Tugas Refreat SGB Reza
-
Upload
mohammad-areza -
Category
Documents
-
view
65 -
download
1
description
Transcript of Tugas Refreat SGB Reza
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli
Radikulo Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut
juga acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending
paralysis yang merupakan kelainan yang berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis yang bersifat
peradangan di luar otak dan medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai
adanya kelemahan yang cepat dan dapat terjadi paralysis tungkai atas, tungkai
bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada semua
kelompok usia dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis
ascending. (Medicinet 2015)
Secara khas sindrom ini digambarkan dengan kelemahan motorik yang
progresif dan arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran
patologi, yaitu bentuk demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental
pada SGB dihubungkan dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi. (Pinzon 2007)
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
kelompok usia usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50
tahun dengan perbandingan yang relatif sama antara laki-laki dan perempuan.
SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama
kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat.
(Mayoclinic 2015).
Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. SGB tampil
sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau
berkembang seperti Indonesia. (Munandar)
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% hingga 80%,
1
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat
menyebabkan kematian, pada 3% pasien yang disebabkan oleh gagal napas dan
aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul. Sekitar 30% penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3
tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan
beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada
perbaikan pada akhir minggu IV maka dapat digolongkan Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). (Kowalak 2012)
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Penyembuhan dapat
terjadi spontan dan komplit pada 95% pasien sekalipun gangguan motorik atau
refleks yang ringan dapat menetap pada tungkai. Prognosis sindrom ini paling
baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang sebelum 15 hingga 20 hari
sesudah awitan penyakit serta apabila dilakukan pengobatan secara simtomatis
dan perawatan yang baik. (Kowalak 2012)
Berdasarkan hal tersebut, maka kami memandang perlu dilakukan
pembuatan makalah mengenai Sindrom Guillain Barre guna pemahaman
mendalam mengenai penyakit ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan paralisis neuropati perifer yang
bersifat ascending, progresif dan berhubungan dengan proses autoimun
(Kuwabara, 2010). Sindrom gullian barre adalah penyakit yang biasanya terjadi
dalam satu atau dua sampai empat minggu setelah infeksi virus akut seperti sakit
tenggorokkan, bronkitis, atau flu. Penyakit ini terjadi akibat peradangan dan
kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung disekitar saraf perifer (Inawati, 2011).
2.2 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan
menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0.34 dan 1.34/100.000
penduduk. Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika
Utara dan melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu antara 0.84 dan
1.91/100.000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki
= 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an
dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre
disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi
poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat
dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur,
meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan
adalah, masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40
tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki (NIH, 2012).
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
3
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre (NIH,
2012).
2.3 Etiologi
Sekitar 1-4 minggu sebelum onset SGB terjadi sindrom viral akut
atau manifestasi penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang
lebih singkat atau lama masih dapat terjadi sebagai variasi antar
individu. Pada saat onset SGB dimulai biasanya infeksi antesenden telah
berakhir. Infeksi yang sering mendahului SGB adalah infeksi saluran
respirasi dan saluran pencernaan. Kondisi antesenden yang berkaitan
dengan SGB, yaitu infeksi virus (Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus hepatitis A
dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza, Rubella,
Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni,
Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis,
Yersinia enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin,
leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama
tumor paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan
vaksinasi) (Gorson dan Ropper, 2002; David, 2011).
Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang
mendahului SGB dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV an-
tesenden lebih sering mengenai individu usia muda dengan manifestasi
SGB yang lebih berat, kegagalan respirasi, gangguan sensorik prominen,
keterlibatan saraf kranial, dan peningkatan antibodi terhadap gangliosida
GM2 (Gorson dan Ropper, 2002).
Infeksi C. Jejuni merupakan infeksi bakteri yang paling banyak
mendahului SGB terutama strain Penner 19 dan Lior 11. Sebelum onset SGB,
individu mengalami demam, diare cair, dan nyeri perut. Sekitar 30% kasus
4
SGB hanya disertai bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa
manifestasi enteritis. SGB terkait infeksi C. Jejuni mengalami proses
pemulihan lebih lama, kerusakan aksonal yang lebih ekstensif, dan adanya
antibodi gangliosida GM1. Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan
dengan epitop gangliosida saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga-1NAc-GD1a)
sehingga terjadi mimikri molekular pada keduanya, antibodi yang dirancang
untuk mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi pada sistem saraf
perifer (Gorson dan Ropper, 2002).
Infeksi antesenden M. pneumonia dengan gejala batuk
nonproduktif, demam, dan sakit kepala terjadi pada 5% kasus SGB.
Penyakit Lyme yang disebabkan oleh B. burgdorferi merupakan penyebab
polineuropati sensori-motor aksonal kronik, poliradikulitis yang nyeri
(Bannwarth Syndrome), diplegia fasial akut yang menyerupai SGB tetapi
adanya polineuritis pascainfeksi dan asosiasinya dengan SGB masih belum
jelas. Pada infeksi HIV terjadi gambaran pleositosis limfositik CSF yang
berbeda dengan gambaran klasik disosiasi sitoalbumin. Kondisi lain
noninfeksi lebih banyak berkaitan dengan CIDP. SGB juga dikaitkan dengan
pascaoperasi. Beberapa kasus memang terbukti terjadi pascaoperasi
sedangkan lainnya lebih disebabkan oleh polineuropati pada keadaan kritis
yang disebabkan oleh kegagalan multiorgan dan sepsis. Asosiasi SGB dengan
trauma, medikasi tertentu, dan vaksinasi selain influenza belum jelas (Gorson
dan Ropper, 2002).
2.4 Patogenesis Dan Patofisiologi
Patofisiologi SGB melibatkan konsep imunopatogenesis baik selular
maupun humoral. SGB diduga oleh karena suatu fenomena mimikri
molekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi
juga ikut menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop (Hauser dan
Asbury, 2006).
5
Pada eksperimen yang menggunakan hewan coba, beberapa hari
pasca dilakukan imunisasi jaringan saraf perifer autolog dan ajuvan Freud
(material yang menginduksi respon imun) terjadi paralisis progresif dengan
gambaran patologi inflamasi endoneurial dan demielinisasi yang
menyerupai SGB. Prosedur tersebut menghasilkan sensitisasi terhadap
protein P2, fenomena tersebut dinamakan Experimental Allergic Neu- ritis
(EAN), dimana respon inflamasi tersebut dimediasi oleh sel T yang
mentarget mielin (Hauser dan Asbury, 2006). Pada SGB, antigen dari agen
infeksi antesenden berinteraksi dengan sel APC (Antigen Presenting Cell)
sehingga sel APC mengekspresikan molekul MHC kelas II. Sel APC akan
mengaktifkan sel T yang juga akan mengekspresikan MHC kelas II yang
serupa. Karena antigen agen infeksi antesenden memiliki epitop yang mirip
dengan antigen saraf tepi maka terjadi mimikri molekular, sehingga terjadi
invasi juga ke jaringan saraf perifer. Sel T aktif akan merusak sawar darah
saraf sehingga mentarget antigen endoneurial dan melepaskan sitokin
inflamasi, seperti IL-2 dan TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di serum dan IL-6
serta TNF-α di CSF merupakan bukti aktivasi imun selular. Pelepasan sitokin
inflamasi akan merekrut makrofag untuk menginvasi mielin. Selain itu juga
terjadi invasi makrofag. Inflamasi paling intens terjadi pada area perivaskular
dan radiks spinal dimana terjadi invasi sel imun (Gorson dan Ropper, 2002).
6
Gambar 1. Imunopatogenesis SGB
Patofisiologi SGB juga melibatkan sistem imun humoral. Injeksi
serum dari pasien SGB yang ditransfer ke saraf perifer hewan coba
menginduksi demielinisasi lokal. Peningkatan level antibodi antimielin
komplemen berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien
Keberadaan kompleks komplemen terminal (C5b-9) berkaitan dengan
perubahan vesikular pada lamela mielin terluar yang terjadi sebelum
invasi sel T dan makrofag. Pada SGB dengan keterlibatan aksonal yang
prominen, produk aktivasi komplemen (C3d) berikatan dengan aksolema
akson motorik dan pada kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan di
ruang periaksonal internodal (Gorson dan Ropper, 2002).
Gambar 2. Imunopatogenesis SGB
7
Tabel 2 Antibodi pada SGB dan Variannya (Hauser dan Asbury, 2006)
SGB Dan Varian SGB Target Antibodi Isotipe yang umum
AIDP Tidak ada pola yang jelas
Paling sering GM1
IgG poliklonal
AMAN
GD1a, GM1, GM1b, Ga1NAc-
GD1a
(<50% dati setiap antibodi)
IgG poliklonal
Sindrom Miller-Fisher GQ1b (>90%) IgG poliklonal
Varian Faringeal, Servikal,
dan Bravikal GT1a IgG poliklonal
Target invasi sistem imun adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks
glikosfingolipid yang terdiri dari satu atau lebih residu asam sialat. Gangliosida
berperan dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia), modulasi reseptor, dan
regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat di membran sel sehingga rentan
terhadap paparan sistem imun. Gangliosida terdistribusi luas pada jaringan saraf
terutama pada nodus Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama antibodi anti GM1,
banyak terdapat pada kasus SGB (20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C. jejuni.
Terdapat kesamaan struktur dan reaksi silang antara glikolipid C. jejuni dengan
gangliosida (Hauser dan Asbury, 2006).
Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi SGB bervariasi dan distribusinya
menjelaskan varian-varian SGB. Antigen yang dieskpresikan oleh saraf tepi adalah
gangliosida (GM1, asialo-GM1, GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya pada
saraf tepi menjelaskan patofisiologi var- ian SGB. Tabel di bawah memaparkan
antibodi yang terlibat pada berbagai varian SGB. Sindrom Miller-Fisher berkaitan
dengan antibodi IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat di saraf motorik
ekstraokular dibandingkan di saraf motorik ekstremitas sehingga men- jelaskan
manifestasi Sindrom Miller-Fisher. Antibodi monoclonal anti-GQ1b yang diinduksi oleh
C. jejuni juga memblok transmisi neuromuskular secara eksperimental (Gorson dan Ropper,
2002).
8
Patofisiologi SGB meliputi demielinisasi (paling banyak) dan gangguan aksonal
(pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi motorik dan sensoriknya. Pada
demielinisasi, integritas aksonal intak sedangkan mielin mengalami kerusakan
sehingga didapatkan blok konduksi, penurunan kecepatan hantar saraf, dan normal-
nya amplitudo secara elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan
proses remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi aksonal sekunder
yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan pemulihan yang lambat dan
disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat terjadi secara primer. Prognosis pada tipe
tersebut dapat baik apabila gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi
mudah terjadi atau reinervasi dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih
cukup baik (Avila, Mariona dan Melano, 2004).
2.5 Klasifikasi
Sindrom Guillain barre memiliki beberapa varian, yaitu :
1. Varian Sindrom Miller-Fisher
Merupakan varian SGB yang sering ditemukan, sekitar 5% dari kasus SGB.
Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia. Ataksia tampak
prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak prominan pada ekstremitas.
Kekuatan mo- torik biasanya masih baik. Perjalanan penyakitnya akan membaik
secara gradual dan komplit dalam beberapa minggu atau bulan. Terdapat
asosiasi kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi anti-GQ1b
yang diinduksi C. jejuni. Konsentrasi antibodi tersebut ditemukan di saraf
okulomotor, troklear, dan abdusens yang menjelaskan manifestasi
oftalmoplegia (Levin, 2010).
2. Varian Tipe Aksonal
a. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN). Varian AMAN berkaitan
erat dengan C. Jejuni dan disertai peningkatan titer antibodi
gangliosida (GM1, GD1a, GD1b). Pada varian ini ditemu- kan gangguan
motorik murni dan secara klinis menyerupai demielinisasi pada SGB
dengan paralisis asenden simetris. Varian ini dibedakan dengan SGB
klasik berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopati
motorik murni yang konsisten. Histopatologi menunjukkan
degenerasi Wallerian tanpa inflamasi limfositik signifikan. Banyak
kasus ditemukan di area pedesaan Cina terutama pada anak dan dewasa
muda selama musim panas. Kasus aksonal murni sering ditemukan di
luar Eropa dan Amerika Utara. Prognosisnya cukup baik melalui
pemulihan yang cepat pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang
9
berat pemulihan dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Levin,
2010).
b. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Perjalanan
varian ini cepat, disertai paralisis berat, proporsi pemakaian ventilator
yang tinggi dan pemulihan yang lambat dan tidak memuaskan, dan
berkaitan dengan C. jejuni. Pada varian ini diperkirakan terjadi
demielinisasi radikular yang diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi
Wallerian. Pada pemeriksaan elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal
motorik dan sensorik dan sedikit demielinisasi (Levin, 2010).
Tabel 1. Varian Sindrom GuillainBarre (Kuwabara, 2010)
3. Varian Dengan Gangguan Motorik Murni
Manifestasi varian ini adalah progresif, paralisis ekstremitas simetris, arefleksia,
dan sedikit atau tidak ada gangguan sensorik. Perbedaan varian ini dengan
SGB klasik adalah cepatnya progresifitas paresis otot distal, ketidakterlibatan
saraf kranial, titik nadir yang awal, peningkatan titer antibodi anti-GM1 yang
lebih tinggi dari biasanya, dan infeksi C. jejuni antesenden. Perjalanan
pemulihan serupa dengan SGB klasik. Pada pemeriksaan elektrofisiologi
didapatkan gangguan aksonal prominen. Varian ini secara klinis mirip dengan
AMAN yang sering terjadi di Cina tetapi dengan gambaran demielinisasi yang
lebih banyak (Levin, 2010).
4. Varian Dengan Gangguan Sensorik Murni
Manifestasi varian ini meliputi gangguan sensorik secara cepat, arefleksia dengan
distribusi simetris dan luas. Studi CSF menunjukkan disosiasi sitoalbumin dan
10
pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan demielinisasi saraf tepi. Prognosisnya
baik secara umum. Plasmafaresis dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat
diaplikasikan pada kasus yang berat dan pemulihan yang lambat (Levin, 2010).
5. Varian Dengan Disautonomia Murni
Pandisautonomia akut tanpa keterlibatan motorik atau sensorik signifikan
merupakan varian yang jarang. Disfungsi simpatis dan parasimpatis
menyebabkan hipotensi postural, retensi urin dan alvi, anhidrosis, penurunan
salivasi dan lakrimasi, dan abnormalitas pupil.
6. Varian Faringeal, Servikal, Brakial.
Pada varian ini ditemukan paralisis fasial, orofaring, servikal, dan ekstremitas
superior tanpa keterlibatan ekstremitas inferior.
7. Varian Paraparesis
Manifestasi varian ini berupa kelemahan ekstremitas inferior, arefleksia, nyeri
radikular, gangguan sensorik, dan normalnya saraf bulbar serta ekstremitas atas
yang disebabkan keterlibatan konus medularis dan kauda ekuina. Pada kasus ini
harus dilakukan MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain.
8. Varian Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff
Varian ini serupa dengan Sindrom Miller Fisher tetapi juga terdapat gangguan
kesadaran (ensefalopati) dan tanda-tanda UMN (hiperefleksia) (Levin, 2010).
2.6 ` Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Dari pemeriksaan cairan serebrospinal (LCS) didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain
(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan
LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir
minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
11
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda
equina yang bertambah besar.
2.7 Diagnosis
Gambaran elektrofisiologis berkembang selama 5-8 minggu sejak onset.
Abnormalitas elektrofisiologi tertinggal bila dibandingkan manifestasi klinis. Pada tipe
demielinisasi terjadi pemanjangan latensi distal, penurunan kecepatan hantar saraf, blok
konduksi, dan disperse temporal CMAP. Pada tipe gangguan aksonal terjadi
penurunan amplitudo. Pada 1-2 minggu sejak onset, kecepatan konduksi saraf masih
normal. Abnormalitas awal yang dapat ditemukan adalah hilangnya gelombang F
dan refleks H. Blok konduksi dapat ditemukan di sepanjang trunkus saraf termasuk
di akson terminal. Gambaran tersebut dapat disertai disperse temporal CMAP yang
menghasilkan kompleks gelombang berdurasi panjang. Profil elektrofisiologis pada
stadium awal berupa blok konduksi atau perlambatan yang melibatkan beberapa
trunkus saraf. Amplitudo respon sensorik berkurang terutama pada tangan
dibandingkan kaki. Pemanjangan latensi distal dan penurunan kecepatan konduksi
terjadi pada stadium yang lebih lanjut dan dapat tetap prominen pada saat telah
terjadi pemulihan klinis. Perbaikan motorik berjalan sebanding dengan resolusi
blok konduksi. Perbaikan gambaran elektrofisiologi dimulai beberapa hari setelah
fase plateau atau pascaplasmafaresis dan IVIG tetapi dapat juga beberapa minggu atau
bulan setelahya (Gorson dan Ropper, 2002). Profil LCS dapat normal pada 48 jam
pertama onset SGB. Pada akhir minggu pertama terjadi peningkatan protein di LCS.
Pleositosis transien (10-100/ul) dapat terjadi bahkan pada SGB klasik tetapi pleositosis
persisten mengarahkan ke diagnosis alternatif seperti infeksi viral atau infeksi HIV (Hauser
dan Asbury, 2006).
12
Tabel 3. Kriteria Diagnostik SGB (Gorson dan Ropper, 2002; Hauser dan Asbury, 2006)
2.8 Diagnosis Banding
Manifestasi yang menyerupai SGB dapat ditemukan pada berbagai
neuropati perifer, gangguan transmisi neuromuskular, miopati (miositis dan
miopati akut lainnya misalnya yang diinduksi obat), gangguan metabolik
(hipokalemia, hipofosfatemia), dan gangguan sistem saraf pusat (infark
13
batang otak pada sindrom arteri basilaris, locked-in syndrome,
ensefalomielitis batang otak, mielitis transversa, mielopati nekrotik akut,
kompresi neoplasma pada foramen magnum atau medula spinais servikal,
histeria, malingering). Neuropati perifer dapat berupa neuropati toksik
akibat logam berat (arsenik, timbal, emas), medikasi (vinkristin, disulfiram,
nitrofurantoin, izsoniazid), organofosfat, heksakarbon (glue sniffer’s
neuropathy), porfiria intermiten akut, poliomielitis, difteria, paralisis Tick,
penyakit Lyme, polineuropati pada kondisi kritis, poliradikulopati dan
ganglionopati pada meningitis karsinomatosis atau limfomatosis, sindrom
neuropati sensorik akut. Gangguan transmisi neuromuskular berupa
botulisme, miastenia gravis, hipermagnesemia, paralisis yang diinduksi
antibiotik, racun ular (Gorson dan Ropper, 2002).
Gambar 3. Diagnosis Banding Sindrom GuillainBarre (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).
2.9 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana SGB meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.
Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat
14
dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Manajemen
suportif meliputi:
1. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB maka
diperlukan intubasi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukan
intubasi apabila terdapat paralisis bulbar.
2. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
3. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
4. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.
5. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum
setiap dua minggu.
6. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu.
7. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.
8. Pemeriksaan peristaltik.
9. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang
mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.
10. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan
penggunaan matras antidekubitus.
11. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis. Infeksi paru atau saluran
kemih ditatalak- sana dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan
resistensi kecuali terdapat septicemia
12. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses
menelan terganggu.
13. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri.
14. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan plasmafaresis
(Hughes, 2003).
15
Tatalaksana etiologi sindrom Guillainbarre meliputi:
1. Plasmafaresis
Plasmaferesis dilakukan dengan dosis 50 ml/ kgBB 5 kali pada waktu
yang terpisah dalam jangka waktu 1-2 minggu. Pada analisis 6 studi
eksperimen didapatkan perbaikan disabilitas setelah 4 minggu pada kasus
yang mendapat plasmaferesis dibandingkan kontrol. Pada studi
metaanalisis dari keenam studi eksperimen tersebut, terdapat penurunan
proporsi peng- gunaan ventilator (RR 0.56, 95%CI 0.41-0.76, p 0.0003.
Keluaran berupa perbaikan komplit kekuatan motorik pada satu tahun
lebih baik pada plasmaferesis dibandingkan kontrol (RR 1.24, 95%CI 1.07-
1.45, p 0.005). Satu eksperimen kelas II menunjukkan manfaat
plasmafaresis pada kasus SGB yang ringan. Kejadian efek samp- ing antara
kelompok plasmafaresis dan kontrol sama. Plasmafaresis diasosiakan dengan
jangka waktu rawat inap yang lebih pendek dibandingkan dengan terapi
suportif. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 4 seri plasmafaresis lebih
menghemat biaya dibandingkan 2 seri plasmafaresis. Perbandingan
efektivitas filtrasi CSF dengan plasmafaresis dikatakan sebanding tetapi besar
sampel terlalu sedikit sehingga perbedaan manfaat keduanya belum dapat
dipastikan. Filtrasi CSF intratekal berisiko menyebabkan infeksi.
Plasmafaresis direkomendasikan untuk kasus SGB imobilisasi dalam durasi
4 minggu pascaonset (level A, kelas II) dan untuk kasus SGB nonimobilisasi
dalam durasi 2 minggu pascaon- set (level B, kelas II). Efektivitas plasmafaresis
dan IVIG setara. Belum ada data adekuat yang mendukung filtrasi CSF (level
U, kelas II). Plasmafaresis dilakukan dengan kecepatan 40-50 ml/kgBB empat
kali dalam satu minggu (Hughes, 2003).
2. Imunoabsorbsi
Imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif plasmafaresis untuk
menyingkirkan immunoglobulin dengan keuntungan tidak menggunakan
16
produk darah manusia sebagai cairan pengganti. Pada studi prospektif, tidak
ditemukan perbedaan keluaran antara 11 kasus yang diplasmafaresis dengan
13 kasus yang menjalani imunoabsorbsi. Akan tetapi belum ada bukti
adekuat untuk merekomendasikan imunoabsorbsi (level U, ke las IV)
(Hughes, 2003).
3. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Studi eksperimental kelas III menunjukkan adanya perbedaan
keluaran yang lebih baik dalam 4 minggu pada kasus yang ditatalaksana
dengan IVIG dibandingkan terapi suportif. Tidak terdapat perbedaan
efektivitas plasmafaresis dibandingkan dengan IVIG pada 3 studi eksperimen.
Selain itu pada studi tersebut juga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
waktu pemulihan signifikan pada kasus ringan (masih dapat mobilisasi)
dengan pemberian IVIG. Pada studi lainnya menunjukkan bahwa proporsi
kasus yang membaik satu grade dalam 4 minggu dan kecepatan kembalinya
fungsi optimal kasus pada kelompok IVIG lebih baik dibandingkan dengan
plasmafaresis. Tidak ada perbedaan antara waktu ketergantungan ventilator
dan proporsi kasus yang mengalami disabilitas atau kematian dalam 1 tahun di
antara kelompok IVIG dan plasmafaresis. Menurut studi eksperimen, kejadian
efek samping lebih banyak pada plasmafaresis dibandingkan IVIG tetapi hal
tersebut belum terbukti secara metaanalisis. Komplikasi pneumonia,
atelektasis, trombosis, dan gangguan hemodinamik lebih banyak pada
kelompok plasmafaresis (22% vs 7%). Tetapi pada studi yang lebih besar
menunjukkan bahwa kejadian efek samping plasmafaresis (hipotensi,
septicemia, pneumonia, malaise, koagulopati, dan hipokalsemia) sebesar
7% dibandingkan dengan kelompok IVIG (muntah, meningismus, gagal
ginjal, infark miokardium, dan eritema lokal) sebesar 5%. Dua studi
terbesar menyim- pulkan bahwa proporsi diskontinuitas terapi lebih
sedikit pada kelompok IVIG dibandingkan plasmafaresis. Pada
kesimpulannya, IVIG memiliki efektivitas yang sama dengan plasmafaresis
apabila diberikan dalam 2 minggu onset pada kasus yang masih bisa
17
mobilisasi (kelas I). Belum ada perbandingan efektivitas antara IVIG dengan
plasmafaresis pada SGB tipe aksonal. Pemberian IVIG direkomendasikan
untuk pasien yang memerlukan bantuan mobilisasi dalam 2 minggu onset
(level A) atau 4 minggu dari onset gejala neuropati (level B). Efek IVIG dan
plasmafaresis dianggap ekuivalen. Dosis IVIG total adalah 2 g/ kgBB yang
diberikan harian sebanyak 5 kali (Hughes, 2003).
4. Steroid
Studi tentang penggunaan steroid pada SGB meliputi penggunaan
ACTH IM 100 unit selama 10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg selama 5 hari,
dan prednison 100 mg atau prednisolon 40-60 mg oral. Tidak ada
perbedaan antara kelompok yang diberikan steroid dengan kelompok
plasebo dalam hal perbaikan grade dalam 4 minggu setelah pemberian,
perbaikan kekuatan motorik, ketergantungan ventilator, mortalitas, disabilitas
dalam 1 tahun. Komplikasi antara kelompok steroid dan plasebo setara kecuali
hipertensi lebih banyak pada kelompok plasebo. Pada kesimpulannya,
steroid tidak direkomendasikan untuk SGB (level A, kelas I). Efektivitas
kombinasi IVIG dan streroid belum dapat dibuktikan (Doarn, Ruts, dan Jacobs,
2008).
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari
itu perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat SGB mulai
terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan
menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar
25% pasien SGB akan mengalami berbagai kesulitan antara pada : sistem
pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti nafas, penurunan
kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat
ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas. Setelah
beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap
waspada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya
penyakit. Pasien bisa berjalan dalam waktu lagi setelah perawatan dalam hitungan
18
minggu atau tahun. Namun statistik membuktikan bahwa rata-rata pasien akan
membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menjadi cacat pada
bagian yang terserang paling parah, perlu terapi yang cukup lama untuk
mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuh akibat SGB. Bisanya memakan
waktu maksimal 4 tahun. Pengobatan SGB adalah dengan pemberian
imunoglobulin secara intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi
yang merusak sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain
terapi pokok tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi
dan perawatan dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa
sakit. SGB merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan
tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup pasien (Kuwabara, 2004)
Kambuh atau episode berulang dari SGB terjadi di sekitar 5% sampai 10%
kasus dan mungkin sangat serius. Jika terjadi kekambuhan, pengobatan agresif
dengan pertukaran plasma atau imunoglobulin IV bias mengurangi keparahan
serangan dan mencegah lebih lanjut kambuh (CDC, 2012).
2.10 Prognosis
Prognosis SGB tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk
meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,
intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20% (Hughes, 2003). Pada umumnya
penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh
sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor
postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai
beberapa tahun (Newswanger dan Warren, 2010).
19
KESIMPULAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan paralisis neuropati perifer yang
bersifat ascending, progresif dan berhubungan dengan proses autoimun
(Kuwabara, 2010). Sindrom gullian barre adalah penyakit yang biasanya terjadi
dalam satu atau dua sampai empat minggu setelah infeksi virus akut seperti sakit
tenggorokkan, bronkitis, atau flu. Penyakit ini terjadi akibat peradangan dan
kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung disekitar saraf perifer (Inawati, 2011).
Sekitar 1-4 minggu sebelum onset SGB terjadi sindrom viral akut
atau manifestasi penyakit infeksi lainnya. Pada saat onset SGB dimulai
biasanya infeksi antesenden telah berakhir. Infeksi yang sering
mendahului SGB adalah infeksi saluran respirasi dan saluran pencernaan.
Kondisi antesenden yang berkaitan dengan SGB, yaitu infeksi virus
(Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes
Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza, Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri
(Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni, Legionella pneumoniae,
Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis, Yersinia enterocolitica),
kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin, leukemia,
paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor
paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan
vaksinasi) (Gorson dan Ropper, 2002; David, 2011).
Patofisiologi SGB melibatkan konsep imunopatogenesis baik selular
maupun humoral. SGB diduga oleh karena suatu fenomena mimikri
molekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi
juga ikut menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop (Hauser dan
Asbury, 2006). Patofisiologi SGB meliputi demielinisasi (paling banyak) dan
gangguan aksonal (pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi
motorik dan sensoriknya. Pada demielinisasi, integritas aksonal intak
sedangkan mielin mengalami kerusakan sehingga didapatkan blok konduksi,
20
penurunan kecepatan hantar saraf, dan normal- nya amplitudo secara
elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan proses
remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi aksonal
sekunder yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan
pemulihan yang lambat dan disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat
terjadi secara primer. Prognosis pada tipe tersebut dapat baik apabila
gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi mudah terjadi
atau reinervasi dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih cukup
baik (Avila, Mariona dan Melano, 2004).
Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi SGB bervariasi dan
distribusinya menjelaskan varian-varian SGB, seperti varian Sindrom Miller-Fisher,
varian tipe aksonal (Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dan Acute Motor
and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN))), varian dengan gangguan
motorik murni, varian dengan gangguan sensorik murni, varian dengan
disautonomia murni, varian faringeal, servikal dan brakial, varian paraparesis,
dan varian ensefalitis batang otak Bickerstaff.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus SGB adalah
pemeriksaan ciran serebrospinal untuk menilai adanya disosiasi albumin sitologi,
EMG menilai kelumpuhan yang terjadi, dan pemeriksaan MRI memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar.
Diagnosis pada SGB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa
kelemahan progresif lengan dan tungkai, arefleksia, progersifitas gejala yang
berlangsung sampai 4 minggu, gejala sensorik ringan, adanya keterlibatan saraf
kranial terutama diplegia fasial, dan disfungsi otonom. Kriteria laboratorium yang
mendukung berupa peningkatan konsentrasi protein CSF 50-150 mg/dl dengan
jumlah leukosit <10 sel/mm3, tanpa eritrosit dan kriteria elektrofisiologis
berupa penurunan kecepatan konduksi pada dua atau lebih saraf motorik < 80%
dari batas normal jika ampliudo > 80% atau < 70% jika amplitudo < 80%
(Gorson dan Ropper, 2002; Hauser dan Asbury, 2006).
21
Diagnosis banding SGB berupa neuropati perifer, gangguan transmisi
neuromuskular, miopati (miositis dan miopati akut lainnya misalnya yang
diinduksi obat), gangguan metabolik (hipokalemia, hipofosfatemia), dan
gangguan sistem saraf pusat (infark batang otak pada sindrom arteri
basilaris, locked-in syndrome, ensefalomielitis batang otak, mielitis
transversa, mielopati nekrotik akut, kompresi neoplasma pada foramen
magnum atau medula spinais servikal, histeria, malingering). Neuropati
perifer dapat berupa neuropati toksik akibat logam berat (arsenik, timbal,
emas), medikasi (vinkristin, disulfiram, nitrofurantoin, izsoniazid),
organofosfat, heksakarbon (glue sniffer’s neuropathy), porfiria intermiten
akut, poliomielitis, difteria, paralisis Tick, penyakit Lyme, polineuropati pada
kondisi kritis, poliradikulopati dan ganglionopati pada meningitis
karsinomatosis atau limfomatosis, sindrom neuropati sensorik akut.
Gangguan transmisi neuromuskular berupa botulisme, miastenia gravis,
hipermagnesemia, paralisis yang diinduksi antibiotik, racun ular (Gorson dan
Ropper, 2002).
Tujuan tatalaksana SGB meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.
Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat
dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Tatalaksana
etiologi berupa plasmafaresis, imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif
plasmafaresis untuk menyingkirkan immunoglobulin dengan keuntungan
tidak menggunakan produk darah manusia sebagai cairan pengganti,
intervenous immunoglobilin (IVIG), dan steroid (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).
Prognosis SGB tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk
meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,
intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20% (Hughes, 2003). Pada umumnya
penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh
sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor
22
postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai
beberapa tahun (Newswanger dan Warren, 2010).
23
DAFTAR PUSTAKA
Avila-Funes JA, Mariona-Montero VA, Melano-Carranza E. 2002. Guillain-Barre
syndrome: etiology and pathogenesis. Rev Invest Clin. Jul-Aug;54(4):357-
63.
Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (SGB).
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm. Diakses pada
tanggal 7 September 2015.
Davids HR. Guillain-Barre syndrome. [cited on 2011 Aug 17]. Available
f
rom:http://emedicine.medscape.com/article/315632overview#showall.
Doarn Pieter AV, Ruts Liselotte, and Jacobs Bart C. Clinical Fetures,
Pathogenesis, and Treatment of Guillain Barre Syndrome. Department of
Neurology. Erasmus Medical Center. Netherlands. Lancet Neural 2008;939-
50.
Gorson KC, Ropper AH. Guillain-Barre Syndrome (Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy) and related disorders. In: Katirji B et
al, editors. Neuromuscular disorders in clinical practice.
Boston:Butterworth Heinemann; 2002.p.544-60.
Guillain-Barré Syndrome. Available from: http: //www.medicinenet.com/
guillain-barre_syndrome/article.htm.
Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and Other ImmuneMediated
Neuropathies. In: Hauser SL, ed. Harrison’s Neurology in clinical
medicine. New York:McGraw- Hill; 2006.p.517-26.
Hughes RAC et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barre
syndrome: Report of the quality standards subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology 2003; 61:736 .
24
Kowalak J., William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional
Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta, 2011.
Kuwabara S. Guillain-Barre syndrome epidemiology, pathophysiology and
management. Drugs 2010;64:597610.
Levin KH. Variants and Mimics of Guillain-Barre Syndrome. 2010.
Proceedings of the 62nd AAN Annual Meeting, Toronto, Kanada.
Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis.
Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/
14SindormGuillainBarre93.html.
Newswanger Dana L., Warren Charles R. 2010. Guillain-Barre Syndrome.
http://www.americanfamilyphysician.com.
NIH. (2012). Guillain-Barre Syndrome.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/guillainbarresyndrome.html [Diakses
pada: 7 September 2015]
Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/
guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.
Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran:
Dexa Medica, Jakarta, 2007.
25