RINOSINUSITIS AKUT makalah
Transcript of RINOSINUSITIS AKUT makalah
RINOSINUSITIS AKUTDisusun untuk memenuhi persyaratan penilaian akhir di bagian Ilmu Penyakit THT-KL
Pembimbing :
Dr.dr. Bambang Udji Djoko, Sp.THT, M.Kes
Disusun oleh:
Yumna Satyani Lasiyo
07/253733/ku/12329
Ilmu Penyaki Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2012
RINOSINUSITIS AKUT
I. PENDAHULUAN
Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari,
baik dokter umum maupun dokter spesialis THT. Sinusitis adalah
keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala
berupa buntu hidung, nyeri fasial dan pilek kentall purulen. Secara
teoritik penyakit ini dapat ditemukan pada bayi (infant), karena sinus
maksila dan etmoid sudah terbentuk sejak lahir. Penderita sinusitis
biasanya datang berobat ke dokter umum atau Spesialis THT. Penyakit
ini cukup sering diketemukan yaitu sekitar 20 % dari penderita yang
datang di praktek dokter. Pada tahun 1996, American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery mengusulkan untuk
mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis.
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasal
yang dipicu oleh terjadinya peradangan pada hidung atau rhinitis.
Sinus paranasal meliputi sinus maksilaris yang terletak di pipi, sinus
etmoidalis yang terletak di antara mata dan hidung, sinus frontalis
yang terletak di bawah dahi, dan sinus sfenoidalis yang terletak di
bawah hipofisis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi
hidung, sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri
(anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum
highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi
oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara
dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus inferior : terdapat muara duktus lakrimalis. Pada meatus
medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
inferior rongga hidung, terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus
semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan
ethmoidalis anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sinus sfenoid. Mukus yang dihasilkan oleh kelenjar-
kelenjar mukosa didorong ke dalam hidung oleh kerja silia-silia sel-sel
silindris. Drainase mukus juga dibantu oleh tenaga menyedot saat
membuang ingus.
Gambar 2. Ostium sinus paranasal
B. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri
oftalmika dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah mendapat
pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,diantaranya ialah
Gambar 1. Sinus Paranasal
ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang arteri sfenopalatina,arteri edmoidalis anterior,arteri
labialis superior dan arteri palatina mayor yang di sebut pleksus
kisselbach.
Gambar 3. Vaskularisasi kavum nasi
C. Innervasi
Hidung luar diinervasi oleh divisi oftalmika mempercabangkan n.
Intocoklearis yang membawa sensasi dari dorsum nasi bagian tulang
dan n. Nasalis eksternus yang membawa sensasi atap hidung bagian
caudal. Pada kavum nasi dan sinus, N. Ethmoidalis anterior cabang n.
Oftalmika membawa sensasi dari kavum nasi bagian antro-superior,
septum dan sinus ethmoidalis, N.ethmoidalis posterior membawa
sensasi dari cavum nasi posterior dan sinus yang berdekatan, N.
Supraorbital dan supratroclear membawa sensasi dari sinus frontalis.
Persarafan simpatis berasal dari N. Spinales T1-T2, menuju
glandula cervicalis, manuju n. Petrusus propundus bersama-sama
dengan n. Superfisial mayor ( canalis vidianus ) membentuk n.
Sfenopalatinus yang berfungsi untuk mengecilkan konka.
Persarafan parasimpatis berasal dari nucleus salivatorius superior,
dibawa oleh n. Petrosus superfisialis mayor, melalui canalis n.
Vidianus. bersinapsis pada ganglion sphenopalatina menjadi n.
Sphenopalatinus yang berfungsi membengkakan konka misalnya
dalam keadaan dingin.
D. Sistem Limfatik
Drainase limfatik bagian luar dan bagian depan dari hidung
drainase kearah mandibular limfenodi kemudian bagian atas limfenodi
jugulare kemudian menuju limfe nodi retropharyngeal. drainase
bagian atas dari rongga hidung berhungan dengan ruangan
subarachnoid sekitar nervus olfactorius.
III. RINOSINUSITIS AKUT
A. Definisi
Rinosinusitis akut adalah peradangan pada mukosa rongga hibung
dan sinus paranasal yang berlangsung kurang dari 4 minggu dengan atau
tanpa disertai cairan sinus. Karena kondisi peradangan selalu meluas ke
rongga sinus maka dipakai istilah rinosinusitis daripada sinusitis.
B. Etiologi
Bentuk paling sering rinosinusitis akut adalah rinosinusitis viral akut
(AVRS). Di Amerika Serikat diperkirakan 39% sampai dengan 87% dari
infeksi saluran nafas bagian atas dapat mengakibatkan rinosinusitis viral akut.
Rinosinusitis viral akut adalah penyakit yang sembuh sendiri, mungkin sulit
dibedakan dengan dengan infeksi saluran nafas atas tanpa sinusitis. Infksi
saluran nafas atas dalah faktor resiko utama dalam perkembangan
rinosinusitis bakterial akut (ABRS), dengan kurang lebih 0,5% sampai
dengan 2% infeksi saluran nafas bagian atas berkembang menjadi infeksi
bakterial. Rinosinusitis bakterial akut juga merupakan penyakit yang
kemungkinan besar sembuh sendiri dengan sekitar 40% sampai 60% dapat
sembuh spontan. Hal ini berdasarkan review sistematik dari penelitian
placebo-controlled clinical trials. Akan tetapi terapi antibiotik pada pasien
ABRS dapat memperpendek lama timbulnya gejala.
Sejak infeksi viral atau bakterial dapat tumpang-tindih pada
manifestasi klinis, hal ini menyebabkan kesulitan untuk membedakan etiologi
infeksi tersebut viral atau bakterial. Pada hari kelima perjalanan penyakit,
AVRS dan ABRS mungkin sulit dibedakan. Perbedaan diagnostik dibuat
berdasarkan lama dan perkembangan dari gejala penyakit. Perkiraan
perjalanan klinis penyakit AVRS ditandai dengan membaiknya gejala dalam
10 hari dari timbulnya gejala infeksi saluran nafas atas, sedangkan ABRS
diperkirakan ketika gejala akut berlangsung 10 hari atau lebih. Rinosinusitis
bakterial akut dapat juga didiagnosis bila gejala kompleks berlangsung
kurang dari 10 hari tetapi menunjukkan memburuknya gejala klinis setelah
perbaikan awal.
Terdapat 3 presentasi klinis untuk ABRS :
- Terdapat tanda dan gejala yang persisten selama 10 hari dan tidak
membaik
- Terdapat perburukan tanda dan gejala pada hari ke 3-4 dari
permulaan gejala seperti demam tinggi minimal 39 celcius dan
discar hidung purulen
- Terdapat tanda dan gejala AVRS yang membaik kemudian
memburuk lagi pada hari ke 5-6 (double sickening).
C. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia
dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-
faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi
ostium menimbulkan drainase tidak adekuat, berakibat penumpukan cairan dalam
sinus. Pada sinus maksilaris menjadi khusus karena mukus dibersihkan melawan
pengaruh gravitasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan obstruksi ostium dapat menimbulkan
sinusitis. Saat obstruksi terjadi hipoksia lokal dalam sinus, menimbulkan
perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi
media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan
penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi pada ostium.
Perbandingan fisiologi sinus normal dan rinosinusitis
(sumber: Strong JF, 2002)
Tabel. Patofisiologi penyakit rinosinusitis
Patensi ostium Fungsi silia Mucus
Edema
Allergen
Infeksi
Polip
Atopi
Kistik fibrosis
Infeksi kronik
Struktur
Deviasi septum
Konka bulosa
Tampon
Penurunan frekuensi
gerakan silia
Siliotoksin
Udara dingin
Kehilangan
koordinasi
Sinekia
Kehilangan sel silia
Polutan / iritan
Mediator inflamasi
Pembedahan
Perubahan jumlah
(meningkat /
menurun)
Allergen
Iritan / polutan
Metaplasia sel
goblet
Perubahan kualitas
Gangguan transpor air
dan elektrolit
Dehidrasi
Kistik fibrosis
(Pinheiro, 1998)
Silia membutuhkan media cairan untuk menjalankan fungsinya secara
normal, seperti diketahui sekresi mukosa sinus paranasal dan kavum nasi
ditemukan dalam kondisi normal. Lingkungan silia normal tersusun atas dua lapis
mukus; lapisan superfisial (berupa gel) dan lapisan di bawahnya berupa lapisan
serous. Pada hidung dan sinus paranasal mukus diproduksi sel goblet dan kelenjar
submukosa. Perubahan komposisi mukus (penurunan elastisitas dan atau
peningkatan viskositas) mengganggu fungsi silia dalam mengeluarkan mukus dari
sinus paranasal atau hidung. Rongga sinus dipercaya steril dari flora normal,
akumulasi bakteri dan cairan, mampu menyebabkan penyakit.
Komposisi mukus dapat terganggu oleh perubahan tranpsor elektrolit dan
air, seperti pada dehidrasi. Faktor lain penyebab terjadinya perubahan komposisi
mukus termasuk peningkatan produksi mukus, diinduksi oleh iritan, alergen atau
paparan udara dingin. Jika produksi mukus melebihi kemampuan clearance maka
terjadi akumulasi dan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Rinosinusitis bakterial akut sangat sering berhubungan dengan infeksi
virus pada saluran nafas atas, walaupun demikian alergi, trauma, neoplasma
penyakit granulomatosa dan inflamasi, penyakit yang mendistruksi septum, faktor
lingkungan, infeksi gigi dan variasi anatomi yang dapat mengganggu clearens
normal mukosilier dapat pula menjadi predisposisi infeksi bakteri.
D. Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan:
o Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret
purulen
o Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus
o Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan
o Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa
pada tenggorok
o Keluhan sistemik berupa demam dan malaise
Diagnosis rinosinusitis terutama berdasarkan riwayat medis dan
dikonfirmasi dengan penemuan pada pemeriksaan fisik. Terdapat panduan dalam
diagnosis rinosin berdasarkan Rhinosiusitis Task Force 1996, yaitu berdasarkan
tanda dan gejala mayor dan minor rinosinusitis. Faktor mayor dan minor tersebut
dapat dilihat pada tabel. dibawah ini.
Tabel . Tanda dan gejala yang berhubungan denga rinosinusitis
(Rhinosiusitis Task Force 1996)
Faktor Mayor Faktor Minor
Facial pain/pressurea Headache
Nasal obstruction Fever (all nonacute)
Nasal discharge/discolored
postnasal drip
Halitosis
Dental pain
Hyposmia/anosmia Fatigue
Purulence in examination Cough
Fever (acute only)b Ear pain/pressure/fullness
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat minimal 2 tanda mayor atau
terdapat 1 tanda mayor dan > 2 tanda minor.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior serta
endoskopi nasal sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Pada pemeriksaan ini tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius
pada rinosinusitis sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di
meatus superior pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis.
Pada rinosinusitis akut, didapatkan mukosa edema dan hiperemis serta pada
anak ditemukan pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-
Ray, CTScan¸ pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray
untuk menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis
dan etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan
posisi lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus
yang besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan
berupa adanya perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun
penebalan mukosa.
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus
dan hidung secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan
CT-scan tergolong cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada
rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau sebagai
tindakan pra-operatif sebagai panduan bagi operator sebelum melakukan operasi
sinus.
Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap.
Sinus yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi
suram atau gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan
karena manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi dilakukan
dengan cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris
melalui meatus inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat dinilai
kondisi sinus maksilaris yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat dilakukan irigasi
sinus sebagai metode penatalaksanaan.
E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan rinosinusitis meliputi:
1. Mempercepat penyembuhan rinosinusitis
2. Mencegah komplikasi orbital dan intrakranial
3. Mencegah rinosinusitis menjadi kronik
Prinsip pengobatan rinosinusitis adalah membuka sumbatan di
kompleks ostio-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dapat pulih secara
alami.
Penatalaksanaan rinosinusitis diharuskan berdasarkan penyebabnya, hal ini
untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Apabila rinosinusitis
akut berlangsung lebih dari 10 hari atau tanda serta gejala lain mendukung ke arah
bakterial maka antibiotik dapat diberikan.
Berdasar kuman penyebab yang telah dikemukakan di atas, maka pilihan
pertama antibiotik pada ABRS adalah Amoksisilin, karena obat ini efektif
terhadap Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae yang merupakan
kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab ABRS. Di Amerika kuman gram
negatif penghasil enzim beta laktamase sudah banyak ditemukan sehingga
antibiotik pilihan beralih pada kombinasi Amoksisilin dan Klavulanat. Antibiotik
harus diberikan 10-14 hari untuk pasien anak dan 5-7 hari untuk dewasa, agar
dapat dicapai hasil maksimal.
Untuk penderita yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan doksisiklin (tetapi
tidak untuk pasien anak) atau fluorokuinolon.
Terapi lini kedua yang dapat digunakan adalah doksisiklin karena dapat melawan
bakteri pathogen di saluran respirasi dan memiliki farmakokinetik dan
farmakodinamik yang bagus. Antibiotik jenis makrolid dan oral sepalosporin
generasi kedua dan ketiga tidak dianjurkan karena resistensinya yang tinggi
terhadap S.pneumoniae. Kotrimoxazol juga tidak direkomendasikan karena
resistensinya terhadap S.pneumoniae dan Haemophilus influenza.
Selain itu dapat pula diberikan terapi simptomatik lainnya seperti analgetik,
mukolitik, dekongestan, steroid oral/topical (terutama pasien alergi), pencucian
rongga hidung dengan NaCl, ataupun diatermi jika diperlukan. Terapi dengan
antihistamin umumnya tidak diberikan karena sifat antikolinergik dapat
menyebabkan sekret bertambah kental.
Penatalaksanaan lain yaitu tindakan operatif/bedah namun pada umumnya
rinosinusitis tidak membutuhkan tindakan operatif. Tindakan operatif yang
dilakukan berupa bedah sinus endoskopi fungsional atau Functional
Endoscopic Sinus Surgery.
Indikasi tindakan operatif ini meliputi:
Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah pemberian terapi adekuat
Sinusitis kronik yang disertai kista
Sinusitis kronik dengan kelainan reversible
Polip ekstensif
Adanya komplikasi orbita dan intrakranial
Sinusitis jamur
F. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan
sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga
penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun
jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya
akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess,
atau komplikasi extra sinus lain.