Refleksi Kasus DM Doddy

48
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina dan merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets). Peradangan ini terjadi pada semua umur, terutama pada anak. 1,2 Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus dan virus Herpes Simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri Streptococcus beta hemolitik grup A, 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan merupakan penyebab radang tenggorokan. 3 Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang berpotensi membentuk formasi batu tonsil. 4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. 5 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia 1

description

wooow

Transcript of Refleksi Kasus DM Doddy

Page 1: Refleksi Kasus DM Doddy

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina dan merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga

mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila

pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan

pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi

melalui udara (air borne droplets). Peradangan ini terjadi pada semua umur, terutama pada

anak.1,2

Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri

streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus dan virus Herpes

Simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri Streptococcus beta

hemolitik grup A, 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan merupakan penyebab

radang tenggorokan.3 Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang

berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri

tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik.5

Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan

ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil.

Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi

berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini

mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam

berulang, odinofagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,

beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan

pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1

Di Amerika Serikat, antara 2,5% hingga 10,9% dari anak-anak dapat didefinisikan

sebagai carier. Prevalensi rata-rata carier dari anak sekolah yang menderita tonsillitis yang

disebabkan Streptococcus adalah 15,9% dalam satu penelitian. Pada anak sekolah usia 5 -18 di

1

Page 2: Refleksi Kasus DM Doddy

Amerika Serikat Streptococcus beta hemoliticus group A didapatkan sebanyak 20-40%.2

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) ada tahun 1994-1996,

prevalensi tonsillitis kronik setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden

tonsillitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang yang dilaporkan oleh Aritmoyo (1978) sebanyak

23,36 % dan 47% di antaranya pada usia 6 – 15 tahun. Sedangkan Udaya (1999) di RSUP Hasan

Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 menemukan 1024 pasien tonsillitis

kronik atau 6,75% dari seluruh kunjungan.7

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan refleksi kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis

tentang penegakkan diagnosis tonsillitis kronis dan penatalaksanaannya untuk dibandingkan

antara temuan yang didapat pada kasus dengan teori yang ada..

2

Page 3: Refleksi Kasus DM Doddy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tonsil

Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah

epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.8 Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang

ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsul jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.1,8

Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :

Tonsila lingualis yang terletak pada radix linguae.

Tonsila palatina (tonsil) yang terletak pada isthmus faucium antara arkus glossopalatinus

dan arkus glossofaringeus.

Tonsila faringica (adenoid) yang terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.

Tonsilla tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba

auditiva.

Plaques dari Peyer (tonsil perut) yang terletak pada ileum.8

Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatina, tonsila faringica dan

tonsila tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu saluran nafas dan saluran

pencernaan. Cincin ini dikenal dengan cincin Waldeyer.1,8,9

Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.

Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,

adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa

pubertas.9,10

Jaringan limfoid pada cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan yaitu

sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan,

minum, bernafas) dan sebagai surveilans imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di

daerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya di samping itu bentuknya

tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengandemikian

kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan

penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.8

2.2. Embriologi Tonsil

3

Page 4: Refleksi Kasus DM Doddy

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding

faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal

kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan

membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3

hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di

dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat

limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,

dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.11

2.3. Anatomi Tonsil

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian

terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil

lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa

Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.11

Gambar 2.1. Anatomi Tonsil

2.4.1 Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil

pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior

(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

4

Page 5: Refleksi Kasus DM Doddy

seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil

terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh :

1. Lateral : m. konstriktor faring superior.

2. Anterior : m. palatoglosus.

3. Posterior : m. palatofaringeus.

4. Superior : palatum mole.

5. Inferior : tonsil lingual.11

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel

germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).11

2.4.1.1 Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah

otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar

anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan

berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum

mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral

esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar

anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan

masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.11

2.4.1.2 Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat yang disebut

kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi

menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.11

2.4.1.3 Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis

yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat

menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering

terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.11

2.4.1.4 Vaskularisasi Tonsil

5

Page 6: Refleksi Kasus DM Doddy

Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. karotis eksterna, yaitu

1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina ascendens.

2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desendens.

3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.

4) A. faringeal ascendens.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian

posterior oleh A. palatina ascendens, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.

tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden.

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran

balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.11

2.4.1.5 Aliran Getah Bening Tonsil

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal

profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus, selanjutnya

ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh

getah bening eferan, sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.11

2.4.1.6 Persarafan Tonsil

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion

sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.11

2.4.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang

sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu

segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan

adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7

tahun kemudian akan mengalami regresi.11

2.5. Fisiologi dan Imunologi Tonsil

6

Page 7: Refleksi Kasus DM Doddy

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari

keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%

: 50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang

terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang

berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin

spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.11

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan

proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu

1) Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.

2) Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.11

Tonsilitis Kronik

2.4. Definisi

Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsila palatina setelah serangan

akut yang terjadi berulang-ulang. Biasanya sering didahului dengan peradangan pada bagian

tubuh lain seperti sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.12

2.5. Etiologi

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen

yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke

tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit

ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akutyang mengakibatkan kerusakan

permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.13

Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri aerobik dan

anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling

sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora

normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi patogen infeksius yang

memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,

Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.14,15

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan

bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa

kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus

7

Page 8: Refleksi Kasus DM Doddy

epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella

dan E. coli.16 Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang khusus

karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting dari infeksi virus adalah

adenovirus, influenza A dan herpes simpleks (pada remaja). Selain itu, infeksi virus juga

termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi

pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan

pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.15

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-

anak dengan immunocompromised.15

2.6. Epidemiologi

Di Indonesia, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab

tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996 - 1997 cakupan temuan penderita

ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada penderita ISPA

pada tahun tersebut adalah 78% - 82% sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya

pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat, absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan

ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau

karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.16

Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat

mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada

7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi

kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah

kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008 – Mei 2009 sebanyak 63 orang.

Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini

merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.17

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data

penderita tonsilitis kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya

penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis,

sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita.16

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak

muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus

biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada

8

Page 9: Refleksi Kasus DM Doddy

anak-anak muda.2,14 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis merupakan

penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam

suatu penelitian prevalensi karier Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu 10,9% pada

usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15 - 44 tahun dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut

penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronis adalah

kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %. Sedangkan Kisve pada penelitiannya

memperoleh data penderita tonsilitis kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-

14 tahun.11 Suku terbanyak pada penderita tonsilitis kronis berdasarkan penelitian yang

dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%,

Malay 25%, Iban 20% dan Chinese 14%.16

2.7. Patogenesis

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman

menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu

waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.

Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal

infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat

keadaan umum tubuh menurun.16 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi

dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses

radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh

jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripti ini

tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya

menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan

pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1

2.8. Faktor Predisposisi

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun

lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit tonsilitis kronis. Pada

penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara

relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor

genetik sebagai faktor predisposisi penyakit tonsilitis kronis.18

9

Page 10: Refleksi Kasus DM Doddy

Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis yaitu :

1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan.

2. Higiene mulut yang buruk.

3. Pengaruh cuaca.

4. Kelelahan fisik.

5. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1

2.9. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan

yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-gejala

konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.19 Pada pemeriksaan tampak

tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi

oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas

yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2

Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan ke dalam

kategori tonsillitis kronik berupa :

(a) Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar

di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent.

(b) Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed”

dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.14

Gambar 2.2. Tonsillitis Kronik

10

Page 11: Refleksi Kasus DM Doddy

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara

kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi

pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 21,22,23

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 2.3. Rasio perbandingan orofaring dengan tonsil.

11

Page 12: Refleksi Kasus DM Doddy

Gambar 2.4. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-

III tonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

2.10. Diagnosis

Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis secara

tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk menyingkirkan

kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan diagnosis. Pada

anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa nyeri

tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, ada rasa kering di

tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran

napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat

ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya

pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,19,20

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta

melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil

yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.20 Pada biakan tonsil

dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relatif

rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan Streptokokus beta hemolitikus.14,20

2.11. Pemeriksaan Penunjang

12

Page 13: Refleksi Kasus DM Doddy

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita tonsilitis kronis :

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen

dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organism patogen

disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat.

Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari permukaan tonsil. Berdasarkan penelitian

Kurien di India, terhadap 40 penderita tonsillitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan

kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan

diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.

Kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti Stafilokokus

aureus.24

Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480

spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan - sedang

infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abcess dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal

tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa

tonsilitis kronis.24

2.12. Diagnosis Banding

1. Tonsillitis difteri

Tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang

yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam

darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat / cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar

imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan

frekuensi tertinggi pada usia sampai 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu

umum, lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya

yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,

nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak

ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane

semu (pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah

berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian

13

Page 14: Refleksi Kasus DM Doddy

besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-

otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 2.5. Tonsila Difteri

2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau treponema. Gejala pada penyakit

ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi

dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran

putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau

(foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar 2.6. Angina Plaut Vincent

3. Faringitis

14

Page 15: Refleksi Kasus DM Doddy

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,

trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena

bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan

katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya

kompleks antigen antibodi. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri

tenggorok, sulit menelan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik, tampak tonsil membesar,

faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian

timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan

nyeri pada penekanan.1

Gambar 2.7. Faringitis

4. Faringitis Leutika

Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada

penyakit ini, tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding

posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang

tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri

tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Gejala klinik pada faringitis

tuberkulosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoreksia dan odinofagia. Pasien

mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa

servikal.1

15

Page 16: Refleksi Kasus DM Doddy

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan

kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau

kultur, X-ray dan biopsi.

2.13. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.

1. Medikamentosa

Terapi ini ditujukan pada higien mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian

antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,14 Pemberian antibiotika

sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis adalah

cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau

abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).16

2. Operatif

Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).

Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada

penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis

Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa

tonsilitis kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.16

Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap 15.788

penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah

itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%)

penderita dirujuk ke rumah sakit.16

Indikasi Tonsilektomi

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi

secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan tonsilitis akut atau kronik,

tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam

memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan studi Randomized

Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Untuk keadaan

emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak

diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non

16

Page 17: Refleksi Kasus DM Doddy

emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah

kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.

Indikasi absolut :

a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan

tidur atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.

b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika

dilakukan fase akut.

c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

Indikasi relatif :

a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil per tahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik

yang adekuat.

b) Halitosis akibat tonsilitas kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.

c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan

pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.14,16,21

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-Head and

Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah 1

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapat terapi yang adekuat.

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan

orofasial.

c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apneu,

gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonal.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang

dengan pengobatan.

e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A.

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

h. Otitis media supuratif.

Kontraindikasi Tonsilektomi

17

Page 18: Refleksi Kasus DM Doddy

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya

dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan

risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit

berat, anemia dan infeksi akut yang berat. 16,22

Persiapan Pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa mungkin

tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit

yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap

adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan terjadinya pendarahan.

Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum

sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.

Pemeriksaan laboratorium seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah

trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu

pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta

sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan

mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan

positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan

radiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.5,6,14

Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi

oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik

tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.16,25

Diseksi

Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan forsep

dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membrane mukus. Dilakukan diseksi dengan

disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan

senar untuk menggangkat tonsil.

Guilotine

18

Page 19: Refleksi Kasus DM Doddy

Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat

digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.

Elektrokauter

Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini

mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

Laser tonsilektomi:

Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat

digunakan namun laser CO2 lebih disukai. Tehnik yang dilakukan sama dengan yang dilakukan

pada tekhnik diseksi.

Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah

perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri.

Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya

infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman

dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit

sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler

atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.

Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar,

dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong,

maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior

dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.25

Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara

guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan

di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau

dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.25 Komplikasi pasca

bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late

complication. 25

Komplikasi segera (immediate complication)

19

Page 20: Refleksi Kasus DM Doddy

Pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.

Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24

jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat

bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas

menyebabkan asfiksia. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau

terlepasnya ikatan. 25 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar

dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 26

Komplikasi kemudian (intermediate complication)

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat

berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia

Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya

terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat

makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi

fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya

terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari

pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.25

Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis

uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang

mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat

mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.

Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan

gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring

akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan

ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini

biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.25

Komplikasi lambat (Late complication)

Pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan

palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil.

Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan

tonsilitis akut atau abses peritonsil.25

20

Page 21: Refleksi Kasus DM Doddy

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 21,22

· Immediate and Delayed Hemorrhage

· Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh terlepasnya

bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal atau

hematom retropharyngeal.

· Dehidrasi.

· Edema pulmonal : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang obstruksi

karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan

intratoracal, peningkatan volume darah paru dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat

terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.

· Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut.

· Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah.

2.14. Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis

kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara

hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis

iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.1 Beberapa literatur, menyebutkan

komplikasi tonsillitis kronis antara lain : 16,27

a) Abses peritonsil

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses

biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed.

Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah

malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan

melakukan aspirasi abses.

21

Page 22: Refleksi Kasus DM Doddy

Gambar 2.8. Abses peritonsil

b) Abses parafaring

Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,

demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses

dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan

penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang

bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian

antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)

Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa

dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu

terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi

ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak

nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan

palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

e) Kista tonsilar

Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas

tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah dilakukan drainase.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada

43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta

22

Page 23: Refleksi Kasus DM Doddy

hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini

megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit

Glomerulonefritis.

2.15. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman.

Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai

arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan

dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita

mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga

dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius

seperti demam rematik atau pneumonia.16

BAB III

REFLEKSI KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. G.

Usia : 21 tahun.

Jenis Kelamin : Laki-laki.

Alamat : Jl. Merapi No. 35 Lempake.

Pekerjaan : Montir Bengkel.

23

Page 24: Refleksi Kasus DM Doddy

Suku : Jawa.

Agama : Islam.

Tanggal Pemeriksaan : 15 Mei 2013

Ruang Perawatan : Ruang Anggrek

3.2. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dengan pasien oleh pasien pada tanggal 15 Mei 2013.

Keluhan Utama : Rasa mengganjal pada tenggorokan

Riwayat Sakit Sekarang

Rasa mengganjal pada tenggorokan dialami sejak 1 bulan yang lalu.

Keluhan tidak disertai nyeri menelan, hanya kesulitan menelan untuk makan dan minum.

Jika tidur, pasien selalu mengorok.

Terdapat napas berbau.

Pasien tidak ada mengeluhkan pilek ataupun sakit telinga saat pemeriksaan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sering mengalami batuk pilek berulang disertai demam sejak 2 tahun yang lalu

namun membaik setelah berobat ke puskesmas dan berulang lagi beberapa minggu

kemudian.

Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat alergi.

Riwayat Kebiasaan

Pasien suka mengkonsumsi minuman dingin, gorengan dan makanan pedas.

Riwayat Pekerjaan

Pasien bekerja di bengkel sebagai montir dan sering merasa kelelahan.

24

Page 25: Refleksi Kasus DM Doddy

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sakit sedang.

Kesadaran : Compos mentis.

Tanda vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg.

Nadi : 80 kali / menit.

Napas : 20 kali / menit.

Suhu : 36,4 oc.

Status Generalisata

Kepala dan leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks

cahaya (+/+), pembesaran KGB (-).

Thorax :

Paru : Inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi ICS (-), Palpasi : fremitus raba simetris,

Perkusi : sonor, Auskultasi : suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-).

Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V

MCL sinistra, Perkusi : redup, Auskultasi : S1S2 tunggal regular.

Abdomen : Inspeksi : datar, Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, Perkusi : timpani,

Auskultasi : bising usus (+)

Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-).

Status Lokalis

Telinga Kanan Kiri

Aurikula Radang (-), nyeri tekan tragus (-) Radang (-), nyeri tekan tragus (-)

Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)

Meatus Akustikus

Eksternus

Mukosa hiperemi (-), edema (-) Mukosa hiperemi (-), edema (-)

Membran Timpani MT intak, hiperemis (-), edema (-),

reflex cahaya (+) arah jam 5

MT intak, hiperemis (-), edema

(-), reflex cahaya (+) arah jam 7

Hidung Kanan Kiri

25

Page 26: Refleksi Kasus DM Doddy

Kulit luar Warna kulit sama dengan sekitarnya

Discharge (-) (-)

Septum nasi Deviasi septum (-) Deviasi septum (-)

Mukosa rongga hidung Hiperemis (-), pucat (-) Hiperemis (-), pucat (-)

Konka nasi Hipertrofi (-), edema (-) Hipertrofi (-), edema (-)

Tenggorok

Fetor (+)

Tonsil T3, hiperemis (-), kripta

melebar (-), detritus (-)

T3, hiperemis (-), kripta

melebar (-), detritus (-)

Uvula Simetris, hiperemis (-), edema (-), letak di tengah.

Palatum mole Simetris, hiperemis (-)

Dinding faring Mukosa halus, hiperemis (-), refleks muntah (+)

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium : Leukosit : 7.200 / mm3

Hb : 16,3 g/dl

Trombosit : 290.000 / mm3

Bleeding time : 2’

Clotting time : 8’

3.4 DIAGNOSIS

Tonsilitis Kronis

3.5 PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa

Menghindarkan makanan yang merangsang seperti makanan pedas, gorengan dan

minuman dingin.

Istirahat yang cukup.

Menjaga higiene mulut.

Medikamentosa Pre Operasi

26

Page 27: Refleksi Kasus DM Doddy

Infus RL : D5 = 1 : 2 (20 tpm).

Ranitidin inj 3 x 1 ampul IV.

Operatif

Tonsilektomi tanggal 18 Mei 2013

Medikamentosa Post Operasi

Cefotaxim inj 2 x 1 gram IV

Ranitidin inj 3 x 1 ampul IV

Natrium metamizol inj 3 x 1 ampul IV

Dexamethason inj 3 x 1 ampul IV

3.6 PROGNOSIS

Bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien An. G, usia 21 tahun, dirawat di ruang Anggrek dengan keluhan rasa mengganjal

pada tenggorokan yang dialami sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan tersebut tidak disertai dengan

nyeri menelan, hanya kesulitan menelan untuk makan dan minum. Jika tidur pasien cenderung

selalu mengorok dan napas pasien berbau. Pasien sering mengalami batuk pilek berulang disertai

demam sejak 2 tahun yang lalu namun membaik setelah berobat ke puskesmas dan berulang lagi

27

Page 28: Refleksi Kasus DM Doddy

beberapa minggu kemudian. Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Pasien suka

mengkonsumsi minuman dingin, gorengan dan makanan pedas. Pasien sering kelelahan selama

bekerja sebagai montir.

Berdasarkan literatur, tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsila

palatina setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang. Biasanya sering didahului dengan

peradangan pada bagian tubuh lain.12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis

kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25

tahun. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronis

adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %.11 Manifestasi klinik yang timbul dapat

bervariasi. Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa

nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, ada rasa

kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan dan obstruksi pada saluran cerna dan

saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala

konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.1,19,20 Beberapa faktor

predisposisi timbulnya tonsillitis kronis antara lain rangsangan menahun (kronik) rokok dan

beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan

pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak tonsil membesar dengan gradasi T3 disertai

dengan pelebaran kripta dan adanya halitosis. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan

permukaan yang tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Berdasarkan

literatur, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta

melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil

yang secara menyeluruh dimasukkan ke dalam kategori tonsillitis kronik berupa pembesaran

tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya

tertutup oleh eksudat yang purulen dan tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang

seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan

diatasnya tampak eksudat yang purulen.14,20

Pada kasus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk persiapan operasi. Menurut

literatur, dilakukan pemeriksaan gold standard berupa pemeriksaan kultur kuman dari tonsil

yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil agar pemberian antibiotik sesuai dengan jenis

kuman penyebab infeksi pada tonsil tersebut.24 Selain itu, pemeriksaan laboratorium seperti

28

Page 29: Refleksi Kasus DM Doddy

waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah

komplit dilakukan sebagai persiapan operasi.5,6,14

Penatalaksanaan yang diberikan adalah infus RL : D5 = 1 : 2 (20 tpm) dan ranitidin

injeksi 3 x 1 ampul IV dan direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi. Untuk post tonsilektomi

diberikan terapi cefotaxim inj 2 x 1 gram IV, ranitidin inj 3 x 1 ampul IV, natrium metamizol inj

3 x 1 ampul IV, dexamethason inj 3 x 1 ampul IV. Berdasarkan literatur, penatalaksanaan untuk

tonsilitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif. Untuk medikamentosa, terapi ini

ditujukan pada menjaga higiene mulut dengan cara berkumur, pemberian antibiotik, pembersihan

kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,14 Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan

mengangkat tonsil (tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.16 Untuk

pasien ini dilakukan tonsilektomi atas indikasi yaitu pembesaran tonsil yang menyebabkan

sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan tidur atau terdapat komplikasi

kardiopulmonal, halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan

medik.14,16,21

Prognosis pada pasien ini adalah bonam, karena dilakukan pengobatan yang adekuat.

BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien laki-laki dengan usia 21 tahun dirawat di ruang Anggrek RSUD

AWS Samarinda dengan keluhan rasa mengganjal pada tenggorokan. Berdasarkan anamnesis

dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis tonsillitis kronis. Penatalaksanaan yang diberikan yaitu

pembedahan berupa tonsilektomi dan diberikan medikamentosa yang bersifat suportif,

simptomatik maupun kausatif berupa cairan infus, analgetik, anti radang dan antibiotik serta

29

Page 30: Refleksi Kasus DM Doddy

edukasi. Prognosis pasien ini bonam karena diberikan terapi yang adekuat dan dilakukan

tindakan pembedahan sesuai dengan indikasi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. 2007. Tonsilitis Kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi VI. Jakarta : FK UI. Hal. 212-225.

2. Udayan, K.S. 2011. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Available from : http://emedicine.

medscape.com/. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

3. Medical Disbility Advisor. 2011. Tonsillitis and Adenoiditis. Available from : http://www.

mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

30

Page 31: Refleksi Kasus DM Doddy

4. John, P.C., William, C.S. 2011. Tonsillitis and Adenoid Infection. Available from :

http://www.medicinenet.com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

5. Christopher, M.D., David, H.D., Peter, J.K. 2003. Infectious Indications for Tonsillectomy.

In : The Pediatric Clinics Of North America. Page 445 - 458.

6. Adnan, D., Ionita, E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and

Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis.

7. Farokah. 2005. Laporan Penelitian : Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar

Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Available from : http://eprints.undip.ac.id

/12393/1/2005FK3602.pdf. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

8. Wirawan, S., Putra, I.G.A.G. 1979. Arti Fungsional dari Elemen-Elemen Histologis Tonsil

dalam Masna P.W (ed) Tonsila Palatina dan Permasalahannya. Denpasar : FK UNUD.

9. Pracy, R et al. 1974. Pelajaran Ringkas THT. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

10. Richard, S.S. 2006. Pharynx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.

Jakarta: ECG. Page 795-801.

11. Hatmansjah. 1993. Tonsilektomi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan

Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Cermin Dunia Kedokteran No. 89.

12. Lee, K.J. 2003. The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Essential Otolaryngology

Head & Neck Surgery. USA : Mc Graw Hill Medical Publishing Division.

13. Mandavia, Rishi. 2012. Tonsillitis. Available from : http://www.entfastbleep.com. Diakses

tanggal 18 Mei 2013.

14. Boies, A.H. 1997. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta :

ECG. Page 263-340.

15. Gross, C.W., Harrison, S.E. 2000. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. Available

from : http://www.pediatricsinrewiew.com Diakses tanggal 18 Mei 2013.

16. Amalia, Nina. 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik

Medan.

17. Indo, S., Raden, S., Linda, K., Sutji, P.R., Lapran. Penelitian : Kadar Imunoglobulin A

Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi.

18. Ellen, K., Kari, Jo, K., Espen, R. et al. 2005. Heritability of Reccurent Tonsillitis. Available

from : http://www. Archotolaryngelheadnecksurg.com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

31

Page 32: Refleksi Kasus DM Doddy

19. Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R., Arvin, A.M. 2000. Tonsil dan Adenoid. In:

Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta : ECG. Page 1463-1464.

20. Hassan, R., Alatas, H. 2007. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak

Jilid 2. Jakarta : FKUI. Page 930-933.

21. Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. 2006. Tonsillitis, Tonsillectomy and

Adenoidectomy. In : Head&Neck Surgery-Otolaryngology 4th edition.

22. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In : Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. Page 158-165.

23. Andrews, B.T., Hoffman, H.T., Trask, D.K. 2007. Pharyngitis / Tonsillitis. In: Head and

Neck Manifestations of Systemic Disease. USA. Page 493-508.

24. Uğraş, Serdar, Kutluhan, Ahmet. 2008. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With

Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.

Available from : http://www. Bioline International .com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

25. Hatmansjah. 1993. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. Available from :

http://www. cerminduniakedokteran .com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.

26. Harrison, S.E., Osborne, E., Lee, S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:

Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates.

27. Lalwani, A.K. 2007. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In : Current

Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill.

32