Refresing Anamnesis & Pemfis Nneurologi
-
Upload
rika-enjelia-putri-hamka -
Category
Documents
-
view
111 -
download
0
Transcript of Refresing Anamnesis & Pemfis Nneurologi
PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI
ANAMNESIS
Tujuan melakukan anamnesis neurologis adalah untukn menentukan perjalanan penyakit
dalam hal beratnya serta berhubungan dengan waktu. Sebagaimana dengan sistem lain, penting
untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mendapatkan arti yang tepat dari keluhan pasien.
Mendengarkan uraian pasien tentang penyakitnya adalah unsur yang paling penting dari
anamnesis.
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting.
Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya
penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat
penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Jika penderita
datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya,
kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang
menyaksikannya (allo-anamnesis).
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan
penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat
tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola
umum, yaitu:
1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang
dideritanya.
2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya
dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.
Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan,
alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang
berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri:
1
1. Sejak kapan mulai
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis
makan dan lain sebagainya)
5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam
bentuk serangan, dan lain sebagainya
Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Nyeri kepala :
Lokasi utama
Penyebaran
Sifat
Intensitas
Faktor-faktor yang memperberat
Faktor-faktor yang memperingan
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak,
seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
3. Vertigo :
Keadaan ini dapat menunjukkan suatu kelainan keseimbangan dengan sensasi berputar,
dimana sensasi seperti ini terasa seperti tidak adanya koordinasi sehingga merasa seolah-
olah akan terjatuh, atau perasaam samar-samar seperti ingin pingsan. Dapat ditanyakan ,
Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa
diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan
2
perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga
berdenging, berdesis)?
4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu
atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?
5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi
berdenging/berdesis pada telinga)?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah?
Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara
anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)?
Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda
menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami
pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan
membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca?
Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk
tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang
terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan
(sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan,
kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah
gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas
badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana
tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu
seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?
3
Disamping data yang bersifat saraf ini, perlu juga dujajaki adanya keluhan lain, yang
bukan merupakan keluhan saraf dalam arti kata sempit, namun mungkin ada hubungannya
dengan kelainan saraf yang sedang diderita. Misalnya, kelianan jantung, paru, tekanan darah
tinggi dan diabetes mellitus.
KESADARAN
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal
dapat berada dalam keadaan : sadar, mengantuk, atau tidur. Bila tidur maka dapat dibangunkan
oleh rangsang, misalnya nyeri, bunyi atau gerak.
Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi
mempertahankan kesadaran. Sistem aktivitas retikuler terletak di bagian atas batang otak,
terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipotalamus
menyebabkan penurunan kesadaran
Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:
Normal : kompos mentis
Somnolen : keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya
pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan
yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak
dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang
nyeri masih baik.
Koma : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang
nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Delirium, Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan
yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur – bangun yang terganggu. Pada keadaan
4
ini pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktifitas motorik meningkat,
meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur, oleh berbagai obat,
dan gangguan metabolic toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan waktu malam hari.
Penghentian obat anti depresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-
tremens. Demikian juga bila pecandu alcohol mendadak menghentikan minum alcohol.
Skala Koma Glasgow
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow
yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada
respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah:
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (“confused”) 4
Tidak tepat 3
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
Respon motorik (gerakan)
Menurut perintah 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Refleks fleksi (dekortikasi) 3
Refleks ekstensi (deserebrasi) 2
5
Tidak ada reaksi 1
Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan
respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah nilai = 3, nilai 3-5 dapat sesuai
dengan keadaan koma, 6-7 soporokoma, 8-9 sopor. Nilai tertinggi 15 yang berarti sadar.
PEMERIKSAAN UMUM
Pemeriksaan harus mencakup :
a. Gejala vital, Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa jalan
nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang
kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu lima
menit, karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampailkan oksigen dan glukosa ke
otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan
keadaan kadar dextrose yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak,
b. Kulit, perhatikan tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah karena
keringat misalnya pada hipoglikemi dan syok, kulit kering misalnya pada koma diabetic,
perdarahan misalnya pada demam berdarah dengue dan DIC.
c. Kepala, Perhatikan tanda trauma, hematoma dikulit kepala, hematoma disekitar mata,
perdarahan di liang telinga dan hidung.
d. Thoraks, jantung, parum abdomen dan ekstremitas.
Rangsang Selaput Otak
Rangsang meningeal positif (+) bila terdapat radang selaput otak (ex. meningitis), benda asing di rongga subarachnoid (ex. darah, seperti pada perdarahan subarachnoid)
Terdiri atas
1. Kaku kuduk
2. Tanda lasegue / tes lasegue
3. Kernig sign
6
4. Brudzinski (I, II, III, IV)
Berikut akan dibahas secara ringkas mengenai teknik pemeriksaan rangsang selaput otak.
1. Kaku Kuduk
- Caranya: Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang baring. Kepala ditekuk (fleksi), usahakan agar dagu menyentuh dada.
- Interpretasi: kaku kuduk (+) bila terasa ada tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
- Kaku Kuduk (+) dijumpai pada meningitis, miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, arthritis di servikal.
2. Tes Lasegue
- Caranya: Pasien yang sedang baring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus (tidak bergerak)
Tes Lasegue
- Interpretasi: Tanda lasegue (+) bila sakit / tahanan timbul pada sudut < 70° (dewasa) dan < 60° (lansia)
- Tanda Lasegue (+) dijumpai pada meningitis, isialgia, iritasi pleksus lumbosakral (ex.HNP lumbosakralis)
3. Tanda Kernig/Kernig Sign
7
- Caranya: Penderita baring, salah satu pahanya difleksikan sampai membuat sudut 90°. Lalu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya ekstensi dilakukan sampai membentuk sudut 135°
Tes Kernig
- Interpretasi: Tanda Kernig Sign (KS) (+) bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencaai sudut 135°
- Kernig Sign (+) dijumpai pada penyakit – penyakit seperti yang terdapat pada tanda lasegue (+)
4. Brudzinski (I, II, III, IV)
Brudzinski I (Brudzinski’s Neck Sign)
- Caranya: Tangan ditempatkan di bawah kepala yang sedang baring. Kita tekuk kepala (fleksi) sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
Tes Brudzinski I
- Interpretasi: Tanda brudzinski I (+) bila terdapat fleksi pada kedua tungkai
Brudzinski II (Brudzinski’s Contra-Lateral Leg Sign)
8
- Caranya: Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di fleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
Tes Brudzinski II
- Interpretasi: Tanda Brudzinski II (+) bila tungkai yang satunya ikut pula terfleksi.
Brudzinski III
- Caranya: Tekan os zigomaticum
- Interpretasi: Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas superior (lengan tangan fleksi)
Brudzinski IV
- Caranya: Tekan simfisis ossis pubis (SOP)
- Interpretasi: Tanda Brudzinski IV (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas inferior (kaki)
PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. N. I (N. Olfaktorius)
Syarat pemeriksaan:
1. Bahan yang digunakan bersifat aromatik, tidak merangsang mukosa hidung, dan mudah
dikenal.
Misalnya: teh, kopi, tembakau, sabun, vanili, dll.
2. Bahan yang mudah menguap dan merangsang mukosa hidung tidak dapat dipakai karena akan
merangsang juga N.V. misalnya: alkohol, amonia.
9
3. Sebelum pemeriksaan terlebih dulu jalan lintas pernapasan melalui hidung harus baik, bersih,
dan lancar. Jadi tidak ada corpus alineum, rhinitis, atau polip.
4. Mata penderita sebaiknya ditutup atau dapat tetap terbuka tetapi bahan yang digunakan
dimasukkan dalam botol kecil berwarna gelap.
Cara pemeriksaan:
1. Penderita diberitahu terlebih dahulu bahwa daya penciumannya akan diperiksa. Kemudian
diminta untuk mengidentifikasi apa yang tercium olehnya jika suatu botol didekatkan pada
lubang hidungnya.
2. Pemeriksaan dilakukan terhadap kedua lubang hidung.
3. Pemeriksaan dimulai dengan menyuruh penderita menutup satu lubang hidung. Kemudian
bahan pemeriksaan kita dekatkan pada lubang hidung sebelahnya dan penderita diminta
untuk menghirup/menciumnya. Setelah itu penderita diminta menyebutkan nama bahan
tersebut. Selesai pemeriksaan lubang hidung yang satu dilanjutkan dengan memeriksa
lubang hidung sebelahnya.
4. Terciumnya bau-bauan secara tepat berarti fungsi penciuman (N.1) kedua belah sisi adalah
baik.
Adapun gejala yang dapat timbul saat pemeriksaan ini antara lain :
1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia) atau
peningkatan kepekaan penciuman (hiperosmia)
2. Gangguan kualitatif : distorsi atau ilusi dari penciuman (dysosmia atau parosmia)
3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan
psikiatrik
4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman
Anosmia
Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainan-
kelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius
(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, trauma regio
orbita, infeksi sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa
cranial anterior. Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral
10
biasanya dikeluhkan oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia). Hal ini
menunjukkan bahwa sensasi pengecapan bergantung pada partikel makanan yang mencapai
reseptor olfaktorius kemudian ke nasofaring dan dipersepsi, ini merupakan kombinasi dari
penciuman, pengecapan, dan sensasi taktil. Ammonia ataupun substansi sejenis tidak dapat
digunakan sebagai stimulus pada tes ini karena tidak menguji penciuman namun mengiritasi
mukosa yang berakhir di nervus trigeminus. Hilangnya penciuman biasanya terjadi di tiga
aspek yaitu hidung (bau tidak mencapai reseptor olfaktorius), neuroepitheil olfaktorius
(destruksi dari reseptor atau filament axon), dan central (lesi di traktur olfaktorius). Biopsy
dari mukosa olfaktorius pada rhinitis alergi menunjukkan bahwa sel epitel sensori masih ada
namun terjadi atrofi dan perbuhan bentuk. Influenza, herpes simplex, dan virus hepatitis
dapat menyebabkan hiposmia atau anosmia jika terjadi destruksi sel reseptor. Terdapat juga
kondisi dimana tidak adanya neuron reseptor primer atau hipoplastik dan kurangnya silia, hal
ini terjadi pada sindrom Kallman dan hypogonadotropic hypogonadism. Kelainan ini juga
terjadi pada sindrom Turner dan albino karena tidak adanya pigmen olfaktorius atau kelainan
struktur congenital.
Anosmia yang terjadi pada pasien trauma kepala biasanya disebakan karena fraktur
lamina kribiformis. Kerusakan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pembedahan cranium,
perdarahan subarachmoid, dan inflamasi kronik dari meanings juga dapat memberikan efek
anosmia. Namun, sebagian besar kasus anosmia traumatic juga menyebabkan ageusia yang
biasanya pulih setelah beberapa minggu. Lesi bilateral dekat dengan frontal dan region
paralimbik, dimana reseptor olfaktorius dan gustatory berdekatan, mungkin dapat
menjelaskan hal ini namun belum dapat dibuktikan. Penyakit nutrisi dan metabolic seperti
defisiensi thiamin, defisiensi vitamin A, insuffisiensi adrenal dan tiroid, sirosis, dan gagal
ginjal kronik dapat bermanifestasi pada transient anosmia sebagai akibat dari disfungsi
sensorineural. Beberapa agen toksik (benzene, metals, cocaine, corticosterois, methotrexate,
antibiotic aminoglycosida, tertrasiklin, L-dopa) dapat merusak epitel olfaktorius.
Dilaporkan bahwa terdapat beberapa pasien degenerative pada otak menunjukkan
gejala anosmia atau hiposmia dengan patofisiologi yang belum jelas yaitu Alzheimer,
Parkinson, Huntington, dan Pick Disease. Anosmia juga ditemukan pada pasien dengan
epilepsy lobus temporal dan pasien yang pernah menjalani anterior temporal lobectomy.
11
Fungsi penciuman akan menurun dengan bertambahnya usia. Sel reseptor akan
menurun dan jika terjadi di regional, neuroephiteliaum secara lambat akan diganti dengan
respiratory ephitelium. Neuron dari bulbus olfaktorius juga akan menurun sebagai bagian
proses penuaan. Epitel nasal dan nervus olfaktorius dapat terganggu pada Wegener
granulomatosis dan craniopharyngioma. Meningioma di area olfaktorius dapat menginvasi
hingga bulbus olfaktorius dan traktusnya juga dapat meluas hingga posterior sehingga
melibatkan nervus optikus, kadang-kadang dengan atrofi optic, dan jika diikuti dengan papil
edema kontralateral, kelainan ini disebut dengan Foster Kennedy Sindrom. Aneurysma pada
anterior cerebral atau anterior communicate artery dapat memberikan manifestasi yang sama.
Anak-anak dengan meningoenchepaloceles juga dapat menyebabkan anosmia dan CSf
rhinorea.
Kebenaran mengenai suatu hiperosmia hanya merupakan perkiraan saja. Individu
biasanya mengeluh terlalu sensitive terhadap suatu bau tapi tidak ada bukti yang menyatakan
mengenai ambang batas dari persepsi terhadap suatu bau. Selama serangan migraine dari
aseptic meningitis, pasien biasanya tidak hanya sensitive terhadap cahaya tetapi juga
terhadao bau.
Parosmia
Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah
persepsi terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia,
lesi-lesi unsinatus, dan hysteria. Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal
seperti emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi
sumber bau yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di
usia muda atau pertengahan yang memiliki depresi.
Halusinasi olfaktorius
Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya disebut
dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan
gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi.
Gabungan antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik.
12
Pada skizofrenia, stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang
menjadi stressor pasien. Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada
beberapa pendapat yang mempercayai bahwa kelompok amygdale nuclei adalah sumber dari
halusinasi.
Agnosia Olfaktorius
Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi
bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun
terjadi ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau.
Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia.
Perubahan fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff
dengan alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari
thalamus.
9. N. II (N. Optikus)
Pemeriksaan meliputi:
Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan dilakukan di tempat yang cukup terang
Gantungkan kartu Snellen atau kartu E yang sejajar mata responden dengan jarak 6
meter.
Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan. Mata kiri responden ditutup dengan telapak
tangannya tanpa menekan bolamata.
Responden disuruh baca huruf dari kiri-ke kanan setiap baris kartu Snellen atau
memperagakan posisi huruf E pada kartu E dimulai baris teratas atau huruf yang paling
besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera angka 20/20).
Penglihatan normal bila responden dapat membaca sampai huruf terkecil (20/20).
13
Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf atau memperagakan posisi
huruf E KURANG dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris yang tertera angka di
atasnya.
Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf atau memperagakan posisi
huruf E SETENGAH baris atau LEBIH dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris
yang tertera angka tersebut.
Bila responden belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar dari kartu Snellen atau
kartu E maka mulai HITUNG JARI pada jarak 3 meter (tulis 3/60).
Hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 02/060), bila belum
terlihat maju 1 meter (tulis 1/60).
Bila belum juga terlihat maka lakukan GOYANGAN TANGAN pada jarak 1 meter
(tulis 1/300).
Goyangan tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan apakah
responden dapat melihat SINAR SENTER (tulis 1/~).
Bila tidak dapat melihat sinar disebut BUTA TOTAL (tulis 00/000).
Snellen chart
Lapangan penglihatan (kampus visii)
Pada pemeriksaan lapangan pandang, kita menentukan batas perifer dari penglihatan, yaitu
batas sampai mana benda dapat dilihat, jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar yang datang dari
14
tempat fiksasi jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang datang dari
sekitarnya jatuh di bagian perifer retina.
Lapangan pandang yang normal mempunyai bentuk tertentu, dan tidak sama ke semua arah.
Seseorang dapat melihat ke lateral sampai sudut 90-100 derajat dari titik fiksasi, ke medial 60
derajat, ke atas 50-60 derajat dan ke bawah 60-75 derajat. Ada tiga metode standar dalam
pemeriksaan lapang pandang yaitu dengan metode konfrontasi, perimeter, dan kampimeter atau
tangent screen.
Pemeriksaan lapangan pandang (“visual field”) yang sederhana dapat dilakukan dengan jalan
membandingkan lapang pandang pasien dengan pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan
metode konfrontasi dari Donder. Teknik pemeriksaan tes konfrontasi adalah dengan caraPasien
duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 meter.Bila mata kanan
yang hendak diperiksa lebih dahulu, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan
tangannya atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya. Pasien diminta
untuk memfiksasi pandangannya pada mata kiri pemeriksa.
Kemudian pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antar pemeriksa
dan pasien. Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.Jika pasien sudah melihat gerakan jari-jari
pemeriksa, ia harus memberi tanda dan dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa. Bila
terjadi gangguan lapang pandang, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua arah (atas, bawah, nasal, temporal). Pemeriksaan
dilakukan pada masing-masing mata.
Bila pasien tidak dapat melihat jari pemeriksa sedangkan pemeriksa sudah dapat melihatnya,
maka hal ini berarti bahwa lapang pandang pasien menyempit. Kedua mata diperiksa secara
tersendiri dan lapang pandang tiap mata dapat memperlihatkan bentuk yang khas untuk tipe lesi
pada susunan nervus optikus.
Kelainan pada pemeriksaan lapang pandang.
15
1
2
3
4
5
6
7
Gambar . Lintasan Impuls visual dan Gangguan Medan Penglihatan Akibat Berbagai Lesi diLintasan Visual5
Jika terdapat lesi di sepanjang lintasan nervus optikus (N.II) hingga korteks sensorik,
akan menunjukkan gejala gangguan penglihatan yaitu pada lapang pandang atau medan
penglihatan. Lesi pada nervus optikus akanmenyebabkan hilangnya penglihatan monokular atau
disebut anopsia (no.1) pada mata yang disarafinya. Hal ini disebabkan karena penyumbatan arteri
centralis retina yang mendarahi retina tanpa kolateral, ataupun arteri karotis interna yang akan
bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian menjadi arteri centralis retina. Kebutaan
tersebut terjadi tiba-tiba dan disebut amaurosis fugax.
Lesi pada bagian lateral khiasma optikum akan menyebabkan hemianopsia binasal
(no.2), sedangkan lesi pada bagian medial kiasma akan menghilangkan medan penglihatan
16
temporal yang disebut hemianopsia bitemporal (no.3). Kelainan seperti ini banyak disebabkan
oleh lesi khiasma, seperti tumor dan kista intrasellar, erosi dari processus clinoid seperti yang
terjadi dengan tumor atau aneurisma dorsal dari sella tursica, kalsifikasi di antara atau di atas
sella tursika seperti yang terjadi dengan kista dan aneurisma kraniofaringioma, dan juga pada
meningioma suprasellar. Juga dapat disebabkan oleh trauma dan tumor pada regio khiasma.
Hemianopsia bitemporal bisa didapatkan pada kista suprasellar.Bisa juga ditemukan pada pasien
dengan tumor pituitari tapi bersifat predominan parasentral.Pada adenoma pituitari juga bisa
terkadi kebutaan atau anopsia pada salah satu mata dan hemianopsia temporal pada mata yang
lainnya.Lesi pada traktus optikus akan menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral (no.4).
Serabut-serabut dari retina pada bagian temporal akan rusak, bersamaan dengan serabut dari
bagian nasal retina mata yang lain yang bersilangan. Lesi pada radiasio optika bagian medial
akan menyebabkan quadroanopsia inferior homonim kontralateral (no.7), sedangkan lesi pada
serabut lateralnya akan menyebabkan quadroanopsia superior homonim kontralateral (no.6).
Quadroanopsia atau kuadranopia biasanya terjadi pada lesi yang terdapat pada bagian temporo-
parietal. Lesi pada bagian posterior radiasio optika akan mengakibatkan hemianopsia homonim
yang sama dan sebangun dengan mengecualikan penglihatan makular (no.5).
Selain hemianopsia klasik dan kuadranopia, gangguan lapang pandang lain dan fenomena
terkait yang dapat terdeteksi pada pemeriksaan lapangan pandang adalah skotoma sentral
merupakan hilangnya penglihatan sentral yang umumnya berhubungan dengan penurunan
ketajaman penglihatan dan merupakan karakteristik penyakit nervus optikus dan penyakit
makula retina. Perluasan bintik buta fisiologis, yang terlihat dengan pembengkakan diskus
optikus (edema papil) yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, dan umumnya
terjadi dengan ketajaman penglihatan yang masih baik. Penglihatan seperti terowongan (tunnel
vision) merupakan hilangnya lapang pandang perifer dengan dipertahankannya daerah sentral
yang disebabkan oleh beberapa penyebab, antara lain penyakit oftalmologi, yaitu glaukoma
kronik sederhana, retinitis pigmentosa, dan penyakit korteks, yaitu hemianopia homonim
bilateral dengan makula yang masih baik (macular sparing)
Retina mendapat darah dari arteri retina sentralis, yang merupakan endateri, yaitu arteri
yang tidak mempunyai kolateral. Karena itu, lesi pada retina akibat penyumbatan arteri retina
sentralis tidak akan diperbaiki lagi oleh perdarahan kolateral. Arteri retina sentralis adalah
cabang dari arteri oftalmika. Pada thrombosis arteri karotis, pangkal arteri oftalmika dapat ikut
17
tersumbat juga. Gambaran klinik thrombosis tersebut terdiri dari hemiparesis kontralateral dan
buta ipsilateral.
Lesi pada nervus optikus sering disebabakan oleh infeksi dan intoksikasi. Di samping itu,
sebab mekanik, seperti jiratan karena araknoiditis atau penyempitan foramen optikum (osteitis
jenis Paget) atau penekanan karena tumor hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, aneurisme
arteri oftalmika dapat mengakibatkan kerusakan pada nervus optikus, baik sesisi maupun
bilateral. Gangguan pada nervus optikus, baik yang bersifat radang, maupun demielinisasi atau
degenerasi atau semuanya dinamakan neuritis optika.
Refleks pupil
Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior, saraf akan
berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang berhubungan dengan nukleus Eidinger-
Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual.
Saraf eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus okulomotorius
(N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot sfingter pupil.
Gambar 4. Jaras Refleks Pupil
Refleks cahaya langsung
18
Pemeriksaan dilakukan satu persatu dengan cara menyinari salah satu pupil mata
dengan senter, usahakan mata yang lainnya tidak ikut terangsang (tutup atau penyinaran
dilakukan dari samping lateral). Reaksi yang tampak adalah kontraksi pupil (miosis)
homolateral.
Refleks cahaya tidak langsung
Disebut juga refleks konsensuil atau crossed light reflex. Cara periksa: antara
kedua mata penderita diberi batas penutup dengan tangan/kertas. Kemudian salah satu
mata secara bergantian disinari dengan lampu senter. Reaksi yang tampak adalah
kontraksi pupil (miosis) mata yang tidak disinari.
Refleks pupil akomodasi dan konvergensi
Penderita diminta melihat jauh lurus ke depan, kemudian disuruh melihat dan
mengikuti jari tangan pemeriksa yang diletakkan ±30 cm di depan hidung penderita.
Selanjutnya jari tangan penderita bergerak secara konvergens (ke arah nasal) disertai
pupil akomodasi.
Pupil Argyll Robertson dapat dijumpai pada salah satu atau kedua mata. Ciri-cirinya
sebagai berikut:
- Refleks cahaya langsung dan konsensuil negatif, Refleks akomodasi dan konvergensi
positif
19
- Pupil miosis (<2,5 mm)
- Dijumpai pada neurosifilis.
Reaksi pupil terhadap cahaya dapat menghilang atau berkurang jika terdapat lesi yang mengenai
jaras penglihatan pada lintasan saraf yang berperan pada refleks pupil atau refleks cahaya
tersebut. Kelainan tersebut termasuk diataranya :
1. Kegagalan cahaya untuk mencapai retina, misalnya akibat katarak dan kekeruhan cairan vitreus
pada pasien diabetes melitus.
2. Penyakit pada retina, seperti retinitis pigmentosa, perdarahan makula, atau scar.
3. Penyakit atau kelainan pada nervus optikus seperti neuritis optik, neuritis retrobulbar, dan
atrofi nervus optikus.
4. Kelainan yang mengenai traktus optikus dan hubungannya dengan batang otak
5. Penyakit atau kelainan pada batang otak
6. Penyakit atau kelainan pada nervus okulomotorius atau gangion siliare
Fundus oculi (fundus k op i )
- Pemeriksaan dilakukan dengan bantuan oftalmoskop.
- Yang diperiksa adalah keadaan retina dan diskus optikus atau papila nervi optici.
- Cara pemeriksaan: Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang telah digelapkan atau ruangan
remang-remang.
- Penderita dalam posisi duduk/berbaring memandang lurus ke depan.
- Mata penderita diperiksa satu-satu dimana mata kanan penderita diamati oleh mata kanan
pemeriksa dan mata kiri penderita diarnati oleh mata kiri pemeriksa.
- Melalui lubang oftalmoskop yang didekatkan pada mata penderita, pemeriksa
mengarahkan sinar lampu oftalmoskop ke pupil penderita sehingga terlihat jelas gambaran
retina dan papil N.II
- Kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa yang ada pada oftalmoskop
Tersebut.
- Penilaian:
Gambaran fundus oculi normal:
Retina berwarna merah-oranye
20
Pembuluh darah: vena lebih tebal dari arteri dan berpangkal pada pusat papil dan
memancarkan cabang-cabangnya keseluruh retina dengan perbandingan a:v = 2:3
Funduskopi normal
Papil N.II: berwarna kuning kemerahan, bentuk bulat, batas tegas dengan sekelilingnya,
mempunyai cekungan fisiologis (cupping).
Kelainan papil N.II :
a. Papil edema, ditandai:
Warna: kemerahan (lebih tua clan normal)
Batas: tidak tegas/kabur
Cekungan fisiologis: datar, kadang sampai menonjol
Gambaran pembuluh darah bertambah, melebar, berkelok-kelok (hiperemis), a:v
= 2:5
Biasanya ditemukan pada peningkatan tekanan intra krainal dan papilitis
Papil edema
b. Papil atrofi, dibedakan 2 macam:
- Papil atrofi primer, akibat tekanan langsung pada N.II
- Papil atrofi sekunder, yang terjadi melalui papil edema lebih dulu
21
Papil atrofi ditandai:
- Warna: pucat (kuning muda sampai putih)
- Batas: menjadi lebih tegas
- Cekungan fisiologis: tampak lebih cekung
- Gambaran pembuluh darah tampak mengecil dan jumlahnya berkurang.
o Biasanya ditemukan pada, axial miopia
Atrofi papil primer
Atrofi papil sekunder
Tes Warna (color vision testing)
Tes ini untuk mengetahui adanya buta warna. Cara periksa: penderita disuruh melihat dan
mengenali warna-warna yang ditunjukkan dalam kartu tes. Stilling dan Ishihara. Gangguan
pengenalan warna ini sering ditemukan pada kasus neuritis optik, lesi N.II atau lesi khiasma
optikum.
10. N.III, N.IV, N.VI = N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducen.
22
Ketiga saraf ini bersama-sama mengurus gerakan kedua bola mata. Itulah sebabnya di
dalam klinik diperiksa secara bersama-sama. Semua otot bola mata eksterna termasuk M.
Levator palpebrae dan M. Konstriktor pupilae (parasimpatis) dipersarafi oleh N.III, kecuali M.
Obliquus superior (untuk gerakan bola mata ke medial bawah) oleh N.IV dan M. Rectus lateralis
(untuk aerakan bola mata ke lateral) oleh N.VI.
Pemeriksaan N.III, N.IV, dan N.VI meliputi:
1. Celah mata (fissura palpebrae)
Pada keadaan istirahat dan mata terbuka lebar dilihat apakah simetris atau sama dan
sebangun.
2. Ptosis
Keadaan dimana kelopak mata atas jatuh/menurun karena kelumpuhan M. Palpebra
superiornya. Dapat diperiksa dengan menyuruh penderita membuka matanya lebar-lebar
atau mengangkat kelopak mata atasnya secara volunter.
3. Keadaan bola mata
Penderita disuruh melihat ke depan, kemudian dilperhatikan celah mata dan keadaan
bola mata dilihat dari samping. Pada exophtalmus mata lebih menonjol dan celah mata
tampak melebar, sedangkan enophtalmus mata masuk ke dalam, celah mata tampak
menyempit.
11. Sikap bola mata
23
Bola mata yang lumpuh memperlihatkan sikap yang tidak wajar. Sikap bola mata yang
menyimpang ke arah hidung disebut strabismus konvergens sedangkan sikap bola mata
yang menyimpang ke arah temporal disebut strabismus divergens.
12. Gerakan bola mata
pemeriksaan klinis gerakan mata pada pasien yang sadar, pasien diminta mengikuti suatu benda
yang bergerak ( misalnya : jari pemeriksa) dalam bentuk huruf H agar semua
ototekstraokular dinilai secara relative tersendiri
Paralisis N. VI kiri
13. Gerakan bola mata konjugat
Yaitu kemampuan kedua bola mata untuk bergerak dan melihat ke satu arah secara
bersamaan. Gerakan bola mata konjugat diatur oleh: sentrum kortikal (area 8 lobus frontalis) ⇒ deviation conjugae cortikalis sentrum pontinal (sebelah medial nucleus N.VI) ⇒ deviation
conjugae pontinal. Kelainannya Disebut juga deviation conjugae yaitu gerakan kedua bola
mata involunter ke satu jurusan/arah terus-menerus dan tidak dapat dikembalikan baik secara
sadar maupun refleks.
24
Deviasi konjugat kiri
.
14. Pupil
Yang diperiksa adalah:
- Bentuk pupil
Normal bentuknya bulat, batas rata, dan licin.
- Ukuran pupil
Dapat berubah-ubah setiap saat tergantung pada penerangan ruang periksa. Umumnya
dianggap normal bila diameter 2-6 mm (±3,5 mm). Diameter <2 mm disebut miosis dan
bila sangat kecil sekali disebut pin point pupil. Diameter >6 mm disebut midriasis.
Normalnya ukuran kedua pupil kanan kiri adalah sama, yang disebut isokor. Sedangkan
bila tidak sama besar disebut anisokor.
Gangguan pada nervus III antara lain menyebabkan :
Ptosis, lumpuhnya M. levator palpebrae
Pupil midriasis, dan tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi karena
lumpuhnya persarafan parasimpatis.
Paralisis pada otot-otot gerak bola mata yang dipersarafi.
Gangguan pada nervus IV :
Diplopia, melihat ganda pada sisi saraf yang terkena
Sulit melihat kebawah dan keluar
Gangguan pada nervus VI :
25
Sulit melihat kearah sisi yang sakit
Diplopia horizontal
Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan :
Infark, aneurisma a.basilaris
Trauma, fraktur os petrosum
Peningkatan intra cranial
Meningitis
4. N. V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi ;
1) Pemeriksaan fungsi motorik.
2) Pemeriksaan fungsi sensorik (sensibilitas).
3) Pemeriksaan refieks Trigeminal
l. Pemeriksaan fungsi motorik.
Pemeriksaan pada otot-otot yang bekerja sama dalam melakukan gerakan
mengunyah :
Penderita disuruh menggigit gigi sekuat-kuatnya. Pemeriksa melakukan palpasi
terhadap kontraksi m. Masseter dan m. Temporalis kanan dan kiri, bandingkan
kekuatan kontraksinya.
Penderita disuruh membuka mulutnya.
Pemeriksa berdiri di depan penderita dan mengawasi rahang bawah penderita. Pada
kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke sisi ipsilateral lesi
saat muIut dibuka oleh karena m. Pterygoideus Ekstemus yang sehat akan
mendorong Condylus Mandibula dan Mandibula ke depan tanpa dorongan
yang mengimbangi dari sisi yang lain.
Penderita diminta menggerakkan rahang bawahnya ke samping sewaktu penderita
meIaksanakan perintah, pemeriksa menahan gerakan tersebut. Jika terdapat
kelumpuhan sesisi, maka gerakan ke samping dari sisi yang lumpuh adalah
kuat, sedang gerakan ke sisi yang sehat adalah lemah / tidak ada sama sekali.
26
Penderita disuruh rnenggigit tongue spatel kayu yg diletakkkan di atas deretan
geraham kiri dan kanan sekuat-kuatnya bandingkan bekas gigitan pada
tongue spatel. Lubang gigitan pada sisi Masseter yang lumpuh adalah lebih
dangkal.
Pada lesi LMN rahang bawah akan berdeviasi ke arah lesi homolateral. Sedangkan pada lesi
UMN ke arah kontralateral, tetapi umumnya jarang terlihat karena dalam beberapa hari
kelemahan otot kontralateral tersebut akan dilayani oleh serabut kortikobulbaris homolateral
sebagai kompensasinya.
Adakalanya tampak otot-otot pengunyah dalam keadaan spastis sehingga mulut penderita
tidak dapat dibuka atau hanya dapat dibuka sedikit sekali. Keadaan ini disebut trismus.
2. Pemeriksaan fungsi sensorik (sensibilitas)
Meliputi nyeri (dengan jarum), panas (dengan air suhu 40-45°C); dingin (dengan
air suhu 10-15°C), dan raba (dengan kapas). Prakteknya : rangsang dingin pakai besi
palu refleks ditempelkan pada kulit penderita.
Bandingkan sensasi kulit satu dengan sisi yg lain pada daerah wajah dan kepala,
mukosa konjunctiva, hidung dan mulut.
3. Pemeriksaan refleks Trigeminal
Reflek Masseter (Jaw Jerk Reflex)
27
Penderita diminta membuka mulutnya sedikit (jangan terlalu lebar), kemudian letakkan Jari
telunjuk kiri pemeriksa di atas dagu penderita secara horizontal. Selanjutnya telunjuk tadi
diketuk dengan pale refleks. Respon normal akan negatif (tidak ada penutupan mulut) atau
positif lemah (adanya penutupan mulut ringan).
Kegunaannya adalah untuk melihat adanya lesi UMN (serabut kortikobulbaris) dimana setelah
pengetukkan terlihat penutupan mulut terjadi secara dan kuat (hiperrefleks/meningkat)
Refleks Kornea
Refleks kornea langsung
Penderita diminta melirik ke salah satu sisi (lateral kanan kemudian lateral kiri). Misalnya ke
lateral kanan dulu, maka dari sini kontralateralnya (sisi lateral kiri penderita) kornea mata kiri
disentuh dengan kapas yang dipuntir halus. Di sini yang diperhatikan adalah refleks mata
yang korneanya disentuh. Meskipun respon refleks yang sesungguhnya berupa kedipan kedua
mata (bilateral). Kemudian hasilnya ini dibandingkan dengan hasil pemeriksaan mata
sebelahnya.
Refleks kornea tidak langsung (konsensuil)
Cara periksa sama dengan refleks kornea langsung. Hanya saja yang diperhatikan di sini
adalah respon refleks (kedipan) mata yang korneanya tidak disentuh/dirangsang. Kegunaan
pemeriksaan refleks kornea konsensuil ini sama dengan refleks cahaya konsensuil, yaitu
untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen N.V atau eferen N.VII). Pada parese N.V
perifer dimana mata tidak dapat dipejamkan, maka pemeriksaan refleks kornea langsung pada
sisi lesi adalah negatif, tetapi refleks kornea konsensuil pada sisi itu positif.
5. N. VII (N. Facialis)
Pemeriksaan N. Facialis ini meliputi fungsi:
1. Motorik, yang mempersarafi semua otot wajah kecuali M. Levator palpebra superior
2. Sensorik khas, pengecap 2/3 anterior lidah
3. Visceromotorik, mengatur sekresi kelenjar lakrimalis, lingualis, dan submandibularis
28
4. Somatosensorik, merasakan nyeri pada palatum, meatus akustikus eksternus, bagian luar
gendang telinga
Motorik
1. Otot wajah
- Perhatikan lipatan nasolabialis simetris atau tidak. Pada sisi parese lipatan tersebut datar atau
hampir datar.
- Sudut mulut simetris atau tidak. Hasil pemeriksaan akan tampak lebih jelas pada saat penderita
diajak berbicara.
- Gerakan abnormal: ada tidaknya tic facialis.
2. Otot dahi
- Penderita disuruh MENGERUTKAN DAHINYA, mengangkat kedua alis mata atau melihat ke
Atas tanpa menggerakkan kepalanya. Kemudian perhatikan apakah kerutan dahinya simetris
atau tidak.
3. M. Orbicularis oculi
- Perhatikan apakah ada LAGOPHTALMUS atau tidak dengan menyuruh penderita menutup
matanya pelan-pelan. Adanya lagophtalmus bila celah mata masih tetap terbuka. Didapat pada
lesi N.VII tipe perifer.
- Kemudian penderita disuruh MEMEJAMKAN MATANYA kuat-kuat dan pemeriksa mencoba
membuka kedua mata tersebut. Pemeriksa membandingkan kekuatan mata tersebut. Bila sama
kuat kanan dan kiri berarti normal, tapi bila salah satu lebih mudah dibuka maka berarti M.
Orbicularis oculi mata tersebut parese.
29
-
4. M. Orbicularis oris
- Penderita disuruh MENUNJUKKAN GIGINYA/MERINGIS, lalu perhatikan sudut mulut
Kanan dan kiri. Bila salah satu sudut mulut tertinggal pada pergerakkan tersebut berarti terdapat
parese di sisi tersebut.
Sensorik khas
- Untuk memeriksa pengecapan 2/3 depan lidah ini dapat cligunakan rasa manis, asin,
asam, dll dalam bentuk larutan sebagai objek bahan. Cara periksa: penderita diminta
menjulurkan lidahnya. Lalu pada salah satu sisi lidah disentuh dengan kapas lidi yang
telah dibasahi lebih dulu dengan larutan (bahan objek).
30
- Kemudian penderita diminta mengidentifikasi dengan bahasa isyarat (boleh dengan
tulisantangan atau menunjuk bahan objek di depan penderita yang telah dijelaskan lebih
dulu bahan-bahan apa tersebut).
- Saat dilakukan pemeriksaan penderita tidak diperkenankan bersuara/berbicara sebab ada
kemungkinan bahan larutan tersebut berpindah ke sisi lidah satu sisi lidah, dilakukan pula
pemeriksaan terhadap sisi lidah sebelahnya.
- Hilangnya atau berkurangnya daya pengecap disebut ageusia atau hipogeusia.
N. VIII = Vestibulokoklearis
Untuk memeriksa fingsi pendengaran dan Keseimbangan
Pemeriksaan Pendengaran :
Tes Bisik
Tes bisik adalah melakukan pemeriksaan dengan mengucapkan suara Yang lirih seperti
berbisik-bisik kepada orang yang diperiksa ( orang normal maupun orang dengan gangguan
pendengaran) dengan berbagai penekanan dengan menggunakan huruf tertentu. Pemeriksa
berada dibelakang pasien agar pasien tidak dapat melihat bibir pemeriksa, kemudian pemeriksa
mengucapkan kata yang terdiri dari huruf-huruf dengan suara halus dan kasar, penekanan dan
desisan misalnya “Bakso”, kemudian pasien diminta untuk mengulangi kata yang didengarnya.
Tes Weber
Normalnya getaran terdengar sama kuat kanan kiri atau tidak ada laeralisasi. Tetapi bila
salah satu telinga ditutup, maka getaran akan terdegar lebih kuat pada telinga yang ditutup
daripada telinga yang terbuka. Bila getaran terdengar lebih keras pada telinga yang terbuka
berarti ada kelainan pada telinga tersebut (penyakit telinga tengah). Pada penyakit telinga tengah
(tuli konduksi) maka lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sakit. Sebaliknya pada lesi N.
Cochlearis (tuli persepsi) lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sehat.
31
Tes Rinne
Garpu tala yang telah digetarkan segera diletakkan pada tulang mastoid. Bila suara
getaran tidak terdengar lagi oleh penderita segera pindahkan ke depan liang telinga luar.
Normalnya getaran garpu tala tersebut masih bisa didengar. Tapi pada orang dengan tuli
konduksi getaran tidak akan terdengar lagi.
Tes Schwabach
Penderita diminta mendengarkan garpu tala yang digetarkan, kemiudian bandingkan
dengan pemeriksa. Mula-mula dengan konduksi tulang lalu konduksi udara Caranya: untuk
konduksi tulang garpu tala yang digetarkan diletakkan di processus mastoideus penderita sampai
is tidak mendengar lagi segera pindahkan ke proccessus mastoideus pemeriksa. Untuk konduksi
udara garpu tala yang digetarkan diletakkan di depan liang telinga luar penderita sampai os tidak
32
mendengar lagi segera pindahkan ke depan liang telinga luar pemeriksa. Bila pemeriksa masih
dapat mendengar getaran garpu tala maka pendengaran penderita dikatakan berkurang.
Tes Audiometri
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai.
Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendengaran.
Tes BAER (Brain auditory evoked response)
Brain Evoked Response Audiometry atau BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk
mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. Istilah
lain yang sering digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem
Auditory Evoked Response Audiometry (BAER). Alat ini efektif untuk mengevaluasi saluran atau
organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak.
Pemeriksaan Keseimbangan
Pada pemeriksaan diperhatikan:
1. Keseimbangan penderita dengan mengamati sikap tubuh waktu berdiri dan waktu
berjalan/bergerak. Dijumpai pada penderita vertigo dengan ciri-ciri: Merasa benda-benda
sekitarnya berputar atau tubuhnya berputar Sikapnya kaku oleh karena kepalanya
terfiksir di leher dengan sengaja agar tidak timbul serangan. Gaya berjalannya agak
lambat, tegak, dan berhati-hati. Kedua lengan dalam keadaan siap siaga untuk
memegang sesuatu kalau-kalau os jatuh. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan
berikut:
a. Romberg’s dan sharpened Romberg’s test
33
Pada Romberg tes, pasien diminta untuk berdiri tegak dan menutup mata, kedua
tangan berada di samping tubuh dan kaki dirapatkan, dan pada sharpened
Romberg’s tes Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan
kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya,
lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu
berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
jika pasien menutup mata kemudian jatuh, hal ini mengindikasikan adanya
kelemahan pada proprioseptif atau vestibular.
Sharpened romberg’s test
b. Stepping tes
Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk
berusaha agar tetap ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test
berlangsung. Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari
1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat
c. Past pointing tes
Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya,
kemudian dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya
pasien harus dapat melakukannya.
34
Past pointing test
d. Tes jari hidung
Tahan jari anda sepanjang kira-kira satu lengan dari pasien. Instruksikan pasien
anda untuk menyentuh jari anda dengan menggunakan jari telunjuk kemudian
menyentuh hidungnya kembali. Gerakan ini diulangi beberapa kali. Pasien
mungkin saja tidak dapat menyentuh jari anda atau terjadi tremor intensi.
bila terganggu dapat suatu disfungsi serebellar.
e. Pemeriksaan Jalan tandem
penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari
kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan
menyimpang, dan pada kelainan serebelum penderita akan cenderung jatuh.
35
2. Nystagmus, Nystagmus vestibuler ini mengarah dengan komponen cepatnya ke sisi
kontralateral lesi. Pemeriksaan yang lebih teliti dengan tes kalori Barany. Tes ini
dilakukan di bagian THT.
a. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike
Pada tes ini pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia
direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30
derajat di bawah horison. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian
diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lag! dengan kepala menoleh ke
kanan. Penderita disuruh tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat
sekitarnya muncul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa
lama berlangsung serta jenis nistagmus. Kemudian kepada penderita ditanyakan
apa yang dirasakannya. Apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialaminya
pada tes ini serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya. Pada lesi perifer,
vertigo lebih berat dan didapatkan masa laten selama sekitar 2-30 detik. Yang
dimaksud dengan masa laten di sini ialah nistagmus tidak segera timbul begitu
kepala mengambil posisi yang kita berikan; nistagmus baru muncul setelah
beberapa detik berlalu, yaitu sekitar 2-30 detik. Dalam hal ini, kita katakan masa
laten untuk terjadinya nistagmus ialah 2-30 detik.
b. Tes kalori.
Tes kalori mudah dilakukan dan mudah diduplikasi. Tes ini membutuhkan
peralatan yang sederhana, dan dapat diperiksa pada kedua telinga. Kepekaan
penderita terhadap rangang kalori bervariasi, karenanya lebih baik dimulai dengan
36
stimulasi yang ringan; dengan harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi
nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai nausea atau muntah.
Stimulasi yang lebih kuat selalu dapat diberikan bila penderita ternyata kurang
sensitif. Cara melakukan tes kalori: Kepala penderita diangkat ke beiakang
(menengadah) sebanyak 60 derajat (tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin
berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal
oleh aliran konveksi yang diakibatkan oleh aliran endolimf). Tabung suntik
berukuran 20 cc dengan jarum ukuran nomor 15 yang ujungnya dilindungi karet
diisi dengan air bersuhu 30°C (kira-kira 7 derajat di bawah suhu badan). Air
disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan demikian
gendangan telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian, bola mata
penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus ialah
ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang diairi (karena air yang
disuntikkan lebih dingin dari suhu badan). Arah gerak nistagmus dicatat,
demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5 kali per detik) dan lamanya nistagmus
berlangsung dicatat. Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita,
namun biasanya berlangsung antara 1/2-2 menit. Setelah beristirahat selama 5
menit, telinga ke dua dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan
lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa.
Pada sekitar 5% orang normal, stimulasi minimal tidak akan mencetuskan
nistagmus. Pada penderita demikian, 5 ml air es diinjeksikan ke telinga, secara
lambat, sehingga lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik. Pada keadaan
normal hal ini akan mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2 - 21/2 menit. Bila
masih tidak timbul nistagmus, kemudian dapat disuntikkan 20 ml air es selama 30
detik. Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nistagmus ke kanan.
Bila telinga kiri dipanaskan ( diberi air panas ) timbul nistagmus ke kiri.
Nistagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan,
misalnya nistagmus ke kiri berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan
keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.
37
N.IX dan N.X = N. Glossopharyncieus dan N. Vagus
Pemeriksaan
Penderita diminta membuka mulutnya selebar-lebarnya dengan lidah dijulurkan keluar,
kemudian amati ARCUS PHARYNX apakah simetris atau tidak. Untuk dapat mengamati lebih
jelas penderita diminta menyebutkan huruf A. Bila asimetris berarti ada parese dan arcus
pharynx tampak lebih rendah. Setelah itu perhatikan apakah UVULA penderita terletak di
tengah-tengah (normal). Penderita diajak bicara dan dengarkan adanya: SUARA SENGAU (lesi
N.IX) dan SUARA PARAU/DISFONI atau AFONI (lesi N.X), Dilihat ada tidaknya
GANGGUAN MENELAN. Penderita disuruh menelan air lalu dilihat apakah air tersebut keluar
lagi melalui hidungnya atau tidak. Pada kelainan bulbar paralisis penderita tidak dapat minum
sama sekali.
Pemeriksaan DENYUT JANTUNG. Dengan cara menghitung frekuensi denyut jantung
secara auskultasi atau nadi secara palpasi. Pada lesi iritatif N.X terjadi bradikardi, sedangkan
pada lesi paralitik terjadi takikardi.
Pemeriksaan refleks:
Refleks batuk, Dapat dibangkitkan dengan cara merangsang liang telinga diklitik-klitik
Refleks muntah, Dapat dibangkitkan dengan menyentuhkan spatel lidah pada dinding
belakang pharynx.
38
Refleks oculo cardiac, Hitung lebih dulu denyut jantung/nadi selama 1 menit penuh.
Kemudian penderita disuruh menutup matanya lalu kedua bola matanya ditekan. Setelah
itu hitung lagi denyut jantung dan nadinya. Normal terjadi bradikardi.
Refleks sinus carotis, Caranya sama dengan refleks oculo cardiac, hanya saja di sini yang
ditekan adalah sinus caroticus di daerah leher setinggi cervical VI bagian medial M.
Sternocleidomastoideus. Normal terjadi bradikardi.
Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan daya pengecap 1/3 posterior lidah secara praktis sukar/tidak dapat diperiksa.
N.XI = N. Accesorius
Hanya mempunyai komponen motorik yang mempersarafi
a. M. Trapezius
b. M. Sternocleidomastoideus
Pemeriksaan:
- M. Trapezius
Penderita disuruh mengangkat kedua bahunya serentak kanan kiri dengan sekuat-kuatnya.
Kedua tangan pemeriksa menekan bahu tersebut. Bandingkan kekuatannya kanan dan
kiri.
- M. Sternocleidomastoideus
39
Tangan pemeriksa diletakkan pada pipi rahang penderita (tangan kanan pemeriksa untuk
pipi kiri penderita dan sebaliknya). Kemudian penderita disuruh menoleh/menggerakkan
kepalanya ke arah tangan pemeriksa, sedangkan pemeriksa berusaha menahannya.
Bandingkan kanan dan kiri.
N.XII = N. Hypoglossus
Bersifat motorik yang mempersarafi otot-otot penggerak lidah
Cara pemeriksaan:
Penderita diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya lurus ke depan. Perhatikan: Deviasi
lidah (lidah membelok ke arah mana) Fasikulasi (gerakan kecil-kecil pada otot lidah secara terus-
menerus) Papil lidah: ada atrofi atau tidak (pada atrofi lidah tampak licin) Selanjutnya penderita
diajak bicara atau disuruh mengucapkan kata-kata yang banyak mengandung huruf R dan L.
Misalnya: ular loreng-loreng lari di lorong-lorong. Tujuannya adalah untuk mengetahui disartria
atau tidak.
PEMERIKSAAN MOTORIK
Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin
kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan. Ketika memeriksa sistem motorik pasien fokuskan
perhatian pada posisi tubuhnya, gerakan involunter, karakteristik otot (massa, tonus serta
kekuatan otot). Bisa menggunakan urutan pemeriksaan setiap komponen pada pemeriksaan
lengan, tungkai dan bagian tubuh secra bergantian.
40
Pengamatan:
Gaya berjalan dan tingkah laku
Simetri tubuh dan ektremitas
Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.
Gait
Hemiplegik gait (gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara sirkumduksi)
Spastik/ Scissors gait (gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai)
Tabetic gait (gaya jalan pada pasien tabes dorsalis)
Steppage gait (gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid/paralisis n.
peroneus)
Waddling gait (gaya berjalan dengan pantat & pinggang bergoyang berlebihan khas
untuk kelemahan otot tungkai proximal misal otot gluteus)
Parkinsonian gait (gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua tungkai
berfleksi sedikit pada sendi lutut & panggul. Langkah dilakukan setengah diseret dengan
jangkauan yang pendek-pendek)
Gerakan involunter
Amati gerakan involunter atau gerakan diluar kemauan seperti tremor, tics atau fasikulasi.
Perhatikan lokasi, kecepatan,irama, dan hubungannya dengan postur tubuh , aktivitas, kelelahan
dll.
Massa otot
Bandingkan ukuran dan kontur otot-ototnya. Apakah otot pasien terlihat rata atau cekung yang
menunjukkan atrofi? Jika ya apakah penyusutan tersebut unilateral atau bilateral. Ketika mencari
41
tanda adanya trofi beri perhatian khusus pada tangan, bahu, dan paha. Namun atrofi otot-otot
tangan dapat terjadi pada pertambahan usia yang normal.
Tonus otot
Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak
diperiksa kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan
fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang
normal terdapat tahanan yang wajar
Flaksid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada
kelumpuhan LMN)
Hipotoni : tahanan berkurang
Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN
Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.
Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
o Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa
menahan gerakan ini
o Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh
menahan
Uji biseps dengan meminta pasien melakukan gerakan pada
gambar dan katakan "tarik saya".
Dalam posisi yang sama, nilai kekuatan triseps dengan berkata
"dorong saya". Minta pasien mendorong tangan Anda ke atas
(ekstensi pergelangan tangan)
Kekuatan sendi-sendi kecil tangan diuji dengan meminta pasien
"lebarkan jari-jari Anda" , lalu minta mereka mempertahankan jari-
jarinya, sambil Anda coba memisahkannya.
Test fleksi pada sendi pangkal paha dilakukan dengan menempatkan
tangan pemeriksa pada paha pasien dan memintanya untuk
mengangkat tungkai dan melawan tangan pemeriksa.
42
Cara menilai kekuatan otot:
o 0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total
o 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan
yang harus digerakkan oleh otot tersebut
o 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat
(gravitasi)
o 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
o 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang
diberikan
o 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)
Refleks
Uji refleks bertujuan untuk menilai lengkung refleks dan pengaruh supraspinal yang
bekerja pada lengkung refleks tersebut. Bila tendon otot yang teregang dipukul dengan
lembut menggunakan palu refleks, otot akan berkontraksi singkat. Fenomena tersebut
menunjukkan ada kesatuan antara jalur aferen, jalur eferen, dan eksitabilitas sel di kornu
anterior segmen medula spinalis yang mempersarafi otot yang teregang. Dokter harus
terampil dalam menguji reflex, dokter harus selalu berdiri di sisi tempat tidur yang sama,
memicu refleks tendon dengan cara yang sama, dan memastikan pasien relaksasi. Ayunkan
palu refleks dengan lembut dan biarkan pukulan palu terjadi karena berat palu. Dalam
keadaan normal, respons refleks sangat bervariasi di antara individu, sebagian
memperlihatkan respons yang kuat dan cepat, sedangkan yang lain memperlihatkan respons
yang kurang kuat. Bila tidak timbul refleks, selalu lakukan "penguatan" dengan meminta
pasien mengatupkan gigi atau mengepalkan tangan, sementara Anda kernbali berupaya
memicu refleks. Cara tersebut bertujuan mengalihkan perhatian pasien sehingga pengaruh
43
korteks pada respons refleks berkurang. Refleks yang sering diperiksa adaiah refleks biseps,
triseps, supinator, patela, dan Achilles.
Refleks fisiologis
1. Biseps
Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps
brachii, posisi lengan setengah ditekuk
pada sendi siku
Respons : fleksi lengan pada sendi siku.
Afferent : n. musculucutaneus (C5-6)
Efferenst : n. musculucutaneus (C5-6)
2. Triseps
Stimulus : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku
dan sedikit pronasi.
Respons : extensi lengan bawah disendi siku
Afferent : n. radialis (C 6-7-8)
Efferenst : n. radialis (C 6-7-8)
3. (Refleks patella)
Stimulus : ketukan pada tendon patella
Respons : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.
quadriceps emoris.
Efferent : n. femoralis (L 2-3-4)
Afferent : n. femoralis (L 2-3-4)
4. (Refleks Achilles)
Stimulus : ketukan pada tendon Achilles
Respons : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius
Efferent : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )
Afferent : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )
5. Periosto-radialis
44
Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi
dan sedikit pronasi
Respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m.
Brachioradialis
Afferent : n. radialis (C 5-6)
Efferenst : n. radialis (C 5-6)
6. Periosto-ulnaris
Stimulus : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi
& antara pronasi – supinasi.
Respons : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadrates
Afferent : n. ulnaris (C8-T1)
Efferent : n. ulnaris (C8-T1)
Ref l eks Pa to log i s
Banyak macam rangsang yang dapat digunakan untuk membangkitkannya,
misalnya menggores telapak kaki bagian lateral, menusuk atau menggores dorsum
kaki atau sisi lateralnya, memberi rangsang panas atau rangsang listrik pada kaki,
menekan pada daerah interossei kaki, mencubit tendon Achilles, menekan tibia,
fibula, otot betis, menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang
hebat, refleks dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki, menggerakkan
kepala dan juga bila menguap.
Refleks Babinski. Untuk membangkitkan refleks Babinski, penderita disuruh
berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan.Kita pegang pergelangan kaki supaya kaki
tetap pada tempatnya.Untuk merangsang dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak
runcing. Goresan harus dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab
hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki (flight reflex). Goresan dilakukan pada
telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positif, kita
dapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari, yang dapat disertai gerak mekarnya jari-jari lainnya .
Tadi telah dikemukakan bahwa cara membangkitkan refleks patologis ini bermacam-
macam, di antaranya dapat disebut:
45
Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral
maleolus
Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis
Cara Oppenheim : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior, Arah
mengurut ke bawah (distal).
Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian melepaskannya
sekonyong-konyong
Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles
Klonus
Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal ialah adanya
hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus ialah kontraksi ritmik dari otot,
yang timbul bils otot diregangkan secara pasif. Klonus merupakan reflex regang otot yang
meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklir(UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang
mempunyai hiperfleksi fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya
berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal ini dianggap
patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang dapat disebabkan
oleh lesi pyramidal.
Pada lesi piramidal (UMN (uppermotorneuron) supranuklir) kita sering
mendapatkan klonus di pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.
Klonus kaki.
Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot gastroknemius. Pemeriksa
menempatkan tangannya di telapak kaki penderita, kemudian telapak kaki ini didorong dengan
cepat (dikejutkan) sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan tahanan enteng.Hal
mengakibatkan teregangnya otot betis.Bila ada klonus, maka terlihat gerakan ritmik (bolak-
balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi dan dorso ieksi secara bergantian.
Klonus patela.
46
Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot kuadriseps femoris.Kita
pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan cepat) ke arah distal
sambil diberikan tahanan enteng. Biia terdapat klonus, akan terlihat kontraksi ritmik otot
kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan ini
tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan.
Refleks dan gejala patoiogis lain yang perlu diketahui.
Refleks Hoffman Tromrner.
Kita telah mendiskusikan refleks fleksor jari-jari.Pada orang normal, refleks ini biasanya
tidak ada atau enteng saja; karena ambang refleks tinggi.Akan tetapi, pada keadaan patologik,
ambang refieks menjadi rendah dan kita dapatkan refleks yang kuat. Refleks inilah yang
merupakan dasar dari refleks Hoffman-Trommer, dan refleks lainnya, misalnya refleks
Bechterew.
Dalam beberapa buku, refleks Hoffman-Trommer ini masih dianggap sebagai refleks
patoiogis dan disenafaskan dengan refleks Babinski, padahal mekanisme refleks fleksor jari-jari
sama sekali lain dari reflex Babinski .ia merupakan regleks regang otot, jadi sama seperti reflex
kuadriseps dan reflex regang otot lainnya. Reflex Hoffman-trommer positif dapat disebabkan
oleh lesi pyramidal, tetapi dapat pula disebabkan oleh peningkatan reflex yang melulu
fungsional. Akan tetapi bila reflex pada sisi kanan berbeda dari yang kiri, maka hal ini dapat
dianggap sebagai keadaan patologis.
Simetri penting dalam penyakit saraf.Kita mengetanui bahwa simetri sempurna memang
tidak ada pada tubuh manusia. Akan tetapi, banyak pemeriksaan neurologi didasarkan atas
anggapan, bahwa secara kasar kedua bagian tubuh adalah sama atau simetris. Tiap refleks tendon
dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini belum tentu berarti adanya lesi piramidal. Lain
halnya kalau peninggian refleks bersifat asimetris !!!
Cara membangkitkan refleks Hoffman-trommer: Tangan penderita kita pegang pada
pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan. Kemudian jari tengah penderita kita
jepit di antara telunjuk dan jari-tengah kita.Dengan ibu-jari kita "gores-kuat" (snap) ujung jari
tengah penderita.Hal ; ini mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari,
47
bila refleks positif. Kadang juga disertai fleksi jari lainnya,Reflex massa, reflex automatisme
spinal. Kita telah mengetahui bahwa bila reflex Babinski cukup hebat, kita dapatkan dorso fleksi
jari-jari, fleksi terdapat juga kontraksi tungkai bawah dan atas, dan kadang-kadang terdapat juga
kontraksi tungkai yang satu lagi. Daerah pemberian rangsang pun bertambah luas.Hal dernikian
dapat kita jurnpai pada iesi transversal medula spinalis, dan disebut refleks automatisme spinal
Hal mi dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsang, misalnya goresan rangsang nyeri dan
lain sebagainya.
Bila refleks lebih hebat lagi, didapatkan juga kontraksi otot dinding perut, adanya miksi
dan defekasi, keluarnya keringat, refleks eriterna dan refleks pilomotor.Keadaan dernikian
disebut juga sebagai refleks massa dan Riddoch Hal dernikian didapatkan pada Iesi transversal
yang komplit dan medula spinalis, setelah fase syoknya lampau.
Refleks genggam {grasp reflex).Refleks genggam mempakan hal normal pada bayi
sampai usia kira-kira 4 bulan. Pada orang normal, bila telapak tangan digores kita tidak
mendapatkan gerakan fleksi jari-jari, tetapi kadang-kadang terjadi fleksi enteng (ambang refleks
ini tinggi).
Dalam keadaan patologis, misainya pada Iesi di lobus frontalis didapatkan reaksi (fleksi
jari) yang nyata.Penggoresan telapak tangan mengakibatkan tangan digenggamkan, dan
menggenggam alat yang d.gunakan sebagai penggores. Hal ini dinamai refleks genggam Refleks
genggam terdiri dari fleksi ibu jari dan jari lainnya, sebagai jawaban terhadap rangsang taktil,
misalnya bila pemeriksa meraba telapak tangan pasien atau menyentuh atau menggores tangan
pasien di antara ibu jari dan telunjuknya.
Kadang-kadang refleks ini dernikian hebatnya, sehingga bila kita menjauhkan tangan kita
yang tadinya didekatkan, tangan pasien mengikutinya, "seolah-olah kena tenaga maknit".Hal ini
dinamakan refleks menjangkau (groping reflex).
Untuk membangkitkan refleks genggam dapat dilakukan ha! berikut Penderita dtsuruh
mem-fleksi-entengkan jari-jari tangannya. Kemudian kita sentuh kulit yang berada di antara
telunjuk dan ibu jari dengan ujung ketok-refieks. Bila refleks menggenggam positif ujung ketok-
refleki ini akan digenggamnya.
48
Gejala leri
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
Kita pegang lengan bawah pasien yang disupinasikan serta difleksikan sedikit. Kemudian
kita tekukan dengan kuat ( fleksi ) jari-jari serta pergelangannya. Pada orang normal, gerakan ini
akan diikuti oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas, dan kadang-kadang juga disertai aduksi
lengan atas. Reflex ini akan negative bila terdapat lesi pyramidal. Tidak adanya reflex ini
dinyatakan sebagai gejala leri positif.
Gejala mayer
Pasien disuruh mensupinasikan tangannya, telapak tangan ke atas , dan jari-jari difleksi
kan serta ibu jari difleksikan dan diabduksikan. Tangannya kita pegang , kemudian dengan
tangan yang satu lagi kitatekukkan jari 3 dan 4 pada falang proksimal dan menekannya pada
telapak tangan (fleksi). Pada orang normal, ha! ini mengakibatkan aduksi dan oposisi ibu jari
disertai fleksi pada persendian metakarpofalangeai, dan ekstensi di persendian interfalang ibu
jari. Jawaban demikian tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak adanya jawaban ini
disebut sebagai gejala Mayer positif
PEMERIKSAAN SENSORIK
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit di antara pemeriksaan
neurologik yang lain karena sangat subjektif. Sehubungan dengan pemeriksan fungsi sensorik
maka beberapa hal berikut ini harus dipahami dulu:
Kesadaran penderita harus penuh dan tajam. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah,
kelelahan akan mengakibatkan gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
Prosedur pemeriksan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena pemeriksaan
fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerja sama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa
dan penderita. Dengan demikian cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada
penderita dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya
49
Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota
gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-
kedip serta perubahan sikap tubuh
Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaan-
perbedaan sensasi yang ringan, dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat
perbedaannya
Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap
bagian tubuh, pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Dengan demikian
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada hari berikutnya.
Azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Hal
ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
Pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan alat
yang sesuai dengan kebutuhan/ tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh
dalam keadaan tegang.
1. Prinsip umum
Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang abnormal, bisa
hipestesi, hiperestesi, hipalgesia atau hiperalgesia)
Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi,
kelemahan otot, refleks menurun/negative, menurut distribusi dermatom.
Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai thalamus, spinal,
radix spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk membedakannya harus dengan distribusi
gejala/keluhan dan penemuan lain
Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat, kulit kering,
perubahan pada kuku dan hilangnya sebagian jaringan di bawah kulit
Penilaian fungsi sensorik dimulai dari anamnesis karena gejala disfungsi sensorik
kadang-kadang mendahului kelainan objektif pada pemeriksaan klinis.Selain itu, gejala
pasien dapat mengarahkan Anda ke bagian tubuh tertentu, atau jenis fungsi sensorik yang
memerlukan perhatian lebih.
50
Daerah dan modalitas yang akan diuji bergantung pada jenis gangguan sensorik yang
disimpulkan dari gejala dan riwayat pasien. Namun, harus dipikirkan apakah pola penyakit
sesuai dengan suatu distribusi dermatomal atau neuropati perifer, Modalitas sensasi adalah
sentuhan ringan, nyeri, suhu, jetaran, dan propriosepsi.Pertama, periksa apakah pasien dapat
merasakanrangsangan dan memahami prosedur pemeriksaan dengan memeriksa bagian yang
Anda ketahui sensasinya normal. Kemudian, ikuti pola dermatomal , Bila distrtbusi gangguan
sensorik menyerupai sarung tangan atau kaus kaki, mulailah pemeriksaan dari ujung jari
tangan atau kaki, dan terus naik sampaididapatkan batas sensorik.
Sentuhan ringan; diperiksa dengan ujung kapas yang ditempelkan ke satu titik dengan
mata pasien tertutup. Jangan menggoreskan kapas ke kulit karena sensasi ini dapat
dihantarkan oleh serabut nyeri.
Nyeri: sebaiknya diuji dengan lidi yang patah atau neuro-tip yang dirancang khusus
(berujung tajam). Pemakaian jarum suntik sebaiknya dihindari karena mudah menembus
kutit dan dapat menimbulkan infeksi.
Sensasi getaran: biasanya berkurang atau hilang pada usia lanjut; namun, uji Ini
bemianfaat pada pasien yang dicurigai mengidap neuropati sensorik perifer. Uji sensasi
getaran terbaik adalah menggunakan garpu tala C128 Hz di ekstrcmitas atas, ekstremitas
bawah, dan badan.
Propriosepsi: sensasi posisi sendi harus diperiksa dengan mata pasien tertutup, Sistem
pemeriksaan sensasi posisi sendi di jari tangan dan kaki diperlihatkan di gambar . Jari
harus dipisahkan dari jari di sekitarnya dan sendi yang diperiksa digerakkan ke atas dan
ke bawah, Tanyakan arah gerakan jari kepada pasien.
Suhu: jarang diperiksa rutin. Bila diindikasikan, cara termudah adalah mengisi botol
sampel darah atau tabung logam dengan air es atau air hangat. Ikuti skema pemeriksaan
persarafan dermatomal dan neuropati perifer.
Berat, bentuk, ukuran, dan tekstur: koin sangat penting untuk uji ini. Sebuah koin
diletakkan di telapak tangan pasien dengan mata tertutup, dan pasien diminta untuk
menjelaskannya. Berat berbagai koin dapat diban-dingkan dengan meletakkan koin yang
berbeda bersamaan di kedua tangan.
51
PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR
Dengan fungsi luhur memungkinkan seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan
atas segala rangsang/stimulus baik dari luar maupun clan dalam tubuhnya sendiri sehingga dia
mampu mengadakan hubungan intra maupun interpersonal.
Termasuk di dalam fungsi luhur adalah:
1. Fungsi bahasa
2. Fungsi memori (ingatan)
3. Fungsi orientasi (pengenalan)
Pemeriksaan fungsi bahasa
Gangguan fungsi bahasa disebut afasia atau disfasia yaitu kelainan berbahasa akibat kerusakan di
otak, tetapi bukan kerusakan/gangguan persarafan perifer otot-otot bicara, artikulasi maupun
gangguan penurunan inteligensia.
Ada 2 jenis afasia:
1. Afasia motorik
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak mampu mengeluarkan isi pikirannya.
- Afasia motorik kortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya baik secara
verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di cortex cerebri dominan.
- Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni) : Penderita tidak dapat mengeluarkan
isi pikirannya secara verbal namun masih dapat dengan tulisan maupun isyarat. Letak lesi
di subcortex hemispher dominan.
- Afasia motorik transkortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi
masih dapat membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan Wernicke.
Cara pemeriksaan:
Mengajak penderita berbicara mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang
sukar yang pernah diketahui penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan
jawaban atau dengan isyarat.
Syarat pemeriksaan:
Penderita dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang dipakai saling dimengerti.
2. Afasia sensorik
52
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain
walaupun alat bicara dan pendengarannya baik.
- Afasia sensorik kortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan balk secara verbal,
tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di area cortex Wernicke (sensorik).
- Afasia sensorik subkortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan secara verbal,
sedangkan tulisan dan isyarat dapat dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke.
- "Buta kata-kata" (word Blindness)
Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak lagi bahasa visual. Hal ini jarang
terjadi.
Cara pemeriksaan:
Penderita diberi perintah untuk melakukan sesuatu tanpa contoh. Bila tidak bisa baru
diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat pemeriksaan sama dengan afasia motorik.
Gangguan bahasa lainnya
1. Apraksia
Penderita tidak bisa melaksanakan fungsi psikomotor.
Cara: beri perintah untuk melakukan gerakan yang bertujuan misalnya membuka kancing
baju,dll.
2. Agrafia
Penderita tidak bisa menulis lagi (tadinya bisa).
Cara: beri perintah untuk menuliskan kata-kata yang didiktekan.
3. Alexia
Penderita tidak bisa lagi mengenali tulisan yang pernah dikenalnya.
Cara: beri perintah untuk membaca tulisan atau kata-kata yang pernah dikenalnya.
4. Astereognosia
Penderita tidak bisa mengenali bentuk benda dengan cara meraba.
Cara: dengan mata tertutup penderita disuruh menyebutkan benda dengan cara merabanya.
5. Abarognosia
Penderita tidak mampu menaksir berat benda yang berada di tangannya (perabaan).
53
Cara: penderita disuruh menaksir berat benda yang berada di tangannya.
6. Agramesthesia
Penderita tidak bisa rnengenal tulisan yang dituliskan di badannya.
Cara: penderita disuruh menyebutkan kata-kata yang dituliskan di badannya dengan mata
tertutup.
7. Asomatognosia
Penderita tidak mampu menunjukkan bagian-bagian tubuhnya kiri atau kanan.
Pemeriksaan fungsi memori
Secara klinis gangguan memori (daya mengingat) ada 3 yaitu:
1. Immediate memory (segera)
2. Short term memory/recent memory (jangka pendek)
3. Long term memory/remote memory (jangka panjang)
Cara pemeriksaan :
1. Immediate memory
Yaitu daya mengingat kembali suatu stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti
mengingat nomor telepon yang baru saja diberikan.
Cara: penderita disuruh mengulang deret nomor yang kita ucapkan. Seperti di bawah ini:
(disebut digit span)
3-7
2-4-9
8-5-2-7
2-8-6-9-3
5-7-1-9-4-6
8-1-5-9-3-6-7
dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang sebanyak 7 digit.
2. Recent memory
Yaitu daya mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa menit, jam, hari yang lalu.
Cara: penderita disuruh menceritakan pekerjaan/peristiwa yang dikerjakan/dialami beberapa
menit/jam/hari yang lalu.
3. Remote memory
54
Yaitu daya mengingat kembali stimulus atau peristiwa yang telah lama berlalu (bertahun-
tahun).
Cara: penderita disuruh menceritakan pengalaman atau teman-teman masa kecilnya.
(Tentunya pemeriksa telah mendapat informasi sebelumnya).
Ketiga pemeriksaan di atas adalah untuk audio memory (yang didengar) sedangkan memori
yang dilihat (visual memory) dapat diperiksa sebagai berikut.
Cara: penderita disuruh mengingat nama-nama benda yang diperlihatkan kepadanya kemudian
benda - benda tersebut disimpan. Beberapa waktu kemudian penderita disuruh mengulang
nama-nama benda tersebut.
Pemeriksaan fungsi orientasi
Secara klinis pemeriksaan orientasi ada 3 yaitu: Personal, tempat, waktu
Cara: penderita disuruh mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya yang memang
dikenalnya (seperti istrinya, anak, teman, dll), Penderita juga disuruh mengenali tempat dimana
ia berada atau tempat-tempat lainnya. Penderita juga disuruh menyebutkan waktu/saat penderita
diperiksa seperti siang/malam/sore.
Catatan:
Kesemua pemeriksaan fungsi luhur ini baru dapat diperiksa pada penderita yang mempunyai
kesadaran penuh atau baik dan tidak mengalami gangguan mental, kemunduran inteligen
maupun kerusakan organ-organ atau persarafan perifer yang terkait. Harus diingat bahwa
pemeriksaan fungsi luhur adalah pemeriksan fungsi-fungsi cortex cerebri yang terkait.
o Pemeriksaan status mental mini (MMSE)
MMSE merupakan bagian penting dari setiap pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan
ini meliputi evaluasi kualitas dan kuantitas kesadaran, perilaku, emosi, isi pikir, kemampuan
intelektual dan sensorik. Bagian paling sensitif dan penting adalah orientasi waktu, daya
ingat, dan urutan angka. MMSE diperkenalkan sebagai pemeriksaan standar fungsi kognitif
dalam segi klinis maupun penelitian. Penilaian MMSE sangat mudah, nilai maksimum
adalah 30. Nilai kurang dari 24 ditafsirkan sebagai demensia.
55
Tabel Pemeriksaan status mini mental (MMSE)
No. Tes Nilai maks
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim),(bulan), (tanggal), hari apa? 5
2 Kita berada dimana? (Negara, propinsi, kota, rumah sakit, lantai/kamar) 5
REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik,
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap
nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan
dengan benar dan catat jumlah pengulangan
3
ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw = 2
nilai)
5
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3
BAHASA
56
6 Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) 2
7 Pasien disuruh mengulang kata-kata “namun”, “tanpa”, “bila” 1
8 Pasien disuruh melakukan perintah: “ambil kertas ini dengan tangan
anda,lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”
3
9 Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah “pejamkanlah mata
anda”
1
10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 1
11 Pasien disuruh menggambar bentuk dibawah ini 1
TOTAL 30
Skor Nilai 24-30 = normal
Nilai 17-23 = gangguan kognitif probable
Nilai 0-16 = gangguan kognitif definit
Tabel skor median pada MMSE berdasarkan usia dan tingkat pendidikan
57
PEMERIKSAAN FUNGSI VEGETATIF
Yang terpenting adalah pemeriksaan miksi, yaitu dengan cara: anamnesis dan
pemeriksaan.
Anamnesis :
- Apakah miksi spontan, disadari, bisa ditahan atau tidak, keluar terus-menerus atau sekali
keluar sekali berhenti atau tidak dapat keluar sama sekali.
Pemeriksaan:
- Tekan vesica urinaria untuk menentukan apakah penuh atau tidak
- Observasi ujung urethra eksterna, basah terus atau tidak
- Tekan vesica urinaria apakah terjadi pengosongan urine, lalu lakukan catheterisasi untuk
menentukan rest urine
Macam-macam kelainan miksi:
1. Inkontinensia urine
Suatu keadaan dimana urine keluar terus-menerus secara menetes,
2. Retensio urin
58
Suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar baik secara disadari atau tidak, sedangkan
vesica urinaria penuh.
3. Automatic bladder
Suatu keadaan diman urine dapat dikeluarkan dengan adanya gaya berat atau rangsangan
pada os pubis dan lipatan inguinal.
4. Atonic bladder
Suatu keadaan dimana urine dapat dikeluarkan dengan menekan supra pubis. Residual
urine pada keadaan ini lebih banyak dari automatic bladder.
DAFTAR PUSTAKA
59
Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi Tanda
Gejala. Jakarta: EGC. 2010.
Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and History Taking
(9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0.
Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.
Mulia, Nico Paundra. 2011. Pemeriksaan Neurologi. www.scribd.com [akses september 2012].
60