REKONSILIASI FISKAL

9
REKONSILIASI FISKAL Rekonsiliasi fiskal merupakan suatu mekanisme penyesuaian penghasilan dan/atau biaya komersial yang telah dicatat sesuai standar akuntansi dengan ketentuan (aturan) perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal harus dilaksanakan sebelum perusahaan menyampaikan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Tahapan rekonsiliasi fiskal yang efektif, umumnya mengikuti langkah-langkah berikut: 1. Penentuan penghasilan dan biaya fiskal secara tepat waktu 2. Pengelompokkan penghasilan dan biaya fiskal sesuai format dalam form SPT Tahunan PPh Badan 3. Pengecekan kelengkapan kegiatan ekualisasi, seperti ekualisasi antara jumlah peredaran usaha menurut laporan keuangan dengan jumlah berdasarkan laporan SPT Masa PPN atau ekualisasi antara jumlah biaya karyawan pada laporan laba-rugi perusahaan dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21/26 yang disampaikan dalam SPT Masa PPh pasal 21/26 dan ekualisasi atas pos-pos perkiraan lain yang relevan 4. Pastikan bahwa data rekonsiliasi yang dipersiapkan perusahaan dapat merespon dan menjawab konfirmasi yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagai otoritas perpajakan.

description

Rekonsiliasi Fiskal

Transcript of REKONSILIASI FISKAL

Page 1: REKONSILIASI FISKAL

REKONSILIASI FISKAL

Rekonsiliasi fiskal merupakan suatu mekanisme penyesuaian penghasilan

dan/atau biaya komersial yang telah dicatat sesuai standar akuntansi dengan

ketentuan (aturan) perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal harus

dilaksanakan sebelum perusahaan menyampaikan pelaporan SPT Tahunan PPh

Badan. Tahapan rekonsiliasi fiskal yang efektif, umumnya mengikuti langkah-

langkah berikut:

1. Penentuan penghasilan dan biaya fiskal secara tepat waktu

2. Pengelompokkan penghasilan dan biaya fiskal sesuai format dalam form

SPT Tahunan PPh Badan

3. Pengecekan kelengkapan kegiatan ekualisasi, seperti ekualisasi antara

jumlah peredaran usaha menurut laporan keuangan dengan jumlah

berdasarkan laporan SPT Masa PPN atau ekualisasi antara jumlah biaya

karyawan pada laporan laba-rugi perusahaan dengan kewajiban

pemotongan PPh Pasal 21/26 yang disampaikan dalam SPT Masa PPh

pasal 21/26 dan ekualisasi atas pos-pos perkiraan lain yang relevan

4. Pastikan bahwa data rekonsiliasi yang dipersiapkan perusahaan dapat

merespon dan menjawab konfirmasi yang dilakukan oleh Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) sebagai otoritas perpajakan.

Pemetaan (mapping atau marshaling) angka-angka general ledger sampai

ke SPT perlu disimpan karena bisa saja pergerakan angka-angka tadi diperlukan

saat perusahaan diperiksa kewajiban perpajakannya.

Secara visual, ilustrasi proses rekonsiliasi fiskal diatas dapat digambarkan

sebagai berikut:Penentuan penghas ilan & biaya fiskal secara tepat pemahaman yang baik terhadap ketentuan perpajakan

Pengelompokkan penghas ilan & biaya sesuai format SPT Tahunan PPh Badan

Lengkapi kegiatan ekual isas i

Data rekons il ias i fiskal dapat merespon konfirmas i data KPP

Page 2: REKONSILIASI FISKAL

1. Koreksi fiskal atas penghasilan perusahaan

Koreksi fiskal atas penghasilan secara yuridis dapat dilakukan dengan

penguasaan atas ketentuan peraturan perpajakan yang terkait dengan obyek

PPh. Pada prinsipnya, penghasilan sebagai obyek PPh, didefinisikan dalam

sebagai:

“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menamabah

kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

apapun”

Selanjutnya, penghasilan sebagai obyek PPh, diatur dalam Ketentuan

Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang berlaku.

Jika ditilik secara teoritikal, definisi penghasilan diatas sangatlah

komprehensif dan nyaris tanpa loopholes, karena semua konsep penghasilan

telah diakomodir.

Oleh karenanya, dari perspektif manajemen pajak, perusahaan perlu

mengetahui, memahami, dan mengidentifikasi penghasilannya yang

dikecualikan sebagai obyek PPh final karena koreksi atas kedua hal tadi

merupakan koreksi fiskal negatif yang mengakibatkan turunnya penghasilan

kena pajak yang menjadi basis penghitungan PPh badan perusahaan.

Identifikasi penghasilan untuk kepentingan rekonsiliasi fiskal dapat

dilakukan berdasarkan sumbernya (dalam negeri vs luar negeri),

penggolongan jenis atau tipe penghasilan (penghasilan usaha aktif,

penghasilan dari modal atau penghasilan lainnya), dan perlakuan pengenaan

pajak (apakah merupakan obyek pajak yang harus ditanggung di akhir tahun,

bukan obyek PPh atau obyek PPh final).

Page 3: REKONSILIASI FISKAL

CORPORATE TAX

TAXABLE PROFIT

COMMERCIAL ACCOUNTING INCOMEVS

TAXABLE INCOME

ACCOUNTING EXPENSESVS

TAX DEDUCTIONS

Due To Due To

FISCAL RECONCILIATION

IDENTIFIKASI REKONSILIASI FISKAL – PENGHASILAN

Sumber Penghasilan Worldwide Income

Penghasilan DN

Penghasilan LN

Penggolongan Jenis Penghasilan

Penghasilan bukan obyek PPh (Pasal 4

ayat (3) UU PPh)

Penghasilan obyek PPh Tidak Final (Pasal

4 ayat (1) UU PPh)

Penghasilan Obyek PPh Final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh)

Penghasilan Obyek PPh Tidak Final

Penghasilan usaha/kegiatan

Penghasilan lain-lain

Page 4: REKONSILIASI FISKAL

2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang

Menurut sifatnya dikenal dua jenis koreksi fiskal, yaitu (i) beda tetap

(permanent different) dan (ii) beda waktu (timing/temporary different). Untuk

pos-pos biaya pengurang, deda tetap lebih disebabkan karena perbedan

perlakuan biaya tersebut dari perspektif akuntansi laporan keuangan komersial

dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan tadi umumnya karena secara

akuntansi suatu biaya pengeluaran tertentu diperkenankan untuk dijadikan

pengurang (deductible) tetapi untuk kepentingan perpajakan, tidak boleh (non

deductible).

Sedangkan beda waktu, secara prinsip baik akuntansi dan perpajkan

sebenarnya mengakui bahwa tersebut adalah deductible, namun berbeda dalam

metode dan besarnya pengakuan jumlah biaya tersebut.

Secara garis besar, koreksi atas fiskal biaya pengurang dapat dilakukan

karena hal-hal sebagai berikut:

i) Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan

penghasilan yang bukan merupakan objek pajak

ii) Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan

penghasilan yang dikenakan PPh final

iii) Kerugian usaha luar negeri

iv) Kerugian atas pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk

kegiatan usaha perusahaan

v) Biaya-biaya yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh yang berlaku.

Page 5: REKONSILIASI FISKAL

BIAYA

NON DEDUCTIBLE PASAL 9 (1)

KOREKSI POSITIF

KOREKSI POSITIF

KOREKSI NEGATIF

SESUAI UU

DEDUCTIBLE PASAL 6 (1)

TIDAK SESUAI UU

LEBIH

KURANG

REKONSILIASI FISKAL ATAS BIAYA

Berdasarkan skema rekonsiliasi fiskal diatas, dilihat dari dampaknya

terhadap penghasilan kena pajak (PKP), koreksi fiskal dapat berbentuk koreksi

fiskal positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan naiknya PKP dan koreksi

fiskal negatif yang berpengaruh pada turunnya PKP.

Sementara, untuk perusahaan yang berbentuk usaha tetap (BUT) di

Indonesia, definisi penghasilan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang

dimiliki atau dikuasai (Attribute income concept)

2) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau yang

dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction principle)

3) Penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah maupun penghasilan

dari penjualan harta yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang

terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang

memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income rules)

Page 6: REKONSILIASI FISKAL

Adapun biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana

disebutkan diatas, boleh dikurangkan dari hasil BUT. Disamping itu, didalam

menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang

diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha

atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur

Jenderal Pajak. Sedangkan pembayaran kepada kantor pusat yang tidak

diperbolehkan dibebankan sebagai biaya, meliputi:

i) Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,

atau hak-hak lainnya

ii) Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya

iii) Bunga, kecuali bunga yang berhubungan dengan usaha perbankan

iv) Kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai

rupiah pada perkiraan hutang kepada kantor pusat