REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

15
1 REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1 Abstrak Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran bahwa hukum modern mereduksi kenyataan social. Hukum aspiratif memberikan pertimbangan terbuka terhadap hokum. Hukum berbasis pada perpaduan antara legalitas dan moralitas dalam keadilan substansial, dan membebaskan cara berpikir positivistis legisme menuju hukum yang sesuai dengan habitus tuntutan sosial masyarakat. Hukum berparadigma kerakyatan memiliki karakter yang menuntut tidak adanya kesenjangan antara hukum dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat, termasuk acces to justice sebagaimana ide hukum responsive, critical legal studies, hukum progresif. Interpretasi juridis tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan kemasyarakatan, oleh karenanya paradigma kerakyatan menjadi penting. PENDAHULUAN Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi „ conflct of interest‟ karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas. Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pendekatan „rechtsdogmatic‟ yang berkutat pada rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Transcript of REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

Page 1: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

1

REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN

DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN

Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum1

Abstrak

Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran bahwa hukum

modern mereduksi kenyataan social. Hukum aspiratif memberikan pertimbangan terbuka

terhadap hokum. Hukum berbasis pada perpaduan antara legalitas dan moralitas dalam keadilan

substansial, dan membebaskan cara berpikir positivistis legisme menuju hukum yang sesuai

dengan habitus tuntutan sosial masyarakat. Hukum berparadigma kerakyatan memiliki karakter

yang menuntut tidak adanya kesenjangan antara hukum dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam

masyarakat, termasuk acces to justice sebagaimana ide hukum responsive, critical legal studies,

hukum progresif. Interpretasi juridis tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan

juga terhadap kenyataan kemasyarakatan, oleh karenanya paradigma kerakyatan menjadi penting.

PENDAHULUAN

Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum

yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi „conflct

of interest‟ karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum

berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya

terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas.

Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji

sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi

tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pendekatan „rechtsdogmatic‟ yang berkutat pada

rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana

1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Page 2: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

2

karakter hukum modern, dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dan pembangunan

senyatanya.

Pandangan positivisme ini menjadikan keluaran keadilan yang dituju adalah keadilan

prosedural, sebagaimana acuan pada model hukum otonom dari Nonet dan Selznick yang sangat

menekankan pada formalitas demi integritas institusi.2

Pemahaman hukum secara komprehensif, menuntut pada saat pembentukan undang-

undang bahkan penegakan hukum itu sendiri terlebih dahulu mengadakan suatu refleksi

terhadap interaksi hukum pada akar-akar sosial, politik, budaya, ekonomi, dan bukan hanya dari

sistem hukum serta peraturan-peraturannya sebagai kajian closed system. Hal ini berhubungan

dengan kenyataan-kenyataan masyarakat, yang harus mampu dijabarkan dalam hukum ketika

menjadi suatu sumber-sumber formal yang mengadobsi sumber hukum material. Oleh karena itu,

perspektif resmi yang dipakai oleh lembaga hukum yang berperan dalam pembentukan dan

penegakan hukum, akan selalu mendapatkan evaluasi dalam kemampuannya menjawab

kebutuhan masyarakat.

Selaras dengan pendapat Blau and Meyer bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan yang

sangat besar untuk mengatur masyarakat3 Aparat kontrol sosial memiliki monopoli kekuasaan

atau otoritas untuk berhadapan dengan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat pencari keadilan

acapkali diposisikan sebagai pihak yang menduduki „ketakberdayaan masyarakat‟ .Karakter

paradigma civil (civilian paradigm) masih kurang menjadi bagian dari akuntabilitas penegakan

hukum.

2 Dalam hukum otonom dari Nonet dan Selznick, prosedur adalah jantung hukum, keteraturan dan

keadilan (fairness) dan bukannya keadilan substantif meupakan tujuan utama tertib hukum. Pada cara

hukum otonom seperti birokrasi modern , mendorong suatu pandangan yang bersifat sempit mengenai

kewajiban aparat, dan lembaga hukum menafsirkan kekuasaannya secara sempit menjauhkan diri dari

isu –isu kebijakan, bersembunyi dibalik netralitas dan menghindari inisiatif. Philippe Nonet, dan Philip

Selznick , Law and Society In Transition, Harper and Row, London, 1978.

3 Peter M.Blau and Marshall W.Meyer, terj.Gary R.Jusuf, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, UI

Press, Jakarta, 1987, hal. 5.

Page 3: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

3

Tuntutan akan Paradigma Kerakyatan

Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian

hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, termasuk hakikat

hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat

dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum.

Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak

dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada

keluwesan. 4 Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual

(rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.5.

Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya

aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam

masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau

bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang

ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi

terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana

hukum itu sendiri. Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses

resiprositas dengan masyarakat merupakan respon birokrasi atau individu di dalamnya dalam

menghadapi kemampatan formalitas prosedur organisasi yang kaku dan upaya penegak hukum

untuk menigkatkan dan menarik keuntungan dari masyarakat serta menekan hambatan-

hambatannya.

4 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 83-84. Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui

sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma

dasar moral terutama keadilan. Kelamahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan

secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif dari suatu kodrat

.faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma , atau hukum, moral tidak lagi dipahami sebagai

hukum kodrat melainkan menurut paham etika pada umunya. lihat Ibid, hal. 95,98-99. Kebutuhan

hukum dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan-peraturan yang ada

serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain . Mengutip dari

Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan

berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum

tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.19-20

5 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief

Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

Page 4: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

4

Kecenderungan penegakan hukum meringankan golongan masyarakat yang

berkekuasaan dan menekan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma

masyarakat terhadap bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif.

Mengkaji mengenai tuntutan akan paradigm kerakyatan dalam berhukum, maka hal ini

sangat terkait dengan akses keadilan/acces to justice dari masyarakat untuk diakomodasi oleh

lembaga dan pranata hukum Dalam tulisan ini, tidak hanya dibatasi pada akses keadilan dalam

sistem peradilan pidana, namun secara umum akses keadilan atau acces to justice dari

masyarakat terhadap birokrasi penegak hukum baik pidana, perdata, bahkan birokrasi eksekutif..

Sikap secretive dan self devence dari birokrasi/lembaga hukum masih dialami publik

untuk mengakses keadilan. Adapun sikap yang tertutup dari birokrasi ini tercermin dari sikap

yang tidak berkooperatif, tidak mengemukakan secara jelas/clearly defined scope of

responsibility.

”The resistance phenomena” masih muncul manakala penegak hukum memandang

bahwa komplain dari masyarakat mengenai tugas Penegak hukum merupakan intervensi

terhadap birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu terjadilah mistrustful of the attempt to

orchestrate change from outside. Kemampuan dan kemauan penegak hukum untuk merespon

komplain juga menjadi kunci penting. Institusi penegak hukum masih extremely formalistic,

dan masih berpedoman pada keadilan prosedur semata.

Dalam kenyatannya wajah hukum dimasyarakat ditandai oleh tuduhan yaitu diskriminatif,

arogan, sewenang-wenang, tertutup dalam pengkonstruksian pengambilan keputusan, tertutup

terhadap aspek pengawasan publik, tidak profesional, tidak mempedomani ketentuan normatif

yang menjunjung hak asasi, serta hanya memberikan informasi prosedural. Oleh karena

itu,wajah hukum di mata masyarakat dalam era demokrasi ini tidalah memiliki wajah „manusia

/”human face”, melainkan menjadi sekedar mesin atau robot.

Penggalian akan pemaknaan paradigma kerakyatan, adalah manakala terkukuhkan

adanya acces to justice dari para pencari keadilan yang notabene memiliki ketidakberdayaan.

Paradigma ini berarti berseberangan dengan Positivisme yuridis dari karakter hukum modern

yang sangat artifisial buatan dari para yuris profesional, dan bukannya tertib yang nature dari

Page 5: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

5

hukum. Melalui ‟learning from the bottom up view‟s of law”, acces to justice dari kebutuhan

hukum dari masyarakat pencari keadilan dapat mendukung akuntabilitas hukum.

Adrian Bedner mengutip UNDP : acces to justice is the ability of the people to seek

and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice, and in conformity with

human rights standards. Acces to justice exists if : people , notably poor and isadvantage,

suffering from injustices, have the ability, to make their grievances be listened to, by state or non

state institutions, leading to redress of those injustice, on the basis of rules or principle of state

law, religious law or customary law, in accordance with the rule of law. 6

Dalam acces to justice membutuhkan „accessibility‟ maupun „intelligibility„, sehingga

acces to justice membutuhkan suatu “open justification‟,7 pada taraf proses dari justifikasi.

Informasi yang disampaikan juga harus memiliki akses keadilan ”to achieve better substantive

outcomes8. Oleh karena itu, paradigma kerakyatan memberikan adanya suatu partisipasi publik,

pengawasan publik yang mengegaliterkan suatu kekuasaan, supaya lebih dirasa populis dan

humanis. Hal ini berarti memberikan suatu ruang publik untuk memperjuangkan hak-hak

subatansial mereka.

Publik isu yang dilontarkan masyarakat berkaitan dengan akuntabilitas penegakan

hukum memiliki tipikal untuk mengekaplorasikan problem hukum dan membuat rekomendasi

untuk perubahan kebijakan dan prosedur. Nilai dari pengawasan yang dilakukan melalui

pandangan publik ini dalam kapasitas untuk mengawal investigasi publik. Aspek laporan

masyarakat ini menyediakan „valuable information” mengenai pentingnya perubahan kebijakan

birokrasional. Sebenarnya penegsk hukum dan masyarakat melalui LSM maupun media dapat

melakukan share the common goal of serving the public.

Persoalan akan terpolarisasi dalam dua kutub yaitu antara keterikatan dengan formalitas

dan kewajiban mengemban „moral code‟ atau formality di satu pihak dan acces to justice untuk

6 Adriaan Bedner, Jacqueline Vel, Rolax,” An analytical Frame work for Empirical Research on Acces To

Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made Training Program : Training on

Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between

Modern Law and Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland. p.3-

5. 7 Fred D.Agostino, Free Public Reason, Making it up as we go, New York : Oxford University Press,

New York, 1996,p. 58-60. 8 Stepphanos Bibas, Transparency and Participation In Criminal Procedural, New York : New York

University Law reviews, New York, Vol.86, 2006, p.140.

Page 6: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

6

menunjukkan equity , accountability di lain pihak.

Menilik dari kesalahan positivisme sebagaimana karakter hukum modern, menurut

Scholten adalah bahwa positivisme sebagai material hanya melihat undang-undang,peraturan-

peraturan dan melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif terdapat hukum sebagai

bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam

kebersamaan.9

Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak

hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan secara kaku dan tertutup, tanpa melihat

keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom,10

merupakan suatu

tertib hukum yang mendukung „model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga

menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur

tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan

perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial, resistensi Penegak hukum terhadap

Lembaga Swadaya Masyarakat maupun pemerhati hukum lainnya. Sehingga birokrasi penegak

hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik

dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural.

Hukum Berparadigma Kerakyatan

Peraturan hukum itu memuat keinginan dan cita-cita para pembuatnya mengenai apa

yang seharusnya dilakukan oleh warga negara dan apa yang dituntut hukum dari warga negara.

Dalam kajian ini berarti bah wa dalam substansi pembuatan perundang-undanngan diharapkan

melindungi kepentingan hukum masyarakat dan memuat nilai-nilai moral yang diharapkan dalam

masyarakat tersebut. Penulis berpendapat bahwa kehidupan hukum sudah selayaknya merupakan

suatu ekspresi nilai-nilai yang dihayati oeh anggota masyarakat untuk lebih menggambarkan

suatu „social nature‟ dari hukum .

Sebagai contoh misalnya, dari sisi korban, jalur peradilan pidana lebih dirasa

memberatkan dan kurang memuaskan rasa keadilan baik secara psikis maupun materiil Oleh

9 Paul Scholten, Op.cit, hal. 18.

10 Philip Nonet, Philippe Selznick, Op.,cit, hal. 44, 61.

Page 7: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

7

karena itu, perlu digali dan dikembangkan upaya-upaya hukum adat yang mampu

menyelesaikan sengketa-sengketa melalui prosedur perdamaian (conciliation procedures).

Demikian pula dalam suatu upaya penyelesaian atau pengelolaan konflik yang terjadi dalam

masyarakat.

Dalam contoh yang lain, misalnya dalam suatu kebijakan pemerintah untuk

penaggulangan kemiskinan, maka memahami kebutuhan yang riil dalam masyarakat akan

menjadikan kebijakan tersebut tepat dan mengena bagi masyarakat. Menyelami kebutuhan social

masyarakat akan membawa suatu kebijakan hukum menjadi kebijakan yang tidak kehilangan

korelasi atau kontak dengan kehidupan social yang sesungguhnya dalam masyarakat.

Edmond Cahn menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi

pihak-pihak yang harus dilindungi hukum yang disebut dengan ‘‟konsumen hukum‟ dalam hal

ini masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat diperlukan.

Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana

manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen-konsumen

paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan akan

menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara bekerja sebagaimana

dikemukakan oleh Cohn yakni :

1. Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari

setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi

yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan

membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.

2. Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari

manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum

menjamin nilai sosial, cita-cita , dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti

bagi manusia seutuhnya.

3. Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan

efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar

kepada kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.

4. Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahi hukum memakai

perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata,

Page 8: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

8

statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan. Dalam

kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus tertentu

sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah suatu sistem

apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh. 11

Teori yang lain yang membidik pentingnya paradigm kerakyatan dalam berhukum

adalah konsep hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai jawaban atas kritik bahwa

seringkali hukum „tercerai berai dari kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan

sendiri. 12

Untuk lebih mengkaji hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick , yaitu

„repressive law, autonomus law, dan responsive law‟ dalam bukunya „Law and Society in

Transition.13

Hukum represif seringkali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban, dengan

kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan kebutuhan dan perspektif

mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini adalah demi kepentingan negara sendiri.

Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya

hukum otonom yang menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan

prosedural. Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan

melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial. Model kekuasaan

berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada otoritas dari pada kritik atas

otoritas.

Dalam perkembangannya timbul kritik terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik

terhadap kekakuan legislatif yang asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum

11

Edmond Cahn, Hukum Dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani. Siswosoebroto,

Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 144,152-154.

Hukum dalam perspektif ini diperhadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan sebagai cara

memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang kekuasaan. 12

Ibid, hal. 158. 13

Philippe Nonet, Philip Zelnick, Op.cit, p 18. Dikemukakan bahwa repressive law, autonomous, and

responsive law are not distinc types of law but in some sense, stages of evolution in the relation of law

to the political and social order.

Page 9: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

9

responsif menekankan pada kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan

substantif sebagai jaminan bagi perlakuan adil.14

Apabila disejajarkan, maka hukum modern lekat dengan paradigma legalisme liberal

(liberal legalism) yang menempatkan tujuan keadilan dicapai melalui prosedur dan memiliki

karakter pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban dalam frame hukum otonom.

Dalam perspektif Hukum Responsif sebagaimana disampaikan oleh Nonet dan Selznick

bahwa dalam hukum perlu responsivitas dengan menjadi sistem yang terbuka, mendorong

partisipasi. Namun demikian, Nonet dan Selznick juga mengungkapkan adanya kelemahan dari

suatu partisipasi publik yakni dengan konsep hukum resiko tinggi dan resiko rendah yang

muncul karena ketegangan antara dua pendekatan yaitu kebebasan dan kontrol sosial.

Pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban, menekankan betapa besar

sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas. Hukum dilihat sebagai resep

vital untuk tertib sosial, dan penghormatan yang tinggi kepada otoritas. Perubahan hukum akan

datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan yang ada pada agen-agen

hukum yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan. Pada pandangan risiko tinggi

tentang hukum dan ketertiban dikemukakan bahwa hukum dinilai sebagai sumber kritik dan

sebagai instrumen untuk perubahan, terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana

pihak pihak yang diperintah memaknai hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral

mereka.

Untuk menjadi responsif, sistem perlu terbuka terhadap dalam banyak hal dan

mendorong partisipasi. Terhadap kedua resiko hukum tersebut dikemukakan kelemahannya oleh

Nonet dan Selznick. Pada pandangan risiko rendah tentang hukum, karena relatif tidak responsif,

bisa mendorong penolakan kepada hukum dan mendatangkan krisis dan kekacauan dengan

ditutupnya saluran untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan perubahan. Pada perspektif

14

Ibid, p.16,18,42,43, 64-71,73,93. Dalam hukum responsif, respon institusional yang ada

menggambarkan model perkembangan birokrasi yang memiliki tipe Post Birokratik. Ciri organisasi ini

memiliki tujuan berorientasikan misi, fleksibel, peraturan diarahkan pada subordinat terhadap tujuan,

dan penolakan terhadap keterikatan pada peraturan, pembuatan keputusan bersifat partisipatif,

berpusat pada masalah, ada asumsi mengenai lingkungan dengan tuntutan dan kesempatan berubah-

ubah.14

Page 10: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

10

risiko tinggi, bisa mengundang lebih banyak kesulitan daripada apa yang diperjuangkan, bisa

memunculkan kelemahan dan kebimbangan ketika berhadapan dengan tekanan, dan terlalu

banyak memberi kepada minoritas aktivis.15

Dari sudut hukum responsif, dilibatkannya konstituen baru menambah energi untuk

kinerja institusi-institusi hukum. Perluasan partisipasi hukum dari masyarakat pencari keadilan,

juga berarti mengambangkan nilai demokratik dari tatanan hukum, dan juga mampu memberi

kontribusi kepada kompentensi institusi-institusi hukum.

Hal menarik dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang

diperjuangkan dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik

namun dalam pemikiran „inwoord looking„ dari rasa keadilan masyarakat, yang berarti menjadi

inti dari paradigma kerakyatan dalam berhukum. Rasa keadilan masyarakat adalah suatu keadilan

yang tentu dalam wajah keadilan substansial dan bukan pragmatis yang sebenarnya memiliki

muatan kepentingan latent yang justru melukai keadilan itu sendiri.

Memang, sisi positif dari tuntutan publik akan hukum yang berparadigma kerakyatan

memiliki sisi negatif, namun terkait dengan sumber daya yang menjadikan hukum yang terbuka

menjadi beresiko tinggi, maka kekhawatiran bahwa opini publik yang dibawa dalam tuntutan

tersebut mungkin atau bisa saja sebenarnya memiliki kepentingan latent dari sekelompok

masyarakat yang mengatasnamakan hukum. Inilah yang berarti hukum diposisikan sebagai

sesuatu yang dinamis menterjemahkan apa hukum yang berkeadilan substansial demi

keberpihakan pada rakyat tersebut. Dalam mana terjadi suatu selektivitas kebijakan pula, dan

keterelatifan dari suatu ‟ legitimasi ‟ publik yang harus diseleksi pula dan ini juga berada dalam

suatu lapangan penafsiran hukum.

Critical Legal Studies yang dianut dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa

hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi. Melalui karakter critical legal

studies, pemenuhan nilai –nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal

studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap

menuju pada suatu perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam

15

Ibid, hal 4- 6.

Page 11: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

11

hukum. Bonaventura De Sausa Santos 16

mengungkapkan suatu gagasan baru yang mendobrak

gagasan lama yang bersifat individual, liberal, kapitalistik .

Unger menyatakan dalam teori hukum kritisnya bahwa tatanan hukum sebagai sistem

formalitas menghadapi dua masalah besar yang mendominasi hukum modern. Pertama adalah

perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi buta,

keadilan yang zalim, yang kedua adalah upaya untuk menciptakan perdamaian antara legalitas

dan moralitas dengan menolak ekstrem-ekstrem individualisme dan kolektivisme serta

menyediakan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas. 17

Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer 18

, dapat digambarkan adanya suatu

fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora.

Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma

yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan

Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya

dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah

hukum yang bersangkutan.

Diskrepancy antara pemegang otoritas hukum dan pencari keadilan, menandakan bahwa

kepekaaan birokrasi hukum untuk memaknai „public face of justice‟ masih lemah, sehingga

wajar apabila masyarakat kurang mempercayai bekerjanya hukum. Judicial corruption

menandakan ketidakpekaan lembaga hukum untuk lebih berkeadilan. Dialektis menjadi

tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum tanpa

keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya..

Masyarakat pencari keadilan juga selayaknya mengacu pada cita hukum bersama yakni nilai

keadilan substansial.

16

Bonaventura de Sausa Santos “ Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The

Paradigmatic Transition, Routledge, London, 1995, P.8-9 The collapse of emancipation into

regulation 17

Roberto Mangabeira Unger, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam

Masyarakat Modern, Nusa media, Bandung, 2007, hal. 275.

18

Gadamer dalam Arief B.Sidharta; Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal

Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008., hal.122.

Page 12: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

12

Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya ternyata

dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga

hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap

keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam

pengambilan kebijakan.

Pada sisi masyarakat, kepentingan yang diperjuangkan pada satu sisi, hendaknya juga

perlu melihat pertimbangan lain. Hak asasi manusia yang dibawa, diperhadapkan juga pada

hak asasi masyarakat, dan hak-hak lainnya dalam jagad ketertiban. Untuk itu pertimbangan

moral yang mencakup keadilan substansial akan menjadi pertimbangan yang harus dielaborasi

dari sisi masyarakat.

Pencapaian akuntabilitas hukum yang berpihak pada masyarakat selama ini ternyata

masih samar dan belum optimal , karena nilai kejujuran terutama yang diharapkan masyarakat

belum sepenuhnya dilakukan. Pemaknaan hukum yang berparadigma kerakyatan berarti juga

wujud kejujuran sistem hukum yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan

menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif, dan diharapkan masyarakat. Birokrasi

hukum memiliki nilai demokrasi dan keterbukaan dengan membuka dialog dan emansipasi

masyarakat. Pada sisi lain, Selektivitas atas pengambilan keputusan hukum merupakan selera

yang diakui bersama baik masyarakat pencari keadilan maupun sistem hukum itu sendiri guna

keadilan substansial.

Pemikiran tersebut di atas, ini selaras dengan pemaparan Satjipto Rahardjo dalam

hukum progresif yang menolak pandangan bahwa hukum merupakan institusi yang otonom,

secluded, isolated dan isoteric. Dikemukakan Satjipto pula :

Hukum menciptakan suatu dunia baru di luar dunia realitas garapan ilmu kealaman.

Maka sebuah dunia artifisial berjalan berdampingan dengan dunia realitas. Perjalanan

Page 13: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

13

keduanya saling bersilangan. Apa yang dikerjakan oleh hukum itu menusuk dan mengiris

ke dalam daging realitas, baik sosial, organisme maupun kehidupan lingkungan.19

Berdasar kajian teoretik di atas, jelaslah tekanan sosial dari masyarakat pencari keadilan

merupakan sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi kewibawaan hukum modern

itu sendiri. Untuk itu tujuan keadilan substansial harus menjadi panduan, dan bukannya keadilan

prosedural. Tujuan ini, menjadi pedoman untuk mengurangi kekakuan, secretif, oportunisme,

positivistik dan mekanistik birokrasi ataupun sistem hukum yang ada, di samping juga

mengurangi resiko terjadinya kegagalan dalam penegakan hukum yang terarah pada nilai-nilai

keadilan. Inilah juga maksud dari paradigma kerakyatan dalam berhukum.

Penutup

Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses–proses sosial pengaturan atau

pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan,

kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman

manusia.

Perlunya suatu pendobrakan terhadap pembelajaran hukum yang selama ini lebih

berorientasikan kepada paradigma liberal positivistik dalam hukum modern, sehingga hanya

mengandalkan rasio /nalar sebagai pembenar. Dimensi di luar rasionalitas yang mengembangkan

kecerdasan di luar kecerdasan rasionalitas merupakan suatu angin segar yang akan membawa

peru bahan pada cara berhukum untuk lebih mendekatkan hukum pada habitusnya yakni rakyat

demi keadilan substansial dengan hukum yang berparadigma kerakyatan.

Peraturan dan prosedur rasional birokratis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras

dengan watak manusia, dan bisa mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum. Untuk

membangun hukum yang mampu menjawab kenyataan sosial adalah hukum yang mampu belajar

19

Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing, Malang,

2008, hal.17.

Page 14: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

14

dari kenyataan sosial itu, melalui cara pandang paradigma keraktaran yang bertolak bahwa

habitus hukum adalah rakyat, dengan tetap bertujuan pada keadilan substansial.

DAFTAR PUSTAKA

Bedner, Adriaan , Vel, Rolax, Jacqueline, An analytical Frame work for Empirical Research

on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made

Training Program : Training on Socio Legal Studies in Promoting and

Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and

Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland.

Bibas, Stephanos, 2006, Transparency and Participation In Criminal Procedural,: University

Law reviews, New York Vol.86.

D.Agostino, Fred, Free Public Reason, Making it up as we go, New York :Oxford University

Press, New York, 1996.

Magnis Suseno, Frans, :Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991..

M.Blau Peter and.Meyer, Marshall W, terj.Gary R.Jusuf, ,Birokrasi dalam Masyarakat

Modern, Jakarta: UI Press,Jakarta, 1987.

Nonet, Philippe dan Selznick , Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and

Row, London, 1978.

Peters, AAG; Siswosoebroto, Koesriani., Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.

. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

--------------------, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing,

Malang, 2008.

Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in

The Paradigmatic Transition, London : Routledge.,London, 1995.

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa

B.Arief Sidharta, Bandung : Alumni, Bandung, 2005.

Page 15: REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM …

15

Sidharta, B.Arief; 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum

Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008.

Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum

Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa media, Bandung, 2007.