Sasaran Belajar Demam Typhoid

31
Sasaran Belajar Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

description

blok infeksi penyakit tropis

Transcript of Sasaran Belajar Demam Typhoid

Sasaran Belajar

Fakultas KedokteranUniversitas Yarsi

Aswan Bagastoro23.03.2015LO.1 Memahami dan Menjelaskan Bakteri Salmonella Typhi1.1 Morfologi

1.2 SifatBentuk batang, gram negatif, bergerk dengan flagel peritrich,mudah tumbuh pada perbenihan biasa dan tumbuh baik pada perbenihan yang mengandung empedu,sebagian besar salmonella sp bersifat pathogen pada binatang dan merupakan sumber infeksi bagi manusia.Binatang itu antara lain tikus,ternak,anjing,kucing, di alam bebas salmonella dapat tahan hidup lama dalam air, tanah atau padabahan makanan.Penyakit yang ditimbulkanpada manusia menimbulkan penyakit Typhus abdominalis.masa inkubasinya antara 7 -14 hari.gejalanya berupa demam dengan suhu tinggi 40 C,terutama sore hari,seringkali meracau dan gelisah.penderita sangat lemah dan apatis,beberapa penderita mengalami diare ,tetapi umumnya mengalami konstipasi atau tidak bisa buang air besar bakterinya masuk kedalam aliran darah pada penyakit yang berat dapat terjadi perforasi usus dan peritonitis.angka kematian kurang lebih 25%.

1.3 Transmisimelalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri, hal ini dapat terjadi antara lain:1.melaluiair untuk kepentingan rumah tangga ynag tidak memenuhi syarat kesehatan2.daging,telur,susus yang berasal dari hewan sakit yang dimasak kurang matang3.makanan dan minuman berhubungan dengan binatang yang mengandung bakterisalmonelle thpy,seperti lalat,tikus,kucing dan ayam

LO.2 Menjelaskan dan Memahami Demam2.1 Definisi Demam adalah peningkatan titik patokan (set point) suhu di hipotalamus. Dengan meningkatkan titik patokan tersebut, maka hipotalamus mengirim sinyal untuk meningkatkan suhu tubuh. Tubuh berespon dengan menggigil dan meningkatkan laju metabolism basal.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah. Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs. IstilahDefinisi

Demam dengan localizationPenyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Demam tanpa localizationPenyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

LetargiKontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan sekitarnya

Toxic appearanceGejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri seriusMenandakan penyakit yang serius, yang dapat mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih, pneumonia

Bakteremia dan septicemiaBakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah, dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan, menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signsPenyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada kategori ini. Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada. Demam tanpa localizing signs Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrikKlasifikasiPenyebab terseringLama demam pada umumnya

Demam dengan localizing signsInfeksi saluran nafas atas 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas. Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel. Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa). Relapsing fever dan demam periodik: Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 4.) dan brucellosis.

Gambar 4. Pola demam malaria

Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 5.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 5. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown. Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis. Demam Pel-Ebstein (Gambar 6.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 6. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

2.3 Etiologi

2.4 Patogenesis

Demam timbul sebagai respons terhadap pembentukan sitokin tertentu, termasuk interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor. Sitokin ini disebut pirogen endogen (penghasil panas). Sitokin pirogenik dilepaskan oleh beberapa sel berbeda, termasuk monosit, makrofag, sel T helper, dan fibroblast dalam berespons terhadap infeksi atau cedera jaringan. Pirogen endogen menyebabkan demam dengan menghasilkan prostaglandin, mungkin PGE, yang meningkatkan titik patokan termoregulasi hipotalamus.

Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein identic dengan interleukin-1. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam prostaglandin E2 yang langsung dapat menyebabkan suatu pireksia. Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran (dissipation) panas menurun dan pasien merasa demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas metabolism yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada seorang pasien.

LO.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Typhoid3.1 Definisi

Demam tifoid/demam enteric adalah penyakit demam akut yang disebabkan oelh kuman S.typhi. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh S. entereditis bioserotip paratyphi A dan S. enteretidis serotip paratyphi B yang disebut demam paratifoid. Tifoid berasal dari kata Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan oleh demam yang tinggi.Demam tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdomenalis, Typhoid fever atau Enteric fever. Demam tifoid adalah penyakit sistematik yang akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala, dan ketidakenakan abdomen berlangsung kurang lebih 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S. parathypi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C. jika penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebebkan oleh S. typhi.3.2 Etiologi

Penyebab typhoid timbil akibat dari infeksi oleh bakterigolongan Salmonella yang memasuki tubuh penderita memlalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella di dalam kandung empedunya atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi carrier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi carrier yang menahun. Sebagian besar dari carrier tersebut merupakan carrier intestinal (intestinal type), sedangkan yang lain merupakan urinary type. Kekambuhan yang ringan pada carrier demam tifoid, terutama pada carrie jenis intestinal, sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas.

3.3 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakiy infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

3.4 Manifestasi Klinis

1. DemamDemam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intenditas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada minggu ke-3. Namun perlu diperhatikan bahwa demam khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam dapat menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.

2. Gangguan saluran pencernaanSering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epidastrik (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.

3. Gangguan kesadaranUmumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

4. HepatosplenomegaliHati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

5. Bradikardi relatif dan gejala lainBradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demem tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.

3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah bagi mengesan kehadiran bakteri Salmonella dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. Dapat pula ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya kuman Salmonellas dalam darah. Pada minggu kedua sakit, kemungkinan mengisolasi kuman Salmonella dari darah lebih besar dari minggu berikutnya dan lebih baik dibandingkan pada urin dan feses yang kemungkinan berhasilnya kecil. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang belakang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus, akan tetapi prosedur ini sangat invasif. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.Selain itu tes widal (O dan H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes Widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.Biarkan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakkan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relative pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi leukositosis polimorfonuklear, maka berarti terdappat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari leukositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oelh penyakit itu tidak selalu khas seperti diatas. Bias ditemukan gejala-gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S. typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu biasa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan tubuh sesorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi diagnosis pembanding yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikrooorganisme intraselular seperti TBC, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal.Pemeriksaan penunjang/ pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi,dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menegakkan diagnosis (bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit, dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.1. Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi pendarahan usus atau perforasi Hitung leukosit rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi Hitung jenis leukosit: neutropenia dengan limfositosis relatif LED (laju endap darah): meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)

2. Urinalis Protein: bervariasi dari negatif sampai yang positif (akibat demam) Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi gejala lainnya

3. Kimia klinikEnzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan adanya gambaran peradangan samapai hepatitis akut.

4. Imunorologi Uji WidalPemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibody (didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi/paratyphi. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibody jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil postif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lainpernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestic (pernah sakit), dan adanya faktorrheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oelh karena antara lain penderita sudah mendapatkan antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya jamur imunologik lain.Diagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O setelah akhir minggu.

Elisa Salmonella typhi/paratyphi IgG dan IgMPemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan uji Widal untuk mendeteksi demam tifoid/paratifoiddiagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan 1/ bila igM positif menandakan infeksi akut, 2/ jika igG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.

5. MikrobiologiKultur (Gall culture/ biakan empedu)Uji ini merupaka baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam tifoid/paratifoid. Interprtasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis positif untuk demam tifoid/paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu demam tifoid /paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara llain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL, darah tidak segera dimasukkan kedalam media Gall (darah dibiarkan membeku dalam spult sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit,sudah mendapatkan antibiotika, dan sudah mendapatkan vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan specimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.6. Biologi molekular

PCR (Polymerase Chain Reaction)Metode ini mulai banyak dipergunakan.pada cara ini dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasikan dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) sertas kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsy.

3.7 Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dari gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditunjukkan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat nahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.Pemeberian antimokroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x 500 mg, demam rata-rata ,enurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetropin) diberikan selama 2 minggu. Ampisislin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 minggu 5 hari. Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan sturan pemberiannya: Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2 x 500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupum NARST (Nalidixic Acid Resistant S. typhi). Jika dibandingkan dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

3.8 Pencegahan

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dan pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi.Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yang mendatangi sasaran maupun yang pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga , restoran, hotel sampai, pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.Pencegahan transmisi langsung dari penderita penderita terinfeksi S. typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:1. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karierBila ada kejadian epidemic tifoid Pencarian dan eliminasi sumber penularan Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

2. Daerah endemik Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi, dan kloronisasi) Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/ buah) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

Jenis vaksinasi yang tersedia adalah:1. Vaksin parenteral utuhBerasal dari sel S.typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.

2. Vaksin oral Ty21aIni adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup . vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bias memberikan perlindungan selama 5 tahun.

3. Vaksin parenteral polisakaridaVaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuscular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relative paling aman.

3.9 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.2. Komplikasi ekstra-intestinal Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata (KID), thrombosis. Komplikasi paru: pneumonia, empyema, pleuritis. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis. Komplikasi ginjal: glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis. Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondylitis, artritis. Komplikasi neuropsikiatrik/ tifoid toksik

LO.4 Farmakologi Demam Typhoid

4.1 Farmakokinetik

KloramfenikolSetelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit dan akan mengalami hidrolisis dalam usus untuk membebaskan kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan. Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam, kira-kira 50% kloramfenikol terikat dengan albumin dalam darah dan didistribusikan secara baik ke seluruh jaringan termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukorinil transferase, waktu paruh akan memanjang pada pasien gangguan faal hati. Sebagian akan tereduksi menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktif. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan per oral akan diekskresikan melalui ginjal, dari keseluruhannya hanya 5-10% yang diekskresikan melalui urin filtrate glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus. Pada gagal ginjal tidak akan mempengaruhi masa paruh kloramfenikol, dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.Interaksi: dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol, dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama-sama kloramfenikol. Interaksi dengan fenobarbital dan rifampisinakan memperpendek waktu paruh kloramfenikol sehingga obat ini dalam darah menjadi subterapeutik.

KotrimoksazolRasio kadar sulfametoktsazol dan trimetropim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20 : 1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimetropim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetropim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol: trimetropim = 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20 : 1.

Trimetropim cepat didistribusikan ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetropim hamper 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresik melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian. Dia-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim ditemukan juga di urin. Pada pasien uremia, kecepatan ekskresikan dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

Sefalosporin Dari sifat farmakokinetiknya sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim, sefpodoksim proksetil, seftibuten dan sefuroksim aksetil yang dapat diberikan per oral karena diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefatolin dan sefapirin umunya diberikan secara intravena karena menyebabkan iritasi local dan nyeri pada pemberian intramuscular.

Sefalosporin lain yang diberikan secara suntikan IM atau IV. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya aefuroksim, seftriakson, sefepim, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis parulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan synovial dan cairan pericardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relative tinggi, tetapi tidak mencapai viterus. Kadar sefalosporin dalam empedu umunya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deadetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

FluorokuinolonAsam nalidiksat diserap baik melalui saluran cerna tetap diekskresi dengan cepat melalui ginjal. Obat ini tidka bermanfaat untuk infeksi sistemik. Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan dengan asam nalidiksat. Ofloksasin, levofloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang diserap baik sekali pada pemberian oral.

4.2 Farmakodinamik

KloramfenikolKloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

KotrimoksazolAktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat.sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetroprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dan dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetropim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

FluorokuinolonFluorokuinolon bekerja dengan mekanismeyang sama dengan kelompok kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (= DNA girase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.