Inspiring person (ilmu untuk manfaat bersama) koran seputar indonesia (sindo 6 april 2014)
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
-
Upload
ekho109 -
Category
Self Improvement
-
view
604 -
download
10
Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
1
DAFTAR ISI
SAAT ORANG SUKSES JADI PENCABUT NYAWA
Reza Indragiri Amriel 4
LURUSKAN ORIENTASI PENGABDIAN DPR
Aditya Anugrah Moha 7 ISLAM ADALAH BARAT
Sarlito Wirawan Sarwono 10
URGENSI PENGARUSUTAMAAN PEMUDA
Arip Musthopa 13
MENGKAJI PAHLAWAN PILIHAN
Agus Dermawan T 16
PESAN DARI CHINA
Tirta N Mursitama 19
PEMIMPIN YANG PEDULI DAN MENGAYOMI
Mohamad Sobary 22 LOGIKA SOSIALISME
Komaruddin Hidayat 25
TANTANGAN PENDIDIKAN
Elfindri 28
PAHLAWAN KESIANGAN
Sarlito Wirawan Sarwono 31
PUBLIKASI ILMUWAN RENDAH, MENGAPA?
Ali Khomsan 34
KAMPUS DAN TRAGEDI NARKOBA
Sudjito 37 SEMANGAT KEBANGSAAN ALA VIKING
Dedi Mulyadi 40
MENEGUHKAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH
Biyanto 44
LAKON DPR DADI RATU
Mohamad Sobary 47
MENANAMKAN SPIRIT ANAK MUDA NIRKEKERASAN
2
Muhammad Muchlas Rowi 50
KENAIKAN BBM DAN DERITA WONG CILIK
Tom Saptaatmaja 53
PENDIDIKAN KEMBALI KE KHITAH?
Z Arifin Junaidi 56
RELIGIUSITAS KAUM NELAYAN
Komaruddin Hidayat 59 BENTROK APARAT TNI-POLRI DAN REVOLUSI MENTAL
Laode Ida 62
AGAMA KTP
Dedi Mulyadi 65
BBM, PANGAN, DAN URBANISASI
Posman Sibuea 69
PAPUA BERDIKARI DAN POROS MARITIM
Amiruddin Al-Rahab 72
CITRA DIRI ITU MAHAL
Komaruddin Hidayat 75 SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (1)
Sys NS 78
SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (2)
Sys NS 81
MENYOAL E-VOTING
Ikhsan Darmawan 84
UMAT YANG JARANG MEMBACA
Mohamad Sobary 87
MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (1)
Dedi Mulyadi 90 INISIATIF MORA DAN JEJARING INTELEKTUAL
Gun Gun Heryanto 93
MORATORIUM KURIKULUM 2013, SEBUAH KERUGIAN NYATA
Sukemi 97
REVOLUSI MENTAL ATAU MORAL PANCASILA?
Handi Sapta Mukti 101
3
KONTROVERSI KHILAFAH
Komaruddin Hidayat 104
DARI RAWAMANGUN KE PINTU BESI
Sarlito Wirawan Sarwono 107 ORANG-ORANG BESAR DI PERPUSTAKAAN
Mohamad Sobary 110
MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (2)
Dedi Mulyadi 113
PERANGI MALNUTRISI
FX Wikan Indrarto 117
MELINDUNGI PEKERJA DOMESTIK
Reza Indragiri Amriel 120
PILAR RESEARCH UNIVERSITY
Ali Khomsan 123 MASYARAKAT TANPA SEKOLAH
Sarlito Wirawan Sarwono 126
KURIKULUM KEMBALI KE ASAL (1)
Dedi Mulyadi 129
WATAK & TINGKAH LAKU POLITIK
Mohamad Sobary 133
KEKERASAN REMAJA
FX Wikan Indrarto 136
PENELITIAN DAN PENELITI
Dinna Wisnu 138 MENYIMAK KEARIFAN LOKAL
Rhenald Kasali 141
TEOLOGI ANTIKORUPSI
Komaruddin Hidayat 144
BANJARNEGARA, KEARIFAN LOKAL, DAN KECERDASAN
EKOLOGIS
Tom Saptaatmaja 146 SITI
Sarlito Wirawan Sarwono 149
4
Saat Orang Sukses Jadi Pencabut Nyawa Koran SINDO 8 November 2014
Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, yakni Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih
alias Jesse Lorena Ruri, kehilangan nyawa di Hong Kong. Menggegerkan, karena orang yang
menghabisi kedua TKW tersebut adalah seorang bankir profesional bernama Rurik Jutting.
Belasungkawa untuk Ningsih dan Mujiasih. Terlepas dari itu, pertanyaan pun muncul:
bagaimana seorang eksekutif profesional yang sukses bisa sekonyong-konyong menjelma
menjadi pembunuh berdarah dingin. Bahkan tidak hanya pekerja selevel Rurik. Sejumlah
usahawan papan atas pun tercatat melakukan pembunuhan, aksi yang sangat jauh dari
imajinasi publik akan kata “kemapanan”. Bob Ward, John Brooks, Haissam Safetli, Freddie
Young, John Dupont, Calvin Harris, dan Harold Landry, adalah beberapa di antaranya.
Kekagetan khalayak akan kelakuan jahat para pengusaha bonafide semestinya tak terjadi
apabila masyarakat ingat bahwa gambaran pebisnis sukses yang secara tiba-tiba berubah
tabiat sebenarnya sudah terwakili dengan baik oleh sosok Batman. Siang hari, siapa pun
mengenal Bruce Wayne sebagai pemilik imperium bisnis di kota Gotham. Intuisi dagangnya
mengagumkan.
Bruce Wayne seolah tak memiliki apa pun di dalam tempurung kepalanya, kecuali sebuah
kalkulator bisnis. Otak yang seakan hanya terdiri dari satu belahan itu mengakibatkan Bruce
Wayne memiliki mempunyai temperamen yang begitu dingin, termasuk terhadap lawan jenis.
Tapi begitu matahari beringsut ke peraduan, laksana pemilik kepribadian majemuk, Bruce
Wayne “menghilang” digantikan figur Batman.
Si manusia kelelawar bergentayangan di seantero kota dengan warna kostum serba hitam dan
membawa hati yang penuh sesak dengan amarah terhadap para bandit. Bruce, saat berperan
sebagai Batman, tidak peduli pada bisnisnya. Sebagai gantinya, ia menggila, meneror para
penjahat laksana binatang buruan.
Batman menikmati setiap detik ketakutan yang menjalari para kriminal, sehingga mereka
mati dengan sendirinya. Tabiat beda siang dan beda malam itu disebabkan oleh trauma Bruce
Wayne alias Batman yang tidak pernah tertangani secara tuntas.
Untuk menjadi raja diraja di dunia bisnis bukan perjuangan sepele. Untuk menduduki
singgasana di gedung pencakar langit, si profesional harus melakukan pengorbanan luar biasa
besar. Rumusan Imam Ghazali tentang ritme ideal hidup harian manusia, yakni sepertiga
5
waktu untuk bekerja, sepertiga untuk beristirahat, dan sepertiga untuk beribadah, jauh
panggang dari api.
Konkretnya, jam kerja berlipat ganda, sementara jam istirahat berkurang drastis. Stamina
terkuras, namun pasokan energi tak seimbang akibat pola makan yang kacau dan olah raga
yang dihapus dari agenda rutin. Kehidupan personal yang serba jujur terkesampingkan,
kegiatan membasuh dimensi religusitas ternihilkan, tergeser oleh alam berpikir yang
serbakompetitif atas nama profesionalisme. Lebih parah lagi, terjadi penyimpangan dalam
menilai diri.
Workaholic menjadi sebutan yang dirasa membanggakan. Insomnia atau gangguan tidur
parah, yang aslinya berkonotasi negatif, justru diidentikkan dengan komitmen dan dedikasi
penuh pada pekerjaan. Keharmonisan keluarga kalah penting dibandingkan kemajuan karier.
“Kerja, kerja, kerja”, menduduki posisi sebagai semboyan tunggal yang mewakili semangat
untuk maju. Jatah cuti dibuang, akhir pekan diisi dengan sosialisasi semu, memperparah
guncangan hormonal yang dialami si sosok profesional.
Dinamika hidup yang menjadi serbasibuk itu sesungguhnya membuat tubuh si usahawan
menjadi ringkih. Gangguan mental gampang mendera. Laurence Stybel, misalnya, menduga
kuat bahwa sangat banyak kalangan eksekutif yang mengidap dysthymia, yaitu depresi ringan
namun kronis yang telah berlangsung selama setidaknya dua tahun.
Sam Ozersky bahkan menyebut manik depresi atau gangguan afektif bipolar sebagai
ironisnya sumber energi utama pada sekian banyak profesional bisnis paling ambisius di
negara-negara maju. Selain guncangan psikis, pola hidup profesional juga mengganggu
kesehatan fisiknya. Seperti penyakit jantung, impotensi, ketergantungan pada narkoba, dan
lainnya.
Celakanya, untuk menjamin agar kerajaan bisnis tidak hancur, si usahawan harus
menyembunyikan segala kelemahan dan berbagai gangguan yang ia derita. Separah apa pun,
ia harus senantiasa mempertontonkan kondisi kesehatan prima, keceriaan yang tanpa batas,
serta produktivitas 24 jam per hari dan 7 hari per pekan.
Terkuaknya kondisi sebenarnya si pengusaha dianggap sangat memalukan, bahkan berisiko
pada kaburnya mitra bisnis. Jadi, tidak hanya si pengusaha menutup-nutupi segala
masalahnya, ia pun tidak akan berinisiatif mencari bantuan guna mengatasi gangguan-
gangguan yang ia derita. Padahal, semakin terlambat problem kesehatan tertangani, semakin
menurun peluang kesembuhannya.
Dan pada gilirannya, keputusan untuk mengabaikan pola hidup sehat itu berkonsekuensi kian
fatal terhadap bisnis yang sudah ia bangun atau pun pekerjaan yang ia tangani. Di Inggris
saja, sebagai gambaran, masing-masing karyawan tidak bekerja hingga rata-rata 23 hari per
tahun akibat stres, depresi, dan kecemasan yang mereka alami.
6
Ketiga problem psikologis tersebut mencakup 39 persen dari total hampir 1,3 juta kasus
kesakitan terkait kerja pada setiap tahun. Dikhawatirkan, kondisi tersebut tidak berbeda
bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1999 silam ketika Organisasi Buruh
Internasional menyebut stres kerja sebagai epidemi global.
Pada titik kritis itu, senyatalah bahwa Batman hanya hidup di alam fantasi. Bisa dibilang
tidak mungkin seorang pebisnis sukses mampu terus-menerus memendam kepenatan lahir
batinnya dari pandangan orang lain, lalu mengompensasikannya dengan menjadi pahlawan
pembela kebenaran. Yang kerap terjadi adalah kebalikannya; gagal menyamarkan serbaneka
kelainan psikologis, si pebisnis bisa tiba-tiba meledak akibat tersulut peristiwa provokatif.
Meminjam pernyataan hakim yang menyidangkan Harold Landry, usahawan kaliber puncak
seperti memiliki suatu sifat bawaan yang manakala terpantik, akan kuat mendorong individu
tersebut untuk meletupkan aksi kekerasan nan berbahaya. Konkretnya, dari kondisi yang
semula seolah sehat lagi produktif, sosok profesional sukses itu akan berbalik secara drastis
dengan menampilkan tindakan destruktif, baik menyakiti diri sendiri maupun membahayakan
orang lain.
Kemungkinan buruk sedemikian rupa kian kentara pada masa krisis. Hantaman
perekonomian dan iklim usaha yang suram berakibat pada meruyaknya perasaan tidak
memiliki masa depan, dan ini gerbang depresi. Individu juga menghadapi keterbatasan
sumber daya, sehingga memperparah perasaan tak berdaya. Tak aneh jika lantas angka bunuh
diri di Amerika Serikat melonjak pada masa krisis perekonomian, khususnya yang dilakukan
oleh orang-orang berusia produktif 25 hingga 64 tahun.
Memang, tidak serta-merta kalangan profesional memupuk watak dasamuka. Betapa pun
begitu, satu pembelajaran: Kerapuhan, yang diselubungi jubah keperkasaan, pada gilirannya
akan menggerogoti si empunya badan dan mengerosi pikiran. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islam
7
Luruskan Orientasi Pengabdian DPR Koran SINDO 8 November 2014
Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarut-larutnya kisruh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada yang
diuntungkan. Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan negara. Sebelum
kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR
harus musyawarah dan bermufakat meluruskan kembali fokus pengabdian DPR.
Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus dihujani kecaman oleh berbagai elemen
masyarakat karena konflik KMP versus KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang
sah secara legal dipegang oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”.
Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu menyelesaikan persoalan akibat
ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang mengemuka bukan hanya citra parlemen yang
semakin bertambah buruk, melainkan juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan
urusannya sendiri. DPR telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi
justru membuat marah banyak orang.
Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat, anggota
DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada kesimpulan final bahwa DPR periode
sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus
mengajukan pertanyaan klise ini; ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat
dan negara, atau kepada dirinya sendiri?
Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah dan gerak pemerintah,
pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan baru berputar dengan kecepatan
tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air antusias menyimak dan menyikapi cara kerja
Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta
para menterinya.
Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan pemerintah. Kini
pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari dinamika itu? Tidak ada jawaban
lain kecuali DPR harus segera bersinergi dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa
ini akan tampak sangat bodoh jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh
sekarang ini.
DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa yang sedang berkembang
di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini, baik KMP maupun KIH menyadari betul
risiko ini. Kalau berlarut-larut, kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan
8
ketidakpastian. Kalau ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya
bergerak maju, melainkan set back.
Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk pemerintah dan DPR, akan
merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi respons dengan caranya sendiri.
Persepsi komunitas internasional terhadap Indonesia pun akan berubah jadi negatif.
Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat berbahaya jika negara selalu
dalam kondisi tidak stabil atau berselimut ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi
lokal akan dihantui keraguan. Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan
enggan menanam modal di negara ini.
Fokus Pengabdian
Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai dengan inisiatif dari
semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu bersepakat menyesuaikan persoalan oleh
DPR sendiri. Wacana atau saran penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan
pihak eksternal, seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga
tinggi negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti.
Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa menjadi bahan olok-olok
publik karena akan dinilai tak mampu mengatasi persoalannya sendiri. Inisiatif itu harus
diawali dengan iktikad baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan
berdialog dengan agenda utama meluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan
rakyat.
Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi harus melihat keluar, menyelami
aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja program yang sedang dan akan dijalankan
pemerintah sebagai mitra. Dalam kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang
tetap bisa melihat keluar. Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami
aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang dijalani
pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang DPR yang utuh menjadi
syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP
atau menunggu persetujuan KIH di DPR.
Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD)
menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH harus berhadap-hadapan di DPR.
Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR terbelah, baik KMP maupun KIH harus
berinisiatif serta berdialog mencari jalan keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan.
Pijakan utamanya, KMP-KIH harus saling menghormati posisi masing-masing dan realistis
terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam posisi mayoritas dan siapa di posisi
minoritas. Tak kalah pentingnya adalah menghormati dan mengakui hak masing-masing.
KMP dan KIH harus mau saling mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing
9
kubu.
Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral harus berani menempuh
cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri untuk tidak saling menyerang di
ruang publik serta bersepakat tidak lagi menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi
publik. Kalau hari-hari sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik,
sudah waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat.
Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang pendapat atau saling serang
kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika masing-masing tidak mengedepankan ego
kubu. Ketika DPR secara institusi melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang
bergerak sangat cepat untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan.
Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh pemerintah dan DPR adalah
upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Opsi yang
dipilih pemerintah adalah mengoreksi kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM,
pemerintah tentu perlu berkonsultasi dengan DPR.
Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus berkonsultasi? Apalagi,
pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di sektor kemaritiman dan perikanan.
Karena proyek di sektor kemaritiman dan perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan
juta warga negara, pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat
dibutuhkan pemerintah.
Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam perawatan inkubator di
sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu misalnya.
Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib turun lakukan fungsi pengawasan. Tetapi,
karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya harus menunggu prosesnya. Padahal
rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang nyawa.
DPR harus segera move on agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi
negeri yang sama kita miliki.
ADITYA ANUGRAH MOHA
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
10
Islam adalah Barat Koran SINDO 9 November 2014
Pada zaman dulu kala orang-orang Mesir percaya ada makhluk kombinasi seperti Sphinx;
makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan berekor ular yang doyan makan manusia.
Orang Yunani percaya ada Centaurus, yaitu manusia yang bertubuh kuda.
Orang Yunani dan Roma juga percaya pada para dewa; makhluk-makhluk abadi yang
menguasai alam semesta, tetapi bersifat seperti manusia, termasuk juga mempunyai nafsu
asmara dan angkara murka, seperti misalnya dewi kecantikan dan seks yang di Yunani
disebut Aphrodite dan dalam mitologi Romawi kuno disebut Venus. Atau dewa laut Yunani,
Poseidon, yang di Romawi disebut Neptunus.
Mereka juga kawin-mawin dengan hewan dan/atau dilahirkan dari hewan, seperti Ekhidna,
yaitu makhluk setengah wanita setengah ular yang merupakan istri Tifon, dan tentu saja putri
duyung (mermaid) yaitu wanita cantik bertubuh ikan, yang menikah dengan raja yang
tampan.
Tetapi pada 384-322 sebelum Masehi, hiduplah seorang filsuf yang pikiran-pikirannya sangat
berpengaruh sampai hari ini, yang bernama Aristoteles. Dia mengajarkan untuk pertama
kalinya ilmu logika, yang isinya antara lain adalah hukum ”All or None” (seluruhnya atau
bukan sama sekali), yaitu bahwa sesuatu itu adalah ”X” atau ”Bukan-X”. Tidak ada setengah
X, atau campuran X dan Y.
Atas dasar itu ia membagi makhluk hidup di dunia ini ke dalam tiga golongan, yaitu anima
vegerativa (tanaman yang hidup dan berkembang biak saja), anima sensitiva (hewan yang
hidup dan mempunyai indera), dan anima intelektiva (yaitu hewan yang hidup, berindera dan
punya fungsi mnemic atau memori).
Maka sejak itu di Barat berkembang ilmu pengetahuan yang dasarnya adalah logika
Aristoteles dan berkembang sampai ke kawasan Timur Tengah. Maka, sejak itu pulalah
makhluk-makhluk campuran yang bisa saling kawin-mawin tinggal menjadi mitos saja. Ilmu
dan agama-agama yang lahir di Barat kemudian berkembang dengan mengikuti logika
Aristoteles.
Islam adalah yang paling konsisten dengan logika Aristoteles itu, misalnya Islam
membedakan dengan sangat jelas tumbuhan, hewan, dan manusia dari malaikat, dan setan;
dan antara dunia dengan akhirat. Tuhan di mata Islam adalah tunggal, tidak dilahirkan dan
tidak berketurunan.
11
Tetapi di Timur (India, Tiongkok, Jepang, zaman dulu Amerika belum ditemukan), tidak ada
Aristoteles. Karena itu logika Timur berbeda sekali dengan logika Barat. Tuhan yang
menurut kepercayaan-kepercayaan timur disebut ‘dewa’ bisa banyak (Hindu, Konghucu).
Setiap orang yang sangat baik hati, bisa dipromosikan menjadi dewa. Dewa-dewanya orang
Hindu Bali dengan orang Hindu Nepal bisa berbeda sekali.
Berbeda dengan saya yang terkadang salat di berbagai masjid di seluruh dunia tanpa halangan
apa-apa (kecuali bahasa pengantar lokal yang saya tidak mengerti), seorang dokter kawan
saya yang kebetulan dari Bali, ketika kami mengikuti konferensi di Nepal, langsung keluar
dari kuil tempat pemujaan Hindu lokal, katanya, ”Enggak enak, dewa-dewanya enggak ada
yang saya kenal.”
Orang Buddha, bahkan punya konsep tentang Tuhan yang berbeda sama sekali dengan
konsep agama lain, di mana yang penting adalah perbuatan baik dari setiap orang, agar
nantinya bisa reinkarnasi ke kehidupan yang akan datang dan menjadi manusia yang makin
baik dan makin baik lagi, sehingga akhirnya moksa (bukan surga loh), seperti sang Buddha
sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum mengenal Islam dan Kristen, kerajaan-kerajaan di
Nusantara, terutama Jawa dan Sumatera, sudah mengenal animisme, dinamisme dan agama
Buddha dan Hindu terlebih dulu. Di Bali bahkan sampai sekarang agama Hindu masih
merupakan agama mayoritas. Tidak mengherankan jika pengaruh logika Timur masih sangat
kental di Indonesia.
Di Jawa Tengah, misalnya, kalau ada orang meninggal, diadakan acara berdoa bersama atau
dalam istilah Islam Jawa ”tahlilan” (Jawa: ”slametan”) pada hari ketiga, ketujuh,
keempatpuluh, sampai ke 100 hari, bahkan 1.000 hari. Demikian pula ada kebiasaan
mengunjungi makam atau berpuasa pada hari-hari/peristiwa-peristiwa tertentu.
Hubungan manusia dengan roh gaib, bahkan dengan Tuhan digambarkan sebagai
manunggaling kawula lan gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau yang dalam Islam
disebut sufisme yang sangat ditentang oleh golongan yang ingin mengembalikan agama ke
jalan seperti yang dicontohkan oleh para nabi pada zamannya (Islam yang dipahami oleh
pengikut aliran Wahabi dan Salafi).
Orang Indonesia juga masih percaya pada babi ngepet (siang jadi manusia, malam jadi babi,
karena mengikuti ilmu hitam untuk mencari kekayaan), dan di cerita-cerita wayang (yang
aslinya dari India) ada Gatotkaca yang bisa terbang, Bima yang beristrikan seekor ular, dan
Semar si manusia sekaligus dewa.
Kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini dilakukan juga oleh penganut agama Kristen di
Jawa, tetapi tidak oleh Muslim di Sumatera Barat. Ini tidak berarti bahwa Muslim Sumatera
Barat lebih beriman dan bertakwa dari muslim di Jawa, tetapi memang agama-agama yang
sama, ketika berkembang di daerah kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kebiasaan
12
yang berbeda pula. Inilah yang disebut akulturasi budaya, atau yang dalam istilah ilmu
perbandingan agama disebut sinkretisme.
Sekarang ada kecenderungan orang untuk kembali ke agama masing-masing sesuai asal-
usulnya. Maka semua yang tidak berasal dari agama versi orisinal (asli dari sono-nya)
dianggap salah, kafir, dan harus diberantas, kalau perlu dengan perang dan darah!
Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa musuh Islam adalah Barat, karena
kebudayaan Barat yang masuk Indonesia (Westernisasi) telah membawa budaya
imperialisme, kapitalisme, demokrasi, dan konsumtivisme, pokoknya destruktif. Padahal,
semua itu bukan agama yang bermain, melainkan politik. Dalam kaitannya dengan logika
Aristoteles, agama Islam itu sama saja dengan agama-agama samawi lain yang berasal dari
Barat.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
13
Urgensi Pengarusutamaan Pemuda Koran SINDO 11 November 2014
Kita telah cukup familier dengan istilah ‘pengarusutamaan gender’, tetapi tidak dengan istilah
‘pengarusutamaan pemuda’. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan tentang
pengarusutamaan pemuda di awal tulisan ini.
‘Pengarusutamaan pemuda’ dimaknai sebagai strategi sistematis meningkatkan peran pemuda
dalam seluruh aspek kehidupan dengan memperhatikan serta melibatkan pemuda dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian
diharapkan kebijakan publik yang lahir akan ramah terhadap pemuda (youth friendly) dan itu
berarti investasi penting bagi masa depan bangsa.
Kenapa pengarusutamaan pemuda penting dilakukan? Pertama karena populasi pemuda (16-
30 tahun) sangat besar, yakni sekitar 60 juta jiwa dari jumlah populasi nasional. Bahkan,
apabila definisi pemuda diperluas menjadi 16-40 tahun, populasi pemuda mencapai 40%
populasi nasional.
Kedua, periode menjadi pemuda sangat menentukan bagi hidup seseorang. Pada masa ini
seseorang memutuskan hal-hal yang menentukan jalan hidupnya seperti pilihan profesi/karier
dan pasangan hidup. Pemuda membutuhkan lingkungan yang kondusif dan kematangan diri
yang memadai untuk memutuskan hal-hal yang sangat mendasar bagi hidupnya di masa
depan tersebut.
Di luar dua alasan tersebut, menurut World Programme of Action For Youth, pemuda
memiliki tiga dimensi, yakni sebagai pewaris masa depan, agen perubahan sosial, dan korban
utama perubahan sosial. Tiga dimensi tersebut merupakan representasi dari dimensi filosofis,
historis, dan sosiologis dari pemuda yang akan semakin menegaskan pentingnya kepemudaan
menjadi variabel penting kebijakan publik.
Potret historis keindonesiaan kerap kali menempatkan pemuda dalam bingkai yang
membanggakan. Namun sayangnya pemuda dalam dimensi sosiologis kerap kali jadi korban
perubahan sosial.
Periode menjadi pemuda memang rentan terhadap berbagai masalah sosial. Makanya kerap
kali kita mendapatkan informasi tentang kekerasan pemuda seperti tawuran
antarpelajar/mahasiswa, tawuran pemuda antarkampung, dan konflik sosial lain yang
melibatkan pemuda sebagai korban sekaligus pelaku. Belum lagi korban narkoba dan
pengidap HIV/AIDS yang umumnya pemuda.
14
Persentase pemuda yang menganggur juga mencapai jumlah yang fantastis, yakni 33%.
Potret pendidikan pemuda juga kurang menggembirakan. Sebanyak 80% pemuda tidak lagi
berada di sekolah/perguruan tinggi. Angka partisipasi kasar (APK) pemuda di perguruan
tinggi hanya sekitar 20%, jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 60%,
apalagi Korea Selatan yang mencapai 90%.
Selain itu, kita hanya punya sekitar 6% pemuda yang lulus perguruan tinggi, jauh di bawah
yang lulus SLTA (30%) dan SLTP (30%). Sisanya yang berjumlah sepertiganya lagi tidak
lulus atau hanya lulus SD. Pelbagai alasan dan fakta di atas kiranya cukup menggambarkan
betapa kompleksnya permasalahan kepemudaan dan luasnya dimensi kepemudaan sehingga
sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari yang selama ini diberikan.
Oleh karena itu, pemuda dan kepemudaan harus menjadi salah satu “arus utama” dalam
preferensi kebijakan publik. Artinya (hampir) setiap kebijakan publik harus memperhatikan
karakteristik, kebutuhan, dan diarahkan untuk membangun “postur” pemuda Indonesia.
Hal ini penting disadari karena tanpa membangun postur atau profiling pemuda Indonesia
yang lebih baik tidak mungkin kita dapat melahirkan generasi bangsa yang lebih baik di masa
depan. Bayangkan apabila kita memiliki pemuda yang dapat tumbuh lebih sehat, berkualitas,
dan kompetitif, akhirnya kita akan memiliki generasi bangsa yang lebih sehat, berkualitas,
dan kompetitif dari generasi sebelumnya.
IPP dan Blueprint
Untuk menjadikan pemuda dan kepemudaan sebagai salah satu “arus utama” preferensi
kebijakan publik, tidak cukup hanya dengan UU No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Dibutuhkan minimal dua dokumen lagi, yakni Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) dan
blueprint strategi pembangunan pemuda (blueprint).
Kedua dokumen tersebut harus menjadi dokumen resmi yang diterima menjadi rujukan
semua pihak yang berkepentingan baik di pemerintah maupun di luar pemerintah. IPP
merupakan instrumen untuk mengukur perkembangan pembangunan pemuda dilihat dari
seluruh dimensi kepemudaan dari waktu ke waktu.
Menurut World Programme of Action for Youth, IPP dapat dilihat dari 15 bagian, yaitu: (1)
pendidikan, (2) pekerjaan, (3) kelaparan dan kemiskinan, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6)
penyalahgunaan obat-obatan, (7) kenakalan pemuda, (8) aktivitas waktu luang, (9) masalah
gender, (10) partisipasi dalam kehidupan sosial dan pengambilan keputusan, (11) globalisasi,
(12) teknologi informasi dan komunikasi, (13) HIV/AIDS, (14) pencegahan konflik pemuda,
dan (15) hubungan antargenerasi. Lebih lanjut, fungsi dari adanya IPP adalah untuk (1)
mengukur perkembangan pemuda dari waktu ke waktu, (2) mengidentifikasi wilayah-wilayah
atau isu-isu yang membutuhkan perhatian lebih lanjut, (3) membandingkan kemajuan antar
provinsi/daerah, (4) dasar bagi perumusan kebijakan/tindakan advokasi terhadap pemuda, dan
(5) mendorong riset, kajian, dan pengumpulan data yang berkaitan dengan pemuda.
15
Dokumen IPP harus dirumuskan bersama oleh Kemenpora dan instansi pemerintah lain
seperti Bappenas, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan. Juga melibatkan
pemangku kepentingan di dunia kepemudaan seperti KNPI dan elemen organisasi
kepemudaan lainnya, perguruan tinggi, dan sebagainya. Hal ini penting agar semua instansi
dan pihak terkait memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab yang sama terhadap isi
dokumen tersebut dan pembangunan kepemudaan di Indonesia.
Setelah memiliki IPP, selanjutnya disusun blueprint Strategi Pembangunan Pemuda.
Blueprint ini disusun melalui proses yang sama dan diarahkan untuk meningkatkan capaian
IPP dari waktu ke waktu.
Jadi, kedua dokumen tersebut memiliki kaitan yang erat. Bagian krusial dari blueprint
tersebut adalah menerjemahkan upaya untuk menaikkan IPP dalam bentuk program-program
yang nyata. Juga pembagian tugas, fungsi, dan peran serta pola koordinasi dan sinergi dari
semua pihak terkait dalam melaksanakan program-program tersebut.
Kedua dokumen tersebut sejauh yang penulis ketahui belum dimiliki pemerintah RI. Padahal,
di negara-negara Persemakmuran (Commonwealth countries), dokumen IPP telah lama dibuat
dan dijadikan acuan perumusan kebijakan. Inilah menjadi tugas mendesak yang harus
dilakukan Menpora RI dari Kabinet Kerja Jokowi-JK apabila ingin membangun dunia
kepemudaan secara komprehensif, mendasar, dan sistematis.
Kiranya visi Presiden Jokowi yang menekankan pembangunan manusia melalui slogan
“revolusi mental” dapat menjadi payung besar yang membantu Menpora untuk mendesakkan
agenda tersebut di pemerintahan. Akhirnya, selamat bekerja Pak Menteri, salam pemuda.
ARIP MUSTHOPA, SIP, MSI
Ketua Umum PB HMI 2008-2010, Ketua DPP KNPI 2011-2014
16
Mengkaji Pahlawan Pilihan Koran SINDO 12 November 2014
Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 November, Jumat 7 November 2014 Presiden
Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh anumerta.
Gelar yang disematkan di Istana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No.
115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921),
komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di
Sumatera; Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus
Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang;
Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung
dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri
koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888),
pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor,
eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu
seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk
menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam
perbincangan masyarakat. Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis
dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan
Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman
yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia
abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wardiman Djojonegoro.
Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak
Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan
kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria
serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Pahlawan Teladan
Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini
lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak
lain yang ramai-ramai menolak.
17
Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri
Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila
terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena
diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer.
Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan
sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka
Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara
jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan
Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin.
Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan
jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang
sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru
dan Orde Reformasi.
Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak
orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baik-buruknya
selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional”
Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009. Subbab kriteria
”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada
Warga Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah
yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau
meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan
tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi
pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”
Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi
subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang
dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan
bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan
kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”.
Siapa yang Memilih
Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh
untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang.
Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir
ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan
(paling banyak) 13 orang. Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi
terkait.
18
Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya
merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis
ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP.
Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki
kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas
pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian
bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari
sikap keberpihakan?
Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam
mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah
yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu?
Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila nama-nama
calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat
banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya
masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto.
Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat
situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial.
AGUS DERMAWAN T
Pengamat Sosial dan Budaya, Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana Presiden
19
Pesan dari China Koran SINDO 12 November 2014
Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama
Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata
dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan
mempertaruhkan nama besar China pada dunia.
KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan
global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah
China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan
dana USD50 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di
negara-negara Asia.
Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan
menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk
mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya
manusia. Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama
industri dan finansial dengan negara-negara Asia.
Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untuk
mengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi
yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk
meningkatkan ikatan bilateral mereka.
Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak
pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak
tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang
dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersama-sama mengatasi hambatan-hambatan
praktis di lapangan.
China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi
sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan
diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme
penyelesaian sengketa.
Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan
keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat
terkikis hingga titik kritis.
20
Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas
kawasan Asia. Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya
semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya
kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan
negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan
Amerika.
People to People
Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap
berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi
persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula
pengembangan sumber daya manusia.
China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara
tetangga selama lima tahun ke depan. Seperti disampaikan Presiden China Xi Jinping, bahwa
pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya
manusia. Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan
baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting.
Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal
dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian. Pemerintah China
baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk
belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan
masing-masing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun
penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain.
Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan,
universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki
karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut
melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga
melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat.
Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari
Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat.
Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif,
bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China.
Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi,
membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung.
Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit
bereputasi dunia.
Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar
21
rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit.
Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas.
Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya
ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya.
KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara
pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia.
Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan
memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang
terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam
konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga.
Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia
yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan
stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China
akan memimpin dunia.
Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus
menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan
keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara
tetangga yang baik.
TIRTA N MURSITAMA, PHD
Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara; Visiting Scholar
pada College of Economics and Management Fujian Normal University,China
22
Pemimpin yang Peduli dan Mengayomi Koran SINDO 12 November 2014
Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini yang menaruh peduli pada
sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan tampil memberikan perlindungan dan
pengayoman? Ini perkara sulit. Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu.
Dapatkah dunia bisnis, yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan
idealisme? Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan kombinasi
cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan wawasan yang meluhurkan
nilai-nilai non-materi?
Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan batin? Pada umumnya,
para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis, idealisme ya idealisme. Bisnis dan idealisme
itu dua dunia yang terpisah dan berseberangan secara diametral.
Orang yang memandang uang di atas segalanya hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan
mencapai kepuasan jika impiannya menghimpun sejumlah besar uang terpenuhi. Jenis orang
seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya melalui wujud materi. Dengan kata lain,
kepuasan batin akan muncul hanya jika ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi
nyata, yang meningkatkan akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam
genggamannya.
Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil. Ibaratnya, bumi dan langit
mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran yang tak kita kehendaki? Ya. Tapi
ini bukan satu-satunya dalil yang bisa masuk di akal kita.
Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi bisnis kecil, yang masih
bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama, belum punya prestasi, dan dengan
begitu juga belum punya rekam jejak yang meyakinkan di dalam dunia bisnis.
Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala besar mungkin lain lagi ceritanya. Organisasi
bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang mapan, yang mencatat caring, credible,
competent, competitive, serta customer delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa
dilanggar, tampaknya tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan mengawinkan
bisnis dengan idealisme.
Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis hanya empat: credible,
competent, competitive, dan customer delight. Ini prinsip-prinsip bisnis murni. Caring itu
lebih menampilkan aspek sosial, dan sisi kemanusiaan dari sebuah dunia bisnis, daripada
23
mewakili kepentingan bisnis itu sendiri. Di dunia bisnis, watak care itu problematik. Bagi
sebagian kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis.
Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis besar, yang menolak
prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang wajib ada, terutama bila kata itu berarti
”jiwa yang penuh peduli” pada sesama, atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk
bederma. Dua pemimpin bisnis dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi
caring bisa berbeda.
Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan dijalankan sesudah tokoh yang
selama ini menganggap caring sebagai kebajikan dan kemuliaan dunia bisnis, tak lagi
memegang kendali perusahaan. Jarak generasi sering mewujud dalam jarak pemikiran,
sekaligus pertentangan cara pandang tentang apa yang dianggap sikap penting untuk
mengembangkan bisnis.
Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha keras menghapus watak
itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak produktif, karena terlalu sosial, melainkan
merupakan pemborosan yang tak perlu. Tapi di mata seorang pebisnis besar; yang secara
intern dikultuskan sebagai ”the living legend” jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha
memperbesar dukungan, dan mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan
pemborosan.
Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak dipensiunkan, dan masih
dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini watak care yang indah secara
kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan pemborosan. Watak care di sini
menggambarkan fungsi pemimpin, dan kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk
mengayomi mereka yang membutuhkan pengayoman.
Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk kalangan orang luar. Tapi watak
care bukan hanya itu. Berorientasi pada profit dan hanya profit yang berarti akumulasi
kekayaan dalam bentuk uang, bisa membuat pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care
seperti itu merasa bersalah secara sosial.
Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis, karena direstui oleh logika
yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli, murah hati, dan mengayomi. Dunia
bisnis murni tidak salah bila di dalamnya ada sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi
pelayanan, sebagai ungkapan rasa syukur yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit”
yang sudah begitu melimpah.
Tapi caring, bukan keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk menjadi bagian dari
corporate culture dalam sebuah dunia usaha. Mungkin caring lebih merupakan watak
bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan dialektis antara kemurahan hati pribadi,
kemuliaan ajaran agama, dan sikap etis yang dalam, subtle, dan yang mungkin, lalu menjadi
sejenis kearifan hidup pribadi.
24
Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan jejaknya, karena sikap atau
wataknya, yang tak mudah ”di-copy-paste” untuk menjadi suatu cultural legacy yang
ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah. Warisan kepemimpinannya bukan benda yang
siap pakai. Sikap hidup bukan sejenis keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan
seutuhnya, apa adanya.
Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang kepemimpinannya dianggap legendaris
tadi, terdapat suatu kualitas moral tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau
karisma yang luhur, yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk
”memuja”, dan begitu beratnya untuk diamalkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan. Pemimpin yang peduli
dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang yang bisa berperan sebagai ayah,
sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam tata kehidupan kita yang gersang secara
rohaniah ini.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
25
Logika Sosialisme Koran SINDO 14 November 2014
Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang
indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat
dan menantang.
Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak
sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter
datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis
selesai, saya merasa nyaman kembali.
Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata
melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini.
Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati
saya. Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani
kesehatan tamunya dengan baik.
Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu
seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang. Dia
merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para
pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia.
Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan
kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.
Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan
bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja,
berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib
berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya. Jika pemerintah pusat menerima
laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak.
Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998
ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan
untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi.
Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan.
Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap
terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota
yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan
menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.
26
Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan
pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan
kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar
langsung dari seorang teman.
Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih
China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki
peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang
menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.
Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara
narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin
bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah
kapitalisme.
Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua
narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi
pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik di
Indonesia sangat mengecewakan.
Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman-
teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali
mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya
sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil. Alih-alih memberi kemudahan dan
dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras.
Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing.
Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal
ketimbang barang impor, khususnya dari China.
Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme
yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang
memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga
peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil.
Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah
dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang
memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir
karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?
Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan
agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan
bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan komunal.
27
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
28
Tantangan Pendidikan Koran SINDO 14 November 2014
Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs)
salah satunya adalah tercapainya wajib belajar sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak usia 7-
15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menjelang berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui
komitmen mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan
diperpanjang menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bekal menghalangi capaian komitmen baru
tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini.
Pendidikan Layanan Khusus
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter
wilayah. Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad
ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan anak korban
bencana alam.
Kalkulasi penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk
dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini,
Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling tinggi
capaian pendidikan masyarakatnya. Katakan negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia,
Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun.
Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit.
Apalagi, banyaknya skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak
keluarga miskin yang haknya dijamin oleh negara. Program beasiswa misalnya telah
berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin.
Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia
sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya
pemerataan kesempatan pendidikan. Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah
daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan
rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
Kelompok anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan
pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak-
anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara mereka yang belum beruntung
secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang
tua menjadi TKI, anak-anak jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
29
Belum terhitung di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana
alam, berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah
korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat anak-anak di
pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka menghadapi ketidakpastian
tentang pendidikannya. Kisah bagaimana anak-anak yang harus berjuang untuk
menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti
jembatan yang bergoyang-goyang demi menuju sekolah.
Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan guru dan sekolah dengan cara
konvensional tidak selalu mampu memecahkan persoalan capaian pemerataan pendidikan.
Buktinya, hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok
anak usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten
yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP masih di bawah
75%.
Rata-rata capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan
tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi Belanda
kedua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar menjadi 12 tahun,
persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal” atau mereka tinggal di
daerah yang mengalami bencana alam.
Data Susenas 2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika
masa transisi dari jenjang pendidikan SMP ke jenjang pendidikan SMA. Bahkan, angka putus
sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang tuanya paling miskin. Data
yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai
jenjang perguruan tinggi.
Pendidikan khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak
“marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang
sulit untuk dijangkau “reach unreachable”. Pengalaman dua tahun penyelenggaraan
pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi
Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menghasilkan
dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk sekolah lagi.
Penyediaan seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah
berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali ke sekolah. Instrumen makanan
tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani
APBN. Dampak daya tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah.
Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah,
namun sebaiknya juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anak-anak
yang masuk kategori 40% termiskin.
Pemerataan Mutu
30
Tantangan kedua adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu
kognitif, psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat
anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan terhadap
anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar, dan Kemampuan
Membaca mereka jauh dari yang diharapkan. Anehnya, pergantian kurikulum sekalipun tidak
banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan.
Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering anak-anak
kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif
dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta
sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia secara random,
mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di sekolah favorit dengan sistem
rekrutmen yang dibangun.
Terlepas itu semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu.
Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya terhadap
peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di antaranya peningkatan
kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali
komitmen dan integritas para pendidik.
Mereka pada umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga
yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for
trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses penguatan institusi
pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad guru, menjadi modal untuk
mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas,
Padang
31
Pahlawan Kesiangan Koran SINDO 16 November 2014
Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam
dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud
mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”.
Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk
memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau
masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara
Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November
1945.
Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala
seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat
khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher
Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya,
pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada Hari Pahlawan, apalagi pada makna
kepahlawanan itu sendiri.
Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya
menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling
kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog
sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat
mencekam.
Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun metro (kereta api bawah tanah) di
London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat
lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta
dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu
pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta
api.
Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling
histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba
sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk
balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika
kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit
pun.
32
Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua
anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika
menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang
balita itu selamat.
Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan. Seorang
pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang
banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti
kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno ‘hero’) itu sendiri adalah keberanian atau
pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya,
atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan
yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia. Awalnya
istilah ini hanya untuk dunia militer/perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam
kaitannya dengan nilai-nilai moral.
Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah
kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan
sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama)
untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan
datang.
Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah anti-korupsi. Semua orang tahu bahwa bukan
barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi.
Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap anti-korupsi di
zaman sekarang.
Karena itu, tokoh-tokoh yang berani anti-korupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena
mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon
pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang
(dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.
Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan
kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi.
Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau
mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.
Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10
November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa
ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah
satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat
bintang jasa dari pemerintah.
Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa
bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi
33
anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan
sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan
gubernur DKI.
Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya
adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali
pahlawan kesiangan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
34
Publikasi Ilmuwan Rendah, Mengapa? Koran SINDO 17 November 2014
Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi
kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal. Cita-cita meraih institusi
pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api.
Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas
penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang
buruk disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas.
Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer
untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan.
Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang
dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.
Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang
keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat
bisnis seperti media massa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang
tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang
naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari
pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.
Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di
perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal
ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal
ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak
menulis. Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap
ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya.
Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi
internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu. Bukti-
bukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah
mempublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen
pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif
menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak.
Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Air kurang menunjang dosen untuk bergairah
menghasilkan publikasi bertaraf internasional.
Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks
35
tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti
masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya,
melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga
merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen
meneliti, yang lahir hanyalah ipteks-ipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar.
Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah
internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa
dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.
Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan
Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk
berseminar di luar negeri harus ditingkatkan.
Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai oleh bukti-bukti publikasi ilmiah di
jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti sulit untuk menggapai jenjang
profesor atau profesor riset. Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai
oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150
orang.
Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan
ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format
manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun
yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.
Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen
pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk mempublikasikan hasil-hasil
risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil
tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah.
Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di
tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas
top di dunia.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat
di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan
cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset
sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian
yang belum optimal.
Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para
dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai
dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing
mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri.
36
Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik. Pernah muncul istilah
ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media massa hanya diperlukan pemikiran
sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis
ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa
menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah.
ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
37
Kampus dan Tragedi Narkoba Koran SINDO 17 November 2014
Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada
universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu.
Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di
universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak?
Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondar-mandir ke universitas tersebut dalam rangka
kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan.
Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding
universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor)
sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain,
hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting.
Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah
jebol dilanda dekadensi moral narkoba?
***
Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati
terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa,
melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi,
dan mampu memorak-porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti
langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun
penindakannya.
Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup
bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan
teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi
berbasis visi kultural kebangsaan. Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering
dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya
melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis
sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai
perjuangan melawan narkoba. Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai
kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal
demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik
dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil
38
memutarkan koin, fulus, atau uang.
Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum
dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan
narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang
terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai
semangat kebangsaan.
Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotong royong sesuai dengan posisi dan fungsi
masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ
akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap
narkoba.
Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar
kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak
kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab
dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar
hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.
***
Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini
kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter
normatif. Sejak kita masuk era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis
amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda.
Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui cara-cara instan, ingin cepat sampai pada
sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna
narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter
pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas,
dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.
Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia
bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas.
Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil
berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tiba-tiba badai menerpa,
dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah?
Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan
kita sebagai bangsa. Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers
telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur
teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum
semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah,
39
lingkungan, dan pendidikan tinggi. Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan
sebagai semangat kebangsaan.
Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah
ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan
sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa,
semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian.
Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan
proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun
kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris-
objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk, dengan semangat
kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. Wallahu a’lam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
40
Semangat Kebangsaan Ala Viking Koran SINDO 17 November 2014
“Padamu Persib aku berjanji//Padamu Persib aku berbakti//Padamu Persib aku
mengabdi//Bagimu Persib jiwa raga kami.” Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi
Indonesia Super League (ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring,
Palembang.
Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh para pejuang
kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan terhadap tim kesayangan. Spirit
heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang
sebagian besar menyebut dirinya Viking.
Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat, martabat, dan
kehormatan diri. Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur
mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang kampung, ambil
jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku).
Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah Jawa Barat, ngaleut
ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi, henteu nyatang pinang sabab
tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen rebutan, ari melak henteu, ari nuar
beuki... (berbondong-bondong menggunakan bus meniti jembatan besi, bukan jembatan
pinang sebab pohon pinangnya sudah habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak
suka menanam, tapi gemar menebang). Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di
mana-mana, tapi pohon semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja
ditanam habis dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya
menanam pohonnya.
Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cukup ongkos, ada
yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel), yang penting bisa sampai ke tempat
tujuan.
Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi ka tempat anu dituju,
rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ... (yang penting sampai ke tempat yang dituju,
hendak menonton Persib di final sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking
sejati.
Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi dari spirit patriotik
tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik terhadap tim kesayangan yang telah
memberikan rasa suka dan rasa duka, membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda
terdepan, pembela, penjaga martabat dan kehormatan Persib. Gelombang spirit bergemuruh
41
secara masif sehingga Viking menjadi kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam
membangun rasa solidaritas, kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu
tersakiti, yang lain menjerit penuh emosi.
***
Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat tanpa batas, entah
berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas kereta, terjatuh dari mobil atau motor,
entah berapa yang meninggal, saya tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa
tragis itu tidak menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria
Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak rancucut nu
penting mah Persib meunang... (hujan angin, petir menyambar-nyambar, tiada tempat untuk
berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib menang).
Andai saja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu berubah menjadi
emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat yang sangat ideologis, penuh jiwa
kesatria, rela berkorban, saling menolong dengan sesama, dan siap berperang membela
bangsanya manakala negara terancam. Kalau begini, tidak akan ada yang berani
merendahkan kepada bangsa kami.
Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak dari grand
final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi, gemuruhnya hanya ada dalam
potret media, pertikaian para kesatrianya tidak lagi memengaruhi emosi apalagi membangun
gegap gempita dan heroisme para pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat
ini konsolidasi politik ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat.
Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik tanpa diimbangi
bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa dilaksanakan manakala distribusi
logistik tidak turun ke konstituen, sagalana kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia),
kaos yang tinggal pakai, bus yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan,
ditambah bekal untuk anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar
membela yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (itu pun
kalau ada ongkosnya).
Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi konsistensi dalam sebuah
dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A, besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian
Partai C. Lumayan, dapat jatah kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa
mengoleksi tujuh kaos, kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya).
Mereka berprinsip kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan
lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi.
Sekalipun demikian, tidak semuanya begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik.
Persoalan inkonsistensi pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak
para kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta mah ...
42
(tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru).
***
Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena terlalu lama mereka
menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan mimpi indah sebagai bangsa yang
makmur dan bermartabat. Janji manis para pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang
bertepuk sebelah tangan, manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman.
Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang sering terputus
pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik yang sering terkunci, jarak yang
semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama
kunjungan kerja atau reses, telah melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum
manis, bisikan cinta yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan
duka kini semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ...
Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh kegalauan.
Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan rasa. Aku akan menjadi
jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan amplop dari siapa pun, yang penting hasrat
politikku terpuaskan dari pada aku harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti.
Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu.
Sikap saling tidak percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik
berubah menjadi transaksi politik. Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau
mendengar apa yang diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi,
masjid omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun, jalan aspaleun, duit
bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara pada waktunya.
Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu sirna. Katanya janjinya seribu
suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10
suara, bahkan ada yang tidak mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya
pun tidak memilih saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran,
kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...).
Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk tidak mencintai
konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan prostitusi politik, beli saja lima
tahun sekali, andai kata gagal pun tidak sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay...
(jarang dibelai, cukup lima tahun sekali).
***
Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking. Hidup penuh solidaritas,
pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persib-nya sepenuh hati. Untuk para
kesatria politik, belajarlah dari Persib dan Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada
43
kebencian, yang ada hanya tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan
bagi yang kalah. Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga.
Betapa bahagianya, kalau menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking, bisa jadi
berpolitik tanpa biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia
pada pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati.
Jadi Bobotoh dan Viking-nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi yang tidak boleh itu
Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena akan mencederai sumpah kesatria
seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak
Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan.
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
44
Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Koran SINDO 18 November 2014
Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad) Ke-102. Yang
patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini Muhammadiyah tetap
konsisten berjuang di ranah kultural. Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai
politik. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang
sosial keagamaan.
Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah membaca ulang testimoni
Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi
Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam.
Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari
organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.
Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena itulah, Cak Nur menegaskan bahwa
Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja
secara nasional, tapi juga internasional.
Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji kiprah
Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis
Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat.
Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad.
Selain menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik. Di antara pernyataan bernada
kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azra, Muhammadiyah memang layak disebut
gerakan pembaru (tajdid), terutama di bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran
keagamaan, Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi
gerakan Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan
ibadah. Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan dakwah
untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC).
Pada level praksis, semua ahli sepakat mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut
gerakan pembaru. Melalui teologi al-Maal-Maun (al-Maal-Maunisme) Muhammadiyah telah
membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal saleh.
Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah telah
melaksanakan prinsip a faith with action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini
dikenal dengan dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret).
Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, berdisiplin,
45
bekerja keras, dan tanggung jawab secara organisasi.
Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali dapat disebut sebagai
yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan, bentuk
pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara individual. Melalui pertanggungjawaban
secara organisatoris itu Muhammadiyah akhirnya mendapat kepercayaan dari umat. Hasilnya,
Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di bidang pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan sosial lain.
Tetapi, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada
berbagai persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan rutin
mengurus amal usaha. Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah
tampak seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap
tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang sosial
keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu melakukan
revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan
ilmu.
Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten menyuarakan agar
Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme.
Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual, di samping gerakan praksis,
Muhammadiyah memasuki abad kedua secara cemerlang. Itu karena intelektualisme dapat
menjadi sumber energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka
memberikan pencerahan pada kehidupan keberagamaan di Nusantara.
Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini telah diwarnai persaingan yang
sangat tajam antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis. Kelompok Islam
fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana
dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami distorsi yang luar biasa. Misalnya,
simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot,
dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam
ajaran Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu jelas
melenceng dari substansi ajaran Islam.
Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga
menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal dikatakan telah
mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam. Penerjemahan kalimat
thayyibah; ‘la ilaha illallah’ dengan ‘tiada tuhan selain Tuhan’, merupakan salah satu contoh
kreasi kelompok Islam liberal yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa
memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai
mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di
antara berbagai mazhab pemikiran.
46
Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought)
adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath). Ajakan untuk bersikap
moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengklaim
kebenaran.
Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah
Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman. Karena itulah, posisi
tengah (median position) ini penting sebagai tempat berpijak berbagai mazhab pemikiran.
Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai mazhab pemikiran
keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan Islam Indonesia.
Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah
harus meneguhkan ideologinya agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan
intelektual.
Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan usia lebih
dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang. Dengan demikian,
Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah) bagi umat,
bangsa, dan negara.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
47
Lakon DPR Dadi Ratu Koran SINDO 18 November 2014
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan
bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para
intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara; bahwa trias politica itu bukan hanya
merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga
merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan
yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan
”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum
beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal
perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya
telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan
berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek
moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah. Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini.
Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga
kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak
demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa
berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan wali-wali. Tidak ada pesakitan
yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang
kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang,
membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka
tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus. Tiap
saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi
di sawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak
padi kita.
Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana
di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung
Kendalisada. Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh
48
Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas
”politik” paling utama yang dipanggul Anoman.
Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk
berbuat kerusakan. Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya
merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu
muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu.
Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya
otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica. Tapi sebenarnya
kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit
rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di
Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak
Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga. Representasi simbolik
Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan
menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa
pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah
mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat.
Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak
lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili
kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per
partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni,
dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka
bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu
pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka
sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para
wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orang-orang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling
saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia
demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga
swadaya masyarakat, tetapi tak kurang-kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru
yang terlatih menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk
merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat mencla-
mencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di
layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas
nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
49
Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkan
mereka. Sebentar-sebentar mereka berteriak tentang rakyat. Tapi tidak ada orang yang mau
percaya bahwa mereka membela kepentingan rakyat.
Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu. Ratu atau raja bagi siapakah
mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka ratu, raja, bagi ambisi dan keserakahan
politik mereka sendiri.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
50
Refleksi Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-19
Menanamkan Spirit Anak Muda Nirkekerasan Koran SINDO 18 November 2014
Fenomena tawuran di kalangan pelajar beberapa tahun ini terus memenuhi pemberitaan
media massa. Tentu saja, problem ini sangat mengusik dunia pendidikan nasional.
Pada usia mereka yang semestinya harus difokuskan untuk belajar, malah semakin hari anak-
anak pelajar kita ini semakin akrab dengan dunia kekerasan. Lalu, sesungguhnya apa akar
masalah yang menyebabkan para generasi bangsa ini rentan terhadap tindak kekerasan?
Dalam beberapa tahun ini, publik begitu sering dikagetkan dengan ulah sekelompok pelajar
yang berlarian di tengah jalan raya. Ada yang membawa senjata tajam, besi berukuran
panjang, kayu, melempar batu, dan berbicara kasar kepada orang-orang di sekitarnya. Akhir-
akhir ini, seolah ada ”ikatan” kuat antara pelajar dengan kebiasaan tawuran. Padahal
kebiasaan buruk ini tak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tak sedikit pelajar yang
meninggal dunia akibat tebasan celurit, dan tak sedikit pula yang dipaksa drop out dari
sekolah karena kebiasaannya tawuran.
Jika kita mengklik kata kunci ”tawuran pelajar” melalui mesin pencari Google, dengan cepat
aplikasi yang ditemukan Larry Page tersebut akan menyodorkan begitu banyak pemberitaan
tentang tawuran pelajar di Indonesia. Paling tidak ketika mengklik dengan kata kunci
tersebut, kita akan mendapatkan lebih dari 943.000 berita tentang tawuran pelajar di
Indonesia. Artinya, kebiasaan buruk pelajar ini telah menggejala hampir di semua tingkat
sekolah. Meski berbagai upaya telah dilakukan para stakeholder pendidikan untuk
meminimalisasi angka terjadinya tawuran di kalangan pelajar, tetap saja perilaku
menyimpang ini masih dilakukan sebagian pelajar.
Minimnya peran keluarga dan entitas sekolah dalam menanamkan nilai-nilai anti-kekerasan
(nirkekerasan) menjadi penyebab mereka mudah berlaku kriminal. Tanpa merasa berdosa
anak-anak usia sekolah dengan mudah melukai temannya sendiri, bahkan membunuh. Dari
itu, pemahaman tentang moralitas, pendidikan karakter, dan nilai-nilai nirkekerasan perlu
diberikan kepada mereka sejak dini.
Bertepatan dengan penyelenggaraan Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-19
(16-19 November 2014), organisasi otonom yang berdiri pada 18 Juli 1961 ini ingin berperan
besar dalam menjembatani anak-anak muda Indonesia supaya tidak terjebak pada ”budaya”
tawuran.
51
Jika prilaku negatif ini terus melekat pada diri seorang pelajar, dunia pendidikan dalam negeri
akan semakin terpuruk. Bila keadaan sudah sedemikian parah, lalu siapa generasi selanjutnya
yang akan memimpin bangsa ini. Dengan mengambil tema muktamar bertajuk “Spirit
Keilmuan untuk Gerakan Pelajar Berkemajuan”, IPM mengharapkan supaya semua pelajar di
Indonesia berkonsentrasi penuh membangun basis-basis keilmuan di tempat belajarnya
masing-masing.
Kebiasaan tawuran yang melekat sampai saat ini harus segera diakhiri. Sebab perilaku ini
bukanlah karakter pelajar yang sebenarnya sebagaimana selama ini dikenal sebagai agen
perubahan sosial (agent of social change). Sebaliknya, kaum pelajar haruslah bertindak
progresif, menghindari perilaku kekerasan, dan memiliki semangat kuat terhadap dunia
keilmuan.
Ciptakan Mazhab Intelektual
Kelompok pelajar sudah harus melakukan gerakan-gerakan progresif, berkemajuan, dan
bervisi pada pembangunan mental bangsa. Kebiasaan tawuran tidak akan membawa masa
depan bangsa ini menjadi maju, tapi justru akan semakin terpuruk. Karena itu, seiring dengan
kekacauan panggung politik yang tak menentu seperti sekarang ini, menjatuhkan pilihan pada
pergerakan intelektual adalah hal yang mutlak bagi para aktivis pelajar, tak terkecuali IPM.
Sikap high politic ini bukan tanpa dasar sama sekali untuk disandingkan pada entitas gerakan
pelajar. Pasalnya, pilihan ini lebih disebabkan karena kian tergerusnya idealisme gerakan
anak-anak pelajar akibat fenomena tawuran yang selama ini sering terjadi dan menghantui
publik.
Jika pilihan gerakan ini mampu menjadi sebuah pergerakan yang menasional, maka tidak
mustahil bila kiprah aktivis pelajar akan kembali bangkit. Gerakan intelektual yang dicita-
citakan akan bermuara pada kompetensi, karakter dan gerakan yang diusung oleh setiap
kelompok gerakan pelajar pada setiap turunan agendanya. Karena itu berbagai organisasi
yang ada akan ini mampu menjadi kontributor wacana dan ide di tengah kontestasi intelektual
gerakan anak muda, khususnya para pelajar di Indonesia.
Sayangnya, harapan tersebut masih ibarat seperti ”panggang jauh dari api”, apalagi
keterlibatan dari pihak sekolah atau kampus masih minim sekali. Padahal, jika setiap sekolah
atau universitas memiliki pusat-pusat pengayaan intelektual (center for excellent), tak
mustahil dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan memiliki pasokan ilmuwan dalam
jumlah besar. Namun, sebaliknya, jika fenomena pelajar masih seperti yang tampak hari ini:
suka tawuran, bergaya hedonis, dan pragmatis, maka dalam sepuluh atau lima belas tahun ke
depan Indonesia akan semakin tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Pada hari ini saja, daya saing SDM kita masih kalah dibanding Singapura, Thailand,
Malaysia, dan Filipina. Meski Indonesia memiliki jumlah anak muda berjumlah sekitar 75
juta jiwa, kebanyakan mereka bersikap konsumtif. Sementara berbeda dengan negara-negara
52
lain yang meski keberadaan anak mudanya sedikit, namun hampir semuanya bersikap
produktif.
Kelompok muda di China, misalnya, mereka telah mampu menciptakan produk-produk
teknologi yang inovatif dan aplikatif. Sementara di Indonesia, anak-anak muda di negeri ini
memiliki kapasitas intelektual yang mencukupi, tapi sayang kapasitas yang mereka punya
tidak mampu terfasilitasi dengan baik akibat peran pemerintah yang lemah. Keterlibatan
pemerintah dalam mendorong anak-anak mudanya untuk maju dan berpikir kreatif masih
sebatas wacana.
Akhirnya, pada persoalan ini gerakan pelajar harus mengisi ruang-ruang yang selama ini
belum diakomodasi cukup baik oleh pemerintah. Dengan mengambil peran sebagai
intelektual organik, gerakan pelajar akan berkontribusi besar bagi masa depan Indonesia yang
berkemajuan.
MUHAMMAD MUCHLAS ROWI
Mantan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah
53
Kenaikan BBM dan Derita Wong Cilik Koran SINDO 19 November 2014
“Menangislah dengan yang menangis!”(St Paul). Bila kita jeli membaca tanda-tanda zaman,
nurani kita pasti akan terusik melihat makin keruhnya nasib para buruh.
Keputusan pemerintah Jokowi menaikkan BBM yang diumumkan Senin (17/11) jelas
menjadi kado pahit bagi wong cilik atau kaum lemah. Jelas keputusan itu membuat hidup
wong cilik kian menderita. Aneh bahwa penderitaan kaum lemah justru tengah terjadi di
negeri yang melimpah ruah dengan sumber daya alam.
Logika sederhana kaum buruh hanya melihat, sumber daya alam melimpah negeri ini
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, sesuai amanat Pasal 33 ayat 3
UUD 1945. Apalagi kabarnya harga minyak dunia juga turun sehingga menjadi sekitar
Rp6.000 per liter. Namun, mengapa di sini harga BBM (premium) justru naik dari Rp6.500
menjadi Rp8.500? Ada ekonom yang menulis 10 alasan Jokowi menaikkan BBM, tapi kaum
lemah tidak boleh punya alasan, karena mau tak mau, kaum lemah hanya bisa patuh pada
kebijakan penguasa.
Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, hal ini bisa membuat rakyat, khususnya
kaum lemah, bisa diangkat derajat dan martabatnya sehingga menjadi lebih sejahtera. Tapi
yang terjadi justru kekayaan alam kita, lewat berbagai regulasi, justru diskenariokan untuk
hanya menyejahterakan investor asing dan segelintir elite kita yang tahu mekanisme dan
seluk-beluk jual beli BBM.
Bukan hanya kenaikan BBM yang mencemaskan kaum lemah, tapi terlebih efek domino
kenaikan BBM yang langsung banyak mendongkrak kenaikan harga berbagai kebutuhan
pokok. Bisa dipastikan UMK atau upah yang dinaikkan sejak Januari 2014, misalnya, akan
merosot lagi nilainya dan tidak cukup untuk memenuhi standar minimal hidup layak. Jangan
lupa juga ada banyak pekerja di berbagai sektor informal, masih digaji di bawah ketentuan
UMK. Bahkan di Surabaya masih banyak pekerja yang diupah Rp800.000 per bulan.
Tak mengherankan bila berbagai elemen wong cilik seperti tukang ojek, satpam, dan buruh di
berbagai penjuru Tanah Air pasti menentang kenaikan BBM. Dalam beragam unjuk rasa,
misalnya banyak buruh berteriak dan berorasi. Namun, sejatinya, di lubuk hati yang terdalam
para buruh sedang menangis. Bahkan sudah cukup banyak air mata yang terkuras. Sayang,
teriakan, orasi atau tangisan wong cilik itu hanya membentur dinding keangkuhan para
penguasa, yang tidak punya empati lagi pada rakyatnya sendiri.
Memang wong cilik seperti buruh mengalami kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir,
termasuk untuk UMK 2015 mendatang. Namun, kenaikan itu sesungguhnya menjadi sia-sia
54
akibat kenaikan BBM. Bagaimana tidak, kenaikan BBM jelas memicu inflasi dan kenaikan
harga. Presiden memang sudah membagi jutaan kartu sakti untuk jutaan kaum lemah, yang
per kartunya senilai Rp200.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kartu itu bisa
menghentikan inflasi dan kenaikan harga yang sudah sedemikian mencekik leher kaum
lemah?
Maka jangan bertanya, apakah dengan UMK yang berlaku tahun ini atau awal tahun depan,
para buruh atau wong cilik yang berpenghasilan pas-pasan mampu memenuhi standar hidup
yang layak? Simak saja, mengingat tidak mencukupi lagi, banyak anak buruh harus dititipkan
pada kakek nenek atau kerabat di kampung halaman, sehingga relasi dan interaksi dengan
orang tuanya menjadi kian jarang dan dalam beberapa hal, memicu kenakalan pada
anak. Maklum proses tumbuh kembang mereka menjadi terganggu karena ketidakhadiran
orang tua mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota dengan gaji yang tidak
seberapa.
Kenaikan BBM, jelas bisa mempengaruhi relasi kaum lemah dengan pasangan hidupnya.
Selama ini saja, tingkat perceraian di kalangan kaum menengah ke bawah tidak bisa
dikatakan rendah. Memang ketika suami istri sama-sama bekerja, sementara anak-anak
dititipkan atau berada jauh dari keluarga, kohesivitas atau keterikatan pada nilai-nilai dan
komitmen pada keluarga bisa memudar.
Dunia kerja pun tidak membawa sukacita. Filosof Yunani kuno, Sophocles, menulis ”Without
labor nothing prospers.” (Tanpa pekerja atau buruh, tak akan ada kemakmuran). Tentu, ada
yang kian makmur, seperti para elite di Senayan dan mereka yang di dalam Istana. Tapi apa
artinya makmur, jika harus ada kaum lemah yang kian babak-belur? Akibat kenaikan BBM,
pasti menyengsarakan kaum lemah seperti buruh, nelayan, petani, para pekerja informal dan
”wong cilik” lainnya.
Betapa mudahnya kaum lemah di manapun dipinggirkan lewat sebuah kebijakan penguasa.
Kaum lemah juga bisa terus dipermainkan, terlebih lewat praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme. Simak saja, para pemimpin dari pusat hingga daerah hanya memperkaya diri
sendiri, kelompok atau parpolnya. Persetan jeritan pilu para buruh, petani atau wong cilik! Ini
jelas mengingkari cita-cita luhur politik, yakni “bonum commune” (kesejahteraan bersama).
Peran Pemimpin
Padahal, jika ada pemimpin yang mau membuat kebijakan pro “poor” seperti mendiang
Hugo Chavez di Venezuela, sesungguhnya masih mungkin untuk mengurangi penderitaan
kaum lemah. Selain Chavez, kita mungkin perlu memiliki pemimpin seperti mantan Presiden
Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Seperti diketahui, Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking miskinnya dia sempat
tak lulus SD, mengingat dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh pabrik pada umur 14 tahun.
Terdorong cita-cita luhur mengentas para buruh yang terjerat kemiskinan, Lula memilih
55
menjadi aktivis serikat buruh. Karena kerap bersuara lantang menentang ketidakadilan, dia
pernah merasakan pengapnya penjara militer.
Mengingat jalan perubahan secara signifikan dan masif hanya bisa dilakukan lewat politik,
Lula mendirikan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980 dan terpilih
menjadi anggota parlemen enam tahun kemudian. Prestasinya, di tengah proses transisi ke
demokrasi (dari era militer sebelumnya), berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD
diamendemen, tentu dengan kekuatan partainya.
Lula selalu menjadi capres dari partainya pada Pemilu 1990, 1994, dan 1998, tapi terus kalah.
Akhirnya kemenangan pun diraih dalam Pemilu 2002 dan dipilih lagi empat tahun kemudian.
Sebagai presiden yang berlatar belakang miskin, Lula mampu mengentas jutaan warga miskin
Brasil lewat kebijakan yang diambilnya. Yang terkenal adalah program tunjangan keluarga
(bolsa familia), berupa bantuan untuk keluarga miskin yang punya anak bersekolah. Juga ada
program melawan kelaparan atau gizi buruk yang disebut “fome zero”. Banyak buruh
sungguh terbantu.
Kemiskinan berhasil diatasi, karena yang berpendapatan di bawah USD1,25 per hari (kriteria
kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009. Malah menurut
Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh di dunia. Jelas ini berkat Lula yang tidak hanya
beretorika, tapi langsung membuat perubahan nyata untuk mengentas kaum lemah khususnya
buruh, petani, dan nelayan.
Oleh sebab itu, kita yang kuat, tidak boleh semena-mena pada yang lemah. St Paul di awal
tulisan ini sudah mengajak yang kuat untuk berempati pada yang lemah. Apalagi, dalam
pemilu, banyak kaum lemah telah mengantar orang untuk meraih kekuasaan. Tapi mengapa
setelah duduk di kursi kekuasaan, ada kebijakan yang membuat leher kaum lemah kian
tercekik? Sakitnya tuh di sini!
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
56
Pendidikan Kembali Ke Khitah? Koran SINDO 20 November 2014
Kurikulum 2013 akan dievaluasi, begitulah pernyataan Menteri Kebudayaan, Pendidikan
Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan, tak lama setelah menjabat
menbuddikdasmen sebagaimana dilansir berbagai media.
Sebenarnya tak ada yang aneh dalam pernyataan itu, karena evaluasi untuk suatu kegiatan
atau program adalah sesuatu yang sah bahkan suatu keharusan. Namun karena masyarakat
kita sudah terbiasa dengan eufemisme, pernyataan itu dipahami sebagai “Kurikulum 2013
akan diganti”. Maka anggapan bahwa “ganti pejabat ganti kebijakan” pun semakin kental.
Kalangan yang selama ini “menentang” diberlakukannya Kurikulum 2013 menyambut
gembira pernyataan “Kurikulum 2013 akan diganti”. Namun menurut hemat penulis, seperti
halnya kalangan yang beranggapan “ganti pejabat ganti kebijakan”, evaluasi terhadap
Kurikulum 2013 hendaknya tidak berujung pada diberlakukannya kurikulum baru.
Hal ini mengingat fakta bahwa Kurikulum 2013 baru saja diberlakukan. Itu pun belum di
semua sekolah/madrasah. Awal Oktober lalu, Kemendikbud menyatakan baru pada tahun
ajaran 2015/2016 semua sekolah/madrasah ditargetkan menerapkan Kurikulum 2013.
Kurikulum merupakan suatu yang niscaya dalam pendidikan, yang bagi bangsa dan negara
kita merupakan amanat konstitusi yang tertuang pada amendemen UUD 1945 Pasal 31.
Amanat konstitusi tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Kurikulum suatu Keniscayaan
Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi yang dijabarkan dalam
UU Sisdiknas, adanya kurikulum adalah keniscayaan. Karena kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan,
sebagaimana batasan UU Sisdiknas.
Dengan demikian, kurikulum memiliki peranan yang sangat strategis dalam pencapaian
tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan
budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini bagi generasi muda.
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi
setiap saat dan tuntutan masyarakat dan zaman terus berubah, kurikulum harus mampu
57
mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan. Selain itu, adanya
kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami
perubahan, maka pewarisan dan nilai-nilai dan budaya kepada siswa perlu senantiasa
disesuaikan. Dalam konteks inilah perubahan kurikulum dapat dipahami.
Pendidikan mempunyai akar yang sangat panjang dan jauh dalam sejarah bangsa kita, seiring
dengan perkembangan bangsa kita. Pada masa Hindu-Buddha, pendidikan dikenal dengan
istilah “Karsyan“, sebuah tempat yang diperuntukkan bagi petapa dan untuk orang-orang
yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri kepada dewa
tertinggi.
Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu patapan dan mandala. Patapan adalah
tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk
tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para
pendeta, murid, dan pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama
dan negara. (Agus Aris Munandar “Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa
Timur Abad 14-15 (1990)”).
Pada masa Islam, pendidikan bisa dikatakan melanjutkan sistem pendidikan yang sudah
berjalan pada masa sebelumnya dengan penyesuaian berdasarkan ajaran agamanya. Pada
masa Islam, tempat pendidikan yang semula bernama ‘patapan’, disebut ‘pondok pesantren’,
tempat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman. Pesantren berarti tempat
berkumpul atau tempat tinggal para santri yang sedang mencari bekal dan membentuk diri
menjadi manusia baik-baik.
Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, tujuan pendidikan adalah untuk mencari bekal diri
dengan ilmu, keterampilan dan akhlak yang mulia untuk mencapai tujuan hidup sebagai
manusia baik-baik; memanusiakan manusia. Itulah khitah pendidikan kita.
Pendidikan yang Mendiskriminasi?
Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, lembaga pendidikan yang bernama sekolah belum
dikenal. Sekolah pertama didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1817 di Jakarta,
khusus untuk anak-anak Belanda, yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota
lain di Jawa. Dalam Statuta 1818 disebutkan bahwa sekolah harus dibuka di tiap tempat bila
diperlukan oleh penduduk Belanda dan keadaan memungkinkan.
Penjajah Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi
pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada, utamanya pondok
pesantren. Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan
berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan
untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi
pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh
penguasa.
58
Diakui sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda mampu melahirkan cerdik cendekia,
yang di kemudian hari menjadi bumerang bagi Belanda dengan perjuangan mereka untuk
membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Belanda. Namun tak dapat dipungkiri,
sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda itu memporak-porandakan sistem pendidikan
yang sudah berjalan sekian lama dan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dari sistem pendidikan itu, kemudian lahir dualisme lembaga pendidikan, sekolah di satu sisi
dan madrasah/pesantren di sisi yang lain. Selain itu, juga mengakibatkan munculnya
dikotomi ilmu umum versus ilmu agama. Sistem pendidikan yang mendiskriminasi dan
menghasilkan dikotomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda itulah yang
dilanjutkan oleh pemerintah kita saat kita telah memproklamasikan kemerdekaan, dan
berlaku hingga sekarang.
Sistem pendidikan yang telah berjalan sebelum Belanda menerapkan sistem pendidikannya
terbukti telah melahirkan manusia baik-baik, yang berilmu, berketerampilan, dan berakhlak
mulia serta mandiri. Dalam kehidupan bangsa kita, yang harus diakui semakin terdidik
sebagai hasil sistem pendidikan yang diterapkan pelanggaran norma sosial, susila dan hukum
semakin marak.
Korupsi makin merajalela dan menjadi-jadi, yang pelakunya kaum terdidik. Pengangguran
terdidik semakin meningkat dan jumlah TKI di luar negeri juga jumlahnya terus melonjak
dari waktu ke waktu. Kesenjangan kaya-miskin semakin melebar. Tawuran, kekerasan, kasus
narkoba, dan pergaulan bebas juga menjamur di kalangan anak didik kita.
Dalam kasus-kasus pelanggaran norma sosial, susila dan hukum itu tak terdengar pelakunya
dari kalangan madrasah/pesantren, kalaupun ada mungkin angkanya sangat kecil. Ini
membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah/pesantren, yang sesuai dengan khitah
pendidikan bangsa, mampu mewujudkan tujuan pendidikan sesuai UU Sisdiknas, yaitu
mengembangkan potensi anak didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apakah pemerintah serius ingin melaksanakan amanat UUD 1945 dalam mengusahakan dan
menyelenggarakan pendidikan nasional? Kalau itu mau dilakukan, hal itu dilakukan pada
tataran kurikulum. Karena pada tataran normatif batasan pengertian dan tujuan pendidikan
tidak berbeda. Kembali ke khitah pendidikan, yakni memanusiakan manusia, adalah sebuah
alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menata pendidikan kita.
Z ARIFIN JUNAIDI
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arfi NU
59
Religiusitas Kaum Nelayan Koran SINDO 21 November 2014
Suatu hari saya terlibat diskusi kecil dengan seorang antropolog agama UIN Jakarta, Prof
Jamhari Makruf, mengapa masyarakat nelayan senang mengadakan ritual doa disertai
melepas sesaji ke laut? Menurutnya, ini bermula dari rasa cemas ketika mereka melaut
mencari ikan.
Tidak saja cemas, mereka juga merasa dirinya sangat kecil dan takut menghadapi
kemungkinan datangnya ombak besar dan ganas yang bisa menenggelamkan mereka.
Sementara mereka tidak memiliki ladang penghasilan kecuali dari laut sehingga mereka
selalu berharap agar laut berbaik hati. Sehingga memudahkan mereka dalam menangkap ikan
yang merupakan satu-satunya sandaran kehidupannya.
Perasaan takut menghadapi laut yang sedemikian besar, luas, dan dalam ini benar-benar
membuat seorang nelayan merasa sangat kecil dan takluk di hadapan lautan. Karena itu,
kaum nelayan lalu secara berkala mengadakan ritual dan sesaji membujuk penguasa laut agar
tidak mendatangkan malapetaka bagi mereka.
Setiap upacara ritual yang bernuansa keagamaan selalu terdapat dua kandungan pokoknya.
Pertama, meminta pada penguasa semesta agar terhindar dari malapetaka. Kedua, terima
kasih atas kebaikan-Nya.
Secara antropologis, kita dapat membedakan tiga kategori masyarakat dalam menyikapi
misteri alam. Pertama, mereka yang berada dalam tahap alam mistis. Mereka berpandangan
dan berkeyakinan bahwa alam sekelilingnya itu penuh kekuatan gaib semacam dewa
sehingga yang dominan adalah rasa takut. Para dewa ini mesti dibujuk dan diberi sesaji agar
tidak marah.
Bagi masyarakat mistis, jika terjadi ombak besar, hujan lebat, gunung meletus, anak hilang di
pantai, penyakit menular, semua itu kemarahan para dewa karena kesalahan ulah manusia.
Agar tidak terulang lagi, biasanya masyarakat melakukan ruwatan, ritual dan sesaji, serta
minta ampun.
Kategori kedua adalah cara pandang ontologis yaitu masyarakat yang mulai memandang
perilaku alam secara rasional, baik berkat pendidikan maupun pengalaman panjang hidupnya
sehingga pada fase ini masyarakat bisa memahami secara rasional mengapa terjadi banjir,
hujan lebat, dan ombak besar, serta penyakit menular penyebabnya bukan karena dewa
penguasa jagat marah, melainkan itu kebiasaan alam yang terjadi secara berkala yang bisa
dijelaskan dengan nalar.
60
Dalam istilah akademis, itu hukum alam yang berlaku berdasarkan rangkaian sebab-akibat.
Yang diperlukan bagi para nelayan adalah memahami siklus alam, kapan ombak besar, kapan
musim hujan, dan bagaimana membuat saluran air yang baik serta menjaga kebersihan agar
terjauh dari penyakit. Dalam tahap ini posisi alam dan manusia sejajar, sedangkan dalam
alam mistis manusia merasa dikuasai alam.
Kategori ketiga adalah masyarakat yang merasa sudah maju dalam penggunaan sains dan
teknologinya sehingga merasa mampu mengeksplorasi, merekayasa, dan menguasai
alam. Jika nelayan kecil takut pada ombak, pencari ikan yang menggunakan kapal besar
dengan peralatan teknologi canggih tak lagi takut pada ombak dan hujan lebat. Mereka tak
lagi percaya pada pertolongan sesaji dan ritual doa-doa dalam menangkap ikan di tengah laut.
Analisis dan perhitungan sains dalam membaca cuaca dan ombak lebih penting ketimbang
ritual doa-doa dan memberikan sesaji pada penguasa laut.
Lalu, bagaimana dengan religiusitas kaum nelayan Indonesia? Sebagian tentu masih berada
dalam kurungan alam mistis meski sebagian dari mereka telah mendapatkan sentuhan sains
dan teknologi modern serta ajaran keagamaan yang bersumber wahyu Ilahi. Namun, mitos-
mitos tentang penjaga lautan yang minta sesaji juga masih bertahan sampai sekarang yang
diceritakan dari generasi ke generasi.
Adapun sosok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berhasil membina karier
sebagai eksportir ikan tentu saja sudah berada pada tahapan fungsional. Dia bahkan
menggunakan pesawat terbang untuk ekspor ikan ke mancanegara. Secara sadar dia ingin
melindungi nelayan kecil dari desakan dan perampokan kapal asing yang menguras ikan di
perairan Indonesia.
Secara antropologis kehadiran negara sangat diperlukan untuk melindungi nelayan kecil yang
selalu dicekam waswas dan takut, baik karena ganasnya ombak, langkanya ikan, maupun
langkanya bahan bakar minyak untuk menggerakkan kapalnya. Secara perlahan campur
tangan negara akan menggeser sikap mistis dalam mengatasi sulitnya mencari ikan.
Mereka mengharapkan perlindungan tidak saja pada penguasa lautan, tetapi juga uluran
tangan negara, teknologi modern, dan bantuan bahan bakar minyak. Betapapun rajinnya
nelayan berdoa dan membuat sesaji, jika tidak disertai teknologi modern serta perlindungan
negara, pasti akan kalah bersaing dengan maling-maling asing yang lebih canggih
teknologinya meski mereka belum tentu beragama.
Alam pikiran mistis di Nusantara ini tentu tidak akan hilang, terlebih lagi bagi masyarakat
penduduk sekitar pantai selatan yang ombaknya besar dan sering menelan korban manusia.
Namun, untuk wilayah pesisir utara masyarakatnya lebih rasional dan terbuka. Mungkin
dipengaruhi oleh sejarah panjang yang mempertemukan beragam penduduk, pedagang, dan
nelayan asing sehingga di daerah pesisir utara tradisi berdagang lebih berkembang dibanding
penduduk pesisir selatan.
61
Bayangkan, sekian hari terombang-ambing di lautan yang penuh risiko, pasti memunculkan
dorongan berdoa pada penguasa lautan. Sikap nelayan pada lautan itu mendua. Satu sisi
sangat mencintai dan berterima kasih pada lautan, di sisi lain sangat takut akan ganasnya
ombak dan kemungkinan langkanya ikan yang hendak mereka tangkap. Ada juga ketakutan
lain yaitu mahalnya harganya bahan bakar minyak dan kalah bersaing dengan nelayan asing.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
62
Bentrok Aparat TNI-Polri dan Revolusi Mental
Koran SINDO 24 November 2014
Masyarakat kembali dipertontonkan oleh perilaku buruk dan memprihatinkan dari segelintir
oknum aparat TNI dan kepolisian.
Betapa tidak. Seharusnya kalangan aparat dari kedua instansi yang bertugas khusus di bidang
keamanan dan penegakan hukum itu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat
rakyat, justru mereka sendiri yang membuat rakyat jadi korban termasuk warga sipil yang
terkena peluru nyasar saat terjadi tembak-menembak (Rabu, 20/11/2014). Bahkan, situasi jadi
gawat sehingga wagub Kepri sempat diamankan di Markas Brimob Batam.
Peristiwa ”percobaan adu kuat dan nyali” antara oknum-oknum tentara dan polisi di Batam
itu merupakan yang kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir. Barangkali memang ada saling
keterkaitan dari bentrok kali ini dengan yang terjadi persis dua bulan lalu (21/9/2014), bagian
dari dendam yang hanya dinyatakan selesai di permukaan melalui pendekatan formal garis
komando, sementara akar masalah atau luka bagian dalamnya tak terselesaikan.
Sementara kedua kelompok aparat itu berada di dalam suatu kawasan yang sama, di mana
secara psiko-sosiologis memiliki peluang untuk selalu bergesekan dengan semangat
emosional tertentu. Ketika ada sedikit masalah, sakit hati atau dendam dari salah satu pihak,
maka hanya tunggu faktor pemicu saja (dan itu bisa direkayasa) untuk terjadinya kontak fisik
secara terbuka. Karena masing-masing memiliki arogansi dengan kekuatan solidaritas
pasukan berikut perlengkapan senjata, yang bila sedang marah maka seketika itu pula timah
panas bisa diarahkan pada pihak yang dianggap sebagai lawannya.
Fakta lapangan memang, ketegangan dan konflik fisik antara oknum TNI versus polisi sudah
kerap terjadi di negeri ini, baik yang bergaung nasional maupun hanya terjadi dalam skala
kecil. Catat, misalnya, bentrok antara aparat kepolisian vs anggota TNI di Makassar
(November, 2010); tempur oknum-oknum TNI vs Brimob di Gorontalo (April, 2012);
bentrok TNI AD Batalion 305 vs Brimob Den B Cikole di Karawang (Oktober 2013); dan
amuk sejumlah personel TNI Yon Armed 15/76 Tarik Martapura, OKU Sumsel (Maret,
2013).
Semuanya menunjukkan perilaku dan tindakan tak pantas, dan sekaligus menimbulkan
fenomena ketidakharmonisan dari hubungan di lapis bawah dari kedua jajaran itu. Dari
sejumlah kasus bentrokan itu, sebenarnya faktor penyebabnya sangat sederhana, termasuk
seperti dua kali tragedi di Batam itu, yakni lebih berangkat dari persoalan individu aparat di
63
lapangan baik saat jalankan tugas maupun sedang dalam urusan pribadi.
Kasus di OKU, Sumsel, misalnya, pemicunya berawal dari salah paham dari dua orang aparat
yang masih tergolong usia muda, di mana mereka saling terhasut emosi lalu adu fisik dan
ternyata salah satunya (oknum polisi) mengeluarkan senjata api lalu menembak oknum TNI,
Heru Octavianus (yang sedang tak berpakaian dinas), hingga tewas. Maka selanjutnya
terjadilah amuk kolektif personel dari pihak korps (alm.) Heru Octavianus yang menimbulkan
korban jiwa manusia (5 orang) dari materi dari pihak kepolisian di OKU.
Renungkan pula penyebab terjadinya bentrok di Batam terakhir ini, yang dikabarkan berawal
dari saling lirik oknum-oknum dari dua pihak (TNI dan Brimob) di suatu tempat pengisian
bahan bakar, lalu cekcok, dan berbuntut saling serang dengan menggunakan senjata
api. Lagi-lagi, korps atau kekuatan dari keduanya terbawa-bawa, terkesan komandan di
daerah membiarkannya.
Bukankah itu buntut dari peristiwa dua bulan lalu? Yang saat itu berawal dari kejadian di
tempat (yang diduga sebagai) penimbunan BBM, di mana aparat kepolisian konon sedang
jalankan tugas, sementara ada oknum aparat TNI yang berada di lokasi dianggap
menghalang-halangi. Aparat polisi emosi-marah, lalu dengan gampangnya mengeluarkan
tembakan sehingga kaki aparat TNI tertembusi peluru. Yang turun menyelesaikannya
langsung pimpinan masing-masing dari Jakarta, dan setelah itu dianggap selesai.
***
Sederhana? Ya, begitulah cara-cara lembaga yang menerapkan prinsip komando dalam
penanganan masalah, cenderung menyederhanakan. Padahal, akar masalahnya masih tetap
belum terangkat. Apa itu?
Pertama, fakta dua oknum aparat TNI yang sedang berada di lokasi penimbunan BBM itu, tak
bisa dianggap sederhana. Justru itulah masalah utamanya, yakni terkait dengan kesejahteraan
aparat TNI. Oknum-oknum aparat akibatnya jadi bagian ”alat” dari pemilik modal dengan
bisnis ilegalnya. Dan jika jujur diakui, maraknya bisnis ilegal di negeri ini, seperti illegal
logging, illegal fishing, illegal mining, prostitusi, judi togel, dan sejenisnya, lebih karena
adanya illegal back up dari oknum-oknum aparat yang dimainkan atau sudah ”tahu sama
tahu” dari bawah ke atas.
Kedua, di era reformasi ini memang aparat kepolisian sering dapat sorotan karena tingkat
kesejahteraan anggota-anggota jauh lebih baik ketimbang aparat TNI, atau bahkan aparat sipil
negara (ASN) lainnya. Sejumlah jenderal polisi dikabarkan memiliki rekening gendut,
kendati sampai saat ini tidak pernah ditindaklanjuti atau diendapkan saja. Ini dianggap
sebagai akibat dari porsi kewenangan yang kerap disalahgunakan untuk kepentingan
pragmatis pribadi: akumulasi materi secara ”tidak halal”.
Dalam kasus di lokasi penimbunan BBM di Batam dua lalu itu, barangkali pihak oknum TNI
menganggap polisi akan coba-coba mengganggu sumber pendapatan tambahannya di satu
64
pihak, namun di pihak lain oknum polisi pun dicurigai akan memanfaatkan kasus itu untuk
memperoleh sesuatu. Maka itulah, oknum-oknum aparat berani ”pasang badan” bahkan siap
mati. Itulah risiko untuk sedikit peroleh tambahan pendapatan.
Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa (1) sepanjang masih terdapat kecemburuan karena
tingkat kesejahteraan yang berbeda (apalagi dari segi fisik tampak nyata) antara aparat
kepolisian dan TNI, maka potensi konflik dan bentrok fisik secara terbuka akan selalu
menjadi bibit subur disharmoni aparat dari kedua lembaga itu; dan (2) jika sistem pembinaan
di lingkungan aparat TNI dan Polri mengabaikan faktor tempaan moral agama, apalagi pihak
pimpinan berwatak hipokrit, maka potensi penyimpangan perilaku termasuk bentrok fisik
antar aparat akan selalu jadi ancaman. Ini artinya, kita belum akan dapatkan aparat keamanan
yang civilized.
Tentu ini diharapkan jadi bagian dari agenda revolusi mental Jokowi-JK.
LAODE IDA
Sosiolog di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ; Mantan Wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009,
2009-2014
65
Agama KTP Koran SINDO 24 November 2014
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, memiliki sistem keyakinan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang sudah berlangsung sejak seluruh pelataran Nusantara dihuni oleh nenek
moyang kita.
Penamaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki keragaman yang didasarkan pada
dialektika bahasa, ada yang menyebutnya Sang Hyang Widiwase, ada yang menyebutnya
Sang Hyang Tunggal, ada pula yang menyebutnya Sunan Ambu, Hyang Murbeng Alam,
Pangeran Nu Maha Kawasa, dan dalam sistem keyakinan agama Islam menyebutnya dengan
asma Allah Subhanahu Wataala. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor geografis Arab
sebagai tempat diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.
Keyakinan terhadap asma Sang Mahakuasa melahirkan dua kutub yang berbeda. Ada yang
beranggapan bahwa asma bagi Tuhan di luar asma yang diajarkan dalam kitabnya adalah
bukan Tuhan, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa seluruh nama-nama itu lambang dari
esensi Kemahakuasaan dan Kemahatunggalan yang memiliki kekuasaan di luar jangkauan
manusia.
Prinsip yang dianut dalam berketuhanan bukan hanya didasarkan pada nama, tetapi yang
lebih tinggi derajatnya dari itu adalah sistem keyakinan yang bernama agama. Orang Sunda
menganggap agama adalah ageman/cecekelan hirup (pegangan/pedoman hidup) yang ada
dalam hati dan pikiran setiap manusia untuk menata hidup agar memiliki keteraturan yang
sejalan dengan kehendak Yang Maha Mengatur.
Sistem pengajaran agama mengatur dua hal, mana yang semestinya dilakukan oleh manusia
dan mana yang semestinya ditinggalkan oleh manusia, yang dalam bahasa sederhananya
agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Keragaman pemahaman terhadap sistem keyakinan atau agama lebih banyak pada aspek yang
bersifat tata cara manusia untuk menyembah Tuhannya secara langsung atau yang disebut
dengan sistem ritual. Bukan hanya antaragama, melainkan juga dalam satu sistem agama
sekalipun telah melahirkan keragaman pemahaman.
Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli keagamaan sejak wafatnya
Nabi yang menjadi pemegang otoritas wahyu orisinal. Setelah meninggalnya Nabi,
tumbuhlah para pemegang otoritas kebenaran agama yang mulai beragam. Keberagaman
tersebut sangat dipengaruhi oleh domisili, budaya, tingkat kecerdasan masyarakat, bahkan
kekuasaan yang berkembang pada saat itu.
66
Jadi kalau kita berbeda, tidak perlu berselisih. Kita tidak perlu pula merasa paling tahu atau
paling benar, karena kita tidak mengalami sendiri keadaan zaman itu, karena semuanya
adalah ”katanya” yang diilmiahkan.
***
Agama itu kekuatannya pada keyakinan. Yang membuat kita dekat dengan Tuhan adalah
keyakinan kita dan keyakinan sangatlah individual. Kini perkara individual itu berubah
menjadi perkara yang bersifat publik karena sistem keyakinan itu mewarnai peranti
kenegaraan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, dalam ajaran Islam, sistem perkawinan masyarakat yang menganut agama
Islam diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan. Nah, dalam urusan kawin ini saya
bingung. Perkawinan itu peristiwa ritual atau peristiwa administrasi kependudukan? Kalau
memang ritual, kenapa dicatat? Kalau memang peristiwa administrasi kependudukan, kenapa
dicatatnya oleh KUA, bukan oleh Disdukcapil? Karena saudara saya yang non-muslim,
perkawinannya dicatat oleh Disdukcapil. Kan sama-sama mencatat perkawinan, kan sama-
sama bangsa Indonesia, kenapa dibedakan? Ditambah lagi banyak daerah yang
menggratiskan Sistem Pencatatan Pernikahan yang dilayani oleh Disdukcapil, sedangkan
yang dicatat oleh KUA masih bayar.
Ini adalah diskriminasi pencatatan perkawinan yang harus dibahas secara serius oleh para
aktivis HAM, karena yang lebih serius lagi adalah loba dulur kuring (banyak saudara saya)
yang kawinnya tidak dicatatkan, karena tidak punya uang untuk bayar. Akibatnya anak-
anaknya kesulitan memiliki akta kelahiran. Sangat diskriminatif. Ini betul-betul perkara
serius.
Urusan pencatatan perkawinan bukan hanya urusan bayar saja, tetapi juga urusan jumlah
pencatat yang terbatas, sedangkan kawin teh musim-musiman. Pada waktu musim kawin,
calon pengantin harus nunggu lama karena jumlah yang dikawinkan sangat banyak.
Bayangkan, bedak yang dari subuh dipakai, kepanasan sampai meleleh. Baju pengantin yang
harum, basah dengan keringat menunggu datangnya sang pencatat perkawinan. Rombongan
pengantar pedih menahan lapar, karena berangkat dari rumahnya subuh mengantar raja
sehari.
Selesai musim panen dan perkawinan, nanti akan tiba musim paceklik dan perceraian. Entah
di daerah mana itu, saya tidak tahu. Dampaknya, lahirlah para janda yang kemudian
berurbanisasi ke pusat-pusat kota dan pusat-pusat keramaian yang mengisi tempat-tempat
hiburan malam. Duh, menyedihkan... Siapa yang harus bertanggung jawab?
Masih masalah urusan beragama, ternyata ketika kita beragama kita masuk pada sistem
pemahaman yang merujuk pada satu pandangan paham keagamaan yang diyakini
kebenarannya oleh kita sebagai pengikut. Paham keagamaan tersebut dikelola menjadi
kelembagaan keagamaan. Secara umum, saat ini dikelompokkan menjadi organisasi agama.
67
Kita mengetahui sangat banyak jumlah organisasi keagamaan di negara kita, baik yang
terdaftar maupun yang tidak terdaftar dalam sistem tata administrasi negara kita. Jadi, kalau
kita ngomong kolom agama dalam KTP maka kita berbicara pada dua hal, apakah kolom
agama itu adalah keyakinan individual yang ada dalam setiap hati dan pikiran manusia atau
kolom agama itu adalah paham keagamaan yang bersifat administrasi organisasi?
Kalau kata saya, kan yang namanya keyakinan itu nggak bisa dibaca dengan bahasa tulisan
dan tidak bisa diidentitaskan, sebab adanya di dalam hati dan pikiran. Yang hafalnya pun
tentu yang menguasai hati dan pikiran, bukan petugas Dinas Kependudukan. Sistem
keyakinan itu akan terlihat dalam perilaku sosial beragama dalam kehidupan keseharian, baik
dalam ucapan maupun perbuatan.
Nah, bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa dia itu beragama? Kan tidak ada pencatat
ucapan, pencatat amal perbuatan, hayooo... sedangkan pencatat kebaikan dalam sistem
keyakinan, secara umum ajaran agama menyebutnya malaikat. Kumaha tah menta
laporanna? (Gimana tuh minta laporannya?) Kan sulit mengidentifikasinya, karena kita tidak
mungkin bertanya pada malaikat.
Yang paling logis, kalau kita ingin bertanya perilaku beragama seseorang, maka kita harus
bertanya pada lingkungan terdekatnya baik di keluarga maupun masyarakat, baru bisa
dilaporkan ke Dinas Kependudukan bahwa dia dalam kesehariannya beragama. Masalah yang
berikutnya, jujur atau nggak laporannya? Karena tidak mungkin seorang istri menjelekkan
suaminya, atau bapak menjelekkan anaknya atau ketua RT menjelekkan warganya.
Tah, lamun kitu mah agama urang salila ieu teh agama KTP. (Nah, kata teman saya di
kampung, agama kita ini agama KTP, sebab kita beragama hanya dalam KTP).
***
Jadi, menurut saya, orang kampung bau lisung jauh ka bedug anggang ka dulag, kita harus
jujur, bahwa beragama kita ini adalah berpaham keagamaan yang berafiliasi pada satu
golongan paham yang sudah teradministrasi dalam bentuk organisasi keagamaan.
Tak ada salahnya biar kita jujur pada diri kita, kolom di KTP yang dicantumkan adalah
paham atau organisasi keagamaan kita sehingga tidak terjadi perdebatan yang terus-menerus
karena ingin menciptakan satu paham agar diterima oleh semua.
Nanti kita tidak mengalami lagi ada lebaran dua hari, atau ada lebaran dimusyawarahkan
bahkan di-voting, kan bukan pemilihan alat kelengkapan dewan (AKD). Tetapi nanti kita bisa
ikut paham kita masing-masing tanpa harus ngurusin paham orang lain. Yang Paham A,
lebarannya hari Jumat, yang Paham B lebarannya hari Sabtu, kan tidak capek, daripada
malam takbiran harus menunggu pengumuman, padahal di rumah sudah bikin opor. Jangan
sampai lebaran ditunda sehari, bisa bikin marah ibu-ibu sabab angeun cabena haseum (sebab
sayur cabenya basi).
68
Tapi yang pusing yang beragamanya tidak punya paham atau sailu-iluna (ikut ke sana
kemari), giliran puasa ikut sama yang belakangan puasanya, giliran lebaran ikut sama yang
duluan lebarannya, setiap paham diambil yang nyenangin saja, nah, yang begitu mah
dimasukkan ke KTP, paham sangeunah karepna .... (paham seenaknya).
Saatnya kita bermimpi, tak ada lagi penghancuran tempat ibadah dan pengusiran sebuah
golongan karena dianggap mencemari atau mencederai sebuah keyakinan agama, karena kita
sudah memahami paham dan rujukan kita masing-masing. Mimpi kita ini memang tidak
mungkin diwujudkan dalam waktu dekat, karena perlu perubahan undang-undang yang
mengatur tentang kebebasan beragama di Indonesia, yang di dalamnya mengakui seluruh
paham dan keyakinan yang ada di seluruh Persada Bumi Nusantara, sehingga kolom agama
dalam KTP tidak perlu dikosongkan.
Mau agama apa pun, mau paham apa pun, saatnya mengisi kolom agama dalam KTP. Silakan
yang punya paham Kejawen ditulis paham Kejawennya, Sunda Wiwitan ditulis Sunda
Wiwitannya. Pengikut Dayak Benoa ditulis paham keyakinannya. Kelompok Dayak Segandu
berhak menjadi penduduk Indonesia.
Termasuk kalau yang merasa tidak bertuhan atau ateis, silakan mencantumkan keyakinannya.
Sok we ari wani mah... meh sarerea apal (Silakan saja kalau berani... biar semua orang tahu).
Itu pun kalau ada yang berani mencabut Tap MPR-nya. Saya tunggu nyalinya !!!
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
69
BBM, Pangan, dan Urbanisasi Koran SINDO 26 November 2014
Pemerintahan Jokowi-JK sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan
harga BBM di satu sisi akan mengatrol laju inflasi dan mengancam pemulihan ekonomi
sebab mendorong kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Namun, di sisi lain ia akan
mengurangi beban subsidi pada APBN.
Pemerintah memang menghadapi persoalan dilematis yang sulit dipecahkan. BBM adalah
kebutuhan pokok masyarakat, sama halnya bahan pangan seperti beras, gula, kedelai, jagung
dan daging, serta bahan sembako lainnya. Kebutuhan pokok ini menjadi komoditas politik,
sedikit saja terpengaruh stok dan harga bisa menuai pro dan kontra di tengah warga.
Pembangunan Pertanian
Salah satu rencana pemerintah terkait pengalihan subsidi BBM adalah perbaikan dan
pembuatan irigasi baru untuk percepatan pembangunan pertanian. Dalam waktu tiga tahun ke
depan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat harus tercapai seperti janji Jokowi-JK
saat kampanye pilpres.
Namun, pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana upaya pemerintah mengatasi laju
urbanisasi yang jumlahnya setiap tahun terus bertambah? Mereka petani dan buruh tani dari
desa yang mencoba keberuntungan di kota.
Fenomena kian kencangnya arus urbanisasi akhir-akhir ini selain disebabkan masalah sosial
kependudukan yang makin kompleks, juga dipicu persoalan ekonomi. Penduduk desa
terdorong pindah ke kota sebab sektor pertanian sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Kota
menjanjikan kehidupan lebih manis dan menggiurkan karena pembangunan yang menumpuk
di sana menjadi magnet kuat menarik kaum urban. Mereka masih beranggapan sepahit-
pahitnya hidup di kota masih lebih manis ketimbang hidup di desa.
Penyelesaian urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan untuk kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Medan belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya yakni
kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat
pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus urbanisasi semakin sulit terbendung
dan jumlah kaum urban bertambah secara bermakna setiap tahun.
Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski
pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Sekadar menyebut
contoh pada 2012 angka kemiskinan menurun menjadi 11,66% dari 12,36% pada 2011. Dari
70
segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang dari 29,89 juta (2011) menjadi 28,59
juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran per orang per bulan) sebesar Rp259.520 untuk
2012.
Kinerja pemerintahan sebelumnya dalam memerangi kemiskinan memang tergolong kurang
dahsyat. Mereka belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Pada 2004
angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 16,00%. Artinya dalam waktu sekitar
sepuluh tahun pemerintahan SBY, angka kemiskinan hanya turun 4,34%. Padahal
kemampuan anggaran negara sangat jauh lebih besar dibanding pada masa-masa
sebelumnya.
Rapor merah Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol
tingkat pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan
prestasi negara lain. China sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai rekam jejak
yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia (2005) menunjukkan
penduduk China dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari sebesar 36,3%.
Di Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, ternyata pada 2009 jumlah
penduduk dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari masih 50,9%. Lantas
pertanyaannya, pelajaran apa yang patut dipetik dari keberhasilan Pemerintah China
mengurangi laju kemiskinan penduduknya? Jurus jitu pemerintah Negeri Tirai Bambu ini
dalam memerangi kemiskinan adalah menggenjot percepatan pembangunan pertanian pangan
yang melibatkan penduduk miskin di perdesaan.
Kembali ke Pertanian
Seiring kenaikan harga BBM, pemerintahan Jokowi-JK dengan kabinet kerjanya harus segera
melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus baru revolusi
mental untuk membangkitkan pertanian pangan yang berpusat di perdesaan. Dengan dana
yang tersedia dari pengalihan subsidi konsumtif ke sektor produktif, pemerintah bisa
melakukan percepatan pembangunan pertanian. Prasarana mulai dari transportasi, bibit
unggul, pupuk, dan jaminan harga harus segera ditata kembali guna meningkatkan
kesejahteraan petani.
Data terkini dari BPS menyebutkan bahwa kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan
masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk
pembelian makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin dan petani bisa memproduksi
sendiri kebutuhan pangan keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran
kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan
mengalami proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong kian
mahalnya harga makanan.
Puncak inflasi tahun ini kemungkinan akan terjadi pada Desember 2014. Dari data yang ada,
inflasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi saat kenaikan harga BBM dan
diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir,
71
inflasi bahan makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa,
sebagian besar mereka adalah buruh tani yang memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan
membeli. Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan
mereka harus mengulurkan uang dari saku alias membeli.
Pertanyaannya, mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani?
Meski pemerintah telah berganti beberapa kali setelah reformasi 1998, masih gagal
menyejahterakan petani. Mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki.
Dalam periode sepuluh tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang sebanyak 4,77
juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian karena terpaksa
mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan. Petani kecil di desa
termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis kapitalistik.
Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis yakni ketahanan pangan yang berdaulat dan
mandiri makin rapuh. Di tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri pangan impor
mulai dari buah, beras, daging, bawang, dan pangan lain. Kita terjebak dalam ruang dan
sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari kebutuhan pangan di dalam negeri
kini dipenuhi dari impor. Devisa negara terkuras sekitar Rp125 triliun setiap tahun untuk
membeli pangan impor. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk
membangun bendungan dan sarana irigasi untuk percepatan pembangunan kedaulatan
pangan.
Karena itu, ”Gerakan Kembali ke Pertanian” patut menjadi kampanye nasional untuk lima
tahun ke depan guna mendorong percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan
ini harus terus disuarakan oleh pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota
sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan yang dapat mengerem laju urbanisasi.
Untuk berhasil guna, gerakan ini harus diiringi sinergi kebijakan yang diformat secara
komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera
Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
72
Papua Berdikari dan Poros Maritim Koran SINDO 27 November 2014
Tebersit di Jakarta bahwa dalam rangka menyongsong era Pasifik telah disusun doktrin baru
untuk mengelola Indonesia yaitu “poros maritim Nusantara” yang kuncinya wilayah lautan.
Poros maritim ini untuk mengimbangi pemain utama di Pasifik di antaranya kekuatan
ekonomi raksasa China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Papua adalah
wilayah terdepan Indonesia menghadap Pasifik dengan tanah dan lautan mahaluas. Jika ingin
doktrin poros maritim Nusantara itu bisa berwujud, Papua seharusnya diposisikan sebagai
pintu masuk dan keluar dari benteng Indonesia menuju Pasifik.
Papua adalah benteng di era Pasifik. Mengapa demikian? Sebagai pintu depan, Papua adalah
tanah mahaluas di bibir Pasifik yaitu 41.600.000 ha dengan luas lautan 1.679.545 km2.
Penduduknya kurang dari lima juta jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sembilan jiwa
per km2. Penduduk yang sedikit itu bermukim secara terpencar dan terpencil pula di lembah-
lembah bergunung menjulang, hulu-hulu sungai, dan sabana rawa-rawa mahaluas.
Namun, benteng itu kini rapuh. Agar poros maritim Nusantara menjadi kokoh, benteng Papua
harus diperkuat. Untuk itu, jadikanlah Papua mampu berdikari agar bisa keluar dari segala
kesulitan yang ada saat ini. Pada masa datang Papua nan mahaluas tanah dan lautannya ini
harusnya menjadi kekuatan Indonesia, bukan kelemahan lagi.
Bukankah Presiden Jokowi hendak menjalankan garis ekonomi berdikari itu? Garis politik
berdikari itu sudah jelas panduannya. Soekarno dalam kebijakan pada Deklarasi Ekonomi
(Dekon) menggariskan bahwa untuk meningkatkan ekonomi nasional program pokoknya
adalah mengutamakan pertanian dan perkebunan serta pertambangan. Tentu dengan langkah
memodernkan teknologi dan meningkatkan kemampuan rakyatnya.
Peningkatan pertanian dan perkebunan bisa dilihat sebagai langkah untuk menjamin
ketersediaan bahan pangan dalam negeri agar tidak bergantung pada impor. Di sisi lain
perkebunan bisa ditujukan untuk ekspor dalam rangka memperkuat devisa negara. Kedua
bidang tersebut juga sekaligus menjadi lahan penyerap tenaga kerja agar rakyat bisa produktif
dan mengonsumsi produksi dalam negeri.
Sementara pertambangan dalam kerangka pikir berdikari menggunakan kekuatan kekayaan
sumber daya alam sebagai kekayaan nasional untuk kekuatan ekonomi nasional. Intinya
kekayaan mineral tambang harus menjadi milik Indonesia. Jikapun asing menanam modal,
saham Indonesia harus lebih besar dengan kepemilikan tetap di tangan Indonesia.
73
Secara garis besar itulah fondasi dari ekonomi berdikari, yang menjadi salah satu kesaktian
Trisakti Sukarno. Modal untuk ketiga fondasi ekonomi berdikari itu ada di Papua yaitu tanah
dan laut yang mahaluas dan kekayaan mineral tambang yang luar bisa pula. Permasalahannya
adalah manusia Papua. Artinya berapa banyak manusia Papua yang akan memperoleh
kemakmuran dan kenyamanan nyata dari garis ekonomi yang demikian itu.
Selama ini manusia Papua itu kerap dilupakan dalam membuat kebijakan dan program
pembangunan. Faktor itulah yang membuat benteng Indonesia di Papua rapuh. Ciri dari
rapuhnya benteng Indonesia di Papua itu adalah instabilitas persepsi politik mudah tercipta,
baik karena disharmoni sosial antarkelompok yang kronis maupun oleh masih aktifnya
kelompok perlawanan bersenjata. Rendahnya mutu dan fasilitas pendidikan menyebabkan
rendahnya kemampuan sebagian besar masyarakat asli dalam merespons perkembangan.
Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan membuat masyarakat asli Papua tidak kompetitif
dalam mengisi peluang-peluang baru yang datang. Angka kemiskinan dan tidak melek huruf
pun tinggi. Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi serta komunikasi
membuat masyarakat asli Papua terlambat mengakses dan diakses oleh perkembangan sistem
ekonomi modern.
Itu tampak dari tidak ada sektor produktif yang bisa melibatkan manusia Papua secara
massal. Tidak ada pabrik dan produksi barang kebutuhan di Papua. Semua barang datang dari
luar dengan harga sangat mahal. Sementara hasil pertanian dan kebun rakyat tidak bisa
dipasarkan karena mahalnya ongkos transportasi. Implikasinya ekonomi masyarakat asli
Papua menjadi stagnan.
Dana otsus yang triliunan rupiah belum mampu untuk menggerakkan ekonomi yang stagnan
itu karena perencanaan yang buruk, program yang tidak fokus, serta tidak ada ruang produktif
yang tercipta. Hasilnya uang otsus itu hanya singgah di Papua dan selanjutnya lenyap. Dalam
kondisi begitu, tentu Papua tidak akan bisa berdikari secara ekonomi. Padahal Papua adalah
pintu terdepan di Pasifik.
Maka itu, Papua harus berdikari secara ekonomi agar masyarakatnya bisa menjadi benteng
terkuat bagi poros maritim Nusantara. Maka itu, kabinet baru Jokowi-JK harus bisa
merancang program pembangunan ekonomi yang bisa memberikan pengecualian dan
pendampingan kepada masyarakat asli Papua agar kekayaan yang mereka milik bisa
memakmurkan mereka.
Untuk itu, koordinasi dalam perencanaan dan implementasi dari setiap program
pembangunan harus kuat dan tegas. Hanya dengan manusia Papua yang produktif dan
makmur serta pandailah poros maritim Nusantara jadi bermakna di Papua dan seluruh
Indonesia. Jika tidak, poros maritim itu hanya akan menjadi slogan kosong.
Agar tidak berhenti sekadar menjadi slogan, siapkanlah manusia Papua untuk menjadi
pemain utama dalam percaturan ekonomi produktif di Papua. Untuk itu, benahi dunia
74
pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dirikan pabrik yang berkaitan dengan pertanian,
perkebunan, dan pertambangan. Bangunlah jalan, pelabuhan, dan bandara agar konektivitas
ada.
Beri kesempatan bagi orang muda Papua untuk berperan besar di dalamnya. Hanya dengan
begitu, Papua bisa berdikari dan akan menjelma menjadi benteng terkuat di pintu masuk dan
keluar Indonesia dalam menghadapi era Pasifik. Jadikan kampung-kampung yang menjadi
tempat bermukim orang asli Papua sebagai centrum pembangunan Papua.
UU Desa yang baru telah pula memberi jalan untuk itu. Saya rasa, jika UU Desa dijalankan
secara konsisten dan konsekuen di Papua dengan memajukan peningkatan kualitas dan
kemampuan manusia Papua, bersama segala infrastruktur dasar, tidak ada kata tidak mungkin
untuk Papua bisa berdikari pada era Pasifik. Semoga.
AMIRUDDIN AL-RAHAB
Pemerhati Permasalahan Sosial-Politik Papua, Penulis Buku “Ekonomi Berdikari Sukarno”
75
Citra Diri Itu Mahal Koran SINDO 28 November 2014
Terdapat perbedaan mendasar antara aktualisasi diri dan citra diri. Yang pertama merupakan
pertumbuhan kepribadian seseorang dari potensi ke actus. Dalam filsafat, pertumbuhan ini
sering dijelaskan dengan perumpamaan, misalnya pertumbuhan dari benih biji mangga yang
kemudian berkembang menjelma menjadi pohon mangga yang besar, rindang, dan berbuah.
Semua pohon besar-besar itu semula berada dalam biji benih yang kecil dan rapuh. Atau
dengan ungkapan lain, dalam sebuah biji yang kecil dan rapuh itu, terdapat potensi pohon
besar yang gagah perkasa. Demikianlah, seseorang dikatakan sudah sampai pada tahapan
aktualisasi diri ketika sudah menemukan jati dirinya yang kemudian dimanifestasikan dalam
karya, prestasi, dan perilaku yang dijalani secara istikamah (mantap dan
konsisten). Aktualisasi diri muncul dari kekuatan dan dorongan pribadi yang datang dari
dalam (inner power) sehingga seseorang menemukan kepercayaan diri yang autentik.
Apa bedanya dengan citra diri? Citra lebih memperhatikan apa yang menjadi pandangan,
persepsi, dan harapan orang lain terhadap diri kita. Ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan
melihat malam penganugerahan Piala Citra terhadap insan perfilman. Mereka yang dianggap
hebat, berhasil, dan memperoleh Piala Citra berdasarkan peran yang dimainkan, lalu dinilai
oleh penonton. Jadi, yang sangat menentukan kemenangannya adalah penampilan luar dan
adegan panggung yang berhasil memukau penonton, bukannya kualitas dan perilaku aktor
sehari-hari yang apa adanya di luar sorotan kamera.
Citra diri itu sangat penting, dan banyak orang yang sangat memperhatikan dan rela
mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkannya. Kalangan politisi, saya kira sangat sadar
bagaimana menjaga citra diri di hadapan rakyat. Meskipun, lagi-lagi, citra diri kadang kala
lebih menekankan aksesori, atau kemasan luarnya saja.
Hidup di era visual, sebuah era yang sangat peduli pada gambar, foto, dan adegan panggung,
orang dituntut untuk selalu memperhatikan penampilan luar. Tetapi jika citra diri tidak
disertai integritas (inner quality), citra diri hanya akan menipu orang lain dan juga diri
sendiri.
Mungkin saja ada orang-orang yang karena kurang percaya diri lalu berusaha menutupinya
dengan membeli barang-barang mewah dengan harga mahal, misalnya kendaraan mobil,
rumah, dan aksesori lainnya. Kalau itu terjadi pada politisi, pejabat pemerintah, atau pegawai
negeri sipil, jangan-jangan perilaku itulah yang telah mendorong korupsi besar-besaran di
negeri ini. Mereka ramai-ramai membeli citra diri, bukannya aktualisasi diri.
76
Fenomena lain yang cukup menarik terjadi di Korea Selatan (Korsel). Di negeri itu, lebih dari
70% remajanya diberitakan rela melakukan operasi bedah plastik demi mempercantik
parasnya. Konon ceritanya, fenomena itu bermula dari bedah plastik agar matanya tidak sipit,
yang ternyata berhasil gemilang. Maka kita jarang melihat remaja Korsel yang bermata sipit.
Dari operasi mata itu lalu berkembang ke bedah plastik mempercantik wajah dan bagian
tubuh lain agar berubah semakin cantik atau tampan. Kalau kita jalan-jalan ke Korea atau
melihat filmnya, remajanya hampir seragam postur badannya dan wajahnya. Teknologi bedah
plastik ini dianggap sangat berhasil sehingga menarik minat orang-orang Barat datang ke
Korea untuk mempercantik diri.
Kita belum tahu efek apa yang ditimbulkan di hari tua nanti akibat permak wajah ini. Tapi
terbayang, betapa mereka selalu memperhatikan penampilan dirinya agar senantiasa cantik
atau tampan. Citra diri begitu sangat penting dan mahal bagi mereka. Ongkosnya tidak saja
uang, tetapi pasti pikiran dan emosi.
Jadi, mereka tidak sekadar membeli kemasan berupa mobil atau rumah mewah untuk
membangun citra diri, tetapi lebih intens lagi format wajah dan kulitnya yang diubah agar
terlihat keren dan mengundang decak kagum. Wow..
Akhir-akhir ini kita sering kali disuguhi tema politik ”revolusi mental” yang kemudian
menjadi tema diskusi dan workshop di berbagai departemen pemerintah. Saya sendiri punya
harapan dan kekhawatiran. Saya berharap ini akan menjadi momentum dan gerakan yang
serius, programatis, dan dikawal secara konsisten baik secara intelektual maupun kebijakan
politik sehingga mendorong tahapan aktualisasi diri bagi para pejabat tinggi negara serta
politisi. Revolusi mental akan berhasil jika dimulai dan digerakkan serta memperoleh contoh
dari atas sebagai role model.
Tetapi saya khawatir kalau tema ini akan jatuh dan berhenti sekadar sebagai jargon politik
dan citra diri yang semu, tidak autentik, tanpa akar kedalaman konseptual. Bahkan bisa jadi
tema luhur ini tidak menjadi kepribadian yang autentik (inner power) di lingkungan elite
birokrat dan politisi. Kalau itu yang terjadi, nantinya akan jadi ungkapan sinikal.
Sekian puluh tahun lalu Erich Fromm menulis buku yang menjadi perbincangan di kalangan
akademisi, judulnya: To Have or To Be. Dia membedakan antara having mode dan being
mode. Yang pertama, orang mengejar sukses dan kebanggaan diri dengan memiliki sebanyak
mungkin kekayaan dan jabatan (to have more and more). I am what I have, tulisnya. Orang
akan melihat dirinya hebat karena berkaitan dengan apa yang dimiliki. Sesuatu yang berada
di luar atau yang menempel pada dirinya.
Sedangkan pribadi kedua, being mode, lebih menekankan kualitas diri yang autentik atau
yang melekat pada kepribadiannya. Being a religious person is different from having a
religion.
77
Demikianlah, jika ditanya mana yang lebih penting, tentu aktualisasi diri jauh lebih penting
yang pada urutannya pasti akan melahirkan citra diri yang lebih kokoh dan autentik.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
78
Seni, Budaya, Kaum Muda, dan "Budhi" (1) Koran SINDO 28 November 2014
Perkembangan peradaban suatu bangsa salah satunya tercermin dari perkembangan serta
kualitas seni dan budayanya.
Tak dapat disangkal bahwa kualitas seni dan budaya sangat terkait dengan kaum muda. Baik
dalam konteks kaum muda sebagai suatu generasi baru yang bakal tumbuh dan berkembang
sebagai pemimpin kemudian hari, maupun kaum muda sebagai bagian yang paling dinamis
dari keseluruhan komposisi masyarakat dan bangsa. Sesuai komitmen seniman dunia ”Arts is
long, life is short,” otomatis, perkembangan seni budaya tidak akan bisa dilepaskan kaitannya
dengan kaum muda.
Sejarah peradaban manusia menunjukkan, kaum muda merupakan potensi kreator dan
inovator yang mampu melakukan proses perubahan serta dinamisasi terhadap karya-karya
seni dan budaya. Yang sangat tersohor antara lain pada abad XV hingga abad XX, ketika
kaum muda melakukan reformasi budaya di seluruh dunia.
Karya-karya seni dan budaya yang mulanya cuma berprinsip: ”Seni untuk Seni,” di tangan
kaum muda berubah menjadi ”Seni untuk Kehidupan Manusia”. Ketika itu kaum muda
melakukan proses perubahannya dengan sangat spektakuler. Ketika mengubah posisi seni dan
budaya dalam kehidupan manusia, dari media kontemplasi menjadi media ekspresi.
Dalam kaitan itulah, akhirnya proses perubahan seni dan budaya itu berkembang menjadi
proses perubahan peradaban. Selaras dengan perkembangan sains dan teknologi, dalam fase
ini kita mengenal berbagai tonggak yaitu zaman Renaissance di Eropa, yang dimulai dari
Prancis dan restorasi Meiji di Jepang.
Secara sambil lalu kita dapat melihat, di tangan kaum muda, seni dan budaya sebagai media
ekspresi akhirnya memberi jiwa bagi berlangsungnya revolusi dan reformasi terhadap tatanan
nilai hidup atau peradaban manusia.
Di belantika musik misalnya karya-karya kontemplatif yang formal sebagaimana ditandai
oleh kreasi-kreasi Johan Sebastian Bach, Beethoven, Mozart, dan genre-nya mengalami
revolusi luar biasa ketika The Beatles menjadikan musik sebagai media ekspresi, termasuk
pilihan cara serta gaya tampil yang lebih independen. Demikian pula halnya dengan revolusi
yang dilakukan kelompok Deep Purple, Mick Jagger (Rolling Stones), dan banyak lagi.
Melalui proses revolusi yang selaras dengan perkembangan sains dan teknologi itulah,
akhirnya industri rekaman musik di dunia sangat berkembang dengan pesat. Lantas, itu
79
mengubah posisi dunia entertainment di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, dan
politik. Contoh sejenis dapat kita saksikan dengan seksama pada industri perfilman dunia,
seni rupa, seni sastra, dan seni lainnya.
Di Indonesia, kita mencatat proses perubahan yang dilakukan kaum muda juga tidak kalah
spektakulernya. Dalam dunia sastra misalnya terjadi reformasi yang bernilai historis ketika
Chairil Anwar mengubah prinsip-prinsip penulisan puisi secara lebih bebas
merdeka. Terutama dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Baik generasi
susastra lama yang cenderung istana sentris, feodal, dan formalistik, maupun pujangga baru
yang kelihatan masih ragu-ragu menempatkan sastra sebagai media ekspresi.
Chairil Anwar dengan kreasi-kreasinya yang monumental dalam usianya yang sangat muda
sanggup mewarnai perubahan konsepsi pemikiran kita tentang kesenian. Proses perubahan
semacam itu akhirnya terus bergulir ketika Rendra menghadirkan puisi-puisi pamflet dan
mengubah performa seni deklamasi.
Selanjutnya kita juga mencatat nama-nama kaum muda yang secara berani, jenius, dan
orisinal menampilkan platform baru bagi kesenian kita. Misal Sutardji Calzoum Bachri dan
Remy Sylado di dunia sastra; Putu Wijaya dan Riantiarno di panggung teater; Koes Plus,
Panbers, Harry Roesli, Iwan Fals, Jockie S-Chrisye-Eros Djarot, Addie MS, dan sebagainya
di belantika musik; Dede Eri Soepria di kavling seni rupa; Garin Nugroho, Rizal Mantovani,
Arya Kusumadewa di layar perfilman; Warkop, Pancaran Sinar Petromaks, Sersan Prambors,
dan Bagito dalam seni komedi. Banyak contoh-contoh lainnya.
Dari sejumlah nama-nama sohor yang kita sebutkan di atas tampak bahwa dalam perspektif
kaum muda, seni dan budaya tidak lagi diposisikan sebagai media kontemplasi dan
perenungan saja. Dalam kapasitasnya sebagai media ekspresi, di tangan kaum muda, seni dan
budaya mengalam proses demokratisasi yang sangat luar biasa yaitu proses pembebasan alias
kemerdekaan seni dan budaya dari segenap pakem atau standardisasi yang pada masa lampau
ditentukan egosentrisme penguasa dan bahkan senimannya itu sendiri.
Di tangan kaum muda, seni dan budaya tumbuh dan berkembang, selaras dengan proses
perkembangan serta perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa dunia kesenian merupakan ruang demokratis yang memberi kemungkinan setiap orang
menunjukkan potensi, kreativitas, dan kualitasnya.
Lantaran karya seni itu berkembang berbarengan dengan perkembangan zaman, setiap karya
seni dan budaya yang telah terlahir mestilah merupakan cermin otentik dan abadi sebagai
kesaksian zaman itu sendiri. Karena itu, setiap karya seni dan budaya dapat dibilang sebagai
”potret berwarna” suatu zaman yang tidak dapat direkayasa atau dimanipulasi oleh
kepiawaian dan kecanggihan teknologi apa pun.
Yang menarik untuk dicatat adalah pada setiap zaman, di tangan kaum muda, selalu saja
muncul seni pembebasan yaitu karya seni yang mengekspresikan pemikiran-pemikiran baru
yang membebaskan seni dari dominasi bidang lain. Terutama politik dan ekonomi. Dalam
80
perkembangan sejarah bangsa Indonesia, kita mencatat bagaimana para seniman muda
menunjukkan integritasnya untuk menyuarakan serta mengekspresikan semangat pembebasan
itu.
Zaman telah mencatat misalnya bagaimana Koes Plus, Rendra, dan beberapa seniman lainnya
telah menjadi tumbal semangat pembebasan itu. Sementara itu, kita juga mencatat Iwan Fals
dan Rhoma Irama telah menjadi ikon-ikon suara pembebasan yang menunjukkan populisme
(jiwa kerakyatan) di zamannya.
Bahkan, mungkin, goyang Inul juga mencerminkan semangat pembebasan yang mewakili
semangat ”kaum pesisir dan kaum pinggiran”. Walau apa yang dilakukannya mengalir begitu
saja, tanpa direncanakan dan disiapkan sebagai ekspresi pembebasan yang kompleks. Atau,
mungkin, itulah potret bangsa yang sedang sakit selesma.
SYS NS
Pendiri Mufakat Budaya Indonesia; Seniman
81
Seni, Budaya, Kaum Muda, dan "Budhi" Koran SINDO 29 November 2014
Secara umum ingin saya katakan bahwa dalam perspektif kaum muda seni dan budaya
merupakan media ekspresi yang mewakili semangat pembebasan terhadap berbagai aturan
atau nilai yang dipandang tidak pas dan tidak cocok lagi dengan kehendak zaman.
Di sisi lain, masih dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya merupakan media
aktualisasi diri yang mengekspresikan dinamika serta kebebasan mengusung gagasan-
gagasan baru. Karena itu, seni dan budaya harus memenuhi kriteria universal, yaitu kreatif,
komunikatif, dinamis, bermutu, mewakili perasaan dan pikiran mayoritas penikmatnya, dan
mampu menjadi media kontrol sosial yang efektif.
Apa pun bentuk dan jenisnya, seni dan budaya merupakan media efektif untuk menyuarakan
pembaruan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, setiap
seniman dan kaum muda haruslah mencerminkan identitas para demokrat. Yaitu orang-orang
yang menjunjung tinggi persamaan dan kesamaan, serta selalu menghormati perbedaan.
Selebihnya, karena kita tinggal di Indonesia, kita pun harus pandai memuliakan pluralitas
alias keberbagaian. Bagi saya, di tangan kaum muda, seni dan budaya juga mesti
mencerminkan religiositas alias nilai-nilai agamais, kebangsaan, dan kerakyatan. Dengan
begitu, karya seni dapat memadukan pertimbangan artistik, estetik, dan etik.
Sebagai pekerja budaya, dari kerja teater, media massa, hiburan, manajemen pergelaran,
hingga pemikir dan pekerja politik, saya merasa bersyukur dapat mengalami secara penuh
perjalanan kebudayaan dalam tiga fase politik terpenting bangsa Indonesia: Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi.
Ini sebuah rasa syukur yang tidak berlebihan, tapi memang karena saya mendapat pelajaran
banyak dari perjalanan hidup yang setidaknya menjadi saksi dari ekspresi-ekspresi kultural di
semua elemen dan lapisan kehidupan negeri ini. Mulai pengamen, seniman, broadcaster,
pengamat yang cuma “ngamat-ngamati“, para maestro kondang hingga presiden yang nyeni.
Dari pengalaman itulah saya merasa paham, mafhum, dan akhirnya yakin bahwa kebudayaan
kita sesungguhnya tidak pernah mandek, berhenti; tapi ia terus berjalan, berproses dan
mengembangkan (bentuk maupun kualitas) dirinya. Bagaimana diukur, dalam acuan estetik,
artistik, statistik dan sebagainya, itu bukan urusan atau bidang saya. Saya hanya pelaku
sekaligus saksi. Dan saya bersuka ria karena itu.
82
Saat peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba, tepatnya ketika Soeharto menjadi pejabat
presiden pada 1967 hingga menjadi penguasa di paruh awal 70-an, saya merasakan dengan
sangat bagaimana kegairahan budaya dan kesenian begitu kuat saat itu. Muncul inspirasi-
inspirasi baru, gagasan artistik yang inovatif hingga percobaan atau eksperimen-eksperiman
kultural yang menggetarkan.
Kita ingat bagaimana masa itu melahirkan Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Teguh Karya
dalam teater. Lalu Djadug Djajakusuma, Syuman Djaya, Ami Prijono melahirkan warna-
warna baru dalam perfilman Indonesia. Begitu pun dalam dunia tari yang melahirkan
Sardono W Kusumo hingga Retno Maruti, hingga dunia sastra tergetar oleh karya-karya Budi
Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan banyak lainnya. Hingga empat puluh tahun
kemudian kita pun tahu, masih nama-nama di atas yang menjadi referensi utama dari dunia
seni atau artistik kita.
Artinya, empat puluh tahun kemudian ternyata kita gagal melahirkan karya dan seniman-
seniman yang memiliki maqom atau pencapaian artistik yang setara. Bahkan bisa dibilang
merosot, drastis bahkan. Mengapa? Apa yang terjadi dengan para seniman dan para pekerja
budaya kita lainnya?
Pertanyaan itu sebenarnya paralel juga dengan kesangsian dan kecemasan akan terjadinya
pula kemerosotan kehidupan berbangsa kita di semua level praktisnya. Termasuk dalam
kehidupan politik, bisnis (ekonomi), hingga hidup beragama atau akademis kita. Saat ini kita
mengalami kerancuan, atau semacam kekacauan acuan dan orientasi, di hampir semua
lapangan kehidupan kita.
Hal-hal yang dulu dianggap sakral, luhur atau mulia, kini seperti menjadi sesuatu yang sangat
biasa, artinya dapat ditinggalkan atau tak perlu dipedulikan lagi. Lalu orang menyeberang
jalan sembarangan, berkendaraan tanpa mengindahkan rambu dan marka jalan, sekolah hanya
untuk kedok menutupi tindakan kriminal, menjadi pejabat hanya untuk menipu rakyatnya
sendiri, jadi bagian dari parlemen hanya menggunakan konstituen sebagai arsenal pemenuhan
hedonis saja, menjadi pedagang cuma untuk menguras dompet publik sampai pada simpanan
kebutuhan primernya.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Saya melihat sederhana saja: kebudayaan telah
melupakan kata dasar utamanya: budhi. Kita semua telah kehilangan “budhi”, satu hal yang
mampu mengolah kendali semua kecenderungan menyimpang kita serta mengutamakan apa
yang kita sebut baik dan benar.
Maka, saya amat sangat berharap agar masalah “budhi” ini harus menjadi mata pelajaran
utama sekolah di negeri tercinta, Indonesia. Saya sebagai salah satu pendiri Mufakat Budaya
Indonesia selalu berdoa semoga para pendiri lain, seniman, budayawan, sejarawan, politisi,
ilmuwan, cendekiawan, akademisi, birokrat, dan pengamat bisa menjadikan “kegelisahan” itu
sebagai penyemangat.
83
“Budhi” inilah materi dalam “Temu Akbar II”, setelah “Temu Akbar I” dengan Deklarasi
Cikini 2009 yang melahirkan “rekomendasi” untuk penyelenggara Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Amin.
SYS NS
Pendiri Mufakat Budaya Indonesia; Seniman
84
Menyoal E-voting Koran SINDO 29 November 2014
Belum lama ini penulis beruntung memiliki kesempatan turun ke lapangan di satu tempat,
menggali informasi perihal topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini, yaitu e-voting.
Tempat yang dimaksud adalah Boyolali, salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Boyolali
menarik untuk diteliti karena di sana pada 2013 lalu ada penerapan metode e-voting dalam
pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Boyolali adalah satu dari tiga daerah di
Indonesia yang sudah bersentuhan dengan e-voting selain Jembrana dan Musi Rawas.
Di Boyolali, pelaksanaan pilkades memang masih menggabungkan model elektronik dan
manual. Selama setahun lalu, ada delapan dari total 260 desa yang pilkadesnya dengan e-
voting. Sisanya dilakukan dengan cara manual.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas apakah e-voting bisa diterapkan dalam
pemilukada serentak pada 2015 seperti kebanyakan dibahas di media massa akhir-akhir ini.
Tulisan ini hanya ingin mengangkat secara singkat tentang pilkades di Boyolali dengan e-
voting.
Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Boyolali, penulis yakin bahwa penerapan
teknologi elektronik dalam pilkades di Boyolali berkaitan dengan kemajuan yang ada di
daerah tersebut. Namun, kesimpulan itu sahih di awal saja karena selama di Boyolali
kebetulan penulis tinggal di wilayah perkotaannya.
Baru setelah berkeliling ke desa-desa di Boyolali dan melihat kondisi masyarakat dan
pembangunan fisik di sana kemudian di benak penulis timbul beberapa pertanyaan. Mengapa
Boyolali yang memiliki luas 1.015 km2 dan kondisi alam kombinasi dataran rendah dan
sebagian berbukit itu diadakan pilkades dengan e-voting?
Kedua, apakah masyarakat Boyolali yang menurut data BPS Boyolali 2008 mayoritas
(258.202 orang atau 32%) tamat SD dan 75.302 orang atau7,9% di antaranya berusia di atas
65 tahun itu siap sekaligus percaya pada e-voting? Apa saja kelebihan serta kekurangan dari
pilkades di Boyolali dengan e-voting dibandingkan dengan model manual?
Awal mula penerapan e-voting dalam Pilkades di Boyolali adalah tahun 2012, ketika BPPT
mengadakan dialog nasional tentang pemilu elektronik. Saat itu banyak kepala daerah yang
hadir dan ada dua kepala daerah yang ketika ditanya oleh BPPT kemudian menyatakan siap
melaksanakan pilkades dengan e-voting, yakni Bupati Boyolali dan Bupati Musi Rawas.
85
Menurut pengakuan Bupati Boyolali, Seno Samodro, pilkades dengan e-voting di Boyolali
dilatarbelakangi oleh pengalaman kepala daerah itu selama 13 (tiga belas) tahun berada di
Prancis. Di sana hal yang berbau elektronik dalam kegiatan sehari-hari dan khususnya
kegiatan politik adalah hal yang biasa dan beliau juga melihat bahwa penggunaan metode e-
voting bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan di daerahnya.
Sebagai tindak lanjutnya kemudian Pemerintah Kabupaten Boyolali mengundang salah satu
universitas di Jawa Tengah untuk menawarkan proposal mesin dan peranti lunak e-voting.
Akan tetapi, dikarenakan tawaran angka yang terlampau tinggi niat bekerja sama itu tidak
dilanjutkan.
Pemerintah Boyolali lantas memilih untuk menggunakan model yang dimiliki oleh BPPT
dikarenakan hanya mengeluarkan biaya untuk pelatihan untuk panitia, peranti lunak e-voting
yang akan digunakan, dan membeli sendiri perangkat keras (beberapa unit monitor layar
sentuh, termal printer, dan smartcard reader) sesuai arahan spesifikasi yang ditentukan oleh
BPPT.
Pertanyaan berikutnya, dari ratusan desa di Boyolali, desa mana saja yang dipilih untuk
menghelat pilkades e-voting dan apa dasar pertimbangannya? Desa yang dipilih adalah
Kebongulo, Kebonbimo, Genting, Karangnongko, Trayu, Sambi, Gondongslamet, dan
Dologan. Pertimbangannya adalah keterwakilan sebagian dengan kombinasi dua prinsip.
Pertama, satu desa satu kecamatan. Kedua, dipilih gabungan antara daerah perkotaan dan
daerah yang wilayahnya jauh dari kota. Bahkan, akhirnya untuk memperbanyak uji coba di
daerah yang jauh dari kota, secara keseluruhan mayoritas (5 dari 8) desa berada jauh dari
perkotaan.
Berikutnya, apakah memang masyarakat Boyolali, terutama yang pendidikannya menengah
ke bawah dan yang berusia lanjut (diatas 65 tahun), bisa dan percaya dengan e-voting?
Awalnya, sempat ada kekhawatiran seperti itu. Namun hal itu sudah diantisipasi sebelumnya
dengan menyelenggarakan berkali-kali sosialisasi kepada masyarakat tentang cara
pelaksanaan pilkades dengan cara e-voting.
Yang menarik, di samping sosialisasi sebelum hari H, pada hari H di sekitar TPS juga ada
sosialisasi untuk para calon pemilih yang belum tahu dan tidak dapat hadir dalam sosialisasi
sebelumnya. Sosialisasi itu yang kemudian menekan angka kebisaan dan mendorong
kepercayaan masyarakat umumnya dan pemilih berpendidikan menengah ke bawah dan
berusia renta pada khususnya.
Secara umum masyarakat Boyolali bisa dan lebih senang menggunakan metode e-voting
ketimbang cara manual karena kelebihan-kelebihannya. Hal itu terlihat setidaknya dari
tingkat partisipasi masyarakat dengan metode e-voting yang rata-rata di atas 70%.
Apa saja kelebihan dari metode e-voting? Pertama, metode e-voting tidak sulit digunakan.
86
Pemilih menggunakan smart card yang dimasukkan ke dalam card-reader lalu setelah itu
memilih calon kepala desa di layar sentuh. Setelah selesai memilih, pemilih mengambil print
out pilihannya dan memasukkan kertas print out itu ke dalam kotak yang sudah disiapkan.
Kedua, metode e-voting lebih cepat dalam perhitungan dan dapat mengurangi terjadinya
ketegangan antara calon dan tim sukses. Dari ditutupnya TPS ke akhir perhitungan hanya
memakan waktu sekitar 15 sampai 30 menit. Bandingkan dengan cara manual yang bisa
berjam-jam, bahkan di beberapa desa perhitungan baru selesai esok sore dari hari pemilihan.
Metode e-voting dalam pilkades lebih mengurangi ketegangan antarcalon dan atau tim sukses
karena tidak ada ribut-ribut soal keabsahan coblosan karena perhitungan dikerjakan oleh
mesin dan tinggal direkapitulasi per kotak suara atau bilik saja.
Ketiga, berbeda dengan model manual yang sekali memakai kertas tidak dapat dipakai lagi,
dengan e-voting perangkat kerasnya dapat digunakan berkali-kali. Bahkan selama delapan
kali pilkades e-voting, perangkat yang digunakan adalah perangkat yang sama.
Di samping kelebihan, sejauh ini juga masih ada juga kelemahannya yang bisa dijadikan
input untuk perbaikan ke depan. Kelemahan utamanya, secara teknis bilik memilih terlalu
pendek (hanya sekitar 30 cm) sehingga mengurangi kerahasiaan pemilih. Dengan bilik yang
pendek dan pilihan yang hanya sedikit (dua atau tiga calon), orang lain di luar pemilih bisa
lebih tepat menduga apa pilihan pemilih saat itu. Dalam metode mencoblos, bilik yang
pendek relatif tidak merupakan masalah karena gerakan tangan pemilih mengarah ke pilihan
mana tidak mudah diprediksi.
Sebagai penutup, apa yang terjadi di Boyolali adalah segelintir usaha baik dari daerah untuk
memperbaiki hal yang baik dalam hal kepemiluan baik di tingkat lokal maupun lesson
learned untuk pemilu nasional. Karenanya, wajib untuk diapresiasi setinggi-tingginya dan
bukan tidak mungkin dijadikan pertimbangan untuk dilakukan juga oleh daerah-daerah lain di
Indonesia.
IKHSAN DARMAWAN
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
87
Umat yang Jarang Membaca Koran SINDO 1 Desember 2014
Dalam kesenian klasik Jawa ”Macapat” dan bisa juga dalam gending Palaran, orang
mengidungkan tembang ”Pucung”, yang di dalamnya, antara lain terdapat ungkapan bijak
para resi zaman dahulu atau kelompok elite yang disebut kaum literati, yang menyatakan
bahwa ”ngelmu iku kalakone kanthi laku”, maksudnya ilmu hanya bisa dicapai melalui laku.
Dalam tradisi Jawa yang disebut laku itu ”laku rohani”: tirakat. Di dalam bahasa dunia
pesantren disebut ”riadhah”, kadang ditulis ”riadlah”, artinya menempuh hidup
serbaprihatin, serbarohani, untuk memperoleh petunjuk Yang Ilahi dan adikodrati mengenai
suatu jenis ilmu yang hendak diraihnya. Di dunia modern, urusannya lebih ringan, lebih
sederhana: membaca.
Bila urusannya menyangkut pengembangan ilmu secara lebih serius, lebih hakiki, lebih
mendalam, dan mengharapkan terjadi suatu penemuan baru, secara total, utuh baru, suatu
”invention”; atau penemuan baru secara parsial, baru sebahagian, ”innovation”; maka ”laku”
keilmuan yang lebih berat, dan tak kalah dari laku batin orang Jawa tadi, harus dilakukan
suatu penelitian.
Di kalangan para ilmuwan sosial disebut penelitian lapangan. Mereka yang bergulat di dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan murni, penelitian bisa dilakukan di laboratorium, dengan
suatu percobaan yang ruwet, njlimet, dan memerlukan ketelitian tingkat tinggi. Tentu saja
masih banyak jenis-jenis penelitian lain, percobaan lain, yang menuntut sikap ilmiah yang tak
main-main. Ini memerlukan suatu kesalehan sosial yang bahkan lebih berat daripada berdoa
tiga hari tiga malam.
Dengan ”laku” ilmiah macam itu suatu bangsa mencapai kemajuan. Bila suatu bangsa
bersaing, melakukan ”fastabikul khairat”, berlomba di dalam kebaikan dan amal saleh untuk
meninggalkan suatu warisan budaya bagi bangsanya, atau bagi dunia, maka bangsa itu telah
secara nyata telah mendaftarkan dirinya untuk menjadi bagian elite dunia di bidang keilmuan.
Ini bangsa unggul.
Kita kagum melihatnya. Bisa saja bangsa itu menang, dan menjadi yang terbaik di dunia. Kita
membelalak memandangnya. Bisa juga kalah, dan disebut bangsa pejuang yang gigih dan tak
mau ketinggalan. Dia kalah, tapi bukan kalah judi yang menjadi sejenis orang ”terkutuk”
secara moral keagamaan, melainkan tetap terpuji. Mata dunia memandangnya, dan media
memperingatkan: bangsa ini boleh jadi tak lama lagi menjadi juara satu di dunia, di bidang
keilmuan.
88
Betapa harum sebutan yang disandangkan pada namanya. Betapa mulia bangsa itu di mata
Yang Ilahi dan Terpuji, yang dari kesunyian malam di Gua Hira yang dingin bersabda:
bacalah. Kita ini umat yang mendengar seruan itu, bahkan umat yang secara khusus diseru,
diperintah membaca, tapi adakah kita membaca? Jangan keras-keras menjawabnya, kita
semua tahu, kita tidak membaca. Ah, bukan, kita jarang membaca. Umat yang jarang
membaca ya kita ini.
Apakah itu memalukan? Kelihatannya tidak. Kita tidak malu. Dalam banyak hal, termasuk
dalam kejahatan korupsi, kita masih kanak-kanak yang belum mengenal malu. Kita tenang
saja melihat tingkat baca kita berada dalam posisi 110 dari 173 negara. Presiden, menteri
pendidikan, rektor-rektor, kepala-kepala sekolah, guru-guru, dan yang lebih penting lagi
kepala perpustakaan dan para stafnya, semua tenang, seolah tak sedikit pun masalah bangsa
yang kita hadapi.
Jika kita membandingkan buku-buku yang harus dibaca di SMA di seluruh dunia, posisi kita
bukan terendah, melainkan terkubur di bawah tanah. Bangsa yang tingkatnya terendah itu
Thailand karena murid-murid SMA hanya wajib membaca lima buku. Sedikit lebih tinggi
dari itu, Malaysia, yang murid-murid SMA-nya membaca enam buku. Singapura juga hanya
enam buku. Brunei lebih tinggi lagi, tujuh buku. Tapi, mereka ini tergolong rendah.
Tahu, berapa buku yang dibaca bocah-bocah SMA Indonesia? Nol besar. Nol. Inilah umat
yang tidak membaca. Tapi, seluruh bangsa tenang. Tak ada kegemparan dan keprihatinan
secuil pun yang diberitakan media. Tapi, kalau ada makanan haram tidak diberi label haram,
kita bisa geger.
Mengapa umat tidak membaca, tak diberi status hukum ”haram”, atau”dosa”, sebagaimana
umat yang tak menjalankan perintah agama yang kita teriak-teriakkan melalui pengeras suara
di masjid-masjid, sebagai, konon, dakwah? Mengapa Muhammadiyah, ”the modernist” diam
saja? Apa hanya urusan kapan mulai puasa kapan lebaran, yang dianggap masalah penting
dalam kehidupan umat? Mengapa NU diam saja?
Mengapa menteri pendidikan bisu? Mengapa presiden tak pernah mempersoalkannya?
Seharusnya kita malu dengan Swiss, yang murid SMA-nya membaca 15 buku. Kita juga
malu pada Rusia, yang lebih tinggi lagi, 20 buku. Apalagi Jepang, 22 buku. Belanda, bahkan
lebih tinggi lagi yaitu 30 buku dan AS merupakan yang tertinggi dan tak tertandingi: 32 buku.
Itulah potret human development index, yang disebutkan Center for Social Marketing.
Kalau menteri pendidikan tidak malu melihat aib tercoreng di wajah kita, paling tidak
gubernur harus malu. Mungkin, terutama gubernur DKI dulu. Gubernur bisa mengambil
langkah atau kebijakan membaca yang betul-betul dikontrol secara ketat. Semua kepala
sekolah diwajibkan lapor. Kalau kepala sekolah tak mengajarkan membaca, apa yang
diajarkan?
Kita ini sudah lama menjadi juara satu dalam perkara tawuran. Pelajar-pelajar jagonya. Tapi,
sebaiknya sekarang diubah: bikin mereka semua jago membaca. Wajibkan berapa puluh
89
buku. Wajib benar-benar wajib. Dikontrol dengan baik. Semua perpustakaan dibuat sibuk.
Sehari penuh, dari pagi hingga sore, banyak warga masyarakat yang datang membaca. Pelajar
dan mahasiswa yang paling utama.
Mampukah perpustakaan memanggul mandat, mendukung menteri, mendukung gubernur,
memajukan bangsa? Universitas? Semua bernafsu, tapi hanya omong kosong mau menjadi
”research university”, “world class university”. Apa tindakannya? Universitas hanya sibuk
membangun gedung, tanpa membangun human resource di dalamnya.
Orde Baru dulu siap tinggal landas. Tinggal landas (mu), mana bisa tinggal landas tanpa
membaca tanpa penelitian yang beneran? Ada rektor yang peduli pada mahasiswa yang tak
membaca? Kelihatannya tak pernah ada. Rektor juga jarang peduli pada perpustakaan
Masjid kampus, berteriak kemajuan, bangga kita mayoritas, tapi kita masih nyata sekali, umat
yang tak membaca, bangsa yang tak membaca. Tapi kita diam saja. Orang perpustakaan pun
diam seribu bahasa. Kita tak malu, dan tetap diam, melihat potret diri kita sebagai umat yang
jarang membaca?
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
90
Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya (1)
Koran SINDO 1 Desember 2014
Pendidikan merupakan tema strategis dalam setiap perjalanan kepemimpinan nasional. Hal
tersebut disebabkan kualitas kecerdasan sebuah bangsa sangat bergantung pada fundamen
sistem pendidikannya.
Pendidikan nasional bertujuan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia
seutuhnya dalam konsep kenabian dikenal dengan istilah ”insan kamil”, dalam pandangan
orang Jawa dikenal dengan sangkan paraning dumadi, yang berpuncak pada manunggaling
kawula Gusti.
Orang Sunda mengajarkan ajaran rawayan jati, yaitu transformasi ajaran bambu sebagai
peranti keberadaban manusia, istilah yang digunakan berbunyi congo nyurup kana puhu.
Congo nyurup kana puhu adalah konsep keutuhan atau kemanunggalan antara langit dan
bumi, ragawi dan rohani, tanpa sekat dan tanpa batas.
Cerita tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia yang berpuncak pada sikap zuhud
dalam ucapan dan perbuatan melahirkan tafsir sepihak dalam sudut pandang material. Hal
tersebut terkisah dalam perdebatan tentang asasi dan esensi fitrah kemanusiaan dalam
ketunggalan ketuhanan antara Syekh Siti Jenar dan lingkaran sahabat-sahabatnya yang sama-
sama memiliki pandangan kezuhudan. Tuduhan kesesatan terhadap ajaran manunggaling
Syeh Siti Jenar berpuncak pada beralihnya alam kefanaan ke alam kekekalan yang dijalani
oleh Sang Wali pembawa ajaran ketunggalan.
Kesempurnaan diri Syekh Siti Jenar memancarkan aroma mewangi dari sekujur tubuhnya.
Orang menyebutnya sekujur tubuhnya tanpa nyawa. Hal tersebut merupakan simbol sudut
pandang hukum ragawi memiliki keterbatasan cara melihat dan cara mendengar. Penerapan
sebuah hukuman atas tuduhan kesesatan ajaran bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai
rububiyah itu sendiri.
***
Kisah Syekh Siti Jenar selalu aktual dalam keberadaban perjalanan panjang sejarah
pendidikan kemanusiaan, sudut pandang mata batin kita selalu ingin mengetahui lebih dalam
tentang apa yang diajarkan selama hidupnya. Kisah legendaris tersebut terjadi di tanah Jawa,
tetapi yang paling menarik orang Sunda telah menamakan dirinya dengan nama Jisimkuring,
yang artinya jirim adalah badan, isim adalah ruh, dan kuring adalah Tuhan.
91
Secara tata bahasa, baik yang memahami atau tidak, orang Sunda telah melakukan klaim
ketuhanan pada dirinya. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya, apakah orang Sunda
mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar atau mungkin Syekh Siti Jenar telah melakukan
reaktualisasi kesundaan sebagai ajaran tertua dalam keberadaban Nusantara? Ajaran yang
mengalami penentangan karena faktor ketidakpahaman lingkungan atau politik kekuasaan
yang berkembang saat ini.
Saya tidak akan memberikan kajian atau analisisi lebih tajam ke dalam hal tersebut karena
khawatir redaksinya yang terlalu banyak karena kolomnya yang terbatas, nanti ceritanya tidak
nyampe kepada Tuhan yang pada akhirnya menjadi hantu dan ciri-ciri hantu. Pertama,
kakinya tidak pernah menginjak tanah. Kedua, keluarnya sejak matahari tenggelam sampai
menjelang fajar karena hantu sangat takut oleh matahari.
Pendidikan sejati mengajarkan keutuhan manusia dengan cikal bakal penciptaannya, ketika
manusia diciptakan dari tanah. Maka itu, manusia harus dekat dengan tanah. Ketika manusia
diciptakan dari air, manusia harus bersenyawa dengan air. Ketika manusia diciptakan oleh
udara, udara merupakan bagian dari dirinya. Ketika manusia diciptakan oleh matahari,
matahari adalah dirinya.
Dengan pendidikan kita mengajarkan telapak kaki anak-anak kita untuk melihat tanah secara
utuh sehingga ada hubungan kesenyawaan antara subjek dan objek penciptaan. Masalahnya,
seluruh lapisan tanah di perkotaan berlapis beton dan aspal sehingga sulit telapak kaki anak-
anak kita untuk kembali bersentuhan dengan leluhur penciptaannya, apalagi sekolah-sekolah
memberikan aturan untuk bersepatu, berkaos kaki ke sekolah sebagai bentuk peradaban baru.
Tah, lamun kieu (nah, kalau begini) sangat sulit mewujudkan keutuhan. Jadi telapak kaki
anak kita geus teu wawuheun jeung taneuh nu sabenerna eta teh akina sorangan (sudah tidak
mengenal tanah yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri). Bahkan yang lebih tragis lagi
banyak sekali anak-anak yang jika kakinya diinjakkan ke tanah matanya terpejam dengan
rasa takut, dia sangat asing dengan leluhurnya sendiri. Coba kita pikirkan perilaku seperti ini,
mirip enggak dengan hantu?
Ketika besar dia tidak ragu lagi untuk menjual sawah, ladang, gunung, hutan, pulau bahkan
samudera yang luas, atas nama ekonomi dan kemakmuran tanpa raut muka kesedihan sedikit
pun. Perilaku yang seperti itu lebih menakutkan dari pada hantu karena dalam catatan sejarah
peradaban hantu, mereka tidak pernah menjual tanah leluhurnya.
***
Ketika siang tercipta, Tuhan membuat ruang pada manusia untuk menggerakkan seluruh
badannya agar terbakar kalori dan lemaknya menjadi aliran keringat kebahagiaan. Ketika
siang kita diajarkan untuk makan enak, anak-anak kita mengalami transformasi nilai
pendidikan melalui pergerakan otak di sayap kiri dan kanannya.
Pengalaman dan penghayatan akan menjernihkan relung hatinya menuju puncak kecerdasan
92
sebagai manifestasi dari perwujudan amarah Ketuhanan, berawal dari bangun pagi ketika
fajar menyingsing di ufuk timur anak-anak kita berlari menuju pusat-pusat keberadaban
dalam kelas-kelas. Dialog antara guru dan murid penuh canda, tawa dan kebahagiaan.
Saat matahari di atas kepala, mereka berlari menuju rumah peraduan tempat menyimpan
mahligai cinta yang disulam dalam benang-benang kasih sayang orang tua, mereka merenda,
menyulam, mencuci, menyetrika, mengepel, menggembala, bertani, mengambil kayu bakar
sebagai perwujudan sujud dan pengabdian pada ibu dan bapaknya tanpa harus dikatakan
pelanggaran karena mempekerjakan anak.
Anak tumbuh menjadi bagian energi keluarga, berlari di pematang sawah pulang membawa
belut dan belalang, menyusuri semak pulang membawa rumput untuk energi peternakan dan
membawa kayu bakar untuk energi pembakaran pada dapur ibu tercintanya. Tak ada subsidi
elpiji, tak ada antrean pemegang kupon daging kurban, tak ada tumpukan utang pada warung
makanan dan rentenir, semua terbebaskan karena kecerdasan Si Budak Angon (si anak
gembala). Seluruh tubuhnya terisi oleh nutrisi alami pancaran energi kasih sayang seorang
ibu.
Ketika senja menghampiri mereka mengunci seluruh pintu, berlari menuju surau, merenda
malam dengan untaian kata memanjat menuju tepi langit, selaksa bintang di langit tak pernah
luput dari pandangan, yang mengajarkan siklus perhitungan musim.
Purnama tersenyum mengajarkan kepastian penanggalan, gelak tawa terpancar dari bibir
manis generasi penjaga malam. Jangkrik berderik mengantarkan tidur mereka, mengukir
indahnya malam dengan mimpi penuh warna, angin memanjakan mereka menembus bilik
rumah tak berbeton, kulukis nama-Mu di awan tak berjendela.
KANG DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
93
Inisiatif MORA dan Jejaring Intelektual
KORAN SINDO
1 Desember 2014
Dunia akademik senantiasa berjalan dinamis seiring perkembangan pengetahuan dan
teknologi serta beragam minat manusia dalam membangun peradabannya. Sekat geografis,
bahasa, etnis, agama, dan sejumlah faktor pembatas lainnya, lebur dalam fenomena global
yang mengharuskan kita memiliki jaringan dunia intelektual.
Fenomena ini oleh Jhon Keane dalam tulisannya “The Humbling of the Intellectual, Public
life in the Era of Communicative Abundance” dalam Times Literary Supplement, 28 Agustus
1998, disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance). Ditandai
dengan gegap gempitanya informasi dan tersedianya multikanal komunikasi, tak hanya skala
lokal, nasional melainkan juga internasional.
Dalam konteks inilah, inisiatif MORA (Ministry of Religious Affairs) membuat jejaring
internasional guna pengembangan sumber daya manusia di lingkungan Direktor Jenderal
Pendidikan Islam menjadi sangat strategis dan relevan dengan kebutuhan.
Di antara program-program yang secara reguler diinisiasi MORA adalah Postdoctoral
Fellowship Program For Islamic Higher Education (POSFI), Academic Recharging for
Islamic Higher Education (ARFI), International Seminar for Islamic Higher Education (ISFI),
dan tentunya program Short Course Research Methodology in Overseas Countries.
Beruntung, penulis mendapat kehormatan menjadi Mora's Fellow di University of Western
Sydney melalui program Short Course Research Methodology in Overseas Countries Subdit
Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk menggali khazanah intelektual di bidang
metodologi riset, penulisan akademik dan konferensi internasional, sekaligus menjadi wahana
pemahaman lintas budaya (cross culture understanding) antara ilmuwan Indonesia dengan
Australia.
Program ini pula yang mengenalkan kota tepian bernama Bankstown, kota kecil tempat
University of Western Sydney berada. Memang, UWS memiliki beberapa kampus yang
terletak di banyak tempat, tapi yang menarik rasa ingin tahu justru yang terletak di kota sepi
senyap, Bankstown ini.
Tiba di kampus berslogan Bringing Knowledge to Life ini, tujuan utama penulis adalah pusat
penelitian agama dan masyarakat (The Religion and Society Research Center) milik UWS
94
yang kini dipimpin oleh Prof. Adam Possamai, sosok ilmuan penuh kehangatan.
Adam membuat welcome reception yang juga dihadiri oleh, Prof. Kevin Dunn, Dean of
School of Social Science and Psychology UWS. Sebuah jamuan pembuka yang tak hanya
menghidangkan makanan dan minuman penanda persahabatan, tetapi juga dialog akademik
yang membuat kerasan ngobrol berpanjang lebar. Dialog lintas budaya ibarat "oase" di
tengah kegersangan topik-topik yang menjadi menu harian program-program dialog beragam
media massa di Indonesia yang rutin penulis isi.
Di UWS sendiri kita bisa menemukan jaringan para peneliti di sejumlah pusat kajian antara
lain: Centre for Educational Research, Centre for Health Research, Centre for Research in
Mathematics, National Institute of Complementary Medicine, Urban Research Centre,
Writing and Society Research Centre.
The Religion and Society Research merupakan perluasan dari Center for the Study of
Contemporary Muslim Society (CSCMS) yang didirikan tahun 2009 di UWS di bawah
payung the National Center of Excellence for Islamic Studies. Dengan demikian, nampak
nyata bahwa Islam dan komunitas masyarakat muslim telah menjadi basis kajian yang
diperhitungkan dan menarik minat di UWS dan di banyak kampus-kampus lain di Australia.
Melihat seantero lingkungan kampus UWS, tak sulit menemukan para mahasiswi berjilbab.
Di UWS kampus Bankstown, banyak sekali mahasiswa muslim yang berasal dari Iran,
Libanon, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan lain-lain.
City of Bankstown merupakan kota kecil bercita rasa multikultural. Area pemerintahan lokal
di wilayah Canterbury-Bankstown Sydney ini terdiri dari sejumlah kota pinggiran termasuk
Bass Hill, Greenacre, Georges Hall dan Milperra, dan lain-lain.
Kota ini dikelilingi oleh City of Parramatta dan Auburn Council di utara, City of Fairfield dan
City of Liverpool di barat, Sutherland Shire di selatan, dan City of Canterbury, City of
Hurstville dan Municipality of Strathfield di timur. Kalau dari Sydney Airport dibutuhkan
waktu kurang lebih 30 hingga 40 menit perjalanan lewat kereta dari Central Station.
Sepanjang jalan menuju Bankstown sebelah kiri-kanan perjalanan, kita lebih banyak melihat
permukiman warga yang berderet rapi, bersih, dan sepi! Entah, seperti apa kebiasaan dan
asal-muasalnya, permukiman warga menuju Bankstown lebih banyak yang sepi-senyap, tak
banyak kerumunan layaknya perkampungan pada umumnya di Indonesia.
Pun demikian suasana di sekitar kampus sunyi senyap seolah-olah tak banyak orang. Tapi,
saat melongok ke ruang-ruang dalam bagian kampus, seperti di hall, di kelas, dan di
perpustakaan, nampak kampus disesaki sejumlah orang yang sibuk dengan aktivitas
akademiknya masing-masing.
Program di UWS diisi penulis dan partisipan lainnya dengan aktivitas padat, berinteraksi
95
dengan sejumlah ilmuan UWS dan kampus-kampus lain. Ada Dr. Alphia Possamai, Dr.
Marie Felbaum Korpi, Prof. Garry Trompf (University of Sydney). Dr. Cristina Rocha, Dr.
Anne Jamison, Dr. Joanna Orlando, Profesor Riaz Hassan (Flinders University) dan tentu saja
senior, dan kolega di UIN Jakarta yang saat ini mengajar dan menjadi peneliti di UWS, Dr.
Arskal Salim.
Diskusi, public lecture, simposium, focus group discussion (FGD), micro teaching,
presentasi, konferensi, dan sejumlah aktivitas akademik lainnya menjadi menu harian dari
Senin-Jumat. Sejumlah topik soal Islam dan masyarakat modern didiskusikan dengan renyah
dan penuh persahabatan.
Misalnya Pada 28 Oktober, Prof Garry Trompf memberi public lecture soal “The Yazidis:
Reflections on Group Survival and the Limits of Tolerance”. Pada 5 November, Prof Adam
Possamai memberi pemaparan soal “Islam: A New Relegious Vehicle for Aboriginal Self-
Empowerment in Australia”.
Kajian berbasis riset sangat menarik soal geliat Islam di Australia juga dipaparkan Prof Riaz
Hassan (Emeritus Professor of Sociology di Flinders University) yang membahas tuntas soal
“Socio-economic Status of Australian Muslims: Implications for Citizenship and Social
Integration” pada 7 November. Kajian yang mengurai data mengesankan, betapa muslim di
Australia sudah memiliki perkembangan signifikan bukan hanya dalam hitungan kuantitatif
tetapi juga perbaikan status sosial-ekonomi mereka saat mereka menjadi bagian tak
terpisahkan dari warga negara Australia.
Penulis sendiri, pada 10 November diberi kesempatan untuk memaparkan makalah yang
diberi judul: “Symbolic Convergence in New Public Sphere: A Study of Political
Communication In Indonesia on the Second Periode of Yudhoyono's Government”.
Yang tak kalah menariknya adalah kajian berbasis riset dalam Symposium on Religion and
Gender yang disampaikan oleh Lisa Worthington dan juga Farjana Mahbuba pada 11
November. Hal menarik, yang membuat kita kerasan adalah cara berpikir terbuka dan
memungkinkan kita untuk menginisiasi riset kolaboratif. Hal ini membuat jejaring intelektual
kita kian terbuka.
Selama di sana, penulis diberi kesempatan untuk mencoba bersama-sama dua ilmuwan UWS
dari School of Social Science and Psychology yakni Dr. Steven Drakeley dan Dr. Arskal
Salim, untuk mengajukan proyek riset ke Australian Competitive Research Grant untuk
meneliti “Political Communication of Yudhoyono’s Government (2004-2014) on Tolerance,
Freedom and Democracy in Indonesia”.
Jika melihat kompetisi di dunia sekarang ini, maka inisiatif MORA dan pemerintah pada
umumnya untuk memperkuat kapasitas intelektual dan profesional para ilmuwan di Indonesia
sudah sepatutnya didukung semua pihak. Program-program bagus dan mencerahkan ini,
96
seyogianya diperkuat lagi dan setiap saat dievaluasi guna ditingkatkan kualitas
penyelenggaraan dan hasilnya. Di sinilah letak strategisnya inisiatif MORA!
GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
97
Moratorium Kurikulum 2013, sebuah Kerugian Nyata
Koran SINDO 3 Desember 2014
Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyusul
pergantian pemerintahan dari SBY-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla, berembus
keinginan untuk melakukan moratorium Kurikulum 2013 (K13).
Pernyataan terhadap kemungkinan ini disampaikan langsung dan terbuka oleh Mendikbud
Anies Baswedan kepada beberapa media. (“Evaluasi Kurikulum 2013 Selesai Desember”,
KORAN SINDO, Senin, 24 November 2014). Pernyataan bahwa K13 masih prematur sedikit
mengindikasikan kuatnya keinginan Mendikbud untuk melakukan moratorium terhadap K13,
apa pun hasil evaluasi kelak.
Memang dalam berita tersebut ada tiga opsi yang disampaikan. Pertama, akan melanjutkan
K13; kedua, dilanjutkan dengan koreksi; dan, ketiga, harus ditunda. Terhadap tiga opsi itu,
masyarakat memang masih harus menunggu hasil evaluasi yang diharapkan akan selesai
Desember ini. Tapi, patut diduga dan ini umum terjadi, pernyataan seorang menteri baru
terhadap kebijakan yang ada sebelumnya acap berusaha untuk berbeda dengan pendahulunya.
Apalagi di lapangan ditemukan dua kutub yang berbeda terhadap K13.
Fakta paling aktual adalah kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang tidak lain
anggarannya adalah bersumber dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang memang sudah ada
sebelumnya dan mencakup pula kelompok masyarakat atau peserta didik dari keluarga
miskin dan hampir miskin. Dengan begitu, kesan yang muncul bagi masyarakat yang paham
adalah program sebelumnya yang hanya berganti nama, yang penting asal beda.
Tulisan berikut ingin sedikit berkontribusi untuk memberikan masukan terhadap
kemungkinan kerugian nyata manakala moratorium yang diambil sebagai sikap beda dari
pendahulu sebelumnya. Tentu tulisan ini tidak hendak membela terhadap siapa pun, tapi
menyampaikan hal yang objektif terhadap apa yang sudah digagas dalam K13.
Diakui, dalam hal implementasi, terutama terkait pelatihan guru, pendistribusian buku,
termasuk masih ada ketidaksesuaian antara K13 dengan buku yang telah disiapkan, serta
sulitnya penilaian, ditemukan beberapa kendala di lapangan. Tapi, terkait dengan konsep
yang telah disiapkan dalam K13, rasanya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Pada titik
inilah, rasanya opsi kedua terkait dengan K13 yaitu dilanjutkan dengan koreksi atau evaluasi
adalah sikap bijak dan moderat yang mesti jadi pilihan.
Persoalan Teknis
98
Merujuk pada latar belakang disiapkannya K13 terhadap kurikulum sebelumnya adalah
sesuatu yang dapat diterima baik secara nalar. Hanya, kebijakan yang baik itu kerap tidak
bisa dijalankan atau terganjal pelaksanaannya karena ada agenda-agenda terselubung di balik
keinginan kita membangun masa depan masyarakat dan negeri ini lebih baik.
Sekadar mengingatkan, betapa kini kita baru menyadari bahwa upaya untuk membangun
industri dirgantara awal 1980-an adalah hal yang sesungguhnya amat menguntungkan dan
strategis jika merujuk pada pengembangan moda transportasi udara yang kini berkembang
dan maraknya industri penerbangan dalam negeri berinvestasi melengkapi armadanya.
Kekhawatiran ini pun harus perlu didalami terhadap agenda moratorium K13. Mengingat ada
banyak hal positif sesungguhnya yang ingin diraih terhadap implementasi K13, yang dalam
bahasa Kemendikbud sebelumnya, Kurikulum untuk menyiapkan Generasi Emas 2045.
K13 adalah bagian dari perhatian serius dunia pendidikan dalam upaya menjawab
kegelisahan orang tua dan masyarakat terhadap maraknya kenakalan pelajar, terabaikannya
budi pekerti, melemahnya karakter bangsa, hingga maraknya korupsi. Bukan itu saja, beban
pelajaran dan banyak buku peserta didik yang harus dibawa setiap hari, terutama di jenjang
sekolah dasar, yang kerap mengundang kritik wali murid dan pemerhati pendidikan, juga
ditemukan dalam konsep K13.
Di sisi lain, riset dan studi internasional di bidang pendidikan menjadi pijakan dalam
penyiapan K13. Hasil riset tersebut dapat menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia
dibandingkan dengan mutu pendidikan di puluhan negara lain. Riset Program for
International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS), maupun studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS)
menunjukkan, posisi peserta didik Indonesia tidak kunjung beranjak naik, masih menduduki
peringkat bawah dari 65 negara yang diteliti.
Fakta-fakta itulah yang menjadi bagian dari dasar pertimbangan perubahan K13. Selain itu,
masih banyak lagi faktor internal maupun faktor eksternal yang dapat dijadikan landasan
untuk melakukan pembaruan kurikulum. Tantangan internal antara lain berkait dengan
tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan standar nasional pendidikan hingga soal
besarnya pertumbuhan penduduk usia produktif yang harus dikelola agar menjadi sumber
daya masyarakat yang berkualitas. Sementara tantangan eksternal berhubungan dengan arus
globalisasi hingga pesatnya perkembangan teknologi yang sudah barang tentu harus
diantisipasi melalui pendidikan.
Berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi K13, sebagaimana disuarakan
masyarakat yang berkeinginan K13 tidak dijalankan, lebih pada persoalan teknis bukan
substansi. Pada sisi inilah dapat dilihat, mestinya keputusannya pun bukan melakukan
moratorium, tapi lebih pada mengevaluasi untuk memperbaiki ihwal teknis yang menjadi
kendala dalam implementasi K13. Kita sepakat hal teknis harus diselesaikan secara teknis
dan evaluasi bukanlah kata yang tabu dan harus dihindari.
99
Penyederhanaan menjadi salah satu kata kunci pada K13. Di jenjang SD dari 10 mata
pelajaran kini disederhanakan menjadi enam mata pelajaran, di SMP dari sebelumnya 12
menjadi 10, sedang di SMA tidak lagi mengenal penjurusan melainkan peminatan.
Pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, yang selama ini dikeluhkan para
orang tua, tapi juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil PISA, TIMSS,
maupun hasil PIRLS. Kajian terhadap isi mata pelajaran juga dilakukan dan ditemukan fakta
ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan
dicerna peserta didik.
K13 juga disiapkan sebagai strategi peningkatan kinerja pendidikan. Itulah sebabnya selain
dilakukan penyederhanaan mata pelajaran, juga dilakukan penambahan jam pelajaran. Semua
dilakukan untuk peningkatan efektivitas pembelajaran. Rasionalitas penambahan jam
pelajaran ini adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa
mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output),
yang menjadi penekanan pada K13, memerlukan penambahan jam pelajaran.
Agenda Terselubung?
Melihat fakta dan realitas itulah, ada baiknya jika kita mencoba meneropong agenda
terselubung seperti apa yang sesungguhnya sedang dijalankan para penggagas moratorium
K13 itu? Bisa jadi, karena halusnya sebuah permainan, mereka yang ikut menggagas
moratorium itu tidak tahu-menahu terhadap agenda-agenda itu.
Karena itulah, kita boleh berspekulasi terhadap ini semua. Tentu pengungkapan fakta ini
bukanlah sebuah tuduhan, melainkan fakta yang ada dan jelas terlihat. Terkait dengan model
pengadaan buku K13, boleh disodorkan fakta bahwa kini harga buku tidaklah semahal
sebelumnya. Melalui penyediaan terpusat dengan model lelang yang dilakukan oleh Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga buku dapat ditekan hingga 30-
40%.
Di sisi lain, konon ditemukan masih banyak stok buku pelajaran berbasis KTSP yang
tertimbun di gudang-gudang penyimpanan. Jika K13 terus berjalan atau berlanjut dengan
perbaikan, kerugian sudah barang tentu akan diderita para pemilik buku yang menumpuk di
gudang. Kepentingan bisnis menjadi salah satu pendorong agar moratorium K13 dilakukan.
Terkait metodologi pembelajaran, harus pula diakui bahwa pembelajaran dengan pendekatan
saintifik melalui upaya mengamati-menanya-menalar-mencoba-mengkomunikasikan adalah
metodologi yang kini diberikan di sekolah-sekolah papan atas dan internasional di kota-kota
besar. Pertanyaannya, apakah sekolah-sekolah inpres dan negeri yang ada di pelosok negeri
tidak boleh menggunakan metodologi tersebut?
Apakah karena alasan guru yang belum siap, kemudian peserta didik kita harus menunda
keinginannya untuk belajar lebih menyenangkan dan merasakan bagaimana belajar dengan
pendekatan saintifik? Rasanya tidaklah adil jika lantaran itu K13 dimoratorium. Persoalan
100
teknis yang menjadi penghambat harus dicarikan jalan keluar.
Sejatinya jika moratorium yang dipilih sebagai sebuah kebijakan asal beda, kerugian nyata
yang akan diterima. Masyarakat akan rugi karena membeli buku lebih mahal sebab
mekanisme sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan peserta didik juga akan rugi
karena pembelajaran yang nyata-nyata disiapkan untuk menjawab tantangan masa depan dan
membiasakan siswa untuk berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan efektif, harus tertunda lantaran
K13 dimoratorium.
Pemilihan opsi terus jalan dengan evaluasi adalah sebuah keputusan bijak dan moderat.
Semoga!
SUKEMI
Pemerhati Pendidikan dan Pengelola Portal CSR Monitor Bidang Pendidikan
101
Revolusi Mental atau Moral Pancasila? Koran SINDO 3 Desember 2014
Tanggal 24 November 2014 lalu saya mendapat kehormatan diundang oleh Bapak Jenderal
(Purn) Sayidiman Suryohadiprojo untuk menghadiri acara peluncuran buku barunya yang
berjudul Mengobarkan Kembali Api Pancasila. Banyak tokoh-tokoh senior yang hadir dalam
acara tersebut, beberapa di antaranya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Prof Subroto, Akbar
Tandjung, Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Bapak Santo Budiono yang juga menjadi
pembahas, serta tokoh-tokoh senior lain.
Saya pribadi sangat salut terhadap semangat, daya juang, produktivitas, dan kepedulian beliau
terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia di dalam usianya yang sudah lebih dari 85
tahun ini. Beliau masih aktif mengamati dan menulis masalah-masalah kebangsaan.
Baiklah, mari kita coba pahami apa pesan yang tersirat dari buku tersebut. Dari judulnya saya
melihat ada dua hal yang tersirat, pertama menyiratkan kekhawatiran dan kedua menyiratkan
peringatan bagi kita semua. Mengapa kekhawatiran? Karena, jika disebut “mengobarkan
kembali api Pancasila”, berarti beliau melihat bahwa pada saat ini api Pancasila sudah padam
dari negeri ini, sudah tidak ada orang yang peduli terhadap nilai-nilai Pancasila.
Keberadaan Pancasila hanya diingat sebagai simbol atau lambang dan dasar negara tanpa ada
lagi yang peduli terhadap pengamalan dari nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di halaman 250 buku tersebut beliau menyatakan: “Menjadikan
Pancasila realitas di Indonesia berarti mewujudkan satu realitas baru di negara kita. Sebab
realitas yang sekarang adalah satu kondisi yang kosong Pancasila, bahkan bertentangan
dengan Pancasila“.
Saya kira kita semua sepakat dengan pernyataan tersebut. Kekosongan nilai-nilai Pancasila
bahkan sudah hampir merata di segala tingkatan dalam strata sosial masyarakat kita. Mulai
dari tingkat pelajar, mahasiswa, pegawai biasa, pengusaha, pejabat, pimpinan daerah, bahkan
menteri dan anggota Dewan yang terhormat pun sudah menunjukkan sikap yang jauh dari
nilai-nilai Pancasila.
Sungguh sangat memprihatinkan memang, tetapi itulah kenyataan yang kita alami sekarang
ini dan tentu saja ini akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada tindakan-tindakan nyata
untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Kedua, buku ini menyiratkan peringatan bagi kita semua untuk segera mengambil tindakan
guna menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan
102
hal tersebut? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab mengingat dalam nomenklatur
pemerintahan dan tatanan lembaga negara di Indonesia saat ini tidak ada satu pun lembaga
yang mempunyai tugas khusus untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara. Tak ada yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan menurunkannya ke dalam
program yang berkelanjutan, menyeluruh, dan menjangkau semua strata sosial dalam
masyarakat kita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya mempunyai peranan yang besar di sini
karena kementerian inilah yang mempunyai kewenangan dalam mendidik dan membangun
karakter bangsa dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara
kita. Namun, kenyataannya justru pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sudah lama
dihapuskan dari kurikulum pelajaran di tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah
atas (SMA), mata kuliah Kewiraan juga sudah tidak ada dalam silabus perkuliahan di tingkat
perguruan tinggi.
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga merupakan lembaga yang salah satu tugas
pokok dan fungsinya memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang tentunya berbasis kepada
Pancasila. Kendati demikian, daya jangkau lembaga ini juga masih belum mampu
menjangkau seluruh strata sosial yang ada di masyarakat kita. Lembaga ini masih terkesan
eksklusif dan sulit dijangkau masyarakat luas.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana
melakukannya? Buku ini memang tidak secara langsung menjawab semua pertanyaan
tersebut.
Peranan Kepemimpinan Nasional
Walau tidak secara langsung menjawab, secara tegas dinyatakan di halaman 250-251:
“Perbuatan masyarakat banyak ditentukan atau bersumber dari kepemimpinan masyarakat itu.
Untuk perubahan yang harus terjadi pada negara, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan
nasional. Kepemipinan nasional mampu mengajak seluruh bangsa membuat perubahan yang
diinginkan....... keberhasilan kepemimpinan nasional mengajak seluruh bangsa perlu
dilandasi kemampuannya mengajak dan memotivasi semua orang atau pihak yang
menjalankan kepemimpinan di daerah serta di berbagai organisasi untuk bersama-sama
mewujudkan perubahanitu, yaitu menjadikan Pancasila realitas di Indonesia.”
Sudah seharusnya kepemimpinan nasional menjadi kunci keberhasilan untuk mengembalikan
nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat di segala
bidang.
Karena itu, sungguh aneh jika ada seorang pejabat tinggi negara yang mengizinkan warga
negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama pada kartu identitasnya, suatu hal yang
sangat mendasar dan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menyatakan
103
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius (beragama) seperti yang tercermin dari
sila pertama Pancasila.
Sementara itu, revolusi mental yang didengungkan Presiden Jokowi sejak masa kampanye
hingga saat ini masih belum jelas arahnya ke mana, apa yang menjadi dasar dan acuannya,
serta bagaimana cara melaksanakannya. Jangan sampai ini hanya menjadi slogan kampanye
yang tidak jelas arah dan tujuannya. Seharusnya revolusi mental diarahkan kepada penguatan
kembali nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan
bernegara.
Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk badan atau lembaga entah di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Lemhannas yang khusus menangani ini.
Kita tentu masih ingat BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang dibentuk oleh Soeharto pada masa
pemerintahannya dulu.
Badan inilah yang melakukan pembinaan, pendidikan, sekaligus pelaksanaan atas
penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam seluruh sendi-sendi kehidupan di Indonesia.
Mereka membuat program yang menyeluruh mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan
tinggi, hingga karyawan, semua tidak luput dari program ini.
Presiden Soeharto bisa dibilang sukses dalam menjalankan program ini pada masa
pemerintahannya. Sudah seharusnya semua sisi baik dari apa yang telah dilakukan Soeharto
dapat terus dilaksanakan dan ditingkatkan. Ini yang dapat membuat bangsa kita bertambah
maju dan berkembang.
Kebiasaan buruk para pemimpin kita selama ini adalah selalu menganggap apa yang
dilakukan pemimpin terdahulu salah, padahal tidak demikian adanya. Sesuatu yang baik
harus diteruskan, yang salah jelas harus ditinggalkan. Presiden Jokowi seharusnya dapat
mengambil pelajaran dari hal ini. Apalagi beliau termasuk pemimpin yang mau banyak
belajar dari pemimpin terdahulu.
Semoga saja dengan program Revolusi Mental Presiden Jokowi, api Pancasila dapat kembali
berkobar di hati sanubari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, jangan sampai padam dan
hanya meninggalkan asap yang hanya membuat perih dan air mata.
Jadikanlah Revolusi Mental sebagai konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan
UUD 1945. Terima kasih kepada Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang telah
memberikan inspirasi dengan peluncuran bukunya tersebut.
HANDI SAPTA MUKTI SSI MM
Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan
104
Kontroversi Khilafah Koran SINDO 5 Desember 2014
Berdirinya Negara Islam Irak dan Syria (NIIS) atau Islamic State of Irak and Syria (ISIS)
pada April 2013 telah menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam sedunia. Ada yang
kemudian tertarik dan bergabung, namun banyak pula yang menentang karena dianggap tidak
mewakili semangat dan karakter Islam sebagai penyebar rahmat bagi semesta.
ISIS dianggap sebagai anak kandung Al-Qaeda yang menebarkan ketakutan dan terorisme
bagi masyarakat dunia. Kehadirannya mencoreng cita dan citra Islam yang mengajarkan
hidup rukun dan damai. Tidak tanggung-tanggung, ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya
sebagai kekhalifahan Islam yang berpretensi sebagai pemimpin Islam sedunia.
Untuk mengetahui lebih jauh apa makna dan sejarah kekhalifahan dalam Islam, saya tergerak
mengontak beberapa teman yang secara intelektual memiliki pengetahuan cukup, bahkan
otoritatif, untuk membahas asal-usul pemerintahan politik dalam Islam. Lalu dikaitkan,
bagaimana mestinya membangun hubungan antara ide kekhalifahan dan negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila. Akhirnya terbitlah buku Kontroversi Khilafah dengan subjudul,
Islam, Negara, dan Pancasila, diterbitkan oleh Mizan (2014) setebal 280 halaman,
menghimpun pemikiran dari 13 penulis. Saya berharap buku ini akan menjadi bahan
pengantar diskusi yang cerdas bagi mereka yang pro-khilafah dan yang anti-khilafah pada era
sekarang ini.
Bagi yang tidak setuju, mereka berpandangan bahwa khilafah yang pernah hidup pada abad
lampau itu tak lagi relevan pada zaman modern. Hanya empat kekhalifahan sepeninggal
Rasulullah yang masih teguh memegang nilai-nilai agama. Saat itu pun, yaitu pada masa dua
khalifah terakhir, terjadi perang saudara sesama muslim karena dipicu persaingan ideologi
dinastiisme. Kemunculan Mazhab Sunni dan Syiah pun tak luput dari pengaruh persaingan
perebutan kekuasaan politik yang melibatkan pembenaran keagamaan pasca-Rasulullah.
Dengan kata lain, berbagai mazhab keagamaan yang sekarang bertikai semua itu produk
sejarah pasca-Rasulullah.
Jadi sesungguhnya umat Islam Indonesia tidak memiliki agenda mempertahankan
kekhalifahan atau kesultanan mengingat para sultan di Indonesia justru melebur menjadi
sponsor dan pejuang bagi lahir dan tegaknya negara Republik Indonesia.
Dalam berbagai seminar internasional seringkali muncul pujian pada Indonesia, jumlah umat
Islamnya yang jauh lebih besar dari dunia Arab bisa bersatu dalam rumah bangsa dan negara
Indonesia. Sementara di Arab, mereka terbagi lebih dari 20 negara di bawah kekuasaan
105
sultanisme-dinastiisme. Di Timur Tengah, kesamaan bahasa, agama, dan daratan tidak berarti
menjadi ikatan kesatuan negara dan bangsa. Dalam kaitan ini, menjadi logis jika negara Israel
semakin berjaya meski Palestina teriak-teriak minta tolong akibat agresi Israel mengingat
sesama negara Arab juga saling bertikai.
Idealnya, jika berdiri khalifah Islam sebagai pusat pemerintahan Islam sedunia, betapa besar
dan hebatnya dunia Islam. Tetapi, rasanya, itu sebuah utopia belaka. Jangankan sedunia, di
dunia Arab tempat lahir Islam saja mereka bertikai.
Benarkah ada doktrin sistem pemerintahan Islam tunggal dalam ajaran Islam? Para
intelektual dan ulama mengatakan tidak ada, sebagaimana dikutip dalam buku Kontroversi
Khilafah. Salah satu keputusan Munas NU pada 1-2 November 2014 menyatakan, Islam tidak
menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi
para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem
pemerintahan sesuai tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat (hal.149).
Prof Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua Muhammadiyah, menulis testimoni untuk buku ini:
Sebutan negara Islam untuk Indonesia yang plural tidak lagi diperlukan. Yang terpenting,
moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan perangkat hukum Islam
dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi.
Demikianlah, buku ini menyajikan sejarah kelahiran kekhalifahan dalam sejarah Islam dan
berbagai silang pendapat para ulama dan intelektual Islam, terutama mengenai formula
hubungan agama dan negara. Untuk konteks Indonesia, kemunculan ideologi Pancasila
dinilai sebagai ijtihad politik yang jenius dan bijak, yang menetapkan Indonesia sebagai
negara yang bertuhan, sementara rakyatnya diberi kebebasan memilih agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Agama memerlukan perlindungan dan fasilitas negara, di pihak lain negara memerlukan
landasan dan dukungan moral dari agama serta partisipasi umat beragama untuk memajukan
bangsa dan negaranya. Yang masih belum mapan adalah tradisi membedakan dan menjaga
etika pribadi, komunal, dan publik. Ruang publik itu milik bersama, apa pun etnis dan
keyakinan agama seseorang.
Ruang publik mesti dijaga bersama agar nyaman dan damai untuk dihuni bersama. Tetapi,
seringkali kelompok etnis dan agama menjarah dan mengganggu ruang publik yang menjadi
tugas dan tanggung jawab negara untuk menjaganya.
Jika negara tidak hadir mengamankan, sementara kekuatan komunal etnis atau agama agresif
menjarah ruang publik, ini akan merongrong keindahan dan eksistensi bangsa dan negara
Indonesia yang plural. Kita jaga keadilan dalam konteks kebinekaan, namun mesti solid dan
kompak menjaga keikaan berbangsa dan bernegara.
106
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
107
Dari Rawamangun ke Pintu Besi Koran SINDO 7 Desember 2014
Saya kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak, dan
Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi. Terus Pasar Ikan,
Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.
Juga Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung; atau Tanah Abang, Tanah Merah, Tanah
Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya. Juga banyak di
antara kita tahu bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk
memberi tanda geografis pada daerah-daerah yang dimaksud. Yang judulnya ”rawa” dulunya
pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau sekarang jadinya rawan banjir. Yang
namanya ”pulo” atau ”tanah” berarti berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi
teorinya, kalau mau beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama ”rawa”, tetapi pilih yang
namanya berawal dengan ”pulo” atau ”tanah”. Tetapi sekarang karena perubahan tekstur
geografis, banyak pulo dan tanah yang kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir
karena sudah ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang
kemudian jadi banjir).
Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja) masih ada sampai hari ini, tetapi
kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar
Jumat adalah sekolah kepolisian.
Pal dan Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling selatan dari
Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang ada Universitas Krisna
Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta
Kota, adalah batas kota pertama ketika Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di
Pasar Baru, bukan batas kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk
mengatur air ke kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah
Mada.
Pada zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya boleh
tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan besar-besar, seperti
yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai
banyak yang jadi pertokoan, apartemen, bahkan rumah sakit).
Orang-orang pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama
108
sesuai dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon,
Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam batas-batas pal
hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan orang Belanda. Kebon Sirih,
misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam sayuran untuk para sinyo-sinyo dan
nyonya-nyonya atau noni-noni Belanda di daerah Menteng.
Saya sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini ketika pada
suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid Al Irfan, Kompleks Perumahan
Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat giliran berbagi (bahasa agamanya:
tausiah) dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda subuh
hari itu. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat
krusial itu.
Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas di Ciputat,
pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu itu belum ada apa-apa di
Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke
Kebayoran Lama, tembus Kebayoran Baru. Baru dari situ masuk Jakarta.
Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu itu, saya tidak akan memilih lokasi
tempat ”jin buang anak” itu. Tetapi Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang
berkembang sangat pesat.
Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir tentang relevansi nama-
nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati nama-nama asli jalan-jalan di Jakarta diganti
dengan nama-nama pahlawan. Saya tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam
Bonjol pada zaman Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di
jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka.
Di Jatinegara ada Kelurahan Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama
yang diambil dari peristiwa tahun 1813, di mana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara
Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa. Tetapi hari ini hampir tidak ada yang ingat
lagi tentang sejarah Rawa Bangke.
Jadi kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang pesat di
zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka bangunan-
bangunan bersejarah pun dirombak jadi mal.
Karena itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong Toegoe,
yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian menjadi cikal-bakal
kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena komunitas asli di Kampoeng Toegoe,
Jakarta Utara sudah tidak ada lagi. Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin
tergeser ke pinggir.
Makin sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah sekali
109
mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu menjadi persyaratan pada setiap perkawinan
Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang Potehi (peranakan Tionghoa), tari
Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak yang lain.
Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu bermukim dan
bertumbuh kembang tidak ada lagi. Satu per satu komunitas-komunitas lahan budaya itu
bubar, digantikan oleh budaya ultramodern atau budaya religi yang ultrakanan (radikal).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
110
Orang-Orang Besar di Perpustakaan Koran SINDO
Senin, 8 Desember 2014
Baik-buruknya perpustakaan, menentukan baik-buruknya manusia dan masyarakat di
sekitarnya.
Diperjelas; jika perpustakaan baik, manusia dan masyarakat di sekitarnya juga baik. Jika
perpustakaan buruk, yang terjadi sebaliknya. Dilihat dari sudut yang berkebalikan: Manusia
dan masyarakat baik jika perpustakaannya baik. Manusia dan masyarakat buruk jika kondisi
perpustakaan sebaliknya. Dengan kata lain, ini menjelaskan betapa penting makna
perpustakaan.
Apa Isi Perpustakaan?
“Buku-buku, yang menjadi sarana pengembangan pribadi manusia, dan kebebasan memilih
buku-buku yang diinginkannya, yang di tempat lain tidak ada”. Orang boleh bebas sebebas-
bebasnya mau membaca buku apa saja. Orang bebas memilih, mau mematangkan diri dengan
ilmu-ilmu macam apa.
Mereka yang ingin memperoleh keterampilan teknis, boleh membaca buku-buku teknis yang
diinginkan. Mereka yang ingin menjadi sufi dan tokoh-tokoh rohani terkemuka, di sana buku
dalam bidang itu tersedia.
Kita mengasumsikan anggaran tahunan perpustakaan kita besar. Bahkan mungkin
“unlimited“. Dengan anggaran seperti itu, buku apa pun bisa dibeli untuk membuat warga
masyarakat, perorangan maupun kelompok, menjadi orang baik, pandai, dan terampil di
bidang-bidang ilmu keduniaan.
Selebihnya, warga masyarakat bisa menjadi orang mulia, dan terpuji secara rohaniah. Mereka
itu merupakan modal sosial kita. Modal itu bisa diandalkan untuk mengangkat derajat dan
martabat bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Itu pun kita belum bicara guru, menteri, dan
kebijakan pendidikan.
Tapi kenyataan di masyarakat kita tak seperti itu. Perpustakaan kita sepi. Pengunjung
utamanya hanya kepala perpustakaan itu sendiri dan anak buahnya. Itu pun tidak untuk
membaca buku, melainkan untuk rapat. Mereka sibuk rapat dan rapat melulu hingga semua
lupa mengurus agar perpustakaan yang sunyi sepi itu bisa sedikit memberi tanda adanya
kehidupan.
111
Memeriahkan Perpustakaan
Kita harus kreatif. Kita bikin ruang-ruang baca besar, misalnya cukup buat lima puluh orang.
Bikinlah umpamanya, ruang Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, di mana tersedia
segenap buku agama. Semua buku biografi beliau, hadis-hadis beliau, dan potret kesalehan
beliau, yang tak tertandingi itu dihadirkan di sana.
Sediakan di ruang itu suatu tempat kecil, buat satu dua orang salat, lengkap dengan
sajadahnya. Memang sudah ada musala, bahkan mungkin masjid besar. Tapi bagi orang yang
terlalu getol membaca, siapa tahu memilih salat sendirian di tempat tersebut.
Kita bikin pula ruang Socrates yang hebat itu. Di sana, pengunjung boleh membaca filsafat,
boleh memilih buku lain. Bila kelak di situ akan jadi ruang pembaca khusus filsafat, itu baik
saja.
Bikin pula ruang KH Ahmad Dahlan, atau hadratussyaikh KH Hasyim Asyary. Sebut mereka
tokoh pemikir, pemimpin umat yang besar dan kreatif. Jangan sekedar disebut kiai. Tidak
cukup. Mereka pemimpin besar, teladan umat.
Bikin pula ruang Bung Karno. Di situ orang bebas membaca, bahkan berdiskusi tentang
politik dan pergerakan. Kita ambil hikmah dari beliau, tapi pergerakan yang kita diskusikan
kita terapkan khusus untuk menata kehidupan bangsa kita yang sekarang terjajah lagi secara
terang-terangan oleh pedagang asing, politik asing dan segala macam kepentingan asing. Kita
belajar dari Bung Karno, cara membebaskan bangsa kita sekarang ini dari begitu banyak
belenggu tadi.
Bikin pula ruang Gus Dur. Di sana orang harus ketawa dan membuat humor-humor segar,
yang memancing tumbuhnya sikap bijaksana. Bangsa kita kurang humor. Kurang ketawa.
Tak mengherankan kita tampak kusut, dan jarang di tengah kita hadir orang bijaksana. Tapi
jangan lupa, di ruang Gus Dur juga harus ada yang membaca buku-buku kebudayaan dan
politik etnisitas, dan keumatan, yang cemerlang.
Kita tampilkan bacaan yang menggambarkan pergaulan antar umat, antar etnis, antarsesama
bangsa, yang tawaduk, penuh humor dan kearifan, dan penghormatan, maupun sikap toleran
dan rendah hati, agar suasana politik keagamaan kita terasa nyaman, bebas dan terbuka tapi
penuh ukhuwah insaniah yang saling memuliakan.
Di Asia Tenggara yang kecil ini, jangan bangsa lain yang terkemuka. Kitalah pemimpinnya.
Bahkan di seluruh kawasan Asia, kita harus menjadi yang terbesar, terhormat, paling beradab
dan makmur. Mustahil kita tak mampu mewujudkannya. Mustahil, selama kita punya
perpustakaan, selama perpustakaan ada buku, selama perpustakaan dikelola dengan cara yang
penuh kreativitas.
Hidup harus punya imajinasi yang sehat, dan berkeadaban. Tanpa itu, buku boleh lengkap,
112
buku bisa numpuk, tapi buku hanya jadi kertas bisu jika perpustakaan, “rumah buku”, tak
dikelola dengan imajinasi yang berorientasi untuk maju, dan berkembang. Disediakan pula
ruang lebih besar, yang memuat sekitar seratus orang, untuk diskusi tentang apa saja yang
penting.
Syukur kalau anggota DPR, atau menteri, suka datang, dan bersedia ikut belajar bersama.
Kehadiran mereka bakal menjadi cambuk bagi seluruh bangsa. Ini tidak sulit. Ketua
perpustakaan harus gigih mendatangi para tokoh, agar mereka sudi membuang waktu ke
perpustakaan. Syukur presiden, dan wakil presiden juga bersedia datang, sesekali dalam
setahun. Gubernur wajib datang minimal sebulan sekali. Dialah tuan rumah bagi
perpustakaan daerah.
Orang-orang besar di perpustakaan bakal menyemarakkan apa yang kita sebut pendidikan
bangsa, dan memajukan kehidupan bangsa. Pak Gubernur, Pak Basuki Tjahaja Purnama, bisa
menjadi cahaya perpustakaan.
Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya mukjizat sebuah buku, kitab suci, dan bukan
pedang. Ini tanda kita diminta maju lewat buku. Kita bisa menjadikan buku mukjizat kecil
bagi pemimpin bangsa. Orang-orang besar datang ke perpustakaan, dan tinggal beberapa saat
di sana, niscaya mampu merangsang, agar kita bisa menjadi bangsa besar.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
113
Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya (2)
Koran SINDO 8 Desember 2014
Kini kelas penuh sesak dengan buku pelajaran bahkan ada yang mencapai 21 jenis pelajaran,
berarti ada 21 jenis buku.
Guru tak punya ekspresi, miskin ide imajinasi karena dia kini tidak lagi mewakili Tuhan
penyampai obor kebenaran, tetapi lebih mewakili obor percetakan sehingga sorot matanya tak
lagi bersinar dan lidahnya tak lagi tajam. Waktu yang terbatas dari pesan isi buku yang harus
disampaikan membuat guru memberi tugas baru pada muridnya yang bernama pekerjaan
rumah (PR), palebah dieu mah asa teu adil (di sini terasa tidak adil). Bila kita punya
pekerjaan yang tidak selesai di kantor lalu dibawa ke rumah namanya pekerjaan kantor,
kenapa pelajaran sekolah dibawa ke rumah disebut pekerjaan rumah?
Anak-anak pulang dengan lunglai tergambar dari raut muka yang penuh kesedihan. Mereka
mengalami depresi yang cukup panjang. Ciri dari mereka depresi adalah kalau diumumkan
besok libur mereka akan bersorak kegirangan.
Di rumah mereka mengalami kepenatan akibat selain pekerjaan sekolah yang harus
dikerjakan, nonton sampai larut malam atau bermain permainan mekanikal, keluyuran keluar
hingga larut malam dan menjelang subuh mereka buru-buru pulang karena takut datangnya
sang fajar. Perasaan agak mirip hantu lagi nih.
Pelajaran sekarang memang hebat-hebat. Bukunya lebih hebat lagi karena perubahannya
sangat cepat, bahkan saking cepatnya ada yang belum sempat dibaca oleh murid harus ditarik
lagi. Entah pemikir lulusan mana yang membuatnya, pikirannya sangat imajinatif sehingga
kata-kata dan gambar yang berbau pornografi pun ia tuangkan, sangat inovatif hingga ingar-
bingar politik bisa masuk dalam lembaran buku.
Tapi sangat disayangkan, kepandaian siswa diukur melalui kemampuan siswa dari jawaban
ketika ujian. Hasilnya memang hebat. Matematika-nya mendapat nilai 9, jajannya pun
Rp50.000 sehari, Biologi-nya 9 tapi dirawat di rumah sakit karena asam lambung akibat
kelebihan kebiasaan makan jajanan yang bercuka serta bersaus pedas tanpa diteliti di
laboratorium sekolahnya.
Saya teringat ketika terjadi dialog dengan warga Badui. Mang, kunaon anak amang teu
disakolakeun? Meureun engke jadi bodo hirupna. | Naha ari dia, anak kula mah sakolana teu
di kelas, anak kula disakolakeun di kebon jeung di leuweung, malah anak kula mah geus bisa
ngitung kadu nu bakal murag jeung kadu nu bakal asak. Sabalikna kula rek nanya ka dinya,
114
anak dinya nu sakola nu luhur bisaeun teu ngitung siga anak kula.
(Mang, kenapa anaknya tidak disekolahkan? Nanti jadi bodoh. | Anda ini bagaimana, anak
saya sekolahnya tidak di kelas, anak saya bersekolah di kebun dan di hutan, malah anak saya
sudah bisa menghitung berapa durian yang akan jatuh dari pohon dan berapa durian yang
akan matang. Sebaliknya saya bertanya pada Anda, anak Anda yang sekolahnya tinggi
bisakah berhitung seperti anak saya?)
***
Pendidikan kita melahirkan sebuah jenjang, karena pendidikan dasar sembilan tahun dibagi
ke dalam dua jenjang, SD dan SMP. Ironisnya kelas VI SD siswa harus menghadapi ujian
nasional, setelah itu mereka masuk ke sekolah yang berbeda melalui proses seleksi. Yang
menjadi pertanyaan dalam diri saya, kenapa anak diwajibkan sekolah sembilan tahun tetapi
harus melewati masa seleksi untuk menuju kelas VII? Apanan wajib diajar 9 taun, tapi
dijieun hese (kan wajib belajar 9 tahun, tapi dibuat sulit).
Andaikata saya boleh berkata, ujian nasional hanya layak dilaksanakan untuk kelas XII (kelas
III SMA), tidak mesti ada penjenjangan antara SD-SMA dan SMA semuanya satu kesatuan
sistem fase yang kedua, yaitu wajib belajar 12 tahun. Yang namanya wajib maka yang harus
menyediakan seluruh fasilitas adalah yang mewajibkan.
Rasa tidak percaya diri terhadap sistem yang kita miliki adalah produk kegenitan kaum
intelektual yang sok luar negeri. Sistem pendidikan kita dalam sejarahnya di tengah berbagai
keterbatasan fasilitas yang dimiliki telah banyak melahirkan nama besar yang cukup
dikagumi. Sederet orang ternama dalam sejarah peradaban Indonesia seperti Bung Karno,
Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Syahrir, Dr Supomo, Chairil Anwar, dr Wahidin Sudiro
Husodo, Ki Hajar Dewantoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyhari, Jenderal Sudirman,
Jenderal HM Soeharto, Jenderal TNI M Yusuf adalah nama-nama yang merenda peradaban
Nusantara.
Mereka dibangun dalam sistem pendidikan akademik yang berbasis tradisi. Bukankah BJ
Habibie yang dilahirkan dari sistem akademik Indonesia ternyata dikagumi dalam teknologi
pesawat terbang?
Kini saya banyak menemui orang-orang pintar masa kini yang ciri-cirinya dapat dilihat dari
ucapan dan tulisannya. Mereka dalam berpendapat selalu berkata dengan kalimat awal
“menurut”; menurut Aristoteles, menurut Darwin, menurut Socrates, menurut profesor
doktor, dan menurut-menurut berdasarkan para pakar-pakar kenamaan yang dia yakini
kebenarannya. Mendengar itu semua Mang Udin gugurutu (menggerutu), “Ceuk itu ceu kieu,
ari ceuk Bapa naon?” (kata orang itu kata orang ini, kalau menurut Bapak apa?).
“Menurut” itu kata orang Sunda artinya “Katanya”. “Katanya” itu cenah. Kalau ilmunya
katanya, ditanam di pohon barangkali, dahannya mungkin, bunganya belum tentu, buahnya
115
entahlah... entah hidup entah mati. Kan banyak orang pintar yang pakar di bidangnya
katanya, tapi hidup harus segala membeli: daging beli, beras beli, gula beli, listrik juga beli;
negara juga ikut-ikutan segala beli ke luar negeri, sampai garam saja beli dari luar negeri,
yang paling baru kita beli listrik dari Malaysia padahal di Kalimantan berlimpah batu bara.
***
Kebanggaan terhadap asing telah merambah sampai pedesaan bukan hanya dalam
metodologi, melainkan juga istilah yang terus-menerus berubah serba luar negeri. Di
kampung saya kini ada playgroup yang diajarkan oleh para pakar pendidikan dari kota. Di
playgroup, anak-anak didik diantar oleh ibu, nenek atau pembantunya. Saat anak-anak
mengikuti kegiatan playgroup, ibunya sibuk berkerumun dan bercerita tentang suaminya,
tentang tetangganya, sambil menghabiskan uang untuk jajan persis seperti anaknya.
Sering kali suaminya pulang ke rumah dalam keadaan marah-marah sebab nasi idaman sudah
dua hari mendekam di dalam tahanan magic jar, ketika dibuka kepanasan tanpa rasa; sambel
beledag, sambel goang, sambel tarasi, sambel jahe, sambel kutat, pokona mah sambel we lah
dengan seribu nama dan rasa berubah menjadi chili sauce, sambal yang terkurung dalam
botol bertahun-tahun; sayur diganti dengan mi instan.
Akhirnya suami dan anak-anak tidak betah lagi makan di rumah, penghasilan tiap bulan
hanya tinggal catatan karena dipotong berbagai pinjaman hampir di seluruh mata angin, gajih
tinggal setrukna, akhirnya menjadi depresi, sebagai bagian penyumbang terbesar penyakit
stroke.
Ceu Nining bertanya pada saya, “Kang Dedi ari playgroup teh naon?”. “Ceu, ari playgroup
teh kelompok bermain bagi anak-anak yang orang tuanya supersibuk sehingga tidak punya
waktu untuk mengasuh dan mengurus mereka. Lahir dari tanah barat yang individualistis
sehingga dengan terpaksa mereka menitipkan anak-anaknya di sanggar atau kelompok
bermain agar bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya.”
Dahi Ceu Nining berkerut seraya berkata, “Kan di kampung kita mah alamnya masih terbuka
luas, ibunya banyak yang tinggal di rumah, anak-anaknya memiliki sahabat sekampung
bahkan sedesa. Mereka bebas bermain sepuasnya tanpa biaya seperti bancakan, dam-daman,
kecor, egrang, ucing sumput, gagajahan, sorodot gaplok, dampuh, sondah, dan masih banyak
lagi permainan yang tidak memerlukan biaya, diciptakan sendiri, alatnya dibuat sendiri dan
tidak memerlukan pengawasan, karena mereka sudah punya sistem permainan yang diatur
oleh semangat kejujuran, blep blep blep ketika main kelereng, cak cak cak ketika petak
umpet. Ibunya tenang memasak di dapur menyiapkan makan yang serbaalami untuk anak-
anaknya tanpa harus berutang ke warung.”
Ceu Nining menggerutu lieur (pusing). Pendidikan yang serbaasing teh, membuat kita
semakin terasing dan pusing tujuh keliling karena mikirin utang ke bank keliling.
116
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
117
Perangi Malnutrisi Koran SINDO 8 Desember 2014
Dalam sebuah langkah besar untuk memberantas malanutrisi atau kekurangan gizi di seluruh
dunia, lebih dari 170 negara pada hari Rabu, 19 November 2014 telah membuat sejumlah
komitmen, untuk memastikan bahwa semua orang harus mendapatkan nutrisi yang lebih
sehat dan berkelanjutan. Telah diterbitkan 60 buah rekomendasi dalam the Rome Declaration
on Nutrition, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal FAO José Graziano da Silva dan
Direktur Jenderal WHO Dr Margaret Chan.
Apa yang sebaiknya diketahui? Meskipun prevalensinya telah menurun 21% sejak 1990,
sekarang masih terjadi kelaparan pada lebih dari 800 juta orang di dunia. Anak balita yang
pendek (stunting) dan kurus (wasting) juga mengalami penurunan, namun diperkirakan
masing-masing masih 161 juta dan 51 juta anak pada 2013. Malanutrisi berhubungan dengan
hampir setengah dari semua kematian anak balita, yaitu sekitar 2,8 juta anak per tahun. Lebih
dari 2 miliar orang masih menderita defisiensi mikronutrien atau “kelaparan tersembunyi”,
karena asupan vitamin atau mineral harian tidak memadai.
Kemajuan dalam mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi global, terkesan tidak merata
dan terlalu lambat. Sebaliknya, obesitas berkembang pesat, dengan sekitar setengah miliar
orang secara global menderita obesitas, dan tiga kali lebih banyak orang yang mengalami
kelebihan berat badan, bahkan sekitar 42 juta anak balita sudah mengalami kelebihan berat
badan.
Selain itu, berbagai bentuk malanutrisi sering tumpang tindih atau disebut “beban ganda”,
karena ada orang yang tinggal di komunitas yang sama, kadang bahkan di rumah tangga yang
sama, ada yang menderita kelaparan atau kekurangan mikronutrien dan obesitas.
***
Peran sistem pangan, yaitu cara makanan diproduksi, diproses, didistribusikan, dipasarkan,
dan siap untuk dikonsumsi manusia, sangat penting dalam memerangi kekurangan gizi.
Sistem pangan seharusnya menjadi lebih berkelanjutan dengan mempromosikan diet beragam
dan sehat.
Untuk tujuan ini, pemerintah didorong untuk memperkuat produksi pangan lokal dan
pengolahan, terutama oleh petani kecil dan keluarga petani, serta memberikan perhatian
khusus pada pemberdayaan perempuan. Pendekatan sistem pangan dan tindakan
komplementer juga penting, termasuk pendidikan dan informasi gizi, intervensi gizi secara
langsung, seperti konseling dan dukungan menyusui, mengelola anak kekurangan gizi akut,
118
juga pembagian suplemen zat besi dan asam folat untuk wanita usia reproduktif.
Malanutrisi dan kelaparan sebagian besar terjadi dalam tahap awal kehidupan. Oleh sebab itu,
negara wajib mengerahkan semua upaya terhadap pemenuhan kebutuhan gizi ibu sebelum
dan selama kehamilan, dan bayi sampai usia dua tahun. Bagian terpenting adalah
mempromosikan dan mendukung ASI eksklusif selama enam bulan, dan terus menyusui
sampai usia dua tahun.
Pemerintah wajib untuk mendidik warganya tentang praktik makan sehat, dan juga untuk
memperkenalkan langkah perlindungan sosial, seperti program pemberian makanan di
sekolah, untuk memberikan diet bergizi bagi anak. Sebaliknya, inisiatif untuk memerangi
obesitas harus lebih diperkuat dengan penciptaan lingkungan yang sehat dan mempromosikan
aktivitas fisik pada anak. Dalam diet sehat, harus terjadi pengurangan lemak, gula dan garam
dalam makanan dan minuman, dan meningkatkan kandungan gizi.
Deklarasi Roma juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengatur pemasaran susu
formula dan untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari pemasaran dan publisitas
makanan dan minuman yang tidak sehat.
***
Terdapat 60 rekomendasi dalam Deklarasi Roma, untuk mencapai 6 target global tahun 2025
dalam meningkatkan gizi ibu, bayi, dan anak. Target pertama adalah pengurangan 40% anak
balita pendek (stunted), yang didukung oleh rekomendasi 34 tentang memobilisasi pendanaan
dengan menggunakan manajemen berbasis masyarakat untuk anak pendek.
Target kedua adalah pengurangan 50% kejadian anemia pada wanita usia reproduksi, yang
didukung oleh rekomendasi 36 tentang peningkatan gizi mulai dari remaja dan terus berlanjut
sampai ibu hamil dan menyusui.
Target ketiga adalah pengurangan 30% bayi berat badan lahir rendah (BBLR), yang didukung
oleh rekomendasi 38 tentang konseling diet untuk ibu hamil, agar penambahan berat badan
normal.
Target keempat adalah tidak ada lagi peningkatan anak kelebihan berat badan, yang didukung
oleh rekomendasi 32 tentang peran ayah yang harus aktif dan berbagi tanggung jawab dengan
ibu.
Target kelima adalah meningkatkan ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan bayi
hingga setidaknya 50%, yang didukung oleh rekomendasi 30 tentang perlindungan ibu
bekerja untuk menyusui, rekomendasi 31 tentang rumah sakit sayang bayi, rekomendasi 37
tentang pemberian ASI eksklusif yang diikuti oleh makanan pendamping ASI (dari 6 sampai
24 bulan), dan rekomendasi 33 tentang mendukung menyusui dalam situasi darurat dan krisis
kemanusiaan.
119
Terakhir adalah target keenam, yaitu mengurangi dan mempertahankan anak kurus (wasting)
kurang dari 5%, yang didukung oleh rekomendasi 29 tentang pemasaran ,akanan pengganti
ASI (MP-ASI), rekomendasi 39 tentang pemberian makanan tambahan untuk bayi dan anak.
Sudahkah kita terlibat dalam perang melawan malnutrisi pada ibu, bayi dan anak di sekitar
kita?
FX WIKAN INDRARTO
Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S3 UGM
120
Melindungi Pekerja Domestik Koran SINDO 11 Desember 2014
Menyusul amarah publik setelah evakuasi sejumlah pembantu rumah tangga (PRT) di Medan,
wacana perlunya UU Perlindungan PRT kembali digemakan. Undang-undang tersebut akan
memformalkan pekerjaan PRT, dari yang semula bersifat informal.
Apabila perubahan status pekerjaan PRT itu menjadi kenyataan, maka diyakini bahwa hidup
dan kerja PRT akan lebih terjamin. Persoalannya, meskipun didorong oleh iktikad baik,
tidakkah ide mengusung UU Perlindungan PRT mengandung salah kaprah?
Alih-alih seperti Arthur yang menjadi penanggung jawab rumah Bruce Wayne (Batman),
pekerjaan sebagai PRT pada dasarnya tidak diinginkan oleh siapa pun. Bekerja sebagai PRT
adalah keputusan terakhir akibat kondisi terpojok, karena masyarakat gagal memperoleh mata
pencarian yang lebih layak. Itu sebabnya hanya kaum ekonomi lemah dan berpendidikan
sangat rendah yang “mau” menekuni pekerjaan tersebut. Bahkan pekerjaan sebagai abdi
dalem, kendati sama “kasar”-nya, tetap lebih terhormat daripada PRT.
Para abdi dalem di Keraton Yogya, misalnya, sangat bangga menjadi pelayan raja. Menjadi
abdi dalem dipersepsikan sebagai terangkatnya derajat mereka, membuat mereka sudi
meninggalkan sawah dan kebun demi mendekatkan diri ke lingkungan raja.
Kekikukan masyarakat menggunakan sebutan “PRT” mempertegas rendahnya pekerjaan
tersebut. Eufemisme pun dipakai; mulai dari asisten domestik, tenaga rumahan, pekerja
rumah tangga, dll. Namun, esensinya tetap tak berubah; PRT adalah babu, kacung, bedinda,
bahkan hamba sahaya.
Itu sebabnya, ketika Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan sinyalemen bahwa
di Indonesia terjadi perlipatgandaan jumlah PRT, dan itu dipandang sebagai efek
membaiknya kondisi perekonomian dan bertambahnya masyarakat yang naik ke kelas
ekonomi menengah, saya justru kian yakin bahwa PRT senyatanya adalah golongan warga
yang tersisih. Mereka tidak mempunyai modalitas daya saing yang dibutuhkan untuk
meningkatkan status sosial ekonomi mereka sebagaimana yang berhasil dilakukan oleh
anggota-anggota baru kelas menengah tadi.
Apalagi jika diperhatikan aspek demografi para pekerja domestik tersebut. Misalnya, orang-
orang yang bekerja sebagai PRT tidak terbatas pada usia dewasa. Dari estimasi hampir 53
juta orang di dunia yang bekerja sebagai PRT, sekitar 7,5 juta di antaranya adalah anak-anak
berusia 5 hingga 14 tahun. Padahal, anak-anak yang hidup normal tidak semestinya bekerja,
melainkan bersekolah.
121
Begitu pula fakta bahwa dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai PRT tetap didominasi oleh
kaum perempuan dengan jumlah 8,9 juta orang. Dapat dinalar, para perempuan tersebut
menjadi PRT sebagai cara ekstra guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun,
kapasitas yang sangat terbatas membuat mereka hanya mampu mengisi ceruk pekerjaan
informal tersebut.
Gambaran di atas menunjukkan, alih-alih menyebutnya sebagai dampak positif susulan
membaiknya situasi perekonomian nasional, pertumbuhan secara tajam jumlah PRT di Tanah
Air justru merupakan pertanda memburuknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat luas.
Atas dasar itu, absurd kiranya apabila golongan warga yang tersisih tersebut tidak didongkrak
agar naik kelas, tetapi justru dipertahankan keberadaannya lewat usulan penyusunan UU
Perlindungan PRT. Pada sisi lain, substansi UU Ketenagakerjaan sejauh ini baru menyentuh
sektor ketenagakerjaan formal, sementara PRT sendiri masih berstatus sebagai bidang kerja
informal.
Segala kelemahan itu pula yang membuat PRT rentan menjadi korban dan kerap menerima
eksploitasi. Misalnya PRT yang diberi upah di bawah standar atau bahkan tanpa upah sama
sekali, jam kerja yang tidak manusiawi, tidak adanya jaminan kesehatan dan kesejahteraan
sosial, penganiayaan fisik dan seksual, dikurung sehingga tidak memungkinkan bagi PRT
melakukan interaksi sosial apa pun, bahkan menjadi korban kejahatan perdagangan manusia.
Juga ironis, betapa publik selama ini gencar mendorong penghentian pengiriman tenaga kerja
wanita ke negara-negara lain, namun pada saat yang sama justru– tanpa sadar–
melanggengkan pekerjaan PRT dengan mengusulkan UU Perlindungan PRT.
Organisasi Buruh Internasional pada 2011 memang telah mengeluarkan Konvensi 189
tentang Pekerja Domestik. Konvensi itu memuat empat hak dasar PRT yang harus terpenuhi.
Pertama, dukungan dan perlindungan hak asasi PRT. Kedua, penghormatan dan perlindungan
atas prinsip-prinsip dan hak-hak PRT di tempat kerja, yang mencakup kebebasan berhimpun
dan pengakuan akan hak tawar kolektif, pemberantasan segala bentuk kerja paksa, dan
penghapusan PRT anak, dan penghapusan diskriminasi. Ketiga, perlindungan terhadap
pelecehan dan kekerasan. Keempat, ketentuan kerja yang adil serta kelayakan hidup PRT.
Mencermati keempat hak dasar PRT di atas, serta dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia
sepatutnya meniadakan pekerjaan PRT, saya memandang Indonesia tidak perlu mengadopsi
Konvensi 189 tersebut ke dalam bentuk undang-undang baru yang khusus bertemakan
PRT. Sebagai gantinya, upaya untuk melindungi para PRT termasuk memenuhi hak-hak
dasar mereka sebagaimana tercantum dalam Konvensi 189 dapat diaktualisasi melalui revisi
UU Ketenagakerjaan agar juga mencakup sektor kerja informal semacam PRT.
Selanjutnya, sebagai acuan yang lebih teknis, barulah undang-undang tersebut dapat
diturunkan ke dalam regulasi-regulasi yang lebih rendah. Revisi terhadap UU
Ketenagakerjaan juga disinkronkan dengan penyempurnaan sejumlah legislasi lain.
122
Demikian pula manakala terjadi tindak kekerasan terhadap PRT, langkah perlindungan
terhadap mereka selaku korban sudah memadai dengan adanya lex generalist semisal KUHP
dan lex specialist berupa UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU Perlindungan Anak dan
UU Tindak Pidana Perdagangan Orang pun bisa digunakan untuk menjerat majikan-majikan
biadab, sepanjang memenuhi kriteria-kriteria yang terdapat pada kedua undang-undang
tersebut. Ringkasnya, UU Perlindungan PRT bukan formula terbaik untuk memastikan agar
Konvensi 189 tidak luput dari perhatian otoritas terkait.
Pada tataran paling dasar, pelurusan persepsi akan posisi pekerjaan PRT sekali lagi
sepantasnya menelurkan sebuah sikap bersama untuk mengentaskan masyarakat Indonesia
dari pekerjaan tersebut. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kesejahteraan
masyarakat lewat penciptaan sektor-sektor pekerjaan formal baru bagi kalangan marginal.
Paralel dengan itu, penghapusan pekerjaan PRT tidak terlepas dari perlunya penataan ulang
terhadap pola hidup warga yang selama ini terlanjur menggantungkan urusan
kerumahtanggaan mereka pada PRT. Sekaligus perlu digencarkan pula inovasi teknologi
rumah tangga guna mengganti peran PRT tersebut. Dengan cara itu, realistis untuk berharap
kelak tak ada lagi (orang yang mau atau pun terpaksa bekerja sebagai) PRT di Indonesia.
Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik; Anggota World Society of Victimology; Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne
123
Pilar Research University Koran SINDO 13 Desember 2014
Keinginan berbagai perguruan tinggi untuk menjadi research university harus didukung oleh
penguatan pendidikan pascasarjana. Riset mahasiswa pascasarjana (apalagi program S-3)
harus dapat menunjukkan ada temuan baru dengan rancangan metode dan analisis data yang
baik sehingga riset tersebut layak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang bermutu.
Pada dasarnya ada dua jenis riset yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi. Pertama, riset
yang memiliki kontribusi pada pengembangan sains dan teknologi. Hasil-hasil penelitian
jenis ini harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi sehingga terjadi pertukaran
wawasan IPTEK antarilmuwan pembaca jurnal ilmiah.
Kedua, riset yang bersifat terapan yang hasilnya perlu dipatenkan sehingga pihak industri
yang memanfaatkan hasil paten tersebut diharuskan membayar. Riset-riset terapan bisa
dilakukan atas kerja sama antara perguruan tinggi (PT) dan industri. Dalam hal ini, PT
menyediakan sumber daya manusia dan fasilitas riset, sementara industri adalah penyedia
dana utama.
Harus ada keberanian bagi pengelola program pascasarjana untuk mewajibkan mahasiswanya
memublikasikan hasil risetnya di jurnal internasional atau jurnal nasional terakreditasi
sebagai syarat kelulusan. Ini tantangan besar bagi mahasiswa pascasarjana untuk
menghasilkan karya penelitian yang bermutu dan layak untuk dipublikasikan. Kultur
akademik semacam ini harus selalu dipupuk untuk menciptakan research university. Gelar
doktor harus menjadi titik awal untuk melakukan penelitian-penelitian yang berbobot.
Dalam kaitannya dengan pendidikan pascasarjana, munculnya Permendikbud No 49/2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi membuat kita terkaget-kaget. Terutama terkait
jumlah kredit mata kuliah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pascasarjana. Total satuan
kredit semester (SKS) untuk jenjang S-2 adalah 72 SKS dan demikian juga untuk S-3.
Padahal, sebelumnya jenjang S-2 dan S-3 umumnya hanya memerlukan sekitar 40-45 SKS.
Ada apa ini? Sementara SKS untuk jenjang S-1 tidak ada perubahan yaitu 144 SKS. Selama
ini penyelesaian studi S-1 adalah empat tahun, S-2 dua tahun, dan S-3 tiga tahun. Dengan
segala variasinya, masa studi bisa sedikit lebih lama.
Yang menjadi kekhawatiran, dengan pertambahan beban kuliah pascasarjana, rentang masa
studi dipastikan lebih lama. Menambah beban mata kuliah di S-2 atau S-3 hingga setara
dengan 72 SKS bukan hal yang mudah. Di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, SKS
124
yang wajar bagi mahasiswa program magister atau doktor adalah 40-45 SKS sebagaimana
yang sudah diterapkan oleh universitas di Tanah Air sebelum diberlakukan Permendikbud No
49/2014.
Strategi yang kini mungkin diterapkan adalah mengubah beban kredit tugas akhir/karya
ilmiah yang semula 6-12 SKS menjadi 30 SKS atau lebih. Dengan demikian, jumlah dan
bobot mata kuliah tidak bertambah (rata-rata 2-3 SKS per mata kuliah), hanya penyelesaian
tugas akhir berupa tesis/disertasi dan publikasi di jurnal ilmiah yang diberi bobot lebih
banyak.
Bagaimana mungkin efisiensi pendidikan bisa dicapai kalau negara-negara lain bisa
meluluskan mahasiswanya lebih cepat dan kita justru memperlama mahasiswa untuk studi di
pascasarjana.
Jumlah pendaftar ke sekolah pascasarjana pernah meningkat tajam pada 1998/1999
bersamaan dengan krisis moneter di Tanah Air. Rupanya para lulusan S-1 pada waktu itu
mulai kesulitan mencari kerja sehingga akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah di
pascasarjana. Setelah era 1998/1999 jumlah mahasiswa baru di sekolah pascasarjana kembali
stabil. Setiap program studi untuk jalur akademik S-2 mungkin hanya bisa mendapatkan 15-
20 mahasiswa baru, sedangkan calon mahasiswa S-3 hanya sekitar 5-10 orang.
Sementara program profesi seperti magister manajemen tumbuh terus bagaikan jamur dengan
jumlah mahasiswa jauh melebihi jalur akademik. Peminat jalur akademik adalah para dosen
atau peneliti yang memang harus meningkatkan kemampuannya di bidang riset dan
akademik. Memperkuat riset di tingkat pascasarjana dapat dilakukan dengan membentuk
kolaborasi yang solid antara dosen pembimbing dan mahasiswanya.
Membangun research university memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas dan
mau untuk bersama-sama membangun perguruan tingginya. Pemerintah pun dituntut untuk
mengalokasikan anggaran riset yang signifikan sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-
dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.
Internasionalisasi program studi pascasarjana di Indonesia saat ini masih berjalan tertatih-
tatih. Kita masih kalah dengan universitas-universitas di ASEAN seperti Universiti Malaya,
Universiti Kebangsaan Malaysia, University of Philippine at Los Banos, ataupun Nanyang
University yang sudah banyak berhasil menjaring mahasiswa asing.
Universitas-universitas di Indonesia belum mampu mendunia sehingga dalam kerja sama
dengan universitas di luar negeri kita belum bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Dengan semakin besarnya anggaran di sektor pendidikan, program pendidikan pascasarjana
juga hendaknya bisa lebih berkualitas.
Pilar penting untuk membangun research university bertumpu pada peningkatan mutu
pendidikan pascasarjana. Ini bisa ditunjukkan dengan hasil-hasil karya ilmiah yang
125
dipublikasikan di jurnal, komitmen dosen-dosennya untuk betah di kampus melaksanakan Tri
Dharma, dan suasana akademik yang hidup di lingkungan universitas.
ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat; Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi FEMA IPB
126
Masyarakat Tanpa Sekolah Koran SINDO 14 Desember 2014
7. Ibu berhadas besar. Yang ibu lakukan untuk bersuci adalah: a. Wudu b. Mandi keramas c.
Cuci kaki
8. Najis mutawasittah disebut juga dengan: ... dan seterusnya (tidak saya lanjutkan).
Soal ujian pilihan berganda itu ditunjukkan oleh seorang ibu kepada saya. Saya pikir tadinya
ini soal-soal ulangan kelas II SMP, tetapi belief it or not, anak sulung ibu itu baru kelas 1 SD
dan dia tinggal di Bekasi. Jadi itu adalah materi ulangan murid kelas 1 SD di Bekasi (nama
SD-nya off the record).
Kata ibu itu, ”Ini soal UAS anak saya, Prof.” Yang mencengangkan adalah bahwa soal-soal
seperti itu diberikan ke siswa kelas 1 SD yang menurut psikolog J Piaget, perkembangan
kognisi anak secara umum belum sampai ke taraf harus bisa membaca. Pada tahapan umur 6-
7 tahun anak baru bisa mulai diajari membaca. Dulu saya sediri baru belajar membaca di
kelas 1 SR (sekolah rakyat, setara SD sekarang), ”Be...u... bu...ka... u...ku... buku!
Horeee....” Sebelumnya, di TK saya main melulu, menggambar, bernyanyi, dan menari; kalau
udah kebelet, ”Bu Guru, mau pipis....”
Tapi yang paling salah menurut Piaget (psikolog dari Swiss, 1896-1980) adalah anak seumur
itu diajari konsep-konsep yang abstrak, yang sudah pasti dia tidak akan bisa mengerti. Apa itu
”hadas besar”? Ibu gurunya mungkin tahu bahwa arti kata itu adalah ”ibu dan bapak habis
gituan”, tetapi mana anak tahu dan bagaimana cara ngasih tahunya?
Apa hubungannya dengan wudu, keramas, atau cuci kaki? Apa pula artinya ”bersuci” dan
”mutawsittah ”? Saya saja bingung, apalagi buat anak. Tapi anak dipaksa saja untuk
menghafal, ngerti tidak ngerti hafalkan. Kalau hafal dan nyontreng jawaban yang benar, ”Itu
sudah,” kata orang Ambon.
Menteri Diknas Anis Baswedan menengarai bahwa sekolah-sekolah negeri makin lama
makin bergeser ke agama tertentu saja. Penelitian Prof Dr Bambang Pranowo (UIN Jakarta,
2011) mengungkapkan data bahwa sudah ada sejumlah siswa yang anti-Pancasila dan pro-
kekerasan terhadap agama lain di SLTA negeri se-Jabodetabek.
Di wilayah-wilayah yang mayoritas muslim, ”iklim” sekolah mulai tidak nyaman untuk
murid-murid dan orang tua yang non-muslim. Karena itu Menteri Agama menggagas doa
umum untuk sekolah-sekolah negeri (bukan sekolah khusus agama tertentu) yang bisa diikuti
127
semua murid lintas agama atau kalau mau dilaksanakan doa dengan cara agama tertentu,
murid-murid yang berkeyakinan lain, diizinkan untuk tidak ikut berdoa.
Tapi, seperti sudah diduga, wawasan Menteri Anis Baswedan yang muslim dan golkar
(golongan keturunan Arab) ini serta-merta menuai kritik dan protes. Demikian juga tentang
UN (ujian nasional) di masa Mendikbud Muh Nuh yang penuh kontroversi. Pokoknya banyak
yang tidak setuju, di samping ada yang setuju atau bahkan sangat setuju. Jadi memang
menyeragamkan pendidikan itu sangat sulit.
Itu baru taraf nasional, apalagi taraf internasional. Pada tahun 1971, seorang pastor Katolik
keturunan Austria, Ivan Illich, menerbitkan sebuah buku yang sangat fenomenal berjudul
Deschooling Society. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa menyeragamkan pendidikan
sangat tidak mungkin. Setiap komunitas di Eropa mempunyai budaya dan kebiasaan masing-
masing. Bahkan setiap individu punya bakat dan minat sendiri-sendiri.
Penyeragaman berarti pelembagaan. Pelembagaan pendidikan dan pranata-pranata
masyarakat berarti pemaksaan dan setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik.
Hal itulah yang sekarang ini (tahun 2014) sedang terjadi di seluruh dunia!
Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Inkelles, harus punya tiga tujuan: (1)
memungkinkan semua orang yang ingin belajar untuk bisa mengakses sumber-sumber
pelajaran setiap saat sepanjang umurnya, (2) mendorong setiap orang yang punya
pengetahuan dan keahlian untuk berbagi dengan setiap orang lain yang membutuhkan
pengetahuan dan keahliannya itu, dan (3) menyediakan sarana bagi setiap orang yang punya
wawasan, temuan, atau kritikan tentang hal-hal tertentu untuk menyajikannya kepada publik,
agar setiap orang bisa membahasnya secara terbuka.
Jawaban terhadap masalah ini, kata Illich, adalah website melalui jaringan internet. Di tahun
1972-1973, ketika bersekolah di Universitas Edinburgh, Inggris, saya masih buta komputer,
apalagi internet. Bahkan sebagian pembaca, belum ada di dunia ketika itu. Tapi Illich sudah
bicara tentang internet pada tahun 1971, ketika Jokowi masih berusia 10 tahun, masih SD,
dan suka berenang di kali di belakang rumahnya di Solo.
Apa yang diramalkan Illich sudah jadi realitas sekarang. Bukan lagi hanya di AS atau Eropa,
tetapi juga di Indonesia, di era Jokowi sudah jadi presiden. Masyarakat Indonesia adalah
salah satu pengguna internet terbesar di dunia, puluhan provider internet melayani sektor
dunia maya ini, pemerintah punya kementerian sendiri, dan pemerintah juga mendorong
elektronisasi di semua sektor, termasuk sektor pendidikan, sampai ke kampung dan pelosok
di daerah terluar sekalipun.
Jadi apa lagi yang ditunggu? Beberapa pendidikan formal sampai tingkat yang tertinggi boleh
dipertahankan (tentu harus ada yang menghasilkan peneliti, doktor, dokter, lawyer atau
profesional lainnya dan profesor) dan belajar tingkat calistung (baca, tulis, hitung) boleh
diwajibkan terus untuk menegah buta huruf dan memungkinkan orang untuk memakai
128
internet.
Selebihnya biarkan orang belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat masing-
masing. Mau belajar kuliner, treking, PR, marketing, musik, bahkan jadi selebritas agar bisa
masuk infotainment, silakan pilih sendiri. Tapi awas: orang belajar merakit bom juga bisa
dari internet.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
129
Kurikulum Kembali ke Asal Koran SINDO
Senin, 15 Desember 2014
Setiap sekolah pasti menginginkan tumbuh dan berkembangnya peserta didik menjadi sosok
yang mampu mewujudkan seluruh harapan, baik harapan orang tua, guru atau bahkan
negara.
Seluruh harapan tersebut dikelola dalam sistem pembelajaran yang dipandu dengan
metodologi yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-Undang No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Nah, inilah yang disebut dengan kurikulum, yang hari ini menjadi kalimat yang
menghebohkan jagat pendidikan Indonesia dengan bumbu penyedap yang beraroma politik,
bisnis, psikologi guru dan murid, antara sedih, bimbang dan senang.
Hebohnya kurikulum disebabkan oleh pernyataan resmi dari Menteri Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia yang secara tegas menghentikan
penggunaan Kurikulum 2013 mulai semester genap tahun ajaran ini dan kembali
memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Saya tidak akan masuk dalam ranah perdebatan tentang mana yang lebih berkualitas antara
KTSP 2006 atau Kurikulum 2013, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan
penilaian secara akademik dan ilmiah mengenai kedua hal tersebut.
Apabila kita berangkat dari filosofi dasar bahwa pendidikan nasional itu memiliki tujuan
utama mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana dua tulisan saya terdahulu,
maka fokus sekolah adalah membentuk karakter dasar setiap anak didiknya. Karakter dasar
tersebut meliputi pemahaman anak didik tentang dirinya, tentang alamnya, tentang
kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh, baik dari sisi aspek ontologis, kosmologis
maupun antropologis.
Kalau dalam bahasa kakek saya, pembentukan watak kemanusiaan yang utuh adalah manusa
nu weruh ka semuna, apal ka basana, rancingas rasana, rancagé haténa, cageur, bageur,
bener, pinter jeung singer. Hal tersebut menunjukkan dalam kerangka ideologis Bangsa
Indonesia memiliki konsep pendidikan yang paripurna dibanding mazhab pendidikan lainnya
di dunia.
Konsepsi tersebut mengarah pada upaya menghadirkan pendidikan yang hidup dan
130
menghidupkan di tengah perjalanan manusia menuju kesempurnaan hidup yang esensial.
Pendidikan harus mampu menghadirkan anak didik tentang pengetahuan mengenai dirinya,
siapa aku, dari mana aku, sedang di mana aku, akan ke mana aku.
Dalam hal yang sederhana, pendidikan harus mengajarkan hal tentang dirinya, tentang
lingkungannya, tentang kesemestaannya yang pada akhirnya akan bermuara pada
pengetahuan Kemahaluasan Tuhan dan kesemestaan penciptaan-Nya.
Kebijakan pendidikan sifatnya general, tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis karena
aspek-aspek yang bersifat teknis dan spesifik itu merupakan kewenangan guru yang harus
hadir mengartikulasikan diri dan lingkungannya berdasarkan nalar dan rasa yang bersifat
dinamis.
***
Pelajaran pertama yang harus diberikan kepada para murid adalah melakukan pembelajaran
yang meliputi membaca, menulis dan menghitung.
Membaca mengajarkan kepada murid untuk memiliki pengetahuan tentang huruf yang dieja
dan tentang diri yang tersusun dan terstruktur secara sempurna, dua mata saya hidung saya
satu, dua telinga saya yang kiri dan kanan; diajarkan pula membaca alam, pelangi-pelangi
alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru; kemudian anak-anak diajarkan
untuk mengenal huruf, membaca sebuah nama, walaupun pengajaran tersebut sering kali
tidak selaras dengan realitas budaya di suatu wilayah.
Saya ingat ketika saya kelas satu SD dulu, saya diajari untuk membaca “Ini Budi” . Nama
Budi menjadi nama yang asing bagi kami karena di kelas dan di kampung saya tidak ada
yang namanya Budi. Itu bagi kami yang orang Sunda, bagaimana pula bagi orang Jawa, Bali,
Sumatera, Papua, Aceh, Sulawesi, mereka akan semakin asing dengan nama ini.
Di Bali tidak ada nama Budi, yang ada Wayan, Made, Nyoman dan Ketut; atau di Aceh yang
lebih akrab dengan Cut dan Teuku. Nama Budi mah kebanyakan orang Jakarta. Dari situ saja,
kita memang tidak diajarkan untuk mengenal diri kita.
Setelah itu saya harus membaca lagi, kalimat “Ibu pergi ke pasar, Ibu pergi ke pasar”
berulang-ulang. Padahal saya memanggil ibu saya “Emi” dan Emi saya jarang ke pasar,
paling sebulan sekali kalau bapak saya dapat uang pensiun dari kantor pos. Dalam
kesehariannya, kebanyakan Emi pergi ke sawah dan ke ladang, bukan ke pasar. Terus ada
kalimat lagi, Bu Ani guru Budi. Guru saya kan bukan Bu Ani, tapi Bu Epon. Haduuh, makin
tidak mengenal saya sama guru saya, makin jauh saja ini pelajaran. Itu dulu tahun 1977, yang
sekarang lebih parah lagi.
Kelas 1 SD tidak lagi belajar membaca dan menulis, karena rata-rata mereka sudah harus bisa
membaca dan menulis sebelum masuk kelas 1 SD. Kalau seperti itu, ada pembebanan
131
pelajaran pada anak-anak TK, jangan disalahkan kalau saat ini anak usia 14 tahun bahkan 10
tahun perilakunya sudah dewasa, karena mereka mengalami proses pendewasaan sebelum
waktunya. Karena hilangnya fase kehidupan sebagai anak yang merdeka dari berbagai
tekanan pendidikan formal yang mereka alami, sehingga ketika mereka menginjak usia
remaja bahkan dewasa mereka masih berperilaku seperti anak-anak.
Perilaku tersebut terlihat dari pola hidup yang manja, kadang manja dalam sikap, kadang
“manja” (mandi jarang), pendidikannya memang tinggi tetapi hidup bergantung pada orang
tua secara total dari mulai jajan, biaya pakaian, biaya beli rokok, beli premium, beli
pertamax, beli solar, beli pulsa, bahkan sampai biaya nikah dan biaya untuk melahirkan anak
hasil pernikahannya. Bahkan biaya pendidikan anaknya pun dibebankan kepada orang
tuanya. Sifat kekanak-kanakan lainnya, diwujudkan dengan menggalang komunitas yang
sering kali memicu aksi solidaritas, hidup bergerombol, tawuran yang terorganisir.
Sifat kekanak-kanakan pada usia remaja dan dewasa tersebut, salah satu faktornya
disebabkan hilangnya masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Selain melakukan
transformasi ruang budaya, pendidikan juga semestinya membuat ruang bagi pertumbuhan
dan perkembangan fase-fase kehidupan anak.
***
Selain problem pembelajaran yang semakin menjauhkan pendidikan pada pembentukan
karakter anak didiknya, lingkungan saat ini semakin menjauhkan anak-anak kita dari
kegundahan diri yang dialaminya. Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh suara yang
didengar setiap saat.
Musik yang didengar oleh anak-anak kita hari ini sudah tidak lagi melambangkan keriangan
anak secara alami. Karya cipta lagu yang didengar dalam setiap saat lebih melambangkan
kegundahan kaum-kaum muda dewasa terhadap berbagai problem yang dihadapinya, baik
problem cinta, rumah tangga, “sejujurnya ku tak bisa hidup tanpa ada kamu aku gila...”, atau
terlarut dalam jiwa wanita yang ditinggalkan berselingkuh oleh suaminya, “Bang, SMS siapa
ini Bang...,” atau pria yang ditinggalkan oleh istrinya yang selingkuh, “O ow, kamu ketahuan
pacaran lagi....”
Karena itu anak-anak kita hanyut dalam romantika yang belum waktunya. Mereka tidak lagi
ada yang mewakili untuk mengekspresikan kekecewaan diri karena kesibukan ibu dan
bapaknya, kehilangan ruang bermainnya, kehilangan berbagai binatang kesayangannya.
Tidak ada lagi yang mewakili mereka yang gundah karena hilangnya cicak-cicak di dinding,
nyaris tak terdengar lagi tik-tik bunyi hujan di atas genting, hilangnya burung kutilang yang
berbunyi, bahkan papatong nu konéng teu témbong deui... leungit indit teu pamit . Di tengah-
tengah keheningan dan kegundahan anak-anak kita, untung saja masih ada para politisi yang
mau mewakili mereka dengan bermain petak umpet palu sidang paripurna.
132
Bahkan kebahagiaan anak-anak untuk bermain mobil-mobilan, kapal-kapalan, anjang-
anjangan, bobonekaan, hari ini disuguhkan dengan manis dengan permainan komisi-
komisian, ketua-ketuaan, wakil-wakilan, partai-partaian, dan gubernur-gubernuran.
(Bersambung)
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
133
Watak & Tingkah Laku Politik Koran SINDO 15 Desember 2014
Watak, sifat, dan tingkah laku itu merupakan tiga unsur penting di dalam kepribadian
manusia. Ketiganya tidak sama persis. Tapi masing-masing memiliki hubungan erat satu
sama lain.
Boleh jadi tiap unsur tadi saling memperkuat. Dengan begitu, ketiganya tak mungkin
merupakan suatu jalinan makna yang kuat. Watak merupakan ciri utama kepribadian yang di
dalamnya mengandung unsur sifat. Sebaliknya, sifat, membentuk apa yang disebut watak
tadi. Sifat relatif mudah berubah oleh pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Tetapi watak
tidak.
Watak lebih solid, lebih keras, lebih menggumpal di dalam kepribadian manusia sehingga
sesuatu yang sudah merupakan watak, sangat sukar berubah. Tak mengherankan orang Jawa
memiliki lelucon getir: watuk, yaitu batuk, bisa berubah, bisa disembuhkan. Tapi watak tidak.
Ini ungkapan untuk menyindir seseorang, yang tingkah lakunya buruk, dan menyimpang dari
adat.
Dalam kearifan Melayu, orang seperti itu dicap tidak tahu adat. Bisa juga disebut tidak
beradat. Bahkan, dalam tingkat yang lebih tinggi, lebih serius, dia disebut tidak beradab.
Alias biadab. Apa lagi yang lebih buruk dari sebutan ini? Kurang lebih, ini gambaran tentang
watak, maksudnya watak buruk, yang tak beradab atau biadab, yang sama sekali tak bisa
disembuhkan oleh ahli psikologi terkemuka atau psikiater yang paling hebat sekalipun.
***
Mungkin ada dukun, saya tidak tahu, yang memiliki tuah sangat besar, yang bisa
menolongnya, dan mengurangi sedikit keburukannya. Tapi dukun pun dugaan saya tak
berdaya mengubahnya secara total.
Bahkan andaikata dukun dan ahli-ahli rohani terkemuka yang memiliki tuah besar itu
bergabung menjadi satu, dan meruwat orang dengan jenis watak seperti itu, mungkin mereka
pun akan gagal mengubahnya. Ringkasnya, ruwatan itu mungkin akan menjumpai kegagalan
karena telah terlalu buruknya watak itu. Watak buruk membuat sebutan-sebutan buruk telah
menempel pada kepribadiannya.
Apa yang aneh bila watak buruk itu diberi sebutan buruk? Mereka, dalam adat, yang memberi
sebutan itu hanya menyebut barang yang sudah ada. Dan mereka tidak mengada-ada. Begitu
134
pula mereka yang melakukan ruwatan tadi. Mereka hanya prihatin melihat kondisi kejiwaan
seseorang, lalu bertindak. Boleh jadi tindakan mereka itu sebuah sinisme, sikap satire, atau
ejekan yang sangat menikam.
Boleh jadi mereka tak bermaksud menyembuhkannya, dan sama sekali tak terpanggil untuk
melakukannya. Kalau mereka tak terganggu oleh fenomena kepribadian macam itu, bisa
dipastikan mereka tak bakal berbuat apapun. Mereka tak berniat mengejek, mengusik, atau
menyindir orang lain bila di sekitarnya tak ada orang yang menampilkan diri seperti itu. Atau
tak ada jenis tingkah laku seperti itu. Tingkah laku itu begitu meresahkan orang lain di
sekitarnya.
Apa makna ketokohan seseorang, yang di masa lalu begitu gigih menampilkan diri agar
dikenal sebagai pemimpin umat, tapi kini tampil jenis tingkah laku lain, yang disebut dengan
segenap keburukan tadi? Kita tidak tahu apa maknanya dulu itu. Dulu kita menyebutnya
sebuah kesungguhan dalam sikap yang disebut “fastabikul khairat“, berlomba dalam
kebaikan, bersaing dengan Gus Dur dan Cak Nur, dua tokoh besar dalam kepemimpinan
umat.
Dulu dia juga ingin ikut besar. Tapi sekarang kedoknya terbuka, bahwa ternyata dia tak ingin
hidup dalam kepemimpinan umat yang sepi itu. Tingkah laku politiknya tampak begitu
partisan. Orientasi nilai utamanya ternyata agak murahan: hanya kedudukan duniawi yang
fana ini. Kepemimpinan umat itu tak punya apa-apa. Di sana tak ada mobil dinas. Tak ada
fasilitas megah. Tak ada hura-hura politik yang memberinya kesan glamor.
Dulu pernah menikmati posisi penting di Jakarta, dan kenikmatan itu dirasanya terlalu cepat
berlalu. Sekarang dia haus akan kekuasaan seperti itu. Dulu dia mengejek Pak Harto,
sekarang ejekan itu kembali kepadanya. Dari sumber-sumber gosip politik yang begitu kuat
beredar di masa itu, Pak Harto sendiri dengan feeling-nya yang tajam, tak menaruh percaya
sedikit pun padanya.
Pak Harto kabarnya menyebut namanya saja tak mau. Kecuali itu, beredar pula gosip serius,
yang tak begitu mudah diselidiki kebenarannya, bahwa kabarnya, dalam tiap salat jamaah,
sesudah imam selesai membaca surat Al Fatihah, jamaah menjawab serentak; aamin... Tapi
Pak Harto menyambut dengan ucapan lain: ya, ya, ya, semata untuk menghindarkan diri dari
keharusan menyebut “aamiin“ tadi.
Intinya, Pak Harto pun tak suka padanya. Tapi nama Cak Nur, di mata beliau, harum. Cak
Nur tak pernah dicurigai sebagai musuh. Dan Gus Dur? Tergantung. Bagi Pak Harto, aroma
politik Gus Dur kadang harum sekali. Tapi tak jarang Gus Dur dianggap sebagai ancaman
serius yang membuat beliau merasa tak berbahagia.
***
135
Akhirnya, tingkah laku para tokoh politik di dalam konteks kepemimpinan umat telah
membuka mata kita siapa yang sungguh-sungguh tulus berusaha mengabdikan diri untuk
memimpin umat, siapa yang palsu, basa-basi, dan mencla-mencle.
Dua tokoh dari Jombang, Cak Nur dan Gus Dur, telah pergi, dengan nama harum di mata
umat, dan bangsa Indonesia. Gus Dur bahkan pergi dengan mengukuhkan derajat
kewaliannya. Pendek kata, kedua tokoh itu dikukuhkan posisinya sebagai pemimpin umat
dan guru bangsa hingga akhir hayat mereka. Sementara yang satu lagi, yang sejak dulu hanya
cemburu pada keduanya, menjadi jelas pula: dia sedang mengejar posisi keduniaan, dan
gagal.
Setiap langkah laku politiknya salah. Setiap ucapannya keliru. Wataknya dengan jelas
membimbing tingkah laku politiknya menuju pada apa yang serbasalah itu. Dan orang pun
meruwatnya, dengan sinisme, dengan satire, dan ejekan. Ini sebuah tragedi mengenaskan.
Teman-teman bisa membantu. Saya sendiri siap melakukannya. Tapi adakah pada dirinya,
niat mengubah watak, dan tingkah laku politiknya? Hanya dia sendiri yang bisa
memutuskannya.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
136
Kekerasan Remaja Koran SINDO 16 Desember 2014
Ada data menarik yang bisa kita dapatkan dari Global Status Report on Violence Prevention
2014 dari 133 negara yang merupakan laporan tentang penganiayaan anak, kekerasan remaja,
pelecehan seksual, dan penelantaran manula.
Sekitar 250.000 kasus pembunuhan remaja terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total
jumlah pembunuhan global setiap tahun. Apa yang sebaiknya kita sadari?
Kekerasan remaja memiliki dampak serius karena sering kali berlangsung seumur hidup,
tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja bila
kekerasan remaja terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan
peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur
sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan remaja, 40% mengalami cedera berat,
yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cedera ini mencakup 24% gadis remaja yang
mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai
tindakan dari bullying dan fighting secara fisik ataupun seksual hingga bahkan yang lebih
parah adalah pembunuhan.
Tingkat pembunuhan remaja bervariasi. Namun di semua negara, remaja laki-laki merupakan
mayoritas pelaku dan juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada remaja
perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan
kekerasan remaja tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini,
cedera, dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, sering kali bahkan seumur hidup, pada
fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat memengaruhi keluarga korban, teman,
dan masyarakat.
Pada rentang tahun 2000-2012, tingkat pembunuhan remaja menurun di sebagian besar
negara meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada
di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% gadis remaja
mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan seksual pertama mereka.
Laporan Multi-Country Study on Women’s Health and Domestic Violence menyebutkan
bahwa kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan remaja. Laporan dari 40 negara
berkembang menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% remaja laki-laki dan 35,8%
gadis atau remaja perempuan.
137
Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan remaja sangat kompleks, meliputi diri
remaja sendiri, keluarga, dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu remaja
meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian,
keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh, dan sikap
anti-sosial.
Selain itu juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan
kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis,
perceraian orang tua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.
Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi
kurangnya pemantauan dan pengawasan remaja oleh orang tua, pendidikan disiplin orang tua
yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan antara orang tua dan
remaja yang rendah, keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja yang rendah, dan orang tua
terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu juga pendapatan keluarga
yang rendah dan bergaul dengan remaja lainnya yang sejenis.
Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi rendahnya tingkat
kohesi sosial dalam masyarakat atau geng remaja dan pasokan senjata atau obat-obatan
terlarang, tidak adanya alternatif non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik antarremaja,
ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi,
serta kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan
kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.
Program pencegahan kekerasan yang sudah terbukti efektif juga dapat dibaca pada Global
Status Report on Violence Prevention 2014. Pencegahan tersebut meliputi program
keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu remaja mengelola kemarahan,
menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk
memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan anti-intimidasi, dan
kurikulum pra-sekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini.
Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses
remaja ke alkohol, obat, dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah
gerai penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi
kesempatan remaja berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan dengan membantu
keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.
Program pencegahan yang sudah terbukti berhasil di dalam Global Status Report on Violence
Prevention 2014 layak kita contoh, juga dengan mengoreksi faktor risiko kekerasan yang ada.
Tentunya agar remaja di sekitar kita terbebas dari ancaman kekerasan.
FX WIKAN INDRARTO
Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S-3 FK UGM
138
Penelitian dan Peneliti Koran SINDO 17 Desember 2014
Saya menghadiri seminar pemaparan hasil penelitian ilmu sosial sebuah lembaga penelitian
milik pemerintah beberapa waktu yang lalu. Lembaga itu meneliti tema-tema tertentu sebagai
bagian dari program kerja. Hasil-hasil tersebut yang kemudian disampaikan kepada
masyarakat sebagai rekomendasi untuk kementerian dan lembaga terkait.
Saya menghargai hasil penelitian tersebut, namun tampaknya hasil yang disampaikan masih
tertinggal jauh dengan hasil penelitian yang dimuat di jurnal ilmiah, baik di dalam maupun
luar negeri. Tidak ada kebaruan dari sisi pertanyaan penelitian dan juga tidak ada yang baru
dari sisi rekomendasi. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan mengingat lembaga penelitian
adalah salah satu ujung tombak kemajuan peradaban bangsa. Situasi ini sebetulnya sudah
menjadi perhatian banyak pihak sejak lama. Namun sayangnya, rasa prihatin itu tidak
ditindaklanjuti dengan tindakan.
Penelitian dan inovasi teknologi Indonesia tidak berkembang. Data Indikator Iptek Indonesia
2014 menyatakan bahwa di periode ke-2 masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), penelitian mengalami stagnasi selama lima tahun. Ironisnya, dari sisi
anggaran belanja, alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan di lembaga pemerintah
memang mengalami kenaikan setiap tahun.
Tahun 2013, lembaga penelitian pemerintah memperoleh dana sekitar Rp5 triliun. Lebih
tinggi dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya menerima Rp1,9 triliun. Namun demikian,
apabila kita lihat rasio gelontoran dana untuk penelitian terhadap PDB, kenaikan itu tidak
berarti apa-apa karena hanya 0,06%. Rasio itu bahkan lebih buruk dibandingkan saat
pemerintahan Presiden Soeharto yang pernah mencapai 0,4% di tahun 1977.
Secara umum, belanja penelitian dan pengembangan kita juga tidak lebih baik dibandingkan
dengan negara pesaing kita di ASEAN. Pada 2012, rasio belanja litbang Singapura adalah
2,1%, Malaysia 1%, Thailand 0,25%, sementara Indonesia hanya 0,09%.
Walaupun perlu diuji lebih dalam lagi hubungan antara rasio tersebut dengan produktivitas
hasil penelitian, kita dapat melihat bahwa dalam beberapa tema penelitian seperti ilmu sosial,
ekonometri, ekonomi dan keuangan, posisi tersebut cenderung konsisten (SCImago Journal &
Country Rank).
Singapura cenderung lebih produktif dalam mengembangkan hasil penelitian dan gagasan
diikuti oleh Malaysia dan Thailand. Indonesia akan lebih kedodoran posisinya apabila
dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan China. Angka-angka itu
139
menjelaskan kepada kita bahwa pemerintahan yang lalu belum menunjukkan keberpihakan
yang cukup serius dalam meningkatkan kapasitas penelitian dan peneliti.
Kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya hasil penelitian yang relevansinya sudah
ketinggalan zaman itu kepada para peneliti, karena akses mereka terhadap sumber-sumber
dana, alat dan literatur sangat terbatas. Para peneliti di lembaga penelitian pemerintah bahkan
saat ini menjadi lebih sengsara dalam menjalankan penelitian, karena dana operasional
dipotong hingga 50% sebagai akibat kebijakan pengencangan ikat pinggang pegawai yang
dilakukan Presiden Joko Widodo. Penelitian-penelitian sosial dan budaya, yang memang
membutuhkan waktu turun lapangan lebih panjang karena berhubungan dengan faktor
manusia dan masyarakat yang sulit ditebak, menjadi yang paling dirugikan.
Hasil penelitian yang belum memuaskan juga dapat disebabkan karena insentif yang minim
untuk para peneliti. Para akademisi atau peneliti yang memiliki motivasi untuk mengerjakan
penelitian tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari penelitian itu saja, tetapi juga
harus melakukan pekerjaan lain yang sifatnya manajerial atau administratif. Contoh adalah
posisi saya sendiri di dalam universitas yang memiliki banyak peran selain sebagai pengajar,
peneliti, penulis, tetapi juga menjalankan peran manajerial, administrasi, pemasaran, dan
bahkan menjembatani hubungan industrial para staf.
Beban itu mungkin juga bertambah berat untuk para peneliti perempuan yang memiliki peran
gender di dalam rumah tangga. Peran itu mungkin menyulitkan peneliti perempuan untuk
berkembang dan maju jika tidak ada perhatian khusus. Saya yakin banyak peneliti di
Indonesia yang juga berada di dalam posisi dan memiliki pengalaman serupa.
UNESCO memiliki dua metode, Headcounts dan Full-Time-Equivalent (FTE), untuk
mengukur kapasitas peneliti di sebuah negara. Headcounts adalah jumlah tenaga yang baik
penuh maupun paruh waktu bekerja di departemen litbang, sementara FTE adalah jumlah
waktu kerja yang dihabiskan seorang peneliti penuh waktu di litbang dalam satu tahun.
Secara nasional, Indonesia di tahun 2009, peneliti yang bekerja untuk litbang perguruan
tinggi, indeks FTE-nya adalah 35. Artinya seorang peneliti di perguruan tinggi hanya bisa
meluangkan waktu 35% dari total waktu penelitian, sisanya dipergunakan untuk hal lain.
Singapura 40,7% (2009) dan 44% (2013), Malaysia 80% (2009) dan 82% (2011), dan
Thailand 54,5% (2009). Kita dapat lihat betapa rendahnya komitmen dorongan pemerintah
selama ini terhadap peneliti. Temuan tersebut menjadi relevan dalam konteks daya saing
Indonesia hari ini dan dalam tahun-tahun mendatang.
Negara yang maju adalah negara yang menjadi ”otak” dalam relasi antarnegara dan bukannya
sekadar menjadi pengikut atau pelaksana. Negara yang maju pasti punya ”pasukan” peneliti
yang terlatih dan jeli. Kita belum sampai sana, tetapi semoga bertahap pemerintah kita
membantu mengarahkan perhatian dan sumber daya kita ke arah itu.
Sampai hari ini, Indonesia masih terus menjadi sasaran kegiatan ”capacity building” dan
pemberian bantuan teknis ”technical assistance” dari negara-negara lain atau pun lembaga
140
donor. Alasan mereka adalah karena produk dari Indonesia (baik itu barang maupun
kebijakan) masih lebih sering berada jauh mutunya di bawah harapan para penggunanya.
Di satu sisi, kegiatan lembaga donor tersebut dianggap menguntungkan oleh sebagian
kalangan karena mereka memperoleh proyek yang berarti pula tambahan penghasilan.
Namun, yang patut dicermati adalah karena proyek-proyek tersebut mulai dilihat oleh negara
dan lembaga donor sebagai kurang efektif dan sebagian donor mulai melakukan evaluasi.
Dari sudut pandang suatu konsorsium pemberi donor program-program sosial, yang dalam
hal ini tentu tidak patut bagi saya untuk menyebutkan namanya, ada indikasi bahwa hasil
penelitian dari lembaga penerima proyek justru belum tentu dipakai atau dipertimbangkan
oleh pembuat kebijakan (baik di pemerintahan maupun parlemen). Masih banyak indikasi
bahwa para pembuat kebijakan cenderung mengandalkan tim-tim litbang internal yang sering
kali sudah kerepotan dengan urusan administrasi atau memang terdiri atas unsur-unsur
peneliti yang belum punya keahlian di bidang yang dimaksud.
Kalau pemerintah bersikukuh dengan pola lama ini, artinya untuk terus mengandalkan tim
internal dalam menyusun naskah akademik yang mendasari suatu kebijakan, maka kita perlu
khawatir akan efek beban keuangan yang harus ditanggung oleh APBN untuk hasil yang
kurang jitu dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Secara umum, saya merasa perlu menyampaikan bahwa kegiatan pemerintah mustahil
berjalan optimal tanpa didukung oleh penelitian yang mendalam dan terarah pada kebutuhan
masyarakat, baik itu untuk kebutuhan hari ini maupun 20-30 tahun mendatang. Rata-rata
penelitian di lembaga-lembaga pembuat kebijakan masih berorientasi pada pencarian sumber
masalah, deskripsi kebutuhan, serta pemetaan kepentingan. Tetapi apa saja pilihan kebijakan
yang kemudian patut ditimbang, justru belum ditelaah. Dan memang, jenis penelitian seperti
itu membutuhkan keahlian dan keterampilan ekstra. Sulit tetapi wajib kita miliki dalam waktu
singkat.
Semoga Kabinet Kerja Jokowi-JK membaca kebutuhan dukungan dalam bidang penelitian.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
141
Menyimak Kearifan Lokal Koran SINDO 18 Desember 2014
Kita berduka akibat bencana longsor di Banjarnegara pekan lalu. Sampai tadi malam baru 80-
an korban yang berhasil ditemukan. Lebih dari seratus orang diperkirakan terkubur di bawah
longsoran selain tentu harta benda mereka seperti rumah, mobil, sepeda motor, dan
lainnya. Begitulah kalau alam sudah murka.
Bagaimana longsor itu bisa terjadi? Pasti ada banyak faktor. Misalnya, jenis tanahnya yang
tidak sanggup menahan air. Lalu, ada banyak pohon besar yang menghilang dari atas
bukit. Padahal, pohon-pohon itu bukan hanya berfungsi menahan air, melainkan dengan
akarnya yang dalam dan menyebar akan mampu mengikat tanah.
Saya kira masih banyak faktor lain. Penyelidikan ke arah penyebab belum dilakukan karena
saat ini semua sibuk melakukan evakuasi korban, baik yang meninggal dunia maupun luka-
luka ringan atau berat.
Kearifan Lokal
Bicara soal hilangnya pohon-pohon besar dari atas bukit, saya jadi teringat dengan cerita-
cerita masa lalu yang di dalamnya terkandung kearifan lokal. Untuk menjaga agar pohon-
pohon besar tetap terpelihara, kakek-nenek atau orang-orang tua dahulu mengembangkan
berbagai cerita yang bagi sebagian orang mungkin terkesan mistis. Mereka bilang, ”Jangan
main-main ke atas bukit. Di sana angker, banyak penunggunya. Mereka bersarang di pohon-
pohon besar yang ada di sana.”
Bukan hanya itu. Sebagian dari orang-orang tua kita bahkan ada yang secara periodik
menaruh sesajen di pohon-pohon besar tersebut. Ini membuat kesan mistis menjadi semakin
kuat. Dengan cara seperti, kita tentu tak berani main-main ke atas bukit. Apalagi mengganggu
pepohonan yang ada di sana. Hasilnya, pepohonan itu mampu menjalankan fungsinya dengan
baik.
Kala musim hujan mereka mampu menampung air yang tercurah dari langit dan membuat
pasokan air tetap terjaga, bahkan saat musim kemarau sekalipun. Kemudian pohon-pohon itu
juga mampu mengikat tanah sehingga tidak longsor. Karena itulah, belum lama ini bekerja
sama dengan komunitas Sanggabuana, kami menanam pohon bambu betung di bantaran Kali
Ciliwung. Selain untuk pelestarian alam, ya pasti untuk mencegah erosi sungai.
142
Dari seorang kawan yang melakukan tissue culture saya diberi tahu upayanya itu baru
dilakukan kembali di negeri ini setelah Belanda pergi. Bayangkan, puluhan tahun kita
abaikan bambu betung yang punya cerita tentang kearifan lokal yang amat kuat di Tanah Air.
Konon, para jawara mengambil air dari mata air dekat akar bambu untuk mengusir roh jahat.
Begitulah kearifan lokal yang berkembang masa lalu yang berperan penting dalam menjaga
lingkungan kita. Jadi, jangan hanya dilihat dari sisi cerita mistisnya.
Bicara tentang ini, mungkin Anda masih ingat dengan cerita tentang sebatang pohon besar
yang tumbuh di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Kabarnya, pohon ini angker karena
memiliki beberapa penghuni sehingga upaya untuk menebangnya selalu gagal. Kemudian
orang-orang jadi takut mencobanya. Lalu, dengan gagahnya serombongan orang dari
sekelompok organisasi massa keagamaan mendatangi pohon tersebut. Untuk membuktikan
mereka tidak takut dengan keangkerannya, mereka menebang pohon tersebut dengan
garangnya.
Kita pun kehilangan pohon itu. Meski hanya sebatang, setidak-tidaknya pohon tersebut
menyerap gas CO2 yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan yang lalu lalang di jalan
tersebut. Begitulah kalau kita kurang bijak menyikapi kearifan lokal yang tersembunyi di
balik cerita-cerita mistik tentang pohon besar.
Emisi Karbon
Baiklah, kini saya ajak Anda untuk melihat ke isu-isu yang lebih besar terkait lingkungan
kita. Kita di Indonesia, dan masyarakat dunia, sebetulnya tengah menghadapi masalah
lingkungan yang sangat serius. Masalah itu tentang pemanasan global.
Akibat dari pemanasan ini, es-es di kutub utara dan selatan mencair sehingga memicu banjir
di sejumlah negara yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Pemanasan global juga
menyebabkan volume air yang menguap juga terus meningkat. Ini menyebabkan konsentrasi
uap air di langit kita menjadi begitu tinggi.
Akibat itu, curah hujan menjadi sangat tinggi. Di beberapa negara badai salju bahkan
menggila. Jauh lebih tinggi ketimbang tahun-tahun silam. Kondisi semacam ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Beberapa negara dan kota yang tidak siap pun menjadi kewalahan
menghadapi itu. Contohnya, kota New York di Amerika Serikat bahkan sempat lumpuh
akibat badai salju. Di negara kita, perubahan cuaca ini menyebabkan musim penghujan
datang begitu terlambat. Musim kemarau menjadi terasa terlalu berkepanjangan.
Apa pemicu dari pemanasan global tersebut sehingga berdampak pada perubahan cuaca yang
begitu ekstrem? Pemicunya adalah peningkatan emisi gas CO2. Mengapa emisi gas ini bisa
meningkat? Sederhananya begini.
Jumlah penduduk bumi terus meningkat. Begitu pula kegiatan mereka pun ikut meningkat.
143
Kombinasi dari dua faktor tersebut menyebabkan konsumsi energi juga meningkat. Cobalah
Anda amati. Pernahkah permintaan akan bahan bakar minyak (BBM) berkurang? Jelas tidak.
Malah yang terjadi permintaannya semakin meningkat akibat terus bertambahnya jumlah
kendaraan bermotor.
Pernahkah permintaan tenaga listrik berkurang? Juga tidak. Sebaliknya, terus meningkat.
Betapa tidak. Di negara kita jumlah mal terus bertambah. Permintaan akan rumah dan hunian
juga tak pernah berkurang. Orang juga semakin sibuk dan banyak yang kerja hingga larut
malam. Semua itu menyebabkan permintaan tenaga listrik terus meningkat.
Kini orang juga semakin sering berbicara, terutama melalui media sosial. Untuk membuat
kita senantiasa terkoneksi, baterai gadget atau smartphone harus selalu penuh. Untuk men-
charge gadget tersebut tentu butuh tenaga listrik. Apakah Anda tahu pembangkit listrik kita
masih banyak yang menggunakan bahan baku fosil seperti minyak dan batu bara? Ini
membuat emisi karbon tak pernah berkurang.
Dilema
Itu pada satu sisi. Mari kita lihat sisi lainnya. Peningkatan emisi karbon selalu identik dengan
kemajuan suatu negara. Artinya, makin kencang laju pembangunan di suatu negara, emisi
karbonnya pun akan terus meningkat. Saya kutip saja data dari US Department of Energys
Carbon Dioxide Information Analysis Center untuk 2012.
Emisi CO2 negara Amerika Serikat mencapai 16,16% dari total karbon dunia. Di China
mencapai 24,46%. India yang terus membangun, emisi CO2-nya mencapai 5,98%.
Bandingkan dengan emisi karbon di negara-negara yang relatif tertinggal seperti Bhutan yang
bahkan 0%, Laos 0,01%, Sri Lanka yang 0,04%, atau negara kita yang 1,29%.
Jadi, kalau kita mau menjadi negara maju, memang ada harga yang harus kita bayar. Itulah
dilemanya. Tapi, sejak kapan kita bisa hidup tanpa dilema! Maka itu, jagalah kearifan lokal
dan jangan arogan menertawakan alam. Di balik cerita-cerita rakyat biasanya ada kearifan
yang harus kita simak dengan bijak.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
144
Teologi Antikorupsi Koran SINDO 19 Desember 2014
Apakah dasar normatif dan logika keagamaan sehingga korupsi masuk kategori dosa besar
(sin) dan kejahatan besar (crime) menurut agama dan kemanusiaan? Pertanyaan inilah yang
saya maksudkan dengan teologi antikorupsi.
Judul ini mestinya ditulis dan dibahas dalam bentuk buku agar pembahasannya lebih
mendalam dan serius. Tetapi, menulis buku setidaknya diperlukan waktu enam bulan dengan
konsekuensi meninggalkan semua kegiatan lain kecuali membaca dan menulis. Inilah yang
sungguh sulit dilakukan kalangan intelektual Indonesia karena minim dana penelitian agar
seseorang bisa fokus pada proyek riset, tanpa harus bekerja yang lain sebagaimana umumnya
dilakukan dosen di negara lain misalnya Singapura atau Malaysia.
Korupsi yaitu tindakan mengambil hak-hak orang lain. Secara teologis memang ada
pandangan pada dasarnya semua ini tentu saja milik Allah. Namun, Allah telah
mengamanatkan dan menganugerahkannya kepada manusia sehingga kalau seseorang
korupsi, berarti melawan tiga pihak. Pertama, melawan Tuhan karena jelas-jelas tidak
menaati perintah-Nya agar tidak mengganggu dan merugikan sesama hamba-Nya. Tuhan
menghendaki hamba-Nya hidup bersih dan terhormat, jangan dikotori oleh rezeki yang bukan
haknya. Jangan hak orang lain dicuri.
Kedua, mengganggu, mengambil, dan merugikan hak sesama manusia sehingga korupsi
merupakan dosa kemanusiaan yang hina. Terdapat hukum moral, jika kita tidak ingin dan
tidak mau hak-hak kita dicuri orang, kita juga tidak boleh mencuri hak orang lain.
Ketiga, korupsi merupakan dosa sosial karena merusak etika dan sistem sosial sehingga bisa
mendatangkan kerugian dan kerusakan lebih besar. Bayangkan saja, jika seseorang
melakukan korupsi menilap uang pajak atau melakukan korupsi tidak membayar pajak,
kehidupan sosial dan pemerintahan bisa keropos dan ambruk. Demikianlah, korupsi tidak saja
dosa dari aspek teologis, namun juga sosial dan politik.
Lebih dari itu, karena yang dirugikan korupsi adalah sesama manusia, pertobatannya juga
mesti horizontal. Karena harta korupsi diambil dari sesama manusia, permintaan maaf atau
pengembaliannya juga kepada sesama manusia. Jika diambil dari kas negara, hasil
korupsinya disita negara serta memperoleh hukuman berdasarkan undang-undang negara.
Yang menarik jika menyangkut aspek ritual keagamaan. Bila seseorang tidak mampu
berpuasa misalnya, bahkan bisa diganti berupa fidyah, sebuah kompensasi materi yang
145
diberikan kepada manusia, terutama fakir-miskin. Sebaliknya, jika seseorang melakukan
korupsi, tidak bisa dilunasi dengan ibadah ritual secara vertikal seperti salat atau umrah.
Seseorang merasa berbuat dosa, lalu rajin salat atau ibadah haji-umrah, tentu itu bagus untuk
memohon ampunan, taubat, keteguhan iman, dan petunjuk kehidupan. Namun, itu semua
belum cukup kalau hatinya belum tergerak untuk melakukan pertobatan horizontal yaitu
membersihkan hartanya yang kotor. Bukankah kewajiban membayar zakat dan sedekah tidak
bisa diganti dengan memperbanyak salat? Artinya, sekali lagi, ada beberapa kewajiban taat
pada Allah yang tidak dapat terpenuhi kecuali dengan melakukan kebajikan terhadap sesama
manusia.
Sebagaimana perintah menyembelih hewan kurban. Meski niatnya karena Allah, dagingnya
mesti sampai kepada manusia yang sangat memerlukan. Allah tidak memerlukan zakat,
sedekah, dan hewan kurban kita.
Demikianlah, melakukan korupsi yang jelas-jelas milik sesama manusia berarti melakukan
perlawanan terhadap Allah, merugikan sesama manusia, dan merusak sistem sosial. Ada tiga
macam dosa yang mesti ditanggung. Bahkan bisa lebih dari tiga macam dosa yang dilakukan
karena seorang koruptor biasanya akan membagi hasil korupsinya kepada keluarga dan
teman-temannya.
Mengingat korupsi berpotensi merusak sistem sosial dan pemerintahan, banyak negara yang
kemudian menerapkan hukum dan pengawasan yang ketat tanpa melibat pertimbangan
agama. Hasilnya bahkan cukup mengesankan. Misalnya saja Hong Kong, Singapura, China,
dan yang lain, mereka memberantas korupsi demi menjaga tegaknya sistem pemerintahan
yang bersih demi melindungi warganya tanpa dalil keagamaan.
Di Indonesia yang masyarakatnya religius dan negaranya berketuhanan, sungguh menjadi
ironis melihat kenyataan indeks korupsi masih tinggi. Jangan-jangan karena ada anggapan
dan keyakinan bahwa korupsi bisa diputihkan dengan ritual keagamaan? Andaikan anggapan
ini betul, kesimpulannya bisa mengagetkan. Negara dan masyarakat sekuler ternyata lebih
berhasil memberantas korupsi ketimbang masyarakat dan negara yang beragama.
Kelemahannya justru terletak pada pemahaman agama yang permisif pada korupsi dengan
keyakinan dosa sosial bisa ditebus dengan ibadah vertikal-individual.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
146
Banjarnegara, Kearifan Lokal, dan Kecerdasan Ekologis
Koran SINDO 19 Desember 2014
Menjelang tutup tahun 2014, bencana tanah longsor terjadi di Banjarnegara. Hingga Kamis
(18/12), sudah 87 korban tewas ditemukan, puluhan masih hilang serta lainnya mengungsi
karena 108 rumah mereka roboh.
Seperti diketahui, tebing yang longsor mengubur rumah-rumah warga dan menyapu apa pun
yang melintas di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara,
Jawa Tengah, Jumat (12/12). Jumlah korban jiwa masih mungkin bertambah, karena masih
terus dilakukan upaya pencarian korban. Kita pasti merasa ngeri menyimak detik-detik
longsor Banjarnegara di YouTube. Kita sungguh berdukacita dengan para korban dan
keluarga mereka.
Menyikapi bencana tersebut, ada beragam respons. Ada yang pasrah akibat dukacita
mendalam. Ada pula yang bersikap biasa, karena menganggap bencana sebagai hal yang
biasa. Atau ada juga yang masa bodoh, karena bagi mereka, ada “bencana” lain yang lebih
mendesak. Misalnya “bencana” semakin mahalnya harga sembako bagi wong cilik atau tarif
dasar listrik yang kian mencekik para pengusaha. Terlebih hari-hari ini rupiah juga terpuruk
mendekati Rp13.000 per dolar Amerika, terburuk sejak 1999.
Syukurlah ada juga yang sadar. Menurut pakar geologi sekaligus Rektor Universitas Gadjah
Mada (UGM) Dwikorita Karnawati, longsor di Banjarnegara, disebabkan faktor alam dan
kesalahan pengelolaan kawasan.
Dwikorita menjelaskan, faktor alam itu adalah adanya sejumlah jalur patahan di Karangkobar
yang memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak. Efek patahan
itulah yang memudahkan terjadinya longsor, terlebih pada musim hujan.
Kearifan Lokal
Pada masa lalu, kearifan lokal membuat warga Banjarnegara yang notabene orang Jawa tak
berani membangun rumah di perbukitan. Tapi entahlah, kemudian kawasan longsor tersebut
didiami banyak orang, setelah bukit-bukit di sana sukses ditanami salak. Padahal mendiami
kawasan rawan longsor, jelas mengganggu keseimbangan antara alam empiris dan alam
metaempiris.
Seperti diketahui, dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi
147
kediaman manusia dan alam di balik realitas-empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu
berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris, dipengaruhi oleh
alam metaempiris (Frans Magnis Suseso, Etika Jawa, 2001).
Pada halaman 86 buku Etika Jawa, Romo Magnis menulis: ”..pengalaman-pengalaman
..pengalaman-pengalaman empiris’ orang Jawa tidak pernah empiris semata-mata. Alam
metaempiris yang angker dan mengasyikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam
empiris selalu diresapi oleh alam gaib.” Jadi apa yang ada pada alam, seperti bukit, gunung,
sungai, semuanya berpenghuni.
Maka ada sakralisasi alam. Alam ini sakral sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Kalau
alam tidak dijaga atau dilestarikan, keseimbangan bisa terganggu. Apalagi kalau manusia
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peran dan tempatnya, harmoni bisa melahirkan
disharmoni, bahkan bencana. Ini terbukti dari berubah fungsinya perbukitan di Banjarnegara,
yang pada masa lalu tidak pernah menjadi tempat tinggal atau perumahan.
Kebutuhan akan tempat tinggal memaksa sebagian orang berani mendirikan tempat tinggal
atau perumahan di daerah perbukitan yang rawan longsor. Kebutuhan itu mendorong mereka
berani melanggar kearifan lokal yang dahulu diyakini nenek moyang mereka. Pada zaman
Belanda pun, sudah ada larangan warga untuk membangun rumah di atas bukit.
Tapi, coba simak, dalam empat puluh tahun terakhir, semakin banyak rumah dibangun di atas
bukit-bukit. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 49 juta jiwa
dari 250 juta penduduk negeri ini, tinggal di daerah yang rawan longsor Akibatnya, tipologi
bukit pun berubah. Bukit-bukit juga tidak mampu menanggung beban lagi saking banyaknya
perumahan di atasnya.
Perubahan itu tentu sangat berisiko dan kita sudah melihatnya sendiri akibatnya. Maka
terjadilah “ecological suicide“ atau bunuh diri lingkungan, yang melahirkan bencana seperti
longsor di Banjarnegara kali ini.
Namun, kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah
perbukitan. Bagaimanapun, pemerintah atau instansi yang punya wewenang pemberian izin
(seperti IMB) seharusnya sejak dini membuat larangan tegas. Kalau pemerintah kolonial saja
bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang tidak? Jelas hal itu merupakan “dosa ekologis”,
yang sekarang sudah sangat terlambat untuk disesali. Padahal pada masa lalu, tidak ada orang
yang berani bertempat tinggal di daerah perbukitan.
Maka ketika bencana sudah telanjur terjadi akibat eksploitasi yang mendorong terjadinya
perubahan fungsi lahan perbukitan jadi perumahan, hal ini tidak akan bisa dicarikan solusinya
lewat ritual “selamatan”. Mengapa tak bisa? Karena eksploitasi itu sudah meminggirkan
kearifan lokal, yang diwarisi orang Jawa dari para leluhurnya.
Tata dunia atau alam empiris telah berubah fungsinya, sehingga para makhluk di alam
148
metaempiris yang jadi penunggu bukit, pohon, dan sungai atau pohon tak bisa diajak
berdamai mengingat “tempat tinggal”-nya sudah dirusak oleh tangan manusia yang doyan
membangun rumah di atas perbukitan. Maka aktivis lingkungan dan penulis Jack Rogers
menekankan pentingnya kembali interelasi yang harmonis antara Sang Pencipta, manusia dan
alam semesta.
Segala bentuk eksploitasi atau destruksi, seperti pembabatan hutan atau mengubah fungsi
bukit atau lahan menjadi tempat tinggal, tak akan bisa memulihkan “equilibrio ecologico“
(keseimbangan ekologi). Maka kita jangan terlalu percaya pada cara pandang yang sangat
antroposentrisme, bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, yang dengan
kesempurnaan itu, boleh berbuat apa pun termasuk mengubah fungsi bukit menjadi
perumahan. Cara pandang antroposentrisme merupakan cara pandang merusak (destroyer
paradigm).
Kecerdasan Ekologis
Apalagi menurut Paul Elrich dalam The End of Afflence -nya, dalam diri manusia terdapat
sifat rakus (materialisme). Dorongan ini makin menjadi ketika manusia menyadari bahwa
ternyata membangun rumah di atas bukit tidak jadi masalah. Satu atau dua rumah ternyata
tidak menimbulkan masalah.
Namun begitu, banyak rumah didirikan di atas bukit, daya beban daerah perbukitan pun kita
berat. Dan dengan mudah, ini bisa menjadi bencana, ketika hujan turun. Maka longsor yang
disebabkan oleh dosa ekologis ini, harus membuat kita berefleksi dan membuat langkah nyata
ke depan untuk menghentikan hasrat terus membangun tempat tinggal di perbukitan, yang
berbuah malapetaka.
Kini yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan otak (IQ) atau kecerdasan emosional (EQ),
tapi juga EnQ atau enviro intelligence atau kecerdasan ekologis. Untuk itu, harus segera
dibuat langkah cepat, tepat, dan terkoordinasi sebagai bentuk antisipasi terlebih pada jutaan
warga kita yang bertempat tinggal di atas daerah rawan longsor.
Saat ini ada 114 titik longsor di negeri ini. Bukit-bukit yang gundul harus ditanami pohon.
Langkah proteksi dan persuasi harus ditempuh agar warga yang mendiami kawasan rawan
longsor rela direlokasi. Hukum juga harus ditegakkan agar ke depan tak ada yang berani
membangun rumah di atas bukit yang rawan longsor.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
149
Siti Koran SINDO 21 Desember 2014
Semasa sekolah menengah pertama (SMP) saya pernah membaca sebuah novel karangan
Marah Rusli terbitan Balai Pustaka berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai.
Dalam buku itu diceritakan tentang kisah kasih tak sampai antara seorang gadis cantik, Sitti
Nurbaya, dengan seorang pemuda tampan, Samsul Bahri, yang berlatar belakang masyarakat
Minangkabau di Padang. Pada suatu masa, Samsul Bahri hendak melanjutkan pendidikannya
ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia (sekarang FK UI). Sebelum berangkat ia pamit kepada
Sitti Nurbaya sambil menyatakan cintanya yang berbalas dari Sitti.
Maka, berpisahlah dua muda-mudi itu setelah bersumpah untuk sehidup-semati. Tetapi,
sementara kepergian Samsul Bahri, ayah Sitti Nurbaya, seorang saudagar kaya bernama
Baginda Suleman, dizalimi oleh seorang kaya lain yang jahat bernama Datuk Meringgih.
Karena persaingan, Datuk Meringgih menyuruh para pendekarnya untuk membakar perahu-
perahu penuh dagangan dan meracuni kebun kelapa milik Baginda Suleman sehingga
Baginda Suleman bangkrut dan meminjam uang f10.000 (baca: 10.000 gulden) kepada Datuk
Meringgih.
Karena Baginda Suleman tidak bisa mengembalikan uang itu, di luar kehendaknya Sitti
Nurbaya dinikahkan dengan Datuk Meringgih, si tua bangka. Singkat cerita, pada akhir kisah
Samsul Bahri kembali ke Padang, tetapi bukan sebagai mahasiswa kedokteran, melainkan
sebagai seorang letnan dari tentara Belanda yang datang untuk menumpas sebuah
pemberontakan pajak.
Pada kesempatan itu, Letnan Mas (nama samaran Samsul Bahri) sempat berduel dengan
Datuk Meringgih yang berakibat keduanya tewas dan Letnan Mas dimakamkan
berdampingan dengan makam Sitti Nurbaya, ibundanya, dan ayahandanya, Baginda Suleman,
yang sudah lebih dahulu meninggal akibat kekejaman Datuk Meringgih.
Pada awal Era Reformasi, muncul lagi seorang Siti yaitu Siti Nurhaliza yang bukan asli
Indonesia, melainkan impor dari Malaysia. Karena itu, namanya panjang sekali karena
dilengkapi dengan berbagai gelar yaitu Datin Siti Nurhaliza binti Tarudin DIMP, JSM, SAP,
PMP, AAP, yang kemudian (setelah ngetop sebagai penyanyi pop di Indonesia) menikah
dengan Datuk Khalid, seorang duda yang jauh lebih senior beranak empat.
Tetapi, tidak seperti yang dikenal masyarakat Indonesia, ternyata Siti Nurhaliza yang sangat
150
cantik dan selalu tersenyum ketika bernyanyi (sehingga sangat memukau para mas-mas dan
om-om senang) adalah juga seorang perempuan pengusaha, punya studio rekaman, dan
sekaligus juga berprofesi sebagai presenter. Luar biasa.
Akhirnya, pada Era Reformasi ini, saya kenal dengan satu Siti lagi yaitu Siti Nurbaya
(dengan satu ”t”), yang nama lengkapnya adalah Dr Ir Siti Nurbaya Bakar MSc.
Dari gelarnya, kita tahu bahwa dia orang sekolahan. Dia lulusan SMAN 8 Jakarta (yang pada
waktu itu SMA paling top se-Indonesia), insinyur pertanian dari IPB, dan lulusan S-3 dari
IPB dan Siegen University, Jerman. Tetapi, Siti Nurbaya yang ini tidak berkarier di
universitas, tapi di birokrasi, dimulai dari jabatan-jabatan papan bawah di Bappeda Provinsi
Lampung, sampai menjadi sekjen Depdagri RI, sekretaris DPD RI, dan sekarang menteri
lingkungan hidup dan kehutanan.
Saya pernah dua kali mendapat job dari ibu yang luar biasa ini yaitu ketika meneliti kasus
bullying yang menyebabkan kematian seorang taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam
Negeri (STPDN) dan ketika saya ditunjuk untuk menjadi anggota tim seleksi calon anggota
KPU menjelang Pemilu 2004.
Tiga orang Siti yang hidup pada era yang berlainan menunjukkan perjalanan sejarah gender
di Indonesia. Sitti Nurbaya menjadi korban diskriminasi gender yang sangat terbuka dan
dibenarkan oleh masyarakat pada zamannya. Kemudian dari Malaysia, Siti Nurhaliza datang
untuk menyapa masyarakat Indonesia dengan lagu-lagu merdu dan senyumnya yang amat
cantik. Dia, yang selalu menyebut dirinya dengan ”Siti” saja, datang dengan sederetan gelar
bangsawan yang menunjukkan betapa di negeri jiran itu status perempuan bisa tinggi
walaupun di sisi lain masih berlaku budaya poligami di sana.
Akhirnya ada Siti Nurbaya kedua, yang dengan kekuatannya sendiri, menempuh
pendidikannya sendiri dan menjalani kariernya sendiri sehingga mencapai puncaknya, tanpa
bantuan siapa-siapa dan menembus semua sistem diskriminasi yang ada di Indonesia.
Inilah perwujudan cita-cita Kongres Perempuan I di Yogya pada 28 Desember 1928. Salah
satu peserta sekaligus oratornya adalah seorang Siti juga yaitu Ibu Siti Zahra Gunawan yang
kebetulan nenek saya sendiri dari garis ibu saya. Hidup Siti!
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia