Ruptura Uteri dan tromboemboli

62
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN RUPTUR UTERI DAN TROMBOEMBOLI Disusun Oleh : Kelompok 5 1. Clara Vika Betarahmawati 1002021 2. Fransisca Winandari 1002047 3. Ni Made Asri Wianita 1002076 4. Tuti 1002103 5. Yosef Andrian Beo 1002121 PRODI S1 KEPERAWATAN STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA 2013

description

selamat belajar :)

Transcript of Ruptura Uteri dan tromboemboli

Page 1: Ruptura Uteri dan tromboemboli

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

RUPTUR UTERI DAN TROMBOEMBOLI

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Clara Vika Betarahmawati 10020212. Fransisca Winandari 10020473. Ni Made Asri Wianita 10020764. Tuti 10021035. Yosef Andrian Beo 1002121

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA

2013

Page 2: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Konsep Dasar Ruptura Uteri

A. Definisi

Ruptura Uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampaunya

daya regang miometrium. (Paket Pelatihan PONEK, 2008)

Ruptur Uteri Komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi

hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum

viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagian

atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam

kavum peritoni atau rongga abdomen. (Sarwono, 2010)

Sedangkan pada ruptur uteri inkomplit, hubungan kedua rongga tersebut masih

dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk

kedalam rongga peritoneum. (Sarwono, 2010)

Ruptura Uteri adalah perdarahan yang dapat terjadi intraabdominal atau melalui

vagina kecuali jika kepala janin menutupi rongga panggul. Perdarahan dari ruptura

uteri pada ligamentum latum tidak akan menyebabkan perdarahan intraabdominal.

(Sarwono, 2002)

Ruptur uteri adalah pelepasan insisi yang lama disepanjang uterus dengan robeknya

selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubung langsung dengan kavum peritoneum

( Cunningham, 1995, P: 470 ).

Page 3: Ruptura Uteri dan tromboemboli

B. Anatomi Fisiologi

Genitalia Internal

1. Uterus

Suatu organ muskularberbentuksepertibuahpir, dilapisi peritoneum

(serosa).Selamakehamilanberfungsisebagaitempatimplatansi, retensi dan

nutrisi konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus

dan pembukaan serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan. Terdiri dari corpus,

fundus, isthmus danserviks uteri.

a. Serviks uteri

Page 4: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan / menembus

dinding dalam vagina) dan pars supra vaginalis. Terdiri dari 3 komponen

utama: otot polos, jalinan jaringan ikat (kolagen dan glikosamin) dan

elastin. Bagian luar di dalam rongga vagina yaitu portiocervicis uteri

(dinding) dengan lubang ostium uteri externum (luar, arah vagina) dilapisi

epitel skuamo kolumnar mukosa serviks, danostium uteri internum (dalam,

arahcavum).

Sebelum melahirkan (nullipara/primigravida) lubang ostium externum

bulat kecil, setelah pernah/riwayat melahirkan (primipara/ multigravida)

berbentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah kekaudal-posterior,

setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lender

getah serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan

larutan berbagai garam, peptide dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas

lender serviks dipengaruhi siklus haid.

b. Corpus uteri

Terdiridari :

1) paling luar lapisan serosa/peritoneum yang melekat pada ligamentum

latum uteri di intraabdomen,

2) tengah lapisan muskular/miometrium berupa otot polos tiga lapis (dari

luar kedalam arah serabut otot longitudinal, anyaman dan sirkular),

3) dalam lapisan endometrium yang melapisi dinding cavum uteri,

menebal dan runtuh sesuai siklus haid akibat pengaruh hormon-

hormon ovarium.

Posisi corpus intra abdomen mendatar dengan fleksi ke anterior, fundus

uteri berada di atas vesica urinaria. Proporsi ukuran corpus terhadap

isthmus dan serviks uterus bervariasi selama pertumbuhan dan

perkembangan wanita.

c. Ligamenta penyangga uterus

Ligamentum latum uteri, ligamentum rotundum uteri, ligamentum

cardinale, ligamentum ovarii, ligamentum sacro uterine propium,

ligamentum infundibulo pelvicum, ligamentum vesico uterina, ligamentum

rectouterina.

d. Vaskularisasi uterus

Page 5: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Terutama dari arteri uterine cabang arteri hypogastrica/illia cainterna, serta

arteri ovarica cabang aorta abdominalis.

2. Salping / Tuba Falopii

Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-

kanan, panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari

ovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terdiri tiga lapisan : serosa,

muskular (longitudinal dan sirkular) serta mukosa dengan epitel bersilia.

Terdiri dari pars interstitialis, pars isthmica, pars ampularis, serta pars

infundibulum dengan fimbria, dengan karakteristik silia dan ketebalan dinding

yang berbeda-beda pada setiap bagiannya.

3. Pars isthmica (proksimal/isthmus)

Merupakan bagian dengan lumen tersempit, terdapat sfingter utero tuba

pengendali transfer gamet.

4. Pars ampularis (medial/ampula)

Tempat yang sering terjadi fertilisasi adalah daerah ampula / infundibulum,

dan pada hamil ektopik (patologik) sering juga terjadi implantasi di dinding

tuba bagian ini. Pars infundibulum (distal) dilengkapi dengan fimbriae serta

ostium tubae abdominal pada ujungnya, melekat dengan permukaan ovarium.

Fimbriae berfungsi “menangkap” ovum yang keluar saat ovulasi dari

permukaan ovarium, dan membawanya kedalam tuba.

5. Mesosalping

Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).

6. Ovarium

Organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga peritoneum,

sepasangkiri-kanan.Dilapisimesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan

pembuluh darah dan saraf. Terdiri dari korteks dan medula.

Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum

(dari sel epitel germinal primordial di lapisan terluar epital ovarium di

korteks), ovulasi (pengeluaran ovum), sintesis dan sekresi hormon-hormon

steroid (estrogen oleh tekainterna folikel, progesterone oleh korpus luteum

pasca ovulasi). Berhubungan dengan pars infundibulum tuba Falopii melalui

perlekatan fimbriae. Fimbriae “menangkap” ovum yang dilepaskan pada saat

Page 6: Ruptura Uteri dan tromboemboli

ovulasi. Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii proprium, ligamentum

infundibulo pelvicum dan jaringan ikat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang

aorta abdominalis inferior terhadap arteri renalis.

C. Insidens

Ruptura uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan

negara maju. Angka kejadian ruptura uteri dinegara maju dilaporkan juga semakin

menurun. Sebagai contoh dari salah satu penelitian dinegara maju dilaporkan kejadian

ruptura uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250

persalinan (1973-1983). Dalam tahun 1996 kejadian menjadi 1 dalam 15.000

persalinan. Dalam masa yang hampir bersamaan angka tersebut untuk berbagai

tempat di Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93

persalinan. (Sarwono, 2010)

Ruptur uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak

ditolong oleh dukun. Dukun sebagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan

dengan benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada

fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya ruptur uteri. ( Ida, 2010)

D. Etiologi

Menurut Sarwono, 2010 yaitu :

Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada

sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang

masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada

persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus

percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitoksin atau sejenis.

Pasien yang beresiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia, grande

multipara, penggunaan oksitoksin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan,

pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi

lain pada rahimnya, pernah histerorafia, pelaksanaan trial of labor terutama pada

pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan

Page 7: Ruptura Uteri dan tromboemboli

panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik perlu adagium Once Caesarean

Section always Caesarean Section.Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih

elective caesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptura uteri dengan syarat janin

sudah matang. Eksplorasi pasca kelahiran pada persalinan yang sukar dengan

perdarahan yang banyak atau pascapartus dengan kemungkinan dehisens perlu

dilakukan untuk memastikan tidak adanya rupture arteri.

1. Ruptur uteri yang terjadi secara spontan, disebabkan oleh.

a. Panggul yang terlalu sempit.

b. Tumor pada jalan lahir.

c. Malposisi kepala.

d. Faktorpredisposisi (multiparita, tekanan keras pada fundus uteri, stimulus

oksitosin).

e. Janin letak lintang.

f. Hidrosefalus.

2. Ruptur uteri traumatic, disebabkan oleh.

a. Kecelakan (jatuh, tabrakan).

b. Manual plasenta.

c. Embriotomi.

d. Trauma tumpul atau trauma tajam dari luar.

e. Stimulus oksitosin.

f. Dorongan pada fundus uterus yang terlalu keras (biasanya dilakukan oleh

dukun dalam menyelesaikan persalinan).

g. Dystosia.

h. Usaha vaginal untuk melahirkan janin.

i. Penyakit rahim misalnya udenomiosis.

3. Ruptur uteri pada bekas luka parut.

Ruptur uteri ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea, peristiwa

ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangakat mioma

(miomektomi). Penyebabnya sama dengan ruptur uteri yang terjadi secara spontan.

E. Klasifikasi

Menurut Sarwono 2010, klasifikasi uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut :

Page 8: Ruptura Uteri dan tromboemboli

1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil :

a. Pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerotomi, histerorafia,

miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi

pada kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti.

b. Trauma uterus koinsidental : instrumensasi sendok kuret atau sonde pada

penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru,

ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous

pregnancy).

c. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang tidak

berkembang.

2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan

a. Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus,

pemakaian oksitoksin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan,

instilasi cairan kedalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti larutan

garam fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur

tekanan intrauterin, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran

rahim yang berlebihan misalnya hidroamnion dan kehamilan ganda.

b. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar,

ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada

segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan

dalam melakukan manual plasenta.

c. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas

getasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata.

Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Ruptur Uteri Gravidarum

Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.

2. Ruptur Uteri Durante Partum

Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang

terbanyak.

Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Korpus Uteri

Page 9: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio

sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

2. Segmen Bawah Rahim

Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama

tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.

3. Serviks Uteri

Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi,

sedang pembukaan belum lengkap.

4. Kolpoporeksis-Kolporeksis

Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.

Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Ruptur Uteri Kompleta

Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga

terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya

peritonitis.

2. Ruptur Uteri Inkompleta

Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi

subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.

Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Ruptur Uteri Spontanea

Berdasarkan etiologinya, ruptur uteri spontanea dapat dibedakan lagi menjadi:

a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,

miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara

manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan graviditas

interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus

bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola destruens, adenomiosis dan

lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding rahim tipis dan

regang.

b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul  sempit

atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops

Page 10: Ruptura Uteri dan tromboemboli

fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena kelainan

kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan

shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap;

atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar

paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix:

conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan

sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga

pimpinan partus yang salah.

2. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:

a. Ekstraksi Forsep

b. Versi dan ekstraksi

c. Embriotomi

d. Versi Braxton Hicks

e. Sindroma tolakan (Pushing syndrome)

f. Manual plasenta

g. Kuretase

h. Ekspresi Kristeller atau Crede

i. Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan

j. Trauma tumpul dan tajam dari luar.

Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:

1. Ruptur Uteri Iminens (membakat=mengancam)

2. Ruptur Uteri sebenarnya.

F. Patofisiologi

Menurut Sarwono, 2010 :

Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,

dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus

uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati korpus uteri

terdorong kebawah kedalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi

lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertark keatas oleh

kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lengkaran

Page 11: Ruptura Uteri dan tromboemboli

retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian

terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas segmen

bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin, maka pada

gilirannya bagian terbawah janin terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas

segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin, maka

pada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk kedalam jalan lahir melalui

pintu atas panggulkedalam vagina melalui pembukaan jika serviks bsia mengalah.

Sebaliknya, apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab

yang menahannya (misalnya panggung sempit atau kepala janin besar) maka volume

korpus yang tambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi oleh peluasan

segmen bawah rahim keatas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologik

(phisiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologik

menjadi patologik (pathologic retraction ring). Lingkaran patologik ini disebut

lingkaran Bandl (ring van Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-

menerus tertarik ke proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang

terpegang pada tempatnya oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang,

ligamentum kardinal pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum

vesikouterina pada dasar kandung kemih. Jika his berlangsung kuat terus-menerus,

tetapi bagian terbawah tubuh janin tidak kunjung turun lebih kebawah melalui jalan

lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi (ring van Bandl berpindah

mendekati pusat) dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari

dindingnya menjadi sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan

telah terjadi tanda-tanda ruptura uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada

saatnya dinding segmen bawah rahim itu akan robek spontan pada tempat yang

tertipis ketika his berikut datang, dan terjadilah perdarahan yang banyak bergantung

pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus. Umunya robekan

terjadi pada dinding depan segmen bawah rahim, luka robekan bisa meluas secara

melintang atau miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi ligamentum latum terjadi

luka robekan yang meluas kesamping. Robekan bisa juga meluas ke korpus atau ke

serviks atau terus ke vagina (kolpaporeksis) dan bahkan kadangkala bisa menciderai

kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir kedalam rongga

peritonium, sebagian yang lain mengalir melalui permukaan serviks ke vagina.

Peristiwa robekan pasa segmen bawah rahim yang sudah menipis itu (dalam status

ruptura uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari luar, misalnya dorongan pad

Page 12: Ruptura Uteri dan tromboemboli

perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup untuk menyebabkan robekan.

Demikian juga apabila fundus uteri di rorong-dorong seperti yang banyak dilakukan

pada upaya mempercepat persalinan atau oleh dorongan dari bawah seperti pada

pemasangan cunam yang sulit, dan sebagainya. Olehkarena itu, jika terlihat lingkaran

Bandl penolong haruslah sangat berhati-hati. Keetika terjadi robekan pasien terasa

amat nyeri seperti teriris sembilu dalam perutnya, dan his terakhir yang masih kuat itu

sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin keluar rongga rahim kedalam

rongga peritonium. Melalui robekan tersebut usus dan omentum mendapat jalan

masuk sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada waktu periksa dalam.

Rongga uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian rahim yang

longgar hubungannya denga peritonium yaitu pada bagian samping dan dekat

kandung kemih. Disini dinding servik yang meregang karena ikut tertarik bisa ikut

robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh-pembuluh darah

besar yang terdapat didalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar

ligamentum latum, arteriauterina atau cabang-cabangnya bisa terluka disertai

perdarahan yang banyak, dan didalam parametrium dipihak yang robek akan

terbentuk hematoma yang besar dan emnimbulkan syok yang sering berakibat fatal.

Dari sudut patofisiologi ruptura uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam masa hamil

atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang

bercacat, dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin berlebhan karena tidak penting dari

sudut klinik tetapi mungkin ada gunanya dari aspek lain. Tinjauan tersebut bisa

mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan histerektomi atau histerorafia.

Dibawah diutarakan tinjauan tersebut menurut beberapa aspek.

1. Aspek Anatomik

Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena rupture uteri dibagi menjadi dua

yaitu :

a. Rupture uteri komplit yaitu lapisan dinding rahim ikut robek.

b. Rupture uteri inkomplit yaitu lapisan serosanya atau perimetriumnya masih

utuh.

2. Aspek Sebab

Berdasarkan sebab terjadi robekan pada rahim, rupture uteri dibagi menjadi

kedalam rupture uteri spontan, rupture uteri violent, da rupture uteri traumatic.

Rupture uteri sepontan terjadi pada rahim yang utuh oleh karena his semata,

Page 13: Ruptura Uteri dan tromboemboli

sedangkan rupture uteri violent disebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain

seperti induksi atau stimulasi partus dengan okstoksin atau yang sejenis, atau

dorongan yag kuat pada fundus dalam persalinan. Rupture uteri traumatic

disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga dan

kecelakaan lalu lintas.

3. Aspek Keutuhan rahim

Rupture uteri dapat terjadi pada uteri yang masih utuh, tetapi bias terjadi pada

uterus yang bercacat misalbya pada parut bekas sesar atau parut jahitan rupture

uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerrorafia), miomektomi yang dalam

sampai kerongga rahim, akibat kerokan yang terlalu dalam reseksi kornu atau atau

bagian interstitiall dari rahim, metroplasti, rahim yang telah banyak meregang

misalnya pada grandemultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus

yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil, dan sebagianya.

4. Aspek Waktu

Yang dimaksud dengan waktu disini ialah dalam masa hamil atau pada waktu

bersalin. Rupture uteri dapat terjadi pada masa kehamilan misalnya karena trauma

atau pada rahim yang bercacat, sering pada bekas sesar klasik. Kebanyakan

rupture uteri terjadi dalam persalina kala I atau kala II dan pada partus percobaan

bekas seksio sesaria, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitoksin

atau prostatglandin.

5. Aspek Sifat

Rahim yang robek bisa tanpa menimbulkan tanda yang jelas (silent) seperti pada

rupture yang terjadi pada parut bedah sesar klasik pada masa hamil tua. Parut ini

merekah sedikit demi sedikit (debisence) dan pada akhirnya robek tanpa

menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas. Sebaliknya

rupture bisa terjadi dalam waktu yang cepat dengan tanda da gejala yang jelas

(overt) dan akut, misalnya rupture uteri yang terjadi dalam kala I dank Kala II

akibat oksitoksin. Kantung kehamilan ikut robek dan janin terdorong masuk

kedalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal yang banyak dan

mengakibatkan nyeri yang hebat bahkan sam pai syok.

6. Aspek paritas

Rupture dapat terjadi pada wanita yang baru pertama kali hamil (nulipara)

sehingga sedapat mungkin diusahakan histerorafi apabila lukanya rata dan tidak

infeksi. Pada rupture uteri dengan multipara umumnya lebih baik dilakukan

Page 14: Ruptura Uteri dan tromboemboli

histerektomi atau bila keadaan umumnya jelek dan luka pada uterus tidak luas dan

tidak compang-camping robekan uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan

denga tubektomi.

7. Aspek Gradasi

Kecuali akibat kecelakaan, rupture uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan

yang umunya terjadipada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa

kemajuan yang dalam persalinan sehingga persalina diantara korpus dan segmen

bawah rahim yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi

menjadi lingkaran Bandl yang patologik, sehingga ibu yang melahirkan itu

merasa cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri yang sangat hebat. Pada

saat ini penderita berada dalam stadium rupture uteri skunder, maka pada

gilirannya dinding segmen bawah rahim yang sudah sangat tipi situ robek.

Peristiwa ini disebut rupture uteri spontan.

Pathway :

Luka bekas parut

(luka bekas seksiosesarea)

Lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis (tidak terjadi robekan secara mendadak)

Terpisah sama sekali

Ruptur Uteri Spontan

(panggul yang sempit, hidrosephalus, janin letak lintang)

Ruptur uteri traumatik

(jatuh / kecelakaan)

Tekanan bawah uterus meningkat melampaui batas kekuatan jaringan miometrium

Ruptur Uteri

Nyeri Perdarahan

Robekan pada dinding uterus

Page 15: Ruptura Uteri dan tromboemboli
Page 16: Ruptura Uteri dan tromboemboli

G. Tanda dan Gejala

Jika sudah ada rupture uteri spontan pasti ada perdarahan yang bisa dipantau Hb dan

tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat dan kelihatan anemis dan tanda-tanda

lain dari hipovolemia serta pernafasan yang sulit berhubung nyeri abdomen akibat

robekan rahim yang mengikutsertakan peritoneum iserale robek dan merangsang

ujung saraf sensoris. Pada saat palpasi terasa nyeri dan bagian tubuh janin berada

dibawah dinding abdomen ibu dan kekuatan his yang sudah sangat menurun seolah

his telah hilang. Hemoperitonium yang terbentuk bisa merangsang diafragma dan

menyebabkan nyeri memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru atau

emboli air ketuban. Nyeri abdomen bisa menyerupai solusio plasenta. Pada auskultasi

sering tidak terdengar denyut jantung janin, tetapi jika janin belum meninggal bisa

terdeteksi deselerasi patologik (deselerasi variable yang berat) pemantauan dengan

KTG. Terdapat juga pasien yang tidak merasakan nyeri abdomen yang kuat terlebih

jika ada pemberian obat penenang atau obat untuk mengurangi rasa nyeri dalam

persalinan ( painless labor). Pada dehisens dibekas seksio sesarea atau dehesens yang

berlanjut menjadi rupture rasa nyeri dan perdarahan tidak seberapa. Pemeriksaan

ultrasonografi ditempat (on site) mungkin bisa membantu. Pada periksa dalam teraba

bagian terbawah janin berpindah atau naik kembali keluar pintu atas panggul, dan

jari-jari pemeriksa bisa menemukan robekan yang berhubungan dengan rongga

peritoneum dan melalui mana terkadang dapat meraba usus. (Sarwono, 2010)

1. Gejala ruptur uteri mengancam (RUM).

a. Pasien nampak gelisah, ketakutan disertai dengan perasaan nyeri di perut.

b. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang

kesakitan.

c. Pernapasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.

d. Ada tanda dehidrasi pada partus yang lama yaitu mulut kering, lidah kering

dan haus, badan panas (demam).

e. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.

f. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras sedangkan SBR teraba tipis

dan nyeri kalau ditekan.

g. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang

keatas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih sehingga pada

kateterisasi ada hematuria.

Page 17: Ruptura Uteri dan tromboemboli

h. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung janin tidak teratur (asfiksia).

i. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi seperti

edema porsio, vagina, vulva.

2. Gejala ruptur uteri sebenarnya .

a. Inspeksi.

1) Pada his yang kuat sekali pasien merasa kesakitan yang luar biasa, merasa

perutnya seperti akan dirobek.

2) Gelisah, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.

3) Pernapasan jadi dangkal dan cepat dan kelihatan haus.

4) Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.

5) Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur.

6) Keluar perdarahan pervagina yang biasanya tak begitu banyak.

7) Kadang-kadang ada perasan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan

bahu.

8) Kontraksi uterus biasanya hilang.

b. Palpasi.

1) Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema

subkutan.

2) Bila kepala janin sudah keluar dari kavum uiteri, jadi berada di rongga

perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung ikulit perut

3) Nyeri tekan pada perut, terutama pada bagian yang robek.

c. Auskultasi.

Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah ruptur.

d. Pemeriksaan dalam.

1) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah dapat

terdorong ke atas dan disertai dengan perdarahan pervagina yang akan

banyak.

2) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding

rahim.

e. Kateterisasi.

Ada hematuria yang menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

Page 18: Ruptura Uteri dan tromboemboli

H. Pemeriksaan Diagnostik

1. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk

panggul / pelvis.

2. Pemeriksaan laboratorium.

a. hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan

nilai hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl

atau hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.

b. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.

c. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.

3. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.

I. Penatalaksanaan

Penatalaksannan khusus (PONEK, 2008) :

1. Rupura uteri merupakan komplikasi yang sangat fatal, pengenalan dan

penanganan segera dan tepat, akan menyelamatkan pasien dari kematian. Karena

sebagian besarkasus ini harus diselesaikan dengan tindakan operatif maka setelah

melakukan upaya stablisasi berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau

garam fisiologis) 500 mL dalam 15-20menit kemudian lanjutkan hingga mencapai

3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2 jam pertama.

2. Setelah stabilisasi dan kondisi pasien memadahi, lakukan laparotomi untuk

melahirkan anak dan plasenta

3. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan,

lakukan reparasi uterus.

Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkhawatirkan,

lakukan histerektomi.

4. Antibiotika dan serum antitetanus.

Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam,menggigil,darah bercampur cairan

ketuban berbau, hasil apusan atau biakan darah)segera berikan antibiotika

spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genetalia atau luka kotor,

tanyakan saat terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesa tidak dapat

memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum antitetanus 1500 IU /

IM dan TT 0,5 mL IM.

Page 19: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Sumber : PONEK, 2008

Page 20: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Menurut Sarwono 2010, yaitu :

Dalam menghadapi rupture uteri semboyan prevention is better than care sangat perlu

diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan dimanapun persalinan

itu berlangsung. Pasien resiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinan berlangsung

dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan diawasi dengan penuh

dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah terjadi rupture uteri tindakan yang

tepat ialah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperluka infuse

cairan kristaloid dan transfuse darah yang banyak, tindakan antisyok serta pemberian

antibiotika spectrum luas, dan sebagainya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia

kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapidan pasiennya belum punya anak

hidup.

Menurut Depkes RI 2002, penatalaksanaannya yaitu :

1. Memperbaiki kehilangan darah dengan pemberian infus IV cairan (NaCl 0,9%

atau Ranger Laktat) sebelum tindakan pembedahan

2. Lakukan seksio sesarea dan lahirkan plasenta segera setelah kondisi stabil

3. Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada risiko

pada histerektomi dan ujung ruptura uterus tidak nekrosis lakukan histerorafi.

Tindakan ini akan mengurangi waktu dan kehilangan darah saat histerektomi.

4. Jika uterus tidak dapat diperbaiki lakukan histeroktomi supravaginal atau

histeroktomi total jika didapatkan robekan sampai serviks dan vagina.

Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki keadaan umum penderita

dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila

keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan

tindakan jenis operasi:

1. Histerektomi baik total maupun sub total

2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya

3. Konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup.

Page 21: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah :

1. Keadaan umum penderita

2. Jenis ruptur incompleta atau completa

3. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan sudah

banyak nekrosis

4. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim

5. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak

6. Umur dan jumlah anak hidup

7. Kemampuan dan ketrampilan penolong

Manajemen

1. Segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi

2. Buat dua jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan elektrolit,

misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi darah. ( jaga agar

jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal, sampai darah didapatkan ).

3. Hubungi bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah unit dan

plasma beku segar yang diperlukan

4. Berikan oksigen

5. Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan histerektomi )

6. Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan oksitosin

dalam cairan intravena.

Penatalakasanaan Medis

1. Penjahitan robekan serviks

a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan antiseptik ke vagina

dan serviks.

b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anestesi tidak dibutuhkan pada

sebagian besar robekan serviks. Berikan pethidine dan diazepam melalui IV secara

Page 22: Ruptura Uteri dan tromboemboli

perlahan(jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan

Ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar.

c. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu

mendorong serviks jadi terlihat.

d. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks ( jika perlu ).

e. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forsep spons dengan hati-hati. Letakan

forsep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk

melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.

f. Tutup robekan serviks dengan jahitan jeluhur menggunakan benang catgut kromik

atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks ( tepi atas robekan ) yang sering kali

menjadi sumber perdarahan.

g. Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan

benang catgut kropmik atau poliglikolik 0.

h. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang apeks dengan forsep arteri atau forsep

cincin. Pertahankan forsep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya

mengikat tempat perdarahan karena upaya tersebut dapat memperberat perdarahan,

selanjutnya :

1) Setelah 4 jam à buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.

2) Setelah 4 jam berikutnya à keluarkan seluruh forsep.

2. Penjahitan robekan vagina dan perinium

Terdapat 4 derajat robekan yang bisa terjadi pada saat persalinan, yaitu :a. Derajat I : Robekan hanya terdapat pada selaput lendir vagina dan jaringan ikat.

b. Derajat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat dan otot dibawahnya

tetapi tidak mengenai spingter ani.

c. Derajat III : Robekan lengkap dan mengenai spingter ani.

d. Derajat IV : robekan sampai mukosa rectum.

3. Penjahitan robekan derajat I dan II :a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum.

b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anestesi lokal dengan

lidokain.

c. Periksa dan pastikan kontraksi uterus

d. Periksa vagina, perinium dan serviks secara cermat.

e. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak

terdapat robekan derajat III dan IV.

Page 23: Ruptura Uteri dan tromboemboli

f. Masukan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus.

g. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi spingter.

h. Periksa tonus otot atau kerapatan spingter.

i. Jika spingter, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.

j. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan.

4. Penjahitan robekan derajat II dan IV :a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum.

b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anestesi lokal dengan

lidokain. Gunakan blok pedendal, Ketamin atau anestesi spinal.

c. Penjahitan dapat dilakukan menggunakan anestesi lokal dengan lidokain dan

pethidine serta diazepam melalui IV dengan perlahan jika tepi robekan dapat

dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.

d. Periksa dan pastikan kontraksi uterus.

e. Periksa vagina, perinium dan ssrviks secara cermat.

f. Periksa permukaan rectum dan perhatikan robekan dengan cermat.

g. Oleskan larutan antiseptok ke robekan dan keluarkan materi fekal ( jika ada ).

h. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lidokain atau obat-obat terkait.

i. Pastikan tidak ada perdarahan. Keluarkan bekuan darah dengan menggunakan

spons.

j. Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jika teridentifikasi

adanya cedera kandung kemih à perbaiki cedera tersebut.

k. Tutup fasia denga jahitan jelujur menggunkan benagng catgut kromik.

l. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan kasa dan buat

jahitan longgar menggunkan benang catgut kromik. Tutup kulit dengan penutupan

lambat setelah infeksi dibersihkan.

m. Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi tutup kulit dengan jahitan matras vertikal

menggunakan benang nelon ( sutra ) 3 – 0 dan tutup dengan balutan steril.

J. Komplikasi

1. Asfiksia neonatus

2. Kematian ibu dan janin

3. Syok Hipovolemik

Page 24: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Menurut Sarwono, 2010 antara lain :

Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua

komplikasi yang fatal pada peristiwa rupture uteri.syok hipovolemik terjadi jika

pasien tidak langsung diberi infus cairan cristaloid yang banyak untuk selanjutnya

dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfuse darah segar. Darah segar

memiliki kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengantung semua

unsur atau factor pembekuan dank arena itu lebih bermanfaat demi mencegah dan

mengatasi koagulapati delusional akibat pemberian cairan kristaloid yang umumnya

banyak diperlukan utuk mengatasi atau mencegah gangguan keseimbangan elektrolit

antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam mengatasi syok hipovolemik, infeksi

berat biasanya terjadi pada pasien kiriman dimana rupture uteri telah terjadi sebelum

tiba dirumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam

yang berulang. Jika dalam keadaaan demikian pasien tidak segera memperoleh terapi

antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien menderita peritonitis yang luas dan sepsis

pascabedah. Antibiotika spectrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk

mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan penyebab

utama yang meninggikan angka kematian internal dalam obstertik. Meskipun pasien

bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histerektomi merupakan

cacat permanen, yang pada kasus belum memiliki anak hidup meninggalkan sisa

trauma psikologis yang berat dan mendalam. Kematian maternal dan atau parenatal

yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi social yang sulit diatasi.

K. Prognosis

Apakah rupture uteri terjadi pada uterus yang masih utuh atau pada bekas seksio

sesaria atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas seksio sesaria atau dehisens

perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak terjadi menimbulkan kematian

maternal dan kematian parenatal. Factor lain yang mempengaruhi adalah kecepatan

pasien menerima tindakan bantuan yang tepat atau cekatan. Rupture uteri spontan

dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang

luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas kelateral keatas atau

kevagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan

kematian yang juga lebih luas.(Sarwono, 2010)

Page 25: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Konsep Asuhan Keperawatan ( fokus kegawatdaruratan)

A. Pengkajian

1. Anamnesis.

a. Gejala saat ini.

1) Nyeri abdomen dengan tiba-tiba, tajam seperti disayat pisau, kontraksi uterus

yang intermiten, kuat dan berhenti dengan tiba-tiba dan pasien mengeluh nyeri

yang menetap.

2) Perdarahan pervagina.

3) Syok dengan nadi kecil dan cepat.

4) Nyeri bahu.

5) Pada saat his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan.

6) Gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin, kolaps dan tak sadarkan diri.

7) Pernapasan dangkal dan cepat.

8) Kadang-kadang ada perasaan nyeri menjalar ke tungkai.

b. Riwayat penyakit dahulu.

1) Riwayat paritas tinggi.

2) Pembedahan uterus sebelumnya.

3) Seksio sesarea.

4) Miomektomi atau reseksi kornu.

2. Data obyektif.

a. Pemeriksaan fisik.

1) Pemeriksaan umum : TTV : suhu panas, nadi kecil dan cepat, TD menurun dan

ireguler dan pernapasan dangkal dan cepat.

2) Inspeksi.

Kelihatan haus, muntah-muntah, perdarahan pervagina dan kontraksi uterus biasanya hilang.

3) Palpasi.

Teraba suatu krepitasi pada kulit perut menandakan adanya emfisema subkutan, jika kepala janin belum turun mudah dilepaskan dari pintu atas panggul / inlet, apabila janin sudah keluar dari kavum uteri berada di rongga perut maka akan teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya

Page 26: Ruptura Uteri dan tromboemboli

biasa teraba uterus sebagai suatu yang keras seperti bola dan nyeri tekan pada perut terutama pada tempat yang robek.

4) Auskultasi .

Biasanya denyut jantung janin (DJJ) sulit atau tidak terdengar lagi beberapa manit setelah ruptur.

b. Pemeriksaan abdomen.

Fundus uteri dapat berkontraksi dan bagian-bagian janin yang terpalpasi dekat dinding abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba hilang.

c. Pemeriksaan pelvis.

Menjelang kelahiran bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi kedalam rongga peritoneum, dan perdarahan pervagina mungkin hebat. Apabila terjadi robekan lengkap jari-jari pemeriksa dapat melalui tempat ruptur langsung kedalam rongga peritoneum, melalui permukaan serosa uterus yang halus dan licin.

d. Kateterisasi.

Hematuria yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi yang dirancang secara kimia, masalah 

psikologi.

2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.

3.  Resiko cedera terhadap maternal berhubungan dengan perubahan tanus otot atau

pola kontraksi, obstruksi mekanis pada penurunan janin, keletihan maternal.

4. Resiko tinggi cedera terhadap janin berhubungan dengan persalinan yang lama,

mempresentasi janin hipoksia jaringan.

C. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi yang dirancang secara kimia, masalah 

psikologi.

Tujuan : nyeri hilang atau teratasiIntervensi :a. Kaji keluhan nyeri, lokasi dan observasi petunjuk nyeri non verbal misalnya

posisi tubuh, ekspresi wajah dan enggan bergerak.

Page 27: Ruptura Uteri dan tromboemboli

R : Nyeri yang terjadi unik bagi setiap orang dapat menunjukan persepsi individual. Petunjuk non verbal yang dapat membnatu mengevaluasi nyeri dan keefektifan terapi.

b. Tinjau ulang / berikan instruksi dalam teknik pernapasan sederhana.

R : Mendorong relaksasi dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat ketidaknyamanan.

c. Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase, gosok punggung, sandaran

bantal, pemberian kompres sejuk).

R : Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan dan ansietas dan meningkatkan koping dan kontrol klien.

d. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesik narkotik (morphin, neperidin) atau

non narkotik seperti asetaminofen atau sedatif (hidroksin).

R : Obat analgesik menekan sarag pusat untulk mengurangi rasa nyeri.2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.

Tujuan : tidak terjadi kekurangan volume cairanIntervensi :a. Pantau jumlah perdarahan

R : mengetahui jumlah darah yang keluar.b. Catat kehilangan cairan.

R : potensial kehilangan cairan.c. Pantau nadi

R : takikardia dapat terjadi memaksimalkan sirkulasi cairan pada kejadian dihidrasi atau hemoragi.

d. Pantau tekanan darah sesuai indikasi

R : peningkatan tekanan darah munkin karena efek-efek obat. Penurunan tekanan darah mungkin tanda lanjut dari kehilangan cairan secara berlebihan.

e. Evaluasi kadar Hb dan Ht.

R : mengetahui terjadi penurunan yang menyebabkan kehilangan darah berlebihan.

Page 28: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Tromboemboli Vena dalam Kehamilan

Pengertian

Trombosis adalah pembentukan massa bekuan darah dalam sistem kardiovaskuler yang tidak

terkendali ( Robin & Kumar, 19995 )

Emboli adalah oklusi beberapa bagian sistem kardiovaskuler oleh suatu masa (Embolus) yang

tersangkut dalam perjalananya ke suatu tempat melalui arus darah (Robin dan Kumar, 1995)

Tromboembolisme adalah gangguan trombosis dan embolisme (Robin & Kumar,1995)

Insiden dan Etiologi

Insiden tromboemboli pada kehamilan dan puerperium adalah lima kali lebih tinggi

dibandingkan wanita yang tidak hamil pada usia yang sama. Tromboemboli adalah penyebab

utama kematian maternal di amerika serikat. Trombosis vena terjadi pada satu dari 2000

wanita selama kehamilan dan satu dari 700 wanita setelah melahirkan (Nuwahid dkk,1998)

Risiko tromboemboli vena (VTE) dalam kehamilan kira-kira 6x lebih tinggi jika

dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil serta merupakan penyebab utama

kematian pada perempuan dalam masa kehamilan dan nifas. Emboli paru (PE) terjadi pada

sekitar 16% penderita denga trombosis vena dalam atau deep vein trombosis (DVT) yang

tidak diterapi dan merupakan penyebab kematian maternal tersering. Risiko DVT pada

kehamilan adalah 0,05% sampai 1,8% dan lebih tinggi pada ibu hamil yang mempunyai

riwayat VTE. Angka kekambuhan adalah sekitar 1 kasus dalam 71 orang ibu. Kejadian DVT

maternal lebih sering pada trombosis kiri (sekitar 85% dari seluruh trombosis tungkai), terjadi

lebih sering pada vena iliofemoral ketimbang vena pada betis (72% vs 9%), dan lebih sering

mengakibatkan emboli paru.

Etiologi

Umumnya etiologi thrombus disebabkan oleh tiga hal  yang dikenal dengan “trias vischow”

1. Perubahan susunan darah (hiperkoagulansi)

Page 29: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Kehamilan dikarateristikan oleh perubahan dalam pembekuan oleh system fibrinosis yang

berlangsung selama periode postpartum. Meningkatnya system fibrinosis (aktivasi

plasminogen dan antirombin yang menyebabkan penghancuran ditekan. Keuntungannya

yaitu mencegah perdarahan maternal melalui penngkatan pembetukan bekuan. Di

samping itu, menyebabkan resiko tinggi pembentukan thrombus selama kehamilan dan 

periode postpartum.

2. Perubahan laju peredaran darah (statis vena)

Kehamilan menyebabkan peningkatan statis vena pada ekstremitas bawah dan pelvis

sebagai  hasil dari  tekanan pembuluh darah besar karena pembesaran uterus. Statis paling

nyata ketika wanita hamil berdiri untuk periode waktu yang lama. Statis menyebabkan

dilatasi pembuluh darah potensial berlanjut hingga postpartum. Inaktifitas relative selama

kehamilan juga berperan penting dalam bendungan vena dan darah yang statis di

ekstremitas bawah. Waktu yang lama dalam memijakkan  kaki selama kehamilan dan

perbaikan episiotomy juga meningkatkan vena statis dan pembentukan thrombus.

3. Perlakuan interna pembuluh darah

Dapat terjadi pada tindakan operasi. Dapat didahului oleh proses operasi atau inflamasi.

Perlakuan pada interna yang menyebabkan pembuluh darah kehilangan muatan listrik,

sehingga thrombus mudah menempel pada dinding pembuluh tersebut.

Faktor-faktor resiko terjadinya VTE pada ibu hamil meliputi obstruksi aliran vena oleh uterus

yang membesar, atonia vena karena pengaruh hormonal, dan perubahan protrombotik didapat

yang terjadi pada protein-protein hemostatik. Perubahan fisiologik pada sistem hemostatik

meliputi peninggian kadar fibrinogen dan aktivitas faktor VII, resistensi fungsional didapat

terhadap protein C teraktivasi, penurunan protein S, peningkatan plasminogen activator

inhibitor 1 dan 2 yang menurunkan fibrinolosis, dan aktivasi trombosit. Semuanya membantu

terjadinya kondisi hiperkoagulasi pada kehamilan normal.

Cara persalinan juga merupakan faktor risiko terjadinya tromboemboli vena. Insidens DVT

klinik diperkirakan antara 0,08 -1,2 % setelah partus normal, dan meningkat antara 2,2 – 3 %

pada sctio caesaria. Tindakan SC darurat merupakan risiko tertinggi, demikian pula halnya

dengan usia bu dan berat badan. Proporsi DVT post partum dan PE yang tinggi terjadi setelah

keluar dari rumah saki, menekankan pentingnya surveilans yang berkelanjutan setelah nifas.

Jika trombosis vena dicurigai terjadi selama kehamilan, diagnosis objektif harus ditegakkan.

Pemeriksaan radiologik yang hati-hati akan meminimalkan risiko radiasi. Jika dicurigai VTE

Page 30: Ruptura Uteri dan tromboemboli

tetapi tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang, terapi harus dimulai dan

pemeriksaan dapat diulang dalam 7hari, terapi dihentikan jika hasil pemeriksaan negatif.

Trimester ketiga atau masa nifas merupakan saat yang paling mungkin untuk terjadinya PE.

Diagnosis ketika hamil sulit karena banyak tanda dan gejala yang juga terdapat pada ibu

hamil yang sehat.

Risiko kekambuhan VTE pada kehamilan berikutnya dilaporkan sebesar 6,2 % pada ibu

hamil dengan riwayat VTE yang tidak mendapat profilaksis trombosis. Sebagian besar

peristiwa terjadi setelah persalinan sehingga penting sekali untuk pemantauan risiko VTE

pada masa postpartum. (Sarwono, 2010)

Etiologi dan Faktor Risiko Kejadian Tromboemboli Vena dalam Kehamilan

Etiologi

Mekanik

Pembesaran uterus yang menyebabkan obstruksi aliran vena

Atonia vena karena pengaruh hormonal

Hemostatik

Peningkatan aktivitas faktor II, faktor V, faktor VII, faktor VIII, faktor X

Peningkatan kadar fibrinogen

Penurunan fibrinolisis karena peningkatan PAI-1 dan PAI-2

Penurunan aktivitas protein S bebas

Resistensi fungsional didapat protein C teraktivasi

Aktivasi trombosit

Faktor risiko

Karakteristik maternal

Usia

Obesitas

Imobilisasi

Trombofilia

Defesiensi protein C

Defisiensi protein S

Defesiensi antitrombin III

Mutasi faktor V Leiden

Page 31: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Mutasi faktor II G20210A

Mutasi gen MTHFR

Sindrom antifosflipid

Cara persalinan

Vagina

Seksio sesarea

Manifestasi Klinis

1. Thrombosis vena superficial (TVS)

Thrombosis vena superficial biasanya disertai oleh tanda dan gejala inflamasi.

Trombofleblitis biasanyaa dihubungkan dengan varises vena dan terbatas pada daerah

betis. Tanda dan gejalanya meliputi ekstremitas kemerahan, lunak dan hangat. Palpasi

luas dan penyempitan vena. Wanita juga mengalaminya ketika berjalan.

2. Thrombosis vena dalam (TVD)

Thrombosis vena dalam lebih sulit di diagnosis berdasarkanmanifestasi klinis karena

tanda atau gejala seringkali tidak ada atau difus. Jika ada, gejalanya disebabkan  oleh

inflamasi dan obstruksi vena balik, pembengkakan betis, serta edema eritema  hangat dan

lunak. Tan hodmann(nyeri belakang lutut ketika dorsofleksi) dianggaap sebagaiindikator

thrombus vena dalam pada wanita postpartum. Tanda hotmann mempunyai nilai kecil 

pada diagnosis, karena nyeri kemungkinan juga disebabkan oleh ketegangan otot atau

luka memar. Dan ini tidak selalu ada pada wanita yang mengalami thrombosis vena.

Reflex spasme  arteri menyebabkan kaki pucat dan dingin. Pada perabaandapat

penurunan  denyut nadi perifer. Gejala lain meliputi nyeri ketika digerakkan, malaise, dan

kekakuan pada kaki yang terserang.

Pemeriksaan Diagnostik

1. USG Doppler untuk menunjukkan peningkatan lingkaran ekstremitas yang

dipengaruhi

2. Venografi kontras untuk memastikan thrombosis vena dalam

Page 32: Ruptura Uteri dan tromboemboli

3. Hb atau Ht untuk mengidentifikasi homokonsentrasi

4. Pemeriksaan koagulasi untuk  mengidentifikasi hiperkoagulabilitas

Komplikasi tromboemboli

Resiko untuk mendapat tromboemboli vena meningkat lima kali lipat semasa dan segera

setelah kehamilan dan juga terdapat perdebatan peningkatan dalam tromboemboli arteri.

Kedua hal diatas bisa akibat status hiperkoagulasi wanita yang meningkat semasa kehamilan,

dan kemungkinan untuk terjadinya trombosis vena meningkat karena stasis vena.

Pencegahan merupakan hal yang paling baik dan dapat dilakukan dengan pemberian heparin

dosis penuh atau heparin berat molekul rendah, terutama pada wanita dengan resiko tinggi

komplikasi tromboemboli, termasuk wanita dengan riwayat tromboemboli semasa kehamilan

sebelumnya (resiko 4-15 persen), defisiensi antitrombin III (resiko 70 persen), defisiensi

protein C (resiko 33 persen), defisiensi protein S dan sindroma anti cardiolipin antibodi.

Mutasi gen protrombin dan mutasi factor V mengakibatkan resistensi mengaktifasi protein C

(didapati 3 - 5 persen pada populasi) yang akhirnya bisa menjadi alasan untuk terapi

profilaksis. Jika trombus stall emboli diketahui, dianjurkan untuk memberikan terapi heparin

intravena selama 5-10 hari dan diikuti heparin subkutan dosis penuh. Jika tromboemboli

mengancam kehidupan (seperti pada emboli paru yang massif atau trombosis pada katup

protese) terapi trombolitik dapat digunakan.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3485/3/gizi-bahri11.pdf.txt)

Penatalaksanaan

1. Umum

Prosedur umum yang tampaknya pantas untuk profilaksis DVT meliputi:

a. Menghindari imobilitas, khususnya dengan mobilisasi dini setelah operasi.

b. Hindari dehidrasi.

c. Tindakan selama operasi. Kebanyakan imobilisasi terjadi dalam periode ini dan

pembentukan DVT bisa terjadi di meja operasi. Profilaksis yang diberikan hanya pada

pasca bedah tidak efektif.

2. Heparin subkutan

a. Unfractionated heparin dosis rendah.(injeksi heparin biasa) telah diperlihatkan pada

banyak uji klinik mengurangi risiko DVT dari kira-kira 25% menjadi 8%, dan

Page 33: Ruptura Uteri dan tromboemboli

mengurangi sebesar 50% risiko PE pada pasien bedah umum. Dosis 5000 U harus

dimulai kira-kira 2 jam sebelum operasi (atau ketika masuk RS pada pasien yang

sakit) dan berikan setiap 8 atau 12 jam sesudahnya. Ada bukti bahwa pemberian

setiap 8 jam lebih efektif daripada setiap 12 jam, sehingga dianjurkan meresepkan

heparin setiap 8 jam pada pasien risiko tinggi. Risiko utama dari heparin subkutan

adalah meningkatnya perdarahan dan pembentukan hematoma. Trombositopenia yang

diinduksi heparin merupakan komplikasi jarang (kekerapan kira-kira 0,3%) dan

beberapa otoritas menganjurkan pemantauan hitung trombosit jika heparin diberikan

lebih dari 5 hari.

b. Heparin berat molekul rendah (LMWH) lebih mudah daripada unfractionated heparin,

karena diberikan sekali sehari. Dosis harian LMWH adalah: certoparin 3000 U,

dalteparin 2500 U, enoxaparin 2000 U, dan tinzaparin 3500 U.  Efektivitasnya  paling

sedikit sama dengan unfractionat-ed heparin pada bedah umum, dan lebih disukai

untuk pasien dengan penggantian sendi pinggul atau lutut. Komplikasi perdarahan

yang ditimbulkan LMWH lebih kecil bila dibandingkan unfractionated heparin.

Kekurangannya adalah harga lebih mahal. 

c. Heparin dosis-disesuaikan lebih efektif daripada heparin dosis rendah dan baku pada

pasien-pasien risiko tinggi (misal penggantian sendi pinggul) tetapi jarang digunakan

karena memakan waktu dan sukar mengelola unfractionated heparin setiap 8 jam. Di

sini heparin dimulai dengan 3500 U 48 jam sebelum operasi, dan dosis disesuaikan

menurut APPT (activated partial thromboplas-tin time).

3. Stoking dengan kompresi bertingkat (stoking anti-emboli)

Stoking ini mengurangi risiko DVT, namun belum terbukti mengurangi DVT proksimal

dan PE. Kombinasi dengan heparin subkutan mungkin lebih efektif daripada masing-

masing metode sendiri. Stoking bawah lutut mungkin seefektif stoking dengan panjang

penuh, dan lebih nyaman. Stoking harus dipasang dengan hati-hati dan tungkai diperiksa

teratur untuk mencek apa ada kerusakan karena tekanan. Pasien dengan tungkai yang

bentuknya tidak normal mungkin tidak bisa mengenakan stoking kompresi. Stoking

sebaiknya dihindari jika denyut nadi kaki tidak teraba atau jika pasien mempunyai gejala-

gejala penyakit pembuluh darah tepi: jika ragu, periksa indeks tekanan sistolik

pergelangan kaki.

Dianjurkan pemakaian stoking pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopik, yang

bisa menyebabkan stasis vena dengan meningkatkan tekanan abdomen selama insuflasi

abdomen.

Page 34: Ruptura Uteri dan tromboemboli

4. Alat IPC (intermittent pneumatic compression)

Ini melibatkan kompresi setiap tungkai selama kira-kria 10 detik setiap menit (35-40

mmHg). Efektivitasnya sama seperti heparin dalam mencegah DVT. Ketersediaan dan

penggunaan mesin ini tergantung pada kebijakan RS atau bagian.

Foot pump adalah alat mekanis lain untuk profilaksis. Kerjanya adalah mengosongkan

pleksus vena plantaris dengan kompresi ritmik. Alat kompresi digunakan luas pada bedah

plastik dan ortopedi, di mana ada kekhawatiran pening-katan perdarahan pada pemberian

antikoagulan.

5. Warfarin

Warfarin telah diperlihatkan efektif untuk pasien dengan bedah pinggul (penggantian

sendi elektif atau fraktur) serta operasi ginekologi. Warfarin bisa digunakan sebagai dosis

rendah tetap ( 2 mg /hari) atau dosis pantau dengan sasaran waktu protrombin (INR,

international normalized ratio) 2,0-3,0. beberapa uji klinik telah menggunakan hanya

warfarin untuk mengurangi komplikasi perdarahan, tetapi sebaiknya dimulai sehari

sebelum operasi. Profilaksis warfarin ‘dua-langkah’ juga telah diuraikan, yaitu

memberikan dosis rendah selama 2 minggu sebelum operasi, kemudian pasca bedah dosis

lebih tinggi yang dipantau.

Profilaksis warfarin paling banyak digunakan pada bedah ortopedi. Kadang-kadang

warfarin mungkin sesuai untuk pasien bedah umum yang risikonya sangat tinggi.

6. Dextran

Dextran intravena (dextran 70 dan 40) sama efektif seperti heparin dosis rendah untuk

mencegah PE. Agaknya dextran kurang efektif mencegah DVT, kecuali setelah fraktur

pinggul. Dextran belum populer untuk profilaksis karena harus diinfus, ada risiko

kelebihan beban cairan, dan anafilaksis.

7. Aspirin

Aspirin mungkin memiliki efek mengurangi risiko DVT dan PE. Namun kurang berguna

pada bedah umum dan tidak seefektif metode lain dalam praktek ortopedi.

8. Durasi profilaksis anti-trombotik

Idealnya, profilaksis harus dilanjutkan sampai pasien kembali ke aktivitas penuh. Dalam

praktek biasanya ini setelah pasien meninggalkan rumah sakit. Profilaksis mungkin perlu

diperpan-jang pada sebagian pasien risiko tinggi, namun pada pasien yang tinggal di RS

karena alasan sosial, profilaksis bisa dihentikan bila mereka telah bergerak bebas.

9. Terapi hormon dan profilaksis tromboemboli

Page 35: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Keputusan untuk menghentikan terapi hormon sebelum operasi masih kontroversial, dan

sangat dipengaruhi oleh pertimbangan medikolegal serta klinik, sehingga diskusi harus

dicatat di kartu pasien. Harus ada catatan tertulis apakah seorang wanita yang akan

menjalani operasi sedang mendapat terapi hormon atau tidak. Dari sisi risiko DVT dan

PE, ada tiga jenis terapi hormon:

a. Pil kontrasepsi yang mengandung estrogen (termasuk yang kombinasi dengan

progesteron). Risiko tromboemboli lebih tinggi secara bermakna dan berkaitan

langsung dengan kandungan estrogen. Sebaiknya pil ini dihentikan selama 4 minggu

sebelum pembedahan mayor, dan sampai hari-hari menstruasi pertama yang terjadi

paling kurang 2 minggu setelah mobilisasi penuh. Untuk operasi minor dan

intermediate, ada kasus yang memungkinkan wanita meneruskan pil kontrasepsi,

namun mereka ditegaskan untuk mobilisasi dini, penggunaan tindakan profilaktik, dan

konseling seksama (dicatat dalam kartu pasien). Setiap kasus harus dipertimbangkan

menurut kepentingan dan keinginan pasien. Perlu ditegaskan keperluan kontrasepsi

alternatif pada setiap wanita yang disarankan menghentikan pil sebelum operasi.

b. Pil yang hanya mengandung progesteron. Tidak ada bukti bahwa risiko DVT atau PE

lebih tinggi, namun karena tingginya kekhawatiran akan ‘tromboemboli dan pil KB’

telah menyebabkan banyak dokter bedah untuk memperlakukan mereka serupa

dengan pemakai pil estrogen.

c. Terapi pengganti hormon (HRT =hormone replacement therapy): bukti terbaru telah

memperlihatkan ada peningkatan sedikit namun bermakna dari risiko tromboemboli

pada wanita yang mendapat HRT.  Risiko ini sangat rendah sehingga beralasan untuk

membiarkan wanita melanjutkan HRT pada saat operasi, namun pastikan tindakan

profilaksis seperti heparin subkutan digunakan.

10. Anestesia dan antikoagulasi

Blokade saraf pusat (anestesia spinal atau epidural) dikon-traindikasikan pada pasien

yang mendapat antikoagulasi penuh karena risiko terjadinya hematoma di dalam kanal

spinal. Posisi antikoagulan yang digunakan sebagai profilaksis untuk DVT atau PE adalah

kontroversial. Dokter anestesi bervariasi dalam praktek mereka dan penting untuk

membahas rencana profilaksis DVT bersama dengan tim  anestesi, khususnya dalam hal

injeksi heparin pra bedah.

Page 36: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Penatalaksanaan lainnya:

1. Tromboembolisme ringan

Ditangani dengan istirahat, dapat juga dengan pemberian antibiotic dan ibu dianjurkan

untuk  mobilisasi atau aktivitas ringan

2. Tromboembolisme berat

Antikoagulan untuk mencegah bertambah luasnya thrombus dan mengurangi

bahayaemboli. Tetapi dapat dimulai dengan heparin melalui infuse IV sebanyak 10.000

iusatuan setiap 6 jam dan diteruskan dengan kaumarin 10gram perhari kemudian 3

mgperhari selama 6 minggu kemudian dikurangi dan dihentikan dalam 2  minggu.

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Aktifitas

Riwayat duduk lama, imobilitas dengan tirah baring, anestesi akibat pembatasan

aktifitas, juga mencakup pekerjaan ibu

b. Sirkulasi

1) Farises vena

2) Peningkatan frekuensi nadi

3) Riwayat thrombosis vena sebelumnya, masalah jantung, hemografi, hipertensi

karena kehamilan dan hiperkoagulabilitas pada puerperium dini

4) Nadi perifer berkurang, tanda hotman positif, esktremitas bawah (paha dan betis)

mungkin hangat dan berwarna kemerahan, tungkai yang sakit, dingin, pucat serta

edema

c. Cairan

1) Peningkatan berat badan

2) ASI kadang-kadang berkurang pada ibu menyusui

d. Nyeri atau ketidaknyamanan

Page 37: Ruptura Uteri dan tromboemboli

1) Nyeri tekan pada area sakit

2)  Thrombosis dapat teraba/menonjol dan berlekuk

e. Keamanan

1) Adanya endometritis postpartum atau selulitis pelvis

2) Suhu mungkin agak tinggi dan menggigil

2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan interupsi jaringan vena.

b. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi spasme vascular

c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

3. Intervensi Keperawatana. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan interupsi jaringan vena.

Kriteria hasil :1) Nada perifer dapat diraba2) Pengisian kapiler adekuat3) Penurunan edema dan eritemaIntervensi 

1)  Anjurkan tirah baring

Rasional : meminimalkan kemungkinan perubahan posisi thrombus dan

menciptakan emboli

2)  Observasi ekstremitas terhadap warna. Inspeksi adnya edema dari lipat paha

sampai telapak kaki, ukur, dan catat lingkar betis pada kedua kaki.

Rasional : gejala yang membantu membedakan antara trombofleblitis

superficial  dengan thrombosis vena dalam ialah kemerahan, panas, nyeri tekan,

dan edema local merupakan karateristik superficial. Pucat dan dingin pada

ekstremitas merupakan karateristik TVD

3) Kaji pengisian kapiler dan periksa tanda hotmann

Rasional : penurunan pengisian kapiler dan tanda hotmann positif menandakan

TVD

4) Anjurkan untuk meninggikan telapak kaki dan kaki bawah diatas ketinggian

jantung

Page 38: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Rasional : mengosongkan vena superficial dan tibia dengan cepat,

mempertahankan vena tetap kolaps, sehingga meningkatkan aliran balik vena

5) Anjurkan nafas dalam

Rasional : menghasilkan penekanan negative pada toraks yang membantu

pengosongan vena yang besar

6) Lakukan ambulansi progresif setelah fase akut

Rasional : melakukan aliran balik vena membantu mencegah statis

7) Berikan kompres hangat lembap pada ekstremitas yang sakit

Rasional : meningkatkan sirkulasi ke area ekstremitas, meningkatkan vasodilatasi

aliran balik vena dan resolusi edema

8) Kolaborasi dalam pemberian antikoagulan menggunakan heparin

Rasional : heparin dapat mencegah pembentukan thrombus dan mencegah

pembekuan selanjutnya

9) Pantau pemeriksaan laboratorium masa protrombin, masa tromboplastin/Hb/Ht,

AST (SGOT)

Rasional : memantau efektifitas antikoagulan, hemokonsentrasi, dan dehidrasi

dapat menimbulkan pembekuan. Peningkatan kadar AST dapat menandakan

emboli.

b. Nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi spasme vascular

Kriteria hasil :

1) Nyeri hilang

2) Ibu dapat rileks dan istirahat dengan tepat

Intervensi

1)  Kaji derajat ketidaknyamanan atau nyeri dengan melakukan palpasi pada kaki

Rasional : derajat nyeri berhubungan langsung dengan luas nyeri yang terlibat,

derajat hipoksia, dan edema berkenaan dengan terjadinya thrombus pada dinding

Page 39: Ruptura Uteri dan tromboemboli

vena terinflamasi. Ibu dapat melindungi atau mengimobilisasi ekstremitas yang

sakit untuk menurunkan nyeri berkenaan dengan gerakan akut.

2) Pertahankan tirah baring dengan tepat

Rasional : menurunkan ketidaknyamanan berkenaan dengan kontraksi dan

gerakan otot, menimbulkan kemungkinan perubahan posisi thrombus

3) Pantau tanda-tanda vital

Rasional : memantau tanda-tanda vital dapat menandakan peningkatan nyeri

demam dapat memperberat ketidaknyamanan umum

4) Tinggikan ekstremitas yang sakit

Rasional : meningkatkan aliran balik vena memudahkan sirkulasi

5) Anjurkan perubahan posisi yaitu mempertahankan ekstremitas tetap tinggi

Rasional : menurunkan kelelahan, meminimalkan spasme otot, dan meningkatkan

aliran balik vena

6) Jelaskan prosedur tindakan dan intervensi

Rasional : melibatkan ibu dalam asuhan keperawatan, peningkatan control, dan

penurunan rasa cemas

7)  Identifikasi nyeri dada yang tiba-tiba dan tajam, dispnea, takikardi, atau ketakutan

Rasional : tanda dan gejala ini menunjukan emboli paru sebagai komplikasi TVD

8) Berikan obat-obatan sesuai indikasi ( analgetik, antiinflamasi )

Rasional : analgetik menurunkan demam dan inflamasi menghilangkan nyeri

9) Berikan kompres panas yang lembap pada ekstremitas

Rasioanal : menyebabkan vasodilatasi yang meningkatkan sirkulasi

10) Anjurkan tindakan untuk penurunan ketergantungan emosi seperti teknik relaksasi

dan pengungkapan masalah

Rasional : menurunkan derajat kecemasan, mencegah kelelahan otot

Page 40: Ruptura Uteri dan tromboemboli

c. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Kriteria hasil :

1) Mengungkapkan tentang perasaan ansietas

2) Menunjukan penurunan perilaku seperti gelisah dan iritabilitas

Intervensi

1) Jelaskan prosedur, tindakan, dan intervensi keperawatan

2) Rasional : menurunkan rasa takut, meningkatkan pengetahuan ibu dan libatkan

dalam tindakan

3) Anjurkan untuk teknik relaksasi dan pengungkapan masalah

Rasional : mencegah kelelahan otot menurunkan ansietas

4) Pantau tanda-tanda vital dan perilaku seperti kegelisahan peka rangsangan dan

menangis

Rasional : dapat menunjukan perubahan pada tingkat ansietas dan dapat

meningkatkan kemampuan ibu dalam mengatasi masalah

5) Bantu ibu merawat diri sendiri dan bayi

Rasional : ansietas ibu dapat berkurang jika kebutuhannya terpenuhi serta bahwa

ia mampu mengatasi dan terlibat dalam tugas-tugas keperawatan diri sendiri dan

bayinya

6) Anjurkan kontak melalui telepon atau bertemu dengan pasangan dan anak-anak.

Bila ibu dirawat di rumah sakit, dianjurkan kontak dengan bayinya

Rasional : membantu menurunkan perpisahan dan isolasi

Page 41: Ruptura Uteri dan tromboemboli

Daftar Pustaka

Abdul Bari Saifudin,SpOG,MPH,dr,prof,. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan kesehatan Maternal dan Neonatal. JNPKKR-POGI: Jakarta

Bari, Abdul . 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta

Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (1995). Maternity nursing. (4th ed.), Mosby: Years Book-Inc.

Cheketts MR, Wildsmith JAW (1999). Central nerve block and thromboprophylaxis—is there a problem? British Journal of Anaetshesia 82:164-7.

Clagett GP, Anderson FA, Heit J, Levine MN, Wheller HB (1995). Prevention of venous thromboembolism. Chest 108:312-34S.

DepKes RI. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK).

Jakarta

Heller, Luz. 2002. Gawat Darurat Genekologi dan Obstetri. EGC : Jakarta

Ida, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan. Dan KB. EGC: Jakarta

Lowdermilk, D.L., Perry, S.E., & Bobak, I.M.(2000). Maternity women’s health care. (7 nd ed. ),

Pilliteri, A. (2003). Maternal & child health nursing care of the chilbearing & childrearing family. (4 th ed.), Philadelphia: Williams & Wilkins.

Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta

Thromboembolic Risk Factors (THRIFT) Consensus Group (1992). Risk of an prophylaxis for venous thromboembolism in hospital patients. British Medical Journal305:567-74.

Wells PS, Lensing AWA, Hirsh J (1994). Graduated compression stockings in the prevention of venous thromboembolism: a meta-analysis. Archives of Internal Medicine154:67-72.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3485/3/gizi-bahri11.pdf.txt

http://doktergenkgonk.blogspot.com/2012/07/profilaksis-tromboemboli-vena-dvt.html

http://satriaitusehat.blogspot.com/2011/12/tromboemboli.html