Referat Rinosinusitis

35
RINOSINUSITIS PADA ANAK REFRAT Diajukan Oleh: Sita Ardilla Rinandyta, S.Ked J 500 080 085 Muslih Setia Ardi Cahyana, S.Ked J 500 090 034 Dhimas Handoko Wibisono, S.Ked J 500 090 042 Arpian Herponi, S.Ked J 500 090 046 Annisaa Rizqiyana, S.Ked J 500 090 056 Pembimbing dr. Made Jeren, Sp.THT KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RSUD DR. HARDJONO S. PONOROGO

Transcript of Referat Rinosinusitis

Page 1: Referat Rinosinusitis

RINOSINUSITIS PADA ANAK

REFRAT

Diajukan Oleh:

Sita Ardilla Rinandyta, S.Ked J 500 080 085

Muslih Setia Ardi Cahyana, S.Ked J 500 090 034

Dhimas Handoko Wibisono, S.Ked J 500 090 042

Arpian Herponi, S.Ked J 500 090 046

Annisaa Rizqiyana, S.Ked J 500 090 056

Pembimbing

dr. Made Jeren, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RSUD DR. HARDJONO S. PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

Page 2: Referat Rinosinusitis

TUGAS REFRAT

RINOSINUSITIS PADA ANAK

Yang Diajukan Oleh :

Sita Ardilla Rinandyta, S.Ked J 500 080 085

Muslih Setia Ardi Cahyana, S.Ked J 500 090 034

Dhimas Handoko Wibisono, S.Ked J 500 090 042

Arpian Herponi, S.Ked J 500 090 046

Annisaa Rizqiyana, S.Ked J 500 090 056

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada hari , tanggal Mei 2013.

Pembimbing:

Nama : dr. Made Jeren, Sp.THT ( )

Dipresentasikan di hadapan:

Nama : dr. Made Jeren, Sp.THT ( )

Kabag. Profesi Dokter FK UMS

Nama : dr. Dewi Nirlawati ( )

Page 3: Referat Rinosinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi gejala kondisi mukosa

rongga hidung dan sinus paranasal, cairan dalam sinus ini, dan / atau yang

mendasari tulang. Istilah "sinusitis" telah digantikan oleh "rinosinusitis"

karena bukti bahwa mukosa hidung hampir universal terlibat dalam proses

penyakit (Ramadan, 2011). Rinosinusitis adalah penyakit yang sangat umum

di seluruh dunia dan khususnya terjadi pada penduduk Amerika Serikat

(Ramadan, 2011). Rinosinusitis merupakan masalah yang umum terjadi pada

anak-anak dengan infeksi saluran napas atas. Berdasarkan penelitian terhadap

anak-anak usia 1-5 tahun dengan gejala-gejala saluran napas atas yang

menetap, 9.3% diantaranya terdapat kriteria klinis dari rinosinusitis akut (≥10

hari mengalami kongesti hidung, sekret atau batuk), sedangkan rinosinusitis

kronik ditemukan pada 19% anak-anak yang mempunyai gejala saluran napas

atas selama kurang lebih 12 minggu (Poachanukoon et al., 2012).

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung

dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau

sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi

Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien

rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% diantaranya adalah

sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi bedah sinus

endoskopik fungsional (Arivalagan dan Rambe, 2013).

Istilah rinitis, sinusitis, atau bronkitis sering digunakan secara terpisah

berdasarkan gejala yang ditujukan oleh pasien. Pada prakteknya, secara klinis

ketiga penyakit tersebut seringkali muncul secara bersamaan. Selain itu, sulit

membedakan ketiganya dengan hanya berdasarkan klinis (Daulay et al.,

2008). Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology-Head and

Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan

rinosinusitis (Kentjono, 2004). Para ahli akhirnya menggunakan terminologi

Page 4: Referat Rinosinusitis

rinosinusitis atau bahkan rinosinobronkitis dengan mempertimbangkan bahwa

manifestasi inlfamasi antara saluran respiratori atas (hidung, sinus, laring,

trakea) dan saluran respiratori bawah (bronkus) merupakan satu kesatuan yang

disebut united airway disease (Daulay et al., 2008). Selain itu, alasan lain

yang dikemukakan oleh para ahli adalah 1) membran mukosa hidung dan

sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain (contiguous), 2)

sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa

disertai rinitis, 3) gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman

ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis, dan 4) foto CT scan dari

penderita common cold menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi hidung

dan sinus paranasal secara simultan (Kentjono, 2004).

Gejala pada anak-anak terbatas dan bisa sangat mirip dengan gejala flu

atau alergi pada umumnya. Batuk dan sekret hidung mungkin satu-satunya

gejala terdapat pada anak-anak. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi

diperlukan untuk membuat diagnosis rinosinusitis pada anak-anak. Mayoritas

dari mereka yaitu anak yang butuh perlakuan secara medis. Hanya beberapa

yang akan memerlukan intervensi bedah ketika pengobatan medis gagal.

Komplikasi rinosinusitis, meskipun jarang, dapat membawa angka morbiditas

dan mortalitas (Ramadan, 2011).

Gejala klinis pada anak-anak termasuk ARS (Acute Rhinosinusitis) hidung

mampet, lendir hidung yang berwarna, dan batuk dengan resultan gangguan

tidur. Nyeri wajah/kepala terdapat pada anak remaja. ARS didefinisikan

sebagai gejala yang berlangsung hingga 4 minggu, subakut adalah ketika

gejala antara 4 minggu dan 12 minggu, dan CRS (Chronic Rhinosinusitis)

adalah ketika gejala telah hadir untuk lebih dari 12 minggu (Ramadan, 2011;

Arivalagan dan Rambe, 2013).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diperoleh suatu masalah

sebagai berikut: bagaimana yang dimaksud dengan rinosinusitis pada anak?

Page 5: Referat Rinosinusitis

C. Tujuan

Mengetahui dan menambah wawasan tentang rinosinusitis pada anak dan

mengetahui pemeriksaan apa saja yang dapat membantu menegakkan

diagnosis rinosinusitis pada anak serta penatalaksanaannya.

D. Manfaat

Makalah ini dapat memberikan informasi yang detail mengenai

rinosinusitis pada anak, sehingga dapat membantu dalam penegakan diagnosis

dan penatalaksanaan rinosinusitis pada anak.

Page 6: Referat Rinosinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung

dan sinus paranasalis dan masalah umum pada anak-anak dengan infeksi

saluran pernapasan atas (Poachanukoon et al., 2012). Rinosinusitis merupakan

terminologi dari rhinitis dan sinusitis. Rhinitis adalah radang pada mukosa

hidung. Diagnosis rhinitis biasanya dibuat berdasarkan adanya keluhan rinore,

hidung tersumbat, dan bersin-bersin, atau hidung gatal. Sinusitis didefinisikan

sebagai inflamasi pada sekurang-kurangnya satu sinus paranasal (Daulay et

al., 2008; Mardiraharjo, 2009). Gejala sinusitis bervariasi mulai dari yang

ringan sampai berat. Pasien anak dengan sinusitis biasanya datang dengan

keluhan batuk kronik, post nasal drip, dan sakit kepala (Daulay et al., 2008;

Rinaldi et al., 2006). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering

ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis

diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut

dan rinosinusitis kronik ( Arivalagan et al, 2013).

Ada delapan (empat pasang) sinus paranasal pada manusia, terletak pada

masing-masing sisi hidung, yang terdiri dari sinus frontal kanan dan kiri, sinus

etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri

(antrum Highmore), dan sinus sphenoid kanan dan kiri (Daulay et al., 2008;

Rinaldi et al., 2006). Seluruh rongga sinus dilapisi mukosa yang merupakan

lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara, dan bermuara ke rongga hidung

melalui ostium masing-masing. Pada masa anak dan remaja, lapisan mukosa

ini sering mengalami infeksi dan inflamasi, sehingga meningkatkan angka

kesakitan, tetapi jarang meninmbulkan komplikasi yang memerlukan

pengobatan seumur hidup. Sinus paranasal berfungsi untuk resonansi suara,

humidifikasi udara, dan meringankan kepala (Daulay et al., 2008).

Page 7: Referat Rinosinusitis

B. Epidemiologi

Sinus etmoid dan sinus maksila telah terbentuk sempurna sejak lahir.

Sinus sphenoid mengalami penumatisasi pada usia 5 tahun, sedangkan sinus

frontal terbentuk pada usia 7 tahun, tetapi belum berkembang sempurna

hingga masa remaja. Sejak awal kehidupan, anak sudah merupakan faktor

predisposisi rinosinusitis paranasal. Pada anak yang lebih muda, sinus etmoid

dan sinus maksila sering terlibat, selain itu kejadian rinosinusitis akut sedikit

lebih banyak daripada IRA-atas atau adenoiditis. Pada anak yang lebih tua,

sinus sphenoid dan frontal lebih sering terlibat dan rhinitis alergik lebih sering

terjadi. Kejadian rinosinusitis, berturut-turut pada bayi, anak usia 5-9 tahun,

dan remaja, masing-masing adalah 1%, 5%, dan 15%. Rhinitis alergik

merupakan faktor predisposisi pertama terjadinya rinosinusitis paranasal,

sedangkan IRA-atas lainnya merupakan faktor predisposisi kedua (Daulay et

al., 2008).

C. Etiologi

1. Infeksi virus : Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus,

virus influenza A, dan respiratory syncytial virus (RSV) (Ramadan, 2011;

Daulay et al., 2008).

2. Infeksi bakteri

a. Patogen akut dan subakut

1) Streptococcus pneumonia, 20-30%.

2) Haemophillus influenza, 15-20%.

3) Moraxella catharallis, 15-20%, tidak sering yang dijumpai pada

dewasa.

4) Streptococcus pyogenes (beta-hemolitik), 5%.

(Ramadan, 2011; Daulay et al., 2008))

b. Patogen kronis

Populasi bakteri pathogen pada rinosinusitis tidak diketahui dengan

pasti. Rinosinusitis kronis umumnya disebabkan oleh infeksi berbagai

mikroba. Hasil kultur yang paling sering dijumpai adalah

Page 8: Referat Rinosinusitis

Streptococcus -haemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus

koagulase-negatif, Haemophillus influenza nontipe (lebih sering

daripada rinosinusitis akut), Moraxella catharallis, bakteri anaerob,

(Peptostreptococcus prevotella, Bakteroides, dan spesies

Fusobakterium), dan Pseudomonas (paling sering ditemukan pada

kelompok pasien yang memakai bermacam-macam antibiotik dan

kelompok dengan imunodefisiensi) (Ramadan, 2011; Daulay et al.,

2008).

3. Hipertrofi adenoid (Daulay et al., 2008).

D. Faktor Predisposisi

1. IRA-atas virus

Infeksi respiratori akut-atas virus dijumpai pada 10-15% anak berusia

diatas 9 tahun. Infeksi ini merupakan faktor predisposisi utama

rinosinusitis (Hamilos dan Dyckewics, 2010).

2. Rinitis alergik

Penyakit ini merupakan faktor predisposisi kedua rinosinusitis.

Eosiniofilia menyebabkan peningkatan major basic protein, sangat toksik

terhadap mukosa, dan mengganggu klirens mukosiliar. Uji alergi

direkomendasikan untuk semua kasus tanpa perbaikan gejala, terutama

pada anak dengan riwayat alergi keluarga dan memiliki gejala atopi pada

kulit (Daulay et al., 2008).

3. Kelainan anatomi

Kelainan anatomi pada dinding lateral nasal merupakan faktor

predisposisi sinosinusitis. Konka bulosa dan pembesaran konka medius

dapat menyebabkan penutupan KOM. Kompleks ostio meatal (KOM)

terdiri dari saluran-saluran sempit dan terbuka yang dapat tertutup oleh

kelainan anatomi, pembengkakan mukosa, sekresi, polip, dan berbagai

faktor lain (Singh, 2010; Daulay et al., 2008). Sel Haller dan sel

infraorbital dapat menyebabkan penyempitan ostium sinus maksila dan

merupakan predisposisi rinosinusitis maksila. Deviasi septum pada daerah

Page 9: Referat Rinosinusitis

konka media menyebabkan lateralisasi turbin medius dan penutupan

KOM. Variasi kelainan anatomi yang lainnya ialah agger nasi, hipoplasia

sinus maksila, dan bula etmoid, yang sangat besar (Daulay et al., 2008;

Singh, 2010).

4. Defisiensi imun

Defisiensi imun dijumpai pada 0,5% populasi anak. Maturitas respons

imun humoral mendekati dewasa sejak anak berusia 7 tahun, dan prevalens

rinosinusitis kronis akan berkurang sejak usia ini. Sepertiga dari pasien

rinosinusitis yang menetap mungkin menderita defisiensi imun, terutama

jika terdapat riwayat sering mengalami infeksi bakterial berulang bila

antibiotik dihentikan. Defisiensi imun umunya lebih sering terjadi daripada

fibrosis kistik atau kerusakan silia. Yang tersering ditemukan adalah

penurunan jumlah subklas IgG dan antibody selektif. Manifestasi kelainan

imun yang paling sering dijumpai adalah IRA-atas berulang (Daulay et al.,

2008).

Anak dengan defisiensi imun biasanya memiliki gejala rinosinusitis

yang lebih berat. Apabila tidak terdapat perbaikan setelah ditatalaksana

medis secara agresif, anak harus dipertimbangkan memiliki defisiensi

imun. Evaluasi dini kadar Ig total dan subkelas IgG dilakukan ketika

timbul respons terhadap pemberian vaksin Pneumokokus, tetanus toksoid,

dan difteri (Hamilos dan Dyckewics, 2010).

5. Asma

Apabila fungsi nasal terganggu, post nasal drip akan meningkat.

Rinosinusitis kronis dijumpai pada 80% penyandang asma. Infeksi

respiratori akut-atas virus merupakan faktor pencetus serangan asma.

Pengobatan rinosinusitis kronis akan menormalkan uji fungsi paru,

sehingga mengurangi penggunaan bronkodilator jangka panjang pada

penyandang asma (Daulay et al., 2008).

Page 10: Referat Rinosinusitis

6. Penyakit Refluks Gastroesofagus

Refluks gastroesofagus menyebabkan iritasi mukosa, sehingga terjadi

inflamasi pada ostium tuba Eustachius atau ostium sinus (Hamilos dan

Dyckewics, 2010).

7. Alergi fungus

Masa polipoid akibat perubahan mukosa sinus akibat alergi fungus

biasanya unilateral. Sekret nasal dan sinus akibat alergi fungus berupa

mukus seperti selai kacang. Pemeriksaan histologis pada sekret sinus

ditemukan kelompok eosinofil dan Kristal Charcot-Leyden. Fungus yang

sering menyebabkan alergi berasal dari genus Aspergillus sinus (Daulay et

al., 2008).

E. Klasifikasi Rinosinusitis

Berdasarkan lamanya gejala, terdapat banyak versi mengenai pembagian

rinosinusitis. Secara mudah dalam klinis dikategorikan akut atau kronik. The

Consensus Panel for Pediatric Rhinosinusitis yang terdiri dari para ahli di

Eropa dan US, membaginya menjadi beberapa kategori: Rinosinusitis akut,

yaitu infeksi sinus dengan resolusi dan gejala yang komplit dalam waktu 12

minggu. Rinosinusitis akut dapat dikategorikan menjadi severe atau nonsevere

berdasarkan gejala klinis yang timbul. American Academy of Pediatrics (AAP

2001) membagi kelompok ini menjadi akut dan sub-akut. Akut apabila gejala

kurang dari 30 hari dan sub-akut bila gealanya antara 30-90 hari (12 minggu).

Rinosinusitis kronik, yaitu infeksi sinus dengan gejala yang ringan-sedang

yang menetap lebih dari 12 minggu. Rinosinusitis akut berulang, yaitu

beberapa episode akut dengan diselingi masa sembuh diantara 2 episode.

Sebaliknya jika diantara 2 episode pasien tidak pernah sembuh benar maka

dikategorikan sebagai eksaserbasi akut rinosinusitis kronik sinus (Daulay et

al., 2008).

Page 11: Referat Rinosinusitis

F. Patofisiologi

Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan

faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan

sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung

khususnya kompleks ostiomeatal (KOM) (Kentjono, 2004). Pada keadaan

normal, sinus paranasal berada dalam keadaan steril. Mukosa sinus paranasal

berasal dari mukosa nasal dan berlanjut menjadi mukosa nasofaring. Pada

mukosa nasal dan nasofaring banyak dijumpai koloni bakteri berdensitas

rendah (hipodens), sehingga mukosa sinus paranasal selalu terkontaminasi

bakteri dari daerah sekitarnya. Kontaminasi hanya bersifat sementara karena

akan segera dibersihkan oleh apparatus mukosiliar normal (Daulay et al.,

2008).

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan struktur anatomi yang penting,

terletak di dalam meatus medius, dan telah terbentuk sejak lahir meskipun

besarnya belum mencapai ukuran maksimal. Kompleks ini dibentuk oleh

infundibulum etmoid, bula etmoid, resesus frontal, prosesus unsinatus, dan

hiatus semilunaris. Rinosinusitis pada anak tidak terjadi secara primer akibat

penyumbatan KOM, sehingga terjadi rinosinusitis maksila dan rinosinusitis

frontal kronis. Pada keadaan normal, pergerakan metakronus mukosa normal

mengarah ke ostium alamiah sinus, tetapi aliran kea rah nasofaring dapat

terhalang oleh inflamasi mukosa. Inflamasi terjadi secara sekunder akibat

IRA-atas virus, alergi nasal, atau respons tubuh terhadap keduanya.

Akibatnya, terjadi rinosinusitis kronis pada anak (Daulay et al., 2008).

Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: 1) Inflamasi

mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi dan terjadi

obstruksi (blokade) ostium sinus dengan gangguan ventilasi dan drainase,

reasorbsi oksigen yang ada di rongga sinus terjadi hipoksia (oksigen menurun,

pH menurun, tekanan negatif) yang mengakibatkan permeabilitas kapiler

meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian terjadi transudasi,

peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia kemudian retensi sekresi

di sinus. Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat

Page 12: Referat Rinosinusitis

dari colds (infeksi virus) dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang

hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat

keparahan yang berbeda. Selain jenis virus, keparahan udem mukosa

bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV

biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan

obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus

stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat

kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan

sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera

diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada

mukosa dan cairan sinus paranasal. Sekitar 0,5% - 5% dari rinosinusitis virus

(RSV) pada dewasa berkembang menjadi rinosinusitis akut bakterial,

sedangkan pada hanya sekitar 5 % - 10% saja. Peneliti lain mengatakan,

infeksi saluran napas atas akut yang disertai komplikasi rinosinusitis akut

bakterial tidak lebih dari 13%. 2) Bakteri yang paling sering dijumpai pada

rinosinusitis akut dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus

influenzae, sedangkan pada anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis.

Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak

menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk

pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons

bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih

anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan

masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaero-philic

streptococci), dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini

dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan

efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. 3)

Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan

metaplastik menjadi mucus sekreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin

meningkat (Kentjono, 2004).

Page 13: Referat Rinosinusitis

G. Gejala Klinis

Pilek, hidung tersumbat, pernapasan mulut, hidung dan suara mendengkur

yang umum pada anak-anak dan sering terjadi sebagai akibat infeksi berulang

saluran pernapasan atas (pilek), hipertropi adenoid dan/atau lapisan alergi

hidung (rinitis) . Karena gejala yang tumpang tindih dan tanda-tanda yang

umum, dan bisa terjadi bersamaan, bisa sulit untuk memilah mana kondisi

yang sebenarnya (Kentjono, 2004).

H. Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Rhinitis ditandai oleh

adanya rinore, hidung tersumbat, bersin-bersin, atau gatal. Sebagian besar

literature atau consensus ahli menyetujui bahwa penegakan diagnosis

sinusitis akut didasarkan atas gejala klinis. Gejala yang sering dikeluhkan

berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, atau post nasal

drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Selain itu juga pasien dapat

mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau, kelelahan, sakit pada gigi, batuk,

dan sakit pada telinga. Ingus yang purulen di dalam rongga hidung dapat

meninmbulkan post nasal drip yang pada anak seringkali bermanifestasi

sebagai batuk berdehem. Keluhan batuk produktif juga dikaitkan dengan

penjalaran infeksi atau peradangan ke saluran respiratori di bawahnya. Pus

kental akan mengalir ke bawah menuju paru, dan merupakan rangsangan

pada bronkus sehingga memperberat serangan asma. Gejala klinis dapat

berupa gejala respiratori atas yang persisten atau yang berat (Daulay et al.,

2008).

Page 14: Referat Rinosinusitis

Tabel 1. Gejala dan tanda rinosinusitis pada anak

Rhinosinusitis Akut Non-severe Rinosinusitis Akut SevereRinoreKongesti hidungBatukSakit kepala, nyeri wajah, iritabilitasTidak demam atau sub febris

Rinore purulen (kental, keruh, opaq)Kongesti hidungNyeri wajah atau sakit kepalaEdema periorbitalDemam tinggi ( 39 )

2. Pemeriksaan fisik :

a. rinoskopi anterior : rinosinusitis akut : mukosa edem dan hiperemis,

pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius

b. rinoskopi posterior

c. naso-endoskopi

3. Pemeriksaan penunjang : foto polos atau CT-Scan

a. Pemeriksaan radiologis

Pedoman atau literatur sebagian besar sepakat untuk tidak

menggunakan foto radiologi sinus paranasal polos sebagai dasar

penegakan diagnosis sinusitis. AAP 2001 juga sepakat dengan

menyatakan bahwa radiologi tidak diperlukan untuk mengkonfirmasi

diagnosis klinis sinusitis pada anak kurang dari 6 tahun. Foto radiologis

baku untuk diagnosis adalah:

1) Waters (occipitomental) untuk melihat sinus frontalis dan maksilaris

2) Caldwell (postero anterior) untuk melihat sinus frontalis dan etmoid

3) Lateral untuk melihat sinus sphenoid dan adenoid.

Gambaran yang sugestif untuk mengkonfirmasi sinusitis adalah

perkabutan komplit (complete opacification), penebalan mukosa

sedikitnya 4 mm, atau adanya air fluid level. Pemeriksaan radiologis

paru yang dilakukan biasanya normal atau didapatkan corakan

bronchial yang meningkat bergantung pada luas dan lamanya sakit.

Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk anak yang akan menjalani

pengobatan bedah, untuk mengetahui anatomi sinus secara mendasar,

sebagai pemandu untuk pengobatan bedah dan memperoleh informasi

Page 15: Referat Rinosinusitis

komplikasi yang terjadi pada sinus. Pemeriksaan USG dapat

menunjukkan adanya cairan dalam rongga sinus dan penebalan mukosa,

namun pada kepustakaan sangat jarang disebutkan peranannya.

b. Pemeriksaan mikrobiologi

Bahan pemeriksaan yang berasal dari sekret di rongga hidung akan

dapat menemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora

normal hidung dan kuman pathogen. Oleh sebab itu, pemeriksaan baku

emas adalah specimen yang didapat dari pungsi atau aspirasi sinus

maksilaris, namun hal ini tidak rutin dikerjakan pada anak karena

memerlukan anestesi umum. Sinusitis bakterial akut ditegakkan bila

didapatkan koloni bakteri > U/mL. Pada kepustakaan disebutkan

bahwa indikasi pemeriksaan ini adalah bila respons terhadap

pengobatan medik kurang atau tidak ada, penderita dengan

imunokompromais, atau jika penyakit sinusitis mengancam hidup

pasien.

Pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan transiluminasi. Pemeriksaan ini

dilakukan untuk mengetahui adanya cairan di sinus yang sakit, yang

akan terlihat suram, bila dibandingkan dengan sinus yang normal.

Pemeriksaan ini dilakukan pada ruangan gelap dan transiluminator

diletakkan di mulut atau dagu (sinus maksila), di bawah medial aspect

of the supraorbital ridge area (sinus frontal).

Rinoskopi yang dilakukan dapat menemukan adanya mukosa konka

yang hiperemis dan edema yang dilihat dengan menggunakan rinoskopi

anterior, sedangkan pada rinoskopi posterior terkadang tampak adanya

post nasal drip. Sinuskopi dilakukan untuk mengetahui atau melihat

secara langsung mukosa sinus dan membedakan derajat kelainan sinus.

Pemeriksaan uji fungsi paru dilakukan pada pasien dengan dasar alergi

atau asma, untuk mengetahui fungsi paru dan hasil pengobatan.

Page 16: Referat Rinosinusitis

I. Tatalaksana

1. Medikamentosa

Tatalaksana medis yang maksimal meliputi ketepatan pemberian

antibiotik, irigasi nasal dengan salin, steroid topikal, dan dekongestan.

a. Antibiotik pada rinosinusitis akut

Pemberian antibiotik merupakan pengobatan medis utama

rinosinusitis pada anak. Pengobatan diberikan selama 10-14 hari atau

satu minggu setelah perbaikan gejala. Karena meningkatnya prevalensi

bakteri yang resisten terhadap beta-laktam di masyarakat, antibiotik

sebaiknya diberikan berdasarkan etiologi infeksi, dan harus didukung

oleh anamnesis dan pemeriksaan fisis dengan sangat hati-hati.

Rinosinusitis akut tanpa komplikasi pada anak menunjukkan

perbaikan setelah pengobatan dengan amoksisilin. Pengobatan ini

merupakan pengobatan lini pertama rinosinusitis anak, karena secara

umum amoksisilin efektif, aman, dapat ditoleransi, murah, dan

berspektrum sempit. Anak yang alergi penisilin (hanya reaksi alergi,

bukan hipersensitivitas tipe 1) diberikan sefalosporin generasi kedua

atau ketiga. Selain itu dapat juga digunakan trimetoprim-

sulfametoksazol (70-80% gejala biasanya membaik dengan obat ini

dalam 2-3 hari) (Mangunkusumo, 2007).

b. Terapi tambahan pada rinosinusitis akut

Efikasi irigasi sinus dengan salin pada pengobatan rinosinusitis akut

dan kronis telah dapat dibuktikan. Tujuan pengobatan rinosinusitis

adalah untuk meningkatkan pergerakan mukosiliar dan vasokonstriksi.

Mekanisme ini akan membuang sekret, mengurangi jumlah bakteri, dan

membebaskan alergen di sekitar lingkungan hidung.

Steroid nasal sangat berguna untuk anak dengan rinitis alergik.

Dilaporkan bahwa 90% penyandang akan menunjukkan perbaikan

gejala termasuk kongesti nasal. Absorpsi melalui mukosa nasal ke

aliran darah sistemik sangat minimal. Supresi aksis hipofisis dan

glaukoma dilaporkan hanya terjadi pada dewasa. Beberapa steroid nasal

Page 17: Referat Rinosinusitis

sedang diteliti keamanannya pada anak usia muda. Pemilihan obat harus

dilakukan dengan sangat hati-hati.

Efektivitas dekongestan nasal bevariasi. Dekongestan topikal dapat

memperbaiki keadaan dan memberikan rasa nyaman. Vasodilatasi

rebound dapat dicegah dengan memberikan dekongestan nasal selama

4-5 hari pertama pengobatan medis. Efektivitas mukolitik sangan

bervariasi. Hingga saat ini belum ada studi kontrol yang dilakukan

untuk mengetahui efektivitasnya. Antihistamin kebanyakan digunakan

pada anak dengan atopik. Pemberian imunoterapi akan efektif bila

alergen spesifiknya diketahui (Daulay et al., 2008).

2. Tindakan bedah

a. Adenoidektomi

Secara bermakna, terdapat gejala tumpang tindih antara adenoiditis

dengan rinosinusitis kronis. Adenoid rentan terhadap infeksi dan

sumber obstruksi. Dengan hanya melakukan adenoidektomi,

penyembuhan gejala mencapai lebih dari 50%.

b. Tindakan bedah sinus dengan fungsional endoskopi

Tindakan bedah merupakan pilihan pengobatan terakhir pada

rinosinusitis anak. Teknik atraumatik dengan pemeliharaan mukosa

sangat penting. Kebanyakan tindakan bedah berupa pengangkatan

unsinatus, etmoidektomi anterior, dan antrostomi maksila. Keberhasilan

tindakan bedah mencapai lebih dari 80%. Apabila tindakan bedah

dilakukan bersamaan dengan adenoidektomi, keberhasilan pengobatan

akan lebih besar.

Prosedur kedua adalah pembersihan rongga dan pengangkatan debris

2-3 minggu setelah tindakan bedah. Tindakan ini tidak rutin dilakukan

dan tidak ada data yang menyokong keharusan prosedur ini dilakukan.

Pencucian sinus maksilaris dan pemberian antibiotik intravena tidak

dilakukan secara universal. Pasien membutuhkan nasal toilet pasca

operasi dan pengobatan kondisi medis yang terkait. Khusus untuk

Page 18: Referat Rinosinusitis

pasien fibrosis kistik dibutuhkan tindakan bedah sinus untuk

meningkatkan efektivitas irigasi (Daulay et al., 2008).

J. Pencegahan

Nasal toilet yang dilakukan sebaik mungkin dengan menggunakan irigasi

salin, mungkin merupakan suatu cara untuk mencegah eksaserbasi

rinosinusitis akut dan kronis. Pengendalian maksimal kondisi terkait dan

pasien dianjurkan untuk mengindari pajanan iritan dari lingkungan seperti

asap rokok (Daulay et al., 2008).

K. Komplikasi

1. Keterlibatan orbital

Pemeriksaan CT-scan dengan kontras dapat membantu menentukan

keterlibatan orbital, yaitu untuk menentukan sejauh mana orbital terlibat

dan mengidentifikasi adanya pengumpulan cairan berupa gambaran cincin

yang khas (typical ring-enhancing fluid) tanda adanya abses subperiosteal.

Klasifikasi, tanda, dan gejala keterlibatan orbital yaitu:

a. Selulitis preseptal; kelopak mata bengkak, eritema, dan pergerakan bola

mata normal.

b. Selulitis orbital; proptosis dan kemosis.

c. Abses periorbital; proptosis dengan pergeseran bola mata kea rah

inverolateral dan pergerakan otot ekstraokular berkurang.

d. Abses orbital, proptosis yang berat, gangguan penglihatan, bola mata

menetap, dan anak sangat toksik.

Trombosis sinus kavernosus ditandai dengan demam tinggi dan gejala

bilateral. Rinosinusitis dengan keterkibatan orbital berpotensi mendapat

pengobatan seumur hidup dan sangat beresiko mendapat pengobatan tidak

teratur. Rinosinusitis dengan keterlibatan orbital memerlukan antibiotik

intravena, dan bila mungkin dilakukan pemeriksaan endoskopi atau

tindakan operasi. Konsultasi dini dengan spesialis mata sangat dianjurkan

untuk memantau penglihatan (Daulay et al., 2008).

Page 19: Referat Rinosinusitis

2. Keterlibatan intrakranial

Keterlibatan intrakranial dapat terjadi akibat penyebaran langsung dari

rinosinusitis sfenoidal. Abses subdural merupakan manifestasi yang sering

terjadi, dan lobus frontalis sering terlihat. Meningitis juga mungkin dapat

terjadi. Pemeriksaan CT-scan dengan kontras dilakukan untuk mendeteksi

pengumpulan cairan berupa cincin (Daulay et al., 2008).

L. Prognosis

Prognosis rinosinusitis akut umumnya baik. Penanganan rinosinusitis

kronis sangat sulit, tetapi dengan tatalaksana optimal kondisi terkait dan

tatalaksana medis secara menyeluruh, maka prognosis menjadi baik. Tindakan

operasi sangat jarang dibutuhkan (Daulay et al., 2008).

Page 20: Referat Rinosinusitis

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Rinosinusitis merupakan inflamasi mukosa rongga hidung dan sinus

paranasal, cairan dalam sinus ini, dan/atau yang mendasari tulang. Istilah

"sinusitis" telah digantikan oleh "rinosinusitis" karena bukti bahwa

mukosa hidung hampir universal terlibat dalam proses penyakit.

2. Rinosinusitis merupakan masalah yang umum terjadi pada anak-anak

dengan infeksi saluran napas atas. Penyebab tersering rinosinusitis pada

anak adalah infeksi virus, dan diikuti infeksi bakteri serta hipertrofi

adenoid.

3. Pada anamnesis didapatkan keluhan rinitis seperti adanya rinore, hidung

tersumbat, bersin-bersin, atau gatal, serta gejala yang sering dikeluhkan

pada sinusitis berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen,

atau post nasal drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Selain itu juga

pasien dapat mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau, kelelahan, sakit

pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga.

4. Pemeriksaan rinoskopi anterior pada rinosinusitis akut ditemukan

mukosa edem dan hiperemis, pembengkakan dan kemerahan di daerah

kantus medius.

5. Penatalaksanaan rinosinusitis pada anak dapat bersifat konservatif

maupun operatif, yang bertujuan untuk meningkatkan pergerakan

mukosiliar dan vasokonstriksi, sehingga diharapkan dapat membuang

sekret, mengurangi jumlah bakteri, dan membebaskan alergen di sekitar

lingkungan hidung.

6. Rinosinusitis akut umumnya memiliki prognosis yang lebih baik

daripada rinosinusitis kronis, namun dengan tatalaksana optimal kondisi

Page 21: Referat Rinosinusitis

terkait dan tatalaksana medis secara menyeluruh, maka prognosis

menjadi baik. Tindakan operasi sangat jarang dibutuhkan.

B. Saran

Berdasarkan penjelasan di atas juga penulis memberikan saran antara lain :

1. Gejala rinosinusitis pada anak dapat berupa kelainan respiratori atas

yang bersifat persisten atau berat yang dapat terjadi secara bersamaan,

sehingga memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti dan penanganan

dini yang komprehensif.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT-scan untuk

menyingkirkan dan mencegah adanya komplikasi orbital dan

intrakranial.

Page 22: Referat Rinosinusitis

DAFTAR PUSTAKA

Arivalagan P., Rambe A., 2013. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU. Volume 1 No. 1. (https://entuk.org/ent_patients/nose_conditions/rhinosinusitis_children) di akses 25 Mei 2013.

Daulay M Ridwan, Dalimunthe Wisman, Kaswandani Nastiti. 2008. Rinosinusitis, dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI: Jakarta. pp 303-15.

Hamilos LD., Dyckewics SM. 2010. Rhinitis and sinusitis. Journal of Allergy and Clinical Immunology. Vol 125.

Kentjono W.A., 2004. Rinosinusitis : Etiologi dan Patofisiologi. Bagian/SMF llmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Mangunkusumo E., Soetjipto D., 2007. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FK UI: Jakarta.

Mardiraharjo N., 2009. Perbedaan Tekanan Telinga Tengah Penderita Rinosinusitis Kronis Dibanding Orang Normal. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Tesis

Poachanukoon O., Nanthapisal S., Chaumrattanakul U. 2012. Pediatric acute and chronic rhinosinusitis: comparison of clinical characteristics and outcome of treatment. Asian Pac J Allergy Immunol 2012. pp 51-146.

Ramadan HH. 2011. Chronic Rhinosinusitis in Children. Department of Otolaryngology, West Virginia University, P.O. Box 9200, Morgantown, WV 26506, USA. International Journal of Pediatrics.

Rinaldi, Lubis H.M., Daulay R.M., Panggabean G., 2006. Sinusitis pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 7:244-8.

Singh I., Sherstha A., Gautam D., Ojasvini, 2010. Chronic Rinosinusitis and Nasal Polyposis in Nepal. Clinical Rhinology: An International Journal. Vol. 3:87-91.