Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

16
“REFLEKSI SATU TAHUN UU PKDRT NO.23/2004” LAHIRNYA UU PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (PKDRT): “SEBUAH BENTUK TEROBOSAN DALAM SISTIM HUKUM NASIONAL SERTA TANTANGAN IMPLEMENTASINYA” Oleh: Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt, anggota Jangka PKTP) Pengantar: Perjalanan panjang menuju UU PKDRT Melalui RUU Penghapusan KDRT (PKDRT) yang mudah-mudahan dapat disetujui pada sidang Paripurna yang mulia ini, bangsa Indonesia berarti telah memasuki fase baru dalam upaya memerangi segala bentuk kekerasan yang merupakan amanah Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.RUU PKDRT merupakan pintu masuk bagi siapa saja untuk membantu para korban baik berupa bantuan fisik, psikis maupun dalam bentuk hukum. Kadang memang, muncul kekhawatiran pada sebagian masyarakat kita bahwa bereaksinya masyarakat luar untuk ikut berempati bahkan bertindak akan dengan mudah meretakkan rumah tangga. Tetapi janganlah dengan kekhawatiran demikian lalu kita terus membiarkan seribu, seratus, bahkan sepuluh atau bahkan satu anak bangsa yang menderita sepanjang masa tanpa mendapatkan bantuan dari orang lain apalagi negara. Karenanya….persoalan kekerasan tidak boleh dilihat hanya dari segi kemanusiaannya saja tetapi lebih dari itu kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang dapat menghancurkan generasi yang akan datang. Karena Rumah Tangga adalah basis pembinaan anak bangsa, maka segala bentuk kekerasan harus dihentikan.” (Drs. Jacobus KM dalam Pendapat Akhir FPDIP) Demikian pendapat salah satu fraksi terbesar di DPR sebelum palu sidang paripurna DPR selasa sore itu, tepatnya tanggal 14 September, diketok sebagai tanda disahkannya UU tentang Penghapusan KDRT. Hampir seluruh fraksi yang ada menyetujui pengesahan UU tersebut tanpa catatan. Hanya satu fraksi saja, yakni Fraksi Reformasi yang menyetujui dengan Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta 1

Transcript of Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Page 1: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

“REFLEKSI SATU TAHUN UU PKDRT NO.23/2004”

LAHIRNYAUU PENGHAPUSAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA (PKDRT):“SEBUAH BENTUK TEROBOSAN DALAM SISTIM HUKUM NASIONAL

SERTA TANTANGAN IMPLEMENTASINYA”

Oleh: Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt, anggota Jangka PKTP)

Pengantar: Perjalanan panjang menuju UU PKDRT

“Melalui RUU Penghapusan KDRT (PKDRT) yang mudah-mudahan dapat disetujui pada sidang Paripurna yang mulia ini, bangsa Indonesia berarti telah memasuki fase baru dalam upaya memerangi segala bentuk kekerasan yang merupakan amanah Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.RUU PKDRT merupakan pintu masuk bagi siapa saja untuk membantu para korban baik berupa bantuan fisik, psikis maupun dalam bentuk hukum. Kadang memang, muncul kekhawatiran pada sebagian masyarakat kita bahwa bereaksinya masyarakat luar untuk ikut berempati bahkan bertindak akan dengan mudah meretakkan rumah tangga. Tetapi janganlah dengan kekhawatiran demikian lalu kita terus membiarkan seribu, seratus, bahkan sepuluh atau bahkan satu anak bangsa yang menderita sepanjang masa tanpa mendapatkan bantuan dari orang lain apalagi negara. Karenanya….persoalan kekerasan tidak boleh dilihat hanya dari segi kemanusiaannya saja tetapi lebih dari itu kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang dapat menghancurkan generasi yang akan datang. Karena Rumah Tangga adalah basis pembinaan anak bangsa, maka segala bentuk kekerasan harus dihentikan.” (Drs. Jacobus KM dalam Pendapat Akhir FPDIP)

Demikian pendapat salah satu fraksi terbesar di DPR sebelum palu sidang paripurna DPR selasa sore itu, tepatnya tanggal 14 September, diketok sebagai tanda disahkannya UU tentang Penghapusan KDRT. Hampir seluruh fraksi yang ada menyetujui pengesahan UU tersebut tanpa catatan. Hanya satu fraksi saja, yakni Fraksi Reformasi yang menyetujui dengan mengajukan beberapa catatan, antara lain, “Dalam penetapan sanksi atas perkara marital rape dalam RUU ini tetap memberi kesempatan kepada suami istri bersangkutan untuk tetap dapat melanjutkan pembinaan keluarga (rumah tangga) Sakinah, Mawaddah dan Rahmah.”(Pendapat Akhir Fraksi Reformasi yang dibacakan oleh Dra. Hj. Nurdiati Akma) .

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

1

Page 2: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Disahkannya UU Penghapusan KDRT merupakan momen sejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kelompok perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penegakan HAM dan Demokrasi. Sejak draft awal disosialisasikan, yakni tahun 1998 hingga 2004, banyak pihak dari berbagai wilayah di Indonesia yang terlibat dalam proses kelahiran UU ini.

UU ini merupakan inisiatif dari kelompok perempuan yang dalam pekerjaannya bersentuhan langsung dengan para korban KDRT. Dipelopori oleh sejumlah LSM/Ormas Perempuan yang tergabung dalam Jangkar (1998-1999), terdiri dari LBH-APIK Jakarta (sebagai penggagas dan pembuat draft awal sejak tahun 1997), Rifka An-Nisa, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Fatayat dan Muslimat NU, Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta dan Derapwarapsari. Selanjutnya ketika melebur menjadi Jangka PKTP (Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) (2000-2004), anggota jaringan semakin bertambah menjadi 92 LSM/Ormas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari wilayah Sumatra hingga NTT. Selain LSM/Ormas Perempuan, lembaga-lembaga profesional seperti lembaga advokat juga turut terlibat dalam mengadvokasikan UU PKDRT ini.

Gagasan mengenai pentingnya sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan yang terjadi di ranah domestik, rumah tangga atau pun keluarga. Para korban ini tidak saja mengalami kekerasan dalam bentuk fisik tetapi juga bentuk-bentuk lain seperti psikis, seksual maupun ekonomi. Sementara itu, sistem hukum dan sosial yang ada tidak memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup bagi korban. Rumusan-rumusan dalam aturan perundang-undangan yang ada masih bersifat diskriminatif dan tidak efektif dalam memberikan akses hukum dan keadilan bagi korban.

Satu contoh saja, KUHP kita tidak mengenal bentuk kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap istrinya. Di dalam pasal 285 misalnya, disebutkan bahwa “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Selain mendiskualifikasi istri sebagai korban perkosaan, rumusan itu

juga tidak mengakui bentuk-bentuk kekerasan di luar persetubuhan1, seperti melalui oral, menggunakan alat ataupun bagian-bagian tubuh tertentu di luar alat kelamin laki-laki (penis) seperti dengan jari-jari

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

2

Page 3: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

tangan atau yang ditujukan ke bagian-bagian tubuh tertentu korban di luar alat kelamin perempuan (vagina).

Diskualifikasi bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan di luar penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan juga terlihat dalam rumusan pasal 285. Bentuk-bentuk kekerasan seringkali didefinisikan

secara sempit (semata-mata fisik)2. Padahal dalam realitasnya kekerasan juga dilakukan dengan cara-cara psikis atau menggunakan tekanan tertentu, dengan otoritas, bujuk rayu atau diiming-imingi sesuatu seperti permen, uang dan lain-lain semacamnya (biasanya korbannya anak-anak).

Sejauh ini hukum yang ada juga belum mengatur apa yang disebut sebagai kekerasan domestik/KDRT. Meski Pasal 356 KUHP memberikan pemberatan 1/3 bagi pelaku penganiayaan (fisik) terhadap istrinya, orang tuanya dan anaknya, namun selain hanya mengatur bentuk kekerasan fisik, pemberatan hukuman juga tidak bisa benar-benar diterapkan karena sistem sosial budaya yang menganggap masalah kekerasan sebagai masalah ‘privat’. Banyak kasus-kasus KDRT yang hanya sampai pada tingkat kepolisian atau di proses secara perdata yakni perceraian. Barulah sejak tahun 2000an setelah Ruang Pelayanan Khusus (RPK) didirikan, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT mulai diperhatikan dan ditangani cukup serius.

Keterbatasan lainnya adalah dalam soal pembuktian. Prinsip ‘satu saksi bukan saksi’ serta rumusan yang membatasi pada bukti-bukti fisik saja, pada akhirnya menyulitkan kasus-kasus kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya untuk diproses secara hukum.

Beberapa hal krusial dalam RUU Anti KDRT awal yang digagas oleh kelompok perempuan adalah:

Bahwa UU KDRT ditujukan tidak hanya untuk melindungi korban tetapi juga untuk melakukan pencegahan dan koreksi di masyarakat dalam rangka penghapusan segala bentuk kekerasan khususnya KDRT.

Ruang lingkup KDRT pada dasarnya adalah konsep Domestic Violence, yakni kekerasan yang terjadi dalam suatu relasi domestik/interpersonal (mereka yang intim secara seksual atau sosial) yang seringkali digunakan oleh seseorang untuk mengontrol pihak-pihak yang berada pada posisi subordinat (berada dalam posisi atau kedudukan tidak setara atau berada di bawah kekuasaan pihak lainnya). Oleh karena itu, istilah “rumah tangga” dalam RUU

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

3

Page 4: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

memiliki arti yang lebih luas. Tidak hanya anggota Rumah Tangga dalam konteks keluarga tetapi juga meliputi relasi-relasi domestik lain seperti majikan dengan pekerja rumah tangganya (PRT), relasi dalam pacaran/pertunangan serta bentuk-bentuk relasi intim serta sosial lainnya seperti hubungan keluarga karena perkawinan, agama dan adat, juga relasi mantan pasangan/mantan suami istri.

Bentuk-bentuk KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, ekonomi dan seksual, termasuk kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi perkawinan, dengan cakupan bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang ‘wajar’ maupun yang tidak wajar.

Adanya pengaturan tentang kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi korban dan mencegah berlangsungnya KDRT.

Penegasan bahwa kewajiban negara dalam penghapusan KDRT mensyaratkan terobosan-terobosan hukum yang baru, tidak saja secara materil tetapi juga dalam hukum acaranya, terutama tentang peran penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Contoh: mekanisme Perintah Perlindungan oleh hakim, mekanisme pelaporan dan lain-lain.

Kepastian mengenai hak-hak korban.

Prioritas pembuktian dalam perkara KDRT didasarkan pada kesaksian korban yang dilengkapi dengan satu alat bukti lain.

Pengakuan mengenai tanggungjawab negara untuk memberikan Kompensasi bagi korban (dalam konteks kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan sosial warga).

Cakupan jenis sanksi bagi pelaku termasuk sanksi alternatif di luar pidana badan dan denda, dengan dasar pendekatan reintegrasi sosial dan bukannya penghukuman.

Adanya hukuman minimal.

Melalui UU ini, setidaknya kelompok perempuan telah memperkenalkan dan mengedepankan gagasan mengenai “ the personal is political”, yang sejak awal melandasi munculnya UU KDRT tersebut, dan mendekonstruksi dikotomi publik-privat dengan menegaskan bahwa isu KDRT adalah isu publik.

Proses dan Langkah-langkah Advokasi Yang Dilakukan

Dalam proses advokasi RUU Anti KDRT, setelah draft awal dibuat, —mulai tahun 1998 hingga 2002—, konsultasi publik terus dilakukan ke berbagai wilayah di Indonesia (27 wilayah, seperti: Medan, Padang, Riau, Palembang, Jogjakarta, Surabaya, Manado, Pontianak, Mataram,

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

4

Page 5: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Makassar, Samarinda dan Kupang). Tahun 2002 RUU diajukan ke Komisi VII DPR dan sempat di RDPU kan dan diseminarkan di DPR. Puncaknya pada bulan Mei 2003, melalui Sidang Paripurna di DPR, RUU Anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi RUU Inisiatif DPR. Proses lobby-lobby dengan anggota DPR semakin intensif sejak saat itu, setelah sebelumnya lobby dengan pimpinan Komisi VII juga dilakukan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan beberapa semiloka di daerah-daerah.

Meski sudah menjadi RUU inisiatif Dewan, tidak lantas RUU tersebut segera dibahas karena Ampres (amanat presiden) belum turun. Lobby-lobby terus dilakukan ke pihak pemerintah melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan, yang selama ini sudah banyak dilibatkan dalam advokasi RUU. Namun, ternyata pihak pemerintah yang sebenarnya sudah berkomitmen melaui RAN PKTP untuk segera menggolkan UU KDRT justru menjadi pihak yang menghambat proses pembahasan.

Persis setahun setelah dijadikannya RUU Insiatif dewan, pada bulan Mei 2004, kelompok perempuan yang tergabung dalam Jangka PKTP menggelar aksi 1000 payung dan mengerahkan sekitar 700an massa, —kebanyakan perempuan—, yang berjalan dari Bundaran HI ke depan Istana Presiden untuk mendesak pemerintah segera mengeluarkan Ampres. Aksi ini juga diikuti dengan aksi-aksi dengan tujuan serupa di beberapa daerah seperti Mataram, Menado dan Jogjakarta. Buntut dari aksi tersebut, lahirlah Ampres yang menunjuk Kementrian Pemberdayaan Perempuan sebagai leading sectornya.

Sejauhmana UU yang disahkan tersebut mengakomodir draft awal RUU inisiatif kelompok perempuan (RUU Anti KDRT)?

Pembahasan RUU KDRT di DPR (pansus Komisi VIV) yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004 berlangsung cepat (tidak sampai 1 bulan) namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa anggota Dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/jenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Yang sangat mengecewakan, pihak pemerintah dengan versi sandingannya, bisa dikatakan hampir memangkas semua hal-hal krusial yang menjadi ‘roh’ dari RUU tersebut. Alasannya, semua usulan baru tersebut pada dasarnya ‘sudah diatur dalam KUHP/KUHAP’.

Beberapa catatan dari RUU versi pemerintah, yang tidak responsif, antara lain:

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

5

Page 6: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

1. Judul dan keseluruhan pengaturan UU, terbatas hanya mengatur soal perlindungan terhadap korban. Judul RUU sandingan Pemerintah adalah RUU Perlindungan Korban KDRT.

2. Tidak mengakui dua bentuk kekerasan: kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup perkawinan (diskualifikasi terhadap marital rape dan inses).

3. Mengembalikan hampir semua terobosan hukum acara pada KUHAP, seperti ‘satu saksi korban adalah saksi’.

4. Tidak menerima ketentuan tentang kompensasi dan sanksi alternatif.

Upaya lobby ke pemerintah agar memperbaiki draftnya, terus dilakukan dengan memanfaatkan forum pertemuan (Posko informasi) yang diselenggarakan di rumah ibu mentri sejak pembahasan di DPR berlangsung. Forum ini dalam perjalanannya lumayan efektif menjembatani perbedaan pendapat antara kelompok perempuan dengan pemerintah (meneg PP).

Proses pembahasan di DPR

Pada awal proses pembahasan RUU KDRT di sidang Pleno banyak terjadi hal-hal yang mengecewakan. Antara lain tertundanya pembahasan beberapa pasal sehingga akhirnya dilempar ke Panja. Kemudian dominasi Depkeh-Ham yang sering melontarkan argumentasi yang cendrung legalistik dan ‘KUHP/KUHAP minded’ dan kurang memahami RUU yang justru sebagai upaya terobosan hukum (KUHP/KUHAP). Sementara dari anggota Dewan hanya beberapa orang saja yang benar-benar mengerti isi RUU yang menjadi inisiatifnya sendiri. Sehingga beberapa pasal krusial hilang dari substansi RUU.

Melihat kondisi ini, kelompok perempuan yang tergabung dalam Jangka PKTP segera melakukan antisipasi dengan terus menerus memantau perkembangan pembahasan dalam setiap sidang. Bukan itu saja, Jangka PKTP juga terus mensuplai bahan-bahan ke setiap anggota dewan, menggelar Konperensi pers dan mendatangi pimpinan-pimpinan fraksi. Anggota dewan di Komisi VII juga terus di ‘tempel’ di setiap kesempatan, diajak diskusi dan diberikan bahan-bahan lobi seperti argumentasi dari pasal-pasal krusial, data-data KDRT dari beberapa LSM pendamping, pentingnya RUU KDRT, dll.

Kesulitan terjadi ketika pembahasan panja dilakukan di ruang hotel yang dilokalisir dalam ruang tertutup. Walhasil anggota tim lobby harus menunggu kesempatan saat anggota dewan keluar ruangan, misalnya ke toilet. Namun karena pembahasan dikebut hingga malam

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

6

Page 7: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

hari selama kurang lebih 3 hari berturut-turut, membuat energi kelompok perempuan benar-benar terforsir ditambah lagi anggota dewan juga semakin ‘sensitif’ dan tidak lagi bersahabat. Puncaknya, pada sidang Pleno terakhir, ternyata upaya-upaya beberapa pihak untuk menggagalkan substansi-substansi krusial tetap dilakukan. Terutama dari beberapa anggota fraksi reformasi dan bulan bintang. Surat tertulis dari MUI juga beredar dalam pembahasan detik-detik terakhir yang isinya menolak ‘marital rape’ masuk dalam RUU dan menekankan pengakuan terdakwa sebagai syarat dari pembuktian. Sementara dari ‘fraksi balkon’, perang ‘sms’ terus berlangsung untuk meminta anggota DPR agar mempertahankan RUU versi DPR yang dianggap lebih akomodatif.

Sebelum sidang pleno terakhir yang menentukan disahkannya RUU di tingkat komisi, Jangka PKTP juga sempat menggelar konferensi pers di DPR, dengan melibatkan DR. Surya Chandra (Ketua Komisi VII). Dalam konferensi pers tersebut, Surya Chandra memaparkan RUU versi terakhir yang bakal disidangkan. Dari situ, teridentifikasi beberapa substansi yang belum dimasukkan, untuk itu kelompok perempuan meminta DPR agar membawa pembahasan substansi tersebut ke sidang Pleno. Dalam Sidang Pleno babak terakhir, usulan-usulan terus disampaikan melalui SMS ke beberapa anggota DPR yang vokal dan strategis mempengaruhi forum, sehingga pada akhir sidang, beberapa usulan dalam draft yang dianggap kontroversial seperti pasal ‘kekerasan seksual’ dalam rumah tangga khususnya dalam relasi perkawinan dapat lolos dan disepakati. Detik-detik terakhir pembahasan begitu menegangkan bagi kelompok perempuan yang memantau jalannya proses.

Namun, pada akhirnya Sidang Pleno berhasil mencapai kesepakatan antara 3 kelompok yang ‘menentukan’ saat itu (pemerintah, DPR dan ‘fraksi balkon’ (kel.perempuan). Tak urung salah satu anggota DPR bolak-balik ke fraksi balkon untuk menyiasati proses pembahasan substansi yang berlangsung di bawah. Selesai sidang Pansus (Pleno) kemudian RUU tersebut segera dibawa ke Sidang Paripurna yang melibatkan lebih banyak anggota DPR. Nasib draft RUU selanjutnya ditentukan dalam sidang paripurna melalui Pandangan Umum dari Fraksi-Fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan RUU menjadi UU. Saat itu merupakan moment yang menentukan apakah bangsa ini akan berjalan maju kedepan untuk peradaban yang lebih baik atau justru stagnan dan bahkan mundur banyak selangkah dengan membiarkan kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut tanpa upaya yang berarti.

Terobosan Hukum dan Hal Penting dalam UU PKDRT

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

7

Page 8: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Setelah 8 tahun menunggu, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang diusulkan oleh kelompok perempuan akhirnya berhasil disahkan. Setelah pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU Anti KDRT ini kemudian ditandatangani Presiden Megawati pada tanggal 22 September dan sah menjadi UU No. 23 Tahun 2004.

Hampir 85 persen dari isi UU tersebut (liat 10 poin diatas) mengakomodir usulan-usulan yang diadvokasikan. Beberapa yang gagal diakomodir adalah 1) konsep kekerasan domestik dengan ruang lingkup lebih luas, yang memasukkan berbagai bentuk relasi domesti seperti relasi mantan suami istri atau pasangan serta ‘dating violence’ (kekerasan masa pacaran/pertunanagan); 2) hukuman minimal; 3) sanksi alternatif seperti kerja sosial; serta 4) kompensasi dan restitusi bagi korban.

Berikut ini beberapa terobosan penting UU ini terhadap sistem hukum dan sosial, yakni:1. Judul: UU Penghapusan KDRT, mencakup segala upaya dalam

penghapuskan KDRT, artinya tidak hanya perlindungan tapi juga pencegahannya.

2. Menjadikan KDRT ( kekerasan dalam rumah tangga) sebagai istilah baru di dalam sistem hukum; KDRT diakui sebagai kejahatan yang harus dihukum.

3. Memperluas ruang lingkup Rumah Tangga, tidak terbatas pada keluarga inti (suami, istri, anak)

4. Diakuinya bentuk-bentuk KDRT selain kekerasan fisik.

5. Penegasan bahwa Marital Rape adalah Kejahatan yang Harus Dihukum

6. Memperluas Bentuk Kekerasan Seksual termasuk Pemaksaan

Hubungan Seksual secara Tidak Wajar

7. Aturan mengenai Mekanisme Perintah Perlindungan dari Pengadilan, yang antara lain dapat memberikan Pembatasan Gerak Pelaku mendekati Korban

8. Prioritas Pembuktian pada Saksi Korban

9. Diaturnya hak-hak korban.

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

8

Page 9: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

10. Adanya terobosan mengenai Peran-peran dari Polisi, Advokat, Pekerja Sosial, Tenaga Kesehatan dan Relawan Pendamping terhadap Korban

11. Penegasan tentang adanya kewajiban masyarakat dan Pemerintah untuk mencegah berlangsungnya KDRT dan memberikan perlindungan pada korban

Demikianlah, meski masih terdapat beberapa beberapa kelemahan dalam substansi maupun proses advokasi, namun setidaknya beberapa hal-hal penting yang selama ini diupayakan menjadi terobosan hukum berhasil diperoleh melalui UU PKDRT. Ini merupakan kontribusi yang sangat berarti bagi masyarakat Indoensia, khususnya masyarakat korban. UU ini lahir karena mereka dan selayaknyalah didedikasikan untuk mereka, para korban KDRT, khususnya perempuan dan anak-anak. TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI UU PKDRT

Saat ini genap satu tahun usia UU PKDRT sejak disahkannya pada 14 September 2004. Sebagai UU baru, tantangan yang paling utama adalah bagaimana UU ini dapat disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat serta dapat diimplementasikan dengan baik bagi pihak-pihak yang berkepentingan (para korban khususnya) serta aparat terkait yang memiliki kewajiban menegakkan hukum. Demikian pula masyarakat serta pemerintah yang masing-masing mempunyai kewajiban dan peranan sebagaimana yang diatur dalam UU ini.

Berikut ini beberapa tantangan dan hal penting dalam upaya mendorong implementasi UU PKDRT, sbb:

1. Sosialisasi UU PKDRT di masyarakat

Setelah disahkan pada September 2004, berbagai kelompok masyarakat telah melakukan kegiatan untuk mensosialisasikan UU PKDRT di banyak tempat/wilayah/daerah. Kelompok tersebut tidak hanya berasal dari kalangan NGO atau pemerintah saja, tetapi juga melibatkan ormas perempuan, ormas keagamaan, serikat pekerja, aparat hukum, organisasi profesi, RT/RW hingga yang diinisiasi oleh kelompok survivor. Kegiatan sosialisasi harus terus menerus dilakukan hingga menjangkau ke pelosok-pelosok negeri ini, dengan cara yang lebih gencar (efektif) bahkan jika perlu ‘door to door’ sehingga setiap orang/keluarga mengetahui informasi dalam UU tsb. Strategi sosialisasi perlu ditingkatkan seperti memanfaatkan berbagai institusi yang ada, mulai media, agama, perkawinan (KUA dan catatan sipil), pendidikan (kurikulum sekolah/universitas), instansi penegak hukum, dst.

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

9

Page 10: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

2. Menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus: mendorong aparat menerapkan pasal-pasal /ketentuan yang ada

Meski belum banyak putusan yang dihasilkan sejauh ini dengan menerapkan UU PKDRT, namun, dalam beberapa kasus aparat telah meresponnya dengan menggunakan pasal-pasal UU PKDRT. Meski demikian masih banyak kasus yang ditemukan dimana aparat masih ragu-ragu dan bahkan bersikap pasif dengan alasan masih menunggu PP nya. Oleh sebab itu, penting bagi pendamping korban untuk terus memasukkan/menggunakan UU PKDRT dalam setiap proses yang dilakukan. Karena dengan cara ini selain mendorong implementasi di tingkat aparat, juga sekaligus menguji keberadaan UU itu sendiri apakah bisa efektif dalam prakteknya.

3. Terobosan hukum dalam UU PKDRT mensyaratkan kesiapan dari banyak pihak/lembaga

Tentu saja setiap terobosan yang dilakukan membutuhkan dukungan kelembagaan atau sarana penting yang harus secepatnya disediakan. Seperti:

a. Terobosan dalam delik maupun pembuktian , seperti: pembuktian untuk kekerasan psikis maupun dampak psikis dari kekerasan yang terjadi, selain mensyaratkan adanya visum et psikiatrikum juga keterangan dari ahlinya yang diperlukan untuk persidangan. Karenanya diperlukan lembaga-lembaga/individu-individu profesional (psikolog, psikiater) yang cukup tersedia untuk memberikan layanan bagi kepentingan korban. Perlu ada kerjasama dengan lembaga seperti universitas, organisasi professional, lembaga-lembaga layanan psikolog yang sudah ada.

b. Terobosan dalam ketentuan penyedia layanan: pendamping, pekerja sosial, advokat, rohaniawan, dst. Hal ini mensyaratkan: adanya ketersediaan para kelompok penyedia layanan tersebut bagi korban kuantitas dan kualitas), standar yang digunakan, juga koordinasi antar kelompok tersebut. Khususnya dengan diperkenalkannya profesi baru dalam sistem hukum, yakni: ‘pendamping’, maka lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan saat ini sudah lebih diakui keberadaannya secara resmi dalam UU. Namun, sayangnya jumlah mereka saat ini masih terbatas sementara kasus-kasus KDRT terus bertambah.

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

10

Page 11: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

4. Impelementasi UU PKDRT perlu didukung dengan perubahan dalam kebijakan-kebijakan yang terkait dan perubahan dalam aspek lainnya

Meski saat ini kita sudah memiliki satu instrumen hukum yang memberikan perlindungan bagi korban sekaligus mengoreksi budaya di masyarakat , namun, lahirnya UU Penghapusan KDRT harus segera diikuti dengan perubahan kebijakan di bidang-bidang lainnya. Seperti UU perkawinan, karena dalam KDRT akar masalahnya justru terletak pada idealisasi dan gagasan mengenai perkawinan yang keliru di masyarakat yang tercermin dalam pasal-pasal yang termaktub dalam aturan perkawinan di Indonesia. Contoh: aturan poligami yang diskriminatif (pasal 3-4), aturan pembakuan peran yang bias gender (pasal 31 dan 34), aturan soal nafkah yang tidak memadai, aturan soal anak yang belum disesuaikan dengan UU perlindungan anak, dsb. Begitupun untuk perkawinan campur, perlu adanya revisi UU Kewarganegaraan, sehingga perempuan dan anak dalam perkawinan campur juga terlindungi hak-haknya. Intinya, pelaksanaan UU PKDRT tidak bisa benar-benar efektif di masyarakat, bila dalam aspek-aspek yang lain kebijakan yang berlaku masih diskriminatif terhadap perempuan.

Sementara itu, upaya mengimplementasikan UU PKDRT juga disisi lain harus diiringi dengan upaya-upaya lainnya seperti: sosialisasi ajaran agama yang lebih adil dan setara jender; pembuatan kurikulum pendidikan di setiap level yang mengikis bias-bias gender, stereotype dan stigma-stigma sosial yang mendikotomikan seksualitas perempuan serta mengupayakan tegaknya nilai-nilai demokratisasi sejak dalam keluarga. Dengan begitu penghormatan terhadap hak-hak asasi perempuan bisa tumbuh dan tegak di bumi Indonesia ini. Penghapusan kekerasan dan segala bentuk ketidakadilan merupakan prasyarat mutlak yang harus segera diwujudkan.

5. Pentingnya Berjejaring

Dalam melakukan advokasi kebijakan, dukungan aliansi atau jaringan menjadi hal yang paling penting. Oleh sebab itu komitmen berjejaring untuk melaksanakan kerja-kerja advokasi perlu terus dipelihara dan ditingkatkan. Setelah UU PKDRT lahir, tentunya tantangan terberat dalam jaringan advokasi KDRT ini adalah memastikan UU tersebut benar-benar ditegakkan serta adanya akses keadilan bagi korban KDRT.

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

11

Page 12: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Advoksi kebijakan tidaklah berhenti pada saat sebuah UU yang diinisiasi berhasil disahkan, tetapi hal yang paling penting dalam advokasi justru terletak pada bagaimana mengupayakan agar UU tersebut mencapai tujuannya, sebagai suatu terobosan/koreksi dalam sistem hukum dan sosial di masyarakat yang sejak awal hendak diubah (tujuan advokasi). Karena itu kegiatan-kegiatan terkait dengan implementasi UU seperti membuat PP, Perda, Juklak, Juknis, serta kegiatan monitoring dan evaluasi tetap menjadi agenda kerja bagi jaringan advokasi tersebut.

Penutup

Refleksi satu tahun UU PKDRT membawa kita pada kenyataan masih banyak tantangan dan kendala dalam mengimplementasikan UU ini. Meski tidak dipungkiri ada juga kemajuan yang telah dilakukan seperti yang ditunjukkan dalam respon masyarakat terhadap UU ini melalui berbagai kegiatan sosialisasi yang mereka lakukan, juga respon aparat yang mulai menggunakan UU PKDRT dalam beberapa kasus KDRT.

Komitmen untuk tetap memelihara semangat berjaringan merupakan elemen yang juga penting dalam sebuah upaya advokasi. Mengingat kegiatan advokasi tidak berhenti saat sebuah kebijakan berhasil diadakan. Tantangan terberat justru baru dimulai, yakni menggunakan UU tersebut sebagai alat perubahan masyarakat dari yang didominasi nilai-nilai patriarki, kekerasan kepada keadilan gender, anti kekerasan dan keberpihakan/ sensitivitas terhadap korban.

Ke depan apa yang menjadi cita-cita bangsa ini untuk menjadi bangsa yang maju dan beradab, bangsa yang bisa menghargai dan menghormati kaum perempuannya, bangsa yang mau belajar dari kesalahan-kesalahan serta kelemahan-kelemahnnya, sebuah bangsa yang tidak pernah kembali mentolerir apapun bentuk kekerasan di bumi ini, bangsa yang sungguh beradab!, benar-benar menjadi kenyataan. Bukan hanya sekedar angan-angan.

(Footnotes):1 Dalam penjelasan KUHP oleh R. Soesilo disebutkan bahwa ‘yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. 2 Dalam pasal 89 KUHP, ‘yang disamakan melakukan kekerasan itu , membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

12

Page 13: Refleksi Satu Tahun UU PKDRT

Dalam penjelasan KUHP oleh R. Soesilo, ‘melakukan kekerasan’ artinya: mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dsb. Yang disamakan dengan “melakukan kekerasan” menurut pasal ini ialah: membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. “Pingsan” artinya: tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. “Tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.

Paper disusun oleh Ratna Batara Munti (LBH-APIK Jkt) untuk disampaikan dalam Semiloka Jangka PKTP “Refleksi Satu Tahun UU PKDRT: Komitmen Berjaring dalam Advokasi Kebijakan”, tanggal 29-30 November 2005 di Hotel Paragon, Jakarta

13