REKONSILIASI FISKAL
description
Transcript of REKONSILIASI FISKAL
REKONSILIASI FISKAL
Rekonsiliasi fiskal merupakan suatu mekanisme penyesuaian penghasilan
dan/atau biaya komersial yang telah dicatat sesuai standar akuntansi dengan
ketentuan (aturan) perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal harus
dilaksanakan sebelum perusahaan menyampaikan pelaporan SPT Tahunan PPh
Badan. Tahapan rekonsiliasi fiskal yang efektif, umumnya mengikuti langkah-
langkah berikut:
1. Penentuan penghasilan dan biaya fiskal secara tepat waktu
2. Pengelompokkan penghasilan dan biaya fiskal sesuai format dalam form
SPT Tahunan PPh Badan
3. Pengecekan kelengkapan kegiatan ekualisasi, seperti ekualisasi antara
jumlah peredaran usaha menurut laporan keuangan dengan jumlah
berdasarkan laporan SPT Masa PPN atau ekualisasi antara jumlah biaya
karyawan pada laporan laba-rugi perusahaan dengan kewajiban
pemotongan PPh Pasal 21/26 yang disampaikan dalam SPT Masa PPh
pasal 21/26 dan ekualisasi atas pos-pos perkiraan lain yang relevan
4. Pastikan bahwa data rekonsiliasi yang dipersiapkan perusahaan dapat
merespon dan menjawab konfirmasi yang dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) sebagai otoritas perpajakan.
Pemetaan (mapping atau marshaling) angka-angka general ledger sampai
ke SPT perlu disimpan karena bisa saja pergerakan angka-angka tadi diperlukan
saat perusahaan diperiksa kewajiban perpajakannya.
Secara visual, ilustrasi proses rekonsiliasi fiskal diatas dapat digambarkan
sebagai berikut:Penentuan penghas ilan & biaya fiskal secara tepat pemahaman yang baik terhadap ketentuan perpajakan
Pengelompokkan penghas ilan & biaya sesuai format SPT Tahunan PPh Badan
Lengkapi kegiatan ekual isas i
Data rekons il ias i fiskal dapat merespon konfirmas i data KPP
1. Koreksi fiskal atas penghasilan perusahaan
Koreksi fiskal atas penghasilan secara yuridis dapat dilakukan dengan
penguasaan atas ketentuan peraturan perpajakan yang terkait dengan obyek
PPh. Pada prinsipnya, penghasilan sebagai obyek PPh, didefinisikan dalam
sebagai:
“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menamabah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun”
Selanjutnya, penghasilan sebagai obyek PPh, diatur dalam Ketentuan
Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang berlaku.
Jika ditilik secara teoritikal, definisi penghasilan diatas sangatlah
komprehensif dan nyaris tanpa loopholes, karena semua konsep penghasilan
telah diakomodir.
Oleh karenanya, dari perspektif manajemen pajak, perusahaan perlu
mengetahui, memahami, dan mengidentifikasi penghasilannya yang
dikecualikan sebagai obyek PPh final karena koreksi atas kedua hal tadi
merupakan koreksi fiskal negatif yang mengakibatkan turunnya penghasilan
kena pajak yang menjadi basis penghitungan PPh badan perusahaan.
Identifikasi penghasilan untuk kepentingan rekonsiliasi fiskal dapat
dilakukan berdasarkan sumbernya (dalam negeri vs luar negeri),
penggolongan jenis atau tipe penghasilan (penghasilan usaha aktif,
penghasilan dari modal atau penghasilan lainnya), dan perlakuan pengenaan
pajak (apakah merupakan obyek pajak yang harus ditanggung di akhir tahun,
bukan obyek PPh atau obyek PPh final).
CORPORATE TAX
TAXABLE PROFIT
COMMERCIAL ACCOUNTING INCOMEVS
TAXABLE INCOME
ACCOUNTING EXPENSESVS
TAX DEDUCTIONS
Due To Due To
FISCAL RECONCILIATION
IDENTIFIKASI REKONSILIASI FISKAL – PENGHASILAN
Sumber Penghasilan Worldwide Income
Penghasilan DN
Penghasilan LN
Penggolongan Jenis Penghasilan
Penghasilan bukan obyek PPh (Pasal 4
ayat (3) UU PPh)
Penghasilan obyek PPh Tidak Final (Pasal
4 ayat (1) UU PPh)
Penghasilan Obyek PPh Final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh)
Penghasilan Obyek PPh Tidak Final
Penghasilan usaha/kegiatan
Penghasilan lain-lain
2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang
Menurut sifatnya dikenal dua jenis koreksi fiskal, yaitu (i) beda tetap
(permanent different) dan (ii) beda waktu (timing/temporary different). Untuk
pos-pos biaya pengurang, deda tetap lebih disebabkan karena perbedan
perlakuan biaya tersebut dari perspektif akuntansi laporan keuangan komersial
dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan tadi umumnya karena secara
akuntansi suatu biaya pengeluaran tertentu diperkenankan untuk dijadikan
pengurang (deductible) tetapi untuk kepentingan perpajakan, tidak boleh (non
deductible).
Sedangkan beda waktu, secara prinsip baik akuntansi dan perpajkan
sebenarnya mengakui bahwa tersebut adalah deductible, namun berbeda dalam
metode dan besarnya pengakuan jumlah biaya tersebut.
Secara garis besar, koreksi atas fiskal biaya pengurang dapat dilakukan
karena hal-hal sebagai berikut:
i) Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
ii) Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan
penghasilan yang dikenakan PPh final
iii) Kerugian usaha luar negeri
iv) Kerugian atas pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk
kegiatan usaha perusahaan
v) Biaya-biaya yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh yang berlaku.
BIAYA
NON DEDUCTIBLE PASAL 9 (1)
KOREKSI POSITIF
KOREKSI POSITIF
KOREKSI NEGATIF
SESUAI UU
DEDUCTIBLE PASAL 6 (1)
TIDAK SESUAI UU
LEBIH
KURANG
REKONSILIASI FISKAL ATAS BIAYA
Berdasarkan skema rekonsiliasi fiskal diatas, dilihat dari dampaknya
terhadap penghasilan kena pajak (PKP), koreksi fiskal dapat berbentuk koreksi
fiskal positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan naiknya PKP dan koreksi
fiskal negatif yang berpengaruh pada turunnya PKP.
Sementara, untuk perusahaan yang berbentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia, definisi penghasilan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai (Attribute income concept)
2) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction principle)
3) Penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah maupun penghasilan
dari penjualan harta yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income rules)
Adapun biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
disebutkan diatas, boleh dikurangkan dari hasil BUT. Disamping itu, didalam
menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang
diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha
atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Sedangkan pembayaran kepada kantor pusat yang tidak
diperbolehkan dibebankan sebagai biaya, meliputi:
i) Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,
atau hak-hak lainnya
ii) Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
iii) Bunga, kecuali bunga yang berhubungan dengan usaha perbankan
iv) Kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai
rupiah pada perkiraan hutang kepada kantor pusat