Ruptur Uteri

20
Ruptur Uteri Ruptur uteri komplit selama kehamilan merupakan kasus kegawatdaruratan obstetri yang jarang yang dimana biasanya merupakan ancaman besar bagi ibu dan janin. Kemungkinan dari ruptur uteri meningkat akibat distensi uterus dan peningkatan aktivitas uterus. Angka kejadian ruptur uteri meningkat pada salah satu atau lebih dari faktor resiko yang tercantum pada Tabel 3-8. Pada pasien dengan bekas luka segmen uterus bagian bawah, kemungkinan terdapat uterine dehiscence (defek yang tertutup oleh lapisan tipis dari serosa uterus), atau mungkin terdapat defek uteri (bagian yang tampak tertutup oleh membran amnion) (Fig.3- 7). Selain itu, terdapat juga berbagai derajat ruptur uteri: lingkaran tali pusat menonjol ke insisi dengan sisa plasenta yang masih melekat, atau ekstrusi komplit dari janin ke cavum peritoneal dengan plasenta yang terpisah parsial atau komplit (Fig. 3-8). Lokasi ruptur uteri dapat berada di insisi sebelumnya (low transverse, low vertical, atau fundal), atau di berbagai lokasi pada dinding uterus. Hasil dari maternal dan perinatal yang disertai dengan uterine dehiscence atau ruptur uteri bergantung pada jenis dan lokasi ruptur, lokasi bagian presentasi janin pada saat persalinan, dan waktu persalinan yang berhubungan dengan perubahan FHR. Pada umumnya, hasil dari maternal dan perinatal biasanya baik ketika hanya terdapat uterine dehiscence dan pada kasus-kasus ruptur uteri ketika persalinan dicapai dalam 20 menit setelah onset rekurensi sedang hingga berat atau deselerasi lambat. Sebaliknya, mortalitas dan morbiditas dari kematian ibu dan janin secara signifikan meningkat pada salah satu atau lebih dari faktor resiko yang tercantum pada Tabel 3-9. Tanda klinis dan gejala dari ruptur uteri dapat terjadi secara bertahap atau tiba-tiba (Tabel 3-10). Pada pasien dengan riwayat bekas luka seksio sesarea sebelumnya yang sedang mencoba persalinan, perubahan pada FHR merupakan tanda bahaya dari ruptur uteri yang paling sering terjadi. Pada pasien dengan luka fundal yang sudah ada sebelumnya (classical, T, J), tanda dan gejala ruptur uteri yang ada dapat berupa kematian janin, syok hipovolemik atau

description

translate ruptur uteri manajemen akut obsgin

Transcript of Ruptur Uteri

Page 1: Ruptur Uteri

Ruptur Uteri

Ruptur uteri komplit selama kehamilan merupakan kasus kegawatdaruratan obstetri yang jarang yang dimana biasanya merupakan ancaman besar bagi ibu dan janin. Kemungkinan dari ruptur uteri meningkat akibat distensi uterus dan peningkatan aktivitas uterus. Angka kejadian ruptur uteri meningkat pada salah satu atau lebih dari faktor resiko yang tercantum pada Tabel 3-8.

Pada pasien dengan bekas luka segmen uterus bagian bawah, kemungkinan terdapat uterine dehiscence (defek yang tertutup oleh lapisan tipis dari serosa uterus), atau mungkin terdapat defek uteri (bagian yang tampak tertutup oleh membran amnion) (Fig.3-7). Selain itu, terdapat juga berbagai derajat ruptur uteri: lingkaran tali pusat menonjol ke insisi dengan sisa plasenta yang masih melekat, atau ekstrusi komplit dari janin ke cavum peritoneal dengan plasenta yang terpisah parsial atau komplit (Fig. 3-8). Lokasi ruptur uteri dapat berada di insisi sebelumnya (low transverse, low vertical, atau fundal), atau di berbagai lokasi pada dinding uterus.

Hasil dari maternal dan perinatal yang disertai dengan uterine dehiscence atau ruptur uteri bergantung pada jenis dan lokasi ruptur, lokasi bagian presentasi janin pada saat persalinan, dan waktu persalinan yang berhubungan dengan perubahan FHR. Pada umumnya, hasil dari maternal dan perinatal biasanya baik ketika hanya terdapat uterine dehiscence dan pada kasus-kasus ruptur uteri ketika persalinan dicapai dalam 20 menit setelah onset rekurensi sedang hingga berat atau deselerasi lambat. Sebaliknya, mortalitas dan morbiditas dari kematian ibu dan janin secara signifikan meningkat pada salah satu atau lebih dari faktor resiko yang tercantum pada Tabel 3-9.

Tanda klinis dan gejala dari ruptur uteri dapat terjadi secara bertahap atau tiba-tiba (Tabel 3-10). Pada pasien dengan riwayat bekas luka seksio sesarea sebelumnya yang sedang mencoba persalinan, perubahan pada FHR merupakan tanda bahaya dari ruptur uteri yang paling sering terjadi. Pada pasien dengan luka fundal yang sudah ada sebelumnya (classical, T, J), tanda dan gejala ruptur uteri yang ada dapat berupa kematian janin, syok hipovolemik atau perdarahan per vaginam. Pada pasien dengan riwayat seksio sesasera sebelmunya dan kematian janin yang sedang dalam percobaan persalinan, tanda pertama dari ruptur uteri dapat berupa perdarahan per vagina dan atau hipotensi dan takikardi pada ibu.

Tabel 3-8 Faktor Resiko Ruptur Uteri

Riwayat ruptur uteri sebelumnya

Jaringan parut pada uterus yang sudah ada sebelumnya

- Riwayat seksio sesarea/histerektomi sebelumnya

- Miomektomi termasuk cavum uteri sebelumnya

Page 2: Ruptur Uteri

- Reseksi korneal dari kehamilan ektopik sebelumnya

Silent Perforasi uterus sebelumnya

- Suction curretage

- Histeroskopi

Takisistol Uteri yang memanjang

- Oksitosin berlebihan, prostaglandin

Overdistensi Uterus

- Kehamilan ganda

- Polihidramnion

Persalinan pervagina operativ (penggunaan forceps atau vakum yang tidak sewajarnya)

Multiparitas

Placenta percreta

Prolonged obstructed laborTabel 3-9 Faktor Resiko untuk Ibu/Janin yang disertai Ruptur Uteri

Multipel seksio sesarea ( tiga atau lebih)

Insisi Classical, T atau J yang sudah ada

Lateral atau downward ekstensi dari lokasi ruptur

- Melibatkan pembuluh darah uterus atau serviks

Ekstensi ruptur ke area implantasi plasenta

Ekstrusi janin ke dalam cavum peritoneal

- Melibatkan abrupsio parsial atau komplit

Persalinan melebihi 20 menit pada FHR yang meragukan

Ruptur uteri tanpa jaringan parut uterus

- Multiparitas

- Takisistol berlebih dan memanjang

Page 3: Ruptur Uteri

Tabel 3-10 Tanda dan Gejala Ruptur Uteri

Perubahan FHR

- Deselerasi variabel/lambat

- Variabilitas yang berkurang

- Bradikardi

Perdarahan per vaginam

Perubahan aktivitas uteri

Kehilangan fetal station

Nyeri pada insisi uterus

Hipotensi/takikardi

Page 4: Ruptur Uteri

Case 3 : Ruptur Uteri

Pasien berumur 29 tahun, G2 P1 dengan riwayat seksio sesarea transversa rendah atas indikasi kehamilan 40 minggu dengan berat janin 3860 g. Selama kehamilan keduanya, pasien ingin mencoba persalinan normal setelah konsultasi mengenai keuntungan dan resiko-resiko percobaan persalinan. Pasien disajikan dalam persalinan kala aktif pada kehamilan 39 3/7 minggu. Pada pemeriksaan pelvik didapatkan bahwa serviks telah dilatasi 4 cm, 80% tidak menonjol dengan presentasi vertex pada -3 station (vertex tidak bersinggungan). Kontraksi uterus cukup adekuat dan FHR menunjukan hasil base line yang normal dengan akselerasi dan variabilitas yang sedang (Fig. 3-9A). Dua jam kemudian, pemeriksaan pelvik mendapatkan bahwa dilatasi serviks menjadi 6 cm 90% tidak menonjol dengan presentasi bagian pada 2-station. FHR meyakinkan dan pasien diberikan analgesia epidural. Tiga puluh menit kemudian ketuban pasien pecah dengan cairan yang

bening. Elektroda kepala janin ditempelkan dengan FHR menunjukan takikardi janin, variabilitas menurun dan deselerasi variabel atipikal (lihat Fig. 3-9B dan C). Deselerasi terjadi kembali hampir 1,5 jam dengan variabilitas yang menghilang (lihat Fig. 3-9D). Selama periode ini, pasien mendapat terapi cairan IV, amnioinfusion dan oksigen. Pada pemeriksaan pelvic didapatkan pembukaan lengkap dengan vertex pada 1-station. Pada saat itu, pasien dibimbing untuk meneran untuk memulai persalinan.

Selama meneran, FHR semakin memburuk dan berakhir dengan bradikardi (lihat Fig.3-9E). Pasien kemudian segera dipersiapkan untuk seksio sesarea darurat dengan berat janin 3656 g dengan nilai Apgar 0,1 dan 3 pada 1, 5 dan 10 menit. Janin dilahirkan dalam 15 menit setelah bradikardi. Gas darah arteri plasenta didapatkan pH 6.76, PCO2 120 dan BE -28. Pada saat persalinan, janin berada di cavum peritoneal dengan detasemen plastenta komplit. Insisi uterus diperbaiki dan pasien dipulangkan 5 hari kemudian. Bayi mengalami hypoxic ischemic encephalopathy dengan kematian neonatus pada 8 hari.

Diskusi

Pasien dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya akibat serangan percobaan persalinan memiliki angka yang rendah dari persalinan pervaginam jika dibandingkan tanpa riwayat tersebut. Pada pasien ini ditampilkan persalinan kala aktif dengan

bagian presentasi tidak bersinggungan. Penemuan ini juga dihubungkan dengan kesempatan yang lebih rendah untuk melakukan persalinan pervaginam. Pemeriksaan serviks selanjutnya menunjukan presentasi vertex yang tidak bersinggungan. Setelah pecah ketuban, terjadi kontraksi uterus semakin sering dan deselerasi berulang. Pada titik tersebut, sebuah keputusan harus dibuat untuk melakukan seksio sesarea kembali. Hasil FHR selanjutnya menunjukan deselerasi

Case 3 : Ruptur Uteri

Page 5: Ruptur Uteri

variabel atipikal-lambat sehingga pasien mendapatkan amnioinfusion. Manajemen ini tidak sepantasnya dilakukan pada pasien yang ingin melakukan persalinan pervaginam setelah riwayat seksio sesarea.

Ketika serviks dilaporkan lengkap dengan vertex pada -1 station, pasien dimotivasi untuk meneran meskipun grafik janin memburuk secara progresif. Hal ini mendorong terjadinya ruptur uteri komplit dengan mengakibatkan ekspulsi janin ke dalam cavum uteri, menarik plasenta dari implantasinya. Hasilnya, janin mengalami episode hipoksia intermiten hamir 2 jam dan asfiksia komplit akut selama menit-menit terakhir kelahiran dengan hipoksia berat dan asidosis metabolik yang mengarah pada kematian neonatus (Tabel 3-11).

Deteksi awal dari kemajuan abnormal persalinan dan atau perubahan pada grafik janin pada pasien yang sedang meinginkan persalinan normal dengan riwayat seksio sesare merupakan hal yang

sangat kritis, karena hal tersebut mungkin memicu intervensi yang akan mengurangi dan atau mencegah ruptur uteri seperti yang terjadi pada kasus ini. Kesalahan manajemen termasuk kegagalan untuk mengerti pentingnya singgungan vertex selama persalinan kala aktif pada pasien dengan riwayat SC. Temuan pada pasien dengan tidak ada riwayat persalinan normal sebelumnya dan dengan previous arrest of descent harus dianggap sebagai tanda bahaya. Kekhawatiran juga terdapat pada penggunaan amnioinfusion sebagai terapi ominous fetal yang digambarkan pada Figure 3-9C-D, dimana menunjukan ruptur uteri awal. Pada akhirnya, dokter dan perawat menunjukan pengetahuan yang rendah mengenai penanganan pasien dengan persalinan yang menginginkan persalinan normal setelah riwayat SC (VBAC), dengan mengijinkan pasien untuk meneran pada FHR yang abnormal dan vertex yang tidak bersinggungan. Pasien seharusnya dipindahkan ke ruang operasi untuk persalinan dengan seksio sesarea pada saat itu.

Page 6: Ruptur Uteri
Page 7: Ruptur Uteri
Page 8: Ruptur Uteri

Tabel 3-11 Morbiditas dan Mortalitas Perinatal

Fetal Extrusion

Total (n=28) Partial (n=13) No Extrusion (n=58)

Perinatal Death 4 (14) 0 2 (2)

5-minute Apgar <7 20 (71) 6 (46) 13 (22)

Umbilical artery pH

Total <7.00 19 (68) 8 (62) 15 (25)

6.90-6.99 4 2 3

6.80-6.89 3 3 2

6.70-6.79 8 3 8

<6.70 4 0 2

Plasenta Akreta (Perlekatan Plasenta Abnormal)

Plasenta akreta/perkreta didefinisikan sebagai penetrasi abnormal dari villi korion ke dalam miometrium atau lebih dalam lagi. Patofisiologinya dihubungkan dengan adanya sebuah defek pada desidua basalis dan lapisan Nitabuch yang memungkinkan villi untuk menginvasi sebagian atau seluruh lapisan miometrium. Terdapat tiga jenis perlengketan plasenta yang abnormal: plasenta akreta didefinisikan sebagai invasi superfisial dari villi ke dalam miometrium, plasenta inkreta (invasi yang dalam pada miometrium), dan plasenta perkreta dimana terjadi invasi komplit ke dalam miometrium dengan invasi ke dalam struktur pelvik yang bersebelahan(Fig.3-10).

Dahulu, plasenta akreta biasanya merupakan komplikasi obstetri yang jarang; akan tetapi dari studi-studi pada baru-baru ini melaporkan sebuah peningkatan yang substansial pada insidensi yang kemungkinan berhubungan dengan perubahan praktik dalam obstetri saat ini dan demografi. Fakto-faktor resiko dari plasenta akreta/perkreta tercantum dalam Tabel 3-12. Resiko-resiko meningkat secara jelas pada mereka dengan riwayat multipel seksio sesarea.

Diagnosis plasenta akreta harus dianggap bila terdapat salah satu faktor yang tercantum dalam Tabel 3-12. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan USG (Fig.3-11) atau MRI. Temuan pada radiologi dengan plasenta akreta/perkreta dirangkum pada Tabel 3-13. MRI mungkin dapat cukup membantu pada kasus lokasi plasenta posterior atau untuk menentukan derajat invasi plasenta ke dalam jaringan di sekitarnya (Fig. 3-12).

Page 9: Ruptur Uteri

Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak memiliki gejala kecuali jika mereka berhubungan dengan previa. Pada kasus ini, mereka biasanya disertai dengan perdarahan pervaginam dengan atau tanpa persalinan. Sebaliknya, pada pasien dengan plasenta perkreta, ditemukan gejala mungkin berupa hematuria atau perdarahan intraabdomen.

Morbiditas ibu dan janin meningkat pada pasien dengan plasenta akreta/perkreta. Morbiditas janin biasanya berhubungan dengan persalinan preterm (Tabel 3-14). Di sisi lain, mortalitas dan morbiditas ibu meningkat secara jelas pada pasien dengan akreta/perkreta (Tabel 3-15). Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu bergantung pada derajat invasi plasenta, apakah persalinan direncanakan atau darurat dan manajemen yang digunakan.

Tabel 3-12 Faktor Resiko Adherent Plasenta

Plasenta previa

Operasi Uterus

- Seksio sesarea

- Miomektomi

- Suction curettage

- Cornual resection

- Histeroskopi

Usia lanjut

Paritas yang tinggi

Tabel 3-13 Hasil USG pada Akreta

Placenta lacunae

Hilangnya zona hipoekoik retroplasenta

Pasien dengan riwayat SC dan previa

- Intraplacenta lakes with turbulent flow

- Tidak adanya desidua basalis (ketebalan miometrium <1mm)

Hilangnya permukaan halus dari vesica urinaria

Proyeksi nodular fokal ke dalam vesika urinaria (perkreta)

Page 10: Ruptur Uteri

Tabel 3-14 Usia gestasi saat Persalinan pada Plasenta Akreta yang Dikenal

Direncanakan pada 34-35 minggu (n=53)

Rata-rata ± SD pada saat persalinan 33.9 ± 1-1 minggu

Direncanakan ≥ 36 minggu (n=9)

22 (35%) dibutuhkan kegawatdaruratan C/S

4 dari 9 direncanakan ≥ 36 minggu mmemiliki perdarahan darurat

Tabel 3-15 Komplikasi Bagi Ibu pada Akreta dan Perkreta

Perdarahan intrapartum/postpartum berat

Histerektomi

Trauma pada vesika urinaria/uretra

Trauma Bowel

Edema pulmonal/ARDS

Infeksi/abses pelvic

Membutuhkan perawatan ICU

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE)

Acute Tubular Necrosis (ATN)

Intervensi bedah berulang

Kematian

Case 4: Plasenta Akreta

Seorang perempuan 20 tahun G2P1, dengan riwayat section cesarean ditemukan peningkatan dari serum kehamilan alpha fetoprotein 14.5 kali dari batas normal (normal <2). Hasil pemeriksaan USG terbaru menunjukan gambaran placenta previa dengan area aliran darah abnormal di dalam myometrium yang diduga placenta percreta (gambar 3-11). Karena hasil temuan tersebut, MRI dilakukan dan

memastikan jika plasenta telah melebihi lapisan serosa dari uterus (gambar 3-12). Pasien kemudian dirawat di rumah sakit dengan usia kehamilan 33 minggu untuk observasi ketat dan diberikan kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Saat usia kehamilan 34 minggu, ternyata didapatkan oligohidramnion dan diputuskan untuk dilakukan persalinan terencana. Pasien menginginkan agar masih dapat hamil lagi

Page 11: Ruptur Uteri

dan meminta sebisa mungkin untuk tidak dilakukan histerektomi pada saat laparotomi. Oleh karena itu, pasien telah merencanakan section secarea berulang. Pada saat laparotomi, didapatkan plasenta percreta (gambar 3-13A); fundus uteri diperiksa dan tepi plasenta ditemukan (gambar 3-13B). Selanjutnya insisi uterus dilakukan di fundus menjauhi tempat ditemukan plasenta (gambar 3-13C). bayi lahir dengan ektraksi sungsang dengan presentasi vertex. Berat lahir bayi 2240 gram dengan APGAR score 8 dan 9.

Tali pusat diligasi mendekati letak insersi pada plasenta, dan insisi uterus ditutup (gambar 3-13D dan E). Perkiraan perdarahan sekitar 600 ml, dan tidak dibutuhkan transfuse darah. Pasien menerima antibiotik profilaksis dan metotreksat IM dikemudian harinya dan diulang tiap minggu dengan dosis 1 mg/kg berat badan ideal. Pasien di follow up dengan USG, kadar hormon β-human chorionic gonadotropin (β-hCG), DPL, dan enzim hati. Terapi dilanjutkan selama 6 minggu hingga tidak didapatkan β-hCG dalam dua kali pemeriksaan. Sepuluh minggu setelah operasi, dijumpai rupture dari membrane dengan prolaps pangkal tali pusat ke vagina. Temuan tersebut kemudian di eksisi dan pasien menerima antibiotik IV karena demam, dan kemudian diperbolehkan pulang. Delapan bulan setelah persalinan, pasien dalam keadaan sehat.

Diskusi

Diagnosis dini dan persalinan terencana adalah kunci untuk meningkatkan hasil kehamilan pada pasien dengan perlengketan plasenta. Diagnosis perlu dipertimbangkan pada pasien dengan satu atau lebih faktor resiko yang terdapat

apda table 3-12. Setelah diagnose plasenta accrete ditegakan (biasanya dengan USG), langkah berikutnya adalah untuk mengevaluasi tingkat kedalaman penetrasi ke lapisan serosa uterus atau telah menembus hingga ke organ sekitar seperti kandung kemih, usus, atau jaringan parametrium. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI seperti yang telah dilihat pada kasus ini. Tingkat invasi dan ekstensi melebihi dinding uterus penting untuk konseling kehamilan dan untuk perencanaan operasi karena berhubungan dengan waktu, lokasi, dan sumber daya (table 3-16).

Perencanaan manajemen sebaiknya dimulai sejak diagnosis ditegakan. Perlu dibentuk suatu tim multidisipliner, dan pasien perlu diberitahu tentang segala resiko termasuk persalinan premature dan cedera pada organ, tranfusi darah, lama perawatan di rumah sakit, dan kemungkinan dibutuhkannya ruang ICU. Konseling sebaiknya juga diberikan kesempatan berdiskusi mengenai keinginan untuk dapat hamil lagi (mempertahankan uterus).

Mengingat pentingnya persalinan terencana, maka sangat penting untuk merencanakan persalinan pada saat masuk waktu lahir atau saat terjadi perdarahan. Pemberian kortikosteroid juga penting untuk pematangan paru janin pada usia kehamilan 33 - 34 minggu tergantung dari ada tidaknya accrete atau percreta dengan ekstensi. Pasien dengan plasenta previa/increta dirawat inap saat usia kehamilan 34 minggu untuk di pengawasan ketat dan persiapan, dan kemudian dilakukan persalinan saat usia kehamilan 35 minggu. Jika pasien dengan plasenta percreta dengan ekstensi hingga ke pelvis,

Page 12: Ruptur Uteri

maka ia dirawat inap saat usia kehamilan 33 minggu dengan rencanan persalinan saat usia kehamilan 34 minggu.

Jika pasien datang dengan sudah masuk waktu lahir dan perdarahan atau jika plasenta increta/percreta didiagnosa pertama kali saat dilakukan laparotomi, maka penatalaksanaan sebaiknya seperti yang terdapat di table 3-17. Pada saat laparpotomi, adalah penting untuk mengevaluasi perdarahan aktif, mengetahui lokasi dan ekstensi dari invasi plasenta, serta mempertimbangan sumber daya dan bantuan yang tersedia. Selama masa tersebut, berikan bantalan laparotomi yang basah atau lembab pada uterus atau lakukan penekanan pada sumber perdarahan selagi menunggu bantuan, darah, atau produk darah. Jika pasien stabil dan sumber daya tidak mencukupi, tutup insisi abdomen dan pertimbangkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih lengkap.

Pada saat persalinan, pilihan operasi bergantung pada pasien untuk kelahiran anak berikutnya, derajat dan lokasi perdarahan, dan ekstensi dan invasi jaringan plasenta. Pada beberapa instansi, hal tersebut merupakan hal yang sepatutnya untuk merencanakan histerektomi sesarea secara cepat setelah persalinan, sedangkan dalam situasi lain, hal ini sebaiknya dianjurkan untuk meninggalkan plasenta in situ. Sebuah rencana manajemen untuk plasenta akreta/perkreta terangkum dalam Figure 3-14.

Setelah laparatomi pada pasien dengan plasenta perkreta, insisi uterus harus dibuat sejauh mungkin dari margin plasenta. Pada beberapa kasus, USG intra operative dapat digunakan untuk

menggambarkan lokasi plasenta. Insisi uerus dibuat di fundus pada kasus plasenta previa (lihat Fig.3-13C), sedangkan harus dibuat di uterus bagian yang lebih bawah pada kasus fundal placenta.

Jika keputusan dibuat untuk meninggalkan plasenta in situ, tali pusat di ligasi di proksimal hingga insersinya dan insisi uterus ditutup. Pasien kemudian diobservasidi rumah sakit selama 7-10 hari untuk kemungkinan adanya perdarahan atau infeksi. Selama periode ini, antibiotik broad spektrum diberikan dan pasien diberikasn metotreksat intramuskular 50mg/m2 setiap minggu, dan pemeriksaan USG serial termasuk 3-D angiografi. Pemeriksaan lainnya yang dilakukan perminggu yaitu titer β-hCG, CBC, koagulasi dan serum enzim hati dan kreatinin untuk memonitor efek dan efek samping penggunaan metotreksat. Selama terapi ini, perdarahan yang berlebihan membutuhkan transfusi dan mungkin histerektomi dilakukan dalam hitungan jam atau 6 minggu post operasi. Sebagai tambahan, pada beberapa pasien dapat juga berkembang menjadi DIC onset lambat ( biasanya 3-6 minggu setelah operasi) dan infeksi onset lambat.

Jika sebuah keputusan dibuat untuk sesarea histerektomi, perdarahan berlebih dapat menjadi sebuah masalah pada kasus plasenta mulai dari terpisah atau karena perdarahan uterus pada lokasi plasenta previa. Pada situasi ini, teknik manuver tourniquet dapat secara temporer digunakan untuk mengurangi perdarahan, dianjurkan untuk transfusi darah dan sebaiknya dianjurkan untuk adany ahli bedah berpengalaman. Tourniquet dapat berupa 7 hingga 9 French steril Rulibex tube, drain Penrose berat, atau satu buah

Page 13: Ruptur Uteri

selang plastik IV. Tourniquet pertama ditempelkan pada pembuluh darah uterus dan arteri ovarium (Fig.3-15).

Ketika ahli bedah siap untuk memulai sesarea histerektomi, dua pembukaan dibuat hingga ruang avaskular pada kedua ligamen tepat di bawah insisi uterus. Tourniquet sebelumnya dilepaskan, dan yang baru di masukan melewati lubang yang dibuat dan kemudian diikat pada tempatnya. Tourniquet ini sekarang akan

mengentikan aliran darah daro arteri uterina (Fig.3-16). Sesarea histerektomi kemudian dimulai hingga waktunya untuk mengklem pembuluh darah uterus. Pada tahap ini, tourniquet kedua dipotong, dan pembuluh darah di klem dan dijahit. Teknik tourniquet dapat menjadi bermakna pada pasien yang mengalami perdarahan dari

akreta dengan previa dimana darah dan produk darah tidak siap dan atau ketika petugas yang kompeten dan ahli bedah juga tidak ada.

Kesimpulannya, semua unit obstetri harus dipersiapkan untuk menangani perdarahan antepartum dan intrapartum. Hal ini membutuhkan antisipasi dan perkembangan kebijakan dan protokol untuk mengidentifikasi mereka yang berada pada resiko tinggi dan untuk membuat

semua paramedis mampu menatalksana komplikasi-komplikasi tersebut. Hal ini juga membutuhkan tim multidisiplin yang termasuk diantaranya yaitu ahli kandungan dan kebidanan, perawat dan staf bank darah, penata anestesi dan lainnya yang dibutuhkan.

Tabel 3-16 Manajemen Akreta dan Perkreta

Mengurangi resiko yang tidak diinginkan

Konseling pasien

- Berpotensi kehilangan fertilitas

- Membutuhkan pemantauan yang lebih sering

- Membutuhkan perawatan rawat inap awal dan lebih lama

- Resiko persalinan prematur dan cedera organ

Persalinan dalam perlengkapan yang baik

- Hindari Chaos

- Ketersediaan darah dan produk darah

- Ketersediaan tim multidisiplin, ahli bedah berpengalaman, anestesi, ahli urologi, ahli onkologi obstetri, perawat, intervensi radiologi dan staf bank darah.

Page 14: Ruptur Uteri

Tabel 3-17 Manajemen bukan Suspek Plasenta Inkreta/Perkreta

Tentukan lokasi dan penjalaran invasi plasenta

Evaluasi perdarahan aktif

Tentukan kebutuhan ketersediaan asisten

Tunda insisi uterus jika tampak abnormal

Page 15: Ruptur Uteri

Jika pasien stabil dan fasilitas tidak tersedia:

- Tutup uterus dengan handuk hangat dan panggil bantuan

- Jahit insisi abdomen dan pertimbangkan untuk merujuk.