(Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014

159
1 DAFTAR ISI PNM DAN MONOZUKURI UMKM Parman Nataatmadja 4 TRANSPORTASI PUBLIK DAN KUALITAS HIDUP Rhenald Kasali 7 DAULAT PANGAN Khudori 10 RUPIAH DAN LIKUIDITAS GLOBAL Firmanzah 13 LIBERALISASI TRANSPORTASI DAN PENGUSAHA-PEJUANG Bayu Priawan Djokosoetono 16 INKLUSI KEUANGAN & EKONOMI INDONESIA Matthew Driver 19 MENANTI ERA BARU DIPLOMASI Dinna Wisnu 23 SPIRAL EKONOMI 2015 Firmanzah 26 NARASI DOMESTIK DAN RELASI GLOBAL Ahmad Erani Yustika 29 MEA 2015: TINGGALKAN ZONA NYAMAN, LAKUKAN INOVASI! Handi Sapta Mukti 32 UU KELAUTAN DAN LAUT KITA Rhenald Kasali 35 E-BANK DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Nonot Harsono 38 PERGURUAN TINGGI DAN INNOVATION DRIVEN ECONOMY Firmanzah 41 7-ELEVEN, TRANSFORMASI BISNIS PT MODERN INTERNASIONAL TBK Henri Honoris 44 SISTEM PEMBAYARAN DAN DEMOKRASI EKONOMI Achmad Deni Daruri 47 R&D DAN PEMBANGUNAN PARIPURNA

description

opini para pakar yang dimuat di KORAN SINDO dan situs www.sindonews.com

Transcript of (Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014

1

DAFTAR ISI

PNM DAN MONOZUKURI UMKM

Parman Nataatmadja 4

TRANSPORTASI PUBLIK DAN KUALITAS HIDUP

Rhenald Kasali 7

DAULAT PANGAN

Khudori 10 RUPIAH DAN LIKUIDITAS GLOBAL

Firmanzah 13

LIBERALISASI TRANSPORTASI DAN PENGUSAHA-PEJUANG

Bayu Priawan Djokosoetono 16

INKLUSI KEUANGAN & EKONOMI INDONESIA

Matthew Driver 19

MENANTI ERA BARU DIPLOMASI

Dinna Wisnu 23

SPIRAL EKONOMI 2015

Firmanzah 26 NARASI DOMESTIK DAN RELASI GLOBAL

Ahmad Erani Yustika 29

MEA 2015: TINGGALKAN ZONA NYAMAN, LAKUKAN INOVASI!

Handi Sapta Mukti 32

UU KELAUTAN DAN LAUT KITA

Rhenald Kasali 35

E-BANK DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Nonot Harsono 38

PERGURUAN TINGGI DAN INNOVATION DRIVEN ECONOMY

Firmanzah 41 7-ELEVEN, TRANSFORMASI BISNIS PT MODERN INTERNASIONAL

TBK

Henri Honoris 44

SISTEM PEMBAYARAN DAN DEMOKRASI EKONOMI

Achmad Deni Daruri 47

R&D DAN PEMBANGUNAN PARIPURNA

2

Firmanzah 50

TERIMA KASIH PAK SBY, SELAMAT BEKERJA PAK JOKOWI

Firmanzah 53

TOL LAUT, ANTARA LOGISTIK DAN TRANSPORTASI

Siswanto Rusdi 56

WARISAN EKONOMI SBY

Berly Martawardaya 59 ERA BARU BUMN KEPELABUHANAN: SIZE IS MATTER

Rhenald Kasali 63

GEOPOLITIK PANGAN DAN JOKOWI-JK

Khudori 67

TABUNGAN PENDIDIKAN

Budi Frensidy 70

JOMBLO LIFESTYLE

Yuswohady 73

PERAN REGULATOR DAN MEKANISME PASAR

Firmanzah 76 MEMBACA KABINET BLUSUKANOMIC

Eko B Supriyanto 79

MEA 2015: DIGADANG DALAM KECEMASAN

Wahyu T Setyobudi 83

KABINET KERJA DALAM PERLAWANAN ASIA

Bambang Soesatyo 86

KABINET & EKSPEKTASI PUBLIK

Ahmad Erani Yustika 89

ERA BARU BUMN: SIZE DOES MATTER (3)

Rhenald Kasali 92 MENAKAR KESIAPAN INDUSTRI PARIWISATA SYARIAH

Riyanto Sofyan 95

PELINDO INCORPORATED

Rhenald Kasali 98

MELEPASKAN BELENGGU SUBSIDI BBM

Satya Widya Yudha 102

3

SEKTOR KONSTRUKSI SEBAGAI MOTOR PEMBANGUNAN

Arif Budimanta 106

POTENSI BROADBAND-BASED ECONOMY

Firmanzah 109 MERUMUSKAN KEMBALI PERAN INDONESIA DI ASEAN

Shofwan Al Banna Choiruzzad 112

KEKURANGAN PIDATO PRESIDEN JOKOWI DI APEC

Dinna Wisnu 115

MERANGKUL SEKTOR PELAYARAN

Siswanto Rusdi 118

MENIMBANG PENARIKAN DANA PEMDA DI BPD

Paul Sutaryono 121

SINERGI KEBIJAKAN MARITIM INDONESIA

Shiskha Prabawaningtyas 124 EKSPEKTASI BIDANG PERTANIAN

Posman Sibuea 128

SPORT-INDUSTRY

Firmanzah 131

DAMPAK POLITIK DARI KEMAJUAN TEKNOLOGI ENERGI

Dinna Wisnu 134

NASIB INDUSTRI KREATIF TANPA MENTERI

Rama Datau Gobel 138

PENGALIHAN SUBSIDI BBM?

Marwan Batubara 141 SISA SUBSIDI BBM: TETAP SALAH SASARAN

Bambang Setiaji & Muslich Hartadi 144

INTERPELASI PIL PAHIT JOKOWI

Bambang Soesatyo 147

SETELAH HARGA BBM NAIK

Firmanzah 150

SISTEM PEMBAYARAN DAN RISIKO SISTEMIK

Achmad Deni Daruri 153

DIPLOMASI SAWIT JOKOWI

Dinna Wisnu 156

4

PNM dan Monozukuri UMKM

Koran SINDO

16 September 2014

Pekan lalu saya mendapatkan kesempatan mengikuti seminar “Entrepreneurship dan

Monozukuri: Konsep Keberhasilan Wirausaha Jepang Membangun Ekonomi dan

Masyarakat” yang bertajuk “Toyota & Monozukuri”. Saya hadir pada acara tersebut atas

undangan dari Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ) yang dipimpin oleh

pengusaha nasional Rachmat Gobel.

Selain diajak mengikuti pemaparan ide dari Masahiro Nonami, chairman The Jakarta Japan

Club, serta pembicara dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, kami juga diajak

berkeliling dan menyaksikan bagaimana Toyota, produsen automotif raksasa asal Jepang itu,

membangun industri automotif di Indonesia. Hal penting dan menarik yang bisa saya garis

bawahi selama rangkaian acara tersebut adalah bagaimana Jepang bisa membangun ekonomi

dan masyarakatnya melalui wirausaha.

Monozukuri berasal dari kata “mono” yang berarti produk atau barang, dan “zukuri” yang

berarti proses pembuatan atau penciptaan. Secara umum dalam percakapan sehari-hari

diartikan sebagai produksi/menghasilkan atau manufacturing/pembuatan. Namun demikian,

konsep ini mengandung makna yang jauh lebih luas dari arti harfiahnya. Kata majemuk

tersebut mengungkapkan kepemilikan spirit menciptakan dan memproduksi produk-produk

unggul serta kemampuan untuk secara terus menerus menyempurnakan proses dan sistem

produksinya. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan Jepang dalam membangun

ekonomi dan masyarakatnya setelah Perang Dunia II adalah keunggulan Monozukuri yang

dilaksanakan oleh para manajer, engineer, dan karyawan.

Pada saat melakukan kunjungan ke pabrik, kami disajikan gambaran nyata bagaimana Toyota

membangun industri automotif secara detail. Semua dilakukan dengan membangun sistem

yang benar dan terintegrasi. Semua langkah yang dijalankan ini akan menciptakan efisiensi

tinggi dalam berproduksi namun tetap humanis, yang pada ujungnya akan menghasilkan

pendapatan dan laba perusahaan. Ketua Umum PPIJ Rachmat Gobel menandaskan, dalam

membangun suatu (perusahaan dll) maka kita harus mau blusukan seperti yang dilakukan

oleh Joko Widodo, presiden terpilih. “Dengan blusukan, kita akan bisa mendapatkan detail

permasalahan yang ada sehingga bisa menentukan langkah dan strategi yang tepat untuk

menjalankannya,” ujarnya.

Membangun Sistem

5

Merujuk pada filosofi Monozukuri, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah

(UMKM) pun seharusnya dilakukan dengan membangun sistem yang benar dan dijalankan

secara terintegrasi. Cara seperti inilah yang dilakukan oleh PT Permodalan Nasional Madani

(persero) atau dikenal dengan PNM dalam menjalankan kegiatan usahanya. UMKM

merupakan salah satu pilar ekonomi bangsa dan telah terbukti tahan terhadap krisis ekonomi.

Namun pada kenyataannya, kiprah kelompok usaha ini masih terbatas dan belum bisa

mendominasi di kancah ekonomi nasional, apalagi global.

Pengembangan dan pemberdayaan UMKM tidak bisa dilakukan hanya dengan memberikan

bantuan dana murah, namun mereka dibiarkan untuk berkembang sendiri. Persoalan dalam

berusaha adalah dibutuhkannya kemampuan (manajerial) untuk mengembangkan usaha

hingga menjaga kesinambungan usaha. Karena itu, PNM yang didirikan pada 1 Juni 1999 ini,

mengemban amanat pemerintah untuk mengembangkan dan memajukan sektor UMKM dan

koperasi, yakni melalui: Moda Financial (melalui pembiayaan dan penyertaan) untuk

penyediaan dan penguatan modal kerja dan investasi UMKM; Moda Intelektual (melalui

Pendampingan dan Pengembangan Kapasitas usaha) untuk meningkatkan nilai tambah bagi

UMKM; serta Moda Sosial (mengoneksikan para pelaku bisnis UMKM).

Pengembangan bisnis UMKM seharusnya bisa dijalankan dengan mencontoh filosofi

Monozukuri, yakni dengan membangun sistem yang benar dan dijalankan secara terintegrasi

dengan pihak-pihak lain yang terkait. Oleh sebab itu, hal yang lebih penting adalah

bagaimana kita membantu para pelaku UMKM tersebut, sehingga mereka dapat

meningkatkan kapasitas usahanya agar bisa menjalankan produksi dengan baik.

Mereka juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas produk agar diterima oleh pasar yang

lebih luas hingga mampu menembus pasar global dan bersaing dengan produk dari luar

negeri. Apalagi pada 2015 Indonesia masuk ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),

sehingga penjualan barang dan jasa bisa berjalan secara lintas negara tanpa boleh dihambat.

Metode pengembangan kapasitas usaha yang dijalankan oleh PNM dilakukan melalui

serangkaian proses, yaitu dimulai dari persiapan dan sosialisasi, pelatihan, pendampingan

usaha dan pemberdayaan kelompok hingga proses monitoring-nya yang memungkinkan suatu

usaha tersebut ditingkatkan kemitraannya hingga opsi dilakukan pembiayaan lanjutan.

Proses persiapan dilakukan dengan cara pemetaan potensi dan inventarisasi permasalahan

untuk pengembangan UMK. Melibatkan lembaga independen sesuai dengan kebutuhan dan

keahlian termasuk perguruan tinggi. Hasil pemetaan dan inventarisasi ditindaklanjuti dalam

bentuk pelatihan serial, yang mencakup keuangan, produksi, pemasaran, kelompok,

pengemasan, dll. Aktivitas pelatihan ini dijalankan dengan melibatkan lembaga independen

sesuai dengan kebutuhan dan keahlian, termasuk dinas terkait dan perguruan tinggi.

Tahapan selanjutnya adalah mendampingi operasional usaha dan produksi pascapelatihan dan

pendampingan kelompok. Aktivitas pendampingan ini juga melibatkan lembaga terkait sesuai

dengan program pengembangan kapasitas usaha yang disiapkan PNM. Pada akhirnya,

6

program diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Namun, PNM tetap melakukan

monitoring dan menyediakan dukungan yang dibutuhkan.

Semua proses ini harus dijalankan secara bersamaan dengan jasa pembiayaan. Hal semacam

inilah yang tidak didapatkan para pelaku UMKM apabila mereka mendapatkan kredit dari

perbankan atau lembaga keuangan mikro lainnya. Karena itu, pemberdayaan UMKM tidak

bisa dijalankan hanya dengan memberikan dana murah. Melainkan harus didesain dengan

sistem yang benar dan dijalankan secara terintegrasi dengan lembaga lain yang terkait. ●

PARMAN NATAATMADJA

Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani (Persero)

7

Transportasi Publik dan Kualitas Hidup

Koran SINDO

18 September 2014

Dulu, dari rumah saya di kawasan Jatimurni, Bekasi, kalau hendak mengajar di kampus

Salemba, saya cukup berangkat dari rumah pukul 06.30 atau 07.00 pagi. Hanya dalam satu

setengah jam saya sudah tiba, dan masih bisa menghirup udara segar. Lagi pula jalanan

belum ramai. Ada macet, tapi tak seberapa.

Kalau mau mengajar ke kampus Depok, dari Salemba kami hanya butuh waktu sekitar satu

jam. Paling hanya macet di perlintasan rel kereta api. Begitulah dilema akademisi yang harus

mengajar dan mengikuti rapat di dua lokasi kampus yang berjauhan: satu di pusat Jakarta,

satu lagi di Jawa Barat.

Tetapi belakangan, sebelum matahari terbit saya sudah ingin segera berangkat. Itu pun harus

melewati “jalan tikus”, menembus kampung yang kalau berpapasan dengan mobil lain

terpaksa kami harus masuk ke pekarangan rumah masyarakat. Kalau telat sedikit dan

matahari sudah naik, maka begitu masuk jalan tol, jalan sudah super padat.

Dan akibatnya saya terlambat berjam-jam. Bukan tambah sejam, melainkan bisa tiga jam.

Luar biasa! Itu berarti hari masih sekitar pukul 04.30. Saya tidak sendiri, saya lihat tetangga

dan masyarakat sekarang juga sudah meninggalkan rumahnya pagi itu. Ratusan motor

bergerak cepat, sekali mobil berhenti klakson marah langsung terdengar dari motor di

belakang yang jumlahnya, ampun, banyak sekali. Sebagian besar mereka hendak ke Jakarta.

Apa yang mendorong mereka berangkat pada pagi buta? Dalam suatu kesempatan, saya

mendengar cerita mereka. Katanya, mereka yang tinggal di kawasan penyangga Jakarta,

seperti Bogor, Tangerang, Depok, atau Bekasi, kalau berangkat pagi buta sangat

memungkinkan tiba di kantor lebih cepat, sejam saja. Jadi, sekitar pukul 05.30 sudah sampai.

Setelah itu ada sebagian dari mereka yang masih bisa sarapan, kemudian melanjutkan

tidurnya 1,5-2 jam di mobil atau di ruang kantor kalau pintu kantornya sudah buka. Sekitar

pukul 08.00 mereka resmi mulai ngantor.

Mengapa tidak berangkat pukul 06.00? Seperti kata saya tadi, mereka bilang, kalau berangkat

jam segitu, mungkin baru bisa sampai kantor pukul 09.00. Sesampai di kantor kondisi fisik

dan emosinya pasti lelah. Siapa yang tak lelah didera kemacetan 2,5-3 jam di perjalanan?

Belum lagi menghadapi tekanan dari rekan kerja yang sinis melihat kita terlambat.

Saya tercenung mendengar cerita mereka. Bagi Anda yang kurang yakin, silakan cek di

kantor-kantor. Mungkin belum banyak yang melakoni cara hidup seperti ini, tetapi ada. Saya

8

kira dalam beberapa waktu ke depan, kalau tak kunjung ada perbaikan dalam layanan

transportasi publik, jumlahnya pasti akan semakin bertambah. Celakanya, waktu pulangnya

kita tak bisa menghemat waktu selain pulang lebih malam setelah sebagian besar orang

sampai di rumah. Jadi hampir pasti semuanya tiba di rumah dengan perut lapar dan kondisi

fisik yang sudah lunglai. Sementara rumah makan dan perpustakaan kompak pukul 22.00

sudah tutup. Padahal, mungkin banyak orang yang membutuhkan layanan mereka justru di

saat jalan sedang macet-macetnya.

Dulu dan Sekarang

Itulah fenomena perubahan sosial yang terjadi di depan mata. Sungguh merisaukan.

Kehidupan macam apa yang sebetulnya tengah dijalani oleh para pekerja yang tinggal di

kawasan penyangga Jakarta? Belum lagi para buruh yang hanya mampu tinggal di rumah

kontrakan yang sempit jauh dari kantor. Baiklah, saya tak ingin menyinggung soal

produktivitas. Apalagi membandingkannya dengan pekerja negara-negara tetangga yang

setiap hari hanya menghabiskan maksimal dua jam di jalan. Bukan itu yang membuat saya

risau, melainkan apa jadinya masa depan keluarga Indonesia?

Apa jadinya dengan hubungan suami-istri (angka perceraian, konflik, dan KDRT) dan anak-

anak, yang setiap hari mungkin hanya bertemu satu-dua jam dengan orang tuanya itu pun

dengan kondisi fisik yang sudah sangat kelelahan. Dan, ingat kian banyak suami-istri yang

keduanya sama-sama bekerja. Dulu, mungkin kita masih mendengar cerita tentang keluarga

yang rukun dan bahagia. Setiap hari bisa menikmati makan malam dan berdoa bersama. Kini,

berapa banyak di antara mereka yang masih bisa makan malam bersama di ruang keluarga?

Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang memeriksa PR dan mendampingi

anak-anaknya belajar. Kini, berapa banyak di antara mereka yang masih punya waktu untuk

melakukan hal ini? Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang kerap

menceritakan dongeng sebelum tidur pada anak-anaknya. Kini, berapa banyak di antara

mereka yang masih sempat menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anak-anaknya?

Sementara semua yang saya tanyakan di atas masih dilakukan traditional parents di negara-

negara maju. Inilah kegelisahan saya sebagai orang tua sekaligus pendidik yang setiap hari

berkawan dengan anak-anak Anda, apakah di kampus atau lewat social media.

Backbone Transportasi

Sekarang mari kita sejenak berangan-angan. Andai kita bangun jam 05.30, lalu berolahraga

20-30 menit. Jam 06.00, masih sempat sarapan bersama anak-anak, sebelum melepas atau

mengantar mereka ke sekolah. Jam 06.30, mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor. Lalu, jam

08.00 sudah sampai kantor. Bagi Anda yang tinggal di kawasan Bogor, Depok, Tangerang,

atau Bekasi, dan bekerja di Jakarta, mungkinkah itu terjadi? Mimpi! Sebaliknya, saya

melihatnya sangat mungkin, dengan catatan, jangan pakai kendaraan pribadi. Lupakan pula

bus kota, antarkota atau antarprovinsi. Satu-satunya moda yang memungkinkan Anda sampai

9

ke kantor hanya dalam tempo satu jam adalah kereta. Bentuknya bisa monorel, atau kereta rel

listrik.

Itu sebabnya saya sangat jengkel ketika pembahasan monorel tertunda-tunda, bahkan terhenti.

Kita jengkel ketika mendengar jalan tol baru enam ruas dikejar agar dibangun di tengah kota.

Semua itu sama sekali tidak akan membantu mengurai masalah yang membuat kita

menghabiskan begitu banyak waktu di jalan. Penambahan ruas jalan tol tadi hanya akan

merangsang masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi. Belajarlah dari negara-negara

maju yang menjadikan kereta api sebagai backbone transportasi publik.

Di sana, semua orang lebih suka menyimpan mobilnya di garasi, atau di area parkir stasiun,

dan kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke kantor dengan kereta. Tapi, jangan

pembangunan rel dan keretanya diserahkan ke swasta. Semua mesti dikerjakan dan dibiayai

oleh pemerintah, sehingga tak perlu memikirkan kapan investasinya bakal kembali. Ini bukan

bisnis. Ini public service, yang menjadi tugas utama pemerintah untuk menyediakannya. Jadi

sudah tidak selayaknya lagi pemerintah memikirkan return on investment. Apalagi uang

untuk membangun jaringan rel dan keretanya bukan uang pemerintah, tapi uang kita yang

dipungut melalui pajak. Bedakanlah antara mengurus return (yang menjadi hitungan kaum

bisnis) dengan mengurus keekonomian dan kesejahteraan (yang menjadi urusan negara).

Inilah waktunya bagi pemerintah untuk kembali ke khitah-nya. Ini soal meningkatkan

produktivitas pekerja, memperbaiki daya saing, meningkatkan kualitas hidup keluarga, masa

depan anak-anak dan kebahagiaan banyak orang. Kalau pemerintah masih mau hitung-

hitungan soal ini, sungguh bebal! ●

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali

10

Daulat Pangan

Koran SINDO

18 September 2014

Beban yang dipikul sektor pertanian kian berat. Di satu sisi sektor ini menampung lebih

sepertiga tenaga kerja. Di sisi lain bertahun-tahun sektor pertanian tumbuh rendah. Sektor

manufaktur yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja jauh panggang dari api. Akibat

surplus tenaga kerja, kemiskinan menumpuk di sektor pertanian.

BPS mencatat, dari jumlah penduduk miskin 28,28 juta orang, Maret 2014, 63% tinggal di

desa yang sebagian besar petani. Sebagai produsen pangan petani jadi kelompok paling

terancam rawan pangan. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian

on farm belum menjanjikan, produktivitas aneka pangan melandai, diversifikasi pangan

gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan konversi lahan

pertanian berlangsung kian masif. Bukan hanya lahan, petani pun terancam punah. Menurut

Sensus Pertanian 2013, selama satu dekade terakhir jumlah keluarga petani menurun 5 juta,

dari 31,17 jadi 26,13 juta.

Pertanian dijauhi karena tak menjanjikan kesejahteraan dan masa depan. Menurut BPS,

pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata Rp12,4 juta/tahun atau

Rp1 juta/bulan. Pendapatan ini hanya menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang

dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Fakta ini

menunjukkan tidak ada lagi ”masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor

pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Menurut Sensus Pertanian 2013, lebih sepertiga

pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi. Ini terjadi

karena pertanian mengalami destruksi sistemis di semua lini: di on farm, off farm, serta

industri dan jasa pendukung. Otonomi daerah dan desentralisasi membuat Kementerian

Pertanian tidak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Ditambah sikap pemerintah daerah yang

tidak memandang penting pertanian membuat, sektor pertanian rapuh di segala lini.

***

Sejak 2007 Indonesia defisit perdagangan pangan. Impor pangan melesat lebih cepat

ketimbang ekspor, sehingga defisit cenderung melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia

sebesar 4,87% per tahun tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi domestik. Nilai impor

paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi,

aneka buah dan bawang putih. Selama satu dekade terakhir ketergantungan Indonesia pada

pangan impor nyaris tak berubah: 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula,

11

18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju.

Indeks keamanan pangan Indonesia, seperti diukur dalam Global Food Security Index , terus

merosot: dari posisi 62 dari 105 negara (skor antara 0-100) pada 2012 anjlok ke posisi 72 dari

109 negara pada 2014. Posisi negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Tiongkok

dan Filipina lebih baik daripada Indonesia. Negara-negara industri maju sekalipun tak abai

persoalan pangan, tecermin dari skor mereka yang tinggi. Misalnya Amerika Serikat dengan

skor 89,3 di posisi puncak. Jepang dan Korsel berada di posisi terhormat, masing-masing ke-

21 dengan skor 77,8 dan ke- 25 dengan skor 73,2.

Kedaulatan pangan Indonesia kian rapuh dan rentan oleh fluktuasi harga pangan dunia dan

perubahan iklim ekstrem yang sulit diantisipasi. Instabilitas harga pangan selalu berulang

akibat dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan.

***

Presiden-wakil presiden terpilih, Jokowi-JK, berjanji menempatkan pertanian pada posisi

penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Ini ditempuh lewat sejumlah langkah:

membagikan 9 juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare

jadi 2 hektare, membangun irigasi/embung, mencetak 1 juta hektare lahan baru, mendirikan

bank pertanian, mendorong industri pengolahan.

Langkah ini tak cukup guna membangun kedaulatan pangan. Agar berdaulat pangan,

pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani berdaulat bila memiliki

tanah, bukan penggarap, apalagi buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin tegaknya

kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air, benih,

teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan

kontrol sumber daya produksi kedaulatan hanya omong kosong.

Kedua, sumber daya penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka

pangan sesuai keragaman hayati dan kearifan lokal. Langkah peningkatan produksi,

produktivitas dan efisiensi usaha tani dan tata niaga tak bisa ditawar-tawar. Kebijakan ini

harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem

informasi harga, pasar, dan teknologi. Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena

ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 m2 untuk sawah (451

m2 bila digabung lahan kering), jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2), Tiongkok

(1.120 m2).

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup

sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik

domestik maupun dunia, merupakan pasar yang adil. Liberalisasi kebablasan mesti dikoreksi.

Lalu dikembangkan perdagangan adil buat petani dengan mengadopsi harga pantas (fair

price): harga break even point (BEP), plus asuransi gagal panen (50% dari BEP), tabungan

masa depan, dan tabungan pengembangan usaha (masing-masing 10% dari BEP).

12

Perdagangan adil membuat petani berdaya karena mereka punya asuransi dan dana investasi.

Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas pelbagai kerugian bencana.

Negara perlu memberi jaminan hukum bila itu terjadi petani tak menderita. Pendek kata,

semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian dan

struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar

perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012). Karena

UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani masih jauh dari

memadai.

Keempat, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis. Caranya,

merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras,

tetapi juga mengelola sejumlah komoditas penting lain disertai instrumen stabilisasi yang

lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan

anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta

bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa

swasta dalam mengontrol harga dan mereduksi praktik rente.

Agar peta jalan kedaulatan pangan berjalan, perlu dua syarat: anggaran memadai dan

kelembagaan yang powerful. Selama reformasi pertanian dipinggirkan. Politik pembangunan

dan anggaran menjauh dari pertanian. Pertanian dinilai tidak lagi penting. Kelembagaan yang

mengurus pangan dibubarkan. Padahal, sejarah negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan

yang lain mengajarkan tidak ada negara yang ekonominya maju dan stabil tanpa ditopang

pertanian. Meskipun ekonomi mereka sudah tidak tergantung pada pertanian, tidak serta-

merta pertanian ditinggalkan. Justru pertanian diperkuat dengan anggaran dan aneka

perundangan. Pertanian ditaruh di tempat terhormat: sebagai persoalan bangsa. Untuk

berdaulat pangan, Jokowi-JK harus menempatkan pangan dan pertanian sebagai persoalan

bangsa.

KHUDORI

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik

Indonesia (AEPI)

13

Rupiah dan Likuiditas Global

Koran SINDO

22 September 2014

Seperti mata uang di hampir mayoritas emerging market, nilai tukar rupiah berada dalam dua

tekanan global yang saling berlawanan arah. Di satu sisi, Bank Sentral Amerika Serikat (The

Fed) berjuang untuk mengurangi likuiditas global melalui pengurangan, sampai pada

akhirnya tercapai penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai quantitative easing

(QE) III. Sementara di sisi lain, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) bersama

Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China justru mempertahankan dan bahkan menambah

likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut.

Selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan

menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan, baik dalam jangka pendek maupun menengah

terhadap nilai tukar rupiah. Hal ini tecermin pada sesi perdagangan pekan lalu (minggu ke-3

September), nilai tukar sejumlah mata uang negara-negara Asia ditutup melemah. Depresiasi

nilai tukar mata uang negara-negara di Asia ini merupakan respons dari hasil The Federal

Open Market Committee (FOMC) terkait tahapan pengakhiran QE III dan pengakhiran suku

bunga murah. Pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan USD25 miliar ini

direncanakan dilakukan pada bulan ini sebesar USD10 miliar dan pada Oktober sebesar

USD15 miliar sekaligus mengakhiri kebijakan QE.

Hal yang sedikit melegakan terkait dengan rencana kenaikan suku bunga (The Fed Rate),

adalah pernyataan Gubernur The Fed, Janet Yellen, yang akan tetap mempertahankan suku

bunga rendah untuk beberapa waktu (considerable time) setelah QE berakhir. Dalam rilis

hasil rapatnya, The Fed juga menyampaikan kenaikan proyeksi suku bunga menjadi 1,375%

di akhir 2015 dari proyeksi sebelumnya 1,125%. Dan pada tahun 2017, suku bunga ini di

targetkan menjadi 3,75% dengan sejumlah asumsi-asumsi dari proyeksi yang dihasilkan

komite FOMC.

Optimisme perkembangan ekonomi AS juga tercermin dari sejumlah proyeksi yang

disampaikan The Fed. Dalam rilisnya, The Fed memproyeksikan pertumbuhan produk

domestik bruto (PDB) akan meningkat di kisaran 2,6-3,0% pada 2015, 2,6-2,9% di 2016, dan

2,3-2,5 % di 2017. Tingkat pengangguran AS juga diharapkan membaik ke kisaran 5,4-5,6%

di tahun 2015 dan 5,1-5,4% di tahun 2016. The Fed juga memproyeksikan kisaran suku

bunga pada level 3,75% di akhir 2017 dengan ekspektasi inflasi naik 1,9-2,0%.

Proyeksi ekonomi AS yang lebih tinggi dari sebelumnya muncul setelah sejumlah data

ekonomi makro AS menunjukkan perkembangan positif. Data pertengahan September 2014

menunjukkan penurunan klaim pengangguran sebanyak 36.000 menjadi 280.000. Dengan

14

tren penurunan angka ini, The Fed memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir 2014

berada di kisaran 5,9-6,0% atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level 6,0-6,1%.

Sementara itu, tingkat inflasi diperkirakan berada di rentang 1,5-1,7% year on year tahun ini.

Tingkat penjualan kendaraan juga meningkat tajam sebanyak 17,5 juta di Agustus 2014 atau

mencapai level tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Kestabilan tingkat permintaan dan

penawaran juga tecermin dari sejumlah aktivitas ekonomi dan belanja rumah tangga dalam

beberapa bulan terakhir. Kondisi ini memperkuat optimisme pemulihan ekonomi AS

sehingga prospek jangka panjang diperkirakan semakin membaik.

Sinyal pemulihan ekonomi AS yang tertuang dalam pengumuman hasil rapat komite FOMC

pekan lalu ini, kemudian mendorong sentimen penguatan mata uang dolar AS terhadap mata

uang negara-negara lain, termasuk rupiah. Setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia

melemah terhadap dolar AS pada sesi perdagangan pekan ketiga September 2014. Mata uang

Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan, dan Indonesia

melemah terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah pada sesi perdagangan Kamis (18/9)

menembus batas psikologisnya di level Rp12.025 per dolar AS atau melemah 0,46%.

Pelemahan ini merupakan respons pascapengumuman hasil rapat FOMC. Diperkirakan

penguatan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara lain dalam beberapa

waktu ke depan terus berlangsung, seiring dengan positifnya berbagai indikator makro

perekonomian AS. Pada kondisi ini, para investor global akan cenderung mengubah orientasi

investasinya dari jangka panjang menjadi jangka pendek. Aksi spekulatif akan cenderung

mewarnai aktivitas perdagangan global dalam beberapa waktu ke depan melalui aksi relokasi

investasi.

Sentimen penguatan dolar AS ini telah memicu spekulasi adanya relokasi investasi yang

selama ini tersebar di sejumlah negara dengan prospek ekonomi yang positif untuk kembali

ke AS. Relokasi investasi dan aliran arus modal ini diperkirakan terus berlangsung sepanjang

sinyal positif ekonomi AS tetap menunjukkan angka-angka yang positif. Di sisi lain, entitas-

entitas ekonomi besar seperti Eropa, China, dan Jepang justru menunjukkan potret

kebalikannya.

Bank sentral Eropa, China, dan Jepang saat ini justru mengalami persoalan likuiditas yang

mendorong kebijakan quantitative easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long

Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada

industri perbankan di kawasan euro senilai 400 miliar euro (USD518 miliar). Bank Sentral

China mengeluarkan stimulus USD81 miliar pada lima bank BUMN terbesar untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi China. Sementara itu, Bank of Japan akan

mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam.

Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut

masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang

diharapkan.

15

Bagi Indonesia, rencana pengakhiran QE III di AS dan masih berkontraksinya ekonomi Zona

Euro, China, dan Jepang merupakan faktor penting yang perlu kita antisipasi bersama.

Ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan dunia masih akan terjadi dalam jangka pendek

dan jangka menengah.

Dampak dari tekanan eksternal telah kita rasakan bersama saat ini dan dapat dipastikan

gelombang ketidakpastian masih akan terus terjadi. Untuk memitigasi pengaruh

ketidakpastian eksternal, prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan dalam pengelolaan sektor

moneter, fiskal, dan sektor riil perlu terus kita jaga dan tingkatkan. Menciptakan formula

yang tepat dan keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) sangat kita perlukan antara nilai

tukar rupiah, suku bunga, inflasi, cadangan devisa, serta indikator sektor riil.

Melalui koordinasi antara BI, pemerintah, LPS, dan OJK maka kita akan tetap menjaga serta

meningkatkan daya tahan dan daya saing perekonomian Indonesia dalam jangka pendek dan

jangka menengah.

PROF FIRMANZAH PhD

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan

16

Liberalisasi Transportasi dan Pengusaha-Pejuang

Koran SINDO

23 September 2014

Perdebatan publik tentang Uber Taxi beberapa waktu belakangan ini menjadi semacam alarm

bagi industri transportasi publik kita. Sebagai alarm ia membuat kita siuman berhadapan

dengan datangnya era baru transportasi yang ditandai globalisasi dan liberalisasi.

Era Baru Transportasi

Era baru sektor transportasi dicirikan sejumlah gejala pokok. Pertama, Uber bukan pemain

lokal, melainkan pemain global yang sebelumnya sudah berkiprah di sejumlah negara.

Kehadirannya di tengah kita menandai berkembangnya layanan publik sekaligus bisnis

transportasi sebagai arena yang tak lagi memiliki tapal batas negara. Globalisasi sekaligus

liberalisasi transportasi sudah datang dan mau tak mau harus dikelola.

Kedua, sebagai konsekuensinya, pebisnis transportasi domestik mau tak mau harus berbaur

dan berkompetisi dengan sengit bukan hanya dengan pemain lokal, tetapi juga pelaku global.

Opsi yang tersedia boleh jadi hanya ”siap bersaing atau mati”. Ketiga, globalisasi dan

liberalisasi transportasi serta intensifikasi dan ekstensifikasi kompetisi yang diidapnya

membuat masalah-masalah layanan transportasi publik semakin rumit dan tak sederhana.

Kebijakan-kebijakan yang cepat dan tepat di bidang layanan transportasi dibutuhkan.

Pelibatan semua pemangku kepentingan di dalam pengelolaan sektor ini, baik dari kalangan

publik atau negara, swasta atau korporasi maupun civil society, sangat dibutuhkan. Bagi kita

di Indonesia, alarm itu terasa lebih nyaring karena sudah di depan mata pelaksanaan

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA mempercepat dan mengonkretkan liberalisasi di

berbagai bidang kehidupan. Sektor transportasi tentu saja bukan pengecualian. Inilah yang

membuat banyak pihak beranggapan bahwa liberalisasi sektor transportasi menjadi keharusan

yang tak tertawarkan. Benarkah demikian? Benarkah kita tak bisa ”menawar”?

Pengusaha-Pejuang

Menurut saya, liberalisasi transportasi memang akan menjadi gejala zaman sekarang. Tapi,

sebagai pelaku bisnis transportasi sekaligus warga negara dari tanah air yang saya cintai,

Indonesia, saya menilai bahwa liberalisasi transportasi ”harus ditawar” untuk tidak

mengorbankan kepentingan publik secara luas dalam manajemen transportasi yang sudah

mengglobal itu. Sebagai pengusaha saya percaya bahwa ”sang penawar”-nya antara lain para

17

pengusaha yang berkarakter sesuai dengan dicita-citakan Himpunan Pengusaha Muda

Indonesia (HIPMI), tempat saya berkiprah saat ini, yaitu para pejuang-pengusaha dan

pengusaha-pejuang.

Berhadapan dengan peliknya masalah transportasi, para pengusaha-pejuang adalah mereka

yang berbisnis sambil mengatasi trilema kebijakan transportasi. Trilema kebijakan

transportasi adalah situasi serbasulit dan serbarumit dalam mendamaikan tiga kepentingan:

membangun transportasi publik yang massal, mengelola tumbuhnya kelas menengah

perkotaan dengan daya beli alat transportasi yang terus meningkat, dan melayani pasar

segmented yang membutuhkan layanan transportasi eksklusif.

Menurut saya, yang harus jadi prioritas pertama dan utama yang dilayani oleh kebijakan

transportasi di Indonesia adalah kepentingan publik yang luas terhadap adanya moda

transportasi yang mudah, murah, senantiasa ada, dan massal. Maka penyeimbangan, bahkan

pembatasan, kepemilikan kendaraan di kalangan kelas menengah menjadi kebijakan tak

tertawarkan. Masalahnya, kita tak boleh mencederai hak kelas menengah untuk memiliki

kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat.

Saya menyarankan agar sebagai bangsa kita memperbaiki cara berpikir kita tentang soal ini.

Selama ini kita memandang kebutuhan akan kendaraan pribadi dalam perspektif ”memenuhi

gaya hidup” dan bukan untuk ”meningkatkan kualitas hidup”. Atas nama ”gaya hidup” kita

merasa perlu sesuatu yang orang lain sudah memiliki. Ini keliru. Semestinya, kita punya

target untuk ”meningkatkan kualitas hidup” dan kebutuhan akan transportasi yang layak

menjadi implikasinya.

Walhasil, persoalan bisa diatasi dengan penyediaan transportasi publik yang massal,

senantiasa ada, murah, dan aman. Selain itu, infrastruktur transportasi, termasuk kualitas dan

panjang ruas jalan, harus diperbaiki secara sangat serius. Sektor transportasi saat ini

membutuhkan langkah konkret dan segera untuk menjawab tantangan serius di berbagai kota

di Indonesia. Saat ini, kota-kota ditantang untuk menyeimbangkan volume mobilitas manusia

dan barang dengan ketersediaan infrastruktur untuk semua moda transportasi. Tantangan ini

harus segera dijawab.

Di tengah langkah-langkah itu, para pebisnis sektor transportasi bisa merespons permintaan

pasar yang sangat spesifik, yaitu pengguna transportasi yang makin eksklusif, dengan

beragam usaha atau bisnis. Saya yakin, pasar yang segmented ini mendatangkan peluang

bisnis berskala besar. Catatannya hanya satu: bisnis untuk pasar yang sangat segmented ini

tetap harus ramah publik dan lingkungan.

Jadi, bisnis transportasi boleh saja mengalami globalisasi dan liberalisasi. Tapi, semua

pemangku kepentingan di sektor ini, termasuk para pelaku bisnisnya, harus berorientasi pada

publik secara luas. Inilah menurut saya cara berpikir pengusaha-pejuang yang akan membuat

sektor yang menantang ini dapat kita kelola secara layak di masa kini dan masa datang.

18

BAYU PRIAWAN DJOKOSOETONO

Chairman BlueBird Group Holdings, Bendahara Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI dan

Bendahara Umum Kwartir Nasional Pramuka

19

Inklusi Keuangan & Ekonomi Indonesia

Koran SINDO

23 September 2014

Indonesia berada di peringkat ke-15 dunia untuk produk domestik bruto, namun hanya 50 juta

orang Indonesia yang memiliki akses terhadap rekening bank. Dengan mempercepat inklusi

keuangan, jutaan orang Indonesia akan mendapatkan akses layanan dasar seperti menabung

dengan aman dan melakukan transaksi, mengasuransikan properti mereka, dan mendapatkan

akses pinjaman untuk usaha kecil, serta pada akhirnya mempercepat momentum

pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini.

Pengamatan tersebut dilontarkan oleh Presiden Direktur Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin

saat berlangsungnya World Economic Forum on East Asia baru-baru ini di Manila. Beliau

menggarisbawahi pentingnya penyediaan layanan keuangan mendasar bagi masyarakat

Indonesia berpenghasilan rendah--sebuah persoalan yang relatif lebih mudah diatasi dengan

adanya teknologi digital.

Masa depan ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang paling menjanjikan di dunia.

Selain sebagai negara dengan ekonomi terbesar se-Asia Tenggara, Indonesia juga merupakan

negara yang sangat luas dengan 238 juta penduduk serta diperkirakan oleh McKinsey akan

berada di peringkat ketujuh negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2030. Artinya

pada saat itu negara ini akan ada di depan negara-negara maju lain seperti Jerman dan

Inggris.

Namun, hal tersebut masih jauh dan memiliki arti kecil bagi sebagian penduduk Indonesia

yang masih mengalami kesulitan saat ini. Akses layanan keuangan dasar merupakan

hambatan utama Indonesia yang memiliki 17.000 pulau, di mana luas wilayah dan

penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan tantangan dalam pembangunan

infrastruktur, sehingga membatasi akses layanan perbankan formal ataupun hubungan

sederhana sekalipun dengan sebuah lembaga keuangan.

Seperti yang diungkapkan dalam penelitian MasterCard baru-baru ini, ”ROAD TO

INCLUSION: A look at the Financially Excluded and Underserved”, bahwa masih banyak

penduduk pinggiran-kota dan pedesaan di Indonesia lebih memilih metode tradisional dalam

menyimpan uang seperti tabungan di tokoh masyarakat atau sistem arisan. Dan saat sejumlah

orang telah memiliki akses terhadap rekening bank, ternyata masih banyak dari mereka justru

tidak percaya terhadap bank.

Salah satu contohnya adalah Susi Indah, warga Indonesia berumur 37 tahun, dulu memiliki

rekening bank untuk menyimpan semua tabungannya. Tiga tahun yang lalu, Susi memiliki

uang sebesar Rp 35 juta di bank. Dia lalu menarik hampir semua uang tersebut ketika

20

membangun rumahnya dan menyisakan sekitar Rp1-2 juta di rekening. Tidak menyadari akan

adanya biaya administrasi bank, dia mengklaim bahwa ”uangnya mulai menghilang” tanpa

ada penjelasan. Kejadian ini membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap bank dan

membuatnya tidak menggunakan jasa lembaga keuangan lagi.

***

Telah diakui bahwa dengan menghantarkan inklusi keuangan yang lebih besar ke Indonesia

akan membantu perkembangan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Gates Foundation,

seperti yang dipublikasikan oleh McKinsey, menunjukkan bahwa ekonomi dengan penetrasi

pembayaran elektronik yang lebih tinggi akan tumbuh lebih cepat dibandingkan yang tidak.

Para pembuat kebijakan semakin menyadari bahwa pasar keuangan yang dapat menjangkau

semua orang akan lebih efektif dan efisien dibandingkan kebijakan yang lain.

Sejalan dengan hal ini, pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia baru-baru ini

meluncurkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di Jakarta. Pencanangan dimaksudkan

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis dan juga lembaga-lembaga

pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran nontunai dalam melakukan transaksi

keuangan, yang tentunya mudah, aman, dan efisien (sumber: http://www.bi.go.id).

Langkah pertama dalam inklusi keuangan adalah menyediakan identitas khusus kepada para

pelanggan, berdasarkan pada layanan keuangan mana yang dapat diberikan serta akhirnya

terkait dengan rekening pembayaran. Salah satu contoh manfaat dari kartu debit prabayar

dapat dilihat di Afrika Selatan, di mana mereka biasa menyalurkan bantuan sosial dan

membuat pemerintah setempat dapat menghemat jutaan dolar. Indonesia saat ini telah

menjadi salah satu negara yang menggunakan sistem identitas nasional terbesar di dunia,

yaitu e-KTP, yang telah sukses mendistribusikan 147 juta kartu identitas ke penduduk.

Melalui kartu ini, terdapat potensi untuk menghubungkan e-KTP ke berbagai program

pemerintah dengan menjadikannya sebagai alat pembayaran, daripada menyalurkan dana

bantuan dalam bentuk tunai. Hal ini membutuhkan sebuah kartu pembayaran yang terhubung

dengan rekening bank yang memiliki potensi untuk memberikan layanan keuangan kepada

seluruh masyarakat Indonesia. Dari sini kemudian pihak bank dapat memperkenalkan

layanan baru kepada para nasabah, dengan setahap demi setahap mulai melakukan aktivitas

lanjutan seperti membayar tagihan, mengajukan kredit, menabung, meminjam, dan

melakukan investasi.

Perangkat seluler nampaknya akan memainkan peran penting di negara berkembang seperti

Indonesia, di mana lebih banyak orang memiliki telepon seluler dibandingkan rekening bank.

Teknologi seluler dapat menjadi tulang punggung layanan keuangan dasar yang sebagian

besar dari kita sering meremehkannya. Saat ini sekitar 2,5 miliar orang di dunia belum

memiliki rekening bank. Dari jumlah tersebut, setidaknya sebanyak 1,5 miliar orang telah

memiliki telepon seluler.

21

Saat ini hanya 20% dari orang Indonesia yang memiliki akses ke layanan keuangan, dan

sangat banyak orang yang tinggal jauh dari cabang bank terdekat. Penetrasi kartu debit di

Indonesia kurang lebih 30%, namun mayoritas terletak di wilayah perkotaan, di mana

seseorang dapat memiliki lebih dari satu rekening. Sementara itu, hanya 6% yang memiliki

kartu kredit.

Di lain pihak, lebih dari 90% dari penduduk Indonesia memiliki telepon seluler dan hal

tersebut menunjukkan kesempatan yang besar bagi transaksi elektronik melalui perangkat

seluler (mobile commerce) dan kemampuan untuk mengakses sarana-sarana keuangan.

***

Jadi, seperti apa inklusi keuangan di negara berkembang seperti Indonesia? Pertama-tama

mari kita dari memahami bahwa hal ini bukan mengenai jarak kantor cabang sebuah bank

yang kemungkinan cukup jauh dari tempat tinggal. Sebaliknya, hal ini mengenai tempat yang

lebih aman untuk menyimpan uang dibandingkan di lemari dapur atau di bawah bantal serta

cara yang lebih baik dalam menelusuri jejak pengeluaran.

Inklusi keuangan adalah bagaimana memperoleh akses yang lebih aman, tanpa melibatkan

uang tunai dan pembayaran dalam bentuk elektronik seperti kartu debit, kredit, atau prabayar.

Inklusi keuangan adalah bagaimana menciptakan kesempatan bagi banyak orang untuk

memanfaatkan keterampilan dan sumber daya mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.

Inovasi dalam teknologi pembayaran-prabayar dan perangkat seluler digabung dengan

biometrik--memainkan peran kunci di mana hal tersebut dapat dengan cepat menjembatani

jarak antara sektor formal layanan keuangan dengan jutaan orang berpenghasilan rendah atau

tidak memiliki akses ke layanan keuangan. Indonesia tentunya akan mendapatkan

keuntungan dari cara-cara nontradisional tersebut untuk memperluas pembayaran nontunai

(cashless).

Beberapa penyedia pembayaran telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi untuk

mengembangkan dompet digital (digital wallet), walaupun untuk sekarang sistem ini masih

terbatas pada perusahaan yang bekerja sama. Inisiatif lain di Indonesia yaitu program kartu

virtual yang memungkinkan berbagai jenis pembayaran serta upaya-upaya dari bank untuk

mempromosikan penggunaan kartu debit di setiap titik pembayaran (point of sale).

Pada saat yang sama terdapat banyak kesempatan untuk pengembangan program baru, mulai

dari adopsi pemerintah yang lebih besar terhadap layanan elektronik (e-Services) dan

pembayaran, menuju penerapan program prabayar ”open loop” yang sudah biasa digunakan

di negara-negara ASEAN lain untuk mendukung perluasan layanan keuangan kepada

pengguna telepon seluler yang tidak memiliki rekening di bank serta juga pelaksanaan

program-program pemerintah termasuk pembayaran gaji. Dengan masa depan ekonomi yang

kuat, program-program ini dapat terus mendukung perkembangan ekonomi dan inklusi di

Indonesia.

22

***

Eksklusi (ketiadaan akses terhadap lembaga) keuangan dapat melanggengkan kemiskinan.

Hal ini juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menyediakan layanan keuangan

dasar bagi orang-orang yang selama ini tidak memiliki akses perbankan akan menciptakan

kesempatan yang sangat berarti bagi masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang

seperti Indonesia untuk memberi sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi.

Sisi positifnya adalah hal tersebut diketahui oleh hampir semua pembuat kebijakan kunci dan

pemain pasar bahwa inklusi keuangan merupakan sesuatu yang harus dijalankan di Indonesia.

Tidak ada lagi pertanyaan mengenai ‘apa’ dan ‘jika’, melainkan pertanyaan mengenai

‘kapan’. Dengan pemerintah baru yang memiliki agenda reformasi yang positif, masa depan

perkembangan inklusi keuangan di Indonesia akan sangat menjanjikan. ●

MATTHEW DRIVER

Presiden MasterCard Asia Tenggara

23

Menanti Era Baru Diplomasi

Koran SINDO

24 September 2014

Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla kompak menegaskan bahwa

arah diplomasi ke depan akan lebih diwarnai kegiatan diplomasi ekonomi. Joko Widodo

bahkan berseloroh bahwa dirinya dan Jusuf Kalla adalah pengusaha sehingga mereka paham

akan pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana dalam tiap kegiatan. Istilahnya every

cent counts, satu sen pun pasti tidak disia-siakan.

Di dalam tubuh Kementerian Luar Negeri, sinyal tersebut memunculkan sejumlah reaksi.

Reaksi yang paling sering ditemui adalah konfirmasi bahwa sudah selayaknya Indonesia

mengedepankan diplomasi ekonomi yang lebih efektif dan optimal hasilnya.

Reaksi berikutnya adalah reaksi penuh tanda tanya: akankah ada perubahan pengelolaan

diplomasi, termasuk di dalam Kementerian Luar Negeri? Implikasi poin kedua ini adalah ada

kesadaran bahwa kalau struktur pengelolaan diplomasi tidak diubah, optimalisasi dan

efektivitas diplomasi sulit dicapai. Kedua hal ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut.

Presiden terpilih Joko Widodo menjanjikan penguatan diplomasi perdagangan, diplomasi

energi, diplomasi pangan, bahkan diplomasi maritim. Konsentrasinya pada peningkatan

volume perdagangan dan surplus perdagangan, menjaga kedaulatan energi dan pangan, serta

mengembalikan kewibawaan Indonesia sebagai negara maritim yang punya kekuatan

geopolitik yang andal. Semua ini sebenarnya bukan hal yang baru di Kementerian Luar

Negeri. Misalnya saja mengenai peningkatan volume perdagangan dan surplus perdagangan.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, makin tegas keinginan untuk membalik nasib

Indonesia yang hubungan perdagangannya timpang dengan negara-negara lain.

Masyarakat awam memiliki persepsi bahwa Indonesia lebih sering dijadikan pasar bagi

produk-produk buatan negara lain. Ketimpangan ini mungkin dapat dimaklumi saat kita

masih dalam proses membangun di tahun 1970-an. Kita banyak mengimpor produk-produk

teknologi tinggi seperti automotif, elektronik, komputer, dan produk padat modal lain karena

kekuatan produksi kita belum setara dengan negara-negara maju pengekspor produk-produk

tersebut.

Namun kita tidak bisa maklum apabila ternyata produk-produk yang padat karya seperti

tekstil, garmen, mainan anak-anak, dan produk-produk yang tidak membutuhkan

keterampilan tinggi merajai pasar dalam negeri kita pada saat ini. Oleh sebab itu, kerja sama

bilateral (antardua negara) dipandang kurang efektif dalam mendorong pembukaan pasar.

Penyebabnya adalah faktor ketidakseimbangan power dan kemampuan negosiasi. Untuk itu

belakangan digiatkan sejumlah kerja sama regional dan multilateral.

24

Logikanya, dengan penambahan mitra kerja sama, suasana bisa lebih cair, daya tawar bisa

ditingkatkan dengan teknik mengajak sejumlah negara yang biasanya berseberangan (atau

bahkan bersitegang) agar Indonesia bisa menjadi penengah atau mengayun negosiasi dengan

keduanya. Misalnya penggiatan perdagangan intra-ASEAN (yakni di antara 10 negara

anggota ASEAN) diperluas menjadi ASEAN Plus; tidak hanya ASEAN Plus Three (yakni

plus Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok), tetapi juga ada ASEAN Plus Six (yakni 3 plus

tadi ditambah Australia, India, Selandia Baru).

Antara Indonesia dan negara anggota ASEAN Plus Three maupun ASEAN Plus Six dibangun

kawasan perdagangan bebas. Pada 2011, ASEAN Plus Six bahkan meluncurkan RCEP

(Regional Comprehensive Economic Partnership - Kemitraan Ekonomi Komprehensif

Regional) demi memuluskan pembentukan kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik.

RCEP ini semakin sejalan dengan kerangka penguatan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik

melalui APEC yang di sana sudah ”menunggu” Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Hong

Kong, Taiwan, Meksiko, Peru, Papua Nugini, Rusia, Cile, dan Kanada. Maklum,

Kementerian Luar Negeri ingin mengambil momen menguatnya perekonomian Asia-Pasifik

untuk mengatrol perekonomian Indonesia.

Diidentifikasi pula bahwa penggiatan kerja sama perdagangan di Asia-Pasifik saja tidak

cukup. Selain mengangkat keaktifan Indonesia di forum Organisasi Perdagangan Dunia

(WTO), bahkan dua tahun lalu Ibu Marie Pangestu (waktu itu Menteri Perdagangan)

didorong untuk maju menjadi direktur jenderal WTO, Indonesia memunculkan keaktifan di

G-20 (forum pemerintah dan gubernur bank sentral bagi 20 entitas perekonomian terdepan di

dunia), di G-77 (kelompok kerja sama pemerintah Selatan-Selatan di Perserikatan Bangsa-

Bangsa), dan yang jarang terdengar tetapi sebenarnya diurus juga oleh Kementerian Luar

Negeri adalah kerja sama D-8 (kelompok kerja sama pembangunan antar-8 negara

berpenduduk muslim besar, yakni Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, Turki,

Mesir, dan Nigeria).

Lalu apa yang bisa membedakan era baru diplomasi Indonesia jika saat ini saja sudah

dikembangkan skema kerja sama yang demikian beragam? Penjelasannya antara lain terletak

pada pengelolaan isu dan kerja sama yang ada. Contohnya kerja sama D-8. Kerja sama ini

dikelola oleh Direktorat Jenderal Multilateral di Kementerian Luar Negeri dengan harapan

bahwa segenap pihak terkait di Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga terkait

dapat melakukan tindak lanjut dari inisiatif yang dikembangkan di direktorat jenderal tersebut

dan kemudian Kementerian Luar Negeri merespons perkembangan yang ada melalui

negosiasi lebih lanjut di pertemuan D-8. Kenyataannya, kerja sama D-8 masih saja dalam

status inkubasi. Belum konkret disebarluaskan peluangnya meskipun sudah dibentuk sejak

tahun 1997, belum ada tindak lanjut dengan dampak signifikan.

Ketika muncul wacana bahwa para menteri di kabinet baru wajib bisa marketing (yakni

”memasarkan” Indonesia), sebenarnya ada sejumlah instrumen pelaksanaan diplomasi

ekonomi yang ampuh dimanfaatkan tanpa perlu para menteri terkesan murni ”berjualan”

produk Indonesia. Misalnya: Kementerian Luar Negeri ditugasi memberi analisis dan

25

menyusun strategi mengenai isu-isu terkini di bidang kerja sama ekonomi dan hambatannya

dalam rapat kabinet. Kementerian teknis menjadi mitra tukar pikiran supaya negosiasinya

lebih mengena kebutuhan. Hal ini sudah punya dasar hukum di UU No 37/1999 tentang

Hubungan Luar Negeri, tetapi kenyataannya Kementerian Luar Negeri justru makin sering

tidak dilibatkan dalam sejumlah inisiatif yang punya implikasi diplomasi dalam bidang kerja

sama ekonomi.

Apabila ide yang telah dituangkan dalam peraturan itu dilaksanakan dengan konsisten, pamor

Indonesia sebagai negara yang punya strategi dan dikelola dengan terpadu oleh semua

kementerian akan mengemuka. Selain itu, pemerintah hendaknya lebih konsekuen

mengalokasikan dana dan sumber daya manusia untuk memperkuat diplomasi. Hal ini

terutama terkait dengan rencana Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memotong anggaran

operasional kementerian.

Hendaknya efisiensi yang dilakukan mempertimbangkan aspek-aspek politik, khususnya di

Kementerian Luar Negeri. Dana operasional untuk tahapan diplomasi harus diperbaiki

jumlahnya; tidak bisa lagi diplomasi dilakukan hanya dengan pertemuan dua jam di tingkat

direktur jenderal lalu tak lama kemudian dua menteri harus menandatangani nota

kesepakatan.

Kinerja diplomasi Indonesia akan inferior bila tahapan pendekatan, pembangunan rasa

percaya, serta strategi persuasi tidak dilakukan secara bertahap dengan kontinu. Ada anekdot

bahwa di sejumlah negara adidaya justru kita harus waspada bila didekati oleh staf yunior

dari kedutaan mereka, karena bisa jadi mereka adalah intelijen yang baik yang bisa

mendeteksi kebutuhan diplomasi lanjutan oleh pejabat yang lebih senior.

Artinya, Indonesia memang tak bisa lagi memakai cara-cara lama dalam berdiplomasi. Kita

harus lebih strategis dan taktis.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

26

Spiral Ekonomi 2015

Koran SINDO

29 September 2014

Membaca dan memprediksi ekonomi Indonesia pada 2015 sangat diperlukan agar kita dapat

merealisasi target pembangunan nasional.

Lantaran ekonomi Indonesia berada dalam pusaran ekonomi dunia dan kawasan, melihat

perekonomian nasional juga perlu diletakkan dalam kerangka kawasan dan global. Dua aspek

penting, baik dalam maupun luar negeri, perlu kita cermati secara paralel, termasuk pengaruh

dan interaksi keduanya. Apa yang terjadi di lingkungan regional dan global akan berdampak,

langsung maupun tidak langsung, terhadap perekonomian nasional. Begitu juga sebaliknya.

Ekonomi 2015 akan terasa spesial bagi bangsa dan negara Indonesia mengingat

perekonomian 2015 dirancang oleh dua pemerintahan. Secara teknokratik, pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersiapkan rencana kerja pemerintah (RKP) dan

RAPBN 2015. Sementara itu, pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo, yang secara resmi

memerintah mulai 20 Oktober 2014, akan memberikan muatan politik dan bahkan melakukan

penyesuaian-penyesuaian, baik program, aktivitas maupun kebijakan anggaran melalui

APBN-P 2015. Bersama DPR periode 2014-2019, pemerintahan baru akan memulai

menjalankan RPJMN III yang berawal pada 2015.

Tantangan perekonomian nasional sepanjang 2015 akan semakin dinamis, penuh

ketidakpastian akibat tren ekonomi global, dan memerlukan penanganan kebijakan secara

terpadu dari otoritas moneter, fiskal, dan sektor riil. Dari sisi eksternal, hal yang paling perlu

kita cermati bersama adalah dampak pengakhiran (tapering-off) dari kebijakan pemberian

stimulus moneter nonkonvensional (quantitative easing-QE III) di Amerika Serikat (AS).

Membaiknya sejumlah indikator seperti di bidang ketenagakerjaan dan pertumbuhan

ekonomi di AS semakin menguatkan dihentikannya QE III dan kemudian digantikan dengan

kebijakan moneter yang lebih konvensional, yaitu penyesuaian suku bunga acuan.

Dinaikkannya suku bunga acuan (The Fed Rate) membuat bank sentral di berbagai negara

menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar (capital

outflow).

Yang menjadi tantangan pada 2015 adalah ketika Bank Indonesia (BI) menyesuaikan BI Rate

untuk membendung pembalikan modal (sudden reversal) ke AS. Ketika langkah ini pada

akhirnya ditempuh, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi

makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5,8%. Kenaikan suku bunga berdampak

pada perekonomian, investasi, penciptaan lapangan kerja serta sektor riil secara keseluruhan.

27

Meningkatnya suku bunga acuan membuat masyarakat melakukan penundaan konsumsi dan

cenderung menempatkan dananya di sektor perbankan. Dari sisi perbankan, terdapat pilihan

kebijakan, di antaranya mengurangi net interest margin (NIM) atau menyesuaikan suku

bunga pinjaman. Ketika opsi terakhir yang diambil, risiko baru akan muncul, yaitu

meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Dari sisi eksternal lainnya, perekonomian nasional akan dihadapkan pada sejumlah faktor

eksternal seperti perlambatan ekonomi besar dunia seperti yang terjadi di China dan Eropa.

Sementara itu, tren pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan

sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.

Meskipun ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada aktivitas ekspor sebesar

perekonomian sejumlah negara di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina

maupun Vietnam, tetap saja sejumlah faktor di atas akan berdampak pada laju pertumbuhan

volume dan nilai ekspor nasional.

Pendapatan dari pajak ekspor juga diprediksi tertahan lantaran masih diperlukan waktu

penyelesaian pembangunan sejumlah smelter untuk memberikan nilai tambah ekspor hasil

tambang dan mineral. Diperkirakan pembangunan sejumlah smelter yang saat ini berlangsung

akan mulai beroperasi pada 2016-2018 dan memberikan dampak signifikan pada pendapatan

di sektor perpajakan.

Hal menarik yang dapat kita cermati adalah rencana pemerintah baru untuk menyesuaikan

harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Di satu sisi kebijakan ini akan dapat

menyeimbangkan postur fiskal dan penghematan anggaran subsidi BBM bersubsidi yang

dapat dialokasikan ke sektor-sektor prioritas pembangunan lainnya.

Namun dalam jangka pendek, paling tidak sepanjang 2015, dampak kebijakan ini akan

berakibat pada inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga-harga

kebutuhan pokok dan produk lainnya. Masyarakat akan fokus terlebih dahulu untuk

mendahulukan kebutuhan yang lebih substansial dan cenderung mengurangi konsumsi

barang-barang yang bersifat sekunder.

Bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin, pilihan kebijakan untuk

meringankan beban dan memberikan waktu penyesuaian dapat dilakukan melalui dana

bantuan sementara langsung. Namun bagi kelompok masyarakat menengah, pilihannya

melakukan penghematan konsumsi. Apabila beberapa faktor di atas bertemu dan terjadi

secara bersamaan, dunia usaha akan berhadapan dengan sejumlah tantangan seperti

menurunnya daya beli masyarakat, biaya modal yang meningkat, dan tuntutan kenaikan upah

buruh akibat meningkatnya harga dari komponen hidup layak. Apabila hal ini terjadi, dunia

usaha akan menghadapi dua tekanan sekaligus, yaitu dari sisi permintaan pasar (demand-side)

dan meningkatnya biaya produksi.

28

Sejauh ini tantangan dalam doing business di Indonesia terkompensasi dengan besarnya pasar

domestik sehingga dunia usaha masih menikmati margin yang memadai untuk menutup biaya

produksi. Namun ketika pelemahan daya beli masyarakat terjadi, sementara komponen biaya

produksi juga meningkat, hal ini membutuhkan langkah- langkah antisipasi dari para

pengambil kebijakan untuk memberikan stimulus pada dunia usaha nasional. Kompleks dan

dinamisnya tantangan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 membutuhkan perencanaan dan

penghitungan yang cermat serta komprehensif untuk antisipasi segala kemungkinan yang

akan terjadi.

Sektor-sektor strategis seperti UMKM, pangan, energi, sistem keuangan, transportasi, dan

logistik membutuhkan perhatian khusus untuk menghadapi spiral perekonomian nasional

2015. Tidak kalah penting, bauran kebijakan, baik di sektor moneter, fiskal maupun sektor

riil, perlu segera dirumuskan bersama oleh BI, pemerintah, LPS, dan OJK.

Koordinasi yang baik seperti yang kita tunjukkan di masa lalu sangatlah diperlukan agar

fundamental perekonomian nasional dapat terus dijaga dan semakin ditingkatkan. Tiap

pilihan kebijakan yang akan ditempuh baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil pasti

akan berpengaruh dan terkait satu dengan yang lain.

Inilah yang perlu untuk segera dikomunikasikan dan dikoordinasikan oleh otoritas pengambil

kebijakan di dalam negeri agar kebijakan ekonomi menjadi lebih komprehensif, terukur, dan

tepat sasaran.

29

Narasi Domestik dan Relasi Global

Koran SINDO

29 September 2014

Pemerintah yang akan datang, yang tak lama lagi akan dilantik, masih punya obsesi untuk

menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia pada lima tahun ke depan.

Jika memungkinkan, pertumbuhan ekonomi bisa menembus 8% atau sekurang-kurangnya

mencapai 7% tiap tahun. Pada tahun depan tentu impian itu sulit diwujudkan. Namun, pada

tahun-tahun berikutnya, presiden dan wakil presiden terpilih berharap pertumbuhan ekonomi

menjadi lebih tinggi sesuai dengan target. Hasrat ini rasanya tak gampang dicapai karena

akan dihadang banyak persoalan, baik dari aras domestik maupun internasional.

Pada sisi domestik, aneka problem ekonomi harus dituntaskan terlebih dulu agar sasaran

pertumbuhan ekonomi lekas diperoleh. Sementara itu, pada sisi internasional, periode

mendatang akan dihantui krisis sehingga prospek pertumbuhan ekonomi tak secerah tiga

dekade terakhir.

Fondasi Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tinggi tak selamanya salah asalkan telah

mempertimbangkan kapasitas ekonomi, biaya oportunitas yang dikorbankan, dan halangan

yang merintangi. Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga problem ekonomi

domestik yang menjadi batu sandungan untuk mencapai sasaran dimaksud.

Pertama, semua paham bahwa fondasi struktur ekonomi Indonesia amat lemah. Sektor

ekonomi yang menjadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja, yakni pertanian dan industri,

sepanjang 10 terakhir merosot. Sektor pertanian makin tergantung pada impor sehingga

ketahanan pangan dalam kondisi rawan. Sementara itu, sektor industri tidak bertumpu

terhadap bahan baku domestik. Komoditas ekspor tergantung pada komoditas primer yang

tak memiliki nilai tambah tinggi sehingga menekan neraca perdagangan. Tercatat, rasio

ekspor terhadap PDB saat ini cuma sekitar 20%, tertinggal jauh dari negara tetangga.

Kedua, perekonomian nasional selama ini mengabaikan pembangunan ekonomi di luar Jawa

dan sektor maritim. Perekonomian berjalan pincang karena tergantung pada Jawa dan

daratan. Pemerintahan baru yang telah terpilih menyadari hal itu sehingga menempatkan

wilayah Indonesia timur dan sektor maritim sebagai salah satu pusat pengembangan ekonomi.

Investasi pada kedua wilayah dan sektor tersebut tentu sangat dibutuhkan dalam jumlah yang

besar.

30

Kebutuhan investasi mungkin bisa dicarikan dari aneka sumber, tetapi langkah itu juga tak

mudah selama pranata yang menopang keperluan investasi tak tersedia seperti insentif

kebijakan, infrastruktur, dan kelembagaan yang mapan. Jika itu telah dipenuhi, investasi bisa

dieksekusi dan mulai menghasilkan. Tapi, jarak antara penyediaan pranata pembangunan dan

hasil investasi tentu tak bisa dalam waktu singkat.

Ketiga, infrastruktur ekonomi sebagai penopang investasi di atas amat minim sehingga

dibutuhkan pembangunan secara masif. Pembangunan infrastruktur bukan hanya perlu dana,

tetapi juga waktu yang relatif lama. Perizinan, proses tender, pembebasan lahan, dan

pelaksanaannya butuh proses yang panjang. Bahkan, investasi yang bernilai besar dan rumit

seperti pembangunan Jembatan Suramadu, perlu waktu bertahun-tahun.

Hal yang sama juga terkait dengan pembangunan bandara, pelabuhan, listrik, dan lain-lain.

Apabila ini masih ditambah dengan infrastruktur terkait manusia, problem kualitas tenaga

kerja juga dalam kondisi yang mencemaskan karena 65% tenaga kerja cuma tamat SMP ke

bawah. Ketiga masalah di atas tentu bisa diatasi, tetapi butuh masa yang tak singkat sehingga

dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tak secepat yang diinginkan.

Keterbukaan Ekonomi

Bila analisis diteruskan ke level ekonomi internasional, akan dijumpai realitas yang tak

mengenakkan pula. Perekonomian Indonesia, dari sisi perdagangan, sangat tergantung pada

pasar AS, Jepang, kawasan Eropa, China, dan ASEAN. Masalahnya, negara-negara tersebut

dalam beberapa tahun ke depan belum akan kembali ke situasi normal.

AS dan Eropa masih berkutat mengatasi krisis ekonomi, barangkali tiga tahun lagi baru pulih

normal. China sebagai salah satu lokomotif ekonomi dunia bahkan diprediksi akan memasuki

dekade perlambatan ekonomi setelah negara itu sepanjang 20 tahun meraih capaian

pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, di atas 10% per tahun. Lebih masalah lagi, neraca

perdagangan Indonesia dengan China masih defisit, seperti halnya dengan kawasan ASEAN

dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak 2008 pertumbuhan ekonomi China sudah jatuh di bawah 10%, bahkan tahun ini

diprediksi hanya pada kisaran 7,5%. Ekspor China juga terjun bebas, yaitu pada periode

2001-2008 ekspor tumbuh rata-rata 29%/tahun, tapi sekarang tinggal di bawah 10%.

Implikasinya, surplus neraca transaksi berjalan China yang mencapai puncaknya pada 2007

(mencapai 10% dari PDB) saat ini tinggal 2%.

Pertumbuhan tinggi pada masa lalu juga harus dibayar mahal oleh China karena ketimpangan

pendapatan melompat nyaris tak terkendali. Pada 2010 ketimpangan pendapatan mencapai

0,52 (rasio gini), turun sedikit pada 2012 menjadi 0,50. Ini merupakan salah satu

ketimpangan pendapatan tertinggi di dunia.

Diperkirakan ekonomi China akan menjalani proses keseimbangan kembali yang lama dan

31

pertumbuhan ekonomi cuma sekitar 6-7% (Yang, 2014). Situasi muram itulah yang

menggelayuti ekonomi global, yang sebagian masih akan ditambah oleh ancaman krisis dari

beragam sumber. Dengan mencermati itu, pemerintah (baru) mesti menyusun langkah-

langkah strategis untuk memperkuat perekonomian domestik.

Pertumbuhan ekonomi memang penting, tapi tak perlu dengan mematok target yang terlalu

tinggi. Lima tahun ke depan penyelesaian masalah dasar ekonomi domestik di atas lebih

urgen diupayakan meskipun mungkin belum akan ada hasil pertumbuhan ekonomi dalam

jangka pendek.

Demikian pula kondisi pasar global harus dimitigasi dengan ramuan kebijakan yang tepat,

termasuk evaluasi terhadap keterbukan ekonomi, baik di pasar barang/jasa, tenaga kerja

maupun keuangan. Narasi domestik dan relasi global itulah yang menjadi dasar pengelolaan

ekonomi nasional di masa depan. ●

AHMAD ERANI YUSTIKA

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef

32

MEA 2015: Tinggalkan Zona Nyaman, Lakukan Inovasi!

Koran SINDO

30 September 2014

Zona perdagangan bebas (free trade zone) untuk kawasan ASEAN akan segera diterapkan

akhir 2015. Bagaimana sejauh ini persiapan Indonesia? Apakah kita siap menghadapinya?

Zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) adalah kawasan di mana setiap barang dapat

dikirimkan, dikelola, diproduksi, atau direkonstruksi, dan bahkan diekspor kembali tanpa ada

intervensi dari otoritas kepabeanan setempat. Beberapa contoh negara atau kota yang telah

menerapkan kebijakan ini misalnya Singapura, Hong Kong, Panama, Kopenhagen,

Stockholm, Gdansk, Los Angeles, dan New York. Di Indonesia kita sudah mengenal Batam

sebagai salah satu wilayah perdagangan bebas.

Dengan telah sepakatnya pemimpin negara-negara ASEAN untuk membentuk ASEAN

Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), wilayah ASEAN

menjadi kawasan perdagangan bebas dan menjadi satu kawasan ekonomi yang tidak

mengenal batas wilayah negara anggotanya. Dengan kebijakan ini, setiap negara harus siap

menerima konsekuensi atas kebijakan tersebut. Setiap industri dari setiap negara di kawasan

akan diberi kebebasan untuk masuk ke semua negara dan melakukan aktivitas ekonomi tanpa

ada intervensi dari otoritas kepabeanan setempat.

Dengan berlaku kebijakan ini, secara otomatis tidak ada lagi batas-batas antarnegara dalam

konteks perdagangan barang, jasa, dan produksi. Kawasan ini akan menjadi satu kawasan

yang terbuka dalam melakukan aktivitas perekonomian. Tidak hanya sektor industri dan

perdagangan, sektor tenaga kerja pun akan menjadi sangat terbuka sehingga para pekerja

profesional Indonesia akan berkompetisi dengan para pekerja profesional asing yang akan

semakin banyak masuk membanjiri bursa tenaga kerja profesional di Indonesia.

Anda bisa bayangkan pada suatu saat nanti Anda melamar pekerjaan untuk satu posisi di

perusahaan Indonesia bersaing dengan pelamar-pelamar dari Singapura, Malaysia, dan negara

lain. Sudah siapkah kita menghadapi situasi seperti itu?

Turbulensi Ekonomi

Manfaat dari terbentuk MEA sudah tentu sangat besar salah satunya terbentuk kekuatan

ekonomi baru di wilayah Asia yang dapat menyaingi kekuatan ekonomi China dan Korea

Selatan. Ini tentu dipicu dengan pertumbuhan dan daya saing MEA yang meningkat yang

akan meningkatkan posisi tawar MEA terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi lain di Asia

33

maupun di luar Asia.

Potensi kekuatan ekonomi MEA di antaranya kekuatan pasar di mana ada sekitar setengah

miliar penduduk tinggal di wilayah ini, sumber daya alam, dan tenaga kerja terdidik yang

murah. MEA bisa membuat aturan dan kebijakan ekonomi bagi kawasan terhadap negara-

negara lain yang berkepentingan dengan aktivitas ekonomi di kawasan MEA.

Namun, di balik manfaat besar tersebut, ternyata tersimpan kekhawatiran di kalangan negara-

negara anggota MEA itu sendiri. Kekhawatiran tersebut terutama terhadap kemungkinan

terjadi turbulensi ekonomi yang mengancam, mengapa? Karena chemistry atau sistem

ekonomi MEA belum terbentuk secara utuh dan saat ini masih tersekat-sekat dalam bingkai

negara masing-masing. Begitu sekat itu dibuka akan terjadilah perpaduan berbagai sistem,

aturan, dan standar yang sudah tentu berbeda antara satu negara dan lain. Di sinilah potensi

terjadi turbulensi ekonomi di dalam MEA tersebut muncul.

Sistem perekonomian MEA akan mengalami pergolakan untuk mencapai suatu

kesetimbangan baru yang bernama sistem perekonomian MEA. Lihat saja Masyarakat

Ekonomi Eropa (MEE) yang sudah lama terbentuk, hingga saat ini pun masih sering

mengalami konflik dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ekonominya.

Inovasi atau Mati

Lalu apa yang mesti kita lakukan dalam waktu yang tidak lama lagi ini? Ancang-ancang

memang telah lama dilakukan oleh pemerintah di antaranya melalui program percepatan

pertumbuhan ekonomi Indonesia, reformasi birokrasi dan perpajakan, perbaikan dan

pembangunan infrastruktur, mempersiapkan tenaga kerja siap pakai dan terdidik melalui

sekolah-sekolah kejuruan (SMK), mengembangkan ekonomi kreatif dan kewirausahaan dan

sebagainya.

Bagaimana hasilnya? Belum terlihat nyata. Tengok saja, sistem infrastruktur terutama untuk

mendukung transportasi dan distribusi masih sangat terbatas. Tenaga kerja kita walaupun

melimpah masih tergolong mahal, di mana Indonesia menempati urutan termahal ketiga

setelah Singapura dan Malaysia. Jika demikian keadaannya, bagaimana kita mampu

bersaing? Kita akan mampu bersaing jika kita mampu memproduksi barang atau jasa dengan

kualitas lebih baik, harga yang lebih murah, dan waktu pengiriman yang lebih singkat.

Dengan fakta-fakta yang saya sebutkan diatas dan kita lihat dan rasakan sendiri saat ini,

apakah mungkin? Pertanyaan yang sangat mudah dijawab bukan? Tidak ada jalan lain bagi

kita selain bangun dan segera ambil langkah konkret untuk bertahan hidup dengan kata lain

kita harus segera keluar dari zona nyaman dan lakukan sesuatu. Sesuatu dalam arti kreatif

atau inovasi.

Inovasi atau mati! Jangan lagi kita berpikir bahwa semua akan baik-baik saja karena kita

memiliki segalanya untuk bertahan, sumber daya alam, pasar, dan tenaga kerja. Percaya diri

34

dan optimisme boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai membuat kita terbuai dan menghalangi

kita untuk melakukan perubahan dan terobosan baru.

Kita mungkin berpikir bahwa kita sudah berusaha, sibuk, dan lelah. Tetapi, tanpa disadari

kita sedang terperangkap pada lingkaran sistem yang salah dan tidak bergerak ke mana-mana.

Sementara orang di sekitar kita sudah bergerak entah ke mana jauh meninggalkan kita.

Inovasi tidak terfokus secara khusus pada penciptaan atau penggunaan teknologi baru yang

hebat, tetapi mengembangkan model bisnis baru, strategi, dan sistem yang baru juga sama

pentingnya, bahkan kadang-kadang lebih penting (Davila: 2006). Bagi pemerintah

memperbaiki sistem birokrasi dan memangkas proses adalah inovasi. Membuat sistem

pengaturan lalu lintas di jalan dan pelabuhan yang dapat mengurangi kemacetan dan antrean

adalah inovasi. Bagi pengusaha, membuat sistem yang efisien untuk meningkatkan kualitas

produk dengan harga lebih murah adalah inovasi. Bagi karyawan, meningkatkan waktu kerja

produktif dari empat jam sehari menjadi enam jam sehari adalah inovasi!

Inovasi adalah melakukan kreativitas, perubahan, terobosan (breakthrough) yang

memberikan nilai tambah. Jadi, tunggu apa lagi, keluarlah dari zona nyaman, lakukan

inovasi! ●

HANDI SAPTA MUKTI

Praktisi Manajemen & Teknologi Informasi

35

UU Kelautan dan Laut Kita

Koran SINDO

2 Oktober 2014

Saya membacanya di sebuah media online. Begini ceritanya. Sabtu, 11 Januari 2014, sebuah

kapal berbendera Indonesia berangkat dari Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Sumatera

Barat.

Kapal yang mengangkut 2.300 metrik ton semen itu hendak menuju Pulau Nias di sebelah

barat Sumatera. Jaraknya tidak jauh bukan? Beberapa saat setelah bertolak dari pelabuhan,

tiba-tiba petugas Keamanan Laut (Kamla) dari TNI Angkutan Laut mengejar kapal tersebut.

Mereka memaksa naik, memeriksa kapal dan menahannya selama sekitar 22 jam. Padahal,

sebelumnya pihak syahbandar dan otoritas pelabuhan sudah memberikan surat persetujuan

untuk berlayar.

Kasus serupa berulang esok harinya. Kapal berbendera Hong Kong berangkat dari Pelabuhan

Teluk Bayur menuju China. Kapal itu memuat 32.000 metrik ton bijih besi. Meski dokumen

keberangkatan sudah lengkap, petugas Kamla TNI AL bersikeras untuk memeriksa kapal.

Akibatnya pemberangkatan kapal tertunda sekitar 15 jam.

Sampai sekarang tak pernah terungkap apa yang terjadi di atas kapal-kapal tersebut. Kita

tentu hanya bisa menduga-duga. Sebagai orang kampus dan praktisi bisnis, saya pasti

menunggu jawaban dan jalan keluarnya. Mahasiswa saya selalu menanyakan, kapan negeri

ini menjadi lebih baik? Mereka juga gemes, tangannya gatal untuk melakukan perubahan.

Apa pun, kasus itu menjadi potret dari buruknya koordinasi antarinstansi di pelabuhan-

pelabuhan kita. Pemicunya boleh jadi karena banyaknya instansi yang merasa punya hak dan

bertanggung jawab untuk ikut mengurus pelabuhan di Indonesia.

Lihat saja, di sana ada aparat Imigrasi, Bea Cukai, Badan Karantina, kepolisian, otorita

pelabuhan, syahbandar, otoritas kesehatan, dan bahkan TNI AL. Mereka tidak menyadari,

waktu yang hilang akibat pemeriksaan yang semena-mena, berita negatif tentang negeri yang

sungguh tidak efisien dan semuanya asyik main sendiri-sendiri serta kerugian ekonomi yang

muncul akibat perilaku-perilaku buruk itu.

Mengurus laut adalah mengurus pelabuhan, transportasi, birokrasi dan logistiknya. Jika

mengurus birokrasi pelabuhannya saja sudah amburadul, hampir pasti mengurus lautnya juga

bakal kacau balau.

Bagi saya, buruknya koordinasi di pelabuhan adalah potret dari lemahnya kepemimpinan

kita. Saya petik saja sebuah kutipan dari www.thinkexist.com, ”Leadership has to do with

36

direction. Management has to do with the speed, coordination and logistics in going in that

direction.” Jadi, menetapkan arah adalah tugas dari seorang pemimpin. Jika arahnya tak jelas,

kecepatan dan koordinasi menjadi masalah. Juga, tak ada dukungan logistik untuk itu.

Optimalkan Potensi

Senin (29/9) lalu kita baru saja mengetuk palu untuk mengesahkan RUU Kelautan menjadi

UU Kelautan. Hadirnya undang-undang ini, saya kira, patut menjadi catatan tersendiri.

Sebab, sebetulnya kita sudah sejak 1999 memiliki portofolio menteri kelautan dan

perikanan— meski waktu itu di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)

namanya masih menteri eksplorasi laut.

Kemudian undang-undang itu juga baru hadir setelah kita 69 tahun merdeka. Jadi, begitu

lama dan kita harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Lihat saja, setiap tahun

Indonesia harus menanggung rugi ratusan triliun rupiah akibat ikan-ikan kita dicuri oleh

nelayan-nelayan asing. Semua akibat ketidakmampuan kita menjaga laut kita sendiri.

Kita juga tidak berhasil memanfaatkan kekayaan laut secara optimal. Padahal, selain ikan,

masih banyak kekayaan laut lainnya yang bisa kita eksplorasi. Misalnya, dalam bentuk

sumber daya terbarukan, seperti rumput laut, hutan mangrove, atau terumbu karangnya. Laut

kita juga menyimpan sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti minyak, gas serta hasil

tambang dan mineral lain, yang belum kita eksplorasi. Kita masih tertinggal dalam

pengembangan teknologi eksplorasi di laut dalam.

Kita juga belum berhasil mengonversi energi yang tersimpan di laut menjadi energi yang bisa

kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bentuk pembangkit listrik bertenaga

arus laut, energi gelombang, atau bahkan dari panas laut. Kita juga belum mengoptimalkan

potensi laut sebagai salah satu kekayaan wisata. Di sini wisata bahari belum berkembang

sebagaimana layaknya wisata di daratan.

Mungkin pengenalan kita akan laut baru sebatas pada pantai dan pulau-pulaunya. Belum laut

dengan kehidupan para nelayannya. Untuk memastikan hal itu, kita bisa mengujinya dengan

cara sederhana. Cobalah minta anak-anak Anda untuk menggambar petani. Mereka akan

dengan mudah menggambar seseorang yang berdiri di tengah sawah dengan memakai caping

dan memanggul cangkul. Sekarang cobalah minta anak-anak kita menggambar sosok seorang

nelayan? Sebagian mungkin akan kebingungan.

Snowball Effect

Baiklah kita bicara dalam potret global. Indonesia adalah negara kelautan yang ditaburi oleh

sekitar 17.504 pulau. Saya menyebut ”sekitar” untuk menggambarkan betapa kita sebetulnya

belum mempunyai data yang akurat soal jumlah pulau ini. Angka 17.504 pulau saya ambil

dari data Kementerian Pertahanan. Data dari instansi lain hampir pasti akan berbeda-beda.

37

Lokasi kita juga sungguh sangat strategis. Dulu kegiatan ekonomi terpusat di poros Atlantik

atau di negara-negara maju di kawasan utara. Kini hampir 70% kegiatan perdagangan dunia

terjadi di kawasan Asia-Pasifik. Lalu, dari seluruh kegiatan perdagangan di kawasan tersebut,

75 persennya dikirimkan melalui transportasi laut. Ini yang mungkin kita belum banyak tahu.

Rupanya kapal-kapal yang mengangkut barang-barang yang diperdagangkan di kawasan

Asia-Pasifik tersebut melintasi tiga selat kita, yakni Selat Lombok, Selat Makassar, dan Selat

Malaka.

Mantan Menteri Perikanan Rokhmin Dahuri memperkirakan nilai barang yang melintasi

kawasan kita mencapai USD1.500 triliun per tahun. Ini kira-kira setara dengan Rp17.250

biliun, atau hampir 10.000 kali lipat dari APBN kita untuk tahun 2014. Dengan nilai transaksi

yang sebesar itu, Indonesia sebetulnya sangat potensial untuk menjadi pusat atau jantung

perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Kita mestinya bisa memetik banyak manfaat lalu lintas

perdagangan tersebut. Kenyataannya?

Saya kira kita masih membuat daftar panjang tentang betapa lemahnya kita dalam

mengoptimalkan kekayaan laut dan kawasan perairannya. Lalu, sejauh mana UU Kelautan

bisa menjadi payung hukum untuk membuat kinerja sektor kelautan optimal? Saya punya

satu asumsi sederhana.

Kalau ingin mengoptimalkan kinerja sektor kelautan, kita harus mulai membereskan benang

kusut di pelabuhan-pelabuhan kita. UU Kelautan punya daya gedor untuk itu. Salah satunya

adalah soal Kamla tadi. UU Kelautan menegaskan bahwa untuk urusan Kamla bakal

ditangani oleh satu lembaga tunggal yang kalau di luar negeri semacam Sea & Coast

Guard. Jadi dengan adanya satu lembaga tunggal, tak perlu lagi petugas Kamla TNI AL

memaksa untuk naik dan memeriksa kapal, sebagaimana terjadi di Pelabuhan Teluk Bayur

tadi.

Itu baru satu. Tapi, kalau yang satu ini berhasil kita bereskan, dampaknya bisa seperti

snowball effect. Sekali bergulir, ia kian sulit dihentikan. Malah kian lama malah justru kian

membesar. Saya bukan hanya berharap itu terjadi, tetapi yakin itu bakal terjadi.

Saya percaya ini akan menjadi perhatian serius presiden terpilih, Indonesia akan punya

menteri maritim yang hebat, dan untuk itu birokrasi pun wajib diremajakan. Perubahan

membutuhkan orang-orang tangguh yang mau berkorban. Ayo dong!

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali

38

E-bank dan Pembangunan Berkelanjutan

Koran SINDO

2 Oktober 2014

Di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendatang, Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan terus mengalami defisit. Betapa

tidak, beban anggaran keuangan negara dengan subsidi energi yang mencapai Rp300 triliun

terus menggerogoti. Ditambah dengan beban bunga utang luar negeri yang semakin besar,

membuat pemerintahan Jokowi-JK dihadapkan pada persoalan fiskal yang terus mengimpit

dan perlu segera diselesaikan.

Seperti layaknya sebuah perusahaan, negara ini membutuhkan anggaran belanja untuk bisa

terus melakukan ekspansi, membangun, dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk

itu, berbagai solusi dibutuhkan agar Indonesia memiliki kemampuan untuk terus membiayai

pembangunan infrastruktur untuk mendongkrak ekonominya. Selain pengurangan beban

subsidi energi dan penghematan belanja pemerintah yang tidak produktif, salah satu solusi

untuk mengatasi minimnya pembiayaan pemerintah adalah dengan mendongkrak investasi

swasta. Namun, investasi swasta juga membutuhkan pembiayaan, yang salah satunya dari

perbankan.

Di tengah ketatnya likuiditas keuangan saat ini, sudah sewajarnya jika perbankan juga

melakukan inovasi untuk menghimpun pembiayaan dari masyarakat. Bank tidak bisa hanya

mengandalkan cara-cara tradisional dengan menggunakan instrumen deposito ataupun

tabungan untuk menghimpun dana masyarakat. Diperlukan langkah cerdas untuk menarik

masyarakat yang selama ini belum bersentuhan dengan perbankan, agar percaya dan mau

memasukkan sebagian dananya di bank.

Bank sebagai agent of development harus bisa melaksanakan fungsinya memobilisasi dana

untuk pembangunan ekonomi di suatu negara. Kegiatan bank berupa penghimpun dan

penyalur dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Dengan

dana itu maka memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi,

serta kegiatan konsumsi barang dan jasa.

Persoalannya, sampai saat ini penetrasi bank masih di bawah 50% populasi masyarakat

Indonesia. Penetrasi perbankan kalah jauh dengan penetrasi telepon seluler atau handphone

yang mencapai lebih dari 120% populasi. Penetrasi yang mencapai lebih dari 100%

menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia memiliki lebih dari satu telepon seluler (ponsel)

atau gadget lain. Diperkirakan, selisih antara jumlah pelanggan ponsel dan jumlah nasabah

bank setara dengan jumlah orang yang tidak memiliki rekening bank (unbanked). Jumlah

unbanked-people ini ke depan akan terus bertambah karena penetrasi ponsel ke daerah-daerah

terpencil akan terus tumbuh dan meluas.

39

Sementara itu, bank tidak mungkin membangun kantor cabang di daerah yang tidak layak

secara ekonomis, sebab jumlah calon nasabah minim sedangkan biaya operasional tinggi.

Dengan kondisi itu, penduduk di daerah akan semakin sulit tersentuh perbankan, karena kecil

kemungkinan bagi mereka menabung setiap hari, misalnya Rp10.000 di kantor cabang bank

tertentu yang letaknya jauh. Selain letak geografis, alasan psikologis lain seperti malu dan

enggan berhubungan dengan urusan administrasi perbankan, juga bisa menjadi sebab.

Lalu, bagaimana caranya agar penetrasi ponsel yang mencapai lebih dari 120% bisa

dimanfaatkan untuk menghimpun dana masyarakat? Bagaimana agar potensi unbanked-

people ini bisa menyukseskan fungsi agent of development perbankan?

Untuk menjembatani jumlah unbanked-people yang terus bertambah, perbankan dan operator

telepon seluler harus membuka kesempatan bagi masyarakat di remote & rural area tersebut

untuk bisa menabung melalui handphone. Dengan begitu maka tidak akan ada lagi hambatan

jarak dan psikologis untuk menabung. Perilaku masyarakat yang sudah cukup lama terbiasa

mengisi ulang pulsa telepon bisa diubah dari “mengisi deposit prabayar” menjadi “mengisi

deposit e-bank“.

Sinergi perbankan dengan operator telekomunikasi ini menjadi langkah pertama membawa

unbanked-people memasuki dunia perbankan. Dengan sinergi ini, penyelenggara jaringan

telekomunikasi menyiapkan server berisi platform virtual-banking dan platform micro-

payment. Nantinya penyedia seluler dan mitra perbankan bisa mengonversi nomor telepon

seluler, yang juga merupakan nomor rekening. Adapun bank mitra yang mengelola rekening

tabungan dan semua kegiatan perbankan. Outlet mitra penyelenggara telekomunikasi juga

bisa berfungsi sebagai loket teller (cash-in/cash-out) dari bank mitra tersebut.

Dalam pengembangannya, deposit e-bank yang secara rata-rata lebih dari Rp20.000 dapat

juga digunakan untuk membayar belanja-belanja kecil (micro-payment) dan sebagian lagi

disetor ke rekening tabungan melalui sistem virtual-banking. Misalnya setiap Minggu

Rp5.000-10.000 atau lebih. Hanya, agar program itu berhasil diperlukan penyediaan

infrastruktur jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah NKRI.

Dengan fasilitas jaringan yang memadai dan dengan cakupan luas, semua pelanggan telepon

seluler yang unbanked di remote & rural area dapat difasilitasi untuk memiliki rekening

tabungan. Bahkan dengan e-bank, mereka bisa melakukan micro-payment atau pun remitten

secara mudah. Dengan rekening tabungan itu pula, mereka dapat terlibat dalam kegiatan

perbankan dan membiayai pembangunan.

Secara individu mungkin nilai nominalnya relatif kecil, namun melihat potensinya yang besar

maka secara akumulatif nasional jumlah totalnya pasti akan sangat besar. Hanya dengan cara

inilah program Financial-Inclusion dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Semoga

pemerintah RI 2014-2019 bisa memprioritaskan ini di tahun pertama pemerintahan. ●

40

NONOT HARSONO

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ( BRTI)

41

Perguruan Tinggi dan Innovation Driven Economy

Koran SINDO

6 Oktober 2014

Laporan Daya Saing Global 2014–2015 yang dikeluarkan World Economy Forum (WEF)

awal September lalu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-34 atau naik 4 peringkat dari

2013–2014. Peningkatan daya saing Indonesia ini sekaligus mengonfirmasi sejumlah hasil

laporan yang menempatkan Indonesia sebagai destinasi investasi utama.

Predikat sebagai negara tujuan utama investasi didukung sejumlah faktor yang telah dicapai

dalam beberapa tahun ini, misalnya perbaikan infrastruktur, reformasi birokrasi, kebijakan

industrialisasi, dan pengembangan iptek. Dengan peringkat daya saing di urutan ke-34 dari

144 negara yang menjadi sampel WEF, Indonesia dikelompokkan dalam kategori negara

efficiency-driven economies atau selangkah lagi menuju innovation driven economies.

Salah satu pilar yang mendorong peningkatan daya saing seperti yang dilaporkan WEF

adalah inovasi dan pengembangan iptek. Inovasi dan pengembangan iptek diyakini mampu

memberi daya dorong yang lebih kuat, tidak hanya terhadap peningkatan daya saing bangsa,

melainkan juga terkait perbaikan peradaban manusia. Salah satu entitas yang berperan

penting dalam pengembangan iptek dan inovasi adalah perguruan tinggi (PT). PT menjadi

media pembelajaran dan pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan gagasan-gagasan

yang bermanfaat, baik dalam kehidupan sosial maupun ekonomi-politik.

Dorongan pendidikan berbasis masyarakat sesuai arahan Undang-Undang (UU) Sistem

Pendidikan Nasional melahirkan berbagai ide kreatif dalam mengemas kurikulum pendidikan

tinggi semisal experiential learning, collaborative learning, student center learning dan case

study method. Salah satu pendekatan lain yang kini telah banyak dikembangkan universitas-

universitas terkemuka dunia adalah kerja sama universitas serta dunia usaha dalam

pengembangan iptek dan inovasi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025, saat ini

Indonesia berada pada periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional III

(RPJMN 2015–2019). Berlandaskan kesinambungan RPJMN sebelumnya (2005– 2009,

2010–2014), RPJM III ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh

di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian

berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta

kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat.

42

Sinkronisasi pembangunan iptek dalam pendidikan diharapkan dapat mendorong peningkatan

kualitas sumber daya manusia serta relevansi pendidikan dengan berbagai aspek kehidupan

masyarakat, termasuk di dalamnya mendorong ekonomi bernilai tambah. Pembangunan iptek

diarahkan untuk menciptakan dan menguasai ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan dasar

maupun terapan serta mengembangkan ilmu sosial dan humaniora untuk menghasilkan

teknologi dan memanfaatkan teknologi hasil penelitian, pengembangan, dan perekayasaan

bagi kesejahteraan masyarakat, kemandirian, dan daya saing bangsa. Pembangunan iptek ini

pulalah yang menjadi dasar pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan yang akan

memberi dampak luas terhadap berbagai dimensi ekonomi khususnya mengenai

kesejahteraan masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, pendapatan per kapita masyarakat terus meningkat hingga

mencapai USD4.000 saat ini. Dalam program MP3EI, pada akhir 2025 Indonesia ditargetkan

menjadi negara ekonomi maju (innovation-driven economy) dengan target pencapaian

pendapatan per kapita hingga 2025 dalam dokumen MP3EI ada di kisaran USD14.000–

15.000 dengan economy size (PDB) USD4 triliun– 4,5 triliun.

Target peningkatan pendapatan per kapita (PDB per kapita) menuju negara maju hanya akan

tercapai melalui pengembangan riset, iptek, dan budaya inovasi, khususnya di perguruan

tinggi. Melalui pengembangan pemanfaatan riset dan inovasi, nilai tambah dan perluasan

rantai nilai, baik dalam proses produksi maupun distribusi, dapat terus meningkat sekaligus

menjadi katalisator yang mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Melalui

pengembangan pemanfaatan riset, iptek, dan budaya inovasi di perguruan tinggi, penguatan

sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses maupun pemasaran untuk penguatan daya

saing global yang berkelanjutan menuju innovation driven economy akan dapat dicapai.

Mengapa demikian? Tentunya pada era ekonomi berbasis pengetahuan, mesin pertumbuhan

ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk/jasa inovatif.

Dalam konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi kunci utama

mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karena itu, perguruan

tinggi harus mampu menjadi salah satu pusat produksi dan distribusi gagasan-gagasan/

produk/kebijakan yang inovatif, menjadi medium penyelarasan berbagai entitas yang

menyusun daya saing nasional. Aliansi sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain menjadi

”keharusan” yang tidak bisa dihindari sebagai akibat derasnya perubahan yang terjadi di

sekitar kita.

Paradigma pasar input dan output pendidikan yang selama ini terkesan tidak selaras dengan

lingkungannya, menegasikan kepekaan sosial, dan kecenderungan egoisme-sentris menjadi

tantangan dalam meredesain kembali model pembelajaran di pendidikan tinggi. Redesain

model pembelajaran yang dilakukan diharapkan dapat menjawab tantangan dan tuntutan

lingkungan serta peradaban sehingga kontribusi pendidikan tinggi dapat lebih dirasakan oleh

para pemangku kepentingan yang ada.

43

Di berbagai universitas terkemuka dunia, pengelolaan riset yang dipadukan dengan

kebutuhan dunia usaha telah menjadi patron yang terus dipromosikan. Bahkan dengan model

penyelarasan ini, sejumlah produk inovatif telah banyak dihasilkan. Produk-produk ini

bahkan telah mengubah tatanan peradaban manusia. Di Universitas Osaka Jepang misalnya

telah lama dilakukan program kerja sama dengan berbagai industri khususnya dalam hal

pengembangan teknologi. Atau Universitas Bologna dengan menawarkan program desain

fitur dan model bagi industri makanan-minuman di dunia. Atau universitas-universitas di

Amerika yang telah lama mengembangkan research park sebagai wahana untuk

mempertemukan kegiatan riset dan kebutuhan dunia usaha.

Taruhlah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dengan MIT Medialab atau

University of Illinois Research Park yang berfungsi sebagai rumah inovasi bagi perusahaan-

perusahaan global seperti Yahoo!, Anheuser- Busch InBev, John Deere, Caterpillar, Dow,

Neustar, State Farm, Citrix, Raytheon, dan Abbott. Atau misalnya Iowa State University

Research Park yang memediasi dunia usaha, peneliti, dan masyarakat dalam mengembangkan

gagasan-gagasan inovatif tidak hanya terkait dengan produk-produk komersial, tetapi juga

humanity.

Bagi Indonesia, kebutuhan menghadirkan kemitraan-kemitraan seperti contoh di atas menjadi

urgensi dalam 5 hingga 15 tahun ke depan. Pola kemitraan strategis seperti contoh di atas

dapat diterapkan di Indonesia melalui kemitraan strategis antara perguruan tinggi dan dunia

usaha. Upaya ini akan semakin terakselerasi jika mendapat dukungan atau skema stimulus

baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, sejumlah lembaga litbang di

pemerintahan seperti LIPI, Puspitek, Lapan, dan Batan juga perlu disinergikan dalam suatu

gerakan yang terintegrasi dengan entitas lain, khususnya perguruan tinggi dan dunia usaha.

Pengembangan research-entrepreneurial university menjadi salah satu solusi yang dapat

dikembangkan dalam meraih cita-cita pembangunan nasional. Dengan semangat ini, target

menjadi negara maju akan semakin mudah diwujudkan.

PROF FIRMANZAH PhD

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan

44

7-Eleven, Transformasi Bisnis PT Modern Internasional Tbk

Koran SINDO

7 Oktober 2014

PT Modern Internasional Tbk memulai bisnis fotografi dan menjadi sole distributor Fuji Film

Jepang sejak 1971. Sejak saat itu, perusahaan terus bergerak mengembangkan beragam

varian produk fotografi sesuai kebutuhan konsumen di Indonesia. Bahkan melalui anak

usahanya, perusahaan terus mengembangkan toko ritel Fuji Image Plaza di seluruh pelosok

Tanah Air melengkapi toko ritel foto milik mitra Fuji Film yang sudah tersebar luas. Ini

ditujukan agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan memudahkan aktivitas mereka

akan produk-produk fotografi.

Semua produk selalu tersedia sesuai lifestyle serta perkembangan teknologi fotografi yang

ada saat itu. Dari teknologi yang benar-benar konvensional dan tradisional, semidigital

hingga teknologi digital yang akhirnya menguasai hampir seluruh bisnis fotografi.

Perkembangan teknologi memang tidak dapat dihindari lagi. Era digitalisasi telah

menurunkan bisnis fotografi konvensional yang selama ini dilakukan oleh perusahaan. Hanya

dalam hitungan kurang dari lima tahun, perkembangan teknologi ini telah menurunkan lebih

dari 50% bisnis yang ada. Semua produk berubah dan berganti, peralatan pendukung

berubah, perilaku konsumen berubah dengan sangat cepat, sehingga supply and demand pun

tidak dapat berimbang yang otomatis memengaruhi bisnis perusahaan. Perkembangan

teknologi digital yang luar biasa dalam industri fotografi telah memaksa perusahaan

melakukan perubahan bisnis demi menyelamatkan perusahaan.

Sejak tahun 2006, perusahaan mulai mencari bisnis baru yang dipersiapkan akan

mentransformasikan bisnis utama perusahaan. Bisnis ritel convenience 7-Eleven yang

menjadi pilihan. Selang dua tahun kemudian, melalui proses panjang, akhirnya PT Modern

Internasional Tbk dapat menandatangani LOI dengan 7-Eleven Internasional pada 2008 dan

dapat membuka outlet pertamanya akhir 2009. Sejak 2009 hingga 2014 ini, bisnis 7-Eleven

adalah sebuah bisnis transformasi bagi PT Modern International Tbk. Bisnis ritel convenience

store ini telah menggantikan bisnis fotografi yang sudah dilakukan perusahaan lebih dari 50

tahun.

Pada tahun 2010, 7-Eleven baru dapat mengontribusikan penjualan sebesar 10% terhadap

total penjualan perusahaan. Dan kini di 2014, bisnis 7-Eleven sudah mengontribusikan

penjualan sebesar 64% terhadap total penjualan bisnis PT Modern Internasional Tbk. Melihat

perkembangan bisnis yang dicapai, perusahaan yakin bahwa bisnis ini akan terus berkembang

45

di tahun-tahun selanjutnya. Prospek bisnis ritel seperti yang dilakukan 7-Eleven di Indonesia

diyakini akan terus meningkat seiring perubahan perilaku konsumen dan gaya hidup

masyarakat.

Masyarakat saat ini memanfaatkan convenience store tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga seperti sebelumnya. Saat ini masyarakat mengunjungi convenience

store untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Convenience store di modern market

lebih populer dibandingkan dengan format besar seperti supermarket dan hypermarket, serta

lebih populer juga dibandingkan traditional market sehingga pertumbuhannya pun semakin

cepat. Data dari McKinsey, tahun 2011 sebanyak 66% konsumen membeli makanan dan

minuman di convenience store, dan angka ini meningkat di tahun 2013, konsumen yang

membeli makanan dan minuman di convenience store sekitar 71%.

Dalam beberapa data dan fakta serta informasi terkini yang kita terima dari Euromonitor

tentang customer insight Indonesia tahun 2013, disebutkan bahwa dalam lifestyle masyarakat

perkotaan, masyarakat harus menghadapi dinamika kehidupan yang serbacepat dan sibuk

sehingga memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman di luar rumah menjadi sesuatu

yang sangat umum.

Selain itu terdapat fakta, wanita pekerja populasinya atau jumlahnya semakin besar, 59,6%

bekerja sebagai entrepreneur dan 25,3% bekerja sebagai karyawan kantoran.Kebanyakan dari

mereka yang merupakan generasi masa kini dan untuk generasi-generasi selanjutnya, para

wanita ini tidak lagi atau jarang yang belajar memasak. Sehingga mereka memenuhi

kebutuhan hidupnya bahkan kebutuhan rumah tangga dengan cara membeli, sesuatu yang

praktis bisa dilakukan.

Fakta terakhir yang kita bisa lihat, semakin banyak dan pesatnya pembangunan perumahan

vertikal yang menandakan populasi penduduk semakin meningkat. Perumahan vertikal itu

pun luasnya tidak besar, sangat simpel dengan ruangan dapur yang juga tidak besar.

Sejumlah fakta di atas menunjukkan masyarakat perkotaan semakin hari akan semakin

membutuhkan segala sesuatu yang bersifat cepat, mudah, praktis dan dengan harga

terjangkau sesuai gaya hidup yang mereka jalani saat ini termasuk juga di dalamnya

pemenuhan kebutuhan akan makanan dan minuman. Mereka membutuhkan makanan dan

minuman yang siap saji, praktis, mudah didapat, harga terjangkau dan tentunya makanan

serta minuman yang sehat, bersih dan segar sesuai kesadaran akan kesehatan yang juga

meningkat.

Meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia serta naiknya produk domestik bruto

(PDB) karena konsumsi domestik yang meningkat, menjadikan bisnis ritel di Indonesia

semakin kompetitif. Untuk pertumbuhan pasar ritel modern di Indonesia, sesuai data dari

Aprindo, dari tahun 2012 meningkat 9,6% menjadi Rp148 triliun di tahun 2013 dan

diperkirakan akan meningkat 10% di tahun 2014 menjadi Rp162,8 triliun. Perkembangan dan

pertumbuhannya ini tidak kalah dengan di negara lain mengingat karakteristik, kemampuan

46

dan gaya hidup masyarakat yang hampir sama dengan beberapa negara tetangga seperti

Thailand, Singapura, dan Malaysia.

Pertumbuhan bisnis ritel yang terjadi di sana akan juga terjadi di Indonesia dalam waktu tidak

lama lagi. Ambil saja contoh perkembangan bisnis di Thailand dengan karakteristik

masyarakat dan tata kota yang hampir sama dengan Indonesia. Saat ini Thailand dengan

populasi sebesar 70 juta penduduk memiliki sekitar 7.000 outlet 7-Eleven. Dari angka

tersebut, kita bisa katakan 1 outlet 7-Eleven dapat melayani sekitar 10.000 penduduk. Jika

Jakarta dan sekitarnya memiliki 24 juta penduduk, tidak menutup kemungkinan akan ada

sekitar 2.400 outlet 7-Eleven dalam waktu 10 hingga 15 tahun.

Meningkatnya kelas menengah ini memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan

bisnis ritel di Indonesia. Tidak hanya itu, bisnis seperti yang dilakukan 7-Eleven ini pun akan

memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dalam

pengembangan bisnis yang dilakukan, selain memberikan pendapatan pada pajak daerah,

penyerapan tenaga kerja pun akan semakin besar. Dan, hal ini tentu saja akan membantu

mengurangi jumlah pengangguran karena adanya penyediaan lapangan pekerjaan untuk para

tenaga kerja baru maupun para tenaga kerja terampil.

Tidak hanya itu, bisnis ini pun dapat memunculkan atau meningkatkan jumlah para

pengusaha kecil dan menengah yang saat ini masih sangat sedikit di Indonesia. Para pemasok

yang sebagian besar berasal dari usaha kecil menengah, selain kapasitas produksinya akan

semakin meningkat, kenaikan jumlah para pengusaha kecil menengah juga akan semakin

besar. Tidak hanya dari sisi pemasok, 7-Eleven memberikan kesempatan kepada para

pengusaha muda di tingkat kecil-menengah yang akan menjalankan bisnis secara

keseluruhan. Outlet-outlet 7-Eleven nantinya akan banyak dimiliki dan dioperasikan oleh

mereka. Hal ini pun berdampak positif bagi perkembangan bisnis dan perekonomian

Indonesia. ●

HENRI HONORIS

President Director PT Modern Putra Indonesia

47

Sistem Pembayaran dan Demokrasi Ekonomi

Koran SINDO

9 Oktober 2014

Sistem pembayaran tidak bebas dari sistem politik. Semakin neopatrimonial maka semakin

penting peran sistem pembayaran dalam proses politik. Sistem politik negara-negara yang

berpenghasilan paling rendah dan menengah rendah dapat dicirikan sebagai ”rezim hibrida”

(Diamond 2002) atau, lebih khusus, sistem neopatrimonial (Bratton/van der Walle 1997).

Dalam sistem neopatrimonial, prinsip-prinsip kenegaraan modern formal berlaku, tetapi

meresap ke tingkat tinggi oleh lembaga informal dan personal. Pemerintah menggunakan

sumber daya negara secara strategis untuk memenangkan pemilu dan dukungan politik

lainnya dari kelompok masyarakat tertentu. Dan pemegang kantor (kekuasaan) memberikan

penghargaan pribadi—seperti pengolahan yang lebih disukai atas aplikasi atau tugas kerja

publik—untuk klien, sebagai alat tukar dari pemberian suara dan loyalitas.

Oleh karena itu, batas-batas antara ruang pribadi dan publik menjadi kabur, dan lingkup

untuk keputusan diskresioner cukup besar. Kompetisi pemilihan biasanya terbatas, dan

bahkan jika pemilu cukup adil, defisit mungkin tetap ada mengenai pemisahan kekuasaan,

kebebasan pers, dan kontrol demokratis lainnya. Sebagai konsekuensinya, kelompok

kepentingan mungkin merasa jauh lebih mudah untuk melobi pemerintah dan bahkan

menyuap pejabat untuk mendapatkan hak ekonomi dibandingkan dengan demokrasi yang

berbasis aturan yang matang.

Pemerintah mungkin mencari legitimasi dan dukungan dengan membangun sistem patronase

yang luas, yang sering terjadi di sepanjang garis etnis dalam masyarakat yang heterogen

secara etnis (Ikpeze/Soludo/ Elekwa 2004). Dukungan selektif dapat diberikan untuk kegiatan

rent-seeking bukan pada kegiatan yang berdasarkan kriteria teknis, dan pejabat pemerintah

dapat merekrut dan mempromosikan staf mereka atas dasar pilih kasih daripada prestasi.

Praktik pengeluaran pekerjaan di sektor publik dengan imbalan dukungan politik memiliki

dua konsekuensi negatif. Pertama, kemungkinan menyebabkan kelebihan staf lembaga-

lembaga publik. Kedua, yang lebih penting, jika ada pemahaman diam-diam bahwa jabatan

publik adalah semacam penghargaan pemerintah, sementara pemerintah tidak mampu untuk

membayar gaji yang cukup menarik, penyuapan dapat ditoleransi.

***

Ini adalah salah satu penjelasan untuk fakta bahwa negara-negara berpenghasilan rendah

cenderung, secara rata-rata, untuk mengatur lebih besar meskipun mereka memiliki

48

kemampuan yang terbatas untuk menegakkan peraturan.

Setiap prosedur peraturan menciptakan kesempatan tambahan untuk suap (Djankov et al,

2002; World Bank/IFC, 2005). Kurangnya pengecekan dan keseimbangan seperti ketiadaan

virtual dari setiap pemantauan independen atas program kebijakan industri di negara

berkembang—dengan demikian bukan hanya merupakan masalah sumber daya yang terbatas;

melainkan juga mencerminkan logika sistem politik neopatrimonial. Sumber daya keuangan

dan administratif langka, dan lembaga-lembaga demokrasi yang meminta

pertanggungjawaban pemerintah sering kali agak lemah.

Karena itu, banyak peneliti berpendapat bahwa negara-negara pada tingkat awal

pengembangan kelembagaan harus menghindari kebijakan selektif dan berfokus pada

reformasi iklim investasi secara keseluruhan. Laporan Pembangunan Dunia 2005, misalnya,

menyoroti kebutuhan untuk mendapatkan iklim investasi yang tepat dan penuh peringatan

dan referensi terhadap risiko intervensi selektif (Bank Dunia, 2004). Karena itu, pelaporan

perdagangan dalam semua bentuk pasar menjadi penting untuk mendukung sistem

pembayaran yang sukses.

Pelaporan perdagangan yang diwajibkan akan meningkatkan pengawasan pasar derivatif

dengan mengatasi kesenjangan informasi. Agar hal tersebut menjadi efektif, regulator perlu

memiliki akses yang tepat terhadap data yang relevan yang dapat dikumpulkan. Hal ini

membutuhkan kerja sama pengawasan lintas batas pada akses data dan harmonisasi

persyaratan dan standar pelaporan. Tetapi pertimbangan politik telah menyebabkan beberapa

yurisdiksi mendirikan repositori perdagangan mereka sendiri, yang bisa membuat agregasi

data menjadi lebih sulit.

***

Teori pembayaran menilai kebutuhan untuk repositori lokal dan rezim peraturan yang tepat

untuk menghindari duplikasi. Dalam beberapa bulan terakhir, telah ada gagasan di beberapa

kalangan bahwa peraturan yang lebih ketat akan diusulkan untuk derivatif OTC di Amerika

Serikat dan Uni Eropa, kegiatan ini akan mengalir ke pusat-pusat di Asia yang konon diatur

tidak terlalu ketat.

Pandangan ini keliru. Pusat-pusat terkemuka di Asia—seperti Singapura, Hong Kong, dan

Australia— adalah bagian dari inisiatif G20 dan tidak ada ruang untuk arbitrase peraturan.

Kerja sama regional sepenuhnya terlibat dalam kerja OTC FSB, Organisasi Komisi Efek

Internasional, serta Komite Sistem Pembayaran dan Penyelesaian. Karena itu perlu dibentuk

komite regional yang memiliki basis demokrasi politik yang sama. Komite Regional Asia-

Pasifik diperlukan untuk mendukung mandat untuk mempelajari langkah-langkah

perlindungan investor dan jalan untuk membantu investor di negara-negara tersebut.

Dengan semakin meningkatnya partisipasi ritel di pasar modal (baik secara langsung atau

melalui program pensiun), peningkatan tingkat kegiatan lintas batas dan proliferasi produk

49

keuangan yang inovatif dalam beberapa tahun terakhir ini, tinjauan rezim perlindungan

investor, dengan maksud untuk mengadaptasikan rezim tersebut dalam mengimbangi

berkembangnya pasar dianggap tepat. Langkah itu penting agar sistem pembayaran menjamin

terciptanya demokrasi ekonomi.

ACHMAD DENI DARURI

President Director Center for Banking Crisis

50

R&D dan Pembangunan Paripurna

Koran SINDO

13 Oktober 2014

Tiga orang Asia, yakni Isamu Akasaki dan Hiroshi Amano dari Nagoya University serta

Shuji Nakamura dari University of California di Santa Berbara, dinobatkan sebagai penerima

Nobel Fisika 2014 oleh Royal Swedish Academy of Sciences di Stockholm.

Ketiga ilmuwan Jepang ini dipandang telah berkontribusi besar terhadap revolusi teknologi

pencahayaan, khususnya berupa sumber cahaya baru yang disebut light emitting diode (LED)

atau diode pemancar cahaya biru. Dengan teknologi LED, cahaya putih bisa diciptakan

dengan cara baru yang lebih hemat energi. Bahkan energi yang digunakan pada inovasi

terbaru LED ini mampu menghasilkan 300 luminasi per watt atau setara dengan 16 bohlam

reguler dan 70 lampu fluorescent.

Penemuan LED yang telah mereka rintis sejak tahun 1990-an menjadi titik sejarah revolusi

teknologi cahaya yang pertama kali ditemukan Thomas Alva Edison di abad ke-18. Kini

teknologi pencahayaan LED telah banyak dinikmati masyarakat dunia baik untuk penerangan

jalan, kendaraan bermotor, komputer maupun telepon seluler dan sebagainya.

Inovasi tidak hanya membawa perubahan dan perbaikan peradaban dalam kehidupan

manusia, tetapi juga telah menjadi sumber energi bagi proses pembangunan. Setidaknya ini

dapat diamati pada sejumlah negara yang terus mendorong inovasi di berbagai bidang

pengetahuan baik melalui kegiatan riset di perguruan tinggi maupun industri. Bahkan

beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Kanada, Swiss telah

mengembangkan kegiatan kolaborasi riset antara perguruan tinggi dengan dunia industri.

Kolaborasi ini diharapkan mampu menjembatani kebutuhan dunia industri dengan produksi

riset perguruan tinggi yang terus berkembang.

Aliansi perguruan tinggi dengan dunia industri tidak hanya terkait penyelarasan atau

keseimbangan input-output dalam sistem pendidikan tinggi, tetapi juga diharapkan dapat

mendorong lahirnya gagasan/produk/kebijakan yang inovatif. Budaya inovasi ini hanya dapat

ditumbuhkan melalui interaksi aktivitas di perguruan tinggi, khususnya pengembangan riset

bersama-sama dengan industri atau dunia usaha. Contoh nyata yang dapat dirasakan saat ini

adalah teknologi LED yang dijelaskan di atas.

Atau contoh lainnya, yakni pengembangan nano-technology yang dipaparkan tahun 1959

pada sebuah konferensi tahunan komunitas Fisikawan Amerika (American Physical Society)

di Amerika oleh Richard P Feynman, fisikawan asal California Institute of Technology

(Caltech). Nano-technology kini terus dikembangkan pada berbagai sektor baik kesehatan,

51

lingkungan, mikrobiologi, mikroprosesor, dan sebagainya. Inovasi-inovasi lainnya juga bisa

kita amati pada produk-produk seperti google glasses, teknologi hologram, e-money, dan

banyak lagi yang telah mengubah struktur industri di dunia. Semuanya ini dikembangkan

melalui riset-riset yang dilakukan di perguruan tinggi bekerja sama dengan sejumlah dunia

usaha dan pemerintah.

Kerja sama universitas dan dunia usaha dalam pengembangan hasil riset, iptek, dan inovasi

merupakan patron yang telah banyak diadopsi universitas-universitas besar di dunia. Bahkan

sebagian besar produk-produk inovatif di era transendental ini banyak dihasilkan oleh

universitas-universitas yang memiliki pola kerja sama yang kuat dengan industri atau dunia

usaha.

Sejumlah universitas dunia mulai mengembangkan kerja sama riset dengan dunia industri

melalui berbagai skema baik dengan riset bersama, penyediaan laboratorium bersama hingga

berbentuk research park. Misalnya Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang

mengembangkan Media-Lab sebagai wahana bagi civitas academica dan dunia usaha untuk

bekerja sama, berbagi sumber daya, dan melakukan kegiatan pengembangan riset bersama.

Sementara University of Illinois menghadirkan research park sebagai rumah inovasi bagi

perusahaan- perusahaan global seperti Yahoo!, Anheuser-Busch InBev, John Deere,

Caterpillar, Dow, Neustar, State Farm, Citrix, Raytheon, dan Abbott.

Atau misalnya Iowa State University Research Park yang memediasi dunia usaha, peneliti,

dan masyarakat dalam mengembangkan gagasan-gagasan inovatif tidak hanya terkait dengan

produk-produk komersial, tetapi juga terkait humanitas. Universitas Osaka Jepang telah lama

melakukan program kerja sama dengan berbagai industri, khususnya dalam pengembangan

teknologi. Atau Universitas Bologna dengan menawarkan program desain fitur dan model

bagi industri makanan-minuman untuk perusahaan-perusahaan global. Dan masih banyak lagi

tentunya perguruan tinggi besar dunia yang telah mampu menjembatani kebutuhan dunia

usaha dan kegiatan riset di universitasnya (link and match).

Bagi Indonesia, walaupun kinerja daya saing global Indonesia pada periode 2014-2015 relatif

meningkat, kinerja inovasi Indonesia relatif menurun pada periode yang sama. Dalam laporan

Global Innovation Index 2014 , peringkat inovasi Indonesia turun menjadi peringkat ke-87

atau lebih rendah 2 peringkat dibandingkan periode 2013 (peringkat ke-85) dari 143 negara

yang disurvei.

Peringkat ini relatif jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN seperti Singapura (7),

Malaysia (33), Thailand (48), dan bahkan Vietnam (71). Peringkat inovasi Indonesia hanya

menggungguli Brunei Darussalam (88), Filipina (100), Kamboja (106), dan Myanmar (140).

Realitas ini tentunya menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia di tengah upaya untuk terus

mendorong inovasi sebagai mesin pembangunan melalui pemanfaatan dan penguasaan iptek.

Inovasi dapat diwujudkan ketika proses transmisi iptek terhadap sejumlah sektor kehidupan

manusia dapat dihadirkan baik untuk perbaikan peradaban maupun sebagai energi bagi

52

pembangunan ekonomi. Inovasi tentunya sangat ditentukan sejumlah program riset baik yang

sedang berkembang di perguruan tinggi maupun yang berjalan di sejumlah lembaga

penelitian pemerintah dan riset di industri.

Memang harus diakui pengeluaran riset Indonesia (R &D expenditure) yang saat ini sebesar

0,08% produk domestik bruto (PDB) terbilang relatif kecil bahkan tertinggal dibandingkan

beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (1%), Singapura (2%), Filipina (0,1%),

dan Thailand (0,2%). Pengeluaran R&D ini tentunya berkorelasi positif tidak hanya terhadap

peringkat inovasi yang diperoleh, tetapi juga terhadap kinerja pembangunan ekonomi di

negara-negara yang bersangkutan.

Untuk menghadapi realitas di atas, tiga hal perlu dipertimbangkan oleh pemerintah ke depan

dalam mendorong budaya inovasi melalui pemanfaatan dan penguasaaan iptek. Pertama,

perguruan tinggi harus didudukkan sebagai basis penguasaan, penguatan, pengayaan, serta

pemanfaatan riset dan iptek. Hal ini juga ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang secara konseptual

menekankan urgensi penyesuaian tingkat kebijakan yang nantinya dijadikan rujukan untuk

menyusun berbagai program, termasuk di perguruan tinggi. Salah satu persoalan yang belum

tuntas diselesaikan hingga saat ini adalah keselarasan antara pasar output perguruan tinggi

dan sinkronisasi kebutuhan dunia usaha sebagai basis pasar input (atau biasa dikenal dengan

link and match).

Kedua, menghadirkan pola kemitraan-kemitraan perguruan tinggi dan industri seperti contoh

di atas merupakan keniscayaan yang perlu untuk segera diwujudkan. Pola ini tentunya dapat

ditempuh melalui kemitraan strategis antara perguruan tinggi, industri, dan lembaga litbang

pemerintah (baik di kementerian maupun badan lainnya seperti LIPI, Lapan, Batan,

Puspitek). Sinergi dari entitas-entitas tersebut tentunya diharapkan dapat melahirkan sejumlah

inovasi yang tidak hanya tercatat sebagai kemajuan iptek, tetapi juga berkontribusi terhadap

pembangunan ekonomi dan daya saing nasional.

Salah satu upaya untuk mewujudkan rekomendasi kedua ini adalah mendorong research-

entrepreneurial university yang dapat dikembangkan dalam memacu budaya inovasi dan

utilisasi iptek. Melalui program ini, target menjadi negara maju sekaligus menjadi salah satu

negara innovation driven economies akan semakin mudah diwujudkan.

Dan yang terakhir adalah insentif pemerintah dalam mendorong kegiatan R&D baik di

perguruan tinggi, industri maupun di lembaga litbang pemerintah. Insentif ini dapat berupa

stimulus fiskal maupun nonfiskal yang digunakan untuk membudayakan kegiatan R&D

sehingga mampu melahirkan inovasi- inovasi yang berharga. Insentif ini merupakan strategi

untuk mendorong motivasi serta menjadikan inovasi iptek sebagai budaya dan identitas

nasional.

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

53

Terima Kasih Pak SBY, Selamat Bekerja

Pak Jokowi

Koran SINDO

20 0ktober 2014

Hari ini merupakan hari bersejarah bagi Indonesia. Pada hari ini akan dilakukan upacara

pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019, sekaligus menandakan

berakhirnya masa tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah memimpin

Indonesia selama 10 tahun.

Babak baru peralihan kepemimpinan telah dimulai melalui transisi damai dari Presiden SBY

ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini sekaligus juga menunjukkan kepada sejarah dan

dunia, bangsa Indonesia sejatinya mampu melakukan transisi kepemimpinan secara damai

dan konstitusional. Sudah sepatutnya kita sebagai bangsa yang besar harus mengucapkan

terima kasih kepada Presiden SBY yang telah membawa banyak lompatan besar selama satu

dekade terakhir.

Meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang perlu terus diperbaiki dan disempurnakan

oleh pemerintahan Presiden Jokowi, sejatinya telah banyak kemajuan yang dihasilkan di

bawah kepemimpinan Presiden SBY. Misalnya saja, ekonomi Indonesia selama kurun waktu

2005-2013 secara rata-rata dapat tumbuh di atas 5%. Ini juga yang menciptakan kelas

menengah semakin membesar, daya beli masyarakat terjaga, dan Bank Dunia beberapa waktu

lalu menempatkan Indonesia sebagai ekonomi terbesar ke-10 berdasarkan purchasing power

parity.

Tercatat pula, Indonesia mendapatkan kedaulatan ekonomi melalui pelunasan utang RI

kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang dipercepat pada 2006 dan dibubarkannya

CGI pada awal 2007. Ekonomi nasional kita sempat diuji oleh krisis subprime-mortgage

yang melanda Amerika Serikat pada 2008 persis satu tahun menjelang Pemilu 2009. Di

tengah-tengah krisis subprime-mortgage, pada 2008 ekonomi kita dapat tumbuh 6,4%.

Stabilnya politik pasca-Pemilu 2009 ditambah dengan semakin kuatnya fundamental

ekonomi Indonesia membuat investor dunia semakin confidence terhadap perekonomian

nasional. Kemudian sejumlah lembaga pemeringkat internasional seperti Moodys, Fitch, dan

R&I memberikan investment-grade kepada Indonesia. Sementara peringkat daya saing

nasional berdasarkan World Economic Forum naik pada posisi ke-34 dunia pada 2014 dari

peringkat ke-55 pada 2008-2009. Survei yang dilakukan oleh JBIC pada 2013 menempatkan

Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi perusahaan multinasional Jepang.

54

Realisasi investasi juga meningkat tajam dari Rp135 triliun pada 2009 menjadi lebih dari

Rp398 triliun pada 2013. Pendapatan per kapita juga terus meningkat dari posisi USD1.184

di 2004 menjadi USD3.490 pada 2013. Terjaganya stabilitas politik dan keamanan ditambah

dengan pengelolaan perekonomian yang tidak hanya mengedepankan prinsip kehati-hatian

fiskal, tetapi juga menjaga terus bergeraknya sektor riil telah menciptakan ekonomi nasional

yang semakin kuat dan berdaya saing.

Rasio elektrifikasi dapat ditingkatkan dari 53,5% pada 2004 menjadi 80,2% pada 2013.

Sementara pembangunan jalan tol dapat ditingkatkan dari 9.884 km pada 2004 menjadi

106.786 km pada 2013. Besaran belanja negara juga ditingkatkan dari sekitar Rp400 triliun

pada 2004 menjadi lebih dari Rp2.039,5 triliun. Dalam 10 tahun terakhir juga telah dibangun

tidak kurang dari 157 bandara baru dan saat ini Indonesia telah memiliki 237 bandara. Selain

itu juga pembangunan transportasi laut dilakukan melalui pembangunan 191 pelabuhan

strategis, 41 pelabuhan perintis, dan 347 dermaga penyeberangan.

Indonesia bahkan meluncurkan skema jaminan kesehatan yang menjadi jaminan kesehatan

terbesar dunia pada 2014. Ditargetkan pada tahap pertama, program BPJS Kesehatan dapat

melayani 116-140 juta peserta di seluruh Indonesia.

Sejumlah capaian pembangunan selama 10 tahun merupakan modal penting bagi

pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengemban tugas lima tahun ke depan. Sudah dapat

dipastikan, Presiden Jokowi akan menghadapi sejumlah tantangan, baik dari dalam negeri

maupun yang eksternal. Dari dalam negeri, cita-cita untuk mewujudkan ketahanan pangan

dan energi serta mengurangi gap pertumbuhan pendapatan antara kelas menengah ke atas dan

menengah ke bawah menjadi hal sangat penting. Selain itu juga tantangan lain seperti terus

menjalankan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, pengentasan kemiskinan,

penciptaan lapangan kerja, mendorong sektor UMKM terus berkembang, dan

menyeimbangkan pembangunan Jawa dan non-Jawa masih akan terus dihadapi.

Ekonomi Indonesia untuk lima tahun ke depan juga masih harus berhadapan dengan sejumlah

tantangan eksternal. Dari mulai rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan, Masyarakat

Ekonomi ASEAN 2015, konflik di sejumlah kawasan, pelemahan ekonomi negara maju

seperti Eropa, dan persoalan-persoalan yang muncul tiba-tiba.

Pengalaman selama ini menunjukkan, setiap gejolak yang bersumber dari eksternal

membutuhkan kesigapan untuk merespons dan menyusun kebijakan yang terpadu. Kerja

sama dan koordinasi yang berjalan baik antara pemerintah, BI, OJK, dan LPS akan sangat

membantu untuk memitigasi setiap dampak krisis ekonomi global ke perekonomian nasional.

Sebagai seorang yang pernah membantu presiden di bidang staf khusus presiden bidang

ekonomi dan pembangunan, saya sangat bisa merasakan betapa kompleksnya tantangan dan

persoalan yang dihadapi seorang presiden. Seringkali persoalan muncul tiba-tiba dan tanpa

dapat diprediksi sejak awal. Karena itu, kita perlu mendukung dan membantu Presiden

Jokowi untuk menyukseskan tugas dan tanggung jawab selaku pemimpin di negara kita.

55

Kita ucapkan selamat kepada Pak Joko Widodo selaku presiden dan Pak Jusuf Kalla sebagai

wakil presiden untuk periode 2014-2019. Kita optimistis, berbekal banyak capaian positif

selama 10 tahun, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi- JK akan menjadi lebih baik

lagi. Selamat bekerja Pak Jokowi dan Pak JK.

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

56

Tol Laut, antara Logistik dan Transportasi

Koran SINDO

22 Oktober 2014

Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla akhirnya

mengucapkan sumpah sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014- 2019 di hadapan

sidang MPR RI. Bagi pemerhati dan pengamat kemaritiman yang menarik dari prosesi

pelantikan mereka berdua adalah pernyataannya bahwa “Kita telah lama memunggungi laut,

samudera, selat, dan teluk. Sekarang saatnya kita mengembalikan semua sehingga tercapai

Jalesveva Jayamahe kembali membahana di laut kita jaya."

Dengan mengutip Bung Karno, Jokowi (begitu ia biasa dipanggil) lebih lanjut mengatakan,

“Untuk membangun Indonesia kuat, makmur, dan damai yakni cakrawati samudera,

diperlukan jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang

menggulung.”

Singkat cerita, kemaritiman menjadi salah satu alas strategi penting bagi dia dalam

mewujudkan visinya menjadikan Indonesia Hebat. Komitmen yang kuat kepada kemaritiman

mantan wali kota Surakarta itu sudah terlihat ketika ia mengusung gagasan tol laut saat

kampanye pilpres lalu. Sejak diluncurkan, ide tentang tol laut tersebut memantik pro dan

kontra. Sampai saat ini pun masih saja menjadi buah bibir publik, khususnya mereka yang

bergelut di sektor kemaritiman.

Tetap hangatnya (baca: kontroversial) isu tersebut berangkat dari kondisi bahwa ia sampai

hari ini kita tidak memiliki blueprint resmi yang dikeluarkan oleh sang presiden terpilih

terkait gagasannya itu. Benar bahwa gagasan tol laut itu kini sudah memiliki bentuk yang

cukup jelas, tetapi ini lebih merupakan persepsi eksternal terhadapnya. Apakah bentuk itu

juga sebangun-seruang dengan yang ada dalam pemikiran Presiden terpilih Joko Widodo, kita

tidak tahu.

Karena itu, kita berharap besar kepada Jokowi agar sesegera mungkin menjelaskan secara

gamblang konsep tol laut yang ia gagas dalam masa kampanye pemilihan presiden.

Penjelasan itu nanti diharapkan akan menjadi tafsir paling otoritatif terhadap tol laut dan

bagian integral dari kebijakan nasional selama lima tahun ke depan. Bisa jadi dari sisi legal-

formal tol laut itu dituangkan dalam bentuk perpres, keppres, dan sebagainya. Dengan begini,

kontroversi tol laut dapat diakhiri.

57

Adapun penjelasan yang ditunggu publik antara lain asal-usul istilah dan pendekatan teknis

(technical approach). Ada ungkapan what is a name? Apalah artinya sebuah nama, ia

tidaklah penting. Mawar tetaplah mawar walaupun mungkin ia diberi nama lain.

Namun, selalu ada cerita di balik sebuah nama. Tol laut disebut-sebut merupakan sinonim

dari konsep pendulum. Sementara bagi komunitas kemaritiman mondial yang dimaksud

dengan pendulum adalah “a set of sequential port calls from at least two maritime ranges,

commonly including a transoceanic service and structured as a continuous loop.”

Pendulum pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan pelayaran Amerika Serikat SeaLand

pada 1962 dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan New York, Los Angeles, dan

Oakland melalui Terusan Panama. Ketika pulang, armada pendulum ini menyinggahi San

Juan, Puerto Rico. Kini Sea-Land tergabung dalam Maersk Line. Apakah dengan mengusung

tol laut ada upaya untuk memasukkan pelayaran tersebut ke Indonesia? Ada kabar, kapal-

kapal milik mereka yang berukuran 3.000 TEU tengah menganggur di Eropa.

Logistik vs Transportasi

Yang juga perlu dijelaskan oleh Jokowi adalah pendekatan teknis dalam menjalankan

gagasan tol lautnya. Ada dua pendekatan dalam hal ini yaitu pendekatan logistik dan

pendekatan transportasi. Mana yang dia lebih utamakan: pendekatan logistik atau

transportasi.

Saat ini dalam dinamika wacana tol laut yang berkembang pendekatan yang dominan adalah

pendekatan logistik. Pendekatan logistik ditandai dengan lebih mengedepannya peran para

middle man (forwarder) dibanding pengangkut atau operator kapal. Selain para forwarder,

pendekatan ini juga memberi tepat yang relatif besar kepada pengelola pelabuhan. Lihatlah

bagaimana sepak terjang mereka sejak gagasan tol laut dimunculkan dalam kampanye

pemilihan presiden.

Para middle man dan pengelola pelabuhan sontak mendukung gagasan tol laut, padahal

mereka tidak tahu apa yang diinginkan Jokowi. Mereka menguasai wacana di media massa

dengan keywords-nya “sistem logistik”, “pengembangan pelabuhan”, dan sebagainya. Sang

presiden terpilih sepertinya terjebak dalam pusaran para pelaku pendekatan ini. Ia bertemu

dan bicara dengan para forwarder dan pengelola pelabuhan dan berkunjung ke sana.

Padahal, jika mengacu pada istilah tol laut, pendekatan yang sebaiknya diutamakan adalah

pendekatan transportasi. Layaknya tol di darat, di mana yang menggunakannya tentulah

mobil dan truk, tol laut yang menggunakannya adalah kapal. Sayang, sejak muncul ke

permukaan tol laut terkesan mengesampingkan perusahaan pelayaran.

Dari pihak presiden terpilih juga tidak terdengar kabar bahwa dia bertemu pelaku usaha

pelayaran dan mendiskusikan tol laut. Kondisi asimetris tadi menyebabkan sampai saat ini tol

laut tidak memiliki gambaran terkait siapa yang akan mengoperasikan kapal dengan kapasitas

58

3.000 TEU; BUMN-kah atau swastakah. Insentif dan disinsentif seperti apa yang akan

diberikan kepada operator kapal yang bersedia mengisi slot yang tersedia nanti.

Tol laut tidak hanya terkait pengembangan pelabuhan atau pengumpulan dan pengiriman (to

forward) barang. Gagasan ini juga menyangkut kapal sebagai alat angkut yang tugasnya

mengunjungi pelabuhan yang telah dikembangkan dan mengangkut barang yang telah

dikumpulkan di sana.

Dalam bukunya, The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, Capt. A. T. Mahan,

seorang ahli strategi maritim terkenal mengatakan “...the necessity of a navy, in the restricted

sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping ...”.

Jadi, jangan tinggalkan pelayaran dalam wacana tol laut. Selamat mengemban tugas untuk

Anda berdua, Pak Jokowi dan Pak JK. Jalesveva Jayamahe.

SISWANTO RUSDI

Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)

59

Warisan Ekonomi SBY

Koran SINDO

22 Oktober 2014

Sumpah jabatan sudah diucapkan oleh Presiden Jokowi dan syukuran rakyat yang

menyertainya berlalu dengan meriah. Periode pascaeuforia kemenangan perlu

ditransformasikan menjadi kerja, kerja, dan kerja untuk rakyat sesuai pidato perdana.

Namun, jangan juga tergesa-gesa melangkah ke depan. Saat ini tengokan ke belakang, sangat

penting untuk mengetahui kondisi aktual dan kumpulan langkah yang diambil Presiden SBY

serta kabinetnya dalam 10 tahun terakhir.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk sekadar menuding kejelekan pemerintah yang telah

berlalu, namun sebagai diskursus sehat dan ilmiah untuk mengetahui apa saja yang sudah

berjalan baik untuk diteruskan dan di mana saja perlu dilakukan perbaikan.

SBY menyatakan bahwa pemerintahannya pro-growth, pro-jobs, pro-poor, dan pro-

environment. Maka itu, faktor pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, pengentasan

kemiskinan, dan pelestarian lingkungan tepat untuk menjadi kerangka analisis warisan

ekonomi yang ditinggalkannya. Analisis dimulai pada 2005 di mana kepemimpinan SBY

telah memiliki dampak ekonomi sampai 2013 karena belum tersedia data 2014 di BPS.

Pertumbuhan dan Kualitasnya

Rata-rata pertumbuhan ekonomi riil nonmigas pada periode itu adalah 6,42 yang tergolong

cukup tinggi. Ketika 2009 banyak negara Asia terkena imbas krisis sub-prime

mortgage sehingga pertumbuhannya negatif, Indonesia bisa bertahan pada 4,63%.

Prestasi ini perlu diakui dan dipuji. Sektor yang mengalami pertumbuhan mencengangkan

pada periode itu adalah telekomunikasi dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 20,95%.

Pada posisi dua adalah angkutan udara dengan 10,4%. Adapun pada posisi tiga adalah

industri mesin, angkutan, dan perakitan yang tumbuh 7,9% per tahun.

Pada satu sisi peningkatan komunikasi, mobilitas darat, dan mobilitas udara bermakna positif

dan menambah konektivitas serta interaksi sosial-bisnis masyarakat. Namun, patut

disayangkan bahwa masih sedikit perusahaan Indonesia yang menjadi produsen perangkat

telepon sehingga sebagian besar keuntungan dinikmati perusahaan asing. Demikian juga

dengan kepemilikan saham operator telekomunikasi.

60

Indonesia perlu belajar dari China di mana pertumbuhan telekomunikasi yang tinggi

dijadikan kesempatan mengembangkan handset lokal seperti Xiaomi. Produsen BlackBerry

bahkan lebih memilih membuka pabrik di Malaysia sehingga nilai tambah dan transfer

teknologi tidak banyak terjadi. Masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi konsumen di

sektor telekomunikasi.

Pertumbuhan tinggi di angkutan udara belum digunakan maskapai Garuda Indonesia untuk

meraih keuntungan. Laporan keuangan semester pertama tahun ini bahkan masih

menunjukkan kerugian Rp2,4 triliun. Merpati bahkan tutup dengan gaji karyawan masih

terkatung-katung.

Dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan membawa tantangan

tambahan pada maskapai domestik karena banyak bandara tadinya khusus untuk maskapai

domestik akan dibuka untuk maskapai dari negara ASEAN sesuai kesepakatan ASEAN Open

Sky Policy. Maraknya kecelakaan dan keterlambatan maskapai domestik terakhir perlu

diperbaiki jika ingin tetap bersaing.

Sektor industri nonmigas yang menjadi motor pertumbuhan pada Orde Baru hanya alami

pertumbuhan 5,25%. Hanya industri mesin, angkutan, dan perakitan yang melebihinya

dengan 7,9% per tahun. Namun, perlu dikaji apabila transportasi publik sudah diperbaiki,

apakah masyarakat akan terus membeli kendaraan pribadi atau menguranginya. Karena

Indonesia belum memiliki merek kendaraan bermotor dan tidak banyak proses industri yang

berada di Indonesia, selain perakitan dan perawatan, nilai tambah industri ini banyak yang

keluar negeri.

Sebagian besar sektor yang alami pertumbuhan tinggi memerlukan pendidikan formal dan

keterampilan.Sektor primer yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan, dan perhutanan

adalah sektor yang menyerap hampir setengah tenaga kerja, terutama yang berpendidikan

rendah, namun hanya alami pertumbuhan rata-rata 3,6%.

Periode 2011-2013 alami perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 6,5 ke 6,3% dan menjadi

5,8%. Melawan tren ini membutuhkan lebih dari sekadar pasokan modal asing di mana daya

saing perusahaan lokal menjadi kata kunci.

Memang daya saing Indonesia mengalami peningkatan yang diakui dunia dengan peringkat

ke-38 di World Competitiveness Report 2014. Namun, negara tetangga kita seperti Thailand

dan Malaysia menempati peringkat ke-37 dan ke-24.

Dari segi kemudahan usaha (Doing Business Report), Indonesia menempati peringkat ke- 120

yang jauh lebih rendah dari Thailand (91) dan Malaysia (6). Kita ketinggalan pada

kemudahan membuka usaha yang masih membutuhkan 48 hari. Jauh lebih lama dibanding

Thailand yang hanya 28 hari, apalagi jika dengan Malaysia yang hanya enam hari.

Kemiskinan dan Pengangguran

61

Kita perlu mengapresiasi dan bangga atas keberhasilan pemerintahan SBY yang berhasil

menekan jumlah penduduk miskin dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 28,1 juta jiwa pada

2013 yang berarti 7 juta jiwa keluar dari kategori miskin. Dari segi persentase, ada penurunan

dari 15,97% menjadi 11,37%.

Dibentuknya TNP2K sebagai lembaga koordinasi pengentasan kemiskinan juga positif

dengan perbaiki sinergi dan kurangi tumpang tindih program. Namun, pada tiga tahun

terakhir terjadi perlambatan pengentasan kemiskinan yang menandakan bahwa program di

masa depan perlu diperbaiki kemiskinan kronis dan lintas generasi (inter-generational

poverty) sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin dan daerah terpencil memiliki

peluang untuk dapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan demi menggapai kesejahteraan.

Pertumbuhan Indonesia pada 2005-2013 dimotori pada sektor formal yang menyerap tenaga

kerja terdidik serta terampil. Pengangguran terbuka menurun dari 11,3% pada 2005 menjadi

6,25% pada 2013. Sektor pertanian, perdagangan, dan nonformal menjadi penyerap tenaga

kerja yang tidak masuk ke sektor formal ataupun pekerja musiman yang di luar masa

tanam/panen di desa lalu menjadi berdagang atau menjadi buruh bangunan di kota. Namun,

pendapatan yang diterima di sektor tersebut jauh lebih rendah dari sektor formal dan

pertumbuhannya rendah. Akibat itu, terjadi peningkatan kesenjangan yang pada 2014

mencapai tingkat tertinggi sejak pencatatan koefisien gini. Kondisi ini bila didiamkan dapat

memicu konflik dan keretakan sosial.

Nawacita Jokowi yang menyebutkan akan membangun Indonesia dari pinggiran sangat tepat

karena sektor pertanian dan daerah terpencil masih terpinggirkan pada pembangunan

ekonomi kita.

Ekonomi Berkelanjutan

SBY mengejutkan dunia dengan menjanjikan pengurangan besar (26% usaha sendiri dan

41% dengan bantuan internasional) emisi gas rumah kaca (GRK) pada pertemuan G-20 di

Pitssburg, 2009. Beberapa kebijakan seperti moratorium izin HPH, pendirian Dewan

Nasional Perubahan Iklim, dan penerbitan kompilasi rencana aksi nasional pengurangan

GRK menunjukkan komitmen beliau.

Namun, kabut asap yang sedang melanda Riau adalah pertanda dari perusakan hutan

(deforestation) Indonesia yang sangat tinggi (20.000 kilometer persegi pada 2012) yang

sudah melebihi Brasil.

Mobil listrik nasional yang didukung Dahlan Iskan belum diproduksi massal, padahal

potensinya sangat besar untuk menghemat konsumsi BBM. Panas bumi yang juga besar

potensinya baru disahkan undang-undangnya pada akhir masa jabatan SBY sehingga

peningkatan porsi energi nonfosil belum banyak terwujudkan.

Kepemimpinan SBY telah memberikan banyak hasil nyata dan membuka banyak pintu

62

kesempatan. Adalah tantangan bagi Jokowi untuk mewujudkan berbagai kesempatan dan

potensi tersebut menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat pada

masa kepemimpinannya.

BERLY MARTAWARDAYA

Ekonom dan Dosen di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI

63

Era Baru BUMN Kepelabuhanan: Size is Matter (2)

Koran SINDO

23 Oktober 2014

Sampai kolom ini saya tulis pada Rabu (22/10) malam, kita semua masih menunggu

pengumuman kabinet oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rencananya, Presiden Jokowi

akan mengumumkannya di Dermaga 3, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, sampai

saya tulis, pengumuman tampaknya urung dilakukan.

Baiklah, meski Anda menunggu nama-nama itu, pokok tulisan saya bukan ke sana,

melainkan mengapa Jokowi memilih tempat itu. Pilihan pelabuhan berkali-kali tentu

memberikan pesan penting bagi kita. Saya kira, ini sama pentingnya dengan yang dilakukan

Jokowi-JK ketika menyatakan deklarasinya saat mereka dinyatakan sebagai pemenang

Pilpres 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketika itu Jokowi-JK menyatakan

deklarasinya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia.

Pemilihan pelabuhan sebagai lokasi pengumuman seakan menegaskan kembali tekad

pemerintahan Jokowi- JK untuk mengalihkan orientasi pembangunannya dari darat ke laut.

Ini bukan perkara mudah. Mengalihkan orientasi juga memaksa kita untuk mengubah mindset

dari darat ke laut.

Lalu, dari mindset itu kita harus menerjemahkannya menjadi kebijakan dan keberpihakan

yang baru. Belum cukup sampai di situ. Kita juga masih harus menerjemahkannya dengan

perilaku dan cara-cara kerja yang baru. Ini harus kita lakukan secara terus-menerus sampai

akhirnya menjadi kebiasaan dan pada gilirannya berubah menjadi budaya.

Kita tidak hendak mematikan perhatian dari daratan dengan budaya agrarisnya. Bukan itu,

melainkan kita ingin memberikan perhatian yang lebih pada lautan kita yang selama ini boleh

dibilang terabaikan. Kita ingin membangun dan mengembangkan budaya baru. Budaya

maritim.

Membangun Pelabuhan

Mengembangkan budaya baru, budaya maritim tadi, menuntut kesiapan kita. Banyak hal

yang mesti dipersiapkan. Di antaranya tentu pelabuhan-pelabuhan lautnya. Bicara dari sisi

ini, saya kira kita harus berbangga. Sebab selama beberapa tahun belakangan, pelabuhan-

pelabuhan kita menunjukkan perbaikan kinerja yang signifikan. Padahal dulu ia menjadi

sumber masalah yang mengakibatkan jalan darat menjadi tumpuan utama, logistic cost kita

paling tinggi di kawasan, dan akibatnya daya saing perekonomian terganggu.

64

Nah bagaimana geliat keempat BUMN pelabuhan kita? Sudah pasti geliat terbesar ada di

Jawa, khususnya Jakarta dan Surabaya. Tapi biar adil kita tengok juga bagaimana geliat di

ujung barat (Belawan) dan di timur (Makassar).

Di barat, Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) belum lama ini direktur utamanya, Bambang Eka

Cahyana, menandatangani MoU dengan Port of Rotterdam Authority untuk pengembangan

pelayanan dan pengelolaan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara. Bambang rupanya

ingin menjadikan Kuala Tanjung sebagai hub port untuk wilayah Indonesia bagian barat. Ini

saya kira sangat nyambung dengan gagasan tol lautnya Presiden Jokowi.

Lompatan luar biasa juga dilakukan Pelindo II yang kini lebih dikenal dengan nama PT

Indonesia Port Company (IPC). BUMN ini bukan hanya melebarkan usahanya sampai ke

Sorong di Papua, melainkan juga memikirkan kesatuan Nusantara sebagai jalur logistik

strategis. Mereka ingin membangun pelabuhan di sana dengan investasi mungkin bisa

mencapai sekitar Rp2 triliun. Dan pendulum Nusantara tak bisa ditawar lagi.

Saya kira langkah panjang RJ Lino sebagai direktur utama IPC, tak lepas visinya yang jauh

ke depan, yang melihat betapa strategisnya posisi Indonesia. Jika dulu kegiatan ekonomi

berpusat di poros Atlantik, kini sudah bergeser ke selatan, ke poros Asia-Pasifik. Saat ini

sekitar 75% perdagangan dunia berada di kawasan Asia-Pasifik. Lalu, dari seluruh barang

yang diperdagangkan di kawasan Asia-Pasifik, sebanyak 75% diangkut dengan kapal-kapal

laut.

Dalam konteks itulah Indonesia menempati posisi yang strategis. Letak kita boleh dibilang

berada di tengah-tengah poros Asia-Pasifik. Kapal-kapal yang berlayar dari utara ke selatan

dan sebaliknya selalu melintasi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan kawasan

perairan Indonesia lainnya. Kapal-kapal itu mengangkut barang senilai USD1.500 triliun per

tahun. Kalau saja kita berhasil memetik sebagian saja dari lalu lintas perdagangan di poros

Atlantik tersebut, tentu banyak manfaat yang bisa kita petik.

Namun, untuk bisa mengambil manfaat, kita tentu harus berbenah. Pelabuhan pelabuhan kita

mesti diperbaiki. Untuk itulah RJ Lino membangun pelabuhan di Sorong dan

mengembangkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan membangun New Priok, termasuk

terminal peti kemas di Kalibaru.

Bergerak ke timur lagi, kita akan bertemu dengan Pelindo III. Saya punya catatan khusus

tentang BUMN ini. Awal Oktober lalu, Pelindo III sukses besar saat menawarkan obligasi

internasional (global bond) senilai USD500 juta. Kalau kita konversi dengan kurs saat ini,

nilainya sekitar Rp6 triliun. Saya turut dimintai pandangan untuk meratakan jalan perubahan

dan saya kira dengan global bond itu sudah pasti mindset kita semua harus berubah.

Saya kira ada sinyal penting dari keberhasilan Pelindo III dalam menjual global bond-nya.

Adanya kelebihan permintaan (oversubscribed) yang sampai 13 kali mengindikasikan bukan

saja investor percaya terhadap bisnis infrastruktur, terutama pelabuhan, melainkan juga

65

mereka melihat bahwa industri maritim adalah masa depan Indonesia. Ini, saya kira, adalah

sinyal penting yang harus segera kita tangkap.

Semakin ke timur, di sana kita akan bertemu dengan Pelindo IV. Saya kira BUMN ini sudah

memainkan peranan yang sangat penting sebagai motor pembangunan di kawasan timur

Indonesia. Pelindo IV belakangan ini sangat intensif membenahi pelabuhan-pelabuhannya.

Mereka tengah membangun fondasi untuk tiang pancang crane multiguna di Manokwari dan

Gorontalo.

Sinergi & Koordinasi

Dari potret-potret itu, kita bisa melihat betapa pelabuhan-pelabuhan kita tak pernah berhenti

memperbaiki diri dan meningkatkan kapasitasnya. Saya kira kita layak berbangga

karenanya—meski saya juga mencatat masih banyak hal yang sebenarnya bisa mereka

lakukan untuk meningkatkan kinerjanya. Di antaranya soal sinergi.

Bangsa kita memang mempunyai masalah besar jika sudah bicara soal sinergi. Bukan karena

kita tidak ingin bersinergi. Bukan itu. Sinergi hanya terjadi bila ada koordinasi. Nah di negara

kita, koordinasi adalah ”barang” yang sangat mahal harganya sehingga kerap kali tak

”terbeli”.

Tapi, sekarang ini saya berani mengatakan bahwa kita memiliki konduktor yang hebat. Dia

adalah Jokowi dan JK. Di tangannya, saya kira, koordinasi tak akan lagi menjadi barang yang

mahal. Kini tinggal apakah kita mau menjadi pemain-pemain orkestra yang tunduk pada

arahan sang konduktor. Melihat leadership keduanya, saya berkeyakinan kepelabuhan kita

pasti akan disinergikan, entah disatupadukan (merger) atau disatubangunankan (dalam sebuah

holding).

Bagi BUMN pelabuhan, saya kira, arahnya sangat jelas. Pada kesempatan lalu, saya menulis

bahwa dalam era persaingan global, size is matter. Ukuran memainkan peran penting.

Pelabuhan-pelabuhan kita tentu akan sulit bersaing di kancah global jika terlalu sibuk

”bermain” sendiri-sendiri.

Mereka, saya kira, akan lebih disatupadukan. Formatnya saya kira bisa dirundingkan. Buat

saya, kuncinya adalah segenap kaki dan tangan bergerak hanya dengan perintah dari satu

kepala. Bukan kaki yang satu melangkah maju, satunya mundur. Atau, tangan kanan bergerak

ke kanan, tangan kiri bergerak ke kiri sehingga keduanya tidak bertemu dalam satu tepukan

tangan.

Mengingat pentingnya logistik nasional dan gerak cepat kedua pemimpin kita dalam

penanganan BUMN ini, saya akan bahas lagi minggu depan. Sinergi ini akan sarat dengan

masalah manajerial, khususnya strategic management yang sering kita abaikan dalam

pembangunan.

66

Apa yang selama ini dilakukan Pelindo I, III, dan IV serta IPC menunjukkan betapa mereka

sungguh serius membangun Indonesia. Lantas sinyal apa yang dikirim para pemimpin harus

dibaca sebagai awal perubahan yang besar bagi Indonesia. Kini saatnya kita menguji bukan

hanya keseriusan, tetapi juga ketulusan dalam membangun negeri dan kata kuncinya adalah

adaptasi, perubahan! Ia memusingkan, tetapi tanpanya tak akan ada kemajuan.

PROF RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

67

Geopolitik Pangan dan Jokowi-JK Koran SINDO

23 Oktober 2014

Bumi kini dihuni lebih tujuh miliar kepala. Tiap malam ada 219.000 perut baru yang minta

diisi makanan. Dunia terasa makin sesak. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan

dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun. Di sisi lain, luas lahan

pertanian kian sempit, degradasi lingkungan meluas, ketersediaan air makin terbatas, dan

emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat anomali iklim dan cuaca sulit diramal.

Kelaparan makin sulit dilenyapkan dari muka bumi. Setiap malam satu dari delapan

penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Satu di antara empat anak di negara

berkembang menderita kurang gizi. Mereka yang lapar hampir semiliar jiwa.

Mereka lapar bukan karena tak ada makanan. Produksi pangan saat ini cukup buat menyuapi

1,5 kali warga Bumi. Praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar

jiwa (Foodfirst, 2011 ), jumlah populasi Bumi pada 2050. Pelbagai inovasi pertanian telah

menepis pesimisme kaum Malthusian. Masalahnya, pangan yang melimpah tidak mengalir

pada yang memerlukan, tapi (hanya) menuju yang berduit. Postulat peraih Nobel Ekonomi

1998 Amartya Sen berlaku: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan.

Pertumbuhan ekonomi tinggi bukan obat mujarab menghapus kelaparan.

Globalisasi mengubah model pertanian, terutama di negara berkembang, secara radikal: dari

terdiversifikasi dalam skala kecil jadi model ekspor-industrial yang dihela korporasi global,

seperti Monsanto, Cargill, Syngenta, dan ADM. Dengan sistem rantai pangan (agrifood

chain), kini multinational corporation (MNC) mengontrol rantai pangan, dari gen sampai

rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005). Perubahan ini diikuti

tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa

menjamin ketahanan pangan warga.

Sektor pangan dari produksi hingga ritel kian terkonsentrasi. Menurut South Center (2005),

85-90% perdagangan pangan dunia dikontrol hanya 5 MNC; 75% perdagangan serealia

dikuasai 2 MNC; 2 MNC menguasai 50% perdagangan + produksi pisang; 3 MNC

menguasai 83% perdagangan kakao; 3 MNC menguasai 85% perdagangan teh; 5 MNC

menguasai 70% produksi tembakau; 7 MNC menguasai 83% produksi dan perdagangan gula;

4 MNC menguasai 2/3 pasar pestisida, 1/4 bibit (termasuk paten) dan menguasai 100% pasar

global bibit transgenik. MNC mengontrol harga input pertanian, mempraktikkan perjanjian

jual-beli yang tidak fair, membentuk pasar kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan

membeli hasil petani dengan harga murah.

68

Konsekuensi arsitektur pangan seperti ini, pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis

pangan 2008 dan 2011 jadi bukti: harga bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan

berulang. Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik. Krisis

pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di

Kamerun dan pemerintahan Haiti jatuh. Krisis pangan 2011 menciptakan revolusi politik di

jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, dan Khadafi di Libya jatuh

karena negara-negara ini menggantungkan 90% pangan dari impor.

Krisis pangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi dan krisis BBM, membuat dunia

rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi oleh pangan.

Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul

geopolitik global. Kondisi ini memaksa setiap negara merancang politik pangan, pertama-

tama, untuk kepentingan domestik. Saat krisis, kampiun pangan seperti Rusia, Argentina,

Thailand, dan Vietnam beramai-ramai menutup ekspor yang biasanya diikuti panic buying.

Sebagai importir pangan yang besar, tahun 2013 mencapai USD14,4 miliar, nasib Indonesia

sejatinya tak lebih baik dari negara-negara jazirah Arab.

Negara-negara importir pangan dan yang terbatas sumber daya lahan dan air namun

berlimpah dana menciptakan instrumen pengambilalihan lahan pertanian bernama land

grabbing. Tak hanya negara Teluk, Timur Tengah, Jepang dan China; Uni Eropa dan

Amerika Utara juga melakukannya. Sasarannya tidak hanya negara berlahan subur seperti

Brasil, Rusia dan Indonesia, tapi juga negara pertanian miskin seperti Kamerun dan

Ethiopia.

Presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK, sepertinya paham betul kondisi itu. Keduanya

bertekad akan membawa Indonesia kembali berdaulat di bidang pangan. Untuk mencapai itu,

dalam visi, misi dan program aksi Jokowi-JK menguraikan sejumlah langkah: membagikan 9

juta hektar (ha) lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha jadi 2 ha, perbaikan

irigasi di 3 juta ha lahan dan 25 bendungan hingga 2019, 1.000 desa berdaulat benih dan go

organic hingga 2019, mencetak 1 juta ha lahan baru di luar Jawa, mendirikan bank pertanian

dan UMKM, dan mendorong industri pengolahan.

Langkah ini tidak cukup membuat Indonesia (kembali) berdaulat pangan. Agar berdaulat

pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani berdaulat bila

memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin

tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air,

benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses

dan kontrol sumber daya produksi kedaulatan hanya omong kosong.

Kedua, sumber daya penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka

pangan sesuai keragaman hayati dan kearifan lokal. Peningkatan produksi, produktivitas dan

efisiensi usaha tani dan tata niaga tak bisa ditawar-tawar. Kebijakan ini harus ditopang

perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem informasi harga, pasar

dan teknologi. Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan per

69

kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 m2 untuk sawah, jauh dari Vietnam (960 m2),

Thailand (5.226 m2), apalagi China (1.120 m2).

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup

sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian, baik

pasar domestik maupun dunia, merupakan struktur pasar yang adil. Aneka perjanjian

perdagangan bebas yang memasung petani harus direvisi. Dalam konteks lingkungan alam,

petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam.

Keempat, membentuk kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan

Nomor 18/2012. Rencana Jokowi-JK membentuk Kementerian (Kedaulatan) Pangan patut

diapresiasi. Agar portofolio Kementerian Pertanian tidak berkurang, sebaiknya urusan pangan

diserahkan ke kementerian ini. Namanya bisa saja menjadi Kementerian Pangan dan

Pertanian. Tugas pokoknya adalah membantu presiden untuk merumuskan kebijakan,

mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Kementerian Pangan fokus pada

perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi regulasi dari hulu ke hilir.

KHUDORI

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik

Indonesia (AEPI), Penulis Buku “Ironi Negeri Beras“

70

Tabungan Pendidikan

Koran SINDO

26 Oktober 2014

Tak ada yang meragukan pentingnya memberikan pendidikan berkualitas untuk anak-anak

kita. Inilah tanggung jawab utama orang tua zaman modern.

Jika dua dekade lalu belum ada sekolah nasional plus apalagi sekolah internasional untuk

umum, kini sekolah-sekolah ini hadir di kota-kota besar. Beberapa sekolah bahkan

mengenakan biaya pendidikan tahunan hingga ratusan juta rupiah atau belasan ribu dolar

Amerika. Saya pun harus merogoh tidak kurang dari USD5.000 plus Rp60 juta setiap awal

tahun ajaran untuk putri saya yang belajar di sebuah sekolah internasional favorit di Jakarta.

Biaya sebesar itu belum termasuk uang ekstrakurikuler, biaya outing atau berkemah di luar

kota, baik yang wajib maupun yang opsional, yang jika ditotal angkanya mencapai belasan

hingga puluhan juta sendiri.

Menghadapi kewajiban berbiaya besar ini, para orang tua mempunyai beberapa alternatif.

Mereka yang tidak memahami atau tidak suka hitung-hitungan sangat wajar mengandalkan

produk-produk keuangan yang marak ditawarkan perbankan dan asuransi dengan embel-

embel pendidikan. Hampir setiap bank mempunyai produk tabungan pendidikan, sedangkan

salah satu produk utama perusahaan asuransi adalah asuransi pendidikan.

Sejatinya, Anda memerlukan matematika keuangan untuk dapat menilai dengan cerdas

produk-produk ini. Pemahaman tentang yield, anuitas, dan nilai akan datang mutlak

dibutuhkan untuk tujuan ini.

Yield Kuncinya

Dalam hal menilai tabungan pendidikan, misalnya, kita utamanya perlu menghitung yield

atau return efektif yang diberikan. Yield ini kemudian kita bandingkan dengan alternatif lain

yang tersedia atau dengan yield yang dapat kita peroleh jika melakukan sendiri akumulasi

dana pendidikan ini.

Dalam keadaan apa pun, yield harus lebih besar daripada inflasi yang terjadi. Menerima yield

yang lebih rendah daripada tingkat inflasi berarti penurunan daya beli dana yang Anda

setorkan itu.

Perbedaan yield 3% setahun dalam jangka pendek 1-2 tahun, tidak begitu terasa. Tidak

71

demikian pengaruhnya dalam jangka panjang. Uang sebesar Rp1 juta setiap bulan akan

menjadi Rp86,4 juta dalam enam tahun dengan yield 6% p.a. atau 0,5% per bulan tetapi akan

menjadi Rp95 juta jika yield 9% p.a. atau 0,75% per bulan.

Untuk mempunyai dana sebesar Rp1 miliar dalam 10 tahun ke depan, kita hanya memerlukan

setoran bulanan Rp5,17 juta jika dapat memperoleh yield 9% p.a. Namun, angkanya

membengkak menjadi Rp6,1 juta jika yield 6% p.a. Sayangnya, hampir tidak ada tabungan

pendidikan yang memberikan yield bersih 6% p.a., apalagi sampai 9% p.a. Ini baru soal yield.

Hal yang juga penting untuk dipertimbangkan adalah soal besarnya dana yang diperlukan.

Mengasumsikan biaya pendidikan akan meningkat linier dengan tingkat inflasi adalah kurang

tepat. Menyadari kurva permintaan atas pendidikan bermutu bersifat inelastis, sama seperti

permintaan akan transportasi, BBM, dan kebutuhan pokok lain, para penyelenggara

pendidikan bermutu tidak ragu untuk menaikkan harga jasanya jauh di atas inflasi.

Sebagai ilustrasi, biaya kuliah di Universitas Indonesia (UI) sekitar seperempat abad lalu

hanya Rp54.000 per semester dan tidak ada dana lain. Bandingkan biaya serendah ini dengan

biaya operasional pendidikan semesteran di UI saat ini, yang mulai diberlakukan sejak 2008

lalu, yaitu Rp5 juta untuk fakultas sosial dan Rp7,5 juta untuk fakultas eksakta atau rata-rata

Rp6,25 juta. Artinya, telah terjadi kenaikan 116 kali selama 25 tahun atau rata-rata sebesar

21% per tahun. Belum lagi jika ada dana pembangunan atau uang pangkal yang harus

dibayarkan.

Berdasarkan kenyataan ini, jika inflasi tahunan di masa mendatang diperkirakan 6%,

realistisnya asumsi kenaikan biaya pendidikan adalah sekitar 10%. Jika biaya masuk sekolah

SMP favorit bermutu saat ini Rp20 juta, lima tahun ke depan kebutuhan untuk itu

diproyeksikan menjadi sekitar Rp32 juta. Jika dana menjadi mahasiswa universitas favorit

saat ini Rp30 juta, 10 tahun nanti sangat mungkin angkanya menembus Rp77,8 juta.

Mengambil tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan yang menjanjikan dana sebesar

Rp25 juta untuk masuk SMP 5 tahun lagi atau Rp60 juta untuk bergabung dengan perguruan

tinggi prestisius 10 tahun lagi adalah tidak tepat.

Untuk asuransi pendidikan, hitungannya agak sedikit repot. Kita harus dapat memisahkan

komponen biaya asuransi dan nilai investasi dari setoran periodik. Jika Anda merasa asuransi

memang dibutuhkan dan biaya asuransi yang dikenakan juga wajar, Anda tinggal menilai

komponen investasi dengan langkah-langkah di atas.

Perencanaan Mandiri

Menyadari rendahnya yield hampir seluruh tabungan dan asuransi pendidikan yang ada, saya

menyarankan Anda melakukan sendiri akumulasi dana pendidikan ini. Semua produk

keuangan yang ditawarkan juga mempunyai kelemahan, yaitu mengasumsikan memulainya

dari nol. Padahal, sangat mungkin Anda mempunyai dana cukup besar saat berencana

sehingga besar setoran bulanan pun berubah.

72

Kelebihan lain perencanaan mandiri adalah Anda fleksibel untuk menyesuaikan kekurangan

dana yang harus ditambah untuk mencapai target Anda. Untuk itu semua, Anda memerlukan

pengetahuan matematika keuangan.

Menjadi berapa akumulasi dana periodik Anda atau berapa yield yang harus diperoleh untuk

mencapai tujuan Anda dapat dengan mudah dijawab dalam hitungan detik dengan

matematika keuangan.

Tips dari saya, jika Anda berkepentingan dengan pertumbuhan kekayaan dan pemenuhan

tujuan keuangan Anda, jangan ragu untuk mempelajari matematika keuangan. Ilmu

perencana keuangan itu sepertiga sampai setengah isinya adalah mengenai matematika

keuangan. Ilmu lainnya yang juga diperlukan adalah pemahaman produk keuangan dan

investasi yang ada (expected return dan risikonya), asuransi, dan waris.

BUDI FRENSIDY

Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan

www.fund-and-fun.com

@BudiFrensidy

73

Jomblo Lifestyle

Koran SINDO

26 Oktober 2014

Jomblo di masa lalu adalah sebuah aib memalukan. Namun, sekarang, ia menjadi sebuah

simbol sosial yang keren, cool, awesome. Saya enggak tahu kenapa bisa demikian. Mungkin

ini yang disebut zaman edan. Semua serba kebolak-balik.

Ketika sebuah bangsa makin maju, ketika masyarakatnya makin makmur, dan ketika pola

kehidupannya kian industrial-urban, kecenderungan mereka untuk tidak menikah menjadi

kian besar. Di negara tetangga Singapura misalnya, satu dari lima warga negaranya ogah

menikah dengan alasan macam-macam: mengejar karier, menghindari beban ekonomi yang

berat, enggak mau repot hingga alasan lifestyle. Seperti Singapura, di negeri ini jumlah

jombloers pun kian merangkak naik.

Lifestyle

Bakal maraknya jombloers di Indonesia tak lepas dari revolusi kelas menengah yang memicu

mobilitas sosial masif selama sekitar lima tahun terakhir. Saya sering mengatakan masyarakat

kelas menengah memiliki tiga ciri. Mereka memiliki daya beli yang makin tinggi,

knowledgeable, dan socially-connected. Mobilitas sosial ini menciptakan pergeseran gaya

hidup dari rural-agraris-tradisionalis menjadi urban-industrialis-modern.

Data BPS tahun 2010 mengatakan, usia kawin pertama (UKP) masyarakat kita adalah 22,3

tahun untuk wanita dan 25,7 untuk laki-laki. Coba bandingkan dengan UKP orang tua kita

dahulu yang rata-rata sudah menikah di bawah usia 20 tahun. Tak bisa dimungkiri,

merangkak naiknya UKP ini adalah buah dari pendidikan dan kenaikan knowledgeability

mereka.

Yang saya amati, naiknya sikap menunda perkawinan dan men-jomblo kini tak hanya

dipengaruhi faktor rasional (faktor ekonomi, umur, karier, kesiapan mental) berkat naiknya

knowledgeability mereka. Sikap men-jomblo ini kini juga mulai dipengaruhi faktor koneksi

sosial (social connetion) di mana “siapa kita” di mata kolega, teman, komunitas, dan

lingkungan kita menjadi demikian penting.

Masyarakat kelas menengah kita makin socially-connected yang didorong pertumbuhan

media sosial di mana eksis, narsis, ekspresi diri, dan pencitraan menjadi sesuatu yang penting

dan bermakna. Ketika mereka semakin socially-connected, fenomena men-jomblo memasuki

74

babakan baru di mana alasan men-jomblo tak lagi sebatas rasional-fungsional, tapi mulai

memasuki ranah emosional-sosial. Men-jomblo adalah sebuah pernyataan dan penanda

identitas diri. Bahkan sikap men-jomblo menjadi alat ekspresi diri dan pencitraan. Hasilnya,

kini men-jomblo bermetamorfosis menjadi sebuah gaya hidup (lifestyle) yang keren, cool,

dan awesome.

Hot Topic

Kalau dulu obrolan mengenai jomblo merupakan aib bagi empunya, kini sebaliknya menjadi

topik pembicaraan yang begitu atraktif. Di media sosial kini banyak kita temui ekspresi

kreatif dalam bentuk meme mengenai jomblo. Meskipun ceritanya satire, isu jomblo menjadi

cerita unik yang hangat diperbincangkan di ranah maya. Bahkan ada beberapa blog yang

secara serius menggarap isu jomblo.

Saking hot-nya, terkadang status jomblo menjadi sasaran empuk di lini masa sebagai objek

sindiran dan satire yang justru mengasyikkan. Hal atau momen apa pun kerap dikait-kaitkan

dengan jomblo. Contohnya saat 17 Agustus lalu, para netizen sibuk buat meme di media

sosial mengenai lomba 17 Agustusan yang paling cocok untuk jomblo. Saking menariknya,

meme ini sempat jadi trending topic di media sosial. Inilah fenomena isu tentang jomblo,

sangat menarik banyak orang.

Dalam beberapa tahun terakhir, kata “galau” dan “galauers” yang bisa menggambarkan

pergumulan batin seorang jomblo menjadi sebuah magic word yang diminati untuk

diperbincangkan. Beberapa situs secara cukup serius mengangkat isu seputar jomblo dan

membangun komunitas jombloers. Situs ini mencoba membangun identitas, kepercayaan

diri, dan kebanggaan di kalangan anggotanya. Jomblo.com misalnya menebarkan ungkapan

motivatif di front page-nya dengan kata-kata seperti: “Jadikan hidupmu lebih positif,

terhubung selalu dengan temanmu, dan buat hidupmu lebih berwarna.”

Biro Jodoh Laris Manis

Dari sisi industri, saya melihat industri yang menyasar segmen jomblo secara khusus sedang

booming di Tanah Air. Contohnya adalah bisnis biro jodoh atau mak comblang (matchmaker)

dan konsultasi kepribadian untuk soal cinta. Fenomena banyaknya biro jodoh ini baru terjadi

sekitar lima tahun terakhir. Ketika ekonomi sudah mapan, daya beli meningkat, tapi

kesempatan dan keahlian menggaet calon pasangan hidup tak memadai, kelas menengah pun

butuh biro jodoh. Coba kita tengok bagaimana banyaknya kantor biro jodoh profesional di

Jakarta dan situs biro jodoh online.

Bisnis biro jodoh ini tumbuh luar biasa seiring besarnya pula populasi jomblo di negeri ini.

Kini mulai banyak orang yang memiliki lisensi matchmaker dari Amerika Serikat atau Eropa.

Hitman System misalnya adalah sebuah perusahaan relationship coach untuk percintaan.

Hampir setiap bulan, Hitman System kerap membuat event seminar atau workshop untuk para

jomblo. Saking hot-nya industri perjombloan, artis Christian Sugiono yang dikenal memiliki

75

situs www.malesbanget.com pun kini membuka layanan biro jodoh online www.setipe.com.

Saking hot-nya bisnis perjombloan ini, beberapa biro jodoh membuka layanan biro jodoh

untuk segmen muslim. Mereka mempertemukan pasangan sesama muslim. Contohnya adalah

biro jodoh online www.syifa.com dan www.jodohislam.net. Selama ini, masyarakat muslim

yang taat terhadap ajaran agamanya akan cenderung memilih pasangan hidupnya yang sama.

Ini adalah niche market sehingga model platform mencari pasangannya pun berbeda.

Seiring maraknya populasi jombloers di Indonesia, pasar jomblo akan kian moncer. Yuk

marketer! Action now, or never ... bergerak sekarang juga atau Anda enggak akan dapat apa-

apa. (Ditulis bersama Iryan Herdiansyah, Business Analyst Inventure).

YUSWOHADY

Managing Partner Inventure

@yuswohady

76

Peran Regulator dan Mekanisme Pasar Koran SINDO

27 Oktober 2014

Nobel Ekonomi 2014 diberikan kepada Jean Tirole, ekonom Prancis dari Toulouse School of

Economics. The Royal Swedish Academy of Science menganugerahkan Nobel kepada Jean

Tirole atas kontribusi studi-studinya sejak 1980 mengenai dinamika kompetisi di pasar,

market power, regulasi pasar, dan peran regulator.

Dalam rangkaian studi yang dilakukan Tirole, dinamika persaingan pasar yang ditentukan

struktur pasar di tiap industri akan sangat menentukan model kebijakan yang diperlukan

pemerintah.

Dominasi pasar dalam dinamika persaingan (imperfectly competition) yang kerap mendistorsi

pasar (pengaturan harga, penguasaan sumber daya, dan sebagainya) dipandang perlu

mendapatkan perhatian serius bagi regulator dalam mendesain model intervensi yang

dibutuhkan. Studi Tirole memaparkan bagaimana peran pemerintah dalam mengambil

kebijakan industri, khususnya pada pasar-pasar monopoli dan oligopoli.

Model yang dihasilkan dalam rangkaian studi Tirole dipandang sangat berguna bagi para

pengambil kebijakan dan industri. Regulasi yang optimal dalam kebijakan persaingan di

pasar, khususnya bagi pasar monopoli dan oligopoli, akan sangat membantu regulator

(pemerintah) untuk menyeimbangkan public-private interest. Dengan menggunakan kerangka

industrial organization (IO), principal-agent theory, dan game theory; Tirole mendesain

model optimal yang dapat dilakukan regulator untuk menekan terdistorsinya pasar akibat

struktur pasar yang dominan. Dengan model matematis yang dihasilkan Tirole, regulator atau

pemerintah akan lebih mudah mengatur industri- industri yang memiliki struktur persaingan

yang tidak sempurna.

Dalam studi Tirole, persaingan tidak sempurna dapat dikelola dengan baik melalui desain

kebijakan yang tepat. Artinya industri- industri dengan struktur persaingan tidak sempurna

membutuhkan intervensi kebijakan yang tepat untuk menghasilkan output yang lebih optimal.

Secara umum dalam pasar persaingan tidak sempurna, pemerintah sering melakukan

pembatasan harga bagi industri-industri tertentu. Di sisi lain, pelaku industri kerap

menempuh skema kerja sama dalam pengaturan harga (kartel). Kedua realitas ini menurut

Tirole tidak hanya dapat mendistorsi pasar (keuntungan berlebihan) dan merugikan

konsumen, tetapi juga dapat lebih kompleks, yaitu industri tersebut terbatasi untuk

melakukan inovasi, minim insentif untuk produksi, dan mekanisme reinvestasi sulit tercapai.

Kompleksitas ini pula yang dipandang Tirole membuat pemerintah perlu lebih berhati-hati

77

dalam menempuh kebijakan, khususnya bagi pasar-pasar dengan struktur monopoli atau

oligopoli.

Pasar persaingan tidak sempurna dalam kacamata Tirole perlu dikelola dengan baik oleh

pengambil kebijakan atau pemerintah. Intervensi pemerintah melalui model kebijakan yang

tepat dalam struktur pasar persaingan tidak sempurna dapat menghadirkan manfaat yang

besar tidak hanya bagi industri tersebut, tetapi lebih luas bagi perekonomian suatu negara.

Pengelolaan kebijakan industri yang dipaparkan Tirole memberi angin segar bagi para

pengambil kebijakan untuk dapat lebih kreatif dalam merumuskan kebijakan yang diambil.

Misalnya mendorong kerja sama paten bagi perusahaan-perusahaan pada pasar oligopoli

diyakini Tirole akan menciptakan keuntungan besar tidak hanya bagi perusahaan atau

industri, tetapi juga konsumen dan rantai produksi lainnya. Atau bagaimana Tirole mendesain

mekanisme dalam mengatur industri dengan segelintir perusahaan, mengelola kebijakan bagi

industri dengan struktur monopoli, dan sebagainya.

Pesan dari studi Tirole yang dipandang sebagai langkah revolusioner dalam mengembangkan

kebijakan-kebijakan ekonomi, khususnya terkait dengan market power dan industri, adalah

bahwa struktur pasar pada tiap industri memerlukan pengelolaan kebijakan yang optimal.

Struktur pasar persaingan yang tidak sempurna dapat menghadirkan output ekonomi yang

optimal jika dikelola dengan tepat.

Bagi Indonesia, hasil studi Tirole sangat relevan dan bermanfaat bagi pengelolaan kebijakan

industri nasional. Beberapa industri nasional memiliki karakteristik pasar persaingan tidak

sempurna (oligopoli) dengan konsentrasi market power pada segelintir perusahaan. Indonesia

juga masih memiliki industri dengan struktur monopoli khususnya bagi barang-barang

strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Tentunya peran negara menjadi

sangat relevan dalam mengelola industri-industri seperti ini.

Pengambilan kebijakan ekonomi dalam mengelola industri-industri seperti ini membutuhkan

regulasi yang tepat dan optimal. Regulasi yang optimal hanya dapat dihasilkan oleh regulator

yang berkualitas sehingga mampu mendorong pertumbuhan industr i dan kemajuan ekonomi

nasional sekaligus.

Seiring dengan berkembangnya industrialisasi di Indonesia, besar kemungkinan tercipta

ketidakseimbangan pertumbuhan para pelaku industri. Perusahaan yang memiliki sumber

daya besar cenderung akan semakin besar dan mendominasi pasar. Pada saat bersamaan para

pelaku industri berskala menengah dan kecil akan semakin terpinggirkan, kalau tidak

diakuisisi oleh perusahaan besar, tanpa adanya kebijakan yang berpihak kepada mereka.

Namun justru di sinilah yang menjadi persoalan di mana regulator, pemerintah, di sisi lain

harus terus menciptakan regulasi agar perusahaan besar terus berkembang tanpa

membahayakan eksistensi perusahaan menengah dan kecil.

Apabila hal itu dapat dilakukan, kebijakan ekonomi dan industri bukanlah pilihan dan saling

meniadakan antara keberpihakan terhadap yang besar atau menengah-kecil. Kedua-duanya

78

dapat tumbuh dan terus berkembang. Kebijakan yang tepat bagi pengelolaan industri- industri

dengan pasar persaingan tidak sempurna tidak hanya memberi manfaat ekonomi bagi negara,

tetapi juga memperluas keadilan ekonomi bagi pelaku usaha (khususnya yang kecil) dan

konsumen.

Negara berkewajiban untuk memastikan berjalannya kebijakan industri yang tepat untuk

menjaga dampak negatif dari perilaku persaingan tidak sempurna. Negara perlu menjaga

kestabilan pembangunan industri dengan terus mendorong perusahaan-perusahaan besar

tanpa menegasikan perusahaan-perusahaan kecil baik dalam kapasitas pesaing maupun yang

berada dalam rantai produksi industri tersebut. Kekuatan dan daya tawar tiap perusahaan

membutuhkan sentuhan intervensi negara agar posisi imperfectly competition ini dapat

menghasilkan keseimbangan yang optimal.

Dengan inovasi kebijakan industri yang dipaparkan Tirole, sangatlah jelas pengelolaan

kebijakan ekonomi industri khususnya pada pasar dengan struktur persaingan tidak sempurna

bukanlah trade-off antara pemain besar versus kecil, tetapi lebih pada bagaimana

mengoptimalkan instrumen kebijakan sehingga seluruh pelaku ekonomi yang terlibat

memperoleh manfaat yang optimal.

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

79

Membaca Kabinet Blusukanomic Koran SINDO

27 Oktober 2014

Hampir sepekan publik disibukkan dengan nama-nama yang akan duduk dalam Kabinet

Kerja di bawah pemerintahan Jokowi-JK.

Setiap saat berubah nama, ada yang karena tersangkut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama sepekan praktis

Indonesia tanpa pemerintahan atau memang Indonesia masuk ekonomi autopilot— ekonomi

yang digerakkan oleh partisipasi masyarakat dan sektor konsumsi rumah tangga.

Berbagai spekulasi muncul sebelum penyusunan kabinet. Kendati dalam komunikasi politik

langkah Jokowi-JK dikesankan mencari menteri yang bersih korupsi; namun sebagian yakin

selain mencari figur yang bersih dari korupsi, juga ada tarik-menarik di dalam tubuh

lingkaran Jokowi-JK-Megawati selaku ketua umum PDIP atau pemegang saham terbesar

pemerintahan Jokowi-JK. Publik pun percaya mundurnya pengumuman kabinet tidak sesuai

janji Jokowi sebelumnya, tanggal 21 Oktober 2014, karena tarik ulur dan restu dari pemegang

saham mayoritas pemerintahan Jokowi-JK. Efeknya, pengumuman kabinet mundur dan

nama-nama yang terus berubah mengesankan saling tekan dan tarik-ulur.

Masyarakat juga mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi. Lihat saja ketika pelantikan

Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014, sepanjang jalan Sudirman-Thamrin menuju Istana penuh

dengan masyarakat yang antusias. Di daerah-daerah banyak warga melakukan pesta rakyat

penuh kemenangan, penuh harapan. Apalagi selama ini kita dengar dalam kampanye adalah

koalisi tanpa syarat dan koalisi tanpa bagi-bagi kursi. Koalisi JKW-JK berbeda dengan rezim

SBY yang terkesan bagi-bagi kursi.

Miskin Rekam Jejak

Apakah nama-nama yang menjadi menteri seperti diumumkan oleh Jokowi sudah sesuai

dengan ekspektasi masyarakat yang tinggi? Jika melihat nama-nama yang muncul sebenarnya

tidak banyak yang nyaring bunyinya. Tapi satu hal yang masih tetap ada, yaitu partisipasi

partai politik masih tetap besar. Perwakilan dari partai politik masih sekitar 35%, sisanya

profesional yang didukung partai politik.

Sekilas memang tidak bisa divonis tidak menjawab ekspektasi masyarakat yang tinggi.

Namun, dengan nama-nama yang asing dan masih harus membuat track record lebih dulu.

Bahkan, kalangan pemimpin redaksi atau media masih belum tahu rekam jejak para menteri

yang diumumkan. Selain memang ada beberapa yang cukup senior yang duduk, namun itu

80

lebih karena kedekatan dengan partai pemenang pemilu.

Secara umum, boleh jadi para menteri ini relatif bersih karena memang tidak pernah

melakukan transaksi mencurigakan. Atau karena memang benar-benar transaksinya tidak

pernah besar karena portofolionya memang kecil. Tidak pernah punya catatan korupsi karena

memang tidak pernah punya track record yang perlu ditelusuri oleh KPK, atau karena

memang tidak pernah duduk sebagai pejabat publik atau perusahaan negara.

Jujur, nama-nama menteri yang disebutkan Jokowi jarang beredar dan jarang disebut di

media. Bahkan, ketika dicari di Google pun tak banyak aktivitasnya. Para menteri yang

duduk di Kabinet Kerja ini tidak banyak diketahui rekam jejaknya. Jika toh dipilih karena

berdekatan dengan partai dan mewakili keterwakilan daerah, mulai dari Aceh sampai Papua.

Kabinet JKW-JK yang diumumkan 26 Oktober 2014 kemarin sekilas memang mewakili

daerah dan partai politik. Ada partai politik, ada daerah provinsi sehingga tidak mengesankan

dominasi Jawa dan Sumatera yang sebelumnya beredar nama-nama yang berbau Jawa dan

Sumatera yang diusulkan partai-partai. Ada juga yang berasal dari para profesional.

Boleh jadi pasar akan mendiskon kabinet JKW-JK, karena alasan kapasitas dan kompetensi

yang belum terbukti. Lebih tidak bunyi lagi adalah representasi dari partai yang sebenarnya

masih banyak orang partai yang lebih mumpuni. Bahkan, untuk pos-pos menteri yang cukup

strategis seperti menteri pariwisata, menteri perikanan dan menteri ketenagakerjaan tampak

terlihat background tidak relevan dengan tugasnya.

Hal itu memang belum terbukti, masih menunggu statement awaldari para menteri yang akan

duduk mengemudikan kementeriannya. Jelas pernyataan awal menjadi penting karena

menunjukkan visi dalam pengelolaan selama lima tahun ke depan. Namun, pasar sedikit

banyak akan mendiskon kabinet JKW-JK ini lebih rendah dari ekspektasi yang terlalu tinggi.

Blusukanomic dan Ancaman Krisis

Jika kita perhatikan, nama-nama menteri dari kalangan ekonomi relatif lebih bunyi

dibandingkan menteri-menteri lain. Ada nama-nama yang memang benar-benar mempunyai

track record yang baik, namun belum dibilang relatif cukup kuat sebagai sebuah tim.

Untuk menteri keuangan dan perdagangan dapat dikatakan punya rekam jejak yang baik dan

punya kompetensi tinggi. Nama Sofyan Djalil yang mewakili profesional dan Aceh tentunya

punya pengalaman yang baik selama lebih dari tiga tahun menjadi menteri BUMN dan

beberapa menjabat sebagai menteri ad interim kementerian bidang ekonomi. Di bawahnya,

ada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang selama ini sudah menjadi wakil Menteri

Keuangan RI yang benar-benar ahli fiskal dan sudah punya pengalaman dan kompetensi yang

baik. Juga, Menteri Perdagangan dan Menteri Perhubungan.

Namun, yang lebih banyak dibicarakan di kalangan ekonom adalah hadirnya sosok Menteri

81

Bappenas yang dinilai tidak punya cerita di bidang perencanaan pembangunan. Mudah-

mudahan Menteri Bappenas tidak perlu belajar lebih lama karena Jokowi selalu bicara kerja,

kerja, dan kerja.

Pekerjaan terbesar dalam bidang ekonomi saat ini adalah bagaimana agar ekonomi Indonesia

siap menghadapi guncangan dari pengaruh global. Satu-satunya negara yang cukup baik

pertumbuhannya adalah AS yang bisa saja menyeret Indonesia ke lembah krisis.

Menurut The Finance Research, lima tahun ke depan dan khususnya tahun depan adalah

likuiditas yang ketat, suku bunga yang lebih tinggi, nilai tukar yang bergejolak dan inflasi

yang relatif tinggi karena pemerintah harus menurunkan subsidi energi yang selama ini

menjadi beban berat anggaran. Tidak mudah menghadapi tantangan-tantangan itu.

Pemerintah juga segera membuat undang-undang jaring pengaman sektor keuangan (JPSK)

atau protokol krisis. Jika tidak, tentu tidak akan ada pejabat yang mau ambil keputusan untuk

menyelamatkan krisis, terutama menyelamatkan bank karena krisis.

Ekspektasi masyarakat memang tidak bisa dipenuhi oleh susunan kabinet yang baru

diumumkan. Kabinet Kerja, yang semula Kabinet Trisakti, lebih bisa disebut kabinet yang

relatif bersih karena sudah didiagnosis oleh KPK dan PPATK, namun bukan berarti bisa

langsung bekerja karena banyak menteri yang baru bikin rekam jejak di bidangnya dan tidak

sesuai latar belakang yang selama ini dilakukan.

Kabinet Kerja ini akan bekerja dengan Jokowi yang akan terus blusukan. Konsep ini bisa kita

sebut ”Blusukanomic”, sebuah ekonomi yang dibangun dengan persepsi langsung terjun ke

bawah dengan diperlihatkan kepada publik. Hal-hal yang tidak lazim dilakukan, seperti

keluar masuk pasar dan got-got dengan kesan yang lebih dekat dengan rakyat dan seolah-olah

bekerja.

Semoga blusukanomic ini tidak hanya berkesan menghibur rakyat karena selalu direkam dan

disiarkan media, sementara ekonomi Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan, salah

satunya defisit neraca pembayaran dan itu tidak mudah dihadapi pemerintah sekarang di

tengah ekspektasi yang tinggi. Apalagi, blusukanomic tidak membuat rakyat kenyang tapi

lebih banyak menghibur masyarakat yang selama ini butuh perubahan yang lebih baik.

Apalagi, sektor konsumsi yang diterjemahkan autopilot.

Ekspektasi yang tinggi itu bukan hanya digambarkan sekadar blusukanomic, tapi juga

kualitas menteri yang bukan sekadar bersih tapi juga punya komitmen kepada rakyat dan

bukan partainya. Jangan sampai, ekonomi Indonesia yang sudah autopilot ini makin

bersentimen negatif hanya karena menterinya kurang kompetensi dan dekat dengan partai.

Tapi memang ekspektasi masyarakat sangat tinggi, dan nama-nama menteri yang diumumkan

perlu diberi kesempatan membuat rekam jejak yang benar-benar dapat dicatat, karena

sebagian besar menteri yang ada nyaris tak terdengar. Perlu diberi kesempatan bekerja untuk

rakyat, dan bukan sekadar menghibur publik dengan hanya blusukan semata, karena

82

Indonesia sedang membutuhkan perubahan besar.

EKO B SUPRIYANTO

Direktur The Finance Research

83

MEA 2015, Digadang dalam Kecemasan Koran SINDO

27 Oktober 2014

Wajar jika malam pertama selalu menjadi peristiwa menegangkan bagi para pengantin baru.

Berita simpang siur yang kemudian dirangkai dengan bayangan ciptaan sendiri, akhirnya

menyebabkan pikiran berkecamuk dalam benak mereka.

Bukan malam pertama namanya jika sebelumnya telah memiliki pengalaman. Dengan

demikian, perasaan gelisah yang khas timbul sebagai perpaduan antara rasa penasaran dan

ketakutan karena kurang pemahaman. Saking banyaknya peristiwa lucu yang timbul karena

situasi seperti ini, sehingga cukup untuk direkam dalam sebuah buku Mati Ketawa ala Malam

Pertama.

Perasaan ini nampaknya menjadi analogi sempurna bagi perasaan dunia bisnis Indonesia

menyambut diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Belakangan

ini, kolom bisnis dari berbagai media seakan berlomba menjadikannya sebagai tema utama,

menghadirkan berbagai informasi tentang MEA.

Berbagai pengamat diundang untuk memberikan analisis, seberapa siap Indonesia

menghadapi era keterbukaan di mana aliran produk, tenaga kerja, dan modal dibuka seluas-

luasnya. Saat itu, jika tiba masanya, wilayah ASEAN akan menjadi satu kolam ekonomi

besar, di mana ikan-ikan bebas menjelajah sudut manapun dari kolam yang paling banyak

menyimpan makanan dan udara bersih. Keadaan seperti ini tentu mencemaskan. Seiring

dengan peluang yang terbuka lebar muncul pula tantangan yang sama besarnya.

Perdebatan tentang seberapa siap Indonesia menghadapi MEA, dalam pandangan saya

merupakan perdebatan yang salah arah. Siap atau tidak siap, era MEA akan datang, sehingga

kesiapan bukanlah menjadi isu utama. Sejak dicanangkannya niat untuk melaksanakan

kawasan ekonomi terpadu dalam Bali Concorde II tahun 2003 dan ditegaskan pada KTT

ASEAN ke-12 tahun 2007 yang menghasilkan kesepakatan untuk percepatan terwujudnya

MEA di tahun 2015, kita praktis memiliki 12 tahun untuk mempersiapkan diri. Nyatanya,

hingga kini, belum ada langkah-langkah sistematis yang dilihat signifikan untuk mengangkat

kesiapan Indonesia.

Bukan salah Hofstede ketika merumuskan konsepnya yang terkenal sebagai National Culture

Theory, menyebut Indonesia memiliki uncertainty avoidance rendah. Dimensi yang

menunjukkan seberapa terancam masyarakat di suatu negara dengan situasi yang ambigu atau

tidak menentu, sehingga mendorong munculnya tindakan untuk menghindari keadaan

tersebut, ternyata secara kultural memang tidak mengemuka di Indonesia. Karakter ini jika

84

mewujud dalam fleksibilitas aksi dalam menghadapi era chaos dan turbulensi tentu baik.

Namun sayangnya, sering kali ia juga manifes dalam budaya kebijakan dadakan atau SKS

(sistem kebut semalam) dalam perumusan platform ekonomi jangka panjang.

Melihat kenyataan ini, nampaknya dunia bisnis Indonesia harus realistis melihat bahwa kita

sendiri-sendiri dalam menghadapi keadaan ini. Kesiapan pemerintah yang diwujudkan

melalui peraturan yang mengungkit daya saing bisnis nasional nampaknya hanya bisa

diharapkan, jika memang terwujud di pemerintahan baru, kita anggap saja sebagai bonus.

Namun prinsipnya, lakukan apa yang bisa dilakukan, yakni meningkatkan daya saing

perusahaan di level ASEAN.

Ada paling tidak tiga hal yang menjadi kunci bagi meningkatnya daya saing tersebut, yaitu

operational excellent, customer relationship, dan innovation. Sebaik apapun bungkus, lambat

laun kualitas isi akan terlihat juga. Dengan demikian, kesempurnaan operasi untuk

menghasilkan isi yang super baik adalah hal yang utama.

Jika sebelumnya kesalahan-kesalahan kecil dapat ditoleransi, dalam era mendatang janganlah

macam-macam, menganggap remeh kesalahan. Pesaing lintas negara akan merangsek masuk

dan menawarkan kualitas produk yang lebih serius. Gunakan berbagai macam cara untuk

menjamin kualitas, mulai dari penerapan quality assurance, continous improvement, dan

pengelolaan supply chain yang maksimal.

Berikutnya memperkuat hubungan pelanggan. Jika nanti telah masuk era MEA, pemain

dalam industri semakin banyak, sehingga pelanggan memiliki pilihan. Hal ini berakibat pada

perilaku pelanggan yang semakin demanding. Dalam kondisi seperti ini, jangankan

menambah pelanggan baru, mempertahankan pelanggan lama saja sangat sulit untuk

dilakukan. Oleh karenanya, perusahaan mau atau tidak mau harus merancang suatu taktik

untuk mengikat pelanggan (customer bonding). Dari jauh hari, petakan pelanggan utama

Anda dan pikirkan cara untuk melindungi hubungan bisnis.

Perusahaan dapat merancang memberikan bonus terhadap volume atau frekuensi pembelian

atau yang kita sebut sebagai financial bonding. Ikatan yang lebih kuat dapat diraih dengan

menerapkan social bonding, atau mengikat para pelanggan melalui komunitas sosial yang

dibangun. Untuk menerapkan hal ini, Anda dapat mengadakan gathering-gathering, dan

memelihara hubungan terus-menerus dengan pelanggan, serta membangun database yang

unggul.

Penguatan terakhir yang merupakan kebutuhan mutlak adalah pengelolaan inovasi dalam

perusahaan. Inovasi tidak selamanya berbentuk produk baru yang belum pernah ada

sebelumnya, namun dapat berupa packaging baru, feature baru, varian baru, atau

penyempurnaan dari yang sudah ada. Selain itu, inovasi dalam proses produksi dan sourcing,

perlu juga menjadi perhatian. Agar inovasi dapat membudaya, diperlukan suatu pengelolaan

yang dilakukan secara terencana.

85

Demikianlah beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam menghadapi MEA yang

tinggal sejarak kedipan mata. Kesiapan tidak mungkin terwujud tanpa persiapan. Ibarat

pertandingan bola yang telah memasuki injury time, program penyiapan daya saing dan

strategi organisasi ini perlu dan sudah selayaknya menjadi crash program bagi para pelaku

bisnis. Semoga direalisasikannya MEA lebih banyak mendatangkan manfaat daripada

mudarat bagi dunia bisnis nasional.

WAHYU T SETYOBUDI

Staf Pengajar PPM School of Management

@inspirewhy

86

Kabinet Kerja dalam Perlawanan Asia Koran SINDO

28 Oktober 2014

Usai menyusun kabinet yang terkesan penuh pencitraan, pemerintahan Presiden Joko Widodo

langsung dihadapkan pada persoalan politik luar negeri yang cukup sensitif.

Diprakarsai Tiongkok, tak kurang dari 21 negara Asia menandatangani kesepakatan bersama

mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), sebuah inisiatif yang membuat

Amerika Serikat (AS) dan sekutunya gerah. Bagaimana Indonesia menyikapi AIIB?

Komunikasi via telepon antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping,

Jumat (24/10) pekan lalu rupanya bukan sekadar basa basi diplomasi. Komunikasi jarak jauh

itu mungkin juga sebagai tindak lanjut dari pertemuan Jokowi dengan Deputi Ketua Parlemen

Tiongkok Yan Junqi di Jakarta, Selasa (21/10).

Boleh jadi, setelah saling memberi salam, Presiden Xi kulo nuwun dan menginformasikan

kepada Jokowi bahwa di ibu kota Beijing hari itu telah berkumpul delegasi dari 21 negara di

Asia untuk menandatangani kesepakatan mendirikan AIIB. Presiden Xi tentu saja merasa

perlu memberi tahu Jokowi tentang rencana proyek AIIB itu karena tidak ada delegasi

Indonesia dalam perhelatan itu. Belum ada yang tahu seperti apa reaksi Presiden.

Pemerintah baru di Indonesia memang belum mengeluarkan pernyataan resmi guna

menanggapi proyek AIIB itu. Namun, pada akhirnya nanti pemerintahan Presiden Joko

Widodo harus menunjuk sikap yang jelas. Inisiatif sejumlah negara Asia mendirikan AIIB

tentu saja cukup sensitif bagi pemerintahan Jokowi mengingat Indonesia selama ini menjadi

costumer tetap Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank

(ADB). Apalagi, hingga kini jabatan direktur pelaksana Bank Dunia masih dipercayakan

kepada Sri Mulyani Indrawati, ekonom yang juga mantan menteri keuangan Indonesia.

Bank Dunia dan ADB dikenal sebagai dua lembaga keuangan multilateral yang dikendalikan

oleh AS dan para sekutu terdekatnya. AS sejak awal sudah terang-terangan menyatakan tidak

suka dengan proposal AIIB itu. AIIB adalah bentuk nyata dari perlawanan Asia terhadap

dominasi Barat. Sangat beralasan bagi AS untuk khawatir sebab pada saatnya nanti AIIB

bukan hanya berpotensi mereduksi pasar dan peran Bank Dunia serta ADB, tetapi juga bisa

menyurutkan peran politik ekonomi negeri adidaya itu di kawasan ini.

Pendirian AIIB diumumkan di Beijing, Jumat pekan lalu, dalam sebuah upacara yang dihadiri

Menteri Keuangan Tiongkok Lou Jiwei dan delegasi dari 21 negara di Asia, termasuk India,

Thailand, dan Malaysia. Dengan target setoran modal awal USD100 miliar, AIIB akan fokus

pada pemberian pinjaman untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan

87

negara-negara di Asia. Tiongkok berambisi menjadi pemegang saham terbesar di AIIB

dengan target lebih dari 50%. Saat ini Tiongkok sudah mengalokasikan USD50 miliar untuk

setoran modal AIIB.

Akan berkantor pusat di Beijing, AIIB direncanakan operasional pada akhir 2015, dipimpin

oleh Jin Liqun, bankir senior Tiongkok yang pernah memimpin China International Capital

Corp. Menarik untuk disimak adalah penekanan pers asing dalam memublikasikan pendirian

AIIB di Beijing itu.

Diberitakan bahwa tanpa partisipasi dari tiga negara utama di Asia yakni Korea Selatan,

Indonesia, plus Australia; Tiongkok mulai merealisasikan proyek AIIB itu. Partisipasi Jepang

memang tidak diharapkan karena Jepang bersama AS bisa disebut sebagai pemegang saham

pengendali dalam ADB karena masing-masing menggenggam 15,6%.

Kebutuhan dan Persyaratan

Ketidakhadiran delegasi Indonesia di Beijing hanya disinggung sepintas. Tetapi, absennya

Australia diulas cukup mendalam. Disebutkan bahwa saat berada di Jakarta menghadiri

upacara pelantikan Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Perdana

Menteri Australia Tony Abbott sempat membahas inisiatif Tiongkok mendirikan AIIB.

Kerry mendesak Abbott agar Australia tidak ikut-ikutan menjadi pendiri AIIB. Di Jakarta,

Kerry pun melakukan pertemuan empat mata dengan Jokowi. Seperti pesannya kepada

Abbot, bukan tidak mungkin Kerry pun memberi saran yang sama kepada Presiden Jokowi.

Lalu, untuk menggugurkan saran Kerry, komunikasi via telepon antara Presiden Jokowi dan

Presiden Xi menjadi sangat relevan.

Mengacu pada posisinya yang strategis dengan wilayah dan jumlah penduduk yang begitu

besar, Presiden Xi pasti ingin agar Indonesia juga berpartisipasi dalam proses pendirian AIIB.

Para elite di Tiongkok pun pasti tahu betul kemarahan sebagian rakyat Indonesia terhadap

lembaga-lembaga keuangan multilateral dukungan AS dan sekutunya karena dinilai telah

memberi resep yang salah bagi pembangunan di Indonesia.

Bank Dunia, ADB, bersama Dana Moneter Internasional (IMF) selama ini menjadi pelengkap

sumber pendanaan pembangunan. Bunga untuk dana yang dipinjamkan memang lebih rendah

dari suku bunga pasar uang, tetapi dengan syaratnya mendapatkan pinjaman sangat

mencekik. Muncul ungkapan, tumpukan utang dari tiga lembaga keuangan multilateral itu

justru ”membunuh” masa depan negeri penerima pinjaman.

Karena itu, tidak mengherankan jika AS tidak respek dengan proposal AIIB. AS melihat

AIIB sebagai strategi atau upaya Tiongkok secara bertahap mereduksi peran dan pengaruh

AS di Asia. Setelah berkembang menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia,

Tiongkok pun pasti ingin memperluas pengaruhnya di benua ini. Tiongkok ingin menjadikan

AIIB sebagai jembatan mewujudkan dominasinya di kawasan Asia.

88

Persoalannya, apakah Indonesia nyaman dengan dominasi Tiongkok di kawasan ini? Inilah

yang harus dikaji oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Bagaimanapun, Indonesia negara besar

yang harus menentukan jalannya sendiri. Masa depan Indonesia harus dibangun berlandaskan

semangat Trisakti dan karenanya tidak satu pun kekuatan asing boleh mendikte kemauannya

terhadap bangsa ini.

Dewasa ini kekuatan-kekuatan ekonomi besar di dunia sedang membangun blok-blok

kekuatan baru. Dengan kesadaran penuh, Indonesia sebaiknya tidak terperangkap dalam

rivalitas itu. Artinya, jika Tiongkok ingin membangun blok kekuatan baru di Asia, Indonesia

tak perlu berada dalam blok kekuatan itu. Akan menjadi sangat sensitif bagi sebagian

masyarakat jika Indonesia berada dalam blok kekuatan yang dipimpin negara yang menganut

paham komunis.

Dengan begitu, pemerintahan Presiden Jokowi sebaiknya moderat atau mengambil jalan

tengah dalam menyikapi AIIB. Artinya, Indonesia mendukung tanpa harus tercatat sebagai

pendiri AIIB. Kerja sama Pemerintah RI dengan semua lembaga keuangan multilateral

disesuaikan dengan kebutuhan, dengan syarat-syarat yang saling menguntungkan.Posisi

minimalis Indonesia dalam AIIB tentu layak diapresiasi AS dan para sekutunya yang

mengendalikan Bank Dunia dan ADB.

Persoalan berikutnya, bagaimana pemerintahan Jokowi bisa mengonversi posisi minimalis

Indonesia itu menjadi alat tawar yang bisa menguntungkan negara. Menurut Direktorat

Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu, hingga Juni 2014 utang Pemerintah

Indonesia sudah mencapai Rp2.507,52 triliun. Sekitar 10% dari jumlah ini utang pemerintah

kepada Bank Dunia.

Tidaklah berlebihan jika posisi minimalis Indonesia di AIIB itu patut diganjar dengan

keringanan atau penghapusan utang dari Bank Dunia. Upaya ini perlu ditempuh pemerintahan

Presiden Jokowi jika ingin menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara

(APBN). Selain tekanan dari alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), kewajiban

membayar pokok dan bunga utang luar negeri juga ikut memperlemah kinerja APBN.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil

Ketua Umum Kadin Indonesia

89

Kabinet & Ekspektasi Publik Koran SINDO

28 Oktober 2014

Presiden telah mengumumkan kabinet pada Minggu sore dan esoknya langsung dilantik.

Pengumuman kabinet itu sendiri mirip drama, karena sempat tertunda beberapa kali.

Sebagian penundaan itu karena beberapa kandidat menteri yang diajukan mendapatkan

catatan dari KPK dan PPATK (dengan istilah diberi warna merah atau kuning). Di luar itu,

tarik-menarik kepentingan terlihat kuat sehingga beberapa figur yang sebelumnya dianggap

pasti ”jadi”, ternyata tergeser dan diganti oleh orang lain yang sebelumnya tak terdengar

masuk bursa. Bahkan, konon, sampai menit-menit menjelang pengumuman, bongkar pasang

nama masih dilakukan.

Sekarang kabinet telah terbentuk dan diangankan mereka langsung bekerja sesuai tugas

masing-masing. Satu hal yang laik diapresiasi dari proses pembentukan kabinet adalah

keinginan Presiden agar figur yang dipilih betul-betul bersih dari korupsi sehingga tak akan

membebani kabinet ketika bekerja. Selebihnya, kita bisa menilai dari kecakapannya.

Platform Spektakuler

Pada masa kampanye, Presiden menawarkan platform pembangunan yang monumental, yang

dikenal dengan Trisakti. Pada bidang ekonomi konsep Trisakti itu tak lain adalah hasrat

menjadikan ekonomi berdikari, yang ditandai oleh kedaulatan dan kemandirian ekonomi.

Saya merasa platform ini luhur dan spektakuler mengingat tidak mudah menggapai tujuan

tersebut karena situasi ekonomi saat ini yang jauh dari kedaulatan dan kemandirian.

Pada aras kebijakan, tak terbilang banyaknya kebijakan ekonomi masa silam yang dibuat

bukan oleh semangat kepentingan nasional, tapi diselipi titipan dari kepentingan luar negeri.

Aneka dokumen yang sebagian bisa diunduh lewat internet menunjukkan pembenaran atas

dugaan tersebut.

Sementara itu, secara empiris, kemandirian ekonomi juga makin jauh, antara lain

ditampakkan oleh impor pangan dan energi yang membesar, penguasaan asing terhadap SDA

dan sektor strategis lain, serta sektor keuangan dan lalu lintas modal yang terintegrasi dengan

pasar internasional sehingga menjadi sumber instabilitas ekonomi.

Situasi itu menyebabkan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh pemerintah sangat berat.

Sekurangnya terdapat empat pekerjaan utama yang harus sigap dijawab dalam mewujudkan

ekonomi berdikari.

90

Pertama, memastikan sumber daya ekonomi domestik dikelola oleh bangsa sendiri dan

diinduksi nilai tambah sehingga menjadi sumber kesejahteraan rakyat. Tidak sepatutnya SDA

dan sektor-sektor strategis diberikan secara cuma-cuma kepada bangsa lain sehingga

menggerus kesempatan ekonomi warga negara sendiri.

Kedua, optimalisasi anggaran negara, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, sebagai

pengungkit kegiatan ekonomi. Reformasi pajak menjadi keniscayaan untuk menutup

kebocoran penerimaan, sekaligus memastikan keadilan ekonomi tercipta. Dari sisi belanja,

alokasi mengikuti prioritas pembangunan dan tidak digerogoti oleh belanja birokrasi yang

dalam 10 tahun terakhir ini makin menggerus proporsi anggaran negara.

Ketiga, melakukan kajian ulang atas kebijakan ekonomi yang merugikan kepentingan

nasional, khususnya terkait kebijakan liberalisasi yang dijalankan secara masif

pascareformasi ekonomi. Banjir impor dan defisit neraca perdagangan merupakan dampak

atas pilihan kebijakan keterbukaan ekonomi yang tak terukur tersebut. Pasar Indonesia sangat

terbuka sehingga amat mudah barang/jasa dari negara lain yang masuk, sementara tanggul

pertahanan ekonomi domestik amat rapuh.

Keempat, memastikan sektor keuangan berdiri kokoh untuk melayani sektor domestik,

khususnya sektor riil, dan tidak dijejali dengan aliran dana asing yang sifatnya spekulatif

sehingga menjadi pemicu krisis. Sektor perbankan selama ini makin menjauh dari sektor riil

dan usaha kecil. Mereka lebih sibuk menyantuni kebutuhan usaha besar dan sektor non-

tradeable. Pasar modal dan asuransi dikuasai asing, porsi pelaku ekonomi domestik masih

kecil. Lalu lintas modal sangat bebas, sehingga tak ada penyaring yang bagus. Ini semua

harus ditata kembali dengan visi kedaulatan dan kemandirian ekonomi.

Kabinet Ekonomi

Bagaimana dengan komposisi kabinet ekonomi yang telah diumumkan? Apakah bisa

menjawab tantangan itu? Menteri Koordinator Perekonomian sekurangnya harus memiliki

tiga sumber otoritas ini: kepemimpinan, kredibilitas, dan kecakapan. Kepemimpinan yang

kuat sangat diharapkan karena harus mengoordinasikan kementerian teknis ekonomi,

sehingga setiap kebijakan yang telah disepakati mesti dieksekusi secara cepat.

Adapun kredibilitas lebih banyak menyangkut pengalaman dan benturan kepentingan yang

mungkin terjadi. Pada aspek ini, Sofyan Djalil memiliki bobot yang bagus sehingga fungsi-

fungsi tersebut diharapkan bisa berjalan.

Bagaimana dengan kecakapan? Tampaknya dari wawasan korporasi cukup mumpuni, namun

untuk isu-isu terkait makroekonomi, fiskal, dan moneter/keuangan butuh belajar lebih

intensif. Langkah paling efektif adalah membentuk tim ekonomi yang kuat di bawahnya

(deputi) sehingga isu-isu di atas dapat ditangani dengan semestinya.

91

Menteri Keuangan adalah figur yang cakap dan tahu masalah, namun bukanlah orang yang

tepat dipercaya menduduki jabatan tersebut. Cakap karena tahu aspek fiskal secara baik,

namun paradigma ekonominya berbeda dengan platform ekonomi yang diusung oleh

Presiden. Hasrat Presiden untuk memberdayakan dan membongkar anggaran negara akan

terhadang oleh pola pikir Menkeu yang selama ini nyaris tak pernah menyuarakan gagasan

baru dalam penyusunan dan pengelolaan APBN. Untungnya, Bappenas dikepalai oleh figur

yang punya pemikiran bukan ”arus utama”, yang juga kebetulan bukan ekonom.

Saya menganggap ini pilihan yang tepat apabila dikaitkan dengan paradigma pembangunan

Presiden. Andrinof A Chaniago sudah lama melakukan advokasi kebijakan pembangunan

(ekonomi) yang mengarahkan pada penguatan ekonomi domestik, tak mengeksploitasi

sumber daya alam, perimbangan Jawa dan Luar Jawa, dan pembangunan maritim melalui

Visi Indonesia 2033.

Bagaimana dengan Kementerian BUMN, Pertanian, Industri, Perdagangan, dan

Koperasi/UMKM? Lima kementerian ini amat vital karena langsung bersentuhan dengan urat

nadi ekonomi rakyat. Sayangnya, lima menteri pada pos tersebut tidak pernah bersentuhan

dengan isu penguasaan negara dalam kegiatan ekonomi sesuai konstitusi, kedaulatan pangan,

membangun pohon industri berbasis bahan baku lokal (sektor basis), menata perdagangan

untuk kepentingan pelaku ekonomi nasional, dan mengarusutamakan koperasi/UMKM

sebagai model pembangunan ekonomi. Posisi menteri perdagangan dan industri oleh

sebagian ahli malah dianggap tertukar, mestinya Rachmat Gobel ditempatkan sebagai menteri

perindustrian. Jadi, lima menteri ini mesti segera menguasai isu besar tugas kementeriannya

selaras dengan platform yangdiambil presiden.

Dengan catatan tersebut, wajar bila ekspektasi publik terlihat muram terhadap konfigurasi

kabinet ekonomi ini, namun itu semua harus dijadikan sebagai energi pendorong untuk

membalik keraguan tersebut. Selamat bekerja!

AHMAD ERANI YUSTIKA

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

92

Era Baru BUMN: Size Does Matter (3) Koran SINDO 30 Oktober 2014

Barangkali Anda memiliki kegemasan yang sama dengan saya, setiap kali menyaksikan

begitu banyak peluang lalu lalang di hadapan bangsa ini, tapi kita tidak bisa berbuat apapun.

Lalu, ketika itu tak kunjung berubah, rasa gemas itu berubah menjadi stres.

Lucius Annaeus Seneca, filsuf Romawi, mengatakan, keberuntungan itu terjadi ketika

peluang bertemu dengan kesiapan. Peluang yang terus-menerus hanya lalu lalang,

menunjukkan betapa kita sama sekali belum mempersiapkan diri untuk menangkapnya.

Lagian, siapa yang bisa menangkap peluang kalau tak siap?

Fenomena itulah yang saya saksikan dalam industri maritim selama bertahun-tahun. Sebagai

ilustrasi, saat ini sekitar 70% kegiatan perdagangan dunia terjadi di kawasan Asia-Pasifik

bergeser dari sebelumnya di kawasan Atlantik. Lalu, dari seluruh perdagangan diAsia-

Pasifik, 75%-nya dikirimkan melalui transportasi laut.

Di mana peluang bisnisnya? Selama ini kapal-kapal kontainer yang mengangkut barang di

seputar kawasan Asia-Pasifik tersebut selalu lalu lalang melalui Selat Malaka, Selat Lombok,

Selat Makassar, dan perairan Indonesia lainnya. Nilainya luar biasa, bisa mencapai

USD1.500 triliun, atau hampir 9.000 kali nilai APBN kita.

Sayangnya dari nilai perdagangan yang sebesar itu, kita belum berhasil memetik banyak

manfaat. Itu akibat ketidaksiapan kita sendiri. Di mana saja masalahnya, sehingga kita tak

kunjung siap? Kita bisa melihatnya dari banyak faktor. Saya ajak Anda untuk melihat

beberapa di antaranya.

Empat Faktor

Pertama, kebijakan pembangunan yang sama sekali tidak berpihak ke laut. Meski dua per tiga

wilayah kita terdiri atas lautan, dan kita memiliki 17.508 pulau, kebijakan pembangunan kita

selama ini terlalu berorientasi ke darat. Kita bangga menyebut diri kita sebagai bangsa

agraris, bukan bangsa maritim.

Kondisi ini, antara lain, tecermin dari minimnya anggaran. Contohnya, pada APBN 2013,

anggaran untuk sektor kelautan kita hanya 0,3% dari volume APBN. Contoh lainnya, setelah

69 tahun merdeka, baru kita memiliki UU Kelautan. Lama sekali.

Kedua, sebagai akibat kurangnya keberpihakan terhadap kelautan, transportasi kita pun lebih

93

berorientasi ke darat ketimbang ke laut. Utamanya untuk transportasi barang. Contohnya,

angkutan barang untuk jalur Jakarta-Surabaya yang jaraknya sekitar 800 kilometer, hanya

kurang dari 10% yang menggunakan angkutan laut. Selebihnya menggunakan angkutan darat

yang terdiri atas truk termasuk truk kontainer sebanyak 89% dan kereta yang hanya berkisar

1%.

Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Di Jepang, misalnya,

untuk angkutan barang rute Tokyo-Miyagi, 51% menggunakan angkutan laut. Hanya 44%

yang memakai truk dan 5% dengan kereta. Begitu pula di Norwegia. Penggunaan angkutan

laut berimbang dengan angkutan darat.

Masih dominannya penggunaan angkutan darat ini sungguh ironis. Sebab biaya angkutan laut

sejatinya lebih murah jika dibandingkan dengan angkutan darat. Kondisi inilah, antara lain,

yang menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik kita.

Ketiga, kurang keberpihakan juga tercermin dari industri perkapalan kita. Sekarang ini bagi

perusahaan-perusahaan pelayaran kita, membeli kapal impor lebih murah ketimbang membeli

kapal dari industri galangan kapal di dalam negeri. Mengapa? Sebab tingginya bea masuk

impor komponen kapal. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan perbankan nasional kurang

tertarik untuk mengucurkan kredit ke industri pelayaran.

Keempat, kurangnya keberpihakan juga membuat pelabuhan-pelabuhan kita menjadi kurang

terurus. Kita bisa melihat potret itu dari rendahnya kinerja pelabuhan-pelabuhan kita.

Contohnya, waktu yang dibutuhkan oleh satu kapal untuk singgah di pelabuhan, membongkar

muatannya, lalu mengisinya kembali dengan muatan dan akhirnya berlayar lagi

meninggalkan pelabuhan tersebut bisa mencapai 80 jam. Bandingkan dengan Pelabuhan

Singapura yang hanya membutuhkan waktu 12 jam.

Kondisi itu pula yang menyebabkan rasio pemanfaatan dermaga, atau kerap dikenal dengan

istilah Berth Occupancy Rate (BOR), terbilang rendah. Menurut data dari AT Kearney, angka

BOR dari pelabuhan-pelabuhan kita rata-rata hanya 57,6%.

Semua itu diperburuk dengan belum samanya Service Level Guarantee dan Service Level

Agreement dari pelabuhan-pelabuhan kita. Masih banyak urusan administrasi di pelabuhan

yang dikelola secara manual, dengan format dokumen yang berbeda-beda dari satu pelabuhan

ke pelabuhan lainnya. Sistem TI masing-masing pelabuhan juga belum terkoneksi satu sama

lain.

Belum lagi masalah yang terkait dengan kedalaman masing-masing pelabuhan. Ini

menyebabkan tak semua pelabuhan kita siap disinggahi oleh kapal-kapal yang berukuran

besar sekelas Panamax, atau lebih dari 3.000 TEUs. Apalagi untuk kapal kapal yang

berukuran lebih besar, seperti jenis ultra large container vessel (>14.500 TEUs).

Momentum

94

Baiklah kita punya segudang masalah. Lalu, apa yang mesti kita lakukan untuk

membenahinya?

Saat ini saya lihat kita punya momentum yang luar biasa untuk membenahi industri kelautan

kita. Kita punya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menaruh

perhatian luar biasa terhadap industri maritim. Kita juga punya menko kemaritiman, yang

dijabat oleh Indroyono Soesilo. Kita juga punya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi

Pudjiastuti yang berlatar belakang entrepreneur. Lalu, kita juga punya Ignasius Jonan sebagai

menteri perhubungan, yang terkenal dengan gerak cepatnya dan kemampuannya dalam

melakukan transformasi perusahaan.

Sosok-sosok tersebut, saya lihat, punya daya ungkit yang luar biasa untuk membenahi

industri kelautan kita. Kini, bagaimana kita memulainya? Bicara soal ini, saya punya resep

sederhana. Kita bisa mulai dari hal-hal yang paling mudah, dan harus mulai sekarang juga

(baca, secepatnya). Ini perlu sebab akhir tahun 2015 kita akan memasuki era ASEAN

Economic Community (AEC).

Pada era ini, saya lihat, dunia usaha akan berkompetisi dengan mengandalkan size (ukuran)

dan efisiensi. Semakin besar skala usahanya, dan semakin efisien perusahaan tersebut,

semakin besar peluangnya untuk memenangkan persaingan bisnis.

Kita tahu, sinergi merupakan masalah besar di negeri ini. Juga, sinergi antar-BUMN. Tapi, di

industri perkebunan dan kehutanan kita sudah berhasil melakukannya. Mereka sudah

membentuk holding company. Saya lihat kini tiba gilirannya untuk perusahaan-perusahaan

yang bergerak di industri kelautan, termasuk pelabuhannya.

Saya berangan-angan, andai PT Pelindo I, III dan IV, serta Indonesia Port Corporation bisa

bergabung menjadi satu, betapa besar daya ungkitnya bagi perekonomian nasional. Biaya

logistik pasti akan jadi lebih murah. Produk-produk kita akan menjadi lebih kompetitif di

pasar ekspor. Keseimbangan perdagangan antara kawasan barat dan timur Indonesia akan

bisa kita wujudkan. Indonesia pasti akan jauh lebih diuntungkan. Jadi, mari kita manfaatkan

momentum ini. Jangan sampai lepas lagi.

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali

95

Menakar Kesiapan Industri Pariwisata Syariah

Koran SINDO 4 November 2014

Data Thomson Reuters & Dinar Standard pada 2012 menyebut, sumbangan pasar pariwisata

di dunia berasal dari masyarakat muslim, yakni di kisaran USD137 miliar atau sekitar 12,5%

dari total pengeluaran pariwisata dunia. Capaian tersebut lebih tinggi daripada masyarakat

berkewarganegaraan Amerika Serikat (USD122 miliar), Jerman (USD94 miliar), China

(USD89 miliar) atau Inggris (USD52 miliar).

Sebenarnya di dunia ada beberapa istilah yang menunjukkan pariwisata syariah. Misalkan di

Malaysia menggunakan istilah Islamic tourism, di Uni Emirat Arab disebut sebagai family

friendly tourism, sementara di Jepang halal tourism. Ini menunjukkan sejak awal 2000-an

industri pariwisata dunia sudah mengarah ke syariah.

Dulu industri syariah hanya terkait makanan dan minuman saja. Kemudian pada 1970-an

masuk ke sektor keuangan dan 2005 mulai berkembang ke halal lifestyle, termasuk

pariwisata dan sebagainya. Sebenarnya hal itu dipicu dua penyebab utama. Pertama, adanya

tren sosial back to nature. Yang kedua, populasi muslim dunia cukup besar.

Sejumlah negara telah mencoba menangkap peluang wisata syariah. Misalkan di Goald

Coast, Queensland, Australia. Pemerintahnya sangat antusias menjemput wisatawan muslim

sampai mendorong semua mal dan theme park untuk menyediakan mushala. Bahkan hotel

bintang lima Hilton Surfers Paradise selalu menyediakan tempat berbuka puasa beserta

makanannya, gratis, sepanjang Ramadan.

Hal hampir serupa juga dilakukan di Hong Kong. Bahkan CEO HK Tourism Board Anthony

Lau mengatakan, Hong Kong harus menyiapkan lebih banyak lagi masjid atau mushala serta

makanan halal untuk meningkatkan kedatangan wisatawan muslim. Negara-negara lain yang

juga melakukan hal serupa antara lain China, Tibet, Inggris, Jerman, Argentina, Italia, dan

Swiss.

Negara-negara di Asia Tenggara tidak kalah siap. Pada 2010, Singapura kedatangan

wisatawan muslim sebanyak 3.260.815 orang. Capaian tersebut 28% dari total wisatawan

mancanegara yang datang ke Singapura, yaitu sebesar 11.638.663 orang. Sertifikasi restoran

halal Singapura sangat sistematis dan berkembang hingga tidak kurang dari 2.691 hotel dan

restoran yang sudah disertifikasi halal. Singapura juga mempunyai undang-undang yang

memberikan sanksi berat bagi restoran yang telah disertifikasi halal, tapi melakukan

96

pelanggaran. Operator tur juga siap dengan kepemilikan AMTAS (Association of Muslim

Travel Agent of Singapore).

Negara di ASEAN lainnya, Thailand. Pada 2010 Thailand kedatangan wisatawan muslim

sebesar 2.476.690 orang. Jumlah tersebut 16% dari total wisatawan mancanegara yang datang

ke Thailand, yaitu 15.936.400 orang. Telah mempunyai halal science center yang

mendukung halal industry, Thailand menjadi salah satu halal producer and exporter terbesar

di Asia. Thai Airways katering memiliki the largest halal kitchen in the world. Sudah lebih

dari 100 hotel & restoran yang bersertifikat halal.

Kemudian Malaysia. Pada 2010, Malaysia sudah mendapatkan 5.817.571 wisman muslim

atau 24% dari total wisatawan mancanegara, yaitu 24.557.944 orang. Pemerintah Malaysia

menaruh perhatian pada industri pariwisata karena merupakan penghasil devisa kedua

terbesar, yakni menghasilkan 56,4 miliar ringgit Malaysia atau sekitar USD18,8 miliar.

Malaysia sudah mempunyai 366 hotel yang besertifikat Sharia Compliant dari majelis ulama

setempat serta lebih dari 2.000 restoran bersertifikat halal.

Pertanyaannya, bagaimana Indonesia? Pada saat ini, pemerintah dan pelaku industri syariah

tengah mempersiapkan produk-produk serta paket-paket wisata syariah Indonesia yang

menarik. Produk dan paket ini diharapkan memiliki keunggulan komparatif agar dapat

berkontribusi secara signifikan pada kemajuan dan perkembangan industri pariwisata

nasional.

Pengembangan produk harus berdasarkan kriteria umum dan standardisasi yang ditetapkan

untuk usaha pariwisata syariah dan daya tarik wisata syariah. Hal itu harus didukung sumber

daya manusia (SDM) dan kelembagaan kompetensi profesi insan pariwisata Syariah. Ini

harus ditunjang dengan training dan pendidikan yang sesuai dengan sasaran standar

kompetensi yang dibutuhkan wisatawan muslim.

Bentuk promosi dan jalur pemasaran disesuaikan dengan perilaku wisatawan muslim, World

Islamic Tourism Mart (WITM), Arabian Travel Mart, Emirates Holiday World,

Cresentrating.com, Halaltrip.com, dan sebagainya, sehingga destinasi wisata syariah bisa

dikenal luas. Provinsi yang masuk destinasi wisata syariah adalah Aceh, Sumatera Barat,

Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Kemudian Yogyakarta,

Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.

Yang menjadi catatan, wisata syariah tidak sekadar wisata religius yang mendatangkan

wisatawan ke masjid dan tempat-tempat religius lainnya. Itu hanya bagian kecil dari wisata

syariah. Wisata syariah juga seperti wisata lain yang pergi ke pantai, pegunungan ataupun

tempat budaya lainnya. Terpenting, saat berkunjung ke tempat wisata, pelaku pariwisata bisa

mendapatkan fasilitas yang kondusif bagi muslim seperti fasilitas dan jadwal salat serta

makanan dan minuman halal.

Berdasarkan Permenparekraf Nomor 2 Tahun 2014, ada dua kategori hotel syariah. Pertama,

97

Hotel Syariah-Hilal 1, yakni terpenuhi kebutuhan minimal muslim. Selanjutnya Hotel

Syariah-Hilal 2, yakni terpenuhi kebutuhan muslim secara moderat. Yang ditetapkan dalam

peraturan menteri itu sebenarnya cenderung dari sisi operasionalnya saja. Belum menyentuh

entitas bisnisnya supaya bisa memenuhi kebutuhan wisatawan muslim.

Secara umum, pengertian Hilal I adalah hotel yang minimal telah mempunyai dapur halal.

Kemudian Hilal 2 itu operasionalnya full sesuai dengan syariah. Di hotel tersebut tidak akan

ada minuman beralkohol, kemudian channel TV diseleksi sesuai untuk semua umur. Ada

pula seleksi tamu. Semua itu untuk menciptakan suasana kekeluargaan yang aman dan

nyaman. Kemudian di luar operasional tersebut, PT-nya juga sudah syariah. Jadi di anggaran

dasar bukan hanya ada komisaris dan direksi, melainkan juga ada Dewan Pengawas Syariah

yang kewenangannya sama dengan komisaris, yakni bisa memberhentikan direksi jika

melanggar syariah dalam operasionalnya.

Menggunakan sistem syariah tidak akan membuat pangsa pasar hotel menurun. Hal itu telah

dibuktikan oleh PT Hotel Sofyan Tbk. Bahkan, pada saat ini, sejumlah hotel di Indonesia

telah menerapkan.

RIYANTO SOFYAN

Presiden Direktur Arva Corporation

98

Pelindo Incorporated Koran SINDO 6 November 2014

Sudah sejak dahulu saya risau melihat kita terlalu lama mengabaikan pembangunan ekonomi

kelautan. Kita hanya bisa tertegun-tegun menyaksikan ikan-ikan kita dicuri nelayan-nelayan

asing. Kita hanya bisa melongo melihat terumbu-terumbu karang rusak. Lalu pelabuhan-

pelabuhan kita juga belum menjadi tempat transit utama bagi kapal-kapal kontainer yang

ingin mengirimkan barang-barang ekspornya ke mancanegara.

Intinya adalah potensi kelautan kita begitu kaya. Lokasi pelabuhan kita begitu strategis. Tapi,

kita hanya berhasil memetik sedikit manfaat saja dari kekayaan yang melimpah ruah dan

posisinya strategis tersebut. Buktinya begitu banyak nelayan kita yang masih hidup di bawah

garis kemiskinan. Lalu daya saing pelabuhan-pelabuhan kita juga masih tertinggal ketimbang

pelabuhan milik negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Belum lagi sumber daya kelautan lainnya, mulai dari garam yang masih impor hingga energi,

mineral, pariwisata, dan sebagainya. Pokoknya kaya sekali. Itu sebabnya ketika pemerintahan

Jokowi-JK menawarkan gagasan Pendulum Nusantara, semangat saya betul-betul terbakar.

Itu pula sebabnya saya tergelitik membuat tulisan panjang lebar tentang mengapa kita perlu

membangun ekonomi kemaritiman sampai beberapa serial.

Seperti kali ini, saya juga masih ingin melanjutkan topik yang sama. Hanya kali ini saya ingin

to the point. Saya ingin mengulas tentang banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh jika

memiliki BUMN yang besar di sektor kelautan. Salah satunya adalah BUMN yang mengurus i

masalah kepelabuhanan.

Saat ini kita memiliki empat BUMN kepelabuhanan. Ada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo)

I, III, dan IV, serta PT Indonesia Port Corporation (IPC yang dulu dikenal sebagai Pelindo

II). BUMN-BUMN itu kini jalan sendiri-sendiri. Belum bersinergi, apalagi terintegrasi walau

harus kita angkat jempol, CEO-nya bagus-bagus. Padahal di depan mata saya melihat banyak

manfaat seandainya empat BUMN tadi bisa menjadi satu.

Bagaimana caranya? Saya tidak tertarik untuk membahas soal ini. Bagi saya, silakan saja

untuk bisa bersatu memakai skema merger atau akuisisi. Silakan juga kalau pilihannya adalah

dengan membentuk holding company yang masing-masing berbagi kepemilikan saham atau

dengan model joint operation. Bagi saya, yang penting mereka bersatu sehingga menjadi

besar dan bisa saling sinergi satu sama lain. Bukan berjalan sendiri sesuai maunya BUMN

kepelabuhanan negeri tetangga yang jadi besar karena kita bersaing, karena kita serahkan

pasar kita sebesar-besarnya untuk mereka.

99

Besar, tapi Lincah

Apa saja manfaatnya? Pertama, meningkatnya nilai dari empat perusahaan pelabuhan kita,

baik dari sisi ukuran, volume bisnis, kinerja maupun ekuiti dan asetnya. Ingat, kita sekarang

hidup di abad global dalam fase regional. Persaingan di era ini jelas semakin sengit.

Pada era ini, ukuran dan efisiensi menjadi faktor kunci. Jadi, bukan lagi small is beautiful.

Sangat merepotkan kalau kita punya banyak perusahaan, tetapi ukurannya kecil-kecil.

Perusahaan-perusahaan seperti ini pasti bakal sulit bersaing di pasar global. Malah yang

terjadi perusahaan-perusahaan itu akan bersaing satu sama lain. Harusnya kita mulai bangun

dan bertanya-tanya, jangan-jangan kita telah dikerjai negeri tetangga. Bertanyalah mengapa

ekonomi maritim mereka menjadi sangat besar, sekali lagi sangat besar, sementara kita sangat

karut-marut, logistic cost kita sangat mahal.

Menjadi besar itu menguntungkan. Di industri migas, untuk memperkuat daya saingnya, dua

perusahaan raksasa asal Amerika Serikat (AS), Exxon dan Mobil Oil, memilih bergabung

pada 1998. Kini, per Juni 2014, aset Exxon Mobil mencapai USD358,98 miliar atau sekitar

Rp4.308 triliun. Ini berarti nyaris 2,5 kali APBN kita untuk tahun 2014.

Dengan aset sebesar itu, Exxon Mobil mempunyai cukup modal untuk mengembangkan

teknologi fracking yang memungkinkan mereka mengeluarkan minyak dan gas dari sela

bebatuan karang nun jauh di perut bumi. Hal yang di masa lalu tidak mungkin dilakukan

karena mahalnya biaya. Kini, berkat teknologi fracking, pasokan energi baru di AS jadi

berlimpah. Kini AS kaya dengan gas alam. Cadangan mereka diperkirakan cukup hingga 100

tahun ke depan.

Dengan ukuran sebesar itu, Exxon Mobil jelas siap bertanding dengan perusahaan migas

lainnya. Misalnya dengan Shell dari Belanda, Total asal Prancis, BP dari Inggris atau

Chevron yang sama-sama dari AS.

Di India, Tata Motor sedang mengembangkan industri automotifnya. Untuk memperkuat

brand image-nya, pada 2008 Tata Motor mengambil alih Jaguar dan Land Rover dari Ford

Motor, AS. Nilai pengambilalihannya mencapai USD2,3 miliar. Guna memperkuat posisinya

di industri hiburan, Disney dan Pixar memutuskan bergabung. Di industri investment bank, JP

Morgan dan Chase pun akhirnya memilih bergabung ketimbang bertarung sendiri-sendiri.

Jadi, untuk bertarung dalam kancah bisnis global, size does matter.

Besarnya skala usaha akan sangat menentukan apakah kita akan memenangi persaingan atau

hanya akan menjadi pecundang. Dulu memang sempat mencuat anggapan bahwa elephant

can’t dance. Kalau ukuran perusahaan sudah terlalu besar, bakal sulit untuk bergerak lincah.

Sulit untuk efisien. Struktur organisasinya berlapis-lapis, terlalu birokratis, sehingga

pengambilan keputusan menjadi lambat. Akibatnya banyak peluang yang menguap begitu

saja, tak bisa mereka tangkap. Tapi, kini, ungkapan tersebut tak berlaku lagi. Perkembangan

ilmu manajemen dan solusi yang berbasis teknologi informasi membuat banyak perusahaan

raksasa tetap mampu bergerak dengan lincahnya.

100

Sederet Manfaat

Kedua, semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar pula kapasitasnya untuk

memperoleh pendanaan. Baik dari sumber-sumber dalam negeri maupun luar negeri. Pada

awal Oktober lalu, Pelindo III baru saja menerbitkan obligasi internasional (global bond)

senilai USD500 juta atau sekitar Rp6 triliun. Saya menilai emisi obligasi ini sangat sukses.

Kelebihan permintaannya (oversubscribed) sampai 13 kali. Bagi saya, ini bukti bahwa bisnis

infrastruktur, terutama pelabuhan, sangat diminati investor.

Saya membayangkan seandainya empat BUMN pelabuhan kita bergabung menjadi satu,

katakanlah dengan nama baru Pelindo Incorporated, dana yang berhasil dihimpun pasti akan

jauh lebih besar. Kita akan mempunyai modal yang cukup untuk membangun pelabuhan-

pelabuhan di antero Nusantara dan menjadikan posisi Indonesia sangat strategis dalam lalu

lintas perdagangan dunia.

Ketiga, dengan memiliki satu perusahaan yang mengelola pelabuhan, sinergi yang tercipta

pasti akan lebih optimal. Bukan seperti sekarang, yang satu lari ke barat, lainnya lari ke

timur. Contohnya, saat ini berth windows atau kesepakatan waktu khusus untuk berlabuh dan

berlayar antarpelabuhan saja tidak sama. Ini tentu mengganggu efisiensi kerja maskapai

pelayaran.

Keempat, peningkatan kecepatan pelayanan dan pengambilan keputusan. Pelayanan memang

menjadi salah satu isu krusial bagi pelabuhan-pelabuhan kita. Celakanya, antarpelabuhan di

negara kita seakan-akan tidak ada standarnya. Misalnya menyangkut pengurusan dokumen

impor barang, kadang ada yang bisa selesai dalam satu hari, tetapi pernah pula sampai

berbulan-bulan tak juga tuntas. Ini tentu meningkatkan ketidakpastian dalam berbisnis--hal

yang sangat tidak disukai kalangan dunia usaha.

Kelima, prinsip complementarity bisa segera dijalankan. Siapa yang jadi hub di antara mereka

akan menguntungkan bangsa ini ketimbang hanya bersaing, lalu semua memilih hub

Singapura atau Iskandaria di Malaysia. Itu sebabnya langkah ini menjadi amat strategis dan

tentu ada masalah geopolitis yang harus kita ukur. Kemajuan yang kita capai jelas merupakan

ancaman bagi negeri tetangga. Kalau pesawat Sukhoi buatan Rusia yang mulai banyak

ordernya bisa kandas di Gunung Salak, apalah artinya kita bila harus berhadapan dengan

negeri-negeri kecil namun punya dukungan aliansi kekuatan Barat yang tersembunyi?

Saya kira kita bisa menyebut sederet manfaat lainnya jika penggabungan empat BUMN

pelabuhan bisa kita wujudkan. Misalnya, dari sisi perolehan perpajakan akan naik,

produktivitas pelabuhan juga meningkat, biaya logistik menurun, dan banyak lagi lainnya.

Saya kira, ibarat baja, dia harus ditempa selagi panas. Jadi harus segera, jangan tunggu

sampai dingin.

101

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali

102

Melepaskan Belenggu Subsidi BBM Koran SINDO 6 November 2014

Harapan menjulang tinggi untuk disematkan kepada Kabinet Kerja yang dibentuk oleh

Presiden Joko Widodo. Terlepas masih munculnya riak-riak sinisme maupun pro-kontra

terhadap sejumlah figur yang duduk didaulat sebagai menteri, tak ada salahnya jika kita tetap

menancapkan optimisme.

DPR RI periode baru dengan komposisi politik yang ada saat ini juga menunggu langkah

konkret Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Tidak ada alasan bahwa para wakil rakyat di

legislatif akan menghambat program-program kebijakan yang sudah disusun dan

direncanakan untuk segera dijalankan dari pemerintah.

Terlebih bahwa alat kelengkapan dewan (AKD) yang terdiri dari komisi-komisi juga sudah

terbentuk beberapa hari yang lalu. Dalam waktu dekat, rapat-rapat kerja membahas rencana

program kebijakan antara Senayan dan Istana pun bisa diselenggarakan. Bersama-sama

menjunjung tinggi semangat bekerja untuk rakyat.

Mencermati sektor ESDM yang menjadi mitra Komisi VII DPR RI periode ini, kehadiran

menteri baru Sudirman Said setidaknya sudah menciptakan ekspektasi yang cukup besar bagi

para stakeholder atau pemangku kepentingan. Termasuk bagi kalangan industri sektor

minyak dan gas (migas) maupun sektor mineral dan batu bara (minerba).

Figur baru menteri ESDM semoga bisa memotong polemik atau bahkan menggergaji

kontroversi yang selama ini menjadi ganjalan dalam implementasi program-program strategis

ESDM. Mengapa tidak? Sosok baru dengan visi membangun Kementerian ESDM menjadi

kementerian utama yang kuat, bersih, dan taktis sinergis patutlah kita apresiasi bersama.

Belenggu Subsidi BBM, Sampai Kapan?

Sebut saja kebijakan penghematan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM). Persoalan

subsidi BBM dalam periode 2009-2014 yang lalu juga tak kalah hebat mengalami dinamika

yang cukup menguras energi dan perdebatan panjang antara pemerintah dan parlemen.

Subsidi BBM tak lagi menjadi isu sektoral ESDM semata, tetapi telah menjadi isu nasional

yang implementasinya bisa merembet ke segmen-segmen lainnya. Begitu berpengaruhnya isu

BBM bersubsidi ini, dalam dinamikanya sering memunculkan benturan dan gesekan-gesekan

antara eksekutif dan legislatif.

103

Catatan dari Komisi VII pada periode lalu, pemerintah seolah tak konsekuen menindaklanjuti

poin-poin yang direkomendasikan DPR RI. Di tengah impitan angka subsidi energi yang

terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik yang terus menekan fiskal dalam APBN tiga

tahun terakhir, pemerintah tidak konkret melakukan langkah- langkah strategis penghematan

subsidi.

Padahal, ruang untuk mengeksekusi penghematan subsidi BBM tercantum melalui Undang-

Undang APBN sejak tahun 2012. Namun, celah itu tak dimanfaatkan pemerintah. Dan

sekarang, wewenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi ada di tangan pemerintah, tanpa

melalui ketuk palu persetujuan di DPR (Pasal 14 ayat 13 UU APBN-P 2014 No.12/2014).

Kesempatan itu menjadi momentum pemerintah untuk tidak mengulur-ulur waktu

mengonkretkan implementasi penghematan anggaran dengan menaikkan harga BBM secara

rasional. Dampak menonjol dari implementasi penghematan subsidi BBM yang tak tegas

adalah membengkaknya belanja subsidi energi pada tahun anggaran 2015 yang menembus

angka Rp344,7 triliun! Khusus subsidi BBM dalam APBN 2015 mencapai Rp276 triliun.

Ironisnya, selama ini subsidi BBM dalam realisasinya tidak tepat sasaran. Dan dibakar di

jalan begitu saja. Tak ada manfaat konkret untuk rakyat. Penikmat BBM bersubsidi 70

persennya adalah masyarakat kategori mampu secara ekonomi.

Persoalan muncul ketika subsidi terhadap harga tersebut memicu disparitas harga BBM

bersubsidi dengan BBM non-subsidi yang cukup menganga. Aksi penyelundupan BBM

bersubsi ke industri marak. Begitu pula penimbunan BBM bersubsidi sebagai aksi memburu

rente. Dan, kelangkaan BBM bersubsidi jenis bensin maupun solar terjadi di mana-mana.

Chaos terjadi di masyarakat. Maka terjadilah kepanikan karena pemerintahan sebelumnya

seolah tak mau mengambil risiko didemo rakyat terus-terusan. Pemerintahan baru harus

mencermati bahwa realisasi subsidi BBM sudah melenceng.

Hal ini menjadi catatan khusus dalam rencana penghematan subsidi BBM yang pro-rakyat ke

depan. Subsidi BBM yang selama ini membelenggu ruang fiskal APBN harus dikoreksi

sehingga program-program pemerintah berbasis kerakyatan mendapatkan porsi yang besar.

Paradigma dalam tata kelola anggaran terhadap subsidi BBM sudah waktunya berani diubah.

Jika selama ini basis subsidi BBM adalah terhadap harga komoditas, pemerintah perlu

menyubstitusikan menjadi subsidi secara langsung. Subsidi langsung (targeted subsidies)

lebih riil untuk menjangkau warga miskin secara adil.

Artinya, ketika rakyat miskin tak mendapatkan subsidi harga BBM karena salah sasaran,

sebagai kompensasinya mereka berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis, pendidikan

gratis maupun akses transportasi publik yang murah dan nyaman. Yang penting, subsidi

untuk rakyat kecil itu harus tetap ada, karena menghapus subsidi sama dengan melawan

konstitusi. Rakyat pun harus diberi pemahaman bahwa subsidi tidak dicabut, hanya dialihkan.

Itu sangat prinsip.

104

Berantas Mafia Migas

Parlemen dengan segala fragmentasi politiknya, mendorong pemerintah agar berani

mengambil langkah solutif. Melepaskan ikatan dari jeratan subsidi BBM yang

kontraproduktif bagi pembangunan nasional tersebut. Tak hanya mengurangi beban subsidi

BBM semata, tapi penting juga menggeser pola pikir konsumsi masyarakat terhadap bahan

bakar fosil (BBM) ke sumber energi baru dan terbarukan. Ini akan menjadi PR bagi Menteri

ESDM baru yang senantiasa dibelenggu soal subsidi BBM.

Menteri ESDM yang baru perlu juga melakukan breakthrough untuk menggalakkan kembali

program konversi BBM ke BBG (bahan bakar gas) yang sempat mandek di era pemerintahan

SBY. Pasalnya, dengan potensi gas nasional yang cukup melimpah untuk memenuhi

kebutuhan domestik, maka kebergantungan terhadap BBM bisa ditekan drastis. Karena itu

perlu terobosan, jika perlu membongkar sekat-sekat regulasi dan birokrasi yang selama ini

menghambat. Yang penting, kebijakan tersebut di bawah payung hukum yang kuat.

Komoditas gas ke depan akan menjadi primadona jika konsumsi bahan bakar bisa digeser ke

BBG secara massif.

Menaikkan harga BBM bersubsidi bisa menjadi trigger atau pemicu mengangkat harga

keekonomian bagi sumber energi lainnya, seperti gas bumi atau panas bumi (geothermal),

sehingga pemanfaatan akan sumber energi baru non-minyak menjadi maksimal. Sekarang

bukan lagi soal berani atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak, menaikkan harga BBM

untuk menghemat anggaran. Tapi menjadi pilihan konkret jika tidak ingin terus-terusan

digerus subsidi yang tidak produktif.

Edukasi kepada masyarakat menjadi penting ketika terjadi kenaikan harga BBM tanpa

berimplikasi terhadap gejolak sosial. Inilah yang ditunggu kalangan industri dan investor

tentunya. Begitu juga dengan keinginan kuat mengurangi impor BBM, di mana produksi

minyak dalam negeri tak lagi menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Sampai saat ini, kita

menjadi negara net importir, yaitu mencapai 700 ribu barel per hari (bph) hanya untuk

menutup kebutuhan dalam negeri yang menembus 1,5 juta bph.

Program jangka panjang yang perlu direalisasikan adalah pembangunan kilang minyak, di

mana kilang dan tangki penampungan yang ada saat ini selain sudah uzur, tapi juga sudah tak

mampu memproduksi BBM jadi karena kapasitas yang terbatas. Jika kilang minyak ini

konkret dibangun, mata rantai mafia minyak yang selama ini menghantui kita bisa diberantas.

Hanya, butuh komitmen dan konsisten pemerintahan baru untuk mewujudkan kemandirian

energi nasional tersebut. DPR tentu akan mengamini jika pemerintah benar-benar berpikir

progresif. Nah, menarik ditunggu terobosan-terobosan apa saja dari pada menteri Kabinet

Kerja Presiden Jokowi, terutama di sektor ESDM.

Banyak persoalan yang perlu diurai satu-satu oleh menteri baru. Mulai dari tata kelola sektor

hulu dan hilir migas, sektor minerba, sektor energi baru sebagai energi masa depan kita serta

menyangkut politik anggaran pengelolaan anggaran subsidi energi.

105

Tentu saja, sebagai mitra menteri ESDM, Komisi VII DPR RI akan membuka diri untuk

selalu berdiskusi, membangun simbiosis produktif serta saling mendukung kebijakan-

kebijakan pemerintah demi mewujudkan sektor energi yang berdaulat di negeri sendiri.

Sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat“.

IR SATYA WIDYA YUDHA MSC

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar

106

Sektor Konstruksi sebagai Motor Pembangunan

Koran SINDO 7 November 2014

Sektor infrastruktur selama ini menjadikan daya saing Indonesia rendah, biaya logistik yang

mahal, serta mengerutkan keinginan investor dalam negeri maupun asing untuk menanamkan

investasinya.

Boleh dikatakan bahwa tanpa pembangunan infrastruktur yang baik jangan harap

pertumbuhan ekonomi nasional akan maksimal. Kita cukup bergembira karena secara tersirat

pasangan Jokowi-JK telah menunjukkan komitmennya untuk memperhatikan sektor

konstruksi.

Berulang kali disebutkan salah satu prioritas pasangan Jokowi-JK (Nawa Cita) adalah

meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dengan agenda

konkret membangun infrastruktur jalan baru sekurang-kurangnya 2.000 kilometer.

Pemerintahan baru Jokowi-JK memang memprioritaskan pembangunan sektor infrastruktur

untuk mengejar ketertinggalan pembangunan di bidang infrastruktur.

Sebagai salah satu mesin pertumbuhan, pembangunan infrastruktur membutuhkan dukungan

anggaran yang cukup besar. Merencanakan, membangun, dan memelihara infrastruktur

memakan biaya yang sangat besar, apalagi Indonesia merupakan negara yang sangat luas,

terdiri dari ribuan pulau-pulau yang sangat spesifik dari sisi kebutuhan, tantangan dan

kendalanya.

Pembangunan infrastruktur merupakan cost investment yang harus dikeluarkan pemerintah di

mana anggarannya masih lebih banyak mengandalkan pendanaan lewat APBN dan APBD.

Sayangnya, anggaran yang dikucurkan untuk infrastruktur lewat APBN/APBD masih belum

menggembirakan. Rata-rata anggaran infrastruktur yang telah dialokasikan APBN/APBD

masih kurang dari 4% dari PDB. Padahal, standar minimal alokasi yang dibutuhkan untuk

mendukung target pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah berkisar 5% PDB.

Coba saja amati alokasi dana infrastruktur di RAPBN 2015 sebesar Rp196 triliun, yang lebih

kecil dibandingkan pagu 2014 sebesar Rp206 triliun. Angka tersebut masih jauh dari

kebutuhan anggaran infrastruktur untuk menciptakan pertumbuhan yang berkualitas

mencapai Rp320 triliun. Kebutuhan anggaran bisa bertambah apabila 25 proyek infrastruktur

“warisan” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditaksir mencapai Rp300 triliun ikut

dibebankan.

107

Minimnya anggaran infrastruktur ini menurut Bank Dunia menyebabkan Indonesia

kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi hampir 1% setiap tahun dalam satu dekade

terakhir. Ini akan menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah untuk mencari sumber pendanaan

lain. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan kembali proyek-proyek

berskema public-private partnerships (PPP) atau kerja sama pemerintah-swasta (KPS)

sehingga swasta ikut terlibat dalam proses pembangunan.

Tambahan dana bisa juga didapatkan apabila pemerintah mampu mengurangi subsidi,

terutama subsidi energi, sehingga dana yang semula dialokasikan untuk kebutuhan tersebut

dialihkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Pada 2011, saat masih berkuasa, Presiden SBY meluncurkan program Masterplan Percepatan

dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program MP3EI yang tersebar di

seluruh pelosok negeri diharapkan bisa mengundang nilai investasi senilai Rp4.000 triliun.

Program MP3EI yang tidak hanya menekankan pembangunan infrastruktur yang

mengandalkan anggaran pemerintah semata, namun juga pembangunan infrastruktur yang

menekankan kerja sama lewat skema KPS tentu sudah barang tentu akan mendorong

pertumbuhan pasar konstruksi.

Pertumbuhan pasar konstruksi terus tumbuh tentu membuat banyak pelaku usaha yang

tertarik untuk terjun melakukan bisnis di sektor konstruksi. Data BPS 2013 menyebutkan,

jumlah perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi mengalami peningkatan yang cukup

pesat dari tahun ke tahun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 17% per tahun.

Jumlah perusahaan konstruksi pada pertengahan 2014 mencapai 108.583 perusahaan.

Di sini perlu dipahami pula bahwa meskipun ASEAN nanti akan menjadi pasar tunggal,

namun bukan berarti bisa bebas tanpa aturan. Untuk melakukan usaha jasa konstruksi, Badan

Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) harus bekerja sama dengan Badan Usaha Jasa

Konstruksi Nasional (BUJKN) yang berkualifikasi Besar dalam bentuk joint operation (JO)

atau joint venture (JV) dengan penyertaan modal asing saat ini dibatasi maksimal sebesar

55% untuk kontraktor dan 51% untuk konsultan. Batasan tersebut akan menjadi 70% setelah

terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 31 Desember 2015.

Apakah pelaku usaha nasional akan mampu menguasai pasar konstruksi setelah MEA

berlaku? Ini menjadi pertanyaan serius yang jawabannya tergantung dari kebijakan

pemerintah baru. Pemerintah harus menyadari bahwa penggarapan dan penguasaan potensi

pasar konstruksi belum didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia (SDM) dengan

keahlian yang tersertifikasi, standardisasi, dan mekanisme tender usaha dan jasa konstruksi,

maupun material konstruksi.

Faktanya, dari 600.000 insinyur Indonesia dengan kompetensi yang bisa disejajarkan dengan

negara lainnya, hanya 170 insinyur yang telah memenuhi mutual recognition arrangement

(MRA) yang merupakan pengalaman kompetensi tenaga ahli sesama negara anggota

ASEAN.

108

Dari sisi bisnis, pelaku usaha juga masih mengalami kesulitan mencari pendanaan murah,

suku bunga yang tinggi, dan kebijakan pajak yang kurang menguntungkan. Kondisi ini sangat

pelik karena saat ini kita menghadapi situasi likuiditas yang sangat ketat. Perbankan nasional

tidak memiliki dana yang cukup untuk mendanai proyek-proyek pembangunan, sementara

mereka kesulitan dalam menambah modal.

Dana pihak ketiga yang disimpan di perbankan nasional masih sedikit jika dibandingkan

dana-dana WNI yang diparkir di Singapura. Jika saja Jokowi-JK mampu “mengembalikan”

dana-dana yang disimpan di luar negeri tersebut, perbankan nasional akan lebih kuat karena

struktur modalnya meningkat.

Untuk menguasai pasar dalam negeri, pemerintah baru juga wajib memberikan perlindungan

terhadap kontraktor kecil di tengah dominasi kontraktor besar dalam industri jasa konstruksi

nasional. Dari jumlah kontraktor yang ada saat ini, sekitar 13% kontraktor besar dan

menengah menguasai 80% pasar, sedangkan 87% kontraktor kecil hanya menikmati 20%

pasar.

Dalam persaingan tersebut, good governance di industri konstruksi nasional masih belum

terjadi, sehingga kontraktor berskala kecil mengalami distorsi karena terjadi dominasi

kontraktor asing dan kontraktor besar (BUMN) baik proyek-proyek APBN maupun swasta.

Untuk itu, sistem kemitraan kontraktor besar-kecil, nasional/internasional-daerah, mutlak

dibangun.

Selain itu, memberi insentif dan disinsentif untuk mendukung pengelolaan rantai pasok oleh

kontraktor besar dan menengah serta melarang vertical integration oleh kontraktor besar,

khususnya dimulai dari kontraktor BUMN guna menghindari penguasaan rantai pasok dari

hulu hingga hilir. Selamat bekerja untuk pasangan Jokowi-JK.

ARIF BUDIMANTA

Direktur Eksekutif Megawati Institute

109

Potensi Broadband-Based Economy Koran SINDO 10 November 2014

Berdasar klasifikasi Global Competitiveness Index (GCI) dari World Economcy Forum

(WEF), daya saing global Indonesia berada di urutan ke-34 dan masuk ke negara yang

bercirikan efficiency-driven economy.

Untuk bisa masuk ke kelompok negara yang tergabung dalam innovation-driven economy,

Indonesia ditantang tidak hanya untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur, melainkan

juga menata sistem kelembagaan yang mampu mentransformasi sistem ekonomi lebih

berdaya saing.

Transisi dari efficiency ke innovation driven-economy membutuhkan infrastruktur yang

memungkinkan setiap proses tidak hanya efisien, melainkan juga menjamin munculnya

ledakan kreativitas dan inovasi dalam sistem perekonomian. Jaringan pita lebar (broadband)

merupakan salah satu elemen penting yang tidak hanya mengoneksikan people to people

tetapi juga fungsi- fungsi lain seperti pemerintahan (e-government), pendidikan (e-education),

pengadaan (e-procurement), e-logistik, serta sistem dan jaringan produksi nasional.

Di banyak negara maju, pemanfaatan pita lebar ke hal-hal produktif (meaningful broadband)

terus digalakkan. Misalnya saja, beberapa tahun lalu Pemerintah Amerika Serikat (AS)

melalui American Recovery and Reinvestment Act (RAA) menggelontorkan tidak kurang

dari USD7,2 miliar untuk memperluas akses pita lebar di seluruh wilayah AS. Sebanyak

USD2,5 miliar dialokasikan ke pembelajaran jarak jauh (distance learning), telemedicine,

dan memperluas jaringan pita lebar ke perdesaan.

Ekonomi AS menjadi sangat efisien dan produktif juga salah satunya dikontribusi investasi di

bidang pita lebar. Misalnya saja Kementerian Pertanian AS beberapa tahun lalu

mengalokasikan tidak kurang dari USD1,2 miliar untuk membangun Internet Service

Provider (ISP) di perdesaan.

Program ini bertujuan agar para petani serta koperasi petani dapat meningkatkan kualitas

produksi serta pemasaran produk pertanian. Melalui ketersediaan akses internet yang

memadai, petani serta asosiasi petani dapat mengikuti pergerakan harga dan dapat

berkomunikasi secara langsung dengan penjual. Dengan demikian, mata rantai intermediasi

dapat dipangkas dan kesejahteraan petani meningkat.

Penelitian di banyak negara maju, pemanfaatan pita lebar ke sektor produktif secara empiris

terbukti mampu menciptakan lapangan kerja baru, memperluas akses pasar, meningkatkan

efisiensi kerja, mengurangi beban biaya pemerintah, mengurangi emisi lingkungan, serta

110

meningkatkan produktivitas dan inovasi. Data Bank Dunia menunjukkan, setiap penambahan

10% penetrasi pita lebar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1,38% di negara

berkembang dan 1,12% di negara maju. Selain itu, menurut Broadband Commission,

pemanfaatan teleconferencing dan telecomputing menjelang tahun 2020 akan mampu

menghemat emisi CO2 hingga 7,8 gigaton.

Jaringan pita lebar didefinisikan sebagai akses internet dengan jaminan konektivitas,

ketahanan, dan keamanan informasi. Selain itu jaringan tersebut memiliki kemampuan triple-

play untuk mengirim suara, data, dan gambar dalam satu waktu di mana kecepatan minimal 2

Mbps untuk akses tetap (fixed) dan 1 Mbps untuk akses bergerak (mobile).

Tidak hanya Indonesia, hampir seluruh negara menghadapi tantangan tidak hanya penyediaan

infrastruktur, tetapi juga tingkat adopsi dan kualitas utilisasi. Pemanfaatan akses pita lebar

perlu terus didorong agar mendukung rantai nilai produksi serta sistem inovasi nasional.

Melalui hal ini, kita tidak hanya menjadi bangsa konsumen teknologi, tetapi juga bangsa

inovator serta penghasil aplikasi-aplikasi teknologi.

Di bidang pemerintahan, pemanfaatan e-pemerintahan akan memiliki dampak yang luas bagi

transformasi tata pemerintahan serta daya saing nasional. Relasi kerja, baik pemerintah-

pemerintah, pemerintah-bisnis maupun pemerintah-masyarakat, akan menjadi lebih produktif

dan efisien.

Untuk memastikan pembangunan serta pemanfaatan pita lebar di Indonesia dibutuhkan

keterpaduan serta harmonisasi yang bersifat kolaboratif dan inklusif. Dengan kata lain

pembangunan serta pemanfaatan pita lebar perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan,

baik pemerintah pusat-daerah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, asosiasi serta

masyarakat. Pembangunan pita lebar di Indonesia juga perlu mengoptimalkan potensi dalam

negeri agar pemanfaatannya lebih produktif dan berarti. Supaya lebih komprehensif, desain

pembangunan serta pemanfaatan pita lebar perlu didukung pengembangan sumber daya

manusia.

Pemerintah dapat mengajak perguruan tinggi dan dunia usaha untuk bersama-sama

melakukan edukasi serta pengembangan program yang bersifat kolaboratif produktif dengan

kedua lembaga tersebut. Dengan begitu generasi muda Indonesia akan memiliki kapasitas

adaptif yang lebih besar untuk menjadi agen perubahan kreatif dan inovatif. Konektivitas

antara perguruan tinggi- lembaga riset-dunia usaha-pemerintah akan lebih terfasilitasi secara

efisien dan efektif melalui pemanfaatan pita lebar.

Keterkaitan antara penyediaan dan pemanfaatan pita lebar dengan aktivitas inovasi juga

banyak didokumentasikan di berbagai hasil penelitian. Jaringan pita lebar yang terintegrasi

memudahkan dan mendukung aktivitas riset bersama (collaborative R&D networks), simulasi

virtual, artificial intelligence, dan metode kerja baru.

Selain itu juga pemanfaatan pita lebar memungkinkan banyak perusahaan dan dunia

pendidikan mengubah dari ide ke produk atau jasa baru. Mempercepat dari aktivitas riset

111

kebutuhan konsumen, pengembangan produk baru dan pemasarannya. Jaringan inovasi juga

memungkinkan mereka yang selama ini di luar lingkaran inovasi (innovation circle) dapat

terlibat dan berkontribusi dalam mekanisme inovasi.

Tidaklah mengherankan apabila banyak kalangan yang menyebut pemanfaatan jaringan pita

lebar akan semakin memperbesar apa yang kita sebut sebagai the democratization of

innovation. Secara keseluruhan proses ini tidak hanya membentuk budaya inovatif-produktif

tetapi juga mendorong ekonomi terus berdaya saing, efisien dan inovatif.

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

112

Merumuskan Kembali Peran Indonesia di ASEAN

Koran SINDO 10 November 2014

Sebagai negara anggota dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan ukuran ekonomi yang

terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang sangat menentukan masa depan

ASEAN.

Tanpa Indonesia, asosiasi negara-negara Asia Tenggara yang tahun 2014 ini sudah berusia 47

tahun itu kehilangan sekitar 40% dari penduduknya dan sekitar 40% dari luas daratannya.

Tanpa Indonesia, kata Walter Lohman, ASEAN akan kehilangan relevansinya dan negara-

negara Asia Tenggara harus mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan di tengah

bangkitnya Tiongkok dan upaya Amerika Serikat untuk memperkuat kehadirannya di

kawasan.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melakukan refleksi terhadap peran Indonesia di

dalam ASEAN dan peran ASEAN di dalam politik luar negeri Indonesia.

Kesenjangan Persepsi dan Perbuatan

Selama ini, posisi sentral ASEAN di dalam politik luar negeri Indonesia merupakan sesuatu

yang diterima tanpa pertanyaan. Di dalam lingkaran konsentris yang menggambarkan

prioritas politik luar negeri Indonesia, para diplomat Indonesia juga menempatkan ASEAN di

dalam lingkaran konsentris yang pertama.

Namun, seperti juga di dalam beragama, yang mengikrarkan kepercayaan dengan paling

keras tidak selalu menjadi orang yang paling taat dalam menjalankan kepercayaannya. Dalam

hal ini, kita sering menemukan kesenjangan di antara pandangan bahwa “ASEAN adalah

prioritas” dengan upaya-upaya mobilisasi sumber daya dan perencanaan untuk memanfaatkan

ASEAN sebagai sarana utama di dalam kebijakan luar negeri Indonesia untuk mewujudkan

kepentingan rakyat Indonesia.

Salah satu contoh yang dapat diambil adalah mengenai kesiapan Indonesia menghadapi

Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Dalam rapat koordinasi para pemangku kepentingan

berkaitan dengan Komunitas ASEAN 2015, Maret 2014, pemerintah menyebutkan bahwa

Indonesia merupakan negara yang relatif lebih siap dibandingkan dengan negara-negara

anggota yang lain. Indonesia, menurut data dari pemerintah, telah memenuhi 84,4% dari

seluruh komitmen yang disepakati untuk dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN di

113

dalam Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Angka ini jauh di atas negara-negara

anggota yang lain yang rata-rata baru memenuhi 79,6%-nya saja.

Namun, apakah angka-angka tersebut merupakan ukuran yang tepat untuk menilai kesiapan

Indonesia menghadapi Komunitas ASEAN? Apakah kalau kita mematuhi kesepakatan,

berarti otomatis kita sudah siap melakukan kesepakatan tersebut? Apakah kalau kita sudah

menyepakati satu tindakan liberalisasi terhadap satu sektor tertentu, berarti kita memang

sudah siap dengan dampak-dampak negatifnya terhadap industri domestik dan menyiapkan

mitigasinya serta mengoptimalkan manfaatnya?

Ada mata rantai yang terputus. Mengukur “kesiapan” dengan tingkat “kepatuhan pada

komitmen dalam Cetak Biru” menghilangkan diskusi tentang kebijakan-kebijakan apa yang

telah dan akan diambil untuk mengoptimalkan manfaat dan mengendalikan dampak dari

pelaksanaan komitmen tersebut.

Sebagai contoh, kepatuhan Indonesia pada komitmen-komitmen Komunitas Ekonomi ASEAN

sangat tinggi, namun penelitian yang dilakukan oleh ASEAN Study Center FISIP UI yang

dilakukan terhadap para tenaga kerja terampil Indonesia (2013) dan penelitian yang

dilakukan oleh CIRES UI terhadap pemerintah daerah (2014) menunjukkan bahwa

pemahaman dan kesiapan dari pihak-pihak yang akan terdampak dengan berlakunya

komitmen-komitmen tersebut masih sangat terbatas.

Hal ini sedikit banyak menggambarkan peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang

“sektorial” (Emmers, 2014). Dengan posisinya sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara,

kepemimpinan Indonesia hanya terbatas pada sektor politik dan keamanan, yang capaiannya

sering kali abstrak. Sementara itu, di sektor ekonomi, yang capaian dan dampaknya lebih

dapat diukur dan memberikan dampak langsung pada masyarakat, peran kepemimpinan

justru dimainkan oleh negara-negara lain (Emmers, 2014).

Hal ini membuat Indonesia, di bidang ekonomi, lebih banyak “menyesuaikan diri” terhadap

arah yang telah digariskan oleh kekuatan-kekuatan lain. Tandanya seperti terpecah-pecahnya

koordinasi untuk menghadapi atau memanfaatkan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 nanti.

Lebih Kuat

Berangkat dari pemahaman tersebut, ada beberapa langkah atau kebijakan yang dapat diambil

oleh pemerintah Indonesia berkaitan dengan ASEAN. Pertama, Indonesia harus membangun

ASEAN yang lebih kuat, namun dengan penguatan yang lebih terukur dan realistis. Saya

memiliki pandangan yang sama dengan pandangan arus utama yang melihat bahwa ASEAN

sebaiknya tetap dipertahankan.

Seperti disampaikan oleh Stephen Krasner, salah satu cara negara-negara bukan adidaya

untuk menghindar dari dampak-dampak negatif dari keriuhan power politics adalah

membangun rezim internasional yang otoritatif (Krasner, 1985). Meskipun demikian, upaya

114

penguatan ASEAN dan sentralitas ASEAN harus dilakukan dengan terukur.

Upaya membuat ASEAN lebih kuat tidak boleh disusun hanya berdasarkan keinginan dan

target-target yang muluk dan terlihat hebat namun membuat negara-negara anggotanya

pontang-panting untuk mengikutinya sampai pada titik mengorbankan kepentingan nasional

atau melompati proses konsultasi dengan pemangku kepentingan di dalam negeri masing-

masing.

Kedua, Indonesia harus membangun kepemimpinan yang lebih menyeluruh di ASEAN,

terutama di dalam bidang ekonomi yang memberikan dampak yang jelas pada kehidupan

rakyat Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa agenda-agenda yang diusung di

dalam integrasi kawasan benar-benar membawa manfaat bagi Indonesia. Sebagai contoh,

selama ini agenda-agenda pembangunan infrastruktur dalam rangka mendorong konektivitas

ASEAN (ASEAN Connectivity) didominasi oleh infrastruktur darat. Padahal, mayoritas

wilayah Indonesia dan keterhubungannya dengan negara-negara ASEAN yang lain dilakukan

melalui wilayah perairan. Indonesia harus benar-benar merumuskan kepentingan nasionalnya

dan memperjuangkannya melalui ASEAN.

Ketiga, Indonesia harus menyelaraskan kepentingan nasional dengan agenda yang diusung

melalui ASEAN. Kepemimpinan Indonesia yang lebih utuh hanya dapat terwujud jika para

pelaku kebijakan luar negeri kita benar-benar mengetahui kepentingan nasional kita dengan

capaian-capaian yang terukur.

Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan koordinasi yang baik di antara berbagai pemangku

kepentingan di dalam negeri. Upaya ini tentu melibatkan lembaga-lembaga yang mengurusi

hubungan dengan negara lain (Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan)

maupun yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan domestik (Kementerian Perindustrian,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,

Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah-pemerintah daerah, kalangan bisnis, asosiasi-

asosiasi profesi, dan sebagainya).

Harus ada koordinasi yang baik di antara lembaga-lembaga pemerintah dari hulu hingga ke

hilir. Dalam konteks ini, kepemimpinan dari presiden menjadi kunci penting.

SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD

Sekretaris Eksekutif ASEAN Study Center FISIP UI

115

Kekurangan Pidato Presiden Jokowi di APEC

Koran SINDO 12 November 2014

CEO Summit dan KTT CEO APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) menjadi saksi

sambutan meriah dari para kepala negara dan tokoh bisnis Asia-Pasifik untuk Presiden

ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi).

Sebagai forum dialog yang menghubungkan pebisnis dengan kepala-kepala negara di

kawasan yang di abad ke-21 ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia, sambutan meriah

tersebut memunculkan harapan bahwa ini merupakan awal baik bagi Indonesia.

Ada beberapa catatan yang perlu diberikan kepada Presiden Jokowi terkait dengan debut

pertamanya dalam CEO Summit di Beijing yang akan dilanjutkan dengan KTT APEC, KTT

ASEAN dan East Asian di Myanmar dan terakhir adalah G-20 di Australia. Dalam forum-

forum tersebut Presiden akan bertemu dengan banyak perwakilan negara maju dan

berkembang.

Pertama kita perlu ingat bahwa APEC adalah forum untuk saling memengaruhi antarnegara

anggota. Kita menghargai bahwa Presiden Jokowi telah menyampaikan peluang bisnis yang

tersedia di Indonesia. Namun semestinya hal tersebut diimbangi dengan tuntutan kepada

pasar-pasar potensial kita seperti China, Rusia, dan Amerika Serikat.

Tidak seperti forum internasional pada umumnya di mana yang bertemu adalah diplomat dan

tim kepala negara saja, APEC merupakan tempat pertemuan CEO dan pelaku usaha yang

berorientasi global dengan tokoh-tokoh negara. Esensi pertemuan APEC tidak cukup di

pidatonya, melainkan juga dalam lobi-lobi yang dilakukan antara cara dan penjajakan sinyal

peluang usaha.

Contohnya ketika Presiden Vladimir Putin mengeluhkan tidak baiknya hubungan ekonomi

Rusia-Indonesia. Kita perlu mengingatkan Rusia tentang larangan ekspor minyak kelapa

sawit kita ke pasar Rusia karena ketentuan hydrogen peroxide yang tidak boleh lebih dari

0,9%. Masalah itu perlu dibicarakan jalan keluarnya karena hanya negara Eropa, khususnya

Belanda, yang tidak memiliki pohon sawit yang dekat dengan Rusia yang diuntungkan dari

peraturan tersebut. Kita juga masih ingat kegagalan dari delegasi Indonesia untuk

memasukkan minyak kelapa sawit dalam daftar environmental good list tahun lalu di Bali.

Kedua, kita juga menghargai kesederhanaan perjalanan Jokowi dari jumlah delegasi yang ikut

serta. Namun kita berharap hal itu juga tidak mengurangi kualitas dan target kunjungan

kenegaraan yang harus dicapai.

116

Setiap negara yang datang ke APEC telah membawa agenda mereka masing-masing.

Amerika memiliki agenda untuk meyakinkan China bahwa ekspansi ekonomi mereka yang

agresif akan merugikan ekonomi dunia. Rusia juga menggalang dukungan dari negara Asia-

Pasifik untuk menghadapi blokade yang dilakukan negara-negara Eropa. Mereka telah

membawa paket-paket yang akan dihantarkan para diplomatnya ke negara-negara anggota

APEC.

Kita bisa berharap tim kepresidenan telah melakukan sinergi dengan para pengusaha

domestik dan para pemangku kepentingan yang terkait agar Indonesia bisa mendesakkan

paket kerja sama yang akan lebih menguntungkan Indonesia dibandingkan mitra kita atau

setidaknya jangan sampai paket kerja sama dari negara lainlah yang merajai dan kita cuma

dapat recehan saja.

Kita dapat mengambil contoh strategi bisnis yang dilakukan China terhadap mitra kerja sama

mereka di Nigeria. China banyak melakukan investasi pembangkit tenaga listrik di Nigeria.

Namun sambil menjalankan kerja sama tersebut, China juga menjalankan strategi politik

memperluas diaspora dengan membawa pekerja-pekerja dari China masuk ke pasar tenaga

kerja dan bisnis di negara tujuan. Masyarakat China yang tinggal di sana kemudian melihat

peluang bisnis ritel yang tersedia dan mulai melakukan impor barang-barang China yang

memang lebih murah. Artinya, alih-alih kita mendapatkan investasi, Indonesia justru

kehilangan pasar dan kesempatan membuka lapangan kerja bagi orang Indonesia sendiri. Itu

sebabnya sejumlah negara di Afrika mulai hati-hati dengan model kerja sama China.

Berbeda dengan China, para pebisnis asal Amerika Serikat (AS) juga mencari peluang

investasi sambil meminta jaminan negara tujuan untuk bertanggung jawab atas segala

kerugian dan risiko yang mereka alami selama berinvestasi di suatu negara. Hal ini tecermin

dalam perjanjian TPP.

Selain itu, Pemerintah AS ingin agar produk-produk dari AS kemudian punya peluang untuk

masuk ke Indonesia dan laku! Artinya kalau sampai produk tersebut kurang laku, misalnya

karena konsumen Indonesia tidak tertarik, mereka akan masuk lewat jalur marketing

intelligence demi mengubah selera konsumen. Jika masih tidak berhasil, negara akan diminta

pertanggungjawabannya lewat sengketa dagang. Perhatikan betapa sinergis kerja sama antara

pelaku usaha dengan pemerintah di AS.

Pidato Presiden Jokowi selama 15 menit di depan para CEO akan jauh lebih bermakna dan

memiliki daya gentar bila kita dapat menyampaikan kesulitan-kesulitan yang kita alami

dalam melakukan penetrasi ke pasar negara lain. Ini juga penting sebagai pesan yang harus

diingat negara-negara lain ketika berhubungan bisnis dengan Indonesia.

Presiden Jokowi semestinya juga perlu menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan

investor yang menghargai upah buruh yang layak, memiliki tanggung jawab terhadap

lingkungan alam dan masyarakat, serta memiliki komitmen untuk berinvestasi dalam jangka

waktu yang panjang.

117

Dengan kata lain, kita tidak hanya mengharapkan para investor untuk segera menanamkan

modal mereka, tetapi juga mengharapkan investor yang memiliki komitmen bersih dan sesuai

dengan ideologi negara Pancasila yang anti-pasar bebas seperti yang selalu diucapkan Jokowi

dalam kampanye pada waktu yang lalu.

Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi memiliki kapasitas untuk menyampaikan pesan-

pesan ideologis tersebut di dalam setiap forum internasional agar negara-negara lain tidak

salah paham dalam menerjemahkan setiap kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia.

Presiden Barack Obama dalam pidato di forum yang sama setelah Presiden Jokowi

mengatakan bahwa dia akan melakukan apa pun untuk mengembalikan seluruh pekerjaan dan

industri ke Amerika. Namun dia juga menyampaikan dalam satu paragraf yang sama bahwa

di dalam abad ke-21, upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja

dan perdagangan bukanlah zero-sum game. Kemakmuran satu negara tidak boleh

menghilangkan hak negara lain untuk makmur. Jika kita bekerja dan bertindak bersama,

ikatan ekonomi akan menguntungkan seluruh bangsa. Pesan-pesan ideologis seperti itu tidak

hanya akan memberi sinyal positif kepada pihak di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri

sebagai janji bahwa pemerintahan Jokowi memang berniat melindungi kepentingan

Indonesia.

Pada titik tersebut, kita dapat memberikan pesan yang jelas tentang maksud politik bebas-

aktif yang kita anut sambil membedakannya dengan strategi yang dijalankan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono sebelumnya.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

118

Merangkul Sektor Pelayaran Koran SINDO 13 November 2014

Dahulu ada film berjudul Mendadak Dangdut yang lumayan terkenal. Film ini

menggambarkan bagaimana dua anak manusia yang tidak mengenal musik itu, karena

keadaan terpaksa, menyanyikannya di atas panggung musik di sebuah kampung demi

menghindari kejaran polisi.

Dengan kepemimpinan nasional dipegang oleh Presiden Joko Widodo, kini muncullah

“mendadak maritim”. Mirip seperti Mendadak Dangdut, isu kemaritiman dibicarakan oleh

berbagai kalangan, tidak peduli apakah mereka memiliki pengetahuan atau tidak tentang apa

itu kemaritiman.

Yang terjadi akhirnya adalah oversimplifikasi makna kemaritiman. Kemaritiman dimaknai

sama dengan keluatan, padahal ini dua hal yang berbeda. Menurut diplomat emeritus Hasjim

Djalal, kelautan bersifat fisikal, sementara kemaritiman adalah jiwa dan pikiran yang pandai

memanfaatkan laut. Jika Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut kata “maritim” atau

“kemaritiman”, ini sejatinya harus dimaknai bagaimana memanfaatkan lautan Nusantara

untuk pelayaran (shipping) dan aspek ikutannya seperti perdagangan, asuransi, dan lainnya.

Berlaku umum di dunia, memang pelayaranlah yang lazim disebut kemaritiman, tidak yang

lainnya. Alasannya sederhana, bisa saja sebuah negara memiliki industri perikanan yang

modern, wisata bahari yang eksotik, atau yang lainnya. Namun, selama negara itu tidak

memiliki pelayaran yang kuat semua tadi tidak akan banyak gunanya karena tidak ada yang

akan mengangkutnya. Kolonialisme menjadi mungkin dilakukan oleh negeri penjajah karena

mereka memiliki armada kapal yang tangguh.

Keberadaan Angkatan Laut (AL) sebuah negara, paling tidak menurut Capt A T Mahan,

seorang ahli strategi maritim terkenal dalam bukunya, The Influence of Sea Power Upon

History 1660-1783, muncul dari aktivitas pelayaran. Katanya: “...the necessity of a navy, in

the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful

shipping...”.

Pelayaran Nasional dan Tol Laut

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan banyak masyarakat yang berbicara kemaritiman

kendati mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk itu. Malah ini patut diapresiasi

mengingat lebih dari 30 tahun isu kemaritiman tenggelam dari wacana publik di Indonesia.

Di sinilah Presiden Joko Widodo layak dihargai karena pilihannya dalam kampanye

119

pemilihan presiden (pilpres) yang lalu dengan mengangkat isu kemaritiman sangat thought

provoking sehingga isu kemaritiman menjadi in. Kendati demikian, “mendadak maritim”

tetap saja memiliki dampak yaitu membelokkan arah kemaritiman yang seharusnya

ditempuh.

Kondisi ini terasa sekali dalam penerapan gagasan tol laut Presiden Joko Widodo. Tol laut

diartikan sebagai pembangunan pelabuhan besar-besaran di hampir seluruh daerah yang

masuk dalam koridor tol laut (Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar,

Bitung, dan Sorong). Sementara aspek pelayarannya hampir tidak terdengar disinggung.

Pembangunan pelabuhan sah-sah saja, tapi membangunnya tanpa memikirkan apakah kapal

akan menyandarinya kelak jelas suatu pemborosan. Kita memiliki banyak contoh bagaimana

pola ini dijalankan. Salah satunya Pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat. Sebelum

reformasi, di pelabuhan ini dibangun fasilitas terminal untuk melayani peti kemas seperti

gantry crane, namun bongkar muat peti kemas hampir tidak ada. Pengusaha lebih memilih

Pelabuhan Belawan di Sumater Utara yang jauh lebih banyak dikunjungi kapal.

Menurut cerita, Pelabuhan Teluk Bayur dibangun fasilitasnya lebih karena pejabat yang

mengurusi perhubungan negeri ini saat itu adalah urang awak. Dengan begitu, rasanya tidak

elok jika pelabuhan di daerah asalnya tidak dikembangkan.

Kasus Teluk Bayur adalah sebait cerita tentang bagaimana pembangunan pelabuhan lebih

dilihat dari sudut daratan (port view). Idealnya, pengembangan pelabuhan haruslah dari sudut

lautan atau ship view. Implementasi gagasan tol laut Presiden Joko Widodo yang berjalan saat

ini menguarkan aroma pendekatan pembangunan pelabuhan zaman Orde Baru.

Operator pelabuhan, baik dari kalangan BUMN maupun swasta, serta pemerintah daerah

sepertinya berlomba-lomba merencanakan pembangunan pelabuhan demi mendukung tol

laut. Padahal, jika dilihat dari sudut ship view, pelabuhan yang mereka usulkan tidak

termasuk dalam pola berlayar operator kapal.

Pengembang pelabuhan barangkali berpikiran bila mereka berhasil membuat pelabuhan yang

modern, kapal akan datang dengan sendiri. Mereka salah. Dalam dunia pelayaran berlaku

prinsip ship follows the trade dan ini tidak berlaku kebalikannya.

Karena itu, mumpung tol laut sedang disiapkan implementasinya ada baiknya semua

pemangku kepentingan kemaritiman bersungguh-sungguh melibatkan kalangan pelayaran

dalam pembahasan gagasan Presiden tersebut. Untuk memulai itu, Presiden Joko Widodo

tentu sangat berperan. Ia bisa merangkul kalangan pelayaran yang tergabung dalam wadah

The Indonesian National Shipowners Association (INSA) duduk bareng membicarakan

program tol laut. Dari mereka, Presiden meminta masukan apakah pelabuhan-pelabuhan yang

masuk dalam koridor tol laut itu sudah sesuai pola berlayar. Bisa juga Presiden bertanya

kepada INSA mengenai insentif seperti apakah yang mereka perlukan dalam mendukung

program tol laut.

120

Di samping itu, dan ini yang paling penting, Presiden bisa meminta masukan apakah dengan

tol laut program beyond cabotage INSA dapat dijalankan secara sinergis. Ini berarti

pelayaran nasional nanti tidak hanya diminta merajut Nusantara, tapi juga merajut kawasan

Asia-Pasifik.

Jadi, Pak Jokowi. Pelayaran diajak juga dong dalam mewujudkan visi maritim Anda. Jangan

hanya bergantung pada satu stakeholder untuk itu.

SISWANTO RUSDI

Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)

@Srusdi

121

Menimbang Penarikan Dana Pemda di BPD Koran SINDO 15 November 2014

Kini mencuat di permukaan rencana Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk

menarik dana menganggur milik pemerintah daerah (pemda) di bank pembangunan daerah

(BPD).

Tentu saja rencana itu membuat BPD berkeringat dingin lantaran dapat membuat kering

likuiditas. Bagaimana sebaiknya?

Rencana bak petir di siang bolong itu bertujuan untuk menarik dana pemda ke pusat untuk

dikumpulkan dalam rekening khusus yang bertajuk treasury single account (TSA). Melalui

sistem ini, saldo kas pemda di BPD yang menganggur alias tidak terpakai akan otomatis

masuk ke dalam akun BI demi efisiensi.

Aneka Pertimbangan

Kalau demikian, faktor apa yang patut dipertimbangkan dalam melaksanakan rencana itu?

Pertama, menetapkan kriteria dana menganggur (idle fund). Menurut Ketua Umum Asosisasi

BPD (Asbanda) Eko Budiwiyono, saat ini rata-rata dana pemda yang mengendap di satu BPD

bisa mencapai 60% hingga 70% dari total dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki

BPD. Bahkan di beberapa BPD tertentu, dana pemda setempat bisa mencapai 80% dari total

DPK BPD yang bersangkutan (Harian Kontan, 20 Oktober 2014). Wah! Untuk itu,

Kementerian Keuangan, BI, dan Asbanda perlu duduk bersama untuk membahas rencana itu.

Salah satu topik yang layak dibahas adalah menentukan kriteria dana menganggur misalnya

deposito berjangka dan berapa tenor (jangka waktu)-nya. Langkah itu bertujuan final untuk

menekan resistensi. Karena selama ini regulator hampir selalu melempar dulu isu ke publik,

kemudian baru mengadakan perundingan dengan asosiasi perbankan.

Sebagai contoh, ketika pemerintah menyatakan bahwa Bank Mandiri akan melakukan

akuisisi terhadap BTN. Pola demikian sudah saatnya diubah dengan berunding dulu dengan

asosiasi perbankan.

Kedua, membawa risiko pada likuiditas. Sudah barang tentu rencana itu akan membahayakan

likuiditas BPD ke depan, karena saat ini pun BPD sudah mengalami kesulitan likuiditas.

Apa buktinya? Memang betul BPD masih mampu meningkatkan penyaluran kredit 14,34%

dari Rp252,78 triliun per Agustus 2013 menjadi Rp289,02 triliun per Agustus 2014. Namun,

dana pihak ketiga (DPK) “hanya” tumbuh 9,32% dari Rp322,12 triliun menjadi Rp352,14

triliun pada periode yang sama.

122

Hal ini menyiratkan pertanda bahwa BPD mengalami kesulitan dalam menghimpun DPK

alias likuiditas semakin ketat. Pertumbuhan kredit dan DPK yang tidak seimbang itu

mendorong loan to deposit ratio (LDR) melaju cukup signifikan dari 78,47% menjadi

82,07% di tengah rasio LDR yang ideal 78- 92% sebagaimana ditetapkan oleh BI. Rasio LDR

BPD itu masih lebih rendah daripada rata-rata industri 90,63% per Agustus 2014. Artinya,

pengucuran kredit BPD masih terkendali dengan baik. Padahal ke depan hingga 2015,

likuiditas perbankan nasional masih terancam kemarau panjang.

Tengok saja, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah memutuskan untuk

menghentikan stimulus keuangan ke pasar keuangan setempat. Bahkan, The Fed berencana

untuk menaikkan suku bunga yang kini 0,25% mengingat ekonomi AS terus membaik. Hal

ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran. Kenaikan suku bunga itu akan terjadi

paling cepat pada semester I/2015. Cepat atau lambat, hal itu akan mendorong uang panas di

pasar keuangan nasional akan kembali ke AS (sudden reversal). Akibatnya, nilai tukar rupiah

terancam melemah.

Nah, ketika BI menanggapi gejala itu dengan menaikkan suku bunga acuan BI Rate di atas

posisi sekarang ini 7,5%, likuiditas perbankan akan makin gersang. Ringkas tutur, regulator

wajib mempertimbangkan ancaman tersebut sebelum melaksanakan penarikan dana pemda di

BPD.

Ketiga, mendorong kenaikan modal dari sumber lain. Rata-rata dana pemda yang mengendap

di satu BPD bisa mencapai 60-70% dari total DPK itu sungguh memprihatinkan. Hal itu

menunjukkan bahwa BPD bersangkutan tidak mampu memanfaatkan asetnya dengan cantik.

Lihat saja imbal hasil aset (return on assets/ROA) BPD tampak menurun dari 3,27% per

Agustus 2013 menjadi 2,69% per Agustus 2014 sekalipun masih di atas ambang batas 1,5%.

Namun, hal itu menunjukkan bahwa kualitas aset (assets quality) menurun.

Bukan hanya itu. Kalau sebagian besar dana menganggur itu milik pemda, itu berarti pemda

setempat kurang mampu melakukan pembangunan di daerahnya. Hal itu ditengarai dengan

penyerapan anggaran yang tidak optimal. Pada umumnya, penyerapan anggaran baru marak

pada akhir tahun. Adalah tugas pemerintah pusat untuk mendorong pemda untuk

memanfaatkan anggaran seoptimal mungkin.

Dengan bahasa lebih bening, bila terdapat dana menganggur yang sedemikian tinggi itu

bukan semata-mata kesalahan BPD. Namun, itu sekaligus sebagai tantangan BPD untuk

mampu membuat aset makin berkualitas dengan mengucurkan dana lebih banyak ke kredit

produktif, yakni modal kerja dan investasi daripada konsumsi.

Di sisi lain, kini saatnya BPD menggenjot modal lebih tinggi lagi selain dari dana

pemda. Modal kuat sebagai elemen penting dalam mewujudkan cita-cita BPD untuk menjadi

jawara di daerahnya (regional champion). Oleh karena itu, ketika rencana penarikan dana

pemda di BPD itu menjadi kenyataan, BPD tidak akan mengalami risiko likuiditas yang

berarti.

123

Keempat, mengerek tingkat efisiensi. Selain itu, BPD pun wajib menaikkan tingkat efisiensi

yang tercermin pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO).

Statistik Perbankan Indonesia, Agustus 2014 yang terbit 16 Oktober 2014 mencatat BOPO

BPD menipis dari 71,66% per Agustus 2013 menjadi 77,87% per Agustus 2014 meskipun

lebih baik daripada rata-rata industri 76,37%. Padahal, BPD sudah selayaknya justru mampu

menggenjot tingkat efisiensi karena efisiensi tinggi merupakan salah satu kunci dalam

memenangi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang efektif akhir 2015.

Berbekal aneka pertimbangan demikian, rencana penarikan dana pemda di BPD dapat

terlaksana dengan lancar. Namun, likuiditas BPD juga tetap perkasa untuk mampu bersaing

dalam era yang sarat persaingan sengit itu.

PAUL SUTARYONO

Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI, Anggota Pengawas Yayasan

Bina Swadaya & Alumnus MM UGM

124

Sinergi Kebijakan Maritim Indonesia Koran SINDO 15 November 2014

Diskusi ide tentang konsep Indonesia sebagai negara maritim kembali menghangat seiring

visi Poros Maritim Dunia yang diusung oleh Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo

(Jokowi) dan Jusuf Kalla dalam masa kampanye pemilihan presiden.

“Tol Laut” menjadi salah satu ide kebijakan yang akan diusungnya untuk memangkas

tingginya biaya pengangkutan dan transportasi lain, selain untuk mendorong tingkat

konektivitas antarribuan pulau di Indonesia. Dalam pidato pelantikannya, Jokowi secara lugas

menyatakan bahwa samudra, laut, selat dan teluk adalah masa peradaban kita.

Persoalan kemiskinan nelayan, minimnya transportasi antarpulau baik laut maupun udara,

lemahnya pengamanan dan pengawasan keamanan perairan Indonesia, minimnya pendapatan

negara dari sektor perikanan, serta lemahnya industri nasional berbasis maritim jelas bukan

merupakan kemiskinan ide dan konsep tentang pembangunan peradaban maritim Indonesia.

Sejak Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 tentang konsep negara kepulauan yang

kemudian diakui internasional melalui Konvensi Laut Internasional (UNCLOS ) tahun 1982,

telah hadir beberapa konsep tentang negara maritim Indonesia mulai dari pembangunan

industri strategis kepulauan, Hari Nusantara, Seruan Sunda Kelapa hingga pembangunan

maritim.

Namun, masih terpuruknya pembangunan negara maritim Indonesia harus diletakkan sebagai

persoalan interpretasi dan implementasi kebijakan publik yang jauh dari semangat orientasi

solusi, keberlanjutan, keterbukaan, pro-rakyat dan penguatan masyarakat sipil.

Tak mengherankan persoalan koordinasi dan “ego sektoral” selalu menjadi “tamu tetap”

sebagai bagian dari masalah dalam setiap analisa dan evaluasi kebijakan maritim Indonesia.

“Keputusan” Menteri Kelautan dan Perikanan baru untuk membagi data pengawasan laut

milik kementeriannya kepada Angkatan Laut, misalnya, dapat dimaknai sebagai semangat

awal sinergi kebijakan maritim Indonesia.

Secara sederhana, sinergi kebijakan maritim merupakan “seni” menata fungsi delegasi dan

dekonsentrasi dari semua pihak terkait (stakeholder) baik aktor negara maupun non-negara

berkaitan dengan fungsi “laut”. Sinergi berarti adanya komunikasi dan kolaborasi antar

seluruh stakeholder dalam merumuskan arah, tujuan dan target dari seluruh aktivitas yang

dilakukan sehingga mampu menciptakan kebijakan mampu dipertanggungjawabkan dalam

pelaksanaannya. Sinergi artinya keselarasan visi-misi dengan indikator pencapaian yang

terbuka terhadap umpan balik.

125

Terlepas dari perdebatan penggunaan makna “laut” atau “maritim”, interpretasi fungsi laut

harus dimaknai secara holistis dan komprehensif, yaitu bahwa “laut” bukan hanya terbatas

sebagai sumber ekonomi karena kandungan alamnya, namun juga sumber kekuatan politik-

keamanan dan sosial budaya.

Posisi geostrategi kepulauan Indonesia dalam pusaran lalu lintas ekonomi dunia, misalnya,

harus didukung oleh kemampuan pengaturan, pengawasan dan jaminan keselamatan bagi

para pelintas di wilayah kedaulatan perairan Indonesia.

Pengetahuan lokal dan tradisi masyarakat pesisir dan nelayan harus mampu terakomodasi

dalam kebijakan manajemen bersama (co-management) dalam mendorong proses

pembangunan yang berkesinambungan dan ramah lingkungan. Fungsi delegasi terkait dengan

desentralisasi kewenangan pusat kepada lokal secara vertikal, sedangkan fungsi dekonsentrasi

merupakan pembagian kewenangan secara horizontal sesuai dengan tugas kerjanya.

Fungsi delegasi misalnya terkait dengan kewenangan lokal dalam penataan daerah pesisir

pantai, penangkapan ikan atau standar layanan pelabuhan. Swedia mungkin contoh paling

menarik bagaimana kuatnya inisiatif dan posisi masyarakat pesisir, khususnya nelayan,

mampu menguatkan fungsi delegasi antara pemerintah pusat dan lokal dalam mendorong

kebijakan co-management yang berkesinambungan. Standar kehidupan nelayan terjamin.

Di sisi lain, fungsi dekonsentrasi fokus pada penataan kewenangan antara aktor secara

horizontal, misalnya kewenangan dalam pengaturan penangkapan ikan, keamanan pelabuhan,

keselamatan angkutan dan transportasi laut, pertahanan dan keamanan laut, pertambangan

lepas pantai atau penentuan wilayah konservasi laut.

Amerika Serikat dan Inggris sering kali dijadikan representasi negara maritim besar ketika

kepentingan ekonomi global mereka telah didukung oleh kekuatan militer dan pengangkutan

laut (shipping) yang efisien. Pagelaran kekuatan angkatan laut kedua negara tersebut hadir

dekat dalam penjagaan kepentingan ekonomi nasional.

Sinergi kebijakan maritim Indonesia menjadi kata kunci dalam mendorong percepatan

penguatan peradaban maritim Indonesia. Langkah strategis awal yang harus diperkuat adalah

proses produksi dan reproduksi pengetahuan terkait dengan penataan sistem manajemen

maritim Indonesia.

Dalam era informasi, peran media massa atau media sosial sering kali berkhianat dari fungsi

hakikinya sebagai percepatan alur informasi dan mendekatkan para pihak-pihak yang terkait.

Tak jarang konsumsi informasi melalui media ini cenderung menjauhkan hubungan bahkan

berpotensi memicu “konflik”.

Namun di sisi lain, era informasi dan globalisasi pun menyediakan banyak kesempatan dan

ruang dalam bersinergi, memperkuat fungsi kontrol melalui transparansi serta partisipasi

masyarakat dalam menjamin keberlangsungan sebuah ide pembangunan.

126

Diperlukan strategi berjenjang dalam sirkulasi “pengetahuan” yang diperlukan setiap institusi

negara atau kementerian dalam mengevaluasi program kerjanya. Perkembangan sistem

informatika, misalnya, mampu mempercepat dan memperkuat sinergi antarkementerian

dalam menjalankan tupoksinya.

Setidaknya saat ini ada beberapa institusi yang memiliki fungsi kewenangan di wilayah

perairan Indonesian yang sering kali tumpang tindih dalam pelaksanaan sistem keamanan

maritim Indonesia mulai dari Kementerian Pertahanan, TNI AL, Polisi Air, Kementerian

Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Badan Koordinasi Keamanan

Laut, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian

Energi, dan Sumber Daya Mineral, serta Imigrasi dan Bea Cukai.

Melalui teknologi e-government, kebijakan dan evaluasi program setiap institusi bisa

disirkulasi (sharing) dan terbarukan (update). Bahkan, sistem intranet dalam kementerian

dalam diadopsi untuk keperluan seleksi informasi kebutuhan institusi dan publik.

Persoalan “sepele” dan klasik dalam sistem manajemen maritim Indonesia, namun sering kali

menjadi penghambat utama dalam proses sinergi adalah penataan dokumen atau arsip. Selain

masih minimnya kesadaran tentang dokumentasi, kondisi lapangan dan minimnya

infrastruktur terutama di wilayah sekitar perbatasan sering kali menjadi persoalan utama.

Salah satu contoh nyata, Indonesia tidak memilik data resmi tentang jumlah nelayan

Indonesia yang ditangkap dan bahkan ditahan oleh pengadilan Australia akibat tuduhan

melakukan penangkapan ilegal di perairan Australia. Selama ini data lebih bersumber dari

Australian Fisheries Management Authority (AFMA).

Hal ini semakin dimaklumi misalnya jika melihat kondisi lapangan bahwa perjalanan dari

pusat pemerintahan di Pulau Rote menuju Desa nelayan Pepela memakan waktu sekitar dua

jam. Bahkan, seorang nelayan di desa nelayan di Tablolong, Kupang mengatakan sukarnya

mengurus izin jalan kapal yang harus memakan waktu sekitar dua jam ke pusat kota dengan

biaya naik “ojek” sekitar Rp100.000, bahkan belum tentu sehari selesai karena kadang kala

petugasnya absen.

Padahal, dokumentasi menjadi instrumen penting, tidak saja sebagai dasar proses

pengambilan keputusan yang penting, namun juga sebagai bukti kuat dalam diplomasi

perbatasan. Dokumentasi menjadi instrumen penting dalam upaya sinergi dan berlanjutan

pembentukan peradaban maritim Indonesia.

Sinergi kebijakan maritim Indonesia hanya dapat dilakukan dengan kesadaran penuh atas

pentingnya kepentingan nasional yang melewati sekat kepentingan partisipan, elite penguasa,

golongan serta ego sektoral tentang dominasi produksi dan reproduksi pengetahuan.

127

SHISKHA PRABAWANINGTYAS

Dosen Tetap di Prodi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina; Kandidat Doktor di

Universitas Humboldt, Berlin

128

Ekspektasi Bidang Pertanian Koran SINDO 15 November 2014

Setelah para menteri dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (27/10/2014),

rakyat menunggu pembuktian janji Jokowi saat kampanye untuk menyejahterakan warga

lewat pembangunan ekonomi kerakyatan.

Presiden Jokowi memberi ekspektasi baru karena lebih memfokuskan kinerja pada

pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Bangsa Indonesia dengan

jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa tidak mungkin berdaulat secara politik kalau

pangannya bergantung pada impor.

Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Betapa tidak, 40 persen tenaga

kerja ada di sektor pertanian. Jika sektor pertanian dikelola dengan baik, angka pengangguran

bisa ditekan secara signifikan dan kesejahteraan rakyat terkatrol.

Tidak hanya itu, pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat memiliki peran

yang sangat besar untuk pembangunan ekonomi nasional di tengah dunia yang kian

mengglobal dan bercirikan perdagangan bebas.

Dengan meningkatkan daya saing produk pertanian, Indonesia akan lebih bermartabat dan

berharga di mata dunia. Memperkuat daya saing butuh modernisasi pertanian yang terencana

untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada sekaligus mencegah arus urbanisasi.

Pengelolaan Terpadu

Implikasi revolusi mental sejalan dengan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)

2013-2045 yang sudah diluncurkan Kementerian Pertanian yang memberi arah ke

pengembangan bioindustri pertanian mulai dari hulu hingga hilir.

SIIP menempatkan ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi, pupuk dan

pestisida. Pendekatannya butuh pola pengelolaan terpadu untuk meningkatkan produktivitas,

perbaikan teknologi pengolahan pasca panen dan pengembangan produk pangan baru guna

mengatrol daya saing dan nilai tambah.

Namun jika menilik ke belakang, sektor pertanian selama ini menjadi salah satu sektor yang

terlupakan di tengah perkembangan sektor industri dan teknologi informasi dalam perjalanan

kemajuan bangsa. Kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB.

Jika tahun 2010 kontribusinya masih sebesar 15,3%, kemudian menurun menjadi 14,4%

129

tahun 2013, hal ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya

tingkat produktivitas lahan. Sekadar contoh, produktivitas padi dua tahun terakhir trennya

makin melandai. Pada tahun 2012 masih bertengger pada angka 51,36 ku/ha, lalu pada tahun

2013 peningkatannya relatif stagnan pada posisi 51,52 ku/ha (BPS, 2014).

Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mendorong

petani meningkatkan kapasitas produksinya. Memberikan ruang lebih besar bagi penciptaan

tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk mendongkrak pendapatan petani lebih baik.

Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Kalaupun diolah, tidak sampai

memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikansinya untuk mengatrol kesejahteraan petani

masih rendah. Konsekuensi logisnya ruang gerak usaha petani terbatas. Mereka

terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau budi daya.

Tingkat kesejahteraan petani yang jumlahnya sekitar 40 juta angkatan kerja satu kepala

keluarga petani menanggung lima anggota keluarga masih jalan di tempat. Hal ini membuat

sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia. Apalagi sebagian besar petani sudah berusia

lanjut dan berpendidikan rendah. Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata berusia

49-50 tahun. Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD sehingga kemampuannya

bercocok tanam mengandalkan naluri.

Badan Pusat Statistik (2013) mencatat sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya

menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74%. Pendapatan petani dari sektor

pertanian per tahun hanya Rp12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung

rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada UMP di Nusa Tenggara

Timur, provinsi yang memiliki UMP terendah di Indonesia, sebesar Rp1,2 juta per bulan.

Tingkat pendapatan petani yang makin menurun dari tahun ke tahun mendorong petani mulai

meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke sektor lain. Fenomena perpindahan ini

sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir

(2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada

2013. Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter

persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan 1.000-1.999 meter persegi

berkurang 52.168 RTP.

Secara ekonomi berkurangnya jumlah petani baik yang gurem maupun bukan gurem bisa

menjadi kemunduran sektor pertanian. Mereka terpaksa menjual lahan dan beralih profesi

karena hidup dan kehidupannya semakin termarjinalkan.

Meningkatkan Kualitas

Pembangunan pertanian berbasis revolusi mental diharapkan dapat meningkatkan kualitas

hasil, nilai tambah dan daya saing produk pangan. Pencapaian ini diharapkan dapat

mengurangi beban sektor pertanian yang kian berat.

130

Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga kemiskinan. Jumlah

angkatan kerja nasional saat ini mencapai 125,3 juta orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang

terserap di sektor pertanian. Ini menunjukkan kemiskinan terbanyak masih ada di sektor

pertanian dan di perdesaan.

Mentransformasi sektor pertanian ke hilirisasi pertanian secara terencana mutlak dilakukan.

Hilirisasi ini akan mengatrol nilai tambah produk pertanian, meningkatkan daya saing dan

membuka lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian.

Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Jokowi-JK untuk lima tahun ke depan.

Rakyat Indonesia butuh pertanian untuk memenuhi kecukupan pangannya. Pemerintah

diharapkan dapat meningkatkan program hilirisasi pangan non-beras berbasis umbi-umbian

dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya impor bahan baku

tepung terigu dan kedelai.

Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis umbi-umbian dan sagu

misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras secara signifikan dan mereduksi

ketergantungan yang tinggi terhadap beras impor.

Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan baku di dalam negeri.

Jika tidak, akan berpotensi meningkatkan impor bahan baku. Untuk itu, koordinasi lintas

kementerian mutlak dilakukan untuk mengusung percepatan pembangunan pertanian

bioindustri berbasis pangan lokal potensial.

POSMAN SIBUEA

Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera

Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

131

Sport- Industry Koran SINDO 17 November 2014

Olahraga dan industri sering dianggap sebagai dua bidang terpisah. Namun di banyak negara

maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Kanada, olahraga merupakan salah satu

penyumbang penting perekonomian nasional mereka.

Dengan semakin terkelola secara baik, industri olahraga dapat membuka lapangan kerja baru,

menjamin kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya, dan memberikan efek pengganda

yang sangat besar pada industri lain seperti perhotelan, transportasi, event organizer,

peralatan olahraga dan broadcasting.

Di banyak negara, penataan industri olahraga mulai dari hulu sampai hilir ditopang oleh

pengelola klub yang profesional serta aspek rekreasional event olahraga telah menjadikan

olahraga sebagai industri yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. Misalnya di

Amerika Serikat (AS), industri olahraga menempati peringkat ke-11 dari sisi output ke

produk domestik bruto (PDB) mereka setelah industri konvensional seperti real estat, ritel,

kesehatan, konstruksi, komunikasi, dan perbankan. Tidak kurang dari USD152 miliar output

industri olahraga dan merepresentasikan tidak kurang dari 2% PDB AS.

Price Water House (PWC) juga menunjukkan tren pertumbuhan industri olahraga global yang

diukur dari penjualan tiket, merchandising, sponsorship, dan hak media tumbuh rata-rata

3,7% dari tahun 2011-2015. Di China, pada 2009 nilai industri olahraga telah mencapai

USD300 miliar. Di AS, pada 2008, kapitalisasi industri ini mencapai lebih dari USD441

miliar atau 2 kali nilai industri automotif dan 7 kali nilai industri film di negara itu.

Sejumlah event olahraga bertaraf internasional juga menjadi episentrum aktivitas ekonomi

industri olahraga. Misalnya penyelenggaraan US Open mendapatkan pemasukan tidak kurang

dari USD220 juta, Formula 1 memiliki total pendapatan tidak kurang dari Rp4,7 triliun, Piala

Dunia (FIFA World Cup) 2014 mendatangkan total revenue USD4 miliar, dan Liga

Champion Eropa 2014 mendapatkan total pendapatan tidak kurang dari 1,34 miliar euro.

Pada setiap event olahraga hampir semua industri mendapatkan efek pengganda. Industri

seperti perhotelan, transportasi, perbankan, pariwisata, peralatan olahraga, broadcasting,

event-organizer, jasa keamanan, restoran, merchandising, dan jasa agen atlet ikut

berkembang serta menopang tumbuh berkembangnya industri olahraga sekaligus.

Pengalaman di negara maju, untuk mengembangkan industri olahraga dibutuhkan semangat

total football dari banyak kalangan.Sejumlah pihak seperti pemerintah, pengelola klub

olahraga, atlet, asosiasi, media, produsen alat olahraga hingga penonton/suporter harus

berbenah. Profesionalisme, pembinaan penonton/suporter, peningkatan prasarana dan sarana

132

olahraga, konsistensi kompetisi, peningkatan kualitas pengelola klub dan pengelola kompetisi

olahraga merupakan faktor-faktor yang perlu terus ditingkatkan.

Bagi Indonesia, pengelolaan olahraga nasional sebagai salah satu industri dan mesin

pertumbuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang perlu untuk segera diwujudkan. Hal ini

terlebih ketika Indonesia sedang mendorong sumber-sumber pertumbuhan baru (non-sumber

daya alam) yang memiliki nilai tambah tinggi. Pengelolaan olahraga nasional tidak lagi

sekadar penyelenggaraan kegiatan penyehatan jasmani, catatan-catatan prestasi baik regional

maupun global, tetapi telah menjadi salah satu sumber bagi akselerasi perekonomian.

Seperti telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini, bahkan olahraga di negara-negara maju

telah bertransformasi menjadi industri modern yang sejajar dengan industri- industri

konvensional lainnya. Ambil contoh klub-klub sepak bola di Inggris atau Spanyol yang

dikelola dengan sangat profesional, bahkan sebagian telah listing di pasar modal. Atau

misalnya event kejuaraan tenis dunia yang meraup untung dan memberi efek pengganda bagi

industri- industri pendukung lainnya dan masih banyak lagi.

Untuk itu, pemerintah perlu memberi perhatian lebih besar bagi pembangunan industri

olahraga di Tanah Air sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru. Pemerintah melalui

Kementerian Pemuda dan Olahraga perlu segera memetakan potensi-potensi olahraga

nasional agar dapat dikonversi menjadi industri olahraga yang memberi efek pengganda yang

besar bagi perekonomian.

Peta perencanaan pembangunan olahraga nasional memang perlu dilakukan secara

komprehensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Misalnya membenahi sistem

kompetisi, menata lembaga-lembaga yang selama ini ditugaskan untuk melakukan fungsi

pembinaan, mendorong kerja sama dengan industri (media, manufaktur, pariwisata,

transportasi, dan sebagainya), memberdayakan otoritas keolahragaan seperti KONI, KOI,

serta organisasi induk di tiap cabang olahraga dan sebagainya.

Selain itu capacity-building berupa pelatihan dan pembinaan pengelola klub dan kompetisi

menjadi lebih modern serta profesional perlu terus dilakukan. Sistem pembenahan dan

pemberdayaan suporter untuk lebih tertib sehingga menonton pertandingan olahraga lebih fun

dan rekreasional juga perlu terus ditingkatkan.

Kedua, pembangunan industri olahraga nasional bisa dipadukan dengan

kepariwisataan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin bagi penyelenggaraan event kejuaraan

dapat didesain dengan konsep pariwisata sekaligus program pemasaran destinasi wisata-

wisata di seluruh Tanah Air. Misalnya penyelenggaraan kejuaraan olah raga air se-ASEAN

yang dipusatkan di Lombok dan Manado, pacuan kuda di Sumatera Barat, dan seterusnya.

Dengan memadukan penyelenggaraan event olahraga dengan kegiatan-kegiatan pariwisata,

ini akan menambah daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi nasional di samping sebagai

ajang promosi Nusantara. Pemerintah daerah juga memiliki peran yang strategis untuk

133

mengambil inisiatif melakukan event olahraga, baik yang bertaraf nasional maupun

internasional.

Ketiga, menata kembali sistem pembinaan olahragawan dengan melakukan klusterisasi dari

olahragawan yunior, amatir hingga profesional. Upaya ini diharapkan dapat menggairahkan

kembali olahragawan sebagai salah satu profesi yang memiliki masa depan cerah. Hal ini

juga sebagai respons dari pembelajaran kita selama 30 tahun terakhir, yaitu banyak

olahragawan nasional yang telah mencatatkan prestasi dunia tetapi di masa tuanya

dihadapkan pada persoalan ekonomi dan kesejahteraan.

Atlet nasional hanya akan lebih sejahtera apabila ditopang industri kompetisi olahraga yang

menguntungkan. Dalam hal ini mendorong industrialisasi olahraga berarti meningkatkan

kesejahteraan para atlet nasional.

Yang terakhir, mendorong industri peralatan olahraga sebagai industri penopang utama dalam

membangun industri olahraga nasional. Industri alat-alat olahraga nasional merupakan sektor

yang cukup potensial di tengah semakin bergairahnya sektor olahraga di dunia.

Kementerian Pemuda dan Olahraga bersama-sama dengan Kementerian Perindustrian dan

kementerian terkait lainnya dapat berkoordinasi untuk mendorong pertumbuhan industri

peralatan olahraga nasional. Sebagai ajang promosinya dapat didesain event-event pameran

peralatan olahraga baik yang bersifat lokal, regional maupun global.

Dengan berbagai upaya ini, kita berharap sektor keolahragaan dapat menjadi salah satu

penopang pertumbuhan ekonomi nasional serta mendorong akselerasi pembangunan dan

kesejahteraan sekaligus.

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

134

Dampak Politik dari Kemajuan Teknologi Energi

Koran SINDO 19 November 2014

Senin (17/11) malam Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan pengurangan

subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan terjadinya kenaikan harga premium

dan solar. Banyak pendapat yang mendukung, tetapi banyak juga yang menolak kenaikan ini.

Alasannya, kebijakan tersebut dianggap mengganggu kenikmatan energi murah yang

dikonsumsi selama ini.

Kita pernah dengar bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkomitmen

melakukan konversi energi dari bahan bakar fosil menjadi gas untuk konsumsi, baik untuk

industri maupun rumah tangga. Pemerintah juga merencanakan pembangunan pembangkit

listrik panas bumi, pemanfaatan batu bara, juga komitmen untuk mendorong bahan bakar

biofuel dari produksi minyak kelapa sawit di dalam negeri. Tampaknya rencana-rencana

tersebut baik di atas kertas, tetapi belum terlihat hasilnya. Buktinya adalah ketergantungan

kita yang masih sangat besar terhadap sumber energi dari bahan bakar fosil minyak bumi ini.

Kenaikan harga BBM ini juga kembali menempatkan kita pada diskusi tentang sejauh mana

persiapan ketahanan energi Indonesia. Saat ini posisi kita adalah sebagai negara pengimpor

minyak urutan ke-17 terbesar di dunia (Indeks Mundi) dengan rata-rata impor 400.000 barel

per hari atau senilai dengan Rp1,2 triliun rupiah per hari. Inilah cara kita untuk memenuhi

kebutuhan total konsumsi 1,4 juta barel per hari.

Nasib Konsumsi Energi Tinggi

Yang perlu diwaspadai Indonesia, sejalan dengan target meningkatkan pertumbuhan ekonomi

yang tinggi, kita pun harus siap menambah biaya konsumsi energi. Pertumbuhan ekonomi

yang tinggi selalu ditandai dengan tumbuhnya pusat-pusat bisnis, meningkatnya kegiatan

ekonomi, tumbuhnya lalu lintas logistik atau transportasi, tumbuhnya kelas menengah, dan

terbukanya lapangan pekerjaan.

Karenanya gaya hidup yang konsumtif akan terus mendorong peningkatan konsumsi energi,

khususnya BBM. Jika subsidi tidak dikelola dengan baik dan menjadi terlalu besar menyedot

kapasitas APBN, kegiatan perekonomian makro akan terkendala. Efeknya pasti akan terasa

juga nanti di tingkat mikro sampai ke pengusaha-pengusaha kecil.

Nasib Indonesia sudah berubah sejak berhenti menjadi eksportir minyak, yakni ketika impor

minyak kita lebih besar daripada ekspor. Kita pun keluar dari OPEC karena tidak dapat

memenuhi komitmen memproduksi minyak 1 juta barel per hari. Apalagi apabila kita melihat

135

bahwa negara-negara OPEC yang membentuk sepertiga pasar minyak dunia diisi negara-

negara yang lebih dari 50% pendapatannya berasal dari penjualan minyak seperti Arab Saudi,

Iran, Irak, UEA, Venezuela, hingga Ekuador.

Selain negara-negara yang tergabung di OPEC, terdapat negara lain seperti Amerika Serikat

(AS), Rusia, dan negara-negara Eropa yang membentuk harga pasar minyak dunia. Rezim

produsen minyak dunia ini sedang berupaya semaksimal mungkin menaikkan harga demi

pertumbuhan ekonomi mereka masing-masing. Negara-negara tersebut sangat berkepentingan

dengan tingginya harga minyak. Penurunan sedikit saja harga minyak akan mengguncang

politik dalam negeri mereka.

Para analis energi mengatakan bahwa ongkos produksi untuk mengangkut 1 barel minyak

adalah USD70-80 sehingga diharapkan penurunan harga tidak lebih rendah dari harga

tersebut. Artinya jangan harap harga minyak akan bergerak lebih rendah daripada angka

ongkos produksi.

Dorongan untuk meraup keuntungan dari tingginya harga minyak juga datang dari negara-

negara Timur Tengah seperti Libya atau Irak yang memang sangat membutuhkan pendapatan

dari minyak untuk melakukan rehabilitasi, pembangunan, dan membiayai perang terhadap

terorisme, khususnya ISIS.

Ternyata, hingga kini, tidak ada satu negara pun yang tampaknya bersedia mengurangi

produksi karena pendapatan mereka tergantung dari volume minyak yang diproduksi agar

pendapatan mereka stabil. Beruntung bahwa aksi meraih keuntungan dari negara-negara

penghasil minyak tersebut telah menciptakan oversupply sehingga harga minyak bumi turun.

Saat ini kita sedang memetik keuntungan dari situasi ini. Namun kita harus waspada bahwa

keuntungan ini tidak langgeng karena Indonesia belum memiliki arah yang jelas untuk

mengamankan pasokan energi di masa depan.

Penurunan harga saat ini dapat disebut sebagai proses mencari keseimbangan kekuatan antara

negara-negara produsen minyak konvensional yang diwakili secara kolektif oleh negara-

negara OPEC dengan produsen minyak non-konvensional yang diwakili AS dan Kanada.

AS telah berhasil mengembangkan teknologi hydraulic fracture yang mampu menghasilkan

minyak dan gas dari bongkahan batu sedimen shale sehingga disebut shale oil dan shale gas.

Secara ringkas, minyak tersebut dihasilkan dengan cara memanaskan batuan tersebut pada

suhu tertentu di dalam tanah hingga berbentuk cair dan dapat diambil ke permukaan

tanah. Ada juga yang keluar dalam bentuk gas dan setelah periode waktu tertentu berubah

menjadi cairan.

Teknologi terbaru itu telah membuat AS kembali menjadi negara produsen minyak terbesar.

Economist mengatakan bahwa sejak 2008 produksi shale oil ini meningkat dari 600.000 barel

menjadi 3,5 juta barel. Bloomberg mengatakan bahwa sejumlah perusahaan bahkan tetap

dapat mengambil keuntungan walaupun menjual minyak seharga USD50 per barel. Harga

136

tersebut sudah pasti akan mengancam negara produsen minyak konvensional seperti OPEC

yang sudah pasti akan merugi kalau harga minyak turun di bawah USD70.

Kita masih akan menunggu siapa yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi harga

minyak dunia ini karena dampaknya akan besar pada perekonomian dunia. Apabila teknologi

tersebut semakin lama semakin baik, canggih, dan rendah ongkos produksinya, bahkan jauh

lebih murah dari ongkos produksi gas alam, angin, panas bumi, atau batu bara, kita perlu

menilai kembali peta ketahanan energi kita.

Tugas Pemerintah & Ilmuwan

Potensi shale oil ini tidak hanya ada di wilayah AS saja, tetapi juga ada di hampir semua

negara besar, termasuk Indonesia. Pertamina mengatakan akan mulai mengeksplorasi shale

oil dan gas yang terletak antara Sumatera Utara dan Aceh dengan potensi yang

besar. Sejumlah proposal dari perusahaan asing juga telah menawarkan untuk melakukan

eksplorasi di Riau dan Kalimantan Tengah.

Beberapa ahli mengatakan bahkan Indonesia memiliki cadangan yang sama besarnya dengan

AS, tetapi terkendala karena tidak adanya teknologi yang dapat digunakan untuk

mengeksplorasi bahan bakar tersebut.

Potensi itu tentu akan menguntungkan seluruh rakyat Indonesia apabila tata kelola migas kita

juga menjadi lebih baik. Harapan besar terletak pada Komite Reformasi Tata Kelola Migas

yang dipimpin Faisal Basri. Apabila kita memiliki tata kelola migas yang bebas dari korupsi,

lebih efisien, dan efektif, tentu kita dapat kembali menikmati cadangan kekayaan alam

tersebut.

Tak bisa ditunda lagi, segala elemen pemikir di negeri ini harus mengembangkan penguasaan

teknologi dan pengetahuan tentang ragam potensi energi yang paling terjangkau untuk

Indonesia. Bila kita kurang cekatan dalam mencari alternatif energi, pertumbuhan ekonomi

kita pun akan terganggu.

Ilmuwan kita perlu juga mengeksplorasi kekayaan bawah laut Indonesia, memetakannya, dan

merencanakan proses alih teknologi yang cepat dan tepat. Proyek-proyek Pertamina dan kerja

sama bilateral untuk mengembangkan bahan bakar alternatif jangan lupa menyertakan

skenario alih teknologi dan selalu melibatkan para pemikir dari Indonesia.

Tanpa ini, seumur-umur kita akan terus berada dalam kondisi ketergantungan dan semata

hanya bisa menjerit bila harga subsidi bahan bakar dicabut. Kita tak ingin mengalami hal

seperti itu.

137

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

138

Nasib Industri Kreatif Tanpa Menteri Koran SINDO 19 November 2014

Pengusaha muda mengapresiasi penunjukan beberapa menteri baru di Kabinet Kerja Jokowi-

JK. Terutama untuk menteri-menteri ekonomi yang bersentuhan langsung dengan sektor riil

seperti menteri perdagangan, menteri perindustrian, dan menteri koperasi dan usaha kecil

menengah.

Namun, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga ikut memberi catatan yakni

sektor ekonomi kreatif yang dulu satu payung dengan sektor pariwisata kini tidak jelas di

bawah binaan siapa meski industri ini jadi ”jualan” terdepan pasangan Jokowi-JK pada

pemilihan presiden (pipres) lalu.

Sebagaimana kebiasaan pengusaha yang tidak suka berlama-lama melihat masalah, Hipmi

pun punya pikiran atau solusi yakni bagaimana bila sektor ekonomi kreatif ini dikelola oleh

badan atau lembaga sendiri. Sebelum penyusunan struktur kabinet, kami bahkan sempat

melempar ide agar ekonomi kreatif ini punya menteri atau badan sendiri biar lebih fokus dan

tajam pengelolaannya. Informasi terakhir, ekonomi kreatif akan ”dilindungi” oleh suatu

badan.

Kontribusi

Apa pun lembaga pelindung industri ini, pada Era Informasi ekonomi kreatif tidak bisa lagi

dipandang sebelah mata kontribusinya atas perekonomian nasional. Data menunjukkan

bahwa ekonomi kreatif tidak kalah dibandingkan sektor ekonomi lain dalam berkontribusi

terhadap perekonomian di republik ini. Sektor-sektor yang sebelumnya menjadi andalan kini

bahkan berangsur-angsur menurun peranannya bagi perekonomian seperti minyak dan gas

(migas) dan pertambangan.

Mari kita lihat seksinya sektor ini. Saking seksinya, pemerintah menargetkan pertumbuhan di

sektor ini mencapai 10% pada 2014. Terhadap PDB, industri ini ditargetkan menjadi tiga

besar kontributor untuk product domestic bruto (PDB). Sebelumnya, ekonomi kreatif

menempati posisi ketujuh dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang PDB sebesar

6,9% atau senilai Rp573,89 triliun dari total kontribusi ekonomi nasional.

Tak hanya itu, peranannya dalam penciptaan lapangan kerja juga kian strategis. Ekonomi

kreatif menempati posisi keempat dari 10 sektor ekonomi dalam kategori jumlah tenaga kerja

pada 2012. Ekonomi kreatif menyumbang 11.799.568 orang atau 10,65% pada total angkatan

kerja nasional yang sebesar 110.808.154 orang. Perkiraan kami menunjukkan usaha di

industri ini terdiri atas sekitar 10% dari total jumlah usaha di Indonesia saat ini.

139

Periode 2010-2013 industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari

total angkatan kerja nasional. Itu didorong oleh pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri

kreatif pada periode tersebut sebesar 1%. Dengan begitu, jumlah industri kreatif pada 2013

tercatat sebanyak 5,4 juta usaha yang menyerap angkatan kerja sebanyak 12 juta jiwa serta

memberikan kontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp19 triliun atau sebesar 5,72% dari

total ekspor nasional. Di pertengahan tahun ekspor karya kreatif Indonesia sudah mencapai

Rp63,1 triliun atau tumbuh sebesar 7,27% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Tantangannya

Terlepas dari ”hilangnya” payung lembaga industri kreatif ini, sejumlah tantangan sudah

menanti pemerintah dan dunia usaha di antaranya, pertama, minimnya akses finansial atau

pembiayaan terhadap industri ini. Seperti usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM)

lainnya, industri ini belum menjadi primadona bagi lembaga-lembaga keuangan formal untuk

dibiayai.

Kerap tidak punya aset dan potensi yang tangible, perbankan takut menyalurkan kredit bagi

industri kreatif, apalagi di bidang seni dan perfilman. Ini berbeda dengan pemilik usaha

kerajinan tangan yang relatif lebih mudah mendapatkan bantuan pembiayaan dari perbankan

ketimbang pelaku usaha kreatif di bidang seni.

Sebab itu, kami mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan dan (OJK) dan Bank Indonesia (BI)

lekas-lekas berembuk mencari formula atau skema khusus pembiayaan agar industri kreatif

masuk sebagai sektor yang bankable (memenuhi syarat perbankan). Jangan sampai hanya

sebab mandeknya pembiayaan, banyak potensi ekonomi dari sektor ini yang menguap atau

bahkan ditangkap oleh negara tetangga seperti Singapura.

Kedua, teknologi yang masih mahal dan susah diakses. Teknologi memang mahal. Namun,

teknologi akan semakin mahal lagi dengan minimnya pasokan pembiayaan di atas. Ketiga,

akses pasar. Akses pasar industri kreatif dikuasai oleh negara-negara tertentu sehingga

produsennya di Indonesia tidak langsung dapat menjual ke negara-negara end user.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi dalam pengembangan

industri kreatif terbaik di kawasan ASEAN maupun pasar dunia. Ini tidak terlepas dari

potensi bahan baku di Indonesia yang melimpah. Kendati demikian, kemampuan SDM

Indonesia dalam alih teknologi dan kreativitas masih relatif rendah. Ini berdampak pada

perkembangan industri kreatif yang cenderung lamban.

Keempat, kendala kelembagaan. Kementrian dan lembaga yang berkepentingan dengan

industri kreatif sangat banyak. Akibat itu, birokrasi dan pembinaan industri makin panjang

dan meluas serta tidak fokus. Sebab itu, Hipmi pernah mengusulkan agar urusan perizinan

dan pembinaan industri ini cukup satu pintu dan ditangani satu badan atau kementerian

saja. Lebih mutakhir lagi, kami mengusulkan agar perizinan sudah mencakup semua jenis

izin dengan satu lembar perizinan.

140

Penyederhanaan perizinan ini sangat penting untuk membantu pelaku industri melakukan

efisiensi waktu dan biaya. Bayangkan, sebagian besar pelaku usaha industri kreatif

merupakan pelaku UKM yang modalnya sangat minim. Mereka inilah yang harus mengurus

seabrek perizinan sebagai berikut: Tanda daftar perusahaan, surat izin usaha perdagangan

(SIUP), surat domisili, dan sebagainya. Itu belum termasuk surat izin tempat usaha, Kadin,

SIUJK, API, dan paten merek. Tak hanya izin yang banyak, perizinan ini juga semakin

kompleks dan tumpang tindih seiring menumpuknya bidang yang bergabung dalam industri

ini.

Terakhir, tantangan manajerial. Di industri kreatif, pendiri usaha biasanya mereka yang

memiliki keahlian produksi. Pelaku industri ini biasanya mampu melakukan produksi dan

inovasi. Namun, pendirinya kadang punya sisi lemah dalam manajerial. Sebab itu, pelaku

industri membutuhkan pembinaan dan pendampingan agar mampu mengintegrasikan sisi

produksi dengan manajemen keuangan, pemasaran, dan pengembangan SDM.

RAMA DATAU GOBEL

Ketua Umum Hipmi Jaya

141

Pengalihan Subsidi BBM? Koran SINDO 20 November 2014

Akhirnya sejak Selasa 18 November 2014, pukul 00.00 WIB pemerintah menaikkan harga

BBM, premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 (30,77%) dan solar Rp5.500 menjadi

Rp7.500 (36,36%).

Dalam pengumuman, pemerintah masih coba menghindari menggunakan kata “menaikkan

harga”, dengan ungkapan “mengalihkan subsidi BBM untuk program produktif”. Tulisan ini

membahas apakah waktu penaikan harga dengan janji kampanye sudah tepat dan pengalihan

subsidi untuk program produktif memang akan terlaksana.

Masih melekat dalam ingatan kita bahwa saat kampanye Pilpres 2014 Jokowi pernah berjanji

akan memberantas mafia dan membenahi tata niaga minyak dan gas bumi (migas). Saat ini

karena masih berperannya mafia migas dan belum transparannya perhitungan harga pokok

produksi BBM, nilai subsidi BBM yang harus ditanggung APBN akan lebih besar dari nilai

sebenarnya. Apalagi, cukup banyak kalangan yang meyakini bahwa kerugian negara akibat

keterlibatan mafia dalam tata niaga migas berkisar antara Rp40 triliun hingga Rp50 triliun per

tahun.

Pengalaman dari pemerintahan sebelumnya menunjukkan masalah mafia migas sering

mengemuka dalam ranah publik menjelang dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM.

Namun setelah penaikan harga BBM dieksekusi, pemerintah kembali surut untuk

memberantas. Bahkan DPR periode 2004-2009 pernah membentuk Pansus BBM, yang salah

satu tujuannya adalah untuk memperbaiki tata niaga migas dan memberantas mafia. Ternyata

Pansus BBM DPR ini pun terbukti gagal mencapai tujuan mulia yang dicanangkan.

Fakta di atas menunjukkan bahwa peran mafia migas memang sangat kuat sehingga dapat

memengaruhi kebijakan pemerintah hingga pusat-pusat kekuasaan, bahkan hingga level

tertinggi. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita menagih janji kampanye Jokowi untuk

bersikap sangat serius memberantas mafia migas.

Kebijakan BBM dan sektor energi sangat vital bagi negara dan dapat berpengaruh pada

hampir seluruh sektor kehidupan rakyat. Karena itu, Jokowi seharusnya memulai

pemberantasan mafia migas terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan penaikan harga

BBM. Apalagi, dengan terjadinya penurunan harga BBM dunia akhir-akhir ini dan bahkan

untuk beberapa bulan ke depan, tersedia cukup waktu bagi Jokowi dan anggota kabinetnya

untuk bekerja terlebih dahulu memberantas mafia migas dibanding menaikkan harga BBM.

Ternyata Jokowi lebih memilih membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat dibanding

142

membasmi parasit yang menggerogoti uang rakyat puluhan triliun rupiah setiap tahun. Alih-

alih mengintensifkan upaya pemberantasan mafia migas, ternyata Jokowi memulai bulan

pertama pemerintahannya dengan rencana impor minyak dari Angola yang ditengarai “berbau

mafia” pula.

Kita sangat khawatir, jangan-jangan sikap pemerintahan Jokowi terhadap mafia migas sama

pula dengan sikap pemerintahan sebelumnya, sehingga mafia migas tetap eksis menjalankan

agendanya dan rakyat terus menjadi korban. Karena harga BBM telah telanjur dinaikkan, kita

hanya tinggal berharap Presiden Joko Widodo yang mengaku pro “wong cilik“ tetap

konsisten berupaya maksimal memenuhi janji memberantas mafia migas.

Program Produktif

Terkait dengan rencana pengalihan sebagian besar subsidi BMM ke sektor produktif, tadinya

penulis pun bersikap sama dengan masalah pemberantasan mafia migas. Penulis meyakini

bahwa seharusnya pemerintah menyiapkan dulu berbagai blueprint dan daftar program-

program konkret sektor produktif tersebut berikut target pencapaian dan perkiraan

anggarannya, sebelum kenaikan harga dilakukan. Dalam hal ini pun, program-program

tersebut harus memprioritaskan solusi masalah energi, transportasi, dan infrastruktur dasar

dibandingkan menjalankan program-program tanpa arah, apalagi jika ditumpangi dengan

program pencitraan.

Pada 2006, pemerintah menerbitkan Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Bauran Energi,

yang antara lain mencanangkan porsi penggunaan gas dan energi baru terbarukan (EBT) yang

terus meningkat. Dalam kebijakan tersebut, pada 2025, porsi EBT dan gas akan meningkat

masing-masing menjadi 25% dan 30%, dari porsi bauran 6% dan 20% pada saat ini. Agar

target bauran EBT tercapai, antara perlu disiapkan rencana produksi listrik panas bumi, bahan

bakar nabati (BBN), sel surya, listrik tenaga air secara masif dan berkelanjutan.

Dalam kurun waktu tersisa yang tinggal 10 tahun, tampaknya mustahil target produksi porsi

EBT yang saat ini masih pada level 78 juta setara barel minyak (SBM) menjadi 545 juta SBM

pada 2025 (peningkatan 700%). Target hanya dapat dicapai jika pemerintah berkomitmen

sangat kuat dan melakukan berbagai program terobosan, termasuk memprioritaskan

penggunaan penghematan subsidi BBM untuk memproduksi EBT secara masif.

Untuk energi gas, porsinya dalam energy mix dicanangkan meningkat dari sekitar 300 SBM

(2013) menjadi 500 SBM (2025). Agar penggunaan gas untuk industri, PLN, dan transportasi

darat meningkat signifikan, misalnya dari sekitar 30.000 kendaraan saat ini menjadi 2-3 juta

dalam lima tahun ke depan maka perlu dibangun ribuan kilometer jaringan pipa transmisi dan

distribusi gas, sejumlah terminal penerima LNG, serta ribuan SPBG.

Dengan demikian, target bauran energi dapat dicapai dan impor BBM dan minyak mentah

pun berkurang. Namun, seperti halnya untuk memproduksi EBT, target tersebut hanya dapat

dicapai jika pemerintah mempunyai komitmen yang kuat untuk menetapkan blueprint,

143

program yang berkelanjutan dan anggaran yang besar dari penghematan subsidi BBM.

Uraian di atas menunjukkan bahwa jika ingin mengamankan diri dari potensi krisis energi

dan krisis ekonomi akibat defisit perdagangan minyak/BBM, defisit neraca berjalan dan

defisit APBN, langkah solusi masalah energi secara komprehensif sangat dibutuhkan.

Program-program produktif yang dicanangkan Jokowi mestinya justru lebih diprioritaskan

untuk mengatasi masalah energi dibandingkan hal-hal yang tidak terarah atau bahkan sarat

pencitraan politik.

Selama ini saat penaikan harga BBM pada 2003, 2005, 2008, dan 2013, pada umumnya

pemerintah hanya fokus pada program perlindungan sosial berupa BLT dan BLSM, serta

pencitraan politik. Presiden dan menteri-menteri seolah berlomba menggunakan dana dari

penghematan subsidi BBM tanpa arah, tidak memperhatikan program prioritas, dan abai pada

sektor energi dan transportasi yang seharusnya menjadi prioritas. Akibatnya telah kita

rasakan sekarang, bahwa impor migas akibat tidak tercapainya bauran energi telah

menyebabkan triple deficit dan nilai tukar rupiah terus merosot.

Pengalaman di atas menjadi alasan mengapa kita menuntut agar pemerintah menyiapkan

terlebih dahulu berbagai blueprint dan program-program produktif berkelanjutan berikut

kebutuhan anggaran, terutama pada sektor energi, dibandingkan langsung menaikkan harga

BBM.

Jika tidak, karena “ruang fiskal” membesar dan masing-masing sektor saling berlomba

memanfaatkan, maka pengalihan subsidi BBM yang diakui akan digunakan untuk sektor

produktif tidak akan bermanfaat optimal. Apalagi jika sudah disusupi kepentingan pencitraan

seperti halnya program tiga kartu, KIP, KKP dan KIS, yang diusung Jokowi.

Bukankah anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN (Rp400 triliun) dapat

mengakomodasi kebutuhan anggaran KIP? Maka akhirnya kita akan kembali terjebak ke

dalam lingkaran permasalahan energi dan ekonomi yang tak terselesaikan.

MARWAN BATUBARA

Direktur Eksekutif IRESS

144

Sisa Subsidi BBM: Tetap Salah Sasaran Koran SINDO 20 November 2014

Masalah utama subsidi BBM seperti disampaikan berulang kali oleh pemerintah adalah

“salah sasaran”. Jadi dengan hanya menaikkan harga secara sama, masalah salah sasaran dari

sisa subsidi sama sekali belum teratasi.

Artinya bahwa kelompok atas tetap menikmati sisa subsidi yang diperkirakan masih sebesar

hampir 150 triliun. Dengan peningkatan harga BBM ini supaya tidak berulang di masa depan

harus diakhiri dengan mendefinisikan target group.

Subsidi di masa depan akan membengkak lagi karena dua hal. Pertama, penurunan nilai

rupiah yang selalu terjadi terhadap dolar sebagai patokan harga impor BBM; dan kedua,

kenaikan permintaan akan BBM dalam negeri. Kenaikan harga BBM terjadi secara periodik

sejak zaman Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang pada pemerintahan

Jokowi-JK.

Sebesar 50% BBM bersubsidi dibeli kelompok atas, sisanya diduga digunakan kelompok

menengah, menengah-bawah, dan bawah yang pada masa depan setengahnya tidak perlu

disubsidi lagi. Dengan pengidentifikasian, subsidi BBM bisa dikurangi pada tahap pertama

50% dan pada tahap berikutnya tinggal 25% lagi atau sekitar di angka 70-100 triliun.

Apa yang selalu disuarakan oleh gerakan anti-neoliberalisasi adalah perlunya membuat

diferensiasi bahwa rakyat memiliki daya beli yang berbeda. Lebih-lebih melihat di Indonesia

jurang antara kaya dan miskin, Indonesia barat dan timur, kota dan desa semuanya

menunjukkan tanda jual ekonomi yang tidak makin reda, tetapi makin hebat. Hal tersebut

diperlihatkan oleh Gini rasio yang semakin meningkat pula.

Dengan demikian membuat target group untuk diberi perlakuan harga yang berbeda adalah

masuk akal dan sesuai dengan tata cara penggunaan uang negara. Di sektor listrik dan gas,

juga diberlakukan harga yang berbeda.

Peran BBM dalam Defisit Neraca Berjalan

Dengan bermain pada kesamaan harga dan membuka berapa pun jumlah konsumsi, dalam

jangka pendek efek harga tersebut akan mengurangi konsumsi BBM. Namun dalam beberapa

bulan, konsumsi diduga akan normal kembali karena BBM adalah kebutuhan hampir pokok

yang memiliki elastisitas harga tidak terlalu besar.

Dalam lima tahun ke depan diprediksi bahwa lifting minyak dalam negeri akan terus menurun

dari 850.000 barel ke hanya 500.000 barel, sementara konsumsi akan terus meningkat

145

mungkin mendekati 2 juta barel per hari, seiring dengan meningkatnya industri dan terutama

konsumsi kendaraan bermotor. Penjualan mobil pada 2013 dan 2014 sekitar 1,2 juta setahun

dan penjualan sepeda motor lebih dari 8 juta setahun.

Impor migas yang selalu meningkat menjadi sumber defisit neraca berjalan, menurut Bank

Indonesia, pada akhir 2011 neraca berjalan masih positif USD1,6 miliar, dan pada 2012 turun

menjadi minus USD24,4 miliar dan memburuk lagi menjadi USD28,4 miliar pada 2013 dan

terus memburuk pada 2014.

Pada komoditi non-migas, neraca perdagangan sebenarnya selalu positif, tetapi surplus itu

tidak cukup untuk menutup defisit neraca migas dan juga neraca jasa yang secara tradisional

selalu negatif. Sampai berapa lama kita dapat menanggung defisit ini? Jika konsumsi migas

tidak dibatasi, dalam lima tahun ke depan defisit neraca berjalan bisa mencapai USD50 miliar

(Rp600 triliun).

Defisit neraca berjalan akan ditutup dengan menyewakan aset kita yang berhubungan dengan

kekayaan alam, misal batu bara dan perkebunan yang keduanya dengan cara membabat

hutan, mengundang investasi asing untuk mengeksploitasi potensi industri yang tentu saja

dipilih yang paling menguntungkan.

Solusi yang Dimungkinkan

Perbedaan era Jokowi dan presiden-presiden sebelumnya dalam hal BBM, bahwa; pertama,

konsumsi BBM sudah sedemikian tinggi disertai penurunan produksi dalam negeri. Kedua,

bahwa BBM menjadi sumber defisit neraca berjalan.

Oleh karena itu, Jokowi-JK tidak bisa hanya meniru presiden sebelumnya dengan secara

periodik menaikkan harga BBM bila subsidi sudah membengkak. Jokowi-JK tidak

mengalami permasalahan yang sama dengan presiden sebelumnya yang diselamatkan bukan

hanya APBN, melainkan neraca berjalan yang bersumber migas.

Apa inti dari defisit neraca berjalan? Intinya adalah mengonsumsi melebihi kemampuan

menghasilkan, bangsa kita hidup terlalu enak dibanding hasil karyanya. Malangnya bahwa

hidup enak itu ditutup dengan menjual komoditi berbasis alam dan menambahnya dengan

menjual atau menyewakan aset. Sambil menunggu perbaikan atau transformasi produksi,

masalah riil defisit neraca berjalan yang disebabkan oleh neraca BBM tidak ada jalan lain

kecuali dengan pembatasan konsumsi, hal yang tidak populer dalam era ekonomi liberal

berbasis kebijakan harga.

Pertama setengah dari konsumen BBM bersubsidi adalah kelompok atas, ini harus

dikeluarkan lebih dulu dari daftar konsumen BBM bersubsidi. Dengan kata lain, mereka ini

harus membeli BBM non-subsidi di pasar atau diberi wadah dengan premium plus pada harga

keekonomian.

146

Subsidi yang masih Rp150 triliun bisa dikurangi lagi hanya Rp100 triliun saja, tetapi

diperuntukkan untuk kalangan bawah. Misalnya pemilik kendaraan roda dua dan kendaraan

umum. Jadi, kebijakan non-harga juga ampuh untuk menyelamatkan APBN. Inti dari

kebijakan non-harga adalah membatasi konsumsi walaupun hal itu dibeli di pasar oleh

konsumen swasta.

Kantor pajak kendaraan atau Samsat dengan bantuan kartu elektronik dimungkinkan

menjalankan misi yang cukup rumit ini. Namun demikian, kantor ini sudah memiliki data

yang lengkap.

PROF BAMBANG SETIAJI

Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

&

MUSLICH HARTADI PhD

Ketua Pusat Studi Transportasi Universitas Muhammadiyah Surakarta

147

Interpelasi Pil Pahit Jokowi Koran SINDO 24 November 2014

Seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, harus menelan pil pahit yang diracik dalam

kemasan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh Presiden

Joko Widodo (Jokowi). Pil pahit itu mungkin mujarab memulihkan kekuatan APBN, tetapi

pemulihan itu menuntut pengorbanan rakyat. Karena itu, DPR berkewajiban

mempertanyakan kebijakan itu kepada Presiden Jokowi.

Semua orang sepakat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus

produktif. APBN harus menjadi motor penggerak pembangunan nasional. Namun, dalam

proses memulihkan kekuatan APBN itu, pemerintah tidak patut meminta atau menuntut

terlalu banyak dari rakyat.

Dalam konteks BBM bersubsidi, negara cq pemerintah belum waktunya mencari untung.

Utamanya, karena jumlah warga miskin masih puluhan juta. Oleh karena itu, setiap kebijakan

pemerintah hendaknya tidak menjadi sumber masalah baru yang menambah beban kehidupan

warga miskin. Sebaliknya, setiap kebijakan justru sepatutnya menjadi stimulus yang

mengurangi beban kehidupan mereka, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengalaman mengajarkan bahwa kenaikan harga BBM akan selalu diikuti dengan naiknya

harga barang dan jasa, utamanya harga komoditi kebutuhan pokok serta tarif jasa angkutan

penumpang pada semua moda transportasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga

barang dan jasa itu sering berkelanjutan. Kalau kenaikan harga barang dan jasa itu tidak

direspons dengan kenaikan gaji atau upah, akibat ikutannya adalah melemahnya daya beli

sebagian besar rakyat.

Artinya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak hanya menyengsarakan warga miskin.

Keluarga atau individu berpenghasilan pas-pasan pun akan menerima dampak negatifnya.

Ketika gaji atau penghasilan mereka tidak naik, otomatis daya beli keluarga dalam kategori

ini akan merosot. Perlahan, mereka bisa terdorong masuk dalam kelompok warga hampir

miskin.

Memang, untuk melindungi warga miskin dari dampak negatif kenaikan harga BBM itu,

pemerintah baru pimpinan Jokowi coba menangkalnya dengan Kartu Keluarga Sejahtera

(KKS). Pertanyaannya, setimpalkah daya KKS melawan arus kuat kenaikan harga barang dan

jasa yang biasanya berkelanjutan itu?

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan menyelamatkan kelompok keluarga

berpenghasilan pas-pasan yang daya belinya merosot itu? Mereka ini adalah pekerja informal,

148

yang karena terdesak oleh keadaan, bersedia menerima upah di bawah UMR. Kelompok

masyarakat seperti ini bisa saja tidak terdata dalam program KKS itu.

Dengan demikian, opsi DPR menggunakan hak interpelasi menjadi relevan karena Kabinet

Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo praktis gagal mengamankan kebutuhan dasar rakyat

sebelum memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga aneka komoditi kebutuhan

pokok rakyat bahkan telah melambung sebelum harga baru BBM bersubsidi diberlakukan

pada Selasa (18/11).

Kenaikan tajam harga aneka kebutuhan pokok rakyat dalam beberapa pekan terakhir,

termasuk beras, menjadi bukti bahwa para menteri ekonomi dari Kabinet Kerja gagal

meredam dampak negatif isu naiknya harga BBM bersubsidi. Padahal, sejak masa kampanye

pemilihan presiden, Jokowi sudah begitu sering memastikan kenaikan harga BBM

bersubsidi.

Rupanya kecenderungan ini tidak dicermati atau diantisipasi para menteri Kabinet Kerja.

Inilah bukti bahwa para menteri tidak sigap merespons rencana presiden terpilih.

Ketidakmampuan para menteri meredam dampak negatif itu akan semakin menyengsarakan

rakyat.

Bantuan non-tunai lewat KKS tidak akan mengurangi penderitaan warga miskin karena

lonjakan harga barang dan jasa biasanya jauh lebih tinggi. Inilah pil pahit dari Presiden

Jokowi yang harus ditelan seluruh rakyat Indonesia. Hampir pasti bahwa kenaikan harga

BBM bersubsidi tahun 2014 ini akan memperbesar jumlah warga miskin. Jadi, inilah ironi

yang harus diterima.

Alih-alih mempercepat pengentasan kemiskinan, pemerintah baru malah merancang

kebijakan yang akan berdampak pada bertambahnya jumlah warga miskin dalam dua-tiga

tahun ke depan. Rakyat hanya dihibur dengan janji akan terwujudnya swasembada pangan,

pembangunan waduk, pelabuhan hingga pembangunan jalur kereta api di luar Jawa.

Sayangnya, semua janji itu belum tentu terpenuhi.

Upeti Rakyat

Alasan lain menggunakan hak interpelasi DPR adalah kenyataan bahwa kebijakan Jokowi itu

tidak berkeadilan karena memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat.

Ada penghematan lebih dari Rp100 triliun. Jumlah ini didapatkan berkat pengorbanan rakyat

yang dipaksakan itu.

Ekstremnya, Rp100 triliun itu ibarat upeti dari rakyat untuk pemerintah baru. Dengan

demikian, sudah cukup alasan bagi DPR menggunakan Hak Interpelasi terhadap Presiden

Jokowi. Fraksi Partai Golkar (FPG) pun sudah menyatakan sikapnya menolak keputusan

Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi.

149

FPG mengecam kebijakan harga baru BBM bersubsidi, karena Jokowi-JK terang-terangan

mengalihkan beban fiskal pemerintahannya ke pundak rakyat. Dimotori Partai Golkar,

Koalisi Merah Putih (KMP) sedang menggalang kekuatan di DPR untuk memenuhi syarat

penggunaan hak interpelasi DPR. KMP menargetkan lebih dari 300 dukungan anggota DPR.

Hak interpelasi bisa berlanjut dengan pemanggilan Presiden Jokowi untuk dimintai

keterangan. Dan, bila DPR tidak puas terhadap keterangan Presiden, opsi hak angket DPR

hingga hak menyatakan pendapat (HMP) bisa digunakan.

Bagi Partai Golkar, kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini sama sekali tidak masuk akal,

bahkan sulit diterima akal sehat, sebab harga BBM bersubsidi dinaikkan ketika harga minyak

di pasar internasional turun, alias lebih rendah dari asumsi APBN tahun berjalan. APBN-P

2014 mengasumsikan harga minyak USD105 per barel, sementara harga minyak saat ini di

bawah USD80 per barel.

Artinya, tekanan beban fiskal bagi pemerintah baru relatif belum bertambah karena turunnya

harga minyak di pasar internasional itu. Maka kalau benar Jokowi pro-rakyat, sebagai

pemimpin seharusnya memiliki keberanian politik dan menunjukkan iktikad baik dengan

menurunkan harga BBM bersubsidi. Sebab dari penurunan harga BBM bersubsidi itu, akan

terbangun suasana nyaman dalam kehidupan rakyat.

Kalaupun tidak punya iktikad baik, Jokowi minimal mempertahankan harga pada level yang

berlaku sebelumnya. Namun, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan skala

kenaikan Rp2.000 per liter, sama artinya Jokowi-JK tidak punya iktikad baik terhadap rakyat.

Jokowi tetap saja memilih cara instan menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengamankan

APBN tahun berjalan. Dengan model kebijakan seperti ini, FPG menilai Jokowi telah

memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ini jelas tidak adil.

Pemerintah baru yang belum mencatat prestasi apa pun tidak berhak menuntut pengorbanan

dari rakyat sekecil apa pun.

Menaikkan harga BBM bersubsidi untuk memulihkan kekuatan APBN adalah cermin

pemerintahan Jokowi yang tidak kreatif dan malas. Sebab, di hadapan pemerintah,

sesungguhnya masih tersedia sejumlah pilihan untuk memperbesar ruang fiskal pada struktur

APBN. Antara lain bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Dengan ekstensifikasi dan penegakan hukum, pemerintah masih berpeluang besar untuk

meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Potensi penerimaan negara dari pos PNBP pun

masih sangat besar jika dikelola dengan efektif.

Jika pemerintah mau bekerja lebih keras membenahi dua pos penerimaan ini, rasanya

pemerintahan Jokowi tak perlu menuntut pengorbanan berlebih dari rakyat.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Presidium

Nasional KAHMI 2012-2017

150

Setelah Harga BBM Naik Koran SINDO 24 November 2014

Pilihan sulit telah ditempuh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) atas

pengelolaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tepat pukul 00.00 WIB, 18 November

2014 lalu, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi masing-masing untuk premium

30,7% dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 dan untuk solar 36,3% dari Rp5.500 menjadi Rp7.500.

Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan, pemerintah telah memutuskan untuk

melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektor produktif,

khususnya untuk membangun sektor infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Per akhir Oktober, realisasi penyaluran BBM bersubsidi telah mencapai 39,07 juta kiloliter

yang artinya masih tersisa 7 juta kiloliter dari kuota 46 juta kiloliter yang ditetapkan dalam

APBN 2014.

Kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentunya memberi dampak pada beberapa indikator

perekonomian seperti inflasi dan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga

dasar BBM bersubsidi diperkirakan menyumbang inflasi di kisaran 2% sehingga pada akhir

2014 inflasi tahunan akan berada di level 7,3% (sebelumnya perkiraan 5,3% sebelum harga

BBM dinaikkan). Dengan profil risiko inflasi tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014

diperkirakan melambat di level 5,1% atau lebih rendah dari angka patokan APBN-P 2014

sebesar 5,5%.

Sepanjang kuartal I-III tahun 2014, ekonomi nasional memang sedang mengalami

perlambatan. Tercatat pada kuartal III 2014, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,01%

atau menurun dibandingkan kuartal I dan II yang masing-masing sebesar 5,21% dan 5,12%.

Selepas kenaikan harga BBM bersubsidi, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan

(BI Rate ) sebesar 25 basis poin ke level 7,75%. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari paket

kebijakan moneter dalam memitigasi dampak tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM

bersubsidi. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ini menurut BI sebagai sinyal

antisipasi terhadap risiko-risiko seperti inflasi, defisit neraca berjalan, serta risiko fiskal. Atau

dengan kata lain, kenaikan BI Rate digunakan untuk memberi keyakinan kepada pasar atas

pengendalian potensi risiko yang akan dihadapi dalam beberapa waktu ke depan.

Kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi tentunya akan berimbas pada sejumlah sektor,

khususnya sektor rumah tangga (miskin dan rentan miskin) serta industri, terutama

UMKM. Untuk mengantisipasi pelemahan daya beli masyarakat, khususnya kelompok

masyarakat miskin yang mencapai 28 juta orang dan 70 juta orang rentan miskin akibat

151

kenaikan harga BBM, pemerintah telah mempersiapkan Kartu Kesejahteraan Sosial, Kartu

Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.

Pemerintahan Jokowi-JK juga akan memberikan kompensasi Rp400.000 per rumah tangga

untuk bulan November dan Desember bagi 15,5 juta rumah tangga sasaran. Program

conditional cash transfer itu diharapkan dapat menjadi bantalan dalam mengantisipasi

dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada sejumlah barang kebutuhan pokok masyarakat.

Khusus untuk sektor industri, terutama UMKM, pemerintah perlu melakukan sejumlah

kebijakan dalam menopang kesinambungan usaha. Hal ini mengingat UMKM merupakan

sektor strategis dengan penyerapan tenaga kerja terbesar mencapai 101 juta orang atau 97%

dari total tenaga kerja nasional dan terdapat 56,5 juta unit usaha atau 98,9% dari total unit

usaha nasional. Keberadaan UMKM yang strategis juga dapat dilihat dari kontribusinya

terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional yang mencapai 56%.

Kenaikan harga BBM bersubsidi akan memberi dampak pada kenaikan sejumlah faktor

produksi UMKM, sementara di sisi lain daya beli masyarakat berpotensi menurun. Beban

biaya produksi mulai dari bahan baku, tenaga kerja, peralatan hingga operasional tentunya

akan mendorong peningkatan beban biaya secara umum. Hal ini belum lagi mengikutkan

penambahan biaya di lini distribusi akibat kenaikan ongkos transportasi.

Untuk itu pemerintah perlu menempuh sejumlah kebijakan, khususnya untuk menjaga

kesinambungan usaha sektor UMKM. Pertama, mengalokasikan bantuan modal kerja bagi

sektor UMKM dengan bunga murah (soft loan) yang disalurkan langsung melalui perbankan.

Ini akan membantu UMKM di tengah kenaikan suku bunga acuan. Bantuan modal kerja ini

diharapkan dapat memberi bantalan bagi kenaikan beban produksi akibat kenaikan harga

BBM.

Kedua, memberikan insentif fiskal seperti pengurangan pajak bagi sektor UMKM. Pemberian

insentif ini tentunya akan mengurangi struktur biaya produksi pada sektor UMKM.

Ketiga, melakukan pendampingan dan bantuan teknis khususnya bagi UMKM yang

berorientasi ekspor, memproduksi barang-barang yang bernilai tambah tinggi, dan yang

menyerap tenaga kerja besar. Keempat, memfasilitasi program kemitraan baik langsung

maupun tidak langsung antara pelaku UMKM dan usaha besar dalam konteks saling

menguntungkan dan saling memperkuat.

Terakhir, yang tak kalah penting, adalah memberi jaminan bagi kesinambungan usaha

UMKM agar dapat mengakses baik sektor keuangan maupun pasar yang lebih besar pada

tataran ASEAN, Asia, dan global.

Dengan sejumlah upaya tersebut, kita berharap sektor UMKM dapat terus tumbuh sebagai

salah satu penyangga perekonomian nasional di tengah tekanan inflasi setelah kenaikan harga

BBM.

152

PROF FIRMANZAH PhD

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

153

Sistem Pembayaran dan Risiko Sistemik Koran SINDO 25 November 2014

Ben Bernanke, Timothy Geithner, dan Hank Paulson tengah dimintakan pertanggungjawaban

atas kebijakan yang mereka ambil semasa menjabat di Amerika Serikat. Pertanggungjawaban

yang diminta seputar apakah kebijakan yang diambil saat krisis ekonomi global merupakan

langkah untuk mengantisipasi risiko sistemik yang tengah terjadi.

Pertanyaan tentang risiko sistemik menjadi sangat penting dalam kasus mereka. Jangan-

jangan mereka hanya mencoba menolong perusahaan-perusahaan tertentu dan

membangkrutkan perusahaan-perusahaan lain. Sementara mereka tidak pernah membereskan

permasalahan utama dari risiko sistemik itu seperti kemudahan perizinan bagi produk

keuangan yang berpotensi risiko sistemik.

Perdagangan produk keuangan hanya diizinkan pada pasar terorganisasi yang berfungsi

sebagai pusat kliring (clearing house). Transaksi yang sering disebut pembelian bebas

(OTC), yang dapat dilakukan secara bilateral, harus dihapuskan. Langkah ini penting, di satu

sisi, untuk memastikan transparansi yang layak di pasar. Di sisi lain, ini akan membantu

menstabilisasi sistem keuangan.

Sebab itu, transaksi derivatif dengan volume yang besar diperdagangkan hanya melalui

kontrak bilateral antarlembaga keuangan individual. Ini berlaku, contohnya, bagi pasar besar

untuk pertukaran kredit macet (credit default swaps/CDS). Kontrak ini dapat dilihat sebagai

bentuk dari asuransi kredit terhadap kegagalan peminjam untuk membayar. Satu pihak di

kontrak membayar ke pihak lain jumlah premium atas penerimaan jumlah yang disepakati

jika terjadi kredit macet (credit default).

Sumber yang tepercaya mengindikasikan bahwa di beberapa tahun terakhir pasar CDS telah

bertumbuh nilainya hingga lebih dari USD60 triliun atau sekitar output tahunan ekonomi

global. Transaksi turunan lain juga ternyata berjumlah sangat besar.

Namun, ada masalah yang mengikuti transaksi OTC ini. Pertama, ketidakjelasan peserta

pasar mana yang memegang posisi apa dan apakah ini cenderung berisiko sistemik dalam

tingkat keseluruhan. Kedua, saat terjadi kebangkrutan dari salah satu mitra dagang OTC, ada

risiko bahwa yang lain akan kehilangan cakupan asuransinya jika turunannya (derivatif) telah

digunakan sebagai instrumen perlindungan nilai (hedging).

Pada masa lalu peserta pasar dengan membabibuta berasumsi bahwa mitra OTC akan selalu

mampu menangani kebocoran hingga ke langkah yang diperlukan. Dasar pandangan ini

adalah strategi bisnis telah diklasifikasikan aman jika seseorang menggunakan turunan untuk

perlindungan nilai terhadap risiko meski dari sudut pandang makroekonomi seharusnya sudah

154

sangat jelas bahwa tidak demikian keadaannya.

John Stuart Mill mengingatkan: “All the natural monopolies (meaning thereby those which

are created by circumstances, and not by law) which produce or aggravate the disparities in

the remuneration of different kinds of labour, operate similarly between different

employments of capital.” Itulah yang akhirnya menjadi dasar ekonomi dari sistem

pembayaran dan serah yang efisien.

Dalam operasi moneter di mana salah satu fungsi uang adalah alat pertukaran, operasi

pembayaran dan penyerahan harus memperlancar arus barang dan jasa akibat pertukaran.

Sistem moneter harus menjaga fungsi uang sebagai alat tukar secara efisien sehingga

kebijakan moneter yang memengaruhi likuiditas perekonomian menjadi sangat efektif dalam

menekan biaya tinggi yang mungkin disebabkan oleh sistem pembayaran dan penyerahan.

Bukan hanya itu, bank sentral juga berkewajiban menjaga agar sistem pembayaran dan

penyerahan berlangsung secara likuid, transparan, dan efisien. Bank sentral harus menjamin

bahwa proses gagal bayar dan/atau gagal serah dapat dilakukan seminimal mungkin dengan

biaya yang juga seefisien mungkin.

Kepercayaan publik terhadap uang juga dipengaruhi seberapa andal sistem pembayaran dan

penyerahan dalam mendukung fungsi uang sebagai alat pertukaran (termasuk alat tukar non-

uang lain). Permasalahannya, kondisi Indonesia berpotensi akan mengalami inefisiensi. Trade

off terjadi antara inefisiensi, pengawasan, dan risiko sistemik itu. Implikasinya, kelembagaan

sistem pembayaran harus berorientasi tata kelola perusahaan yang baik sehingga secara

sistem terjadi endogenisasi pengelolaan risiko.

Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah

akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme

untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus

utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan

harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi dengan penekanan kuat pada

kesejahteraan para pemegang saham.

Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan seperti sudut pandang

pemangku kepentingan yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak lain

selain pemegang saham misalnya karyawan atau lingkungan. Kritik akan tata kelola

perusahaan yang secara sempit hanya memperhatikan nilai pemegang saham telah

berkembang cukup besar sejak krisis subprima.

Model manajemen perusahaan harus direintegrasikan ke dalam konteks sosial tertentu.

Interaksi sejumlah pemegang saham di perusahaan terutama para pegawai tetapi juga

tentunya pemegang saham menawarkan titik awal bagi manajemen perusahaan yang tidak

hanya efisien, tetapi juga stabil. Tata kelola perusahaan dalam istilah ini didasarkan dari

155

pendapat bahwa kesuksesan ekonomi perusahaan bergantung pada berbagai peserta yang juga

harus memainkan peranan dalam manajemen perusahaan.

ACHMAD DENI DARURI

President Director Center for Banking Crisis

156

Diplomasi Sawit Jokowi Koran SINDO 26 November 2014

Di dalam minggu ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan

mengadakan konferensi tahunan yang ke-10 di Bandung, Jawa Barat.

Tahun lalu, di masa berakhirnya pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyempatkan hadir setelah absen dalam konferensi-

konferensi sebelumnya. Pada saat itu, Presiden SBY banyak memberikan komitmen atau janji

untuk melindungi dan mendorong kemajuan industri kelapa sawit. Namun sayangnya janji itu

dinyatakan pada saat terakhir masa kekuasaannya.

Para pengusaha dan pelaku industri kelapa sawit yang hadir dalam konferensi itu berharap

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat melakukan hal yang berbeda. Presiden Jokowi dapat

menghadiri konferensi itu di awal pemerintahan dan bukannya di akhir. Semoga dengan

demikian, para pengusaha dan pelaku dalam industri kelapa sawit dapat bertukar pikiran

untuk mendorong kemajuan industri tersebut.

Presiden Jokowi sebenarnya berkepentingan untuk hadir dalam konferensi itu untuk

menjelaskan upaya diplomasi yang telah ia lakukan ketika hadir dalam forum internasional

seperti di KTT APEC, KTT ASEAN, dan G-20 atau ketika menerima kunjungan kepala-

kepala negara lain dalam satu bulan kekuasaannya.

Contohnya saat bertemu pertama kalinya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack

Obama dalam KTT APEC di Beijing China, Presiden Jokowi telah mengatakan agar AS

membuka pasar yang seluasluasnya untuk produk-produk Indonesia, salah satunya kelapa

sawit. Alasan yang disampaikan kepada Obama adalah sumbangan industri kelapa sawit

kepada masyarakat yang tinggal di perdesaan.

Pesan serupa juga disampaikan ketika Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Dewan Uni

Eropa di Istana Merdeka minggu lalu. Ia meminta agar Uni Eropa membantu produk kelapa

sawit masuk ke negara-negara Uni Eropa. Presiden Jokowi menyampaikan adanya hambatan-

hambatan yang dialami produk-produk kelapa sawit.

Ia menekankan bahwa permintaan tersebut didorong fakta bahwa 45% dari perkebunan

kelapa sawit adalah milik rakyat, jadi tidak hanya perusahaan-perusahaan besar yang akan

diuntungkan dari kerja sama dengan industri sawit di Indonesia. Pesan yang sama juga

disampaikan kepada Perdana Menteri Matteo Renzi dari Italia.

157

Selain mendorong kerja sama dalam industri kreatif, Presiden Jokowi juga menekankan

sekali lagi perlunya memperluas akses pasar kelapa sawit Indonesia ke Eropa. Seandainya

Presiden Jokowi hadir dalam Konferensi Gapki, pesan-pesan tersebut tentu akan ia tekankan

sebagai bukti komitmen yang sudah ia lakukan untuk industri kelapa sawit.

Namun, selain menyampaikan pesan dan permintaan kepada negara sahabat, tahapan yang

lebih penting adalah sejauh mana para kepala negara sahabat tersebut memberikan tanggapan

atas keluhan yang telah disampaikan Presiden Jokowi. Sejauh yang saya amati, termasuk dari

press release dan berita yang dipublikasikan di media massa, keluhan Indonesia tentang

sulitnya produk kelapa sawit masuk ke Eropa atau AS belum menjadi perhatian pemerintah

dan publik di sana.

Dalam press release yang disampaikan Presiden Uni Eropa Herman Van Rompuy, pertemuan

dengan Presiden Jokowi lebih menekankan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kerja sama

di bidang infrastruktur, ketahanan pangan, kehutanan, kerja sama di bidang manajemen

kehutanan untuk mengatasi pembalakan liar, dan perluasan pasar kayu dari Indonesia.

Demikian pula pertemuan dengan Obama. Tidak ada tanggapan yang datang dari Pemerintah

AS atas keluhan Jokowi tentang kelapa sawit. Kalangan kedutaan AS lebih tertarik

merespons undangan Pemerintah Indonesia untuk berinvestasi di sektor kelautan. Media

massa internasional lebih menekankan suksesnya demokrasi di Indonesia sebagai negara

muslim terbesar di dunia dan kerja sama yang lebih erat di masa datang.

Tidak ada media yang mengangkat masalah kelapa sawit kecuali media di Indonesia. Fakta

itu patut disayangkan dan perlu menjadi masukan penting bagi para diplomat yang

mendampingi Presiden Jokowi. Dalam forum internasional seperti KTT APEC, ASEAN, dan

G-20, kita harus dapat memanfaatkan waktu yang terbatas untuk dapat menyuarakan

kepentingan kita seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Apa yang kita sampaikan dan kepada siapa kita bertemu adalah pesan penting yang akan

diterjemahkan negara-negara lain. Pesan itu terutama menyangkut prioritas hubungan luar

negeri kita, terutama di bidang ekonomi. Contoh dalam pertemuan KTT G-20 yang lalu,

Presiden Jokowi semestinya mengusahakan untuk melakukan pertemuan bilateral dengan

Perdana Menteri India di hari pertama ia menginjakkan kaki di Australia untuk menunjukkan

arti penting India bagi produk-produk agrikultur Indonesia, terutama kelapa sawit.

China dan India adalah pasar ekspor terbesar produk-produk kelapa sawit Indonesia. Secara

umum, konsumsi masyarakat India akan minyak nabati selalu meningkat setiap tahun

sementara pasokannya sangat terbatas. India sendiri lebih banyak memproduksi rapeseed oil,

soybean oil, cotton seed oil, rice bran oil, dan groundnut oil. Mereka membutuhkan minyak

nabati dari kelapa sawit, tetapi juga tidak ingin mengganggu pasokan dari petani-petani

mereka.

158

Beberapa waktu lalu, India mengenakan tambahan pajak impor kelapa sawit 2,5% dan refine

oil 7,5%. Tambahan pajak itu sebetulnya reaksi atas ketetapan pajak 0% CPO yang dilakukan

Malaysia, tetapi dampaknya juga dirasakan Indonesia.

India juga sempat melakukan protes atas biaya keluar CPO yang dilakukan pemerintah untuk

meningkatkan hilirisasi industri sawit dalam negeri Indonesia. Meskipun membutuhkan CPO

yang murah untuk membangkitkan industri pengolahan kelapa sawit di sana, India tak ingin

produsen lokal terancam. Akibat dari kebijakan biaya keluar kita, India melakukan safeguard

terhadap produk fatty alcohols asal Indonesia.

Indonesia masih harus bernegosiasi menghadapi keputusan India tersebut sekaligus

mempersiapkan argumentasi dan data untuk menjawab tuduhan India tersebut di WTO.

Masalah-masalah khusus semacam itu tentu akan lebih baik bila dapat diselesaikan secara

bilateral daripada diangkat ke forum internasional.

Contoh yang baik adalah kerja sama preferential trade agreement (PTA) antara Indonesia

dan Pakistan pada 2013. Dalam perjanjian terbatas tersebut, Indonesia setuju untuk membuka

pintu impor bagi produk jeruk kino dari Pakistan dan Pakistan akan membuka pasar untuk

produk kelapa sawit Indonesia.

Melalui perjanjian ini, ekspor CPO asal Indonesia ke Pakistan melonjak 150% di tahun 2013

dan nilainya masih surplus dibandingkan dengan impor jeruk kino Pakistan. Diskusi model

imbal-balik macam itu tentu jauh lebih bermanfaat apabila memang strategi baru Presiden

Jokowi dalam diplomasi adalah untuk bicara blak-blakan dan to the point.

Presiden juga perlu menempatkan pesan dan tekanan kepada negara lain sesuai dengan

tingkat pertemuannya. Semakin tinggi tingkat pertemuannya akan semakin keras gaungnya

kepada dunia dan akan semakin diingat.

Dalam pertemuan privat antarkepala negara dapatlah ditegaskan komitmen dari pihak

Indonesia bila kepentingan kita diakomodasi, sementara itu tim negosiasi yang berasal dari

Kementerian Luar Negeri atau yang dikawal oleh Kementerian Luar Negeri harus bergerilya

menyuarakan keinginan dan menampung masukan dari Indonesia dalam sesi-sesi informal

dalam forum internasional maupun dalam kegiatan rutin.

Presiden Jokowi harus bekerja sama dengan kementerian terkait, termasuk dengan civil

society, para asosiasi yang terkait dengan industri kelapa sawit, dan lembaga penelitian untuk

menggerakkan keahlian masing-masing mendukung agenda pemerintah. Dengan kerja sama

yang konstruktif dari tiap pihak, gerak Presiden yang cepat dapat diikuti dengan

implementasi yang tepat.

159

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu