Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

16
A. SARS Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi salura napas yang disebabkan oleh virus corona dengan gejala klinis yang berat, menyebar dengan cepat (Sudoyo, 2009). a. Agen penyebab Penyebab penyakit SARS adalah virus yang tergolong kedalam Genus Coronavirus (CoV) yang biasanya bersifat tidak stabil bila berada pada lingkungan. Namun virus ini mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila masih berada didalam feses. Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai tunggal. Berdasarka studi genetic dan antigenesitas, CoV terbagi kedalam 3 kelompok besar, yaitu: (1). Human CoV 229E dan porcine transmissible gastroenteritis virus, (2). Human CoV OC34, bovine coronavirus, mice hepatis virus, dan (3). Virus bronchitis infeksiosa. CoV SARS memiliki reaktivitas silang dengan anti serum yang diproduksi oleh CoV 229E (Sudoyo, 2009). b. Patogenesis SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas atas bagian bawah, dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun bronkus. Patogenesis SARS terdiri dari 2 fase (Sudoyo, 2009).

description

gejala klinis sars

Transcript of Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

Page 1: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

A. SARS

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi salura

napas yang disebabkan oleh virus corona dengan gejala klinis yang berat, menyebar

dengan cepat (Sudoyo, 2009).

a. Agen penyebab

Penyebab penyakit SARS adalah virus yang tergolong kedalam Genus

Coronavirus (CoV) yang biasanya bersifat tidak stabil bila berada pada

lingkungan. Namun virus ini mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik

bila masih berada didalam feses. Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales,

yaitu golongan virus yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai

tunggal. Berdasarka studi genetic dan antigenesitas, CoV terbagi kedalam 3

kelompok besar, yaitu: (1). Human CoV 229E dan porcine transmissible

gastroenteritis virus, (2). Human CoV OC34, bovine coronavirus, mice hepatis

virus, dan (3). Virus bronchitis infeksiosa. CoV SARS memiliki reaktivitas silang

dengan anti serum yang diproduksi oleh CoV 229E (Sudoyo, 2009).

b. Patogenesis

SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas atas bagian

bawah, dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah,

sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun

bronkus. Patogenesis SARS terdiri dari 2 fase (Sudoyo, 2009).

Fase awal terjadi selama 10 hari pertamapenyakit, pada fase ini terjadi proses

akut yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini

dicirikan dengan adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan

pembentukan membrane hialin.membran hialin terbentuk dari endapan protein

plasma saerta debris nukeus dan sitoplasma sel-sel epitel paru yang rusak. Dengan

adanya nekrosis sel-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan

udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah kepiler

paru menjadi bebas untuk masuk kedalam ruang alveolus (Sudoyo, 2009).

Fase selanjutnya dimulai tepat setelah 10 hari perjalanan penyakit dan

ditandai dengan perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD yang terorganisir.

Pada periode ini, terdapat metaplasia sel epitel skuamousa brokhial, bertambhnya

ragam sel dan fibrosis pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak

dominasi pneumosit tipe 2 dengan pembesaran nucleus, serta nucleoli yang

Page 2: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

eosinofilik. Selanjutnya, seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nucleus

di dalam rongga alveoli (Sudoyo, 2009).

c. Gejala klinis

Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari

dengan rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala

infeksi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, myalgia, menggigilm dan rasa

kaku-kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan

suhu tubuh >380C termasuk dalam definisi kasus awal (initial case definition).

Gejala ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hamper seluruh pasien

SARS. Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan gejala

demam. Misalnya pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin menjadi gejala yang

tidak menonjol (Sudoyo, 2009).

Demam yang naik turun seringkali berhubungan dengan rasa menggigil dan

kaku-kaku di seluruh tubuh, selain itu pasien juga sering merasa sangat lelah

disertai dengan nyeri otot yang dirasakan di sekujur tubuh. Pada beberapa kasus,

demam menghilang dengan sendirinya pada hari ke-4 hingga hari ke-7, tetapi ini

tidak mengindikasikan adanya perbaikan dari gejala-gejala penyakit yang sering

muncul pada minggu ke-2 (Sudoyo, 2009).

Gejala penyakit yang tidak spesifik lainnya seperti pusingm nyeri kepala dan

malaise juga umum ditemukan pada pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang

sangat berat telah dilaporkan pada pasien-pasien yang berusia muda., diantaranya

bahkan mengalami pingsan saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini

mungkin berkaitan dengan munculnya hipotensi dengan paisen-pasien tersebut.

Banyak pasien mengalami batuk-batuk kering saat fase awal penyakit.nyeri

tenggorok dan sekresi lender hidung berlebih (coryza) jarang ditemukan. Pada fase

ini, suara napas akan terdengar saat auskultasi. Tergantung dari waktu kedatangan,

80% pasien SARS menunjukan radiologis foto dada yang normal pada saat

kunujungan pertama. Namun hal ini tentunya tidak dapat digunakan untuk

mengeksklusi diagnosis SARS dan foto radiologis ulangan perlu dilakukan

(Sudoyo, 2009).

Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah manifestasi klinis yang

utama dari SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat 60-85% kasus dan

Page 3: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

biasanya pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering didapatkan

ronki di basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir minggu pertama

dan awaal minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami perburukan.

Pasien akan mengalami sesak napas yang semakin lama semakin berat, dan pada

akhirnya dapat membatasi kemampuan fisik mereka. Saturasi oksigen darah

didapatkan berkurang seiring dengan perjalanan penyakit (Sudoyo, 2009).

Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan unilateral

pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi multifocal dan

semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat mengenai seluruh

lapang paru, nemun terdapat kecenderungan predileksi di daerah lobus bawah.

Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrate paru yang berpindah dari satu

lokasi ke lokasi yang lain dalam satu atau dua hari. Perubahan gambaran radiologis

tersebut, sehubungan dengan penurunan viral load, dapat digunakan sebagai

dugaan kerusakan paru yang lebih cenderung disebabkan oleh imunitas tubuh

dibandingkan efek sitolisis virus secara langsung. Gambaran CT scan toraks

menunjukkan gambaran bronchiolitis obliterans organizing pneumonia (BOOP),

yakni suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imunitas dan bersifat responsive

tarhadap terapi kortikosteroid (Sudoyo, 2009).

Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk kea rah gagal napas

berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan

perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen dengan

aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen tubuh.

Pasien-pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanis memiliki angka

mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak

menggunakan (Sudoyo, 2009).

Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan keluaran klinis yang

buruk adalah usia lanjutm riwayat penyakit kardio-polmuner, infiltrate paru

bilateral, jumlah neutrofil yang tinggi, peningktakan kreatinin kinase serum (CPK)

dan peningkatan laktat dehidrogenase. Pada saat terjadinya outbreak SARS,

kebanyakan pasien SARS meninggal di tempat perawatan ICU. Penyebabkematian

tersebut adalah ARDS yang berat, kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder

dan septicemia, serta komplikasi tromboembolik (Sudoyo, 2009).

Page 4: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasam, diare adalah gejala

yang penting dan paling sering dikeluhkan, sebanyak 20% dari pasien-pasien

SARS mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan

gejala ini selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah

cair dengan volume yang banyak tanpa disertai lender maupun darah. Pada kasus

yang berat banyaknya cairan yang jeluar mengakibatkan ketidakseimbangan

elektrolit dan deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada beberapa kasus yang tidak

disertai pneumonia, diare dan demam adalah salah satu gejala yang tampak,

Sementara pada kasus-kasus lain, diare mulai terjadi pada minggu kedua sakit,

bersamaan dengan gejala demam yang rekurens dan perburukan di paru. Namun

demikian, diare pada SARS pada umumnya swasirna (self limiting) sehingga belum

pernah ditemukan kasus SARS yang meninggal karena diare (Sudoyo, 2009).

Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah

pasien SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis penyakit,

limfopenia (<1000/mm3) ditemukan pada hamper semua pasien SARS, dan pada

kebanyakan kasus yang paling sering mencapai kadar terendah pada minggu kedua

sakit. Manifestasi limfopenia ini menjadi sangat penting, bahkan tanpa disertai

limfopenia yang progresif, maka diagnosis SARS dipertanyakan. Peningkatan

kadar limfosit umunya terjadi pada minggu ketiga dan hal ini dapat mencerminkan

perbaikan keadaan klinis pasien. Namun demikian, 30% pasien SARS tetap

mengalami keadaan limfopenik sampai dengan minggu kelima sakit (Sudoyo,

2009).

Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering

ditemukan pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan dengan

terapi kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa pasien

lainnya, neutrofilia sudah didapatkan pada kedatangan pertama. Tatalaksana sepsis

harus dipertimbangkan. Kerusakan jaringan paru yang luas juga diduga sebagai

penyebab lain neutrofilia. Pasien-pasien yang dating dengan keadaan neutrofilia

memiliki keluaran klinis yang lebih buruk (Sudoyo, 2009).

Trombositopenia didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak

seperti demam berdarah, diathesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar

trombosit sangat jarang terjadi. Kadar trombositnakan meningkat pada fase

pemulihan. Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau

efek langsung virus pada megakariosit. Kadang-kadang trombositopenia muncul

Page 5: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

akibat dari DIC. Dari tampilan klinis, petekie dan ekimosus dapat ditemukan.

Meskipun manifestasi perdarah jarang terjadi, sebalinya thrombosis vena ternyata

lebih sering ditemukan. Kelainan ini bermanifestasi sebagai thrombosis vena dalam

pada tungkai, yang semakin diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan

ditemukannya tromboemboli (Sudoyo, 2009).

Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari paisen SARS mengalami pengingkatan

SGPT pada kedatangan pertama dan 70% mengalami peningkatan tersebut pada

perjalanan penyakit. pada kebanyakan pasien, peningkatan SGPT mulai terjadi

hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai puncak pada akhir minggu

kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk menduga kemungkinan

keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit yang lebih berat. Mayoritas

pasien mengalami peningkatan SGPT secara bertahap dan kembali secara spontan

ke kadar yang normal seiring pemulihan dari penyakit. penyebab dari peningkatan

kadar SGPT ini tidak diketahui pasti. Namun nampaknya, peningkatan enzim hati

ini merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh manusia dan bukan

diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis) (Sudoyo, 2009).

Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem

kardiovaskular jarang ditemukan. Dari kasus yang didapatkan di Hong Kong,

kurang dari 50% pasien SARS mengalami hipotensi selama masa perawatan di

rumah sakit. Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada

banyak pasien. Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS.

Menifestasi kardiovaskular yang terjadi umumnya tidak memerlukan pengobatan

dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien SARS yang mengalami

peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini ternyata tidak berhubungan

dengan jantung (Sudoyo, 2009).

Manifestasi neurologic. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan

pada pasien SARS. Kasus epilepsy dan disorientasi yang ditemukan pada SARS

pernah dilaporkan, defidit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari

CT-scan dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormalitas struktur. Pada

pungsi lumbal dan analisa CSS juga tidak didapatkan kelainan. Sehingga, sangat

sulit untuk menentukan bila menifestasi pada sistem saraf memang berhubungan

langsung dengan CoV SARS atau oleh karena terapi yang diberikan (Sudoyo,

2009).

d. Pengobatan

Page 6: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

a) Suportif : Vitamin C dan B kompleks

b) Simtomatik : Aanalgesik, Antitusif, Mukolitik

c) Profilaksis : Antibiotik terapeutik dan profilaksis sesuai indikasi

Penggunaan antivirus seperti ribavirin sangat membantu. Akan tetapi

mengingat persediaan dan harganya mahal, obat ini belum bisa direkomendasikan

secara luas (Widoyono, 2011).

Tidak semua pasien penderita SARS harus dirawat di rumah sakit. Kasus

suspek tanpa riwayat kontak dan kasus dengan gejala klinis yang ringan cukup

dirawat di rumah (home isolation) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penderita harus tetap di rumah dan tetap memakai masker 14 hari setelah

dua hari bebas panas

b. Pengukuran suhu tubuh perlu dilakukan 2kali per hari dan apabila suhunya

melebihi 380C, penderira harus segera dibawa ke rumah sakit

c. Peralatan makan dan minum penderita harus dipisahkan

d. Penderita minum obat sesuai aturan yang sudah ditetapkan

e. Anggota keluarga yang merawat penderita harus rajun cuci tangan setiap

sebelum dan sesudah makan dan terus memakai masker

f. Apabila terdapat anggota keluarga yang demam pada saar penderita masih

sakit sampai 14 hari setelah penderita dinyatakan sembuh, amggota keluarga

tersebut perlu dirujuk ke rumah sakit (Widoyono, 2011).

Indikasi rawat kasus SARS adalah semua kasus probable dan kasus suspek

dengan riwayat kontaj erat positif serta dengan kasus suspek dengan gejala klinis

yang berat:

1) Sesak napas

2) Nadi cepat (>100kali/menit)

3) Terdapat gangguan kesadaran

4) Keadaan umum (KU) lemah

5) Menurut pertimbangan dokter yang memerisa (Widoyono, 2011).

e. Pencegahan

Center For Disease Control (CDC) menyatakan bahwa tindakan mencuci

tangan sehabis kontakdengan pasien SARS, menggunakan masker yang sesuai,

serta memakai jubah dan sarung tangn dapat melindungi tenaga medis dari terpapar

droplet pasien SARS (Sudoyo, 2009).

Page 7: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

Selain pengendalian infeksi di rumah sakit, komunitas memegang peranan

yang tidak kalah pentingnya didalam pengendalian infeksi, meskipun dikatakan

bahwa SARS adalah penyakit yang terutama terjadi secara nosokomial. Seperti

yang kita ketahui, ketika terjadi outbreak SARS, kunci keberhasilan didalam

pengendalian infeksi komunitas adalah partisipasi aktif dari masyarakat secara

langsung. Eduksi yang baik mengenai SARS dapat menjadi bekal pengetahuan

bagi masyarakat, agar mereka memiliki pemahaman yang baik dan diharapakan

mampu melakukan tindakan yang tepat. Penyebaran informasi serta ketersediaan

logistic untuk pencegahan infeksi, dan alur rujukan kasus yang jelas akan semakin

mendukung masyarakat unruk memperoleh tatalaksana yang sesuai (Sudoyo,

2009).

B. PES

Pes adalah penyakit infeksi akut pada manusia, hewan pengerat, dan

ektoparasitnya yang di sebabkan oleh basilus Gram negatif Yersinia Pestis.

Penyakit ini bersifat menetap karena pertahanannya yang kuat pada pinjal

ekosistem hewan pengerat baik yang liar maupun domestik di seluruh dunia.

( Palmer, 2014 )

a. Etiologi

Pes adalah infeksi yang disebabkan bakteri Yersinia pestis (Y. pestis)

merupakan anggota famili Enterobactericeae merupakan basilus yang

pleomorfik, dan ditularkan oleh kutu tikus (flea), Xenopsylla cheopis. Yesinia

pestis penyebab pes berbentuk batang pendek, gemuk dengan ujung membulat

dengan badan mencembung, berukuran 1,5 µ × 5,7 µ dan bersifat Gram positif.

Pada pewarnaan tampak bipolar, mirip peniti tertutup. Kuman tidak bergerak,

tidak membentuk dari spora dan diselubungi lendir. Selain jenis kutu tersebut,

penyakit ini juga ditularkan oleh kutu jenis lain. (Palmer, 2014)

b. Patogenesis

Setelah Y. Pestis terinokulasi ke dalam kulit oleh gigitan pnjal, bakteri migrasi

ke kelenjar limfe lokal, tempat bakteri dimakan tetapi tidak terbunuh oleh sel

mononuklear. Multiplikasi intraseluler mengakibatkan perkembangan selubung

kapsula yang mengandung selubung antigen (fraksi Protein I); toksin dibentuk.

Respon inflamasi akut dibangkitkan dalam kelenjar limfe terjadi dalam waktu 2

Page 8: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

sampai 6 hari, mengakibatkan timbulnya bubo. Pada tahap ini, organisme

relatif resisten terhadap fagositosis oleh leukosit polimorfonuklearsebab bakteri

di lindungi oleh peningkatan pembentukan selubung antigen dan kurangnya

antibodi opsonik spesifik. Yang khas, berikutnya terjadi nekrosis perdarahan

kelenjar limfe dengan lisis makrofag, dengan demikian sejumlah besar bakteri

dapat masuk ke dalam aliran darah dan organ lain. Penyebaran sepanjang

limfatik melibatkan kelenjar superfisial di tempat inokulasi, limfa, dan kelenjar

di abdomen, mediastinum dan daerah perihilus. Infeksi paru terjadi sekunder

pada 10 sampai 20 persen pasien, umumnya progresif cepat, pneumonia

multilober, sering di sertai eksudat pleura. Reaksi inflamasi akut dini diikuti

oleh konsolidasi lobus dan nekrosis perdarahan dan jika kematian tidak

menyertai, dapat berkembang menjadi pembentukan abses. Trombus fibrin

dapat tersebar luas dalam pembuluh darah paru juga dalam glomerulus dan

pembuluh darah kulit dan organ lain. Selanjutnya, sindroma gawat pernapasan

pada orang dewasa atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat terjadi.

Perikardium dengan sedikit eksudat seropurulen sering terjadi dan meningitis

dapat terjadi pada akhir penyakit pes bubonik yang tidak diobati atau yang

diobati tidak tuntas. Pada 5 sampai 15 persen pasien terutama di kulit bagian

ekstremitas terdapat lesi purpura yang di sebabkan oleh trombositopenia dan

vasukulitis. Pada tahap akhir penyakit, bubo dapat menjadi fluktuasi dan

kadang-kadang terjadi superinfeksi oleh bakteri lain. Endotoksemia dapat

menyebabkan syok septik dan koagulasi intravaskuler diseminata (KID)

(Palmer, 2014).

c. Gejala Klinis

Gejala yang paling terkenal dari penyakit pes adalah menyakitkan, kelenjar

getah bening, yang disebut buboes Ini biasanya ditemukan di pangkal paha,

ketiak atau leher. Karena gigitan berbasis bentuk infeksi, wabah pes sering

merupakan langkah pertama dari serangkaian penyakit progresif. Gejala

penyakit pes muncul tiba-tiba, biasanya 2-5 hari setelah terpapar bakteri.

Gejala meliputi: 1. Panas dingin 2. Umum sakit perasaan (malaise) 3. Demam

tinggi (39 ° Celcius, 102 ° Fahrenheit) 4. Kram Otot 5. Kejang 6. Mulus,

bening pembengkakan kelenjar menyakitkan disebut bubo, umumnya

ditemukan di selangkangan, tapi mungkin terjadi di ketiak atau leher, paling

sering di lokasi infeksi awal (gigitan atau awal) 7. Nyeri dapat terjadi di daerah

Page 9: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

tersebut sebelum muncul bengkak 8. Warna kulit berubah menjadi warna

merah muda dalam beberapa kasus yang ekstrim 9. Pendarahan

dari  koklea   akan dimulai setelah 12 jam dari infeksi. Gejala lain termasuk

napas berat, muntah darah terus menerus, buang air kecil darah, anggota badan

sakit, batuk, dan nyeri eksterm. Rasa sakit ini biasanya disebabkan oleh

pembusukan atau decomposure kulit sementara orang itu masih hidup. Gejala

tambahan termasuk kelelahan ekstrim, masalah gastrointestinal, lenticulae

(titik-titik hitam yang tersebar di seluruh tubuh), delirium dan koma.

Dua jenis Y.pestis   plague pneumonia dan septicemia. Namun,wabah

pneumonia, tidak seperti, pes atau septicemia menyebabkan batuk dan sangat

menular, yang memungkinkan untuk itu menyebar orang-ke-orang. Wabah

septicemia terjadi ketika wabah bakteri kalikan dalam aliran darah Anda.

Tanda dan gejala termasuk: 1. Demam dan menggigil 2. Nyeri perut, diare dan

muntah 3. Perdarahan dari, hidung mulut atau rektum, atau di bawah kulit

Anda 4. Syok 5. Menghitam dan kematian jaringan (gangren) di kaki, paling

sering jari,  jari kaki dan hidung.

Wabah pneumonia mempengaruhi paru-paru. Ini adalah paling umum

dari  berbagai wabah tetapi yang paling berbahaya, karena dapat menyebar

dari orang ke orang melalui droplet batuk. Tanda dan gejala dapat dimulai

dalam beberapa jam setelah infeksi, dan mungkin mencakup: 1. Batuk, dahak

berdarah 2. Kesulitan bernapas 3. Demam tinggi 4. Mual dan muntah 5.

Kelemahan Wabah pneumonia berlangsung dengan cepat dan dapat

menyebabkan kegagalan pernafasan dan shock dalam waktu dua hari infeksi.

Jika pengobatan antibiotik tidak dimulai dalam waktu satu hari setelah tanda-

tanda dan gejala pertama muncul, infeksi mungkin menjadi fatal.

d. Temuan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan

I. Leukositosis dengan dominasi neutrofil diteliti, dan tingkat leukositosis

sebanding dengan tingkat keparahan dari sakit.

II. hapusan darah perifer menunjukkan granulasi beracun.

III. Trombositopenia adalah umum, dan tingkat produk degradasi fibrin

mungkin meningkat.

IV. Transaminase serum dan kadar bilirubin dapat meningkat.

Page 10: Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

V. Proteinuria mungkin ada, dan temuan tes fungsi ginjal mungkin

abnormal.

VI. Hipoglikemia dapat diamati.

VII. Yersinia pestis dapat diamati pada hapusan darah perifer. Pewarnaan

Gram menunjukkan Gram-negatif

Sudoyo. W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid II1. Jakarta: Interna

Publishing.

Palmer. D R. 2014. Pes dan Infeksi Yersinia Lainnya Dalam Buku Harrison Prinsip-prinsip

Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13 Volume 2. Jakarta; EGC