(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

150
1 DAFTAR ISI SAAT ORANG SUKSES JADI PENCABUT NYAWA Reza Indragiri Amriel 4 LURUSKAN ORIENTASI PENGABDIAN DPR Aditya Anugrah Moha 7 ISLAM ADALAH BARAT Sarlito Wirawan Sarwono 10 URGENSI PENGARUSUTAMAAN PEMUDA Arip Musthopa 13 MENGKAJI PAHLAWAN PILIHAN Agus Dermawan T 16 PESAN DARI CHINA Tirta N Mursitama 19 PEMIMPIN YANG PEDULI DAN MENGAYOMI Mohamad Sobary 22 LOGIKA SOSIALISME Komaruddin Hidayat 25 TANTANGAN PENDIDIKAN Elfindri 28 PAHLAWAN KESIANGAN Sarlito Wirawan Sarwono 31 PUBLIKASI ILMUWAN RENDAH, MENGAPA? Ali Khomsan 34 KAMPUS DAN TRAGEDI NARKOBA Sudjito 37 SEMANGAT KEBANGSAAN ALA VIKING Dedi Mulyadi 40 MENEGUHKAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Biyanto 44 LAKON DPR DADI RATU Mohamad Sobary 47 MENANAMKAN SPIRIT ANAK MUDA NIRKEKERASAN

Transcript of (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

Page 1: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

1

DAFTAR ISI

SAAT ORANG SUKSES JADI PENCABUT NYAWA

Reza Indragiri Amriel 4

LURUSKAN ORIENTASI PENGABDIAN DPR

Aditya Anugrah Moha 7 ISLAM ADALAH BARAT

Sarlito Wirawan Sarwono 10

URGENSI PENGARUSUTAMAAN PEMUDA

Arip Musthopa 13

MENGKAJI PAHLAWAN PILIHAN

Agus Dermawan T 16

PESAN DARI CHINA

Tirta N Mursitama 19

PEMIMPIN YANG PEDULI DAN MENGAYOMI

Mohamad Sobary 22 LOGIKA SOSIALISME

Komaruddin Hidayat 25

TANTANGAN PENDIDIKAN

Elfindri 28

PAHLAWAN KESIANGAN

Sarlito Wirawan Sarwono 31

PUBLIKASI ILMUWAN RENDAH, MENGAPA?

Ali Khomsan 34

KAMPUS DAN TRAGEDI NARKOBA

Sudjito 37 SEMANGAT KEBANGSAAN ALA VIKING

Dedi Mulyadi 40

MENEGUHKAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH

Biyanto 44

LAKON DPR DADI RATU

Mohamad Sobary 47

MENANAMKAN SPIRIT ANAK MUDA NIRKEKERASAN

Page 2: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

2

Muhammad Muchlas Rowi 50

KENAIKAN BBM DAN DERITA WONG CILIK

Tom Saptaatmaja 53

PENDIDIKAN KEMBALI KE KHITAH?

Z Arifin Junaidi 56

RELIGIUSITAS KAUM NELAYAN

Komaruddin Hidayat 59 BENTROK APARAT TNI-POLRI DAN REVOLUSI MENTAL

Laode Ida 62

AGAMA KTP

Dedi Mulyadi 65

BBM, PANGAN, DAN URBANISASI

Posman Sibuea 69

PAPUA BERDIKARI DAN POROS MARITIM

Amiruddin Al-Rahab 72

CITRA DIRI ITU MAHAL

Komaruddin Hidayat 75 SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (1)

Sys NS 78

SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (2)

Sys NS 81

MENYOAL E-VOTING

Ikhsan Darmawan 84

UMAT YANG JARANG MEMBACA

Mohamad Sobary 87

MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (1)

Dedi Mulyadi 90 INISIATIF MORA DAN JEJARING INTELEKTUAL

Gun Gun Heryanto 93

MORATORIUM KURIKULUM 2013, SEBUAH KERUGIAN NYATA

Sukemi 97

REVOLUSI MENTAL ATAU MORAL PANCASILA?

Handi Sapta Mukti 101

Page 3: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

3

KONTROVERSI KHILAFAH

Komaruddin Hidayat 104

DARI RAWAMANGUN KE PINTU BESI

Sarlito Wirawan Sarwono 107 ORANG-ORANG BESAR DI PERPUSTAKAAN

Mohamad Sobary 110

MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (2)

Dedi Mulyadi 113

PERANGI MALNUTRISI

FX Wikan Indrarto 117

MELINDUNGI PEKERJA DOMESTIK

Reza Indragiri Amriel 120

PILAR RESEARCH UNIVERSITY

Ali Khomsan 123 MASYARAKAT TANPA SEKOLAH

Sarlito Wirawan Sarwono 126

KURIKULUM KEMBALI KE ASAL (1)

Dedi Mulyadi 129

WATAK & TINGKAH LAKU POLITIK

Mohamad Sobary 133

KEKERASAN REMAJA

FX Wikan Indrarto 136

PENELITIAN DAN PENELITI

Dinna Wisnu 138 MENYIMAK KEARIFAN LOKAL

Rhenald Kasali 141

TEOLOGI ANTIKORUPSI

Komaruddin Hidayat 144

BANJARNEGARA, KEARIFAN LOKAL, DAN KECERDASAN

EKOLOGIS

Tom Saptaatmaja 146 SITI

Sarlito Wirawan Sarwono 149

Page 4: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

4

Saat Orang Sukses Jadi Pencabut Nyawa Koran SINDO 8 November 2014

Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, yakni Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih

alias Jesse Lorena Ruri, kehilangan nyawa di Hong Kong. Menggegerkan, karena orang yang

menghabisi kedua TKW tersebut adalah seorang bankir profesional bernama Rurik Jutting.

Belasungkawa untuk Ningsih dan Mujiasih. Terlepas dari itu, pertanyaan pun muncul:

bagaimana seorang eksekutif profesional yang sukses bisa sekonyong-konyong menjelma

menjadi pembunuh berdarah dingin. Bahkan tidak hanya pekerja selevel Rurik. Sejumlah

usahawan papan atas pun tercatat melakukan pembunuhan, aksi yang sangat jauh dari

imajinasi publik akan kata “kemapanan”. Bob Ward, John Brooks, Haissam Safetli, Freddie

Young, John Dupont, Calvin Harris, dan Harold Landry, adalah beberapa di antaranya.

Kekagetan khalayak akan kelakuan jahat para pengusaha bonafide semestinya tak terjadi

apabila masyarakat ingat bahwa gambaran pebisnis sukses yang secara tiba-tiba berubah

tabiat sebenarnya sudah terwakili dengan baik oleh sosok Batman. Siang hari, siapa pun

mengenal Bruce Wayne sebagai pemilik imperium bisnis di kota Gotham. Intuisi dagangnya

mengagumkan.

Bruce Wayne seolah tak memiliki apa pun di dalam tempurung kepalanya, kecuali sebuah

kalkulator bisnis. Otak yang seakan hanya terdiri dari satu belahan itu mengakibatkan Bruce

Wayne memiliki mempunyai temperamen yang begitu dingin, termasuk terhadap lawan jenis.

Tapi begitu matahari beringsut ke peraduan, laksana pemilik kepribadian majemuk, Bruce

Wayne “menghilang” digantikan figur Batman.

Si manusia kelelawar bergentayangan di seantero kota dengan warna kostum serba hitam dan

membawa hati yang penuh sesak dengan amarah terhadap para bandit. Bruce, saat berperan

sebagai Batman, tidak peduli pada bisnisnya. Sebagai gantinya, ia menggila, meneror para

penjahat laksana binatang buruan.

Batman menikmati setiap detik ketakutan yang menjalari para kriminal, sehingga mereka

mati dengan sendirinya. Tabiat beda siang dan beda malam itu disebabkan oleh trauma Bruce

Wayne alias Batman yang tidak pernah tertangani secara tuntas.

Untuk menjadi raja diraja di dunia bisnis bukan perjuangan sepele. Untuk menduduki

singgasana di gedung pencakar langit, si profesional harus melakukan pengorbanan luar biasa

besar. Rumusan Imam Ghazali tentang ritme ideal hidup harian manusia, yakni sepertiga

Page 5: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

5

waktu untuk bekerja, sepertiga untuk beristirahat, dan sepertiga untuk beribadah, jauh

panggang dari api.

Konkretnya, jam kerja berlipat ganda, sementara jam istirahat berkurang drastis. Stamina

terkuras, namun pasokan energi tak seimbang akibat pola makan yang kacau dan olah raga

yang dihapus dari agenda rutin. Kehidupan personal yang serba jujur terkesampingkan,

kegiatan membasuh dimensi religusitas ternihilkan, tergeser oleh alam berpikir yang

serbakompetitif atas nama profesionalisme. Lebih parah lagi, terjadi penyimpangan dalam

menilai diri.

Workaholic menjadi sebutan yang dirasa membanggakan. Insomnia atau gangguan tidur

parah, yang aslinya berkonotasi negatif, justru diidentikkan dengan komitmen dan dedikasi

penuh pada pekerjaan. Keharmonisan keluarga kalah penting dibandingkan kemajuan karier.

“Kerja, kerja, kerja”, menduduki posisi sebagai semboyan tunggal yang mewakili semangat

untuk maju. Jatah cuti dibuang, akhir pekan diisi dengan sosialisasi semu, memperparah

guncangan hormonal yang dialami si sosok profesional.

Dinamika hidup yang menjadi serbasibuk itu sesungguhnya membuat tubuh si usahawan

menjadi ringkih. Gangguan mental gampang mendera. Laurence Stybel, misalnya, menduga

kuat bahwa sangat banyak kalangan eksekutif yang mengidap dysthymia, yaitu depresi ringan

namun kronis yang telah berlangsung selama setidaknya dua tahun.

Sam Ozersky bahkan menyebut manik depresi atau gangguan afektif bipolar sebagai

ironisnya sumber energi utama pada sekian banyak profesional bisnis paling ambisius di

negara-negara maju. Selain guncangan psikis, pola hidup profesional juga mengganggu

kesehatan fisiknya. Seperti penyakit jantung, impotensi, ketergantungan pada narkoba, dan

lainnya.

Celakanya, untuk menjamin agar kerajaan bisnis tidak hancur, si usahawan harus

menyembunyikan segala kelemahan dan berbagai gangguan yang ia derita. Separah apa pun,

ia harus senantiasa mempertontonkan kondisi kesehatan prima, keceriaan yang tanpa batas,

serta produktivitas 24 jam per hari dan 7 hari per pekan.

Terkuaknya kondisi sebenarnya si pengusaha dianggap sangat memalukan, bahkan berisiko

pada kaburnya mitra bisnis. Jadi, tidak hanya si pengusaha menutup-nutupi segala

masalahnya, ia pun tidak akan berinisiatif mencari bantuan guna mengatasi gangguan-

gangguan yang ia derita. Padahal, semakin terlambat problem kesehatan tertangani, semakin

menurun peluang kesembuhannya.

Dan pada gilirannya, keputusan untuk mengabaikan pola hidup sehat itu berkonsekuensi kian

fatal terhadap bisnis yang sudah ia bangun atau pun pekerjaan yang ia tangani. Di Inggris

saja, sebagai gambaran, masing-masing karyawan tidak bekerja hingga rata-rata 23 hari per

tahun akibat stres, depresi, dan kecemasan yang mereka alami.

Page 6: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

6

Ketiga problem psikologis tersebut mencakup 39 persen dari total hampir 1,3 juta kasus

kesakitan terkait kerja pada setiap tahun. Dikhawatirkan, kondisi tersebut tidak berbeda

bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1999 silam ketika Organisasi Buruh

Internasional menyebut stres kerja sebagai epidemi global.

Pada titik kritis itu, senyatalah bahwa Batman hanya hidup di alam fantasi. Bisa dibilang

tidak mungkin seorang pebisnis sukses mampu terus-menerus memendam kepenatan lahir

batinnya dari pandangan orang lain, lalu mengompensasikannya dengan menjadi pahlawan

pembela kebenaran. Yang kerap terjadi adalah kebalikannya; gagal menyamarkan serbaneka

kelainan psikologis, si pebisnis bisa tiba-tiba meledak akibat tersulut peristiwa provokatif.

Meminjam pernyataan hakim yang menyidangkan Harold Landry, usahawan kaliber puncak

seperti memiliki suatu sifat bawaan yang manakala terpantik, akan kuat mendorong individu

tersebut untuk meletupkan aksi kekerasan nan berbahaya. Konkretnya, dari kondisi yang

semula seolah sehat lagi produktif, sosok profesional sukses itu akan berbalik secara drastis

dengan menampilkan tindakan destruktif, baik menyakiti diri sendiri maupun membahayakan

orang lain.

Kemungkinan buruk sedemikian rupa kian kentara pada masa krisis. Hantaman

perekonomian dan iklim usaha yang suram berakibat pada meruyaknya perasaan tidak

memiliki masa depan, dan ini gerbang depresi. Individu juga menghadapi keterbatasan

sumber daya, sehingga memperparah perasaan tak berdaya. Tak aneh jika lantas angka bunuh

diri di Amerika Serikat melonjak pada masa krisis perekonomian, khususnya yang dilakukan

oleh orang-orang berusia produktif 25 hingga 64 tahun.

Memang, tidak serta-merta kalangan profesional memupuk watak dasamuka. Betapa pun

begitu, satu pembelajaran: Kerapuhan, yang diselubungi jubah keperkasaan, pada gilirannya

akan menggerogoti si empunya badan dan mengerosi pikiran. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islam

Page 7: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

7

Luruskan Orientasi Pengabdian DPR Koran SINDO 8 November 2014

Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarut-larutnya kisruh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada yang

diuntungkan. Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan negara. Sebelum

kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR

harus musyawarah dan bermufakat meluruskan kembali fokus pengabdian DPR.

Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus dihujani kecaman oleh berbagai elemen

masyarakat karena konflik KMP versus KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang

sah secara legal dipegang oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”.

Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu menyelesaikan persoalan akibat

ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang mengemuka bukan hanya citra parlemen yang

semakin bertambah buruk, melainkan juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan

urusannya sendiri. DPR telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi

justru membuat marah banyak orang.

Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat, anggota

DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada kesimpulan final bahwa DPR periode

sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus

mengajukan pertanyaan klise ini; ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat

dan negara, atau kepada dirinya sendiri?

Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah dan gerak pemerintah,

pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan baru berputar dengan kecepatan

tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air antusias menyimak dan menyikapi cara kerja

Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta

para menterinya.

Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan pemerintah. Kini

pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari dinamika itu? Tidak ada jawaban

lain kecuali DPR harus segera bersinergi dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa

ini akan tampak sangat bodoh jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh

sekarang ini.

DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa yang sedang berkembang

di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini, baik KMP maupun KIH menyadari betul

risiko ini. Kalau berlarut-larut, kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan

Page 8: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

8

ketidakpastian. Kalau ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya

bergerak maju, melainkan set back.

Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk pemerintah dan DPR, akan

merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi respons dengan caranya sendiri.

Persepsi komunitas internasional terhadap Indonesia pun akan berubah jadi negatif.

Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat berbahaya jika negara selalu

dalam kondisi tidak stabil atau berselimut ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi

lokal akan dihantui keraguan. Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan

enggan menanam modal di negara ini.

Fokus Pengabdian

Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai dengan inisiatif dari

semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu bersepakat menyesuaikan persoalan oleh

DPR sendiri. Wacana atau saran penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan

pihak eksternal, seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga

tinggi negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti.

Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa menjadi bahan olok-olok

publik karena akan dinilai tak mampu mengatasi persoalannya sendiri. Inisiatif itu harus

diawali dengan iktikad baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan

berdialog dengan agenda utama meluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan

rakyat.

Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi harus melihat keluar, menyelami

aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja program yang sedang dan akan dijalankan

pemerintah sebagai mitra. Dalam kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang

tetap bisa melihat keluar. Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami

aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang dijalani

pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang DPR yang utuh menjadi

syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP

atau menunggu persetujuan KIH di DPR.

Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD)

menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH harus berhadap-hadapan di DPR.

Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR terbelah, baik KMP maupun KIH harus

berinisiatif serta berdialog mencari jalan keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan.

Pijakan utamanya, KMP-KIH harus saling menghormati posisi masing-masing dan realistis

terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam posisi mayoritas dan siapa di posisi

minoritas. Tak kalah pentingnya adalah menghormati dan mengakui hak masing-masing.

KMP dan KIH harus mau saling mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing

Page 9: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

9

kubu.

Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral harus berani menempuh

cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri untuk tidak saling menyerang di

ruang publik serta bersepakat tidak lagi menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi

publik. Kalau hari-hari sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik,

sudah waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat.

Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang pendapat atau saling serang

kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika masing-masing tidak mengedepankan ego

kubu. Ketika DPR secara institusi melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang

bergerak sangat cepat untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan.

Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh pemerintah dan DPR adalah

upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Opsi yang

dipilih pemerintah adalah mengoreksi kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan

bakar minyak (BBM). Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM,

pemerintah tentu perlu berkonsultasi dengan DPR.

Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus berkonsultasi? Apalagi,

pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di sektor kemaritiman dan perikanan.

Karena proyek di sektor kemaritiman dan perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan

juta warga negara, pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat

dibutuhkan pemerintah.

Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam perawatan inkubator di

sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu misalnya.

Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib turun lakukan fungsi pengawasan. Tetapi,

karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya harus menunggu prosesnya. Padahal

rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang nyawa.

DPR harus segera move on agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi

negeri yang sama kita miliki.

ADITYA ANUGRAH MOHA

Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI

Page 10: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

10

Islam adalah Barat Koran SINDO 9 November 2014

Pada zaman dulu kala orang-orang Mesir percaya ada makhluk kombinasi seperti Sphinx;

makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan berekor ular yang doyan makan manusia.

Orang Yunani percaya ada Centaurus, yaitu manusia yang bertubuh kuda.

Orang Yunani dan Roma juga percaya pada para dewa; makhluk-makhluk abadi yang

menguasai alam semesta, tetapi bersifat seperti manusia, termasuk juga mempunyai nafsu

asmara dan angkara murka, seperti misalnya dewi kecantikan dan seks yang di Yunani

disebut Aphrodite dan dalam mitologi Romawi kuno disebut Venus. Atau dewa laut Yunani,

Poseidon, yang di Romawi disebut Neptunus.

Mereka juga kawin-mawin dengan hewan dan/atau dilahirkan dari hewan, seperti Ekhidna,

yaitu makhluk setengah wanita setengah ular yang merupakan istri Tifon, dan tentu saja putri

duyung (mermaid) yaitu wanita cantik bertubuh ikan, yang menikah dengan raja yang

tampan.

Tetapi pada 384-322 sebelum Masehi, hiduplah seorang filsuf yang pikiran-pikirannya sangat

berpengaruh sampai hari ini, yang bernama Aristoteles. Dia mengajarkan untuk pertama

kalinya ilmu logika, yang isinya antara lain adalah hukum ”All or None” (seluruhnya atau

bukan sama sekali), yaitu bahwa sesuatu itu adalah ”X” atau ”Bukan-X”. Tidak ada setengah

X, atau campuran X dan Y.

Atas dasar itu ia membagi makhluk hidup di dunia ini ke dalam tiga golongan, yaitu anima

vegerativa (tanaman yang hidup dan berkembang biak saja), anima sensitiva (hewan yang

hidup dan mempunyai indera), dan anima intelektiva (yaitu hewan yang hidup, berindera dan

punya fungsi mnemic atau memori).

Maka sejak itu di Barat berkembang ilmu pengetahuan yang dasarnya adalah logika

Aristoteles dan berkembang sampai ke kawasan Timur Tengah. Maka, sejak itu pulalah

makhluk-makhluk campuran yang bisa saling kawin-mawin tinggal menjadi mitos saja. Ilmu

dan agama-agama yang lahir di Barat kemudian berkembang dengan mengikuti logika

Aristoteles.

Islam adalah yang paling konsisten dengan logika Aristoteles itu, misalnya Islam

membedakan dengan sangat jelas tumbuhan, hewan, dan manusia dari malaikat, dan setan;

dan antara dunia dengan akhirat. Tuhan di mata Islam adalah tunggal, tidak dilahirkan dan

tidak berketurunan.

Page 11: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

11

Tetapi di Timur (India, Tiongkok, Jepang, zaman dulu Amerika belum ditemukan), tidak ada

Aristoteles. Karena itu logika Timur berbeda sekali dengan logika Barat. Tuhan yang

menurut kepercayaan-kepercayaan timur disebut ‘dewa’ bisa banyak (Hindu, Konghucu).

Setiap orang yang sangat baik hati, bisa dipromosikan menjadi dewa. Dewa-dewanya orang

Hindu Bali dengan orang Hindu Nepal bisa berbeda sekali.

Berbeda dengan saya yang terkadang salat di berbagai masjid di seluruh dunia tanpa halangan

apa-apa (kecuali bahasa pengantar lokal yang saya tidak mengerti), seorang dokter kawan

saya yang kebetulan dari Bali, ketika kami mengikuti konferensi di Nepal, langsung keluar

dari kuil tempat pemujaan Hindu lokal, katanya, ”Enggak enak, dewa-dewanya enggak ada

yang saya kenal.”

Orang Buddha, bahkan punya konsep tentang Tuhan yang berbeda sama sekali dengan

konsep agama lain, di mana yang penting adalah perbuatan baik dari setiap orang, agar

nantinya bisa reinkarnasi ke kehidupan yang akan datang dan menjadi manusia yang makin

baik dan makin baik lagi, sehingga akhirnya moksa (bukan surga loh), seperti sang Buddha

sendiri.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum mengenal Islam dan Kristen, kerajaan-kerajaan di

Nusantara, terutama Jawa dan Sumatera, sudah mengenal animisme, dinamisme dan agama

Buddha dan Hindu terlebih dulu. Di Bali bahkan sampai sekarang agama Hindu masih

merupakan agama mayoritas. Tidak mengherankan jika pengaruh logika Timur masih sangat

kental di Indonesia.

Di Jawa Tengah, misalnya, kalau ada orang meninggal, diadakan acara berdoa bersama atau

dalam istilah Islam Jawa ”tahlilan” (Jawa: ”slametan”) pada hari ketiga, ketujuh,

keempatpuluh, sampai ke 100 hari, bahkan 1.000 hari. Demikian pula ada kebiasaan

mengunjungi makam atau berpuasa pada hari-hari/peristiwa-peristiwa tertentu.

Hubungan manusia dengan roh gaib, bahkan dengan Tuhan digambarkan sebagai

manunggaling kawula lan gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau yang dalam Islam

disebut sufisme yang sangat ditentang oleh golongan yang ingin mengembalikan agama ke

jalan seperti yang dicontohkan oleh para nabi pada zamannya (Islam yang dipahami oleh

pengikut aliran Wahabi dan Salafi).

Orang Indonesia juga masih percaya pada babi ngepet (siang jadi manusia, malam jadi babi,

karena mengikuti ilmu hitam untuk mencari kekayaan), dan di cerita-cerita wayang (yang

aslinya dari India) ada Gatotkaca yang bisa terbang, Bima yang beristrikan seekor ular, dan

Semar si manusia sekaligus dewa.

Kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini dilakukan juga oleh penganut agama Kristen di

Jawa, tetapi tidak oleh Muslim di Sumatera Barat. Ini tidak berarti bahwa Muslim Sumatera

Barat lebih beriman dan bertakwa dari muslim di Jawa, tetapi memang agama-agama yang

sama, ketika berkembang di daerah kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kebiasaan

Page 12: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

12

yang berbeda pula. Inilah yang disebut akulturasi budaya, atau yang dalam istilah ilmu

perbandingan agama disebut sinkretisme.

Sekarang ada kecenderungan orang untuk kembali ke agama masing-masing sesuai asal-

usulnya. Maka semua yang tidak berasal dari agama versi orisinal (asli dari sono-nya)

dianggap salah, kafir, dan harus diberantas, kalau perlu dengan perang dan darah!

Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa musuh Islam adalah Barat, karena

kebudayaan Barat yang masuk Indonesia (Westernisasi) telah membawa budaya

imperialisme, kapitalisme, demokrasi, dan konsumtivisme, pokoknya destruktif. Padahal,

semua itu bukan agama yang bermain, melainkan politik. Dalam kaitannya dengan logika

Aristoteles, agama Islam itu sama saja dengan agama-agama samawi lain yang berasal dari

Barat.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 13: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

13

Urgensi Pengarusutamaan Pemuda Koran SINDO 11 November 2014

Kita telah cukup familier dengan istilah ‘pengarusutamaan gender’, tetapi tidak dengan istilah

‘pengarusutamaan pemuda’. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan tentang

pengarusutamaan pemuda di awal tulisan ini.

‘Pengarusutamaan pemuda’ dimaknai sebagai strategi sistematis meningkatkan peran pemuda

dalam seluruh aspek kehidupan dengan memperhatikan serta melibatkan pemuda dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian

diharapkan kebijakan publik yang lahir akan ramah terhadap pemuda (youth friendly) dan itu

berarti investasi penting bagi masa depan bangsa.

Kenapa pengarusutamaan pemuda penting dilakukan? Pertama karena populasi pemuda (16-

30 tahun) sangat besar, yakni sekitar 60 juta jiwa dari jumlah populasi nasional. Bahkan,

apabila definisi pemuda diperluas menjadi 16-40 tahun, populasi pemuda mencapai 40%

populasi nasional.

Kedua, periode menjadi pemuda sangat menentukan bagi hidup seseorang. Pada masa ini

seseorang memutuskan hal-hal yang menentukan jalan hidupnya seperti pilihan profesi/karier

dan pasangan hidup. Pemuda membutuhkan lingkungan yang kondusif dan kematangan diri

yang memadai untuk memutuskan hal-hal yang sangat mendasar bagi hidupnya di masa

depan tersebut.

Di luar dua alasan tersebut, menurut World Programme of Action For Youth, pemuda

memiliki tiga dimensi, yakni sebagai pewaris masa depan, agen perubahan sosial, dan korban

utama perubahan sosial. Tiga dimensi tersebut merupakan representasi dari dimensi filosofis,

historis, dan sosiologis dari pemuda yang akan semakin menegaskan pentingnya kepemudaan

menjadi variabel penting kebijakan publik.

Potret historis keindonesiaan kerap kali menempatkan pemuda dalam bingkai yang

membanggakan. Namun sayangnya pemuda dalam dimensi sosiologis kerap kali jadi korban

perubahan sosial.

Periode menjadi pemuda memang rentan terhadap berbagai masalah sosial. Makanya kerap

kali kita mendapatkan informasi tentang kekerasan pemuda seperti tawuran

antarpelajar/mahasiswa, tawuran pemuda antarkampung, dan konflik sosial lain yang

melibatkan pemuda sebagai korban sekaligus pelaku. Belum lagi korban narkoba dan

pengidap HIV/AIDS yang umumnya pemuda.

Page 14: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

14

Persentase pemuda yang menganggur juga mencapai jumlah yang fantastis, yakni 33%.

Potret pendidikan pemuda juga kurang menggembirakan. Sebanyak 80% pemuda tidak lagi

berada di sekolah/perguruan tinggi. Angka partisipasi kasar (APK) pemuda di perguruan

tinggi hanya sekitar 20%, jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 60%,

apalagi Korea Selatan yang mencapai 90%.

Selain itu, kita hanya punya sekitar 6% pemuda yang lulus perguruan tinggi, jauh di bawah

yang lulus SLTA (30%) dan SLTP (30%). Sisanya yang berjumlah sepertiganya lagi tidak

lulus atau hanya lulus SD. Pelbagai alasan dan fakta di atas kiranya cukup menggambarkan

betapa kompleksnya permasalahan kepemudaan dan luasnya dimensi kepemudaan sehingga

sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari yang selama ini diberikan.

Oleh karena itu, pemuda dan kepemudaan harus menjadi salah satu “arus utama” dalam

preferensi kebijakan publik. Artinya (hampir) setiap kebijakan publik harus memperhatikan

karakteristik, kebutuhan, dan diarahkan untuk membangun “postur” pemuda Indonesia.

Hal ini penting disadari karena tanpa membangun postur atau profiling pemuda Indonesia

yang lebih baik tidak mungkin kita dapat melahirkan generasi bangsa yang lebih baik di masa

depan. Bayangkan apabila kita memiliki pemuda yang dapat tumbuh lebih sehat, berkualitas,

dan kompetitif, akhirnya kita akan memiliki generasi bangsa yang lebih sehat, berkualitas,

dan kompetitif dari generasi sebelumnya.

IPP dan Blueprint

Untuk menjadikan pemuda dan kepemudaan sebagai salah satu “arus utama” preferensi

kebijakan publik, tidak cukup hanya dengan UU No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.

Dibutuhkan minimal dua dokumen lagi, yakni Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) dan

blueprint strategi pembangunan pemuda (blueprint).

Kedua dokumen tersebut harus menjadi dokumen resmi yang diterima menjadi rujukan

semua pihak yang berkepentingan baik di pemerintah maupun di luar pemerintah. IPP

merupakan instrumen untuk mengukur perkembangan pembangunan pemuda dilihat dari

seluruh dimensi kepemudaan dari waktu ke waktu.

Menurut World Programme of Action for Youth, IPP dapat dilihat dari 15 bagian, yaitu: (1)

pendidikan, (2) pekerjaan, (3) kelaparan dan kemiskinan, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6)

penyalahgunaan obat-obatan, (7) kenakalan pemuda, (8) aktivitas waktu luang, (9) masalah

gender, (10) partisipasi dalam kehidupan sosial dan pengambilan keputusan, (11) globalisasi,

(12) teknologi informasi dan komunikasi, (13) HIV/AIDS, (14) pencegahan konflik pemuda,

dan (15) hubungan antargenerasi. Lebih lanjut, fungsi dari adanya IPP adalah untuk (1)

mengukur perkembangan pemuda dari waktu ke waktu, (2) mengidentifikasi wilayah-wilayah

atau isu-isu yang membutuhkan perhatian lebih lanjut, (3) membandingkan kemajuan antar

provinsi/daerah, (4) dasar bagi perumusan kebijakan/tindakan advokasi terhadap pemuda, dan

(5) mendorong riset, kajian, dan pengumpulan data yang berkaitan dengan pemuda.

Page 15: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

15

Dokumen IPP harus dirumuskan bersama oleh Kemenpora dan instansi pemerintah lain

seperti Bappenas, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan. Juga melibatkan

pemangku kepentingan di dunia kepemudaan seperti KNPI dan elemen organisasi

kepemudaan lainnya, perguruan tinggi, dan sebagainya. Hal ini penting agar semua instansi

dan pihak terkait memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab yang sama terhadap isi

dokumen tersebut dan pembangunan kepemudaan di Indonesia.

Setelah memiliki IPP, selanjutnya disusun blueprint Strategi Pembangunan Pemuda.

Blueprint ini disusun melalui proses yang sama dan diarahkan untuk meningkatkan capaian

IPP dari waktu ke waktu.

Jadi, kedua dokumen tersebut memiliki kaitan yang erat. Bagian krusial dari blueprint

tersebut adalah menerjemahkan upaya untuk menaikkan IPP dalam bentuk program-program

yang nyata. Juga pembagian tugas, fungsi, dan peran serta pola koordinasi dan sinergi dari

semua pihak terkait dalam melaksanakan program-program tersebut.

Kedua dokumen tersebut sejauh yang penulis ketahui belum dimiliki pemerintah RI. Padahal,

di negara-negara Persemakmuran (Commonwealth countries), dokumen IPP telah lama dibuat

dan dijadikan acuan perumusan kebijakan. Inilah menjadi tugas mendesak yang harus

dilakukan Menpora RI dari Kabinet Kerja Jokowi-JK apabila ingin membangun dunia

kepemudaan secara komprehensif, mendasar, dan sistematis.

Kiranya visi Presiden Jokowi yang menekankan pembangunan manusia melalui slogan

“revolusi mental” dapat menjadi payung besar yang membantu Menpora untuk mendesakkan

agenda tersebut di pemerintahan. Akhirnya, selamat bekerja Pak Menteri, salam pemuda.

ARIP MUSTHOPA, SIP, MSI

Ketua Umum PB HMI 2008-2010, Ketua DPP KNPI 2011-2014

Page 16: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

16

Mengkaji Pahlawan Pilihan Koran SINDO 12 November 2014

Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 November, Jumat 7 November 2014 Presiden

Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh anumerta.

Gelar yang disematkan di Istana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No.

115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921),

komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di

Sumatera; Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus

Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang;

Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung

dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri

koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888),

pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor,

eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu

seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk

menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam

perbincangan masyarakat. Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis

dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan

Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman

yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh

Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia

abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Wardiman Djojonegoro.

Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak

Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan

kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria

serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

Pahlawan Teladan

Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini

lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak

lain yang ramai-ramai menolak.

Page 17: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

17

Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri

Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila

terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena

diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer.

Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan

sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka

Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara

jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan

Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin.

Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan

jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang

sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru

dan Orde Reformasi.

Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak

orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baik-buruknya

selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun.

Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional”

Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009. Subbab kriteria

”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada

Warga Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah

yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau

meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan

tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi

pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”

Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi

subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang

dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan

bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan

kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”.

Siapa yang Memilih

Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh

untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang.

Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir

ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan

(paling banyak) 13 orang. Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi

terkait.

Page 18: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

18

Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya

merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis

ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP.

Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki

kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas

pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian

bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari

sikap keberpihakan?

Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam

mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah

yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu?

Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila nama-nama

calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat

banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya

masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto.

Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat

situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial.

AGUS DERMAWAN T

Pengamat Sosial dan Budaya, Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana Presiden

Page 19: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

19

Pesan dari China Koran SINDO 12 November 2014

Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama

Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata

dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan

mempertaruhkan nama besar China pada dunia.

KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan

global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah

China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan

dana USD50 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di

negara-negara Asia.

Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan

menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk

mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya

manusia. Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama

industri dan finansial dengan negara-negara Asia.

Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untuk

mengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi

yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk

meningkatkan ikatan bilateral mereka.

Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak

pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak

tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang

dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersama-sama mengatasi hambatan-hambatan

praktis di lapangan.

China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi

sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan

diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme

penyelesaian sengketa.

Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan

keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat

terkikis hingga titik kritis.

Page 20: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

20

Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas

kawasan Asia. Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya

semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya

kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan

negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan

Amerika.

People to People

Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap

berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi

persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula

pengembangan sumber daya manusia.

China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara

tetangga selama lima tahun ke depan. Seperti disampaikan Presiden China Xi Jinping, bahwa

pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya

manusia. Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan

baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting.

Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal

dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian. Pemerintah China

baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk

belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan

masing-masing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun

penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain.

Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan,

universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki

karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut

melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga

melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat.

Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari

Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat.

Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif,

bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China.

Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi,

membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung.

Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit

bereputasi dunia.

Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar

Page 21: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

21

rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit.

Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas.

Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya

ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya.

KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara

pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia.

Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan

memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang

terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam

konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga.

Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia

yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan

stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China

akan memimpin dunia.

Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus

menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan

keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara

tetangga yang baik.

TIRTA N MURSITAMA, PHD

Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara; Visiting Scholar

pada College of Economics and Management Fujian Normal University,China

Page 22: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

22

Pemimpin yang Peduli dan Mengayomi Koran SINDO 12 November 2014

Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini yang menaruh peduli pada

sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan tampil memberikan perlindungan dan

pengayoman? Ini perkara sulit. Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu.

Dapatkah dunia bisnis, yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan

idealisme? Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan kombinasi

cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan wawasan yang meluhurkan

nilai-nilai non-materi?

Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan batin? Pada umumnya,

para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis, idealisme ya idealisme. Bisnis dan idealisme

itu dua dunia yang terpisah dan berseberangan secara diametral.

Orang yang memandang uang di atas segalanya hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan

mencapai kepuasan jika impiannya menghimpun sejumlah besar uang terpenuhi. Jenis orang

seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya melalui wujud materi. Dengan kata lain,

kepuasan batin akan muncul hanya jika ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi

nyata, yang meningkatkan akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam

genggamannya.

Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil. Ibaratnya, bumi dan langit

mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran yang tak kita kehendaki? Ya. Tapi

ini bukan satu-satunya dalil yang bisa masuk di akal kita.

Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi bisnis kecil, yang masih

bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama, belum punya prestasi, dan dengan

begitu juga belum punya rekam jejak yang meyakinkan di dalam dunia bisnis.

Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala besar mungkin lain lagi ceritanya. Organisasi

bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang mapan, yang mencatat caring, credible,

competent, competitive, serta customer delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa

dilanggar, tampaknya tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan mengawinkan

bisnis dengan idealisme.

Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis hanya empat: credible,

competent, competitive, dan customer delight. Ini prinsip-prinsip bisnis murni. Caring itu

lebih menampilkan aspek sosial, dan sisi kemanusiaan dari sebuah dunia bisnis, daripada

Page 23: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

23

mewakili kepentingan bisnis itu sendiri. Di dunia bisnis, watak care itu problematik. Bagi

sebagian kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis.

Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis besar, yang menolak

prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang wajib ada, terutama bila kata itu berarti

”jiwa yang penuh peduli” pada sesama, atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk

bederma. Dua pemimpin bisnis dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi

caring bisa berbeda.

Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan dijalankan sesudah tokoh yang

selama ini menganggap caring sebagai kebajikan dan kemuliaan dunia bisnis, tak lagi

memegang kendali perusahaan. Jarak generasi sering mewujud dalam jarak pemikiran,

sekaligus pertentangan cara pandang tentang apa yang dianggap sikap penting untuk

mengembangkan bisnis.

Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha keras menghapus watak

itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak produktif, karena terlalu sosial, melainkan

merupakan pemborosan yang tak perlu. Tapi di mata seorang pebisnis besar; yang secara

intern dikultuskan sebagai ”the living legend” jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha

memperbesar dukungan, dan mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan

pemborosan.

Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak dipensiunkan, dan masih

dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini watak care yang indah secara

kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan pemborosan. Watak care di sini

menggambarkan fungsi pemimpin, dan kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk

mengayomi mereka yang membutuhkan pengayoman.

Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk kalangan orang luar. Tapi watak

care bukan hanya itu. Berorientasi pada profit dan hanya profit yang berarti akumulasi

kekayaan dalam bentuk uang, bisa membuat pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care

seperti itu merasa bersalah secara sosial.

Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis, karena direstui oleh logika

yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli, murah hati, dan mengayomi. Dunia

bisnis murni tidak salah bila di dalamnya ada sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi

pelayanan, sebagai ungkapan rasa syukur yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit”

yang sudah begitu melimpah.

Tapi caring, bukan keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk menjadi bagian dari

corporate culture dalam sebuah dunia usaha. Mungkin caring lebih merupakan watak

bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan dialektis antara kemurahan hati pribadi,

kemuliaan ajaran agama, dan sikap etis yang dalam, subtle, dan yang mungkin, lalu menjadi

sejenis kearifan hidup pribadi.

Page 24: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

24

Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan jejaknya, karena sikap atau

wataknya, yang tak mudah ”di-copy-paste” untuk menjadi suatu cultural legacy yang

ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah. Warisan kepemimpinannya bukan benda yang

siap pakai. Sikap hidup bukan sejenis keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan

seutuhnya, apa adanya.

Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang kepemimpinannya dianggap legendaris

tadi, terdapat suatu kualitas moral tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau

karisma yang luhur, yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk

”memuja”, dan begitu beratnya untuk diamalkan.

Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan. Pemimpin yang peduli

dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang yang bisa berperan sebagai ayah,

sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam tata kehidupan kita yang gersang secara

rohaniah ini.

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Email: [email protected]

Page 25: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

25

Logika Sosialisme Koran SINDO 14 November 2014

Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang

indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat

dan menantang.

Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak

sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter

datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis

selesai, saya merasa nyaman kembali.

Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata

melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini.

Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati

saya. Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani

kesehatan tamunya dengan baik.

Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu

seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang. Dia

merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para

pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia.

Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan

kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.

Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan

bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja,

berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib

berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya. Jika pemerintah pusat menerima

laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak.

Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998

ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan

untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi.

Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan.

Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap

terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota

yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan

menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.

Page 26: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

26

Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan

pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan

kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar

langsung dari seorang teman.

Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih

China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki

peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang

menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.

Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara

narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin

bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah

kapitalisme.

Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua

narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi

pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik di

Indonesia sangat mengecewakan.

Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman-

teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali

mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya

sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil. Alih-alih memberi kemudahan dan

dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras.

Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing.

Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal

ketimbang barang impor, khususnya dari China.

Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme

yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang

memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga

peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil.

Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah

dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang

memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir

karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?

Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan

agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan

bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan komunal.

Page 27: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

27

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 28: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

28

Tantangan Pendidikan Koran SINDO 14 November 2014

Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs)

salah satunya adalah tercapainya wajib belajar sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak usia 7-

15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Menjelang berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui

komitmen mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan

diperpanjang menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bekal menghalangi capaian komitmen baru

tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini.

Pendidikan Layanan Khusus

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter

wilayah. Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad

ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan anak korban

bencana alam.

Kalkulasi penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk

dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini,

Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling tinggi

capaian pendidikan masyarakatnya. Katakan negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia,

Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun.

Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit.

Apalagi, banyaknya skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak

keluarga miskin yang haknya dijamin oleh negara. Program beasiswa misalnya telah

berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin.

Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia

sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya

pemerataan kesempatan pendidikan. Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah

daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan

rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.

Kelompok anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan

pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak-

anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara mereka yang belum beruntung

secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang

tua menjadi TKI, anak-anak jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.

Page 29: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

29

Belum terhitung di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana

alam, berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah

korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat anak-anak di

pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka menghadapi ketidakpastian

tentang pendidikannya. Kisah bagaimana anak-anak yang harus berjuang untuk

menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti

jembatan yang bergoyang-goyang demi menuju sekolah.

Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan guru dan sekolah dengan cara

konvensional tidak selalu mampu memecahkan persoalan capaian pemerataan pendidikan.

Buktinya, hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok

anak usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten

yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP masih di bawah

75%.

Rata-rata capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan

tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi Belanda

kedua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar menjadi 12 tahun,

persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal” atau mereka tinggal di

daerah yang mengalami bencana alam.

Data Susenas 2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika

masa transisi dari jenjang pendidikan SMP ke jenjang pendidikan SMA. Bahkan, angka putus

sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang tuanya paling miskin. Data

yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai

jenjang perguruan tinggi.

Pendidikan khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak

“marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang

sulit untuk dijangkau “reach unreachable”. Pengalaman dua tahun penyelenggaraan

pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi

Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menghasilkan

dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk sekolah lagi.

Penyediaan seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah

berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali ke sekolah. Instrumen makanan

tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani

APBN. Dampak daya tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah.

Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah,

namun sebaiknya juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anak-anak

yang masuk kategori 40% termiskin.

Pemerataan Mutu

Page 30: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

30

Tantangan kedua adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu

kognitif, psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat

anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan terhadap

anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar, dan Kemampuan

Membaca mereka jauh dari yang diharapkan. Anehnya, pergantian kurikulum sekalipun tidak

banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan.

Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering anak-anak

kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya dihitung dengan jari.

Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif

dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta

sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia secara random,

mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di sekolah favorit dengan sistem

rekrutmen yang dibangun.

Terlepas itu semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu.

Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya terhadap

peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di antaranya peningkatan

kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali

komitmen dan integritas para pendidik.

Mereka pada umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga

yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for

trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses penguatan institusi

pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad guru, menjadi modal untuk

mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan.

ELFINDRI

Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas,

Padang

Page 31: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

31

Pahlawan Kesiangan Koran SINDO 16 November 2014

Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam

dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud

mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”.

Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk

memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau

masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara

Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November

1945.

Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala

seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat

khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher

Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya,

pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada Hari Pahlawan, apalagi pada makna

kepahlawanan itu sendiri.

Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya

menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling

kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog

sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat

mencekam.

Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun metro (kereta api bawah tanah) di

London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat

lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta

dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu

pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta

api.

Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling

histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba

sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk

balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika

kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit

pun.

Page 32: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

32

Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua

anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika

menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang

balita itu selamat.

Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan. Seorang

pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang

banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti

kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno ‘hero’) itu sendiri adalah keberanian atau

pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya,

atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan

yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia. Awalnya

istilah ini hanya untuk dunia militer/perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam

kaitannya dengan nilai-nilai moral.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah

kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan

sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama)

untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan

datang.

Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah anti-korupsi. Semua orang tahu bahwa bukan

barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi.

Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap anti-korupsi di

zaman sekarang.

Karena itu, tokoh-tokoh yang berani anti-korupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena

mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon

pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang

(dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.

Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan

kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi.

Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau

mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.

Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10

November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa

ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah

satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat

bintang jasa dari pemerintah.

Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa

bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi

Page 33: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

33

anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan

sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan

gubernur DKI.

Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya

adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali

pahlawan kesiangan.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 34: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

34

Publikasi Ilmuwan Rendah, Mengapa? Koran SINDO 17 November 2014

Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi

kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal. Cita-cita meraih institusi

pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api.

Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas

penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang

buruk disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas.

Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer

untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan.

Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang

dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.

Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang

keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat

bisnis seperti media massa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang

tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang

naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari

pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.

Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di

perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal

ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal

ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak

menulis. Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap

ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya.

Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi

internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu. Bukti-

bukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah

mempublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen

pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif

menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak.

Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Air kurang menunjang dosen untuk bergairah

menghasilkan publikasi bertaraf internasional.

Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks

Page 35: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

35

tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti

masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya,

melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga

merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen

meneliti, yang lahir hanyalah ipteks-ipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar.

Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah

internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa

dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.

Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan

Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk

berseminar di luar negeri harus ditingkatkan.

Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai oleh bukti-bukti publikasi ilmiah di

jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti sulit untuk menggapai jenjang

profesor atau profesor riset. Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai

oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150

orang.

Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan

ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format

manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun

yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.

Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen

pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk mempublikasikan hasil-hasil

risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil

tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah.

Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di

tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas

top di dunia.

Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat

di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan

cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset

sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian

yang belum optimal.

Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para

dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai

dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing

mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri.

Page 36: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

36

Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik. Pernah muncul istilah

ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media massa hanya diperlukan pemikiran

sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis

ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa

menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah.

ALI KHOMSAN

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Page 37: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

37

Kampus dan Tragedi Narkoba Koran SINDO 17 November 2014

Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada

universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu.

Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di

universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak?

Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondar-mandir ke universitas tersebut dalam rangka

kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan.

Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur.

Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding

universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor)

sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain,

hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting.

Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah

jebol dilanda dekadensi moral narkoba?

***

Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati

terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa,

melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi,

dan mampu memorak-porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti

langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun

penindakannya.

Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup

bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan

teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi

berbasis visi kultural kebangsaan. Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering

dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”.

Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya

melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis

sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai

perjuangan melawan narkoba. Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai

kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal

demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik

dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil

Page 38: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

38

memutarkan koin, fulus, atau uang.

Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum

dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan

narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang

terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai

semangat kebangsaan.

Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotong royong sesuai dengan posisi dan fungsi

masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ

akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap

narkoba.

Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar

kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak

kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab

dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar

hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.

***

Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini

kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter

normatif. Sejak kita masuk era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis

amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda.

Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui cara-cara instan, ingin cepat sampai pada

sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna

narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter

pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas,

dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.

Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia

bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas.

Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil

berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tiba-tiba badai menerpa,

dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah?

Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan

kita sebagai bangsa. Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers

telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur

teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum

semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah,

Page 39: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

39

lingkungan, dan pendidikan tinggi. Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan

sebagai semangat kebangsaan.

Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah

ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan

sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa,

semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian.

Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan

proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun

kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris-

objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk, dengan semangat

kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. Wallahu a’lam.

PROF DR SUDJITO SH MSI

Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Page 40: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

40

Semangat Kebangsaan Ala Viking Koran SINDO 17 November 2014

“Padamu Persib aku berjanji//Padamu Persib aku berbakti//Padamu Persib aku

mengabdi//Bagimu Persib jiwa raga kami.” Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi

Indonesia Super League (ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring,

Palembang.

Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh para pejuang

kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan terhadap tim kesayangan. Spirit

heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang

sebagian besar menyebut dirinya Viking.

Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat, martabat, dan

kehormatan diri. Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur

mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang kampung, ambil

jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku).

Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah Jawa Barat, ngaleut

ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi, henteu nyatang pinang sabab

tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen rebutan, ari melak henteu, ari nuar

beuki... (berbondong-bondong menggunakan bus meniti jembatan besi, bukan jembatan

pinang sebab pohon pinangnya sudah habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak

suka menanam, tapi gemar menebang). Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di

mana-mana, tapi pohon semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja

ditanam habis dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya

menanam pohonnya.

Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cukup ongkos, ada

yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel), yang penting bisa sampai ke tempat

tujuan.

Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi ka tempat anu dituju,

rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ... (yang penting sampai ke tempat yang dituju,

hendak menonton Persib di final sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking

sejati.

Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi dari spirit patriotik

tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik terhadap tim kesayangan yang telah

memberikan rasa suka dan rasa duka, membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda

terdepan, pembela, penjaga martabat dan kehormatan Persib. Gelombang spirit bergemuruh

Page 41: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

41

secara masif sehingga Viking menjadi kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam

membangun rasa solidaritas, kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu

tersakiti, yang lain menjerit penuh emosi.

***

Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat tanpa batas, entah

berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas kereta, terjatuh dari mobil atau motor,

entah berapa yang meninggal, saya tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa

tragis itu tidak menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria

Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak rancucut nu

penting mah Persib meunang... (hujan angin, petir menyambar-nyambar, tiada tempat untuk

berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib menang).

Andai saja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu berubah menjadi

emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat yang sangat ideologis, penuh jiwa

kesatria, rela berkorban, saling menolong dengan sesama, dan siap berperang membela

bangsanya manakala negara terancam. Kalau begini, tidak akan ada yang berani

merendahkan kepada bangsa kami.

Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak dari grand

final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi, gemuruhnya hanya ada dalam

potret media, pertikaian para kesatrianya tidak lagi memengaruhi emosi apalagi membangun

gegap gempita dan heroisme para pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat

ini konsolidasi politik ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat.

Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik tanpa diimbangi

bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa dilaksanakan manakala distribusi

logistik tidak turun ke konstituen, sagalana kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia),

kaos yang tinggal pakai, bus yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan,

ditambah bekal untuk anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar

membela yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (itu pun

kalau ada ongkosnya).

Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi konsistensi dalam sebuah

dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A, besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian

Partai C. Lumayan, dapat jatah kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa

mengoleksi tujuh kaos, kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya).

Mereka berprinsip kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan

lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi.

Sekalipun demikian, tidak semuanya begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik.

Persoalan inkonsistensi pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak

para kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta mah ...

Page 42: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

42

(tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru).

***

Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena terlalu lama mereka

menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan mimpi indah sebagai bangsa yang

makmur dan bermartabat. Janji manis para pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang

bertepuk sebelah tangan, manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman.

Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang sering terputus

pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik yang sering terkunci, jarak yang

semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama

kunjungan kerja atau reses, telah melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum

manis, bisikan cinta yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan

duka kini semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ...

Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh kegalauan.

Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan rasa. Aku akan menjadi

jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan amplop dari siapa pun, yang penting hasrat

politikku terpuaskan dari pada aku harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti.

Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu.

Sikap saling tidak percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik

berubah menjadi transaksi politik. Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau

mendengar apa yang diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi,

masjid omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun, jalan aspaleun, duit

bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara pada waktunya.

Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu sirna. Katanya janjinya seribu

suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10

suara, bahkan ada yang tidak mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya

pun tidak memilih saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran,

kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...).

Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk tidak mencintai

konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan prostitusi politik, beli saja lima

tahun sekali, andai kata gagal pun tidak sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay...

(jarang dibelai, cukup lima tahun sekali).

***

Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking. Hidup penuh solidaritas,

pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persib-nya sepenuh hati. Untuk para

kesatria politik, belajarlah dari Persib dan Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada

Page 43: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

43

kebencian, yang ada hanya tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan

bagi yang kalah. Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga.

Betapa bahagianya, kalau menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking, bisa jadi

berpolitik tanpa biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia

pada pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati.

Jadi Bobotoh dan Viking-nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi yang tidak boleh itu

Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena akan mencederai sumpah kesatria

seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak

Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan.

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 44: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

44

Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Koran SINDO 18 November 2014

Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad) Ke-102. Yang

patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini Muhammadiyah tetap

konsisten berjuang di ranah kultural. Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai

politik. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang

sosial keagamaan.

Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah membaca ulang testimoni

Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi

Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam.

Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari

organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.

Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai pusat, provinsi,

kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena itulah, Cak Nur menegaskan bahwa

Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja

secara nasional, tapi juga internasional.

Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji kiprah

Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis

Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat.

Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad.

Selain menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik. Di antara pernyataan bernada

kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azra, Muhammadiyah memang layak disebut

gerakan pembaru (tajdid), terutama di bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran

keagamaan, Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi

gerakan Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan

ibadah. Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan dakwah

untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC).

Pada level praksis, semua ahli sepakat mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut

gerakan pembaru. Melalui teologi al-Maal-Maun (al-Maal-Maunisme) Muhammadiyah telah

membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal saleh.

Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah telah

melaksanakan prinsip a faith with action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini

dikenal dengan dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret).

Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, berdisiplin,

Page 45: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

45

bekerja keras, dan tanggung jawab secara organisasi.

Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali dapat disebut sebagai

yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan, bentuk

pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara individual. Melalui pertanggungjawaban

secara organisatoris itu Muhammadiyah akhirnya mendapat kepercayaan dari umat. Hasilnya,

Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di bidang pendidikan,

kesehatan, dan pelayanan sosial lain.

Tetapi, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada

berbagai persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan rutin

mengurus amal usaha. Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah

tampak seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap

tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang sosial

keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu melakukan

revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan

ilmu.

Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten menyuarakan agar

Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme.

Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual, di samping gerakan praksis,

Muhammadiyah memasuki abad kedua secara cemerlang. Itu karena intelektualisme dapat

menjadi sumber energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka

memberikan pencerahan pada kehidupan keberagamaan di Nusantara.

Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini telah diwarnai persaingan yang

sangat tajam antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis. Kelompok Islam

fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana

dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami distorsi yang luar biasa. Misalnya,

simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot,

dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam

ajaran Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu jelas

melenceng dari substansi ajaran Islam.

Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga

menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal dikatakan telah

mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam. Penerjemahan kalimat

thayyibah; ‘la ilaha illallah’ dengan ‘tiada tuhan selain Tuhan’, merupakan salah satu contoh

kreasi kelompok Islam liberal yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.

Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa

memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai

mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di

antara berbagai mazhab pemikiran.

Page 46: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

46

Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought)

adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath). Ajakan untuk bersikap

moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengklaim

kebenaran.

Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah

Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman. Karena itulah, posisi

tengah (median position) ini penting sebagai tempat berpijak berbagai mazhab pemikiran.

Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai mazhab pemikiran

keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan Islam Indonesia.

Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah

harus meneguhkan ideologinya agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan

intelektual.

Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan usia lebih

dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang. Dengan demikian,

Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah) bagi umat,

bangsa, dan negara.

BIYANTO

Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur

Page 47: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

47

Lakon DPR Dadi Ratu Koran SINDO 18 November 2014

Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan

bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para

intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara; bahwa trias politica itu bukan hanya

merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga

merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan

yudikatif .

Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan

”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum

beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal

perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari.

Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya

telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan

berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek

moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja

disanggah. Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini.

Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga

kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak

demokratis.

Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa

berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan wali-wali. Tidak ada pesakitan

yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.

Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang

kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang,

membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka

tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus. Tiap

saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi

di sawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak

padi kita.

Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana

di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung

Kendalisada. Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh

Page 48: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

48

Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas

”politik” paling utama yang dipanggul Anoman.

Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk

berbuat kerusakan. Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya

merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu

muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu.

Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya

otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica. Tapi sebenarnya

kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit

rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di

Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak

Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga. Representasi simbolik

Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan

menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa

pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan.

Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah

mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat.

Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak

lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili

kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per

partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni,

dibantu Durga.

Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka

bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu

pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka

sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para

wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat.

Jika diamati baik-baik, di sana ada orang-orang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling

saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia

demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga

swadaya masyarakat, tetapi tak kurang-kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru

yang terlatih menipu.

Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk

merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat mencla-

mencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di

layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas

nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.

Page 49: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

49

Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkan

mereka. Sebentar-sebentar mereka berteriak tentang rakyat. Tapi tidak ada orang yang mau

percaya bahwa mereka membela kepentingan rakyat.

Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu. Ratu atau raja bagi siapakah

mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka ratu, raja, bagi ambisi dan keserakahan

politik mereka sendiri.

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Email: [email protected]

Page 50: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

50

Refleksi Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-19

Menanamkan Spirit Anak Muda Nirkekerasan Koran SINDO 18 November 2014

Fenomena tawuran di kalangan pelajar beberapa tahun ini terus memenuhi pemberitaan

media massa. Tentu saja, problem ini sangat mengusik dunia pendidikan nasional.

Pada usia mereka yang semestinya harus difokuskan untuk belajar, malah semakin hari anak-

anak pelajar kita ini semakin akrab dengan dunia kekerasan. Lalu, sesungguhnya apa akar

masalah yang menyebabkan para generasi bangsa ini rentan terhadap tindak kekerasan?

Dalam beberapa tahun ini, publik begitu sering dikagetkan dengan ulah sekelompok pelajar

yang berlarian di tengah jalan raya. Ada yang membawa senjata tajam, besi berukuran

panjang, kayu, melempar batu, dan berbicara kasar kepada orang-orang di sekitarnya. Akhir-

akhir ini, seolah ada ”ikatan” kuat antara pelajar dengan kebiasaan tawuran. Padahal

kebiasaan buruk ini tak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tak sedikit pelajar yang

meninggal dunia akibat tebasan celurit, dan tak sedikit pula yang dipaksa drop out dari

sekolah karena kebiasaannya tawuran.

Jika kita mengklik kata kunci ”tawuran pelajar” melalui mesin pencari Google, dengan cepat

aplikasi yang ditemukan Larry Page tersebut akan menyodorkan begitu banyak pemberitaan

tentang tawuran pelajar di Indonesia. Paling tidak ketika mengklik dengan kata kunci

tersebut, kita akan mendapatkan lebih dari 943.000 berita tentang tawuran pelajar di

Indonesia. Artinya, kebiasaan buruk pelajar ini telah menggejala hampir di semua tingkat

sekolah. Meski berbagai upaya telah dilakukan para stakeholder pendidikan untuk

meminimalisasi angka terjadinya tawuran di kalangan pelajar, tetap saja perilaku

menyimpang ini masih dilakukan sebagian pelajar.

Minimnya peran keluarga dan entitas sekolah dalam menanamkan nilai-nilai anti-kekerasan

(nirkekerasan) menjadi penyebab mereka mudah berlaku kriminal. Tanpa merasa berdosa

anak-anak usia sekolah dengan mudah melukai temannya sendiri, bahkan membunuh. Dari

itu, pemahaman tentang moralitas, pendidikan karakter, dan nilai-nilai nirkekerasan perlu

diberikan kepada mereka sejak dini.

Bertepatan dengan penyelenggaraan Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-19

(16-19 November 2014), organisasi otonom yang berdiri pada 18 Juli 1961 ini ingin berperan

besar dalam menjembatani anak-anak muda Indonesia supaya tidak terjebak pada ”budaya”

tawuran.

Page 51: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

51

Jika prilaku negatif ini terus melekat pada diri seorang pelajar, dunia pendidikan dalam negeri

akan semakin terpuruk. Bila keadaan sudah sedemikian parah, lalu siapa generasi selanjutnya

yang akan memimpin bangsa ini. Dengan mengambil tema muktamar bertajuk “Spirit

Keilmuan untuk Gerakan Pelajar Berkemajuan”, IPM mengharapkan supaya semua pelajar di

Indonesia berkonsentrasi penuh membangun basis-basis keilmuan di tempat belajarnya

masing-masing.

Kebiasaan tawuran yang melekat sampai saat ini harus segera diakhiri. Sebab perilaku ini

bukanlah karakter pelajar yang sebenarnya sebagaimana selama ini dikenal sebagai agen

perubahan sosial (agent of social change). Sebaliknya, kaum pelajar haruslah bertindak

progresif, menghindari perilaku kekerasan, dan memiliki semangat kuat terhadap dunia

keilmuan.

Ciptakan Mazhab Intelektual

Kelompok pelajar sudah harus melakukan gerakan-gerakan progresif, berkemajuan, dan

bervisi pada pembangunan mental bangsa. Kebiasaan tawuran tidak akan membawa masa

depan bangsa ini menjadi maju, tapi justru akan semakin terpuruk. Karena itu, seiring dengan

kekacauan panggung politik yang tak menentu seperti sekarang ini, menjatuhkan pilihan pada

pergerakan intelektual adalah hal yang mutlak bagi para aktivis pelajar, tak terkecuali IPM.

Sikap high politic ini bukan tanpa dasar sama sekali untuk disandingkan pada entitas gerakan

pelajar. Pasalnya, pilihan ini lebih disebabkan karena kian tergerusnya idealisme gerakan

anak-anak pelajar akibat fenomena tawuran yang selama ini sering terjadi dan menghantui

publik.

Jika pilihan gerakan ini mampu menjadi sebuah pergerakan yang menasional, maka tidak

mustahil bila kiprah aktivis pelajar akan kembali bangkit. Gerakan intelektual yang dicita-

citakan akan bermuara pada kompetensi, karakter dan gerakan yang diusung oleh setiap

kelompok gerakan pelajar pada setiap turunan agendanya. Karena itu berbagai organisasi

yang ada akan ini mampu menjadi kontributor wacana dan ide di tengah kontestasi intelektual

gerakan anak muda, khususnya para pelajar di Indonesia.

Sayangnya, harapan tersebut masih ibarat seperti ”panggang jauh dari api”, apalagi

keterlibatan dari pihak sekolah atau kampus masih minim sekali. Padahal, jika setiap sekolah

atau universitas memiliki pusat-pusat pengayaan intelektual (center for excellent), tak

mustahil dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan memiliki pasokan ilmuwan dalam

jumlah besar. Namun, sebaliknya, jika fenomena pelajar masih seperti yang tampak hari ini:

suka tawuran, bergaya hedonis, dan pragmatis, maka dalam sepuluh atau lima belas tahun ke

depan Indonesia akan semakin tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Pada hari ini saja, daya saing SDM kita masih kalah dibanding Singapura, Thailand,

Malaysia, dan Filipina. Meski Indonesia memiliki jumlah anak muda berjumlah sekitar 75

juta jiwa, kebanyakan mereka bersikap konsumtif. Sementara berbeda dengan negara-negara

Page 52: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

52

lain yang meski keberadaan anak mudanya sedikit, namun hampir semuanya bersikap

produktif.

Kelompok muda di China, misalnya, mereka telah mampu menciptakan produk-produk

teknologi yang inovatif dan aplikatif. Sementara di Indonesia, anak-anak muda di negeri ini

memiliki kapasitas intelektual yang mencukupi, tapi sayang kapasitas yang mereka punya

tidak mampu terfasilitasi dengan baik akibat peran pemerintah yang lemah. Keterlibatan

pemerintah dalam mendorong anak-anak mudanya untuk maju dan berpikir kreatif masih

sebatas wacana.

Akhirnya, pada persoalan ini gerakan pelajar harus mengisi ruang-ruang yang selama ini

belum diakomodasi cukup baik oleh pemerintah. Dengan mengambil peran sebagai

intelektual organik, gerakan pelajar akan berkontribusi besar bagi masa depan Indonesia yang

berkemajuan.

MUHAMMAD MUCHLAS ROWI

Mantan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah

Page 53: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

53

Kenaikan BBM dan Derita Wong Cilik Koran SINDO 19 November 2014

“Menangislah dengan yang menangis!”(St Paul). Bila kita jeli membaca tanda-tanda zaman,

nurani kita pasti akan terusik melihat makin keruhnya nasib para buruh.

Keputusan pemerintah Jokowi menaikkan BBM yang diumumkan Senin (17/11) jelas

menjadi kado pahit bagi wong cilik atau kaum lemah. Jelas keputusan itu membuat hidup

wong cilik kian menderita. Aneh bahwa penderitaan kaum lemah justru tengah terjadi di

negeri yang melimpah ruah dengan sumber daya alam.

Logika sederhana kaum buruh hanya melihat, sumber daya alam melimpah negeri ini

sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, sesuai amanat Pasal 33 ayat 3

UUD 1945. Apalagi kabarnya harga minyak dunia juga turun sehingga menjadi sekitar

Rp6.000 per liter. Namun, mengapa di sini harga BBM (premium) justru naik dari Rp6.500

menjadi Rp8.500? Ada ekonom yang menulis 10 alasan Jokowi menaikkan BBM, tapi kaum

lemah tidak boleh punya alasan, karena mau tak mau, kaum lemah hanya bisa patuh pada

kebijakan penguasa.

Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, hal ini bisa membuat rakyat, khususnya

kaum lemah, bisa diangkat derajat dan martabatnya sehingga menjadi lebih sejahtera. Tapi

yang terjadi justru kekayaan alam kita, lewat berbagai regulasi, justru diskenariokan untuk

hanya menyejahterakan investor asing dan segelintir elite kita yang tahu mekanisme dan

seluk-beluk jual beli BBM.

Bukan hanya kenaikan BBM yang mencemaskan kaum lemah, tapi terlebih efek domino

kenaikan BBM yang langsung banyak mendongkrak kenaikan harga berbagai kebutuhan

pokok. Bisa dipastikan UMK atau upah yang dinaikkan sejak Januari 2014, misalnya, akan

merosot lagi nilainya dan tidak cukup untuk memenuhi standar minimal hidup layak. Jangan

lupa juga ada banyak pekerja di berbagai sektor informal, masih digaji di bawah ketentuan

UMK. Bahkan di Surabaya masih banyak pekerja yang diupah Rp800.000 per bulan.

Tak mengherankan bila berbagai elemen wong cilik seperti tukang ojek, satpam, dan buruh di

berbagai penjuru Tanah Air pasti menentang kenaikan BBM. Dalam beragam unjuk rasa,

misalnya banyak buruh berteriak dan berorasi. Namun, sejatinya, di lubuk hati yang terdalam

para buruh sedang menangis. Bahkan sudah cukup banyak air mata yang terkuras. Sayang,

teriakan, orasi atau tangisan wong cilik itu hanya membentur dinding keangkuhan para

penguasa, yang tidak punya empati lagi pada rakyatnya sendiri.

Memang wong cilik seperti buruh mengalami kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir,

termasuk untuk UMK 2015 mendatang. Namun, kenaikan itu sesungguhnya menjadi sia-sia

Page 54: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

54

akibat kenaikan BBM. Bagaimana tidak, kenaikan BBM jelas memicu inflasi dan kenaikan

harga. Presiden memang sudah membagi jutaan kartu sakti untuk jutaan kaum lemah, yang

per kartunya senilai Rp200.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kartu itu bisa

menghentikan inflasi dan kenaikan harga yang sudah sedemikian mencekik leher kaum

lemah?

Maka jangan bertanya, apakah dengan UMK yang berlaku tahun ini atau awal tahun depan,

para buruh atau wong cilik yang berpenghasilan pas-pasan mampu memenuhi standar hidup

yang layak? Simak saja, mengingat tidak mencukupi lagi, banyak anak buruh harus dititipkan

pada kakek nenek atau kerabat di kampung halaman, sehingga relasi dan interaksi dengan

orang tuanya menjadi kian jarang dan dalam beberapa hal, memicu kenakalan pada

anak. Maklum proses tumbuh kembang mereka menjadi terganggu karena ketidakhadiran

orang tua mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota dengan gaji yang tidak

seberapa.

Kenaikan BBM, jelas bisa mempengaruhi relasi kaum lemah dengan pasangan hidupnya.

Selama ini saja, tingkat perceraian di kalangan kaum menengah ke bawah tidak bisa

dikatakan rendah. Memang ketika suami istri sama-sama bekerja, sementara anak-anak

dititipkan atau berada jauh dari keluarga, kohesivitas atau keterikatan pada nilai-nilai dan

komitmen pada keluarga bisa memudar.

Dunia kerja pun tidak membawa sukacita. Filosof Yunani kuno, Sophocles, menulis ”Without

labor nothing prospers.” (Tanpa pekerja atau buruh, tak akan ada kemakmuran). Tentu, ada

yang kian makmur, seperti para elite di Senayan dan mereka yang di dalam Istana. Tapi apa

artinya makmur, jika harus ada kaum lemah yang kian babak-belur? Akibat kenaikan BBM,

pasti menyengsarakan kaum lemah seperti buruh, nelayan, petani, para pekerja informal dan

”wong cilik” lainnya.

Betapa mudahnya kaum lemah di manapun dipinggirkan lewat sebuah kebijakan penguasa.

Kaum lemah juga bisa terus dipermainkan, terlebih lewat praktik korupsi, kolusi dan

nepotisme. Simak saja, para pemimpin dari pusat hingga daerah hanya memperkaya diri

sendiri, kelompok atau parpolnya. Persetan jeritan pilu para buruh, petani atau wong cilik! Ini

jelas mengingkari cita-cita luhur politik, yakni “bonum commune” (kesejahteraan bersama).

Peran Pemimpin

Padahal, jika ada pemimpin yang mau membuat kebijakan pro “poor” seperti mendiang

Hugo Chavez di Venezuela, sesungguhnya masih mungkin untuk mengurangi penderitaan

kaum lemah. Selain Chavez, kita mungkin perlu memiliki pemimpin seperti mantan Presiden

Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.

Seperti diketahui, Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking miskinnya dia sempat

tak lulus SD, mengingat dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh pabrik pada umur 14 tahun.

Terdorong cita-cita luhur mengentas para buruh yang terjerat kemiskinan, Lula memilih

Page 55: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

55

menjadi aktivis serikat buruh. Karena kerap bersuara lantang menentang ketidakadilan, dia

pernah merasakan pengapnya penjara militer.

Mengingat jalan perubahan secara signifikan dan masif hanya bisa dilakukan lewat politik,

Lula mendirikan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980 dan terpilih

menjadi anggota parlemen enam tahun kemudian. Prestasinya, di tengah proses transisi ke

demokrasi (dari era militer sebelumnya), berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD

diamendemen, tentu dengan kekuatan partainya.

Lula selalu menjadi capres dari partainya pada Pemilu 1990, 1994, dan 1998, tapi terus kalah.

Akhirnya kemenangan pun diraih dalam Pemilu 2002 dan dipilih lagi empat tahun kemudian.

Sebagai presiden yang berlatar belakang miskin, Lula mampu mengentas jutaan warga miskin

Brasil lewat kebijakan yang diambilnya. Yang terkenal adalah program tunjangan keluarga

(bolsa familia), berupa bantuan untuk keluarga miskin yang punya anak bersekolah. Juga ada

program melawan kelaparan atau gizi buruk yang disebut “fome zero”. Banyak buruh

sungguh terbantu.

Kemiskinan berhasil diatasi, karena yang berpendapatan di bawah USD1,25 per hari (kriteria

kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009. Malah menurut

Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh di dunia. Jelas ini berkat Lula yang tidak hanya

beretorika, tapi langsung membuat perubahan nyata untuk mengentas kaum lemah khususnya

buruh, petani, dan nelayan.

Oleh sebab itu, kita yang kuat, tidak boleh semena-mena pada yang lemah. St Paul di awal

tulisan ini sudah mengajak yang kuat untuk berempati pada yang lemah. Apalagi, dalam

pemilu, banyak kaum lemah telah mengantar orang untuk meraih kekuasaan. Tapi mengapa

setelah duduk di kursi kekuasaan, ada kebijakan yang membuat leher kaum lemah kian

tercekik? Sakitnya tuh di sini!

TOM SAPTAATMAJA

Teolog

Page 56: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

56

Pendidikan Kembali Ke Khitah? Koran SINDO 20 November 2014

Kurikulum 2013 akan dievaluasi, begitulah pernyataan Menteri Kebudayaan, Pendidikan

Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan, tak lama setelah menjabat

menbuddikdasmen sebagaimana dilansir berbagai media.

Sebenarnya tak ada yang aneh dalam pernyataan itu, karena evaluasi untuk suatu kegiatan

atau program adalah sesuatu yang sah bahkan suatu keharusan. Namun karena masyarakat

kita sudah terbiasa dengan eufemisme, pernyataan itu dipahami sebagai “Kurikulum 2013

akan diganti”. Maka anggapan bahwa “ganti pejabat ganti kebijakan” pun semakin kental.

Kalangan yang selama ini “menentang” diberlakukannya Kurikulum 2013 menyambut

gembira pernyataan “Kurikulum 2013 akan diganti”. Namun menurut hemat penulis, seperti

halnya kalangan yang beranggapan “ganti pejabat ganti kebijakan”, evaluasi terhadap

Kurikulum 2013 hendaknya tidak berujung pada diberlakukannya kurikulum baru.

Hal ini mengingat fakta bahwa Kurikulum 2013 baru saja diberlakukan. Itu pun belum di

semua sekolah/madrasah. Awal Oktober lalu, Kemendikbud menyatakan baru pada tahun

ajaran 2015/2016 semua sekolah/madrasah ditargetkan menerapkan Kurikulum 2013.

Kurikulum merupakan suatu yang niscaya dalam pendidikan, yang bagi bangsa dan negara

kita merupakan amanat konstitusi yang tertuang pada amendemen UUD 1945 Pasal 31.

Amanat konstitusi tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Kurikulum suatu Keniscayaan

Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi yang dijabarkan dalam

UU Sisdiknas, adanya kurikulum adalah keniscayaan. Karena kurikulum adalah seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan,

sebagaimana batasan UU Sisdiknas.

Dengan demikian, kurikulum memiliki peranan yang sangat strategis dalam pencapaian

tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan

budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini bagi generasi muda.

Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi

setiap saat dan tuntutan masyarakat dan zaman terus berubah, kurikulum harus mampu

Page 57: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

57

mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan. Selain itu, adanya

kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami

perubahan, maka pewarisan dan nilai-nilai dan budaya kepada siswa perlu senantiasa

disesuaikan. Dalam konteks inilah perubahan kurikulum dapat dipahami.

Pendidikan mempunyai akar yang sangat panjang dan jauh dalam sejarah bangsa kita, seiring

dengan perkembangan bangsa kita. Pada masa Hindu-Buddha, pendidikan dikenal dengan

istilah “Karsyan“, sebuah tempat yang diperuntukkan bagi petapa dan untuk orang-orang

yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri kepada dewa

tertinggi.

Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu patapan dan mandala. Patapan adalah

tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk

tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para

pendeta, murid, dan pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama

dan negara. (Agus Aris Munandar “Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa

Timur Abad 14-15 (1990)”).

Pada masa Islam, pendidikan bisa dikatakan melanjutkan sistem pendidikan yang sudah

berjalan pada masa sebelumnya dengan penyesuaian berdasarkan ajaran agamanya. Pada

masa Islam, tempat pendidikan yang semula bernama ‘patapan’, disebut ‘pondok pesantren’,

tempat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman. Pesantren berarti tempat

berkumpul atau tempat tinggal para santri yang sedang mencari bekal dan membentuk diri

menjadi manusia baik-baik.

Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, tujuan pendidikan adalah untuk mencari bekal diri

dengan ilmu, keterampilan dan akhlak yang mulia untuk mencapai tujuan hidup sebagai

manusia baik-baik; memanusiakan manusia. Itulah khitah pendidikan kita.

Pendidikan yang Mendiskriminasi?

Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, lembaga pendidikan yang bernama sekolah belum

dikenal. Sekolah pertama didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1817 di Jakarta,

khusus untuk anak-anak Belanda, yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota

lain di Jawa. Dalam Statuta 1818 disebutkan bahwa sekolah harus dibuka di tiap tempat bila

diperlukan oleh penduduk Belanda dan keadaan memungkinkan.

Penjajah Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi

pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada, utamanya pondok

pesantren. Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan

berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan

untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi

pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh

penguasa.

Page 58: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

58

Diakui sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda mampu melahirkan cerdik cendekia,

yang di kemudian hari menjadi bumerang bagi Belanda dengan perjuangan mereka untuk

membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Belanda. Namun tak dapat dipungkiri,

sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda itu memporak-porandakan sistem pendidikan

yang sudah berjalan sekian lama dan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Dari sistem pendidikan itu, kemudian lahir dualisme lembaga pendidikan, sekolah di satu sisi

dan madrasah/pesantren di sisi yang lain. Selain itu, juga mengakibatkan munculnya

dikotomi ilmu umum versus ilmu agama. Sistem pendidikan yang mendiskriminasi dan

menghasilkan dikotomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda itulah yang

dilanjutkan oleh pemerintah kita saat kita telah memproklamasikan kemerdekaan, dan

berlaku hingga sekarang.

Sistem pendidikan yang telah berjalan sebelum Belanda menerapkan sistem pendidikannya

terbukti telah melahirkan manusia baik-baik, yang berilmu, berketerampilan, dan berakhlak

mulia serta mandiri. Dalam kehidupan bangsa kita, yang harus diakui semakin terdidik

sebagai hasil sistem pendidikan yang diterapkan pelanggaran norma sosial, susila dan hukum

semakin marak.

Korupsi makin merajalela dan menjadi-jadi, yang pelakunya kaum terdidik. Pengangguran

terdidik semakin meningkat dan jumlah TKI di luar negeri juga jumlahnya terus melonjak

dari waktu ke waktu. Kesenjangan kaya-miskin semakin melebar. Tawuran, kekerasan, kasus

narkoba, dan pergaulan bebas juga menjamur di kalangan anak didik kita.

Dalam kasus-kasus pelanggaran norma sosial, susila dan hukum itu tak terdengar pelakunya

dari kalangan madrasah/pesantren, kalaupun ada mungkin angkanya sangat kecil. Ini

membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah/pesantren, yang sesuai dengan khitah

pendidikan bangsa, mampu mewujudkan tujuan pendidikan sesuai UU Sisdiknas, yaitu

mengembangkan potensi anak didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Apakah pemerintah serius ingin melaksanakan amanat UUD 1945 dalam mengusahakan dan

menyelenggarakan pendidikan nasional? Kalau itu mau dilakukan, hal itu dilakukan pada

tataran kurikulum. Karena pada tataran normatif batasan pengertian dan tujuan pendidikan

tidak berbeda. Kembali ke khitah pendidikan, yakni memanusiakan manusia, adalah sebuah

alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menata pendidikan kita.

Z ARIFIN JUNAIDI

Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arfi NU

Page 59: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

59

Religiusitas Kaum Nelayan Koran SINDO 21 November 2014

Suatu hari saya terlibat diskusi kecil dengan seorang antropolog agama UIN Jakarta, Prof

Jamhari Makruf, mengapa masyarakat nelayan senang mengadakan ritual doa disertai

melepas sesaji ke laut? Menurutnya, ini bermula dari rasa cemas ketika mereka melaut

mencari ikan.

Tidak saja cemas, mereka juga merasa dirinya sangat kecil dan takut menghadapi

kemungkinan datangnya ombak besar dan ganas yang bisa menenggelamkan mereka.

Sementara mereka tidak memiliki ladang penghasilan kecuali dari laut sehingga mereka

selalu berharap agar laut berbaik hati. Sehingga memudahkan mereka dalam menangkap ikan

yang merupakan satu-satunya sandaran kehidupannya.

Perasaan takut menghadapi laut yang sedemikian besar, luas, dan dalam ini benar-benar

membuat seorang nelayan merasa sangat kecil dan takluk di hadapan lautan. Karena itu,

kaum nelayan lalu secara berkala mengadakan ritual dan sesaji membujuk penguasa laut agar

tidak mendatangkan malapetaka bagi mereka.

Setiap upacara ritual yang bernuansa keagamaan selalu terdapat dua kandungan pokoknya.

Pertama, meminta pada penguasa semesta agar terhindar dari malapetaka. Kedua, terima

kasih atas kebaikan-Nya.

Secara antropologis, kita dapat membedakan tiga kategori masyarakat dalam menyikapi

misteri alam. Pertama, mereka yang berada dalam tahap alam mistis. Mereka berpandangan

dan berkeyakinan bahwa alam sekelilingnya itu penuh kekuatan gaib semacam dewa

sehingga yang dominan adalah rasa takut. Para dewa ini mesti dibujuk dan diberi sesaji agar

tidak marah.

Bagi masyarakat mistis, jika terjadi ombak besar, hujan lebat, gunung meletus, anak hilang di

pantai, penyakit menular, semua itu kemarahan para dewa karena kesalahan ulah manusia.

Agar tidak terulang lagi, biasanya masyarakat melakukan ruwatan, ritual dan sesaji, serta

minta ampun.

Kategori kedua adalah cara pandang ontologis yaitu masyarakat yang mulai memandang

perilaku alam secara rasional, baik berkat pendidikan maupun pengalaman panjang hidupnya

sehingga pada fase ini masyarakat bisa memahami secara rasional mengapa terjadi banjir,

hujan lebat, dan ombak besar, serta penyakit menular penyebabnya bukan karena dewa

penguasa jagat marah, melainkan itu kebiasaan alam yang terjadi secara berkala yang bisa

dijelaskan dengan nalar.

Page 60: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

60

Dalam istilah akademis, itu hukum alam yang berlaku berdasarkan rangkaian sebab-akibat.

Yang diperlukan bagi para nelayan adalah memahami siklus alam, kapan ombak besar, kapan

musim hujan, dan bagaimana membuat saluran air yang baik serta menjaga kebersihan agar

terjauh dari penyakit. Dalam tahap ini posisi alam dan manusia sejajar, sedangkan dalam

alam mistis manusia merasa dikuasai alam.

Kategori ketiga adalah masyarakat yang merasa sudah maju dalam penggunaan sains dan

teknologinya sehingga merasa mampu mengeksplorasi, merekayasa, dan menguasai

alam. Jika nelayan kecil takut pada ombak, pencari ikan yang menggunakan kapal besar

dengan peralatan teknologi canggih tak lagi takut pada ombak dan hujan lebat. Mereka tak

lagi percaya pada pertolongan sesaji dan ritual doa-doa dalam menangkap ikan di tengah laut.

Analisis dan perhitungan sains dalam membaca cuaca dan ombak lebih penting ketimbang

ritual doa-doa dan memberikan sesaji pada penguasa laut.

Lalu, bagaimana dengan religiusitas kaum nelayan Indonesia? Sebagian tentu masih berada

dalam kurungan alam mistis meski sebagian dari mereka telah mendapatkan sentuhan sains

dan teknologi modern serta ajaran keagamaan yang bersumber wahyu Ilahi. Namun, mitos-

mitos tentang penjaga lautan yang minta sesaji juga masih bertahan sampai sekarang yang

diceritakan dari generasi ke generasi.

Adapun sosok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berhasil membina karier

sebagai eksportir ikan tentu saja sudah berada pada tahapan fungsional. Dia bahkan

menggunakan pesawat terbang untuk ekspor ikan ke mancanegara. Secara sadar dia ingin

melindungi nelayan kecil dari desakan dan perampokan kapal asing yang menguras ikan di

perairan Indonesia.

Secara antropologis kehadiran negara sangat diperlukan untuk melindungi nelayan kecil yang

selalu dicekam waswas dan takut, baik karena ganasnya ombak, langkanya ikan, maupun

langkanya bahan bakar minyak untuk menggerakkan kapalnya. Secara perlahan campur

tangan negara akan menggeser sikap mistis dalam mengatasi sulitnya mencari ikan.

Mereka mengharapkan perlindungan tidak saja pada penguasa lautan, tetapi juga uluran

tangan negara, teknologi modern, dan bantuan bahan bakar minyak. Betapapun rajinnya

nelayan berdoa dan membuat sesaji, jika tidak disertai teknologi modern serta perlindungan

negara, pasti akan kalah bersaing dengan maling-maling asing yang lebih canggih

teknologinya meski mereka belum tentu beragama.

Alam pikiran mistis di Nusantara ini tentu tidak akan hilang, terlebih lagi bagi masyarakat

penduduk sekitar pantai selatan yang ombaknya besar dan sering menelan korban manusia.

Namun, untuk wilayah pesisir utara masyarakatnya lebih rasional dan terbuka. Mungkin

dipengaruhi oleh sejarah panjang yang mempertemukan beragam penduduk, pedagang, dan

nelayan asing sehingga di daerah pesisir utara tradisi berdagang lebih berkembang dibanding

penduduk pesisir selatan.

Page 61: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

61

Bayangkan, sekian hari terombang-ambing di lautan yang penuh risiko, pasti memunculkan

dorongan berdoa pada penguasa lautan. Sikap nelayan pada lautan itu mendua. Satu sisi

sangat mencintai dan berterima kasih pada lautan, di sisi lain sangat takut akan ganasnya

ombak dan kemungkinan langkanya ikan yang hendak mereka tangkap. Ada juga ketakutan

lain yaitu mahalnya harganya bahan bakar minyak dan kalah bersaing dengan nelayan asing.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 62: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

62

Bentrok Aparat TNI-Polri dan Revolusi Mental

Koran SINDO 24 November 2014

Masyarakat kembali dipertontonkan oleh perilaku buruk dan memprihatinkan dari segelintir

oknum aparat TNI dan kepolisian.

Betapa tidak. Seharusnya kalangan aparat dari kedua instansi yang bertugas khusus di bidang

keamanan dan penegakan hukum itu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat

rakyat, justru mereka sendiri yang membuat rakyat jadi korban termasuk warga sipil yang

terkena peluru nyasar saat terjadi tembak-menembak (Rabu, 20/11/2014). Bahkan, situasi jadi

gawat sehingga wagub Kepri sempat diamankan di Markas Brimob Batam.

Peristiwa ”percobaan adu kuat dan nyali” antara oknum-oknum tentara dan polisi di Batam

itu merupakan yang kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir. Barangkali memang ada saling

keterkaitan dari bentrok kali ini dengan yang terjadi persis dua bulan lalu (21/9/2014), bagian

dari dendam yang hanya dinyatakan selesai di permukaan melalui pendekatan formal garis

komando, sementara akar masalah atau luka bagian dalamnya tak terselesaikan.

Sementara kedua kelompok aparat itu berada di dalam suatu kawasan yang sama, di mana

secara psiko-sosiologis memiliki peluang untuk selalu bergesekan dengan semangat

emosional tertentu. Ketika ada sedikit masalah, sakit hati atau dendam dari salah satu pihak,

maka hanya tunggu faktor pemicu saja (dan itu bisa direkayasa) untuk terjadinya kontak fisik

secara terbuka. Karena masing-masing memiliki arogansi dengan kekuatan solidaritas

pasukan berikut perlengkapan senjata, yang bila sedang marah maka seketika itu pula timah

panas bisa diarahkan pada pihak yang dianggap sebagai lawannya.

Fakta lapangan memang, ketegangan dan konflik fisik antara oknum TNI versus polisi sudah

kerap terjadi di negeri ini, baik yang bergaung nasional maupun hanya terjadi dalam skala

kecil. Catat, misalnya, bentrok antara aparat kepolisian vs anggota TNI di Makassar

(November, 2010); tempur oknum-oknum TNI vs Brimob di Gorontalo (April, 2012);

bentrok TNI AD Batalion 305 vs Brimob Den B Cikole di Karawang (Oktober 2013); dan

amuk sejumlah personel TNI Yon Armed 15/76 Tarik Martapura, OKU Sumsel (Maret,

2013).

Semuanya menunjukkan perilaku dan tindakan tak pantas, dan sekaligus menimbulkan

fenomena ketidakharmonisan dari hubungan di lapis bawah dari kedua jajaran itu. Dari

sejumlah kasus bentrokan itu, sebenarnya faktor penyebabnya sangat sederhana, termasuk

seperti dua kali tragedi di Batam itu, yakni lebih berangkat dari persoalan individu aparat di

Page 63: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

63

lapangan baik saat jalankan tugas maupun sedang dalam urusan pribadi.

Kasus di OKU, Sumsel, misalnya, pemicunya berawal dari salah paham dari dua orang aparat

yang masih tergolong usia muda, di mana mereka saling terhasut emosi lalu adu fisik dan

ternyata salah satunya (oknum polisi) mengeluarkan senjata api lalu menembak oknum TNI,

Heru Octavianus (yang sedang tak berpakaian dinas), hingga tewas. Maka selanjutnya

terjadilah amuk kolektif personel dari pihak korps (alm.) Heru Octavianus yang menimbulkan

korban jiwa manusia (5 orang) dari materi dari pihak kepolisian di OKU.

Renungkan pula penyebab terjadinya bentrok di Batam terakhir ini, yang dikabarkan berawal

dari saling lirik oknum-oknum dari dua pihak (TNI dan Brimob) di suatu tempat pengisian

bahan bakar, lalu cekcok, dan berbuntut saling serang dengan menggunakan senjata

api. Lagi-lagi, korps atau kekuatan dari keduanya terbawa-bawa, terkesan komandan di

daerah membiarkannya.

Bukankah itu buntut dari peristiwa dua bulan lalu? Yang saat itu berawal dari kejadian di

tempat (yang diduga sebagai) penimbunan BBM, di mana aparat kepolisian konon sedang

jalankan tugas, sementara ada oknum aparat TNI yang berada di lokasi dianggap

menghalang-halangi. Aparat polisi emosi-marah, lalu dengan gampangnya mengeluarkan

tembakan sehingga kaki aparat TNI tertembusi peluru. Yang turun menyelesaikannya

langsung pimpinan masing-masing dari Jakarta, dan setelah itu dianggap selesai.

***

Sederhana? Ya, begitulah cara-cara lembaga yang menerapkan prinsip komando dalam

penanganan masalah, cenderung menyederhanakan. Padahal, akar masalahnya masih tetap

belum terangkat. Apa itu?

Pertama, fakta dua oknum aparat TNI yang sedang berada di lokasi penimbunan BBM itu, tak

bisa dianggap sederhana. Justru itulah masalah utamanya, yakni terkait dengan kesejahteraan

aparat TNI. Oknum-oknum aparat akibatnya jadi bagian ”alat” dari pemilik modal dengan

bisnis ilegalnya. Dan jika jujur diakui, maraknya bisnis ilegal di negeri ini, seperti illegal

logging, illegal fishing, illegal mining, prostitusi, judi togel, dan sejenisnya, lebih karena

adanya illegal back up dari oknum-oknum aparat yang dimainkan atau sudah ”tahu sama

tahu” dari bawah ke atas.

Kedua, di era reformasi ini memang aparat kepolisian sering dapat sorotan karena tingkat

kesejahteraan anggota-anggota jauh lebih baik ketimbang aparat TNI, atau bahkan aparat sipil

negara (ASN) lainnya. Sejumlah jenderal polisi dikabarkan memiliki rekening gendut,

kendati sampai saat ini tidak pernah ditindaklanjuti atau diendapkan saja. Ini dianggap

sebagai akibat dari porsi kewenangan yang kerap disalahgunakan untuk kepentingan

pragmatis pribadi: akumulasi materi secara ”tidak halal”.

Dalam kasus di lokasi penimbunan BBM di Batam dua lalu itu, barangkali pihak oknum TNI

menganggap polisi akan coba-coba mengganggu sumber pendapatan tambahannya di satu

Page 64: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

64

pihak, namun di pihak lain oknum polisi pun dicurigai akan memanfaatkan kasus itu untuk

memperoleh sesuatu. Maka itulah, oknum-oknum aparat berani ”pasang badan” bahkan siap

mati. Itulah risiko untuk sedikit peroleh tambahan pendapatan.

Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa (1) sepanjang masih terdapat kecemburuan karena

tingkat kesejahteraan yang berbeda (apalagi dari segi fisik tampak nyata) antara aparat

kepolisian dan TNI, maka potensi konflik dan bentrok fisik secara terbuka akan selalu

menjadi bibit subur disharmoni aparat dari kedua lembaga itu; dan (2) jika sistem pembinaan

di lingkungan aparat TNI dan Polri mengabaikan faktor tempaan moral agama, apalagi pihak

pimpinan berwatak hipokrit, maka potensi penyimpangan perilaku termasuk bentrok fisik

antar aparat akan selalu jadi ancaman. Ini artinya, kita belum akan dapatkan aparat keamanan

yang civilized.

Tentu ini diharapkan jadi bagian dari agenda revolusi mental Jokowi-JK.

LAODE IDA

Sosiolog di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ; Mantan Wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009,

2009-2014

Page 65: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

65

Agama KTP Koran SINDO 24 November 2014

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, memiliki sistem keyakinan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa yang sudah berlangsung sejak seluruh pelataran Nusantara dihuni oleh nenek

moyang kita.

Penamaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki keragaman yang didasarkan pada

dialektika bahasa, ada yang menyebutnya Sang Hyang Widiwase, ada yang menyebutnya

Sang Hyang Tunggal, ada pula yang menyebutnya Sunan Ambu, Hyang Murbeng Alam,

Pangeran Nu Maha Kawasa, dan dalam sistem keyakinan agama Islam menyebutnya dengan

asma Allah Subhanahu Wataala. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor geografis Arab

sebagai tempat diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.

Keyakinan terhadap asma Sang Mahakuasa melahirkan dua kutub yang berbeda. Ada yang

beranggapan bahwa asma bagi Tuhan di luar asma yang diajarkan dalam kitabnya adalah

bukan Tuhan, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa seluruh nama-nama itu lambang dari

esensi Kemahakuasaan dan Kemahatunggalan yang memiliki kekuasaan di luar jangkauan

manusia.

Prinsip yang dianut dalam berketuhanan bukan hanya didasarkan pada nama, tetapi yang

lebih tinggi derajatnya dari itu adalah sistem keyakinan yang bernama agama. Orang Sunda

menganggap agama adalah ageman/cecekelan hirup (pegangan/pedoman hidup) yang ada

dalam hati dan pikiran setiap manusia untuk menata hidup agar memiliki keteraturan yang

sejalan dengan kehendak Yang Maha Mengatur.

Sistem pengajaran agama mengatur dua hal, mana yang semestinya dilakukan oleh manusia

dan mana yang semestinya ditinggalkan oleh manusia, yang dalam bahasa sederhananya

agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk.

Keragaman pemahaman terhadap sistem keyakinan atau agama lebih banyak pada aspek yang

bersifat tata cara manusia untuk menyembah Tuhannya secara langsung atau yang disebut

dengan sistem ritual. Bukan hanya antaragama, melainkan juga dalam satu sistem agama

sekalipun telah melahirkan keragaman pemahaman.

Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli keagamaan sejak wafatnya

Nabi yang menjadi pemegang otoritas wahyu orisinal. Setelah meninggalnya Nabi,

tumbuhlah para pemegang otoritas kebenaran agama yang mulai beragam. Keberagaman

tersebut sangat dipengaruhi oleh domisili, budaya, tingkat kecerdasan masyarakat, bahkan

kekuasaan yang berkembang pada saat itu.

Page 66: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

66

Jadi kalau kita berbeda, tidak perlu berselisih. Kita tidak perlu pula merasa paling tahu atau

paling benar, karena kita tidak mengalami sendiri keadaan zaman itu, karena semuanya

adalah ”katanya” yang diilmiahkan.

***

Agama itu kekuatannya pada keyakinan. Yang membuat kita dekat dengan Tuhan adalah

keyakinan kita dan keyakinan sangatlah individual. Kini perkara individual itu berubah

menjadi perkara yang bersifat publik karena sistem keyakinan itu mewarnai peranti

kenegaraan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh, dalam ajaran Islam, sistem perkawinan masyarakat yang menganut agama

Islam diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan. Nah, dalam urusan kawin ini saya

bingung. Perkawinan itu peristiwa ritual atau peristiwa administrasi kependudukan? Kalau

memang ritual, kenapa dicatat? Kalau memang peristiwa administrasi kependudukan, kenapa

dicatatnya oleh KUA, bukan oleh Disdukcapil? Karena saudara saya yang non-muslim,

perkawinannya dicatat oleh Disdukcapil. Kan sama-sama mencatat perkawinan, kan sama-

sama bangsa Indonesia, kenapa dibedakan? Ditambah lagi banyak daerah yang

menggratiskan Sistem Pencatatan Pernikahan yang dilayani oleh Disdukcapil, sedangkan

yang dicatat oleh KUA masih bayar.

Ini adalah diskriminasi pencatatan perkawinan yang harus dibahas secara serius oleh para

aktivis HAM, karena yang lebih serius lagi adalah loba dulur kuring (banyak saudara saya)

yang kawinnya tidak dicatatkan, karena tidak punya uang untuk bayar. Akibatnya anak-

anaknya kesulitan memiliki akta kelahiran. Sangat diskriminatif. Ini betul-betul perkara

serius.

Urusan pencatatan perkawinan bukan hanya urusan bayar saja, tetapi juga urusan jumlah

pencatat yang terbatas, sedangkan kawin teh musim-musiman. Pada waktu musim kawin,

calon pengantin harus nunggu lama karena jumlah yang dikawinkan sangat banyak.

Bayangkan, bedak yang dari subuh dipakai, kepanasan sampai meleleh. Baju pengantin yang

harum, basah dengan keringat menunggu datangnya sang pencatat perkawinan. Rombongan

pengantar pedih menahan lapar, karena berangkat dari rumahnya subuh mengantar raja

sehari.

Selesai musim panen dan perkawinan, nanti akan tiba musim paceklik dan perceraian. Entah

di daerah mana itu, saya tidak tahu. Dampaknya, lahirlah para janda yang kemudian

berurbanisasi ke pusat-pusat kota dan pusat-pusat keramaian yang mengisi tempat-tempat

hiburan malam. Duh, menyedihkan... Siapa yang harus bertanggung jawab?

Masih masalah urusan beragama, ternyata ketika kita beragama kita masuk pada sistem

pemahaman yang merujuk pada satu pandangan paham keagamaan yang diyakini

kebenarannya oleh kita sebagai pengikut. Paham keagamaan tersebut dikelola menjadi

kelembagaan keagamaan. Secara umum, saat ini dikelompokkan menjadi organisasi agama.

Page 67: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

67

Kita mengetahui sangat banyak jumlah organisasi keagamaan di negara kita, baik yang

terdaftar maupun yang tidak terdaftar dalam sistem tata administrasi negara kita. Jadi, kalau

kita ngomong kolom agama dalam KTP maka kita berbicara pada dua hal, apakah kolom

agama itu adalah keyakinan individual yang ada dalam setiap hati dan pikiran manusia atau

kolom agama itu adalah paham keagamaan yang bersifat administrasi organisasi?

Kalau kata saya, kan yang namanya keyakinan itu nggak bisa dibaca dengan bahasa tulisan

dan tidak bisa diidentitaskan, sebab adanya di dalam hati dan pikiran. Yang hafalnya pun

tentu yang menguasai hati dan pikiran, bukan petugas Dinas Kependudukan. Sistem

keyakinan itu akan terlihat dalam perilaku sosial beragama dalam kehidupan keseharian, baik

dalam ucapan maupun perbuatan.

Nah, bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa dia itu beragama? Kan tidak ada pencatat

ucapan, pencatat amal perbuatan, hayooo... sedangkan pencatat kebaikan dalam sistem

keyakinan, secara umum ajaran agama menyebutnya malaikat. Kumaha tah menta

laporanna? (Gimana tuh minta laporannya?) Kan sulit mengidentifikasinya, karena kita tidak

mungkin bertanya pada malaikat.

Yang paling logis, kalau kita ingin bertanya perilaku beragama seseorang, maka kita harus

bertanya pada lingkungan terdekatnya baik di keluarga maupun masyarakat, baru bisa

dilaporkan ke Dinas Kependudukan bahwa dia dalam kesehariannya beragama. Masalah yang

berikutnya, jujur atau nggak laporannya? Karena tidak mungkin seorang istri menjelekkan

suaminya, atau bapak menjelekkan anaknya atau ketua RT menjelekkan warganya.

Tah, lamun kitu mah agama urang salila ieu teh agama KTP. (Nah, kata teman saya di

kampung, agama kita ini agama KTP, sebab kita beragama hanya dalam KTP).

***

Jadi, menurut saya, orang kampung bau lisung jauh ka bedug anggang ka dulag, kita harus

jujur, bahwa beragama kita ini adalah berpaham keagamaan yang berafiliasi pada satu

golongan paham yang sudah teradministrasi dalam bentuk organisasi keagamaan.

Tak ada salahnya biar kita jujur pada diri kita, kolom di KTP yang dicantumkan adalah

paham atau organisasi keagamaan kita sehingga tidak terjadi perdebatan yang terus-menerus

karena ingin menciptakan satu paham agar diterima oleh semua.

Nanti kita tidak mengalami lagi ada lebaran dua hari, atau ada lebaran dimusyawarahkan

bahkan di-voting, kan bukan pemilihan alat kelengkapan dewan (AKD). Tetapi nanti kita bisa

ikut paham kita masing-masing tanpa harus ngurusin paham orang lain. Yang Paham A,

lebarannya hari Jumat, yang Paham B lebarannya hari Sabtu, kan tidak capek, daripada

malam takbiran harus menunggu pengumuman, padahal di rumah sudah bikin opor. Jangan

sampai lebaran ditunda sehari, bisa bikin marah ibu-ibu sabab angeun cabena haseum (sebab

sayur cabenya basi).

Page 68: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

68

Tapi yang pusing yang beragamanya tidak punya paham atau sailu-iluna (ikut ke sana

kemari), giliran puasa ikut sama yang belakangan puasanya, giliran lebaran ikut sama yang

duluan lebarannya, setiap paham diambil yang nyenangin saja, nah, yang begitu mah

dimasukkan ke KTP, paham sangeunah karepna .... (paham seenaknya).

Saatnya kita bermimpi, tak ada lagi penghancuran tempat ibadah dan pengusiran sebuah

golongan karena dianggap mencemari atau mencederai sebuah keyakinan agama, karena kita

sudah memahami paham dan rujukan kita masing-masing. Mimpi kita ini memang tidak

mungkin diwujudkan dalam waktu dekat, karena perlu perubahan undang-undang yang

mengatur tentang kebebasan beragama di Indonesia, yang di dalamnya mengakui seluruh

paham dan keyakinan yang ada di seluruh Persada Bumi Nusantara, sehingga kolom agama

dalam KTP tidak perlu dikosongkan.

Mau agama apa pun, mau paham apa pun, saatnya mengisi kolom agama dalam KTP. Silakan

yang punya paham Kejawen ditulis paham Kejawennya, Sunda Wiwitan ditulis Sunda

Wiwitannya. Pengikut Dayak Benoa ditulis paham keyakinannya. Kelompok Dayak Segandu

berhak menjadi penduduk Indonesia.

Termasuk kalau yang merasa tidak bertuhan atau ateis, silakan mencantumkan keyakinannya.

Sok we ari wani mah... meh sarerea apal (Silakan saja kalau berani... biar semua orang tahu).

Itu pun kalau ada yang berani mencabut Tap MPR-nya. Saya tunggu nyalinya !!!

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 69: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

69

BBM, Pangan, dan Urbanisasi Koran SINDO 26 November 2014

Pemerintahan Jokowi-JK sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan

harga BBM di satu sisi akan mengatrol laju inflasi dan mengancam pemulihan ekonomi

sebab mendorong kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Namun, di sisi lain ia akan

mengurangi beban subsidi pada APBN.

Pemerintah memang menghadapi persoalan dilematis yang sulit dipecahkan. BBM adalah

kebutuhan pokok masyarakat, sama halnya bahan pangan seperti beras, gula, kedelai, jagung

dan daging, serta bahan sembako lainnya. Kebutuhan pokok ini menjadi komoditas politik,

sedikit saja terpengaruh stok dan harga bisa menuai pro dan kontra di tengah warga.

Pembangunan Pertanian

Salah satu rencana pemerintah terkait pengalihan subsidi BBM adalah perbaikan dan

pembuatan irigasi baru untuk percepatan pembangunan pertanian. Dalam waktu tiga tahun ke

depan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat harus tercapai seperti janji Jokowi-JK

saat kampanye pilpres.

Namun, pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana upaya pemerintah mengatasi laju

urbanisasi yang jumlahnya setiap tahun terus bertambah? Mereka petani dan buruh tani dari

desa yang mencoba keberuntungan di kota.

Fenomena kian kencangnya arus urbanisasi akhir-akhir ini selain disebabkan masalah sosial

kependudukan yang makin kompleks, juga dipicu persoalan ekonomi. Penduduk desa

terdorong pindah ke kota sebab sektor pertanian sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Kota

menjanjikan kehidupan lebih manis dan menggiurkan karena pembangunan yang menumpuk

di sana menjadi magnet kuat menarik kaum urban. Mereka masih beranggapan sepahit-

pahitnya hidup di kota masih lebih manis ketimbang hidup di desa.

Penyelesaian urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan untuk kota-kota besar seperti

Jakarta, Surabaya, dan Medan belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya yakni

kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat

pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus urbanisasi semakin sulit terbendung

dan jumlah kaum urban bertambah secara bermakna setiap tahun.

Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski

pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Sekadar menyebut

contoh pada 2012 angka kemiskinan menurun menjadi 11,66% dari 12,36% pada 2011. Dari

Page 70: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

70

segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang dari 29,89 juta (2011) menjadi 28,59

juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran per orang per bulan) sebesar Rp259.520 untuk

2012.

Kinerja pemerintahan sebelumnya dalam memerangi kemiskinan memang tergolong kurang

dahsyat. Mereka belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Pada 2004

angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 16,00%. Artinya dalam waktu sekitar

sepuluh tahun pemerintahan SBY, angka kemiskinan hanya turun 4,34%. Padahal

kemampuan anggaran negara sangat jauh lebih besar dibanding pada masa-masa

sebelumnya.

Rapor merah Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol

tingkat pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan

prestasi negara lain. China sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai rekam jejak

yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia (2005) menunjukkan

penduduk China dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari sebesar 36,3%.

Di Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, ternyata pada 2009 jumlah

penduduk dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari masih 50,9%. Lantas

pertanyaannya, pelajaran apa yang patut dipetik dari keberhasilan Pemerintah China

mengurangi laju kemiskinan penduduknya? Jurus jitu pemerintah Negeri Tirai Bambu ini

dalam memerangi kemiskinan adalah menggenjot percepatan pembangunan pertanian pangan

yang melibatkan penduduk miskin di perdesaan.

Kembali ke Pertanian

Seiring kenaikan harga BBM, pemerintahan Jokowi-JK dengan kabinet kerjanya harus segera

melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus baru revolusi

mental untuk membangkitkan pertanian pangan yang berpusat di perdesaan. Dengan dana

yang tersedia dari pengalihan subsidi konsumtif ke sektor produktif, pemerintah bisa

melakukan percepatan pembangunan pertanian. Prasarana mulai dari transportasi, bibit

unggul, pupuk, dan jaminan harga harus segera ditata kembali guna meningkatkan

kesejahteraan petani.

Data terkini dari BPS menyebutkan bahwa kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan

masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk

pembelian makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin dan petani bisa memproduksi

sendiri kebutuhan pangan keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran

kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan

mengalami proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong kian

mahalnya harga makanan.

Puncak inflasi tahun ini kemungkinan akan terjadi pada Desember 2014. Dari data yang ada,

inflasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi saat kenaikan harga BBM dan

diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir,

Page 71: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

71

inflasi bahan makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa,

sebagian besar mereka adalah buruh tani yang memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan

membeli. Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan

mereka harus mengulurkan uang dari saku alias membeli.

Pertanyaannya, mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani?

Meski pemerintah telah berganti beberapa kali setelah reformasi 1998, masih gagal

menyejahterakan petani. Mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki.

Dalam periode sepuluh tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang sebanyak 4,77

juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian karena terpaksa

mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan. Petani kecil di desa

termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis kapitalistik.

Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis yakni ketahanan pangan yang berdaulat dan

mandiri makin rapuh. Di tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri pangan impor

mulai dari buah, beras, daging, bawang, dan pangan lain. Kita terjebak dalam ruang dan

sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari kebutuhan pangan di dalam negeri

kini dipenuhi dari impor. Devisa negara terkuras sekitar Rp125 triliun setiap tahun untuk

membeli pangan impor. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk

membangun bendungan dan sarana irigasi untuk percepatan pembangunan kedaulatan

pangan.

Karena itu, ”Gerakan Kembali ke Pertanian” patut menjadi kampanye nasional untuk lima

tahun ke depan guna mendorong percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan

ini harus terus disuarakan oleh pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota

sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan yang dapat mengerem laju urbanisasi.

Untuk berhasil guna, gerakan ini harus diiringi sinergi kebijakan yang diformat secara

komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.

POSMAN SIBUEA

Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera

Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Page 72: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

72

Papua Berdikari dan Poros Maritim Koran SINDO 27 November 2014

Tebersit di Jakarta bahwa dalam rangka menyongsong era Pasifik telah disusun doktrin baru

untuk mengelola Indonesia yaitu “poros maritim Nusantara” yang kuncinya wilayah lautan.

Poros maritim ini untuk mengimbangi pemain utama di Pasifik di antaranya kekuatan

ekonomi raksasa China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Papua adalah

wilayah terdepan Indonesia menghadap Pasifik dengan tanah dan lautan mahaluas. Jika ingin

doktrin poros maritim Nusantara itu bisa berwujud, Papua seharusnya diposisikan sebagai

pintu masuk dan keluar dari benteng Indonesia menuju Pasifik.

Papua adalah benteng di era Pasifik. Mengapa demikian? Sebagai pintu depan, Papua adalah

tanah mahaluas di bibir Pasifik yaitu 41.600.000 ha dengan luas lautan 1.679.545 km2.

Penduduknya kurang dari lima juta jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sembilan jiwa

per km2. Penduduk yang sedikit itu bermukim secara terpencar dan terpencil pula di lembah-

lembah bergunung menjulang, hulu-hulu sungai, dan sabana rawa-rawa mahaluas.

Namun, benteng itu kini rapuh. Agar poros maritim Nusantara menjadi kokoh, benteng Papua

harus diperkuat. Untuk itu, jadikanlah Papua mampu berdikari agar bisa keluar dari segala

kesulitan yang ada saat ini. Pada masa datang Papua nan mahaluas tanah dan lautannya ini

harusnya menjadi kekuatan Indonesia, bukan kelemahan lagi.

Bukankah Presiden Jokowi hendak menjalankan garis ekonomi berdikari itu? Garis politik

berdikari itu sudah jelas panduannya. Soekarno dalam kebijakan pada Deklarasi Ekonomi

(Dekon) menggariskan bahwa untuk meningkatkan ekonomi nasional program pokoknya

adalah mengutamakan pertanian dan perkebunan serta pertambangan. Tentu dengan langkah

memodernkan teknologi dan meningkatkan kemampuan rakyatnya.

Peningkatan pertanian dan perkebunan bisa dilihat sebagai langkah untuk menjamin

ketersediaan bahan pangan dalam negeri agar tidak bergantung pada impor. Di sisi lain

perkebunan bisa ditujukan untuk ekspor dalam rangka memperkuat devisa negara. Kedua

bidang tersebut juga sekaligus menjadi lahan penyerap tenaga kerja agar rakyat bisa produktif

dan mengonsumsi produksi dalam negeri.

Sementara pertambangan dalam kerangka pikir berdikari menggunakan kekuatan kekayaan

sumber daya alam sebagai kekayaan nasional untuk kekuatan ekonomi nasional. Intinya

kekayaan mineral tambang harus menjadi milik Indonesia. Jikapun asing menanam modal,

saham Indonesia harus lebih besar dengan kepemilikan tetap di tangan Indonesia.

Page 73: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

73

Secara garis besar itulah fondasi dari ekonomi berdikari, yang menjadi salah satu kesaktian

Trisakti Sukarno. Modal untuk ketiga fondasi ekonomi berdikari itu ada di Papua yaitu tanah

dan laut yang mahaluas dan kekayaan mineral tambang yang luar bisa pula. Permasalahannya

adalah manusia Papua. Artinya berapa banyak manusia Papua yang akan memperoleh

kemakmuran dan kenyamanan nyata dari garis ekonomi yang demikian itu.

Selama ini manusia Papua itu kerap dilupakan dalam membuat kebijakan dan program

pembangunan. Faktor itulah yang membuat benteng Indonesia di Papua rapuh. Ciri dari

rapuhnya benteng Indonesia di Papua itu adalah instabilitas persepsi politik mudah tercipta,

baik karena disharmoni sosial antarkelompok yang kronis maupun oleh masih aktifnya

kelompok perlawanan bersenjata. Rendahnya mutu dan fasilitas pendidikan menyebabkan

rendahnya kemampuan sebagian besar masyarakat asli dalam merespons perkembangan.

Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan membuat masyarakat asli Papua tidak kompetitif

dalam mengisi peluang-peluang baru yang datang. Angka kemiskinan dan tidak melek huruf

pun tinggi. Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi serta komunikasi

membuat masyarakat asli Papua terlambat mengakses dan diakses oleh perkembangan sistem

ekonomi modern.

Itu tampak dari tidak ada sektor produktif yang bisa melibatkan manusia Papua secara

massal. Tidak ada pabrik dan produksi barang kebutuhan di Papua. Semua barang datang dari

luar dengan harga sangat mahal. Sementara hasil pertanian dan kebun rakyat tidak bisa

dipasarkan karena mahalnya ongkos transportasi. Implikasinya ekonomi masyarakat asli

Papua menjadi stagnan.

Dana otsus yang triliunan rupiah belum mampu untuk menggerakkan ekonomi yang stagnan

itu karena perencanaan yang buruk, program yang tidak fokus, serta tidak ada ruang produktif

yang tercipta. Hasilnya uang otsus itu hanya singgah di Papua dan selanjutnya lenyap. Dalam

kondisi begitu, tentu Papua tidak akan bisa berdikari secara ekonomi. Padahal Papua adalah

pintu terdepan di Pasifik.

Maka itu, Papua harus berdikari secara ekonomi agar masyarakatnya bisa menjadi benteng

terkuat bagi poros maritim Nusantara. Maka itu, kabinet baru Jokowi-JK harus bisa

merancang program pembangunan ekonomi yang bisa memberikan pengecualian dan

pendampingan kepada masyarakat asli Papua agar kekayaan yang mereka milik bisa

memakmurkan mereka.

Untuk itu, koordinasi dalam perencanaan dan implementasi dari setiap program

pembangunan harus kuat dan tegas. Hanya dengan manusia Papua yang produktif dan

makmur serta pandailah poros maritim Nusantara jadi bermakna di Papua dan seluruh

Indonesia. Jika tidak, poros maritim itu hanya akan menjadi slogan kosong.

Agar tidak berhenti sekadar menjadi slogan, siapkanlah manusia Papua untuk menjadi

pemain utama dalam percaturan ekonomi produktif di Papua. Untuk itu, benahi dunia

Page 74: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

74

pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dirikan pabrik yang berkaitan dengan pertanian,

perkebunan, dan pertambangan. Bangunlah jalan, pelabuhan, dan bandara agar konektivitas

ada.

Beri kesempatan bagi orang muda Papua untuk berperan besar di dalamnya. Hanya dengan

begitu, Papua bisa berdikari dan akan menjelma menjadi benteng terkuat di pintu masuk dan

keluar Indonesia dalam menghadapi era Pasifik. Jadikan kampung-kampung yang menjadi

tempat bermukim orang asli Papua sebagai centrum pembangunan Papua.

UU Desa yang baru telah pula memberi jalan untuk itu. Saya rasa, jika UU Desa dijalankan

secara konsisten dan konsekuen di Papua dengan memajukan peningkatan kualitas dan

kemampuan manusia Papua, bersama segala infrastruktur dasar, tidak ada kata tidak mungkin

untuk Papua bisa berdikari pada era Pasifik. Semoga.

AMIRUDDIN AL-RAHAB

Pemerhati Permasalahan Sosial-Politik Papua, Penulis Buku “Ekonomi Berdikari Sukarno”

Page 75: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

75

Citra Diri Itu Mahal Koran SINDO 28 November 2014

Terdapat perbedaan mendasar antara aktualisasi diri dan citra diri. Yang pertama merupakan

pertumbuhan kepribadian seseorang dari potensi ke actus. Dalam filsafat, pertumbuhan ini

sering dijelaskan dengan perumpamaan, misalnya pertumbuhan dari benih biji mangga yang

kemudian berkembang menjelma menjadi pohon mangga yang besar, rindang, dan berbuah.

Semua pohon besar-besar itu semula berada dalam biji benih yang kecil dan rapuh. Atau

dengan ungkapan lain, dalam sebuah biji yang kecil dan rapuh itu, terdapat potensi pohon

besar yang gagah perkasa. Demikianlah, seseorang dikatakan sudah sampai pada tahapan

aktualisasi diri ketika sudah menemukan jati dirinya yang kemudian dimanifestasikan dalam

karya, prestasi, dan perilaku yang dijalani secara istikamah (mantap dan

konsisten). Aktualisasi diri muncul dari kekuatan dan dorongan pribadi yang datang dari

dalam (inner power) sehingga seseorang menemukan kepercayaan diri yang autentik.

Apa bedanya dengan citra diri? Citra lebih memperhatikan apa yang menjadi pandangan,

persepsi, dan harapan orang lain terhadap diri kita. Ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan

melihat malam penganugerahan Piala Citra terhadap insan perfilman. Mereka yang dianggap

hebat, berhasil, dan memperoleh Piala Citra berdasarkan peran yang dimainkan, lalu dinilai

oleh penonton. Jadi, yang sangat menentukan kemenangannya adalah penampilan luar dan

adegan panggung yang berhasil memukau penonton, bukannya kualitas dan perilaku aktor

sehari-hari yang apa adanya di luar sorotan kamera.

Citra diri itu sangat penting, dan banyak orang yang sangat memperhatikan dan rela

mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkannya. Kalangan politisi, saya kira sangat sadar

bagaimana menjaga citra diri di hadapan rakyat. Meskipun, lagi-lagi, citra diri kadang kala

lebih menekankan aksesori, atau kemasan luarnya saja.

Hidup di era visual, sebuah era yang sangat peduli pada gambar, foto, dan adegan panggung,

orang dituntut untuk selalu memperhatikan penampilan luar. Tetapi jika citra diri tidak

disertai integritas (inner quality), citra diri hanya akan menipu orang lain dan juga diri

sendiri.

Mungkin saja ada orang-orang yang karena kurang percaya diri lalu berusaha menutupinya

dengan membeli barang-barang mewah dengan harga mahal, misalnya kendaraan mobil,

rumah, dan aksesori lainnya. Kalau itu terjadi pada politisi, pejabat pemerintah, atau pegawai

negeri sipil, jangan-jangan perilaku itulah yang telah mendorong korupsi besar-besaran di

negeri ini. Mereka ramai-ramai membeli citra diri, bukannya aktualisasi diri.

Page 76: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

76

Fenomena lain yang cukup menarik terjadi di Korea Selatan (Korsel). Di negeri itu, lebih dari

70% remajanya diberitakan rela melakukan operasi bedah plastik demi mempercantik

parasnya. Konon ceritanya, fenomena itu bermula dari bedah plastik agar matanya tidak sipit,

yang ternyata berhasil gemilang. Maka kita jarang melihat remaja Korsel yang bermata sipit.

Dari operasi mata itu lalu berkembang ke bedah plastik mempercantik wajah dan bagian

tubuh lain agar berubah semakin cantik atau tampan. Kalau kita jalan-jalan ke Korea atau

melihat filmnya, remajanya hampir seragam postur badannya dan wajahnya. Teknologi bedah

plastik ini dianggap sangat berhasil sehingga menarik minat orang-orang Barat datang ke

Korea untuk mempercantik diri.

Kita belum tahu efek apa yang ditimbulkan di hari tua nanti akibat permak wajah ini. Tapi

terbayang, betapa mereka selalu memperhatikan penampilan dirinya agar senantiasa cantik

atau tampan. Citra diri begitu sangat penting dan mahal bagi mereka. Ongkosnya tidak saja

uang, tetapi pasti pikiran dan emosi.

Jadi, mereka tidak sekadar membeli kemasan berupa mobil atau rumah mewah untuk

membangun citra diri, tetapi lebih intens lagi format wajah dan kulitnya yang diubah agar

terlihat keren dan mengundang decak kagum. Wow..

Akhir-akhir ini kita sering kali disuguhi tema politik ”revolusi mental” yang kemudian

menjadi tema diskusi dan workshop di berbagai departemen pemerintah. Saya sendiri punya

harapan dan kekhawatiran. Saya berharap ini akan menjadi momentum dan gerakan yang

serius, programatis, dan dikawal secara konsisten baik secara intelektual maupun kebijakan

politik sehingga mendorong tahapan aktualisasi diri bagi para pejabat tinggi negara serta

politisi. Revolusi mental akan berhasil jika dimulai dan digerakkan serta memperoleh contoh

dari atas sebagai role model.

Tetapi saya khawatir kalau tema ini akan jatuh dan berhenti sekadar sebagai jargon politik

dan citra diri yang semu, tidak autentik, tanpa akar kedalaman konseptual. Bahkan bisa jadi

tema luhur ini tidak menjadi kepribadian yang autentik (inner power) di lingkungan elite

birokrat dan politisi. Kalau itu yang terjadi, nantinya akan jadi ungkapan sinikal.

Sekian puluh tahun lalu Erich Fromm menulis buku yang menjadi perbincangan di kalangan

akademisi, judulnya: To Have or To Be. Dia membedakan antara having mode dan being

mode. Yang pertama, orang mengejar sukses dan kebanggaan diri dengan memiliki sebanyak

mungkin kekayaan dan jabatan (to have more and more). I am what I have, tulisnya. Orang

akan melihat dirinya hebat karena berkaitan dengan apa yang dimiliki. Sesuatu yang berada

di luar atau yang menempel pada dirinya.

Sedangkan pribadi kedua, being mode, lebih menekankan kualitas diri yang autentik atau

yang melekat pada kepribadiannya. Being a religious person is different from having a

religion.

Page 77: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

77

Demikianlah, jika ditanya mana yang lebih penting, tentu aktualisasi diri jauh lebih penting

yang pada urutannya pasti akan melahirkan citra diri yang lebih kokoh dan autentik.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 78: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

78

Seni, Budaya, Kaum Muda, dan "Budhi" (1) Koran SINDO 28 November 2014

Perkembangan peradaban suatu bangsa salah satunya tercermin dari perkembangan serta

kualitas seni dan budayanya.

Tak dapat disangkal bahwa kualitas seni dan budaya sangat terkait dengan kaum muda. Baik

dalam konteks kaum muda sebagai suatu generasi baru yang bakal tumbuh dan berkembang

sebagai pemimpin kemudian hari, maupun kaum muda sebagai bagian yang paling dinamis

dari keseluruhan komposisi masyarakat dan bangsa. Sesuai komitmen seniman dunia ”Arts is

long, life is short,” otomatis, perkembangan seni budaya tidak akan bisa dilepaskan kaitannya

dengan kaum muda.

Sejarah peradaban manusia menunjukkan, kaum muda merupakan potensi kreator dan

inovator yang mampu melakukan proses perubahan serta dinamisasi terhadap karya-karya

seni dan budaya. Yang sangat tersohor antara lain pada abad XV hingga abad XX, ketika

kaum muda melakukan reformasi budaya di seluruh dunia.

Karya-karya seni dan budaya yang mulanya cuma berprinsip: ”Seni untuk Seni,” di tangan

kaum muda berubah menjadi ”Seni untuk Kehidupan Manusia”. Ketika itu kaum muda

melakukan proses perubahannya dengan sangat spektakuler. Ketika mengubah posisi seni dan

budaya dalam kehidupan manusia, dari media kontemplasi menjadi media ekspresi.

Dalam kaitan itulah, akhirnya proses perubahan seni dan budaya itu berkembang menjadi

proses perubahan peradaban. Selaras dengan perkembangan sains dan teknologi, dalam fase

ini kita mengenal berbagai tonggak yaitu zaman Renaissance di Eropa, yang dimulai dari

Prancis dan restorasi Meiji di Jepang.

Secara sambil lalu kita dapat melihat, di tangan kaum muda, seni dan budaya sebagai media

ekspresi akhirnya memberi jiwa bagi berlangsungnya revolusi dan reformasi terhadap tatanan

nilai hidup atau peradaban manusia.

Di belantika musik misalnya karya-karya kontemplatif yang formal sebagaimana ditandai

oleh kreasi-kreasi Johan Sebastian Bach, Beethoven, Mozart, dan genre-nya mengalami

revolusi luar biasa ketika The Beatles menjadikan musik sebagai media ekspresi, termasuk

pilihan cara serta gaya tampil yang lebih independen. Demikian pula halnya dengan revolusi

yang dilakukan kelompok Deep Purple, Mick Jagger (Rolling Stones), dan banyak lagi.

Melalui proses revolusi yang selaras dengan perkembangan sains dan teknologi itulah,

akhirnya industri rekaman musik di dunia sangat berkembang dengan pesat. Lantas, itu

Page 79: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

79

mengubah posisi dunia entertainment di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, dan

politik. Contoh sejenis dapat kita saksikan dengan seksama pada industri perfilman dunia,

seni rupa, seni sastra, dan seni lainnya.

Di Indonesia, kita mencatat proses perubahan yang dilakukan kaum muda juga tidak kalah

spektakulernya. Dalam dunia sastra misalnya terjadi reformasi yang bernilai historis ketika

Chairil Anwar mengubah prinsip-prinsip penulisan puisi secara lebih bebas

merdeka. Terutama dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Baik generasi

susastra lama yang cenderung istana sentris, feodal, dan formalistik, maupun pujangga baru

yang kelihatan masih ragu-ragu menempatkan sastra sebagai media ekspresi.

Chairil Anwar dengan kreasi-kreasinya yang monumental dalam usianya yang sangat muda

sanggup mewarnai perubahan konsepsi pemikiran kita tentang kesenian. Proses perubahan

semacam itu akhirnya terus bergulir ketika Rendra menghadirkan puisi-puisi pamflet dan

mengubah performa seni deklamasi.

Selanjutnya kita juga mencatat nama-nama kaum muda yang secara berani, jenius, dan

orisinal menampilkan platform baru bagi kesenian kita. Misal Sutardji Calzoum Bachri dan

Remy Sylado di dunia sastra; Putu Wijaya dan Riantiarno di panggung teater; Koes Plus,

Panbers, Harry Roesli, Iwan Fals, Jockie S-Chrisye-Eros Djarot, Addie MS, dan sebagainya

di belantika musik; Dede Eri Soepria di kavling seni rupa; Garin Nugroho, Rizal Mantovani,

Arya Kusumadewa di layar perfilman; Warkop, Pancaran Sinar Petromaks, Sersan Prambors,

dan Bagito dalam seni komedi. Banyak contoh-contoh lainnya.

Dari sejumlah nama-nama sohor yang kita sebutkan di atas tampak bahwa dalam perspektif

kaum muda, seni dan budaya tidak lagi diposisikan sebagai media kontemplasi dan

perenungan saja. Dalam kapasitasnya sebagai media ekspresi, di tangan kaum muda, seni dan

budaya mengalam proses demokratisasi yang sangat luar biasa yaitu proses pembebasan alias

kemerdekaan seni dan budaya dari segenap pakem atau standardisasi yang pada masa lampau

ditentukan egosentrisme penguasa dan bahkan senimannya itu sendiri.

Di tangan kaum muda, seni dan budaya tumbuh dan berkembang, selaras dengan proses

perkembangan serta perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, dapat dikatakan

bahwa dunia kesenian merupakan ruang demokratis yang memberi kemungkinan setiap orang

menunjukkan potensi, kreativitas, dan kualitasnya.

Lantaran karya seni itu berkembang berbarengan dengan perkembangan zaman, setiap karya

seni dan budaya yang telah terlahir mestilah merupakan cermin otentik dan abadi sebagai

kesaksian zaman itu sendiri. Karena itu, setiap karya seni dan budaya dapat dibilang sebagai

”potret berwarna” suatu zaman yang tidak dapat direkayasa atau dimanipulasi oleh

kepiawaian dan kecanggihan teknologi apa pun.

Yang menarik untuk dicatat adalah pada setiap zaman, di tangan kaum muda, selalu saja

muncul seni pembebasan yaitu karya seni yang mengekspresikan pemikiran-pemikiran baru

yang membebaskan seni dari dominasi bidang lain. Terutama politik dan ekonomi. Dalam

Page 80: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

80

perkembangan sejarah bangsa Indonesia, kita mencatat bagaimana para seniman muda

menunjukkan integritasnya untuk menyuarakan serta mengekspresikan semangat pembebasan

itu.

Zaman telah mencatat misalnya bagaimana Koes Plus, Rendra, dan beberapa seniman lainnya

telah menjadi tumbal semangat pembebasan itu. Sementara itu, kita juga mencatat Iwan Fals

dan Rhoma Irama telah menjadi ikon-ikon suara pembebasan yang menunjukkan populisme

(jiwa kerakyatan) di zamannya.

Bahkan, mungkin, goyang Inul juga mencerminkan semangat pembebasan yang mewakili

semangat ”kaum pesisir dan kaum pinggiran”. Walau apa yang dilakukannya mengalir begitu

saja, tanpa direncanakan dan disiapkan sebagai ekspresi pembebasan yang kompleks. Atau,

mungkin, itulah potret bangsa yang sedang sakit selesma.

SYS NS

Pendiri Mufakat Budaya Indonesia; Seniman

Page 81: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

81

Seni, Budaya, Kaum Muda, dan "Budhi" Koran SINDO 29 November 2014

Secara umum ingin saya katakan bahwa dalam perspektif kaum muda seni dan budaya

merupakan media ekspresi yang mewakili semangat pembebasan terhadap berbagai aturan

atau nilai yang dipandang tidak pas dan tidak cocok lagi dengan kehendak zaman.

Di sisi lain, masih dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya merupakan media

aktualisasi diri yang mengekspresikan dinamika serta kebebasan mengusung gagasan-

gagasan baru. Karena itu, seni dan budaya harus memenuhi kriteria universal, yaitu kreatif,

komunikatif, dinamis, bermutu, mewakili perasaan dan pikiran mayoritas penikmatnya, dan

mampu menjadi media kontrol sosial yang efektif.

Apa pun bentuk dan jenisnya, seni dan budaya merupakan media efektif untuk menyuarakan

pembaruan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, setiap

seniman dan kaum muda haruslah mencerminkan identitas para demokrat. Yaitu orang-orang

yang menjunjung tinggi persamaan dan kesamaan, serta selalu menghormati perbedaan.

Selebihnya, karena kita tinggal di Indonesia, kita pun harus pandai memuliakan pluralitas

alias keberbagaian. Bagi saya, di tangan kaum muda, seni dan budaya juga mesti

mencerminkan religiositas alias nilai-nilai agamais, kebangsaan, dan kerakyatan. Dengan

begitu, karya seni dapat memadukan pertimbangan artistik, estetik, dan etik.

Sebagai pekerja budaya, dari kerja teater, media massa, hiburan, manajemen pergelaran,

hingga pemikir dan pekerja politik, saya merasa bersyukur dapat mengalami secara penuh

perjalanan kebudayaan dalam tiga fase politik terpenting bangsa Indonesia: Orde Lama, Orde

Baru, dan Orde Reformasi.

Ini sebuah rasa syukur yang tidak berlebihan, tapi memang karena saya mendapat pelajaran

banyak dari perjalanan hidup yang setidaknya menjadi saksi dari ekspresi-ekspresi kultural di

semua elemen dan lapisan kehidupan negeri ini. Mulai pengamen, seniman, broadcaster,

pengamat yang cuma “ngamat-ngamati“, para maestro kondang hingga presiden yang nyeni.

Dari pengalaman itulah saya merasa paham, mafhum, dan akhirnya yakin bahwa kebudayaan

kita sesungguhnya tidak pernah mandek, berhenti; tapi ia terus berjalan, berproses dan

mengembangkan (bentuk maupun kualitas) dirinya. Bagaimana diukur, dalam acuan estetik,

artistik, statistik dan sebagainya, itu bukan urusan atau bidang saya. Saya hanya pelaku

sekaligus saksi. Dan saya bersuka ria karena itu.

Page 82: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

82

Saat peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba, tepatnya ketika Soeharto menjadi pejabat

presiden pada 1967 hingga menjadi penguasa di paruh awal 70-an, saya merasakan dengan

sangat bagaimana kegairahan budaya dan kesenian begitu kuat saat itu. Muncul inspirasi-

inspirasi baru, gagasan artistik yang inovatif hingga percobaan atau eksperimen-eksperiman

kultural yang menggetarkan.

Kita ingat bagaimana masa itu melahirkan Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Teguh Karya

dalam teater. Lalu Djadug Djajakusuma, Syuman Djaya, Ami Prijono melahirkan warna-

warna baru dalam perfilman Indonesia. Begitu pun dalam dunia tari yang melahirkan

Sardono W Kusumo hingga Retno Maruti, hingga dunia sastra tergetar oleh karya-karya Budi

Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan banyak lainnya. Hingga empat puluh tahun

kemudian kita pun tahu, masih nama-nama di atas yang menjadi referensi utama dari dunia

seni atau artistik kita.

Artinya, empat puluh tahun kemudian ternyata kita gagal melahirkan karya dan seniman-

seniman yang memiliki maqom atau pencapaian artistik yang setara. Bahkan bisa dibilang

merosot, drastis bahkan. Mengapa? Apa yang terjadi dengan para seniman dan para pekerja

budaya kita lainnya?

Pertanyaan itu sebenarnya paralel juga dengan kesangsian dan kecemasan akan terjadinya

pula kemerosotan kehidupan berbangsa kita di semua level praktisnya. Termasuk dalam

kehidupan politik, bisnis (ekonomi), hingga hidup beragama atau akademis kita. Saat ini kita

mengalami kerancuan, atau semacam kekacauan acuan dan orientasi, di hampir semua

lapangan kehidupan kita.

Hal-hal yang dulu dianggap sakral, luhur atau mulia, kini seperti menjadi sesuatu yang sangat

biasa, artinya dapat ditinggalkan atau tak perlu dipedulikan lagi. Lalu orang menyeberang

jalan sembarangan, berkendaraan tanpa mengindahkan rambu dan marka jalan, sekolah hanya

untuk kedok menutupi tindakan kriminal, menjadi pejabat hanya untuk menipu rakyatnya

sendiri, jadi bagian dari parlemen hanya menggunakan konstituen sebagai arsenal pemenuhan

hedonis saja, menjadi pedagang cuma untuk menguras dompet publik sampai pada simpanan

kebutuhan primernya.

Apa sebenarnya yang telah terjadi? Saya melihat sederhana saja: kebudayaan telah

melupakan kata dasar utamanya: budhi. Kita semua telah kehilangan “budhi”, satu hal yang

mampu mengolah kendali semua kecenderungan menyimpang kita serta mengutamakan apa

yang kita sebut baik dan benar.

Maka, saya amat sangat berharap agar masalah “budhi” ini harus menjadi mata pelajaran

utama sekolah di negeri tercinta, Indonesia. Saya sebagai salah satu pendiri Mufakat Budaya

Indonesia selalu berdoa semoga para pendiri lain, seniman, budayawan, sejarawan, politisi,

ilmuwan, cendekiawan, akademisi, birokrat, dan pengamat bisa menjadikan “kegelisahan” itu

sebagai penyemangat.

Page 83: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

83

“Budhi” inilah materi dalam “Temu Akbar II”, setelah “Temu Akbar I” dengan Deklarasi

Cikini 2009 yang melahirkan “rekomendasi” untuk penyelenggara Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Amin.

SYS NS

Pendiri Mufakat Budaya Indonesia; Seniman

Page 84: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

84

Menyoal E-voting Koran SINDO 29 November 2014

Belum lama ini penulis beruntung memiliki kesempatan turun ke lapangan di satu tempat,

menggali informasi perihal topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini, yaitu e-voting.

Tempat yang dimaksud adalah Boyolali, salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Boyolali

menarik untuk diteliti karena di sana pada 2013 lalu ada penerapan metode e-voting dalam

pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Boyolali adalah satu dari tiga daerah di

Indonesia yang sudah bersentuhan dengan e-voting selain Jembrana dan Musi Rawas.

Di Boyolali, pelaksanaan pilkades memang masih menggabungkan model elektronik dan

manual. Selama setahun lalu, ada delapan dari total 260 desa yang pilkadesnya dengan e-

voting. Sisanya dilakukan dengan cara manual.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas apakah e-voting bisa diterapkan dalam

pemilukada serentak pada 2015 seperti kebanyakan dibahas di media massa akhir-akhir ini.

Tulisan ini hanya ingin mengangkat secara singkat tentang pilkades di Boyolali dengan e-

voting.

Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Boyolali, penulis yakin bahwa penerapan

teknologi elektronik dalam pilkades di Boyolali berkaitan dengan kemajuan yang ada di

daerah tersebut. Namun, kesimpulan itu sahih di awal saja karena selama di Boyolali

kebetulan penulis tinggal di wilayah perkotaannya.

Baru setelah berkeliling ke desa-desa di Boyolali dan melihat kondisi masyarakat dan

pembangunan fisik di sana kemudian di benak penulis timbul beberapa pertanyaan. Mengapa

Boyolali yang memiliki luas 1.015 km2 dan kondisi alam kombinasi dataran rendah dan

sebagian berbukit itu diadakan pilkades dengan e-voting?

Kedua, apakah masyarakat Boyolali yang menurut data BPS Boyolali 2008 mayoritas

(258.202 orang atau 32%) tamat SD dan 75.302 orang atau7,9% di antaranya berusia di atas

65 tahun itu siap sekaligus percaya pada e-voting? Apa saja kelebihan serta kekurangan dari

pilkades di Boyolali dengan e-voting dibandingkan dengan model manual?

Awal mula penerapan e-voting dalam Pilkades di Boyolali adalah tahun 2012, ketika BPPT

mengadakan dialog nasional tentang pemilu elektronik. Saat itu banyak kepala daerah yang

hadir dan ada dua kepala daerah yang ketika ditanya oleh BPPT kemudian menyatakan siap

melaksanakan pilkades dengan e-voting, yakni Bupati Boyolali dan Bupati Musi Rawas.

Page 85: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

85

Menurut pengakuan Bupati Boyolali, Seno Samodro, pilkades dengan e-voting di Boyolali

dilatarbelakangi oleh pengalaman kepala daerah itu selama 13 (tiga belas) tahun berada di

Prancis. Di sana hal yang berbau elektronik dalam kegiatan sehari-hari dan khususnya

kegiatan politik adalah hal yang biasa dan beliau juga melihat bahwa penggunaan metode e-

voting bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan di daerahnya.

Sebagai tindak lanjutnya kemudian Pemerintah Kabupaten Boyolali mengundang salah satu

universitas di Jawa Tengah untuk menawarkan proposal mesin dan peranti lunak e-voting.

Akan tetapi, dikarenakan tawaran angka yang terlampau tinggi niat bekerja sama itu tidak

dilanjutkan.

Pemerintah Boyolali lantas memilih untuk menggunakan model yang dimiliki oleh BPPT

dikarenakan hanya mengeluarkan biaya untuk pelatihan untuk panitia, peranti lunak e-voting

yang akan digunakan, dan membeli sendiri perangkat keras (beberapa unit monitor layar

sentuh, termal printer, dan smartcard reader) sesuai arahan spesifikasi yang ditentukan oleh

BPPT.

Pertanyaan berikutnya, dari ratusan desa di Boyolali, desa mana saja yang dipilih untuk

menghelat pilkades e-voting dan apa dasar pertimbangannya? Desa yang dipilih adalah

Kebongulo, Kebonbimo, Genting, Karangnongko, Trayu, Sambi, Gondongslamet, dan

Dologan. Pertimbangannya adalah keterwakilan sebagian dengan kombinasi dua prinsip.

Pertama, satu desa satu kecamatan. Kedua, dipilih gabungan antara daerah perkotaan dan

daerah yang wilayahnya jauh dari kota. Bahkan, akhirnya untuk memperbanyak uji coba di

daerah yang jauh dari kota, secara keseluruhan mayoritas (5 dari 8) desa berada jauh dari

perkotaan.

Berikutnya, apakah memang masyarakat Boyolali, terutama yang pendidikannya menengah

ke bawah dan yang berusia lanjut (diatas 65 tahun), bisa dan percaya dengan e-voting?

Awalnya, sempat ada kekhawatiran seperti itu. Namun hal itu sudah diantisipasi sebelumnya

dengan menyelenggarakan berkali-kali sosialisasi kepada masyarakat tentang cara

pelaksanaan pilkades dengan cara e-voting.

Yang menarik, di samping sosialisasi sebelum hari H, pada hari H di sekitar TPS juga ada

sosialisasi untuk para calon pemilih yang belum tahu dan tidak dapat hadir dalam sosialisasi

sebelumnya. Sosialisasi itu yang kemudian menekan angka kebisaan dan mendorong

kepercayaan masyarakat umumnya dan pemilih berpendidikan menengah ke bawah dan

berusia renta pada khususnya.

Secara umum masyarakat Boyolali bisa dan lebih senang menggunakan metode e-voting

ketimbang cara manual karena kelebihan-kelebihannya. Hal itu terlihat setidaknya dari

tingkat partisipasi masyarakat dengan metode e-voting yang rata-rata di atas 70%.

Apa saja kelebihan dari metode e-voting? Pertama, metode e-voting tidak sulit digunakan.

Page 86: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

86

Pemilih menggunakan smart card yang dimasukkan ke dalam card-reader lalu setelah itu

memilih calon kepala desa di layar sentuh. Setelah selesai memilih, pemilih mengambil print

out pilihannya dan memasukkan kertas print out itu ke dalam kotak yang sudah disiapkan.

Kedua, metode e-voting lebih cepat dalam perhitungan dan dapat mengurangi terjadinya

ketegangan antara calon dan tim sukses. Dari ditutupnya TPS ke akhir perhitungan hanya

memakan waktu sekitar 15 sampai 30 menit. Bandingkan dengan cara manual yang bisa

berjam-jam, bahkan di beberapa desa perhitungan baru selesai esok sore dari hari pemilihan.

Metode e-voting dalam pilkades lebih mengurangi ketegangan antarcalon dan atau tim sukses

karena tidak ada ribut-ribut soal keabsahan coblosan karena perhitungan dikerjakan oleh

mesin dan tinggal direkapitulasi per kotak suara atau bilik saja.

Ketiga, berbeda dengan model manual yang sekali memakai kertas tidak dapat dipakai lagi,

dengan e-voting perangkat kerasnya dapat digunakan berkali-kali. Bahkan selama delapan

kali pilkades e-voting, perangkat yang digunakan adalah perangkat yang sama.

Di samping kelebihan, sejauh ini juga masih ada juga kelemahannya yang bisa dijadikan

input untuk perbaikan ke depan. Kelemahan utamanya, secara teknis bilik memilih terlalu

pendek (hanya sekitar 30 cm) sehingga mengurangi kerahasiaan pemilih. Dengan bilik yang

pendek dan pilihan yang hanya sedikit (dua atau tiga calon), orang lain di luar pemilih bisa

lebih tepat menduga apa pilihan pemilih saat itu. Dalam metode mencoblos, bilik yang

pendek relatif tidak merupakan masalah karena gerakan tangan pemilih mengarah ke pilihan

mana tidak mudah diprediksi.

Sebagai penutup, apa yang terjadi di Boyolali adalah segelintir usaha baik dari daerah untuk

memperbaiki hal yang baik dalam hal kepemiluan baik di tingkat lokal maupun lesson

learned untuk pemilu nasional. Karenanya, wajib untuk diapresiasi setinggi-tingginya dan

bukan tidak mungkin dijadikan pertimbangan untuk dilakukan juga oleh daerah-daerah lain di

Indonesia.

IKHSAN DARMAWAN

Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

Page 87: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

87

Umat yang Jarang Membaca Koran SINDO 1 Desember 2014

Dalam kesenian klasik Jawa ”Macapat” dan bisa juga dalam gending Palaran, orang

mengidungkan tembang ”Pucung”, yang di dalamnya, antara lain terdapat ungkapan bijak

para resi zaman dahulu atau kelompok elite yang disebut kaum literati, yang menyatakan

bahwa ”ngelmu iku kalakone kanthi laku”, maksudnya ilmu hanya bisa dicapai melalui laku.

Dalam tradisi Jawa yang disebut laku itu ”laku rohani”: tirakat. Di dalam bahasa dunia

pesantren disebut ”riadhah”, kadang ditulis ”riadlah”, artinya menempuh hidup

serbaprihatin, serbarohani, untuk memperoleh petunjuk Yang Ilahi dan adikodrati mengenai

suatu jenis ilmu yang hendak diraihnya. Di dunia modern, urusannya lebih ringan, lebih

sederhana: membaca.

Bila urusannya menyangkut pengembangan ilmu secara lebih serius, lebih hakiki, lebih

mendalam, dan mengharapkan terjadi suatu penemuan baru, secara total, utuh baru, suatu

”invention”; atau penemuan baru secara parsial, baru sebahagian, ”innovation”; maka ”laku”

keilmuan yang lebih berat, dan tak kalah dari laku batin orang Jawa tadi, harus dilakukan

suatu penelitian.

Di kalangan para ilmuwan sosial disebut penelitian lapangan. Mereka yang bergulat di dalam

bidang-bidang ilmu pengetahuan murni, penelitian bisa dilakukan di laboratorium, dengan

suatu percobaan yang ruwet, njlimet, dan memerlukan ketelitian tingkat tinggi. Tentu saja

masih banyak jenis-jenis penelitian lain, percobaan lain, yang menuntut sikap ilmiah yang tak

main-main. Ini memerlukan suatu kesalehan sosial yang bahkan lebih berat daripada berdoa

tiga hari tiga malam.

Dengan ”laku” ilmiah macam itu suatu bangsa mencapai kemajuan. Bila suatu bangsa

bersaing, melakukan ”fastabikul khairat”, berlomba di dalam kebaikan dan amal saleh untuk

meninggalkan suatu warisan budaya bagi bangsanya, atau bagi dunia, maka bangsa itu telah

secara nyata telah mendaftarkan dirinya untuk menjadi bagian elite dunia di bidang keilmuan.

Ini bangsa unggul.

Kita kagum melihatnya. Bisa saja bangsa itu menang, dan menjadi yang terbaik di dunia. Kita

membelalak memandangnya. Bisa juga kalah, dan disebut bangsa pejuang yang gigih dan tak

mau ketinggalan. Dia kalah, tapi bukan kalah judi yang menjadi sejenis orang ”terkutuk”

secara moral keagamaan, melainkan tetap terpuji. Mata dunia memandangnya, dan media

memperingatkan: bangsa ini boleh jadi tak lama lagi menjadi juara satu di dunia, di bidang

keilmuan.

Page 88: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

88

Betapa harum sebutan yang disandangkan pada namanya. Betapa mulia bangsa itu di mata

Yang Ilahi dan Terpuji, yang dari kesunyian malam di Gua Hira yang dingin bersabda:

bacalah. Kita ini umat yang mendengar seruan itu, bahkan umat yang secara khusus diseru,

diperintah membaca, tapi adakah kita membaca? Jangan keras-keras menjawabnya, kita

semua tahu, kita tidak membaca. Ah, bukan, kita jarang membaca. Umat yang jarang

membaca ya kita ini.

Apakah itu memalukan? Kelihatannya tidak. Kita tidak malu. Dalam banyak hal, termasuk

dalam kejahatan korupsi, kita masih kanak-kanak yang belum mengenal malu. Kita tenang

saja melihat tingkat baca kita berada dalam posisi 110 dari 173 negara. Presiden, menteri

pendidikan, rektor-rektor, kepala-kepala sekolah, guru-guru, dan yang lebih penting lagi

kepala perpustakaan dan para stafnya, semua tenang, seolah tak sedikit pun masalah bangsa

yang kita hadapi.

Jika kita membandingkan buku-buku yang harus dibaca di SMA di seluruh dunia, posisi kita

bukan terendah, melainkan terkubur di bawah tanah. Bangsa yang tingkatnya terendah itu

Thailand karena murid-murid SMA hanya wajib membaca lima buku. Sedikit lebih tinggi

dari itu, Malaysia, yang murid-murid SMA-nya membaca enam buku. Singapura juga hanya

enam buku. Brunei lebih tinggi lagi, tujuh buku. Tapi, mereka ini tergolong rendah.

Tahu, berapa buku yang dibaca bocah-bocah SMA Indonesia? Nol besar. Nol. Inilah umat

yang tidak membaca. Tapi, seluruh bangsa tenang. Tak ada kegemparan dan keprihatinan

secuil pun yang diberitakan media. Tapi, kalau ada makanan haram tidak diberi label haram,

kita bisa geger.

Mengapa umat tidak membaca, tak diberi status hukum ”haram”, atau”dosa”, sebagaimana

umat yang tak menjalankan perintah agama yang kita teriak-teriakkan melalui pengeras suara

di masjid-masjid, sebagai, konon, dakwah? Mengapa Muhammadiyah, ”the modernist” diam

saja? Apa hanya urusan kapan mulai puasa kapan lebaran, yang dianggap masalah penting

dalam kehidupan umat? Mengapa NU diam saja?

Mengapa menteri pendidikan bisu? Mengapa presiden tak pernah mempersoalkannya?

Seharusnya kita malu dengan Swiss, yang murid SMA-nya membaca 15 buku. Kita juga

malu pada Rusia, yang lebih tinggi lagi, 20 buku. Apalagi Jepang, 22 buku. Belanda, bahkan

lebih tinggi lagi yaitu 30 buku dan AS merupakan yang tertinggi dan tak tertandingi: 32 buku.

Itulah potret human development index, yang disebutkan Center for Social Marketing.

Kalau menteri pendidikan tidak malu melihat aib tercoreng di wajah kita, paling tidak

gubernur harus malu. Mungkin, terutama gubernur DKI dulu. Gubernur bisa mengambil

langkah atau kebijakan membaca yang betul-betul dikontrol secara ketat. Semua kepala

sekolah diwajibkan lapor. Kalau kepala sekolah tak mengajarkan membaca, apa yang

diajarkan?

Kita ini sudah lama menjadi juara satu dalam perkara tawuran. Pelajar-pelajar jagonya. Tapi,

sebaiknya sekarang diubah: bikin mereka semua jago membaca. Wajibkan berapa puluh

Page 89: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

89

buku. Wajib benar-benar wajib. Dikontrol dengan baik. Semua perpustakaan dibuat sibuk.

Sehari penuh, dari pagi hingga sore, banyak warga masyarakat yang datang membaca. Pelajar

dan mahasiswa yang paling utama.

Mampukah perpustakaan memanggul mandat, mendukung menteri, mendukung gubernur,

memajukan bangsa? Universitas? Semua bernafsu, tapi hanya omong kosong mau menjadi

”research university”, “world class university”. Apa tindakannya? Universitas hanya sibuk

membangun gedung, tanpa membangun human resource di dalamnya.

Orde Baru dulu siap tinggal landas. Tinggal landas (mu), mana bisa tinggal landas tanpa

membaca tanpa penelitian yang beneran? Ada rektor yang peduli pada mahasiswa yang tak

membaca? Kelihatannya tak pernah ada. Rektor juga jarang peduli pada perpustakaan

Masjid kampus, berteriak kemajuan, bangga kita mayoritas, tapi kita masih nyata sekali, umat

yang tak membaca, bangsa yang tak membaca. Tapi kita diam saja. Orang perpustakaan pun

diam seribu bahasa. Kita tak malu, dan tetap diam, melihat potret diri kita sebagai umat yang

jarang membaca?

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 90: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

90

Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya (1)

Koran SINDO 1 Desember 2014

Pendidikan merupakan tema strategis dalam setiap perjalanan kepemimpinan nasional. Hal

tersebut disebabkan kualitas kecerdasan sebuah bangsa sangat bergantung pada fundamen

sistem pendidikannya.

Pendidikan nasional bertujuan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia

seutuhnya dalam konsep kenabian dikenal dengan istilah ”insan kamil”, dalam pandangan

orang Jawa dikenal dengan sangkan paraning dumadi, yang berpuncak pada manunggaling

kawula Gusti.

Orang Sunda mengajarkan ajaran rawayan jati, yaitu transformasi ajaran bambu sebagai

peranti keberadaban manusia, istilah yang digunakan berbunyi congo nyurup kana puhu.

Congo nyurup kana puhu adalah konsep keutuhan atau kemanunggalan antara langit dan

bumi, ragawi dan rohani, tanpa sekat dan tanpa batas.

Cerita tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia yang berpuncak pada sikap zuhud

dalam ucapan dan perbuatan melahirkan tafsir sepihak dalam sudut pandang material. Hal

tersebut terkisah dalam perdebatan tentang asasi dan esensi fitrah kemanusiaan dalam

ketunggalan ketuhanan antara Syekh Siti Jenar dan lingkaran sahabat-sahabatnya yang sama-

sama memiliki pandangan kezuhudan. Tuduhan kesesatan terhadap ajaran manunggaling

Syeh Siti Jenar berpuncak pada beralihnya alam kefanaan ke alam kekekalan yang dijalani

oleh Sang Wali pembawa ajaran ketunggalan.

Kesempurnaan diri Syekh Siti Jenar memancarkan aroma mewangi dari sekujur tubuhnya.

Orang menyebutnya sekujur tubuhnya tanpa nyawa. Hal tersebut merupakan simbol sudut

pandang hukum ragawi memiliki keterbatasan cara melihat dan cara mendengar. Penerapan

sebuah hukuman atas tuduhan kesesatan ajaran bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai

rububiyah itu sendiri.

***

Kisah Syekh Siti Jenar selalu aktual dalam keberadaban perjalanan panjang sejarah

pendidikan kemanusiaan, sudut pandang mata batin kita selalu ingin mengetahui lebih dalam

tentang apa yang diajarkan selama hidupnya. Kisah legendaris tersebut terjadi di tanah Jawa,

tetapi yang paling menarik orang Sunda telah menamakan dirinya dengan nama Jisimkuring,

yang artinya jirim adalah badan, isim adalah ruh, dan kuring adalah Tuhan.

Page 91: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

91

Secara tata bahasa, baik yang memahami atau tidak, orang Sunda telah melakukan klaim

ketuhanan pada dirinya. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya, apakah orang Sunda

mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar atau mungkin Syekh Siti Jenar telah melakukan

reaktualisasi kesundaan sebagai ajaran tertua dalam keberadaban Nusantara? Ajaran yang

mengalami penentangan karena faktor ketidakpahaman lingkungan atau politik kekuasaan

yang berkembang saat ini.

Saya tidak akan memberikan kajian atau analisisi lebih tajam ke dalam hal tersebut karena

khawatir redaksinya yang terlalu banyak karena kolomnya yang terbatas, nanti ceritanya tidak

nyampe kepada Tuhan yang pada akhirnya menjadi hantu dan ciri-ciri hantu. Pertama,

kakinya tidak pernah menginjak tanah. Kedua, keluarnya sejak matahari tenggelam sampai

menjelang fajar karena hantu sangat takut oleh matahari.

Pendidikan sejati mengajarkan keutuhan manusia dengan cikal bakal penciptaannya, ketika

manusia diciptakan dari tanah. Maka itu, manusia harus dekat dengan tanah. Ketika manusia

diciptakan dari air, manusia harus bersenyawa dengan air. Ketika manusia diciptakan oleh

udara, udara merupakan bagian dari dirinya. Ketika manusia diciptakan oleh matahari,

matahari adalah dirinya.

Dengan pendidikan kita mengajarkan telapak kaki anak-anak kita untuk melihat tanah secara

utuh sehingga ada hubungan kesenyawaan antara subjek dan objek penciptaan. Masalahnya,

seluruh lapisan tanah di perkotaan berlapis beton dan aspal sehingga sulit telapak kaki anak-

anak kita untuk kembali bersentuhan dengan leluhur penciptaannya, apalagi sekolah-sekolah

memberikan aturan untuk bersepatu, berkaos kaki ke sekolah sebagai bentuk peradaban baru.

Tah, lamun kieu (nah, kalau begini) sangat sulit mewujudkan keutuhan. Jadi telapak kaki

anak kita geus teu wawuheun jeung taneuh nu sabenerna eta teh akina sorangan (sudah tidak

mengenal tanah yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri). Bahkan yang lebih tragis lagi

banyak sekali anak-anak yang jika kakinya diinjakkan ke tanah matanya terpejam dengan

rasa takut, dia sangat asing dengan leluhurnya sendiri. Coba kita pikirkan perilaku seperti ini,

mirip enggak dengan hantu?

Ketika besar dia tidak ragu lagi untuk menjual sawah, ladang, gunung, hutan, pulau bahkan

samudera yang luas, atas nama ekonomi dan kemakmuran tanpa raut muka kesedihan sedikit

pun. Perilaku yang seperti itu lebih menakutkan dari pada hantu karena dalam catatan sejarah

peradaban hantu, mereka tidak pernah menjual tanah leluhurnya.

***

Ketika siang tercipta, Tuhan membuat ruang pada manusia untuk menggerakkan seluruh

badannya agar terbakar kalori dan lemaknya menjadi aliran keringat kebahagiaan. Ketika

siang kita diajarkan untuk makan enak, anak-anak kita mengalami transformasi nilai

pendidikan melalui pergerakan otak di sayap kiri dan kanannya.

Pengalaman dan penghayatan akan menjernihkan relung hatinya menuju puncak kecerdasan

Page 92: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

92

sebagai manifestasi dari perwujudan amarah Ketuhanan, berawal dari bangun pagi ketika

fajar menyingsing di ufuk timur anak-anak kita berlari menuju pusat-pusat keberadaban

dalam kelas-kelas. Dialog antara guru dan murid penuh canda, tawa dan kebahagiaan.

Saat matahari di atas kepala, mereka berlari menuju rumah peraduan tempat menyimpan

mahligai cinta yang disulam dalam benang-benang kasih sayang orang tua, mereka merenda,

menyulam, mencuci, menyetrika, mengepel, menggembala, bertani, mengambil kayu bakar

sebagai perwujudan sujud dan pengabdian pada ibu dan bapaknya tanpa harus dikatakan

pelanggaran karena mempekerjakan anak.

Anak tumbuh menjadi bagian energi keluarga, berlari di pematang sawah pulang membawa

belut dan belalang, menyusuri semak pulang membawa rumput untuk energi peternakan dan

membawa kayu bakar untuk energi pembakaran pada dapur ibu tercintanya. Tak ada subsidi

elpiji, tak ada antrean pemegang kupon daging kurban, tak ada tumpukan utang pada warung

makanan dan rentenir, semua terbebaskan karena kecerdasan Si Budak Angon (si anak

gembala). Seluruh tubuhnya terisi oleh nutrisi alami pancaran energi kasih sayang seorang

ibu.

Ketika senja menghampiri mereka mengunci seluruh pintu, berlari menuju surau, merenda

malam dengan untaian kata memanjat menuju tepi langit, selaksa bintang di langit tak pernah

luput dari pandangan, yang mengajarkan siklus perhitungan musim.

Purnama tersenyum mengajarkan kepastian penanggalan, gelak tawa terpancar dari bibir

manis generasi penjaga malam. Jangkrik berderik mengantarkan tidur mereka, mengukir

indahnya malam dengan mimpi penuh warna, angin memanjakan mereka menembus bilik

rumah tak berbeton, kulukis nama-Mu di awan tak berjendela.

KANG DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 93: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

93

Inisiatif MORA dan Jejaring Intelektual

KORAN SINDO

1 Desember 2014

Dunia akademik senantiasa berjalan dinamis seiring perkembangan pengetahuan dan

teknologi serta beragam minat manusia dalam membangun peradabannya. Sekat geografis,

bahasa, etnis, agama, dan sejumlah faktor pembatas lainnya, lebur dalam fenomena global

yang mengharuskan kita memiliki jaringan dunia intelektual.

Fenomena ini oleh Jhon Keane dalam tulisannya “The Humbling of the Intellectual, Public

life in the Era of Communicative Abundance” dalam Times Literary Supplement, 28 Agustus

1998, disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance). Ditandai

dengan gegap gempitanya informasi dan tersedianya multikanal komunikasi, tak hanya skala

lokal, nasional melainkan juga internasional.

Dalam konteks inilah, inisiatif MORA (Ministry of Religious Affairs) membuat jejaring

internasional guna pengembangan sumber daya manusia di lingkungan Direktor Jenderal

Pendidikan Islam menjadi sangat strategis dan relevan dengan kebutuhan.

Di antara program-program yang secara reguler diinisiasi MORA adalah Postdoctoral

Fellowship Program For Islamic Higher Education (POSFI), Academic Recharging for

Islamic Higher Education (ARFI), International Seminar for Islamic Higher Education (ISFI),

dan tentunya program Short Course Research Methodology in Overseas Countries.

Beruntung, penulis mendapat kehormatan menjadi Mora's Fellow di University of Western

Sydney melalui program Short Course Research Methodology in Overseas Countries Subdit

Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal

Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk menggali khazanah intelektual di bidang

metodologi riset, penulisan akademik dan konferensi internasional, sekaligus menjadi wahana

pemahaman lintas budaya (cross culture understanding) antara ilmuwan Indonesia dengan

Australia.

Program ini pula yang mengenalkan kota tepian bernama Bankstown, kota kecil tempat

University of Western Sydney berada. Memang, UWS memiliki beberapa kampus yang

terletak di banyak tempat, tapi yang menarik rasa ingin tahu justru yang terletak di kota sepi

senyap, Bankstown ini.

Tiba di kampus berslogan Bringing Knowledge to Life ini, tujuan utama penulis adalah pusat

penelitian agama dan masyarakat (The Religion and Society Research Center) milik UWS

Page 94: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

94

yang kini dipimpin oleh Prof. Adam Possamai, sosok ilmuan penuh kehangatan.

Adam membuat welcome reception yang juga dihadiri oleh, Prof. Kevin Dunn, Dean of

School of Social Science and Psychology UWS. Sebuah jamuan pembuka yang tak hanya

menghidangkan makanan dan minuman penanda persahabatan, tetapi juga dialog akademik

yang membuat kerasan ngobrol berpanjang lebar. Dialog lintas budaya ibarat "oase" di

tengah kegersangan topik-topik yang menjadi menu harian program-program dialog beragam

media massa di Indonesia yang rutin penulis isi.

Di UWS sendiri kita bisa menemukan jaringan para peneliti di sejumlah pusat kajian antara

lain: Centre for Educational Research, Centre for Health Research, Centre for Research in

Mathematics, National Institute of Complementary Medicine, Urban Research Centre,

Writing and Society Research Centre.

The Religion and Society Research merupakan perluasan dari Center for the Study of

Contemporary Muslim Society (CSCMS) yang didirikan tahun 2009 di UWS di bawah

payung the National Center of Excellence for Islamic Studies. Dengan demikian, nampak

nyata bahwa Islam dan komunitas masyarakat muslim telah menjadi basis kajian yang

diperhitungkan dan menarik minat di UWS dan di banyak kampus-kampus lain di Australia.

Melihat seantero lingkungan kampus UWS, tak sulit menemukan para mahasiswi berjilbab.

Di UWS kampus Bankstown, banyak sekali mahasiswa muslim yang berasal dari Iran,

Libanon, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan lain-lain.

City of Bankstown merupakan kota kecil bercita rasa multikultural. Area pemerintahan lokal

di wilayah Canterbury-Bankstown Sydney ini terdiri dari sejumlah kota pinggiran termasuk

Bass Hill, Greenacre, Georges Hall dan Milperra, dan lain-lain.

Kota ini dikelilingi oleh City of Parramatta dan Auburn Council di utara, City of Fairfield dan

City of Liverpool di barat, Sutherland Shire di selatan, dan City of Canterbury, City of

Hurstville dan Municipality of Strathfield di timur. Kalau dari Sydney Airport dibutuhkan

waktu kurang lebih 30 hingga 40 menit perjalanan lewat kereta dari Central Station.

Sepanjang jalan menuju Bankstown sebelah kiri-kanan perjalanan, kita lebih banyak melihat

permukiman warga yang berderet rapi, bersih, dan sepi! Entah, seperti apa kebiasaan dan

asal-muasalnya, permukiman warga menuju Bankstown lebih banyak yang sepi-senyap, tak

banyak kerumunan layaknya perkampungan pada umumnya di Indonesia.

Pun demikian suasana di sekitar kampus sunyi senyap seolah-olah tak banyak orang. Tapi,

saat melongok ke ruang-ruang dalam bagian kampus, seperti di hall, di kelas, dan di

perpustakaan, nampak kampus disesaki sejumlah orang yang sibuk dengan aktivitas

akademiknya masing-masing.

Program di UWS diisi penulis dan partisipan lainnya dengan aktivitas padat, berinteraksi

Page 95: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

95

dengan sejumlah ilmuan UWS dan kampus-kampus lain. Ada Dr. Alphia Possamai, Dr.

Marie Felbaum Korpi, Prof. Garry Trompf (University of Sydney). Dr. Cristina Rocha, Dr.

Anne Jamison, Dr. Joanna Orlando, Profesor Riaz Hassan (Flinders University) dan tentu saja

senior, dan kolega di UIN Jakarta yang saat ini mengajar dan menjadi peneliti di UWS, Dr.

Arskal Salim.

Diskusi, public lecture, simposium, focus group discussion (FGD), micro teaching,

presentasi, konferensi, dan sejumlah aktivitas akademik lainnya menjadi menu harian dari

Senin-Jumat. Sejumlah topik soal Islam dan masyarakat modern didiskusikan dengan renyah

dan penuh persahabatan.

Misalnya Pada 28 Oktober, Prof Garry Trompf memberi public lecture soal “The Yazidis:

Reflections on Group Survival and the Limits of Tolerance”. Pada 5 November, Prof Adam

Possamai memberi pemaparan soal “Islam: A New Relegious Vehicle for Aboriginal Self-

Empowerment in Australia”.

Kajian berbasis riset sangat menarik soal geliat Islam di Australia juga dipaparkan Prof Riaz

Hassan (Emeritus Professor of Sociology di Flinders University) yang membahas tuntas soal

“Socio-economic Status of Australian Muslims: Implications for Citizenship and Social

Integration” pada 7 November. Kajian yang mengurai data mengesankan, betapa muslim di

Australia sudah memiliki perkembangan signifikan bukan hanya dalam hitungan kuantitatif

tetapi juga perbaikan status sosial-ekonomi mereka saat mereka menjadi bagian tak

terpisahkan dari warga negara Australia.

Penulis sendiri, pada 10 November diberi kesempatan untuk memaparkan makalah yang

diberi judul: “Symbolic Convergence in New Public Sphere: A Study of Political

Communication In Indonesia on the Second Periode of Yudhoyono's Government”.

Yang tak kalah menariknya adalah kajian berbasis riset dalam Symposium on Religion and

Gender yang disampaikan oleh Lisa Worthington dan juga Farjana Mahbuba pada 11

November. Hal menarik, yang membuat kita kerasan adalah cara berpikir terbuka dan

memungkinkan kita untuk menginisiasi riset kolaboratif. Hal ini membuat jejaring intelektual

kita kian terbuka.

Selama di sana, penulis diberi kesempatan untuk mencoba bersama-sama dua ilmuwan UWS

dari School of Social Science and Psychology yakni Dr. Steven Drakeley dan Dr. Arskal

Salim, untuk mengajukan proyek riset ke Australian Competitive Research Grant untuk

meneliti “Political Communication of Yudhoyono’s Government (2004-2014) on Tolerance,

Freedom and Democracy in Indonesia”.

Jika melihat kompetisi di dunia sekarang ini, maka inisiatif MORA dan pemerintah pada

umumnya untuk memperkuat kapasitas intelektual dan profesional para ilmuwan di Indonesia

sudah sepatutnya didukung semua pihak. Program-program bagus dan mencerahkan ini,

Page 96: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

96

seyogianya diperkuat lagi dan setiap saat dievaluasi guna ditingkatkan kualitas

penyelenggaraan dan hasilnya. Di sinilah letak strategisnya inisiatif MORA!

GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Page 97: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

97

Moratorium Kurikulum 2013, sebuah Kerugian Nyata

Koran SINDO 3 Desember 2014

Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyusul

pergantian pemerintahan dari SBY-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla, berembus

keinginan untuk melakukan moratorium Kurikulum 2013 (K13).

Pernyataan terhadap kemungkinan ini disampaikan langsung dan terbuka oleh Mendikbud

Anies Baswedan kepada beberapa media. (“Evaluasi Kurikulum 2013 Selesai Desember”,

KORAN SINDO, Senin, 24 November 2014). Pernyataan bahwa K13 masih prematur sedikit

mengindikasikan kuatnya keinginan Mendikbud untuk melakukan moratorium terhadap K13,

apa pun hasil evaluasi kelak.

Memang dalam berita tersebut ada tiga opsi yang disampaikan. Pertama, akan melanjutkan

K13; kedua, dilanjutkan dengan koreksi; dan, ketiga, harus ditunda. Terhadap tiga opsi itu,

masyarakat memang masih harus menunggu hasil evaluasi yang diharapkan akan selesai

Desember ini. Tapi, patut diduga dan ini umum terjadi, pernyataan seorang menteri baru

terhadap kebijakan yang ada sebelumnya acap berusaha untuk berbeda dengan pendahulunya.

Apalagi di lapangan ditemukan dua kutub yang berbeda terhadap K13.

Fakta paling aktual adalah kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang tidak lain

anggarannya adalah bersumber dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang memang sudah ada

sebelumnya dan mencakup pula kelompok masyarakat atau peserta didik dari keluarga

miskin dan hampir miskin. Dengan begitu, kesan yang muncul bagi masyarakat yang paham

adalah program sebelumnya yang hanya berganti nama, yang penting asal beda.

Tulisan berikut ingin sedikit berkontribusi untuk memberikan masukan terhadap

kemungkinan kerugian nyata manakala moratorium yang diambil sebagai sikap beda dari

pendahulu sebelumnya. Tentu tulisan ini tidak hendak membela terhadap siapa pun, tapi

menyampaikan hal yang objektif terhadap apa yang sudah digagas dalam K13.

Diakui, dalam hal implementasi, terutama terkait pelatihan guru, pendistribusian buku,

termasuk masih ada ketidaksesuaian antara K13 dengan buku yang telah disiapkan, serta

sulitnya penilaian, ditemukan beberapa kendala di lapangan. Tapi, terkait dengan konsep

yang telah disiapkan dalam K13, rasanya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Pada titik

inilah, rasanya opsi kedua terkait dengan K13 yaitu dilanjutkan dengan koreksi atau evaluasi

adalah sikap bijak dan moderat yang mesti jadi pilihan.

Persoalan Teknis

Page 98: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

98

Merujuk pada latar belakang disiapkannya K13 terhadap kurikulum sebelumnya adalah

sesuatu yang dapat diterima baik secara nalar. Hanya, kebijakan yang baik itu kerap tidak

bisa dijalankan atau terganjal pelaksanaannya karena ada agenda-agenda terselubung di balik

keinginan kita membangun masa depan masyarakat dan negeri ini lebih baik.

Sekadar mengingatkan, betapa kini kita baru menyadari bahwa upaya untuk membangun

industri dirgantara awal 1980-an adalah hal yang sesungguhnya amat menguntungkan dan

strategis jika merujuk pada pengembangan moda transportasi udara yang kini berkembang

dan maraknya industri penerbangan dalam negeri berinvestasi melengkapi armadanya.

Kekhawatiran ini pun harus perlu didalami terhadap agenda moratorium K13. Mengingat ada

banyak hal positif sesungguhnya yang ingin diraih terhadap implementasi K13, yang dalam

bahasa Kemendikbud sebelumnya, Kurikulum untuk menyiapkan Generasi Emas 2045.

K13 adalah bagian dari perhatian serius dunia pendidikan dalam upaya menjawab

kegelisahan orang tua dan masyarakat terhadap maraknya kenakalan pelajar, terabaikannya

budi pekerti, melemahnya karakter bangsa, hingga maraknya korupsi. Bukan itu saja, beban

pelajaran dan banyak buku peserta didik yang harus dibawa setiap hari, terutama di jenjang

sekolah dasar, yang kerap mengundang kritik wali murid dan pemerhati pendidikan, juga

ditemukan dalam konsep K13.

Di sisi lain, riset dan studi internasional di bidang pendidikan menjadi pijakan dalam

penyiapan K13. Hasil riset tersebut dapat menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia

dibandingkan dengan mutu pendidikan di puluhan negara lain. Riset Program for

International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science

Study (TIMSS), maupun studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS)

menunjukkan, posisi peserta didik Indonesia tidak kunjung beranjak naik, masih menduduki

peringkat bawah dari 65 negara yang diteliti.

Fakta-fakta itulah yang menjadi bagian dari dasar pertimbangan perubahan K13. Selain itu,

masih banyak lagi faktor internal maupun faktor eksternal yang dapat dijadikan landasan

untuk melakukan pembaruan kurikulum. Tantangan internal antara lain berkait dengan

tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan standar nasional pendidikan hingga soal

besarnya pertumbuhan penduduk usia produktif yang harus dikelola agar menjadi sumber

daya masyarakat yang berkualitas. Sementara tantangan eksternal berhubungan dengan arus

globalisasi hingga pesatnya perkembangan teknologi yang sudah barang tentu harus

diantisipasi melalui pendidikan.

Berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi K13, sebagaimana disuarakan

masyarakat yang berkeinginan K13 tidak dijalankan, lebih pada persoalan teknis bukan

substansi. Pada sisi inilah dapat dilihat, mestinya keputusannya pun bukan melakukan

moratorium, tapi lebih pada mengevaluasi untuk memperbaiki ihwal teknis yang menjadi

kendala dalam implementasi K13. Kita sepakat hal teknis harus diselesaikan secara teknis

dan evaluasi bukanlah kata yang tabu dan harus dihindari.

Page 99: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

99

Penyederhanaan menjadi salah satu kata kunci pada K13. Di jenjang SD dari 10 mata

pelajaran kini disederhanakan menjadi enam mata pelajaran, di SMP dari sebelumnya 12

menjadi 10, sedang di SMA tidak lagi mengenal penjurusan melainkan peminatan.

Pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, yang selama ini dikeluhkan para

orang tua, tapi juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil PISA, TIMSS,

maupun hasil PIRLS. Kajian terhadap isi mata pelajaran juga dilakukan dan ditemukan fakta

ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan

dicerna peserta didik.

K13 juga disiapkan sebagai strategi peningkatan kinerja pendidikan. Itulah sebabnya selain

dilakukan penyederhanaan mata pelajaran, juga dilakukan penambahan jam pelajaran. Semua

dilakukan untuk peningkatan efektivitas pembelajaran. Rasionalitas penambahan jam

pelajaran ini adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa

mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output),

yang menjadi penekanan pada K13, memerlukan penambahan jam pelajaran.

Agenda Terselubung?

Melihat fakta dan realitas itulah, ada baiknya jika kita mencoba meneropong agenda

terselubung seperti apa yang sesungguhnya sedang dijalankan para penggagas moratorium

K13 itu? Bisa jadi, karena halusnya sebuah permainan, mereka yang ikut menggagas

moratorium itu tidak tahu-menahu terhadap agenda-agenda itu.

Karena itulah, kita boleh berspekulasi terhadap ini semua. Tentu pengungkapan fakta ini

bukanlah sebuah tuduhan, melainkan fakta yang ada dan jelas terlihat. Terkait dengan model

pengadaan buku K13, boleh disodorkan fakta bahwa kini harga buku tidaklah semahal

sebelumnya. Melalui penyediaan terpusat dengan model lelang yang dilakukan oleh Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga buku dapat ditekan hingga 30-

40%.

Di sisi lain, konon ditemukan masih banyak stok buku pelajaran berbasis KTSP yang

tertimbun di gudang-gudang penyimpanan. Jika K13 terus berjalan atau berlanjut dengan

perbaikan, kerugian sudah barang tentu akan diderita para pemilik buku yang menumpuk di

gudang. Kepentingan bisnis menjadi salah satu pendorong agar moratorium K13 dilakukan.

Terkait metodologi pembelajaran, harus pula diakui bahwa pembelajaran dengan pendekatan

saintifik melalui upaya mengamati-menanya-menalar-mencoba-mengkomunikasikan adalah

metodologi yang kini diberikan di sekolah-sekolah papan atas dan internasional di kota-kota

besar. Pertanyaannya, apakah sekolah-sekolah inpres dan negeri yang ada di pelosok negeri

tidak boleh menggunakan metodologi tersebut?

Apakah karena alasan guru yang belum siap, kemudian peserta didik kita harus menunda

keinginannya untuk belajar lebih menyenangkan dan merasakan bagaimana belajar dengan

pendekatan saintifik? Rasanya tidaklah adil jika lantaran itu K13 dimoratorium. Persoalan

Page 100: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

100

teknis yang menjadi penghambat harus dicarikan jalan keluar.

Sejatinya jika moratorium yang dipilih sebagai sebuah kebijakan asal beda, kerugian nyata

yang akan diterima. Masyarakat akan rugi karena membeli buku lebih mahal sebab

mekanisme sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan peserta didik juga akan rugi

karena pembelajaran yang nyata-nyata disiapkan untuk menjawab tantangan masa depan dan

membiasakan siswa untuk berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan efektif, harus tertunda lantaran

K13 dimoratorium.

Pemilihan opsi terus jalan dengan evaluasi adalah sebuah keputusan bijak dan moderat.

Semoga!

SUKEMI

Pemerhati Pendidikan dan Pengelola Portal CSR Monitor Bidang Pendidikan

Page 101: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

101

Revolusi Mental atau Moral Pancasila? Koran SINDO 3 Desember 2014

Tanggal 24 November 2014 lalu saya mendapat kehormatan diundang oleh Bapak Jenderal

(Purn) Sayidiman Suryohadiprojo untuk menghadiri acara peluncuran buku barunya yang

berjudul Mengobarkan Kembali Api Pancasila. Banyak tokoh-tokoh senior yang hadir dalam

acara tersebut, beberapa di antaranya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Prof Subroto, Akbar

Tandjung, Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Bapak Santo Budiono yang juga menjadi

pembahas, serta tokoh-tokoh senior lain.

Saya pribadi sangat salut terhadap semangat, daya juang, produktivitas, dan kepedulian beliau

terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia di dalam usianya yang sudah lebih dari 85

tahun ini. Beliau masih aktif mengamati dan menulis masalah-masalah kebangsaan.

Baiklah, mari kita coba pahami apa pesan yang tersirat dari buku tersebut. Dari judulnya saya

melihat ada dua hal yang tersirat, pertama menyiratkan kekhawatiran dan kedua menyiratkan

peringatan bagi kita semua. Mengapa kekhawatiran? Karena, jika disebut “mengobarkan

kembali api Pancasila”, berarti beliau melihat bahwa pada saat ini api Pancasila sudah padam

dari negeri ini, sudah tidak ada orang yang peduli terhadap nilai-nilai Pancasila.

Keberadaan Pancasila hanya diingat sebagai simbol atau lambang dan dasar negara tanpa ada

lagi yang peduli terhadap pengamalan dari nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Di halaman 250 buku tersebut beliau menyatakan: “Menjadikan

Pancasila realitas di Indonesia berarti mewujudkan satu realitas baru di negara kita. Sebab

realitas yang sekarang adalah satu kondisi yang kosong Pancasila, bahkan bertentangan

dengan Pancasila“.

Saya kira kita semua sepakat dengan pernyataan tersebut. Kekosongan nilai-nilai Pancasila

bahkan sudah hampir merata di segala tingkatan dalam strata sosial masyarakat kita. Mulai

dari tingkat pelajar, mahasiswa, pegawai biasa, pengusaha, pejabat, pimpinan daerah, bahkan

menteri dan anggota Dewan yang terhormat pun sudah menunjukkan sikap yang jauh dari

nilai-nilai Pancasila.

Sungguh sangat memprihatinkan memang, tetapi itulah kenyataan yang kita alami sekarang

ini dan tentu saja ini akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada tindakan-tindakan nyata

untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Kedua, buku ini menyiratkan peringatan bagi kita semua untuk segera mengambil tindakan

guna menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan

Page 102: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

102

hal tersebut? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab mengingat dalam nomenklatur

pemerintahan dan tatanan lembaga negara di Indonesia saat ini tidak ada satu pun lembaga

yang mempunyai tugas khusus untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai

dasar negara. Tak ada yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan menurunkannya ke dalam

program yang berkelanjutan, menyeluruh, dan menjangkau semua strata sosial dalam

masyarakat kita.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya mempunyai peranan yang besar di sini

karena kementerian inilah yang mempunyai kewenangan dalam mendidik dan membangun

karakter bangsa dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara

kita. Namun, kenyataannya justru pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sudah lama

dihapuskan dari kurikulum pelajaran di tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah

atas (SMA), mata kuliah Kewiraan juga sudah tidak ada dalam silabus perkuliahan di tingkat

perguruan tinggi.

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga merupakan lembaga yang salah satu tugas

pokok dan fungsinya memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang tentunya berbasis kepada

Pancasila. Kendati demikian, daya jangkau lembaga ini juga masih belum mampu

menjangkau seluruh strata sosial yang ada di masyarakat kita. Lembaga ini masih terkesan

eksklusif dan sulit dijangkau masyarakat luas.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana

melakukannya? Buku ini memang tidak secara langsung menjawab semua pertanyaan

tersebut.

Peranan Kepemimpinan Nasional

Walau tidak secara langsung menjawab, secara tegas dinyatakan di halaman 250-251:

“Perbuatan masyarakat banyak ditentukan atau bersumber dari kepemimpinan masyarakat itu.

Untuk perubahan yang harus terjadi pada negara, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan

nasional. Kepemipinan nasional mampu mengajak seluruh bangsa membuat perubahan yang

diinginkan....... keberhasilan kepemimpinan nasional mengajak seluruh bangsa perlu

dilandasi kemampuannya mengajak dan memotivasi semua orang atau pihak yang

menjalankan kepemimpinan di daerah serta di berbagai organisasi untuk bersama-sama

mewujudkan perubahanitu, yaitu menjadikan Pancasila realitas di Indonesia.”

Sudah seharusnya kepemimpinan nasional menjadi kunci keberhasilan untuk mengembalikan

nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat di segala

bidang.

Karena itu, sungguh aneh jika ada seorang pejabat tinggi negara yang mengizinkan warga

negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama pada kartu identitasnya, suatu hal yang

sangat mendasar dan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menyatakan

Page 103: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

103

bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius (beragama) seperti yang tercermin dari

sila pertama Pancasila.

Sementara itu, revolusi mental yang didengungkan Presiden Jokowi sejak masa kampanye

hingga saat ini masih belum jelas arahnya ke mana, apa yang menjadi dasar dan acuannya,

serta bagaimana cara melaksanakannya. Jangan sampai ini hanya menjadi slogan kampanye

yang tidak jelas arah dan tujuannya. Seharusnya revolusi mental diarahkan kepada penguatan

kembali nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan

bernegara.

Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk badan atau lembaga entah di bawah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Lemhannas yang khusus menangani ini.

Kita tentu masih ingat BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang dibentuk oleh Soeharto pada masa

pemerintahannya dulu.

Badan inilah yang melakukan pembinaan, pendidikan, sekaligus pelaksanaan atas

penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam seluruh sendi-sendi kehidupan di Indonesia.

Mereka membuat program yang menyeluruh mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan

tinggi, hingga karyawan, semua tidak luput dari program ini.

Presiden Soeharto bisa dibilang sukses dalam menjalankan program ini pada masa

pemerintahannya. Sudah seharusnya semua sisi baik dari apa yang telah dilakukan Soeharto

dapat terus dilaksanakan dan ditingkatkan. Ini yang dapat membuat bangsa kita bertambah

maju dan berkembang.

Kebiasaan buruk para pemimpin kita selama ini adalah selalu menganggap apa yang

dilakukan pemimpin terdahulu salah, padahal tidak demikian adanya. Sesuatu yang baik

harus diteruskan, yang salah jelas harus ditinggalkan. Presiden Jokowi seharusnya dapat

mengambil pelajaran dari hal ini. Apalagi beliau termasuk pemimpin yang mau banyak

belajar dari pemimpin terdahulu.

Semoga saja dengan program Revolusi Mental Presiden Jokowi, api Pancasila dapat kembali

berkobar di hati sanubari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, jangan sampai padam dan

hanya meninggalkan asap yang hanya membuat perih dan air mata.

Jadikanlah Revolusi Mental sebagai konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan

UUD 1945. Terima kasih kepada Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang telah

memberikan inspirasi dengan peluncuran bukunya tersebut.

HANDI SAPTA MUKTI SSI MM

Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan

Page 104: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

104

Kontroversi Khilafah Koran SINDO 5 Desember 2014

Berdirinya Negara Islam Irak dan Syria (NIIS) atau Islamic State of Irak and Syria (ISIS)

pada April 2013 telah menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam sedunia. Ada yang

kemudian tertarik dan bergabung, namun banyak pula yang menentang karena dianggap tidak

mewakili semangat dan karakter Islam sebagai penyebar rahmat bagi semesta.

ISIS dianggap sebagai anak kandung Al-Qaeda yang menebarkan ketakutan dan terorisme

bagi masyarakat dunia. Kehadirannya mencoreng cita dan citra Islam yang mengajarkan

hidup rukun dan damai. Tidak tanggung-tanggung, ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya

sebagai kekhalifahan Islam yang berpretensi sebagai pemimpin Islam sedunia.

Untuk mengetahui lebih jauh apa makna dan sejarah kekhalifahan dalam Islam, saya tergerak

mengontak beberapa teman yang secara intelektual memiliki pengetahuan cukup, bahkan

otoritatif, untuk membahas asal-usul pemerintahan politik dalam Islam. Lalu dikaitkan,

bagaimana mestinya membangun hubungan antara ide kekhalifahan dan negara Indonesia

yang berdasarkan Pancasila. Akhirnya terbitlah buku Kontroversi Khilafah dengan subjudul,

Islam, Negara, dan Pancasila, diterbitkan oleh Mizan (2014) setebal 280 halaman,

menghimpun pemikiran dari 13 penulis. Saya berharap buku ini akan menjadi bahan

pengantar diskusi yang cerdas bagi mereka yang pro-khilafah dan yang anti-khilafah pada era

sekarang ini.

Bagi yang tidak setuju, mereka berpandangan bahwa khilafah yang pernah hidup pada abad

lampau itu tak lagi relevan pada zaman modern. Hanya empat kekhalifahan sepeninggal

Rasulullah yang masih teguh memegang nilai-nilai agama. Saat itu pun, yaitu pada masa dua

khalifah terakhir, terjadi perang saudara sesama muslim karena dipicu persaingan ideologi

dinastiisme. Kemunculan Mazhab Sunni dan Syiah pun tak luput dari pengaruh persaingan

perebutan kekuasaan politik yang melibatkan pembenaran keagamaan pasca-Rasulullah.

Dengan kata lain, berbagai mazhab keagamaan yang sekarang bertikai semua itu produk

sejarah pasca-Rasulullah.

Jadi sesungguhnya umat Islam Indonesia tidak memiliki agenda mempertahankan

kekhalifahan atau kesultanan mengingat para sultan di Indonesia justru melebur menjadi

sponsor dan pejuang bagi lahir dan tegaknya negara Republik Indonesia.

Dalam berbagai seminar internasional seringkali muncul pujian pada Indonesia, jumlah umat

Islamnya yang jauh lebih besar dari dunia Arab bisa bersatu dalam rumah bangsa dan negara

Indonesia. Sementara di Arab, mereka terbagi lebih dari 20 negara di bawah kekuasaan

Page 105: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

105

sultanisme-dinastiisme. Di Timur Tengah, kesamaan bahasa, agama, dan daratan tidak berarti

menjadi ikatan kesatuan negara dan bangsa. Dalam kaitan ini, menjadi logis jika negara Israel

semakin berjaya meski Palestina teriak-teriak minta tolong akibat agresi Israel mengingat

sesama negara Arab juga saling bertikai.

Idealnya, jika berdiri khalifah Islam sebagai pusat pemerintahan Islam sedunia, betapa besar

dan hebatnya dunia Islam. Tetapi, rasanya, itu sebuah utopia belaka. Jangankan sedunia, di

dunia Arab tempat lahir Islam saja mereka bertikai.

Benarkah ada doktrin sistem pemerintahan Islam tunggal dalam ajaran Islam? Para

intelektual dan ulama mengatakan tidak ada, sebagaimana dikutip dalam buku Kontroversi

Khilafah. Salah satu keputusan Munas NU pada 1-2 November 2014 menyatakan, Islam tidak

menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi

para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem

pemerintahan sesuai tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat (hal.149).

Prof Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua Muhammadiyah, menulis testimoni untuk buku ini:

Sebutan negara Islam untuk Indonesia yang plural tidak lagi diperlukan. Yang terpenting,

moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan perangkat hukum Islam

dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi.

Demikianlah, buku ini menyajikan sejarah kelahiran kekhalifahan dalam sejarah Islam dan

berbagai silang pendapat para ulama dan intelektual Islam, terutama mengenai formula

hubungan agama dan negara. Untuk konteks Indonesia, kemunculan ideologi Pancasila

dinilai sebagai ijtihad politik yang jenius dan bijak, yang menetapkan Indonesia sebagai

negara yang bertuhan, sementara rakyatnya diberi kebebasan memilih agama dan

kepercayaannya masing-masing.

Agama memerlukan perlindungan dan fasilitas negara, di pihak lain negara memerlukan

landasan dan dukungan moral dari agama serta partisipasi umat beragama untuk memajukan

bangsa dan negaranya. Yang masih belum mapan adalah tradisi membedakan dan menjaga

etika pribadi, komunal, dan publik. Ruang publik itu milik bersama, apa pun etnis dan

keyakinan agama seseorang.

Ruang publik mesti dijaga bersama agar nyaman dan damai untuk dihuni bersama. Tetapi,

seringkali kelompok etnis dan agama menjarah dan mengganggu ruang publik yang menjadi

tugas dan tanggung jawab negara untuk menjaganya.

Jika negara tidak hadir mengamankan, sementara kekuatan komunal etnis atau agama agresif

menjarah ruang publik, ini akan merongrong keindahan dan eksistensi bangsa dan negara

Indonesia yang plural. Kita jaga keadilan dalam konteks kebinekaan, namun mesti solid dan

kompak menjaga keikaan berbangsa dan bernegara.

Page 106: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

106

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 107: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

107

Dari Rawamangun ke Pintu Besi Koran SINDO 7 Desember 2014

Saya kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak, dan

Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi. Terus Pasar Ikan,

Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.

Juga Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung; atau Tanah Abang, Tanah Merah, Tanah

Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya. Juga banyak di

antara kita tahu bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh pemerintah kolonial

Belanda.

Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk

memberi tanda geografis pada daerah-daerah yang dimaksud. Yang judulnya ”rawa” dulunya

pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau sekarang jadinya rawan banjir. Yang

namanya ”pulo” atau ”tanah” berarti berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi

teorinya, kalau mau beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama ”rawa”, tetapi pilih yang

namanya berawal dengan ”pulo” atau ”tanah”. Tetapi sekarang karena perubahan tekstur

geografis, banyak pulo dan tanah yang kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir

karena sudah ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang

kemudian jadi banjir).

Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja) masih ada sampai hari ini, tetapi

kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar

Jumat adalah sekolah kepolisian.

Pal dan Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling selatan dari

Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang ada Universitas Krisna

Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta

Kota, adalah batas kota pertama ketika Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di

Pasar Baru, bukan batas kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk

mengatur air ke kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah

Mada.

Pada zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya boleh

tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan besar-besar, seperti

yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai

banyak yang jadi pertokoan, apartemen, bahkan rumah sakit).

Orang-orang pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama

Page 108: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

108

sesuai dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon,

Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam batas-batas pal

hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan orang Belanda. Kebon Sirih,

misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam sayuran untuk para sinyo-sinyo dan

nyonya-nyonya atau noni-noni Belanda di daerah Menteng.

Saya sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini ketika pada

suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid Al Irfan, Kompleks Perumahan

Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat giliran berbagi (bahasa agamanya:

tausiah) dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda subuh

hari itu. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat

krusial itu.

Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas di Ciputat,

pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu itu belum ada apa-apa di

Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke

Kebayoran Lama, tembus Kebayoran Baru. Baru dari situ masuk Jakarta.

Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu itu, saya tidak akan memilih lokasi

tempat ”jin buang anak” itu. Tetapi Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang

berkembang sangat pesat.

Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir tentang relevansi nama-

nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati nama-nama asli jalan-jalan di Jakarta diganti

dengan nama-nama pahlawan. Saya tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam

Bonjol pada zaman Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di

jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka.

Di Jatinegara ada Kelurahan Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama

yang diambil dari peristiwa tahun 1813, di mana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara

Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa. Tetapi hari ini hampir tidak ada yang ingat

lagi tentang sejarah Rawa Bangke.

Jadi kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang pesat di

zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka bangunan-

bangunan bersejarah pun dirombak jadi mal.

Karena itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong Toegoe,

yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian menjadi cikal-bakal

kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena komunitas asli di Kampoeng Toegoe,

Jakarta Utara sudah tidak ada lagi. Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin

tergeser ke pinggir.

Makin sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah sekali

Page 109: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

109

mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu menjadi persyaratan pada setiap perkawinan

Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang Potehi (peranakan Tionghoa), tari

Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak yang lain.

Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu bermukim dan

bertumbuh kembang tidak ada lagi. Satu per satu komunitas-komunitas lahan budaya itu

bubar, digantikan oleh budaya ultramodern atau budaya religi yang ultrakanan (radikal).

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 110: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

110

Orang-Orang Besar di Perpustakaan Koran SINDO

Senin, 8 Desember 2014

Baik-buruknya perpustakaan, menentukan baik-buruknya manusia dan masyarakat di

sekitarnya.

Diperjelas; jika perpustakaan baik, manusia dan masyarakat di sekitarnya juga baik. Jika

perpustakaan buruk, yang terjadi sebaliknya. Dilihat dari sudut yang berkebalikan: Manusia

dan masyarakat baik jika perpustakaannya baik. Manusia dan masyarakat buruk jika kondisi

perpustakaan sebaliknya. Dengan kata lain, ini menjelaskan betapa penting makna

perpustakaan.

Apa Isi Perpustakaan?

“Buku-buku, yang menjadi sarana pengembangan pribadi manusia, dan kebebasan memilih

buku-buku yang diinginkannya, yang di tempat lain tidak ada”. Orang boleh bebas sebebas-

bebasnya mau membaca buku apa saja. Orang bebas memilih, mau mematangkan diri dengan

ilmu-ilmu macam apa.

Mereka yang ingin memperoleh keterampilan teknis, boleh membaca buku-buku teknis yang

diinginkan. Mereka yang ingin menjadi sufi dan tokoh-tokoh rohani terkemuka, di sana buku

dalam bidang itu tersedia.

Kita mengasumsikan anggaran tahunan perpustakaan kita besar. Bahkan mungkin

“unlimited“. Dengan anggaran seperti itu, buku apa pun bisa dibeli untuk membuat warga

masyarakat, perorangan maupun kelompok, menjadi orang baik, pandai, dan terampil di

bidang-bidang ilmu keduniaan.

Selebihnya, warga masyarakat bisa menjadi orang mulia, dan terpuji secara rohaniah. Mereka

itu merupakan modal sosial kita. Modal itu bisa diandalkan untuk mengangkat derajat dan

martabat bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Itu pun kita belum bicara guru, menteri, dan

kebijakan pendidikan.

Tapi kenyataan di masyarakat kita tak seperti itu. Perpustakaan kita sepi. Pengunjung

utamanya hanya kepala perpustakaan itu sendiri dan anak buahnya. Itu pun tidak untuk

membaca buku, melainkan untuk rapat. Mereka sibuk rapat dan rapat melulu hingga semua

lupa mengurus agar perpustakaan yang sunyi sepi itu bisa sedikit memberi tanda adanya

kehidupan.

Page 111: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

111

Memeriahkan Perpustakaan

Kita harus kreatif. Kita bikin ruang-ruang baca besar, misalnya cukup buat lima puluh orang.

Bikinlah umpamanya, ruang Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, di mana tersedia

segenap buku agama. Semua buku biografi beliau, hadis-hadis beliau, dan potret kesalehan

beliau, yang tak tertandingi itu dihadirkan di sana.

Sediakan di ruang itu suatu tempat kecil, buat satu dua orang salat, lengkap dengan

sajadahnya. Memang sudah ada musala, bahkan mungkin masjid besar. Tapi bagi orang yang

terlalu getol membaca, siapa tahu memilih salat sendirian di tempat tersebut.

Kita bikin pula ruang Socrates yang hebat itu. Di sana, pengunjung boleh membaca filsafat,

boleh memilih buku lain. Bila kelak di situ akan jadi ruang pembaca khusus filsafat, itu baik

saja.

Bikin pula ruang KH Ahmad Dahlan, atau hadratussyaikh KH Hasyim Asyary. Sebut mereka

tokoh pemikir, pemimpin umat yang besar dan kreatif. Jangan sekedar disebut kiai. Tidak

cukup. Mereka pemimpin besar, teladan umat.

Bikin pula ruang Bung Karno. Di situ orang bebas membaca, bahkan berdiskusi tentang

politik dan pergerakan. Kita ambil hikmah dari beliau, tapi pergerakan yang kita diskusikan

kita terapkan khusus untuk menata kehidupan bangsa kita yang sekarang terjajah lagi secara

terang-terangan oleh pedagang asing, politik asing dan segala macam kepentingan asing. Kita

belajar dari Bung Karno, cara membebaskan bangsa kita sekarang ini dari begitu banyak

belenggu tadi.

Bikin pula ruang Gus Dur. Di sana orang harus ketawa dan membuat humor-humor segar,

yang memancing tumbuhnya sikap bijaksana. Bangsa kita kurang humor. Kurang ketawa.

Tak mengherankan kita tampak kusut, dan jarang di tengah kita hadir orang bijaksana. Tapi

jangan lupa, di ruang Gus Dur juga harus ada yang membaca buku-buku kebudayaan dan

politik etnisitas, dan keumatan, yang cemerlang.

Kita tampilkan bacaan yang menggambarkan pergaulan antar umat, antar etnis, antarsesama

bangsa, yang tawaduk, penuh humor dan kearifan, dan penghormatan, maupun sikap toleran

dan rendah hati, agar suasana politik keagamaan kita terasa nyaman, bebas dan terbuka tapi

penuh ukhuwah insaniah yang saling memuliakan.

Di Asia Tenggara yang kecil ini, jangan bangsa lain yang terkemuka. Kitalah pemimpinnya.

Bahkan di seluruh kawasan Asia, kita harus menjadi yang terbesar, terhormat, paling beradab

dan makmur. Mustahil kita tak mampu mewujudkannya. Mustahil, selama kita punya

perpustakaan, selama perpustakaan ada buku, selama perpustakaan dikelola dengan cara yang

penuh kreativitas.

Hidup harus punya imajinasi yang sehat, dan berkeadaban. Tanpa itu, buku boleh lengkap,

Page 112: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

112

buku bisa numpuk, tapi buku hanya jadi kertas bisu jika perpustakaan, “rumah buku”, tak

dikelola dengan imajinasi yang berorientasi untuk maju, dan berkembang. Disediakan pula

ruang lebih besar, yang memuat sekitar seratus orang, untuk diskusi tentang apa saja yang

penting.

Syukur kalau anggota DPR, atau menteri, suka datang, dan bersedia ikut belajar bersama.

Kehadiran mereka bakal menjadi cambuk bagi seluruh bangsa. Ini tidak sulit. Ketua

perpustakaan harus gigih mendatangi para tokoh, agar mereka sudi membuang waktu ke

perpustakaan. Syukur presiden, dan wakil presiden juga bersedia datang, sesekali dalam

setahun. Gubernur wajib datang minimal sebulan sekali. Dialah tuan rumah bagi

perpustakaan daerah.

Orang-orang besar di perpustakaan bakal menyemarakkan apa yang kita sebut pendidikan

bangsa, dan memajukan kehidupan bangsa. Pak Gubernur, Pak Basuki Tjahaja Purnama, bisa

menjadi cahaya perpustakaan.

Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya mukjizat sebuah buku, kitab suci, dan bukan

pedang. Ini tanda kita diminta maju lewat buku. Kita bisa menjadikan buku mukjizat kecil

bagi pemimpin bangsa. Orang-orang besar datang ke perpustakaan, dan tinggal beberapa saat

di sana, niscaya mampu merangsang, agar kita bisa menjadi bangsa besar.

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Email: [email protected]

Page 113: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

113

Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya (2)

Koran SINDO 8 Desember 2014

Kini kelas penuh sesak dengan buku pelajaran bahkan ada yang mencapai 21 jenis pelajaran,

berarti ada 21 jenis buku.

Guru tak punya ekspresi, miskin ide imajinasi karena dia kini tidak lagi mewakili Tuhan

penyampai obor kebenaran, tetapi lebih mewakili obor percetakan sehingga sorot matanya tak

lagi bersinar dan lidahnya tak lagi tajam. Waktu yang terbatas dari pesan isi buku yang harus

disampaikan membuat guru memberi tugas baru pada muridnya yang bernama pekerjaan

rumah (PR), palebah dieu mah asa teu adil (di sini terasa tidak adil). Bila kita punya

pekerjaan yang tidak selesai di kantor lalu dibawa ke rumah namanya pekerjaan kantor,

kenapa pelajaran sekolah dibawa ke rumah disebut pekerjaan rumah?

Anak-anak pulang dengan lunglai tergambar dari raut muka yang penuh kesedihan. Mereka

mengalami depresi yang cukup panjang. Ciri dari mereka depresi adalah kalau diumumkan

besok libur mereka akan bersorak kegirangan.

Di rumah mereka mengalami kepenatan akibat selain pekerjaan sekolah yang harus

dikerjakan, nonton sampai larut malam atau bermain permainan mekanikal, keluyuran keluar

hingga larut malam dan menjelang subuh mereka buru-buru pulang karena takut datangnya

sang fajar. Perasaan agak mirip hantu lagi nih.

Pelajaran sekarang memang hebat-hebat. Bukunya lebih hebat lagi karena perubahannya

sangat cepat, bahkan saking cepatnya ada yang belum sempat dibaca oleh murid harus ditarik

lagi. Entah pemikir lulusan mana yang membuatnya, pikirannya sangat imajinatif sehingga

kata-kata dan gambar yang berbau pornografi pun ia tuangkan, sangat inovatif hingga ingar-

bingar politik bisa masuk dalam lembaran buku.

Tapi sangat disayangkan, kepandaian siswa diukur melalui kemampuan siswa dari jawaban

ketika ujian. Hasilnya memang hebat. Matematika-nya mendapat nilai 9, jajannya pun

Rp50.000 sehari, Biologi-nya 9 tapi dirawat di rumah sakit karena asam lambung akibat

kelebihan kebiasaan makan jajanan yang bercuka serta bersaus pedas tanpa diteliti di

laboratorium sekolahnya.

Saya teringat ketika terjadi dialog dengan warga Badui. Mang, kunaon anak amang teu

disakolakeun? Meureun engke jadi bodo hirupna. | Naha ari dia, anak kula mah sakolana teu

di kelas, anak kula disakolakeun di kebon jeung di leuweung, malah anak kula mah geus bisa

ngitung kadu nu bakal murag jeung kadu nu bakal asak. Sabalikna kula rek nanya ka dinya,

Page 114: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

114

anak dinya nu sakola nu luhur bisaeun teu ngitung siga anak kula.

(Mang, kenapa anaknya tidak disekolahkan? Nanti jadi bodoh. | Anda ini bagaimana, anak

saya sekolahnya tidak di kelas, anak saya bersekolah di kebun dan di hutan, malah anak saya

sudah bisa menghitung berapa durian yang akan jatuh dari pohon dan berapa durian yang

akan matang. Sebaliknya saya bertanya pada Anda, anak Anda yang sekolahnya tinggi

bisakah berhitung seperti anak saya?)

***

Pendidikan kita melahirkan sebuah jenjang, karena pendidikan dasar sembilan tahun dibagi

ke dalam dua jenjang, SD dan SMP. Ironisnya kelas VI SD siswa harus menghadapi ujian

nasional, setelah itu mereka masuk ke sekolah yang berbeda melalui proses seleksi. Yang

menjadi pertanyaan dalam diri saya, kenapa anak diwajibkan sekolah sembilan tahun tetapi

harus melewati masa seleksi untuk menuju kelas VII? Apanan wajib diajar 9 taun, tapi

dijieun hese (kan wajib belajar 9 tahun, tapi dibuat sulit).

Andaikata saya boleh berkata, ujian nasional hanya layak dilaksanakan untuk kelas XII (kelas

III SMA), tidak mesti ada penjenjangan antara SD-SMA dan SMA semuanya satu kesatuan

sistem fase yang kedua, yaitu wajib belajar 12 tahun. Yang namanya wajib maka yang harus

menyediakan seluruh fasilitas adalah yang mewajibkan.

Rasa tidak percaya diri terhadap sistem yang kita miliki adalah produk kegenitan kaum

intelektual yang sok luar negeri. Sistem pendidikan kita dalam sejarahnya di tengah berbagai

keterbatasan fasilitas yang dimiliki telah banyak melahirkan nama besar yang cukup

dikagumi. Sederet orang ternama dalam sejarah peradaban Indonesia seperti Bung Karno,

Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Syahrir, Dr Supomo, Chairil Anwar, dr Wahidin Sudiro

Husodo, Ki Hajar Dewantoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyhari, Jenderal Sudirman,

Jenderal HM Soeharto, Jenderal TNI M Yusuf adalah nama-nama yang merenda peradaban

Nusantara.

Mereka dibangun dalam sistem pendidikan akademik yang berbasis tradisi. Bukankah BJ

Habibie yang dilahirkan dari sistem akademik Indonesia ternyata dikagumi dalam teknologi

pesawat terbang?

Kini saya banyak menemui orang-orang pintar masa kini yang ciri-cirinya dapat dilihat dari

ucapan dan tulisannya. Mereka dalam berpendapat selalu berkata dengan kalimat awal

“menurut”; menurut Aristoteles, menurut Darwin, menurut Socrates, menurut profesor

doktor, dan menurut-menurut berdasarkan para pakar-pakar kenamaan yang dia yakini

kebenarannya. Mendengar itu semua Mang Udin gugurutu (menggerutu), “Ceuk itu ceu kieu,

ari ceuk Bapa naon?” (kata orang itu kata orang ini, kalau menurut Bapak apa?).

“Menurut” itu kata orang Sunda artinya “Katanya”. “Katanya” itu cenah. Kalau ilmunya

katanya, ditanam di pohon barangkali, dahannya mungkin, bunganya belum tentu, buahnya

Page 115: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

115

entahlah... entah hidup entah mati. Kan banyak orang pintar yang pakar di bidangnya

katanya, tapi hidup harus segala membeli: daging beli, beras beli, gula beli, listrik juga beli;

negara juga ikut-ikutan segala beli ke luar negeri, sampai garam saja beli dari luar negeri,

yang paling baru kita beli listrik dari Malaysia padahal di Kalimantan berlimpah batu bara.

***

Kebanggaan terhadap asing telah merambah sampai pedesaan bukan hanya dalam

metodologi, melainkan juga istilah yang terus-menerus berubah serba luar negeri. Di

kampung saya kini ada playgroup yang diajarkan oleh para pakar pendidikan dari kota. Di

playgroup, anak-anak didik diantar oleh ibu, nenek atau pembantunya. Saat anak-anak

mengikuti kegiatan playgroup, ibunya sibuk berkerumun dan bercerita tentang suaminya,

tentang tetangganya, sambil menghabiskan uang untuk jajan persis seperti anaknya.

Sering kali suaminya pulang ke rumah dalam keadaan marah-marah sebab nasi idaman sudah

dua hari mendekam di dalam tahanan magic jar, ketika dibuka kepanasan tanpa rasa; sambel

beledag, sambel goang, sambel tarasi, sambel jahe, sambel kutat, pokona mah sambel we lah

dengan seribu nama dan rasa berubah menjadi chili sauce, sambal yang terkurung dalam

botol bertahun-tahun; sayur diganti dengan mi instan.

Akhirnya suami dan anak-anak tidak betah lagi makan di rumah, penghasilan tiap bulan

hanya tinggal catatan karena dipotong berbagai pinjaman hampir di seluruh mata angin, gajih

tinggal setrukna, akhirnya menjadi depresi, sebagai bagian penyumbang terbesar penyakit

stroke.

Ceu Nining bertanya pada saya, “Kang Dedi ari playgroup teh naon?”. “Ceu, ari playgroup

teh kelompok bermain bagi anak-anak yang orang tuanya supersibuk sehingga tidak punya

waktu untuk mengasuh dan mengurus mereka. Lahir dari tanah barat yang individualistis

sehingga dengan terpaksa mereka menitipkan anak-anaknya di sanggar atau kelompok

bermain agar bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya.”

Dahi Ceu Nining berkerut seraya berkata, “Kan di kampung kita mah alamnya masih terbuka

luas, ibunya banyak yang tinggal di rumah, anak-anaknya memiliki sahabat sekampung

bahkan sedesa. Mereka bebas bermain sepuasnya tanpa biaya seperti bancakan, dam-daman,

kecor, egrang, ucing sumput, gagajahan, sorodot gaplok, dampuh, sondah, dan masih banyak

lagi permainan yang tidak memerlukan biaya, diciptakan sendiri, alatnya dibuat sendiri dan

tidak memerlukan pengawasan, karena mereka sudah punya sistem permainan yang diatur

oleh semangat kejujuran, blep blep blep ketika main kelereng, cak cak cak ketika petak

umpet. Ibunya tenang memasak di dapur menyiapkan makan yang serbaalami untuk anak-

anaknya tanpa harus berutang ke warung.”

Ceu Nining menggerutu lieur (pusing). Pendidikan yang serbaasing teh, membuat kita

semakin terasing dan pusing tujuh keliling karena mikirin utang ke bank keliling.

Page 116: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

116

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 117: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

117

Perangi Malnutrisi Koran SINDO 8 Desember 2014

Dalam sebuah langkah besar untuk memberantas malanutrisi atau kekurangan gizi di seluruh

dunia, lebih dari 170 negara pada hari Rabu, 19 November 2014 telah membuat sejumlah

komitmen, untuk memastikan bahwa semua orang harus mendapatkan nutrisi yang lebih

sehat dan berkelanjutan. Telah diterbitkan 60 buah rekomendasi dalam the Rome Declaration

on Nutrition, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal FAO José Graziano da Silva dan

Direktur Jenderal WHO Dr Margaret Chan.

Apa yang sebaiknya diketahui? Meskipun prevalensinya telah menurun 21% sejak 1990,

sekarang masih terjadi kelaparan pada lebih dari 800 juta orang di dunia. Anak balita yang

pendek (stunting) dan kurus (wasting) juga mengalami penurunan, namun diperkirakan

masing-masing masih 161 juta dan 51 juta anak pada 2013. Malanutrisi berhubungan dengan

hampir setengah dari semua kematian anak balita, yaitu sekitar 2,8 juta anak per tahun. Lebih

dari 2 miliar orang masih menderita defisiensi mikronutrien atau “kelaparan tersembunyi”,

karena asupan vitamin atau mineral harian tidak memadai.

Kemajuan dalam mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi global, terkesan tidak merata

dan terlalu lambat. Sebaliknya, obesitas berkembang pesat, dengan sekitar setengah miliar

orang secara global menderita obesitas, dan tiga kali lebih banyak orang yang mengalami

kelebihan berat badan, bahkan sekitar 42 juta anak balita sudah mengalami kelebihan berat

badan.

Selain itu, berbagai bentuk malanutrisi sering tumpang tindih atau disebut “beban ganda”,

karena ada orang yang tinggal di komunitas yang sama, kadang bahkan di rumah tangga yang

sama, ada yang menderita kelaparan atau kekurangan mikronutrien dan obesitas.

***

Peran sistem pangan, yaitu cara makanan diproduksi, diproses, didistribusikan, dipasarkan,

dan siap untuk dikonsumsi manusia, sangat penting dalam memerangi kekurangan gizi.

Sistem pangan seharusnya menjadi lebih berkelanjutan dengan mempromosikan diet beragam

dan sehat.

Untuk tujuan ini, pemerintah didorong untuk memperkuat produksi pangan lokal dan

pengolahan, terutama oleh petani kecil dan keluarga petani, serta memberikan perhatian

khusus pada pemberdayaan perempuan. Pendekatan sistem pangan dan tindakan

komplementer juga penting, termasuk pendidikan dan informasi gizi, intervensi gizi secara

langsung, seperti konseling dan dukungan menyusui, mengelola anak kekurangan gizi akut,

Page 118: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

118

juga pembagian suplemen zat besi dan asam folat untuk wanita usia reproduktif.

Malanutrisi dan kelaparan sebagian besar terjadi dalam tahap awal kehidupan. Oleh sebab itu,

negara wajib mengerahkan semua upaya terhadap pemenuhan kebutuhan gizi ibu sebelum

dan selama kehamilan, dan bayi sampai usia dua tahun. Bagian terpenting adalah

mempromosikan dan mendukung ASI eksklusif selama enam bulan, dan terus menyusui

sampai usia dua tahun.

Pemerintah wajib untuk mendidik warganya tentang praktik makan sehat, dan juga untuk

memperkenalkan langkah perlindungan sosial, seperti program pemberian makanan di

sekolah, untuk memberikan diet bergizi bagi anak. Sebaliknya, inisiatif untuk memerangi

obesitas harus lebih diperkuat dengan penciptaan lingkungan yang sehat dan mempromosikan

aktivitas fisik pada anak. Dalam diet sehat, harus terjadi pengurangan lemak, gula dan garam

dalam makanan dan minuman, dan meningkatkan kandungan gizi.

Deklarasi Roma juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengatur pemasaran susu

formula dan untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari pemasaran dan publisitas

makanan dan minuman yang tidak sehat.

***

Terdapat 60 rekomendasi dalam Deklarasi Roma, untuk mencapai 6 target global tahun 2025

dalam meningkatkan gizi ibu, bayi, dan anak. Target pertama adalah pengurangan 40% anak

balita pendek (stunted), yang didukung oleh rekomendasi 34 tentang memobilisasi pendanaan

dengan menggunakan manajemen berbasis masyarakat untuk anak pendek.

Target kedua adalah pengurangan 50% kejadian anemia pada wanita usia reproduksi, yang

didukung oleh rekomendasi 36 tentang peningkatan gizi mulai dari remaja dan terus berlanjut

sampai ibu hamil dan menyusui.

Target ketiga adalah pengurangan 30% bayi berat badan lahir rendah (BBLR), yang didukung

oleh rekomendasi 38 tentang konseling diet untuk ibu hamil, agar penambahan berat badan

normal.

Target keempat adalah tidak ada lagi peningkatan anak kelebihan berat badan, yang didukung

oleh rekomendasi 32 tentang peran ayah yang harus aktif dan berbagi tanggung jawab dengan

ibu.

Target kelima adalah meningkatkan ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan bayi

hingga setidaknya 50%, yang didukung oleh rekomendasi 30 tentang perlindungan ibu

bekerja untuk menyusui, rekomendasi 31 tentang rumah sakit sayang bayi, rekomendasi 37

tentang pemberian ASI eksklusif yang diikuti oleh makanan pendamping ASI (dari 6 sampai

24 bulan), dan rekomendasi 33 tentang mendukung menyusui dalam situasi darurat dan krisis

kemanusiaan.

Page 119: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

119

Terakhir adalah target keenam, yaitu mengurangi dan mempertahankan anak kurus (wasting)

kurang dari 5%, yang didukung oleh rekomendasi 29 tentang pemasaran ,akanan pengganti

ASI (MP-ASI), rekomendasi 39 tentang pemberian makanan tambahan untuk bayi dan anak.

Sudahkah kita terlibat dalam perang melawan malnutrisi pada ibu, bayi dan anak di sekitar

kita?

FX WIKAN INDRARTO

Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S3 UGM

Page 120: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

120

Melindungi Pekerja Domestik Koran SINDO 11 Desember 2014

Menyusul amarah publik setelah evakuasi sejumlah pembantu rumah tangga (PRT) di Medan,

wacana perlunya UU Perlindungan PRT kembali digemakan. Undang-undang tersebut akan

memformalkan pekerjaan PRT, dari yang semula bersifat informal.

Apabila perubahan status pekerjaan PRT itu menjadi kenyataan, maka diyakini bahwa hidup

dan kerja PRT akan lebih terjamin. Persoalannya, meskipun didorong oleh iktikad baik,

tidakkah ide mengusung UU Perlindungan PRT mengandung salah kaprah?

Alih-alih seperti Arthur yang menjadi penanggung jawab rumah Bruce Wayne (Batman),

pekerjaan sebagai PRT pada dasarnya tidak diinginkan oleh siapa pun. Bekerja sebagai PRT

adalah keputusan terakhir akibat kondisi terpojok, karena masyarakat gagal memperoleh mata

pencarian yang lebih layak. Itu sebabnya hanya kaum ekonomi lemah dan berpendidikan

sangat rendah yang “mau” menekuni pekerjaan tersebut. Bahkan pekerjaan sebagai abdi

dalem, kendati sama “kasar”-nya, tetap lebih terhormat daripada PRT.

Para abdi dalem di Keraton Yogya, misalnya, sangat bangga menjadi pelayan raja. Menjadi

abdi dalem dipersepsikan sebagai terangkatnya derajat mereka, membuat mereka sudi

meninggalkan sawah dan kebun demi mendekatkan diri ke lingkungan raja.

Kekikukan masyarakat menggunakan sebutan “PRT” mempertegas rendahnya pekerjaan

tersebut. Eufemisme pun dipakai; mulai dari asisten domestik, tenaga rumahan, pekerja

rumah tangga, dll. Namun, esensinya tetap tak berubah; PRT adalah babu, kacung, bedinda,

bahkan hamba sahaya.

Itu sebabnya, ketika Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan sinyalemen bahwa

di Indonesia terjadi perlipatgandaan jumlah PRT, dan itu dipandang sebagai efek

membaiknya kondisi perekonomian dan bertambahnya masyarakat yang naik ke kelas

ekonomi menengah, saya justru kian yakin bahwa PRT senyatanya adalah golongan warga

yang tersisih. Mereka tidak mempunyai modalitas daya saing yang dibutuhkan untuk

meningkatkan status sosial ekonomi mereka sebagaimana yang berhasil dilakukan oleh

anggota-anggota baru kelas menengah tadi.

Apalagi jika diperhatikan aspek demografi para pekerja domestik tersebut. Misalnya, orang-

orang yang bekerja sebagai PRT tidak terbatas pada usia dewasa. Dari estimasi hampir 53

juta orang di dunia yang bekerja sebagai PRT, sekitar 7,5 juta di antaranya adalah anak-anak

berusia 5 hingga 14 tahun. Padahal, anak-anak yang hidup normal tidak semestinya bekerja,

melainkan bersekolah.

Page 121: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

121

Begitu pula fakta bahwa dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai PRT tetap didominasi oleh

kaum perempuan dengan jumlah 8,9 juta orang. Dapat dinalar, para perempuan tersebut

menjadi PRT sebagai cara ekstra guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun,

kapasitas yang sangat terbatas membuat mereka hanya mampu mengisi ceruk pekerjaan

informal tersebut.

Gambaran di atas menunjukkan, alih-alih menyebutnya sebagai dampak positif susulan

membaiknya situasi perekonomian nasional, pertumbuhan secara tajam jumlah PRT di Tanah

Air justru merupakan pertanda memburuknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat luas.

Atas dasar itu, absurd kiranya apabila golongan warga yang tersisih tersebut tidak didongkrak

agar naik kelas, tetapi justru dipertahankan keberadaannya lewat usulan penyusunan UU

Perlindungan PRT. Pada sisi lain, substansi UU Ketenagakerjaan sejauh ini baru menyentuh

sektor ketenagakerjaan formal, sementara PRT sendiri masih berstatus sebagai bidang kerja

informal.

Segala kelemahan itu pula yang membuat PRT rentan menjadi korban dan kerap menerima

eksploitasi. Misalnya PRT yang diberi upah di bawah standar atau bahkan tanpa upah sama

sekali, jam kerja yang tidak manusiawi, tidak adanya jaminan kesehatan dan kesejahteraan

sosial, penganiayaan fisik dan seksual, dikurung sehingga tidak memungkinkan bagi PRT

melakukan interaksi sosial apa pun, bahkan menjadi korban kejahatan perdagangan manusia.

Juga ironis, betapa publik selama ini gencar mendorong penghentian pengiriman tenaga kerja

wanita ke negara-negara lain, namun pada saat yang sama justru– tanpa sadar–

melanggengkan pekerjaan PRT dengan mengusulkan UU Perlindungan PRT.

Organisasi Buruh Internasional pada 2011 memang telah mengeluarkan Konvensi 189

tentang Pekerja Domestik. Konvensi itu memuat empat hak dasar PRT yang harus terpenuhi.

Pertama, dukungan dan perlindungan hak asasi PRT. Kedua, penghormatan dan perlindungan

atas prinsip-prinsip dan hak-hak PRT di tempat kerja, yang mencakup kebebasan berhimpun

dan pengakuan akan hak tawar kolektif, pemberantasan segala bentuk kerja paksa, dan

penghapusan PRT anak, dan penghapusan diskriminasi. Ketiga, perlindungan terhadap

pelecehan dan kekerasan. Keempat, ketentuan kerja yang adil serta kelayakan hidup PRT.

Mencermati keempat hak dasar PRT di atas, serta dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia

sepatutnya meniadakan pekerjaan PRT, saya memandang Indonesia tidak perlu mengadopsi

Konvensi 189 tersebut ke dalam bentuk undang-undang baru yang khusus bertemakan

PRT. Sebagai gantinya, upaya untuk melindungi para PRT termasuk memenuhi hak-hak

dasar mereka sebagaimana tercantum dalam Konvensi 189 dapat diaktualisasi melalui revisi

UU Ketenagakerjaan agar juga mencakup sektor kerja informal semacam PRT.

Selanjutnya, sebagai acuan yang lebih teknis, barulah undang-undang tersebut dapat

diturunkan ke dalam regulasi-regulasi yang lebih rendah. Revisi terhadap UU

Ketenagakerjaan juga disinkronkan dengan penyempurnaan sejumlah legislasi lain.

Page 122: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

122

Demikian pula manakala terjadi tindak kekerasan terhadap PRT, langkah perlindungan

terhadap mereka selaku korban sudah memadai dengan adanya lex generalist semisal KUHP

dan lex specialist berupa UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU Perlindungan Anak dan

UU Tindak Pidana Perdagangan Orang pun bisa digunakan untuk menjerat majikan-majikan

biadab, sepanjang memenuhi kriteria-kriteria yang terdapat pada kedua undang-undang

tersebut. Ringkasnya, UU Perlindungan PRT bukan formula terbaik untuk memastikan agar

Konvensi 189 tidak luput dari perhatian otoritas terkait.

Pada tataran paling dasar, pelurusan persepsi akan posisi pekerjaan PRT sekali lagi

sepantasnya menelurkan sebuah sikap bersama untuk mengentaskan masyarakat Indonesia

dari pekerjaan tersebut. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kesejahteraan

masyarakat lewat penciptaan sektor-sektor pekerjaan formal baru bagi kalangan marginal.

Paralel dengan itu, penghapusan pekerjaan PRT tidak terlepas dari perlunya penataan ulang

terhadap pola hidup warga yang selama ini terlanjur menggantungkan urusan

kerumahtanggaan mereka pada PRT. Sekaligus perlu digencarkan pula inovasi teknologi

rumah tangga guna mengganti peran PRT tersebut. Dengan cara itu, realistis untuk berharap

kelak tak ada lagi (orang yang mau atau pun terpaksa bekerja sebagai) PRT di Indonesia.

Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Psikolog Forensik; Anggota World Society of Victimology; Alumnus Psikologi Forensik The

University of Melbourne

Page 123: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

123

Pilar Research University Koran SINDO 13 Desember 2014

Keinginan berbagai perguruan tinggi untuk menjadi research university harus didukung oleh

penguatan pendidikan pascasarjana. Riset mahasiswa pascasarjana (apalagi program S-3)

harus dapat menunjukkan ada temuan baru dengan rancangan metode dan analisis data yang

baik sehingga riset tersebut layak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang bermutu.

Pada dasarnya ada dua jenis riset yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi. Pertama, riset

yang memiliki kontribusi pada pengembangan sains dan teknologi. Hasil-hasil penelitian

jenis ini harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi sehingga terjadi pertukaran

wawasan IPTEK antarilmuwan pembaca jurnal ilmiah.

Kedua, riset yang bersifat terapan yang hasilnya perlu dipatenkan sehingga pihak industri

yang memanfaatkan hasil paten tersebut diharuskan membayar. Riset-riset terapan bisa

dilakukan atas kerja sama antara perguruan tinggi (PT) dan industri. Dalam hal ini, PT

menyediakan sumber daya manusia dan fasilitas riset, sementara industri adalah penyedia

dana utama.

Harus ada keberanian bagi pengelola program pascasarjana untuk mewajibkan mahasiswanya

memublikasikan hasil risetnya di jurnal internasional atau jurnal nasional terakreditasi

sebagai syarat kelulusan. Ini tantangan besar bagi mahasiswa pascasarjana untuk

menghasilkan karya penelitian yang bermutu dan layak untuk dipublikasikan. Kultur

akademik semacam ini harus selalu dipupuk untuk menciptakan research university. Gelar

doktor harus menjadi titik awal untuk melakukan penelitian-penelitian yang berbobot.

Dalam kaitannya dengan pendidikan pascasarjana, munculnya Permendikbud No 49/2014

tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi membuat kita terkaget-kaget. Terutama terkait

jumlah kredit mata kuliah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pascasarjana. Total satuan

kredit semester (SKS) untuk jenjang S-2 adalah 72 SKS dan demikian juga untuk S-3.

Padahal, sebelumnya jenjang S-2 dan S-3 umumnya hanya memerlukan sekitar 40-45 SKS.

Ada apa ini? Sementara SKS untuk jenjang S-1 tidak ada perubahan yaitu 144 SKS. Selama

ini penyelesaian studi S-1 adalah empat tahun, S-2 dua tahun, dan S-3 tiga tahun. Dengan

segala variasinya, masa studi bisa sedikit lebih lama.

Yang menjadi kekhawatiran, dengan pertambahan beban kuliah pascasarjana, rentang masa

studi dipastikan lebih lama. Menambah beban mata kuliah di S-2 atau S-3 hingga setara

dengan 72 SKS bukan hal yang mudah. Di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, SKS

Page 124: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

124

yang wajar bagi mahasiswa program magister atau doktor adalah 40-45 SKS sebagaimana

yang sudah diterapkan oleh universitas di Tanah Air sebelum diberlakukan Permendikbud No

49/2014.

Strategi yang kini mungkin diterapkan adalah mengubah beban kredit tugas akhir/karya

ilmiah yang semula 6-12 SKS menjadi 30 SKS atau lebih. Dengan demikian, jumlah dan

bobot mata kuliah tidak bertambah (rata-rata 2-3 SKS per mata kuliah), hanya penyelesaian

tugas akhir berupa tesis/disertasi dan publikasi di jurnal ilmiah yang diberi bobot lebih

banyak.

Bagaimana mungkin efisiensi pendidikan bisa dicapai kalau negara-negara lain bisa

meluluskan mahasiswanya lebih cepat dan kita justru memperlama mahasiswa untuk studi di

pascasarjana.

Jumlah pendaftar ke sekolah pascasarjana pernah meningkat tajam pada 1998/1999

bersamaan dengan krisis moneter di Tanah Air. Rupanya para lulusan S-1 pada waktu itu

mulai kesulitan mencari kerja sehingga akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah di

pascasarjana. Setelah era 1998/1999 jumlah mahasiswa baru di sekolah pascasarjana kembali

stabil. Setiap program studi untuk jalur akademik S-2 mungkin hanya bisa mendapatkan 15-

20 mahasiswa baru, sedangkan calon mahasiswa S-3 hanya sekitar 5-10 orang.

Sementara program profesi seperti magister manajemen tumbuh terus bagaikan jamur dengan

jumlah mahasiswa jauh melebihi jalur akademik. Peminat jalur akademik adalah para dosen

atau peneliti yang memang harus meningkatkan kemampuannya di bidang riset dan

akademik. Memperkuat riset di tingkat pascasarjana dapat dilakukan dengan membentuk

kolaborasi yang solid antara dosen pembimbing dan mahasiswanya.

Membangun research university memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas dan

mau untuk bersama-sama membangun perguruan tingginya. Pemerintah pun dituntut untuk

mengalokasikan anggaran riset yang signifikan sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-

dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.

Internasionalisasi program studi pascasarjana di Indonesia saat ini masih berjalan tertatih-

tatih. Kita masih kalah dengan universitas-universitas di ASEAN seperti Universiti Malaya,

Universiti Kebangsaan Malaysia, University of Philippine at Los Banos, ataupun Nanyang

University yang sudah banyak berhasil menjaring mahasiswa asing.

Universitas-universitas di Indonesia belum mampu mendunia sehingga dalam kerja sama

dengan universitas di luar negeri kita belum bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Dengan semakin besarnya anggaran di sektor pendidikan, program pendidikan pascasarjana

juga hendaknya bisa lebih berkualitas.

Pilar penting untuk membangun research university bertumpu pada peningkatan mutu

pendidikan pascasarjana. Ini bisa ditunjukkan dengan hasil-hasil karya ilmiah yang

Page 125: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

125

dipublikasikan di jurnal, komitmen dosen-dosennya untuk betah di kampus melaksanakan Tri

Dharma, dan suasana akademik yang hidup di lingkungan universitas.

ALI KHOMSAN

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat; Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi FEMA IPB

Page 126: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

126

Masyarakat Tanpa Sekolah Koran SINDO 14 Desember 2014

7. Ibu berhadas besar. Yang ibu lakukan untuk bersuci adalah: a. Wudu b. Mandi keramas c.

Cuci kaki

8. Najis mutawasittah disebut juga dengan: ... dan seterusnya (tidak saya lanjutkan).

Soal ujian pilihan berganda itu ditunjukkan oleh seorang ibu kepada saya. Saya pikir tadinya

ini soal-soal ulangan kelas II SMP, tetapi belief it or not, anak sulung ibu itu baru kelas 1 SD

dan dia tinggal di Bekasi. Jadi itu adalah materi ulangan murid kelas 1 SD di Bekasi (nama

SD-nya off the record).

Kata ibu itu, ”Ini soal UAS anak saya, Prof.” Yang mencengangkan adalah bahwa soal-soal

seperti itu diberikan ke siswa kelas 1 SD yang menurut psikolog J Piaget, perkembangan

kognisi anak secara umum belum sampai ke taraf harus bisa membaca. Pada tahapan umur 6-

7 tahun anak baru bisa mulai diajari membaca. Dulu saya sediri baru belajar membaca di

kelas 1 SR (sekolah rakyat, setara SD sekarang), ”Be...u... bu...ka... u...ku... buku!

Horeee....” Sebelumnya, di TK saya main melulu, menggambar, bernyanyi, dan menari; kalau

udah kebelet, ”Bu Guru, mau pipis....”

Tapi yang paling salah menurut Piaget (psikolog dari Swiss, 1896-1980) adalah anak seumur

itu diajari konsep-konsep yang abstrak, yang sudah pasti dia tidak akan bisa mengerti. Apa itu

”hadas besar”? Ibu gurunya mungkin tahu bahwa arti kata itu adalah ”ibu dan bapak habis

gituan”, tetapi mana anak tahu dan bagaimana cara ngasih tahunya?

Apa hubungannya dengan wudu, keramas, atau cuci kaki? Apa pula artinya ”bersuci” dan

”mutawsittah ”? Saya saja bingung, apalagi buat anak. Tapi anak dipaksa saja untuk

menghafal, ngerti tidak ngerti hafalkan. Kalau hafal dan nyontreng jawaban yang benar, ”Itu

sudah,” kata orang Ambon.

Menteri Diknas Anis Baswedan menengarai bahwa sekolah-sekolah negeri makin lama

makin bergeser ke agama tertentu saja. Penelitian Prof Dr Bambang Pranowo (UIN Jakarta,

2011) mengungkapkan data bahwa sudah ada sejumlah siswa yang anti-Pancasila dan pro-

kekerasan terhadap agama lain di SLTA negeri se-Jabodetabek.

Di wilayah-wilayah yang mayoritas muslim, ”iklim” sekolah mulai tidak nyaman untuk

murid-murid dan orang tua yang non-muslim. Karena itu Menteri Agama menggagas doa

umum untuk sekolah-sekolah negeri (bukan sekolah khusus agama tertentu) yang bisa diikuti

Page 127: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

127

semua murid lintas agama atau kalau mau dilaksanakan doa dengan cara agama tertentu,

murid-murid yang berkeyakinan lain, diizinkan untuk tidak ikut berdoa.

Tapi, seperti sudah diduga, wawasan Menteri Anis Baswedan yang muslim dan golkar

(golongan keturunan Arab) ini serta-merta menuai kritik dan protes. Demikian juga tentang

UN (ujian nasional) di masa Mendikbud Muh Nuh yang penuh kontroversi. Pokoknya banyak

yang tidak setuju, di samping ada yang setuju atau bahkan sangat setuju. Jadi memang

menyeragamkan pendidikan itu sangat sulit.

Itu baru taraf nasional, apalagi taraf internasional. Pada tahun 1971, seorang pastor Katolik

keturunan Austria, Ivan Illich, menerbitkan sebuah buku yang sangat fenomenal berjudul

Deschooling Society. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa menyeragamkan pendidikan

sangat tidak mungkin. Setiap komunitas di Eropa mempunyai budaya dan kebiasaan masing-

masing. Bahkan setiap individu punya bakat dan minat sendiri-sendiri.

Penyeragaman berarti pelembagaan. Pelembagaan pendidikan dan pranata-pranata

masyarakat berarti pemaksaan dan setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik.

Hal itulah yang sekarang ini (tahun 2014) sedang terjadi di seluruh dunia!

Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Inkelles, harus punya tiga tujuan: (1)

memungkinkan semua orang yang ingin belajar untuk bisa mengakses sumber-sumber

pelajaran setiap saat sepanjang umurnya, (2) mendorong setiap orang yang punya

pengetahuan dan keahlian untuk berbagi dengan setiap orang lain yang membutuhkan

pengetahuan dan keahliannya itu, dan (3) menyediakan sarana bagi setiap orang yang punya

wawasan, temuan, atau kritikan tentang hal-hal tertentu untuk menyajikannya kepada publik,

agar setiap orang bisa membahasnya secara terbuka.

Jawaban terhadap masalah ini, kata Illich, adalah website melalui jaringan internet. Di tahun

1972-1973, ketika bersekolah di Universitas Edinburgh, Inggris, saya masih buta komputer,

apalagi internet. Bahkan sebagian pembaca, belum ada di dunia ketika itu. Tapi Illich sudah

bicara tentang internet pada tahun 1971, ketika Jokowi masih berusia 10 tahun, masih SD,

dan suka berenang di kali di belakang rumahnya di Solo.

Apa yang diramalkan Illich sudah jadi realitas sekarang. Bukan lagi hanya di AS atau Eropa,

tetapi juga di Indonesia, di era Jokowi sudah jadi presiden. Masyarakat Indonesia adalah

salah satu pengguna internet terbesar di dunia, puluhan provider internet melayani sektor

dunia maya ini, pemerintah punya kementerian sendiri, dan pemerintah juga mendorong

elektronisasi di semua sektor, termasuk sektor pendidikan, sampai ke kampung dan pelosok

di daerah terluar sekalipun.

Jadi apa lagi yang ditunggu? Beberapa pendidikan formal sampai tingkat yang tertinggi boleh

dipertahankan (tentu harus ada yang menghasilkan peneliti, doktor, dokter, lawyer atau

profesional lainnya dan profesor) dan belajar tingkat calistung (baca, tulis, hitung) boleh

diwajibkan terus untuk menegah buta huruf dan memungkinkan orang untuk memakai

Page 128: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

128

internet.

Selebihnya biarkan orang belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat masing-

masing. Mau belajar kuliner, treking, PR, marketing, musik, bahkan jadi selebritas agar bisa

masuk infotainment, silakan pilih sendiri. Tapi awas: orang belajar merakit bom juga bisa

dari internet.

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Page 129: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

129

Kurikulum Kembali ke Asal Koran SINDO

Senin, 15 Desember 2014

Setiap sekolah pasti menginginkan tumbuh dan berkembangnya peserta didik menjadi sosok

yang mampu mewujudkan seluruh harapan, baik harapan orang tua, guru atau bahkan

negara.

Seluruh harapan tersebut dikelola dalam sistem pembelajaran yang dipandu dengan

metodologi yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-Undang No 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan

mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Nah, inilah yang disebut dengan kurikulum, yang hari ini menjadi kalimat yang

menghebohkan jagat pendidikan Indonesia dengan bumbu penyedap yang beraroma politik,

bisnis, psikologi guru dan murid, antara sedih, bimbang dan senang.

Hebohnya kurikulum disebabkan oleh pernyataan resmi dari Menteri Kebudayaan,

Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia yang secara tegas menghentikan

penggunaan Kurikulum 2013 mulai semester genap tahun ajaran ini dan kembali

memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

Saya tidak akan masuk dalam ranah perdebatan tentang mana yang lebih berkualitas antara

KTSP 2006 atau Kurikulum 2013, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan

penilaian secara akademik dan ilmiah mengenai kedua hal tersebut.

Apabila kita berangkat dari filosofi dasar bahwa pendidikan nasional itu memiliki tujuan

utama mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana dua tulisan saya terdahulu,

maka fokus sekolah adalah membentuk karakter dasar setiap anak didiknya. Karakter dasar

tersebut meliputi pemahaman anak didik tentang dirinya, tentang alamnya, tentang

kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh, baik dari sisi aspek ontologis, kosmologis

maupun antropologis.

Kalau dalam bahasa kakek saya, pembentukan watak kemanusiaan yang utuh adalah manusa

nu weruh ka semuna, apal ka basana, rancingas rasana, rancagé haténa, cageur, bageur,

bener, pinter jeung singer. Hal tersebut menunjukkan dalam kerangka ideologis Bangsa

Indonesia memiliki konsep pendidikan yang paripurna dibanding mazhab pendidikan lainnya

di dunia.

Konsepsi tersebut mengarah pada upaya menghadirkan pendidikan yang hidup dan

Page 130: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

130

menghidupkan di tengah perjalanan manusia menuju kesempurnaan hidup yang esensial.

Pendidikan harus mampu menghadirkan anak didik tentang pengetahuan mengenai dirinya,

siapa aku, dari mana aku, sedang di mana aku, akan ke mana aku.

Dalam hal yang sederhana, pendidikan harus mengajarkan hal tentang dirinya, tentang

lingkungannya, tentang kesemestaannya yang pada akhirnya akan bermuara pada

pengetahuan Kemahaluasan Tuhan dan kesemestaan penciptaan-Nya.

Kebijakan pendidikan sifatnya general, tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis karena

aspek-aspek yang bersifat teknis dan spesifik itu merupakan kewenangan guru yang harus

hadir mengartikulasikan diri dan lingkungannya berdasarkan nalar dan rasa yang bersifat

dinamis.

***

Pelajaran pertama yang harus diberikan kepada para murid adalah melakukan pembelajaran

yang meliputi membaca, menulis dan menghitung.

Membaca mengajarkan kepada murid untuk memiliki pengetahuan tentang huruf yang dieja

dan tentang diri yang tersusun dan terstruktur secara sempurna, dua mata saya hidung saya

satu, dua telinga saya yang kiri dan kanan; diajarkan pula membaca alam, pelangi-pelangi

alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru; kemudian anak-anak diajarkan

untuk mengenal huruf, membaca sebuah nama, walaupun pengajaran tersebut sering kali

tidak selaras dengan realitas budaya di suatu wilayah.

Saya ingat ketika saya kelas satu SD dulu, saya diajari untuk membaca “Ini Budi” . Nama

Budi menjadi nama yang asing bagi kami karena di kelas dan di kampung saya tidak ada

yang namanya Budi. Itu bagi kami yang orang Sunda, bagaimana pula bagi orang Jawa, Bali,

Sumatera, Papua, Aceh, Sulawesi, mereka akan semakin asing dengan nama ini.

Di Bali tidak ada nama Budi, yang ada Wayan, Made, Nyoman dan Ketut; atau di Aceh yang

lebih akrab dengan Cut dan Teuku. Nama Budi mah kebanyakan orang Jakarta. Dari situ saja,

kita memang tidak diajarkan untuk mengenal diri kita.

Setelah itu saya harus membaca lagi, kalimat “Ibu pergi ke pasar, Ibu pergi ke pasar”

berulang-ulang. Padahal saya memanggil ibu saya “Emi” dan Emi saya jarang ke pasar,

paling sebulan sekali kalau bapak saya dapat uang pensiun dari kantor pos. Dalam

kesehariannya, kebanyakan Emi pergi ke sawah dan ke ladang, bukan ke pasar. Terus ada

kalimat lagi, Bu Ani guru Budi. Guru saya kan bukan Bu Ani, tapi Bu Epon. Haduuh, makin

tidak mengenal saya sama guru saya, makin jauh saja ini pelajaran. Itu dulu tahun 1977, yang

sekarang lebih parah lagi.

Kelas 1 SD tidak lagi belajar membaca dan menulis, karena rata-rata mereka sudah harus bisa

membaca dan menulis sebelum masuk kelas 1 SD. Kalau seperti itu, ada pembebanan

Page 131: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

131

pelajaran pada anak-anak TK, jangan disalahkan kalau saat ini anak usia 14 tahun bahkan 10

tahun perilakunya sudah dewasa, karena mereka mengalami proses pendewasaan sebelum

waktunya. Karena hilangnya fase kehidupan sebagai anak yang merdeka dari berbagai

tekanan pendidikan formal yang mereka alami, sehingga ketika mereka menginjak usia

remaja bahkan dewasa mereka masih berperilaku seperti anak-anak.

Perilaku tersebut terlihat dari pola hidup yang manja, kadang manja dalam sikap, kadang

“manja” (mandi jarang), pendidikannya memang tinggi tetapi hidup bergantung pada orang

tua secara total dari mulai jajan, biaya pakaian, biaya beli rokok, beli premium, beli

pertamax, beli solar, beli pulsa, bahkan sampai biaya nikah dan biaya untuk melahirkan anak

hasil pernikahannya. Bahkan biaya pendidikan anaknya pun dibebankan kepada orang

tuanya. Sifat kekanak-kanakan lainnya, diwujudkan dengan menggalang komunitas yang

sering kali memicu aksi solidaritas, hidup bergerombol, tawuran yang terorganisir.

Sifat kekanak-kanakan pada usia remaja dan dewasa tersebut, salah satu faktornya

disebabkan hilangnya masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Selain melakukan

transformasi ruang budaya, pendidikan juga semestinya membuat ruang bagi pertumbuhan

dan perkembangan fase-fase kehidupan anak.

***

Selain problem pembelajaran yang semakin menjauhkan pendidikan pada pembentukan

karakter anak didiknya, lingkungan saat ini semakin menjauhkan anak-anak kita dari

kegundahan diri yang dialaminya. Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh suara yang

didengar setiap saat.

Musik yang didengar oleh anak-anak kita hari ini sudah tidak lagi melambangkan keriangan

anak secara alami. Karya cipta lagu yang didengar dalam setiap saat lebih melambangkan

kegundahan kaum-kaum muda dewasa terhadap berbagai problem yang dihadapinya, baik

problem cinta, rumah tangga, “sejujurnya ku tak bisa hidup tanpa ada kamu aku gila...”, atau

terlarut dalam jiwa wanita yang ditinggalkan berselingkuh oleh suaminya, “Bang, SMS siapa

ini Bang...,” atau pria yang ditinggalkan oleh istrinya yang selingkuh, “O ow, kamu ketahuan

pacaran lagi....”

Karena itu anak-anak kita hanyut dalam romantika yang belum waktunya. Mereka tidak lagi

ada yang mewakili untuk mengekspresikan kekecewaan diri karena kesibukan ibu dan

bapaknya, kehilangan ruang bermainnya, kehilangan berbagai binatang kesayangannya.

Tidak ada lagi yang mewakili mereka yang gundah karena hilangnya cicak-cicak di dinding,

nyaris tak terdengar lagi tik-tik bunyi hujan di atas genting, hilangnya burung kutilang yang

berbunyi, bahkan papatong nu konéng teu témbong deui... leungit indit teu pamit . Di tengah-

tengah keheningan dan kegundahan anak-anak kita, untung saja masih ada para politisi yang

mau mewakili mereka dengan bermain petak umpet palu sidang paripurna.

Page 132: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

132

Bahkan kebahagiaan anak-anak untuk bermain mobil-mobilan, kapal-kapalan, anjang-

anjangan, bobonekaan, hari ini disuguhkan dengan manis dengan permainan komisi-

komisian, ketua-ketuaan, wakil-wakilan, partai-partaian, dan gubernur-gubernuran.

(Bersambung)

DEDI MULYADI

Bupati Purwakarta

Page 133: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

133

Watak & Tingkah Laku Politik Koran SINDO 15 Desember 2014

Watak, sifat, dan tingkah laku itu merupakan tiga unsur penting di dalam kepribadian

manusia. Ketiganya tidak sama persis. Tapi masing-masing memiliki hubungan erat satu

sama lain.

Boleh jadi tiap unsur tadi saling memperkuat. Dengan begitu, ketiganya tak mungkin

merupakan suatu jalinan makna yang kuat. Watak merupakan ciri utama kepribadian yang di

dalamnya mengandung unsur sifat. Sebaliknya, sifat, membentuk apa yang disebut watak

tadi. Sifat relatif mudah berubah oleh pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Tetapi watak

tidak.

Watak lebih solid, lebih keras, lebih menggumpal di dalam kepribadian manusia sehingga

sesuatu yang sudah merupakan watak, sangat sukar berubah. Tak mengherankan orang Jawa

memiliki lelucon getir: watuk, yaitu batuk, bisa berubah, bisa disembuhkan. Tapi watak tidak.

Ini ungkapan untuk menyindir seseorang, yang tingkah lakunya buruk, dan menyimpang dari

adat.

Dalam kearifan Melayu, orang seperti itu dicap tidak tahu adat. Bisa juga disebut tidak

beradat. Bahkan, dalam tingkat yang lebih tinggi, lebih serius, dia disebut tidak beradab.

Alias biadab. Apa lagi yang lebih buruk dari sebutan ini? Kurang lebih, ini gambaran tentang

watak, maksudnya watak buruk, yang tak beradab atau biadab, yang sama sekali tak bisa

disembuhkan oleh ahli psikologi terkemuka atau psikiater yang paling hebat sekalipun.

***

Mungkin ada dukun, saya tidak tahu, yang memiliki tuah sangat besar, yang bisa

menolongnya, dan mengurangi sedikit keburukannya. Tapi dukun pun dugaan saya tak

berdaya mengubahnya secara total.

Bahkan andaikata dukun dan ahli-ahli rohani terkemuka yang memiliki tuah besar itu

bergabung menjadi satu, dan meruwat orang dengan jenis watak seperti itu, mungkin mereka

pun akan gagal mengubahnya. Ringkasnya, ruwatan itu mungkin akan menjumpai kegagalan

karena telah terlalu buruknya watak itu. Watak buruk membuat sebutan-sebutan buruk telah

menempel pada kepribadiannya.

Apa yang aneh bila watak buruk itu diberi sebutan buruk? Mereka, dalam adat, yang memberi

sebutan itu hanya menyebut barang yang sudah ada. Dan mereka tidak mengada-ada. Begitu

Page 134: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

134

pula mereka yang melakukan ruwatan tadi. Mereka hanya prihatin melihat kondisi kejiwaan

seseorang, lalu bertindak. Boleh jadi tindakan mereka itu sebuah sinisme, sikap satire, atau

ejekan yang sangat menikam.

Boleh jadi mereka tak bermaksud menyembuhkannya, dan sama sekali tak terpanggil untuk

melakukannya. Kalau mereka tak terganggu oleh fenomena kepribadian macam itu, bisa

dipastikan mereka tak bakal berbuat apapun. Mereka tak berniat mengejek, mengusik, atau

menyindir orang lain bila di sekitarnya tak ada orang yang menampilkan diri seperti itu. Atau

tak ada jenis tingkah laku seperti itu. Tingkah laku itu begitu meresahkan orang lain di

sekitarnya.

Apa makna ketokohan seseorang, yang di masa lalu begitu gigih menampilkan diri agar

dikenal sebagai pemimpin umat, tapi kini tampil jenis tingkah laku lain, yang disebut dengan

segenap keburukan tadi? Kita tidak tahu apa maknanya dulu itu. Dulu kita menyebutnya

sebuah kesungguhan dalam sikap yang disebut “fastabikul khairat“, berlomba dalam

kebaikan, bersaing dengan Gus Dur dan Cak Nur, dua tokoh besar dalam kepemimpinan

umat.

Dulu dia juga ingin ikut besar. Tapi sekarang kedoknya terbuka, bahwa ternyata dia tak ingin

hidup dalam kepemimpinan umat yang sepi itu. Tingkah laku politiknya tampak begitu

partisan. Orientasi nilai utamanya ternyata agak murahan: hanya kedudukan duniawi yang

fana ini. Kepemimpinan umat itu tak punya apa-apa. Di sana tak ada mobil dinas. Tak ada

fasilitas megah. Tak ada hura-hura politik yang memberinya kesan glamor.

Dulu pernah menikmati posisi penting di Jakarta, dan kenikmatan itu dirasanya terlalu cepat

berlalu. Sekarang dia haus akan kekuasaan seperti itu. Dulu dia mengejek Pak Harto,

sekarang ejekan itu kembali kepadanya. Dari sumber-sumber gosip politik yang begitu kuat

beredar di masa itu, Pak Harto sendiri dengan feeling-nya yang tajam, tak menaruh percaya

sedikit pun padanya.

Pak Harto kabarnya menyebut namanya saja tak mau. Kecuali itu, beredar pula gosip serius,

yang tak begitu mudah diselidiki kebenarannya, bahwa kabarnya, dalam tiap salat jamaah,

sesudah imam selesai membaca surat Al Fatihah, jamaah menjawab serentak; aamin... Tapi

Pak Harto menyambut dengan ucapan lain: ya, ya, ya, semata untuk menghindarkan diri dari

keharusan menyebut “aamiin“ tadi.

Intinya, Pak Harto pun tak suka padanya. Tapi nama Cak Nur, di mata beliau, harum. Cak

Nur tak pernah dicurigai sebagai musuh. Dan Gus Dur? Tergantung. Bagi Pak Harto, aroma

politik Gus Dur kadang harum sekali. Tapi tak jarang Gus Dur dianggap sebagai ancaman

serius yang membuat beliau merasa tak berbahagia.

***

Page 135: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

135

Akhirnya, tingkah laku para tokoh politik di dalam konteks kepemimpinan umat telah

membuka mata kita siapa yang sungguh-sungguh tulus berusaha mengabdikan diri untuk

memimpin umat, siapa yang palsu, basa-basi, dan mencla-mencle.

Dua tokoh dari Jombang, Cak Nur dan Gus Dur, telah pergi, dengan nama harum di mata

umat, dan bangsa Indonesia. Gus Dur bahkan pergi dengan mengukuhkan derajat

kewaliannya. Pendek kata, kedua tokoh itu dikukuhkan posisinya sebagai pemimpin umat

dan guru bangsa hingga akhir hayat mereka. Sementara yang satu lagi, yang sejak dulu hanya

cemburu pada keduanya, menjadi jelas pula: dia sedang mengejar posisi keduniaan, dan

gagal.

Setiap langkah laku politiknya salah. Setiap ucapannya keliru. Wataknya dengan jelas

membimbing tingkah laku politiknya menuju pada apa yang serbasalah itu. Dan orang pun

meruwatnya, dengan sinisme, dengan satire, dan ejekan. Ini sebuah tragedi mengenaskan.

Teman-teman bisa membantu. Saya sendiri siap melakukannya. Tapi adakah pada dirinya,

niat mengubah watak, dan tingkah laku politiknya? Hanya dia sendiri yang bisa

memutuskannya.

MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,

dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:

[email protected]

Page 136: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

136

Kekerasan Remaja Koran SINDO 16 Desember 2014

Ada data menarik yang bisa kita dapatkan dari Global Status Report on Violence Prevention

2014 dari 133 negara yang merupakan laporan tentang penganiayaan anak, kekerasan remaja,

pelecehan seksual, dan penelantaran manula.

Sekitar 250.000 kasus pembunuhan remaja terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total

jumlah pembunuhan global setiap tahun. Apa yang sebaiknya kita sadari?

Kekerasan remaja memiliki dampak serius karena sering kali berlangsung seumur hidup,

tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja bila

kekerasan remaja terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan

peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur

sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan remaja, 40% mengalami cedera berat,

yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cedera ini mencakup 24% gadis remaja yang

mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai

tindakan dari bullying dan fighting secara fisik ataupun seksual hingga bahkan yang lebih

parah adalah pembunuhan.

Tingkat pembunuhan remaja bervariasi. Namun di semua negara, remaja laki-laki merupakan

mayoritas pelaku dan juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada remaja

perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan

kekerasan remaja tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini,

cedera, dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, sering kali bahkan seumur hidup, pada

fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat memengaruhi keluarga korban, teman,

dan masyarakat.

Pada rentang tahun 2000-2012, tingkat pembunuhan remaja menurun di sebagian besar

negara meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada

di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% gadis remaja

mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan seksual pertama mereka.

Laporan Multi-Country Study on Women’s Health and Domestic Violence menyebutkan

bahwa kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan remaja. Laporan dari 40 negara

berkembang menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% remaja laki-laki dan 35,8%

gadis atau remaja perempuan.

Page 137: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

137

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan remaja sangat kompleks, meliputi diri

remaja sendiri, keluarga, dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu remaja

meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian,

keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh, dan sikap

anti-sosial.

Selain itu juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan

kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis,

perceraian orang tua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.

Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi

kurangnya pemantauan dan pengawasan remaja oleh orang tua, pendidikan disiplin orang tua

yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan antara orang tua dan

remaja yang rendah, keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja yang rendah, dan orang tua

terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu juga pendapatan keluarga

yang rendah dan bergaul dengan remaja lainnya yang sejenis.

Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi rendahnya tingkat

kohesi sosial dalam masyarakat atau geng remaja dan pasokan senjata atau obat-obatan

terlarang, tidak adanya alternatif non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik antarremaja,

ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi,

serta kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan

kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.

Program pencegahan kekerasan yang sudah terbukti efektif juga dapat dibaca pada Global

Status Report on Violence Prevention 2014. Pencegahan tersebut meliputi program

keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu remaja mengelola kemarahan,

menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk

memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan anti-intimidasi, dan

kurikulum pra-sekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini.

Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses

remaja ke alkohol, obat, dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah

gerai penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi

kesempatan remaja berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan dengan membantu

keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.

Program pencegahan yang sudah terbukti berhasil di dalam Global Status Report on Violence

Prevention 2014 layak kita contoh, juga dengan mengoreksi faktor risiko kekerasan yang ada.

Tentunya agar remaja di sekitar kita terbebas dari ancaman kekerasan.

FX WIKAN INDRARTO

Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S-3 FK UGM

Page 138: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

138

Penelitian dan Peneliti Koran SINDO 17 Desember 2014

Saya menghadiri seminar pemaparan hasil penelitian ilmu sosial sebuah lembaga penelitian

milik pemerintah beberapa waktu yang lalu. Lembaga itu meneliti tema-tema tertentu sebagai

bagian dari program kerja. Hasil-hasil tersebut yang kemudian disampaikan kepada

masyarakat sebagai rekomendasi untuk kementerian dan lembaga terkait.

Saya menghargai hasil penelitian tersebut, namun tampaknya hasil yang disampaikan masih

tertinggal jauh dengan hasil penelitian yang dimuat di jurnal ilmiah, baik di dalam maupun

luar negeri. Tidak ada kebaruan dari sisi pertanyaan penelitian dan juga tidak ada yang baru

dari sisi rekomendasi. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan mengingat lembaga penelitian

adalah salah satu ujung tombak kemajuan peradaban bangsa. Situasi ini sebetulnya sudah

menjadi perhatian banyak pihak sejak lama. Namun sayangnya, rasa prihatin itu tidak

ditindaklanjuti dengan tindakan.

Penelitian dan inovasi teknologi Indonesia tidak berkembang. Data Indikator Iptek Indonesia

2014 menyatakan bahwa di periode ke-2 masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY), penelitian mengalami stagnasi selama lima tahun. Ironisnya, dari sisi

anggaran belanja, alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan di lembaga pemerintah

memang mengalami kenaikan setiap tahun.

Tahun 2013, lembaga penelitian pemerintah memperoleh dana sekitar Rp5 triliun. Lebih

tinggi dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya menerima Rp1,9 triliun. Namun demikian,

apabila kita lihat rasio gelontoran dana untuk penelitian terhadap PDB, kenaikan itu tidak

berarti apa-apa karena hanya 0,06%. Rasio itu bahkan lebih buruk dibandingkan saat

pemerintahan Presiden Soeharto yang pernah mencapai 0,4% di tahun 1977.

Secara umum, belanja penelitian dan pengembangan kita juga tidak lebih baik dibandingkan

dengan negara pesaing kita di ASEAN. Pada 2012, rasio belanja litbang Singapura adalah

2,1%, Malaysia 1%, Thailand 0,25%, sementara Indonesia hanya 0,09%.

Walaupun perlu diuji lebih dalam lagi hubungan antara rasio tersebut dengan produktivitas

hasil penelitian, kita dapat melihat bahwa dalam beberapa tema penelitian seperti ilmu sosial,

ekonometri, ekonomi dan keuangan, posisi tersebut cenderung konsisten (SCImago Journal &

Country Rank).

Singapura cenderung lebih produktif dalam mengembangkan hasil penelitian dan gagasan

diikuti oleh Malaysia dan Thailand. Indonesia akan lebih kedodoran posisinya apabila

dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan China. Angka-angka itu

Page 139: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

139

menjelaskan kepada kita bahwa pemerintahan yang lalu belum menunjukkan keberpihakan

yang cukup serius dalam meningkatkan kapasitas penelitian dan peneliti.

Kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya hasil penelitian yang relevansinya sudah

ketinggalan zaman itu kepada para peneliti, karena akses mereka terhadap sumber-sumber

dana, alat dan literatur sangat terbatas. Para peneliti di lembaga penelitian pemerintah bahkan

saat ini menjadi lebih sengsara dalam menjalankan penelitian, karena dana operasional

dipotong hingga 50% sebagai akibat kebijakan pengencangan ikat pinggang pegawai yang

dilakukan Presiden Joko Widodo. Penelitian-penelitian sosial dan budaya, yang memang

membutuhkan waktu turun lapangan lebih panjang karena berhubungan dengan faktor

manusia dan masyarakat yang sulit ditebak, menjadi yang paling dirugikan.

Hasil penelitian yang belum memuaskan juga dapat disebabkan karena insentif yang minim

untuk para peneliti. Para akademisi atau peneliti yang memiliki motivasi untuk mengerjakan

penelitian tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari penelitian itu saja, tetapi juga

harus melakukan pekerjaan lain yang sifatnya manajerial atau administratif. Contoh adalah

posisi saya sendiri di dalam universitas yang memiliki banyak peran selain sebagai pengajar,

peneliti, penulis, tetapi juga menjalankan peran manajerial, administrasi, pemasaran, dan

bahkan menjembatani hubungan industrial para staf.

Beban itu mungkin juga bertambah berat untuk para peneliti perempuan yang memiliki peran

gender di dalam rumah tangga. Peran itu mungkin menyulitkan peneliti perempuan untuk

berkembang dan maju jika tidak ada perhatian khusus. Saya yakin banyak peneliti di

Indonesia yang juga berada di dalam posisi dan memiliki pengalaman serupa.

UNESCO memiliki dua metode, Headcounts dan Full-Time-Equivalent (FTE), untuk

mengukur kapasitas peneliti di sebuah negara. Headcounts adalah jumlah tenaga yang baik

penuh maupun paruh waktu bekerja di departemen litbang, sementara FTE adalah jumlah

waktu kerja yang dihabiskan seorang peneliti penuh waktu di litbang dalam satu tahun.

Secara nasional, Indonesia di tahun 2009, peneliti yang bekerja untuk litbang perguruan

tinggi, indeks FTE-nya adalah 35. Artinya seorang peneliti di perguruan tinggi hanya bisa

meluangkan waktu 35% dari total waktu penelitian, sisanya dipergunakan untuk hal lain.

Singapura 40,7% (2009) dan 44% (2013), Malaysia 80% (2009) dan 82% (2011), dan

Thailand 54,5% (2009). Kita dapat lihat betapa rendahnya komitmen dorongan pemerintah

selama ini terhadap peneliti. Temuan tersebut menjadi relevan dalam konteks daya saing

Indonesia hari ini dan dalam tahun-tahun mendatang.

Negara yang maju adalah negara yang menjadi ”otak” dalam relasi antarnegara dan bukannya

sekadar menjadi pengikut atau pelaksana. Negara yang maju pasti punya ”pasukan” peneliti

yang terlatih dan jeli. Kita belum sampai sana, tetapi semoga bertahap pemerintah kita

membantu mengarahkan perhatian dan sumber daya kita ke arah itu.

Sampai hari ini, Indonesia masih terus menjadi sasaran kegiatan ”capacity building” dan

pemberian bantuan teknis ”technical assistance” dari negara-negara lain atau pun lembaga

Page 140: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

140

donor. Alasan mereka adalah karena produk dari Indonesia (baik itu barang maupun

kebijakan) masih lebih sering berada jauh mutunya di bawah harapan para penggunanya.

Di satu sisi, kegiatan lembaga donor tersebut dianggap menguntungkan oleh sebagian

kalangan karena mereka memperoleh proyek yang berarti pula tambahan penghasilan.

Namun, yang patut dicermati adalah karena proyek-proyek tersebut mulai dilihat oleh negara

dan lembaga donor sebagai kurang efektif dan sebagian donor mulai melakukan evaluasi.

Dari sudut pandang suatu konsorsium pemberi donor program-program sosial, yang dalam

hal ini tentu tidak patut bagi saya untuk menyebutkan namanya, ada indikasi bahwa hasil

penelitian dari lembaga penerima proyek justru belum tentu dipakai atau dipertimbangkan

oleh pembuat kebijakan (baik di pemerintahan maupun parlemen). Masih banyak indikasi

bahwa para pembuat kebijakan cenderung mengandalkan tim-tim litbang internal yang sering

kali sudah kerepotan dengan urusan administrasi atau memang terdiri atas unsur-unsur

peneliti yang belum punya keahlian di bidang yang dimaksud.

Kalau pemerintah bersikukuh dengan pola lama ini, artinya untuk terus mengandalkan tim

internal dalam menyusun naskah akademik yang mendasari suatu kebijakan, maka kita perlu

khawatir akan efek beban keuangan yang harus ditanggung oleh APBN untuk hasil yang

kurang jitu dalam menjawab kebutuhan masyarakat.

Secara umum, saya merasa perlu menyampaikan bahwa kegiatan pemerintah mustahil

berjalan optimal tanpa didukung oleh penelitian yang mendalam dan terarah pada kebutuhan

masyarakat, baik itu untuk kebutuhan hari ini maupun 20-30 tahun mendatang. Rata-rata

penelitian di lembaga-lembaga pembuat kebijakan masih berorientasi pada pencarian sumber

masalah, deskripsi kebutuhan, serta pemetaan kepentingan. Tetapi apa saja pilihan kebijakan

yang kemudian patut ditimbang, justru belum ditelaah. Dan memang, jenis penelitian seperti

itu membutuhkan keahlian dan keterampilan ekstra. Sulit tetapi wajib kita miliki dalam waktu

singkat.

Semoga Kabinet Kerja Jokowi-JK membaca kebutuhan dukungan dalam bidang penelitian.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 141: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

141

Menyimak Kearifan Lokal Koran SINDO 18 Desember 2014

Kita berduka akibat bencana longsor di Banjarnegara pekan lalu. Sampai tadi malam baru 80-

an korban yang berhasil ditemukan. Lebih dari seratus orang diperkirakan terkubur di bawah

longsoran selain tentu harta benda mereka seperti rumah, mobil, sepeda motor, dan

lainnya. Begitulah kalau alam sudah murka.

Bagaimana longsor itu bisa terjadi? Pasti ada banyak faktor. Misalnya, jenis tanahnya yang

tidak sanggup menahan air. Lalu, ada banyak pohon besar yang menghilang dari atas

bukit. Padahal, pohon-pohon itu bukan hanya berfungsi menahan air, melainkan dengan

akarnya yang dalam dan menyebar akan mampu mengikat tanah.

Saya kira masih banyak faktor lain. Penyelidikan ke arah penyebab belum dilakukan karena

saat ini semua sibuk melakukan evakuasi korban, baik yang meninggal dunia maupun luka-

luka ringan atau berat.

Kearifan Lokal

Bicara soal hilangnya pohon-pohon besar dari atas bukit, saya jadi teringat dengan cerita-

cerita masa lalu yang di dalamnya terkandung kearifan lokal. Untuk menjaga agar pohon-

pohon besar tetap terpelihara, kakek-nenek atau orang-orang tua dahulu mengembangkan

berbagai cerita yang bagi sebagian orang mungkin terkesan mistis. Mereka bilang, ”Jangan

main-main ke atas bukit. Di sana angker, banyak penunggunya. Mereka bersarang di pohon-

pohon besar yang ada di sana.”

Bukan hanya itu. Sebagian dari orang-orang tua kita bahkan ada yang secara periodik

menaruh sesajen di pohon-pohon besar tersebut. Ini membuat kesan mistis menjadi semakin

kuat. Dengan cara seperti, kita tentu tak berani main-main ke atas bukit. Apalagi mengganggu

pepohonan yang ada di sana. Hasilnya, pepohonan itu mampu menjalankan fungsinya dengan

baik.

Kala musim hujan mereka mampu menampung air yang tercurah dari langit dan membuat

pasokan air tetap terjaga, bahkan saat musim kemarau sekalipun. Kemudian pohon-pohon itu

juga mampu mengikat tanah sehingga tidak longsor. Karena itulah, belum lama ini bekerja

sama dengan komunitas Sanggabuana, kami menanam pohon bambu betung di bantaran Kali

Ciliwung. Selain untuk pelestarian alam, ya pasti untuk mencegah erosi sungai.

Page 142: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

142

Dari seorang kawan yang melakukan tissue culture saya diberi tahu upayanya itu baru

dilakukan kembali di negeri ini setelah Belanda pergi. Bayangkan, puluhan tahun kita

abaikan bambu betung yang punya cerita tentang kearifan lokal yang amat kuat di Tanah Air.

Konon, para jawara mengambil air dari mata air dekat akar bambu untuk mengusir roh jahat.

Begitulah kearifan lokal yang berkembang masa lalu yang berperan penting dalam menjaga

lingkungan kita. Jadi, jangan hanya dilihat dari sisi cerita mistisnya.

Bicara tentang ini, mungkin Anda masih ingat dengan cerita tentang sebatang pohon besar

yang tumbuh di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Kabarnya, pohon ini angker karena

memiliki beberapa penghuni sehingga upaya untuk menebangnya selalu gagal. Kemudian

orang-orang jadi takut mencobanya. Lalu, dengan gagahnya serombongan orang dari

sekelompok organisasi massa keagamaan mendatangi pohon tersebut. Untuk membuktikan

mereka tidak takut dengan keangkerannya, mereka menebang pohon tersebut dengan

garangnya.

Kita pun kehilangan pohon itu. Meski hanya sebatang, setidak-tidaknya pohon tersebut

menyerap gas CO2 yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan yang lalu lalang di jalan

tersebut. Begitulah kalau kita kurang bijak menyikapi kearifan lokal yang tersembunyi di

balik cerita-cerita mistik tentang pohon besar.

Emisi Karbon

Baiklah, kini saya ajak Anda untuk melihat ke isu-isu yang lebih besar terkait lingkungan

kita. Kita di Indonesia, dan masyarakat dunia, sebetulnya tengah menghadapi masalah

lingkungan yang sangat serius. Masalah itu tentang pemanasan global.

Akibat dari pemanasan ini, es-es di kutub utara dan selatan mencair sehingga memicu banjir

di sejumlah negara yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Pemanasan global juga

menyebabkan volume air yang menguap juga terus meningkat. Ini menyebabkan konsentrasi

uap air di langit kita menjadi begitu tinggi.

Akibat itu, curah hujan menjadi sangat tinggi. Di beberapa negara badai salju bahkan

menggila. Jauh lebih tinggi ketimbang tahun-tahun silam. Kondisi semacam ini tidak pernah

terjadi sebelumnya. Beberapa negara dan kota yang tidak siap pun menjadi kewalahan

menghadapi itu. Contohnya, kota New York di Amerika Serikat bahkan sempat lumpuh

akibat badai salju. Di negara kita, perubahan cuaca ini menyebabkan musim penghujan

datang begitu terlambat. Musim kemarau menjadi terasa terlalu berkepanjangan.

Apa pemicu dari pemanasan global tersebut sehingga berdampak pada perubahan cuaca yang

begitu ekstrem? Pemicunya adalah peningkatan emisi gas CO2. Mengapa emisi gas ini bisa

meningkat? Sederhananya begini.

Jumlah penduduk bumi terus meningkat. Begitu pula kegiatan mereka pun ikut meningkat.

Page 143: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

143

Kombinasi dari dua faktor tersebut menyebabkan konsumsi energi juga meningkat. Cobalah

Anda amati. Pernahkah permintaan akan bahan bakar minyak (BBM) berkurang? Jelas tidak.

Malah yang terjadi permintaannya semakin meningkat akibat terus bertambahnya jumlah

kendaraan bermotor.

Pernahkah permintaan tenaga listrik berkurang? Juga tidak. Sebaliknya, terus meningkat.

Betapa tidak. Di negara kita jumlah mal terus bertambah. Permintaan akan rumah dan hunian

juga tak pernah berkurang. Orang juga semakin sibuk dan banyak yang kerja hingga larut

malam. Semua itu menyebabkan permintaan tenaga listrik terus meningkat.

Kini orang juga semakin sering berbicara, terutama melalui media sosial. Untuk membuat

kita senantiasa terkoneksi, baterai gadget atau smartphone harus selalu penuh. Untuk men-

charge gadget tersebut tentu butuh tenaga listrik. Apakah Anda tahu pembangkit listrik kita

masih banyak yang menggunakan bahan baku fosil seperti minyak dan batu bara? Ini

membuat emisi karbon tak pernah berkurang.

Dilema

Itu pada satu sisi. Mari kita lihat sisi lainnya. Peningkatan emisi karbon selalu identik dengan

kemajuan suatu negara. Artinya, makin kencang laju pembangunan di suatu negara, emisi

karbonnya pun akan terus meningkat. Saya kutip saja data dari US Department of Energys

Carbon Dioxide Information Analysis Center untuk 2012.

Emisi CO2 negara Amerika Serikat mencapai 16,16% dari total karbon dunia. Di China

mencapai 24,46%. India yang terus membangun, emisi CO2-nya mencapai 5,98%.

Bandingkan dengan emisi karbon di negara-negara yang relatif tertinggal seperti Bhutan yang

bahkan 0%, Laos 0,01%, Sri Lanka yang 0,04%, atau negara kita yang 1,29%.

Jadi, kalau kita mau menjadi negara maju, memang ada harga yang harus kita bayar. Itulah

dilemanya. Tapi, sejak kapan kita bisa hidup tanpa dilema! Maka itu, jagalah kearifan lokal

dan jangan arogan menertawakan alam. Di balik cerita-cerita rakyat biasanya ada kearifan

yang harus kita simak dengan bijak.

RHENALD KASALI

Pendiri Rumah Perubahan

@Rhenald_Kasali

Page 144: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

144

Teologi Antikorupsi Koran SINDO 19 Desember 2014

Apakah dasar normatif dan logika keagamaan sehingga korupsi masuk kategori dosa besar

(sin) dan kejahatan besar (crime) menurut agama dan kemanusiaan? Pertanyaan inilah yang

saya maksudkan dengan teologi antikorupsi.

Judul ini mestinya ditulis dan dibahas dalam bentuk buku agar pembahasannya lebih

mendalam dan serius. Tetapi, menulis buku setidaknya diperlukan waktu enam bulan dengan

konsekuensi meninggalkan semua kegiatan lain kecuali membaca dan menulis. Inilah yang

sungguh sulit dilakukan kalangan intelektual Indonesia karena minim dana penelitian agar

seseorang bisa fokus pada proyek riset, tanpa harus bekerja yang lain sebagaimana umumnya

dilakukan dosen di negara lain misalnya Singapura atau Malaysia.

Korupsi yaitu tindakan mengambil hak-hak orang lain. Secara teologis memang ada

pandangan pada dasarnya semua ini tentu saja milik Allah. Namun, Allah telah

mengamanatkan dan menganugerahkannya kepada manusia sehingga kalau seseorang

korupsi, berarti melawan tiga pihak. Pertama, melawan Tuhan karena jelas-jelas tidak

menaati perintah-Nya agar tidak mengganggu dan merugikan sesama hamba-Nya. Tuhan

menghendaki hamba-Nya hidup bersih dan terhormat, jangan dikotori oleh rezeki yang bukan

haknya. Jangan hak orang lain dicuri.

Kedua, mengganggu, mengambil, dan merugikan hak sesama manusia sehingga korupsi

merupakan dosa kemanusiaan yang hina. Terdapat hukum moral, jika kita tidak ingin dan

tidak mau hak-hak kita dicuri orang, kita juga tidak boleh mencuri hak orang lain.

Ketiga, korupsi merupakan dosa sosial karena merusak etika dan sistem sosial sehingga bisa

mendatangkan kerugian dan kerusakan lebih besar. Bayangkan saja, jika seseorang

melakukan korupsi menilap uang pajak atau melakukan korupsi tidak membayar pajak,

kehidupan sosial dan pemerintahan bisa keropos dan ambruk. Demikianlah, korupsi tidak saja

dosa dari aspek teologis, namun juga sosial dan politik.

Lebih dari itu, karena yang dirugikan korupsi adalah sesama manusia, pertobatannya juga

mesti horizontal. Karena harta korupsi diambil dari sesama manusia, permintaan maaf atau

pengembaliannya juga kepada sesama manusia. Jika diambil dari kas negara, hasil

korupsinya disita negara serta memperoleh hukuman berdasarkan undang-undang negara.

Yang menarik jika menyangkut aspek ritual keagamaan. Bila seseorang tidak mampu

berpuasa misalnya, bahkan bisa diganti berupa fidyah, sebuah kompensasi materi yang

Page 145: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

145

diberikan kepada manusia, terutama fakir-miskin. Sebaliknya, jika seseorang melakukan

korupsi, tidak bisa dilunasi dengan ibadah ritual secara vertikal seperti salat atau umrah.

Seseorang merasa berbuat dosa, lalu rajin salat atau ibadah haji-umrah, tentu itu bagus untuk

memohon ampunan, taubat, keteguhan iman, dan petunjuk kehidupan. Namun, itu semua

belum cukup kalau hatinya belum tergerak untuk melakukan pertobatan horizontal yaitu

membersihkan hartanya yang kotor. Bukankah kewajiban membayar zakat dan sedekah tidak

bisa diganti dengan memperbanyak salat? Artinya, sekali lagi, ada beberapa kewajiban taat

pada Allah yang tidak dapat terpenuhi kecuali dengan melakukan kebajikan terhadap sesama

manusia.

Sebagaimana perintah menyembelih hewan kurban. Meski niatnya karena Allah, dagingnya

mesti sampai kepada manusia yang sangat memerlukan. Allah tidak memerlukan zakat,

sedekah, dan hewan kurban kita.

Demikianlah, melakukan korupsi yang jelas-jelas milik sesama manusia berarti melakukan

perlawanan terhadap Allah, merugikan sesama manusia, dan merusak sistem sosial. Ada tiga

macam dosa yang mesti ditanggung. Bahkan bisa lebih dari tiga macam dosa yang dilakukan

karena seorang koruptor biasanya akan membagi hasil korupsinya kepada keluarga dan

teman-temannya.

Mengingat korupsi berpotensi merusak sistem sosial dan pemerintahan, banyak negara yang

kemudian menerapkan hukum dan pengawasan yang ketat tanpa melibat pertimbangan

agama. Hasilnya bahkan cukup mengesankan. Misalnya saja Hong Kong, Singapura, China,

dan yang lain, mereka memberantas korupsi demi menjaga tegaknya sistem pemerintahan

yang bersih demi melindungi warganya tanpa dalil keagamaan.

Di Indonesia yang masyarakatnya religius dan negaranya berketuhanan, sungguh menjadi

ironis melihat kenyataan indeks korupsi masih tinggi. Jangan-jangan karena ada anggapan

dan keyakinan bahwa korupsi bisa diputihkan dengan ritual keagamaan? Andaikan anggapan

ini betul, kesimpulannya bisa mengagetkan. Negara dan masyarakat sekuler ternyata lebih

berhasil memberantas korupsi ketimbang masyarakat dan negara yang beragama.

Kelemahannya justru terletak pada pemahaman agama yang permisif pada korupsi dengan

keyakinan dosa sosial bisa ditebus dengan ibadah vertikal-individual.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 146: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

146

Banjarnegara, Kearifan Lokal, dan Kecerdasan Ekologis

Koran SINDO 19 Desember 2014

Menjelang tutup tahun 2014, bencana tanah longsor terjadi di Banjarnegara. Hingga Kamis

(18/12), sudah 87 korban tewas ditemukan, puluhan masih hilang serta lainnya mengungsi

karena 108 rumah mereka roboh.

Seperti diketahui, tebing yang longsor mengubur rumah-rumah warga dan menyapu apa pun

yang melintas di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara,

Jawa Tengah, Jumat (12/12). Jumlah korban jiwa masih mungkin bertambah, karena masih

terus dilakukan upaya pencarian korban. Kita pasti merasa ngeri menyimak detik-detik

longsor Banjarnegara di YouTube. Kita sungguh berdukacita dengan para korban dan

keluarga mereka.

Menyikapi bencana tersebut, ada beragam respons. Ada yang pasrah akibat dukacita

mendalam. Ada pula yang bersikap biasa, karena menganggap bencana sebagai hal yang

biasa. Atau ada juga yang masa bodoh, karena bagi mereka, ada “bencana” lain yang lebih

mendesak. Misalnya “bencana” semakin mahalnya harga sembako bagi wong cilik atau tarif

dasar listrik yang kian mencekik para pengusaha. Terlebih hari-hari ini rupiah juga terpuruk

mendekati Rp13.000 per dolar Amerika, terburuk sejak 1999.

Syukurlah ada juga yang sadar. Menurut pakar geologi sekaligus Rektor Universitas Gadjah

Mada (UGM) Dwikorita Karnawati, longsor di Banjarnegara, disebabkan faktor alam dan

kesalahan pengelolaan kawasan.

Dwikorita menjelaskan, faktor alam itu adalah adanya sejumlah jalur patahan di Karangkobar

yang memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak. Efek patahan

itulah yang memudahkan terjadinya longsor, terlebih pada musim hujan.

Kearifan Lokal

Pada masa lalu, kearifan lokal membuat warga Banjarnegara yang notabene orang Jawa tak

berani membangun rumah di perbukitan. Tapi entahlah, kemudian kawasan longsor tersebut

didiami banyak orang, setelah bukit-bukit di sana sukses ditanami salak. Padahal mendiami

kawasan rawan longsor, jelas mengganggu keseimbangan antara alam empiris dan alam

metaempiris.

Seperti diketahui, dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi

Page 147: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

147

kediaman manusia dan alam di balik realitas-empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu

berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris, dipengaruhi oleh

alam metaempiris (Frans Magnis Suseso, Etika Jawa, 2001).

Pada halaman 86 buku Etika Jawa, Romo Magnis menulis: ”..pengalaman-pengalaman

..pengalaman-pengalaman empiris’ orang Jawa tidak pernah empiris semata-mata. Alam

metaempiris yang angker dan mengasyikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam

empiris selalu diresapi oleh alam gaib.” Jadi apa yang ada pada alam, seperti bukit, gunung,

sungai, semuanya berpenghuni.

Maka ada sakralisasi alam. Alam ini sakral sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Kalau

alam tidak dijaga atau dilestarikan, keseimbangan bisa terganggu. Apalagi kalau manusia

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peran dan tempatnya, harmoni bisa melahirkan

disharmoni, bahkan bencana. Ini terbukti dari berubah fungsinya perbukitan di Banjarnegara,

yang pada masa lalu tidak pernah menjadi tempat tinggal atau perumahan.

Kebutuhan akan tempat tinggal memaksa sebagian orang berani mendirikan tempat tinggal

atau perumahan di daerah perbukitan yang rawan longsor. Kebutuhan itu mendorong mereka

berani melanggar kearifan lokal yang dahulu diyakini nenek moyang mereka. Pada zaman

Belanda pun, sudah ada larangan warga untuk membangun rumah di atas bukit.

Tapi, coba simak, dalam empat puluh tahun terakhir, semakin banyak rumah dibangun di atas

bukit-bukit. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 49 juta jiwa

dari 250 juta penduduk negeri ini, tinggal di daerah yang rawan longsor Akibatnya, tipologi

bukit pun berubah. Bukit-bukit juga tidak mampu menanggung beban lagi saking banyaknya

perumahan di atasnya.

Perubahan itu tentu sangat berisiko dan kita sudah melihatnya sendiri akibatnya. Maka

terjadilah “ecological suicide“ atau bunuh diri lingkungan, yang melahirkan bencana seperti

longsor di Banjarnegara kali ini.

Namun, kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah

perbukitan. Bagaimanapun, pemerintah atau instansi yang punya wewenang pemberian izin

(seperti IMB) seharusnya sejak dini membuat larangan tegas. Kalau pemerintah kolonial saja

bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang tidak? Jelas hal itu merupakan “dosa ekologis”,

yang sekarang sudah sangat terlambat untuk disesali. Padahal pada masa lalu, tidak ada orang

yang berani bertempat tinggal di daerah perbukitan.

Maka ketika bencana sudah telanjur terjadi akibat eksploitasi yang mendorong terjadinya

perubahan fungsi lahan perbukitan jadi perumahan, hal ini tidak akan bisa dicarikan solusinya

lewat ritual “selamatan”. Mengapa tak bisa? Karena eksploitasi itu sudah meminggirkan

kearifan lokal, yang diwarisi orang Jawa dari para leluhurnya.

Tata dunia atau alam empiris telah berubah fungsinya, sehingga para makhluk di alam

Page 148: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

148

metaempiris yang jadi penunggu bukit, pohon, dan sungai atau pohon tak bisa diajak

berdamai mengingat “tempat tinggal”-nya sudah dirusak oleh tangan manusia yang doyan

membangun rumah di atas perbukitan. Maka aktivis lingkungan dan penulis Jack Rogers

menekankan pentingnya kembali interelasi yang harmonis antara Sang Pencipta, manusia dan

alam semesta.

Segala bentuk eksploitasi atau destruksi, seperti pembabatan hutan atau mengubah fungsi

bukit atau lahan menjadi tempat tinggal, tak akan bisa memulihkan “equilibrio ecologico“

(keseimbangan ekologi). Maka kita jangan terlalu percaya pada cara pandang yang sangat

antroposentrisme, bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, yang dengan

kesempurnaan itu, boleh berbuat apa pun termasuk mengubah fungsi bukit menjadi

perumahan. Cara pandang antroposentrisme merupakan cara pandang merusak (destroyer

paradigm).

Kecerdasan Ekologis

Apalagi menurut Paul Elrich dalam The End of Afflence -nya, dalam diri manusia terdapat

sifat rakus (materialisme). Dorongan ini makin menjadi ketika manusia menyadari bahwa

ternyata membangun rumah di atas bukit tidak jadi masalah. Satu atau dua rumah ternyata

tidak menimbulkan masalah.

Namun begitu, banyak rumah didirikan di atas bukit, daya beban daerah perbukitan pun kita

berat. Dan dengan mudah, ini bisa menjadi bencana, ketika hujan turun. Maka longsor yang

disebabkan oleh dosa ekologis ini, harus membuat kita berefleksi dan membuat langkah nyata

ke depan untuk menghentikan hasrat terus membangun tempat tinggal di perbukitan, yang

berbuah malapetaka.

Kini yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan otak (IQ) atau kecerdasan emosional (EQ),

tapi juga EnQ atau enviro intelligence atau kecerdasan ekologis. Untuk itu, harus segera

dibuat langkah cepat, tepat, dan terkoordinasi sebagai bentuk antisipasi terlebih pada jutaan

warga kita yang bertempat tinggal di atas daerah rawan longsor.

Saat ini ada 114 titik longsor di negeri ini. Bukit-bukit yang gundul harus ditanami pohon.

Langkah proteksi dan persuasi harus ditempuh agar warga yang mendiami kawasan rawan

longsor rela direlokasi. Hukum juga harus ditegakkan agar ke depan tak ada yang berani

membangun rumah di atas bukit yang rawan longsor.

TOM SAPTAATMAJA

Teolog

Page 149: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

149

Siti Koran SINDO 21 Desember 2014

Semasa sekolah menengah pertama (SMP) saya pernah membaca sebuah novel karangan

Marah Rusli terbitan Balai Pustaka berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai.

Dalam buku itu diceritakan tentang kisah kasih tak sampai antara seorang gadis cantik, Sitti

Nurbaya, dengan seorang pemuda tampan, Samsul Bahri, yang berlatar belakang masyarakat

Minangkabau di Padang. Pada suatu masa, Samsul Bahri hendak melanjutkan pendidikannya

ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia (sekarang FK UI). Sebelum berangkat ia pamit kepada

Sitti Nurbaya sambil menyatakan cintanya yang berbalas dari Sitti.

Maka, berpisahlah dua muda-mudi itu setelah bersumpah untuk sehidup-semati. Tetapi,

sementara kepergian Samsul Bahri, ayah Sitti Nurbaya, seorang saudagar kaya bernama

Baginda Suleman, dizalimi oleh seorang kaya lain yang jahat bernama Datuk Meringgih.

Karena persaingan, Datuk Meringgih menyuruh para pendekarnya untuk membakar perahu-

perahu penuh dagangan dan meracuni kebun kelapa milik Baginda Suleman sehingga

Baginda Suleman bangkrut dan meminjam uang f10.000 (baca: 10.000 gulden) kepada Datuk

Meringgih.

Karena Baginda Suleman tidak bisa mengembalikan uang itu, di luar kehendaknya Sitti

Nurbaya dinikahkan dengan Datuk Meringgih, si tua bangka. Singkat cerita, pada akhir kisah

Samsul Bahri kembali ke Padang, tetapi bukan sebagai mahasiswa kedokteran, melainkan

sebagai seorang letnan dari tentara Belanda yang datang untuk menumpas sebuah

pemberontakan pajak.

Pada kesempatan itu, Letnan Mas (nama samaran Samsul Bahri) sempat berduel dengan

Datuk Meringgih yang berakibat keduanya tewas dan Letnan Mas dimakamkan

berdampingan dengan makam Sitti Nurbaya, ibundanya, dan ayahandanya, Baginda Suleman,

yang sudah lebih dahulu meninggal akibat kekejaman Datuk Meringgih.

Pada awal Era Reformasi, muncul lagi seorang Siti yaitu Siti Nurhaliza yang bukan asli

Indonesia, melainkan impor dari Malaysia. Karena itu, namanya panjang sekali karena

dilengkapi dengan berbagai gelar yaitu Datin Siti Nurhaliza binti Tarudin DIMP, JSM, SAP,

PMP, AAP, yang kemudian (setelah ngetop sebagai penyanyi pop di Indonesia) menikah

dengan Datuk Khalid, seorang duda yang jauh lebih senior beranak empat.

Tetapi, tidak seperti yang dikenal masyarakat Indonesia, ternyata Siti Nurhaliza yang sangat

Page 150: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

150

cantik dan selalu tersenyum ketika bernyanyi (sehingga sangat memukau para mas-mas dan

om-om senang) adalah juga seorang perempuan pengusaha, punya studio rekaman, dan

sekaligus juga berprofesi sebagai presenter. Luar biasa.

Akhirnya, pada Era Reformasi ini, saya kenal dengan satu Siti lagi yaitu Siti Nurbaya

(dengan satu ”t”), yang nama lengkapnya adalah Dr Ir Siti Nurbaya Bakar MSc.

Dari gelarnya, kita tahu bahwa dia orang sekolahan. Dia lulusan SMAN 8 Jakarta (yang pada

waktu itu SMA paling top se-Indonesia), insinyur pertanian dari IPB, dan lulusan S-3 dari

IPB dan Siegen University, Jerman. Tetapi, Siti Nurbaya yang ini tidak berkarier di

universitas, tapi di birokrasi, dimulai dari jabatan-jabatan papan bawah di Bappeda Provinsi

Lampung, sampai menjadi sekjen Depdagri RI, sekretaris DPD RI, dan sekarang menteri

lingkungan hidup dan kehutanan.

Saya pernah dua kali mendapat job dari ibu yang luar biasa ini yaitu ketika meneliti kasus

bullying yang menyebabkan kematian seorang taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam

Negeri (STPDN) dan ketika saya ditunjuk untuk menjadi anggota tim seleksi calon anggota

KPU menjelang Pemilu 2004.

Tiga orang Siti yang hidup pada era yang berlainan menunjukkan perjalanan sejarah gender

di Indonesia. Sitti Nurbaya menjadi korban diskriminasi gender yang sangat terbuka dan

dibenarkan oleh masyarakat pada zamannya. Kemudian dari Malaysia, Siti Nurhaliza datang

untuk menyapa masyarakat Indonesia dengan lagu-lagu merdu dan senyumnya yang amat

cantik. Dia, yang selalu menyebut dirinya dengan ”Siti” saja, datang dengan sederetan gelar

bangsawan yang menunjukkan betapa di negeri jiran itu status perempuan bisa tinggi

walaupun di sisi lain masih berlaku budaya poligami di sana.

Akhirnya ada Siti Nurbaya kedua, yang dengan kekuatannya sendiri, menempuh

pendidikannya sendiri dan menjalani kariernya sendiri sehingga mencapai puncaknya, tanpa

bantuan siapa-siapa dan menembus semua sistem diskriminasi yang ada di Indonesia.

Inilah perwujudan cita-cita Kongres Perempuan I di Yogya pada 28 Desember 1928. Salah

satu peserta sekaligus oratornya adalah seorang Siti juga yaitu Ibu Siti Zahra Gunawan yang

kebetulan nenek saya sendiri dari garis ibu saya. Hidup Siti!

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia