Refreat PTERIGIUM 97

10
PTERIGIUM Batasan Penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging menjalar ke kornea. Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis ya membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan den kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus. Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mat baik dibagian atas maupun bawah. Releksi atau lipatan ini disebut dengan orn superior dan inerior. !orniks superior terletak "#$% mm dari limbus orniks inerior terletak " mm dari limbus. &ipatantersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui issur palpebra antara kelopak mata superior dan inerior. Pada bagian medial konjung tidak ditemukan orniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunari penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, orniks bersiat hingga $' mm dari limbus. Se ara anatomi, konjungtiva terdiri atas bagian* 1. Konjungtiva Palpebra +ulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransormasi menjadi konjungtiva Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjun palpebra dapat dibagi lagi menjadi ona marginal, tarsal, dan orbital. Konjung marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari ona marginalkonjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian ona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat 1

description

pterigium

Transcript of Refreat PTERIGIUM 97

IDENTITAS PENDERITA

PTERIGIUM

Batasan

Penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea.

Anatomi KonjungtivaKonjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:

1. Konjungtiva PalpebraMulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva BulbiMenutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva ForniksMerupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultra violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu, dan kekeringan.

Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat mendapat sinar ultra violet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung. Karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.

Gejala dan Gambaran Klinis

Keluhan penderita : mata merah dan timbulnya bentukan daging yang menjalar ke kornea.

Gambaran klinis : pterigium ada 2 macam, yaitu

Yang tebal dan mengandung banyak pembuluh darah

Yang tipis dan tidak mengandung pembuluh darah

Di bagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrat kecil-kecil yang disebut islet of Fuch . Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.

Pterygium memiliki tiga bagian :

I. Bagian kepala atau cap,

Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

iii. Bagian badan atau ekor, Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

KLASIFIKASI PTERYGIUM

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

ETIOLOGI

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.

1.Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2.Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

Patologi

Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan konjungtiva mengalami degenerasi hyalin dan elastis, sedangkan di kornea terjadi degenerasi hyalin dan elastis pada membran Bowman.

Diagnosa Banding

1. pinguekulum : penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan.

2. pseudopterigium : suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dnegan sonde, sonde dapat masuk diantara konjungtiva dan kornea.

3. Neoplasia (Karsinoma in situ, Squamous cell carcinoma)

Penyulit

Pterigium yang tebal dapat mengakibatkan astigmatisme irreguler.

Bila menutup optik center dapat menurunkan visus dan juga dapat terjadi Jaringan parut kronik pada kornea dan konjungtiva

Pengobatan

Pterigium ringan tidak perlu diobati.

Pterigium yang mengalami iritasi, dapat diberikan anti inflamasi tetes mata ( golongan steroid, non steroid seperti indomethacin 0,1 % dan sodium diklofenac 0,1% ) dan vasokonstriktor tetes mata.

Indikasi operasi ( ekstirpasi ) :

1. pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair dan silau karena stigmatismus

4. kosmetik, terutama untuk penderita wanita

untuk mencegah terjadinya kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian :

1. mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika): 2x1 tetes/hari selama 5 hari bersamaan dengan pemberian deksamethason 0,1%: 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

2. mitomycin C 0,04% (0,4mg/ml): 4x1 tetes/hari selama14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata deksamethason

3. sinar beta

4. topikal Thiotepa (triethylene thiophosphamide) tetes mata : 1 tetes/3 jam selama 6 minggu, deberikan bersamaan dengan salep antibiotika Chloramphenicol dan steroid selama 1 minggu

Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultra violet, dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.

Prognosis

Pterigium adalah suatu noeplasma yang benigna.

Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitostatika tetes mata atau beta radiasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta : Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga, Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2204, hal.116

2. Vaughan D Asbury T. : General Ophtalmology, 12th edition, Lange Medical Publication, Maruzen Asia, 1989, pp 95-98

3. Pedoman Diagnosa dan Terapi RSUD Dr. Soetomo 2002, Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

PAGE 10