Tugas Refreat SGB Reza

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan yang berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis yang bersifat peradangan di luar otak dan medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat dan dapat terjadi paralysis tungkai atas, tungkai bawah, otot- otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada semua kelompok usia dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. (Medicinet 2015) Secara khas sindrom ini digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu bentuk demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi. (Pinzon 2007) Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua kelompok usia usia meskipun 1

description

jkhjb

Transcript of Tugas Refreat SGB Reza

Page 1: Tugas Refreat SGB Reza

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli

Radikulo Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut

juga acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending

paralysis yang merupakan kelainan yang berhubungan dengan proses autoimun

dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis yang bersifat

peradangan di luar otak dan medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai

adanya kelemahan yang cepat dan dapat terjadi paralysis tungkai atas, tungkai

bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada semua

kelompok usia dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis

ascending. (Medicinet 2015)

Secara khas sindrom ini digambarkan dengan kelemahan motorik yang

progresif dan arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran

patologi, yaitu bentuk demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental

pada SGB dihubungkan dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi. (Pinzon 2007)

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua

kelompok usia usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50

tahun dengan perbandingan yang relatif sama antara laki-laki dan perempuan.

SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama

kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat.

(Mayoclinic 2015).

Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang

pertahun. Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. SGB tampil

sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau

berkembang seperti Indonesia. (Munandar)

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% hingga 80%,

1

Page 2: Tugas Refreat SGB Reza

yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran

pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat

menyebabkan kematian, pada 3% pasien yang disebabkan oleh gagal napas dan

aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama

kali timbul. Sekitar 30% penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3

tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan

beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada

perbaikan pada akhir minggu IV maka dapat digolongkan Chronic

Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). (Kowalak 2012)

Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Penyembuhan dapat

terjadi spontan dan komplit pada 95% pasien sekalipun gangguan motorik atau

refleks yang ringan dapat menetap pada tungkai. Prognosis sindrom ini paling

baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang sebelum 15 hingga 20 hari

sesudah awitan penyakit serta apabila dilakukan pengobatan secara simtomatis

dan perawatan yang baik. (Kowalak 2012)

Berdasarkan hal tersebut, maka kami memandang perlu dilakukan

pembuatan makalah mengenai Sindrom Guillain Barre guna pemahaman

mendalam mengenai penyakit ini.

2

Page 3: Tugas Refreat SGB Reza

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan paralisis neuropati perifer yang

bersifat ascending, progresif dan berhubungan dengan proses autoimun

(Kuwabara, 2010). Sindrom gullian barre adalah penyakit yang biasanya terjadi

dalam satu atau dua sampai empat minggu setelah infeksi virus akut seperti sakit

tenggorokkan, bronkitis, atau flu. Penyakit ini terjadi akibat peradangan dan

kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk

selubung pelindung disekitar saraf perifer (Inawati, 2011).

2.2 Epidemiologi

Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan

menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0.34 dan 1.34/100.000

penduduk. Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika

Utara dan melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu antara 0.84 dan

1.91/100.000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih

sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki

= 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an

dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre

disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi

poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat

dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur,

meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan

adalah, masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40

tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki (NIH, 2012).

Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute

flaccid  paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering

3

Page 4: Tugas Refreat SGB Reza

didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.

Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia

mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre (NIH,

2012).

2.3 Etiologi

Sekitar 1-4 minggu sebelum onset SGB terjadi sindrom viral akut

atau manifestasi penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang

lebih singkat atau lama masih dapat terjadi sebagai variasi antar

individu. Pada saat onset SGB dimulai biasanya infeksi antesenden telah

berakhir. Infeksi yang sering mendahului SGB adalah infeksi saluran

respirasi dan saluran pencernaan. Kondisi antesenden yang berkaitan

dengan SGB, yaitu infeksi virus (Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus hepatitis A

dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza, Rubella,

Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni,

Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis,

Yersinia enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin,

leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama

tumor paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan

vaksinasi) (Gorson dan Ropper, 2002; David, 2011).

Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang

mendahului SGB dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV an-

tesenden lebih sering mengenai individu usia muda dengan manifestasi

SGB yang lebih berat, kegagalan respirasi, gangguan sensorik prominen,

keterlibatan saraf kranial, dan peningkatan antibodi terhadap gangliosida

GM2 (Gorson dan Ropper, 2002).

Infeksi C. Jejuni merupakan infeksi bakteri yang paling banyak

mendahului SGB terutama strain Penner 19 dan Lior 11. Sebelum onset SGB,

individu mengalami demam, diare cair, dan nyeri perut. Sekitar 30% kasus

4

Page 5: Tugas Refreat SGB Reza

SGB hanya disertai bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa

manifestasi enteritis. SGB terkait infeksi C. Jejuni mengalami proses

pemulihan lebih lama, kerusakan aksonal yang lebih ekstensif, dan adanya

antibodi gangliosida GM1. Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan

dengan epitop gangliosida saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga-1NAc-GD1a)

sehingga terjadi mimikri molekular pada keduanya, antibodi yang dirancang

untuk mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi pada sistem saraf

perifer (Gorson dan Ropper, 2002).

Infeksi antesenden M. pneumonia dengan gejala batuk

nonproduktif, demam, dan sakit kepala terjadi pada 5% kasus SGB.

Penyakit Lyme yang disebabkan oleh B. burgdorferi merupakan penyebab

polineuropati sensori-motor aksonal kronik, poliradikulitis yang nyeri

(Bannwarth Syndrome), diplegia fasial akut yang menyerupai SGB tetapi

adanya polineuritis pascainfeksi dan asosiasinya dengan SGB masih belum

jelas. Pada infeksi HIV terjadi gambaran pleositosis limfositik CSF yang

berbeda dengan gambaran klasik disosiasi sitoalbumin. Kondisi lain

noninfeksi lebih banyak berkaitan dengan CIDP. SGB juga dikaitkan dengan

pascaoperasi. Beberapa kasus memang terbukti terjadi pascaoperasi

sedangkan lainnya lebih disebabkan oleh polineuropati pada keadaan kritis

yang disebabkan oleh kegagalan multiorgan dan sepsis. Asosiasi SGB dengan

trauma, medikasi tertentu, dan vaksinasi selain influenza belum jelas (Gorson

dan Ropper, 2002).

2.4 Patogenesis Dan Patofisiologi

Patofisiologi SGB melibatkan konsep imunopatogenesis baik selular

maupun humoral. SGB diduga oleh karena suatu fenomena mimikri

molekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi

juga ikut menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop (Hauser dan

Asbury, 2006).

5

Page 6: Tugas Refreat SGB Reza

Pada eksperimen yang menggunakan hewan coba, beberapa hari

pasca dilakukan imunisasi jaringan saraf perifer autolog dan ajuvan Freud

(material yang menginduksi respon imun) terjadi paralisis progresif dengan

gambaran patologi inflamasi endoneurial dan demielinisasi yang

menyerupai SGB. Prosedur tersebut menghasilkan sensitisasi terhadap

protein P2, fenomena tersebut dinamakan Experimental Allergic Neu- ritis

(EAN), dimana respon inflamasi tersebut dimediasi oleh sel T yang

mentarget mielin (Hauser dan Asbury, 2006). Pada SGB, antigen dari agen

infeksi antesenden berinteraksi dengan sel APC (Antigen Presenting Cell)

sehingga sel APC mengekspresikan molekul MHC kelas II. Sel APC akan

mengaktifkan sel T yang juga akan mengekspresikan MHC kelas II yang

serupa. Karena antigen agen infeksi antesenden memiliki epitop yang mirip

dengan antigen saraf tepi maka terjadi mimikri molekular, sehingga terjadi

invasi juga ke jaringan saraf perifer. Sel T aktif akan merusak sawar darah

saraf sehingga mentarget antigen endoneurial dan melepaskan sitokin

inflamasi, seperti IL-2 dan TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di serum dan IL-6

serta TNF-α di CSF merupakan bukti aktivasi imun selular. Pelepasan sitokin

inflamasi akan merekrut makrofag untuk menginvasi mielin. Selain itu juga

terjadi invasi makrofag. Inflamasi paling intens terjadi pada area perivaskular

dan radiks spinal dimana terjadi invasi sel imun (Gorson dan Ropper, 2002).

6

Page 7: Tugas Refreat SGB Reza

Gambar 1. Imunopatogenesis SGB

Patofisiologi SGB juga melibatkan sistem imun humoral. Injeksi

serum dari pasien SGB yang ditransfer ke saraf perifer hewan coba

menginduksi demielinisasi lokal. Peningkatan level antibodi antimielin

komplemen berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien

Keberadaan kompleks komplemen terminal (C5b-9) berkaitan dengan

perubahan vesikular pada lamela mielin terluar yang terjadi sebelum

invasi sel T dan makrofag. Pada SGB dengan keterlibatan aksonal yang

prominen, produk aktivasi komplemen (C3d) berikatan dengan aksolema

akson motorik dan pada kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan di

ruang periaksonal internodal (Gorson dan Ropper, 2002).

Gambar 2. Imunopatogenesis SGB

7

Page 8: Tugas Refreat SGB Reza

Tabel 2 Antibodi pada SGB dan Variannya (Hauser dan Asbury, 2006)

SGB Dan Varian SGB Target Antibodi Isotipe yang umum

AIDP Tidak ada pola yang jelas

Paling sering GM1

IgG poliklonal

AMAN

GD1a, GM1, GM1b, Ga1NAc-

GD1a

(<50% dati setiap antibodi)

IgG poliklonal

Sindrom Miller-Fisher GQ1b (>90%) IgG poliklonal

Varian Faringeal, Servikal,

dan Bravikal GT1a IgG poliklonal

Target invasi sistem imun adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks

glikosfingolipid yang terdiri dari satu atau lebih residu asam sialat. Gangliosida

berperan dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia), modulasi reseptor, dan

regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat di membran sel sehingga rentan

terhadap paparan sistem imun. Gangliosida terdistribusi luas pada jaringan saraf

terutama pada nodus Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama antibodi anti GM1,

banyak terdapat pada kasus SGB (20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C. jejuni.

Terdapat kesamaan struktur dan reaksi silang antara glikolipid C. jejuni dengan

gangliosida (Hauser dan Asbury, 2006).

Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi SGB bervariasi dan distribusinya

menjelaskan varian-varian SGB. Antigen yang dieskpresikan oleh saraf tepi adalah

gangliosida (GM1, asialo-GM1, GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya pada

saraf tepi menjelaskan patofisiologi var- ian SGB. Tabel di bawah memaparkan

antibodi yang terlibat pada berbagai varian SGB. Sindrom Miller-Fisher berkaitan

dengan antibodi IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat di saraf motorik

ekstraokular dibandingkan di saraf motorik ekstremitas sehingga men- jelaskan

manifestasi Sindrom Miller-Fisher. Antibodi monoclonal anti-GQ1b yang diinduksi oleh

C. jejuni juga memblok transmisi neuromuskular secara eksperimental (Gorson dan Ropper,

2002).

8

Page 9: Tugas Refreat SGB Reza

Patofisiologi SGB meliputi demielinisasi (paling banyak) dan gangguan aksonal

(pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi motorik dan sensoriknya. Pada

demielinisasi, integritas aksonal intak sedangkan mielin mengalami kerusakan

sehingga didapatkan blok konduksi, penurunan kecepatan hantar saraf, dan normal-

nya amplitudo secara elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan

proses remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi aksonal sekunder

yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan pemulihan yang lambat dan

disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat terjadi secara primer. Prognosis pada tipe

tersebut dapat baik apabila gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi

mudah terjadi atau reinervasi dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih

cukup baik (Avila, Mariona dan Melano, 2004).

2.5 Klasifikasi

Sindrom Guillain barre memiliki beberapa varian, yaitu :

1. Varian Sindrom Miller-Fisher

Merupakan varian SGB yang sering ditemukan, sekitar 5% dari kasus SGB.

Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia. Ataksia tampak

prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak prominan pada ekstremitas.

Kekuatan mo- torik biasanya masih baik. Perjalanan penyakitnya akan membaik

secara gradual dan komplit dalam beberapa minggu atau bulan. Terdapat

asosiasi kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi anti-GQ1b

yang diinduksi C. jejuni. Konsentrasi antibodi tersebut ditemukan di saraf

okulomotor, troklear, dan abdusens yang menjelaskan manifestasi

oftalmoplegia (Levin, 2010).

2. Varian Tipe Aksonal

a. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN). Varian AMAN berkaitan

erat dengan C. Jejuni dan disertai peningkatan titer antibodi

gangliosida (GM1, GD1a, GD1b). Pada varian ini ditemu- kan gangguan

motorik murni dan secara klinis menyerupai demielinisasi pada SGB

dengan paralisis asenden simetris. Varian ini dibedakan dengan SGB

klasik berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopati

motorik murni yang konsisten. Histopatologi menunjukkan

degenerasi Wallerian tanpa inflamasi limfositik signifikan. Banyak

kasus ditemukan di area pedesaan Cina terutama pada anak dan dewasa

muda selama musim panas. Kasus aksonal murni sering ditemukan di

luar Eropa dan Amerika Utara. Prognosisnya cukup baik melalui

pemulihan yang cepat pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang

9

Page 10: Tugas Refreat SGB Reza

berat pemulihan dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Levin,

2010).

b. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Perjalanan

varian ini cepat, disertai paralisis berat, proporsi pemakaian ventilator

yang tinggi dan pemulihan yang lambat dan tidak memuaskan, dan

berkaitan dengan C. jejuni. Pada varian ini diperkirakan terjadi

demielinisasi radikular yang diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi

Wallerian. Pada pemeriksaan elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal

motorik dan sensorik dan sedikit demielinisasi (Levin, 2010).

Tabel 1. Varian Sindrom GuillainBarre (Kuwabara, 2010)

3. Varian Dengan Gangguan Motorik Murni

Manifestasi varian ini adalah progresif, paralisis ekstremitas simetris, arefleksia,

dan sedikit atau tidak ada gangguan sensorik. Perbedaan varian ini dengan

SGB klasik adalah cepatnya progresifitas paresis otot distal, ketidakterlibatan

saraf kranial, titik nadir yang awal, peningkatan titer antibodi anti-GM1 yang

lebih tinggi dari biasanya, dan infeksi C. jejuni antesenden. Perjalanan

pemulihan serupa dengan SGB klasik. Pada pemeriksaan elektrofisiologi

didapatkan gangguan aksonal prominen. Varian ini secara klinis mirip dengan

AMAN yang sering terjadi di Cina tetapi dengan gambaran demielinisasi yang

lebih banyak (Levin, 2010).

4. Varian Dengan Gangguan Sensorik Murni

Manifestasi varian ini meliputi gangguan sensorik secara cepat, arefleksia dengan

distribusi simetris dan luas. Studi CSF menunjukkan disosiasi sitoalbumin dan

10

Page 11: Tugas Refreat SGB Reza

pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan demielinisasi saraf tepi. Prognosisnya

baik secara umum. Plasmafaresis dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat

diaplikasikan pada kasus yang berat dan pemulihan yang lambat (Levin, 2010).

5. Varian Dengan Disautonomia Murni

Pandisautonomia akut tanpa keterlibatan motorik atau sensorik signifikan

merupakan varian yang jarang. Disfungsi simpatis dan parasimpatis

menyebabkan hipotensi postural, retensi urin dan alvi, anhidrosis, penurunan

salivasi dan lakrimasi, dan abnormalitas pupil.

6. Varian Faringeal, Servikal, Brakial.

Pada varian ini ditemukan paralisis fasial, orofaring, servikal, dan ekstremitas

superior tanpa keterlibatan ekstremitas inferior.

7. Varian Paraparesis

Manifestasi varian ini berupa kelemahan ekstremitas inferior, arefleksia, nyeri

radikular, gangguan sensorik, dan normalnya saraf bulbar serta ekstremitas atas

yang disebabkan keterlibatan konus medularis dan kauda ekuina. Pada kasus ini

harus dilakukan MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain.

8. Varian Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff

Varian ini serupa dengan Sindrom Miller Fisher tetapi juga terdapat gangguan

kesadaran (ensefalopati) dan tanda-tanda UMN (hiperefleksia) (Levin, 2010).

2.6 ` Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Dari pemeriksaan cairan serebrospinal (LCS) didapatkan adanya kenaikan kadar

protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain

(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal

pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar

protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan

LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3

(albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi

pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir

minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

11

Page 12: Tugas Refreat SGB Reza

3. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira

pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda

equina yang bertambah besar.

2.7 Diagnosis

Gambaran elektrofisiologis berkembang selama 5-8 minggu sejak onset.

Abnormalitas elektrofisiologi tertinggal bila dibandingkan manifestasi klinis. Pada tipe

demielinisasi terjadi pemanjangan latensi distal, penurunan kecepatan hantar saraf, blok

konduksi, dan disperse temporal CMAP. Pada tipe gangguan aksonal terjadi

penurunan amplitudo. Pada 1-2 minggu sejak onset, kecepatan konduksi saraf masih

normal. Abnormalitas awal yang dapat ditemukan adalah hilangnya gelombang F

dan refleks H. Blok konduksi dapat ditemukan di sepanjang trunkus saraf termasuk

di akson terminal. Gambaran tersebut dapat disertai disperse temporal CMAP yang

menghasilkan kompleks gelombang berdurasi panjang. Profil elektrofisiologis pada

stadium awal berupa blok konduksi atau perlambatan yang melibatkan beberapa

trunkus saraf. Amplitudo respon sensorik berkurang terutama pada tangan

dibandingkan kaki. Pemanjangan latensi distal dan penurunan kecepatan konduksi

terjadi pada stadium yang lebih lanjut dan dapat tetap prominen pada saat telah

terjadi pemulihan klinis. Perbaikan motorik berjalan sebanding dengan resolusi

blok konduksi. Perbaikan gambaran elektrofisiologi dimulai beberapa hari setelah

fase plateau atau pascaplasmafaresis dan IVIG tetapi dapat juga beberapa minggu atau

bulan setelahya (Gorson dan Ropper, 2002). Profil LCS dapat normal pada 48 jam

pertama onset SGB. Pada akhir minggu pertama terjadi peningkatan protein di LCS.

Pleositosis transien (10-100/ul) dapat terjadi bahkan pada SGB klasik tetapi pleositosis

persisten mengarahkan ke diagnosis alternatif seperti infeksi viral atau infeksi HIV (Hauser

dan Asbury, 2006).

12

Page 13: Tugas Refreat SGB Reza

Tabel 3. Kriteria Diagnostik SGB (Gorson dan Ropper, 2002; Hauser dan Asbury, 2006)

2.8 Diagnosis Banding

Manifestasi yang menyerupai SGB dapat ditemukan pada berbagai

neuropati perifer, gangguan transmisi neuromuskular, miopati (miositis dan

miopati akut lainnya misalnya yang diinduksi obat), gangguan metabolik

(hipokalemia, hipofosfatemia), dan gangguan sistem saraf pusat (infark

13

Page 14: Tugas Refreat SGB Reza

batang otak pada sindrom arteri basilaris, locked-in syndrome,

ensefalomielitis batang otak, mielitis transversa, mielopati nekrotik akut,

kompresi neoplasma pada foramen magnum atau medula spinais servikal,

histeria, malingering). Neuropati perifer dapat berupa neuropati toksik

akibat logam berat (arsenik, timbal, emas), medikasi (vinkristin, disulfiram,

nitrofurantoin, izsoniazid), organofosfat, heksakarbon (glue sniffer’s

neuropathy), porfiria intermiten akut, poliomielitis, difteria, paralisis Tick,

penyakit Lyme, polineuropati pada kondisi kritis, poliradikulopati dan

ganglionopati pada meningitis karsinomatosis atau limfomatosis, sindrom

neuropati sensorik akut. Gangguan transmisi neuromuskular berupa

botulisme, miastenia gravis, hipermagnesemia, paralisis yang diinduksi

antibiotik, racun ular (Gorson dan Ropper, 2002).

Gambar 3. Diagnosis Banding Sindrom GuillainBarre (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).

2.9 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana SGB meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.

Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat

14

Page 15: Tugas Refreat SGB Reza

dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Manajemen

suportif meliputi:

1. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB maka

diperlukan intubasi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukan

intubasi apabila terdapat paralisis bulbar.

2. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.

3. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.

4. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.

5. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum

setiap dua minggu.

6. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu.

7. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.

8. Pemeriksaan peristaltik.

9. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang

mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.

10. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan

penggunaan matras antidekubitus.

11. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis. Infeksi paru atau saluran

kemih ditatalak- sana dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan

resistensi kecuali terdapat septicemia

12. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses

menelan terganggu.

13. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri.

14. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan plasmafaresis

(Hughes, 2003).

15

Page 16: Tugas Refreat SGB Reza

Tatalaksana etiologi sindrom Guillainbarre meliputi:

1. Plasmafaresis

Plasmaferesis dilakukan dengan dosis 50 ml/ kgBB 5 kali pada waktu

yang terpisah dalam jangka waktu 1-2 minggu. Pada analisis 6 studi

eksperimen didapatkan perbaikan disabilitas setelah 4 minggu pada kasus

yang mendapat plasmaferesis dibandingkan kontrol. Pada studi

metaanalisis dari keenam studi eksperimen tersebut, terdapat penurunan

proporsi peng- gunaan ventilator (RR 0.56, 95%CI 0.41-0.76, p 0.0003.

Keluaran berupa perbaikan komplit kekuatan motorik pada satu tahun

lebih baik pada plasmaferesis dibandingkan kontrol (RR 1.24, 95%CI 1.07-

1.45, p 0.005). Satu eksperimen kelas II menunjukkan manfaat

plasmafaresis pada kasus SGB yang ringan. Kejadian efek samp- ing antara

kelompok plasmafaresis dan kontrol sama. Plasmafaresis diasosiakan dengan

jangka waktu rawat inap yang lebih pendek dibandingkan dengan terapi

suportif. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 4 seri plasmafaresis lebih

menghemat biaya dibandingkan 2 seri plasmafaresis. Perbandingan

efektivitas filtrasi CSF dengan plasmafaresis dikatakan sebanding tetapi besar

sampel terlalu sedikit sehingga perbedaan manfaat keduanya belum dapat

dipastikan. Filtrasi CSF intratekal berisiko menyebabkan infeksi.

Plasmafaresis direkomendasikan untuk kasus SGB imobilisasi dalam durasi

4 minggu pascaonset (level A, kelas II) dan untuk kasus SGB nonimobilisasi

dalam durasi 2 minggu pascaon- set (level B, kelas II). Efektivitas plasmafaresis

dan IVIG setara. Belum ada data adekuat yang mendukung filtrasi CSF (level

U, kelas II). Plasmafaresis dilakukan dengan kecepatan 40-50 ml/kgBB empat

kali dalam satu minggu (Hughes, 2003).

2. Imunoabsorbsi

Imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif plasmafaresis untuk

menyingkirkan immunoglobulin dengan keuntungan tidak menggunakan

16

Page 17: Tugas Refreat SGB Reza

produk darah manusia sebagai cairan pengganti. Pada studi prospektif, tidak

ditemukan perbedaan keluaran antara 11 kasus yang diplasmafaresis dengan

13 kasus yang menjalani imunoabsorbsi. Akan tetapi belum ada bukti

adekuat untuk merekomendasikan imunoabsorbsi (level U, ke las IV)

(Hughes, 2003).

3. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Studi eksperimental kelas III menunjukkan adanya perbedaan

keluaran yang lebih baik dalam 4 minggu pada kasus yang ditatalaksana

dengan IVIG dibandingkan terapi suportif. Tidak terdapat perbedaan

efektivitas plasmafaresis dibandingkan dengan IVIG pada 3 studi eksperimen.

Selain itu pada studi tersebut juga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

waktu pemulihan signifikan pada kasus ringan (masih dapat mobilisasi)

dengan pemberian IVIG. Pada studi lainnya menunjukkan bahwa proporsi

kasus yang membaik satu grade dalam 4 minggu dan kecepatan kembalinya

fungsi optimal kasus pada kelompok IVIG lebih baik dibandingkan dengan

plasmafaresis. Tidak ada perbedaan antara waktu ketergantungan ventilator

dan proporsi kasus yang mengalami disabilitas atau kematian dalam 1 tahun di

antara kelompok IVIG dan plasmafaresis. Menurut studi eksperimen, kejadian

efek samping lebih banyak pada plasmafaresis dibandingkan IVIG tetapi hal

tersebut belum terbukti secara metaanalisis. Komplikasi pneumonia,

atelektasis, trombosis, dan gangguan hemodinamik lebih banyak pada

kelompok plasmafaresis (22% vs 7%). Tetapi pada studi yang lebih besar

menunjukkan bahwa kejadian efek samping plasmafaresis (hipotensi,

septicemia, pneumonia, malaise, koagulopati, dan hipokalsemia) sebesar

7% dibandingkan dengan kelompok IVIG (muntah, meningismus, gagal

ginjal, infark miokardium, dan eritema lokal) sebesar 5%. Dua studi

terbesar menyim- pulkan bahwa proporsi diskontinuitas terapi lebih

sedikit pada kelompok IVIG dibandingkan plasmafaresis. Pada

kesimpulannya, IVIG memiliki efektivitas yang sama dengan plasmafaresis

apabila diberikan dalam 2 minggu onset pada kasus yang masih bisa

17

Page 18: Tugas Refreat SGB Reza

mobilisasi (kelas I). Belum ada perbandingan efektivitas antara IVIG dengan

plasmafaresis pada SGB tipe aksonal. Pemberian IVIG direkomendasikan

untuk pasien yang memerlukan bantuan mobilisasi dalam 2 minggu onset

(level A) atau 4 minggu dari onset gejala neuropati (level B). Efek IVIG dan

plasmafaresis dianggap ekuivalen. Dosis IVIG total adalah 2 g/ kgBB yang

diberikan harian sebanyak 5 kali (Hughes, 2003).

4. Steroid

Studi tentang penggunaan steroid pada SGB meliputi penggunaan

ACTH IM 100 unit selama 10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg selama 5 hari,

dan prednison 100 mg atau prednisolon 40-60 mg oral. Tidak ada

perbedaan antara kelompok yang diberikan steroid dengan kelompok

plasebo dalam hal perbaikan grade dalam 4 minggu setelah pemberian,

perbaikan kekuatan motorik, ketergantungan ventilator, mortalitas, disabilitas

dalam 1 tahun. Komplikasi antara kelompok steroid dan plasebo setara kecuali

hipertensi lebih banyak pada kelompok plasebo. Pada kesimpulannya,

steroid tidak direkomendasikan untuk SGB (level A, kelas I). Efektivitas

kombinasi IVIG dan streroid belum dapat dibuktikan (Doarn, Ruts, dan Jacobs,

2008).

Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari

itu perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat SGB mulai

terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan

menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar

25% pasien SGB akan mengalami berbagai kesulitan antara pada : sistem

pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti nafas, penurunan

kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat

ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas. Setelah

beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap

waspada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya

penyakit. Pasien bisa berjalan dalam waktu lagi setelah perawatan dalam hitungan

18

Page 19: Tugas Refreat SGB Reza

minggu atau tahun. Namun statistik membuktikan bahwa rata-rata pasien akan

membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menjadi cacat pada

bagian yang terserang paling parah, perlu terapi yang cukup lama untuk

mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuh akibat SGB. Bisanya memakan

waktu maksimal 4 tahun. Pengobatan SGB adalah dengan pemberian

imunoglobulin secara intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi

yang merusak sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain

terapi pokok tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi

dan perawatan dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa

sakit. SGB merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan

tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup pasien (Kuwabara, 2004)

Kambuh atau episode berulang dari SGB terjadi di sekitar 5% sampai 10%

kasus dan mungkin sangat serius. Jika terjadi kekambuhan, pengobatan agresif

dengan pertukaran plasma atau imunoglobulin IV bias mengurangi keparahan

serangan dan mencegah lebih lanjut kambuh (CDC, 2012).

2.10 Prognosis

Prognosis SGB tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk

meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,

intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20% (Hughes, 2003). Pada umumnya

penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita

dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh

sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor

postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai

beberapa tahun (Newswanger dan Warren, 2010).

19

Page 20: Tugas Refreat SGB Reza

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan paralisis neuropati perifer yang

bersifat ascending, progresif dan berhubungan dengan proses autoimun

(Kuwabara, 2010). Sindrom gullian barre adalah penyakit yang biasanya terjadi

dalam satu atau dua sampai empat minggu setelah infeksi virus akut seperti sakit

tenggorokkan, bronkitis, atau flu. Penyakit ini terjadi akibat peradangan dan

kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk

selubung pelindung disekitar saraf perifer (Inawati, 2011).

Sekitar 1-4 minggu sebelum onset SGB terjadi sindrom viral akut

atau manifestasi penyakit infeksi lainnya. Pada saat onset SGB dimulai

biasanya infeksi antesenden telah berakhir. Infeksi yang sering

mendahului SGB adalah infeksi saluran respirasi dan saluran pencernaan.

Kondisi antesenden yang berkaitan dengan SGB, yaitu infeksi virus

(Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes

Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza, Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri

(Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni, Legionella pneumoniae,

Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis, Yersinia enterocolitica),

kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin, leukemia,

paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor

paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan

vaksinasi) (Gorson dan Ropper, 2002; David, 2011).

Patofisiologi SGB melibatkan konsep imunopatogenesis baik selular

maupun humoral. SGB diduga oleh karena suatu fenomena mimikri

molekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi

juga ikut menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop (Hauser dan

Asbury, 2006). Patofisiologi SGB meliputi demielinisasi (paling banyak) dan

gangguan aksonal (pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi

motorik dan sensoriknya. Pada demielinisasi, integritas aksonal intak

sedangkan mielin mengalami kerusakan sehingga didapatkan blok konduksi,

20

Page 21: Tugas Refreat SGB Reza

penurunan kecepatan hantar saraf, dan normal- nya amplitudo secara

elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan proses

remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi aksonal

sekunder yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan

pemulihan yang lambat dan disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat

terjadi secara primer. Prognosis pada tipe tersebut dapat baik apabila

gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi mudah terjadi

atau reinervasi dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih cukup

baik (Avila, Mariona dan Melano, 2004).

Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi SGB bervariasi dan

distribusinya menjelaskan varian-varian SGB, seperti varian Sindrom Miller-Fisher,

varian tipe aksonal (Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dan Acute Motor

and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN))), varian dengan gangguan

motorik murni, varian dengan gangguan sensorik murni, varian dengan

disautonomia murni, varian faringeal, servikal dan brakial, varian paraparesis,

dan varian ensefalitis batang otak Bickerstaff.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus SGB adalah

pemeriksaan ciran serebrospinal untuk menilai adanya disosiasi albumin sitologi,

EMG menilai kelumpuhan yang terjadi, dan pemeriksaan MRI memperlihatkan

gambaran cauda equina yang bertambah besar.

Diagnosis pada SGB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa

kelemahan progresif lengan dan tungkai, arefleksia, progersifitas gejala yang

berlangsung sampai 4 minggu, gejala sensorik ringan, adanya keterlibatan saraf

kranial terutama diplegia fasial, dan disfungsi otonom. Kriteria laboratorium yang

mendukung berupa peningkatan konsentrasi protein CSF 50-150 mg/dl dengan

jumlah leukosit <10 sel/mm3, tanpa eritrosit dan kriteria elektrofisiologis

berupa penurunan kecepatan konduksi pada dua atau lebih saraf motorik < 80%

dari batas normal jika ampliudo > 80% atau < 70% jika amplitudo < 80%

(Gorson dan Ropper, 2002; Hauser dan Asbury, 2006).

21

Page 22: Tugas Refreat SGB Reza

Diagnosis banding SGB berupa neuropati perifer, gangguan transmisi

neuromuskular, miopati (miositis dan miopati akut lainnya misalnya yang

diinduksi obat), gangguan metabolik (hipokalemia, hipofosfatemia), dan

gangguan sistem saraf pusat (infark batang otak pada sindrom arteri

basilaris, locked-in syndrome, ensefalomielitis batang otak, mielitis

transversa, mielopati nekrotik akut, kompresi neoplasma pada foramen

magnum atau medula spinais servikal, histeria, malingering). Neuropati

perifer dapat berupa neuropati toksik akibat logam berat (arsenik, timbal,

emas), medikasi (vinkristin, disulfiram, nitrofurantoin, izsoniazid),

organofosfat, heksakarbon (glue sniffer’s neuropathy), porfiria intermiten

akut, poliomielitis, difteria, paralisis Tick, penyakit Lyme, polineuropati pada

kondisi kritis, poliradikulopati dan ganglionopati pada meningitis

karsinomatosis atau limfomatosis, sindrom neuropati sensorik akut.

Gangguan transmisi neuromuskular berupa botulisme, miastenia gravis,

hipermagnesemia, paralisis yang diinduksi antibiotik, racun ular (Gorson dan

Ropper, 2002).

Tujuan tatalaksana SGB meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.

Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat

dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Tatalaksana

etiologi berupa plasmafaresis, imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif

plasmafaresis untuk menyingkirkan immunoglobulin dengan keuntungan

tidak menggunakan produk darah manusia sebagai cairan pengganti,

intervenous immunoglobilin (IVIG), dan steroid (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).

Prognosis SGB tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk

meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,

intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20% (Hughes, 2003). Pada umumnya

penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita

dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh

sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor

22

Page 23: Tugas Refreat SGB Reza

postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai

beberapa tahun (Newswanger dan Warren, 2010).

23

Page 24: Tugas Refreat SGB Reza

DAFTAR PUSTAKA

Avila-Funes JA, Mariona-Montero VA, Melano-Carranza E. 2002. Guillain-Barre

syndrome: etiology and pathogenesis. Rev Invest Clin. Jul-Aug;54(4):357-

63.

Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (SGB).

http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm. Diakses pada

tanggal 7 September 2015.

Davids HR. Guillain-Barre syndrome. [cited on 2011 Aug 17]. Available

f

rom:http://emedicine.medscape.com/article/315632overview#showall.

Doarn Pieter AV, Ruts Liselotte, and Jacobs Bart C. Clinical Fetures,

Pathogenesis, and Treatment of Guillain Barre Syndrome. Department of

Neurology. Erasmus Medical Center. Netherlands. Lancet Neural 2008;939-

50.

Gorson KC, Ropper AH. Guillain-Barre Syndrome (Acute Inflammatory

Demyelinating Polyneuropathy) and related disorders. In: Katirji B et

al, editors. Neuromuscular disorders in clinical practice.

Boston:Butterworth Heinemann; 2002.p.544-60.

Guillain-Barré Syndrome. Available from: http: //www.medicinenet.com/

guillain-barre_syndrome/article.htm.

Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and Other ImmuneMediated

Neuropathies. In: Hauser SL, ed. Harrison’s Neurology in clinical

medicine. New York:McGraw- Hill; 2006.p.517-26.

Hughes RAC et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barre

syndrome: Report of the quality standards subcommittee of the

American Academy of Neurology. Neurology 2003; 61:736 .

24

Page 25: Tugas Refreat SGB Reza

Kowalak J., William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional

Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta, 2011.

Kuwabara S. Guillain-Barre syndrome epidemiology, pathophysiology and

management. Drugs 2010;64:597610.

Levin KH. Variants and Mimics of Guillain-Barre Syndrome. 2010.

Proceedings of the 62nd AAN Annual Meeting, Toronto, Kanada.

Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis.

Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/

14SindormGuillainBarre93.html.

Newswanger Dana L., Warren Charles R. 2010. Guillain-Barre Syndrome.

http://www.americanfamilyphysician.com.

NIH. (2012). Guillain-Barre Syndrome.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/guillainbarresyndrome.html [Diakses

pada: 7 September 2015]

Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/

guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.

Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran:

Dexa Medica, Jakarta, 2007.

25