Shogun Review
description
Transcript of Shogun Review
Nama : Arifasjah
NIM : 0801512029
Mata Kuliah : Politik Luar Negeri Jepang
Dosen : Yusy Widarahesti
REVIEW FILM
Tulisan ini adalah review dari sebuah film Jepang mengenai sejarah
dan kisah jenderal samurai terbesar di Jepang pada zaman dahulu, yaitu
Tokugawa Ieyasu, yang filosofi dan cara hidupnya membentuk bangsa Jepang
sampai saat ini. Keberhasilannya dalam menguasai Jepang selama 250 tahun,
menjadikannya seorang Shogun, penguasa seluruh Jepang.
I. Introduction
a. Judul : “Warriors: Shogun”
b. Detail : Film “Warriors: Shogun” ini, diproduseri oleh Paul Tivers
berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Claire Saxby dan dirilis pada
tanggal 9 Juni 2009, dengan Paul Carlin dan Martin Johnson sebagai editor
film ini.
II. Review
Pada abad ke-16, ketika Inggris dalam masa Elizabeth, Jepang pada saat
itu, pada masa Samurai, sedang mengalami perang saudara brutal. Perang
sipil pecah dikarenakan klan-klan yang berkuasa saling berperang untuk
memperebutkan kekuasaan tertinggi, sehingga negeri Jepang pun pada
akhirnya terpecah. Setiap bangsawan dari masing-masing klan memiliki
samurai pribadi sendiri. Para ksatria Jepang mengabdikan dirinya untuk
berperang demi sebuah kehormatan, dan mereka setia terhadap tuannya
sampai mati.
Kisah Tokugawa Ieyasu adalah kisah jendral samurai terbesar dalam
sejarah Jepang, prestasinya dikenal menandingi Caesar dan Napoleon. Dia
mendirikan dinasti yang menguasai Jepang selama 250 tahun. Jendral
samurai memiliki sebuah filosofi kejam yang membentuk bangsa hingga
zaman modern. Cara hidup pejuang adalah tidak memiliki hasrat, tidak
memiliki prinsip yang tetap (prinsip menyesuaikan dengan kondisi), selalu
menyesuaikan diri demi meraih kesempatan dan kekuasaan, karena meraih
kesempatan dijadikan cara hidup.
Pada tanggal 18 September 1598, Penguasa tertinggi Jepang (zaman
Sengoku-zaman Azuchi Momoyama) yaitu Hideyoshi, yang dikenal sebagai
Taiko, meninggal dunia. Oleh karena itu kedudukannya digantikan oleh anak
laki-lakinya, yaitu Hideyori, yang saat itu berusia 6 tahun, maka kekuasaan
yang sesungguhnya dipegang oleh para menteri dan panglimanya. Sebelum
meninggal dunia, Taiko berpesan pada menterinya yang setia, Ishuda
Mitsunari, dan panglima yang paling berkuasa di Jepang pada saat itu,
Tokugawa Ieyasu, agar mereka berdua bersatu (bersekutu) untuk menjaga
Jepang tetap bersatu hingga Hideyori cukup besar untuk memimpin. Tetepi
Ieyasu tidak berniat untuk mendukung anak itu.
20 tahun sebelumnya, ketika Ieyasu masih memimpin tentara kecil, ia
memiliki anak yang bernama Nobuyasa. Nobuyasa saat itu dituduh ingin
menentang majikan Ieyasu, sehingga Ieyasu diberikan 2 pilihan oleh
majikannya, yaitu: Nobuyasa mati atau seluruh keluarga Ieyasu akan dihabisi.
Ieyasu memilih untuk setia pada majikannya dan mengorbankan anaknya, dan
pada akhirnya Nobuyasa mati ditangan ayahnya sendiri. Karena cara hidup
pejuang adalah meninggikan kesetiaan di atas segalanya.
Hideteda adalah anak Ieyasu yang lahir ketika Nobuyasa mati. Ia telah
siap dan terobsesi untuk berkuasa. Saran Ieyasu kepada anaknya adalah
segala tindakan harus didahulukan dengan berpikir dan agar menggunakan
politik dalam mengejar tujuannya, bukan dengan berperang. Saat itu pun,
Ieyasu mengirim putra Taiko, Hideyori, dari Istana Fushimi. Tindakan ini
sengaja dilakukannya untuk memprovokasi dan mendapat reaksi dari
Mitsunari dan dewan pengawas, dan rencananya berhasil. Pasukan-pasukan
Mitsunari dengan segera mendatangi tempat tinggal Ieyasu pada suatu
malam dan berusaha untuk membunuhnya, namun gagal. Tori Mototada
pembantu samurái Ieyasu yang setia ikut membantu Ieyasu melawan
pasukan-pasukan Mitsunari. Kegagalan Mitsunari dalam membunuh Ieyasu,
dijadikan kesempatan oleh Ieyasu untuk menyingkirkan Mitsunari. Ieyasu
memberi pilihan kepada Mitsunari untuk pergi dari istana Fushimi dan
pensiun atau dikucilkan. Dan pada akhirnya Ieyasu memilih untuk pergi. Ini
merupakan salah satu cara hidup pejuang, yaitu membuat musuh tidak sabar,
sehingga musuh menjadi agresif dan dapat mengambil tindakan tanpa
berpikir.
Setelah kepergian Mitsunari, Ieyasu berkuasa di Istana Fushimi
menggantikan posisi Taiko. Beberapa dewan anggota penguasa digantikan
dan puteri-puteri Ieyasu dinikahkan dengan panglima-panglima, sehingga
calon musuh menjadi sekutu. Selama dua tahun ke depan, Ieyasu bersekutu
dengan sejumlah daimyo (orang yang memiliki pengaruh besar di suatu
wilayah tertentu) khususnya mereka yang tidak suka dengan Hideyoshi.
Kepemimpinan Ieyasu di Istana Fushimi, diprotes oleh pemimpin-
pemimpin samurái dari sebelah timur. Pemberontakan oleh samurái lain,
dinilai Ieyasu sebagai kesempatan untuk memperkuat kekuasaannya jika
dapat menaklukan pemberotakan tersebut. Untuk menyerang pemberontak-
pemberontak tersebut, Ieyasu meminta dukungan dari sepupu Taiko,
Hideyaki, agar tindakan penyerangan dapat diatasnamakan Taiko. Hideyaki
dulu pernah memimpin perang ketika muda, namun kalah. Mitsunari ketika
itu mengucilkannya dan menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya dengan
pedang, sementara Ieyasu justru membelanya, dengan menyebut bahwa usia
Hideyaki masih muda ketika perang terjadi. Alih-alih mendukung Ieyasu,
Hideyaki berbalik arah mendukung Mitsunari, sehingga Mitsunari mendapat
wewenang Taiko. Setelah itu Ieyasu pindah ke barat, Mitsunari kembali ke
Istana Fushimi. Ieyasu meninggalkan Mototada dan ratusan orang lainnya
untuk menjaga garis belakang. Jumlah pasukan Ieyasu kalah 20:1 dibanding
dengan Mitsunari, dan Mototada pada akhirnya bunuh diri, karena tidak ingin
mati ditangan musuh. Meski tahu jumlah pasukannya sedikit, ia tetap memilih
melawan musuh dan setia untuk membela majikannya.
Pada tanggal 20 Oktober, pasukan Mitsunari meninggalkan Ogaki dan
pergi ke Sekigahara. Mulailah awal pertempuran terbesar dalam sejarah
Jepang, yang dimulai pada tanggal 21 Oktober 1600 dengan total 160.000
orang saling bertempur. Pertempuran itu dilakukan di Sekigahara, dengan
Hideyaki beserta pasukannya berada di atas bukit untuk menunggu sinyal
dari Mitsunari untuk menyetang Ieyasu. Hidetada diberi kepercayaan oleh
Ieyasu untuk memimpin 40.000 pasukan melalui jalur utara, namun
sayangnya ia mengecewakan ayahnya karena tidak datang disaat perang
berlangsung. Sebelum pertempuran berlangsung, Ieyasu mendapat surat dari
Hideyaki yang menyatakan bahwa ia tidak dapat dibodohi oleh Mitsunari.
Karena surat tersebut, Ieyasu percaya bahwa Hideyaki berada dipihaknya.
Ieyasu mempertaruhkan keamanan dan pertahanan pasukannya di tangan
Hideyaki, karena saat itu, Ieyasu sudah kalah jumlah dengan pasukan
Mitsunari, sehingga dapat dipastikan Ieyasu akan kalah. Namun, pada saat
mendapat sinyal dari Mitsunari untuk menyerang, Hideyaki sempat diam dan
bingung untuk mengambil tindakan sampai akhirnya Ieyasu memberi
serangan pada pasukan Hideyaki, dan Hideyaki pada akhirnya berbalik
melawan Mitsunari. Perang Sekigahara berakhir dengan menangnya
Tokugawa Ieyasu. Blok Barat akhirnya hancur dan beberapa hari kemudian
Ishida Mitsunari beserta bangsawan barat lainnya ditangkap dan dibunuh.
Dan kemudian Tokugawa Ieyasu menjadi penguasa de facto di Jepang.
Hidetada kembali kepada ayahnya dengan rasa malu. Sebagai seorang
pejuang dan samurái sejati, Hidetada harus melakukan apa yang seharusnya
dilakukan pejuang ketika mempermalukan dirinya atau berbuat kesalahan,
yaitu mati dengan terhormat, membunuh dirinya sendiri. Pada awalnya,
Ieyasu menunggu Hidetada untuk membunuh dirinya sendiri, namun
akhirnya, Ieyasu menghentikan Hidetada untuk membunuh dirinya sendiri.
Apa yang Ieyasu lakukan saat itu adalah, kesetiaan terhadap keluarga, ia
tidak ingin kehilangan putera lainnya.
III. Evaluation
Film ini sangat bagus, karena di dalamnya penuh dengan pengetahuan,
memperlihatkan bagaimana cara hidup orang Jepang pada zaman dahulu.
Prinsip-prinsip hidup samurai zaman dahulu telah membentuk karakter
bangsa Jepang dan menjadikan mereka orang-orang yang kuat, pantang
menyerah, menghormati orang lain, dan mau bekerja keras. Seperti prinsip
Samurai Jepang yaitu, Bushido dan Makoto, prinsip dan karakter inilah yang
membuat bangsa Jepang dapat maju dan terus berkreasi.