Retardasi Mental Revisi
Transcript of Retardasi Mental Revisi
BAB I
PENDAHULUAN
Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari
pusat kota, di mana sebagian besar penduduknya mungkin belum mengetahui banyak
informasi mengenai Down Syndrome dan retardasi mental, para penderita gangguan
ini mendapat perlakuan yang tidak selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam
konteks ini adalah mungkin dianggap ‘gila’ oleh masyarakat atau tidak mendapat
perawatan yang tepat. Labeling ini lah yang menghambat proses pengoptimalan
potensi yang dimiliki anak-anak dengan gangguan mental dan Down Syndrome, tak
jarang juga keluarga penderita juga mendapat atribusi yang tidak mengenakkan dari
masyarakat.
Berkaca dari keadaan para penderita baik gangguan mental maupun Down
Syndrome di luar negeri, eksistensi mereka di Indonesia pun dapat dioptimalkan. Jika
di luar di negeri kita sering mendengar mereka dapat bersekolah, bekerja, bahkan di
Rusia ada yang berhasil menjadi aktor, di Indonesia pun tak ada kata tidak mungkin
untuk melakukannya.
BAB II
ISI
A. DEFINISI
Retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-
anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan
berada dibawah rata-rata (Luckasson,1992, dalam Durand 2007)
Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) 1992
Retardasi mental yaitu : Kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul
pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan
dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada
sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa; keterampilan merawat
diri, ADL; keterampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan
keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks, dan lain-lain.
Dari beberapa definisi diatas, yang menurut kami memiliki definisi
yang hampir sama, kami cenderung menyepakati definisi yang diungkapkan
oleh American Assosiation on Mental Retardation (AAMR) yang
mengungkapkan bahwa Retardasi mental yaitu : Kelemahan/ketidakmampuan
kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan
fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai
keterbatasan lain. Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang
ditunjukkan dengan bagan (Dr.wiguna & ika, 2005) :
1. RM ringan (IQ 55-70) : mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar,
misalnya sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk
mengerjakan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan
pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan
pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada golongan ini. Dapat menempuh
pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat SMA. Ciri-cirinya tampak
lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah kehidupannya.
2. RM Sedang (IQ 40-55) : sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya
keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau
perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat
dirinya sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan
dasarnya, angka kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada
golongan ini membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan
pelayanan.
3. RM Berat (IQ 25-40) : sudah tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik
yang buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya
mampu untuk dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan
tubuh dasar, angka kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1
gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya, memerlukan
supervisi yang ketat dan pelayanan khusus.
4. RM Sangat Berat (IQ < 25) : sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan
kognitif, motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi
motorik dan sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini
memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan “self care” yang sangat
mendasar seperti makan, BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total
dan perawatan sepanjang hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar
tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
B. SEBAB-SEBAB
1. Faktor Prenatal
Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat menimbulkan
gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang disebut dengan fetal
alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain yang memproduksi retardasi
mental adalah ibu hamil yang menggunakan bahan-bahan kimia, dan
nutrisi yang buruk. (Durand, 2007).
Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah sifilis,
cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran, seperti
kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak pada resiko
lebih besar terhadap gangguan retardasi mental. Kelahiran premature juga
menimbulkan resiko retardasi mental dan gangguan perkembangan
lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis juga dapat
menyebabkan retardasi mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat
yang mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental. (Nevid,
2003)
2. Faktor Psikososial
Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak
memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang
tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan
retardasi mental. (Nevid, 2002)
Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan,
buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui
cara-cara yang menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal
mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau menjadi tidak
termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting dalam
masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan
memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk
meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang
lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan kreatif. Lingkaran
kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari
generasi ke generasi (Nevid, 2002).
Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai
retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Pengaruh cultural
yang mungkin memberikan kontribusi terhadap gangguan ini termasuk
penganiayaan, penelantaran, dan deprivasi sosial. (Durand, 2007)
3. Faktor Biologis
a. Pengaruh genetik
Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping pengaruh-
pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental mungkin dipengaruhi
oleh gangguan gen majemuk (lebih dari satu gen) (Abuelo, 1991,
dalam Durand, 2007)
Salah satu gangguan gen dominan yang disebut tuberous
sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara 30.000 kelahiran.
Sekitar 60% penderita gangguan ini memiliki retardasi mental (Vinken
dan Bruyn, 1972, dalam Durand 2007).
Phenyltokeltonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang
terjadi pada 1 diantara 10.000 kelahiran (Plomin, dkk, 1994, dalam
Nevid, 2002). Gangguan ini disebabkan metabolisme asam amino
Phenylalanine yang terdapat pada banyak makanan. Asam
Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada
sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan
emosional.
b. Pengaruh kromosomal
Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang berjumlah 46
baru diketahui 50 tahun yang lalu (Tjio dan Levan, 1956, dalam
Durand, 2007). Tiga tahun berikutnya, para peneliti menemukan
bahwa penderita Sindroma Down memiliki sebuah kromosom kecil
tambahan. Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain
menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu Down
syndrome dan Fragile X syndrome.
1. Down syndrome
Sindroma down, merupakan bentuk retardasi mental kromosomal
yang paling sering dijumpai, di identifikasi untuk pertama kalinya oleh
Langdon Down pada tahun 1866. Gangguan ini disebabkan oleh adanya
sebuah kromosom ke 21 ekstra dan oleh karenanya sering disebut dengan
trisomi 21. (Durand, 2007).
Anak retardasi mental yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada
umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism)
dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50.
(Wade, 2000, dalam Nevid 2003). Menyatakan abnormalitas kromosom
yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom down
yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga
pada pasangan kromosom ke 21, sehingga mengakibatkan jumlah
kromosom menjadi 47.
Anak dengan sindrom down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik
tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil
yang mengarah ke bawah pada kulit dibagian ujung mata yang
memberikan kesan sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil, dan
berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang
melengkung, dan ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak
proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupakan ciri-ciri
anak dengan sindrom down. Hampir semua anak ini mengalami retardasi
mental dan banyak diantara mereka mengalami masalah fisik seperti
gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan. (Nevid,
2003)
2. Fragile X syndrome.
Fragile X syndrome merupakan tipe umum dari retardasi mental
yang diwariskan. Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental paling
sering muncul setelah sindrom down (Plomin, dkk, 1994, dalam Nevid,
2003). Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh,
sehingga disebut Fragile X syndrome. Sindrom ini mempengaruhi laki-
laki karena mereka tidak memiliki kromosom X kedua dengan sebuah
gen normal untuk mengimbangi mutasinya. Laki-laki dengan sindrom ini
biasanya memperlihatkan retardasi mental sedang sampai berat dan
memiliki angka hiperaktifitas yang tinggi. Estimasinya adalah 1 dari
setiap 2.000 laki-laki lahir dengan sindrom ini ( Dynkens, dkk, 1998,
dalam Durand, 2007).
C. PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN
1. Aliran Psikoanalis : sebab retardasi mental adalah salah satunya
dikarenakan oleh prenatal yaitu ibu yang mengkonsumsi akohol, hal ini
disebabkan karena ibu terlalu mementingkan id nya dan tidak dapat
menyeimbangan superegonya sehingga janin yang ada di dalam dinding
rahim tumbuh dan berkembang secara tidak sehat. Hal ini dikarenakan
karena ibu yang mementingkan id dengan cara menerapkan lifestyle yaitu
mengkonsumsi alkohol dan tidak mengkonsumsi nutrisi (malnutrisi)
2. Aliran Behavorisme : karena pola asuh yang salah yaitu memodeling
dengan cara yang keliru. Orang tua yang memiliki anak retaradasi mental
terkadang tidak mengakui bahwa anaknya termasuk ke dalam anak yang
mengalami keterbelakangan mental, sehingga tindakan orang tua yang
pertama kali dalam menanggapi keadaan ini adalah denial (penolakan
akan realitas) yang terjadi pada anak mereka. Orang tua tidak
menyekolahkan anak tersebut ke dalam sekolah berkebutuhan khusus
tetapi tetap memasukkan anaknya ke sekolah formal, sedangkan di
sekolah formal sangat minim sekali dalam pemenuhan kebutuhan untuk
anak retardasi mental. Hal ini yang menyebabkan anak retardasi menjadi
semakin terpuruk dalam mengembangkan proses intelektualnya. Sebagian
orang tua meniru perilaku orang tua lain bahwa setiap anak dapat
dimasukkan dan di didik ke dalam sekolah formal. Karena proses
memodeling yang salah ini lah dapat merugikan masa depan anak
retardasi mental.
3. Aliran Kognitif (Bandura, Rotter) : berfokus pada peran dari proses
kognitif atau kognisi dan dari belajar melalui pengamatan (modeling)
dalam perilaku manusia, contoh : konsep atau cara pandang orang tua
yang salah akan kehadiran anak retardasi mental yang terkadang tidak
diakui atau tidak adanya rasa penerimaan diri sehingga dari sini timbul
proses belajar dan kerangka berpikir yang salah, tentang keberadaan anak
retardasi mental yang berdampak pada sisi psikologis sehingga si anak
akan merasa tertekan, harga diri rendah di dalam lingkungan keluarganya
4. Aliran Humanistik (Maslow) : menekankan bahwa seseorang itu memiliki
keunikan, disini ditekankan bahwa anak-anak retardasi mental memiliki
keunikan tersendiri. Mereka memiliki tubuh yang unik, yaitu dari bentuk
wajah (muka oval, mata berbentuk kacang almond, muka mirip antara satu
anak dengan anak lain). Bentuk tubuh mereka juga unik yaitu jari-jari
tangan dan kaki cenderung memadat dan tubuh memendek. Bentuk tubuh
inilah yang mencerminkan keunikan tersendiri pada anak retardasi mental.
5. Aliran Psikologi Transpersonal : menekankan pada konsep transendental
yaitu hubungan antara seorang individu dengan Tuhan-NYA, disini di
jelaskan bahwa seseorang individu harus menghargai setiap ciptaan Allah
SWT, sesama manusia harus saling menjaga, memanusiakan manusia
pada umumnya walaupun terdapat perbedaan baik dari segi fisik,
kesehatan mental dan proses kognitif
D. GEJALA
Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi
dalam tiga kelompok yaitu :
Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara
signifikan berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang
ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh
DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau kurang.
Kriteria Kedua, adanya defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang
muncul beragam setidaknya dua bidang yakni, komunikasi, merawat diri
sendiri, mengurus rumah, keterampilan social, interpersonal, pemanfaatan
sumber daya di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan
keselamatan.
Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan
kemampuan adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun.
Gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar,
2007) menyatakan :
1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai
kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan,
dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus
menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang
baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental
berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan
retardasi mental berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada
yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan.
Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana,
sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari
anak retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri,
seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu
memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita
ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang
mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak
retardasi mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan
mereka seperti ritual, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya
dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya:
menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dan lain-lain.
E. ONSET
Biasanya keterbelakangan mental muncul sejak lahir atau bahkan
masih di dalam kandungan dan ketika masih kanak-kanak. Itu sebabnya
retardasi mental digolongkan di dalam gangguan perkembangan. Jadi, orang
dewasa yang mengalami kondisi ini setelah 18 tahun mungkin karena
mengalami cedera pada otaknya atau dementia (Simeun, 2008)
Karena kondisi keterbelakangan mental mempengaruhi kemampuan
kognitif, akibatnya segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan
dengan kemampuan kognitif akan mengalami hambatan, misalnya saja,
kemampuan motorik dan kemampuan bahasa, terutama dalam berbicara.
Keterbatasan dalam kemampuan kognitif tidak hanya mereka dalam
area yang erat kaitannya dengan proses berpikir seperti bahasa, belajar,
ingatan, serta kemampuan motorik, namun juga kaitannya erat dengan
kemampuan emosi dan sosial, seperti mengontrol diri, menahan rasa marah,
memecahkan masalah-masalah sosial, dan keterbatasan interpersonal lainnya.
(Simeun, 2008)
F. PREVALENSI
Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis,
menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental
pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya memiliki dua
kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki dua
kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini, bila
kerusakan terjadi pada salah satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
gangguan ini umumnya akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari
pada perempuan (Angier, 1991 dalam Jacoby 2009).
Kira-kira 90 % penyandang retardasi mental termasuk kategori
retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1% sampai 3% dari
populasi secara umum (Larson, dkk, dalam Durand, 2007)
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di
Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit
diketahui karena retardasi metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-
anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden
tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun.
Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan (Sekar, 2007).
G. TERAPI
Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu
diantaranya sebagai berikut :
1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori)
Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi
sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada anak menyelesaikan
tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa. Tujuan ini
bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien.
2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai
dengan minatnya)
Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian
dari kurikulum yang diberikan.
3. Terapi perilaku
Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak
tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap
sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang
cenderung agresif dan menciptakan self injury.
4. Terapi bicara
Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada
dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah
kata-kata
5. Terapi sosialisasi
Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu
tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya
dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga
disini akan menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh
lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap survive dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari.
6. Terapi bermain
Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil
karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah
kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang
proses berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien
diajak untuk dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian
dapat meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan
imajinasi tentang sesuatu hal yang berada di pikirannya, selain itu dalam
segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan dan mengolah kreatifitas
pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda sehingga
pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman
tentang macam-macam jenis permainan atau hasil karya yang dia temui.
7. Terapi menulis
Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya
terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas
berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk
melemaskan otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh
pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam menanggapi respon atau
stimulus yang berada di sampingnya.
8. Terapi okupasi
Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak
tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh
lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada
masa muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan
dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan.
9. Terapi musik
Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat
mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan
untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di
dengarkannya.
H. PREVENSI
Salah satu usaha intervensi dini dapat membidik dan membantu anak-
anak yang karena lingkunganya yang tidak dapat adekuat, beresiko
mengembangkan retardasi cultural familial (Fewell dkk, dalam Gunarsa
2002). Program head start nasional adalah salah satu bentuk upaya intervensi
dini. Program ini mengkombinasikan dukungan pendidikan, medis, dan sosial
untuk anak-anak dan keluarganya. Salah satu proyeknya mengidentifikasi
sekelompok anak tidak lama setelah mereka lahir dan memberikan program
pra sekolah intensive serta dukungan nutrisi mereka. Intervensi ini berlanjut
sampai mereka mulai memasuki pendidikan formal di taman kanak-kanak.
Meskipun tampaknya banyak anak yang mengalami kemajuan signifikan
bila intervensi dimulai sejak dini (Ramey dan ramey, 1988, dalam Gunarsa
2002), masih ada banyak pertanyaan penting terkait dengan upaya intervensi
dini. Sebagai contoh, tidak semua anak mendapatkan manfaat yang signifikan
dari upaya itu.
Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental
untuk memenuhi tuntunan perkembangan sebagian tergantung pada derajat
keparahan dengan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002 ).
Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental dapat
mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat
menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan
mereka untuk membiayai dirinya sendiri melalui pekerjaan yang bermakna.
Banyak anak-anak seperti ini dapat bersekolah di sekolah regular. Sebaliknya
anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan
penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan residensial.
Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk
mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan
intelektual.
Saat ini sudah banyak beberapa pendekatan yang digunakan untuk
mendeteksi gangguan perkembangan ini sejak awal, sejak dalam kandungan.
Tujuannya agar dapat diketahui apakah si calon bayi memiliki abnormalitas
genetik seperti retardasi mental, yang dapat menyebabkan kondisi yang
menghambat perkembangan bayi. Adapun pendekatan yang sering dilakukan
adalah :
b. Scanning dengan menggunakan ultrasound. Biasanya cara ini dapat
mendeteksi kondisi-kondisi yang berhubungan dengan cacat fisik melalui
gelombang suara.
c. Amniocentesis yaitu mengambil sampel cairan amnion melalui dinding
perut ibu yang sedang hamil. Biasanya dilakukan pada usia kandungan 16
hingga 18 minggu. Hal ini dapat mendeteksi kemungkinan adanya
abnormalitas kromosom dan penyakit-penyakit genetik.
d. Chorionic Villus Sampling yaitu mengambil sampel
jaringan chorion melalui vagina ibu yang sedang hamil.
e. Genetic Screening merupakan pendekatan yang paling mutakhir saat ini
dikarenakan memiliki tingkat ketepatan yang tinggi (Gunarsa, 2002).
Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental
untuk memenuhi tuntutan perkembangan, sebagian bergantung pada derajat
keparahan dan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002).
Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental ringan dapat
mencapai kemampuan setara dengan anak-anak kelas 6 SD.
Prevensi yang diberikan kepada anak dengan retardasi mental akan
lebih efekif apabila dilakukan sejak awal bahkan pada usia pra sekolah. Ini
tidak hanya melibatkan orang tua, melibatkan juga pribadi-pribadi lain dalam
keluarga. Prevensi ini meliputi:
1. Mendorong anak agar bereksplorasi. Anak memperoleh
banyak hal melalui eksplorasi terhadap lingkungannya.
2. Mengajarkan kemampuan dasar. Kemampuan dasar
dalam bidang kognitif pada umumnya diberikan, antara
lain: bagaimana memberi nama pada suatu hal, membuat
urutan, dan perbandingan.
3. Merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah
dicapai misalnya dengan memberikan reinforcement yang
berupa reward yang disenangi anak.
4. Bimbing anak dalam mengulang kembali apa yang sudah
dipelajari dan kemudian arahkan anak untuk mempelajari
ketrampilan baru.
5. Lindungi anak dari kondisi-kondisi yang membahayakan,
tidak menyenangkan, atau punishment (hukuman)
6. Ciptakan lingkungan yang respondif dan kaya akan
bahasa sehingga memungkinkan anak untuk
berkomunikasi. (Gunarsa, 2002 )
RM BERAT RM SANGAT
BERAT
RM RINGAN RM SEDANG
TARAF IQ 20-30 <20 50-70 35-49
USIA MENTAL
YANG DAPAT
DICAPAI
Maksimal usia 3-4
tahun
Maksimal usia 2
tahun
Maksimal usia
11-12 tahun
Maksimal usia 7-8
tahun
ETIOLOGI Abnormalitas
Biologik
Abnormalitas
Biologik
Sering karena
deprivasi
psikososial
Deprivasi
Psikososial dan
abnormal biologis
CIRI-CIRI USIA
PRA SEKOLAH
(0-5TAHUN)
Perkembangan
motorik kurang,
bicara minimal,
dapat dilatih
mengurus diri
sendiri.
Fungsi
sensomotorik
minimal, selalu
membutuhkan
perawatan dan
pengawasan.
Sering tidak bisa
dibedakan dengan
anak norm al.
Dapat bicara,
berkomunikasi.
Kesadaran
sosialnya kurang.
Perkembangan
motorik cukup.
USIA SEKOLAH
(6-20TAHUN)
Dapat berbicara
atau belajar
berkomunikasi.
Dapat dilatih
kebiasaan
Perkembangan
motorik sedikit.
Mengurus diri
sendiri sangat
minimal.
Dapat mencapai
ketrampilan
akademik sampai
kelas 6 SD (dekat
usia 20 tahun),
Akademi sulit
maju kelas 2 SD,
dapat dilatih
ketrampilan sosial
dan pekerjaan.
kesehatan dasar,
kebiasaan sehari-
hari.
Membutuhkan
perawatan.
dapat dibimbing
kearah komunitas
sosial.
MASA DEWASA
(21TAHUN)
Dapat mengurus
diri sendiri
(sebagian)
pengawasan penuh
Perkembangan
motorik dan bicara
sedikit. Mengurus
diri sendiri sangat
terbatas butuh
perawatan.
Keterampilan
sosial dan
pekerjaan cukup
untuk mencari
nafkah (tapi perlu
pertimbangan dan
bantuan bila
mengalami stress
sosial atau
ekonomi yang
luar biasa)
Dapat mencari
nafkah dengan
pekerjaan kasar
(unskill) dalam
keadaan
terlindung. Perlu
pengawasan,
bimbingan,
bantuan bila stress
sosial dan
ekonomi yang
ringan)
PATOKAN
PENDIDIKAN
Tidak dapat
dididik tapi dapat
dilatih mengenal
bahaya. Tidak
dapat mencari
nafkah.
Tidak dapat
dididik maupun
dilatih. Tidak
mengenal bahaya.
Tidak dapat
mengurus diri
sendiri.
Dapat dididik dan
dilatih di SLB
sampai kelas 6
SD, dapat
mencari nafkah
sederhana dengan
baik.
Dapat dididik di
SLB sampai kelas
3. Dapat mencari
nafkah dengan
pekerjaan kasar
I. KUALITAS HIDUP
Anak yang mengalami keterbelakangan mental ringan biasanya terlihat
tidak berbeda dalam perkembangannya dibandingkan dengan anak normal.
Biasanya hal ini baru disadari ketika anak mulai masuk sekolah dasar dan
menemui kesulitan dalam belajar dibandingkan dengan teman-temannya.
Orang tua mereka baru mendeteksi adanya gangguan perkembangan pada saat
sudah masuk sekolah dasar.
Sementara itu, keterbelakangan mental berat dapat dideteksi lebih dini
karena mereka yang berada pada golongan ini biasanya sudah menunjukkan
hambatan yang lebih besar dalam menguasai kemampuan dasar. Anak-anak
yang mengalami down syndrome biasanya diketahui sejak lahir karena
memiliki ciri fisik tertentu yang khas (Gunarsa, 2006).
Meskipun anak dengan keterbelakangan mental mengalami hambatan
dalam segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan
kemampuan kognitifnya, namun secara umum mereka berkembang seperti
anak normal (Gunarsa,2006).
Anak normal biasanya dapat menguasai kemampuan bahasa pada usia
dua atau tiga tahun, sementara anak dengan retardasi mental lebih lambat,
misalnya usia lima atau enam tahun. Begitu juga bia dilihat dari
perkembangan motorik seperti berjalan atau menyendokan makanan ke mulut,
anak yang mengalami retardasi mental lebih lambat dibanding anak normal.
Kualitas hidup anak penyandang retardasi mental sesuai dengan
golongan dan IQ mereka seperti dibawah ini (Simeun, 2008) :
KESIMPULAN
American Assosiation on Mental Retardation (AAMR) yang
mengungkapkan bahwa Retardasi mental yaitu : Kelemahan/ketidakmampuan
kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan
fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai
keterbatasan lain.
Adapun penyebab retardasi mental itu sendiri antara lain: abnormalitas
kromosomal (chromosomal abnormalities), kerusakan/kelainan biokimiawi,
infeksi rubella (Cacar), faktor rhesus (Rh), luka-luka pada saat kelahiran,
sesak nafas (asphyxia), lahir prematur, meningitis (peradangan pada selaput
otak) , problema nutrisi, gangguan metabolism, dan lain-lain.
Salah satu usaha intervensi dini dapat membidik dan membantu anak-
anak yang karena lingkunganya yang tidak dapat adekuat, beresiko
mengembangkan retardasi cultural familial (fewell dan Glick, 1996; Ramey
dan Ramey, 1992). Program head start nasional adalah salah satu bentuk
upaya intervensi dini. Program ini mengkombinasikan dukungan pendidikan,
medis, dan sosial untuk anak-anak dan keluarganya.
Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis,
menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental
pada setiap 2000-2500 perempuan (angier, 1991 b;rousseau dkk;1991).
Banyak terapi yang dapat digunakan pada penderita retardasi mental
antara lain : Terapi baca (dengan pendekatan montesoori), pilihan bebas (anak
diberi kebebasan untuk dapat memilih kebutuhan yang sesuai dengan
minatnya), terapi perilaku, terapi bicara, terapi sosialisasi, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunarsa,S (2006). Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: PT.
Gunung mulia.
2. Jacoby, D ( 2009). Pustaka Kesehatan Populer (Psikologi). PT.
Buana Ilmu Populer.
3. Kartono, K (2009). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.
Bandung:Mandar maju.
4. Nefid Jerrrey (2002). Psikologi Abnormal jilid 1 dan 2. Jakarta :
Erlangga.
5. Baumeister, A (1969). Effects of variations in the Preparatory
interval on the reaction times of retardatesand normals. Journal of
Abnormal Psychology,74,438-442.
6. Butterfield, Earl. Stimulus Trace in The mentally Retarded: effect or
Developmental Lag?. Journal of Abnormal Psycology,73 No 4, 358-
362.
7. Grend Gerald (1968). Expectancy of Succes and The probability
Learning Of Midle Class, Lower Class, and Retarded Children.
Journal of Abnormal Psycology,73 No 4, 343-352.
8. Hastuti dan Zamralita (2004). Penyesuaian Diri Orang Tua Yang
Memiliki Anak Retardasi Mental Ringan. Arkhe jurnal ilmiah
Psikologi, Volume 9 No2, 90-98.
9. Maulina, B dan Raras, S (2005). Stres Ditinjau dari Harga Diri
Pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang Retardasi Mental.
Psikologia. Volume 1 No 1Hal 8-15.
10. Sugiarti,Rini (2008). Mengenal Anak Keterbelakangan Mental.
Psikologia. Hal.91-95.