi, karikatur, hingga satir

sehingga menabrak wilayah-wilayah privasi masyarakat yang bersifat sensitif.

Kecaman kita dan masyarakat dunia terhadap aksi kebiadaban terorisme di kantor redaksi

Charlie Hebdo, Paris itu semoga juga menjadi pengingat bagi dunia pers internasional,

khususnya komunitas media di Indonesia, untuk senantiasa mawas diri untuk tetap

menjunjung tinggi prinsip kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan kerja-kerja

mulia media dan jurnalisme.

AHMAD KHOIRUL UMAM

Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The

University of Queensland, Australia; Research Associate di The Indonesian Institute (TII)

Jakarta

52

KPK Menantang Presiden! Koran SINDO 14 Januari 2015

Ketika menyampaikan nama-nama calon menteri yang diduga ”bermasalah hukum”, Ketua

KPK Abraham Samad bertemu empat mata dengan Presiden Joko Widodo di Istana.

Sengaja Abraham minta pertemuan berlangsung tertutup, karena sifat top secret dari

permasalahan yang hendak dibahasnya dengan Presiden. Namun, di Indonesia mana ada

informasi yang tidak bocor kepada pers, serahasia apa pun informasi tersebut?

Maka bocorlah nama-nama calon menteri yang kabarnya ditandai ‘tinta merah’ atau ‘tinta

kuning’ oleh KPK. Salah satunya, menurut berita yang dilansir luas oleh media massa,

Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, salah satu calon menteri yang disodorkan oleh

Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP.

Inisiatif ”screening” nama-nama calon menteri ke KPK dan PPATK kabarnya datang dari

Rini Soemarno. Maka Bu Mega marah besar kepada Rini, juga kesal terhadap Jokowi.

Namun, tindakan Presiden Jokowi minta bantuan KPK dan PPATK sebenarnya konsisten

dengan janjinya yang berulang-ulang dikemukakan dalam kampanye pemilu yang lalu.

Menurut Jokowi, menteri-menterinya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu integritas (bersih,

tidak terlibat korupsi, bermoral baik), ideologi (mendukung ajaran Trisakti Bung Karno), dan

kompetensi (berpengalaman di bidangnya).

***

Sayang, Presiden tidak konsisten dengan ucapan dan sikapnya soal kriteria ”integritas”.

Yunus Husein, mantan Kepala PPATK, jelas-jelas sudah mengatakan kepada publik– lewat

Twitter-nya Minggu 12 Januari yang lalu–bahwa ”calon kapolri sekarang (baca: Komjen

Polisi Budi Gunawan), pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi pada waktu pengecekan info

di PPATK dan KPK yang bersangkutan mendapat rapor merah/tidak lulus.” Apa artinya

mendapat rapor merah?

Salah satu Pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja, waktu itu menjelaskan silakan saja Presiden

mengangkat calon menteri yang sudah ditandai tinta merah oleh KPK. ”Asal mereka nanti

siap-siap berurusan dengan KPK, siap bolak-balik ke KPK!” kata Pandu. Tapi anjing

menggonggong, kafilah berlalu. Presiden ”nekat” mengajukan Budi Gunawan sebagai calon

kapolri ke DPR, bahkan calon tunggal, karena kabarnya Budi diusulkan langsung oleh Bu

Mega.

53

Menurut Presiden, pihaknya sudah menempuh prosedur yang benar. Ia sudah menerima lima

calon usulan dari Kompolnas. Dari ke-5 calon, lalu memilih Budi Gunawan. Ditanya soal

dugaan keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus ”rekening gendut”, Jokowi menjawab:

Presiden kan punya hak prerogatif!

Rupanya pimpinan KPK, terutama Abraham Samad, kecewa dan kesal melihat sikap Presiden

Jokowi. Seolah Presiden menantang KPK. Maka tindakan KPK yang menetapkan Budi

Gunawan sebagai tersangka, menurut hemat saya, tindakan balasan KPK terhadap Presiden.

KPK siap duel melawan Presiden, kira-kira begitu!

***

Presiden memang punya hak prerogatif untuk mengangkat kapolri. Tapi hak itu tidak mutlak.

Pasal 11 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

menyatakan ”Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan ”Usul pengangkatan

dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat

disertai dengan alasannya.”

Di luar prediksi–dan suatu kejutan–mayoritas fraksi di DPR, ternyata mendukung Budi

Gunawan. Hanya Gerindra dan Demokrat yang tidak mendukung. Golkar, PAN, bahkan PKS

ikut mendukung. Bagi saya, ini fenomena yang mencengangkan. Apakah pasca-2014 sebagai

”tahun panas”, rekonsiliasi akbar sudah tercapai di DPR? Apakah wakil-wakil rakyat di

Dewan sudah tidak memiliki sensitivitas mengenai masalah korupsi?

Kita tidak menuding Budi Gunawan terlibat dalam kasus korupsi. Tidak! Tapi jika Presiden

Jokowi benar-benar bertekad memberantas korupsi sebagaimana yang sering dicanangkan

dalam kampanye-kampanye politiknya, seyogianya ia minta ”clearance” dulu kepada KPK

dan PPATK sebelum mencalonkan Budi Gunawan.

Benar, pada tahun 2010 pimpinan Polri, berdasarkan penyelidikan Bareskrim, menyatakan

penyelidikan kasus ”rekening gendut” sudah tuntas. Dugaan korupsi itu tidak benar, kata

Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kapolri waktu itu. Maka oleh Markas Besar Kepolisian

RI, masalah ”rekening gendut” dinyatakan sudah selesai, the case is closed. Tapi oleh

kalangan LSM, terutama ICW, dan sejumlah media; the case is still on. Mereka menuntut

agar tudingan miring ini benar-benar diselidiki oleh instansi penegak hukum yang

independen. Masak polisi memeriksa anggotanya sendiri. KPK sudah beberapa kali didesak

untuk ”terjun”, tapi sejauh ini KPK tutup mulut.

Sebetulnya KPK tidak diam. KPK, saya yakin, diam-diam melakukan penyelidikan. Cuma,

untuk tidak merepotkan Presiden Jokowi, KPK menahan diri untuk tidak mengomentarinya.

Bahwa KPK diam-diam aktif menyelidiki dugaan ”rekening gendut” sejumlah jenderal polisi,

terbukti, ketika Presiden Jokowi menyodorkan nama-nama calon menteri kepada KPK dan

54

PPATK untuk dilacak ”kebersihannya”. Ternyata ada 10 nama yang diberikan tanda merah

dan kuning oleh KPK sebagaimana dikatakan sendiri oleh Presiden ketika itu. Delapan di

antaranya kemudian dicoret Presiden. Maka batallah mereka jadi menteri.

Ketika bulan lalu saya bertemu dan berdiskusi dengan Abraham Samad di kantornya, saya

sempat tanya soal menteri-menteri yang kini sudah duduk di kabinet. ”Apa masih ada menteri

yang ‘merah’, Pak Ketua?” tanya saya. Abraham tidak bersedia menjawab, tetapi ia

tersenyum sambil mengetuk-ngetuk dua jari tangan kanannya di meja.

Segera saya bisa menangkap meta-meaning di balik ketuk-ketuk dua jarinya diiringi senyum

lebar. Palu godam kini sudah diketuk oleh Ketua KPK, bahwa Komjen Pol Budi Gunawan

dinyatakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi.

***

Yang unik, DPR kelihatannya mau maju terus dengan menggelar fit and proper test.

Semalam, Tim Kecil Komisi III sudah mengunjungi rumah kediaman Budi Gunawan, sebuah

tradisi yang dilakukan Komisi tiap kali hendak fit and proper test calon kapolri. Menurut

Syarifudin Sudding dari Partai Hanura, masalah ”rekening gendut” adalah masalah hukum;

sedangkan uji kelayakan dan kepatutan DPR merupakan masalah politik.

Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, pengangkatan Kapolri Komjen Pol

Chaeruddin Ismail menimbulkan gaduh besar di DPR yang berujung pada impeachment dan

kejatuhan Presiden Gus Dur pada pertengahan 2001. Presiden Wahid berkilah bahwa dia

sudah menelepon Ketua DPR Akbar Tandjung. Dalam percakapan telepon itu, kata Gus Dur,

Akbar sudah menyetujui keinginannya untuk mengganti Kapolri.

Akbar membantah keras pernyataan Presiden. Lagi pula, Akbar tidak bisa begitu saja

bertindak ”mewakili” DPR, meski ia berkedudukan sebagai ketua. Ketentuan Pasal 11 ayat

(1) mensyaratkan ”dengan persetujuan DPR”, bukan ”dengan persetujuan Ketua DPR”.

Hanya dalam tempo 24 jam setelah Chaeruddin Ismail dilantik sebagai kapolri baru, DPR

melayangkan surat kepada MPR, meminta MPR segera menggelar Sidang Istimewa untuk

memakzulkan Presiden.

Tentu, situasi politik sekarang berbeda. Jika pada 2002 DPR memang sedang konfrontasi

melawan Presiden, dan sampai akhir 2014 pun konfrontasi DPR versus pemerintah Jokowi

lebih panas lagi. Tapi memasuki 2015, tampaknya DPR kita mulai jinak dengan pemerintah

Jokowi.

Nah, kita tidak tahu bagaimana ending konfrontasi antara KPK melawan Presiden Jokowi

terkait pengangkatan Komjen Pol Budi Gunawan. Yang jelas, penetapan Budi Gunawan

sebagai tersangka merupakan tamparan dahsyat bagi Megawati Soekarnoputri dan Presiden

Jokowi.

55

TJIPTA LESMANA

Pengamat Politik; Mantan Anggota Komisi Konstitusi, MPR

56

Kasus BG Versus KPK Koran SINDO 15 Januari 2015

Bukanlah KPK jika tidak membuat kejutan-kejutan sejak kasus LHI sampai dengan kasus

BG--Kalemdiklat Mabes Polri--yang terjadi pada tanggal 13 Januari 2015.

Kronologis peristiwa penetapan tersangka atas nama BG dimulai dari laporan transaksi

keuangan mencurigakan (TKM) dari masyarakat, KPK menepis memperoleh LHA dari

PPATK; sekitar bulan Juni s.d. Agustus 2010.

Pada Juli 2013 KPK ekspose berbekal laporan pengaduan masyarakat (lap dumas) dan

menelisik LHKPN BG. Juli 2014 KPK melakukan penyelidikan (lidik) terhadap BG dan hasil

penyelidikan selama enam bulan telah ada lebih dari dua alat bukti TKM ketika BG menjabat

sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri terhitung sejak tahun 2004 s.d.

2006. (Kompas.com, 13/1). Tanggal 12 Januari 2015 dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan

(sprindik) atas nama BG sebagai tersangka.

Fakta yang disampaikan KPK kepada publik menyimpulkan lima hal yaitu: (1) dasar

penyelidikan KPK terhadap BG adalah lap dumas dikuatkan dengan LHKPN yang telah

menunjukkan perolehan harta kekayaan BG yang fantastis (tidak serta merta mengandung

unsur pidana). (2) Penetapan tersangka atas nama BG berdasarkan lebih dari dua alat bukti

yang cukup, tetapi dalam hal gratifikasi dan suap tidak mudah memperoleh alat bukti

dimaksud dalam waktu relatif singkat, sekitar enam bulan. (3) Status BG sebagai tersangka

ketika menjabat kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri. (4) KPK tidak melakukan

tugas koordinasi dan supervisi (Pasal 6 a UU KPK) jo Pasal 8 UU KPK untuk mengambil

alih kasus BG dari Mabes Polri apalagi tim Mabes Polri telah memeriksa rekening BG dan

telah diumumkan tidak ada unsur pidana. (5) Momentum pengumuman penetapan tersangka

atas nama BG terjadi dua hari setelah BG diajukan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri

kepada DPR RI untuk memperoleh persetujuan.

***

Kelima fakta tersebut perlu dikaji lebih jauh dari aspek yuridis dan sosiologis. Dugaan KPK

terhadap BG adalah pelanggaran pasal-pasal 12 a atau 12 b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan

Pasal 12B UU Tipikor 1999/2001. Keempat pasal tersebut terkait perbuatan suap dalam

jabatan seorang penyelenggara negara atau lazim dikenal sebagai ‘delik jabatan’.

Dari aspek yuridis, kasus ini merujuk pada dugaan suap yang telah dilakukan BG selaku

kepala biro. Pertanyaan pertama, apakah secara yuridis, jabatan BG ketika itu termasuk

57

penyelenggara negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU Tipikor dan UU RI Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN? Merujuk pada

kedua UU tersebut, BG adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki

atasan langsung.

Pertanyaan kedua, apakah KPK telah meyakini dan memiliki bukti pihak pemberi

suap/gratifikasi yang seharusnya diumumkan juga kepada publik sebagai tersangka? KPK

bersikukuh menyatakan telah diperoleh lebih dari dua alat bukti bahwa harta kekayaan BG

berasal dari gratifikasi dan suap. Pembuktian atas dugaan ini akan diuraikan dalam surat

dakwaan dan proses pembuktian di sidang pengadilan.

Dari aspek yuridis, yang penting dan patut diketahui adalah, bahwa keempat ketentuan

tersebut termasuk delik jabatan dan perbedaan antara gratifikasi dan suap sangat tipis yaitu,

pembuktian gratifikasi lebih dari nilai Rp10.000.000, dibebankan pada terdakwa; sedangkan

pembuktian perbuatan suap dibebankan pada penuntut.

Jika secara teliti dikaji unsur-unsur yang harus dipenuhi di dalam kedua tindak pidana

tersebut, adalah tidak berbeda signifikan. Lihat saja kalimat, “...berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya...” (Pasal 12B), dan

kalimat, “...berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya....” (Pasal 5 ayat 2), dan “...karena kekuasaan atau kewenangan yang

berhubungan dengan jabatanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau

janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya...”(Pasal 11); “...untuk menggerakkan agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya...”( Pasal 12 a) idem Pasal 12 b.

Selain itu terdapat fakta bahwa kasus rekening atas nama BG telah disampaikan PPATK

kepada Polri dan Polri telah membentuk tim gabungan (Divisi Hukum, Propam dan Inspektur

Pengawasan) dengan hasil dinyatakan tidak ada unsur pidana dalam harta kekayaan yang

dilaporkan PPATK kepada Polri. Bahkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri ketika itu telah

menyampaikan hal ini di hadapan DPR RI.

Dalam peristiwa tersebut, terdapat “missing link“ koordinasi dan supervisi KPK terhadap

Polri dalam menangani peristiwa terkait rekening BG.

***

Dari aspek sosiologis, masyarakat luas berharap penuntasan peristiwa “rekening gendut”

sejak tahun 2010 oleh KPK namun tuntutan tersebut tidak dilaksanakan institusi tersebut.

Baru pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 KPK melaksanakan penyelidikan dan

pada tanggal 12 Januari 2015 menetapkan BG sebagai tersangka. Pertanyaan publik,

mengapa untuk menetapkan BG, KPK harus menunggu waktu kurang lebih empat tahun?

58

Untuk pembuktian suap/gratifikasi harus diperlukan bukti atau ditemukan siapa pemberi dan

penerima suap/gratifikasi karena baik penerima maupun pemberi suap adalah merupakan

pelaku (dader) eks Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) atau Pasal 12 B UU Tipikor 1999/2001.

Yang menarik perhatian khusus adalah KPK telah melanggar ketentuan Pasal 6 huruf a UU

KPK yaitu tugas koordinasi dan supervisi terhadap hasil temuan Tim Gabungan Mabes Polri

dalam menindaklanjuti LHA PPATK yang disampaikan kepada Polri.

Solusi yang diusulkan sesuai dengan asas-asas kepemimpinan KPK antara lain akuntabilitas,

integritas dan profesionalisme (Pasal 5 UU KPK) maka perlu ada gelar perkara bersama KPK

dan Bareskrim Polri untuk bersama-sama mendalami kasus BG. Atau alternatif lain, Presiden

merujuk pada kasus BC (cicak vs buaya) dapat membentuk tim pencari fakta atas keterlibatan

BG dalam perbuatan suap/gratifikasi yang bersifat independen karena BG telah diajukan

sebagai calon kapolri oleh Presiden.

Solusi ini untuk bersama-sama memelihara dan menjaga martabat sesama lembaga negara

terutama lembaga kepresidenan dan DPR RI termasuk KPK dan Polri di hadapan masyarakat

dalam dan luar negeri.

ROMLI ATMASASMITA

Pengamat Kebijakan Publik LPIKP; Guru Besar Ilmu Hukum

59

Penegakan Hukum Belum Menunjukkan Sinyal Perubahan

Koran SINDO 15 Januari 2015

Tahun 2014 baru saja berakhir, namun tanda-tanda bahwa akan ada perubahan signifikan

dalam penegakan hukum di Tanah Air belum juga terlihat sampai saat ini. Perlu dibahas

mengapa tanda-tanda perubahan tersebut belum terlihat sejak akhir Oktober 2014, ketika

Joko Widodo dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia menggantikan Susilo

Bambang Yudhoyono.

Sepak terjang dari pemerintahan Jokowi adalah dengan adanya penerbitan tiga kartu sakti

Jokowi, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga

Sejahtera (KKS) yang dalam penerbitannya sangat terburu-buru dan tidak didukung dengan

perencanaan anggaran dan payung hukum yang matang sehingga menimbulkan begitu

banyak pro-kontra dalam masyarakat. Kemudian, adanya pengesahan munas partai politik

yang pemerintah seperti terlalu turut ikut campur dalam urusan rumah tangga partai politik

tersebut.

Juga terdapat program pemerintah untuk membawa kembali kejayaan Indonesia di laut

seperti pada masa Kejayaan Sriwijaya yang ditandai dengan tindakan menenggelamkan

kapal-kapal asing pencuri ikan. Tujuan penenggelaman kapal tersebut tentunya sebagai shock

therapy dan ingin menimbulkan efek jera, namun ternyata hal tersebut malah mengisyaratkan

penegakan hukum secara kekerasan di Indonesia. Menenggelamkan kapal pencuri ikan di

perairan Republik Indonesia sebagai premium remedium adalah bertentangan dengan UU

Kelautan kita yang menggunakan ultimum remedium berupa denda, perampasan kapal

pencuri, dan pengembalian pencuri ikan ke negara asal.

Kekerasan yang bernadakan pembalasan ini mengingatkan kita kepada konsep “Petrus” atau

“penembak misterius” di zaman Orde Baru di mana pemberantasan kejahatan dilakukan

secara “extrajudicial“, yaitu tanpa melalui proses hukum dan yang dicari adalah pembalasan

dengan kekerasan yang bersifat “trigger happy“ dari aparat penegak hukum. Bentuk

pembalasan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan kejahatan, tetapi akan

menimbulkan komplikasi ketegangan diplomasi dan tudingan pelanggaran hak asasi manusia

dari masyarakat internasional.

Terkait penerapan hukuman mati dan penolakan grasi terhadap pengedar narkoba yang

dikomentari oleh Uskup Jakarta Ignatius Suharyo yang menyatakan dalam pesan Natal,

bahwa menghukum mati pengedar narkoba tidak akan menyelesaikan persoalan.

60

Pernyataan tersebut juga didukung dengan adanya data yang menunjukkan negara-negara

yang telah lama menerapkan hukuman mati seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China,

Iran, dan negara-negara Timur Tengah tidak menunjukkan penurunan angka kejahatan dan

malahan sebaliknya. Penolakan Presiden Joko Widodo atas 22 permohonan grasi terpidana

narkoba, dari total 64 terpidana narkoba, akan mengalami hal yang sama.

Apalagi jika tereksekusi mati telah menjalani hukuman penjara lebih dari 10 tahun, Indonesia

berpotensi dituding menerapkan standar ganda. Ketimbang menerapkan hukuman mati

sebaiknya pemerintah yang baru bekerja selama hampir tiga bulan ini mencari sumber

kejahatan narkoba dan memperbaiki penyakit masyarakat berupa kemiskinan (pauperism),

kebodohan, pengangguran, dan pelacuran; dengan memperbaiki sistem pendidikan,

memberantas korupsi, reformasi birokrasi, menghapuskan inefisiensi, dan penanggulangan

pajak tidak resmi yang membebani masyarakat yang menjadikan ekonomi biaya

tinggi. Memang penanggulangan kejahatan akan berlangsung lama dan melelahkan tetapi

kalau berhasil akan dapat mengurangi angka kejahatan (crime rate) secara signifikan di

Indonesia.

Penunjukan dan pengangkatan jabatan-jabatan hukum penting seperti menteri hukum dan hak

asasi manusia, jaksa agung RI, dan kapolri terlihat tidak profesional di mana tidak dilakukan

fit and proper test yang transparan sehingga diduga sarat kepentingan politis.

Selain hal-hal di atas, juga masih terdapat ketidakjelasan dari keputusan pemerintah dalam

pemberian ganti rugi bagi para korban dalam kasus Lapindo, ini menimbulkan pertanyaan

apakah yang dibantu itu Lapindo atau rakyat karena pemerintah malah mengambil alih

pembayaran ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban Lapindo. Belum ada jaminan

bahwa Lapindo akan melunasi dana talangan tersebut dalam kurun waktu empat tahun.

Padahal, rakyat sudah dibebani dengan kenaikan BBM yang dilakukan untuk menutupi defisit

APBN dan alokasi pembangunan nasional. Penggunaan APBN untuk menalangi ganti rugi

korban Lapindo tidaklah fair, karena itu jelas merupakan tanggung jawab perdata Lapindo

terhadap korban luapan lumpur Lapindo. Kebijakan ini sama sekali tidak menjamin kepastian

hukum bagi semua pihak yang dirugikan.

Intoleransi Agama Sebagai Ancaman Nyata

Selama 10 tahun pemerintahan SBY, fenomena yang sangat mengkhawatirkan adalah

terjadinya intoleransi agama, khususnya hak menjalankan ibadah di berbagai daerah di

Nusantara. Hal tersebut dapat menjadi ancaman riil atas keutuhan NKRI.

Padahal, hak beribadah merupakan hak konstitusional setiap WNI yang dijamin dalam Pasal

28 E UUD 1945. Yang paling menyadari terhadap ancaman tersebut dalam hal ini adalah

para aktivis pluralisme, masyarakat sipil, serta para pencinta dan penggagas konsep NKRI.

Oleh karena itu, harus ada sikap tegas dari pemerintahan Jokowi atas ancaman intoleransi

beragama yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini.

61

Mungkin merayakan Natal di Papua Barat bagi Presiden Jokowi adalah baik, tetapi

menyelesaikan masalah larangan beribadah bagi umat Kristen seperti yang terjadi pada umat

Gereja Yasmin (Bogor) dan HKBP Philadelphia (Bekasi) tentunya lebih penting untuk

dilakukan. Kalau saja Presiden merayakan Natal dan menemui para majelis gereja dari Gereja

Yasmin dan HKBP Philadelphia di Istana Merdeka, kejadian seperti itu dapat menjadi simbol

toleransi dalam beragama dan pluralisme yang diusung oleh sang Presiden selama kampanye

Pemilu Presiden 2014 dan menjadi bentuk nyata dari pemenuhan janji-janji beliau selama

kampanye Pemilu Presiden 2014.

Apalagi jika ada upaya nyata dari pemerintah di mana permasalahan yang dihadapi oleh

Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia dapat terselesaikan dengan segera. Jangan sampai

terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh peribahasa lama, yaitu semut di seberang lautan

terlihat, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat.

Sikap nyata dari pemerintah akan melambangkan persamaan di hadapan hukum dan keadilan

bagi semua orang yang menjadi “core“ dari suatu negara hukum (rechtsstaat) serta

pernyataan gamblang dan tegas bahwa Republik Indonesia adalah bukan negara kekuasaan

(machtstaat), melainkan adalah negara hukum (rechtsstaat) yang melindungi semua umat

beragama tanpa adanya diskriminasi.

Tahun 2015 merupakan tahun baru dan awal yang baru bagi Indonesia. Semoga ke depan

lompatan besar yang dilakukan pemerintah dapat meyakinkan rakyat Indonesia, bahwa

pemerintah sekarang adalah berbeda dan serius dalam menegakkan hukum bagi semua orang

tanpa adanya diskriminasi baik secara rasial, agama, atau untuk kepentingan-kepentingan

golongan atau partai tertentu.

FRANS H WINARTA

Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH

62

Silang Sengkarut Tata Kelola Desa Koran SINDO 16 Januari 2015

Polemik perebutan kewenangan pengurusan desa telah berakhir. Jalan tengah yang diambil

Presiden adalah membagi kewenangan atas desa ke dalam dua kementerian.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertugas mengurus ihwal yang berkaitan dengan

pemerintahan desa. Sedangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi (Kemendes PDTT) bertugas menangani ihwal yang berkaitan dengan

pembangunan perdesaan, yang meliputi perencanaan pembangunan desa, pengawasan

pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Secara politik kompromi itu mungkin merupakan ”jalan tengah” yang cukup elegan untuk

mencapai win-win solution. Namun, penataan kewenangan dan pengelolaan urusan desa

semestinya tidak cukup diambil dengan pertimbangan politik, melainkan harus

dipertimbangkan sisi ideal dan teknokratisnya. Kentalnya aspek politik dalam mengatur tata

kelola desa dapat menjebak desa semakin menjadi komoditas politik.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dalam visi-misinya menempatkan desa sebagai

pilar negara dan lokus penting dalam pembangunan nasional justru menghadapi ironi tata

kelola desa. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sebenarnya telah mengatur

pengurusan desa di dalam desain arsitektur pemerintahannya.

Dalam arsitektur baru pemerintahan itu, Presiden Jokowi membentuk Kementerian Desa

yang digabung dengan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Arsitektur

pemerintahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang

Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Dalam keppres tersebut kewenangan urusan desa

digeser dari Kemendagri ke Kemendesa PDTT. Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa Kemendesa

PDTT bertugas melaksanakan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa.

Pergeseran itu juga dalam rangka menyambut dan melaksanakan regulasi baru mengenai desa

yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang tersebut

ditegaskan bahwa urusan desa menjadi kewenangan menteri khusus yang menangani desa

(Pasal 1 angka 16). Kewenangan mengurus desa, menurut undang-undang tersebut, meliputi

pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Namun, desain ideal pemerintahan tersebut ternyata tak sejalan dengan ”aspek” politiknya.

Meski menurut arsitektur pemerintahan baru itu desa diurus oleh Kemendesa PDTT,

Kemendagri ”diberi” wewenang untuk tetap mengurus pemerintahan desa.

63

Silang Sengkarut

Dengan pembagian kewenangan tersebut, pengurus desa dilakukan oleh dua kementerian

yang berbeda dengan memisahkan aspek pemerintahan dan pembangunan. Aspek

administrasi pemerintahan menjadi kewenangan Kemendagri dan aspek pembangunan

menjadi kewenangan Kemendesa PDTT.

Dalam perspektif politik, pembagian ini menjadi salah satu solusi polemik yang

berkepanjangan akibat persebutan wewenang. Namun, di sisi lain, pemisahan ini

menimbulkan kejanggalan dan menjadikan silang sengkarut tata kelola desa.

Silang sengkarut itu setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, dari sisi paradigma,

pengelolaan urusan desa dengan mempertahankan urusan pemerintahan desa dalam

kewenangan Kemendagri berarti telah menyalahi paradigma baru desa sebagaimana yang

tertuang dalam Undang-Undang Desa (Pasal 1). Undang-undang itu telah menggeser

paradigma desa yang sebelumnya dipandang sebagai ”unit pemerintahan terbawah” menjadi

”kesatuan masyarakat hukum”. Dengan pergeseran ini, menempatkan desa --termasuk

pemerintahan desa-- di bawah mendagri sama saja dengan menempatkan desa sebagai unit

pemerintahan di bawah pemerintahan daerah.

Kedua, pengurusan desa menjadi semakin tidak efektif dan efisien. Pembentukan

Kementerian Desa yang bertugas mengurus desa sebagai amanat undang-undang menjadi

tidak bermakna signifikan karena toh akhirnya urusan desa tetap terdistribusi ke kementerian

lain. Kementerian Desa tidak diberi wewenang penuh untuk mengurus desa dalam semua

aspeknya.

Di samping tidak efektif dan efisien, pemisahan urusan desa ini juga dipastikan akan

membuat tata kelola desa yang tumpang tindih dan menyulitkan desa. Ini karena pada

kenyataannya, urusan administrasi pemerintahan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, keputusan membagi tata kelola desa ke dalam dua kementerian juga tidak konsisten

dengan nomenklatur kementerian yang telah ditetapkan melalui Keppres Nomor 121/P Tahun

2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode

Tahun 2014-2019 dan Perpres Nomor 165 Tahun 2014.

Nomenklatur ”Kementerian Desa” menunjukkan bahwa kementerian tersebut bertugas dan

memiliki kewenangan untuk mengelola urusan desa dalam semua aspeknya, mulai dari

pemerintahan, pembangunan, hingga pemberdayaan masyarakatnya. Ini berbeda jika

kementerian tersebut diberi nama ”Kementerian Pembangunan Desa”.

Dengan berbagai silang sengkarut itu, sulit untuk tak mengatakan bahwa pemisahan ini lebih

bermakna politis ketimbang perbaikan tata kelola desa yang ideal. Pertimbangan politik itu

dipilih agar partai penguasa tak kehilangan ”ruang politik” desa.

64

Dalam konteks ini, tentu masalahnya bukan sekadar hak prerogatif Presiden dan kewenangan

Presiden untuk mengatur tata kerja kabinetnya. Sebagai kabinet politik, begitu banyak

intervensi yang tak terbendung karena kepentingan politik untuk mendapatkan ”ruang”

penguasaan desa sangat kental. Di sinilah ketegasan dan konsistensi Presiden sedang diuji

untuk memulai merealisasikan visi besarnya tentang desa.

Dengan kentalnya perhitungan politik, visi besar pembangunan perdesaan yang menjadi

agenda prioritas pemerintahan Jokowi bisa tersandera oleh kepentingan politik. Situasi ini

akan dapat melahirkan ironi tata kelola desa.

Desa dan Tata Kelola Baru

Agenda prioritas pembangunan perdesaan membutuhkan tata kelola yang memadai dari level

pusat hingga level desa. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan Presiden untuk

memperbarui tata kelola pembangunan desa. Pertama, meninjau kembali kebijakan

pemisahan kewenangan pengurusan desa ke dalam dua kementerian.

Dalam konteks ini Presiden seharusnya konsisten dengan pembentukan Kemendesa PDTT

yang diproyeksikan menjadi ”leading sector” pengelolaan urusan desa dan pembangunan

perdesaan. Ini diperlukan untuk menghindari inefisiensi, inefektivitas, dan overlapping dalam

tata kelola desa. Urusan administrasi pemerintahan desa dengan pelaksanaan

pembangunannya adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dipisah.

Kedua, memperkuat dan melakukan reorientasi terhadap pemerintahan daerah sebagai

kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk memastikan pelaksanaan Undang-Undang Desa

secara konsisten dan terukur. Dalam konteks ini pemerintah daerah bukan lagi berperan

sebagai ”atasan” pemerintahan desa yang dapat semudahnya mengintervensi pengelolaan

desa yang mandiri dan berdaulat, melainkan menjadi fasilitator, katalisator, dan akselerator

bagi pelaksanaan tata kelola desa dan pembangunan perdesaan. Untuk itu, pemda harus

memiliki visi dan persepsi yang sama dengan pemerintah pusat tentang desa sebagaimana

tertuang dalam UU Desa.

Ketiga, memperkuat tata kelola di level desa. Terakhir ini merupakan faktor kunci

keberhasilan pembangunan perdesaan. Sebagai subjek pembangunan, desa tidak lagi bisa

bergantung terhadap pemerintah pusat maupun daerah, melainkan harus bisa mengurus

dirinya sendiri secara mandiri dan berdaulat.

Dalam konteks ini, pemerintah pusat melalui Kemendesa PDTT bertugas melakukan

penguatan tata kelola desa, mulai dari pengembangan sistem pemerintahan dan administrasi

desa, peningkatan kapasitas aparatur desa, pendampingan perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan desa, penguatan partisipasi masyarakat, hingga pengawasan pelaksanaan

pembangunan dan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.

Tiga hal di atas merupakan langkah kunci dan mendesak untuk memastikan pelaksanaan

65

Undang-Undang Desa dan visi pemerintahan Jokowi-JK yang akan membangun Indonesia

dari desa.

Tanpa pembaruan tata kelola yang konsisten dan akuntabel, pembangunan desa hanya akan

menjadi dongeng sebelum tidur. Masyarakat tentu berharap pemerintahan Presiden Jokowi

tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan dapat melakukan perubahan Indonesia mulai dari

desa.

CASWIYONO RUSYDIE CW MIP

Pemerhati Kebijakan dan Masalah Perdesaan; Ketua Yayasan Nusahada

66

Awan Politik Cumulonimbus Koran SINDO 16 Januari 2015

Presiden Joko Widodo sebagai pilot Kabinet Kerja mesti ekstra hati-hati menjalankan

pemerintahannya dan mengambil keputusan politik yang strategis. Jika salah, bisa masuk

pusaran awan politik cumulonimbus yang sangat membahayakan. Bisa-bisa patah sayapnya

atau oleng dan rakyat sebagai penumpangnya yang akan jadi korban.

Dalam pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri, posisi Jokowi memang

dilematis. Dia terjepit di antara banyak kekuatan dan kepentingan. Salah-salah mengambil

keputusan, dampaknya sangat besar bagi pemerintah dan bangsa.

Dari aspek hukum formal dan keputusan politik, bisa saja Budi Gunawan disahkan dan

dilantik sebagai kepala Polri menggantikan Sutarman yang hampir berakhir masa jabatannya.

Tetapi, mengingat posisi Budi Gunawan sebagai tersangka KPK, legitimasi moral kepala

Polri akan sangat lemah.

Padahal salah satu agenda besar Jokowi adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan

berwibawa, baik secara hukum maupun moral. Dalam pidato kampanye menjelang pemilu,

Jokowi tegas mengatakan, dirinya tidak akan mengangkat pembantunya yang bermasalah.

Janji Jokowi itu dibuktikan dengan melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menjaring calon-calon menterinya. Dikabarkan, ada

beberapa calon yang gagal karena diberi label kartu merah oleh KPK dan PPATK.

Tetapi, dalam pencalonan kepala Polri, Jokowi mengambil jalan berbeda. Dia menggunakan

hak prerogatif-nya sebagai presiden, mengajukan calon tunggal ke DPR untuk dilakukan fit

and proper test. It’s done. Komisi III DPR meloloskan. Beberapa anggota DPR memuji-muji

Budi Gunawan sebagai orang yang tepat dan memiliki visi serta program bagus untuk

menjadi kepala Polri.

Beberapa relawan dibuat bingung dan gelisah. Mereka khawatir, jika Jokowi salah

mengambil keputusan politik, bulan madu dengan massa pendukungnya akan berakhir lebih

cepat dari yang diharapkan dan dibayangkan. Saya sendiri belum tahu, sebagai pilot, langkah

dan keputusan politik apa yang akan diambil Jokowi mengenai pencalonan Budi Gunawan

sebagai kepala Polri.

Di Indonesia terdapat tiga lembaga andalan untuk menegakkan hukum dan memberantas

korupsi yaitu institusi kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Dari tiga lembaga tersebut, yang

memperoleh kepercayaan rakyat paling tinggi adalah KPK.

67

Idealnya, tiga pilar tersebut merupakan kekuatan tiga serangkai yang bekerja secara kompak

dalam penegakan hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih. Kalau saja pemerintahan

ini—ibarat tubuh—sudah sehat segar bugar bebas dari korupsi, KPK itu tidak diperlukan.

KPK itu lembaga ad hoc. Tetapi, selama korupsi masih tumbuh subur, justru KPK yang mesti

diperkuat lagi.

Lalu, apa yang akan dilihat dan dipikirkan rakyat andaikan sosok kepala Polrinya adalah jadi

tersangka KPK? Ibarat tangan dan kaki yang mestinya saling membantu berperang

menghadapi musuh, tetapi sesama organ tubuh malah berantem. Kalau itu terjadi, pasti

menimbulkan anomali dan tragedi bagi bangsa dan pemerintah yang tengah memacu diri

memberantas korupsi, sementara sesama pasukan penegaknya sibuk berkelahi.

Situasi ini bisa berkembang menjadi awan politik cumulonimbus yang akan dihadapi

pemerintahan Jokowi. Mumpung belum, mesti ekstra hati- hati. Jangan sampai terulang lagi

tragedi “Cicak lawan Buaya”. KPK berhadapan dengan kepolisian.

Memang ada suara dari pihak-pihak yang ingin mengerdilkan peran KPK karena dirinya

merasa terancam dan dirugikan oleh sepak terjang lembaga ini. Tetapi, mesti diingat, sampai

hari ini rakyat masih percaya dan menaruh harapan besar pada KPK ketimbang lembaga

penegak hukum lain. Jadi, rakyat akan selalu mengikuti alur cerita ke depan, bagaimana

kelanjutan dari pencalonan Budi Gunawan ini. Jangan sampai harapan dan pengorbanan

rakyat untuk menyukseskan pemilu yang baru saja berlalu disepelekan dan dilupakan.

Pada era demokrasi ini kedaulatan rakyat semakin mengemuka. Banyak cara dan saluran

untuk bersuara. Kadangkala bahkan berseberangan dengan suara yang dikemukakan oleh

wakil-wakilnya di Senayan.

Orang tua punya nasihat, orang berjalan itu tak akan tersandung gunung. Yang kadang bisa

membuat terpeleset itu justru tersandung batu kerikil atau lubang kecil yang tak terlihat atau

political blind spot.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

68

Kasus BG: Persilangan Hukum Pidana & Tata Negara

Koran SINDO 17 Januari 2015

Polemik dan tarik-menarik pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai kepala Polri

akibat status tersangka yang disematkan KPK menjadi masalah yang pelik. Pelik karena

terjadi persilangan hukum pidana dan hukum tata negara dalam kasus tersebut.

Belum lagi ada tambahan bumbu politik, rivalitas antarcalon kepala Polri, dan dugaan ada

kekecewaan salah satu komisioner KPK karena gagal menjadi wakil presiden. Untuk bumbu-

bumbu itu, tidak perlu dibahas karena lebih banyak rumor daripada faktanya.

Yang menarik justru mendudukkan kembali posisi hukum dari peristiwa tersebut. Membaca

kasus ini tidak bisa hanya membaca di hilirnya setelah status tersangka atau pun hanya

membaca proses ketatanegaraan soal prosedur pengangkatan kepala Polri di sisi lain. Mereka

bersilang bahkan bisa berkonflik dalam dua ranah hukum tersebut.

Penetapan tersangka korupsi kepada BG yang disampaikan langsung Ketua KPK Abraham

Samad hanya selang sehari jelang fit and proper test. Soal waktu tentu menjadi perdebatan

antara politis dan yuridis murni. Namun, fakta yang terlihat adalah begitu. Apalagi kasus

yang disangkakan terjadi 9-11 tahun silam.

Uniknya lagi, dua alat bukti yang dikatakan sudah ada itu tanpa didahului dengan

pemeriksaan satu orang saksi pun. Secara hukum acara pidana ini janggal. Dalam kasus

operasi tangkap tangan (OTT) saja, KPK selama ini masih melakukan pemeriksaan dulu

sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Keanehan ini membuat dugaan-dugaan politis lebih

kuat dari yuridis.

Kalau dari sudut kewenangan, sebenarnya kewenangan memang ada di KPK untuk

menjadikan siapa pun–terlebih penegak hukum--untuk dijadikan tersangka. Namun,

kewenangan itu tentu tidak berdiri sendiri karena ada kewajiban-kewajiban lain yang

mengikutinya. Misalnya dalam proses peningkatan tahapan dalam hukum acara pidana

menurut KUHAP, dari penyelidikan ke penyidikan dan dari penyidikan untuk menentukan

tersangkanya melalui prosedur dan tahapan yang ketat.

Di sisi lain, KPK juga berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK punya kewenangan

untuk melakukan supervisi dan koordinasi untuk penanganan tindak pidana korupsi kepada

Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu, tentu ada kewenangan lebih KPK untuk

69

mengambil alih kasus yang dirasa layak diambil alih. Atau pun sebaliknya, menyerahkan

kasus yang sekiranya lebih baik ditangani Polri atau Kejaksaan Agung.

Posisi kasus rekening gendut Polri selama ini diserahkan penanganannya ke institusi Polri.

Memang terasa kurang pas karena tidak mungkin memproses dirinya sendiri. Apalagi kalau

ada jiwa korsa atau hubungan atasan dan bawahan di dalamnya. Sulit mendapatkan

objektivitas.

Namun, faktanya itu dibiarkan saja dan tidak ada koordinasi dan supervisi terukur dilakukan

KPK selama itu. Padahal sudah ada MoU tentang bagaimana sebuah kasus akan diambil alih

KPK atau menyerahkan ke Polri dan Kejaksaan Agung. Pertanyaannya, adakah peristiwa

koordinasi dan supervisi itu? Adakah semangat saling hormat-menghormati secara

kelembagaan?

Di sisi lain, proses penentuan kepala Polri sudah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian. Lembaga yang terlibat adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bukan

KPK ataupun PPATK.

Kemarahan KPK dan PPATK karena tidak dilibatkan sebenarnya tidak etis dalam ketaatan

pada undang-undang. Bukankah hak, kewenangan, tugas, dan kewajiban secara tata negara

diatur secara detail dalam setiap UU. Karena itu, terobosan-terobosan pencitraan yang

dilakukan secara politik tidak dapat dijadikan instrumen hukum pembenar seakan-akan hak

dan kewenangan sudah dimiliki. Posisi KPK dan PPATK adalah pelaksana undang-undang,

bukan pembuat undang-undang. Kalau ingin terlibat, perjuangkan untuk revisi UU Kepolisian

terlebih dahulu sehingga legalitasnya kuat.

Dalam perspektif hukum tata negara, proses tahapan penentuan kepala Polri sudah

selayaknya dihormati oleh semua lembaga negara. Dengan selesainya tahapan di DPR,

selanjutnya menjadi tahapan di Presiden untuk proses pengeluaran surat keputusan maupun

pengangkatannya.

Yang membedakan, posisi surat Presiden pada tahap awal usulan calon kepala Polri dalam

perspektif administrasi negara merupakan kewenangan dan hak prerogatif Presiden. Namun,

setelah berproses di DPR RI dan telah menyatakan persetujuannya, posisi Presiden tidak lagi

menjadi ruang lingkup kewenangan dan hak prerogatif, namun sudah berubah menjadi

kewajiban jabatan dan konstitusional untuk melantiknya.

Dilema yang muncul di persimpangan ini, dengan status tersangka dalam ranah hukum

pidana dan telah ada persetujuan DPR RI dalam ranah hukum tata negara, Presiden berada

dalam posisi antara mau menegakkan hukum tata negara atau harus tunduk pada etika dan

fatsun politik. Seorang tersangka harus mundur dari atau tidak menjabat jabatan

publik. Dalam posisi inilah dilema tersebut terjadi.

70

Kalau BG tidak jadi diangkat sebagai kepala Polri, Presiden telah merendahkan posisi hukum

tata negara karena dikalahkan dengan fatsun etika politik yang belum ada payung hukumnya.

Apalagi dalam ranah hukum pidana, masih ada ruang asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence).

Tetapi, kalau diangkat, Presiden juga telah membuat rekor telah mengangkat kepala Polri

dalam status sebagai tersangka. Sebuah kesan politik yang tidak nyaman untuk politik yang

penuh pencitraan seperti saat ini.

Di sisi lain, KPK juga tidak bisa memaksakan semua harus tunduk pada keinginannya dengan

alasan untuk pemberantasan korupsi. Yang tidak menurut dengan tafsir KPK adalah pro-

koruptor. Sebuah stigma yang otoritarian. Padahal, bertindak melebihi kewenangan

merupakan korupsi kewenangan juga. Menggunakan kewenangan dengan sewenang-wenang

adalah kejahatan itu sendiri sehingga KPK harus hati-hati juga. Publik sekarang sudah melek

di balik pujian yang selalu diberikan,

KPK juga tetap terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam

hukum tata negara. Dalam hierarki ketatanegaraan, Presiden, Polri, Kejaksaan Agung,

Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lainnya diatur tegas dalam konstitusi negara yaitu

UUD NRI 1945 sehingga secara hierarki sebenarnya lebih tinggi. Sementara KPK diatur

dalam undang-undang atas amanat undang-undang, bukan amanat konstitusi.

Karena itu, sebagai lembaga penegak hukum, sudah seharusnya fokus saja pada proses

penegakan hukum. Toh, juga dalam ranah hukum pidana berlaku aturan equality before the

law. Semua orang sama di depan hukum, baik itu kepala Polri, Presiden, komisioner KPK;

maupun petani, pedagang, mahasiswa, dan lainnya; semua sama di depan hukum.

Bila sudah yakin dengan dua alat bukti yang dimiliki, KPK tidak perlu lagi banyak

melakukan manuver-manuver politik. Silakan jalankan hukum acara pidana untuk

pengumpulan alat bukti sehingga segera bisa dibawa ke pengadilan. Tidak perlu lagi lakukan

tekanan-tekanan politik kepada berbagai pihak hanya agar keinginannya dikabulkan.

Dalam sejarah KPK juga pernah memiliki komisioner berstatus tersangka yaitu Bibit Samad

Rianto dan Chandra Hamzah dan saat itu tetap menjadi komisioner meski undang-undang

dengan tegas mengatur kewajiban untuk mundur. Namun, kasusnya tidak sampai ke

pengadilan, tetapi dihentikan dengan upaya di luar peradilan yaitu deponeering oleh Jaksa

Agung. Salah atau tidak yang bersangkutan tidak diketahui sampai saat ini sebab berhenti di

status tersangka, tidak sampai menjadi terdakwa atau terpidana

GEDE PASEK SUARDIKA SH MH

Anggota DPD RI

71

Kursi Panas Kapolri Koran SINDO 17 Januari 2015

Kursi jabatan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masa pemerintahan Joko Widodo

(Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) begitu panas. Saking panasnya, pengusulan calon Kepala Polri

Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sesuai

Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri justru menuai kontroversi. Penyebabnya,

Budi Gunawan ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak

12 Januari 2015.

Penetapan tersangka bagi calon kepala Polri tak pelak menimbulkan pro-kontra di ruang

publik. Ada yang menuding KPK bermain politik lantaran pengumuman tersangka dilakukan

sehari sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dalam

konferensi pers, KPK menyebut melakukan penyelidikan sejak Juni 2014 dan telah

menemukan bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Bagi DPR, penetapan tersangka calon kepala Polri yang diajukan Presiden tidak menghalangi

DPR melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Ternyata DPR dalam rapat paripurna

pada Kamis (15/1/ 2015) memberikan persetujuan calon kepala Polri untuk dilantik

Presiden. Padahal, publik berharap agar DPR tidak hanya memaknai undang-undang secara

normatif, DPR perlu juga melihat secara jernih realitas proses hukum yang terjadi di KPK.

Tanpa bermaksud melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang

menjadi salah satu dasar pertimbangan DPR, proses hukum di KPK semestinya bisa dijadikan

pertimbangan bagi DPR untuk tidak memberikan persetujuan.

Bagi Presiden yang mengajukan calon kepala Polri berdasarkan usulan Komisi Kepolisian

Nasional (Kompolnas) sebetulnya sudah punya sinyal dari KPK bahwa Komjen BG saat

diajukan calon menteri telah diberi “stabilo merah”. Tetapi, karena ada surat dari Bareskrim

Polri yang diajukan Kompolnas bahwa rekening BG tidak ada masalah, Presiden

menganggap semuanya clear.

Sebetulnya Presiden punya waktu untuk menarik pencalonan itu sebelum DPR melakukan uji

kelayakan dan kepatutan, tetapi tidak dilakukan. Akibat itu, saat ini bola panas ada di tangan

Presiden yang boleh jadi akan menimbulkan kehebohan baru jika Presiden tidak mengambil

langkah yang bijak.

Akhirnya Presiden mengambil langkah sementara dengan mengangkat Wakapolri Komjen

Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt.) kapolri seraya menunda pencalonan

72

Komjen pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri hingga waktu yang tidak ditentukan.

Jebakan Simalakama

Kontroversi pengusulan yang begitu kencang bergaung yang kemudian diamini DPR

membuat publik bertanya kepada wakilnya di Senayan, apakah moralitas dan etika bernegara

tidak menggelitik anggota DPR dalam memberikan persetujuan? Bagaimana jadinya jika

institusi hukum sebesar Polri yang salah satu tugasnya menegakkan hukum dipimpin oleh

sosok yang berstatus tersangka?

Apabila Presiden melantik calon kepala Polri dalam status tersangka, berarti ini sejarah baru

dalam kenegaraan Indonesia. Kepala Polri baru terpaksa harus membagi perhatiannya. Selain

melaksanakan tugas konstitusional seperti dimaksud Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 yaitu

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas melindungi, mengayomi,

melayani masyarakat, serta menegakkan hukum; juga mengikuti proses hukum di

KPK. Perkara di KPK adalah urusan pribadi yang harus dituntaskan sembari melaksanakan

tugas konstitusional.

Apabila kembali menengok pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setiap menteri

dan pejabat setingkat menteri diminta untuk mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai

tersangka korupsi. Tiga menteri aktif semasa pemerintahan SBY langsung mengundurkan diri

begitu ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK. Tetapi, pemerintahan Jokowi justru berkutat

pada persoalan penetapan tersangka KPK yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat.

Apakah Presiden akan melantik atau melakukan langkah progresif dengan mengajukan calon

lain? Beredar rumor bahwa Presiden tetap akan melantik kemudian menonaktifkan dan

menunjuk pelaksana tugas kepala Polri. Dua pilihan itu membuat Presiden harus hati-hati dari

kemungkinan “jebakan simalakama”. Tidak mengikuti persetujuan DPR berarti Presiden

mengingkari sendiri usulannya. Apabila melantik karena sudah mendapat persetujuan DPR,

berarti siap-siaplah mendapat sorotan dan kecaman publik. Presiden berada dalam situasi sulit

antara memenuhi usulannya yang sudah disetujui DPR atau melihat realitas publik yang

menganggap institusi Polri harus dipimpin oleh sosok yang tidak harus membagi

perhatiannya menghadapi proses hukum.

Ada juga yang berpendapat agar Presiden mengambil langkah ketiga, tidak melantik kepala

Polri sambil menunggu berakhir masa bakti kepala Polri saat ini yang memasuki pensiun

pada Oktober 2015. Tetapi, pilihan ini juga tidak akan memberikan jalan keluar sebab kasus

korupsi yang sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan atau penuntutan, KPK tidak berwenang

menghentikan itu. Artinya, kasus tersebut akan sampai di pengadilan untuk diperiksa, diadili,

dan dijatuhi vonis apakah bersalah atau tidak bersalah. Publik berharap agar Presiden Jokowi

konsisten pada janjinya yang akan membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Konsistensi KPK

73

Untuk menangani berbagai kasus korupsi, KPK harus tetap konsisten, berani, dan profesional

agar tidak menimbulkan kegaduhan baru. Ada yang menuding bahwa penetapan tersangka

calon kepala Polri sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR lantaran diboncengi

kepentingan politis. Meski ini baru sekadar rumor, KPK harus menjawabnya dengan langkah

tegas.

Betapa tidak, sejumlah tersangka belum ada tindak lanjutnya meski sudah berbulan-bulan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam catatan akhir tahun 2014 yang ditulis Emerson

Yuntho (KORAN SINDO, 31/ 12/2014) menyebut sedikitnya 11 tersangka korupsi belum

ditahan meski sudah lebih dari tiga bulan berstatus tersangka. Malah ada tersangka korupsi

yang sudah lebih dari tiga tahun, tetapi belum juga ditahan.

Menurut ICW, ada 11 kasus korupsi yang sudah lama dalam penyidikan, tetapi belum

dilimpahkan ke penuntutan. Jangan sampai anggapan bahwa KPK “hanya mahir mengungkap

kasus”, tetapi lamban menuntaskannya, menjadi senjata yang bisa dipakai menyerang balik.

Maka itu, KPK tidak boleh lagi beralasan kekurangan penyidik.

Perhatian publik saat ini tertuju pada konsistensi KPK agar mempercepat proses penyidikan

dan penuntutan. Setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka mempunyai hak untuk

secepatnya menjalani proses hukum untuk mendapat kepastian apakah bersalah atau tidak

bersalah. Kita tidak ingin kontroversi yang telanjur panas itu memengaruhi proses hukum.

Jangan sampai proses hukum yang tertunda memunculkan pandangan untuk memereteli

kewenangan KPK.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

74

Moral di Atas Hukum Koran SINDO 17 Januari 2015

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk tetap melakukan fit and proper

test atas calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, Fraksi Partai Demokrat merupakan satu-

satunya fraksi yang menolak. Benny K Harman yang menyuarakan sikap partainya

menyatakan, meskipun pengajuan calon kapolri oleh Presiden kepada DPR telah memenuhi

syarat hukum tata negara, karena secara hukum pidana yang bersangkutan sudah ditetapkan

sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Partai Demokrat tidak setuju

hal itu ditindaklanjuti dengan fit and proper test di DPR.

Ada yang langsung bersetuju dengan Partai Demokrat itu. Jika negara hukum ini mengangkat

seorang tersangka tindak pidana korupsi sebagai kapolrinya, Indonesia bisa jadi tertawaan

dunia. ”Apa kata dunia kalau kita mengangkat kapolri seorang tersangka,” kata mantan Ketua

Mahkamah Konstitusi(MK) Hamdan Zoelva seperti dilansir sebuah media online.

Meski turut kecewa terhadap cara KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka,

pegiat demokrasi dan penegakan hukum Johnson Panjaitan mengatakan rasa

mirisnya. ”Indonesia akan menjadi pemecah rekor sebagai negara pertama di dunia yang

mengangkat seorang tersangka sebagai kapolri,” ujar Johnson melalui sebuah stasiun televisi

Kamis sore dua hari lalu.

Tapi para pendukung Budi Gunawan mengajukan argumen balik. Bukankah secara hukum

pengajuan Budi Gunawan oleh Presiden ke DPR itu sudah sah? Bukankah Presiden sudah

memilih salah satu dari nama-nama yang oleh Kompolnas dinyatakan layak dan bersih? Nah,

karena secara hukum pengajuannya sudah sah, apalagi yang bersangkutan barulah dinyatakan

sebagai tersangka yang berhak diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, prosesnya

dapat dilanjutkan dan Presiden tetap dapat mengangkatnya.

Menanggapi hal tersebut, Benny K Harman mengatakan, ”Di atas hukum ada moral.”

Meskipun secara formal-prosedural pengajuan Komjen Budi Gunawan sudah memenuhi

syarat, secara moral hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dia adalah tersangka

pelaku tindak pidana. Harus diingat bahwa hukum bersumber dari nilai-nilai moral sehingga

kalau yang formal-prosedural tidak sesuai dengan moral, moral itulah yang harus

dimenangkan.

Tapi dalil Benny K Harman bisa dibantah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan: moral menurut

siapa dan dari sudut mana? Apakah benar cara KPK yang seperti itu mewakili hukum yang

75

bermoral? Bukankah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kental dengan aroma

politik?

Untuk saat-saat yang masih diliputi suasana emosi seperti sekarang ini, tak mudah bagi kita

untuk memastikan mana yang benar secara hukum dan moral dari kontroversi ini. Kita belum

tahu pasti, apakah ini perang antara pegiat anti-korupsi dan geng para koruptor, perang

antarpihak yang sama-sama ingin menegakkan hukum yang bermoral tapi perspektifnya

berbeda atau sebaliknya, perang antarpihak yang sama-sama koruptif secara politik.

Namun satu hal yang pasti, memang benar bahwa moral itu berada di atas hukum. Moral

adalah salah satu dasar utama pembentukan hukum sehingga tidak bolehlah ada hukum, baik

materinya maupun implementasinya, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan di

dalam masyarakat. Hukum sebenarnya merupakan kristalisasi atau formalisasi nilai-nilai

moral dan nilai-nilai lain yang menjadi kaidah di dalam masyarakat.

Pada hari pertama mahasiswa kuliah di Fakultas Hukum, materi penting yang diberikan

dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum adalah bahwa di dalam masyarakat ada berbagai

kaidah atau norma yang menjadi pedoman bertingkah laku untuk menegakkan ketertiban dan

kedamaian, yakni norma agama, norma susila dan kesopanan yang bisa disebut sebagai dasar

moral; serta norma hukum.

Hukum adalah nilai-nilai moral yang sudah diformalkan atau dijadikan kaidah resmi dengan

disertai ancaman sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara bagi yang melanggarnya. Dengan

demikian hukum adalah moral yang diformalkan menjadi peraturan resmi. Oleh sebab itu,

jika ada hukum yang bertentangan dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.

Persoalannya, banyak di antara kita yang tidak lagi mengingat moral sebagai salah satu dasar

adanya hukum sehingga selalu berkutat dan berdebat kusir melalui dalil-dalil formal semata.

Banyak orang yang melakukan pelanggaran moral dan hukum, tetapi mengklaim dirinya

bersih karena secara resmi dan secara formal prosedural tidak atau belum dinyatakan bersalah

oleh pengadilan.

Pada masa lalu dan ini yang menjadi salah satu sumber KKN sehingga kita melakukan

reformasi pada 1998, banyak terduga dan tersangka pelaku korupsi yang dengan gagah

mengatakan dirinya bersih dan tidak mau turun dari jabatannya dengan alasan dirinya tidak

atau belum dinyatakan bersalah secara hukum oleh pengadilan. Itulah sebabnya pada 2001

kita membuat dua ketetapan MPR yang mengatur hal itu, yakni TAP No. VI/MPR/2001 dan

TAP No. VIII/MPR/2001.

Menurut TAP No. VI/MPR/2001, pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus

bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Menurut

TAP No. VIII/MPR/2001, pegawai negeri sipil yang tersangkut tindak pidana korupsi dapat

dikenai tindakan administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan atas kasusnya.

Kedua ketetapan MPR ini sampai sekarang masih berlaku.

76

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

77

Persetujuan Perppu Pilkada Koran SINDO 20 Januari 2015

Melihat perkembangan politik di sekitar Senayan, hampir dapat dipastikan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Apalagi kemarin Komisi II DPR telah menyepakati membawa perppu tersebut ke rapat

paripurna hari ini. Kemungkinan hari ini produk hukum yang mencabut dan menyatakan

tidak berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 akan mendapat persetujuan sesuai

dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.

Meski demikian, beberapa partai politik menghendaki dilakukan revisi atas sejumlah

substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 (Perppu

Nomor 1/2014 atau Perppu Pilkada). Alasan mendasar yang dikemukakan, sejumlah pasal

memiliki kelemahan substansial untuk bisa menghasilkan pemilihan kepala daerah yang

demokratis dan berkualitas.

Setuju atau Tidak

Terlepas dari perbedaan sikap dalam memandang Perppu Nomor 1/2014, pilihan politik

untuk menyetujui produk hukum yang lahir dari hak subjektif presiden ini jelas merupakan

upaya untuk memulihkan daulat rakyat dalam memilih kepala daerah. Apalagi, kalau dibaca

risalah pembahasan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maksud frase “dipilih secara demokratis”

sama dengan model pemilihan presiden dan wakil presiden.

Sekalipun arah semua partai politik di DPR telah mengerucut pada persetujuan, DPR tidak

diperbolehkan melakukan perubahan substansi perppu. Dalam ihwal ini, Pasal 22 ayat (2)

UUD 1945 yang menyatakan “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR

dalam persidangan berikut” membatasi wewenang legislasi DPR. Dengan konstruksi itu,

DPR hanya diberi pilihan, menyetujui atau tidak menyetujui perppu.

Sekiranya menyetujui, DPR (apalagi pemerintah) tidak boleh mengubah ketentuan dalam

perppu. Tidak hanya sebatas pemaknaan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tersebut, pilihan setuju

atau tidak setuju tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12/2011).

Ihwal tindak lanjut perppu, Pasal 52 ayat (3) UU Nomor 12/2011 menegaskan bahwa DPR

hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu. Jikalau

78

DPR setuju, perppu ditetapkan menjadi UU. Artinya, secara konstitusional, tindak lanjut

perppu untuk memenuhi Pasal 22 UUD 1945 tidak memungkinkan dilakukan perubahan

substansi.

Karena keterbatasan pilihan tersebut, dalam pembahasan perppu yang dinilai atau diuji DPR

adalah alasan-alasan subjektif Presiden dalam menetapkan perppu. Bila diletakkan dalam

konteks Perppu Nomor 1/2014, yang harus diperdebatkan dalam proses pembahasannya

adalah alasan-alasan Presiden sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang. Dalam

hal ini, apakah alasan: (1) menghormati daulat rakyat; (2) perbaikan mendasar atas berbagai

masalah pemilihan langsung; dan (3) penolakan luas rakyat benar-benar telah menimbulkan

kegentingan yang memaksa?

Secara hukum, untuk menilai kondisi kegentingan yang memaksa tersebut DPR dapat

menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Merujuk pada

putusan ini, perppu diperlukan apabila: (1) adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk

menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan belum

ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai; (3) kekosongan

hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan

waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk

diselesaikan.

Berpijak pada putusan MK tersebut, sangat terbuka kemungkinan memperdebatkan alasan

subjektif Presiden dalam menerbitkan Perppu Nomor 1/2014. Namun jikalau dilacak dan

ditelusuri semua perppu yang pernah ada dan kemudian disetujui menjadi UU, sebagian besar

dapat dinilai tidak memenuhi alasan objektif ditetapkannya perppu. Artinya, pengalaman

selama ini, proses persetujuan perppu lebih banyak ditentukan oleh “komunikasi” Presiden

dan kekuatan politik di DPR.

Secara sederhana, kepentingan politik hampir selalu menjadi alasan utama persetujuan

perppu. Sulit dibantah, kepentingan politik pulalah yang menjadi alasan persetujuan Perppu

Nomor 1/2014.

Meski semua partai politik akan menyetujui Perppu Nomor 1/2014, sebagai sebuah hak

subjektif yang diberikan konstitusi, DPR perlu menambahkan catatan penting saat

memberikan persetujuan untuk mengingatkan Presiden agar tidak mudah menetapkan perppu

pada masa mendatang. Selain mem-by pass wewenang legislasi DPR, perppu mestinya hanya

dapat ditetapkan dalam situasi yang benar-benar memenuhi syarat “dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa”. Singkatnya, perppu tidak boleh jadi instrumen untuk

menempatkan DPR dalam posisi sulit.

Kebutuhan Revisi

Dalam posisi dukungan yang nyaris tidak terbelah terhadap persetujuan Perppu Nomor

1/2014, diharapkan proses pengesahan dan pengundangan segera dilakukan. Langkah cepat

79

ini perlu untuk menindaklanjuti keinginan sejumlah kalangan agar dilakukan revisi terbatas

terhadap substansi Perppu Nomor 1/2014.

Salah satu substansi baru yang diatur dalam Perppu No 1/2014 adalah hadirnya tahapan baru

yang disebut dengan uji publik. Jika dilihat dari semua tahapan yang ada, uji publik dilakukan

sebelum tahap pendaftaran calon. Sebagai sebuah tahapan yang secara eksplisit diwajibkan

bagi setiap bakal calon, uji publik sebetulnya menjadi sesuatu yang sangat aneh. Misalnya,

bagaimana menentukan bakal calon yang dinilai layak untuk diteruskan oleh partai politik?

Pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Perppu Nomor 1/2014

partai politik atau gabungan partai dapat mengusulkan lebih dari satu bakal calon gubernur,

bakal calon bupati, dan bakal calon wali kota untuk dilakukan uji publik. Dengan terbukanya

kesempatan mengajukan calon lebih dari satu orang, uji publik terasa kian aneh karena proses

ini ditegaskan tidak menggugurkan pencalonan. Karena uji publik tidak memberikan jaminan

untuk menghadirkan calon berkualitas dan memiliki integritas, menjadi masuk akal

membahas ulang dan merevisi keberadaannya sebagai salah satu tahapan. Bahkan, tahapan

uji publik berpotensi menimbulkan ketegangan baru sebelum memasuki tahapan pencalonan.

Dalam berbagai kesempatan saya kemukakan, gagasan ini menarik, tetapi akan jauh lebih

bermakna jika partai politik dipaksa melakukan proses pencalonan yang terbuka dan

transparan seperti konvensi agar calon tidak lahir melalui proses oligarkis partai politik. Bagi

partai politik yang tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan

calonnya oleh komisi pemilihan umum.

Catatan terhadap uji publik hanya salah satu saja di antara beberapa substansi yang

memerlukan revisi terbatas dalam Perppu Nomor 1/2014. Misalnya, isu lain mengenai

penyelesaian hasil sengketa pemilihan, kampanye, dana kampanye, dan lain-lain. Bahkan isu

wakil kepala juga tidak kalah menarik.

Revisi memang menjadi kebutuhan, tetapi usul tersebut baru dapat dilakukan setelah Perppu

Nomor 1/2014 menjadi UU.

SALDI ISRA

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)

Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

80

Kontroversi Eksekusi Mati Koran SINDO 20 Januari 2015

Tidak tanggung-tanggung, Indonesia mengeksekusi enam terpidana mati sekaligus, Minggu,

17 Januari 2015 dini hari.

Eksekusi mati ini tentu saja kontroversial bagi negara-negara yang sudah menghapus

hukuman mati. Apalagi di antara enam terpidana mati, hanya Rani Andriani alias Melisa

Aprilia saja yang WNI. Presiden Brasil mengajukan protes sebelum ataupun setelah eksekusi

mati. Brasil dan Belanda bahkan menarik duta besar mereka.

Hukuman mati (capital punishment) merupakan topik panas di dunia internasional. Terjadi

perdebatan panas antara kelompok yang setuju dan menentang hukuman mati. Masing-

masing memiliki argumentasi. Posisi Indonesia tetap mengakui adanya hukuman mati yang

tertuang dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Narkotika dan Undang-

Undang Terorisme.

Saya pernah dimarahi orang banyak ketika dalam suatu seminar HAM terbatas di Swedia,

menyatakan dukungan diterapkannya hukuman mati. Tidak dikira, cukup banyak peserta

yang mengacungkan tangan menyampaikan argumentasi dan menilai pendapat itu di luar

kebiasaan bagi warga negara yang beradab. Malah, “saya terus dikejar dan dicecar” dengan

pertanyaan hingga berlangsungnya coffee break. Intinya, saya dinilai memiliki pemikiran

sesat dan bertentangan dengan nilai-nilai HAM karena pro dengan hukuman mati.

Begitulah, ada beberapa alasan bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Di antara

alasan itu adalah pemenuhan HAM sebagaimana tertuang dalam beberapa instrumen hukum

HAM internasional atau deklarasi HAM. Pasal 3 United Nations Declaration on Human

Rights (UNDHR) “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan

pribadi.”

Memang bentuk yang paling ekstrem dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan

atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. Tentu hukuman mati

dinilai melanggar pasal ini. Hukuman mati itu sangat melanggar hak untuk hidup bagi

manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Kelompok yang kontra juga merujuk ke Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik

(ICCPR) Pasal 6 ayat (1), “Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup”. Hak ini

harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh

dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 UNDHR bahwa pelaksanaan

81

eksekusi mati telah melanggar pasal 6 ayat (1). Indonesia meratifikasi ICCPR sebagaimana

dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.

Bukan itu saja, kelompok yang kontra hukuman mati tidak menilai eksekusi sebagai solusi.

Dalam kejahatan narkoba, misalnya, hukuman mati tidak mampu menghentikan kejahatan

narkotika. Kenyataannya ada peningkatan signifikan pengguna narkoba. Di banyak penjara,

di atas 60% penghuninya terkait dengan kejahatan narkoba. Ini membuktikan bahwa

hukuman mati tidak mampu menimbulkan efek jera sebagaimana menjadi alasan adanya

eksekusi mati.

***

Namun, jangan pula meniadakan argumentasi pihak-pihak yang pro dengan hukuman mati

karena kejahatan yang dilakukan sudah sangat meresahkan masyarakat. Dalam kejahatan

narkoba di Indonesia, misalnya, setiap hari ada 40 sampai 50 orang yang meninggal karena

penyalahgunaan narkoba. Rata-rata mereka yang mati sia-sia adalah generasi muda harapan

bangsa. Mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang dihukum mati karena

kejahatan terkait dengan narkoba.

Kini hampir tidak ada wilayah kabupaten (bahkan kecamatan) di Indonesia yang bebas dari

peredaran narkoba. Hampir tidak ada profesi yang bebas dari penyalahgunaannya, bahkan

“berkali-kali” aparat hukum juga terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Malah, ada yang

menjadi bandar dan pelindung peredaran narkoba.

Eksekusi mati adalah upaya memberikan efek jera kepada mereka yang bertanggung jawab

atas peredaran barang haram itu. Bukan hanya soal upaya pemberian efek jera, para outlaws

ini juga tetap berpotensi besar menyusahkan negara apabila dibiarkan tetap hidup. Mereka

yang dihukum seumur hidup, misalnya, malah menggunakan pengaruh dan kelicikannya tetap

menjalankan bisnis narkoba dari balik penjara. Dihukum seumur hidup pun tetap menambah

beban negara yang harus menanggung ongkos hidupnya selama dalam masa tahanan,

walaupun harus diketahui benar mana yang pengguna dan mana pula masuk kategori

pengedar atau produsen. Tidak boleh salah dalam memberikan vonis mati sesuai dengan

tingkat kesalahan.

Indonesia telah menjadi negara tujuan utama peredaran narkoba dunia. Bukan itu saja, malah

sekarang sudah naik status menjadi negara produsen narkoba. Sindikat pengedar narkoba

jaringan internasional berlomba-lomba masuk Indonesia karena dinilai sebagai lahan subur

barang haram itu.

Sebelumnya Indonesia dikenal sebagai negara transit bagi sindikat jaringan narkoba

internasional sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan. Sindikat jaringan

internasional belakangan lebih memilih menyelundupkan bahan baku membuat narkoba ke

Indonesia. Pengolahan dilakukan di Indonesia, karena bahan baku itu mungkin jarang

dicurigai. Untuk mempermudah operasi, mereka memanfaatkan jaringan lokal, termasuk

82

dengan cara menikah dengan perempuan Indonesia.

***

Prediksi akademik saya, apabila dilakukan survei maka mayoritas masyarakat Indonesia pro

dengan hukuman mati, termasuk terhadap penjahat bidang narkoba. Sikap ini muncul karena

parahnya kerusakan yang ditimbulkan. Nilai sakral dalam keluarga hancur, ekonomi keluarga

tambah berantakan (kemiskinan semakin merata) dan banyak pengguna yang mati sia-sia.

Walaupun tentu saja berbagai upaya hukum harus dilakukan sampai pada upaya hukum

terakhir, keenam orang terpidana mati telah melakukan upaya hukum terakhir hingga grasi.

Tereksekusi mati Namaona Denis, WNMalawi, telah menerima Putusan Pengadilan Negeri

2001, Pengadilan Tinggi 2002, grasi ditolak 30 Desember 2015. Selanjutnya ada Marco

Archer Cardoso Moreira, WN Brasil, diputus PN 2004.

Ada pula Daniel Enemuo, WN Nigeria, diputus oleh PN 2004, PT 2004, kasasi 2005, dan

grasi ditolak 30 Desember 2014. Ada Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias

Tommi Wijaya, WNI diputus PN 2003, PT 2003, MA 2003, PK 2006, grasi ditolak 30

Desember 2014. Juga Tran Thi Bich Hanh, WN Vietnam, diputus PN 2011, PT 2012, ia tidak

mengajukan kasasi, langsung grasi dan ditolak. Terakhir, Rani Andriani alias Melisa Aprilia

(WNI) yang diputus PN 2000, PT 2000, MA 2001, PK 2002, grasi ditolak 30 Desember

2014. Waktu yang lama menuju eksekusi mati membuktikan negara telah memberikan

kesempatan kepada para terpidana menggunakan semua hak hukum mereka.

Instrumen hukum internasional seperti ICCPR tidak sepenuhnya melarang hukuman mati.

Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan

hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai

dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan itu dilakukan. Hukuman ini hanya

boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.

Pasal 6 ayat (4) ICCPR mengatur bahwa seseorang yang telah dihukum mati harus

mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Maklum saja jika

Brasil dan Belanda sampai menarik pulang duta besar mereka, karena memang hukuman mati

tidak lagi dikenal di dua negara itu. Namun, mereka juga harus objektif menilai Indonesia

yang berdaulat menerapkan hukumnya sendiri. Bukankah sejak lama Indonesia dituntut tegas

dalam penerapan hukumnya.

Eksekusi mati merupakan bagian dari penegakan hukum Indonesia, setelah segala upaya

hukum yang menjadi hak-hak terpidana telah mentok (exhausted). Indonesia mestinya tidak

ragu dan tidak boleh kalah dengan “tekanan” ini. Apalagi, ke depan masih ada puluhan

terpidana mati lagi yang berpotensi dieksekusi.

Mengacu pada putusan MK bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi, apalagi

kompleksitas ekonomi negara, penjara yang kelebihan kapasitas berbaur dengan oknum

83

aparat yang korup menambah maraknya kejahatan narkoba. Boleh saja eksekusi mati

kontroversi di negara lain, tetapi akan berbeda bagi mayoritas bangsa Indonesia yang

memiliki berbagai cerita duka akibat narkoba. Sungguhpun, soal eksekusi mati ini, kini dan

nanti sikap pro dan kontra itu sendiri tidak akan pernah berhenti.

PROF AMZULIAN RIFAI PHD

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

84

Efek Jera dan Darurat Narkoba Koran SINDO 20 Januari 2015

Sudah waktunya negara bertindak tegas-lugas untuk merespons status Indonesia yang darurat

narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang). Tindakan tegas-lugas sangat perlu untuk

menumbuhkan efek jera bagi para produsen dan pengedar narkoba.

Masalahnya, sindikat narkoba lokal dan internasional kini tak hanya membidik komunitas

pemadat, tetapi juga memperkuat cengkeramannya dengan menyusup ke tubuh birokrasi

negara. Dengan begitu, urgensi dari tindakan tegas-lugas itu bukan semata-mata melindungi

generasi muda dari ancaman narkoba, tetapi juga sebagai serangan balik terhadap sindikat

narkoba yang coba membangun kekuatan dan menanamkan pengaruhnya di tubuh birokrasi

negara.

Sebaliknya, jika sistem hukum Indonesia terus minimalis menyikapi kondisi negara yang

darurat narkoba seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin birokrasi negara nantinya bisa

dikendalikan sindikat narkoba.

Keberhasilan sindikat narkoba menyusup ke tubuh birokrasi negara sudah bukan rahasia lagi.

Oknum kepala lembaga pemasyarakatan (LP) hingga sejumlah sipir sudah dikendalikan

sindikat itu. Oknum polisi, jaksa, hakim dan oknum militer pun berhasil digarap untuk

menjadi bagian dari sindikat narkoba. Para anggota sindikat pun sudah menguasai beberapa

kampus perguruan tinggi.

Fakta yang paling heboh adalah kontroversi grasi untuk terpidana kasus narkoba Meirika

Franola alias Ola yang sempat dikabulkan Presiden. Begitu berangnya sehingga Ketua MK

(saat itu) Mahfud MD menuduh sindikat narkoba sudah berhasil menyusup istana presiden.

Kalau penyusupan sindikat narkotika itu tidak dihentikan atau diperangi, Indonesia bukan

lagi berstatus darurat narkoba, melainkan bisa berada dalam cengkeraman sindikat narkoba

lokal maupun internasional. Dalam konteks ini, kesulitan Meksiko memerangi kartel narkoba

bisa dijadikan contoh kasus sekaligus pembelajaran bagi semua unsur penegak hukum di

Indonesia.

Ada begitu banyak fakta yang sudah terungkap tentang kekuatan dan keberingasan kartel-

kartel narkoba di Meksiko. Tapi kasus Maria de los Angeles Pineda Villa menjadi contoh

paling relevan dengan kekhawatiran terhadap keberhasilan sindikat menyusup ke tubuh

birokrasi negara. Senin lalu (5/1), seorang hakim di negara bagian Guerreros, Meksiko

Selatan, mengeluarkan perintah penahanan prasidang terhadap Pineda, dari tahanan rumah ke

penjara Tepic di Mexico City.

85

Pineda adalah istri mantan Wali Kota Iguala, Jose Luis Abarca. Sebelum menikahi Abarca,

Pineda sudah menjadi pemimpin kartel narkoba Guerreros Unidos yang didirikan oleh

orangtuanya. Pineda menjadi pemimpin kartel itu setelah orang tuanya dipenjara dan dua

saudara laki-lakinya tewas dalam bentrok antargeng kejahatan. Tindakan paling biadab dari

Pineda adalah mendalangi penculikan serta pembunuhan 43 mahasiswa calon guru, sebuah

tragedi yang mengguncang Meksiko pada September 2014.

Pineda, yang pada periode itu sedang giat berkampanye untuk menggantikan posisi

suaminya, marah karena terganggu oleh aksi para mahasiswa itu. Polisi yang korup

diperintahkan menyerang dan menculik puluhan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu

kemudian diserahkan ke anggota kartel Guerreros Unidos untuk dibunuh dan jasad mereka

kemudian dibakar.

Modus Pineda bisa saja mengilhami sindikat narkoba yang sedang membangun kekuatan di

Indonesia. Mereka bisa menjadi penyokong politisi dan peserta pilkada di berbagai daerah,

untuk kemudian mengendalikan roda pemerintahan daerah. Harap diingat bahwa untuk saat

ini, baru komunitas koruptor yang menjadi kekuatan atau unsur ilegal dalam penyelenggaraan

pilkada atau agenda politik lainnya. Suatu saat nanti, peran para koruptor itu bisa digeser oleh

sindikat narkoba mengingat kekuatan dana serta jaringan mereka yang nyaris tak terbatas.

Pesan

Sebelum keadaannya bertambah buruk, negara harus berani bertindak tegas-lugas terhadap

produsen dan pengedar narkoba. Salah satu tindakan tegas-lugas itu adalah berani

mengeksekusi mati para terpidana kasus narkoba yang grasinya sudah ditolak Presiden.

Keberanian negara menghukum mati para terpidana kasus narkoba lambat laun akan

menumbuhkan efek jera, baik terhadap produsen dan pengedar, maupun terhadap para

pemadat.

Keberanian negara sudah terlihat baru-baru ini ketika sejumlah institusi pemerintah, institusi

hukum, dan Komnas HAM membahas proses eksekusi mati bagi terpidana kasus narkoba.

Ada kesepakatan bahwa bagi terpidana mati yang grasinya sudah ditolak, eksekusi harus

dilaksanakan. Keputusan MK tentang peluang para terpidana untuk mengajukan peninjauan

kembali (PK) berkali-kali tidak menjadi faktor penghalang eksekusi.

Kejaksaan Agung RI juga menegaskan akan secepatnya mengeksekusi terpidana mati yang

permohonan grasinya sudah ditolak. Kejaksaan Agung sedang melakukan persiapan dalam

hal waktu dan tempat eksekusi serta berkoordinasi dengan institusi lain. Adapun Kapolri

Jenderal Sutarman menegaskan bahwa Polri telah menyiapkan regu tembak untuk

mengeksekusi terpidana mati.

Berita tentang kesiapan Indonesia melaksanakan eksekusi mati ini kiranya sudah

menumbuhkan efek jera, baik bagi pimpinan sindikat lokal maupun sindikat internasional.

Karena itu, pemerintah atas nama negara tidak boleh lagi mundur dari posisi itu, demi alasan

86

apa pun. Pelaksanaan eksekusi mati harus dijadikan pesan kepada siapa pun bahwa Indonesia

tidak memberi toleransi lagi kepada pelaku kejahatan narkoba.

Kalau Indonesia berani bersikap tegas kepada pelaku pencurian ikan dengan

menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing, akan menjadi sangat aneh jika Indonesia

memberikan toleransi berlebih terhadap para pelaku kejahatan narkoba. Padahal, ancaman

narkoba sudah sangat serius bagi generasi muda, bahkan bisa menjadi ancaman bagi

ketahanan nasional.

Ketika pihak berwajib mulai menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan di perairan

Indonesia, sejumlah negara mulai bereaksi. Artinya, esensi pesan yang begitu tegas dari

penenggelaman kapal-kapal itu sudah diterima dan disikapi. Maka, kalau institusi hukum

juga mulai merealisasi tindakan tegas-lugas berupa eksekusi kepada terpidana mati kasus

narkoba, pesan itu pun akan diterima dan disikapi mereka yang selama ini telah menjadikan

Indonesia sebagai pasar untuk barang haram itu.

Seperti apa ekses dari peredaran dan perdagangan narkoba serta dampaknya bagi para

pemakai, sudah digambarkan dalam ragam ilustrasi. Setiap hari, jutaan orang tua diselimuti

gelisah, takut anak-anak mereka terperangkap dalam penggunaan obat-obatan terlarang.

Kecenderungan ini terus menguat karena Indonesia darurat narkoba. Nyaris tidak ada lagi

ruang yang steril dari peredaran narkoba.

Barang haram itu diperjualbelikan di tempat kerja, di kampus, dan di permukiman

masyarakat. Sebuah kampus di Jakarta terbukti menjadi tempat jual-beli dan pemakaian

narkotika. Seorang profesor ditangkap saat mengonsumsi sabu-sabu bersama mahasiswi

binaannya.

Berdasarkan gambaran tentang rangkaian ekses itu, tidak ada lagi alasan untuk menoleransi

pelaku kejahatan narkoba. Ujung dari kejahatan mereka adalah pembunuhan. Mereka

memang tidak langsung membunuh, tetapi dengan menjual barang dagangannya, produsen

dan pengedar membunuh para pemadat secara perlahan-lahan. Data hasil survei terbaru

menyebutkan bahwa di Indonesia 40 orang tewas setiap harinya akibat mengonsumsi

narkoba. Maka hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba menjadi setimpal dengan

perbuatan mereka. Dan, dengan menghukum mati para terpidana kasus narkoba, diharapkan

muncul efek jera.

Tidak kalah penting adalah mencegah penyusupan sindikat narkoba ke tubuh birokrasi negara

maupun birokrasi daerah. Eksekusi terhadap terpidana mati akan membuat jera oknum

birokrat agar berani menolak ketika diajak bekerja sama oleh sindikat narkoba.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

87

Indonesia Move On Koran SINDO 21 Januari 2015

Sekitar seratus hari hampir tertempuhi oleh Presiden terpilih untuk mengemban amanah

konstitusi. Meski mungkin masih terlalu dini, perlahan rakyat telah bisa menilai kinerja

presiden beserta Kabinet Kerja-nya. Rakyat mulai bisa menimbang, apakah harapan pada

Presiden yang konon merakyat itu bisa terwujud, atau sekadar eikasia berujung hampa.

Sekadar berkilas balik, pemilu tempo hari adalah pemilu paling pelik sepanjang sejarah

Indonesia. Tidak sekadar soal teknisnya yang rumit, berliku, dan tidak sederhana, tapi juga

perseteruan antar pendukung yang mengharu biru jagat psikososio politik masyarakat kita.

Baru sekali dalam sejarah Indonesia, pemenang pemilu ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi

tersebab gugatan kecurangan pemilu secara terstruktur, massif, dan sistematis. Meski

akhirnya MK menolak gugatan tersebut, kuatnya indikasi atas dugaan kecurangan, serta

tipisnya selisih suara, menyimpan bara yang sewaktu-waktu berpotensi menaikkan tensi

politik masyarakat.

Kategorisasi

Pemilu yang hanya diikuti oleh dua calon memang memolarisasikan masyarakat menjadi dua

kutub pendukung capres. Polarisasi itu mengotakkan masyarakat kita dalam dua kategorisasi

besar, pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Koalisi

Indonesia Hebat atau Koalisi Merah Putih. Jika bukan kelompok kami (ingroup), berarti

kelompok mereka (outgroup).

Masing-masing kategori kelompok ini memiliki apa disebut Henry Tajfel (1972) sebagai

‘identitas sosial’ (social identity). Mereka terikat dalam sebuah ikatan emosional ke-kita-an

(we-ness) dengan standar nilai dan norma kelompok. Masing-masing pribadi meyakini,

memikirkan, merasakan, dan berperilaku sebagaimana nilai kolektif yang dipegang dalam

kelompok sosial rujukannya tersebut.

Asyiknya, kedua kutub besar ini meyakini bahwa kelompok dan jagoan yang mereka dukung

adalah yang terbaik dan paling benar. Lantas, berlakulah kecenderungan psikologis untuk

melakukan ingroup favoritism dan outgroup derogation. Mengagungkan kelompoknya

sendiri dan merendahkan kelompok outgroup-nya. Dalam konteks inilah, kita bisa memahami

ketegangan yang tempo hari kita saksikan selama proses pemilu. Saling bully, caci, maki

antarpendukung capres menjadi lumrah terjadi di tengah masyarakat kita. Mulai warung kopi,

pasar, terminal, hingga di obrolan sehari-hari. Yang paling parah terjadi perang siber di lini

masa dunia maya, termasuk di media sosial.

88

Pemilu memang telah berlalu, namun ternyata ”perseteruan” di tengah masyarakat kita belum

juga usai. Namun, kali ini sedikit mengalami pergeseran. Seusai Presiden baru dilantik,

sebagian pendukung calon presiden yang kalah bergerak menjadi ”oposan” yang begitu rajin

mencari celah, mengkritisi kebijakan Presiden terpilih.

Berbekal ketidak percayaan, kelompok ini sangat kritis menagih realisasi janji kampanye

yang berjibun itu. Janji kebijakan pembentukan kabinet yang ramping, politik bebas balas

jasa dan utang budi, mempertahankan subsidi dan tidak menaikkan harga BBM, sungguh

ditunggu realisasinya. Ketika kebijakan yang diambil ternyata meleset, bagi sebagian

kalangan, situasi ini menjadi semacam amunisi untuk mengkritisi dan menyerang

pemerintah. Dunia maya menjadi salah satu kanal untuk menyalurkan kegundahan mereka.

Di pihak lain, loyalis Presiden terpilih, sembari harap-harap cemas, selalu habis-habisan

membela kebijakan yang diambil pemerintah, mencari dalil pembenar dan rasionalisasi bagi

kebijakan idolanya.

Tren kurusetra politik dunia maya nampaknya memang mulai berubah. Para pendukung

Presiden terpilih, terlihat lebih banyak tiarap, tidak seintens dahulu seperti ketika masa-masa

kampanye pemilu yang begitu agresif, massif, dan sistematis. Tampaknya mereka mulai

keteteran, speechless, ketika janji-janji kampanye ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan

dikhianati oleh pemerintah yang mereka pilih.

Saatnya Move On

Apabila kita berkenan jujur memaknai, sesungguhnya segenap realitas perseteruan ini sangat

melelahkan. Padahal, bangsa ini harus selalu memperkuat diri melawan ”perang asimetris”

yang dilancarkan kapitalis asing. Sungguh, tidak ada jalan lain melainkan kita harus

merapatkan barisan, bersinergi dan membisik bangun kekuatan, untuk mempertahankan

eksistensi bangsa ini.

Kita mesti bergegas dan bersegera move on, beranjak dari situasi fatigue-anomik, dengan

mengusaikan segenap perseteruan yang melelahkan ini. Jika kita terus berseteru, kita akan

terpecah, lalu lemah sehingga mudah untuk kalah dan dijajah. Tidak lagi dengan kekuatan

senjata, namun dengan strategi perang asimetris yang terkadang halus dan melenakan.

Para psikolog sosial mencoba menawarkan beberapa formula untuk membantu kita

mengakhiri konflik tersebab terbelahnya masyarakat. Beberapa hal terpenting yang dapat kita

dilakukan adalah melakukan dekategorisasi, melepaskan sekat kategoris dan melakukan

rekategorisasi atau membuat kategorisasi baru. Muaranya adalah terciptanya identitas sosial

baru yang kukuh, yang dapat melampaui identitas kelompok, agar tercipta identitas sosial

yang lebih inklusif.

Sekat kategoris bahwa kita adalah pendukung Jokowi atau Prabowo, KIH atau KMP, sudah

saatnya kita lepaskan, kita ganti dengan kategorisasi baru bernama rakyat

89

Indonesia. Hilangnya sekat kategori ini diharapkan akan menanggalkan rintangan psikologis

untuk mengkritisi kebijakan pemerintah terpilih jika menyimpang dari jalan kebenaran

berbangsa dan bernegara. Tentu saja dibutuhkan kebesaran jiwa, karena biasanya terdapat

kendala psikologis bernama gengsi, kebanggaan sebagai pengikut, terkadang juga muncul

rasa malu, gengsi, dan harga diri yang terusik tersebab rasa khilaf dalam melangkah, atau

salah dalam memilih. Kerelaan hati untuk kembali dalam identitas kekitaan (we-ness) di

rumah besar bernama Indonesia, adalah jawaban untuk mereduksi konflik dan mengokohkan

jati diri bangsa.

Pendukung Jokowi yang telah ikhlas, move on, justru akan keluar dari lingkar kekuasaan

yang melenakan. Mereka memilih memasang jarak dan berdiri tegak terhormat menjadi

kelompok yang paling awal, paling kritis, dan paling keras menegur idolanya, jika kebijakan

yang diambil mengkhianati rakyat. Bukan sebaliknya, nunut mulyo, mendompleng menikmati

kekuasaan. Membabi buta, mematikan nalar, menumpulkan nurani, membela, mendewakan,

dan menganggap pemimpin pujaannya tidak pernah berbuat salah (can do no wrong).

Sikap yang menunjukkan kejumudan berpikir dan kekonyolan politik ini hanya akan

membidani kelahiran tirani kuasa absolut tanpa kontrol, yang gemar melakukan represi dan

kedustaan terhadap rakyatnya sendiri.

Sebaliknya, pendukung Prabowo yang telah move on, pantang mencari-cari kesalahan

pemerintah jika memang tidak sesat langkah. Mereka semestinya justru berada di garda

terdepan dalam mendukung dan membela setiap kebijakan yang memenangkan rakyat.

Jikapun tersalah, mereka akan menegur dengan mesra, menyentil dengan cinta, mengingatkan

tentang konstitusi, serta mendoakan agar amanah agar kebaikan tercurah untuk semua.

Bersikap kritis bukan karena benci Jokowi, melainkan karena peduli, tersebab rasa cintanya

yang tulus pada negeri ini.

Pun demikian halnya dengan pemerintah. Saatnya pemerintah move on, beranjak dari euforia

kemenangan pemilu yang telah lalu itu. Saatnya membuktikan janji mengayomi, ”momong”

dan melayani hampir setengah miliar penduduk Indonesia. Bukan sekadar pendukungnya

semata, namun juga pendukung mantan capres yang lain, bahkan termasuk mereka yang

dalam pemilu tempo hari memilih untuk tidak memilih. Kebijakan yang diambil harus

menyejahterakan seluruh rakyat, bukan sekadar membalas budi partai pendukung, relawan,

media propaganda, maupun konsorsium investor politik penyandang dana pemenangan

pemilu.

Namun jika pemerintah memilih untuk mengalahkan rakyat, mengkhianati janji politik

semasa kampanye, dan membangun tradisi politik purba di atas kebohongan yang dusta,

sesungguhnya kekuasaan itu adalah fana. Puja-puji bisa saja berubah menjadi caci maki,

sanjungan bisa berbuah hujatan, trust bisa bergeser menjadi distrust, suka bisa menjadi duka,

cinta bisa berujung benci. Terlebih ketika ekspektasi setinggi langit itu terempas di cadas

realitas kehidupan yang kian berat disangga rakyat.

90

Senyampang masih pagi, saatnya segenap anak bangsa, move on dari masa lalu, bersinergi,

membisik bangun kekuatan yang memenangkan rakyat, untuk bersama menjaga negeri indah

bernama Indonesia ini. Indonesia, mari kita move on. Wallahua’lam.

ACHMAD M AKUNG

Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Semarang

91

Hukuman Mati dalam Konteks Internasional

Koran SINDO 21 Januari 2015

Polemik seputar hukuman mati masih hangat diperbincangkan masyarakat. Polemik ini

semakin dalam ketika Brasil dan Belanda mengajukan protes dengan memanggil duta

besarnya di Indonesia. Ancaman serupa kemungkinan juga akan dilakukan Australia yang

warga negaranya akan menerima eksekusi mati. Perdebatan kemudian bergeser menjadi

masalah kehormatan dan kedaulatan negara yang menolak diintervensi melalui ancaman-

ancaman tersebut.

Saya pikir kita perlu mengembalikan diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukuman

mati pada hak hidup dan norma-normanya dalam hubungan internasional. Dua tema ini

adalah tema yang amat sulit dan perlu kajian yang mendalam dan tentu tidak akan cukup

dalam ruang yang terbatas ini. Oleh sebab itu kolom ini mungkin hanya memberikan sebuah

analisis untuk mengantarkan diskusi agar lebih konstruktif dan menyentuh masalah-masalah

mendasar mengenai hukuman mati.

Masalah pokok dari hukuman mati adalah sejauh mana hak hidup itu berlaku universal atau

merupakan cultural relativism (berlaku khusus sesuai dengan konteks tertentu). Apabila hak

hidup tersebut berlaku universal, tidak ada pengecualian apa pun yang dapat digunakan untuk

mencabut hak tersebut. Namun apabila ia berlaku khusus, ada kondisi tertentu yang memberi

ruang untuk mencabut hukuman mati. Turunan dari paradigma tersebut secara sederhana

adalah pertanyaan tentang apakah hak hidup ini sebuah keadaan yang sangat sakral atau

bukan?

Melalui eksekusi enam terpidana mati, kita secara tidak langsung memasuki perdebatan

tentang hak hidup ini. Namun hak hidup dalam konteks hak asasi manusia tidak hanya

menyangkut hukuman mati. Hak hidup juga menjadi perdebatan dalam masalah-masalah

eutanasia, aborsi, membunuh untuk mempertahankan diri, dan terkait dengan moralitas dalam

peperangan.

Dalam masalah aborsi sebagai contoh, mereka yang menolak aborsi memiliki argumen bahwa

janin dalam kandungan berapa pun usianya telah memiliki hak hidup yang tidak dapat

dihilangkan dengan alasan apa pun. Negara harus melindungi janin tersebut terutama karena

si janin tidak memiliki kemampuan untuk membela diri.

Sementara mereka yang menyetujui aborsi mengaitkan hak hidup si janin dengan hak hidup

sang ibu. Sang ibu juga berhak untuk mempertahankan hak hidupnya. Apabila sang ibu

92

mendapat risiko baik psikologis maupun fisik karena janin yang dikandungnya, ia memiliki

hak untuk mencabut hak hidup si janin.

Polemik itu juga berkembang dalam kasus hukuman mati. Pendapat yang mendukung

hukuman mati sebagian besar memiliki argumen bahwa hak hidup terpidana dapat dicabut

karena kejahatan kejam yang mereka lakukan. Sementara mereka yang menolak hukuman

mati berpendapat bahwa hak hidup adalah sebuah kondisi yang sakral dan asasi di mana

melalui hak itulah tujuan dari kehidupan manusia dilekatkan.

Apa yang menarik dari polemik tersebut adalah kecenderungan negara-negara di dunia untuk

mengurangi daftar kejahatan berat yang dianggap dapat diganjar dengan hukuman mati dan di

beberapa negara di Eropa, bahkan menghapuskan hukuman mati sebagai sanksi. Contoh

adalah di China. Negara ini terkenal sebagai negara yang paling banyak melakukan eksekusi

mati.

Sebuah lembaga hak asasi manusia yang beroperasi di China, Dui Hua Foundation,

menyebutkan 5.000-6.000 eksekusi dilakukan pada tahun 2007 (Washington Post,

24/12/2008). Sepuluh tahun yang lalu, jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu. Di China,

kejahatan yang berat antara lain korupsi, bandar narkoba, pembunuhan, dan kejahatan lain.

China adalah negara yang paling banyak mengeksekusi hukuman mati. Sebelum tahun 2011,

China memiliki 68 daftar kejahatan berat yang dapat diganjar hukuman mati. Namun dengan

banyaknya tekanan, China mengurangi 13 kejahatan dari daftar tersebut. Kejahatan yang

dikurangi antara lain menyelundupkan besi, mengajari metode mencuri, dan mencuri harta

dalam makam kuburan.

Di Amerika Serikat, kecenderungan untuk mengurangi kejahatan yang dapat dijatuhi

hukuman mati juga terjadi dalam sistem hukumnya. Hal ini diawali dengan diperkenalkannya

pengategorian pembunuhan tingkat pertama dan kedua. Kejahatan berat yang dapat dihukum

mati adalah kejahatan tingkat pertama seperti pembunuhan berencana, pembakaran,

pemerkosaan. Daftar kejahatan ini semakin lama semakin berkurang dan syarat untuk

dikategorikan sebagai pembunuhan tingkat pertama semakin diperberat.

Sementara itu di tingkat pemerintahan federal, ada beberapa negara bagian yang tidak

membolehkan hukuman mati, yang telah menghapuskan hukuman mati atau telah melakukan

moratorium hukuman mati. Ada 18 negara bagian yang telah menghapuskan hukuman mati.

Negara bagian yang sejak awal tidak memiliki hukuman mati adalah Michigan (1846) dan

Maryland adalah negara ke- 18 yang menghapuskan hukuman mati.

Di Eropa, upaya untuk menghapuskan hukuman mati berawal dari berakhirnya Perang Dunia

II. Kekejaman Nazi di bawah Hitler telah membawa trauma yang besar bagi masyarakat

Eropa dan mengupayakan sebuah perangkat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan

yang terjadi di masa lalu.

93

Dari wilayah inilah sejumlah perangkat hukum hak asasi manusia lahir dan diadopsi oleh

PBB seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik serta beberapa

konvensi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Eropa menjadi ujung tombak dari

advokasi masalah hak asasi manusia.

Di tingkat regional, mereka memiliki The Charter of Fundamental Rights of The European

Union (EU) dan The European Convention on Human Rights of The Council of Europe yang

secara tegas menghapus hukuman mati. Hanya Belarusia dan Kazakhstan yang masih

mempraktikkan hukuman mati.

Menurunnya dan dihapuskannya hukuman mati di beberapa negara di dunia antara lain

disebabkan alasan-alasan moral, filosofis, etik, dan zaman yang sudah semakin modern.

Kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati adalah kenyataan yang tak dapat

ditolak, tetapi dialog ilmiah atau politik di antara mereka berlangsung secara ilmiah dan

objektif. Selain itu ada studi-studi seputar efektivitas hukuman mati dalam mengurangi

tingkat kejahatan yang ingin diberantas.

Pengalaman itu juga perlu menjadi tantangan buat kita di Indonesia. Pemerintah perlu

memfasilitasi atau menjelaskan dengan baik pilihan-pilihan yang mereka putuskan dalam soal

hukuman mati dan jangan dibiarkan hanya menjadi debat kusir yang tidak produktif.

Dalam hubungan internasional, Indonesia juga perlu lebih elegan menyampaikan alasan-

alasannya ketika mempertahankan hukuman mati; jawaban Indonesia perlu kontekstual dan

tidak abai pada perkembangan zaman. Pada akhirnya bila pergaulan internasional bergerak ke

arah penghapusan hukuman mati, argumen kedaulatan bangsa menjadi lemah (irrelevant).

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

94

Promosi yang Abaikan Etika Koran SINDO 22 Januari 2015

Status hukum sebagai terdakwa ternyata tak menghalangi karier Hasban Ritonga di

pemerintahan. Pada 14 Januari lalu, ia dilantik sebagai Sekda Provinsi Sumatera Utara

berdasarkan Keppres No. 214/M/2014 per 29 Desember 2014.

Pelantikan Hasban menjadi sorotan karena saat ini statusnya sebagai terdakwa di pengadilan

dalam kasus penyalahgunaan wewenang dalam sengketa lahan sirkuit Jalan Pancing, Medan,

dengan PT Mutiara Development. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengatakan bahwa

pelantikan tersebut sudah melalui berbagai pertimbangan. Dia mengaku hanya mengamankan

kebijakan presiden.

Sementara di Provinsi Banten, Plt. Gubernur Rano Karno melantik Sutadi, tersangka korupsi

dalam proyek pembangunan Jembatan Kedaung, Kota Tangerang, senilai Rp23,42 miliar,

sebagai staf ahli gubernur bidang pembangunan, pada 17 Januari lalu. Rano mengatakan,

tujuan pelantikan para pejabat eselon II ini sebagai upaya percepatan berupa penyediaan daya

dukung pelaksanaan APBD Tahun 2015 sehingga program yang telah ditetapkan dapat segera

dilaksanakan untuk hasil optimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Rano tercatat juga pernah mengangkat tersangka korupsi menjadi asisten daerah 1 (asda) di

Pemprov Banten, yakni Ling Suwargi, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Dinas

Sumber Daya Air dan Permukiman. Ling ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Banten

dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Pembangunan Prasarana Pengaman Pantai

Normalisasi Muara Pantai Karangantu di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang

senilai Rp4,8 miliar.

Dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), ada juga

tersangka korupsi, Vinsensius Saba, kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga/PPO,

yang dimutasi ke jabatan baru sebagai kepala Badan Kepegawaian Daerah, 6 Januari lalu.

Padahal, ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Kafemanu, dalam kasus

korupsi dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan senilai Rp47,5 miliar.

Terkait itu, Wakil Bupati TTU Aloysius Kobes mengatakan sepanjang belum ada keputusan

pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap maka mereka masih bisa dapat jabatan. “Proses

hukum tetap kita harus hormati, tetapi ini soal birokrasi tetap harus berjalan karena ini

berkaitan dengan hak-hak pegawai negeri sipil yang perlu dipenuhi,” ujarnya.

95

Pertanyaannya, apa artinya Indonesia hari ini dipimpin oleh Jokowi, yang pernah menerima

Bung Hatta Anti Corruption Award (2010), jika di masa pemerintahannya ada sejumlah

tersangka koruptor yang malah dipromosikan sebagai pejabat pemerintah? Bukankah ini

ironis di negara hukum yang mencanangkan perang terhadap korupsi ini?

Betul bahwa yang harus dijadikan pegangan adalah putusan pengadilan yang telah inkrah.

Tapi harus diingat bahwa di atas hukum ada etika dan moralitas yang merupakan roh dari

hukum itu sendiri. Itu sebabnya ada beberapa partai politik yang sudah memberlakukan

kebijakan internal mereka: setiap kader yang dinyatakan sebagai tersangka koruptor oleh

pengadilan, langsung dicopot dari jabatan publik yang sedang dipegangnya, hingga akhirnya

kemudian dipecat sebagai kader partai saat putusan pengadilan sudah inkrah.

Adalah paradoks bahwa di negeri yang religius ini etika dan moralitas diabaikan begitu saja.

Padahal, keduanya sudah tercakup dalam Tap MPR VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa. Jadi sebenarnya asas praduga tidak bersalah yang dikenakan pada sejumlah

pejabat yang tersangkut kasus korupsi hanya dalih belaka.

Ketetapan MPR ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Indonesia di awal Reformasi

1998. Saat itu muncul berbagai persoalan bangsa sebagai kelanjutan dari krisis moneter tahun

1997. Krisis moneter berkembang menjadi krisis multidimensial. Maka dirumuskanlah etika

kehidupan berbangsa yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal, dan nilai-

nilai luhur budaya bangsa yang tecermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,

bersikap, dan bertingkah laku di tengah kehidupan berbangsa.

Pertanyaannya, apakah Indonesia hari ini masih layak disebut bangsa yang religius? Mengapa

kian lama kekayaan dan jabatan tinggi seakan lebih dihargai daripada kejujuran? Tak heran

jika korupsi seolah telah menjadi banal--dianggap sesuatu yang biasa. Mungkin karena

jumlah pelakunya justru makin meningkat. Bukankah suatu kejahatan niscaya dianggap biasa

jika yang melakukannya kian lama kian banyak?

Sanksi hukum yang lemah dan tak efektifnya pengawasan membuat korupsi juga menjadi

sesuatu yang memesona. Seandainya tertangkap pun, proses hukum sulit berjalan lancar

karena pelakunya berpotensi menyeret banyak orang lain, termasuk para pejabat di institusi-

institusi penegakan hukum.

Dengan hati yang miris kita bertanya: mampukah Indonesia memerangi korupsi sampai ke

akar-akarnya? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria

Mallam Nuhu Ribadu pernah berkata: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi

hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu

melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para

pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi

jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami

menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect“.

96

Sementara Pascal Couchepin, konsuler federal sekaligus menteri dalam negeri Swiss,

memberi resep: jadikan korupsi musuh bersama dan jangan pernah berkompromi

menghadapinya. Tak heran jika Swiss selalu dikategorikan Transparency International

sebagai negara yang “bersih dari korupsi”.

Akan halnya Jeffrey Winters, seorang indonesianis, mengatakan bahwa demokrasi yang

berkembang di Indonesia saat ini adalah demokrasi kriminal: demokrasinya bergerak maju,

tapi hukumnya lemah dan etika para pemimpinnya luntur. Alhasil, korupsi tak pernah

berhasil diberantas secara signifikan.

Tak pelak, harus ada perubahan untuk menjadi bangsa yang tahu diri. Untuk itu Presiden

Jokowi harus belajar dari Presiden Brasil Dilma Rousseff. Sejak menjadi presiden tahun

2011, Rousseff gencar mengampanyekan perang melawan korupsi setelah sejumlah pejabat

tinggi dalam pemerintahannya dituding melakukan kejahatan luar biasa itu.

Di bawah kepemimpinannya yang belum genap dua tahun, kepala staf kepresidenan serta

menteri pertanian, menteri pariwisata, menteri tenaga kerja, menteri pertahanan, dan menteri

transportasi juga dipaksa mundur dari jabatan mereka akibat tudingan korupsi. Padahal,

semua pejabat negara itu belum divonis pengadilan. Mereka hanya tak tahan mendapat

tekanan dari masyarakat dan sorotan pers yang begitu gencarnya.

VICTOR SILAEN

Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

97

Kasus BG: Alat Bukti dan Tersangka Koran SINDO 23 Januari 2015

Dinamika penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi di Indonesia kini dikuasai oleh

pemberitaan pers dan media elektronik yang sangat transparan bahkan telanjang. Pemberitaan

pers tidak pernah setelanjang ini di negara-negara demokrasi dan penjunjung tinggi HAM

mana pun.

Kenyataan yang saya amati sejak kiprah KPK Jilid III terbukti bahwa pernyataan korupsi

sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara

melanggar hukum. Jargon pemiskinan koruptor disalahartikan bahkan disalahgunakan dengan

dalih pencucian uang untuk mempermalukan dan membinasakan siapa pun yang ditetapkan

sebagai koruptor oleh KPK.

Siapa pun jika telah diduga atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, serta-merta

mereka menjadi “mayat hidup” alias zombie tanpa ada toleransi. Bahkan melakukan reaksi

atas perlakuan KPK otomatis dicap anti-korupsi. Bahkan sampai penasihat hukum tersangka

korupsi diperlakukan sama dengan kliennya dengan dalih menghalang-halangi proses

penyidikan. Berbagai cara untuk menjerakan dan memiskinkan tersangka korupsi oleh KPK

telah dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa timur yang

dikenal dengan keluhuran budinya sejak dulu.

Bahkan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dalam sejarah tercatat ada pimpinan

lembaga negara di luar konstitusi yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan

Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika

hubungan kelembagaan antarlembaga negara.

***

Jika KPK sejak 2009 melakukan proses koordinasi dan supervisi dan mengambil alih kasus

BG, tentu tidak harus menunggu sampai lima tahun lebih untuk menetapkannya sebagai

tersangka tanpa harus berseberangan dengan Presiden sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan. Langkah pimpinan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan

cara-cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan.

Terlepas dari benar dan tidak perolehan alat bukti yang cukup sesuai KUHAP, tetap saja

dalam pandangan penulis merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat

kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat hidup

bangsa Indonesia. Sehebat apa pun lembaga yang sama di negara lain juga termasuk di Hong

98

Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu langkah pun yang (berani) bertentangan

dengan seorang gubernur Hong Kong sebelum termasuk bagian dari pemerintahan China.

Langkah KPK terhadap BG merupakan langkah kedua kalinya setelah HP yang persis pada

hari ulang tahun dan memasuki masa pensiun dinyatakan sebagai tersangka dan langkah

kedua pula terhadap jenderal dari kepolisian. Masyarakat tentu bertanya-tanya apakah

rekening gendut berdasarkan data PPATK tidak ada di kalangan pati instansi lain atau di

kalangan kejaksaan dan pengadilan?

Di sinilah dituntut kejujuran dan transparansi pimpinan PPATK dan KPK untuk secara

konsisten dan konsekuen seperti terhadap institusi Polri. Jika negara tercinta ini mau

dibereskan oleh PPATK dan KPK, saya dukung sepenuhnya tanpa ada tebang pilih lagi!

***

Hati nurani, adat istiadat, dan keluhuran budi sebagai orang Timur warisan nenek moyang

kita kini sudah hancur lebur. Manusia tentu ada alpa dan ada sengaja. Itu telah menjadi

fitrahnya sehingga jika kedua niat jahat tersebut dilakukan pasti ada akibat yang merugikan

baik individu lain, masyarakat, atau negara.

Penetapan tersangka dalam praktik sering dilakukan secara simbolik yang dibalut dengan

hukum kini telah merupakan praktik yang menjurus kepada keharusan bukan sesuatu yang

ditabukan karena cara-cara tersebut lebih populer dibandingkan dengan proses peradilan

dengan prinsip “due process of law“, yang dianggap lamban.

Profil seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK secara simbolik dan kental

muatan politis tersebut secara kasatmata telah dipertontonkan disertai arogansi sekalipun

tersangka adalah pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan

negara dibandingkan (mungkin) pengabdian pimpinan KPK itu sendiri.

Kini pepatah,”hilang kemarau setahun dengan hujan satu hari” tidak terbantahkan. Pangkat,

jabatan, pengalaman, dan tanda jasa seketika sirna bak dimakan api yang mengganas baik

terhadap diri maupun seluruh keluarganya. Apakah memang pola penegakan hukum dan

pemberantasan korupsi seperti ini yang dikehendaki oleh pendiri negara ini dan khususnya

pembuat/penyusun UU Tipikor dan UU KPK?

Jawabannya tidak! Jika mau merenung dan meneliti secara jernih dan objektif seluruh UU

terkait dengan apa yang saya uraikan termasuk UU Pers, tidak ada satu ketentuan pun di

dalamnya yang bertujuan “menghabisi secara lahir dan batin pelaku kejahatan termasuk

koruptor dan seluruh keluarganya” atau memiskinkan koruptor. Pola itu bahkan tidak juga

tercantum di dalam TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 --dan perubahannya.

Sebelum lima pimpinan KPK Jilid III lengser seharusnya masyarakat sipil juga mendorong

agar mereka tidak tebang pilih. Jika meneliti Pasal 6 huruf a hingga e UU KPK, pertanyaan

99

saya, apakah KPK telah melalui tahapan-tahapan sebagaimana tercantum dalam pasal

tersebut untuk berkoordinasi dan lakukan supervisi serta ambil alih kasus BG dari Polri?

Apakah LHA PPATK terkait BG Tahun 2004-2006 telah secara resmi dilimpahkan PPATK

kepada KPK; apakah ratione temporis kasus BG terhitung sejak LHA disampaikan PPATK

kepada Polri juga merupakan kewenangan KPK berdasarkan UU TPPU Tahun 2002/2003

atau kewenangan Polri?

Informasi rekening gendut yang diberitakan dan berasal dari mantan pimpinan PPATK dan

orang lain terkait sejatinya merupakan pelanggaran atas larangan penyebarluasan isi dokumen

yang tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU 2010, dengan ancaman empat tahun.

Penyidik Polri tanpa harus menunggu pengaduan seharusnya telah memeriksa mantan

pimpinan PPATK dan pihak lain terkait pemberitaan tersebut apalagi kini tersebar dalam

media sosial sejumlah rekening pati Polri; hukum harus ditegakkan dan berlaku sama kepada

semua pihak sekalipun langit akan runtuh!

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

100

Teknik Memilih Arbitrer Terbaik Koran SINDO 23 Januari 2015

Saat ini pelaku usaha lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase

daripada litigasi di pengadilan karena arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa

yang bersifat win-win solution, confidential, dan putusan yang final and binding.

Karena itu, dengan ada sifat win-win solution dan confidential yang melekat pada arbitrase,

pelaku usaha yang bersengketa dapat tetap menjaga hubungan baik dan tidak ada pihak yang

dipermalukan dalam sengketa arbitrase tersebut. Selain itu, dengan ada sifat final dan binding

pada putusan arbitrase, pelaku usaha juga tidak perlu lagi menunggu proses panjang untuk

mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap karena putusan arbitrase tersebut tidak

dapat diajukan banding karena putusan arbitrase adalah final, mengikat para pihak dan

mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 60 UU Arbitrase).

Selain itu, pada arbitrase melekat juga prinsip kebebasan para pihak (party autonomy), di

mana berdasarkan kesepakatan para pihak bebas untuk memilih bahasa yang digunakan

dalam proses arbitrase, tempat arbitrase, jumlah arbitrer, jumlah pengajuan saksi dan/atau ahli

dan jangka waktu proses arbitrase itu sendiri, asalkan kesepakatan tersebut sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Karena itu, kebebasan para pihak ini menyebabkan arbitrase lebih

efisien karena menghemat waktu dalam proses penyelesaian sengketa dan jelas menghemat

biaya juga.

Kendati begitu, masih terdapat pendapat dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa proses

arbitrase memakan waktu dan terlalu mahal. Ini mungkin saja terjadi jika proses arbitrase

tidak dikelola dengan baik oleh majelis arbitrase dan para pihak itu sendiri. Terkadang

kebebasan yang dimiliki para pihak dalam arbitrase (party autonomy) mengakibatkan proses

arbitrase menjadi lambat. Terlebih, apabila para pihak itu sendiri tidak memiliki komitmen

untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase dengan efisien. Karena itu, proses arbitrase

yang cepat dan hemat biaya kemungkinan besar akan sulit untuk dicapai.

Di sisi lain, majelis arbitrase adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan

proses arbitrase. Jika majelis arbitrase tidak proaktif dan terampil dalam mengelola perkara

arbitrase, proses arbitrase bisa menjadi panjang dan mahal. Karena itu, majelis arbitrase

memiliki peran penting dalam mencapai suatu proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya.

Penunjukan Arbitrer

101

Dalam arbitrase, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan integritas, pengetahuan,

keahlian, dan reputasinya. Ini berbeda dengan litigasi di pengadilan di mana hakim tidak

dapat dipilih oleh para pihak yang beperkara. Namun, arbitrer tidak seperti hakim di

pengadilan, arbitrer dapat berasal dari sektor swasta seperti firma hukum (law firm), firma

teknik, dan perusahaan.

Hal ini mengakibatkan arbitrer memiliki dua potensi masalah yang mungkin timbul yaitu; (1)

konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan pihak yang bersengketa karena

keterlibatan sebelumnya atau saat ini; dan (2) tidak tersedianya waktu yang dimiliki arbitrer

untuk melakukan tugasnya dengan benar.

Karena arbitrer berasal dari sektor swasta, ada kemungkinan bahwa arbitrer yang ditunjuk

memiliki keterlibatan atau koneksi dengan salah satu pihak baik sebelum atau saat

penunjukan. Ini dapat menyebabkan munculnya konflik kepentingan (conflict of interests)

karena imparsialitas dan independensi arbitrer menjadi diragukan.

Apabila ada keraguan terhadap imparsialitas dan independensi seorang arbitrer, UU Arbitrase

menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge) atau hak ingkar

terhadap arbitrer tersebut. Namun, perlu menjadi catatan bahwa sebuah perlawanan

(challenge) atau hak ingkar yang diajukan kepada seorang arbitrer bisa menghambat proses

pembentukan majelis arbitrase, yang mana hal tersebut dapat menghambat proses

penyelesaian sengketa arbitrase itu sendiri. Dengan terhambatnya proses penyelesaian

sengketa, akan menimbulkan biaya tambahan bagi para pihak.

Untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interests), beberapa peraturan dan

prosedur dari lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional serta hukum nasional

dari beberapa negara telah mengatur bahwa sejak awal calon arbitrer harus mengungkapkan

(disclosure) fakta atau keadaan yang dapat menimbulkan keraguan mengena i imparsialitas

dan independensi dari calon arbitrer tersebut.

Berkaitan dengan fakta atau keadaan tersebut, IBA Guidelines on Conflict of Interest in

International Arbitration sebagai pedoman telah menyediakan referensi mengenai keadaan-

keadaan apa saja yang harus diungkapkan untuk menghindari ada konflik kepentingan

(conflict of interests) antara arbitrer dan para pihak. Pedoman ini tentu harus dijadikan acuan

oleh para calon arbitrer saat menerima penunjukan. Selain itu, apabila seorang calon arbitrer

melihat ada potensi conflict of interest dengan salah satu pihak, akan lebih bijaksana untuk

menolak penunjukan tersebut daripada menerimanya.

Namun, terkadang hak ingkar (challenge) sebagai mekanisme untuk menghindari ada conflict

of interest justru terkadang dijadikan upaya oleh trouble maker-lawyer yang tidak percaya

kepada proses arbitrase perdagangan untuk menghambat proses arbitrase. Challenge seperti

ini harus ditolak demi kepentingan manajemen kasus yang efisien.

102

Poin berikutnya adalah terkait tidak tersedianya waktu arbitrer yang telah ditunjuk untuk

menjalankan proses arbitrase. Karena berasal dari sektor swasta, arbitrer mungkin terlibat

dalam kasus atau masalah komersial mereka sendiri.

Seorang arbitrer sebaiknya hanya menerima penunjukan arbitrer terhadap suatu proses

arbitrase jika dirinya yakin bahwa ia memiliki waktu yang cukup untuk menangani secara

menyeluruh semua pekerjaan dan pertemuan yang akan ada dalam proses arbitrase. Dengan

kata lain, seorang arbitrer harus mempertimbangkan perhitungan waktu yang realistis dalam

menerima penunjukan.

Terkait penolakan penunjukan tersebut, calon arbitrer tidak perlu khawatir mendapatkan

reputasi buruk. Dirinya dapat menjelaskan secara profesional alasan penolakan dan

menunjukkan bahwa dirinya akan memiliki waktu untuk kasus selanjutnya. Para pihak dalam

sengketa harus mempertimbangkan hal ini dalam memilih seorang arbitrer.

Selain hal tersebut di atas, jika calon arbitrer tetap menerima penunjukan, masalah

selanjutnya adalah pemilihan arbitrer ketiga atau ketua majelis. Ketua majelis adalah seorang

arbitrer yang akan memimpin majelis arbitrase serta proses (sidang) arbitrase, dan sampai

batas tertentu memiliki wewenang penuh dalam membuat keputusan tertentu. Karena itu,

pemilihan ketua majelis sangat penting dalam arbitrase. Dalam hal ini, ketua majelis harus

memiliki reputasi yang baik, bijak, kooperatif, berpengetahuan luas, berpengalaman puluhan

tahun dalam bidang (profesi) tertentu, dan ahli dalam arbitrase.

Jika ketua majelis seperti itu berhasil diangkat oleh para koarbitrer, ada kemungkinan besar

bahwa proses arbitrase akan berjalan lancar sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.

Sebaliknya, jika ketua majelis yang ditunjuk tidak memiliki ciri-ciri seperti itu, proses

arbitrase memiliki risiko terhambat, yang bisa menyebabkan penundaan dan biaya tambahan

bagi para pihak.

Memasuki Proses Arbitrase

Salah satu keuntungan dari proses arbitrase dibandingkan dengan litigasi di pengadilan

adalah majelis arbitrase dapat membentuk prosedur khusus atas suatu kasus tertentu berupa

sebuah kerangka proses arbitrase. Berdasarkan ICC Rules 2012, kerangka proses arbitrase

terdiri atas kerangka acuan, rapat manajemen kasus, dan jadwal prosedural.

Setelah menentukan kerangka prosedur arbitrase, majelis arbitrase selanjutnya dihadapkan

dengan proses pelaksanaan arbitrase. Kerangka prosedur arbitrase yang baik akan sangat

memudahkan implementasi proses pelaksanaan arbitrase ke depan.

Selanjutnya dalam proses arbitrase, sidang juga merupakan bagian yang penting dari proses

arbitrase. Dalam kasus tertentu, jika tahapan dalam persidangan tidak diatur dengan benar

seperti penjadwalan sidang dan waktu membuat pembelaan para pihak, akan mengakibatkan

103

penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak. Karena itu, penting untuk melakukan

manajemen kasus yang baik untuk mencapai suatu arbitrase yang efisien.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam sidang. Yang pertama adalah menghindari

pernyataan pembuka (opening statement) atau pernyataan penutup (closing statement) dan

pembelaan yang panjang dan berbelit-belit. Sebuah pernyataan pembuka adalah kesempatan

untuk membuat ringkasan dari sebuah kasus dan dapat membantu pemahaman majelis

arbitrase pada isu-isu kunci. Semakin panjang pernyataan tersebut, semakin besar

kemungkinan untuk mengadakan sidang lanjutan.

Selanjutnya sehubungan dengan pemeriksaan saksi dan ahli selama persidangan, majelis

arbitrase harus mempertimbangkan apa yang terbaik, dalam kasus tertentu, untuk

mengungkapkan fakta-fakta yang benar dan penilaian yang paling meyakinkan. Lebih baik

mendengar saksi dan ahli yang pernyataan dan laporan tertulisnya telah disampaikan di

muka.

Untuk menghindari pengulangan dalam bertanya di persidangan, majelis arbitrase diharapkan

telah memeriksa pernyataan dan laporan tertulis saksi dan ahli tersebut sebelum sidang.

Majelis arbitrase juga harus merekomendasikan kepada para pihak mengenai pembatasan

pemeriksaan lisan terhadap para ahli karena seringkali pendapat hukum tertulis yang diajukan

para ahli dapat sangat membantu proses arbitrase.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah memilih arbitrer yang

memahami arbitrase secara mendalam. Ketidakmampuan arbitrer terkadang mengakibatkan

proses arbitrase menjadi panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit. Karena itu,

pemilihan arbitrer menjadi suatu hal yang penting dalam proses arbitrase sehingga

menghasilkan putusan yang memuaskan para pihak (win-win solution) dengan proses efektif

dan biaya yang tidak mahal.

FRANS H WINARTA

Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase; Arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan

SCIA

104

Kasus Samad dan Masa Depan KPK Koran SINDO 24 Januari 2015

Bahwa menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, Ketua Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) Abraham Samad sering melakukan kontak-kontak politik dengan orang-orang

PDIP dan atau dengan Tim Capres Jokowi, itu bukanlah berita baru.

Kita sudah lama tahu dan tidak ada alasan untuk tidak percaya. Soal pertemuan Abraham

Samad dengan Jokowi di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, misalnya, pada saat itu pers

memberitakannya secara besar-besaran. Bahkan majalah mingguan Tempo menulis detail,

bagaimana Abraham Samad tiba-tiba meninggalkan forum ceramahnya di UGM dan

langsung lari ke bandara untuk menemui Jokowi begitu mendapat SMS bahwa Jokowi berada

di bandara tersebut.

Tidak ada yang salah jika Abraham Samad secara pribadi merancang masa depan peran

politiknya untuk, misalnya, menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Itu tidak salah

dan merupakan hak politik Abraham yang dilindungi oleh konstitusi, apalagi Abraham

memang sangat potensial dan mendapat banyak dukungan pada saat itu.

Kalau kita membuka file atau kliping pemberitaan di sekitar Mei dan Juni 2014 akan terlihat

betapa banyaknya media massa menyebut nama Abraham sebagai salah seorang calon wapres

yang layak mendampingi Jokowi. Cyber troops atau pasukan media sosial pendukung

Abraham juga aktif meramaikan pertarungan politik di dunia maya saat itu.

Meskipun memang agak sedikit janggal jika dikaitkan dengan kode etik bagi penegak hukum,

secara mendasar tidak ada yang salah dari komunikasi-komunikasi politik yang dilakukan

oleh Abraham itu. Ingat, waktu itu bangsa ini sedang mencari pasangan calon pemimpin yang

akan ditawarkan kepada rakyat. Abraham Samad merupakan salah seorang yang dianggap

layak karena nyalinya besar untuk memerangi koruptor dan dia punya hak politik untuk

mengapitalisasi dukungan itu.

Tetapi ketika pada Kamis dua hari lalu Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkap

berbagai pertemuan politik Abraham Samad dengan pihaknya menjelang Pilpres 2014,

masyarakat kaget, seakan-akan hal itu merupakan berita baru. Muncullah kesan spontan, ini

serangan brutal terhadap KPK, tetapi dengan peluru bekas. Tetapi sebentar dulu, tampaknya

memang ada unsur baru dari berita itu, yakni Abraham Samad memakai masker dan topi

untuk menyembunyikan wajahnya dalam pertemuan-pertemuan yang menurut Hasto ada

bukti-buktinya itu. Kalau benar, untuk apa Abraham harus berdrama seperti itu? Mengapa

tidak terang-terangan saja tampil berbicara tanpa topeng segala?

105

Yang lebih mengagetkan adalah penjelasan Hasto bahwa pada pertemuan itu Abraham

menyatakan telah menolong orang PDIP yang terkena kasus, tentu, sebagai bagian dari barter

politiknya. Nah, kalau itu benar, masalahnya menjadi sangat serius. Dunia penegakan hukum

menjadi sangat ternoda: penegak hukum menolong orang terlibat kasus hukum melalui barter

politik.

Demi kebenaran dan masa depan, penegakan hukum masalah ini harus dituntaskan secara

benderang. Kita berharap cerita Hasto itu tidak benar adanya. Tapi cerita ini harus diungkap

tuntas, tak boleh menjadi bahan barter politik baru dalam kasus-kasus hukum yang sedang

berjalan. Apa pun yang menodai dan akan melemahkan KPK harus dibersihtuntaskan tanpa

membahayakan KPK itu sendiri.

Belakangan ini, para aktivis pro-demokrasi dan penegakan hukum memang sedang sangat

mencemaskan masa depan KPK. Lembaga penegak hukum yang gagah perkasa ini selalu

mendapat serangan dari berbagai penjuru untuk didegradasikan dengan berbagai cara agar

taring-taringnya habis dan akhirnya bubar. Bukan rahasia lagi, menguat pendapat di

masyarakat bahwa KPK tak disukai oleh banyak politisi yang selalu mengganggunya dari

Gedung DPR di Senayan.

Serangan balik para koruptor (corruptors fight back) yang bersinergi dengan politisi

penyerang KPK telah benar-benar mencemaskan kita. Itu sudah sering dan sejak lama terjadi.

Upaya membonsai KPK melalui pengujian UU KPK ke Mahkamah Konstitusi telah

dilakukan belasan kali tetapi MK selalu memberi penguatan terhadap KPK.

Upaya mempreteli wewenang KPK melalui revisi UU (legislative review) juga sudah sering

dilemparkan tetapi civil society masih selalu bisa menghalaunya. Kita sungguh cemas,

jangan-jangan pada tahun ini, melalui momentum pemilihan kembali komisioner KPK yang

akan habis masa baktinya pada Oktober 2015 taring-taring KPK benar-benar dicabut di DPR.

Untuk belasan tahun ke depan, kita masih sangat membutuhkan KPK demi masa depan

Indonesia yang lebih baik. Kalau KPK lumpuh atau dilumpuhkan, akan runtuhlah harapan

kita untuk bisa memerangi korupsi dengan efektif, padahal gurita korupsi sedang mengancam

keselamatan negara kita. Ke depannya, kita berharap ada sinergitas positif antara Kejaksaan

Agung, Polri, dan KPK dalam memerangi korupsi demi keselamatan negara dan demi

keselamatan kita.

Di antara gulitanya kecemasan itu, kita masih bisa berharap KPK bisa baik-baik saja, karena

pada saat kampanye Pilpres Jokowi menyatakan akan mendukung KPK bahkan akan

menaikkan sepuluh kali lipat anggaran KPK. Dalam pada itu, dua hari lalu, di depan

silaturahim lintas politik Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Wapres Jusuf

Kalla mengatakan, ”Negara akan hancur dan bubar jika pemerintahnya membiarkan

ketidakadilan dan tidak bisa memerangi korupsi secara sungguh-sungguh”.

106

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

107

Moment of Truth bagi Polri Koran SINDO 24 Januari 2015

“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Kalau mau konsekuen dengan

perkataan Allah bahwa manusia adalah gudangnya alpa, maka masyarakat semestinya tidak

bisa menganggap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto

sebagai manusia bertabiat nabi.

Begitu pula jika mau berpedoman pada mazhab behaviorism bahwa manusia bisa belajar

sepanjang hayat, maka publik sepatutnya tidak bisa menolak mentah-mentah langkah hukum

yang Polri ambil terhadap wakil ketua KPK itu. Tidak tertutup kemungkinan operasi kilat

kemarin pagi itu adalah wujud membaiknya profesionalitas Polri.

Namun, faktanya sedemikian benderang. Bisa dibilang, apa pun yang KPK lakukan,

dukungan masif langsung mengalir. Demikian pula ketika petinggi dan personel komisi anti-

rasuah itu disebut-sebut bermasalah hukum, barikade fisik, dan opini serta-merta tegak

berdiri menjaga mereka. Di seberangnya adalah korps Tribrata.

Terlebih manakala bersangkut paut dengan penindakan kasus korupsi, hingga kini masih

terdapat skeptisisme besar terhadap kesungguhan Polri. Khalayak cenderung abai terhadap

kenyataan bahwa, sebagaimana dinyatakan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad, niscaya

ada personel-personel Tribrata yang berwatak lurus dan bertentangan dengan stigma negatif

Polri.

Cara pandang di atas memang sarat bias. Komunitas psikologi menyebutnya sebagai

availability bias. Bias semacam itu terbentuk antara lain akibat ekspos media. Polri

tampaknya lebih sering ditampilkan dengan penekanan pada serbaneka sisi negatifnya,

sedangkan KPK lebih sering ditangkap pengindraan pemirsa dengan rupa-rupa

kegemilangannya menggilas koruptor.

Pewartaan tersebut pada gilirannya membentuk keyakinan publik pada “realita sosial” bahwa

KPK adalah baik dan Polri adalah tidak baik. Kalangan yang yakin bahwa pola pikir terbaik

harus berbasis pada rasionalitas sempurna, tentu akan menilai pemikiran bias sebagai cacat

kognitif yang akan berujung pada kekeliruan. Semakin banyak data atau informasi tentang

suatu hal, semakin akurat pula keputusan dihasilkannya.

Sebaliknya, ada pula kelompok pemikir yang menganggap rasionalitas sempurna sebagai

kemustahilan. Manusia, dalam teori mereka, hampir selalu untuk tidak mengatakan selalu

berpola pikir jalan pintas atau heuristic. Pola pikir jalan pintas, karena bersifat kodrati, tidak

108

bermutu rendah. Heuristic, berdasarkan banyak riset, justru kerap menghasilkan simpulan

ataupun putusan yang lebih berkualitas daripada rasionalitas sempurna. Rasionalitas versus

heuristic; membawanya ke dalam konteks penangkapan Bambang Widjojanto (baca:

pertikaian KPK dan Polri), pola kognitif mana yang sebaiknya dikenakan?

Kendati masyarakat luas tak terkecuali saya angkat topi terhadap kinerja KPK, kurang baik

apabila dukungan terhadap KPK ditegakkan di atas proses berpikir jalan pintas. KPK harus

terus dikawal secara kritis. Setali tiga uang, sikap kontra terhadap kerja Polri tidak elok

dibangun di atas bias. Polri patut terus memperoleh kepercayaan untuk maju. Karena Polri

adalah lembaga penegakan hukum, korps tersebut perlu diberikan kesempatan untuk

menjalankan fungsinya itu terhadap Bambang Widjojanto.

Polri pantas diberikan tantangan bahwa mereka tidak bermain api, apalagi menjadi instrumen

politik, saat menangkap sosok yang sudah sedemikian gigih memerangi korupsi. Konkretnya,

karena Polri mengaku telah memiliki tiga alat bukti, maka semestinya tidak butuh waktu

terlalu lama bagi Polri untuk mematahkan syak wasangka publik lewat terselenggaranya

persidangan atas Bambang.

Hanya dengan mekanisme seperti itulah masyarakat dapat diajak untuk berpikir secara

rasional sempurna sekaligus mengesampingkan sentimen apriori mereka. Apabila proses

hukum benar-benar membuktikan bahwa Bambang bersalah, Polri patut menerima apresiasi.

Ibarat pemain akrobat sirkus, mereka mampu menegakkan kebenaran dengan meniti tipisnya

tali dukungan publik yang membentang di atas kobaran api antipati.

Tetapi sebaliknya, andaikan Polri gagal membuktikan apa yang mereka tuduhkan terhadap

Bambang, bahkan justru menelanjangi diri mereka sendiri seiring terkuaknya berbagai

rekayasa hukum, maka institusi tersebut pantas menerima ganjaran keras. Sanksi terberatnya

adalah, seperti yang dilakukan otoritas Veracruz di Meksiko pada 2011 silam, pembubaran

institusi kepolisian.

Di wilayah tersebut, seluruh petugas kepolisian dan staf administrasi diberhentikan sebagai

cara untuk membersihkan lembaga kepolisian dari korupsi. Pengambilalihan peran polisi oleh

militer telah beberapa kali dilakukan di sana. Namun, baru kali itulah pembubaran total

diambil sebagai solusi.

Setelah di-PHK, mantan polisi dan staf administrasi bisa melamar serta memperoleh

pekerjaan kembali, asalkan berhasil melalui proses seleksi yang jauh lebih ketat. Dan selama

itu belum berhasil direalisasikan, tentara terus ditugasi untuk bekerja laiknya polisi.

Waldo City Council, Amerika Serikat tahun lalu pun menunjukkan ketegasan serupa berupa

pembubaran institusi kepolisian setempat. Penyebabnya, lagi-lagi, adalah penyalahgunaan

kewenangan yang kronis oleh kepolisian. Berabad sebelum itu, Gubernur Hong Kong Sir

Henry Pottinger juga memutuskan pemberhentian seluruh personel polisi Hong Kong dan

menjadikan tentara sebagai penggantinya.

109

Pembubaran lembaga kepolisian memang tidak melulu disebabkan oleh masalah dekadensi

moral organisasi dan personel (institutional reason). Contingency reason, berupa pengetatan

anggaran, juga merupakan faktor lain. Namun seiring perjalanan waktu, tuntutan besar akan

pembubaran institusi kepolisian memang kian didominasi oleh masalah-masalah terkait

tindak-tanduk buruk aparat kepolisian.

Langkah revolusioner sedemikian rupa memang dapat berisiko pada meningginya frekuensi,

variasi, dan intensitas kejahatan. Namun jika militer memiliki kesiapan untuk mengantisipasi

rangkaian problem susulan tersebut, pemvakuman lembaga kepolisian untuk sementara waktu

tetap merupakan sebuah opsi yang patut dipertimbangkan guna memurnikan organisasi

tersebut.

Tentu, hanya pemerintah dan DPR yang tangguh lagi istikamah yang siap meletakkan opsi

tersebut di atas meja. Pembubaran institusi kepolisian adalah harga mahal. Luar biasa mahal.

Namun, simpulan riset Jennifer Marek (2013) dapat menjadi penggedor semangat. Bahwa,

persepsi publik akan korupnya lembaga kepolisian berhubungan secara signifikan dengan

pandangan masyarakat bahwa pemerintah mereka pun bergelimang dalam kebusukan yang

sama. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne

110

Pemerintah Tak Perlu Khawatir pada Media Massa

Koran SINDO 24 Januari 2015

“Semua tahu kita ini selalu dipotret, selalu diikuti, dan selalu dinilai media. Meskipun perlu

saya sampaikan ekspos media, belum tentu mewakili kinerja pemerintahan. Media sebagai

pembawa pesan akan membentuk persepsi, imej terhadap kinerja pemerintah. ...Persepsi

media terhadap kinerja pemerintah didasarkan atas berbagai variabel. Ada aktivitas-aktivitas,

ada kebijakan-kebijakan, ada langkah- langkah menteri maupun institusi lain. (Semua)

dipotret media dari berbagai sudut, pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi”.

Kira-kira demikian yang dikatakan Presiden dalam rapat kabinet pada 7 Januari 2015 lalu,

seperti yang dikutip beberapa media. Apa yang dilakukan Presiden dengan menginstruksikan

mesin intelijen untuk mengawasi 343 media, cukuplah beralasan. “Takut dan khawatir”

media akan selalu memberitakan yang tidak baik terhadap kinerja Kabinet Kerja. Karena

media massa, seperti yang diungkapkan oleh Harsono Suwarno (Ibnu Hamad, 2004),

memiliki peranan penting dalam pembentukan opini karena beberapa aspek.

Pertama, media memiliki kekuatan yang cukup dalam menyosialisasikan informasi. Kedua, ia

bisa melipatgandakan pesan dengan sangat baik. Ketiga, setiap media mampu

mempresentasikan wacana pada kejadian tertentu sesuai dengan cara pandang media itu

sendiri. Keempat, dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki peluang

yang besar untuk menyajikan berita atau kejadian berdasarkan agenda setting yang

dimilikinya.

Dan kelima, apa yang diberitakan oleh media biasanya berhubungan dengan media yang lain

sehingga membentuk lingkaran pada penciptaan peluang yang lain secara otomatis. Inilah,

media tidak hanya menyajikan informasi tetapi juga bisa memengaruhi publik. Untuk itu jika

memberitakannya selalu minor, misalnya, persepsi masyarakat pun tidak lebih dari pada itu.

Pertanyaannya, haruskah Presiden sekhawatir itu? Padahal tidak sedikit kejadian atau fakta

yang luput dari mata dan hati pengambil kebijakan bisa terungkap secara rapi ke publik

karena peran media massa, dan pengambil kebijakan selalu mengambil manfaat dari itu.

Media sebagai Mitra

McLuhan (Rachmat, 2000) mengatakan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra

kita. Dengan media massa, kita memperoleh tentang gambaran benda, orang, atau tempat

111

yang kita alami secara langsung. Negara Indonesia ini terlalu luas untuk kita masuki

semuanya. Televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh

dari jangkauan alat indra kita. Surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala

yang terjadi waktu kini di seluruh penjuru Indonesia.

Media massa, elektronik ataupun cetak, pada dasarnya juga adalah media diskusi publik

tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak, yaitu wartawan, sumber berita, dan

khalayak. Ketiga pihak tersebut mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-

masing dan hubungan mereka, di antaranya terbentuk melalui operasionalisasi teks yang

mereka konstruksi. Hubungan ketiganya pun juga saling terhubung satu dengan yang lainnya.

Wartawan membutuhkan sesuatu yang bisa dijadikan berita dan juga bisa bernilai ekonomis,

sumber berita butuh dipublikasikan dan diakui, sedangkan khalayak membutuhkan

informasi.

Tugas dari seorang wartawan secara sederhana adalah bekerja mencari berita, mengolah,

mengedit, dan kemudian menyajikannya kepada khalayak dengan sadar dan bertanggung

jawab. Artinya, tanggung jawab pemberitaan yang didasarkan kepada kepentingan publik,

kebenaran, hukum yang berlaku, common sense dan akal sehat.

Sedangkan khalayak membutuhkan informasi itu semua, dan mereka selalu memberikan

feedback atau respons balik berdasarkan informasi yang mereka terima. Jika informasi yang

mereka terima benar dan cocok dengan common sense, biasanya mereka pun merespons

dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya.

Dalam konteks tersebut, semestinya media bisa dijadikan mitra positif, membangun budaya

dan peradaban bangsa Indonesia. Presiden, menteri, dan instansi terkait yang secara tidak

langsung menjadi sumber berita. Mereka adalah pejabat publik yang bertanggung jawab

kepada masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan dibiayai juga dari pajak yang

dibayar oleh masyarakat.

Maka kebijakannya pun harus berorientasi kepada masyarakat. Di sinilah mereka

membutuhkan publisitas sebagai bentuk “pertanggungjawaban” sehingga masyarakat

mengetahuinya. Tapi di sisi lain, mereka harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan

mengeluarkan kebijakannya karena apa pun bentuknya, melalui media, masyarakat akan

menilainya.

Namun, mitra, di sini, tidak dimaksudkan bahwa media digunakan sebagai alat propaganda

negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni).

Dalam hal ini, ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk

menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Media juga tidak

dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara.

Media harus berani menolak dan melawan hegemoni jika harus melayani negara (servant of

the state). Akan tetapi, pemerintah harus memosisikan media sebagai kawan yang selalu

112

menyuarakan dan juga mengingatkan ketika ada kesalahan. Kawan untuk membangun

demokrasi bersama-sama. Media bukanlah lawan yang harus selalu diawasi oleh mesin

intelijen. Ingat, media dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan

yudikatif.

Media dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya checks and balances

dari berbagai kekuasaan yang ada. Di antara fungsi media adalah sebagai watchdog, yaitu

mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah),

organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta.

Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apa jadinya pemerintahan tanpa adanya

kebebasan pers atau media, dan media tanpa adanya pemerintahan? Akhirnya, apa pun yang

diberitakan media merupakan masukan dan pengingat bagi para pihak, termasuk Presiden,

untuk dijadikan pijakan dalam melakukan perubahan.

HASAN ASYARI

Kader Muda Perindo

113

Perhatian pada Kasus BG Koran SINDO 26 Januari 2015

Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan yang berjudul: “Kasus BG Alat Bukti dan

Tersangka”, yang ditulis oleh Prof Romli Atmasasmita pada KORAN SINDO, Jumat, 23

Januari 2015.

Tulisan Prof Romli cukup baik karena ditulis oleh seorang guru besar yang penuh

pengalaman di dalam dan luar kampus, termasuk pengalaman beliau di pemerintahan,

khususnya di bidang hukum. Prof Romli mengungkapkan keprihatinannya dengan cara-cara

penanganan kasus korupsi yang kental dengan muatan politis yang dilakukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara yang arogan.

Berbagai cara pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dianggap dilakukan tanpa hati

nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa Timur yang dikenal dengan keluhuran

budinya. Pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk

menjerakan secara melawan hukum.

Langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang kurang pantas

dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan. Langkah ini dianggap bertentangan dengan

semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat

bangsa Indonesia.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan KPK berulang-ulang, penanganan kasus tindak

pidana korupsi di KPK tidak ada yang bermuatan politis. Walau demikian, karena yang

terkena sebagian besar memiliki kekuasaan atau kedudukan, dirasakan ada muatan politis

dalam kasus yang ada.

Kami menyadari penanganan kasus korupsi seringkali dilakukan dengan cara-cara

pengumuman tersangka dalam suatu konferensi pers yang kadangkala mempermalukan

tersangka dan keluarganya. Ini dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang

menggunakan prinsip naming and shaming, menyebutkan nama orangnya dan

mengumumkannya kepada publik secara transparan. Dengan cara ini, diharapkan ada

penjeraan kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi. Dengan

penanganan secara transparan ini, selain untuk akuntabilitas, juga dapat memberikan

kesempatan kepada publik untuk melakukan pengawasan terhadap kasus tersebut.

Kiranya perlu dikaji kembali apakah penerapan prinsip naming and shaming ini lebih baik

dilaksanakan sejak penyidikan atau setelah ada putusan pengadilan. Juga perlu diperhatikan

114

bagaimana dampak penerapan prinsip ini sejak penyidikan terhadap keberhasilan pencegahan

dan pemberantasan korupsi.

***

Kasus BG dimulai dengan ada laporan hasil analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik

Indonesia dan Jaksa Agung pada 2010. Kemudian majalah Tempo edisi 28 Juni 2010 dengan

judul “Rekening Gendut Perwira Polri” memuat informasi mengenai aliran dana dan

transaksi sejumlah perwira dan purnawirawan Polri yang sumber informasinya diindikasikan

kuat berasal dari LHA tersebut.

Dengan beredarnya substansi LHA tersebut, pada 30 Juni 2010 PPATK berkirim surat

kepada kepala Polri yang ditandatangani Wakil Kepala PPATK Prof Gunadi karena kepala

PPATK sedang dalam perjalanan dinas di luar negeri, yang sangat menyesalkan dan sungguh

prihatin dengan terjadi kebocoran informasi.

PPATK juga meminta kepala Polri melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal mula

kebocoran LHA dan menindak tegas pelakunya. PPATK juga meminta dilakukan tindakan

segera untuk mengatasi kebocoran informasi tersebut dan memperbaiki mekanisme internal

untuk mencegah kemungkinan terjadi pembocoran pada masa mendatang.

Setelah kebocoran tersebut, saya sebagai kepala PPATK ditemani Direktur Kerja Sama

PPATK Brigadir Jenderal Polisi Tri Priyo mengadakan pertemuan dengan Kepala Badan

Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi di Jakarta. Pada

pertemuan tersebut, kami mempertanyakan masalah sumber kebocoran informasi yang

berasal dari LHA PPATK.

Beliau menjawab; “Pak Yunus, kalau tidak membocorkan, tenang saja tidak perlu khawatir.”

Lalu dari mana sumber kebocorannya? Menurut beliau, sumber kebocoran berasal dari

perwira Polri yang kecewa karena tidak naik pangkat walau sudah dijanjikan oleh Kapolri.

Perwira inilah yang memberikan informasi yang bersumber dari LHA kepada wartawan

Tempo.

Siapa perwira yang membocorkan tersebut, saya tidak pernah tahu. Mungkin pembocor ini

seorang yang sakit hati atau merasa kurang diperhatikan/disingkirkan. Ini pernah terjadi pada

waktu kebocoran laporan pemeriksaan Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan RI pada

1999 yang mengindikasikan hilangnya uang sebesar Rp300 miliar dari dana operasional surat

izin mengemudi (SIM) dan praktik penyelewengan dana pengamanan Pemilihan Umum 1999

sebesar Rp96,7 miliar rupiah (Tempo, 12 Maret 2000).

Semoga penjelasan ini bisa memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Akhir-akhir ini

hasil penyelidikan terhadap LHA PPATK tersebut disertai hasil investigasi wartawan dimuat

pada beberapa media massa, seiring dengan pencalonan BG oleh Presiden sebagai calon

115

tunggal kepala Polri walau sebelumnya KPK dan PPATK tidak merekomendasikan BG

sebagai calon menteri.

KPK juga menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai

tersangka ini mengundang berbagai pertanyaan dan reaksi yang beragam. Sebagian

menyatakan sah-sah saja KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sebagian mempertanyakan

kenapa KPK begitu lama menetapkan BG sebagai tersangka dan baru menetapkannya

sekarang setelah BG dicalonkan sebagai calon tunggal kepala Polri? Mengapa rekening

gendut lainnya milik perwira Polri lainnya tidak diselesaikan juga?

Masalah timing dan cara mengumumkannya sebagai tersangka dianggap kurang tepat dan

tidak etis menjadi seorang calon kepala Polri sebagai tersangka. Ada yang berpendapat

perbuatan KPK ini kurang menghargai Presiden Jokowi sebagai pejabat tertinggi dalam

pemerintahan presidensial. Prof Romli berpendapat sikap KPK ini sama dengan melawan

kebijakan Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara yang bertentangan

dengan etika hubungan kelembagaan antarlembaga negara.

***

Berdasarkan Undang- Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, sekarang ada empat macam

produk PPATK yaitu LHA, LHP (hasil pemeriksaan), rekomendasi, dan informasi. LHA dan

LHP ini biasa diberikan kepada penegak hukum. Dalam standar internasional LHA bukanlah

alat bukti, baik bukti tertulis atau bukti surat. LHA hanya merupakan petunjuk mengenai

dugaan terjadi tindak pidana, baik berupa tindak pidana asal dan atau tindak pidana pencucian

uang.

LHA dan dokumen lain dari PPATK harus dirahasiakan oleh pejabat dan pegawai PPATK,

penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau

keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

sebagai pengatur dan pengawas industri jasa keuangan dengan ancaman paling lama empat

tahun penjara.

LHA ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik yang menurut Pasal 74 UU No. 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional, dan

penyidik pajak. Selanjutnya penyidik melakukan penyelidikan untuk membuat jelas apakah

tindak pidana asal atau TPPU sudah terjadi. Apakah barang bukti dan alat-alat bukti sudah

cukup untuk meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dengan tersangka yang sudah bisa

ditentukan.

Berdasarkan UU TPPU tersebut, KPK meminta beberapa LHA dari PPATK terkait kasus BG.

Tampaknya KPK memerlukan waktu yang lama karena KPK melakukan penyelidikan yang

hati-hati dan mendalam karena menyangkut seorang petinggi kepolisian dan kasusnya juga

116

tidak sederhana. Mungkin karena alasan itulah, penyelidikan kasus ini agak lama dan

memakan waktu lebih setahun.

Marilah kita tidak saling menyalahkan, tetapi berusaha selalu menyelesaikan masalah dengan

musyawarah dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau kepentingan. Kurangilah

pernyataan yang tidak perlu atau mengecam.

Semoga kita mampu mencari jalan keluar terbaik terhadap masalah yang timbul sebagai

akibat pencalonan BG sebagai kepala Polri dengan cepat dan dengan tetap mengutamakan

kepentingan negara atau umum di atas kepentingan pribadi, kelompok atau partai, sehingga

kita dapat lebih efektif memberantas korupsi dan lebih fokus membangun untuk tercipta

Indonesia yang hebat dan jaya.

YUNUS HUSEIN

Kepala PPATK Periode 2002-2011

117

Timur Tengah Pasca-Abdullah Koran SINDO 27 Januari 2015

Setelah bertahta selama satu dasawarsa Raja Abdullah meninggal dunia. Selama

pemerintahannya, Raja Abdullah berhasil meletakkan dasar-dasar reformasi politik, sosial,

keagamaan, dan perdamaian di Arab Saudi dan regional Timur Tengah.

Para pemimpin tertinggi negara-negara “sekutu” Arab Saudi seperti Barack Obama (AS),

Francois Hollande (Perancis), David Cameron dan Pangeran Charles (Inggris), Recep Tayyip

Erdogan (Turki), Nawaz Sharif (Pakistan) takziah langsung dan memberikan penghorma tan

terakhir. Kehadiran mereka merupakan pertanda pentingnya peranan Arab Saudi di dunia

internasional.

Lima Tantangan Salman

Sesuai sistem baiat, Salman bin Abdul Aziz al-Saud menduduki singgasana menggantikan

Raja Abdullah. Sistem tersebut diciptakan oleh Raja Abdullah pada 2006 untuk tiga tujuan:

menjamin keberlangsungan kepemimpinan kerajaan, menghindari perebutan kekuasaan di

antara para putera mahkota, dan menyiapkan pemimpin kerajaan yang kompeten. Arab Saudi

pernah mengalami masalah suksesi kepemimpinan ketika Raja Faisal dibunuh pada 1975.

Raja Salman berkuasa ketika Arab Saudi berada dalam kondisi yang kuat dan stabil. Walau

demikian, Salman mengalami lima tantangan yang tidak ringan. Pertama, masalah “rumah

tangga” kerajaan. Ini terutama terkait suksesi generasi kedua pasca-Salman. Sudah menjadi

rahasia umum, terdapat rivalitas di antara para putera mahkota. Jika Salman tidak arif

membagi kekuasaan dan memelihara hubungan baik dengan semua ahli waris kerajaan,

suksesi berikutnya belum tentu aman oleh permusuhan dalam selimut.

Kedua, masalah keamanan terutama radikalisme dan terorisme. Dalam dua puluh tahun

terakhir, Pemerintah Arab Saudi harus bekerja keras melawan berbagai tindak kekerasan.

Pada masa pemerintahan Raja Fahd, serangkaian aksi kekerasan terjadi pada Juni 1996;

Maret 2001; Mei dan November 2003; April, Mei, Juni, dan Desember 2004.

Aparat keamanan Arab Saudi beberapa kali berhasil menggagalkan upaya teror. Hanya ada

sekali serangan teror pada masa kepemimpinan Raja Abdullah (Februari 2007). Tetapi,

negara petro dolar itu tidaklah sepenuhnya aman. Raja Salman harus bekerja lebih keras

memadamkan bara dalam sekam, terutama dari jaringan al-Qaeda yang merupakan “anak

kandung” Kerajaan Saudi.

Ketiga, masalah kedaulatan terutama separatisme di wilayah selatan. Arab Saudi adalah

118

negara yang sangat sensitif terhadap Syiah. Selain terkait ideologi, juga terkait gerakan

politik kaum separatis Syiah di perbatasan Yaman dan wilayah timur yang kaya minyak.

Ancaman separatisme lain datang dari pada pendukung Islamic State pimpinan al-

Baghdadi. Sebagai keturunan Quraisy, al-Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah

dan merasa diri lebih berhak memimpin negara dibandingkan dengan keluarga Saudi.

Keempat, masalah ekonomi, terutama ancaman pengangguran. Separuh penduduk Arab Saudi

adalah kelompok muda di bawah 25 tahun. Masalah ini disebabkan oleh dua hal utama.

Pertama, kebijakan negara yang cenderung“memanjakan”. Generasi muda Saudi

dininabobokan dengan fasilitas sehingga miskin kreativitas dan malas. Kedua, aset-aset

strategis ekonomi dimonopoli oleh keluarga kerajaan sehingga rakyat tidak memiliki akses

luas. Kesenjangan sosial yang semakin menganga bisa mengobarkan semangat melawan

kerajaan.

Kelima, masalah politik dan hak asasi manusia. Arab Saudi merupakan salah satu negara

yang paling buruk dalam penegakan hak asasi manusia, khususnya hak politik. Pada 2009,

Komisi HAM PBB mengingatkan tingginya represi dan pelanggaran hak asasi manusia yang

dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Amnesti internasional menyimpulkan Pemerintah Arab

Saudi tidak bersungguh-sungguh memenuhi komitmennya dalam pemenuhan hak-hak sipil di

negaranya.

Dunia mencatat reformasi politik yang telah dilakukan Raja Abdullah. Tetapi, bagi para

pejuang hak asasi manusia, langkah- langkah tersebut belumlah signifikan. Merujuk Muasher

(2014: 29) “...Saudi Arabias record on political and cultural diversity, representative

government, and womens record on political and cultural diversity, representative

government, and womens rights ... does not suggest a moderate, reformist approach.”

Pemerintah Arab Saudi harus me-reken dampak Arab Spring terhadap gerakan politik dan

hak asasi manusia yang merembet ke negaranya.

Perubahan di Timur Tengah?

Para analis menilai Raja Salman adalah figur religius yang cenderung konservatif. Dalam

bidang ekonomi dia cenderung pragmatis. Karena itu, pemerintahan Raja Salman tampak

akan lebih memperkuat orientasi keagamaan dan memperluas pengaruh Arab Saudi dalam

bidang agama.

Dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan meningkatkan ekonomi, Raja Salman

tampaknya akan lebih memperkuat pertahanan, mengefektifkan anti-terorisme, dan lebih

tegas terhadap separatisme. Pilihannya adalah mempererat kerja sama dengan pemerintahan

Yaman yang konservatif untuk menekan gerakan kaum minoritas Syiah. Jika langkah ini

dilakukan, Arab Saudi akan semakin bersitegang dengan Iran yang selama ini ditengarai

mendukung gerakan Syiah.

119

Konstelasi politik di Timur Tengah akan berubah jika Pemerintah Arab Saudi melakukan

ekspansi ideologi Wahabisme yang sudah dirintis sejak era 1970-an. Tujuan utama langkah

ini “merebut kembali” supremasi Arab Saudi sebagai “pemimpin” umat Islam dunia. Arab

Saudi adalah inisiator pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Rabitah Alam

Islami.

Langkah Pemerintah Arab Saudi ini tidak akan mudah. Pertama, faktor nasionalisme Arab

yang menguat setelah negara-negara Arab merdeka dari kolonialisme. Kedua, faktor

kemajuan ekonomi dan politik Turki. Dalam sejarah, Arab pernah dikuasai oleh Turki

Utsmani. Pengaruh Arab Saudi mulai digeser Turki terutama setelah OKI berubah menjadi

Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation), Juni 2011.

Ketiga, faktor perubahan kepemimpinan Iran. Sejak Revolusi Islam Iran 1979, Saudi begitu

khawatir dengan kebangkitan kaum Syiah di berbagai penjuru dunia. Saudi juga menaruh

perhatian serius dengan membaiknya hubungan Iran dan negara-negara Barat setelah Hasan

Rouhani memegang tampuk kekuasaan. Benturan Sunni-Syiah di Timur Tengah dengan

segala dampak politik yang menyertainya adalah perkembangan yang sangat berpengaruh

terhadap perdamaian. Dalam konteks ini kebijakan luar negeri Arab Saudi akan sangat

berpengaruh terhadap penyelesaian konflik di Suriah, Palestina, dan Mesir.

Tujuan lain dari ekspansi Wahabisme adalah meluruskan kesalahpahaman dan memperbaiki

citra Pemerintah Arab Saudi. Pascapemboman WTC 2001, citra Arab begitu buruk dan

terpuruk. Sebanyak 15 dari 19 eksekutor pemegang paspor Arab Saudi. Karena itu,

pemerintahan Raja Abdullah merintis dialog lintas iman dengan Vatikan. Pemerintah Saudi

juga mendirikan organisasi yang mensponsori dialog antariman.

Bisa jadi Raja Salman akan meninjau ulang kebijakan ini. Citra Arab sebagai “agen”

radikalisme dunia belum berubah sepenuhnya. Selain itu, kedekatan dengan Barat justru

membangkitkan radikalisme dan sentimen anti-Barat di dalam negeri.

Perubahan kepemimpinan di Arab Saudi tentu akan berpengaruh terhadap Indonesia. Secara

keagamaan, bangsa Indonesia memiliki emosional keagamaan dan pendidikan yang

kuat. Diperkirakan, ada jutaan warga negara Indonesia bermukim di Arab Saudi. Indonesia

juga sangat berkepentingan terkait jamaah haji dan umrah yang jumlahnya ratusan ribu tiap

tahun. Ratusan warga negara Indonesia (WNI) menunggu eksekusi pidana mati. Berbagai

ketegangan keagamaan di dalam negeri, khususnya yang terkait kaum Syiah, ditengarai

terjadi karena faktor ekspansi ideologi Saudi.

Pemerintahan baru Indonesia perlu mengambil momentum kepemimpinan baru di Arab Saudi

untuk memperbarui hubungan dan menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan,

pendidikan dan keagamaan.

120

ABDUL MU’TI

Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

121

Revolusi Mental Jokowi! Koran SINDO 27 Januari 2015

Arena politik hampir tidak pernah sepi dari tarik-menarik kepentingan. Sebab, politik

memang merupakan medan untuk mentransformasikan kepentingan, baik yang bersifat

ideologis maupun non-ideologis.

Pihak yang paling kuat dalam mendesakkan kepentingannya akan memiliki pengaruh paling

besar dalam menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mentransformasikan dan

merealisasikan ide-ide atau kepentingannya. Apalagi, jika yang dianut adalah sistem

multipartai. Tarikan kepentingan bisa datang dari berbagai penjuru dengan motif yang bisa

sangat beragam.

Ketika kepentingan-kepentingan itu telah bercampur baur, sering kali kemudian

menyebabkan rakyat kebingungan dan tidak mampu lagi menilai apa yang sesungguhnya

tengah terjadi. Terlebih jika dimasukkan unsur rekayasa tingkat tinggi kalangan elite politik

dan dibantu oleh media massa yang kehilangan objektivitas dalam menyajikan informasi,

maka pihak yang sesungguhnya benar bisa tampak salah, yang baik menjadi tampak

buruk. Sebaliknya, yang salah malah kelihatan tidak salah, dan yang buruk bisa jadi tampak

baik.

Untuk mencegah konflik politik berlanjut sampai pada taraf yang merugikan atau bahkan

membahayakan kepentingan negara, keterlibatan pemimpin tertinggi negara sangat

diperlukan. Untuk itu, konstitusi memberikan kewenangan yang besar kepada Presiden

sebagai kepala negara.

Karena itu, kecerdasan dan ketegasan Presiden sangat diperlukan. Kecerdasan diperlukan

untuk melihat secara jeli dan tepat tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan apa saja

implikasi yang bisa terjadi dari sebuah kasus yang terjadi. Sedangkan keberanian diperlukan

untuk menentukan sikap secara tegas untuk memberikan keberpihakan kepada kebenaran,

bebas dari intervensi pihak lain, yang tidak sesuai dengan kebenaran yang merupakan

prasyarat dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam negara.

***

Menjelang pilpres lalu Jokowi melontarkan jargon “Revolusi Mental” yang dianggap cukup

monumental. Sebab, kenyataan memang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah

yang sangat akut disebabkan oleh mentalitas negatif sebagian warga negaranya, baik yang

menjadi rakyat jelata maupun yang menempati posisi-posisi strategis sebagai pemimpin di

level masing-masing.

122

Karena itu, revolusi mental berlaku bukan hanya pada rakyat kebanyakan, tetapi

sesungguhnya, yang bahkan lebih penting, adalah bagi para pemimpin. Sebab, dalam konteks

Indonesia dengan masyarakat berkultur feodal, pemimpin sangat berpengaruh kepada cara

berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat luas. Jika para pemimpin memiliki mentalitas

positif, rakyat akan mengikuti mentalitas positif tersebut. Sama dengan jika mentalitas yang

mereka saksikan dan rasakan adalah mentalitas negatif.

Indonesia sudah sekian lama berada dalam kondisi tidak berdaya dalam tata pergaulan

dunia. Sebagai negara besar, Indonesia tidak disegani, bahkan sering dilecehkan. Jika dirunut

dengan baik, pangkal penyebabnya adalah mentalitas korup di kalangan pejabat dan rendah

diri di kalangan rakyat. Karena itu, jargon Jokowi tersebut disambut dengan sangat hangat

oleh sebagian pemilih yang melihatnya sebagai jalan keluar dari keterpurukan.

Mereka berpandangan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani mengatakan

tidak kepada korupsi, termasuk kepada pihak-pihak asing yang sering kali menawarkan

imbalan besar agar pejabat negara menjual kekayaan negara atau membuat kebijakan yang

menguntungkan mereka walaupun merugikan negara sendiri.

Jokowi diharapkan menjadi pemimpin dengan keberanian tinggi itu. Harapan besar itulah

yang menyebabkannya–walaupun berasal dari daerah kecil di Jawa Tengah, tidak memiliki

kekuasaan signifikan di dalam partai, dan belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan

dalam memimpin Jakarta–dipilih menjadi presiden.

Namun, setelah menjadi presiden, Jokowi mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi

janji-janji besar yang pernah dilontarkan pada saat kampanye. Bahkan, kian hari gaya

kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa dia disandera dan dikendalikan oleh tidak

hanya Megawati, tetapi juga pihak-pihak lain yang berasal dari parpol mitra koalisi.

Bukan koalisi yang menjadi oposisi di DPR yang mengganggunya, tetapi justru koalisi

pendukungnya sendiri. Karena gangguan itulah Jokowi tidak mampu membuktikan berbagai

janji yang diucapkan dan menjadi daya tariknya. Janji akan melantik kabinetnya paling

lambat hanya dua hari ternyata melampaui batas hari yang dijanjikan itu. Janji akan membuat

kabinet ramping, kenyataannya kabinetnya hanya beda-beda tipis dengan postur kabinet

sebelumnya. Janji akan mengangkat orang-orang yang profesional, ternyata beberapa figur

dalam kabinetnya diberi jabatan lebih karena posisinya dalam partai, bukan karena rekam

jejak yang meyakinkan sebelumnya untuk menjalankan amanat sebagai menteri dengan

tanggung jawab yang sangat besar.

Penyanderaan terhadap Jokowi kembali tampak dengan sangat jelas pada kejadian kisruh

antara Polri dan KPK. Jokowi tidak mampu menolak keinginan “irasional” dari Ketua Umum

PDI Perjuangan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.

Tampaknya karena ingin bermain aman dengan memanfaatkan kekuatan lain untuk

menggagalkan Budi Gunawan dari posisi yang diplot oleh Megawati, maka kejadiannya

123

justru menjadi semakin mengkhawatirkan. Dua lembaga negara yang sama bertugas

menegakkan hukum itu malah saling serang dan menyebabkan sebagian masyarakat terbelah

dalam memberikan dukungan.

Dalam keadaan yang sudah genting itu Jokowi ternyata hanya memberikan pernyataan sikap

yang sangat normatif. Lalu mengangkat orang-orang yang dianggap kredibel untuk

menyelesaikan masalah. Padahal, akar masalahnya sangat jelas, yakni kengototan untuk

mengajukan orang dengan status tersangka.

Dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang memiliki hak prerogatif

untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri, Jokowi tetap saja bersikap normatif

dengan sekedar menyerukan agar pimpinan kedua lembaga penegak hukum tersebut

melakukan langkah- langkah secara objektif.

Ini menunjukkan bahwa Jokowi berada pada posisi tidak berdaya menghadapi pesanan yang

datang dari pihak lain. Padahal, seorang Presiden memiliki kewajiban untuk hanya tunduk

kepada konstitusi. Jika Presiden bisa diintervensi oleh pihak-pihak lain untuk mengorbankan

kepentingan negara, tentu akan sangat berbahaya.

Karena itu, Jokowi harus kembali mengingat jargon politiknya sendiri pada saat menghadapi

kampanye. Revolusi mental itu harus diterapkan kepada dirinya sendiri, dengan cara

mengubah sikap untuk hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan menuruti keinginan

pihak-pihak tertentu, termasuk ketua umum partainya sendiri, atau partai lain yang

memberikan dukungan signifikan–apabila itu merugikan kepentingan negara. Apalagi saat

kampanye dulu Jokowi menyatakan bahwa koalisi mereka adalah koalisi tanpa syarat.

Jika Jokowi tidak merevolusi dirinya, kekhawatiran yang pernah disampaikan JK pada saat

menjelang pilpres lalu bisa terbukti. Tentu saja sangat merugikan rakyat Indonesia. Tentu,

kita semua tidak berharap itu terjadi. Wallahu alam bi al-shawab.

DR MOHAMMAD NASIH MSI

Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah

Perkaderan Monash Institute

124

Ke(tak)jelasan Sikap Presiden Koran SINDO 28 Januari 2015

Ketika terjadi prahara perselisihan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir semua mata berpaling ke arah Presiden Jokowi.

Presiden di mana? Demikian pertanyaan publik yang ramai didorong di media sosial.

Pertanyaan yang tentu wajar mengingat Presiden Jokowi adalah kepala negara dan kepala

pemerintahan yang sah di negeri ini. Kontrol dan tanggung jawab atas pemerinta h dan negara

juga sebagian berada di pundaknya.

Sesungguhnya, sikap Presiden Jokowi sudah sedikit tergambar dalam cara pandang beberapa

menterinya yang kemudian nyaris tanpa koreksi sama sekali. Menteri yang menjadi pembantu

Presiden beberapa kali menyatakan pernyataan yang memberikan kesan bahwa Presiden tak

akan mengambil langkah langsung, memberikan kesempatan kepada penegakan hukum,

bahkan perkataan yang menyalahkan dukungan kepada KPK adalah bentuk kekanak-kanakan

dan dilakukan oleh rakyat yang tak jelas. Dengan Presiden membiarkan berbagai ucapan ini,

dapat dibaca bahwa Presiden sesungguhnya merestui ucapan-ucapan tersebut.

Pidato Ambigu

Tak hanya melalui para menterinya, Presiden Jokowi sendiri akhirnya menyampaikan

pidatonya. Dua kali. Pertama tentu saja pada hari penangkapan Bambang Widjojanto (BW).

Kala itu, Presiden menyatakan bahwa tak boleh ada pergesekan antara Polri dan KPK. Hal

yang tentu saja membingungkan karena seakan menghindari kasus konkret yang

terjadi. Seakan-akan Polri dan KPK jangan bergesekan, padahal pada faktanya sudah terjadi

perbenturan. Paling diingat, pidato tersebut sama sekali tidak menyentuh perkara yang ingin

diselesaikan.

Tak lama berselang, ada pidato kedua. Kali ini diimbuhi dengan mengenalkan tujuh orang

yang katanya akan menjadi tim dalam penyelesaian kasus ini. Perkembangan terkini, tak lagi

tujuh, tetapi sembilan orang. Bahkan masih ada lagi kemungkinan berbagai tambahan lain.

Sembari kemudian dia menjelaskan dan menegaskan jangan lagi ada kriminalisasi terhadap

KPK maupun terhadap Polri.

Atas dua pidato tersebut, satu hal yang sama adalah keduanya melahirkan ambigu. Posisi

yang tidak jelas. Pertama, pidato ambigu yang tak menjelaskan apa-apa. Posisi Presiden

hanya menegaskan bahwa jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi. Tapi, dalam hal

itu, siapa pun paham itu. Jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi adalah hal yang

125

semua orang paham. Itu adalah pernyataan normatif yang senilai dengan pernyataan; “Ayo

kita semua berbuat baik!” Siapa pun tahu akan hal tersebut.

Tapi tidak jelas, gesekan itu apa, siapa yang melakukan dan sebagainya. Begitu juga

pernyataan soal kriminalisasi. Siapa atas siapa, dan berbagai pertanyaan lainnya hilang tak

terjawab.

Kedua, membentuk tim yang belum terlalu jelas. Pembentukan tim independen tentu adalah

hal yang sangat menarik. Akan tetapi, tim ini sendiri masih akan bergantung pada sekian

banyak faktor. Salah satunya adalah formalisasi tim. Tanpa adanya keputusan Presiden yang

mendasari pembentukannya, maka tetap dikatakan mustahil tim ini diharapkan bisa bekerja.

Keppres adalah landasan hidup untuk sebuah kerja tim. Landasan individual dan konkret

yang akan menjadi sandaran bagi para anggota tim untuk melakukan sesuatu yang

seharusnya. Sekali lagi, tanpa aturan dasar tentu mustahil dapat dikatakan dapat bekerja

dengan benar.

Selain dasar hukum, faktor yang paling penting adalah isi dari dasar hukum tersebut. Jika

dasar hukum ini berisi hal-hal yang menjelaskan keniscayaan sebuah tim dibentuk, tentu

menjadi hal yang menarik. Akan tetapi jika tidak, sangat percuma membentuk tim. Artinya,

pertanyaan mendasar jika tim ini dibentuk adalah apa kewenangannya? Sejauh mana daya

jelajahnya? Apa saja yang menjadi ranah yang akan dikerjakannya?

Tanpa daya jelajah yang kuat, kemungkinan solutif untuk menyelesaikan perkara menjadi

mengecil. Makanya, jika kemudian tim ini memiliki kewenangan untuk melakukan

pengawasan penegakan hukum, bahkan memiliki hal luar biasa semisal melakukan verifikasi

terhadap dugaan kriminalisasi dan penangkapan dan penahanan tidak wajar tentu akan

menjadi menarik.

Selain itu, kerja-kerja yang membuktikan adanya rekayasa kasus akan sangat berfungsi

menyelesaikan. Termasuk jika rekomendasi tim yang dikeluarkan nanti punya daya mengikat

yang tidak hanya sekedar rekomendasi tanpa ikatan. Artinya, pada faktor ini, andai timnya

dibuat kuat dan taktis, akan sangat kuat digunakan untuk mendorong penyelesaian perkara.

Selain itu, komposisi orang yang ada di tim, serta tata cara kerja mereka juga akan sangat

menentukan kedalaman hasil pemeriksaan yang dapat berujung pada kesimpulan yang

memadai dan solutif.

Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, tim ini belum kunjung diformalisasi. Belum ada

kepastian akan hadirnya dan berbagai pernik-pernik menentukan seperti yang dituliskan di

atas. Makanya, dalam hal ini, Presiden Jokowi masih menawarkan rencana yang masih jauh

dari hitungan solutif atau tidaknya hasil yang akan dicapai oleh tim.

Harga Ketakjelasan

126

Salah satu yang jadi faktor kuat dalam dugaan ketakjelasan sikap Presiden ini tentunya patut

diduga adalah sumbangsih dari beban politik yang terlalu kuat mendera Presiden Jokowi.

Padahal, sebagai pemilik suara dengan dukungan terbanyak pada pemilihan umum lalu,

Presiden Jokowi harusnya jauh lebih pede dalam bertindak.

Sekadar mengingatkan, posisi yang menjadi prahara ini juga diakibatkan ketakjelasan

Presiden dalam menentukan posisi kepala Polri. Ketidakcermatan Presiden Jokowi dalam

memilih kapolri, sedikit-banyak, telah mengakibatkan posisi mengunci saat ini. Kelambanan

sikap, telah memberikan implikasi yang tidak kecil.

Dan inilah harga besar yang harus dibayarkan. Keberpihakan Jokowi pada kepentingan

partai, telah memberikan label harga yang teramat tinggi, sangat mahal. Dapat dibayangkan,

andai sedari awal Presiden Jokowi bersikap tegas dengan usulan pengajuan Budi Gunawan

yang lebih mendapatkan restu politik dibanding restu publik, maka sebagian besar kisruh

yang ada sekarang ini tidak akan terjadi. Faktor penyebab dari berbagai posisi yang membuat

saling mengunci ini menjadi hilang. Lagi-lagi, akibatnya adalah harga mahal dan kemudian

posisi yang sudah semakin sulit.

Jika dikembalikan ke berbagai pidato dan janji kampanye yang dilakukan oleh Presiden

Jokowi ketika menjadi kontestan pemilu untuk memenangkan hati rakyat Indonesia, rasanya,

Jokowi telah terlampau laju meninggalkan janji tersebut.

Belum kering sesungguhnya ludah yang diucapkan Jokowi ketika dengan lantang

mengatakan bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia hanya akan

bekerja untuk dan atas nama rakyat. Hanya akan tunduk pada kehendak konstitusi dan

kehendak rakyat Indonesia. Tidak ada yang selain itu.

Dalam konteks inilah lecutan peringatan dan terapi kejut mesti diberikan kepada Presiden

Jokowi untuk segera siuman dalam kerja yang sudah menjauh dari suara konstitusi dan

kehendak rakyat secara hukum dan moral. Ia harus mengembalikan esensi awal dalam tunduk

pada kata rakyat dan bukan kata partai politik. Dan ketika mampu berdiri tegak di hadapan

partai politik dan mengatakan lantang akan keinginan untuk mengikuti kehendak rakyat, saya

yakin, kejelasan tindakan akan kembali hadir.

Kejelasan yang akan menyelesaikan perkara. Bentuk tim independen yang akan

menyelesaikan perkara-perkara kriminalisasi ini. Lalu jalankan rekomendasinya agar

penyelesaiannya menjadi mudah. Dan dalam hal itu juga segera tegakkan moralitas konstitusi

dengan mencari kapolri yang bukan tersangka kasus korupsi.

Serangkaian kerja yang sebenarnya bukan hanya berguna untuk rakyat Indonesia dan masa

depan Indonesia, tetapi juga untuk diri dan masa depan Presiden Jokowi sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan.

127

ZAINAL ARIFIN MOCHTAR

Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

128

Pelemahan KPK Koran SINDO 28 Januari 2015

Bangsa Indonesia sepakat bahwa institusi hukum di Indonesia harus kuat dan berwibawa,

termasuk Polri dan KPK. Karena itu, kita mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang

membentuk tim independen dalam menyikapi kisruh KPK dan Polri.

Modal dasar tim independen ini karena berisikan tujuh orang yang memiliki rekam jejak baik

dan tepercaya yang dimotori oleh Profesor Jimly Asshiddiqie. Melalui tim independen ini

diharapkan ada solusi tuntas dari permasalahan pelik ini dengan mempertimbangkan suara

publik. Kita meyakini kenegarawanan semua anggota tim. Namun, hal yang juga mesti

disadari bahwa publik semakin merasa baik secara kebetulan atau memang diskenariokan,

upaya pelemahan terhadap KPK itu semakin nyata.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kondisi sekarang mengganggu misi pemberantasan

korupsi di negeri ini. Sejak awal penetapan calon Kapolri sebagai tersangka,13 Januari 2015,

saya sudah “ngeri-ngeri sedap” sekaligus khawatir akan terjadi apa-apa dengan KPK.

Bayangkan saja, sosok luar biasa sekaliber Komjen BG yang bakal memimpin institusi

tertinggi Polri, terjegal oleh KPK yang dalam kondisi normal hanya beranggotakan lima

orang. Status itu disandang hanya sehari menjelang tes kelayakan di DPR.

Jangankan Komjen BG, publik juga tersentak dengan peristiwa yang mungkin pertama kali di

dunia calon kepala polisi negara berstatus tersangka. Hancur sudah reputasi Komjen BG yang

sudah dibangun sejak lama, sosok perwira Polri yang dinilai brilian. Logika manusia biasa,

pastilah akan ada perlawanan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Perlawanan itu

dapat oleh yang bersangkutan ataupun dilakukan para pendukungnya dengan berbagai cara

yang terkadang tidak terkira.

Serangan terhadap KPK

Mungkin hanya kebetulan saja, namun faktanya sejak penetapan status tersangka terhadap

calon “orang nomor satu” di Polri, episode teror terhadap KPK dimulai. Babak pertama

beredar foto mesra Abraham Samad dengan Puteri Indonesia 2014 Elvira Devinamira.

Pelemahan terhadap KPK terjadi ketika sidang paripurna DPR, menyetujui penundaan

pemilihan pemimpin KPK pengganti Busyro Muqoddas. Pemilihan akan dilakukan

bersamaan dengan penggantian empat komisioner KPK lain pada akhir 2015. Putusan ini

memengaruhi kinerja KPK karena pimpinan tinggal empat orang saja dalam keadaan yang

rentan.

129

Serangan berikutnya ketika diajukannya gugatan praperadilan penetapan tersangka Budi

Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal ini dilanjutkan dengan melaporkan

pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung karena menilai penetapan tersangka Budi tidak sah

lantaran tidak ditandatangani seluruh pimpinan yang bersifat kolektif itu. Bukan itu saja,

pimpinan KPK dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Mereka dituding membocorkan rahasia

negara, berupa hasil penelusuran PPATK terhadap rekening Budi dan keluarganya, serta

mencemarkan nama baik.

Publik juga dikagetkan dengan langkah Pelaksana Tugas (Plt.) Sekjen PDIP Hasto

Kristiyanto yang melakukan jumpa pers dan membeberkan bahwa ada dendam pribadi

Abraham Samad terhadap Budi Gunawan. “Yang menggagalkan saya jadi cawapres adalah

Pak Budi Gunawan. Ada saya dan ada saksi di situ,” ujar Hasto menirukan ucapan Samad.

Sulit untuk tidak menyatakan tindakan ini sebagai serangan terhadap KPK. Luar biasa

implikasinya terhadap KPK ketika Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim dengan

cara diborgol oleh belasan polisi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Memang

akhirnya Bambang Widjojanto ditangguhkan penahanannya Sabtu (24/1) dini hari, namun

tetap berstatus sebagai tersangka.

Tidak berhenti di situ, serangan terbaru kepada KPK dengan cara mengkriminalisasi para

komisioner lain. Setelah BW ternyata tiga komisioner tersisa, yaitu Adnan Pandu Praja,

Abraham Samad, dan Zulkarnaen juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Abraham Samad,

misalnya, dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang KPK.

Adnan Pandu Praja dituduh memalsukan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy

Timber.

Alternatif Solusi

Seperti biasa, dalam banyak kejadian di negeri ini terhadap persoalan ruwet semacam

gesekan KPK dan Polri ini, ada saja yang ngeles, berargumentasi, atau malah saling

melempar bola panas. Prosesnya seperti “berputar-putar” bagai tak berujung, tak

berkesudahan.

Jika nanti rakyat bersatu langsung diberi label “ikut-ikutan saja” atau malah dianggap rakyat

yang tidak jelas. Padahal, rakyat hanya ingin isu pokok pemberantasan korupsi tidak boleh

melenceng.

Memang kini problemnya sudah sedemikian runyam. Seandainya saja pengisian jabatan

publik, apalagi sekaliber kepala Polri, secara konsisten dilakukan secara transparan dan

akuntabel, pastilah kejadian semacam ini bisa terhindarkan. Sudah benar dan publik berharap

banyak di saat penunjukan para menteri Kabinet Kerja dengan melibatkan PPATK dan KPK.

Ada yang berpandangan, salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan adalah

Presiden mencalonkan kepala Polri baru.

130

Polri jelas institusi yang sangat diperlukan selama negara ini ada. Hajat hidup orang banyak

bukan hanya soal pemberantasan korupsi semata, juga terkait dengan keamanan dan

ketertiban masyarakat yang juga parah kondisinya.

Solusi apa pun yang diambil harus juga dengan semangat tidak untuk menjatuhkan institusi

Polri yang sangat ditentukan siapa pimpinan tertingginya. Persoalan bertambah pelik jika

tetap dipaksakan untuk melantik Komjen BG dalam kondisi yang sangat tidak

menguntungkannya dan institusi Polri.

Memang ada yang menyayangkan jika sampai BW mengundurkan diri dari KPK. Walaupun

bagi paham legalistik, kemunduran BW justru dalam rangka mematuhi undang-undang. Pasal

32 ayat (2) menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya

dikarenakan menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Dalam Pasal 32 ayat (3) UU KPK

ditegaskan bahwa pemberhentian sementara itu ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Apa pun solusi yang diambil, mestinya kita semua menyadari bahwa musuh bersama bangsa

ini adalah korupsi, bukan malah Polri dan KPK terus bersengketa beserta masing-masing

pengikutnya. Mestinya kita tidak menjadi lengah karena isunya cenderung beralih dari

pemberantasan korupsi menjadi sengketa antardua lembaga.

Bangsa ini harus fokus dengan esensi masalah, bukan malah menghabiskan energi sia-sia

terhadap isu yang sengaja dialihkan. Perlawanan para koruptor menjadi sempurna setelah

pelemahan terhadap KPK semakin nyata.

PROF AMZULIAN RIFAI, PhD

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

131

Memudarnya Pesona Bintang Koran SINDO 28 Januari 2015

Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 100 hari.

Ibarat pesawat, fase take off kerap membuat para penumpangnya waswas. Keselamatan,

kenyamanan, dan sampai tidaknya ke tujuan sangat ditentukan oleh peran dan tanggung

jawab pilot bersama seluruh awak kabinnya. Pun demikian dengan bangsa besar bernama

Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi, rising star yang dimandati kekuasaan hingga lima

tahun mendatang.

Seratus hari bukanlah indikator yang pas untuk menyimpulkan sukses tidaknya

pemerintahan. Tetapi fase awal ini sangat krusial untuk menandai orientasi kekuasaan

Jokowi. Percayakah publik akan kepiawaian Jokowi dalam mengelola tekanan? Tentu ini

ujian awal yang bisa diberi nilai oleh khalayak guna menguatkan dukungan atau menjadi

awal memudarnya pesona sang bintang.

Nalar Kritis

Hal menarik untuk diperhatikan dalam 100 hari Jokowi memerintah adalah arus balik media

massa; dan media sosial menjadi kanal saluran kritik terhadap penguasa.

Cukup lama Jokowi menjadi media darling. Sejak menjadi wali kota Solo sosoknya impresif

menghiasi bingkai berita positif media. Semakin kinclong dan kian memesona di pasar

pemilih saat Jokowi mendapatkan panggung istimewa di Pilkada DKI 2012. Inilah lompatan

karier politik Jokowi yang signifikan, karena dari Jakartalah sosok Jokowi memancar terang

lewat beragam media yang mengidolakannya. Jokowi pun benar-benar menjadi Indonesian

Idol saat memenangi kontes lima tahunan dan melenggang menuju kursi RI-1 dengan liputan

media yang gegap gempita.

Banyak media yang larut dalam euforia pemilu, dan larut pula dalam arus besar dukungan

kepada kedua kontestan, termasuk gegap gempitanya dukungan pada sosok Jokowi. Jokowi,

yang tampak populis, memang memudahkan aspek resonansi media, wajar jika konstruksi

realitas media turut menghadirkan kebintangan Jokowi di semua lapisan masyarakat.

Kini, setelah 100 hari, media massa mulai banyak yang memosisikan diri dalam fungsi

sejatinya, yakni sebagai kekuatan kontrol sosial. Jagat politik yang keruh dan kisruh akibat

konflik KPK vs Polri menjadi contoh nyata kebutuhan kita akan institusi media yang mampu

mengabarkan, bukan mengaburkan. Media dengan spirit jurnalisme, bukan media

propagandis.

132

Risiko Jokowi sebagai penguasa memang akan diingatkan banyak orang. Wujud kepedulian

rakyat kepada pemimpinnya adalah melalui kritik dan masukan, agar penerima mandat tak

tersesat di labirin kekuasaan. Di banyak sejarah kekuasaan, banyak pemimpin gagal karena

kerap berkeinginan menyenangkan semua orang.

Banyak yang memprediksi bulan madu Jokowi dengan rakyat akan berjalan cukup lama,

tetapi realitas politik menghadirkan turbulensi lebih dini. Faktor yang membuat pesona

bintang Jokowi mulai memudar di 100 hari pertamanya adalah kualitas proses pengisian

jabatan. Kasatmata terbaca publik, betapa derasnya tekanan, terutama dari mereka yang

merasa menjadi “investor” atau “pemegang saham”, di kekuasaan.

Saat Jokowi menawarkan konsep koalisi tanpa syarat di masa kampanye, hal ini menjadi oase

di tengah kegersangan politik pragmatis dan memicu dukungan meski sebagian kelompok

kritis skeptis atas niat Jokowi tersebut. Publik menuntut diterapkannya sistem meritokrasi

dalam pengisian jabatan-jabatan publik sehingga pemerintahan Jokowi tak tersandera oleh

sejumlah orang bermasalah.

Publik merespons positif saat Jokowi meminta masukan KPK dan PPATK dalam pengisian

pos-pos kementerian, meskipun sesungguhnya hal tersebut hak prerogatif Presiden.

Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi saat pemilihan Jaksa Agung dan mengalami

antiklimaks waktu mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon

tunggal kepala Polri.

Guliran isu seputar pengisian jabatan ini memantik ketidakpuasan pada peran Jokowi yang

sesungguhnya telah dipercaya mengemban amanah kekuasaan. Publik yang menyalurkan

nalar kritisnya lewat media mulai “menggugat” kemampuan dan daya tahan Presiden sebagai

pemimpin sejati (the real leader) sekaligus pengambil risiko (risk taker).

Tak dinafikan, salah satu kekhawatiran publik pada sosok Jokowi saat kampanye adalah

kesungguhannya keluar dari bayang-bayang Megawati dan juga elite parpol yang menjadi

pengusung Jokowi-JK saat pilpres. Karenanya, hal yang mestinya diperlihatkan Jokowi di

awal kekuasaannya adalah pembuktian nyata bahwa dirinya tak tersubordinasi siapa pun dan

pihak mana pun.

Media pun sangat tajam mengkritik blunder sejumlah orang di lingkaran Jokowi. Misalnya

yang terhangat adalah pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang

menyangsikan kelompok-kelompok yang mendukung KPK. Orang-orang kunci di sekitar

Jokowi harusnya piawai menjadi pengurai masalah (problem solver) di tengah ketegangan-

ketegangan yang mengemuka.

Peran Media

Masih ada waktu bagi Jokowi untuk berbenah dan mendengarkan suara rakyat, salah satunya

yang tergambar di media massa. Jalan terjal dan bising ini harus dikawal lewat

133

fungsionalisasi media sebagai ruang publik demokratis. James Curran dalam The Liberal

Theory of Press Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat

diperankan oleh jurnalis dalam upaya pengembangan demokrasi.

Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian,

media menjadi ruang publik demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di

masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar berlebihan. Kedua, media dapat

mengartikulasikan pendapat umum. Dalam konteks ini, ada upaya menyistematisasikan

berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu

penyikapan yang jelas dan terarah.

Ketiga, media memaksa pemerintah Jokowi mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan

dikehendaki oleh rakyat. Keempat, media bisa mendidik warga negara untuk dapat memiliki

informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan.Ini artinya, media harus turut serta

dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warga negara.

Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang

memiliki kepentingan berbeda-beda. Keenam, media dapat membantu individu- individu

melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.

Beragam kritik yang difasilitasi media massa dan juga media sosial di 100 hari pertama

Jokowi bisa jadi mulai memudarkan pesona kebintangannya. Tetapi, harusnya hal ini

dimaknai positif, yakni Jokowi harus bangkit dan menunjukkan kapasitasnya sebagai

pemimpin yang mampu merawat harapan publik. Jokowi kini mengayuh di tengah banyak

tekanan dan punya kewajiban untuk membuktikan pada sejarah republik ini, layakkah dia

mendapat bintang.

DR GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN

Jakarta

134

Bukan Sekadar Oknum Koran SINDO 28 Januari 2015

Dalam beberapa minggu terakhir ini dunia politik kita memanas akibat timbulnya perseteruan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Pendapat umum menyimpulkan bahwa perseteruan ini adalah ulah oknum dan bukan

lembaga. Oleh sebab itu dalam wilayah media sosial, masyarakat mendorong kampanye

untuk menyelamatkan tidak hanya KPK, tetapi juga Polri dalam bentuk #saveKPK dan

#savePolri.

Tanpa mengurangi penghargaan atas advokasi yang dilakukan masyarakat terhadap dua

institusi penegak hukum yang sangat kita hormati ini, konflik antar kedua institusi penegak

hukum ini harus menjadi peringatan dini bagi kita. Bahwa masih ada masalah dalam upaya

menguatkan lembaga penegakan hukum secara keseluruhan dan khususnya upaya

pemberantasan korupsi. Keberadaan KPK yang awalnya sebagai pelengkap dari institusi

penegakan hukum yang sudah ada ternyata telah berkembang menjadi kompetitor dari

institusi lain.

Kita perlu mengakui bahwa masalah korupsi sudah menjadi kanker di dalam lembaga

penegakan hukum kita. Korupsi memang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di

negara-negara lain seperti di Benua Amerika dan Eropa. Hal yang membedakannya adalah

bahwa korupsi di negara-negara yang sistem hukumnya sudah mapan dan kuat dilakukan

sebagian besar oleh individu atau kelompok (alias oknum), sementara di negara berkembang

seperti Indonesia, korupsi dilakukan secara melembaga. Berdirinya KPK dan legitimasi yang

diperolehnya dari masyarakat adalah buah dari kinerja KPK yang baik, tetapi sayangnya

secara tidak langsung juga mengurangi penghargaan atas institusi lain, khususnya kepolisian.

Permasalahannya, apa yang telah dilakukan dengan baik oleh KPK ternyata tidak otomatis

mendorong instansi lain untuk melakukan hal serupa. Sebaliknya lembaga lain menganggap

KPK sebagai ancaman dan kompetitor. Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan

kompetisi ini akan terus terjadi?

Semakin tingginya tuntutan pertumbuhan ekonomi dan semakin besarnya arus investasi yang

akan masuk ke Indonesia, peluang terjadinya korupsi baik di pusat maupun daerah juga akan

semakin terbuka. Apabila tidak ada perbaikan dalam institusi penegakan hukum kita, konflik-

konflik seperti ini terbuka untuk terjadi kembali di masa depan.

Apakah kompetisi ini harus berakhir sampai satu institusi terdominasi oleh institusi lain?

135

Berapa biaya sosial yang akan ditimbulkan dari konflikkonflik yang terjadi nanti? Pertanyaan

ini mungkin perlu dijawab melalui kajian ilmiah dengan berbagai pendekatan yang

komprehensif, terutama tentang keberadaan institusi kepolisian yang memiliki kewenangan

dan wilayah operasi yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai sebuah institusi yang telah berdiri bersamaan dengan berdirinya republik ini,

reformasi di dalam tubuh kepolisian tidak hanya dapat mengandalkan atau mengharapkan

polisi yang bersih, tetapi juga perlu membersihkan lingkungan di dalam tubuh lembaga itu

sendiri. Lingkungan yang dimaksud adalah praktik, kebiasaan, norma, nilai, kepemimpinan,

struktur organisasi, atau pengawasan.

Usaha untuk menciptakan lingkungan yang bersih di dalam sebuah organisasi sangat berbeda

antara satu dengan yang lain. Organisasi seperti lembaga kepolisian tidak dapat disamakan

dengan organisasi lain seperti departemen atau perusahaan. Organisasi kepolisian adalah

sebuah institusi yang memiliki sebuah hierarki dengan distribusi kekuasaan atau kewenangan

yang jelas dan sulit untuk ditentang (challenged).

Sifat alamiah organisasi kepolisian yang tidak egaliter membutuhkan sebuah intervensi

pemberantasan korupsi yang khusus. Teori sosial dominasi sebagai contoh menjelaskan

bahwa seseorang yang berdiri di puncak organisasi cenderung menjadi tidak terlalu peduli

dengan praktik korupsi. Hal ini terjadi karena ia memiliki perasaan sebagai bagian dari

kelompok yang kuat, dengan kekuatan yang lebih besar dan kecenderungan untuk melakukan

subordinasi pihak lain sesuai dengan sifat dari organisasi yang membutuhkan hierarki ketat.

Intervensi untuk membersihkan organisasi yang memiliki hierarki ketat seperti ini

mempersyaratkan perlunya perbaikan sejak awal, terutama dari rekrutmen, pendidikan dasar

hingga jenjang pendidikan kepemimpinan. Contohnya, di tengah masyarakat masih

berkembang keyakinan bahwa mendaftarkan diri menjadi aparat keamanan baik TNI maupun

kepolisian membutuhkan uang pelicin agar dapat diterima di akademi. Secara ekonomis, hal

ini menciptakan motivasi bagi para kadet untuk melakukan korupsi ketika telah bekerja agar

dapat mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dan secara moril mereka juga sudah tidak

melihat lembaga penegakan hukum sebagai organisasi yang ideal.

Selain perbaikan internal, lingkungan eksternal yang terkait dengan penegakan hukum juga

menyumbangkan atau mendorong praktik korupsi. Misalnya, dalam beberapa kasus, polisi

bekerja keras dalam mengembangkan penyelidikan sebuah kasus. Mereka melakukan

pengintaian berhari-hari, menyamar, mengumpulkan bukti-bukti dan menyusunnya agar

sesuai dengan berkas yang diperlukan kejaksaan.

Pada saat sampai di pengadilan, kasus tersebut kemudian dimentahkan atau bahkan

terdakwanya dapat bebas karena korupsi yang terjadi di antara para hakim. Kasus-kasus

demikian yang secara tidak langsung membuat demoralisasi anggota kepolisian yang terlibat

dalam kasus tersebut.

136

Uraian di atas hanyalah puncak dari gunung es masalah yang terdapat di dalam lembaga

penegakan hukum kita. Penyelesaian dari masalah-masalah tersebut perlu dilakukan melalui

sebuah rangkaian yang konstruktif dan sistematis. Kita berharap tidak hanya dapat memiliki

pejabat penegakan hukum yang bersih, tetapi juga lingkungan yang bersih yang diupayakan

secara bertahap.

Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara perlu mengupayakan agar kinerja lembaga

penegakan hukum dapat kembali menjadi saling melengkapi ketimbang saling

berkompetisi. Pemerintah perlu menyiapkan secara lebih detail rencana reformasi penegakan

hukum yang tampaknya lebih sulit ketimbang agenda reformasi birokrasi lainnya.

Problem KPK vs Polri ini ternyata cukup menarik bagi para indonesianis alias ilmuwan yang

mengamati Indonesia. Yang mereka soroti adalah terobosan kelembagaan dan

kepemimpinan. Untuk itu, jangan heran bila tanggapan atas problem KPK vs Polri ini

kemudian membuka peluang kerja sama capacity building dari negara donor. Pertanyaannya,

seberapa serius kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia bergerak memperbaiki sistem?

Atau kita cenderung merasa tidak berdaya dan menunggu inisiatif dari presiden atau

pendonor?

Semoga ulasan di atas mengingatkan kita akan pentingnya kontribusi kita sebagai warga

negara dalam menjaga suasana lingkungan ”bersih korupsi” dan konsisten menindak siapa

pun yang berniat melakukan atau melanggengkan praktik curang yang merugikan para

pembayar pajak.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

137

Selamat(kan) Jalan KPK (5) Koran SINDO 29 Januari 2015

Terakhir kalinya saya menulis dengan judul serupa di harian ini pada 8 Oktober 2012. Secara

sengaja, tulisan tersebut dipicu oleh upaya penangkapan salah seorang penyidik Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Novel Baswedan.

Tidak bisa dipastikan, apakah karena hendak melihat perlawanan terbuka kepolisian pada

KPK atau memang bermaksud hendak melindungi lembaga antirasuah ini, masyarakat sipil

berduyun-duyun hadir di Gedung KPK sejak Jumat malam sampai Sabtu menjelang subuh (5-

6/10/2012). Ketika itu, dengan modal “surat perintahan penangkapan” dan “surat perintah

penggeledahan”, sejumlah polisi hadir di Gedung KPK dengan tujuan menangkap Novel

Baswedan.

Alasan mereka, penyidik KPK yang menjadi figur penting di balik peristiwa penggeledahan

Kantor Korps Lalu Lintas dinyatakan terkait tindak kriminal semasa bertugas di Polda

Bengkulu. Sesuatu yang sulit dimengerti karena kejadian yang dipakai sebagai alasan

berlangsung sekitar delapan tahun sebelum upaya penangkapan Novel Baswedan (KORAN

SINDO, 8/10/2012).

Kini, sejak perlakuan “tidak senonoh” kepolisian kepada Wakil Ketua KPK (23/1), judul ini

relevan ditulis kembali. Paling tidak, melacak perkembangan dalam beberapa hari terakhir,

pertanyaan ihwal masa depan KPK hampir pasti menghinggapi mayoritas kalangan yang

selama ini berharap banyak dari sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi.

Pertanyaan serupa makian relevan karena KPK dapat dukungan konkret hanya dari

masyarakat sipil. Banyak pihak yakin yang terjadi setelah penetapan Komjen Pol Budi

Gunawan sebagai tersangka tak hanya upaya pelemahan, tetapi mungkin saja berujung pada

penghancuran KPK.

Lebih Sistemik

Jikalau ditelisik perkembangan KPK, sulit dibantah lembaga ini nyaris tidak pernah sepi dari

upaya pelemahan. Salah satu upaya tersebut adalah konsisten membangun opini, KPK adalah

badan ad-hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dalam “Selamat(kan) Jalan KPK (2)“

dikemukakan, opini begitu membuat KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadang laju

praktik korupsi yang kian masif. Ibarat petinju, selama bertanding, KPK lebih fokus bertahan

di pojok ring sembari memasang double cover menghadapi serangan pihak-pihak yang

dirugikan (KORAN SINDO, 28/11/2011).

138

Lebih lanjut dikemukakan, sejak terbentuk, serangan kepada KPK beruntun dan seperti tidak

ada matinya. Laksana digerakkan dan dirancang oleh kekuatan yang tidak bisa terpantau

dengan mata telanjang, serangan mematikan terhadap KPK benarbenar bergelombang dan

datang dari semua penjuru mata angin. Serangan tersebut tak hanya datang dari berbagai

pihak di Gedung DPR, tetapi juga dilakukan oleh lembaga negara yang harusnya seayun-

selangkah dengan KPK dalam melawan korupsi. Bahkan dilihat dari pola yang lebih

sederhana, upaya pelemahan KPK dapat dibaca dengan munculnya ancaman berkelanjutan

dengan cara keinginan menarik kembali para penyidik KPK.

Kendati demikian, dalam tenggat waktu lebih dari 11 tahun kehadirannya, KPK mampu

bertahan di tengah gelombang pelemahan tersebut. Salah satu buktinya, ketika dilakukan

serangan mendadak kepada Novel Baswedan, KPK tidak mengalami guncangan dan nyaris

tidak terpengaruh. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, dukungan publik makin mengental

pada KPK.

Boleh jadi, dukungan sepanjang upaya kriminalisasi kepada Novel Baswedan merupakan

salah satu ekspresi paling nyata kemarahan publik kepada pihak-pihak yang hendak

melemahkan KPK. Meski begitu, peristiwa pascapenetapan Budi Gunawan sebagai tersangka

dapat dibaca sebagai ancaman yang paling serius.

Kalau selama ini upaya pelemahan KPK hanya di pinggiran, penangkapan Bambang

Widjojanto (BW) menjadi bentangan empirik bahwa serangan dilakukan langsung ke jantung

pertahanan KPK. Pada batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa BW mirip dengan yang

dialami Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah. Bedanya, ketika itu dua pimpinan KPK yang

dijadikan tersangka, tetapi sekarang hanya BW. Sekalipun hanya seorang, perlakuan polisi

sangat kasar karena mirip dengan menangkap seorang teroris.

Ibarat serangan bergelombang, status tersangka yang diikuti penangkapan BW dapat dibaca

sebagai langkah awal untuk terus melumpuhkan jantung pertahanan KPK. Buktinya, tidak

perlu menunggu perubahan minggu, beberapa pimpinan KPK yang lain juga sedang

menunggu waktu untuk di-BW-kan.

Modusnya sama, polisi menindaklanjuti laporan terhadap indikasi tindak pidana yang

dilakukan masing-masing pimpinan KPK. Lihat saja, tiba-tiba muncul laporan terhadap

Abraham Samad, Adnan Pandu Pradja, dan Zulkarnaen. Dengan gejala tersebut, status

tersangka terhadap tiga pimpinan KPK yang lain hanya tinggal masalah waktu. Artinya, kali

ini serangan kepada KPK jauh lebih sistematis dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.

Langkah Penyelamatan

Di tengah situasi kritis yang menimpa KPK saat ini, pilihan yang tersedia menjadi sangat

terbatas yaitu menyelamatkan KPK atau membiarkan lembaga ini terkapar tak berdaya. Kalau

pilihannya jatuh pada opsi kedua, kita harus bersiap mengucapkan innalillahi wa inna illaihi

rojiun atau rest in peace.

139

Artinya, bilamana opsi kedua yang terjadi, negeri ini mengulangi kembali sejarah terkaparnya

dan matinya lembaga-lembaga khusus yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Akankah

KPK akan masuk ke dalam alur hukum besi sejarah yang terus berulang (l’histoire se reacute

pegravete)?

Agar opsi kedua tidak benar-benar terjadi, segala macam langkah darurat perlu dilakukan

untuk menyelamatkan KPK. Sebagai sebuah lembaga, di dalam situasi darurat seperti saat ini,

keberlangsungan KPK sangat ditentukan oleh komitmen memberantas korupsi. Sekiranya

negeri ini masih ingin diselamatkan dari jebakan korupsi, pimpinan tertinggi (baca; Presiden

Joko Widodo) harus mampu mengendalikan keadaan.

Langkah nyata yang harus dilakukan adalah memerintahkan kepolisian menghentikan

tindakan yang berpotensi melumpuhkan KPK. Sebagai sebuah institusi yang langsung berada

di bawah Presiden, Jokowi jelas memiliki otoritas untuk menghentikan kekisruhan antara

KPK dan kepolisian. Rasanya, bila memberi perintah langsung kepada pelaksana tugas dan

wewenang kepala Polri, tidak mungkin polisi akan meneruskan kekhawatiran berlanjutnya

kegaduhan dengan KPK. Bila perintah itu diberikan, ternyata masih ada upaya meneruskan

kegaduhan, bisa jadi ada upaya insubordinasi di lingkungan internal kepolisian.

Bagaimanapun, sikap tegas Presiden diperlukan untuk menenangkan situasi.

Selain itu, demi proses penyelesaian yang komprehensif, Presiden Jokowi segera

memfasilitasi bekerja tim independen (Tim Sembilan). Berkaca dari pengalaman upaya

penuntasan kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, peran tim independen sangat

diperlukan. Bagaimanapun dalam situasi seperti ini, tekanan dari berbagai pihak termasuk

tekanan politik menjadi sulit dihindari Presiden Jokowi. Karena itu, banyak kalangan

percaya, dengan bekerjanya Tim Sembilan, beban berat yang dipikul Presiden Jokowi bisa

dibagi dan dikurangi.

Secara lebih sederhana, dalam proses penyelesaian masalah ini, Tim Sembilan dapat menjadi

semacan perisai untuk melindungi Presiden. Apalagi, mereka yang tergabung dalam Tim

Sembilan merupakan tokoh yang memiliki reputasi dan kredibilitasnya tidak diragukan.

Di ujung proses, rekomendasi Tim Sembilan akan menjadi langkah penting dan strategis

guna memilih langkah hukum (dan mungkin juga politik) demi menyelesaikan silang-

sengkarut KPK-kepolisian. Terlepas dari kemungkinan rekomendasi yang akan dihasilkan,

kehadiran Tim Sembilan akan menjadi langkah nyata dalam menyelamatkan KPK.

Tanpa langkah ini, bersiaplah mengucapkan selamat jalan kepada KPK. Pertanyaan elementer

yang dapat dikemukakan: bisakah dibayangkan kita mengucapkan innalillahi wa inna illaihi

rojiun atau rest in peace kepada KPK pada saat Jokowi menjadi presiden?

140

SALDI ISRA

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas

Hukum Universitas Andalas, Padang

141

Saatnya Perppu dan Komite Etik KPK Koran SINDO 29 Januari 2015

Polemik KPK-Polri makin menarik dikaji secara hukum. Sebab posisi dilematis secara

hukum, multitafsir soal isi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan berbagai ide terobosan

hukum berwacana di publik. Namun, yang pasti polemik tidak produktif itu harus diakhiri.

Karena masalah hukum, penyelesaiannya pun harus dengan pendekatan hukum.

Saat ini calon Kepala Polri Komjen Budi Gunawan (BG) berstatus tersangka oleh KPK

dengan sangkaan tindak pidana pada 2003-2006 dan mandek pelantikannya. Di sisi lain,

Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto (BW) juga berstatus tersangka kasus saksi palsu di

Mahkamah Konstitusi dari kasus Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Tidak hanya itu,

wakil ketua lain Adnan Pandu Praja juga dalam posisi sebagai terlapor soal memasukkan

keterangan palsu dalam akta otentik untuk sebuah kasus yang ada di Kalimantan Timur.

Zulkarnaen juga dilaporkan untuk kasus suap saat menjadi Kajati Jatim.

Ketiganya dilaporkan untuk kasus yang terjadi saat yang bersangkutan belum menjadi

komisioner. Hanya ketua KPK Abraham Samad yang dilaporkan terkait kasus saat dirinya

menjadi komisioner yaitu kasus dugaan menjual pengaruh sebagai komisioner dalam kasus

kader PDIP Emir Moeis dan kasus tindak pidana pencucian uang.

Belum jelas bagaimana kasus yang dilaporkan untuk Abraham Samad. Namun, sebelumnya

Plt. Sekjen Hasto Kristyanto sempat membeber ada pertemuan sampai enam kali dengan

Ketua KPK Abraham Samad yang ingin menjadi wakil presiden dengan menunjukkan

perannya telah memperingan hukuman kader-kader PDIP yang terkena kasus korupsi.

Di sisi lain, isu soal rekening gendut itu bukanlah hanya menimpa BG. Masih ada banyak

petinggi Polri juga diduga terlibat rekening gendut. Kalau semua itu juga dijadikan tersangka

oleh KPK, akan semakin heboh. Republik ini makin gaduh.

***

Melihat hal ini, sudah saatnya dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang

(perppu) oleh Presiden Jokowi. Posisi saat ini secara kondisi objektif sudah memenuhi syarat

kondisi kegentingan yang memaksa dalam program penegakan hukum. Ada dua institusi

penegak hukum yaitu Polri dan KPK dalam masalah di pucuk pimpinannya.

Hanya, bukan perppu untuk imunitas komisioner KPK seperti yang banyak didengungkan

oleh beberapa kalangan. Justru perppu yang harus dibuat adalah perppu yang mengatur

percepatan pergantian semua komisioner KPK di UU No. 30 Tahun 2002 dan perppu tentang

142

mekanisme pergantian kepala Polri yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002.

Mekanisme penggantian yang dipercepat justru akan jauh lebih menyehatkan daripada

membiarkan KPK ditangani oleh komisioner yang cacat dan bermasalah secara hukum.

Perppu untuk UU KPK berisi tentang ketentuan percepatan pembentukan panitia seleksi,

mekanisme mengisi kekosongan komisioner agar tetap berjumlah lima orang.

Selain itu, pengaturan soal penyadapan, pembentukan lembaga pengawas juga bisa

dimasukkan dalam perppu tersebut. KPK sudah saatnya sebagai lembaga superbodi juga

memiliki lembaga pengawas agar kinerjanya tetap profesional dan fokus sebagai penegakan

hukum yang ad hoc.

Di sisi lain perppu terkait UU Polri juga mengatur mekanisme pembatalan keputusan DPR

yang telah menyetujui kepala Polri yang dipilih Presiden sehingga ada mekanisme untuk

penggantian calon kepala Polri yang telah ditetapkan DPR.

Selain itu, KPK juga harus segera membentuk Komite Etik. Ada beberapa kesalahan

mendasar yang dilakukan ketua KPK. Seperti yang dituduhkan Plt. Sekjen PDIP Hasto

Kristyanto itu sangat mendasar sekali.

Kesalahan yang kedua adalah sikap tiga komisioner KPK (Abraham Samad, Zulkarnaen, dan

Adnan Pandu Praja) yang mengambil sikap menolak pengunduran diri BW sesuai perintah

UU KPK. Tidak ada kewenangan dari tiga pimpinan tersebut untuk menolak atau menerima

pengunduran diri tersebut. Karena itu perintah UU yang harus dijalankan. KPK adalah

pelaksana UU, bukan pembuat UU sehingga tidak bisa menjadikan dirinya bebas menafsirkan

sendiri isi UU. Berhenti sementara atau berhenti tetap adalah aturan yang tegas diatur dalam

UU KPK bagi komisioner yang menjadi tersangka atau terdakwa.

Problemnya, apa bisa Komite Etik dibentuk? Sebab yang bermasalah semua

komisionernya. Sementara yang harus berinisiatif membentuk adalah para komisioner itu

sendiri dengan melibatkan tokoh independen. Karena itu, kalau Komite Etik tidak mau

dibentuk dengan alasan subjektif, Perppu UU KPK harus mengatur lembaga pengawas KPK

yang bisa memeriksa secara etik atas penyimpangan perilaku para komisioner.

Jadi perppu tentang UU KPK sangat diperlukan, tetapi bukan untuk perppu meminta

kekebalan bagi komisionernya. Biarlah soal kekebalan menjadi kekayaan budaya spiritual

Nusantara dengan ilmu debus, rawe rontek, ajian pancasona, atau benda-benda unik seperti

besi kuning, rantai babi, kul buntet, dan lainnya. Atau kekebalan untuk kepentingan

kesehatan seperti vaksinasi dan imunisasi. Untuk hukum, tetaplah semua orang sama di depan

hukum (equality before the law).

GEDE PASEK SUARDIKA SH MH

Anggota DPD RI; Sekjen Pimnas PPI

143

Demagog Koran SINDO 29 Januari 2015

Di tengah kesibukan para aktivis, tokoh-tokoh masyarakat, rakyat, dan para pendukung

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyelamatkan lembaga anti-rasuah itu, seorang

mantan jenderal berbintang empat, Hendropriyono, menyebut mereka sebagai

demagog. Tuduhan yang lain juga dilontarkan oleh Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijatno

bahwa para pendukung #SaveKPK adalah rakyat tidak jelas.

Secara politik, ‘demagog’ dapat diartikan sebagai penggerak atau pemimpin yang memiliki

kepandaian menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh dukungan,

simpati, bahkan kekuasaan.

Memaknai dukungan masyarakat sipil untuk menyelamatkan penghancuran KPK oleh

kolaborasi “para penguasa” yang zalim dengan tangan-tangan terampil dari kepolisian

sebagai demagog adalah sebuah penghinaan. Itu dapat pula dianggap sebagai teror dari

orang-orang yang dekat dengan para penguasa.

Sebutan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan secara epistemologi mencerminkan watak

dan laku seseorang serta pendekatan yang “biasanya” diterapkan dalam menyelesaikan suatu

masalah. Cermin itu juga dapat ditafsir sebagai pola berpikir seseorang dalam menghadapi

suatu masalah.

Lebih jauh dari itu, pemakaian istilah ‘demagog’ juga berlawanan dengan prinsip

demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia meniscayakan ada partisipasi

rakyat dan peran rakyat untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintahan. Partisipasi dan

peran rakyat dalam proses pengambilan keputusan serta “kekuatan opini dan partisipasi”

untuk mengubah kebijakan pemerintah yang salah bukan sebuah penyimpangan, melainkan

sebagai sebuah keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kerangka seperti itu, demokrasi memberi nilai dan keadaban bahwa pemerintah yang

dikoreksi kebijakannya karena “kurang tepat,” keliru, atau bertentangan dengan kepentingan

publik bukan sebuah kehinaan. Sebaliknya, rakyat yang berhasil memengaruhi perubahan

kebijakan bukan sebuah kejemawaan. Kedua-duanya dapat menemukan nilai saling menjaga

dan saling menghindarkan bangsa dan negara dari bencana dan bahaya. Itulah nilai dan

prinsip yang seharusnya dapat dimengerti oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya atau

orang-orang yang dekat dengannya.

***

144

Menuduh tokoh-tokoh yang hadir di Gedung KPK dalam rangka menyelamatkan institusi

KPK dari pelemahan, penghancuran, dan pengerdilan oleh “orang-orang yang berkuasa”

sebagai ‘rakyat tidak jelas’ adalah kepongahan kekuasaan. Lebih dari itu, pola tingkah

Menkopolhukam seperti itu dapat ditafsir mewakili penguasa yang berwatak “bengis” seperti

para penguasa era Orde Baru.

Kita masih ingat, era Orde Baru, para penguasanya dengan mudah menuduh rakyat kritis,

yang tidak sependapat dengan penguasa, sebagai PKI, pemberontak, ekstrem kiri dan kanan,

serta tuduhan-tuduhan lain yang lebih mengerikan. Bukankah cara berkuasa seperti itu sudah

dikoreksi, sudah ditentang, agar tidak dihidupkan kembali, apalagi digunakan sebagai sebuah

metode untuk memerintah?

Pelajaran sejarah, perubahan politik dari era otoritarian ke demokratisasi (Era Reformasi)

baru saja berumur hampir 17 tahun, tetapi sudah dilupakan. Era Reformasi antara lain

menghendaki perubahan cara berpikir sebuah perubahan mindset Orde Baru ke cara berpikir

yang demokratis. Ingat, ini Era Reformasi, sebuah era yang dilahirkan sebagai koreksi atas

kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa lalu yang zalim akibat penguasa dapat

berperilaku sewenang-wenang, tidak dapat dikoreksi, dan berwatak otoritarian. Apa bedanya?

Era demokrasi adalah era yang memberikan partisipasi kepada setiap orang untuk

menyuarakan kebebasan dan pendapatnya. Negara memberikan jaminan atas semua itu.

Negara bukan hadir dalam wataknya sebagai leviathan, mirip dengan binatang yang buas dan

“bengis” yang menakuti rakyatnya. Negara justru hadir untuk menegakkan keadilan,

melindungi rakyat yang terzalimi, membela kebenaran dan keadilan.

Negara hadir untuk memberikan kepastian bahwa prinsip-prinsip itu terwujud dalam

hubungan antarinstitusi penegak hukum, hadir pada para pejabat yang diangkat, dan negara

hadir dengan wujudnya yang humanis, dialogis, dan melindungi. Dalam bingkai seperti itu,

negara justru tidak hadir pada saat Bambang Widjojanto ditangkap oleh Kabareskim Polri.

Justru rakyat biasa, rakyat sipil yang tergabung dalam komunitas masyarakat, yang bertekad

menyelamatkan KPK dari kelumpuhan agar pemberantasan korupsi tidak terganggu, disebut

demagog .

Para netizen itu hanya menggugah kesadaran civil society karena “tidak hadirnya” peran

negara saat KPK sebagai institusi sekaligus simbol pemberantasan korupsi akan dirobohkan

oleh kekuatan-kekuatan yang berlindung di balik tameng hukum dan penegakan hukum.

Harapan mereka yang berkumpul di Gedung KPK sangat gamblang, menanti sikap Presiden

Jokowi apakah hadir sebagai seorang kepala negara untuk menegakkan prinsip-prinsip negara

berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan membiarkan negara berjalan di atas prinsip

machtsstaat atas dasar kekuasaan belaka.

Mereka menunggu posisi Presiden Jokowi apakah akan berpihak kepada KPK ataukah Polri,

145

atau bersikap “ngambang”. Semua itu terjawab saat Presiden Jokowi memberikan pernyataan

singkat yang justru memicu kekecewaan baru karena sikap dan posisi Presiden dianggap

normatif, tidak menggambarkan sosok Jokowi yang dulu dianggap tegas, cepat, serta berani.

Semua label itu tidak ditemukan pada diri Presiden pada kasus KPK versus Polri Jilid II.

***

Niat yang mulia itu disalahartikan sebagai orang yang menghasut rakyat, dan rakyat tidak

jelas, sungguh pola nalar demikian perlu dibuang jauh-jauh karena nalar seperti itu bukan

yang dikehendaki oleh reformasi. Kita semua perlu khawatir jika Presiden Jokowi justru

dikelilingi oleh para pembantu yang memiliki nalar yang menyimpang dari cita-cita

Reformasi dan cita-cita Nawacita.

Kalau kita menengok ke belakang saat pemilihan presiden yang berlangsung pada 2014,

justru orang tidak jelas dan para demagog itulah pendukung utama Jokowi. Mereka terlibat

sebagai relawan dengan caranya masing-masing. Mereka menghidupkan harapan melalui

jaringan sosial dan media internet, dalam menggelorakan perubahan politik untuk

memenangkan seorang calon presiden.

Sungguh naif kalau mereka sekarang disebut demagog dan orang tidak jelas tatkala tujuan

untuk berkuasa itu telah tercapai.

MOCH NURHASIM

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

146

Kartel Politik dan Posisi Jokowi Koran SINDO 30 Januari 2015

Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan resmi dicalonkan sebagai Kepala

Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapatkan

dukungan penuh dari DPR RI pada tanggal 15 Januari 2015.

Meski pada saat yang bersamaan KPK sudah menyatakan Komjen Pol Budi sebagai

tersangka dalam kasus gratifikasi, parlemen terus melanjutkan proses pencalonan Kapolri

dengan melakukan fit and proper test dan menyetujui pencalonan tersebut dalam sidang

paripurna. Berbagai peristiwa pun berkait kelindan setelahnya.

PDI-P sebagai partai pendukung Jokowi mempertanyakan etika politik Ketua KPK Abraham

Samad dalam pencalonan wapres pendamping Jokowi beberapa bulan lalu. Lalu tanggal 23

Januari 2015 publik dikagetkan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang

Widjojanto oleh penyidik Polri karena terkait dengan sidang pilkada dalam Mahkamah

Konstitusi beberapa tahun lalu, meski kemudian dibebaskan sehari berikutnya.

Media massa serta merta memberi judul pertarungan“ KPK-Polri” terulang kembali dengan

episode yang jauh lebih menarik. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana posisi

Presiden Jokowi dalam menyelesaikan political turmoil ini?

Di tengah rumor yang begitu dahsyat terkait lemahnya posisi Jokowi dalam memutuskan

perkara pencalonan ini, masyarakat tengah menanti keberpihakan Presiden Jokowi dalam

penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks itu, kita akan coba jelaskan fenomena tersebut

dalam kerangka sebuah jebakan bagi pemerintahan Jokowi yang dipersiapkan oleh kartel

partai politik dan kelompok anti-korupsi lainnya. Jebakan ini membuat Jokowi dalam posisi

sulit dalam memutuskan segera dalam pencalonan tersebut.

Kartel Partai Politik

Tema kartel partai politik adalah sebuah diskursus penting dalam referensi partai politik di

dunia di pertengahan dekade 1990-an. Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada

1995 dalam edisi pertama jurnal Party Politics, kedua ilmuwan politik ini beranggapan

bahwa telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan partai politik dari catch-all party menjadi

cartel party.

Dalam tipologi catch-all party, partai merasa harus melakukan banyak perubahan kebijakan

yang efektif untuk merebut suara pemilih dari mana pun. Untuk mencapai tujuan tersebut,

tipe partai ini berkompetisi secara bebas untuk meraih berbagai sumber daya yang beragam

147

dalam masyarakat.

Sedangkan, tipologi cartel party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam

upaya memenangkan partainya dengan berbagai cara apa pun. Di samping itu, partai dalam

tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan sebagai orientasi

kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik menganggap bahwa berada dalam

lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap

partai tersebut rendah. Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga pemerintahan,

dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi keberlanjutan hidup partai

politik.

Adalah Dan Slater (2004) dan Kuskhrido Ambardi (2008) yang menggunakan tesis kartel

partai politik sebagai pisau analisis dalam melihat partai di Indonesia. Dan Slater

mengobservasi berbagai peristiwa politik dalam masa transisi pemerintahan antara 1999-

2002, di mana pergantian pemerintahan (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) adalah sebuah

jebakan dari mekanisme akuntabilitas yang baru digunakan oleh elite politik. Dalam kurun

waktu tersebut, elite politik telah melakukan berbagai manuver dan memaksimalkan jejaring

politik informal dalam merespons berbagai tindakan politik seperti impeachment terhadap

Gus Dur.

Sementara, Ambardi menegaskan dalam observasinya di DPR bahwa tidak ada koalisi partai

politik yang memiliki orientasi ideologi yang jelas. Ikatan di antara partai politik yang

berbasiskan agama, misalkan, sangat lemah dan temporal dalam melihat “Poros Tengah”

pada tahun 1999 dan 2001. Sementara, koalisi besar dari Pemerintahan SBY pun

mempertegas asumsi Katz dan Mair yang menyatakan bahwa partai memilih untuk dekat

dengan negara ketimbang menjadi oposisi.

Jebakan

Berangkat dari pemahaman tentang kartel partai politik dan potret awal yang sudah dilakukan

oleh Slater dan Ambardi, fenomena kekinian yang dialami oleh Jokowi pun tidak bisa

dilepaskan dalam diskusi di atas. Jokowi pun sebenarnya telah sadar akan jebakan yang

disiapkan oleh kartel partai pada pembentukan kabinetnya. Namun pada saat itu, Jokowi lolos

dan mendapat dukungan positif dari publik.

Hal tersebut dimungkinkan karena Jokowi menggunakan “tangan” KPK dan PPATK untuk

melakukan penyaringan terhadap nama-nama calon menteri yang diduga memiliki masalah

terkait dengan korupsi atau pencucian uang. Berdasarkan pengalaman pada era pemerintahan

SBY, sebagian menteri yang dipilih memiliki track record buruk dalam kasus korupsi.

Meski demikian, pemetaan asal dan riwayat para menteri saat ini pun tidaklah sepenuhnya

bersih dalam persoalan yang dikhawatirkan oleh KPK. Pada waktu itu Jokowi terlihat begitu

kewalahan dalam mengatur dan menegosiasikan komposisi dan nama-nama menteri dalam

kabinetnya hingga detik terakhir sebelum pengumuman. Alasannya adalah Jokowi harus

148

mempertimbangkan secara serius masukan dari KPK, usulan nama dari partai politik dan juga

tanggapan dari publik luas.

Jebakan berikutnya adalah pencalonan Komjen Pol Budi yang kontroversial. Salah satu faktor

penjelas dalam jebakan ini adalah dukungan penuh dari hampir seluruh partai politik di DPR

dalam pencalonan ini.

Padahal seperti yang sudah kita ketahui bahwa DPR baru saja menyelesaikan sebuah konflik

panjang akibat dari perseteruan pasca-Pemilu 2014 antara KIH dan KMP. Sebuah hal yang

aneh apabila DPR sudah terlihat kompak secara cepat dalam menyikapi pencalonan Komjen

Pol Budi yang disangka melakukan pencucian uang dan memiliki transaksi uang yang

mencurigakan.

Meski desakan nama Komjen Pol Budi tersebut berasal dari PDIP, ada fenomena

penggalangan dukungan penuh di DPR yang sulit dilihat kasatmata. Bahkan, proses

pencalonan yang cepat tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa tindakan politik ini

adalah skenario jebakan yang telah disiapkan lebih serius dari sekelompok elite politik, baik

dalam ataupun di luar pemerintahan Jokowi.

Dalam konteks penjelasan resmi pemerintah ataupun gesture tubuh dan fisik dari Jokowi,

publik bisa melihat bahwa kegalauan Jokowi dalam pemutusan kata akhir dalam pencalonan

ini. Apalagi intensitas pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi, sebagai pemegang saham

pemerintahan Jokowi-JK, terekam jelas dalam laporan media massa pada waktu itu.

Kondisi konflik semakin memanas manakala PDIP melalui Hasto Kristyanto melancarkan

serangan pertama kepada KPK dengan menyatakan buruknya etika politik Abraham Samad

dalam “ikut serta” pencalonan wapresnya Jokowi. Puncaknya adalah Polri melakukan

tindakan tidak populer dengan menangkap tangan Bambang Widjojanto manakala tengah

mengantar anaknya sekolah.

Inilah jebakan yang memperumit posisi Jokowi dalam memutus perkara pencalonan Kapolri.

Di satu sisi, Jokowi terdesak oleh kepentingan partai politik pendukungnya dalam pengajuan

calon Kapolri. Sementara di sisi lain, Jokowi pun tengah dikritik keras tentang komitmennya

dalam pemberantasan korupsi oleh para pendukungnya dan para aktivis LSM anti-korupsi.

Presiden Populis

Jokowi adalah satu di antara banyak presiden di dunia yang terpilih karena alasan

kepopuleran ketimbang dukungan mesin partai politik yang kuat dan efektif. Oleh karena ia

adalah presiden yang populis, maka semestinya Jokowi sadar bahwa dukungan pemilih

adalah nomor satu.

Dukungan partai politik bukannya tidak penting, namun saat ini, di mana lemahnya partai

politik dan menguatnya popularitas seorang presiden, maka posisi Jokowi berada dalam titik

149

aman. Dalam konteks saat ini, Jokowi pun semestinya paham bahwa sebuah kebijakan politik

yang tidak populer dan cenderung menegosiasikan kehendak rakyat tentu akan berdampak

terhadap besaran dukungannya yang harus terus dipelihara.

Ini adalah logika menjaga popularitas dan citra seorang presiden. Sehingga, pilihan terhadap

kebijakan dalam pencalonan sudah sangat jelas, apakah ia memilih masuk dalam agenda

kartel partai politik atau memilih menjadi presiden populis yang tentu kerapkali tidak populer

di kalangan partai politik yang ingin menjebaknya.

ADITYA PERDANA

Dosen Ilmu Politik FISIP UI; Kandidat doktor dari University of Hamburg, Jerman

150

Dramaturgi Politik Madu Tiga Koran SINDO 30 Januari 2015

Siapa pun warga negara berharap agar lembaga hukum negara akur-akur saja. Bekerja secara

benar dalam kewenangan menuntaskan persoalan hukum secara adil dan tidak memihak.

Lembaga-lembaga hukum tersebut tidak perlu berpolitik karena mereka memang bukan

lembaga politik. Sedapat mungkin pula mereka tidak perlu terlibat arus kuasa politik, meski

kondisi seperti itu masih bersifat utopia di Indonesia.

Konflik KPK-Polri mengingatkan kita pada peristiwa perselisihan antara Susno Duadji yang

pada masa itu masih menjabat kepala Bareskrim Polri dengan KPK yang kemudian dikenal

istilah “cicak versus buaya”. Hanya sedikit berbeda pada masa itu, kali ini konflik yang

terjadi nampak bereskalasi dan beraroma dendam. Peristiwa ini tak murni berupa konflik

hukum antarkedua kelembagaan tersebut, tetapi juga ada gesekan arus kepentingan partai

politik di dalamnya. Karenanya, konflik kali ini dinilai lebih rumit dari sebelumnya.

Sebetulnya tak berlebihan jika kasus konflik KPK-Polri ini sudah sarat dengan nuansa

politisasi hukum yang menjerat pemimpin di kedua lembaga tersebut, yang kemudian entah

bagaimana menyeret pula pada institutional conflict of interest. Politisasi inilah yang

kemudian menghasilkan complexity values yang mendistorsi penilaian publik terhadap KPK

dan Polri.

Maka, pengabaian terhadap kondisi ini sama saja menciptakan bom waktu bagi kehidupan

sosial politik dan keamanan Indonesia. Harapan besar publik sebetulnya ingin Presiden secara

tegas menengahi konflik tersebut. Tetapi, ketika Presiden berujar tak ingin mengintervensi

persoalan yang terjadi, seperti ada yang salah dalam bagaimana Presiden semestinya

memosisikan diri.

Sebagai kepala negara, fungsinya menengahi konflik ini akan berkontribusi terhadap upaya

politik menjaga kondusivitas kelembagaan KPK dan Polri. Karena itu, ini bukan persoalan

mengintervensi penanganan dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masing-masing

lembaga, tetapi bagaimana Presiden mampu menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi

di antara keduanya.

Dalam kelembagaan eksekutif, Jokowi bisa memerintahkan Polri agar bisa menahan diri

untuk tidak terlalu reaktif dan impulsif. Namun di sisi lain, Jokowi juga harus bisa meminta

KPK untuk melakukan hal yang sama dan menjelaskan ke publik bahwa kasus ini bersifat

individual, bukan kelembagaan KPK maupun Polri. Sehingga sebetulnya, tidak ada upaya

pelemahan bagi kedua lembaga tersebut. Karena itu, rekonsiliasi merupakan jalan terbaik

151

agar publik juga tidak merasa bahwa Jokowi sedang bermain-main dengan usaha

memberantas korupsi di Indonesia.

Jaga KPK dan Polri

Menjaga KPK dan Polri hukumnya fardhu ‘ain sebab keduanya sama-sama berkontribusi

terhadap penegakan hukum di Indonesia. Menjaga Polri dan juga KPK berarti sama-sama

menjaga marwah hukum Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dari sisi fungsi,

kewenangan dan tanggung jawab, keduanya memang berbeda. Tetapi, jika menelisik pada

relasi kebutuhan akan penegakan hukum yang sebenarnya, harapan publik pada kedua

lembaga ini sama.

Karena itu, langkah paling penting saat ini adalah menyelamatkan Polri dan KPK dari

perangkap kepentingan politik yang menariknya pada egosentrisme kelembagaan.

Dramaturgi politik madu tiga antara Presiden, KPK dan Polri harus disudahi. Tetapi,

penyudahan ini tetap berlandaskan pada mekanisme dan aturan hukum. Artinya, setiap yang

dipersangkakan bersalah tetap harus diproses secara hukum.

Bagaimana Caranya?

Menyudahi perseteruan KPK-Polri kali ini haruslah menyentuh persoalan atau penyebabnya.

Karenanya, Presiden perlu mengambil langkah taktis dan integratif agar persoalan bisa segera

teratasi, syukur-syukur tak terulang kembali. Pertama, meninjau kembali pengangkatan BG

sebagai Kapolri, memperjelas kasus hukum yang disangkakan kepadanya dan jika diperlukan

mengajukan kembali calon lain yang relatif lebih bersih dan tidak menimbulkan polemik di

mata publik.

Sebaliknya, meminta KPK melakukan tindakan yang sama terhadap pemimpin yang sudah

menyandang status tersangka, memperjelas kasus hukumnya. Dan jika tak terbukti, maka

harus dikembalikan lagi nama baiknya masing-masing. Presiden bisa langsung menunjuk

orang-orang yang independen untuk mengawasi prosesnya.

Kedua, merekonstruksi kepemimpinan di tubuh Polri dengan tetap berlandasan pada

peraturan perundang-undangan yang ada. Presiden harus mampu mengambil langkah

strategis agar di masa mendatang Polri betul-betul mampu bekerja secara profesional dan

proporsional. Hal itu harus dimulai dari pimpinannya dan berlangsung paralel hingga tingkat

yang lebih rendah.

Ketiga, melakukan rekonsiliasi terhadap kedua lembaga dengan diawali melakukan

pertemuan antar kedua lembaga dan diakhiri dengan menyepakati kesepakatan-kesepakatan

penting rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini penting untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang

kembali di masa depan. Rekonsiliasi perlu dibangun partisipatif agar kedua lembaga bisa

kembali menjalin kerja sama, saling mengisi dan memberi masukan, bukan saling sandera.

152

Keempat, tak kalah pentingnya adalah Presiden harus mampu keluar dari dilema kekuasaan

berupa balas jasa dan tekanan politik. Presiden harus mampu bersikap tegas dan

independen. Toh, kewenangan menentukan arah pemerintahan berada di tangannya. Jokowi

adalah seorang Presiden bukan petugas partai. Karenanya, harapan rakyat adalah dirinya

bertindak sebagai layaknya seorang Presiden yang menaungi segenap rakyat Indonesia,

bukan tunduk pada tekanan dan kepentingan politik.

IDIL AKBAR

Staf Pengajar FISIP UNPAD dan Peneliti di Nusantara Institute

153

Teologi Polri dan KPK Koran SINDO Sabtu, 31 Januari 2015

Moh Mahfud MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Wakil Ketua Muslimat NU Cabang Arab Saudi Hj Rufinah Madrais, misalnya, menyatakan

kegundahannya atas perang antara KPK dan Polri itu.

Berita tentang penetapan calon kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka pelaku korupsi oleh

KPK, yang kemudian dibalas dengan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai

tersangka perekayasa keterangan palsu oleh Bareskrim Polri, telah menyentak perhatian publik.

Meski mungkin ada yang berpura-pura menyebut peristiwa itu sebagai dinamika, tak bisa

dihindari sebenarnya banyak yang menyebut peristiwa tersebut sebagai perang antara KPK dan

Polri. Ia menarik perhatian bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, terutama

di kalangan warga negara Indonesia. Ketika pada Sabtu dini hari pekan lalu (24/1) saya

mendarat di Jeddah, dua aktivis Ansor NU di Arab Saudi, Maksum Jalal dan Nurkholis, yang

menjemput saya di bandara juga menanyakan soal kisruh Polri vs KPK itu.

Begitu juga ketika ngobrol-ngobrol ringan saat bertemu dengan orang-orang Indonesia di Masjid

Nabawi (Madinah) dan Masjid Haram (Mekkah), yang paling banyak ditanyakan kepada saya

adalah perang antara KPK dan Polri. Semua sedih dan prihatin karena pada saat kita sedang

dituntut untuk serius memerangi korupsi ternyata terjadi perang antarkedua institusi penegak

hukum itu sehingga memberi kesan kita tak serius memerangi korupsi.

Sebenarnya kalau kita melihat peristiwa itu secara jernih dan seimbang, kedua pihak mungkin

sama-sama melakukan kekeliruan. Tapi tak terhindarkan yang muncul dalam opini publik adalah

terjadinya upaya pelemahan terhadap KPK. Banyak yang kesal, mengapa Polri melakukan itu.

Orang kemudian tidak lagi menyebut Budi Gunawan sebagai oknum, melainkan menyebut Polri

sebagai institusi. Tanpa sadar kemudian mulai timbul ketidaksukaan terhadap Polri. Itu yang

membahayakan.

Menyebut Polri korup secara institusi apalagi sampai menimbulkan antipati dan kebencian di

tengah-tengah masyarakat sangatlah tidak baik. Polri adalah lembaga penegak hukum yang

keberadaannya disebutkan eksplisit di dalam konstitusi kita. Negara ini memerlukan Polri untuk

mengawal upaya pencapaian tujuan-tujuan bernegara terutama untuk menjamin ketertiban,

keamanan, dan ketenteraman di dalam masyarakat.

Karena itu polisi diberi monopoli oleh hukum untuk menggunakan senjata demi menjamin

keamanan dan ketertiban. Harus kita akui, dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu Polri sebagai

institusi secara umum sudah bekerja dengan baik. Kalau mau objektif, kita tak boleh

memandang Polri hanya sebatas markas besar, apalagi hanya sebagian kecil oknumnya saja.

Kita harus melihat masih banyak polisi yang baik dan penuh dedikasi.

Lihatlah kerja serius polisi sampai ke pelosok-pelosok kecamatan dan desa terpencil yang

mampu memberi jaminan kepada rakyat untuk hidup tenang dan nyaman, aman dari berbagai

ancaman. Bayangkan, betapa mengerikan seandainya Polri menyatakan berhenti bekerja atau

154

mogok selama satu jam saja.

Tentu selama satu jam itu tidak ada penegak hukum yang bisa menjaga ketertiban di tempat-

tempat umum, menangkap perampok, pembobol ATM, pemerkosa, pembuat kerusuhan,

pembunuh sadis, penyelundup, dan pengedar narkoba sehingga bisa terjadi kehancuran di

mana-mana.

Seumpama setelah satu jam Polri mengumumkan berhenti mogok dan siap aktif kembali, tentu

semuanya sudah terlambat dan terlanjur hancur. Itulah sebabnya semarah apa pun kita terhadap

oknumoknum di Polri, jangan sampai kebablasan merusak Polri sebagai institusi. Gerakan

#Save- Polri yang sekarang muncul adalah sama dengan gerakan #SaveKPK yang sama-sama

ingin memelihara kebaikan bagi negara kita.

Kalau soal oknum berperilaku korup itu adanya bukan hanya di Polri, tetapi juga ada di mana -

mana, termasuk di berbagai LSM bahkan ormasormas keagamaan sekalipun. Karena sedang

berceramah di Jeddah, saya sedikit menggunakan pendekatan teologis dengan mengatakan

bahwa Polri adalah representasi negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.

Maka itu Polri tidak boleh didelegitimasi. Begitu pentingnya ketaatan terhadap pemerintah yang

menyelenggarakan keamanan sehingga dari sudut agama Imam Nawawi pernah mengatakan,

kita tidak boleh melakukan perlawanan terhadap pemerintah karena hal itu bisa

menyengsarakan rakyat.

Maksudnya tentu bukan tidak boleh mengkritik atau mengontrol, melainkan tidak boleh

mendelegitimasi aparat pemerintah yang melakukan tugas-tugas menyelenggarakan keamanan

dan ketertiban. Dalam pada itu Ibn Taymiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun diperintah

oleh pemerintah yang jelek adalah lebih baik daripada satu malam saja tidak ada pemerintah.

” Dalil Ibn Taymiyah ini pun tak dimaksudkan untuk menoleransi tampilnya pemerintahan yang

korup. Kritik dan kontrol terhadap pemerintah atau aparat penegak hukum tetap dianjurkan,

tetapi dalam batas jangan sampai menimbulkan chaos karena lumpuhnya pemerintah. Kita harus

tetap tegas dan galak terhadap oknum-oknum yang korup, siapa pun mereka.

Tapi dalam konteks perang antar-dua lembaga penegak hukum ini kita juga harus selalu dalam

posisi menyelamatkan dan menguatkan KPK dan Polri karena keduanya dibentuk untuk

melaksanakan tugas-tugas pencapaian tujuan kita bernegara.

Partai dan Hukum Besi Oligarki Koran SINDO Sabtu, 31 Januari 2015

Firman Noor PHD

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pada awal abad kedua puluh muncul sebuah mahakarya dalam khazanah ilmu politik yang

ditulis oleh seorang lulusan sejarah dan kemudian memfokuskan diri pada kajian sosiologi politik

berjudul Zur Soziologie des Parteiwesens in der Modernen Demokratie, Untersuchungen über

die oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens.

Dalam bahasa Inggris buku tersebut diterjemahkan menjadi On the Sociology of Political

155

Partiesin Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in Political Aggregations.

Pengarangnya adalah Robert Michels, seorang pengajar dan sekaligus politikus mantan aktivis

Partai Sosial Demokrat Jerman, yang kemudian keluar dari partainya dengan kekecewaan.

Hal utama yang menyebabkannya angkat kaki adalah kesebalannya yang membuncah akan

sebuah kenyataan bahwa partai, yang menurut logika naifnya harusnya dikembangkan dengan

berlandaskan aspirasi dan kepentingan kader dan para pendukungnya, dalam kenyataannya

hanya diatur oleh segelintir orang. Di dalam partai tidak ada sebuah transaksi demokratis yang

benar-benar menghitung suara akar rumput.

Aspirasi populisobjektif pun kerap menjadi sulit untuk dikonversi menjadi kebijakan partai.

Secara normatif partai memang dibentuk sebagai wadah setiap kader untuk berkiprah. Namun,

dalam konteks riil politik, khususnya dalam soal power game , dunia partai adalah dunia kaum

elite dengan watak otokratik.

Partai, bahkan yang mengaku sebagai sosialis demokrat sekalipun, baginyaakansegera terjebak

dalam sebuah pola organisasi oligarkis. Berdasarkan amatan Michels nyaris tidak ada satu partai

pun yang tidak terhinggapi oleh penyakit yang bernuansakan elitisme ini. Di situlah kemudian dia

dengan mantap mengatakan fenomenainisebagai” ironlaw ” atau ”hukum besi”.

Oligarki Kekinian

Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini beberapa partai bahkan

telah dihinggapi oleh elitismeyangakut, ditandaiketergantungan yang nyaris total pada figur. Titah

figur-figur ini harus terjadi meski bisa jadi secara substansi tidak aspiratif dan bahkan menabrak

aturan main.

Dalam nuansa ini tidak heran kalau kemudian berbagai peristiwa politik–baik di lingkungan partai

maupun di luar partai, apakah yang berupa konflik ataupun konsensus–lebih ditentukan oleh

kekuatan eksklusif dari balik layar yang berasal dari aspirasi para elite. Dus , pelibatan massa

atau kader sejatinya hanyalah semu. Tak lebih dari sekadar penggembira dan pemberi legitimasi

atas kehendak para elite itu.

Bulan-bulan belakangan ini kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang demikian

bising. Simak saja misalnya mulai dari terbentuknya koalisi menjelang pilpres, konflik internal

partaipartai yakni Golkar dan PPP, kegagalan pembentukan alat kelengkapan Dewan (AKD)

yang berlanjut pada terbentuknya ”DPR Tandingan”, penyusunan kabinet Presiden Jokowi,

hingga yang teranyar perseteruan KPK versus Polri sebagai efek dari terpilihnya Komjen Budi

Gunawan sebagai kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman.

Semua itu sepintas tampak berasal dari penyebab yang berbeda-beda. Namun, secara umum

jelas dapat dilihat dari perspektif hukum besi oligarki, di mana secara mendasar akar penyebab

itu semua adalah (pertarungan) kepentingan para elite. Pembentukan koalisi apakah KIH dan

KMP adalah kesepakatan para elite partai, khususnya di level ketua-ketua partai.

Pertarungan internal partai-partai adalah jelas pertarungan para elite, antara mereka yang

tengah dan ingin terus berkuasa dan yang tak sabar lagi untuk berkuasa, dengan pernak -pernik

seputar aturan main sebagai legitimasi untuk bertarung. Penyusunan kabinet dan segenap posisi

penting dalam pemerintahan adalah hasil transaksi para elite atau bahkan para ”mahaelite” yang

segera saja dapat dengan mudah menyingkirkan harapan dan aspirasi akar rumput, termasuk

156

aspirasi mereka yang sebenarnya sudah berkeringat.

Sementara dalam soal pengangkatan sosok pimpinan Polri yang tidak populis, amat jelas

mengesankan hasil sebuah keputusan elitis yang melibatkan segelintir orang saja. Di sini

jangankan rakyat, kebanyakan kader partai hanya berperan sebagai penonton.

Mengapa?

Setidaknya ada lima hal yang menyebabkan hukum besi itu berlaku dan cenderung menguat.

Pertama, partai memang ”milik” segelintir orang. Ini seiring dengan terus bergantungnya

keberlangsungan hidup partai oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial. Studi Perludem

(2011) mengindikasikan lemahnya kemandirian partai dalam mendapatkan dan mengelola

keuangan.

Hal mana tentu saja membuka peluang para ”pemegang saham” yakni para elite untuk terus

berkiprah lebih besar dan lebih menentukan. Kedua, ini ditambah dengan situasi lemahnya

kaderisasi yang berimplikasi setidaknya pada dua hal.

(1) Ketidakjelasan jenjang karier atas dasar prestasi yang menyebabkan sirkulasi jabatan dan

pimpinan atau elite lebih ditentukan oleh jaring-jaring kepentingan elite itu sendiri guna

mengukuhkan basis oligarkinya. (2) Berkembangnya pendekatan pragmatisme, di mana ideologi

partai tidak lagi dipahami dan idealisme bekerja untuk partai tersingkirkan, terutama oleh

pengabdian kepada (kepentingan) elite yang jauh lebih menjanjikan.

Ketiga, mekanisme internal partai yang kerap memberikan porsi lebih kepada jajaran elite dalam

menentukan hidup mati partai. Dalam labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak

nyaris tanpa kontrol. Kontrol yang terjadi adalah justru sesama elite yang bila tidak diakomodasi

dengan cantik, berpotensi besar memunculkan konflik internal. Di sisi lain banyak hal penting

yang diatur sepintas dalam AD/ART yang selebihnya diserahkan pada keputusan segelintir

orang saja.

Semangat demokrasi pun kerap masih bersifat anjuran dan ada pada leve l tradisi, namun belum

secara total dilembagakan. Keempat, aturan main yang belum seutuhnya menopang

demokratisasi partai. Pengaturan keuangan partai yang diamanatkan oleh UU Partai Politik

misalnya justru cenderung memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar

untuk mengukuhkan perannya dalam partai karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk

dapat menyumbang sejumlah uang tanpa batas.

Aturan main yang ada juga belum mampu memaksa partai-partai untuk membenahi kaderisasi

yang dalam banyak aspeknya menjadi salah satu penyebab bagi munculnya budaya

pragmatisme dan pengukuhan elitisme. Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis.

Seandainya ada korelasi antara partai yang oligarkis dan kegagalan dalam perolehan suara,

tentu partai akan berlomba-lomba untuk mendemokratisasi diri. Namun, setidaknya hingga saat

ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam

pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk memperba iki diri.

Sebaliknya, kondisi ini amat melenakan partai-partai yang pada gilirannya mengokohkan

bangunan oligarki partai. Situasi ini tentu saja bukan menjadi alasan kita untuk menguburkan

partai-partai. Tugas kita sekarang justru mengembalikan jati diri partai dalam bentuk idealnya,

157

sebagai penyambung kepentingan rakyat.

Kalaupun menghapuskan hukum besi tidaklah mudah, setidaknya kita harus tetap berusaha

meminimalkan peluang tegaknya oligarki di antaranya mengatasi beberapa akar penyebab

kemunculannya di atas. Bagaimanapun partaipartai adalah kebutuhan alamiah dari demokrasi

yang bersama kita yakini.

Status Tersangka dan Perlindungan HAM Koran SINDO Selasa, 3 Februari 2015

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka

harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat berawal

dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa. KUHAP tidak menjelaskan

pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti

permulaan tersebut.

KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang menyandang

status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP

adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan

penuntutan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada

tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan.

Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat

saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan. Mengingat

diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat berpengaruh

secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka mutlak perlu

ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang mengikat dan dapat

diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun eksternal kepada publik.

Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice system

dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana

(Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman,

Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-

076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.

Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi

Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat

bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan

polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per- 036/A/JA/

09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung RI No.

Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005.

158

Namun, ini lebih pada kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas

dan kewenangan seperti pelatihandanpertukaraninformasi, dan bukan dalam kaitannya dengan

teknis penanganan perkara. Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas

hak-hak tersangka relatif lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check

antara instansi kepolisian pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada

lingkup penuntutan dan pelimpahan perkaranya ke pengadilan.

Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik

(kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat hukum

pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due process of

law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana

korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan

yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti,

termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau

disimpan baik secara biasa maupun elektronik. atau optik.

Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang

diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang- Undang KPK menyatukannya di dalam

institusi tersebut.

Tidak disebutkan dalam undang- undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah

terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan

adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup

adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak

tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi. (pasal 44).

Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan

tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini (pasal 46).

Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku. Kembali kepada pokok

tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka

adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia serta demi kepastian

hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak

hukum, dan instansinya.

Itulah juga salah satu implementasi esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang

akan datang hendaknya mengatur hal tersebut. Asas fundamental universal hak-hak asasi

159

manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak, kewenangan, dan diskresi yang diberikan

kepada suatu institusi atau perorangan yang membatasi dan mengekang hak asasi orang lain,

harus ditetapkan dengan peraturan publik/perundang-undangan.

Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang -undang lain

dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka

pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari

undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi

asas lex specialist derogates lex generalist. Penulis, Pemerhati Hukum - Alumni Pendidikan

Reguler Lemhannas RI Jakarta, awalPebruari 2015.

Sampe L Purba

Pemerhati Hukum, Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI.

Politik Jokowi Koran SINDO Selasa, 3 Februari 2015

Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua disingkat. Misalnya namanama

tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK merupakan singkatan populer.

Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah nama dari Komjen Polisi Budi

Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media karena setelah ia dipilih Presiden sebagai

calon tunggal kepala Polri baru menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui DPR.

Tetapi oleh KPK, justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).

Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra melibatkan beberapa pihak

menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga diri, keputusan pimpinan nasional dan banyak

pernik lain. Semua sebenarnya wajar, tetapi menjadi sangat penting karena menyangkut ranah

politik dan hukum.

Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu keputusan Presiden apakah

akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala Polri dan menunjuk yang lain. Dalam

keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan

menunda pelantikan BG, tetapi tidak membatalkan. Penulis mencoba mengulas dari sudut

pandang intelijen terhadap masalah ini hingga menemukan di mana bermuaranya. Dalam

terminologi intelijen, analisis serupa disebut sebagai sebuah ramalan intelijen.

Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi

Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis dari pakem intelstrat (intelijen strategis)

yang terdiri atas sembilan komponen yaitu Ipoleksosbudhankam plus komponen biogr afi,

demografi, dan sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah kekuatan,

kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).

Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala Polri baru, yang mengemuka

diberitakan adalah bidang hukum dan politik. Konflik mengarah kepada perseteruan antara KPK

dan Polri. Dalam perkembangannya, para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya politisasi,

sementara dari elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.

160

Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai kasus pada dua sisi tersebut.

Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama media kemudian melibatkan Presiden sebagai

decision maker. Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak komprehensif karena ada informasi

penting yang tertinggal.

Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan media, kesimpulan banyak yang tidak

tepat, walau mampu membentuk dan memengaruhi opini publik. Dalam hal ini, menurut penulis,

banyak yang tidak mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus BG yang

berkembang ke arah konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.

Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan komponen, apabila diurai, kasus

akan valid paling tidak mayoritas dari komponen intelstrat terpenuhi. Awalnya setelah penga juan

BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan, hingar-bingar yang muncul menempatkan Presiden

sebagai pihak yang bukan antikorupsi. Banyak yang heran, mengapa BG yang namanya di

stabilo KPK kok masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?

Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat informasi akurat mestinya. Ada

komponen intelstrat yang tidak terbaca publik bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi, politik,

sosial, biografi misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah ini yang

menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG. Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan

ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga tahun).

Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa menyimpulkan ada pengaruh psikologis dan

politis dari Teuku Umar dengan masuknya BG sebagai calon utama kepala Polri. Kita lihat saja,

beberapa elite PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar Presiden segera melantik BG.

Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan BG sebagai tersangka.

Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat dengan Megawati bisa

diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah benar calon PDIP (baca Mega).

Mereka menekan Presiden untuk segera melantiknya. Plt Sekjen PDIP (Hasto) bahkan

menyerang KPK dengan menyudutkan ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh soal

pelengseran.

Rasanya kurang smart dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang penuh dengan trik.

Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru menilai

Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas mengajukan sembilan nama

calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada orang yang menjadikannya pimpinan

nasional.

Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi politik serta pendukung

yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi.

Dalam masa kepemimpinannya yang 100 hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi

praktek politik kotor di Tanah Air pastinya.

Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan konflik dan mencoba menggiring

Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga pernah dilakukan

terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental ala Jokowi jelas tidak disukai

oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.

Arah Strategi Presiden

161

Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG ini sepertinya Presiden lebih

kepada ”solo karier”? Ke mana para pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak Tedjo

sebagai Menko Polhukam yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan, intelijen,

kejaksaan, dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan menjadi

kontraproduktif di media dan kalangan netizen dengan bahasa politik tergelincir.

Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi lebih terang, di mana Jokowi

sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di satu sisi melepaskan dan memenuhi semua

keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke DPR.

Selanjutnya Presiden melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik yang

terjadi.

Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak pihak yang meributkan masalah BG,

masalah penangkapan komisioner KPK, keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau tidak

melantik (membatalkan), serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK. Itu saja

sebenarnya muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang prorakyat dan

antikorupsi keluar.

Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang antikorupsi, dia tidak akan mau

berhadapan dengan rakyat yang antikorupsi. Di lain sisi, Presiden mampu menstabilkan kondisi

DPR setelah bertemu Prabowo karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah, bahaya

pelengseran dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus menjaga

stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga menjaga hati dan perasaan ”Ibu

Ketuanya”.

Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan bahwa dia tidak akan

mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan KPK. Sidang di Pengadilan

Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015), diperkirakan pada minggu pertama Februari ini

akan selesai. Dalam hal ini Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan KPK.

Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri hanya menunggu waktu. Kunci

waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi yang diambil dan akan cantik bagi Presiden,

penulis perkirakan BG akan mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan. Kemudian

Presiden akan meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri baru.

Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru, kemudian meminta clearance ke

PPATK dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang berlaku.

Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP terlihat setelah

pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat (30/1/2015).

KIH sudah berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam waktu dekat yaitu akan

dilangsungkan pilkada, bila bertahan dalam mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami

penurunan elektabilitasnya. Mungkin ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari

ketua umum PDIP. KIH tidak ingin disalib KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu

Presiden telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya

yakin beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan

memilih yang terbaik,” katanya.

Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar dicari saja calon kepala Polri baru.

162

Di samping melaporkan kepada Presiden bahwa dirinya dipilih sebagai Presiden Federasi

Pencak Silat Dunia. Ia meminta kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai pendekar

pencak silat Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat beberapa

kader PDIP melakukan tekanan.

Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang kemelut pencalonan Komjen Budi

Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil mendapat kesamaan pandangan tokoh - tokoh,

relawan, serta kekuatan nasional yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai institusi

yang perlu diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa melihat Jokowi

tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya sebagai capres.

Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan moril Prabowo.

Presiden Jokowi kini menemukan bukti kebenaran peribahasa yang mengatakan ” The enemy of

my enemy is my friend .” Walau perlahan, ia sedang berproses, tertempa dengan ATHG sebagai

pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan berpeluang menjadi pemimpin besar di negeri ini.

Kekuasaan itu sudah di tangannya, tinggal bagaimana mengolahnya secara bijak.

MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN

Pengamat Intelijen

www.ramalanintelijen.net

Hukum Praperadilan di Indonesia Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015

Romli Atmasasmita

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di

Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya.

Bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana.

Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum

acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang

yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.

Sebelumnya seseorang yang terlibat itu dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang

sebagai subjek yang wajib memperoleh perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial,

ekonomi, politik dll. Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI

Nomor 8/1981 juga telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR.

Di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees )

terhadap setiap orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b)

dan jaminan upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum

sekalipun di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).

*** Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap

perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,

dan penghentian penuntutan.

163

Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta

perlakuan aparatur penegak hukum yang nyatanyata merupakan pelanggaran hak asasi

seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nya ta dari

negara.

Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang

(error in persona ) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga

diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara

pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang -undang pidana

khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP.

Yang terkini lahir beberapa putusan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah

tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan. Dalam kaitan

perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut pendapat saya

bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun

apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum

yang bersangkutan.

Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis) menurut

penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari, memperoleh,

dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian hukum dan

kemanfaatan.

Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal -

breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar

Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai -nilai

keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang

fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum

bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki

aspek nilai (values ) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan

terkini.

Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan statusquo, akan

dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau

bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam

pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan

pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma dan

logika (system of norms and logic).

Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Aturan

tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di Indonesia dalam

penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.

*** Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia

merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di

164

pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan

hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.

Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan ketelitian

dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan

hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak

penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan

integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam

KUHAP.

Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah

tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum,

termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi

seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:

”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di muka hukum.”

Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan

ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka

sidang pengadilan.

Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jikawilayahhukumpraperadilan tidak

hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana tercantum

dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang bersinggungan

dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.

Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan merupakan

conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses penyelidikan

danpenyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan melawan hukum,

proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya adalah cacat

hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).

Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015

Ma’mun Murod Albarbasy.

Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional

Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.

Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut

sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya

Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai

perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.

Ketiga, konferensi pers plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham Samad

(AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil presiden

mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres untuk

165

mendampingi Joko Widodo. Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau

menilik kasus yang dialami BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU.

Cara publik merespons kasus BW dan AS juga berbeda dengan cara merespons kasus AU.

Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai

proses persidangan, nyaris tak berbeda jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap

Bareskrim. Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan

yang dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK -salah

satunya- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi cawapres.

Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU

Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW

membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan mengandung

kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK. Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”.

BW seakan ingin menunjukkan kepada publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu

apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan

kepada anaknya kalau dirinya telah diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak”

ini cukup berhasil menyita perhatian publik. Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku

Ketua KPK membocorkan s p r i n d i k A U , s a a t itu AU juga mempuny a i empat anak yang

masih kecil-kecil.

Seperti halnya BW yang mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana

perasaan anak-anak AU saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja

dibocorkan. BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa

ketika menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan

atau proyek-proyek lainnya”.

Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang begitu kabur. BW dan

pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris, di mana

puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat ketika sekadar

untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan puluhan Brimob

bersenjata lengkap.

Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait

sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim

yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat

penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga arogan.

Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan panggil ini

Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kep a d a Anas lewat

forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya untuk memanggil

paksa,” (7/1/ 2014).

BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bar eskrim

untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan dua

alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat bukti

dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.

Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak

166

dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum.

Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di gedung

KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di bahwa

seakanakan pimpinan KPK tidak bisa salah.

Karenanya, kalau ada pimpinan KPK terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai

kriminalisasi KPK. Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di

Duren Sawit, bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam

menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?

Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun

meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan A U . Pendukung AU meyakini ada

nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.

Amoral Pimpinan KPK Berpolitik

Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang

menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga

mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi

presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.

Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik yang

bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad berkeinginan

menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi presiden”, ”publik”

diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU.

Sebagian lainnya berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan

ambisius ingin menjadi presiden. Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik

yang aneh. Mestinya komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS.

Sebagai ketua umum partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi

presiden? Sangat wajar AU berkeinginan menjadi presiden.

Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional maupun moral politik. Justru harus

dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres. Itu ibarat orang

laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar hingga di bawah lutut

tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-laki memang antara

pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya dengan menutup aurat

yang minimalis?

Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak setiap

warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam

menjalankantugas harusbetul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan menjadi

wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi ataupun

aturan apapun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik .

Pelajaran Berharga

Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin

sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah

didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan sebagai

167

calon tunggal Kapolri.

BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS nantinya

ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan dijadikan sebagai

alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini dipandang lumrah dan

sepele. Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi

(muhasabah) bagi institusi penegak hukum.

Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam penetapan tersangka, harus

dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan secara terbuka alat bukti yang

dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal ini penting dilakukan untuk

menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses penetapan tersangka. Selain itu,

hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga mengetahui prosesnya.

Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi. Bukan hanya itu, penetapan status tersangka

juga terkait dengan seseorang yang mempunyai harga diri (marwah), mempunyai sanak

keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan harus benar-benar dikedepankan, bukan

karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan sampai ada penzaliman dalam penetapan

seseorang menjadi tersangka.

Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya

mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang

baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami

”ketidakadilan”.

Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya

menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan -mungkin menyusul- AS

sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi. Semoga!

Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim Koran SINDO Rabu, 4 Februari 2015

Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi)

dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi Malaysia.

Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar dalam

kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20. Pilihan mengunjungi Malaysia

adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam negeri dan luar negeri tentang

isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang relasi Indonesia dengan negara-

negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu perbatasan dan tenaga kerja migran.

Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar negeri

yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan muncul

dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal ini tidak

hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga dalam kaitan

strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.

Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga

termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu -

168

perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan

Indonesia.

Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di mata

negaranegara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di mana

akan berujung. Secara diplomatis, negaranegara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros

Maritim terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait

dengan proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di

beberapa kepulauan.

Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang kemungkinan

investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan kemananan di

laut. Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah-langkah konkret Jokowi untuk

meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut.

Setidaknya ada 3 alasan untuk ini. Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk

mengebom dan menenggelamkan kapal asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan

laut Indonesia. Dalam hubungan internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah

bagian dari gunboat diplomacy di mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan

siapa pun yang memasuki perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan

wilayah.

Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag

(unjuk bendera di batas wilayah) dimana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang

melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan. Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya

dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni

(penguasa) di suatu kawasan.

Dalam sejarahnya, gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme.

Pertanyaannya kemudian, apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait

intensi tersebut? Apakah akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara? Kedua, dalam

meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik yang menjadi basis

kebijakan.

Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat dengan negara tertentu, bersinergi

dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri pertahanan di Tanah Air. Dalam

konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer seharihari sudah mampu dipenuhi dari

industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya untuk menjaga

wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada industri militer di

Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China.

Pertanyaannya kemudian, kerja sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-

negara tetangga? Akankah terjadi penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia

Tenggara? Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah

penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang

sesungguhnya dari kebijakanJokowi dilaut.

Misalnya saja Automatic identification System menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal

dari China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah

tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring 8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau

169

kabur.

Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar China

untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya. Mungkin ini

urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah penegakan hukum

sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi dalam sejumlah

kesempatan, mengapa ada rahasia?

Apakah ini sekadar masalah teknis karena Indonesia belum punya kemampuan menangkapi

kapal-kapal asal China yang bandel ataukah ada pengecualian tertentu? Dari sini semoga dapat

tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada pengembangan Poros

Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang tunggal dimensi

kebijakannya.

Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat bahwa di Asia Tenggara masih

belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada Brunei Darussalam, Taiwan,

Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah dalam sengketa tersebut.

Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat mekanisme code of conduct, tetapi

sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti dalam pencapaian kesepakatan lewat

cara itu.

Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa China telah membangun pulau-pulau buatan yang

dijadikan tempat persinggahan kapal induk militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly.

Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang

dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah.

Hari ini kita telah mengirimkan pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal

fishing dan mereka tentu berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada

negara tertentu. Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negaranegara yang

kapalnya telah atau akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi

pembalasan.

Kesiapan itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negaranegara

yang kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi

yangdiperlukanuntukmembiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka

gagasan Poros Maritimlah yang akan menjadi korban.

Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang

dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.

Dinna Wisnu, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi! Koran SINDO Kamis, 5 Februari 2015

Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati. Selamat!

Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini.

170

Negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri

sipil yang mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan

cadangan. Jumlah yang besar. Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat

dalam suatu organisasi yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah.

Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim

dipergunakan dalam suatu pemerintahan modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat

administratif. Organisasi yang Bapak pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk

piramida. Dalam operasionalnya, piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan

keputusan dan tanggung jawab.

Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan

cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organ isasi

pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah

kebijakan. Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di

birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah.

Butuh kerja keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk

mencapai puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama

hampir 45 tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik keatas

dipemerintahan. Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut

kacangnya.

Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian bersama

puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karenaseorangputripresiden pun bisa tidak lulus.

Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia minati. Semua

memakan waktu hampir enam bulan penantian. Lulus sebagai calon pegawai negeri,

penempatan dan pendidikan di departemen sudah menunggu.

Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang baik. Setahun

pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan internal, si calon

pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang trainee. Secara

kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkataneselon1/

dirjen, menjadipanglima perang lapangan.

Seorang eselon 1 dari pegawai negeri sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor,

mempunyai pengetahuan yang nyaris sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai

network yang pastinya baik, serta teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun

pengabdian yang sudah dilakukan. Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola

memanajemen dan berhubungan dengan birokrasi.

Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi

menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan,

terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang

sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1.

Pak Sumarlin, Pak Hartarto, Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya

masih terdengar sampai sekarang. Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya,

reformasi sepertinya mengubah pandangan tentang kemampuan para birokrat.

171

Entah pengertian tentang Reformasi yang ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi

menjadi pimpinan birokrasi pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih

mementingkan kepopuleran, ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan

negara atau pimpinan partai.

Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya

pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang mengatakan

bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden serta wapres juga

jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini? Ingat bahwa karena

autopilot pesawat bisa kecelakaan.

Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan

seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para menteri

yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang mumpuni,

bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden! Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola

di televisi.

Kepopuleran serta keberanian berkoar- koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat

utama selain kedekatan dengan tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti

show pertunjukan di media para menteri itu. Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri,

menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan partai, sepetinya memang hebat!

Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu bahkan ada yang beberapa hari untuk

menganggap dirinya telah mengerti dan bisa memecahkan masalah pemerintahan. Mereka

langsungmengambilkeputusan, mengeluarkan kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa

kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi

danmelibatkandepartemen yang terkait.

Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung

memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau

sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan jabatan

yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi? Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan

membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output kerja menteri Bapak yang lebih berupa

keputusan bisnis semata.

Beberapa peraturan, bukan kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para

direktur dalam mengelola perseroan. Pelarangan- pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-

peraturan yang lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan,

sebagai suatu pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.

Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah teruj i

itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat. Penunjukan

para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur. Pertanyaan

memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para pembantu Bapak

sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan harus mengambil

tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi.

Apakah mencari keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih

penting dari tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan

172

multiplier effect untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah pegawai pemerintahan itu harus

terlihat miskin?

Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi,

menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, fungsi

PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan kesatuan

bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun bukan PNS,

walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus mengutamakan fungsi

pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.

Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di

perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti

Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara

jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat akan

mereka tinggalkan.

Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap eling.

Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran birokrasi ini

adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak Presiden, punten

Pak, this is governing, not campaigning! ?

DR Tito Sulistio, SE, MAF

Founder Charta Politica

Seandainya Koran SINDO Kamis, 5 Februari 2015

Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam menjalankan

politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa pemikiran para pendiri

bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.

Pemikiran tersebut berparadigma nonblok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka

dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar antara

blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat dan kawan-

kawan).

Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun

selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang terus

dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai dunia.

Politik luar negeri nonblok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pascaperang dingin

dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan menghadapi tiga

kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia dan kawan-

kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-Deng

Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pascaperang dunia II yaitu Jepang, India,

dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.

Mengapa konsep nonblok dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif” tahan dan cemerlang

sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran budi jernih

173

pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks kebijaksanaan hidup

negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).

Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia

diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus

berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah

satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi batu

penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik- konflik kepentingan lain yang

beragam dan bineka.

Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusiamanusia

Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega melacur

diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah baru”. Para

kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang sampai hasil laut,

bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.

Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam

bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesarbesarnya

kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika kebudayaan

sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga dalam

kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.

Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus

memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang

menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan

sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.

Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci,

dan yang indah sehingga manakala “teks” nonblok dan bebas aktif dilanjutkan oleh pemerintah -

pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai langkah - langkah

kontekstualisasi.

Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan nonblok kita dan

memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk kembali

ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti daratan pulau

dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya bertaburan pulau-pulau

kita sehingga lautan (baca: maritim)-lah penyambung Nusantara menjadi Indonesia.

*** Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip

musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa dalam

dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih dengan budi

dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi, berbineka pikiran

bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa memutuskan sebuah

keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara diskresi

musyawarah!

Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi putusan.

Mengapa kita dalam tahaptahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks” diskresi

musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan dalih

“demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas kalah?

174

Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu dijalan

pintasi dengan menang dan kalah lewat voting? Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan

rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini

dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu dari pertimbangan like and dislike, senang atau

benci.

Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang

diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia harus

diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.

Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa dipilih.

Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu, sedangkan bila

memilih yang kedua akan matiayah. Maka harus berani masuk ke pertimbangan “minus malum“

sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.

Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak negatifnya

lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum, harfiahnya adalah

mengambil jeleknya (=malum) paling minusatau paling sedikit.

*** Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus

diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati

memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain itu

perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya

melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos begitu

jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.

Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun

nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan

mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (dikulonuwuni) akan

tersinggung Sementara yang kedua, mereka- merekayangberlindungdibalik baju feodalisme

prosedural akan menggugat atas nama formalismetatacara yangdilupakan bahwa ini media atau

sarana dan bukan substansi atau tujuan.

Namun, keduanya samasama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan) seharusnya

adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita justru

berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk saling

mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.

Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna politik

untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka -mereka yang

masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa, kedudukan, dan cari

makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi rebutan selfie panggung

pencitraan-pencitraan.

Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan

bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu: ”menimbang,

mempelajari, lalu memutuskan”.

Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budij ernih, pastilah

175

proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud sebagai

berdaulat dan berperadaban. ?

Mudji Sutrisno SJ

Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan

Uji Publik dalam Pilkada Koran SINDO Jum'at, 6 Februari 2015

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu) telah disetujui oleh DPR.

Walaupun belum disahkan sebagai undang-undang (UU) oleh Presiden hingga tulisan ini dibuat,

secara konstitusional Perppu tersebut sudah pasti akan menjadi landasan hukum

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Paling lambat 30 hari setelah persetujuan DPR,

Perppu itu dengan sendirinya akan menjadi UU. Bahkan, DPR pun saat ini telah membahas

perubahan yang akan dilakukan terhadap Perppu yang telah disetujui.

Terdapat perubahan mendasar di dalam Perppu Pemilihan Kepala Daerah, jika dibandingkan

ketentuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adanya tahapan uji publik sebagai persyaratan

yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun demikian,

uji publik tidak bersifat menggugurkan. Uji publik dilaksanakan sebelum pendaftaran calon

kepala daerah.

Setiap orang yang mengikuti uji publik akan mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji

publik. Surat ini menjadi salah satu persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon kepala

daerah. Artinya, uji publik tidak bersifat menggugurkan, tidak ada pernyataan lulus atau tidak

lulus uji publik. Terdapat beberapa hal penting di dalam ketentuan umum Perppu Pemilihan

Kepala Daerah tentang uji publik. Pertama, uji publik merupakan pengujian kompetensi dan

integritas.

Kedua , uji publik dilaksanakan secara terbuka. Ketiga, uji publik dilaksanakan oleh panitia yang

bersifat mandiri yang dibentuk oleh komisi pemilihan umum provinsi atau kabupaten/kota. Tujuan

uji publik menurut penjelasan umum Perppu adalah untuk menciptakan kualitas kepala daerah

yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, serta memenuhi unsur akseptabilitas.

Kapabilitas sudah terangkum dalam unsur kompetensi yang telah ditegaskan dalam ketentuan

umum. Karena itu, tujuan uji publik sesungguhnya meliputi tiga aspek, yaitu kompetensi,

integritas, dan akseptabilitas.

Manfaat Uji Publik

Adanya mekanisme uji publik setidaknya memberikan tiga manfaat penting dalam proses

pemilihan kepala daerah. Pertama, uji publik merupakan bagian dari proses seleksi internal

partai politik yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memiliki arti penting bagi proses

demokratisasi internal partai politik yang selama ini di beberapa daerah sangat kuat dengan

karakter oligarki.

Penentuan calon tidak lagi hanya oleh internal partai politik yang kadang terdistorsi oleh

176

hubungan politik praktis, tetapi juga harus memperhatikan kualitas dan integritas calon yang

akan diuji oleh publik. Agar manfaat ini dapat diperoleh, sudah sewajarnya partai politik

mengajukan lebih dari satu calon untuk mengikuti uji publik.

Dengan adanya lebih dari satu calon, masyarakat juga akan dapat menilai apakah partai

memerhatikan atau mengesampingkan proses uji publik. Kedua, ujipublikdapatditempatkan

sebagai bagian dari kampanye calon yang objektif. Semua calon memiliki kesempatan yang

lebih luas untuk menunjukkan kapasitas dan integritasnya agar dapat meyakinkan partai

pengusung serta pemilih.

Ketiga , melalui uji publik, terdapat perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan

kepala daerah. Jika sebelumnya masyarakat tidak memiliki peran menentukan calon yang

diusung oleh partai politik, melalui uji publik suara masyarakat sedikit banyak akan ikut

menentukan keputusan partai.

Mekanisme Uji Publik

Salah satu kelemahan dalam Perppu adalah tidak mengatur mekanisme uji publik secara detail.

Ketentuan Pasal 38 Perppu hanya menentukan bahwa setiap WNI yang mendaftar sebagai

bakal calon kepala daerah wajib mengikuti uji publik. Parpol atau gabungan parpol dapat

mengusulkan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik.

Setiap bakal calon yang mengikuti uji publik mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji

publik. Mekanisme uji publik harus memosisikan pihak yang melakukan pengujian adalah publik,

bukan panitia. Tugas panitia hanyalah menjalankan tahapan, mengeksplorasi bakal calon, dan

memastikan adanya partisipasi publik. Panitia tidak memberikan penilaian terhadap calon.

Publiklah yang memberikan penilaian. Tantangannya di sini adalah bagaimana penilaian publik

itu dapat diketahui atau diukur terutama oleh parpol yang mengajukan. Tanpa adanya alat ukur

ini uji publik dapat k e h i l a n g a n makna. Mekanisme uji publik juga harus mampu

menunjukkan kepada publik kapasitas dan integritas calon. Untuk mengetahui kapasitas dan

integritas dapat saja dilakukan melalui ujian tertentu yang akan menghasilkan nilai kuantitatif

tertentu.

Namun jika hal ini dilakukan, berarti penilaian telah dilakukan oleh panitia dan akan

menghasilkan peringkat bakal calon berdasarkan nilai yang diperoleh. Karena itu, cara untuk

menunjukkan kepada publik bagaimana kapasitas dan integritas bakal calon adalah melalui

rekam jejak dan forum tanya-jawab secara terbuka. Persoalannya kemudian kembali pada

bagaimana penilaian publik dapat diketahui dan diukur setelah publik mengetahui rekam jejak

dan mengikuti forum dialog.

Untuk mencapai tujuan uji publik dan menjawab permasalahan yang muncul, mekanisme uj i

publik dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, semua bakal calon menyampaikan riwayat

hidup yang memuat rekam jejak. Panitia mengumumkan secara luas riwayat hidup dan rekam

jejak kepada seluruh masyarakat. Kedua, masyarakat dipersilakan memberikan masukan dan

informasi terkait dengan rekam jejak kapasitas dan integritas bakal calon.

Masukan dan informasi dari masyarakat ini juga diumumkan kepada masyarakat luas. Ketiga,

dibuat forum terbuka di mana setiap calon dapat menyampaikan kapasitas dan integritasnya

serta panitia melakukan pendalaman dan klarifikasi berdasarkan masukan dan informasi dari

177

masyarakat.

Hasil dari semua proses tersebut, baik dari rekam jejak, informasi masyarakat, maupun dari

forum dialog, diumumkan kepada publik dan disampaikan kepada parpol pengusul atau calon

perseorangan dengan harapan dapat menjadi instrumen untuk mengetahui penilaian publik.

Kunci keberhasilan uji publik ada pada dua hal. Pertama, keseriusan parpol pengusul

memanfaatkan uji publik sebagai bagian dari seleksi internal.

Misalnya, parpol dapat melakukan survei mandiri terhadap bakal calon yang diajukan setelah

adanya uji publik untuk mengetahui calon mana yang lebih diterima oleh masyarakat. Kedua,

tingkat partisipasi publik.

Tanpa adanya partisipasi publik, tidak akan diketahui kapasitas dan integritas calon, dan

pengambilan keputusan kembali milik sepenuhnya partai politik. ?

Janedjri M Gaffar

Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Mengenal Platform Partai Perindo Koran SINDO Jum'at, 6 Februari 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/ 2013, pada 23 Januari 2014 yang

menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak mulai 2019,

merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia.

Implikasidari putusantersebut, makapetapolitiknasional dan sistem pemilu di Indonesia berubah

secara signifikan. Dalam era baru penyelenggaraan pemilu itu, keberadaan dan peranan partai

politik, tidak terkecuali partai politik baru, menjadi sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di

Indonesia.

Apalagi, keberadaan partai politik mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam

kehidupan bernegara, karena secara eksplisit diatur dan dicantumkan dalam Pasal 22E ayat (3)

UUD 1945 yang berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”, dan dalam Pasal

6A ayat (2) yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai

politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan

umum”.

Tantangan bagi partai politik, khususnya partai politik baru, semakin tidak ringan pada Pemilu

2019. Partai harus mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang merosot terhadap

partai politik. Partai juga harus mampu memenuhi persyaratan dan regulasi kepesertaan yang

semakin ketat, mampu menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan kompeten, serta

mampu menyiapkan dukungan logistik dan infrastruktur partai yang memadai.

Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah partai politik baru harus

memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk memenangkan perebutan

dukungan, kepercayaan, dan simpati rakyat, sehingga partai unggul dalam perolehan suara

pada Pemilu 2019 kelak.

178

Keunggulan itu dapat tercermin dari ideologi, prinsip perjuangan, jati diri, visi dan misi, platform,

dan modal perjuangan suatu partai politik yang dirumuskan secara jelas dan spesifik

dibandingkan dengan partai politik lainnya.

Pembentukan Partai Perindo

Bertolak dari pemahaman atas peluang dan tantangan di atas, maka di tengah ingarbingar

ketegangan politik antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di

parlemen setelah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang lalu, dibentuklah sebuah partai politik baru

yang luput dari perhatian publik.

Partai politik itu adalah Partai Perindo (Persatuan Indonesia) pimpinan Hary Tanoesoedibjo,

seorang tokoh nasional dan pengusaha sukses di bidang media yang sebelumnya pernah

bergabung di Partai Nasdem dan Partai Hanura. Pembentukan partai ini bukanlah secara tiba -

tiba, melainkan telah dipersiapkan cikal bakalnya jauh-jauh hari dalam bentuk ormas Perindo

yang dideklarasikan di Jakarta pada 24 Februari 2013 oleh Hary Tanoesoedibjo bersama tokoh

nasional lainnya.

Meski sebagai partai politik baru, Partai Perindo telah memiliki badan hukum yang sah

berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:

M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 08 Oktober 2014. Dengan status badan hukum,

berarti satu tahapan verifikasi yang wajib diikuti Partai Perindo telah terlampaui. Tahapan

selanjutnya yang mesti dilewati adalah verifikasi yang dilakukan KPU lolos sebagai partai politik

peserta pemilu.

Dengan status sebagai partai peserta pemilu, Partai Perindo akan ikut menentukan dalam

kompetisi politik tahun 2019 yang akan datang. ”Persatuan Indonesia” sebagai nama partai

diambil dari isi sila ketiga Pancasila. Penggunaan nama tersebut tentu mengandung maksud dan

tujuan, dasar pertimbangan filosofis, serta konsekuensi logis yang harus dapat

dipertanggungjawabkan.

Partai Perindo memahami realitas sejarah bahwa masalah persatuan di Indonesia senantiasa

mengalami pasang-surutseiringdengandinamikadan perkembangan bangsa dan negara.

Persatuan bangsa bukanlah sesuatu yang given , melainkan sesuatu yang dinamis dan harus

terus diperjuangkan.

Partai Perindo menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai dan meyakini bahwa Pancasila

adalah ideologi yang benar, tepat, dan menyelamatkan, karena telah teruji dan terbukti mampu

melewati dengan selamat berbagai ujian dan cobaan disintegrasi dalam proses perjalanan

bangsa, dan tetap berhasil mempersatukan bangsa yang sangat majemuk ini.

Bagi Partai Perindo, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan motivasi, serta rujukan

sekaligus tolok ukur keberhasilan perjuangan partai dalam proses pembangunan bangsa.

Konsekuensi logis dari penggunaan nama tersebut, maka Partai Perindo harus mampu berperan

sebagai garda terdepan Persatuan Indonesia.

Partai Perindo harus senantiasa proaktif mengingatkan seluruh komponen bangsa mengenai

urgensi persatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Partai Perindo

digagas sebagai partai modern yang merupakan hasil perpaduan dari karakteristik partai kader

dan partai massa.

179

Jati diri partai secara singkat dapat dirumuskan sebagai ”Partai modern yang menjad i garda

terdepan Persatuan Indonesia, menjunjung tinggi prinsip keadilan, memelihara nilainilai luhur

budaya bangsa, berbasis pada kekuatan rakyat, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat

dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

” Sebagai partai modern, Partai Perindo harus dikelola secara profesional dan berdasarkan

sistem; mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis;

menerapkan reward and punishment serta merit system dalam kepemimpinan partai;

merencanakan program partai secara sistematis, rasional, terukur, dan terpadu; serta mampu

menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi

kepentingan, manajemen konflik, dan artikulasi ideologi partai ke dalam program dan kebijakan,

dalam rangka mewujudkan tujuan partai.

Adapun tujuan Partai Perindo yang hendak diwujudkan itu, yaitu (1) Mempertahankan dan

mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945, (2) Mewujudkan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, (3)

Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4)

Mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Platform Perjuangan

Faktor distingtif dari suatu partai politik, selain ideologi adalah platform perjuangan. Dari platform

itulah dapat dikenali orientasi dan program perjuangan partai politik untuk mencapai visi dan

misi, serta tujuan yang telah ditetapkan.

Demikian halnya dengan Partai Perindo yang telah merumuskan secara jelas platform

perjuangannya dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP). yang memuat tata nilai dan

konsepsi perjuangannya. Partai Perindo memiliki wisi, yaitu mewujudkan Indonesia yang

bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta berkemajuan, bermartabat, berbudaya, dan

sejahtera.

Sementara misinya adalah (1) Mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan, yang menjunjung

tinggi nilai-nilai hukum sesuai dengan UUD 1945; (2) Mewujudkan pemerintahan yang bebas

dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk Indonesia yang mandiri dan bermartabat; (3)

Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dalam rangka menjaga keutuhan NKRI; (4)

Menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (5) Menegakkan hak dan kewajiban asasi

manusia dan supremasi hukum yang sesuai Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan

keadilan dan kepastian hukum guna melindungi kehidupan rakyat, bangsa dan negara; dan (6)

Mendorong tumbuhnya ekonomi nasional yang berkontribusi langsung pada kesejahteraan

warga negara Indonesia.

Platform perjuangan Partai Perindo adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi

seluruh rakyat Indonesia dengan fokus pada perbaikan secara signifikan kondisi ekonomi untuk

meningkatkan income per kapita, mengurangikesenjangan sosial, dan memperluas lapangan

kerja; pelayanan pendidikan yang makin merata, bermutu dan terjangkau; serta pelayanan

kesehatan dan jaminan sosial yang memadai, sehingga secara keseluruhan kebijakan partai

dapat meningkatkan taraf hidup rakyat yang layak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

adil dan beradab.

180

Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat haruslah

melalui suatu perubahan yang menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah, yakni perubahan

yang dikehendaki (intended change ) dan direncanakan (planned change ), baik di bidang politik,

ekonomi, sosial, maupun budaya, terutama dalam merumuskan rencana kebijakan, subjek,

proses, dan objek perubahan di dalam masyarakat.

Dalam kaitan ini, Partai Perindo menyatakan kesungguhan untuk menjadi kekuatan perubahan

bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya.

Partai Perindo mendorong secara optimal terwujudnya Indonesiasebagainegara kesejahteraan(

welfare state ) yang berdasarkan Pancasila, karena telah memenuhi lima prinsip, meliputi: (1)

cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(2) usaha-usaha swasta di luar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang

banyak diperbolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, agar tidak merugikan

kesejahteraan rakyat; (3) negara terlibat langsung dalam usahausaha kesejahteraan rakyat; (4)

negara mengembangkan sistem perpajakan progresif; dan (5) pembuatan keputusan publik

dilakukan secara demokratis.

Pada akhirnya, apabila kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia dapat

dicapai, Persatuan Indonesia akan kukuh. Partai Perindo berkeyakinan bahwa Indonesia

Sejahtera sebagaimana semboyan ”Gemah Ripah Loh Jinawi ” dan ”Baldatun Thoyyibatun

Warobbun Ghofur ” dapat diwujudkan dengan kerja keras yang berlandaskan pada Tujuh Nilai

dan Prinsip Perjuangan, yaitu Persatuan, Keadilan, Kejujuran, Gotong Royong, Musyawarah,

Antidiskriminasi, dan Perubahan.

Keyakinan itu bertambah besar karena adanya dukungan modal perjuangan yang dimiliki partai,

berupa ideologi Pancasila, figur utama yang berkarakter, sumber daya manusia yang unggul,

jaringan media yang kuat, infrastruktur yang memadai, modal sosial yang besar, serta

keberpihakan pada rakyat kecil yang sungguh-sungguh. ?

Abdul Khaliq Ahmad

Wakil Sekjen DPP Partai Perindo

dan Mantan Anggota DPR RI

Mala Prohibita Abraham Samad Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita bahwa

Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang

dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.

Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana sebagai

balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka tindak

pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal. Belum jelas dan

masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di dalamnya.

181

Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik)

untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka. Namun sumber

Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka karena pemalsuan

dokumen di Sulawesi.

Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk

mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti

yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan

oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda penduduk

Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.

Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti kependudukan

dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen perpindahan yang

sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang bersangkutan bisa

mengurus dan mendapatkan paspor.

Perbuatan yang dilakukan Samad pada tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus

pemalsuan dokumen dan, konon, Samad sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Kalau

cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka

dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah

berlebihan.

Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai oleh umum

meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik antara KPK

dan Polri. Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak

merugikan siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga

dipergunakan untuk suatu kejahatan.

Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu melakukan

perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi belum tentu ada

yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se, yakni suatu

perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undangundang, tetapi

perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan

melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.

Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam

undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos

lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar

aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan

umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena

meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah -tengah

masyarakat.

Apakah melakukan mala prohibita itusalah? Ya, tentusalah karena melanggar aturan. Tapi,

dalampraktiknya, hal-halseperti itutidakdibesar-besarkansebagai kasus kriminal, bahkan banyak

yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain memiliki KTP

Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang memiliki KTP aktif

sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat mengurus dokumen-dokumen

kepindahannya.

182

Ada yang membuat SIM, tetapi kertas ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan

jawaban yang sudah lengkap. Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang

cenderung menerapkan permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang

tidak disertai dengan mala in se. Polri bukannya tak tahu ini. Pada 2012 oleh Kabareskrim

Sutarman saya diundang dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi

ceramah tentang restorative justice.

Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian

masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali

mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum

Indonesia.

Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasuskasus pidana tertentu yang tidak

mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan mengenakan

denda maksimal di lapangan. Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri

menerapkan restorative justice . Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke

pengadilan karena hanya mengandung mala prohibita tanpa mengandung malainse yang berarti.

Polri mengambil penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.

“Kalautidakdemikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke

pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto,

mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad

Ali. Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu

keluarga untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertaimala in

se

Pulihkan Citra KPK dan Polri Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum,

Universitas Bosowa 45,

Makassar

Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat citra

dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri saling

berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.

Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar

masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK untuk

memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat.

Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi

terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung

mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi,

penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.

183

Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan

sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik

terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di kantor

KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim Polri, dan saat

sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2/2/ 2015).

Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-hadapan,

hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu tidak bisa

dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan pelaksanaan

fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan institusi.

Jalan Keluar

Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena

pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru

pertama yang populer disebut ”cicak-buaya ” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto

dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang

oleh Bareskrim Polri.

Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses hukum oleh KPK lantaran diduga

terkait kasus korupsi. Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save

KPK, save Polri, save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum

tanpa intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPKPolri

sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan sementara

dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Dalam kondisi

seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas korupsi. Maka

itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara pimpinan KPK sampai

selesai masa jabatannya Desember 2015.

Presiden juga membentuk panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum

berakhir masa jabatan pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen.

Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana

masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan untuk

sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari jabatannya.

Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan

uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan moral dan persoalan

hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih. Kedua, Presiden segera mengajukan nama

baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG

menggugat praperadilan harus dihargai sebagai upaya mencari keadilan.

Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga kamtibmas dengan tugas:

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4)

UUD 1945). Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

UUD 1945, maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi ha rus

diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam

konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan secara

transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.

184

Saling Mendukung

Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis

antikorupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan.

Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara yang

diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis itu

bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.

Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam

pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh

pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK. KPK dan Polri harus berada pada

posisi setara dan saling mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi. Seteru yang ber larut

justru membuat para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara

bersorak-sorai.

Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim

independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi. Tim

itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri perseteruan.

Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang dilakukan

kedua institusi hukum itu.

Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik kapolri

baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas dan

fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di

kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu dijadikan

landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betulbetul tidak punya beban masa lalu yang bisa

diungkap.

Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015

M BAMBANG PRANOWO

Guru Besar UIN Jakarta/

Rektor Universitas Mathla Guru Besar UIN Jakarta/

Rektor Universitas Mathlaul Anwar,

Banten

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan karena

ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah

pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden

Jokowi.

Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai

kapolri. Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah

menuai protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai

dengan penghasilannya sebagai pejabat di Polri.

Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG)

185

sebagai tersangka. Kasus ini kemudian berkembang liar–bukan hanya prokontra penunjukan BG

sebagai kapolri, melainkan juga ”jegalmenjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK. Dalam

pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan” BG

sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya.

Empat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu

Praja sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang

tersisa (setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya. Buya Syafii

Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah inisiatif Jokowi.

Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai calon kapolri

meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH)

sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPRpun akhirnya menyetujui pencalonan

BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu aspirasi rakyat, tapi

keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.

Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau

sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak tahu.

Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau dan Jokowi

tersandera. Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka

kembalikan (re) ke publik (rakyat).

Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa dan menolak siapa.

Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah Putih (KMP) pasti tahu rakyat

cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik pengusung Jokowi memilih BG.

Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia. Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”.

Presiden menghadapi dilema. Partai politik menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan

dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun

yang diputuskan Presiden. Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan

Presiden? Itulah jiwa nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”.

Bagi seorang prajurit yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara

dan NKRI adalah final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya,

yaitu mendukung keputusan Presiden. Ini karena presiden adalah pimpinan tertinggi negara.

Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan

aspirasi rakyat.

Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa pun

yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI inilah

kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau dilihat dari

layat belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo berseberangan dengan

arah politik Jokowi yang didukung KIH.

Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk mendukung

apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu didukung untuk

kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah karena beliau bukan

pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah pimpinan partai pemenang

pemilu.

186

Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah pimpinan

partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader partai, dan karena

itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini jelas bertentangan

dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau pimpinan partai menjadi

presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi ”petugas” rakyat seluruh negara.

Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan

petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika

seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di

pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat. Apalagi, Jokowi terpilih

dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%.

Iniartinya, yangmemilihJokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan

demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan partai

politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi tidak lagi

menyerimpungnya. Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran.

Jangan melawan suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!

Governabilitas Jokowi Koran SINDO Sabtu, 7 Februari 2015

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,

Universitas Nasional,

Jakarta

Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah

candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran kepemimpinannya?

Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan

kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya kewenangan

politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di kemudian hari.

Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu

mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan konflik.

Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang mempertimbangkan aspek-

aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi banyak bergantung pada asumsi

semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.

Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi tidak

bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan politik

pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk keseimbangan

antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.

Pasca pembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang

dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor

kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang -bayang

figur-figur kekuatan-kekuatan politik lain.

187

Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah

”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri. Benturan -

benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP dengan ikon

utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.

Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia sebagai

pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk pada

kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan, juga

dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks pengambilan

risiko, selain pengelolaan harapan.

Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia

akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor, peta

politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait dengan

konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada

kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.

Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena ketekoran

kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah.Uraian di atas dimaksudkan untuk

memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan dihadapkan pada problem yang

sama. Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi

mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja.

Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi

integrator dan dinamisator yang produktif sehingga politik menjadi kondusif. Pembangunan

membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang berkompeten dalam

mengimplementasikan program-program pembangunan.

Golongan yang tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan

visi presiden. Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu

membutuhkan pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme

”reward and punishment ” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden

Jokowi tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.

Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi

sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan,

termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan

profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer. Pemimpin

memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai spektrum dan

sumber.

Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin penting sebagai referensi

yang mendasari kebijakan (policy ) yang diambilnya secara bijak (wisdom). Dari berbagai

masukan, semua akan berpulang ke dirinya. Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian.

Kesunyian itulah detik-detik untuk memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak

populer. Jokowi tentu akan terus dihadapkan pada kesunyian- kesunyian itu.

Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah berjalan

secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana. Dalam

188

aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan kebijakan,

pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya. Artinya,

sistem harus ada yang diubah.

Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak.

Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal

saranaprasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin

sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.

Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust ) yang tinggi, bahwa

dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih sering

dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera dengan

simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan konflik

kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.

Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi

kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah

menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum

optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber

daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.

Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur? Bergantung

faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di negeri ini.

Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015

Prof Tjipta Lesmana

Pengamat Politik

Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015, tiba-tiba dipanaskan perbincangan

mengenai penandatanganan kerja sama perusahaan mobil Proton dan perusahaan Indonesia

yang dipimpin oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (purn)

Hendropriyono.

HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari Sabang sampai Merauke. Di hampir setiap

ruangan–dari restoran, kafe, lobi hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One, semua

berbicara tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka selalu

melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada apa dengan kerja sama antara Proton dengan

Hendro?

Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama, peristiwa penandatanganan betul -betul

mengejutkan, tampaknya dirahasiakan sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke media

massa. Artinya, hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini. Kedua,

sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan belakangan kerap jadi berita hangat di

media massa, termasuk media sosial.

Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya Hendro menghadap Presiden Jokowi di Istana.

Presiden kerap meminta saran dan masukan dari Hendro terkait berbagai isu nasional yang

189

“panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua orang tahu betapa dekatnya hubungan antara

Hendro dengan Presiden Jokowi. Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan pebisnis

automotif.

Bahkan, Gaikindo sendiri tidak pernah dengar nama perusahaan yang dikomandoi Hendro yang

bekerja sama dengan Proton dari Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak

terdaftar” di Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu

komisaris, atau mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi beberapa tahun

kemudian dia mengundurkan diri.

Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin mobnas bekerja sama dengan

Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri

pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50% kandungan Proton yang dibuat di Indonesia berasal

dari Indonesia. Lha, mobil merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan komponen lokal

sampai 80%.

Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan Malaysia. Masih 50% komponennya

buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih 50% komponen

Proton “dikuasai” oleh Jepang? Masyarakat bingung kenapa kalau memang pemerintah serius

mau bikin mobil nasional, kenapa bukan gandeng dengan prinsipal yang jauh lebih bagus

mobilnya dan laris di Indonesia?

Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi penandatanganan kerja sama ini.

Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia dengan status BUMN, sedangkan perusahaan

yang dipimpin oleh Hendro swasta murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru ketika

mengatakan ini kerja sama B to B (business to business), yang betul adalah kerja sama G to P

(government to private sector).

Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan pers, sehingga muncul pemikiran

untuk menggelar satu seminar khusus yang membahas soal proyek mobil nasional versi Proton

ini. Artinya banyak misteri di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka muncullah

macam-macam rumor.

Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti akan minta bantuan pada Presiden

Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua,

nanti semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton d i

Indonesia itu, sebab orang swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha,

sekarang saja pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobilmobil eks

Jepang dan Korea.

Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era perintah Gus Dur, Proton Indonesia

dikhawatirkan mengikuti pola Timor era Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat -bulat dari Korea,

dan pemerintah membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya, masyarakat tahu

bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.

Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa penandatanganan kerja sama ini terjadi ketika

suasana kebatinan hubungan RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara muncul iklan

Malaysia yang bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di Malaysia. Iklan

itu seakanakan melecehkan kualitas pembantu Indonesia.

190

Perhatikan reaksi media Indonesia, khususnya media sosial, yang marah besar terhadap iklan

Malaysia itu yang menghina PRT kita! Dalam suasana hubungan bilatera l RI-Malaysia yang

begitu tidak kondusif, kenapa kita menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia?

Peristiwa penandatanganan itu seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah- olah

kita melupakan iklan Malaysia tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.

Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat tidak

tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus memperhatikan

momen atau timing., Jika momennya jelek, komunikasi akan tidak efektif, biarpun pesan

komunikasi bagus.

Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri sementara tidak laku di Indonesia,

karena masyarakat sudah apriori gara-gara proyek mobnas yang gagal beberapa kali

sebelumnya. Pemerintah Indonesia memang tidak pernah serius untuk bikinmobil made-in

Indonesia!

Mimpi PDIP Menyapu Pilkada Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015

Didik Supriyanto

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September

2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar di 23

provinsi.

Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap Presiden di Istana,

Rabu (4/2). Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk

memundurkan jadwal pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah

Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali

Kota (Perppu No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).

Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi

muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran

konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang- panjang sampai seluruh tahapan

(tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan

masalah baru.

Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut. Menurut Pasal 201 ayat

(1) UU No 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa

jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan

pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan, tahapan pertama pilkada

yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.

Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan- peraturan teknis

penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No 1/2015

selesai. Komisi II DPR me-nargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang paripurna

DPR pada 17 Februari nanti.

191

Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal

menyepakati revisi UU No 1/ 2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera

dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No 1/2015 maka akan

banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.

Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No 1/2015 maka ada dua

kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU,

tahapan pertama pil-kada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua,

jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam bulan

(seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara

Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi

permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.

Salah Informasi?

Katakanlah, revisi UU No 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras

memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015; maka

langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan teknis

pilkada yang jumlahnya puluhan.

Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada

harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya,

tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri.

Sebelum disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan

pemerintah. Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada

September 2015 mustahil bisa dipenuhi. Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada

langsung (dua kali di Solo dan satu kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa

pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-merta dilakukan begitu undang-undang disahkan.

Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan

operasional lain. Namun karena dalam pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon,

mungkin saja Jokowi tidak paham sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada

tersebut. Oleh karena itu, saya menduga Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak

buahnya sehingga dia meminta agar pilkada serentak digelar pada September 2015.

Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan

pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah

penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke presiden tepat. Rasanya

tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo tidak

memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.

Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, T jahjo menyelipkan kepentingan

partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015.

Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan dengan

keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam pilkada

serentak nanti.

Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang

192

partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP percaya

kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap

kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal

pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.

Mengulang Taktik SBY

Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu

2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi kesemrawutan

dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No

32/2004.

Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai- sampai Komisi II

DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke tahun

berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga ketua dewan

penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal, mulai Juni

2010.

Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih menguntungkan

karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa

mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya harapan

itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada

digelar pada September 2015, alasan sebenarnya kurang lebih sama dengan SBY dan Partai

Demokrat lima tahun lalu.

Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang

kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama (2005 -

2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi kepala

daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang terkait dengan

penyelenggaraan pilkada.

Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada

dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. MahkamahKonstitusi pun

kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.

Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada serentak

pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan pilkada Juni

2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat, juga tidak

terjadi.

Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi,

mestinya jadi pertimbangan utama.

Kewenangan Minus Etika Koran SINDO Selasa, 10 Februari 2015

Danang Girindra Wardana

Ketua Ombudsman Republik Indonesia

193

Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah keprihatinan terhadap situasi dua lembaga

tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK.

Lembaga yang digadanggadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini tengah

terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda penegakan hukum

tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan penegakan hukum itu sendiri.

Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara Presiden dipandang menjadi

sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan penyelesaian masalah. Beberapa tokoh malah

terkesan latah menghujat institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok personal

Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.

Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh- tokoh itu memahami pentingnya Presiden bersikap

netral, menghormati tanpa intervensi terhadap upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif

terhadap urusan yudikatif dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan proses

politik impeachment.

Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua dimensi lain yang perlu dipelajari untuk

mencegah konflik terulang di masa depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus emosionalitas.

Benar bahwa supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi hukum yang

sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah hukum ke dalam

rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum lengkap dengan motif

dan hasratnya.

Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat publik dengan segala rasionalitasnya

terdapat dimensi emosional dalam bentuk motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas

keputusan pejabat publik, tidak bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible assets)

manusiawi. Rasionalitas bisa diartikan inteligensia.

Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini untuk mempelajari semua hal terkait proses

pembuatan keputusanataukebijakan. Namun, pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga

memiliki dimensi emosionalitas, dalam salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak suka)

yang kemudian menyaring aneka pilihannya ketika menentukan hal yang perlu diperhatikan

dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan.

Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah dirancang RUU Etika Penyelenggara

Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi bagian penting dari agenda reformasi birokrasi

ini masih belum dilanjutkan dan dikeluarkan dari jadwal prioritas pembahasan.

Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika penyelenggara negara, maka b isa

diharapkan adanya batas-batas etik yang berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara dan

Pemerintahan terkait dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap etik

dalam menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.

Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam ranah individu-individu, namun dimensi

etik berada di ranah sosial, karena itu etik sering kali paralel dengan norma-norma yang berlaku.

Etika akan selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga akan mewarnai

dampak dari produk kebijakan itu.

Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang bagus atau berkualitas–karena telah

194

sesuai dengan prosedur baku– namun dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada ruang

dan waktu tertentu maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan apapun

bakal tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka), bukan lagi soal

benar-salah keputusan atau kebijakan itu.

Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana, tampak jelas bahwa fenomena

perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan masalah etik. Kedua belah pihak tampak

lebih bernafsu mempertontonkan kewenangan (show of force) sehingga minus kaidah -kaidah

etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat pengaturan seragam untuk semua

institusi negara dan pemerintahan).

Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar menindak dugaan pidana, namun

tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan itu juga dipertontonkan sedemikian rupa

pada ruang waktu tertentu, pada momentum tertentu, dengan cara tertentu. Apa etik yang

dilanggar?

Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing, sehingga itu bisa dipakai untuk

mengukur seberapa besar deviasi antara aturan dan praktik. Pengawas internal atau dewan etik

bisa berperan untuk menilai dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran etik supaya

kredibilitas lembaga tidak ternoda.

Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga ataukah etik ska la makro yang perlu

dipakai untuk mengukur deviasi etik pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode etik yang

berlaku di setiap lembaga publik berbedabeda, maka ketentuan itu hanya berlaku dan mengikat

ke dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK dipergunakan untuk menindak

etika pejabat Polri.

Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro berlaku untuk seluruh lembaga negara

atau lembaga pemerintahan belum ada. Etika penyelenggara negara berada di ruang makro

yang berkaitan dengan kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di dalam

kepentingan sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan -

kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilakuperilaku kewenangan.

Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara negara perlu mengemukakan

pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan lembaga-lembaga negara atau pemerintahan

terletak di bawah kepentingan strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat

pemahaman di antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai kewenangan

itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan strategis

nasional.

Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat dengan norma-norma pejabat negara

yang secara makro berlaku umum, menurut saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan utama:

mengedepankan kepentingan strategis keamanan nasional dan ketertiban publik; menjaga

rahasia negara dan jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan ucapan yang

jujur; bertindak egaliter tidak diskriminatif.

Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik baik di KPK, Polri, ataupun

kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa ruang dan waktu adalah faktor penting dalam

menjalankan kewenangan, perilaku sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang

195

nondiskriminasi, maka hal itu bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik

diindikasikan kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.

Bila teori itu diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai apakah

ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian mengumumkan atau

menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi tersangka, sudah melalui

kaidah-kaidah etik atau tidak.

Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan turunannya secara substansial

mengatur tentang prosedur hukum acara pidana, tetapi manusia-manusia penegak hukum

menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap

eksekusi kewenangan terhadap pihakpihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan

keputusan atau melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.

Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa mengaburkan substansi hukum. Maka tidak

heran jika kemudian muncul penilaian publik terhadap para pejabat publik di kedua belah pihak

itu sebagai arogan, diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa. Penyimpangan kaidah etik

berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang disangkakan melanggar

pidana?

Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi pelanggaran etik bisa berdampak lebih

serius terhadap sosial masyarakat (publik) dan atau harga diri instansi-instansi publik (baik di

KPK ataupun Polri). Dampaknya terhadap masyarakat luas bisa terjadi polarisasi dukung-

mendukung terhadap kesatuan instansiinstansi publik secara membabi buta yang mengancam

kesa-tuan bangsa, kepastian hukum dan ketertiban sosial.

Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana, juga bisa menjadi masalah yang

serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang terjadi saat ini dan yang dulu dikenal dengan

cicak lawan buaya, terjadi juga karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa perilaku dan

model komunikasi) yang diduga tidak etis.

Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di beberapa tempat, penyebabnya

sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa oknum yang kemudian melebar pada konflik

dengan kekerasan antar kesatuan.

Ke depan, model-model show of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang minim

etika, mesti diganti dengan model show of wisdom, yang lebih menginspirasi para pejabat publik

untuk menunjukkan kewenangan dengan penuh etika. Lebih elegan dan simpatik, begitulah kira -

kira.

Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika penyelenggara negara, supaya

supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika bangsa Indonesia tanpa mengurangi

substansinya.

Uji Publik Calon Kepala Daerah Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015

Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka revisi Undang- Undang (UU)

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah uji publik calon kepala daerah.

196

Dalam UU tersebut, uji publik ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum penetapan

dan pengajuan sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat pencalonan kepala

daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh penyelenggara pilkada

yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan penyelenggara.

Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk memperkuat pelibatan atau partisipasi

publik dalam penjaringan calon kepala daerah sejak penentuan bakal calon oleh partai politik

dan perseorangan, sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini ”menyeleksi” calon

terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong semakin selektif,

transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.

Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk meminimalisasi oligarki partai dalam

menentukan calon kepala daerah—yang selama ini ditengarai lebih menonjolkan pertimbangan

popularitas dan modal (materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.

Pro-Kontra

Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014 maupun Perppu No 1/2014 yang

menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya ada kesepahaman pembentuk UU (DPR, DPD,

dan Pemerintah) bahwa uji publik perlu diangkat menjadi norma UU.

Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan materi in i dalam kapasitas saat itu

sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI. Bahkan, uji publik sejak awal merupakan konsepsi

yang secara resmi diusulkan oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut dalam norma

undang-undang secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika pembahasan.

Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan UU Nomor 22/ 2014 mendukung

gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan calon terbaikdari

sejumlah bakal calon yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik dan perseorangan.

Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada adalah menghadirkan pemimpin

daerah yang berkualitas dalam rangka mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin yang

demikian dapat diperoleh jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk mengetahui dan

menguji rekam jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal calon sebelum

dicalonkan sebagai kepala daerah.

Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi terhadap hasil pilkada selama ini.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak calon yang diajukan oleh partai politik maupun

perseorangan sebenarnya bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang

yang menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.

Sementara proses penentuan calon merupakan hak prerogatif” partai politik, yang sayangnya

lebih bernuansa oligarkis, nir-public discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal

ketimbang kualitas dan kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga ruang

publik turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.

Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk yang akan direvisi dengan

argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan kewenangan partai politik dalam proses

penjaringan bakal calon, sebagaimana langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu

197

fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?

Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian lalu merekomendasikan

bahkan dapat menentukan layak atau tidak layak bakal calon, lalu di mana letak kewenangan

partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi? Uji publik juga menjadikan tahapan pemilu

menjadi lebih panjang mengingat penambahan jadwal sebelum pencalonan.

Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan karakter seseorang sehingga gagal atau

batal dalam pencalonan. Toh publik pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama masa

kampanye hingga saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut mereka

terbaik di bilik suara.

Uji Publik Berkualitas

Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara objektif menguntungkan publik dan

menghasilkan kepala daerah yang berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang

belum—menjabarkan konsep uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin

materi muatan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.

Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu esensi (dan urgensi) uji publik.

Esensinya adalah pelibatan publik sehingga publik menjadi sentral dalam proses-proses pilkada.

Pesannya, setiap calon harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik” sebagaimana

kredo demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus diletakkan dalam kerangka tersebut, bahwa

parpol sejatinya adalah publik itu sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana ada parpol

yang berani mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang menggali kubur

sendiri.

Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya untuk menangkap segala kepentingan,

kebutuhan, dan harapan publik, yakni: kepala daerah yang berkualitas. Pelaksanaan uji publik

terhadap bakal calon kepala daerah sama sekali tidak ada ruginya, bahkan justru

menguntungkan partaipolitikkarenaruanguntuk seleksi yang selama ini dilakukan oleh partai

politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih luas.

Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal calon untuk diseleksi awal (pre -

eliminary selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati publik, tapi juga

bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal ini jelas mengatasi ”maha lnya”

ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya mendapatkan calon yang tepat hingga gesekan

persaingan antarcalon—yang selama ini (juga) banyak dikeluhkan partai politik.

Pemahaman tersebut selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam regulasi

penyelenggaraan pilkada. Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk menguji dua aspek

utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh

pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon kepala

daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua

aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan)

yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih menonjolkan

198

aspek popularitas dan modal (materi).

Jalan Tengah: Publik dan Partai

Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh suatu panel independen yang dibentuk

oleh penyelenggara pilkada di mana panel memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka

dan menerima masukan publik terhadap bakal calon kepala daerah.

Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat menggali, menerima, dan menguji-

silang informasi publik terkait aspek kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala daerah.

Dengan kewenangan demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan sertifikasi

apakah bakal calon layak (qualified) atau tidak layak (unqualified).

Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi dari partai politik sebagai peserta

pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk

secara proaktif mengungkapkan data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa

menjustifikasi layak atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah

yang bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.

Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan profesional niscaya akan menghasilkan

demokrasi pemilihan kepala daerah yang lebih matang.

Prof DR Farouk Muhammad

Wakil Ketua DPD RI

Jurus Pendekar Mabuk Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015

Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas publik terhadap peristiwa yang diyakini

bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tanpa rasa takut,

bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika ungkapan itu terkait dengan upaya

pemberantasan korupsi yang telah sangat meresahkan.

Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional atas hak-hak sipil dan politik yang

tertuang dalam Undang- Undang No 12 Tahun 2005 mewajibkan negara untuk menjamin adanya

hak mengemukakan pendapat. Kebebasan berekspresi bukan hanya karena esensi atas hak itu

sendiri, tetapi ia penting apabila hakhak asasi lainnya ingin dicapai.

Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang

bebas dari praktik korupsi. Itu sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi hukum

Indonesia saat ini, terutama di saat KPK tidak berdaya. Kini perdebatan nasional justru soal

perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu sesungguhnya adalah upaya bangsa ini

memerangi korupsi.

Topiknya justru beralih dan sering kali perdebatan melebar ke mana-mana. Dalam acara diskusi

di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015), mantan Wamenkumham Denny Indrayana (DI)

menyebut bahwa langkah Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan praperadilan KPK ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mirip pendekar mabuk. Langkah itu tidak memiliki dasar

199

hukum. Akibat dari pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.

Soal Praperadilan

Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk mengajukan praperadilan tidak

ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah, dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen BG

mempertontonkan jurus pendekar mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini

memunculkan pembicaraan dan reaksi cukup luas.

Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika ada pihak yang pro atau kontra

dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang memaksakan pendapatnya sebagai yang paling

benar sehingga antipati dengan pendapat orang lain. Mereka yang kont ra dengan langkah

praperadilan Komjen BG menilai bahwa apa yang dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada -

ada saja.

Pihak yang kontra dengan langkah BG berpendapat bahwa KUHAP telah secara rigid

menentukan hal-hal yang dapat dipraperadilankan, yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu

penangkapan dan atau penahanan, (2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a)

(3) sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1

huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan (4) terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau

rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau

pada tingkat penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP).

Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang membuat Denny menyebut langkah

Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk. Namun mereka yang pro dengan langkah

Komjen BG juga memiliki argumentasi, tidak sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di

media, Eggi Sudjana sebagai salah seorang pengacara Komjen BG pernah membeberkan

argumentasinya mengajukan praperadilan.

Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan: ”Dalam hal seseorang dirugikan sebagai

akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh KPK, bertentangan

dengan Undang-Undang (KPK) atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan

berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”

Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang

yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan pengajuan

praperadilan sebagaimana ditentukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana. Dalam perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi

harus menerima permohonan praperadilan.

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa/ mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan alasan hukum tidak/kurang jelas, hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak

sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu

putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karen a

pernah diadukan atas sejumlah kasus ke KY.

Implikasi Kriminalisasi

200

Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan banyak korban di negeri ini. Salah

satu kenikmatan luar biasa dari reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang tid ak

dimiliki oleh banyak masyarakat di muka bumi ini. Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara

yang otoriter, penguasa yang sensitif atas kritikan.

Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah dilakukan apabila dinilai suatu media

terlalu kritis terhadap penguasa. Luar biasa buah dari reformasi yang diperjuangkan dengan

susah payah oleh berbagai elemen dengan mahasiswa sebagai motor utamanya itu, kini

Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh negara-negara tetangga.

Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani menawarkan berbagai solusi. Semua ini terjadi

dikarenakan adanya keberanian mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi dengan

pendapat-pendapat kritis sekalipun. Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI

yang menganalogikan langkah BG sebagai jurus pendekar mabuk.

Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era sekarang ini masih ada sekelompok

masyarakat yang tetap memelihara pola pikirnya yang jauh ke belakang dalam soal kebeba san

berpendapat. Salah seorang menteri saja ”berani berucap” bahwa mereka yang mendukung

KPK adalah rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi publik tergolong ”biasa -biasa saja” dan malah

dibalas dengan berbagai joke .

Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat mematikan sikap kritis banyak orang

yang dalam porsi masing-masing telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini. Ada

potensi, kriminalisasi itu diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan pasal

pencemaran nama baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi terhadap

pemberantasan korupsi.

Masyarakat yang kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance. Kriminalisasi

dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan. Memang materi laporan

terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main ”pukul rata” terhadap setiap laporan

yang terkait dengan BG agar tidak pula dinilai menggunakan jurus mabuk.

Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan selalu ada potensi pencemaran nama

baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa dengan silang pendapat dalam berbagai rupa.

Prof Amzulian Rifai PHD

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Korea Utara dan KAA Koran SINDO Rabu, 11 Februari 2015

Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada 19-24 April 2015 di Bandung. Selain

untuk ajang berkumpul negara-negara anggota, konferensi kali ini sekaligus memperingati 60

tahun terselenggaranya acara yang sama di tempat yang sama.

Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk

mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih dari

100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas negara -

201

negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara dua negara

besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial

belaka, karena dalam kenyataannya negaranegara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur politik

dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika yang

berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia, Thailand, tetapi

ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga termasuk Korea Utara.

Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik

luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika

Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan

sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut tetap

bergeming sesuai yang diinginkan.

Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan PBB

No UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini sendiri

memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan untuk

melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negaranegara lain.

Rangkaian sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan

negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri. Terkait dengan tujuan

tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan pelaksanaan KAA telah

mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat Barat.

Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada Korea

Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah

pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk

mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi

kepentingan strategi di masa depan?

Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam

konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik

dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang mengunjungi

Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat

George Bush.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea Utara

untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta -fakta ini

bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih luwes.

Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga dilakukan

oleh Indonesia.

Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi yang

menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah negara

jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadangkadang tidak menimbulkan

reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.

Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari Stockholm

International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara, menemukan bahwa

202

sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat sanksi memang

mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat di luar negeri.

Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak 75% entitas bisnis

dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian informasi dalam laporan

tersebut. Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Kor ea

Utara, sementara kaum elite tetap dapat bertahan.

Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru

dirugikan. Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah

resolusi sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang

menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat bertahan

hidup juga mendapat embargo.

Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan

terusmenerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya

suatu instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar -samar

(vague ), sebatas ada ”reasonable grounds to believe ” (alasan yang masuk akal untuk meyakini

sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti -bukti nyata apa pun,

semata bergantung pada keyakinan (belief ) yang subjektif yang dapat didasarkan pada atau

dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).

Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia

dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa

”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak

masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen

kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan

target kebijakan itu sendiri.”

Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas

terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa dalam

sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.

Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimbulkan biaya

yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang

menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan

mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.

Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan

obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan

bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi. Smart

atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sektor.

Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap Indonesia,

baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga dengan

demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar negara!

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

203

Memotret Wajah Politik KPK Koran SINDO Kamis, 12 Februari 2015

Ma’mun Murod AL-Barbasy

Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP)

FISIP UMJ

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk menanggulangi dan

memberantas korupsi.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan mana pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang dapat

memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait dengan

tindak korupsi.

Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai lembaga penegak hukum. KPK tidak

boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus steril

dari kepentingankepentingan internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum, akuntabel,

proporsional, dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.

Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah yang

tak seharusnya dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad. Terlalu

sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu secara moral, ini

hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.

Wajah Politik

Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, publik dibikin kaget ketika

muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK untuk ”konsultasi” terkait caloncalon

menterinya. KPK memberikan rekomendasi atas namanama yang dinilai berapor merah dan

kuning. Saat itu berbagai spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi tersebut sebagai

bentuk kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi dalam menyusun kabinet.

Jokowi tak mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi yang menyebut bahwa

Jokowi sengaja ”nabok nyilih tangan ” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB,

dan partai pendukung lain. Ada juga yang menyebut KPK telah offside . KPK dinilai terlalu politis.

Apalagi kalau menyikapi pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang

kalau tetap mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang tidak

lama KPK akan menetapkan status hukumnya.

Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari pimpinan lembaga penegak hukum. Buktinya, tiga

bulan lebih setelah menteri-menteri berapor merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan

hukum dari KPK. Rasanya bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis.

Seminggu sebelum menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka, Abraham sudah cuapcuap

ke media bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK akan menetapkan tersangka terkait

204

proyek barang dan jasa penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2012 -2013. Abraham

bahkan menyebut bahwa ”calon” tersangka merupa-kan petinggi negeri.

Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK. Menetapkan seseorang jadi

tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya

layak disandang oleh para politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.

Ketika Setya Novanto terpilih jadi Ketua DPR, Abraham menyayangkan karena Setya pernah

beberapa kali diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya,

Zulkifli Hasan yang ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham,

justru beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut -turut.

Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan status hukum

seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta keterangan Zulkifli

yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap soal rapor merah dan kuning calon

menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan cara-cara kerja KPK selama ini dalam melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Minta Maaf JPU

Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus Anas Urbaningrum. Penetapan

tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas

sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti oleh

bocornya surat perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek

Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.

Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada alasan yang dibuat -buat, Anas

dituduh melakukan obstruction of justice. Karena modalnya hanya kesaksian Nazaruddin dan

pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan ”pencucian keterangan”. Nazaruddin

dimuliakan jadi justice collaborator, sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio.

Adalah pemaksaan yang luar biasa telanjang ketika seorang Pinokio ditinggikan derajatnya

menjadi justice collaborator hanya karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan Anas

bersalah. Anehnya juga, hakim pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio sebagai dasar

untuk menjatuhkan vonis berat kepada Anas, vonis yang mengabaikan fakta persidangan.

Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar diadakan mubahalah, yang kalau

ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari

disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas juga pernah

berkata ringan, ”Karma akan bekerja dan mencari alamatnya sendirisendiri”. Sekarang muncul

kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul pula laporan untuk Adnan Pandu Praja dan

Zulkarnain.

Bambang sudah menjadi tersangka. Abraham kabarnya juga segera menjadi tersangka. Dua

pimpinan KPK yang lain sedang dalam proses penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi. Di

dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena itu, jangan

adigang, adigung, adiguna ; jangan pula bersikap sopo siro sopo ingsun.

Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada keterkaitan dengan ajakan mubahalah

dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri dan wilayah

205

kekuasaan Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti balasannya.

Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga. Aturan main yang demikian berlaku

buat kita semua, apa pun tugas kita.

Bisa jadi komisioner KPK, penyidik, jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat, atau apa saja.

Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir, komandan JPU sempat

menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya melaksanakan perintah. Fakta ini

sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis majelis hakim untuk menghindari adanya bias

penafsiran di mata publik.

Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya ”melaksanakan perintah” semakin

memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, tapi kasus politik

yang memanfaatkan rapuhnya institusi lembaga penegak hukum.

Kembali ke Khitah KPK

Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang setia kepada khitah saat KPK

didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan politik para pimpinannya dan pihak-pihak

lain yang bisa memesannya.

Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel dalam tugas pemberantasan

korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan bersinergi dengan lembaga- lembaga penegak

hukum lain.

KPK yang demikian itu adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah KPK

yang sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam .

Membaca Joko Widodo Koran SINDO 13 Februari 2015

Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi, merupakan sosok fenomenal.

Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di

bidang mebel, dia lalu masuk jajaran kelas menengah.

Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo yang berhasil. Jika diletakkan

dalam deretan bupati dan wali kota lain yang dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi

Jokowi tak jauh berbeda dari Bu Risma, Wali Kota Surabaya; atau Abdullah Azwar Anas,

Bupati Banyuwangi. Yang membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi

politik.

Di atas semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi. Dalam keyakinan

Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para

206

leluhurnya. Jadi, dalam kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar

wasilah. Adapun garis tangan sudah ditetapkan dari langit.

Kalau dalam pandangan modern, posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan

jejaring politik, terutama PDIP yang menjagokannya. Dan kini ketika suasana gaduh, perlu

diurai kembali serta direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya

mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat ini.

Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap metamorfosis untuk

pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya sangat cepat, menyalip dan

mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang sudah malang-melintang belasan dan

puluhan tahun baik dalam tubuh parpol maupun pemerintahan.

Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang kemudian berhasil memenangi

Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu loncatan kuantum (political quantum leap). Agenda

penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap berhasil, ditambah lagi

kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi oleh media massa pendukungnya sebagai

antitesis dari gaya kepemimpinan formal-elitis politisi pesaingnya.

Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber community tentu saja sangat

menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum selesai mengemban tugas sebagai gubernur,

sudah naik dan lebih berat lagi medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden.

Kemenangan Jokowi, sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik

konvensional. Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan

ucapannya ”Ra popo”. Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan bukan

sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil melakukan

improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang.

Jika bacaan ini benar, Gus Dur dan Jokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri heboh.

Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan ongkos sosial-

material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.

Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong Jokowi, melainkan dari mereka

yang bersimpati dan memiliki harapan serta kepentingan dengan kemenangan Jokowi.

Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu saja bermacam-macam dan tidak mesti

berkonotasi negatif. Memang selalu ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan

pribadi dengan cara membayar saham politik di depan.

Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya Presiden Jokowi. Bahkan diri

Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas

karena setiap pribadi memiliki potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu

dengan variabel pendukungnya. Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang

kemudian melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan

207

LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi yang tak

terbayangkan sebelumnya. Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan

dilakukan Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga-duga

apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan berbagai political

stakeholder ini.

Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian,

dan jebakan yang semua itu akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri. Dulu Pak Harto

bermodalkan Supersemar untuk merintis kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut

politik yang berdarah-darah dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang

mengatasi rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para pembantunya,

alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk duduk di jajaran kabinet.

Namun kendali politik tetap di tangannya.

Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi

yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang

Jawa, memang tidak mudah dibaca dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap

tenangnya.

Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi Jokowi, akankah perseteruan

jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan mematangkan sosok Jokowi sebagai

presiden lima tahun ke depan sebagai sosok yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik

ucapannya: ra popo?

Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi

meskipun mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama. Dia

boleh saja yakin bahwa posisi presiden itu merupakan takdir dan penunjukan dari langit.

Namun masyarakat modern semakin berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak

Tuhan itu telah didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei.

Rakyat telah menunjukkan harapan, kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu

sehingga Jokowi jadi presiden. Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu

dikecewakan, baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilu sikapnya

sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji angin surga.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Kenangan Sportivitas Polri Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015

Moh Mahfud MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

208

Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK) memutar

rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK, Bibit Samad

dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami perlakuan yang kurang

menyenangkan dari pihak “oknum” Polri.

Namun akhirnya MK dan Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap

sportif. Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah

mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi

terdakwa diberhentikan dari jabatannya”.

Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan direkayasa kedua komisioner KPK itu

dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke rumah tahanan, dengan dakwaan mener ima

suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka

diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari

Azhar dihukum.

Kalau kedua komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang

sehingga, dalam pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi

lumpuh. Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki

rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan

Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.

Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman yang

disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada relevansinya

MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU? Masak menguji

konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar rekaman pembicaraan

telepon?

Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam MK karena menyetel rekaman itu.

Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran

materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa direkayasa.

Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya dianggap tak

pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.

Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim

Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan Chandra

untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta Kejaksaan

Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya. Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror

atas peristiwa itu.

Dua hari setelah penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopirsopir

pengawalan, dan penjaga rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada

yang memerintahkan pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit

yang mundur dari tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi.

Pengunduran diri (yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.

Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam.

Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK menawarkan

santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi saya tidak

menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri pertahanan,

209

saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan komunikasi dengan

pimpinan Polri.

Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan

untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya

hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk merusak

Polri sebagai institusi.

Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK

hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada

maksud menyerang Polri. Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal

untuk meyakinkan bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan

orangorang penting di Polri.

Saya menye-lesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima

penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor saya

dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi tanggung

jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu Ketua MK merasa

tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata Wahyono.

“Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini. Yang

mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung Wahyono.

Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun

antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri

bersifatcorrect seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.

Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya

terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan

kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri.

Polri pun percaya dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik

kami dengan sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?

DPR (Bukan) Anutan Rakyat Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015

Victor Silaen

Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang yang terpilih dengan susah-payah

demi memperjuangkan aspirasi rakyat.

Mereka niscaya cerdas, bijak, dan layak dipercaya. Namun mengapa sejak dulu hasil survei

selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga terkorup? Pakar politik Fachry Ali pada 31

Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7% responden mengatakan DPR sebagai lembaga

negara terkorup, disusul dengan institusi Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan

pada periode 16-22 Januari 2015 itu juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat

terhadap partai politik sebagai lembaga yang ”bersih”.

210

Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik. Selain itu, survei menunjukkan hampir

separuh responden (49%) kurang percaya dengan DPR dalam menjalankan fungsi dan tugas

pokoknya sebagai lembaga legislatif. Hanya sebanyak 23% responden masih mempercayai

DPR. Pada akhir 2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk

meminta penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga

terkorup nomor dua setelah partai politik.

Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen diposisikan sebagai lembaga

terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1 (tidak korup) sampai 5 (sangat korup), parlemen

memperoleh skor 4,4 (naik 0,2 poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin. Padahal mereka

adalah wakil rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle ) untuk dan atas nama rakyat.

Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah nafsu besar menumpuk kekayaan bagi diri

sendiri tak ada di sanubari mereka. Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk dan

atas nama rakyat, mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah sebabnya

mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka ”tidur bersama” di

ruang sidang.

Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni bermain gadget, mulai dari SMS (short

messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya tak terkait dengan

kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang kian lama kian menyebalkan. Sudah

digaji besar, dapat fasilitas mewah dan tunjangan ini itu, masih juga tega mengecewakan rakyat.

Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap mereka. Sebab kinerja

politisi itu umumnya memang jauh dari memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian dari

mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya nyaris

tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.

Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa orang

lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah berpikir

bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara secara tidak

produktif? Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para wakil rakyat

itu, khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya sekarang cukup ”1D” saja, yakni

duit.

Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa ”duduk” dan ”diam” di rumah rakyat itu?

Itulah gambaran wakil rakyat minus keterpanggilan. Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR

pernah mengungkapkan keprihatinannya atas kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan

para wakil rakyat itu. ”Itu akan menjadi perhatian bagi kita semua, utamanya Badan Kehormata n

DPR,” kata Ketua Badan Kehormatan Muhammad Prakosa (26/ 2/2013).

”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2 disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR

diwajibkan secara fisik,” imbuhnya. Namanya kewajiban, mestinya diikuti sanksi jika dilanggar.

Namun, adakah kita pernah mendengar tentang anggotaDPRyang diberi sanksi karena rajin m e

m b o - los? Tidak. Itulah seb a b n y a sebagian besar dari m e r e k a dengan entengnya

mencalonkan diri lagi untuk periode 2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat

kursi lagi di parlemen, bahkan ada yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden Jokowi.

Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang, mereka malah tidak mau menggunakan

211

sistem elektronik melalui cap jempol (finger print ) untuk daftar hadir. Mereka lebih menyukai

sistem daftar hadir manual dengan tanda-tangan di atas kertas. Menurut Ketua Badan Urusan

Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila memakai finger print , seakanakan hal itu sama

dengan praktik absensi pegawai swasta di dunia perbankan.

”Kami bukan pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti lembaga lain. Ini lembaga politik,

lembaga pengambil kebijakan. Yang penting adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu.

Padahal, pengadaan alat finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR

periode sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu tetap

akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang belum diaktifkan

karena alasan teknis.

”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah teknis,” kata Roem Kono. Arogan betul dia.

Apa maksudnya membandingkan diri dengan pegawai bank? Jangankan pegawai bank, sejak

beberapa tahun terakhir ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi lain juga sudah banyak

yang menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya, tentu saja, demi kedisiplinan

dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa diketahui sesuai dengan ketentuan

atau tidak.

Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri, lalu bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-

orang lain? Sejujurnya kita kecewa, bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya

dapat menjadi anutan bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap

masuk ke DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk menggapai

ambisi berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet, dan sebagainya.

Maka, layaklah jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat. Tak pelak, sejumlah kritik patut

disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi wakil rakyat yang terhormat itu sulit karena

diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin

wakil rakyat itu adalah bersidang dan beradu argumen. Untuk itu setiap wakil rakyat harus berani

bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.

Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang tapi

ngawur, (2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti apa pun

yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang terjadi, alih-alih

menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen nyaris sia -sia karena

memboroskan anggaran negara.

Seandainya kursikursi politik yang mereka duduki itu ditempati orang-orang lain yang memang

berkompeten, tidakkah rakyat senang dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya?

Kedua, menjadi wakil rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang

bersifat Ilahi).

Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar, tulus, serius, tekun, dan disertai

tanggung jawab yang besar. Ketiga , karena ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat

apa kemauan mereka. Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai.

Perindo: Menggagas Politik Kesejahteraan Koran SINDO Sabtu, 14 Februari 2015

212

Mardiansyah SP

Pengurus DPP Partai Perindo, Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI)

DKI Jakarta

Diskursus partai politik dan masa depan demokrasi Indonesia selalu menghadirkan kehangatan

tersendiri terlebih akhir-akhir ini di tengah ironi perpecahan partai politik besar Tanah Air, seperti

Partai Golkar dan PPP.

Suguhan drama politik konflik elite bagi perjalanan demokrasi kita sangatlah tidak sehat, karena

partai politik adalah cerminan demokrasi yang utama sehingga partai yang ”satu” (baca: tidak

pecah) menjadi harapan sebagian besar rakyat. Dalam riuh rendah politik dan dinamika

berpartai, rupanya tidak menghalangi satu kekuatan baru lahir sebagai poros alternatif rakyat

menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai baru besutan Hary Tanoesoedibjo, yakni Partai

Persatuan Indonesia (Perindo).

Kelahiran Partai Perindo merupakan metamorfosa sekaligus transformasi dari Ormas Perindo

sebelumnya yang mengusung tema besar mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu,

adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat, dan berbudaya. Partai Perindo dengan jargon

”bersatu memimpin bangsa” setidaknya harus mampu memberikan jawaban atas kegundahan

publik selama ini, utamanya apatisme rakyat akan keberadaan partai politik.

Apakah Partai Perindo (1) murni lahir ”dari” dan ”oleh” napas rakyat serta nantinya tumbuh

bersama aspirasi rakyat yang menghendaki kesejahteraan Indonesia lebih baik; dan (2) mampu

benar-benar menjalankan fungsi partai politik sejatinya bukan justru menambah kekisruhan,

keruwetan, dan kebingungan masyarakat karena semakin banyaknya jumlah pilihan partai politik

di samping yang sudah ada saat ini.

Dan sejak 7 Februari melalui deklarasi Partai Perindo, sejarah baru kehidupan partai politik mulai

ditorehkan seraya menegaskan ijtihad politik kesejahteraan yang menjadi pilihan perjuangan

partai Perindo sebagai ”part of solution” bukan ”part of problem”.

Kualitas Partai

Mendirikan partai baru bukanlah satu pekerjaan yang mudah meski alam demokrasi sekarang

memberikan jalan dan ruang lebih terbuka. Partai baru bukan sekadar ”baru” dalam arti

menambah jumlah akan tetapi bermakna baru dari segi kualitas.

Partai Perindo menjadi partai baru tidak an sich dalam wajah saja, melainkan baru juga dalam

memberikan warna, platform perjuangan, misi dan program- program yang berkualitas untuk

Indonesia masa depan. Pendirian partai politik yang berkualitas setidaknya mensyaratkan

perencanaan menyeluruh disertai muatan sumber daya manusia yang menggerakkan organ

partai itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan kader.

Pada bagian inilah kerap sejumlah partai politik di Indonesia kurang memberikan perha -tian

serius, di mana kader sesungguhnya menjadi kunci penting dalam melahirkan partai yang

berkualitas. Partai Perindo dituntut jelas dan tegas menerjemahkan pengertian kader secara

utuh: ”sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang

punggung bagi kelompok yang lebih besar ”, di mana dalam diri seorang kader melekat integral

kualitas individu dan juga organisasi yang akan membentuk kualitas partai secara keseluruhan.

213

Kader partai Perindo adalah pelopor, inspirator, motivator, dan mediator bagi individu,

lingkungan, dan masyarakat bangsanya sehingga kaderisasi menjadi ujung tombak partai yang

harus diprioritaskan dengan bertumpu pada tiga hal: pengetahuan dasar yang dimiliki, mampu

memberikan solusi konstruktif atas berbagai permasalahan, dan tentunya berkiprah

menghasilkan karya yang bermanfaat.

Kualitas berikutnya, yang berkaitan dengan proses rekrutmen anggota dan pengurus partai

secara terbuka. Salah satu perbedaan Partai Perindo yang harus ditampilkan adalah

kemampuannya membangkitkan kesadaran politik warga negara (khususnya anak-anak muda)

serta ikut ambil bagian dalam aktivitas kepartaian.

Hak politik warga—politik kesejahteraan— yang belum sepenuhnya diakui maupun diakomodasi

oleh partai politik selama ini ibarat pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan untuk bisa

diwadahi dalam Partai Perindo. Bangsa yang besar ini telah sejak lama kokoh kuat di atas

keberagaman dengan nilai-nilai budaya luhur dan sangat menghormati perbedaan.

Oleh karenanya, dengan pijakan ragam latar belakang serta suku, agama, ras yang berbeda-

beda tanpa memilah dan memilih status ekonomi/ sosial, Partai Perindo harus menjamin

sepenuhnya perlakuan dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk

bergabung. Keluarga besar Partai Perindo tidak membedakan antara orang-orang yang berlatar

belakang korporasi (dalam hal ini MNC Group) dengan orang-orang yang berlatar belakang

ormas/ aktivis/ LSM/akademisi.

Kedua unsur tersebut adalah kekuatan besar yang sangat bisa bersinergi saling menguatkan bila

dikelola oleh sistem rekrutmen dan manajemen partai yang cerdas sehingga wajah Partai

Perindo tampil utuh sebagai partai politik representasi denyut nadi rakyat. Bagian selanjutnya,

yaitu terbangun inklusivitas partai dalam kehidupan masyarakat dengan pengertian partai politi k

memiliki platform pergerakan yang dekat dan menyatu dengan rakyat (existing ) bukan dalam

posisi ”mulai” bahkan ”akan” mendekatkan diri kepada rakyat bila ada kepentingan/ tujuan yang

ingin dicapai.

Kesan umum publik terhadap partai politik yang hanya dimiliki oleh sekelompok elite/petinggi

partai, merangkul dan mengakomodir kepentingan tertentu saja bahkan cenderung pragmatis

hendaknya bisa ditepis sejak dini dan terbantahkan oleh sistem rekrutmen partai Perindo yang

terbuka.

Anggota dan pengurus adalah kader partai yang tidak boleh berjarak dengan masyarakat.

Mereka harus mampu menampung keluh kesah, merespons aspirasi rakyat yang memerlukan

solusi cepat sehingga tidak ada kesan Partai Perindo ”jauh” dari rakyat.

Ujian Eksistensi

Membuat terbilang lebih mudah ketimbang mempertahankan. Demikian halnya Partai Perindo

sebagai pendatang baru di antara para senior partai politik lainnya, berhadapan dengan

tantangan besar dunia perpolitikan Indonesia yang sangat ”unpredictable ”.

Mesin Partai Perindo dalam hal ini manajemen organisasi dan kepemimpinan menjadi kunci

utama dalam menghadapi tantangan, ujian, dan eksistensi partai di tengah masyarakat. Kualitas

partai yang tadi sudah terbangun akan mencerminkan kader yang memiliki integritas dan

214

kompetensi. Kader-kader partai inilah yang nantinya akan terus berada di garda terdepan

merespons permasalahan bangsa dan hadir ”hidup” bersama rakyat.

Tantangan berikutnya adalah konsistensi dan fokus perjuangan Partai Perindo pada politik

kesejahteraan, yang sama artinya dengan konsisten dan fokus berjuang melalui daerah-daerah.

Dewan pimpinan daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia sudah barang tentu menjadi

tumpuan partai dalam menyosialisasikan dan menjalankan program kerja partai sekaligus

menggerakkan masyarakat agar menjadi lebih sejahtera.

DPD-DPD melalui koordinasi dengan DPW dan DPP akan menjadi medan pertama

implementasi kebijakan dan program Partai Perindo yang pro terhadap kesejahteraan rakyat di

daerah. Berhasil atau tidaknya DPD-DPD memberikan hasil nyata yang bisa dirasakan rakyat

serta-merta, akan menjadi parameter keberhasilan partai secara keseluruhan.

Hasil kerja nyata Itulah yang menjadi jawaban untuk eksistensi partai. Selain tantangan di atas,

Partai Perindo juga dituntut mampu menerjemahkan fungsi partai politik sebagai sarana

komunikasi dan sosialisasi politik. Pilihan Partai Perindo mengusung politik kesejahteraan

tentunya berkorelasi dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam

menyejahterakan rakyatnya.

Namun, Partai Perindo tidak harus masuk dalam ranah dukung-mendukung, setuju atau tidak

setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut melainkan berfungsi sebagai pemberi solusi

alternatif kebijakan. Partai ini dibentuk salah satunya melihat potret kemiskinan yang terus

bertambah dan kesejahteraan yang belum juga dinikmati oleh rakyat sehingga kehadirannya

harus dipastikan sebagai solusi dengan tawaran alternatif kebijakan yang lebih tepat bagi

pemerintah. Partai Perindo bersatu bersama rakyat membangun Indonesia sejahter a.

Penguatan KPK Kita Koran SINDO Selasa, 17 Februari 2015

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan sejarah yang tepat. Pada saat

kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi tinggi dan

bahkan menjadi sasaran kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa angin segar.

Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya dan mendapatkan banyak pujian.

Dengan keistimewaan yang dijamin undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus dalam tugas

berat pemberantasan korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin besar. Masa

depan Indonesia seolaholah diletakkan di pundak KPK.

Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan persepsi yang mulai kurang sehat.

Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga suci, serbabenar, dan mustahil bertindak khilaf.

Malah, pelan-pelan terbangun mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan tidak ada

kebenaran di luar KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK dari kritik dan

koreksi.

Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1: KPK tidak pernah salah. Pasal 2: Jika

KPK salah, kembali ke pasal 1. Terjadilah transformasi dari mitologi institusi menjadi mitos

personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan aparatnya, dianggap ”malaikat” dan

215

”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan keliru. Bahkan terbebas dari nafsu dan

kepentingan.

Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi dianggap sebagai pelemahan, tidak pro

terhadap pemberantasan korupsi, bahkan dinilai sebagai serangan balik para koruptor. Karena

terbiasa mendapatkan deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi dianggap

musuh yang harus ditampik dan ditindas sehebat- hebatnya. Ringkas cerita lalu muncullah

peristiwa-peristiwa yang tidak sedap.

Ada kejadian protes internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada pimpinan

yang melanggar standard operating procedure (SOP). Diberitakan ada pene tapan tersangka

tanpa bukti yang memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat perintah

penyidikan (sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran draf

sprindik yang sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang presiden dari luar

negeri.

Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip lawyer orang tertentu. Tentu saja

terkait dengan kekuasaan yang besar. Yang mutakhir adalah penetapan tersangka kepada calon

kapolri hanya beberapa hari setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.

Yang tidak kalah menarik adalah informasi pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan dan

beredarnya foto yang bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh

Bareskrim Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan masyarakat.

Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.

Individu Bukan Institusi

Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada mekanisme untuk menyelesaikan masalah

apabila ada imam yang (maaf) buang angin. Ini penting karena secara etik imam yang sudah

batal wudu kehilangan otoritas untuk melanjutkan tugasnya. Pada konteks kelembagaan, imam

yang buang angin, baik secara etik maupun hukum, tidaklah sama dengan kiamat.

Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam

yang batal hanya perlu diganti orang lain yang masih ”punya wudu” lewat mekanisme yang

sudah tersedia. Justru yang menjadi masalah adalah jika imam yang batal memaksakan diri

tetap melanjutkan tugasnya. Dalam konteks salat, jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga,

terang imam yang batal malah menjadi beban kelembagaan.

Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK tetap terjaga eksistensinya dan terus

menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan mutlak bagi kita mempertahankan dan menyelamatkan

KPK. Sama tepatnya ketika kita membela institusi Polri. Yang perlu ditimbang ulang dengan

jernih adalah pembelaan membabi buta ke-pada individu ”pengurus” KPK yang sedang

dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan hukum.

Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK identik dengan

menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK secara membabi buta adalah

tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya personalisasi dan mempertebal tembok mitos.

Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran untuk melakukan

demitologisasi. Pembelaan yang serius dan demitologisasi akan menyumbang besar bagi

216

penguatan kelembagaan KPK yang historis dan mendorong beker janya seluruh organ KPK

sesuai dengan pembagian tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan yang

tidak semestinya.

Penguatan Kelembagaan

Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan? Pertama, bagi pengurus KPK

yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara etik maupun hukum, perlu didorong untuk

bersedia berlaku ksatria. Bersedia menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian tanda

kecintaan kepada lembaga KPK.

Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, itu adalah bagian dari proses seleksi

alam yang akan membuat KPK makin kuat dan terjaga marwahnya. Kedua, ke depan proses

seleksi pimpinan KPK sebaiknya makin ketat, baik dalam persyaratan maupun prosesnya di

pemerintah dan DPR. Sudah ada contoh yang bisa dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan

KPK jilid I, II, dan III.

Sudah banyak pula wacana dan debat publik tentang bagaimana pimpinan KPK yang cakap,

kuat, dan kredibel. Seleksi pimpinan KPK bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan

dewa. Cukuplah pimpinan yang sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk

menyimpangkan mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.

Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan yang efektif. Sebagai lembaga

yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan adalah sesat pikir yang menyimpan

bencana. Justru karena otoritasnya yang istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan

yang nyata. Tanpa pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut.

Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely”.

Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi absolutisme itu. Di atas segalanya,

KPK yang kuat dan berhasil dalam menunaikan amanah adalah KPK yang ”sadar lingkungan”.

Karena itu, KPK harus bersedia membangun sinergi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga

penegak hukum lainnya.

Bahkan bisa saling memperkuat. KPK juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan

dan kenegaraan. Bukan KPK yang merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua

lembaga lain. Indonesia akan selalu membutuhkan KPK yang setia dan lurus kepada panggilan

sejarahnya.

Anas Urbaningrum

Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia

Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015

PROF DR TJIPTA LESMANA

Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR

Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan gugatan Komjen Pol Budi

217

Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya melantik

perwira tinggi polisi itu sebagai kepala Polri.

Kemarin, Selasa (17/2), Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik

BG sebagai kepala Polri ”Kalau saya presiden!” Menurut pemikiran linear dan logis, memang

tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin

Rizaldi, dengan tegas memutus bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan oleh sebab itu hakim mengabulkan gugatan BG?

Konkretnya, masih menurut pemikiran linear dan logis, BG sejak 16 Februari 2015 bukan

seorang tersangka.

Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai Minggu (15/2) malam di Istana Bogor,

Presiden masih mengatakan kepada para awak pers bahwa dia harus menunggu putusan

sidang praperadilan? Ketika Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore sekitar

pukul 16.00 menghadap Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin ter ang.

Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi KIH yang sejak awal mendesak

Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai kepala Polri. Saya berpikir Presiden akan

melantik BG kemarin. Tapi, rupanya Presiden masih harus berpikir - pikir, juga dengan alasan

ada masalah penting lain yang mendesak yaitu persiapan peringatan Konferensi Asia -Afrika

(KAA) pada April mendatang.

Saya yakin alasan ini hanya dibuat- buat. Jelas dong , putusan tentang BG jauh lebih penting

dan lebih mendesak ketimbang persiapan peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan bahwa

Presiden masih membutuhkan renungan dan timbangtimbanglagi sebelummengeluarkan

keputusan final, melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai kepala Polri?

Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?

Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly Asshiddiqie merupakan jawaban yang

jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan harus

dipertimbangkan masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya maupun

dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.

Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan risiko anjloknya integritas dan

popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia akan ditinggalkan para pendukungnya.

Sebaliknya, tekanan dari kalangan politisi ”berumur seharihari”. Dia akan digempur terus oleh

politisi kalau Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.

Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal rakyat banyak pendukungnya pada 2019

atau risiko berhadapan dengan DPR seharihari? Keduanya memang sama-sama tidak enak.

Tapi, Presiden harus segera ambil keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara dan

bangsa, harus memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan secepatnya, sekaligus

siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang diambilnya itu!

Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya dia tidak pantas

memimpin negara. Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa Presiden membutuhkan satu bulan

lebih untuk memutuskan masalah BG? Saya yakin seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang

paling dalam, Pak Presiden sesungguhnya tidak mau melantik BG.

218

Kenapa? Pertama , dia percaya penuh pada masukan ”9 Pendekar” yang tergabung dalam Tim

9 bentuk Presiden sendiri. Sembilan orang, semua, terdiri atas putra-putra Indonesia yang

sangat bagus integritasnya, apalagi ada figur-figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly

Asshiddiqie, dan Prof Hikmahanto Juwana. Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian

menopang Presiden ke kursi RI-1.

”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki Presiden untuk membuang nama Budi Gunawan.

Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16 Januari 2015. Hari itu massa besar

relawan Presiden turun ke jalan, termasuk di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak

melantik. Ketika itu mereka sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada

Presiden.

Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel Rahman, ketua Gerakan Salam

Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan sudah menyatakan penetapan tersangka BG

tidak sah? Jawaban atas pertanyaan ini, saya persilakan Anda buka media sosial dua pekan

terakhir ini.

Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak memperhatikan komentar -komentar para pakar

hukum terkait putusan sidang praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam putusan

yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko misalnya

mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjen Budi Gunawan.

”Hakimnya tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko Sarwono menyarankan

KPK tidak usah indahkan putusan yang melanggar KUHAP itu. Mantan Ketua Mahkamah Agung

(MA) Harifin Tumpa berpendapat yang sama. ”Memperluas kewenangan praperadilan dengan

alasan tidak diatur itu kan ngaco.

Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya.” Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan

ketua Mahkamah Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan tersangka.

”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan, dua bulan lagi, Budi Gunawan dijadikan tersangka

lagi. Bisa saja itu terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan untuk tidak cepatcepat

merasa di atas angin.

Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK terhadap putusan praperadilan yang

memenangkan BG. Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama, putusan itu

menjungkirbalikkan isi Pasal 7 KUHAP. Kedua, jika putusan tersebut memiliki kekuatan hukum

tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat menggugat ke sidang praperadilan dan pengadilan

tidak dapat menolak karena sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan praperadilan di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu.

Ketiga , segera bakal banyak tersangka yang ”antre” menggugat ketetapan hukum atas diri

mereka yang dinilai ”sewenang-wenang” seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi. Jangan

lupa, MA pernah menguji putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27 September 2012,

hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono, memutus bahwa penetapan

tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah.

Tapi, dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui

kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub dalam

Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Itulah sebabnya, Presiden atas

masukan para penasihat hukumnya juga bimbang.

219

Kalau BG dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari 2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi

Mahkamah Agung, berarti BG tetap tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK

untuk diajukan ke Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan

Presiden bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!

Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik BG dengan alasan the case is

closed setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat linear dan

logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih jauh. Atau pendapat yang

terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu mudah. Masalahnya, putusan hakim Sarpin

Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah Agung.

Dua mantan ketua Mahkamah Agung yang amat terhormat serta seorang mantan Hakim Agung

yang terhormat sudah mengeluarkan ”legal opinion ” yang sama bahwa putusan Sarpin Rizaldi

ngawur dan ngaco. Presiden kini dalam posisi terjepit. Marilah kita samasama berdoa agar Pak

Presiden pada akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam

dan petunjuk Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.

KPK vs Polri Pascavonis Praperadilan Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015 − 11:51 WIB

Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi “tren” dan topik

hangat di semua kalangan telah menemui babak akhir ketika gugatan praperadilan yang diajukan oleh

kandidat “terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan (BG), dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi

di PN Jakarta Selatan.

Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan status

tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening gendut” yang

dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode 2003-2006.

Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan kontra yang

merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam melihat realitas yang muncul

atas vonis gugatan praperadilan itu. Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan

tersebut ialah adanya dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan

dan melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.

Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG, terlepas dari

pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang rasional dan objektif.

Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi dari vonis praperadilan ini.

Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan sebagaimana

diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan status tersangka di dalam

hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari praperadilan.

Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum acara pidana;

dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta penghentian penuntutan atau

penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari hal ihwal pokok tersebut.

Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses hukum acara pidana, sedangkan penetapan

status tersangka merupakan arus hulu dari rangkaian proses di dalam hukum acara pidana

tersebut.Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide

pembaruan dan pembahasan RUUKUHAP diDPRperiodelalu.

Pada saat pembahasan memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di

220

dalam RUU KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk

memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih menjamin

pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana di dalam sistem

peradilan pidana.

Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas berpikir

sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak diatur secara jelas di dalam

KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadap seseorang

tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.

Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam polemik

penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat dimaknai sebagai hak

mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon kepala Polri. Artinya, hak

prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi penentuan nama-nama calon kepala

Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU Kepolisian).

Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakanhakprerogatiftersebut secara penuh

ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang selanjutnya

akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif tersebut tidak serta -

merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di parlemen (DPR);

sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif (presiden).

Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR, seketika setelah

DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden

tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut (lihat Pasal 11 angka (2), (3),

dan (4) UU Kepolisian).

Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala Polri

secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis, tetapi

dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian apabila

mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas penetapan

status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan yang bebas

dan tidak memihak (imparsial).

Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi kondisi yang dapat membenarkan penundaan

ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai Kepala Polri. Dalam hal ini tentu jikalau

menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak tidaklah dapat meragukan

ataupun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan

peradilan yang dilakukan oleh pihak BG.

Sebab, lembaga peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak

(imparsial)–sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan

tersebut haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang

membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun

bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yangberartibahwa putusan hakim

(vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih

tinggi yang membatalkan putusan tersebut.

Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG dengan

vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka dengan

dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan praperadilan

yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan atau pun batu

221

ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.

Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana diuraikan

sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan.

Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera melantik BG

sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang terjadi dan

resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.

Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas

politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi antara

KPK dan Polri.

AHMAD YANI

Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)

Abolisionist atau Retentionist? Koran SINDO Rabu, 18 Februari 2015

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,

Universitas Paramadina @dinnawisnu

Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata tidak

berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati narkoba

beberapa minggu yang lalu.

Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi

semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa -Bangsa

Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati

kepada para terpidana narkoba.

Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang

warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti yang

dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar- benar terwujud, apakah jalan keluar

yang diantisipasi oleh pemerintah?

Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum

positif di Indonesia, dan intervensi dari negara- negara tersebut sama artinya dengan

mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah

wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.

Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata

politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan atau

membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga disampaikan

instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung,

kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.

Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat,

222

khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara

sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan tersendiri

yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi.

Masyarakat Eropa, khususnya, telah memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi

mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari

pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman

Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup

dan demokrasi sebagai tujuan bernegara.

Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut. Tidak dapat dimungkiri

bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan dukungan dan yang

menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati sekalipun. Masih ada warga

negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman mati.

Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada masyarakat

yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung sejak puluhan

bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan argumentasi dan

buktibukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan posisi mereka terhadap

hukuman mati.

Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan

hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist). Posisi ini sangat

mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas

memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.

Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan

pencabutanhakhidupseseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu dijawab

oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana tersebut dapat

direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi hukum?

Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling kepada pelaku

kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya. Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil

apakah terhadap terpidana dapat dilakukan incapacitation . Pendekatan ini pada dasarnya

adalah mencegah terpidana untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa mendatang.

Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku kejahata n

seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi berkurang.

Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke Australia

dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau Buru.

Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan dengan

baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga

pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik korupsi.

Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola jaringan

kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini untuk

menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa

lemahnya sistem peradilan kita.

223

Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara retributif

atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati yang telah

kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang melibatkan

korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur sebuah

tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan kontekstual.

Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum direvisi, mempelajari

metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum mati. Keempat, apakah

kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk memberikan efek jera? Saat ini

posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain yang masih memberlakukan hukuman

mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk menimbulkan efek jera.

Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN pada

2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini. Namun, hasil

penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia Stoicescu, seorang

kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan penelitian di Jakarta.

Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam penelitian tidak mengikuti

kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun dipertanyakan. Di tingkat

internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika yang telah

mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan menolak

hukuman mati.

Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang mendukung maupun menolak

hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga tidak dapat dijadikan rujukan dalam

persidangan. Hasil- hasil penelitian tersebut tentu akan menggugurkan argumen para diplomat

ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau masyarakat negara sahabat yang menentang

hukuman mati.

Dan apabila kita tetap menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu

kredibilitas kita akan turun. Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap

dukungan hukuman mati ini dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang

terancam hukuman mati.

Banyak di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk

menentang hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal,

apabila terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh

pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari

perdebatan tersebut.

Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah

penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan internasional

yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki norma yang berbeda

ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara- negara lain.

Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga harus sesuai

dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat ini pergaulan

negara- negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi hukum dan

norma internasional.

224

Momentum Revisi UU KPK Koran SINDO Jum'at, 20 Februari 2015

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana

sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan

peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”.

Kendati demikian, mayoritas masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM)

antikorupsi tidak percaya dan bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan

terhadap KPK. Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS,

penulis berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh

melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”, ketika

dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara.

Sedangkan AS justru diduga telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam

posisi sebelum menjadi pimpinan KPK. Dari tempus delictikedua-duanya bukan pimpinan KPK

sehingga tidaklah tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis

mutandis pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika

tempus dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III

tersebut belum berstatus pimpinan KPK?

Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III saat

ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan. Pertama,

pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum pidana kecuali

terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka tanpa reserve.

Kedua, penolakan permintaan audiensi para pengurus pusat Masyarakat Hukum Pidana dan

Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah

direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan

maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja

mereka.

Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur

memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM antikorupsi bahwa apa pun tindakan

hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan pihak -pihak

yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke dalam kelompok

anti-KPK dan antipemberantasan korupsi.

Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari

bahwatidakadamanusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka

kelemahankelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan yang

kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih tua dan

memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.

Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan bahwa

hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang lain

225

sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan hukum yang

dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana te rnyata tidak selamanya

menaati asasasas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai yang berada di

balik normanorma tersebut.

Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa

yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang telah

ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK hanyalah

bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semata -

mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.

Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status

”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3 UU

KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan Umum UU

KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain dicantumkan,

”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan

menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang

telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’ yang kondusif; dan KPK tidak

memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.

Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17 Oktober

2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum termasuk

pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan penyalahgunaan

wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).

Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada

lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di

masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara

sejalan dengan undang-undang tersebut.

Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap

orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional tentang

Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan

UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari

”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka dan

dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan DPR RI

melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.

Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan

terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat mempertahankan

asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum penyelidikan dan

penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan Dewan Pengawas untuk

menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif sebagaimana diharapkan awal

penyusunan UU KPK.

Problem Demokratisasi Partai Politik Koran SINDO

226

Jum'at, 20 Februari 2015

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,

Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan

Pada banyak peristiwa politik, sebagian besar orang hanya asyik melihat apa yang berlangsung

di permukaan panggung kekuasaan, namun melupakan dimensi substansial yang ada di balik

setiap peristiwa politik.

Dalam perhatian yang lebih besar pada gejala tanpa melihat akar persoalan inilah, peristiwa

politik kerap datang dan pergi tanpa kita paham akar persoalan dan terapi untuk

merehabilitasinya. Menelisik sampai ke akar persoalan politik termasuk gegar politik antara kubu

PDIP dan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kasus KPK versus kepolisian saat ini, satu

hal yang patut untuk direnungkan bahwa dominasi oligarki di internal partai politik adalah pokok

utama dari karut-marut politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (post-authoritarianism ).

Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana karakter dominasi elite politik di internal

partai memiliki konsekuensi pada dinamika eksternal politik, khususnya pada karakter politik

Indonesia. Untuk memahami persoalan politik Indonesia pada era post-authoritarianism, problem

potensi krisis koalisi di internal pemerintahan Joko Widodo sebenarnya hanyalah salah satu

contoh dari problem oligarki di dalam tubuh partai politik di Indonesia.

Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi seluruh

partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai, sampai sekarang kita hanya sibuk

menyaksikan ketegangan antara kekuatan pemerintah dan oposisi. Sementara itu, kita lupa

bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas dari

performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.

Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju pada perubahan politik yang lebih baik,

demokratisasi partai dalam pengertian rotasi kepemimpinan yang ajek, pemahaman partai politik

akan agenda dan aspirasi akar rumput, maupun kesadaran akan dinamika sosial yang bergerak

dan membutuhkan respons yang sigap terhadapnya.

Ada pelajaran menarik yang kita dapat ambil dari pengalaman Partai Kongres India. Turunnya

pamor IndiaIndias Congress Party dan kegagalan dalam pertarungan elektoral melawan

Bharatiya Janata Party (BJP) tidak dapat dilepaskan dari problem internal partai politik baik

dalam keengganan dari kekuatan elite lama untuk merespons dinamika sosial yang terus

berubah maupun dominasi mereka yang demikian kuat sehingga menolak tampilnya kekuatan -

kekuatan baru untuk menyegarkan partai politik.

Seperti diutarakan oleh Subrata Kumar Mitra (1994) dalam Party Organization and Policy Making

in a Changing Environment: The Indian National Congress jauh-jauh hari sebelumnya bahwa

kelambanan pergerakan Partai Kongres India dalam konstelasi politik disebabkan kekuatan

dominan konservatif di dalam partai (karena disebabkan oleh kepentingan politik yang

cenderung elitis, maupun hambatan-hambatan organisasional) tidak mampu menangani isu-isu

keadilan sosial dan operasi politik secara tepat dan terukur.

Sementara itu, loyalitas personal kepada elite daripada komitmen untuk mengembangkan partai

menjadi penentu rekrutmen kepemimpinan politik maupun mobilitas politik dari setiap kader -

227

kadernya. Problem politik di atas kemudian memanifes dalam bentuk terganjalnya rotasi

kepemimpinan secara ajek dan terlembagakan dalam tubuh Partai Kongres India.

Apabila kita refleksikan kasus di atas, problem yang dialami Partai Kongres India di atas juga

tengah dialami sebagian besar partai-partai di Indonesia. Secara umum partai-partai di Indonesia

mengalami persoalan besar terkait problem demokratisasi partai, terutama sehubungan dengan

problem rotasi dan rekrutmen kepemimpinan maupun mekanisme keterlibatan kader dalam

pengambilan kebijakan.

Perubahan Politik

Selanjutnya kita akan mengambil contoh dua partai politik yang saat ini akan menjalankan

kongres dalam waktu dekat yaitu PDI Perjuangan pada April 2015 dan Partai Amanat Nasional

(PAN) pada Maret 2015. Pada kasus pertama setelah kekalahan politik dalam Pilpres 2004, PDI

Perjuangan selama sepuluh tahun terakhir menjalankan strategi politik oposisional yang brilian

dan efektif.

PDI Perjuangan dalam peran oposisionalnya memproduksi beberapa agensi pemimpin organik

di tingkat lokal dan menjadi penyeimbang (counterpart ) bagi koalisi penguasa. Terpilihnya Joko

Widodo sebagai presiden pada 2014 adalah buah dari kerja keras tersebut. Kendati demikian,

krisis politik justru saat PDI Perjuangan berkuasa.

Benturan antara kepentingan konservatif kekuatan oligarki dan kehendak pemerintah dan

elemen-elemen progresif lainnya terartikulasi dalam krisis politik terkini. Berbeda dengan PDI

Perjuangan, meskipun tidak terlepas dari problem karakter oligarki partai, PAN memiliki tradisi

rotasi kepemimpinan politik yang cukup baik.

Sejak dilahirkan, partai ini melembagakan regenerasi dan pergantian kepemimpinan tiap sa tu

periode (Amien Rais 1998-2005, Soetrisno Bachir 2005-2010, dan Hatta Rajasa 2010-2015).

Dengan melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat

memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai. Meski demikian, PAN juga memiliki

problem internalnya sendiri.

Perolehan suara pada Pemilu 2014 (47 kursi) dari Pemilu 2009 (42 kursi) dapat diapandang

kurang memuaskan bila dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang pada Pemilu

2009 berada pada posisi yang hampir setara (Partai Gerindra naik dari 26 menjadi 73 kursi,

maupun PKB dari 28 menjadi 47 kursi). Ke depan PAN harus meneruskan tradisi rotasi

kepemimpinan yang ajek seperti yang menjadi tradisi kepemimpinan yang telah dibangun.

Kepemimpinan partai saat ini harus menyadari bahwa kemajuan partai lebih penting dari ambisi

kepentingan dalam jangka pendek. Sebagai sebuah agenda politik ke depan adalah menarik

tawaran dari Ketua DPP PAN Zulkifli Hasan untuk memperkenalkan mekanisme konvensi calon

presiden sebagai sebuah respons cerdas dari internal partai terhadap desakan perubahan politik

dari luar.

Demikianlah bahwa dalam konteks berbagai peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia,

arus permukaan konflik, krisis, maupun negosiasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

proses dialektika yang berlangsung di internal setiap partai politik. Dalam kondisi demikian,

seruan untuk melakukan demokratisasi di internal partai politik menjadi bagian penting bagi

agenda reformasi politik di Indonesia.

228

Solusi Elegan Jokowi? Koran SINDO Jum'at, 20 Februari 2015

IDING ROSYIDIN

Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan

Deputi Direktur the Political Literacy Institute

Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi

Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR, dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo

(Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.

Rabu (18/02) sore Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris Jenderal

(Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai penggan -tinya

yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat pelaksana tugas (Plt) kepala Polri.

Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad (AS)

dan Bambang WIdjojanto (BW), diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi menunjuk tiga

orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK yaitu Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno

Adji, dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK.

Win-Win Solution

Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang

akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai kepala Polri baru.

Namun, ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justru membatalkan pelantikan BG

dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.

Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif teori

negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam kuadran kolaboratif

yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini Polri

dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-sama mendapatkan

keuntungan dan pada saat yangsamajugaterhindardari kerugian atau potensi buruk yang

kemungkinan didapatkannya.

Bagi BGsecara personal, meski keputusanJokowiterlihat merugikan karena kesempatan menjadi

orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang, sebenarnya

dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan praperadilan,

bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya.

Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur

penetapannya oleh KPK, bukan substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika

prosedur penetapan diperbaiki kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka.

Sekalipun BG dilantik menjadi kepalaPolri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan

tersangka.

Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian menjadi tersangka.

229

BG tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar -benar terjadi. Bagi Polri secara

kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga menguntungkan.

Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus berlanjut karena bukan

tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik kelembagaan tersebut telah

banyak menguras energi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia, bahkan mengancam matinya proses

penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri ini.

Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik diharapkan bisa menjadi pereda

suasana ketegangan itu. Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya

terancam menjadi tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan,

KPK bakal pulih kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai Plt pimpinan sehingga lembaga

ini dapat berjalan secara sempurna.

Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan normal karena dua orang

pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka. Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada

komisioner KPK yang dirugikan secara personal yakni AS dan BW. Namun, karena undang-

undang sendiri menyatakan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus nonaktif, tidak ada

jalan lain bagi mereka berdua selain nonaktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi dua

komisioner nonaktif tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di

negeri ini. Mereka berdua boleh ”mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.

Dukungan Publik

Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak

positif besar baginya, terutama terkait dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik selama ini

tampaknya lebih condong pada pembatalan pelan-tikan BG. Dengan kata lain, publik lebih

memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan

korupsi.

Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka terhadap KPK tetap tidak

surut. Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan wali Kota

Solo itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik ini.

Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, setidaknya dengan

membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan antara dua

lembaga penegak hukum tersebut. Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait

langkah Jokowi di atas adalah mampunya sang Presiden keluar dari tekanan-tekanan eliteelite

partai politik, khususnya yang berada di dalam KIH.

Selama ini Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan itu sehingga berbagai

keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite politik tersebut ketimbang

kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih mendengarkan aspirasi publik dan lebih

mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Independen atau Tim 9 yang dibentuknya

sendiri.

Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendas ikan

oleh tim yang dipimpin Buya Syafii Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri

dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat

diapresiasi publik. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas

230

keputusannya tersebut adalah reaksi DPR.

DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik, bahkan sebelum proses praperadilan

selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih merusak kewibawaan

lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena keputusannya yang

menyetujui BG sebagai calon kepala Polri tidak digubris oleh Jokowi.

Namun, Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain telah

mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota Dewan tidak bisa begitu gegabah

untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama dengan elite -

elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa melenggang

aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi yang elegan.

Teka-teki di Balik Sikap Presiden Koran SINDO Sabtu, 21 Februari 2015

PROF DR SUDJITO SH MSI

Guru Besar Ilmu Hukum dan

Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala Polri,

disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap demikian

diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu meningkatkan kualitas

penyelenggaraan negara hukum.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam

intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus

waspada. Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya

tentang konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah

dari politik, dan masingmasing berdiri sendiri.

(2) Penegakanhukumditumpukan kepada hukum positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi

sosial, sehingga legalitas dipandang penting, sementara legitimitas dikesampingkan. (3)

Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya

sebagian besar politikus dan penegak hukum di negeri ini memiliki pandangan serupa dan

mengamini sikap Presiden tersebut.

Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya

kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting

dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana

ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang

disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.

Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara utuh

dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara hukum,

sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat semakin lebar,

dan citacita bernegara pun semakin jauh dari harapan.

Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan

231

penggiat antikorupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya? Publik

mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik

mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.

Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu

menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu

lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik?

Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait dengan

persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden?

Sungguh amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka

bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujungujungnya duit, tetapi melalaikan

kepentingan bangsa. Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis

seorang hakim praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis.

Benarkah hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari

tekanan politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan- jangan vonis

kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial hendaknya

mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim praperadilan tersebut.

Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.

Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK,

terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam ber-negara hukum, maka

perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai benalu pada

dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk diobati.

Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara

fondasi dan pilarpilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh sistem

kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap

perbaikan negara hukum.

Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena keterjebakan

penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini bahwa keadilan,

ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui pembuatan dan

penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached), independen,

impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).

Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung

individual-imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada nilai-

nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik religius. Kita

insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep bernegara

hukum.

Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara mempelajari konsep

legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan tetapi, amat

disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut. Budaya Barat, yang oleh

sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki kecenderungan memandang

realitas secara dikotomis,

parsialistis, dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan, ternyata di -copy-paste dan

232

dipraktikan dalam bernegara hukum di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan,

perseteruan antarkoalisi partai, Polri versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecahbelah. Di

Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan

yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum, seperti: American

concept, American doctrines, American approach, etc.

Amerika berani melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang

seperti sekarang itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme

Court, antara lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang

berwawasan kebangsaan.

Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik? Penyelesaian konflik Polri

versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya dilakukan segera secara

holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral kebangsaan secara utuh,

dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.

Hormati Putusan Hakim Koran SINDO Sabtu, 21 Februari 2015

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,

Makassar

Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan

atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan

korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan kejaksaan.

Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap

dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon melakukan

upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan te rsebut bisa

memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai tersangka

yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.

Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat

administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan

penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut umum

diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau penyitaan

barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang.

Maka itu, pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak

menggolongkan ”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan

upaya paksa yang potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Keberatan atas

penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap terhadap

tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat dilakukan saat eksepsi

oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan dalam sidang pengadilan.

233

Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak jelas dan cermat atau terjadi

kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela menolak surat dakwaan sehingga

pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah sebetulnya terdakwa mempersoalkan

penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan praperadilan.

Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim pengawas,

antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai penahanan,

termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan pengenaan

penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak.

Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP dari berbagai

pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.

Gelombang Gugatan

KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan

melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai

aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal yang

diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika ada yang

melanggar hukum materiil.

Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif

dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada

hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai -nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan praperadilan itu setidaknya

dapat menimbulkan dua persoalan.

Pertama, putusan itu akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai

gelombang gugatan praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan

hanya perkara korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal

jalanan yang begitu marak.

Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan pemeriksaan

darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi

tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu mengajukan gugatan

praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik kepolisian.

Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk melakukan tes

urine dan darah sebagai bahan perbandingan. Kemungkinan itu didukung dengan seringnya

muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik)

diduga menjebak seseorang yang kemudian dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat

dipastikan, pihak kepolisian yang akan merasakan dampak langsung dar i pembenaran dan

perluasan objek praperadilan sampai pada penetapan tersangka.

Upaya Hukum

Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah

putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena pu tusan

praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka KPK

dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung

(MA).

234

Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap dalam sidang

praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan

praperadilan, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya. Atau putusan itu jelas -jelas

memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.

Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi terhadap pelaksanaan penyidikan

dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya paksa. Sepanjang prosedur -prosedur

dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum acara yang diatur secara rigid,

hasilnya bisa saja diterima. Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan

putusan hakim bahwa tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum.

Padahal, dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk

mengabdikan diri sebagai ”alat negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati

dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula

Pasal 1 butir-4 KUHAP juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah

pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk

melakukan penyelidikan.

Adapun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undangundang memiliki

wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua anggota Polri mulai

dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat ”penyelidik” sebagai langkah

awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua anggota Polri adalah aparat penegak

hukum lantaran diberi wewenang melakukan penyelidikan.

Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2 ayat

(1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan

KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal berpangkat

inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat. Maka itu,

meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh MA lantaran

hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan Koran SINDO Senin, 23 Februari 2015

Romli Atmasasmita

Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana

Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan

golongan pangkat IV/D, telah mengundang prokontra.

Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum Mabes

Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat

mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu

hukum.

Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum

Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya

meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi

235

Gunawan.

Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis

mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam

pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga

praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum pidana,

memahami dengan sungguhsungguh dan baik.

*** Para ahli hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin.

Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa “segala campur tangan dalam

urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf besar, pen),

kecuali dalam halhal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun

1945”; bahkan terdapatancamanpidana terhadap siapa saja (ayat 3).

Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam

memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa

dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji

yang selalu dilakukan LSM antikorupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam demokrasi

yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan konstitusi AS atau Inggris!

Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan

menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum

sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).

Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum yang

tidak memiliki kompetensi hukum pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan “apa pun

yang diputuskan hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi munafik

ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-lomba mengkritik

keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.

Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang

dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa

takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim

Sarpin, penulis melihat bahwa pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pa sal 5

ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan perkembangan HAM

Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM

yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM.

Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik,

dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara

termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat

dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan.

Kesempatan tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara

236

limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM

setiap orang terlepas dari latar belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dala m

masyarakat dari penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.

Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1 KUHAP

Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah hukum acara yang

ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi bersifat mutlak.

Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan persoalan serius; tidak lagi hanya

cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks penetapan

sebagai tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata, melainkan harus

diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang ditetapkan menjadi

tersangka.

*** Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum, tidak

terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan

hakim Sarpin menurut penulis merupakan putusan yang monumental (landmark decision) yang

membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan

pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum

(rechtsvinding ) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat

membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku

(alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).

Istana Rajawali atau Istana Kampret? Koran SINDO Senin, 23 Februari 2015

Bambang Soesatyo

Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional

KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap

Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.

Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi

segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang kuat

dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kalelawar (kampret),” kata Buya.

Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan

sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi

seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu awallahu alam. Yang pasti,

Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan

menghadapi tsunami politik.

Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini Presiden

bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga kemarahan

sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan Hak Angket DPR segera mengemuka

sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi

237

Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris Jenderal Badrodin

Haiti sebagai calon kapolri.

Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket

kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai Demokras i

Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR dari Fraksi

PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket itu. Dia

terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan Budi.

Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna DPR.

Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama

pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP

dengan Ketua Umum PDIP Mewawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu

Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi

PDIP Herman Hery.

Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak angket

dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket dan hak

interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu merefleksikan

kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak menghormati institusi DPR

dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR perihal calon kapolri.

Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk memberhentikan

Jenderal Sutarman sebagai kapolridanmengangkatKomjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri

yang baru. Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus.

Dinamika politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi

alasan pencalonan Badroedin pun dinilai tidak jelas.

Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen

Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden.

Di antaranya, “Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu

sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi

berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari

2015, dipandang perlu untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri

sebagaimana dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN

2015 tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk

Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia .”

Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal

Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di

masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta

memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh

seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs

Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.

“ Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari

2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR

memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.

238

Tsunami Politik

Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak

interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik

belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di DPR

solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.

Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi

Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal itu

benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak ada

kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana

penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa

komponen KIH.

Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden

terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung

meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga

kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu

Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar.

Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah

membahasnya bersama DPR. Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar

jika sebagian anggota DPR dan PDIP marah karena merasa telahdibohongi Presiden Jokowi.

Sebelumnya, selama lebih dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil

menunggu Presiden menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif.

Alih-alih konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri,

Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi

menyudahi kisruh Polri versus KPK. Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan

PDIP.

Sebab, pada jumpa pers Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat

tegas menjelaskan bahwa Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah

berstatus tersangka. Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil

memberi penekanan khusus pada kata penundaan. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini

yang perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.

Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol

Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali

inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak terpenuhi

karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan anggota

koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR. Janji kedua adalah koalisi partai

politik (parpol) tanpa syarat.

Di kemudian hari, janji ini jadi bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan

16 jabatan menteri untuk kader partai pendukungnya. Janji ketiga adalah membentuk kabinet

ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru

mengikuti postur Kabinet Indonesia Bersatu-II yang gendut.

239

Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa

yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi

negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah

sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain

dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden jugaharusterbebasdari berbagai tekanan.

Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan. Presiden

Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya dalam hal

pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana Presiden tetap

menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan sebaliknya, menjadi

istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.

Mencari Pemutus Sengketa Hasil Pilkada Koran SINDO Selasa, 24 Februari 2015

Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk mencari jawaban hendak diberikan ke

institusi apa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah

(pilkada).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang menyelesaikan

sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat disokong oleh

pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya mengembalikan pilkada ke

dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan langsung.

Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas UU

Nomor1/2015, merekatetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyelesaikan

sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih MA sudah

menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak perkara.

Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa menempatkan

sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada bukan pemilu

sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.

Kontroversi MA

Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undangundang yang

mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian sengketa

hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan gubernur, MA

langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota diserahkan

kepada pengadilan-pengadilan tinggi.

Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa

kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan Pilkada

Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang bersaing dan

semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak menyelesaikan masalah,

tetapi malahan memancing masalah baru.

Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak

240

masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi.

Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih.

Akibat itu, meski undang-undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK) karena

putusan sangat tidak rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar. Pada Pilkada

Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada ulang, padahal

maksudnya pemungutan suara ulang.

Karena perintahnya pilkada ulang, yang artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih

hingga pelantikan pasangan calon terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU

Sulsel pun mengajukan PK dan akhirnya MA mengabulkan PK tersebut. Pada Pilkada Maluku

Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang dimenangkan.

MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU Maluku Utara telah

terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas siapa yang menang

karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil penghitungan pula. Kontroversi

di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke MK yang

dipandang lebih kredibel.

Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan sengketa hasil pilkada yang telah bergeser

maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Banyak apresiasi yang

dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil pemilukada.

Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan masyarakat

yangtinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima

suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar hukuman seumur hidup,

hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.

Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga titik

nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali

kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidakmenolak kewenangan MK untuk

menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan

tersebut dalam putusan pada 2013.

Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan

sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada

menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya

penanganan harus balik lagi ke MA.

Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil penggiat pemilu juga tidak ingin MA.

Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undangundang memerintahkan penanganan sengketa

hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum terbentuk,

MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.

Wewenang Bawaslu

Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu,

termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada

parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di

241

Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada

instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.

Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh

penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap

parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk menyelesaikan

sengketa hasil pemilu dan pilkada.

Sementara instrumen internasionalsangat tidakdiperlukan karena institusi lokal masih mungkin

berjalan normal. Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU)

dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian

sengketa hasil pilkada hendak diberikan?

Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada

Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan,

penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif.

Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di sini lah letak

persoalannya.

Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan ouptput tidak terukur. Tidak heran banyak

pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat,

pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu

juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.

Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu,

yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif

dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus diserahkan

kepada MK.

Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih

baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor

1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke

pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal.

Para pecundang dan pengacara siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan

sengketa hasil pilkada ke MA atau pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya

menggantang asap. Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu

sebelum terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat.

Namun, bila putusan MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil

pilkada secara permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat

menjadi pilihan.

Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal ada

lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.

Refly Harun

Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM

242

Prioritas Langkah Menyelamatkan Polri Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Alumnus Psikologi Forensik,

The University of Melbourne

Ada yang merisaukan pada isipidato Presiden Jokowi, Rabu (18-2-2015) lalu. Pidato berisi

keputusan Presiden terkait kekisruhan antara KPK dan Polri itu menyinggung masyarakat

sebagai pihak yang terimbas sebatas dalam bentuk terjadi perbedaan pendapat.

Padahal, lebih dari sekadar perdebatan kognitif, pertikaian dua organisasi itu nyata -nyata sudah

sampai ke dimensi afektif yakni dalam bentuk kian tergerusnya kepercayaan publik terhadap

lembaga-lembaga penegakan hukum. Apalagi, terdapat kesan kuat bahwa sinisme masyarakat

terhadap Polri tampak lebih mengental; suasana batiniah yang mengkhawatirkan, mengingat

Polri merupakan institusi penegakan hukum yang bersifat permanen.

Berhadapan dengan kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa, Polri sepatutnya terdo rong

untuk lebih inward looking, di samping terus mengupayakan perbaikan kualitas kemitraannya

dengan KPK. Dorongan bagi Polri untuk lebih mawas diri itulah yang sebenarnya sangat baik

bila disampaikan Jokowi.

Tentu, dengan sekian banyak area pembenahan internal yang ada, tugas Komisaris Jenderal

Polisi Badrodin Haiti kelak akan sangat berat. Area mana yang patut diutamakan bersumber dari

tiga potong kejadian yang telah terlupakan. Peristiwa penting yang justru dari situlah calon

Kapolri Badrodin dapat menemukan tiga area yang membutuhkan pembenahan besar-besaran.

Kejadian pertama yang mencerminkan kekacauan organisasi Polri adalah ketika dua petingginya

mengeluarkan pernyataan berbeda sehubungan dengan penangkapan Bambang Widjojanto. Plt

Kapolri (Wakapolri) Badrodin Haiti membantah ada penangkapan tersebut. Tapi, berbeda tajam,

Kabareskrim Budi Waseso justru mengonfirmasi kabar mengenai penangkapan terhadap

petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu.

Bertolak belakangnya pernyataan dua komjen di atas mengisyaratkan ada faksi-faksi didalam

tubuh Polri. Koordinasi antarfaksi menipis, sebagai konsekuensi ketidaksempurnaan dalam

mengatasi keadaan kritis yang dipandang harus disikapi selekas mungkin. Kekacauan fungsi

komunikasi publik (hubungan masyarakat, humas) Polri itu sesungguhnya memalukan,

mengingat by nature kerja polisi identik dengan situasi krisis.

Publik pun bereaksi dengan mempertanyakan, apakah penangkapan Bambang merupakan

langkah penegakan hukum yang dihasilkan berdasarkan keputusan terpadu Polri atau sebatas

sebagai prakarsa sektoral oleh kubu dengan kepentingan tertentu di tubuh Polri? Jika ditarik ke

tataran lebih mendasar, istilah humas di institusi Polri pun seolah mengandung salah kaprah.

Seluruh aparat Polri sesungguhnya memiliki kewajiban untuk membangun hubungan dengan

masyarakat. Dengan kata lain, kehumasan tidak semestinya dijadikan sebagai tugas pokok dan

fungsi unit kerja tertentu lalu dikesampingkan pada unitunit kerja lain. Dengan dasar berpikir

seperti itu, unit humas Polri sepatutnya dilikuidasi ke seluruh unit kerja Polri.

243

Sebagai gantinya, dibentuk unit hubungan media (media relations) dengan tugas melayani

kebutuhan informasi para wartawan serta unit kerja sama antarlembaga. Bagaimana

memastikan setiap orang yang bergabung dalam Polri memiliki potensi kehumasan yang

memadai serta terkembangkan secara baik, itulah fondasi yang patut dibangun ulang oleh

Badrodin selaku kapolri nanti.

Spesifik dalam konteks kemelut yang sedang berlangsung, sinkronisasi informasi yang

disampaikan ke masyarakat merupakan keharusan guna mencegah agar kekacauan tidak

bergulunggulung seperti bola salju. Kejadian bahkan tak keliru disebut misteri kedua adalah

dimutasinya Komjen Suhardi Alius dari jabatan Kabareskrim Polri ke posisi Sestama Lemhanas.

Meski Polri mengemukakan alasan bahwa keputusan pemindahan Suhardi sesuai rekam jejak

Suhardi, gelombang skeptisisme publik tetap deras menolak penjelasan yang Polri ajukan.

Keragu-raguan masyarakat itu bertitik tolak dari penilaian bahwa Polri hingga kini belum

sungguh-sungguh menerapkan pendekatan objektif sebagai mekanisme penentuan karier

personelnya.

Pada satu sisi, profesionalisme selalu dikemukakan sebagai rasionalisasi. Tapi, pada sisi lain,

kasakkusuk nyaring terdengar bahwa promosi maupun demosi di lembaga Polri lebih ditentukan

oleh faktor-faktor semisal urut kacang, baik berdasarkan usia karier maupun usia biologis, dan

kedekatan pribadi. Ketiadaan mekanisme objektif itu pula yang mendasari syakwasangka bahwa

di dalam organisasi Polri sekali lagi terdapat faksi-faksi.

Sehingga, ketika Suhardi “masuk kotak”, publik serta-merta menyimpulkan bahwa Suhardi

merupakan korban rivalitas antarfaksi dan Suhardi bagian dari faksi yang kalah. Pemindahan

Suhardi yang terkesan bukan dilandasi penilaian akan faktor kompetensi mengirim pesan

nyaring ke Badrodin, dan para penerusnya ke depan, bahwa manajemen sumber daya manusia

(SDM) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Polri merupakan agenda prioritas yang mutlak

dilaksanakan.

SDM dan diklat yang terkelola modern merupakan indikasi kesungguhan Polri dalam

memosisikan para personel sebagai aset emas organisasi. Hanya dengan sistem pengelolaan

SDM dan diklat yang mantap, perbincangan tentang visi dan pencapaian kinerja masing -masing

personel menjadi sesuatu yang relevan. Sekaligus, meminimalkan ruparupa politik organisasi

yang busuk semacam “lelang” jabatan, kolusi, dan nepotisme.

Isu penting ketiga dipicu oleh ditetapkannya Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK sebagai

tersangka. Pascapenetapantersebut, yang lantas dianulir oleh hakim Sarpin Rizaldi pada sidang

praperadilan, spontan bangkit ingatan khalayak luas pada isu tentang rekening gendut sejumlah

perwira tinggi Polri. Bangkitnya memori publik menunjukkan bahwa pendisiplinan diri seluruh

anggota Polri oleh institusi Polri masih merupakan titik rawan yang terus-menerus

diperhatikanmasyarakat.

Memang wajar bila masyarakat meletakkan standar tinggi bahwa Polri seharusnya mampu

menjalankan misi kenabian sebagai acuan kebenaran dan kesantunan. Namun, faktanya, di situ

pula gumpalan kekecewaan publik berlipat ganda; telanjur terbangun keyakinan publik bahwa

solidaritas korps Polri terejawantah ke dalam kebiasaan menutup-nutupi perilaku jahat atau pun

perilaku tidak etis para personelnya.

244

Berulangnya gontokgontokan antara KPK dan Polri juga mempertegas hukum alam bahwa bagi

organisasi yang ruhnya berintikan pada jiwa korsa, sorotan dari pihak eksternal hampir bisa

dipastikan selalu ditanggapi dengan perlawanan. Karena itu, Polri yang semestinya memaks imal

peranperan pengawasan internalnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan personel.

Untuk tujuan tersebut, fungsi profesi dan pengamanan menjadi sektor terdepan. Pendisiplinan

mengincar dua subkultur yang mewabah di kebanyakan organisasi kepolisian, ya itu perilaku

korupsi dan tindakan brutal. “Save Polri-Selamatkan Polri” , begitulah semboyan yang kini

disuarakan ke segala penjuru. Tentu bukan menyelamatkan Polri dari incaran KPK, melainkan

dari hancur leburnya kepercayaan “orang tua kandung Polri” alias masyarakat. Allahu a’lam.

Sekali Lagi tentang Mubahalah Anas Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015

MA’MUN MUROD AL-BARBASY

Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan

Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Membaca tulisan Moh Mahfud MDdi KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul “Mubahalah dan

Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.

Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa

melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum

konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata -mata karena

temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal

sampai selesainya proses persidangan.

Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?

Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama,

mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para pimpinan

KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud adalah “tidak ada

urusannya dengan mubahalahmubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan Anas kepada majelis

hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan di Indonesia juga tidak

mengenal mubahalah.

Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu jelas

untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap dan

penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau

penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan mungkin

pihak lain lagi.

Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena serangan

dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan

berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata angin”, bahkan

pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat ketimbang yang

sekarang ini.

Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan bukan karena kelemahan di KPK.

245

Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan

oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan JPU,

para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku, dan

membisu.

Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan

mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu.

Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini.

Setelahterpakusekianwaktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua

majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang.

Kemudian segera keluar ruang sidang dengan terburuburu dan diikuti oleh semua anggota

majelis. Para jaksa masih terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar

halilintar. Baru kali ini merasakan mimpi di siang bolong. Saya sangat memahami ajakan Anas

untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa.

Secara substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke

persidangan sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya

lewat proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis

faktafakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta -fakta

kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.

Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran

itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin

memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah ada lah

ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di dalamnya para

pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan laknat Tuhan.

Mubahalah, Kualat atau Karma?

Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya pasti

tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah? Wallahu

a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya sendiri atau

karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan.

Kita tidak tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama

penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya.

Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan

jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan karena tidak ada mekanismenya dalam sistem

peradilan kita.

Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa dikatakan secara substansial

tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan karena kebenaran dan keadilan

tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang absolut dan putusan hakim yang takut

kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan. Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.

Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai persidangan,

termasuk detildetil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya yakin akan

mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat d i dalam tulisannya tersebut.

246

Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan kesimpulan yang sangat

berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media. Saya menduga Mahfud menjadi

salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi terhadap Anas, hal yang biasa

dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus ini ada kekuasaan besar yang

rajin bekerja.

Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan Mahfud terkait Anas dan kasus yang

dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada yang memang cenderung negatif. Hanya

sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, karena

pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya komentar positif itu kembali

“dinetralkan” oleh Mahfud.

Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah

yang dikaitkan dengan Anas dan masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK. Saya pernah

menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut kepada Anas.

Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan

pernyataanpernyataan negatif dari seniornya itu.

“Anggap saja itu cara senior memplonco yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan

banyak berkahnya,” begitu jawabannya. Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren

Sawit untuk meminta dukungan menjadi pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang

saja tetap didoakan baikolehAnas. Itulahsikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang

lain.

Anas adalah orang yang “abnormal” dan kerap bikin gregetan temantemannya. Tidaklah penting

untuk meneliti mengapa senior Mahfud cenderung negatif terhadap yuniornya, Anas. Boleh jadi

banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda politik pada 2014, di mana Ma hfud

serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres. Anas pun didakwa oleh KPK karena

mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan yang disebut Anas sebagai imajiner.

Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah kalau Mahfud dan Anas mau ber-

mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus hukum yang belum berkekuatan

hukum tetap itu. Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah

misteri”. Bisa diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait

perubahan cepat yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan

jalannya sendiri. Wallahu a’lam.

Gaya Diplomasi Koran SINDO Rabu, 25 Februari 2015

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,

Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras dengan

gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.

247

Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya

terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negaranegara lain.

Dalam beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia,

Singapura, Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan

yang diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat. Di masa pemerintahan Joko Widodo

(Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat.

Sejak awal masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih

keras dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan

bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan. Dalam

kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa

tegas.”

Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang ilegal,

Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi

tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-harga ikan di

pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai terbatas.

Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan untuk

tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk membunuh

terpidana itu melalui hukuman mati. Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman

mati ternyata menimbulkan reaksi keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman

mati, bahkan termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.

Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke masyarakat dan seperti di masa

pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan tindakan keras mulai dari

pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik. Presiden Jokowi tampaknya

akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan berbeda dengan gaya diplomatik

SBY.

Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan negaranegara yang tengah bermasalah dengan

kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter

dan kepribadian masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap

negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat dipengaruhi

karakter, budaya, dan politik masing-masing.

Namun yang lebih penting gaya diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang

negara tersebut dalam kompetisi di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak h anya

merebutkan akses pasar ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM)

dan demokrasi. Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang

hadir dalam Konferensi G-20 di Australia tahun lalu.

Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa, Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS

Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper

memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan, dan menukik langsung kepada Rusia atas

masalah yang terjadi di Ukrania.

Mereka bicara langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin

tentang keterlibatan Rusia dalam konflik Ukrania. Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di

248

suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden

Putin menghampiri Stephen Harper dan mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess

I’ll shake your hand but I have only one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.”

(Saya kira saya akan menjabat tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat

kaki dari Ukraina). Ucapan dan tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat

kaki sebelum konferensi itu berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat

keletihan. Namun semua tahu bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan

dipermalukan dalam konferensi itu.

Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara -negara

untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut

negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan

sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk memenuhi

psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah keadaan yang

konfrontatif.

Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya

pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi -situasi

tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin dan Eropa

yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk di dalam

forum-forum internasional yang akan dihadirinya.

Presiden Jokowi harus berani membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara

tersebut. Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan

Indonesia dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden

Jokowi memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan

memperbaiki situasi.

Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan etik atau

norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda dengan

ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-negara di

Timur Tengah.

Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan warga

negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu bergerak di

balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun masyarakat.