Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
-
Upload
dyah-rahmawati -
Category
Documents
-
view
11 -
download
3
description
Transcript of Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
A. SARS
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi salura
napas yang disebabkan oleh virus corona dengan gejala klinis yang berat, menyebar
dengan cepat (Sudoyo, 2009).
a. Agen penyebab
Penyebab penyakit SARS adalah virus yang tergolong kedalam Genus
Coronavirus (CoV) yang biasanya bersifat tidak stabil bila berada pada
lingkungan. Namun virus ini mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik
bila masih berada didalam feses. Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales,
yaitu golongan virus yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai
tunggal. Berdasarka studi genetic dan antigenesitas, CoV terbagi kedalam 3
kelompok besar, yaitu: (1). Human CoV 229E dan porcine transmissible
gastroenteritis virus, (2). Human CoV OC34, bovine coronavirus, mice hepatis
virus, dan (3). Virus bronchitis infeksiosa. CoV SARS memiliki reaktivitas silang
dengan anti serum yang diproduksi oleh CoV 229E (Sudoyo, 2009).
b. Patogenesis
SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas atas bagian
bawah, dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah,
sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun
bronkus. Patogenesis SARS terdiri dari 2 fase (Sudoyo, 2009).
Fase awal terjadi selama 10 hari pertamapenyakit, pada fase ini terjadi proses
akut yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini
dicirikan dengan adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan
pembentukan membrane hialin.membran hialin terbentuk dari endapan protein
plasma saerta debris nukeus dan sitoplasma sel-sel epitel paru yang rusak. Dengan
adanya nekrosis sel-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan
udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah kepiler
paru menjadi bebas untuk masuk kedalam ruang alveolus (Sudoyo, 2009).
Fase selanjutnya dimulai tepat setelah 10 hari perjalanan penyakit dan
ditandai dengan perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD yang terorganisir.
Pada periode ini, terdapat metaplasia sel epitel skuamousa brokhial, bertambhnya
ragam sel dan fibrosis pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak
dominasi pneumosit tipe 2 dengan pembesaran nucleus, serta nucleoli yang
eosinofilik. Selanjutnya, seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nucleus
di dalam rongga alveoli (Sudoyo, 2009).
c. Gejala klinis
Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari
dengan rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala
infeksi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, myalgia, menggigilm dan rasa
kaku-kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan
suhu tubuh >380C termasuk dalam definisi kasus awal (initial case definition).
Gejala ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hamper seluruh pasien
SARS. Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan gejala
demam. Misalnya pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin menjadi gejala yang
tidak menonjol (Sudoyo, 2009).
Demam yang naik turun seringkali berhubungan dengan rasa menggigil dan
kaku-kaku di seluruh tubuh, selain itu pasien juga sering merasa sangat lelah
disertai dengan nyeri otot yang dirasakan di sekujur tubuh. Pada beberapa kasus,
demam menghilang dengan sendirinya pada hari ke-4 hingga hari ke-7, tetapi ini
tidak mengindikasikan adanya perbaikan dari gejala-gejala penyakit yang sering
muncul pada minggu ke-2 (Sudoyo, 2009).
Gejala penyakit yang tidak spesifik lainnya seperti pusingm nyeri kepala dan
malaise juga umum ditemukan pada pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang
sangat berat telah dilaporkan pada pasien-pasien yang berusia muda., diantaranya
bahkan mengalami pingsan saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini
mungkin berkaitan dengan munculnya hipotensi dengan paisen-pasien tersebut.
Banyak pasien mengalami batuk-batuk kering saat fase awal penyakit.nyeri
tenggorok dan sekresi lender hidung berlebih (coryza) jarang ditemukan. Pada fase
ini, suara napas akan terdengar saat auskultasi. Tergantung dari waktu kedatangan,
80% pasien SARS menunjukan radiologis foto dada yang normal pada saat
kunujungan pertama. Namun hal ini tentunya tidak dapat digunakan untuk
mengeksklusi diagnosis SARS dan foto radiologis ulangan perlu dilakukan
(Sudoyo, 2009).
Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah manifestasi klinis yang
utama dari SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat 60-85% kasus dan
biasanya pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering didapatkan
ronki di basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir minggu pertama
dan awaal minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami perburukan.
Pasien akan mengalami sesak napas yang semakin lama semakin berat, dan pada
akhirnya dapat membatasi kemampuan fisik mereka. Saturasi oksigen darah
didapatkan berkurang seiring dengan perjalanan penyakit (Sudoyo, 2009).
Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan unilateral
pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi multifocal dan
semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat mengenai seluruh
lapang paru, nemun terdapat kecenderungan predileksi di daerah lobus bawah.
Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrate paru yang berpindah dari satu
lokasi ke lokasi yang lain dalam satu atau dua hari. Perubahan gambaran radiologis
tersebut, sehubungan dengan penurunan viral load, dapat digunakan sebagai
dugaan kerusakan paru yang lebih cenderung disebabkan oleh imunitas tubuh
dibandingkan efek sitolisis virus secara langsung. Gambaran CT scan toraks
menunjukkan gambaran bronchiolitis obliterans organizing pneumonia (BOOP),
yakni suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imunitas dan bersifat responsive
tarhadap terapi kortikosteroid (Sudoyo, 2009).
Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk kea rah gagal napas
berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan
perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen dengan
aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen tubuh.
Pasien-pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanis memiliki angka
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak
menggunakan (Sudoyo, 2009).
Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan keluaran klinis yang
buruk adalah usia lanjutm riwayat penyakit kardio-polmuner, infiltrate paru
bilateral, jumlah neutrofil yang tinggi, peningktakan kreatinin kinase serum (CPK)
dan peningkatan laktat dehidrogenase. Pada saat terjadinya outbreak SARS,
kebanyakan pasien SARS meninggal di tempat perawatan ICU. Penyebabkematian
tersebut adalah ARDS yang berat, kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder
dan septicemia, serta komplikasi tromboembolik (Sudoyo, 2009).
Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasam, diare adalah gejala
yang penting dan paling sering dikeluhkan, sebanyak 20% dari pasien-pasien
SARS mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan
gejala ini selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah
cair dengan volume yang banyak tanpa disertai lender maupun darah. Pada kasus
yang berat banyaknya cairan yang jeluar mengakibatkan ketidakseimbangan
elektrolit dan deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada beberapa kasus yang tidak
disertai pneumonia, diare dan demam adalah salah satu gejala yang tampak,
Sementara pada kasus-kasus lain, diare mulai terjadi pada minggu kedua sakit,
bersamaan dengan gejala demam yang rekurens dan perburukan di paru. Namun
demikian, diare pada SARS pada umumnya swasirna (self limiting) sehingga belum
pernah ditemukan kasus SARS yang meninggal karena diare (Sudoyo, 2009).
Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah
pasien SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis penyakit,
limfopenia (<1000/mm3) ditemukan pada hamper semua pasien SARS, dan pada
kebanyakan kasus yang paling sering mencapai kadar terendah pada minggu kedua
sakit. Manifestasi limfopenia ini menjadi sangat penting, bahkan tanpa disertai
limfopenia yang progresif, maka diagnosis SARS dipertanyakan. Peningkatan
kadar limfosit umunya terjadi pada minggu ketiga dan hal ini dapat mencerminkan
perbaikan keadaan klinis pasien. Namun demikian, 30% pasien SARS tetap
mengalami keadaan limfopenik sampai dengan minggu kelima sakit (Sudoyo,
2009).
Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering
ditemukan pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan dengan
terapi kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa pasien
lainnya, neutrofilia sudah didapatkan pada kedatangan pertama. Tatalaksana sepsis
harus dipertimbangkan. Kerusakan jaringan paru yang luas juga diduga sebagai
penyebab lain neutrofilia. Pasien-pasien yang dating dengan keadaan neutrofilia
memiliki keluaran klinis yang lebih buruk (Sudoyo, 2009).
Trombositopenia didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak
seperti demam berdarah, diathesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar
trombosit sangat jarang terjadi. Kadar trombositnakan meningkat pada fase
pemulihan. Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau
efek langsung virus pada megakariosit. Kadang-kadang trombositopenia muncul
akibat dari DIC. Dari tampilan klinis, petekie dan ekimosus dapat ditemukan.
Meskipun manifestasi perdarah jarang terjadi, sebalinya thrombosis vena ternyata
lebih sering ditemukan. Kelainan ini bermanifestasi sebagai thrombosis vena dalam
pada tungkai, yang semakin diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan
ditemukannya tromboemboli (Sudoyo, 2009).
Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari paisen SARS mengalami pengingkatan
SGPT pada kedatangan pertama dan 70% mengalami peningkatan tersebut pada
perjalanan penyakit. pada kebanyakan pasien, peningkatan SGPT mulai terjadi
hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai puncak pada akhir minggu
kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit yang lebih berat. Mayoritas
pasien mengalami peningkatan SGPT secara bertahap dan kembali secara spontan
ke kadar yang normal seiring pemulihan dari penyakit. penyebab dari peningkatan
kadar SGPT ini tidak diketahui pasti. Namun nampaknya, peningkatan enzim hati
ini merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh manusia dan bukan
diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis) (Sudoyo, 2009).
Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem
kardiovaskular jarang ditemukan. Dari kasus yang didapatkan di Hong Kong,
kurang dari 50% pasien SARS mengalami hipotensi selama masa perawatan di
rumah sakit. Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada
banyak pasien. Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS.
Menifestasi kardiovaskular yang terjadi umumnya tidak memerlukan pengobatan
dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien SARS yang mengalami
peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini ternyata tidak berhubungan
dengan jantung (Sudoyo, 2009).
Manifestasi neurologic. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan
pada pasien SARS. Kasus epilepsy dan disorientasi yang ditemukan pada SARS
pernah dilaporkan, defidit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari
CT-scan dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormalitas struktur. Pada
pungsi lumbal dan analisa CSS juga tidak didapatkan kelainan. Sehingga, sangat
sulit untuk menentukan bila menifestasi pada sistem saraf memang berhubungan
langsung dengan CoV SARS atau oleh karena terapi yang diberikan (Sudoyo,
2009).
d. Pengobatan
a) Suportif : Vitamin C dan B kompleks
b) Simtomatik : Aanalgesik, Antitusif, Mukolitik
c) Profilaksis : Antibiotik terapeutik dan profilaksis sesuai indikasi
Penggunaan antivirus seperti ribavirin sangat membantu. Akan tetapi
mengingat persediaan dan harganya mahal, obat ini belum bisa direkomendasikan
secara luas (Widoyono, 2011).
Tidak semua pasien penderita SARS harus dirawat di rumah sakit. Kasus
suspek tanpa riwayat kontak dan kasus dengan gejala klinis yang ringan cukup
dirawat di rumah (home isolation) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penderita harus tetap di rumah dan tetap memakai masker 14 hari setelah
dua hari bebas panas
b. Pengukuran suhu tubuh perlu dilakukan 2kali per hari dan apabila suhunya
melebihi 380C, penderira harus segera dibawa ke rumah sakit
c. Peralatan makan dan minum penderita harus dipisahkan
d. Penderita minum obat sesuai aturan yang sudah ditetapkan
e. Anggota keluarga yang merawat penderita harus rajun cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah makan dan terus memakai masker
f. Apabila terdapat anggota keluarga yang demam pada saar penderita masih
sakit sampai 14 hari setelah penderita dinyatakan sembuh, amggota keluarga
tersebut perlu dirujuk ke rumah sakit (Widoyono, 2011).
Indikasi rawat kasus SARS adalah semua kasus probable dan kasus suspek
dengan riwayat kontaj erat positif serta dengan kasus suspek dengan gejala klinis
yang berat:
1) Sesak napas
2) Nadi cepat (>100kali/menit)
3) Terdapat gangguan kesadaran
4) Keadaan umum (KU) lemah
5) Menurut pertimbangan dokter yang memerisa (Widoyono, 2011).
e. Pencegahan
Center For Disease Control (CDC) menyatakan bahwa tindakan mencuci
tangan sehabis kontakdengan pasien SARS, menggunakan masker yang sesuai,
serta memakai jubah dan sarung tangn dapat melindungi tenaga medis dari terpapar
droplet pasien SARS (Sudoyo, 2009).
Selain pengendalian infeksi di rumah sakit, komunitas memegang peranan
yang tidak kalah pentingnya didalam pengendalian infeksi, meskipun dikatakan
bahwa SARS adalah penyakit yang terutama terjadi secara nosokomial. Seperti
yang kita ketahui, ketika terjadi outbreak SARS, kunci keberhasilan didalam
pengendalian infeksi komunitas adalah partisipasi aktif dari masyarakat secara
langsung. Eduksi yang baik mengenai SARS dapat menjadi bekal pengetahuan
bagi masyarakat, agar mereka memiliki pemahaman yang baik dan diharapakan
mampu melakukan tindakan yang tepat. Penyebaran informasi serta ketersediaan
logistic untuk pencegahan infeksi, dan alur rujukan kasus yang jelas akan semakin
mendukung masyarakat unruk memperoleh tatalaksana yang sesuai (Sudoyo,
2009).
B. PES
Pes adalah penyakit infeksi akut pada manusia, hewan pengerat, dan
ektoparasitnya yang di sebabkan oleh basilus Gram negatif Yersinia Pestis.
Penyakit ini bersifat menetap karena pertahanannya yang kuat pada pinjal
ekosistem hewan pengerat baik yang liar maupun domestik di seluruh dunia.
( Palmer, 2014 )
a. Etiologi
Pes adalah infeksi yang disebabkan bakteri Yersinia pestis (Y. pestis)
merupakan anggota famili Enterobactericeae merupakan basilus yang
pleomorfik, dan ditularkan oleh kutu tikus (flea), Xenopsylla cheopis. Yesinia
pestis penyebab pes berbentuk batang pendek, gemuk dengan ujung membulat
dengan badan mencembung, berukuran 1,5 µ × 5,7 µ dan bersifat Gram positif.
Pada pewarnaan tampak bipolar, mirip peniti tertutup. Kuman tidak bergerak,
tidak membentuk dari spora dan diselubungi lendir. Selain jenis kutu tersebut,
penyakit ini juga ditularkan oleh kutu jenis lain. (Palmer, 2014)
b. Patogenesis
Setelah Y. Pestis terinokulasi ke dalam kulit oleh gigitan pnjal, bakteri migrasi
ke kelenjar limfe lokal, tempat bakteri dimakan tetapi tidak terbunuh oleh sel
mononuklear. Multiplikasi intraseluler mengakibatkan perkembangan selubung
kapsula yang mengandung selubung antigen (fraksi Protein I); toksin dibentuk.
Respon inflamasi akut dibangkitkan dalam kelenjar limfe terjadi dalam waktu 2
sampai 6 hari, mengakibatkan timbulnya bubo. Pada tahap ini, organisme
relatif resisten terhadap fagositosis oleh leukosit polimorfonuklearsebab bakteri
di lindungi oleh peningkatan pembentukan selubung antigen dan kurangnya
antibodi opsonik spesifik. Yang khas, berikutnya terjadi nekrosis perdarahan
kelenjar limfe dengan lisis makrofag, dengan demikian sejumlah besar bakteri
dapat masuk ke dalam aliran darah dan organ lain. Penyebaran sepanjang
limfatik melibatkan kelenjar superfisial di tempat inokulasi, limfa, dan kelenjar
di abdomen, mediastinum dan daerah perihilus. Infeksi paru terjadi sekunder
pada 10 sampai 20 persen pasien, umumnya progresif cepat, pneumonia
multilober, sering di sertai eksudat pleura. Reaksi inflamasi akut dini diikuti
oleh konsolidasi lobus dan nekrosis perdarahan dan jika kematian tidak
menyertai, dapat berkembang menjadi pembentukan abses. Trombus fibrin
dapat tersebar luas dalam pembuluh darah paru juga dalam glomerulus dan
pembuluh darah kulit dan organ lain. Selanjutnya, sindroma gawat pernapasan
pada orang dewasa atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat terjadi.
Perikardium dengan sedikit eksudat seropurulen sering terjadi dan meningitis
dapat terjadi pada akhir penyakit pes bubonik yang tidak diobati atau yang
diobati tidak tuntas. Pada 5 sampai 15 persen pasien terutama di kulit bagian
ekstremitas terdapat lesi purpura yang di sebabkan oleh trombositopenia dan
vasukulitis. Pada tahap akhir penyakit, bubo dapat menjadi fluktuasi dan
kadang-kadang terjadi superinfeksi oleh bakteri lain. Endotoksemia dapat
menyebabkan syok septik dan koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
(Palmer, 2014).
c. Gejala Klinis
Gejala yang paling terkenal dari penyakit pes adalah menyakitkan, kelenjar
getah bening, yang disebut buboes Ini biasanya ditemukan di pangkal paha,
ketiak atau leher. Karena gigitan berbasis bentuk infeksi, wabah pes sering
merupakan langkah pertama dari serangkaian penyakit progresif. Gejala
penyakit pes muncul tiba-tiba, biasanya 2-5 hari setelah terpapar bakteri.
Gejala meliputi: 1. Panas dingin 2. Umum sakit perasaan (malaise) 3. Demam
tinggi (39 ° Celcius, 102 ° Fahrenheit) 4. Kram Otot 5. Kejang 6. Mulus,
bening pembengkakan kelenjar menyakitkan disebut bubo, umumnya
ditemukan di selangkangan, tapi mungkin terjadi di ketiak atau leher, paling
sering di lokasi infeksi awal (gigitan atau awal) 7. Nyeri dapat terjadi di daerah
tersebut sebelum muncul bengkak 8. Warna kulit berubah menjadi warna
merah muda dalam beberapa kasus yang ekstrim 9. Pendarahan
dari koklea akan dimulai setelah 12 jam dari infeksi. Gejala lain termasuk
napas berat, muntah darah terus menerus, buang air kecil darah, anggota badan
sakit, batuk, dan nyeri eksterm. Rasa sakit ini biasanya disebabkan oleh
pembusukan atau decomposure kulit sementara orang itu masih hidup. Gejala
tambahan termasuk kelelahan ekstrim, masalah gastrointestinal, lenticulae
(titik-titik hitam yang tersebar di seluruh tubuh), delirium dan koma.
Dua jenis Y.pestis plague pneumonia dan septicemia. Namun,wabah
pneumonia, tidak seperti, pes atau septicemia menyebabkan batuk dan sangat
menular, yang memungkinkan untuk itu menyebar orang-ke-orang. Wabah
septicemia terjadi ketika wabah bakteri kalikan dalam aliran darah Anda.
Tanda dan gejala termasuk: 1. Demam dan menggigil 2. Nyeri perut, diare dan
muntah 3. Perdarahan dari, hidung mulut atau rektum, atau di bawah kulit
Anda 4. Syok 5. Menghitam dan kematian jaringan (gangren) di kaki, paling
sering jari, jari kaki dan hidung.
Wabah pneumonia mempengaruhi paru-paru. Ini adalah paling umum
dari berbagai wabah tetapi yang paling berbahaya, karena dapat menyebar
dari orang ke orang melalui droplet batuk. Tanda dan gejala dapat dimulai
dalam beberapa jam setelah infeksi, dan mungkin mencakup: 1. Batuk, dahak
berdarah 2. Kesulitan bernapas 3. Demam tinggi 4. Mual dan muntah 5.
Kelemahan Wabah pneumonia berlangsung dengan cepat dan dapat
menyebabkan kegagalan pernafasan dan shock dalam waktu dua hari infeksi.
Jika pengobatan antibiotik tidak dimulai dalam waktu satu hari setelah tanda-
tanda dan gejala pertama muncul, infeksi mungkin menjadi fatal.
d. Temuan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
I. Leukositosis dengan dominasi neutrofil diteliti, dan tingkat leukositosis
sebanding dengan tingkat keparahan dari sakit.
II. hapusan darah perifer menunjukkan granulasi beracun.
III. Trombositopenia adalah umum, dan tingkat produk degradasi fibrin
mungkin meningkat.
IV. Transaminase serum dan kadar bilirubin dapat meningkat.
V. Proteinuria mungkin ada, dan temuan tes fungsi ginjal mungkin
abnormal.
VI. Hipoglikemia dapat diamati.
VII. Yersinia pestis dapat diamati pada hapusan darah perifer. Pewarnaan
Gram menunjukkan Gram-negatif
Sudoyo. W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid II1. Jakarta: Interna
Publishing.
Palmer. D R. 2014. Pes dan Infeksi Yersinia Lainnya Dalam Buku Harrison Prinsip-prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13 Volume 2. Jakarta; EGC