Respiratory Distress

download Respiratory Distress

of 28

Transcript of Respiratory Distress

Respiratory Distress Syndrome4 Votes

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS) DIRUANG NICU RSUD GUNUNG JATI KOTA CIREBON Diajukan untuk menempuh tugas praktek Profesi Ners Stase Keperawatan Anak Program Studi S.1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Disusun Oleh: IIP ARIF BUDIMAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON PROGRAM STUDI PROFESI NERS S 1 KEPERAWATAN CIREBON 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang paling sering dan penting pada anak, terutama pada bayi, karena saluran pernafasannya masih sempit dan daya tahan tubuhnya masih rendah. Disamping faktor organ pernafasan , keadaan pernafasan bayi dan anak juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain, seperti suhu tubuh yang tinggi, terdapatnya sakit perut, atau lambung yang penuh. Penilaian keadaan pernafasan dapat dilaksanakan dengan mengamati gerakan dada dan atau perut. Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal. Bila anak sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal. Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir. Gangguan

pernapasan yang sering ditemukan pada bayi baru lahir (BBL) termasuk respiratory distress syndrome (RDS) atau idiopatic respiratory distress syndrome (IRDS) yang terdapat pada bayi premature. Sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) dalam bahasa inggris disebut respiratory disstess syndrome, merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispeu atau hiperpneu. Sindrom ini dapat trerjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru. Oleh karena itu, tindakannya disesuaikan sengan penyebab sindrom ini. Beberapa kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membram hialin (PMH), pneumonia, aspirasi, dan sindrom Wilson- Mikity (Ngastiyah, 1999). RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke 22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS dan kelainan ini merupakanpenyebab utama kematian bayi prematur. Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru. Plasma dan sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan merupakan manifestasi patologi yang umum. 1.2 TUJUAN PENULISAN Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah: 1. Untuk mengetahui pengertian RDS. 2. Untuk mengetahui penyebab RDS. 3. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbukhan oleh RDS pada Neonatus dan juga perjalanan penyakit tersebut. 4. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dan perawatan pada bayi dengan RDS. 5. Untuk memenuhi tugas praktek Program Profesi Ners Stase Keperawatan Anak. 1.3 MANFAAT PENULISAN Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa praktikan dalam penetalaksanaan RDS pada Neonatus. 2. Sebagai bahan masukan bagi lahan praktek untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya penatalaksanaan kegawatan nafas pada Neonatus. 3. Sebagai sumber reperensi untuk kemajuan perkembangan ilmu Keperawatan, khususnya Keperawatan anak. 1.4 METODE PENULISAN Metode Penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Studi literatur yaitu mengambil referensi dari berbagai sumber yang sesuai dengan topik penulisan berdasarkan kaidah ilmiah yang berlaku. 2. Studi kasus yaitu aplikasi materi yang didapat dan langsung dipraktekan terhadap kasus yang sesuai pada topik penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITS 1.1 DEFINISI Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark,1986). Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001). 2.2 PATOFISIOLOGI Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menyebabkan terjadinya : 1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic. 2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin. Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis. Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar. 2.2.1 Pathway 3.3 GAMBARAN KLINIS RDS mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan 15 %. Muntah (-) Bayi dapat minum dengan baik 7. Observasi intake dan output. 8. Observasi reflek menghisap dan menelan bayi. 9. Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum. 10. Pasang NGT bila diperlukan 11. Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi. 12. Timbang BB tiap hari. 13. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy. 14. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi

4. Kecemasan Ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan. Kriteria hasil : Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy. Orang tua tampak tenang. Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan. 1. Jelaskan tentang kondisi bayi. 2. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi. 3. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi. 4. Berikan support mental. 5. Berikan reinforcement atas pengertian orang tua. 5. Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogen. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama..Infeksi tali pusat tidak terjadi. Kriteria hasil : Suhu 36-37 C Tali pusat kering dan tidak berbau. Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat. 1. Lakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat. 2. Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya. 3. Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat. 4. Observasi adanya perdarahan pada tali pusat. 5. Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses. 6. Observasi suhu bayi. 6. Devisit volume cairan b.d metabolisme yang meningkat. Volume cairan terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan. Kriteria hasil : Suhu 36-37 C Nadi 120-140 x/mnt Turgor kulit baik. 1. Observasi suhu dan nadi. 2. Berikan cairan sesuai kebutuhan. 3. Observasi tetesan infus. 4. Observasi adanya tanda-tanda dehidrasi atau overhidrasi. 5. Kolaborasi pemberian therapy. BAB III TINJAUAN KASUS A. Identitas 1. Identitas Bayi Nama bayi : By. C Jenis Kedlamin : Laki-laki Tanggal Lahir : 09 November 2008 Berat Badan Lahir : 2400 gram APGAR : 4 6

2. Identitas Penanggung Jawab Nama Ibu : Ny.C Nama Ayah : Tn. D Umur ibu : 34 tahun Umur ayah : 39 tahun Jenis kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki- laki Agama : Islam Agama : Islam Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA Pekerjaan : IRT Pekerjaan : POLRI Alamat : Perumnas Gria Intan B. Keluhan Utama Klien sesak nafas disertai dengan sianosis pada ektrimitas pada saat lahir. C. Riwayat Penyakit Sekarang Bayi datang diantar keluarga pukul 13.45 WIB, ibu melahirkan di bidan Ny. Hj. I. Bayi lahir pada tanggal 09 November 2008 pukul 16.00 WIB, bayi sianosis,retraksi dinding dada berlebihan, nafas 78 x/ menit, disertai badan panas suhu tubuh 37.7 o C. D. Riwayat Persalinan Ibu klien melahirkan di bidan dengan partus normal, usia kehamilan 29 minngu dan ststus kehamilan G3 P3 Ao, ketuban jernih, ketuban pecah dini tidak terjadi. Lama persalinan 2 jam dari pembukaan I sampai keluarnya janin. E. Riwayat Perinatal (ANC) Jumlah kunjungan : 2 x Bidan/Dokter ; Bidan 1x dan dokter 1x HPHT ; Tidak diketahui, kehamilan baru diketahui pada saat kehamilan 16 minggu, karena pada saat kehamilan masih keluar darah sedikit tiap bulan sampai usia tiga bulan Kenaikan berat badan : 10 kg Obat-obatan : Obat penambah darah, imunisasi TT 1 x. Kehamilan direncanakan: Tidak direncanakan Status Kehamilan : G3 P3 Ao F. Pengkajian Fisik a. Refleks 1. Refleks moro Refleks moro adalah reflek memeluk pada saat bayi dikejutkan dengan tangan. Pada By. C reflek moro (+) ditandai dengan ketika dikejutkan oleh bunyi yang keras dan tiba tiba bayi beraksi dengan mengulurkan tangan dan tungkainya serta memanjangkan lehernya. 2. Refleks menggenggam Reflek menggenggam pada By. C (+) tapi lemah, ditandai dengan membelai telapak tangan, bayi menggenggam tangan gerakan tangan lemah. 3. Refleks menghisap Reflek menghisap (+) ditandai dengan meletakan tangan pada mulut bayi, bayi menghisap jari, hisapan lemah. 4. Refleks rooting Reflek rooting (-) ditandai dengan bayi tidak menoleh saat tangan ditempelkan di pipi bayi. 5. Refleks babynsky Reflek babynsky (+) ditandai dengan menggerakan ujung hammer pada bilateral telapak kaki. b. Tonus otot

Gerakan bayi sangat lemah tetapi pergerakan bayi aktif ditandai dengan bayi sering menggerekgerakan tangan dan kakinya. c. Keadaan umum dan TTV Keadaan umum : Lemah Kesadaran : Letargi Lingkar kepala : 33 Cm Lingkar dada : 30 Cm Panjang badan : 45 Cm Berat badan : 2400 Gram Suhu : 37,1 oC Respiratory : 78 x/menit Nadi : 154 x/menit d. Kepala Bentuk kepala Normochepal, lingkar kepala 33 cm, pertumbuhan rambut merata, tidak ada lesi, tidak ada benjolan, fontanel anterior masih lunak, sutura sagital datar dan teraba, gambaran wajah simetris terdapat larugo disekitar wajah dan badan. e. Mata Mata simetris, tidak ada pembengkakan pada kelopak mata, mata bersih tidak terdapat sekret, mata bisa mengedip, bulu mata tumbuh, reflek kornea (+) reflek terhadap sentuhan, reflek pupil (+) respon terhadap cahaya, replek kedip (+) f. Telinga Letak telinga kanan dan kiri simetris, lubang telinga bersih, tidak terdapat serumen, tidak ada lesi, bentuk telinga baik, lunak dan mudah membalik, ( Cartilago car ) baik, terdapat rambut larugo. g. Hidung Hidung bentuk simetris, terpasang O2 binasal 2 liter/menit, keadaan hidung bersih tidak terdapat peradangan atau pembengkakan hidung, pernafasan cuping hidung (PCH) (+). h. Mulut Bentuk bibir simetris, bibir terdapat bercak putih pada membran mukosa, Stomatitis (-), refleks hisap (+),reflek rooting (-). i. Dada dan Paru-paru Dada simetris ( Sama antara kiri dan kanan ), bentuk dada menonjol, PX terlihat jelas, bentuk dada burung ( pektus karinatum) pergerakan dada sama antara dada kiri dan kanan, retraksi dinding dada (+), retraksi dinding epigastrium (+), frekuensi nafas 78 x/menit, mamae bentuk datar, suara nafas rales (+) j. Jantung Nadi apikal 154 x/menit, bunyi jantung reguler BT1 + BT2, palapasi nadi brakhialis (+) lemah, radialis (+) lemah, femoralis lemah dan nadi karotis (+) k. Abdoment Bentuk abdomen dan cekung pada bagian px, bising usus dapat terdengar 4x/menit, tali pusay belum putus, keadaan kering, tidak terdapat kemerahan, tidak terdapat haluaran nanah, perut diraba lunak, lingkar perut 38 cm tidak ada pembengkakan hepar. l. Genitalia Lubang penis terdapat di gland penis, kedua testis dapat teraba pada scrorum.

m. Anus Anus paten, ditandai dengan bayi sudah BAB, mekonium sudah keluar berwarna hitam dan lembek n. Punggung Terdapat banyak rambut larugo, bentuk simetris, tidak terdapat ruam kemerahan atau rush. o. Ekstrimitas Ekstrimitas dapat bergerak bebas, ujung jari merah muda/tidak sianosis, CRT dalam waktu 2 detik, jumlah jari komplit, kaki sama panjang, lipatan paha kanan dan kiri simetris, pergerakan aktif p. Kulit Warna kulit merah seluruh tubuh, sianosis (-), tidak terdapat tanda lahir, Skin Rush (-), Ikterik (), turgor kulit jelek, kulit longgar disebabkan karena lemak subkutan berkurang, terdapat larugo. q. Eliminasi Eliminasi BAK 6-8 x/hari, BAB 2-4 x/hari r. Suhu Suhu tubuh 37,1 oC, Setting Inkubator 32 oC G. Hubungan Psikososial Orang tua dengan Bayi a. Budaya Keluarga klien memiliki budaya sunda, akan tetapi bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa indonesia. Ibu klien pada saat masa kehamilan dan setelah melahirkan tadak ada suatu pantanganan yang dilakukan ibu klien. b. Agama Agama yang dianut keluarga klien yaitu agama islam, ibu klien selalu melaksanakan shalat dan berdoa bagi kesembuhan anaknya. c. Psikologis Psikologis ibu klien sangat labil dikarenakan kondisi yang dialami anaknya saat ini, dia selalu menangis hal itu dapat terlihat pada saat ibu klien datang ke RS untuk menjenguk anakanya. H. Hubungan Orang tua dengan Bayi Tingkah laku Ibu Anak Menyentuh Memeluk Berbicara Berkunjung Memanggil nama Kontak mata -

I. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 11 November 2008 Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Hematologi WBC RBC HGB HCT PLT 20,4 . 5,91 106/mm3 16,6 L 49,5 L 337 103/mm3 Photo Thorax 11 November 2008 Gambaran : Cor : besar dan bentuk baik Pulmo : Infiltrat di perikardia bilateral dengan gambaran air Bronchogram Air diafraghma baik Hasil : HMD grade II J. Therapy Aminoppillin 2 x 0,2 cc/hari Ulcumet 2 x 0,15 cc/hari K. Analisa Data No Data Fokus Etiologi Masalah 1 Ds : Do : RR 78 x/menit Retraksi dinding dada (+) Retraksi dinding efigastrium (+) bayi tampak lemah Surfaktan menurun Fungsi paru menurun Atelaksasis Menurunnya ventilator Co2 meningkat Perfusi perifer jaringan Sulfaktan menurun Gangguan pola nafas

2 Ds : Do : Reflek hisap lemah Retensi lambung 0,5cc Bayi puasa. Bising usus 4x/mnt Bayi tampak lemah Reflek bayi lemah Bayi puasa Kebutuhan nutrisi dibatasi Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Gangguan kebutuhan nutrisi 3 Ds : Do : Turgor kulit jelek Pada bibir terdapat keputihan pd mukosa bibir Bayi sering BAK Bayi terpasang infus Reflek bayi lemah Bayi puasa Kebutuhan cairan dibatasi BAB dan Bak sering Kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan 4 Ds : Do : Suhu bayi 37,10 C Bayi didalam inkubator dengan suhu 320 C Bayi tidak menggunakan baju Lapisan lemak subkutan berkurang matabolisme menurun Bayi tidak bisa memproduksi panas tubuh sesuai kebutuhan Panas tubuh mudah hilang Resiko tinggi hipotermi Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi 5 Ds : ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang. Do :

Ibu tampak cemas Ibu menangis Anak sakit Hospitalisasi Kurangnya pengetahuan cemas Gangguan rasa aman cemas L. DIAGNOSA KEPERAWAT 1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan belum terbentuknya zat sulfaktan dalam tubuh 2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. 3. Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan seringnya BAB dan BAK 4. Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit. 5. Kecemasan ortu berhubungan dengan kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi M. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI NEONATUS DENGAN RDS Nama : By. C No Medrek : 561148 Umur : 10 Hari Diagnosa : RDS No Diagnosa Keperawatan Tujuan intervensi Rasional 1 2 3 4 5 Gangguan pola nafas berhubungan dengan belum terbentuknya zat sulfaktan dalam tubuh. Ditandai dengan : Ds : Do : RR 78 x/menit Retraksi dinding dada (+) Retraksi dinding efigastrium (+) bayi tampak lemah Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. Ditandai dengan : Ds : Do : Reflek hisap lemah Retensi lambung 0,5 cc

Bayi puasa. Bising usus 4x/mnt Bayi tampak lemah Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan seringnya BAB dan BAK. Ditandai dengan : Ds : Do : Turgor kulit jelek Pada bibir terdapat keputihan pd mukosa bibir Bayi sering BAK Bayi terpasang infus Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit. Ditandai dengan : Ds : Do : Suhu bayi 37,10 C Bayi didalam inkubator dengan suhu 320 C Bayi tidak menggunakan baju Kecemasan ortu berhubungan dengan kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi. Ditandai dengan : Ds : Ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang. Do : Ibu tampak cemas Ibu menangis Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pola nafas dapat teratasi Tupen : RR 60 x/menit Sesak (-) Sianosis (-) Retraksi dinding dada (-) Reaksi diafragma (-) Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi. Tupen : Reflek hisap (+) Retensi lambung (-) Bayi puasa. Bising usus 8x/mnt

Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan tidak terjadi. Tupen : Tupan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal. Tupen Suhu 37 oC Bayi tidak kedinginan Tupan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas keluarga klien berkurang Tupen Ibu tidak menangis Mimik verbal tidak cemas Observasi pola nafas Observasi TTV Monitor SPO2 Atur posisi semi ekstensi Tempatkan bayi pada tempat yang hangat Atur suhu dalam inkubator Berikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan Kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator Pertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10% Kaji kesiapan bayi untuk minum Retensi cairan lambung Berikan minum sesuai jadwal Timbang BB Kaji turgor kulit Pertahankan pemberian cairan IVFD Beri minum sesuai jadwal Pantau frekuensi BAB + BAK

Tempatkan bayi pada tempat yang hangat Atur suhu inkubator Pantau suhu tubuh setiap 2 jam Kaji tingkat kecemasan Berikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini Berikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan Anjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya Mengetahui frekuensi nafas Mengetahui keadaan umum bayi Mengetahui kadar O2 dalam darah Memudahkan paru-paru mengembang saat ekspansi Mempertahankan suhu tubuh Membantu memenuhi suplai O2 Membantu kemudahan dalam bernafas Obat Bronchodilator berfungsi untuk membuka broncus guna memudahkan dalam pertukaran udara Mempertahankan kebutuhan cairan dalam tubuh Mengetahui reflek hirup Mengetahui cairan lambung dan konsistensinya Memberikan cairan tambahan melalui oral Mengetahui status nutrisi Mengetahui tanda dehidrasi Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh Untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan Untuk mengetahui out put tubuh Mencegah terjadinya hipotermi Menjaga kestabilan suhu tubuh Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi Mengetahui koping individu Meningkatkan pengetahuan orang tua Membina hubungan saling percaya N. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN No DX Tgl / hari Implementasi keperawatan Respon hasil I Selasa 11 Nov 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Mengobservasi pola nafas

2. Mengobsevasi TTV 3. Memonitor SPO2 4. Mengatur posisi semi ekstensi 5. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat 6. Mengatur suhu dalam inkubator 7. Memberikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan 8. Melakukan kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator 1. R: klien menangis H: retraksi dinding dada berlebihan Respirasi : 78 x/menit 2. R : Klien Tampak lemah H : Suhu: 37. 1 o C Nadi: 154 x/menit Respirasi : 78x/menit 3. R : Klien menangis H : SpO2: 98% 4. R : klien tertidur H : Posisi kepala semi ektensi. 5. R : klien tampaklemah H : lien berada dalam inkubator 6. R : Suhu inkubator 35 0C H.: Suhu Bayi 37.1 0C 7. R : Klien menangis pada saat selang O2 dipasang H : O2 telah dipasang 1 liter/menit 8. R : Klien menangis kuat H : Obat bronkodilator telah diinjek melalui IV Aminopilin 2 x 0.2cc. II Selasa 11 November 2008 pukul 15.00 WIB 1. Mempertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10% 2. Mengkaji kesiapan bayi untuk minum 3. Meretensi cairan lambung tiap 2 jam 1. R : Klien tampak lemah H : Kebutuhan cairan 240 cc/hari atau 10tts/menit 2. R : Klien tampak lemah H : Reflek hisap lemah 3. R : Klien lemah

H : Cairan lambung 0,5 cc berwarna kuning terang III 1. Mengkaji turgor kulit 2. Mempertahankan pemberian cairan IVFD sesuai kebutuhan 3. Memantau frekuensi BAB + BAK 1. R : Klien tampak tertidur H : Turgor kulit jelek pada saat dicubit dinding perut kembali > 1 detik 2. R : Infus telah terpasang Dextros 10% H : Kebutuhan cariran 240 cc/hari atau 2tts/menit 3. R : Klien tampak lemah H : Klien BAB 2-4 x/hari sebanyak 4 cc dan BAK 6-8x/hari sebanyak 6 cc. IV 1. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat 2. Mengatur suhu inkubator 3. Memantau suhu tubuh setiap 2 jam 1. R : Klien tampak lemah H : Klien sudah berada pada inkubator 2. H : Suhu inkubatator 35 0C Suhu tubuh klien 37.1 0C. 3. R : Klien menangis H : Suhu : 37.1 0C V 1. Mengkaji tingkat kecemasan 2. Memberikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini 3. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan 4. Menganjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya 1. R : Orang tua klien mau menjawab pertayaan perawat H : Orang tua klien tampak cemias dan tingkat kecemasannya sedang 2. R : Keluarga bertanya mengenai keadaan bayinya H : Keluarga mengetahui

keadaan bayinya. 3. R : Keluarga mau mengungkapkan perasaannya H : Keluarga khawatir dengan keadaan bayinya saat ini dan berharap bayinya cepat dibawa pualng 4. H : Orang tua tampak mengunjungi bayinya tiap hari pada pagi dan sore hari. I Rabu 12 November 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Mengobservasi pola nafas 2. Mengobsevasi TTV 3. Memonitor SPO2 4. Memberikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan 5. Melakukan kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator 1. R : Klien bergerak aktif H : Retraksi rongga dada berkurang Frekuensi nafas 68x/menit 2. R : Klien menangis H : Suhu 36.6 0 C Nadi 140x/menit Respirasi : 68x/menit 3. R : Klien bergerak aktif H : SpO2 97 % 4. R : Klien menangis saat selang 02 dibetulkan H : O2 tetap terpasang 1 liter/ menit 5. R : Klien menangis saat obat diinjekan H : Aminofilin telah diinjekan sebanyak 0.2 cc per IV. II Rabu 12 November 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Mempertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10% 2. Mengkaji kesiapan bayi untuk minum 3. Melepas NGT 1. R : Klien tampak

bergerak aktif H : Cairan diberikan melalui Infus, kebutuhan cairan 264 cc/hari atau 11 tetes/ menit 2. R : Klien berespon saat jari ditempelkan pada mulut bayi H : Replek hisap ada tapi masih lemah. 3. R : Bayi menangis H : NGT telah dilepas III Rabu 12 November 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Mengkaji turgor kulit 2. Mempertahankan pemberian cairan IVFD sesuai kebutuhan 3. Memantau frekuensi BAB + BAK 1. R : Bayi bergerak aktif H : Turgor kulit jelek 2. H : Infusan tetap terpasang Dextros 10% 3. R : Klien menangis saat diganti popok H : Klien BAB dan BAK IV Rabu 12 November 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat 2. Mengatur suhu inkubator 3. Memantau suhu tubuh setiap 2 jam 1. H : Klien berada pada inkubator. 2. H : Suhu inkubator 34 0C, suhu tubuh klien 6.6 0C 3. H : Suhu tubuh klien 36.6 0C V Rabu 12 November 2008 Pukul 14.00 WIB 1. Mengkaji tingkat kecemasan 2. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan 3. Menganjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya 1. R : Keluarga tampak tenang H : Kecemasan keluarga berkurang

2. R : Kelarga tampak senang dengan perubahan status kesehantan bayinya H : Keluarga menyatakan senang dan ingin segera bayinya dibawa pulang O. EVALUASI No Diagnosa Evaluasi Kepeawatan 1 I Tanggal 13 November 2008/pukul 15.00 WIB S:O : Keadaan Bayi aktif, klien menangis kuat, retraksi dinding dada sedikit berkurang, nafas cepat 2 x / menit A : Gangguan pola nafas belum teratasi P : Intervensi dilanjutkan I: o Kaji pola nafas klien o Observasi TTV tiap 2 jam o Monitor SpO2 tiap 3 jam o Atur posisi bayi semiekstensi o Terapi O2 sesuai kebutuhan o Kolaborasi pembererian obat bronckodilator sesuai kebutuhan. 2 II Tanggal 13 November 2008/Pukul 15.30 S:O : Reflek hisap (+), Klien minum 5 cc/3jam, Minum menggunakan dot A : Gangguan kebutuhan nutrisi ; kurang dari kebutuhan teratasi sebagian P : Lanjutkan intervensi I: o Tingkatkan frekuensi minum o Pertahankan cairan infus 3 III Tanggal 13 November 2008/pukul 14.00 S: O : IVFD terpasang 11 tetes/menit A : Resiko tinggi kebutuhan cairan ; kurang dari kebutuhan cairan teratasi sebagian P : Lanjutkan intervensi o Pertahankan cairan infus 4 IV S : O : Suhu tubuh 37,1 oC, badan bayi hangat, suhu

inkubator 32 oC A : Resiko tinggi Gangguan termoregulasi Hypotermoregulasi teratasi P : Lanjutkan intervensi I: o Kaji suhu tubuh setiap hari o Atur suhu inkubator 5 V S : Ibu klien mengatakan senang melihat kondisi anakanya O : Ibu klien tersenyum, ibu tidak menangis A : Gangguan rasa aman cemas teratasi P : Tingkatkan pengetahuan keluarga BAB IV PEMBAHASAN Pada bab pembahasan ini penulis mencoba membahas kasus yang penulis laporkan. Dalam hal ini akan diuraikan pula keterkaitan antara landasan teori dengan asuhan keperawatan secara langsung pada By.C dengan diagnosa medis HMD grade II ( hialin Membran Desease ) yang dirawat diruang NICU RSUD Gunung jati Cirebon. Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan, pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk mengukur keadaan klien dengan memekai norma-norma kesehatan keluarga maupun social yang merupakan system integritasi ( Nasrul Effendi, 1995 ) Dalam faktor yang mendukung dalam pelaksanaan pengkajian diantaranya, adanya kerja sama yang baik antara penulis dengan pihak keluarga. Kerja sama yang dilakukan melalui komunikasi terapeutik dengan tujuan untuk menjalin rasa saling percaya antara penulis dengan klien, dalam pengkajian ini penulis menggunakan metode observasi dan pemeriksaan fisik. Untuk menguatkan pengkajian data permasalahan, penulis memperoleh data tambahan atau penunjang yaitu dari hasil pemeriksaan laboratorium hematology dan pemeriksaan foto thoraks dan juga menemukan tanda dan gejala adanya retraksi dinding dada, adanaya pernafasan cuping hidung, pernafasan takipneu, pernafasan lebih dari 60 x/menit. Oleh karena itu diagnosa HMD ini akan dibahas oleh penulis lebih lanjut. Adanya hasil pengkajian yang dilakukan pada By.C selama 4 hari penulis memunculkan 5 diagnosa, yaitu : 1. Gangguan Pola nafas. Menurut Carpenito, 2002. Gangguan pola nafas adalah suatu pernyataan kondisi tentang seseorang beresiko mengalami ancaman terhadap system pernafasan baik pada saluran nafas maupun pertukaran gas CO2 dan O2 diantara paru-paru dan system pembuluh darah. Diagnosa ini menjadi prioritas utama karena nafas merupakan suatu kebutuhan utama dalam tubuh. Jika kekurangan suplai O2 dalam tubuh bisa menyebabkan kematian pada jaringan atau yang lebih parah lagi bias menyebabkan kematian secara klinis. Masalah gangguan Pola nafas dapat teratasi pada hari ke 4. setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam ditemukan criteria hasil klien dapat bernafas secara spontan, O2 binasal dilepas, SPO2 100, retraksi dinding dada berkurang. Intervensi untuk mengatasi masalah :

a. Mengobservasi pola nafas b. Memonitor saturasi O2 c. Mengatur posisi semi retraksi d. Memberikan therapy O2 sesuai dengan kebutuhan e. Memberikan therapy obat bronchodilator 2. Gangguan Kebutuhan Nutrisi Menurut Carpenito, 2002. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan adalah suatu keadaan dimana individu yang tidak puas mengalami atau beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak adequatnya asupan nutrisi untuk kebutuhan metabolistik. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa ke 2 karena kebutuhan nutrisi sangat berperan penting dalam proses tumbuh kembang pada neonatus. Masalah gangguan kebutuhan nutrisi dapat teratasi pada hari ke 3. setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ditemukan criteria hasil klien dapat minum susu 15 cc setiap 2 jam Intervensi yang dilakukan : a. Memberikan cairan IVFD b. Memberikan minum sesuai jadwal c. Menimbang berat badan 3. Resiko Tinggi gangguan Kebutuhan cairan Kurang dari Kebutuhan Tubuh Berdasarkan konsep dari pengkajian yang di peroleh prioritas diagnosa tersebut dirumuskan sebagai diagmosa ke tiga karena menurut penulis diagnosa tersebut hanya merupakan suatu resiko dan belum terjadi secara actual. Intervesi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa di atas : a. mempertahankan cairan infus b. mengkaji intake dan output. c. Mengkaji tanda-tanda dehidrasi d. Memberikan minum sesuai dengan jadwal yang diberikan 4. Resiko Tinggi Gangguan Thermoregulasi ; Hipotermi Pada neonatus pada HMD biasanya terjadi pada bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis dan jaringan lemaknya belum terbentuk dan pengaturan suhu belum sempurna, maka hal ini akan menyebabkan resiko hilangnya panas tubuh 5. Gangguan Rasa Aman Cemas ; Keluarga Gangguan rasa aman cemas biasanya terjadi pada keluarga dikarenakan melihat kondisi anaknya, hal ini dikarenakan koping individu/keluarga yang labil dan ketidak tahuan tentang kondisi penyakit yang dialami anaknya. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001). Pada saat pemilihan kasus yang sesuai dengan bahasan di atas, untuk menguatkan pengkajian data permasalahan, penulis memperoleh data tambahan atau penunjang yaitu dari hasil pemeriksaan laboratorium hematology dan pemeriksaan foto thoraks dan juga menemukan tanda

dan gejala adanya retraksi dinding dada, adanaya pernafasan cuping hidung, pernafasan takipneu, pernafasan lebih dari 60 x/menit. Oleh karena itu diagnosa RDS ini akan dibahas oleh penulis lebih lanjut yaitu: 6. Gangguan pola nafas berhubungan dengan belum terbentuknya zat sulfaktan dalam tubuh 7. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. 8. Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan seringnya BAB dan BAK 9. Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit. 10. Kecemasan ortu berhubungan dengan kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi. a. SARAN Adapun saran yang penulis tujukan kepada: i. Mahasiswa Praktek Seorang mahasiswa praktikan haruslah mampu mengetahui pengertian dan penyebab dari penyakit RDS mengenai pengertian, penyebab, patofisiologi dan penatalaksanaan yang akan di lakukan dan resiko yamg akan mungkin terjadi. ii. Lahan Praktek Sebagai bahan masukan bagi lahan praktek untuk dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terama pada penyakit RDS pada Neonatus, guna menurunkan angka kegawatan dan kematian bayi akibat RDS. iii. Institusi pendidikan Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan khususnya disiplin ilmu keperawatan anak, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan. Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan

PERTUSIS1. Definisi Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan 2. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50C tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10C dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou. 3. Epidemiologi Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk

yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan, Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 14 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993). 4. Patolofisiologi Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik. Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus. Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis. 5. Gejala Klinis Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis Stadium kataral (1-2 minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis ,

penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis. Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. 6. Diagnosis Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema. Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold. 7. Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab. 8. Kompliksi Alat pernapasan Dapat terjadi otitis media sering pada bayi, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak. Alat pencernaan Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis. Susunan saraf pusat Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang

kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi. Lain lain Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva. 9. Terapi Antibiotika 1. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda. 2. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. 3. lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin. Imunoglobulin Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis. Ekspektoransia dan mukolitik Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. Luminal sebagai sedative. Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop. 10. Prognosis Bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi. Pertusis pada: Juli 13, 2010, 08:01:53

Pengertian Pertusis adalah penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis. Pertusis adalah disebut juga sebagai tussis quinta, whooping cough, batuk rejan. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella pertussis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara melakukan

pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam pada media Bordet gangou. Basil pertusis yang di dapatkan secara langsung adalah tipe antigentik fase I, sedangkan yang diperoleh melalui pembiakan dalam bentuk lain ialah fase II, III dan IV. Patofisiologi Lesi biasanya terdapat pada bronkus dan bronkiolus, namun mungkin terdapat perubahanperubahan pada selaput lendir trakea, laring dan nasofaring. Basil biasanya bersarng pada silia epitel torak mukosa, menimbulkan eksudasi yang mukopurulen. Lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah sel epitel torak, di sertai infiltrat neutrofil dan makrofag. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dapat menimbulkan infeksi sekunder. Kelainan-kelainan paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis. Manifestasi Klinis Adapun tanda dan gejala dari pertusis adalah masa tunas 7-14 hari. Penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih terbagi dalam 3 stadium, yaitu : 1.Stadium kataralis Lamanya 1-2 minggu. Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi siang dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini menyerupai infuenza. 2.Stadium spasmodik Lamanya 2-4 minggu. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita-penderita tampak gelisah dengan muka merah dan sianotik. Serangan batuk panjang, tidak ada inspirium diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking). Sering disertai muntah dan banyak sputum yang kental. Anak dapat terberak-berak dan terkencing-kencing. Kadangkadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis oleh karena meningkatnya tekanan pada waktu menangis dapat menimbulkan serangan batuk. Dalam bentuk ringan tidak terdapat whoop, muntah atau batuk spasmodik. 3.Stadium konvalensi Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu keempat jumlah dan beratnya serangan batuk berkurang, juga muntah berkurang, nafsu makan pn timbul kembali. Ronkhi difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai menghilang. Infeksi semacam common cold dapat menimbulkan serangan batuk lagi. Komplikasi

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita pertusis : 1.Alat pernafasan Dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema (dapat juga terjadi emsifema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat), bronkiektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat. 2.Alat pencernaan Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rektum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan, intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit ada waktu serangan batuk, stomatitis. 3.Susunan saraf Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah. Kadangkadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak. Pertusis (Batuk Rejan, Whooping Cough) adalah infeksi bakteri pada saluran pernafasan yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara pernafasan dalam bernada tinggi (melengking). Pertusis bisa terjadi pada usia berapapun, tetapi 50% kasus ditemukan pada anak berumur dibawah 4 tahun. Serangan pertusis yang pertama tidak selalu memberikan kekebalan penuh. Jika terjadi serangan pertusis kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu dikenali sebagai pertusis. PENYEBAB Penyebabnya adalah bakteri Bordetella pertussis. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah penderita. GEJALA Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan: 1. Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi) Gejalanya menyerupai flu ringan: - Bersin-bersin - Mata berair - Nafsu makan berkurang

Pertussis DEFINISI

- Lesu - Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari). 2. Tahap paroksismal (mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi. Setelah beberapa kali bernafas normal, batuk kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apneu (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi. 3. Tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal) Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut: - Pembiakan lendir hidung dan mulut - Pembiakan apus tenggorokan - Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai dengan sejumlah besar limfosit) - Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis - ELISA. PENGOBATAN Jika penyakitnya berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Keributan bisa merangsang serangan batuk. Bisa dilakukan pengisapan lendir dari tenggorokan. Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Untuk membasmi bakteri, biasanya diberikan antibiotik eritromycin.

PROGNOSIS

Sebagian besar pendrita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan bronkopneumonia. PENCEGAHAN Vaksin pertusis merupakan bagian dari imunisasi pada masa kanak-kanak (biasanya dalam bentuk vaksin DPT).